Edisi 3/ September / 2011 Birokrasi a r E m a l a d Keterbukaan Informasi Publik Pelayanan Birokrasi dalam Era Otonomi Daerah Pelayanan Birokrasi Papua dalam Era Otonomi Khusus Foto : Antara Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance Reformasi Birokrasi, Syarat Mutlak Pembangunan Ekonomi dalam Era Diterbitkan Oleh : Tim Redaksi Pengarah : Penanggungjawab : Pemimpin Umum : Tifatul Sembiring (Menteri Kominfo) Basuki Yusuf Iskandar (Sekretaris Jenderal) Ahmad Mabruri Mei Akbari (Staf Khusus Menkominfo) Freddy H Tulung, (Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik) Suprawoto (Staf Ahli Menteri Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya) Sadjan (Direktur Pengelolaan Media Publik) Pemimpin Redaksi : Anggota Dewan Redaksi : Ismail Cawidu (Sekretaris Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik) Bambang Wiswalujo (Direktur Pengolah dan Penyediaan Informasi) Supomo (Direktur Komunikasi Publik) Erlangga Masdiana (Direktur Layanan Informasi Internasional) James Pardede (Direktur Kemitraan Komunikasi) Redaktur Pelaksana : Mardianto Soemaryo Penyunting/ Editor : 1. Hypolitus Layanan 2. Endang Kartiwak 3. Taufik Hidayat Tim Tenaga Ahli : Sugeng Bayu Wahono Lambang Trijono Abduh Sandiah Murti Kusuma Wirasti Design Grafis : Danang Firmansyah Sekretaris Redaksi : M. Taofik Rauf Sekretariat : 1. M. Azhar Iskandar Zainal 2. Jatmadi 3. Sarnubi 4. Inu Sudiati 5. Elpira Inda Sari N.K 6. Lamini 7. Nur Arief Hidayat Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Edisi 3 / September / 2011 Daftar Isi Salam Redaksi ii Wawancara Khusus I II vii Reformasi Birokrasi Tidak Secepat Membalik Telapak Tangan vii Pelayanan Birokrasi dalam Era Otonomi Daerah 1 Pendahuluan 2 Antara Harapan dan Kenyataan 5 Penutup 9 Pelayanan Birokrasi Papua 11 dalam Era Otonomi Khusus Birokrasi dan III Reformasi Implementasi Good Governance 19 Birokrasi, IV Reformasi Syarat Mutlak Pembangunan Ekonomi 45 Laporan Studi lapangan 65 Reformasi Birokrasi dalam Dinamika Pemerintahan Daerah 65 i Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Edisi 3 / September / 2011 Salam Redaksi S etelah era reformasi, juga salah satu yang paling santer dikumandangkan adalah perlunya reformasi birokrasi. Isu utama yang ditekankan dalam reformasi birokrasi bukan saja pelayanan dan inefisiensi, tetapi juga transparansi. Seiring dengan bergulirnya demokratisasi, birokrasi pemerintah dituntut untuk tampil sebagai organisasi pelayanan publik yang transparan. Good governance menjadi sebuah imperatif dalam proses negara demokrasi, dan di sini birokrasi harus transparans, akuntable, dan membuka partisipasi publik. Pemerintah pun merespons atas tuntutan reformasi birokrasi dengan berkomitmen menerapkan prinsip good governance, antara lain tampak pada (1) penyelenggaraan pemerintahan dengan membuka koridor ketertutupan birokrasi melalui semangat dialog dan komunikasi intensif antara pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat; (2) dalam pengambilan kebijakan serta keputusan, pemerintah telah bertindak atas dasar tanggung jawab dalam segala bidang untuk kepentingan masyarakat luas; (3) setiap proses pemerintahan mulai dari pengambilan keputusan sampai implementasi, pemerintah telah berusaha membangun kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi tersebut; dan (4) pengambilan keputusan juga perlu melibatkan masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kesempatan dalam menyampaikan aspirasinya Masih dalam konteks good governance, pemerintah juga memiliki komitmen untuk melaksanakan inisiatif Open Government, sebagai kebutuhan nasional akan transparansi dan akuntabilitas serta kontribusi aktif Indonesia ii Edisi 3 / September / 2011 dalam Open Government Partnership (OGP). Dalam pelaksanaannya, setiap lembaga publik diharapkan menyusun Rencana Implementasi Open Government (OG) lembaganya, melalui konsultasi dengan kelompok pemangku kepentingan masingmasing. Untuk percepatan OG ini melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, khususnya Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik telah berusaha menyusun disain komunikasi untuk memastikan inisiatif Open Government terlaksana sejalan dengan prinsip transparansi, partisipasi dan kolaborasi. Sementara itu, pemerintah juga menerapkan Otonomi Daerah dengan menekankan pelayanan birokrasi pemerintah lebih efisien, dalam arti semangat desentralisasi dan debirokratisasi tercermin dalam tata kelola pemerintahannya. Dari prosesnya yang lebih efektif, efisien dan tidak berbelit-belit serta menggunakan SDM yang optimal dan berkualitas. kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat, dengan biaya yang terjangkau. Meskipun demikian, ada juga yang memberikan penilaian kritis bahwa meskipun prinsip good governance telah dilaksanakan, tetapi Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik belum sepenuhnya dilaksanakan. Untuk melakukan good governance perlu proses pembelajaran, perlu perbaikan-perbaikan menyangkut SDM dan SDA yang dimiliki. Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya untuk menerapkan prinsip good governance, namun perlu keseriusan untuk melakukan reformasi birokrasi. Hal yang paling bisa dilakukan adalah untuk memberikan kepercayaan dan dukungan untuk melakukan upayaupaya reformasi birokrasi. Atas dasar permasalahan di atas, maka Jurnal Dialog Publik kali ini mengangkat tema Birokrasi dalam era keterbukaan informasi, sekaligus sebagai melihat bagaimana penerapan Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Keluarnya undangundang ini juga menunjukkan komitmen pemerintah terhadap upaya perwujudan reformasi birokrasi. Berbagai isu dan permasalahan di seputar reformasi birokrasi akan dibedah dan dianalisis secara komprehensif dari berbagai perspektif. Muhadam Labolo secara detail menganalisis kinerja birokrasi dalam konteks good governance. Ia berusaha mendeskripsikan tentang makna birokrasi dan good governance, iii Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik karakteristik pemerintahan yang baik, masalah dan tantangan yang dihadapi dalam upaya reformasi birokrasi, serta upaya strategis reformasi birokrasi dan implementasi tata kelola pemerintahan yang baik. Perubahan tersebut diharapkan tidak saja bersifat incremental semata, namun fundamental. Salah satu usulan menarik Muhadan adalah bahwa untuk mengefektifkan reformasi birokrasi diperlukan reformasi kapasitasi yang memadai guna meningkatkan kemampuan aparatur dalam melayani masyarakat. Reformasi kapasitasi adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan sumber daya birokrasi dalam pelayanan agar mampu mengimbangi dinamika masyarakat. Reformasi kapasitasi berkaitan dengan kemampuan birokrasi baik secara individual maupun kelompok yang ditunjukkan pada kemampuan menerjemahkan visi dan misi, program dan kegiatan. Pengembangan kapasitas aparatur berfokus pada aspek pendidikan dan pengalaman yang akan menentukan nilai profesionalisme birokrasi dihadapan masyarakat. Sementara itu Habel Suwae mencoba menyoroti pelayanan birokrasi dalam era Otonomi Khsusus di Provinsi Papau. Habel melihat adanya gejala etnosentrisme di Papua apakah berpengaruh terhadap pelayanan birokrasi, sehingga lebih mengarah pada birokrasi primordial. Atau birokrasi bersifat iv Edisi 3 / September / 2011 adaptif dengan dinamika masyarakat Papua yang semakin terbuka, sehingga lebih mengedepankan profesionalisme dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Atau dengan kata lain Habel mengajukan pertanyaan bagaimana pelayanan birokrasi pemerintah Papua dalam era Otonomi Khusus sekarang ini. Apakah bias primordialisme seperti baik buruknya pelayanan birokrasi disebabkan oleh faktor kesamaan etnis, agama, dan kekerabatan, atau berkembang menjadi birokrasi modern yang mengutamakan profesionalisme dan merit system. Menurut Habel birokrasi di Papua justru lebih menunjukkan karakter sebagai birokrasi yang rasional dan mengedepankan profesionalisme. Perkembangan masyarakat Papua yang semakin terbuka menjadikan Papua semakin plural, sehingga birokrasi pemerintah terbukti adaftif dengan perkembangan masyarakatnya. Memang, pada awalnya terdapat kecenderungan bahwa pemberian kewenangan pengelolaan politik oleh pemerintah pusat dalam bentuk Otsus, disikapi oleh sebagian warga Papua secara primordialistik. Birokrasi pun kemudian menunjukkan karakter birokrasi primordial, sehingga personil, sistem rekreuitmen, dan pelayanan pun ada kecenderungan bias etnosentrisme. Akan tetapi dalam perkembangan lebih lanjut, birokrasi pemerintah Papua berkembang ke arah yang lebih menunjukkan Edisi 3 / September / 2011 karakter birokrasi profesional dengan menerapkan merit sistem. Karakter masyarakat Papua sendiri yang terbuka dan semakin plural, menjadi pertimbangan utama mengedepankan birokrasi rasional, yang lebih mengutamakan efisiensi dan profesionalisme. Bersamaan dengan itu, birokrasi pemerintah juga terus mendorong partisipasi publik dalam proses pembangunan menuju pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Argumen agak berbeda dikemukakan oleh Ferdinan Kerebungu, pada era sistem pemerintahan desentralisktik sekarang ini banyak menimbulkan persoalan pemerintahan terutama dalam birokrasi pelayanan publik. Banyak gejolak yang terjadi di daerah sebagai perwujudan ketidak puasan masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah. Ferdinan mengkaji tentang efektivitas pelayanan birokrasi di era otonomi daerah. Realitas yang teralami sekarang banyak birokrat yang tidak mengutamakan pelayanan publik, karena banyak pejabat publik yang diangkat tidak memiliki kapasitas, kapabiltas dan hal ini disebabkan oleh karena penenpatan pejabat eselon II dan III, bukan berdasarkan pendidikan dan latihan penjenjangan kerier, tetapi lebih ditentukan oleh tim sukses.Untuk dapat mengoptimalkan pelayanan birokrasi yang menggunakan prinsip good governance, harus ada trnasformasi Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik kultural di kalangan aparat birokrasi dari cara pandang birokrasi sebagai penguasa menjadi birokrasi sebagai pelayanan sesuai dengan sistem politik yang deomokratis. Sedangkan Nursodik menilai birokrasi Indonesia belum probisnis. Sifatnya yang birokratis dan patologis membuat keberadaan birokrasi lebih dianggap sebagai faktor penghambat dibanding pendorong perekonomian. Berbagai penyakit birokrasi muncul karena aparat birokrasi cenderung menggunakan birokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan birokrasi itu sendiri, bukan sebagai unit pelayanan masyarakat. Politisasi birokrasi ikut mendorong terjadinya penyelewengan yang membuat birokrasi semakin jauh dari fungsi utamanya sebagai penggerak sektor perekonomian. Untuk menghilangkan berbagai patologi yang ada, birokrasi perlu direformasi. Salah satunya adalah dengan menerapkan konsep reinventing bureaucracy. Dengan konsep tersebut, birokrasi dikembangkan sebagai unit pelayanan yang tepat, cepat, efisien, efektif, akuntabel dan berorientasi pada kebutuhan pengguna layanan. Reinventing bureaucracy diharapkan mampu mengembalikan birokrasi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, dari segenap analisis kritis yang dikemukan para penulis, terdapat harapan yang sama, bahwa bagaimanapun birokrasi harus didorong untuk lebih independen, v Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik steril dari kepentingan politik, dan mengedepankan profesionalisme. Komitmen pemerintah pusat untuk melakukan reformasi birokrasi, meski di sana-sini terdapat hambatan, tetap harus mendapat dukungan dari semua pihak. Iklim demokrasi yang vi Edisi 3 / September / 2011 sudah baik, harus tetap dipelihara dan dirawat agar terus menjadi habitat subur bagi tumbuhnya birokrasi yang secara konsisten menerapkan prinsip good governance. Edisi 3 / September / 2011 Wawancara Khusus Reformasi Birokrasi Tidak Secepat Membalik Telapak Tangan Dr. Ismail Muhamad, MBA* *Deputi Bidang Program dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, vii Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik S etelah era reformasi, salah satu isu yang paling santer dikumandangkan adalah perlunya reformasi birokrasi. Isu utama yang ditekankan dalam reformasi birokrasi bukan saja pelayanan dan efisiensi, tetapi juga transparansi. Seiring dengan bergulirnya demokratisasi, birokrasi pemerintah dituntut untuk tampil sebagai organisasi pelayanan publik yang transparan. Prinsip Good governance menjadi sebuah imperatif dalam proses negara demokrasi, dan di sini birokrasi harus transparans, akuntable, dan membuka partisipasi publik. Edisi 3 / September / 2011 Meskipun secara normatif, pemerintah punya sejumlah regulasi yang mengatur tatakerja birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, namun dari hasil penyerapan opini dalam masyarakat, ternyata sebagian masyarakat menilai reformasi birokrasi belum memperlihatkan hasil konkret, alias reformasi birokrasi masih jalan di tempat. Persoalan yang mengemuka di anatranya pemerintah, termasuk pemerintah daerah dinilai kurang transparan dan tidak banyak melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan publik. Dalam kaiatan dengan persoalan tersebut, berikut ini petikan hasil wawancara redaksi dengan Dr. Ismail Muhamad, MBA viii Edisi 3 / September / 2011 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Deputi Bidang Program dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Dr. Ismail Muhamad, MBA. membalikkan telapak tangan, tetapi membutuhkan proses panjang. Contoh Australia, untuk melakukan reformasi membutuhkan waktu 30 tahun baru bisa dilihat hasilnya. Banyak kalangan menilai program reformasi birokrasi jalan di tempat, bagaimana kondisi yang sesungguhnya ada pada saat ini? Dalam kaitan dengan transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik dan lain-lain sebenarnya sangat terkait dengan UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang secara definitif pelaksanaannya pada tahun 2010. Tetapi sebenarnya transparansi dan akuntabilitas di Indonesia sudah mulai dilaksanakan secara efektif pada tahun 1999, yaitu dengan dikeluarkan Instruksi Presiden RI No. 7 Tahun 1999 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Dengan demikian secara formal semua instansi pemerintah dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya diharuskan transparan dan akutabel. Jadi prinsipnya sudah ada model layanan, prosedur tetap, pengawasan, capaian hasil dan metode evaluasinya, semuanya sudah dituangkan dalam Rencana Strategis (renstra) instansi pemerintah. Pembuatan Renstra itu sendiri sangat transparan, meskipun pada waktu itu belum sejalan dengan UU KIP, karena belum ada. Dalam UU KIP jelas sekali menegaskan bahwa semua informasi itu terbuka (dipulikasikan) kecuali yang rahasia. Berbeda dengan paradigma sebelumnya bahwa semua informasi itu rahasia, kecuali yang dibuka atau yang dipublikasikan. Jadi secara ringkas bisa disimpulkan bahwa transparansi dan akuntabilitas Pandangan seperti itu dapat dipahami, tetapi sangat tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Perlu diluruskan, bahwa reformasi dalam skala besar (Nasional) dimulai pada tahun 1998. Fokus reformasi pada tiga bidang, yaitu Bidang Ekonomi, Bidang Politik dan Bidang Hukum. Sedangkan secara khusus reformasi birokrasi dimulai pada tahun 2004, dan sebagai pilot projectnya adalah Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Kementerian Keuangan. Pada tahun 2008, Kementerian PAN menerbitkan Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Mulai tahun 2010 ditetapkan Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025 berdasarakanh Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 81 Tahun 2010, dan ditindaklanjutin dengan Peraturan Menteri PAN No. 4 Tahun 2010. Jadi kalau ada yang bilang reformasi birokrasi jalan di tempat itu karena kurang mengikuti perkembangan yang ada. Jadi dari sisi kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi sudah ada langkah-langkah konkret. Berbicara mengenai reformasi birokrasi di negara manapun tidak secepat ix Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik kebijakan pemeritah termasuk bidang pelaynan telah dilaksanakan, meskipun harus diakui ada beberapa yang masih tertinggal. Bagaimana kita melihat secara konkret reformasi birokrasi itu dari sisi pelaynan publik? Pelayanan publik itu kita bagi dua yakni yang bersifat administratif dan pelayanan praktis atau non administrasi. Pelayanan administratif seperti KTP dan sejenisnya, hampir di semua daerah sudah transparan, umpamanya sudah jelas berapa biayanya, penyelesaiannya berapa lama, prosedur dan mekanismenya. Bahkan informasi tentang semua itu ditempelkan di papan pengumuman sehingga masyarakat mengetahuinya secara jelas. Selain itu ada standar pelayanan minimum yang diatur berdasarkan Kepmendagri yang menjadi acuan bagi daerah untuk merancanakan angaran pendapatan dan belanja daerahnya. Standar pelaynan itu juga dipublikasikan agar diketahui oleh masyarakat. Ini artinya langkah konkret yang dilakukan pemerintah itu ada, hanya mungkin kalau ada penyimpangan oleh oknum, termasuk sikap dan prilaku SKPD di daerah tertentu yang cenderung mengada-ada. Sehingga dalam kontek reformasi birokrasi, kelemahan-kelemahan itu dipantau dan dievaluasi, kemudian ditertibkan. Untuk mengurangi penyimpangan kita menggunakan instrumen indek kepuasan masyarakat melalui survei. KPK juga menggunakan x Edisi 3 / September / 2011 tingkat kepuasan masyarakat dalam mengukur kualitas pelaynan publik. Dalam reformasi birokrasi, unsur itu juga dimasukkan sebagai salah satu indikator keberhasilan yakni peningkatan kualitas pelaynan publik. Kalau kita ambil contoh, kalau KPK mengunakan unsur integritas pelaynan publik, tingkat kemudahan berusaha, lalu instansi yang akuntabel. Tahun 2009 kita sudah punya base line sekian, kita punya target tahun 2014 sekian. Dengan ukuran itu terus dilakukan pemantauan, ternyata hasilnya semnatra ini mengalami peningkatan (kemajuan). Jadi jelas ada pengukurannya untuk menetukan tingkat keberhasilan program reformasi birokrasi. Sampai saat ini masih banyak pemerintah daerah belum membentuk PPID sesuai ketentuan UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Baagaimana Pemerintah menyikapi maslah tersebutdalam kaitan dengan upaya mempercepat reformasi birokrasi? Secara makro hal itu termasuk dalam konteks penguatan kelembagaan dan pembenahan organisasi. Atas dasar UU KIP tersebut kita melangkah pada Open Government yang salah satu intinya adalah setiap instansi pemerintah dihimbau untuk segera melangkah konkret membenahi organisasinya sesuai kebutuhan. UU KIP jelas mengatakan bahwa jika masyarakat yang meminta informasi yang terbuka, Edisi 3 / September / 2011 kalau ada yang menghaklangi, maka bisa dituntut. Ini artinya pintu masuk tidak harus melalui lembaga baru (PPID), tetapi melalui induk lembaganya. Jadi dari sisi kacamata reformasi birokrasi, tidak perlu pintupintu lagi, setiap waktu masyarakat berhak meminta informasi pada instansi pemerintah ada atau tidak PPID pada intansi tersebut. Ditambah lagi dengan adanya website, akan lebih memudahkan. Mungkin urgensinya untuk memperkuat unit pelaynan informai. Aparat pemerintah menyadari bahwa hak publik untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan, kecuali yang sifatnya terkait rahasia negara dan surat-surat yang memang sifatnya rahasia. Saat ini pemerintah sudah cukup transparan dan open government, seperti soal APBN, pengadaan barang dan jasa dan lainlain semuanya terbuka. Bagaimana kondisi pemerintah termasuk pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang berperinsip good governance? Kalau dilihat dari sisi akuntabilitas, pemerintah daerah tidak terlalu tertinggal. Penilaian ini didasarkan pada indikator dengan menggunakan instrumen yang ada, yakni melalui laporan akuntabilitas. Mereka menyampaikannya dengan cukup baik. Dari unsur transparansi dan lain-lain juga terlihat adanya kesungguhan pemda-pemda dan hasilnya cukup baik. Bahkan barubaru ini pada kesempatan lokakarya Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik ditampilkan dua daerah yang masuk kategori berhasil, yakni Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat. Ternyata langkah-langkah yang dilakukan kedua daerah ini luar bisa dalam kontek transparansi, salah satunya adalah dengan pemanfaatan teknologi inforasi untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Jadi kalau berbicara tentang prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik dalam pelaksanaan good governance di setiap instansi pemerintah, termasuk pemeritah daerah, maka bisa dikatakan bahwa sebagian besarnya sudah punya kesadaran tersebut sangat kuat. Ada beberapa daerah yang mengalami hambatan, tentu karena kendala-kendala, baik karena faktor sumber daya manusia maupun sumber daya lain. Kita tidak bisa menuding bahwa semua pemda itu sama, karena karakter manusianya berbeda satu dengan yang lain. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa secara nasional terdapat kemajuan yang cukup signifikan dalam penyelenggaran pemerintahan dengan prinsip good governance. Ada kendala di beberapa daerah dengan alasan PAD yang tidak mencukupi. Tetapi berdasarkan pengamatan Kementerian PAN dan RB, upaya untuk meningkatkan pelaynan birokrasi sudah sangat kuat, di samping masyarakat juga punya kesadaran yang luar bisa dalam menuntut haknya untuk memperoleh informasi. xi Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik xii Edisi 3 / September / 2011 Salah satu sorotan masyarakat terhadap lemahnya pelaynan birokrasi adalah dalam kaitan dengan rekrutmen aparat (PNS) dan pejabat pemerintah yang tidak transparan dan sarat dengan KKN. Bagaimana pemetrintah menyikapi maslah tersebut? kabupaten/kota mengajukan berapa kebutuhannya, kompetensinya apa dan sebagainya. Atas dasar itu, baru ada formasi. Intinya adalah selama masa moratorium itu akan dibuat formula yang bisa mencegah praktek KKN dan prilaku yang menyimpang. Memang harus diakui bahwa kondisi seperti itu ada pada praktek rekrutmen pegawai dan pejabat pemerintah. Seperti ada informasi bawa di daerah tertentu untuk masuk PNS harus bayar jutaan rupiah. Bahkan ada stetmen di Komisi II DPR RI bahwa akibat penyimpangan seperti itu menyebabkan kerugian negara sampai 25 triliun rupiah. Kita sudah melakukan pembenahan dengan menetapkan agar semua proses aplikasi melalui website, lalu dalam proses asesmennya diminta dari perguruan tinggi yang terbaik di masing-masing daerah. Lalu harusnya hasil ujian itu diumumkan, tetapi dalam kenyatannya itu dimainkan juga. Sekarang pemerintah melalui Peraturan Bersama Meneteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Menteri PAN dan RB memutuskan untuk moratorium penerimaan calon PNS mulai September 2011 sampai Desember 2012. Moratorium ini diperlukan untuk melakukan pembenahan. Tidak akan disiapkan formasi oleh pusat, kalau tidak ada analisis kebutuhan kompetensi yang dibutuhkan. Sampai dengan Desember 2012 ditetapkan supaya seluruh pemerintah provinsi, Apakah dalam penyelenggaraan pemerintahan sudah membuka koridor ketertutupan birokrasi melalui semangat dialog dan komunikasi intensif antara pemerintah dan masyarakat? Prinsipsnya kita berpegang pada UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembanagunan Nasional. Dalam UU ini jelas sekali, bahwa setiap ada kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, prosesnya harus dimulai dari usulan desa/kelurahan, Musrembang sampai ke tingkat nasional dimana di setiap lefel itu melibatkan masukan masyarakat, melalui tokohtokohnya, organisasi tertentu, dan yang merepresentasikan masyarakat diundang untuk menjaring masukan dan aspirasi masyarakat. Salah satu langkah reformasi terkait dengan maslah ini adalah merubah mainset dan kutureset para pejabat, yang selama ini cenderung berorientasi pada kewenangan, berubah dan lebih mengutamakan peran. Jadi keterlibatan unsur – unsur dalam masyarakat itu penekanannya peranya apa, bukan kewenangannya. Dengan reformasi ini juga kita mengukur kinerja. Kalau sebuah Edisi 3 / September / 2011 kebijakan dalam implementasinya tidak ada aksesnya pada masyarakat, maka kinerjanya turun. Sebenernya secara normatif itu semua sudah diatur, karena kemudian kurang efektif, maka reformasi ini digunakan untuk membenahinya, yakni dengan menggunakan menejmen kinerja, itu pun sampai sekarang belum semua menerapkan, tetapi bukan berarti reformasi birokrasi jalan di tempat. Bagaimana mengefektifkan pelayanan birokrasi dalam era keterbukaan informasi sebagai bagian dari demokratisasi? Prinsip demokrasi, salah satu prasyaratnya adalah penerapan good governance. Tetapi ada contoh negara yang punya good governance namun dalam praktek demokrasinya masih kategori rendah, seperti Singapura. Meskipun Singapura punya pemerintah yang sangat good governance, tetapi dari sisi demokratisasi, masih jauh di bawah Indonesia. Demokrasi Indonesia menduduki nomor tiga terbaik di dunia, bahkan sudah 10 tahun terakhir ini masuk pada periode maturity. Jadi dengan reformasi dimaksudkan untuk merubah pemahman bahwa demokrasi tidak seperti terjadi saat ini. Tetapi yang terpenting adanya suatu public policy process yang sesuai dengan prinsipprinsip good governance. Proses dalam merumuskan sebuah kebijakan publik harus melibatkan masyarakat. Persoalan nanti kalau kemudian ada yang dipotong di atas, itu semata- Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik mata dengan pertimbangan demi kepentingan bersama. Kendala-kendala apa saja yang dirasakan dalam penyelenggaraan pelayanan birokrasi yang berprinsip good governance? Kendala utama yang terlihat selama ini adalah pada mind-set dan cuture-set pada aparat birokarasi. Pola piker dan budaya kerja birokrat belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang efisien, efektif, produktif dan profrsional. Selain itu, birokrat belum benar-benar memiliki pola piker yang melayani masyarakat, belum untuk mencapai kinerja yang lebih baik (better performance), dan belum berorientasi pada hasil (outcomes). Tetapi harus diakui untuk merubah pola pikir, apalagi sudah membudaya itu membutuhkan waktu lama. Kendala kedua adalah kebutuhan SDM aparat birokrasi itu belum proporsional, baik dari faktor alokasinya dari pusat sampai ke daerah, maupun dari sisi kompetensinya juga belum pada posisi the right man on the right please. Seperti digambarkan sasran reformasi birokrasi dalam Grand Design Reformasi Borokrasi 2010 -2025 yang dibagi dalam tiga tahap sebagai berikut: 1. Sasaran lima tahun pertama (2010 – 2014), difokuskan pada penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintah yang bersih dan bebas KKN, meningkatkan kualitas xiii Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik pelaynan publik kepada masyarakat, serta meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. 