Kebijakan SDM Aparatur ditinjau dari Perspektif

advertisement
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
Kebijakan SDM Aparatur ditinjau dari Perspektif Hubungan
Kapasitas Aparatur dan Perwujudan Good Governance
Lidya Mildiana
Pengembangan Sumberdaya Manusia, Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya
Abstract
Human resources policy apparatus viewed from the perspective of the relationship of human capacity and realization of good
governance. From this awareness of the importance of human resource development apparatus, to determine issues of strategic
staffing challenges and opportunities to improve the management of human resources management. So that future human resource
development apparatus can generate a productive employee, spry, have the skills, behavior, performance, and professional. But in
fact the wheels of government officials is still less than optimal capacity to be able to realize good governance. Initial error of the
system are considered speculative recruitment, appointment of officials who are still under the influence of structural political
pressure, and the placement process, the promotion is also so irrational, recruitment system must be seen as integral, not partial.
Local Government should be consistent in this process by implementing the principles of participation (participatory), the rule of
law (Rule of Law), transparency (Transparency), responsive (responsiveness), oriented agreements (Consensus orientation), equity
(Equity), effective and efficient (effectiveness and efficiency), accountability (Accountability) in the placement of personnel policies
on structural position, as well as minimizing the use of political approaches
Keywords: Good Governance, Public Service, Human Resource personnel, Bureaucratic Reform
Pendahuluan
Kebijakan pengembangan SDM (sumber
daya manusia) berfokus pada kualitas tenaga
kerja termasuk di dalamnya aparatur. Kualitas
adalah fungsi dari pendidikan dasar dan lanjut,
program training, dan kesehatan populasi
secara keseluruhan. Kualitas dan kemampuan
beradaptasi aparatur adalah kunci pengendali
di dalam penciptaan sebuah lingkungan yang
nyaman untuk dapat beradaptasi dengan cepat
terhadap lingkungan yang terus berubah.
Upaya pemerintah untuk melakukan
pembinaan aparatur negara masih memerlukan
sebuah kerja keras. Pasalnya kualitas SDM
aparatur secara umum masih sangat rendah
dan jauh dari harapan. Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara saat ini, Azwar Abubakar,
pernah menyatakan bahwa dari sekitar kurang
lebih 4,5 juta pegawai negeri sipil (PNS) di
negeri ini, hanya ada sekitar 5% yang dianggap
kategori berkualitas, sementara 95% lainnya
dianggap masih rendah.
Rendahnya kualitas SDM aparatur negara
ini menjadi salah satu masalah di birokrasi
pemerintahan saat ini. Oleh karena itu perlu
dilakukan reformasi pada semua instansi
pemerintahan di semua tingkatan. Untuk
menangani masalah aparatur pemerintah yang
berkualitas rendah ini harus dilakukan
pembinaan termasuk bagaimana memposisikan
aparatur pada bidangnya. Dan ketimpangan
jumlah aparat pada instansi satu dan lainnya.
Rendahnya
kualitas
aparatur
ini
berbanding terbalik dengan belanja pegawai
yang sangat tinggi. Yaitu belanja pegawai di
daerah rata-rata diatas 70 persen. Di sisi lain
sebagian besar masyarakat merasa tidak puas
dengan pelayanan yang diberikan pemerintah.
Kendati kualitas aparatur rendah serta tingkat
kepuasan publik tentang pelayanan juga
rendah, pemerintah tetap berupaya untuk
meningkatkan kesejahteraan PNS melalui
kenaikan gaji pokok berkala serta kemungkinan
pemberian remunerasi.
Pengembangan atau perubahan organisasi
pemerintah merupakan suatu tuntutan yang
senantiasa
dilakukan
secara
sistematis.
Pengembangan organisasi didasarkan pada
upaya
penyesuaian
terhadap
berbagai
perubahan yang telah, sedang, maupun yang
akan terjadi. Karena itu setiap organisasi harus
melakukan evaluasi secara terus menerus
terhadap hubungan atau nilai tawar organisasi
450
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
yag dimilikinya dengan seluruh sistem yang
melingkupinya.
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya
aparatur tidak hanya persoalan merubah
individunya saja, tetapi bagaimana juga
merubah sistem dalam organisasi pemerintahan
tersebut
misalnya
aturan-aturan
dari
organisasi, struktur organisasi, atau dapat
dikatakan pembenahan dalam kelembagaan
organisasi pemerintahan tersebut terlebih
dahulu. Jika perubahan dilakukan terlebih
dahulu terhadap aparatur sedangkan organisasi
tersebut tidak menginginkan untuk berubah
maka tidak akan berguna karena aparatur
akan secara tidak langsung dan lama kelamaan
akan mengikuti arus besar organisasi tersebut.
Jika pimpinan organisasi tidak menginginkan
perubahan maka aparatur di bawahnya tentu
saja akan sulit untuk menolak. Inilah beberapa
hal yang ditakutkan jika dalam suatu
organisasi atau lembaga publik pembenahan
sumber daya dilakukan terhadap aparaturnya
terlebih
dahulu
dengan
mengabaikan
pembenahan sistem organisasi.
Di era globalisasi yang penuh persaingan
ini, telah terjadi reformasi di berbagai bidang
kehidupan. Komunikasi dan informasi telah
menimbulkan dampak yang signifikan di
seluruh aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Reformasi pemerintahan yang
terjadi di Indonesia telah mengakibatkan
terjadinya
pergeseran
paradigma
penyelenggaraan pemerintahan dari paradigma
sentralistis ke arah desentralisasi yang ditandai
dengan pemberian otonomi yang luas dan nyata
kepada
daerah
dengan
diberlakukannya
undang-undang no 32 tahun 2004 tentang
pemerintah daerah.
Sejak dilaksanakannya UU no 32 tahun
2004, pemerintah telah melakukan beberapa
kegiatan secara mendasar untuk menunjang
otonomi khusus tersebut antara lain penataan
kelembagaan, penataan kewenangan, penataan
personil,
penataan
dokumen,
penataan
keuangan dan aset, serta termasuk juga
kegiatan-kegiatan
peningkatan
kapasitas
aparatur. Semua kegiatan dalam rangka
menunjang implementasi otonomi daerah di
atas
mengakibatkan
pemerintah
daerah
menerima kewenangan dan pengelolaan sumber
daya (manusia dan non-manusia) yang besar
beserta pula tanggung jawabnya. Untuk dapat
mengelola sumber daya yang sedemikian besar
itu, pemerintah daerah dituntut memiliki
sumber daya aparatur yang berkualitas, yaitu
memiliki kemampuan teknis dan manajerial,
profesionalisme, dan komitmen yang tinggi agar
dapat menjamin tercapainya good governance.
Artinya dalam hal menyikapi perubahan
terhadap undang-undang yang telah berlaku
saat ini adalah bahwa kemudian diperlukannya
kesiapan
pemerintah
dalam
mengimplementasikan apa yang menjadi tujuan
dari pencapaian sasaran lembaga-lembaga
pemerintah yang ada dan juga bagaimana
pemerintah menyiapkan peran-peran yang
akan
menjalankan
amanat
yang
telah
dibebankan dalam undang-undang tersebut.
Namun pemerintah khususnya daerah harus
melihat terlebih dahulu bagaimana dan sejauh
mana kesiapan dari tiap-tiap lembaga dalam
menyiapkan hal utama yang akan dibenahi.
Dalam hal ini yang akan dibenahi adalah
dengan mempersiapkan sumber daya aparatur
karena hal inilah yang menjadi subjek maupun
objek dalam melakukan perubahan ini karena
pembenahan aparatur merupakan komponen
utama dalam proses pembangunan daerah.
