SANKSI PERATURAN TERHADAP ATURAN

advertisement
SANKSI PERATURAN TERHADAP ATURAN POLIGAMI DAN
PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA, MALAYSIA, DAN
NEGARA BRUNEI DARUSSALAM
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Fajar Devan Afrizon
1112044100081
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
ABSTRAK
FAJAR DEVAN AFRIZON, NIM: 1112044100081, SANKSI PELANGGARAN
TERHADAP ATURAN POLIGAMI DAN PENCATATAN PERKAWINAN DI
INDONESIA, MALAYSIA, DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM. Konsentrasi
Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016 M /1348. X+ 91 Halaman
Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam adalah negara-negara yang termasuk
dalam bagian Asia Tenggara, yang mana ketiga negara ini serumpun dan penduduknya
banyak yang menganut agama Islam. Dan yang kita ketahui Islam mengenal yang namanya
Poligami yang berati mempunyai istri lebih dari satu, namun berpoligami tidak mudah seperti
yang diperkirakan, dalam berpoligami kita harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan dalam UU Pernikahan No. 1 Th 1974 dan juga di atur dalam KHI, dalam
prakteknya masih banyak orang yang melanggar mungkin karena sanksi yang diterapkan
belum memberikan efek jera sehingga seringkali terjadi pelanggaran. Selain Poligami di
dalam dunia pernikahan kita megenal yang namanya Pencatatan Pernikahan sebagai salah
satu syarat sahnya Perkawinan, dan yang bertugas dalam hal ini adalah Pegawai Pencatatan,
jika seseorang tidak melakukan pencatatan maka dia termasuk melanggar yang mana itu di
jelaskan dalam UU Pernikahan No 1 Th 1974 pasal 2 ayat (2), dan lagi-lagi masih banyak
yang melanggar dalam hal ini.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan pendekatan yuridis
normatif dengan sfesifikasi penelitian yaitu deskripsi analitis. Tehnik pengumpulan data yang
dugunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan data
skunder berupa buku-buku, kitab-kitab, dan karya tulis ilmiah. Data yang diperoleh kemudian
kemudian dianalisis secara kualitatif.
Dari hasil penelitian penulis maka ada temuan yaitu, Di Indonesia, Malaysia, dan
Negara Brunei Darussalam mempunya perbedaan dalam memberi sanksi dalam pelanggaran
Pencatatan Perkawinan dan Poligami, jika di malaysia seorang melanggar Pencatatan
Perkawinan dan Poligami itu bisa di kenakan sanksi denda sebanyak satu ribu Ringgit atau
penjara tidak lebih dari enam bulan, sedangkan di Negara Brunei Darussalam bagi yang
melanggar akan dikenakan sanksi penjara atau denda sebesar $200.
walaupun sanksi yang diberikan kepada pelanggar Pencatatan Perkawinan dan
Poligami hampir sama, yaitu berupa kurungan atau denda namun ada perbedaan yang
signifikan antara ketiga negara. Yang mana jika di Malaysia dan Brunei sanksi yang
diberikan itu dijatuhkan untuk si pelaku, sanksi berupa kurungan dan denda sedangkan di
Indonesia hanya dengan denda saja.
Kata Kunci : Sanksi Pelanggaran Terhadap Aturan Poligami dan Pencatatan Pekawinan di
Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam
Pembimbing : Dr.H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H,M.H
Daftar Pustaka : Tahun 1976 s.d Tahun 2013
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah,
dan Bapak Arif Furqon, M.A. sekretaris Program Studi Ahwal
Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, SH, MH, MA sebagai dosen pembimbing,
yang telah begitu bijaksana memberikan ilmunya kepada penulis ditengah
kesibukan yang padat, serta membimbing penulis dengan sabar agar
penulis ini selesai dengan baik dan juga bermanfaat.
5. Terimakasih juga kepada para penguji bapak Dr. Djuaini Syukri, Lc., MA
dan bapak Drs. Sirril Wafa, MA sehingga menjadikan skripsi ini menjadi
lebih baik.
6. Bapak/Ibu dosen Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negri
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu
dan ahlak yang tidak ternilai harganya. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Segenap staff akademik dan staff perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum dan staff Perpustakaan Umum Universitas Islam Negri Syarif
Hidatullah Jakarta.
8. Saudara dan saudari penulis, Darmawan Setiawan Afrizon, dan Aria
Abdurrahman Afrizon yang turut memberikan motivasi.
vii
9. Sahabat terdekat penulis; Miqdad Rikanie, Eko Saputro, Maulidian DS,
Novan Danurwindo, Achmad Jamalulael, Mutiara Indana Zulfa, Yahdi, M.
Muhidin Prakoso, Ai Sri Maryani, Rahmat Abdullah, Muhammad Rifki
Mawali Lubis, Faizah Zatul Hilmi dan semua Sahabat yang tidak bisa
disebutkan satu persatu selalu memberikan bantuan dan motivasi,
10. Para teman-teman Alumni 2010 Pondok Modren Gontor, para Sahabat
Sahabati PMII, Semua teman-teman dosen alumni Kahfi BBC Motivator
School, teman-teman di Komunitas TI (Tim Ilustrasi), LBS Indonesia,
IKPM Bekasi, Konsulat Bekasi, Guru-guru Pramuka di SD AL- Azhar
Jagakarsa, Rakkay Bagero yang turut memberikan motivasi dan ilmu yang
bermanfaat dalam membantu menyelesaikan skripsi.
11. Teman-teman Hukum Keluarga angkatan 2012 yang memberikan saran
dan motivasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi.
12. Dan untuk yang selalu menjadi inspirasi saya K.H. Hasan Abdullah Sahal,
K.H. Abdullah Syukri Zarkasyih, K.H. Samsul Hadi Abdan, Dr.Hj.
Mesraini, M.Ag, Tubagus Wahyudy, ST, MSI, MCHt, CHI
13. Dan semua pihak yang telah membantu memberikan kontribusi terhadap
penyelesain skripsi ini dan tiak dapat disebutkan satu persatu namun tidak
mengurangi rasa hormat penulis. Terimakasih dan semoga masukkan dan
bantuannya di catat oleh Allah sebagai pahala disisi-Nya. Amiin. Dan
semoga bermanfaat bagi semuanya, Amiin.
Jakarta, 4 Oktober 2016
FAJAR DEVAN AFRIZON
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI................................................................................................ x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................... 10
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ............. 10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................... 11
E. Review Studi Terdahulu ................................................. 13
F. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan ....................... 14
G. Sistematika Penulisan ..................................................... 15
BAB II
PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA,
MALAYSIA, DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM
A. Hukum Keluarga Islam di Indonesia ................................ 17
1. Pembentukan Hukum Keluarga Islam ..................... 17
x
2. Hukum keluarga Islam dalam peraturan Perundangundangan di Negara Indonesia ................................ 21
B. Hukum Keluarga Islam Malaysia ..................................... 24
1. Pembentukan Hukum Keluarga Islam ..................... 24
2. Hukum Keluarga Islam dalam peraturan Perundangundangan di Malaysia .............................................. 26
C. Hukum Keluarga Islam Negara Brunei Darussalam...........28
1. Pembentukan Hukum Keluarga Islam .................... 28
2. Hukum Keluarga Islam dalam peraturan Perundangundangan di Negara Brunei Darussalam ................. 28
BAB III
KETENTUAN POLIGAMI DAN PENCATATAN
PERKAWINAN
A. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Fiqih konvenSional ................................................................................ 32
1. Pencatatan Perkawinan ............................................ 32
2. Poligami ................................................................... 33
B. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundangundangan di Indonesia ...................................................... 39
1. Pencatatan Perkawinan ........................................... 39
2. Poligami .................................................................. 42
C. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundangundangan di Malaysia ....................................................... 46
xi
1. Pencatatan Perkawinan ............................................ 46
2. Poligami ................................................................... 47
D. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundangundangan di Negara Brunei Darussalam .......................... 49
1. Pencatatan Perkawinan ............................................ 49
2. Poligami ................................................................... 51
BAB IV
ANALISIS SANKSI PENCATATAN PERKAWINAN DAN
POLIGAMI DI INDONESIA, MALAYSIA, DAN NEGARA
BRUNEI DARUSSALAM
A. Sanksi Pencatatan Perkawinan dan Poligami di Indonesia,
Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ....................... 53
1. Indonesia .................................................................. 53
2. Malaysia ................................................................... 56
3. Negara Brunei Darussalam ...................................... 58
B. Perbandingan Vertikal dan Diagonal Sanksi Pencatatan
Perkawinan dan Poligami di Indonesia, Malaysia, dan
Negara Brunei Darussalam ............................................... 60
1. Indonesia .................................................................. 60
a. Perkawinan : Fikih, Perundang-undangan
Indonesia dan Nasional ..................................... 62
b. Pencatatan Perkawinan ..................................... 63
c. Poligami ............................................................ 65
2. Malaysia ................................................................... 66
xii
a. Peranan Maslahat dalam Hukum Islam ............ 68
3. Negara Brunei Darussalam ...................................... 68
C. Prospek Hukum Keluarga di Indonesia, Malaysia, Negara
Brunei Darussalam............................................................. 71
1. Indonesia .................................................................. 71
a. Situasi Hukum ................................................... 73
b. Hukum Islam pada Zaman Ta’biin ................... 74
c. Pemberlakuan dan Perkembangan Hukum Islam
di Indonesia ....................................................... 77
2. Malaysia ................................................................... 77
a. Perkembangan Muktahir ................................... 78
3. Negara Brunei Darussalam ...................................... 79
a. Undang-undang untuk orang Islam di Brunei ... 80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 83
B. Saran.................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 87
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan satu-satunya sarana yang sah untuk membangun
sebuah rumah tangga dan melahirkan keturunan, sejalan dengan fitrah
manusia. Kehidupan dan peradaban manusia tidak akan berlanjut tanpa adanya
kesinambungan perkawinan dari setiap generasi ummat manusia.1 Nikah
adalah salah satu sendi pokok pergaulan bermasyarakat. Oleh karena itu,
agama memerintahkan kepada ummat-Nya untuk melangsungkan pernikahan
bagi yang sudah mampu, sehingga malapetaka yang diakibatkan oleh
perbuatan terlarang dapat dihindari.2
Pernikahan seperti pada Undang-Undang Pasal (1) bab I tentang
perkawinan adalah: “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pernikahan bertujuan mendirikan keluarga yang harmonis dan sejahtera,
artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya
keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni
kasih sayang antara anggota keluarganya.3
1
Hasbi Indra, Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 61.
2
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta:
elsas,
2008), h. 4.
3
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor: Kencana,2003), h. 22.
1
2
Melaksanakan perkawinan, lebih dahulu harus sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan seperti rukun nikah, apabila rukunnya tidak
lengkap maka perkawinan itu tidak sah. Adapun rukun nikah terdiri atas: calon
suami, calon isteri, wali, dua orang saksi, dan ijab qabul.4
Diatas sudah di jelaskan macam-macam rukun pernikahan, namun yang
akan penulis akan bahas adalah tetang sanksi dalam hukum keluarga. Para
kaum Muslim di tanah air, memposisikan hukum Islam di atas segala norma
nilai yang ada di sekelilingnya, posisi istimewa hukum Islam itu bertahan
dalam rentang waktu yang cukup panjang. Dari mulai kerajaan Islam, yang
diperankan oleh otoritas kerajaan, kemudia berada dalam tarik-ulur
kepentingan kekuasaan penjajah Belanda, dan terakhir masa kemerdekaan,
sampai lahirnya UU No. 1/ 1974 tentang Perkawinan. Dari rentang waktu
implementasi hukum perkawinan Indonesia itu menekankan “jaminan hukum”
atas status hubungan suami istri, jaminan hukum itu, bisa berupa ikatan yang
dianggap sah karena sebuah ijab-qobul, yang dilakukan oleh mempelai pria,
wali dan di hadapan saksi, meski tanpa pencatatan. Dan pada masa kelahiran
UU No. 1/ 1974, “jaminan hukum” itu ditegaskan dengan pencatatan. Ini
mempuyai implikasi hukum, khususnya, hukum perdata. Selain itu, hukum
perkawinan termasuk hukum yang paling sering bersentuhan dengan “rasa
keadilan” di dalam masyarakat Muslim Indonesia, pasalnya dengan hukum
perkawinan struktur sosial akan menjadi kuat dan matang ini karena keluarga
sebagai unit terkecil dan paling penting dalam masyarakat, lahir dan tiada
4
Peuno Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 125-126.
3
karena sebuah perkawinan. Dan dengan hukum perkawinan pula, banyak
terjadi asimilasi budaya di beberapa sudut tanah air, bahkan antara negara5.
RUU
tentang
perkawinan
mengatur
ketentuan-ketentuan
pokok
perkawinan yang bersifat nasional, tidak membedakan golongan atau suku
bangsa. Sementara RUU perkawinan umat Islam ditarik dari pengusulan. RRU
tersebut menarik perhatian masyarakat luas, terutama umat Islam. Seluruh
lapisan masyarakat terpanggil minatnya untuk memperhatikan RUU itu
dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut Taufik Abdullah, materi
RUU perkawinan yang diajukan pemerintah menyinggung “wilayah sakral”
agama yang begitu dijaga dengan ketat oleh pemeluknya [Taufik
Abdullah:1987]. Oleh karena itu, begitu naskah RUU perkawinan disampaikan
oleh pemerintah kepada DPR, belum lagi pemerintah menyampaikan
keterangan secara resmi pada sidang pleno DPR, reaksi terhadap RUU itu
sudah meletus dikalangan masyarakat. Mulanya riakan hanya DPR kemudian
merembes keluar, karena selembaran itu sudah terlebih dahulu didapatkan oleh
anggota DPR. Ini ditangkap dan digaungkan lagi oleh para ulama dan
mubaliq, dipublikasikan oleh media yang memungkinkan melalui dakwah,
khutbah-khutbah di masjid, ,maupun di media cetak6.
Satu tahun Indonesia merdeka, pembina’an Pengadilan Agama yang
semula
berada
dalam
Kementerian
Kehakiman
diserahkan
kepada
Kementerian Agama melalui peraturan pemerintah NO. 5 /SD/1946.
5
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasiaonal, (Jakarta Selatan: RMBooks, 2012) h. 78
6
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta Selatan: RMBOOKS, 2012) h. 92
4
Kemudian dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948, Pengadilan Agama
dimasukkan ke Pengadilan Umum. Namun menurut Hardi Djenawi Taher,
karena Undang-Undang tersebutn tidak sesuai dengan kesadaran hukum
masyarakat Indonesia sendiri, maka tidak pernah dinyatakan berlaku. Pada
perkembangan selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Darurat (UUDr) No.
1 Th. 1951, pemerintah menegaskan pendirianya untuk mempertahankan
Peradilan Agama, menghapus pengadilan Swapraja dan Peradilan Adat.
Sebagai pelaksanaan dari UUDr tersebut, kemudian pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 yang mengatur Pembentukan
Peradila Agama di luar Jawa Madura dan Klaimantan Selatan7.
Poligami adalah sebuah istilah dan sebuah realitas banyak manusia yang
terjebak dalam dialog dan perdebatan yang panjang mengenai poligami. Jika
dikaji pemicunya bukan karena pengaruh ketidak jelasan dalil-dalilnya
melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan para pihak yang
terlibat, dan buruknya dampak poligami yang dilakuan oleh kebanyakan
manusia. Dalam praktek poligami banyak contoh buruk dan merupakan relitas
poligami. Realitas seperti itu muncul dimana-mana. Persoalanya adalah
poligami yang dilaksanakan tidak sesuai dengan semangat dan tanggung
jawab yang seharusnya dimiliki oleh semua pihak yang berkepentingan.
Dengan kata lain poligami dilaksanakan tanpa peduli dengan syariatnya yang
7
Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta, 2002) h. 138
5
telah mengaturnya, seakan mereka lupa bahwa poligami pada saatnya juga
akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT8.
Di Indonesia melakukan poligami harus menempuh syarat-syarat dan
mekanisme yang harus dijalani, seperti yang tertera dalam Undang-Undang
Perkawinan No.1 Th 1974 BAB I Pasal : 4 yang berbunyi :
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih seorang sebagaimana
tersebut tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka
ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah
tempat tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Dan di Indonesia jika ingin melakukan pernikahan juga harus di catat supaya
sah di mata hukum, seperti yang tertera dalam Undang-undang Perkawinan No.
1 Th 1974 BAB I Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi : ‘Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undanan yang berlaku’.
88
Aedy Hasan, Poligami syariah dan Perjuagan Kaum Perempuan, (Bandung: Alfabeta,
2007), h. 61
6
Dari 2 ketentuan di atas tentang Poligami dan Pencatatan Nikah, dalam
Undang-undang perkawinan belum ada sanksi yang tegas yang tertera dalam
Undang-Undang.
Pada tahun 1957, ketika Undang-Undang persekutuan Malaysia di
Bicarakan menjelang kemerdekaan Malaysia, didalam draf rancangan UndangUndang tersebut tidak dicantumkan bahwa agama Islam adalah agama
persekutuan. Hakim Abdul Hamid salah seorang anggota sidang mengajukan
usulan agar agama Islam menjadi agama Negara, akan tetapi hasil akhir dari
pembahasan Undang-Undang tersebut tidak menyetujui usulan tersebut, juga
tidak disebutkan persekutuan Malaysia sebagai sebuah negara sekuler. Namum
melalui pertarungan yang cukup lama, akhirnya pengakuan atas Islam sebagai
agama resmi persekutuan dan hak menjalankan hukum Islam diakui dalam
Konstitusi Malaysia merdeka.
Malaysia merupakan yang mempunyai dua jenis undang-undang, yaitu :
Undang-undang Syariah dan Undang-undang sipil. Menurut Ahmad Ibrahim,
perubahan Undang-Undang pada awal kemerdekaan lebih banyak menyangkut
pengadministrasian, yurisdiksi dan kekuasaan pengadilan syariah 9 .