2. Sasaran lima tahun kedua (2015 – 2019), selain implementasi hasil-hasil yang sidah dicapai pada lima tahun pertama, pada lima tahun kedua juga dilanjutkan upaya yang belum dicapai pada berbagai komponen yang strategis birokrasi pemerintah pada lima tahun pertama. 3. Sasaran lima tahun ketiga xiv Edisi 3 / September / 2011 (2020- 2024), reformasi birokrasi dilakukan melalui peningkatan kapasitas birokrasi secara terus menerus untuk menjadi pemerintahan kelas dunia sebagai kelanjutan dari reformasi birokrasi lima tahun kedua. Sehingga dengan sasaran-sasaran tersebut, reformasi birokrasi ini akan berhasil membenahi performen pelaynan birokrasi dalam memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. semua itu sudah pada posisi yang benar. I Edisi 3 / September / 2011 Pelayanan Birokrasi dalam Era Otonomi Daerah Oleh : Ferdinand Kerebungu * * Ketua Program Studi Magister Administrasi Publik, pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Manado, dan mengajar pada S2 Pengembangan Sumberdaya Sosial, Program Pascasarjana Universitas Samratulangi Manado. 1 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik D Edisi 3 / September / 2011 Pendahuluan i era sistem pemerintahan desentralisktik sekarang ini banyak menimbulkan persoalan pemerintahan terutama dalam birokrasi pelayanan publik. Banyak gejolak yang terjadi di daerah sebagai perwujudan ketidak puasan masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dalam tulisan ini dikaji tentang efektivitas pelayanan birokrasi di era otonomi daerah. Realitas yang teralami sekarang banyak birokrat yang tidak mengutamakan pelayanan publik, karena banyak pejabat publik yang diangkat tidak memiliki kapasitas, kapabiltas dan akuntabiltas dalam bidang kerjanya, sehingga mereka tidak menguasai tugas pokok dan fungsinya. Hal ini disebabkan oleh karena penempatan pejabat aselon II dan III, bukan berdasarkan pendidikan dan latihan penjenjangan kerier, tetapi lebih ditentukan oleh tim sukses. Untuk dapat mengoptimalkan sumberdaya yang ada di daerah khususnya sumberdaya manusia, maka sistem pemerintahan dan politik yang berlaku harus didasarkan pada sistem pemerintahan yang demokratis, dan transparan. Di era otonomi daerah saat ini, penyelenggaraan birokrasi pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah pada prinsipnya untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hakhak setiap warga negara berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 pada alinea keempat diamanatkan tentang tugas pemerintah antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 2 Tugas ini di era orde baru belum dapat terwujud hingga ke pedalaman Negara kesatuan Republik Indonesia, karena sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik. Di era reformasi sekarang ini sistem pemerintahan berubah menjadi desentralistik, dengan harapan tujuan terbentuk negara ini dapat terwujud secara optimal. Perubahan arus sistem pemerintahan ini merupakan impian dari masyarakat agar dapat terlayani dengan baik, dan kebutuhan mereka Edisi 3 / September / 2011 dapat tercapai dengan sistem pelayanan birokrasi yang prima. Setelah dua belas tahun pelaksanaan perubahan sistem pemerintahan yaitu dari sistem pemerintahan yang sentralistik ke sistem pemerintahan desentralistik sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, hingga perubahannya menjadi UndangUndang Nomor 32 tahun 2004, junto Undang-Undang no 12 tahun 2008, belum juga menunjukkan perubahan yang signifikan dalam sistem pelayanan publik yang dilaksanakan oleh para birokrat sebagai pejabat publik. Kondisi ini banyak dilihat di tanah air ini tentang maraknya protes yang dilakukan oleh masyarakat, kesulitan menciptakan lapangan kerja, bahkan tujuan utama pemekaran wilayah yang marak terjadi di era otonomi daerah yaitu mendekatkan pelayanan pada masyarakat bagaikan api jauh dari panggang. Pelayanan birokrasi yang terjadi tidak mampu mengimbangi perkembangan tuntutan masyarakat akan pelayanan, seperti pelayanan cepat, tepat, efektif dan efisien, bahkan dalam sistem pelayanan publik modern menuntut para birokrat melakukan pelayanan prima pada publik. Realitas yang dihadapi masyarakat di era otonomi sekarang ini seperti hanya sebuah Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik mimpi yang sulit untuk terwujud. Nampaknya para kepala daerah sebagai top manajemen dalam organisasi pemerintahan daerah lebih disibukkan dengan bagaimana para pendukungnya masuk dalam jajaran kabinetnya. Akibatnya kebanyakan pejabat yang menduduki jabatan aselon dua (II) hingga aselon tiga (III) adalah orang-orang yang tidak berkompeten dibidangnya, apalagi mau menuntut kualitas, sehingga pelayanan publik tidak dapat terlaksana dengan optimal. Persoalan tersebut diperparah lagi dengan kinerja para birokrat yang sangat rendah, yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah “sejauhmana efektivitas pelayanan birokrasi diera otonomi daerah”. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pelaksanaan pelayanan birokrasi terhadap masyarakat di era otonomi daerah. Sehingga tulisan ini dapat bermanfaat untuk melakukan evaluasi pelaksanaan otonomi daerah apakah berjalan efektif sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang otonomi daerah. Untuk meningkatkan kualitas birokrasi dalam pelayanan publik, 3 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik perlu memperhatikan tentang tugas dan fungsi dari masing-masing aparatur. Di mana para aparatur (birokrat) dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang unsur-unsur layanan publik yang secara tepat, memahami alur birokrasi layanan yang ditetapkan oleh masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD), dan yang terakhir, tidak menundanunda pekerjaan. Selain itu, seorang birokrat akan nampak kualitas layanannya terhadap publik seperti kehandalannya, responsif, memiliki pengetahuan luas dan ketrampilan yang baik, memiliki kejujuran dan berperilaku baik, komunikatif, dan memahami secara cepat kebutuhan publik yang dilayani. Banyak pengamat mengatakan bahwa birokrasi identik dengan administrasi. Oleh karena itu birokrasi di Amerika Serikat disebut dengan Administration, (Sarundajang, 2005). Oleh sebab itu, kelemahan birokrat sama dengan kelemahan administrasi pelayanan publik. Selanjutnya Sarundajang (2005), mengemukakan ada lima ciri fungsi birokrasi yaitu: (1) memenuhi tatanan internal organisasi dan keamanan eksternal organisasi; (2) menjamin keadilan di lingkungan masyarakat; (3) melindungi kebebasan individu berdasarkan peraturan dan norma adat istiadat yang berlaku di masyarakat; (4) mengatur tindakan individu agar individu tidak menjadi liar; (5) meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 4 Edisi 3 / September / 2011 Menyimak kelima ciri fungsi birokrasi tersebut, seyogyanya di era otonomi daerah saat ini setiap penjabat publik dalam melaksanakan tugasnya sebagai administrator dan pelayan publik memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat guna mencapai cita-cita pendirian negara ini, dan memberikan pengayoman terhadap masyarakat yang berada di wilayah kerjanya. Jika birokrat sebagai administrator dan pelayan publik melaksanakan tugasnya berdasarkan fungsinya sebagaimana dikemukakan oleh Sarundajang di atas, kita tidak menjumpai berbagai bentuk kekecewaan masyarakat dan sebaliknya masyarakat akan concern dalam aktivitas kesehariannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Lumingkewas dan Masengi (2008), mengemukakan bahwa “birokrasi pemerintahan dapat dipandang dari dua dimensi, yaitu: (1) dimensi kelembagaan yang meliputi; mekanisme dan prosedur, peraturan-peraturan baku yang berstandard dan budaya, dan (2) dimensi sikap dan perilaku birokrasi; dimensi ini merujuk pada berbagai perilaku yang diperankan para birokrat dalam pelayanan publik”. Berdasarkan kedua dimensi birokrasi pemerintahan tersebut, birokrat dalam menjalankan tugasnya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku bagi setiap pejabat publik dan menanpakan perilaku sebagai pamong yang Edisi 3 / September / 2011 patut diteladani oleh semua pihak, yang pada gilirannya akan dapat memberikan pelayanan yang prima terhadap masyarakat. Antara Harapan dan Kenyataan 1. Birokrat sebagai Administrator Seorang birokrat sebagai administrator memerlukan pengetahuan luas, memiliki ketrampilan dan menguasai perkembangan teknologi informasi. Sebagai seorang pelaksana tugas di lembaga pemerintahan harus dapat menjadi sebagai konseptor, perencana, dan pelaksana, hal ini dimaksudkan agar dalam melaksanakan tugas kesehariannya ia mampu menyelesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Hal ini terkait dengan persoalan pelayanan kepada masyarakat, demi kepentingan dan kemajuan bangsa dan negara. Di era kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) saat ini tidak sedikit birokrat yang tidak mampu menguasai dan menggunakan teknologi informasi secara baik, bahkan jika diamati di lembaga-lembaga pemerintahan sering ditemui staf administrasi di kantor-kantor pemerintahan, tidak menggunakan komputer untuk kepentingan tugasnya sebagai seorang administrator, tetapi lebih banyak digunakan permainan game, sehingga sering banyak tugastugas yang seharusnya diselesaikan dalam waktu satu atau dua jam, bisa tertunda sampai berjam-jam atau Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik bahkan berhari-hari. Kondisi ini yang sering membuat masyarakat bosan dengan berbagai keterlambatan dalam soal surat menyurat, dan yang selalu menjadi alasan klasik yang dilontarkan oleh staf tersebut adalah belum ditanda tangan oleh bos/atasannya karena tidak berada ditempat. Berdasarkan realitas yang nampak di daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Utara, kondisi seperti yang disebutkan di atas banyak dipengaruhi oleh sikap kepala daerah (Bupati/Walikota) terpilih yang lebih banyak mendengarkan tim sukses dibandingkan dengan mendengarkan staf atau penjabat yang berkompeten dalam bidangnya. Setiap penjabat aselon dua (II) atau tiga (III) yang diangkat oleh Bupati/ Walikota, tidak lagi berdasarkan pada kapasitas atau kapabilitas para penjabat yang diangkat, dan bahkan tidak memperhatikan pendidikan penjenjangan karier seperti diklat PIM I, PIM II maupun PIM III, dan bahkan pengangkatannya lebih ditentukan oleh tim sukses pilkada, dan peran Badan Pertimbangan Jabatan (Baperjakat) hanyalah bersifat formalitas. Sebagai contoh misalnya, mulai sekitar bulan Juli 2011 sampai saat ini masih terjadi kesalahpahaman antara Walikota Manado dengan Gubernur Provinsi Sulawesi Utara, karena Walikota Manado mengganti beberapa pejabat aselon II tanpa konsultasi dengan Gubernur, seperti 5 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik penggantian Sekretaris Kota Manado. Berdasarkan ketentuan peraturan peundang-undangan yang berlaku bahwa setiap pengangkatan pejabat aselon II harus dikonsultasikan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur. Kasus pemberhentian sepihak terhadap pejabat Sekretaris Kota Manado berakhir di PTUN dan dimenangkan oleh pejabat Sekretaris Kota yang berhentikan. Contoh yang lain lagi, di Kabupaten Minahasa Selatan, penggantian pejabat dan pelantikannya sering dilakukan secara mendadak dan dilakukan malam hari. Lain lagi peristiwa yang dilakukan oleh Walikota Tomohon Sulut yang terpilih (saat ini non aktif, dan ditahan dilembaga pemasyarakatan Cipanang karena tersangkut kasus Korupsi), setelah dilantik oleh Mendagri langsung melantik pejabat aselon II dan III di lembaga pemasyarakatan Cipinang. Fenomena-fenomena demikian bukan barang baru yang ditampilkan oleh setiap pejabat Bupati/Walikota di era Otonomi Daerah saat ini. Contoh arogansi pejabat kepala daerah terpilih yang demikian itulah yang menyebabkan seringkali banyak penjabat tidak berada ditempat karena harus mengikuti ke mana Bupati/Walikota berkunjung, walaupun itu bukan bidangnya, sebab kalau tidak ikut serta dalam rombongan kunjungan kerja, bisa berdampak pada penggantian pejabat. Akibat perilaku demikian birokrasi pelayanan publik tidak 6 Edisi 3 / September / 2011 berjalan optimal, sehubungan dengan tujuan pelaksanaan desentralisasi oleh Syaukani, Gaffar dan Rasyid (2003), mengemukakan bahwa “di masa lalu, banyak masalah terjadi di daerah yang tidak tertangani secara baik karena keterbatasan kewenagan pemerintah daerah . . .”. Pada saat ini kewenangan pemerintah daerah sudah begitu luas dalam mengembangkan potensi yang terdapat di daerahnya, termasuk di dalamnya pelayanan birokrasi terhadap kepentingan masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, Sarundajang (2005) mengemukakan bahwa “Otonomi Daerah adalah hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku”. Banyak keluhan yang disampaikan aparatur di daerah yaitu kurangnya partisipasi masyarakat dalam berbagai program pembangunan termasuk dalam hal pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB). Secara sosiologis dan psikologis, masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masyarakat yang taat pada pemerintahnya, ketaatan dan partisipasi masyarakat tersebut akan lahir dengan sendirinya apabila mereka mendapat perlakuan yang seimbang dan kebutuhan pokoknya terpenuhi. Pelayan yang seimbang dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat merupakan konsekwensi dari implementasi otonomi daerah. Edisi 3 / September / 2011 Oleh sebab itu, sebagai seorang birokrat yang berada pada garis depan pelayanan publik, seyogiyanya mengutamakan pengabdiannya kepada masyarakat (Sapta Prasetya Korpri), ketimbang hal-hal yang tidak berdampak pada peningkatan partisipasi masyarakat. Kelemahan dalam pelayanan dan rendahnya partisipasi masyarakat banyak dijumpai pada saat pemberian kewenangan ke daerah secara luas, karena kewenangan tersebut tidak dilaksanakan secara optimal, karena kosentrasi pejabat yang ada lebih terfokus pada melayani Bupati/Walikota ketimbang melayani masyarakat. Tidak optimalnya pembayaran PBB oleh masyarakat berdampak pada rendah Pedapatan Asli Daerah (PAD), yang implikasi pada kurangnya dana untuk pembangunan, maka tidak mengherankan banyak pejabat di daerah yang ikut jadi pengemis ke pusat untuk meminta tambahan Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), gunan menutupi kekurangan dana dari PAD sebagai sumber utama APBD. Kondisi demikian lebih dipeparah oleh perilaku anggota DPRD yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan konstituennya. 2. Perilaku Birokrasi dalam Pelayanan Publik Sebagaimana telah diutarakan pada bagian sebelumnya, yang Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik banyak mempengaruhi berhasil tidaknya pelaksanaan otonomi daerah terletak pada para pelaku otonomi daerah itu sendiri. Para pelaku otonomi daerah adalah mereka yang diberi kewenangan dan otoritas untuk mengelolah daerahnya, yaitu Bupati/Walikota dan seluruh aparat birokrasi yang berada di bawahnya. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat ditentukan oleh bagaimana perilaku aparatur di daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara bertanggung jawab dan penuh pengabdian, serta didukung oleh kerjasama yang baik antar aparatur yang ada dalam membentuk tim kerja (team work) yang solid. Kaloh (2002), mengemukakan bahwa “salah satu prasyarat tercapainya team work dan konvergensi adalah adanya kejelasan tugas pokok dan fungsi masingmasing institusi pemerintahan”. Yang menjadi persoalan sekarang di daerah adalah banyak pejabat antar satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang kurang memahami tugas pokok dan fungsinya, sehingga dalam perencanaan pembangunan daerah banyak antar SKPD yang saling tumpang tidih program, hal ini sering disebabkan oleh ego sektoral dan kurang koordinasi antar SKPD dalam penyusunan program kerja. Kondisi demikian sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kaloh (2002), “problematik yang dihadapi oleh birokrasi pemerintahan kita adalah 7 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik seringkali sesuatu urusan ditangani oleh banyak instansi sehingga muncul masalah, sulit untuk melacak sumber permasalahan. Dalam kondisi sedemikian ini sulit membangun team work dan konvergensi”. Perilaku ego sektoral sering ditampilkan oleh para pejabat publik, yang tidak mengutamakan pelayanan tapi hanya lebih mempertontonkan kebolehannya dihadapan atasannya (Bupati/Walokota), agar supaya dipandang lebih piawai dalam menyusun program, akan tetapi tidak memperhatikan tupoksinya. Dampak dari perilaku demikian, banyak program kerja yang saling tumpang tindih karena sudah ditangani oleh beberapa SKPD, sehingga dalam satu daerah otonom akan mengalami kesulitan untuk membentuk tim kerja yang solid, mampu berkoodinasi antar SKPD, sehingga tujuan terbentuknya daerah otonom yaitu mendekatkan pelayanan pada publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Sebagai contoh kasus misalnya penanganan beberapa obyek wisata yang terrdapat di Propinsi Sulawesi Utara, seperti Taman Laut Bunaken, dan obyek wisata religi Bukit kasih di Kanonang Minahasa. Pada suatu kesempatan saya mendampingi salah seorang teman yang sedang melakukan penelitian tentang Privatisasi Kebijakan Publik tentang obyek wisata taman laut Bunaken. Dalam proses pengumpulan data, kami menanyakan pada dinas 8 Edisi 3 / September / 2011 pariwisata Provinsi Sulawesi Utara tentang siapa yang bertanggung jawab dalam pengelolaan obyek wisata taman laut Bunaken, kami mendapat jawaban bahwa yang bertanggung jawab adalah pemerintah kota manado, begitu sebaliknya waktu ditanyakan pada dinas pariwisata kota manado, jawabannya adalah pemerintah Provinsi, karena obyek wisata taman laut bunaken berada di beberapa wilayah kabupaten kota. Perilaku saling lempar tangung jawab seperti contoh kasus tersebut memberikan gambaran tentang kinerja aparatur dalam pelayanan publik. Saling lempar tanggung jawab, tumpang tindih program merupakan celah yang terbuka untuk terjadi manipulasi dan korupsi. Di Provinsi Sulawesi Utara tidak sedikit pejabat yang terlibat kasus manipulasi dan korupsi sehingga mereka berurusan dengan pihak berwajib dan bahkan sudah banyak yang masuk lembaga pemasyarakatan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Syaukani, Gaffar dan Rasyid (2003), bahwa “otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi ke daerah”. Raja-raja kecil dan korupsi tidak akan lahir di daerah otonom, jika Bupati/Walikota dalam menjalankan sistem pemerintahannya secara demokratis. Sebab sistem pemerintahan demokratis memberikan peluang bagi masyarakat untuk mengontrol Edisi 3 / September / 2011 jalannya pemerintahan, dan pihak pemerintah lebih terbuka dalam hal penyusunan program (Musrembang sesuai undang-undang 32 tahun 2004) dan penggunaan anggaran publik benar-benar untuk kepentingan publik. Tidak terjadi tumpang tindih program pembangunan dan tidak membuka ruang bagi koruptor akan berdampak positif bagi kemajuan masyarakat, maka tujuan utama utama pembentukan otonomi daerah dapat terealisasi. Penutup Pelaksanaan otonomi daerah pada prinsipnya adalah percepatan pertumbuhan dan pembangunan daerah, serta mendekatkan pelayanan Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik pemerintahan pada masyarakat di daerah. Dalam sistem pemerintahan daerah yang bersifat desentaristik seperti sekarang ini, tanggung jawab lebih bertumpuh pada kepala daerah yaitu Bupati/Walikota, untuk dapat mengoptimalkan dan memberdayakan segala sumberdaya yang ada di daerahnya, termasuk diantaranya sumberdaya manusia secara berdaya guna dan berhasil guna. Untuk mencapai hal tersebut, seorang kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahannya harus bersifat demokratis, transparan dan akuntabel, yang pada gilirannya birokrasi pelayanan publik akan berjalan secara optimal. 9 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Edisi 3 / September / 2011 Daftar Pustaka Kaloh, J., 2002, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, suatu solusi dalam menjawab kebutuhan local dan tantangan global, Rineka Cipta, Jakarta. Lumingkewas, Lexie A., dan Evi E. Masengi, 2008, Reformasi Birokrasi Pemerintahan, dalam perspektif pelayanan publik, Wineka Media, Malang. Sarundajang, S.H., 2005, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Kata Hasta, Jakarta. . . . . . ., 2005, Birokrasi Dalam Otonomi Daerah, uapaya mengatasi kegagalan, Kata Hasta, Jakarta. Syaukani, Afan Gaffar, dan M. Ryaas Rayid, 2003, Otonomi Daerah, dalam negara kesatuan, kerjasama Pustaka Pelajar dan Pusat Kajian Etika Politik dan Pemerintahan, Jakarta. 10 Edisi 3 / September / 2011 II Pelayanan Birokrasi Papua dalam Era Otonomi Khusus Oleh : Oleh Habel M. Suwae 1, Heru Nugroho 2, Djoko Suryo 3 Habel M. Suwae, mahasiswa Program Doktor Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM, dan Bupati Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. 1 2 3 Heru Nugroho, Guru Besar Sosiologi Fisipol UGM Djoko Suryo, Guru Besar Sejarah FIB Universitas Gadjah Mada 11 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik S Pendahuluan ebagaimana diketahui, melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, Papua telah diberi kewenangan untuk mengatur pemerintahan sendiri berdasarkan peraturan perundangan. Dengan Otsus para elite politik di Papua kebanyakan memilih bersikap terbuka terhadap masuknya para investor, baik dari dalam dan luar negeri untuk tujuan mengembangkan Papua lebih maju. UU Otsus itu pun memang dengan eksplisit menyebutkan bahwa Papua dikategorikan sebagai daerah tertinggal jika dibandingkan dengan wilayah Indonesia Tengah dan apalagi wilayah Indonesia Barat. Pilihan strategis politik pembangunan seperti itu membawa konsekuensi daerah ini terus berkembang baik secara politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Dalam bidang politik, proses demokrasi terus bergulir tercermin 12 Edisi 3 / September / 2011 dalam proses Pemilu Kepala Daerah secara langsung. Lebih dari itu melalui prinsip demokrasi politik, terus dipakai dalam untuk mengubah paradigma pembangunan yang lebih partisipatif. Maka di beberapa wilayah Papua, terutama Kabupaten Jayapuran telah menerapkan model pembangunan partisipatif dalam upaya memberdayakan masyarakat. Di Kabupaten Jayapura telah meluncurkan program pembangunan yang diberi nama “Program Pemberdayaan Distrik dan Kapung”, atau yang lebih populer dengan singkatan PPDK.1 Konsep dan paradigma pembangunan ini diluncurkan sebagai respons atas semakin meningkatnya kecenderungan pola pembangunan sentralistik yang lebih menggunakan pendekatan dari atas-bawah (topdown approach). Berbagai program pembangunan pada saat itu lebih banyak prakarsa datang dari pemerintah, sementara prakarsa dari masyarakat kurang terakomodasi dalam proses perencanaan pembangunan. Partisipasi pun kemudian dipahami menurut tafsir tunggal pemerintah, yaitu yang dimaknai seberapa jauh masyarakat melaksanakan program pembangunan yang dirancang dari atas, dari yang telah ditetapkan oleh 1 Urain lebih lengkap terdapat dalam Poli dan Dahlan Abubakar, 2008, Suara Hati yang Memberdayakan: Gagasan Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Jayapura, Makasar: Identitas. Edisi 3 / September / 2011 pemerintah. Dengan PPKD, prinsip pembangunan partisipatif tersebut dilaksanakan secara komprehensif dengan sasaran utama adalah menjadikan warga sebagai subyek pembangunan, sehingga mandiri. Secara konkret sasaran PPKD adalah warga masyarakat lokal dan masyarakat pendatang. Masyarakat lokal adalah sejumlah warga yang sudah cukup lama berdomisili pada lokasi tertentu yang mengembangkan kultur atau pandangan hidup bersama (common way of living) yang lama-lama menjadi identitas. Di Papua, masyarakat lokal ini mewujud dalam komunitas berbasis etnis yang tersebar di berbagai wilayah baik di pantai dan daratan maupun di pegunungan, serta semuanya membangun identitasnya masingmasing. Di samping itu juga terdapat masyarakat pendatang yang datang dari berbagai daerah dan memiliki latar belakang etnis, agama, dan kultur yang beragam, dan mereka itu juga mempunyai identitas masingmasing. Masyarakat Papu kemudian berkembang menjadi masyarakat yang plural, dan masing-masing memiliki identitasnya sendiri. Mereka itu saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan masing-masing menunjukkan indentitasnya. Dinamika interaksi sosial itu kemudian membawa implikasi pada dua kemungkinan, yaitu menuju proses integrasi atau Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik konflik. Melalui PPKD, keberagaman itu justru dijadikan sebagai modal pembangunan dengan mendorong ke arah tujuan bersama yaitu peningkatan kesejahteraan berbasis kemandirian dan keberdayaan. Oleh karena itu multikulturalisme menjadi pilihan utama dalam mengkonstruksi identitas kolektif yang bernama Papua. Dengan kata lain, keberagaman dipandang sebagai potensi integrasi, bukan sebagai faktor yang memecah belah. Bersamaan dengan itu, Papua menjadi wilayah yang terbuka bagi masuknya berbagai aktivitas baik ekonomi, politik, maupun sosialbudaya yang dibawa oleh arus modernisasi. Persinggungan dengan dunia luar membuat masyarakat Papua berelasi dengan berbagai budaya dan kepentingan lain yang terus melakukan interaksi secara intens. Berangkat dari realitas masyarakat Papua yang berkembang semakin plural, pertanyaan menarik adalah bagaimana pelayanan birokrasi pemerintah Papua dalam era Otonomi Khusus sekarang ini. Apakah bias primordialisme seperti baik buruknya pelayanan birokrasi disebabkan oleh faktor kesamaan etnis, agama, dan kekerabatan, atau berkembang menjadi birokrasi modern yang mengutamakan profesionalisme dan merit system. 