SANKSI PERATURAN TERHADAP ATURAN POLIGAMI DAN PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA, MALAYSIA, DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: Fajar Devan Afrizon 1112044100081 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016 M ABSTRAK FAJAR DEVAN AFRIZON, NIM: 1112044100081, SANKSI PELANGGARAN TERHADAP ATURAN POLIGAMI DAN PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA, MALAYSIA, DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM. Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016 M /1348. X+ 91 Halaman Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam adalah negara-negara yang termasuk dalam bagian Asia Tenggara, yang mana ketiga negara ini serumpun dan penduduknya banyak yang menganut agama Islam. Dan yang kita ketahui Islam mengenal yang namanya Poligami yang berati mempunyai istri lebih dari satu, namun berpoligami tidak mudah seperti yang diperkirakan, dalam berpoligami kita harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam UU Pernikahan No. 1 Th 1974 dan juga di atur dalam KHI, dalam prakteknya masih banyak orang yang melanggar mungkin karena sanksi yang diterapkan belum memberikan efek jera sehingga seringkali terjadi pelanggaran. Selain Poligami di dalam dunia pernikahan kita megenal yang namanya Pencatatan Pernikahan sebagai salah satu syarat sahnya Perkawinan, dan yang bertugas dalam hal ini adalah Pegawai Pencatatan, jika seseorang tidak melakukan pencatatan maka dia termasuk melanggar yang mana itu di jelaskan dalam UU Pernikahan No 1 Th 1974 pasal 2 ayat (2), dan lagi-lagi masih banyak yang melanggar dalam hal ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan pendekatan yuridis normatif dengan sfesifikasi penelitian yaitu deskripsi analitis. Tehnik pengumpulan data yang dugunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan data skunder berupa buku-buku, kitab-kitab, dan karya tulis ilmiah. Data yang diperoleh kemudian kemudian dianalisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian penulis maka ada temuan yaitu, Di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam mempunya perbedaan dalam memberi sanksi dalam pelanggaran Pencatatan Perkawinan dan Poligami, jika di malaysia seorang melanggar Pencatatan Perkawinan dan Poligami itu bisa di kenakan sanksi denda sebanyak satu ribu Ringgit atau penjara tidak lebih dari enam bulan, sedangkan di Negara Brunei Darussalam bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi penjara atau denda sebesar $200. walaupun sanksi yang diberikan kepada pelanggar Pencatatan Perkawinan dan Poligami hampir sama, yaitu berupa kurungan atau denda namun ada perbedaan yang signifikan antara ketiga negara. Yang mana jika di Malaysia dan Brunei sanksi yang diberikan itu dijatuhkan untuk si pelaku, sanksi berupa kurungan dan denda sedangkan di Indonesia hanya dengan denda saja. Kata Kunci : Sanksi Pelanggaran Terhadap Aturan Poligami dan Pencatatan Pekawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam Pembimbing : Dr.H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H,M.H Daftar Pustaka : Tahun 1976 s.d Tahun 2013 2. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah, dan Bapak Arif Furqon, M.A. sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, SH, MH, MA sebagai dosen pembimbing, yang telah begitu bijaksana memberikan ilmunya kepada penulis ditengah kesibukan yang padat, serta membimbing penulis dengan sabar agar penulis ini selesai dengan baik dan juga bermanfaat. 5. Terimakasih juga kepada para penguji bapak Dr. Djuaini Syukri, Lc., MA dan bapak Drs. Sirril Wafa, MA sehingga menjadikan skripsi ini menjadi lebih baik. 6. Bapak/Ibu dosen Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu dan ahlak yang tidak ternilai harganya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Segenap staff akademik dan staff perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan staff Perpustakaan Umum Universitas Islam Negri Syarif Hidatullah Jakarta. 8. Saudara dan saudari penulis, Darmawan Setiawan Afrizon, dan Aria Abdurrahman Afrizon yang turut memberikan motivasi. vii 9. Sahabat terdekat penulis; Miqdad Rikanie, Eko Saputro, Maulidian DS, Novan Danurwindo, Achmad Jamalulael, Mutiara Indana Zulfa, Yahdi, M. Muhidin Prakoso, Ai Sri Maryani, Rahmat Abdullah, Muhammad Rifki Mawali Lubis, Faizah Zatul Hilmi dan semua Sahabat yang tidak bisa disebutkan satu persatu selalu memberikan bantuan dan motivasi, 10. Para teman-teman Alumni 2010 Pondok Modren Gontor, para Sahabat Sahabati PMII, Semua teman-teman dosen alumni Kahfi BBC Motivator School, teman-teman di Komunitas TI (Tim Ilustrasi), LBS Indonesia, IKPM Bekasi, Konsulat Bekasi, Guru-guru Pramuka di SD AL- Azhar Jagakarsa, Rakkay Bagero yang turut memberikan motivasi dan ilmu yang bermanfaat dalam membantu menyelesaikan skripsi. 11. Teman-teman Hukum Keluarga angkatan 2012 yang memberikan saran dan motivasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi. 12. Dan untuk yang selalu menjadi inspirasi saya K.H. Hasan Abdullah Sahal, K.H. Abdullah Syukri Zarkasyih, K.H. Samsul Hadi Abdan, Dr.Hj. Mesraini, M.Ag, Tubagus Wahyudy, ST, MSI, MCHt, CHI 13. Dan semua pihak yang telah membantu memberikan kontribusi terhadap penyelesain skripsi ini dan tiak dapat disebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat penulis. Terimakasih dan semoga masukkan dan bantuannya di catat oleh Allah sebagai pahala disisi-Nya. Amiin. Dan semoga bermanfaat bagi semuanya, Amiin. Jakarta, 4 Oktober 2016 FAJAR DEVAN AFRIZON viii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................. iii LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iv ABSTRAK ................................................................................................... v KATA PENGANTAR ................................................................................. vi DAFTAR ISI................................................................................................ x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1 B. Identifikasi Masalah ....................................................... 10 C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ............. 10 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................... 11 E. Review Studi Terdahulu ................................................. 13 F. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan ....................... 14 G. Sistematika Penulisan ..................................................... 15 BAB II PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA, MALAYSIA, DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM A. Hukum Keluarga Islam di Indonesia ................................ 17 1. Pembentukan Hukum Keluarga Islam ..................... 17 x 2. Hukum keluarga Islam dalam peraturan Perundangundangan di Negara Indonesia ................................ 21 B. Hukum Keluarga Islam Malaysia ..................................... 24 1. Pembentukan Hukum Keluarga Islam ..................... 24 2. Hukum Keluarga Islam dalam peraturan Perundangundangan di Malaysia .............................................. 26 C. Hukum Keluarga Islam Negara Brunei Darussalam...........28 1. Pembentukan Hukum Keluarga Islam .................... 28 2. Hukum Keluarga Islam dalam peraturan Perundangundangan di Negara Brunei Darussalam ................. 28 BAB III KETENTUAN POLIGAMI DAN PENCATATAN PERKAWINAN A. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Fiqih konvenSional ................................................................................ 32 1. Pencatatan Perkawinan ............................................ 32 2. Poligami ................................................................... 33 B. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundangundangan di Indonesia ...................................................... 39 1. Pencatatan Perkawinan ........................................... 39 2. Poligami .................................................................. 42 C. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundangundangan di Malaysia ....................................................... 46 xi 1. Pencatatan Perkawinan ............................................ 46 2. Poligami ................................................................... 47 D. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundangundangan di Negara Brunei Darussalam .......................... 49 1. Pencatatan Perkawinan ............................................ 49 2. Poligami ................................................................... 51 BAB IV ANALISIS SANKSI PENCATATAN PERKAWINAN DAN POLIGAMI DI INDONESIA, MALAYSIA, DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM A. Sanksi Pencatatan Perkawinan dan Poligami di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ....................... 53 1. Indonesia .................................................................. 53 2. Malaysia ................................................................... 56 3. Negara Brunei Darussalam ...................................... 58 B. Perbandingan Vertikal dan Diagonal Sanksi Pencatatan Perkawinan dan Poligami di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ............................................... 60 1. Indonesia .................................................................. 60 a. Perkawinan : Fikih, Perundang-undangan Indonesia dan Nasional ..................................... 62 b. Pencatatan Perkawinan ..................................... 63 c. Poligami ............................................................ 65 2. Malaysia ................................................................... 66 xii a. Peranan Maslahat dalam Hukum Islam ............ 68 3. Negara Brunei Darussalam ...................................... 68 C. Prospek Hukum Keluarga di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam............................................................. 71 1. Indonesia .................................................................. 71 a. Situasi Hukum ................................................... 73 b. Hukum Islam pada Zaman Ta’biin ................... 74 c. Pemberlakuan dan Perkembangan Hukum Islam di Indonesia ....................................................... 77 2. Malaysia ................................................................... 77 a. Perkembangan Muktahir ................................... 78 3. Negara Brunei Darussalam ...................................... 79 a. Undang-undang untuk orang Islam di Brunei ... 80 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................... 83 B. Saran.................................................................................... 86 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 87 xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan satu-satunya sarana yang sah untuk membangun sebuah rumah tangga dan melahirkan keturunan, sejalan dengan fitrah manusia. Kehidupan dan peradaban manusia tidak akan berlanjut tanpa adanya kesinambungan perkawinan dari setiap generasi ummat manusia.1 Nikah adalah salah satu sendi pokok pergaulan bermasyarakat. Oleh karena itu, agama memerintahkan kepada ummat-Nya untuk melangsungkan pernikahan bagi yang sudah mampu, sehingga malapetaka yang diakibatkan oleh perbuatan terlarang dapat dihindari.2 Pernikahan seperti pada Undang-Undang Pasal (1) bab I tentang perkawinan adalah: “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pernikahan bertujuan mendirikan keluarga yang harmonis dan sejahtera, artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antara anggota keluarganya.3 1 Hasbi Indra, Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 61. 2 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: elsas, 2008), h. 4. 3 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor: Kencana,2003), h. 22. 1 2 Melaksanakan perkawinan, lebih dahulu harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti rukun nikah, apabila rukunnya tidak lengkap maka perkawinan itu tidak sah. Adapun rukun nikah terdiri atas: calon suami, calon isteri, wali, dua orang saksi, dan ijab qabul.4 Diatas sudah di jelaskan macam-macam rukun pernikahan, namun yang akan penulis akan bahas adalah tetang sanksi dalam hukum keluarga. Para kaum Muslim di tanah air, memposisikan hukum Islam di atas segala norma nilai yang ada di sekelilingnya, posisi istimewa hukum Islam itu bertahan dalam rentang waktu yang cukup panjang. Dari mulai kerajaan Islam, yang diperankan oleh otoritas kerajaan, kemudia berada dalam tarik-ulur kepentingan kekuasaan penjajah Belanda, dan terakhir masa kemerdekaan, sampai lahirnya UU No. 1/ 1974 tentang Perkawinan. Dari rentang waktu implementasi hukum perkawinan Indonesia itu menekankan “jaminan hukum” atas status hubungan suami istri, jaminan hukum itu, bisa berupa ikatan yang dianggap sah karena sebuah ijab-qobul, yang dilakukan oleh mempelai pria, wali dan di hadapan saksi, meski tanpa pencatatan. Dan pada masa kelahiran UU No. 1/ 1974, “jaminan hukum” itu ditegaskan dengan pencatatan. Ini mempuyai implikasi hukum, khususnya, hukum perdata. Selain itu, hukum perkawinan termasuk hukum yang paling sering bersentuhan dengan “rasa keadilan” di dalam masyarakat Muslim Indonesia, pasalnya dengan hukum perkawinan struktur sosial akan menjadi kuat dan matang ini karena keluarga sebagai unit terkecil dan paling penting dalam masyarakat, lahir dan tiada 4 Peuno Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 125-126. 3 karena sebuah perkawinan. Dan dengan hukum perkawinan pula, banyak terjadi asimilasi budaya di beberapa sudut tanah air, bahkan antara negara5. RUU tentang perkawinan mengatur ketentuan-ketentuan pokok perkawinan yang bersifat nasional, tidak membedakan golongan atau suku bangsa. Sementara RUU perkawinan umat Islam ditarik dari pengusulan. RRU tersebut menarik perhatian masyarakat luas, terutama umat Islam. Seluruh lapisan masyarakat terpanggil minatnya untuk memperhatikan RUU itu dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut Taufik Abdullah, materi RUU perkawinan yang diajukan pemerintah menyinggung “wilayah sakral” agama yang begitu dijaga dengan ketat oleh pemeluknya [Taufik Abdullah:1987]. Oleh karena itu, begitu naskah RUU perkawinan disampaikan oleh pemerintah kepada DPR, belum lagi pemerintah menyampaikan keterangan secara resmi pada sidang pleno DPR, reaksi terhadap RUU itu sudah meletus dikalangan masyarakat. Mulanya riakan hanya DPR kemudian merembes keluar, karena selembaran itu sudah terlebih dahulu didapatkan oleh anggota DPR. Ini ditangkap dan digaungkan lagi oleh para ulama dan mubaliq, dipublikasikan oleh media yang memungkinkan melalui dakwah, khutbah-khutbah di masjid, ,maupun di media cetak6. Satu tahun Indonesia merdeka, pembina’an Pengadilan Agama yang semula berada dalam Kementerian Kehakiman diserahkan kepada Kementerian Agama melalui peraturan pemerintah NO. 5 /SD/1946. 5 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasiaonal, (Jakarta Selatan: RMBooks, 2012) h. 78 6 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta Selatan: RMBOOKS, 2012) h. 92 4 Kemudian dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948, Pengadilan Agama dimasukkan ke Pengadilan Umum. Namun menurut Hardi Djenawi Taher, karena Undang-Undang tersebutn tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia sendiri, maka tidak pernah dinyatakan berlaku. Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Darurat (UUDr) No. 1 Th. 1951, pemerintah menegaskan pendirianya untuk mempertahankan Peradilan Agama, menghapus pengadilan Swapraja dan Peradilan Adat. Sebagai pelaksanaan dari UUDr tersebut, kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 yang mengatur Pembentukan Peradila Agama di luar Jawa Madura dan Klaimantan Selatan7. Poligami adalah sebuah istilah dan sebuah realitas banyak manusia yang terjebak dalam dialog dan perdebatan yang panjang mengenai poligami. Jika dikaji pemicunya bukan karena pengaruh ketidak jelasan dalil-dalilnya melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan para pihak yang terlibat, dan buruknya dampak poligami yang dilakuan oleh kebanyakan manusia. Dalam praktek poligami banyak contoh buruk dan merupakan relitas poligami. Realitas seperti itu muncul dimana-mana. Persoalanya adalah poligami yang dilaksanakan tidak sesuai dengan semangat dan tanggung jawab yang seharusnya dimiliki oleh semua pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain poligami dilaksanakan tanpa peduli dengan syariatnya yang 7 Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta, 2002) h. 138 5 telah mengaturnya, seakan mereka lupa bahwa poligami pada saatnya juga akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT8. Di Indonesia melakukan poligami harus menempuh syarat-syarat dan mekanisme yang harus dijalani, seperti yang tertera dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Th 1974 BAB I Pasal : 4 yang berbunyi : 1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih seorang sebagaimana tersebut tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. 