Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober

advertisement
HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN STATUS GIZI PADA BAYI USIA 6-12
BULAN DI DESA PAMONGAN WILAYAH PUSKESMAS GUNTUR II
KABUPATEN DEMAK
Sri Lestari
M. Arie Wuryanto, SKM, M.Kes
Hanna Yuanita D.S, MMID
Abstract
Background: Nutritional problems still become serious problem, especially in
growth and development of 6-12 month’s infants. It can be impacted on physical
growth disorder, metabolic disordes, especially for fat disorder, protein and
carbohydrate metabolism, which can lead non-communicable diseases such as
obesity, malnutrition, intelligence disorder and disorder of social behavior.
Therefore, good nutritional status is needed to determine growth and development
of infants further.
Aim(s): To determine relationship between eating habit and nutritinal status of 612 month’s infants in Pamongan village Guntur II Public Health Center.
Methods: Type of this study was analytical with cross sectional design. This study
analyzed relationship between eating habit and nutritional status of the 6-12
month’s infants. Population in this study were 6-12 month’s infants, as many as 34
by used total sampling. Data analysis used Spearman Rho correlation test with P
table=0.05
Results: From this study was found that 52.9% of the infants food was good,
58.8% of infant’s food type was good, 70.6% of food frequency was good, 58.8%
of eating habit wasn’t good, 64.7% of infants had nutritional status was good.
Correlation test between eating habit and nutritional status of infants showed that
there wasn’t relationship between eating habit and nutritional status of 6-12
month’s infants with P value=0.083.
Conclusion: There wasn’t relationship between eating habit and nutritional status
of 6-12 month’s infants.
Keywords: Number of food, type of food, food frequency, eating habit, nutritional
status
References: 40 references (2002-2012)
Kerangka Pemikiran
Pola makan adalah susunan
makanan yang biasa dimakan
mencakup jenis dan jumlah bahan
makanan
yang
dikonsumsi
seseorang atau kelompok orang atau
penduduk dalam frekuensi dan
jangka waktu tertentu. Pola makan
adalah berbagai informasi yang
memberikan gambaran
mengenai macam dan jumlah bahan
makanan yang dimakan setiap hari
oleh satu orang dan merupakan ciri
khas untuk satu kelompok tertentu.
Pola makan sehat adalah suatu cara
atau usaha dalam pengaturan jumlah
dan jenis makanan dengan maksud
tertentu, seperti mempertahankan
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________
1
kesehatan, status nutrisi, mencegah
atau
membantu
kesembuhan
penyakit. Pola makan sehari-hari
merupakan pola makan seseorang
yang
berhubungan
dengan
kebiasaan makan sehari-hari. Pola
makan seseorang dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor, antara lain,
sosial budaya, pendidikan, jenis
kelamin, pekerjaan, suku bangsa
bahkan ras turut andil di dalamnya.
Pola makanan bergantung pada
jumlah, jenis, dan frekuensi, secara
fisik
seseorang
akan
sangat
dipengaruhi oleh asupan makanan
yang diterimanya.
ASI merupakan sumber makanan
utama dan paling sempurna bagi bayi
usia 0-6 bulan. ASI juga mengandung
nutrien-nutrien khusus yang diperlukan
otak bayi agar tumbuh optimal. ASI
merupakan sumber gizi yang sangat
ideal
dengan
komposisi
yang
seimbang
dan
sesuai
dengan
makanan bayi yang paling sempurna,
baik
secara
kualitas
maupun
kuantintas. ASI sebagai makanan
tunggal
akan
cukup
memenuhi
kebutuhan tumbuh kembang bayi
normal sampai usia 4-6 bulan. ASI
diberikan perhari antara 720-960 ml,
dengan jumlah ASI yang diberikan
untuk setiap kali bayi disusui berjumlah
100-200 ml. Pemberian ASI pada bayi
0-6 bulan dilakukan sesering mungkin
(jika payudara sudah penuh) atau
sesuai kebutuhan bayi, yaitu setiap 2-3
jam, atau 7-8 kali perharinya. Total
jumlah ASI perhari 720-960 ml,
sedangkan jumlah ASI yang diberikan
untuk setiap kali bayi disusui berjumlah
100-200 ml. Berikan ASI saja ( ASI
eksklusif) sampai berusia 6 bulan.
