Birokrasi - Litbang Kota Magelang

advertisement
Edisi 3/ September / 2011
Birokrasi
a
r
E
m
a
l
a
d
Keterbukaan
Informasi Publik
Pelayanan Birokrasi dalam Era Otonomi Daerah
Pelayanan Birokrasi Papua dalam Era Otonomi Khusus
Foto : Antara
Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance
Reformasi Birokrasi, Syarat Mutlak Pembangunan Ekonomi
dalam Era
Diterbitkan Oleh :
Tim Redaksi
Pengarah
:
Penanggungjawab :
Pemimpin Umum
:
Tifatul Sembiring
(Menteri Kominfo)
Basuki Yusuf Iskandar
(Sekretaris Jenderal)
Ahmad Mabruri Mei Akbari
(Staf Khusus Menkominfo)
Freddy H Tulung,
(Dirjen Informasi dan Komunikasi
Publik)
Suprawoto
(Staf Ahli Menteri Bidang Sosial
Ekonomi dan Budaya)
Sadjan
(Direktur Pengelolaan
Media Publik)
Pemimpin Redaksi
:
Anggota
Dewan Redaksi
: Ismail Cawidu
(Sekretaris Direktorat Jenderal
Informasi dan Komunikasi Publik)
Bambang Wiswalujo
(Direktur Pengolah dan
Penyediaan Informasi)
Supomo
(Direktur Komunikasi Publik)
Erlangga Masdiana
(Direktur Layanan Informasi
Internasional)
James Pardede
(Direktur Kemitraan Komunikasi)
Redaktur Pelaksana : Mardianto Soemaryo
Penyunting/ Editor : 1. Hypolitus Layanan
2. Endang Kartiwak
3. Taufik Hidayat
Tim Tenaga Ahli
: Sugeng Bayu Wahono
Lambang Trijono
Abduh Sandiah
Murti Kusuma Wirasti
Design Grafis
: Danang Firmansyah
Sekretaris Redaksi
: M. Taofik Rauf
Sekretariat
: 1. M. Azhar Iskandar Zainal
2. Jatmadi
3. Sarnubi
4. Inu Sudiati
5. Elpira Inda Sari N.K
6. Lamini
7. Nur Arief Hidayat
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Edisi 3 / September / 2011
Daftar Isi
Salam Redaksi
ii
Wawancara Khusus
I
II
vii
Reformasi Birokrasi Tidak Secepat Membalik Telapak Tangan
vii
Pelayanan Birokrasi dalam Era Otonomi Daerah
1
Pendahuluan
2
Antara Harapan dan Kenyataan
5
Penutup 9
Pelayanan Birokrasi Papua
11
dalam Era Otonomi Khusus
Birokrasi dan
III Reformasi
Implementasi Good Governance
19
Birokrasi, IV Reformasi
Syarat Mutlak Pembangunan Ekonomi
45
Laporan Studi lapangan
65
Reformasi Birokrasi dalam Dinamika Pemerintahan Daerah
65
i
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Edisi 3 / September / 2011
Salam Redaksi
S
etelah era reformasi, juga
salah satu yang paling
santer dikumandangkan
adalah perlunya reformasi
birokrasi. Isu utama yang
ditekankan dalam reformasi
birokrasi bukan saja pelayanan
dan inefisiensi, tetapi juga
transparansi. Seiring dengan
bergulirnya demokratisasi,
birokrasi pemerintah dituntut
untuk tampil sebagai organisasi
pelayanan publik yang
transparan. Good governance
menjadi sebuah imperatif dalam
proses negara demokrasi, dan di
sini birokrasi harus transparans,
akuntable, dan membuka
partisipasi publik.
Pemerintah
pun
merespons
atas tuntutan reformasi birokrasi
dengan berkomitmen menerapkan
prinsip good governance, antara lain
tampak pada (1) penyelenggaraan
pemerintahan dengan membuka
koridor ketertutupan birokrasi melalui
semangat dialog dan komunikasi
intensif
antara
pemerintah,
pihak swasta, dan masyarakat;
(2)
dalam pengambilan kebijakan
serta keputusan, pemerintah telah
bertindak atas dasar tanggung
jawab dalam segala bidang untuk
kepentingan masyarakat luas; (3)
setiap proses pemerintahan mulai
dari pengambilan keputusan sampai
implementasi, pemerintah telah
berusaha membangun kepercayaan
timbal balik antara pemerintah dan
masyarakat melalui penyediaan
informasi dan menjamin kemudahan
di dalam memperoleh informasi
tersebut; dan (4) pengambilan
keputusan juga perlu melibatkan
masyarakat, sehingga masyarakat
memiliki
kesempatan
dalam
menyampaikan aspirasinya
Masih dalam konteks good
governance, pemerintah juga memiliki
komitmen untuk melaksanakan
inisiatif
Open
Government,
sebagai kebutuhan nasional akan
transparansi
dan
akuntabilitas
serta kontribusi aktif Indonesia
ii
Edisi 3 / September / 2011
dalam Open Government Partnership
(OGP).
Dalam
pelaksanaannya,
setiap lembaga publik diharapkan
menyusun Rencana Implementasi
Open Government (OG) lembaganya,
melalui konsultasi dengan kelompok
pemangku kepentingan masingmasing. Untuk percepatan OG ini
melalui Kementerian Komunikasi
dan Informatika, khususnya Ditjen
Informasi dan Komunikasi Publik
telah berusaha menyusun disain
komunikasi
untuk
memastikan
inisiatif Open Government terlaksana
sejalan dengan prinsip transparansi,
partisipasi dan kolaborasi.
Sementara itu, pemerintah juga
menerapkan
Otonomi
Daerah
dengan menekankan pelayanan
birokrasi pemerintah lebih efisien,
dalam arti semangat desentralisasi
dan
debirokratisasi
tercermin
dalam tata kelola pemerintahannya.
Dari prosesnya yang lebih efektif,
efisien dan tidak berbelit-belit serta
menggunakan SDM yang optimal
dan berkualitas. kemampuan dan
moral penyelenggara pemerintahan
mampu memberi pelayanan yang
mudah, cepat, tepat, dengan biaya
yang terjangkau.
Meskipun demikian, ada juga
yang memberikan penilaian kritis
bahwa meskipun prinsip good
governance telah dilaksanakan, tetapi
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
belum sepenuhnya dilaksanakan.
Untuk melakukan good governance
perlu proses pembelajaran, perlu
perbaikan-perbaikan
menyangkut
SDM dan SDA yang dimiliki.
Reformasi birokrasi merupakan
salah satu upaya untuk menerapkan
prinsip good governance, namun
perlu keseriusan untuk melakukan
reformasi birokrasi. Hal yang
paling bisa dilakukan adalah untuk
memberikan
kepercayaan
dan
dukungan untuk melakukan upayaupaya reformasi birokrasi.
Atas dasar permasalahan di
atas, maka Jurnal Dialog Publik
kali ini mengangkat tema Birokrasi
dalam era keterbukaan informasi,
sekaligus sebagai melihat bagaimana
penerapan Undang-undang No. 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik. Keluarnya undangundang ini juga menunjukkan
komitmen pemerintah terhadap
upaya
perwujudan
reformasi
birokrasi.
Berbagai
isu
dan
permasalahan di seputar reformasi
birokrasi akan dibedah dan dianalisis
secara komprehensif dari berbagai
perspektif.
Muhadam Labolo secara detail
menganalisis
kinerja
birokrasi
dalam konteks good governance. Ia
berusaha mendeskripsikan tentang
makna birokrasi dan good governance,
iii
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
karakteristik pemerintahan yang
baik, masalah dan tantangan yang
dihadapi dalam upaya reformasi
birokrasi, serta upaya strategis
reformasi birokrasi dan implementasi
tata kelola pemerintahan yang baik.
Perubahan tersebut diharapkan
tidak saja bersifat incremental semata,
namun fundamental. Salah satu
usulan menarik Muhadan adalah
bahwa
untuk
mengefektifkan
reformasi
birokrasi
diperlukan
reformasi kapasitasi yang memadai
guna meningkatkan kemampuan
aparatur
dalam
melayani
masyarakat. Reformasi kapasitasi
adalah upaya untuk meningkatkan
kemampuan sumber daya birokrasi
dalam pelayanan agar mampu
mengimbangi dinamika masyarakat.
Reformasi
kapasitasi
berkaitan
dengan
kemampuan
birokrasi
baik secara individual maupun
kelompok yang ditunjukkan pada
kemampuan menerjemahkan visi
dan misi, program dan kegiatan.
Pengembangan kapasitas aparatur
berfokus pada aspek pendidikan dan
pengalaman yang akan menentukan
nilai
profesionalisme
birokrasi
dihadapan masyarakat.
Sementara itu Habel Suwae
mencoba
menyoroti
pelayanan
birokrasi dalam era Otonomi Khsusus
di Provinsi Papau. Habel melihat
adanya gejala etnosentrisme di
Papua apakah berpengaruh terhadap
pelayanan
birokrasi,
sehingga
lebih mengarah pada birokrasi
primordial. Atau birokrasi bersifat
iv
Edisi 3 / September / 2011
adaptif dengan dinamika masyarakat
Papua yang semakin terbuka,
sehingga lebih mengedepankan
profesionalisme dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Atau
dengan kata lain Habel mengajukan
pertanyaan bagaimana pelayanan
birokrasi pemerintah Papua dalam
era Otonomi Khusus sekarang ini.
Apakah bias primordialisme seperti
baik buruknya pelayanan birokrasi
disebabkan oleh faktor kesamaan
etnis, agama, dan kekerabatan,
atau berkembang menjadi birokrasi
modern
yang
mengutamakan
profesionalisme dan merit system.
Menurut Habel birokrasi di Papua
justru lebih menunjukkan karakter
sebagai birokrasi yang rasional dan
mengedepankan
profesionalisme.
Perkembangan masyarakat Papua
yang semakin terbuka menjadikan
Papua semakin plural, sehingga
birokrasi
pemerintah
terbukti
adaftif
dengan
perkembangan
masyarakatnya. Memang, pada
awalnya terdapat kecenderungan
bahwa
pemberian
kewenangan
pengelolaan politik oleh pemerintah
pusat dalam bentuk Otsus, disikapi
oleh sebagian warga Papua secara
primordialistik.
Birokrasi
pun
kemudian menunjukkan karakter
birokrasi
primordial,
sehingga
personil, sistem rekreuitmen, dan
pelayanan pun ada kecenderungan
bias etnosentrisme. Akan tetapi dalam
perkembangan lebih lanjut, birokrasi
pemerintah Papua berkembang
ke arah yang lebih menunjukkan
Edisi 3 / September / 2011
karakter
birokrasi
profesional
dengan menerapkan merit sistem.
Karakter masyarakat Papua sendiri
yang terbuka dan semakin plural,
menjadi
pertimbangan
utama
mengedepankan birokrasi rasional,
yang lebih mengutamakan efisiensi
dan profesionalisme. Bersamaan
dengan itu, birokrasi pemerintah juga
terus mendorong partisipasi publik
dalam proses pembangunan menuju
pemerintahan yang transparan dan
akuntabel.
Argumen
agak
berbeda
dikemukakan
oleh
Ferdinan
Kerebungu,
pada
era
sistem
pemerintahan
desentralisktik
sekarang ini banyak menimbulkan
persoalan pemerintahan terutama
dalam birokrasi pelayanan publik.
Banyak gejolak yang terjadi di daerah
sebagai perwujudan ketidak puasan
masyarakat dalam pelaksanaan
otonomi daerah. Ferdinan mengkaji
tentang
efektivitas
pelayanan
birokrasi di era otonomi daerah.
Realitas yang teralami sekarang
banyak
birokrat
yang
tidak
mengutamakan pelayanan publik,
karena banyak pejabat publik yang
diangkat tidak memiliki kapasitas,
kapabiltas dan hal ini disebabkan
oleh karena penenpatan pejabat
eselon II dan III, bukan berdasarkan
pendidikan dan latihan penjenjangan
kerier, tetapi lebih ditentukan
oleh tim sukses.Untuk dapat
mengoptimalkan pelayanan birokrasi
yang menggunakan prinsip good
governance, harus ada trnasformasi
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
kultural di kalangan aparat birokrasi
dari cara pandang birokrasi sebagai
penguasa menjadi birokrasi sebagai
pelayanan sesuai dengan sistem
politik yang deomokratis.
Sedangkan Nursodik menilai
birokrasi Indonesia belum probisnis.
Sifatnya yang birokratis dan patologis
membuat keberadaan birokrasi lebih
dianggap sebagai faktor penghambat
dibanding pendorong perekonomian.
Berbagai penyakit birokrasi muncul
karena aparat birokrasi cenderung
menggunakan birokrasi sebagai alat
untuk mencapai tujuan birokrasi
itu sendiri, bukan sebagai unit
pelayanan masyarakat. Politisasi
birokrasi ikut mendorong terjadinya
penyelewengan
yang
membuat
birokrasi semakin jauh dari fungsi
utamanya
sebagai
penggerak
sektor
perekonomian.
Untuk
menghilangkan berbagai patologi
yang ada, birokrasi perlu direformasi.
Salah satunya adalah dengan
menerapkan konsep reinventing
bureaucracy. Dengan konsep tersebut,
birokrasi dikembangkan sebagai unit
pelayanan yang tepat, cepat, efisien,
efektif, akuntabel dan berorientasi
pada kebutuhan pengguna layanan.
Reinventing bureaucracy diharapkan
mampu mengembalikan birokrasi
sebagai pendorong pertumbuhan
ekonomi.
Akan tetapi, dari segenap analisis
kritis yang dikemukan para penulis,
terdapat harapan yang sama, bahwa
bagaimanapun
birokrasi
harus
didorong untuk lebih independen,
v
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
steril dari kepentingan politik, dan
mengedepankan
profesionalisme.
Komitmen pemerintah pusat untuk
melakukan reformasi birokrasi, meski
di sana-sini terdapat hambatan, tetap
harus mendapat dukungan dari
semua pihak. Iklim demokrasi yang
vi
Edisi 3 / September / 2011
sudah baik, harus tetap dipelihara dan
dirawat agar terus menjadi habitat
subur bagi tumbuhnya birokrasi
yang secara konsisten menerapkan
prinsip good governance.
Edisi 3 / September / 2011
Wawancara
Khusus
Reformasi Birokrasi
Tidak Secepat Membalik
Telapak Tangan
Dr. Ismail Muhamad, MBA*
*Deputi Bidang Program dan Reformasi Birokrasi, Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,
vii
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
S
etelah era reformasi,
salah satu isu
yang paling santer
dikumandangkan adalah
perlunya reformasi
birokrasi. Isu utama
yang ditekankan dalam
reformasi birokrasi
bukan saja pelayanan
dan efisiensi, tetapi juga
transparansi. Seiring
dengan bergulirnya
demokratisasi, birokrasi
pemerintah dituntut untuk
tampil sebagai organisasi
pelayanan publik yang
transparan. Prinsip Good
governance menjadi
sebuah imperatif dalam
proses negara demokrasi,
dan di sini birokrasi harus
transparans, akuntable,
dan membuka partisipasi
publik.
Edisi 3 / September / 2011
Meskipun
secara
normatif,
pemerintah
punya
sejumlah
regulasi yang mengatur tatakerja
birokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, namun dari hasil
penyerapan opini dalam masyarakat,
ternyata
sebagian
masyarakat
menilai reformasi birokrasi belum
memperlihatkan hasil konkret, alias
reformasi birokrasi masih jalan di
tempat. Persoalan yang mengemuka
di anatranya pemerintah, termasuk
pemerintah daerah dinilai kurang
transparan dan tidak banyak
melibatkan
masyarakat
dalam
perumusan kebijakan publik.
Dalam kaiatan dengan persoalan
tersebut,
berikut
ini
petikan
hasil wawancara redaksi dengan
Dr. Ismail Muhamad, MBA
viii
Edisi 3 / September / 2011
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Deputi
Bidang
Program
dan
Reformasi Birokrasi, Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi, Dr. Ismail
Muhamad, MBA.
membalikkan telapak tangan, tetapi
membutuhkan
proses
panjang.
Contoh Australia, untuk melakukan
reformasi membutuhkan waktu 30
tahun baru bisa dilihat hasilnya.
Banyak
kalangan
menilai
program reformasi birokrasi jalan
di tempat, bagaimana kondisi yang
sesungguhnya ada pada saat ini?
Dalam kaitan dengan transparansi,
akuntabilitas, partisipasi publik dan
lain-lain sebenarnya sangat terkait
dengan UU No. 14 Tahun 2008 Tentang
Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
yang secara definitif pelaksanaannya
pada tahun 2010. Tetapi sebenarnya
transparansi dan akuntabilitas di
Indonesia sudah mulai dilaksanakan
secara efektif pada tahun 1999,
yaitu dengan dikeluarkan Instruksi
Presiden RI No. 7 Tahun 1999 tentang
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah. Dengan demikian secara
formal semua instansi pemerintah
dalam pelaksanaan fungsi dan
tugasnya diharuskan transparan
dan akutabel. Jadi prinsipnya sudah
ada model layanan, prosedur tetap,
pengawasan, capaian hasil dan
metode evaluasinya, semuanya sudah
dituangkan dalam Rencana Strategis
(renstra)
instansi
pemerintah.
Pembuatan Renstra itu sendiri sangat
transparan, meskipun pada waktu
itu belum sejalan dengan UU KIP,
karena belum ada. Dalam UU KIP
jelas sekali menegaskan bahwa semua
informasi itu terbuka (dipulikasikan)
kecuali yang rahasia. Berbeda dengan
paradigma sebelumnya bahwa semua
informasi itu rahasia, kecuali yang
dibuka atau yang dipublikasikan.
Jadi secara ringkas bisa disimpulkan
bahwa transparansi dan akuntabilitas
Pandangan seperti itu dapat
dipahami, tetapi sangat tergantung
dari sudut pandang mana melihatnya.
Perlu diluruskan, bahwa reformasi
dalam skala besar
(Nasional)
dimulai pada tahun 1998. Fokus
reformasi pada tiga bidang, yaitu
Bidang Ekonomi, Bidang Politik dan
Bidang Hukum. Sedangkan secara
khusus reformasi birokrasi dimulai
pada tahun 2004, dan sebagai pilot
projectnya adalah Badan Pemeriksa
Keuangan, Mahkamah Agung, dan
Kementerian Keuangan. Pada tahun
2008, Kementerian PAN menerbitkan
Pedoman Umum Reformasi Birokrasi.
Mulai tahun 2010 ditetapkan Grand
Design Reformasi Birokrasi 2010
– 2025 berdasarakanh Peraturan
Presiden Republik Indonesia No. 81
Tahun 2010, dan ditindaklanjutin
dengan Peraturan Menteri PAN
No. 4 Tahun 2010. Jadi kalau ada
yang bilang reformasi birokrasi
jalan di tempat itu karena kurang
mengikuti perkembangan yang ada.
Jadi dari sisi kebijakan pelaksanaan
reformasi birokrasi sudah ada
langkah-langkah konkret. Berbicara
mengenai reformasi birokrasi di
negara manapun tidak secepat
ix
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
kebijakan
pemeritah
termasuk
bidang pelaynan telah dilaksanakan,
meskipun harus diakui ada beberapa
yang masih tertinggal.
Bagaimana kita melihat secara
konkret reformasi birokrasi itu dari
sisi pelaynan publik?
Pelayanan publik itu kita bagi
dua yakni yang bersifat administratif
dan pelayanan praktis atau non
administrasi. Pelayanan administratif
seperti KTP dan sejenisnya, hampir
di semua daerah sudah transparan,
umpamanya
sudah jelas berapa
biayanya, penyelesaiannya berapa
lama, prosedur dan mekanismenya.
Bahkan informasi tentang semua itu
ditempelkan di papan pengumuman
sehingga masyarakat mengetahuinya
secara jelas. Selain itu ada standar
pelayanan minimum yang diatur
berdasarkan Kepmendagri yang
menjadi acuan bagi daerah untuk
merancanakan angaran pendapatan
dan belanja daerahnya. Standar
pelaynan itu juga dipublikasikan
agar diketahui oleh masyarakat.
Ini artinya langkah konkret yang
dilakukan pemerintah itu ada, hanya
mungkin kalau ada penyimpangan
oleh oknum, termasuk sikap dan
prilaku SKPD di daerah tertentu yang
cenderung mengada-ada. Sehingga
dalam kontek reformasi birokrasi,
kelemahan-kelemahan itu dipantau
dan dievaluasi, kemudian ditertibkan.
Untuk mengurangi penyimpangan
kita menggunakan instrumen indek
kepuasan
masyarakat
melalui
survei. KPK juga menggunakan
x
Edisi 3 / September / 2011
tingkat kepuasan masyarakat dalam
mengukur kualitas pelaynan publik.
Dalam reformasi birokrasi, unsur
itu juga dimasukkan sebagai salah
satu indikator keberhasilan yakni
peningkatan
kualitas
pelaynan
publik. Kalau kita ambil contoh,
kalau KPK mengunakan
unsur
integritas pelaynan publik, tingkat
kemudahan berusaha, lalu instansi
yang akuntabel. Tahun 2009 kita
sudah punya base line sekian, kita
punya target tahun 2014 sekian.
Dengan ukuran itu terus dilakukan
pemantauan,
ternyata
hasilnya
semnatra ini mengalami peningkatan
(kemajuan).
Jadi
jelas
ada
pengukurannya untuk menetukan
tingkat
keberhasilan
program
reformasi birokrasi.
Sampai saat ini masih banyak
pemerintah daerah belum membentuk
PPID sesuai ketentuan UU No. 14
Tahun 2008 Tentang Keterbukaan
Informasi
Publik.
Baagaimana
Pemerintah
menyikapi
maslah
tersebutdalam kaitan dengan upaya
mempercepat reformasi birokrasi?
Secara makro hal itu termasuk
dalam
konteks
penguatan
kelembagaan
dan
pembenahan
organisasi. Atas dasar UU KIP
tersebut kita melangkah pada Open
Government yang salah satu intinya
adalah setiap instansi pemerintah
dihimbau untuk segera melangkah
konkret membenahi organisasinya
sesuai kebutuhan. UU KIP jelas
mengatakan bahwa jika masyarakat
yang meminta informasi yang terbuka,
Edisi 3 / September / 2011
kalau ada yang menghaklangi, maka
bisa dituntut. Ini artinya pintu
masuk tidak harus melalui lembaga
baru (PPID), tetapi melalui induk
lembaganya. Jadi dari sisi kacamata
reformasi birokrasi, tidak perlu pintupintu lagi, setiap waktu masyarakat
berhak meminta informasi pada
instansi pemerintah ada atau tidak
PPID pada intansi tersebut. Ditambah
lagi dengan adanya website, akan
lebih
memudahkan.
Mungkin
urgensinya
untuk
memperkuat
unit pelaynan informai. Aparat
pemerintah
menyadari
bahwa
hak publik untuk mendapatkan
informasi yang mereka butuhkan,
kecuali yang sifatnya terkait rahasia
negara dan surat-surat yang memang
sifatnya rahasia. Saat ini pemerintah
sudah cukup transparan dan open
government, seperti soal APBN,
pengadaan barang dan jasa dan lainlain semuanya terbuka.
Bagaimana kondisi pemerintah
termasuk pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan
pemerintahan
yang berperinsip good governance?
Kalau
dilihat
dari
sisi
akuntabilitas, pemerintah daerah
tidak terlalu tertinggal. Penilaian ini
didasarkan pada indikator dengan
menggunakan instrumen yang ada,
yakni melalui laporan akuntabilitas.
Mereka menyampaikannya dengan
cukup baik. Dari unsur transparansi
dan lain-lain juga terlihat adanya
kesungguhan pemda-pemda dan
hasilnya cukup baik. Bahkan barubaru ini pada kesempatan lokakarya
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
ditampilkan dua daerah yang
masuk kategori berhasil, yakni Jawa
Barat dan Nusa Tenggara Barat.
Ternyata langkah-langkah yang
dilakukan kedua daerah ini luar
bisa dalam kontek transparansi,
salah satunya adalah dengan
pemanfaatan teknologi inforasi untuk
memudahkan masyarakat mengakses
informasi.
Jadi kalau berbicara
tentang prinsip-prinsip transparansi,
akuntabilitas dan partisipasi publik
dalam pelaksanaan good governance
di setiap instansi pemerintah,
termasuk pemeritah daerah, maka
bisa dikatakan bahwa sebagian
besarnya sudah punya kesadaran
tersebut sangat kuat. Ada beberapa
daerah yang mengalami hambatan,
tentu karena kendala-kendala, baik
karena faktor sumber daya manusia
maupun sumber daya lain. Kita tidak
bisa menuding bahwa semua pemda
itu sama, karena karakter manusianya
berbeda satu dengan yang lain.
Oleh karena itu bisa disimpulkan
bahwa secara nasional terdapat
kemajuan yang cukup signifikan
dalam penyelenggaran pemerintahan
dengan prinsip good governance. Ada
kendala di beberapa daerah dengan
alasan PAD yang tidak mencukupi.
Tetapi berdasarkan pengamatan
Kementerian PAN dan RB, upaya
untuk
meningkatkan
pelaynan
birokrasi sudah sangat kuat, di
samping masyarakat
juga punya
kesadaran yang luar bisa dalam
menuntut haknya untuk memperoleh
informasi.
xi
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
xii
Edisi 3 / September / 2011
Salah satu sorotan masyarakat
terhadap
lemahnya
pelaynan
birokrasi adalah dalam kaitan
dengan rekrutmen aparat (PNS)
dan pejabat pemerintah yang tidak
transparan dan sarat dengan KKN.
Bagaimana pemetrintah menyikapi
maslah tersebut?
kabupaten/kota mengajukan berapa
kebutuhannya, kompetensinya apa
dan sebagainya. Atas dasar itu,
baru ada formasi. Intinya adalah
selama masa moratorium itu akan
dibuat formula yang bisa mencegah
praktek KKN dan prilaku yang
menyimpang.
Memang harus diakui bahwa
kondisi seperti itu ada pada praktek
rekrutmen pegawai dan pejabat
pemerintah. Seperti ada informasi
bawa di daerah tertentu untuk masuk
PNS harus bayar jutaan rupiah.
Bahkan ada stetmen di Komisi II
DPR RI bahwa akibat penyimpangan
seperti itu menyebabkan kerugian
negara sampai 25 triliun rupiah.
Kita sudah melakukan pembenahan
dengan menetapkan agar semua
proses aplikasi melalui website, lalu
dalam proses asesmennya diminta
dari perguruan tinggi yang terbaik di
masing-masing daerah. Lalu harusnya
hasil ujian itu diumumkan, tetapi
dalam kenyatannya itu dimainkan
juga. Sekarang pemerintah melalui
Peraturan Bersama Meneteri Dalam
Negeri, Menteri Keuangan dan
Menteri PAN dan RB memutuskan
untuk
moratorium
penerimaan
calon PNS mulai September 2011
sampai Desember 2012. Moratorium
ini diperlukan untuk melakukan
pembenahan. Tidak akan disiapkan
formasi oleh pusat, kalau tidak ada
analisis
kebutuhan
kompetensi
yang dibutuhkan. Sampai dengan
Desember 2012 ditetapkan supaya
seluruh
pemerintah
provinsi,
Apakah dalam penyelenggaraan
pemerintahan
sudah
membuka
koridor ketertutupan
birokrasi
melalui semangat
dialog dan
komunikasi
intensif
antara
pemerintah dan masyarakat?
Prinsipsnya kita berpegang pada
UU No. 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembanagunan
Nasional. Dalam UU ini jelas sekali,
bahwa setiap ada kebijakan yang
menyangkut hajat hidup orang
banyak, prosesnya harus dimulai dari
usulan desa/kelurahan, Musrembang
sampai ke tingkat nasional dimana
di setiap lefel itu melibatkan
masukan masyarakat, melalui tokohtokohnya, organisasi tertentu, dan
yang merepresentasikan masyarakat
diundang untuk menjaring masukan
dan aspirasi masyarakat. Salah satu
langkah reformasi terkait dengan
maslah ini adalah merubah mainset
dan kutureset para pejabat, yang
selama ini cenderung berorientasi
pada kewenangan, berubah dan
lebih mengutamakan peran. Jadi
keterlibatan unsur – unsur dalam
masyarakat
itu
penekanannya
peranya apa, bukan kewenangannya.
Dengan reformasi ini juga kita
mengukur kinerja. Kalau sebuah
Edisi 3 / September / 2011
kebijakan dalam implementasinya
tidak ada aksesnya pada masyarakat,
maka kinerjanya turun. Sebenernya
secara normatif itu semua sudah
diatur, karena kemudian kurang
efektif, maka reformasi ini digunakan
untuk membenahinya, yakni dengan
menggunakan menejmen kinerja, itu
pun sampai sekarang belum semua
menerapkan, tetapi bukan berarti
reformasi birokrasi jalan di tempat.
Bagaimana
mengefektifkan
pelayanan birokrasi dalam era
keterbukaan
informasi
sebagai
bagian dari demokratisasi?
Prinsip demokrasi, salah satu
prasyaratnya adalah penerapan good
governance. Tetapi ada contoh negara
yang punya good governance namun
dalam praktek
demokrasinya
masih kategori rendah, seperti
Singapura. Meskipun Singapura
punya pemerintah yang sangat
good governance, tetapi dari sisi
demokratisasi, masih jauh di bawah
Indonesia. Demokrasi Indonesia
menduduki nomor tiga terbaik
di dunia, bahkan sudah 10 tahun
terakhir ini masuk pada periode
maturity. Jadi dengan reformasi
dimaksudkan
untuk
merubah
pemahman bahwa demokrasi tidak
seperti terjadi saat ini. Tetapi yang
terpenting adanya suatu public policy
process yang sesuai dengan prinsipprinsip good governance. Proses dalam
merumuskan
sebuah
kebijakan
publik harus melibatkan masyarakat.
Persoalan nanti kalau kemudian ada
yang dipotong di atas, itu semata-
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
mata dengan pertimbangan demi
kepentingan bersama.
Kendala-kendala apa saja yang
dirasakan dalam penyelenggaraan
pelayanan birokrasi yang berprinsip
good governance?
Kendala utama yang terlihat
selama ini adalah pada mind-set dan
cuture-set pada aparat birokarasi.
Pola piker dan budaya kerja birokrat
belum sepenuhnya mendukung
birokrasi yang efisien, efektif,
produktif dan profrsional. Selain
itu, birokrat belum benar-benar
memiliki pola piker yang melayani
masyarakat, belum untuk mencapai
kinerja yang lebih baik (better
performance), dan belum berorientasi
pada hasil (outcomes). Tetapi harus
diakui untuk merubah pola pikir,
apalagi sudah membudaya itu
membutuhkan waktu lama. Kendala
kedua adalah kebutuhan SDM aparat
birokrasi itu belum proporsional,
baik dari faktor alokasinya dari
pusat sampai ke daerah, maupun
dari sisi kompetensinya juga belum
pada posisi the right man on the right
please. Seperti digambarkan sasran
reformasi birokrasi dalam Grand
Design Reformasi Borokrasi 2010
-2025 yang dibagi dalam tiga tahap
sebagai berikut:
1. Sasaran lima tahun pertama
(2010 – 2014), difokuskan pada
penguatan birokrasi pemerintah
dalam
rangka
mewujudkan
pemerintah yang bersih dan bebas
KKN,
meningkatkan
kualitas
xiii
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
pelaynan publik kepada masyarakat,
serta meningkatkan kapasitas dan
akuntabilitas kinerja birokrasi.