Sebelum datang Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Negara
Brunei Darussalam ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan
Hukum Kanun Brunei. Hukum Kanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa
pemerintahan Sultan Hasan (1605-1619 M) yang disempurnakan oelh Sultan
Jabbar (1619-1652 M). Pada tahun 1847 Inggris mulai mencampuri urusan
9
Ahmad Ibrahim, Perkembangan Kodifikasi Hukum di Malaysia, dalam Sudirman Teba,
Perkembangan Hukum Islam Terakhir di Asia Tenggara, (Bandung: Mizan, 1993), h. 100-101
7
bidang kekuasaan Mahkamah Kesultanan Brunei karena itu pada tahun inilah
hubungan resmi dengan Inggris dimulai. Pemerintahan Inggris di Brunei
semakin jauh mencampuri urusan Hukum Brunei setelah diadakan perjanjian
tahun 185610.
Undang-Undang Keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam Undangundang Majlis Ugama Islam dan Mahkamah kadi penggal 77 bentuk dan
kandunganya masih sama dengan Undang-undang Majlis Ugama Islam, Adat
Negeri dan Mahkamah Kadi No. 20/1955. Dalam Undang-undang tersebut
masalah hukum keluarga Islam diatur hanya 29 bab, yaitu dibawah aturan:
Marriage and Maintenance of Dependent di bagian VII yang dimulai dari pasal
157 sampai 16311.
Indonesia pun mempunyai sejarah yang berbeda dengan Malaysia dan
Negara Brunei Darussalam, terlepas dari perkembangan sejarah UndangUndang di Indonesia terutama Undang-Undang Perkawinan, selain pada itu,
keberhasilan umat Islam Indonesia dalam menggolkan RUU PA menjadi
Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, tidaklah berarti semua
persoalan yang berkaitan dengan implementasi hukum Islam di Indonesia
menjadi selesai. Ternyata persoalan krusial yang dihadapi adalah menempatkan
persoalan yang mereka hadapi.
Adalah gagasan Bustanul Arifin seorang Hakim Agung tampil dengan
gagasan perlunya membuat kompilasi hukum Islam. Gagasan tersebut
10
M. Atho Mudzar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modren, (Jakarta Selatan: Ciputat
Press, 2003) h. 178
11
M. Atho Mudzar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modren, (Jakarta Selatan: Ciputat
Press, 2003) h. 181-182
8
disepakati dan dibetuklah tim pelaksana proyek dengan surat keputusan
bersama (SKB) ketua mahkamah Agung RI dan Mentri Agama RI No.
07/KMA/1985. Dengan kerja keras anggota tim dan ulama-ulama, cendikiawan
yang terlibat didalamnya maka merumuskan KHI yang ditindak lanjuti dengan
keluarnya Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari beberapa Buku12.
Poligami merupakan satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak
di bicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan
berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologi bahkan
selalu dikaitkan dengan ketidak adilan gender. Bahkan penulis barat sering
mengklaim bahawa poligami adalah bukti ajaran Islam didalam bidang
perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Pada sisi lain,poligami di
kampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan
dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan selingkuh dan
prostitusi13.
Dan dalam penikahan harus juga melakukan Pencatatan Nikah yang di
lakukan di depan pegawa pencatat nikah, dalam hal ini sebagain syarat
Administrasi dalam perakwinan dan sebagai mempermudah dalam hal-hal
mengurus surat-menyurat dalam Administrasi, karena sekrang banyak seklai
yang melakukan perkawinan tanpa melakukan pencatatan perkawinan
fenomena ini bisa dibilang nikah sirih atau nikah dibawah tangan, dalam hal ini
12
Azhar Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Group, 2008) h. 29-31
13
Azhar Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2004) h. 155
9
menurut Agama sah Perkawinannya namun dalam ranah hukum tidak sah
karena tidak melakukan pencatatan.
Untuk itu perlu adanya perlindungan terhadap nasib perempuan dari
perbuatan dan perlakuan yang semena-mena dari kaum laki-laki. Dan yang
mendasari lahirnya Undang-Undang perkawinan adalah masalah perlindungan
terhadap nasib kaum hawa ini14.
Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam mempunyai banyak
kesamaan dari persamaan kultur sama-sama bangsa Melayu, terletak di daratan
Asia Tenggara. Tetapi dalam hal peraturan perundang-undangan khususnya
perundang-undangan hukum keluarga dan beberapa hal yang berbeda termasuk
dalam hukum materinya hal poligami dan pencatatan perkawinan dalam hal
sanksinya.
Bedasarkan uraian diatas, maka penulis bermasuk untuk mengangkat topik
tersebut dalam sebuah karya tulis yang berjudul “Sanksi Pelanggaran
Terhadap Aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia,
Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam”
14
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum,
(Jakarta: RMBooks, 2012) h. 157-158
10
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah di atas penulis mendapatkan identifikasi
masalah sebagai berikut :
1. Apa yang membedakan Hukum Keluarga Islam Indonesia,
Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ?
2. Faktor apa saja yang melatar belakangi perbedaan Hukum
Keluarga
Islam
Indonesia,
Malaysia,
dan
Negara
Brunei
Darussalam ?
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdirinya sebuah negara, mensyaratkan pentingnya sebuah
perundang-undangan, karena peraturan perundang-undanganlah sebab
negara dapat berjalan dijalan yang baik.
Malaysia sebagai Negara Federasi yang mempunyai beberapa
wilayah bagian negara, tentulah setiap Undang-Undang keluarga Islam
berbeda, mesti dibawah naungan Mahkamah Syariah. Negara Brunei
Darussalam pun pasti mempunyai perundang-undangan keluarganya
sendiri sebagai pengatur dalam negaranya sendiri, dan Indonesia yang kini
mempunyai
Undang-Undang Perkawinan
yang mengatur masalah
Perkawinan semua warga negara Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam
yang menjadi Kitab Rujukan para Hakim Agama mengambil suatu
keputusan untuk masalah perkawinan orang Islam.
11
Mengingat akan uraian di atas tentang keluarga Islam Indonesia, Malaysia,
dan Negara Brunei Darussalam yang memunyai aturan-aturan Hukum
Keluarga yang berbeda-beda, maka penulis membatasi masalah pada
skripsi ini yaitu tetang aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan dalam
Undang-Undang Keluarga Islam.
1. Perumusan Masalah
Selanjutnya untuk mempermudah pembahasan, maka hal tersebut dapat di
rumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1. Bagaimana aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan di
Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ?
2. Apa perbedaan dan perasamaan aturan atau sanksi dalam
Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Malaysia,
danNegara Brunei Darussalam ?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi perbedaan aturan atau
sangsi Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia,
Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Di sesuaikan dengan Rumusan penelitian, maka tujuan dari penelitian
ini yaitu:
1. Untuk mengetahui apa saja sanksi dalam aturan poligami dan
pencatatan perkawinan dalam hukum keluarga Islam Indonesia,
Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam.
12
2. Untuk mengetahui apa saja perbedaan dan persamaan Undangundang Keluarga Islam di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei
Darussalam.
3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi perbedaan
sangsi dalam aturan poligami dan pencatatan perkawinan di
Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam.
2. Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini dapat digunakan untuk beberapa
hal :
1. Sebagai input atau referensi bagi mahasiswa Fakultas Syariah dan
Hukum Khususnya Studi Hukum Keluarga, untuk mengetahu
beberapa perbedaan sanksi dalam aturan poligami dan pencatatan
perkawinan
di
Indonesia,
Malaysia,
dan
Negara
Brunei
Darussalam.
2. Bagi kalangan civitas akademisi, diharapkan penelitian akan
menambah khazanah keilmuan yang ada di Syariah dan Hukum
dan Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bagi masyarakat pada umunya, penelitian ini dapat menjadi
wawasan baru dan ilmu pengetahuan baru tentang sangsi dalam
aturan poligami dana pencatatan nikah di berbagai negara
khususnya Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam.
13
E. Review studi terdahulu
Dalam penulisan skripsi ini penulis juga meruuk kepada skripsiskripsi yang sudah terdahulu dengan subtansi pembahasan yang tentu
berbeda, diantaranya sebagi berikut :
Skripsi, Pencatatan Nikah Beda Agama di kantor Urusan Agama (KUA)
studi kasus KUA Kecamatan Cilandak, ditulis oleh Aqib Maimun Tahun
2010, pembahasan pada skripsi ini lebih memfokuskan kepada analisis
penetapan akta nikah pernikahan beda agama di KUA Kecamatan
Cilandak dan tidak menyinggung sama sekali tentang biaya pencatatan
nikah serta regulasinya.
Skripsi, Undang-undang Syariah dan Undang-undang Sipil di
Malaysia suatu perbandingan (studi perbandingan kewenangan Mahkamah
Syariah dan Mahakamah Sipil di Malaysia), ditulis oleh Aminudin Ramli
Tahun 2008. Pembahasanya menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan
antara kewenangan Mahkamah Syariah dan Mahkamah Sipil di Malaysia
serta kedudukan antara kedua mahkamah tersebut.
Skripsi, Efektivitas Peraturan Menteri Agama (PMA) No.11 Tahun
2007 Tentang Pencatatan Nikah di KUA Kecamatan Sukakarya Bekasi, di
tulis oleh Muhammad Muhiddin Tahun 2011, Skripsi ini mengungkap
tentang efektivitas PMA tentang pencatatn nikah serta konsep-konsep
pencatatan nikah.
14
F. Metode penelitian dan Teknik Penulisan
1. Jenis penelitian
Dalam penulisan ini, penulisan menggunakan metode penelitian
normatif, pada penelitian hukum normatif, peraturan Perundangundangan yang menjadi objek penelitian menjadi sumber data primer
dalam penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian hukum tertulis
yang dilakukan peneliti adalah melakuan, pengumpulan bahan-bahan
baik yang terpublikasi atau tidak berkenaan dengan bahan hukum
positif yang dikaji. Dalam penulisan skripsi ini, ini penulis lebih
memeilih studi kepustakaan. Penulis mencari bahan-bahan tulisan yang
berhubungan dengan hukum keluarga Islam.
2. Sumber data
penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam
mengumpulkan data, yakni sumber primer dan sumber sekunder.
Adapun rinci masing-masing sumber adalah :
a. Data primer disadarkan Undang-undang Hukum Keluarga Islam
Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam.
b. Data skunder merupakan data pendukung dan sumber primer, yang
berasal dari kepustakaan, buku-buku maupun data tertulis yang ada
relevansinya dengan judul skripsi ini.
15
1. Tehnik pengumpulan data
Tehnik pengumpulan data pada penelitian ini didasarkan
pada
riset
pustaka
(Library
Research)
yakni
proses
pengendifikasian secara sistematis penemuan-penemuan dan
analisis dokumen-dokumen yang membuat informasi diperoleh
bahan-bahan yang ada di perpustakaan, baik berupa arsip,
dokumen, majalah maupun lainya.
2. Tehnik Analisis data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis isi (Content Analisis) yaitu penguraian data melalui
katagorisasi, perbandingan dan pencarian sebab akibat baik
menggunakan analisis induktif maupun deduktif.
3. Teknik penulisan
Teknik penulisan skripsi ini didasarkan pada buku pedoman
penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2015.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan mendapatkan gambaran tentang
kerangka dan alur penulisan Skripsi ini, serta apa saja yang nanti akan di
bahas dalam Skripsi ini, maka penuis akan mengurai sistematika penulisan
skripsi ini sebagai berikut :
Pada bab pendahuluan akan di uraikan latar belakang penulisan
skripsi ini yang merupakan pijakan awal berfikir, disusul kemudian secara
16
berurutan penjelasan serta pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, review sudi terdahulu, metode penelitian, dan teknik
penulisan serta di tutup dengan sistematika penulisan ini.
Bab kedua dibahas tentang pembentukan hukum keluarga Islam
dan pembentukan hukum keluarga di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei
Darussalam.
Sedangkan di Bab ke tiga ini berisi tentang bagaimana pencatatan
nikah dan poligami dalam Fiqih Konvensional dan pencatatan nikah dalam
per undang-undangan di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam.
Dalam Bab ke IV ini berisi tentang sanksi pencatatan nikah dan
poligami di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalamkemudian
perbandingan Vertikal dan Diagonal sanksi pencatatan nikah dan poligami
di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam dan prospek
Hukum Keluarga di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam.
Pada bab terkahir akan disampaikan beberapa kesimpulan guna
menjawab beberapa pertanyaan yang mendasar dari permasalahan yang
ada di dalam skripsis ini. Tidak lupa pula penulis akan memberikan
beberapa saran-saran yang di perlukan sebagai catatan atas permasalahan
dlam skripsis ini yang di angkat.
BAB II
PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA, MALAYSIA,
NEGARA BRUNEI DARUSSALAM
A. Hukum keluarga Islam di Indonesia
1. Pembentukan Hukum Keluarga Islam
Para kaum Muslim di tanah air, memposisikan hukum Islam di atas segala
norma nilai yang ada di sekelilingnya. Posisi istimewa hukum islam itu,
bertahan di dalam rentang waktu cukup panjang. Dari mulai kerjaan Islam,
yang diperankan oleh otoritas kerajaan, kemudian berada dalam tarik-ulur
kepentingan kekuasaan penjajah Belanda, dan terakhir masa kemerdekaan,
sampai lahirnya UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan1.
Selain itu, hukum perkawinan termasuk hukum yang paling sering
bersentuhan dengan “rasa keadilan” di dalam masyarakat muslim Indonesia.
Pasalnya, dengan hukum perkawinan struktur sosial akan menjadi kuat dan
matang. Ini karena, keluarga sebagai unit terkecil dan paling penting dalam
masyarakat, lahir dan tiada karena sebuah perkawinan. Dan, dengan hukum
perkawinan pula, banyak terjadi asimilasi budaya di beberapa sudut tanah air,
bahkan antara negara2.
Setidaknya, pemberlakuan hukum Islam ini untuk dirinya sendiri seperti
hukum shalat, puasa, dan hukum makanan/minuman. Ketika orang Islam
1
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum,
(Jakarta: RMBooks, 2012) h. 77
2
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum,(Jakarta: RMBooks, 2012) h. 78
17
18
berkumpul dalam satu komunitas, maka biasanya ada seseorang yang ditugasi
untuk menyelesaikan persengketaan yang muncul di kalangan mereka. Dan
penyelesaian perkara masih dengan cara yang sederhana yaitu melalui hakam.
Secara kelembagaan, lembaga tahkim ini merupakan lembaga yang kali
pertama muncul di Indonesia. Dari lembaga tahkim kemudian diikuti dengan
lembaga ahl al-hilli wa al-aqd dalam bentuk peradilan adat, di mana para
hakim diangkat oleh rapat marga, nagari dan semacamnya. Setelah
terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, lembaga ini berubah
menjadi Peradilan Swapraja, yang kemudian berubah lagi menjadi Peradilan
Agama. Sedangkan bentuk dari lembaga perdilan ini disetiap daerah di
nusantara ini masing-masing berbeda3.
Sebelum Indonesia merdeka, hukum tertulis mengenai perkawinan bagi
golongan-golongan tertentu sudah ada. Yang jadi masalah adalah bagai warga
bumipuetra yang beragama Islam, tidak adanya aturan tersendiri yang
mengatur perkawinan, dan tidak ada UU tersendiri yang dapat dijadikan
patokan
dalam
pelaksanaan
akad
nikah
perkawinanya.
Masa
awal
kemerdekaan, keinginan membuat hukum dan peraturan perundang-undangan
yang berciri khas ke-Indonesiaan tetap ada. Undang-Undang ini hanya berlaku
untuk Jawa dan Madura. Uniknya, justru UU inilah yang pertama kali dibuat
3
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: RMBooks, 2012) h. 78
19
oleh bangsa Indonesia. Sayangnya UU perkawinan ini hanya berlaku untuk
wilayah Jawa dan Madura saja4.
Sebelum melangkah lebih jauh melihat proses munculnya Undang-undang
perkawinan ini, terlebih dahulu dikemukakan bagaimana tuntutan dibuatnya
Undang-undang perkawinan ini yang sejatinya telah ada sejak awal
kemerdekaan, sehingga dalam kerangka ini dapat dilihat bahwa Undangundang perkawinan yang disahkan oleh Orde Baru adalah kelanjutan dari
proses pembentukanya pada masa Orde Lama yang tidak mendapat hasil yang
signifikan5.
Ketidakpuasaan masyarakat atau perempuan secara lebih khusus ini
mendorong beberapa pihak tetap mendesak pemerintah untuk mengeluarkan
peraturan yang baru. Desakan-desakan yang diantaranya datang dari fraksi
Wanita di Parlemen direspon oleh Pemerintah, dalam dalam hal ini Mentri
Agama,
dengan
membentuk
panitaia
Penyelidik
Pertauran
Hukum
Perkawinan, Talak, dan Rujuk (NTR) yang bertugas meninjau RUU yang
selaras dengan keadaan zaman. Dari segala usul dan masukan, akhirnya
panitia ini berhasil membentuk suatu peraturan perkawinan yang mengatur
seluruh warga Indonesia, dengan tidak membedakan golongan, agama, ras,
suku bangsa, dan sesuai dengan pancasila. Selain itu, panitia ini juga
bermaksud menyusun peraturan khusus yang mengatur perkawinan yang tidak
tercakup dalam peraturan ini. Unifikasi ini dilakukan dengan mengambil
4
Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: RMBooks, 2012) h. 82
5
157
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h.
20
peraturan-peraturan yang telah ada dan berserakan sejak zaman kolonial,
termasuk pula didalamnya hukum-hukum yang berlaku dalam hukum adat6.
