45 PENGARUH EVALUASI TERHADAP MOTIVASI

advertisement
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
PENGARUH
EVALUASI TERHADAP MOTIVASI BELAJAR
PESERTA DIDIK
St. Marwiyah
STAIN Palopo
Abstrak: Evaluasi adalah penilaian yang dilakukan oleh individu
melalui tes dan nontes terhadap peserta didik. Adapun motivasi adalah
dorongan dari dalam dan luar diri individu. Motivasi itu ada dua
jenisnya yaitu ; motivasi primer dan motivasi sekunder. Motivasi
primer sifatnya intrinsik dan motivasi sekunder sifatnya ekstrinsik.
Jika evaluasi yang diterapkan oleh individu memiliki alat –alat yang
didasari oleh prinsip-prinsip dan syarat-syarat evaluasi yang handal
maka secara psikologis sangat berpengaruh terhadap motivasi belajar
peserta didik secara efektif dan efisien.
Kata Kunci
: Evaluasi, motivasi, peserta didik.
Di
negara-negara
yang
sudah maju, pendidikan dipandang
sebagai
sarana
utama
untuk
memecahkan
masalah-masalah
sosial. Untuk beberapa masalah
tertentu,
kesejahteraan
bangsa
dibebankan ke pundak sekolah dan
dan universitas
Diakui bahwa kritik-kritik
sering
muncul
tentang
sistem
pendidikan yang sering berubah dan
tidak seimbang. Kurikulum yang
kurang tepat dengan mata pelajaran
yang terlalu banyak dan tidak
berfokus pada hal-hal yang seharus
diberikan, dan lain
sebagainya.
Namun masalah yang paling parah
pada setiap sistem pendidikan yaitu
kurangnya evaluasi yang efektif,
padahal evaluasi sangat diperlukan
dalam
membangkitkan
motivasi
belajar peserta didik pada lembaga
pendidikan
formal maupun
non
formal,
dalam
hal
ini
sekolah/perguruan
tinggi
dan
lembaga-lembaga kursus maupun
lembaga bimbingan belajar.
Evaluasi
memegang
peranan
penting
karena
hasil
evaluasi menentukan sejauh mana
tujuan dapat dicapai. Sebuah hasil
evaluasi
dapat
membantu
pengembangan,
implementasi,
kebutuhan suatu program, perbaikan
program,
pertanggungjawaban,
seleksi,
motivasi,
menambah
pengetahuan, serta
membantu
mendapat dukungan dari mereka
yang dalam program evaluasi.
Evaluasi dapat mmberikan
pendekatan yang lebih banyak lagi
dalam memberikan informasi kepada
pendidikan
untuk
membantu
perbaikan dan pengembangan sistem
pendidikan. Oleh sebab itu, orangorang yang berpengaruh dalam
pendidikan, pakar-pakar pendidikan,
dan para pemimpin menyokong dan
menyetujui
bahwa
program
pendidikan harus dievaluasi. Para
orang
tua
yang
mengerti
menginginkan
informasi
tentang
kurikulum dan metode pengajaran
yang digunakan untuk mengajar
anaknya. Kelompok warga lainnya
ingin mengetahui hasil yang dicapai
dengan biaya yang telah mereka
bayar.
Karena
evaluasi
dapat
45
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
membantu mengadakan informasi
tersebut, maka para pembuat aturan
pendidikan dapat memakai hasil
evaluasi untuk alasan dalam proses
perbaikan pendidikan. Pakar maupun
pemimpin sekolah dan universitas
menerima
evaluasi
sebagai
pensyaratan untuk memperoleh dana
guna bermacam-macam program
pendidikan. Pengajar dan karyawan
melihat evaluasi untuk mengetahui
apa yang telah mereka kerjakan.
Singkatnya evaluasi telah diterima
secara luas dalam pendidikan dan
bidang lainnya yang relevan (Farida
Yusuf Tayibnapis, 2000 : 2).
Istilah evaluasi meliputi
berbagai macam kegiatan, mulai dari
observasi informasi terhadap reaksi
peserta
didik, observasi kinerja
tertruktur, penggunaan diskusi dan
catatan
harian, komentar
yang
berfungsi sebagai umpan balik
hingga berbagai macam bentuk tes.
Hal penting yang perlu diingat,
suatu
desain
pengajaran
yang
sistematik harus selalu memasukkan
pertimbangan tentang pendekatan
atau filosofi
evaluasi, pemilihan
teknik
evaluasi,
penyesuaian
prosedur
evaluasi
dengan
pengajaran, pemahaman karakteristik
audiens, dan penggunaan konstruksi
instrumen evaluasi (Hisyam Zaini,
dkk, 2002 : 154-155)
Setiap
orang
yang
melakukan suatu kegiatan akan
selalu ingin mengetahui hasil dari
kegiatan
yang
dilakukannya.
Seringkali pula, orang melakukan
kegiatan
tersebut, berkeinginan
mengetahui baik atau buruknya
kegiatan yang dilakukannya. Peserta
didik dan guru merupakan orangorang yang terlibat dalam kegiatan
pembelajaran, tentu mereka juga
46
berkeinginan mengetahui proses dan
hasil kegiatan pembelajaran yang
dilakukan.
Untuk
menyediakan
informasi
tentang
baik
atau
buruknya proses dan hasil kegiatan
pembelajaran, maka seorang guru
harus menyelenggarakan evaluasi.
Kegiatan evaluasi yang dilakukan
guru
mencakup
evaluasi hasil
belajar dan evaluasi pembelajaran
sekaligus.
Di sisi yang lain, evaluasi
juga
merupakan
salah
satu
komponen
sistem
pembelajaran/pendidikan. Hal
ini
berarti, evaluasi merupakan kegiatan
yang tak terelakkan dalam setiap
kegiatan/proses
pembelajaran.
Dengan kata lain, kegiatan evaluasi
(baik evaluasi hasil belajar maupun
evaluasi pembelaran) merupakan
bagian integral yang tak terpisahkan
dari
kegiatan
pembelajaran/pendidikan.
Seorang guru harus dapat
membedakan, mana
kegiatan
evaluasi hasil belajar dan mana
pula kegiatan evaluasi pembelajaran.
Evaluasi hasil belajar menekankan
kepada
diperolehnya
informasi
tentang seberapa perolehan peserta
didik
dalam
mencapai
tujuan
pembelajaran
yang
ditetapkan.
Sedangkan evaluasi pembelajaran
merupakan
sistematis
untuk
memperoleh
informasi
tentang
keefektifan
proses
pembelajaran
dalam membantu
peserta didik
mencapai tujuan pengajaran secara
optimal. Dengan demikian evaluasi
hasil belajar menetapkan baik
buruknya
hasil
dari kegiatan
pembelajaran. Sedangkan evaluasi
pembelajaran
menetapkan
baik
buruknya proses dari kegiatan
pembelajaran (Dimyati & Mudjiono,
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
2006 : 190). Berdasarkan pemikiranpemikiran
ini, maka
tampaklah
bahwa
evaluasi
itu
sangat
diperlukan, karena hanya dengan
evaluasi
peserta
didik
dapat
termotivasi belajar untuk mencapai
tujuan pembelajaran.
Secara didaktik evaluasi
dapat memberikan motivasi kepada
peserta didik untuk memperbaiki,
meningkatkan dan mempertahankan
prestasinya. Evaluasi hasil belajar
itu misalnya, akan menghasilkan
nilai-nilai belajar untuk masingmasing individu peserta didik. Ada
peserta didik yang nilainya jelek
(prestasinya
rendah), karena
itu
peserta didik termotivasi untuk
memperbaikinya, agar untuk waktu
yang akan
datang
nilai
hasil
belajarnya
tidak
sejelek
sebelumnya.