13 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Birokrasi Primordial Pada era reformasi, pada kurun 1998-1999, atas inisiatif Presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab disebut Gus Dur Irian Jaya diubah menjadi Papua. Sejak itu kepapuaan kembali dihidupkan sebagai identitas alternatif dari identitas “Irian Jaya” yang telah identik dengan “Indonesia” beserta penindasan dan praktik kolonialismenya. Perasaan satu identitas ini disatukan oleh memori penderitaan kolektif dan kongruensi aspirasi yang bersumber dari mitologi sebagian besar suku bangsa masing-masing tentang milenium baru dan mesianisme. Pada era reformasi penggunaan nama Papua menjadi penanda bagi aspirasi bersama itu. Kongruensi aspirasi dan identitas kepapuaan baru pada tahap yang sangat dini. Kepapuaan cenderung berhenti sebagai identitas yang dihayati secara “etnosentris” dan emosional. Perubahan nama dari Irian Jaya menjadi Papua, bagi rakyat Papua asli merupakan momen yang luar biasa dan berkaitan dengan usaha mencari identitas. Bagi sebagian besar warga Papua, penamaan (naming) memiliki signifikansi tinggi terhadap tumbuhnya kepercayaan diri dan pengakuan eksistensial dari dunia luar tentang Papua. Berkembang perasaan di kalangan warga Papua, setelah mendapatkan kembali nama Papua yang diakui secara resmi oleh pemerintah pusat, seperti terlahir kembali. Konstruksi identitas 14 Edisi 3 / September / 2011 kepapuan yang selama ini lebih dibentuk oleh narasi-narasi dominan, maka setelah kembali bernama Papua, terbuka ruang bagi warga Papua untuk mengeskspresikan diri identitas kepapuannya. Struktur-struktur masyarakat Papua yang terdiri dari kurang lebih 250 suku bangsa bersifat otonom satu sama lain. Setiap kelompok suku secara kultural mandiri dan unik, tidak tunduk pada yang lain, dan setiap suku memiliki kosmologi yang memandang dirinya sebagai pusat dari semesta. Setiap kepala suku atau pemimpin lokal tidak memiliki otoritas yang penuh kecuali sebagai juru bicara masyarakatnya. Interaksi yang terbatas di masa lalu belum memungkinkan tumbuhnya kesadaran budaya yang relativistik dan toleran. Oleh karena itu etnosentrisme menjadi persoalan dasar di dalam konsolidasi rakyat Papua. Di dalam kenyataannya budaya semacam ini sulit tumbuh suatu kepemimpinan yang diakui oleh semua kelompok suku bangsa.2 Masyarakat Papua sendiri dalam mengkonstruksi identitas kepapuannya, sebagian ada yang melihatnya secara konservatif dengan latar belakang etnis sebagai basis konstruksi identitas. Mereka menganggap bahwa orang Papua adalah orang Papua asli, sementara 2 Bandingkan dengan studi yang sudah dilakukan oleh Johszua Mansoben, Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, (Jakarta-Leiden: LIPI-RUL). Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Edisi 3 / September / 2011 penduduk yang datang dari luar etnis Papua dianggap sebagai nonPapua. Fenomena etnosentrisme ini semakin mengental ketika sejumlah elite politik menafsir Otonomi Khusus (Otsus) juga dari perspektif esensialisme yang berakar pada geneologis. Oleh karena itu, dalam politik lokal sekarang elite politik lokal menghendaki adanya Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Wakil Bupati harus orang Papua asli.3 Apakah pemahaman yang bias etnosentrisme itu mempunyai implikasi terhadap pelayanan birokrasi? Dalam banyak kasus sedikit-banyak memang memiliki dampak terhadap ketidaknetralan birokrasi dalam memberikan pelayanan terhadap publik. Secara teoretik pemahaman seperti itu sering disebut sebagai birokrasi yang tidak netral. Ada anggapan bahwa berlainan dengan di negara-negara maju, aparat birokrasi di negaranegara berkembang birokrasi sering menunjukkan diri sebagai mesin politik yang tidak netral, dan tidak mungkin netral (King, 1989). Mesin politik itu kadang mencerminkan nilai-nilai serta norma-norma yang kurang rasional, tidak obyektif, dan 3 Sejak tahun 2009, diterbitkan Peraturan Pemerintah Daerah Otonomi Khusus yang merupakan keputusan politik melalui mekanisme pembahasan di DPRD Papua yang menetapkan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakili Walikota harus orang Papua asli. senantiasa penuh muatan politik. Jadi, birokrasi seringkali merupakan bagian dari dominasi politik oleh suatu suku, daerah, atau agama, atau kelompok-kelompok primordial lainnya. Meskipun sebagai birokrasi ia memiliki struktur yang serupa dengan yang ditemui di negaranegara industri maju, namun isinya dan perilakunya secara kental diwarnai oleh kaitan primordialnya (Kuntjoro-Jakti, 1980). Birokrasi semacam itu dikenal sebagai birokrasi primordial (Kartodirdjo, 1988). Dalam birokrasi ini, hubungan-hubungan yang ada secara interen dan eksteren adalh hubungan antara patron dengan klien yang bersifat sangat pribadi dank has. Dalam hubungan semacam itu, di jajaran birokrasi akan timbul masalah pertukaran antara loyalitas dan pemberian ganjaran. Yang loyal kepada patron diberi sumber ekonomi dan status sosial, dan sebaliknya yang tidak loyal akan dibatasi sumber ekonomi dan karirnya. Dampak ikutan atas situasi itu merembes ke praktik penyimpangan kekuasaan, yang lepas dari konstitusi, perundang-undangan, atau pun peraturan-peraturan. Perilaku birokrasi seperti itu sangat terlihat pada era Orde Baru, di mana tidak jarang perilaku birokrasi menyerupai interaksi yang bersifat transaksional. Artinya, terdapat harga yang harus dikeluarkan oleh seseorang ketika berurusan dengan birokrasi. Dalam konteks birokrasi di 15 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Papua sekarang, memang ada juga kecenderungan aparat birokrasi yang dalam memberikan pelayanan masih berkarakter sebagaimana yang ditunjukkan birokrasi primordial. Akan tetapi, karena fakta menunjukkan bahwa Papua berkembang sebagai masyarakat plural, dan bersamaan dengan itu arus demokratisasi juga terus berlangsung, maka birokrasi pemerintah Papua terus berusaha menuju ke arah profesionalisme dan merit sistem. Meskipun demikian, dalam menjalankan pelayanan publik, birokrasi pemerintah Papua berusaha menerapkan prinsip multikulturalisme. Sebagai ilustrasi, dalam menerapkan kebijakan pada sektor birokrasi pemerintahan, Pemkab Jayapura selama ini juga menghindari prinsip geneologis dan etnosentrisme. Eselonisasi dalam jajaran birokrasi sama sekali tidak mempertimbangkan putra daerah. Merit sistem benar-benar diterapkan, dalam arti penunjukan pejabat eselon berdasarkan profesionalisme, dan bukan atas dasar sentimen etnis. Di Papua jabatan seperti Sekretaris Daerah, Kepala Dinas, dan pimpinan proyek strategis, banyak dijabat oleh pegawai yang berasal dari berbagai daeah seperti Jawa, Bali, Batak, Bugis, Menado, dan lain-lain.4 Sedangkan dalam bidang sosial4 Dikutip dari Profil Kabupaten Jayapura, 2009, Sambutan Bupati Kabupaten Jayapura. 16 Edisi 3 / September / 2011 ekonomi, Pemkab Jayapura, sama sekali tidak menerapkan kebijakan yang mengarah pada segregasi sosial. Semuanya dibiarkan tumbuh secara natural, dalam arti mengikuti hukum pasar. Karena itu seperti di daerah lain, di Papua sektor perdagangan banyak dikuasai oleh etnis Tionghoa dan Bugis Makasar. Sedangkan etnis Jawa banyak bergerak pada sektor informal dan pertanian. Meskipun demikian warga Papua asli kemudian mulai masuk ke dalam berbagai sektor strategis tersebut, sehingga membentuk identitas baru yang mengaburkan stigma sosial, seperti orang Papua tertinggal dan tidak transformatif. Di sektor pertanian, kakao misalnya, sekarang telah menjadi identitas baru warga Kabupaten Jayapura, karena baik etnis Jawa maupun penduduk asli telah menjadi subyek dalam budidaya tanaman kakao, yang sekarang sangat populer sebagai identitas warga Jayapura.5 Semua itu menunjukan bahwa dalam menjalankan pelayanan publik, birokrasi Papua sangat mempertimbangkan kepentingan publik yang semakin plural. Orientasi terhadap pelayanan publik ini juga ditegaskan pada komitmen pemerintah Kabupaten Papua, bahwa setiap warga masyarakat adalah ibarat raja yang harus dilayani. Bukan sebaliknya, di mana aparat birokrasi yang fungsi utamanya 5 Profil Kabupaten Jayapura, 2009, ibit. Edisi 3 / September / 2011 adalah melayani masyarakat justru minta dilayani. Pemkab Papua juga membuka kotak aduan bagi warga masyarakat yang tidak mendapatkan pelayanan baik dari jajaran aparat birokrasi. Begitulah, pilihan birokrasi profesional dan berdasarkan merit sistem itu sesuai dengan realitas empirik masyarakat Papua yang cenderung semakin plural. Masyarakat Papua sekarang telah berkembang menjadi masyarakat yang plural, baik dilihat dari latar belakang etnis, agama, dan latar belakang sosial ekonomi. Dilihat dari keragaman latar belakang etnis, masyarakat Papua terdiri atas suku Jawa, Bugis, Maluku, Minang, dan Batak. Dari aspek keagamaan, masyarakat Papua juga terdiri dari berbagai macam agama, seperti Kristen-Protestan, Khatolik, Islam, dan ada juga Hindu.6 Sementara itu dilihat dari latar belakang sosial ekonomi, masyarakat Papua juga bersifat beragam. Dorong Partisipasi Publik Birokrasi pemerintah Papua juga terus mendorong partisipasi publik, agar terlibat dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan, dan distribusi hasil. Kabupaten Jayapuran misalnya, telah menerapkan model pembangunan partisipatif dalam 6 Dikutip dari Kabupaten Jayapura dalam Angka, 2009, Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayapura. Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik upaya memberdayakan masyarakat. Di Kabupaten Jayapura telah meluncurkan program pembangunan yang diberi nama “Program Pemberdayaan Distrik dan Kapung”, atau yang lebih populer dengan singkatan PPDK. Konsep dan paradigma pembangunan ini diluncurkan sebagai respons atas semakin meningkatnya kecenderungan pola pembangunan sentralistik yang lebih menggunakan pendekatan dari atas-bawah (topdown approach). Berbagai program pembangunan pada saat itu lebih banyak prakarsa datang dari pemerintah, sementara prakarsa dari masyarakat kurang terakomodasi dalam proses perencanaan pembangunan. Partisipasi pun kemudian dipahami menurut tafsir tunggal pemerintah, yaitu yang dimaknai seberapa jauh masyarakat melaksanakan program pembangunan yang dirancang dari atas, dari yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pendekatan pembangunan yang top-down tidak mampu menggerakkan sikap-sikap aktif pada masyarakat sendiri untuk berkreasi dalam pembangunan. Sementaran dalam teori pembangunan menjelaskan, bahwa pembangunan belum dianggap berhasil manakala dalam proses pelaksanaannya belum dapat membangkitkan sikap partisipatif pada masyarakat, sehingga masyarakat sendiri yang akahirnya mampu secara mandiri melanjutkan 17 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik usaha pembangunan. Dengan PPKD, prinsip pembangunan partisipatif tersebut dilaksanakan secara komprehensif dengan sasaran utama adalah menjadikan warga sebagai subyek pembangunan, sehingga mandiri. Secara konkret sasaran PPKD adalah warga masyarakat lokal dan masyarakat pendatang. Masyarakat lokal adalah sejumlah warga yang sudah cukup lama berdomisili pada lokasi tertentu yang mengembangkan kultur atau pandangan hidup bersama (common way of living) yang lama-lama menjadi identitas. Di Papua, masyarakat lokal ini mewujud dalam komunitas berbasis etnis yang tersebar di berbagai wilayah baik di pantai dan daratan maupun di pegunungan, serta semuanya membangun identitasnya masingmasing. Di samping itu juga terdapat masyarakat pendatang yang datang dari berbagai daerah dan memiliki latar belakang etnis, agama, dan kultur yang beragam, dan mereka itu juga mempunyai identitas masingmasing. Masyarakat Papua kemudian berkembang menjadi masyarakat yang plural, dan masing-masing memiliki identitasnya sendiri. Mereka itu saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan masing-masing menunjukkan indentitasnya. Dinamika interaksi sosial itu kemudian membawa implikasi pada dua kemungkinan, 18 Edisi 3 / September / 2011 yaitu menuju proses integrasi atau konflik. Melalui PPKD, keberagaman itu justru dijadikan sebagai modal pembangunan dengan mendorong ke arah tujuan bersama yaitu peningkatan kesejahteraan berbasis kemandirian dan keberdayaan. Penutup Begitulah, pelayanan birokrasi pemerintah Papua dalam era Otonomi Khsusus berkembang secara dinamik. Pada awalnya memang terdapat kecenderungan bahwa pemberian kewenangan pengelolaan politik oleh pemerintah pusat dalam bentuk Otsus, disikapi oleh sebagian warga Papua secara primordialistik. Birokrasi pun kemudian menunjukkan karakter birokrasi primordial, sehingga personil, sistem rekreuitmen, dan pelayanan pun ada kecenderungan bias etnosentrisme. Akan tetapi dalam perkembangan lebih lanjut, birokrasi pemerintah Papua berkembang ke arah yang lebih menunjukkan karakter birokrasi profesional dengan menerapkan merit sistem. Karakter masyarakat Papua sendiri yang terbuka dan semakin plural, menjadi pertimbangan utama mengedepankan birokrasi rasional, yang lebih mengutamakan efisiensi dan profesionalisme. Bersamaan dengan itu, birokrasi pemerintah juga terus mendorong partisipasi publik dalam proses pembangunan menuju pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Foto : Antara III Edisi 3 / September / 2011 Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance Oleh : Dr. Muhadam Labolo * * Dosen tetap pada Pasca Sarjana Institut Pemerintahan Dalam Negeri Cilandak dan Unlam Banjarmasin Jurusan Ilmu Pemerintahan, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Strategik Pemerintahan. Email: [email protected] 19 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Pendahuluan R eformasi birokrasi merupakan upaya penataan mendasar yang diharapkan dapat berdampak pada perubahan sistem dan struktur. Sistem berkaitan dengan hubungan antar unsur atau elemen yang saling mempengaruhi dan berkaitan membentuk suatu totalitas. Perubahan pada satu elemen kiranya dapat mempengaruhi unsur lain dalam sistem itu sendiri. Struktur berhubungan dengan tatanan yang tersusun secara teratur dan sistematis. Sedangkan perubahan struktur mencakup mekanisme dan prosedur, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, organisasi dan lingkungannya dalam kerangka pencapaian tujuan efisiensi penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Perubahan tersebut meliputi keseluruhan aspek yang memungkinkan birokrasi memiliki kemampuan yang memadai dalam melaksanakan tugas dan fungsi pokoknya. Kegagalan birokrasi dalam melayani masyarakat selama ini sekaligus menggambarkan buruknya penyelenggaraan pemerintahan baik di level pemerintah pusat maupun daerah. 20 Edisi 3 / September / 2011 Urgensi reformasi birokrasi di Indonesia setidaknya di dorong oleh sejumlah catatan penting, pertama, meningkatnya belanja aparatur disebabkan oleh bertambahnya rekrutmen pegawai tanpa pengendalian yang jelas, disamping membesarnya struktur birokrasi pemerintahan. Peningkatan belanja aparatur dapat dilihat dari hasil evaluasi FITRA (2011), dimana 124 pemerintah daerah cenderung memperlihatkan gejala kebangkrutan. Kabupaten Lumajang menjadi contoh nyata dimana belanja aparatur membengkak hingga mencapai 83% dari total APBD. Ini berarti, lebih kurang 2% pegawai kemungkinan menikmati belanja aparatur, sisanya sebesar 17% diperebutkan oleh 98% masyarakat dalam bentuk alokasi belanja modal/pembangunan. Bertambahnya pegawai hasil rekrutmen tanpa kompetensi yang jelas serta kebiasaan mengembangkan struktur organisasi membuat pemerintah pusat maupun daerah mengalami defisit anggaran layaknya gali-lubang, tutup-lubang. Kedua, membengkaknya ongkos demokrasi (pemilukada) mengakibatkan beban kas pemerintah daerah khususnya mengalami peningkatan signifikan. Ironisnya, perhelatan tersebut tak jelas melahirkan kepemimpinan pemerintahan yang handal. Besarnya anggaran pemilukada, serta dampak yang ditimbulkan terhadap birokrasi mengakibatkan pemerintah kelimpungan dalam menutup defisit Edisi 3 / September / 2011 anggaran. Lebih dari itu birokrasi mengalami dilemma loyalitas akibat terpecahnya konsentrasi pada setiap pesta pemilukada. Ketiga, tingginya gairah penggemukan organisasi birokrasi pemerintahan tanpa perencanaan dan analisis yang jelas memicu pembiayaan dan rekrutmen pegawai dalam jumlah tak sedikit. Akibatnya, birokrasi di daerah mengalami overload, atau bahkan kekurangan, khususnya daerah di luar pulau Jawa. Disisi lain rendahnya pendapatan asli daerah menciptakan ketergantungan pada pemerintah pusat, sementara belanja pemerintah daerah jauh dari efisiensi, bahkan tak terkontrol akibat tingginya beban organisasi. Keempat, meluasnya perilaku koruptif mendorong birokrasi kehilangan kepercayaan sebagai pelayan masyarakat. Kelima, lemahnya pengawasan mengakibatkan pemerintah cenderung bertindak konsumtif, boros, sewenang-wenang dan tak transparan. Keseluruhan catatan negatif tersebut di dukung pula oleh perilaku buruk birokrasi dalam pelayanan masyarakat seperti sikap yang lamban dan reaktif, arogan, nepotisme, berbelit-belit, boros, bekerja secara naluriah (insting), enggan berubah, serta kurang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Masalahnya, bagaimanakah sebaiknya reformasi birokrasi dilakukan, apakah tantangan yang dihadapi, serta bagaimanakah desain reformasi Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik birokrasi yang mesti dilakukan dalam meminimalisasi meluasnya masalah yang dihadapi? Tulisan singkat ini akan mendeskripsikan tentang makna birokrasi dan good governance, karakteristik pemerintahan yang baik, masalah dan tantangan yang dihadapi dalam upaya reformasi birokrasi, serta upaya strategis reformasi birokrasi dan implementasi tata kelola pemerintahan yang baik. Perubahan tersebut diharapkan tidak saja bersifat incremental semata, namun fundamental. Hal itu disadari bahwa upaya reformasi birokrasi merupakan bagian dari grand desain penciptaan tata pemerintahan yang baik (good governance). Konsep ini diharapkan mampu menjembatani suatu kondisi pemerintahan yang buruk (bad government) kearah terbentuknya pemerintah yang baik (good government). Tentu saja birokrasi pemerintahan sebagai instrument pelaksana menjadi fokus utama yang mesti diperbaiki melalui kebijakan reformasi birokrasi. Cakupan tulisan ini juga akan menyentuh reformasi birokrasi pemerintahan baik pusat maupun daerah, sekalipun pada akhirnya lebih menampilkan potret masalah birokrasi di level pemerintah daerah. Bagaimanapun juga, kita semua paham bahwa reformasi birokrasi di level pemerintah daerah merupakan bagian dari kebijakan reformasi birokrasi secara nasional. 21 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Birokrasi dan Good Governance Konsep birokrasi sendiri lazim merujuk pada gagasan Maximilliam Weber (1864-1920). Sekalipun banyak demikian, Albrow1 mengembangkan konsep birokrasi dari berbagai sudut pandang. Secara etimologis, birokrasi berasal dari kata bureaucracy (Inggris), atau burocratie (Jerman), burocrazia (Italia) dan bureaucatie (Perancis), yang berarti meja atau kantor. Istilah ini dimunculkan kembali oleh filosof Perancis, Baron de Grimm atas catatan Vincent de Gournay2. Cracy (kratos) sendiri menunjukkan arti kekuasaan atau aturan. Dalam padanan lain seringkali dihubungkan dengan istilah pemerintahan (proses), sebab pemerintahlah yang paling mungkin memiliki kekuasaan membuat aturan, atau bahkan proses dan sumber dari semua aturan dalam hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah. Statement ini setidaknya sejalan dengan pikiran Gornay dan Laski (1930), yang kemudian mendefenisikan birokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana kontrol sepenuhnya berada di tangan para pejabat yang sampai pada batas tertentu dapat menunda atau mengurangi kemerdekaan warga 1 Martin Albrow dalam Donald P.Warwick, Theory of Public Bureucracy, Cambridge Massachussets, Harvard Universty Press. 2 Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Raja Grafindo, Jakarta, 2000, hal.74-75. 22 Edisi 3 / September / 2011 negara biasa3. Dua contoh lain hasil asimilasi yang sebangun dengan kata itu misalnya konsep demokrasi dan oligarkhi. Apabila sumber kekuasaan berasal dari rakyat banyak lazim disebut demokrasi. Demikian pula apabila sumber kekuasaan tersebut dikendalikan oleh sekelompok rakyat pintar (profesional) dikenal dengan istilah oligarkhi. Bahkan, lewat kalimat provokatif Michel (1962)4 menyatakan bahwa siapa yang bicara tentang organisasi, pastilah bicara tentang oligarkhi. Pada tingkat pragmatis, pelayanan urusan yang lebih rinci pastilah berhubungan dengan apa yang lazim kita sebut dengan birokrasi. Makna bureau (baca:biro) identik dengan kenyataan dalam birokrasi, dimana struktur di bentuk lebih banyak menyelesaikan pekerjaan di atas meja. Pejabatnya biasa duduk di belakang meja. Semua masalah relatif diselesaikan di atas meja. Logikanya, jika urusan diselesaikan di bawah meja mungkin saja bertentangan dengan makna etimologisnya. Ini bisa dimaklumi, sebab secara historis, birokrasi traditional di Perancis (abad 18) menampilkan wajah demikian, boros, eksploitatif, represif, oportunis, kolutif, koruptif dan nepotism. Sinisme atas gejala tersebut melahirkan istilah bureaumania. 3 Laski, H, Bureaucracy, dalam Encyclopaedia of the Social Sciences, volume 3, New York dan London. 4 Michaels, R, Political Parties, New York, 1962. Edisi 3 / September / 2011 Secara fungsional, realitas pelayanan justru menjadi lebih efisien dan efektif jika tanpa melalui meja birokrasi yang terkadang berbelitbelit dan menguras energi. Mungkin inilah yang di sebut Rahardjo (2010)5 sebagai pendekatan hukum progresif dalam pelayanan birokrasi menurut perspektif hukum. Secara faktual, kita banyak menemukan istilah biro pada struktur organisasi. Di Indonesia, di level organisasi provinsi dan pusat misalnya, terdapat jabatan biro yang dipimpin oleh seorang kepala biro setingkat eselon dua. Sebagai contoh, biro hukum, biro organisasi, biro pemerintahan, biro umum dan sebagainya. Ia membawahi sejumlah bagian dan subbagian pada level paling rendah. Bahkan, untuk membedakan secara teknis, seorang pejabat memiliki meja dengan ukuran biro atau setengah biro. Sejauh ini, tak ada istilah lain untuk ukuran meja selain biro, misalnya meja ukuran bagian atau setengah bagian. Pengertian kedua (kantor), merujuk pada hampir semua bentuk organisasi baik sipil maupun militer. Kita sering menyebut kantor pada hampir semua organisasi yang secara fisual terlihat melalui bangunan megah, lengkap dengan sistem dan peralatannya. Demikian pula kantor pada organisasi swasta. Dalam konteks Indonesia, struktur organisasi pemerintah daerah misalnya menggunakan istilah kantor 5 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2010. Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik untuk membedakan unit tersebut dengan dinas dan badan. Kantor menjadi unit paling kecil ukurannya sebelum menanjak menjadi Badan atau Dinas. Di level provinsi, kantor menjadi instrument pemerintah pusat di daerah, seperti kantor wilayah (kanwil) dan kantor departemen (kandep). Pada pemerintahan yang bersifat sentralistik, instrument pemerintah pusat dapat menjangkau hingga ke level pemerintahan paling rendah (dekonsentratif). Sebaliknya, pemerintahan yang bernuansa demokratik biasanya meletakkan kontrol pada level pemerintahan tertentu yang untuk selanjutnya melakukan pengawasan secara berjenjang (desentralistik). Dalam perspektif Weber, birokrasi adalah organisasi rasional dengan segenap karakteristik yang melekat didalamnya. Karakteristik dimaksud antara lain adanya suatu jabatan, tugas, wewenang, hierarkhi, sistem, formalitas, disiplin, profesional, kecakapan dan senioritas. Karakteristik tersebut membentuk birokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan kolektif. Birokrasi, dalam makna konkrit adalah organisasi yang memiliki rantai komando berbentuk piramidal, dimana lebih banyak orang berada di tingkat bawah daripada tingkat atas, baik pada instansi militer maupun sipil. Semakin ke puncak semakin langka pemegang kekuasaan, sebab ia mengokohkan kepemimpinan dengan wewenang yang lebih luas. 23 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Sebaliknya, semakin ke bawah semakin banyak pegawai, tetapi ia semakin menunjukkan wewenang yang lebih terbatas. Kekuasaan tersebut pada akhirnya habis terbagi dalam bentuk spesialisasi dan struktur yang lebih kecil. Demikianlah kekuasaan mengalir menurut hukum alam (natural of law). Ia dimulai dari suatu kekuasaan yang maha besar, lalu mengalir kedalam struktur yang dibagi secara khusus. Dalam pendekatan ilmu alam, kekuasaan tersebut mengalir sebagaimana siklus air hujan. Dimulai dari gumpalan awan yang di pandang sebagai pemberian Tuhan (teosentris). Dari aspek ilmu pengetahuan (antroposentris), air hujan merupakan hasil serapan dari laut berupa uap akibat tekanan panas matahari yang dibawa angin membentuk gumpalan awan hitam. Tidak semua menguap, sebagian besar tersisa menjadi lautan luas. Pada suatu ketika, gumpalan awan hitam tersebut pecah menjadi butiran hujan yang jatuh dan mengumpul di suatu tempat, apakah terserap oleh akar pohon atau terkumpul pada wadah perbukitan yang mengalir melalui sungaisungai besar dan kecil menuju laut. Siklus air hujan secara sederhana dapat kita persamakan dengan siklus kekuasaan. Kekuasaan lahir dari rakyat kebanyakan (demokrasi), sekalipun dalam teori kedaulatan dapat bersumber dari Tuhan (teokrasi) dan atau sedikit orang (aristokrasi). Tekanan konflik dan sejumlah 24 Edisi 3 / September / 2011 motivasi tertentu mendorong terbentuknya representasi pemegang kekuasaan. Para pemegang kekuasaan (pemerintah) baik diyakini merupakan representasi dari kedaulatan Tuhan (teokrasi) atau hasil pilihan masyarakat (demokrasi) secara konkrit membentuk organisasi pemerintahan yang untuk selanjutnya mengalirkannya dalam bentuk struktur-struktur formal birokrasi dari tingkat pusat hingga level pemerintahan paling rendah. Birokrasi pada akhirnya dapat dipandang sebagai cerminan dari pelembagaan kekuasaan yang mengalir deras dari tingkat atas hingga bawah. Dari aspek ini birokrasi secara praktis merupakan instrument/alat dari kekuasaan untuk mencapai tujuan pemimpin maupun tujuan bersama yang diemban oleh pemimpin dimaksud. Pada contoh yang lebih nyata, seorang presiden hasil pilihan rakyat memiliki kekuasaan luas. Kekuasaan tersebut dialirkan secara hirarkhis melalui Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Lurah hingga Kepala Desa. Pada level gubernur, kekuasaan dibagi berdasarkan jumlah wewenang yang diterima, lalu dilembagakan dalam struktur formal seperti biro pemerintahan, bagian pemerintahan dan seterusnya. Demikian pula aliran kekuasaan pada level kabupaten/ walikota hingga pemerintah desa. Kekuasaan dalam konteks ini mengalami formalisasi yang dirinci dan dipertanggungjawabkan secara Edisi 3 / September / 2011 jelas. Inilah yang disebut dengan wewenang (authority). Dalam kaitan itu, birokrasi hadir dan merujuk pada bagaimana cara pemerintah melaksanakan dan membuat peraturan-peraturan yang sah secara sosial. Keabsahan tersebut diharapkan mampu merefleksikan suatu pemerintahan yang baik dengan berbagai ciri yang terkandung didalamnya. Seperti digambarkan oleh Mark Robinson (2000:417), fenomena pemerintahan dewasa ini telah meluas tidak saja pada dunia pemerintah semata, tetapi juga pada ruang non pemerintah seperti perusahaan. Upaya-upaya dalam rangka penerapan kekuasaan melalui serangkaian mekanisme untuk menjamin akuntabilitas, legitimasi dan tranparansi pada berbagai sektor diluar pemerintah menunjukkan gejala