Internalisasi dan Akulturasi Nilai-Nilai Keislaman dalam Tradisi dan Budaya Masyarakat Jawa Andik Wahyun Muqoyyidin Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum Jombang Abstract: This article investigates the internalization of Islamic values in Javanese cultures. Javanese people are well-known with their various cultures and traditions that are very close to myths. The myths are frequently found in Javanese ritual practices. One of most celebrated ritual practices is Slametan. It is a ritual or ceremony that is held for a specific purpose. By doing Slametan, Muslims pray for Allah to fulfill their wish. This portrays the peaceful and harmonious condition, where Islam and local cultures are well-acculturated. They live side by side. This condition is much influenced by the very long process of acculturation. The coming of Islam does not harass the local cultures; otherwise, Islam assimilates and strengthens the spirit of local cultures. This proves that Javanese religiosity is an ideal model of synthesizing Islam and local cultures. Key words: Internalization, Acculturation, Javanese Culture. Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 241 Internalisasi dan Akulturasi Nilai-Nilai Keislaman A.Pendahuluan Fenomena tentang sinkretisme keberagamaan masyarakat Jawa bukanlah sesuatu yang asing lagi dalam kajian para peneliti yang secara serius mengkaji dan menelaah agama Jawa. Islam datang dan masuk ke tanah Jawa, di saat tradisi kultural masyarakatnya telah begitu kuat mengakar dipengaruhi oleh sistem kepercayaan Hindu dan Budha, serta berbagai tradisi non-Islam yang lain. Partokusumo1 menjelaskan hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari ajaran Islam yang tersebar pada saat itu, di mana telah banyak dipengaruhi oleh paham-paham mistik dari Persia dan India, yang sebagian besar ajarannya sesuai dengan pandangan hidup tradisionalis orang Jawa. Nur Syam dalam kajian etnografinya tentang “Tradisi Islam Lokal Pesisiran” bahkan menyebut peran Indo-Persia terhadap corak Islam di Jawa sangatlah menonjol. Hal tersebut dapat dilihat dari nama-nama bulan Jawa yang dinisbahkan kepada sistem bulan di Persia. Bulan Muharram dalam kalender Arab, misalnya, oleh masyarakat Jawa disebut dengan bulan Suro atau Asyuro, biasanya diisi dengan ritual tirakatan. Uniknya, ritual tersebut serupa dengan tradisi yang ada di Persia, yang memandang bulan ini sebagai bulan bela sungkawa atas kematian Husain, cucu Nabi Muhammad, di padang Karbala.2 Proses tersebut terjadi tidak lepas dari berkembangnya Islam di Jawa yang dimulai dari pesisir untuk kemudian terus berlanjut ke wilayah pedalaman. Dari situ, interkoneksi kultural antara para pendatang yang kerap singgah di wilayah pesisir pada masa-masa 1Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Islam (Yogyakarta: Ikapi DIY, 1995), hlm. 265. 2Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2005), hlm. 66. 242 Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 Andik Wahyun Muqoyyidin awal masuknya Islam di Jawa, menyebabkan terjadinya proses tarik menarik antara budaya lokal dengan budaya luar yang kemudian turut memengaruhi dinamika kultural masyarakat setempat, berupa terjadinya sinkretisme dan atau akulturasi budaya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, hal itu dipahami sebagai praktik meyakini keimanan dalam ajaran Islam yang sekaligus juga mempercayai berbagai keyakinan lokal setempat.3 Pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1646), yang merupakan penguasa terbesar kerajaan Mataram, proses akulturasi Islam dalam budaya Jawa berlangsung secara signifikan. Kala itu, karya-karya sastra Jawa ditulis sedemikian intensifnya, sebagaimana terlihat dari dua teks Jawa yang sangat terkenal, yaitu