Untuk itu jika dilihat dalam berbagai
kajian bahwa kritik masyarakat terhadap
semakin buruknya kinerja, produktivitas, serta
motivasi
aparatur
pemerintahan
daerah
diseluruh Indonesia mulai dari level atas
hingga pemerintah level paling bawah (kepala
desa) sebagai penyedia layanan (service
provider) bagi masyarakat antara lain di
sebabkan karena kurangnya kesiapan Sumber
Daya Manusia bagi apratur pemerintahan
daerah.
Oleh karena itu, diharapkan pemerintah
daerah dapat mengambil langkah-langkah
konkrit untuk perbaikan kinerja aparatur
sebagai penyedia layanan terhadap masyarakat
melalui peningkatan kualitas sumber daya
aparatur pemerintahan secara profesional dan
terencana serta adanya kebijakan-kebijakan
khusus dalam meningkatkan kualitas sumber
daya aparatur pemerintahan sebagai penyedia
layanan (service provider) tersebut.
Ada
dua
faktor
mendasar
yang
mempengaruhi peningkatan kualitas kinerja
aparatur pemerintah daerah di seluruh
Indonesia dalam meningkatkan pemberian
pelayanan kepada masyarakat antara lain
sebagai berikut:
451
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
1. Sistem Rekrutmen Pegawai Negeri
Rekrutmen adalah proses mendapatkan
sejumlah calon tenaga kerja yang kualifaid
untuk jabatan dan pekerjaan tertentu dalam
suatu organisasi atau perusahaan (Stoner,
1995).
Tujuan
dari
rekrutmen
adalah
mendapatkan
calon
tenaga
kerja
yang
memungkinkan pihak manajemen untuk
memilih atau menyeleksi calon sesuai dengan
kualifikasi yang dibutuhkan oleh organisasi
atau perusahaan.
Penerimaan pegawai yang baik dan benar
akan mendapatkan tenaga-tenaga aparatur
negara yang berkualitas baik dan sesuai dengan
kompetensi
yang
dibutuhkan.
Namun
kenyataannya hal tersebut tidak sesuai dengan
yang terjadi, bahkan disinilah awal mula
kesalahan atau kebobrokan dari pegawai.
Pegawai adalah unsur utama sumber daya
manusia aparatur negara yang mempunyai
peranan
penting
dalam
menentukan
keberhasilan
penyelenggaraan
pemerintah
daerah dalam hal ini pihak pembuat kebijakan
agar ke depan lebih jeli melihat persoalan
ini,karena rekrutmen Calon Pegawai Negeri
Sipil merupakan hal mendasar yang dapat
menentukan
kualitas
kinerja
aparatur
pemerintahan itu sendiri terhadap peningkatan
pelayanan
masyarakat
sebagai
penyedia
layanan.
Rekrutmen adalah sebagai pintu utama
dalam
manajemen
sumberdaya
manusia
ternyata tidak selamanya digunakan sebagai
pangkal penempatan dan pengembangan
sumberdaya
manusia.
Dalam
beberapa
kenyataan hal-hal ini akan di tunjukkan dalam
kasus promosi, mutasi dan penempatan seperti
yang terjadi dalam kasus penerapan Peraturan
Pemerintah (PP) No.8 Tahun 2003. Rekrutmen
yang katanya melalui tes, ternyata secara
umum tidak bisa digunakan sebagai instrument
yang predictable dalam kaitannya dengan Track
karier di kemudian hari. Seperti lingkaran
setan, rekrutmen didasarkan pada anjab yang
kemudian dikaitkan dengan analisis kebutuhan
pegawai, namun kalau kedua hal tersebut tidak
dilakukan dengan baik, maka penentuan
kebutuhan pegawai akhirnya spekulatif. Kalau
kemudian rekrutmen spekulatif, maka proses
penempatan, promosi dan seterusnya juga tidak
rasional, sistem rekrutmen memang harus
dilihat secara integral, bukan partial.
Proses rekrutmen merupakan sebuah
proses awal untuk mendapat pegawai yang
berkualitas artinya dengan demikian proses ini
harus dibenahi karena ini merupakan proses
awal dalam mendapatkan pegawai karena bila
dalam proses ini hancur dan tenaga pegawai
yang didapatkan tidak sesuai yang diharapkan,
maka kedepannya juga pegawai tersebut tidak
akan dapat bekerja secara maksimal. Maka hal
apa yang kemudian pertama harus dibenahi
adalah pembenahan dalam proses rekrutmen.
2. Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri
Pembinaan aparatur perlu diperhatikan
untuk
dapat
meningkatkan
kualitas
sumberdaya
melalui
mengikutsertakan
pendidikan dan pelatihan (Diklat) yang tersedia
dan bermutu. Dalam hal ini, pedidikan dan
pelatihan yang mengarah kepada 3 (tiga) aspek,
yaitu (1) meningkatkan sikap dan semangat
pengabdian yang berorientasi pada kepentingan
masyarakat,
bangsa
dan
negara.
(2)
meningkatkan potensi teknik dan manajerial
dan atau kepemimpinan. (3) meningkatkan
efisiensi, efektifitas, dan kualitas, pelaksanaan
tugas yang dilakukan dengan semangat
kerjasama dan tanggung jawab sesuai dengan
lingkungan kerja dan organisasinya.
Pengembangan sumberdaya manusia bagi
aparatur pemerintahan, melalui pendidikan
dan pelatihan (Diklat) merupakan faktor
dominan dalam meningkatkan efisiensi kinerja,
serta produktifitas kinerja pegawai agar
Pegawai dapat menyesuaikan diri dengan
tuntutan nasionaldan tantangan global. Dalam
upaya meningkatkan efisiensi kinerja, serta
produktivitas
kinerja
aparatur
melalui
pendidikan maupun pelatihan-pelatihan serta
pembinaan-pembinaan terhadap pegawai.
Menyadari
akan
persoalan
tersebut
diperlukan upaya-upaya pemerintah daerah
secara terus menerus dalam meningkatkan
pembinaan
dan
pengembangan
program
pendidikan dan pelatihan. Sebab diklat itu
sendiri pada hakekatnya “proses transformasi
kualitas sumberdaya manusia aparatur negara”
yang menyentuh empat dimensi utama yaitu
dimensi spiritual, intelektual, mental dan
physical yang terarah pada perubahanperubahan mutu dari keempat dimensi
sumberdaya aparatur pemerintah itu.
Hal
ini
menjadi
tanggung
jawab
452
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
pemerintah daerah dalam meningkatkan
sumber daya aparatur pemerintah agar
Pegawai dapat berkembang ke arah yang lebih
maju sesuai dengan kebutuhn dan kondisi
perkembangan zaman. Diperlukan pembinaan
pegawai di setiap instansi pemerintahan.
Dengan harapan di setiap instansi mempunyai
kewajiban
untuk
menyusun
program
pendidikan Diklat.
Masalah ini perlu dipikirkan secara baik
dan bijaksana, sebab sumber daya manusia
aparatur pemerintahan merupakan power bagi
pelayanan
publik
demi
suksesnya
pembangunan
di
seluruh
bidang
serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah
Daerah
tidak
dapat
memungkiri bahwa dalam meningkatkan
sumber daya manusia dalam bidang aparatur
pemerintahan yang cerdas, berdisiplin, tanggap,
bijaksana, profesional, mempunyai mentalitas
rohani dan jasmani yang baik serta terampil
dalam mensosialisasikan setiap kebijakan baik
dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah
daerah. Untuk menciptakan sumber daya
aparatur pemerintahan yang handal dan
profesional diperlukan suatu pengorbanan,
sehingga harus memiliki komitmen bersama
antara pemerintah dan masyarakat untuk
mewujudkan
pemerintahan
yang
bersih,
bertanggung jawab dan tidak adanya Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN). Agar seluruh
daerah di Indonesia menjadi setara dan merata.
