BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumah Sakit Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis professional yang terorganisir serta sarana kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien (Azwar, 1996 ) . 2.2 Pengelompokan Rumah Sakit Mengelompokan rumah sakit berdasarkan dua sudut pandang yaitu berdasarkan jenis dan pengelolanya. Berdasarkan jenisnya yaitu 1. Rumah Sakit Umum 2. Rumah Sakit JiwaRumah 3. Sakit Khusus yang meliputi : A. Rumah Sakit Kusta B. Rumah Sakit Tuberkulosis C. Rumah Sakit Mata D. Rumah Sakit Ortopaedi dan Protease E. Rumah Sakit Bersalin F. Rumah Sakit Khusus Spesialis lainnya. 4. Sedangkan menurut pengelolanya, rumah sakit dibedakan menjadi sebagai berikut A. Rumah Sakit Rumah Sakit Vertikal (Depkes RI) B. Rumah Sakit Propinsi C. Rumah Sakit Kabupaten/Kota D. Rumah Sakit Tentara E. Rumah Sakit Departemen lainnya. F. Rumah Sakit Swasta (Anonim,1997) 2.3 Penggolongan Rumah Sakit Penggolongan Rumah Sakit dibagi menjadi dua yaitu; 1. Berdasarkan pelayanannya: A. Rumah Sakit Umum: RS yang memberikan pelayanan kesehatan semua bidang dan jenis penyakit. B. Rumah Sakit Khusus: RS yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya 2. Berdasarkan kepemilikan dan pengelolaannya: A. Rumah Sakit Publik: RS yang dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Badan Hukum yang bersifat Nirlaba B. Rumah Sakit Privat: RS yang dikelola oleh Badan Hukum dengan tujuan Profit yang berbentuk PT atau persero. 2.4 Tipe Golongan Rumah Sakit Secara umum penggolongan rumah sakit didasarkan kepada kemampuan rumah sakit tersebut memberikan pelayanan medis kepada pasien. Berdasarkan sudut pandang tersebut ada lima tipe golongan rumah sakit di indonesia, yaitu Rumah sakit tipe A, B, C, D dan E. Berikut penjelasanya; 2.4.1 Rumah Sakit Tipe A Adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas oleh pemerintah ditetapkan sebagai rujukan tertinggi (Top Referral Hospital) atau disebut pula sebagai rumah sakit pusat 2.4.2 Rumah Sakit Tipe B Adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis terbatas.Rumah sakit ini didirikan disetiap Ibukota propinsi yabg menampung pelayanan rujukan di rumah sakit kabupaten. 2.4.3 Rumah Sakit Tipe C Adalah rumah sakit yang mapu memberikan pelayanan kedokeran spesialis terbatas.Rumah sakit ini didirikan disetiap ibukota Kabupaten (Regency hospital) yang menampung pelayanan rujukan dari puskesmas. 2.4.3 Rumah Sakit Tipe D Adalah rumah sakit yang bersifat transisi dengan kemampuan hanya memberikan pelayanan kedokteran umum dan gigi. Rumah sakit ini menampung rujukan yang berasal dari puskesmas. 2.4.4 Rumah Sakit Tipe E Adalah rumah sakit khusus (spesial hospital) yang menyalenggarakan hanya satu macam pelayan kesehatan kedokteran saja. Saat ini banyak rumah sakit kelas ini ditemukan misal, rumah sakit kusta, paru, jantung, kanker, ibu dan anak ( Anonim,2000). 2.5 Jenis-Jenis Rumah Sakit 2.5.1 Rumah sakit umum Rumah sakit umum biasanya merupakan fasilitas yang mudah ditemui di suatu negara, dengan kapasitas rawat inap sangat besar untuk perawatan intensif ataupun jangka panjang. Rumah sakit jenis ini juga dilengkapi dengan fasilitas bedah, bedah plastik, ruang bersalin, laboratorium, dan sebagainya. Tetapi kelengkapan fasilitas ini bisa saja bervariasi sesuai kemampuan penyelenggaranya.Rumah sakit yang sangat besar sering disebut Medical Center (pusat kesehatan), biasanya melayani seluruh pengobatan modern.Sebagian besar rumah sakit di Indonesia juga membuka pelayanan kesehatan tanpa menginap (rawat jalan) bagi masyarakat umum (klinik). Biasanya terdapat beberapa klinik/poliklinik di dalam suatu rumah sakit. 2.5.2 Rumah sakit terspesialisasi Jenis ini mencakup trauma center, rumah sakit anak, rumah sakit manula, atau rumah sakit yang melayani kepentingan khusus seperti psychiatric (psychiatric hospital), penyakit pernapasan, dan lain-lain.Rumah sakit bisa terdiri atas gabungan atau pun hanya satu bangunan. 