Babad Tanah Jawi dan Serat Centini. Yang menarik dari dua di antara karya-karya sastra Jawa pada masa awal Islam ini, mengetengahkan aspek sufisme Islam yang dirumuskan dengan sedemikian rupa sebagai bagian dari budaya Jawa dan tentunya diekspresikan dengan terma-terma khas dalam bahasa Jawa. Pada Babad Tanah Jawi, Sultan Agung disebut-sebut sebagai seorang raja sufi keturunan raja Brawijaya II dari kerajaan Majapahit, kerajaan Jawa era Hindu-Budha, yang telah mencapai kesempurnaan hidup. Dari dua teks tersebut, terlihat sekali keharmonisan antara Islam dan budaya Jawa dalam proses akulturasinya.4 Meskipun kemudian, terjadi fluktuasi relasi Islam dengan budaya Jawa pada abad ke-19, yakni ketika elit penguasa Jawa (priyayi) dan Muslim santri di pesantren memasuki suasana konflik dengan munculnya karya sastra kraton Jawa yang cenderung 3Ibid., 6. 4Masdar Hilmy, “Dirāsat Fī Al-Islām Al-Mahallī: Adwā’‘alā Inṣihār Al-Islām Fī Al-Thaqāfah Al-Jāwīyah,” Studia Islamika 7, no. 2 (2000), hlm. 140. Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 243 Internalisasi dan Akulturasi Nilai-Nilai Keislaman mendiskreditkan Islam santri, seperti Serat Darmogandul, Serat Cabolek, dan Suluk Gotoloco. Namun, wajah Islam masyarakat Jawa yang akulturatif masih terlihat dominan dalam setiap ekspresi ritus keberagamaannya. Dapat dikatakan sinkretisme dan internalisasi nilai-nilai keislaman dalam praktik ritus masyarakat Jawa, masih menjadi karakter distingtif khas ala Islam Jawa yang tetap eksis sampai dengan sekarang. Secara spesifik tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji keberislaman masyarakat Jawa, terutama terkait internalisasi dan akulturasi nilai-nilai keislaman dalam tradisi dan budaya mereka. B. Potret Tradisi dan Budaya Masyarakat Jawa Salah satu fakta menarik bagi kajian ilmiah tentang keberagamaan, atau khususnya keislaman masyarakat Jawa, adalah tidak dapat dilepaskannya stereotype keberagamaan mereka dari perbedaan latar sosio ekonomi, kelas, perilaku politik, bahkan konflik sosial. Dalam hal ini, artikulasi sosiologis yang dipopulerkan Geertz tentang tiga tipologi masyarakat Islam Jawa dan lantas dihubungkan dengan kelas sosial tertentu paling banyak dijadikan referensi, meskipun sampai sekarang tetap menimbulkan berbagai pandangan pro dan kontra. Geertz, dalam karyanya yang fenomenal berjudul The Religion of Java, mendeskripsikan secara mendalam tiga tipologi keberislaman orang Jawa, yakni Islam abangan, santri, dan priyayi.5 Tradisi Islam abangan digambarkan sebagai Islam Jawa sinkretis yang memadukan keyakinan mereka berdasarkan ajaran-ajaran animisme serta HinduBudha dengan Islam dan lebih banyak mengemuka di kalangan masyarakat pedesaan. Sementara tradisi Islam santri, diidentifikasi 5Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: University of Chicago Press, 1976), hlm. 64. 244 Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 Andik Wahyun Muqoyyidin sebagai varian Islam yang lebih ortodoks, tersebar luas di kalangan para pedagang dan petani kaya, serta disematkan kepada mereka yang jelas memiliki komitmen keagamaan berdasarkan tingkat ketaatannya terhadap aturan-aturan ajaran agama. Dan terakhir, tradisi Islam priyayi diidentifikasi sebagai suatu warisan (legacy) elit yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Hindu-Budha keraton Jawa sebelumnya dan dikaitkan juga dengan golongan bangsawan tradisional Jawa. Dengan ketiga tipologi tersebut, Geertz sesungguhnya bermaksud untuk menjelaskan bahwa Islam Jawa bukanlah bersifat tunggal, monolitik, apalagi seragam. Islam di Jawa dalam pandangannya adalah kumpulan ekspresi dari iman, doktrin, ritual budaya, dan lain-lain yang kemudian dipraktikkan sesuai dengan tradisi lokal setempat. Nur Syam