2. Sasaran lima tahun kedua
(2015 – 2019), selain implementasi
hasil-hasil yang sidah dicapai pada
lima tahun pertama, pada lima
tahun kedua juga dilanjutkan upaya
yang belum dicapai pada berbagai
komponen yang strategis birokrasi
pemerintah
pada
lima
tahun
pertama.
3. Sasaran lima tahun ketiga
xiv
Edisi 3 / September / 2011
(2020- 2024), reformasi birokrasi
dilakukan
melalui
peningkatan
kapasitas birokrasi secara terus
menerus untuk menjadi pemerintahan
kelas dunia sebagai kelanjutan
dari reformasi birokrasi lima tahun
kedua.
Sehingga dengan sasaran-sasaran
tersebut, reformasi birokrasi ini
akan berhasil membenahi performen
pelaynan birokrasi dalam memenuhi
kebutuhan
dan
meningkatkan
kesejahteraan rakyat. semua itu
sudah pada posisi yang benar.
I
Edisi 3 / September / 2011
Pelayanan Birokrasi
dalam Era Otonomi
Daerah
Oleh : Ferdinand Kerebungu *
* Ketua Program Studi Magister Administrasi Publik, pada Program
Pascasarjana Universitas Negeri Manado, dan mengajar pada S2 Pengembangan
Sumberdaya Sosial, Program Pascasarjana Universitas Samratulangi Manado.
1
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
D
Edisi 3 / September / 2011
Pendahuluan
i era sistem pemerintahan desentralisktik sekarang ini
banyak menimbulkan persoalan pemerintahan terutama
dalam birokrasi pelayanan publik. Banyak gejolak yang
terjadi di daerah sebagai perwujudan ketidak puasan masyarakat
dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dalam tulisan ini dikaji tentang
efektivitas pelayanan birokrasi di era otonomi daerah.
Realitas yang teralami sekarang banyak birokrat yang tidak
mengutamakan pelayanan publik, karena banyak pejabat publik
yang diangkat tidak memiliki kapasitas, kapabiltas dan akuntabiltas
dalam bidang kerjanya, sehingga mereka tidak menguasai tugas
pokok dan fungsinya. Hal ini disebabkan oleh karena penempatan
pejabat aselon II dan III, bukan berdasarkan pendidikan dan latihan
penjenjangan kerier, tetapi lebih ditentukan oleh tim sukses.
Untuk dapat mengoptimalkan sumberdaya yang ada di daerah
khususnya sumberdaya manusia, maka sistem pemerintahan dan
politik yang berlaku harus didasarkan pada sistem pemerintahan
yang demokratis, dan transparan.
Di era otonomi daerah saat ini,
penyelenggaraan birokrasi pelayanan
publik yang dilaksanakan oleh
pemerintah pada prinsipnya untuk
memenuhi kebutuhan dasar dan hakhak setiap warga negara berdasarkan
amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar tahun 1945 pada alinea
keempat diamanatkan tentang tugas
pemerintah antara lain adalah untuk
memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.
2
Tugas ini di era orde baru belum
dapat terwujud hingga ke pedalaman
Negara kesatuan Republik Indonesia,
karena sistem pemerintahan yang
bersifat sentralistik. Di era reformasi
sekarang ini sistem pemerintahan
berubah menjadi desentralistik,
dengan harapan tujuan terbentuk
negara ini dapat terwujud secara
optimal. Perubahan arus sistem
pemerintahan ini merupakan impian
dari masyarakat agar dapat terlayani
dengan baik, dan kebutuhan mereka
Edisi 3 / September / 2011
dapat tercapai dengan sistem
pelayanan birokrasi yang prima.
Setelah
dua
belas
tahun
pelaksanaan
perubahan
sistem
pemerintahan yaitu dari sistem
pemerintahan yang sentralistik ke
sistem pemerintahan desentralistik
sejak ditetapkannya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan
Daerah,
hingga
perubahannya menjadi UndangUndang Nomor 32 tahun 2004, junto
Undang-Undang no 12 tahun 2008,
belum juga menunjukkan perubahan
yang signifikan dalam sistem
pelayanan publik yang dilaksanakan
oleh para birokrat sebagai pejabat
publik. Kondisi ini banyak dilihat di
tanah air ini tentang maraknya protes
yang dilakukan oleh masyarakat,
kesulitan menciptakan lapangan kerja,
bahkan tujuan utama pemekaran
wilayah yang marak terjadi di era
otonomi daerah yaitu mendekatkan
pelayanan pada masyarakat bagaikan
api jauh dari panggang.
Pelayanan
birokrasi
yang
terjadi tidak mampu mengimbangi
perkembangan tuntutan masyarakat
akan pelayanan, seperti pelayanan
cepat, tepat, efektif dan efisien,
bahkan dalam sistem pelayanan
publik modern menuntut para
birokrat
melakukan
pelayanan
prima pada publik. Realitas yang
dihadapi masyarakat di era otonomi
sekarang ini seperti hanya sebuah
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
mimpi yang sulit untuk terwujud.
Nampaknya para kepala daerah
sebagai top manajemen dalam
organisasi pemerintahan daerah lebih
disibukkan dengan bagaimana para
pendukungnya masuk dalam jajaran
kabinetnya. Akibatnya kebanyakan
pejabat yang menduduki jabatan
aselon dua (II) hingga aselon tiga
(III) adalah orang-orang yang tidak
berkompeten dibidangnya, apalagi
mau menuntut kualitas, sehingga
pelayanan publik tidak dapat
terlaksana dengan optimal. Persoalan
tersebut diperparah lagi dengan
kinerja para birokrat yang sangat
rendah, yang tidak sesuai dengan
harapan masyarakat.
Berdasarkan
latar
belakang
tersebut, maka yang menjadi
permasalahan
dalam
penulisan
ini adalah “sejauhmana efektivitas
pelayanan birokrasi diera otonomi
daerah”. Tulisan ini bertujuan
untuk mengkaji dan menganalisis
pelaksanaan pelayanan birokrasi
terhadap masyarakat di era otonomi
daerah. Sehingga tulisan ini dapat
bermanfaat
untuk
melakukan
evaluasi pelaksanaan otonomi daerah
apakah berjalan efektif sesuai dengan
amanat Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 junto Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang
otonomi daerah.
Untuk meningkatkan kualitas
birokrasi dalam pelayanan publik,
3
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
perlu memperhatikan tentang tugas
dan fungsi dari masing-masing
aparatur. Di mana para aparatur
(birokrat) dituntut untuk memiliki
pengetahuan tentang unsur-unsur
layanan publik yang secara tepat,
memahami alur birokrasi layanan
yang ditetapkan oleh masing-masing
satuan kerja perangkat daerah (SKPD),
dan yang terakhir, tidak menundanunda pekerjaan. Selain itu, seorang
birokrat akan nampak kualitas
layanannya terhadap publik seperti
kehandalannya, responsif, memiliki
pengetahuan luas dan ketrampilan
yang baik, memiliki kejujuran dan
berperilaku baik, komunikatif, dan
memahami secara cepat kebutuhan
publik yang dilayani.
Banyak pengamat mengatakan
bahwa birokrasi identik dengan
administrasi. Oleh karena itu
birokrasi di Amerika Serikat disebut
dengan Administration, (Sarundajang,
2005). Oleh sebab itu, kelemahan
birokrat sama dengan kelemahan
administrasi
pelayanan
publik.
Selanjutnya Sarundajang (2005),
mengemukakan ada lima ciri fungsi
birokrasi yaitu: (1) memenuhi tatanan
internal organisasi dan keamanan
eksternal organisasi; (2) menjamin
keadilan di lingkungan masyarakat;
(3) melindungi kebebasan individu
berdasarkan peraturan dan norma
adat istiadat yang berlaku di
masyarakat; (4) mengatur tindakan
individu agar individu tidak menjadi
liar; (5) meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
4
Edisi 3 / September / 2011
Menyimak kelima ciri fungsi
birokrasi tersebut, seyogyanya di era
otonomi daerah saat ini setiap penjabat
publik dalam melaksanakan tugasnya
sebagai administrator dan pelayan
publik
memberikan
pelayanan
yang baik kepada masyarakat guna
mencapai cita-cita pendirian negara
ini, dan memberikan pengayoman
terhadap masyarakat yang berada
di wilayah kerjanya. Jika birokrat
sebagai administrator dan pelayan
publik
melaksanakan
tugasnya
berdasarkan fungsinya sebagaimana
dikemukakan oleh Sarundajang di
atas, kita tidak menjumpai berbagai
bentuk kekecewaan masyarakat dan
sebaliknya masyarakat akan concern
dalam aktivitas kesehariannya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sejalan
dengan
pemikiran
tersebut, Lumingkewas dan Masengi
(2008),
mengemukakan
bahwa
“birokrasi
pemerintahan
dapat
dipandang dari dua dimensi, yaitu:
(1) dimensi kelembagaan yang
meliputi; mekanisme dan prosedur,
peraturan-peraturan baku yang
berstandard dan budaya, dan (2)
dimensi sikap dan perilaku birokrasi;
dimensi ini merujuk pada berbagai
perilaku yang diperankan para
birokrat dalam pelayanan publik”.
Berdasarkan kedua dimensi birokrasi
pemerintahan tersebut, birokrat
dalam
menjalankan
tugasnya
berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku bagi setiap
pejabat publik dan menanpakan
perilaku sebagai pamong yang
Edisi 3 / September / 2011
patut diteladani oleh semua pihak,
yang pada gilirannya akan dapat
memberikan pelayanan yang prima
terhadap masyarakat.
Antara Harapan dan Kenyataan
1. Birokrat sebagai Administrator
Seorang
birokrat
sebagai
administrator
memerlukan
pengetahuan
luas,
memiliki
ketrampilan
dan
menguasai
perkembangan teknologi informasi.
Sebagai seorang pelaksana tugas
di lembaga pemerintahan harus
dapat menjadi sebagai konseptor,
perencana, dan pelaksana, hal
ini dimaksudkan agar dalam
melaksanakan tugas kesehariannya ia
mampu menyelesaikan dalam waktu
yang tidak terlalu lama. Hal ini terkait
dengan persoalan pelayanan kepada
masyarakat, demi kepentingan dan
kemajuan bangsa dan negara.
Di era kemajuan teknologi,
informasi dan komunikasi (TIK)
saat ini tidak sedikit birokrat yang
tidak mampu menguasai dan
menggunakan teknologi informasi
secara baik, bahkan jika diamati di
lembaga-lembaga
pemerintahan
sering ditemui staf administrasi di
kantor-kantor pemerintahan, tidak
menggunakan komputer untuk
kepentingan
tugasnya
sebagai
seorang administrator, tetapi lebih
banyak digunakan permainan game,
sehingga sering banyak tugastugas yang seharusnya diselesaikan
dalam waktu satu atau dua jam, bisa
tertunda sampai berjam-jam atau
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
bahkan berhari-hari. Kondisi ini yang
sering membuat masyarakat bosan
dengan berbagai keterlambatan
dalam soal surat menyurat, dan
yang selalu menjadi alasan klasik
yang dilontarkan oleh staf tersebut
adalah belum ditanda tangan oleh
bos/atasannya karena tidak berada
ditempat.
Berdasarkan
realitas
yang
nampak di daerah Kabupaten/Kota
di Provinsi Sulawesi Utara, kondisi
seperti yang disebutkan di atas
banyak dipengaruhi oleh sikap kepala
daerah (Bupati/Walikota) terpilih
yang lebih banyak mendengarkan
tim sukses dibandingkan dengan
mendengarkan staf atau penjabat
yang berkompeten dalam bidangnya.
Setiap penjabat aselon dua (II) atau
tiga (III) yang diangkat oleh Bupati/
Walikota, tidak lagi berdasarkan
pada kapasitas atau kapabilitas para
penjabat yang diangkat, dan bahkan
tidak memperhatikan pendidikan
penjenjangan karier seperti diklat
PIM I, PIM II maupun PIM III, dan
bahkan
pengangkatannya
lebih
ditentukan oleh tim sukses pilkada,
dan peran Badan Pertimbangan
Jabatan (Baperjakat) hanyalah bersifat
formalitas.
Sebagai contoh misalnya, mulai
sekitar bulan Juli 2011 sampai saat
ini masih terjadi kesalahpahaman
antara Walikota Manado dengan
Gubernur Provinsi Sulawesi Utara,
karena Walikota Manado mengganti
beberapa pejabat aselon II tanpa
konsultasi dengan Gubernur, seperti
5
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
penggantian Sekretaris Kota Manado.
Berdasarkan ketentuan peraturan
peundang-undangan yang berlaku
bahwa setiap pengangkatan pejabat
aselon II harus dikonsultasikan oleh
Bupati/Walikota kepada Gubernur.
Kasus
pemberhentian
sepihak
terhadap pejabat Sekretaris Kota
Manado berakhir di PTUN dan
dimenangkan oleh pejabat Sekretaris
Kota yang berhentikan. Contoh yang
lain lagi, di Kabupaten Minahasa
Selatan, penggantian pejabat dan
pelantikannya sering dilakukan
secara mendadak dan dilakukan
malam hari. Lain lagi peristiwa
yang dilakukan oleh Walikota
Tomohon Sulut yang terpilih (saat
ini non aktif, dan ditahan dilembaga
pemasyarakatan Cipanang karena
tersangkut kasus Korupsi), setelah
dilantik oleh Mendagri langsung
melantik pejabat aselon II dan III di
lembaga pemasyarakatan Cipinang.
Fenomena-fenomena
demikian
bukan barang baru yang ditampilkan
oleh setiap pejabat Bupati/Walikota
di era Otonomi Daerah saat ini.
Contoh arogansi pejabat kepala
daerah terpilih yang demikian
itulah yang menyebabkan seringkali
banyak penjabat tidak berada
ditempat karena harus mengikuti ke
mana Bupati/Walikota berkunjung,
walaupun itu bukan bidangnya,
sebab kalau tidak ikut serta dalam
rombongan kunjungan kerja, bisa
berdampak
pada
penggantian
pejabat. Akibat perilaku demikian
birokrasi pelayanan publik tidak
6
Edisi 3 / September / 2011
berjalan optimal, sehubungan dengan
tujuan pelaksanaan desentralisasi
oleh Syaukani, Gaffar dan Rasyid
(2003), mengemukakan bahwa “di
masa lalu, banyak masalah terjadi di
daerah yang tidak tertangani secara
baik karena keterbatasan kewenagan
pemerintah daerah . . .”. Pada
saat ini kewenangan pemerintah
daerah sudah begitu luas dalam
mengembangkan
potensi
yang
terdapat di daerahnya, termasuk
di dalamnya pelayanan birokrasi
terhadap kepentingan masyarakat.
Sehubungan
dengan
hal
itu,
Sarundajang (2005) mengemukakan
bahwa “Otonomi Daerah adalah hak
wewenang dan kewajiban daerah
untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri sesuai
dengan
peraturan
perundangundangan yang berlaku”.
Banyak keluhan yang disampaikan
aparatur di daerah yaitu kurangnya
partisipasi
masyarakat
dalam
berbagai program pembangunan
termasuk dalam hal pembayaran
pajak bumi dan bangunan (PBB).
Secara sosiologis dan psikologis,
masyarakat
Indonesia
pada
umumnya adalah masyarakat yang
taat pada pemerintahnya, ketaatan
dan partisipasi masyarakat tersebut
akan lahir dengan sendirinya apabila
mereka mendapat perlakuan yang
seimbang dan kebutuhan pokoknya
terpenuhi. Pelayan yang seimbang
dan pemenuhan kebutuhan pokok
masyarakat merupakan konsekwensi
dari implementasi otonomi daerah.
Edisi 3 / September / 2011
Oleh sebab itu, sebagai seorang
birokrat yang berada pada garis
depan pelayanan publik, seyogiyanya
mengutamakan
pengabdiannya
kepada masyarakat (Sapta Prasetya
Korpri), ketimbang hal-hal yang
tidak berdampak pada peningkatan
partisipasi masyarakat.
Kelemahan dalam pelayanan dan
rendahnya partisipasi masyarakat
banyak
dijumpai
pada
saat
pemberian kewenangan ke daerah
secara luas, karena kewenangan
tersebut
tidak
dilaksanakan
secara optimal, karena kosentrasi
pejabat yang ada lebih terfokus
pada melayani Bupati/Walikota
ketimbang melayani masyarakat.
Tidak optimalnya pembayaran PBB
oleh masyarakat berdampak pada
rendah Pedapatan Asli Daerah (PAD),
yang implikasi pada kurangnya dana
untuk pembangunan, maka tidak
mengherankan banyak pejabat di
daerah yang ikut jadi pengemis ke
pusat untuk meminta tambahan
Dana Alokasi Umum (DAU), dan
Dana Alokasi Khusus (DAK), gunan
menutupi kekurangan dana dari
PAD sebagai sumber utama APBD.
Kondisi demikian lebih dipeparah
oleh perilaku anggota DPRD yang
lebih mengutamakan kepentingan
pribadi ketimbang kepentingan
konstituennya.
2. Perilaku Birokrasi dalam
Pelayanan Publik
Sebagaimana telah diutarakan
pada bagian sebelumnya, yang
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
banyak mempengaruhi berhasil
tidaknya
pelaksanaan
otonomi
daerah terletak pada para pelaku
otonomi daerah itu sendiri. Para
pelaku otonomi daerah adalah mereka
yang diberi kewenangan dan otoritas
untuk mengelolah daerahnya, yaitu
Bupati/Walikota dan seluruh aparat
birokrasi yang berada di bawahnya.
Keberhasilan pelaksanaan otonomi
daerah sangat ditentukan oleh
bagaimana perilaku aparatur di
daerah dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya secara bertanggung
jawab dan penuh pengabdian, serta
didukung oleh kerjasama yang
baik antar aparatur yang ada dalam
membentuk tim kerja (team work)
yang solid.
Kaloh (2002), mengemukakan
bahwa
“salah
satu
prasyarat
tercapainya
team
work
dan
konvergensi adalah adanya kejelasan
tugas pokok dan fungsi masingmasing institusi pemerintahan”.
Yang menjadi persoalan sekarang
di daerah adalah banyak pejabat
antar satuan kerja perangkat daerah
(SKPD) yang kurang memahami
tugas pokok dan fungsinya, sehingga
dalam perencanaan pembangunan
daerah banyak antar SKPD yang
saling tumpang tidih program, hal ini
sering disebabkan oleh ego sektoral
dan kurang koordinasi antar SKPD
dalam penyusunan program kerja.
Kondisi demikian sejalan dengan apa
yang dikemukakan oleh Kaloh (2002),
“problematik yang dihadapi oleh
birokrasi pemerintahan kita adalah
7
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
seringkali sesuatu urusan ditangani
oleh banyak instansi sehingga
muncul masalah, sulit untuk melacak
sumber permasalahan. Dalam kondisi
sedemikian ini sulit membangun
team work dan konvergensi”.
Perilaku ego sektoral sering
ditampilkan oleh para pejabat publik,
yang tidak mengutamakan pelayanan
tapi hanya lebih mempertontonkan
kebolehannya dihadapan atasannya
(Bupati/Walokota), agar supaya
dipandang lebih piawai dalam
menyusun program, akan tetapi tidak
memperhatikan tupoksinya. Dampak
dari perilaku demikian, banyak
program kerja yang saling tumpang
tindih karena sudah ditangani oleh
beberapa SKPD, sehingga dalam
satu daerah otonom akan mengalami
kesulitan untuk membentuk tim kerja
yang solid, mampu berkoodinasi
antar SKPD, sehingga tujuan
terbentuknya daerah otonom yaitu
mendekatkan pelayanan pada publik
dan
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat dapat terwujud.
Sebagai contoh kasus misalnya
penanganan beberapa obyek wisata
yang terrdapat di Propinsi Sulawesi
Utara, seperti Taman Laut Bunaken,
dan obyek wisata religi Bukit kasih
di Kanonang Minahasa. Pada suatu
kesempatan saya mendampingi
salah seorang teman yang sedang
melakukan
penelitian
tentang
Privatisasi Kebijakan Publik tentang
obyek wisata taman laut Bunaken.
Dalam proses pengumpulan data,
kami menanyakan pada dinas
8
Edisi 3 / September / 2011
pariwisata Provinsi Sulawesi Utara
tentang siapa yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan obyek wisata
taman laut Bunaken, kami mendapat
jawaban bahwa yang bertanggung
jawab adalah pemerintah kota
manado, begitu sebaliknya waktu
ditanyakan pada dinas pariwisata
kota manado, jawabannya adalah
pemerintah Provinsi, karena obyek
wisata taman laut bunaken berada di
beberapa wilayah kabupaten kota.
Perilaku saling lempar tangung
jawab seperti contoh kasus tersebut
memberikan
gambaran
tentang
kinerja aparatur dalam pelayanan
publik. Saling lempar tanggung jawab,
tumpang tindih program merupakan
celah yang terbuka untuk terjadi
manipulasi dan korupsi. Di Provinsi
Sulawesi Utara tidak sedikit pejabat
yang terlibat kasus manipulasi dan
korupsi sehingga mereka berurusan
dengan pihak berwajib dan bahkan
sudah banyak yang masuk lembaga
pemasyarakatan. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan
oleh Syaukani, Gaffar dan Rasyid
(2003), bahwa “otonomi daerah
akan menciptakan raja-raja kecil di
daerah dan memindahkan korupsi
ke daerah”.
Raja-raja kecil dan korupsi
tidak akan lahir di daerah
otonom,
jika
Bupati/Walikota
dalam
menjalankan
sistem
pemerintahannya secara demokratis.
Sebab
sistem
pemerintahan
demokratis memberikan peluang
bagi masyarakat untuk mengontrol
Edisi 3 / September / 2011
jalannya pemerintahan, dan pihak
pemerintah lebih terbuka dalam hal
penyusunan program (Musrembang
sesuai undang-undang 32 tahun 2004)
dan penggunaan anggaran publik
benar-benar untuk kepentingan
publik. Tidak terjadi tumpang tindih
program pembangunan dan tidak
membuka ruang bagi koruptor akan
berdampak positif bagi kemajuan
masyarakat, maka tujuan utama
utama pembentukan otonomi daerah
dapat terealisasi.
Penutup
Pelaksanaan otonomi daerah
pada prinsipnya adalah percepatan
pertumbuhan dan pembangunan
daerah, serta mendekatkan pelayanan
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
pemerintahan pada masyarakat di
daerah. Dalam sistem pemerintahan
daerah yang bersifat desentaristik
seperti sekarang ini, tanggung
jawab lebih bertumpuh pada kepala
daerah
yaitu
Bupati/Walikota,
untuk dapat mengoptimalkan dan
memberdayakan segala sumberdaya
yang ada di daerahnya, termasuk
diantaranya sumberdaya manusia
secara berdaya guna dan berhasil
guna. Untuk mencapai hal tersebut,
seorang kepala daerah dalam
menjalankan roda pemerintahannya
harus bersifat demokratis, transparan
dan akuntabel, yang pada gilirannya
birokrasi pelayanan publik akan
berjalan secara optimal.
9
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Edisi 3 / September / 2011
Daftar Pustaka
Kaloh, J., 2002, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, suatu solusi dalam
menjawab kebutuhan local dan tantangan global, Rineka Cipta, Jakarta.
Lumingkewas, Lexie A., dan Evi E. Masengi, 2008, Reformasi Birokrasi
Pemerintahan, dalam perspektif pelayanan publik, Wineka Media, Malang.
Sarundajang, S.H., 2005, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Kata
Hasta, Jakarta.
. . . . . ., 2005, Birokrasi Dalam Otonomi Daerah, uapaya mengatasi kegagalan,
Kata Hasta, Jakarta.
Syaukani, Afan Gaffar, dan M. Ryaas Rayid, 2003, Otonomi Daerah,
dalam negara kesatuan, kerjasama Pustaka Pelajar dan Pusat Kajian Etika
Politik dan Pemerintahan, Jakarta.
10
Edisi 3 / September / 2011
II
Pelayanan Birokrasi
Papua dalam Era
Otonomi Khusus
Oleh : Oleh Habel M. Suwae 1, Heru Nugroho 2, Djoko Suryo 3
Habel M. Suwae, mahasiswa Program Doktor Kajian Budaya dan Media
Sekolah Pascasarjana UGM, dan Bupati Kabupaten Jayapura Provinsi Papua.
1
2
3
Heru Nugroho, Guru Besar Sosiologi Fisipol UGM
Djoko Suryo, Guru Besar Sejarah FIB Universitas Gadjah Mada
11
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
S
Pendahuluan
ebagaimana diketahui,
melalui Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus,
Papua telah diberi kewenangan
untuk mengatur pemerintahan
sendiri berdasarkan peraturan
perundangan. Dengan Otsus
para elite politik di Papua
kebanyakan memilih bersikap
terbuka terhadap masuknya
para investor, baik dari dalam
dan luar negeri untuk tujuan
mengembangkan Papua lebih
maju. UU Otsus itu pun memang
dengan eksplisit menyebutkan
bahwa Papua dikategorikan
sebagai daerah tertinggal jika
dibandingkan dengan wilayah
Indonesia Tengah dan apalagi
wilayah Indonesia Barat.
Pilihan
strategis
politik
pembangunan seperti itu membawa
konsekuensi
daerah ini terus
berkembang
baik secara politik,
ekonomi, maupun kebudayaan.
Dalam bidang politik, proses
demokrasi terus bergulir tercermin
12
Edisi 3 / September / 2011
dalam proses Pemilu Kepala Daerah
secara langsung. Lebih dari itu
melalui prinsip demokrasi politik,
terus dipakai dalam untuk mengubah
paradigma pembangunan yang
lebih partisipatif. Maka di beberapa
wilayah Papua, terutama Kabupaten
Jayapuran telah menerapkan model
pembangunan partisipatif dalam
upaya memberdayakan masyarakat.
Di Kabupaten Jayapura telah
meluncurkan program pembangunan
yang
diberi
nama
“Program
Pemberdayaan Distrik dan Kapung”,
atau yang lebih populer dengan
singkatan PPDK.1
Konsep
dan
paradigma
pembangunan ini
diluncurkan
sebagai respons atas semakin
meningkatnya kecenderungan pola
pembangunan sentralistik yang
lebih menggunakan pendekatan
dari atas-bawah (topdown approach).
Berbagai program pembangunan
pada saat itu lebih banyak prakarsa
datang dari pemerintah, sementara
prakarsa dari masyarakat kurang
terakomodasi
dalam
proses
perencanaan
pembangunan.
Partisipasi pun kemudian dipahami
menurut tafsir tunggal pemerintah,
yaitu yang dimaknai seberapa jauh
masyarakat melaksanakan program
pembangunan yang dirancang dari
atas, dari yang telah ditetapkan oleh
1
Urain lebih lengkap terdapat
dalam Poli dan Dahlan Abubakar, 2008,
Suara Hati yang Memberdayakan: Gagasan
Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten
Jayapura, Makasar: Identitas.
Edisi 3 / September / 2011
pemerintah.
Dengan
PPKD,
prinsip
pembangunan partisipatif tersebut
dilaksanakan secara komprehensif
dengan sasaran utama adalah
menjadikan warga sebagai subyek
pembangunan, sehingga mandiri.
Secara konkret sasaran PPKD
adalah warga masyarakat lokal dan
masyarakat pendatang. Masyarakat
lokal adalah sejumlah warga yang
sudah cukup lama berdomisili pada
lokasi tertentu yang mengembangkan
kultur atau pandangan
hidup
bersama (common way of living)
yang lama-lama menjadi identitas. Di
Papua, masyarakat lokal ini mewujud
dalam komunitas
berbasis etnis
yang tersebar di berbagai wilayah
baik di pantai dan daratan maupun
di pegunungan, serta semuanya
membangun identitasnya masingmasing. Di samping itu juga terdapat
masyarakat pendatang yang datang
dari berbagai daerah dan memiliki
latar belakang etnis, agama, dan
kultur yang beragam, dan mereka itu
juga mempunyai identitas masingmasing.
Masyarakat
Papu
kemudian
berkembang menjadi masyarakat
yang plural, dan masing-masing
memiliki
identitasnya
sendiri.
Mereka itu saling berinteraksi dan
berkomunikasi satu sama lain dengan
masing-masing
menunjukkan
indentitasnya. Dinamika interaksi
sosial itu kemudian membawa
implikasi pada dua kemungkinan,
yaitu menuju proses integrasi atau
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
konflik. Melalui PPKD, keberagaman
itu justru dijadikan sebagai modal
pembangunan dengan mendorong
ke arah tujuan bersama yaitu
peningkatan kesejahteraan berbasis
kemandirian
dan
keberdayaan.
Oleh karena itu multikulturalisme
menjadi pilihan utama dalam
mengkonstruksi identitas kolektif
yang bernama Papua. Dengan kata
lain, keberagaman dipandang sebagai
potensi integrasi, bukan sebagai
faktor yang memecah belah.
Bersamaan dengan itu, Papua
menjadi wilayah yang terbuka bagi
masuknya berbagai aktivitas baik
ekonomi, politik, maupun sosialbudaya yang dibawa oleh arus
modernisasi. Persinggungan dengan
dunia luar membuat masyarakat
Papua berelasi dengan berbagai
budaya dan kepentingan lain yang
terus melakukan interaksi secara
intens.
Berangkat dari realitas masyarakat
Papua yang berkembang semakin
plural, pertanyaan menarik adalah
bagaimana
pelayanan
birokrasi
pemerintah Papua dalam era
Otonomi Khusus sekarang ini.
Apakah bias primordialisme seperti
baik buruknya pelayanan birokrasi
disebabkan oleh faktor kesamaan
etnis, agama, dan kekerabatan,
atau berkembang menjadi birokrasi
modern
yang
mengutamakan
profesionalisme dan merit system.
13
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Birokrasi Primordial
Pada era reformasi, pada kurun
1998-1999, atas inisiatif Presiden
Abdurrahman Wahid atau yang akrab
disebut Gus Dur Irian Jaya diubah
menjadi Papua. Sejak itu kepapuaan
kembali dihidupkan sebagai identitas
alternatif dari identitas “Irian
Jaya” yang telah identik dengan
“Indonesia” beserta penindasan dan
praktik kolonialismenya. Perasaan
satu identitas ini disatukan oleh
memori penderitaan kolektif dan
kongruensi aspirasi yang bersumber
dari mitologi sebagian besar suku
bangsa
masing-masing
tentang
milenium baru dan mesianisme. Pada
era reformasi penggunaan nama
Papua menjadi penanda bagi aspirasi
bersama itu. Kongruensi aspirasi
dan identitas kepapuaan baru pada
tahap yang sangat dini. Kepapuaan
cenderung berhenti sebagai identitas
yang dihayati secara “etnosentris”
dan emosional.
