BAB II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diare
1. Pengertian
Diare berasal dari kata yunani yaitu kata “diarroia” yang artinya
mengalir terus (Hartanto, 2005). Diare diartikan sebagai suatu keadaan
dimana terjadinya kehilangan cairan dan elekttrolit secara berlebihan yang
terjadi karena frekuensi buang air besar lebih dari satu kali dengan bentuk
encer atau cair (Suradi, 2002). Menurut muslimah (2010) diare merupakan
suatu kondisi buang air besar tidak normal yaitu lebih dari 3 kali sehari
dengan konsistensi tinja yang encer dengan atau tanpa disertai darah atau
lendir akibat dari proses inflamasi pada lambung atau usus. Diare adalah
suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi
lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih dari
tiga kali dalam satu hari (Departemen Kesehatan RI, 2011). Dari beberapa
pengertian di atas dapat disimpulkan diare adalah kondisi dimana
seseorang buang air besar dengan konsentrasi tinja lembek sampai cair,
dapat disertai lendir atau tidak dan frekuensinya sering lebih dari tiga kali
dalam satu hari.
Faktor risiko diare dibagi 3 besar yaitu
faktor karakteristik
individu, perilaku pencegahan dan lingkungan. Faktor karakteristik
individu meliputi umur balita < 24 bulan, status gizi balita, umur pengasuh
balita, tingkat pendidikan pengasuh balita. Faktor perilaku pencegahan
meliputi perilaku mencuci tangan sebelum makan, mencuci peralatan
makan sebelum digunakan, mencuci bahan makanan, mencuci tangan
dengan sabun setelah BAB, merebus air minum dan kebiasaan memberi
makan anak diluar rumah. Faktor lingkungan meliputi kepadatan
perumahan, ketesediaan Sarana Air Bersih (SAB), pemanfaatan SAB,
kualitas air bersih (Murniwaty, 2005).
6
7
2. Klasifikasi
Inayah (2006) mengklasifikasi diare berdasarkan pada ada atau tidaknya
infeksi menjadi 2 golongan :
a. Diare infeksi spesifik : tifus abdomen dan paratifus, desentri basil,
eterokiliatis stafilokok.
b. Diare infeksi non spesifik : diare dietetic
Klasifikasi lain diare berdasarkan organ yang terkena infeksi :
a. Diare infeksi enteral atau diare karena infeksi di usus (bakteri, virus,
parasit).
b. Diare infeksi parenteral atau diare infeksi di luar usus (otitis media,
infeksi saluran pernafasan, infeksi saluran urin dan lainya).
Muslimah (2010) membagi diare berdasar lamanya diare, menjadi:
a. Diare akut : diare yang terjadi mendadak kurang dari 2 minggu.
b. Diare kronik : diare yang terjadi lebih dari 2 minggu atau sampai
menahun.
3. Penyebab diare
Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam 6
golongan besar yaitu infeksi (disebabkan oleh bakteri, virus atau infestasi
parasit), malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi dan sebab-sebab
lainnya. Penyebab yang sering ditemukan di lapangan ataupun secara
klinis adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan (Depkes RI,
2011).
Menurut Suharyono (2008), ditinjau dari sudut patofisiologi,
penyebab diare dapat di golongkan menjadi dua golongan yaitu :
a. Diare sekresi (secretory diarrhea) disebabkan oleh:
1) Infeksi virus, kuman-kuman pathogen dan apatogen seperti
a) Escherichia coli
Produksi enterotoksin oleh E.coli ditemukan sekitar
tahun 1970 dari strain yang ada hubunganya dengan penyakit
diare.
Penelitian
selanjutnya
menerangkan
strain-strain
8
enterotoksigenik dari E.coli sebagai satu hal yang bersifat
patogen pada penyakit diare manusia.
b) Salmonella
Beberapa sepesies adalah ganas terhadap manusia,
diantaranya S.typhi, S.paratyphi, S.hirshfeldi, S.oranienburg,
S.weltevreden, S.havana, S.javiana. bakteri masuk tubuh
manusia melalui makanan dan minuman yang tercemar tangan,
tinja penderita atau pembawa kuman. Untuk menyebabkan
diare pada orang sehat diperlukan inokulum yang besar.
c) Shigella
Terdapat empat kelompok spesies yang terdiri dari
S.dysenteriae, S.flexneri, S.boydii dan S.sonnei; yang sering
dijumpai di daerah tropis. Shigella adalah sangat ganas bagi
manusia dan terkenal dapat menyebabkan desentri basil yang
sifatnya sangat akut. Sepuluh sampai dua ratus shigella yang
virulen cukup dapat mengakibatkan diare.