Artinya dalam hal ini bahwa selain
rekrutmen pelatih kepada pegawai juga sangat
diperlukan karena kalau kemudian kita melihat
ke belakang apa yang menjadi permasalahan di
dalam proses pelatihan pegawai adalah tidak
adanya sebuah hasil yang dapat diperoleh atau
diterapkan pada saat kembali dari pelatihan
karena
biasanya
para
pegawai
tidak
mendapatkan hasil maksimal setelah kembali
dari diklat atau dengan kata lain setelah diklat
para pegawai tersebut bukannya tambah
menjadi lebih baik atau tetapi malah terkesan
menjadi lebih buruk dan terkesan malasmalasan dalam menjalankan tugasnya. Oleh
karena itu untuk dapat mengambil sebuah
solusi perlu diadakan pembenahan secara
serius dalam proses pelatihan pegawai,
misalnya saja dengan mengambil pemateri dari
luar yang lebih berkualitas, kemudian agar
mereka tidak lupa dengan apa yang dia
dapatkan dalam pelatihan, maka setiap
kembali dari diklat diharapkan para pegawai
tersebut untuk mempresentasikan beberapa
poin-poin penting yang dia dapatkan dari
pelatihan tersebut agar lebih efektif dan tidak
lupa.
Dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan
revolusi teknologi informasi (e-Government)
merupakan tantangan tersendiri dalam upaya
menciptakan pemerintahan yang bersih, baik
dan berwibawa. Hal tersebut terkait dengan
makin meningkatnya ketidakpastian akibat
perubahan faktor lingkungan politik, ekonomi,
dan sosial yang terjadi dengan cepat, makin
derasnya arus informasi dari manca negara
yang dapat menimbulkan infiltrasi budaya dan
terjadinya
kesenjangan
informasi
dalam
masyarakat
(digital
divide).
Perubahanperubahan ini membutuhkan aparatur negara
yang memiliki kemampuan pengetahuan dan
keterampilan yang handal untuk melakukan
antisipasi, menggali potensi dan cara baru
dalam menghadapi tuntutan perubahan.
Disamping itu, aparatur negara harus
mampu meningkatkan daya saing, dan menjaga
keutuhan bangsa dan wilayah negara. Untuk
itu, dibutuhkan suatu upaya yang lebih
komprehensif
dan
terintegrasi
dalam
mendorong peningkatan kinerja birokrasi
aparatur
negara
dalam
menciptakan
pemerintahan yang bersih dan akuntabel yang
merupakan amanah reformasi dan tuntutan
rakyat.
Tuntutan mengadakan reformasi ini juga
terjadi dalam pengalaman Inggris Raya dan
Amerika Serikat, yaitu dengan terjadinya dua
disfungsi organisasi negara tersebut. Yang
pertama ialah makin bertambah tidak
efisiennya cara mengkontrakkan jasa-jasa
pelayanan masyarakat pada awal abad ke-19.
Yang kedua ialah tidak efisiennya lagi cara
pengangkatan
kepegawaian
berdasarkan
patronase ketika pemerintahan bertambah
besar pada akhir dari abad yang sama
(Raadschelders & Rutgers 1996).
Dan di Korea Selatan yang telah
melakukan reposisi dan revitalisasi peran
administrasi negara sejak tahun 1980-an.
Beberapa reformasi yang dilakukan pada saat
itu adalah melalui civil servant ethnics act pada
tahun 1981, civil servant property registration,
civil servant gift control, civil servant
consciuosness reform movement, dan social
purificaion movement (Hwang, 2004). Pada
453
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
masa pemerintahan Rho Tae Woo tahun 1988,
reformasi adamnistrasi negara diperkuat
melalui deregulasi dan simplifikasi prosedur,
restrukturisasi
pemerintah
pusat
dan
penguatan peran komisi reformasi administrasi.
Semua
usaha
Korea
Selatan
untuk
merevitalisasi
administrasi
negara
yang
profesional, bersih dan berwibawa.
Pengalaman
sejumlah
negara
menunjukkan bahwa reformasi birokrasi
merupakan langkah yang menentukan dalam
pencapaian kemajuan negara tersebut. Melalui
reformasi
birokrasi,
dilakukan
penataan
terhadap
sistem
penyelenggaraan
pemerintahan dan kinerja birokrasi aparatur
yang tidak hanya efektif dan efisien tetapi juga
mampu menjadi tulang punggung dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada
akhirnya, keberhasilan pelaksanaan daripada
reformasi birokrasi akan sangat mendukung
dalam penciptaan good governance.
Kerangka Konseptual
Pengembangan Sumber
Aparatur Pemerintah
Daya
Manusia
Salah satu komponen good governance
adalah sumber daya manusia aparatur
pemerintah, konsep pengembangan sumber
daya manusia dalam organisasi diartikan
sebagai daya yang bersumber pada manusia
yang dapat berupa tenaga (energi) ataupun
kekuatan (power). Tenaga dan kekuatan yang
bersmuber dari manusia itu dapat berupa ide,
ilmu pengetahuan, pengalaman, dan lain-lain
yang berupa potensi fisik, moral dan intelektual
yang berwujud dalam bentuk pendidikan,
keterampilan, kesehatan, dan sebagainya
(Zainun, 1993).
Bank
Dunia
mengkonsepsikan
pengembangan sumber daa manusia adalah
menyangkut pemgembangan manusia (human
development),
yaitu
menyangkut
pengembangan
aktivitas-aktivitas
dalam
bidang-bidang pendidikan dan pelatihan,
kesehatan, gizi, kesempatan kerja, lingkungan
hidup yang sehat, pengembangan karier di
tempat kerja dan kehidupan politik yang bebas.
Konsep ini kemudian diperluas oleh CIDA
(Kristiadi, 1993), bahwa pengembangan sumber
daya
manusia
adalah
upaya
untuk
mengembangkan
manusia,
yaitu
proses
peningkatan
kualitas
atau
kemampuan
manusia (melalui investasi pada manusia itu
sendiri) dan pemanfaatan kemampuan (melalui
penciptaan kerangka keterlibatan manusia)
ntuk mendapatkan penghasilan dan peluang
kerja. Dalam jangka, pengembangan sumber
daya manusia kiranya dapat memenuhi segera
mungkin tentang pengembangan dan pelatihan
mengenai teknik, kepemimpinan, tenaga
administrasi dan upaya yang ditujukan kepada
kelompok
sasaran
untuk
mempermudah
mereka yang terlibat. Notoatmodjo (1992)
menjelaskan bahwa pengembangan sumber
daya manusia tersebut diarahkan pada
pengembangan kualitas fisik (kemampuan fisik)
dan kualitas non fisik (kemampuan non fisik)
yang dapat berupa kemampuan bekerja,
kemampuan berpikir, dan keterampilanketerampilan lain. Pengembangan sumber daya
aparatur dapat memberikan sumbangan yang
optimal dalam memberikan pelayanan terbaik
kepada masyarakat.
Kinerja aparatur sebagai pelaksanaan dan
hasil kerja yang ditampilkan oleh seseorang
pegawai
dari
pelaksanaan
tugas
dan
jabatannya. Kinerja aparatur diamati/dilihat
melalui beberapa indikator, yaitu: a). Kuantitas
kerja, yakni jumlah pekerjaan/tugas yang dapat
diselesaikan dalam periode waktu tertentu
dibandingkan
dengan
banyaknya
beban
tugas/pekerjaan yang ditetapkan. b). Kualitas
kerja, yakni tingkat kesesuaian dari kerja yang
dihasilkan menurut standar kesesuaian yang
ditetapkan, seperti ketelitian, kerapihan dan
ketuntasan. c).Kehandalan, yakni kemampuan
untuk melaksanakan/menyelesaikan tugastugas ataupun dalam menyelesaikan persoalan
yang timbul adalam pelaksanaan kerja/tugas.
