8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Peningkatan Keterampilan Kerajinan Tangan Siswa Kelas V SD a. Karakteristik Siswa Kelas V SD Pada umumnya siswa kelas V SD rata-rata berusia sekitar 10-12 tahun. Anak kelas kelas V yakni yang berusia 10-12 tahun termasuk dalam tahap operasi konkret. Selama tahap ini anak mengemban konsep dengan menggunakan benda-benda konkret untuk menyelidiki hubungan modelmodel abstrak. Bahasa merupakan sarana yang sangat penting untuk menyatakan dan mengingat konsep-konsep Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sumiati dan Asra (mengutip simpulan Piaget) membagi tahapan perkembangan kecerdasan ke dalam empat tahapan, yaitu: (1) sensorimotor (0-1,5 tahun); (2) pre operational atau pre konseptual (1,5-6 tahun); (3) operasional konkret (6-12 tahun), (4) Operasional formal (12 keatas) (2009: 88). Mengenai Fase operasional konkret Sumantri & Syaodih membatasi anak aktif bergerak dan mempunyai perhatian yang besar pada lingkungannya. Pada usia ini, rasa ingin tahu berkembang sangat pesat. Anak selalu ingin mengetahui segala sesuatu yang dijumpainya dan apa yang terjadi disekitarnya. Siswa kelas V juga mengalami perkembangan fisik dan intelektual, perkembangan fisik dan intelektual anak usia 6-12 tahun nampaknya cenderung lamban. Pertumbuhan fisik anak menurun terus, kecuali pada akhir periode tersebut, sedangkan kecakapan motorik terus membaik. Perubahan terlihat kurang menonjol jika dibandingkan dengan usia permulaan. Akan tetapi perkembangan pada usia ini masih signifikan. Perkembangan intelektual sangat subtansial, karena sifat egosentrik, anak menjadi lebih bersifat logis (2011). 8 9 Arasteh mengatakan bahwa anak usia 8-10 tahun merupakan masa dimana mereka ingin dapat diterima sebagai anggota dalam kelompok dan teman sebayanya, sehingga mereka akan menerima polapola yang ditetapkan kelompoknya, mereka akan merasa senang bila dihargai sebagai anggota kelompok (Mikarsa, Taufik, dan Prianto 2008: 3.35). Dari pendapat beberapa ahli yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan mengenai karakteristik siswa kelas V SD yaitu: (1) anak berada pada tahap operasional konkret; (2) memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terutama dengan sesuatu yang dijumpai di lingkungan sekitar; (3) ingin diterima dalam kelompok terutama teman sebaya dengan mengikuti pola yang ditetapkan oleh kelompok. b. Kerajinan Tangan Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kata "kriya" berarti pekerjaan kerajinan tangan (2000). Sementara menurut Rasjoyo (dalam Mamen, 2012), berpendapat bahwa seni kriya merupakan suatu karya seni dimana penekanan pengerjaanya terletak pada keterampilan tangan yang menghasilkan sebuah bentuk kerajinan siap pakai. Sementara Mamen berpendapat bahwa seni kriya (handycraft) yang berarti kerajinan tangan, dimana seni kriya ini dapat dikatagorikan sebagai seni terapan (applied art) yang meinitikberatkan pada aspek keindahan dan kegunaaanya (2012: 15). Seni kriya merupakan seni yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang menonjolkan aspek estetika atau keindahan untuk kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kerajinan tangan merupakan suatu karya seni yang dikatagorikan sebagai seni terapan (applied art), dimana penekanan pengerjaanya terletak pada keterampilan tangan yang menghasilkan sebuah bentuk kerajinan siap pakai dan meinitikberatkan pada aspek keindahan. Salah satu hasil kerajinan tangan adalah kerajinan meronce. 