Perubahan nama dari Irian Jaya
menjadi Papua, bagi rakyat Papua
asli merupakan momen yang luar
biasa dan berkaitan dengan usaha
mencari identitas. Bagi sebagian besar
warga Papua, penamaan (naming)
memiliki signifikansi tinggi terhadap
tumbuhnya kepercayaan diri dan
pengakuan eksistensial dari dunia
luar tentang Papua. Berkembang
perasaan di kalangan warga Papua,
setelah mendapatkan kembali nama
Papua yang diakui secara resmi
oleh pemerintah pusat, seperti
terlahir kembali. Konstruksi identitas
14
Edisi 3 / September / 2011
kepapuan yang selama ini lebih
dibentuk oleh narasi-narasi dominan,
maka setelah kembali bernama
Papua, terbuka ruang bagi warga
Papua untuk mengeskspresikan diri
identitas kepapuannya.
Struktur-struktur
masyarakat
Papua yang terdiri dari kurang lebih
250 suku bangsa bersifat otonom
satu sama lain. Setiap kelompok
suku secara kultural mandiri dan
unik, tidak tunduk pada yang lain,
dan setiap suku memiliki kosmologi
yang memandang dirinya sebagai
pusat dari semesta. Setiap kepala
suku atau pemimpin lokal tidak
memiliki otoritas yang penuh kecuali
sebagai juru bicara masyarakatnya.
Interaksi yang terbatas di masa lalu
belum memungkinkan tumbuhnya
kesadaran budaya yang relativistik
dan toleran. Oleh karena itu
etnosentrisme menjadi persoalan
dasar di dalam konsolidasi rakyat
Papua. Di dalam kenyataannya
budaya semacam ini sulit tumbuh
suatu kepemimpinan yang diakui
oleh semua kelompok suku bangsa.2
Masyarakat
Papua
sendiri
dalam mengkonstruksi identitas
kepapuannya, sebagian ada yang
melihatnya
secara
konservatif
dengan latar belakang etnis sebagai
basis konstruksi identitas. Mereka
menganggap bahwa orang Papua
adalah orang Papua asli, sementara
2
Bandingkan dengan studi yang
sudah dilakukan oleh Johszua Mansoben, Sistem Politik Tradisional di Irian
Jaya, (Jakarta-Leiden: LIPI-RUL).
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Edisi 3 / September / 2011
penduduk yang datang dari luar
etnis Papua dianggap sebagai nonPapua. Fenomena etnosentrisme ini
semakin mengental ketika sejumlah
elite politik menafsir Otonomi
Khusus (Otsus) juga dari perspektif
esensialisme yang berakar pada
geneologis. Oleh karena itu, dalam
politik lokal sekarang elite politik
lokal menghendaki adanya Gubernur
dan Wakil Gubernur serta Bupati
dan Wakil Bupati harus orang Papua
asli.3
Apakah pemahaman yang bias
etnosentrisme
itu
mempunyai
implikasi
terhadap
pelayanan
birokrasi? Dalam banyak kasus
sedikit-banyak memang memiliki
dampak terhadap ketidaknetralan
birokrasi
dalam
memberikan
pelayanan terhadap publik. Secara
teoretik pemahaman seperti itu
sering disebut sebagai birokrasi yang
tidak netral. Ada anggapan bahwa
berlainan dengan di negara-negara
maju, aparat birokrasi di negaranegara berkembang birokrasi sering
menunjukkan diri sebagai mesin
politik yang tidak netral, dan tidak
mungkin netral (King, 1989). Mesin
politik itu kadang mencerminkan
nilai-nilai serta norma-norma yang
kurang rasional, tidak obyektif, dan
3
Sejak tahun 2009, diterbitkan
Peraturan Pemerintah Daerah Otonomi
Khusus yang merupakan keputusan
politik melalui mekanisme pembahasan
di DPRD Papua yang menetapkan
bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan
Wakili Walikota harus orang Papua asli.
senantiasa penuh muatan politik.
Jadi, birokrasi seringkali merupakan
bagian dari dominasi politik oleh
suatu suku, daerah, atau agama,
atau kelompok-kelompok primordial
lainnya. Meskipun sebagai birokrasi
ia memiliki struktur yang serupa
dengan yang ditemui di negaranegara industri maju, namun isinya
dan perilakunya secara kental
diwarnai oleh kaitan primordialnya
(Kuntjoro-Jakti, 1980).
Birokrasi semacam itu dikenal
sebagai
birokrasi
primordial
(Kartodirdjo, 1988). Dalam birokrasi
ini, hubungan-hubungan yang ada
secara interen dan eksteren adalh
hubungan antara patron dengan
klien yang bersifat sangat pribadi
dank has. Dalam hubungan semacam
itu, di jajaran birokrasi akan timbul
masalah pertukaran antara loyalitas
dan pemberian ganjaran. Yang loyal
kepada patron diberi sumber ekonomi
dan status sosial, dan sebaliknya
yang tidak loyal akan dibatasi
sumber ekonomi dan karirnya.
Dampak ikutan atas situasi itu
merembes ke praktik penyimpangan
kekuasaan, yang lepas dari konstitusi,
perundang-undangan, atau pun
peraturan-peraturan.
Perilaku
birokrasi seperti itu sangat terlihat
pada era Orde Baru, di mana tidak
jarang perilaku birokrasi menyerupai
interaksi yang bersifat transaksional.
Artinya, terdapat harga yang harus
dikeluarkan oleh seseorang ketika
berurusan dengan birokrasi.
Dalam
konteks
birokrasi
di
15
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Papua sekarang, memang ada juga
kecenderungan aparat birokrasi
yang dalam memberikan pelayanan
masih berkarakter sebagaimana
yang
ditunjukkan
birokrasi
primordial. Akan tetapi, karena
fakta menunjukkan bahwa Papua
berkembang sebagai masyarakat
plural, dan bersamaan dengan
itu arus demokratisasi juga terus
berlangsung,
maka
birokrasi
pemerintah Papua terus berusaha
menuju ke arah profesionalisme dan
merit sistem. Meskipun demikian,
dalam
menjalankan
pelayanan
publik, birokrasi pemerintah Papua
berusaha
menerapkan
prinsip
multikulturalisme.
Sebagai
ilustrasi,
dalam
menerapkan
kebijakan
pada
sektor
birokrasi
pemerintahan,
Pemkab Jayapura selama ini juga
menghindari prinsip geneologis dan
etnosentrisme. Eselonisasi dalam
jajaran birokrasi sama sekali tidak
mempertimbangkan putra daerah.
Merit sistem benar-benar diterapkan,
dalam arti penunjukan pejabat eselon
berdasarkan profesionalisme, dan
bukan atas dasar sentimen etnis.
Di Papua jabatan seperti Sekretaris
Daerah, Kepala Dinas, dan pimpinan
proyek strategis, banyak dijabat oleh
pegawai yang berasal dari berbagai
daeah seperti Jawa, Bali, Batak, Bugis,
Menado, dan lain-lain.4
Sedangkan dalam bidang sosial4
Dikutip dari Profil Kabupaten
Jayapura, 2009, Sambutan Bupati Kabupaten Jayapura.
16
Edisi 3 / September / 2011
ekonomi, Pemkab Jayapura, sama
sekali tidak menerapkan kebijakan
yang mengarah pada segregasi sosial.
Semuanya dibiarkan tumbuh secara
natural, dalam arti mengikuti hukum
pasar. Karena itu seperti di daerah
lain, di Papua sektor perdagangan
banyak dikuasai oleh etnis Tionghoa
dan Bugis Makasar. Sedangkan
etnis Jawa banyak bergerak pada
sektor informal dan pertanian.
Meskipun demikian warga Papua
asli kemudian mulai masuk ke dalam
berbagai sektor strategis tersebut,
sehingga membentuk identitas baru
yang mengaburkan stigma sosial,
seperti orang Papua tertinggal
dan tidak transformatif. Di sektor
pertanian, kakao misalnya, sekarang
telah menjadi identitas baru warga
Kabupaten Jayapura, karena baik
etnis Jawa maupun penduduk asli
telah menjadi subyek dalam budidaya
tanaman kakao, yang sekarang sangat
populer sebagai identitas warga
Jayapura.5
Semua itu menunjukan bahwa
dalam
menjalankan
pelayanan
publik, birokrasi Papua sangat
mempertimbangkan
kepentingan
publik
yang
semakin
plural.
Orientasi terhadap pelayanan publik
ini juga ditegaskan pada komitmen
pemerintah Kabupaten Papua, bahwa
setiap warga masyarakat adalah
ibarat raja yang harus dilayani.
Bukan sebaliknya, di mana aparat
birokrasi yang fungsi utamanya
5
Profil Kabupaten Jayapura,
2009, ibit.
Edisi 3 / September / 2011
adalah melayani masyarakat justru
minta dilayani. Pemkab Papua juga
membuka kotak aduan bagi warga
masyarakat yang tidak mendapatkan
pelayanan baik dari jajaran aparat
birokrasi.
Begitulah,
pilihan
birokrasi
profesional
dan
berdasarkan
merit sistem itu sesuai dengan
realitas empirik masyarakat Papua
yang cenderung semakin plural.
Masyarakat Papua sekarang telah
berkembang menjadi masyarakat
yang plural, baik dilihat dari latar
belakang etnis, agama, dan latar
belakang sosial ekonomi. Dilihat
dari keragaman latar belakang
etnis, masyarakat Papua terdiri atas
suku Jawa, Bugis, Maluku, Minang,
dan Batak. Dari aspek keagamaan,
masyarakat Papua juga terdiri dari
berbagai macam agama, seperti
Kristen-Protestan, Khatolik, Islam,
dan ada juga Hindu.6 Sementara
itu dilihat dari latar belakang sosial
ekonomi, masyarakat Papua juga
bersifat beragam.
Dorong Partisipasi Publik
Birokrasi
pemerintah
Papua
juga terus mendorong partisipasi
publik,
agar
terlibat
dalam
proses pembangunan mulai dari
perencanaan hingga pelaksanaan, dan
distribusi hasil. Kabupaten Jayapuran
misalnya, telah menerapkan model
pembangunan partisipatif dalam
6
Dikutip dari Kabupaten Jayapura
dalam Angka, 2009, Badan Pusat Statistik
Kabupaten Jayapura.
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
upaya memberdayakan masyarakat.
Di Kabupaten Jayapura telah
meluncurkan program pembangunan
yang
diberi
nama
“Program
Pemberdayaan Distrik dan Kapung”,
atau yang lebih populer dengan
singkatan PPDK.
Konsep
dan
paradigma
pembangunan ini
diluncurkan
sebagai respons atas semakin
meningkatnya kecenderungan pola
pembangunan sentralistik yang
lebih menggunakan pendekatan
dari atas-bawah (topdown approach).
Berbagai program pembangunan
pada saat itu lebih banyak prakarsa
datang dari pemerintah, sementara
prakarsa dari masyarakat kurang
terakomodasi
dalam
proses
perencanaan
pembangunan.
Partisipasi pun kemudian dipahami
menurut tafsir tunggal pemerintah,
yaitu yang dimaknai seberapa jauh
masyarakat melaksanakan program
pembangunan yang dirancang dari
atas, dari yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.
Pendekatan pembangunan yang
top-down tidak mampu menggerakkan
sikap-sikap aktif pada masyarakat
sendiri untuk berkreasi dalam
pembangunan. Sementaran dalam
teori pembangunan menjelaskan,
bahwa
pembangunan
belum
dianggap berhasil manakala dalam
proses pelaksanaannya belum dapat
membangkitkan sikap partisipatif
pada
masyarakat,
sehingga
masyarakat sendiri yang akahirnya
mampu secara mandiri melanjutkan
17
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
usaha pembangunan.
Dengan
PPKD,
prinsip
pembangunan partisipatif tersebut
dilaksanakan secara komprehensif
dengan sasaran utama adalah
menjadikan warga sebagai subyek
pembangunan, sehingga mandiri.
Secara konkret sasaran PPKD
adalah warga masyarakat lokal dan
masyarakat pendatang. Masyarakat
lokal adalah sejumlah warga yang
sudah cukup lama berdomisili pada
lokasi tertentu yang mengembangkan
kultur atau pandangan
hidup
bersama (common way of living) yang
lama-lama menjadi identitas. Di
Papua, masyarakat lokal ini mewujud
dalam komunitas
berbasis etnis
yang tersebar di berbagai wilayah
baik di pantai dan daratan maupun
di pegunungan, serta semuanya
membangun identitasnya masingmasing. Di samping itu juga terdapat
masyarakat pendatang yang datang
dari berbagai daerah dan memiliki
latar belakang etnis, agama, dan
kultur yang beragam, dan mereka itu
juga mempunyai identitas masingmasing.
Masyarakat Papua kemudian
berkembang menjadi masyarakat
yang plural, dan masing-masing
memiliki
identitasnya
sendiri.
Mereka itu saling berinteraksi dan
berkomunikasi satu sama lain dengan
masing-masing
menunjukkan
indentitasnya. Dinamika interaksi
sosial itu kemudian membawa
implikasi pada dua kemungkinan,
18
Edisi 3 / September / 2011
yaitu menuju proses integrasi atau
konflik. Melalui PPKD, keberagaman
itu justru dijadikan sebagai modal
pembangunan dengan mendorong
ke arah tujuan bersama yaitu
peningkatan kesejahteraan berbasis
kemandirian dan keberdayaan.
Penutup
Begitulah, pelayanan birokrasi
pemerintah Papua dalam era
Otonomi
Khsusus
berkembang
secara dinamik. Pada awalnya
memang terdapat kecenderungan
bahwa
pemberian
kewenangan
pengelolaan politik oleh pemerintah
pusat dalam bentuk Otsus, disikapi
oleh sebagian warga Papua secara
primordialistik.
Birokrasi
pun
kemudian menunjukkan karakter
birokrasi
primordial,
sehingga
personil, sistem rekreuitmen, dan
pelayanan pun ada kecenderungan
bias etnosentrisme.
Akan tetapi dalam perkembangan
lebih lanjut, birokrasi pemerintah
Papua berkembang ke arah yang
lebih menunjukkan karakter birokrasi
profesional dengan menerapkan merit
sistem. Karakter masyarakat Papua
sendiri yang terbuka dan semakin
plural, menjadi pertimbangan utama
mengedepankan birokrasi rasional,
yang lebih mengutamakan efisiensi
dan profesionalisme. Bersamaan
dengan itu, birokrasi pemerintah juga
terus mendorong partisipasi publik
dalam proses pembangunan menuju
pemerintahan yang transparan dan
akuntabel.
Foto : Antara
III
Edisi 3 / September / 2011
Reformasi Birokrasi
dan Implementasi
Good Governance
Oleh : Dr. Muhadam Labolo *
* Dosen tetap pada Pasca Sarjana Institut Pemerintahan Dalam Negeri Cilandak
dan Unlam Banjarmasin Jurusan Ilmu Pemerintahan,
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Strategik Pemerintahan.
Email: [email protected]
19
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Pendahuluan
R
eformasi birokrasi
merupakan upaya penataan
mendasar yang diharapkan
dapat berdampak pada perubahan
sistem dan struktur. Sistem
berkaitan dengan hubungan antar
unsur atau elemen yang saling
mempengaruhi dan berkaitan
membentuk suatu totalitas.
Perubahan pada satu elemen
kiranya dapat mempengaruhi
unsur lain dalam sistem itu
sendiri. Struktur berhubungan
dengan tatanan yang tersusun
secara teratur dan sistematis.
Sedangkan perubahan struktur
mencakup mekanisme dan
prosedur, sumber daya manusia,
sarana dan prasarana, organisasi
dan lingkungannya dalam
kerangka pencapaian tujuan
efisiensi penyelenggaraan birokrasi
pemerintahan. Perubahan tersebut
meliputi keseluruhan aspek yang
memungkinkan birokrasi memiliki
kemampuan yang memadai
dalam melaksanakan tugas dan
fungsi pokoknya. Kegagalan
birokrasi dalam melayani
masyarakat selama ini sekaligus
menggambarkan buruknya
penyelenggaraan pemerintahan
baik di level pemerintah pusat
maupun daerah.
20
Edisi 3 / September / 2011
Urgensi reformasi birokrasi di
Indonesia setidaknya di dorong oleh
sejumlah catatan penting, pertama,
meningkatnya
belanja
aparatur
disebabkan
oleh
bertambahnya
rekrutmen
pegawai
tanpa
pengendalian yang jelas, disamping
membesarnya struktur birokrasi
pemerintahan. Peningkatan belanja
aparatur dapat dilihat dari hasil
evaluasi FITRA (2011), dimana
124 pemerintah daerah cenderung
memperlihatkan gejala kebangkrutan.
Kabupaten Lumajang menjadi contoh
nyata dimana belanja aparatur
membengkak hingga mencapai 83%
dari total APBD. Ini berarti, lebih
kurang 2% pegawai kemungkinan
menikmati belanja aparatur, sisanya
sebesar 17% diperebutkan oleh 98%
masyarakat dalam bentuk alokasi
belanja
modal/pembangunan.
Bertambahnya
pegawai
hasil
rekrutmen tanpa kompetensi yang
jelas serta kebiasaan mengembangkan
struktur
organisasi
membuat
pemerintah pusat maupun daerah
mengalami defisit anggaran layaknya
gali-lubang, tutup-lubang.
Kedua,
membengkaknya ongkos demokrasi
(pemilukada) mengakibatkan beban
kas pemerintah daerah khususnya
mengalami peningkatan signifikan.
Ironisnya, perhelatan tersebut tak
jelas melahirkan kepemimpinan
pemerintahan yang handal. Besarnya
anggaran
pemilukada,
serta
dampak yang ditimbulkan terhadap
birokrasi mengakibatkan pemerintah
kelimpungan dalam menutup defisit
Edisi 3 / September / 2011
anggaran. Lebih dari itu birokrasi
mengalami dilemma loyalitas akibat
terpecahnya konsentrasi pada setiap
pesta pemilukada. Ketiga, tingginya
gairah penggemukan organisasi
birokrasi
pemerintahan
tanpa
perencanaan dan analisis yang jelas
memicu pembiayaan dan rekrutmen
pegawai dalam jumlah tak sedikit.
Akibatnya, birokrasi di daerah
mengalami overload, atau bahkan
kekurangan, khususnya daerah di
luar pulau Jawa. Disisi lain rendahnya
pendapatan asli daerah menciptakan
ketergantungan pada pemerintah
pusat, sementara belanja pemerintah
daerah jauh dari efisiensi, bahkan tak
terkontrol akibat tingginya beban
organisasi.
Keempat, meluasnya
perilaku
koruptif
mendorong
birokrasi kehilangan kepercayaan
sebagai
pelayan
masyarakat.
Kelima,
lemahnya
pengawasan
mengakibatkan
pemerintah
cenderung bertindak konsumtif,
boros, sewenang-wenang dan tak
transparan.
Keseluruhan catatan
negatif tersebut di dukung pula
oleh perilaku buruk birokrasi dalam
pelayanan masyarakat seperti sikap
yang lamban dan reaktif, arogan,
nepotisme, berbelit-belit, boros,
bekerja secara naluriah (insting),
enggan berubah, serta kurang
berorientasi
pada
kepentingan
masyarakat.
Masalahnya,
bagaimanakah sebaiknya reformasi
birokrasi
dilakukan,
apakah
tantangan yang dihadapi, serta
bagaimanakah desain reformasi
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
birokrasi yang mesti dilakukan dalam
meminimalisasi meluasnya masalah
yang dihadapi? Tulisan singkat
ini akan mendeskripsikan tentang
makna birokrasi dan good governance,
karakteristik pemerintahan yang
baik, masalah dan tantangan yang
dihadapi dalam upaya reformasi
birokrasi, serta upaya strategis
reformasi birokrasi dan implementasi
tata kelola pemerintahan yang baik.
Perubahan tersebut diharapkan
tidak saja bersifat incremental semata,
namun fundamental. Hal itu disadari
bahwa upaya reformasi birokrasi
merupakan bagian dari grand desain
penciptaan tata pemerintahan yang
baik (good governance). Konsep ini
diharapkan mampu menjembatani
suatu kondisi pemerintahan yang
buruk (bad government) kearah
terbentuknya pemerintah yang baik
(good government). Tentu saja birokrasi
pemerintahan sebagai instrument
pelaksana menjadi fokus utama yang
mesti diperbaiki melalui kebijakan
reformasi birokrasi. Cakupan tulisan
ini juga akan menyentuh reformasi
birokrasi pemerintahan baik pusat
maupun daerah, sekalipun pada
akhirnya lebih menampilkan potret
masalah birokrasi di level pemerintah
daerah. Bagaimanapun juga, kita
semua paham bahwa reformasi
birokrasi di level pemerintah daerah
merupakan bagian dari kebijakan
reformasi birokrasi secara nasional.
21
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Birokrasi dan Good Governance
Konsep birokrasi sendiri lazim
merujuk pada gagasan Maximilliam
Weber (1864-1920).
Sekalipun
banyak
demikian,
Albrow1
mengembangkan konsep birokrasi
dari berbagai sudut pandang. Secara
etimologis, birokrasi berasal dari
kata bureaucracy (Inggris), atau
burocratie (Jerman), burocrazia (Italia)
dan bureaucatie (Perancis), yang
berarti meja atau kantor. Istilah ini
dimunculkan kembali oleh filosof
Perancis, Baron de Grimm atas catatan
Vincent de Gournay2. Cracy (kratos)
sendiri menunjukkan arti kekuasaan
atau aturan. Dalam padanan lain
seringkali dihubungkan dengan
istilah pemerintahan (proses), sebab
pemerintahlah yang paling mungkin
memiliki kekuasaan membuat aturan,
atau bahkan proses dan sumber
dari semua aturan dalam hubungan
antara yang memerintah dan yang
diperintah. Statement ini setidaknya
sejalan dengan pikiran Gornay
dan Laski (1930), yang kemudian
mendefenisikan birokrasi sebagai
suatu sistem pemerintahan dimana
kontrol sepenuhnya berada di tangan
para pejabat yang sampai pada
batas tertentu dapat menunda atau
mengurangi kemerdekaan warga
1
Martin Albrow dalam Donald
P.Warwick, Theory of Public Bureucracy,
Cambridge Massachussets, Harvard
Universty Press.
2
Adam Kuper dan Jessica Kuper,
Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Raja Grafindo, Jakarta, 2000, hal.74-75.
22
Edisi 3 / September / 2011
negara biasa3. Dua contoh lain hasil
asimilasi yang sebangun dengan kata
itu misalnya konsep demokrasi dan
oligarkhi. Apabila sumber kekuasaan
berasal dari rakyat banyak lazim
disebut demokrasi. Demikian pula
apabila sumber kekuasaan tersebut
dikendalikan oleh sekelompok rakyat
pintar (profesional) dikenal dengan
istilah oligarkhi.
Bahkan, lewat
kalimat provokatif Michel (1962)4
menyatakan bahwa siapa yang bicara
tentang organisasi, pastilah bicara
tentang oligarkhi. Pada tingkat
pragmatis, pelayanan urusan yang
lebih rinci pastilah berhubungan
dengan apa yang lazim kita sebut
dengan birokrasi.
Makna bureau (baca:biro) identik
dengan kenyataan dalam birokrasi,
dimana struktur di bentuk lebih
banyak menyelesaikan pekerjaan di
atas meja. Pejabatnya biasa duduk di
belakang meja. Semua masalah relatif
diselesaikan di atas meja. Logikanya,
jika urusan diselesaikan di bawah
meja mungkin saja bertentangan
dengan makna etimologisnya. Ini
bisa dimaklumi, sebab secara historis,
birokrasi traditional di Perancis
(abad 18) menampilkan wajah
demikian, boros, eksploitatif, represif,
oportunis, kolutif, koruptif dan
nepotism. Sinisme atas gejala tersebut
melahirkan
istilah
bureaumania.
3
Laski, H, Bureaucracy, dalam
Encyclopaedia of the Social Sciences, volume 3, New York dan London.
4
Michaels, R, Political Parties,
New York, 1962.
Edisi 3 / September / 2011
Secara fungsional, realitas pelayanan
justru menjadi lebih efisien dan
efektif jika tanpa melalui meja
birokrasi yang terkadang berbelitbelit dan menguras energi. Mungkin
inilah yang di sebut Rahardjo (2010)5
sebagai pendekatan hukum progresif
dalam pelayanan birokrasi menurut
perspektif hukum. Secara faktual, kita
banyak menemukan istilah biro pada
struktur organisasi. Di Indonesia, di
level organisasi provinsi dan pusat
misalnya, terdapat jabatan biro
yang dipimpin oleh seorang kepala
biro setingkat eselon dua. Sebagai
contoh, biro hukum, biro organisasi,
biro pemerintahan, biro umum
dan sebagainya. Ia membawahi
sejumlah bagian dan subbagian pada
level paling rendah. Bahkan, untuk
membedakan secara teknis, seorang
pejabat memiliki meja dengan ukuran
biro atau setengah biro. Sejauh ini, tak
ada istilah lain untuk ukuran meja
selain biro, misalnya meja ukuran
bagian atau setengah bagian.
Pengertian
kedua
(kantor),
merujuk pada hampir semua
bentuk organisasi baik sipil maupun
militer. Kita sering menyebut kantor
pada hampir semua organisasi
yang secara fisual terlihat melalui
bangunan megah, lengkap dengan
sistem dan peralatannya. Demikian
pula kantor pada organisasi swasta.
Dalam konteks Indonesia, struktur
organisasi
pemerintah
daerah
misalnya menggunakan istilah kantor
5
Satjipto Rahardjo, Membedah
Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2010.
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
untuk membedakan unit tersebut
dengan dinas dan badan. Kantor
menjadi unit paling kecil ukurannya
sebelum menanjak menjadi Badan
atau Dinas. Di level provinsi, kantor
menjadi instrument pemerintah pusat
di daerah, seperti kantor wilayah
(kanwil) dan kantor departemen
(kandep). Pada pemerintahan yang
bersifat
sentralistik,
instrument
pemerintah pusat dapat menjangkau
hingga ke level pemerintahan paling
rendah (dekonsentratif). Sebaliknya,
pemerintahan
yang
bernuansa
demokratik biasanya meletakkan
kontrol pada level pemerintahan
tertentu yang untuk selanjutnya
melakukan
pengawasan
secara
berjenjang (desentralistik).
Dalam
perspektif
Weber,
birokrasi adalah organisasi rasional
dengan segenap karakteristik yang
melekat didalamnya. Karakteristik
dimaksud antara lain adanya
suatu jabatan, tugas, wewenang,
hierarkhi,
sistem,
formalitas,
disiplin, profesional, kecakapan dan
senioritas. Karakteristik tersebut
membentuk birokrasi sebagai alat
untuk mencapai tujuan kolektif.
Birokrasi, dalam makna konkrit
adalah organisasi yang memiliki
rantai komando berbentuk piramidal,
dimana lebih banyak orang berada di
tingkat bawah daripada tingkat atas,
baik pada instansi militer maupun
sipil. Semakin ke puncak semakin
langka pemegang kekuasaan, sebab
ia mengokohkan kepemimpinan
dengan wewenang yang lebih luas.
23
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Sebaliknya, semakin ke bawah
semakin banyak pegawai, tetapi ia
semakin menunjukkan wewenang
yang lebih terbatas. Kekuasaan
tersebut pada akhirnya habis terbagi
dalam bentuk spesialisasi dan
struktur yang lebih kecil. Demikianlah
kekuasaan mengalir menurut hukum
alam (natural of law). Ia dimulai dari
suatu kekuasaan yang maha besar,
lalu mengalir kedalam struktur
yang dibagi secara khusus. Dalam
pendekatan ilmu alam, kekuasaan
tersebut
mengalir
sebagaimana
siklus air hujan.
Dimulai dari
gumpalan awan yang di pandang
sebagai pemberian Tuhan (teosentris).
Dari aspek ilmu pengetahuan
(antroposentris), air hujan merupakan
hasil serapan dari laut berupa uap
akibat tekanan panas matahari yang
dibawa angin membentuk gumpalan
awan hitam. Tidak semua menguap,
sebagian besar tersisa menjadi lautan
luas. Pada suatu ketika, gumpalan
awan hitam tersebut pecah menjadi
butiran hujan yang jatuh dan
mengumpul di suatu tempat, apakah
terserap oleh
akar pohon atau
terkumpul pada wadah perbukitan
yang mengalir melalui sungaisungai besar dan kecil menuju laut.
Siklus air hujan secara sederhana
dapat kita persamakan dengan
siklus kekuasaan. Kekuasaan lahir
dari rakyat kebanyakan (demokrasi),
sekalipun dalam teori kedaulatan
dapat bersumber dari Tuhan (teokrasi)
dan atau sedikit orang (aristokrasi).
Tekanan konflik dan sejumlah
24
Edisi 3 / September / 2011
motivasi
tertentu
mendorong
terbentuknya representasi pemegang
kekuasaan.
Para
pemegang
kekuasaan
(pemerintah)
baik
diyakini merupakan representasi
dari kedaulatan Tuhan (teokrasi) atau
hasil pilihan masyarakat (demokrasi)
secara
konkrit
membentuk
organisasi
pemerintahan
yang
untuk selanjutnya mengalirkannya
dalam bentuk struktur-struktur
formal birokrasi dari tingkat pusat
hingga level pemerintahan paling
rendah. Birokrasi pada akhirnya
dapat dipandang sebagai cerminan
dari pelembagaan kekuasaan yang
mengalir deras dari tingkat atas
hingga bawah.
Dari aspek ini
birokrasi secara praktis merupakan
instrument/alat dari kekuasaan
untuk mencapai tujuan pemimpin
maupun tujuan bersama yang
diemban oleh pemimpin dimaksud.
Pada contoh yang lebih nyata, seorang
presiden hasil pilihan rakyat memiliki
kekuasaan luas. Kekuasaan tersebut
dialirkan secara hirarkhis melalui
Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota,
Camat, Lurah hingga Kepala Desa.
Pada level gubernur, kekuasaan
dibagi berdasarkan jumlah wewenang
yang diterima, lalu dilembagakan
dalam struktur formal seperti biro
pemerintahan, bagian pemerintahan
dan seterusnya. Demikian pula aliran
kekuasaan pada level kabupaten/
walikota hingga pemerintah desa.
Kekuasaan dalam konteks ini
mengalami formalisasi yang dirinci
dan dipertanggungjawabkan secara
Edisi 3 / September / 2011
jelas. Inilah yang disebut dengan
wewenang (authority). Dalam kaitan
itu, birokrasi hadir dan merujuk
pada bagaimana cara pemerintah
melaksanakan
dan
membuat
peraturan-peraturan
yang
sah
secara sosial. Keabsahan tersebut
diharapkan mampu merefleksikan
suatu pemerintahan yang baik
dengan berbagai ciri yang terkandung
didalamnya.
Seperti digambarkan oleh Mark
Robinson
(2000:417),
fenomena
pemerintahan dewasa ini telah
meluas tidak saja pada dunia
pemerintah semata, tetapi juga
pada ruang non pemerintah seperti
perusahaan. Upaya-upaya dalam
rangka
penerapan
kekuasaan
melalui serangkaian mekanisme
untuk
menjamin
akuntabilitas,
legitimasi dan tranparansi pada
berbagai sektor diluar pemerintah
menunjukkan gejala pemerintahan
yang semakin menguat. Setidaknya
hal ini terlihat dalam pembentukan
serangkaian aturan atau struktur
otoritas dalam komunitas tertentu
yang memainkan peran atau fungsi
pengelolaan sumber daya termasuk
dalam menjaga tatanan sosial.