Good Governance
Dalam menganalisis perspektif Good
Governance banyak para praktisi dan teoritisi
dalam bidang administrasi publik merumuskan
berbagai prosedur dan proses yang bisa
dipergunakan
untuk
mencapai
dan
mengindentifikasi prinisip-prinsip dan asumsiasumsi dari tata kepemerintahan yang baik.
United
Nations
Development
Programme
(UNDP) merumuskan istilah governance
sebagai suatu exercise dari kewenangan politik,
ekonomi, dan administrasi untuk untuk
menata, mengatur dan mengelola masalah454
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
masalah sosialnya (UNDP, 1997). Dan suatu
institusi, mekanisme, proses dan hubungan
yang komplek melalui warga negara dan untuk
memfasilitasi perbedaan di antara mereka.
Governance
sebagai
New
Public
Management/New
Managerialism,
dimana
adanya pembaharuan atas manajemen publik
global yang mendefinisikan kembali hubungan
antara Pemerintah dan masyarakat (Donald
Kettl,2000). Secara terminologi governance
dimengerti sebagai kepemerintahan, sehingga
masih banyak yang beranggapan bahwa
governance
adalah
sinonim
government.
Interpretasi dari praktek-praktek governance
selama ini memang lebih banyak mengacu pada
perilaku dan kapasitas pemerintah, sehingga
good governance seolah-olah otomatis akan
tercapai apabila ada good government.
Berdasarkan sejarah, ketika istilah governance
pertama kali adopsi oleh praktisi lembaga di
lembaga pembangunan internasional. Konotasi
governance yang digunakan memang sangat
sempit dan bersifat tenokratis di seputar
kinerja pemerintah yang efektif. Oleh sebab itu,
banyak kegiatan atau program bantuan yang
masuk dalam kategori governance tidak lebih
dari bantuan teknis yang diarahkan untuk
meningkatkan kapasitas pemerintah dalam
menjalankan kebijakan publik dan mendorong
adanya pemerintah yang bersih dari korupsi.
PEMERINTA
H ATAU
NEGARA
SEKTOR
SWASTA
RAKYAT
Gambar Tiga Komponen Good Governance
(UNDP,1997)
Terminologi governance menurut World
Bank (1989), adalah suatu penyelenggaraan
manajemen pembangunan yang solid dan
bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip
demokrasi
dan
pasar
yang
efisien,
penghindaran salah alokasi dana investasi, dan
pencegahan korupsi baik secara politik maupun
administratif, menjalankan disiplin anggaran
serta penciptaan legal dan political framework
bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Good
governance dapat juga diartikan sebagai
tindakan atau tingkah laku yang didasarkan
pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan,
mengendalikan, atau mempengaruhi masalah
publik untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam
tindakan dan kehidupan keseharian. Namun
untuk ringkasnya, Good Governance adalah
mekanisme, praktek dan tata cara pemerintah
dan warga mengatur sumber daya dan
memecahkan masalah-masalah publik yang
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good
Governance.
Salah satu komponen good governance
adalah sumber daya manusia aparatur
pemerintah, konsep pengembangan sumber
daya manusia dalam organisasi diartikan
sebagai daya yang bersumber pada manusia
yang dapat berupa tenaga (energi) ataupun
kekuatan (power). Tenaga dan kekuatan yang
bersmuber dari manusia itu dapat berupa ide,
ilmu pengetahuan, pengalaman, dan lain-lain
yang berupa potensi fisik, moral dan intelektual
yang berwujud dalam bentuk pendidikan,
keterampilan, kesehatan, dan sebagainya
(Zainun, 1993).
Bank
Dunia
mengkonsepsikan
pengembangan sumberdaya manusia adalah
menyangkut pengembangan manusia (human
development),
yaitu
menyangkut
pengembangan
aktivitas-aktivitas
dalam
bidang-bidang pendidikan dan pelatihan,
kesehatan, gizi, kesempatan kerja, lingkungan
hidup yang sehat, pengembangan karier di
tempat kerja dan kehidupan politik yang bebas.
Konsep ini kemudian diperluas oleh CIDA
(Kristiadi, 1993), bahwa pengembangan sumber
daya
manusia
adalah
upaya
untuk
mengembangkan
manusia,
yaitu
proses
peningkatan
kualitas
atau
kemampuan
manusia (melalui investasi pada manusia itu
sendiri) dan pemanfaatan kemampuan (melalui
penciptaan kerangka keterlibatan manusia)
ntuk mendapatkan penghasilan dan peluang
kerja. Dalam jangka, pengembangan sumber
daya manusia kiranya dapat memenuhi segera
mungkin tentang pengembangan dan pelatihan
mengenai teknik, kepemimpinan, tenaga
administrasi dan upaya yang ditujukan kepada
kelompok
sasaran
untuk
mempermudah
mereka yang terlibat. Notoatmodjo (1992)
menjelaskan bahwa pengembangan sumber
455
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
daya manusia tersebut diarahkan pada
pengembangan kualitas fisik (kemampuan fisik)
dan kualitas non fisik (kemampuan non fisik)
yang sapat berupa kemampuan bekerja,
kemampuan berpikir, dan keterampilanketerampilan lain.
Karakteristik Good Governance.
1. Partisipasi (Participation)
Semua warga masyarakat mempunyai
suara dalam pengambilan keputusan, baik
secara langsung maupun melalui lembagalembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh
tersebut dibangun berdasarkan kebebasan
berkumpul dan mengungkapkan pendapat serta
kapasitas
untuk
berpartisipasi
secara
konstruktif.
2. Penegakan Hukum (Rule of Law)
Kerangka
hukum
harus
adil
dan
diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di
dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak
asasi manusia.
3. Transparansi (Transparency)
Transparansi dibangun atsa dasar arus
informasi
yang
bebas.
Seluruh
proses
pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi
perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, dan informasi yang tersedia
harus memadai agar dapat dimengerti dan
dipantau.
Gaffar menyimpulkan setidaknya ada
delapan aspek mekanisme pengelolaan negara
yang harus dilakukan secara transparan, yaitu :
Ø Penetapan posisi, jabatan atau kedudukan
Ø Kekayaan pejabat publik
Ø Pemberian penghargaan
Ø Penetapan kebijakan yang terkait dengan
pencerahan kehidupan
Ø Kesehatan
Ø Moralitas para pejabat dan aparatur
pelayanan publik
Ø Keamanan dan ketertiban
Ø Kebijakan strategis untuk pencerahan
kehidupan masyarakat
4. Responsif (Responsiveness)
Yakni pemerintah harus peka dan cepat
tanggap
terhadap
persoalan-persoalan
masyarakat.
Gaffar
menegaskan
bahwa
pemerintah harus memahami kebutuhan
masyarakatnya, jangan menunggu mereka
menyampaikan keinginan-keinginannya itu,
tapi mereka secara proaktif mempelajari dan
manganalisis kebutuhn-kebutuhan mereka,
untuk
kemudian
melahirkan
berbagai
kebijakan
strategis
guna
memenuhi
kepentingan umum tersebut.
Dalam upaya mewujudkan asas responsif
pemerintah harus melakukan upaya-upaya
strategis dalam memberikan perlakuan yang
humanis pada kelompok-kelompok masyarakat
tanpa pandang bulu.
5. Konsensus (Consensus Orientation)
Good
governance
menjadi
perantara
kepentingan yang berbeda untuk memperoleh
pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang
lebih luas baik dalam kebijakan-kebijakan
maupun prosedur.
6. Kesetaraan dan Keadilan (Equity and
Inclusive)
Asas Equity, yakni kesamaan dalam
perlakuan dan pelayanan. Semua warga
masyarakat
mempunyai
kesempatan
memperbaiki
atau
mempertahankan
kesejahteraan mereka. Tidak ada seorang atau
sekelompok orang pun yang teraniaya dan tidak
memperoleh apa yang menjadi haknya. Pola
pemerintahan seperti ini akan memperoleh
legitimasi yang kuat dari publik dan akan
memperoleh dukungan serta partisipasi yang
baik dari rakyat.
