BAB II

advertisement
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Potensi Kebangkrutan
1. Pengertian Kebangkrutan
“kebangkrutan adalah kondisi dimana perusahaan tidak mampu lagi
untuk melunasi kewajibannya”(Prihadi, 2008: 177)
“kebangkrutan adalah kegagalan perusahaan dalam menjalankan
operasi perusahaan untuk menghasilkan laba”(Darsono, 2005 : 165)
Menurut kamus lengkap ekonomi bankrupcy (keadaan bangkrut atau
pailit) adalah :
keadaan dimana seseorang atau badan usaha tidak mampu lagi memenuhi
kewajiban – kewajibannya untuk membayar hutang – hutangnya untuk itu
semua asset perusahaan dijual dan hasil penjualan ini dibagikan secara
proporsional kepada pihak – pihak yang meminjam.
Menurut Supardi (2003:79) kebangkrutan merupakan suatu kegagalan
yang terjadi pada perusahaan yang dapat didefinisikan dalam beberapa cara dan
beberapa kegagalan tidak harus menyebabkan keruntuhan atau pembubaran
perusahaan.
a. Kegagalan Ekonomi (Economic Distressed)
Kegagalan dalam arti ekonomis biasanya berarti bahwa pendapatan
perusahaan tidak menutup biayanya sendiri. Kegagalan dapat juga berarti
5
6
bahwa tingkat pendapatan atas biaya historis dari investasinya lebih kecil
daripada biaya modal perusahaan. Bahkan kegagalan dapat juga berarti
bahwa pendapatan nyata perusahaan telah turun dibawah pendapatan yang
diharapkan. Tidak ada kesatuan pendapat mengenai devinisi kegagalan
dalam arti ekonomis.
b. Kegagalan Keuangan (Financial Distressed)
Walaupun kegagalan keuangan adalah istilah yang tidak seberapa
meragukan dari kegagalan ekonomis, namun demikian kegagalan
keuangan mempunyai dua segi yang diakui secara umum. Perusahaan
dianggap gagal jika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pada
waktunya harus dipenuhi, walaupun totalnya harta melebihi totalnya
hutang. Ini didefinisikan sebagai ketidakmampuan membayar secara
teknik (technical insolvency atau insolvency teknis). Perusahaan itu gagal
atau bangkrut, jika hutang total melebihi penilaian wajar dari harta
totalnya (yaitu jika nilai bersih dari perusahaan yang sebenarnya itu
negatif). Selanjutnya, apabila dipakai perkataan gagal (failure), maka ini
akan dikatakan insolvensi teknis maupun kebangkrutan.
Pengertian financial distressed menurut Supardi (2003:79)
mempunyai makna kesulitan dana baik dalam arti dana dalam pengertian
kas atau dalam pengertian modal kerja. Sebagian asset liability
management sangat berperandalam pengaturan untuk menjaga agar tidak
terkena financial distressed. Kebangkrutan akan cepat terjadi pada
7
perusahaan yang berada di Negara yang sedang mengalami kesulitan
ekonomi, karena kesulitan ekonomi akan memicu semakin cepatnya
kebangkrutan
perusahaan
yang
mungkin
tadinya
sudah
sakit kemudian semakin sakit dan bangkrut. Perusahaan yang belum
sakitpun akan mengalami kesulitan dalam pemenuhan dana untuk kegiatan
operasional perusahaan akibat adanya krisis ekonomi tersebut. Namun
demikian, proses kebangkrutan sebuah perusahaan tentu saja tidak sematamata disebabkan oleh faktor ekonomi saja tetapi bisa disebabkan oleh
faktor lain yang sifatnya nonekonomi. Kegagalan keuangan bisa juga
diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan
dasar saham. Insolvensi atas dasar arus kas ada dua bentuk, yaitu:
a) Insolvensi teknis Perusahaan bias dianggap gagal jika perusahaan tidak
dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo. Walaupun total
aktiva melebihi total utang atau terjadi bila suatu perusahaan gagal
memenuhi salah satu atau lebih kondisi dalam ketentuan hutangnya
seperti rasio aktiva lancar terhadap utang lancar yang telah ditetapkan
atau rasio kekayaan bersih terhadap total aktiva yang disyaratkan.
