PENAFSIRAN AL-SYA’RÂWÎ TERHADAP AL-QUR’ÂN TENTANG WANITA KARIR Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) Oleh Riesti Yuni Mentari NIM: 107034001469 PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M Persembahan Skripsi ini kupersembahkan Kepada: Nenek, Mama, Papa, Adik, Sahabat dan Keluarga Besar Ibu Supriyati Hati Tercinta Semoga segala motivasi dan bantuannya senantiasa di balas oleh Allah SWT serta selalu mendapat maghfiroh-Nya. Amiin.. ABSTRAK Riesti Yuni Mentari (107034001469) “Penafsiran al-Sya’râwî Terhadap al-Qur’ân tentang Wanita Karir” Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan tanggapan dan sikap ulama (kaum intelektual) terhadap peran wanita karir. Mengetahui syarat dan dampak wanita berkarir, serta penafsiran al-Sya’râwî terhadap ayat-ayat al-Qur’ân yang menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada larangan bagi laki-laki atau perempuan untuk bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah. Dalam penelitian ini, penulis hanya melakukan penelitian kepustakaan (library research). Sementara itu, pembahasannya sendiri menggunakan pendekatan atau metode tafsir maudhu’i. Penulis mengambil penafsir kontemporer seperti Muhammad Mutawallî Al-Sya’râwi karena salah satu ahli tafsir al-Qur’ân yang terkenal pada masa modern dan merupakan Imam pada masa kini, beliau memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan masalah agama dengan sangat mudah dan sederhana, beliau juga memiliki usaha yang luar biasa besar dan mulia dalam bidang dakwah Islam. Beliau dikenal dengan metodenya yang bagus dan mudah dalam menafsirkan alQur’ân, dan memfokuskannya atas titik-titik keimanan dalam menafsirkannya, hal tersebutlah yang menjadikan penulis merasa metodenya sangat sesuai bagi seluruh kalangan dan kebudayaan. Penulis juga mengambil tema wanita karir karena diskusi tentang wanita dalam Islam selalu menarik. Islam memberikan perhatian yang besar terhadap kaum wanita dan segi-segi kehidupan mereka. Dari ayat-ayat al-Qur’ân dan hadis-hadis Nabi. Tidak sulit kita membuktikan betapa Islam sungguhsungguh memperhatikan persoalan wanita dan menempatkan mereka pada tempat yang terhormat. i PEDOMAN TANSLITERASI (ARAB-LATIN) A. Konsonan Huruf Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن ه و ء ى ي Huruf Latin Keterangan Tidak Dilambangkan Be Te Te dan Es Je Ha dengan garis bawah Ka dan Ha De De dan Zet Er Zet Es Es dan Ye Es dengan garis di bawah De dengan garis di bawah Te dengan garis di bawah Zet dengan garis di bawah Koma terbalik di atas hadap kanan Ge dan Ha Ef Ki Ka El Em En Ha We Apostrof Tidak dilambangkan Ye B T Ts J H Kh D Dz R Z S Sy S D T Z ‘ Gh F Q K L M N H W ‘ Y ii B. Vokal Tunggal Simbol Arab َ-----ِ Nama Fathah Latin a Keterangan a Kasrah i i ُ Dhammah u u Nama Fathah dan Ya Latin ai Keterangan A dan I Fathah dan Waw au A dan U Latin Keterangan â a dengan tanda di atas û u dengan tanda di atas î i dengan tanda di atas C. Vokal Rangkap (Madd)/Diftong Simbol Arab ي--و--- D. Vokal Panjang (Madd) Simbol Arab ى---ا--و--- ي--- Nama Fathah diikuti oleh Alif atau Ya Dhammah diikuti oleh Wawu Kasrah diikuti Ya E. Partikel ()ال Transliterasi partikel ( )الadalah dengan huruf /l/, baik diikuti oleh hurufhuruf Syamsiyyah maupun huruf-huruf Qomariyah. Contoh: al-Sama’, bukan asSama’, al-Ridha, bukan ar-Ridha. F. Ta Marbûţah ()ۃ Ada 2 trasliterasi atau alih aksara bagi ‘Ta Marbûţah (’)ۃ, yaitu: 1. Jika ta terdapat pada kata yang berdiri sendiri, atau diikuti oleh kata sifat (Na’at), atau harakatnya disukunkan, atau berada pada akhir kalimat, maka transliterasinya adalah dengan huruf /h/. contoh: al-Madrasah, al-Jami’ah al-Islamiyyah, atau hujjah, dan lain sebagainya 2. Jika ta diikuti oleh kata benda (Mudlof Ilaih), maka transliterasinya adalah dengan huruf /t/. iii G. Tasydîd Transliterasi tasydid adalah dengan menggandakan hurufnya (konsonan), contoh: Allafa, Saqqaf, dan lain sebagainya. H. Kata-kata yang telah populer Ditulis mengikuti kaedah ejaan Bahasa Indonesia, seperti; Rasulullah, Ulama, Kitab, al-Qur’ân , Mufassir dan lain-lain. iv KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam selalu dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan seluruh pengikutnya yang setia mentaati, mengikuti dan memegang teguh ajarannya hingga akhir zaman. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari dengan sepenuh hati, banyak sekali kekurangan dan mengalami berbagai kesulitan dan hambatan, namun berkat bantuan, dorongan dan pengarahan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi persyaratan akademik yang harus ditempuh dalam mencapai gelar sarjana Theologi Islam Program Strata Satu (S1) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan mendukung penulis, secara khusus penulis menghanturkan terima kasih kepada : 1. Bapak Drs. Bustamin, M.Si, dan Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku ketua jurusan dan Sekretaris jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak membantu penulis dalam proses perkuliahan dan administrasi. 2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA dan Bapak Drs. Ahmad Rifqi Mukhtar,MA yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan petunjuk-petunjuk kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak memberikan ilmunya kepada penulis. v 4. Pimpinan perpustakaan UIN Jakarta Fakultas Ushuluddin, perpustakaan Lentera milik Bapak Quraish Shihab serta seluruh stafnya, dan perpustakaan Iman Jama serta seluruh stafnya, yang telah memberikan bantuan kepada penulis untuk mengumpulkan dan melengkapi bahan skripsi ini. 5. Kedua orang tua penulis Ibunda tercinta Suryatiningsih dan Bapak Rizal, serta nenek tercinta, Keluarga Besar Hj.Sudharsono, SH, serta adik-adikku tersayang (Riva, Rio, Shinta) yang telah banyak berjasa baik moril maupun materil, yang tidak terbatas, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Teman-teman penulis di manapun berada dan sahabat-sahabat Tafsir Hadis B angkatan 2007/2008, khususnya teman seperjuangan Zahrul Athriyah yang selalu memberikan masukan dan ilmunya, Ni’ma Diana, Nur Faiza, Zieh, dan Imam Zaki Fuad yang selalu bisa memberikan masukan dan rekan kerja SOLUSI BINTARO, khususnya; Bapak Tarnoto, Izzah Nasir, Mas Roby dan Sholihin yang memberikan kemudahan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 7. Sahabat-sahabat yang setia, teman-teman KKN yang selalu kompak, Lukman Al-dillah yang selalu setia, dan seluruh sahabat penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan serta doa. Jazakumullah khairun katsiron. Atas semua itu, penulis hanya dapat memanjatkan doa kepada Allah SWT, semoga amal baiknya di terima oleh Allah SWT dan mendapat balasan yang lebih banyak serta menjadi amal saleh. Akhirnya, penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi segenap pencari ilmu pada umumnya. Jakarta, Maret 2011 Penulis vi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ABSTRAK ......................................................................................................... i PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... ii KATA PENGANTAR ....................................................................................... v DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 6 C. Kajian Pustaka.......................................................................... 6 D. Tujuan Penelitian ..................................................................... 8 E. Signifikansi Penelitian ............................................................ 8 F. Metodelogi Penelitian .............................................................. 9 G. Sistematika Penulisan .............................................................. 10 BAB II SEKILAS TENTANG WANITA KARIR ................................. 12 A. Pengertian Wanita Karir .......................................................... 13 B. Alasan Wanita Berkarir ............................................................ 15 C. Dampak Wanita Berkarir Dalam Rumah Tangga .................... 17 1. Dampak Positif ................................................................... 18 2. Dampak Negatif ................................................................. 19 D. Etika Diperbolehkannya Wanita Berkarir ................................ 21 BAB III MUHAMMAD MUTAWALLÎ AL-SYA’RÂWÎ DAN TAFSIRNYA ................................................................................ 27 A. Riwayat Hidup Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî ............... 27 B. Karya-Karya Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî ................... 30 vii C. Pandangan Ulama Tentang Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî ............................................................................... 33 D. Pengenalan Tafsir al-Sya’râwî ................................................. 36 BAB IV PENAFSIRAN AL-SYA’RÂWÎ TENTANG WANITA KARIR DALAM AYAT-AYAT AL-QUR’ÂN ........................ 43 A. Wanita Karir Dalam Dunia Politik........................................... 43 B. Hak Wanita untuk Berprestasi ............................................... 48 C. Hak Wanita untuk Berkarir ...................................................... 55 BAB V PENUTUP ..................................................................................... 61 A. Kesimpulan .............................................................................. 61 B. Kritik dan saran ........................................................................ 62 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai status dan peran perempuan masih terbagi dalam dua kutub yang berseberangan. Di satu sisi, umumnya berpendapat bahwa perempuan harus di dalam rumah, mengabdi kepada suami, dan hanya mempunyai peran domestik. Di sisi lain, berkembang pula anggapan bahwa perempuan harus bebas sesuai dengan haknya tentang kebebasan. Bagi umat Islam sendiri, perbedaan pandangan tersebut sangat berkaitan erat dengan adanya perbedaan dalam memahami teks-teks al-Qur‟ân yang berbicara tentang perempuan. Perempuan pada era sekarang banyak mengambil peran publik dan sosial. Fenomena ini diklaim sebagi simbol equality (keadilan) antara laki-laki dan perempuan, bahkan tidak sedikit dari pihak perempuan menuntut keadilan dan persamaan hak di segala bidang. Tetapi agama masih sering dijadikan dalih untuk menekan laju konsep kesetaraan jender (gender equity) dan memarjinalkan peran perempuan dalam bidang-bidang yang bersinggungan dengan publik. 1 1 Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’râwî, (Jakarta: TERAJU (PT.Mizan Publika), 2004), h.161. 1 2 Kaitannya dengan peran ganda yang diambil oleh perempuan, para ulama banyak mempertanyakan apakah formasi kesetaraan bagi perempuan seperti bekerja di luar rumah tidak bertentangan dengan firman Allah: … “...Dan bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari perempuan (istrinya)...”2 ….. “ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...”3 Al-Sya‟râwî menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut : "Laki-laki bertanggung jawab kepada perempuan" pada awalnya sebagian mufassir tidak menafsirkan ayat ini kecuali tentang seorang laki-laki terhadap istrinya. Padahal sesungguhnya ayat ini berbicara tentang laki-laki dan perempuan secara mutlak (umum) bukan hanya laki-laki (suami) kepada istri, juga bapak bertanggung jawab kepada anak perempuan, saudara laki-laki kepada saudara perempuan. Menurut Al-Sya‟râwî : "Qawwâm adalah mubalaghah dari qiyâm itu capai atau payah. Sehingga laki-laki yang bertanggung jawab kepada perempuan, berarti berusaha untuk memperbaiki kehidupan perempuan dengan susah payah. Laki-laki sebenarnya hanya berkepentingan memperbaiki masalah andaikata laki-laki itu baik. Kata al-rijâl itu umum, al-nisâ' juga kalimat umum, sesuatu yang khusus adalah Allah memeberikan keutamaan kepada sebagian 2 3 Lihat Q.S Al-Baqarah [2]: 228 Lihat Q.S An-Nisa‟[4]: 34 3 mereka. Keutamaan atau tafdhîl disini yang dimaksud adalah laki-laki yang kerja dan berusaha di atas bumi untuk mencari penghidupan.4 Dari Q.S An-Nisa‟[4]: 34 di atas, artinya laki-laki bertanggung jawab pada keluarga karena memberi nafkah. Bagaimana jika yang kerja dan memberi nafkah adalah istri atau wanita, tentu lain masalahnya. Sebenarnya Islam membolehkan perempuan melakukan peran-peran yang tidak bertentangan dengan kodratnya untuk ditanganinya karena Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hal apa pun, termasuk hal pekerjaan. Dalam banyak hal, wanita diberikan hak-hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria. Namun dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kodrat dan martabat wanita, Islam menempatkan sesuai dengan kedudukannya.5 Islam menghormati wanita dengan penghormatan yang sangat luhur serta mengangkat martabatnya dari sumber keburukan dan kehinaan, dari penguburan hidup-hidup dan perlakuan buruk ke kedudukan yang terhormat dan mulia, sebab wanita menjadi ibu dan sebagai istri yang harus diperlakukan dengan lemah lembut dan kehalusan.6 Seorang wanita mukminah yang teguh dalam ketaatannya, maka Allah telah menyediakan baginya seperti apa yang telah disediakan-Nya bagi kaum 4 M.Mutawallî al-Sya‟râwî, Tafsir Sya’rawi, (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991), Jilid IV, h.2202. 