pemerintahan yang semakin menguat. Setidaknya hal ini terlihat dalam pembentukan serangkaian aturan atau struktur otoritas dalam komunitas tertentu yang memainkan peran atau fungsi pengelolaan sumber daya termasuk dalam menjaga tatanan sosial. Meluasnya upaya untuk menata pemerintahan kearah yang lebih baik mendorong donor international untuk mengembangkan konsep good governance (pemerintahan yang baik). Pengembangan konsep ini didorong oleh gejala meningkatnya hambatan-hambatan administrasi dan politik dalam pembangunan Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik dunia ketiga. Gejala tersebut antara lain meningkatnya korupsi, kolusi, nepotisme, individualisme serta hilangnya legitimasi politik khususnya pada negara-negara yang kurang mampu dan tanpa sistem demokrasi yang memadai. Berlawanan dari konsep ideal yang ingin dikembangkan, bad government (pemerintah yang buruk) menjadi alasan bagi lembaga international untuk mengembangkan pola yang lebih mungkin dalam kaitan dengan manajemen ekonomi dan politik global. Dalam perspektif negaranegara maju, dua alasan utama yang mendorong lahirnya gagasan penciptaan pemerintahan yang baik adalah pertama, gagalnya pemerintah menjalankan fungsinya yang ditandai oleh tidak bekerjanya hukum dan tata aturan sehingga menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah tentang bagaimana seharusnya pemerintah berinteraksi dengan masyarakatnya. Ini tentu saja berkaitan dengan tanggungjawab pemerintah pada masyarakatnya, demikian pula kewajiban dan hak yang saling mengikat antara mereka yang memerintah dan mereka yang diperintah. Kedua, tekanan dari kelompok neo-liberal yang mendukung dikuranginya peran negara dan pengimbangan kekuasaan kepada penyediaan layanan oleh pembeli dan pengatur. Atau dengan kata lain, pemangkasan peran pemerintah sejauh mungkin dengan 25 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik cara penyerahan kepentingan antara penjual dan pembeli pada mekanisme pasar. Sekalipun upaya-upaya untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik dilakukan misalnya melalui desentralisasi kekuasaan, reformasi pemerintahan, reorientasi birokrasi serta perluasan partisipasi publik untuk mengembalikan akuntabilitas, legitimasi dan transparansi, namun tidak berarti sepi dari dampak pengelolaan pemerintahan. Di negara-negara berkembang, kebijakan demikian semakin memperkokoh tumbuhnya demokrasi liberal yang pada akhirnya mendorong kembalinya pemerintah (eksekutif) meningkatkan kontrol yang lebih represif. Bagaimanapun kita masih percaya bahwa menciptakan pemerintahan yang kuat mutlak dibutuhkan bagi stabilitas politik yang dapat menjamin keberhasilan pembangunan. Karakteristik Good Governance Menurut UNDP (1997), pemerintahan yang baik setidaknya memiliki karakteristik akuntabilitas, transparansi, partisipasi, tertib hukum, responsif, konsensus, adil, efisiensi dan efektivitas, serta memiliki visi strategis. Komponen yang terlibat tidak saja domain pemerintah sebagai pelaksana, tetapi juga meliputi kelompok swasta sebagai pemegang modal dan masyarakat selaku civil society. Ketiga komponen tersebut sepatutnya berjalan secara 26 Edisi 3 / September / 2011 paralel, saling mendukung dan saling berinteraksi. Interaksi tersebut hendaknya dilandasi oleh sejumlah karakteristik yang memungkinkan tata kelola pemerintahan berjalan baik. Dalam konteks ini, good governance lebih menitikberatkan pada aspek proses melalui pendekatan fungsional guna mencapai tujuan yang diinginkan. Uraian selanjutnya akan mengembangkan makna dari sejumlah karakteristik yang melekat dalam konsep good governance. Akuntabilitas, merujuk pada tanggungjawab setiap aktor dalam interaksi berpemerintahan. Meletakkan tanggungjawab satusatunya pada sektor pemerintah bukanlah gagasan terbaik untuk menciptakan pemerintahan yang baik. Tanggungjawab merupakan nilai penting yang semestinya berlaku pada semua elemen dalam proses pemerintahan. Sebagai pemerintah, tanggungjawab diperlukan sebagai konsekuensi terhadap semua jenis kontrak dari level paling bawah hingga pusat pemerintahan. Tanggungjawab merupakan nilai yang mampu menjembatani relasi antara pemerintah dan masyarakat untuk menjamin keberlangsungan pemerintahan. Tanggungjawab pemerintah pada segenap stakeholders selaku pemetik manfaat setidaknya memicu tumbuhnya trust sebagai modal bagi kontinuitas pemerintahan. Tanggungjawab pada elemen masyarakat dibutuhkan agar masyarakat sadar akan apapun output Edisi 3 / September / 2011 pelayanan yang diberikan merupakan upaya paling maksimal yang dapat di produk pemerintah. Pada akhirnya, tanggungjawab masyarakat tidak saja memanfaatkan seefektif mungkin apa yang diberikan oleh pemerintah, juga memelihara semua produk pelayanan yang diberikan, termasuk bertanggungjawab terhadap kegagalan pemerintah yang dipilih oleh mereka sendiri. Demikian pula pada elemen lain, para pemegang modal (swasta) seyogyanya memegang prinsip tanggungjawab dalam interaksi dengan masyarakat dan pemerintah. Setiap tindakan yang secara praktis berkaitan serta membebani masyarakat dan pemerintah, seharusnya dapat dipertanggungjawabkan secara murni dan konsekuen. Kasus Lumpur Lapindo di Indonesia (2005) mereflesikan tanggungjawab keseluruhan elemen, bukan saja pemerintah, swasta dan masyarakat. Sulit membayangkan jika pihak swasta lari dari tanggungjawab tersebut, sebab ketiga elemen tadi memiliki batasan terhadap tanggungjawab masing-masing. Transparansi, merupakan karakteristik yang memungkinkannya terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap apa yang diartikulasikan pemerintah dalam hal kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Rendahnya transparansi pemerintah berkenaan dengan perencanaan dan implementasi kebijakan menunjukkan lemahnya itikad baik dalam mewujudkan tujuan Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik dan harapan masyarakat. Salah satu sorotan utama dewasa ini adalah seberapa efektif pemerintah mampu memperjuangkan kepentingan masyarakat melalui anggaran yang tersedia. Perencanaan yang transparan meyakinkan masyarakat tentang sejauhmana kepentingan mereka mampu didokumentasikan secara jujur oleh pemerintah. Pada tingkat yang lebih jauh, seberapa kuat komitmen pemerintah dalam merealisasikan semua perencanaan yang telah disepakati. Ketiadaan nilai transparansi seringkali ditunjukkan oleh mandeknya semua dokumen perencanaan tanpa realisasi, atau mengalami perubahan dipersimpangan jalan sesuai kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu. Akibatnya, semua perencanaan pemerintah kehilangan koneksitas dengan kepentingan masyarakat. Selain itu, indikasi meluasnya perilaku koruptif dalam pemerintahan semakin meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah kehilangan karakteristik transparansi dalam menjalankan fungsi pelayanan. Penyakit demikian bukan saja melanda pemerintah, demikian pula sektor swasta dan masyarakat pada tingkat tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam kasus projek Pembangunan Wisma Atlit di Kemenpora. Partisipasi, menunjukkan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan dokumen perencanaan pembangunan. Partisipasi aktif masyarakat lebih jauh 27 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik menggambarkan sejauhmana kepentingan mereka telah terakomodir dengan baik, selain melibatkan mereka dalam hal tanggungjawab yang lebih luas. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya partisipasi dalam pembangunan. Faktor pendidikan menjadi kunci penting dalam mendorong kesadaran masyarakat. Masalah berikut justru terletak pada rendahnya keterbukaan pemerintah dalam melibatkan partisipasi masyarakat. Kondisi ini tentu saja berhubungan dengan nilai transparansi, sehingga pemerintah terkesan sulit melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah yang buruk seringkali mengidap perasaan curiga yang berlebihan ketika masyarakat terlibat dalam setiap proses perencanaan pembangunan. Disini terlihat jelas bahwa jika partisipasi masyarakat rendah, kemungkinan kesadaran mereka rendah pula disebabkan rendahnya tingkat pendidikan yang diperoleh sehingga bersikap apatis. Sebaliknya, jika pemerintah enggan melibatkan partisipasi masyarakat, kemungkinan kesadaran pemerintah juga rendah sehingga mendorong kecurigaan terhadap setiap keterlibatan masyarakat. Tertib hukum merupakan karakteristik yang memungkinkan terciptanya masyarakat taat hukum. Ketaatan hukum memberikan 28 Edisi 3 / September / 2011 landasan bagi pemerintah dalam menjalankan visi dan misi yang diemban, sekaligus memperlihatkan tingkat aksebilitas masyarakat terhadap pemerintah. Semakin rendahnya kepatuhan hukum masyarakat menunjukkan semakin rendah pula tingkat penerimaan masyarakat terhadap pemerintahnya. Tertib hukum dimaksudkan untuk menciptakan social order, yaitu suatu kondisi tertib bermasyarakat, sadar akan aturan yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat itu sendiri. Dalam hubungan itu, dibutuhkan kesadaran pemimpin untuk memberikan contoh sehingga mampu mendorong terwujudnya tertib hukum. Kehadiran pemerintah dalam setiap pelayanan masyarakat mengindikasikan hadirnya perlindungan bagi masyarakat, sekaligus menunjukkan adanya hukum itu sendiri. Itulah mengapa seringkali gejala pemerintahan dipandang sebagai gejala hukum. Responsif, adalah karakteristik pemerintah yang mampu memberikan tanggapan sedini mungkin, terhadap setiap masalah yang dihadapi masyarakat. Kemampuan memberikan jawaban atas setiap masalah yang dihadapi masyarakat menunjukkan kemampuan pemerintah dalam memahami apa yang menjadi kebutuhan utama masyarakat. Kegagalan merespon setiap masalah yang dihadapi masyarakat menunjukkan ketidakpedualian Edisi 3 / September / 2011 pemerintah serta hilangnya sense of belonging atas problem yang dialami oleh masyarakat. Dalam perspektif masyarakat, jangankan kehadiran, statement pemerintah sekalipun dapat dinilai sebagai respon positif terhadap masalah yang sedang mereka hadapi. Konsensus, adalah karakteristik yang menggambarkan kemampuan pemerintah dalam membangun kesepakatan antara tuntutan secara bottom-up dan topdown. Konsensus juga merujuk pada bagaimana pemerintah membangun kesepahaman yang memungkinkan semua kepentingan dapat diakomodir pada saluran yang tersedia. Konsensus merupakan landasan bagi pencapaian komitmen bersama. Komitmen bersama berkaitan dengan kepentingan stakeholder dalam mewujudkan tujuan yang diamanahkan pada pemerintah. Kegagalan membangun konsensus dapat meruntuhkan kepercayaan masyarakat dimana pemerintah dapat dinilai mengkhianati amanah yang diberikan. Kemampuan pemerintah memelihara konsensus yang telah dibangun dapat diartikan sebagai kemampuan pemerintah dalam memelihara amanah. Adil merupakan karakteristik yang dapat mendorong akseptabilitas masyarakat pada pemerintahnya. Keadilan merupakan salah satu tujuan ingin dicapai oleh setiap pemerintah. Keadilan lazimnya melekat pada para pelaku pemerintahnya, khususnya pemimpin. Keadilan bertujuan untuk Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik menciptakan pemerataan, sekaligus memberikan hak dan kewajiban secara proporsional. Efisiensi dan efektivitas merupakan karakteristik good governance yang merefleksikan kemampuan pemerintah dalam pencapaian tujuan secara tepat guna dan hasil guna. Pencapaian tujuan dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektivitas dapat mendorong produktivitas pemerintahan menjadi lebih berkualitas tanpa membuang modal yang besar. Kegagalan pemerintah dalam mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas membuat pemerintah kehilangan modal serta tak mampu berbuat banyak, kecuali membiayai pegawai dilingkungannya masingmasing. Kondisi tersebut membuat pemerintah mengalami beban anggaran yang cukup besar selain tak mampu membuat kebijakan strategis. Karakteristik visi strategis berkaitan dengan kemampuan pemerintah dalam mewujudkan citacita ideal namun realistis berdasarkan kebutuhan masyarakat. Tanpa visi yang jelas pemerintah sebenarnya hanya menjalankan fungsi secara instingtif, tanpa penalaran jauh kedepan. Visi diharapkan menjadi petunjuk yang dapat dikonkritkan dalam bentuk misi, program hingga kegiatan teknis. Visi menggambarkan masa depan pemerintahan dan memuat cita-cita ideal masyarakat yang dapat diwujudkan oleh 29 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik pemimpinnya sejauh ia mampu dan konsisten. Visi strategis membutuhkan kesinambungan dalam mengawal agenda-agenda yang telah ditetapkan. Pemerintahan yang bertolak dari visi adalah pemerintahan yang memiliki pandangan jauh kedepan, serta memiliki cita-cita yang bersifat jangka panjang serta berkelanjutan. Inilah sejumlah karakteristik pemerintahan yang baik (good governance) menurut UNDP. Secara umum, karakteristik tersebut menjadi variabel penting tidak saja bagi pemerintah, demikian pula pihak swasta dan masyarakat luas. Penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik bukanlah semata-mata menjadi bagian dari kebijakan pemerintah, namun bersentuhan pula dengan nilai dan sikap yang dianut oleh pihak swasta dan masyarakat. Menurut Gerry Stoker (1998), proposisi governance meliputi lima hal yaitu; pertama, merujuk pada seperangkat institusi dan aktor yang terdapat pada dan di luar pemerintah. Kedua, mengidentifikasi kekaburan batas dan tanggungjawab untuk menangani isu-isu sosial ekonomi. Ketiga, mengidentifikasi ketergantungan kekuasaan yang terdapat dalam hubungan antara institusi yang melakukan tindakan kolektif. Keempat, adalah tentang jaringan aktor yang bersifat mandiri dan mengatur sendiri. Kelima, mengakui kapasitas guna menyelesaikan sesuatu yang tidak bersandar pada kekuasaan 30 Edisi 3 / September / 2011 pemerintah untuk memberikan komando atau menggunakan otoritasnya. Governance memandang pemerintah mempunyai kemampuan untuk menggunakan alat dan teknik baru dalam mengarahkan dan menuntun. Disamping itu, Hayden (dalam Hamdi, 2002:14), menyebutkan empat variabel dalam konsep governance, yaitu; authority yang berarti eksistensi kekuasaan yang legitimate, reciprocity, yaitu pengembangan pandangan penggunaan kekuasaan tidak selalu merupakan zero-sum game, tetapi juga dapat menjadi positive sum game. Trust, yang diartikan hidup bersama dan terikat, secara kompetitif atau koperatif dalam mengejar tujuan bersama. Accountabilitypada dasarnya memperkuat kepercayaan masyarakat dan sebaliknya. Tantangan Reformasi Birokrasi dan Good Governance Menurut Muhammad (2007), tantangan reformasi birokrasi meliputi tiga masalah pokok, yaitu pertama, faktor internal yang meliputi ketidakmampuan birokrasi mengubah dirinya menjadi lebih baik. Kedua, faktor eksternal berkenaan dengan tingginya intervensi politik yang membuat birokrasi kehilangan konsentrasi dalam menjalankan fungsi pelayanan. Ketiga, faktor keraguan publik terhadap efektivitas kebijakan yang direncanakan dan diimplementasikan oleh birokrasi. Faktor pertama disebabkan oleh kelemahan birokrasi dalam Edisi 3 / September / 2011 memperbaharui kinerjanya sesuai perkembangan lingkungan. Tingginya dinamika masyarakat dalam menuntut pelayanan yang lebih baik tak serta merta diimbangi oleh kemampuan birokrasi dalam mengembangkan kecerdasan, kecakapan dan keterampilan dalam pengelolaan pemerintahan. Polapola pendekatan dan pelayanan kepada masyarakat secara nyata menunjukkan indikasi perilaku traditional. Pelayanan birokrasi disandarkan pada hubungan kekeluargaan yang bersifat emosional, jauh dari karakter ideal birokrasi, yaitu suatu hubungan yang bersifat impersonal. Harus diakui bahwa perbedaan kultur di dunia barat dan timur merupakan kenyataan yang harus diakui dalam pemberian pelayanan pada masyarakat. Menyandarkan pelayanan dengan meletakkan prinsip impersonalitas secara kaku sebagaimana dimaksud Weber tidaklah menciptakan rasa keadilan yang memadai. Setiap masyarakat yang dilayani terdiri dari masyarakat yang mampu dan tak mampu secara fisik dan non fisik. Mereka yang secara fisik tak mampu, tentu saja membutuhkan pendekatan untuk dilayani secara jemput-bola. Sedangkan mereka yang tak mampu secara non fisik, seperti masalah finansial, harus diberikan insentif yang seimbang agar pelayanan tetap diberikan secara merata. Sebaliknya, menyandarkan pelayanan dengan meletakkan hubungan personalitas Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik secara keseluruhan sama halnya dengan menciptakan diskriminasi bagi kelompok masyarakat yang tak memiliki akses secara langsung pada pemerintah, sebab hanya mereka yang dikenal secara personal saja yang akan dilayani. Ketidakmampuan birokrasi memahami pluralitas dalam masyarakat seringkali menimbulkan ketidakadilan dalam pelayanan. Dalam konteks ini diperlukan birokrasi yang mampu beradaptasi dengan perkembangan masyarakat, serta mampu menjawab setiap persoalan tidak saja secara struktural, namun fungsional. Pendekatan struktural dalam pelayanan seringkali berhadapan dengan aturan dan norma yang berlaku, sehingga sulit menyelesaikan masalah secara tuntas. Pola penyelesaian masalah dengan menyandarkan semua pada aspek regulasi tak selalu membawa hasil maksimal. Masyarakat seringkali merasa frustasi karena pelayanan mereka mengalami kebuntuan hanya karena ketidakmampuan birokrasi saat menerjemahkan aturan yang berlaku. Sebaliknya, kelompok birokrat terkesan seperti robot yang kehilangan rasa kemanusiaan ketika semua perkara diselesaikan berdasarkan aturan yang berlaku. Persoalaannya, bagaimana jika tuntutan masyarakat melampaui aturan itu sendiri yang kadangkala datang terlambat, atau bahkan terjadi kekosongan regulasi. Apakah dengan alasan yang sama pemerintah mesti menolak pelayanan kepada 31 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik masyarakat? Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan fungsional yang dapat menyelesaikan hingga ke akar masalah. Dalam konteks ini birokrasi seringkali menyimpan dan merawat masalah untuk kepentingan tertentu, tidak berupaya menyelesaikan masalah secara tuntas. Pendekatan fungsional dalam pelayanan merupakan pola pendekatan untuk mengimbangi pendekatan struktural yang terkadang menghambat, berbelitbelit, membutuhkan waktu lama serta mengeluarkan biaya yang tak sedikit. Perlu diingat bahwa melandaskan semua pelayanan secara fungsional juga tidak tepat, sebab semua pelayanan pada dasarnya membutuhkan pelembagaan formal sehingga dapat diawasi dan dikendalikan. Dewasa ini, pola pendekatan fungsional mengalami banyak kemajuan, khususnya di level pemerintah pusat. Lahirnya badan, lembaga dan komisi yang bersifat mezzo-struktur disamping lembaga formal yang telah ada, merupakan cerminan dari pola penyelesaian masalah dengan menggabungkan pendekatan struktural dan fungsional. Sekalipun demikian bukan berarti tanpa catatan, lembaga-lembaga tersebut tidak saja membebani anggaran birokrasi pemerintah secara umum, namun menimbulkan overlap serta kurang produktif. Faktor kedua yang menjadi tantangan reformasi birokrasi adalah tingginya intervensi politik 32 Edisi 3 / September / 2011 dalam birokrasi. Politisasi birokrasi mendapatkan ruang ketika kelompok elit partai politik memanfaatkan momentum pemilukada untuk menggerakkan birokrasi sebagai mesin politik sekaligus aktivis politik. Akibatnya, seperti yang dikatakan oleh Dwiyanto (2011), birokrasi mengalami pemecahan konsentrasi, sekaligus pada saat yang sama gagal melayani masyarakat sesuai misi yang dipikulnya. Pecahnya konsentrasi birokrasi disebabkan sirkulasi kepala daerah setiap lima tahun sekali. Mereka yang dominan bersandar pada calon incumbent seringkali mengalami disorientasi saat kalah dalam kompetisi pemilukada. Politisasi birokrasi menciptakan hubungan antara eksekutif dan legislatif mengalami dinamisasi serius kalau tidak ketegangan yang berkesinambungan. Akibatnya, birokrasi yang mengambil jalan kompromi pada akhirnya turut mempersubur tingkat kebocoran anggaran baik di pusat maupun daerah, karena melakukan persengkokolan kolektif. Indikasi tersebut bisa diketahui lewat ramainya kebocoran anggaran APBN oleh Badan Anggaran, serta bobolnya APBD pada saat perencanaan dan penetapannya. Birokrasi yang mengambil jarak secara tegas dengan kelompok politisi justru mengalami ketegangan karena rentan kehilangan jabatan. Sisanya kelompok birokrat yang mengambil sikap apatis terhadap dinamika yang terjadi Edisi 3 / September / 2011 dalam setiap rotasi pemerintahan. Intervensi politik terhadap birokrasi telah merangsang nafsu aparat untuk membangun komitmen rahasia dengan para elit dalam masa sirkulasi kekuasaan. Komitmen tersebut berupa transaksi politik yang berujung pada persoalan siapa dapat apa, berapa banyak dan kapan. Dalam konteks ini terbangun koalisi efektif antara eksekutif dan legislatif dalam pembobolan anggaran. Kekuasaan yang besar membuat birokrasi terombang-ambing serta sulit menentukan netralitasnya sebagai pelayan masyarakat. Semua itu di dukung oleh kemampuan kepala daerah dalam memobilisasi sumber daya melalui sebagian anggota tim sukses yang berasal dari jajaran birokrasi. Mobilisasi sumber daya dilakukan bahkan secara terang-benderang melalui rekrutmen pegawai berdasarkan hubungan primordial dan patronase, bukan merit sistem apalagi kompetensi. Keadaan ini jelas mengembangkan perilaku koruptif dalam birokrasi sebagai konsekuensi dari hubungan yang bersifat transaksional. Akibatnya, birokrasi terkesan bukan milik masyarakat namun elit berkuasa, yang dapat dilihat dari sikap dan orientasinya yang cenderung melihat keatas, daripada melihat kebawah. Faktor ketiga tantangan reformasi birokrasi adalah keraguan masyarakat terhadap setiap kebijakan yang dilaksanakan oleh birokrasi. Rendahnya pendidikan Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik serta kurangnya analisis terhadap setiap kebijakan yang diproduk, menjadikan birokrasi tak mampu membuat kebijakan yang efektif dalam menyelesaikan masalah. Tingginya resistensi yang ditandai oleh meningkatnya demonstrasi masyarakat dan pihak swasta yang merasa dirugikan oleh setiap kebijakan yang ditetapkan menunjukkan dua alasan diatas. Keraguan masyarakat dan pihak swasta terhadap efektivitas kebijakan birokrasi disebabkan selain oleh dua faktor diatas, juga masalah kredibilitas birokrasi. Rendahnya kredibilitas birokrasi dalam mendesain suatu kebijakan dapat diketahui dari rendahnya keterlibatan pakar dalam bentuk asistensi, ketiadaan naskah akademik terhadap rancangan peraturan (khususnya peraturan daerah), serta rendahnya konsultasi publik terhadap rancangan peraturan yang dibuat. Keseluruhan indikasi tersebut bermuara pada rendahnya kualitas rancangan kebijakan sehingga menimbulkan resistensi dari para pemangku kepentingan (stakeholders). Kelemahan rancangan kebijakan pada tahap perencanaan hingga tahap implementasi tak serta merta membuat birokrasi melakukan evaluasi yang berkelanjutan, namun berusaha menutupi kelemahan kebijakan tersebut. Sikap ekslusivisme dan seakan tau semua masalah mendorong birokrasi pada perilaku arogan ketika merespon setiap tuntutan masyarakat. 