Menginjak usia 6 bulan ke atas,
ASI sebagai sumber nutrisi sudah tidak
mencukupi lagi kebutuhan gizi bayi
yang
terus
berkembang.
Perlu
diberikan makanan pendamping ASI.
Bayi dilahirkan dengan kemampuan
reflek makan, seperti mengisap,
menelan, dan akhirnya mengunyah.
Pemberian makanan pendamping ASI
harus
disesuaikan
dengan
perkembangan sistem alat pencernaan
bayi, mulai makanan bertekstur cair,
kental, semi padat hingga akhirnya
makanan padat.
Status gizi dipengaruhi oleh
beberapa hal di antaranya ekonomi
yang
rendah
yang
dapat
mengakibatkan pendidikan umum
kurang, pendidikan gizi kurang, dan
dapat berpengaruh pada hygiene
dalam pemberian makan yang kurang,
menyebabkan faktor penyakit pada
bayi dan dapat mempengaruhi status
gizi. Sedangkan pendidikan umum
yang rendah dapat berpengaruh pada
faktor sosial maupun budaya dan
agama sehingga dapat berpengaruh
pada pola makan dan status gizi bayi.
Status gizi juga dipengaruhi oleh faktor
genetik, gizi, obstetrik, seks, obatobatan, lingkungan, penyakit seperti
endokrin, infeksi, kongenital, penyakit
kronik, dan psikologis.
Berdasarkan baku Harvard status
gizi dapat dibagi menjadi empat yaitu:
a. Gizi lebih untuk over weight,
termasuk
b. Baik untuk well nourished. c.
Gizi kurang untuk under weight yang
mencangkup mild dan moderate PMC
(Protein Kalori Malnutrition). d. Gizi
buruk untuk severe PMC, termasuk
marasmus, marasmik-kwasiorkor dan
kwasiorkor.
Secara
langsung
menilai
kecukupan ASI yang dikonsumsi bayi
dapat dilihat dari kondisi bayi. Tandatanda bayi yang mendapat ASI dalam
jumlah cukup adalah bayi terlihat puas
dan tenang, tidur selama 2 jam setiap
kali habis menyusu, buang air kecil
minimal 6-8 kali dalam sehari, dan
terjadi pertambahan berat badan.
Secara jangka panjang, kecukupan
konsumsi ASI dan gizi bayi dapat
dilihat
dari
pertumbuhanya.
Pertumbuhan bayi dapat dipantau
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________
2
dengan melihat hasil penimbangan
yang tercatat dalam KMS (Kartu
Menuju Sehat). Catatan dalam KMS
dapat menunjukkan proses tumbuh
kembang berjalan normal sesuai
bertambahnya umur atau tidak.
Penilaian status gizi dengan biokimia
adalah pemeriksaan spesimen yang
diuji secara laboratoris yang dilakukan
pada berbagai macam jaringan tubuh.
Jaringan tubuh yang digunakan antara
lain: darah, urin, tinja, dan juga
beberapa jaringan tubuh seperti hati
dan otot. Pemeriksaan klinik adalah
metode yang sangat penting untuk
menilai status gizi masyarakat. Metode
ini didasarkan atas perubahanperubahan
yang
terjadi
yang
dihubungkan dengan ketidakcukupan
zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada
jaringan epitel (supervicial epithelial
tissues) seperti kulit, mata, rambut,
dan mukosa oral atau pada organorgan yang dekat dengan permukaan
tubuh seperti kelenjar tiroid. Penilaian
konsumsi pangan merupakan cara
menilai
keadaan/
status
gizi
masyarakat secara tidak langsung.
Secara kuantitatif akan diketahui
jumlah dan jenis pangan yang
dikonsumsi, metode pengumpulan
data yang dapat digunakan adalah: (1)
Metode recall 24 jam Metode ini
digunakan untuk estimasi jumlah
pangan dan minuman yang dimakan
oleh seseorang selama 24 jam yang
lalu atau sehari sebelum wawancara
dilakukan.