Ketika RUU yang disusun oleh panitai NTR ini telah selesai, pada Agustus
1945 ternyata Pemerintah hanya mengumumkan kepada parlemen tentang
dirumuskanya kembali UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk sehingga hal ini mengundang raeksi dari fron Wanita di
Parlemen. Apabila ditarik dari garis politik, adanya dua RUU ini adalah
karena adanya perpecahan antara dua kubu yang berkepentingan, yaitu dua
partai besar yang menduduki kabinet : PNI dan NU. Apabila diteliti secara
historis, pergumulan tersebut telah terjadi sejak lama, setidaknya ketika
Indonesia baru terbentuk. Pada masa penjajahan, pertentangan ini seolah
hilang karena adanya common enemy, tapi tidak sedamai itu ketika Indonesia
telah merdeka, kelompok-kelompok tersebut menjadi gerakan politik yang
masif dan saling memengaruhi7.
RUU
tentang
Perkawinan
mengatur
ketentuan-ketentuan
pokok
perkawinan yang bersifat nasional, tidak membedakan golongan atau suku
bangsa. Sementara RUU perkawinan umat Islam ditarik dari pengusulan. DPR
yang akan membahas RUU tersebut merupakan DPR yang terpilih dari hasil
pemilu 1971. RUU tersebut menarik perhatian masyarakat luas, terutama umat
Islam. Seluruh lapisan masyarakat terpanggil minatnya untuk memperhatikan
RUU tersebut karena ternyata banyak materi RUU perkawinan yang diajukan
6
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h.
7
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013)
158
h.161
21
pemerintah itu menyinggung wilayah sakral agama yang begitu dijaga ketat
oleh pemeluknya.
2. Hukum keluarga Islam dalam peraturan Perundang-undangan di
Negara Indonesia
Pasal 2 ayat 1 perkawinan adalah sah apabila dilakukan dihadapan
pegawai pencatat perkawinan. Pasal 3 ayat 2 pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum selanjutnya dalam UU ini disebut pengadilan, dapat memberi
izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari satu tanpa adanya batasan
jumlah istri. Pasal 7 ayat 1 perkawinan hanya diizinkan jika para pihak pria
sudah mencapai umur 21 tahun dan pihak wanita umur 18 tahun. Pasal 8
tentang larangan perkawinan dengan anak adopsi. Pasal 10 ayat 2 apabila
suami dan isteri telah bercerai untuk yang ke dua kalinya maka di antara
mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi. Pasal 11 ayat 2
perbedaan agama/kepecayaan tidak merupakan penghalang perkawinan. Pasal
12 bagi janda ditetapkan jangka waktu 306 hari. Pasal 13 ayat 2 bila
pertunangan itu mengakibatkan kehamilan maka pihak pria diharuskan kawin
dengan wanita itu jika disetujui oleh pihak wanita. (Pasal ini seolah olah
melegitimasi perzinahan). Pasal 37 (1) harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi milik bersama. Pasal 39 apabila pasangan bercerai maka,
harta benda dibagi sama antara bekas suami-istri. Pasal 46 poin c bekas suami
wajib memberikan biaya penghidupan kepada bekas istri selama ia masih
hidup dan belum kawin lagi. Pasal 49 anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan nasab dengan ayah nya. Pasal 62 pengangkatan anak
22
mengakibatkan putusnya hubungan keluarga antara anak yang diangkat
dengan keluarganya sedarah, semenda garis ke atas dan ke samping8.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, maka
ketentuan perkawinan yang diatur di Burgerlijk Wetboek (Kitab UndangUndang Hukum Perdata) tidak berlaku lagi. Hal ini berarti Undang-Undanng
Perkawinan akan menjadi sumber pokok bagi peraturan hukum perkawinan,
perceraian, dan rujuk yang berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia9.
Karena belum ada kompilasi di Indonesia, dalam praktik sering dijumpai
adanya keputusan pengadilan agama yang tidak seragam padahal kasusnya
sama. Masalah fiqih yang semestinya membawa rahmat malah menjadi
perpecahan.
Akhirnya pada tanggal 10 Juni 1991 dibuatlah Kompilasi Hukum Islam
yang dikeluarkan dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991.
Instruksi itu dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama Nomor 154
tanggal 22 juli 1991. Yang bertujuan untuk meunifikasi Hukum Islam yang
masih berserakan dalam berbagai kitab fiqih klasik, dan sebagai peraturan
khusus yang menjelaskan secara rinci bagaimana hukum perkawinan, wakaf,
warisan di Indonesia10.
Instruksi Presdien Nomor 1 tahun 1991 ini ditujukan kepada Menteri
Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang sudah
8
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional,(Jakarta: RMBooks, 2012) h. 102-103.
9
Usman Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006) h. 242.
10
Soedjati Zarkowi , Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia cet.I,
(Surabaya: Arkola, 1997), h. 16-17.
23
disepakati tersebut, sesuai dengan maksud penetapannya Instruksi Presiden
tersebut hanyalah mengatur tentang soal penyebarluasan Kompilasi Hukum
Islam yang telah diterima oleh para ulama dalam satu.
lokakarya nasional. Kompilasi ini dapat digunakan sebagai pedoman
dalam penyelesaian masalah-masalah di bidang perkawinan, waris dan wakaf.
Kedudukan KHI di sini hanyalah sebagai pedoman yang dipakai baik di
lingkungan Pengadilan Agama maupun warga masyarakat dalam bidang
hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.
Adapun hal-hal yang di atur dalam Hukum Keluarga yang tedapat dalam
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan adalah :
a. Dasar Perkawinan yang diatur dalam pasal 1-5
b. Syarat-syarat Perkawinan yang diatur dalam pasal 6-12
c. Pencegahan Perkawinan yang diatur dalam pasal 13- 21
d. Batalnya Perkawinan yang diatur dalam pasal 22- 28
e. Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam pasal 29
f. Hak dan kewajiban suami istri yang diatur dalam pasal 30- 34
g. Harta benda dalam perkawinan yang daitur dalam pasal 35-37
h. Putusnya perkawinan dan akibatnya yang diatur dalam pasal 38- 41
i. Kedudukan anak yang diatur dalam pasal 42-44
j. Hak dan kewajiban orang tua dan anak yang diatur dalam pasal 45- 49
k. Perwalian yang diatur dalam pasal 50- 54
l. Ketentuan lain-lain yang diatur dalam pasal 55- 63
24
B. HUKUM KELURAGA ISLAM MALAYSIA
1. Pembentukan hukum keluarga Islam
Malaysia merupakan Negara yang berbentuk fedral yang terdiri atas
beberapa negara bagian, yaitu: Johor, Kedah, Kelantan, Malaka, Negeri
Sembilan, Pahang, Perak, Perlis, Sabah, Sarawak, Selangor, dan Trengganu.
Agama yang diakui secara menyeluruh adalah Islam, meskipun eksistensi
agama lain masih dimungkinkan keberadaanya. Malaysia menggunakan
sistem hukum Inggris, meskipun Islam dan adat yang menjadi sumber
signifikan dalam hukum Nasional, terutama dalam hukum keluarga.
Sebelumnya Malaysia merupakan bagian dari Portugis dan Belanda, namun
pada 1942 kekuasaan protektorat Malaysia berpindah ke Inggris perjanjian
pada tahun 182411.
Ajaran Islam pada hakekatya terdiri dari dua ajaran pokok. Pertama ajaran
Islam yang bersifat absolut dan permanen. Kedua ajaran Islam yang bersifat
relatif dan tidak permanen, dapat berubah dan diubah-ubah. Termasuk
kelompok kedua ini adalah ajaran Islam yang dihasilkan melalui proses
ijtihad. Hal ini menunjukkan terbukanya peluang tentang kemungkinan
mengadakan perubahan dan pembaruan ajaran Islam yang bersifat relatif,
termasuk dalam bidang hukum. Hukum Islam dalam pengertian inilah yang
memberi kemungkinan epistimologi bahwa setiap wilayah yang dihuni umat
Islam dapat menerapkan hukum secara berbeda-beda. Kenyataan ini tercermin
pada kecenderungan sistem hukum di negara-negara Muslim dewasa ini. Hal
11
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontenporer, (Ciputat:
lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakrta, 2011) h. 234-235
25
ini bukan saja karena sistem politik yang dianut, melainkan juga oleh faktor
sejarah, sosiologi dan kultur dari masin-masing negara tersebut. Penerapan
hukum Islam diberbagai negara yang berpenduduk Muslim mempunyai corak
serta sistem yang satu dengan yang lainnya saling berbeda. Di negara yang
mayoritas penduduknya beragam Islam berbeda nuansanya dengan negara
yang relatif berimbang antara setiap pemeluknya, misalnya negara tersebut
memiliki pluralitas agama, dominasi penguasa atau”political will” juga amat
berpengaruh terhadap kebijaksanaan hukum suatu negara. Karenanya
implementasi hukum Islam di negara-negara Muslim bukan hanya terletak
pada seberapa banyak penganut Islam tetapi juga ditentukan oleh sistem yang
dikembangkan oleh negara tersebut. Malaysia merupakan salah satu negara
yang mempunyai posisi cukup penting di dunia Islam karena kiprah
keIslamannya. Berbagai proses Islamisasi di negeri Jiran ini tentu tidak terjadi
begitu saja, melainkan didahului oleh pencarian dan pergulatan yang panjang,
meskipun penduduknya tidak sebanyak penduduk di Indonesia, bahkan
hampir separuh dari keseluruhan warganya adalah non Muslim yang
didominasi oleh etnik Cina dan India. Namun demikian Malaysia telah tampil
di pentas dunia internasional dengan nuansa serta simbol Islam yang begitu
melekat, termasuk dalam kebijakan perundang-undangan banyak diwarnai
oleh jiwa keIslaman12.
12
https://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/27/penerapan-hukum-islam-di-malaysia/
jam 22:50 hari saptu tanggal 11 bulan 6
26
2. Hukum keluarga Islam dalam peraturan Perundang-undangan di
Negara Malaysia
Sebagai hukum yang hidup yang sesuai dalam kehidupan umat Islam,
maka hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan umat, sehingga
hukum Islam tidak lagi dirasakan sebagai norma-norma hukum yang
dipaksakan dari luar diri masing-masing pemeluknya.
Jika diamati, maka implementasi hukum Islam di Malaysia, tampak dari
kodifikasi yang dilakukan yang telah melewati tiga fase, masing-masing
periode Melayu, penjajahan Inggris, serta fase kemerdekaan. Kodifikasi
hukum paling awal termuat dalam prasasti Trengganu yang di tulis dalam
aksara Jawi, memuat daftar singkat mengenai sepuluh aturan dan bagi siapa
yang melangarnya akan mendapat hukuman. Selain kodifikasi hukum tersebut,
juga terdapat buku aturan hukum yang singkat, salah satu diantaranya adalah
Risalah Hukum Kanun atau buku Hukum Singkat Malaka yang memuat aturan
Hukum Perdata dan Pidana Islam. Pada fase penjajahan Inggris, posisi hukum
Islam sebagai dasar negara berubah. Administrasi hukum Islam dibatasi pada
hukum keluarga dan beberapa masalah tentang pelanggaran agama. Pada fase
awal kemerdekaan Malaysia, pengaruh serta pakar hukum Inggris masih
begitu kuat, namun di beberapa negara bagian telah diundangkan undangundang baru mengenai administrasi hukum Islam. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan pendasaran konstitusi serta wewengan pada Majelis Agama
Islam, Departemen Agama, dan Pengadilan Syari’ah. Pada dekade 80-an telah
diupayakan perbaikan hukum Islam di berbagai negara bagian. Untuk itu,
27
sebuah konferensi nasionasl telah diadakan di Kedah untuk membicarakan
hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum pidana. Maka
dibentuklah sebuah komite yang terdiri dari ahli hukum Islam dan anggota
bantuan hukum, kemudian mereka dikirim ke berbagai negara Islam untuk
mempelajari hukum Islam dan penerapannya di negara-negara tersebut.
Sebagai wujud perhatian pemerintah federal kepada hukum Islam, maka pada
saat yang sama dibentuk beberapa komite diantaranya bertujuan untuk
menelaah struktur, yuridiksi, dan wewenang Pengadilan Syari’ah dan
merekomendasikan pemberian wewenang dan kedudukan yang lebih besar
kepada hakim Pengadilan Syaria’ah, mempertimbangkan suatu kitab UU
hukum keluarga Islam yang baru guna mengantikan yang lama sebagai
penyeragaman
UU di negara-negara bagian. Dan salah satu komite juga
mempertimbangkan proposal adaptasi hukum acara pidana dan perdata bagi
Pengadilan Syari’ah. Sebagai hasilnya, beberapa UU telah ditetapkan yaitu 13 :
Administrasi Hukum Islam.
1. UU Administrasi Pengadilan Kelantan, 1982.
2. UU Mahkamah Syari’ah Kedah, 1983.
3. UU Administrasi Hukum Islam Wilayah Federal, 1985.
Hukum Keluarga.
1. UU Hukum Keluarga Islam Kelantan, 1983.
2. UU Hukum Keluarga Islam Negeri Sembilan, 1983.
13
https://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/27/penerapan-hukum-islam-di-malaysia/
jam 22:50 hari saptu tanggal 11 bulan 6
28
3. UU Hukum Keluarga Islam Malaka, 1983.
4. UU Hukum Keluarga Islam Selangor, 1984.
5. UU Hukum Keluarga Islam Perak ,1984.
6. UU Hukum Keluarga Islam Kedah, 1984.
7. UU Hukum Keluarga Islam Wilayah Federal, 1984.
8. UU Hukum Keluarga Islam Penang, 1985.
9. UU Hukum Keluarga Islam Trengganu, 1985.
10. Acara Pidana.
C. HUKUM KELUARGA ISLAM NEGARA BRUNEI DARUSSALAM
1. Pembentukan hukum keluarga Islam
Sebelum datang Inggris, Undang-undang yang dilaksanakan di Negara
Brunei Darussalam ialah Undang-undang Islam yang telah dikanunkan
dengan Hukum Kanun Brunei. Hukum Kanun Brunei tersebut sudah ditulis
pada masa Pemerintaha Sultan Hasan (1605-1619 M) yang disempurnakan
oleh sultan Jalilu Jabbar (1619-1652 M). Pada tahun 1847 Inggris mulai
mencampuri urusan bidang kekuasaan Mahkamah Kesultanan Brunei
karena pada tahun inilah hubngan resmi dengan Inggris dimulai.
Pemerintahan Inggrissemakin jauh mencampuri urusan hukum Brunei
setelah diadakan perjanjian tahun 1856, dengan perjanjian ini Inggris
29
merasa mempunyai saluran untuk intervensi dalam masalah keadilan dan
kehakiman Kesultanan Brunei14.
Diperkirakan Islam mulai diperkenalkan di Brunei Darussalam pada tahun
1977 melalui jalur Timur Asia Tenggara oleh pedagang-pedagang dari Cina.
Islam telah menjadi agama resmi negara semenjak Raja Awang Alak Betatar
masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Shah (1406-1408). Pada
masa Sultan Hassan (Sultan ke-9) dilakukan revisi pada beberapa hal
menyangkut tata pemerintahan yaitu: 1) menyusun institusi-institusi
pemerintahan agama, karena agama dianggap memainkan peranan penting
dalam memandu negara Brunei ke arah kesejahteraan. 2) menyusun adatistiadat yang dipakai dalam semua upacara, baik suka maupun duka,
disamping menciptakan atribut kebesaran dan perhiasan raja; 3) menguatkan
undang-undang Islam, yaitu hukum Qanun yang mengandung 46 pasal dan 6
bagian. Pada tahun 1888-1983 Brunei berada di bawah penguasaan Inggris.
Kemudian Brunei memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 31
Desember 198315.
Sultan telah melakukan usaha penyempurnaan pemerintah, antara lain
dengan membentuk Majelis Agama Islam atas dasar Undang-Undang Agama
dan Mahkamah kadi tahun 1955. Majelis ini bertugas menasehati sultan dalam
masalah agama Islam. Langkah ini yang ditempuh sultan adalah menjadikan
14
Atho khairuddin, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modren, (Jakarta: Ciputat Press,
2003) h. 178
15
Redaksi Ensiklopedia, Ensiklopedia Islam, h. 250
30
Islam benar-benar berfungsi sebagai pandangan hidup rakyat Brunei dan satusatunya ideologi negara16
2. Hukum keluarga Islam
Sebelum datangnya Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei
ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan hukum qanun
Brunei. Hukum Qanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa pemerintahan
Sultan Hassan (1605-1619 M) yang disempurnakan oleh Jalilul jabbar (16191652 M)17.
Negara Brunei Darussalam terus-menerus melakukan perombakan dan
pembaruan pada Peraturan-peraturan dan perundang-undangan, seperti pada
tahun 1912 majelis Masyuarat Negeri telah memproklamirkan keberlakuan
Undang-undang agama Islam yang dikenal dengan “Muhammadans Marriages
and
Divorce
diberlakukannya
Enactement.”
Sampai
Undang-undang
yang
Majelis
terakhir
Agama,
Adat
yaitu
dengan
Negeri
dan
Mahkamah Kadi tahun 1955, yang telah pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah
tahun itu berturut-turut undang-Undang mengalami amandemen yaitu mulai
tahun 1957, 1960, 1961, dan 196718.
16
Thohir Ajid, Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Dunia Islam (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 110
17
Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Mahkamah Syari’ah di Negara Brunei
Darussalam dan Permasalahannya, dalam Mimbar hukum No. 23 Tahun VI, 1995, h. 41-42
18
Tahir Mahmud, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analysis, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1978), h.198-199
31
Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, undang-undang
ini pun mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar
dengan akta Majelis Agama dan Mahkamah Kadin Penggal 7719.