Pengertian & Alat-Alat Evaluasi
1. Pengertian Evaluasi
Secara
harfiah
kata
evaluasi berasal dari bahasa Inggris
evalution ; dalam bahasa Arab : altaqdir
(‫)التقدير‬
dalam
bahasa
Indonesia berarti penilaian. Akar
katanya adalah value ; dalam bahasa
Arab : al-Qiyamah ( ‫ ;) القيمة‬dalam
bahasa Indonesia berarti nilai.
Dengan demikian secara harfiah,
evaluasi pendidikan (educational =
al-Taqdir al-Tarbawiy =) ‫)التقديرالتربوي‬
dapat diartikan sebagai penilaian
dalam bidang pendidikan atau
penilaian mengenai hal-hal yang
berkaitan
dengan
kegiatan
pendidikan (Anas Sudjiono, 1995 :
1)
Adapun pengertian evaluasi
menurut istilah adalah bermacammacam sesuai dengan persepsi dari
masing-masing
ahli
pendidikan.
Davies
mengemukakan
bahwa
bahwa evaluasi merupakan proses
sederhana
memberikan/menetapkan
nilai
kepada
sejumlah
tujuan,
kegiatan, keputusan, unjuk kerja,
proses, orang, objek, dan
masih
banyak yang lain (Davies, 1981 :
3). Sedangkan Wand dan Brown
mengemukakan
bahwa
evaluasi
merupakan suatu proses untuk
menentukan nilai dari sesuatu
(Nurkancana, 1986 : 1). Pengertian
evaluasi lebih dipertegas lagi, dengan
batasan sebagai proses memberikan
atau menentukan nilai kepada objek
tertentu berdasarkan suatu kriteria
tertentu (Nana Sudjana, 1990 : 3).
Berdasarkan batasan-batasan
tersebut, dapat dipahami bahwa
evaluasi
secara
umum
dapat
diartikan sebagai proses sistematis
untuk menentukan nilai sesuatu
(tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk
kerja, proses, orang, objek, dan lain
sebagainya)
berdasarkan
kriteria
tertentu melalui penilaian. Untuk
menentukan nilai sesuatu dengan
cara
membandingkan
dengan
kriteria, evaluator dapat langsung
membandingkan
dengan
kriteria
namun
dapat
pula
melakukan
pengukuran terhadap sesuatu yang
dievaluasi
kemudian
baru
membandingkan dengan kriteria.
Dengan demikian evaluasi tidak
selalu melalui proses mengukur
(pengukuran)
baru
melakukan
proses menilai (penilaian) tetapi
dapat
pula
evaluasi
langsung
melalui penilaian saja.
Walaupun
tidak
semua
proses evaluasi melalui pengukuran,
seorang guru harus tahu tentang
pengukuran, selain itu perlu juga
dipahami oleh setiap guru mengenai
penilaian.
Pengukuran
lebih
47
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
menekankan
kepada
proses
penentuan kuantitas sesuatu dengan
membandingkan
dengan
satuan
ukuran tertentu (Suharismi Arikunto,
1990 : 3). Sedangkan
penilaian
menekankan
kepada
proses
pembuatan
keputusan
terhadap
sesuatu ukuran baik –buruk yang
bersifat
kualitatif
(Suharismi
Arikunto, 1990 : 3). Dari batasan
pengukuran
dan
penilain dapat
ditandai adanya perbedaan yang
nyata antara keduanya. Pengukuran
dilakukan apabila kegiatan penilaian
membutuhkannya, bila
kegiatan
penilaian tidak membutuhkan maka
kegiatan pengukuran tidak perlu
dilakukan. Hasil pengukuran yang
bersifat kuantitatif akan diolah dan
dibandingkan dengan kriteria, hingga
didapatkan hasil penilaian yang
bersifat kualitatif.
2. Alat- Alat Evaluasi
Dalam pengertian umum, alat
adalah
sesuatu
yang
dapat
digunakan
untuk
mempermudah
seseorang untuk
melaksanakan
tugas untuk mencapai tujuan secara
efektif dan efisien. Kata “alat” biasa
disebut
juga
dengan
istilah
“instrumen”. Dengan demikian maka
alat evaluasi juga dikenal dengan
instrumen evaluasi. Secara garis
besar, alat evaluasi yang digunakan
dapat digolongkan
menjadi 2
macam yaitu tes dan bukan tes
(nontes) (Suharsimi Arikunto, 2002 :
25).
Secara harfiah, kata “tes”
berasal dari bahasa Perancis Kuno;
testum dengan arti :”piring untuk
menyisihkan
logam-logam mulia”
(maksudnya dengan menggunakan
alat berupa piring itu akan dapat
diperoleh jenis-jenis logam mulia
yang nilainya sangat tinggi) dalam
48
bahasa Inggris ditulis dengan test
yang
dalam
bahasa
Indonesia
diterjemahkan dengan “tes”, “ujian
atau percobaan” (Anas Sudjiono,
1996 : 66).
Ada beberapa istilah yang
memerlukan penjelasan sehubungan
dengan uraian di atas, yaitu istilah
test, testing, tester dan testee, yang
masing-masing
mempunyai
pengertian
yang
berbeda. Test
adalah alat atau prosedur yang
dipergunakan
dalam
rangka
pengukuran dan penilaian; testing
berarti saat dilaksanakannya atau
peristiwa
berlangsungnya
pengukuran dan penilaian; tester
artinya orang yang melaksanakan
tes, atau
pembuat
tes
atau
eksperimentor, yaitu orang yang
sedang
melakukan
percobaan
(eksprimen); sedangkan
testee
(mufrad) dan testees (jama’) adalah
pihak yang sedang dikenai tes
(=peserta tes=peserta ujian), atau
pihak
yang
sedang
dikenai
percobaan (Anas Sudjiono, 1996 :
66)
Adapun dari segi istilah,
menurut Anne Anastasi sebagaimana
dikutif Anas Sudjiono dalam karya
tulisnya
berjudul
“Psychological
Testing, yang dimaksudkan dengan
tes adalah alat pengukur yang
mempunyai standar yang objektif
sehingga dapat digunakan secara
meluas, serta
dapat
betul-betul
digunakan untuk mengukur dan
membandingkan keadaan psikis atau
tingkah
laku
individu (Anas
Sudjiono, 1996 : 66).
Tes dapat dipilah ke dalam
berbagai kelompok. Dan bila dilihat
dari segi konstruksinya, maka tes
dapat diklasifikasikan menjadi dua
yaitu ; (1) menurut bentuknya, dan
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
(2) menurut ragamnya (Hisyam
Zaini, dkk, 2002 : 164-165).
Secara
umum
ada
dua
bentuk tes, yaitu tes objektif dan tes
subjektif.
Tes
objektif
adalah
bentuk tes yang diskor secara`
objektif. Disebut objektif karena
kebenaran
jawaban
tes
tidak
berdasar
pada penilaian dan
korektor tes. Tes bentuk ini
menyediakan alternatif
jawaban
untuk dipilih oleh peserta didik
yang setiap butir soal memiliki
hanya satu jawaban yang benar.
Sedangkan tes subjektif adalah tes
yang diskor dengan memasukkan
penilaian dari korektor tes. Dalam
tes bentuk ini peserta didik diminta
untuk menjawab setiap butir soal.
Jenis tes subjektif, antara lain,
adalah tes esai/uraian, tes lisan, cek
lis, skala lajuan, dan catatan harian.
Adapun ragam tes dapat
dibedakan menjadi dua yaitu ; (1)
tes esai terbatas, dan (2) tes esai
bebas. Butir tes objektif
menurut
ragamnya dibagi menjadi tiga, yaitu
; (1) tes benar –salah, (2) tes
menjodohkan, dan (3) tes pilihan
ganda.