d) Vibrio cholera
Angka kejadian tinggi di Negara yang sedang
berkembang karena belum baiknya higene, sanitasi seerta
penyediaan air minum. Pada waktu wabah, terutama anak yang
sudah besar dan orang dewasa diserang karena mobilitasnya
yang lebih besar. Jarang menyerang anak dibawah 2 tahun.
e) Vibrio campylobacter
Kuman di temukan dalam inja selama penyakit berlangsung
dan menghilang pada saat penyembuhan (Suharyono, 2008).
2) Difensiensi imunologi
Dinding usus mempunyai mekanisme pertahanan yang
baik. Bila terjadi difisiensi ‘S.IgA’ dapat terjadi bakteri tumbuh
lama. Demikian pula defisiensi CMI ‘cell mediated immunity’
dapat menyebabkan tubuh tidak mampu infeksi dan infestasi
9
parasit dalam usus. Hal ini mengakibatkan bakteri, virus, parasit,
dan jamur yang masuk dalam usus akan berkembang dengan baik
sehingga bakteri tumbuh dan akibat lebih lanjut diare kronik dan
malabsorsi makanan.
b. Diare osmotik (Osmotic diarrhea) disebabkan oleh:
1) Malabsorsi makanan : Malabsorsi karbohidrat, lemak dan protein.
2) Kurang kalori protein.
3) Bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir.
Sedangkan menurut Inayah (2006), penyebab diare dapat dibagi beberapa
faktor yaitu:
a. Factor infeksi
1) Infeksi enteral
Merupakan penyebab utama diare pada anak, yang
meliputi: infeksi bakteri, infeksi firus (Enteovirus, Poliomyelitis,
Virua Echo Coxsackie, Adeno Virus, Rota Virus, Astrovirus).
Infeksi parasit: cacing (Ascaris, Tricuris, Oxyuris, Strongxloides),
protozoa (Etamoeba histolitica, Giardia lamblia, Trichomonas
homunis), jamur (Canida albicous).
2) Infeksi parenteral
Adalah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitis media
akut
(OMA),
tonsillitis/tonsilofaringits,
bronkopenemonia,
ensefalitis. Keadaan ini terutama terjadi pada bayi dan anak
berumur dibawah dua tahun.
b. Faktor malabsorsi
Penyebab diare yang disebabkan karena malabsorsi makanan dapat
dikelompokkan menjadi 3 yaitu, malabsorsi karbohidrat, lemak, dan
protein. Malabsorsi karbohidrat mengakibatkan beban osmotic (diare
10
berair) lalu bakteri dalam kolon membentuk gas (abdomen kembung,
tinja berbuih, flatus). Malabsorsi lemak menyebabkan lemak dalam
usus keluar berlebihan dalam tinja. Sedangkan malabsorsi protein
diakibatkan adanya gangguan pada pankreas dan mukosa usus halus.
c. Faktor makanan
Makanan terlalu pedas dan makanan terlalu asam.
d. Faktor psikologis
Bias terjadi karena Stress, cemas, ketakutan dan gugup (Suharyono,
2008).
4. Gejala klinis
a. Akibat kehilangan cairan tubuh (dehidrasi/defisit volume)
Gejala klinis yang menunjukkan akibat dehidrasi antara lain : tugor
kulit berkurang, nadi lemah atau tidak teraba, takikardi, mata cekung,
ubun-ubun cekung, membran mukosa kering, jari sianosis, serta akral
teraba dingin.
b. Akibat kehilangan elektrolit tubuh (defisit elektrolit)
1) Devisit karbohidrat
a) Muntah
b) Pernafasan cepat dan dalam
c) Cadangan jntung menurun
2) Defisiensi kalium
a) Lemah otot
b) Aritmia jantung
c) Distensi abdomen
3) Hipoglikemia (lebih umum pada anak yang malnutrisi)
Kejang atau koma.
Kehilangan cairan akibat diare menyebabkan dehidrasi yang dapat
bersifat ringan, sedang atau berat. Bila defisit kurang dari 5% berat badan,
maka dehidrasinya bersifat ringan dan satu-satunya gejala yang jelas
adalah haus. Bila defisit cairan 5-10% berat badan maka dehidrasinya
11
sedang, sedangkan bila defist cairan 10% atau lebih dari berat badan
disebut dehidrasi berat (Suharyono, 2008).
