penafsiran al-sya`rāwī terhadap al-qur`ān tentang

advertisement
PENAFSIRAN AL-SYA’RÂWÎ
TERHADAP AL-QUR’ÂN TENTANG
WANITA KARIR
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh
Riesti Yuni Mentari
NIM: 107034001469
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
Persembahan
Skripsi ini kupersembahkan Kepada: Nenek, Mama, Papa, Adik,
Sahabat dan Keluarga Besar Ibu Supriyati
Hati Tercinta
Semoga segala motivasi dan bantuannya senantiasa di balas oleh Allah
SWT serta selalu mendapat maghfiroh-Nya. Amiin..
ABSTRAK
Riesti Yuni Mentari (107034001469)
“Penafsiran al-Sya’râwî Terhadap al-Qur’ân tentang Wanita Karir”
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan
tanggapan dan sikap ulama (kaum intelektual) terhadap peran wanita karir.
Mengetahui syarat dan dampak wanita berkarir, serta penafsiran al-Sya’râwî
terhadap ayat-ayat al-Qur’ân yang menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada
larangan bagi laki-laki atau perempuan untuk bekerja, baik di dalam ataupun di
luar rumah.
Dalam penelitian ini, penulis hanya melakukan penelitian kepustakaan
(library research). Sementara itu, pembahasannya sendiri menggunakan
pendekatan atau metode tafsir maudhu’i.
Penulis mengambil penafsir kontemporer seperti Muhammad Mutawallî
Al-Sya’râwi karena salah satu ahli tafsir al-Qur’ân yang terkenal pada masa
modern dan merupakan Imam pada masa kini, beliau memiliki kemampuan untuk
menginterpretasikan masalah agama dengan sangat mudah dan sederhana, beliau
juga memiliki usaha yang luar biasa besar dan mulia dalam bidang dakwah Islam.
Beliau dikenal dengan metodenya yang bagus dan mudah dalam menafsirkan alQur’ân, dan memfokuskannya atas titik-titik keimanan dalam menafsirkannya, hal
tersebutlah yang menjadikan penulis merasa metodenya sangat sesuai bagi seluruh
kalangan dan kebudayaan.
Penulis juga mengambil tema wanita karir karena diskusi tentang
wanita dalam Islam selalu menarik. Islam memberikan perhatian yang besar
terhadap kaum wanita dan segi-segi kehidupan mereka. Dari ayat-ayat al-Qur’ân
dan hadis-hadis Nabi. Tidak sulit kita membuktikan betapa Islam sungguhsungguh memperhatikan persoalan wanita dan menempatkan mereka pada tempat
yang terhormat.
i
PEDOMAN TANSLITERASI (ARAB-LATIN)
A. Konsonan
Huruf Arab
‫ا‬
‫ب‬
‫ت‬
‫ث‬
‫ج‬
‫ح‬
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ر‬
‫ز‬
‫س‬
‫ش‬
‫ص‬
‫ض‬
‫ط‬
‫ظ‬
‫ع‬
‫غ‬
‫ف‬
‫ق‬
‫ك‬
‫ل‬
‫م‬
‫ن‬
‫ه‬
‫و‬
‫ء‬
‫ى‬
‫ي‬
Huruf Latin
Keterangan
Tidak Dilambangkan
Be
Te
Te dan Es
Je
Ha dengan garis bawah
Ka dan Ha
De
De dan Zet
Er
Zet
Es
Es dan Ye
Es dengan garis di bawah
De dengan garis di bawah
Te dengan garis di bawah
Zet dengan garis di bawah
Koma terbalik di atas hadap kanan
Ge dan Ha
Ef
Ki
Ka
El
Em
En
Ha
We
Apostrof
Tidak dilambangkan
Ye
B
T
Ts
J
H
Kh
D
Dz
R
Z
S
Sy
S
D
T
Z
‘
Gh
F
Q
K
L
M
N
H
W
‘
Y
ii
B. Vokal Tunggal
Simbol Arab
َ-----ِ
Nama
Fathah
Latin
a
Keterangan
a
Kasrah
i
i
ُ
Dhammah
u
u
Nama
Fathah dan Ya
Latin
ai
Keterangan
A dan I
Fathah dan Waw
au
A dan U
Latin
Keterangan
â
a dengan tanda di atas
û
u dengan tanda di atas
î
i dengan tanda di atas
C. Vokal Rangkap (Madd)/Diftong
Simbol Arab
‫ي‬--‫و‬---
D. Vokal Panjang (Madd)
Simbol Arab
‫ى‬---‫ا‬--‫و‬---
‫ي‬---
Nama
Fathah diikuti
oleh Alif atau Ya
Dhammah diikuti
oleh Wawu
Kasrah diikuti
Ya
E. Partikel (‫)ال‬
Transliterasi partikel (‫ )ال‬adalah dengan huruf /l/, baik diikuti oleh hurufhuruf Syamsiyyah maupun huruf-huruf Qomariyah. Contoh: al-Sama’, bukan asSama’, al-Ridha, bukan ar-Ridha.
F. Ta Marbûţah (‫)ۃ‬
Ada 2 trasliterasi atau alih aksara bagi ‘Ta Marbûţah (‫’)ۃ‬, yaitu:
1. Jika ta terdapat pada kata yang berdiri sendiri, atau diikuti oleh
kata sifat (Na’at), atau harakatnya disukunkan, atau berada pada
akhir kalimat, maka transliterasinya adalah dengan huruf /h/.
contoh: al-Madrasah, al-Jami’ah al-Islamiyyah, atau hujjah, dan
lain sebagainya
2. Jika ta diikuti oleh kata benda (Mudlof Ilaih), maka
transliterasinya adalah dengan huruf /t/.
iii
G. Tasydîd
Transliterasi tasydid adalah dengan menggandakan hurufnya (konsonan),
contoh: Allafa, Saqqaf, dan lain sebagainya.
H. Kata-kata yang telah populer
Ditulis mengikuti kaedah ejaan Bahasa Indonesia, seperti; Rasulullah,
Ulama, Kitab, al-Qur’ân , Mufassir dan lain-lain.
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT,
yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam selalu dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarganya, sahabatnya, dan seluruh pengikutnya yang setia mentaati, mengikuti
dan memegang teguh ajarannya hingga akhir zaman.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyelesaian skripsi ini,
penulis menyadari dengan sepenuh hati, banyak sekali kekurangan dan mengalami
berbagai kesulitan dan hambatan, namun berkat bantuan, dorongan dan
pengarahan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna
memenuhi persyaratan akademik yang harus ditempuh dalam mencapai gelar
sarjana Theologi Islam Program Strata Satu (S1) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan
terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah banyak membantu dan mendukung penulis, secara khusus penulis
menghanturkan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. Bustamin, M.Si, dan Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku
ketua jurusan dan Sekretaris jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah banyak membantu penulis dalam proses perkuliahan
dan administrasi.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA dan Bapak Drs. Ahmad Rifqi Mukhtar,MA
yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
pengarahan dan petunjuk-petunjuk kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak memberikan ilmunya kepada
penulis.
v
4. Pimpinan perpustakaan UIN Jakarta Fakultas Ushuluddin, perpustakaan
Lentera milik Bapak Quraish Shihab serta seluruh stafnya, dan
perpustakaan Iman Jama serta seluruh stafnya, yang telah memberikan
bantuan kepada penulis untuk mengumpulkan dan melengkapi bahan
skripsi ini.
5. Kedua orang tua penulis Ibunda tercinta Suryatiningsih dan Bapak Rizal,
serta nenek tercinta, Keluarga Besar Hj.Sudharsono, SH, serta adik-adikku
tersayang (Riva, Rio, Shinta) yang telah banyak berjasa baik moril
maupun
materil,
yang
tidak
terbatas,
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini.
6. Teman-teman penulis di manapun berada dan sahabat-sahabat Tafsir Hadis
B angkatan 2007/2008, khususnya teman seperjuangan Zahrul Athriyah
yang selalu memberikan masukan dan ilmunya, Ni’ma Diana, Nur Faiza,
Zieh, dan Imam Zaki Fuad yang selalu bisa memberikan masukan dan
rekan kerja SOLUSI BINTARO, khususnya; Bapak Tarnoto, Izzah Nasir,
Mas Roby dan Sholihin yang memberikan kemudahan penulis sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
7. Sahabat-sahabat yang setia, teman-teman KKN yang selalu kompak,
Lukman Al-dillah yang selalu setia, dan seluruh sahabat penulis yang tidak
dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan serta doa.
Jazakumullah khairun katsiron.
Atas semua itu, penulis hanya dapat memanjatkan doa kepada Allah SWT,
semoga amal baiknya di terima oleh Allah SWT dan mendapat balasan yang lebih
banyak serta menjadi amal saleh.
Akhirnya, penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi segenap pencari ilmu pada umumnya.
Jakarta, Maret 2011
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
ABSTRAK .........................................................................................................
i
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................
ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................
v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii
BAB I
PENDAHULUAN.........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................
6
C. Kajian Pustaka..........................................................................
6
D. Tujuan Penelitian .....................................................................
8
E. Signifikansi Penelitian ............................................................
8
F. Metodelogi Penelitian ..............................................................
9
G. Sistematika Penulisan .............................................................. 10
BAB II
SEKILAS TENTANG WANITA KARIR ................................. 12
A. Pengertian Wanita Karir .......................................................... 13
B. Alasan Wanita Berkarir ............................................................ 15
C. Dampak Wanita Berkarir Dalam Rumah Tangga .................... 17
1. Dampak Positif ................................................................... 18
2. Dampak Negatif ................................................................. 19
D. Etika Diperbolehkannya Wanita Berkarir ................................ 21
BAB III
MUHAMMAD
MUTAWALLÎ
AL-SYA’RÂWÎ
DAN
TAFSIRNYA ................................................................................ 27
A. Riwayat Hidup Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî ............... 27
B. Karya-Karya Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî ................... 30
vii
C. Pandangan
Ulama
Tentang
Muhammad
Mutawallî
al-Sya’râwî ............................................................................... 33
D. Pengenalan Tafsir al-Sya’râwî ................................................. 36
BAB IV
PENAFSIRAN AL-SYA’RÂWÎ
TENTANG WANITA
KARIR DALAM AYAT-AYAT AL-QUR’ÂN ........................ 43
A. Wanita Karir Dalam Dunia Politik........................................... 43
B. Hak Wanita untuk Berprestasi ............................................... 48
C. Hak Wanita untuk Berkarir ...................................................... 55
BAB V
PENUTUP ..................................................................................... 61
A. Kesimpulan .............................................................................. 61
B. Kritik dan saran ........................................................................ 62
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai status dan
peran perempuan masih terbagi dalam dua kutub yang berseberangan. Di satu
sisi, umumnya berpendapat bahwa perempuan harus di dalam rumah,
mengabdi kepada suami, dan hanya mempunyai peran domestik. Di sisi lain,
berkembang pula anggapan bahwa perempuan harus bebas sesuai dengan
haknya tentang kebebasan.
Bagi umat Islam sendiri, perbedaan pandangan tersebut sangat
berkaitan erat dengan adanya perbedaan dalam memahami teks-teks al-Qur‟ân
yang berbicara tentang perempuan.
Perempuan pada era sekarang banyak mengambil peran publik dan
sosial. Fenomena ini diklaim sebagi simbol equality (keadilan) antara laki-laki
dan perempuan, bahkan tidak sedikit dari pihak perempuan menuntut keadilan
dan persamaan hak di segala bidang. Tetapi agama masih sering dijadikan
dalih untuk menekan laju konsep kesetaraan jender (gender equity) dan
memarjinalkan peran perempuan dalam bidang-bidang yang bersinggungan
dengan publik. 1
1
Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’râwî, (Jakarta:
TERAJU (PT.Mizan Publika), 2004), h.161.
1
2
Kaitannya dengan peran ganda yang diambil oleh perempuan, para
ulama banyak mempertanyakan apakah formasi kesetaraan bagi perempuan
seperti bekerja di luar rumah tidak bertentangan dengan firman Allah:
     …
“...Dan bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari
perempuan (istrinya)...”2
           
…..
  
“ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka...”3
Al-Sya‟râwî menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut :
"Laki-laki bertanggung jawab kepada perempuan" pada awalnya
sebagian mufassir tidak menafsirkan ayat ini kecuali tentang seorang
laki-laki terhadap istrinya. Padahal sesungguhnya ayat ini berbicara
tentang laki-laki dan perempuan secara mutlak (umum) bukan hanya
laki-laki (suami) kepada istri, juga bapak bertanggung jawab kepada
anak perempuan, saudara laki-laki kepada saudara perempuan.
Menurut Al-Sya‟râwî :
"Qawwâm adalah mubalaghah dari qiyâm itu capai atau payah.
Sehingga laki-laki yang bertanggung jawab kepada perempuan, berarti
berusaha untuk memperbaiki kehidupan perempuan dengan susah
payah. Laki-laki sebenarnya hanya berkepentingan memperbaiki
masalah andaikata laki-laki itu baik.
Kata al-rijâl itu umum, al-nisâ' juga kalimat umum, sesuatu yang
khusus adalah Allah memeberikan keutamaan kepada sebagian
2
3
Lihat Q.S Al-Baqarah [2]: 228
Lihat Q.S An-Nisa‟[4]: 34
3
mereka. Keutamaan atau tafdhîl disini yang dimaksud adalah laki-laki
yang kerja dan berusaha di atas bumi untuk mencari penghidupan.4
Dari Q.S An-Nisa‟[4]: 34 di atas, artinya laki-laki bertanggung jawab pada
keluarga karena memberi nafkah. Bagaimana jika yang kerja dan memberi
nafkah adalah istri atau wanita, tentu lain masalahnya.
Sebenarnya Islam membolehkan perempuan melakukan peran-peran
yang tidak bertentangan dengan kodratnya untuk ditanganinya karena Islam
tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hal apa pun, termasuk hal
pekerjaan.
Dalam banyak hal, wanita diberikan hak-hak dan kewajiban serta
kesempatan yang sama dengan pria. Namun dalam masalah-masalah yang
berkaitan dengan kodrat dan martabat wanita, Islam menempatkan sesuai
dengan kedudukannya.5
Islam menghormati wanita dengan penghormatan yang sangat luhur
serta mengangkat martabatnya dari sumber keburukan dan kehinaan, dari
penguburan hidup-hidup dan perlakuan buruk ke kedudukan yang terhormat
dan mulia, sebab wanita menjadi ibu dan sebagai istri yang harus diperlakukan
dengan lemah lembut dan kehalusan.6
Seorang wanita mukminah yang teguh dalam ketaatannya, maka Allah
telah menyediakan baginya seperti apa yang telah disediakan-Nya bagi kaum
4
M.Mutawallî al-Sya‟râwî, Tafsir Sya’rawi, (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991), Jilid IV,
h.2202.
5
Mohammad Koderi, Bolehkah Wanita Menjadi Imam Negara, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999), h.49-50.