Adapun alat evaluasi dalam
bentuk non tes
adalah suatu
strategi
yang
dipakai oleh
guru/dosen
untuk
melakukan
penilaian hasil belajar peserta didik
dengan
menggunakan
instrumen
selain tes. Alat
evaluasi dalam
bentuk non tes yang dilakukan
dalam
lingkungan
pendidikan
formal dari TK ((Taman KanakKanak) sampai dengan SLTA
(Sekolah
Lanjutan Atas) adalah
melalui ; (1) observasi (pengamatan),
(2) pemberian tugas untuk hasil
karya/laporan, (3) Karangan, (4) skala
sikap, (5) angket, dan (6) wawancara
(Slameto, 2001 : 93). Sedangkan
evaluasi dalam bentuk non tes yang
biasa
digunakan
di lingkungan
perguruan tinggi adalah melalui ;
(1) Makalah, (2) Presentasi, (3)
partisipasi, (4) proyek/penelitian, (5)
praktik, (6) performa/kinerja, (7) pre
tes, (8) penulisan proposal, (9)
portofolio, dan
(10)
kehadiran
(Hisyam Zaini, dkk, 2002 : 166).
Jika seorang
pendidik
(guru/dosen) senantiasa kontinyu
dan konsisten menggunakan alat
evaluasi `melalui tes dan non tes,
maka secara psikologis peserta
didik termotivasi untuk belajar
secara kritis karena tak seorang pun
peserta didik yang tidak ingin lulus
dalam ujian, baik dalam ujian ;
formatif, sumatif, nasional, maupun
dalam ujian masuk perguruan tinggi
pada SNMPTN (Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Prinsip-Prinsip & Syarat-Syarat
Evaluasi
1. Prinsip-Prinsip Evaluasi
Setiap
guru
harus
memahami
betul
prinsip-prinsip
evaluasi, karena dengan evaluasi
peserta
didik
akan
selalu
termotivasi untuk belajar secara
lebih
intensif.
Prinsip-prinsip
evaluasi meliputi ; (1) Keterpaduan,
(2) Cara belajar
siswa aktif
(CBSA), (3)
Kontinutas, (4)
Koherensi, (5) Diskriminilitas, (6)
Keseluruhan, (7) Pedagogik, dan ( 8)
Akuntabilitas (Slameto, 2001 : 19).
1. Prinsip Keterpaduan
Evaluasi merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari dan di
dalam program pengajaran. Evaluasi
adalah
satu
komponen
dalam
program yang berinteraksi dengan
komponen-komponen
lainnya
49
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
(tujuan, materi, strategi instruksional,
kegiatan peserta didik, guru, dan
sarana). Perencanaan evaluasi harus
dilakukan
bersamaan
dengan
perencanaan
satu
program
pengajaran. Banyak terjadi bahan
evaluasi
direncanakan
dan
dilaksanakan beberapa lama setelah
program
pengajaran
selesai
dilaksanakan, sehingga
evaluasi
dilakukan bukan terhadap apa yang
direncanakan, tetapi terhadap apa
yang telah dilakukan.
2. Prinsip Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA)
Hakikat dari CBSA ialah
keterlibatan peserta didik secara
mental, antusias dan asyik dalam
kegiatan belajar-mengajar. Demikian
pula halnya dengan
evaluasi,
evaluasi
menuntut
keterlibatan
berupa motivasi yang besar dari
peserta
didik.
Peserta
didik
seharusnya
tidak
merasakan
evaluasi sebagai sesuatu yang
menekan dan cenderung untuk
dihindari, karena jika demikian hal
ini menunjukkan bahwa prinsip ini
tidak terdapat
dalam
evaluasi.
Prinsip ini dapat diibaratkan dengan
olah raga. Seseorang yang telah
melatih dirinya dalam cabang olah
raga tertentu akan merasa sangat
tertekan jika ia tidak diikutsertakan
dalam
pertandingan. Kalah atau
menang bukan soal utama baginya.
Evaluasi (seperti pula halnya
dengan pertandingan) merupakan
puncak
dari
kegiatan
belajar
mengajar. Pada dasarnya, peserta
didiklah
yang
mengukur
kemampuannya melalui
evaluasi,
guru
hanya
berfungsi
sebagai
pemberi motivasi
3. Prinsip Kontinuitas
50
Pada
dasarnya
evaluasi
berlangsung selama proses kegiatan
belajar mengajar berjalan. Evaluasi
tidak hanya terdapat pada awal
dan/atau pada akhir pengajaran saja,
tetapi juga selama proses belajar
mengajar
berlangsung, misalnya
dalam bentuk pengamatan, tanya
jawab, atau dialog. Hal ini dilakukan
dalam rangka pemantapan program.
4. Prinsip Koherensi
Sebagai akibat dari prinsip
keterpaduan, maka evaluasi harus
konsisten dengan kemampuan yang
didukung oleh tujuan pengajaran.
Sering terjadi, kemampuan yang
didukung oleh tujuan ialah sikap
(afektif) tetapi evaluasi ditujukan
kepada pengetahuan. Evaluasi harus
pula mempunyai koherensi dengan
program pengajaran, artinya evaluasi
harus
benar-benar
hasil
yang
diperoleh
oleh
kegiatan belajar
mengajar, baik kegiatan tatap muka
maupun
kegiatan
terstruktur.
Kadang-kadang suatu tes dapat
dijawab dengan benar oleh peserta
didik sekaliupun tidak mengikuti
kegiatan belajar mengajar.
5. Prinsip Diskriminalitas
Dari
aspek
psikologi
diketahui bahwa setiap individu
mempunyai
perbedaan
dengan
individu lain. Individu adalah suatu
person yang unik. Bahkan walaupun
dua individu mempunyai pendapat
yang sama, tetapi jalan pikiran
untuk sampai pada pendapat yang
sama itu tidaklah sama. Sesuai
hakikat individu ini, evaluasi harus
pula
mampu
menunjukkan
perbedaan di kalangan peserta didik
secara individual.
6. Prinsip Keseluruhan
Perubahan tingkah laku yang
sudah ditetapkan sebagai tujuan
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
yang hendak dicapai bersifat utuh.
Karena itu evaluasi yang akan
dilakukan hendaknya bersifat utuh
pula, yaitu meliputi seluruh segi
tujuan
pendidikan.
Hal
ini
mengandung
pengertian
bahwa
evaluasi ditujukan tidak hanya pada
sesudah akhir proses pengajaran,
tetapi juga selama proses belajar
mengajar
sedang
berlangsung,
misalnya peran serta, kreativitas dan
cara-cara
penyampaian
ide-ide
peserta didik baik di dalam maupun
di luar proses belajar mengajar.
7. Prinsip Pedagogis
Seluruh kegiatan evaluasi
haruslah diketahui dan dirasakan
oleh peserta didik tidak hanya
sebagai rekaman hasil belajarnya
saja, melainkan juga sebagai upaya
perbaikan dan peningkatan perilaku
dan sikapnya itu, sehingga hasil
evaluasi harus dinyatakan dan dapat
dirasakan sebagai penghargaan bagi
yang berhasil
dan sebaliknya
merupakan hukuman (bagi yang
belum berhasil) yang menantang
untuk belajar lebih giat lagi. Dengan
demikian
evaluasi
akan
ikut
membentuk motivasi perilaku secara
posotif.
8. Prinsip Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah satu ciri
dari
pendidikan
berdasar
kompetensi.
Pada
akhirnya
pendidikan dan pengajaran harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada
lembaga pendidikan
itu sendiri,
kepada masyarakat pemakai tenaga
lulusan, dan
kepada
kelompok
profesional.
