5 BAB II LANDASAN TEORI A. Potensi Kebangkrutan 1. Pengertian Kebangkrutan “kebangkrutan adalah kondisi dimana perusahaan tidak mampu lagi untuk melunasi kewajibannya”(Prihadi, 2008: 177) “kebangkrutan adalah kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk menghasilkan laba”(Darsono, 2005 : 165) Menurut kamus lengkap ekonomi bankrupcy (keadaan bangkrut atau pailit) adalah : keadaan dimana seseorang atau badan usaha tidak mampu lagi memenuhi kewajiban – kewajibannya untuk membayar hutang – hutangnya untuk itu semua asset perusahaan dijual dan hasil penjualan ini dibagikan secara proporsional kepada pihak – pihak yang meminjam. Menurut Supardi (2003:79) kebangkrutan merupakan suatu kegagalan yang terjadi pada perusahaan yang dapat didefinisikan dalam beberapa cara dan beberapa kegagalan tidak harus menyebabkan keruntuhan atau pembubaran perusahaan. a. Kegagalan Ekonomi (Economic Distressed) Kegagalan dalam arti ekonomis biasanya berarti bahwa pendapatan perusahaan tidak menutup biayanya sendiri. Kegagalan dapat juga berarti 5 6 bahwa tingkat pendapatan atas biaya historis dari investasinya lebih kecil daripada biaya modal perusahaan. Bahkan kegagalan dapat juga berarti bahwa pendapatan nyata perusahaan telah turun dibawah pendapatan yang diharapkan. Tidak ada kesatuan pendapat mengenai devinisi kegagalan dalam arti ekonomis. b. Kegagalan Keuangan (Financial Distressed) Walaupun kegagalan keuangan adalah istilah yang tidak seberapa meragukan dari kegagalan ekonomis, namun demikian kegagalan keuangan mempunyai dua segi yang diakui secara umum. Perusahaan dianggap gagal jika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pada waktunya harus dipenuhi, walaupun totalnya harta melebihi totalnya hutang. Ini didefinisikan sebagai ketidakmampuan membayar secara teknik (technical insolvency atau insolvency teknis). Perusahaan itu gagal atau bangkrut, jika hutang total melebihi penilaian wajar dari harta totalnya (yaitu jika nilai bersih dari perusahaan yang sebenarnya itu negatif). Selanjutnya, apabila dipakai perkataan gagal (failure), maka ini akan dikatakan insolvensi teknis maupun kebangkrutan. Pengertian financial distressed menurut Supardi (2003:79) mempunyai makna kesulitan dana baik dalam arti dana dalam pengertian kas atau dalam pengertian modal kerja. Sebagian asset liability management sangat berperandalam pengaturan untuk menjaga agar tidak terkena financial distressed. Kebangkrutan akan cepat terjadi pada 7 perusahaan yang berada di Negara yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, karena kesulitan ekonomi akan memicu semakin cepatnya kebangkrutan perusahaan yang mungkin tadinya sudah sakit kemudian semakin sakit dan bangkrut. Perusahaan yang belum sakitpun akan mengalami kesulitan dalam pemenuhan dana untuk kegiatan operasional perusahaan akibat adanya krisis ekonomi tersebut. Namun demikian, proses kebangkrutan sebuah perusahaan tentu saja tidak sematamata disebabkan oleh faktor ekonomi saja tetapi bisa disebabkan oleh faktor lain yang sifatnya nonekonomi. Kegagalan keuangan bisa juga diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi atas dasar arus kas ada dua bentuk, yaitu: a) Insolvensi teknis Perusahaan bias dianggap gagal jika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo. Walaupun total aktiva melebihi total utang atau terjadi bila suatu perusahaan gagal memenuhi salah satu atau lebih kondisi dalam ketentuan hutangnya seperti rasio aktiva lancar terhadap utang lancar yang telah ditetapkan