TEORI HUKUM; SUATU KAJIAN NORMATIF, EMPIRIK, DAN POSISI HUKUM AGAMA DALAM RANAH PUBLIK Oleh : Balian Zahab, S.H. M.H.1 Abstract Jurisprudence (the theory or philosophy of law), conceptually is a rule that puts the legality, using jurisdictional instruments consisting of laws, jurisprudence and doctrine that will ultimately be realized as "Reward and Punishment". However, based on groundnorm of purpose and understanding of legal science itself that the law is to be "open", giving a sense of justice, "accept" any kind of changes that occur in society and try to put the law itself in the social fabric of society, therefore that often there is a contradiction between the study of normative and empirical perspectives. It affects the appearance of schools of Islamic jurisprudence, doctrines that strengthen their respective opinions about the direction of the ultimate goal of law is the legality of whether justice or social justice. Not only that, the flow of any religion or religious are preceived as a legal system that "legally" from an order of public life. The results of this discussion is that the workings of a legal system will not be apart from the law as a normative and empirical, two systems can not walk alone, if both systems run along it will be achieved what is called "Sein-Sollen", i.e working of the law which departs from the social order of society where the social system will have the formal legal rules as their reference to the interaction among social creatures. Likewise, the religious law, that particular community would be easier to implement a set of rules (called law), "spirit" or "breath" of the legislation is not contrary to the "idealism" of their religion so that between formal law and religious law will go hand in hand in the public domain. Keyword : Law, Theory of Law, Normative, Empirical, Jurisprudence, Religious. A. Pendahuluan Sejak abad 19, muncul pandangan yang meragukan posisi keilmiahan dari Ilmu Hukum. J.H. von Kirchmann pada tahun 1848 dalam sebuah pidatonya yang diberi judul Die Wertlosigkeit der Jurisprudenz als Wissenschaft (Ketakberhargaan Ilmu Hukum sebagai Ilmu) menyatakan bahwa Ilmu Hukum itu adalah bukan ilmu. Pada abad 20, juga muncul pandangan yang menolak 1 Alumni PascaSarjana Universitas Langlangbuana Bandung. keilmiahan dari Ilmu Hukum. Hal ini tercermin dari karya A.V. Lundstedt yang berjudul Die Inwissenschaftlichkeit der Rechtswissenshaft (Ketidakilmiahan Ilmu Hukum) yang terbit pada tahun 1932. Berdasarkan metodenya, A.V. Lundstedt dengan tegas menolak keilmiahan dari Ilmu Hukum2. Analisa Sosiologi yang berdasarkan Metode Pendekatan dan Fungsi Hukum, yang pada pokoknya adalah terdapatnya unsur-unsur seperti Sosiologi Hukum Pendekatan Instrumental, Pendekatan Hukum Alam dan Karakteristik Kajian Sosiologi Hukum. Dengan memerlukan Metode Pendekatan Sosiologi Hukum, Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif, Hukum Sebagai Sosial Kontrol dan Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, yang merupakan sebagai tolok ukur terhadap norma-norma atau kaidah-kaidah yang hidup didalam masyarakat, apakah norma atau kaidah tersebut dipatuhi atau untuk dilanggar, apabila dilanggar bagaimana penerapan sanksi, sebagai yang melakukan pelanggaran tersebut. Tujuan dan maksud, dalam membahas serta menganalisa sampai tentang Sosiologi Hukum yang secara tidak sadar meresap dan hidup didalam kehidupan masyarakat baik secara internal maupun secara eksternal didalam melakukan interaksi sosial, yaitu dengan menggunakan Metode Pendekatan Sosiologi Hukum dan Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif adalah yang merupakan standarisasi sebagai objek pokok pembahasan Sosiologi Hukum. Ilmu hukum merupakan realitas kodrati yang eksis dan tertanamkan di setiap hati nurani manusia dan a priori terhadap segala bentuk perilaku manusia. Dalam posisinya sebagai norma kehidupan seperti itu, maka ilmu hukum merupakan ilmu amaliah. Artinya, tidak ada ilmu hukum tanpa diamalkan, dan tidak ada sesuatu amalan digolongkan bermoral kecuali atas dasar ilmu hukum. Akan tetapi dalam perjalanan sejarah yang panjang, moral dan moralitas itu sedikit demi sedikit tereduksi, sehingga dewasa ini kandungan moral dan moralitas dalam ilmu hukum sangat 2 Lihat Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum. Diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Alumni, Bandung, 2003, hal. v–vi. menipis. Perkembangan ilmu hukum menjadi semakin memprihatinkan, ketika moral dan moralitas yang masih tersisa dalam batas minimal tersebut cenderung diputar-balikkan melalui rekayasa atau permainan, sehingga garis batas antara adil atau dzalim, benar atau salah, baik atau buruk, jujur atau bohong dan sebagainya menjadi kabur, simpang-siur, kacau dan membingungkan. Bahkan pada tataran teoretis maupun praktis, seakan tidak ada lagi garis batas, garis pemisah, garis demarkasi dalam moral dan moralitas tersebut, sehingga siapapun yang terlibat dalam masalah-masalah hukum, menjadi bingung dan terjebak ke dalam ketidak-berdayaan, ketidak-pastian, ketidak-teraturan, karena memang tidak ada pedoman, tidak ada referensi ataupun kategori-kategori yang pasti mengenai moral dan moralitas itu. Ironisnya, tidak