menyebut, sebagaimana dikutip Anwar, berkat kajian Geertz inilah Indonesia pada akhirnya menjadi lahan subur bagi studi-studi sosiologis-antropologis.6 Namun begitu, Syam juga mengkritik sinkretisme ala Geertz yang dianggapnya menafikan intensitas dialog antara Islam dengan budaya lokal. Pendekatan Geertz dengan mengelaborasi pengertian agama sebagai bagian dari sistem kebudayaan, jelasnya sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis selanjutnya tersimpan dalam simbol-simbol, di mana dengannya manusia membangun jaringan komunikasi, berperilaku, dan memandang kehidupan akan terlihat seolah mencukupkan pemahaman realitas agama dengan cara interpretasi semata. Padahal, adalah hal yang lebih penting yaitu harus dengan turun ke lapangan, berbaur, dan berkomunikasi langsung secara intensif (interpretability). 6Khoirul Anwar, “Makna Kultural dan Sosial-Ekonomi Tradisi Syawalan,” Walisongo 21, no. 2 (2013), hlm. 439. Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 245 Internalisasi dan Akulturasi Nilai-Nilai Keislaman Peneliti seperti Effendy (1985) memuji Geertz yang mampu menyajikan style varian keagamaan dan tradisi dari setiap kelompok secara menawan dengan menekankan pada dimensi sinkretisme agama Jawa, yaitu antara animisme, Islam dan Hindu-Budha.7 Peneliti lain seperti Beatty (1994, 1999) bahkan jelas membenarkan konsepsi Geertz mengenai relasi Islam dan budaya lokal yang bercorak sinkretis. Sinkretisme tersebut antara lain tampak dalam berbagai upacara yang diselenggarakan masyarakat Banyuwangi, dengan ritus slametan. Ritus slametan sendiri dapat dipahami sebagai agreeing to differ, dalam konteks di mana mereka yang menghadiri ritual ini datang dari berbagai variasi perbedaan sosio-religius-kultural dari ketiga varian di atas.8 Kelebihan lain dari tipologi yang diajukan Geertz adalah kiranya mampu menjembatani realitas sosial di Jawa hingga sekarang yang masih dilihat dari tiga kluster kelompok ini, meskipun peneliti-peneliti sesudahnya banyak yang menggugat. Harsja W. Bachtiar dalam Asror misalnya, mengemukakan penjelasan Geertz tentang tipologi masyarakat tersebut dirasakannya sangat membingungkan.9 Menurut Bachtiar, akan naif jika orang Jawa semata-mata dilihat sebagai orang Jawa, tetapi mereka mesti dipandang dalam konteks kedudukan tertentu yang menunjukkan rangkaian model perilaku, meskipun hal itu tak selalu merefleksikan praktik keberagamaannya. Artinya, perilaku orang Jawa akan lebih memungkinkan dilihat dari segi adat yang berlaku secara normatif 7Mufidah Ch, “Pesantren Rakyat: Perhelatan Tradisi Kolaboratif Kaum Abangan dengan Kaum Santri Pinggiran di Desa Sumberpucung Kabupaten Malang Jawa Timur,” El-Harakah (Terakreditasi), 2012, hlm. 129. 8Syam, Islam Pesisir, hlm. 21. 9Ahidul Asror, “Rekonstruksi Keberagamaan Santri Jawa,” Islamica: Jurnal Studi Keislaman 7, no. 1 (2014), hlm. 5. 246 Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 Andik Wahyun Muqoyyidin pada situasi di mana mereka itu hidup. Dalam penelitiannya di Keraton Yogyakarta, Mark R. Woodward secara tegas mengatakan bahwa karya Geertz yang sangat mendominasi wacana tentang “Islam” dan “Jawa” disadari atau tidak, telah dikonstruksi sebagai dua entitas yang saling berlawanan, berbeda, terpisah, dan untuk dikatakan ‘tidak mungkin bersenyawa’. Konstruksi demikian melahirkan pandangan negatif bahwa varian Islam Jawa seolah penyimpangan dari ortodoksi Islam. Menurutnya, Islam Jawa secara tepat dimaknai justru Islam yang tidak menyimpang, bahkan merupakan varian Islam yang unik, di mana distingsi Islam Jawa bukan terletak pada aspek dipertahankannya budaya agama pra-Islam, melainkan lebih disebabkan adanya konsep tentang bagaimana membentuk manusia paripurna sesuai dengan aturan-aturan