Sebenarnya perundang-undangan ini, didasarkan pada perundangan yang
berlaku di negeri Kelantan dengan mengalami penyesuaian-penyesuaian
dengan kondisi Brunei. Peraturan ini ini terdiri dari:20
1. pendahuluan (Bagian I pasal 1-4)
2. Majelis Ugama Islam (Bagian II pasal 5-44)
3. Mahkamah syari’ah (Bagian III pasal 45-96)
4. Masalah Keuangan (Bagian IV pasal 97-122)
5. Masjid (Bagian V pasal 123-133)
6. Perkawinan dan perceraian (Bagian VI pasal 134-156)
7. Nafkah Tanggungan (Bagian VII pasal 157-163)
8. Muallaf (Bagian VIII pasal 164-168)
9. Kesalahan (Bagian IX pasal 169-195)
10. Perkara Umum (Bagian X pasal 196-204
19
Haji Salim bin Haji Besar, Pelaksanaan Undang-undang keluarga Islam di Negara
Brunei Darussalam dan Permasalahannya dalam Mimbar Hukum, h. 9-10
20
Tahir Mahmood,Family Law Reform in the muslim world, (Bombay: N.M. Tripathi pvt,
1972), Hlm. 198.
BAB III
KETENTUAN PENCATATAN PERKAWINAN DAN POLIGAMI
A. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Fiqih konvensional
1. Pencatatan Perkawinan
Pembahasan tentang pencatatn perkawinan dalam kitab-kitab Fiqih
konvensional tidak ditemukan. Sejauh ini hanya ditemukan konsep nikah sirri
dalam kitab al-Mudawwamah, karangan Sahnun (160-240/776-854), dan
pembahasan tentang fungsi saksin dalam perkawinan oleh Fukaha lain.
Masalah saksi yang oleh ulama lain menjadi subbahasan tersendiri, oleh
Sahnun hanya disinggung ketika membahas status hukum nikah sirri. Hal ini
memperkuat keyakinan, bahwa masalah pencatatn perkawinan memang erat
hubunganya dengan masalah saksi (fungsi saksi) dalam perkawinan.
Dalam kitab al-Mudawwamah ditulis, Imam Malik (93-179/172-789)
membedalan antara perakwinan sirri (nikah as-sirri) dan perakawinan yang
tidak disertai bukti (nikah bigairi al-bayyinah). Adapun nikah sirri adalah
nikah yang sengaja dirahasiakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
pernikahan tersebut. Hukum pernikahan seperti ini adalah tidak sah.
Sebaliknya , hukum pernikahan yang tidak ada bukti tetapi diumumkan
kepada khayalak ramai (masyarakat) adalah sah.
Dijelaskan juga bahwa perkawinan yang tidak ada bukti, tetapi ada
pengakuan, baik dari salah satu atau keduanya, adalah boleh (Ja’iz) dengan
32
33
cacatan disaksikan kemudian. Sebaliknya, perkawinan yang tidak ada saksi
dan tidak ada mahar adalah tidak sah (fasid) dan harus difasakh (mafsukh).
Tidak ada ketentuan dalam Fikih konvensional apakah sebuah pernikahan
harus atau perlu dicatatkan. Namun ada petunjuk al-Qur’an bahwa jika kamu
bertransaksi secara tidak tunai supaya ditulis atau dicatat. Jika hutang-piutang
saja perlu dicatat, bukankah pernikahan sebagai sebuah transaksi yang
istimewa dan agung lebih perlu unutk dicatat?. Maka UUP secara tegas
mengharuskan dalam pasal 2 ayat 2 UUP agar setiap pernikahan harus
dicatatkan. Bagi umat Islam pencatatan dilakukan oleh PPN ( Petugas pencatat
Nikah). Bagi non muslim pencatatan dilakukan di kantor catatan sipil. Bahkan
CLD KHI dengan tegas mengusulkan agar pencatatan menjadi salah
satu rukun pernikahan dan mengusulkan agar mereka yang menikah tanpa
mencatatkan dapat dikenai sanksi pidana1.
Aturan pencatatan ini ditengarai banayak pihak masih banyak dilanggar
alias kurang dipatuhi oleh sebagian umat Islam dengan alasan agama atau
ketentuan fikih tidak mengharuskan buat itu, sehingga pernikahan siri atau
bawah tangan masih cukup marak dilakukan.
2. Poligami
Penjelasan tentang asa perkawina tidak ditemukan secara tegas dalam
kitab al-Mabsut, yaitu sebuah kitab yang ditulis as-Sarakhsi (w. 483/1090)
dari mazhab Hanafi. Dalam kitab ini hanya ditulis, seorang suami yang
berpoligami harus berlaku adil terhadap para istrinya. Keharusan berlaku adil
1
https://mohmahfudz.wordpress.com/2014/11/27/pernikahan-dalam-kajian-fiqih-klasikdan-kontemporer/ hari selasa tanggal 21 bulan 6 jam 14:25
34
ini bedasarkan surah an-Nissa (4): 3 dan hadis dari A’isyah yang menceritakan
perlakuan yang adil dari Nabi kepada istrinya, ditambah dengan ancaman bagi
suami yang berpoligami tetapi tidak berlaku adil kepada para istrinya. Ketika
berbicara tentang hak dan kewajiban suami dan istri, al-Kasani (w. 587/1191)
juga dari mazhab Hanafi, menulis tentang kewajiban suami yang berpoligami,
yakni wajib berlaku adil tethadap istri-istrinya, dan mendapat perlakuan adil
ini menjadi hak istri.
Wahbah al-Zuhaily lebih menguatkan kepada pendapat yang menyatakan
bahwa maksimal isteri itu 4. Beliau beralasan bahwa 1 bulan ada 4 minggu
menjadikan kemudahan bagi laki- laki untuk membagi waktu bersama isteriisterinya pencurahan cinta dan kasih sayang akan lebih mudah dicurahkan
kepada isteri-isterinya dalam batas waktu tidak melebihi satu bulan. Untuk
beristeri lebih dari 4 itu ditakutkan berbuat aniaya dan lemah dalam memenihi
hak-hak para isteri. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa laki-laki yang
takut untuk tidak berlaku adil maka baginya lebih baik menikah dengan
seorang saja. Keadilan ini menyangkut pembagian waktu, jima’, dan nafaqah.
Pendapat maksimal 4 ini bukan berarti laki-laki boleh menikah lebih dari 1,
hal ini hanyalah merupakan pengecualian yang jarang sekali, bahkan beristeri
satu itu merupakan hal yang umum dan paling utama2.
Imam Syafi’i berkata : laki-laki budak tidak boleh menikahi wanita lebih
dari dua orang, demikian pula semua orang yang kemerdekaanya belum
sempurna. Hukum budak yang menikahi lebih dari dua wanita sama seperti
2
h. 165
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuh, juz 7 (Demaskus: Dār al-Fiqr, 1985),
35
hukum laki-laki merdeka yang menikahi lebih dari empat orang wanita, tidak
ada perbedaan antara keduanya. Apabila laki-laki merdeka menikahi empat
wanita, maka saya katakan, “Pernikahan yang terakhir harus dipisahkan, yakni
istri yang kelima dan seterusnya.” Demikian pula harus dipisahkan istri budak
yang lebih dari dua3.
Jika budak yang akan menikah dimiliki oleh dua orang, lalu salah seorang
majikan memberi izin untuk menikah dan yang satunya tidak memberi izin,
kemudian budak tersebut menikah, maka pernikahan ini mesti dibatalkan.
Pernikahan budak ini tidak sah hingga kedua majikan sama-sama memberi
izin4.
Menurut Sayyid Qutub, sebagiman yang dikutib oleh Quthbuddin Aibak
yaitu,
poligami
merupakan
suatu
perbuatan rukhsah yang dapat
dilakukan hanya dalam keadaan darurat yang dapat dialakukan hanya
dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini masih
disyaratkan harus bisa berbuat adil terhadap istri-istri dibidang nafkah,
mu’amalah, pergaulan dan pembagian malam. Bagi calon suami yang tidak
sanggup berbuat adil, maka diharuskan cukup menikahi satu orang istri saja,
sedangkan bagi suami yang sanggup berbuat adil, maka boleh berpoligami
dengan batasan maksimal hanya empat orang istri5.
3
Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab AL-Umm, Penerjemah Rosadi Imron, Amiruddin,
Awaluddin Imam, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2004), h. 384
4
Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab AL-Umm, Penerjemah Rosadi Imron, Amiruddin,
Awaluddin Imam, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2004), h. 385
5
Khutubuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Teras, 2009,) h. 74
36
Penerapan yang tidak baik dan tidak adanya perhatian yang sungguhsungguh atas ajaran Islam menjadi alasan utama bagi mereka yang ingin
mempersempit wilayah cakupan poligami; ketika seorang laki-laki dilarang
untuk berpoligami kecuali setelah lulus ujian penelitian yang dilakukan oleh
kehakiman dan instansi terkait yang memiliki wewenang dalam hal ini
berkenaan dengan kemampuannya secara materi. Instansi inilah yang
selajutnya berhak memberi izin kepadanya untuk menikahi lagi. Demikian ini
perlu dilakukan karena kehidupan berumah tangga memerlukan biaya yang
cukup tinggi. Apabila jumlah anggota keluarga bertambah dengan
berpoligami, tentunya beban yang harus ditanggung pihak laki-laki sebagai
kepala rumah tangga akan semakin berat. Suami bisa jadi tidak akan mampu
melaksanakan kewajibannya dalam memberi nafkah, mengasuh, dan mendidik
keluarganya agar menjadi anggota masyarakat yang baik, yang mampu
bangkit dan memikul beban tanggung jawab dan keperluan hidup sehari-hari.
Ketidakmampuan ini akan melahirkan kebodohan, semakin bertambahnya
angka penganguran, juga telantarnya sebagian besar masyarkat, sehingga para
pemuda yang ada hanya menjandi penyakit sosial yang merusak tatanan
masyarakat6.
Asy-Syekh Tbanthaawy Jauhary dalam kitab Tafsirnya; mengemukakan
hasil penelitian penulis Inggris di masa itu, yang mengatakan bahwa oarangorang Muslim istri lebih dari 10 orang, dengan pendapat yang sangat minim.
6
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 3, Penerjemah Harahap Amru Khairul, (Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2012) h. 364
37
Masing-masing istri itu mempunyai banyak anak, padahal kadang-kadang
tidak mendapatkan biaya hidup dari suaminya, maka penulis tersebut
menganggapnya seperti kehidupan ayam, selanjutnya Asy-Syekh Tbanthaawy
Jauhary mengemukakan kesimpulanya dari hasil penelitian penulis tersebut di
atas, dengan mengatakan : “ Dan sesungguhnya tim peneliti (bangsa Inggris)
menemukan data, bahwa orang-orang berpoligami di negara Islam (benua
Afrika) menunjukan hasil yang maksimal 5 orang yang berpoligami dalam
setiap 100 penduduk, dan minimal 3 orang yang berpoligami dalam setiap 100
penduduk”
kalau ada diantara orang Muslim yang berpoligami lebih dari 4
orang, apalagi kalau ekonominya lemah, maka hal itu termasuk oramg yang
menyeleweng dari ajaran Islam. Bahkan Asy-Syekh Thanthaawy Jauhary
sendiri mengherankan laki-laki yang berpoligami lebih dari satu orang,
sedangkan status ekonominya lemah. Sehingga ia mengatakan; bagaimana
seorang laki-laki dapat berpoligami, padahal kemampuan tenaga dan
ekonominya sangat terbatas7.
Sebagaimana haram bagi laki-laki menikahi istri yang kelima, jika di
bawahnya masih ada empat orang istri, haram pula menikahinya jika ia talak
salah satunya dan masih dalam iddah, karena hukumnya ia masih menjadi
istrinya. Imam Asy-Syafi’i berbeda pendapat menegenai hal ini, menurutnya
sah pernikahan dalam masa iddah talak ba’in karena terputusnya hubungan
istri sebab talak ba’in. Dalam kondisi ini wanita yang dinikahi bukan yang
kelima tapi yang keempat, karena wanita tercerai ba’in itu sudah keluar dari
7
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah Berbagi kasus yabg dihadapi Hukum Islam masa kini,
(Kalam Mulia, ) h. 52-53
38
istrinya. Berbeda dengan wanita yang tercerai talak raj’i, suami yang ingin
menikah untuk yang kelima disyaratkan telah habis masa iddah istri keempat.
Ia tidak halal menikahi yang kelima sebelum habis masa iddah-nya karena ia
masih dalam hukum istri. Talak raj’i tidak menghilangkan kehalalan dan
milik8.
Sebelum ayat 1-4 surat al-Nisa’ turun, perlakuan wali terhadap anak-anak
yatim yang di bawah pengasuhannya umumnya tidak berlaku adil. Banyak
wali yang ingin menikahi anak yatim untuk menguasai hartanya atau
menikahkan anak yatim tersebut dengan anaknya agar terjadi percampuran
harta yang dapat menambah kekayaannya. Bahkan ada wali yang menahan
anak yatim untuk tidak menikah, atau menikah tapi dengan calon pilihan si
wali agar si wali tersebut mendapat keuntungan dari pengurangan mahar,
belanja, dan si walipun tetap secara tak langsung terus menguasai hak- hak
perdata si yatim9.
B. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundang-undangan di
Indonesia
1. Pencatatan Perkawinan
Bagi umat Islam, keberadaan lembaga peradilan merupakan condition sine
quanon, yakni sesuatu yang mutlak adanya. Ia ada berbanding lurus dengan
adanya Islam dan pemeluknya. Sehingga di mana pun ada Islam dan
pemeluknya, maka maka disitu pasti ada lembaga peradilan. Karena ia
8
Azzam Muhammad Aziz Abdul dan Hawwas Sayyed Wahab Abdul, penerjemah Khon
Majid Abdul, Fiqih Munakahat Khitbah Nikah dan Talak, (Jakarta: Amzah, 2011) h. 169
9
Abdul Nashir Taufiq al-‘Atthar, Poligami Ditinjau dari Segi Agama Sosial dan
Perundang-Undangan (Jakarta: Bulan Bintang, 1976) h. 111.
39
berfungsi sebagai lembaga yang menyelesaikan persengketaan di antara
pemeluk Islam. Hal ini tercermin dari preseden munculnya bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, bahkan sudah
terlihat dalam bentuk lembaga pada masa sahabat dan sesudahnya, tentunya
dengan bentuk dan corak yang sederhana10.
Tedapat tiga aspek struktural yang melekat pada badan-badan peradilan.
Semuanya diatur dalam peraturan perundang undangan (UU Nomor 14 Tahun
1985, UU Nomor 2 Tahun 1989). Ketiga aspek adalah susunan pengadilan.
Kekuasaan pengadilan, dan hukum acara yang berlaku. Mengenai hukum
acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama,
diatur dalam BAB IV UU Nomor 7 Tahun 1989, mulai Pasal 54 sampai
dengan Pasal 10511.
Dalam perkawinan, pencatatan mutlak diperbelakukan. Adapun fungsi dan
kegunaan pencatatn adalah untuk memberi jaminan hukum terhadap
perkawinan yang dilakuan, bahwa perkawinan itu dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh, berdasarkan i’tikad baik, serta suami sebagai pihak yang
melakukan transaksi benar-benar akan menjalankan segala konsekuensi atau
akibat hukum dari perkawinan yang dilaksanakannya itu12.
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang
masing-masing suami istri mendapatkan salinanya, apabila terjadi perselisihan
10
Jaenal Aripin, Jejak langkah Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Kharisma
Putra Utama,2013) h.1
11
12
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 1998) h. 225
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta Selatan: RMBooks, 2012) h. 131
40
atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu pihak tidak bertanggung
jawab, maka yang lainya dapat melakukanya upaya hukum guna
mempertahankan atau memperboleh hak masing-masing. Karena dengan akta
tersebut, baik suami maupun isteri memiliki bukti otentik atas perubahan
hukum yang telah mereka lakukan13.
Menurut pasal 11 ayat 2 peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan
peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 tetang pencatatan perkawinan
bahwa perkawinan dianggap lebih tercatat secara resmi apabila akata
perkawianan telah ditandatangani oleh kedua mempelai, dua orang saksi,
pegawai dan bagi yang beragama Islam juga wali atau yangmewakilinya. Pada
11 ayat (3) dijelaskan bahwa dengan pencatatan akta perkawinan, maka
perkawinan telah tercatat secara resmi14.
Namum realitasnya, undang-undang tersebut tidak terimplementasiakn
atau terlaksana dengan baik. Masih banyak penyimpangan-penyimpangan
hukum yang dilakukan masyarakat
dalam beberpa kasus, misalnya
perkawinan tidak dicatatkan masih sering ditemukan dalam masyarakat.
Perkawinan seperti ini sangat merugikan terutama bagi perempuan. Padahal
jika ditela’ah makna dari perkawinan tersebut adalah ikatanyang kuat antara
13
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta Selatan: RMBooks, 2012) h. 132
14
Nurdin Amiur dan Taringan Akmal Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004) h. 126-129
41
seorang perempuan dan laki-laki yang tidak hanya disaksian oleh dua orang
saksi, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT15.
Perkawinan yang dilakukan tanpa prosedur pencatatan dikenal dengan
nikah sirih. Nikah siri menurut KHI tidak mempunyai kekuatan hukukm.
Nikah sirih dikatagorikan sebagai perkawinan haram dalam bentuk
compassianate marriage atau kawin kumpul kerbau. Perkawinan sirih sah
menurut agama,tetapi hak-haknya tidak dijamin oleh peraturan perundangundangan. Jika selama masa kawin sirih lahir seorang anak, maka anak
tersebut dianggap tidak sah oleh hukum, sehingga hanya mempunyai
hubungan keperdtaan dengan ibunya. Dengan kata lain, anak tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum (tidak diakui jika timbul masalah perdata)16.
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 di jelaskan dalam BAB 1 pasal 2 ayat (2)
yang berbunyi “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang
undangan yang berlaku”
UU No. 22 Tahun 1946 pasal 1 ayat (1), “Nikah dilakukan menurut agama
Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatat Nikah yang
diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehya. Talak dan
Rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut talak dan
rujuk, diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah”.