2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai istri b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan Dan di Indonesia jika ingin melakukan pernikahan juga harus di catat supaya sah di mata hukum, seperti yang tertera dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Th 1974 BAB I Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi : ‘Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undanan yang berlaku’. 88 Aedy Hasan, Poligami syariah dan Perjuagan Kaum Perempuan, (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 61 6 Dari 2 ketentuan di atas tentang Poligami dan Pencatatan Nikah, dalam Undang-undang perkawinan belum ada sanksi yang tegas yang tertera dalam Undang-Undang. Pada tahun 1957, ketika Undang-Undang persekutuan Malaysia di Bicarakan menjelang kemerdekaan Malaysia, didalam draf rancangan UndangUndang tersebut tidak dicantumkan bahwa agama Islam adalah agama persekutuan. Hakim Abdul Hamid salah seorang anggota sidang mengajukan usulan agar agama Islam menjadi agama Negara, akan tetapi hasil akhir dari pembahasan Undang-Undang tersebut tidak menyetujui usulan tersebut, juga tidak disebutkan persekutuan Malaysia sebagai sebuah negara sekuler. Namum melalui pertarungan yang cukup lama, akhirnya pengakuan atas Islam sebagai agama resmi persekutuan dan hak menjalankan hukum Islam diakui dalam Konstitusi Malaysia merdeka. Malaysia merupakan yang mempunyai dua jenis undang-undang, yaitu : Undang-undang Syariah dan Undang-undang sipil. Menurut Ahmad Ibrahim, perubahan Undang-Undang pada awal kemerdekaan lebih banyak menyangkut pengadministrasian, yurisdiksi dan kekuasaan pengadilan syariah 9 . Sebelum datang Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Negara Brunei Darussalam ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan Hukum Kanun Brunei. Hukum Kanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hasan (1605-1619 M) yang disempurnakan oelh Sultan Jabbar (1619-1652 M). Pada tahun 1847 Inggris mulai mencampuri urusan 9 Ahmad Ibrahim, Perkembangan Kodifikasi Hukum di Malaysia, dalam Sudirman Teba, Perkembangan Hukum Islam Terakhir di Asia Tenggara, (Bandung: Mizan, 1993), h. 100-101 7 bidang kekuasaan Mahkamah Kesultanan Brunei karena itu pada tahun inilah hubungan resmi dengan Inggris dimulai. Pemerintahan Inggris di Brunei semakin jauh mencampuri urusan Hukum Brunei setelah diadakan perjanjian tahun 185610. Undang-Undang Keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam Undangundang Majlis Ugama Islam dan Mahkamah kadi penggal 77 bentuk dan kandunganya masih sama dengan Undang-undang Majlis Ugama Islam, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi No. 20/1955. Dalam Undang-undang tersebut masalah hukum keluarga Islam diatur hanya 29 bab, yaitu dibawah aturan: Marriage and Maintenance of Dependent di bagian VII yang dimulai dari pasal 157 sampai 16311. Indonesia pun mempunyai sejarah yang berbeda dengan Malaysia dan Negara Brunei Darussalam, terlepas dari perkembangan sejarah UndangUndang di Indonesia terutama Undang-Undang Perkawinan, selain pada itu, keberhasilan umat Islam Indonesia dalam menggolkan RUU PA menjadi Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, tidaklah berarti semua persoalan yang berkaitan dengan implementasi hukum Islam di Indonesia menjadi selesai. Ternyata persoalan krusial yang dihadapi adalah menempatkan persoalan yang mereka hadapi. Adalah gagasan Bustanul Arifin seorang Hakim Agung tampil dengan gagasan perlunya membuat kompilasi hukum Islam. Gagasan tersebut 10 M. Atho Mudzar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modren, (Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2003) h. 178 11 M. Atho Mudzar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modren, (Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2003) h. 181-182 8 disepakati dan dibetuklah tim pelaksana proyek dengan surat keputusan bersama (SKB) ketua mahkamah Agung RI dan Mentri Agama RI No. 07/KMA/1985. Dengan kerja keras anggota tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat didalamnya maka merumuskan KHI yang ditindak lanjuti dengan keluarnya Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari beberapa Buku12. Poligami merupakan satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak di bicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologi bahkan selalu dikaitkan dengan ketidak adilan gender. Bahkan penulis barat sering mengklaim bahawa poligami adalah bukti ajaran Islam didalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Pada sisi lain,poligami di kampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan selingkuh dan prostitusi13. Dan dalam penikahan harus juga melakukan Pencatatan Nikah yang di lakukan di depan pegawa pencatat nikah, dalam hal ini sebagain syarat Administrasi dalam perakwinan dan sebagai mempermudah dalam hal-hal mengurus surat-menyurat dalam Administrasi, karena sekrang banyak seklai yang melakukan perkawinan tanpa melakukan pencatatan perkawinan fenomena ini bisa dibilang nikah sirih atau nikah dibawah tangan, dalam hal ini 12 Azhar Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008) h. 29-31 13 Azhar Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004) h. 155 9 menurut Agama sah Perkawinannya namun dalam ranah hukum tidak sah karena tidak melakukan pencatatan. Untuk itu perlu adanya perlindungan terhadap nasib perempuan dari perbuatan dan perlakuan yang semena-mena dari kaum laki-laki. Dan yang mendasari lahirnya Undang-Undang perkawinan adalah masalah perlindungan terhadap nasib kaum hawa ini14. Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam mempunyai banyak kesamaan dari persamaan kultur sama-sama bangsa Melayu, terletak di daratan Asia Tenggara. Tetapi dalam hal peraturan perundang-undangan khususnya perundang-undangan hukum keluarga dan beberapa hal yang berbeda termasuk dalam hukum materinya hal poligami dan pencatatan perkawinan dalam hal sanksinya. Bedasarkan uraian diatas, maka penulis bermasuk untuk mengangkat topik tersebut dalam sebuah karya tulis yang berjudul “Sanksi Pelanggaran Terhadap Aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam” 14 Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum, (Jakarta: RMBooks, 2012) h. 157-158 10 B. Identifikasi Masalah Dari latar belakang masalah di atas penulis mendapatkan identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Apa yang membedakan Hukum Keluarga Islam Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ? 2. Faktor apa saja yang melatar belakangi perbedaan Hukum Keluarga Islam Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ? C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdirinya sebuah negara, mensyaratkan pentingnya sebuah perundang-undangan, karena peraturan perundang-undanganlah sebab negara dapat berjalan dijalan yang baik. Malaysia sebagai Negara Federasi yang mempunyai beberapa wilayah bagian negara, tentulah setiap Undang-Undang keluarga Islam berbeda, mesti dibawah naungan Mahkamah Syariah. Negara Brunei Darussalam pun pasti mempunyai perundang-undangan keluarganya sendiri sebagai pengatur dalam negaranya sendiri, dan Indonesia yang kini mempunyai Undang-Undang Perkawinan yang mengatur masalah Perkawinan semua warga negara Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam yang menjadi Kitab Rujukan para Hakim Agama mengambil suatu keputusan untuk masalah perkawinan orang Islam. 11 Mengingat akan uraian di atas tentang keluarga Islam Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam yang memunyai aturan-aturan Hukum Keluarga yang berbeda-beda, maka penulis membatasi masalah pada skripsi ini yaitu tetang aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan dalam Undang-Undang Keluarga Islam. 1. Perumusan Masalah Selanjutnya untuk mempermudah pembahasan, maka hal tersebut dapat di rumuskan permasalahannya sebagai berikut : 1. Bagaimana aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ? 2. Apa perbedaan dan perasamaan aturan atau sanksi dalam Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Malaysia, danNegara Brunei Darussalam ? 3. Faktor apa saja yang mempengaruhi perbedaan aturan atau sangsi Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Di sesuaikan dengan Rumusan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Untuk mengetahui apa saja sanksi dalam aturan poligami dan pencatatan perkawinan dalam hukum keluarga Islam Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam. 12 2. Untuk mengetahui apa saja perbedaan dan persamaan Undangundang Keluarga Islam di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam. 3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi perbedaan sangsi dalam aturan poligami dan pencatatan perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam. 2. Manfaat Adapun manfaat dari penelitian ini dapat digunakan untuk beberapa hal : 1. Sebagai input atau referensi bagi mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Khususnya Studi Hukum Keluarga, untuk mengetahu beberapa perbedaan sanksi dalam aturan poligami dan pencatatan perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam. 2. Bagi kalangan civitas akademisi, diharapkan penelitian akan menambah khazanah keilmuan yang ada di Syariah dan Hukum dan Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bagi masyarakat pada umunya, penelitian ini dapat menjadi wawasan baru dan ilmu pengetahuan baru tentang sangsi dalam aturan poligami dana pencatatan nikah di berbagai negara khususnya Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam. 13 E. Review studi terdahulu Dalam penulisan skripsi ini penulis juga meruuk kepada skripsiskripsi yang sudah terdahulu dengan subtansi pembahasan yang tentu berbeda, diantaranya sebagi berikut : Skripsi, Pencatatan Nikah Beda Agama di kantor Urusan Agama (KUA) studi kasus KUA Kecamatan Cilandak, ditulis oleh Aqib Maimun Tahun 2010, pembahasan pada skripsi ini lebih memfokuskan kepada analisis penetapan akta nikah pernikahan beda agama di KUA Kecamatan Cilandak dan tidak menyinggung sama sekali tentang biaya pencatatan nikah serta regulasinya. Skripsi, Undang-undang Syariah dan Undang-undang Sipil di Malaysia suatu perbandingan (studi perbandingan kewenangan Mahkamah Syariah dan Mahakamah Sipil di Malaysia), ditulis oleh Aminudin Ramli Tahun 2008. Pembahasanya menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan antara kewenangan Mahkamah Syariah dan Mahkamah Sipil di Malaysia serta kedudukan antara kedua mahkamah tersebut. Skripsi, Efektivitas Peraturan Menteri Agama (PMA) No.11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah di KUA Kecamatan Sukakarya Bekasi, di tulis oleh Muhammad Muhiddin Tahun 2011, Skripsi ini mengungkap tentang efektivitas PMA tentang pencatatn nikah serta konsep-konsep pencatatan nikah. 14 F. Metode penelitian dan Teknik Penulisan 1. Jenis penelitian Dalam penulisan ini, penulisan menggunakan metode penelitian normatif, pada penelitian hukum normatif, peraturan Perundangundangan yang menjadi objek penelitian menjadi sumber data primer dalam penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian hukum tertulis yang dilakukan peneliti adalah melakuan, pengumpulan bahan-bahan baik yang terpublikasi atau tidak berkenaan dengan bahan hukum positif yang dikaji. Dalam penulisan skripsi ini, ini penulis lebih memeilih studi kepustakaan. Penulis mencari bahan-bahan tulisan yang berhubungan dengan hukum keluarga Islam. 2. Sumber data penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam mengumpulkan data, yakni sumber primer dan sumber sekunder. Adapun rinci masing-masing sumber adalah : a. Data primer disadarkan Undang-undang Hukum Keluarga Islam Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam. b. Data skunder merupakan data pendukung dan sumber primer, yang berasal dari kepustakaan, buku-buku maupun data tertulis yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. 15 1. Tehnik pengumpulan data Tehnik pengumpulan data pada penelitian ini didasarkan pada riset pustaka (Library Research) yakni proses pengendifikasian secara sistematis penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang membuat informasi diperoleh bahan-bahan yang ada di perpustakaan, baik berupa arsip, dokumen, majalah maupun lainya. 2. Tehnik Analisis data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (Content Analisis) yaitu penguraian data melalui katagorisasi, perbandingan dan pencarian sebab akibat baik menggunakan analisis induktif maupun deduktif. 3. Teknik penulisan Teknik penulisan skripsi ini didasarkan pada buku pedoman penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015. G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dan mendapatkan gambaran tentang kerangka dan alur penulisan Skripsi ini, serta apa saja yang nanti akan di bahas dalam Skripsi ini, maka penuis akan mengurai sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut : Pada bab pendahuluan akan di uraikan latar belakang penulisan skripsi ini yang merupakan pijakan awal berfikir, disusul kemudian secara 16 berurutan penjelasan serta pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review sudi terdahulu, metode penelitian, dan teknik penulisan serta di tutup dengan sistematika penulisan ini. Bab kedua dibahas tentang pembentukan hukum keluarga Islam dan pembentukan hukum keluarga di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam. Sedangkan di Bab ke tiga ini berisi tentang bagaimana pencatatan nikah dan poligami dalam Fiqih Konvensional dan pencatatan nikah dalam per undang-undangan di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam. Dalam Bab ke IV ini berisi tentang sanksi pencatatan nikah dan poligami di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalamkemudian perbandingan Vertikal dan Diagonal sanksi pencatatan nikah dan poligami di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam dan prospek Hukum Keluarga di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam. Pada bab terkahir akan disampaikan beberapa kesimpulan guna menjawab beberapa pertanyaan yang mendasar dari permasalahan yang ada di dalam skripsis ini. Tidak lupa pula penulis akan memberikan beberapa saran-saran yang di perlukan sebagai catatan atas permasalahan dlam skripsis ini yang di angkat. BAB II PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA, MALAYSIA, NEGARA BRUNEI DARUSSALAM A. Hukum keluarga Islam di Indonesia 1. Pembentukan Hukum Keluarga Islam Para kaum Muslim di tanah air, memposisikan hukum Islam di atas segala norma nilai yang ada di sekelilingnya. Posisi istimewa hukum islam itu, bertahan di dalam rentang waktu cukup panjang. Dari mulai kerjaan Islam, yang diperankan oleh otoritas kerajaan, kemudian berada dalam tarik-ulur kepentingan kekuasaan penjajah Belanda, dan terakhir masa kemerdekaan, sampai lahirnya UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan1. Selain itu, hukum perkawinan termasuk hukum yang paling sering bersentuhan dengan “rasa keadilan” di dalam masyarakat muslim Indonesia. Pasalnya, dengan hukum perkawinan struktur sosial akan menjadi kuat dan matang. Ini karena, keluarga sebagai unit terkecil dan paling penting dalam masyarakat, lahir dan tiada karena sebuah perkawinan. Dan, dengan hukum perkawinan pula, banyak terjadi asimilasi budaya di beberapa sudut tanah air, bahkan antara negara2. Setidaknya, pemberlakuan hukum Islam ini untuk dirinya sendiri seperti hukum shalat, puasa, dan hukum makanan/minuman. Ketika orang Islam 1 Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum, (Jakarta: RMBooks, 2012) h. 77 2 Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum,(Jakarta: RMBooks, 2012) h. 78 17 18 berkumpul dalam satu komunitas, maka biasanya ada seseorang yang ditugasi untuk menyelesaikan persengketaan yang muncul di kalangan mereka. Dan penyelesaian perkara