10 c. Keterampilan Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata terampil memiliki arti cakap dan cekatan. Keterampilan merupakan kecakapan untuk menyelesaikan tugas (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1180). Pendapat serupa dikemukakan oleh Soemarjadi, dkk (2007: 2) bahwa keterampilan sama dengan cekatan. Terampil atau cekatan adalah melakukan sesuatu pekerjaan dengan cepat dan benar. Pendapat yang hampir sama diungkapkan oleh Munzayanah, dkk., keterampilan dapat disebut dengan kecekatan, kecakapan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik dan cermat. Hamzah (2006: 130) berpendapat keterampilan merupakan kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan fisik dan mental. Contoh keterampilan fisik adalah keterampilan membuat kerajinan tangan. Sementara Cronbach (dalam Hurlock, 2010: 154) memaparkan: Keterampilan dapat diuraikan dengan kata seperti otomatik, cepat, dan akurat. Meskipun demikian adalah keliru menganggap keterampilan sebagai tindakan tunggal yang sempurna. Setiap pelaksanaan sesuatu yang terlatih, walaupun hanya menulis huruf a, merupakan satu rangkaian koordinasi beratus-ratus otot yang rumit yang melibatkan perbedaan isyarat dan koreksi kesalahan yang berkesinambungan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keterampilan merupakan kemampuan melakukan tugas atau pekerjaan tertentu yang berkaitan dengan fisik dan mental secara cakap, cermat, cepat, cekatan, dan akurat. d. Peningkatan Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 1198) peningkatan merupakan proses, cara, perbuatan meningkatkan. Pendapat yang hampir sama diungkapkan Sugono (2010) peningkatan merupakan 11 suatu usaha untuk melaksanakan kegiatan yang lebih baik dari yang telah dilaksanakan. Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa peningkatan keterampilan kerajinan tangan siswa kelas V SD merupakan suatu proses atau cara meningkatkan kemampuan melakukan keterampilan dengan cara atau teknik menyusun bahan-bahan untuk dijadikan satu rumpun yang kuat sehingga dapat digunakan. 2. Ruang Lingkup Mata Pelajaran Seni budaya dan keterampilan Mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan meliputi aspek-aspek sebagai berikut: 1. Seni rupa, mencakup pengetahuan, keterampilan, dan nilai dalam menghasilkan karya seni berupa lukisan, patung, ukiran, cetak-mencetak, dan sebagainya. 2. Seni musik, mencakup kemampuan untuk menguasai olah vokal, memainkan alat musik, apresiasi karya musik. 3. Seni tari, mencakup keterampilan gerak berdasarkan olah tubuh dengan dan tanpa rangsangan bunyi, apresiasi terhadap gerak tari. 4. Seni drama, mencakup keterampilan pementasan dengan memadukan seni musik, seni tari dan peran. Seni Budaya dan Keterampilan kelas V semester satu. Standar Kompetensinya (8) yaitu membuat karya kerajinan dan benda permainan. Sedangkan kompetensi dasarnya (8.1) yaitu merancang karya kerajinan meronce. a. Kerajinan Meronce Merangkai sama dengan menyusun, yaitu menata, menumpuk, menyejajarkan, menyusun benda-benda atau pernik menggunakan teknik ikatan (Rikabwahyu, 2012). Sementara Ariefoer berpendapat bahwa Meronce adalah menata dengan bantuan mengikat komponen tadi dengan utas atau tali. Dengan 12 teknik ikatan seseorang akan memanfaatkan bentuk ikatan menjadi lebih lama di bandingkan dengan benda yang ditata tanpa ikatan. Meronce haruslah dengan memperhatikan bentuk, warna, dan ukuran (2012). Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa meronce adalah merangkai benda dengan memanfaatkan bentuk ikatan. Materi mengenai keterampilan meronce mencakup pengenalan macam-macam roncean. Contoh macam-macam roncean : 1. Meronce dari bahan manik-manik Alat dan Bahan: 1. Manik-manik warna warni 2. Benang wool 3. Gunting 4. Jarum Cara membuat : 1. Pilihkan warna-warna yang berbeda. 2. Ambil benang, lalu rangkai manic-manik selang seling dengan warna yang berbeda 3. Jadilah roncean sederhana. 2. Gelang dari sedotan 13 Alat : 1. Gunting 2. Jarum untuk meronce 3. Tang Penjepit 4. Pemanas/Api (Lilin atau Kompor) Bahan : 1. Sedotan sisa 2. Benang elastis/karet atau benang senar Cara Membuat : 1. Gunting sedotan kurang lebih 2 cm 2. Bakar atau panaskan kedua ujung masing2 potongan dengan api (dari lilin atau kompor, kebetulan saya memakai kompor listrik) 3. masukkan ke dalam air supaya tidak saling menempel 4. keringkan potongan2 sedotan yang sudah dibakar ujungnya 5. ronce dengan menggunakan benang elastis yang dilengkapi jarum diujungnya untuk menusuk 6. sesuaikan dengan ukuran tangan (untuk gelang) atau ukuran leher (untuk kalung) 3. Membuat gorden dari sedotan Alat dan bahan: 1. Sedotan aneka warna (sesuai selera) 2. Manik-manik (sesuai selera) 3. Benang wol 14 4. Gunting 5. Penggaris 6. Bambu (seukuran lebar pintu) 7. Paku 8. Palu Cara membuat gorden dari sedotan: 1. Potong benang wol dengan ukuran setinggi pintu. 