2.5.3 Rumah sakit penelitian/pendidikan Rumah sakit penelitian/pendidikan adalah rumah sakit umum yang terkait dengan kegiatan penelitian dan pendidikan di fakultas kedokteran pada suatu universitas/lembaga pendidikan tinggi. Biasanya rumah sakit ini dipakai untuk pelatihan dokter-dokter muda, uji coba berbagai macam obat baru atau teknik pengobatan baru. Rumah sakit ini diselenggarakan oleh pihak universitas/perguruan tinggi sebagai salah satu wujud pengabdian masyararakat / Tri Dharma perguruan tinggi. 2.5.4 Rumah sakit lembaga/perusahaan Rumah sakit yang didirikan oleh suatu lembaga/perusahaan untuk melayani pasien-pasien yang merupakan anggota lembaga tersebut/karyawan perusahaan tersebut. Alasan pendirian bisa karena penyakit yang berkaitan dengan kegiatan lembaga tersebut (misalnya rumah sakit militer, lapangan udara), bentuk jaminan sosial/pengobatan gratis bagi karyawan, atau karena letak/lokasi perusahaan yang terpencil/jauh dari rumah sakit umum. Biasanya rumah sakit lembaga/perusahaan di Indonesia juga menerima pasien umum dan menyediakan ruang gawat darurat untuk masyarakat umum ( Anonim,2000). 2.6 Profil Rumah Sakit Bunda 2.6.1 Sejarah Berdirinya Rumah Sakit Bunda Rumah Sakit Bunda merupakan salah satu rumah sakit swasta yang ada di Kota Gorontalo. Rumah sakit ini terletak ditempat yang sangat stategis dan mudah di jangkau oleh masyarakat Gorontalo.Rumah Sakit yang berada di jalan Prof. Dr. H.B. YassinNo. 269 ini masih tergolong rumah sakit sederhana yang bertipe C, dimana rumah sakit ini hanya mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialitik dasar. Rumah Sakit Bunda didirikan pada tanggal 17 Maret 2007 yang diprakarsai oleh PT. Surya Medis Pratama. Pada awal terbentuknya, Rumah Sakit ini hanya berupa Rumah Sakit Bersalin. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat khususnya di Propinsi Gorontalo, dr. Librioda Suminar, Sp.M selaku direktur Rumah Sakit atas nama PT. Surya Medis Pratama bermaksud untuk memperluas pelayanan dengan menambahkan Fasilitas untuk Bedah Umum dan Sub Spesialistik Bedah lainnya. Pada tanggal 20 April 2010 penyelenggaraan Rumah Sakit Khusus dengan nama “Rumah Sakit Bedah Bunda” terlaksana. Sementara izin pengoperasian Rumah Sakit ini sebagai tempat usaha di tetapkan pada tanggal 13 Juli 20 Adapun visi dan misi dari Rumah Sakit Bunda adalah : Visi : “menjadi rumah sakit swasta yang memiliki keunggulan dalam pelayanan pasien”. Misi : “memberikan pelayanan keehatan yang bermutu, cepat, tepat, ramah, dan informatif pada masyaraka” 2.6.2 Struktur Organisasi Rumah Sakit Bunda Mengatur semua kebijakan yang akan dijalankan di Rumah Sakit. Di Rumah Sakit Rumah Sakit Bunda pemegang kekuasaan tertinggi pada seorang direktur. DirekBunda terdapat penanggung jawab/kepala ruangan yang berkoordinasi langsung dengan wakil direktur. Direktur Dr. LibriodaSuminar, Sp.M KomiteMedik Kabid. PelayananMedis Dr. FitriyantoRajak Kabid. AdministrasidanKeuangan YuningsihUsula Kabid. Keperawatan Novita Arlen Pontoh, S.Kep, Ns Gambar 1. Struktur Organisasi Ruah Sakit Bunda Gambar 2. Struktur Organisasi Rumah Sakit ( Anonim, 2012) 2.1.2 Personalia Berikut daftar ketenagaan baik medis maupun penunjang medis di Rumah Sakit Bunda : Dokter umum : 10 Orang 1. Dokter Spesialis : 21 Orang, antara lain(Sp. Penyakit dalam, Sp. Anak, Sp. Ortopedy, Sp. Mata, Sp. THT, dan Sp. Jantung, Sp. Kebidanan dan Kandungan, Sp. Anak) 2. Dokter tetap : 8 Orang 3. apoteker : 1 Orang 4. Perawat : 20 Orang 5. Bidan : 9 Orang 6. Tenaga Administrasi : 4 Orang 7. Tenaga farmasi : 4 Orang 2.1.4 Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Bunda Kegiatan kefarmasian di Rumah Sakit Bunda berorientasi kepada kepentingan pasien yaitu dengan menyelenggarakan sediaan farmasi, pengelolaan