Dengan metode ini akan diketahui
besarnya porsi pangan berdasarkan
ukuran rumah tangga (urt), kemudian
dikonversi ke ukuran metrik (gram); (2)
Food records Dengan metode ini
responden mencatat semua pangan
dan minuman yang dikonsumsi selama
seminggu. Pencatatan dilakukan oleh
responden dengan menggunakan
ukuran
rumah
tangga,
atau
menimbang langsung berat pangan
yang dimakan. (3) Weighing method
Metode
penimbangan
mengukur
secara langsung berat setiap jenis
pangan/ pangan yang dikonsumsi oleh
seseorang pada hari wawancara. (4)
Food frequency questionnaire Metode
ini dikenal sebagai metode frekuensi
pangan,
dimaksudkan
untuk
memperoleh informasi pola konsumsi
pangan
seseorang.
Untuk
itu,
diperlukan kuesioner yang terdiri dari
dua komponen, yaitu daftar jenis
makanan dan frekuensi konsumsi
pangan. 5) Dietary history. Tujuan dari
metode ini adalah untuk menemukan
pola inti pangan sehari-hari pada
jangka waktu lama serta untuk melihat
kaitan antara intake pangan dan
kejadian penyakit tertentu. Metode ini
meliputi tiga komponen dasar, yaitu
wawancara mendalam pola makan
sehari-hari (termasuk recall 24 jam),
checklist frekuensi pangan, dan
pencatatan pangan dua-tiga hari, yang
dimaksud sebagai teknik crosscheking (pemeriksaan silang).
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________
3
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan
adalah analitik, di mana penelitian ini
menganalisis
hubungan
antara
variabel (variabel bebas dan variabel
terikat). Desain penelitian yang
digunakan adalah cross sectiona..
Populasi ialah keseluruhan subyek
penelitian yaitu bayi 6-12 bulan di
Desa
Pamongan
Wilayah
Puskesmas Guntur II Kabupaten
Demak pada bulan maret berjumlah
34 bayi. Sampel yang digunakan
pada penelitian ini adalah semua
bayi usia 6-12 bulan di Desa
Pamongan
Wilayah
Puskesmas
Guntur
II
Kabupaten
Demak
berjumlah 34 bayi. Teknik Sampling
Dalam
penelitian
ini
peneliti
menggunakan teknik pengambilan
sampel dengang total sampling yaitu
semua anggota populasi terpilih
menjadi sampling.
Peneliti melakukan pengukuran
antopometri secara langsung (pada
bayi yang tidak ditimbangkan secara
rutin oleh ibu) kemudian peneliti akan
melakukan wawancara pada ibu
yang memiliki bayi 6-12 bulan untuk
mendapatkan
data,
mengingat
sampel yang diambil besar maka
peneliti melibatkan orang lain
sebagai
enumerator
untuk
membantu dalam pengambilan data
primer. Data sekunder diperoleh dari
catatan KMS (Kartu Menuju Sehat)
Bayi di Wilayah Puskesmas Guntur II
Kabupaten Demak.
Instrumen yang digunakan dalam
pengumpulan
data
ini
adalah
timbangan, metlin, pita LILA, KMS
bayi
tujuanya
untuk
mengelompokkan status gizi bayi.
Pedoman wawancara digunakan
untuk mengetahui pola makan bayi
6-12 bulan.
Analisis hasil penelitian pada
desain
cross
sectional
yaitu
menggunakan: a) Analisis univariat
untuk
menggambarkan
masingmasing
variabel
dengan
menggunakan
persentase
dan
frekuensi. b) Analisis bivariat yang
dilakukan terhadap dua variabel
dengan skala data ordinal untuk
mengetahui hubungan dari kedua
variabel. Langkah pertama akan
dibuat cross tabulating (tabel silang),
kemudian dilakukan uji hipotesis
dengan
menggunakan
korelasi
Spearman Rho (ρ) karena variabel
yang digunakan merupakan skala
ordinal.
Hasil Penelitian
Jumlah makanan sebagian besar
bayi 6-12 bulan adalah baik, dengan
persentase
(52.9%).