5. Pemeriksaan laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium biasanya diperlukan pada
diare. Sebagian penderita gastroenteritis dehidrasi yang dirawat di rumah
sakit, tanpa suatu pemeriksaan laboratorium apapun bias ditolong dan
sembuh. Namun demikian, bila perlengkapan laboratorium, tersedia
sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium, yang lengkap, teliti dan
berulang. Berikut ini adalah pemeriksaan laboratorium yang diperlukan
agar pengobatan menyeluruh.
a. Pemeriksaan darah lengkap
Untuk
membantu
menentukan
derajat
dehidrasi
dan
infeksi.
Pemeriksaan Hb dikerjakan sebelum dan sesudah rehidrasi tercapai
untuk menentukan adanya anemia sebagai dasar.
b. Pemeriksaan urin
Ditetapkan volume, berat jenis dan albuminuri. Bila mungkin diperiksa
osmolaritas urin, pH urin karena urin yang asam akan menunjukan
adanya asidosis.
c. Pemeriksaan feses
Dicari penyebab infeksi maupun infestasi parasit dan jamur serta
sindrom malabsorpsi (Suharyono, 2008).
6. Pengelolaan diare
Sebagai akibat diare, penderita akan kehilangan cairan (dehidrasi)
dan elektrolit. Tergantung pada banyaknya kehilangan cairan dan elektrolit
atau dengan berapa banyak penurunan berat badan akan terjadi dehidrasi
ringan, sedang dan berat. Mengingat diare bila tidak segera ditangani akan
menyebabkan kematian, maka pengobatan diare paling tepat adalah
dengan rehidrasi artinya mengganti cairan yang hilang akibat diare.
Perinsip pengobatan diare yang utama ialah rehidrasi dini dan pemberian
makanan dini yang berupa :
12
a. Pemberian segera cairan yang mengandung garam (elektrolit) dan gula
selama penderita diare banyak kehilangan melalui feses dan muntah.
b. Makanan dan susu ibu (bagi anak balita) harus terus diberikan (Inayah,
2006).
Dehidrasi sedang dan ringan (kehilangan cairan sebanyak kurang
dari 10% berat badan) tidak diperlukan cairan intravena, cukup per-oral
dengan cairan oralit atau sebanyak penderita mau minum. Larutan
rehidrasi oral dari WHO merekomendasikan ORS (oral rehydration
solution, oralit) yang mengandung 3,5 gram/L NaCL, 2,5 gram/L Na
bikarbonat, 1,5 gram KCL dan 20 gram glukosa. Cairan rehidrasi oral
(ORS) tersebut dinamakan cairan rehidrasi lengkap, disamping itu terdapat
formula sederhana yang hanya mengandung 2 komponen yaitu NaCL dan
glukosa atau penggantinya missal sukrosa dan merupakan larutan gula
garam (LGG). Dalam hal ini tidak ada oralit, sebagai langkah pertama
dengan larutan gula garam dengan takaran sebagai berikut : masukan 2
sendok teh gula dan ¼ teh garam dalam 1 gelas(200 ml) yang telah diisi air
masak. Setelah diaduk hingga larut kemudian minumkan pada penderita.
Kontra indikasi rehidrasi oral yaitu pada :
a. Dehidrasi berat yang disertai gejala penderita tidak dapat minum.
b. Anuri atau oliguria yang melanjut
c. Bayi premature
d. Muntah hebat
e. Malabsorpsi glukosa yang diketahui dari bertambahnya diare atau
kambuh kembali setelah rehidrasi oral (Inayah, 2006).
Keuntungan dari rehidrasi oral di klinik pada diare akut dapat
menghemat cairan intravena. Penggunaan cairan oral (oralit) yang
diberikan mulai di rumah mempunyai keuntungan, diantaranya diare dapat
dicegah secara dini dan kunjungan ke pelayanan kesehatan akan
berkurang. Keuntungan ditemukanya cairan oral glukosa elektrolit (ORS)
yang sederhana, efektif dan murah. Cairan ORS dapat diberikan secara
menyeluruh terrhadap penyakit diare (Departemen Kesehatan RI, 2011).