Pertanggungjawan
terhadap
ketiga
kelompok
ini
merupakan
hal
yang
harus
dipertimbangkan dalam evaluasi.
2. Syarat-Syarat Evaluasi
Sebelum
menyelenggarakan
evaluasi maka seorang guru harus
memperhatikan syarat-syarat evaluasi
sebagai berikut :
a. Kesahihan
Kesahihan
adalah
identik
dengan validitas yaitu ketepatan apa
yang seharusnya mesti dievaluasi.
Kesahihan dapat diterjemahkan pula
sebagai kelayakan
interpretasi
terhadap hasil dari suatu instrumen
evaluasi atau tes, dan tidak terhadap
instrumen itu sendiri (Gronlund,
1985 : 57). Dengan demikian, akan
kurang
tepat
bila
mengatakan
“kesahihan evaluasi” lebih tepat bila
mengatakan “kesahihan interpretasi
yang dibuat dari hasil evaluasi”.
Kesahihan juga dapat dikatakan
lebih
menekankan
pada
hasil/perolehan evaluasi, bukan pada
kegiatan evaluasinya. Dengan kata
lain, kesahihan
diperuntukkan
menjawab pertanyaan “apakah hasil
sahih?”
Untuk
memperoleh
hasil
evaluasi yang sahih, dibutuhkan
instrumen yang memiliki syaratsyarat kesahihan suatu instrumen
evaluasi.
Kesahihan
instrumen
evaluasi diperoleh melalui hasil
pemikiran
dan dari
hasil
pengalaman. Dari dua cara tersebut,
diperoleh empat macam kesahihan
yang terdiri dari ; (1) kesahihan isi,
(2) kesahihan
konstruksi, (3)
kesahihan ada, dan (4) kesahihan
prediksi (Arikunto, 1990 : 64).
Faktor-faktor
yang
mempengaruhui
kesahihan
hasil
evaluasi
meliputi ; (1) faktor
instrumen evaluasi itu sendiri. Halhal yang barangkali menyebabkan
atau mempengaruhi kesahihan hasil
evaluasi yang ada dalam instrumen
evaluasi, di antaranya ketidak jelasan
51
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
petunjuk, tingkat kesulitan kosa kata
dan
struktur
kalimat instrumen
evaluasi, ketidaklayakan
tingkat
kesulitan item evaluasi, susunan item
evaluasi yang kurang baik, item
evaluasi yang terlalu pendek, dan
dapat
dikenalinya pola jawaban
intrumen evaluasi, (2) faktor-faktor
administrasi evaluasi dan penskoran,
juga merupakan faktor-faktor yang
mempunyai suatu pengaruh yang
mengganggu kesahihan
instrumen
interpretasi hasil evaluasi. Dalam
kasus instrumen evaluasi guru, faktorfaktor tersebut di antaranya berupa
waktu yang tidak cukup untuk
menyelesaikan evaluasi,
bantuan
secara tidak wajar kepada peserta
didik yang meminta pertolongan,
mencontek saat ujian, dan penskoran
jawaban esai yang tidak diperoleh
karena cenderung kesahihan yang
rendah. Dalam hal evaluasi yang
diterbitkan oleh lembaga tertentu,
faktor-faktor tersebut di antaranya
adalah kesalahan dalam mengikuti
petunjuk batasan waktu, memberikan
bantuan yang tidak sah kepada
peserta
didik, dan
kesalahankesalahan
dalam
penskoran,
sedangkan semua instrumen evaluasi
(baik yang dibuat oleh maupun
bukan), kondisi fisik dan psikis
yang tidak menguntungkan pada
saat evaluasi juga mempunyai
pengaruh negatif, (3) faktor-faktor
dalam respons-respons peserta didik
merupakan faktor-faktor yang lebih
banyak mempengaruhui kesahihan
dari pada faktor yang ada` dalam
instrumen
evaluasi. Faktor-faktor
dalam respons-respons peserta didik
di antaranya adalah kecendrungan
untuk merespons secara cepat
daripada secara tepat, kecendrungan
merespons secara coba-coba, dan
52
penggunaan daya tertentu dalam
merespons
item evaluasi esai
(Gronlud, 1986 : 81)
Dari uraian tersebut sudah
jelas, bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhui kesahihan adalah
faktor-faktor
dalam
instrumen
evaluasi,
faktor-faktor
dalam
pengadministrasian dan penskoran
evaluasi, dan faktor-faktor dalam
respons-respons peserta didik.
b. Keterandalan
Syarat umum yang juga
sama pentingnya dengan kesahihan
adalah
keterandalan
evaluasi.
Keterandalan evaluasi berhubungan
dengan masalah kepercayaan, yakni
tingkat kepercayaan bahwa suatu
instrumen
evaluasi
mampu
memberikan
hasil
yang
tepat
(Arikunto, 1990 : 81).
Selain itu Gronlund (1985 :
86) juga
mengemukakan bahwa
keteradalan menunjukkan kepada
konsistensi (keajegan) pengukuran
yakni bagaimana keajegan skor tes
atau hasil evaluasi lain yang berasal
dari pengukuran yang satu ke
pengukuran yang lain. Dengan kata
lain, keterandalan dapat diartikan
sebagai tingkat kepercayaan keajegan
hasil evaluasi yang diperoleh dari
suatu
instrumen
evaluasi.
Keterandalan
berhubungan
erat
dengan
kesahihan,
karena
keterandalan menyediakan keajegan
yang
memungkinkan
terjadinya
kesahihan (Arikunto, 1990 : 81).
Kemungkinan terjadinya kesahihan
karena
adanya
keajegan, tidak
selalu
menjamin
bahwa
hasil
evaluasi
sahih
(valid), dan
sebaliknya
keterandalan
tidak
dijamin ada pada hasil evaluasi
yang memenuhui syarat kesahihan.
Keterandalan
dipengaruhui
oleh
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
sejumlah faktor, yakni hal yang
berhubungan dengan tes itu sendiri,
hal yang
berhubungan
dengan
tercoba, dan hal yang berhubungan
dengan
penyelenggaraan
tes
(Arikunto, 1990 : 82-84). Sedangkan
Gronlund mengemukakan adanya 4
faktor
yang
mempengahui
keterandalan, yakni ; panjang tes
(banyak sedikitnya item tes, sebaran
skor, tingkat kesulitan tes, dan
objektivitas (Gronlund, 1985 : 100104).
Untuk memperjelas tentang
faktor-faktor yang mempengaruhui
keterandalan, maka dapat dianalisis
dengan
mengacu kepada
; (1)
panjang
tes.
Panjang
tes
berhubungan
dengan
banyaknya
butir tes, pada umumnya lebih
banyak butir tes lebih tinggi
keterandalan evaluasi. Hal ini terjadi
karena makin banyak soal tes
makin banyak sampel yang diukur,
proporsi jawaban benar makin
banyak, dengan
demikian faktor
tebakan
makin
rendah. Karena
pengertian tes dilakukan dengan
tidak
banyak
menebak, maka
keterandalan evaluasi makin tinggi,
(2)
sebaran
skor.