sosial masyarakat yang diberlakukan.10 Pendek kata, yang paling penting ketika mendiskusikan dialektika antara Islam dan tradisi lokal masyarakat Jawa adalah sinkretisasi antara Islam dan tradisi lokal tersebut. Salah satunya yang terlihat jelas adalah pola tindakan orang Jawa yang di samping cenderung percaya terhadap hal-hal gaib dengan seperangkat ritualitasnya, mereka juga berpandangan terkait alam yang sudah diatur sesuai dengan hukum-hukumnya, yang disebut sebagai numerologi. Menurut Syam, melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengan hukum-hukum alam, sehingga dapat dikatakan hampir seluruh kehidupan orang Jawa diatur berdasarkan hitungan-hitungan numerologi yang diyakini keabsahannya.11 10 Ibid. 11 Khoirul Anwar, “Makna Kultural dan Sosial-Ekonomi Tradisi Syawalan, hlm. 440” Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 247 Internalisasi dan Akulturasi Nilai-Nilai Keislaman Beberapa tradisi ritual yang dilakukan masyarakat Jawa, misalnya, dalam tradisi ritual kematian, ada telung dinonan, pitung dinonan, patang puluh dinonan, satus dinonan, sewu dinonan dengan membuat kue apem, menyebar beras kuning, dan lain sebagainya. Dalam masa kehamilan, misalnya, ada acara telon-telon ketika kandungan usia 3 bulan, kemudian acara tingkepan ketika kandungan usia 6 atau 7 bulan, dan sebagainya. Selanjutnya dalam kelahiran bayi, ada acara sepasaran, selapanan, piton-piton, tiron-tiron, maupun berbagai ritual lain yang sejenis. Dalam pernikahan, ada acara ngunggahke beras, temu manten yang diiringi ritual seperti kedua mempelai diberi minum, disiram air bunga, menginjak telur, serta dibuatkan bermacam-macam asesoris pernikahan. Di samping itu, terdapat kombinasi antara tradisi mengambil berkah (ngalap berkah) dengan kepercayaan mistik masyarakat Jawa yang terlihat dalam tradisi Kliwonan. Kliwonan bersumber dari budaya Jawa yang memahami hari-hari dalam pasaran pon, wage, manis (legi), pahing dan kliwon, berpadu dengan nilai-nilai Islam yang sangat menghormati posisi hari Jumat sebagai sayyid al-ayyam.12 Hari Jumat Kliwon bagi masyarakat Jawa dianggap sebagai dina sing becik (hari yang baik) untuk dilaksanakannya upacara-upacara sakral seperti syukuran perkawinan, khitanan, nujuh (tujuh) bulan, dan lain-lain. Begitu pun dengan malam Jumat Kliwon bagi masyarakat Jawa, dianggap sebagai malam yang bisa mendatangkan banyak rezeki sehingga tak heran jika Kliwonan dimulai pada malam Jumat hingga hari Jumat sore.13 Dari berbagai tradisi dan budaya lokal masyarakat Jawa yang disebutkan di atas, akan terlihat jelas nuansa sinkretisme keberislaman orang Jawa dengan keyakinan mereka yang 12 Muhamad Taufik Hidayat, “Tradisi Kliwonan: Akulturasi Budaya Islam Jawa,” Ibda’ 10, no. 2 (2012), hlm. 170. 13 Ibid., hlm. 171. 248 Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 Andik Wahyun Muqoyyidin sebagian besar sesungguhnya bernuansa kearifan lokal. C. Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai Keislaman Sebagai salah satu agama yang diakui (baca: resmi) di Indonesia, Islam telah memengaruhi pola budaya dan tradisi masyarakat pemeluknya. Menariknya, aspek sosial budaya dari masyarakat setempat tidak serta merta terkikis seketika, namun terjadi proses transformasi yang hingga kini masih terus berlangsung.14 Proses transformasi tersebut dapat dijelaskan sebagai internalisasi sekaligus akulturasi nilai-nilai keislaman dalam tradisi lokal masyarakat setempat. Kajian etnografi tentang tradisi Islam lokal pesisiran yang dilakukan oleh Nur Syam, menjelaskan proses transformasi tersebut yakni bagaimana masyarakat pesisir melakukan berbagai upacara, seperti upacara lingkaran hidup, kalenderikal, upacara tolak balak, maupun upacara-upacara hari baik. Berbagai upacara tersebut