13
Pengelolaan diare dengan dehidrasi berat kehilangan cairan
sebanyak 15% atau lebih, dilakukan dengan pemberian cairan ringer-laktat
intravena yang cepat, sampai denyut nadi teraba. Dengan demikian tujuan
utama infuse yang cepat dan segera diberikan adalah mendapatkan perfusi
cardiovascular yang adekuat dan mengembalikan perfusi jaringan serta
fungsi pengaturan ginjal yang normal. Selama rehidrasi perlu diperhatikan
terjadinya komplikasi diare (asidosis, hipokalemia, hipoglikemia atau lain)
dan penyakit lain yang diderita penderita. Yang perlu diperhatikan adalah
berat dan kopensasi jantung maka rehidrasi cairan dikurangi (suharyono,
2008).
B. Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun (PCTPS)
1. Pengertian cuci tangan pakai sabun
Tangan adalah bagian dari tubuh manusia yang sangat sering
menyebarkan infeksi. Tangan terkena kuman sewaktu kita bersentuhan
dengan bagian tubuh sendiri, tubuh orang lain, hewan, atau permukaan
yang tercemar. Walaupun kulit yang utuh akan melindungi tubuh dari
infeksi langsung, kuman tersebut dapat masuk ke tubuh ketika tangan
menyentuh mata, hidung atau mulut. Oleh karena itu sangat penting untuk
diketahui dan diingat bahwa perilaku cuci tangan pakai sabun merupakan
perilaku sehat yang sangat efektif untuk mencegah penyebaran berbagai
penyakit menular seperti diare, ISPA dan flu burung. Diare merupakan
penyakit "langganan" yang banyak berjangkit pada masyarakat terutama
usia balita. Survei Kesehatan Nasional tahun 2006 menempatkan Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) penyakit pada posisi tertinggi sebagai
penyakit paling berbahaya pada balita. Diare dan ISPA dilaporkan telah
membunuh 4 juta anak setiap tahun di negara-negara berkembang.
Sementara flu burung atau yang dikenal juga H5N1 merupakan penyakit
mematikan dan telah memakan cukup banyak korban (Anggrainy R,
2010).
14
Penyakit-penyakit tersebut di atas juga merupakan masalah global
dan banyak berjangkit di negara-negara berkembang, suatu wilayah yang
didominasi dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk, tidak cukup
pasokan air bersih, kemiskinan dan pendidikan yang rendah. Rantai
penularan penyakit-penyakit tersebut di atas dapat diputus "hanya" dengan
perilaku cuci tangan pakai sabun yang merupakan perilaku yang
sederhana, mudah dilakukan, tidak perlu menggunakan banyak waktu dan
banyak biaya (Depkes RI, 2011).
Cuci tangan belum menjadi budaya yang dilakukan masyarakat
luas di Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari saja, masih banyak yang
mencuci tangan hanya dengan air sebelum makan, cuci tangan dengan
sabun justru dilakukan setelah makan. Mencuci tangan saja adalah salah
satu tindakan pencegahan yang menjadi perilaku sehat dan baru dikenal
pada akhir abad ke 19. Mencuci tangan dengan air saja lebih umum
dilakukan, namun hal ini terbukti tidak efektif dalam menjaga kesehatan
dibandingkan dengan mencuci tangan dengan sabun (Syahputri, 2011).
Menggunakan sabun dalam mencuci tangan sebenarnya menyebabkan
orang harus mengalokasikan waktunya lebih banyak saat mencuci tangan,
namun penggunaan sabun menjadi efektif karena lemak dan kotoran yang
menempel akan terlepas saat tangan digosok dan bergesek dalam upaya
melepasnya. Dalam lemak dan kotoran yang menempel inilah kuman
penyakit hidup. Efek lainnya adalah, tangan menjadi harum setelah dicuci
dengan menggunakan sabun dan dalam beberapa kasus, tangan yang
menjadi wangilah yang membuat mencuci tangan dengan sabun menjadi
menarik untuk dilakukan. Tangan yang bersentuhan langsung dengan
kotoran manusia dan binatang, ataupun cairan tubuh lain (seperti ingus,
dan makanan/minuman yang terkontaminasi saat tidak dicuci dengan
sabun dapat memindahkan bakteri, virus, dan parasit pada orang lain yang
tidak sadar bahwa dirinya sedang ditularkan. Lebih sulit mengubah
kebiasaan orang daripada memulai menumbuhkan kebiasaan mencuci
15
tangan. Salah satu penyakit yang bisa bersarang dalam tubuh bila
mengabaikan cuci tangan yaitu diare (Anggrainy R, 2010).