atau rasio kekayaan bersih terhadap total aktiva yang disyaratkan. Insolvensi teknis juga terjadi bila arus kas tidak cukup untuk memenuhi pembayaran bunga atau pembayaran kembali pokok pada tanggal tertentu. b) Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan Dalam pengertian ini kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran sebagai kekayaan bersih 8 negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban. Blum (dalam Munawir, 2002:288) mengartikan kegagalan keuangan sebagai : ketidak mampuan perusahaan untuk membayar kewajiban keuangannya pada saat jatuh tempo yang menyebabkan perusahaan mengalami kebangkrutan, atau menyebabkan perjanjian khusus dengan para kreditor untuk mengurangi atau menghapus utangnya. Kebangkrutan sebagai kegagalan didefinisikan dalam beberapa arti (Muhammad Akhyar Adnan dan Eha Kurniasih, 2000:137): yaitu kegagalan ekonomi (Economic failure) dan kegagalan keuangan (financial failure). Kebangkrutan memang sulit didevinisikan dengan pasti, buktinya adalah munculnya pendapat yang berbeda – beda tentang arti kebangkrutan. Meskipun demikian, umumnya perusahaan dianggap bangkrut jika hutang perusahaan lebih besar dari aktiva perusahaan dan jika perusahan tidak mampu memenuhi kewajiban – kewajibannya kepada kreditur saat jatuh tempo. Sehingga disimpulkan bahwa kebangkrutan sebagai kesulitan likuiditas yang sangat parah sehingga perusahaan tidak dapat menjalankan operasi dengan baik yang berakibat bangkrut. Kebangkrutan dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan sebagai suatu keadaan atau situasi dalam hal ini perusahaan gagal atau tidak mampu lagi memenuhi kewajiban-kewajiban kepada debitur karena perusahaan mengalami kekurangan dan ketidakcukupan dana untuk menjalankan atau melanjutkan 9 usahanya sehingga tujuan ekonomi yang ingin dicapai oleh perusahaan tidak dapat dicapai yaitu profit, sebab dengan laba yang diperoleh perusahaan bisa digunakan untuk mengembalikan pinjaman, membiayai operasi perusahaan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bisa ditutup dengan laba atau aktiva yang dimiliki. Kebangkrutan akan cepat terjadi di negara yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, karena kesulitan ekonomi akan memicu semakin cepatnya kebangkrutan perusahaan yang mungkin tadinya sudah sakit kemudian semakin sakit dan bangkrut. Perusahaan yang belum sakit pun akan mengalami kesulitan dalam pemenuhan dana untuk kegiatan operasional akibat adanya krisis ekonomi tersebut. Proses kebangkrutan, tidak semata-mata disebabkan oleh faktor ekonomi tetapi juga disebabkan oleh faktor yang lain yang sifatnya non ekonomi. 2. Manfaat Informasi Kebangkrutan Prediksi tentang perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress), yang kemudian mengalami kebangkrutan, merupakan bahan diskusi dan studi yang menarik. Peneliti di Amerika dan negara maju lainnya telah banyak melakukan study tentang prediksi kebangkrutan akibat kesulitan keuangan. Namun di Indonesia masih jarang dilakukan, karena sulitnya mencari data keuangan perusahaan yang kesulitan keuangan atau bangkrut. Perusahaan yang go public selama ini sangat jarang, yang dinyatakan bangkrut berdasarkan undang – undang perseroan. 