5 Mohammad Koderi, Bolehkah Wanita Menjadi Imam Negara, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h.49-50. 6 Muhammad Albar, Wanita Karir Dalam Timbangan Islam : Kodrat Kewanitaan, Emansipasi dan Pelecehan Seksual, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1998), h.16. 4 mukminin, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam hal ini. Dalam Q.S.Al-Nahl [16] : 97, Allah berfirman : Artinya : “Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik..” Al-„Aqqâd mengatakan dalam bukunya Al-Mar’ah fi Al-Qur’ân, seperti yang dikutip oleh Muhammad al-Bar adalah : “ Konsep hak, dasarnya sama, bahwa pria dan wanita sama dalam segala sesuatu. Wanita mempunyai hak seperti yang dimiliki pria, dan mempunyai kewajiban seperti kewajiban pria. Kemudian, bahwa lakilaki dilebihkan dengan satu derajat, yaitu sebagai pemimpin yang telah ditetapkan dengan fitrahnya. Dalam hal ini bukan berarti keluar dari konsep persamaan yang telah disamakan dalam hak dan kewajiban, sebab setiap tambahan hak diimbangi dengan tambahan serupa dalam kewajiban, demikianlah persamaan yang bijaksana.7 Diskusi tentang wanita dalam Islam selalu menarik. Islam memberikan perhatian yang besar terhadap kaum wanita dan segi-segi kehidupan mereka. Dari ayat-ayat al-Qur‟ân dan hadis-hadis Nabi. Tidak sulit membuktikan betapa Islam sungguh-sungguh memperhatikan persoalan wanita dan menempatkan mereka pada tempat yang terhormat.8 Di dalam ajaran Islam, wanita juga mempunyai hak dan kesempatan untuk berkarir dengan tidak melalaikan fungsi dan kedudukannya sebagai wanita. Islam juga memberikan dorongan yang kuat agar para muslimah dapat 7 Muhammad Albar, Wanita Karir Dalam Timbangan Islam : Kodrat Kewanitaan, Emansipasi dan Pelecehan Seksual, h.18-19. 8 Lily Zakiyah Munir, Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Mizan, 1999), Cet.1, h.11. 5 berkarir di segala bidang. Islam membebaskan wanita dari belenggu kebodohan, ketertinggalan, dan perbudakan. Islam telah melarang semua itu, bahkan telah menyatakan bagian tetentu bagi wanita, dalam Q.S.An-Nisa [4] : 7, Allah berfirman : Artinya : “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harga peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” Dalam hal ini penulis membatasi pembahasan pada wanita karir dalam tafsir Al-Sya‟râwî. Penulis mengambil penafsir kontemporer seperti Muhammad Mutawallî Al-Sya‟râwi karena salah satu ahli tafsir al-Qur‟ân yang terkenal pada masa modern dan merupakan tokoh pada masa kini, beliau memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan masalah agama dengan sangat mudah dan sederhana, beliau juga memiliki usaha yang luar biasa besar dan mulia dalam bidang dakwah Islam. Untuk itu penulis merasa tertarik untuk mengkaji, selanjutnya penulis merumuskan tema penelitian ini dalam sebuah judul skripsi ini yaitu: “Penafsiran al-Sya’râwî Terhadap Ayat-ayat al-Qur’ân tentang Wanita Karir (QS. al-Taubah [9] : 71, QS. al-Nisā’ [4] : 32, dan QS.Ali Imrân [3] : 195)” 6 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Mengingat banyaknya ayat-ayat tentang wanita, maka penulis melakukan pembatasan yaitu hanya mengambil beberapa ayat al-Qur‟ân menurut penafsiran Al-Sya‟râwî. Dan penulis membahas ayat-ayat al-Qur‟ân yang mendukung penelitian ini, yaitu : QS. al-Taubah [9] : 71, QS. al-Nisā‟ [4] : 32, dan QS.Ali Imrân [3] : 195. Berangkat dari Latar Belakang Masalah tersebut di atas, muncul permasalahan mendasar yang menjadi rumusan penelitian ini, yaitu : Bagaimana pandangan al- Sya‟râwî terhadap wanita karir? Demikianlah, beberapa masalah yang dapat penulis rumuskan dalam pembahasan skripsi ini. C. Kajian Pustaka Sejauh ini, penulis menemukan karya tulis yang berjudul “Wanita Karir dalam Perspektif Hadis : Sebuah Kajian Tematik.” Karya Munawwarah. Mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, jurusan Tafsir Hadis. 9 Di dalam tulisannya ini Munawwarah hanya mengklasifikasikan wanita karir, peluang dan tantangan wanita karir serta hukum wanita karir menurut hukum Islam. Tetapi karena kepentingan Munawwarah hanya untuk ruang lingkup hadis dalam skripsinya, sehingga tulisannnya tentang peran wanita karir dalam perspektif al-Qur‟ân tersebut tidak ada dan tidak mendalam; “Pengaruh Wanita Karir Terhadap Perkembangan Keberagaman Anak Remaja” karya 9 Skripsi UIN tahun 2007. 7 Lilis.10 Di dalam tulisan ini, Lilis melakukan metode survei lapangan. Namun Lilis sama sekali tidak membahas ayat-ayat al-Qur‟ân yang menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada larangan bagi laki-laki atau perempuan untuk bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah; “Pengaruh Wanita Karir Terhadap Perceraian” karya Taufiqurrohman.11 Di dalam tulisan ini membahas tentang sejauh mana problematika wanita karir dapat memicu terjadinya perceraian. Taufiq menggunakan metode penelitian lapangan, yakni penelitian yang langsung terjun ke lapangan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Penulis juga menemukan buku oleh Istibsyaroh, (penulis disertasi dari S3 UIN Syarif Hidayatullah) tentang Hak-hak Perempuan Relasi Jender menurut Tafsir al-Sya’râwî. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Istibsyaroh ialah, Istibsyaroh meneliti tentang relasi jender oleh alSya‟râwî dalam tafsir al-Sya‟râwî. Sedang penulis meneliti tentang ayat-ayat berkaitan wanita karir yang ditafsirkan oleh al-Sya‟râwî. Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Istibsyaroh ialah sama-sama membahas tokoh al-Sya‟râwî, serta sama-sama memusatkan perhatian pada penelitian kepustakaan. Sedangkan tulisan tentang masalah jender sudah banyak buku, artikel, atau jurnal yang membahasnya, tetapi wanita karir yang dihubungkan dengan salah satu tafsir tidak penulis temukan. 10 11 Skripsi UIN tahun 2002. Skripsi UIN tahun 2010. 8 Dengan demikian, kajian ini berbeda dengan kajian yang telah ada. Kajian ini merupakan kajian tentang “Penafsiran al-Sya‟râwî Terhadap Ayatayat al-Qur‟ân tentang Wanita Karir (QS. al-Taubah [9] : 71, QS. al-Nisā‟ [4] : 32, dan QS.Ali Imrân [3] : 195).” Penulis mengkaji penafsiran ayat-ayat dalam al-Qur‟ân bahwa tidak ada larangan bagi laki-laki atau perempuan untuk bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah. D. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan utama penelitian dalam proposal skripsi ini adalah: 1. Memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian keislaman terutama yang berhubungan dengan Tafsir. 2. Mengetahui dan mendeskripsikan tanggapan dan sikap ulama (kaum intelektual) terhadap peran wanita karir. 3. Mengetahui syarat dan dampak wanita berkarir, serta ayat-ayat al-Qur‟ân yang menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada larangan bagi laki-laki atau perempuan untuk bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah. 4. Mengetahui bagaimana pandangan al-Sya‟râwî mengenai hal-hal yang terkait dengan wanita karir. E. Manfaat/Signifikansi Penelitian Kiranya hasil penelitian ini akan berguna untuk memberikan informasi yang memadai kepada para peminat dan pemerhati kajian Tafsir serta kepada 9 masyarakat umum mengenai “Penafsiran al-Sya‟râwî Terhadap al-Qur‟ân tentang Wanita Karir”, diharapkan muncul gambaran objektif dan penilaian yang jujur. F. Metodologi Penelitian Sebagaimana karya-karya ilmiah pada sebuah disiplin ilmu, setiap pembahasan masalah tentunya mesti menggunakan metodologi untuk menganalisa permasalahan. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan berpijak dalam mengelaborasinya sehingga dapat dijelaskan secara mendetail dan dapat dipahami. Dalam penelitian ini, penulis hanya melakukan penelitian kepustakaan (library research). Yang dimaksud library research adalah menghimpun buku-buku dan bahan-bahan lain dari berbagai sumber yang berkaitan dengan topik yang dibahas dalam skripsi ini. Sementara itu, pembahasannya sendiri menggunakan pendekatan atau metode tafsir maudhu’i. Adapun yang dimaksud dengan metode tafsir maudhu’i tersebut adalah menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat yang berkenaan dengan topik pembahasan tertentu untuk mencari benang merah dari suatu pesoalan. Atau seperti dikemukakan M.Quraish Shihab bahwa tafsir tematik adalah karya-karya tafsir yang menetapkan suatu topik tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat, yang berbicara tentang topik tersebut,untuk kemudian dikaitkan dengan yang lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang 10 masalah tersebut menurut pandangan al-Qur‟ân .12 Dalam kaitan ini, maka topik yang dimaksud adalah ayat-ayat al-Qur‟ân yang berkenaan dengan masalah wanita karir. Adapun teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007”. G. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi bahasan menjadi lima bab dengan rincian sebagai berikut: Bab Pertama, Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab Kedua, Pada bagian ini akan membahas perdebatan tentang wanita karir maka pada pembahasan ini akan dijelaskan peta pemahaman tentang pengertian wanita karir, alasan wanita berkarir, dampak positif dan negatif wanita berkarir, dan etika diperbolehkannya wanita berkarir. Bab Ketiga, Pada bagian ini akan membahas Muhammad Mutawallî Al-Sya‟râwî Dan Tafsirnya, yang terdiri dari riwayat hidup Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, karya-karya Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, pandangan ulama tentang Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, serta pengenalan tafsir al-Sya‟râwî. 12 M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ân: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung:Penerbit Mizan,1999) Cet.XIII, h.114. Metode tematik ini di Mesir untuk pertama kalinya dicetuskan oleh al-Farmawy. 11 Bab Keempat, Pada bagian ini akan membahas ayat-ayat al-Qur‟ân yang berkaitan tentang wanita karir serta penafsiran al-Sya‟râwî dalam QS. alTaubah [9] : 71, QS. al-Nisā‟ [4] : 32, dan QS.Ali Imrân [3] : 195. Bab Kelima, Penutup. Sebagai penutup pembahasan ini akan ditarik kesimpulan dan menjawab permasalahan yang telah dibahas di bab-bab sebelumnya sembari menguraikan saran-saran atas permasalahan tersebut. BAB II SEKILAS TENTANG WANITA KARIR Al-Qur’ân dan hadis sebagai sumber ajaran Islam, memberi perhatian yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada perempuan baik sebagai anak, istri, ibu, maupun sebagai anggota keluarga lainnya dan sebagai anggota masyarakat. Islam yang bersumber dari al-Qur’ân dan sunah Rasul itu menghapuskan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Tidak ada perbedaan derajat dan kedudukan perempuan dengan laki-laki. Kalau ada perbedaan, itu hanya akibat dari fungsi utama masing-masing jenis, sesuai dengan kodratnya. Perbedaan yang ada, bukan merupakan sesuatu kekurangan, melainkan sebagai sesuatu yang mengharuskan kerjasama, tolong menolong dan saling melengkapi. Namun, posisi perempuan seperti ini sering diperdebatkan di masyarakat, karena adat istiadat yang menetapkan bahwa tidak layak bagi perempuan untuk bergerak bebas seperti kaum laki-laki, sehingga menurut adat, bahwa perempuan yang mulia adalah perempuan yang berada dalam rumah (pingitan). Dan timbulnya anggapan atau ungkapan yang mengatakan, bahwa ajaran Islam itu menghambat perempuan untuk maju, karena Islam tidak membolehkan perempuan bekerja di luar rumah dan mengembangkan karirnya, tidak membolehkan perempuan melakukan kegiatan sosial.1 Berkenaan dengan hal tersebut, maka penulis mencoba untuk mengkaji tentang pengertian wanita karir, alasan wanita berkarir, dampak positif dan negatif 1 Tim Tafsir Depag RI, Kerja Dan Ketenagakerjaan (Tafsir al-Qur’ân tematik), (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’ân , 2009), h.443. 