Dari
hasil
distribusi frekuensi berdasarkan jenis
makan didapatkan sebagian besar
bayi 6-12 bulan adalah baik, dengan
persentase (58.8%). Hasil distribusi
frekuensi
makan
menunjukkan
sebagian besar bayi 6-12 bulan adalah
baik, dengan persentase (70.6%).
Hasil distribusi frekuensi pola makan
bayi 6-12 bulan adalah tidak baik
dengan persentase sebesar (58.8%).
Hasil distribusi frekuensi status gizi
bayi 6-12 bulan sebagian besar adalah
normal dengan persentase (64.7%).
Dalam kategori jumlah makan bayi,
belum mendapatkan bubur saring,
bubur susu, sebanyak ½ gelas
sebesar (11.1%). Dan bayi yang
mendapat takaran khusus dari ibunya
sebesar (11.1%). Dalam kategori
jumlah makan bayi 7-9 bulan terdapat
bayi yang tidak memperoleh jumlah
makan ½ gelas (70%). Yang tidak
memberikan makanan bertahap (30%),
dan yang memperoleh takaran khusus
setiap makan ada (10%). Dalam
kategori jumlah makan 9-12 bulan
tidak memberikan makan sebanyak ¾
gelas (33.3%). Bayi belum mendapat
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________
4
sayur (13.3%). Bayi tidak mendapat
buah potongan kecil (6.7%). Dan bayi
mendapat takaran kusus dari ibunya
ada (33.3%).
Dalam kategori jenis makan bayi 67 bulan tidak memberikan ASI
sesering mungkin ada (11.1%). Dan
bayi
belum
mendapat
selingan
sebanyak (11.1%). Dalam kategori
jenis makan bayi 7-9 bulan bayi yang
tidak mendapat ASI sesering mungkin
ada (10%), bayi belum mendapat
kacang-kacangan dan hati ayam
(40%), dan bayi belum mendapat sari
buah sebanyak (20%). Dalam kategori
jenis makan bayi 9-12 bulan ada bayi
yang belum diberikan minyak atau
santan (6.7%).
Dalam kategori frekuensi makan 67 bulan, bayi tidak mendapat ASI
sesering mungkin (11.1%), tidak
memberikan makanan selingan dan
tidak makan sebanyak 2-3 kali sehari
(22.2%). Dalam kategori frekuensi
makan bayi 9-12 bulan, bayi tidak
mendapatkan ASI sesering mungkin
dari ibunya ada (20%), bayi tidak
makan 2-3 kali dan bayi tidak
mendapat makanan selingan ada
(30%). Dalam kategori frekuensi
makan umur 9-12 bulan, bayi tidak
mendapat makan 3-4 kali sehari dan
tidak mendapat makanan selingan 1-2
kali sehari ada (6.7%).
Didapatkan hasil bahwa pada
responden dg status gizi normal,
proporsi terbanyak pada responden
dengan jumlah makan yang baik yaitu
83.3%. Sedangkan pada responden
dengan status gizi gemuk, proporsi
terbanyak pada responden dengan
jumlah makan tidak baik 18.7%. Pada
responden dengan status gizi kurus
proporsi terbanyak pada responden
dengan jenis makan tidak baik yaitu
sebesar 42.9%. Sedangkan pada
status gizi normal proporsi terbanyak
pada responden dengan jenis makan
baik yaitu 80%. Pada responden
dengan status gizi normal, proporsi
terbanyak pada responden dengan
frekuensi makan tidak baik yaitu
sebesar 66.7%. Sedangkan pada
status gizi kurus proporsi terbanyak
pada responden dengan frekuensi
makan tidak baik yaitu 40%. Pada
status gizi gemuk memilki frekuensi
makan baik yaitu 25%. Pada
responden dengan status gizi normal
proporsi terbanyak pada responden
dengan pola makan tidak baik yaitu
sebesar 78.6%. Sedangkan pada
status gizi gemuk proporsi terbanyak
pada responden dengan pola makan
baik yaitu 21.4%. Berdasarkan hasil uji
korelasi didapatkan hasil sebagai
berikut pvalue=0.083 dengan α=0.05
sehingga. Dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan antara pola makan
dengan status gizi bayi 6-12 bulan.