7. Efektivitas (Effectiveness) dan Efisiensi
(Efficiency)
Proses-proses pemerintahan dan lembagalembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan
warga masyarakat dengan menggunakan
sember-sumber daya yang ada seoptimal
mungkin.
Peningkatan
efektivitas
pemerintahan juga harus diimbangi dengan
pembinaan dan pertumbuhan sikap-sikap
demokratis masyarakat yang beradab dan anti
kekerasan, karena gerakan-gerakan massa,
disertai dengan tindakan-tindakan anarkis dan
kekerasan, justru akan melemahkan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan. Oleh sebab
itu, pemahaman demokrasi yang salah satu
wujudnya
adalah
melakukan
pelibatan
masyarakat dalam pengambilan kebijakan
publik, harus ditata sedemikian rupa, agar
proses
tersebut
tidak
melanggar
etika
demokrasi
yang
beradab,
dan
tidak
menimbulkan keresahan dalam masyarakat,
sehingga
legitimasi
pemerintahan
yang
dibangun dengan sistem demokrasi tidak
menimbukan
dampak-dampak
yang
456
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
mengurangi
efektivitas
dan
efisiensi
pemerintahannya sendiri.
8. Akuntabilitas (Accountability)
Asas akuntabilitas berarti pertanggung
jawaban pejabat publik terhadap masyarakat
yang memberinya delegasi dan kewenangan
untuk mengurusi berbagai urusan dan
kepentingan mereka maupun kepada lembagalembaga
yang
berkepentingan.
Bentuk
pertanggung jawaban tersebut berbeda satu
dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi
yang bersangkutan. Pejabat publik dalam
struktur
pemerintahan,
harus
mampu
mempertanggungjawabkan
kapasitas
dan
loyalitas individualnya, baik dalam lingkungan
profesi setaranya maupun terhadap atasannya.
Jika mereka melakukan pelanggaran etika dan
moralitas, mereka harus dengan berani
mempertanggungjawabkan pelanggarannya itu.
Ada
lima
aspek
prioritas
untuk
mewujudkan cita Good Governance yaitu
sebagai berikut :
1. Penguatan fungsi dan peran lembaga
perwakilan
Lembaga perwakilan rakyat, yakni DPR
dan DPRD harus mampu menyerap dan
mengartikulasi berbagai aspirasi masyarakat
dalam berbagai bentuk program pembangunan
yang berorientasi kepentingan masyarakat
dalam program pembangunan yang berorientasi
pada
kepentingan
masyarakat,
serta
mendelegasikannya pada eksekutif untuk
merancang program-program operasional sesuai
rumusan-rumusan yang ditetapkan dalam
lembaga perwakilan tersebut.
Kemudian lembaga perwakilan (DPR dan
DPRD) terus melakukan fungsi kontrolnya
terhadap lembaga eksekutif, sehingga seluruh
gagasan dan aspirasi yang dikehendaki rakyat
melalui para wakilnya itu dpaat dilaksanakan
dengan baik oleh seluruh perangkat lembaga
eksekutif.
2. Kemandirian lembaga peradilan
Untuk mewujudkan Good Governance,
lembaga peradilan dan aparat penegak hukum
yang mandiri, profesional dan bersih, menjadi
persyaratan mutlak.
3. Aparatur pemerintah yang profesional dan
penuh integritas
Jajaran birokrasi harus diisi oleh mereka
yang memiliki kemampuan profesional baik,
memiliki integritas, berjiwa demokratis, dan
memiliki akuntabilitas yang kuat sehingga
memperoleh legitimasi dari rakyat yang
dilayaninya.
Karena
itu,
paradigma
pengembangan birokrasi ke depan harus diubah
menjadi birokrasi populis, yakni jajaran
birokrasi yang peka terhadap berbagai aspirasi
dan kepentingan rakyat, seta memiliki
integritas untuk memberikan pelayanan kepada
rakyatnya dengan pelayanan yang prima.
4. Masyarakat madani (civil society) yang kuat
dan partisipatif
Proses pembangunan dan pengelolaan
negara tanpa melibatkan masyarakat madani
(civil society) akan sangat lamban, karena
potensi terbesar dari sumber daya manusia
justru ada dikalangan masyarakat ini.
Masyarakat mempunyai hak atas informasi,
mempunyai hak untuk menyampaikan usulan,
dan juga memiliki hak untuk melakukan kritik
berbagai kebijakan pemerintah yang tidak
menguntungkan.
Baik
melalui
lembaga
peradilan, ppers maupun penyampaian secara
langsung dalam bentuk dialog terbuka dengan
LSM, partai politik, organisasi massa atau
institusi sosial lainnya.
5. Penguatan upaya otonomi daerah
Salah satu harus diperkuat untuk
mewujudkan otonomi daerah yang efektif,
selain penguatan SDM, adalah komposisi
anggota DPRD yang harus kuat, karena check
and balance terhadap jalannya pemerintahan
sangat tergantung kepada kekuatan lembaga
perwakilan daerah tersebut dalam menjalankan
fungsinya.
Pembahasan
Sejak dilaksanakannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah telah
melakukan beberapa kegiatan mendasar untuk
menunjang otonomi khusus tersebut antara lain
penataan kelembagaan, penataan kewenangan,
penataan
aparatur,
penataan
dokumen,
penataan keuangan dan aset, serta kegiatankegiatan
peningkatan
kapasitas
daerah
(capacity building). Dalam rangka mewujudkan
tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa,
prioritas
pembangunan
bidang
penyelenggaraan negara diarahkan pada
reformasi birokrasi dengan fokus pada upayaupaya peningkatan kinerja birokrasi aparatur
pemerintah agar mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat, meningkatkan kualitas pelayanan
kepada masyarakat, dan mengurangi secara
457
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
signifikan tingkat penyalahgunaan kewenangan
di lingkungan aparatur pemerintahan. Berbagai
kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka
penerapan kepemerintahan yang baik antara
lain :
1. Menyusun RUU Etika Penyelenggara
Negara.
2. Melakukan koordinasi Pendayagunaan
Aparatur Negara (PAN) tingkat
nasional secara lebih baik.
3. Melakukan sosialisasi dan koordinasi
pemantauan
dan
evaluasi
atas
pelaksanaan Rencana Aksi Nasional
Pemberantasan
Korupsi
(RAN-PK)
sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2004
tentang
Percepatan
Pemberantasan
Korupsi.
4. Menyelenggarakan
sosialisasi
dan
penajaman reformasi birokrasi dan
percepatan penerapan good public
governance (GPG) di berbagai instansi
pemerintah baik pusat maupun di
daerah.
5. Penataan
kelembagaan,
ketatalaksanaan aparatur dan suber
daya manusia aparatur.
6. Pemetaan tentang praktik terbaik (best
practice) penrapan GPG, peningkatan
pelayanan
publik,
percepatan
pemberantasan korupsi, peningkatan
pengawasan dan pemeriksaan, serta
saran-saran
tindak
lanjut
hasi
pemeriksaan.
Hasil-hasil yang telah dicapai dalam
rangka peningkatan kualitas pelayanan
publik, pemerintah terus berupaya agar
konsep RUU tentang Pelayanan Publik.
Beberapa kegiatan Pemerintah Nasional
terkait
dengan
upaya
peningkatan
penyelenggaraan pemerintahan yang antara
lain:
1. Dilaksanakannya
pengembangan
dan
penerapan etika dalam pelayanan publik.
2. Disusunnya pedoman supervisi pelayanan
publik.
3. Disusunnya pedoman deregulasi dan
debirokratisasi di bidang pelayanan publik.