Insolvensi teknis juga terjadi bila arus kas tidak cukup untuk
memenuhi pembayaran bunga atau pembayaran kembali pokok pada
tanggal tertentu.
b) Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan Dalam pengertian ini
kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran sebagai kekayaan bersih
8
negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas
yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban.
Blum (dalam Munawir, 2002:288) mengartikan kegagalan keuangan
sebagai :
ketidak mampuan perusahaan untuk membayar kewajiban keuangannya
pada saat jatuh tempo yang menyebabkan perusahaan mengalami
kebangkrutan, atau menyebabkan perjanjian khusus dengan para kreditor
untuk mengurangi atau menghapus utangnya.
Kebangkrutan sebagai kegagalan didefinisikan dalam beberapa arti
(Muhammad Akhyar Adnan dan Eha Kurniasih, 2000:137): yaitu kegagalan
ekonomi (Economic failure) dan kegagalan keuangan (financial failure).
Kebangkrutan memang sulit didevinisikan dengan pasti, buktinya adalah
munculnya pendapat yang berbeda – beda tentang arti kebangkrutan. Meskipun
demikian, umumnya perusahaan dianggap bangkrut jika hutang perusahaan lebih
besar dari aktiva perusahaan dan jika perusahan tidak mampu memenuhi
kewajiban – kewajibannya kepada kreditur saat jatuh tempo. Sehingga
disimpulkan bahwa kebangkrutan sebagai kesulitan likuiditas yang sangat parah
sehingga perusahaan tidak dapat menjalankan operasi dengan baik yang
berakibat bangkrut.
Kebangkrutan dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan sebagai
suatu keadaan atau situasi dalam hal ini perusahaan gagal atau tidak mampu lagi
memenuhi kewajiban-kewajiban kepada debitur karena perusahaan mengalami
kekurangan dan ketidakcukupan dana untuk menjalankan atau melanjutkan
9
usahanya sehingga tujuan ekonomi yang ingin dicapai oleh perusahaan tidak
dapat dicapai yaitu profit, sebab dengan laba yang diperoleh perusahaan bisa
digunakan untuk mengembalikan pinjaman, membiayai operasi perusahaan dan
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bisa ditutup dengan laba atau aktiva
yang dimiliki.
Kebangkrutan akan cepat terjadi di negara yang sedang mengalami
kesulitan ekonomi, karena kesulitan ekonomi akan memicu semakin cepatnya
kebangkrutan perusahaan yang mungkin tadinya sudah sakit kemudian semakin
sakit dan bangkrut. Perusahaan yang belum sakit pun akan mengalami kesulitan
dalam pemenuhan dana untuk kegiatan operasional akibat adanya krisis ekonomi
tersebut. Proses kebangkrutan, tidak semata-mata disebabkan oleh faktor
ekonomi tetapi juga disebabkan oleh faktor yang lain yang sifatnya non ekonomi.
2. Manfaat Informasi Kebangkrutan
Prediksi tentang perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan
(financial distress), yang kemudian mengalami kebangkrutan, merupakan bahan
diskusi dan studi yang menarik. Peneliti di Amerika dan negara maju lainnya
telah banyak melakukan study tentang prediksi kebangkrutan akibat kesulitan
keuangan. Namun di Indonesia masih jarang dilakukan, karena sulitnya mencari
data keuangan perusahaan yang kesulitan keuangan atau bangkrut. Perusahaan
yang go public selama ini sangat jarang, yang dinyatakan bangkrut berdasarkan
undang – undang perseroan.
10
Analisis kesulitan keuangan sangat membantu pembuat keputusan untuk
menentukan sikap terhadap perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan.