2. Kemudian potong sedotan aneka warna dengan ukuran yang sama sekitar 5 cm (bisa dibantu dengan penggaris) 3. Mulailah meronce sedotan tersebut ke benang wol membentuk warna pelangi (sesuai selera). 4. Jangan lupa untuk menambahkan manik-manik di sela-sela sedotan sebagai pemanis dan juga sekat. 5. Ikat tali di bagian kedua ujungnya agar susunan tidak lepas. 6. Buat rangkaian sedotan bekas yang banyak, sekitar 10 atau lebih. 7. Kemudian satukan roncean dengan cara ikatkan ke bambu, dan beri jarak diantara setiap roncean sedotan. 8. Paku bambu ke tembok di atas jendela. Setelah pengenalan macam roncean kemudian siswa diajak untuk membuat berbagai roncean. (Silabus terlampir pada lampiran 2 halaman 104). 3. Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning a. Tinjauan Tentang Model Pembelajaran 1) Model Model adalah suatu objek atau konsep yang digunakan untuk mempresentasikan sesuatu hal. Sesuatu yang nyata dan dikonversi untuk sebuah bentuk yang lebih komprehensif. Meyer (dalam Trianto : 21) Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (2010: 266), model adalah suatu ragam, cara yang terbaik. Model adalah pola (contoh, acuan, 15 ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan (Departemen P dan K, 1984: 75). Definisi lain dari model adalah abstraksi dari sistem sebenarnya dalam gambaran yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang bersifat menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan perhatian pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya, Simamarta (dalam http://pendidikan.infogue.com). Berdasarkan uraian pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model adalah suatu objek, konsep, pola (contoh, acuan, ragam), cara terbaik dalam gambaran yang sederhana untuk mernpresentasikan sesuatu hal yang memusatkan perhatian pada kehidupan sebenamya. 2) Pembelajaran a) Pengertian Pembelajaran Pembelajaran adalah proses, cara menjadikan makhluk hidup belajar. Sependapat dengan pernyataan tersebut, Sutomo (2008: 68) mengemukakan bahwa pembelajaran adalah proses pengelolaan lingkungan seseorang yang dengan sengaja dilakukan sehingga memungkinkan dia belajar untuk melakukan atau untuk mempertunjukkan tingkah laku tertentu pula. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, dalam pasal 1 menyebutkan bahwa “pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Jadi pembelajaran adalah proses yang disengaja yang menyebabkan siswa belajar pada suatu lingkungan belajar untuk melakukan kegiatan pada situasi tertentu (Kerangka teori, 2002). Menurut Nurhadi (2011: 3) "pembelajaran adalah proses interaksi antara kegiatan belajar siswa dengan kegiatan mengajar guru serta dengan lingkungannya (learning environment)". Pembelajaran merupakan suatu proses yang dilakukan seseorang (oleh guru) agar terjadi proses belajar (pada siswa). Pembelajaran adalah kegiatan yang 16 dilakukan oleh seorang guru untuk menyediakan suatu kondisi agar siswa melakukan proses belajar (Suherli, 2010: 15). "Pembelajaran dikondisikan agar mampu mendorong kreativitas anak secara keseluruhan, membuat siswa aktif, mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan berlangsung dalam kondisi menyenangkan" Suyono, (2011. 207). Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disirnpulkan bahwa pembelajaran adalah interaksi antara kegiatan siswa dengan guru dan lingkungan, yang tersusun atas manusia, material, fasilitas, perlengkapan yang dikreasikan urrtuk membentuk tingkah laku (perubahan) pada siswa dan mampu mendorong kreativitas dan keaktifan siswa untuk rnencapai tujuan. Pembelajaran merupakan seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar peserta didik, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal yang berperan terhadap rangkaian kejadian-kejadian internal yang berlangsung di dalam peserta didik untuk mencapai tujuan. Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung dalam situasi edukatif sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik untuk mencapai tujuan tertentu. b) Komponen Pembelajaran Pembelajaran adalah interaksi antara kegiatan siswa dengan guru dan lingkungan, yang tersusun atas manusia, material, fasilitas, perlengkapan yang dikreasikan untuk membentuk tingkah laku (perubahan) pada siswa sehingga mampu mendorong kreativitas dan keaktifan siswa untuk rnencapai tujuan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang melibatkan beberapa komponen. (1) Siswa 17 Seorang yang bertindak sebagai pencari, penerima, dan penyimpan isi pelajaran yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. (2) Guru Seseorang yang bertindak sebagai pengelola, katalisatar, dan peran lainnya yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif. (3) Tujuan Pernyataan tentang perubahan perilaku (kognitif, psikomotorik, afektif) yang diinginkan terjadi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. (4) Isi Pelajaran Segala informasi berupa fakta, prinsip, dan konsep yang diperlukan untuk mencapai tujuan. (5) Model Cara yang teratur untuk memberikain kesempatan kepada siswa untuk mendapat informasi yang dibutuhkan mereka untuk mencapai tujuan. (6) Media Bahan pengajaran dengan atau tanpa peralatan yang digunakan untuk menyajikan informasi kepada siswa. (7) Evaluasi Cara tertentu yang digunakan untuk menilai suatu proses dan hasilnya. 3) Pengertian Model Pembelajaran Ada beberapa pendapat yang mendefinisikan model pembelajaran. Menurut Winataputra (dalam Sugiyanto 2009: 3), “model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi 18 para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas pembelajaran”. Eggen dan Kauchak menyatakan bahwa model pembelajaran merupakan kerangka dan arah bagi guru untuk mengajar. Model pembelajaran dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktifitas belajar mengajar. Udin, (dalam http//pendidikan.infogue.com) . Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan atau menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas pernbelajaran. b. Definisi Model Contextual Teaching and Learning CTL adalah sebuah sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagianya secara terpisah. Elaine (2009: 65) Contextual Teaching and Learning (model kontekstual) menurut Nurhadi (dalam Sugiyanto, 2008) adalah “konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa.” Mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sendiri-sendiri. Pengetahuan dan ketrampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar. 19 Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa pembelajaran contextual teaching and learning adalah pembelajaran yang menitik beratkan kepada pembelajaran yang mengaitkan materi pembelajaran dengan konteks kehidupan siswa yang menitik beratkan kepada pembelajaran yang bermakna, dan berpusat kepada siswa (student center). 1) Prinsip-prinsip Contextual Teaching and Learning Elaine (2009: 68) mengemukakan tiga prinsip ilmiah dalam pembelajaran CTL, yang dapat kita uraikan sebagai berikut: a) Prinsip Saling Ketergantungan Ketergantungan yang dimaksud disini adalah ketergantungan antara materi yang diajarkan dengan konteks, “ada berarti berhubungan, karena hubungan adalah inti dari keberadaan......tidak ada sesuatu tanpa adanya yang lain” Swime & Berry dalam Elaine (2009: 72) b) Prinsip Differensiasi “Jika para pendidik percaya dengan para ilmuwan modern bahwa prinsip diferensiasi yang dinamis ini meliputi dan mempengaruhi bumi dan semua sistem kehidupan, maka mereka pasti ingin mengajar sesuai dengan prinsip itu” Elaine (2009: 77). Secara garis besar prinsip diferensiasi dalam CTL adalah bagaimana guru mampu mengkoordinasi siswa untuk mampu menyatukan keragaman diantara mereka dan menumbuhkan nkreatifitas yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. c) Prinsip Pengaturan Diri Prinsip pengaturan diri dalam CTL adalah bagaimana pendidik mampu mendorong siswa untuk mengeluarkan seluruh potensinya, sasaran utama CTL adalah menolong para sisiwa untuk mencapai keunggulan