masih dengan cara yang sederhana yaitu melalui hakam. Secara kelembagaan, lembaga tahkim ini merupakan lembaga yang kali pertama muncul di Indonesia. Dari lembaga tahkim kemudian diikuti dengan lembaga ahl al-hilli wa al-aqd dalam bentuk peradilan adat, di mana para hakim diangkat oleh rapat marga, nagari dan semacamnya. Setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, lembaga ini berubah menjadi Peradilan Swapraja, yang kemudian berubah lagi menjadi Peradilan Agama. Sedangkan bentuk dari lembaga perdilan ini disetiap daerah di nusantara ini masing-masing berbeda3. Sebelum Indonesia merdeka, hukum tertulis mengenai perkawinan bagi golongan-golongan tertentu sudah ada. Yang jadi masalah adalah bagai warga bumipuetra yang beragama Islam, tidak adanya aturan tersendiri yang mengatur perkawinan, dan tidak ada UU tersendiri yang dapat dijadikan patokan dalam pelaksanaan akad nikah perkawinanya. Masa awal kemerdekaan, keinginan membuat hukum dan peraturan perundang-undangan yang berciri khas ke-Indonesiaan tetap ada. Undang-Undang ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Uniknya, justru UU inilah yang pertama kali dibuat 3 Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: RMBooks, 2012) h. 78 19 oleh bangsa Indonesia. Sayangnya UU perkawinan ini hanya berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura saja4. Sebelum melangkah lebih jauh melihat proses munculnya Undang-undang perkawinan ini, terlebih dahulu dikemukakan bagaimana tuntutan dibuatnya Undang-undang perkawinan ini yang sejatinya telah ada sejak awal kemerdekaan, sehingga dalam kerangka ini dapat dilihat bahwa Undangundang perkawinan yang disahkan oleh Orde Baru adalah kelanjutan dari proses pembentukanya pada masa Orde Lama yang tidak mendapat hasil yang signifikan5. Ketidakpuasaan masyarakat atau perempuan secara lebih khusus ini mendorong beberapa pihak tetap mendesak pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang baru. Desakan-desakan yang diantaranya datang dari fraksi Wanita di Parlemen direspon oleh Pemerintah, dalam dalam hal ini Mentri Agama, dengan membentuk panitaia Penyelidik Pertauran Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk (NTR) yang bertugas meninjau RUU yang selaras dengan keadaan zaman. Dari segala usul dan masukan, akhirnya panitia ini berhasil membentuk suatu peraturan perkawinan yang mengatur seluruh warga Indonesia, dengan tidak membedakan golongan, agama, ras, suku bangsa, dan sesuai dengan pancasila. Selain itu, panitia ini juga bermaksud menyusun peraturan khusus yang mengatur perkawinan yang tidak tercakup dalam peraturan ini. Unifikasi ini dilakukan dengan mengambil 4 Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: RMBooks, 2012) h. 82 5 157 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h. 20 peraturan-peraturan yang telah ada dan berserakan sejak zaman kolonial, termasuk pula didalamnya hukum-hukum yang berlaku dalam hukum adat6. Ketika RUU yang disusun oleh panitai NTR ini telah selesai, pada Agustus 1945 ternyata Pemerintah hanya mengumumkan kepada parlemen tentang dirumuskanya kembali UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk sehingga hal ini mengundang raeksi dari fron Wanita di Parlemen. Apabila ditarik dari garis politik, adanya dua RUU ini adalah karena adanya perpecahan antara dua kubu yang berkepentingan, yaitu dua partai besar yang menduduki kabinet : PNI dan NU. Apabila diteliti secara historis, pergumulan tersebut telah terjadi sejak lama, setidaknya ketika Indonesia baru terbentuk. Pada masa penjajahan, pertentangan ini seolah hilang karena adanya common enemy, tapi tidak sedamai itu ketika Indonesia telah merdeka, kelompok-kelompok tersebut menjadi gerakan politik yang masif dan saling memengaruhi7. RUU tentang Perkawinan mengatur ketentuan-ketentuan pokok perkawinan yang bersifat nasional, tidak membedakan golongan atau suku bangsa. Sementara RUU perkawinan umat Islam ditarik dari pengusulan. DPR yang akan membahas RUU tersebut merupakan DPR yang terpilih dari hasil pemilu 1971. RUU tersebut menarik perhatian masyarakat luas, terutama umat Islam. Seluruh lapisan masyarakat terpanggil minatnya untuk memperhatikan RUU tersebut karena ternyata banyak materi RUU perkawinan yang diajukan 6 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h. 7 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) 158 h.161 21 pemerintah itu menyinggung wilayah sakral agama yang begitu dijaga ketat oleh pemeluknya. 2. Hukum keluarga Islam dalam peraturan Perundang-undangan di Negara Indonesia Pasal 2 ayat 1 perkawinan adalah sah apabila dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan. Pasal 3 ayat 2 pengadilan dalam lingkungan peradilan umum selanjutnya dalam UU ini disebut pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari satu tanpa adanya batasan jumlah istri. Pasal 7 ayat 1 perkawinan hanya diizinkan jika para pihak pria sudah mencapai umur 21 tahun dan pihak wanita umur 18 tahun. Pasal 8 tentang larangan perkawinan dengan anak adopsi. Pasal 10 ayat 2 apabila suami dan isteri telah bercerai untuk yang ke dua kalinya maka di antara mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi. Pasal 11 ayat 2 perbedaan agama/kepecayaan tidak merupakan penghalang perkawinan. Pasal 12 bagi janda ditetapkan jangka waktu 306 hari. Pasal 13 ayat 2 bila pertunangan itu mengakibatkan kehamilan maka pihak pria diharuskan kawin dengan wanita itu jika disetujui oleh pihak wanita. (Pasal ini seolah olah melegitimasi perzinahan). Pasal 37 (1) harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama. Pasal 39 apabila pasangan bercerai maka, harta benda dibagi sama antara bekas suami-istri. Pasal 46 poin c bekas suami wajib memberikan biaya penghidupan kepada bekas istri selama ia masih hidup dan belum kawin lagi. Pasal 49 anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan nasab dengan ayah nya. Pasal 62 pengangkatan anak 22 mengakibatkan putusnya hubungan keluarga antara anak yang diangkat dengan keluarganya sedarah, semenda garis ke atas dan ke samping8. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, maka ketentuan perkawinan yang diatur di Burgerlijk Wetboek (Kitab UndangUndang Hukum Perdata) tidak berlaku lagi. Hal ini berarti Undang-Undanng Perkawinan akan menjadi sumber pokok bagi peraturan hukum perkawinan, perceraian, dan rujuk yang berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia9. Karena belum ada kompilasi di Indonesia, dalam praktik sering dijumpai adanya keputusan pengadilan agama yang tidak seragam padahal kasusnya sama. Masalah fiqih yang semestinya membawa rahmat malah menjadi perpecahan. Akhirnya pada tanggal 10 Juni 1991 dibuatlah Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991. Instruksi itu dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 juli 1991. Yang bertujuan untuk meunifikasi Hukum Islam yang masih berserakan dalam berbagai kitab fiqih klasik, dan sebagai peraturan khusus yang menjelaskan secara rinci bagaimana hukum perkawinan, wakaf, warisan di Indonesia10. Instruksi Presdien Nomor 1 tahun 1991 ini ditujukan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang sudah 8 Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional,(Jakarta: RMBooks, 2012) h. 102-103. 9 Usman Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) h. 242. 10 Soedjati Zarkowi , Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia cet.I, (Surabaya: Arkola, 1997), h. 16-17. 23 disepakati tersebut, sesuai dengan maksud penetapannya Instruksi Presiden tersebut hanyalah mengatur tentang soal penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam yang telah diterima oleh para ulama dalam satu. lokakarya nasional. Kompilasi ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam penyelesaian masalah-masalah di bidang perkawinan, waris dan wakaf. Kedudukan KHI di sini hanyalah sebagai pedoman yang dipakai baik di lingkungan Pengadilan Agama maupun warga masyarakat dalam bidang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Adapun hal-hal yang di atur dalam Hukum Keluarga yang tedapat dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan adalah : a. Dasar Perkawinan yang diatur dalam pasal 1-5 b. Syarat-syarat Perkawinan yang diatur dalam pasal 6-12 c. Pencegahan Perkawinan yang diatur dalam pasal 13- 21 d. Batalnya Perkawinan yang diatur dalam pasal 22- 28 e. Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam pasal 29 f. Hak dan kewajiban suami istri yang diatur dalam pasal 30- 34 g. Harta benda dalam perkawinan yang daitur dalam pasal 35-37 h. Putusnya perkawinan dan akibatnya yang diatur dalam pasal 38- 41 i. Kedudukan anak yang diatur dalam pasal 42-44 j. Hak dan kewajiban orang tua dan anak yang diatur dalam pasal 45- 49 k. Perwalian yang diatur dalam pasal 50- 54 l. Ketentuan lain-lain yang diatur dalam pasal 55- 63 24 B. HUKUM KELURAGA ISLAM MALAYSIA 1. Pembentukan hukum keluarga Islam Malaysia merupakan Negara yang berbentuk fedral yang terdiri atas beberapa negara bagian, yaitu: Johor, Kedah, Kelantan, Malaka, Negeri Sembilan, Pahang, Perak, Perlis, Sabah, Sarawak, Selangor, dan Trengganu. Agama yang diakui secara menyeluruh adalah Islam, meskipun eksistensi agama lain masih dimungkinkan keberadaanya. Malaysia menggunakan sistem hukum Inggris, meskipun Islam dan adat yang menjadi sumber signifikan dalam hukum Nasional, terutama dalam hukum keluarga. Sebelumnya Malaysia merupakan bagian dari Portugis dan Belanda, namun pada 1942 kekuasaan protektorat Malaysia berpindah ke Inggris perjanjian pada tahun 182411. Ajaran Islam pada hakekatya terdiri dari dua ajaran pokok. Pertama ajaran Islam yang bersifat absolut dan permanen. Kedua ajaran Islam yang bersifat relatif dan tidak permanen, dapat berubah dan diubah-ubah. Termasuk kelompok kedua ini adalah ajaran Islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad. Hal ini menunjukkan terbukanya peluang tentang kemungkinan mengadakan perubahan dan pembaruan ajaran Islam yang bersifat relatif, termasuk dalam bidang hukum. Hukum Islam dalam pengertian inilah yang memberi kemungkinan epistimologi bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum secara berbeda-beda. Kenyataan ini tercermin pada kecenderungan sistem hukum di negara-negara Muslim dewasa ini. Hal 11 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontenporer, (Ciputat: lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakrta, 2011) h. 234-235 25 ini bukan saja karena sistem politik yang dianut, melainkan juga oleh faktor sejarah, sosiologi dan kultur dari masin-masing negara tersebut. Penerapan hukum Islam diberbagai negara yang berpenduduk Muslim mempunyai corak serta sistem yang satu dengan yang lainnya saling berbeda. Di negara yang mayoritas penduduknya beragam Islam berbeda nuansanya dengan negara yang relatif berimbang antara setiap pemeluknya, misalnya negara tersebut memiliki pluralitas agama, dominasi penguasa atau”political will” juga amat berpengaruh terhadap kebijaksanaan hukum suatu negara. Karenanya implementasi hukum Islam di negara-negara Muslim bukan hanya terletak pada seberapa banyak penganut Islam tetapi juga ditentukan oleh sistem yang dikembangkan oleh negara tersebut. Malaysia merupakan salah satu negara yang mempunyai posisi cukup penting di dunia Islam karena kiprah keIslamannya. Berbagai proses Islamisasi di negeri Jiran ini tentu tidak terjadi begitu saja, melainkan didahului oleh pencarian dan pergulatan yang panjang, meskipun penduduknya tidak sebanyak penduduk di Indonesia, bahkan hampir separuh dari keseluruhan warganya adalah non Muslim yang didominasi oleh etnik Cina dan India. Namun demikian Malaysia telah tampil di pentas dunia internasional dengan nuansa serta simbol Islam yang begitu melekat, termasuk dalam kebijakan perundang-undangan banyak diwarnai oleh jiwa keIslaman12. 12 https://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/27/penerapan-hukum-islam-di-malaysia/ jam 22:50 hari saptu tanggal 11 bulan 6 26 2. Hukum keluarga Islam dalam peraturan Perundang-undangan di Negara Malaysia Sebagai hukum yang hidup yang sesuai dalam kehidupan umat Islam, maka hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan umat, sehingga hukum Islam tidak lagi dirasakan sebagai norma-norma hukum yang dipaksakan dari luar diri masing-masing pemeluknya. Jika diamati, maka implementasi hukum Islam di Malaysia, tampak dari kodifikasi yang dilakukan yang telah melewati tiga fase, masing-masing periode Melayu, penjajahan Inggris, serta fase kemerdekaan. Kodifikasi hukum paling awal termuat dalam prasasti Trengganu yang di tulis dalam aksara Jawi, memuat daftar singkat mengenai sepuluh aturan dan bagi siapa yang melangarnya akan mendapat hukuman. Selain kodifikasi hukum tersebut, juga terdapat buku aturan hukum yang singkat, salah satu diantaranya adalah Risalah Hukum Kanun atau buku Hukum Singkat Malaka yang memuat aturan Hukum Perdata dan Pidana Islam. Pada fase penjajahan Inggris, posisi hukum Islam sebagai dasar negara berubah. Administrasi hukum Islam dibatasi pada hukum keluarga dan beberapa masalah tentang pelanggaran agama. Pada fase awal kemerdekaan Malaysia, pengaruh serta pakar hukum Inggris masih begitu kuat, namun di beberapa negara bagian telah diundangkan undangundang baru mengenai administrasi hukum Islam. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pendasaran konstitusi serta wewengan pada Majelis Agama Islam, Departemen Agama, dan Pengadilan Syari’ah. Pada dekade 80-an telah diupayakan perbaikan hukum Islam di berbagai negara bagian. Untuk itu, 27 sebuah konferensi nasionasl telah diadakan di Kedah untuk membicarakan hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum pidana. Maka dibentuklah sebuah komite yang terdiri dari ahli hukum Islam dan anggota bantuan hukum, kemudian mereka dikirim ke berbagai negara Islam untuk mempelajari hukum Islam dan penerapannya di negara-negara tersebut. Sebagai wujud perhatian pemerintah federal kepada hukum Islam, maka pada saat yang sama dibentuk beberapa komite diantaranya bertujuan untuk menelaah struktur, yuridiksi, dan wewenang Pengadilan Syari’ah dan merekomendasikan pemberian wewenang dan kedudukan yang lebih besar kepada hakim Pengadilan Syaria’ah, mempertimbangkan suatu kitab UU hukum keluarga Islam yang baru guna mengantikan yang lama sebagai penyeragaman UU di negara-negara bagian. Dan salah satu komite juga mempertimbangkan proposal adaptasi hukum acara pidana dan perdata bagi Pengadilan Syari’ah. Sebagai hasilnya, beberapa UU telah ditetapkan yaitu 13 : Administrasi Hukum Islam. 1. UU Administrasi Pengadilan Kelantan, 1982. 2. UU Mahkamah Syari’ah Kedah, 1983. 3. UU Administrasi Hukum Islam Wilayah Federal, 1985. Hukum Keluarga. 1. UU Hukum Keluarga Islam Kelantan, 1983. 2. UU Hukum Keluarga Islam Negeri Sembilan, 1983. 13 https://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/27/penerapan-hukum-islam-di-malaysia/ jam 22:50 hari saptu tanggal 11 bulan 6 28 3. UU Hukum Keluarga Islam Malaka, 1983. 4. UU Hukum Keluarga Islam Selangor, 1984. 5. UU Hukum Keluarga Islam Perak ,1984. 6. UU Hukum Keluarga Islam Kedah, 1984. 7. UU Hukum Keluarga Islam Wilayah Federal, 1984. 8. UU Hukum Keluarga Islam Penang, 1985. 9. UU Hukum Keluarga Islam Trengganu, 1985. 10. Acara Pidana. C. HUKUM KELUARGA ISLAM NEGARA BRUNEI DARUSSALAM 1. Pembentukan hukum keluarga Islam Sebelum datang Inggris, Undang-undang yang dilaksanakan di Negara Brunei Darussalam ialah Undang-undang Islam yang telah dikanunkan dengan Hukum Kanun Brunei. Hukum Kanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa Pemerintaha Sultan Hasan (1605-1619 M) yang disempurnakan oleh sultan Jalilu Jabbar (1619-1652 M). Pada tahun 1847 Inggris mulai mencampuri urusan bidang kekuasaan Mahkamah Kesultanan Brunei karena pada tahun inilah hubngan resmi dengan Inggris dimulai. Pemerintahan Inggrissemakin jauh mencampuri urusan hukum Brunei setelah diadakan perjanjian tahun 1856, dengan perjanjian ini Inggris 29 merasa mempunyai saluran untuk intervensi dalam masalah keadilan dan kehakiman Kesultanan Brunei14. Diperkirakan Islam mulai diperkenalkan di Brunei Darussalam pada tahun 1977 melalui jalur Timur Asia Tenggara oleh pedagang-pedagang dari Cina. Islam telah menjadi agama resmi negara semenjak Raja Awang Alak Betatar masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Shah (1406-1408). Pada masa Sultan Hassan (Sultan ke-9) dilakukan revisi pada beberapa hal menyangkut tata pemerintahan yaitu: 1) menyusun institusi-institusi pemerintahan agama, karena agama dianggap memainkan peranan penting dalam memandu negara Brunei ke arah kesejahteraan. 