obat, pendistribusian obat, dan pelayanan obat atas resep dokter serta kegiatan lain seperti pendidikan. Kegiatan kefarmasian di rumah sakit ini mengaju pada pedoman pengelolaan/manajemen perbekalan farmasi dan alat kesehatan. Distribusi perbekalan farmasi untuk untuk pasien o, distribusi sistem paket.Sistem ini biasanya diterapkan di rumah sakit kecil.Sistem ini dijalankan dengan memberikan kebutuhan obat kepada konsumen/pasien menggunakan persediaan-persediaan obat yang sudah disiapkan dalam bentuk paket. Perbekalan farmasi serta alat kesehatan yang termasuk dalam paket operasi. Akan tetapi, tidak semua obat dan alat kesehatan yang masuk dalam paket harus dibayar pasien. Pasien hanya akan membayar obat dan alat kesehatan yang digunakannya dalam paket. Jika masih terdapat sisa paket, maka sisanya akan dikembalikan ke Apotek dan kembali menjadi stok Apotik. 2.2Antibiotik 2.2.1 Defenisi Zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama fungi, yang dapat menghambat pertumbuhan atau membasmi mikroba jenis lain. Antibiotik juga dapar dibuat secara sintesis. Antimikroba diartikan sebagai obat pembasmi mikroba khususnya yang merugikan manusia.(Tjay dan Rahardja, 2002). 2.2.2 Mekanisme Kerja Antibiotik dan Resistensi. Cara kerja antibiotik yaitu Antibiotik memiliki cara kerja sebagai bakterisidal (membunuh bakteri secara langsung) atau bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Pada kondisi bakteriostasis, mekanisme pertahanan tubuh inang seperti fagositosis dan produksi antibodi biasanya akan merusak mikroorganisme. Ada beberapa cara kerja antibiotik terhadap bakteri sebagai targetnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel, menghambat sintesis protein, merusak membran plasma, menghambat sintesis asam nukleat, dan menghambat sintesis metabolit esensial. Dinding sel bakteri terdiri atas jaringan makromolekuler yang disebut peptidoglikan. Penisilin dan beberapa antibiotik lainnya mencegah sintesis peptidoglikan yang utuh sehingga dinding sel akan melemah dan akibatnya sel bakteri akan mengalami lisis. Riboson merupakan mesin untuk menyintesis protein. Sel eukariot memiliki ribosom 80S, sedangkan sel prokariot 70S (terdiri atas unit 50S dan 30S). Perbedaan dalam struktur ribosom akan mempengaruhi toksisitas selektif antibiotik yang akan mempengaruhi sintesis protein. Di antara antibiotik yang mempengaruhi sintesis protein adalah kloramfenikol, eritromisin, streptomisin, dan tetrasiklin(Tjay dan Rahardja, 2002). Kloramfenikol akan bereaksi dengan unit 50S ribosom dan akan menghambat pembentukan ikatan peptida pada rantai polipeptida yang sedang terbentuk. Kebanyakan antibiotik yang menghambat protein sintesis memiliki aktivitas spektrum yang luas. Tetrasiklin menghambat perlekatan tRNA yang membawa asam amino ke ribosom sehingga penambahan asam amino ke rantai polipeptida yang sedang dibentuk terhambat. Antibiotik aminoglikosida, seperti streptomisin dan gentamisin, mempengaruhi tahap awal dari sintesis protein dengan mengubah bentuk unit 30S ribosom yang akan mengakibatkan kode genetik pada mRNA tidak terbaca dengan baik. Antibiotik tertentu, terutama antibiotik polipeptida, menyebabkan perubahan permeabilitas membran plasma yang akan mengakibatkan kehilangan metabolit penting dari sel bakteri. Sebagai contoh adalah polimiksin B yang menyebabkan kerusakan membran plasma dengan melekat pada fosfolipid membran. Sejumlah antibiotik mempengaruhi proses replikasi DNA/RNA dan transkripsi pada bakteri. Contoh dari golongan ini adalah rifampin dan quinolon. Rifampin menghambat sintesis mRNA, sedangkan quinolon menghambat sintesis DNA(Tjay dan Rahardja, 2002). 