Salah satu bentuk analisis untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan adalah
analisis model Altman (Z-Score). Pihak – pihak yang berkepentingan mengetahui
model ini menurut Hanafi dan Halim(2003:261) adalah:
a. Kreditur/Pemberi pinjaman. Informasi kebangkrutan ini bermanfaat untuk
mengambil keputusan siapa yang akan diberi pinjaman, dan kemudian
bermanfaat untuk kebijakan memonitor pinjaman yang ada.
b. Investor. Investor saham dan obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan
tentunya akan sangat berkepentingan melihat adanya kemungkinan bangkrut
atau tidaknya suatu perusahaan yang menjual surat berharga tersebut. Investor
yang menganut strategi aktif akan mengembangkan model prediksi
kebangkrutan untuk melihat tanda – tanda kebangkrutan seawal mungkin dan
kemudian mengantisipasi kemungkinan tersebut.
c. Akuntan. Akuntan mempunyai kepentingan terhadap informasi kelangsungan
usaha karena akuntan akan menilai kemampuan going concern suata
perusahaan.
d. Manajemen. Kebangkrutan berarti munculnya biaya – biaya yang berkaitan
dengan kebangkrutan dan biaya ini cukup besar. Suatau penelitian
menunjukan biaya kebangkrutan bisa mencapai 11% - 17% dari nilai
perusahaan. Contoh biaya kebangkrutan yang langsung adalah biaya akuntan
dan biaya penasihat hukum. Sedang contoh biaya kebangkrutan yang tidak
11
langsung adalah hilangnya kesempatan penjualan dan keuntungan karena
beberapa hal seperti pembatasan yang mungkin diberlakukan oleh pengadian.
Apabila perusahaan bisa mendeteksi potensi kebangkrutan seawal mungkin,
maka tindakan penghematan bisa dilakukan, misal dengan melakukan merger
atau restrukturisasi keuangan sehingga biaya kebangkrutan bisa dihindari.
e. Pemerintah. Pada beberapa sektor usaha, lembaga pemerintah mempunyai
tanggung jawab untuk mengatasi jalannya usaha tersebut. Pemerintah
mempunyai kepentingan untuk melihat tanda-tanda kebangkrutan lebih awal
supaya tindakan-tindakan yang perlu bisa dilakukan lebih awal.
f.
Auditor, dalam melakukan audit harus menyatakan apakah perusahaan bisa
going concern atau tidak. Apabila ada petunjuk bahwa perusahaan tidak bisa
melakukan operasinya, auditor harus memberikan pendapat tentang tidak
adanya petunjuk going concern tersebut. Dengan adanya model yang
memprediksi kebangkrutan, auditor bisa melakukan audit dan bisa
memberikan pendapat terhadap laporan keuangan perusahaan dengan lebih
baik.
3. Penyebab Kebangkrutan
Penyebab kebangkrutan dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor
eksternal perusahaan. Tetapi untuk menentukan secara pasti faktor apa saja yang
menyebabkan kebangkrutan perusahaan bukalah suatu pekerjaan yang mudah,
sebab seringkali kebangkrutan terjadi akibat kombinasi dari beberapa faktor yang
terakumulasi sehingga mempercepat proses terjadinya kebangkrutan.
12
Dalam Umroh (2005:22) menyebutkan faktor – faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya kebangkrutan antara lain:
a. Faktor Internal
Penyebab kebangkrutan biasanya merupakan akibat keputusan yang tidak
tepat dimasa lalu atau mungkin karena pihak manajemen perusahaan gagal
mengambil tindakan yang tepat pada saat dibutuhkan. Faktor internal itu dapat
berupa:
1) Kredit yang diberikan pada pelanggan terlalu besar karena persyaratan
kredit sangat longgar atau jangka waktu kredit sangat panjang.
2) Ketidak mampuan manajemen, Seringkali suatu bisnis gagal karena
kurang cakapnya manajer, kualifikasi personalia pihak manajemen yang
kurang bagus dan kurangnya kemampuan, pengalaman, keterampilan,
serta kurang inisiatif dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan
perusahaan. Tanda – tanda manajemen yang kurang bagus, antara lain:
a) Hasil penjualan yang tidak memadai. Halitu timbul sebagai akibat dari
rendahnya mutu barang yang dijual, kurang optimalnya pelayanan
kepada konsumen, kegunaan promosi kurang terarah, daerah
pemasaran kurang menguntungkan, dan organisasi bagian penjualan
tidak kompeten dibidangnya. Dalam kondisi demikian perusahaan
tidak akan mampu menghasilakan laba yang cukup untuk tetap
bertahan dalam bidang usahanya.