12 13 wanita berkarir, etika diperbolehkannya wanita berkarir, dan fatwa ulama tentang wanita karir. A. Pengertian Wanita Karir Dilihat dari susunan katanya “wanita karir” terdiri dari dua kata, yaitu wanita dan karir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “wanita” berarti “ perempuan dewasa, dalam artian anak kecil tidak termasuk dalam istilah ini”.2 Sedangkan kata “karir” dalam bahasa Inggris “Career”, yang berarti perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan dengan jabatan dan sebagainya. Dapat juga diartikan sebagai, pekerja yang dapat memberikan harapan untuk maju.3 Jadi wanita karir itu adalah wanita yang bergerak atau wanita yang berusaha untuk memperoleh kemajuan dan perkembangan yang dilandasi dengan pendidikan dan keahlian. Sedangkan yang dimaksud dengan wanita karir menurut Hafiz Anshory adalah wanita yang menekuni salah satu atau beberapa pekerjaan dengan keahlian tertentu yang dimiliki atau untuk mencapai kemajuan hidup, pekerjaan atau jabatan.4 Wanita Karir adalah wanita yang aktif berkecimpung dalam kegiatan profesi. Menurut Kamus Ungkapan Bahas Indonesia berkarir berarti : a. Perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, dan jabatan. 2 WJS.Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), Cet.Ke-10, h.447. 3 Anton M.Moelyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989), Cet.Ke-2, h.207. 4 Hafiz Anshory Az, Ihdad Wanita Karir Dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), Cet.Ke-2,h.2. 14 b. Pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju.5 Jadi, suatu pekerjaan baru dapat dikatakan karir apabila pekerjaan itu diperoleh berdasarkan pendidikan khusus atau keterampilan dan merupakan suatu program tetap yang membutuhkan keseriusan dalam pengembangannya. Di sini yang paling menentukan adalah adanya keahlian tertentu yang dimiliki dan tidak bersifat sampingan, yakni merupakan pekerjaan tetap dan memiliki ambisi maju dalam pekerjaannya. Berdasarkan uraian di atas, wanita karir mempunyai gambaran tersendiri seperti yang diungkapkan Siti Muri’ah, bahwa wanita karir memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Wanita yang aktif untuk melakukan kegiatan untuk mencapai suatu tujuan. b. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan professional sesuai dengan bidang yang ditekuninya, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, ketentaraan, pendidikan maupun bidang-bidang lainnya. c. Bidang-bidang yang ditekuni wanita karir dapat mendatangkan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan atau jabatan dan sebagainya.6 5 Maman S.Mahayana, Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 1997), h.338. 6 Siti Muri’ah, Wanita Karir Dalam Bingkai Islam, (Bandung: Angkasa,t.th), h.29. 15 B. Alasan Wanita Berkarir Ada pun alasan yang mendorong wanita terjun ke dunia karir antara lain:7 1. Pendidikan. Pendidikan dapat melahirkan wanita karir dalam berbagai lapangan kerja. 2. Keadaan keuangan suami yang tidak menentu dan memadai mendesak wanita untuk terjun ke dunia karir. 3. Agar lebih mandiri dalam bidang ekonomi. 4. Untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Ini biasanya dilakukan oleh wanita yang menganggap bahwa uang di atas segalanya. 5. Untuk mengisi waktu yang luang. Di antara wanita ada yang merasa bosan diam di rumah karena tidak mempunyai kesibukan dengan urusan rumah tangganya. 6. Untuk mencari ketenangan dan hiburan. Seorang wanita mungkin mempunyai kemelut yang berkepanjangan dalam keluarganya yang susah diatasi. Oleh sebab itu, ia mencari jalan keluar dengan menyibukkan diri di luar rumah. 7. Untuk mengembangkan bakat. Bakat dapat melahirkan wanita karir. Dengan munculnya faktor-faktor tersebut, maka semakin terbuka kesempatan bagi wanita untuk terjun ke dunia karir. 7 Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2001), Cet.I, h.94-95. 16 Para ulama fikih dalam hal ini membatasi keadaan-keadaan yang membolehkan wanita bekerja di luar rumah, di antaranya : 1. Rumah tangga memerlukan biaya untuk pengeluaran kebutuhan primer dan sekunder. Jika suami telah meninggal atau sedang sakit dan rumah tangga tidak memiliki pendapatan lain selain dari suami, serta pemerintah tidak dapat membantu rumah tangga yang kondisinya seperti itu, seorang istri dibolehkan bekerja di luar rumah dengan pekerjaaan-pekerjaan yang dibolehkan syara’. Kisah Nabi Musa dan putri-putri Nabi Syu’aib merupakan contoh untuk keadaan seperti ini. Allah berfirman dalam QS.al-Qashash [28] : 23-25. Artinya : Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembalapengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: "Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu 17 kebaikan8 yang Engkau turunkan kepadaku." Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami." Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu." 2. Masyarakat memerlukan tenaga wanita untuk bidang-bidang yang sesuai dengan karakter wanita. Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat membutuhkan tenaga wanita untuk menjadi dokter, guru dan dosen, serta pembimbing sosial. Selain itu, masyarakat Islam pun membutuhkan wartawati untuk majalah-majalah wanita dan membutuhkan akuntanakuntan wanita untuk bank-bank Islam. Oleh karena itu, tokoh-tokoh agama tidak boleh melarang wanita bekerja di luar rumah, sepanjang pekerjaannya itu sesuai dengan kodratnya.9 C. Dampak Wanita Berkarir Dalam Rumah Tangga Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Islam tidak melarang wanita berkarir, dengan catatan tetap mengikuti aturan dan persyaratan yang telah ditetapkan. Jika wanita karir itu tidak mengikuti aturan-aturan Islam maka akan timbul berbagai dampak positif dan negatif yang menyangkut harga diri dan kepribadian wanita yang bersangkutan, hak-hak suami dan anak-anak, serta secara otomatis berakibat buruk terhadap perekonomian rumah tangga dan masyarakat. 8 Yang dimaksud dengan Khair (kebaikan) dalam ayat ini menurut sebagian besar ahli Tafsir ialah barang sedikit makanan. 9 Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press,1998), h.141-143. 18 Adapun dampak positif dengan adanya wanita karir antara lain:10 1. Dengan berkarir, wanita dapat membantu meringankan beban keluarga yang tadinya hanya dipikul oleh suami yang mungkin kurang memenuhi kebutuhan. 2. Wanita dapat memberikan pengertian dan penjelasan kepada keluarganya, utamanya kepada putra-putrinya tentang kegiatan-kegiatan yang diikutinya, sehingga kalau ia sukses dan berhasil dalam karirnya, putraputrinya akan gembira dan bangga, bahkan menjadikan ibunya sebagai panutan dan suri tauladan bagi masa depannya. 3. Dalam memajukan serta menyejahterakan masyarakat dan bangsa diperlukan partisipasi serta keikutsertaan kaum wanita, karena dengan segala potensinya, wanita mampu dalam hal ini, bahkan ada di antara pekerjaan yang tidak bisa dilaksanakan oleh pria dapat berhasil ditangani oleh wanita, baik karena keahliannya, maupun karena bakatnya. 4. Wanita dalam mendidik anak-anaknya pada umumnya lebih bijaksana, demokratis dan tidak otoriter, sebab dengan karirnya itu ia bisa memiliki pola pikir yang moderat. Kalau ada problem dalam rumah tangga yang harus diselesaikan, maka ia segera mencari jalan keluar secara tepat dan benar. 5. Dengan berkarir, wanita yang menghadapi kemelut dalam rumah tangganya atau sedang mendapat gangguan jiwa, akan terhibur dan jiwanya akan menjadi sehat. Untuk kepentingan kesehatan jiwanya, wanita 10 Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, Cet.I, h.96-99. 19 itu harus gesit bekerja, jika seorang tidak bekerja atau diam saja, maka ia akan melamun, berhayal memikirkan atau mengenangkan hal-hal yang dalam kenyataan tidak dialami atau tidak dirasakannya. Demikian antara lain dampak positif dari wanita karir, tetapi kalau dipandang dari dimensi lain, sangat memprihatinkan karena membawa dampak negatif, baik secara sosiologis maupun agamis. Adapun dampak negatif yang timbul dengan adanya wanita karir antara lain :11 1. Terhadap anak-anak, wanita yang hanya mengutamakan karirnya akan berpengaruh pada pembinaan dan pendidikan anak-anak, maka tidak aneh kalau banyak terjadi hal-hal yang tidak kita harapkan, seperti perkelahian antarremaja antarsekolah, penyalahgunaan obat-obat terlarang, minuman keras, pencurian, pemerkosaan, dan sebagainya. Apabila hal ini tidak diatasi dengan segera maka akan merugikan anak-anak dan masyarakat. Hal ini harus diakui sekalipun tidak bersifat menyeluruh bagi setiap individu yang berkarir. Akibat dari kurangnya komunikasi antara ibu dan anak-anaknya bisa menyebabkan keretakan sosial. Anak-anak merasa tidak diperhatikan oleh orang tuanya. Sopan santun mereka terhadap orang tuanya akan memudar. Bahkan sama sekali tidak mau mendengar nasihat orang tuanya. Pada umumnya hal ini disebabkan karena sang anak merasa tidak ada kesejukan dan kenyamanan dalam hidupnya, sehingga jiwanya memberontak. Sebagai pelepas kegersangan hatinya, akhirnya mereka 11 Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, Cet.I, h.99-100. 20 berbuat dan bertindak seenaknya tanpa memperhatikan norma-norma yang ada dilingkungan masyarakatnya. 2. Terhadap suami, di balik kebanggaan suami yang mempunyai istri wanita karir yang maju, aktif dan kreatif, pandai dan dibutuhkan masyarakat tidak mustahil menemui persoalan-persoalan dengan istrinya. Istri yang bekerja di luar rumah setelah pulang dari kerjanya tentu ia merasa capek, dengan demikian kemungkinan ia tidak dapat melayani suaminya dengan baik, sehingga suami merasa kurang hak-haknya sebagai suami. 3. Terhadap rumah tangga, kadang-kadang rumah tangga berantakan disebabkan oleh kesibukan ibu rumah tangga sebagai wanita karir yang waktunya banyak tersisa oleh pekerjaannya di luar rumah. Sehingga ia tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu rumah tangga. 4. Terhadap kaum laki-laki banyak yang menganggur akibat adanya wanita karir, kaum laki-laki tidak memperoleh kesempatan untuk bekerja, karena jatahnya telah direnggut, atau dirampas oleh kaum wanita. 5. Terhadap masyarakat, wanita karir yang kurang memedulikan segi-segi normatif dalam pergaulan dengan lain jenis dalam lingkungan pekerjaan atau dalam kehidupan sehari-hari, akan menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan suatu masyarakat. 6. Wanita lajang yang mementingkan karirnya kadang-kadang bisa menimbulkan budaya “nyeleneh” nyaris meninggalkan kodratnya sebagai kaum hawa, yang pada akhirnya mencuat budaya “lesbi dan kumpul kebo”.12 12 Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, Cet.I, h.99-100. 21 D. Etika Diperbolehkannya Wanita Berkarir Sebenarnya, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para pemikir kontemporer menyangkut perlunya mendudukkan perempuan pada kedudukannya yang sebenarnya serta memberi mereka peranan, bukan saja dalam kehidupan rumah tangga melainkan juga dalam kehidupan bermasyarakat. Kini, semua pihak mengakui perlunya keadilan, kebebasan, kemajuan, dan pemberdayaan perempuan. Yang mereka perselisihkan adalah batas-batas dari hal tersebut. Ada yang sangat sempit dan ketat, tapi ada juga yang sangat luas dan longgar.13 Keterpaksaan atau darurat dilihat dari segi keurgensiannya. Oleh karena itu, apabila seorang perempuan terpaksa harus bekerja di luar rumahnya, maka dia haruslah memenuhi etika sebagai berikut : 1. Mendapat izin dari walinya, yaitu Ayah atau suaminya untuk sebuah pekerjaan yang halal seperti menjadi tenaga pendidik para siswi, atau menjadi perawat khusus bagi pasien wanita. 2. Tidak bercampur dengan kaum laki-laki, atau melakukan khalwat dengan lelaki lain. 3. Tidak berlaku tabarruj dan menampakkan perhiasan yang dapat mengundang fitnah..14 Sedangkan diantara persyaratan yang telah ditetapkan para ulama fiqih bagi wanita karir adalah : 13 M.Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h.31. Haya Binti Mubarok Al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, (Jakarta: Darul Falah, t.th), h.161. 14 22 1. Persetujuan Suami Adalah hak suami untuk menerima atau menolak keinginan istri untuk bekerja di luar rumah, sehingga dapat dikatakan bahwa persetujuan suami bagi wanita karir merupakan syarat pokok yang harus dipenuhinya karena laki-laki adalah pengayom dan pemimpin bagi wanita. Dalam QS. AnNisa [4] : 34, Allah SWT berfirman : … Artinya : “Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” Di antara petunjuk Rasulullah tentang kepergian wanita menuju masjid adalah sabda berikut ini. Artinya : “Apabila istri salah seorang kamu minta izin (untuk pergi ke masjid), maka janganlah di cegah”. (HR.Bukhari) Berdasarkan hadis itu dapat dikatakan bahwa sekalipun hendak pergi ke masjid, istri harus meminta izin terlebih dahulu kepada suami, apalagi jika dia hendak pergi bekerja. Jadi, penulis berpendapat istri boleh ikut bekerja sama dengan suami, jika mau, tetapi kewajiban istri untuk menciptakan suasana yang penuh rasa kasih dan sayang dalam rumah tangga tidak terabaikan serta tidak memengaruhi ketenangan dan ketentraman rumah tangga. 