akademik, memperoleh keterampilan karir dan mengembangkan karakter dengan cara menghubungkan tugas sekolah 20 dengan pegalaman serta pengerahuan pribadinya. Ketika sisiwa menghubungkan materi akademik dengan konteks kehidupan pribadi, mereka terlibat dalam prinsip pengatura diri dalam CTL. Mereka menerima tanggung jawab atas keputusa dan perilaku sendiri, menilai alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis informasi, menciptakan solusi dan dengan kritis menilai bukti. c. Komponen dalam Pendekatan Contextual Teaching and Learning Elaine (2009: 65-66) mengemukakan bahwa sistem dalam CTL mempunyai delapan komponen yaitu: 1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, 2) melakukan pekerjaan yang berarti, 3) melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, 4) bekerjasama, 5) berpikir kritis dan kreatif,6) membantu individu untuk tumbuh berkembang, 7) mencapai standar yang tinggi, 8) menggunakan penilaian yang autentik. Selain delapan komponen atau pilar yang ada didalam model kontekstual yang dipaparkan oleh Elaine diatas, Depdiknas dalam Dedy (2008) menjelaskan pendekatan kontektual (CTL) memiliki tujuah komponen utama, yaitu konstruktivisme (questioning), (constructivism), masyarakat-belajar menemukan (learning (inquiry), community), bertanya pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (authentic). Adapun tujuh komponen tersebut sebagai berikut: 1) Konstruktivisme (constructivisme) Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya. 2) Menemukan (Inquiry) Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karena pengetahuan dan keterampilan yang 21 diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat faktafakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion). 3) Bertanya (Questioning) Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk : a) menggali informasi, b) menggali pemahaman siswa, c) membangkitkan respon kepada siswa, d) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, e) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, f) memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, g) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa. 4) Masyarakat Belajar (Learning Community) Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari „sharing‟ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. 5) Pemodelan (Modeling) Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan ,melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar. 6) Refleksi (Reflection) Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan 22 dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu. 7) Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment) Penialaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil. d. Langkah-Langkah Pembelajaran Kontekstual/CTL Secara sederhana langkah penerapan CTL dalam kelas secara garis besar adalah sebagai berikut: 1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. 2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri. 3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. 4) Ciptakan “masyarakat belajar” (belajar dalam kelompok-kelompok). 5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran. 6) Lakukan refleksi diakhir pertemuan. 7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. e. Perbedaan Pembelajaran Kontekstual Dengan Pembelajaran Tradisional Terlihat jelas perbedaan proses pembelajaran kontekstual yang berpijak pada pandangan kontrukstivisme dengan pembelajaran tradisional yang berpijak padangan behaviorisme-objektivis. Menurut Sanjaya (2007: 256) ada beberapa perbedaan yang dapat diuraikan sebagai berikut: 23 1) Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran, sedangkan dalam pembelajaran tradisional siswa adalah penerima informasi yang pasif. 2) Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi, sedangkan dalam pembelajaran tradisional siswa belajar secara individual. 3) Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang disimulasikan, sedangkan dalam pemebelajaran tradisional pembelajaran sangat abstrak. 4) Perilaku dibangun atas kesadaran sendiri sedangkan dalam pembelajaran tradisional perilaku dibangun atas kebiasaan. 