10 Analisis kesulitan keuangan sangat membantu pembuat keputusan untuk menentukan sikap terhadap perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Salah satu bentuk analisis untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan adalah analisis model Altman (Z-Score). Pihak – pihak yang berkepentingan mengetahui model ini menurut Hanafi dan Halim(2003:261) adalah: a. Kreditur/Pemberi pinjaman. Informasi kebangkrutan ini bermanfaat untuk mengambil keputusan siapa yang akan diberi pinjaman, dan kemudian bermanfaat untuk kebijakan memonitor pinjaman yang ada. b. Investor. Investor saham dan obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan tentunya akan sangat berkepentingan melihat adanya kemungkinan bangkrut atau tidaknya suatu perusahaan yang menjual surat berharga tersebut. Investor yang menganut strategi aktif akan mengembangkan model prediksi kebangkrutan untuk melihat tanda – tanda kebangkrutan seawal mungkin dan kemudian mengantisipasi kemungkinan tersebut. c. Akuntan. Akuntan mempunyai kepentingan terhadap informasi kelangsungan usaha karena akuntan akan menilai kemampuan going concern suata perusahaan. d. Manajemen. Kebangkrutan berarti munculnya biaya – biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan dan biaya ini cukup besar. Suatau penelitian menunjukan biaya kebangkrutan bisa mencapai 11% - 17% dari nilai perusahaan. Contoh biaya kebangkrutan yang langsung adalah biaya akuntan dan biaya penasihat hukum. Sedang contoh biaya kebangkrutan yang tidak 11 langsung adalah hilangnya kesempatan penjualan dan keuntungan karena beberapa hal seperti pembatasan yang mungkin diberlakukan oleh pengadian. Apabila perusahaan bisa mendeteksi potensi kebangkrutan seawal mungkin, maka tindakan penghematan bisa dilakukan, misal dengan melakukan merger atau restrukturisasi keuangan sehingga biaya kebangkrutan bisa dihindari. e. Pemerintah. Pada beberapa sektor usaha, lembaga pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk mengatasi jalannya usaha tersebut. Pemerintah mempunyai kepentingan untuk melihat tanda-tanda kebangkrutan lebih awal supaya tindakan-tindakan yang perlu bisa dilakukan lebih awal. f. Auditor, dalam melakukan audit harus menyatakan apakah perusahaan bisa going concern atau tidak. Apabila ada petunjuk bahwa perusahaan tidak bisa melakukan operasinya, auditor harus memberikan pendapat tentang tidak adanya petunjuk going concern tersebut. Dengan adanya model yang memprediksi kebangkrutan, auditor bisa melakukan audit dan bisa memberikan pendapat terhadap laporan keuangan perusahaan dengan lebih baik. 3. Penyebab Kebangkrutan Penyebab kebangkrutan dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal perusahaan. Tetapi untuk menentukan secara pasti faktor apa saja yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan bukalah suatu pekerjaan yang mudah, sebab seringkali kebangkrutan terjadi akibat kombinasi dari beberapa faktor yang terakumulasi sehingga mempercepat proses terjadinya kebangkrutan. 12 Dalam Umroh (2005:22) menyebutkan faktor – faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kebangkrutan antara lain: a. Faktor Internal Penyebab kebangkrutan biasanya merupakan akibat keputusan yang tidak tepat dimasa lalu atau mungkin karena pihak manajemen perusahaan gagal mengambil tindakan yang tepat pada saat dibutuhkan. Faktor internal itu dapat berupa: 1) Kredit yang diberikan pada pelanggan terlalu besar karena persyaratan kredit sangat longgar atau jangka waktu kredit sangat panjang. 