15 Lihat Hadis al-Bukhari, Bâb Isti’dzân al-Mar’ah Zaujahâ fî al-Khurûj, Juz 3, h.385. 23 2. Menyeimbangkan Tuntutan Rumah Tangga dan Tuntutan Kerja Sebagian besar wanita muslimah yang dibolehkan bekerja di luar rumah karena tuntuntan kebutuhan primer rumah tangganya, tidak mampu menyamakan dan menyeimbangkan antara tuntutan rumah tangga dan kerja. Adanya aturan-aturan pekerjaan, baik dari segi waktu maupun dari segi kesanggupan, menyebabkan seorang istri mengurangi kualitas pemenuhan kewajiban rumah tangganya atau bahkan memengaruhi kesehatannya. Dalam hal ini, istri muslimah harus selalu berkeyakinan bahwa sifat bekerjanya itu hanyalah sementara, yang pada saatnya nanti akan dilepas bila telah terpenuhinya kebutuhan. Istri tidak boleh beranggapan bahwa keluarnya dari rumah itu merupakan hiburan atau pengisi waktu luang, atau lebih jauh lagi karena motivasi emansipasi atau untuk dapat meraih kebebasan dalam bidang perekonomian. 3. Pekerjaan Itu Tidak Menimbulkan Khalwat Yang dimaksud khalwat adalah berduannya laki-laki dan wanita yang bukan mahram. Pekerjaan yang di dalamnya besar kemungkinan terjadi khalwat, akan menjerumuskan seorang istri ke dalam kerusakan, misalnya seorang istri yang menjadi sekretaris pribadi seorang direktur. 4. Menghindari Pekerjaan yang Tidak Sesuai dengan Karekter Psikologis Wanita Selain itu, istri harus dapat menjauhi pekerjaan-pekerjaan yang tidak sesuai dengan fitrah kewanitaannya atau dapat merusak harga dirinya. 24 Dengan demikian, wanita tidak boleh bekerja di pub atau diskotik yang melayani kaum laki-laki sambil menyanyi atau menari. 5. Menjauhi Segala Sumber Fitnah Dalam hal ini, keluarnya wanita untuk bekerja harus memegang aturanaturan berikut ini : a. Wanita yang bekerja harus memakai pakaian yang dibolehkan syara’, berdasarkan QS.al-Ahzab [33] : 59 Allah berfirman : Artinya : Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya16ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. b. Wanita yang bekerja harus merendahkan suaranya, dan berkata baik. c. Wanita yang bekerja tidak boleh memakai wewangian sebab di antara yang dapat menjadi sumber fitnah adalah aroma wewangian. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda : 16 Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan 17 Lihat Hadis al-Tirmidzi, Babu mâ jâ’a fî tahdzîr fitnah al-Nisâ’, Juz 9, h. 472. dada. 25 Artinya : “Wewangian laki-laki adalah yang jelas aromanya, tetapi samar warnanya. Dan wewangian wanita adalah yang jelas warnanya, tapi samar aromanya”. (HR. Tirmidzi dan Abu Hurairah) d. Wanita karir harus menundukkan pandangan agar terhindar dari kemaksiatan dan godaan setan. Allah telah memerintahkan kaum lakilaki dan wanita untuk menundukkan pandangan dalam QS.an-Nûr [24] : 30-31, yaitu : Artinya : Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudarasaudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara 26 lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. Rasulullah bersabda : Artinya : “Tidaklah kutinggalkan fitnah setelah masaku yang lebih berbahaya bagi lelaki selain fitnah yang ditimbulkan wanita”. (HR.Muslim)19 6. Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan. Artinya, Pekerjaan itu tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu yang haram, seperti wanita yang bekerja untuk melayani lelaki bujang, atau wanita menjadi sekretaris khusus bagi seorang direktur yang karena alasan kegiatan mereka sering berkhalwat (berduaan), atau menjadi penari yang merangsang nafsu hanya demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja di bar-bar untuk menghidangkan minum-minuman keras - padahal Rasulullah Saw. telah melaknat orang yang menuangkannya, membawanya, dan menjualnya. Atau menjadi pramugari di kapal terbang dengan menghidangkan minumminuman yang memabukkan, bepergian jauh tanpa disertai mahram, bermalam di negeri asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita maupun khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya.20 18 Lihat Hadis Tirmidzi, Bab ما جا ء في تحذير فتنة النساء, Juz 9, h. 459 Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, h.145-152. 20 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press,tt). 19 BAB III MUHAMMAD MUTAWALLÎ AL-SYA’RÂWÎ DAN TAFSIRNYA A. Riwayat Hidup Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî Nama Lengkap al-Sya‟râwî adalah Muhammad bin Mutawallî al-Sya‟râwî al-Husainia. Al-Sya‟râwî lahir pada hari Ahad tanggal 17 Rabi‟ Al Tsani 1329 H bertepatan dengan 16 April 1911 M di desa Daqadus, Mait Ghamir, adDakhaliyyah. Tentang nasab (keturunan), al-Sya‟râwî dalam sebuah kitab berjudul Anâ Min Sulâlat Ahli al-Bait, menyebutkan bahwa dia merupakan keturunan dari cucu Nabi SAW.,yaitu Husein ra.1 Ketekunan al-Sya‟râwî dalam studi al-Qur‟ân sudah nampak sejak kecil di mana sejak ia berusia 11 tahun sudah hafal al-Qur‟ân di bawah bimbingan gurunya „Abd al-Majîd Pasha.2 Karenanya, tidak aneh ketika ia dewasa menjadi salah satu tokoh dalam bidang tarsir kontemporer abad 21. Adapun pendidikan resminya diawali dengan menuntut ilmu di sekolah dasar al-Azhar Zaqaziq pada tahun 1926 M. Setelah memperoleh ijazah sekolah dasar al-Azhar pada tahun 1932 M, ia melanjutkan ke jenjang sekolah menengah di Zaqaziq dan meraih ijazah sekolah menengah al-Azhar pada tahun 1936 M. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Universitas al-Azhar jurusan bahasa Arab pada tahun 1937 M hingga tahun 1941 M. Ia melanjutkan ke jenjang doctoral 1 Sa‟îd Abû Al-„Ainain, Al-Sya‟râwî Anâ Min Sulâlat Ahli Al-Bait, (Al-Qâhirah: Akhbâr Al-Yawm,1955),h.6. 2 Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, (Jakarta: TERAJU (PT.Mizan Publika, 2004), h.21. 27 28 pada tahun 1940 M dan memperoleh gelar „Âlamiyyat (Lc sekarang) dalam bidang bahasa dan sastra Arab.3 Sejak duduk di bangku sekolah menengah (setingkat SLTA atau MA di Indonesia) al-Sya‟râwî menekuni keilmuan bidang syair dan sastra Arab. Hal ini tampak ketika ia di angkat menjadi Ketua Persatuan Pelajar dan Ketua Persatuan Kesusastraan di daerah Zaqaziq. Kemudian pada tahun 1930-an merasakan bangku kuliah pada Fakultas Ushuluddin di Zaqaziq, dan setelah lulus pendidikan S1, ia melanjutkan studi (setingkat S2) mengambil konsentrasi Bahasa Arab pada Universitas al-Azhar dan lulus pada tahun 1943 dengan predikat cum laude. Setelah menyelesaikan studinya tersebut, al-Sya‟râwî menghabiskan hidupnya dalam dunia pendidikan, yakni sebagai tenaga pengajar pada beberapa perguruan tinggi di kawasan Timur Tengah, antara lain: al-Azhar Tanta, al-Azhar Iskandariyyah, Zaqaziq, Universitas Mâlik Ibn Abdul Azîz Makkah, Universitas al-Anjal Arab Saudi, Universitas Ummul Qura Makkah, dan lain-lain. Selain mengajar, al-Sya‟râwî juga mengisi kegiatan-kegiatan sosial keagamaan, seperti menjadi Khatib, mengisi kegiatan ceramah (da‟i), mengisi pengajian tafsir alQur‟ân yang disiarkan secara langsung melalui layar televisi di Mesir dalam acara Nûr „alâ Nûr. Selanjutnya Mesir mulai mengenal nama al-Sya‟râwî. Semua masyarakat melihatnya dan mendengarkan ceramah keagamaan dan penafsirannya terhadap al-Qur‟ân selama kurang lebih 25 tahun.4 Pada tahun 1976 M, al-Sya‟râwî dipilih oleh pimpinan Kabinet Mamdûh Salim sebagai Menteri Wakaf dan pada tanggal 26 Oktober 1977 M, ia ditunjuk 3 Ahmad Al-Marsi Husein Jauhar, Muhammad Mutawallî Al-Sya‟râwî: Imâm Al-„Asr, (Al-Qâhirah: Handat Misr,1990), h.74. 4 Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.27. 29 kembali menjadi Menteri Wakaf dan Menteri Negara yang berkaitan erat dengan al-Azhar dalam kabinet yang dibentuk oleh Mamdûh Sâlim. Pada tanggal 15 Oktober 1978 M, ia diturunkan dengan hormat dalam formatur kabinet yang dibentuk oleh Mustofâ Khalîl. Kemudian ia ditunjuk menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya universitas “Al-Syu‟ûb Al-Islâmiyah Al-„Ârabiyyah”, namun al-Sya‟râwî menolaknya. Pada tahun 1980 M al-Sya‟râwî diangkat sebagai anggota MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), akan tetapi ia menolak jabatan strategis ini. Atas jasa-jasa tersebut, al-Sya‟râwî mendapat penghargaan dan lencana dari Presiden Husni Mubarak dalam bidang pengembangan ilmu dan budaya di tahun 1983 M pada acara peringatan hari lahir al-Azhar yang ke-1000. Al-Sya‟râwî pengembangan) ditunjuk bahasa Arab sebagai oleh anggota lembaga litbang (penelitian “Mujamma‟ dan al-Khâlidîn”, perkumpulan yang menangani perkembangan bahasa Arab di Kairo pada tahun 1987 M. Tahun 1988 M memperoleh Wisâm al-Jumhuriyyah, medali kenegaraan dari presiden Husni Mubarak di acara peringatan hari da‟i dan mendapatkan Jâ‟izah al-Daulah al-Taqdîriyyah, penghargaan kehormatan kenegaraan.5 Pada tahun 1990 M, al-Sya‟râwî mendapat gelar “Profesor” dari Universitas Al-Mansurah dalam bidang adab, dan pada tahun 1419 H/1998 M, ia memperoleh gelar kehormatan sebagai al-Syakhsiyyah al Islâmiyyah al-Ulâ profil Islami pertama di dunia Islam di Dubai serta mendapat penghargaan dalam bentuk uang dari putera mahkota al-Nahyan, namun ia menyerahkan penghargaan ini 5 Mahmûd Rizq Al-Amâl, Tarîkh Al-Imâm Al-Sya‟râwî, dalam Majalah Manâr Al-Islâm, (September,2001),no 6,vol.27,h.35. 30 kepada al-Azhar dan pelajar al-Bu‟ûts al-Islâmiyah (pelajar yang berasal dari negara-negara Islam di seluruh dunia).6 Al-Sya‟râwî dikenal sebagai seorang da‟i yang berwawasan santun, bijak, dan tegas, sehingga tidak heran jika banyak artis yang mendapatkan hidayah setelah mendengar dan berdialog dengannya. Di antaranya adalah seorang artis wanita Mesir yang beragama Yahudi, kemudian meninggalkan dunia glamor, menunaikan ajaran Islam dengan baik dan turut berdakwah menyampaikan ajaran Islam. Di usia 87 tahun, pada hari Rabu 17 Juni 1998 M, Mutawallî al-Sya‟rawi wafat. Jasadnya dimakamkan di Mesir.7 B. Karya-Karya Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî Al-Sya‟râwî tidak menulis karangannya, karena beliau berpendapat kalimat yang disampaikan secara langsung dan diperdengarkan akan lebih mengena dari pada kalimat yang disebarluaskan dengan perantara tulisan, sebab semua manusia akan mendengar dari narasumber yang asli. Hal ini sangat berbeda dengan tulisan, karena tidak semua orang mampu membacanya. Namun demikian dia tidak menafikan kebolehan untuk mengalihbahasakannya menjadi bahasa tulisan dan tertulis dalam sebuah buku, karena tindakan ini membantu program sosialisasi pemikirannya dan mencakup asas manfaat yang lebih besar bagi 6 Taha Badri, Qâlû‟an Al-Sya‟râwî ba‟da Râhîlihi, (Al-Qâhirah: Maktabah Al-Turâs AlIslâmî,t.t.),h.5-6. 7 Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006). h.277. 31 manusia secara keseluruhan.8 Tapi, ceramah-ceramahnya yang dicetak dalam bentuk buku mendapatkan sambutan luas di kalangan umat Islam. Bahkan buku Mukjizat al-Qur‟ân telah dicetak sebanyak 5 juta eksemplar. Hasil penjualan buku-buku beliau ini ia sumbangkan untuk kegiatan-kegiatan sosial. Di antara kata-kata mutiara al-Sya‟râwî adalah, “Sesungguhnya Allah SWT menyembunyikan tiga hal di dalam tiga hal. Dia menyembunyikan ridha-Nya di dalam ketaatan kepada-Nya. Maka jangan sampai meremehkan ketaatan apapun bentuknya, karena ada seseorang yang memberi minum kepada anjing lalu Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuninya. Dan Allah SWT menyembunyikan murka-Nya di dalam kemaksitan terhadap-Nya. Sesungguhnya ada seorang wanita yang masuk neraka karena kucing yang ia kurung, ia tidak memberinya makan tidak juga membiarkannya pergi. Dan Allah menyembunyikan rahasia-rahasia-Nya pada diri hamba-hamba-Nya. Maka janganlah kalian menghina seorang hamba-Nya, karena banyak orang yang kusut berdebu, namun jika ia bersumpah atas nama Allah, maka Allah akan mengabulkan sumpah-Nya itu.” 9 Al-Sya‟râwi mempunyai sejumlah karangan-karangan, beberapa orang yang mencintainya mengumpulkan dan menyusunnya untuk disebarluaskan, sedangkan hasil karya yang paling populer dan yang paling fenomenal adalah Tafsir al-Sya‟râwi terhadap al-Qur‟ân yang Mulia. Dan di antara sebagian hasil karyanya adalah: 1. Al-Isrâ‟ wa al- Mi'râj (Isra dan Mi'raj) 2. Asrâr Bismillâhirrahmânirrahîm (Rahasia dibalik kalimat Bismillahirrahmanirrahim) 3. 