Pembahasan
Dalam pengambilan data peneliti
masih menemukan anggapan dari
seorang ibu bahwa ketika ibu
memberikan makan ½ gelas atau
sesuai usianya, ibu menganggap
bayinya nanti tidak akan kenyang. Ini
membuktikan bahwa dalam penerapan
jumlah makanan yang baik tidak
sepenuhnya bisa diterapkan pada
bayi. Pada dasarnya asupan makanan
yang melebihi kebutuhan tubuh akan
menyebabkan kelebihan berat badan
dan penyakit lain yang disebabkan
oleh kelebihan zat gizi, sebaliknya
asupan makanan yang kurang dari
yang dibutuhkan akan menyebabkan
tubuh menjadi kurus dan rentan
terhadap penyakit. kedua keadaan
sama tidak baiknya sehingga disebut
gizi salah.
Menginjak 6 bulan ke atas, ASI
sebagai sumber nutrisi sudah tidak
mencukupi lagi kebutuhan gizi yang
terus berkembang. Perlu diberikan
makanan pendamping ASI, bayi
dilahirkan dengan kemampuan reflek
makan, seperti menghisap, menelan
dan akhirnya mengunyah. Pemberian
makan
pendamping
ASI
harus
disesuaikan dengan perkembangan
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________
5
sistem alat pencernaan bayi, mulai
makanan berstektur kental, semi
padat, hingga makanan padat. Masih
ditemukan anggapan dari ibu bahwa
dalam pemilihan jenis makanan sesuai
keinginan bayi, jika bayi senang
dengan apa yang diberikan, maka ibu
juga akan memberikan jenis makan itu.
Pemilihan jenis makanan tambahan
sebaiknya mengacu pada usia bayi
dan perkembangan usia.
Sebagian besar dalam kasus ini
ibu beranggapan bahwa memberikan
makanan
lebih
sering
tanpa
memperhatikan
frekuensi
yang
dibutuhkan itu lebih baik. Kebutuhan
bayi akan meningkat seiring tumbuh
kembangnya, bayi tetap membutuhkan
ASI pada usia 6-9 bulan. Bayi setidaktidaknya membutuhkan 4 porsi makan.
Jika dengan takaran tersebut bayi
masih lapar dapat diberikan makanan
selingan, misal pisang atau biskuit.
Buah-buahan merupakan makanan
selingan
yang
sempurna.
Bayi
memerlukan makanan untuk dimakan
setiap 2-3 jam, dan begitu bayi
terbangun. Menginjak usia 9 bulan
bayi telah mempunyai gigi dan mulai
pandai
mengunyah
kepingan
makanan. Sekitar usia 1 tahun bayi
sudah mampu memakan makanan
orang dewasa. Pada saat ini bayi
makanan 4-5 kali sehari.
Dalam penggolongan pola makan
didapatkan pola makan bayi yang tidak
baik sebanyak 20 bayi (58.8%).
Kurangnya ilmu pengetahuan tentang
cara penerapan pola makan yang baik,
mereka mendapatkan buku KIA (Buku
Kesehatan Ibu dan Anak) belum dapat
dimanfaatkan dengan baik dalam
pembelajaran tentang pola makan
yang baik dan benar. Dalam hal ini
pola makan yang baik perlu dibentuk
sebagai upaya untuk memenuhi
kebutuhan gizi yang baik. Pola makan
yang tidak sesuai akan menyebabkan
asupan gizi berlebih atau sebaliknya
kekurangan. Pola makan yang baik
juga perlu dikembangkan untuk
menghindari interaksi negatif dari zat
gizi yang masuk dalam tubuh. Masingmasing interaksi dapat bersifat positif
jika membawa keuntungan . negatif
jika merugikan.
Banyak yang beranggapan bahwa
gemuk pada bayi adalah hal yang
wajar dan sangat menyenengkan bila
memilki bayi yang gemuk dan lucu,
Namun kita juga harus memperhatikan
bahwa kegemukan pada bayi bukan
sepenuhnya baik. Kegemukan pada
bayi akan berdampak tidak baik bagi
tumbuh kembangnya oleh karena
beratnya yang berlebih. Kegemukan
juga merupakan salah satu faktor
resiko
dalam
terjadinya
penyakit.(11.22) Asupan gizi yang
seimbang harus mengandung cukup
energi dan semua zat esensial sesuai
kebutuhan sehari-hari.