Kofisien
keterandalan
secara
langsung
dipengaruhui oleh sebaran skor
dalam kelompok tercoba. Dengan
kata lain besarnya sebaran skor
akan
membuat
perkiraan
keterandalan lebih tinggi akan
terjadi menjadi kenyataan, karena
kofisien keterandalan yang lebih
besar dihasilkan pada saat orang
perorang tetap pada posisi yang
relatif sama dalam satu kelompok
dari satu pengujian ke pengujian
lainnya, itu berarti selisih yang
dimungkinkan dari perubahan posisi
dalam kelompok juga menyumbang
memperbesar kofisien keterandalan,
(3) tingkat kesulitan tes. Tes acuan
norma yang paling mudah atau
paling sukar untuk anggota-anggota
kelompok
yang
mengerjakan,
cenderung menghasilkan skor tes
keterandalan
yang
rendanh. Ini
disebabkan antara hasil tes yang
mudah dan yang sulit keduanya
dalam satu sebaran skor yang
terbatas. Untuk tes yang mudah, skor
akan berada bersama-sama pada
bagian
atas dan
akhir
skala
penilaian. Sedangkan tes yang sulit,
skor mengelompok bersama-sama
pada bagian akhir bawah skala
penilaian. Untuk kedua tes (mudah
dan sukar), perbedaan
antarorang
perorang kecil sekali dan cenderung
tidak dapat
dipercaya. Tingkat
kesulitan tes yang ideal untuk
meningkatkan kofisien keterandalan
adalah tes yang menghasilkan
sebaran skor berbentuk genta atau
kurva normal, dan (4) objektivitas.
Objektivitas suatu tes menunjuk
kepada tingkat skor kemampuan
yang sama (yang dimiliki oleh
peserta didik satu dengan peserta
didik yang lain) memperoleh hasil
yang sama dalam mengerjakan tes.
Dengan kata
lain, apabila ada
peserta didik yang memiliki tingkat
kemampuan yang sama dengan
tingkat kemampuan peserta didik
yang lain maka dapat dipastikan
akan memperoleh hasil tes yang
sama pada saat mengerjakan tes
yang sama. Objektivitas prosedur
tes yang tinggi akan menghasilkan
keterandalan hasil tes yang tidak
dipengaruhui
oleh
prosedur
penskoran.
c. Kepraktisan
Dalam memilih tes dan dan
instrumen
evaluasi
yang
lain,
53
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
kepraktisan merupakan syarat yang
tidak dapat diabaikan. Kepraktisan
evaluasi terutama dipertimbangkan
pada
saat
memilih
tes
atau
instrumen
evaluasi lain
yang
dipublikasikan oleh suatu lembaga.
Kepraktisan evaluasi dapat diartikan
sebagai kemudahan-kemudahan yang
ada pada instrumen evaluasi baik
dalam
mempersiapkan,
menggunakan,
menginterpretasi/memperoleh hasil,
maupun
kemudahan
dalam
menyimpannya
(Dimyati
&
Mudjiono, 1999 : 198)
Faktor-faktor
yang
mempengaruhui
kepraktisan
instrumen
evaluasi
meliputi ;
(1)
kemudahan
mengadministrasi. Jika
instrumen
evaluasi
diadministrasikan
oleh
seorang guru atau orang lain dengan
kemampuan
yang
terbatas,
kemudahan
pengadministrasian
adalah suatu kualitas penting yang
diminta dalam instrumen evaluasi.
Untuk
memberikan kemudahan
pengadministrasian
instrumen
evaluasi dapat dilakukan dengan
jalan
memberikan
petunjuk
sederhana
dan
jelas, subtes
sebaiknya
relatif
sedikit, dan
pengaturan tempo tes sebaiknya
tidak
menimbulkan
kesulitan.
Kesalahan-kesalahan
dalam
mengadministrasikan
instrumen
evaluasi
akan
menurunkan
kepraktisannya, dan juga
akan
menyebabkan
berkurangnya
kesahihan dan keterandalan hasil
evaluasi, (2) waktu yang disediakan
untuk
melancarkan
evaluasi.
Kepraktisan dipengaruhui pula oleh
faktor waktu yang disediakan untuk
melancarkan
54
evaluasi. Waktu antara 20 menit
sampai 60 menit yang disediakan
untuk
melancarkan
evaluasi
merupakan waktu yang cukup untuk
memberikan
kepraktisan,
(3)
kemudahan
menskor.
Secara
tradisional, hal yang membosankan
dan aspek yang mengganggu dalam
melancarkan
evaluasi
adalah
penskoran. Guru seringkali bekerja
berat
berjam-jam
untuk
melaksanakan tugas ini. Kenyataan
ini jelas mengurangi kepraktisan
instrumen
evaluasi.
Untuk
memberikan kemudahan penskoran
diperlukan pengembangan berupa
perbaikan petunjuk untuk penskoran
dan
lebih
memudahkan kunci
penskoran,
pemisahan
lembar
jawaban dan lembar soal, dan
penskoran menggunakan mesin, (4)
kemudahan
interpretasi
dan
aplikasi. Dalam analisa terakhir,
keberhasilan
atau
kegagalan
evaluasi ditentukan oleh penggunaan
hasil evaluasi. Jika hasil evaluasi
diterjemahkan/ditafsirkan secara tepat
dan diterapkan secara efektif, hasil
evaluasi akan mendukung terhadap
keputusan-keputusan
pendidikan
yang
lebih
tepat. Untuk
memudahkan
interpretasi
dan
aplikasi hasil evaluasi diperlukan
petunjuk yang jelas. Semakin mudah
interpretasi
dan
aplikasi
hasil
evaluasi, semakin
meningkatkan
kepraktisan
evaluasi,
dan
(5)
tersedianya
bentuk
instrumen
evaluasi
yang
ekuivalen
atau
sebanding. Untuk berbagai kegunaan
pendidikan, bentuk-bentuk ekuivalen
untuk tes yang sama seringkali
diperlukan. Bentuk ekuivalen dari
sebuah tes mengukur aspek-aspek
perilaku melalui butir-butir tes yang
memiliki kesamaan dalam isi,
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
tingkat kesulitan, dan karakteristik
lainnya. Dengan demikian, satu
bentuk
suatu
tes
dapat
menggantikan yang lain, sedangkan
instrumen evaluasi yang sebanding
adalah instrumen evaluasi yang
memiliki kemungkinan dibandingkan
makna dari skala skor umum yang
dimiliki, sehingga untuk tes berseri
cukup menggunakan
skala skor.
Adanya
bentuk-bentuk
yang
ekuivalen
atau sebanding
dari
instrumen
evaluasi
akan
mempraktiskan dalam melancarkan
evaluasi.
Pengertian, Jenis & sifat Motivasi
1. Pengertian Motivasi Belajar
Banyak sekali, bahkan sudah
umum orang menyebut dengan
“motif” untuk menunjuk mengapa
seseorang itu sesuatu. Apa motifnya
si Ahmad membuat kekacauan, apa
motifnya
si
Budi
itu
rajin
membaca, apa
motifnya
Pak
Rahman
memberikan
insentif
kepada
para
pembantunya, dan
begitu seterusnya. Kalau demikian
apa yang dimaksud dengan motif ?
Kata “motif” diartikan sebagai
daya upaya yang
mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu.
Motif dapat dikatakan sebagai daya
penggerak dari dalam dan di dalam
subjek untuk melakukan aktivitasaktivitas tertentu demi mencapai
suatu tujuan. Bahkan motif dapat
diartikan sebagai suatu kondisi
intern (kesiapsiagaan). Berawal dari
kata “motif” itu, maka motivasi
dapat
diartikan
sebagai
daya
penggerak yang telah menjadi aktif.
Motif menjadi aktif pada saat-saat
tertentu, terutama bila kebutuhan
untuk mencapai tujuan sangat
dirasakan/mendesak.
Menurut
Mc.Donald
sebagaimana dikutif Sardiman A.M,
motivasi adalah perubahan energi
dalam
diri
seseorang
yang
ditandainya
dengan
munculnya
“feeling” dan
didahului
dengan
tanggapan terhadap adanya tujuan
(Sardiman A.M, 2007 : 73). Dari
pengertian
yang
dikemukakan
Mc.Donald ini mengandung tiga
elemen penting yaitu ; (1) bahwa
motivasi itu mengawali terjadinya
perubahan energi pada diri setiap
individu
manusia, (2)
motivasi
ditandai dengan munculnya, feeling
(rasa),
afeksi
seseorang, (3)
motivasi akan diransang karena
adanya tujuan.