8 9 Al-Islâm wa al-Fikr al-Mu'ashir (Islam dan Pemikiran Modern) Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.31. Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, h.277. 32 4. Al-Fatâwâ al-Kubrâ (Fatwa-fatwa Besar). Kitab ini dicetak oleh Maktabah al-Turâs al-Islâmî dalam dua bagian. Bagian pertama terdiri atas 441 halaman dan bagian kedua terdiri atas 483 halaman. Kedua bagian tersebut berisi pemikiran al-Sya‟râwî tentang tafsir dan juga pertanyaan yang memiliki benang merah dengan tema sekaligus jawabannya. Bagian pertama membahas iman kepada Allah, makna amanah dan kapan iman menjadi aqidah dan seterusnya.10 5. 100 al-Suâl wa al-Jawâb fî al-Fiqh al-Islâm (100 Soal Jawab Fiqih Islam) 6. Mu'jizat al-Qur‟ân (Kemukjizatan Alquran) 7. 'Alâ al-Mâídat al-Fikr al-Islâmî (Di bawah Hamparan Pemikiran Islam). Kitab ini terdiri atas 203 halaman dan mencakup tema yang beragam, seperti “Polemik tentang Islam”, “Pembicaraan seputar pemikiran Islam” dan “Islam dan globalisasi, Islam antara kapitalisme dan komunisme, Islam kanan dan Islam kiri, jaminan dan Islam”. Tema-tema ini diformat dalam bentuk tanya jawab yang disampaikan oleh Majdî al-Khafnawî dan dijawab oleh al-Sya‟râwî.11 8. Al-Qadhâ wa al-Qadar (Qadha dan Qadar) 9. Ĥâdzâ Ĥuwa al-Islâm (Inilah Islam) 10. Al-Muntakhab fi Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm (Pilihan dari Tafsir alQur‟ân al-Karîm).12 10 Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.37. Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.38. 12 www.egyguys.com. Akses 22 Maret 2010. 11 33 C. Pandangan Ulama Tentang Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî Beberapa ulama dan sarjana yang memberi komentar dan pandangan terhadap al-Sya‟râwî, di antaranya : „Abdul Fattâh al-Fâwi, dosen Falsafah di Universitas Dâr Al-„Ulûm Kairo berkata: “Sya‟rawi bukanlah seorang yang tekstual, beku di hadapan nas, tidak terlalu cenderung ke akal, tidak pula sufi yang hanyut dalam ilmu kebatinan, akan tetapi beliau menghormati nash, memakai akal, dan terpancar darinya keterbukaan dan kekharismatikannya”.13 Yûsuf al-Qardawi memandang : “al-Sya‟râwî sebagai penafsir yang handal. Penafsirannya tidak terbatas pada ruang dan waktu, tetapi juga mencakup kisi-kisi kehidupan lainnya, bahkan dalam kesehariannya ia terkesan menggandrungi sufisme, kendati sebagian orang menentang kehidupan sufi. Ia tetap bersikukuh dengan prinsip hidupnya.”14 Kecenderungan al-Sya‟râwî pada tafsir tidak menjadikan ia lupa dengan kepiawaiannya dalam mengambil kesimpulan hukum fiqh atas realita kehidupan, sehingga tidak jarang ia mengeluarkan hukum berdasarkan dalil syar‟i dan logis. Akhirnya, kontribusi al-Sya‟râwî dalam berbagai bidang ilmu tidak perlu diragukan lagi, karenanya tidak sedikit pengikut dan pengagumnya merasa kehilangan ketika al-Sya‟râwî wafat. Yûsuf al-Qardawi menegaskan dalam pidatonya yang berjudul AlSya‟râwî Ilmun min A‟lâm Al-Hidâyah bahwa : 13 Ahmad Al-Marsi Husein Jauhar, Muhammad Mutawallî Al-Sya‟râwî: Imâm Al-„Asr, (al-Qâhirah: Handat Misr,1990),h.51. 14 Ahmad, Muhammad Mutawallî Al-Sya‟râwî: Imâm Al-„Asr, h.53. 34 “Al-Sya‟râwî dalam rutinitas kesaharian cenderung menjalani kehidupan sufi, walaupun tidak semua manusia menjadikan sufisme sebagai langkah hidupnya”. Muhammad Mustafâ Ganîm dalam harian Al-Akhbâr 14 Agustus 1980, seperti yang dikutip oleh Istibsyaroh adalah : “Sungguh Allah menganugerahkan kepada al-Sya‟râwî ilmu yang melimpah, otak cemerlang, akal yang logis, pemikiran sistematis, hati ikhlas, kemampuan luar biasa dalam menjelaskan dan menafsirkan dengan gaya bahasa sederhana dan jelas, dengan perumpamaan yang dapat dipahami oleh kemampuan akal orang awam,…Sungguh hal ini adalah suatu khazanah yang pantas mendapat penghormatan, penghargaan, dan pengakuan tersendiri”.15 Sementara Ahmad „Umar Hasyîm, ketika memberi penilaian terhadap alSya‟râwî, menyitir sebuah hadis: “Allah mengutus di setiap seratus tahun sosok yang membangkitkan (memperbaharui) nuansa Islam”. (HR.Abû Dâwud).16 Dalam kaitannya dengan hadis di atas, Ahmad „Umar Hasyîm memprediksikan hanya Allah yang Maha Mengetahui al-Sya‟râwî termasuk pemimpin umat dan pembaharu nuansa pemikiran Islam sebagaimana kandungan hadis. Al-Sya‟râwî merupakan profil da‟i yang mampu menyelesaikan permasalahan umat secara proporsional. Beliau tidak menolak mentah-mentah inovasi masa kini, bahkan ia sangat antusias dengan penemuan ilmiah terutama yang berkaitan erat dengan substansi al-Qur‟ân. Namun demikian ia tetap menganalisanya. Oleh karenanya, tidak salah apabila ia memperoleh gelar pembaharu Islam, Mujaddid al-Islâm. 15 16 Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.42. Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, (Beirut; Dâr Al-Fikr,t.t.),Juz IV, h.109. 35 Ahmad „Umar Hasyîm juga mengatakan bahwa karangan-karangan alSya‟râwî merupakan harta kekayaan yang sangat berkualitas, karena ia mencakup semua segi kehidupan. Karangannya tidak hanya memuat satu permasalahan fenomenal saja, tetapi juga membahas permasalahan kontemporer yang dihadapi umat di era globalisasi secara keseluruhan. Akhirnya, merupakan kewajaran apabila umat Islam mengelu-elukannya. Ibrâhîm al-Dasûkî, teman karib al-Sya‟râwî berpendapat, al-Sya‟râwî merupakan pemimpin para da‟i. Dia sangat lihai dalam berdakwah. Al-Sya‟râwî tidak hanya berdakwah melalui media lisan dan tulisan, tetapi juga mengaplikasikannya dalam tataran praktis. Karangan-karangan al-Sya‟râwî cukup menunjukkan tingkat kepandaiannya dalam berdakwah dan berkontemplasi (perenungan) dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan kecerdasannya ini akan terlihat jelas manakala al-Sya‟râwî mengolah kata-kata yang dirangkum dalam simbol interprestasinya terhadap al-Qur‟ân yang bukan sekedar ucapan saja, melainkan juga meresap di hati.17 Dari beberapa pandangan para ulama dan sarjana tentang al-Sya‟râwî di atas, dapat diketahui betapa besar pengaruh al-Sya‟râwî di masyarakat. Keikhlasannya, kekharismatikannya, keulamaannya, dan keprofesionalannya diakui oleh semua lapisan termasuk oleh ulama, sarjana, dan sebagainya. Suatu hal yang paling penting, dia mempunyai kelebihan, di samping da‟i yang mampu menjelaskan sesuatu yang rumit dengan bahasa yang mudah dan sederhana sehingga dapat dipahami oleh kalangan masyarakat, sekalipun yang paling awam. 17 Ahmad, Muhammad Mutawallî Al-Sya‟râwî: Imâm Al-„Asr, h.140. 36 D. Pengenalan Tafsir al-Sya’râwî Tafsir ini dinamakan Tafsir al-Sya‟râwî, diambil dari nama penulisnya. Menurut Muhammad „Alî Iyâzy judul yang terkenal dari karya ini adalah Tafsir Khawâtir al-Sya‟râwî Haul al-Qur‟ân al-Karim. Pada mulanya, tafsir ini hanya diberi nama Khawâtir al-Sya‟râwî yang dimaksudkan sebagai sebuah perenungan (Khawatir) dari diri al-Sya‟râwî terhadap ayat-ayat al-Qur‟ân yang tentunya bisa saja salah dan benar.18 Al-Sya‟râwî dalam muqaddimah tafsirnya, menyatakan bahwa : “Hasil renungan saya terhadap al-Qur‟ân bukan berarti tafsiran al-Qur‟ân , melainkan hanya percikan pemikiran yang terlintas dalam hati seorang mukmin saat membaca al-Qur‟ân . Kalau memang al-Qur‟ân dapat ditafsirkan, sebenarnya yang lebih berhak menafsirkannya hanya Rasulullah SAW, karena kepada Rasulullah ia diturunkan. Dia banyak menjelaskan kepada manusia ajaran al-Qur‟ân dari dimensi ibadah, karena hal itulah yang diperlukan umatnya saat ini. Adapun rahasia al-Qur‟ân tentang alam semesta, tidak ia sampaikan, karena kondisi sosio-intelektual saat itu tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika hal itu disampaikan akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya akan merusak puing-puing agama, bahkan akan memalingkan umat dari jalan Allah SWT.”19 Kitab ini merupakan hasil kreasi yang dibuat oleh murid al-Sya‟râwî yakni Muhammad al-Sinrâwi, „Abd al-Wâris al-Dasuqî dari kumpulan pidatopidato atau ceramah-ceramah yang dilakukan al-Sya‟râwî . Sementara itu, hadishadis yang terdapat di dalam kitab Tafsir al-Sya‟râwî di takhrij oleh Ahmad „Umar Hasyim. Kitab ini diterbitkan oleh Akhbâr al-Yawm Idarah al-Kutub wa al-Maktabah pada tahun 1991 (tujuh tahun sebelum al-Sya‟râwî meninggal dunia). Dengan demikian, Tafsir al-Sya‟râwî ini merupakan kumpulan hasil-hasil 18 19 www.islamiyyat.com. Akses 08 Desember 2010. Lihat al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî, Jilid I,h.9. 37 pidato atau ceramah al-Sya‟râwî yang kemudian diedit dalam bentuk tulisan buku oleh murid-muridnya. 20 Sebelum berbicara tentang suatu tema, al-Sya‟râwî biasa menyendiri beberapa saat untuk berfikir dan merenung. Setelah itu dia keluar dengan ilmu yang Allah berikan kepadanya. Dengan menyendiri, seseorang dapat lebih konsentrasi sehingga menghasilkan hasil yang optimal,21 seperti dalam QS. Saba‟[34] : 40 : “Katakanlah, sesungguhnya aku memperingatkan kepada kalian tentang suatu hal, yaitu supaya kalian menghadap Allah dengan ikhlas berduadua atau sendiri-sendiri, kemudian kalian fikirkan hal itu…” Al-Sya‟râwî sebelum merenungi suatu ayat, terlebih dahulu merujuk beberapa pendapat para mufassir, seperti Fakhr al-Râzî, Zamakhsyarî, Sayyid Quthb, al-Alûsî, dan lain-lain. Pada saat menerangkan kandungan suatu ayat, al-Sya‟râwî tidak memegang tafsir yang berjilid, melainkan hanya mushaf al-Qur‟ân . Dengan teliti, diuraikan kandungan al-Qur‟ân ayat per ayat, bahkan kata per kata dan korelasi antara satu ayat dengan ayat sebelumnya. Sistematikanya dimulai dengan muqaddimah, menerangkan makna ta‟awuz, dan tartib nuzul al-Qur‟ân . Dalam memulai menafsirkan setiap surat, beliau mulai dengan menjelaskan makna surat, hikmahnya, hubungan surat yang ditafsirkan dengan surat sebelumnya kemudian menjelaskan maksud ayat dengan menghubungkan ayat lain sehingga disebut menafsirkan ayat al-Qur‟ân dengan al-Qur‟ân . 20 www.islamiyyat.com. Akses 08 Desember 2010. Muhammad Rajab al-Bayumi, Muhammad Mutawallî Al-Sya‟râwî Jawlatun fî Fikrihi al-Mausû‟î al-Fasîh, (Al-Qâhirah: Maktabah Al-Turâs Al-Islâmî,t.t),h.69. 21 38 Menurut Mahmud Basuni Faudah bahwa, sebagian ayat al-Qur‟ân merupakan tafsiran dari sebagian yang lain. Yang dimaksud ialah sesuatu yang disebutkan secara ringkas di satu tempat diuraikan di tempat yang lain. Ketentuan yang mujmal dijelaskan dalam topik yang lain. Sesuatu yang bersifat umum dalam suatu ayat di-takhsis oleh ayat yang lain. Sesuatu yang berbentuk mutlak di suatu pihak disusul oleh keterangan lain yang muqayyad (terbatas).22 Dalam menafsirkan ayat atau kelompok ayat, al-Sya‟râwî menganalisis dengan bahasa yang tajam dari lafadz yang dianggap penting dengan berpedoman pada kaidah-kaidah bahasa dari aspek nahwu, balaghah, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam menafsirkan ayat aqidah dan iman beliau mengikuti mufasir terdahulu, seperti Muhammad Abduh, Rasyîd Rîda, dan Sayyid Quthb.23 Dalam hal ini al-Sya‟râwî membahasnya secara mendalam dan mendetail dengan argumen yang rasional dan ilmiah agar keyakinan dan ketauhidan mukminin lebih mantap, dan mengajak selain mereka untuk masuk dalam agama Allah yaitu Islam. Menurut „Umar Hasyîm, metodelogi al-Sya‟râwî dalam tafsirnya bertumpu kepada pembedahan kata dengan mengembalikan asal kata tersebut, dan mengembangkan ke dalam bentuk lain, kemudian mencari korelasi makna antara asal kata dengan kata jadiannya.24 22 Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur‟ân Perkenalan dengan Metodelogi Tafsir, terj. M.Muhtar Zoeni dan Abdul Qad‟ir Hamid, (Bandung:Pustaka, 1987), h.24-25. 23 Muhammad „Alî Iyâzy, Al-Mufassrûn Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Mu‟assasah Al-Thabâ‟ah wa Al-Nasyr,t.t), h.270. 24 Ahmad Umar Hâsyim, Al-Imâm Al-Sya‟râwî Mufassirân wa Dâ‟iyah, (Al-Qahirah: Maktabah Al-Turâs Al-Islâmî,t.t.), h.51. 39 Tafsir al-Sya‟râwî tidak terbatas kepada pengungkapan makna suatu ayat, baik makna umum maupun makna rinci. Lebih dari itu, al-Sya‟râwî berusaha mensosialisasikan teks al-Qur‟ân ke dalam realitas bumi. Dalam mengupas satu ayat, al-Sya‟râwî sering memulainya dengan menerangkan korelasi ayat tersebut dengan ayat sebelumnya, kemudian melanjutkan dengan tinjauan bahasa, akar kata, sharaf, dan nahwunya, terlebih lagi, jika kalimat tersebut mempunyai banyak i‟rab. Terkadang, ia membeberkan aneka qira‟at untuk menerangkan perbedaan maknanya, menyitir ayat lain dan hadis yang berhubungan dengan ayat yang ditafsirkan, juga menyitir syair dalam menerangkan makna satu kata, sisi sastra suatu ayat dijelaskan, ditulis asbâb nuzûl-nya apabila berdasarkan hadis sahih.25 Adapun dilihat dari isi dan sistematikanya, tampak bahwa kitab ini terdiri dari 18 jilid yang dapat digambarkan dalam tabel berikut ini: NO. JILID ISI 1. I Pendahuluan, Qs. al-Fâtihah sampai Qs. al-Baqârah ayat 154. 