4. Diterapkannya pelayanan publik yang lebih
baik
oleh
pemerintah
daerah
dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 65
Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
sebagai acuan pemerintah daerah dalam
menyusun dan melaksanakan SPM setiap
satuan kerja.
Dasar pelaksanaan reformasi birokrasi
adalah Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010
tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2025
dan
Peraturan
Menteri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
dan
Reformasi Birokrasi No. 20 Tahun 2010
Tentang Road Map Reformasi Birokrasi 20102014. Secara teknis kedua kebijakan tersebut
dilengkapi dengan berbagai pedoman yang
termuat
dalam
Peraturan
Menteri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
dan
Reformasi Birokrasi No. 7 s.d 15 Tahun 2011.
Reformasi birokrasi juga berlaku bagi
pemerintah
daerah,
sasaran
penciptaan
birokrasi pemerintahan yang profesional dan
berintegrasi tinggi pada tahun 2025 menjadi
tanggung jawab semua instansi pemerintah,
baik pusat maupun daerah. Sehingga reformasi
birokrasi juga harus dilaksanakan pada
Pemerintah
Daerah.
Namun
mengingat
besarnya jumlah instansi pemerintah yang
harus
melakukan
reformasi
birokrasi,
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.
Pelaksanaan
reformasi
birokrasi
diharapkan mampu menghasilkan birokrasi
yang mampu berperan sebagai fasilitator dan
dinamisator penyelenggaraan pembangunan. Di
sisi lain reformasi birokrasi diharapkan turut
menciptakan iklim yang mendukung lancarnya
proses pemerintahan dan pembangunan serta
dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik,
dan
memberantas
berbagai
jenis
penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk
KKN.
Akar Masalah dalam Good Governance
Merumuskan tindak korupsi itu tidak
mudah, Wertheim dalam Lubis M, mengatakan
“ ..Seorang pejabat dikatakan melakukan
tindak korupsi bila ia menerima hadiah dari
seseorang yang bertujuan mempengaruhinya
agar
ia
mengambil
keputusan
yang
menguntungkan
kepentingan
si
pemberi
hadiah.
Badan
Pengawas
Keuangan
dan
Pembangunan (BPKP) mendefinisikan korupsi
sebagai tindakan yang merugikan kepentingan
umum dan masyarakat luas demi keuntungan
pribadi atau kelompok tertentu.
458
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
Robert Klitgaard dkk merumuskan korupsi
dalam sebuah proposisi matematis :
C=M+D-A
Corruption = Monopoly Power + Discretion
by Officials - Accountability. Korupsi terjadi
dimana terdapat monopoli atas kekuasaan dan
dikresi (hak untuk melakukan penyimpangan
kepada suatu kebijakan), tetapi dalam kondisi
tidak adanya akuntabilitas. (Winasa, I Gede,
2007).
Pelaksanaan
reformasi
birokrasi
difokuskan pada upaya-upaya seperti sebagai
berikut :
1. penataan sistem administrasi negara
untuk menjaga keutuhan NKRI dan
mempercepat
proses
desentralisasi
melalui upaya pembenahan sistem
perencanaan,
pelaksanaan,
pengendalian dan evaluasi kinerja
kebijakan dan program pembangunan.
2. Pembenahan manajemen SDM aparatur
pemerintahan
mencakup
sistem
remunerasi, peningkatan kompetensi
aparatur,
pembinaan
karier
berdasarkan
prestasi
kerja,
dan
penerapan reward dan punishment
dalam pembinaan pegawai.
3. Dilaksanakannya Standar Pelayanan
Minimal (SPM) pada penyelenggaraan
berbagai urusan pemerintahan.
4. Optimalisasi pemanfataan teknologi
informasi dan komunikasi (e-services)
dalam pelayanan publik.
5. Dukungan terhadap reformasi birokrasi
juga perlu diberikan oleh legislatif.
Percepatan
pelaksanaan
reformasi
birokrasi Indonesia difokuskan pada upayaupaya sebagai berikut:
1. Peningkatan kualitas pelayanan publik
di bidang pertanahan, investasi,
Samsat, perpajakan, dan pengadaan
barang dan jasa pemerintah/publik.
2. Mendorong
terbentuknya
sistem
pelayanan terpadu (pelayanan satu
atap/pintu) di pusat dan daerah.
3. Peningkatan
kapasitas
aparat
pemerintah
daerah
di
dalam
penerapan
Standar
Pelayanan
Minimal (SPM) antara lain di bidang
pendidikan dan kesehatan.
4. Penyempurnaan sistem koneksi (inter
phase) Nomor Induk Kependudukan
yang terintegrasi antar instansi yang
terkait.
5. Penyempurnaan sistem remunerasi
yang adil, layak dan dapat mendorong
peningkatan kinerja aparatur.
6. Penyempurnaan
sistem
Penilaian
Kinerja PNS.
7. Penyusunan pedoman penerapan sistem
manajemen kinerja untuk instansi
pemerintah.
8. Penyusunan sistem pengawasan.
9. Penataan kelembagaan quasi birokrasi
dan kelembagaan birokrasi.
Pemerintah
terus
berupaya
untuk
meningkatkan
komitmen
moral
segenap
aparatur negara dan dunia usaha serta
masyarakat
ntuk
mewujudkan
tata
pemerintahan yang baik, antara lain dengan
melaksanakan reformasi birokrasi secara
konsisten dan berkelanjutan mencakup upayaupaya untuk meningkatkan efektivitas sistem
pengawasan dan audit publik, mempercepat
tindak
lanjut
hasil
pengawasan
dan
pemeriksaan, meningkatkan profesionalisme
sumber daya manusia aparatur, meningkatkan
kesejahteran aparatur pemerintahan dan
pembenahan manajemen kepegawaian, menata
sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan
birokrasi pemerintahan, serta mendorong
percepatan
penerapan
dan
pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi (e-service)
di setiap instansi pelayanan publik. Semua
upaya tersebut harus dilaksanakan dengan
baik, terencana, dapat dipertanggungjawabkan
dan berkesinambungan agar penciptaan tata
pemerintahan yang baik dan berwibawa (good
public governance) pada semua tingkatan lini
pemerintahan dan kegiatan pembangunan baik
di pusat maupun dareah dapat segera
diwujudkan secara akuntabel.
Yang
menentukan
keberhasilan
pelaksanaan reformasi birokrasi tidak hanya
ditentukan oleh KPRBN beserta jajarannya
(TRBN, TI, TQA, dan UPRBN) tetapi juga
seluruh kementerian/lembaga serta pemerintah
daerah. Keberadaan KPRBN dn jajarannya
adalah meningkatkan efektivitas pelaksanaan
reformasi birokrasi nasional melalui pembuatan
serangkaian kebijakan/pedoman dan kegiatan
fasilitasi, namun yang paling berperan untuk
459
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
berhasil tidaknya reformasi birokrasi adalah
komitmen
dan
upaya
masing-masing
pemerintah daerah.
Kemudian langkah selanjutnya dalam
memperbaiki sistem manajemen kepegawaian
lainnya adalah berawal dari sistem rekrutmen,
promosi dan mobilisasi, eselonisasi, remunerasi,
pendidikan dan pelatihan, kesejahteraan
pegawai, disiplin, dan pensiun. Memerlukan
perbaikan manajemen kepegawaian yang
terintegral dan komprehensif. Hendaknya
instansi
yang
menangani
manajemen
kepegawaian
seperti
Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemenpan),
Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan
Kepegawaian
Negara
(BKN),
Badan
Kepegawaian
Daerah
(BKD),
Lembaga
Administrasi Negara (LAN) sebagai pengelola
PNS
ntuk
bisa
bersama
memperbaiki
manajemen kepegawaian yang lebih baik.