2.2.3 Mekanisme Resistensi Pada awalnya, problema resistensi bakteri terhadap antibiotik telah dapat dipecahkan dengan adanya penemuan golongan baru dari antibiotik, seperti aminoglikosida, makrolida, dan glikopeptida, juga dengan modifikasi kimiawi dari antibiotik yang sudah ada. Namun, tidak ada jaminan bahwa pengembangan antibiotik baru dapat mencegah kemampuan bakteri patogen untuk menjadi resisten. Berdasarkan hasil studi tentang mekanisme dan epidemiologi dari resistensi antibiotik telah nyata bahwa bakteri memiliki seperangkat cara untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang mengandung antibiotik. Mekanisme resistensi pada bakteri meliputi mutasi, penghambatan aktivitas antibiotik secara enzimatik, perubahan protein yang merupakan target antibiotik, perubahan jalur metabolik, efluks antibiotik, perubahan pada porin channel, dan perubahan permeabilitas membran. Mutasi genetik tunggal mungkin menyebabkan terjadinya resistensi tanpa perubahan patogenitas atau viabilitas dari satu strain bakteri. Perkembangan resistensi terhadap obat-obat antituberkulos, seperti streptomisin, merupakan contoh klasik dari perubahan tipe ini. Secara teoretis ada kemungkinan untuk mengatasi resistensi mutasional dengan administrasi suatu kombinasi antibiotik dalam dosis yang cukup untuk eradikasi infeksi sehingga mencegah penyebaran bakteri resisten orang ke orang. Namun, adanya emergensi yang meluas dari multidrug resistant Mycobacterium tuberculosis memperlihatkan bahwa tidak mudah untuk mengatasi resistensi dengan formula kombinasi. Contoh lain resistensi mutasional yang juga penting adalah perkembangan resistensi fluoroquinolone pada stafilokokki, Pseudomonas aeruginosa, dan patogen lain melalui perubahan pada DNA topoisomerase. Kejadian mutasi mungkin juga mengubah mekanisme resistensi yang ada menjadi lebih efektif atau memberikan spektrum aktivitas yang lebih luas. Problem yang cukup penting adalah kemampuan bakteri untuk mendapatkan materi genetik eksogenus yang mengantarkan terjadinya resistensi. Spesies pada peneumokokki dan meningokokki dapat "mengambil" materi DNA di luar sel (eksogenus) dan mengombinasikannya ke dalam kromosom. Banyak materi genetik yang bertanggung jawab terhadap resistensi ditemukan pada plasmid yang dapat ditransfer atau pada transposon yang dapat disebarluaskan di antara berbagai bakteri dengan proses konjugasi. Transposon merupakan potongan DNA yang bersifat mobile yang dapat menyisip masuk ke dalam berbagai lokasi pada kromosom bakteri, plasmid atau DNA bakteriofag. Beberapa transposon atau plasmid memiliki elemen genetik yang disebut integron yang mampu "menangkap" gen-gen eksogenus. Sejumlah gen kemungkinan dapat disisipkan ke dalam integron yang menghasilkan resistensi terhadap beberapa bahan (Tjay dan Rahardja, 2002). 2.2.4 Jenis-jenis Antibiotik Ada banyak cara untuk menggolongkan antibiotik, salah satunya berdasarkan struktur kimianya. Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut: ( Tjay dan Raharja,2002) 1. Golongan aminoglikosida yaitu : amikasin, gentamisin, strepromisin, kanamisin, tobramisin, netilmisin, neomisin. 2. Golongan beta-laktam yaitu : imipenem, meropenem. 3. Golongan polipeptida yaitu : polimiksin B, dan basitrasin. 4. Golongan kinolon yaitu asam nalidiksilat, siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, fleroksasin. 5. Golongan penisilin yaitu : benzilpenisilin, fenoksimetilpenisilin, kloksasilin, asam kalvulanat, ampisilin. 6. Golongan glikopeptida yaitu : vankomisin, teikoplanin. 7. Golongan tetrasiklin yaitu : tetrasiklin, dosisiklin. 8. Golongan sulfonamida yaitu : kotrimoksazol, timetoprin. 9. Golongan makrolida yaitu : eritromisin, azitromisin, spiramisin, linkomisin, klindamisin. 