Meluasnya upaya untuk menata
pemerintahan kearah yang lebih
baik mendorong donor international
untuk mengembangkan konsep good
governance (pemerintahan yang
baik). Pengembangan konsep ini
didorong oleh gejala meningkatnya
hambatan-hambatan
administrasi
dan politik dalam pembangunan
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
dunia ketiga.
Gejala tersebut
antara lain meningkatnya korupsi,
kolusi, nepotisme, individualisme
serta hilangnya legitimasi politik
khususnya
pada
negara-negara
yang kurang mampu dan tanpa
sistem demokrasi yang memadai.
Berlawanan dari konsep ideal yang
ingin dikembangkan, bad government
(pemerintah yang buruk) menjadi
alasan bagi lembaga international
untuk mengembangkan pola yang
lebih mungkin dalam kaitan dengan
manajemen ekonomi dan politik
global.
Dalam
perspektif
negaranegara maju, dua alasan utama
yang mendorong lahirnya gagasan
penciptaan
pemerintahan
yang
baik adalah pertama, gagalnya
pemerintah menjalankan fungsinya
yang ditandai oleh tidak bekerjanya
hukum dan tata aturan sehingga
menimbulkan
ketidakpercayaan
pada pemerintah tentang bagaimana
seharusnya pemerintah berinteraksi
dengan masyarakatnya. Ini tentu saja
berkaitan dengan tanggungjawab
pemerintah pada masyarakatnya,
demikian pula kewajiban dan hak
yang saling mengikat antara mereka
yang memerintah dan mereka
yang diperintah. Kedua, tekanan
dari kelompok neo-liberal yang
mendukung dikuranginya peran
negara dan pengimbangan kekuasaan
kepada penyediaan layanan oleh
pembeli dan pengatur. Atau dengan
kata lain, pemangkasan peran
pemerintah sejauh mungkin dengan
25
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
cara penyerahan kepentingan antara
penjual dan pembeli pada mekanisme
pasar.
Sekalipun upaya-upaya untuk
menciptakan pemerintahan yang
lebih baik dilakukan misalnya melalui
desentralisasi kekuasaan, reformasi
pemerintahan, reorientasi birokrasi
serta perluasan partisipasi publik
untuk mengembalikan akuntabilitas,
legitimasi dan transparansi, namun
tidak berarti sepi dari dampak
pengelolaan pemerintahan.
Di
negara-negara berkembang, kebijakan
demikian semakin memperkokoh
tumbuhnya
demokrasi
liberal
yang pada akhirnya mendorong
kembalinya pemerintah (eksekutif)
meningkatkan kontrol yang lebih
represif.
Bagaimanapun kita
masih percaya bahwa menciptakan
pemerintahan yang kuat mutlak
dibutuhkan bagi stabilitas politik
yang dapat menjamin keberhasilan
pembangunan.
Karakteristik Good Governance
Menurut
UNDP
(1997),
pemerintahan yang baik setidaknya
memiliki karakteristik akuntabilitas,
transparansi,
partisipasi,
tertib
hukum, responsif, konsensus, adil,
efisiensi dan efektivitas, serta memiliki
visi strategis. Komponen yang
terlibat tidak saja domain pemerintah
sebagai pelaksana, tetapi juga
meliputi kelompok swasta sebagai
pemegang modal dan masyarakat
selaku civil society. Ketiga komponen
tersebut sepatutnya berjalan secara
26
Edisi 3 / September / 2011
paralel, saling mendukung dan
saling berinteraksi. Interaksi tersebut
hendaknya dilandasi oleh sejumlah
karakteristik yang memungkinkan
tata kelola pemerintahan berjalan
baik. Dalam konteks ini, good
governance lebih menitikberatkan pada
aspek proses melalui pendekatan
fungsional guna mencapai tujuan
yang diinginkan. Uraian selanjutnya
akan mengembangkan makna dari
sejumlah karakteristik yang melekat
dalam konsep good governance.
Akuntabilitas,
merujuk
pada
tanggungjawab
setiap
aktor
dalam interaksi berpemerintahan.
Meletakkan tanggungjawab satusatunya pada sektor pemerintah
bukanlah gagasan terbaik untuk
menciptakan pemerintahan yang
baik. Tanggungjawab merupakan
nilai penting yang semestinya berlaku
pada semua elemen dalam proses
pemerintahan. Sebagai pemerintah,
tanggungjawab diperlukan sebagai
konsekuensi terhadap semua jenis
kontrak dari level paling bawah
hingga
pusat
pemerintahan.
Tanggungjawab merupakan nilai
yang mampu menjembatani relasi
antara pemerintah dan masyarakat
untuk menjamin keberlangsungan
pemerintahan.
Tanggungjawab
pemerintah
pada
segenap
stakeholders selaku pemetik manfaat
setidaknya memicu tumbuhnya
trust sebagai modal bagi kontinuitas
pemerintahan. Tanggungjawab pada
elemen masyarakat dibutuhkan agar
masyarakat sadar akan apapun output
Edisi 3 / September / 2011
pelayanan yang diberikan merupakan
upaya paling maksimal yang dapat di
produk pemerintah. Pada akhirnya,
tanggungjawab masyarakat tidak saja
memanfaatkan seefektif mungkin
apa yang diberikan oleh pemerintah,
juga memelihara semua produk
pelayanan yang diberikan, termasuk
bertanggungjawab
terhadap
kegagalan pemerintah yang dipilih
oleh mereka sendiri. Demikian pula
pada elemen lain, para pemegang
modal
(swasta)
seyogyanya
memegang prinsip tanggungjawab
dalam interaksi dengan masyarakat
dan pemerintah. Setiap tindakan
yang secara praktis berkaitan
serta membebani masyarakat dan
pemerintah,
seharusnya
dapat
dipertanggungjawabkan
secara
murni dan konsekuen. Kasus
Lumpur Lapindo di Indonesia
(2005) mereflesikan tanggungjawab
keseluruhan elemen, bukan saja
pemerintah, swasta dan masyarakat.
Sulit membayangkan jika pihak swasta
lari dari tanggungjawab tersebut,
sebab ketiga elemen tadi memiliki
batasan terhadap tanggungjawab
masing-masing.
Transparansi,
merupakan
karakteristik
yang
memungkinkannya
terbangunnya
kepercayaan masyarakat terhadap
apa yang diartikulasikan pemerintah
dalam hal kepentingan dan kebutuhan
masyarakat. Rendahnya transparansi
pemerintah
berkenaan
dengan
perencanaan
dan
implementasi
kebijakan menunjukkan lemahnya
itikad baik dalam mewujudkan tujuan
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
dan harapan masyarakat. Salah satu
sorotan utama dewasa ini adalah
seberapa efektif pemerintah mampu
memperjuangkan
kepentingan
masyarakat
melalui
anggaran
yang tersedia. Perencanaan yang
transparan meyakinkan masyarakat
tentang sejauhmana kepentingan
mereka mampu didokumentasikan
secara jujur oleh pemerintah. Pada
tingkat yang lebih jauh, seberapa
kuat komitmen pemerintah dalam
merealisasikan semua perencanaan
yang telah disepakati. Ketiadaan
nilai
transparansi
seringkali
ditunjukkan
oleh
mandeknya
semua
dokumen
perencanaan
tanpa realisasi, atau mengalami
perubahan dipersimpangan jalan
sesuai kepentingan pribadi maupun
kelompok tertentu.
Akibatnya,
semua perencanaan pemerintah
kehilangan
koneksitas
dengan
kepentingan masyarakat. Selain itu,
indikasi meluasnya perilaku koruptif
dalam
pemerintahan
semakin
meyakinkan masyarakat bahwa
pemerintah kehilangan karakteristik
transparansi dalam menjalankan
fungsi pelayanan. Penyakit demikian
bukan saja melanda pemerintah,
demikian pula sektor swasta dan
masyarakat pada tingkat tertentu.
Hal ini dapat dilihat dalam kasus
projek Pembangunan Wisma Atlit di
Kemenpora. Partisipasi, menunjukkan
keterlibatan
masyarakat
dalam
penyusunan dokumen perencanaan
pembangunan.
Partisipasi
aktif
masyarakat
lebih
jauh
27
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
menggambarkan
sejauhmana
kepentingan
mereka
telah
terakomodir dengan baik, selain
melibatkan mereka dalam hal
tanggungjawab yang lebih luas.
Rendahnya partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan pemerintahan
disebabkan oleh rendahnya kesadaran
masyarakat tentang pentingnya
partisipasi dalam pembangunan.
Faktor pendidikan menjadi kunci
penting dalam mendorong kesadaran
masyarakat. Masalah berikut justru
terletak pada rendahnya keterbukaan
pemerintah
dalam
melibatkan
partisipasi masyarakat. Kondisi ini
tentu saja berhubungan dengan nilai
transparansi, sehingga pemerintah
terkesan sulit melibatkan partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Pemerintah yang
buruk seringkali mengidap perasaan
curiga yang berlebihan ketika
masyarakat terlibat dalam setiap
proses perencanaan pembangunan.
Disini terlihat jelas bahwa jika
partisipasi
masyarakat
rendah,
kemungkinan kesadaran mereka
rendah pula disebabkan rendahnya
tingkat pendidikan yang diperoleh
sehingga bersikap apatis. Sebaliknya,
jika pemerintah enggan melibatkan
partisipasi masyarakat, kemungkinan
kesadaran pemerintah juga rendah
sehingga mendorong kecurigaan
terhadap
setiap
keterlibatan
masyarakat. Tertib hukum merupakan
karakteristik yang memungkinkan
terciptanya masyarakat taat hukum.
Ketaatan
hukum
memberikan
28
Edisi 3 / September / 2011
landasan bagi pemerintah dalam
menjalankan visi dan misi yang
diemban, sekaligus memperlihatkan
tingkat
aksebilitas
masyarakat
terhadap pemerintah.
Semakin
rendahnya
kepatuhan
hukum
masyarakat menunjukkan semakin
rendah pula tingkat penerimaan
masyarakat terhadap pemerintahnya.
Tertib hukum dimaksudkan untuk
menciptakan social order, yaitu suatu
kondisi tertib bermasyarakat, sadar
akan aturan yang diperuntukkan
bagi kepentingan masyarakat itu
sendiri.
Dalam hubungan itu,
dibutuhkan kesadaran pemimpin
untuk memberikan contoh sehingga
mampu mendorong terwujudnya
tertib
hukum.
Kehadiran
pemerintah dalam setiap pelayanan
masyarakat
mengindikasikan
hadirnya
perlindungan
bagi
masyarakat, sekaligus menunjukkan
adanya
hukum
itu
sendiri.
Itulah mengapa seringkali gejala
pemerintahan dipandang sebagai
gejala hukum.
Responsif, adalah
karakteristik
pemerintah
yang
mampu memberikan tanggapan
sedini mungkin, terhadap setiap
masalah yang dihadapi masyarakat.
Kemampuan
memberikan
jawaban atas setiap masalah yang
dihadapi masyarakat menunjukkan
kemampuan pemerintah dalam
memahami apa yang menjadi
kebutuhan
utama
masyarakat.
Kegagalan
merespon
setiap
masalah yang dihadapi masyarakat
menunjukkan
ketidakpedualian
Edisi 3 / September / 2011
pemerintah serta hilangnya sense of
belonging atas problem yang dialami
oleh masyarakat. Dalam perspektif
masyarakat, jangankan kehadiran,
statement
pemerintah
sekalipun
dapat dinilai sebagai respon positif
terhadap masalah yang sedang
mereka hadapi. Konsensus, adalah
karakteristik yang menggambarkan
kemampuan pemerintah dalam
membangun kesepakatan antara
tuntutan secara bottom-up dan topdown.
Konsensus juga merujuk
pada
bagaimana
pemerintah
membangun kesepahaman yang
memungkinkan semua kepentingan
dapat diakomodir pada saluran yang
tersedia.
Konsensus merupakan
landasan bagi pencapaian komitmen
bersama.
Komitmen bersama
berkaitan
dengan
kepentingan
stakeholder dalam mewujudkan tujuan
yang diamanahkan pada pemerintah.
Kegagalan membangun konsensus
dapat meruntuhkan kepercayaan
masyarakat dimana pemerintah
dapat dinilai mengkhianati amanah
yang
diberikan.
Kemampuan
pemerintah memelihara konsensus
yang telah dibangun dapat diartikan
sebagai kemampuan pemerintah
dalam memelihara amanah.
Adil merupakan karakteristik yang
dapat mendorong akseptabilitas
masyarakat pada pemerintahnya.
Keadilan merupakan salah satu tujuan
ingin dicapai oleh setiap pemerintah.
Keadilan lazimnya melekat pada para
pelaku pemerintahnya, khususnya
pemimpin. Keadilan bertujuan untuk
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
menciptakan pemerataan, sekaligus
memberikan hak dan kewajiban
secara proporsional.
Efisiensi dan efektivitas merupakan
karakteristik
good
governance
yang merefleksikan kemampuan
pemerintah
dalam
pencapaian
tujuan secara tepat guna dan hasil
guna. Pencapaian tujuan dengan
mempertimbangkan aspek efisiensi
dan efektivitas dapat mendorong
produktivitas
pemerintahan
menjadi lebih berkualitas tanpa
membuang modal yang besar.
Kegagalan
pemerintah
dalam
mempertimbangkan efisiensi dan
efektivitas membuat pemerintah
kehilangan modal serta tak mampu
berbuat banyak, kecuali membiayai
pegawai dilingkungannya masingmasing. Kondisi tersebut membuat
pemerintah
mengalami
beban
anggaran yang cukup besar selain
tak mampu membuat kebijakan
strategis.
Karakteristik
visi
strategis
berkaitan
dengan
kemampuan
pemerintah dalam mewujudkan citacita ideal namun realistis berdasarkan
kebutuhan masyarakat. Tanpa visi
yang jelas pemerintah sebenarnya
hanya menjalankan fungsi secara
instingtif, tanpa penalaran jauh
kedepan. Visi diharapkan menjadi
petunjuk yang dapat dikonkritkan
dalam bentuk misi, program hingga
kegiatan teknis. Visi menggambarkan
masa depan pemerintahan dan
memuat cita-cita ideal masyarakat
yang dapat diwujudkan oleh
29
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
pemimpinnya sejauh ia mampu
dan konsisten.
Visi strategis
membutuhkan kesinambungan dalam
mengawal agenda-agenda yang telah
ditetapkan.
Pemerintahan yang
bertolak dari visi adalah pemerintahan
yang memiliki pandangan jauh
kedepan, serta memiliki cita-cita
yang bersifat jangka panjang serta
berkelanjutan.
Inilah sejumlah
karakteristik pemerintahan yang baik
(good governance) menurut UNDP.
Secara umum, karakteristik tersebut
menjadi variabel penting tidak saja
bagi pemerintah, demikian pula
pihak swasta dan masyarakat luas.
Penciptaan tata kelola pemerintahan
yang baik bukanlah semata-mata
menjadi bagian dari kebijakan
pemerintah, namun bersentuhan
pula dengan nilai dan sikap yang
dianut oleh pihak swasta dan
masyarakat. Menurut Gerry Stoker
(1998), proposisi governance meliputi
lima hal yaitu; pertama, merujuk
pada seperangkat institusi dan aktor
yang terdapat pada dan di luar
pemerintah. Kedua, mengidentifikasi
kekaburan batas dan tanggungjawab
untuk menangani isu-isu sosial
ekonomi. Ketiga, mengidentifikasi
ketergantungan kekuasaan yang
terdapat dalam hubungan antara
institusi yang melakukan tindakan
kolektif. Keempat, adalah tentang
jaringan
aktor
yang
bersifat
mandiri dan mengatur sendiri.
Kelima, mengakui kapasitas guna
menyelesaikan
sesuatu
yang
tidak bersandar pada kekuasaan
30
Edisi 3 / September / 2011
pemerintah
untuk
memberikan
komando
atau
menggunakan
otoritasnya. Governance memandang
pemerintah mempunyai kemampuan
untuk menggunakan alat dan
teknik baru dalam mengarahkan
dan menuntun.
Disamping itu,
Hayden (dalam Hamdi, 2002:14),
menyebutkan empat variabel dalam
konsep governance, yaitu; authority
yang berarti eksistensi kekuasaan
yang legitimate, reciprocity, yaitu
pengembangan
pandangan
penggunaan kekuasaan tidak selalu
merupakan zero-sum game, tetapi
juga dapat menjadi positive sum game.
Trust, yang diartikan hidup bersama
dan terikat, secara kompetitif
atau koperatif dalam mengejar
tujuan bersama. Accountabilitypada
dasarnya memperkuat kepercayaan
masyarakat dan sebaliknya.
Tantangan Reformasi Birokrasi dan
Good Governance
Menurut Muhammad (2007),
tantangan
reformasi
birokrasi
meliputi tiga masalah pokok, yaitu
pertama, faktor internal yang
meliputi ketidakmampuan birokrasi
mengubah dirinya menjadi lebih baik.
Kedua, faktor eksternal berkenaan
dengan tingginya intervensi politik
yang membuat birokrasi kehilangan
konsentrasi dalam menjalankan
fungsi pelayanan. Ketiga, faktor
keraguan publik terhadap efektivitas
kebijakan yang direncanakan dan
diimplementasikan oleh birokrasi.
Faktor
pertama
disebabkan
oleh kelemahan birokrasi dalam
Edisi 3 / September / 2011
memperbaharui kinerjanya sesuai
perkembangan
lingkungan.
Tingginya dinamika masyarakat
dalam menuntut pelayanan yang
lebih baik tak serta merta diimbangi
oleh kemampuan birokrasi dalam
mengembangkan
kecerdasan,
kecakapan dan keterampilan dalam
pengelolaan pemerintahan. Polapola pendekatan dan pelayanan
kepada masyarakat secara nyata
menunjukkan
indikasi
perilaku
traditional.
Pelayanan birokrasi
disandarkan
pada
hubungan
kekeluargaan yang bersifat emosional,
jauh dari karakter ideal birokrasi,
yaitu suatu hubungan yang bersifat
impersonal. Harus diakui bahwa
perbedaan kultur di dunia barat
dan timur merupakan kenyataan
yang harus diakui dalam pemberian
pelayanan
pada
masyarakat.
Menyandarkan pelayanan dengan
meletakkan prinsip impersonalitas
secara kaku sebagaimana dimaksud
Weber tidaklah menciptakan rasa
keadilan yang memadai.
Setiap
masyarakat yang dilayani terdiri
dari masyarakat yang mampu dan
tak mampu secara fisik dan non fisik.
Mereka yang secara fisik tak mampu,
tentu saja membutuhkan pendekatan
untuk dilayani secara jemput-bola.
Sedangkan mereka yang tak mampu
secara non fisik, seperti masalah
finansial, harus diberikan insentif
yang seimbang agar pelayanan tetap
diberikan secara merata. Sebaliknya,
menyandarkan pelayanan dengan
meletakkan hubungan personalitas
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
secara keseluruhan sama halnya
dengan menciptakan diskriminasi
bagi kelompok masyarakat yang tak
memiliki akses secara langsung pada
pemerintah, sebab hanya mereka
yang dikenal secara personal saja yang
akan dilayani.
Ketidakmampuan
birokrasi memahami pluralitas dalam
masyarakat seringkali menimbulkan
ketidakadilan dalam pelayanan.
Dalam konteks ini diperlukan
birokrasi yang mampu beradaptasi
dengan perkembangan masyarakat,
serta mampu menjawab setiap
persoalan tidak saja secara struktural,
namun fungsional.
Pendekatan
struktural dalam pelayanan seringkali
berhadapan dengan aturan dan
norma yang berlaku, sehingga sulit
menyelesaikan masalah secara tuntas.
Pola penyelesaian masalah dengan
menyandarkan semua pada aspek
regulasi tak selalu membawa hasil
maksimal.
Masyarakat seringkali
merasa frustasi karena pelayanan
mereka mengalami kebuntuan hanya
karena ketidakmampuan birokrasi
saat menerjemahkan aturan yang
berlaku.
Sebaliknya,
kelompok
birokrat terkesan seperti robot
yang kehilangan rasa kemanusiaan
ketika semua perkara diselesaikan
berdasarkan aturan yang berlaku.
Persoalaannya,
bagaimana
jika
tuntutan masyarakat melampaui
aturan itu sendiri yang kadangkala
datang terlambat, atau bahkan
terjadi kekosongan regulasi. Apakah
dengan alasan yang sama pemerintah
mesti menolak pelayanan kepada
31
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
masyarakat?
Oleh sebab itu,
diperlukan pendekatan fungsional
yang dapat menyelesaikan hingga
ke akar masalah. Dalam konteks
ini birokrasi seringkali menyimpan
dan merawat masalah untuk
kepentingan tertentu, tidak berupaya
menyelesaikan
masalah
secara
tuntas.
Pendekatan fungsional
dalam pelayanan merupakan pola
pendekatan untuk mengimbangi
pendekatan
struktural
yang
terkadang menghambat, berbelitbelit, membutuhkan waktu lama
serta mengeluarkan biaya yang
tak sedikit. Perlu diingat bahwa
melandaskan semua pelayanan secara
fungsional juga tidak tepat, sebab
semua pelayanan pada dasarnya
membutuhkan
pelembagaan
formal sehingga dapat diawasi dan
dikendalikan.
Dewasa ini, pola
pendekatan fungsional mengalami
banyak kemajuan, khususnya di level
pemerintah pusat. Lahirnya badan,
lembaga dan komisi yang bersifat
mezzo-struktur disamping lembaga
formal yang telah ada, merupakan
cerminan dari pola penyelesaian
masalah dengan menggabungkan
pendekatan struktural dan fungsional.
Sekalipun demikian bukan berarti
tanpa catatan, lembaga-lembaga
tersebut tidak saja membebani
anggaran birokrasi pemerintah secara
umum, namun menimbulkan overlap
serta kurang produktif.
Faktor kedua yang menjadi
tantangan
reformasi
birokrasi
adalah tingginya intervensi politik
32
Edisi 3 / September / 2011
dalam birokrasi. Politisasi birokrasi
mendapatkan ruang ketika kelompok
elit partai politik memanfaatkan
momentum
pemilukada
untuk
menggerakkan birokrasi sebagai
mesin politik sekaligus aktivis politik.
Akibatnya, seperti yang dikatakan
oleh Dwiyanto (2011), birokrasi
mengalami pemecahan konsentrasi,
sekaligus pada saat yang sama
gagal melayani masyarakat sesuai
misi yang dipikulnya. Pecahnya
konsentrasi birokrasi disebabkan
sirkulasi kepala daerah setiap lima
tahun sekali. Mereka yang dominan
bersandar pada calon incumbent
seringkali mengalami disorientasi saat
kalah dalam kompetisi pemilukada.
Politisasi birokrasi menciptakan
hubungan antara eksekutif dan
legislatif mengalami dinamisasi
serius kalau tidak ketegangan yang
berkesinambungan.
Akibatnya,
birokrasi yang mengambil jalan
kompromi pada akhirnya turut
mempersubur tingkat kebocoran
anggaran baik di pusat maupun
daerah,
karena
melakukan
persengkokolan kolektif. Indikasi
tersebut bisa diketahui lewat
ramainya kebocoran anggaran APBN
oleh Badan Anggaran, serta bobolnya
APBD pada saat perencanaan dan
penetapannya.
Birokrasi yang
mengambil jarak secara tegas dengan
kelompok politisi justru mengalami
ketegangan karena rentan kehilangan
jabatan. Sisanya kelompok birokrat
yang mengambil sikap apatis
terhadap dinamika yang terjadi
Edisi 3 / September / 2011
dalam setiap rotasi pemerintahan.
Intervensi politik terhadap birokrasi
telah merangsang nafsu aparat
untuk
membangun
komitmen
rahasia dengan para elit dalam masa
sirkulasi kekuasaan.
Komitmen
tersebut berupa transaksi politik
yang berujung pada persoalan siapa
dapat apa, berapa banyak dan kapan.
Dalam konteks ini terbangun koalisi
efektif antara eksekutif dan legislatif
dalam
pembobolan
anggaran.
Kekuasaan yang besar membuat
birokrasi terombang-ambing serta
sulit
menentukan
netralitasnya
sebagai pelayan masyarakat. Semua
itu di dukung oleh kemampuan
kepala daerah dalam memobilisasi
sumber daya
melalui sebagian
anggota tim sukses yang berasal dari
jajaran birokrasi. Mobilisasi sumber
daya dilakukan bahkan secara
terang-benderang melalui rekrutmen
pegawai berdasarkan hubungan
primordial dan patronase, bukan merit
sistem apalagi kompetensi. Keadaan
ini jelas mengembangkan perilaku
koruptif dalam birokrasi sebagai
konsekuensi dari hubungan yang
bersifat transaksional. Akibatnya,
birokrasi terkesan bukan milik
masyarakat namun elit berkuasa,
yang dapat dilihat dari sikap dan
orientasinya yang cenderung melihat
keatas, daripada melihat kebawah.
Faktor
ketiga
tantangan
reformasi birokrasi adalah keraguan
masyarakat
terhadap
setiap
kebijakan yang dilaksanakan oleh
birokrasi. Rendahnya pendidikan
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
serta kurangnya analisis terhadap
setiap kebijakan yang diproduk,
menjadikan birokrasi tak mampu
membuat kebijakan yang efektif
dalam
menyelesaikan
masalah.
Tingginya resistensi yang ditandai
oleh meningkatnya demonstrasi
masyarakat dan pihak swasta
yang
merasa
dirugikan
oleh
setiap kebijakan yang ditetapkan
menunjukkan dua alasan diatas.
Keraguan masyarakat dan pihak
swasta terhadap efektivitas kebijakan
birokrasi disebabkan selain oleh dua
faktor diatas, juga masalah kredibilitas
birokrasi. Rendahnya kredibilitas
birokrasi dalam mendesain suatu
kebijakan dapat diketahui dari
rendahnya keterlibatan pakar dalam
bentuk asistensi, ketiadaan naskah
akademik
terhadap
rancangan
peraturan (khususnya peraturan
daerah), serta rendahnya konsultasi
publik terhadap rancangan peraturan
yang dibuat. Keseluruhan indikasi
tersebut bermuara pada rendahnya
kualitas
rancangan
kebijakan
sehingga menimbulkan resistensi
dari para pemangku kepentingan
(stakeholders). Kelemahan rancangan
kebijakan pada tahap perencanaan
hingga tahap implementasi tak serta
merta membuat birokrasi melakukan
evaluasi yang berkelanjutan, namun
berusaha
menutupi
kelemahan
kebijakan
tersebut.
Sikap
ekslusivisme dan seakan tau semua
masalah mendorong birokrasi pada
perilaku arogan ketika merespon
setiap
tuntutan
masyarakat.
33
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Disamping itu, keraguan masyarakat
terhadap
efektivitas
kebijakan
birokrasi
tumbuh
disebabkan
oleh melimpahnya program yang
dijanjikan namun kehilangan fokus
saat implementasi.
Akibatnya,
lebih banyak program yang bersifat
list service, daripada realitas yang
diharapkan. Masyarakat terkadang
merasa muak terhadap kelambanan
dan kerakusan birokrasi sebagaimana
disinyalir oleh Barzelay (1982) dalam
‘Breaking Through Bureaucracy’. Pada
akhirnya, keraguan masyarakat
terhadap reformasi birokrasi secara
umum tumbuh disebabkan oleh
rendahnya kepercayaan pada sistem
dan sumber daya manusianya.
Buruknya sistem dalam pelayanan
birokrasi membuat masyarakat tak
merasa jelas dalam penyelesaian
masalahnya.
Demikian
pula
buruknya perilaku birokrasi dalam
hal pelayanan membuat masyarakat
tak percaya apa yang selama
ini dikerjakan oleh pemerintah.
Gambaran ini setidaknya disinggung
oleh Osborne & Gaebler (1992) dalam
‘Reinventing Government, bahwa
masalah pemerintah terkadang bukan
pada apa yang mereka kerjakan,
namun
bagaimana
pelayanan
tersebut dapat dilaksanakan dengan
baik.
Reformasi Birokrasi dan
Implementasi Good Governance
Seperti telah disinggung dalam
pendahuluan, reformasi birokrasi
merupakan upaya penataan kapasitas
kelembagaan yang menyangkut
34
Edisi 3 / September / 2011
sistem dan struktur birokrasi dalam
menjalankan fungsi pokok sebagai
pelayan masyarakat. Jika secara politis
birokrasi merupakan instrument
kekuasaan dalam mewujudkan visi
dan misi penguasa sesuai amanah
rakyat yang dituangkan dalam
bentuk kebijakan politik formal,
maka reformasi birokrasi semestinya
diarahkan pada upaya penciptaan
situasi yang kondusif agar birokrasi
netral dari pengaruh kekuasaan
yang berlebihan. Apabila secara
sosiologis
birokrasi
dipandang
sebagai organisasi paling rasional
yang memiliki sejumlah karakteristik
sebagai
pelaksana
interaksi
antara pemerintah disatu sisi dan
masyarakat disisi lain, maka reformasi
birokrasi
selayaknya
diarahkan
pada
penguatan
karakteristik
dimaksud, sekalipun mesti dengan
sejumlah catatan pengecualian pada
tahap implementasi. Jika secara
administratif birokrasi dipandang
sebagai media yang memudahkan
pelayanan, menitikberatkan aspek
efisiensi dan efektivitas serta memiliki
mekanisme dan standarisasi yang jelas
dalam interaksinya, maka reformasi
birokrasi seharusnya diarahkan pada
sejumlah alternatif pilihan kebijakan
seperti
reformasi
struktural,
kapasitasi dan instrumentasi. Kini,
marilah kita cermati bagaimanakah
desain kebijakan reformasi birokrasi
sebaiknya
dilakukan
dalam
mewujudkan
fungsi
birokrasi
sekaligus mendorong penciptaan tata
kelola pemerintahan yang baik (good
Edisi 3 / September / 2011
governance).
Pertama, reformasi organisasi
(struktural).
Organisasi
dapat
diartikan dalam dua macam, pertama
dalam arti statis, yaitu organisasi
sebagai wadah tempat dimana
kegiatan
kerjasama
dijalankan.
Kedua dalam arti dinamis, yaitu
organisasi sebagai suatu sistem
proses interaksi antara orang-orang
yang bekerjasama, baik formal
maupun informal. Uraian selanjutnya
akan lebih menitikberatkan pada
pengertian kedua, yaitu organisasi
dalam arti dinamis. Hal ini sebabkan
oleh faktor eksternal dan internal.
Secara internal organisasi di dorong
oleh tingginya tekanan kekuasaan,
sedangkan secara eksternal di
dorong oleh perubahan lingkungan
yang lebih luas. Kedua faktor
tersebut cukup dominan menjadikan
organisasi
pemerintah
tampak
dinamis. Desain reformasi struktural
dapat dilakukan dengan meletakkan
landasan kuat bahwa organisasi
adalah alat untuk mencapai tujuan,
bukan tujuan itu sendiri. Perbedaan
pemahaman
dalam
manajemen
pemerintahan seringkali menjadikan
birokrasi tak efektif menjalankan
tugas dan fungsinya. Boleh jadi
dalam perspektif seorang kepala
daerah birokrasi adalah alat untuk
mewujudkan gagasan ideal dalam
bentuk visi dan misi selama lima
tahun, namun dalam
perspektif
aparatur birokrasi adalah tujuan
akhir berkenaan dengan bagaimana
jabatan paling tinggi sebagai refleksi
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
kekuasaan dapat dicapai. Masalah
kemudian bertambah ketika sebagian
besar kepala daerah justru berpikir
sama dengan aparatnya, yaitu
bagaimana menjadikan birokrasi
sebagai alat untuk memperoleh
akses bagi keseluruhan sumber daya
yang tersedia. Reformasi oganisasi
tidaklah sekedar slogan kaya fungsi
miskin struktur, namun lebih dari
itu organisasi didesain berdasarkan
kebutuhan,
bukan
kepentingan
politik atau kelompok tertentu.