Dengan ke tiga elemen di
atas, maka dapat dikatakan bahwa
motivasi itu sebagai sesuatu yang
kompleks.
Motivasi
akan
menyebabkan
terjadinya
suatu
perubahan energi yang ada pada
diri
manusia, sehingga
akan
bergayut dengan persoalan gejala
kejiwaan, perasaan dan juga emosi,
untuk
kemudian
bertindak
melakukan sesuatu.
Dari pengertian
itu juga
dipahami, bahwa motivasi adalah
serangkaian
usaha
untuk
menyediakan
kondisi-kondisi
tertentu, sehingga seseorang mau
dan ingin melakukan sesuatu, dan
bila ia tidak suka, maka akan
berusaha
untuk
meniadakan
perasaan
tidak
suka
itu. Jadi
motivasi itu dapat dirangsang oleh
faktor dari luar tetapi motivasi itu
adalah tumbuh di dalam diri
seseorang. Dalam kegiatan belajar,
motivasi dapat dikatakan sebagai
keseluruhan daya penggerak di
dalam diri peserta didik yang
menimbulkan kegiatan belajar, yang
55
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
menjamin
kelangsungan
dari
kegiatan belajar, sehingga tujuan
yang dikehendaki
oleh subjek
belajar itu dapat tercapai. Dikatakan
“keseluruhan”,
karena
pada
umumnya ada beberapa motif yang
bersama-sama menggerakkan peserta
didik untuk belajar, misalnya dengan
adanya evaluasi.
2. Jenis Motivasi
Motivasi, sebagai kekuatan
mental individu, memiliki tingkattingkat.
Para
ahli ilmu
jiwa
mempunyai pendapat yang berbeda
tentang tingkat kekuatan tersebut.
Perbedaan
pendapat
tersebut
umumnya
didasarkan
pada
penelitian tentang perilaku belajar
pada hewan. Meskipun berbeda
pendapat
tentang
tingkat
kekuatannya,
tetapi
mereka
umumnya
sependapat
bahwa
motivasi tersebut dibedakan menjadi
dua jenis yaitu ; (1) motivasi primer,
dan (2) motivasi sekunder (Dimyati
& Mudjiono, 2006 : 86). Motivasi
primer
adalah
motivasi
yang
didasarkan pada motif-motif dasar.
Motif-motif dasar tersebut umumnya
berasal dari segi biologis atau
jasmani manusia. Manusia adalah
makhluk
berjasmani, sehingga
perilakunya terpengaruh oleh insting
atau kebutuhan jasmaninya. Mc
Dougall
misalnya ; berpendapat
bahwa tingkah laku terdiri dari
pemikiran tentang tujuan, perasaan
subjektif, dan dorongan mencapai
kepuasan. Insting
itu
memiliki
tujuan dan memerlukan pemuasan.
Tingkah laku insting tersebut dapat
diaktifkan, dimodifikasi, dipicu secara
spontan, dan dapat diorganisasikan.
Adapun motivasi sekunder adalah
motivasi yang dipelajari. Hal ini
berbeda dengan motivasi primer.
56
Sebagai ilustrasi, orang yang lapar
akan tertarik pada makanan tanpa
belajar. Untuk memperoleh makanan
tersebut orang harus bekerja terlebih
dahulu. Agar dapat bekerja dengan
baik, orang harus bekerja terlebih
dahulu. Agar dapat bekerja dengan
baik, orang harus belajar bekerja.
Bekerja dengan baik merupakan
motivasi sekunder.
Motivasi sekunder biasanya
juga disebut motivasi sosial, dan ia
memegang peranan penting bagi
kehidupan
manusia.
Para ahli
membagi motivasi sekunder tersebut
menurut pandangan yang berbedabeda. Thomas
dan
Znaniecki
misalnya ; menggolongkan motivasi
sekunder
menjadi
keinginankeinginan untuk ; (1) memperoleh
pengalaman
baru, (2) mendapat
respon, (3) memperoleh pengakuan,
dan
memperoleh
rasa
aman.
Sementara
Mc
Cleland
menggolongkan menjadi kebutuhankebutuhan untuk ; (1) berpretasi,
seperti bekerja dengan kualitas
produksi tinggi, dan memperoleh IPK
3,50 ke atas, (2) memperoleh kasih
sayang seperti rela berkorban untuk
sesama, dan
(3)
memperoleh
kekuasaan, seperti kekuasaan pada
tujuan perkumpulan.
Ahli
lain,
Marx
menggolongkan motivasi sekunder
menjadi ; (1) kebutuhan organisme
seperti motif ingin tahu, memperoleh
kecakapan, berpretasi, (2) motif-motif
sosial
seperti
kasih
sayang
(Jalaluddin Rakhmat, 1991 : 34-39).
Dari uraian tentang jenis
motivasi itu, dapat dipahami bahwa
motivasi primer adalah motivasi
yang bersifat bawaan yang dibawa
sejak manusia itu. Motivasi primer
adalah berkaitan dengan kebutuhan-
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
kebutuhan
biologis
seperti
;
keinginan makan,
minum
dan
kebutuhan
seksual.
Sedangkan
motivasi sekunder adalah motivasi
karena adanya tujuan yang ingin
dicapai oleh setiap individu.
3. Sifat Motivasi
Motivasi seseorang
dapat
bersumber dari dalam diri sendiri
yang dikenal sebagai motivasi
internal dan dari luar diri seseorang
yang dikenal sebagai motivasi
eksternal.
Di
samping
itu, untuk
membedakan motivasi
intrinsik
yang dikarenakan orang tersebut
senang
melakukannya. Sebagai
ilustrasi peserta didik membaca
sebuah buku, karena ia ingin
mengetahui kisah seorang tokoh,
bukan
karena
tugas
sekolah.
Motivasi memang mendorong terus,
dan member energi pada tingkah
laku. Setelah peserta didik tersebut
menamatkan sebuah buku maka ia
mencari buku lain untuk memahami
tokoh yang lain. Keberhasilan
membaca
sebuah
buku
akan
menimbulkan keinginan baru untuk
membaca buku yang lain. Dalam
hal ini, motivasi intrinsik tersebut
mengarah pada timbulnya motivasi
berpretasi. Menurut Monks, motivasi
berpretasi telah muncul pada saat
usia anak berusia balita. Hal ini
berarti bahwa motivasi intrinsik
perlu diperhatikan oleh para guru
sejak ; TK, SD, SLTP pada usia ini
para guru masih member tekanan
pada
pendidikan
kepribadiaan,
khususnya
disiplin
diri
untuk
beremansipasi. Penguatan terhadap
motivasi intrinsik perlu diperhatikan,
sebab disiplin diri merupakan kunci
keberhasilan belajar (Siti Rahayu,
1989 : 161-164).
Motivasi
ekstrinsik adalah
dorongan
terhadap
perilaku
seseorang
yang
ada
di luar
perbuatan yang dilakukannya. Orang
berbuat sesuatu, karena dorongan
dari luar seperti adanya hadiah dan
menghindari
hukuman.