2. II Qs. al-Baqârah ayat 155 sampai Qs. Ali „Imrân ayat 13. 3. III Qs. Ali „Imrân ayat 14 sampai 189. 4. IV Qs. Ali „Imrân ayat 190 sampai Qs. al-Nisâ‟ ayat 100. 5. V Qs. al-Nisâ‟ ayat 101 sampai Qs. al-Mâidah: 54. 6. VI Qs. al-Mâidah: 55 sampai Qs. al-An‟âm: 109. 7. VII Qs. al-An‟âm: 110 sampai Qs. al-A‟râf: 188. 8. VIII Qs. al-A‟râf: 189 sampai Qs. al-Taubah: 44 9. IX Qs. al-Taubah: 45 sampai Qs. Yunus: 14. 10. X Qs. Yunus: 15 sampai Qs. Hûd: 27. 11. XI Qs. Hûd: 28 sampai Qs. Yûsuf: 96. 12. XII Qs. Yûsuf: 97 sampai Qs. al-Hijr: 47. 13. XIII Qs. al-Hijr: 48 sampai Qs. al-Isrâ‟: 4. 25 Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.49. 40 14. XIV Qs. al-Isrâ‟: 5 sampai Qs. al-Kahfi; 98. 15. XV Qs. al-Kahfi; 99 sampai Qs. al-Anbiyâ‟: 90. 16. XVI Qs. al-Anbiyâ‟: 91 sampai Qs.al-Nûr: 35. 17. XVII Qs. al-Nûr: 36 sampai Qs. al-Qasas: 29. 18. XVIII Qs. al-Qasas: 30 sampai Qs. al-Rum: 58. Berdasarkan tabel tersebut, maka tafsir ini tidak memuat dari surah Luqmân hingga surah al-Nas atau dari pertengahan Juz 21 hingga akhir Juz 30 dalam al-Qur‟ân. Sementara itu, dilihat dari metodenya, Tafsir al-Sya‟râwî ini susah untuk dipetakan, sebab, tafsir ini merupakan tafsir bi al-lisân atau tafsir sauti (hasil pidato atau ceramah yang kemudian di bukukan). Dengan demikian tafsir ini tidak ditulis dalam bentuk tulisan ilmiah. Namun, secara umum tafsir ini menggunakan metode gabungan antara tahlili dan tematik. Dengan kata lain al-Sya‟râwî menggunakan metode tahlili, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟ân dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu dan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan penafsir, kemudian ia menjelaskan dengan menggunakan metode dan pendekatan tematik, yakni membahas ayat-ayat alQur‟ân dalam sebuah tema yang teratur. Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî dalam tafsirnya dengan nama kitab Tafsir al-Sya‟râwî termasuk kedalam kategori tafsir adabî ijtimâ‟î. Corak sastra budaya kemasyarakatan atau adabî ijtimâ‟î dimulai oleh Muhammad Abduh, yaitu suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur‟ân yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk 41 menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti. Dalam hal ini „Usmaan Abd al-Rahim al-Qamihi menyimpulkan metode dan langkah-langkah yang ditempuh al-Sya‟râwî dalam menjelaskan ayat-ayat alQur‟ân , yakni: 1. Dalam tafsir ini memuat perenungan-perenungan dan pandanganpandangan yang tajam. 2. Mengandung tafsir maudhu‟i, yakni dalam membahas ayat al-Qur‟ân ia mencoba mengkajinya pada satu tema. 3. Tafsir ini merupakan Tafsir Sauti (hasil ceramah yang kemudian ditulis). 4. Al-Sya‟râwî adalah orang yang ahli dalam bahasa dan sastra Arab, maka ia selalu berangkat dari analisa bahasa ketika menafsirkan sebuah ayat. 5. Berusaha menyingkap Fasâhah al- Qur‟ân (kehebatan al-Qur‟ân) dan rahasia sistematikanya. 6. Tujuan dari tafsir ini adalah untuk perbaikan sosial (al-islah al-ijtimâ‟i), moral, dan tarbawi (pendidikan). 7. Menyingkap ayat-ayat hukum dan melihat asbâb nuzûl-nya. 8. Menggabungkan antara pendalaman dan kesederhanaan dalam menafsirkan dan menyampaikannya. 9. Menggunakan metode analisis dan tematik, dan berusaha menghubungkan antara ayat (munâsabah al-ayât). 10. Terkadang bernuansa sufistik. 11. Menggunakan gaya bahasa (uslub), retoris-dialogis (al-mantiq al-jadalia). 42 12. Menyingkap penemuan-penemuan ilmiah dalam al-Qur‟ân. Sampai di sini dapat dikatakan bahwa karakteristik dari kitab Tafsir alSya‟râwî adalah Tafsir Sauti (hasil ceramah yang kemudian ditulis), dengan pembahasan yang luas, tidak terikat oleh satu metode tertentu dalam metodologi tafsir al-Qur‟ân. Sementara itu, secara umum corak dari kitab tafsir ini adalah adabi ijtimâ‟i yakni sosial kemasyarakatan, progresif untuk melakukan perubahan dan perbaikan kehidupan sosial yang lebih baik. Dikatakan secara umum, karena tafsir ini tidak menekankan corak, melainkan menekankan pengungkapan “ruh” al-Qur‟ân sebagai sumber hidayah bagi umat manusia. BAB IV PENAFSIRAN AL-SYA’RÂWÎ TENTANG WANITA KARIR DALAM AYAT-AYAT AL-QUR’ÂN Di dalam al-Qur‟ân terdapat sejumlah ayat yang berbicara tentang wanita. Saat ini, penulis merasa ayat-ayat yang berkaitan tentang wanita, khususnya wanita yang diperbolehkan bekerja di luar rumah masih banyak perbedaan dalam hal penafsiran. Penulis mengambil penafsir kontemporer seperti Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwi karena ia merupakan salah satu ahli tafsir al-Qur‟ân yang terkenal pada masa modern dan merupakan tokoh pada masa kini. Karena adanya ayat-ayat al-Qur‟ân yang mengisyaratkan perlunya kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam hal-hal yang memberikan kemaslahatan umum dan ayat-ayat yang berhubungan tentang diperbolehkannya wanita bekerja, maka secara keseluruhan ayat-ayat yang menyangkut wanita karir dalam al-Qur‟ân harus ditafsirkan. Di bawah ini, penulis akan menyajikan tipologi ayat-ayat tersebut, yang dibagi ke dalam tiga tema utama: (a) wanita karir dalam dunia politik, (b) hak wanita untuk berprestasi, dan (c) hak wanita untuk berkarir. A. Wanita Karir dalam Dunia Politik Wacana kepemimpinan perempuan telah memancing polemik dan debat antara pro maupun yang kontra. Hal ini terjadi karena satu sisi ditemukan penafsiran ayat dan hadis yang secara tekstual mengutamakan laki-laki untuk 43 44 menjadi pemimpin, meskipun sebagian ada yang membolehkannya. Di sisi lain, ada kenyataan objektif adanya sejumlah perempuan yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin.1 Wanita berhak untuk menduduki jabatan politik dengan syarat menaati hukum syari‟at Islam, ini ditopang oleh QS. al-Taubah [9] : 71, Allah berfirman : Artinya : “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha bijaksana. Al-Sya‟râwî dalam menafsirkan kata auliyâ‟ mengatakan bahwa : “Dalam masyarakat mukmin harus saling tolong menolong dan saling memberi nasihat agar sempurna imannya.”2 Sedangkan “Menyuruh mengerjakan yang ma‟rûf dan mencegah yang munkar, menurut al-Sya‟râwi, “Ketika mukmin mengerjakan perkara munkar, 1 Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, (Jakarta: TERAJU (PT.Mizan Publika), 2004), h.177. 2 M.Mutawallî al-Sya‟râwî, Tafsir Sya‟rawi, (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991), Jilid VI, h.5287. 45 maka mukmin yang lain mencegahnya dan ketika mukmin tidak mengerjakan kebaikan, maka mukmin yang lain mengingatkannya. Akhirnya, setiap mukmin memerintah dan diperintah untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kemungkaran.”3 Penulis setuju dengan pendapat tersebut, artinya sesama mukmin baik lakilaki maupun perempuan harus saling mengingatkan, sehingga ada yang menjadi pemerintah atau yang diperintah. Seperti Sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadis shahih : Artinya : “Seorang mukmin bagi mukmin yang lain laksana bangunan yang saling menguatkan satu bagian dengan yang lainnya.”4 Ayat itu mengisyaratkan bahwa laki-laki dan perempuan seyogyanya melakukan kerja sama dalam amar ma‟rûf dan nahî munkar. Maka sesuai dengan ayat itu, Islam tidak memisahkan antara kerja publik dengan domestik. Oleh sebab itu, laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk berkarir dalam dunia politik. Terbukti keduanya berhak menyuruh mengerjakan yang ma‟rûf dan mencegah yang munkar. Dalam ayat ini setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, dituntut untuk dapat mengarahkan kemampuan terbaiknya dalam bekerja dan melakukan tugas-tugasnya. 3 4 Al-Sya‟râwî, Tafsir Sya‟râwî, Jilid IX, h.5293. Shahih al-Bukhari, Babu Kitâb Bad‟I al-Wahyi, Juz I, h.129. 46 Menurut Istibsyaroh dalam buku Hak-hak Perempuan (Relasi Jender menurut Tafsir al-Sya‟râwî: “Hak perempuan kaitannya dengan relasi jender di bidang politik merupakan hak syar‟î. Jika dalam beberapa masa lalu perempuan tidak menggunakan hak ini bukan berarti perempuan tidak boleh dan tidak mampu, tetapi karena tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk mempraktikkannya, atau laki-laki dalam hal ini mengunggulinya. Ini bukan berarti hak politik perempuan tidak diakui, justru menjadi suatu hak yang dituntut dan dianggap sangat urgen, terutama di saat sekarang ini. Apalagi dalam konteks pemberdayaan peran politik perempuan di Indonesia, hak tersebut secara legal-formal telah terjamin eksistensinya. Hal itu terlihat jelas misalnya, pada pasal 65 ayat 1, UU no.12 tahun 2003 tentang pemilu yang menyatakan bahwa : “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPRRI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten atau Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” 5 Ulama berbeda pendapat hanya dalam hal wanita menjadi top leader (presiden dan perdana menteri). Menurut jumhur ulama tidak boleh wanita menduduki jabatan tersebut. Abū Hanīfah membolehkan hakim wanita dalam masalah perdata dan tidak membolehkannya dalam masalah jinayat, sementara Muhammad bin Jarīr at-Tabarī memperbolehkan hakim wanita secara mutlak.6 Senada dalam firman Allah SWT dalam QS.al-Nisâ ayat 34, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, bukanlah keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada laki-laki atas perempuan sebagaimana diyakini oleh sebagian orang. Seandainya Allah menginginkan itu, niscaya Dia akan berfirman: Karena Allah telah melebihkan laki-laki atas perempuan tetapi Allah berfirman, karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Allah menggunakan kata “sebagian” yang ambigu di sini. Ini berarti bahwa 5 Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.183-184. Tafsir DEPARTEMEN AGAMA RI, Kerja dan Ketenagakerjaan (Tafsir al-Qur‟ân Tematik), (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟ân , 2009), h.449. 6 47 kepemimpinan membutuhkan usaha, gerakan, dan perjuangan yang lebih dari pihak laki-laki. Yang demikian itu karena perempuan memiliki tugas yang tidak mampu diemban oleh laki-laki. Dalam hal itu perempuan lebih utama dari pada laki-laki. Laki-laki tidak akan sanggup mengandung, melahirkan, dan haid. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman dalam ayat lain QS. al-Nisâ [4] :32 : … Artinya : Dan janganlah kalian iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian dari kalian atas sebagian yang lain… Dan Allah juga menggunakan kata “sebagian” di sini, agar sebagian memiliki kelebihan di satu sisi dan memiliki kekurangan di sisi lain. Sehingga, keduanya dapat saling melengkapi. Kelebihan laki-laki adalah sebagai pemimpin, dengan usaha dan perjuangannya. Sedangkan kasih sayang, perhatian, dan cinta semua ini adalah sisi yang hilang dari laki-laki karena kesibukannya dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan. Oleh karena itu, Allah SWT menjaga perempuan agar dapat melaksanakan tugasnya. Allah tidak membebankan padanya kepemimpinan dengan segala tugasnya, agar dia dapat menggunakan waktunya untuk pekerjaan berat lain yang menjadi tujuan penciptaannya. Syarī‟ah menetapkan bahwa laki-laki wajib membantu perempuan. Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah SAW masuk ke dalam rumah dan mendapati keluarga nya sedang sibuk, maka ia membantu mereka.7 7 Haya Binti Mubarok al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, (Jakarta: Darul Falah, t.th), h.636-640. 48 Di sini jelas bahwa al-Sya‟râwî tidak melarang untuk wanita dapat menjadi pemimpin. Hanya saja, Allah tidak membebankan tugas kepemimpinan tersebut kepada wanita, karena Allah sangat menjaga dan memuliakan wanita. Bagi Islam wanita dan laki-laki dalam sistem sosialnya dianggap sebagai dua roda yang semuanya harus bergerak serentak dengan tugas dan posisi mereka masing-masing. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Mereka adalah partner dan tidak diposisikan bahwa salah satu dari kedua makhluk itu ada yang superior sementara lainnya berada dalam posisi inferior.8 B. Hak Wanita untuk Berprestasi Perintah menuntut ilmu pengetahuan atau belajar tidak hanya kaum lakilaki, tetapi juga kepada kaum perempuan. Masing-masing berhak memperoleh berbagai ilmu. Ayat yang secara jelas menunjukkan hal tersebut adalah Surah alNisā‟ [4] : 32 : Artinya : 8 Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari Karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Imam Zaki al-Barudi, Tafsir Wanita Edisi Revisi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, t.th). 