6
Muhammad Albar, Wanita Karir Dalam Timbangan Islam : Kodrat Kewanitaan,
Emansipasi dan Pelecehan Seksual, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1998), h.16.
4
mukminin, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam hal ini. Dalam
Q.S.Al-Nahl [16] : 97, Allah berfirman :
Artinya : “Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh akan
kami berikan kepadanya kehidupan yang baik..”
Al-„Aqqâd mengatakan dalam bukunya Al-Mar’ah fi Al-Qur’ân,
seperti yang dikutip oleh Muhammad al-Bar adalah :
“ Konsep hak, dasarnya sama, bahwa pria dan wanita sama dalam
segala sesuatu. Wanita mempunyai hak seperti yang dimiliki pria, dan
mempunyai kewajiban seperti kewajiban pria. Kemudian, bahwa lakilaki dilebihkan dengan satu derajat, yaitu sebagai pemimpin yang telah
ditetapkan dengan fitrahnya. Dalam hal ini bukan berarti keluar dari
konsep persamaan yang telah disamakan dalam hak dan kewajiban,
sebab setiap tambahan hak diimbangi dengan tambahan serupa dalam
kewajiban, demikianlah persamaan yang bijaksana.7
Diskusi tentang wanita dalam Islam selalu menarik. Islam memberikan
perhatian yang besar terhadap kaum wanita dan segi-segi kehidupan mereka.
Dari ayat-ayat al-Qur‟ân
dan hadis-hadis Nabi. Tidak sulit membuktikan
betapa Islam sungguh-sungguh memperhatikan persoalan wanita dan
menempatkan mereka pada tempat yang terhormat.8
Di dalam ajaran Islam, wanita juga mempunyai hak dan kesempatan
untuk berkarir dengan tidak melalaikan fungsi dan kedudukannya sebagai
wanita. Islam juga memberikan dorongan yang kuat agar para muslimah dapat
7
Muhammad Albar, Wanita Karir Dalam Timbangan Islam : Kodrat Kewanitaan,
Emansipasi dan Pelecehan Seksual, h.18-19.
8
Lily Zakiyah Munir, Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan Dalam
Perspektif Islam, (Bandung: Mizan, 1999), Cet.1, h.11.
5
berkarir di segala bidang. Islam membebaskan wanita dari belenggu
kebodohan, ketertinggalan, dan perbudakan.
Islam telah melarang semua itu, bahkan telah menyatakan bagian
tetentu bagi wanita, dalam Q.S.An-Nisa [4] : 7, Allah berfirman :
Artinya : “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harga peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan.”
Dalam hal ini penulis membatasi pembahasan pada wanita karir dalam
tafsir Al-Sya‟râwî. Penulis mengambil penafsir kontemporer seperti
Muhammad Mutawallî Al-Sya‟râwi karena salah satu ahli tafsir al-Qur‟ân
yang terkenal pada masa modern dan merupakan tokoh pada masa kini, beliau
memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan masalah agama dengan
sangat mudah dan sederhana, beliau juga memiliki usaha yang luar biasa besar
dan mulia dalam bidang dakwah Islam.
Untuk itu penulis merasa tertarik untuk mengkaji, selanjutnya penulis
merumuskan tema penelitian ini dalam sebuah judul skripsi ini yaitu:
“Penafsiran al-Sya’râwî Terhadap Ayat-ayat al-Qur’ân tentang Wanita
Karir (QS. al-Taubah [9] : 71, QS. al-Nisā’ [4] : 32, dan QS.Ali Imrân [3]
: 195)”
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat banyaknya ayat-ayat tentang wanita, maka penulis
melakukan pembatasan yaitu hanya mengambil beberapa ayat al-Qur‟ân
menurut penafsiran Al-Sya‟râwî. Dan penulis membahas ayat-ayat al-Qur‟ân
yang mendukung penelitian ini, yaitu : QS. al-Taubah [9] : 71, QS. al-Nisā‟
[4] : 32, dan QS.Ali Imrân [3] : 195.
Berangkat dari Latar Belakang Masalah tersebut di atas, muncul
permasalahan mendasar yang menjadi rumusan penelitian ini, yaitu :
Bagaimana pandangan al- Sya‟râwî terhadap wanita karir?
Demikianlah, beberapa masalah yang dapat penulis rumuskan dalam
pembahasan skripsi ini.
C. Kajian Pustaka
Sejauh ini, penulis menemukan karya tulis yang berjudul “Wanita
Karir dalam Perspektif Hadis : Sebuah Kajian Tematik.” Karya Munawwarah.
Mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, jurusan Tafsir Hadis. 9 Di dalam
tulisannya ini Munawwarah hanya mengklasifikasikan wanita karir, peluang
dan tantangan wanita karir serta hukum wanita karir menurut hukum Islam.
Tetapi karena kepentingan Munawwarah hanya untuk ruang lingkup hadis
dalam skripsinya, sehingga tulisannnya tentang peran wanita karir dalam
perspektif al-Qur‟ân
tersebut tidak ada dan tidak mendalam; “Pengaruh
Wanita Karir Terhadap Perkembangan Keberagaman Anak Remaja” karya
9
Skripsi UIN tahun 2007.
7
Lilis.10 Di dalam tulisan ini, Lilis melakukan metode survei lapangan. Namun
Lilis sama sekali tidak membahas ayat-ayat al-Qur‟ân yang menunjukkan
bahwa dalam Islam tidak ada larangan bagi laki-laki atau perempuan untuk
bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah; “Pengaruh Wanita Karir
Terhadap Perceraian” karya Taufiqurrohman.11 Di dalam tulisan ini membahas
tentang sejauh mana problematika wanita karir dapat memicu terjadinya
perceraian. Taufiq menggunakan metode penelitian lapangan, yakni penelitian
yang langsung terjun ke lapangan untuk memperoleh data yang berkaitan
dengan pokok permasalahan.
Penulis juga menemukan buku oleh Istibsyaroh, (penulis disertasi dari
S3 UIN Syarif Hidayatullah) tentang Hak-hak Perempuan Relasi Jender
menurut Tafsir al-Sya’râwî. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan Istibsyaroh ialah, Istibsyaroh meneliti tentang relasi jender oleh alSya‟râwî dalam tafsir al-Sya‟râwî. Sedang penulis meneliti tentang ayat-ayat
berkaitan wanita karir yang ditafsirkan oleh al-Sya‟râwî.
Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan
Istibsyaroh ialah sama-sama membahas tokoh al-Sya‟râwî, serta sama-sama
memusatkan perhatian pada penelitian kepustakaan.
Sedangkan tulisan tentang masalah jender sudah banyak buku, artikel,
atau jurnal yang membahasnya, tetapi wanita karir yang dihubungkan dengan
salah satu tafsir tidak penulis temukan.
10
11
Skripsi UIN tahun 2002.
Skripsi UIN tahun 2010.
8
Dengan demikian, kajian ini berbeda dengan kajian yang telah ada.
Kajian ini merupakan kajian tentang “Penafsiran al-Sya‟râwî Terhadap Ayatayat al-Qur‟ân tentang Wanita Karir (QS. al-Taubah [9] : 71, QS. al-Nisā‟ [4] :
32, dan QS.Ali Imrân [3] : 195).” Penulis mengkaji penafsiran ayat-ayat
dalam al-Qur‟ân bahwa tidak ada larangan bagi laki-laki atau perempuan
untuk bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah.
D. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan utama penelitian dalam proposal skripsi
ini adalah:
1. Memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian keislaman terutama yang
berhubungan dengan Tafsir.
2. Mengetahui dan mendeskripsikan tanggapan dan sikap ulama (kaum
intelektual) terhadap peran wanita karir.
3. Mengetahui syarat dan dampak wanita berkarir, serta ayat-ayat al-Qur‟ân
yang menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada larangan bagi laki-laki
atau perempuan untuk bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah.
4. Mengetahui bagaimana pandangan al-Sya‟râwî mengenai hal-hal yang
terkait dengan wanita karir.
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian
Kiranya hasil penelitian ini akan berguna untuk memberikan informasi
yang memadai kepada para peminat dan pemerhati kajian Tafsir serta kepada
9
masyarakat umum
mengenai “Penafsiran al-Sya‟râwî Terhadap al-Qur‟ân
tentang Wanita Karir”, diharapkan muncul gambaran objektif dan penilaian
yang jujur.
F. Metodologi Penelitian
Sebagaimana karya-karya ilmiah pada sebuah disiplin ilmu, setiap
pembahasan masalah tentunya mesti menggunakan metodologi untuk
menganalisa permasalahan. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan
berpijak dalam mengelaborasinya sehingga dapat dijelaskan secara mendetail
dan dapat dipahami.
Dalam penelitian ini, penulis hanya melakukan penelitian kepustakaan
(library research). Yang dimaksud library research adalah menghimpun
buku-buku dan bahan-bahan lain dari berbagai sumber yang berkaitan dengan
topik yang dibahas dalam skripsi ini.
Sementara itu, pembahasannya sendiri menggunakan pendekatan atau
metode tafsir maudhu’i. Adapun yang dimaksud dengan metode tafsir
maudhu’i tersebut adalah menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat yang
berkenaan dengan topik pembahasan tertentu untuk mencari benang merah
dari suatu pesoalan. Atau seperti dikemukakan M.Quraish Shihab bahwa tafsir
tematik adalah karya-karya tafsir yang menetapkan suatu topik tertentu,
dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat,
yang berbicara tentang topik tersebut,untuk kemudian dikaitkan dengan yang
lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang
10
masalah tersebut menurut pandangan al-Qur‟ân .12 Dalam kaitan ini, maka
topik yang dimaksud adalah ayat-ayat al-Qur‟ân
yang berkenaan dengan
masalah wanita karir.
Adapun teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2007”.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi bahasan menjadi lima
bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab Pertama, Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,
signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, Pada bagian ini akan membahas perdebatan tentang wanita
karir maka pada pembahasan ini akan dijelaskan peta pemahaman tentang
pengertian wanita karir, alasan wanita berkarir, dampak positif dan negatif
wanita berkarir, dan etika diperbolehkannya wanita berkarir.
Bab Ketiga, Pada bagian ini akan membahas Muhammad Mutawallî
Al-Sya‟râwî Dan Tafsirnya, yang terdiri dari riwayat hidup Muhammad
Mutawallî al-Sya‟râwî, karya-karya Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî,
pandangan
ulama
tentang
Muhammad
Mutawallî
al-Sya‟râwî,
serta
pengenalan tafsir al-Sya‟râwî.
12
M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ân: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung:Penerbit Mizan,1999) Cet.XIII, h.114. Metode tematik ini di
Mesir untuk pertama kalinya dicetuskan oleh al-Farmawy.
11
Bab Keempat, Pada bagian ini akan membahas ayat-ayat al-Qur‟ân
yang berkaitan tentang wanita karir serta penafsiran al-Sya‟râwî dalam QS. alTaubah [9] : 71, QS. al-Nisā‟ [4] : 32, dan QS.Ali Imrân [3] : 195.
Bab Kelima, Penutup. Sebagai penutup pembahasan ini akan ditarik
kesimpulan dan menjawab permasalahan yang telah dibahas di bab-bab
sebelumnya sembari menguraikan saran-saran atas permasalahan tersebut.
BAB II
SEKILAS TENTANG WANITA KARIR
Al-Qur’ân dan hadis sebagai sumber ajaran Islam, memberi perhatian
yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada perempuan baik
sebagai anak, istri, ibu, maupun sebagai anggota keluarga lainnya dan sebagai
anggota masyarakat. Islam yang bersumber dari al-Qur’ân dan sunah Rasul itu
menghapuskan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Tidak ada perbedaan
derajat dan kedudukan perempuan dengan laki-laki. Kalau ada perbedaan, itu
hanya akibat dari fungsi utama masing-masing jenis, sesuai dengan kodratnya.
Perbedaan yang ada, bukan merupakan sesuatu kekurangan, melainkan sebagai
sesuatu yang mengharuskan kerjasama, tolong menolong dan saling melengkapi.
Namun, posisi perempuan seperti ini sering diperdebatkan di masyarakat,
karena adat istiadat yang menetapkan bahwa tidak layak bagi perempuan untuk
bergerak bebas seperti kaum laki-laki, sehingga menurut adat, bahwa perempuan
yang mulia adalah perempuan yang berada dalam rumah (pingitan). Dan
timbulnya anggapan atau ungkapan yang mengatakan, bahwa ajaran Islam itu
menghambat perempuan untuk maju, karena Islam tidak membolehkan
perempuan bekerja di luar rumah dan mengembangkan karirnya, tidak
membolehkan perempuan melakukan kegiatan sosial.1
Berkenaan dengan hal tersebut, maka penulis mencoba untuk mengkaji
tentang pengertian wanita karir, alasan wanita berkarir, dampak positif dan negatif
1
Tim Tafsir Depag RI, Kerja Dan Ketenagakerjaan (Tafsir al-Qur’ân tematik), (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’ân , 2009), h.443.
12
13
wanita berkarir, etika diperbolehkannya wanita berkarir, dan fatwa ulama tentang
wanita karir.
A. Pengertian Wanita Karir
Dilihat dari susunan katanya “wanita karir” terdiri dari dua kata, yaitu
wanita dan karir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “wanita” berarti “
perempuan dewasa, dalam artian anak kecil tidak termasuk dalam istilah ini”.2
Sedangkan kata “karir” dalam bahasa Inggris “Career”,
yang berarti
perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan dengan jabatan dan
sebagainya. Dapat juga diartikan sebagai, pekerja yang dapat memberikan harapan
untuk maju.3 Jadi wanita karir itu adalah wanita yang bergerak atau wanita yang
berusaha untuk memperoleh kemajuan dan perkembangan yang dilandasi dengan
pendidikan dan keahlian.
Sedangkan yang dimaksud dengan wanita karir menurut Hafiz Anshory
adalah wanita yang menekuni salah satu atau beberapa pekerjaan dengan keahlian
tertentu yang dimiliki atau untuk mencapai kemajuan hidup, pekerjaan atau
jabatan.4
Wanita Karir adalah wanita yang aktif berkecimpung dalam kegiatan
profesi. Menurut Kamus Ungkapan Bahas Indonesia berkarir berarti :
a. Perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, dan jabatan.
2
WJS.Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987),
Cet.Ke-10, h.447.
3
Anton M.Moelyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1989), Cet.Ke-2, h.207.
4
Hafiz Anshory Az, Ihdad Wanita Karir Dalam Problematika Hukum Islam
Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), Cet.Ke-2,h.2.
14
b. Pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju.5
Jadi, suatu pekerjaan baru dapat dikatakan karir apabila pekerjaan itu
diperoleh berdasarkan pendidikan khusus atau keterampilan dan merupakan suatu
program tetap yang membutuhkan keseriusan dalam pengembangannya. Di sini
yang paling menentukan adalah adanya keahlian tertentu yang dimiliki dan tidak
bersifat sampingan, yakni merupakan pekerjaan tetap dan memiliki ambisi maju
dalam pekerjaannya.