13
b) Penentuan harga yang kurang tepat, misalnya harga jual terlalu rendah
dibandingkan dengan biaya pokok produksi. Dengan demikian berarti
keuntungan yang diperoleh sangat sedikit bahkan perusahaan
mengalami kerugian.
c) over investment dalam aktiva tetap dan persediaan. Kedua jenis
investasi ini mempunyai sifat sulit untuk dijadikan uang kas secara
cepat tidak seperti surat berharga.
d) Struktur modal yang tidak seimbang, artinya jumlah hutang yang
dimiliki perusahaan relatif tinggi. Akibatnya sebagian besar bagian
dari keuntungan akan terserap untuk pembayaran bunga hutang.
e) Perusahaan
tidak
mempunyai
perlindungan
asuransi
yang
tidakmemadai, sehingga jika perusahaan mengalami kerugian karena
kebakaran misalnya, maka perusahaan terpaksa harus menutup
usahanya.
3) Kekurangan Modal
Jika perusahaan
mengalami
kerugian
operasi
juga
mengalami
kekurangan modal maka kemungkinan besar perusahaan tidak akan
mampu lagi untuk membiayai operasi dan membayar kewajibannyatepat
pada tanggal jatuh tempo.
b. Faktor Eksternal
Faktor – faktor eksternalyang menyebabkan kebangkruta perusahaan biasanya
berupa kejadiaan mendadak dan kadang – kadang berada diluar jangkauan
14
manajemen, misalnya kecelakaan dan bencana alam yang sewaktu – waktu
bisa menimpa perusahaan merupakan contoh peristiwa yang pernah atau
bahkan sering menyebabkan perusahaan enutup atau menghentikan usahanya.
4. Indikator Dalam Memprediksi Kebangkrutan
Ada beberapa indikator yang bisa menjadi prediksi kebangkrutan.
Menurut Hanafi dan Halim (2003:264), salah satu sumbernya adalah aliran kas
untuk saat ini atau untuk masa datang. Sumber lain adalah analisis strategi
perusahaan. Analisis ini memfokuskan pada persaingan yang dihadapi oleh
perusahaan, struktur biaya relatif terhadap persaingan, kualitas manajemen,
kemampuan manajemen mengendaliakan biaya, dan lainnya. Analisis semacam
ini bisa dijadikan sebagai pendukung analisis aliran kas, karena kondisi
perusahaan semacam ini akan mempengaruhi aliran kas perusahaan. Analisis
break even sebagai contoh, akan melihat seberapa jauh penjualan bisa turun agar
perusahaan masih bisa memperoleh keuntungan.
Sumber lain adalah laporan keuangan perusahaan.laporan keuangan itu
bisa digunakan untuk memprediksi kesulitan keuangan. Sumber lainnya adalah
informasi eksternal. Pada pasar keuangan yang sudah maju, lembaga penilai
(rating) sudah berkembang dan informasi mereka dapat dipakai untuk
memprediksi kemungkinan adanya kesulitan keuangan.
Dalam Umroh (2005:25), idikator – indikator yang dapat digunakan untuk
melihat tanda – tanda kebangkrutan dapat dibagi dua, antara lain:
a. Dapat diamati oleh pihak ekstern, misalnya:
15
1) Penurunan jumlah dividen yang dibagikan kepada pemegang saham
selama beberapa periodesecara berturut – turut.
2) Penurunan laba secara terus menerus bahkan perusahaan mengalami
kerugian.
3) Ditutup atau dijualnya satu atau lebih unit usaha.
4) Pemecatan pegawai secara beasr – besaran.
5) Pengunduran diri eksekutif puncak.
6) Harga saham di pasar modal turun ters – menerus
b. Indikator yang dapat diketahui dan harus diperhatikan oleh pihak intern
perusahaan adalah:
1) Turunnya volume penjualan. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan
manajemen dalam menetapkan kebijakan dan strategi karena kurang
pengalaman atau kurang tanggap dalam menanggulangi kemunduran
perusahaan.