33 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Disamping itu, keraguan masyarakat terhadap efektivitas kebijakan birokrasi tumbuh disebabkan oleh melimpahnya program yang dijanjikan namun kehilangan fokus saat implementasi. Akibatnya, lebih banyak program yang bersifat list service, daripada realitas yang diharapkan. Masyarakat terkadang merasa muak terhadap kelambanan dan kerakusan birokrasi sebagaimana disinyalir oleh Barzelay (1982) dalam ‘Breaking Through Bureaucracy’. Pada akhirnya, keraguan masyarakat terhadap reformasi birokrasi secara umum tumbuh disebabkan oleh rendahnya kepercayaan pada sistem dan sumber daya manusianya. Buruknya sistem dalam pelayanan birokrasi membuat masyarakat tak merasa jelas dalam penyelesaian masalahnya. Demikian pula buruknya perilaku birokrasi dalam hal pelayanan membuat masyarakat tak percaya apa yang selama ini dikerjakan oleh pemerintah. Gambaran ini setidaknya disinggung oleh Osborne & Gaebler (1992) dalam ‘Reinventing Government, bahwa masalah pemerintah terkadang bukan pada apa yang mereka kerjakan, namun bagaimana pelayanan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance Seperti telah disinggung dalam pendahuluan, reformasi birokrasi merupakan upaya penataan kapasitas kelembagaan yang menyangkut 34 Edisi 3 / September / 2011 sistem dan struktur birokrasi dalam menjalankan fungsi pokok sebagai pelayan masyarakat. Jika secara politis birokrasi merupakan instrument kekuasaan dalam mewujudkan visi dan misi penguasa sesuai amanah rakyat yang dituangkan dalam bentuk kebijakan politik formal, maka reformasi birokrasi semestinya diarahkan pada upaya penciptaan situasi yang kondusif agar birokrasi netral dari pengaruh kekuasaan yang berlebihan. Apabila secara sosiologis birokrasi dipandang sebagai organisasi paling rasional yang memiliki sejumlah karakteristik sebagai pelaksana interaksi antara pemerintah disatu sisi dan masyarakat disisi lain, maka reformasi birokrasi selayaknya diarahkan pada penguatan karakteristik dimaksud, sekalipun mesti dengan sejumlah catatan pengecualian pada tahap implementasi. Jika secara administratif birokrasi dipandang sebagai media yang memudahkan pelayanan, menitikberatkan aspek efisiensi dan efektivitas serta memiliki mekanisme dan standarisasi yang jelas dalam interaksinya, maka reformasi birokrasi seharusnya diarahkan pada sejumlah alternatif pilihan kebijakan seperti reformasi struktural, kapasitasi dan instrumentasi. Kini, marilah kita cermati bagaimanakah desain kebijakan reformasi birokrasi sebaiknya dilakukan dalam mewujudkan fungsi birokrasi sekaligus mendorong penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik (good Edisi 3 / September / 2011 governance). Pertama, reformasi organisasi (struktural). Organisasi dapat diartikan dalam dua macam, pertama dalam arti statis, yaitu organisasi sebagai wadah tempat dimana kegiatan kerjasama dijalankan. Kedua dalam arti dinamis, yaitu organisasi sebagai suatu sistem proses interaksi antara orang-orang yang bekerjasama, baik formal maupun informal. Uraian selanjutnya akan lebih menitikberatkan pada pengertian kedua, yaitu organisasi dalam arti dinamis. Hal ini sebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Secara internal organisasi di dorong oleh tingginya tekanan kekuasaan, sedangkan secara eksternal di dorong oleh perubahan lingkungan yang lebih luas. Kedua faktor tersebut cukup dominan menjadikan organisasi pemerintah tampak dinamis. Desain reformasi struktural dapat dilakukan dengan meletakkan landasan kuat bahwa organisasi adalah alat untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perbedaan pemahaman dalam manajemen pemerintahan seringkali menjadikan birokrasi tak efektif menjalankan tugas dan fungsinya. Boleh jadi dalam perspektif seorang kepala daerah birokrasi adalah alat untuk mewujudkan gagasan ideal dalam bentuk visi dan misi selama lima tahun, namun dalam perspektif aparatur birokrasi adalah tujuan akhir berkenaan dengan bagaimana jabatan paling tinggi sebagai refleksi Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik kekuasaan dapat dicapai. Masalah kemudian bertambah ketika sebagian besar kepala daerah justru berpikir sama dengan aparatnya, yaitu bagaimana menjadikan birokrasi sebagai alat untuk memperoleh akses bagi keseluruhan sumber daya yang tersedia. Reformasi oganisasi tidaklah sekedar slogan kaya fungsi miskin struktur, namun lebih dari itu organisasi didesain berdasarkan kebutuhan, bukan kepentingan politik atau kelompok tertentu. Pada level hirarkhis diperlukan pemangkasan yang memungkinkan jenjang struktural lebih pendek. Dalam jarak tertentu dibutuhkan pendelegasian yang memungkinkan pelayanan lebih efisien dan efektif. Pada level horizontal dibutuhkan organ fungsional yang lebih fleksibel dalam menjawab tuntas akar masalah yang dihadapi. Dominasi aspek struktural selama ini telah menciptakan kekakuan, selain membuang waktu dan biaya yang tak sedikit. Panjangnya jalur hirarkhis membuat setiap masalah terkesan basi ketika kembali pada masyarakat, bahkan sulit bersentuhan langsung dengan para pengambil keputusan (decition maker). Organisasi sebaiknya disusun berdasarkan hasil analisis jabatan dan beban kerja, bukan kompromi politik. Harus diakui bahwa budaya penyusunan organisasi di daerah selama ini cenderung mempraktekkan cara-cara penyusunan organisasi di tingkat pusat. Sistem pemilukada 35 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik telah menjebak kepala daerah untuk melakukan rekonstruksi organisasi pemda lewat cara-cara resuhffle kabinet jilid satu, dua dan seterusnya. Pola penjenjangan karier kurang diperhatikan, bahkan hasil Baperjakat hanyalah unsur formalitas dalam penempatan personil pada struktur organisasi pemda. Kasus pencopotan pejabat setingkat sekretaris daerah dalam tempo singkat dan mutasi besar-besaran adalah contoh yang dapat diamati dalam wilayah pemerintah daerah. Akibatnya, organisasi Pemda memperlihatkan gejala obesitas yang sarat kepentingan politik para elit lokal sehingga sulit bergerak mencapai tujuan. Praktis organisasi dibentuk untuk menjawab kepentingan rezim berkuasa, bukan menjawab masalah yang dihadapi masyarakat. Kondisi ini tidak saja berlaku di daerah, namun dipraktekkan terang-benderang di level pusat melalui perluasan organisasi pemerintahan. Potret tersebut terlihat tidak saja pada perluasan kementerian departemen, namun tampak pada puluhan organisasi setingkat lembaga, badan dan komisi. Ironisnya, pengetatan organisasi agar lebih ramping dan kaya fungsi diutamakan pada pemerintah daerah melalui kebijakan PP No. 41 Tahun 2007, namun gagal melakukan efisiensi organisasi di level organisasi pemerintah pusat. Melebarnya ukuran organisasi tanpa analisa kebutuhan jabatan dan beban kerja membuat performance organisasi 36 Edisi 3 / September / 2011 pemda khususnya terkesan tambun dan statis. Ini bisa dipahami jika dihubungkan dengan bertambahnya rekrutmen pegawai setiap tahun tanpa pengendalian berdasarkan kompetensi. Rekrutmen pegawai tanpa kompetensi pada akhirnya hanya akan menyerap besaran APBD yang tak sedikit guna meningkatkan kecakapan dan keterampilan pegawai, disamping tersisihnya peluang bagi rekrutmen pegawai yang memiliki kompetensi ideal seperti guru, analis kebijakan, dokter, apoteker dan perawat. Postur organisasi Pemda yang mengalami kegemukan tentu saja dapat menyedot belanja aparatur lebih besar dibanding belanja pembangunan. Realitas ini dapat ditemukan pada sejumlah kabupaten seperti Lumajang, Tasikmalaya, Sragen, Palu, Ambon dan Bitung misalnya, dimana lebih dari 70% APBD habis untuk belanja aparatur (FITRA:2011). Kedua, diperlukan reformasi kapasitasi yang memadai guna meningkatkan kemampuan aparatur dalam melayani masyarakat. Reformasi kapasitasi adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan sumber daya birokrasi dalam pelayanan agar mampu mengimbangi dinamika masyarakat. Reformasi kapasitasi berkaitan dengan kemampuan birokrasi baik secara individual maupun kelompok yang ditunjukkan pada kemampuan menerjemahkan visi dan misi, program dan kegiatan. Edisi 3 / September / 2011 Pengembangan kapasitas aparatur berfokus pada aspek pendidikan dan pengalaman yang akan menentukan nilai profesionalisme birokrasi dihadapan masyarakat. Profesionalisme sekurang-kurangnya ditunjukkan oleh sertifikasi pendidikan dari jenjang dasar hingga jenjang yang lebih tinggi. Aspek tersebut diimbangi oleh segudang pengalaman pada berbagai organisasi yang memiliki nilai dan kompetensi utama. Kedua aspek tadi setidaknya dapat membentuk kemampuan individual, sekaligus pada saat yang sama mendorong kemampuan kolektivitas birokrasi. Rendahnya pendidikan aparatur mengakibatkan kesenjangan antara mereka yang dilayani dan mereka yang melayani. Kesenjangan ini seringkali menimbulkan ketegangan sekaligus kecurigaan terhadap kinerja birokrasi. Parahnya, tertutupnya kebijakan pengembangan pendidikan dan lahirnya diskriminasi dalam pengembangan sumber daya di daerah melahirkan kasus jalan pintas lewat indikasi ijazah palsu dan gelar pendidikan tanpa jelas asal-usulnya. Untuk mengantisipasi hal itu diperlukan desain kebijakan reformasi kapasitasi jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka panjang diperlukan pendidikan yang berbasis pada kebutuhan dan karakteristik organisasi pemerintah daerah. Sebagai perbandingan, daerahdaerah yang berbasis kompetensi kelautan, perikanan, pertanian Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik dan jasa, kiranya membutuhkan aparat yang menguasai sektor unggulan dimaksud. Ini penting untuk mendorong perkembangan daerah lebih cepat dan kompetitif. Pembangunan berbasis keunggulan lokal membutuhkan birokrasi yang mampu menjawab tantangan yang muncul. Dalam jangka panjang dibutuhkan aparatur yang memiliki pengetahuan yang memadai guna penyusunan rencana kegiatan hingga keterampilan mengimplementasikan suatu program secara efektif. Pada akhirnya, semakin tinggi kapasitas pemerintah daerah semakin rendah pula resiko yang akan dihadapi dimasa mendatang. Sebaliknya, semakin rendah kapasitas pemerintah daerah, semakin tinggi resiko yang akan dihadapi. Dampaknya, birokrasi dan pemerintah secara keseluruhan dapat kehilangan kepercayaan masyarakat. Dalam jangka pendek, diperlukan desain kebijakan praktis, pertama, peningkatan insentif yang berfungsi mendorong spirit dan kinerja birokrasi. Spirit tersebut diarahkan untuk melahirkan nilai kompetitif sehingga mampu menciptakan keadilan bagi birokrasi yang berprestasi. Keadilan dapat diterapkan melalui pembayaran insentif berdasarkan penilaian kinerja birokrasi. Pemerataan selama ini hanya membuktikan bahwa mereka yang kerja dan tidak, sama-sama mendapatkan perlakuan khusus. Fakta ini jelas kurang mendorong 37 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik 38 Edisi 3 / September / 2011 kompetisi serta menciptakan ketidakadilan, termasuk menurunkan penghargaan bagi mereka yang benarbenar memiliki profesionalisme. Pola penggajian dan insentif yang bervariasi sebagaimana pernah diterapkan sejumlah pemerintah daerah seperti Kabupaten Jembrana Provinsi Bali, menunjukkan dampak positif dalam mendorong kinerja birokrasi. wenangan dalam pelayanan masyarakat. Oleh sebab itu harus dipahami bahwa penarapan reward and punishment memiliki arti strategis bagi organisasi, yaitu mendorong berkembangnya birokrasi agar lebih disiplin dan bertanggungjawab serta mampu merespon perkembangan masyarakat, sekaligus melindungi birokrasi dari perilaku buruk aparatur yang berinteraksi didalamnya. Kedua, reformasi birokrasi dalam jangka pendek hendaknya mampu menciptakan sistem internal yang dapat mendorong secara perlahan tumbuhnya kesadaran birokrasi sebagai pelayan masyarakat. Kesadaran yang terus meningkat hingga membuahkan inovasi, kreativitas dan kemandirian hendaknya memperoleh penghargaan yang setimpal guna mendorong semangat yang sama pada aparat yang lain. Demikian pula pola penerapan sanksi dibutuhkan semaksimal mungkin dengan maksud pembinaan secara proporsional. Penerapan sanksi bukanlah tujuan akhir, jauh lebih penting dari itu adalah lahirnya dampak positif bagi birokrasi untuk kembali pada tugas dan fungsinya masing-masing. Pembiaran terhadap tumbuhnya kreativitas tanpa apresiasi dapat menurunkan semangat untuk berkarya dan mengabdi pada organisasi. Pada sisi lain membiarkan kelalaian birokrasi sama maknanya dengan menyetujui sekaligus membolehkan kesewenang- Ketiga, diperlukan penataan sistem yang secara eksternal efektif dapat mengurangi politisasi birokrasi yang dapat memecahkan konsentrasi aparatur dalam melayani masyarakat. Lewat sistem yang ada, birokrasi sangat rentan diintervensi oleh elit lokal guna memenuhi kepentingan kelompok tertentu dalam sirkulasi kekuasaan. Guna mengurangi kepentingan politik maka birokrasi sebaiknya mengambil jarak untuk bersikap netral. Statement ini tentu saja tidak mudah diperoleh dilapangan empirik, faktanya sebaliknya, birokrasi sulit menolak ransangan para elit untuk berkoalisi memenangkan calon tertentu. Semua konsekuensi tersebut dilakukan tentu saja berdasarkan transaksi minimum lewat jabatan-jabatan strategis dan menggiurkan. Politisasi birokrasi membuat aparat menjadi bulanbulanan elit lokal. Mengambil jarak terlalu jauh beresiko kehilangan jabatan, terlalu dekat sama artinya menceburkan diri dalam ketidakpastian lebih beresiko, sebab itu diperlukan sistem eksternal yang Edisi 3 / September / 2011 dapat membentengi birokrasi dari kepentingan politik yang berlebihan. Keempat, reformasi birokrasi dalam jangka pendek diarahkan pada upaya pencegahan (preventive) perilaku korupsi dalam tubuh birokrasi. Sejauh ini, indeks persepsi korupsi di Indonesia belum berubah sesuai catatan International Transparancy, sebesar 2,8. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku buruk birokrasi perlu diperbaiki. Korupsi merupakan kejahatan extra ordinary sehingga membutuhkan upaya-upaya yang bersifat luar biasa. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dimaksudkan untuk membantu pemerintah dalam meminimalisasi gejala korupsi. Bercermin pada China yang berani menerapkan tindakan tegas bagi pelaku korupsi, maka dibutuhkan reformasi birokrasi yang mampu mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dilingkungan birokrasi pemerintahan. Korupsi bukanlah budaya positif yang tumbuh pada masyarakat, sebab semua norma sosial termasuk agama tidaklah mentolerir perilaku buruk semacam itu. Perlu dipahami bahwa sistem insentif sebagaimana dikemukakan sebelumnya bukanlah jalan satusatunya dalam mengurangi tindak pidana korupsi. Perilaku birokrasi yang korup cenderung termotivasi oleh pengaruh lingkungan serta tuntutan domestik. Berkaitan dengan reformasi birokrasi diperlukan sistem yang mengikat secara ketat, disamping penerapan sanksi berat dalam setiap Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik tindakan yang disangkakan. Tentu saja reformasi birokrasi dalam jangka panjang termasuk jangka pendek sulit dilakukan tanpa dimulai dari perubahan budaya kerja kearah positif. Perubahan budaya kerja yang diawali dari kebiasaan menanamkan keseluruhan karakteristik pemerintahan yang baik diharapkan mampu menghasilkan birokrasi yang dapat menjalankan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Sebagai abdi negara, birokrasi membutuhkan legitimasi de jure untuk menjalankan semua keputusan politik pemerintah. Sedangkan sebagai abdi masyarakat, birokrasi membutuhkan legitimasi de facto sebagai penyambung kepentingan kepada pemerintah yang berkuasa. Budaya kerja positif diharapakan tidak saja menular pada pemerintah, demikian pula pada elemen masyarakat dan wiraswasta. Bagian ketiga dari gagasan reformasi birokrasi berkenaan reformasi instrumentasi yang mencakup penyiapan regulasi baik undangundang di tingkat pusat hingga peraturan pada level pemerintah daerah. Reformasi instrumentasi berfungsi sebagai landasan kebijakan yang bersifat legalistik-formal untuk menghindari tuntutan masyarakat terhadap kinerja birokrasi. Landasan kebijakan secara umum diharapkan mampu melindungi pemerintah dan segenap pemangku kepentingan dalam lingkup good governance. Dalam banyak kasus birokrasi seringkali 39 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik dianggap gagal menyiapkan instrumen bagi landasan pelayanan masyarakat. Gejala tersebut dapat dilihat pada sejumlah hasil temuan BPK dimana pengeluaran anggaran pemerintah daerah khususnya kehilangan landasan yuridis. Reformasi instrumentasi pada tingkat teknis setidaknya dapat memperjelas mekanisme dan prosedur pelayanan oleh birokrasi pemerintahan. Tanpa standar operational procedure, birokrasi layaknya berjalan menggunakan insting dimana pada kondisi tertentu dapat berbenturan dengan norma dan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya, ketatnya mekanisme dan prosedur dapat membentuk budaya birokratisme yang pada gilirannya mendorong perilaku “melambung” (by pass) untuk mempercepat pelayanan. Situasi demikian seringkali menyuburkan praktek suap, kolusi dan berkembangnya jaringan mafia dalam tubuh birokrasi. Kendati dengan alasan efisiensi, pada akhirnya menimbulkan masalah lebih kompleks yaitu ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Kasus Bank Century, Wisma Atlit, surat palsu di Mahkamah Konstitusi hingga Kemenakertrans adalah contoh gamblang dalam konteks terbentuknya jaringan mafia birokrasi antara pemerintah, pemegang modal dan masyarakat biasa. Reformasi instrumentasi diharapkan tidak hanya berkaitan dengan landasan hukum, mekanisme dan prosedur, juga berhubungan 40 Edisi 3 / September / 2011 dengan seperangkat alat baik sarana dan prasarana yang memungkinkan birokrasi mampu mengembangkan dirinya dalam memberikan pelayanan yang bermutu. Strategi pelayanan jemput bola melalui penggunaan sarana dan prasarana yang tersedia seperti teknologi informasi dan transportasi merupakan keseluruhan paket reformasi instrumentasi dalam kerangka besar reformasi birokrasi dan implementasi good governance. Berkaitan dengan implementasi good governance, pemerintah pada dasarnya telah banyak melakukan terobosan melalui berbagai regulasi yang memberikan peluang diterapkannya karakteristik tata kelola pemerintahan yang baik. Salah satu contoh dapat dilihat dalam kebijakan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan menjadi landasan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, walaupun disadari belum sepenuhnya dapat dilaksanakan secara baik. Contoh konkrit lain dapat dilihat dalam instrumen evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memuat sejumlah variabel dan indikator sebagai refleksi dari tercapainya karakteristik tata kelola pemerintahan yang baik, seperti landasan yuridis kebijakan serta tingkat partisipasi masyarakat. Indikator lain yang bisa diamati adalah persyaratan adanya SOP sebagai pedoman bagi setiap pemerintah daerah Edisi 3 / September / 2011 dalam menjalankan fungsi dan tugas pokoknya dilapangan. Pada karakteristik transparansi misalnya, dilahirkannya regulasi tentang keterbukaan informasi publik oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi menunjukkan komitmen pemerintah dalam memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat. Karakteristik konsensus dilakukan melalui upaya dokumentasi perencanaan APBN dan APBD sebagai bentuk kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif yang notabene dipilih dan mewakili masyarakat itu sendiri. Pengembangan kesetaraan sebagai bagian dari karakteristik tata kelola pemerintahan yang baik dapat dilihat dalam mekanisme pemilihan pemimpin politik yang ramah gender serta terbuka bagi setiap warga negara menurut batasan konstitusi dan undang-undang. Karakteristik efisiensi dan efektivitas merupakan prinsip yang senantiasa diakomodir dalam undang-undang pemerintahan daerah termasuk peraturan yang menjadi turunannya, terlepas bahwa prinsip tersebut masih sering dilanggar oleh pemerintah daerah. Karakteristik visi strategis menjadi syarat mutlak bagi setiap kandidat pemimpin pemerintahan ketika Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Strategi ini dilakukan melalui persyaratan fit and proper test yang dilakukan pada sejumlah calon pejabat setingkat kepala daerah maupun pimpinan lembaga, badan dan komisi. Prinsip akuntabilitas dapat dilihat pada sejumlah instrument pertanggungjawaban seperti PP No.3/2007 tentang Pertanggungjawaban Kepala Daerah yang meliputi LPPD, LKPJ dan LIPD. Prinsip ini mengalami perkembangan sejak lahirnya lembaga yang berfungsi melakukan evaluasi serta pengawasan baik secara internal, eksternal, fungsional, politik maupun pengawasan publik. Penyampaian laporan perkembangan harta kekayaan yang dimiliki oleh setiap pejabat publik mencerminkan diterapkannya prinsip akuntabilitas dan tranparansi. Bahkan, pencanangan pendidikan karakter sejak usia dini oleh Kementrian Pendidikan Nasional merupakan terobosan jangka panjang dalam upaya menanamkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, tanggungjawab, tranparansi, kesetaraan, dan akuntabilitas. Kesemua itu merupakan modal dasar dalam rangka penumbuhan, pengembangan dan implementasi karakteristik good governance. 41 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Edisi 3 / September / 2011 Daftar Pustaka Duverger, Maurice, 1998. The Study of Politics (Terjemahan), Rajawali Pers, Jakarta Dwiyanto, Agus, 2011. Reformasi Birokrasi, Gramedia Pustaka Utama Effendy, Khasan, 2010. Sosiologi Pemerintahan, CV. Indra Prahasta, Bandung Gerth, H dan Mills, C.W (1946) From Max Weber:Essays in Sociology, New York. Istianto, Bambang, 2010. Demokratisasi Birokrasi, STIAMI, Jakarta Jones, Pip, 2010. Introducing Social Theory, (terjemahan), Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta Kuper, Adam dan Jessica Kuper, 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Raja Grafindo, Jakarta Laski, H, Bureaucracy dalam Encyclopaedia of the Social Sciences, volume 3, New York dan London. Martin Albrow dalam Donald P.Warwick, Theory of Public Bureucracy, Cambridge Massachussets, Harvard Universty Press. Martin, Roderick, 1993. Sosiologi Kekuasaan, Rajawali 1Pers, Jakarta Max Weber dalam Martin Albrow (Terj), 1996. Birokrasi, Yogyakarta, Tiara Wacana Michaels, R, Political Parties, New York, 1962. N.Haass, Richard, 2005. The Bureaucratic Entrepreneur (terjemahan), Ina Publikatama, Jakarta Rahardjo, Satjipto, 2010. Membedah Hukum Progresif. Kompas, Jakarta Sanderson, Stephen K, 2000. Macrosociology, (terjemahan), Raja Grafindo Persada, Jakarta Soekanto, Soerjono, 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers, Jakarta Setiono, Budi, 2002. Jaring Birokrasi, Tinjauan dari Aspek Politik dan Administrasi, Gugus Press, Bekasi Dino Patti Djalal, Harus Bisa, Seni Memimpin SBY, Red and White Publishing, 2008, Jakarta Sudirman, 2009. Praktek Birokrasi Weberian di Indonesia, Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Vol.XXXV No.1 Tahun, Jakarta 42 Edisi 3 / September / 2011 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Tjokrowinoto, dkk, 2001. Birokrasi dalam Polemik, Pustaka Pelajar, Unismuh, Malang Toha, Miftah, 1999. Demokrasi dalam Birokrasi Pemerintah, Peran Kontrol Rakyat dan Netralitas Birokrasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fisipol UGM. Ackermen-Susan Rose, 2000, Corruption and Government Causes, Consequences, And Reform, Cambridge University Press Aini, Nurul, 2000, Bahan Ajar Sistem Politik Indonesia, IIP Press, Jakarta Blau, Peter M, 2000, Bureaucracy in Modern Society (terj), Pustaka Pelajar, Yogyakarta Dahl, Robert A, 1982, Dilemma Of Pluralist Democracy, New haven and London, Yale University Press Haris, Jhon, 2004, Politicising Democracy, Palgrave, Macmillan ltd Haris, 2006, Politik Organisasi, Perspektif Mikro Diagnosa Psikologis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Istianto, Bambang, 2011. Demokratisasi Birokrasi, Mitra Wacana Media, Jakarta Koswara, 2004, Otonomi dan Pemerintahan Daerah, IIP-Press Rasyid, Ryaas, 1999, Pemerintahan Yang Amanah, Yayasan Bina Pembangunan, Jakarta Sorenson, Georg, 1993, Democracy and Democratization, Precesses and Prospects in Changing World, Westview Press Setiono, Budi, 2002, Jaring Birokrasi, Gugus Press, Bekasi Subagyo, Untung, 2006, Reformasi Birokrasi, Terobosan Otonomi Satu Tingkatan, (Makalah), LPM-IIP, Jakarta Suwandi, 2004, Makalah, Pembagian Kewenangan Menurut UU 32 Tahun 2004, PKSP, Jakarta Tjokrowinoto, Moeljarto, dkk, 2004, Birokrasi Dalam Polemik, Pusataka Pelajar, Yogyakarta Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol.XXXII No.3 Tahun 2006, Jakarta, hal 209-22 Republika, Agustus 2011, Jakarta 43 Foto : Antara IV Edisi 3 / September / 2011 Reformasi Birokrasi, Syarat Mutlak Pembangunan Ekonomi Oleh : Nursodik Gunarjo * * Penulis adalah kandidat doktor Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 45 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik B Edisi 3 / September / 2011 Pendahuluan irokrasi merupakan stakeholder penting di bidang ekonomi. Pelayanan birokrasi turut menentukan bergairah atau tidaknya aktivitas perekonomian suatu bangsa. Pelayanan birokrasi yang lambat, buruk dan berbiaya tinggi akan menyebabkan high-cost economy yang membebani pelaku usaha. Sebaliknya, pelayanan yang cepat, mudah dan murah, akan membuat dunia usaha lebih mudah menerapkan efektivitas dan efisiensi. Tulisan ini diharapkan dapat menganalisis secara komprehensif hubungan antara birokrasi dan dunia usaha dari perspektif ekonomi politik. Sebuah perusahaan berbasis teknologi informasi asing terkemuka, batal menanamkan investasi di Indonesia. Penyebabnya, proses perizinan di Indonesia dinilai lambat dan ruwet. Selain itu, regulasi pemerintah dinilai kurang mendukung keberadaan investor asing1. Para penanam modal di Indonesia pada umumnya mengeluhkan minimnya infrastruktur, ketidaksiapan sumberdaya terutama SDM, serta perilaku korup aparat birokrasi. Mereka juga mengeluhkan banyaknya biaya siluman (overhead cost) yang harus dikeluarkan saat melakukan aktivitas ekonomi di Indonesia2. 1http://tekno.kompas.com/ read/2011/07/27/12451245/Minat. di.Indonesia.Terhalang.Regulasi 2http://us.detikfinance.com/ read/2004/12/17/110517/257641/4/ infrastruktur-buruk-investasi-jepangke-ri-minim 46 Beberapa contoh yang telah dikemukakan setidaknya dapat dijadikan bukti bahwa birokrasi Indonesia belum ’ramah’ terhadap dunia usaha. Banyak keluhan muncul saat para pelaku usaha berurusan dengan birokrasi. Keluhan tersebut bukan saja berkenaan dengan buruknya layanan, namun juga terkait dengan perilaku tak terpuji aparat birokrasi dan kebijakan yang tidak probisnis. Akibatnya sangat fatal, birokrasi yang diharapkan mampu menjadi enzim of growth perekonomian, dalam praktik justru sering membebani sektor ini. Tidak mengherankan jika pelaku ekonomi cenderung menganggap keberadaan birokrasi lebih banyak menghambat, alih-alih membantu percepatan perputaran roda perekonomian3 3 Kristiadi, J.B. (1995). “Masalah Sekitar Peningkatan Pendapatan Asli Daerah”, Prisma, No. 4, 114. Edisi 3 / September / 2011 Sebagaimana disampaikan Transparency InternationalIndonesia (TI-Indonesia), biaya overhead cost yang harus dikeluarkan pelaku usaha sebagai imbas dari berbelit-belitnya urusan di birokrasi terbilang sangat besar. Bahkan ada perusahaan yang menggunakan dana hampir seperempat dari total aset yang dimiliki hanya untuk biaya pelicin agar urusan dengan birokrasi cepat selesai. Jika hal semacam itu terjadi di banyak perusahaan, dalam jangka panjang efeknya dipastikan akan sangat berpengaruh terhadap efisiensi, dan pada akhirnya akan menekan produktivitas perusahaan4 Birokrasi Birokratis-Patologis: Perspektif Kritis Tidak bisa dimungkiri, setiap sistem pemerintahan dan organisasi membutuhkan birokrasi. Kebutuhan tersebut muncul sebagai akibat logis dari adanya struktur hierarki yang membutuhkan tahapan-tahapan pengambilan keputusan. Namun dengan kondisi struktur yang rigid dan kaku, birokrasi mudah mengalami birokratisasi—sebutan umum untuk birokrasi yang birokratis. Birokratisasi merupakan efek dari kegiatan birokrasi yang dihegemoni oleh kepentingan kekuasaan dari para elit organisasi. Keadaan ini terlihat 4 http://www.ti.or.id/index. php/publication/2010/11/11/indekspersepsi-korupsi-kota-kota-indonesia2010 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik pada kelambanan pelayanan dan proses kerja yang berbelit-belit, yang sejatinya merupakan manifestasi untuk menunjukan bentuk atau orientasi kekuasaan tertentu dari para elit5 Albrow mengungkapkan sorotan berbagai kalangan yang memandang birokrasi sebagai proses yang panjang dan berbelit-belit pada saat para pengguna berurusan dengan aparat birokrasi. Karena itu, birokrasi acapkali mendapatkan kritik yang cukup tajam6 Senada dengan itu, catatan Mohl tentang penyalahgunaan birokrasi memperlihatkan adanya sifat kecongkakan, kelambatan, mempunyai daya tarik, serta popular, sehingga penyalahgunaan bisa muncul dalam sistem kegiatan birokrasi. Dalam kenyataan, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan penyelenggaraan bernegara, pemerintahan, termasuk di dalamnya pelayanan umum dan pembangunan, oleh masyarakat seringkali diartikan dalam konotasi yang ruwet.. Kesan seperti ini kemudian memunculkan istilah debirokratisasi. maksudnya adalah upaya untuk menyederhanakan 5 Eisenstadt S.N. (1986). Revolusi dan Transformasi Masyarakat. Jakarta: CV. Rajawali 6 Kristiadi, J.B. (1995). “Masalah Sekitar Peningkatan Pendapatan Asli Daerah”, Prisma, No. 4, 114. 47 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik prosedur yang dianggap ruwet itu7 Birokrasi pada kenyataannya sering mengalami disfungsi karena adanya pergantian tujuan-tujuan organisasi menjadi tujuan pribadi. Birokrasi pada akhirnya menjadi tuan bagi dirinya sendiri dan tidak berorientasi pada fungsi pelayanan. Akibatnya, birokrasi tumbuh menjadi sesuatu yang chaos, bersifat over supplay dengan memaksimumkan struktur, dan tidak terkontrol8 Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang bukan hal baru. Di berbagai belahan bumi, birokrasi lebih menunjukkan kondisi empirik yang buruk, negatif atau bahkan patologis. Citra buruk birokrasi seperti parkinsonian atau birokrasi gemuk (big bureaucracy), orwellian atau birokrasi dengan peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan tangan negara untuk mengontrol masyarakat, atau jacksonian yakni birokrasi yang dipolitisasi, lebih mengemuka ketimbang citra yang baik atau rasional (bureau rationality), seperti esensi birokrasi Hegelian dan Weberian9. Citra buruk tersebut semakin 7 Kristiadi, J.B. (1995). “Masalah Sekitar Peningkatan Pendapatan Asli Daerah”, Prisma, No. 4, 114. 