15
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009)
h.62
16
ABD Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2010) h. 298
42
Ketika menjelaskan hukuman bagi pasangan yang melakukan perkawinan
tanpa pengawasan disebutkan, maksud hukum bagi pasangan yang melanggar
adalah agar aturan administrasi ini diperhatikan tetapi tidak mengakibatkan
batalnyan perkawinan17.
2. Poligami
Kata poligami berasal dari Bahasa Yunani secara etimologis poligami
merupakan derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang
berarti istri atau pasangan. Jadi poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai
istri lebih dari satu orang secara bersamaan. Adapun secara terminologis,
poligami dapat dipahami sebagai suatu keadaan dimana seorang suami
memiliki istri lebih dari satu orang18.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata poligami diartikan
sistem perkawinan yang membolehkan seseorang mempunyai istri atau suami
lebih dari satu orang. Memoligami adalah menikahi seseorang sebagai istri
atau suami kedua ketiga dan seterusnya19.
Indonesia memiliki system hukum keluarga yang unik karena campuran
antara hukum Islam dan hokum adat. Di bawah pemerintahan Hindia Belanda
dan Jepang, hukum keluarga yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum
17
Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap
PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta:
Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012) h. 147
18
A. Rodli Makmun dan Evi Muafiah , Poligami dalam Penafsiran Muhammad
Syahrur,( Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009), h. 15
19
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Eds.
Empat, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008), h. 1089
43
adat yang dimodifikasi dengan hukum Islam. Hal ini telah diatur sejak tahun
1882 dengan peraturan tentang Peradilan Agama20.
Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor1 tahun 1974 merupakan
kelanjutan dari pen- jabaran UU No.1 tahun 1970 tentang Pokok- Pokok
Kekuasaan Kehakiman, khususnya untuk melengkapi hukum materil
Peradilan Agama. Oleh karena itu pula, Undang-Undang Perkawinan ini
dapatlah dikatakan sebagai langkah awal dari usaha legislasi hukum Islam di
Indonesia untuk kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Peradilan
Agama No. 7 tahun 1989 dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam.
Poligami adalah yang cukup dominan sebelum datangnya Islam, kemudian
datanglah Islam dengan membolehkan poligami ketika poligami tu merupakan
sistem yang sangat kuat di dalam kehdupan masyarkat Arab, yang
meruapakan konsekuensi dari tabiat biologi dan relitas mereka. Islam tidak
memisahkan antara kehidupan banggsa Arab ketika masih Jahiliyah dengan
kehidupan mereka setelah datangnya Islam, akan tetapi Islam hanya
membersihkan kehidupan Jahiliyah ini , sehingga tinggal yang baik-baik saja
kemudian menghapus dan meluruskan dengan lemah le,but dan penuh belas
kasih apa yang seharusnya dihapus dan diluruskan sesuai dengan tujuanya.
Islam yang lurus tidak melanggar Poligami, tetapi juga tidak membiarkannya
bebas tanpa aturan, akan tetapi Islam mengaturnya dengan syarat-syarat
20
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of
Law and religion, 1987), h. 205
44
Imaniyah yang jelas dalam hukum-hukum Al-Qur’an. Maka Islam membatasi
poligami hanya sampai empat orang, di mana zaman Jahiliyah dulu tampa
batas. Firman Allah21 :
‫ع‬
َ ‫ﺴﻄُﻮا ﻓِﻲ ا ْﻟﯿَﺘ َﺎﻣَﻰ ﻓَﺎ ْﻧ ِﻜﺤُﻮا ﻣَﺎ طَﺎبَ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻣِ ﻦَ اﻟ ِﻨّﺴَﺎءِ َﻣﺜْﻨَﻰ وَ ﺛ َُﻼثَ وَ رُ ﺑَﺎ‬
ِ ‫وَ إِنْ ﺧِ ْﻔﺘ ُ ْﻢ أ ﱠَﻻ ﺗ ُ ْﻘ‬
‫ﻓَﺈِنْ ﺧِ ْﻔﺘ ُ ْﻢ أ ﱠَﻻ ﺗ َ ْﻌ ِﺪﻟُﻮا ﻓَﻮَ اﺣِ ﺪَةً أ َوْ ﻣَﺎ َﻣﻠَﻜَﺖْ أ َ ْﯾﻤَﺎﻧُ ُﻜ ْﻢ ذَﻟِﻚَ أ َ ْدﻧَﻰ أ ﱠَﻻ ﺗَﻌُﻮﻟُﻮا‬
“Dan jika kalian takut tidak kan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (jika kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita
(lain) yang kami senangi dua, tiga, atau empat dan jika kalian takut tidak bisa
berlaku adil maka (nikahilah) seorang saja ata budak-budak yang kalian
miliki..” (An-Nisa: 3)
Diantara keagungan ayat ini tampak jelas bahwa bolehnya Poligamidan
pembatasanya dengan empat orang, datang dengan dibarengi kekhawatiran
berlaku zhalim kepada perempuan Yatim22.
Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/ madharat
daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature)
mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka menegeluh. Watak-watak
tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan
keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber
konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri
dan anak-anak dan istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak21
Karam Hilmi Farhat, Poligami dalam pandangan Islam, Nasrani, dan Yahudi, (Jakarta:
Darul Haq, 2007) h. 23
22
Karam Hilmi Farhat, Poligami dalam pandangan Islam, Nasrani, dan Yahudi, (Jakarta:
Darul Haq, 2007) h. 29
45
anaknya masing-masing. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut
Islam adalah monogami, seba dengan monogami akan mudah menetralisir
sifat/ watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga
yang monogami. Berberda dengan keluarga yang poligamis, orang akan
mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati/ dengki, dan
suka menegeluh dalamkadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan
keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu,
poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri
ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga
human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal
dunia, keturunan yang shaleh yang selalu berdoa untuknya. Maka dalam
keadaan istri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan keterangan medis
hasil laboratoris, suami diizinkan berpoligami denga syarat ia benar-benar
mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil
dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggal23.
Dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 4 ayat 1-2 yang berbunyi
“1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya” “2. Pengadilan
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat
23
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munukahat,(Jakarta: Kencana, 2010) h. 131
46
menjalankan kewajibannya sebagai istri b. Istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang dapat disembuhkan c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan”.
C. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundang-undangan di
Malaysia
a. Pencatatan perkawinan
Tidak berbeda dengan Indonesia, UU Hukum Keluarga Malaysia
menetapkan keharusan pencatatan perkawinan, selma perkawinan tersebut
sesuai dengan UU. Namun di sisi yang lain, UU masih membuka peluang
adanya perkawinan yang didasarkan kepada hukum Islam, yaitu jika
perkawinan tersebut dilakukan sesuai dengan hukum Syarak (Islam), dengan
putusan dari Pengadilan perkawinan tersebut dapat di catatkan. Meskipun
dengan ketentuan yang masih terbuka dan mengakui perkawinan menurut
Islam, UU Hukum Keluarga Malaysia sanksi bagi mereka yang dinyatakan
melanggar ketentuan dan kewajiban pendaftaran perkawinan, dengan ancaman
hukuman denda paling banyak 1000 ringgit atau dengan kurungan paling lama
bulan, dan/atau keduanya24.
UU Perak pasal 20 ayat (1, 2 dan 3), UU Serawak pasal 20 ayat (1, 2, dan
3), UU Kelantan pasal 21 ayat (2), UU Negeri Sembilan pasal 22 ayat (1, 2
dan 3), UU Pahang pasal 22 ayat (1, 2, dan 3), UU Persekutuan pasla 22 ayat
(1, 2 dan 3), UU Selangor pasal 22 ayat (1, 2, dan 3) dan UU Pinang pasal 22
ayat (1, 2, dan 3). Contoh teks UU Pinang pasal 22 ayat (1), “selepas sahaja
akadnikah
24
sesuatu
perkahwinan
dilakukan,
pendaftaran
hendaklah
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Kontenporer, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 264
47
mencatatkan butir-butir yang ditetapkan dan ta’liq yang ditetapkan atau ta’liq
lain bagi perkahwinan itu di dalam daftar perkawinan”, ayat (2) “Catatan itu
hendaklah diakusaksi oleh pihak-pihak kepada perkahwinan itu, oleh wali, dan
oleh dua orang saksi, selain daripada pendaftaran, yang hadir semasa
perkahwinan itu diakad nikah”, ayat (3) “Catatan itu hendaklah kemudiannya
ditandatangani oleh pendaftaran itu”.
b. Poligami
Mayoritas penduduk negara Malaysia (55%) adalah muslim bermazhab
Syafi’i. Negara ini terletak di Asia Tenggara dengan memakai bahasa Melayu
dan Inggris sebagai bahasa resmi negara. Pada masa pemerintahan Inggris di
akhir abad ke-19, semenanjung Malaka terdiri atas kerajaan- kerajaan kecil
dan
budaya Islam diberlakukan diseluruh negeri tersebut, seperti hukum
perkawinan, hukum perceraian, dan hukum waris25.
Berdasarkan undang-undang Perkawinan tentang boleh atau tidaknya
seorang laki-laki melakukan poligami, ada tiga hal penting yang dibicarakan,
yakni: (i) syarat-syarat, (ii) alasan-alasan pertimbangan boleh tidaknya
poligami, dan (iii) prosedur. Namun perlu dicatat, berbeda dengan perundangundangan Indonesia yang dengan tegas menyebut bahwa prinsip perkawinan
adalah monogami, dalam perundang-undangan Malaysia tidak ada penegasan
tentang prinsip perkawinan. Adapun syarat yang harus dioenuhi, semua
Undang-undang keluarga Malaysia mengharuskan adanya izin lebih dahulu
25
Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim, World, (Delhi: N.M Tripathi,
1972) h. 219
48
secara tertulis dari hakim (pengadilan). Hanya saja dalam rincianya ada sedikit
perbedaan, yang merupakan kelompok mayoritas, poligami tanpa izin lebih
dahulu dari pengadilan boleh didaftarkan dengan syarat lebih dahulu
membayar denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukaan26.
Kelompok pertama yang mayoritas adalah UU Negeri Sembilan pasal 23
ayat (1). UU Pinang pasal 23 ayat (1). UU Pahang pasal 23 ayat (1). UU
Selangor pasal 23 ayat (1). UU Wilayah Persekutuan pasal 23 ayat (1). Dan
UU Perak pasal 21 ayat (1). Contoh teks UU Perak pasal 21 ayat (1) berbunyi.
“Tiada seseorang lelaki boleh berkahwin dengan seorang lain dalam masa dia
masih beristrikan istrinya yang sedia ada kecuali dengan terlebih dahulu
mendapatkan kebenaran secara bertulis dari Hakim Syari’ah, dan jika dia
melakukan perkawinan tanpa kebenaran tersebut maka perkahwinan itu tidak
boleh didaftarkan di bawah Enakme ini ”. Dalam UU Perak pasal 21 ayat (1)
ada tambahan kalimat, “mendapatkan pengesahan lebih dahulu dari Hakim
bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istrinya”.
Kelompok kedua adalah UU Serawak dan UU Kelantan. Pada UU
Serawak pasal 21 ayat (1), ada kalimat “kalimat perkawinan itu hanya boleh
didaftrakan di bawah Ordinan ini teruntuk kepada seksyen 125”. Kalimat
tersebut sebagai ganti kalimat “maka perkahwinan itu tidak boleh didaftarkan
di bawah Enakme ini”, yang ada dalam pasal UU yang tidak membolehkan
pendaftaran secara mutlak tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan.
26
Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap
PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta:
Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012) h. 112
49
D. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundang-undangan di
Negara Brunei Darussalam
1. Pencatatan Perkawinan
Mirip dengan apa yang ditetapkan di Malaysia,
Negara Brunei
Darussalam juga menerapkan keharusan pencatatan yang dilakukan oleh
petugas Pencatat. Untuk menguatkan sistem pencatatan dan pendaftaran
perkawinan tersebut, Hukum Brunei mengancam setiap orang yang tidak
mencatat perkawinanya tanpa alasan yang dapat diterima denga denda
sebanyak $1000 dolar atau penjara paling lama 3 bulan dan/atau keduaduanya. Di samping itu, pasal 11 ayat (1) UU Hukum Keluarga Brunei tahun
1999 menetapkan bahwa perkawinan yang tidak mengikuti atau bertentangan
dengan UU tersebut tidak dapat dicatatkan menurut catatan resmi. Namun jika
beretntangan dengan UU, tetapi di sisi yang lain sesuai dengan hukum Islam,
maka perkawinan demikian dapat didaftarkan secara resmi melalui proses
pengadilan, dengan beberapa syarat, yaitu: 1) adanya wali yang menikahkan
sesuai dengan ketentuan Syariat Islam; dan 2) Hakim yang memutuskan
adalah berhak atas kewenangan hukumnya, bila kebolehan perkawinan itu
didasarkan kepada putusan Hakim27.
Dalam Undang-Undang Negara Brunei Darussalam, orang yang bisa
menjadi pendaftar nikah cerai selain Kadin Besar dan Kadin-kadin adalah
27
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Kontenporer, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 264
50
iman-imam setiap masjid, di samping imam-imam itu merupaan juru nikah
yang di beri tauliah untuk menjalankan setiap akad nikah28.
Agak berbeda dengan di Malaysia (berlaku di seluruh negara di Malaysia)
yang mewajibkan mendaftarkan pernikahan. Tetapi menurut hukum disana,
suatu pernikahan dengan tanpa mendaftar saja tidak bisa mejadikan
pernikahan tersebut sah. Ketentuan sah atau tidaknya hanya berdasarkan
hukum Islam, tetapi kelalaian mendaftar pernikahan merupakan sebuah
pelanggaran di sebagian besar negara di Malaysia29.
Brunei megharuskan adanya pendaftaran (pencatatan) perkawinan,
meskipun dilakukan setelah akad nikah, dan lewat pendaftaran inilah pegawai
pendaftaran memeriksa lengkap atau tidaknya syarat-syarat perkawinan. Bagi
pihak-pihak yang melakukan perkawinan tetapi tidak mendaftar, termasuk
pelangaran yang dapat dihukum dengan hukuman penjara atau denda30.
Pasal 143 ayat (1) “Dalam jangka 7 hari setelah melakukan akad nikah
para pihak diharuskan melaporkan perkawinan tersebut, yang boleh jadi para
pasangan atau wali”. Ayat (2) “Pencatatan wajib memeriksa apakah seluruh
persyaratan perkawinan sudah terpenuhi sebelum melakukan pencatatan”.
28
M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Dunia Islam Modren,
(Ciputat: Ciputat Press, 2003) h. 184
29
M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Dunia Islam Modren,
(Ciputat: Ciputat Press, 2003) h.185
30
Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap
PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta:
Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012) h. 152
51
2. Poligami
Dalam akta majlis Ugama Islam dan Mahkamah kadin Brunei, yang
berhubungan dengan perkawinan dan perceraian, secara khusus tidak ada
bahasa tentang poligami. Apa yang dilakukan Brunei adalah satu usaha agar
parkatek poligami jangan dilakukan sembarangan, yakni seorang yang akan
melakukan poligami harus memenuhisyarat-syarat yang ditetapkan hakim: (1)
ada alasan poligami (2) ada ikrar menunaikan tanggup jawab, khususnya
tentang nafkah istri dan anak-anak. Hanya perlu saja dicatat, karena ketetapan
ini bukan UU, terhadap orang yang tidak memenuhi syarat-syarat pun hakim
tidak dapat melarang praktek poligami. Tindakan hakim tersebut hanya satu
usaha memberikan jaminan kepada istri dan anak-anaknya. Sejalan dengan itu,
perlu dicatat bahwa poligami adalah salah satu penyebab terjadinya perceraian
di Brunei Darussalam, misalnya istri tidak mau dimadu atau suami tidak
bertanggung jawab tentang nafkah keluarga31.
Brunei terus-menerus melakukan perombakan dan pembaruan pada
Peraturan-peraturan dan perundang-undangan, seperti pada tahun 1912 majelis
Masyuarat Negeri telah memproklamirkan keberlakuan Undang-undang
agama Islam yang dikenal dengan “Muhammadans Marriages and Divorce
Enactement.” Sampai yang terakhir yaitu dengan diberlakukannya Undangundang Majelis Agama, Adat Negeri dan Mahkamah Kadin tahun 1955, yang
telah pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah tahun itu berturut-turut undang31
Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap
PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta:
Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012) h. 117
52
Undang mengalami amandemen yaitu mulai tahun 1957, 1960, 1961, dan
196732. Dan yang membahas poligami dalam Hukum Keluarga Islam Negara
Brunei Darussalam No 217 pasal (23) dan isinya sama denga pasal poligami di
Malaysia.
32
Tahir Mahmud, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analysis, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1978), Hlm.198-199
BAB IV
ANALISIS SANKSI PENCATATAN PERKAWINAN DAN POLIGAMI DI
INDONESIA, MALAYSIA, NEGARA BRUNEI DARUSSALAM
A. Sanksi pencatatan Perkawinan dan poligami di Indonesia, Malaysia,
Negara Brunei Darussalam
1. Indonesia
Diskursus penting dalam konteks negara hukum (rechtstaats) adalah
penegakan kehidupan hukum dalam masyarkat. Prespektif ini diyakinkan
tidak disebabkan kaitan paham negara hukum an sich, melainkan memandang
secara kritis kecendrungan yang akan terjadi dalam kehidupan bangsa yang
berkembang ke arah suatu tatanan masyarkat yang modren. Kondisi ini
menuntut adanya hukum yang berdimensi nasional yang membuat paradigma
lokal sekaligus mampu merespon dinamika masyarakat kekinian. Dalam
konteks bangsa yang tengah membangun, seperti halnya Indonesia, hukum
senantiasa diarahkan kepada upaya-upaya pencapaian taraf kehidupan yang
lebih baik dibanding pada masa sebelumnya1.