pada hakikatnya bertumpu pada medan budaya Makam, Sumur, dan Masjid. Medan budaya dapat mempertemukan berbagai varian di dalam penggolongan sosio-religius dan menjadi medan interaksi sebagai wadah untuk transformasi, legitimasi dan habitualisasi.15 Proses konstruksi sosial tersebut sejatinya dapat dipahami dalam konteks internalisasi spirit nilai-nilai profetik. Menurut Kuntowijoyo, sebagaimana dikutip Faridoni, gagasan profetik sebenarnya diilhami oleh Iqbal: 14 Muhammad Roy Purwanto, ”Akulturasi Islam dan Budaya Jawa Pada Tradisi Ruwatan di Kalangan Muslim Yogyakarta,” Istiqro’ 07, no. 01 (2008), hlm. 46. 15 Syam, Islam Pesisir, hlm. vi. Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 249 Internalisasi dan Akulturasi Nilai-Nilai Keislaman “Tentang peristiwa mi’raj Nabi Muhammad SAW., seandainya Nabi itu seorang mistikus atau sufi tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi, karena telah merasa tenteram bertemu dengan Tuhan dan berada di sisi-Nya. Nabi kembali ke bumi untuk menggerakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah. Beliau memulai suatu transformasi sosial budaya, berdasarkan cita-cita profetik.”16 Nilai-nilai profetik secara definitif dapat dipahami sebagai esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berguna bagi kehidupan manusia seperti halnya sifat seorang Nabi. Nilai tersebut mewakili seperangkat teori yang tidak hanya mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya mengubah suatu hal demi perubahan, melainkan lebih dari itu, mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik.17 Dalam pandangan Kuntowijoyo, pilar profetik tersebut mencakup tiga hal penting, yaitu: Pertama, humanisasi ialah menghidupkan rasa perikemanusiaannya terhadap sesama. Kedua, liberasi ialah bercita-cita mewujudkan manusia bebas, baik secara individu maupun kelompok dan menolak adanya pembatasan. Ketiga, transendensi adalah kesadaran tentang ketuhanan terhadap makna apa saja yang melampaui batas kemanusiaan.18 Profetisitas tradisi Islam Jawa terbentuk dari karakter budaya Jawa yang religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. 16Salfi Faridoni, “Budaya Profetik Puisi Taufik Ismail” Ibda’ 11, no. 2 (2013), hlm. 175. 17 Sriyanto Sriyanto, “Nilai-Nilai Profetik dan Implikasinya Bagi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Studi Pemikiran Kuntowijoyo)” (Semarang: IAIN Walisongo, 2011), hlm. 31. 18 Salfi Faridoni, “Budaya Profetik, hlm. 175. 250 Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 Andik Wahyun Muqoyyidin Lebih lanjut, Suyanto dalam Muqoyyidin, mengungkapkan bahwa karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa. Sebut saja seperti (1) percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sangkan Paraning Dumadi, dengan segala sifat dan kebesaran-Nya, 2) bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan) dan halhal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke arah mistik, 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual, 4) mengutamakan cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia, 5) percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah, 6) bersifat konvergen dan universal, 7) momot dan non-sektarian, 8) cenderung pada simbolisme, 9) cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai, dan 10) kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi.19 Khazanah budaya Islam Jawa sebenarnya secara simultan merepresentasikan tiga konsep nilai-nilai profetik di atas, yaitu humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahy munkar), dan transendensi dengan beriman kepada Allah SWT (tu’minuna billah). Hal ini bisa disaksikan hingga sekarang dalam berbagai sistem ritual Jawa, seperti slametan dengan berbagai bentuknya, baik slametan