Berdasarkan uraian di atas, wanita karir mempunyai gambaran tersendiri
seperti yang diungkapkan Siti Muri’ah, bahwa wanita karir memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Wanita yang aktif untuk melakukan kegiatan untuk mencapai suatu tujuan.
b. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan professional sesuai
dengan bidang yang ditekuninya, baik di bidang politik, ekonomi, sosial,
ilmu pengetahuan, ketentaraan, pendidikan maupun bidang-bidang
lainnya.
c. Bidang-bidang yang ditekuni wanita karir dapat mendatangkan kemajuan
dalam kehidupan, pekerjaan atau jabatan dan sebagainya.6
5
Maman S.Mahayana, Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT.Gramedia
Widiasarana Indonesia, 1997), h.338.
6
Siti Muri’ah, Wanita Karir Dalam Bingkai Islam, (Bandung: Angkasa,t.th), h.29.
15
B. Alasan Wanita Berkarir
Ada pun alasan yang mendorong wanita terjun ke dunia karir antara lain:7
1. Pendidikan. Pendidikan dapat melahirkan wanita karir dalam berbagai
lapangan kerja.
2. Keadaan keuangan suami yang tidak menentu dan memadai mendesak
wanita untuk terjun ke dunia karir.
3. Agar lebih mandiri dalam bidang ekonomi.
4. Untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Ini biasanya dilakukan
oleh wanita yang menganggap bahwa uang di atas segalanya.
5. Untuk mengisi waktu yang luang. Di antara wanita ada yang merasa bosan
diam di rumah karena tidak mempunyai kesibukan dengan urusan rumah
tangganya.
6. Untuk mencari ketenangan dan hiburan. Seorang wanita mungkin
mempunyai kemelut yang berkepanjangan dalam keluarganya yang susah
diatasi. Oleh sebab itu, ia mencari jalan keluar dengan menyibukkan diri di
luar rumah.
7. Untuk mengembangkan bakat. Bakat dapat melahirkan wanita karir.
Dengan munculnya faktor-faktor tersebut, maka semakin terbuka
kesempatan bagi wanita untuk terjun ke dunia karir.
7
Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: al-Mawardi Prima,
2001), Cet.I, h.94-95.
16
Para ulama fikih dalam hal ini membatasi keadaan-keadaan yang
membolehkan wanita bekerja di luar rumah, di antaranya :
1.
Rumah tangga memerlukan biaya untuk pengeluaran kebutuhan primer
dan sekunder. Jika suami telah meninggal atau sedang sakit dan rumah
tangga tidak memiliki pendapatan lain selain dari suami, serta pemerintah
tidak dapat membantu rumah tangga yang kondisinya seperti itu, seorang
istri dibolehkan bekerja di luar rumah dengan pekerjaaan-pekerjaan yang
dibolehkan syara’. Kisah Nabi Musa dan putri-putri Nabi Syu’aib
merupakan contoh untuk keadaan seperti ini. Allah berfirman dalam
QS.al-Qashash [28] : 23-25.
Artinya : Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia
menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang
meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang
banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat
(ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan
berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak
dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembalapengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami
adalah orang tua yang telah lanjut umurnya. Maka Musa
memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya,
kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: "Ya
Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu
17
kebaikan8 yang Engkau turunkan kepadaku." Kemudian
datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu
berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku
memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap
(kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami." Maka tatkala
Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan
kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata:
"Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang
yang zalim itu."
2. Masyarakat memerlukan tenaga wanita untuk bidang-bidang yang sesuai
dengan karakter wanita. Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat
membutuhkan tenaga wanita untuk menjadi dokter, guru dan dosen, serta
pembimbing sosial. Selain itu, masyarakat Islam pun membutuhkan
wartawati untuk majalah-majalah wanita dan membutuhkan akuntanakuntan wanita untuk bank-bank Islam. Oleh karena itu, tokoh-tokoh
agama tidak boleh melarang wanita bekerja di luar rumah, sepanjang
pekerjaannya itu sesuai dengan kodratnya.9
C. Dampak Wanita Berkarir Dalam Rumah Tangga
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Islam tidak melarang wanita berkarir,
dengan catatan tetap mengikuti aturan dan persyaratan yang telah ditetapkan. Jika
wanita karir itu tidak mengikuti aturan-aturan Islam maka akan timbul berbagai
dampak positif dan negatif yang menyangkut harga diri dan kepribadian wanita
yang bersangkutan, hak-hak suami dan anak-anak, serta secara otomatis berakibat
buruk terhadap perekonomian rumah tangga dan masyarakat.
8
Yang dimaksud dengan Khair (kebaikan) dalam ayat ini menurut sebagian besar ahli
Tafsir ialah barang sedikit makanan.
9
Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press,1998),
h.141-143.
18
Adapun dampak positif dengan adanya wanita karir antara lain:10
1. Dengan berkarir, wanita dapat membantu meringankan beban keluarga
yang tadinya hanya dipikul oleh suami yang mungkin kurang memenuhi
kebutuhan.
2. Wanita dapat memberikan pengertian dan penjelasan kepada keluarganya,
utamanya
kepada
putra-putrinya
tentang
kegiatan-kegiatan
yang
diikutinya, sehingga kalau ia sukses dan berhasil dalam karirnya, putraputrinya akan gembira dan bangga, bahkan menjadikan ibunya sebagai
panutan dan suri tauladan bagi masa depannya.
3. Dalam memajukan serta menyejahterakan masyarakat dan bangsa
diperlukan partisipasi serta keikutsertaan kaum wanita, karena dengan
segala potensinya, wanita mampu dalam hal ini, bahkan ada di antara
pekerjaan yang tidak bisa dilaksanakan oleh pria dapat berhasil ditangani
oleh wanita, baik karena keahliannya, maupun karena bakatnya.
4. Wanita dalam mendidik anak-anaknya pada umumnya lebih bijaksana,
demokratis dan tidak otoriter, sebab dengan karirnya itu ia bisa memiliki
pola pikir yang moderat. Kalau ada problem dalam rumah tangga yang
harus diselesaikan, maka ia segera mencari jalan keluar secara tepat dan
benar.
5. Dengan berkarir, wanita yang menghadapi kemelut dalam rumah
tangganya atau sedang mendapat gangguan jiwa, akan terhibur dan
jiwanya akan menjadi sehat. Untuk kepentingan kesehatan jiwanya, wanita
10
Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, Cet.I, h.96-99.
19
itu harus gesit bekerja, jika seorang tidak bekerja atau diam saja, maka ia
akan melamun, berhayal memikirkan atau mengenangkan hal-hal yang
dalam kenyataan tidak dialami atau tidak dirasakannya.
Demikian antara lain dampak positif dari wanita karir, tetapi kalau
dipandang dari dimensi lain, sangat memprihatinkan karena membawa dampak
negatif, baik secara sosiologis maupun agamis. Adapun dampak negatif yang
timbul dengan adanya wanita karir antara lain :11
1. Terhadap anak-anak, wanita yang hanya mengutamakan karirnya akan
berpengaruh pada pembinaan dan pendidikan anak-anak, maka tidak aneh
kalau banyak terjadi hal-hal yang tidak kita harapkan, seperti perkelahian
antarremaja antarsekolah, penyalahgunaan obat-obat terlarang, minuman
keras, pencurian, pemerkosaan, dan sebagainya. Apabila hal ini tidak
diatasi dengan segera maka akan merugikan anak-anak dan masyarakat.
Hal ini harus diakui sekalipun tidak bersifat menyeluruh bagi setiap
individu yang berkarir. Akibat dari kurangnya komunikasi antara ibu dan
anak-anaknya bisa menyebabkan keretakan sosial. Anak-anak merasa tidak
diperhatikan oleh orang tuanya. Sopan santun mereka terhadap orang
tuanya akan memudar. Bahkan sama sekali tidak mau mendengar nasihat
orang tuanya. Pada umumnya hal ini disebabkan karena sang anak merasa
tidak ada kesejukan dan kenyamanan dalam hidupnya, sehingga jiwanya
memberontak. Sebagai pelepas kegersangan hatinya, akhirnya mereka
11
Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, Cet.I, h.99-100.
20
berbuat dan bertindak seenaknya tanpa memperhatikan norma-norma yang
ada dilingkungan masyarakatnya.
2. Terhadap suami, di balik kebanggaan suami yang mempunyai istri wanita
karir yang maju, aktif dan kreatif, pandai dan dibutuhkan masyarakat tidak
mustahil menemui persoalan-persoalan dengan istrinya. Istri yang bekerja
di luar rumah setelah pulang dari kerjanya tentu ia merasa capek, dengan
demikian kemungkinan ia tidak dapat melayani suaminya dengan baik,
sehingga suami merasa kurang hak-haknya sebagai suami.
3. Terhadap rumah tangga, kadang-kadang rumah tangga berantakan
disebabkan oleh kesibukan ibu rumah tangga sebagai wanita karir yang
waktunya banyak tersisa oleh pekerjaannya di luar rumah. Sehingga ia
tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu rumah tangga.
4. Terhadap kaum laki-laki banyak yang menganggur akibat adanya wanita
karir, kaum laki-laki tidak memperoleh kesempatan untuk bekerja, karena
jatahnya telah direnggut, atau dirampas oleh kaum wanita.
5. Terhadap masyarakat, wanita karir yang kurang memedulikan segi-segi
normatif dalam pergaulan dengan lain jenis dalam lingkungan pekerjaan
atau dalam kehidupan sehari-hari, akan menimbulkan dampak negatif
terhadap kehidupan suatu masyarakat.
6. Wanita lajang yang mementingkan karirnya kadang-kadang bisa
menimbulkan budaya “nyeleneh” nyaris meninggalkan kodratnya sebagai
kaum hawa, yang pada akhirnya mencuat budaya “lesbi dan kumpul
kebo”.12
12
Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, Cet.I, h.99-100.
21
D. Etika Diperbolehkannya Wanita Berkarir
Sebenarnya, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para pemikir
kontemporer menyangkut perlunya mendudukkan perempuan pada kedudukannya
yang sebenarnya serta memberi mereka peranan, bukan saja dalam kehidupan
rumah tangga melainkan juga dalam kehidupan bermasyarakat. Kini, semua pihak
mengakui
perlunya
keadilan,
kebebasan,
kemajuan,
dan
pemberdayaan
perempuan. Yang mereka perselisihkan adalah batas-batas dari hal tersebut. Ada
yang sangat sempit dan ketat, tapi ada juga yang sangat luas dan longgar.13
Keterpaksaan atau darurat dilihat dari segi keurgensiannya. Oleh karena
itu, apabila seorang perempuan terpaksa harus bekerja di luar rumahnya, maka dia
haruslah memenuhi etika sebagai berikut :
1. Mendapat izin dari walinya, yaitu Ayah atau suaminya untuk sebuah
pekerjaan yang halal seperti menjadi tenaga pendidik para siswi, atau
menjadi perawat khusus bagi pasien wanita.
2. Tidak bercampur dengan kaum laki-laki, atau melakukan khalwat dengan
lelaki lain.
3. Tidak berlaku tabarruj dan menampakkan perhiasan yang dapat
mengundang fitnah..14
Sedangkan diantara persyaratan yang telah ditetapkan para ulama fiqih
bagi wanita karir adalah :
13
M.Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h.31.
Haya Binti Mubarok Al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, (Jakarta: Darul Falah,
t.th), h.161.
14
22
1. Persetujuan Suami
Adalah hak suami untuk menerima atau menolak keinginan istri untuk
bekerja di luar rumah, sehingga dapat dikatakan bahwa persetujuan suami
bagi wanita karir merupakan syarat pokok yang harus dipenuhinya karena
laki-laki adalah pengayom dan pemimpin bagi wanita. Dalam QS. AnNisa [4] : 34, Allah SWT berfirman :
…    
Artinya : “Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…”
Di antara petunjuk Rasulullah tentang kepergian wanita menuju masjid
adalah sabda berikut ini.
Artinya : “Apabila istri salah seorang kamu minta izin (untuk pergi ke
masjid), maka janganlah di cegah”. (HR.Bukhari)
Berdasarkan hadis itu dapat dikatakan bahwa sekalipun hendak pergi ke
masjid, istri harus meminta izin terlebih dahulu kepada suami, apalagi jika
dia hendak pergi bekerja.
Jadi, penulis berpendapat istri boleh ikut bekerja sama dengan suami, jika
mau, tetapi kewajiban istri untuk menciptakan suasana yang penuh rasa
kasih dan sayang dalam rumah tangga tidak terabaikan serta tidak
memengaruhi ketenangan dan ketentraman rumah tangga.
15
Lihat Hadis al-Bukhari, Bâb Isti’dzân al-Mar’ah Zaujahâ fî al-Khurûj, Juz 3, h.385.
23
2. Menyeimbangkan Tuntutan Rumah Tangga dan Tuntutan Kerja
Sebagian besar wanita muslimah yang dibolehkan bekerja di luar rumah
karena tuntuntan kebutuhan primer rumah tangganya, tidak mampu
menyamakan dan menyeimbangkan antara tuntutan rumah tangga dan
kerja. Adanya aturan-aturan pekerjaan, baik dari segi waktu maupun dari
segi kesanggupan, menyebabkan seorang istri mengurangi kualitas
pemenuhan kewajiban rumah tangganya atau bahkan memengaruhi
kesehatannya.
Dalam hal ini, istri muslimah harus selalu berkeyakinan bahwa sifat
bekerjanya itu hanyalah sementara, yang pada saatnya nanti akan dilepas
bila telah terpenuhinya kebutuhan. Istri tidak boleh beranggapan bahwa
keluarnya dari rumah itu merupakan hiburan atau pengisi waktu luang,
atau lebih jauh lagi karena motivasi emansipasi atau untuk dapat meraih
kebebasan dalam bidang perekonomian.
3. Pekerjaan Itu Tidak Menimbulkan Khalwat
Yang dimaksud khalwat adalah berduannya laki-laki dan wanita yang
bukan mahram. Pekerjaan yang di dalamnya besar kemungkinan terjadi
khalwat, akan menjerumuskan seorang istri ke dalam kerusakan, misalnya
seorang istri yang menjadi sekretaris pribadi seorang direktur.
4. Menghindari Pekerjaan yang Tidak Sesuai dengan Karekter Psikologis
Wanita
Selain itu, istri harus dapat menjauhi pekerjaan-pekerjaan yang tidak
sesuai dengan fitrah kewanitaannya atau dapat merusak harga dirinya.
24
Dengan demikian, wanita tidak boleh bekerja di pub atau diskotik yang
melayani kaum laki-laki sambil menyanyi atau menari.