Sebagai
ilustrasi, peserta didik
kelas satu
SMP belum mengetahui tujuan
belajar di SMP. Semula, ia hanya
ikut-ikutan belajar di SMP karena
teman sebayanya juga belajar di
SMP. Berkah penjelasan wali kelas
satu SMP, peserta didik memahami
faedah belajar di SMP
bagi
dirinya. Peserta didik
tersebut
belajar
dengan
giat
dan
bersemangat. Hasil belajar tersebut
sangat baik, dan ia berhasil lulus
SMP dengan NEM sangat baik. Ia
menyadari pentingnya belajar dan
melanjutkan belajar di SMA. Di
SMA ia belajar dengan penuh
semangat
karena ingin
masuk
AKABRI. Berkat ketekunan dan
semangat belajarnya maka ia lulus
SMA dengan nilai sangat baik, dan
diterima di AKABRI. Dalam contoh
tersebut,
motivasi
ekstrinsik
membuat siswa yang belajar ikutikutan
menjadi
belajar
penuh
semangat. Peserta didik
belajar
dengan tujuannya sendiri, berkat
informasi
guru.
Selanjutnya
menyadari pentingnya belajar, dan ia
belajar bersungguh-sungguh penuh
semangat. Dalam hal ini motivasi
intrinsik dapat berubah menjadi
motivasi intrinsik, yaitu pada saat
menyadari pentingnya belajar, dan
ia belajar sungguh-sungguh tanpa
disuruh orang lain (Siti Rahayu,
1989 : 166).
Para ahli ilmu jiwa member
tekanan
yang
berbeda
pada
motivasi, akibatnya saran tentang
57
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
pembelajaran juga berbeda-beda.
Mc.Dougall dan Freud menekankan
perlunya motivasi intrinsik. Skinner
dan Bandura menekankan perlunya
motivasi
ekstrinsik. Sementara
Maslow dan Rogers menunjukkan
bahwa kedua motivasi tersebut
sama-sama pentingnya.
Motivasi ekstrinsik banyak
dilakukan
di sekolah
dan di
masyarakat. Hadiah dan hukuman
sering
digunakan
untuk
meningkatkan kegiatan belajar. Jika
peserta didik belajar dengan hasil
sangat
memuaskan, maka
ia
memperoleh hadiah dari guru atau
orang
tua. Sebaliknya, jika hasil
belajar tidak baik, memperoleh nilai
kurang, maka ia akan memperoleh
peringatan atau hukuman dari guru
atau dari orang tua. Peringatan
tersebut tidak menyenangkan peserta
didik. Motivasi belajar meningkat,
sebab peserta didik tidak senang
memperoleh peringatan dari guru
atau orang tua. Dalam hal ini
hukuman dan juga hadiah dapat
merupakan motivasi ekstrinsik bagi
peserta didik untuk belajar dengan
bersemangat.
Pengaruh
Evaluasi Terhadap
Motivasi Belajar Peserta Didik
Pengaruh evaluasi terhadap
motivasi belajar peserta didik tidak
dapat dipisahkan dengan tujuan
evaluasi
itu
sendiri.
Tujuan
evaluasi
yaitu
untuk
; (1)
mengetahui tingkat kemajuan yang
telah dicapai oleh peserta didik
dalam suatu kurun waktu proses
belajar tertentu. Hal ini berarti
dengan
evaluasi
guru
dapat
mengetahui kemajuan perubahan
tingkah laku peserta didik sebagai
hasil proses belajar dan mengajar
58
yang
melibatkan dirinya selaku
pembimbing dan pembantu kegiatan
belajar peserta didiknya itu, (2)
posisi atau kedudukan peserta didik
dalam kelompok kelasnya. Dengan
demikian, hasil evaluasi itu dapat
dijadikan guru sebagai alat penetap
apakah peserta didik
termasuk
kategori cepat, sedang, atau lambat
dalam arti mutu
kemampuan
belajarnya, (3) mengetahui tingkat
usaha yang dilakukan oleh peserta
didik dalam belajar. Hal ini berarti
dengan evaluasi, guru akan dapat
mengetahui gambaran tingkat usaha
peserta didik. Hasil yang baik pada
umumnya
menunjukkan
tingkah
usaha yang efisien, sedangkan hasil
yang buruk adalah cermin usaha
yang tidak efisien, (4) mengetahui
hingga sejauh mana peserta didik
telah mendayagunakan kapasitas
kognitifnya (kemampuan kecerdasan
yang dimilikinya) untuk keperluan
belajar. Jadi, hasil evaluasi itu dapat
dijadikan guru sebagai gambaran
realisasi pemamfaatan kecerdasan
peserta didik, dan (5) mengetahui
tingkat daya guna dan hasil guna
metode
mengajar
yang
telah
digunakan
guru
dalam
proses
belajar mengajar (PBM). Dengan
demikian, apabila sebuah metode
yang
digunakan
guru
tidak
mendorong
munculnya
prestasi
peserta didik
yang memuaskan,
maka
guru
dianjurkan
untuk
mengganti
metode
tersebut
(Muhibbin Syah, 2007 : 142).
Dari uraian tersebut tersirat,
bahwa tujuan evaluasi adalah untuk
mendapat data pembuktian tentang
sejauh mana tingkat kemampuan
dan keberhasilan peserta didik
dalam
pencapaian
tujuan
pembelajaran. Selain itu, juga dapat
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
digunakan oleh guru dan para
pengawas
pendidikan
untuk
mengukur atau menilai sampai di
mana
keefektifan
pengalamanpengalaman
mengajar, kegiatankegiatan belajar, dan metode-metode
mengajar yang digunakan. Dengan
demikian betapa pentingnya evaluasi
itu memberikan motivasi belajar
terhadap peserta didik.
Menurut (Hisyam Zaini, dkk,
2002 : 158-160), bahwa evaluasi
mempunyai beberapa fungsi yaitu ;
(1) sebagai alat seleksi. Evaluasi
dapat digunakan untuk mengambil
keputusan tentang orang-orang yang
diterima atau ditolak dalam suatu
proses seleksi penerimaan siswa di
sekolah
atau
mahasiswa
di
perguruan tinggi, (2) penempatan.
Hal ini biasa dilakukan dalam
kursus
atau
pelatihan
yang
bertujuan untuk menentukan tempat
yang paling cocok bagi seseorang
dalam berpretasi dalam suatu proses
pendidikan. Contoh tes penempatan
dalam kurus bahasa Inggris untuk
menentukan
apakah
seseorang
masuk pada tingkat elementary,
intermediate, atau
advance,
(3)
diagnosis dan remedial. Tes seperti
ini
biasanya
digunakan
untuk
mengukur kekuatan dan kelemahan
seseorang
dalam
rangka
memperbaiki
penguasaan
atau
kemampuan dalam suatu program
pendidikan tertentu. Jadi, sebelum
dilakukan
remedial, biasanya
didahului oleh suatu tes diagnosis.
Misalnya tes yang dilakukan oleh
suatu program pendidikan tertentu
untuk
mencapai
persyaratan
kualifikasi atau sertifikasi dari
program pendidikan tersebut, (4)
untuk memotivasi dan membimbing
belajar. Hasil tes seharusnya dapat
memotivasi belajar peserta didik
dan
sekaligus
dapat
menjadi
pembimbing
bagi untuk belajar.
Bagi mereka yang memperoleh skor
yang rendah seharusnya menjadi
cambuk untuk lebih berhasil dalam
tes yang akan datang. Bagi mereka
yang mendapat skor yang tinggi
seharusnya menjadi motivasi untuk
mempertahankan dan meningkatkan
hasil tesnya serta menjadi pedoman
untuk
mempelajari
bahan
pengayaan, (5) perbaikan kurikulum.
Salah satu peran penting dalam
penilaian pendidikan ialah mencari
dasar yang kokoh bagi perbaikan
kurikulum pendidikan. Dengan kata
lain, perbaikan
kurikulum
atau
program pendidikan harus senantiasa
berdasarkan pada hasil penilaian
yang sistemik. Misalnya tes yang
bersifat eksprimen yang dilakukan
dalam rangka uji coba kurikulum
atau program pendidikan baru yang
akan diterapkan, (6) pengembangan.