10. Golongan antibiotik lain yaitu : kloramfenikol, dan asam fusidat. Pemberian antibiotik pada paskah operasi tergantung dari jenis operasi antibiotika; akan tetapi, sesudah histereknomi total dengan pembukaan vagina, sebaiknya obat tersebut diberikan ( Wiknjosastro, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi antibiotik untuk mencapai efek terapi yaitu : 1. Spektrum kepekaan kuman 2. Dosis, rute, frekuensi, pemberian untuk mencapai konsentrasi terapeutis 3. Farmakokinetik 4. Antibiotika berbeda dalam absorbsi oralnya 5. Kemampuan antibiotika untuk mencapai konsentrasi yang efektif ditempat infeksi tergantung dari : 1. Kelarutan dalam air/ lemak 2. Aliran darah ke tempat infeksi 3. Kemampuannya untuk melewati sawar darah-otak 1. Efek sinergistik, misalnya asam klavulanat + amocixilin 2. Interaksi obat misalnya : 3. Warfarin dengan rifampisin. 4. Antibiotika yang bakteriostatik bila dikombinasikan dengan antibiotika yang bakterisidal mungkin efeknya antagonistik. 5. Beberapa antibiotika mempunyai efek samping yang berat dan sebaiknya tidak diberikan pada keadaan-keadaan tertentu. 1. Bila memperhitungkan biaya, lebih tepat menghitung biaya pengobatan total daripada unit cost perdosis. 2. Kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Pasien lebih patuh terhadap pengobatan jangka pendek dan dosis sekali sehari (Aslam dan tani, 2003) 2.2.5 Aturan Penggunaan Antibiotik Antibiotik digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi akibat kuman atau juga untuk prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar (Tjay dan Rahardja, 2002). Indikasi untuk pemberian antibiotik pada seorang pasien haruslah diperitmbangkan dengan seksama, dan sangat tergantung pada pengalaman pengamatan klinik dokter yang mengobati pasien (Fakultas Kedokteran, 2007). 2.3 Ceftriaxone 2.3.1 Defenisi Kelompok obat yang disebut Sefalosporin antibiotik. Ceftriaxone bekerja dengan cara mematikan bakteri dalam tubuhMerupakan golongan sefalosporin yang mempunyai spektrum luas dengan waktu paruh eliminasi 8 jam. Efektif terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif. Ceftriaxone sangat stabil terhadap enzim laktamase (Anonim, 2007). 2.3.2 Farmakokinetik Ceftriaxone diabsorpsi lengkap setelah pemberian IM dengan kadar plasma maksimum rata-rata antara 2-3 jam setelah pemberian. Dosis multipel IV atau IM dengan interval waktu 12-24 jam, dengan dosis 0,5-2g menghasilkan akumulasi sebesar 15-36 % diatas nilai dosis tunggal. Sebanyak 33-67 % ceftriaxone yang diberikan, akan diekskresikan dalam uring dalam bentuk yang tidak diubah dan sisanya diekskresikan dalam empedu dan sebagian kecil dalam feses sebagai bentuk inaktif. Setelah pemberian dosis 1g IV, kadar rata-rata ceftriaxone 1-3 jam setelah pemberian adalah : 501 mg/ml dalam kandung empedu, 100 mg/ml dalam saluran empedu, 098 mg dalam duktus sistikus, 78,2 mg/ml dalam dinding kandung empedu dan 62,1 mg/ml dalam plasma. Setelah pemberian dosis 0,15-3g, maka waktu paruh eliminasinya berkisar antara 5-8 jam, volume distribusinya sebesar 5,70-13,5 L, klirens plasma 0,50-1,45 L/jam dan klirens ginjal 0,32-0,73 L/jam.Ikatan protein ceftriaxone bersifat reversibel dan besarnya adalah 85-95 %. Ceftriaxone menembus selaput otak yang mengalami peradangan pada bayi dan anak-anak dan kadarnya dalam cairan otak setelah pemberian dosis 50 mg/kg dan 75 mg/kg IV, berkisar antara 1,3-18,5 ug/ml dan 1,3-44 ug/ml. Dibanding pada orang dewasa sehat, farmakokinetik ceftriaxone hanya sedikit sekali terganggu pada usia lanjut dan juga pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal/hati, karena itu tidak diperlukan (Anonim, 2007). 2.3.3 Fakmakodinamik Efek bakterisida ceftriaxone dihasilkan akibat penghambatan sintesis dinding kuman. Ceftriaxone mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap betalaktanase, baik terhadap penisilinase maupun sefalosporinase yang dihasilkan oleh kuman gram-negatif (Anonim, 2007). 2.3.4 Indikasi Untuk infeksi- infeksi berat dan yang disebabkan oleh kuman-kuman gram positif maupun gram negatif yang resisten terhadap antibiotika lainnya, misalnya : 1. Infeksi saluran pernafasan 2. Infeksi saluran kemih 3. Infeksi gonoreal 4. Septisemia bakteri 5. Infeksi tulang dan jaringan 6. Infeksi kulit (Anief, 2004). 