2) menyusun adatistiadat yang dipakai dalam semua upacara, baik suka maupun duka, disamping menciptakan atribut kebesaran dan perhiasan raja; 3) menguatkan undang-undang Islam, yaitu hukum Qanun yang mengandung 46 pasal dan 6 bagian. Pada tahun 1888-1983 Brunei berada di bawah penguasaan Inggris. Kemudian Brunei memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 31 Desember 198315. Sultan telah melakukan usaha penyempurnaan pemerintah, antara lain dengan membentuk Majelis Agama Islam atas dasar Undang-Undang Agama dan Mahkamah kadi tahun 1955. Majelis ini bertugas menasehati sultan dalam masalah agama Islam. Langkah ini yang ditempuh sultan adalah menjadikan 14 Atho khairuddin, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modren, (Jakarta: Ciputat Press, 2003) h. 178 15 Redaksi Ensiklopedia, Ensiklopedia Islam, h. 250 30 Islam benar-benar berfungsi sebagai pandangan hidup rakyat Brunei dan satusatunya ideologi negara16 2. Hukum keluarga Islam Sebelum datangnya Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan hukum qanun Brunei. Hukum Qanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hassan (1605-1619 M) yang disempurnakan oleh Jalilul jabbar (16191652 M)17. Negara Brunei Darussalam terus-menerus melakukan perombakan dan pembaruan pada Peraturan-peraturan dan perundang-undangan, seperti pada tahun 1912 majelis Masyuarat Negeri telah memproklamirkan keberlakuan Undang-undang agama Islam yang dikenal dengan “Muhammadans Marriages and Divorce diberlakukannya Enactement.” Sampai Undang-undang yang Majelis terakhir Agama, Adat yaitu dengan Negeri dan Mahkamah Kadi tahun 1955, yang telah pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah tahun itu berturut-turut undang-Undang mengalami amandemen yaitu mulai tahun 1957, 1960, 1961, dan 196718. 16 Thohir Ajid, Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Dunia Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 110 17 Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Mahkamah Syari’ah di Negara Brunei Darussalam dan Permasalahannya, dalam Mimbar hukum No. 23 Tahun VI, 1995, h. 41-42 18 Tahir Mahmud, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1978), h.198-199 31 Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, undang-undang ini pun mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar dengan akta Majelis Agama dan Mahkamah Kadin Penggal 7719. Sebenarnya perundang-undangan ini, didasarkan pada perundangan yang berlaku di negeri Kelantan dengan mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi Brunei. Peraturan ini ini terdiri dari:20 1. pendahuluan (Bagian I pasal 1-4) 2. Majelis Ugama Islam (Bagian II pasal 5-44) 3. Mahkamah syari’ah (Bagian III pasal 45-96) 4. Masalah Keuangan (Bagian IV pasal 97-122) 5. Masjid (Bagian V pasal 123-133) 6. Perkawinan dan perceraian (Bagian VI pasal 134-156) 7. Nafkah Tanggungan (Bagian VII pasal 157-163) 8. Muallaf (Bagian VIII pasal 164-168) 9. Kesalahan (Bagian IX pasal 169-195) 10. Perkara Umum (Bagian X pasal 196-204 19 Haji Salim bin Haji Besar, Pelaksanaan Undang-undang keluarga Islam di Negara Brunei Darussalam dan Permasalahannya dalam Mimbar Hukum, h. 9-10 20 Tahir Mahmood,Family Law Reform in the muslim world, (Bombay: N.M. Tripathi pvt, 1972), Hlm. 198. BAB III KETENTUAN PENCATATAN PERKAWINAN DAN POLIGAMI A. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Fiqih konvensional 1. Pencatatan Perkawinan Pembahasan tentang pencatatn perkawinan dalam kitab-kitab Fiqih konvensional tidak ditemukan. Sejauh ini hanya ditemukan konsep nikah sirri dalam kitab al-Mudawwamah, karangan Sahnun (160-240/776-854), dan pembahasan tentang fungsi saksin dalam perkawinan oleh Fukaha lain. Masalah saksi yang oleh ulama lain menjadi subbahasan tersendiri, oleh Sahnun hanya disinggung ketika membahas status hukum nikah sirri. Hal ini memperkuat keyakinan, bahwa masalah pencatatn perkawinan memang erat hubunganya dengan masalah saksi (fungsi saksi) dalam perkawinan. Dalam kitab al-Mudawwamah ditulis, Imam Malik (93-179/172-789) membedalan antara perakwinan sirri (nikah as-sirri) dan perakawinan yang tidak disertai bukti (nikah bigairi al-bayyinah). Adapun nikah sirri adalah nikah yang sengaja dirahasiakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pernikahan tersebut. Hukum pernikahan seperti ini adalah tidak sah. Sebaliknya , hukum pernikahan yang tidak ada bukti tetapi diumumkan kepada khayalak ramai (masyarakat) adalah sah. Dijelaskan juga bahwa perkawinan yang tidak ada bukti, tetapi ada pengakuan, baik dari salah satu atau keduanya, adalah boleh (Ja’iz) dengan 32 33 cacatan disaksikan kemudian. Sebaliknya, perkawinan yang tidak ada saksi dan tidak ada mahar adalah tidak sah (fasid) dan harus difasakh (mafsukh). Tidak ada ketentuan dalam Fikih konvensional apakah sebuah pernikahan harus atau perlu dicatatkan. Namun ada petunjuk al-Qur’an bahwa jika kamu bertransaksi secara tidak tunai supaya ditulis atau dicatat. Jika hutang-piutang saja perlu dicatat, bukankah pernikahan sebagai sebuah transaksi yang istimewa dan agung lebih perlu unutk dicatat?. Maka UUP secara tegas mengharuskan dalam pasal 2 ayat 2 UUP agar setiap pernikahan harus dicatatkan. Bagi umat Islam pencatatan dilakukan oleh PPN ( Petugas pencatat Nikah). Bagi non muslim pencatatan dilakukan di kantor catatan sipil. Bahkan CLD KHI dengan tegas mengusulkan agar pencatatan menjadi salah satu rukun pernikahan dan mengusulkan agar mereka yang menikah tanpa mencatatkan dapat dikenai sanksi pidana1. Aturan pencatatan ini ditengarai banayak pihak masih banyak dilanggar alias kurang dipatuhi oleh sebagian umat Islam dengan alasan agama atau ketentuan fikih tidak mengharuskan buat itu, sehingga pernikahan siri atau bawah tangan masih cukup marak dilakukan. 2. Poligami Penjelasan tentang asa perkawina tidak ditemukan secara tegas dalam kitab al-Mabsut, yaitu sebuah kitab yang ditulis as-Sarakhsi (w. 483/1090) dari mazhab Hanafi. Dalam kitab ini hanya ditulis, seorang suami yang berpoligami harus berlaku adil terhadap para istrinya. Keharusan berlaku adil 1 https://mohmahfudz.wordpress.com/2014/11/27/pernikahan-dalam-kajian-fiqih-klasikdan-kontemporer/ hari selasa tanggal 21 bulan 6 jam 14:25 34 ini bedasarkan surah an-Nissa (4): 3 dan hadis dari A’isyah yang menceritakan perlakuan yang adil dari Nabi kepada istrinya, ditambah dengan ancaman bagi suami yang berpoligami tetapi tidak berlaku adil kepada para istrinya. Ketika berbicara tentang hak dan kewajiban suami dan istri, al-Kasani (w. 587/1191) juga dari mazhab Hanafi, menulis tentang kewajiban suami yang berpoligami, yakni wajib berlaku adil tethadap istri-istrinya, dan mendapat perlakuan adil ini menjadi hak istri. Wahbah al-Zuhaily lebih menguatkan kepada pendapat yang menyatakan bahwa maksimal isteri itu 4. Beliau beralasan bahwa 1 bulan ada 4 minggu menjadikan kemudahan bagi laki- laki untuk membagi waktu bersama isteriisterinya pencurahan cinta dan kasih sayang akan lebih mudah dicurahkan kepada isteri-isterinya dalam batas waktu tidak melebihi satu bulan. Untuk beristeri lebih dari 4 itu ditakutkan berbuat aniaya dan lemah dalam memenihi hak-hak para isteri. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa laki-laki yang takut untuk tidak berlaku adil maka baginya lebih baik menikah dengan seorang saja. Keadilan ini menyangkut pembagian waktu, jima’, dan nafaqah. Pendapat maksimal 4 ini bukan berarti laki-laki boleh menikah lebih dari 1, hal ini hanyalah merupakan pengecualian yang jarang sekali, bahkan beristeri satu itu merupakan hal yang umum dan paling utama2. Imam Syafi’i berkata : laki-laki budak tidak boleh menikahi wanita lebih dari dua orang, demikian pula semua orang yang kemerdekaanya belum sempurna. Hukum budak yang menikahi lebih dari dua wanita sama seperti 2 h. 165 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuh, juz 7 (Demaskus: Dār al-Fiqr, 1985), 35 hukum laki-laki merdeka yang menikahi lebih dari empat orang wanita, tidak ada perbedaan antara keduanya. Apabila laki-laki merdeka menikahi empat wanita, maka saya katakan, “Pernikahan yang terakhir harus dipisahkan, yakni istri yang kelima dan seterusnya.” Demikian pula harus dipisahkan istri budak yang lebih dari dua3. Jika budak yang akan menikah dimiliki oleh dua orang, lalu salah seorang majikan memberi izin untuk menikah dan yang satunya tidak memberi izin, kemudian budak tersebut menikah, maka pernikahan ini mesti dibatalkan. Pernikahan budak ini tidak sah hingga kedua majikan sama-sama memberi izin4. Menurut Sayyid Qutub, sebagiman yang dikutib oleh Quthbuddin Aibak yaitu, poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah yang dapat dilakukan hanya dalam keadaan darurat yang dapat dialakukan hanya dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini masih disyaratkan harus bisa berbuat adil terhadap istri-istri dibidang nafkah, mu’amalah, pergaulan dan pembagian malam. Bagi calon suami yang tidak sanggup berbuat adil, maka diharuskan cukup menikahi satu orang istri saja, sedangkan bagi suami yang sanggup berbuat adil, maka boleh berpoligami dengan batasan maksimal hanya empat orang istri5. 3 Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab AL-Umm, Penerjemah Rosadi Imron, Amiruddin, Awaluddin Imam, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2004), h. 384 4 Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab AL-Umm, Penerjemah Rosadi Imron, Amiruddin, Awaluddin Imam, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2004), h. 385 5 Khutubuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Teras, 2009,) h. 74 36 Penerapan yang tidak baik dan tidak adanya perhatian yang sungguhsungguh atas ajaran Islam menjadi alasan utama bagi mereka yang ingin mempersempit wilayah cakupan poligami; ketika seorang laki-laki dilarang untuk berpoligami kecuali setelah lulus ujian penelitian yang dilakukan oleh kehakiman dan instansi terkait yang memiliki wewenang dalam hal ini berkenaan dengan kemampuannya secara materi. Instansi inilah yang selajutnya berhak memberi izin kepadanya untuk menikahi lagi. Demikian ini perlu dilakukan karena kehidupan berumah tangga memerlukan biaya yang cukup tinggi. Apabila jumlah anggota keluarga bertambah dengan berpoligami, tentunya beban yang harus ditanggung pihak laki-laki sebagai kepala rumah tangga akan semakin berat. Suami bisa jadi tidak akan mampu melaksanakan kewajibannya dalam memberi nafkah, mengasuh, dan mendidik keluarganya agar menjadi anggota masyarakat yang baik, yang mampu bangkit dan memikul beban tanggung jawab dan keperluan hidup sehari-hari. Ketidakmampuan ini akan melahirkan kebodohan, semakin bertambahnya angka penganguran, juga telantarnya sebagian besar masyarkat, sehingga para pemuda yang ada hanya menjandi penyakit sosial yang merusak tatanan masyarakat6. Asy-Syekh Tbanthaawy Jauhary dalam kitab Tafsirnya; mengemukakan hasil penelitian penulis Inggris di masa itu, yang mengatakan bahwa oarangorang Muslim istri lebih dari 10 orang, dengan pendapat yang sangat minim. 6 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 3, Penerjemah Harahap Amru Khairul, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012) h. 364 37 Masing-masing istri itu mempunyai banyak anak, padahal kadang-kadang tidak mendapatkan biaya hidup dari suaminya, maka penulis tersebut menganggapnya seperti kehidupan ayam, selanjutnya Asy-Syekh Tbanthaawy Jauhary mengemukakan kesimpulanya dari hasil penelitian penulis tersebut di atas, dengan mengatakan : “ Dan sesungguhnya tim peneliti (bangsa Inggris) menemukan data, bahwa orang-orang berpoligami di negara Islam (benua Afrika) menunjukan hasil yang maksimal 5 orang yang berpoligami dalam setiap 100 penduduk, dan minimal 3 orang yang berpoligami dalam setiap 100 penduduk” kalau ada diantara orang Muslim yang berpoligami lebih dari 4 orang, apalagi kalau ekonominya lemah, maka hal itu termasuk oramg yang menyeleweng dari ajaran Islam. Bahkan Asy-Syekh Thanthaawy Jauhary sendiri mengherankan laki-laki yang berpoligami lebih dari satu orang, sedangkan status ekonominya lemah. Sehingga ia mengatakan; bagaimana seorang laki-laki dapat berpoligami, padahal kemampuan tenaga dan ekonominya sangat terbatas7. Sebagaimana haram bagi laki-laki menikahi istri yang kelima, jika di bawahnya masih ada empat orang istri, haram pula menikahinya jika ia talak salah satunya dan masih dalam iddah, karena hukumnya ia masih menjadi istrinya. Imam Asy-Syafi’i berbeda pendapat menegenai hal ini, menurutnya sah pernikahan dalam masa iddah talak ba’in karena terputusnya hubungan istri sebab talak ba’in. Dalam kondisi ini wanita yang dinikahi bukan yang kelima tapi yang keempat, karena wanita tercerai ba’in itu sudah keluar dari 7 Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah Berbagi kasus yabg dihadapi Hukum Islam masa kini, (Kalam Mulia, ) h. 52-53 38 istrinya. Berbeda dengan wanita yang tercerai talak raj’i, suami yang ingin menikah untuk yang kelima disyaratkan telah habis masa iddah istri keempat. Ia tidak halal menikahi yang kelima sebelum habis masa iddah-nya karena ia masih dalam hukum istri. Talak raj’i tidak menghilangkan kehalalan dan milik8. Sebelum ayat 1-4 surat al-Nisa’ turun, perlakuan wali terhadap anak-anak yatim yang di bawah pengasuhannya umumnya tidak berlaku adil. Banyak wali yang ingin menikahi anak yatim untuk menguasai hartanya atau menikahkan anak yatim tersebut dengan anaknya agar terjadi percampuran harta yang dapat menambah kekayaannya. Bahkan ada wali yang menahan anak yatim untuk tidak menikah, atau menikah tapi dengan calon pilihan si wali agar si wali tersebut mendapat keuntungan dari pengurangan mahar, belanja, dan si walipun tetap secara tak langsung terus menguasai hak- hak perdata si yatim9. B. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundang-undangan di Indonesia 1. Pencatatan Perkawinan Bagi umat Islam, keberadaan lembaga peradilan merupakan condition sine quanon, yakni sesuatu yang mutlak adanya. Ia ada berbanding lurus dengan adanya Islam dan pemeluknya. Sehingga di mana pun ada Islam dan pemeluknya, maka maka disitu pasti ada lembaga peradilan. Karena ia 8 Azzam Muhammad Aziz Abdul dan Hawwas Sayyed Wahab Abdul, penerjemah Khon Majid Abdul, Fiqih Munakahat Khitbah Nikah dan Talak, (Jakarta: Amzah, 2011) h. 169 9 Abdul Nashir Taufiq al-‘Atthar, Poligami Ditinjau dari Segi Agama Sosial dan Perundang-Undangan (Jakarta: Bulan Bintang, 1976) h. 111. 39 berfungsi sebagai lembaga yang menyelesaikan persengketaan di antara pemeluk Islam. Hal ini tercermin dari preseden munculnya bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, bahkan sudah terlihat dalam bentuk lembaga pada masa sahabat dan sesudahnya, tentunya dengan bentuk dan corak yang sederhana10. Tedapat tiga aspek struktural yang melekat pada badan-badan peradilan. Semuanya diatur dalam peraturan perundang undangan (UU Nomor 14 Tahun 1985, UU Nomor 2 Tahun 1989). Ketiga aspek adalah susunan pengadilan. Kekuasaan pengadilan, dan hukum acara yang berlaku. Mengenai hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, diatur dalam BAB IV UU Nomor 7 Tahun 1989, mulai Pasal 54 sampai dengan Pasal 10511. Dalam perkawinan, pencatatan mutlak diperbelakukan. Adapun fungsi dan kegunaan pencatatn adalah untuk memberi jaminan hukum terhadap perkawinan yang dilakuan, bahwa perkawinan itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, berdasarkan i’tikad baik, serta suami sebagai pihak yang melakukan transaksi benar-benar akan menjalankan segala konsekuensi atau akibat hukum dari perkawinan yang dilaksanakannya itu12. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mendapatkan salinanya, apabila terjadi perselisihan 10 Jaenal Aripin, Jejak langkah Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama,2013) h.1 11 12 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 1998) h. 225 Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta Selatan: RMBooks, 2012) h. 131 40 atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lainya dapat melakukanya upaya hukum guna mempertahankan atau memperboleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, baik suami maupun isteri memiliki bukti otentik atas perubahan hukum yang telah mereka lakukan13. Menurut pasal 11 ayat 2 peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 tetang pencatatan perkawinan bahwa perkawinan dianggap lebih tercatat secara resmi apabila akata perkawianan telah ditandatangani oleh kedua mempelai, dua orang saksi, pegawai dan bagi yang beragama Islam juga wali atau yangmewakilinya. Pada 11 ayat (3) dijelaskan bahwa dengan pencatatan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi14. Namum realitasnya, undang-undang tersebut tidak terimplementasiakn atau terlaksana dengan baik. Masih banyak penyimpangan-penyimpangan hukum yang dilakukan masyarakat dalam beberpa kasus, misalnya perkawinan tidak dicatatkan masih sering ditemukan dalam masyarakat. Perkawinan seperti ini sangat merugikan terutama bagi perempuan. Padahal jika ditela’ah makna dari perkawinan tersebut adalah ikatanyang kuat antara 13 Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta Selatan: RMBooks, 2012) h. 132 14 Nurdin Amiur dan Taringan Akmal Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004) h. 126-129 41 seorang perempuan dan laki-laki yang tidak hanya disaksian oleh dua orang saksi, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT15. Perkawinan yang dilakukan tanpa prosedur pencatatan dikenal dengan nikah sirih. Nikah siri menurut KHI tidak mempunyai kekuatan hukukm. Nikah sirih dikatagorikan sebagai perkawinan haram dalam bentuk compassianate marriage atau kawin kumpul kerbau. Perkawinan sirih sah menurut agama,tetapi hak-haknya tidak dijamin oleh peraturan perundangundangan. Jika selama masa kawin sirih lahir seorang anak, maka anak tersebut dianggap tidak sah oleh hukum, sehingga hanya mempunyai hubungan keperdtaan dengan ibunya. Dengan kata lain, anak tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (tidak diakui jika timbul masalah perdata)16. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 di jelaskan dalam BAB 1 pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku” UU No. 22 Tahun 1946 pasal 1 ayat (1), “Nikah dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehya. Talak dan Rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah”. 15 Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009) h.62 16 ABD Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010) h. 298 42 Ketika menjelaskan hukuman bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan disebutkan, maksud hukum bagi pasangan yang melanggar adalah agar aturan administrasi ini diperhatikan tetapi tidak mengakibatkan batalnyan perkawinan17. 2. Poligami Kata poligami berasal dari Bahasa Yunani secara etimologis poligami merupakan derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang berarti istri atau pasangan. Jadi poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri lebih dari satu orang secara bersamaan. Adapun secara terminologis, poligami dapat dipahami sebagai suatu keadaan dimana seorang suami memiliki istri lebih dari satu orang18. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata poligami diartikan sistem perkawinan yang membolehkan seseorang mempunyai istri atau suami lebih dari satu orang. Memoligami adalah menikahi seseorang sebagai istri atau suami kedua ketiga dan seterusnya19. Indonesia memiliki system hukum keluarga yang unik karena campuran antara hukum Islam dan hokum adat. Di bawah pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang, hukum keluarga yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum 17 Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta: Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012) h. 147 18 A. Rodli Makmun dan Evi Muafiah , Poligami dalam Penafsiran Muhammad Syahrur,( Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009), h. 15 19 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Eds. Empat, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008), h. 1089 43 adat yang dimodifikasi dengan hukum Islam. Hal ini telah diatur sejak tahun 1882 dengan peraturan tentang Peradilan Agama20. Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor1 tahun 1974 merupakan kelanjutan dari pen- jabaran UU No.1 tahun 1970 tentang Pokok- Pokok Kekuasaan Kehakiman, khususnya untuk melengkapi hukum materil Peradilan Agama. Oleh karena itu pula, Undang-Undang Perkawinan ini dapatlah dikatakan sebagai langkah awal dari usaha legislasi hukum Islam di Indonesia untuk kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 tahun 1989 dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Poligami adalah yang cukup dominan sebelum datangnya Islam, kemudian datanglah Islam dengan membolehkan poligami ketika poligami tu merupakan sistem yang sangat kuat di dalam kehdupan masyarkat Arab, yang meruapakan konsekuensi dari tabiat biologi dan relitas mereka. Islam tidak memisahkan antara kehidupan banggsa Arab ketika masih Jahiliyah dengan kehidupan mereka setelah datangnya Islam, akan tetapi Islam hanya membersihkan kehidupan Jahiliyah ini , sehingga tinggal yang baik-baik saja kemudian menghapus dan meluruskan dengan lemah le,but dan penuh belas kasih apa yang seharusnya dihapus dan diluruskan sesuai dengan tujuanya. Islam yang lurus tidak melanggar Poligami, tetapi juga tidak membiarkannya bebas tanpa aturan, akan tetapi Islam mengaturnya dengan syarat-syarat 20 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law and religion, 1987), h. 205 44 Imaniyah yang jelas dalam hukum-hukum Al-Qur’an. Maka Islam membatasi poligami hanya sampai empat orang, di mana zaman Jahiliyah dulu tampa batas. Firman Allah21 : ع َ ﺴﻄُﻮا ﻓِﻲ ا ْﻟﯿَﺘ َﺎﻣَﻰ ﻓَﺎ ْﻧ ِﻜﺤُﻮا ﻣَﺎ طَﺎبَ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻣِ ﻦَ اﻟ ِﻨّﺴَﺎءِ َﻣﺜْﻨَﻰ وَ ﺛ َُﻼثَ وَ رُ ﺑَﺎ ِ وَ إِنْ ﺧِ ْﻔﺘ ُ ْﻢ أ ﱠَﻻ ﺗ ُ ْﻘ ﻓَﺈِنْ ﺧِ ْﻔﺘ ُ ْﻢ أ ﱠَﻻ ﺗ َ ْﻌ ِﺪﻟُﻮا ﻓَﻮَ اﺣِ ﺪَةً أ َوْ ﻣَﺎ َﻣﻠَﻜَﺖْ أ َ ْﯾﻤَﺎﻧُ ُﻜ ْﻢ ذَﻟِﻚَ أ َ ْدﻧَﻰ أ ﱠَﻻ ﺗَﻌُﻮﻟُﻮا “Dan jika kalian takut tidak kan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (jika kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kami senangi dua, tiga, atau empat dan jika kalian takut tidak bisa berlaku adil maka (nikahilah) seorang saja ata budak-budak yang kalian miliki..” (An-Nisa: 3) Diantara keagungan ayat ini tampak jelas bahwa bolehnya Poligamidan pembatasanya dengan empat orang, datang dengan dibarengi kekhawatiran berlaku zhalim kepada perempuan Yatim22. Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/ madharat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka menegeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dan istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak21 Karam Hilmi Farhat, Poligami dalam pandangan Islam, Nasrani, dan Yahudi, (Jakarta: Darul Haq, 2007) h. 23 22 Karam Hilmi Farhat, Poligami dalam pandangan Islam, Nasrani, dan Yahudi, (Jakarta: Darul Haq, 2007) h. 29 45 anaknya masing-masing. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, seba dengan monogami akan mudah menetralisir sifat/ watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogami. Berberda dengan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati/ dengki, dan suka menegeluh dalamkadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, keturunan yang shaleh yang selalu berdoa untuknya. Maka dalam keadaan istri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan keterangan medis hasil laboratoris, suami diizinkan berpoligami denga syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggal23. Dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 4 ayat 1-2 yang berbunyi “1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya” “2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat 23 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munukahat,(Jakarta: Kencana, 2010) h. 131 46 menjalankan kewajibannya sebagai istri b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang dapat disembuhkan c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan”. C. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundang-undangan di Malaysia a. Pencatatan perkawinan Tidak berbeda dengan Indonesia, UU Hukum Keluarga Malaysia menetapkan keharusan pencatatan perkawinan, selma perkawinan tersebut sesuai dengan UU. Namun di sisi yang lain, UU masih membuka peluang adanya perkawinan yang didasarkan kepada hukum Islam, yaitu jika perkawinan tersebut dilakukan sesuai dengan hukum Syarak (Islam), dengan putusan dari Pengadilan perkawinan tersebut dapat di catatkan. Meskipun dengan ketentuan yang masih terbuka dan mengakui perkawinan menurut Islam, UU Hukum Keluarga Malaysia sanksi bagi mereka yang dinyatakan melanggar ketentuan dan kewajiban pendaftaran perkawinan, dengan ancaman hukuman denda paling banyak 1000 ringgit atau dengan kurungan paling lama bulan, dan/atau keduanya24. UU Perak pasal 20 ayat (1, 2 dan 3), UU Serawak pasal 20 ayat (1, 2, dan 3), UU Kelantan pasal 21 ayat (2), UU Negeri Sembilan pasal 22 ayat (1, 2 dan 3), UU Pahang pasal 22 ayat (1, 2, dan 3), UU Persekutuan pasla 22 ayat (1, 2 dan 3), UU Selangor pasal 22 ayat (1, 2, dan 3) dan UU Pinang pasal 22 ayat (1, 2, dan 3). Contoh teks UU Pinang pasal 22 ayat (1), “selepas sahaja akadnikah 24 sesuatu perkahwinan dilakukan, pendaftaran hendaklah Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontenporer, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 264 47 mencatatkan butir-butir yang ditetapkan dan ta’liq yang ditetapkan atau ta’liq lain bagi perkahwinan itu di dalam daftar perkawinan”, ayat (2) “Catatan itu hendaklah diakusaksi oleh pihak-pihak kepada perkahwinan itu, oleh wali, dan oleh dua orang saksi, selain daripada pendaftaran, yang hadir semasa perkahwinan itu diakad nikah”, ayat (3) “Catatan itu hendaklah kemudiannya ditandatangani oleh pendaftaran itu”. b. Poligami Mayoritas penduduk negara Malaysia (55%) adalah muslim bermazhab Syafi’i. Negara ini terletak di Asia Tenggara dengan memakai bahasa Melayu dan Inggris sebagai bahasa resmi negara. Pada masa pemerintahan Inggris di akhir abad ke-19, semenanjung Malaka terdiri atas kerajaan- kerajaan kecil dan budaya Islam diberlakukan diseluruh negeri tersebut, seperti hukum perkawinan, hukum perceraian, dan hukum waris25. Berdasarkan undang-undang Perkawinan tentang boleh atau tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami, ada tiga hal penting yang dibicarakan, yakni: (i) syarat-syarat, (ii) alasan-alasan pertimbangan boleh tidaknya poligami, dan (iii) prosedur. Namun perlu dicatat, berbeda dengan perundangundangan Indonesia yang dengan tegas menyebut bahwa prinsip perkawinan adalah monogami, dalam perundang-undangan Malaysia tidak ada penegasan tentang prinsip perkawinan. Adapun syarat yang harus dioenuhi, semua Undang-undang keluarga Malaysia mengharuskan adanya izin lebih dahulu 25 Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim, World, (Delhi: N.M Tripathi, 1972) h. 219 48 secara tertulis dari hakim (pengadilan). Hanya saja dalam rincianya ada sedikit perbedaan, yang merupakan kelompok mayoritas, poligami tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan boleh didaftarkan dengan syarat lebih dahulu membayar denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukaan26. Kelompok pertama yang mayoritas adalah UU Negeri Sembilan pasal 23 ayat (1). UU Pinang pasal 23 ayat (1). UU Pahang pasal 23 ayat (1). UU Selangor pasal 23 ayat (1). UU Wilayah Persekutuan pasal 23 ayat (1). Dan UU Perak pasal 21 ayat (1). Contoh teks UU Perak pasal 21 ayat (1) berbunyi. “Tiada seseorang lelaki boleh berkahwin dengan seorang lain dalam masa dia masih beristrikan istrinya yang sedia ada kecuali dengan terlebih dahulu mendapatkan kebenaran secara bertulis dari Hakim Syari’ah, dan jika dia melakukan perkawinan tanpa kebenaran tersebut maka perkahwinan itu tidak boleh didaftarkan di bawah Enakme ini ”. Dalam UU Perak pasal 21 ayat (1) ada tambahan kalimat, “mendapatkan pengesahan lebih dahulu dari Hakim bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istrinya”. Kelompok kedua adalah UU Serawak dan UU Kelantan. Pada UU Serawak pasal 21 ayat (1), ada kalimat “kalimat perkawinan itu hanya boleh didaftrakan di bawah Ordinan ini teruntuk kepada seksyen 125”. Kalimat tersebut sebagai ganti kalimat “maka perkahwinan itu tidak boleh didaftarkan di bawah Enakme ini”, yang ada dalam pasal UU yang tidak membolehkan pendaftaran secara mutlak tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan. 26 Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta: Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012) h. 112 49 D. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundang-undangan di Negara Brunei Darussalam 1. Pencatatan Perkawinan Mirip dengan apa yang ditetapkan di Malaysia, Negara Brunei Darussalam juga menerapkan keharusan pencatatan yang dilakukan oleh petugas Pencatat. Untuk menguatkan sistem pencatatan dan pendaftaran perkawinan tersebut, Hukum Brunei mengancam setiap orang yang tidak mencatat perkawinanya tanpa alasan yang dapat diterima denga denda sebanyak $1000 dolar atau penjara paling lama 3 bulan dan/atau keduaduanya. Di samping itu, pasal 11 ayat (1) UU Hukum Keluarga Brunei tahun 1999 menetapkan bahwa perkawinan yang tidak mengikuti atau bertentangan dengan UU tersebut tidak dapat dicatatkan menurut catatan resmi. Namun jika beretntangan dengan UU, tetapi di sisi yang lain sesuai dengan hukum Islam, maka perkawinan demikian dapat didaftarkan secara resmi melalui proses pengadilan, dengan beberapa syarat, yaitu: 1) adanya wali yang menikahkan sesuai dengan ketentuan Syariat Islam; dan 2) Hakim yang memutuskan adalah berhak atas kewenangan hukumnya, bila kebolehan perkawinan itu didasarkan kepada putusan Hakim27. Dalam Undang-Undang Negara Brunei Darussalam, orang yang bisa menjadi pendaftar nikah cerai selain Kadin Besar dan Kadin-kadin adalah 27 Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontenporer, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 264 50 iman-imam setiap masjid, di samping imam-imam itu merupaan juru nikah yang di beri tauliah untuk menjalankan setiap akad nikah28. Agak berbeda dengan di Malaysia (berlaku di seluruh negara di Malaysia) yang mewajibkan mendaftarkan pernikahan. Tetapi menurut hukum disana, suatu pernikahan dengan tanpa mendaftar saja tidak bisa mejadikan pernikahan tersebut sah. Ketentuan sah atau tidaknya hanya berdasarkan hukum Islam, tetapi kelalaian mendaftar pernikahan merupakan sebuah pelanggaran di sebagian besar negara di Malaysia29. Brunei megharuskan adanya pendaftaran (pencatatan) perkawinan, meskipun dilakukan setelah akad nikah, dan lewat pendaftaran inilah pegawai pendaftaran memeriksa lengkap atau tidaknya syarat-syarat perkawinan. Bagi pihak-pihak yang melakukan perkawinan tetapi tidak mendaftar, termasuk pelangaran yang dapat dihukum dengan hukuman penjara atau denda30. Pasal 143 ayat (1) “Dalam jangka 7 hari setelah melakukan akad nikah para pihak diharuskan melaporkan perkawinan tersebut, yang boleh jadi para pasangan atau wali”. Ayat (2) “Pencatatan wajib memeriksa apakah seluruh persyaratan perkawinan sudah terpenuhi sebelum melakukan pencatatan”. 28 M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Dunia Islam Modren, (Ciputat: Ciputat Press, 2003) h. 184 29 M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Dunia Islam Modren, (Ciputat: Ciputat Press, 2003) h.185 30 Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta: Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012) h. 152 51 2. Poligami Dalam akta majlis Ugama Islam dan Mahkamah kadin Brunei, yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian, secara khusus tidak ada bahasa tentang poligami. Apa yang dilakukan Brunei adalah satu usaha agar parkatek poligami jangan dilakukan sembarangan, yakni seorang yang akan melakukan poligami harus memenuhisyarat-syarat yang ditetapkan hakim: (1) ada alasan poligami (2) ada ikrar menunaikan tanggup jawab, khususnya tentang nafkah istri dan anak-anak. Hanya perlu saja dicatat, karena ketetapan ini bukan UU, terhadap orang yang tidak memenuhi syarat-syarat pun hakim tidak dapat melarang praktek poligami. Tindakan hakim tersebut hanya satu usaha memberikan jaminan kepada istri dan anak-anaknya. Sejalan dengan itu, perlu dicatat bahwa poligami adalah salah satu penyebab terjadinya perceraian di Brunei Darussalam, misalnya istri tidak mau dimadu atau suami tidak bertanggung jawab tentang nafkah keluarga31. Brunei terus-menerus melakukan perombakan dan pembaruan pada Peraturan-peraturan dan perundang-undangan, seperti pada tahun 1912 majelis Masyuarat Negeri telah memproklamirkan keberlakuan Undang-undang agama Islam yang dikenal dengan “Muhammadans Marriages and Divorce Enactement.” Sampai yang terakhir yaitu dengan diberlakukannya Undangundang Majelis Agama, Adat Negeri dan Mahkamah Kadin tahun 1955, yang telah pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah tahun itu berturut-turut undang31 Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta: Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012) h. 117 52 Undang mengalami amandemen yaitu mulai tahun 1957, 1960, 1961, dan 196732. Dan yang membahas poligami dalam Hukum Keluarga Islam Negara Brunei Darussalam No 217 pasal (23) dan isinya sama denga pasal poligami di Malaysia. 