Perkawinan juga menjadi penunjang dan landasan bagi berkembangnya
masyarakat yang berperadaban. Dibutuhkan dua hal penting untuk menunjang
terwujudnya tujuan ini. Pertama, kerangka hukum yang menyeluruh dan
mampu melayani pelbagai aspek kebutuhan akan hukum yang tercakup dalam
1
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h. 2
53
54
pola kebudayaan dan, kedua, kepemimpinan yang mampu menerapkan
kerangka hukum tersebut secara tepat2.
Islam sendiri merupakan salah satu pilar terpenting yang diakui. Dengan
demikian, pencatatan perkawinan yang tidak pernah ada dalam kahazanah
Fiqih konvensional bahkan dalam tumpukan kitab yang mendasarkan pada
perkataan Rasulullah SAW, tetapi karena tujuan dan urgensinya untuk kontek
saat mendesak, maka tidak ada salahnya jika pencatatan perkawinan menjadi
salah satu komponen dasar perkawinan masyarakat modren suatu negara3.
Pencatatan perkawinan akan menjadi salah satu upaya meningkatkan
ketertiban dan kenyamanan setiap individu dalam melakukan hubungan
hukum, sehingga secara Islami tujuan perkawinan akan terwujud pula, dimana
Islam kali pertama datang menghancurkan semua bentuk perkawinan yang
mengarah kepada perusakan spesies manusia4.
Di Indonesia, regulasi pencatatan perkawinan telah ditetapkan tidak lama
setelah Indonesia merdeka, yakni diundangkanya Undang-undang Nomor 22
Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, rujuk. Dalam undang-undang ini
disebutkan bahwa perkawinan harus dilakukan pemberitahuan kepada
Pegawai Pencatat Nikah pasal 1 ayat (1). Dalam pasal 3 ayat (1) undangundang ini disebutkan, bahwa perkawinan yang tidak dicatat akan dihukum
2
Abul A’la al-Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, penerjemah Ahmad Rais,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995) h. 7
3
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013)
h.188
4
Musthafa al-Siba’i, Perempuan di antara Hukum Islam dan Perundang-undangan,
penerjemah Jemah Chadijah Nasution, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) h. 43-44
55
denda sebanyak Rp 50,- meskipun dalam penjelasanya undang-undang ini
ditekankan bahwa pencatatan sebagai syarat administrasi5.
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, pencatatan ini juga ditegaskan dalam peraturan Pemerintah No9 Th
1975 tentang peraturan pelaksanaannya, yang di antaranya disebutkan bahwa
bagi mereka yang melangsungkan pernikahan tetapi tidak memberitahukan
kepada Pegawai Pencatat Nikah, maka di denda sebanyak Rp 7.500, begitu
pula Pegawai Pencatat yang melakukan pelanggaran juga dikenakan hukuman
kurungan paling lama tiga bulan atau denda Rp 7.5006.
Sedangkan dalam Poligami terdapat hukuman bagi yang melanggarnya
yang sudah tertera dalam pasal, banyak sekali yang melanggar prosedur dalam
berpoliagmi dan penulis akan menjabarkan apa saja prosedur jika ingin
melakukan Poligami.
Yang pertama megajukan permohonan ke pengadilan yang tertera dalam
UU No. 1 Th 1974 pasal 4 ayat (1) “Dalam hal seorang suami akan beristri
lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) UndangUndang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya.” Itu semua dilakukan untuk memberi izin atau tidak
sekaligus meyakinkan kebenaran data-data yang ada.
5
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013)
h.190
6
Pasal 3 dan pasal 45 (1) PP Nomor 9/1975; Dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, pasal 5 (1) pun di jelaskan pencatatan sebagai ketertiban perkawinan.
56
Adapun orang yang melanggar aturan poligami tersebut adalah melanggar
peraturan yang berlaku dan dapat dihukum dengan hukuman denda setinggitingginya Rp 7.500,-7.
PP No. 9 Th 1975 pasal 45 ayat (2) “kecuali apabila ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka: (a) Barang siapa yang
melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat (3), 40 peraturan
Pemerintah dan hukum dengan hukuman denda setingi-tingginya Rp 7.500,-”
jumlah hukuman denda itu tentu harus dilihat dari nilainya, bukan dari
jumlahnya di mana UU dibuat pada tahun 1974.
2. Malaysia
Dalam Hukum Keluarga Malaysia pasal 22 ayat (1) menyebutkan, bahwa
seketika setelah akad kawin dilangsungkan, pegawai Pencatat langsung
menulis keterangan-keterangan yang didapatkan pada saat akad di dalam
Pendaftaran Perkawinan. Pencatatan ini meliputi beberapa hal, yaitu para
pihak yang melakukan perkawinan, wali yang menikahkan, dan dua orang
saksi selain dari Petugas Pencatat, yang semuanya hadir pada saat akad
perkawinan dilakukan. Keterangan ini kemudian ditandatangi oleh Petugas
Pencatat8.
Ulasan-ulasan tentang undang-undang awam Islam membawa kita kepada
pelbagi Enakme Negeri. Sejak tahun 1952, percubaan telah dibuat untuk
7
Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap
PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta:
Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012) h. 110
8
Ahmad Tholabi Kharlie, Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Ciputat, 2011) h. 240
57
mengikuti bentuk model perundagan dan perundangan yang pertama yang
coba mengikuti model tersebut ialah Enkame Pentadbiran Undang-undang
untuk orang Islam Selangor 19529.
UU Perak pasal 35, UU Selangor pasal 35, dan UU Pinang pasal 35.
Contoh teks UU Pinang pasal 35, “jika seseorang yang dikehendaki oleh
seksyen 31 hadir di dadapan seorang Pendaftaran tidak berbuat demikan
dalam masa yang ditetapkan, maka dia adalah melakukan suatu kesalahan dan
hendaklah dihukum denda tidak melebihi satu ribu ringgit atau penjara tidak
melebihi enam bulan atau kedua-duanya denda dan penjara itu”.
Suami yang melakukan poligami yang tidak sesuai dengan aturan
Perundang-undangan yang ditetapkan, secara umum dapat dikenai hukuman
berupa hukuman denda maksimal seribu ringgit atau kurungan maksimal
enam bulan atau keduanya, kecuali Serawak yang mencantumkan hukuman
denda maksimal tiga ribu ringgit atau penjara maksimal dua tahun. Di
samping itu. Suami tersebut masih harus membayar maskawin yang belum
dibayar dan pemberian yang pernah diberikan kepada istri-istri yang sedang
dipakai/dipinjam. Apabila suami yang bersangkutan tidak membayar, maka
maskawin itu dapat dituntut sebagai untang. Demikian juga, seorang suami
yang tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya dapat dikelompokan sebagai
orang yang melanggar hukum yang dapat dihukum dengan denda maksimal
seribu ringgit atau kurungan maksimal enam bulan atau keduanya10.
9
Hooker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, penerjemah Rohani Abdul Rahim,
Raja Rohana(Selangor Darul Ehsa: Dewa Bahasa dan Pustaka, 1991) h. 164
58
3. Negara Brunei Darussalam
Mayoritas penduduk Brunei Darussalam adalah Muslim yang menganut
aliran hukum Syafi’i, dengan beberapa penduduk dari Budha, Kristen, dan
beberapa penduduk yang menganut sistem keagamaan tradisional. Konstitusi
pertama Brunei disahkan pada tanggal 29 September 1059 dan pasal 3
menetapkan bahwa Islam sebagai agama resmi, yang mengikutin aliran hukum
Syafi’i. Struktur pemerintah Brunei Darussalam bertumpu pada Konstitusi,
yang ditulis bersama dengan tiga pilar filsafat nasional, yaitu Melayu, Islam,
dan Monarki. Dari hal tersebut, dapat diketahui bahwa Negara Brunei
Darussalam merupakan salah satu negara kerajaan Islam di utara Kalimantan
berbatasan dengan Laut Cina Selatan di utara, dan Serwak di barat, dan
timur11.
Sebelum datangnya Inggris ke Brunei Darussalam, hukum yang digunakan
di wilayah tersebut adalah hukum Islam, yang telah di undangkan melalui
Hukum Kanun Brunei yang ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hasan
pada abad ke-17 yang disempurnakan oleh Sultan Jalilul Jabbar pada priode
selanjutnya. Baru pada tahun 1847 Inggris mencampuri urusan peradilan di
Brunei Darussalam, terutama setelah perjanjian tahun 1888. Perjanjian
selanjutnya, yaitu pada tahun 1906, Inggris memiliki kewenangan lebih besar
dalam peraturan perundang-undangan, pengurusan keadilan dan kekuasaan
10
Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap
PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta:
Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012) h. 116
11
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syaripuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Kontenporer (Ciputat: lembaga penelitian UIN jakarta, 2011) h. 225
59
kehakiman, masalah Negara dan pemerintah kecuali dalam perkara-perkara
hukum Islam. Dengan ketidak jelasan hukum Islam dan adat yang ada
masyarakat, Kesultanan Brunei membuat suatu petisi yang bernama
pesuruhjaya British pada Juli 1906, yang isinya antara lain adalah : 1) setiap
kasus yang berkaitan dengan agama Islam oleh hakim-hakim setempat 2)
meminta agar adat-adat dan undang-undang setempat tidak diubah,
dipindahkan, atau dilanggar selamanya12.
Pasal 180 (1) “Seorang yang seharusnya tetapi tidak melaporkan
perkaiwnan atau perceraian kepada pegawai pencatatan adalah satu
pelanggaran yang adapat mengakibatkan dihukum dengan penjara atau denda
$200”.
Dalam konteks poligami, UU Brunei menetapkan bahwa seorang laki-laki
yang telah menikah tidak boleh menikah dengan perempuan lain kecuali
setelah mendapatkan persetujuan Hakim Syariat dengan formulir yang telah
ditetapkan. Permohonan yang disampaikan kepada Hakim Syariat ini
dinyatakan secara lisan dan tulisan, termasuk pula memasukan alasan-alasan
yang mendorongnya untuk melakukan poligami, kemampuan finansial dan
berbagi di antara para istri, orang-orangnya yang ada di bawah tanggunganya,
serta apakah istri pertama telah memberi izin atau persetujuanya untuk
menikahi lagi, setelah mendengarkan dan menerima pengajuan dari pemohon
12
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syaripuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Kontenporer (Ciputat: lembaga penelitian UIN jakarta, 2011) h. 227
60
tersebut, hakim baru dapat memutuskan apakah seseorang diberikan izin untuk
berpoligami13.
Ini dibahas dalam pasal 23 UU Hukum Keluarga Negara Brunei
Darussalam tahun 1999
Dalam hal perkawinan seorang laki-laki yang telah beristri dengan
perempuan lain (poligami) di mana pun ia berada tanpa persetujuan tertulis
dari Hakim diancam dengan hukuman denda paling banyak 2000 Dolar atau
penjara paling lama bulan14.
Dan penjelasan diatas terdapat pada pasal 123 Undang-undang Hukum
Keluarga Negeri Brunei Darussalam tahun 1999.
B. Perbandingan Vertikal dan Diagonal Sanksi Pencatatan Perkawinan
dan Poligami di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam
1. Indonesia
Kalau kita meneliti kitab-kitab hukum Islam, baik kitab-kitab hukum
klasik (kitab kuning) maupun buku-buku hukum yang lebih dekat dengan kita,
kita tidak menemukan kitab dan buku hukum yang melukiskan secara khusus
bagaimana susunan, kekuasaan, dan acara badan-badan peradilan. Dalam
literatur hukum Islam dan literatur sejarah negar Islam, yang selalu terdapat
hanya prinsip-prinsip pokok tentang perlunya suatu pengadilan, atau perlunya
ada qadhi/hakim, syarat seorang hakim, saksi-saksi,sumpah,dan beberapa cara
13
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syaripuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Kontenporer (Ciputat: lembaga penelitian UIN jakarta, 2011) h. 232
14
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syaripuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Kontenporer (Ciputat: lembaga penelitian UIN jakarta, 2011) h. 232
61
pembuktian. Dalil pen-syari’ atau peradilan (qadhi) adalah berdasarkan AlQur’an, Sunnah, dan ijma’ dimulai sejak masa sahabat, tabiin, sampai para
ulama sesudahnya. Hukumnya telah disepakati pula, yaitu fardhu kifayah.
Setiap negara, bagaimana bentuknya selalu memerlukan hukum yang berlaku
di negara masing-masing, dan setiap hukum memerlukan peradilan untuk
menegakkannya. Islam adalah aqidah wa syari’ah, keyakinan dan hukum.
Karena itu pulalah masyarakat Islam memerlukan peradilan yang akan
menegakkan hukum15.
Mengenai kelembagaan peradilan itu sendiri, karena termasuk bidang
ijtihad, bisa saja berbeda-beda di setiap negara Islam maupun di negara-negara
yang ada masyarkat muslimnya. Satu hal yang pasti ialah peradilan itu (qadha)
adalah alat kekuasaan untuk menegakkan syariat atau Fiqih (menegakkan
hukum Islam). Pengertian “hukum Islam” memang mengandung problem
tersendiri. Bukan hanya di kalangan kaum muslim Indonesia, tetapi juga di
kalangan umat Islam sedunia. Karena itu, mutlak perlunya pelurusan
pemahaman tentang syariat16.
Dalam konteks hukum keluarga dan pembaruan hukum Islam, pembedaan
antara beberapa istilah ini menjadi sangat penting, karena kesalahpahaman
terhadap penegrtian hukum, Syariat dan fikih akan berimplikasi pada
perkembangan hukum Islam dalam konteks perubahan masyarakat. Syariat,
15
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia akar sejarah, hambatan dan
prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 77
16
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia akar sejarah, hambatan dan
prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 78
62
sebagai suatu sumber hakiki hukum Islam merupakan perangkat baku yang
harus menjadi acuan dan tidak dapat diotak-atik oleh manusia, sehingga setiap
tingkah laku manusia, dari dulu sampe sekarang, dapat diakomodasi oleh
Syariat. Sementara fikih merupakan suatu interpensi para Ulama terhadap
Syariat untuk perbuatan tertentu, dengan menggunakan dalil-dalil terperinci,
sehingga fikih menjadi sangat acceptable dengan perubahan dan modifikasi.
Ketika menyamakan istilah fikih dan Syariat, maka sebetulnya telah
menggabungkan dua aspek yang berbeda dan telah mengabsolutkan fikih yang
sebetulnya merupakan produk manusia biasa. Implikasinya, fikih yang diambil
melalui metode istinbat hukum atau ijtihad dan digunakan sebagai suatu
jawaban atas permasalahan sosial umat Islam sepanjang keberadaan mereka,
akan menjadi kaku dan berhenti pada produk-produk terdahulu. Hukum Islam
akhirnya tidak mampu menjawab permasalahan-permasalahan masyarakat
kontemporer atau bahkan hukum Islam menjadi tidak relevan dengan
perkembangan zaman. Dengan pembedaan inilah konteks pembaharuan
hukum keluarga dimungkinkan untuk dilakukan, karena beberapa peraturan
fikih yang mengatur hukum keluarga justru dapat ditinjau ulang untuk
kepentingan perkembangan zaman17.
17
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syaripuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Kontenporer (Ciputat: lembaga penelitian UIN jakarta, 2011) h. 9
63
a. Perkawinan:
Fiqih,
Perundang-Undangan
Indonesia
dan
Internasional
Perkawinan merupakan kata yang merujuk pada hal-hal atau hubungan
pernikahan. Pengertian istilah perkawinan lebih luas dari istilah
pernikahan. Jika pernikahan merujuk pada sebuah ikatan yang dilakukan
atau dibuat oleh pihak suami dan istri untuk kehidupan bersama, dan atau
merujuk pada sebuah proses dari ikatan tersebut, perkawinan merujuk
pada hal-hal yang muncul terkait dengan proses, pelaksanaan dan akibat
pernikahan. Dengan demikian, perkawinan mencakup bukan saja syarat
dan rukun pernikahan dan bagaimana pernikahan harus dilakukan, tetapi
juga masalah hak dan kewajiban suami istri, nafkah, penceraian,
pengasuhan anak, perwalian, dan lain-lain. Beranjak dari perbedaan
pengertian dari kedua istilah tersebut, UU No. 1/1974 disebut dengan
Undang-Undang Perkawinan bukan Undang-Undang Pernikahan, karena
undang-undang tersebut mencakup banyak hal,seperti dirinci sebelumya18.
b. Pencatatan Perkawinan
Menurut doktrin hukum Islam kalsik, perkawinan dianggap sah dan
terjadi dengan adanya ijab (menyerahkan) yang diucapkan oleh wali dari
pihak calon istri dan adanya qabul (menerima) yang diucapkan oleh pihak
laki-laki dan dua orang saksi; dua atau satu orang Muslim laki-laki dan
dua orang Muslim perempuan dan ada maharnya. Unsur-unsur tersebut
18
Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlelawati, Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan
Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2013) h. 23
64
dinamakan dengan rukun pernikahan, dan setiap rukun dari pernikahan
terdapat syarat-syarat yang harus terpenuhi. Syarta bagi rukun adanya ijab
dan qabul adalah, di antaranya, bahwa ijab dan qabul harus dengan kalimat
yang jelas, selaras, dan berkesinambungan. Wali yang mengucapkan ijab
juga harus memenuhi syarat, seperti, persamaan agama. Begitu juga
halnya dengan saksi. Terkait dengan saksi, para ulama berbeda pandangan
dalam menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Tidak terdapat
aturan tentang keharusan pencatatan dalam aturan hukum Islam klasik ini.