adanya garis pembatas dan pemisah antara moral dan moralitas dengan ilmu hukum tersebut dalam banyak hal justru disengaja oleh pihak-pihak yang berposisi sebagai pengendali, pelaksana maupun pengontrol pengamalan ilmu hukum di dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Garis batas moral dan moralitas yang dalam otentifikasinya jelas dan pasti, justru dengan sengaja dibongkar, didekonstruksi, diambangkan, dijungkir-balikan sehingga manakah ilmu hukum yang bermoral dan mana pula ilmu hukum yang amoral menjadi nisbi, relatif bahkan nihil. Berhadapan dengan kecenderungan adanya pemisahan antara moral dan moralitas dengan ilmu hukum, menjadi relevan untuk dikaji, diungkap dan diangkat kembali urgensi reintegrasi moral ke dalam ilmu hukum. Bagaimanapun kita berkepentingan agar perkembangan ilmu hukum dapat berjalan secara wajar, sehat dan mampu menjadi pendorong terwujudnya kehidupan yang lebih adil, bahagia dan sejahtera. Dalam konteks pemikiran demikian, maka keutuhan moral dengan ilmu hukum harus tetap dijaga, baik pada tataran teoretis maupun praktis. Hukum pada dirinya sendiri tidak pernah merupakan suatu tujuan, melainkan suatu sarana untuk mencapai suatu tujuan non-yuridikal. Finalitas dari hukum itu tidak yuridikal dan hukum karena itu memperoleh dorongan pertumbuhannya (groei stimulus) dari luar hukum. Faktor-faktor ekstra-yuridika; memelihara proses pertumbuhan dinamikal berlangsung terus3. Modernitas hukum ternyata tak kuasa menghapus jejak agama dalam perkembangan masyarakat global. Semakin kuat argumentasi untuk menjadikan agama sebagai konsumsi wilayah privat, agama semakin melangkah jauh masuk ke ranah publik. Sebagai sebuah fenomena yang sulit dihindari, peran agama di wilayah publik harus dirumuskan. Di samping sebagai alat pemersatu, argumentasi bagi tindakan bermoral, dan pembawa kedamaian, agama juga bisa menjadi sumber perpecahan, pertikaian, eksklusifitas, dan sumber kemunduran kehidupan dunia. Jika tidak dirumuskan dengan baik, keterlibatan agama dalam kehidupan publik bisa menjadi sangat berbahaya, karena ia adalah kekuatan absolut yang otoriter. B. Permasalahan Berdasarkan pendahuluan diatas, muncullah pertanyaan atau suatu masalah yang ingin dikaji dan dibahas mengenai pengembanan teori hukum dan pengaruh hukum agama di ranah publik atau masyarakat, yaitu : 1. Berdasarkan karakter, fungsi dan tujuan ilmu hukum, relevankah pertentangan pendapat tentang metode yang harus digunakan dalam ilmu hukum, yakni harus menggunakan metode normatif atau metode empirik (metode ilmu-ilmu sosial) ? 2. Bagaimanakah pandangan tentang posisi hukum agama dalam ranah publik? 3 Jan Gijssels, Mark Van Hoecke, Wat Is Rechtsteorie?, 1982 diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Apakah Teori Hukum itu?, Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 2001, hlm. 13. C. Pembahasan 1. Pertentangan Pendapat Tentang Metode Yang Harus Digunakan Dalam Ilmu Hukum Yakni Harus Menggunakan Metode Normatif Atau Metode Empirik (Metode IlmuIlmu Sosial) Hukum-hukum yang ingin ditegakkan oleh para ilmuwan adalah bukan hukum-hukum preskreptif yang mendiktekan bagaimana sesuatu seharusnya dilakukan melainkan ekspresi (pernyataan) tentang regularitas (keajegan) didalam alam. Sebuah perbedaan yang kurang bersifat metafisikal antara hukum-hukum dan generalisasi-generalisasi aksidental didukung oleh, diinkorporasikan kedalam, atau diderivasi dari teori-teori ilmiah yang sudah diterima, sedangkan generalisasi-generalisasi aksidental tidak. Namun ikhwalnya tidaklah lebih mudah untuk memahami apa sebuah teori ilmiah itu ketimbang untuk memahami apakah sebuah hukum itu4. Konflik-konflik antara norma-norma dari suatu moralitas dan norma-norma dari sistem hukum sudah cukup dikenal oleh semua orang, misalnya sebuah norma sosial memerintahkan kepada kita untuk tidak membunuh, sebuah norma hukum memerintahkan kita untuk membunuh orang untuk melaksanakan eksekusi hukuman mati dan musuh dalam perang. Siapapun yang mentaati salah satu dari norma-norma itu melanggar norma yang lainnya. Ia mempunyai pilihan untuk mengikuti (mentaati) yang mana dari keduanya itu dan karena itu akan melanggar yang mana tetapi tidak mempunyai kekuasaan (power) untuk mengabrogasi (membatalkan) keabsahan dari norma yang dipilihnya untuk tidak ditaati5. Norma-norma inilah yang menjadi tujuan kognisi hukum, norma-norma yang memberikan karakter tindakan sah (atau tidak sah) pada beberapa fakta material dan norma-norma tersebut tercipta melalui tindakan-tindakan hukum semacam itu. 4 Selengkapnya lihat B.Arief Sidharta, Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu ?, Pustaka Sutra, Bandung, 2008, hlm.49-54 5 Kelsen, Hans, Essays In Legal And Moral Philosophy, alih bahasa oleh B. Arief Sidharta, Hukum dan Logika, Alumni, Bandung, cet ke-3, 2006, hlm. 39-40. Saat menggolongkan hukum sebagai norma dan membatasi ilmu hukum dengan kognisi tentang norma (sebuah fungsi yang berbeda dari membuat dan menerapkan hukum tersebut), hukum dipisahkan dari alam, ilmu hukum sebagai ilmu norma kognitif dipisahkan dari semua ilmu kognitif yang berusaha menjelaskan peristiwa-peristiwa alam dari segi hukum kausal. Bahkan ilmu hukum dipisahkan dari ilmu kognitif