Pada level hirarkhis diperlukan
pemangkasan yang memungkinkan
jenjang struktural lebih pendek.
Dalam jarak tertentu dibutuhkan
pendelegasian yang memungkinkan
pelayanan lebih efisien dan efektif.
Pada level horizontal dibutuhkan
organ fungsional yang lebih fleksibel
dalam menjawab tuntas akar
masalah yang dihadapi. Dominasi
aspek struktural selama ini telah
menciptakan
kekakuan,
selain
membuang waktu dan biaya yang tak
sedikit. Panjangnya jalur hirarkhis
membuat setiap masalah terkesan
basi ketika kembali pada masyarakat,
bahkan sulit bersentuhan langsung
dengan para pengambil keputusan
(decition maker).
Organisasi sebaiknya disusun
berdasarkan hasil analisis jabatan
dan beban kerja, bukan kompromi
politik. Harus diakui bahwa budaya
penyusunan organisasi di daerah
selama ini cenderung mempraktekkan
cara-cara penyusunan organisasi di
tingkat pusat. Sistem pemilukada
35
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
telah menjebak kepala daerah untuk
melakukan rekonstruksi organisasi
pemda lewat cara-cara resuhffle
kabinet jilid satu, dua dan seterusnya.
Pola penjenjangan karier kurang
diperhatikan, bahkan hasil Baperjakat
hanyalah unsur formalitas dalam
penempatan personil pada struktur
organisasi pemda. Kasus pencopotan
pejabat setingkat sekretaris daerah
dalam tempo singkat dan mutasi
besar-besaran adalah contoh yang
dapat diamati dalam wilayah
pemerintah
daerah.
Akibatnya,
organisasi Pemda memperlihatkan
gejala obesitas yang sarat kepentingan
politik para elit lokal sehingga sulit
bergerak mencapai tujuan. Praktis
organisasi dibentuk untuk menjawab
kepentingan
rezim
berkuasa,
bukan menjawab masalah yang
dihadapi masyarakat. Kondisi ini
tidak saja berlaku di daerah, namun
dipraktekkan
terang-benderang
di level pusat melalui perluasan
organisasi pemerintahan. Potret
tersebut terlihat tidak saja pada
perluasan kementerian departemen,
namun tampak pada puluhan
organisasi setingkat lembaga, badan
dan komisi. Ironisnya, pengetatan
organisasi agar lebih ramping dan
kaya fungsi diutamakan pada
pemerintah daerah melalui kebijakan
PP No. 41 Tahun 2007, namun gagal
melakukan efisiensi organisasi di
level organisasi pemerintah pusat.
Melebarnya ukuran organisasi tanpa
analisa kebutuhan jabatan dan beban
kerja membuat performance organisasi
36
Edisi 3 / September / 2011
pemda khususnya terkesan tambun
dan statis. Ini bisa dipahami jika
dihubungkan dengan bertambahnya
rekrutmen pegawai setiap tahun
tanpa pengendalian berdasarkan
kompetensi.
Rekrutmen pegawai
tanpa kompetensi pada akhirnya
hanya akan menyerap besaran APBD
yang tak sedikit guna meningkatkan
kecakapan dan keterampilan pegawai,
disamping tersisihnya peluang bagi
rekrutmen pegawai yang memiliki
kompetensi ideal seperti guru, analis
kebijakan, dokter, apoteker dan
perawat. Postur organisasi Pemda
yang mengalami kegemukan tentu
saja dapat menyedot belanja aparatur
lebih besar dibanding belanja
pembangunan. Realitas ini dapat
ditemukan pada sejumlah kabupaten
seperti Lumajang, Tasikmalaya,
Sragen, Palu, Ambon dan Bitung
misalnya, dimana lebih dari 70%
APBD habis untuk belanja aparatur
(FITRA:2011).
Kedua,
diperlukan
reformasi
kapasitasi yang memadai guna
meningkatkan kemampuan aparatur
dalam
melayani
masyarakat.
Reformasi
kapasitasi
adalah
upaya
untuk
meningkatkan
kemampuan sumber daya birokrasi
dalam pelayanan agar mampu
mengimbangi dinamika masyarakat.
Reformasi
kapasitasi
berkaitan
dengan
kemampuan
birokrasi
baik secara individual maupun
kelompok yang ditunjukkan pada
kemampuan menerjemahkan visi
dan misi, program dan kegiatan.
Edisi 3 / September / 2011
Pengembangan kapasitas aparatur
berfokus pada aspek pendidikan
dan
pengalaman
yang
akan
menentukan nilai profesionalisme
birokrasi dihadapan masyarakat.
Profesionalisme sekurang-kurangnya
ditunjukkan
oleh
sertifikasi
pendidikan dari jenjang dasar hingga
jenjang yang lebih tinggi. Aspek
tersebut diimbangi oleh segudang
pengalaman pada berbagai organisasi
yang memiliki nilai dan kompetensi
utama. Kedua aspek tadi setidaknya
dapat membentuk kemampuan
individual, sekaligus pada saat
yang sama mendorong kemampuan
kolektivitas birokrasi.
Rendahnya pendidikan aparatur
mengakibatkan kesenjangan antara
mereka yang dilayani dan mereka
yang melayani.
Kesenjangan ini
seringkali menimbulkan ketegangan
sekaligus kecurigaan terhadap kinerja
birokrasi. Parahnya, tertutupnya
kebijakan pengembangan pendidikan
dan lahirnya diskriminasi dalam
pengembangan sumber daya di
daerah melahirkan kasus jalan pintas
lewat indikasi ijazah palsu dan gelar
pendidikan tanpa jelas asal-usulnya.
Untuk mengantisipasi hal itu
diperlukan desain kebijakan reformasi
kapasitasi jangka panjang dan jangka
pendek. Dalam jangka panjang
diperlukan pendidikan yang berbasis
pada kebutuhan dan karakteristik
organisasi
pemerintah
daerah.
Sebagai
perbandingan,
daerahdaerah yang berbasis kompetensi
kelautan,
perikanan,
pertanian
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
dan jasa, kiranya membutuhkan
aparat yang menguasai sektor
unggulan dimaksud. Ini penting
untuk mendorong perkembangan
daerah lebih cepat dan kompetitif.
Pembangunan berbasis keunggulan
lokal membutuhkan birokrasi yang
mampu menjawab tantangan yang
muncul.
Dalam jangka panjang
dibutuhkan aparatur yang memiliki
pengetahuan yang memadai guna
penyusunan rencana kegiatan hingga
keterampilan mengimplementasikan
suatu program secara efektif. Pada
akhirnya, semakin tinggi kapasitas
pemerintah daerah semakin rendah
pula resiko yang akan dihadapi
dimasa mendatang.
Sebaliknya,
semakin rendah kapasitas pemerintah
daerah, semakin tinggi resiko yang
akan dihadapi. Dampaknya, birokrasi
dan pemerintah secara keseluruhan
dapat
kehilangan
kepercayaan
masyarakat.
Dalam jangka pendek, diperlukan
desain kebijakan praktis, pertama,
peningkatan
insentif
yang
berfungsi mendorong spirit dan
kinerja birokrasi.
Spirit tersebut
diarahkan
untuk
melahirkan
nilai kompetitif sehingga mampu
menciptakan keadilan bagi birokrasi
yang berprestasi. Keadilan dapat
diterapkan melalui pembayaran
insentif berdasarkan penilaian kinerja
birokrasi. Pemerataan selama ini
hanya membuktikan bahwa mereka
yang kerja dan tidak, sama-sama
mendapatkan perlakuan khusus.
Fakta ini jelas kurang mendorong
37
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
38
Edisi 3 / September / 2011
kompetisi
serta
menciptakan
ketidakadilan, termasuk menurunkan
penghargaan bagi mereka yang benarbenar memiliki profesionalisme.
Pola penggajian dan insentif yang
bervariasi
sebagaimana
pernah
diterapkan sejumlah pemerintah
daerah seperti Kabupaten Jembrana
Provinsi Bali, menunjukkan dampak
positif dalam mendorong kinerja
birokrasi.
wenangan
dalam
pelayanan
masyarakat. Oleh sebab itu harus
dipahami bahwa penarapan reward
and punishment memiliki arti strategis
bagi organisasi, yaitu mendorong
berkembangnya birokrasi agar lebih
disiplin dan bertanggungjawab serta
mampu merespon perkembangan
masyarakat, sekaligus melindungi
birokrasi dari perilaku buruk aparatur
yang berinteraksi didalamnya.
Kedua, reformasi birokrasi dalam
jangka pendek hendaknya mampu
menciptakan sistem internal yang
dapat mendorong secara perlahan
tumbuhnya kesadaran birokrasi
sebagai
pelayan
masyarakat.
Kesadaran yang terus meningkat
hingga
membuahkan
inovasi,
kreativitas
dan
kemandirian
hendaknya memperoleh penghargaan
yang setimpal guna mendorong
semangat yang sama pada aparat yang
lain. Demikian pula pola penerapan
sanksi
dibutuhkan
semaksimal
mungkin dengan maksud pembinaan
secara proporsional.
Penerapan
sanksi bukanlah tujuan akhir, jauh
lebih penting dari itu adalah lahirnya
dampak positif bagi birokrasi untuk
kembali pada tugas dan fungsinya
masing-masing.
Pembiaran
terhadap tumbuhnya kreativitas
tanpa apresiasi dapat menurunkan
semangat untuk berkarya dan
mengabdi pada organisasi. Pada sisi
lain membiarkan kelalaian birokrasi
sama maknanya dengan menyetujui
sekaligus membolehkan kesewenang-
Ketiga, diperlukan penataan sistem
yang secara eksternal efektif dapat
mengurangi politisasi birokrasi yang
dapat memecahkan konsentrasi
aparatur dalam melayani masyarakat.
Lewat sistem yang ada, birokrasi
sangat rentan diintervensi oleh elit
lokal guna memenuhi kepentingan
kelompok tertentu dalam sirkulasi
kekuasaan.
Guna mengurangi
kepentingan politik maka birokrasi
sebaiknya mengambil jarak untuk
bersikap netral.
Statement ini
tentu saja tidak mudah diperoleh
dilapangan
empirik,
faktanya
sebaliknya, birokrasi sulit menolak
ransangan para elit untuk berkoalisi
memenangkan calon tertentu. Semua
konsekuensi tersebut dilakukan tentu
saja berdasarkan transaksi minimum
lewat jabatan-jabatan strategis dan
menggiurkan. Politisasi birokrasi
membuat aparat menjadi bulanbulanan elit lokal. Mengambil jarak
terlalu jauh beresiko kehilangan
jabatan,
terlalu
dekat
sama
artinya menceburkan diri dalam
ketidakpastian lebih beresiko, sebab
itu diperlukan sistem eksternal yang
Edisi 3 / September / 2011
dapat membentengi birokrasi dari
kepentingan politik yang berlebihan.
Keempat, reformasi birokrasi dalam
jangka pendek diarahkan pada upaya
pencegahan (preventive) perilaku
korupsi dalam tubuh birokrasi.
Sejauh ini, indeks persepsi korupsi
di Indonesia belum berubah sesuai
catatan International Transparancy,
sebesar 2,8. Hal ini menunjukkan
bahwa perilaku buruk birokrasi perlu
diperbaiki.
Korupsi merupakan
kejahatan extra ordinary sehingga
membutuhkan upaya-upaya yang
bersifat luar biasa. Pembentukan
Komisi Pemberantasan Korupsi
dimaksudkan untuk membantu
pemerintah dalam meminimalisasi
gejala korupsi.
Bercermin pada
China yang berani menerapkan
tindakan tegas bagi pelaku korupsi,
maka dibutuhkan reformasi birokrasi
yang mampu mencegah terjadinya
tindak pidana korupsi dilingkungan
birokrasi pemerintahan.
Korupsi
bukanlah budaya positif yang tumbuh
pada masyarakat, sebab semua norma
sosial termasuk agama tidaklah
mentolerir perilaku buruk semacam
itu. Perlu dipahami bahwa sistem
insentif sebagaimana dikemukakan
sebelumnya bukanlah jalan satusatunya dalam mengurangi tindak
pidana korupsi. Perilaku birokrasi
yang korup cenderung termotivasi
oleh pengaruh lingkungan serta
tuntutan domestik. Berkaitan dengan
reformasi birokrasi diperlukan sistem
yang mengikat secara ketat, disamping
penerapan sanksi berat dalam setiap
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
tindakan yang disangkakan. Tentu
saja reformasi birokrasi dalam
jangka panjang termasuk jangka
pendek sulit dilakukan tanpa
dimulai dari perubahan budaya
kerja kearah positif. Perubahan
budaya kerja yang diawali dari
kebiasaan menanamkan keseluruhan
karakteristik pemerintahan yang baik
diharapkan mampu menghasilkan
birokrasi yang dapat menjalankan
fungsinya sebagai abdi negara dan
abdi masyarakat. Sebagai abdi
negara, birokrasi membutuhkan
legitimasi de jure untuk menjalankan
semua keputusan politik pemerintah.
Sedangkan sebagai abdi masyarakat,
birokrasi membutuhkan legitimasi
de facto sebagai penyambung
kepentingan kepada pemerintah
yang berkuasa. Budaya kerja positif
diharapakan tidak saja menular pada
pemerintah, demikian pula pada
elemen masyarakat dan wiraswasta.
Bagian ketiga dari gagasan reformasi
birokrasi
berkenaan
reformasi
instrumentasi
yang
mencakup
penyiapan regulasi baik undangundang di tingkat pusat hingga
peraturan pada level pemerintah
daerah.
Reformasi instrumentasi
berfungsi sebagai landasan kebijakan
yang bersifat legalistik-formal untuk
menghindari tuntutan masyarakat
terhadap kinerja birokrasi. Landasan
kebijakan secara umum diharapkan
mampu melindungi pemerintah dan
segenap pemangku kepentingan
dalam lingkup good governance. Dalam
banyak kasus birokrasi seringkali
39
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
dianggap
gagal
menyiapkan
instrumen bagi landasan pelayanan
masyarakat. Gejala tersebut dapat
dilihat pada sejumlah hasil temuan
BPK dimana pengeluaran anggaran
pemerintah
daerah
khususnya
kehilangan
landasan
yuridis.
Reformasi instrumentasi pada tingkat
teknis setidaknya dapat memperjelas
mekanisme dan prosedur pelayanan
oleh birokrasi pemerintahan. Tanpa
standar operational procedure, birokrasi
layaknya berjalan menggunakan
insting
dimana
pada
kondisi
tertentu dapat berbenturan dengan
norma dan ketentuan yang berlaku.
Sebaliknya, ketatnya mekanisme dan
prosedur dapat membentuk budaya
birokratisme yang pada gilirannya
mendorong perilaku “melambung”
(by pass) untuk mempercepat
pelayanan.
Situasi demikian
seringkali menyuburkan praktek
suap, kolusi dan berkembangnya
jaringan mafia dalam tubuh birokrasi.
Kendati dengan alasan efisiensi, pada
akhirnya menimbulkan masalah
lebih kompleks yaitu ekonomi
biaya tinggi (high cost economy).
Kasus
Bank
Century,
Wisma
Atlit, surat palsu di Mahkamah
Konstitusi hingga Kemenakertrans
adalah contoh gamblang dalam
konteks
terbentuknya
jaringan
mafia birokrasi antara pemerintah,
pemegang modal dan masyarakat
biasa.
Reformasi
instrumentasi
diharapkan tidak hanya berkaitan
dengan landasan hukum, mekanisme
dan prosedur, juga berhubungan
40
Edisi 3 / September / 2011
dengan seperangkat alat baik sarana
dan prasarana yang memungkinkan
birokrasi mampu mengembangkan
dirinya dalam memberikan pelayanan
yang bermutu. Strategi pelayanan
jemput bola melalui penggunaan
sarana dan prasarana yang tersedia
seperti teknologi informasi dan
transportasi merupakan keseluruhan
paket reformasi instrumentasi dalam
kerangka besar reformasi birokrasi
dan implementasi good governance.
Berkaitan dengan implementasi
good governance, pemerintah pada
dasarnya telah banyak melakukan
terobosan
melalui
berbagai
regulasi yang memberikan peluang
diterapkannya karakteristik tata
kelola pemerintahan yang baik.
Salah satu contoh dapat dilihat
dalam kebijakan UU No.32/2004
tentang
Pemerintahan
Daerah,
dimana prinsip-prinsip tata kelola
pemerintahan menjadi landasan
penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, walaupun
disadari belum sepenuhnya dapat
dilaksanakan secara baik. Contoh
konkrit lain dapat dilihat dalam
instrumen evaluasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang memuat
sejumlah variabel dan indikator
sebagai refleksi dari tercapainya
karakteristik tata kelola pemerintahan
yang baik, seperti landasan yuridis
kebijakan serta tingkat partisipasi
masyarakat.
Indikator lain yang
bisa diamati adalah persyaratan
adanya SOP sebagai pedoman
bagi setiap pemerintah daerah
Edisi 3 / September / 2011
dalam menjalankan fungsi dan
tugas pokoknya dilapangan. Pada
karakteristik transparansi misalnya,
dilahirkannya
regulasi
tentang
keterbukaan
informasi
publik
oleh Kementrian Komunikasi dan
Informasi menunjukkan komitmen
pemerintah dalam memberikan akses
seluas-luasnya kepada masyarakat.
Karakteristik konsensus dilakukan
melalui
upaya
dokumentasi
perencanaan APBN dan APBD sebagai
bentuk kesepakatan bersama antara
eksekutif dan legislatif yang notabene
dipilih dan mewakili masyarakat itu
sendiri. Pengembangan kesetaraan
sebagai bagian dari karakteristik tata
kelola pemerintahan yang baik dapat
dilihat dalam mekanisme pemilihan
pemimpin politik yang ramah gender
serta terbuka bagi setiap warga
negara menurut batasan konstitusi
dan undang-undang. Karakteristik
efisiensi dan efektivitas merupakan
prinsip yang senantiasa diakomodir
dalam undang-undang pemerintahan
daerah termasuk peraturan yang
menjadi
turunannya,
terlepas
bahwa prinsip tersebut masih sering
dilanggar oleh pemerintah daerah.
Karakteristik visi strategis menjadi
syarat mutlak bagi setiap kandidat
pemimpin pemerintahan ketika
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
mencalonkan diri sebagai pejabat
publik. Strategi ini dilakukan melalui
persyaratan fit and proper test yang
dilakukan pada sejumlah calon
pejabat setingkat kepala daerah
maupun pimpinan lembaga, badan
dan komisi. Prinsip akuntabilitas
dapat
dilihat
pada
sejumlah
instrument
pertanggungjawaban
seperti PP No.3/2007 tentang
Pertanggungjawaban
Kepala
Daerah yang meliputi LPPD, LKPJ
dan LIPD. Prinsip ini mengalami
perkembangan
sejak
lahirnya
lembaga yang berfungsi melakukan
evaluasi serta pengawasan baik
secara internal, eksternal, fungsional,
politik
maupun
pengawasan
publik.
Penyampaian laporan
perkembangan harta kekayaan yang
dimiliki oleh setiap pejabat publik
mencerminkan
diterapkannya
prinsip akuntabilitas dan tranparansi.
Bahkan, pencanangan pendidikan
karakter sejak usia dini oleh
Kementrian Pendidikan Nasional
merupakan
terobosan
jangka
panjang dalam upaya menanamkan
nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan,
tanggungjawab,
tranparansi,
kesetaraan,
dan
akuntabilitas.
Kesemua itu merupakan modal
dasar dalam rangka penumbuhan,
pengembangan dan implementasi
karakteristik good governance.
41
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Edisi 3 / September / 2011
Daftar Pustaka
Duverger, Maurice, 1998. The Study of Politics (Terjemahan), Rajawali Pers,
Jakarta
Dwiyanto, Agus, 2011. Reformasi Birokrasi, Gramedia Pustaka Utama
Effendy, Khasan, 2010. Sosiologi Pemerintahan, CV. Indra Prahasta, Bandung
Gerth, H dan Mills, C.W (1946) From Max Weber:Essays in Sociology, New
York.
Istianto, Bambang, 2010. Demokratisasi Birokrasi, STIAMI, Jakarta
Jones, Pip, 2010. Introducing Social Theory, (terjemahan), Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, Jakarta
Kuper, Adam dan Jessica Kuper, 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Raja
Grafindo, Jakarta
Laski, H, Bureaucracy dalam Encyclopaedia of the Social Sciences, volume 3,
New York dan London.
Martin Albrow dalam Donald P.Warwick, Theory of Public Bureucracy,
Cambridge Massachussets, Harvard Universty Press.
Martin, Roderick, 1993. Sosiologi Kekuasaan, Rajawali 1Pers, Jakarta
Max Weber dalam Martin Albrow (Terj), 1996. Birokrasi, Yogyakarta, Tiara
Wacana
Michaels, R, Political Parties, New York, 1962.
N.Haass, Richard, 2005. The Bureaucratic Entrepreneur (terjemahan), Ina
Publikatama, Jakarta
Rahardjo, Satjipto, 2010. Membedah Hukum Progresif. Kompas, Jakarta
Sanderson, Stephen K, 2000. Macrosociology, (terjemahan), Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Soekanto, Soerjono, 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers, Jakarta
Setiono, Budi, 2002. Jaring Birokrasi, Tinjauan dari Aspek Politik dan Administrasi,
Gugus Press, Bekasi
Dino Patti Djalal, Harus Bisa, Seni Memimpin SBY, Red and White Publishing,
2008, Jakarta
Sudirman, 2009. Praktek Birokrasi Weberian di Indonesia, Jurnal Ilmu
Pemerintahan Widya Praja, Vol.XXXV No.1 Tahun, Jakarta
42
Edisi 3 / September / 2011
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Tjokrowinoto, dkk, 2001. Birokrasi dalam Polemik, Pustaka Pelajar, Unismuh,
Malang
Toha, Miftah, 1999. Demokrasi dalam Birokrasi Pemerintah, Peran Kontrol Rakyat
dan Netralitas Birokrasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fisipol UGM.
Ackermen-Susan Rose, 2000, Corruption and Government Causes, Consequences,
And Reform, Cambridge University Press
Aini, Nurul, 2000, Bahan Ajar Sistem Politik Indonesia, IIP Press, Jakarta
Blau, Peter M, 2000, Bureaucracy in Modern Society (terj), Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
Dahl, Robert A, 1982, Dilemma Of Pluralist Democracy, New haven and
London, Yale University Press
Haris, Jhon, 2004, Politicising Democracy, Palgrave, Macmillan ltd
Haris, 2006, Politik Organisasi, Perspektif Mikro Diagnosa Psikologis, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Istianto, Bambang, 2011. Demokratisasi Birokrasi, Mitra Wacana Media,
Jakarta
Koswara, 2004, Otonomi dan Pemerintahan Daerah, IIP-Press
Rasyid, Ryaas, 1999, Pemerintahan Yang Amanah, Yayasan Bina Pembangunan,
Jakarta
Sorenson, Georg, 1993, Democracy and Democratization, Precesses and Prospects
in Changing World, Westview Press
Setiono, Budi, 2002, Jaring Birokrasi, Gugus Press, Bekasi
Subagyo, Untung, 2006, Reformasi Birokrasi, Terobosan Otonomi Satu Tingkatan,
(Makalah), LPM-IIP, Jakarta
Suwandi, 2004, Makalah, Pembagian Kewenangan Menurut UU 32 Tahun 2004,
PKSP, Jakarta
Tjokrowinoto, Moeljarto, dkk, 2004, Birokrasi Dalam Polemik, Pusataka Pelajar,
Yogyakarta
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol.XXXII No.3 Tahun 2006, Jakarta,
hal 209-22
Republika, Agustus 2011, Jakarta
43
Foto : Antara
IV
Edisi 3 / September / 2011
Reformasi Birokrasi,
Syarat Mutlak
Pembangunan Ekonomi
Oleh : Nursodik Gunarjo *
* Penulis adalah kandidat doktor Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
45
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
B
Edisi 3 / September / 2011
Pendahuluan
irokrasi merupakan stakeholder penting di bidang ekonomi.
Pelayanan birokrasi turut menentukan bergairah atau tidaknya
aktivitas perekonomian suatu bangsa. Pelayanan birokrasi yang
lambat, buruk dan berbiaya tinggi akan menyebabkan high-cost economy
yang membebani pelaku usaha. Sebaliknya, pelayanan yang cepat,
mudah dan murah, akan membuat dunia usaha lebih mudah menerapkan
efektivitas dan efisiensi. Tulisan ini diharapkan dapat menganalisis
secara komprehensif hubungan antara birokrasi dan dunia usaha dari
perspektif ekonomi politik.
Sebuah
perusahaan
berbasis
teknologi
informasi
asing
terkemuka,
batal
menanamkan
investasi di Indonesia. Penyebabnya,
proses perizinan di Indonesia
dinilai lambat dan ruwet. Selain
itu, regulasi pemerintah dinilai
kurang mendukung keberadaan
investor asing1. Para penanam
modal
di
Indonesia
pada
umumnya mengeluhkan minimnya
infrastruktur,
ketidaksiapan
sumberdaya terutama SDM, serta
perilaku korup aparat birokrasi.
Mereka juga mengeluhkan banyaknya
biaya siluman (overhead cost) yang
harus dikeluarkan saat melakukan
aktivitas ekonomi di Indonesia2.
1http://tekno.kompas.com/
read/2011/07/27/12451245/Minat.
di.Indonesia.Terhalang.Regulasi
2http://us.detikfinance.com/
read/2004/12/17/110517/257641/4/
infrastruktur-buruk-investasi-jepangke-ri-minim
46
Beberapa contoh yang telah
dikemukakan setidaknya dapat
dijadikan bukti bahwa birokrasi
Indonesia belum ’ramah’ terhadap
dunia usaha. Banyak keluhan muncul
saat para pelaku usaha berurusan
dengan birokrasi. Keluhan tersebut
bukan saja berkenaan dengan
buruknya layanan, namun juga
terkait dengan perilaku tak terpuji
aparat birokrasi dan kebijakan yang
tidak probisnis. Akibatnya sangat
fatal, birokrasi yang diharapkan
mampu menjadi enzim of growth
perekonomian, dalam praktik justru
sering membebani sektor ini. Tidak
mengherankan jika pelaku ekonomi
cenderung menganggap keberadaan
birokrasi lebih banyak menghambat,
alih-alih
membantu
percepatan
perputaran roda perekonomian3
3
Kristiadi, J.B. (1995). “Masalah
Sekitar Peningkatan Pendapatan Asli
Daerah”, Prisma, No. 4, 114.
Edisi 3 / September / 2011
Sebagaimana
disampaikan
Transparency
InternationalIndonesia
(TI-Indonesia),
biaya
overhead cost yang harus dikeluarkan
pelaku usaha sebagai imbas dari
berbelit-belitnya urusan di birokrasi
terbilang sangat besar. Bahkan ada
perusahaan yang menggunakan
dana hampir seperempat dari total
aset yang dimiliki hanya untuk biaya
pelicin agar urusan dengan birokrasi
cepat selesai. Jika hal semacam itu
terjadi di banyak perusahaan, dalam
jangka panjang efeknya dipastikan
akan sangat berpengaruh terhadap
efisiensi, dan pada akhirnya akan
menekan produktivitas perusahaan4
Birokrasi Birokratis-Patologis:
Perspektif Kritis
Tidak bisa dimungkiri, setiap
sistem pemerintahan dan organisasi
membutuhkan birokrasi. Kebutuhan
tersebut muncul sebagai akibat logis
dari adanya struktur hierarki yang
membutuhkan
tahapan-tahapan
pengambilan keputusan. Namun
dengan kondisi struktur yang rigid
dan kaku, birokrasi mudah mengalami
birokratisasi—sebutan umum untuk
birokrasi yang birokratis.
Birokratisasi merupakan efek dari
kegiatan birokrasi yang dihegemoni
oleh kepentingan kekuasaan dari para
elit organisasi. Keadaan ini terlihat
4
http://www.ti.or.id/index.
php/publication/2010/11/11/indekspersepsi-korupsi-kota-kota-indonesia2010
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
pada kelambanan pelayanan dan
proses kerja yang berbelit-belit, yang
sejatinya merupakan manifestasi
untuk menunjukan bentuk atau
orientasi kekuasaan tertentu dari
para elit5
Albrow mengungkapkan sorotan
berbagai kalangan yang memandang
birokrasi sebagai proses yang
panjang dan berbelit-belit pada saat
para pengguna berurusan dengan
aparat birokrasi. Karena itu, birokrasi
acapkali mendapatkan kritik yang
cukup tajam6
Senada dengan itu, catatan
Mohl
tentang
penyalahgunaan
birokrasi memperlihatkan adanya
sifat
kecongkakan,
kelambatan,
mempunyai daya tarik, serta
popular, sehingga penyalahgunaan
bisa muncul dalam sistem kegiatan
birokrasi.
Dalam
kenyataan,
birokrasi yang dimaksudkan untuk
melaksanakan
penyelenggaraan
bernegara, pemerintahan, termasuk
di dalamnya pelayanan umum dan
pembangunan, oleh masyarakat
seringkali diartikan dalam konotasi
yang ruwet.. Kesan seperti ini
kemudian memunculkan istilah
debirokratisasi. maksudnya adalah
upaya untuk menyederhanakan
5
Eisenstadt S.N. (1986). Revolusi
dan Transformasi Masyarakat. Jakarta: CV.
Rajawali
6
Kristiadi, J.B. (1995). “Masalah
Sekitar Peningkatan Pendapatan Asli
Daerah”, Prisma, No. 4, 114.
47
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
prosedur yang dianggap ruwet itu7
Birokrasi pada kenyataannya
sering mengalami disfungsi karena
adanya pergantian tujuan-tujuan
organisasi menjadi tujuan pribadi.
Birokrasi pada akhirnya menjadi
tuan bagi dirinya sendiri dan tidak
berorientasi pada fungsi pelayanan.
Akibatnya, birokrasi tumbuh menjadi
sesuatu yang chaos, bersifat over
supplay dengan memaksimumkan
struktur, dan tidak terkontrol8
Berbagai keluhan dan kritikan
mengenai kinerja birokrasi memang
bukan hal baru. Di berbagai belahan
bumi, birokrasi lebih menunjukkan
kondisi empirik yang buruk, negatif
atau bahkan patologis. Citra buruk
birokrasi seperti parkinsonian atau
birokrasi gemuk (big bureaucracy),
orwellian atau birokrasi dengan
peraturan yang menggurita sebagai
perpanjangan tangan negara untuk
mengontrol
masyarakat,
atau
jacksonian yakni birokrasi yang
dipolitisasi,
lebih
mengemuka
ketimbang citra yang baik atau
rasional (bureau rationality), seperti
esensi birokrasi Hegelian dan
Weberian9.
Citra buruk tersebut semakin
7
Kristiadi, J.B. (1995). “Masalah
Sekitar Peningkatan Pendapatan Asli
Daerah”, Prisma, No. 4, 114.