Diare dengan mudah memasuki tubuh lewat tangan yang tercemar
kuman, virus, parasit. Baik saat memegang pintu, menekan tombol lift,
bersalaman, memegang uang, kursi atau barang apa saja. Dari tangan yang
tercemar, kuman masuk ke mulut lewat makanan yang kita pegang. Jadi
tangan menjadi perantara tersebarnya kuman dari kotoran atau tinja ke
mulut. Diare, infeksi mata, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), flu
burung dan flu babi, termasuk dalam penyakit yang menular dengan cepat.
Meski demikian, penyakit-penyakit tersebut sebenarnya bisa dicegah
dengan kebiasaan mencuci tangan pakai sabun. Meski mudah dan murah,
cuci tangan dengan sabun belum menjadi budaya yang dilakukan seluruh
masyarakat. Menurut Bank Dunia, perilaku cuci tangan dengan sabun atau
CTPS menurut Departemen Kesehatan kurang dipromosikan sebagai
tindakan pencegahan. Departemen Kesehatan RI sendiri sekarang sudah
mulai memasukkan cuci tangan dengan air bersih dan sabun dalam elemen
penting peningkatan kesehatan anak Indonesia (Aditama, 2011).
Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi
dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air bersih dan
sabun oleh manusia agar menjadi bersih dan memutuskan mata rantai
kuman. Perilaku Sehat Cuci Tangan Pakai Sabun yang merupakan salah
satu Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), saat ini juga telah menjadi
perhatian dunia, hal ini karena masalah kurangnya praktek perilaku cuci
tangan tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang saja, tetapi
ternyata di negara-negara maju pun kebanyakan masyarakatnya masih lupa
untuk melakukan perilaku cuci tangan (Anggrainy R, 2010).
Perilaku cuci tangan pakai sabun pada umumnya sudah
diperkenalkan kepada anak-anak sejak kecil tidak hanya oleh orang tua di
rumah, bahkan ini menjadi salah satu kegiatan rutin yang diajarkan para
guru di Taman Kanak-Kanak sampai Sekolah Dasar. Tetapi kenyataannya
perilaku sehat ini belum menjadi budaya masyarakat kita dan biasanya
16
hanya dilakukan sekedarnya. Fasilitas cuci tangan sudah sangat memenuhi
syarat, yaitu air bersih mengalir dilengkapi dengan sabun cuci tangan cair
berkualitas. Sayangnya fasilitas itu belum digunakan dengan baik, karena
biasanya orang hanya mencuci tangan sekedar menghilangkan bau amis
bekas makanan dan lupa atau malas mencuci tangan dulu sebelum makan
(Depkes RI, 2011).
Jika kita sedikit melirik ke masyarakat pedesaan, pada umumnya
masyarakat desa hanya menggunakan air seadanya dan belum banyak yang
menggunkan sabun untuk mencuci tangan. Beberapa hal di atas
menunjukan kenyataan bahwa perilaku cuci tangan pakai sabun sebagai
salah satu upaya personal hygiene belum dipahami masyarakat secara luas
dan prakteknya pun belum banyak diterapkan dalam kehidupan seharihari. Rapat Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan Hari Cuci
Tangan Pakai Sabun Sedunia (HCTPS) yang pertama diselenggarakan
pada tanggal 15 Oktober 2008. Ini merupakan perwujudan seruan tentang
perlunya upaya untuk meningkatkan praktek personal hygiene dan sanitasi
di seluruh dunia. Fokus HCTPS tahun 2008 ini adalah Anak sekolah
sebagai "Agen Perubahan" dengan simbolisme bersatunya seluruh
komponen keluarga, rumah dan masyarakat dalam merayakan komitmen
untuk perubahan yang lebih baik dalam berperilaku sehat melalui CTPS
(Depkes RI, 2011).
HCTPS yang diperingati oleh banyak negara di dunia, merupakan
upaya untuk meningkatkan budaya CTPS secara global. Ribuan anak
sekolah mencuci tangan pakai sabun pada hari yang sama pada 20 negara
yang berbeda, sedangkan tujuan dari tantangan ini adalah untuk
menciptakan keseragaman kegiatan kunci bagi seluruh negara yang
berpartisipasi, menciptakan kreatifitas, memacu kompetisi positif antar
negara peserta serta membuat HCTPS menjadi sebuah hari yang
menyenangkan. Sehingga penyebaran penyakit yang disebabkan oleh
lingkungan dan perilaku manusia seperti penyakit diare dan pneumonia,
yang dapat berakibat fatal, dapat dikurangi (Sedyaningsih, 2011).