yang tugasnya menyelidiki sebab dan akibat peristiwa-peristiwa alam tersebut yang ditafsirkan dengan norma-norma hukum, digambarkan sebagai tindakan-tindakan hukum. Tidak ada keberatan terhadap penggolongan seperti sosiologi penelitian khususnya sosiologi hukum. Sosiologi hukum diarahkan pada beberapa peristiwa yang sungguh terlepas dari hubungan mereka dengan norma yang diakui atau diperkirakan sah. Sosiologi hukum (hukum empirik) menghubungkan fakta-fakta material ini dengan fakta material lain sebagai sebab dan akibat. Sosiologi hukum menanyakan misalnya apa yang mendorong pembuat undang-undang menentukan dengan tepat norma-norma ini dan tidak mengeluarkan norma-norma yang lain, dan menanyakan apa efek regulasinya. Hukum empirik menanyakan bagaimana imajinasi religius misalnya atau data ekonomi mempengaruhi aktivitas pengadilan atau tidak berperilaku sesuai dengan sistem hukum. Hukum tersebut diselidiki hanya sebagai data material, sebagai fakta kesadaran manusia yang menerbitkan norma-norma hukum atau mematuhinya atau melanggarnya. Objek kognisi semacam itu sebenarnya bukan hukum itu sendiri tetapi beberapa fenomena yang sama di alam. Persoalan yang dibuka disini adalah apakah fenomena sosial bisa dipahami sepenuhnya dari sudut semacam itu ataukah dari sebuah pandangan seperti ini, semua yang berbau sosial harus dilenyapkan dan dihilangkan sama sekali sebagai objek kognisi tertentu karena memang ada banyak yang dikatakan atas nama pernyataan bahwa bidang ideologis yang bertentangan dengan realitas bahwa masyarakat bertentangan sepenuhnya dengan alam, bagaimanapun juga apa yang pasti adalah bahwa dari sudut ini makna spesifik hukum tersebut sepenuhnya hilang. Jika norma atau keharusan makna itu dicabut maka tidak ada makna dalam penegasan bahwa seseorang diperbolehkan menurut hukum, sesuatu dilarang menurut hukum. Dikatakan bahwa dari segi undang-undang beberapa perilaku adalah delik, sesuai dengan undang-undang, dihukum dan sangat berbeda dengan pernyataan bahwa siapapun yang berperilaku dengan cara ini kemungkinan akan dihukum. Makna tersebut tetap ada ketika pembuat undang-undang menyatakan penguasa yang menerapkan undang-undang, makna tersebut ketika penguasa ini (dalam keputusan hakim dan tindakan administratif) menyatakan warga negara dan ketika warga negara ini (dalam transaksi hukum privat) menyatakan warga negara lain, makna yang ada ini tidak dipahami atas dasar sebuah pernyataan tentang kemungkinan perilaku dimasa mendatang6. Munculnya sosiologi dalam ilmu hukum dikarenakan ingin melihat hakikat hukum yang tidak terbatas pada teks normatif yang abstrak. Tetapi lebih jauh dari itu, hukum ingin dilihat dalam segenap kompleksitasnya dalam interaksinya dengan alam realitas empirik sebagai medan tumbuh-kembangnya hukum tersebut. Apakah bunyi aturan hukum benar-benar berfungsi atau tidak berfungsi dalam realitas empirik. Hal tersebut tidak akan diketahui jika hanya melakukan pengamatan terhadap ajaran-ajaran atau rumusan-rumusan yang resmi dan formal. Untuk itu dibutuhkan penggunaan sosiologi dalam Ilmu Hukum. Terdapat beberapa faktor yang mendorong perkembangan minat terhadap sosiologi hukum, yaitu: perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan-hubungan sosial (termasuk sudah perubahan fisik dan teknologis) ketidaksesuaian antara ideal dan kenyataan; dan sehubungan dengan kedua hal tersebut adalah terjadinya konflik-konflik nilai-nilai,konflik kepentingan dan sebagainya di dalam masyarakat7. 6 selengkapnya lihat Kelsen, Hans, Intoduction to The Problems of Legal Theory, Clarendon Press-Oxford, 1996, diterjemahkan oleh Siwi Purwandari, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, bandung 2009, hlm. 68-69. 7 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum di Indonesia, dalam ceramah dalam rangka “Penataran Pengacara Muda SeIndonesia”yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum bersama-sama dengan Persatuan Advokat Indonesia, Nopember 1976 di Jakarta,dimuat dalam Majalah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Tahun ke VI, Nomor 6, Nopember/Desember 1976. hal.251 dikutip dari www.legalitas.org, Teori hukum I, Diani-final-10nop.doc, diakses pada tanggal 12 April 2009 pukul 23.44 WIB. Memang tidak dapat dipungkiri ada pandangan, baik dari sosiolog maupun sarjana hukum sendiri, bahwa Ilmu Hukum termasuk kelompok Ilmu-ilmu Sosial. Tetapi dalam penerapannya penggunaan metode penelitian ilmu sosial kurang dapat diandalkan untuk dapat menciptakan suatu analisis hukum, doktrin hukum, atau suatu produk hukum (rancangan undang-undang, misalnya) yang dibutuhkan untuk pembangunan hukum. Ilmu Hukum itu juga seperti halnya ilmu lain, memiliki landasan keilmuan yang dibutuhkan oleh setiap ilmu. Ilmu Hukum membangun konsep dan obyeknya yang dapat dieksplorasi oleh siapa pun. Obyek telaah Ilmu Hukum adalah tata hukum positif, yakni sistem aturan hukum yang ada pada suatu waktu tertentu dan berlaku dalam suatu wilayah tertentu bahwa Ilmu Hukum termasuk ke dalam jajaran Kelompok Ilmu Praktis-Normologis. Ilmu Praktis merupakan medan tempat berbagai ilmu bertemu dan berinteraksi, yang produk akhirnya berupa penyelesaian yang secara ilmiah (rasional) dapat dipertanggungjawabkan. Meski