5. Menjauhi Segala Sumber Fitnah
Dalam hal ini, keluarnya wanita untuk bekerja harus memegang aturanaturan berikut ini :
a. Wanita yang bekerja harus memakai pakaian yang dibolehkan syara’,
berdasarkan QS.al-Ahzab [33] : 59 Allah berfirman :
Artinya : Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya16ke seluruh tubuh mereka."
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b. Wanita yang bekerja harus merendahkan suaranya, dan berkata baik.
c. Wanita yang bekerja tidak boleh memakai wewangian sebab di antara
yang dapat menjadi sumber fitnah adalah aroma wewangian.
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW
bersabda :
16
Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan
17
Lihat Hadis al-Tirmidzi, Babu mâ jâ’a fî tahdzîr fitnah al-Nisâ’, Juz 9, h. 472.
dada.
25
Artinya : “Wewangian laki-laki adalah yang jelas aromanya, tetapi
samar warnanya. Dan wewangian wanita adalah yang
jelas warnanya, tapi samar aromanya”. (HR. Tirmidzi dan
Abu Hurairah)
d. Wanita karir harus menundukkan pandangan agar terhindar dari
kemaksiatan dan godaan setan. Allah telah memerintahkan kaum lakilaki dan wanita untuk menundukkan pandangan dalam QS.an-Nûr [24]
: 30-31, yaitu :
Artinya :
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat." Katakanlah kepada wanita
yang
beriman:
"Hendaklah
mereka
menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera
mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudarasaudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
26
lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak
yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah
mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung.
Rasulullah bersabda :
Artinya :
“Tidaklah kutinggalkan fitnah setelah masaku yang
lebih berbahaya bagi lelaki selain fitnah yang
ditimbulkan wanita”. (HR.Muslim)19
6. Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan. Artinya, Pekerjaan itu
tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu yang haram, seperti wanita
yang bekerja untuk melayani lelaki bujang, atau wanita menjadi sekretaris
khusus bagi seorang direktur yang karena alasan kegiatan mereka sering
berkhalwat (berduaan), atau menjadi penari yang merangsang nafsu hanya
demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja di bar-bar untuk
menghidangkan minum-minuman keras - padahal Rasulullah Saw. telah
melaknat orang yang menuangkannya, membawanya, dan menjualnya.
Atau menjadi pramugari di kapal terbang dengan menghidangkan minumminuman yang memabukkan, bepergian jauh tanpa disertai mahram,
bermalam di negeri asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain
yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita maupun
khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya.20
18
Lihat Hadis Tirmidzi, Bab ‫ ما جا ء في تحذير فتنة النساء‬, Juz 9, h. 459
Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, h.145-152.
20
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press,tt).
19
BAB III
MUHAMMAD MUTAWALLÎ AL-SYA’RÂWÎ DAN TAFSIRNYA
A. Riwayat Hidup Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî
Nama Lengkap al-Sya‟râwî adalah Muhammad bin Mutawallî al-Sya‟râwî
al-Husainia. Al-Sya‟râwî lahir pada hari Ahad tanggal 17 Rabi‟ Al Tsani 1329 H
bertepatan dengan 16 April 1911 M di desa Daqadus, Mait Ghamir, adDakhaliyyah. Tentang nasab (keturunan), al-Sya‟râwî dalam sebuah kitab berjudul
Anâ Min Sulâlat Ahli al-Bait, menyebutkan bahwa dia merupakan keturunan dari
cucu Nabi SAW.,yaitu Husein ra.1
Ketekunan al-Sya‟râwî dalam studi al-Qur‟ân sudah nampak sejak kecil
di mana sejak ia berusia 11 tahun sudah hafal al-Qur‟ân di bawah bimbingan
gurunya „Abd al-Majîd Pasha.2 Karenanya, tidak aneh ketika ia dewasa menjadi
salah satu tokoh dalam bidang tarsir kontemporer abad 21.
Adapun pendidikan resminya diawali dengan menuntut ilmu di sekolah
dasar al-Azhar Zaqaziq pada tahun 1926 M. Setelah memperoleh ijazah sekolah
dasar al-Azhar pada tahun 1932 M, ia melanjutkan ke jenjang sekolah menengah
di Zaqaziq dan meraih ijazah sekolah menengah al-Azhar pada tahun 1936 M.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Universitas al-Azhar jurusan bahasa Arab
pada tahun 1937 M hingga tahun 1941 M. Ia melanjutkan ke jenjang doctoral
1
Sa‟îd Abû Al-„Ainain, Al-Sya‟râwî Anâ Min Sulâlat Ahli Al-Bait, (Al-Qâhirah: Akhbâr
Al-Yawm,1955),h.6.
2
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, (Jakarta:
TERAJU (PT.Mizan Publika, 2004), h.21.
27
28
pada tahun 1940 M dan memperoleh gelar „Âlamiyyat (Lc sekarang) dalam
bidang bahasa dan sastra Arab.3
Sejak duduk di bangku sekolah menengah (setingkat SLTA atau MA di
Indonesia) al-Sya‟râwî menekuni keilmuan bidang syair dan sastra Arab. Hal ini
tampak ketika ia di angkat menjadi Ketua Persatuan Pelajar dan Ketua Persatuan
Kesusastraan di daerah Zaqaziq. Kemudian pada tahun 1930-an merasakan
bangku kuliah pada Fakultas Ushuluddin di Zaqaziq, dan setelah lulus pendidikan
S1, ia melanjutkan studi (setingkat S2) mengambil konsentrasi Bahasa Arab pada
Universitas al-Azhar dan lulus pada tahun 1943 dengan predikat cum laude.
Setelah menyelesaikan studinya tersebut, al-Sya‟râwî menghabiskan
hidupnya dalam dunia pendidikan, yakni sebagai tenaga pengajar pada beberapa
perguruan tinggi di kawasan Timur Tengah, antara lain: al-Azhar Tanta, al-Azhar
Iskandariyyah, Zaqaziq, Universitas Mâlik Ibn Abdul Azîz Makkah, Universitas
al-Anjal Arab Saudi, Universitas Ummul Qura Makkah, dan lain-lain. Selain
mengajar, al-Sya‟râwî juga mengisi kegiatan-kegiatan sosial keagamaan, seperti
menjadi Khatib, mengisi kegiatan ceramah (da‟i), mengisi pengajian tafsir alQur‟ân yang disiarkan secara langsung melalui layar televisi di Mesir dalam
acara Nûr „alâ Nûr. Selanjutnya Mesir mulai mengenal nama al-Sya‟râwî. Semua
masyarakat melihatnya dan mendengarkan ceramah keagamaan dan penafsirannya
terhadap al-Qur‟ân selama kurang lebih 25 tahun.4
Pada tahun 1976 M, al-Sya‟râwî dipilih oleh pimpinan Kabinet Mamdûh
Salim sebagai Menteri Wakaf dan pada tanggal 26 Oktober 1977 M, ia ditunjuk
3
Ahmad Al-Marsi Husein Jauhar, Muhammad Mutawallî Al-Sya‟râwî: Imâm Al-„Asr,
(Al-Qâhirah: Handat Misr,1990), h.74.
4
Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.27.
29
kembali menjadi Menteri Wakaf dan Menteri Negara yang berkaitan erat dengan
al-Azhar dalam kabinet yang dibentuk oleh Mamdûh Sâlim.
Pada tanggal 15 Oktober 1978 M, ia diturunkan dengan hormat dalam
formatur kabinet yang dibentuk oleh Mustofâ Khalîl. Kemudian ia ditunjuk
menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya universitas “Al-Syu‟ûb Al-Islâmiyah
Al-„Ârabiyyah”, namun al-Sya‟râwî menolaknya. Pada tahun 1980 M al-Sya‟râwî
diangkat sebagai anggota MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), akan tetapi ia
menolak jabatan strategis ini.
Atas jasa-jasa tersebut, al-Sya‟râwî mendapat penghargaan dan lencana
dari Presiden Husni Mubarak dalam bidang pengembangan ilmu dan budaya di
tahun 1983 M pada acara peringatan hari lahir al-Azhar yang ke-1000.
Al-Sya‟râwî
pengembangan)
ditunjuk
bahasa
Arab
sebagai
oleh
anggota
lembaga
litbang
(penelitian
“Mujamma‟
dan
al-Khâlidîn”,
perkumpulan yang menangani perkembangan bahasa Arab di Kairo pada tahun
1987 M. Tahun 1988 M memperoleh Wisâm al-Jumhuriyyah, medali kenegaraan
dari presiden Husni Mubarak di acara peringatan hari da‟i dan mendapatkan
Jâ‟izah al-Daulah al-Taqdîriyyah, penghargaan kehormatan kenegaraan.5
Pada tahun 1990 M, al-Sya‟râwî mendapat gelar “Profesor” dari
Universitas Al-Mansurah dalam bidang adab, dan pada tahun 1419 H/1998 M, ia
memperoleh gelar kehormatan sebagai al-Syakhsiyyah al Islâmiyyah al-Ulâ profil
Islami pertama di dunia Islam di Dubai serta mendapat penghargaan dalam bentuk
uang dari putera mahkota al-Nahyan, namun ia menyerahkan penghargaan ini
5
Mahmûd Rizq Al-Amâl, Tarîkh Al-Imâm Al-Sya‟râwî, dalam Majalah Manâr Al-Islâm,
(September,2001),no 6,vol.27,h.35.
30
kepada al-Azhar dan pelajar al-Bu‟ûts al-Islâmiyah (pelajar yang berasal dari
negara-negara Islam di seluruh dunia).6
Al-Sya‟râwî dikenal sebagai seorang da‟i yang berwawasan santun, bijak,
dan tegas, sehingga tidak heran jika banyak artis yang mendapatkan hidayah
setelah mendengar dan berdialog dengannya. Di antaranya adalah seorang artis
wanita Mesir yang beragama Yahudi, kemudian meninggalkan dunia glamor,
menunaikan ajaran Islam dengan baik dan turut berdakwah menyampaikan ajaran
Islam.
Di usia 87 tahun, pada hari Rabu 17 Juni 1998 M, Mutawallî al-Sya‟rawi
wafat. Jasadnya dimakamkan di Mesir.7
B. Karya-Karya Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî
Al-Sya‟râwî tidak menulis karangannya, karena beliau berpendapat
kalimat yang disampaikan secara langsung dan diperdengarkan akan lebih
mengena dari pada kalimat yang disebarluaskan dengan perantara tulisan, sebab
semua manusia akan mendengar dari narasumber yang asli. Hal ini sangat berbeda
dengan tulisan, karena tidak semua orang mampu membacanya. Namun demikian
dia tidak menafikan kebolehan untuk mengalihbahasakannya menjadi bahasa
tulisan dan tertulis dalam sebuah buku, karena tindakan ini membantu program
sosialisasi pemikirannya dan mencakup asas manfaat yang lebih besar bagi
6
Taha Badri, Qâlû‟an Al-Sya‟râwî ba‟da Râhîlihi, (Al-Qâhirah: Maktabah Al-Turâs AlIslâmî,t.t.),h.5-6.
7
Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2006). h.277.
31
manusia secara keseluruhan.8 Tapi, ceramah-ceramahnya yang dicetak dalam
bentuk buku mendapatkan sambutan luas di kalangan umat Islam. Bahkan buku
Mukjizat al-Qur‟ân telah dicetak sebanyak 5 juta eksemplar. Hasil penjualan
buku-buku beliau ini ia sumbangkan untuk kegiatan-kegiatan sosial.
Di antara kata-kata mutiara al-Sya‟râwî adalah,
“Sesungguhnya Allah SWT menyembunyikan tiga hal di dalam tiga hal.
Dia menyembunyikan ridha-Nya di dalam ketaatan kepada-Nya. Maka
jangan sampai meremehkan ketaatan apapun bentuknya, karena ada
seseorang yang memberi minum kepada anjing lalu Allah berterima kasih
kepadanya dan mengampuninya. Dan Allah SWT menyembunyikan
murka-Nya di dalam kemaksitan terhadap-Nya. Sesungguhnya ada
seorang wanita yang masuk neraka karena kucing yang ia kurung, ia tidak
memberinya makan tidak juga membiarkannya pergi. Dan Allah
menyembunyikan rahasia-rahasia-Nya pada diri hamba-hamba-Nya. Maka
janganlah kalian menghina seorang hamba-Nya, karena banyak orang yang
kusut berdebu, namun jika ia bersumpah atas nama Allah, maka Allah
akan mengabulkan sumpah-Nya itu.” 9
Al-Sya‟râwi mempunyai sejumlah karangan-karangan, beberapa orang
yang mencintainya mengumpulkan dan menyusunnya untuk disebarluaskan,
sedangkan hasil karya yang paling populer dan yang paling fenomenal adalah
Tafsir al-Sya‟râwi terhadap al-Qur‟ân yang Mulia. Dan di antara sebagian hasil
karyanya adalah:
1.
Al-Isrâ‟ wa al- Mi'râj (Isra dan Mi'raj)
2.
Asrâr
Bismillâhirrahmânirrahîm
(Rahasia
dibalik
kalimat
Bismillahirrahmanirrahim)
3.
8
9
Al-Islâm wa al-Fikr al-Mu'ashir (Islam dan Pemikiran Modern)
Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.31.
Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, h.277.
32
4.
Al-Fatâwâ al-Kubrâ (Fatwa-fatwa Besar). Kitab ini dicetak oleh
Maktabah al-Turâs al-Islâmî dalam dua bagian. Bagian pertama terdiri
atas 441 halaman dan bagian kedua terdiri atas 483 halaman. Kedua
bagian tersebut berisi pemikiran al-Sya‟râwî tentang tafsir dan juga
pertanyaan yang memiliki benang merah dengan tema sekaligus
jawabannya. Bagian pertama membahas iman kepada Allah, makna
amanah dan kapan iman menjadi aqidah dan seterusnya.10
5.
100 al-Suâl wa al-Jawâb fî al-Fiqh al-Islâm (100 Soal Jawab Fiqih
Islam)
6.
Mu'jizat al-Qur‟ân (Kemukjizatan Alquran)
7.
'Alâ al-Mâídat al-Fikr al-Islâmî (Di bawah Hamparan Pemikiran
Islam). Kitab ini terdiri atas 203 halaman dan mencakup tema yang
beragam, seperti “Polemik tentang Islam”, “Pembicaraan seputar
pemikiran Islam” dan “Islam dan globalisasi, Islam antara kapitalisme
dan komunisme, Islam kanan dan Islam kiri, jaminan dan Islam”.
Tema-tema ini diformat dalam bentuk tanya jawab yang disampaikan
oleh Majdî al-Khafnawî dan dijawab oleh al-Sya‟râwî.11
8.
Al-Qadhâ wa al-Qadar (Qadha dan Qadar)
9.
Ĥâdzâ Ĥuwa al-Islâm (Inilah Islam)
10. Al-Muntakhab fi Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm (Pilihan dari Tafsir alQur‟ân al-Karîm).12
10
Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.37.
Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.38.
12
www.egyguys.com. Akses 22 Maret 2010.