Masih banyak ditemukan pendapat
ibu bahwa memilki bayi dengan status
gizi gemuk itu sangat lucu dan
menyenangkan.
Padahal
gemuk
merupakan malnutrisi pada bayi yang
dapat menimbulkan faktor risiko
terjadinya penyakit lebih banyak.(11)
Dalam hal ini jika bayi mendapat susu
formula dan dan terjadi pertumbuhan
yang cepat perlu ditinjau lagi ketepatan
susu formula yang dipakai dan aturan
pakainya baik dari jumlah maupun
frekuensi pemberian untuk 24 jam
apakah sudah diberikan secara tepat
atau belum.
Dalam penelitian ini dapat dilihat
adanya masalah dalam pemberian
makanan yaitu kualitas makanan yang
diberikan kurang karena hanya
memberikan satu jenis pangan seperti
nasi tim, tepung beras encer, lontong
yang dilumatkan, atau hanya terdiri
dari pisang saja tanpa ditambah
protein hewani dan zat gizi lainya.
Dalam penelitian ini ada peneliti
masih menemukan perilaku ibu yang
tidak baik yaitu memberikan makanan
yang sudah dikunyah oleh ibu. Ibu
menganggap bahwa dengan dikunyah
makanan akan halus dan mudah
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________
6
dicerna oleh bayinya. Hal ini sejalan
dengan teori tentang faktor yang dapat
mempengaruhi status gizi bayi yaitu di
antaranya perilaku ibu yang terbiasa
mengunyah
makanan
sebelum
diberikan pada bayinya, kualitas yang
diberikan kurang, dan terlalu dini
dalam
pemberian
makanan
pendamping ASI.
Penelitian yang dilakukan di Desa
Pamongan tentang hubungan pola
makan dengan status gizi bayi 6-12
bulan secara statistik memang tidak
ada hubungan antara pola makan
dengan status gizi. Namun bukan
berarti kita dapat mengabaikan pola
makan yang semestinya diberikan
pada bayi. Pola makan adalah tingkah
laku manusia atau sekelompok
manusia dalam memenuhi kebutuhan
akan makanan yang meliputi sikap,
kepercayaa, dan pilihan makanan,
yang terbantuk sebagai hasil dari
pengaruh fisiologi, psikologi, budaya
dan sosial. Secara umum faktor yang
mempengaruhi
terbentuknya
pola
makan adalah faktor ekonomi, sosial
budaya, agama, pendidikan, dan
lingkungan.(11) Pola makan yang baik
perlu dibentuk sebagai upaya untuk
memenuhi kebutuhan gizi. Pola makan
yang tidak sesuai akan menyebabkan
asupan gizi berlebih atau sebaliknya
kekurangan.
Kesimpulan
1. Bayi yang memiliki jumlah makan
baik sebanyak 18 bayi (52.9%)
sedangkan bayi yang mimiliki
jumlah makan yang tidak baik
sebanyak 16 bayi (47.1%).
2. Bayi yang memiliki jenis makan baik
sebanyak 20 bayi (58.8%) dan bayi
dengan jenis makanan tidak baik
sebanyak 14 bayi (41.2%).
3. Frekuensi
makan
bayi
baik
sebanyak 24 bayi (70.6%) dan
frekuensi
makan
tidak
baik
sebanyak 10 bayi (29.4%).
4. Pola makan bayi baik sebanyak 14
bayi (41.2%) dan pola makan tidak
baik sebesar 20 bayi (58.8%).
5. Tidak ada hubungan antara pola
makan dengan status gizi bayi 6-12
bulan di Desa Pamongan Wilayah
Puskesmas Guntur II.
Saran
1. Puskesmas Guntur II diharapkan
dalam setiap pelayanan posyandu
yang dilakukan secara rutin juga
menyelipkan pendidikan kesehatan
gizi bagi ibu-ibu bayi dan balita agar
mereka dapat menerapkan pola
makan yang baik bagi anaknya.