dalam rangkaian acara mantenan, khitanan, bersih desa maupun ekspresi keberagamaan lainnya. Nilai humanisasi dan liberasi begitu tampak ketika elemen masyarakat Jawa yang memiliki diversitas ternyata dapat disatupadukan melalui ritual slametan tersebut. Hal ini dikarenakan dalam slametan, seolah tidak ada jarak dan sekat antara si kaya dan si miskin, antara penganut Islam normatif dan Islam Jawa. Dalam ritual 19 Andik Wahyun Muqoyyidin, “Dialektika Islam dan Budaya Lokal dalam Bidang SosiaL sebagai Salah Satu Wajah Islam Jawa,” El-Harakah (Terakreditasi), 2012, hlm. 23. Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 251 Internalisasi dan Akulturasi Nilai-Nilai Keislaman slametan, semua elemen masyarakat yang sangat beragam, mulai dari penganut animisme, mistisisme, Islam normatif, kejawen dan hinduisme hadir tanpa membawa serta atribut dan simbol-simbol khas mereka. Menariknya lagi, menu slametan yang biasanya terdiri dari nasi kuning dan kue apem dimakan secara bersama-sama segera setelah dipimpin doa oleh seseorang yang “dituakan”.20 Sedangkan nilai transendensi yang terlihat dari ritual slametan terutama bagi kelompok abangan, adalah semacam simbolisme persembahan terhadap para roh halus, roh leluhur, dan lain-lain agar masyarakat terhindar dari bencana dan kejahatan. Hal itu antara lain dipertegas dari penuturan Kuswandi, dalam wawancara yang dilakukan oleh Ridhwan21 ketika melakukan eksplorasi. Kuswandi sendiri merupakan seorang tokoh komunitas Islam Kejawen di Banyumas dan Cilacap tentang Islam Blangkon. Menurut Kuswadi, dalam hidup di dunia ini “Sing penting urip golek selamet, carane aja mlanggar angger-angger/ aturan-aturan” (yang penting dalam hidup ini adalah mencari selamat dengan cara tidak melakukan pelanggaranpelanggaran). Kuswadi juga menyatakan dalam hidup ini yang penting slametan. Yang dimaksud slametan di sini adalah memberikan persembahan (berupa tumpeng atau ambeng dan dupa) kepada leluhurnya yang dipercaya bisa memberikan manfaat juga marabahaya dalam hidup. Ia mengatakan, “asal munggah wonten panembahan nggih selametan doa selamatan punopo mawon, nggih doa selametan kedah caosi shodaqoh 20 Umi Sumbulah, “Islam Jawa Dan Akulturasi Budaya: Karakteristik, Variasi Dan Ketaatan Ekspresif,” El-Harakah (Terakreditasi), 2012, hlm. 54. 21 Ridhwan, “Islam Blangkon; Studi Ethnografi Karakteristik Keberagamaan di Kabupaten Banyumas dan Cilacap” Istiqro’, 07, No. 01 (2008), hlm. 11. 252 Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 Andik Wahyun Muqoyyidin wonten panembahan. Anak putu podo munjung misal kagem mantun anggenipun sakit” (Yang penting memohon kepada leluhur dengan slametan berdoa slametan apa saja, yaitu doa slametan dengan memberikan persembahan kepada leluhur. Anak cucu juga ikut serta misalnya untuk bisa sembuh dari sakit). Selain slametan, tradisi yang turun temurun dari masyarakat Jawa kuno dan hingga kini masih banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Yogyakarta. Tradisi yang dimaksud adalah ruwatan. Yang menarik dari ruwatan di Yogyakarta ini adalah bergesernya pemaknaan, bacaan, yang pada awalnya berbau “musyrik”, setelah terjadi akulturasi dengan ajaran Islam bertransformasi menjadi bernafaskan Islam.22 Dalam upacara ruwatan sering dipergelarkan pertunjukan lakon wayang khusus sebagai sarana upacara ruwatan seperti Murwakala dan Sudamala. Pergelaran Wayang Kulit dengan cerita Murwakala dimaksudkan agar orang yang diruwat hidup selamat dan bahagia, terlepas dari nasib jelek.23 Ruwatan dalam masyarakat Yogyakarta, terdapat beberapa hal yang menunjukkan adanya akulturasi antara Islam dengan budaya Jawa sekaligus internalisasi nilai-nilai profetis keislaman yang sedemikian jelas, antara lain: Pertama, penggunaan kain putih (mori) yang dipakai oleh peserta ruwatan. Dalam Islam, kain putih adalah jenis kain yang sangat dekat dengan laku ibadah bahkan diyakini sebagai kain yang disukai oleh Nabi Muhammad. Kain putih tersebut bisa dimaknai sebagai simbol kesucian. Yaitu, bahwa penyandang sukerto (yaitu kelemahan tertentu yang dipercaya 22 Muhammad Roy Purwanto, ”Akulturasi Islam” hlm. 40. 