8 Lane, J.E. (1995). The Public Sector, Concept, Models and Approaches, Second Edition. London: Sage Publication 9 Mustopadidjaja, A.R. (1999). Administrasi Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani. Jakarta: LAN. 48 Edisi 3 / September / 2011 diperparah dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam bentuknya, serta lambatnya pelayanan dan prosedur yang berbelit-belit atau yang lebih dikenal dengan efek pita merah (red-tape). Keseluruhan kondisi empirik yang terjadi secara akumulatif telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan Weberian yang memfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan unsur-unsur dalam proses pemerintahan. Birokrasi, pada akhirnya, hanya berfungsi sebagai pengendali, penegak disiplin dan penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan yang sangat besar, tetapi mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat10. Banyaknya penyimpangan di birokrasi menyebabkan birokrasi cenderung bersifat patologis. Secara etimologis, patologi berarti “ilmu tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah: “...an organisation with a certain position and role in running the government administration of a country,” Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan, patologi birokrasi adalah “penyakit” yang menyebabkan peran dan fungsi birokrasi mengalami penyimpangan dan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya11 10 Eisenstadt S.N. (1986). Revolusi dan Transformasi Masyarakat. Jakarta: CV. Rajawali 11 Mustopadidjaja, A.R. (1999). Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Edisi 3 / September / 2011 Dalam praktik, patologi birokrasi tersebut berupa perilaku (aparat) birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundangundangan serta norma-norma yang berlaku di dalam birokrasi. Penyakit birokrasi juga bisa berupa inefektivitas dan inefisiensi, penyelewengan fungsi dan struktur, dan ketidakmampuan birokrasi untuk berubah sesuai tuntutan zaman12 Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam birokrasi bersumber pada lima masalah pokok, yakni: Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal itu mengakibatkan bentuk penyimpangan seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok, dan nepotisme. Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan menggelembungkan pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya. Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, Administrasi Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani. Jakarta: LAN 12 Umar H. (2002), Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. seperti sewenang-wenang, purapura sibuk, dan diskriminatif. Kelima, situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti rendahnya imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem yang pilih kasih13 Dari uraian yang telah dikemukakan, jelas bahwa birokratisasi dan patologi birokrasi merupakan dua sisi dari keping mata uang yang sama. Kemunculan birokrasi yang birokratis menjadi pemicu munculnya patologi birokrasi. Sebaliknya, patologi birokrasi berimbas pada munculnya pelayanan birokrasi yang lambat, ruwet dan berbelit-belit. Cermin Retak Uphill Battle, Potret Nyata Birokrasi Indonesia Jauh hari telah digambarkan secara dramatis, bagaimana birokrasi bisa merongrong habis-habisan kinerja sektor ekonomi di Uphill Battle, Amerika Serikat. Kemalasan pegawai birokrasi menyebabkan penyelesaian aplikasi perizinan dan pembuatan regulasi menjadi lambat, sehingga produktivitas sektor bisnis terpengaruh. Tidak adanya inovasi membuat para birokrat cenderung melakukan pelayanan sama dari waktu ke waktu, sehingga pelayanan yang diberikan kepada pelaku ekonomi menjadi tidak berkualitas. Siagian, S.P. (1988). Filsafat Administrasi. Jakarta: Gunung Agung. 13 49 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Layanan yang tidak berorientasi kepada pelanggan, tidak responsif, serta tidak tepat waktu, membuat kalangan dunia usaha enggan berurusan dengan birokrasi. Di sisi lain, inefisiensi sumberdaya telah membuat aktivitas birokrasi memakan biaya dan menghabiskan sumberdaya sangat besar, sangat tidak sebanding dengan output dan outcome yang dihasilkan14 Apa yang terjadi di Uphill Battle bisa disebut sebagai cermin retak, atau bahkan potret buruk birokrasi. Akan tetapi, hal itu masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan kondisi birokrasi di Tanah Air. Di Indonesia, selain berbagai jenis patologi birokrasi yang telah disebutkan, masih ada penyakit menahun lain yang menggerogoti birokrasi, yakni KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Penyakit warisan Orde Baru ini masih bercokol hingga kini, dan tentu masih sangat berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Masyarakat bisnis di Uphill Battle bisa dikatakan ‘masih beruntung’, lantaran birokrasi di sana hanya terinfeksi patologi birokrasi, namun tidak terkena wabah KKN. Lain halnya dengan birokrasi Indonesia yang masih dipersepsikan sarat dengan KKN, terutama yang paling menonjol adalah perilaku korup aparat birokrasinya. 14 Osborne, D. & Plastrik, P. (2000). Memangkas Birokrasi. Jakarta: PPM. 50 Edisi 3 / September / 2011 Permasalahan mendasar yang membuat birokrasi Indonesia koruptif dan tidak probisnis di antaranya adalah kurang baiknya kelembagaan dan tatalaksana. Hal tersebut ditunjukkan oleh struktur organisasi birokrasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan, inkonsistensi dan instabilitas peraturan perundangundangan, dan rendahnya penggunaan perangkat teknologi informasi. Permasalahan lain terkait dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan lemahnya pengawasan terutama dalam hal akuntabilitas, etika dan moral. Ketiadaan standar pelayanan, di sisi lain, menyebabkan pelayanan publik tidak memuaskan. Situasi problematis yang dihadapi sebagian besar birokrasi Indonesia saat ini di antaranya: Pertama, struktur, norma, nilai dan regulasi yang ada masih berorientasi pada kepentingan penguasa/birokrat (power culture); Kedua, masih belum terbentuk budaya birokrasi (service delivery culture); Ketiga, masih tingginya ketidakpastian dalam birokrasi (cost of uncertainty); Keempat, masih kentalnya budaya patron-client dan budaya afiliasi yang mengarah kepada moral hazard; Kelima, masih rendahnya kompetensi para birokrat15 Prasojo, E & Maksum, I.R. (2006). Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Jakarta: DIS FISIP UI. 15 Edisi 3 / September / 2011 Di sisi lain, reformasi politik di Indonesia dalam kenyataannya belum mengubah birokrasi menjadi kekuatan profesional negara, terlebih ketika kecenderungan determinasi partai politik terhadap pejabat birokrasi tak juga sirna. Fungsi birokrasi sebagai unit pelayanan publik dihegemoni oleh kekuatan internal birokrasi, sehingga berubah menjadi kepanjangan tangan kekuasaan. Aktivitas utama birokrasi bukan lagi untuk melayani publik, akan tetapi lebih ditujukan pada kegiatan-kegiatan struglle to get political power. Kehadiran birokrasi merupakan tuntutan mutlak yang harus dipenuhi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemberian layanan merupakan implikasi dari fungsi negara sebagai alat pemenuhan kebutuhan rakyat. Birokrasi, baik secara personal maupun institusional, merupakan organ negara yang diberi tugas menjalankan semua kebijakan pemerintah yang terkait dengan kepentingan rakyat. Peran ini menjadi strategis karena hanya aparat birokrasi yang memiliki wewenang menguasai akses atas kepentingan publik. Kondisi ini membuat birokrasi rentan terhadap pengaruh kekuasaan atau politik praktis. Agar tidak terjebak dalam permainan politik praktis, wewenang birokrasi dibatasi sesuai dengan hierarki jabatannya. Menurut Weber, hierarki jabatan dalam birokrasi disusun secara bertingkat, dari Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik yang paling tinggi sampai kepada yang paling rendah. Dalam setiap hierarki terdapat kekuasaan pejabat birokrasi. Pembatasan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pencampuradukan kepentingan pribadi pejabat birokrasi ke dalam tugasnya sebagai pelayan masyarakat sehingga birokrasi tetap menjadi kekuatan yang netral dari pengaruh kelompok tertentu. Artinya, birokrasi tidak mudah dibawa ke dalam pertarungan antara aktor politik yang sedang berkompetisi atau cenderung lebih patuh pada kekuatan politik yang menjadi patron-nya. Netralitas birokrasi tercermin dari kemampuan birokrat meletakkan fungsi birokrasi di atas kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan masyarakat. Dalam sejarah birokrasi Indonesia, pertumbuhan birokrasi tidak lepas dari dinamika politik dan masyarakat sehingga kultur birokrasi selalu sarat dengan warna politik di zamannya. Pada zaman kemerdekaan (19451950), sebagian besar penyelenggara negara memiliki komitmen kuat bagi perjuangan bangsa. Unsur partai bukan menjadi pertimbangan. Memasuki zaman demokrasi liberal (1950-1959), muncul pertarungan antarpartai politik untuk merebut posisi puncak birokrasi. Dinamika politik ditandai dengan instabilitas sehingga tidak ada satu pun kabinet yang dibentuk bisa menyelesaikan masa jabatannya. Kabinet yang terbentuk pun lebih banyak diwarnai 51 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik corak koalisi partai. Pada masa Orde Baru (1966-1988), pejabat birokrasi dikuasai Golkar. Mulai dari menteri hingga pejabat di semua lini diisi orang Golkar. Pemerintah mengaburkan batasan jabatan politik dan jabatan birokrasi dari departemen untuk melanggengkan dominasi Golkar di tubuh birokrasi. Tampaknya, cara itu masih tetap diwarisi birokrasi hasil reformasi. Meski asas monoloyalitas telah dihapus, nafsu politik birokrat untuk menguasai birokrasi masih bercokol. Keberpihakan birokrasi kepada partai politik masih terlihat. Kondisi ini membuat birokrasi sering dimanfaatkan untuk kepentingan partai daripada kepentingan masyarakat luas. Akibatnya, masyarakat yang harus membayar mahal semua itu karena birokrasi tidak lagi profesional. Birokrasi yang seharusnya mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, dan memberikan kepuasan kepada publik, tidak pernah hadir. Dalam beberapa jajak pendapat yang dilakukan lembaga independen, terungkap bahwa birokrasi Indonesia gagal menjalankan fungsi pelayanan publiknya. Birokratisasi versus Ekonomi Berbelit-belinya pelayanan serta tidak transparannya kinerja birokrasi telah mendorong masyarakat untuk mencari ”jalan pintas” dengan suap atau berkolusi dengan para pejabat 52 Edisi 3 / September / 2011 dalam rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Situasi seperti ini mendorong para pejabat untuk mencari kesempatan dalam kesempitan agar mereka dapat menciptakan rente dari pelayanan berikutnya. Dalam praktik, berbagai jenis patologi birokrasi semua berujung pada uang, atau dalam bahasa populernya “UUD—ujung-ujungnya duit”. Secara akumulatif, langsung maupun tidak langsung, birokratisasi akan menggerus fiskal masyarakat pengguna birokrasi dalam jumlah yang sangat besar. Korupsi yang merajalela di lembaga birokrasi berimbas pada banyaknya biaya tambahan yang harus dikeluarkan para pengusaha dan pemangku kepentingan lain yang berurusan dengan birokrasi, termasuk masyarakat umum. Di sisi lain, kolusi secara nyata telah melempangkan jalan bagi orang-orang yang mau berkongsi dengan oknum birokrasi, dan sebaliknya melemparkan orangorang jujur dari kancah persaingan bisnis. Sementara nepotisme secara perlahan tapi pasti telah menciptakan perekonomian oligarkis yang dimonopoli oleh para kroni dan keluarga dekat pejabat birokrasi. Korupsi secara langsung akan mengurangi besaran dana yang seharusnya dipergunakan untuk kepentingan publik. Jika korupsi dan mark-up dilakukan pada proyekproyek infrastruktur dan atau program-program probisnis, efeknya Edisi 3 / September / 2011 secara langsung akan memperlambat laju perekonomian. Sementara jika dilakukan pada lembaga-lembaga keuangan atau lembaga pengumpul dan pendistribusi fiskal, dampaknya akan menyebabkan menurunnya pendapatan negara secara drastis, sehingga berpengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi makro maupun pada program pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Fakta menunjukkan, perilaku koruptif masih marak di lingkungan birokrasi. Sebuah survei yang dirilis TI-Indonesia menunjukkan, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK Indonesia) di 50 kota di Indonesia pada akhir 2010 rata-rata masih rendah, yakni di antara 3,61 – 6,71, untuk rentang skor penilaian 0 - 10. Skor rendah mengindikasikan para pelaku bisnis menilai korupsi masih lazim terjadi dalam sektor-sektor publik, sementara pemerintah dan penegak hukum kurang serius dalam pemberantasan korupsi16 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik untuk menghindari kerugian, mereka mengorbankan kuantitas ataupun kualitas barang dan jasa yang dihasilkan. Ketidakkondusifan birokrasi Indonesia bagi dunia usaha ternyata berimbas terhadap daya saing ekonomi bangsa di tingkat internasional. Sebagaimana dikemukakan World Economic Forum (WEF) dalam The Global Competitiveness Report 2010-201117, salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja ekonomi, khususnya competitiveness suatu bangsa, adalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar yang menjadi kunci pendorong pertumbuhan ekonomi. Di antara kebutuhan dasar tersebut, WEF menempatkan kelembagaan (institutions) yang kondusif pada urutan kebutuhan dasar pertama, baru kemudian kebutuhan yang lain seperti infrastruktur, ekonomi makro, serta kesehatan dan pendidikan dasar (gambar 1) Suap, mark-up dan permintaan imbalan, akan menambah biaya yang seharusnya tidak ditanggung oleh pengguna layanan birokrasi. Jika ketiganya dilakukan dalam konteks usaha, pengusaha dipastikan harus mengeluarkan biaya ekstra. Biaya tersebut diambil dari nilai total transaksi, yang berarti memperkecil margin keuntungan. Akibatnya, Dari gambar 1 dapat diketahui bahwa kelembagaan, baik swasta maupun pemerintah, adalah kunci penting sukses bidang ekonomi. Dalam praktik, faktor kelembagaan sangat ditentukan oleh jaringan kerjasama legal dan administratif antara pelaku ekonomi, perusahaan dan pemerintah, yang semua bertujuan meningkatkan pendapatan dan mewujudkan perekonomian 16 http://www.ti.or.id/index. php/publication/2010/11/11/indekspersepsi-korupsi-kota-kota-indonesia2010 17 http://www3.weforum.org/docs/WEF_ GlobalCompetitivenessReport_2010-11. pdf 53 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Sumber: World Economic Forum Report 2011 Edisi 3 / September / 2011 Gambar 1. Kebutuhan Dasar Kunci Pendorong Pertumbuhan Ekonomi yang sehat. Fakta menunjukkan, pada masamasa krisis ekonomi peningkatan peran lembaga pemerintah di bidang perekonomian terbukti mampu menghindarkan banyak negara dari kemungkinan krisis yang lebih berat. Lembaga pemerintah yang kuat mampu menjaga daya saing dan pertumbuhan, di mana hal itu sangat mempengaruhi kepercayaan investasi, produktivitas. Jelas bahwa perilaku lembaga pemerintah atau birokrasi sangat berpengaruh terhadap aktivitas dunia usaha, khususnya dalam hal efektivitas dan efisiensi. Menurut WEF, birokrasi yang birokratis, red tape alias lambat dan berbelit-belit, over-regulasi, korup, tidak jujur, tidak transparan, tidak dapat dipercaya, dan dipolitisasi, akan mendongkrak 54 biaya ekonomi yang harus dipikul para pengusaha secara signifikan sehingga dalam jangka panjang akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Indonesia patut mencermati laporan WEF, karena saat ini pendapatan per kapita Indonesia sedang berada pada tahap efficiency driven, tahap kedua yang merupakan peralihan dari tahap factor driven ke innovation driven (Tabel 1). Pada tahap peralihan ini, Indonesia bersama 25 lainnya berada pada tubir kritis: sewaktu-waktu dapat melompat ke jenjang perekonomian yang lebih tinggi lagi, atau sebaliknya kembali terjerumus ke tahap yang lebih rendah karena kendala yang bersifat birokratis. Kendati posisi daya saing Indonesia untuk kategori overall pada tahun 2011 berada pada Edisi 3 / September / 2011 birokrasi dapat menjadi ancaman serius terhadap daya saing Indonesia di masa datang. Birokrasi Versus Adokrasi Sumber: World Economic Forum Report 2011 ranking 44 dari 133 negara, akan tetapi hal tersebut tidak menjamin perekonomian Indonesia di masa datang dapat tetap bertahan pada Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Tabel 1. Income Tresholds for Establishing Stages of Development ranking yang sama, tanpa adanya jaminan perbaikan mendasar pada sisi kelembagaan birokrasi. Secara khusus laporan tersebut menulis, keberadaan Indonesia di peringkat 44 menunjukkan peningkatan impresif 10 tingkat dari peringkat semula 55. Peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh sehatnya kondisi ekonomi makro dan meningkatnya indikator-indikator pendidikan. Dari laporan tersebut jelas terlihat bahwa kenaikan posisi daya saing Indonesia tidak terjadi karena daya dukung birokrasi, melainkan karena peningkatan pada faktor-faktor yang lain. Dengan kalimat yang lebih sederhana, sumbangan birokrasi Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi masih rendah. Bahkan sebaliknya, masih maraknya birokrasi yang birokratis yang sarat dengan patologi Sudah lama birokrasi yang rumit menjadi penyebab munculnya ekonomi biaya tinggi. Kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di instansi-instansi birokrasi muncul gara-gara birokrasi sangat permisif terhadap munculnya perilaku moral hazard tersebut. Begitu juga birokrasi dalam bentuk berbelitbelitnya pengeluaran izin berusaha, yang menyebabkan membubungnya biaya yang harus dikeluarkan pihak pebisnis untuk ongkos pelicin. Munculnya biaya tak terduga (overhead cost) akibat keberadaan birokrasi yang birokratis, menyebabkan timbulnya high-cost economy, satu hal yang sangat dibenci pengusaha. Tidak mengherankan jika Jack Welch, CEO General Electric, 55 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik menyatakan bahwa birokrasi adalah musuh produktivitas. Welch bahkan menyarankan para karyawannya untuk ”memukul” dan “menendang” birokrasi yang birokratis semacam itu18 Tidak bisa dimungkiri, birokrasi adalah sistem administrasi hierarkis yang dirancang untuk berhubungan dengan sejumlah besar pekerjaan rutin, yang sebagian besar mengikuti sekumpulan peraturan kaku dan tidak personal. Jika diterapkan secara benar, birokrasi merupakan mesin andal untuk mencapai efektivitas dan efisiensi pekerjaan. Akan tetapi dalam banyak kasus, birokrasi tidak diterapkan secara benar. Alih-alih mempercepat proses, keberadaan birokrasi justru menyebabkan pengambilan keputusan menjadi lambat dan berbiaya tinggi. Inilah yang kemudian menjadi titik awal munculnya sentimen ‘kebencian’ para pengusaha terhadap birokrasi. Jack Welch adalah satu di antara sekian banyak manajer yang secara ekstrem mengemukakan bahwa kehadiran birokrasi (yang birokratis) sama sekali tidak diperlukan. Oleh karena itu, ia mengusulkan penghapusan birokrasi atau yang sering dikenal dengan istilah adokrasi. Gagasan awal tentang adokrasi muncul dalam karya para teori kepemimpinan Amerika Serikat, 18 Krames, J. (2002). The Welch Way: 14 Tips Praktis dari CEO Terbesar Dunia. Jakarta: Buana Ilmu. 56 Edisi 3 / September / 2011 Warren G Bennis19 Dia menulis, di masa datang, perusahaan akan bersandar pada tim proyek yang cepat dan fleksibel dalam struktur antibirokrasi yang ia sebut sebagai adokrasi. Aliran dan gagasan kontrabirokrasi ini semakin berkembang setelah Alvin Toffler menyampaikan pandangan adokrasinya dalam buku yang ditulisnya “Future Shock” tahun 1970. Pada tahun yang sama, Mintzberg menerbitkan buku “The Structuring of Organization” yang mengemukakan ada empat tipe dasar perusahaan, yaitu: birokrasi mesin, birokrasi profesional, wirausaha pemula, dan adokrasi. Robert Waterman dalam bukunya “Adhocracy” tahun 1990 mengatakan, adokrasi sebagai bentuk organisasi yang memotong jalur birokrasi normal diperlukan untuk menangkap peluang, menyelesaikan masalah, dan mendapatkan hasil. Ia berpendapat, dalam era perubahan berkelanjutan, organisasi-organisasi seperti ini akan menjadi yang paling sukses. Adokrasi terbukti semakin banyak diterapkan perusahan-perusahaan bisnis. Ini menjadi bukti bahwa adokrasi membawa pengaruh positif bagi kinerja sektor perekonomian. Bagaimana dengan birokrasi publik yang orientasinya adalah pelayanan masyarakat? Sesuai definisi yang dikemukakan Waterman, 19 Bennis, G.W. & Slater, P.E. (1998). The Temporary Society:What is Happening to Bussiness and family Life in America under the Impact of Accelerating Change. New York: Jossey-Bass Publisher. Edisi 3 / September / 2011 adokrasi sangat diperlukan dalam memecahkan masalah khususnya dalam menangkap peluang, menyelesaikan masalah, mendapatkan hasil. Berdasar tujuan dari adokrasi tersebut, adokrasi bisa pula diterapkan dalam birokrasi publik. Namun kenyataan menunjukkan, di Indonesia tidak ada satu birokrasi publik pun yang menerapkan adokrasi. Justru yang ada, di mana-mana tumbuh birokratisasi, yang bermakna mempersulit urusan yang sejatinya dapat terselenggara secara mudah dan murah20 Reformasi Birokrasi dan Pembangunan Ekonomi Untuk menggairahkan kinerja sektor perekonomian, reformasi birokrasi adalah sebuah keniscayaan. Reformasi birokrasi diperlukan untuk menata ulang, mengubah, menyempurnakan dan memperbaiki birokrasi agar menjadi lebih bersih, cepat tanggap, kreatif, efisien, efektif dan produktif. Dengan demikian, pelaku ekonomi mendapatkan situasi yang lebih kondusif untuk menjalankan usaha tanpa terbebani urusan bertele-tele di luar urusan bisnis yang mereka lakukan. Tujuan reformasi birokrasi terkait sektor ekonomi adalah terwujudnya birokrasi yang 20 Mustopadidjaja, A.R., (2003). Manajemen Proses Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kinerja. Jakarta: LAN RI dan Duta Pertiwi Foundation. Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik bersih. Bersih di sini berarti bebas dari praktek KKN, melalui pembenahan sistem pengelolaan anggaran, perbaikan kesejahteraan pegawai, peningkatan pengawasan, penegakan aturan-aturan hukum. Reformasi birokrasi juga ditujukan untuk mewujudkan birokarasi yang efisien. Efisiensi dilakukan melalui program penghematan bagi pembiayaan operasional birokrasi. Selain itu, reformasi diharapkan dapat mewujudkan birokrasi yang transparan. Transparansi di sini bermakna pembukaan ruang publik dan publik dapat mengakses secara luas penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum. Namun yang terpenting adalah mewujudkan perubahan dari birokrasi yang promodialisme atau minta dilayani menjadi birokrasi yang melayani masyarakat. Reinventing Bureaucracy, Sebuah Tawaran Khusus dalam kaitannya dengan bidang ekonomi, reformasi birokrasi model reinventing bureaucracy dapat ditawarkan sebagai salah satu solusi. Konsep ini diadopsi dari reinventing government (pemerintahan wirausaha) yang dipopulerkan oleh Osborne & Plastrik21. Reinventing bureaucracy pada intinya adalah pembaruan berupa 21 Osborne, D. & Gaebler, T. (1995). Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta: Penerbit Pustaka Binawan Presindo. 57 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik penggantian sistem birokrasi yang birokratis menjadi sistem yang bersifat wirausaha. Wirausaha adalah memindahkan berbagai sumber daya dari unit kerja dengan produktivitas rendah ke unit kerja dengan produktivitas tinggi dan hasil yang lebih besar. Sedangkan pembaruan (reinvention) adalah transformasi sistem dan organisasi birokrasi secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektivitas, efisiensi dan kemampuan melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan cara mengubah tujuan, menerapkan sistem intensif, akuntabilitas, struktur kekuasaan, serta budaya sistem dan organisasi birokrasi. Tujuan pembaharuan adalah efesiensi, akan tetapi yang lebih penting adalah efektivitas. Untuk mewujudkan birokrasi wirausaha yang bebas patologi, dan di sisi lain probisnis, birokrasi perlu mewujudkan 10 formula yang menjadi inti dari reinventing bureaucracy22, yakni: 1. Birokrasi katalis atau catalytic bureaucracy: steering rather than rowing Inti dari formula ini adalah pada pemberian pengarahan bukan pelaksanaan pelayanan publik. Birokrasi harus menyediakan (providing) beragam pelayanan publik sesuai dengan tugas dan 22 Osborne, D. & Gaebler, T. (1995). Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta: Penerbit Pustaka Binawan Presindo. 58 Edisi 3 / September / 2011 fungsinya, akan tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing). Dalam pelaksanaanya, birokrasi menetapkan kebijakan, memberikan dana kepada badan pelaksana (baik itu dari swasta maupun lembaga swadaya masyarakat) dan menilai kinerjanya. Dengan tidak berhadapan langsung dengan pengguna layanan, peluang aparat birokrasi untuk melakukan penyimpangan, misalnya meminta imbalan di luar tarif, dapat ditekan. Kolusi antara penyedia dan pengguna layanan juga dapat dihindarkan 2. Birokrasi milik masyarakat atau community-owned bureaucracy: empowering rather than serving Konsep ini menyarankan agar birokrasi mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya kepada masyarakat, sehingga masyarakat berdaya untuk mengontrol pelayanan yang diberikan birokrasi dan mampu menjadi masyarakat yang menolong dirinya sendiri (community self-help). Dengan adanya kontrol dari masyarakat, aparat birokrasi akan memiliki komitmen yang lebih baik, peduli dan kreatif dalam memecahkan permasalahan publik. Dampak nyata dari penerapan konsep ini, pelayanan birokrasi akan semakin baik dan bermutu. Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Edisi 3 / September / 2011 Pengguna layanan tidak harus mengeluarkan biaya lebih untuk membayar pelayanan standar yang memang menjadi haknya. Dan yang lebih penting, korupsi yang biasa terjadi karena kelemahan pengawasan internal, akan semakin sulit dilakukan karena setiap saat aktivitas birokrasi diawasi oleh masyarakat. 