32 Tahir Mahmud, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1978), Hlm.198-199 BAB IV ANALISIS SANKSI PENCATATAN PERKAWINAN DAN POLIGAMI DI INDONESIA, MALAYSIA, NEGARA BRUNEI DARUSSALAM A. Sanksi pencatatan Perkawinan dan poligami di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam 1. Indonesia Diskursus penting dalam konteks negara hukum (rechtstaats) adalah penegakan kehidupan hukum dalam masyarkat. Prespektif ini diyakinkan tidak disebabkan kaitan paham negara hukum an sich, melainkan memandang secara kritis kecendrungan yang akan terjadi dalam kehidupan bangsa yang berkembang ke arah suatu tatanan masyarkat yang modren. Kondisi ini menuntut adanya hukum yang berdimensi nasional yang membuat paradigma lokal sekaligus mampu merespon dinamika masyarakat kekinian. Dalam konteks bangsa yang tengah membangun, seperti halnya Indonesia, hukum senantiasa diarahkan kepada upaya-upaya pencapaian taraf kehidupan yang lebih baik dibanding pada masa sebelumnya1. Perkawinan juga menjadi penunjang dan landasan bagi berkembangnya masyarakat yang berperadaban. Dibutuhkan dua hal penting untuk menunjang terwujudnya tujuan ini. Pertama, kerangka hukum yang menyeluruh dan mampu melayani pelbagai aspek kebutuhan akan hukum yang tercakup dalam 1 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h. 2 53 54 pola kebudayaan dan, kedua, kepemimpinan yang mampu menerapkan kerangka hukum tersebut secara tepat2. Islam sendiri merupakan salah satu pilar terpenting yang diakui. Dengan demikian, pencatatan perkawinan yang tidak pernah ada dalam kahazanah Fiqih konvensional bahkan dalam tumpukan kitab yang mendasarkan pada perkataan Rasulullah SAW, tetapi karena tujuan dan urgensinya untuk kontek saat mendesak, maka tidak ada salahnya jika pencatatan perkawinan menjadi salah satu komponen dasar perkawinan masyarakat modren suatu negara3. Pencatatan perkawinan akan menjadi salah satu upaya meningkatkan ketertiban dan kenyamanan setiap individu dalam melakukan hubungan hukum, sehingga secara Islami tujuan perkawinan akan terwujud pula, dimana Islam kali pertama datang menghancurkan semua bentuk perkawinan yang mengarah kepada perusakan spesies manusia4. Di Indonesia, regulasi pencatatan perkawinan telah ditetapkan tidak lama setelah Indonesia merdeka, yakni diundangkanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, rujuk. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa perkawinan harus dilakukan pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Nikah pasal 1 ayat (1). Dalam pasal 3 ayat (1) undangundang ini disebutkan, bahwa perkawinan yang tidak dicatat akan dihukum 2 Abul A’la al-Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, penerjemah Ahmad Rais, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) h. 7 3 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h.188 4 Musthafa al-Siba’i, Perempuan di antara Hukum Islam dan Perundang-undangan, penerjemah Jemah Chadijah Nasution, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) h. 43-44 55 denda sebanyak Rp 50,- meskipun dalam penjelasanya undang-undang ini ditekankan bahwa pencatatan sebagai syarat administrasi5. Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, pencatatan ini juga ditegaskan dalam peraturan Pemerintah No9 Th 1975 tentang peraturan pelaksanaannya, yang di antaranya disebutkan bahwa bagi mereka yang melangsungkan pernikahan tetapi tidak memberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah, maka di denda sebanyak Rp 7.500, begitu pula Pegawai Pencatat yang melakukan pelanggaran juga dikenakan hukuman kurungan paling lama tiga bulan atau denda Rp 7.5006. Sedangkan dalam Poligami terdapat hukuman bagi yang melanggarnya yang sudah tertera dalam pasal, banyak sekali yang melanggar prosedur dalam berpoliagmi dan penulis akan menjabarkan apa saja prosedur jika ingin melakukan Poligami. Yang pertama megajukan permohonan ke pengadilan yang tertera dalam UU No. 1 Th 1974 pasal 4 ayat (1) “Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) UndangUndang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.” Itu semua dilakukan untuk memberi izin atau tidak sekaligus meyakinkan kebenaran data-data yang ada. 5 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h.190 6 Pasal 3 dan pasal 45 (1) PP Nomor 9/1975; Dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, pasal 5 (1) pun di jelaskan pencatatan sebagai ketertiban perkawinan. 56 Adapun orang yang melanggar aturan poligami tersebut adalah melanggar peraturan yang berlaku dan dapat dihukum dengan hukuman denda setinggitingginya Rp 7.500,-7. PP No. 9 Th 1975 pasal 45 ayat (2) “kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka: (a) Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat (3), 40 peraturan Pemerintah dan hukum dengan hukuman denda setingi-tingginya Rp 7.500,-” jumlah hukuman denda itu tentu harus dilihat dari nilainya, bukan dari jumlahnya di mana UU dibuat pada tahun 1974. 2. Malaysia Dalam Hukum Keluarga Malaysia pasal 22 ayat (1) menyebutkan, bahwa seketika setelah akad kawin dilangsungkan, pegawai Pencatat langsung menulis keterangan-keterangan yang didapatkan pada saat akad di dalam Pendaftaran Perkawinan. Pencatatan ini meliputi beberapa hal, yaitu para pihak yang melakukan perkawinan, wali yang menikahkan, dan dua orang saksi selain dari Petugas Pencatat, yang semuanya hadir pada saat akad perkawinan dilakukan. Keterangan ini kemudian ditandatangi oleh Petugas Pencatat8. Ulasan-ulasan tentang undang-undang awam Islam membawa kita kepada pelbagi Enakme Negeri. Sejak tahun 1952, percubaan telah dibuat untuk 7 Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta: Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012) h. 110 8 Ahmad Tholabi Kharlie, Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontemporer, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Ciputat, 2011) h. 240 57 mengikuti bentuk model perundagan dan perundangan yang pertama yang coba mengikuti model tersebut ialah Enkame Pentadbiran Undang-undang untuk orang Islam Selangor 19529. UU Perak pasal 35, UU Selangor pasal 35, dan UU Pinang pasal 35. Contoh teks UU Pinang pasal 35, “jika seseorang yang dikehendaki oleh seksyen 31 hadir di dadapan seorang Pendaftaran tidak berbuat demikan dalam masa yang ditetapkan, maka dia adalah melakukan suatu kesalahan dan hendaklah dihukum denda tidak melebihi satu ribu ringgit atau penjara tidak melebihi enam bulan atau kedua-duanya denda dan penjara itu”. Suami yang melakukan poligami yang tidak sesuai dengan aturan Perundang-undangan yang ditetapkan, secara umum dapat dikenai hukuman berupa hukuman denda maksimal seribu ringgit atau kurungan maksimal enam bulan atau keduanya, kecuali Serawak yang mencantumkan hukuman denda maksimal tiga ribu ringgit atau penjara maksimal dua tahun. Di samping itu. Suami tersebut masih harus membayar maskawin yang belum dibayar dan pemberian yang pernah diberikan kepada istri-istri yang sedang dipakai/dipinjam. Apabila suami yang bersangkutan tidak membayar, maka maskawin itu dapat dituntut sebagai untang. Demikian juga, seorang suami yang tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya dapat dikelompokan sebagai orang yang melanggar hukum yang dapat dihukum dengan denda maksimal seribu ringgit atau kurungan maksimal enam bulan atau keduanya10. 9 Hooker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, penerjemah Rohani Abdul Rahim, Raja Rohana(Selangor Darul Ehsa: Dewa Bahasa dan Pustaka, 1991) h. 164 58 3. Negara Brunei Darussalam Mayoritas penduduk Brunei Darussalam adalah Muslim yang menganut aliran hukum Syafi’i, dengan beberapa penduduk dari Budha, Kristen, dan beberapa penduduk yang menganut sistem keagamaan tradisional. Konstitusi pertama Brunei disahkan pada tanggal 29 September 1059 dan pasal 3 menetapkan bahwa Islam sebagai agama resmi, yang mengikutin aliran hukum Syafi’i. Struktur pemerintah Brunei Darussalam bertumpu pada Konstitusi, yang ditulis bersama dengan tiga pilar filsafat nasional, yaitu Melayu, Islam, dan Monarki. Dari hal tersebut, dapat diketahui bahwa Negara Brunei Darussalam merupakan salah satu negara kerajaan Islam di utara Kalimantan berbatasan dengan Laut Cina Selatan di utara, dan Serwak di barat, dan timur11. Sebelum datangnya Inggris ke Brunei Darussalam, hukum yang digunakan di wilayah tersebut adalah hukum Islam, yang telah di undangkan melalui Hukum Kanun Brunei yang ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hasan pada abad ke-17 yang disempurnakan oleh Sultan Jalilul Jabbar pada priode selanjutnya. Baru pada tahun 1847 Inggris mencampuri urusan peradilan di Brunei Darussalam, terutama setelah perjanjian tahun 1888. Perjanjian selanjutnya, yaitu pada tahun 1906, Inggris memiliki kewenangan lebih besar dalam peraturan perundang-undangan, pengurusan keadilan dan kekuasaan 10 Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta: Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012) h. 116 11 Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syaripuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontenporer (Ciputat: lembaga penelitian UIN jakarta, 2011) h. 225 59 kehakiman, masalah Negara dan pemerintah kecuali dalam perkara-perkara hukum Islam. Dengan ketidak jelasan hukum Islam dan adat yang ada masyarakat, Kesultanan Brunei membuat suatu petisi yang bernama pesuruhjaya British pada Juli 1906, yang isinya antara lain adalah : 1) setiap kasus yang berkaitan dengan agama Islam oleh hakim-hakim setempat 2) meminta agar adat-adat dan undang-undang setempat tidak diubah, dipindahkan, atau dilanggar selamanya12. Pasal 180 (1) “Seorang yang seharusnya tetapi tidak melaporkan perkaiwnan atau perceraian kepada pegawai pencatatan adalah satu pelanggaran yang adapat mengakibatkan dihukum dengan penjara atau denda $200”. Dalam konteks poligami, UU Brunei menetapkan bahwa seorang laki-laki yang telah menikah tidak boleh menikah dengan perempuan lain kecuali setelah mendapatkan persetujuan Hakim Syariat dengan formulir yang telah ditetapkan. Permohonan yang disampaikan kepada Hakim Syariat ini dinyatakan secara lisan dan tulisan, termasuk pula memasukan alasan-alasan yang mendorongnya untuk melakukan poligami, kemampuan finansial dan berbagi di antara para istri, orang-orangnya yang ada di bawah tanggunganya, serta apakah istri pertama telah memberi izin atau persetujuanya untuk menikahi lagi, setelah mendengarkan dan menerima pengajuan dari pemohon 12 Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syaripuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontenporer (Ciputat: lembaga penelitian UIN jakarta, 2011) h. 227 60 tersebut, hakim baru dapat memutuskan apakah seseorang diberikan izin untuk berpoligami13. Ini dibahas dalam pasal 23 UU Hukum Keluarga Negara Brunei Darussalam tahun 1999 Dalam hal perkawinan seorang laki-laki yang telah beristri dengan perempuan lain (poligami) di mana pun ia berada tanpa persetujuan tertulis dari Hakim diancam dengan hukuman denda paling banyak 2000 Dolar atau penjara paling lama bulan14. Dan penjelasan diatas terdapat pada pasal 123 Undang-undang Hukum Keluarga Negeri Brunei Darussalam tahun 1999. B. Perbandingan Vertikal dan Diagonal Sanksi Pencatatan Perkawinan dan Poligami di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam 1. Indonesia Kalau kita meneliti kitab-kitab hukum Islam, baik kitab-kitab hukum klasik (kitab kuning) maupun buku-buku hukum yang lebih dekat dengan kita, kita tidak menemukan kitab dan buku hukum yang melukiskan secara khusus bagaimana susunan, kekuasaan, dan acara badan-badan peradilan. Dalam literatur hukum Islam dan literatur sejarah negar Islam, yang selalu terdapat hanya prinsip-prinsip pokok tentang perlunya suatu pengadilan, atau perlunya ada qadhi/hakim, syarat seorang hakim, saksi-saksi,sumpah,dan beberapa cara 13 Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syaripuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontenporer (Ciputat: lembaga penelitian UIN jakarta, 2011) h. 232 14 Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syaripuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontenporer (Ciputat: lembaga penelitian UIN jakarta, 2011) h. 232 61 pembuktian. Dalil pen-syari’ atau peradilan (qadhi) adalah berdasarkan AlQur’an, Sunnah, dan ijma’ dimulai sejak masa sahabat, tabiin, sampai para ulama sesudahnya. Hukumnya telah disepakati pula, yaitu fardhu kifayah. Setiap negara, bagaimana bentuknya selalu memerlukan hukum yang berlaku di negara masing-masing, dan setiap hukum memerlukan peradilan untuk menegakkannya. Islam adalah aqidah wa syari’ah, keyakinan dan hukum. Karena itu pulalah masyarakat Islam memerlukan peradilan yang akan menegakkan hukum15. Mengenai kelembagaan peradilan itu sendiri, karena termasuk bidang ijtihad, bisa saja berbeda-beda di setiap negara Islam maupun di negara-negara yang ada masyarkat muslimnya. Satu hal yang pasti ialah peradilan itu (qadha) adalah alat kekuasaan untuk menegakkan syariat atau Fiqih (menegakkan hukum Islam). Pengertian “hukum Islam” memang mengandung problem tersendiri. Bukan hanya di kalangan kaum muslim Indonesia, tetapi juga di kalangan umat Islam sedunia. Karena itu, mutlak perlunya pelurusan pemahaman tentang syariat16. Dalam konteks hukum keluarga dan pembaruan hukum Islam, pembedaan antara beberapa istilah ini menjadi sangat penting, karena kesalahpahaman terhadap penegrtian hukum, Syariat dan fikih akan berimplikasi pada perkembangan hukum Islam dalam konteks perubahan masyarakat. Syariat, 15 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia akar sejarah, hambatan dan prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 77 16 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia akar sejarah, hambatan dan prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 78 62 sebagai suatu sumber hakiki hukum Islam merupakan perangkat baku yang harus menjadi acuan dan tidak dapat diotak-atik oleh manusia, sehingga setiap tingkah laku manusia, dari dulu sampe sekarang, dapat diakomodasi oleh Syariat. Sementara fikih merupakan suatu interpensi para Ulama terhadap Syariat untuk perbuatan tertentu, dengan menggunakan dalil-dalil terperinci, sehingga fikih menjadi sangat acceptable dengan perubahan dan modifikasi. Ketika menyamakan istilah fikih dan Syariat, maka sebetulnya telah menggabungkan dua aspek yang berbeda dan telah mengabsolutkan fikih yang sebetulnya merupakan produk manusia biasa. Implikasinya, fikih yang diambil melalui metode istinbat hukum atau ijtihad dan digunakan sebagai suatu jawaban atas permasalahan sosial umat Islam sepanjang keberadaan mereka, akan menjadi kaku dan berhenti pada produk-produk terdahulu. Hukum Islam akhirnya tidak mampu menjawab permasalahan-permasalahan masyarakat kontemporer atau bahkan hukum Islam menjadi tidak relevan dengan perkembangan zaman. Dengan pembedaan inilah konteks pembaharuan hukum keluarga dimungkinkan untuk dilakukan, karena beberapa peraturan fikih yang mengatur hukum keluarga justru dapat ditinjau ulang untuk kepentingan perkembangan zaman17. 