23 Fitri Yanti, “Pola Komunikasi Islam Terhadap Tradisi Heterodoks (Studi Kasus Tradisi Ruwatan),” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 13, no. 1 (2014), hlm. 208. Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 253 Internalisasi dan Akulturasi Nilai-Nilai Keislaman dapat mengundang datangnya malapetaka) dengan berpakaian putih, diharapkan hidupnya bersih dari gangguan makhluk jahat. Pakaian itu juga sebagai simbol untuk mengingatkan penyandang sukerto pada kematian, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk semakin dekat dengan Tuhan. Melalui pakaian putih, manusia Jawa diajarkan untuk selalu berhati-hati dalam hidupnya sehingga tidak ternoda, sebagaimana kehati-hatiannya menjaga kain putih karena karakteristik kain tersebut yang mudah terkena noda. Kedua, ritual potong rambut. Tata cara upacara ruwatan diakhiri dengan ritual potong rambut yang kemudian dilabuh/ dilarung bersama dengan pakaian putih-putih yang dikenakannya saat upacara. Potong rambut ini bermakna pembuangan sial (sukerto) dari dalam pribadi orang yang diruwat. Pemotongan rambut dalam ruwatan ini, merupakan akulturasi antara Islam dengan budaya Jawa, dimana dalam Islam, tradisi potong rambut terdapat dalam upacara aqiqah dan pelaksanaan ibadah haji atau umrah (tahallul). Dalam sebuah hadis Nabi disebutkan bahwa salah satu rangkaian upacara aqiqah adalah dengan memotong rambut bayi kemudian berat rambut ditimbang yang beratnya dihitung berat perak untuk disedekahkan. Ketiga, bacaan-bacaan dalam prosesi ruwatan. Sebelum melakukan ruwat, biasanya sang dalang mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, baru kemudian mantra-mantra atau doa-doa dalam bahasa Jawa. Doa-doa tersebut ditutup dengan kalimat syahadat “asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”. Bacaan basmalah dan syahadat dalam doa tersebut jelas mengindikasikan bahwa praktik ruwatan yang dilakukan masyarakat Jawa pada saat ini mengandung nilai-nilai Islam. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah pengatasnamaan Allah SWT dalam setiap aktivitas yang dilakukan sekaligus adanya pengakuan keesaan Allah SWT dan 254 Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 Andik Wahyun Muqoyyidin kerasulan Muhammad SAW, meskipun ruwatan yang dilakukan dilakukan secara khas budaya Jawa. Keempat, shadaqah. Orang yang di-ruwat sebelum melakukan ruwatan diwajibkan untuk bersedekah. Praktik sedekah biasanya dilakukan dengan mengumpulkan tetangga dalam bentuk kenduri dengan masing-masing membawa berkat (nasi, sayur dan aneka lauk) yang telah diracik sedemikian rupa sebagai bentuk sedekah dari pemilik hajat. Persyaratan sedekah dalam praktik ruwatan tersebut selaras dengan nilai-nilai Islam yang sangat menekankan pentingnya sedekah dalam kehidupannya. Sedekah, dalam Islam, diyakini dapat menolak bala’ (bencana). Oleh Karenanya, sedekah dalam ruwatan bertujuan untuk menghindarkan diri dari kesengsaraan, bala’ atau bencana yang mungkin timbul. Kelima, tata cara ruwatan pada bentuk aslinya dengan menggelar wayang Murwakala (Batara Kala). Di beberapa tempat di Yolakgyakarta, ruwatan semacam ini sudah jarang dilakukan. Para peruwat seperti ustadz dan kyai tidak lagi menggunakan pementasan wayang kulit dalam melakukan ruwatan, tetapi menggantinya dengan pengajian, shalawatan (membaca sholawat bersama-sama), dzikiran, dan manaqiban. Meskipun begitu, ada juga dalang yang tetap mementaskan wayang dalam ruwatan, tentu dengan lakon dan judul yang sudah dirubah. Bukanlgi cerita tentang murwakala melainkan lakon yang diisi dengan petuah-petuah Islam.24 D.Simpulan Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa keislaman masyarakat Jawa, tidaklah bersifat tunggal atau monolitik. Berbagai diversitas dalam struktur sosial masyarakat Jawa, telah melahirkan 24 Muhammad Roy Purwanto, ”Akulturasi Islam, 47-52. Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 255 Internalisasi dan Akulturasi Nilai-Nilai Keislaman karakteristik keberagamaan yang unik sekaligus khas ala Islam Jawa. Meminjam tipologi keislaman Jawa berdasarkan pendekatan Geertz (abangan, santri, dan priyayi), para pemerhati kajian Islam Jawa sedikit banyak akan mengetahui tentang bagaimana proses internalisasi dan akulturasi telah terjadi semenjak Islam datang dan berkembang di tanah Jawa. Tradisi lokal masyarakat Jawa yang masih dipenuhi dengan keyakinan-keyakinan animisme, pengaruh ajaran Hindu-Budha, dan lain-lain tidak serta merta terkikis tatkala Islam datang, namun justru terjadi proses sinkretisasi, bahkan akulturasi dengan penyesuaian di sana-sini. Internalisasi nilai-nilai keislaman dalam konteks transformasi spirit profetik sesungguhnya telah ada dalam berbagai tradisi lokal sekaligus ritual keagamaan masyarakat Jawa, seperti dalam tradisi slametan dan ruwatan. Dalam kedua tradisi tersebut, tampak jelas terdapat spirit nilai-nilai profetik yang luhur yang semestinya tetap dipertahankan sampai sekarang, yaitu seperti spirit humanisasi, liberasi, dan sekaligus transendensi. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Khoirul. 2013. “Makna Kultural Dan Sosial-Ekonomi Tradisi Syawalan.” Walisongo 21, No. 2. Asror, Ahidul. 2014. “Rekonstruksi Keberagamaan Santri Jawa.” Islamica: Jurnal Studi Keislaman 7, No. 1. Ch, Mufidah. 2012. “Pesantren Rakyat: Perhelatan Tradisi Kolaboratif Kaum Abangan dengan Kaum Santri Pinggiran di Desa Sumberpucung Kabupaten Malang Jawa Timur.” ElHarakah (Terakreditasi). 256 Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 Andik Wahyun Muqoyyidin Faridoni, Salfi. 2013. “Budaya Profetik Puisi Taufik Ismail” Ibda’ 11, No. 2. Geertz, Clifford. 1976. The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press. Hidayat, Muhamad Taufik. 2012. “Tradisi Kliwonan: Akulturasi BUDAYA Islam Jawa.” Ibda’ 10, No. 2. Hilmy, Masdar. 2000. “Dirāsat Fī Al-Islām Al-Mahallī: Adwā’‘alā Inṣihār Al-Islām Fī Al-Thaqāfah Al-Jāwīyah.” Studia Islamika 7, No. 2. Muqoyyidin, Andik Wahyun. 2012. “Dialektika Islam dan Budaya Lokal dalam Bidang Sosial sebagai Salah Satu Wajah Islam Jawa.” El-Harakah (Terakreditasi). Partokusumo, H. Karkono Kamajaya. 1995. Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Islam. Yogyakarta: Ikapi DIY. Purwanto, Muhammad Roy. 2008. ”Akulturasi Islam dan Budaya Jawa Pada Tradisi Ruwatan di Kalangan Muslim Yogyakarta,” Istiqro’ 07, No. 01. Ridhwan. 2008. “Islam Blangkon; Studi Ethnografi Karakteristik Keberagamaan di Kabupaten Banyumas dan Cilacap” Istiqro’, 07, No. 01. Sriyanto, Sriyanto. 2011. “Nilai-Nilai Profetik dan Implikasinya Bagi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Studi Pemikiran Kuntowijoyo).” Semarang: IAIN Walisongo. Sumbulah, Umi. 2012. “Islam Jawa dan Akulturasi Budaya: Karakteristik, Variasi dan Ketaatan Ekspresif.” El-Harakah (Terakreditasi). Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016 257 Internalisasi dan Akulturasi Nilai-Nilai Keislaman Yanti, Fitri. “POLA KOMUNIKASI ISLAM TERHADAP TRADISI HETERODOKS (Studi Kasus Tradisi Ruwatan).” ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman 13, no. 1 (2014). 258 Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016