2) Ketidak mampuan manajemen, Seringkali suatu bisnis gagal karena kurang cakapnya manajer, kualifikasi personalia pihak manajemen yang kurang bagus dan kurangnya kemampuan, pengalaman, keterampilan, serta kurang inisiatif dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan perusahaan. Tanda – tanda manajemen yang kurang bagus, antara lain: a) Hasil penjualan yang tidak memadai. Halitu timbul sebagai akibat dari rendahnya mutu barang yang dijual, kurang optimalnya pelayanan kepada konsumen, kegunaan promosi kurang terarah, daerah pemasaran kurang menguntungkan, dan organisasi bagian penjualan tidak kompeten dibidangnya. Dalam kondisi demikian perusahaan tidak akan mampu menghasilakan laba yang cukup untuk tetap bertahan dalam bidang usahanya. 13 b) Penentuan harga yang kurang tepat, misalnya harga jual terlalu rendah dibandingkan dengan biaya pokok produksi. Dengan demikian berarti keuntungan yang diperoleh sangat sedikit bahkan perusahaan mengalami kerugian. c) over investment dalam aktiva tetap dan persediaan. Kedua jenis investasi ini mempunyai sifat sulit untuk dijadikan uang kas secara cepat tidak seperti surat berharga. d) Struktur modal yang tidak seimbang, artinya jumlah hutang yang dimiliki perusahaan relatif tinggi. Akibatnya sebagian besar bagian dari keuntungan akan terserap untuk pembayaran bunga hutang. e) Perusahaan tidak mempunyai perlindungan asuransi yang tidakmemadai, sehingga jika perusahaan mengalami kerugian karena kebakaran misalnya, maka perusahaan terpaksa harus menutup usahanya. 3) Kekurangan Modal Jika perusahaan mengalami kerugian operasi juga mengalami kekurangan modal maka kemungkinan besar perusahaan tidak akan mampu lagi untuk membiayai operasi dan membayar kewajibannyatepat pada tanggal jatuh tempo. b. Faktor Eksternal Faktor – faktor eksternalyang menyebabkan kebangkruta perusahaan biasanya berupa kejadiaan mendadak dan kadang – kadang berada diluar jangkauan 14 manajemen, misalnya kecelakaan dan bencana alam yang sewaktu – waktu bisa menimpa perusahaan merupakan contoh peristiwa yang pernah atau bahkan sering menyebabkan perusahaan enutup atau menghentikan usahanya. 4. Indikator Dalam Memprediksi Kebangkrutan Ada beberapa indikator yang bisa menjadi prediksi kebangkrutan. Menurut Hanafi dan Halim (2003:264), salah satu sumbernya adalah aliran kas untuk saat ini atau untuk masa datang. Sumber lain adalah analisis strategi perusahaan. Analisis ini memfokuskan pada persaingan yang dihadapi oleh perusahaan, struktur biaya relatif terhadap persaingan, kualitas manajemen, kemampuan manajemen mengendaliakan biaya, dan lainnya. Analisis semacam ini bisa dijadikan sebagai pendukung analisis aliran kas, karena kondisi perusahaan semacam ini akan mempengaruhi aliran kas perusahaan. Analisis break even sebagai contoh, akan melihat seberapa jauh penjualan bisa turun agar perusahaan masih bisa memperoleh keuntungan. Sumber lain adalah laporan keuangan perusahaan.laporan keuangan itu bisa digunakan untuk memprediksi kesulitan keuangan. Sumber lainnya adalah informasi eksternal. Pada pasar keuangan yang sudah maju, lembaga penilai (rating) sudah berkembang dan informasi mereka dapat dipakai untuk memprediksi kemungkinan adanya kesulitan keuangan. Dalam Umroh (2005:25), idikator – indikator yang dapat digunakan untuk melihat tanda – tanda kebangkrutan dapat dibagi dua, antara lain: a. Dapat diamati oleh pihak ekstern, misalnya: 15 1) Penurunan jumlah dividen yang dibagikan kepada pemegang saham selama beberapa periodesecara berturut – turut. 2) Penurunan laba secara terus menerus bahkan perusahaan mengalami kerugian. 3) Ditutup atau dijualnya satu atau lebih unit usaha. 4) Pemecatan pegawai secara beasr – besaran. 5) Pengunduran diri eksekutif puncak. 