obyek telaahnya adalah tata hukum positif, dalam perkembangannya, Ilmu Hukum harus terbuka dan mampu mengolah produk berbagai ilmu lain tanpa berubah menjadi ilmu lain tersebut dengan kehilangan karakter khasnya sebagai ilmu normatif8. Dengan objek telaah (ontologi) yang berbeda tersebut, Ilmu Hukum Dogmatik objek telaahnya adalah semata-mata pada teks-teks otoritatif. Sedangkan Ilmu Hukum Non-dogmatis objek telaahnya adalah hukum dengan sekalian keterkaitannya dengan realitas-empirik. Hal ini berakibat kepada model penelaahan (epistemologi) yang berbeda pula. Metode penelitian dalam Ilmu Hukum Dogmatik menggunakan metode penelitian hukum beserta perangkat-perangkat penafsirannya yang ‘murni’ hukum dogmatik. Sedangkan lmu Hukum Non-dogmatik (empiris) menggunakan 8 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat kilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 114 dan 148. perangkat metode penelitian ‘baru’, yaitu ‘tidak alergi meminjam’ metode yang dikembangkan ilmu lain. Untuk memahami adanya hubungan antara ilmu-ilmu hukum dengan hukum positif diperlukan suatu telaah terhadap unsur-unsur hukum yang mencakup unsur ideal dan unsur real. Unsur ideal mencakup hasrat susila dan rasio manusia. Hasrat susila tersebut menghasilkan asasasas hukum misalnya tidak ada hukuman tanpa kesalahan. Rasio manusia menghasilkan pengertian atau pokok atau dasar dalam hukum seperti masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum. Unsur real mencakup manusia, kebudayaan dan lingkungan alam yang menghasilkan tata hukum. Penelitian terhadap sistematik hukum dapat dilakukan pada perundang-undangan tertentu ataupun hukum tercatat9. Di samping itu diperlukan juga suatu kesadaran bahwa jika hanya ada satu jenis penelitian, maka itu baru dilakukan kegiatan ilmiah yang belum lengkap. Melihat hukum hanya dari sisi normatifnya saja tentu tidak bisa menggambarkan fakta empiriknya. Demikian juga melihat hukum dari sisi gejala kemasyarakatan tidak bisa menggambarkan hukum sebagai sistem atau tata norma yang positif, sebab ia hanya berhenti kepada deskripsi gejala-gejala saja. Pertentangan yang sering ditemukan dalam hal mempelajari ilmu hukum menggunakan metode normatif dan metode empirik, namun lebih lanjut dapat diterangkan bahwa kedua metode tersebut tidak dapat dipertentangkan, karena menjelaskan atau mendefinisikan hukum dalam 2 sudut pandang yaitu secara teoritikal dan praktikal. Ilmu Hukum Praktikal atau Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif) adalah pengembanan hukum teoritikal yang terwujud dalam kegiatan intelektual berupa memaparkan, menganalisis, mensistematisasi dan menginterpretasi hukum positif yang berlaku. Tujuannya adalah untuk memungkinkan penerapan dan pelaksanaan hukum didalam praktek dilaksanakan secara lebih 9 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 14-15 bertanggungjawab10. Ilmu hukum praktikal adalah bentuk pengembanan hukum teoritikal yang benar-benar “praktikal”, artinya relevan untuk pembentukan hukum dan penemuan hukum. Pandangan-pandangan yang berpengaruh dalam kepustakaan hukum sering secara langsung menentukan, dalam arti apa hukum diterapkan dalam praktek hukum. “Ajaran yang berpengaruh” dalam banyak hal dipandang sebagai sumber hukum. Tidaklah tepat, setidaktidaknya sejauh yang menyangkut ilmu hukum praktikal untuk memisahkan secara tajam antara ilmu dan praktek. Hal memaparkan (het beschrijven) dalam ilmu dan hal mewajibkan (het voorschrijven) didalam praktek berjalan saling berimpitan (Paul Scholten dalam Algemeen Dell)11. Menurut pandangan tradisional, ilmu hukum Dogmatik adalah ilmu in optima forma (dalam bentuknya yang optimal). Dengan istilah ini dicakup semua kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk mempelajari isi dari sebuah tatanan hukum positif yang konkret. Sifat dogmatikal-nya terletak dalam hal bahwa orang sungguh-sungguh membatasi diri pada satu sistem hukum spesifik dan cendrung memandang hukum dogmatik sebagai suatu ilmu normatif. Ilmu hukum dogmatik memiliki suatu karakter sendiri yang tidak dapat dibandingkan dengan bentuk ilmu lain. Dogmatika hukum juga mempunyai suatu karakter politik, dengan itu tidak hanya dimaksudkan bahwa menjelaskan momen-momen politik apa yang ikut terlibat dalam teori dan praktik hukum tetapi bahwa dogmatik hukum menganut suatu pendirian politik (hukum), memainkan suatu peranan pada pemikiran dan perancangan pengaturan perundangan, mengkritik yurisprudensi dan memperjuangkan penyelesaian-penyelesaian untuk kejadiankejadian individual yang dapat dihadapkan kepada hakim. Dengan kata lain, langsung berkaitan pada dan melandasi pembentukan hukum dan penemuan hukum dalam kenyataan12. 10 Meuwissen, Pengembanan Hukum, handout mata kuliah Teori Hukum oleh B. Arief Sidharta, Magister Ilmu Hukum, Universitas Langlangbuana, bandung, hlm. 4. 