17 Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syaripuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontenporer (Ciputat: lembaga penelitian UIN jakarta, 2011) h. 9 63 a. Perkawinan: Fiqih, Perundang-Undangan Indonesia dan Internasional Perkawinan merupakan kata yang merujuk pada hal-hal atau hubungan pernikahan. Pengertian istilah perkawinan lebih luas dari istilah pernikahan. Jika pernikahan merujuk pada sebuah ikatan yang dilakukan atau dibuat oleh pihak suami dan istri untuk kehidupan bersama, dan atau merujuk pada sebuah proses dari ikatan tersebut, perkawinan merujuk pada hal-hal yang muncul terkait dengan proses, pelaksanaan dan akibat pernikahan. Dengan demikian, perkawinan mencakup bukan saja syarat dan rukun pernikahan dan bagaimana pernikahan harus dilakukan, tetapi juga masalah hak dan kewajiban suami istri, nafkah, penceraian, pengasuhan anak, perwalian, dan lain-lain. Beranjak dari perbedaan pengertian dari kedua istilah tersebut, UU No. 1/1974 disebut dengan Undang-Undang Perkawinan bukan Undang-Undang Pernikahan, karena undang-undang tersebut mencakup banyak hal,seperti dirinci sebelumya18. b. Pencatatan Perkawinan Menurut doktrin hukum Islam kalsik, perkawinan dianggap sah dan terjadi dengan adanya ijab (menyerahkan) yang diucapkan oleh wali dari pihak calon istri dan adanya qabul (menerima) yang diucapkan oleh pihak laki-laki dan dua orang saksi; dua atau satu orang Muslim laki-laki dan dua orang Muslim perempuan dan ada maharnya. Unsur-unsur tersebut 18 Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlelawati, Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2013) h. 23 64 dinamakan dengan rukun pernikahan, dan setiap rukun dari pernikahan terdapat syarat-syarat yang harus terpenuhi. Syarta bagi rukun adanya ijab dan qabul adalah, di antaranya, bahwa ijab dan qabul harus dengan kalimat yang jelas, selaras, dan berkesinambungan. Wali yang mengucapkan ijab juga harus memenuhi syarat, seperti, persamaan agama. Begitu juga halnya dengan saksi. Terkait dengan saksi, para ulama berbeda pandangan dalam menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Tidak terdapat aturan tentang keharusan pencatatan dalam aturan hukum Islam klasik ini. Perkembangan zaman dan kompleksitas kehidupan telah mendorong para ulama untuk melakukan sebuah pembaruan terkait pernikahan, dan negaranegara Muslim menyadari bahwa kontrak perkawinan perlu didaftarkan agar bukti dari pernikahan tersebut dapat disimpan dan dijadikan sandaran dengan jelas. Meskipun tidak ada satu pun kelompok ulama menegaskan tentang pentignya pencatatan, tetapi apa yang dikemukakan Maliki terkait dengan hukum adanya saksi, di mana ia menyebutkan bahwa saksi tidak perlu dihadirkan pada waktu akad diucapkan dan bisa dihadirkan setelahnya, serta tentang fungsinya memberikan pengumuman tentang pernikahan yang ia saksikan, dapat diajdikan pijakan pentingnya pencatatan untuk zaman sekarang19. Di Indonesia, aturan tentang pencatatan pernikahan dapat dilihat di UU No. 22/1964. UU ini mengatur hanya administrasi perkawinan dan 19 Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlelawati, Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: Kencana 2013) h. 25 65 menegaskan bahwa pernikahan diawasi oleh pegawai pencatat nikah. Aturan pencatatn pernikahan diperkuat dalam UU No.1/1974 dan KHI. KHI menyatakan bahwa perkawinan dinayatakan sah denga hadirnya pencatat perkawinan yang resmi atau jika didaftarkan. Tidak dipenuhinya pendaftaran perkawinan berakibat pada ketidaksahanya perkawinan, dan upaya hukum di pengadilan akan ditolak jika perkawinan tidak terdaftar20. c. Poligami Poligami memang bukan isu baru dalam wacana dan perdebatn hukum Islam. Namun, karena aturan-aturanya yang terus berkembang di beberapa negara, termasuk di Indonesia, dan karena perbedaan cara pandang dari para ulama dan ahli hukum terkait dengan hukumnya, isu poligami menjadi menarik dan penting untuk didiskusikan. Poligami merupakan salah satu bentuk pernikahan yang diatur dalam hukum Islam. Mengacu pada hukum Islam (fiqih), poligami merupakan bentuk pernikahan yang diperbolehkan. Mayoritas ulama memperbolehkan pernikahan poligami, dan pandangan kebolehan pernikahan poligami ini berdasarkan pada ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa seorang Muslim laki-laki boleh melakukan pernikahan dengan satu, dua, tiga, dan empat wanita yang baik, seperti tercantum dalam ayat keempat Surat an-Nisa (4). Ayat tersebut dipahami sebagai sebuah aturan kebolehan pernikahan poligami, meskipun 20 Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlelawati, Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2013) h. 26 66 turunya ayat tersebut dilantari oleh praktik pernikahan yang dilakukan laki-laki dengan motivasi penguasaan harta anak dan atau perempuan yatim. Tidak menghendaki adanya pernikahan dengan motivasi tersebut, Allah menurunkan ayat tersebut untuk menghalangi praktik tersebut. Namum, ayat tersebut kemudian dipahami sebagai sebuah dasar pembolehan praktik pernikahan poligami secara umum. Meskipun beberapa kalangan menafsirkan kebolehan dengan penekanan pada kalimat berikutnya yang menyinggung tentang keadilan yang harus dipenuhi suami, mayoritas ulama menganggap keharusan berlaku adil tersebut tidak terlalu penting mengingat keadilan merupakan hal yang sangat abstrak. Para ulama Sunni Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan Hanafiyah, menegaskan bahwa dalam poligami tidak disyaratkan keadilan hati dan cinta. Syafi’iyah bahkan menyebutkan, keadilan dalam masalah nafkah juga tidak ditekankan21. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman dan cara berfikir tentang perlindungan hak-hak individu manusia, aturan poligami yang ditemukan dalam buku-buku fikih mengalami penafsiran ulang dan pembaruan. Sama halnya dengan beberapa negara lain, seperti diuraikan berikut, Indonesia juga mengatur poligami. UU No. 1/1974 dan KHI menjelaskan bahwa poligami dimungkinkan untuk dilakukan. Dasar atau prinsip perkawinan monogami, dengan kemingkinan diizinkanya seorang laki-laki melakukan 21 Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlelawati, Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2013) h.29 67 poligami, maksimal dengan empat orang (pasal 3 ayat 1-2 UU No. 1/1974)22. 2. Malaysia Pembaharuan hukum Islam (Fiqih) di Malaysia secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok pemikir; tradisionalis dan modren. Ciri utama pemikir Fiqih tradisionalis di Malaysia adalah bersandar pada Mazhab AhluSunnah wal-Jamaah, atau lebih khusus, bertaklid pada mazhab Syafi’i. Jika meruuk kitab-kitab Ushul Fiqih karangan ulama tardisionalis, jelas sekali tekananya agar bertaklid kepada mazhab yang empat, khususnya mazhab Syafi’i. Kitab-kitab yang menjadi rujukan para ulama tradisional sebenarnya tidak merunjuk kepada karya-karya Imam asy-Syafi’i an sich tetapi kepada karya para ulama Syafi’iyah. Kelompok tradisionalis ini berpuas hati pada kitab al-Muhazzab (ash-Shirazi), Fath al-Wahhab (Zakariya al-Anshari), Thufat al-Muhtaj (Ibn Hajar al-Haitami), Nihayat al-Muhtaj (Syamsuddin arRamli), Mughni al-Muhtaj (Ibnu Khatib ash-Sharbini), Fath al-Mu’in (Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari), dan al-Ghayat wat-Taqrib (alAshfahani). 154 Bukan Karya-karya Imam Syafi’i seperti al-risalah atau alUm23. Mengenai hukum Munakahat, perkara yang dibahas ialah pertunangan, perkawinan, hak dan kewajiban suami-isteri seperti nafkah dan hadanah serta perceraian dan rujuk. Adapun bidang mu’amalat menyangkut masalah sosio22 23 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, (Bandung: Mandar Maju, 2012) h. 90 Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: PustakaAl-Fikriis, 2009) h. 125 68 ekonomi seperti riba, khiyar, jual beli, jual saham, mufis, berhutang, gadai, suih, hilwalah, berwakil, iqrar, wadi’ah, luqatah, mengupah, sewa, dhaman, ariyah, mati, wakaf, dan lain-lain. Termasuk dalam persoalan ini ialah hukum faraid atau pembagian pusaka, ahli waris, kadar masing-masing, pendingding, sisa harta, wasiat, dan sebagainya24. Lepas dari perbedaan mazhab Fiqih yang dianut umat Islam seperti akan nanti, yang pasti hukum keluarga Islam hingga kini dan insya Allah hingga di masa-masa mendatang masih tetap dan akan terus berlaku di Dunia Islam. Bahkan di dunia non-Islam pun keluarga Muslim secara umum tampak memiliki perlindungan dan keluarga Muslim secara umum tampak memiliki perlindungan dan jaminan hukum yang cukup memadai untuk memberlakukan hukum keluarga Islam bagi keluarga-keluarga Muslim. Terutama dalam hal perkawinan25. a. Peranan Maslahat dalam Hukum Islam Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “peranan” artinya “bagian yang dimainkan”. Peranan juga berati “tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam satu peristiwa”26. Dari kutipan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan peranan maslahat dalam hukum Islam serta bertindak dalam kaitanya dengan penetapan hukum Islam. 24 Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: PustakaAl-Fikriis, 2009) h. 127 25 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Pres, 2004) h. 144 26 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 751 69 3. Negara Brunei Darussalam Bagi Muslim Negara Brunei Darussalam, hukum Islam sangat berpengaruh terutama hukum keluarga yang bersumber kepada mazhab Syafi’i, tiga mazhab Sunni lainya setelah disetujui oleh Sultan, tradisi kuno dan tradisi Melayu. Selain itu, secara fakta sejarah, Negara Brunei Darussalam adalah jajahan Inggris yang memberikan pengaruh besar terhadap konstitusi hukum di negara tersebut. Hal itu terbukti, constitusi negara yang dibuat pada tahun 1959 dipengaruhi oleh Inggris dengan sistem common law, terutama sistem peradilan yang mengadopsi sistem Inggris sejak tahun 1955. Pengaruh itu tidak hanya pada konstitusi negara tetapi pada konstitusi atau undangundang hukum Islam sampai Brunei merdeka secara penuh dari Inggris tahun 1984. Hal itu terungkap dalam wikipedia : Free Encyclopedia, bahwa: “Selama kurun waktu abad 15 dan 16, Negara Brunei menguasai kepulauan Borneo dan beberapa pulau Kalimantan dan Philipina. Expansi Eropa yang datang dari Spanyol dan Belanda, sejak abad 16 mencaplok sebagian wilayah Negara Brunei Darussalam. Pada abad 19, Brunei mencari bantuan ke Inggris dalam mempertahankan sebagian wilayah tersebut. Sampai akhirnya, beberapa bagian Negara Brunei Darussalam dikuasai dan diatur oleh Inggris yang diformalkan pada tahun 1906. Konstitusi negara ditegakan pada tahun 1959 yang memberi izin pengaturan secara internal dan menetapkan berakhir pada tahun 1971 bahwa Brunei bebas dari protokoler Inggris sampai negara tersebut merdeka tahun 1984”. 70 Meskipun demikian, ketentuan hukum Islam yang mulai diundangkan tahun 1912 antara Brunei dan Inggris dengan nama The Mohammedan Laws Enactment 1912, didasarkan kepada kedua tradisi negara tersebut dan hukum Islam. Perundangan ini meliputi aspek hukum Keluarga dan Kriminal dan Juridiksi Hakim. Selanjutnya diikuti dengan The Mohammedan Marrige and Disvorce Enactmen 1913 yang mengatur tentang pendaftaran perkawinan dan penceraian melalui hakim pengadilan. Kedua undang-undang tersebut tidak berlaku lagi diganti dengan The Brunei Religios Councils, Khathis Courts and State Customs Enactmen 1955 dan beberapa perubanhanya samapai sekarang27. Seluruh umat Islam berkeyakinan bahwa dalam hukum keluarga terkandung nilai-nilai ubudiah dan kewajiban individu (fardhu’ain) yang berbeda dari kewajiban kolektif (nonta’abudi) yang penerapanya dimungkinkan semata-mata berdasarkan hukum tata negara (al-ahkam addusturiyyah) dan hukum internasional (al-ahkam ad-duwaliyah), yang penerapanya dapat selalu disesuaikan dengan kemaslahatan umat dan kepentingan umum, dalam bidang hukum keluarga umat Islam telah memiliki keyakinan tersendiri yang demikian melekat dengan aqidah Islamiyah 28. 27 Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: PustakaAl-Fikriis, 2009) h.148 28 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Pres, 2004) h. 145 71 C. Prospek Hukum Keluarga di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam 1. Indonesia Peradilan Agama mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam rentang waktu yang panjang. Sejak Islam menjadi kekuatan politik di Indonesia hingga dewasa ini. Kini ia menjadi salah satu peradilan negara yang memeiliki kedudukan sejajar dengan peradilan negara yanglain, terutama sejak diundangkan dan diberlakukannyanUU Nomor 7 Tahun 1989. Namun ada yang mencakup perkara di bidang keluarga (Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, dan Shadaqah) di kalangan orang-orang yang beragama Islam. Artinya, perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan dalam ligkungan PADI itu merupakan masalah-masah keluarga (domestik) yang membutuhkan penyelesaian melalui kekuasaan negara. Dalam kenyataanya, sebagian besar, bahkan hampir seluruhnya, perkara-perkara domestik itu bagaimana tercermin dalam perkara cerai talak dan cerai gugat, dan bentuk penceraian lainya29. Ketetuan lain yang merupakan kekhususan itu berkenaan dengan pemeriksaan perkara cerai talak, yang dilakukan dalam sidang tertutup. Hal itu terkait dengan “konflik individual” , yang tidak etis apabila diketahui oleh pihak yang tidak secara langsung berhubungan dengan pemeriksaan perkara tersebut. Mungkin saja dalam pemeriksaan itu terungkap “rahasia pribadi” di dalam lingkungan domestik yang tidak patut diketahui oleh publik. Hal yang 29 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres,1998) h. 241 72 demikian itu, sangat berbeda dengan pemeriksaan perkara perdata lainya terutama yang berkaitan dengan hak-hak kebendaan. Disamping kedua hal itu, dalam produk pengadilan tidak dikenal “yang kalah” dan “yang menang” yang tercermin dalam ketentuan pasal 89 ayat (1) dinyatakan, “Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon”. Bukan dibebankan kepada pihak yang kalah. Berkenaan dengan hal itu, pada beberapa tahun terakhir ini muncul beberapa gagasan “untuk menjadikan”, atau sekurang-kurangnya mengindentifikasi Peradilan Agama sebagai perdilan keluarga, atau Pengadilan Agama sebagai Pengadilan Keluarga (Family Court). Pandangan itu antara lain dikemukakan oleh Bustanul Arifin dan Satjipto Raharjo. Menurut pandangan Bustanul Arifin (1993: 8): UU No. 7 Tahun 1989 adalah lompatan 100 tahun dan dari segi hukum substansi dia adalah lompatan 100 Windu. Itulah mungkin yang menyebabkan RUUPA begitu ramai ditanggapai. Intisari masyarakat Pancasila adalah keluarga, dan karena itu adanya peradilan agama yang merupakan peradilan keluarga (family court) bagi orang-orang Islam Indonesia amat menguntungkan, karena keadilan dan kepastian hukum yang tenang dan damai. Putusan-putusan Peradilan Agama yang bertali ke langit berakar ke bawah (masyarakat) akan mendatangkan kesejukan bagi masyarakat30. 