6) Harga saham di pasar modal turun ters – menerus b. Indikator yang dapat diketahui dan harus diperhatikan oleh pihak intern perusahaan adalah: 1) Turunnya volume penjualan. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan manajemen dalam menetapkan kebijakan dan strategi karena kurang pengalaman atau kurang tanggap dalam menanggulangi kemunduran perusahaan. 2) Turunnya kemampuan perusahaan dalam mencetak keuntungan. Hal ini disebabkan karena kesalahan penetapan strategi pemasaran. 3) Ketergantungan terhadap hutang – hutang perusahaan sangat besar, sehingga biaya modal juga membengkak. 5. Indikator Dalam Kegagalan Bisnis Tanda – tanda yang dapat dilihat terhadap sebuah perusahaan yang mengalami kesulitan dalam bisnisnya dan mungkin kesulitan keuangan antara lain adalah sebagai berikut (Lesmana, 2003:283): 16 a. Penjualan atau pendapatan mengalami penurunan secara signifikan b. Penurunan laba dan atau arus kas dari operasi. c. Harga pasar saham turun secara signifikan. d. Penurunan total aktiva e. Kemungkinan gagal yang besar dalam industri (nature dalam industri), atau industri dengan resiko tinggi. f. Young company, perusahaan berusia muda pda umumnya mengalami kesulitan di tahun – tahun awal operasinya, sehingga kalautidak didukung sumber permodalan yang kuat akan dapat mengalami kesulitan keuangan yang serius atau berakhir dengan kebangkrutan. g. Pemotongan yang signifikan dalam dividen. 6. Tahap – Tahap Kegagalan Keuangan dan Kebangkrutan Dalam Mufida (2005:41) kesulitan – kesulitan financial yang menuju ke arah terjadinya kebangkrutan dapat dianalisan dan di identifikasikan dalam empat tahap, antara lain: a. Periode Inkubasi Dalam periode ini biasanya ditandai oleh adanya satu atau lebih keadaan operasi atau finansial perusahaan yang tidak menguntungkan, yang kemungkinannya tidak disadari oleh pihak kreditur dan lain – lain pihak ekstern, bahkan oleh pihak manajemen itu sendiri. Berbagai situasi yang menandai tahap ini antara lain: 17 1) Penurunan volume penjualan, karena adanya perubahan selera atau permintaan konsumen. 2) kenaikan biaya – biaya operasi. 3) Inefisiensi produksi karena metode produksi yang ketinggalan zaman. 4) Tingkat persaingan yang ketat. 5) Personalia yang memegang jabatan tidak memiliki kompetensi. 6) Kegagalan dalam melaksanakan ekspansi. 7) Ketidakefektifan dalam pelaksanaan fungsi pengumpulan piutang. 8) Kurang adanya dukungan atau fasilitas perbankan (kredit). b. Tahap kesulitan likuidasi atau Cash Shortage Pada tahap ini biasanya diawali oleh ketidak mampuan perusahaan untuk membayar hutang – hutang jangka pendek yang telah jatuh tempo, meskipun aktiva fisiknya melebihi kewajibannya dan perusahaan masih mampu menghasilkan keuntungan. Masalah pokok yang dihadapi oleh perusahaan dalam tahap ani adalah aktiva perusahaan tidak liquid. c. Tahap financial dan commercial insolvency Tahap ini adalah tahap dimana perusahaan tidak solvabel dalam kegiatan komersial dan finansial. Pada tahap ini ditandai oleh keadaan dimana perusahaan tidak mampu mendapatkan dana dari sumber – sumber regular untuk membayar hutang – hutangnya yang jatuh tempo dan bahkan sudah menunggak. Namun demikian, perusahaan masih dapat diharapkan 18 mempertahankan kelangsungan hidupnya bahkan untuk bangkit kembali, apabila berhasil untuk mendapat dukungan finansial yang baru. d. Tahap total insolvency Tahap ini kebangkrutan dalam arti sebenarnya telah menimpa perusahaan. Gejala yang paling adalah jumlah hutang yang lebih besar dari nilai aktiva perusahaan. Keadaan ini semakin lengkap dan sah setelah pernyataan kebangkrutan secara resmi dan perusahaan dibubarkan. 