2. Petugas
kesehatan
dalam
memberikan pelayanan kesehatan
petugas kesehatan tidak hanya
melakukan pemantauan gizi bayi
saja, tetapi dapat ditambah dengan
pemantauan pola makan yang
diterapkan oleh ibu pada bayinya,
terutama pada bayi dengan dengan
malnutrisi
3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan
dapat melakukan penelitian tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi
status gizi sehingga penelitian yang
selanjutnya dapat meneliti semua
aspek yang dapat berpengaruh
pada status gizi. Dan dalam
penelitian
analitik
diharapkan
peneliti
berikutnya
dapat
mempertimbangkan
jumlah
responden lebih dari 40 responden.
Daftar Pustaka
1. Hidayat A A. Pengantar ilmu
kesehatan
anak
pendidikan
kebidanan.
Jakarta:Salemba
Medika; 2011. h. 2-3
2. Badan Pusat Statistik. Survey
Demografi
dan
Kesehatan
Indonesia 2007. Jakarta: Badan
Statistik; 2008.
3. Anonymous. Profil kesehatan Kota
Semarang 2011. 9 juli 2012
[diakses tanggal 31oktober 2012].
Didapat
dari:
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________
7
http://www.dinkes.kotasemarang.g
o.id.
4. Dinas
Kesehatan
Kabupaten
Demak. Profil kesehatan demak
tahun
2011
terwujudnya
masyarakat demak yang semakin
sehat dan mandiri. Demak: Dinas
Kesehatan Kabupaten Demak;
2011.
5. Anonymous. Penuhi kebutuhan
gizi pada 1000 hari pertama
kehidupan. 14 agustus 2012
[Diakses tanggal 2 oktober 2012].
Didapat
dari:
http://www.depkes.go.id/index.php/
berita/press-release/2014-penuhi
kebutuhan-gizi-pada-1000-haripertama-kehidupan.html.
6. Sitorus R. Makanan sehat dan
bergizi. Bandung: Yrama Widya;
2009. h.837
7. Path E, Rumdasih Y, Heryati. Gizi
dalam
kesehatan
reproduksi.
Jakarta: EGC; 2005. h. 104-5, 107.
8. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Menuju perbaikan gizi
perseorangan dan masyarakat
yang bermutu. Jakarta: Direktorat
Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu
dan Anak; 2012.
9. Siti.
Analisis
Faktor
Yang
Mempengaruhi Praktik Ibu Dalam
Pemberian Makanan Bagi Anak
Balita Berstatus Gizi Kurang Di
Wilayah
10. Puskesmas Bergas, Kabupaten
Semarang. 2003. [Diakses tanggal
03 november 2012]. Didapat dari:
http://ejournals1.undip.ac.id/index.
php/jnc/article/view/725.
11. Anugraheni HS, Kartasurya MI.
Faktor Risiko Kejadian Stunting
Pada Anak Usia 12-36 Bulan Di
Kecamatan Pati, Kabupaten Pati.
2007.
[Diakses
tanggal
03
november 2012]. Didapat dari:
http://repository.ipb.ac.id/handle/12
3456789/41876.
12. Sulistyoningsih H. Gizi untuk
kesehatan
ibu
dan
anak.
Yogyakarta: Graha Ilmu; 2011h.52;
57-8.
13. Jokohadikusumo P. pembangunan
gizi untuk kualitas sumber daya
manusia. Bandung: PT. Puri Delco;
2010. h.18.
14. Restianti H. Pola makan dan
keseimbangan gizi. Bandung: Puri
Pustaka; 2009. h.45; 49.
15. Arini H. Mengapa seorang ibu
harus menyusui?. Yogyakarta:
FlashBook; 2012. h.52-60.
16. Proverawati A, Rahmawati E.
Kapita Selekta ASI dan menyusui.
Yogyakarta: Nuha Medika; 2010.
h.15-8.
17. Rudolph’s. Buku ajar pediatri
Rudolph,ed.20, vol.2. Jakarta:
EGC; 2007. h.1109-10.
18. Yuniastuti A. gizi dan kesehatan.
Yogyakarta: Graha Ilmu; 2008.
h.113; 115- 20
19. Marimba H. Tumbuh kembang,
status gizi dan imunisasi dasar
pada balita. Yogyakarta: Nuha
Medika; 2010. h.22-6.