49 Mufasir Abū Hayyān memberikan komentar ayat tersebut dengan menyatakan bahwa,“Islam tidak menerima orang yang hanya berangan-angan dan berpangku tangan. Tidak pula memperkenankan sikap pasif dan malas. Islam menyerukan sikap yang progressif dan kerja keras. Adapun berangan-angan terhadap hal-hal yang baik di dunia dan berusaha mewujudkan dengan tujuan mendapat pahala akhirat, maka yang seperti itu sangat terpuji. Seseorang yang menggantungkan keberuntungannya dengan giat bekerja adalah spirit Islam.”9 Pandangan yang lebih tegas diberikan oleh Rasyīd Ridā yang menyatakan, “Ayat tersebut tidak melarang seseorang untuk mewujudkan kemampuan terbaiknya. Sebab tidak ada salahnya apabila ada orang yang tergiur melihat prestasi orang lain kemudian berusaha meraih hal tersebut dengan bekerja keras. Dalam diri orang tersebut seakan dia berkata fokuskan perhatianmu pada apa yang dapat kalian wujudkan, janganlah kalian memfokuskan pandangan kalian pada sesuatu yang di luar jangkauan kalian. Karena prestasi hanya dapat diraih dengan kerja keras. Janganlah mengharap sesuatu yang tidak dapat kalian wujudkan dan lakukan.” Rasyīd Ridā kemudian menegaskan bahwa bekerja diwajibkan bagi lakilaki dan perempuan agar mencari keutamaan dengan usaha dan kerja keras tidak dengan angan-angan.10 Dengan kalimat yang singkat namun padat Ibnu „Asyūr menyatakan “Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan bagiannya dalam menikmati fasilitas duniawi yang diperuntukkan baginya sebagai balasan atas kerja kerasnya atau sebagian usaha yang telah dia lakukan.11 9 Abū Hayyān, Bahrul-Muhīt, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Jilid III, h.235. Rasyīd Ridā, al-Manār, (Kairo: Mathba‟ah Hijazi,1959), Jilid V, h. 58. 11 Ibnu „Asyūr, At-Tahrir wa at-Tanwīr, (t.t.: t.p.,t.th.), Jilid V, h.32. 10 50 Ayat berikut ini jelas menjadi pendukung tentang kesetaraan bagi laki-laki maupun perempuan untuk berkarir dan berprestasi, baik di bidang spiritual maupun karir secara professional. Surah an-Nisā’ [4] ayat 32 ini sejalan dengan QS.an-Najm [53] : 39 Artinya : “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” Al-Qur‟ân dan hadis yang berbicara tentang kewajiban belajar ditujukan kepada laki-laki dan perempuan banyak sekali. Kalimat pertama yang diturunkan dalam al-Qur‟ân adalah kalimat perintah untuk membaca (iqra‟). Al-Qur‟ân banyak memberikan pujian kepada laki-laki dan perempuan yang mempunyai prestasi dalam ilmu pengetahuan,12 diantaranya surat al-Mujâdalah [58] : 11: Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”,maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kalian”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan derajat orang yang beriman diantara kalian dan orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan.” 12 Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.81-82. 51 Dalam ayat lain surat Ali „Imrân [3] : 18 disebutkan, Artinya : “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu13 (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Al-Sya‟râwî menafsirkan Q.S Ali „Imrân [3] : 18 sebagai berikut : “Orang-orang yang memiliki ilmu telah mengambil dalil-dalil dan beristinbât tiada Tuhan selain Allah. Sesungguhnya dalil-dalil ini merupakan kesaksian yang agung untuk sesuatu yang dipersaksikan. Allah berada di puncak, Muhammad SAW, malaikat, dan orang yang mempunyai ilmu telah mengambil kedudukan yang besar. Karena Allah telah menyertakan mereka yang berilmu dengan para malaikat. Dan orang yang duduk beri‟tikaf, bertadabbur, atau menggunakan kecerdasan dan nalarnya, mereka akan mendapatkan petunjuk bahwa tiada Tuhan selain Allah”.14 Al-Sya‟râwî mengakui adanya hak untuk menuntut ilmu bagi perempuan, karena mereka yang yang berilmu atau berpendidikan baik perempuan maupun laki-laki mendapat penghargaan dari Allah sejajar kedudukannya dengan malaikat. Akhirnya keduanya berkewajiban untuk mencari ilmu. Penulis sangat setuju karena wanita juga memperoleh hak untuk menuntut ilmu sama besarnya dengan kaum laki-laki. Bahkan jika ilmu-ilmu itu berkaitan dengan keperluan dan kehidupan kewanitaan, maka hal itu menjadi wajib bagi para wanita. Dengan adanya pendidikan, maka akan melahirkan wanita karir dalam berbagai lapangan pekerjaan. 13 14 Ayat ini untuk menjelaskan martabat orang-orang berilmu. Al- Sya‟rawi, Tafsir Sya‟rawi, Jilid III, h.1344. 52 Menuntut ilmu bagi perempuan bertujuan agar menghasilkan perempuan yang alim, pandai, mampu mendidik anak-anak, melaksanakan tugas rumah, keluarga dan masyarakat.15 Al-Sya‟râwî mengatakan dalam kitabnya Al-Mar‟ah fî al-Qur‟ân, “Karena ketidakpahaman atas perbedaan yang merupakan ciptaan-Nya, sering memicu konflik berkepanjangan. Hal ini lebih disebabkan oleh asumsi manusia bahwa laki-laki dan perempuan merupakan lawan bagi lainnya, bukan sebagai mitra yang saling memenuhi dan melengkapi satu dengan lainnya”. 16 Allah berfirman: Artinya : “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya usaha kalian memang berbedabeda”. (al-Laîl [92] : 1-4) Ayat di atas mengandung pesan, Allah mengingatkan hamba-Nya untuk memahami konsep laki-laki dan perempuan sebagai dua komponen yang saling melengkapi dan komplementer, seperti halnya siang dan malam. Adapun laki-laki dan perempuan merupakan dua jenis hamba yang diciptakan untuk saling melengkapi. Laki-laki mengemban tugas mencari rezeki, menjaga istri dan anaknya, serta memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Di lain pihak, perempuan mempunyai tugas untuk menjaga kekayaan suami, 15 Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.82. M.Mutawallî al-Sya‟râwî, Al-Mar‟ah fî al-Qur‟ân, (al-Qâhirah: Akhbar al-Yaum, 1991), h.16. 16 53 melahirkan anak-anak, seta memberikan ketenangan dan kasih sayang bagi suaminya.17 Terbukti dengan banyaknya perempuan yang ahli dalam berbagai ilmu, diantaranya : 1. Khadījah binti Khuwailid (wafat tahun 3 sebelum hijrah, bertepatan dengan 519 M) adalah wanita yang mula pertama menyatakan iman kepada Rasulullah, wanita miliuner yang rela mengorbankan hartanya untuk menyiarkan agama Islam dan istri yang setia dalam suka dan duka dan tidak pernah absen dalam mendukung Rasulullah SAW selama 25 tahun. 2. Fātimah binti Rasulullah SAW (18 tahun sebelum hijrah sampai dengan 11 tahun setelah hijrah, bertepatan dengan 605-633 M), adalah orator ulung, dan fasih berbicara, namanya lebih tenar sewaktu ayahnya meninggal dunia, karena ia terjun ke dunia politik, untuk mencalonkan „Alī bin abū Tālib (suaminya) sebagai khalifah pertama; walaupun dalam perjuangannya dalam hal ini belum sukses, dia sebagai politikus yang konsekuen sampai akhir hayatnya tetap mencalonkan „Alī bin abū tālib sebagai khalifah. Ia wafat 6 bulan sesudah wafatnya Rasulullah SAW (ayahnya). 3. „Ā‟isyah binti Abū Bakar al-Siddīq (9 tahun sebelum hijrah sampai dengan 58 hijrah, bertepatan dengan tahun 613-678 M) adalah meriwayatkan 2210 hadis dan terjun ke kancah politik pada masa khalifah „Usmān bin „Affān 17 Al-Sya‟râwî, al-Mar‟ah fî al-Qur‟ân, h.16. 54 beramar ma‟ruf, mengecam tindakan khalifah yang dinilai sebagai tindakan yang tidak bijaksana, dan pada masa khalifah Alī bin abū Tālib masih aktif dalam bidang politik, ia menjadi komandan tertinggi perang melawan Alī, pada perang Jamāl. 4. Al-Syifā‟, terkenal dengan Ummu sulaimān binti „Abdullāh binti „Abd alSyams al-„Adawiyyah al-Quraisyiyyah, nama aslinya Lailā (wafat pada tahun 20 H bertepatan dengan tahun 640 M) adalah guru wanita pertama dalam Islam. Sejak sebelum Islam ia memberi pelajaran membaca dan menulis istri Nabi SAW yang bernama Hafsah binti „Umar, dan pada masa Rasulullah saw ia diangkat sebagai guru wanita serta diberinya perumahan. Ia juga pernah menjadi penasihat khalifah ke-2, „Umar bin alKhattāb. Ia mendapat tugas mengurus pasar. 5. Rufaidah adalah pendiri rumah sakit yang pertama pada zaman Nabi Muhammad SAW untuk menampung semua orang-orang yang luka dalam peperangan, dan pendiri lembaga pertama seperti yang kemudian dikenal sebagai Palang Merah, yang didirikan oleh Dokter Swiss J.h Dunant dan yang diakui oleh Konferensi genewa pada tahun 1864.18 6. Syuhda, lebih dikenal dengan nama Fakhr al-Nisa‟. Dia sering mengadakan ceramah umum di Masjid Jami‟ Baghdad di hadapannya banyak jamaah baik laki-laki maupun perempuan khususnya dalam bidang agama, sastra, retorika dan puisi. 18 Tafsir DEPARTEMEN AGAMA RI, Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir alQur‟ân Tematik), (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟ân , 2009), h.451-453, Lihat juga Bustamin, Jurnal SABDA; Kaidah Memahami Hadis (Telaah Hadis Jender), (Ciputat: Laboraturium Tafsir Hadis UIN, 2008). 55 Itulah sebagian wanita-wanita Islam yang telah muncul dalam berbagai keahlian dan profesinya di mana hal ini merupakan sanggahan kepada orang yang mengatakan bahwa Islam atau Fikih menghambat kaum wanita untuk bekerja dan maju, asal tugas pokoknya tidak terbengkalai jika ia seorang ibu atau istri, dan ia tetap memperhatikan batas-batas atau hukum-hukum yang digariskan agamanya. C. Hak Wanita untuk Berkarir Islam memberi hak bekerja bagi kaum wanita sebagaimana hak bekerja bagi kaum pria. Jadi, tidak ada satu pun pekerjaan yang dihalalkan agama diharamkan atas wanita dan hanya diperbolehkan bagi kaum pria saja. Sebab di dalam Syarī‟ah Islam tidak ada pekerjaan yang diharamkan atas wanita dan diperbolehkan bagi pria. Islam tidak membedakan dalam perbuatan Syarī‟ah (tasyri‟) antara pria dan wanita. Hanya saja berkaitan dengan hak bekerja ini, wanita yang bersuami tidak boleh bekerja tanpa persetujuan suami. Sebab, aturan keluarga dan hak-hak perkawinan menghendaki wanita agar memelihara kehidupan rumah tangga dan mementingkan kewajiban suami istri.19 Hal tersebut dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur‟ân, di antaranya dalam QS.Ali Imrân [3] : 195, Allah berfirman : 19 Lembaga Darut-Tauhid, Kiprah Muslimah Dalam Keluarga Islam, (Bandung: Mizan, 1995), h.65. 56 Artinya : Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa sebab turun ayat 195 dari surah Āli „Imrān ini adalah adanya pertanyaan yang berkembang saat itu tentang peran perempuan dalam aktivitas amal saleh. Akhirnya, Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah aku tak mendengar sama sekali Allah menyebut-nyebut tentang perempuan berkenaan dengan hijrah,”20 lalu turunlah ayat di atas yang memberi jawaban tegas bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh ganjaran pahala dari setiap aktivitas amal saleh yang dilakukan seseorang dengan ikhlas. Tidak akan disiasiakan pahalanya oleh Allah SWT sekecil apapun aktivitas amal saleh yang dilakukannya itu.21 Al-Sya‟râwî menafsirkan ayat tersebut : “Allah tidak berfirman istajabtu lakum, melainkan menjadikan alistijâbah (pengabulan) doa dengan menerima amal sebagaimana firman innî lâ udhî‟u „amala „âmilin minkum min dzakarin au untsâ. Ayat ini bukan hanya cerita belaka tetapi Allah akan memasukkan permintaan20 Jalaluddin al-Suyûthi, Lubâbu al-Nuqûl fî Asbâbu al-Nuzûl, (Surabaya: Mutiara Ilmu, t.th.) 21 Tafsir DEPARTEMEN AGAMA RI, Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir alQur‟ân Tematik), h.264. 57 permintaan dalam kenyataan. Jadi permintaan bukan angan-angan belaka, karena itu Allah memberikan syarat yang jelas bagi orang-orang yang ingin mendapatkan pengabulan doa dengan syarat mereka harus beramal”.22 Hal ini menunjukkan bahwa baik perempuan maupun laki-laki doanya akan dikabulkan oleh Allah dengan syarat keduanya mau beramal. Salah satu amal yaitu dengan bekerja. Kerja atau amal dalam bahasa al- Qur‟ân, seringkali dikemukakan dalam bentuk indefinitif (nakirah). Bentuk ini oleh pakarpakar bahasa dipahami sebagai memberi makna keumuman, sehingga amal yang dimaksudkan mencakup segala macam dan jenis kerja. Dengan berkarir, wanita dapat membantu meringankan beban keluarga yang tadinya hanya dipikul oleh suami yang mungkin kurang memenuhi kebutuhan. Menurut al-Sya‟râwî perhatikanlah keindahan ungkapan Allah dalam mengabulkan doa : Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Allah tidak mengatakan : “Aku perkenankan permohonanmu.” Akan tetapi Allah mengabulkannya dengan menerima amal ibadah. Allah SWT berfirman : َأّنِي ن ذَكَرٍ َأوْ ُأ ّْنثَى ْ لَا ُأضِي ُع عَ َم َل عَا ِملٍ ِمنْكُمْ ِمsesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan. Dan sesungguhnya Allah ingin memunculkan masalah ini ke alam realita. Allah telah meletakkan syarat yang jelas yaitu amal. Siapa yang ingin diperkenankan doanya, 22 Al-Sya‟râwî, Tafsir Sya‟râwî, Jilid 2, h.1966. 