7. Langkah – Langkah Antisipasi Kemungkinan Kegagalan Bisnis Manajemen harus menilai tanda bahaya mengenai adanya kemungkinan kegagalan bisnis, dan melakukan tindakan – tindakan antisipasi untuk menghindarinya. Langkah – langkah yang mungkin diambil oleh manajemen sesuai Siegel dalam Lesmana (2003:185), adalah sebagai berikut: a. Antisipasi trend mendatang dipasar. Menghindari industri yang penuh dengan kegagalan. Menghindari pasar yang menurun, dimana sangat kompetitif. b. Asuransi yang memadai c. Berhati – hati dalam perubahan labor intensive ke capital intensive dalam ekonomi yang suram. d. Deversifikasi operasi, dapat dengan melakukan diversifikasi vertikal dan horizontal. e. Identifikasi dan menghentikan divisi atau lini produk yang tidak menguntungkan. 19 f. Melakukan Assets Management dengan baik, seperti manajemen kas, persediaan dan piutang dagang untuk mendapatkan hasil yang baik sekaligus mengendalikan risiko. g. Melakukan pendekatan hedging (membatasi) untuk menyesuaikan jatuh tempo antara aktiva dan kewajiban. h. Melakukan pengeluaran untuk pertumbuhan mendatang seperti biaya penelitian dan pengembangan, biaya pelatihan dan pendidikan karyawan, dan biaya iklan. i. Melakukan perbaikan dalam biaya dan pengendalian produksi, seperti melakukan analisis varians dalamoperasi atau departemen. j. Melakukan perjanjian dengan bank dalam penyediaan kredit, dengan menghindari hutang berlebihan, mempertahankan pembayaran hutang, dan memperpanjang jatuh tempo pembayaran hutang. k. Memperbaiki strategi dan kebijakan pemasaran. l. Menghindari manajemen yang buruk, seperti ketergantungan yang sangat terhadap beberapa orang kunci, kurangnya komunikasi dan eksekutif yang haus kekuasaan. m. Menghindari operasi luar negeri dinegara – negara berisiko tinggi. n. Mengurangi biaya karyawan, dengan melakukan tindakan yang bijaksana seperti menawarkan insentif bagi pensiun dini. o. Mengurangi ekspansi modal selama penurunan ekonomi. p. Menjaga agar tidak ketinggalan dalam perubahan teknologi. 20 q. Menurunkan harga pasar pada barang yang susah dijual dan meningkatkan harga pada barang yang tingkat permintaannya tinggi. B. Model Altman (Z-Score) Rasio – rasio keuangan memberikan indikasi tentang kekuatan keuangan dari perusahan. Sebelum adanya model Altman, penerapan analisis rasio untuk memprediksi kondisi keuangan perusahaan dilakukan secara terpisah (univariate analysis). Dari analisis itu masing – masing rasio keuangan menggambarkan kondisi yang berbeda – beda sehingga sering terjadi ketidaksesuaian. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dikembangkan model analisis multivariate. Analisis multivariate adalah teknik analisis dengan menggabungkan dua teknik statistik yaitu analisis regresi dan analisis diskriminasi. Analisis regresi menggunakan data masa lampau untuk memprediksi nilai yang akan datang dari suatu variabel tak bebas, sedangkan analisis deskriminan menghasilkan suatu indeks yang memungkinkan klasifikasi dari suatu pengamatan menjadi satu dari beberapa pengelompokan yang bersifat a priori. Pada tahun 1984, Altman melakukan penelitian ulang diberbagai negara. Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah banyak perusahaan yang tidak go publik, dan demikian tidak memiliki nilai pasar. Untuk beberapa negara seperti indonesia, perusahaan semacam itu merupakan bagian terbesar yang ada. Altman kemudian mengembangkan alternatif dengan menggantikan variabel X4 (nilai pasar modal/ nilai buku total hutang). Dengan demikian modal tersebut dapat 21 diterapkan baik untuk perusahaan go public maupun yang tidak go public. Sehingga formula Z-Score berubah sebagai berikut (Munawir, 2003:311) Z-Score = 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,420 X4 + 0,998 X5 Dimana : X1 = Working Capital to Total Assets = Aktiva Lancar – Hutang Lancar Total Aktiva X2 = Retained Earning to Total Assets = Laba yang Ditahan Total Aktiva X3 = Earning Before Interest and Tax Laba Sebelum Bunga dan Pajak Total Aktiva X4 = Book Value of Equity to Book Value of Debt = Nilai Buku Ekuitas Nilai Buku Total Hutang X5 = Sales to Total Assets = Penjualan Total Aktiva Model yang baru ini mempunyai kemampuan prediksi yang cukup baik juga (94% benar atau 62 benar dari total sampel 66 perusahaan), sedangkan yang 22 asli (95% benar atau 63 benar dari 66 total sampel). Titik cut-off yang dilaporkan Altman adalah sebagai berikut : Tabel 2.2 Titik cut-off Altman Keterangan Dengan Nilai Pasar Dengan Nilai Buku Tidak bangkrut jika Z> 2,99 2,90 Bangkrut jika Z< 1,81 1,20 1,81 – 2,99 1,20 – 2,90 Daerah rawan bangkrut Sumber: Munawir (2002:311) Meskipun sudah diakui dan diterapkan secara luas, tetapi hasil penelitian Altman tidak terlepas dari kelemahan – kelemahan. Untuk meminimalkan kelemahan penelitian ini, peneliti – peneliti lain dan juga Altman sendiri mencoba melakukan penelitian ulang. Penelitian lanjutan misalnya Daekin (1972). Diamond (1976), Altman, Haldeman dan Narayana (1977), serta yang dianggap lebih baik adalah penelitian Ohlson (1980). Prediksi tentang perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress), yang kemudian mengalami kebangkrutan merupakan bahan diskusi yang menarik. Karena itulah studi tentang prediksi kebangkrutan banyak dilakukan oleh peneliti di Amerika serikat dan negara maju lainnya. Di Indonesia sendiri, penelitian semacam ini masih belum banyak dilakukan karena sulitnya mencari data keuangan perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dan atau 23 bangkrut. Perusahaan yang go public selama ini sangat jarang, bahkan hampir tidak ada yang dinyatakan bangkrut berdasarkan Undang – undang perseroan. Jadi untuk sementara ini, model yang dianggap dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan adalah model Altman (Z-Score). Kelebihan dan kelemahan Altman (Z-Score) Kelebihan MDA (Multivariate Discriminant Analysis) sesuai dengan Hadad dan Santoso (2003:06) dalam Umroh (2005:43) sebagai berikut: 1. Seluruh ciri karakteristik variabel yang di observasi dimasukan, berssamaan dengan interaksi mereka (secara simultan). 2. Mengurangi jarak pengukuran (dimensionality) dari para peneliti dengan menggunakan cut off point. 3. MDA mudah digunakan dan diintepretasikan sehingga sering menjadi pilihan para peneliti corporate failure selama ini. 4. MDA mempunyai high degree of accuracy over time (ketepatan tingkat tinggi pada waktu yang lalu). Kelemahan Mulivariate Discriminan Analysis 1. Variabel – variabel terpilih merupakan variabel yang paling efisien ditempatkan dalam fungsidiskriminan dan bukan berdasarkan oleh suatu teori tertentu. Walaupun fungsi diskriminan Altman mampu mengurangi ketidakefektifan penelitian yang dilakukan Beaver, bukan berarti semua variabel yang penting telah tercakup di dalamnya. 24 2. MDA menggunakan teknik pengujian statistik yang masih terbatas dibandingkan dengan logit model yang dimiliki keunggulan secara statistik. 