2) Turunnya kemampuan perusahaan dalam mencetak keuntungan. Hal ini
disebabkan karena kesalahan penetapan strategi pemasaran.
3) Ketergantungan terhadap hutang – hutang perusahaan sangat besar,
sehingga biaya modal juga membengkak.
5. Indikator Dalam Kegagalan Bisnis
Tanda – tanda yang dapat dilihat terhadap sebuah perusahaan yang
mengalami kesulitan dalam bisnisnya dan mungkin kesulitan keuangan antara lain
adalah sebagai berikut (Lesmana, 2003:283):
16
a. Penjualan atau pendapatan mengalami penurunan secara signifikan
b. Penurunan laba dan atau arus kas dari operasi.
c. Harga pasar saham turun secara signifikan.
d. Penurunan total aktiva
e. Kemungkinan gagal yang besar dalam industri (nature dalam industri), atau
industri dengan resiko tinggi.
f. Young company, perusahaan berusia muda pda umumnya mengalami
kesulitan di tahun – tahun awal operasinya, sehingga kalautidak didukung
sumber permodalan yang kuat akan dapat mengalami kesulitan keuangan yang
serius atau berakhir dengan kebangkrutan.
g. Pemotongan yang signifikan dalam dividen.
6. Tahap – Tahap Kegagalan Keuangan dan Kebangkrutan
Dalam Mufida (2005:41) kesulitan – kesulitan financial yang menuju ke
arah terjadinya kebangkrutan dapat dianalisan dan di identifikasikan dalam empat
tahap, antara lain:
a. Periode Inkubasi
Dalam periode ini biasanya ditandai oleh adanya satu atau lebih keadaan
operasi atau finansial perusahaan yang tidak menguntungkan, yang
kemungkinannya tidak disadari oleh pihak kreditur dan lain – lain pihak
ekstern, bahkan oleh pihak manajemen itu sendiri. Berbagai situasi yang
menandai tahap ini antara lain:
17
1) Penurunan volume penjualan, karena adanya perubahan selera atau
permintaan konsumen.
2) kenaikan biaya – biaya operasi.
3) Inefisiensi produksi karena metode produksi yang ketinggalan zaman.
4) Tingkat persaingan yang ketat.
5) Personalia yang memegang jabatan tidak memiliki kompetensi.
6) Kegagalan dalam melaksanakan ekspansi.
7) Ketidakefektifan dalam pelaksanaan fungsi pengumpulan piutang.
8) Kurang adanya dukungan atau fasilitas perbankan (kredit).
b. Tahap kesulitan likuidasi atau Cash Shortage
Pada tahap ini biasanya diawali oleh ketidak mampuan perusahaan untuk
membayar hutang – hutang jangka pendek yang telah jatuh tempo, meskipun
aktiva fisiknya melebihi kewajibannya dan perusahaan masih mampu
menghasilkan keuntungan. Masalah pokok yang dihadapi oleh perusahaan
dalam tahap ani adalah aktiva perusahaan tidak liquid.
c. Tahap financial dan commercial insolvency
Tahap ini adalah tahap dimana perusahaan tidak solvabel dalam kegiatan
komersial dan finansial. Pada tahap ini ditandai oleh keadaan dimana
perusahaan tidak mampu mendapatkan dana dari sumber – sumber regular
untuk membayar hutang – hutangnya yang jatuh tempo dan bahkan sudah
menunggak.
Namun
demikian,
perusahaan
masih
dapat diharapkan
18
mempertahankan kelangsungan hidupnya bahkan untuk bangkit kembali,
apabila berhasil untuk mendapat dukungan finansial yang baru.
d. Tahap total insolvency
Tahap ini kebangkrutan dalam arti sebenarnya telah menimpa perusahaan.
Gejala yang paling adalah jumlah hutang yang lebih besar dari nilai aktiva
perusahaan. Keadaan ini semakin lengkap dan sah setelah pernyataan
kebangkrutan secara resmi dan perusahaan dibubarkan.