5) Keterampilan dibangun atas kesadaran diri, sedangkan dalam pembelajaran tradisional ketrampilan dikembangkan atas dasar latihan. 6) Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri, sedangkan dalam pembelajaran tradisional hadiah untuk perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor. 7) Seseorang tidak melakukan yang jelek karena dia sadar hal itu keliru dan merugikan., sedangkan dalam pembelajaran tradisional seseorang tidak melakukan yang jelek karena dia takut hukuman. 8) Bahasa diajarkan dengan pendekatan komunikatif, yakni siswa diajak menggunakan bahasa dalam konteks nyata, sedangkan dalam pembelajaran tradisional, bahasa diajarkan dengan pendekatan struktural: rumus diterapkan sampai hafal, kemudian dilatihkan (drill). 9) Pemahaman rumus dikembangkan atas dasar skemata yang sudah ada dalam diri siswa, sedangkan dalam pembelajaran tradisional rumus itu ada di luar diri siswa, yang harus dikembangkan, diterima dan dilafalkan, dan dilatihkan. 10) Siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam pengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggungjawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, dan membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran 24 sedangkan dalam pembelajaran tradisional siswa secara pasif menrima rumus atau kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat, menghafal), tanpa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran. 11) Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dikembangkan oleh manusia itu sendiri. Manusia menciptakan atau membangun pengetahuan dengan cara memberi arti dan memahami pengalamannya sedangkan dalam pembelajaran tradisional pengetahuan adalah penangkapan terhadap serangkaian fakta, konsep, atau hukum yang brada di luar diri manusia. f. Kelebihan dan Kekurangan CTL 1) Kelebihan model kontekstual Anisah (2009) menyebutkan beberapa kelebihan pendekatan kontekstual, antara lain: (1) pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil, karena peserta didik dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata, (2) pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa, (3) guru lebih intensif dalam membimbing siswa, karena guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi melainkan pengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan keterampilan yang baru bagi siswa, (4) guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak siswa menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. 2) Kelemahan Model Kontekstual Adapun kelemahan model kontekstual seperti yang ditulis oleh Agus Badrudin (2009) menyebutkan antara lain: (a) ketidaksiapan peserta didik untuk berbaur, (b) kondisi kelas atau sekolah yang tidak menunjang pembelajaran. 25 B. Penelitian yang Relevan Dalam upaya menghindari adanya duplikasi penelitian, dan untuk memberikan gambaran, serta penyempurnaan penelitian tindakan kelas ini, peneliti berupaya untuk menyajikan beberapa contoh atau hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain yaitu tentang penerapan model kontekstual. Hasil penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh Farida pada tahun 2011. Judul yang diteliti adalah “Penerapan Model CTL untuk Meningkatkan keterampilan Membuat Relief Siswa Kelas IV SDN Kauman 2 Kecamatan Klojen Kota Malang” yang di dalamnya memuat tujuan penelitian yaitu meningkatkan kreatifitas membuat relief pada siswa kelas V SD Negeri Kauman 2 Kecamatan Klojen Kota Malang. Penelitian ini merupakan jenis penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model CTL (Contextual Teaching and Learning) dalam pembelajaran SBK tentang membuat relief. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah model CTL (Contextual Teaching and Learning) dapat meningkatkan keterampilan kerajinan tangan siswa. Hal tersebut ditandai dengan peningkatan nilai rata-rata siswa di setiap siklusnya, yaitu pada siklus I 84,82, kemudian pada siklus kedua menjadi 92,50. Penelitian relevan kedua yang peneliti pilih sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Laraswati pada tahun 2011. Judul yang diteliti adalah Penerapan Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kretifitas dan Hasil Belajar SBK Siswa Kelas IV SDN Ketawanggede 2 Malang. Penelitian ini merupakan jenis penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model CTL (Contextual Teaching and Learning) dalam pembelajaran SBK. Kesimpulan dari penelitian ini adalah model CTL (Contextual Teaching and Learning) dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal tersebut ditandai dengan peningkatan nilai rata-rata siswa, yaitu dari siklus I niali rata-ratanya 56,81 (masih kurang dari KKM, 65), pada siklus II menjadi 62,04 (belum memenuhi KKM), dan di siklus III menjadi 75,22 sehingga terjadi peningkatan disetiap siklusnya. 26 Berdasarkan uraian singkat tentang isi penelitian di atas, terdapat beberapa kesamaan dengan penelitian yang akan dilaksanakan, yaitu pada variabel terikatnya yang menggunakan pendekatan CTL. Tujuan dari kedua penelitian tersebut pada dasarnya sama yaitu meningkatkan kreatifitas dalam pembelajaran dan hasil belajar SBK, yang tentunya tidak jauh berbeda dari tujuan penelitian yang akan peneliti laksanakan. Adapun perbedaannya terletak pada hal yang akan dinilai keberhasilannya. Pada penelitian I membahas tentang materi SBK yang dibelajarkan, yaitu tentang relief. Sedangkan pada penelitian II membahas tentang karya kerajinan nusantara. . C. Kerangka Berpikir Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk menggunakan pembelajaran kontekstual dikarenakan guru masih menggunakan pembelajaran konvensional dimana siswa kurang aktif dan pembelajaran masih otoritas guru, sehingga siswa kurang tertarik pada kegiatan pembelajaran, yang berimplikasi pada hasil belajar mereka, terutama tentang keterampilan, masih tergolong rendah. Untuk itu peneliti berupaya untuk melakukan perbaikan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran yang mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa antara pengetahuan yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran sehingga benar-benar menghasilkan kualitas pembelajaran yang efektif dan efisien. Langkah awal dalam penelitian ini adalah menentukan subjek yang akan diteliti. Subjek penelitian tersebut berkaitan dengan pokok bahasan, dan strategi pembelajaran yang dipergunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Permasalahan-permasalahan dalam keterampilan seringkali muncul, dikarenakan keterampilan mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain. Untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan keterampilan meronce siswa diajak untuk menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari mereka, 27 sehingga dengan pengalaman belajar ini diharapkan pemahaman siswa akan keterampilan tertanam dan tidak mudah dilupakan siswa jika suatu saat ada permasalahan yang berhubungan dengan materi ini. Untuk merealisasikan gagasan tersebut, peneliti menerapkan pembelajaran SBK dengan pendekatan kontekstual. Dalam pembelajaran kontekstual ini dilaksanakan pendalaman materi dan beberapa evaluasi dengan mengutamakan proses pembelajaran, agar mendapatkan hasil yang lebih optimal. Peneliti berharap bahwa implementasi pembelajaran kontekstual efektif untuk meningkatkan kualitas proses, motivasi belajar, dan hasil belajar siswa. Diduga melalui pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar SBK tentang meronce siswa kelas V SDN 3 Waluyo Tahun 2013/2014. Kondisi Awal Pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan Monoton Tindakan (Pembelajaran dengan Menggunakan Metode Kontekstual) Kondisi Akhir Siklus I Hasil Belajar Rendah Siklus II Siklus III Keterampilan meronce siswa meningkat Gambar 2.4 Alur Kerangka Berpikir D. Hipotesa Tindakan Berdasarkan uraian pada latar belakang, kajian pustaka, dan kerangka berpikir maka dapat diambil hipotesis: 28 “Jika penggunaan model pembelajaran kontekstual dilaksanakan dengan tepat, maka keterampilan meronce pada pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan siswa kelas V SDN 3 Waluyo Tahun Ajaran 2013/2014 dapat meningkat.”