Perkembangan zaman dan kompleksitas kehidupan telah mendorong para
ulama untuk melakukan sebuah pembaruan terkait pernikahan, dan negaranegara Muslim menyadari bahwa kontrak perkawinan perlu didaftarkan
agar bukti dari pernikahan tersebut dapat disimpan dan dijadikan sandaran
dengan jelas. Meskipun tidak ada satu pun kelompok ulama menegaskan
tentang pentignya pencatatan, tetapi apa yang dikemukakan Maliki terkait
dengan hukum adanya saksi, di mana ia menyebutkan bahwa saksi tidak
perlu dihadirkan pada waktu akad diucapkan dan bisa dihadirkan
setelahnya, serta tentang fungsinya memberikan pengumuman tentang
pernikahan yang ia saksikan, dapat diajdikan pijakan pentingnya
pencatatan untuk zaman sekarang19.
Di Indonesia, aturan tentang pencatatan pernikahan dapat dilihat di UU
No. 22/1964. UU ini mengatur hanya administrasi perkawinan dan
19
Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlelawati, Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan
Bisnis, (Jakarta: Kencana 2013) h. 25
65
menegaskan bahwa pernikahan diawasi oleh pegawai pencatat nikah.
Aturan pencatatn pernikahan diperkuat dalam UU No.1/1974 dan KHI.
KHI menyatakan bahwa perkawinan dinayatakan sah denga hadirnya
pencatat perkawinan yang resmi atau jika didaftarkan. Tidak dipenuhinya
pendaftaran perkawinan berakibat pada ketidaksahanya perkawinan, dan
upaya hukum di pengadilan akan ditolak jika perkawinan tidak terdaftar20.
c. Poligami
Poligami memang bukan isu baru dalam wacana dan perdebatn hukum
Islam. Namun, karena aturan-aturanya yang terus berkembang di beberapa
negara, termasuk di Indonesia, dan karena perbedaan cara pandang dari
para ulama dan ahli hukum terkait dengan hukumnya, isu poligami
menjadi menarik dan penting untuk didiskusikan. Poligami merupakan
salah satu bentuk pernikahan yang diatur dalam hukum Islam. Mengacu
pada hukum Islam (fiqih), poligami merupakan bentuk pernikahan yang
diperbolehkan. Mayoritas ulama memperbolehkan pernikahan poligami,
dan pandangan kebolehan pernikahan poligami ini berdasarkan pada ayat
al-Qur’an yang menyatakan bahwa seorang Muslim laki-laki boleh
melakukan pernikahan dengan satu, dua, tiga, dan empat wanita yang baik,
seperti tercantum dalam ayat keempat Surat an-Nisa (4). Ayat tersebut
dipahami sebagai sebuah aturan kebolehan pernikahan poligami, meskipun
20
Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlelawati, Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan
Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2013) h. 26
66
turunya ayat tersebut dilantari oleh praktik pernikahan yang dilakukan
laki-laki dengan motivasi penguasaan harta anak dan atau perempuan
yatim. Tidak menghendaki adanya pernikahan dengan motivasi tersebut,
Allah menurunkan ayat tersebut untuk menghalangi praktik tersebut.
Namum, ayat tersebut kemudian dipahami sebagai sebuah dasar
pembolehan praktik pernikahan poligami secara umum. Meskipun
beberapa kalangan menafsirkan kebolehan dengan penekanan pada kalimat
berikutnya yang menyinggung tentang keadilan yang harus dipenuhi
suami, mayoritas ulama menganggap keharusan berlaku adil tersebut tidak
terlalu penting mengingat keadilan merupakan hal yang sangat abstrak.
Para ulama Sunni Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan Hanafiyah,
menegaskan bahwa dalam poligami
tidak disyaratkan keadilan hati dan cinta. Syafi’iyah bahkan
menyebutkan, keadilan dalam masalah nafkah juga tidak ditekankan21.
Namun, sejalan dengan perkembangan zaman dan cara berfikir tentang
perlindungan hak-hak individu manusia, aturan poligami yang ditemukan
dalam buku-buku fikih mengalami penafsiran ulang dan pembaruan. Sama
halnya dengan beberapa negara lain, seperti diuraikan berikut, Indonesia
juga mengatur poligami. UU No. 1/1974 dan KHI menjelaskan bahwa
poligami dimungkinkan untuk dilakukan. Dasar atau prinsip perkawinan
monogami, dengan kemingkinan diizinkanya seorang laki-laki melakukan
21
Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlelawati, Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan
Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2013) h.29
67
poligami, maksimal dengan empat orang (pasal 3 ayat 1-2 UU No.
1/1974)22.
2. Malaysia
Pembaharuan hukum Islam (Fiqih) di Malaysia secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua kelompok pemikir; tradisionalis dan modren. Ciri utama
pemikir Fiqih tradisionalis di Malaysia adalah bersandar pada Mazhab AhluSunnah wal-Jamaah, atau lebih khusus, bertaklid pada mazhab Syafi’i. Jika
meruuk kitab-kitab Ushul Fiqih karangan ulama tardisionalis, jelas sekali
tekananya agar bertaklid kepada mazhab yang empat, khususnya mazhab
Syafi’i. Kitab-kitab yang menjadi rujukan para ulama tradisional sebenarnya
tidak merunjuk kepada karya-karya Imam asy-Syafi’i an sich tetapi kepada
karya para ulama Syafi’iyah. Kelompok tradisionalis ini berpuas hati pada
kitab al-Muhazzab (ash-Shirazi), Fath al-Wahhab (Zakariya al-Anshari),
Thufat al-Muhtaj (Ibn Hajar al-Haitami), Nihayat al-Muhtaj (Syamsuddin arRamli), Mughni al-Muhtaj (Ibnu Khatib ash-Sharbini), Fath al-Mu’in
(Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari), dan al-Ghayat wat-Taqrib (alAshfahani). 154 Bukan Karya-karya Imam Syafi’i seperti al-risalah atau alUm23.
Mengenai hukum Munakahat, perkara yang dibahas ialah pertunangan,
perkawinan, hak dan kewajiban suami-isteri seperti nafkah dan hadanah serta
perceraian dan rujuk. Adapun bidang mu’amalat menyangkut masalah sosio22
23
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, (Bandung: Mandar Maju, 2012) h. 90
Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,
(Bandung: PustakaAl-Fikriis, 2009) h. 125
68
ekonomi seperti riba, khiyar, jual beli, jual saham, mufis, berhutang, gadai,
suih, hilwalah, berwakil, iqrar, wadi’ah, luqatah, mengupah, sewa, dhaman,
ariyah, mati, wakaf, dan lain-lain. Termasuk dalam persoalan ini ialah hukum
faraid atau pembagian pusaka, ahli waris, kadar masing-masing, pendingding,
sisa harta, wasiat, dan sebagainya24.
Lepas dari perbedaan mazhab Fiqih yang dianut umat Islam seperti akan
nanti, yang pasti hukum keluarga Islam hingga kini dan insya Allah hingga di
masa-masa mendatang masih tetap dan akan terus berlaku di Dunia Islam.
Bahkan di dunia non-Islam pun keluarga Muslim secara umum tampak
memiliki perlindungan dan keluarga Muslim secara umum tampak memiliki
perlindungan dan jaminan hukum yang cukup memadai untuk memberlakukan
hukum keluarga Islam bagi keluarga-keluarga Muslim. Terutama dalam hal
perkawinan25.
a. Peranan Maslahat dalam Hukum Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “peranan”
artinya “bagian yang dimainkan”. Peranan juga berati “tindakan yang
dilakukan oleh seseorang dalam satu peristiwa”26. Dari kutipan tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan peranan maslahat dalam
hukum Islam serta bertindak dalam kaitanya dengan penetapan hukum Islam.
24
Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,
(Bandung: PustakaAl-Fikriis, 2009) h. 127
25
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali
Pres, 2004) h. 144
26
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 751
69
3. Negara Brunei Darussalam
Bagi Muslim Negara Brunei Darussalam, hukum
Islam sangat
berpengaruh terutama hukum keluarga yang bersumber kepada mazhab
Syafi’i, tiga mazhab Sunni lainya setelah disetujui oleh Sultan, tradisi kuno
dan tradisi Melayu. Selain itu, secara fakta sejarah, Negara Brunei Darussalam
adalah jajahan Inggris yang memberikan pengaruh besar terhadap konstitusi
hukum di negara tersebut. Hal itu terbukti, constitusi negara yang dibuat pada
tahun 1959 dipengaruhi oleh Inggris dengan sistem common law, terutama
sistem peradilan yang mengadopsi sistem Inggris sejak tahun 1955. Pengaruh
itu tidak hanya pada konstitusi negara tetapi pada konstitusi atau undangundang hukum Islam sampai Brunei merdeka secara penuh dari Inggris tahun
1984. Hal itu terungkap dalam wikipedia : Free Encyclopedia, bahwa:
“Selama kurun waktu abad 15 dan 16, Negara Brunei menguasai kepulauan
Borneo dan beberapa pulau Kalimantan dan Philipina. Expansi Eropa yang
datang dari Spanyol dan Belanda, sejak abad 16 mencaplok sebagian wilayah
Negara Brunei Darussalam. Pada abad 19, Brunei mencari bantuan ke Inggris
dalam mempertahankan sebagian wilayah tersebut. Sampai akhirnya, beberapa
bagian Negara Brunei Darussalam dikuasai dan diatur oleh Inggris yang
diformalkan pada tahun 1906. Konstitusi negara ditegakan pada tahun 1959
yang memberi izin pengaturan secara internal dan menetapkan berakhir pada
tahun 1971 bahwa Brunei bebas dari protokoler Inggris sampai negara tersebut
merdeka tahun 1984”.
70
Meskipun demikian, ketentuan hukum Islam yang mulai diundangkan
tahun 1912 antara Brunei dan Inggris dengan nama The Mohammedan Laws
Enactment 1912, didasarkan kepada kedua tradisi negara tersebut dan hukum
Islam. Perundangan ini meliputi aspek hukum Keluarga dan Kriminal dan
Juridiksi Hakim. Selanjutnya diikuti dengan The Mohammedan Marrige and
Disvorce Enactmen 1913 yang mengatur tentang pendaftaran perkawinan dan
penceraian melalui hakim pengadilan. Kedua undang-undang tersebut tidak
berlaku lagi diganti dengan The Brunei Religios Councils, Khathis Courts and
State Customs Enactmen 1955 dan beberapa perubanhanya samapai
sekarang27.
Seluruh umat Islam berkeyakinan bahwa dalam hukum keluarga
terkandung nilai-nilai ubudiah dan kewajiban individu (fardhu’ain) yang
berbeda
dari
kewajiban
kolektif
(nonta’abudi)
yang
penerapanya
dimungkinkan semata-mata berdasarkan hukum tata negara (al-ahkam addusturiyyah) dan hukum internasional (al-ahkam ad-duwaliyah), yang
penerapanya dapat selalu disesuaikan dengan kemaslahatan umat dan
kepentingan umum, dalam bidang hukum keluarga umat Islam telah memiliki
keyakinan tersendiri yang demikian melekat dengan aqidah Islamiyah 28.
27
Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,
(Bandung: PustakaAl-Fikriis, 2009) h.148
28
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali
Pres, 2004) h. 145
71
C. Prospek Hukum Keluarga di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei
Darussalam
1. Indonesia
Peradilan Agama mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam
rentang waktu yang panjang. Sejak Islam menjadi kekuatan politik di
Indonesia hingga dewasa ini. Kini ia menjadi salah satu peradilan negara yang
memeiliki kedudukan sejajar dengan peradilan negara yanglain, terutama sejak
diundangkan dan diberlakukannyanUU Nomor 7 Tahun 1989. Namun ada
yang mencakup perkara di bidang keluarga (Perkawinan, Kewarisan, Wasiat,
Hibah, Wakaf, dan Shadaqah) di kalangan orang-orang yang beragama Islam.
Artinya, perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan dalam ligkungan PADI
itu merupakan masalah-masah keluarga (domestik) yang membutuhkan
penyelesaian melalui kekuasaan negara. Dalam kenyataanya, sebagian besar,
bahkan hampir seluruhnya, perkara-perkara domestik itu bagaimana tercermin
dalam perkara cerai talak dan cerai gugat, dan bentuk penceraian lainya29.
Ketetuan lain yang merupakan kekhususan itu berkenaan dengan
pemeriksaan perkara cerai talak, yang dilakukan dalam sidang tertutup. Hal itu
terkait dengan “konflik individual” , yang tidak etis apabila diketahui oleh
pihak yang tidak secara langsung berhubungan dengan pemeriksaan perkara
tersebut. Mungkin saja dalam pemeriksaan itu terungkap “rahasia pribadi” di
dalam lingkungan domestik yang tidak patut diketahui oleh publik. Hal yang
29
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres,1998) h. 241
72
demikian itu, sangat berbeda dengan pemeriksaan perkara perdata lainya
terutama yang berkaitan dengan hak-hak kebendaan. Disamping kedua hal itu,
dalam produk pengadilan tidak dikenal “yang kalah” dan “yang menang” yang
tercermin dalam ketentuan pasal 89 ayat (1) dinyatakan, “Biaya perkara dalam
bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon”. Bukan
dibebankan kepada pihak yang kalah. Berkenaan dengan hal itu, pada
beberapa tahun terakhir ini muncul beberapa gagasan “untuk menjadikan”,
atau sekurang-kurangnya mengindentifikasi Peradilan Agama sebagai perdilan
keluarga, atau Pengadilan Agama sebagai Pengadilan Keluarga (Family
Court). Pandangan itu antara lain dikemukakan oleh Bustanul Arifin dan
Satjipto Raharjo. Menurut pandangan Bustanul Arifin (1993: 8): UU No. 7
Tahun 1989 adalah lompatan 100 tahun dan dari segi hukum substansi dia
adalah lompatan 100 Windu. Itulah mungkin yang menyebabkan RUUPA
begitu ramai ditanggapai. Intisari masyarakat Pancasila adalah keluarga, dan
karena itu adanya peradilan agama yang merupakan peradilan keluarga (family
court) bagi orang-orang Islam Indonesia amat menguntungkan, karena
keadilan dan kepastian hukum yang tenang dan damai. Putusan-putusan
Peradilan Agama yang bertali ke langit berakar ke bawah (masyarakat) akan
mendatangkan kesejukan bagi masyarakat30.
30
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1998) h. 243
73
a. Situasi Hukum Islam
Persepsi masyarakat tentang apa yang di sebut Hukum Islam masih harus
selalu dibina. Seperti telah dijelaskan di bagian depan buku ini, hukum Islam
adalah kata pengganti dari dua istilah. Aslinya : syari’ah dan fiqih. Hal ini
juga menimbulkan kekecauan pengertian dan menimbulkan kesalahpahaman
di kalangan masyarkat, baik di kalangan Islam sendiri, maupun di kalangan
luar Islam. Hal ini yang demikian tidak dialami oleh Indonesia saja, tetapi juga
di kalangan masyarkat dunia Islam seluruhnya. Itu karena keilmuan hukum
Islam telah terhenti sejak abad ke-4 Hijriah. Jadi, telah 8 abad ada jurang
pemisah antara perkembangan pemikiran hukum Islam dengan hukum umum.
Hal itu diperparah lagi oleh perkembangan lain dalam sejarah dunia, seperti
perang salib, imperialisme, dan kolonialisme. Dalam suasana inilah, para
hakim Peradilan Agama dituntut untuk menerapkan hukum Islam yang sesuai
dengan kesadaran hukum masyarakat. Khususnya di Indonesia, seperti telah
diuraikan, ada perbenturan antara hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat
yang diciptakan dan dipupuk oleh konsepsi ilmiah Barat31.
Menurut teori hukum Islam (‘ilmu ushul al-fiqh) yang dibuat oleh ahli-ahli
hukum Islam masa pertengahan, bahwa hukum Islam dibangun di atas empat
struktur dasar hukum yang disebut sebagai “sumber-sumber hukum Islam”.
Sumber-sumber hukum tersebut adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi, Ijtihad
(qiyas) dan ijma’. Dari urutan tersebut tampaklah bahwa al-Qur’an merupakan
31
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia akar sejarah, hambatan dan
prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 87
74
sumber utama hukum Islam. Karena itulah semenjak awal sejarah Islam,
hukum Islam telah dipandang sebagai bersumber dari Wahyu Illahi. Al-Qur’an
telah dipandang sebagai pedoman utama kehidupan dan sebagai sumber
hukum. Menurut Rahman, sepanjang perkembangan teori hukum Islam, AlQur’an memiliki “identitas khas” tidak sebagaimana tiga sumber hukum
lainya: Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad, dimana antara ketiga dasar tersebut terjadi
interaksi yang erat. Perkembangan dari konsep “sunnah Nabi” menjadi
“Hadis”; perkembangan praktik Ijtihad dari ra’yi (penalaran individu) lalu
muncul konsep Ijma’ lalu muncul sistematis ra’yi menjadi qiyas, merupakan
fenomena yang dimaksudkan oleh ungkapan Rahman di atas. Yakni bahwa
perkembangan tersebut merupakan proses evolusi, yang di dalamnya terjadi
interaksi antara ketiga tersebut32.
b. Hukum Islam pada zaman Tabi’in
Setelah masa khlifah yang empat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman
tabi’in yang pemerintahanya oleh dipimpin Bani Umayyah. Pemerintahan ini
didirikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan uang sebelumnya menjadi
Gubernur Damaskus. Fitnah besar yang dihadapi umat Islam pada akhir
pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi Thalib adalah tahkim, yaitu perdamian
antara pihak Ali dan Muawiyah yang kedudukanya berbeda Ali sebagai
Khalifah, sedangkan Muawiyah sebagai Gubernur. Dalam menghadapi
tawaran damai dari pihak Muwaiyah, pengikut Ali terbagi dua: sekelompok
32
Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1997) h. 89
75
menolak lagi menolaknya. Karen menganggap bahwa damaiadalah jalan yang
terbaik, Ali menerima tawaran itu dengan menjadikan Abu Musa al-Asy’ari
sebagai utusan; sedangkan utusan dari pihak Muwaiyah adalah Amr Ibn Ash.