7. Langkah – Langkah Antisipasi Kemungkinan Kegagalan Bisnis
Manajemen harus menilai tanda bahaya mengenai adanya kemungkinan
kegagalan bisnis, dan melakukan tindakan – tindakan antisipasi untuk
menghindarinya. Langkah – langkah yang mungkin diambil oleh manajemen
sesuai Siegel dalam Lesmana (2003:185), adalah sebagai berikut:
a. Antisipasi trend mendatang dipasar. Menghindari industri yang penuh dengan
kegagalan. Menghindari pasar yang menurun, dimana sangat kompetitif.
b. Asuransi yang memadai
c. Berhati – hati dalam perubahan labor intensive ke capital intensive dalam
ekonomi yang suram.
d. Deversifikasi operasi, dapat dengan melakukan diversifikasi vertikal dan
horizontal.
e. Identifikasi dan menghentikan divisi atau lini produk yang tidak
menguntungkan.
19
f. Melakukan Assets Management dengan baik, seperti manajemen kas,
persediaan dan piutang dagang untuk mendapatkan hasil yang baik sekaligus
mengendalikan risiko.
g. Melakukan pendekatan hedging (membatasi) untuk menyesuaikan jatuh
tempo antara aktiva dan kewajiban.
h. Melakukan pengeluaran untuk pertumbuhan mendatang seperti biaya
penelitian dan pengembangan, biaya pelatihan dan pendidikan karyawan, dan
biaya iklan.
i. Melakukan perbaikan dalam biaya dan pengendalian produksi, seperti
melakukan analisis varians dalamoperasi atau departemen.
j. Melakukan perjanjian dengan bank dalam penyediaan kredit, dengan
menghindari hutang berlebihan, mempertahankan pembayaran hutang, dan
memperpanjang jatuh tempo pembayaran hutang.
k. Memperbaiki strategi dan kebijakan pemasaran.
l. Menghindari manajemen yang buruk, seperti ketergantungan yang sangat
terhadap beberapa orang kunci, kurangnya komunikasi dan eksekutif yang
haus kekuasaan.
m. Menghindari operasi luar negeri dinegara – negara berisiko tinggi.
n. Mengurangi biaya karyawan, dengan melakukan tindakan yang bijaksana
seperti menawarkan insentif bagi pensiun dini.
o. Mengurangi ekspansi modal selama penurunan ekonomi.
p. Menjaga agar tidak ketinggalan dalam perubahan teknologi.
20
q. Menurunkan harga pasar pada barang yang susah dijual dan meningkatkan
harga pada barang yang tingkat permintaannya tinggi.
B. Model Altman (Z-Score)
Rasio – rasio keuangan memberikan indikasi tentang kekuatan keuangan
dari perusahan. Sebelum adanya model Altman, penerapan analisis rasio untuk
memprediksi kondisi keuangan perusahaan dilakukan secara terpisah (univariate
analysis). Dari analisis itu masing – masing rasio keuangan menggambarkan
kondisi yang berbeda – beda sehingga sering terjadi ketidaksesuaian. Untuk
mengatasi masalah tersebut maka dikembangkan model analisis multivariate.
Analisis multivariate adalah teknik analisis dengan menggabungkan dua teknik
statistik yaitu analisis regresi dan analisis diskriminasi. Analisis regresi
menggunakan data masa lampau untuk memprediksi nilai yang akan datang dari
suatu variabel tak bebas, sedangkan analisis deskriminan menghasilkan suatu
indeks yang memungkinkan klasifikasi dari suatu pengamatan menjadi satu dari
beberapa pengelompokan yang bersifat a priori.
Pada tahun 1984, Altman melakukan penelitian ulang diberbagai negara.
Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah banyak perusahaan yang tidak
go publik, dan demikian tidak memiliki nilai pasar. Untuk beberapa negara seperti
indonesia, perusahaan semacam itu merupakan bagian terbesar yang ada. Altman
kemudian mengembangkan alternatif dengan menggantikan variabel X4 (nilai
pasar modal/ nilai buku total hutang). Dengan demikian modal tersebut dapat
21
diterapkan baik untuk perusahaan go public maupun yang tidak go public.