Dalam hasil penelitian terdahulu dari
jurnal ilmiah internasional yang berjudul
“Evolving public service bargains for top
officials: some international comparisons” pada
artikel ini mendiskusikan tentang konsep dan
pengelompokkan Public Service Bargains (PSB),
yang diperkenalkan pertama kali oleh Schaffer
(1973), dan dikembangkan lebih jauh oleh Hood
dan Lodge (2006). Yang mempertimbangkan
kegunaan konsep untuk mempelajari pengaruh
reformasi administrative pada peran dan posisi
PNS puncak.
Berdasar pada deskripsi Hood dan Lodge
(2006) dan analisis hubungan antara politisi
dan PNS dalam rangka Public Service Bargains.
Hood dan Lodge menggambarkan hubungan
politik-administrative sebagai tawar menawar
implisit atau eksplisit dimana politisi mendapat
secuil kesetiaan dan kompetensi dari PNS, dan
PNS mendapatkan tempat dalam struktur
pemerintahan,
tanggung
jawab
dan
penghargaan. Dengan konsep tawar menawar
mereka membuat pada indikasi Schaffer (1973)
dari pengertian antara politisi terpilih dan
birokrat yang ditunjuk. Seperti yang terjadi di
Inggris pada abad ke-19. Hood (2000a; 2000b;
2001)
dan
Hood
dan
Lodge
(2006)
mengembangkan
pengelompokkan
Public
Service
Bargains,
seperti
mereka
mengidentifikasi tawar menawar ala Schaffer’s
sebagai jalan satu-satunya dari beberapa type
tawar menawar yang ada.
Typology (pengelompokkan) pertama oleh
Hood (2000a; 2001) membedakan dua bentuk
utama dari tawar menawar; tawar menawar
sistemic dan pragmatic. Dalam tawar menawar
sistemik, peran pelayanan masyarakat adalah
bagian
dari
penyelesaian
konstitusional
mendasar sedangkan dalam tawar menawar
pragmatik, hak dan tugas PNS adalah lebih
atau kurang agen pengaturan nyaman antara
politisi dan birokrat. Subtypes dari bargain
sistemic adalah: bargain consociational dan
Hegelian. Subtypes dari bargain pragmatic
adalah: bargain Schafferian, hybrid, dan
managerial bargain.
Typology kedua oleh Hood dan Lodge
(2006) juga membedakan antara dua type
utama bargain: the trustee and the agency
bargain; the trustee bargain perhubungan
dengan sistemik bargain dan the agency
bargain ke pragmatik bargain (Hood, 2002)
dalam bargain trustee PNS diharapkan untuk
memiliki otonomi tertentu dan membela
kepentingan publik. Dalam bargain agency,
PNS adalah agen prinsip politik dan bertindak
berdasar keinginan mereka. Sub-types utama
dalam bargain type ini adalah bargain loyalist
serial (PNS melayani kepala berbagai macam
kepala urutan dan bargain yang didelegasikan
PNS memiliki otonomi derajat tinggi). Loyalist
serial equivalent dengan bargain Schafferian
dalam typologi pertama dan bargain delegated.
Dan delegated bargain menyerupai bargain
managerial dalam hal khusus ini kedua typologi
digunakan.
Konsep
Public
Sevice
Bargain
memperhitungkan bagaimana jumlah aspek
institusional berpengaruh pada kekuatan relasi
diantara pelaku. Hal ini membuat mungkin
untuk
mendeskripsikan
pengaruh
yang
berbeda-beda
dari
tradisi
political
administrative pada posisi dan peran PNS
puncak dalam negara yang berbeda-beda
seperti typology dari Public Service Bargains
adalah alat yang bagaimana untuk riset
komparatif. Mengikuti ide dari orang-orang
historical-institutionalist
tentang
ketergantungan
jalur.
Kita
dapat
mengharapkan karakteristik Public Service
Bargain yang sdah ada untuk membantu
membentuk pengaruh reformasi administrative
pada peran dan posisi PNS puncak pada hari
ini. Seperti Hood (2012) tunjukkan, Public
Service Bargain juga mungkin berbeda dalam
seberapa jauh dimana mereka menjauhi untuk
460
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
manuver PNS puncak untuk bertindak secara
strategic. Pada gilirannya, Public Service
Bargain itu sendiri juga setuju.
Menganalisis pelayanan sipil melalui lensa
Public Service Bargains kemudian adalah
sesuatu sarana yang menjanjikan untuk
memahami convergence dan divergence dalam
konteks reformasi manajemen publik. Ketika
karakteristik Public Service Bargains yang
diwariskan
ini
akan
berdampak
pada
kesempatan yang tersedia untuk mereformasi
pelayanan publik (Hood, 2002), Public Service
Bargains itu sendiri juga merupakan dampak
dari reformasi sektor publik.
Artikel dalam isu ini spesial ini mencoba
dalam seberapa jauh typology Public Service
Bargains merupakan alat yang berguna tidak
hanya menganalisis hubungan antara PNS
puncak dan pelaku politik, tetapi juga
menganalisis bagaimana peran dan posisi PNS
puncak dalam managemen pelayanan sipil telah
mendapat tantangan sebagai hasil reformasi
administrative.
Perspektif good governance ditempatkan
dalam bagian integral kebjakan atau keputusan
penempatan
aparatur
dalam
jabatan
struktural.
Faktor
pendukung
nternal
penerapan prinsip-prinsip good governance
pada penempatan aparatur dalam jabatan
struktural. Sedangkan faktor-faktor pendukung
eksternal yaitu kebijakan peraturan perundangundangan, eksistensi instansi yang terkait, dan
adanya tuntutan kualitas pelayanan publik.
Faktor-faktor penghambat internal adalah
perubahan kepemimpinan, belum adanya
Lembaga Uji kompetensi, Uji kompetensi belum
dilaksanakan, keterbatasan Sumber daya
manusia aparatur yang berkualitas, kompetensi
sumberdaya manusia apratur,
motivasi,
inkonsistensi, konflik kepentingan, iklim
organisasi, dan kepemimpinan. Faktor-faktor
penghambat eksternal adalah intervensi,
kurangnya peran lembaga independen, sistem
pendiklatan, kondisi sosial budaya masyarakat.
Solusi yang diperlukan adalah adanya
perlu ada kebijakan hukum atau aturan khusus
yang mengatur penerapan prinsip-prinsip Good
Governance dalam penempatan aparatur dalam
jabatan struktural, perlu ada kebijakan hukum
atau aturan mengenai pembentukan lembaga
uji
kompetensi
beserta
kewenangwenangannya, sistem pendidikan dan pelatihan
bagi PNS perlu dievaluasi menyeluruh dan
direformasi, karena pada kenyataannya kurang
mampu mewujudkan sumberdaya manusia
aparatur yang berkompetensi jabatan dan
sekaligus
memiliki
kualitas
dan
profesionalisme, perlu ada kebijakan hukum
atau aturan mengenai pelibatan Lembaga
Independen dalam seluruh proses seleksi
jabatan, control dan evaluasi keputusan, dan
perlu ada kebijakan hukum atau aturan
mengenai sanksi hukum atas penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan dalam proses seleksi
jabatan dn penempatan aparatur dalam jabatan
struktural.
Crince
le
Roy
(Koentjoro,
2004)
mengemukakan 13 asas umum pemerintahan
yang baik (AUPB) yang harus diperhatikan
dalam pengangkatan pejabat struktural, yaitu
asas kepastian hukum, asas keseimbangan,
asas kesamaan, asas bertindak cermat, asas
motivasi, asas jangan mencampuradukkan
wewenang (Detournement de Pourvoir), asas
permainan yang layak (fair play), asas keadilan
(larangan melanggar willikeurt/bertentangan
dengan
nalar
sehat,
asas
kepercayaan
(menggapai pengharapan yang wajar), asas
meniadakan akibat keputusan yang batal, asas
perlindungan atas pandangan hidup, asas
kebijaksanaan, dan asas penyelenggaraan
kepentingan umum.