3. Variabel yang tergabung dalam fungsi diskriminan berdasarkan pada laporan keuangan dengan data akuntansi yang dipengaruhi oleh penafsiran yang berbeda. C. Kelangsungan Usaha (Going Concern) Menurut PSAK No.1 (Penyajian Laporan Keuangan Revisi 1998) mengenai kelangsungan usaha, (2002:15) par 19 – 17 menyatakan : “laporan keuangan harus disusun berdasarkan asumsi keuangan usaha. Apabila laporan keuanga tidak disusun berdasrkan asumsi kelangsungan usaha maka kenyataan tersebut harus diungkapkan bersama dengan dasar lain yang digunakan. Manajemen bertanggung jawab untuk mempertimbangkan apakah asumsi kelangsungan usaha masih layak digunakan dalam menyiapkan laporan keuangan. Dalam mempertimbangkan apakah dasar asumsi kelangsungan usaha dapat digunakan, manajemen memperhatikan semua informasi masa depan yang relevan paling sedikit untuk jangka waktu 12 bulan dari tanggal neraca. Tingkat perkembangan tergantung pada kasus demi kasus, apabila selama ini perusahaan menghasilkan laba dan mempunyai akses kesumber pembiayaan maka asumsi kelangsungan usaha mungkin dapat disimpulkan tanpa analisis rinci. Dalam kasus lain, manajemen perlu memperhatikan faktor yang mempengaruhi profitabilitas masa kini atau masa depan yang akan datang. Jadwal pembayaran 25 utang dan sumber potensial pembiayaan pengganti sebelum dapat menyimpulkan bahwa asumsi kelangsungan usaha dapat digunakan” D. Hasil Penelitian Terdahulu (Adnan dan Taufik, 2001) melakukan analisis ketepatan prediksi metode Altman terhadap terjadinya likuidasi pada lembaga perbankan (kasus likuidasi perbankan di Indonesia). Hasil analisis yang telah menganalisis laporan keuangan 25 sampel perusahaan yang terlikuidasi 25 sampel bank yang tidak terlikuidasi terlihat danya perbedaan yang cukup signifikan.perbedaan itu dapat terlihat dari rasio – rasio keuangan maupun nilai Altman Z-Score. Berdasarkan hasil penelitian Adnan dan Taufik menyimpulkan bahwa: 1. Metode Altman yang dikenal dengan beberapa rasio didalam Z-Scorenya dan sering digunakan untuk memprediksi kebangkrutan pada perusahaan, terbukti dapat diimplementasikan dalam memprediksi kemungkinan terjadinya likuidasi pada lembaga perbankan. 2. Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa rata – rata rasio setiap bank, baik yang terlikuidasi maupun yang tidak, dapat dipakai untuk memprediksi kemungkinan terjadinya likuidasi maupun tidak terjadinya likuidasi pada setiap kelompok bank tersebut. Penelitian dengan model Altman Z-Score tidak hanya dilakukan dilembaga perbankan, tetapi juga dilakukan diperusahaan manufaktur yang dilakukan oleh (Almilia dan Kristijadi, 2003). Bentuk penelitiannya adalah 26 dengan menggunakan rasio – rasio keuangan yang berkaitan dengan manfaat laporan keuangan dengan tujuan memprediksi kinerja perusahaan seperti kebangkrutan dan financial distress. Financial distress terjadi sebelum kebangkrutan. Model financial distress perlu dikembangkan, karena dengan mengetahui kondisi financial distress perusahaan sejak dini perusahaan diharapkan dapat dilakukan tindakan – tindakan untuk mengantisipasi kondisi yang mengarah pada kebangkrutan. Mereka meneliti 24 perusahaan yang kesulitan keuangan dan 37 perusahaan yang tidak mengalami kesulitan keuangan. Dalam penelitiannya Almilia dan Kreistijadi melibatkan model Altman Z-Score tetapi mereka mencoba membuat formula baru dari rasio- rasio keuangan dengan menggunakan regresi logit sehingga menghasilkan 12 persamaan regresi yang digunakan untuk memprediksi financial distress.