Sehingga formula Z-Score berubah sebagai berikut (Munawir, 2003:311)
Z-Score = 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,420 X4 + 0,998 X5
Dimana :
X1 = Working Capital to Total Assets
= Aktiva Lancar – Hutang Lancar
Total Aktiva
X2 = Retained Earning to Total Assets
= Laba yang Ditahan
Total Aktiva
X3 = Earning Before Interest and Tax
Laba Sebelum Bunga dan Pajak
Total Aktiva
X4 = Book Value of Equity to Book Value of Debt
= Nilai Buku Ekuitas
Nilai Buku Total Hutang
X5 = Sales to Total Assets
= Penjualan
Total Aktiva
Model yang baru ini mempunyai kemampuan prediksi yang cukup baik
juga (94% benar atau 62 benar dari total sampel 66 perusahaan), sedangkan yang
22
asli (95% benar atau 63 benar dari 66 total sampel). Titik cut-off yang dilaporkan
Altman adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2
Titik cut-off Altman
Keterangan
Dengan Nilai Pasar
Dengan Nilai Buku
Tidak bangkrut jika Z>
2,99
2,90
Bangkrut jika Z<
1,81
1,20
1,81 – 2,99
1,20 – 2,90
Daerah rawan bangkrut
Sumber: Munawir (2002:311)
Meskipun sudah diakui dan diterapkan secara luas, tetapi hasil penelitian
Altman tidak terlepas dari kelemahan – kelemahan. Untuk meminimalkan
kelemahan penelitian ini, peneliti – peneliti lain dan juga Altman sendiri mencoba
melakukan penelitian ulang. Penelitian lanjutan misalnya Daekin (1972).
Diamond (1976), Altman, Haldeman dan Narayana (1977), serta yang dianggap
lebih baik adalah penelitian Ohlson (1980).
Prediksi tentang perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan
(financial distress), yang kemudian mengalami kebangkrutan merupakan bahan
diskusi yang menarik. Karena itulah studi tentang prediksi kebangkrutan banyak
dilakukan oleh peneliti di Amerika serikat dan negara maju lainnya. Di Indonesia
sendiri, penelitian semacam ini masih belum banyak dilakukan karena sulitnya
mencari data keuangan perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dan atau
23
bangkrut. Perusahaan yang go public selama ini sangat jarang, bahkan hampir
tidak ada yang dinyatakan bangkrut berdasarkan Undang – undang perseroan. Jadi
untuk sementara ini, model yang dianggap dapat digunakan untuk memprediksi
kebangkrutan perusahaan adalah model Altman (Z-Score).
Kelebihan dan kelemahan Altman (Z-Score)
Kelebihan MDA (Multivariate Discriminant Analysis) sesuai dengan Hadad dan
Santoso (2003:06) dalam Umroh (2005:43) sebagai berikut:
1. Seluruh ciri karakteristik variabel yang di observasi dimasukan, berssamaan
dengan interaksi mereka (secara simultan).
2. Mengurangi jarak pengukuran (dimensionality) dari para peneliti dengan
menggunakan cut off point.
3. MDA mudah digunakan dan diintepretasikan sehingga sering menjadi pilihan
para peneliti corporate failure selama ini.
4. MDA mempunyai high degree of accuracy over time (ketepatan tingkat tinggi
pada waktu yang lalu).
Kelemahan Mulivariate Discriminan Analysis
1. Variabel – variabel terpilih merupakan variabel yang paling efisien
ditempatkan dalam fungsidiskriminan dan bukan berdasarkan oleh suatu teori
tertentu.
Walaupun
fungsi diskriminan
Altman
mampu
mengurangi
ketidakefektifan penelitian yang dilakukan Beaver, bukan berarti semua
variabel yang penting telah tercakup di dalamnya.
24
2. MDA menggunakan teknik pengujian statistik yang masih terbatas
dibandingkan dengan logit model yang dimiliki keunggulan secara statistik.
3. Variabel yang tergabung dalam fungsi diskriminan berdasarkan pada laporan
keuangan dengan data akuntansi yang dipengaruhi oleh penafsiran yang
berbeda.