20. Vivian N. Asuhan neonatus bayi
dan anak balita. Jakarta: Salemba
Medika; 2010. h.27
21. Kementrian Kesehatan RI. Buku
kesehatan ibu dan anak. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI dan
JICA; 2011.
22. Boediman D. Sehat bersama gizi.
Jakarta: CV Sagung Seto; 2009.
h.6-7
23. Waryana.
Gizi
reproduksi.
Yogyakarta:
Pustaka
Rihana;
2010. h.76-8; 83; 88.
24. Arisman MB. Gizi dalam daur
kehidupan:buku ajar ilmu gizi,ed.2.
Jakarta: EGC; 2010. h.57-9.
25. Rahmawati S. sehat pangkal
cerdas. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara; 2002. h.68.
26. Ester M. Penilaian status gizi.
Jakarta: EGC; 2002. h.33; 73-7
27. Adriani M, Wirjatmadi B. Pengantar
gizi masyarakat. Jakarta: Kencana
Permada Media; 2012. h.238-39.
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________
8
28. Sitorus R. Makanan sehat dan
bergizi. Bandung: CV Yrama
Widya; 2009. h.83-87.
29. Kementrian
Kesehatan
RI.
Pedoman pelayanan anak gizi
buruk.
Jakarta:
Kementrian
Kesehatan RI; 2011.
30. Rudolph’s. Buku ajar pediatri
Rudolph,ed.20,vol.2.
Jakarta:
EGC; 2006.h.5
31. Sediaoetomo A. Ilmu gizi. Jakarta:
Dian Rakyat; 2006. h.47-50.
32. Sri Romdonah. Hubungan Pola
Konsumsi Makan Dengan Status
Gizi Anak Balita Studi Pada Anak
Balita Umur 2-4 Tahun Di Desa
Kuwaron
Kecamatan
Gubug
Kabupaten
Grobogan.
2010.
[Diakses tanggal 12 desember
2012]
Didapat
dari
http://eprints.undip.ac.id/16211/1/0
246.pdf
33. Tri Dyah Rahmawati. Hubungan
Antara Pola Pemberian Makan
Dengan Status Gizi Bayi (3-4
Bulan) Di Kecamatan Semarang
Utara Kodia Semarang .2008.
[Diakses tanggal 12 desember
2012]
DIdapat
dari
http://eprints.undip.ac.id/16054/1/M
aria.pdf
34. Susan. Hubungan Pola Asuh
Makan Dengan Status Gizi Balita
13-59 Bulan Di Posyandu Srikandi
4
Kelurahan
Tambak
Wedi
Surabaya. 2011. [Diakses tnggal
10 desember 2012] didapat dari
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfi
le/59114815966_abs.pdf
Maria Novita Wello. Hubungan
Antara Pola Makan Dengan Status
Gizi
Balita
Di
Kelurahan
Pedalangan
Kecamatan
Banyumanik
Kota
Semarang.
2011.
[Dakses
tanggal
10
desember 2012] didapat dari
http://eprints.undip.ac.id/16125/1/0
395.pdf
Endang Suwiji, Hubungan Pola
Asuh Gizi dengan Status gizi pada
Balita Usia 4–12 Bulan di Wilayah
Kerja
Puskesmas
Medang
Kabupaten Blora. 2006. [Diakses
tanggal 10 desember 2012]
didapat
dari
http://lib.unnes.ac.id/cgi/request_d
oc?docid=4402.
Suyanto, Salamah U. Riset
kebidanan metodologi dan aplikasi.
Yogyakarta: Mitra Cendikia; 2009.
h.21.
Riyanto A. Metodologi penelitian
kesehatan.
Yogyakarta:
Nuha
Medika; 2011. h.28; 89-92.
Setiawan A,saryono. Metodologi
penelitian d3, d4, s1 dan s2.
Yogyakarta: Nuha Medika; 2011.
Riwidikdo H. Statistik kesehatan.
Yogyakarta: Nuha Medika; 2012.
h.86-9.
Banudi
L.
Gizi
Kesehatan
Reproduksi Buku Saku Bidan.
Jakarta: EGC; 2012. h.61-77
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________
9
Download