20 I. 1.1. PENDAHULUAN Latar Belakang Penggunaan pupuk anorganik secara intensif pada padi sawah dengan menggunakan varietas unggul tanpa disertai oleh pengembalian sisa panen ke dalam tanah (dibakar atau digunakan sebagai pakan ternak) menyebabkan penurunan kualitas tanah baik fisik, kimia, maupun biologi, yang dicirikan oleh rendahnya daya sangga tanah dan efisiensi pemupukan, serta berkurangnya aktivitas mikroba perombak bahan organik tanah (Anonim, 2005). Berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah. Dari hasil analisis 1.548 contoh tanah sawah dari beberapa provinsi di Indonesia, sekitar 66% mempunyai kandungan C-organik rendah (<2%) dan sekitar 34% yang mempunyai kandungan C-organik >2% ( Prasetyo dan Setyorini, 2008). Dalam kondisi normal, kesuburan lahan sawah mengandung C-organik sekitar 35%. Pupuk organik padat sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Peran pupuk organik padat dalam hal ini dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, penyumbang unsur hara yang sangat berarti yang tidak tercakup dalam pupuk anorganik. Penggunaan pupuk organik padat dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Jenis dan mutu pupuk organik padat yang beredar di pasaran baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar jumlahnya sangat banyak. Oleh karena itu perlu persyaratan atau kriteria yang mengatur mutu dan kualitas pupuk organik padat. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan Permentan No. 28 Tahun 2009 tentang pupuk organik padat, pupuk hayati, dan pembenah tanah. Permentan tersebut mengatur persyaratan teknis yang harus dipenuhi dalam pupuk organik padat agar memberikan manfaat maksimal bagi pertumbuhan tanaman dan tetap menjaga kelestarian lingkungan. 21 Menurut Permentan No. 28 Tahun 2009, kadar Fe merupakan salah satu persyaratan teknis yang harus dipenuhi dalam pupuk organik padat. Agar pupuk organik padat berkualitas baik maka kadar Fe yang ada dalam pupuk organik padat padat tidak melebihi 8000 mg kg-1. Angka ini tampaknya mempunyai pertimbangan agar pupuk organik padat yang ditambahkan ke dalam tanah tidak sampai meracuni tanaman, terutama untuk padi sawah. Kelarutan Fe dalam kondisi anaerobik sangat tinggi, sehingga ada kekhawatiran bila konsentrasi Fe dalam pupuk organik padat melebihi angka tersebut akan meracuni tanaman bila pupuk orgabnik ditambahkan ke dalam tanah. Kenyataannya di lapangan masih banyak kadar Fe dalam pupuk organik padat melebihi 8000 mg kg-1, sekalipun pupuk organik padat tersebut sebagian besar bahan bakunya berasal dari kotoran hewan. Kadar Fe yang dimaksud dalam Permentan tersebut adalah Fe-total dimana pengekstraknya menggunakan asam kuat, padahal kadar Fe-total dalam pupuk organik padat tidak sepenuhnya menggambarkan ketersediaan unsur Fe itu sendiri dalam tanah. Sebetulnya Fe dalam bentuk tersedialah yang akan diserap oleh tanaman dan jika konsentrasinya melebihi ambang batas, maka akan menyebabkan toksik bagi tanaman. Penetapan kadar Fe dalam pupuk organik padat sebesar 8000 mg kg-1 (Permentan No. 28 Tahun 2009) belum berdasarkan hasil penelitian yang memadai. Hal ini akan sangat merugikan produsen, petani, dan pemerintah apabila peraturan ini dipakai begitu saja karena pupuk organik padat yang sebenarnya berkualitas baik dan tidak berbahaya tidak dapat digunakan akibat peraturan ini. Unsur Fe termasuk hara mikro yang diperlukan tanaman dalam jumlah sedikit tapi bila diberikan dalam jumlah berlebihan maka berpotensi meracuni tanaman. Penelitian mengenai unsur mikro, khususnya Fe dalam pupuk organik padat hingga saat ini belum banyak dilakukan dan hingga saat ini belum terdengar adanya laporan bahwa tanaman padi sawah mengalami keracunan besi akibat dari penggunaan pupuk organik padat. 22 Hasil penelitian Yusuf et al., (1990) pada tanah Oxisol Sitiung menunjukkan bahwa penggenangan menyebabkan konsentrasi Fe yang larut dalam air meningkat drastis. Serapan tanaman padi terhadap unsur tersebut juga meningkat, dan daun memperlihatkan gejala klorosis. Keadaannya jauh lebih parah pada pH tanah yang lebih rendah. Tanaman padi akan menderita keracunan apabila kadar besi dalam tanaman melebihi 300 mg kg-1. Penelitian lain yang menggunakan tanah Ultisol dari Kalimantan Barat menunjukkan bahwa tanaman padi fase vegetatif yang keracunan Fe mengandung >2000 mg kg-1 Fe (Nursyamsi et al, 2000 ). Penelitian mengenai unsur mikro khususnya Fe dalam pupuk organik padat belum banyak dilakukan. Berdasarkan pertimbangan di atas, perlu dilakukan penelitian mengenai monitoring kadar Fe dalam pupuk organik padat di Jawa dan ambang batas kadar Fe dalam pupuk organik padat yang berpotensi menyebabkan keracunan Fe untuk tanaman padi sawah. 1.2. Kerangka Pemikiran Mencemari Lingkungan Penggunaan pupuk anorganik yang semakin meningkat Peningkatan hasil pertanian Penggunaan pupuk organik Permentan No.28 Tahun 2009 Mengurangi Pencemaran Lingkungan Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian 23 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kualitas dalam pupuk organik padat yang beredar di Jawa. 2. Menetapkan ambang batas kadar Fe-total dalam pupuk organik padat yang berpotensi menyebabkan keracunan Fe pada tanaman padi sawah. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Mengetahui informasi mengenai kualitas dalam pupuk organik padat yang beredar di Jawa 2. Mendapatkan ambang batas kadar Fe-total dalam pupuk organik padat yang berpotensi menyebabkan keracunan Fe untuk tanaman padi sawah. 1.5. Hipotesis 1. Masih banyak ditemukan pupuk organik padat yang beredar di Jawa yang kualitasnya kurang baik 2. Pupuk organik padat dengan kadar Fe-total sebesar 32.000 mg kg-1 yang diaplikasikan di lahan sawah tidak mengakibatkan keracunan Fe pada tanaman padi.