C. Kelangsungan Usaha (Going Concern)
Menurut PSAK No.1 (Penyajian Laporan Keuangan Revisi 1998)
mengenai kelangsungan usaha, (2002:15) par 19 – 17 menyatakan :
“laporan keuangan harus disusun berdasarkan asumsi keuangan usaha. Apabila
laporan keuanga tidak disusun berdasrkan asumsi kelangsungan usaha maka
kenyataan tersebut harus diungkapkan bersama dengan dasar lain yang
digunakan. Manajemen bertanggung jawab untuk mempertimbangkan apakah
asumsi kelangsungan usaha masih layak digunakan dalam menyiapkan laporan
keuangan. Dalam mempertimbangkan apakah dasar asumsi kelangsungan usaha
dapat digunakan, manajemen memperhatikan semua informasi masa depan yang
relevan paling sedikit untuk jangka waktu 12 bulan dari tanggal neraca. Tingkat
perkembangan tergantung pada kasus demi kasus, apabila selama ini perusahaan
menghasilkan laba dan mempunyai akses kesumber pembiayaan maka asumsi
kelangsungan usaha mungkin dapat disimpulkan tanpa analisis rinci. Dalam
kasus lain, manajemen perlu memperhatikan faktor yang mempengaruhi
profitabilitas masa kini atau masa depan yang akan datang. Jadwal pembayaran
25
utang dan sumber potensial pembiayaan pengganti sebelum dapat menyimpulkan
bahwa asumsi kelangsungan usaha dapat digunakan”
D. Hasil Penelitian Terdahulu
(Adnan dan Taufik, 2001) melakukan analisis ketepatan prediksi metode
Altman terhadap terjadinya likuidasi pada lembaga perbankan (kasus likuidasi
perbankan di Indonesia). Hasil analisis yang telah menganalisis laporan keuangan
25 sampel perusahaan yang terlikuidasi 25 sampel bank yang tidak terlikuidasi
terlihat danya perbedaan yang cukup signifikan.perbedaan itu dapat terlihat dari
rasio – rasio keuangan maupun nilai Altman Z-Score. Berdasarkan hasil
penelitian Adnan dan Taufik menyimpulkan bahwa:
1. Metode Altman yang dikenal dengan beberapa rasio didalam Z-Scorenya dan
sering digunakan untuk memprediksi kebangkrutan pada perusahaan, terbukti
dapat diimplementasikan dalam memprediksi kemungkinan terjadinya
likuidasi pada lembaga perbankan.
2. Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa rata – rata rasio setiap bank, baik
yang terlikuidasi maupun yang tidak, dapat dipakai untuk memprediksi
kemungkinan terjadinya likuidasi maupun tidak terjadinya likuidasi pada
setiap kelompok bank tersebut.
Penelitian dengan model Altman Z-Score tidak hanya dilakukan
dilembaga perbankan, tetapi juga dilakukan diperusahaan manufaktur yang
dilakukan oleh (Almilia dan Kristijadi, 2003). Bentuk penelitiannya adalah
26
dengan menggunakan rasio – rasio keuangan yang berkaitan dengan manfaat
laporan keuangan dengan tujuan memprediksi kinerja perusahaan seperti
kebangkrutan dan financial distress. Financial distress terjadi sebelum
kebangkrutan. Model financial distress perlu dikembangkan, karena dengan
mengetahui kondisi financial distress perusahaan sejak dini perusahaan
diharapkan dapat dilakukan tindakan – tindakan untuk mengantisipasi kondisi
yang mengarah pada kebangkrutan. Mereka meneliti 24 perusahaan yang
kesulitan keuangan dan 37 perusahaan yang tidak mengalami kesulitan keuangan.
Dalam penelitiannya Almilia dan Kreistijadi melibatkan model Altman Z-Score
tetapi mereka mencoba membuat formula baru dari rasio- rasio keuangan dengan
menggunakan regresi logit sehingga menghasilkan 12 persamaan regresi yang
digunakan untuk memprediksi financial distress.
Download