Atas “kelihaian” Amr ibn Ash, secara politik, perdamaian dimenangkan oleh
pihak Muawiyah; Ali menlak hasil tahkim tersebut. Pada zaman pemerintahan
bani Umayyah, sistem kepemimpinan Khalifah diganti denga sistem
kerajaan33.
a. Faktor- Faktor yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam
Pada fase ini, perkembangan Hukum Islam ditandau dengan
munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong
terbentuknya aliran hukum. Diantara faktor-faktor yang mendorong
perekembangan Hukum Islam adalah :
1) Perluasan Wilayah
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, ekspansi dunia Islam
dilakuan sejak zaman Khilafah. Langkah awqala yang dilakukan
Muawiyah dalam rangka menjalankan pemerintahan adalah
memindahkan ibu kota negara, dari Madinah ke Damaskus.
Muawiyah kemudian melakukan ekspansi ke Barat sehingga dapat
menguasai Tunisia, Aljazair, dan Maroko sampai ke pantai
Samudra Atlantik. Penaklukan ke Spanyol dilakukan pada zaman
pemerintahan Walid al-Malik (705-715 M.). Di sebelah utara, umat
Islam bertempur berkali-kali melawan Bizantium. Bani Umayah
33
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Rosda, 2003) h.53
76
kadang-kadang masuk ke Asia kecil, bahkan mengepung
Konstantinopel. Di sebelah timur, Islam menduduki Transoxian
(sekarang Uzbekistan), Sind, dan Sungai Syr Darya, dan Sungai
Indus menjadi batas timur Kerajaan Islam. Pada zaman Abu Bakar
dan Umar, sahabat dicegah keluar dari Madinah agar tidak
menyebar hadis secara sembarangan dan dapat bermusyawarah
bersama-sama dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang
penting.
2) Perbedaan penggunaan ra’yu
Pada zaman tabi’in, Fuqaha dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
mazhab atau aliran hadis (madrasah al-hadits) dan aliran ra’yu
(madrasah alr-ra’y) atau madrasah al-Madinah dan madrasah alkufah.
Aliran
hadis
adalah
golonga
yang
lebih
banyak
menggunakan riwayat dan sangat “hati-hati’ dalam penggunaan
ra’yu, sedangkan aliran ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu
dibanding dengan aliran hadis. Munculnya dua aliran pemikiran
Hukum Islam itu semakin mendorong perkembangan ikhtilaf; dan
pada saat yang sama pula semakin mendorong perkembangan
Hukum Islam34.
34
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Rosda, 2003) h.55
77
c. Pemberlakuan dan Perkembangan Hukum Keluarga Islam di
Indonesia
Pembaharuan dan perkembangan hukum keluarga Islam bukan
tanpa upaya awal dari beberapa ahli hukum, baik ahli hukum Islam
maupun adat, yang telah memperkenalkan beberapa ide mereka.
Terdapat beberapa ahli hukum yang dapat dianggap sebagai peletak
dasar atau ide pembaharu yang sekarang kita lihat. Ahli hukum yang
sering disebut dalam hal ini adalah Hasbi Ash- Shiddieqy dan
Hazairin. Bebrapa ahli hukum atau praktisi selain kedua ahli hukum
tersebut yang dianggap meneruskan dan bahkan mewujudkan ide-ide
dasar tersebut adalah Munawir Syadzali dan Bustanul Arifin. Ide-ide
mereka kemudian mengantarkan pemerintah melakukan upaya
pembaharuan lewat apa yang menjadi trend sejak abad ke-19 di
berbagi negara Muslim di dunia, yaitu kodifikasi hukum35.
2. Malaysia
Sebelum Undang-undang khusus yang mengatur tentang perkawinan,
masalah-masalah perkawinan di setiap negeri di Malaysia, di tetapkan dalam
Enakme atau Pentadbiran Agama Islam. Hukum yang mengatur tentang
perkawinan dan hal-hal yang berhubungan dengan itu dicantumkan dalam satu
bab dari Undang-undang tersebut. Sekedar contoh, Enakme Pentadbiran
Undang-undang Islam Negeri Melaka memuat sepuluh bab/bagian. Salah satu
35
Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan
Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2013) h. 11
78
bagianya adalah tentang Perkawinan, penceraian, dan semua hal-hal yang
muncul akibat perkawinan dan penceraian36.
a. Perkembangan Mutakhir
Sejarah pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia merupakan
suatu pekembangan yang berteruskan ke arah perlaksanaan ajaran Islam
secara langsung serta lebih tepat lagi. Pentadbiran undang-undang
penjajah menitiberatkan perlaksanaan hanya ajaran-ajaran yang diperlukan
secara langsung demi untuk mengelak daripada meghina amalan
keagamaan orang Melayu. Ini telah menyebabkan Undang-undang Islam
terhad kepada “Undang-undang Keluarga Islam” sahaja. Seterusnya, adat
tempatan telah mengehendakan pemakaian Undang-undang Keluarga
Islam di setengah-setengah tempat dan dalam setengah-setengah perkara.
Walaupun bagaimanapun, sejak kemerdekaan Malaysia, usaha ke arah
perlaksanaan Undang-undang Islam
dengan lebih sempurna
dan
meyeluruh telah dijalankan. Berhubung dengan hal ini perundangan dan
Mahkamah Syariah serta pembentukan Jabatan Agama Negeri telah
memaikan peranan yang penting dalam usaha ini. Perkembangan muktahir
ialah penubuhan Majlis Hal-Ehwal Agama Islam Kebangsaan pada tahun
1968 yang kemudiannya digabungkan sebagai bagian Hal-Ehwal Agama
di Jabatan Perdana Menteri pada bulan Febuari, 1974. Pada peringkat awal
36
Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap
PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta:
Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012) h. 84
79
penumbuhanya Majlis tersebut telah membentuk sebuah Jawatankuasa
Fatwa untuk mengeluarkan fatwa bagi majlis Raja-Raja37.
3. Negara Brunei Darussalam
Kehadiran agama Islam di Negara Brunei Darussalam membentuk suatu
corak Undang-undang Islam yang hampir keseluruhanya meniru budaya Islam
di tempat lain di Nusantara ini. Faktor peniruan ini tidak bermakna orang
Islam Brunei “kurang Islam” berbanding dengan mereka yang tinggal dipusat
pemikiran Islam yang lebih kreatif. Sebaliknya ini bermakna struktur resmi
agama Islam di Brunei terutamanya Undang-undang untuk orang Islam,
sebahagian besarnya merupakan derivatif yang tiada bandinganya di tempat
lain di dunia Islam-Melayu. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh Brunei
terletak di pulau Borneo yang agak terasing kedudukanya, dengan kemiskinan
sumber daya alamnya mengakibatkan kepadatan penduduk yang sangat rendah
bedasarkan standar Asia Tenggara. Penduduk Islam di pulau ini adalah kecil,
berselerak dan kadang terpencil; dengan kekayaan yang terbata, tidak terdapat
peluang untuk mengembangkan sepenuhnya budaya berinspirasikan Islam
seperti yang terdapat di pualu lain di Asia Tenggara. Oleh itu, penerima’an
masuk Institusi dan bentuk dari luar negeri inilah yang membentu
perkembangan Undang-Undang Islam Brunei. Mengikuti sejarah terbukti yang
banyak tentang komen-komen ini; apa yang dipanggil “teks Undang-Undang
Brunei” pada hakikatnya lebih merupakan versi teks Melaka yang
37
Hooker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, penerjemah Rohani Abdul Rahim,
Raja Rohana(Selangor Darul Ehsa: Dewa Bahasa dan Pustaka, 1991) h. 188-189
80
diselewengkan atau terdapat bagian-bagian teks itu yang pada pendapat
penyalinnya mempunyai beberapa penyesuaian di Brunei. Salinan paling awal
yang diketahui ialah MS yang sebelumnya dimiliki oleh orang kaya di Gadung
Sri Lela. Muhammad Husein, yang didakwa bertarikh 1211 A.H. (1708 A.D)
tentu ini ataupun satu versi daripadanya, boleh dikatakan terdapat juga Daerah
Tenon (sekarang dalam negara Sabah), dan disitu teks berkenaan boleh
dikatakan menjadi autoriti di kalangan Ketua-ketua anak watan. Dilaporkan
bahwa teks ini telah dikemukakan sebagai autoriti ketika menyiasatkan
tuntunan anak watan mengenai hak milik pokok buah-buahan. Tidak ada
sebab untuk meragui bahwa teks Melaka ini dikenal lebih awal, pada akhir
abad kelima belas terdapat bukti daripada riwayat Kesultanan Borneo
menunjukan wujudnya unsur-unsur keIslaman di Brunei. Malahan, suatu teks
anak watan yang berasal dari barat laut Borneo juga boleh digunakan untuk
menunjukan unsur-unsur Islam telah wujud lebih awal daripada abad kelima
belas38.
a. Undang-undang untuk Orang Islam di Brunei
Perundangan modren yang pertama tentang Islam ialah Enakme
Undang-undang Islam 1912. Akta ini terpaka kepada semua orang Islam,
dan serupa juga dengan perundangan Borneo Utara dan Sarawak pada
masa itu, Undang-undang Islam mengandungi campuran peraturan
tempatan dan peraturan Islam. Sekyen 3 menempatkan bersembahyang
38
Hooker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, penerjemah Rohani Abdul Rahim,
Raja Rohana(Selangor Darul Ehsa: Dewa Bahasa dan Pustaka, 1991) h. 198
81
jumaat di masjid sebagai wajib dan sekiranya gagal berbuat demikian
boleh didenda 50 sen setiap kali ingkar. Sekyen 4 pula melarang melarikan
anak dara, hukuman yang ditetapkan ialah penjara enam bulan dan denda
dua kali ganda mas kahwin yang bisa dibayar untuk berkahwin dengan
anak dara yang sama tarafnya. Apabila seorang yang anak dara lari dan
hidup dalam maksiat, dia boleh dipenjarakan sehingga satu bulan dan
perlu ada jaminan dia akan berlaku baik pada masa akan datang. Sekyen
ini hendaklah dibaca dengan Sekyen 13 yang memberi kuasa kepada kadi
untuk menyaman perempuan yang menjadi pelacur dan memberinya
amaran untuk menghentikan perbuatan tersebut. Jika dia gagal untuk
mematuhi arahan tersebut hukumanya ialah dipenjara selama tiga bulan
dan bagi kesalahan kedua, dia boleh dibuang negeri (s 13(2))39.
Seksyen 8 dan 9 membincangkan mungkir janji pertunangan. Sesiap
yang telah mengikat kontrak ini dan kemudianya enggan berkahwin
hendaklah membayar kepada pihak yang tidak bersalah nilai mas kahwin
(yang sepatutnya akan dibayar) dan hukum sesiapa yang bersubahat
memecah kontrak pertunangan dengan denda sehingga $10 dan penjara
sehingga empat belas hari40.
Dari berbagi aspek perundangan yang berlaku dinegeri-negeri muslim
yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa pada abad ke-20 ini
39
Hooker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, penerjemah Rohani Abdul Rahim,
Raja Rohana(Selangor Darul Ehsa: Dewa Bahasa dan Pustaka, 1991) h. 201
40
Hooker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, penerjemah Rohani Abdul Rahim,
Raja Rohana(Selangor Darul Ehsa: Dewa Bahasa dan Pustaka, 1991) h. 202
82
umunya negeri-negeri muslim telah memberlakukan UU tentang Hukum
Keluarga yang semangat dasarnya adalah melindungi hak-hak dan
meningkatkanya derajat wanita. Hal itu terbukti dalam pengaturanpengaturan batas minimal dan selisih umur kawin, pencatatan perkawinan,
penceraian di tempat pengadilan, dan pembatasan atau pelarangan
poligami. Isi pengaturan dalam bidang-bidang tersebut pada umumnya
berbeda dengan pendapat yang telah mapan yang ada dalam kitab-kitab
Fiqih41.
41
M. Atho Mudzhar, Hukum Keluarga Dunia Islam Modren, (Jakarta: Ciputat Press,
2003) h. 291
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa pemaparan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat
mengambil kesimpulan dan sekaligus sebagai jawaban atas beberapa
perumusan masalah sebagai berikut:
Pertama, Aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan yang ada di
Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam beragama. Misalkan di
Indonesia untuk orang yang berpoligami harus mendapat izin dari pihak-pihak
yang bersangkutan, yang mana ini di jelaskan dalam Undang-Undang Pasal 3,
2, 4, 5 tentang Perkawinan. Di pasal tersebut sudah dijelaskan apa saja yang
harus dilakukan bagi seseorang yang ingin melakukan Poligami
Dan dalam hal pencatatan perkawinan juga di Indonesia sudah jelas harus
dilakukan untuk kebasahan perkawinan didalam mata hukum, peraturan
tentang pencatatan perkawinan di jelaskan dalam Undang-Undang Pasal 2
ayat (2), yang mana ini dilakukan oleh pegawai pencatat.
Malaysia dalam mengatur hal Poligami sangatlah ketat, mereka
mempunyai dua kelompok dalam mengatur Poligami kelompok yang pertama
adalah UU Negeri Sembilan pasal 23 ayat (1). UU Pinang pasal 23 ayat (1).
UU Pahang pasal 23 ayat (1). UU Selangor pasal 23 ayat (1). UU Wilayah
Persekutuan pasal 23 ayat (1). Dan UU Perak pasal 21 ayat (1). Contoh teks
UU Perak pasal 21 ayat (1) berbunyi. “Tiada seseorang lelaki boleh berkahwin
dengan seorang lain dalam masa dia masih beristrikan istrinya yang sedia ada
83
84
kecuali dengan terlebih dahulu mendapatkan kebenaran secara bertulis dari
Hakim Syari’ah, dan jika dia melakukan perkawinan tanpa kebenaran tersebut
maka perkahwinan itu tidak boleh didaftarkan di bawah Enakme ini ”. Dalam
UU Perak pasal 21 ayat (1) ada tambahan kalimat, “mendapatkan pengesahan
lebih dahulu dari Hakim bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istrinya”.
Sedangkan kelompok kedua Serawak dan Kelantan, dalam UU Serawak
tidak membolehkan pedaftaran secara mutlak tanpa izin lebih dahulu dari
Pengadilan
Sedangkan di Malaysia Pencatatan Perkawinan juga diatur dalam UndangUndang UU Perak pasal 20 ayat (1, 2 dan 3), UU Serawak pasal 20 ayat (1, 2,
dan 3), UU Kelantan pasal 21 ayat (2), UU Negeri Sembilan pasal 22 ayat (1,
2 dan 3), UU Pahang pasal 22 ayat (1, 2, dan 3), UU Persekutuan pasla 22 ayat
(1, 2 dan 3), UU Selangor pasal 22 ayat (1, 2, dan 3) dan UU Pinang pasal 22
ayat (1, 2, dan 3). Contoh teks UU Pinang pasal 22 ayat (1), “selepas sahaja
akad
nikah
sesuatu
perkahwinan
dilakukan,
pendaftaran
hendaklah
mencatatkan butir-butir yang ditetapkan dan ta’liq yang ditetapkan atau ta’liq
lain bagi perkahwinan itu di dalam daftar perkawinan”, ayat (2) “Catatan itu
hendaklah diakusaksi oleh pihak-pihak kepada perkahwinan itu, oleh wali, dan
oleh dua orang saksi, selain daripada pendaftaran, yang hadir semasa
perkahwinan itu diakad nikah”, ayat (3) “Catatan itu hendaklah kemudiannya
ditandatangani oleh pendaftaran itu”.
Di Negara Brunei Darussalam Poligami diatur dalam Hukum Keluarga
Islam Negara Brunei Darussalam No. 217 Pasal 23, sedangkan dalam hal
85
Pencatatan Perkawinan diatur dalam Pasal 143 ayat (1) yang berbunyi “Dalam
jangka tujuh hari setelah melakukan akad nikah para pihak diharuskan
melapor perkawinan tersebut, yang boleh jadi para pasangan atau wali”
Kedua, Di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam
mempunya perbedaan dalam memberi sanksi dalam pelanggaran Pencatatan
Perkawinan dan Poligami, jika di malaysia seorang melanggar Pencatatan
Perkawinan dan Poligami itu bisa di kenakan sanksi denda sebanyak satu ribu
Ringgit atau penjara tidak lebih dari enam bulan, sedangkan di Negara Brunei
Darussalam bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi penjara atau denda
sebesar $200.
walaupun sanksi yang diberikan kepada pelanggar Pencatatan Perkawinan
dan Poligami hampir sama, yaitu berupa kurungan atau denda namun ada
perbedaan yang signifikan antara ketiga negara. Yang mana jika di Malaysia
dan Brunei sanksi yang diberikan itu dijatuhkan untuk si pelaku, tetapi jika di
Indonesia sanksi di berikan oleh pegawai yang mengurus hal tersebut.
Sungguh jelas ini menjadi perbedaan yang sangat signifikan, sehingga di
Indonesia banyak terjadi pelanggaran dikarenakan bukan sipelaku yang
dikenakan sanksi namu malah pegawai yang mengurus hal tersebut.
Ketiga, Faktor yang mempegaruhi perbedaan pearturan dalam sanksi
Poligami dan Pencatatan Perkawinan, disebabkan oleh letak daerah masingmasing negara dan juga faktor sejarah terbentuknya Undang-Undang.
Khususnya tentang Hukum Keluarga
86
B. SARAN
1. Diharapkan kepada pemerintah atau pihak-pihak yang berwenag, untuk
mengoreksi kembali UU Perkwinan khususnya maslah sanksi yang
ditetapkan baik untuk snaksi pelangaran Pencatatan Perkawinan dan
Poligami, sehingga bisa meminimalisir pelanggaran yang terjadi.
2. Dan memberi pemahaman kepada Masyarakat umum tentang pentingnya
menjalanin hukum Perkawinan, agar tidak ada lagi alasan bagi masyarakat
untuk tidak tahu UU khsusnya Perkawinan.
Download