11
33
C. Pandangan Ulama Tentang Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî
Beberapa ulama dan sarjana yang memberi komentar dan pandangan
terhadap al-Sya‟râwî, di antaranya :
„Abdul Fattâh al-Fâwi, dosen Falsafah di Universitas Dâr Al-„Ulûm Kairo
berkata: “Sya‟rawi bukanlah seorang yang tekstual, beku di hadapan nas, tidak
terlalu cenderung ke akal, tidak pula sufi yang hanyut dalam ilmu kebatinan, akan
tetapi beliau menghormati nash, memakai akal, dan terpancar darinya keterbukaan
dan kekharismatikannya”.13
Yûsuf al-Qardawi memandang : “al-Sya‟râwî sebagai penafsir yang
handal. Penafsirannya tidak terbatas pada ruang dan waktu, tetapi juga mencakup
kisi-kisi
kehidupan
lainnya,
bahkan
dalam
kesehariannya
ia
terkesan
menggandrungi sufisme, kendati sebagian orang menentang kehidupan sufi. Ia
tetap bersikukuh dengan prinsip hidupnya.”14
Kecenderungan al-Sya‟râwî pada tafsir tidak menjadikan ia lupa dengan
kepiawaiannya dalam mengambil kesimpulan hukum fiqh atas realita kehidupan,
sehingga tidak jarang ia mengeluarkan hukum berdasarkan dalil syar‟i dan logis.
Akhirnya, kontribusi al-Sya‟râwî dalam berbagai bidang ilmu tidak perlu
diragukan lagi, karenanya tidak sedikit pengikut dan pengagumnya merasa
kehilangan ketika al-Sya‟râwî wafat.
Yûsuf al-Qardawi menegaskan dalam pidatonya yang berjudul AlSya‟râwî Ilmun min A‟lâm Al-Hidâyah bahwa :
13
Ahmad Al-Marsi Husein Jauhar, Muhammad Mutawallî Al-Sya‟râwî: Imâm Al-„Asr,
(al-Qâhirah: Handat Misr,1990),h.51.
14
Ahmad, Muhammad Mutawallî Al-Sya‟râwî: Imâm Al-„Asr, h.53.
34
“Al-Sya‟râwî dalam rutinitas kesaharian cenderung menjalani kehidupan
sufi, walaupun tidak semua manusia menjadikan sufisme sebagai langkah
hidupnya”.
Muhammad Mustafâ Ganîm dalam harian Al-Akhbâr 14 Agustus 1980,
seperti yang dikutip oleh Istibsyaroh adalah :
“Sungguh Allah menganugerahkan kepada al-Sya‟râwî ilmu yang
melimpah, otak cemerlang, akal yang logis, pemikiran sistematis, hati
ikhlas, kemampuan luar biasa dalam menjelaskan dan menafsirkan dengan
gaya bahasa sederhana dan jelas, dengan perumpamaan yang dapat
dipahami oleh kemampuan akal orang awam,…Sungguh hal ini adalah
suatu khazanah yang pantas mendapat penghormatan, penghargaan, dan
pengakuan tersendiri”.15
Sementara Ahmad „Umar Hasyîm, ketika memberi penilaian terhadap alSya‟râwî, menyitir sebuah hadis:
“Allah mengutus di setiap seratus tahun sosok yang membangkitkan
(memperbaharui) nuansa Islam”. (HR.Abû Dâwud).16
Dalam kaitannya dengan hadis di atas, Ahmad „Umar Hasyîm
memprediksikan hanya Allah yang Maha Mengetahui al-Sya‟râwî termasuk
pemimpin umat dan pembaharu nuansa pemikiran Islam sebagaimana kandungan
hadis. Al-Sya‟râwî merupakan profil da‟i yang mampu menyelesaikan
permasalahan umat secara proporsional. Beliau tidak menolak mentah-mentah
inovasi masa kini, bahkan ia sangat antusias dengan penemuan ilmiah terutama
yang berkaitan erat dengan substansi al-Qur‟ân. Namun demikian ia tetap
menganalisanya. Oleh karenanya, tidak salah apabila ia memperoleh gelar
pembaharu Islam, Mujaddid al-Islâm.
15
16
Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.42.
Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, (Beirut; Dâr Al-Fikr,t.t.),Juz IV, h.109.
35
Ahmad „Umar Hasyîm juga mengatakan bahwa karangan-karangan alSya‟râwî merupakan harta kekayaan yang sangat berkualitas, karena ia mencakup
semua segi kehidupan. Karangannya tidak hanya memuat satu permasalahan
fenomenal saja, tetapi juga membahas permasalahan kontemporer yang dihadapi
umat di era globalisasi secara keseluruhan. Akhirnya, merupakan kewajaran
apabila umat Islam mengelu-elukannya.
Ibrâhîm al-Dasûkî, teman karib al-Sya‟râwî berpendapat, al-Sya‟râwî
merupakan pemimpin para da‟i. Dia sangat lihai dalam berdakwah. Al-Sya‟râwî
tidak hanya berdakwah melalui media lisan dan tulisan, tetapi juga
mengaplikasikannya dalam tataran praktis. Karangan-karangan al-Sya‟râwî cukup
menunjukkan tingkat kepandaiannya dalam berdakwah dan berkontemplasi
(perenungan) dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan kecerdasannya ini akan terlihat
jelas manakala al-Sya‟râwî mengolah kata-kata yang dirangkum dalam simbol
interprestasinya terhadap al-Qur‟ân yang bukan sekedar ucapan saja, melainkan
juga meresap di hati.17
Dari beberapa pandangan para ulama dan sarjana tentang al-Sya‟râwî di
atas, dapat diketahui betapa besar pengaruh al-Sya‟râwî di masyarakat.
Keikhlasannya, kekharismatikannya, keulamaannya, dan keprofesionalannya
diakui oleh semua lapisan termasuk oleh ulama, sarjana, dan sebagainya. Suatu
hal yang paling penting, dia mempunyai kelebihan, di samping da‟i yang mampu
menjelaskan sesuatu yang rumit dengan bahasa yang mudah dan sederhana
sehingga dapat dipahami oleh kalangan masyarakat, sekalipun yang paling awam.
17
Ahmad, Muhammad Mutawallî Al-Sya‟râwî: Imâm Al-„Asr, h.140.
36
D. Pengenalan Tafsir al-Sya’râwî
Tafsir ini dinamakan Tafsir al-Sya‟râwî, diambil dari nama penulisnya.
Menurut Muhammad „Alî Iyâzy judul yang terkenal dari karya ini adalah Tafsir
Khawâtir al-Sya‟râwî Haul al-Qur‟ân al-Karim. Pada mulanya, tafsir ini hanya
diberi nama Khawâtir al-Sya‟râwî yang dimaksudkan sebagai sebuah perenungan
(Khawatir) dari diri al-Sya‟râwî terhadap ayat-ayat al-Qur‟ân yang tentunya bisa
saja salah dan benar.18 Al-Sya‟râwî dalam muqaddimah tafsirnya, menyatakan
bahwa :
“Hasil renungan saya terhadap al-Qur‟ân bukan berarti tafsiran al-Qur‟ân ,
melainkan hanya percikan pemikiran yang terlintas dalam hati seorang
mukmin saat membaca al-Qur‟ân . Kalau memang al-Qur‟ân dapat
ditafsirkan, sebenarnya yang lebih berhak menafsirkannya hanya
Rasulullah SAW, karena kepada Rasulullah ia diturunkan. Dia banyak
menjelaskan kepada manusia ajaran al-Qur‟ân dari dimensi ibadah, karena
hal itulah yang diperlukan umatnya saat ini. Adapun rahasia al-Qur‟ân
tentang alam semesta, tidak ia sampaikan, karena kondisi sosio-intelektual
saat itu tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika hal itu
disampaikan akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya akan
merusak puing-puing agama, bahkan akan memalingkan umat dari jalan
Allah SWT.”19
Kitab ini merupakan hasil kreasi yang dibuat oleh murid al-Sya‟râwî
yakni Muhammad al-Sinrâwi, „Abd al-Wâris al-Dasuqî dari kumpulan pidatopidato atau ceramah-ceramah yang dilakukan al-Sya‟râwî . Sementara itu, hadishadis yang terdapat di dalam kitab Tafsir al-Sya‟râwî di takhrij oleh Ahmad
„Umar Hasyim. Kitab ini diterbitkan oleh Akhbâr al-Yawm Idarah al-Kutub wa
al-Maktabah pada tahun 1991 (tujuh tahun sebelum al-Sya‟râwî
meninggal
dunia). Dengan demikian, Tafsir al-Sya‟râwî ini merupakan kumpulan hasil-hasil
18
19
www.islamiyyat.com. Akses 08 Desember 2010.
Lihat al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî, Jilid I,h.9.
37
pidato atau ceramah al-Sya‟râwî yang kemudian diedit dalam bentuk tulisan buku
oleh murid-muridnya. 20
Sebelum berbicara tentang suatu tema, al-Sya‟râwî
biasa menyendiri
beberapa saat untuk berfikir dan merenung. Setelah itu dia keluar dengan ilmu
yang Allah berikan kepadanya. Dengan menyendiri, seseorang dapat lebih
konsentrasi sehingga menghasilkan hasil yang optimal,21 seperti dalam QS.
Saba‟[34] : 40 :
“Katakanlah, sesungguhnya aku memperingatkan kepada kalian tentang
suatu hal, yaitu supaya kalian menghadap Allah dengan ikhlas berduadua atau sendiri-sendiri, kemudian kalian fikirkan hal itu…”
Al-Sya‟râwî
sebelum merenungi suatu ayat, terlebih dahulu merujuk
beberapa pendapat para mufassir, seperti Fakhr al-Râzî, Zamakhsyarî, Sayyid
Quthb, al-Alûsî, dan lain-lain.
Pada saat menerangkan kandungan suatu ayat, al-Sya‟râwî tidak
memegang tafsir yang berjilid, melainkan hanya mushaf al-Qur‟ân . Dengan teliti,
diuraikan kandungan al-Qur‟ân ayat per ayat, bahkan kata per kata dan korelasi
antara satu ayat dengan ayat sebelumnya.
Sistematikanya dimulai dengan muqaddimah, menerangkan makna
ta‟awuz, dan tartib nuzul al-Qur‟ân . Dalam memulai menafsirkan setiap surat,
beliau mulai dengan menjelaskan makna surat, hikmahnya, hubungan surat yang
ditafsirkan dengan surat sebelumnya kemudian menjelaskan maksud ayat dengan
menghubungkan ayat lain sehingga disebut menafsirkan ayat al-Qur‟ân dengan
al-Qur‟ân .
20
www.islamiyyat.com. Akses 08 Desember 2010.
Muhammad Rajab al-Bayumi, Muhammad Mutawallî Al-Sya‟râwî Jawlatun fî Fikrihi
al-Mausû‟î al-Fasîh, (Al-Qâhirah: Maktabah Al-Turâs Al-Islâmî,t.t),h.69.
21
38
Menurut Mahmud Basuni Faudah bahwa, sebagian ayat al-Qur‟ân
merupakan tafsiran dari sebagian yang lain. Yang dimaksud ialah sesuatu yang
disebutkan secara ringkas di satu tempat diuraikan di tempat yang lain. Ketentuan
yang mujmal dijelaskan dalam topik yang lain. Sesuatu yang bersifat umum dalam
suatu ayat di-takhsis oleh ayat yang lain. Sesuatu yang berbentuk mutlak di suatu
pihak disusul oleh keterangan lain yang muqayyad (terbatas).22
Dalam menafsirkan ayat atau kelompok ayat, al-Sya‟râwî menganalisis
dengan bahasa yang tajam dari lafadz yang dianggap penting dengan berpedoman
pada kaidah-kaidah bahasa dari aspek nahwu, balaghah, dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam menafsirkan ayat aqidah dan iman beliau mengikuti mufasir
terdahulu, seperti Muhammad Abduh, Rasyîd Rîda, dan Sayyid Quthb.23 Dalam
hal ini al-Sya‟râwî
membahasnya secara mendalam dan mendetail dengan
argumen yang rasional dan ilmiah agar keyakinan dan ketauhidan mukminin lebih
mantap, dan mengajak selain mereka untuk masuk dalam agama Allah yaitu
Islam.
Menurut „Umar Hasyîm, metodelogi al-Sya‟râwî dalam tafsirnya
bertumpu kepada pembedahan kata dengan mengembalikan asal kata tersebut, dan
mengembangkan ke dalam bentuk lain, kemudian mencari korelasi makna antara
asal kata dengan kata jadiannya.24
22
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur‟ân Perkenalan dengan Metodelogi
Tafsir, terj. M.Muhtar Zoeni dan Abdul Qad‟ir Hamid, (Bandung:Pustaka, 1987), h.24-25.
23
Muhammad „Alî Iyâzy, Al-Mufassrûn Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Mu‟assasah Al-Thabâ‟ah wa Al-Nasyr,t.t), h.270.
24
Ahmad Umar Hâsyim, Al-Imâm Al-Sya‟râwî Mufassirân wa Dâ‟iyah, (Al-Qahirah:
Maktabah Al-Turâs Al-Islâmî,t.t.), h.51.
39
Tafsir al-Sya‟râwî tidak terbatas kepada pengungkapan makna suatu ayat,
baik makna umum maupun makna rinci. Lebih dari itu, al-Sya‟râwî berusaha
mensosialisasikan teks al-Qur‟ân ke dalam realitas bumi. Dalam mengupas satu
ayat, al-Sya‟râwî sering memulainya dengan menerangkan korelasi ayat tersebut
dengan ayat sebelumnya, kemudian melanjutkan dengan tinjauan bahasa, akar
kata, sharaf, dan nahwunya, terlebih lagi, jika kalimat tersebut mempunyai banyak
i‟rab. Terkadang, ia membeberkan aneka qira‟at untuk menerangkan perbedaan
maknanya, menyitir ayat lain dan hadis yang berhubungan dengan ayat yang
ditafsirkan, juga menyitir syair dalam menerangkan makna satu kata, sisi sastra
suatu ayat dijelaskan, ditulis asbâb nuzûl-nya apabila berdasarkan hadis sahih.25
Adapun dilihat dari isi dan sistematikanya, tampak bahwa kitab ini terdiri
dari 18 jilid yang dapat digambarkan dalam tabel berikut ini:
NO. JILID ISI
1. I Pendahuluan, Qs. al-Fâtihah sampai Qs. al-Baqârah ayat 154.
2. II Qs. al-Baqârah ayat 155 sampai Qs. Ali „Imrân ayat 13.
3. III Qs. Ali „Imrân ayat 14 sampai 189.
4. IV Qs. Ali „Imrân ayat 190 sampai Qs. al-Nisâ‟ ayat 100.
5. V Qs. al-Nisâ‟ ayat 101 sampai Qs. al-Mâidah: 54.
6. VI Qs. al-Mâidah: 55 sampai Qs. al-An‟âm: 109.
7. VII Qs. al-An‟âm: 110 sampai Qs. al-A‟râf: 188.
8. VIII Qs. al-A‟râf: 189 sampai Qs. al-Taubah: 44
9. IX Qs. al-Taubah: 45 sampai Qs. Yunus: 14.
10. X Qs. Yunus: 15 sampai Qs. Hûd: 27.
11. XI Qs. Hûd: 28 sampai Qs. Yûsuf: 96.
12. XII Qs. Yûsuf: 97 sampai Qs. al-Hijr: 47.
13. XIII Qs. al-Hijr: 48 sampai Qs. al-Isrâ‟: 4.
25
Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.49.