30 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1998) h. 243 73 a. Situasi Hukum Islam Persepsi masyarakat tentang apa yang di sebut Hukum Islam masih harus selalu dibina. Seperti telah dijelaskan di bagian depan buku ini, hukum Islam adalah kata pengganti dari dua istilah. Aslinya : syari’ah dan fiqih. Hal ini juga menimbulkan kekecauan pengertian dan menimbulkan kesalahpahaman di kalangan masyarkat, baik di kalangan Islam sendiri, maupun di kalangan luar Islam. Hal ini yang demikian tidak dialami oleh Indonesia saja, tetapi juga di kalangan masyarkat dunia Islam seluruhnya. Itu karena keilmuan hukum Islam telah terhenti sejak abad ke-4 Hijriah. Jadi, telah 8 abad ada jurang pemisah antara perkembangan pemikiran hukum Islam dengan hukum umum. Hal itu diperparah lagi oleh perkembangan lain dalam sejarah dunia, seperti perang salib, imperialisme, dan kolonialisme. Dalam suasana inilah, para hakim Peradilan Agama dituntut untuk menerapkan hukum Islam yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Khususnya di Indonesia, seperti telah diuraikan, ada perbenturan antara hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat yang diciptakan dan dipupuk oleh konsepsi ilmiah Barat31. Menurut teori hukum Islam (‘ilmu ushul al-fiqh) yang dibuat oleh ahli-ahli hukum Islam masa pertengahan, bahwa hukum Islam dibangun di atas empat struktur dasar hukum yang disebut sebagai “sumber-sumber hukum Islam”. Sumber-sumber hukum tersebut adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi, Ijtihad (qiyas) dan ijma’. Dari urutan tersebut tampaklah bahwa al-Qur’an merupakan 31 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia akar sejarah, hambatan dan prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 87 74 sumber utama hukum Islam. Karena itulah semenjak awal sejarah Islam, hukum Islam telah dipandang sebagai bersumber dari Wahyu Illahi. Al-Qur’an telah dipandang sebagai pedoman utama kehidupan dan sebagai sumber hukum. Menurut Rahman, sepanjang perkembangan teori hukum Islam, AlQur’an memiliki “identitas khas” tidak sebagaimana tiga sumber hukum lainya: Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad, dimana antara ketiga dasar tersebut terjadi interaksi yang erat. Perkembangan dari konsep “sunnah Nabi” menjadi “Hadis”; perkembangan praktik Ijtihad dari ra’yi (penalaran individu) lalu muncul konsep Ijma’ lalu muncul sistematis ra’yi menjadi qiyas, merupakan fenomena yang dimaksudkan oleh ungkapan Rahman di atas. Yakni bahwa perkembangan tersebut merupakan proses evolusi, yang di dalamnya terjadi interaksi antara ketiga tersebut32. b. Hukum Islam pada zaman Tabi’in Setelah masa khlifah yang empat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahanya oleh dipimpin Bani Umayyah. Pemerintahan ini didirikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan uang sebelumnya menjadi Gubernur Damaskus. Fitnah besar yang dihadapi umat Islam pada akhir pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi Thalib adalah tahkim, yaitu perdamian antara pihak Ali dan Muawiyah yang kedudukanya berbeda Ali sebagai Khalifah, sedangkan Muawiyah sebagai Gubernur. Dalam menghadapi tawaran damai dari pihak Muwaiyah, pengikut Ali terbagi dua: sekelompok 32 Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1997) h. 89 75 menolak lagi menolaknya. Karen menganggap bahwa damaiadalah jalan yang terbaik, Ali menerima tawaran itu dengan menjadikan Abu Musa al-Asy’ari sebagai utusan; sedangkan utusan dari pihak Muwaiyah adalah Amr Ibn Ash. Atas “kelihaian” Amr ibn Ash, secara politik, perdamaian dimenangkan oleh pihak Muawiyah; Ali menlak hasil tahkim tersebut. Pada zaman pemerintahan bani Umayyah, sistem kepemimpinan Khalifah diganti denga sistem kerajaan33. a. Faktor- Faktor yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam Pada fase ini, perkembangan Hukum Islam ditandau dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Diantara faktor-faktor yang mendorong perekembangan Hukum Islam adalah : 1) Perluasan Wilayah Sebagaimana diketahui dalam sejarah, ekspansi dunia Islam dilakuan sejak zaman Khilafah. Langkah awqala yang dilakukan Muawiyah dalam rangka menjalankan pemerintahan adalah memindahkan ibu kota negara, dari Madinah ke Damaskus. Muawiyah kemudian melakukan ekspansi ke Barat sehingga dapat menguasai Tunisia, Aljazair, dan Maroko sampai ke pantai Samudra Atlantik. Penaklukan ke Spanyol dilakukan pada zaman pemerintahan Walid al-Malik (705-715 M.). Di sebelah utara, umat Islam bertempur berkali-kali melawan Bizantium. Bani Umayah 33 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Rosda, 2003) h.53 76 kadang-kadang masuk ke Asia kecil, bahkan mengepung Konstantinopel. Di sebelah timur, Islam menduduki Transoxian (sekarang Uzbekistan), Sind, dan Sungai Syr Darya, dan Sungai Indus menjadi batas timur Kerajaan Islam. Pada zaman Abu Bakar dan Umar, sahabat dicegah keluar dari Madinah agar tidak menyebar hadis secara sembarangan dan dapat bermusyawarah bersama-sama dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang penting. 2) Perbedaan penggunaan ra’yu Pada zaman tabi’in, Fuqaha dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mazhab atau aliran hadis (madrasah al-hadits) dan aliran ra’yu (madrasah alr-ra’y) atau madrasah al-Madinah dan madrasah alkufah. Aliran hadis adalah golonga yang lebih banyak menggunakan riwayat dan sangat “hati-hati’ dalam penggunaan ra’yu, sedangkan aliran ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu dibanding dengan aliran hadis. Munculnya dua aliran pemikiran Hukum Islam itu semakin mendorong perkembangan ikhtilaf; dan pada saat yang sama pula semakin mendorong perkembangan Hukum Islam34. 34 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Rosda, 2003) h.55 77 c. Pemberlakuan dan Perkembangan Hukum Keluarga Islam di Indonesia Pembaharuan dan perkembangan hukum keluarga Islam bukan tanpa upaya awal dari beberapa ahli hukum, baik ahli hukum Islam maupun adat, yang telah memperkenalkan beberapa ide mereka. Terdapat beberapa ahli hukum yang dapat dianggap sebagai peletak dasar atau ide pembaharu yang sekarang kita lihat. Ahli hukum yang sering disebut dalam hal ini adalah Hasbi Ash- Shiddieqy dan Hazairin. Bebrapa ahli hukum atau praktisi selain kedua ahli hukum tersebut yang dianggap meneruskan dan bahkan mewujudkan ide-ide dasar tersebut adalah Munawir Syadzali dan Bustanul Arifin. Ide-ide mereka kemudian mengantarkan pemerintah melakukan upaya pembaharuan lewat apa yang menjadi trend sejak abad ke-19 di berbagi negara Muslim di dunia, yaitu kodifikasi hukum35. 2. Malaysia Sebelum Undang-undang khusus yang mengatur tentang perkawinan, masalah-masalah perkawinan di setiap negeri di Malaysia, di tetapkan dalam Enakme atau Pentadbiran Agama Islam. Hukum yang mengatur tentang perkawinan dan hal-hal yang berhubungan dengan itu dicantumkan dalam satu bab dari Undang-undang tersebut. Sekedar contoh, Enakme Pentadbiran Undang-undang Islam Negeri Melaka memuat sepuluh bab/bagian. Salah satu 35 Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2013) h. 11 78 bagianya adalah tentang Perkawinan, penceraian, dan semua hal-hal yang muncul akibat perkawinan dan penceraian36. a. Perkembangan Mutakhir Sejarah pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia merupakan suatu pekembangan yang berteruskan ke arah perlaksanaan ajaran Islam secara langsung serta lebih tepat lagi. Pentadbiran undang-undang penjajah menitiberatkan perlaksanaan hanya ajaran-ajaran yang diperlukan secara langsung demi untuk mengelak daripada meghina amalan keagamaan orang Melayu. Ini telah menyebabkan Undang-undang Islam terhad kepada “Undang-undang Keluarga Islam” sahaja. Seterusnya, adat tempatan telah mengehendakan pemakaian Undang-undang Keluarga Islam di setengah-setengah tempat dan dalam setengah-setengah perkara. Walaupun bagaimanapun, sejak kemerdekaan Malaysia, usaha ke arah perlaksanaan Undang-undang Islam dengan lebih sempurna dan meyeluruh telah dijalankan. Berhubung dengan hal ini perundangan dan Mahkamah Syariah serta pembentukan Jabatan Agama Negeri telah memaikan peranan yang penting dalam usaha ini. Perkembangan muktahir ialah penubuhan Majlis Hal-Ehwal Agama Islam Kebangsaan pada tahun 1968 yang kemudiannya digabungkan sebagai bagian Hal-Ehwal Agama di Jabatan Perdana Menteri pada bulan Febuari, 1974. Pada peringkat awal 36 Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta: Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012) h. 84 79 penumbuhanya Majlis tersebut telah membentuk sebuah Jawatankuasa Fatwa untuk mengeluarkan fatwa bagi majlis Raja-Raja37. 3. Negara Brunei Darussalam Kehadiran agama Islam di Negara Brunei Darussalam membentuk suatu corak Undang-undang Islam yang hampir keseluruhanya meniru budaya Islam di tempat lain di Nusantara ini. Faktor peniruan ini tidak bermakna orang Islam Brunei “kurang Islam” berbanding dengan mereka yang tinggal dipusat pemikiran Islam yang lebih kreatif. Sebaliknya ini bermakna struktur resmi agama Islam di Brunei terutamanya Undang-undang untuk orang Islam, sebahagian besarnya merupakan derivatif yang tiada bandinganya di tempat lain di dunia Islam-Melayu. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh Brunei terletak di pulau Borneo yang agak terasing kedudukanya, dengan kemiskinan sumber daya alamnya mengakibatkan kepadatan penduduk yang sangat rendah bedasarkan standar Asia Tenggara. Penduduk Islam di pulau ini adalah kecil, berselerak dan kadang terpencil; dengan kekayaan yang terbata, tidak terdapat peluang untuk mengembangkan sepenuhnya budaya berinspirasikan Islam seperti yang terdapat di pualu lain di Asia Tenggara. Oleh itu, penerima’an masuk Institusi dan bentuk dari luar negeri inilah yang membentu perkembangan Undang-Undang Islam Brunei. Mengikuti sejarah terbukti yang banyak tentang komen-komen ini; apa yang dipanggil “teks Undang-Undang Brunei” pada hakikatnya lebih merupakan versi teks Melaka yang 37 Hooker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, penerjemah Rohani Abdul Rahim, Raja Rohana(Selangor Darul Ehsa: Dewa Bahasa dan Pustaka, 1991) h. 188-189 80 diselewengkan atau terdapat bagian-bagian teks itu yang pada pendapat penyalinnya mempunyai beberapa penyesuaian di Brunei. Salinan paling awal yang diketahui ialah MS yang sebelumnya dimiliki oleh orang kaya di Gadung Sri Lela. Muhammad Husein, yang didakwa bertarikh 1211 A.H. (1708 A.D) tentu ini ataupun satu versi daripadanya, boleh dikatakan terdapat juga Daerah Tenon (sekarang dalam negara Sabah), dan disitu teks berkenaan boleh dikatakan menjadi autoriti di kalangan Ketua-ketua anak watan. Dilaporkan bahwa teks ini telah dikemukakan sebagai autoriti ketika menyiasatkan tuntunan anak watan mengenai hak milik pokok buah-buahan. Tidak ada sebab untuk meragui bahwa teks Melaka ini dikenal lebih awal, pada akhir abad kelima belas terdapat bukti daripada riwayat Kesultanan Borneo menunjukan wujudnya unsur-unsur keIslaman di Brunei. Malahan, suatu teks anak watan yang berasal dari barat laut Borneo juga boleh digunakan untuk menunjukan unsur-unsur Islam telah wujud lebih awal daripada abad kelima belas38. a. Undang-undang untuk Orang Islam di Brunei Perundangan modren yang pertama tentang Islam ialah Enakme Undang-undang Islam 1912. Akta ini terpaka kepada semua orang Islam, dan serupa juga dengan perundangan Borneo Utara dan Sarawak pada masa itu, Undang-undang Islam mengandungi campuran peraturan tempatan dan peraturan Islam. Sekyen 3 menempatkan bersembahyang 38 Hooker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, penerjemah Rohani Abdul Rahim, Raja Rohana(Selangor Darul Ehsa: Dewa Bahasa dan Pustaka, 1991) h. 198 81 jumaat di masjid sebagai wajib dan sekiranya gagal berbuat demikian boleh didenda 50 sen setiap kali ingkar. Sekyen 4 pula melarang melarikan anak dara, hukuman yang ditetapkan ialah penjara enam bulan dan denda dua kali ganda mas kahwin yang bisa dibayar untuk berkahwin dengan anak dara yang sama tarafnya. Apabila seorang yang anak dara lari dan hidup dalam maksiat, dia boleh dipenjarakan sehingga satu bulan dan perlu ada jaminan dia akan berlaku baik pada masa akan datang. Sekyen ini hendaklah dibaca dengan Sekyen 13 yang memberi kuasa kepada kadi untuk menyaman perempuan yang menjadi pelacur dan memberinya amaran untuk menghentikan perbuatan tersebut. Jika dia gagal untuk mematuhi arahan tersebut hukumanya ialah dipenjara selama tiga bulan dan bagi kesalahan kedua, dia boleh dibuang negeri (s 13(2))39. Seksyen 8 dan 9 membincangkan mungkir janji pertunangan. Sesiap yang telah mengikat kontrak ini dan kemudianya enggan berkahwin hendaklah membayar kepada pihak yang tidak bersalah nilai mas kahwin (yang sepatutnya akan dibayar) dan hukum sesiapa yang bersubahat memecah kontrak pertunangan dengan denda sehingga $10 dan penjara sehingga empat belas hari40. Dari berbagi aspek perundangan yang berlaku dinegeri-negeri muslim yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa pada abad ke-20 ini 39 Hooker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, penerjemah Rohani Abdul Rahim, Raja Rohana(Selangor Darul Ehsa: Dewa Bahasa dan Pustaka, 1991) h. 201 40 Hooker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, penerjemah Rohani Abdul Rahim, Raja Rohana(Selangor Darul Ehsa: Dewa Bahasa dan Pustaka, 1991) h. 202 82 umunya negeri-negeri muslim telah memberlakukan UU tentang Hukum Keluarga yang semangat dasarnya adalah melindungi hak-hak dan meningkatkanya derajat wanita. Hal itu terbukti dalam pengaturanpengaturan batas minimal dan selisih umur kawin, pencatatan perkawinan, penceraian di tempat pengadilan, dan pembatasan atau pelarangan poligami. Isi pengaturan dalam bidang-bidang tersebut pada umumnya berbeda dengan pendapat yang telah mapan yang ada dalam kitab-kitab Fiqih41. 41 M. Atho Mudzhar, Hukum Keluarga Dunia Islam Modren, (Jakarta: Ciputat Press, 2003) h. 291 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari beberapa pemaparan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan dan sekaligus sebagai jawaban atas beberapa perumusan masalah sebagai berikut: Pertama, Aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan yang ada di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam beragama. Misalkan di Indonesia untuk orang yang berpoligami harus mendapat izin dari pihak-pihak yang bersangkutan, yang mana ini di jelaskan dalam Undang-Undang Pasal 3, 2, 4, 5 tentang Perkawinan. Di pasal tersebut sudah dijelaskan apa saja yang harus dilakukan bagi seseorang yang ingin melakukan Poligami Dan dalam hal pencatatan perkawinan juga di Indonesia sudah jelas harus dilakukan untuk kebasahan perkawinan didalam mata hukum, peraturan tentang pencatatan perkawinan di jelaskan dalam Undang-Undang Pasal 2 ayat (2), yang mana ini dilakukan oleh pegawai pencatat. Malaysia dalam mengatur hal Poligami sangatlah ketat, mereka mempunyai dua kelompok dalam mengatur Poligami kelompok yang pertama adalah UU Negeri Sembilan pasal 23 ayat (1). UU Pinang pasal 23 ayat (1). UU Pahang pasal 23 ayat (1). UU Selangor pasal 23 ayat (1). UU Wilayah Persekutuan pasal 23 ayat (1). Dan UU Perak pasal 21 ayat (1). Contoh teks UU Perak pasal 21 ayat (1) berbunyi. “Tiada seseorang lelaki boleh berkahwin dengan seorang lain dalam masa dia masih beristrikan istrinya yang sedia ada 83 84 kecuali dengan terlebih dahulu mendapatkan kebenaran secara bertulis dari Hakim Syari’ah, dan jika dia melakukan perkawinan tanpa kebenaran tersebut maka perkahwinan itu tidak boleh didaftarkan di bawah Enakme ini ”. Dalam UU Perak pasal 21 ayat (1) ada tambahan kalimat, “mendapatkan pengesahan lebih dahulu dari Hakim bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istrinya”. Sedangkan kelompok kedua Serawak dan Kelantan, dalam UU Serawak tidak membolehkan pedaftaran secara mutlak tanpa izin lebih dahulu dari Pengadilan Sedangkan di Malaysia Pencatatan Perkawinan juga diatur dalam UndangUndang UU Perak pasal 20 ayat (1, 2 dan 3), UU Serawak pasal 20 ayat (1, 2, dan 3), UU Kelantan pasal 21 ayat (2), UU Negeri Sembilan pasal 22 ayat (1, 2 dan 3), UU Pahang pasal 22 ayat (1, 2, dan 3), UU Persekutuan pasla 22 ayat (1, 2 dan 3), UU Selangor pasal 22 ayat (1, 2, dan 3) dan UU Pinang pasal 22 ayat (1, 2, dan 3). Contoh teks UU Pinang pasal 22 ayat (1), “selepas sahaja akad nikah sesuatu perkahwinan dilakukan, pendaftaran hendaklah mencatatkan butir-butir yang ditetapkan dan ta’liq yang ditetapkan atau ta’liq lain bagi perkahwinan itu di dalam daftar perkawinan”, ayat (2) “Catatan itu hendaklah diakusaksi oleh pihak-pihak kepada perkahwinan itu, oleh wali, dan oleh dua orang saksi, selain daripada pendaftaran, yang hadir semasa perkahwinan itu diakad nikah”, ayat (3) “Catatan itu hendaklah kemudiannya ditandatangani oleh pendaftaran itu”. Di Negara Brunei Darussalam Poligami diatur dalam Hukum Keluarga Islam Negara Brunei Darussalam No. 217 Pasal 23, sedangkan dalam hal 85 Pencatatan Perkawinan diatur dalam Pasal 143 ayat (1) yang berbunyi “Dalam jangka tujuh hari setelah melakukan akad nikah para pihak diharuskan melapor perkawinan tersebut, yang boleh jadi para pasangan atau wali” Kedua, Di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam mempunya perbedaan dalam memberi sanksi dalam pelanggaran Pencatatan Perkawinan dan Poligami, jika di malaysia seorang melanggar Pencatatan Perkawinan dan Poligami itu bisa di kenakan sanksi denda sebanyak satu ribu Ringgit atau penjara tidak lebih dari enam bulan, sedangkan di Negara Brunei Darussalam bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi penjara atau denda sebesar $200. walaupun sanksi yang diberikan kepada pelanggar Pencatatan Perkawinan dan Poligami hampir sama, yaitu berupa kurungan atau denda namun ada perbedaan yang signifikan antara ketiga negara. Yang mana jika di Malaysia dan Brunei sanksi yang diberikan itu dijatuhkan untuk si pelaku, tetapi jika di Indonesia sanksi di berikan oleh pegawai yang mengurus hal tersebut. Sungguh jelas ini menjadi perbedaan yang sangat signifikan, sehingga di Indonesia banyak terjadi pelanggaran dikarenakan bukan sipelaku yang dikenakan sanksi namu malah pegawai yang mengurus hal tersebut. Ketiga, Faktor yang mempegaruhi perbedaan pearturan dalam sanksi Poligami dan Pencatatan Perkawinan, disebabkan oleh letak daerah masingmasing negara dan juga faktor sejarah terbentuknya Undang-Undang. Khususnya tentang Hukum Keluarga 86 B. SARAN 1. Diharapkan kepada pemerintah atau pihak-pihak yang berwenag, untuk mengoreksi kembali UU Perkwinan khususnya maslah sanksi yang ditetapkan baik untuk snaksi pelangaran Pencatatan Perkawinan dan Poligami, sehingga bisa meminimalisir pelanggaran yang terjadi. 2. Dan memberi pemahaman kepada Masyarakat umum tentang pentingnya menjalanin hukum Perkawinan, agar tidak ada lagi alasan bagi masyarakat untuk tidak tahu UU khsusnya Perkawinan.