8
Lane, J.E. (1995). The Public Sector, Concept, Models and Approaches, Second Edition. London: Sage Publication
9
Mustopadidjaja, A.R. (1999).
Administrasi Negara, Demokrasi dan
Masyarakat Madani. Jakarta: LAN.
48
Edisi 3 / September / 2011
diperparah dengan isu yang sering
muncul ke permukaan, yang
berhubungan dengan kedudukan
dan kewenangan pejabat publik,
yakni korupsi dengan beranekaragam
bentuknya, serta lambatnya pelayanan
dan prosedur yang berbelit-belit
atau yang lebih dikenal dengan efek
pita merah (red-tape). Keseluruhan
kondisi empirik yang terjadi secara
akumulatif telah meruntuhkan konsep
birokrasi Hegelian dan Weberian
yang memfungsikan birokasi untuk
mengkoordinasikan
unsur-unsur
dalam proses pemerintahan. Birokrasi,
pada akhirnya, hanya berfungsi
sebagai pengendali, penegak disiplin
dan penyelenggara pemerintahan
dengan kekuasaan yang sangat besar,
tetapi mengabaikan fungsi pelayanan
masyarakat10.
Banyaknya penyimpangan di
birokrasi menyebabkan birokrasi
cenderung bersifat patologis. Secara
etimologis, patologi berarti “ilmu
tentang penyakit”. Sementara yang
dimaksud dengan birokrasi adalah:
“...an organisation with a certain position
and role in running the government
administration of a country,” Dengan
demikian secara ringkas dapat
dikatakan, patologi birokrasi adalah
“penyakit” yang menyebabkan peran
dan fungsi birokrasi mengalami
penyimpangan dan tidak dapat
berjalan sebagaimana mestinya11
10
Eisenstadt S.N. (1986). Revolusi
dan Transformasi Masyarakat. Jakarta: CV.
Rajawali
11
Mustopadidjaja, A.R. (1999).
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Edisi 3 / September / 2011
Dalam
praktik,
patologi
birokrasi tersebut berupa perilaku
(aparat) birokrasi yang menyimpang
dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan
perundangundangan serta norma-norma yang
berlaku di dalam birokrasi. Penyakit
birokrasi juga bisa berupa inefektivitas
dan inefisiensi, penyelewengan fungsi
dan struktur, dan ketidakmampuan
birokrasi untuk berubah sesuai
tuntutan zaman12
Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala
patologi dalam birokrasi bersumber
pada lima masalah pokok, yakni:
Pertama, persepsi gaya manajerial para
pejabat di lingkungan birokrasi yang
menyimpang dari prinsip-prinsip
demokrasi. Hal itu mengakibatkan
bentuk
penyimpangan
seperti
penyalahgunaan wewenang dan
jabatan, menerima sogok, dan
nepotisme.
Kedua,
rendahnya
pengetahuan
dan
keterampilan
para petugas pelaksana berbagai
kegiatan operasional, mengakibatkan
produktivitas dan mutu pelayanan
yang rendah, serta pegawai sering
berbuat kesalahan. Ketiga, tindakan
pejabat yang melanggar hukum,
dengan
menggelembungkan
pembiayaan,
menerima
sogok,
korupsi dan sebagainya. Keempat,
manifestasi perilaku birokrasi yang
bersifat disfungsional atau negatif,
Administrasi Negara, Demokrasi dan
Masyarakat Madani. Jakarta: LAN
12
Umar H. (2002), Riset Pemasaran
dan Perilaku Konsumen, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
seperti sewenang-wenang, purapura sibuk, dan diskriminatif. Kelima,
situasi internal berbagai instansi
pemerintahan yang berakibat negatif
terhadap birokrasi, seperti rendahnya
imbalan dan kondisi kerja yang
kurang memadai, ketiadaan deskripsi
dan indikator kerja, dan sistem yang
pilih kasih13
Dari
uraian
yang
telah
dikemukakan,
jelas
bahwa
birokratisasi dan patologi birokrasi
merupakan dua sisi dari keping
mata uang yang sama. Kemunculan
birokrasi yang birokratis menjadi
pemicu
munculnya
patologi
birokrasi.
Sebaliknya,
patologi
birokrasi berimbas pada munculnya
pelayanan birokrasi yang lambat,
ruwet dan berbelit-belit.
Cermin Retak Uphill Battle, Potret
Nyata Birokrasi Indonesia
Jauh hari telah digambarkan
secara dramatis, bagaimana birokrasi
bisa
merongrong
habis-habisan
kinerja sektor ekonomi di Uphill
Battle, Amerika Serikat. Kemalasan
pegawai birokrasi menyebabkan
penyelesaian aplikasi perizinan dan
pembuatan regulasi menjadi lambat,
sehingga produktivitas sektor bisnis
terpengaruh. Tidak adanya inovasi
membuat para birokrat cenderung
melakukan pelayanan sama dari
waktu ke waktu, sehingga pelayanan
yang diberikan kepada pelaku
ekonomi menjadi tidak berkualitas.
Siagian, S.P. (1988). Filsafat Administrasi. Jakarta: Gunung Agung.
13
49
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Layanan yang tidak berorientasi
kepada pelanggan, tidak responsif,
serta tidak tepat waktu, membuat
kalangan dunia usaha enggan
berurusan dengan birokrasi. Di
sisi lain, inefisiensi sumberdaya
telah membuat aktivitas birokrasi
memakan biaya dan menghabiskan
sumberdaya sangat besar, sangat
tidak sebanding dengan output dan
outcome yang dihasilkan14
Apa yang terjadi di Uphill
Battle bisa disebut sebagai cermin
retak, atau bahkan potret buruk
birokrasi. Akan tetapi, hal itu masih
belum apa-apa jika dibandingkan
dengan kondisi birokrasi di Tanah
Air. Di Indonesia, selain berbagai
jenis patologi birokrasi yang telah
disebutkan, masih ada penyakit
menahun lain yang menggerogoti
birokrasi, yakni KKN (korupsi, kolusi,
nepotisme). Penyakit warisan Orde
Baru ini masih bercokol hingga kini,
dan tentu masih sangat berpengaruh
terhadap perekonomian Indonesia.
Masyarakat bisnis di Uphill Battle
bisa dikatakan ‘masih beruntung’,
lantaran birokrasi di sana hanya
terinfeksi patologi birokrasi, namun
tidak terkena wabah KKN. Lain
halnya dengan birokrasi Indonesia
yang masih dipersepsikan sarat
dengan KKN, terutama yang paling
menonjol adalah perilaku korup
aparat birokrasinya.
14
Osborne, D. & Plastrik, P.
(2000). Memangkas Birokrasi. Jakarta:
PPM.
50
Edisi 3 / September / 2011
Permasalahan mendasar yang
membuat
birokrasi
Indonesia
koruptif dan tidak probisnis di
antaranya adalah kurang baiknya
kelembagaan dan tatalaksana. Hal
tersebut ditunjukkan oleh struktur
organisasi birokrasi yang tidak sesuai
dengan kebutuhan, inkonsistensi dan
instabilitas peraturan perundangundangan,
dan
rendahnya
penggunaan perangkat teknologi
informasi.
Permasalahan
lain
terkait dengan rendahnya kualitas
sumberdaya manusia dan lemahnya
pengawasan terutama dalam hal
akuntabilitas, etika dan moral.
Ketiadaan standar pelayanan, di sisi
lain, menyebabkan pelayanan publik
tidak memuaskan.
Situasi problematis yang dihadapi
sebagian besar birokrasi Indonesia
saat ini di antaranya: Pertama,
struktur, norma, nilai dan regulasi
yang ada masih berorientasi pada
kepentingan
penguasa/birokrat
(power culture); Kedua, masih belum
terbentuk budaya birokrasi (service
delivery culture); Ketiga, masih
tingginya ketidakpastian dalam
birokrasi (cost of uncertainty); Keempat,
masih kentalnya budaya patron-client
dan budaya afiliasi yang mengarah
kepada moral hazard; Kelima, masih
rendahnya
kompetensi
para
birokrat15
Prasojo, E & Maksum, I.R.
(2006). Desentralisasi dan Pemerintahan
Daerah, Antara Model Demokrasi Lokal
dan Efisiensi Struktural. Jakarta: DIS
FISIP UI.
15
Edisi 3 / September / 2011
Di sisi lain, reformasi politik di
Indonesia
dalam
kenyataannya
belum mengubah birokrasi menjadi
kekuatan profesional negara, terlebih
ketika kecenderungan determinasi
partai politik terhadap pejabat
birokrasi tak juga sirna. Fungsi
birokrasi sebagai unit pelayanan
publik dihegemoni oleh kekuatan
internal birokrasi, sehingga berubah
menjadi
kepanjangan
tangan
kekuasaan. Aktivitas utama birokrasi
bukan lagi untuk melayani publik,
akan tetapi lebih ditujukan pada
kegiatan-kegiatan struglle to get
political power.
Kehadiran birokrasi merupakan
tuntutan mutlak yang harus dipenuhi
untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Pemberian layanan
merupakan implikasi dari fungsi
negara sebagai alat pemenuhan
kebutuhan rakyat. Birokrasi, baik
secara personal maupun institusional,
merupakan organ negara yang diberi
tugas menjalankan semua kebijakan
pemerintah yang terkait dengan
kepentingan rakyat. Peran ini
menjadi strategis karena hanya aparat
birokrasi yang memiliki wewenang
menguasai akses atas kepentingan
publik. Kondisi ini membuat birokrasi
rentan terhadap pengaruh kekuasaan
atau politik praktis.
Agar tidak terjebak dalam
permainan politik praktis, wewenang
birokrasi dibatasi sesuai dengan
hierarki jabatannya. Menurut Weber,
hierarki jabatan dalam birokrasi
disusun secara bertingkat, dari
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
yang paling tinggi sampai kepada
yang paling rendah. Dalam setiap
hierarki terdapat kekuasaan pejabat
birokrasi. Pembatasan ini dilakukan
untuk
mencegah
terjadinya
pencampuradukan
kepentingan
pribadi pejabat birokrasi ke dalam
tugasnya sebagai pelayan masyarakat
sehingga birokrasi tetap menjadi
kekuatan yang netral dari pengaruh
kelompok tertentu. Artinya, birokrasi
tidak mudah dibawa ke dalam
pertarungan antara aktor politik yang
sedang berkompetisi atau cenderung
lebih patuh pada kekuatan politik
yang menjadi patron-nya. Netralitas
birokrasi tercermin dari kemampuan
birokrat meletakkan fungsi birokrasi
di atas kepentingan pribadi dan
mengutamakan
kepentingan
masyarakat.
Dalam sejarah birokrasi Indonesia,
pertumbuhan birokrasi tidak lepas
dari dinamika politik dan masyarakat
sehingga kultur birokrasi selalu sarat
dengan warna politik di zamannya.
Pada zaman kemerdekaan (19451950), sebagian besar penyelenggara
negara memiliki komitmen kuat
bagi perjuangan bangsa. Unsur
partai bukan menjadi pertimbangan.
Memasuki zaman demokrasi liberal
(1950-1959), muncul pertarungan
antarpartai politik untuk merebut
posisi puncak birokrasi. Dinamika
politik ditandai dengan instabilitas
sehingga tidak ada satu pun kabinet
yang dibentuk bisa menyelesaikan
masa jabatannya. Kabinet yang
terbentuk pun lebih banyak diwarnai
51
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
corak koalisi partai. Pada masa Orde
Baru (1966-1988), pejabat birokrasi
dikuasai Golkar. Mulai dari menteri
hingga pejabat di semua lini diisi orang
Golkar. Pemerintah mengaburkan
batasan jabatan politik dan jabatan
birokrasi dari departemen untuk
melanggengkan dominasi Golkar di
tubuh birokrasi.
Tampaknya, cara itu masih tetap
diwarisi birokrasi hasil reformasi.
Meski asas monoloyalitas telah
dihapus, nafsu politik birokrat
untuk menguasai birokrasi masih
bercokol. Keberpihakan birokrasi
kepada partai politik masih terlihat.
Kondisi ini membuat birokrasi sering
dimanfaatkan untuk kepentingan
partai
daripada
kepentingan
masyarakat luas.
Akibatnya, masyarakat yang harus
membayar mahal semua itu karena
birokrasi tidak lagi profesional.
Birokrasi
yang
seharusnya
mendahulukan kepentingan umum,
mempermudah
urusan
publik,
dan memberikan kepuasan kepada
publik, tidak pernah hadir. Dalam
beberapa jajak pendapat yang
dilakukan lembaga independen,
terungkap bahwa birokrasi Indonesia
gagal menjalankan fungsi pelayanan
publiknya.
Birokratisasi versus Ekonomi
Berbelit-belinya pelayanan serta
tidak transparannya kinerja birokrasi
telah mendorong masyarakat untuk
mencari ”jalan pintas” dengan suap
atau berkolusi dengan para pejabat
52
Edisi 3 / September / 2011
dalam rekrutmen pegawai atau untuk
memperoleh pelayanan yang cepat.
Situasi seperti ini mendorong para
pejabat untuk mencari kesempatan
dalam kesempitan agar mereka dapat
menciptakan rente dari pelayanan
berikutnya.
Dalam praktik, berbagai jenis
patologi birokrasi semua berujung
pada uang, atau dalam bahasa
populernya “UUD—ujung-ujungnya
duit”. Secara akumulatif, langsung
maupun tidak langsung, birokratisasi
akan menggerus fiskal masyarakat
pengguna birokrasi dalam jumlah
yang sangat besar. Korupsi yang
merajalela di lembaga birokrasi
berimbas pada banyaknya biaya
tambahan yang harus dikeluarkan
para pengusaha dan pemangku
kepentingan lain yang berurusan
dengan
birokrasi,
termasuk
masyarakat umum. Di sisi lain, kolusi
secara nyata telah melempangkan
jalan bagi orang-orang yang mau
berkongsi dengan oknum birokrasi,
dan sebaliknya melemparkan orangorang jujur dari kancah persaingan
bisnis. Sementara nepotisme secara
perlahan tapi pasti telah menciptakan
perekonomian
oligarkis
yang
dimonopoli oleh para kroni dan
keluarga dekat pejabat birokrasi.
Korupsi secara langsung akan
mengurangi besaran dana yang
seharusnya dipergunakan untuk
kepentingan publik. Jika korupsi
dan mark-up dilakukan pada proyekproyek infrastruktur dan atau
program-program probisnis, efeknya
Edisi 3 / September / 2011
secara langsung akan memperlambat
laju perekonomian. Sementara jika
dilakukan pada lembaga-lembaga
keuangan atau lembaga pengumpul
dan pendistribusi fiskal, dampaknya
akan menyebabkan menurunnya
pendapatan negara secara drastis,
sehingga
berpengaruh
negatif
terhadap kondisi ekonomi makro
maupun pada program pembangunan
ekonomi secara keseluruhan.
Fakta menunjukkan, perilaku
koruptif masih marak di lingkungan
birokrasi. Sebuah survei yang dirilis
TI-Indonesia menunjukkan, Indeks
Persepsi Korupsi Indonesia (IPK
Indonesia) di 50 kota di Indonesia
pada akhir 2010 rata-rata masih
rendah, yakni di antara 3,61 – 6,71,
untuk rentang skor penilaian 0 - 10.
Skor rendah mengindikasikan para
pelaku bisnis menilai korupsi masih
lazim terjadi dalam sektor-sektor
publik, sementara pemerintah dan
penegak hukum kurang serius dalam
pemberantasan korupsi16
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
untuk
menghindari
kerugian,
mereka mengorbankan kuantitas
ataupun kualitas barang dan jasa
yang dihasilkan.
Ketidakkondusifan
birokrasi
Indonesia
bagi
dunia
usaha
ternyata berimbas terhadap daya
saing ekonomi bangsa di tingkat
internasional.
Sebagaimana
dikemukakan World Economic Forum
(WEF) dalam The Global Competitiveness
Report 2010-201117, salah satu faktor
yang mempengaruhi kinerja ekonomi,
khususnya competitiveness suatu
bangsa, adalah tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar yang menjadi kunci
pendorong pertumbuhan ekonomi.
Di antara kebutuhan dasar tersebut,
WEF menempatkan kelembagaan
(institutions) yang kondusif pada
urutan kebutuhan dasar pertama,
baru kemudian kebutuhan yang lain
seperti infrastruktur, ekonomi makro,
serta kesehatan dan pendidikan dasar
(gambar 1)
Suap, mark-up dan permintaan
imbalan, akan menambah biaya yang
seharusnya tidak ditanggung oleh
pengguna layanan birokrasi. Jika
ketiganya dilakukan dalam konteks
usaha, pengusaha dipastikan harus
mengeluarkan biaya ekstra. Biaya
tersebut diambil dari nilai total
transaksi, yang berarti memperkecil
margin keuntungan. Akibatnya,
Dari gambar 1 dapat diketahui
bahwa kelembagaan, baik swasta
maupun pemerintah, adalah kunci
penting sukses bidang ekonomi.
Dalam praktik, faktor kelembagaan
sangat ditentukan oleh jaringan
kerjasama legal dan administratif
antara pelaku ekonomi, perusahaan
dan pemerintah, yang semua
bertujuan meningkatkan pendapatan
dan mewujudkan perekonomian
16
http://www.ti.or.id/index.
php/publication/2010/11/11/indekspersepsi-korupsi-kota-kota-indonesia2010
17
http://www3.weforum.org/docs/WEF_
GlobalCompetitivenessReport_2010-11.
pdf
53
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Sumber: World Economic Forum Report 2011
Edisi 3 / September / 2011
Gambar 1. Kebutuhan Dasar Kunci Pendorong
Pertumbuhan Ekonomi
yang sehat.
Fakta menunjukkan, pada masamasa krisis ekonomi peningkatan
peran lembaga pemerintah di bidang
perekonomian terbukti mampu
menghindarkan
banyak
negara
dari kemungkinan krisis yang lebih
berat. Lembaga pemerintah yang
kuat mampu menjaga daya saing
dan pertumbuhan, di mana hal itu
sangat mempengaruhi kepercayaan
investasi, produktivitas.
Jelas bahwa perilaku lembaga
pemerintah atau birokrasi sangat
berpengaruh terhadap aktivitas
dunia usaha, khususnya dalam hal
efektivitas dan efisiensi. Menurut
WEF, birokrasi yang birokratis, red
tape alias lambat dan berbelit-belit,
over-regulasi, korup, tidak jujur, tidak
transparan, tidak dapat dipercaya,
dan dipolitisasi, akan mendongkrak
54
biaya ekonomi yang harus dipikul
para pengusaha secara signifikan
sehingga dalam jangka panjang akan
memperlambat laju pertumbuhan
ekonomi.
Indonesia
patut
mencermati
laporan WEF, karena saat ini
pendapatan per kapita Indonesia
sedang berada pada tahap efficiency
driven, tahap kedua yang merupakan
peralihan dari tahap factor driven ke
innovation driven (Tabel 1).
Pada tahap peralihan ini, Indonesia
bersama 25 lainnya berada pada
tubir kritis: sewaktu-waktu dapat
melompat ke jenjang perekonomian
yang lebih tinggi lagi, atau sebaliknya
kembali terjerumus ke tahap yang
lebih rendah karena kendala yang
bersifat birokratis. Kendati posisi
daya saing Indonesia untuk kategori
overall pada tahun 2011 berada pada
Edisi 3 / September / 2011
birokrasi dapat menjadi ancaman
serius terhadap daya saing Indonesia
di masa datang.
Birokrasi Versus Adokrasi
Sumber: World Economic Forum
Report 2011
ranking 44 dari 133 negara, akan
tetapi hal tersebut tidak menjamin
perekonomian Indonesia di masa
datang dapat tetap bertahan pada
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Tabel 1. Income Tresholds for Establishing Stages of Development
ranking yang sama, tanpa adanya
jaminan perbaikan mendasar pada
sisi kelembagaan birokrasi.
Secara khusus laporan tersebut
menulis,
keberadaan
Indonesia
di peringkat 44 menunjukkan
peningkatan impresif 10 tingkat dari
peringkat semula 55. Peningkatan
tersebut antara lain disebabkan oleh
sehatnya kondisi ekonomi makro dan
meningkatnya
indikator-indikator
pendidikan. Dari laporan tersebut
jelas terlihat bahwa kenaikan posisi
daya saing Indonesia tidak terjadi
karena daya dukung birokrasi,
melainkan karena peningkatan pada
faktor-faktor yang lain. Dengan
kalimat yang lebih sederhana,
sumbangan birokrasi Indonesia
terhadap pertumbuhan ekonomi
masih rendah. Bahkan sebaliknya,
masih maraknya birokrasi yang
birokratis yang sarat dengan patologi
Sudah lama birokrasi yang rumit
menjadi
penyebab
munculnya
ekonomi biaya tinggi. Kasus korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) di
instansi-instansi birokrasi muncul
gara-gara birokrasi sangat permisif
terhadap
munculnya
perilaku
moral hazard tersebut. Begitu juga
birokrasi dalam bentuk berbelitbelitnya pengeluaran izin berusaha,
yang menyebabkan membubungnya
biaya yang harus dikeluarkan pihak
pebisnis untuk ongkos pelicin.
Munculnya biaya tak terduga
(overhead cost) akibat keberadaan
birokrasi
yang
birokratis,
menyebabkan timbulnya high-cost
economy, satu hal yang sangat dibenci
pengusaha. Tidak mengherankan jika
Jack Welch, CEO General Electric,
55
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
menyatakan bahwa birokrasi adalah
musuh produktivitas. Welch bahkan
menyarankan para karyawannya
untuk ”memukul” dan “menendang”
birokrasi yang birokratis semacam
itu18
Tidak bisa dimungkiri, birokrasi
adalah sistem administrasi hierarkis
yang dirancang untuk berhubungan
dengan sejumlah besar pekerjaan
rutin, yang sebagian besar mengikuti
sekumpulan peraturan kaku dan
tidak personal. Jika diterapkan secara
benar, birokrasi merupakan mesin
andal untuk mencapai efektivitas
dan efisiensi pekerjaan. Akan tetapi
dalam banyak kasus, birokrasi tidak
diterapkan secara benar. Alih-alih
mempercepat proses, keberadaan
birokrasi
justru
menyebabkan
pengambilan keputusan menjadi
lambat dan berbiaya tinggi. Inilah
yang kemudian menjadi titik awal
munculnya sentimen ‘kebencian’ para
pengusaha terhadap birokrasi. Jack
Welch adalah satu di antara sekian
banyak manajer yang secara ekstrem
mengemukakan bahwa kehadiran
birokrasi (yang birokratis) sama
sekali tidak diperlukan. Oleh karena
itu, ia mengusulkan penghapusan
birokrasi atau yang sering dikenal
dengan istilah adokrasi.
Gagasan awal tentang adokrasi
muncul dalam karya para teori
kepemimpinan Amerika Serikat,
18
Krames, J. (2002). The Welch
Way: 14 Tips Praktis dari CEO Terbesar
Dunia. Jakarta: Buana Ilmu.
56
Edisi 3 / September / 2011
Warren G Bennis19 Dia menulis, di masa
datang, perusahaan akan bersandar
pada tim proyek yang cepat dan
fleksibel dalam struktur antibirokrasi
yang ia sebut sebagai adokrasi. Aliran
dan gagasan kontrabirokrasi ini
semakin berkembang setelah Alvin
Toffler menyampaikan pandangan
adokrasinya dalam buku yang
ditulisnya “Future Shock” tahun 1970.
Pada tahun yang sama, Mintzberg
menerbitkan buku “The Structuring of
Organization” yang mengemukakan
ada empat tipe dasar perusahaan,
yaitu: birokrasi mesin, birokrasi
profesional, wirausaha pemula, dan
adokrasi. Robert Waterman dalam
bukunya “Adhocracy” tahun 1990
mengatakan, adokrasi sebagai bentuk
organisasi yang memotong jalur
birokrasi normal diperlukan untuk
menangkap peluang, menyelesaikan
masalah, dan mendapatkan hasil. Ia
berpendapat, dalam era perubahan
berkelanjutan, organisasi-organisasi
seperti ini akan menjadi yang paling
sukses.
Adokrasi terbukti semakin banyak
diterapkan perusahan-perusahaan
bisnis. Ini menjadi bukti bahwa
adokrasi membawa pengaruh positif
bagi kinerja sektor perekonomian.
Bagaimana dengan birokrasi publik
yang orientasinya adalah pelayanan
masyarakat?
Sesuai
definisi
yang
dikemukakan
Waterman,
19 Bennis, G.W. & Slater, P.E. (1998). The
Temporary Society:What is Happening
to Bussiness and family Life in America
under the Impact of Accelerating Change.
New York: Jossey-Bass Publisher.
Edisi 3 / September / 2011
adokrasi
sangat
diperlukan
dalam
memecahkan
masalah
khususnya
dalam
menangkap
peluang, menyelesaikan masalah,
mendapatkan
hasil.
Berdasar
tujuan dari adokrasi tersebut,
adokrasi bisa pula diterapkan dalam
birokrasi publik. Namun kenyataan
menunjukkan, di Indonesia tidak
ada satu birokrasi publik pun
yang menerapkan adokrasi. Justru
yang ada, di mana-mana tumbuh
birokratisasi,
yang
bermakna
mempersulit urusan yang sejatinya
dapat terselenggara secara mudah
dan murah20
Reformasi Birokrasi dan
Pembangunan Ekonomi
Untuk menggairahkan kinerja
sektor perekonomian, reformasi
birokrasi adalah sebuah keniscayaan.
Reformasi
birokrasi
diperlukan
untuk menata ulang, mengubah,
menyempurnakan dan memperbaiki
birokrasi agar menjadi lebih bersih,
cepat tanggap, kreatif, efisien, efektif
dan produktif. Dengan demikian,
pelaku
ekonomi
mendapatkan
situasi yang lebih kondusif untuk
menjalankan usaha tanpa terbebani
urusan bertele-tele di luar urusan
bisnis yang mereka lakukan.
Tujuan
reformasi
birokrasi
terkait sektor ekonomi adalah
terwujudnya
birokrasi
yang
20
Mustopadidjaja, A.R., (2003).
Manajemen Proses Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kinerja.
Jakarta: LAN RI dan Duta Pertiwi Foundation.
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
bersih. Bersih di sini berarti
bebas dari praktek KKN, melalui
pembenahan sistem pengelolaan
anggaran, perbaikan kesejahteraan
pegawai, peningkatan pengawasan,
penegakan aturan-aturan hukum.
Reformasi birokrasi juga ditujukan
untuk
mewujudkan
birokarasi
yang efisien. Efisiensi dilakukan
melalui program penghematan bagi
pembiayaan operasional birokrasi.
Selain itu, reformasi diharapkan
dapat mewujudkan birokrasi yang
transparan. Transparansi di sini
bermakna pembukaan ruang publik
dan publik dapat mengakses secara
luas
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan
dan
pelayanan
umum. Namun yang terpenting
adalah mewujudkan perubahan dari
birokrasi yang promodialisme atau
minta dilayani menjadi birokrasi
yang melayani masyarakat.
Reinventing Bureaucracy, Sebuah
Tawaran
Khusus dalam kaitannya dengan
bidang ekonomi, reformasi birokrasi
model reinventing bureaucracy dapat
ditawarkan sebagai salah satu solusi.
Konsep ini diadopsi dari reinventing
government (pemerintahan wirausaha)
yang dipopulerkan oleh Osborne &
Plastrik21.
Reinventing bureaucracy pada
intinya adalah pembaruan berupa
21
Osborne, D. & Gaebler, T.
(1995). Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta: Penerbit Pustaka Binawan Presindo.
57
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
penggantian sistem birokrasi yang
birokratis menjadi sistem yang
bersifat wirausaha. Wirausaha adalah
memindahkan berbagai sumber daya
dari unit kerja dengan produktivitas
rendah ke unit kerja dengan
produktivitas tinggi dan hasil yang
lebih besar. Sedangkan pembaruan
(reinvention) adalah transformasi
sistem dan organisasi birokrasi secara
fundamental guna menciptakan
peningkatan
dramatis
dalam
efektivitas, efisiensi dan kemampuan
melakukan inovasi. Transformasi
ini dicapai dengan cara mengubah
tujuan, menerapkan sistem intensif,
akuntabilitas, struktur kekuasaan,
serta budaya sistem dan organisasi
birokrasi. Tujuan pembaharuan
adalah efesiensi, akan tetapi yang
lebih penting adalah efektivitas.
Untuk mewujudkan birokrasi
wirausaha yang bebas patologi,
dan di sisi lain probisnis, birokrasi
perlu mewujudkan 10 formula
yang menjadi inti dari reinventing
bureaucracy22, yakni:
1. Birokrasi katalis atau catalytic
bureaucracy: steering rather than
rowing
Inti dari formula ini adalah pada
pemberian pengarahan bukan
pelaksanaan pelayanan publik.
Birokrasi harus menyediakan
(providing) beragam pelayanan
publik sesuai dengan tugas dan
22
Osborne, D. & Gaebler, T.
(1995). Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta: Penerbit Pustaka Binawan Presindo.
58
Edisi 3 / September / 2011
fungsinya, akan tetapi tidak harus
terlibat secara langsung dengan
proses produksinya (producing).
Dalam
pelaksanaanya,
birokrasi menetapkan kebijakan,
memberikan
dana
kepada
badan
pelaksana
(baik
itu
dari swasta maupun lembaga
swadaya
masyarakat)
dan
menilai kinerjanya. Dengan tidak
berhadapan langsung dengan
pengguna
layanan,
peluang
aparat birokrasi untuk melakukan
penyimpangan, misalnya meminta
imbalan di luar tarif, dapat
ditekan. Kolusi antara penyedia
dan pengguna layanan juga dapat
dihindarkan
2. Birokrasi milik masyarakat atau
community-owned
bureaucracy:
empowering rather than serving
Konsep ini menyarankan agar
birokrasi mengalihkan wewenang
kontrol yang dimilikinya kepada
masyarakat, sehingga masyarakat
berdaya
untuk
mengontrol
pelayanan yang diberikan birokrasi
dan mampu menjadi masyarakat
yang menolong dirinya sendiri
(community self-help). Dengan
adanya kontrol dari masyarakat,
aparat birokrasi akan memiliki
komitmen yang lebih baik, peduli
dan kreatif dalam memecahkan
permasalahan publik.
Dampak nyata dari penerapan
konsep ini, pelayanan birokrasi
akan semakin baik dan bermutu.
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Edisi 3 / September / 2011
Pengguna layanan tidak harus
mengeluarkan biaya lebih untuk
membayar pelayanan standar yang
memang menjadi haknya. Dan
yang lebih penting, korupsi yang
biasa terjadi karena kelemahan
pengawasan internal, akan semakin
sulit dilakukan karena setiap saat
aktivitas birokrasi diawasi oleh
masyarakat.
3. Birokrasi yang kompetitif atau
competitive bureaucracy: injecting
competition into service delivery
Birokrasi
secara
internal
maupun eksternal menyuntikan
semangat
kompetisi
dalam
pemberian jasa dan pelayanan
publik. Kompetisi adalah satusatunya cara untuk menghemat
biaya sekaligus meningkatkan
kualitas
pelayanan.
Dengan
kompetisi, banyak pelayanan
publik yang dapat ditingkatkan
kualitas pelayanannya tanpa harus
memperbesar biaya.