11 ibid, hlm. 5 12 Lihat Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Refika Aditama, Bandung, cet ke-2, 2008,hlm.54-58. Pengembanan hukum teoritikal (empirik) atau fleksibel tentang hukum adalah kegiatan akal budi untuk memperoleh penguasaan intelektual atas hukum atau pemahaman tentang hukum secara ilmiah yakni secara metodik sistematik-logik rasional. Berdasarkan tataran analisisnya (level of analysis) atau berdasarkan tingkat abstraksinya, pengembanan hukum teoritikal dibedakan kedalam tiga jenis. Pada tataran ilmu-ilmu positif, yang paling rendah tingkat abstraksinya disebut ilmu-ilmu hukum. Pada tataran yang lebih abstrak disebut teori hukum dan pada tataran filsafat yang abstraksinya lebih tinggi disebut filsafat hukum yang meresapi semua bentuk pengembanan hukum teoritikal (empirik) dan praktikal (normatif)13. Menurut Teori hukum empirik bahwa ilmu hukum dalam berbagai bentuknya harus diemban sebagai suatu ilmu empirik yang membedakan secara tajam antara fakta-fakta dan norma-norma, antara keputusankeputusan (proposisi) yang memaparkan (deskriptif) dan yang normatif (preskriptif). Gejalagejala hukum dipandang sebagai gejala-gejala empirikal yang murni yang harus dipelajari dan diteliti dengan menggunakan metode-metode empirikal yang mengandung arti bahwa hukum itu dipaparkan, dianalisis dan terutama juga dijelaskan. Jadi, ilmu empirik itu berbicara dalam keputusan-keputusan deskriptif tentang gejala-gejala hukum yang untuk sebagian juga tampil dalam keputusan-keputusan preskriptif. Dari karakteristik ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pengembanan ilmu hukum Empirik harus dipandang sebagai positivis hukum. Bukankah memandang hukum sebagai suatu fakta yang dapat dikonstatasi dan berpendapat bahwa dalam mempelajarinya harus setajam mungkin dijauhkan dari penilaian pribadi, panorama atau kritik. Ilmu hukum empirik sungguh-sungguh sudah menyatakan segala-galanya, mencakup dengan memberikan suatu pemaparan dari gejala-gejala hukum. Ilmu empirik memang dapat ex post memberikan suatu penjelasan yang bermakna tentang gejala hukum yang diinterpretasi secara faktual), tetapi bahwa refleksi-refleksi ini untuk masa depan memiliki hanya suatu makna yang 13 Meuwissen, Penemuan Hukum...Handout, op.cit. hlm.4 terbatas dan tetap menjadi dalil bahwa aksen dari karya yuridis justru terletak pada dimensi ex ante ini14. 2. Posisi Hukum Agama Dalam Ranah Publik Reformasi hukum merupakan salah satu amanat penting dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Di dalamnya tercakup agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat pemerintahan desa, pembaruan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari UUD sampai ke tingkat Peraturan Desa, dan pembaruan dalam sikap, cara berpikir dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dengan perkataan lain, dalam agenda reformasi hukum itu tercakup pengertian reformasi kelembagaan (institutional reform), reformasi perundang-undangan (instrumental reform), dan reformasi budaya hukum. Sesungguhnya penegakan hukum itu berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian serta ketentraman di dalam amsyarakat itu sendiri, oleh karena itu masyarakat bukan saja dapat mempengaruhi tetapi sangat menentukan penegakan supremasi hukum. Kalau melihat dari sudut sosial budaya, maka Indonesia memiliki masyarakat yang sangat majemuk (plural society) dan berbagai macam stratifikasi sosial, juga dalam hal agama. Pada aspek-aspek seperti ritual, peribadatan, dan keyakinan memang harus berada di wilayah privat. Negara atau institusi publik sama sekali tidak punya kewenangan masuk ke wilayah ini. Wilayah keyakinan dan peribadatan atau ritual adalah wilayah yang sangat subjektif. Agama memiliki jargon yang sangat tepat untuk hal ini, yaitu hablum minallah (hubungan personal dengan Tuhan). Pada beberapa kasus, Indonesia tampak belum begitu menyadari aspek yang sangat sakral ini. Pengaruh agama secara eksplisit dalam negara dan kehidupan politik jelas tidak bisa diterima karena ini akan memicu diskriminasi dan 14) Lihat juga Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,..... op.cit. hlm.58-61 sektarianisme. Posisi negara harus netral, bukan untuk meniadakan agama, tapi untuk melindungi dan berlaku adil bagi semua agama. Tidak semua persoalan publik bisa diintervensi oleh agama. Wilayah politik dan negara tidak bisa diintervensi oleh agama. Negara harus netral terhadap agama untuk menjamin prinsip keadilan, yakni persamaan kedudukan semua agama dan keyakinan di hadapan negara. Ada sementara orang yang mengatakan bahwa Islam akan mampu memberikan keadilan, keamanan, dan kesejahteraan kepada semua agama ketika ia menjadi dasar negara. Negara Madina zaman Rasul disebut-sebut sebagai contoh negara Islam ideal yang melindungi hak-hak non-muslim. Sikap menghormati hukum dan orientasi berpikir dan bertindak yang selalu didasarkan atas hukum masih harus dibina dan dikembangkan menjadi kebiasaan hidup rakyat Indonesia. Di tengah isu hak asasi manusia yang dewasa ini menghantui cara berpikir hampir semua orang, juga perlu disadari mengenai pentingnya dimensi kewajiban dan tanggungjawab asasi manusia. Sejatinya hukum dan keadilan justru terletak pada keseimbangan dinamis dalam hubungan antara hak dan kewajiban yang tidak dapat dilepaskan dari kepentingan para subjek hukum dalam arti sempit ataupun kepentingan masyarakat pada umumnya. Pembinaan kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat itu perlu dikembangkan, baik melalui saluran pendidikan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya maupun melalui saluran media komunikasi massa dan sistem informasi yang menunjang upaya pemasyarakatan dan pembudayaan kesadaran hukum yang luas. Sudah saatnya semua pihak menanamkan keyakinan yang sunguh-sungguh mengenai pentingnya menempatkan hukum sebagai “kalimatun sawa’” atau ‘pegangan normatif’ tertinggi dalam kehidupan bersama. Pengakuan terhadap sistem Hukum Agama, terutama hukum Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem hukum nasional, akan berdampak sangat positif terhadap upaya pembinaan hukum nasional. Setidak-tidaknya, kita dapat memastikan bahwa di kalangan sebagian terbesar masyarakat Indonesia yang akrab dengan nilai-nilai Islam, kesadaran kognitif dan pola perilaku mereka dapat dengan mudah memberikan dukungan terhadap norma-norma yang sesuai dengan kesadaran dalam menjalankan syari’at agama. Dengan demikian, pembinaan kesadaran hukum masyarakat dapat lebih mudah dilakukan dalam upaya membangun sistem supremasi hukum di masa yang akan datang. Hal itu akan sangat berbeda jika norma-norma hukum yang diberlakukan justru bersumber dan berasal dari luar kesadaran hukum masyarakat. Perkembangan ke arah adopsi yang makin luas terhadap sistem Hukum Islam yang bersesuaian dengan dinamika kesadaran hukum dalam masyarakat kita, yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan serta diwujudkan dalam esensi kelembagaan hukum yang dikembangkan dapat dikaitkan pula dengan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat filosofis dan ketatanegaraan. Secara umum dapat diakui bahwa UUD 1945 mengakui dan menganut ide ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak saja ditegaskan dalam rumusan Pembukaan UUD yang menyebut secara eksplisit adanya pengakuan ini, tetapi juga dengan tegas mencantumkan ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu sebagai sila pertama dan utama dalam rumusan Pancasila. Bahkan, dalam Pasal 29 UUD 1945, ditegaskan pula bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dalam Pasal 9 ditentukan bahwa setiap Presiden dan Wakil Presiden sebelum memangku jabatan diwajibkan untuk bersumpah ‘Demi Allah’. Ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu bahkan dikaitkan pula dengan ide Ke-Maha Kuasaan Tuhan yang tidak lain merupakan gagasan Kedaulatan Tuhan dalam pemikiran kenegaraan Indonesia. Namun, prinsip Kedaulatan Tuhan itu berbeda dari paham teokrasi barat yang dijelmakan dalam kekuasaan Raja, maka dalam sistem pemikiran ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, hal itu dijelmakan dalam prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Selanjutnya, prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke dalam sistem kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang selanjutnya akan menentukan haluan-haluan dalam penyelenggaraan negara berupa produk-produk hukum tertinggi, yang akan menjadi sumber bagi penataan dan pembinaan sistem hukum nasional. MPR-lah yang dijadikan sumber kewenangan hukum bagi upaya pemberlakuan sistem hukum Islam itu dalam kerangka sistem hukum nasional. Dari perspektif Hukum Islam, proses pemikiran demikian dapat dikaitkan dengan pemahaman mengenai konsep ‘theistic democracy’ yang berdasar atas hukum ataupun konsep ‘divine nomocracy’ yang demokratis yang berhubungan erat dengan penafsiran inovatif terhadap ayat al-Quran yang mewajibkan ketaatan kepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada ‘ulul amri’. Pengertian ‘ulul amri’ yang seringkali disalahpahami sebagai konsep mengenai ’pemimpin’ (waliyu al-amri), justru dipahami sebagai konsep mengenai ‘perwakilan kepemimpinan’ atau ‘para pemimpin yang mewakili rakyat’ (ulul amri). Karena itu, konsep parlemen dalam pengertian modern dapat diterima dalam kerangka pemikiran Hukum Islam, melalui mana norma-norma hukum Islam itu diberlakukan dengan dukungan otoritas kekuasaan umum, yaitu melalui pelembagaannya menjadi ‘qanun’ atau peraturan perundang-undangan negara. Karena itu, dapat dikatakan bahwa eksistensi Hukum Islam dalam kerangka Sistem Hukum Nasional Indonesia sangat kuat kedudukannya, baik secara filosofis, sosiologis, politits, maupun juridis. Meluasnya kesadaran mengenai reformasi hukum nasional dewasa ini justru memberikan peluang yang makin luas bagi sistem Hukum Islam untuk berkembang makin luas dalam upaya memberikan sumbangan terhadap perwujudan cita-cita menegakkan supremasi sistem hukum sesuai amanat reformasi15). Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni AlQur’an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota 15) lihat Jimly Asshiddiqie, dalam makalah seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Nasional berjudul Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, di Jakarta, 27 September, 2000, http://www.unissula.ac.id/mh/file/j011.doc. diakses pada tanggal 13 April 2009 Pukul 00.45 WIB. keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspekaspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu. Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni, walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung hukum itu. Fenomena benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan Minangkabau. Benturan itu terjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun proses menuju harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara damai itu mula terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian empiris, yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asasasasnya. hukum Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu? Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang peribadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa sholat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam, contohnya di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang memberikan kesempatan kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan sholat Jum’at misalnya. Begitu juga di bidang haji dan zakat, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan jemaah haji, administrasi zakat dan seterusnya. Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan perkawinan bagi seorang Muslim atau Muslimah adalah jika sah menurut hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada Compendium Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden. Berbagai undangundang yang terkait dengan hukum bisnis juga telah memberikan tempat yang sewajarnya bagi kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan perbankan dan asuransi. Menurut Yusril Ihza Mahendra16: “Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan sebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam perumusan kaidah hukum positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan pada mereka, selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa negara kita ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-terangan menyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai sekarang saya juga belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara Adat”. Tidak hanya dalam Islam, dalam agama lainpun berperan dalam hukum, baik dimasa rajaraja kuno maupun dalam dunia modern. Sejarah perkembangan ilmu hukum telah menorehkan catatan penting bahwa semasa Teori Hukum Alam berjaya, qalbu diposisikan lebih tinggi dari akal. Teori ini menempatkan wahyu secara “terberi”, sebagai kekuasaan spiritual dari hukum 16) Yusril Ihza Mahendra, Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia, Yusril Ihza Mahendra.html, www.google.com, diakses pada tanggal 13 April 2009 Pukul 00.25 WIB. Tuhan, dan berada di atas semua perundang-undangan lainnya. Dominasi qalbu atas akal memang terbukti telah menghasilkan kemajuan spiritual, akan tetapi terbelakang dalam bidang materi, fisik dan kebutuhan lahiriah. Dominasi qalbu atas akal dapat membawa manusia kepada kemajuan rohaniah, tetapi tidak jarang dapat mengakibatkan manusia terjerumus kepada dunia mistik yang berlebihan dan menyesatkan. Secara sosio-historis, pemikiran tokoh-tokoh gereja dan raja-raja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M) telah mengharuskan segala urusan kehidupan tunduk menurut ketentuan hukum agama. Mulai dari urusan keluarga, hukum, ekonomi, politik, sosial, seni sampai dengan teologi dan sains, keseluruhannya harus mengikuti ketentuan apa yang dituntunkan gereja17. Sistem hukum yang mewarnai hukum nasional kita di Indonesia selama ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia. sistem Hukum Islam, yang merupakan sistem hukum yang bersumber pada kitab suci AIquran dan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan hadis atau sunnah-Nya serta dikonkretkan oleh para mujtahid dengan ijtihadnya. Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala sosial hukum itu sebagai perbenturan antara tiga sistem hukum, yang direkayasa oleh politik hukum kolonial Belanda dulu yang hingga kini masih belum bisa diatasi, seperli terlihat dalam sebagian kecil pasal pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita nilai bahwa hukum Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan hukum Islam juga karena sistem hukum barat atau kolonial sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi 17 Al-Ghazali Mus, Implementasi Moral Kedalam Sistem Ilmu Hukum, www.badilag.net, hlm. 8, diakses pada tanggal 13 April 2009 Pukul 00.05 WIB. pembangunan hukum nasional, sehingga harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah sumbangsih hukum Islam18. D. Kesimpulan Dari keseluruhan penjelasan diatas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa : 1. Ilmu Hukum Normatif atau Ilmu Hukum Partikal atau Ilmu hukum Positif atau Ilmu Hukum Dogmatik adalah mempelajari hukum positif yang berlaku disuatu wilayah negara tertentu melalui pendekatan perspektif internal yaitu mempelajari hukum dengan bertolak pada titik berdiri partisipasi seseorang didalam hukum yang didalaminya. Fokus perhatian metode normatif ialah pada hukum yang berlaku sebagai das sollen-sein yaitu hukum sebagai suatu sistem keharusan (das sollen) yang berakar pada kenyataan kemasyarakatan (das sein) dan diarahkan untuk menata dan mengatur kemasyarakatan itu (das sein). Ilmu Hukum Empirik adalah kegiatan ilmiah guna mempelajari hukum dari segi pendekatan eksternal, yaitu mempelajari hukum dari sisi pengamat yang mengamati perilaku para warga dan pejabat masyarakat berkenaan dengan berlakunya hukum di dalam masyarakat. Objek telaahnya adalah hukum sebagai Sein-Sollen yaitu hukum tampil dalam perilaku orang dalam