Asas tersebut diatas cenderung diabaikan
dalam proses pengangkatan pejabat struktural
di pemerintah daerah yang lebih dominan
mengedepankan aspek kepentingan politik
daripada keseimbangan antara pendekatan
sosiologis, normatif dan nilai. Permasalahan
dalam
keputusan
pengangkatan
pejabat
struktural masih cenderung terpengaruh secara
kuat pada situasi atau keadaan riil di sekitar
pemerintahan.
Yakni
kuatnya
pengaruh
tekanan
politik,
sehingga
benar
yang
dikemukakan oleh (McGrew dan Wilson, 1985)
bahwa suatu keputusan ialah keadaan akhir
dari suatu proses yang lebih dinamis, yang
diberi label pengambil keputusan. Ia dipandang
sebaagai proses karena terdiri atas satu seri
aktivitas yang berkaitan dan tidak hanya
dianggap sebagai tindakan bijaksana.
Pertimbangan-pertimbangan
dan
keputusan penempatan aparatur dalam jabatan
struktural masih cenderung diperhadapkan
pada suatu kondisi yang menyebabkan
dikesampingkannya
aspek
manajemen
sumberdaya manusia, pendekatan sosiologis dn
461
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
normatif terutama prinsip good governance. Hal
ini sesuaai yang dikemukakan oleh (Morgan
dan Cerullo, 1984) bahwa keputusan sebagai
sebuah kesimpulan yang dicapai sesudah
dilakukan pertimbangan, yang terjadi setelah
satu kemungkinan dipilih, sementara yang lain
dikesampingkan.
Dikemukakan oleh (Bridges, et al, 1971)
bahwa, dibalik suatu keputusan, ada unsur
prosedur yaitu, pertama pembuat keputusan
mengidentifikasi
masalah,
mengklarifikasi
tujuan-tujuan
khusus
yang
diinginkan,
memeriksa berbagai kemungkinan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dan
mengakhiri proses itu dengan menetapkan
pilihan betindak. Jadi, suatu keputusan
sebenarnya didasarkan atas fakta dan nilai
(facts and values). Keduanya sangat penting,
tetapi nampaknya fakta lebih mendominasi
nilai-nilai dalam menyehakan keputusan suatu
organisasi. Namun kenyataan yang terjadi
justru prosedur penempatan aparatur dalam
jabatan struktural masih cenderung hanya
bersifat formalitas belaka, sebab yang dominan
adalah kepentingan politik.
Adalah benar bahwa suatu keputusan
mengandung pilihan-pilihan dan alternative
seperti yang dikemukakan oleh (Bridges, et, al,,
1971), namun pada kenyataannya keputusan
seringkali bukan pilihan dan alternative untuk
mewujudkan prinsip-prinsip good governance,
melainkan
pilihan
untuk
memenuhi
kepentingan pribadi dan golongan/kroni.
Penempatan aparatur dalam jabatan
struktural
perlu
diorientasikan
pada
pendekatan Merit System melalui dukungan
sejumlah pengetahuan dan keterampilan
disamping pengalaman kerja dan masa kerja
yang harus dimiliki oleh seorang aparatur
sesuai dengan tuntutan jabatan yang akan
ditempatiny, oleh karena itu unsur lain yang
juga menjadi tolak ukur dalam penempatan
pejabat yakni pendidikan dan pelatihan serta
etika birokrasi mempunyai peranan penting
dalam membekali pegawai dengan sejumlah
pengetahuan
dan
keterampilan
yang
dibutuhkan unruk melaksanakan tugas dan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan diatas sumber daya
manusia aparatur berperan sangat penting
untuk mengetahui isu-isu strategis yang
merupakan
tantangan
dan
peluang
kepegawaian dengan memperbaiki pengelolaan
manajemen PNS. Sehingga untuk kedepannya
pembangunan sumber daya manusia aparatur
dapat menghasilkan pegawai yang produktif
dan profesional.
Kebijakan pengembangan sumber daya
manusia aparatur (PNS) diarahkan pada
peningkatan
sikap
dan
perilaku
yang
diperlukan dalam pelaksanaan tugas dan
jabatan. Selain itu program pengembangan
SDM aparatur harus diarahkan kepada
peningkatan pengetahuan dan keterampilan
untuk menunjang dalam melakukan pekerjaan,
sehingga memiliki kinerja yang tinggi. Untuk
memperbaiki manajemen kepegawaian maka
direkomendasikan beberapa saran sebagai
berikut :
1. Manajemen kepegawaian PNS yang
cenderung
menggunakan
sistem
tertutup
karena
akibat
dari
desentralisasi dan otonomi daerah,
maka perlu dikembalikan ke sistem
manajemen nasional yang terpadu dan
terbuka
sehingga
memungkinkan
semua orang bisa memasuki atau
menjadi pegawai pemerintah tanpa
dihalangi oleh asal usul etnis dan
kedaerahannya. Dengan demikian, halhal yang bisa dibantu antara lain
menata dan mereformasi manajemen
kepegawaian secara menyeluruh dengan
menggunakan sistem yang tepat untuk
wilayah Indonesia.
2. Perlu adanya perubahan di dalam
pengelolaan manajemen kepegawaian
dari manajemen kepegawaian yang
masih konvesional ke arah pengelolaan
manajemen kepegawaian yang berbasis
informasi teknologi (e-Government).
Perubahan ini perlu dan mutlak
dilakukan dalam rangka mengantisipasi
terhadap
perubahan
lingkungan
eksternal yang menuntut pengelolaan
manajemen
kepegawaian
yang
profesional, cepat, dan responsive dalam
memberikan
pelayanan
kepada
masyarakat.
3. Pengembangan
pendidikan
dan
pelatihan PNS tidak lagi dititikberatkan
kepada
Diklat
Struktural
yang
cenderung
menjadikan
orientasi
462
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
pegawai hanya untuk mendapatkan
jabatan struktural, namun diklat
diarahkan
untuk
meningkatkan
keahlian dan kecakapan pegawai.
4. Dalam hal kesejahteraan pegawai, yang
merupakan salah satu faktor penting
yang mempengaruhi kinerja PNS. Maka
kesejahteraan
pegawai
perlu
ditingkatkan dengan merestrukturisasi
sistem pengajian PNS secara nasional
dan secara rasional sesuai dengan
standar minimal kebutuhan pegawai.
Yang diarahkan untuk mengurangi gap
gaji pegawai, struktur gaji yang
bermula dari gaji pokok yang rendah
perlu diperbaiki dengan memberikan
jumlah gaji pokok yang besar, dan
ditambah dengan tunjangan-tunjangan
yang relevan.
5. Dalam pelaksanaan otonomi daerah,
pengelolaan manajemen kepegawaian di
daerah dilakukan secara otonom oleh
daerah mulai dari rekrutmen sampai
dengan
pensiun.
Perlu
adanya
restrukturisasi kelembagaan dalam
manajemen kepegawaian di daerah
tidaknya bersifat administratif, namun
perlu struktur kelembagaan baru yang
diarahkan dan berorientasi terhadap
pengembangan
profesi
dan
profesionalisme
pegawai,
memberi
pelayanan optimal kepada masyarakat.
Maka
perlu
kiranya
manajemen
kepegawaian
dibantu
melakukan
analisis organisasi, analisis jabatan
yang tepat bagi pemenuhan kebutuhan
peningkatan
kompetensi
dan
profesionalisme pegawai.
Daftar Pustaka
Thoha Miftah., Birokrasi dan Politik di
Indonesia,
Jakarta:
Raja
Grafindo
Persada., 2002.
Ackerman-Rose Susan., Korupsi Pemerintahan
sebab, akibat dan reformasi, Pustaka Sinar
Harapan., 2006.
Moekijat,
(2002).Manajemen
Kepegawaian.
Alumni Bandung.
463
Download