Dampak
dari
penerapan
konsep ini, masing-masing pihak
yang diberi wewenang melakukan
pelayanan publik akan saling
bersaing secara sehat. Dengan
adanya persaingan, mereka akan
berlomba-lomba
memberikan
pelayanan terbaik. Masyarakat
akhirnya bisa menikmati buah
persaingan ini dalam bentuk
mutu pelayanan yang semakin
meningkat.
4. Birokrasi
berorientasi
misi
atau mission-driven bureaucracy:
transferring rule-driven organization
Mengubah organisasi yang
semula digerakan oleh peraturan
menjadi organisasi yang digerakan
oleh misi. Dalam praktik, birokrasi
melakukan deregulasi internal,
misalnya
menyederhanakan
peraturan, prosedur dan sistem
administratif. Selain itu, juga
mensyaratkan setiap organisai dan
satuan kerja birokrasi memiliki
misi yang jelas, serta memberikan
diskresi
kepada
manajer
untuk menemukan best practise
mewujudkan misi namun tetap
dalam koridor legal
Dampak
positif
yang
ditimbulkan,
birokrasi
akan
terhindar
dari
birokratisasi.
Pelayanan yang lambat dan
berbelit-belit serta makan biaya
besar, dengan sendirinya akan
hilang.
5. Birokrasi berorientasi hasil atau
result-oriented bureaucracy: finding
outcomes, not inputs
Dalam konsep ini, birokrasi
membiayai hasil bukan masukan
peraturan dan membelanjakan.
Mengubah fokus input (kepatuhan
pada peraturan dan membelanjakan
barang sesuai ketentuan) menjadi
akuntabilitas pada output dan
outcome. Untuk itu, birokrasi
harus mengembangkan standar
kinerja, yang mengukur seberapa
baik satuan kerja memecahkan
59
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
permasalahan
yang
menjadi
tanggungjawabnya. Semakin baik
kinerjanya, semangkin banyak
pula dana yang akan dialokasikan
untuk mengganti semua dana
yang telah dikeluarkan oleh unit
kerja tersebut. Selain itu, birokrasi
juga menetapkan target, memberi
imbalan kepada unit kerja yang
mencapai dan melebihi target, dan
menggunakan anggaran untuk
mendongkrak tingkat kinerja yang
diharapkan.
Dampak positif dari penerapan
konsep ini, kinerja birokrasi dapat
terukur. Selain itu, birokrasi akan
lebih hati-hati menggunakan dana
publik, karena akuntabilitas yang
tinggi akan sangat menentukan
prestasi kerja dan juga berimbas
pada pendapatan aparat birokrasi.
6. Birokrasi
yang
berorientasi
pelanggan atau customer-driven
bureaucracy: meeting the needs of the
customers, not the bureaucracy;
Birokrasi memenuhi kebutuhan
pelanggan, bukan memenuhi
kebutuhan
birokrasi
sendiri.
Birokrasi
memperlakukan
masyarakat yang dilayani sebagai
pelanggan. Birokrasi melakukan
survei pelanggan, menetapkan
standar
pelayanan,
memberi
jaminan, dan sebagainya. Dengan
konsep ini, birokrasi mendesain
organisasi untuk menyampaikan
nilai optimal kepada pelanggan.
Jika pada masa lalu birokrasi
60
Edisi 3 / September / 2011
cenderung sekadar melakukan
bussiness as usual, atau sekadar
melaksanakan
tugas
rutin
organisasi, maka dengan konsep
ini birokrasi benar-benar dituntut
untuk berkembang sesuai dengan
perkembangan
kebutuhan
masyarakat. Standar pelayanan
tidak tetap dan itu-itu saja,
melainkan diubah secara bertahap
sesuai
dinamika
kebutuhan
masyarakat. Oleh karena itu,
dengan konsep berorientasi pada
pelanggan, birokrasi tidak akan
pernah usang atau ketinggalan
zaman.
7. Birokrasi berjiwa wirausaha atau
entreprising bureaucracy: earning
rather than spending
Birokrasi tradisional cenderung
berpandangan bahwa mereka
sedang mengerjakan pekerjaan
dan karenanya tidak pantas
berbicara tentang upaya untuk
menghasilkan pendapatan dari
aktivitasnya. Banyak yang bisa
dilakukan untuk menghasilkan
pendapatan dari proses penyediaan
pelayanan publik. Birokrasi dapat
mengembangkan beberapa pusat
pendapatan, misalnya menjual
informasi kepada pusat-pusat
penelitian atau badan usaha baik
yang menjual jasa maupun barang,
pemberian hak guna usaha yang
menarik pada para pengusaha
dan masyarakat penyertaan modal
daerah, dan lain-lain.
Dengan kata lain, birokrasi
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Edisi 3 / September / 2011
dibentuk
bukan
untuk
menghabiskan
anggaran,
melainkan untuk menghasilkan
pendapatan. Pendapatan tersebut
bisa diputar untuk membiayai
kegiatan birokrasi, atau bahkan
dialokasikan untuk membantu
pembiayaan pelayanan publik
yang lain serta membayar insentif
bagi pihak-pihak yang berprestasi.
8. Birokrasi yang tanggap atau
anticipatory bureaucracy: prevention
rather than cure
Birokrasi
tradisional
yang
birokratis memusatkan diri pada
produksi pelayanan publik untuk
memecahkan masalah publik.
Birokrasi birokratis cenderung
bersifat reaktif seperti satuan
pemadam kebakaran, apabila
tidak ada kebakaran (masalah)
maka tidak ada upaya pemecahan
masalah.
Birokrasi
wirausaha
tidak
reaktif, akan tetapi proaktif. Tidak
hanya mencoba untuk mencegah
masalah, namun juga berupaya
keras untuk mengantisipasi masa
depan. Menggunakan perencanaan
strategi untuk menciptakan visi
birokrasi. Visi birokrasi membantu
masyarakat, bisnis, dan birokrasi
daerah untuk meraih peluang yang
tak terduga serta menghadapi
krisis yang takterduga pula, tanpa
menunggu perintah.
9. Birokrasi terdesentralisasi atau
decentralized bureaucracy: from
hierarchy to participation and
teamwork
Birokrasi mengubah sistem
hierarki menuju partisipasi dan
tim kerja. Wewenang diberikan
pada unit terdepan, dan sebaliknya
hiraki dikurangi. Visi dan misi
diwujudkan bersama. Tim kerja
bebas menentukan cara kerjanya
untuk mencapai hasil terbaik.
Dengan konsep ini, pimpinan
bukan lagi “sang maha kuasa”
yang berhak menentukan perintah
secara top-down kepada bawahan
secara
sewenang-wenang.
Desentralisasi akan menghasilkan
kepemimpinan kolektif, di mana
keputusan dilakukan bersamasama oleh tim.
Imbas positif dari desentralisasi
wewenang
adalah
makin
berkurangnya d’tournament d’vavoir
atau penyalahgunaan wewenang,
terutama oleh para pimpinan
birokrasi.
10.
Birokrasi berorientasi pasar
atau market-oriented bureaucracy:
leveraging change through the market.
Put it all together.
Ada
dua
cara
alokasi
sumberdaya, yaitu mekanisme
pasar
dan
mekanisme
administratif. Dari keduanya,
makanisme pasar terbukti sebagai
yang tebaik dalam mengalokasi
sumberdaya. Birokrasi tradisional
menggunakan
mekanisme
administratif, sedangkan birokrasi
61
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
wirausaha
menggunakan
mekanisme
pasar.
Dalam
mekanisme administratif, birokrasi
tradisional menggunakan perintah
dan pengendalian, mengeluarkan
prosedur dan definisi baku
dan kemudian memerintahkan
orang untuk melaksanakannya
sesuai
dengan
prosedur
tersebut.
Dalam
mekanisme
pasar, birokrasi wirausaha tidak
memerintahkan dan mengawasi
tetapi
mengembangkan
dan
menggunakan sistem insentif
agar orang tidak melakukan
kegiatan-kegiatan yang merugikan
masyarakat.
Sepuluh rumusan reinventing
bureaucracy tersebut, jika dapat
diterapkan
secara
konsekuen
dipastikan dapat menghilangkan
birokrasi birokratis dan patologi
birokrasi yang selama ini melingkupi
birokrasi Indonesia.
62
Edisi 3 / September / 2011
Kesimpulan
Birokrasi
Indonesia
belum
probisnis. Sifatnya yang birokratis
dan patologis membuat keberadaan
birokrasi lebih dianggap sebagai faktor
penghambat dibanding pendorong
perekonomian. Berbagai penyakit
birokrasi muncul karena aparat
birokrasi cenderung menggunakan
birokrasi sebagai alat untuk mencapai
tujuan birokrasi itu sendiri, bukan
sebagai unit pelayanan masyarakat.
Politisasi birokrasi ikut mendorong
terjadinya penyelewengan yang
membuat birokrasi semakin jauh dari
fungsi utamanya sebagai penggerak
sektor
perekonomian.
Untuk
menghilangkan berbagai patologi
yang ada, birokrasi perlu direformasi.
Salah satunya adalah dengan
menerapkan konsep reinventing
bureaucracy. Dengan konsep tersebut,
birokrasi dikembangkan sebagai unit
pelayanan yang tepat, cepat, efisien,
efektif, akuntabel dan berorientasi
pada kebutuhan pengguna layanan.
Reinventing bureaucracy diharapkan
mampu mengembalikan birokrasi
sebagai pendorong pertumbuhan
ekonomi.
Edisi 3 / September / 2011
Foto : Antara
Laporan
Studi Lapangan
Reformasi Birokrasi
dalam Dinamika
Pemerintahan Daerah
Oleh : Tim Redaksi
63
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Pendahuluan
M
eskipun sudah ada
kesepakatan bersama
di semua jajaran
pemerintahan baik pusat maupun
daerah untuk melaksanakan
reformasi birokrasi, akan tetapi
masih banyak yang menilai
bahwa reformasi birokrasi masib
belum berjalan secara optimal.
Reformasi di bidang birokrasi
dinilai mengalami ketertinggalan
dibanding reformasi di bidang
politik, ekonomi, dan hukum.
Birokrasi pemerintah yang
tidak efisien menjadi salah satu
faktor penghambat utama dalam
melakukan aktivitas percepatan
pembangunan ekonomi.
Pemerintah dinilai belum dapat
menyediakan pelayanan publik
yang berkualitas, sesuai dengan
tantangan yang dihadapi.
64
Edisi 3 / September / 2011
Melalui Menteri Pendayagunaan
Aparatur dan Reformasi Birokrasi, EE
Mangindaan, pemerintah mengakui
bahwa
sejalan
perkembangan
kebutuhan masyarakat yang semakin
maju dan persaingan global yang
semakin ketat, pemerintah belum
dapat
memberikan
pelayanan
prima bagi investor yang berbisnis
atau yang akan berbisnis di
Indonesia (Kompas, 20 September
2011).
Selanjutnya
Mengindaan
menjelaskan bahwa makna reformasi
birokrasi adalah sebuah perubahan
besar dalam paradigma dan tata
kelola pemerintahan Indonesia. Ini
sebuah pertaruhan besar bagi bangsa
Indonesia yang memasuki abad ke-21
ini. Jika berhasil, akan mengurangi,
bahkan
dapat
menghilangkan,
setiap penyalahgunaan kewenangan
publik. Jika kita memiliki birokrasi
yang baik, mutu pelayanan kepada
masyarakat meningkat, begitu pula
mutu perumusan dan pelaksanaan
kebijakan makin efisien waktu dan
biaya, maka birokrasi kita makin
antisipatif, proaktif, dan efektif.
Reformasi
birokrasi
perlu
dilakukan, kareana kini korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin
menjadi. Meskipun sudah banyak
perbaikan dilakukan namun indeks
persepsi korupsi Indonesia masih
rendah dibandingan dengan negara
Asia lainnuya. Akuntabilitas kinerja
instansi perlu pembenahan dan harus
berorientasi pada hasil. Manajemen
sumber daya manusia aparatur
negara pun belum profesioan, seperti
menyangkut kedisiplinan atau taat
peraturan. Oleh karena itu pemerintah
dengan sirius ingin menerapkan
Edisi 3 / September / 2011
pemerintahan dengan prinsip good
governance, yaitu adanya tranparansi,
akuntabilitas, dan partisipasi publik.
Salah satu wujud dari komitmen
pemerintah adalah mengundangkan
Undang-undang Nomor 14 Tahun
208 tentang Keterbukaan Informasi
Publik. Dengan undang-undang ini
birokrasi pemerintah daerah segera
diharapkan untuk melaksanakan
undang-undang tersebut. Akan tetapi
berbagai kendala masih muncul
dalam implementasi undang-undang
yang sangat demokratis tersebut,
seperti kendala kultural, belum
terbentuknya PPID, dan tingkat
kesadaran masyarakat sendiri dalam
mencari dan mengakses informasi
belum terbentuk secara meluas. Oleh
karena itu, melalui pengumpulan data
lapangan dengan metode observasi
dan wawancara mendalam kepada
segenap informan yang potensial
di berbagai daerah, akan dapat
diserap aspirasi dan harapan sebagai
umpan balik dari masyarakat, yang
akan sangat berguna bagi upaya
meningkatkan
kinerja
birokrasi
pemerintah dalam melayani dengan
prinsip good governance.
Pertimbangan utama mengapa
perlu melihat dinamika pelayanan
publik di daerah-daerah, karena
selama ini pengaduan masyarakat
terhadap layanan publik di sejumlah
instansi, ternyata pemerintah daerah
paling banyak mendapat laporan,
yaitu sejumlah 354 aduan (31,13%),
disusul kepolisian 241 aduan
(21,20%).
Lokasi
pengumpulan
data
lapangan
diselenggarakan
di
enam (6) kota di Indonesia untuk
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
mendapatkan
pendapat
publik
tentang berbagai aspirasi yang
berkembang di masyarakat terkait
dengan akan kebijakan keterbukaan
informasi publik di jajaran birokrasi
pemerintah. Keenam lokasi studi
lapangan tersebar di wilayah
Indonesia bagian barat, tengah dan
timur yang dianggap relevan dengan
isu transparansi birokrasi, yaitu
meliputi
Pakanbaru,
Surakarta,
Sidoharjo, Denpasar, Banjarmasin,
Sorong.
Adapun
pertimbangan
dipilihnya kota tersebut adalah,
bahwa di samping untuk mewakili
perimbangan
territorial
yang
mewakili
Indonesia
bagian
barat, tengah dan timur, juga
atas pertimbangan prestasi dan
kurang berprestasinya pemerintah
daerah
dalam
melaksanakan
pemerintahan dengan prinsip good
governance. Untuk daerah seperti
Pakanbaru, Sidoarjo, Banjarmasin,
dan Sorong mewakili daerah yang
tingkat
transparansinya
masih
dalam kategori cukup, sementara
untuk Surakarta dan Denpasar
mewakili daerah yang tingkat
transparansi pemerintahannya baik.
Banjarmasin: Komitmen Tinggi
Pemprop
Kalsel
dalam
upaya reformasi birokrasi telah
memanfaatkan dan mengembangkan
IT dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan
dengan
mengembangkan unit pelayanan
pengadaan secara elektoronik, sistem
informasi pelaporan keuangan daerah,
sistem database barang daerah, dan
65
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Edisi 3 / September / 2011
secara bertahap penerapan paperless
office. Langkah taktis yang dilakukan
Kalsel adalah dengan melakukan
perubahan menyeluruh pada aspek
pendayagunaan aparatur negara. Hal
ini meliputi delapan area perubahan,
yaitu organisasi yang tepat fungsi dan
ukuran, tata laksana seperti sistem
dan proses-prosedur, sumberdaya
aparatur yang punya integritas,
regulasi yang tertib, pengawasan,
akuntanbiilitas, pelayanan publik
yang prima, pola pikir, dan budaya
kerja.
Reformasi telah menjadi komitmen
Pemkot Banjarmasin dengan titik
berat pada peningkatan pelayanan
publik. Khususnya dalam bidang
perizinan, Pemkot terus berusaha
memberikan
pelayanan
prima,
sehingga masyarakat tidak terhambat
oleh masalah birokrasi yang berlarutlarut dalam meningkatkan usahanya.
Wali Kota Banjarmasin, Muhidin
mengungkapkan tekad tersebut
bersamaan dengan Hari Jadi Kota
Banjarmasin yang ke-485, tepatnya
24 September 2011. Dengan reformasi
birokrasi, maka akan menggairahkan
dunia usaha, dan tentu akan ikut
berpengaruh
terhadap
naiknya
Pendapatan Asli Daerah. “Hal
ini terbukti, bahwa dari tahun ke
tahun PAD Kota Banjarmasin terus
menunjukkan peningkatan secara
cukup signifikan. Pada tahun 2010,
PAD mencapai Rp 80,5 milyar, dan
pada tahun 2011, target Rp 111,5,
optimis akan dapat dicapai”, kata
Muhidin.
Untuk
menunjang
reformasi
birokrasi,
Banjarmasin
selama
66
program
Pemkot
telah
meningkatkan kualitas SDM di
jajaran PNS, dengan meningkatkan
rata-rata tingkat pendidikan. Di
samping itu, Pemkot juga berusaha
meningkatkan tingkat kesejahteraan
pegawai
dengan
memberikan
tunjangan dan insentif bagi PNS di
lingkungan Pemkot Banjarmasin.
Antara lain dengan memberikan
insentif kepada RT, RW, dan Dewan
Kelurahan. Demikian pula para guru
juga mendapatkan insentif agar terus
memberikan pelayanan pendidikan
yang optimal. “Semua itu dalam
rangka mengoptimalkan pelayanan
kepada masyarakat dalam segala
aspek yang menyangkut kepentingan
publik.” Katanya. Akan tetapi
Muhidin menegaskan tidak akan
segan memberikan sangsi terhadap
PNS yang tidak disiplin.
Dalam
hal
memberikan
layanan perijinan secara lancar,
Pemkot Banjarmasin menerapkan
layanan terpadu dengan satu atap,
yaitu Badan Pelayanan Perijinan dan
Penanaman Modal (BP3M). Untuk
setiap ijin kepada SKPD, semuanya
harus lewat BP3M, sehingga dengan
demikian semuanya dapat dikontrol
untuk kepentingan koordinasi.
Memang berdasarkan pengamatan
di lapangan, seperti kantor urusan
administrasi kependudukan, dan juga
di kantor emigrasi, pelayanan cukup
lancar. Berdasarkan pengakuan
warga yang sedang antri mengurus
perijinan mengaku cukup mendapat
pelayanan secara baik. Sedangkan
warga yang sedang mengurus paspor
di kantor emigrasi mengaku tidak
mendapat kesulitan dalam mengurus
paspor. “Saya cukup lancar dalam
Edisi 3 / September / 2011
mengurus paspor, hanya menunggu
satu minggu jadi. Dan saya tidak
menemui calo di sini, semuanya
langsung ke petugas”, kata seorang
warga yang mengaku akan menjadi
TKI ke luar negeri.
Namu demikian juga ada warga
yang mengaku, bahwa di Banjarmasin
kalau mengurus ijin, lancar tidaknya
juga tergantung. “Kalau mau urusan
cepat, ya harus ada dana tambahan
yang diserahkan pada petugas”,
katanya
yang
berpengalaman
mengurus KTP.
Sementara itu dalam upaya
menerapkan
prinsip
good
governance, Pemkot Banjarmasin
terus
berusaha
memberikan
pelayanan secara transparan kepada
masyarakat. Sebagaimana dijelaskan
oleh Kepala Bidang Informatika
Pemkot
Banjarmasin,
Eka
Herlambang, dalam hal pelelangan
tender
senantiasa
disampaikan
kepada masyarakat. “Pemkot juga
membuka web, Banjarmasin.go.id
yang digunakan untuk lelang secara
on-line. “Semua itu dilakukan guna
mendukung prinsip transparansi
dan akuntabilitas dalam sistem
pelayanan prima kepada masyarakat.
Sekarang kan era keterbukaan, jadi
jajaran birokrasi pemerintah tidak
mau ambil risiko dengan melakukan
lelang secara tertutup. Karena di
samping itu menyalahi hukum, juga
masyarakat sudah kritis”, kata Eka.
Sedangkan M. Amin, Kepala
Seksi E-Government, dalam rangka
menerpakan
UU
Keterbukaan
Informasi Publik, Pemkot Banjarmasin
terus berusaha mensosialisasikan
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
undang-undang tersebut kepada
masyarakat. Akan tetapi memang
harus diakui bahwa, masyarakat
terkesan kurang peduli terhadap
perlunya
informasi.
“Memang
sekarang ini sudah banyak internet,
akan tetapi kesadaran masyarakat
untuk berpartisipasi dalam kebijakan
publik melalui akses informasi di
jejaring sosial masih belum menjadi
perilaku budaya. Warga dalam
mengakses internet, masih untuk
keperluan hiburan, dan untuk
komunikasi melalui jejaring sosial.”
Kata Amin. Ke depan Pemkot akan
terus mendorong masyarakat agar
terus semakin sadar akan pentingnya
terlibat
dalam
pengambilan
keputusan melalui media.
Pakanbaru: Antara Optimis dan
Pesimis
Pada prinsipnya pemerintah
daerah telah berusaha keras dalam
upaya meningkatkan pelayanan
birokrasi
kepada
masyarakat.
Menurut Prof. Dr. Sujianto, Guru
Besar Administrasi Negara FIsipol
Unri, adanya unit pelaksana teknis
(UPT) termasuk Badan Pelayanan
perizinan Terpadu menjadi bukti
secara formal bahwa ada peningkatan
pelayanan birokrasi, karena akan
lebih efisien dari sisi waktu dan biaya.
Mungkin koordinasi dengan instansi
teknisnya masih kurang baik, tetapi
sudah diberlakukan sanksi denda
bagi yang terlambat. Paling tidak
ini sudah menunjukkan ada upaya
peningkatan pelayanan. Sebenarnya
pelaynan yang belum baik itu sering
didengar di unit pelaynan non
67
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
perizinan, seperti di bidang kesehatan
dan pendidikan. Umumnya lebih
disebabkan oleh faktor manusianya
yang kurang tanggap dan cekatan.
Akan tetapi Sujianto melanjutkan,
ada satu hal yang menarik bahwa
pada era otonomi daerah sekarang
ini, birokrasi cenderung tidak netral
karena ada kepentingan politik. Partaipartai politik yang kebetulan menjadi
pemenang dalam Pilkada misalnya,
ada kecenderungan mempengaruhi
kinerja birokrasi dalam memberikan
pelayanan kepada publik. Kondisi
pelayanan
birokrasi pemerintah
mengalami penurunan
karena
terseret dengan arus politik yang ada.
Para birokrat bekerja dalam kondisi
yang tidak kondusif, karena mereka
sangat tergantung pada partai politik
berkuasa. Birokrasi bekerja untuk
melayani penguasa (kepentingan
parpol). Contohnya hari ini Sabtu, 17
September 2011 Koran memberitakan
bahwa 134 pejabat pemerintah di
Pakanbaru diganti karena tidak cocok
dengan pejabat politik yang berkuasa
saat ini. Seharusnya birokrasi
dibebaskan dari kepentingan politik
sesaat, mereka melayani siapa saja
yang berkuasa tanpa harus diganti.
Untuk itu birokrasi seharusnya tidak
lagi dibina oleh pejabat politik dan
penegakan hukum dilakukan secara
konsekwen terhadap siapapun. Nilai
birokrasi sesungguhnya berlandaskan
pada evisiensi dan netralitas, tetapi
disalahgunakan oleh negara-negara
berkembang
sehingga
menjadi
birokrasi feodal dan tradisional.
Suara senada juga dikemukan
oleh Azali Johan, seorang aktivis
LSM, bahwa nuansa politisasi
68
Edisi 3 / September / 2011
birokrasi di daerah sangat terasa
karena kompetisi politik sangat keras
dalam Pilkada. Program pelayanan
sering tidak konsisten karena setiap
ganti pimpinan kepala daerah ganti
visi dan ganti program. Tidak ada
garis utama yang menjadi patokan
program layanan birokrasi. Jika dulu
senantiasa mengacu pada GBHN,
tetapi sekarang pada visi kepala
daerah yang setiap ganti kepala daerah
pasti ganti visi. Dalam rekruitmen
sumber daya manusia pun juga bias
kepentingan politik. “Sekarang ini
pergantian pejabat lebih didasarkan
pada pertimbangan politik, dalam arti
partai apa yang memenangkan dalam
Pilkada. Akibatnya mengabaikan
faktor kualitas dan mengorbankan
profesionalisme dalam menunjuk
pejabat”, katanya menyayangkan.
Meskipun ada kecenderungan
Parpol membuat birokrasi pemerintah
menjadi kurang netral, tetapi kritik
juga datang dari kalangan politisi.
Menurut Sondiwarman, Wakil Ketua
DPRD Kota Pakanbaru, menilai
bahwa birokrasi pemerintah hingga
sekarang masih cenderung minta
dilayani. Padahal mestinya birokrasi
itu tugas dan fungsi utamanya
adalah melayani masyarakat, tetapi
kenyataannya justru sebaliknya.
“Itulah sebabnya pejabat mulai dari
yang tertinggi sampai yang paling
bawah sampai saat ini belum bisa
menjadi teladan yang baik. Contoh
yang sederhana, pembuatan KTP
yang merupakan hak setiap warga
Negara, dalam prakteknya mulai dari
Kelurahan sudah mulai menyimpang
dari Perda yang seharusnya biayanya
murah menjadi mahal, dan yang
Edisi 3 / September / 2011
seharusnya cepat tetapi kenyataannya
masih lambat.
Padahal sebagaimana dikatakan
Kepala Bidang Kedudukan Hukum
dan Kesra Badan Kepegawaian Daerah
Provinsi Riau, Yarham SH, Pemprov
telah memberikan insentif kepada
aparat birokrasi yaitu tunjangan
beban kerja. Tujuannya adalah,
selaian untuk lebih mengefektifkan
pelaynan birokrasi juga dimaksudkan
untuk meningkatkan kesejahteraan.
pegawai. Besaran tunjangan di
sesuaikan dengan golongan, yakni
antara Rp.2.000.000, - sampai
Rp.4000.000, perbulan. Bagi mereka
yang tidak masuk kantor atau
melanggar disiplin, akan dipotong
sesuai dengan ketentuan yang telah
dietapkan. Khusus
bagi mereka
yang melanggar disiplin pegawai
akan diproses dan
dikenakan
sanksi sesuai PP No. 53 tahun 2010.
Demikian juga, untuk mendukung
capaian kinerja yang optimal, semua
sarana dan fasilitas disediakan, serta
mengefektifkan pengawasan dan
evaluasi.
Buruknya pelayanan publik ini
juga diungkapkan oleh Presiden
Badan Mahasiswa Universitas Riau,
Nofri Andri, yang memberikan
contoh tentang layanan KTP gratis,
tetapi dalam praktek tidak demikian,
karena aparat masih bermental korup.
Seharusnya proses lebih dipercepat,
tetapi tetap lambat, meskipun sudah
ada SOP-nya. Praktik pungutan illegal
seperti itu ada hubungannya dengan
mentalitas para aparat birokrasi yang
masih koruptif, sehingga meskipun
sebenarnya sudah ada isentif, tetapi
tetap saja melakukan penyimpangan
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
layanan. Bersamaan dengan itu, baik
Sujianto maupun Nofri mengatakan
bahwa pengawasan terhadap suatu
kebijakan di lingkungan birokrasi
pemerintah tidak berjalan efektif,
karena juga rentan melakukan
hubungan kolutif antara pelaksana
dan jajaran pengawasnya.
Memang mekanisme pengawasan
dari masyarakat pun juga dibuka
sebagaimana
dikatakan
oleh
Yasram, yaitu jika pelayanan tidak
memenuhi permintaan masyarakat
atau pelayanan tidak sesuai dengan
prosedur dan ketentuan yang
telah ditetapkan, maka biasanya
masyarakat mengadu langsung, atau
melalui SMS.
Setiap pengaduan
masyarakat, terutama di unit
pelayanan masyarakat, maka akan
langsung direspons oleh pimpinan.
Sekretaris Daerah selaku pembina
pegawai ditingkat Provinsi juga
merespon pengaduan masyarakat
yang diungkap dalam acara Apel
Bendera, Rapat Pimpinan, atau
melalui surat edaran.
Dalam kaitan dengan implementasi
UU No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan
Informasi
Publik,
respons pemerintah Provinsi Riau
dapat dikatakan kurang cepat. Hingga
sekarang Komisi Informasi Daerah
dan PPID belum terbentuk. Padahal
salah satu prasyarat penting dalam
melakukan reformasi birokrasi adalah
efektifnya implementasi undangundang tersebut. Prinsip Good
Governance akan sulit diterapkan
secara optimal jika transparansi
dalam mekanisme pemerintahan
tidak dilaksanakan. “Bagaimana
mungkin
akan
melaksanakan
69
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
reformasi birokrasi jika prinsip good
governance tidak dijalankan dengan
baik. Sebagai contoh dalam hal
transparansi, hingga sekarang banyak
warga masyarakat mengeluh tentang
rekruitmen PNS yang tidak terbuka.
Karena itu kami jajaran mahasiswa
akan terus mendorong percepatan
reformasi birokrasi”, kata Nofri.
Sementara itu tentang belum
terbentuknya PPID menurut Azali
Johan tidak jelas alasanya. Sosialisasi
UU KIP menurutnya kurang lancar,
sehingga masyarakat tidak familiar
dengan
masalah
keterbukaan
informasi. Akan tetapi Azali menilai
bahwa pada prinsipnya Pemprov
Riau sudah melaksanakan prinsip
good governance sebagai bagian
dari komitmen untuk menjalankan
reformasi birokrasi. Hal ini juga
diakui oleh Politikus Sondiwarman
bahwa pemerintah sudah berusaha
transparan, meskipun memang masih
banyak hambatan baik struktural
maupun kultural. “Kalau soal
kecenderungan adanya KKN dalam
rekruitmen PNS, saya kira tidak hanya
di Riau, tetapi hampir di seluruh
Indonesia ada gejala itu. Akan tetapi
sekarang sudah relatif transparan,
misalnya dengan mengumumkan
hasil tes beserta rankingnya di depan
publik”, katanya.
Sedangkan Ramli Khatib, Ketua
MUI Riau, berpendapat bahwa belum
terbentukan PPID sesuai dengan
amanat UU KIP, penyebabnya adalah
Pemprov Riau masih setengah hati
dalam menjalankan pemerintahan
secara transparan, mungkin karena
takut dosa berjamaah. Akan tetapi
pada prinsipnya Pemprov Riau
70
Edisi 3 / September / 2011
tetap berusaha semaksimal mungkin
meningkatkan kualitas pelayanan
birokrasi
pada
masyarakat.
Sebagaimana dikatakan oleh Sujianto
dan Zulkurnain, Kasubag Bina
Program, Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu, bahwa dalam upaya
meningkatkan pelayanan publik
Pemprov Riau telah membentuk
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
(BP2T) berdasarkan Kepmendagri
No. 8 tahun 2008 tentang Badan
Pelaynan Perizinan Terpadu, dan saat
ini baru ada di tingkat Provinsi. Saat
ini BP2T memiliki 150 jenis layanan
perizinan dan non perizinan. Ikon
BP2T adalah CERIA - Cepat, Efisien,
Responsif, Integritas, dan Akuntabel.