Hasil pengukuran, tes, dan penilaian
juga dapat memberi sumbangan
berarti bagi perkembangan teori dan
dasar pendidikan. Misalnya ilmu
seperti pengukuran pendidikan dan
psikometrik sangat membutuhkan
hasil-hasil
pengukuran, tes, dan
penilaian yang dilakukan sebagai
kegiatan
sehari-hari
seorang
pendidik (guru/dosen). Dari hasil ini
akan diperoleh pengetahuan empirik
yang
sangat
berharga
untuk
pengembangan ilmu dan teori-teori
ilmu
pengetahuan
yang
ingin
dikembangkan. Sementara menurut
(M.Ngalim Purwanto, 1990 : 5-7)
bahwa
fungsi
evaluasi
dapat
dikelompokkan
menjadi
empat
fungsi yaitu untuk ; (1) untuk
mengetahui
kemajuan
dan
perkembangan serta keberhasilan
59
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
peserta didik setelah
mengalami
atau melakukan kegiatan belajar
selama jangka waktu tertentu. Hasil
evaluasi
yang
diperoleh
itu
selanjutnya dapat digunakan untuk
memperbaiki cara belajar peserta
didik (fungsi formatif) dan atau
untuk mengisi rapor atau Surat
Tanda Tamat Belajar, yang berarti
pula untuk menentukan kenaikan
kelas atau lulus tidaknya peserta
didik
dari
suatu
lembaga
pendidikan tertentu (fungsi sumatif),
(2)
untuk
mengetahui
tingkat
keberhasilan program pengajaran.
Pengajaran sebagai suatu sistem
terdiri atas beberapa komponen yang
saling berkaitan satu sama lain.
Komponen-komponen
yang
dimaksud antara lain adalah tujuan,
materi atau bahan pengajaran, (3)
keperluan bimbingan dan Konseling
(BK). Hasil-hasil evaluasi yang
dilaksanakan
oleh
guru/dosen
terhadap
peserta didiknya dapat
dijadikan sumber imformasi bagi
pelayanan
konselor
(guru BK)
sekolah atau penasihat akademik di
perguruan tinggi, dan (4) keperluan
pengembangan
dan
perbaikan
kurikulum
sekolah
yang
bersangkutan.
Setiap guru/dosen
melaksanakan
kegiatan
evaluasi
dalam rangka menilai keberhasilan
belajar peserta didik dan menilai
program pengajaran, yang berarti
pula menilai isi atau materi
pelajaran yang terdapat dalam
kurikulum. Seorang guru/dosen yang
dinamis tidak akan begitu
saja
mengikuti apa yang
tertera di
dalam kurikulum, ia selalu berusaha
untuk menentukan dan memilih
materi-materi mana yang sesuai
dengan kondisi peserta didik dan
situasi
lingkungan
serta
60
perkembangan masyarakat
pada
masa
yang
lalu
itu,
materi
kurikulum yang dianggap tidak
sesuai lagi dengan perkembangan
dan kebutuhan masyarakat akan
ditinggalkannya dan diganti dengan
materi yang dianggap sesuai.
Dari fungsi-fungsi evaluasi
yang dikemukakan oleh
kedua
tokoh pendidikan tersebut dapat
dipahami, bahwa
evaluasi
di
samping dapat dijadikan sebagai
alat
motivasi
belajar
terhadap
peserta didik yang
mengikuti
remedial karena memperoleh skor
yang rendah
agar meningkatkan
volume dan strategi belajarnya agar
mereka juga dapat memperoleh skor
yang tinggi seperti kawan-kawannya
yang lain. Adapun terhadap peserta
didik yang sudah memperoleh skor
yang
tinggi
agar
selalu
mempertahankan
volume
dan
strategi belajarnya agar mereka
selalu dapat bersaing bukan saja
pada
level
pendidikan
yang
sementara diikuti,
tetapi bisa
bersaing pada level-level yang lebih
kompetitif
atau
pada
level
pendidikan yang lebih tinggi. Selain
daripada itu fungsi evaluasi juga
dapat dijadikan untuk memperbaiki,
dan
mengembangkan
kurikulum
sehingga ilmu pengetahuan semakin
berkembang untuk kesejahteraan
umat manusia.
F. Penutup
Dari berbagai uraian di atas,
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengertian evaluasi dapat dilihat
dari dua hal yaitu dari segi
bahasa dan istilah. Dari segi
bahasa
artinya
penilaian.
Sementara
dari segi istilah
artinya penetapan nilai dari
seluruh proses yang dicapai oleh
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
peserta didik. Adapun alat-alat
evaluasi itu ada dua bentuk yaitu
tes dan nontes.
2. Prinsip-prinsip
evaluasi
harus
memiliki
keterpaduan, dapat
mengaktifkan
peserta
didik
(siswa/mahasiswa),
bersifat
kontinyu,
koherensi,
tidak
diskriminilitas,
bersifat
menyeluruh, bersifat
mendidik
(pedagogik), dan akuntabilitas
(transparansi). Selain daripada
itu evaluasi harus ; sahih, andal
dan praktis.
3. Motivasi adalah dorongan dari
dalam
dan
luar
individu
manusia. Motivasi itu ada dua
jenis yaitu motivasi primer dan
motivasi
sekunder. Motivasi
primer
berifat
intrinsik.
Sedangkan motivasi
sekunder
bersifat ekstrinsik.
4. Pengaruh evaluasi itu terhadap
motivasi belajar peserta didik
adalah terkait dengan fungsi dan
tujuan evaluasi itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,
Suharismi,
Penilaian
Program
pendidikan, Jakarta
:
Depdikbud, 1980.
--------------------------,
Dasar-Dasar
Evaluasi
Pendidikan,
Cet.III, Jakarta :
PT.Bumi
Aksara, 2005
Davies, Teacher
As
Curiculum
Evaluators, Sydney, George
Allen
and Unwin, 1981.
Dimyati & Mudjiono, Belajar dan
Pembelajaran, Cet.I, Jakarta
:
PT.Rineka Cipta, 2006.
Gronlund, Norman E, Measurement
and Evaluation In Teaching
: New York : MacMillan
Publishing Company, 1985.
Nurkancana, Evaluasi
Pendidikan,
Jakarta : Depdikbud, 1986.
Purwanto, M.Ngalim, Prinsip-Prinsip
&
Teknik
Evaluasi
Pengajaran,
Cet.VIII,
Bandung
: PT.Remaja
Rosda Karya, 1990.
Sudjana, Nana, Penilaian
Hasil
Proses Belajar Mengajar,
Bandung
:
PT.Remaja
Rosda Karya, 1990.
Sudjiono, Anas, Pengantar Evaluasi
Pendidikan,
Jakarta
:
PT.Raja Rrafindo Persada,
1996.
Sardiman, AM, Interaksi Motivasi
Belajar Mengajar, Jakarta :
PT.Raja Grafindo Persada,
2007.
Syah,
Muhibbin,
Psikologi
Pendidikan
dengan
Pendekatan Baru, Cet.XIII,
Bandung
: PT.Remaja
Rosda Karya, 2007.
Tayibnas, Farida
Yusuf, Evaluasi
Program, Cet.I, Jakarta
:
PT.Rineka Cipta, 2000.
Rahmat,
Jalaluddin,
Psikologi
Komunikasi, Bandung
:
PT.Remaja Rosda Karya,
1991.
Rahayu,
Siti,
Psikologi
Perkembangan, Yogyakarta :
Gajah
Mada
University
Press, 1989.
Zaini,
Hisyam,
dkk,
Desain
Pembelajaran, Yogyakarta :
IAIN Sunan Kalijaga, 2000.
61
Download