40
14. XIV Qs. al-Isrâ‟: 5 sampai Qs. al-Kahfi; 98.
15. XV Qs. al-Kahfi; 99 sampai Qs. al-Anbiyâ‟: 90.
16. XVI Qs. al-Anbiyâ‟: 91 sampai Qs.al-Nûr: 35.
17. XVII Qs. al-Nûr: 36 sampai Qs. al-Qasas: 29.
18. XVIII Qs. al-Qasas: 30 sampai Qs. al-Rum: 58.
Berdasarkan tabel tersebut, maka tafsir ini tidak memuat dari surah
Luqmân hingga surah al-Nas atau dari pertengahan Juz 21 hingga akhir Juz 30
dalam al-Qur‟ân.
Sementara itu, dilihat dari metodenya, Tafsir al-Sya‟râwî ini susah untuk
dipetakan, sebab, tafsir ini merupakan tafsir bi al-lisân atau tafsir sauti (hasil
pidato atau ceramah yang kemudian di bukukan). Dengan demikian tafsir ini tidak
ditulis dalam bentuk tulisan ilmiah. Namun, secara umum tafsir ini menggunakan
metode gabungan antara tahlili dan tematik. Dengan kata lain al-Sya‟râwî
menggunakan metode tahlili, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟ân
dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu
dan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan
keahlian dan kecenderungan penafsir, kemudian ia menjelaskan dengan
menggunakan metode dan pendekatan tematik, yakni membahas ayat-ayat alQur‟ân dalam sebuah tema yang teratur.
Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî dalam tafsirnya dengan nama kitab
Tafsir al-Sya‟râwî termasuk kedalam kategori tafsir adabî ijtimâ‟î. Corak sastra
budaya kemasyarakatan atau adabî ijtimâ‟î dimulai oleh Muhammad Abduh,
yaitu suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur‟ân
yang
berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk
41
menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat, dengan
mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Dalam hal ini „Usmaan Abd al-Rahim al-Qamihi menyimpulkan metode
dan langkah-langkah yang ditempuh al-Sya‟râwî dalam menjelaskan ayat-ayat alQur‟ân , yakni:
1. Dalam tafsir ini memuat perenungan-perenungan dan pandanganpandangan yang tajam.
2. Mengandung tafsir maudhu‟i, yakni dalam membahas ayat al-Qur‟ân ia
mencoba mengkajinya pada satu tema.
3. Tafsir ini merupakan Tafsir Sauti (hasil ceramah yang kemudian ditulis).
4. Al-Sya‟râwî adalah orang yang ahli dalam bahasa dan sastra Arab, maka
ia selalu berangkat dari analisa bahasa ketika menafsirkan sebuah ayat.
5. Berusaha menyingkap Fasâhah al- Qur‟ân (kehebatan al-Qur‟ân) dan
rahasia sistematikanya.
6. Tujuan dari tafsir ini adalah untuk perbaikan sosial (al-islah al-ijtimâ‟i),
moral, dan tarbawi (pendidikan).
7. Menyingkap ayat-ayat hukum dan melihat asbâb nuzûl-nya.
8. Menggabungkan
antara
pendalaman
dan
kesederhanaan
dalam
menafsirkan dan menyampaikannya.
9. Menggunakan metode analisis dan tematik, dan berusaha menghubungkan
antara ayat (munâsabah al-ayât).
10. Terkadang bernuansa sufistik.
11. Menggunakan gaya bahasa (uslub), retoris-dialogis (al-mantiq al-jadalia).
42
12. Menyingkap penemuan-penemuan ilmiah dalam al-Qur‟ân.
Sampai di sini dapat dikatakan bahwa karakteristik dari kitab Tafsir alSya‟râwî adalah Tafsir Sauti (hasil ceramah yang kemudian ditulis), dengan
pembahasan yang luas, tidak terikat oleh satu metode tertentu dalam
metodologi tafsir al-Qur‟ân. Sementara itu, secara umum corak dari kitab
tafsir ini adalah adabi ijtimâ‟i yakni sosial kemasyarakatan, progresif untuk
melakukan perubahan dan perbaikan kehidupan sosial yang lebih baik.
Dikatakan secara umum, karena tafsir ini tidak menekankan corak, melainkan
menekankan pengungkapan “ruh” al-Qur‟ân sebagai sumber hidayah bagi
umat manusia.
BAB IV
PENAFSIRAN AL-SYA’RÂWÎ TENTANG WANITA KARIR DALAM
AYAT-AYAT AL-QUR’ÂN
Di dalam al-Qur‟ân terdapat sejumlah ayat yang berbicara tentang wanita.
Saat ini, penulis merasa ayat-ayat yang berkaitan tentang wanita, khususnya
wanita yang diperbolehkan bekerja di luar rumah masih banyak perbedaan dalam
hal penafsiran. Penulis mengambil penafsir kontemporer seperti Muhammad
Mutawallî al-Sya‟râwi karena ia merupakan salah satu ahli tafsir al-Qur‟ân yang
terkenal pada masa modern dan merupakan tokoh pada masa kini.
Karena adanya ayat-ayat al-Qur‟ân yang mengisyaratkan perlunya
kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam hal-hal yang memberikan
kemaslahatan umum dan ayat-ayat yang berhubungan tentang diperbolehkannya
wanita bekerja, maka secara keseluruhan ayat-ayat yang menyangkut wanita karir
dalam al-Qur‟ân
harus ditafsirkan. Di bawah ini, penulis akan menyajikan
tipologi ayat-ayat tersebut, yang dibagi ke dalam tiga tema utama: (a) wanita karir
dalam dunia politik, (b) hak wanita untuk berprestasi, dan (c) hak wanita untuk
berkarir.
A. Wanita Karir dalam Dunia Politik
Wacana kepemimpinan perempuan telah memancing polemik dan debat
antara pro maupun yang kontra. Hal ini terjadi karena satu sisi ditemukan
penafsiran ayat dan hadis yang secara tekstual mengutamakan laki-laki untuk
43
44
menjadi pemimpin, meskipun sebagian ada yang membolehkannya. Di sisi lain,
ada kenyataan objektif adanya sejumlah perempuan yang memiliki pengaruh kuat
di masyarakat dan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin.1
Wanita berhak untuk menduduki jabatan politik dengan syarat menaati
hukum syari‟at Islam, ini ditopang oleh QS. al-Taubah [9] : 71, Allah berfirman :
Artinya : “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian
yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf,
mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan
zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah
Mahaperkasa lagi Maha bijaksana.
Al-Sya‟râwî dalam menafsirkan kata auliyâ‟ mengatakan bahwa : “Dalam
masyarakat mukmin harus saling tolong menolong dan saling memberi nasihat
agar sempurna imannya.”2
Sedangkan “Menyuruh mengerjakan yang ma‟rûf dan mencegah yang
munkar, menurut al-Sya‟râwi, “Ketika mukmin mengerjakan perkara munkar,
1
Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, (Jakarta:
TERAJU (PT.Mizan Publika), 2004), h.177.
2
M.Mutawallî al-Sya‟râwî, Tafsir Sya‟rawi, (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991), Jilid VI,
h.5287.
45
maka mukmin yang lain mencegahnya dan ketika mukmin tidak mengerjakan
kebaikan, maka mukmin yang lain mengingatkannya. Akhirnya, setiap mukmin
memerintah dan diperintah untuk mengerjakan kebaikan dan melarang
mengerjakan kemungkaran.”3
Penulis setuju dengan pendapat tersebut, artinya sesama mukmin baik lakilaki maupun perempuan harus saling mengingatkan, sehingga ada yang menjadi
pemerintah atau yang diperintah.
Seperti Sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadis shahih :
Artinya : “Seorang mukmin bagi mukmin yang lain laksana bangunan
yang saling menguatkan satu bagian dengan yang lainnya.”4
Ayat itu mengisyaratkan bahwa laki-laki dan perempuan seyogyanya
melakukan kerja sama dalam amar ma‟rûf dan nahî munkar. Maka sesuai dengan
ayat itu, Islam tidak memisahkan antara kerja publik dengan domestik. Oleh sebab
itu, laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk berkarir dalam dunia politik.
Terbukti keduanya berhak menyuruh mengerjakan yang ma‟rûf dan mencegah
yang munkar.
Dalam ayat ini setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, dituntut
untuk dapat mengarahkan kemampuan terbaiknya dalam bekerja dan melakukan
tugas-tugasnya.
3
4
Al-Sya‟râwî, Tafsir Sya‟râwî, Jilid IX, h.5293.
Shahih al-Bukhari, Babu Kitâb Bad‟I al-Wahyi, Juz I, h.129.
46
Menurut Istibsyaroh dalam buku Hak-hak Perempuan (Relasi Jender
menurut Tafsir al-Sya‟râwî:
“Hak perempuan kaitannya dengan relasi jender di bidang politik
merupakan hak syar‟î. Jika dalam beberapa masa lalu perempuan tidak
menggunakan hak ini bukan berarti perempuan tidak boleh dan tidak
mampu, tetapi karena tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk
mempraktikkannya, atau laki-laki dalam hal ini mengunggulinya. Ini
bukan berarti hak politik perempuan tidak diakui, justru menjadi suatu hak
yang dituntut dan dianggap sangat urgen, terutama di saat sekarang ini.
Apalagi dalam konteks pemberdayaan peran politik perempuan di
Indonesia, hak tersebut secara legal-formal telah terjamin eksistensinya.
Hal itu terlihat jelas misalnya, pada pasal 65 ayat 1, UU no.12 tahun 2003
tentang pemilu yang menyatakan bahwa : “Setiap partai politik peserta
pemilu dapat mengajukan calon anggota DPRRI, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten atau Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” 5
Ulama berbeda pendapat hanya dalam hal wanita menjadi top leader
(presiden dan perdana menteri). Menurut jumhur ulama tidak boleh wanita
menduduki jabatan tersebut. Abū Hanīfah membolehkan hakim wanita dalam
masalah perdata dan tidak membolehkannya dalam masalah jinayat, sementara
Muhammad bin Jarīr at-Tabarī memperbolehkan hakim wanita secara mutlak.6
Senada dalam firman Allah SWT dalam QS.al-Nisâ ayat 34, karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, bukanlah keutamaan
yang diberikan oleh Allah kepada laki-laki atas perempuan sebagaimana diyakini
oleh sebagian orang. Seandainya Allah menginginkan itu, niscaya Dia akan
berfirman: Karena Allah telah melebihkan laki-laki atas perempuan tetapi Allah
berfirman, karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.
Allah menggunakan kata “sebagian” yang ambigu di sini. Ini berarti bahwa
5
Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.183-184.
Tafsir DEPARTEMEN AGAMA RI, Kerja dan Ketenagakerjaan (Tafsir al-Qur‟ân
Tematik), (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟ân , 2009), h.449.
6
47
kepemimpinan membutuhkan usaha, gerakan, dan perjuangan yang lebih dari
pihak laki-laki. Yang demikian itu karena perempuan memiliki tugas yang tidak
mampu diemban oleh laki-laki. Dalam hal itu perempuan lebih utama dari pada
laki-laki. Laki-laki tidak akan sanggup mengandung, melahirkan, dan haid. Oleh
karena itu, Allah SWT berfirman dalam ayat lain QS. al-Nisâ [4] :32 :
…
Artinya : Dan janganlah kalian iri hati terhadap karunia yang telah
dilebihkan Allah kepada sebagian dari kalian atas sebagian
yang lain…
Dan Allah juga menggunakan kata “sebagian” di sini, agar sebagian
memiliki kelebihan di satu sisi dan memiliki kekurangan di sisi lain. Sehingga,
keduanya dapat saling melengkapi. Kelebihan laki-laki adalah sebagai pemimpin,
dengan usaha dan perjuangannya. Sedangkan kasih sayang, perhatian, dan cinta
semua ini adalah sisi yang hilang dari laki-laki karena kesibukannya dalam
melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan. Oleh karena itu, Allah SWT menjaga
perempuan agar dapat melaksanakan tugasnya. Allah tidak membebankan
padanya kepemimpinan dengan segala tugasnya, agar dia dapat menggunakan
waktunya untuk pekerjaan berat lain yang menjadi tujuan penciptaannya.
Syarī‟ah menetapkan bahwa laki-laki wajib membantu perempuan.
Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah SAW masuk ke dalam rumah dan
mendapati keluarga nya sedang sibuk, maka ia membantu mereka.7
7
Haya Binti Mubarok al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, (Jakarta: Darul Falah,
t.th), h.636-640.
48
Di sini jelas bahwa al-Sya‟râwî tidak melarang untuk wanita dapat
menjadi pemimpin. Hanya saja, Allah tidak membebankan tugas kepemimpinan
tersebut kepada wanita, karena Allah sangat menjaga dan memuliakan wanita.
Bagi Islam wanita dan laki-laki dalam sistem sosialnya dianggap sebagai
dua roda yang semuanya harus bergerak serentak dengan tugas dan posisi mereka
masing-masing. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi
dan saling menyempurnakan. Mereka adalah partner dan tidak diposisikan bahwa
salah satu dari kedua makhluk itu ada yang superior sementara lainnya berada
dalam posisi inferior.8
B. Hak Wanita untuk Berprestasi
Perintah menuntut ilmu pengetahuan atau belajar tidak hanya kaum lakilaki, tetapi juga kepada kaum perempuan. Masing-masing berhak memperoleh
berbagai ilmu. Ayat yang secara jelas menunjukkan hal tersebut adalah Surah alNisā‟ [4] : 32 :
Artinya :
8
Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah
dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang
lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka
usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa
yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari
Karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Imam Zaki al-Barudi, Tafsir Wanita Edisi Revisi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, t.th).
49
Mufasir Abū Hayyān memberikan komentar ayat tersebut dengan
menyatakan bahwa,“Islam tidak menerima orang yang hanya berangan-angan dan
berpangku tangan. Tidak pula memperkenankan sikap pasif dan malas. Islam
menyerukan sikap yang progressif dan kerja keras. Adapun berangan-angan
terhadap hal-hal yang baik di dunia dan berusaha mewujudkan dengan tujuan
mendapat pahala akhirat, maka yang seperti itu sangat terpuji. Seseorang yang
menggantungkan keberuntungannya dengan giat bekerja adalah spirit Islam.”9
Pandangan yang lebih tegas diberikan oleh Rasyīd Ridā yang menyatakan,
“Ayat tersebut tidak melarang seseorang untuk mewujudkan kemampuan
terbaiknya. Sebab tidak ada salahnya apabila ada orang yang tergiur melihat
prestasi orang lain kemudian berusaha meraih hal tersebut dengan bekerja keras.