“Adanya unit pelaksna teknis (UPT)
termasuk Badan Pelayanan perizinan
Terpadu menjadi bukti secara formal
bahwa ada peningkatan pelayanan
birokrasi, karena akan lebih efisien
dari sisi waktu dan biaya. Mungkin
koordinasi dengan instansi teknisnya
masih kurang baik, tetapi sudah
diberlakukan sanksi denda bagi yang
terlambat. Paling tidak ini sudah
menunjukkan ada upaya peningkatan
pelayanan”, kata Sujianto yang
diamini oleh Zulkurnain.
Sorong: Bergelut Mimpi dan
Tradisi
Salah satu elemen penting dalam
mewujudkan
penyelenggaraan
negara yang terbuka adalah hak
publik untuk memperoleh informasi
sesuai dengan peraturan perundangundangan. Jaminan hak publik atas
informasi mendorong partisipasi atau
keterlibatan masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan publik.
Dengan keterlibatan yang berkualitas,
Edisi 3 / September / 2011
akhirnya
terwujud akuntabilitas
dan pertanggungjawaban setiap
kebijakan publik.
Tahun 2008, di Indonesia, UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik
(UU KIP) disahkan dan diterapkan.
Undang-undang itu memberi jaminan
hukum bagi masyarakat dalam
meminta informasi dari badan-badan
publik, dan mengharuskan seluruh
badan publik di Indonesia memberi
informasi kepada masyarakat dan
melayani permintaan informasi dari
publik.
Di kawasan timur Indonesia,
Kabupaten dan Kota Sorong, Papua
Barat, kini tengah berbenah untuk
meningkatkan
kualitas
layanan
publik, termasuk informasi. “Ada
empat
prioritas
pembangunan
Kabupaten
Sorong,
yaitu
pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan
infrastruktur,” jelas Kepala Humas
Kabupaten Sorong, Marthen Nebore,
S.Sos, M.Sc.
Prioritas tersebut merupakan
“mimpi” Pemerintah Kabupaten
yang diarahkan untuk meningkatkan
investasi di kawasan kepala burung,
Papua. Pendidikan, ekonomi dan
infrastruktur diarahkan agar bisa
menyiapkan sumber daya lokal agar
mendukung kebutuhan sumber daya
manusia, sementara kesehatan yang
bertaratf internasional dikembangkan
untuk melayani kebutuhan industri
dan investor yang kebanyakan dari
luar negeri. Sementara di kawasan
Kota Sorong tengah berbenah untuk
meningkatkan kapasitas sebagai
meeting point, pelabuhan
dan
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
pendukung investasi di kawasan
Papua Barat.
Kesadaran akan tanggung jawab
yang harus diemban pemerintah
daerah atas keterbukaan informasi
publik tampak sudah dipahami oleh
pejabat di kawasan timur Indonesia.
Kota Sorong dikenal dengan istilah
Kota Minyak sejak masuknya para
surveyor minyak bumi dari Belanda
pada tahun 1908.
Kota Sorong terkenal
penuh
dengan
sisa-sisa
peninggalan
sejarah bekas perusahaan minyak
milik Belanda. Posisinya sangatlah
strategis karena merupakan pintu
keluar masuk Provinsi Papua dan
kota persinggahan. Kota Sorong
juga rnerupakan kota industri,
perdagangan dan jasa, karena Sorong
dikelilingi oleh kabupaten-kabupaten
yang mempunyai sumber daya alam
yang sangat potensial sehingga
membuka peluang bagi investor
dalam maupun luar negeri untuk
menanamkan modalnya.
Sekalipun, kerangka layanan
informasi
memang
tidak
diprioritaskan dalam pembangunan
Kabupaten Sorong, namun Marthen
menegaskan
bahwa
komitmen
keterbukaan
informasi
sudah
melekat dalam setiap program
pembangunan. Apalagi, prioritas
Pemerintah
Kabupaten
Sorong
adalah meningkatkan investasi di
kawasan yang kaya minyak, gas alam
dan sumber mineral lain itu.
Dalam aspek layanan informasi,
sekalipun tidak ada peraturan lokal
khusus mengatur implementasi UU
KIP, baik di lingkungan Kabupaten
71
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
dan Kota Sorong beberapa peraturan
daerah, telah mengatur kewajiban
lembaga
pemerintah
setempat
untuk memberi informasi kepada
masyarakat. Walaupun demikian,
peraturan-peraturan tersebut tidak
secara jelas mengatur tata cara
mengakses informasi sebagaimana
diatur dalam UU KIP.
Di Kota Sorong, misalnya dalam
pelayanan pembuatan Kartu Tanda
Penduduk, informasi tentang biaya
pengurusan KTP dan Akte Catatan
Sipil bisa dilihat di ruang layanan
kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil. Sesuai Perda No.15
Tahun 2009 Tentang Retribusi
Penggantian Biaya Cetak KTP dan
Akte Catatan Sipil, biaya pencetakan
dokumen berkisar mulai Rp 10.000,oo
sampai Rp25.000,oo.
Keterbukaan informasi dalam
tataran awal sudah cukup intensif
dikembangkan, sekalipun di Kota
dan Kabupaten Sorong, belum ada
penunjukkan
Pejabat
Pengelola
Informasi dan Dokumen (PPID),
namun Marthen Nebore, menjamin
masyarakat Kabupaten Sorong dapat
dengan mudah mengakses informasi.
“Pelayanan informasi berjalan dengan
baik. Kemitraan bagian humas dengan
pers cukup bagus sehingga berita
tentang pembangunan Kabupaten
Sorong dapat diterima dengan baik
oleh masyarakat,” ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan
oleh Kepala Bagian Humas Setda
Kota Sorong, Nifu Ahmad, S.IP.
Menurutnya penyediaan informasi
yang dibutuhkan bisa diakses
langsung masyarakat di instansi
72
Edisi 3 / September / 2011
yang bersangkutan. “Setiap dinas
sudah memiliki website dan kami
juga memfasilitasi petunjuk layanan
informasi di setiap kantor layanan,
termasuk di kelurahan dan distrik,”
tambahnya.
Akses informasi untuk masyarakat
memang sudah disediakan langsung
melalui kantor layanan dan website.
Di kantor layanan, seperti Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil,
warga bisa bertanya secara langsung
mengenai kelengkapan berbagai
dokumen yang dibutuhkan untuk
mendapatkan Kartu Keluarga atau
Akta Catatan Sipil lainnya.
Sebagaimana dialami oleh Amanis
Waang (59) asal Kelurahan Rufei,
Distrik Sorong Barat. Ketika datang
di kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kota Sorong, langsung
dipandu oleh salah satu petugas
yang ada. Beberapa kesulitan
yang ditangani langsung dibantu.
“Sempat bingung juga, tapi untung
ada yang membantu,” katanya yang
harus menyempatkan diri pagi sekali
karena layanan kantor dimulai pagi
pk. 08.00 WIT dan berakhir di pukul
14.00 WIT.
Dalam pandangan Abbas (50)
seorang pekerja industri kayu, ada
kecenderungan warga Sorong hanya
mengurus KTP atau yang lain ketika
membutuhkan. “Jadi kalau mereka
tidak membutuhkan ya, tidak ada
yang mau datang. Ini saja yang
mengurus KTP Nasional baru bisa
dihitung dengan jari,” tuturnya.
Hal itu juga dibenarkan oleh
Maimunah (35) salah satu petugas
layanan
loket.
Menurutnya
Edisi 3 / September / 2011
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
kebutuhan warga yang lebih banyak
mendorong ketika mereka mengurus
KTP atau Akta lain, “Biasanya kalau
membutuhkan untuk pinjaman bank
atau kredit. Baru mereka mau urus
KTP,” jelasnya.
Abbas, menurutnya ia juga belum
mendapatkan surat edaran dari
distrik. “Sehingga masyarakat yang
datang untuk mengurus KK dan KTP
jumlahnya tidak maksimal,” tambah
Abbas.
Di
Kota
Sorong,
memang
kebanyakan
layanan
publik
terkendala dengan perilaku warga.
Ketika dibuka layanan langsung di
distrik atau kelurahan, penggunanya
tidak terlalu banyak. “Padahal kita
untuk
menyukseskan
Program
Nasional Kepemilikan KTP Nasional
dibuka layanan langsung selama
empat hari,” jelasnya.
Berbeda dengan di Kabupaten
Sorong, jangkauan geografis yang
luas dan sebaran penduduk yang
tidak merata menjadi kendala yang
paling utama. Keadaan topografi
Sorong sangat bervariasi terdiri dari
pegunungan, lereng, bukit-bukit dan
sebagian adalah dataran rendah,
sebelah timur di kelilingi hutan lebat
yang merupakan hutan lindung dan
hutan wisata.
Menurut Nifu Ahmad, layanan
itu didasarkan pada Surat Edaran
Walikota Sorong 474.4/596/2010
tentang pembuatan KK dan KTP
Standar Nasional tanggal 22 Juni 2010
dan Surat Perintah Tugas Kepala
Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kota Sorong Tentang Pelayanan
Langsung Pembuatan KK dan KTP
Standar Nasional di Kelurahan
Tanjung Kasuari dan Kelurahan
Saoka Distrik Sorong Barat Nomor
;
470/596/SPPD-DKPSRG/2010.
“Memang kita dari pegawai Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Sorong di bantu oleh aparat
kelurahan setempat. Cuma banyak
yang tidak bisa datang karena
beberapa hal,” jelas Rury, staf di
Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Sorong.
Menurutnya
selain
besaran
biaya pengganti cetak, kurangnya
sosialisasi pelaksanaan kegiatan
membuat tidak maksimal. Hal
senada juga disampaikan oleh
“Dibutuhkan cost yang besar
dikarenakan jangkauan wilayah kami
yang cukup luas,” ungkap Marthen
seraya menambahkan bahwa standar
biaya dari pemerintah pusat tidak
sesuai apabila diterapkan di Papua,
karena standar biaya di Papua
memang cukup mahal.
Belum lagi harus menghadapi
hambatan
adat
dan
budaya
masyarakat yang cukup beragam.
Di Sorong sendiri, selain masyarakat
Moi (terutama yang ada di daerah
pantai dan biasa menggunakan
nama depan/belakangnya dengan
usin) juga terdapat masyarakat BBM
(Bugis, Buton, Makasar), Jawa, Sunda,
Sumatera,
sebagai
transmigran
yang membawa agama Islam ke
tanah Papua. “Masing-masing suku
memiliki karakteristik adat tersendiri
dan berbeda dalam menyikapi
layanan pemerintah,” jelas Moh,
Alwin, Kepala Bidang Komunikasi
dan Informatika Dinas Perhubungan
73
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
dan Kominfo Kabupaten Sorong.
Dalam
Undang-undang
keterbukaan
informasi
publik,
kesiapan para penyelenggara negara
dalam
menyediakan
informasi
yang diberikan kepada masyarakat
adalah hal yang mutlak. “ UndangUndang Keterbukaan Informasi
Publik mewajibkan seluruh badan
publik
menyediakan
informasi
publik membuat standar layanan
informasi publik. Tapi kita berupaya
meningkatkan kinerja kehumasan
pemerintah,“ tegas
Marthen
Nebore.
Jika melalui website tidak
optimal, kami terus meningkatkan
peran aparat hubungan masyarakat
(humas) sebagai ujung tombak dalam
penyampaian informasi. “Masingmasing wilayah kerja, salah satunya
penyampaian informasi seputar
program pembangunan yang sedang
berjalan, haruslah didukung oleh
informasi atau data yang akurat, dan
bisa dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat,”
tambah
Marthen.
Bupati Sorong, Dr Stefanus Malak,
M.Si menyatakan peran kehumasan
yang langsung bisa berkomunikasi
dengan warga atau pekerja media
sangat penting dalam mewujudkan
kepercayaan publik dan membina
hubungan baik dengan masyarakat.
“Khususnya,
guna
menjawab
tantangan besar yakni meningkatnya
proses pertukaran informasi antar
unit di dalam organisasi internal,”
tambahnya.
Kepala Bagian Humas Pemkab
Sorong, Marthen Nebore, menyatakan
pihaknya
juga
memfasilitasi
74
Edisi 3 / September / 2011
penyelenggaraan pelatihan dan
kordinasi kehumasan. “Berbagai
acara dan pelatihan secara berkala
dikembangkan. Agar bermanfaat bagi
kekompakan jajaran SKPD. Selain itu
juga kian memudahkan koordinasi
bagi aparat Pemda Sorong,” jelas
Marthen.
Pemkot Sorong dan Pemkab
Sorong,
sebenarnya
telah
mengembangkan layanan infromasi
melalui website. Namun kondisi
akses jaringan internet yang belum
stabil membuat layanan ini tidak bisa
optimal diakses warga. “Jaringan
internet di sini biasanya cepat kalau
pagi. Tapi usai jam 12.00 siang, maka
akan lambat. Sekalipun semua bisa
terjangkau akses internet nirkabel,
tapi kecepatan akses lambat juga
masih jadi kendala,” tambah Moh.
Alwin yang kini menangani layanan
media center dari Kementerian
Kominfo di Distrik Aimas, Kabupaten
Sorong.
Tak heran jika kemudian, website
Kabupaten Sorong www.sorongkab.
go.id, tidak dapat diakses masyarakat.
Sementara website Kota Sorong,
www.sorongkota.go.id, juga tak
jauh beda kondisinya. Oleh karena
itu, menurut Marthen, dukungan
infrastruktur layanan informasi
yang cukup kuat sangat diperlukan.
“Apalagi kita harus menjangkau dan
melayani masyarakat sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi masingmasing,” tuturnya.
Keterbukaan informasi publik
bukan hanya sekadar mengatur
soal informasi. Undang-undang ini
juga memberikan jaminan adanya
Edisi 3 / September / 2011
partisipasi warga negara dalam turut
menentukan kebijakan. Partisipasi
atau pelibatan masyarakat tidak
banyak berarti tanpa jaminan
keterbukaan informasi publik.
Akan
tetapi
mengelola
keterbukaan informasi di Kota dan
Kabupaten Sorong merupakan seni
tersendiri. Di kawasan Sorong,
terdapat enam kelompok etnis besar,
yaitu: Suku Moi, Bugis Makasar,
Jawa, Maybrat, dan Maluku. Suku
Moi adalah penduduk asli Papua
yang menjadi pemegang hak adat
atas tanah di pusat pemerintahan
Kabupaten Sorong. Sementara di
kawasan kota, relatif sudah mulai
banyak didominasi oleh kalangan
pendatang.
Partisipasi yang paling menonjol
dalam hal pelayanan dasar adalah di
bidang pendidikan dan kesehatan.
Di bidang pendidikan, setiap
sekolah terdapat komite sekolah
yang beranggotakan para orang
tua murid dan donatur. “Namun
peranan ini belum berkembang
sesuai yang diharapkan. Hal ini di
sebabkan rendahnya kemampuan,
baik finansial maupun intelektual, di
samping kurangnya sosialisasi dan
informasi yang sampai pada anggota
komite sekolah,” tambah Abbas.
Di bidang kesehatan, keikutsertaan
masyarakat
dalam
pelayanan
dalam
bentukkader
posyandu.
Kader posyandu ditujukan untuk
membantu tenaga medis yang
jumlahnya terbatas, “Tetapi di
daerah-daerah pedesaan justru kader
posyandu menjadi tenaga inti dalam
pelayanan kesehatan di pedesaan,”
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
kata
Maimunah
(45)
seorang
pedagang kelontong di Kota Sorong
menambahkan.
Sementara dalam perencanaan
pembanguan, telah dikembangkan
pelibatan masyarakat secara langsung
maupun melalui perwakilan seperti
DPRD, BPM/BPD/LKMD. “Semua
kegiatan itu memang aktif dilakukan
di
Kabupaten
Sorong,
Rapat
koordinasi pembangunan daerah
yang dilakukan oleh BAPPEDA,”
tambah Marthen.
Kabupaten Sorong kini sedang
mempersiapkan diri untuk menjadi
daerah tujuan wisata unggulan,
khususnya di propinsi Papua Barat.
Dengan pesona alam khas papua
dan ditunjang letak yang strategis,
diperlukan rintisan pembangunan
kepariwisataan dalam jangka panjang
yang dimulai dari sekarang. “Prioritas
utama kami adalah pengembangan
wisata bahari dan wisata alam,”
kata Bupati Sorong, Stefanus Malak.
Surakarta: Ada Perubahan
Signifikan
Pemerintah
Kota
Surakarta
merupakan salah satu contoh
semakin
meningkatnya
kinerja
birokrasi. Kota ini terus mengalami
peningkatan
dalam
indeks
transparansi di tingkat nasional,
dan bahkan masuk dalam sepuluh
besar. Di bawah kepemimpinan Wali
Kota Joko Wiyono, kota Surakarta
memang telah menunjukan kemajuan
signifikan dalam pelayanan birokrasi.
“Widodo Muktiyo, dosen Ilmu
Komunikasi Fisip UNS, mengakui
bahwa pelayanan birokrasi di kota ini
75
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
terus membaik. “Reformasi birokrasi
cukup terasa dampaknya di kota ini
sebagaimana tampak pada makin
transparannya Pemkot, dan kian
cepat dan lancarnya urusan perijinan,
terutam yang berkaitan dengan sektor
usaha dan perdagangan. Namun
demikian, masih ada aparat birokrasi
yang masih bermental harus dilayani,
karena memang mereka tumbuh di
kalangan kultur yang feodalistik”,
kata Widodo.
Penilaian senada juga datang dari
Mahendra Wijaya, dosen Sosiologi
Fisip UNS bahwa ada kemajuan yang
bararti dalam hal pelayanan publik.
Faktor
kepemimpinan
menjadi
kunci dari perubahan mind set aparat
birokrasi, karena secara sosiologis
masyarakat kita memang masih
patriomonialistik. “Ketika pimpinan
kota Surakarta mau berubah dengan
mengedepankan layanan publik,
maka jajaran birokrasi pemerintah
juga mengikuti. Dalam struktur
birokrasi itu bersifat hierarkis dan
instruktif, sehingga kalau pimpinan
atasnya berubah, maka bawahannya
juga mengikuti. Harus diakui bahwa
Wali Kota Surakarta sekarang
cukup kreatif dan inovatif dalam
usahanya
memberikan
layanan
kepada
masyarakat.
Fasilitas
publik senantiasa menjadi prioritas
pengembangan
dan
senantiasa
diperbaiki”, kata Mahendra.
Dalam hal e-KTP, Pemkot Surakarta
juga terus memberikan pelayanan
secara optimal meskipun dalam
keterbatasan peralatan. Dari hasil
pantauan di lapangan, para petugas
tampak bertugas secara allout dan
mereka senantiasa menyapa dengan
76
Edisi 3 / September / 2011
ramah. Bahkan pelayanan juga
dilakukan di luar jam kantor, mulai
pukul 08.00 hingga 21.00. “Untuk
pelayanan e-KTP ini kami bisa
melayani 15 orang perjam, dan kami
minimal membuka layanan 12 jam
efektif kepada warga masyarakat”,
kata Subandi, salah seorang pejabat
di bagian kependudukan.
Di
bidang
keterbukaan
informasi, Pemkot Surakarta juga
melakukan langkah-langkah yang
terus menunjang terselenggaranya
transparansi, terbukti kota ini telah
memiliki PPID. Bahkan juga sudah
membentuk
komisi
informasi
dengan anggaran sebesar 1,2 milyar
rupiah. Pemkot juga telah secara aktif
memberikan pelayanan lewat media
on-line, seperti informasi umum,
LPSE, bursa kerja, layanan kesehatan
masyarakat, rencana kelurahan, dan
masalah kependudukan.
Sebagaimana dijelaskan oleh salah
seorang pejabat di jajaran Pemkot
Surakarta,
Fahrudin,
programprogram tersebut adalah programprogram yang didesain untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat
Kota Surakarta, khususnya di bidang
pelayanan umum. Seperti yang
diketahui, pelayanan umum adalah
pelayanan yang diberikan baik jasa
maupun non jasa dan ataupelayanan
administrasi. Oleh karena itu,
pelayanan yang dimaksudkan di sini
adalahpelayanan jasa yaitu pelayanan
di bidang administrasi (perijinan)
melalui sistem one stop service
(OSS), pelayanan kesehatan yaitu
program PKMS (Program Kesehatan
Masyarakat
Surakarta).
Inovasi
dalam pemerintahan juga dapat
Edisi 3 / September / 2011
didefinisikan sebagai pengembangan
suatu desain kebijakan baru dan
prosedur standard operasi yang
baru untuk memecahkan masalah
publik. Jasa yaitu pelayanan yang
terkait
dengan
pemberdayaan
masyarakat, yaitu melalui program
rumah tidak layak huni (RTLH).
Ketiga bidang tersebut dianggap
program yang menonjol di Kota
Surakartadan dapat dilihat secara
langsung nilai-nilai perubahannya
dimana
pelayananseharusnya
diberikan secara adil, transparan,
merata, akuntabel, dan partisipatif
sesuaidengan prinsip good local
governance.
Fahrudin
juga
menjelaskan
upaya Pemkot dalam bidang
layanan informasi publik, yaitu
mempersiapkan regulasi di tingkat
daerah, menerbitkan SK Walikota
Surakarta No. 042.05/01-B/1/2011
tentang
penunjukkan
PPID,
menerbitkan SK Walikota Surakarta
No : 060.05/05/1/2011 tanggal 3
januari 2011 tentang pembentukan
Tim
Uji
Konsekuensiterhadap
informasi
yang
dikecualikan
pada Pemerintah Kota Surakarta,
Peraturan Wali Kota tentang Standar
layanan Informasi/ SOP (dlm proses
penyusunan), sosialisasi UU KIP
secara rutin, dan pembekalan pada
PPID sejak April 2011. Juga terus
melakukan pembenahan sistem
informasi data, menyiapkanruang
pelayanan
informasi
beserta
infrastrukturnya,
meningkatkan
pendokumentasian data daninformasi
SKPD, meningkatkan konten Web
Pemerintah Surakarta sebagai sumber
informasi, dan meningkatkan sarana
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
untuk mengakses informasi bagi
masyarakat.
Denpasar: Rakyat Kurang Peduli
Harus diakui, sesungguhnya
masyarakat Bali tidak terlalu peduli
terhadap keterbukaan informasi.
Masyarakat sebagian besar lebih
memilih hidup mengurus diri
dengan beribadah. Adanya Undangundang
keterbukaan
informasi
pun disambut biasa-biasa saja.
Padahal hak memperoleh informasi
merupakan hak dasar warga
Negara. Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 28F menjaminnya. Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan
pribadi
dan
lingkungan sosialnya. Warga juga
berhak
mencari,
memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah,
dan
menyampaikan
informasi
dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.
Beberapa UU lain sesungguhnya
juga menjamin hak warga atas
informasi. Pertama, UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM. Hak atas informasi
diatur dalam Pasal 14, Pasal 60, Pasal
103. Kedua, UU tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 65 ayat (2) UU ini menyatakan
setiap orang berhak mendapatkan
pendidikan lingkungan hidup, akses
informasi, akses partisipasi, dan
akses keadilan dalam memenuhi hak
atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
Secara
khusus
hak
warga
terhadap informasi diatur dalam
UU nomor 14 Tahun 2008 tentang
KIP.
Dalam
pertimbangannya,
77
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
UU ini menyebutkan bahwa hak
memperoleh informasi merupakan
HAM. UU ini juga menegaskan
bahwa keterbukaan informasi publik
merupakan salah satu ciri penting
negara demokratis.Pasal 2 mengatur
bahwa asas UU ini adalah setiap
informasi publik bersifat terbuka dan
dapat diakses oleh setiap Pengguna
Informasi Publik kecuali informasi
publik yang dikecualikan, informasi
publik yang dikecualikan ini bersifat
ketat dan terbatas.
Dalam pasal 9 UU KIP disebutkan
badan publik wajib mengumumkan
informasi publik secara berkala.
Informasi ini meliputi profil, kegiatan
dan kinerjan, serta laporan keuangan
badan
publik.
Badan
publik
adalah organanisasi yang terkait
penyelenggaraan Negara maupun
organisasi lain dengan pendanaan
dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara/Daerah (APBN atau APBD).
Menurut Ni Made Ras Amanda
Gelgel, Dosen Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Udayana
Bali, pemerintah kota Denpasar
belum sepenuhnya menerapkan
keterbukaan
informasi
publik.
Ada beberapa lembaga yang telah
dengan baik membuka berbagai
informasi kepada khalayak, namun
itu hanya sebagian kecil. Mungkin
perlu perbaikan pola pikir dan
kemauan masing-masing lembaga
dalam penerapan pelaksanaan UU
KIP. Perbaikan terutama adalah
kebijakan pimpinan badan publik
dalam menerapkan UU KIP. Perlu
manajemen pengelolaan informasi
yang dikuasai dan pelayanan akses
informasi dari publik. Perbaikan
78
Edisi 3 / September / 2011
tersebut hanya bisa dicapai jika
publik/masyarakat sebagai pemilik
hak atas akses informasi aktif
mendorong badan publik untuk
selalu berbenah. “Warga harus secara
aktif meminta akses informasi. Ini
merupakan salah satu cara agar badan
publik menjadi lebih siap dan lebih
baik dalam melayani permintaan
informasi publik”, katanya.
Pendapat senada juga disampaikan
oleh Agus Sanjaya dari Dinas
Perhubungan dan Infokom Denpasar,
kondisi
keterbukaan
informasi,
khsusunya
lembaga-lembaga
publik, sepertinya tidak serta merta
terjadi dan diterapkan dengan baik.
Indikatornya antara lain, pertama,
belum adanya Pejabat Pengelola
Informasi
dan
Dokumentasi.
Kedua, minimnya kesiapan badan
publik untuk melaksanakan UU
KIP. Hasil assessment KIP pusat
menjelang
pemberlakuan
UU
KIP disebutkan bahwa baru tujuh
badan publik diseluruh indonesia
yang dianggap siap atau berupaya
mempersiapkan diri. Ketiga, hasil
uji badan publik lintas sektor yang
diadakan Sloka Institute bekerjasama
dengan Indonesian Parliamentary
Center (IPC) terhadap beberapa
instansi di 4 kabupaten/kota serta di
tingkat Provinsi Bali mencerminkan
belum sistematis dan transparannya
akses informasi publik. Uji badan
publik yang dilakukan meliputi tiga
sektor yaitu pendidikan, kesehatan,
dan lingkungan.
Hasil
uji
publik
tersebut
ditindaklanjuti dengan mengadakan
Rembug Lintas Aktor (RELA)
Kesiapan Badan Publik di Bali dalam
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Edisi 3 / September / 2011
Penerapan UU Keterbukaan Informasi
Publik 2010 lalu. RELA dihadiri
oleh anggota Komisi Informasi (KI)
Pusat Abdul Rahman Ma’mun, drs
I Wayan Nuranta, SH., perwakilan
Biro Pemerintahan Provinsi Bali,
dan Ni Luh Candrawati Sari, SH.,
MH, Kepala Bidang Informasi
Dinas
Perhubungan,
Informasi,
dan Komunikasi Bali, perwakilan
Walhi Bali, perwakilan Yayasan
Manikaya Kauci, perwakilan persma
Akademika, Ketua AJI Denpasar
Rofiqi Hasan, dan wartawan.
Selain itu belum ada numenklatur
yang jelas antara fungsi yang akan
diemban Dinas Infokom dan Humas
Pemkot Bali. Kemudian masalah
anggaran dan transisi penataan
lembaga publik juga menjadi
masalah.
Pemerintah Provinsi Bali baru bisa
memasukkan pembentukan Komisi
Informasi (KI) dalam APBD 2011.
Proses pendirian KI diawali dengan
pembentukan Tim Seleksi yang
melibatkan kalangan akademisi,
tokoh masyarakat dan pemerintah.
Tim seleksi selanjutnya akan
menyaring minimal 10 calon dan
maksimal 15 calon untuk diajukan
dalam fit and proper test di DPRD
Bali. Nanti DPRD akan memilih 5
calon anggota KI.
Sosialisasi tentang UU KIP sudah
dilakukan di lembaga publik dan
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
di Provinsi Bali. Nantinya di setiap
lembaga itu akan ada Penanggung
jawab Pengelolaan Informasi Daerah
(PPID) yang ditetapkan dengan
Peraturan Gubernur. Langkah lainnya
adalah dengan merancang website
e-government. Pemerintah daerah
berharap LSM bias ikut memantau
proses pembentukan PPID.
Sementara itu seorang tokoh
masyarakat, Meniartha berpendapat
masyarakat belum peduli. “animo
warga Denpasar kurang begitu
antusias
dalam
memanfaatkan
adanya UU KIP, karena mungkin
banyak yang belum tahu. Untuk itu
pemerintah perlu terus menggalakan
sosialisasi”, katanya.
Penutup
Begitulah, serba-serbi dinamika
pemerintahan
daerah
dalam
menyambut reformasi birokrasi
ternyata sangat beragam. Ada kesan
kuat bahwa Pemda sebenarnya
menyadari
akan
pentingnya
reformasi
birokrasi,
sehingga
harus melakukan langkah-langkah
penyesuaian. Ada yang cepat
beradaptasi dalam iklim keterbukaan
informasi, tetapi ada juga yang masih
lamban. Sementara pendapat warga
masyarakat juga beragam, ada yang
optimis dan ada yang pesimis. Akan
tetapi ada satu yang jelas, bahwa
semuanya
semakin
menyadari
pentingan arti penyelenggaraan
pemerintahan dengan prinsip good
governance.
Semua
menyadari
bahwa transparansi, akuntabilitas,
dan partisipasi publik adalah
penting dalam era sekarang ini. Oleh
karena itu masyarakat berharap
agar pemerintah terus memberikan
pelayanan
optimal
terhadap
masyarakat.
79
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
Memang ada kendala yang
cukup merisauhkan dalam upaya
menggelorakan semangat reformasi
birokrasi. Kendala itu berupa kendala
struktural maupun kultural. Kendala
struktural muncul karena karakter
birokrasi pemerintah yang hierarkis,
rigit, dan kurang cepat melakukan
perubahan dengan mengubah berbagai
aturan yang telah usang. Sementara
itu kendala kultural muncul berkaitan
dengan belum ada transformasi cara
berpikir dan sikap yang berorientasi
pada pelayanan publik. Masih banyak
aparat birokrasi yang mindset-nya
menggunakan paradigma lama, di
mana mereka masih minta dilayani.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan UU KIP, sebagian besar
Edisi 3 / September / 2011
pemerintah daerah masih bergerak
lamban dalam menyongsong era
keterbukaan informasi, terbukti
masih sedikit yang membentuk PPID.
Namun demikian, UU KIP semakin
populer berkat sosialisasi yang cukup
intens kepada masyarakat. Hanya
saja, di kalangan masyarakat sendiri
juga masih perlu didorong untuk
lebih proaktif guna memanfaatkan
UU KIP agar good governance
terimplemntasi dengan lancar dalam
proses pembangunan di daerah.
Sepertinya masyarakat kita memang
masih perlu terus didorong menuju
ke arah keterbukaan informasi,
karena itu perlu terus menumbuhkan
kesadaran bersama untuk tetap terus
belajar berdemokrasi.
80
Birokrasi dalam Era
Keterbukaan Informasi Publik
82
Edisi 3 / September / 2011
Download