kemasyarakatan (das sein) berkenaan dengan ada dan berlakunya kaidah-kaidah hukum positif (das sollen). Metode yang digunakan adalah metode ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan yang menggambarkan keadaan sebagaimana adanya. Diperlukan suatu kesadaran bahwa jika hanya ada satu jenis penelitian, maka itu baru dilakukan kegiatan ilmiah yang belum lengkap. Melihat hukum hanya dari sisi normatifnya saja tentu tidak bisa menggambarkan fakta empiriknya. Demikian juga melihat hukum dari sisi gejala 18 (Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional (Bertenun dengan Benang-benang Kusut), Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999), hal. 5 dan 11), baca juga Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, Jakarta: BP IBLAM, 2004, hal .9-22, Bustanul Arifin, Transformasi op.cit hlm. 11-12. seperti yang dikutip oleh Muchsin, dalam makalah narasumber : Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional, www.google.com, diakses pada tanggal 13 April 2009 Pukul 01.02 WIB kemasyarakatan tidak bisa menggambarkan hukum sebagai sistem atau tata norma yang positif, sebab ia hanya berhenti kepada deskripsi gejala-gejala saja. 2. Hukum agama memiliki potensi dan peranan yang sangat penting dalam ranah publik dan hukum nasional Indonesia. Pengakuan terhadap sistem Hukum Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem hukum nasional, akan berdampak sangat positif terhadap upaya pembinaan hukum nasional. Setidak-tidaknya, kita dapat memastikan bahwa di kalangan sebagian terbesar masyarakat Indonesia yang akrab dengan nilai-nilai Islam, kesadaran kognitif dan pola perilaku mereka dapat dengan mudah memberikan dukungan terhadap norma-norma yang sesuai dengan kesadaran dalam menjalankan syari’at agama. Dengan demikian, pembinaan kesadaran hukum masyarakat dapat lebih mudah dilakukan dalam upaya membangun sistem supremasi hukum di masa yang akan datang. Hal itu akan sangat berbeda jika norma-norma hukum yang diberlakukan justru bersumber dan berasal dari luar kesadaran hukum masyarakat. Terlepas dari semua teori-teori mengenai hubungan hukum agama dalam ranah publik, bahwa agama adalah filosofi dasar bagi setiap orang untuk bertindak, terlebih dalam hukum, walaupun hukum dan peraturan dibuat sebaik dan selengkap mungkin namun apabila masyarakat ataupun para wajib hukum tidak memiliki landasan mental keagamaan yang kuat dalam dirinya, maka akan ada “seribu akal” untuk dapat melanggar hukum baik yang disadarinya maupun tidak. Agama adalah dasar yang amat penting dalam menjalani kehidupan pribadi maupun bermasyarakat. DAFTAR PUSTAKA B. ARIEF SIDHARTA, Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu ?, Pustaka Sutra, Bandung, 2008. B. ARIEF SIDHARTA, Handout Mata Kuliah Teori Hukum : Disiplin Hukum, Pengembanan Hukum, Universitas Langlngbuana, Bandung, 2009. B. ARIEF SIDHARTA, Handout Mata Kuliah Teori Hukum : Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2009. BERNARD ARIEF SIDHARTA, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Mandar Maju, Bandung, 1999. HENKET. M, Argumentatietheorie en Recht, diterjemahkan oleh B. ARIEF SIDHARTA, Teori Argumentasi dan Hukum, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2005. JUE, R.J, Rechtsnormenleer (Hoofdstuk I Grondbeginselen Van Het Rech, Wolter Noordhof, Groningen, 1990), Diterjemahkan Oleh B. ARIEF SIDHARTA, Analisis Kaidah Hukum, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2005. JAN GIJSSELS, MARK VAN HOECKE, Wat Is Rechtsteorie?, 1982 diterjemahkan oleh B. ARIEF SIDHARTA, Apakah Teori Hukum itu?, Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 2001. KELSEN, HANS, Essays In Legal And Moral Philosophy, alih bahasa oleh B. ARIEF SIDHARTA, Hukum dan Logika, Alumni, Bandung, cet ke-3, 2006. KELSEN, HANS, Intoduction to The Problems of Legal Theory, Clarendon Press-Oxford, 1996, diterjemahkan oleh SIWI PURWANDARI, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, bandung 2009. MEUWISSEN, Pengembanan Hukum, handout mata kuliah Teori Hukum oleh B. ARIEF SIDHARTA, Magister Ilmu Hukum, Universitas Langlangbuana, bandung. 2009. MEUWISSEN, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh B. ARIEF SIDHARTA, Refika Aditama, Bandung, cet ke2, 2008. MOCHTAR KUSUMAATMAJA, B. ARIEF SIDHARTA, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Alumni Bandung, 1999 OTJE SALMAN, R, Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, Armico, Bandung, 1992. OTJE SALMAN, R, ANTHON F SUSANTO, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2007. PONTIER, J.A, Rechtsvinding, Ars Aequi Libri, nijmegen, 1998 diterjemahkan oleh ARIEF SIDHARTA, Penemuan Hukum, Jendela Mas Oustaka, 2008. SCHOLTEN, PAUL Struktur Ilmu Hukum. Diterjemahkan OLEH B. ARIEF SIDHARTA, Alumni, Bandung, 2003 SOERJONO SOEKANTO, Mengenal Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 1986 SOERJONO SOEKANTO, SRI MAMUDJI, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. SUDIKNO MERTOKUSUMO, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2002. VAN EIKEMA HOMMES, H.J., Handout Mata Kuliah Teori Hukum : Hubungan Aspek Hukum Dan Aspek Kehidupan Lain, Disadur oleh B. ARIEF SIDHARTA, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2004.