3. Birokrasi yang kompetitif atau competitive bureaucracy: injecting competition into service delivery Birokrasi secara internal maupun eksternal menyuntikan semangat kompetisi dalam pemberian jasa dan pelayanan publik. Kompetisi adalah satusatunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitas pelayanannya tanpa harus memperbesar biaya. Dampak dari penerapan konsep ini, masing-masing pihak yang diberi wewenang melakukan pelayanan publik akan saling bersaing secara sehat. Dengan adanya persaingan, mereka akan berlomba-lomba memberikan pelayanan terbaik. Masyarakat akhirnya bisa menikmati buah persaingan ini dalam bentuk mutu pelayanan yang semakin meningkat. 4. Birokrasi berorientasi misi atau mission-driven bureaucracy: transferring rule-driven organization Mengubah organisasi yang semula digerakan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakan oleh misi. Dalam praktik, birokrasi melakukan deregulasi internal, misalnya menyederhanakan peraturan, prosedur dan sistem administratif. Selain itu, juga mensyaratkan setiap organisai dan satuan kerja birokrasi memiliki misi yang jelas, serta memberikan diskresi kepada manajer untuk menemukan best practise mewujudkan misi namun tetap dalam koridor legal Dampak positif yang ditimbulkan, birokrasi akan terhindar dari birokratisasi. Pelayanan yang lambat dan berbelit-belit serta makan biaya besar, dengan sendirinya akan hilang. 5. Birokrasi berorientasi hasil atau result-oriented bureaucracy: finding outcomes, not inputs Dalam konsep ini, birokrasi membiayai hasil bukan masukan peraturan dan membelanjakan. Mengubah fokus input (kepatuhan pada peraturan dan membelanjakan barang sesuai ketentuan) menjadi akuntabilitas pada output dan outcome. Untuk itu, birokrasi harus mengembangkan standar kinerja, yang mengukur seberapa baik satuan kerja memecahkan 59 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya, semangkin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut. Selain itu, birokrasi juga menetapkan target, memberi imbalan kepada unit kerja yang mencapai dan melebihi target, dan menggunakan anggaran untuk mendongkrak tingkat kinerja yang diharapkan. Dampak positif dari penerapan konsep ini, kinerja birokrasi dapat terukur. Selain itu, birokrasi akan lebih hati-hati menggunakan dana publik, karena akuntabilitas yang tinggi akan sangat menentukan prestasi kerja dan juga berimbas pada pendapatan aparat birokrasi. 6. Birokrasi yang berorientasi pelanggan atau customer-driven bureaucracy: meeting the needs of the customers, not the bureaucracy; Birokrasi memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan memenuhi kebutuhan birokrasi sendiri. Birokrasi memperlakukan masyarakat yang dilayani sebagai pelanggan. Birokrasi melakukan survei pelanggan, menetapkan standar pelayanan, memberi jaminan, dan sebagainya. Dengan konsep ini, birokrasi mendesain organisasi untuk menyampaikan nilai optimal kepada pelanggan. Jika pada masa lalu birokrasi 60 Edisi 3 / September / 2011 cenderung sekadar melakukan bussiness as usual, atau sekadar melaksanakan tugas rutin organisasi, maka dengan konsep ini birokrasi benar-benar dituntut untuk berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Standar pelayanan tidak tetap dan itu-itu saja, melainkan diubah secara bertahap sesuai dinamika kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, dengan konsep berorientasi pada pelanggan, birokrasi tidak akan pernah usang atau ketinggalan zaman. 7. Birokrasi berjiwa wirausaha atau entreprising bureaucracy: earning rather than spending Birokrasi tradisional cenderung berpandangan bahwa mereka sedang mengerjakan pekerjaan dan karenanya tidak pantas berbicara tentang upaya untuk menghasilkan pendapatan dari aktivitasnya. Banyak yang bisa dilakukan untuk menghasilkan pendapatan dari proses penyediaan pelayanan publik. Birokrasi dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan, misalnya menjual informasi kepada pusat-pusat penelitian atau badan usaha baik yang menjual jasa maupun barang, pemberian hak guna usaha yang menarik pada para pengusaha dan masyarakat penyertaan modal daerah, dan lain-lain. Dengan kata lain, birokrasi Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Edisi 3 / September / 2011 dibentuk bukan untuk menghabiskan anggaran, melainkan untuk menghasilkan pendapatan. Pendapatan tersebut bisa diputar untuk membiayai kegiatan birokrasi, atau bahkan dialokasikan untuk membantu pembiayaan pelayanan publik yang lain serta membayar insentif bagi pihak-pihak yang berprestasi. 8. Birokrasi yang tanggap atau anticipatory bureaucracy: prevention rather than cure Birokrasi tradisional yang birokratis memusatkan diri pada produksi pelayanan publik untuk memecahkan masalah publik. Birokrasi birokratis cenderung bersifat reaktif seperti satuan pemadam kebakaran, apabila tidak ada kebakaran (masalah) maka tidak ada upaya pemecahan masalah. Birokrasi wirausaha tidak reaktif, akan tetapi proaktif. Tidak hanya mencoba untuk mencegah masalah, namun juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan. Menggunakan perencanaan strategi untuk menciptakan visi birokrasi. Visi birokrasi membantu masyarakat, bisnis, dan birokrasi daerah untuk meraih peluang yang tak terduga serta menghadapi krisis yang takterduga pula, tanpa menunggu perintah. 9. Birokrasi terdesentralisasi atau decentralized bureaucracy: from hierarchy to participation and teamwork Birokrasi mengubah sistem hierarki menuju partisipasi dan tim kerja. Wewenang diberikan pada unit terdepan, dan sebaliknya hiraki dikurangi. Visi dan misi diwujudkan bersama. Tim kerja bebas menentukan cara kerjanya untuk mencapai hasil terbaik. Dengan konsep ini, pimpinan bukan lagi “sang maha kuasa” yang berhak menentukan perintah secara top-down kepada bawahan secara sewenang-wenang. Desentralisasi akan menghasilkan kepemimpinan kolektif, di mana keputusan dilakukan bersamasama oleh tim. Imbas positif dari desentralisasi wewenang adalah makin berkurangnya d’tournament d’vavoir atau penyalahgunaan wewenang, terutama oleh para pimpinan birokrasi. 10. Birokrasi berorientasi pasar atau market-oriented bureaucracy: leveraging change through the market. Put it all together. Ada dua cara alokasi sumberdaya, yaitu mekanisme pasar dan mekanisme administratif. Dari keduanya, makanisme pasar terbukti sebagai yang tebaik dalam mengalokasi sumberdaya. Birokrasi tradisional menggunakan mekanisme administratif, sedangkan birokrasi 61 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik wirausaha menggunakan mekanisme pasar. Dalam mekanisme administratif, birokrasi tradisional menggunakan perintah dan pengendalian, mengeluarkan prosedur dan definisi baku dan kemudian memerintahkan orang untuk melaksanakannya sesuai dengan prosedur tersebut. Dalam mekanisme pasar, birokrasi wirausaha tidak memerintahkan dan mengawasi tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat. Sepuluh rumusan reinventing bureaucracy tersebut, jika dapat diterapkan secara konsekuen dipastikan dapat menghilangkan birokrasi birokratis dan patologi birokrasi yang selama ini melingkupi birokrasi Indonesia. 62 Edisi 3 / September / 2011 Kesimpulan Birokrasi Indonesia belum probisnis. Sifatnya yang birokratis dan patologis membuat keberadaan birokrasi lebih dianggap sebagai faktor penghambat dibanding pendorong perekonomian. Berbagai penyakit birokrasi muncul karena aparat birokrasi cenderung menggunakan birokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan birokrasi itu sendiri, bukan sebagai unit pelayanan masyarakat. Politisasi birokrasi ikut mendorong terjadinya penyelewengan yang membuat birokrasi semakin jauh dari fungsi utamanya sebagai penggerak sektor perekonomian. Untuk menghilangkan berbagai patologi yang ada, birokrasi perlu direformasi. Salah satunya adalah dengan menerapkan konsep reinventing bureaucracy. Dengan konsep tersebut, birokrasi dikembangkan sebagai unit pelayanan yang tepat, cepat, efisien, efektif, akuntabel dan berorientasi pada kebutuhan pengguna layanan. Reinventing bureaucracy diharapkan mampu mengembalikan birokrasi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Edisi 3 / September / 2011 Foto : Antara Laporan Studi Lapangan Reformasi Birokrasi dalam Dinamika Pemerintahan Daerah Oleh : Tim Redaksi 63 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Pendahuluan M eskipun sudah ada kesepakatan bersama di semua jajaran pemerintahan baik pusat maupun daerah untuk melaksanakan reformasi birokrasi, akan tetapi masih banyak yang menilai bahwa reformasi birokrasi masib belum berjalan secara optimal. Reformasi di bidang birokrasi dinilai mengalami ketertinggalan dibanding reformasi di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Birokrasi pemerintah yang tidak efisien menjadi salah satu faktor penghambat utama dalam melakukan aktivitas percepatan pembangunan ekonomi. Pemerintah dinilai belum dapat menyediakan pelayanan publik yang berkualitas, sesuai dengan tantangan yang dihadapi. 64 Edisi 3 / September / 2011 Melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi, EE Mangindaan, pemerintah mengakui bahwa sejalan perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat, pemerintah belum dapat memberikan pelayanan prima bagi investor yang berbisnis atau yang akan berbisnis di Indonesia (Kompas, 20 September 2011). Selanjutnya Mengindaan menjelaskan bahwa makna reformasi birokrasi adalah sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Ini sebuah pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia yang memasuki abad ke-21 ini. Jika berhasil, akan mengurangi, bahkan dapat menghilangkan, setiap penyalahgunaan kewenangan publik. Jika kita memiliki birokrasi yang baik, mutu pelayanan kepada masyarakat meningkat, begitu pula mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan makin efisien waktu dan biaya, maka birokrasi kita makin antisipatif, proaktif, dan efektif. Reformasi birokrasi perlu dilakukan, kareana kini korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin menjadi. Meskipun sudah banyak perbaikan dilakukan namun indeks persepsi korupsi Indonesia masih rendah dibandingan dengan negara Asia lainnuya. Akuntabilitas kinerja instansi perlu pembenahan dan harus berorientasi pada hasil. Manajemen sumber daya manusia aparatur negara pun belum profesioan, seperti menyangkut kedisiplinan atau taat peraturan. Oleh karena itu pemerintah dengan sirius ingin menerapkan Edisi 3 / September / 2011 pemerintahan dengan prinsip good governance, yaitu adanya tranparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Salah satu wujud dari komitmen pemerintah adalah mengundangkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 208 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dengan undang-undang ini birokrasi pemerintah daerah segera diharapkan untuk melaksanakan undang-undang tersebut. Akan tetapi berbagai kendala masih muncul dalam implementasi undang-undang yang sangat demokratis tersebut, seperti kendala kultural, belum terbentuknya PPID, dan tingkat kesadaran masyarakat sendiri dalam mencari dan mengakses informasi belum terbentuk secara meluas. Oleh karena itu, melalui pengumpulan data lapangan dengan metode observasi dan wawancara mendalam kepada segenap informan yang potensial di berbagai daerah, akan dapat diserap aspirasi dan harapan sebagai umpan balik dari masyarakat, yang akan sangat berguna bagi upaya meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah dalam melayani dengan prinsip good governance. Pertimbangan utama mengapa perlu melihat dinamika pelayanan publik di daerah-daerah, karena selama ini pengaduan masyarakat terhadap layanan publik di sejumlah instansi, ternyata pemerintah daerah paling banyak mendapat laporan, yaitu sejumlah 354 aduan (31,13%), disusul kepolisian 241 aduan (21,20%). Lokasi pengumpulan data lapangan diselenggarakan di enam (6) kota di Indonesia untuk Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik mendapatkan pendapat publik tentang berbagai aspirasi yang berkembang di masyarakat terkait dengan akan kebijakan keterbukaan informasi publik di jajaran birokrasi pemerintah. Keenam lokasi studi lapangan tersebar di wilayah Indonesia bagian barat, tengah dan timur yang dianggap relevan dengan isu transparansi birokrasi, yaitu meliputi Pakanbaru, Surakarta, Sidoharjo, Denpasar, Banjarmasin, Sorong. Adapun pertimbangan dipilihnya kota tersebut adalah, bahwa di samping untuk mewakili perimbangan territorial yang mewakili Indonesia bagian barat, tengah dan timur, juga atas pertimbangan prestasi dan kurang berprestasinya pemerintah daerah dalam melaksanakan pemerintahan dengan prinsip good governance. Untuk daerah seperti Pakanbaru, Sidoarjo, Banjarmasin, dan Sorong mewakili daerah yang tingkat transparansinya masih dalam kategori cukup, sementara untuk Surakarta dan Denpasar mewakili daerah yang tingkat transparansi pemerintahannya baik. Banjarmasin: Komitmen Tinggi Pemprop Kalsel dalam upaya reformasi birokrasi telah memanfaatkan dan mengembangkan IT dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dengan mengembangkan unit pelayanan pengadaan secara elektoronik, sistem informasi pelaporan keuangan daerah, sistem database barang daerah, dan 65 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Edisi 3 / September / 2011 secara bertahap penerapan paperless office. Langkah taktis yang dilakukan Kalsel adalah dengan melakukan perubahan menyeluruh pada aspek pendayagunaan aparatur negara. Hal ini meliputi delapan area perubahan, yaitu organisasi yang tepat fungsi dan ukuran, tata laksana seperti sistem dan proses-prosedur, sumberdaya aparatur yang punya integritas, regulasi yang tertib, pengawasan, akuntanbiilitas, pelayanan publik yang prima, pola pikir, dan budaya kerja. Reformasi telah menjadi komitmen Pemkot Banjarmasin dengan titik berat pada peningkatan pelayanan publik. Khususnya dalam bidang perizinan, Pemkot terus berusaha memberikan pelayanan prima, sehingga masyarakat tidak terhambat oleh masalah birokrasi yang berlarutlarut dalam meningkatkan usahanya. Wali Kota Banjarmasin, Muhidin mengungkapkan tekad tersebut bersamaan dengan Hari Jadi Kota Banjarmasin yang ke-485, tepatnya 24 September 2011. Dengan reformasi birokrasi, maka akan menggairahkan dunia usaha, dan tentu akan ikut berpengaruh terhadap naiknya Pendapatan Asli Daerah. “Hal ini terbukti, bahwa dari tahun ke tahun PAD Kota Banjarmasin terus menunjukkan peningkatan secara cukup signifikan. Pada tahun 2010, PAD mencapai Rp 80,5 milyar, dan pada tahun 2011, target Rp 111,5, optimis akan dapat dicapai”, kata Muhidin. Untuk menunjang reformasi birokrasi, Banjarmasin selama 66 program Pemkot telah meningkatkan kualitas SDM di jajaran PNS, dengan meningkatkan rata-rata tingkat pendidikan. Di samping itu, Pemkot juga berusaha meningkatkan tingkat kesejahteraan pegawai dengan memberikan tunjangan dan insentif bagi PNS di lingkungan Pemkot Banjarmasin. Antara lain dengan memberikan insentif kepada RT, RW, dan Dewan Kelurahan. Demikian pula para guru juga mendapatkan insentif agar terus memberikan pelayanan pendidikan yang optimal. “Semua itu dalam rangka mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat dalam segala aspek yang menyangkut kepentingan publik.” Katanya. Akan tetapi Muhidin menegaskan tidak akan segan memberikan sangsi terhadap PNS yang tidak disiplin. Dalam hal memberikan layanan perijinan secara lancar, Pemkot Banjarmasin menerapkan layanan terpadu dengan satu atap, yaitu Badan Pelayanan Perijinan dan Penanaman Modal (BP3M). Untuk setiap ijin kepada SKPD, semuanya harus lewat BP3M, sehingga dengan demikian semuanya dapat dikontrol untuk kepentingan koordinasi. Memang berdasarkan pengamatan di lapangan, seperti kantor urusan administrasi kependudukan, dan juga di kantor emigrasi, pelayanan cukup lancar. Berdasarkan pengakuan warga yang sedang antri mengurus perijinan mengaku cukup mendapat pelayanan secara baik. Sedangkan warga yang sedang mengurus paspor di kantor emigrasi mengaku tidak mendapat kesulitan dalam mengurus paspor. “Saya cukup lancar dalam Edisi 3 / September / 2011 mengurus paspor, hanya menunggu satu minggu jadi. Dan saya tidak menemui calo di sini, semuanya langsung ke petugas”, kata seorang warga yang mengaku akan menjadi TKI ke luar negeri. Namu demikian juga ada warga yang mengaku, bahwa di Banjarmasin kalau mengurus ijin, lancar tidaknya juga tergantung. “Kalau mau urusan cepat, ya harus ada dana tambahan yang diserahkan pada petugas”, katanya yang berpengalaman mengurus KTP. Sementara itu dalam upaya menerapkan prinsip good governance, Pemkot Banjarmasin terus berusaha memberikan pelayanan secara transparan kepada masyarakat. Sebagaimana dijelaskan oleh Kepala Bidang Informatika Pemkot Banjarmasin, Eka Herlambang, dalam hal pelelangan tender senantiasa disampaikan kepada masyarakat. “Pemkot juga membuka web, Banjarmasin.go.id yang digunakan untuk lelang secara on-line. “Semua itu dilakukan guna mendukung prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pelayanan prima kepada masyarakat. Sekarang kan era keterbukaan, jadi jajaran birokrasi pemerintah tidak mau ambil risiko dengan melakukan lelang secara tertutup. Karena di samping itu menyalahi hukum, juga masyarakat sudah kritis”, kata Eka. Sedangkan M. Amin, Kepala Seksi E-Government, dalam rangka menerpakan UU Keterbukaan Informasi Publik, Pemkot Banjarmasin terus berusaha mensosialisasikan Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik undang-undang tersebut kepada masyarakat. Akan tetapi memang harus diakui bahwa, masyarakat terkesan kurang peduli terhadap perlunya informasi. “Memang sekarang ini sudah banyak internet, akan tetapi kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam kebijakan publik melalui akses informasi di jejaring sosial masih belum menjadi perilaku budaya. Warga dalam mengakses internet, masih untuk keperluan hiburan, dan untuk komunikasi melalui jejaring sosial.” Kata Amin. Ke depan Pemkot akan terus mendorong masyarakat agar terus semakin sadar akan pentingnya terlibat dalam pengambilan keputusan melalui media. Pakanbaru: Antara Optimis dan Pesimis Pada prinsipnya pemerintah daerah telah berusaha keras dalam upaya meningkatkan pelayanan birokrasi kepada masyarakat. Menurut Prof. Dr. Sujianto, Guru Besar Administrasi Negara FIsipol Unri, adanya unit pelaksana teknis (UPT) termasuk Badan Pelayanan perizinan Terpadu menjadi bukti secara formal bahwa ada peningkatan pelayanan birokrasi, karena akan lebih efisien dari sisi waktu dan biaya. Mungkin koordinasi dengan instansi teknisnya masih kurang baik, tetapi sudah diberlakukan sanksi denda bagi yang terlambat. Paling tidak ini sudah menunjukkan ada upaya peningkatan pelayanan. Sebenarnya pelaynan yang belum baik itu sering didengar di unit pelaynan non 67 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik perizinan, seperti di bidang kesehatan dan pendidikan. Umumnya lebih disebabkan oleh faktor manusianya yang kurang tanggap dan cekatan. Akan tetapi Sujianto melanjutkan, ada satu hal yang menarik bahwa pada era otonomi daerah sekarang ini, birokrasi cenderung tidak netral karena ada kepentingan politik. Partaipartai politik yang kebetulan menjadi pemenang dalam Pilkada misalnya, ada kecenderungan mempengaruhi kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada publik. Kondisi pelayanan birokrasi pemerintah mengalami penurunan karena terseret dengan arus politik yang ada. Para birokrat bekerja dalam kondisi yang tidak kondusif, karena mereka sangat tergantung pada partai politik berkuasa. Birokrasi bekerja untuk melayani penguasa (kepentingan parpol). Contohnya hari ini Sabtu, 17 September 2011 Koran memberitakan bahwa 134 pejabat pemerintah di Pakanbaru diganti karena tidak cocok dengan pejabat politik yang berkuasa saat ini. Seharusnya birokrasi dibebaskan dari kepentingan politik sesaat, mereka melayani siapa saja yang berkuasa tanpa harus diganti. Untuk itu birokrasi seharusnya tidak lagi dibina oleh pejabat politik dan penegakan hukum dilakukan secara konsekwen terhadap siapapun. Nilai birokrasi sesungguhnya berlandaskan pada evisiensi dan netralitas, tetapi disalahgunakan oleh negara-negara berkembang sehingga menjadi birokrasi feodal dan tradisional. Suara senada juga dikemukan oleh Azali Johan, seorang aktivis LSM, bahwa nuansa politisasi 68 Edisi 3 / September / 2011 birokrasi di daerah sangat terasa karena kompetisi politik sangat keras dalam Pilkada. Program pelayanan sering tidak konsisten karena setiap ganti pimpinan kepala daerah ganti visi dan ganti program. Tidak ada garis utama yang menjadi patokan program layanan birokrasi. Jika dulu senantiasa mengacu pada GBHN, tetapi sekarang pada visi kepala daerah yang setiap ganti kepala daerah pasti ganti visi. Dalam rekruitmen sumber daya manusia pun juga bias kepentingan politik. “Sekarang ini pergantian pejabat lebih didasarkan pada pertimbangan politik, dalam arti partai apa yang memenangkan dalam Pilkada. Akibatnya mengabaikan faktor kualitas dan mengorbankan profesionalisme dalam menunjuk pejabat”, katanya menyayangkan. Meskipun ada kecenderungan Parpol membuat birokrasi pemerintah menjadi kurang netral, tetapi kritik juga datang dari kalangan politisi. Menurut Sondiwarman, Wakil Ketua DPRD Kota Pakanbaru, menilai bahwa birokrasi pemerintah hingga sekarang masih cenderung minta dilayani. Padahal mestinya birokrasi itu tugas dan fungsi utamanya adalah melayani masyarakat, tetapi kenyataannya justru sebaliknya. “Itulah sebabnya pejabat mulai dari yang tertinggi sampai yang paling bawah sampai saat ini belum bisa menjadi teladan yang baik. Contoh yang sederhana, pembuatan KTP yang merupakan hak setiap warga Negara, dalam prakteknya mulai dari Kelurahan sudah mulai menyimpang dari Perda yang seharusnya biayanya murah menjadi mahal, dan yang Edisi 3 / September / 2011 seharusnya cepat tetapi kenyataannya masih lambat. Padahal sebagaimana dikatakan Kepala Bidang Kedudukan Hukum dan Kesra Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Riau, Yarham SH, Pemprov telah memberikan insentif kepada aparat birokrasi yaitu tunjangan beban kerja. Tujuannya adalah, selaian untuk lebih mengefektifkan pelaynan birokrasi juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan. pegawai. Besaran tunjangan di sesuaikan dengan golongan, yakni antara Rp.2.000.000, - sampai Rp.4000.000, perbulan. Bagi mereka yang tidak masuk kantor atau melanggar disiplin, akan dipotong sesuai dengan ketentuan yang telah dietapkan. Khusus bagi mereka yang melanggar disiplin pegawai akan diproses dan dikenakan sanksi sesuai PP No. 53 tahun 2010. Demikian juga, untuk mendukung capaian kinerja yang optimal, semua sarana dan fasilitas disediakan, serta mengefektifkan pengawasan dan evaluasi. Buruknya pelayanan publik ini juga diungkapkan oleh Presiden Badan Mahasiswa Universitas Riau, Nofri Andri, yang memberikan contoh tentang layanan KTP gratis, tetapi dalam praktek tidak demikian, karena aparat masih bermental korup. Seharusnya proses lebih dipercepat, tetapi tetap lambat, meskipun sudah ada SOP-nya. Praktik pungutan illegal seperti itu ada hubungannya dengan mentalitas para aparat birokrasi yang masih koruptif, sehingga meskipun sebenarnya sudah ada isentif, tetapi tetap saja melakukan penyimpangan Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik layanan. Bersamaan dengan itu, baik Sujianto maupun Nofri mengatakan bahwa pengawasan terhadap suatu kebijakan di lingkungan birokrasi pemerintah tidak berjalan efektif, karena juga rentan melakukan hubungan kolutif antara pelaksana dan jajaran pengawasnya. Memang mekanisme pengawasan dari masyarakat pun juga dibuka sebagaimana dikatakan oleh Yasram, yaitu jika pelayanan tidak memenuhi permintaan masyarakat atau pelayanan tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan, maka biasanya masyarakat mengadu langsung, atau melalui SMS. Setiap pengaduan masyarakat, terutama di unit pelayanan masyarakat, maka akan langsung direspons oleh pimpinan. Sekretaris Daerah selaku pembina pegawai ditingkat Provinsi juga merespon pengaduan masyarakat yang diungkap dalam acara Apel Bendera, Rapat Pimpinan, atau melalui surat edaran. Dalam kaitan dengan implementasi UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, respons pemerintah Provinsi Riau dapat dikatakan kurang cepat. Hingga sekarang Komisi Informasi Daerah dan PPID belum terbentuk. Padahal salah satu prasyarat penting dalam melakukan reformasi birokrasi adalah efektifnya implementasi undangundang tersebut. Prinsip Good Governance akan sulit diterapkan secara optimal jika transparansi dalam mekanisme pemerintahan tidak dilaksanakan. “Bagaimana mungkin akan melaksanakan 69 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik reformasi birokrasi jika prinsip good governance tidak dijalankan dengan baik. Sebagai contoh dalam hal transparansi, hingga sekarang banyak warga masyarakat mengeluh tentang rekruitmen PNS yang tidak terbuka. Karena itu kami jajaran mahasiswa akan terus mendorong percepatan reformasi birokrasi”, kata Nofri. Sementara itu tentang belum terbentuknya PPID menurut Azali Johan tidak jelas alasanya. Sosialisasi UU KIP menurutnya kurang lancar, sehingga masyarakat tidak familiar dengan masalah keterbukaan informasi. Akan tetapi Azali menilai bahwa pada prinsipnya Pemprov Riau sudah melaksanakan prinsip good governance sebagai bagian dari komitmen untuk menjalankan reformasi birokrasi. Hal ini juga diakui oleh Politikus Sondiwarman bahwa pemerintah sudah berusaha transparan, meskipun memang masih banyak hambatan baik struktural maupun kultural. “Kalau soal kecenderungan adanya KKN dalam rekruitmen PNS, saya kira tidak hanya di Riau, tetapi hampir di seluruh Indonesia ada gejala itu. Akan tetapi sekarang sudah relatif transparan, misalnya dengan mengumumkan hasil tes beserta rankingnya di depan publik”, katanya. Sedangkan Ramli Khatib, Ketua MUI Riau, berpendapat bahwa belum terbentukan PPID sesuai dengan amanat UU KIP, penyebabnya adalah Pemprov Riau masih setengah hati dalam menjalankan pemerintahan secara transparan, mungkin karena takut dosa berjamaah. Akan tetapi pada prinsipnya Pemprov Riau 70 Edisi 3 / September / 2011 tetap berusaha semaksimal mungkin meningkatkan kualitas pelayanan birokrasi pada masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh Sujianto dan Zulkurnain, Kasubag Bina Program, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu, bahwa dalam upaya meningkatkan pelayanan publik Pemprov Riau telah membentuk Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) berdasarkan Kepmendagri No. 8 tahun 2008 tentang Badan Pelaynan Perizinan Terpadu, dan saat ini baru ada di tingkat Provinsi. Saat ini BP2T memiliki 150 jenis layanan perizinan dan non perizinan. Ikon BP2T adalah CERIA - Cepat, Efisien, Responsif, Integritas, dan Akuntabel. “Adanya unit pelaksna teknis (UPT) termasuk Badan Pelayanan perizinan Terpadu menjadi bukti secara formal bahwa ada peningkatan pelayanan birokrasi, karena akan lebih efisien dari sisi waktu dan biaya. Mungkin koordinasi dengan instansi teknisnya masih kurang baik, tetapi sudah diberlakukan sanksi denda bagi yang terlambat. Paling tidak ini sudah menunjukkan ada upaya peningkatan pelayanan”, kata Sujianto yang diamini oleh Zulkurnain. Sorong: Bergelut Mimpi dan Tradisi Salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang terbuka adalah hak publik untuk memperoleh informasi sesuai dengan peraturan perundangundangan. Jaminan hak publik atas informasi mendorong partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik. Dengan keterlibatan yang berkualitas, Edisi 3 / September / 2011 akhirnya terwujud akuntabilitas dan pertanggungjawaban setiap kebijakan publik. Tahun 2008, di Indonesia, UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) disahkan dan diterapkan. Undang-undang itu memberi jaminan hukum bagi masyarakat dalam meminta informasi dari badan-badan publik, dan mengharuskan seluruh badan publik di Indonesia memberi informasi kepada masyarakat dan melayani permintaan informasi dari publik. Di kawasan timur Indonesia, Kabupaten dan Kota Sorong, Papua Barat, kini tengah berbenah untuk meningkatkan kualitas layanan publik, termasuk informasi. “Ada empat prioritas pembangunan Kabupaten Sorong, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur,” jelas Kepala Humas Kabupaten Sorong, Marthen Nebore, S.Sos, M.Sc. Prioritas tersebut merupakan “mimpi” Pemerintah Kabupaten yang diarahkan untuk meningkatkan investasi di kawasan kepala burung, Papua. Pendidikan, ekonomi dan infrastruktur diarahkan agar bisa menyiapkan sumber daya lokal agar mendukung kebutuhan sumber daya manusia, sementara kesehatan yang bertaratf internasional dikembangkan untuk melayani kebutuhan industri dan investor yang kebanyakan dari luar negeri. Sementara di kawasan Kota Sorong tengah berbenah untuk meningkatkan kapasitas sebagai meeting point, pelabuhan dan Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik pendukung investasi di kawasan Papua Barat. Kesadaran akan tanggung jawab yang harus diemban pemerintah daerah atas keterbukaan informasi publik tampak sudah dipahami oleh pejabat di kawasan timur Indonesia. Kota Sorong dikenal dengan istilah Kota Minyak sejak masuknya para surveyor minyak bumi dari Belanda pada tahun 1908. Kota Sorong terkenal penuh dengan sisa-sisa peninggalan sejarah bekas perusahaan minyak milik Belanda. Posisinya sangatlah strategis karena merupakan pintu keluar masuk Provinsi Papua dan kota persinggahan. Kota Sorong juga rnerupakan kota industri, perdagangan dan jasa, karena Sorong dikelilingi oleh kabupaten-kabupaten yang mempunyai sumber daya alam yang sangat potensial sehingga membuka peluang bagi investor dalam maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya. Sekalipun, kerangka layanan informasi memang tidak diprioritaskan dalam pembangunan Kabupaten Sorong, namun Marthen menegaskan bahwa komitmen keterbukaan informasi sudah melekat dalam setiap program pembangunan. Apalagi, prioritas Pemerintah Kabupaten Sorong adalah meningkatkan investasi di kawasan yang kaya minyak, gas alam dan sumber mineral lain itu. Dalam aspek layanan informasi, sekalipun tidak ada peraturan lokal khusus mengatur implementasi UU KIP, baik di lingkungan Kabupaten 71 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik dan Kota Sorong beberapa peraturan daerah, telah mengatur kewajiban lembaga pemerintah setempat untuk memberi informasi kepada masyarakat. Walaupun demikian, peraturan-peraturan tersebut tidak secara jelas mengatur tata cara mengakses informasi sebagaimana diatur dalam UU KIP. Di Kota Sorong, misalnya dalam pelayanan pembuatan Kartu Tanda Penduduk, informasi tentang biaya pengurusan KTP dan Akte Catatan Sipil bisa dilihat di ruang layanan kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Sesuai Perda No.15 Tahun 2009 Tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akte Catatan Sipil, biaya pencetakan dokumen berkisar mulai Rp 10.000,oo sampai Rp25.000,oo. Keterbukaan informasi dalam tataran awal sudah cukup intensif dikembangkan, sekalipun di Kota dan Kabupaten Sorong, belum ada penunjukkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumen (PPID), namun Marthen Nebore, menjamin masyarakat Kabupaten Sorong dapat dengan mudah mengakses informasi. “Pelayanan informasi berjalan dengan baik. Kemitraan bagian humas dengan pers cukup bagus sehingga berita tentang pembangunan Kabupaten Sorong dapat diterima dengan baik oleh masyarakat,” ungkapnya. Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Bagian Humas Setda Kota Sorong, Nifu Ahmad, S.IP. Menurutnya penyediaan informasi yang dibutuhkan bisa diakses langsung masyarakat di instansi 72 Edisi 3 / September / 2011 yang bersangkutan. “Setiap dinas sudah memiliki website dan kami juga memfasilitasi petunjuk layanan informasi di setiap kantor layanan, termasuk di kelurahan dan distrik,” tambahnya. Akses informasi untuk masyarakat memang sudah disediakan langsung melalui kantor layanan dan website. Di kantor layanan, seperti Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, warga bisa bertanya secara langsung mengenai kelengkapan berbagai dokumen yang dibutuhkan untuk mendapatkan Kartu Keluarga atau Akta Catatan Sipil lainnya. Sebagaimana dialami oleh Amanis Waang (59) asal Kelurahan Rufei, Distrik Sorong Barat. Ketika datang di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Sorong, langsung dipandu oleh salah satu petugas yang ada. Beberapa kesulitan yang ditangani langsung dibantu. “Sempat bingung juga, tapi untung ada yang membantu,” katanya yang harus menyempatkan diri pagi sekali karena layanan kantor dimulai pagi pk. 08.00 WIT dan berakhir di pukul 14.00 WIT. Dalam pandangan Abbas (50) seorang pekerja industri kayu, ada kecenderungan warga Sorong hanya mengurus KTP atau yang lain ketika membutuhkan. “Jadi kalau mereka tidak membutuhkan ya, tidak ada yang mau datang. Ini saja yang mengurus KTP Nasional baru bisa dihitung dengan jari,” tuturnya. Hal itu juga dibenarkan oleh Maimunah (35) salah satu petugas layanan loket. Menurutnya Edisi 3 / September / 2011 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik kebutuhan warga yang lebih banyak mendorong ketika mereka mengurus KTP atau Akta lain, “Biasanya kalau membutuhkan untuk pinjaman bank atau kredit. Baru mereka mau urus KTP,” jelasnya. Abbas, menurutnya ia juga belum mendapatkan surat edaran dari distrik. “Sehingga masyarakat yang datang untuk mengurus KK dan KTP jumlahnya tidak maksimal,” tambah Abbas. Di Kota Sorong, memang kebanyakan layanan publik terkendala dengan perilaku warga. Ketika dibuka layanan langsung di distrik atau kelurahan, penggunanya tidak terlalu banyak. “Padahal kita untuk menyukseskan Program Nasional Kepemilikan KTP Nasional dibuka layanan langsung selama empat hari,” jelasnya. Berbeda dengan di Kabupaten Sorong, jangkauan geografis yang luas dan sebaran penduduk yang tidak merata menjadi kendala yang paling utama. Keadaan topografi Sorong sangat bervariasi terdiri dari pegunungan, lereng, bukit-bukit dan sebagian adalah dataran rendah, sebelah timur di kelilingi hutan lebat yang merupakan hutan lindung dan hutan wisata. Menurut Nifu Ahmad, layanan itu didasarkan pada Surat Edaran Walikota Sorong 474.4/596/2010 tentang pembuatan KK dan KTP Standar Nasional tanggal 22 Juni 2010 dan Surat Perintah Tugas Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Sorong Tentang Pelayanan Langsung Pembuatan KK dan KTP Standar Nasional di Kelurahan Tanjung Kasuari dan Kelurahan Saoka Distrik Sorong Barat Nomor ; 470/596/SPPD-DKPSRG/2010. “Memang kita dari pegawai Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Sorong di bantu oleh aparat kelurahan setempat. Cuma banyak yang tidak bisa datang karena beberapa hal,” jelas Rury, staf di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Sorong. Menurutnya selain besaran biaya pengganti cetak, kurangnya sosialisasi pelaksanaan kegiatan membuat tidak maksimal. Hal senada juga disampaikan oleh “Dibutuhkan cost yang besar dikarenakan jangkauan wilayah kami yang cukup luas,” ungkap Marthen seraya menambahkan bahwa standar biaya dari pemerintah pusat tidak sesuai apabila diterapkan di Papua, karena standar biaya di Papua memang cukup mahal. Belum lagi harus menghadapi hambatan adat dan budaya masyarakat yang cukup beragam. Di Sorong sendiri, selain masyarakat Moi (terutama yang ada di daerah pantai dan biasa menggunakan nama depan/belakangnya dengan usin) juga terdapat masyarakat BBM (Bugis, Buton, Makasar), Jawa, Sunda, Sumatera, sebagai transmigran yang membawa agama Islam ke tanah Papua. “Masing-masing suku memiliki karakteristik adat tersendiri dan berbeda dalam menyikapi layanan pemerintah,” jelas Moh, Alwin, Kepala Bidang Komunikasi dan Informatika Dinas Perhubungan 73 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik dan Kominfo Kabupaten Sorong. Dalam Undang-undang keterbukaan informasi publik, kesiapan para penyelenggara negara dalam menyediakan informasi yang diberikan kepada masyarakat adalah hal yang mutlak. “ UndangUndang Keterbukaan Informasi Publik mewajibkan seluruh badan publik menyediakan informasi publik membuat standar layanan informasi publik. Tapi kita berupaya meningkatkan kinerja kehumasan pemerintah,“ tegas Marthen Nebore. Jika melalui website tidak optimal, kami terus meningkatkan peran aparat hubungan masyarakat (humas) sebagai ujung tombak dalam penyampaian informasi. “Masingmasing wilayah kerja, salah satunya penyampaian informasi seputar program pembangunan yang sedang berjalan, haruslah didukung oleh informasi atau data yang akurat, dan bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat,” tambah Marthen. Bupati Sorong, Dr Stefanus Malak, M.Si menyatakan peran kehumasan yang langsung bisa berkomunikasi dengan warga atau pekerja media sangat penting dalam mewujudkan kepercayaan publik dan membina hubungan baik dengan masyarakat. “Khususnya, guna menjawab tantangan besar yakni meningkatnya proses pertukaran informasi antar unit di dalam organisasi internal,” tambahnya. Kepala Bagian Humas Pemkab Sorong, Marthen Nebore, menyatakan pihaknya juga memfasilitasi 74 Edisi 3 / September / 2011 penyelenggaraan pelatihan dan kordinasi kehumasan. “Berbagai acara dan pelatihan secara berkala dikembangkan. Agar bermanfaat bagi kekompakan jajaran SKPD. Selain itu juga kian memudahkan koordinasi bagi aparat Pemda Sorong,” jelas Marthen. Pemkot Sorong dan Pemkab Sorong, sebenarnya telah mengembangkan layanan infromasi melalui website. Namun kondisi akses jaringan internet yang belum stabil membuat layanan ini tidak bisa optimal diakses warga. “Jaringan internet di sini biasanya cepat kalau pagi. Tapi usai jam 12.00 siang, maka akan lambat. Sekalipun semua bisa terjangkau akses internet nirkabel, tapi kecepatan akses lambat juga masih jadi kendala,” tambah Moh. Alwin yang kini menangani layanan media center dari Kementerian Kominfo di Distrik Aimas, Kabupaten Sorong. Tak heran jika kemudian, website Kabupaten Sorong www.sorongkab. go.id, tidak dapat diakses masyarakat. Sementara website Kota Sorong, www.sorongkota.go.id, juga tak jauh beda kondisinya. Oleh karena itu, menurut Marthen, dukungan infrastruktur layanan informasi yang cukup kuat sangat diperlukan. “Apalagi kita harus menjangkau dan melayani masyarakat sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masingmasing,” tuturnya. Keterbukaan informasi publik bukan hanya sekadar mengatur soal informasi. Undang-undang ini juga memberikan jaminan adanya Edisi 3 / September / 2011 partisipasi warga negara dalam turut menentukan kebijakan. Partisipasi atau pelibatan masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan informasi publik. Akan tetapi mengelola keterbukaan informasi di Kota dan Kabupaten Sorong merupakan seni tersendiri. Di kawasan Sorong, terdapat enam kelompok etnis besar, yaitu: Suku Moi, Bugis Makasar, Jawa, Maybrat, dan Maluku. Suku Moi adalah penduduk asli Papua yang menjadi pemegang hak adat atas tanah di pusat pemerintahan Kabupaten Sorong. Sementara di kawasan kota, relatif sudah mulai banyak didominasi oleh kalangan pendatang. Partisipasi yang paling menonjol dalam hal pelayanan dasar adalah di bidang pendidikan dan kesehatan. Di bidang pendidikan, setiap sekolah terdapat komite sekolah yang beranggotakan para orang tua murid dan donatur. “Namun peranan ini belum berkembang sesuai yang diharapkan. Hal ini di sebabkan rendahnya kemampuan, baik finansial maupun intelektual, di samping kurangnya sosialisasi dan informasi yang sampai pada anggota komite sekolah,” tambah Abbas. Di bidang kesehatan, keikutsertaan masyarakat dalam pelayanan dalam bentukkader posyandu. Kader posyandu ditujukan untuk membantu tenaga medis yang jumlahnya terbatas, “Tetapi di daerah-daerah pedesaan justru kader posyandu menjadi tenaga inti dalam pelayanan kesehatan di pedesaan,” Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik kata Maimunah (45) seorang pedagang kelontong di Kota Sorong menambahkan. Sementara dalam perencanaan pembanguan, telah dikembangkan pelibatan masyarakat secara langsung maupun melalui perwakilan seperti DPRD, BPM/BPD/LKMD. “Semua kegiatan itu memang aktif dilakukan di Kabupaten Sorong, Rapat koordinasi pembangunan daerah yang dilakukan oleh BAPPEDA,” tambah Marthen. Kabupaten Sorong kini sedang mempersiapkan diri untuk menjadi daerah tujuan wisata unggulan, khususnya di propinsi Papua Barat. Dengan pesona alam khas papua dan ditunjang letak yang strategis, diperlukan rintisan pembangunan kepariwisataan dalam jangka panjang yang dimulai dari sekarang. “Prioritas utama kami adalah pengembangan wisata bahari dan wisata alam,” kata Bupati Sorong, Stefanus Malak. Surakarta: Ada Perubahan Signifikan Pemerintah Kota Surakarta merupakan salah satu contoh semakin meningkatnya kinerja birokrasi. Kota ini terus mengalami peningkatan dalam indeks transparansi di tingkat nasional, dan bahkan masuk dalam sepuluh besar. Di bawah kepemimpinan Wali Kota Joko Wiyono, kota Surakarta memang telah menunjukan kemajuan signifikan dalam pelayanan birokrasi. “Widodo Muktiyo, dosen Ilmu Komunikasi Fisip UNS, mengakui bahwa pelayanan birokrasi di kota ini 75 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik terus membaik. “Reformasi birokrasi cukup terasa dampaknya di kota ini sebagaimana tampak pada makin transparannya Pemkot, dan kian cepat dan lancarnya urusan perijinan, terutam yang berkaitan dengan sektor usaha dan perdagangan. Namun demikian, masih ada aparat birokrasi yang masih bermental harus dilayani, karena memang mereka tumbuh di kalangan kultur yang feodalistik”, kata Widodo. Penilaian senada juga datang dari Mahendra Wijaya, dosen Sosiologi Fisip UNS bahwa ada kemajuan yang bararti dalam hal pelayanan publik. Faktor kepemimpinan menjadi kunci dari perubahan mind set aparat birokrasi, karena secara sosiologis masyarakat kita memang masih patriomonialistik. “Ketika pimpinan kota Surakarta mau berubah dengan mengedepankan layanan publik, maka jajaran birokrasi pemerintah juga mengikuti. Dalam struktur birokrasi itu bersifat hierarkis dan instruktif, sehingga kalau pimpinan atasnya berubah, maka bawahannya juga mengikuti. Harus diakui bahwa Wali Kota Surakarta sekarang cukup kreatif dan inovatif dalam usahanya memberikan layanan kepada masyarakat. Fasilitas publik senantiasa menjadi prioritas pengembangan dan senantiasa diperbaiki”, kata Mahendra. Dalam hal e-KTP, Pemkot Surakarta juga terus memberikan pelayanan secara optimal meskipun dalam keterbatasan peralatan. Dari hasil pantauan di lapangan, para petugas tampak bertugas secara allout dan mereka senantiasa menyapa dengan 76 Edisi 3 / September / 2011 ramah. Bahkan pelayanan juga dilakukan di luar jam kantor, mulai pukul 08.00 hingga 21.00. “Untuk pelayanan e-KTP ini kami bisa melayani 15 orang perjam, dan kami minimal membuka layanan 12 jam efektif kepada warga masyarakat”, kata Subandi, salah seorang pejabat di bagian kependudukan. Di bidang keterbukaan informasi, Pemkot Surakarta juga melakukan langkah-langkah yang terus menunjang terselenggaranya transparansi, terbukti kota ini telah memiliki PPID. Bahkan juga sudah membentuk komisi informasi dengan anggaran sebesar 1,2 milyar rupiah. Pemkot juga telah secara aktif memberikan pelayanan lewat media on-line, seperti informasi umum, LPSE, bursa kerja, layanan kesehatan masyarakat, rencana kelurahan, dan masalah kependudukan. Sebagaimana dijelaskan oleh salah seorang pejabat di jajaran Pemkot Surakarta, Fahrudin, programprogram tersebut adalah programprogram yang didesain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Surakarta, khususnya di bidang pelayanan umum. Seperti yang diketahui, pelayanan umum adalah pelayanan yang diberikan baik jasa maupun non jasa dan ataupelayanan administrasi. Oleh karena itu, pelayanan yang dimaksudkan di sini adalahpelayanan jasa yaitu pelayanan di bidang administrasi (perijinan) melalui sistem one stop service (OSS), pelayanan kesehatan yaitu program PKMS (Program Kesehatan Masyarakat Surakarta). Inovasi dalam pemerintahan juga dapat Edisi 3 / September / 2011 didefinisikan sebagai pengembangan suatu desain kebijakan baru dan prosedur standard operasi yang baru untuk memecahkan masalah publik. Jasa yaitu pelayanan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat, yaitu melalui program rumah tidak layak huni (RTLH). Ketiga bidang tersebut dianggap program yang menonjol di Kota Surakartadan dapat dilihat secara langsung nilai-nilai perubahannya dimana pelayananseharusnya diberikan secara adil, transparan, merata, akuntabel, dan partisipatif sesuaidengan prinsip good local governance. Fahrudin juga menjelaskan upaya Pemkot dalam bidang layanan informasi publik, yaitu mempersiapkan regulasi di tingkat daerah, menerbitkan SK Walikota Surakarta No. 042.05/01-B/1/2011 tentang penunjukkan PPID, menerbitkan SK Walikota Surakarta No : 060.05/05/1/2011 tanggal 3 januari 2011 tentang pembentukan Tim Uji Konsekuensiterhadap informasi yang dikecualikan pada Pemerintah Kota Surakarta, Peraturan Wali Kota tentang Standar layanan Informasi/ SOP (dlm proses penyusunan), sosialisasi UU KIP secara rutin, dan pembekalan pada PPID sejak April 2011. Juga terus melakukan pembenahan sistem informasi data, menyiapkanruang pelayanan informasi beserta infrastrukturnya, meningkatkan pendokumentasian data daninformasi SKPD, meningkatkan konten Web Pemerintah Surakarta sebagai sumber informasi, dan meningkatkan sarana Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik untuk mengakses informasi bagi masyarakat. Denpasar: Rakyat Kurang Peduli Harus diakui, sesungguhnya masyarakat Bali tidak terlalu peduli terhadap keterbukaan informasi. Masyarakat sebagian besar lebih memilih hidup mengurus diri dengan beribadah. Adanya Undangundang keterbukaan informasi pun disambut biasa-biasa saja. Padahal hak memperoleh informasi merupakan hak dasar warga Negara. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28F menjaminnya. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Warga juga berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Beberapa UU lain sesungguhnya juga menjamin hak warga atas informasi. Pertama, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hak atas informasi diatur dalam Pasal 14, Pasal 60, Pasal 103. Kedua, UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 65 ayat (2) UU ini menyatakan setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Secara khusus hak warga terhadap informasi diatur dalam UU nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP. Dalam pertimbangannya, 77 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik UU ini menyebutkan bahwa hak memperoleh informasi merupakan HAM. UU ini juga menegaskan bahwa keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis.Pasal 2 mengatur bahwa asas UU ini adalah setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik kecuali informasi publik yang dikecualikan, informasi publik yang dikecualikan ini bersifat ketat dan terbatas. Dalam pasal 9 UU KIP disebutkan badan publik wajib mengumumkan informasi publik secara berkala. Informasi ini meliputi profil, kegiatan dan kinerjan, serta laporan keuangan badan publik. Badan publik adalah organanisasi yang terkait penyelenggaraan Negara maupun organisasi lain dengan pendanaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah (APBN atau APBD). Menurut Ni Made Ras Amanda Gelgel, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana Bali, pemerintah kota Denpasar belum sepenuhnya menerapkan keterbukaan informasi publik. Ada beberapa lembaga yang telah dengan baik membuka berbagai informasi kepada khalayak, namun itu hanya sebagian kecil. Mungkin perlu perbaikan pola pikir dan kemauan masing-masing lembaga dalam penerapan pelaksanaan UU KIP. Perbaikan terutama adalah kebijakan pimpinan badan publik dalam menerapkan UU KIP. Perlu manajemen pengelolaan informasi yang dikuasai dan pelayanan akses informasi dari publik. Perbaikan 78 Edisi 3 / September / 2011 tersebut hanya bisa dicapai jika publik/masyarakat sebagai pemilik hak atas akses informasi aktif mendorong badan publik untuk selalu berbenah. “Warga harus secara aktif meminta akses informasi. Ini merupakan salah satu cara agar badan publik menjadi lebih siap dan lebih baik dalam melayani permintaan informasi publik”, katanya. Pendapat senada juga disampaikan oleh Agus Sanjaya dari Dinas Perhubungan dan Infokom Denpasar, kondisi keterbukaan informasi, khsusunya lembaga-lembaga publik, sepertinya tidak serta merta terjadi dan diterapkan dengan baik. Indikatornya antara lain, pertama, belum adanya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi. Kedua, minimnya kesiapan badan publik untuk melaksanakan UU KIP. Hasil assessment KIP pusat menjelang pemberlakuan UU KIP disebutkan bahwa baru tujuh badan publik diseluruh indonesia yang dianggap siap atau berupaya mempersiapkan diri. Ketiga, hasil uji badan publik lintas sektor yang diadakan Sloka Institute bekerjasama dengan Indonesian Parliamentary Center (IPC) terhadap beberapa instansi di 4 kabupaten/kota serta di tingkat Provinsi Bali mencerminkan belum sistematis dan transparannya akses informasi publik. Uji badan publik yang dilakukan meliputi tiga sektor yaitu pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Hasil uji publik tersebut ditindaklanjuti dengan mengadakan Rembug Lintas Aktor (RELA) Kesiapan Badan Publik di Bali dalam Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Edisi 3 / September / 2011 Penerapan UU Keterbukaan Informasi Publik 2010 lalu. RELA dihadiri oleh anggota Komisi Informasi (KI) Pusat Abdul Rahman Ma’mun, drs I Wayan Nuranta, SH., perwakilan Biro Pemerintahan Provinsi Bali, dan Ni Luh Candrawati Sari, SH., MH, Kepala Bidang Informasi Dinas Perhubungan, Informasi, dan Komunikasi Bali, perwakilan Walhi Bali, perwakilan Yayasan Manikaya Kauci, perwakilan persma Akademika, Ketua AJI Denpasar Rofiqi Hasan, dan wartawan. Selain itu belum ada numenklatur yang jelas antara fungsi yang akan diemban Dinas Infokom dan Humas Pemkot Bali. Kemudian masalah anggaran dan transisi penataan lembaga publik juga menjadi masalah. Pemerintah Provinsi Bali baru bisa memasukkan pembentukan Komisi Informasi (KI) dalam APBD 2011. Proses pendirian KI diawali dengan pembentukan Tim Seleksi yang melibatkan kalangan akademisi, tokoh masyarakat dan pemerintah. Tim seleksi selanjutnya akan menyaring minimal 10 calon dan maksimal 15 calon untuk diajukan dalam fit and proper test di DPRD Bali. Nanti DPRD akan memilih 5 calon anggota KI. Sosialisasi tentang UU KIP sudah dilakukan di lembaga publik dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Provinsi Bali. Nantinya di setiap lembaga itu akan ada Penanggung jawab Pengelolaan Informasi Daerah (PPID) yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. Langkah lainnya adalah dengan merancang website e-government. Pemerintah daerah berharap LSM bias ikut memantau proses pembentukan PPID. Sementara itu seorang tokoh masyarakat, Meniartha berpendapat masyarakat belum peduli. “animo warga Denpasar kurang begitu antusias dalam memanfaatkan adanya UU KIP, karena mungkin banyak yang belum tahu. Untuk itu pemerintah perlu terus menggalakan sosialisasi”, katanya. Penutup Begitulah, serba-serbi dinamika pemerintahan daerah dalam menyambut reformasi birokrasi ternyata sangat beragam. Ada kesan kuat bahwa Pemda sebenarnya menyadari akan pentingnya reformasi birokrasi, sehingga harus melakukan langkah-langkah penyesuaian. Ada yang cepat beradaptasi dalam iklim keterbukaan informasi, tetapi ada juga yang masih lamban. Sementara pendapat warga masyarakat juga beragam, ada yang optimis dan ada yang pesimis. Akan tetapi ada satu yang jelas, bahwa semuanya semakin menyadari pentingan arti penyelenggaraan pemerintahan dengan prinsip good governance. Semua menyadari bahwa transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik adalah penting dalam era sekarang ini. Oleh karena itu masyarakat berharap agar pemerintah terus memberikan pelayanan optimal terhadap masyarakat. 79 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik Memang ada kendala yang cukup merisauhkan dalam upaya menggelorakan semangat reformasi birokrasi. Kendala itu berupa kendala struktural maupun kultural. Kendala struktural muncul karena karakter birokrasi pemerintah yang hierarkis, rigit, dan kurang cepat melakukan perubahan dengan mengubah berbagai aturan yang telah usang. Sementara itu kendala kultural muncul berkaitan dengan belum ada transformasi cara berpikir dan sikap yang berorientasi pada pelayanan publik. Masih banyak aparat birokrasi yang mindset-nya menggunakan paradigma lama, di mana mereka masih minta dilayani. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan UU KIP, sebagian besar Edisi 3 / September / 2011 pemerintah daerah masih bergerak lamban dalam menyongsong era keterbukaan informasi, terbukti masih sedikit yang membentuk PPID. Namun demikian, UU KIP semakin populer berkat sosialisasi yang cukup intens kepada masyarakat. Hanya saja, di kalangan masyarakat sendiri juga masih perlu didorong untuk lebih proaktif guna memanfaatkan UU KIP agar good governance terimplemntasi dengan lancar dalam proses pembangunan di daerah. Sepertinya masyarakat kita memang masih perlu terus didorong menuju ke arah keterbukaan informasi, karena itu perlu terus menumbuhkan kesadaran bersama untuk tetap terus belajar berdemokrasi. 80 Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik 82 Edisi 3 / September / 2011