Dalam diri orang tersebut seakan dia berkata fokuskan perhatianmu pada apa yang
dapat kalian wujudkan, janganlah kalian memfokuskan pandangan kalian pada
sesuatu yang di luar jangkauan kalian. Karena prestasi hanya dapat diraih dengan
kerja keras. Janganlah mengharap sesuatu yang tidak dapat kalian wujudkan dan
lakukan.”
Rasyīd Ridā kemudian menegaskan bahwa bekerja diwajibkan bagi lakilaki dan perempuan agar mencari keutamaan dengan usaha dan kerja keras
tidak dengan angan-angan.10
Dengan kalimat yang singkat namun padat Ibnu „Asyūr menyatakan
“Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan
bagiannya dalam menikmati fasilitas duniawi yang diperuntukkan baginya sebagai
balasan atas kerja kerasnya atau sebagian usaha yang telah dia lakukan.11
9
Abū Hayyān, Bahrul-Muhīt, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Jilid III, h.235.
Rasyīd Ridā, al-Manār, (Kairo: Mathba‟ah Hijazi,1959), Jilid V, h. 58.
11
Ibnu „Asyūr, At-Tahrir wa at-Tanwīr, (t.t.: t.p.,t.th.), Jilid V, h.32.
10
50
Ayat berikut ini jelas menjadi pendukung tentang kesetaraan bagi laki-laki
maupun perempuan untuk berkarir dan berprestasi, baik di bidang spiritual
maupun karir secara professional.
Surah an-Nisā’ [4] ayat 32 ini sejalan dengan QS.an-Najm [53] : 39
      
Artinya : “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah
diusahakannya.”
Al-Qur‟ân dan hadis yang berbicara tentang kewajiban belajar ditujukan
kepada laki-laki dan perempuan banyak sekali. Kalimat pertama yang diturunkan
dalam al-Qur‟ân adalah kalimat perintah untuk membaca (iqra‟). Al-Qur‟ân
banyak memberikan pujian kepada laki-laki dan perempuan yang mempunyai
prestasi dalam ilmu pengetahuan,12 diantaranya surat al-Mujâdalah [58] : 11:
   
         
             
      
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada
kalian:
“Berlapang-lapanglah
dalam
majlis”,maka
lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk
kalian. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kalian”, maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan derajat orang
yang beriman diantara kalian dan orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah mengetahui apa
yang kalian kerjakan.”
12
Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.81-82.
51
Dalam ayat lain surat Ali „Imrân [3] : 18 disebutkan,
               
   
Artinya : “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Yang menegakkan keadilan. Para
malaikat dan orang-orang yang berilmu13 (juga menyatakan
yang demikian itu). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Al-Sya‟râwî menafsirkan Q.S Ali „Imrân [3] : 18 sebagai berikut :
“Orang-orang yang memiliki ilmu telah mengambil dalil-dalil dan beristinbât tiada Tuhan selain Allah. Sesungguhnya dalil-dalil ini merupakan
kesaksian yang agung untuk sesuatu yang dipersaksikan. Allah berada di
puncak, Muhammad SAW, malaikat, dan orang yang mempunyai ilmu
telah mengambil kedudukan yang besar. Karena Allah telah menyertakan
mereka yang berilmu dengan para malaikat. Dan orang yang duduk
beri‟tikaf, bertadabbur, atau menggunakan kecerdasan dan nalarnya,
mereka akan mendapatkan petunjuk bahwa tiada Tuhan selain Allah”.14
Al-Sya‟râwî mengakui adanya hak untuk menuntut ilmu bagi perempuan,
karena mereka yang yang berilmu atau berpendidikan baik perempuan maupun
laki-laki mendapat penghargaan dari Allah sejajar kedudukannya dengan
malaikat. Akhirnya keduanya berkewajiban untuk mencari ilmu.
Penulis sangat setuju karena wanita juga memperoleh hak untuk menuntut
ilmu sama besarnya dengan kaum laki-laki. Bahkan jika ilmu-ilmu itu berkaitan
dengan keperluan dan kehidupan kewanitaan, maka hal itu menjadi wajib bagi
para wanita. Dengan adanya pendidikan, maka akan melahirkan wanita karir
dalam berbagai lapangan pekerjaan.
13
14
Ayat ini untuk menjelaskan martabat orang-orang berilmu.
Al- Sya‟rawi, Tafsir Sya‟rawi, Jilid III, h.1344.
52
Menuntut ilmu bagi perempuan bertujuan agar menghasilkan perempuan
yang alim, pandai, mampu mendidik anak-anak, melaksanakan tugas rumah,
keluarga dan masyarakat.15
Al-Sya‟râwî mengatakan dalam kitabnya Al-Mar‟ah fî al-Qur‟ân,
“Karena ketidakpahaman atas perbedaan yang merupakan ciptaan-Nya, sering
memicu konflik berkepanjangan. Hal ini lebih disebabkan oleh asumsi manusia
bahwa laki-laki dan perempuan merupakan lawan bagi lainnya, bukan sebagai
mitra yang saling memenuhi dan melengkapi satu dengan lainnya”. 16 Allah
berfirman:

    
   
   
  

Artinya : “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang
apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan
perempuan, sesungguhnya usaha kalian memang berbedabeda”. (al-Laîl [92] : 1-4)
Ayat di atas mengandung pesan, Allah mengingatkan hamba-Nya untuk
memahami konsep laki-laki dan perempuan sebagai dua komponen yang saling
melengkapi dan komplementer, seperti halnya siang dan malam.
Adapun laki-laki dan perempuan merupakan dua jenis hamba yang
diciptakan untuk saling melengkapi. Laki-laki mengemban tugas mencari rezeki,
menjaga istri dan anaknya, serta memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Di
lain pihak, perempuan mempunyai tugas untuk menjaga kekayaan suami,
15
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.82.
M.Mutawallî al-Sya‟râwî, Al-Mar‟ah fî al-Qur‟ân, (al-Qâhirah: Akhbar al-Yaum,
1991), h.16.
16
53
melahirkan anak-anak, seta memberikan ketenangan dan kasih sayang bagi
suaminya.17
Terbukti dengan banyaknya perempuan yang ahli dalam berbagai ilmu,
diantaranya :
1. Khadījah binti Khuwailid (wafat tahun 3 sebelum hijrah, bertepatan
dengan 519 M) adalah wanita yang mula pertama menyatakan iman
kepada Rasulullah, wanita miliuner yang rela mengorbankan hartanya
untuk menyiarkan agama Islam dan istri yang setia dalam suka dan duka
dan tidak pernah absen dalam mendukung Rasulullah SAW selama 25
tahun.
2. Fātimah binti Rasulullah SAW (18 tahun sebelum hijrah sampai dengan 11
tahun setelah hijrah, bertepatan dengan 605-633 M), adalah orator ulung,
dan fasih berbicara, namanya lebih tenar sewaktu ayahnya meninggal
dunia, karena ia terjun ke dunia politik, untuk mencalonkan „Alī bin abū
Tālib
(suaminya)
sebagai
khalifah
pertama;
walaupun
dalam
perjuangannya dalam hal ini belum sukses, dia sebagai politikus yang
konsekuen sampai akhir hayatnya tetap mencalonkan „Alī bin abū tālib
sebagai khalifah. Ia wafat 6 bulan sesudah wafatnya Rasulullah SAW
(ayahnya).
3. „Ā‟isyah binti Abū Bakar al-Siddīq (9 tahun sebelum hijrah sampai dengan
58 hijrah, bertepatan dengan tahun 613-678 M) adalah meriwayatkan 2210
hadis dan terjun ke kancah politik pada masa khalifah „Usmān bin „Affān
17
Al-Sya‟râwî, al-Mar‟ah fî al-Qur‟ân, h.16.
54
beramar ma‟ruf, mengecam tindakan khalifah yang dinilai sebagai
tindakan yang tidak bijaksana, dan pada masa khalifah Alī bin abū Tālib
masih aktif dalam bidang politik, ia menjadi komandan tertinggi perang
melawan Alī, pada perang Jamāl.
4. Al-Syifā‟, terkenal dengan Ummu sulaimān binti „Abdullāh binti „Abd alSyams al-„Adawiyyah al-Quraisyiyyah, nama aslinya Lailā (wafat pada
tahun 20 H bertepatan dengan tahun 640 M) adalah guru wanita pertama
dalam Islam. Sejak sebelum Islam ia memberi pelajaran membaca dan
menulis istri Nabi SAW yang bernama Hafsah binti „Umar, dan pada masa
Rasulullah saw ia diangkat sebagai guru wanita serta diberinya
perumahan. Ia juga pernah menjadi penasihat khalifah ke-2, „Umar bin alKhattāb. Ia mendapat tugas mengurus pasar.
5. Rufaidah adalah pendiri rumah sakit yang pertama pada zaman Nabi
Muhammad SAW untuk menampung semua orang-orang yang luka dalam
peperangan, dan pendiri lembaga pertama seperti yang kemudian dikenal
sebagai Palang Merah, yang didirikan oleh Dokter Swiss J.h Dunant dan
yang diakui oleh Konferensi genewa pada tahun 1864.18
6. Syuhda, lebih dikenal dengan nama Fakhr al-Nisa‟. Dia sering
mengadakan ceramah umum di Masjid Jami‟ Baghdad di hadapannya
banyak jamaah baik laki-laki maupun perempuan khususnya dalam bidang
agama, sastra, retorika dan puisi.
18
Tafsir DEPARTEMEN AGAMA RI, Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir alQur‟ân Tematik), (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟ân , 2009), h.451-453, Lihat juga
Bustamin, Jurnal SABDA; Kaidah Memahami Hadis (Telaah Hadis Jender), (Ciputat:
Laboraturium Tafsir Hadis UIN, 2008).
55
Itulah sebagian wanita-wanita Islam yang telah muncul dalam berbagai
keahlian dan profesinya di mana hal ini merupakan sanggahan kepada orang yang
mengatakan bahwa Islam atau Fikih menghambat kaum wanita untuk bekerja dan
maju, asal tugas pokoknya tidak terbengkalai jika ia seorang ibu atau istri, dan ia
tetap memperhatikan batas-batas atau hukum-hukum yang digariskan agamanya.
C. Hak Wanita untuk Berkarir
Islam memberi hak bekerja bagi kaum wanita sebagaimana hak bekerja
bagi kaum pria. Jadi, tidak ada satu pun pekerjaan yang dihalalkan agama
diharamkan atas wanita dan hanya diperbolehkan bagi kaum pria saja. Sebab di
dalam Syarī‟ah Islam tidak ada pekerjaan yang diharamkan atas wanita dan
diperbolehkan bagi pria. Islam tidak membedakan dalam perbuatan Syarī‟ah
(tasyri‟) antara pria dan wanita. Hanya saja berkaitan dengan hak bekerja ini,
wanita yang bersuami tidak boleh bekerja tanpa persetujuan suami. Sebab, aturan
keluarga dan hak-hak perkawinan menghendaki wanita agar memelihara
kehidupan rumah tangga dan mementingkan kewajiban suami istri.19
Hal tersebut dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur‟ân, di antaranya dalam
QS.Ali Imrân [3] : 195, Allah berfirman :
19
Lembaga Darut-Tauhid, Kiprah Muslimah Dalam Keluarga Islam, (Bandung: Mizan,
1995), h.65.
56
Artinya : Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang
diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku,
yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan
mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di
bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya
pahala yang baik”.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa sebab turun ayat 195 dari surah Āli
„Imrān ini adalah adanya pertanyaan yang berkembang saat itu tentang peran
perempuan dalam aktivitas amal saleh. Akhirnya, Ummu Salamah bertanya
kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah aku tak mendengar sama sekali
Allah menyebut-nyebut tentang perempuan berkenaan dengan hijrah,”20 lalu
turunlah ayat di atas yang memberi jawaban tegas bahwa tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh ganjaran pahala dari setiap
aktivitas amal saleh yang dilakukan seseorang dengan ikhlas. Tidak akan disiasiakan pahalanya oleh Allah SWT sekecil apapun aktivitas amal saleh yang
dilakukannya itu.21
Al-Sya‟râwî menafsirkan ayat tersebut :
“Allah tidak berfirman istajabtu lakum, melainkan menjadikan alistijâbah (pengabulan) doa dengan menerima amal sebagaimana firman
innî lâ udhî‟u „amala „âmilin minkum min dzakarin au untsâ. Ayat ini
bukan hanya cerita belaka tetapi Allah akan memasukkan permintaan20
Jalaluddin al-Suyûthi, Lubâbu al-Nuqûl fî Asbâbu al-Nuzûl, (Surabaya: Mutiara Ilmu,
t.th.)
21
Tafsir DEPARTEMEN AGAMA RI, Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir alQur‟ân Tematik), h.264.
57
permintaan dalam kenyataan. Jadi permintaan bukan angan-angan
belaka, karena itu Allah memberikan syarat yang jelas bagi orang-orang
yang ingin mendapatkan pengabulan doa dengan syarat mereka harus
beramal”.22
Hal ini menunjukkan bahwa baik perempuan maupun laki-laki doanya
akan dikabulkan oleh Allah dengan syarat keduanya mau beramal. Salah satu
amal yaitu dengan bekerja. Kerja atau amal dalam bahasa al- Qur‟ân, seringkali
dikemukakan dalam bentuk indefinitif (nakirah). Bentuk ini oleh pakarpakar bahasa dipahami sebagai memberi makna keumuman, sehingga amal yang
dimaksudkan mencakup segala macam dan jenis kerja. Dengan berkarir, wanita
dapat membantu meringankan beban keluarga yang tadinya hanya dipikul oleh
suami yang mungkin kurang memenuhi kebutuhan.
Menurut al-Sya‟râwî
perhatikanlah keindahan ungkapan Allah dalam
mengabulkan doa :
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena)
sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.
Allah tidak mengatakan : “Aku perkenankan permohonanmu.” Akan tetapi
Allah mengabulkannya dengan menerima amal ibadah. Allah SWT berfirman : ‫َأّنِي‬
‫ن ذَكَرٍ َأوْ ُأ ّْنثَى‬
ْ ‫ لَا ُأضِي ُع عَ َم َل عَا ِملٍ ِمنْكُمْ ِم‬sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan. Dan
sesungguhnya Allah ingin memunculkan masalah ini ke alam realita. Allah telah
meletakkan syarat yang jelas yaitu amal. Siapa yang ingin diperkenankan doanya,
22
Al-Sya‟râwî, Tafsir Sya‟râwî, Jilid 2, h.1966.