2.3.5 Dosis 1. 1-2 gr melalui otot (intra muscular) atau melalui pembuluh darah (intra vascular), lakukan setiap 24 jam, atau dibagi menjadi setiap 12 jam. 2. Dosis maksimum: 4 gr/hari 3. Dewasa dan anak-anak diatas 12 tahun : 1-2 gram sehari secara intra vena 4. Bayi dan ank-anak dibawah 12 tahun : a. Bayi 14 hari : 20 – 50 mg/kg bb sehari b. Bayi 15 hari sampai 12 tahun : 20 – 80 mg/kg bb sehari c. Anak-anak dengan BB 50 kg atau lebih : dosis dewasa melalui infus paling sedikit 30 menit 5. Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, kliren kreatinin tidak lebih dari 10 ml/menit, dosis tidak lebih dari 2 gram perhari (Anonim , 2007). 2.3.6 Efek Samping Secara umum ceftriaxone dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dapat ditemukan adalah Reaksi lokal : Sakit, indurasi atau nyeri tekan pada tempat suntikan dan phlebitis setelah pemberian intravena. 1. Hipersensitivitas: Ruam kulit dan kadang-kadang pruritus,demam atau menggigil Hematologik : Eosinofilia, trombositosis, lekopenia dan kadangkadang anemia, anemia hemolitik, netropenia, limfopenia, trombositopenia dan pemanjangan waktu protrombia. Saluran cerna : Diare dan kadang-kadang mual, muntah, disgeusia Hati : Peningkatan SGOT atau SGPT dan kadangkadang peningkatan fosfatase alkali dan bilirubin. Ginjal : Peningkatan BUN dan kadang-kadang peningkatan kreatinin serta ditemukan silinder dalam urin Susunan saraf pusat : Kadang-kadang timbul sakit kepala atau pusing. Saluran kemih dan genital : Kadang-kadang dilaporkan monitiasis.Reaksi hipersensitivitas (urticaria, pruritus, ruam, reaksi parah seperti anaphylaxis bisa terjadi); Efek GI (diare, N/V, diare/radang usus besar); Efek lainnya (infeksi candidal). 2. Dosis tinggi bisa dihubungkan dengan efek CNS (encephalopathy, convulsion); Efek hematologis yang jarang; pengaruh terhadap ginjal dan hati juga terjadi. Perpanjangan PT (prothrombin time), perpanjangan APTT (activated partial thromboplastin time), dan atau hypoprothrombinemia (dengan atau tanpa pendarahan) dikabarkan terjadi, kebanyakan terjadi dengan rangkaian sisi NMTT yang mengandung sefalosporin (Anonim, 2007) 2.4Typhoid 2.4.1 pengertian Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonell Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi ( Manjoer, 1999 ). Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C, sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Noer, 1996 ). 2.4.2Etiologi Typhoid adalah bakteri Gram-negatif, Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik (Junowo, 1999). 2.4.3 Patogenesis Salmonella typhi hanya dapat menyebabkan gejala tifoid pada manusia. Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman berspora, motile, berflagela,berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37ºC (15ºC-41ºC), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4ºC selama satu jam, dan 60ºC selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella memunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa dan sukrosa. Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu (1) proses invasi kuman S.typhi ke dinding sel epitel usus, (2) proses kemampuan hidup dalam makrofag dan (3) proses berkembang biaknya kuman dalam makrofag. Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk menahan dan membunuh kuman patogen ini, yaitu dengan adanya (1) mekanisme pertahanan non spesifik di saluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik, dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan selular. Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai di lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non-spesifik yang bersifat kimiawi yaitu adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi asam lambung. Untuk menimbulkan infeksi diperlukan S.typhi sebanyak 105-109 yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrotektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut S.typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh. Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian S.typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman (Junowo, 1999). 2.4.4 Pendekatan Diagnosis Demam Tifoid Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan (Junowo, 1999). Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis, dan serologis. Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu (1) isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot, (2) uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi, dan (3) pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi (Manjoer, 1999). Patogenesis perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih belum jelas, umumnya ditandai dengan leukopenia, limfositosis realtif dan menghilangnya eosinofil (aneosinofilia). Dahulu dikatakan bahwa leukopenia mempunyai nilai diagnostik yang penting, namun hanya sebagian kecil penderita demam tifoid mempunyai gambaran tersebut. Diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah (Junowo, 1999). Diagnosis demam tifoid dengan biakan kuman sebenarnya amat diagnostik namun identifikasi kuman S.typhi memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah seringkali positif pada awal penyakit sedangkan biakan urin dan tinja, positif setelah terjadi septikemia sekunder. Biakan sumsum tulang dan kelenjar limfe atau jaringan retikulo endotelial lainnya sering masih positif setelah darah steril. Pemeriksaan Widal, meskipun kegunaannya masih banyak diperdebatkan, jika interpretasi dilakukan dengan hati-hati dan memperdebatkan sensitivitas, spesifitas, serta perkiraan nilai Widal pada laboratorium dan populasi setempat, maka angka Widal cukup bermakna (Noer, 1999). Diagnosis pasti demam tifoid bila ditemukan kuman S.typhi dari darah, urin, tinja, sumsum tulang, cairan duodenum atau rose spots. Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan tinja. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung beberapa faktor. Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan media empedu, serta (3) waktu pengambilan darah. Untuk menetralisir efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat kuman pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan darah paling baik adalah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik, karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam darah (Junowo, 1999). Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif hanya pada 10% penderita. Setelah minggu ke-empat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di dalam darah. Bila terjadi relaps, maka biakan darah akan positif kembali.Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam setelah pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dimatikan. Oleh karena itu pemeriksaan biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik.Walaupun metoda biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik namun memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan kesehatan sederhana yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap(Noer, 1996). Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum (Noer, 1996). Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi (Noer. 1996). Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96%. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi (karier). Meskipun uji serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Sampai saat ini uji serologi Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point). Interpretasi pemeriksaan Widal harus hati-hati karena banyak faktor yang mempengaruhi antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non endemis), riwayat mendapat imunisasi sebelumnya, dan reaksi silang (Noer, 1996).