58 mestilah beramal.23 Begitu juga dalam hal kerja, kerja adalah salah satu bentuk amal manusia. Dalam bahasa al-Qur‟ân , kata “kerja” sering diidentikkan dengan kata „amal. Sebenarnya, tidak ada amal yang hanya diperuntukkan khusus untuk laki-laki dan diharamkan untuk perempuan. Menurut al-Sya‟râwî : “Setiap perbuatan yang membantu kelanjutan hidup manusia dinamakan amal saleh dan pihak-pihak tersebut mendapat balasan dari Allah”.24 Dalam ayat lain surat al-Nahl [16] : 97, Allah berfirman: Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. Dalam kaitannya dengan surat al-Nahl [16] ayat 97, Allah menjelaskan kepada manusia sebuah permasalahan yang kontroversional, yaitu memberikan hak yang sama antara perempuan dan laki-laki berkaitan dengan relasi jender.25 Al-Sya‟râwî menjelaskan: “Potensi laki-laki dan perempuan dalam kebajikan adalah sama. Namun demikian, tidak terlepas dari syarat keimanan sebagaimana yang disinyalir dalam ayat di atas wa huwa mu‟min, sehingga amalan tersebut diterima oleh-Nya dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.”26 23 Al-Sya‟râwî, Tafsir Sya‟râwî, Jilid II, h.1966. Al-Sya‟râwî, Tafsir Sya‟râwî, Jilid V, h.2663. 25 Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟râwî, h.92. 26 Al-Sya‟râwî , Tafsir al-Sya‟râwî , Jilid VII,h.8195. 24 59 Adapun firman Allah: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. (QS.al-Zalzalah [99] : 7-8) hanya berlaku di dunia. Dari pendapat tesebut dapat dilihat bahwa al-Sya‟râwî mengakui adanya kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki di dalam beramal asal mereka beriman. Dapat dikatakan kerja termasuk ke dalam amal saleh. Secara leksikal menurut Ibnu Faris dalam Mu‟jam Maqayisul Lugah, kata „amal mengandung arti “perbuatan, pekerjaan, aktivitas.”27 Seorang perempuan yang bekerja tentu dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama, sungguh-sungguh, dan professional. Ini dilakukan untuk mendapatkan rida Tuhan sekaligus untuk menghalalkan gaji yang diterima.28 Hendaknya ia juga selalu mengingat sabda Rasulullah saw : “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang melakukan satu pekerjaan dengan sungguh-sungguh dan professional (al-Itqân).”29 Dari penafsiran al-Sya‟râwî dalam QS. al-Nahl ayat 97 dapat disimpulkan, bahwa ayat tersebut merupakan salah satu ayat yang menekankan persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam masalah pengabdian dan beramal sālih, yang membedakannya hanya dalam kualitas ketakwaan mereka masing-masing. Ayat ini juga menunjukkan betapa kaum perempuan dituntut agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan atau pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat dan berkarir untuk kemaslahatan, baik untuk diri dan keluarganya, maupun untuk masyarakat dan 27 Ibnu Fāris, Mu‟jām al-Maqayis al-Lughah, (Kairo: Maktabah al-Khanji, 1981) h.574. „Abd al-Qâdir Manshûr, Fikih Wanita, terj.M.Zaenal Arifin, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1995),h.93. 29 Lihat Hadis Riwayat al-Baihaqî, Abû Ya‟lâ, dan Ibnu „Asâkîr. 28 60 bangsanya, bahkan untuk kepentingan kemanusiaan seluruhnya. Kalau laki-laki atau perempuan itu seorang yang beriman, Allah SWT akan memberikannya kehidupan yang baik di dunia dan balasan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada teks ayat maupun hadis Nabi yang secara tegas melarang perempuan untuk bekerja di luar rumah sekali pun.30 Catatan yang diberikan oleh Muhammad al-Gazālī, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab adalah : a. Perempuan tersebut memiliki kemampuan luar biasa yang jarang dimiliki oleh laki-laki. Memperbolehkannya bekerja akan membuahkan kemaslahatan untuk masyarakat, sedangkan menghalangi keterlibatannya bekerja dapat merugikan masyarakat karena tidak dapat memanfaatkan kelebihannya. b. Pekerjaan yang dilakukannya hendaklah yang layak bagi perempuan, apalagi kalau itu memang spesialisasinya perempuan (fardu kifayah bagi perempuan), seperti menjadi bidan dan lain-lain, maka pelarangan tersebut adalah sesuatu yang keliru. Yang perlu ditambahkan adalah ketika keluar rumah untuk bekerja perempuan harus tampil dengan sikap dan pakaian yang terhormat. c. Perempuan bekerja untuk membantu tugas pokok suaminya. Kalau di wilayah pertanian dapat ditemukan contoh dengan mudah,di mana kaum 30 h.137. Tim Tafsir Depag RI, Kedudukan Dan Peran Perempuan (Tafsir al-Qur‟ân tematik), 61 perempuan banyak yang terlibat di sawah dan juga perkebunan. Di perkotaan misalnya, kalau suaminya dosen membantu mempersiapkan makalah, mencari referensinya membantu pengetikan, dan lain-lain. d. Bahwa perempuan perlu bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya jika tidak ada yang menjamin kebutuhannya atau kalaupun ada itu tidak mencukupi.31 Akhirnya dapat dikatakan bahwa pada dasarnya al-Qur‟ân atau Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja baik di dalam atau diluar rumah, dengan catatan pekerjaan itu dilakukan dalam suasana yang tetap menjaga kehormatannya dan memelihara tuntunan agama, serta menghindarkan dari hal-hal yang dapat mengundang efek negatif bagi dirinya, keluarganya maupun masyarakatnya. 31 M.Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h.262-263. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa al-Sya’râwî membolehkan perempuan bekerja di luar rumah sepanjang pekerjaan itu tidak menimbulkan fitnah, dapat memelihara prinsip-prinsip ajaran agama, kesusilaan, kesopanan, dan dapat menjaga diri. Menurut al-Sya’râwî hak-hak kemanusiaan laki-laki dan perempuan adalah sama dan keduanya memang saling melengkapi satu sama lain guna memenuhi kebutuhan hidup yang makin kompleks. Tidak ditemukan ayat al-Qur’ân yang melarang perempuan memegang jabatan. Oleh laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam kepemimpinan publik. Karena itu, al-Sya’râwî memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin. Menurut al-Sya’râwî, bekerja bagi laki-laki dan perempuan sangat diperlukan karena keduanya bersama-sama sebagai khalifah di muka bumi ini. Dan dalam kehidupan rumah tangga tidak ada yang superior dan inferior antara suami dan istri. Keduanya bermusyawarah termasuk dalam memelihara dan mendidik anak. Al-Sya’râwî tidak memberikan posisi yang terlalu superior kepada lakilaki yang dapat mengakibatkan posisi inferior perempuan. Keberadaan perempuan dihargai dalam kehidupan ini karena hal itu sangat terkait dengan proses pembinaan hukum dalam masyarakat secara kontekstual, baik dari sisi sosiologis maupun historis. 62 63 B. Kritik dan Saran Berdasarkan pembahasan dan temuan dalam penelitian ini, ada beberapa saran yang dikemukakan: pertama, tafsir al-Sya’râwî termasuk tafsir kontemporer. Penulis berharap agar banyaknya tulisan tentang penafsir-penafsir kontemporer yang berbahasa Arab yang perlu diteliti dalam hal pemberdayaan perempuan. Kedua, penulis merasa kesulitan dalam mencari referensi mengenai tokoh Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî dan minimnya literatur atau rujukan yang tersedia di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama literatur yang berkaitan masalah-masalah kontemporer umat manusia. Untuk itu, penulis menyarankan agar perpustakaan Fakultas atau Utama terus memperkaya koleksinya. DAFTAR PUSTAKA Abu, Hayyan. Bahrul-Muhīt. Beirut: Dar al-Fikr, 1983. Anshory, Hafiz. Ihdad Wanita Karir Dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. Ansrullah. Wanita Karir Dalam Pandangan Islam. Klaten: CV.Mitra Media Pustaka, 2010. al-Bajawi, Ali Muhammad. Qashash al-Qur’ân. Beirut: al-Makhtabah alAshriyah, 2004. al-Baltaji, Muhammad. Kedudukan Wanita Dalam al-Qur’ân Dan As-Sunnah, terj. Afifuddin Said. Solo: Media Insani, 2007. al-Bar, M.Ali. Fachrudin, Amir Hamzah. Wanita Karir dalam Timbangan Islam Kodrat Kewanitaan, Emansipasi, dan Pelecehan Seksual. Jakarta: Pustaka Azzam, 1998. al-Barik, Haya Binti Mubarok. Ensiklopedi Wanita Muslimah. Jakarta: Darul Falah, t.th. al-Barudi, Imad Zaki. Tafsir al-Qur’ân Kautsar,2003. Wanita 1- 2. Jakarta: Pustaka al- Bustamin. Jurnal SABDA; Kaidah Memahami Hadis (Telaah Hadis Jender). Ciputat: Laboraturium Tafsir Hadis UIN, 2008. Departemen Agama. Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir al-Qur’ân Tematik). Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’ân , 2009. Departemen Agama. Kerja dan Ketenagakerjaan (Tafsir al-Qur’ân Tematik). Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’ân , 2010. Djawas, Abdullah. Dilema Wanita Karir (Menuju Keluarga Sakinah). Yogyakarta: ABABIL, 1996. Ensiklopedi Muslimah Modern. Jawaban Pakar Islam Atas Ratusan Masalah Kewanitaan. Depok: Pustaka IIMAN, 2009. Indra, Hasbi. Potret Wanita Shalihah. Jakarta: Permadani, 2004. Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’râwî , Jakarta:TERAJU (PT.Mizan Publika), 2004. Junaedi, Dedi. Keluarga Sakinah, Pembinaan Dan Pelestariannya. Jakarta: CV.Akademika Pressindo, 2007. Koderi, Mohammad. Bolehkah Wanita Menjadi Imam Negara. Jakarta: Gema Insani, 1999. Mahali, A.Mujab. Asbâbu al-Nuzûl: Studi Pendalaman al-Qur’ân . Jakarta: CV.Rajawali,1989. Manshûr, ‘Abd al-Qâdir. Fikih Wanita, terj.M.Zaenal Arifin. Jakarta: PT Lentera Basritama, 1995. Mernisi, Fatima. Wanita di dalam Islam, terj.Yaziar Radianti. Bandung: Pustaka, 1991. Mohammad, Herry. Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani Press, 2006. al-Mu’thî, Fathî Fawzî ‘Abd. Wanita-wanita al-Qur’ân (Kisah Nyata Perempuanperempuan Hebat yang Dicatat Abadi Dalam Kitab Suci). Jakarta: zaman, 2010. al-Mu’thî, Fathî Fawzî ‘Abd. Asbâbu al-Nuzûl untuk Zaman Kita-Kisah Nyata di Balik Turunnya Ayat-ayat Suci al- Qur’ân. Jakarta: zaman, 2008. Mujtaba’, Saifuddin. Istri Menafkahi Keluarga? (Dilema Perempuan Antara Mencari, Menerima dan Memberi). Surabaya: Pustaka Progressif, 2001. Mulia, Siti Musdah. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. Yogyakarta: Kibar Press, 2007. Munir, Lily Zakiyah. Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Mizan, 1999. Muri’ah, Siti. Wanita Karir Dalam Bingkai Islam. Bandung: Angkasa,t.th. Muthahari, Murtadha. Hak- Hak Wanita Dalam Islam, terj.M.Hashem. Jakarta: PT Lentera Basritama, 1995. Nasif, Fatima Umar. Menggugat Sejarah Perempuan, Mewujudkan Idealisme Gender sesuai Tuntunan Islam. Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2001. Qardhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press, t.th. Ridā, Rasyīd. al-Manār. Kairo: Mathba’ah Hijazi,1959. Shihab, M.Quraish. 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui. Jakarta: Lentera Hati, 2008. Shihab, M.Quraish. M.Quraish Shihab Menjawab ? 101 Soal Perempuan Yang Patut Anda Ketahui. Tanggerang: Lentera hati, 2010. Shihab, M.Quraish. Membumikan Al-Qur’ân : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehdupan Masyarakat. Bandung: Penerbit Mizan, 1999. Shihab, M.Quraish. Perempuan : Dari Cinta Sampai Seks Dari Nikah Sampai Nikah Sunnah Dari Bias Lama Sampai Bias Baru. Jakarta: Lentera Hati, 2005. Shihab, M.Quraish. Perempuan. Tanggerang: Lentera hati, 2009. Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2002. al-Siba’y, Musthafa. Wanita Di Antara Hukum Islam dan Peundang-Undangan. Jakarta: Bulan Bintang, 1977. al-Suyûthi, Jalaluddin. Lubâbu al-Nuqûl fî Asbâbu al-Nuzûl. Surabaya: Mutiara Ilmu, t.th. al-Sya’râwî , M.Mutawallî. al-Fatâwâ. Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991. al-Sya’râwî, M. Mutawallî . Anda Bertanya Islam Menjawab, terj.Abu Abdillah Almansur. Jakarta: Gema Insani Press, 2007. al-Sya’râwî, M. Mutawallî . Tafsir al-Sya’râwî. , terj.Tim Safir al-Azhar. Jakarta: Duta Azhar, 2004. al-Sya’râwî, M. Mutawallî . Tafsir al-Sya’râwî. Kairo: Akhbar Al-Yaum, 1991. al-Sya’râwî, M. Mutawallî . Wanita Dalam Perspektif Al-Qur’ân , terj.Usman Hatim. Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah, 2010. Syahatah, Husein. Ekonomi Rumah Tangga Muslim. Jakarta: Gema Insani Press, 1998. Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’ân . Jakarta: Paramadina, 1999. Wakil, Abdullah. Wanita Karir Menurut Pandangan Islam. Jakarta: Mulia Pratama, 1995. Yanggo, Huzaemah T. Fiqih Perempuan Kontemporer. Jakarta: al-Mawardi Prima, 2001. Ziyadah, Asma’ M. Ahmad. Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam, terj.Kathur Suhardi.. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.