58
mestilah beramal.23 Begitu juga dalam hal kerja, kerja adalah salah satu bentuk
amal manusia. Dalam bahasa al-Qur‟ân , kata “kerja” sering diidentikkan dengan
kata „amal. Sebenarnya, tidak ada amal yang hanya diperuntukkan khusus untuk
laki-laki dan diharamkan untuk perempuan.
Menurut al-Sya‟râwî :
“Setiap perbuatan yang membantu kelanjutan hidup manusia dinamakan
amal saleh dan pihak-pihak tersebut mendapat balasan dari Allah”.24
Dalam ayat lain surat al-Nahl [16] : 97, Allah berfirman:
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan”.
Dalam kaitannya dengan surat al-Nahl [16] ayat 97, Allah menjelaskan
kepada manusia sebuah permasalahan yang kontroversional, yaitu memberikan
hak yang sama antara perempuan dan laki-laki berkaitan dengan relasi jender.25
Al-Sya‟râwî menjelaskan: “Potensi laki-laki dan perempuan dalam
kebajikan adalah sama. Namun demikian, tidak terlepas dari syarat keimanan
sebagaimana yang disinyalir dalam ayat di atas wa huwa mu‟min, sehingga
amalan tersebut diterima oleh-Nya dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.”26
23
Al-Sya‟râwî, Tafsir Sya‟râwî, Jilid II, h.1966.
Al-Sya‟râwî, Tafsir Sya‟râwî, Jilid V, h.2663.
25
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.92.
26
Al-Sya‟râwî , Tafsir al-Sya‟râwî , Jilid VII,h.8195.
24
59
Adapun firman Allah: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat
zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan Barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)
nya pula. (QS.al-Zalzalah [99] : 7-8) hanya berlaku di dunia.
Dari pendapat tesebut dapat dilihat bahwa al-Sya‟râwî mengakui adanya
kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki di dalam beramal asal mereka
beriman. Dapat dikatakan kerja termasuk ke dalam amal saleh. Secara leksikal
menurut Ibnu Faris dalam Mu‟jam Maqayisul Lugah, kata „amal mengandung arti
“perbuatan, pekerjaan, aktivitas.”27
Seorang perempuan yang bekerja tentu dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh agama, sungguh-sungguh, dan professional. Ini dilakukan untuk
mendapatkan rida Tuhan sekaligus untuk menghalalkan gaji yang diterima.28
Hendaknya ia juga selalu mengingat sabda Rasulullah saw :
“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang melakukan satu pekerjaan
dengan sungguh-sungguh dan professional (al-Itqân).”29
Dari penafsiran al-Sya‟râwî dalam QS. al-Nahl ayat 97 dapat disimpulkan,
bahwa ayat tersebut merupakan salah satu ayat yang menekankan persamaan
antara laki-laki dan perempuan dalam masalah pengabdian dan beramal sālih,
yang membedakannya hanya dalam kualitas ketakwaan mereka masing-masing.
Ayat ini juga menunjukkan betapa kaum perempuan dituntut agar terlibat dalam
kegiatan-kegiatan atau pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat dan berkarir untuk
kemaslahatan, baik untuk diri dan keluarganya, maupun untuk masyarakat dan
27
Ibnu Fāris, Mu‟jām al-Maqayis al-Lughah, (Kairo: Maktabah al-Khanji, 1981) h.574.
„Abd al-Qâdir Manshûr, Fikih Wanita, terj.M.Zaenal Arifin, (Jakarta: PT Lentera
Basritama, 1995),h.93.
29
Lihat Hadis Riwayat al-Baihaqî, Abû Ya‟lâ, dan Ibnu „Asâkîr.
28
60
bangsanya, bahkan untuk kepentingan kemanusiaan seluruhnya. Kalau laki-laki
atau perempuan itu seorang yang beriman, Allah SWT akan memberikannya
kehidupan yang baik di dunia dan balasan pahala yang lebih baik dari apa yang
mereka kerjakan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada teks ayat
maupun hadis Nabi yang secara tegas melarang perempuan untuk bekerja di luar
rumah sekali pun.30
Catatan yang diberikan oleh Muhammad al-Gazālī, seperti yang dikutip
oleh Quraish Shihab adalah :
a. Perempuan tersebut memiliki kemampuan luar biasa yang jarang dimiliki
oleh
laki-laki.
Memperbolehkannya
bekerja
akan
membuahkan
kemaslahatan untuk masyarakat, sedangkan menghalangi keterlibatannya
bekerja dapat merugikan masyarakat karena tidak dapat memanfaatkan
kelebihannya.
b. Pekerjaan yang dilakukannya hendaklah yang layak bagi perempuan,
apalagi kalau itu memang spesialisasinya perempuan (fardu kifayah bagi
perempuan), seperti menjadi bidan dan lain-lain, maka pelarangan tersebut
adalah sesuatu yang keliru. Yang perlu ditambahkan adalah ketika keluar
rumah untuk bekerja perempuan harus tampil dengan sikap dan pakaian
yang terhormat.
c. Perempuan bekerja untuk membantu tugas pokok suaminya. Kalau di
wilayah pertanian dapat ditemukan contoh dengan mudah,di mana kaum
30
h.137.
Tim Tafsir Depag RI, Kedudukan Dan Peran Perempuan (Tafsir al-Qur‟ân tematik),
61
perempuan banyak yang terlibat di sawah dan juga perkebunan. Di
perkotaan misalnya, kalau suaminya dosen membantu mempersiapkan
makalah, mencari referensinya membantu pengetikan, dan lain-lain.
d. Bahwa perempuan perlu bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya jika tidak ada yang menjamin kebutuhannya atau kalaupun
ada itu tidak mencukupi.31
Akhirnya dapat dikatakan bahwa pada dasarnya al-Qur‟ân atau Islam
tidak melarang perempuan untuk bekerja baik di dalam atau diluar rumah, dengan
catatan pekerjaan itu dilakukan dalam suasana yang tetap menjaga kehormatannya
dan memelihara tuntunan agama, serta menghindarkan dari hal-hal yang dapat
mengundang efek negatif bagi dirinya, keluarganya maupun masyarakatnya.
31
M.Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h.262-263.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian
ini
menyimpulkan
bahwa
al-Sya’râwî
membolehkan
perempuan bekerja di luar rumah sepanjang pekerjaan itu tidak menimbulkan
fitnah, dapat memelihara prinsip-prinsip ajaran agama, kesusilaan, kesopanan, dan
dapat menjaga diri. Menurut al-Sya’râwî
hak-hak kemanusiaan laki-laki dan
perempuan adalah sama dan keduanya memang saling melengkapi satu sama lain
guna memenuhi kebutuhan hidup yang makin kompleks.
Tidak ditemukan ayat al-Qur’ân yang melarang perempuan memegang
jabatan. Oleh laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam
kepemimpinan publik. Karena itu, al-Sya’râwî
memperbolehkan perempuan
menjadi pemimpin.
Menurut al-Sya’râwî, bekerja bagi laki-laki dan perempuan sangat
diperlukan karena keduanya bersama-sama sebagai khalifah di muka bumi ini.
Dan dalam kehidupan rumah tangga tidak ada yang superior dan inferior antara
suami dan istri. Keduanya bermusyawarah termasuk dalam memelihara dan
mendidik anak.
Al-Sya’râwî tidak memberikan posisi yang terlalu superior kepada lakilaki yang dapat mengakibatkan posisi inferior perempuan. Keberadaan perempuan
dihargai dalam kehidupan ini karena hal itu sangat terkait dengan proses
pembinaan hukum dalam masyarakat secara kontekstual, baik dari sisi sosiologis
maupun historis.
62
63
B. Kritik dan Saran
Berdasarkan pembahasan dan temuan dalam penelitian ini, ada beberapa
saran yang dikemukakan: pertama, tafsir al-Sya’râwî
termasuk tafsir
kontemporer. Penulis berharap agar banyaknya tulisan tentang penafsir-penafsir
kontemporer yang berbahasa Arab yang perlu diteliti dalam hal pemberdayaan
perempuan. Kedua, penulis merasa kesulitan dalam mencari referensi mengenai
tokoh Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî dan minimnya literatur atau rujukan
yang tersedia di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama
literatur yang berkaitan masalah-masalah kontemporer umat manusia. Untuk itu,
penulis menyarankan agar perpustakaan Fakultas atau Utama terus memperkaya
koleksinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu, Hayyan. Bahrul-Muhīt. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
Anshory, Hafiz. Ihdad Wanita Karir Dalam Problematika Hukum Islam
Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Ansrullah. Wanita Karir Dalam Pandangan Islam. Klaten: CV.Mitra Media
Pustaka, 2010.
al-Bajawi, Ali Muhammad. Qashash al-Qur’ân. Beirut: al-Makhtabah alAshriyah, 2004.
al-Baltaji, Muhammad. Kedudukan Wanita Dalam al-Qur’ân Dan As-Sunnah, terj.
Afifuddin Said. Solo: Media Insani, 2007.
al-Bar, M.Ali. Fachrudin, Amir Hamzah. Wanita Karir dalam Timbangan Islam
Kodrat Kewanitaan, Emansipasi, dan Pelecehan Seksual. Jakarta: Pustaka
Azzam, 1998.
al-Barik, Haya Binti Mubarok. Ensiklopedi Wanita Muslimah. Jakarta: Darul
Falah, t.th.
al-Barudi, Imad Zaki. Tafsir al-Qur’ân
Kautsar,2003.
Wanita 1- 2. Jakarta: Pustaka al-
Bustamin. Jurnal SABDA; Kaidah Memahami Hadis (Telaah Hadis Jender).
Ciputat: Laboraturium Tafsir Hadis UIN, 2008.
Departemen Agama. Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir al-Qur’ân
Tematik). Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’ân , 2009.
Departemen Agama. Kerja dan Ketenagakerjaan (Tafsir al-Qur’ân Tematik).
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’ân , 2010.
Djawas, Abdullah. Dilema Wanita Karir (Menuju Keluarga Sakinah).
Yogyakarta: ABABIL, 1996.
Ensiklopedi Muslimah Modern. Jawaban Pakar Islam Atas Ratusan Masalah
Kewanitaan. Depok: Pustaka IIMAN, 2009.
Indra, Hasbi. Potret Wanita Shalihah. Jakarta: Permadani, 2004.
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’râwî ,
Jakarta:TERAJU (PT.Mizan Publika), 2004.
Junaedi, Dedi. Keluarga Sakinah, Pembinaan Dan Pelestariannya. Jakarta:
CV.Akademika Pressindo, 2007.
Koderi, Mohammad. Bolehkah Wanita Menjadi Imam Negara. Jakarta: Gema
Insani, 1999.
Mahali, A.Mujab. Asbâbu al-Nuzûl: Studi Pendalaman al-Qur’ân . Jakarta:
CV.Rajawali,1989.
Manshûr, ‘Abd al-Qâdir. Fikih Wanita, terj.M.Zaenal Arifin. Jakarta: PT Lentera
Basritama, 1995.
Mernisi, Fatima. Wanita di dalam Islam, terj.Yaziar Radianti. Bandung: Pustaka,
1991.
Mohammad, Herry. Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta:
Gema Insani Press, 2006.
al-Mu’thî, Fathî Fawzî ‘Abd. Wanita-wanita al-Qur’ân (Kisah Nyata Perempuanperempuan Hebat yang Dicatat Abadi Dalam Kitab Suci). Jakarta: zaman,
2010.
al-Mu’thî, Fathî Fawzî ‘Abd. Asbâbu al-Nuzûl untuk Zaman Kita-Kisah Nyata di
Balik Turunnya Ayat-ayat Suci al- Qur’ân. Jakarta: zaman, 2008.
Mujtaba’, Saifuddin. Istri Menafkahi Keluarga? (Dilema Perempuan Antara
Mencari, Menerima dan Memberi). Surabaya: Pustaka Progressif, 2001.
Mulia, Siti Musdah. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. Yogyakarta: Kibar
Press, 2007.
Munir, Lily Zakiyah. Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan Dalam
Perspektif Islam. Bandung: Mizan, 1999.
Muri’ah, Siti. Wanita Karir Dalam Bingkai Islam. Bandung: Angkasa,t.th.
Muthahari, Murtadha. Hak- Hak Wanita Dalam Islam, terj.M.Hashem. Jakarta:
PT Lentera Basritama, 1995.
Nasif, Fatima Umar. Menggugat Sejarah Perempuan, Mewujudkan Idealisme
Gender sesuai Tuntunan Islam. Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim,
2001.
Qardhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press, t.th.
Ridā, Rasyīd. al-Manār. Kairo: Mathba’ah Hijazi,1959.
Shihab, M.Quraish. 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui. Jakarta:
Lentera Hati, 2008.
Shihab, M.Quraish. M.Quraish Shihab Menjawab ? 101 Soal Perempuan Yang
Patut Anda Ketahui. Tanggerang: Lentera hati, 2010.
Shihab, M.Quraish. Membumikan Al-Qur’ân : Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehdupan Masyarakat. Bandung: Penerbit Mizan, 1999.
Shihab, M.Quraish. Perempuan : Dari Cinta Sampai Seks Dari Nikah Sampai
Nikah Sunnah Dari Bias Lama Sampai Bias Baru. Jakarta: Lentera Hati,
2005.
Shihab, M.Quraish. Perempuan. Tanggerang: Lentera hati, 2009.
Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2002.
al-Siba’y, Musthafa. Wanita Di Antara Hukum Islam dan Peundang-Undangan.
Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
al-Suyûthi, Jalaluddin. Lubâbu al-Nuqûl fî Asbâbu al-Nuzûl. Surabaya: Mutiara
Ilmu, t.th.
al-Sya’râwî , M.Mutawallî. al-Fatâwâ. Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991.
al-Sya’râwî, M. Mutawallî . Anda Bertanya Islam Menjawab, terj.Abu Abdillah
Almansur. Jakarta: Gema Insani Press, 2007.
al-Sya’râwî, M. Mutawallî . Tafsir al-Sya’râwî. , terj.Tim Safir al-Azhar. Jakarta:
Duta Azhar, 2004.
al-Sya’râwî, M. Mutawallî . Tafsir al-Sya’râwî. Kairo: Akhbar Al-Yaum, 1991.
al-Sya’râwî, M. Mutawallî . Wanita Dalam Perspektif Al-Qur’ân , terj.Usman
Hatim. Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah, 2010.
Syahatah, Husein. Ekonomi Rumah Tangga Muslim. Jakarta: Gema Insani Press,
1998.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’ân . Jakarta:
Paramadina, 1999.
Wakil, Abdullah. Wanita Karir Menurut Pandangan Islam. Jakarta: Mulia
Pratama, 1995.
Yanggo, Huzaemah T. Fiqih Perempuan Kontemporer. Jakarta: al-Mawardi
Prima, 2001.
Ziyadah, Asma’ M. Ahmad. Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam,
terj.Kathur Suhardi.. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.
Download