17
2. Langkah Cuci Tangan Yang Baik Dan Benar
Menurut Subea (2010) cuci tangan pakai sabun yang baik dan
benar mempunyai langkah-langkah sebagai berikut : dimulai dengan
membasahi tangan dengan air lalu menuangkan sabun secukupnya dan
kemudian meratakan pada kedua telapak tangan, setelah itu menggosok
punggung tangan dan sela-sela jari dengan tangan kanan secara bergantian.
Selanjutnya menggosok kedua telapak tangan dan sela-sela jari hingga
jari-jari saling mengunci, barulah setelah itu menggosok ibu jari kiri
berputar dengan tangan kanan. Menggosokkan ujung jari-jari tangan kanan
di telapak tangan kiri dengan memutar secara bergantian. Membilas kedua
tangan dengan air dan terakhir mengeringkan dengan handuk kering.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi cuci tangan pakai sabun (CTPS)
a. Pengetahuan
b. Sikap
c. Budaya
d. Lingkungan
e. Keluarga.
4. Hal yang harus diperhatikan dalam cuci tangan pakai sabun
Penggunaan sabun pada saat mencuci tangan menjadi penting
karena sabun sangat membantu menghilangkan kuman yang tidak tampak
minyak/lemak/kotoran di permukaan kulit serta meninggalkan bau wangi.
Kita dapat memperoleh kebersihan yang berpadu dengan bau wangi dan
perasaan segar setelah mencuci tangan pakai sabun, ini tidak akan kita
dapatkan jika kita hanya menggunakan air saja. Tidak kalah penting untuk
diperhatikan adalah waktu-waktu kita harus melakukan perilaku cuci
tangan, di Indonesia diperkenalkan 5 waktu penting yaitu setelah ke
jamban, setelah menceboki anak, sebelum makan, sebelum memberi
makan anak dan sebelum menyiapkan makanan (Subea, 2010).
18
Penelitian WHO menunjukkan bahwa mencuci tangan pakai sabun
dengan benar pada lima waktu penting dapat mengurangi angka kejadian diare
sampai 45%. Cuci tangan pakai sabun dengan benar juga dapat mencegah
penyakit diare. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, seperti
yang disampaikan United States Agency for International Development
(USAID). Riset menunjukkan bahwa penyebab terbesar meninggalnya balita
dan anak-anak Indonesia adalah penyakit diare dan ISPA. Saat ini,
pemahaman dan kepedulian untuk mempromosikan praktik cuci tangan pakai
sabun dengan benar disejumlah kantor pemerintahan, LSM, lembaga donor
dan sektor swasta semakin meningkat. Yang lebih penting lagi adalah
hubungan yang akan terbentuk antara cuci tangan pakai sabun dan kegiatan
perubahan perilaku higienis lain dengan proyek-proyek infrastruktur sanitasi
skala besar. Masih dibutuhkan usaha - usaha untuk meningkatkan kepedulian
masyarakat terhadap dampak positif yang akan muncul dari cuci tangan pakai
sabun dengan menggandeng kantor-kantor pemerintah, LSM dan pihak swasta
untuk bersama-sama mengkomunikasikan seruan aksi cuci tangan pakai sabun
sebagai aktifitas sehari-hari semua orang (Depkes RI, 2011).
19
C. Kerangka Teori
Faktor Penyebab dan resiko
Faktor Yang
Mempengaruhi perilaku
CTPS
Pengetahuan
Sikap
Budaya
Lingkungan
Keluarga
Status gizi
Perilaku
Infeksi
Kejadian Diare
Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun
(PCTPS) Dengan Kejadian Diare
-
Kurangnya
kesadaran
perilaku CTPS
Tidak ada kemampuan
melakukan CTPS
Gambar 1.1 Skema kerangka teori
(Sumber : Inayah (2006)
D. Kerangka Konsep
Variabel bebas
Variable terikat
Cuci tangan pakai sabun
(CTPS)
Kejadian diare
Gambar 1.2 Skema Kerangka Konsep penelitian
20
E. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau menjadi
penyebab bagi variabel lain (Hasan, 2004). Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah cuci tangan pakai sabun (CTPS).
2. Variabel terikat
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau disebabkan oleh
variabel lain (Hasan, 2004). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah
kejadian diare.
F. Hipotesis
Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara penelitian, dugaan, atau
yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut (Notoatmodjo,
2003). Hipotesis dalam penelitian ini yaitu: “Ada hubungan antara perilaku
cuci tangan pakai sabun (CTPS) dengan kejadian diare anak usia sekolah di
SDN 02 Pelemsengir Kecamatan Todanan Kabupaten Blora”.
Download