Jurnal Pendidikan ‘IQRA’ PENGARUH EVALUASI TERHADAP MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK St. Marwiyah STAIN Palopo Abstrak: Evaluasi adalah penilaian yang dilakukan oleh individu melalui tes dan nontes terhadap peserta didik. Adapun motivasi adalah dorongan dari dalam dan luar diri individu. Motivasi itu ada dua jenisnya yaitu ; motivasi primer dan motivasi sekunder. Motivasi primer sifatnya intrinsik dan motivasi sekunder sifatnya ekstrinsik. Jika evaluasi yang diterapkan oleh individu memiliki alat –alat yang didasari oleh prinsip-prinsip dan syarat-syarat evaluasi yang handal maka secara psikologis sangat berpengaruh terhadap motivasi belajar peserta didik secara efektif dan efisien. Kata Kunci : Evaluasi, motivasi, peserta didik. Di negara-negara yang sudah maju, pendidikan dipandang sebagai sarana utama untuk memecahkan masalah-masalah sosial. Untuk beberapa masalah tertentu, kesejahteraan bangsa dibebankan ke pundak sekolah dan dan universitas Diakui bahwa kritik-kritik sering muncul tentang sistem pendidikan yang sering berubah dan tidak seimbang. Kurikulum yang kurang tepat dengan mata pelajaran yang terlalu banyak dan tidak berfokus pada hal-hal yang seharus diberikan, dan lain sebagainya. Namun masalah yang paling parah pada setiap sistem pendidikan yaitu kurangnya evaluasi yang efektif, padahal evaluasi sangat diperlukan dalam membangkitkan motivasi belajar peserta didik pada lembaga pendidikan formal maupun non formal, dalam hal ini sekolah/perguruan tinggi dan lembaga-lembaga kursus maupun lembaga bimbingan belajar. Evaluasi memegang peranan penting karena hasil evaluasi menentukan sejauh mana tujuan dapat dicapai. Sebuah hasil evaluasi dapat membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan, serta membantu mendapat dukungan dari mereka yang dalam program evaluasi. Evaluasi dapat mmberikan pendekatan yang lebih banyak lagi dalam memberikan informasi kepada pendidikan untuk membantu perbaikan dan pengembangan sistem pendidikan. Oleh sebab itu, orangorang yang berpengaruh dalam pendidikan, pakar-pakar pendidikan, dan para pemimpin menyokong dan menyetujui bahwa program pendidikan harus dievaluasi. Para orang tua yang mengerti menginginkan informasi tentang kurikulum dan metode pengajaran yang digunakan untuk mengajar anaknya. Kelompok warga lainnya ingin mengetahui hasil yang dicapai dengan biaya yang telah mereka bayar. Karena evaluasi dapat 45 Volume 2 No. 1 Agustus 2014 membantu mengadakan informasi tersebut, maka para pembuat aturan pendidikan dapat memakai hasil evaluasi untuk alasan dalam proses perbaikan pendidikan. Pakar maupun pemimpin sekolah dan universitas menerima evaluasi sebagai pensyaratan untuk memperoleh dana guna bermacam-macam program pendidikan. Pengajar dan karyawan melihat evaluasi untuk mengetahui apa yang telah mereka kerjakan. Singkatnya evaluasi telah diterima secara luas dalam pendidikan dan bidang lainnya yang relevan (Farida Yusuf Tayibnapis, 2000 : 2). Istilah evaluasi meliputi berbagai macam kegiatan, mulai dari observasi informasi terhadap reaksi peserta didik, observasi kinerja tertruktur, penggunaan diskusi dan catatan harian, komentar yang berfungsi sebagai umpan balik hingga berbagai macam bentuk tes. Hal penting yang perlu diingat, suatu desain pengajaran yang sistematik harus selalu memasukkan pertimbangan tentang pendekatan atau filosofi evaluasi, pemilihan teknik evaluasi, penyesuaian prosedur evaluasi dengan pengajaran, pemahaman karakteristik audiens, dan penggunaan konstruksi instrumen evaluasi (Hisyam Zaini, dkk, 2002 : 154-155) Setiap orang yang melakukan suatu kegiatan akan selalu ingin mengetahui hasil dari kegiatan yang dilakukannya. Seringkali pula, orang melakukan kegiatan tersebut, berkeinginan mengetahui baik atau buruknya kegiatan yang dilakukannya. Peserta didik dan guru merupakan orangorang yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran, tentu mereka juga 46 berkeinginan mengetahui proses dan hasil kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Untuk menyediakan informasi tentang baik atau buruknya proses dan hasil kegiatan pembelajaran, maka seorang guru harus menyelenggarakan evaluasi. Kegiatan evaluasi yang dilakukan guru mencakup evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran sekaligus. Di sisi yang lain, evaluasi juga merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran/pendidikan. Hal ini berarti, evaluasi merupakan kegiatan yang tak terelakkan dalam setiap kegiatan/proses pembelajaran. Dengan kata lain, kegiatan evaluasi (baik evaluasi hasil belajar maupun evaluasi pembelaran) merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran/pendidikan. Seorang guru harus dapat membedakan, mana kegiatan evaluasi hasil belajar dan mana pula kegiatan evaluasi pembelajaran. Evaluasi hasil belajar menekankan kepada diperolehnya informasi tentang seberapa perolehan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Sedangkan evaluasi pembelajaran merupakan sistematis untuk memperoleh informasi tentang keefektifan proses pembelajaran dalam membantu peserta didik mencapai tujuan pengajaran secara optimal. Dengan demikian evaluasi hasil belajar menetapkan baik buruknya hasil dari kegiatan pembelajaran. Sedangkan evaluasi pembelajaran menetapkan baik buruknya proses dari kegiatan pembelajaran (Dimyati & Mudjiono, Jurnal Pendidikan ‘IQRA’ 2006 : 190). Berdasarkan pemikiranpemikiran ini, maka tampaklah bahwa evaluasi itu sangat diperlukan, karena hanya dengan evaluasi peserta didik dapat termotivasi belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Secara didaktik evaluasi dapat memberikan motivasi kepada peserta didik untuk memperbaiki, meningkatkan dan mempertahankan prestasinya. Evaluasi hasil belajar itu misalnya, akan menghasilkan nilai-nilai belajar untuk masingmasing individu peserta didik. Ada peserta didik yang nilainya jelek (prestasinya rendah), karena itu peserta didik termotivasi untuk memperbaikinya, agar untuk waktu yang akan datang nilai hasil belajarnya tidak sejelek sebelumnya. Pengertian & Alat-Alat Evaluasi 1. Pengertian Evaluasi Secara harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evalution ; dalam bahasa Arab : altaqdir ()التقدير dalam bahasa Indonesia berarti penilaian. Akar katanya adalah value ; dalam bahasa Arab : al-Qiyamah ( ;) القيمةdalam bahasa Indonesia berarti nilai. Dengan demikian secara harfiah, evaluasi pendidikan (educational = al-Taqdir al-Tarbawiy =) )التقديرالتربوي dapat diartikan sebagai penilaian dalam bidang pendidikan atau penilaian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan (Anas Sudjiono, 1995 : 1) Adapun pengertian evaluasi menurut istilah adalah bermacammacam sesuai dengan persepsi dari masing-masing ahli pendidikan. Davies mengemukakan bahwa bahwa evaluasi merupakan proses sederhana memberikan/menetapkan nilai kepada sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang, objek, dan masih banyak yang lain (Davies, 1981 : 3). Sedangkan Wand dan Brown mengemukakan bahwa evaluasi merupakan suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu (Nurkancana, 1986 : 1). Pengertian evaluasi lebih dipertegas lagi, dengan batasan sebagai proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu (Nana Sudjana, 1990 : 3). Berdasarkan batasan-batasan tersebut, dapat dipahami bahwa evaluasi secara umum dapat diartikan sebagai proses sistematis untuk menentukan nilai sesuatu (tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang, objek, dan lain sebagainya) berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian. Untuk menentukan nilai sesuatu dengan cara membandingkan dengan kriteria, evaluator dapat langsung membandingkan dengan kriteria namun dapat pula melakukan pengukuran terhadap sesuatu yang dievaluasi kemudian baru membandingkan dengan kriteria. Dengan demikian evaluasi tidak selalu melalui proses mengukur (pengukuran) baru melakukan proses menilai (penilaian) tetapi dapat pula evaluasi langsung melalui penilaian saja. Walaupun tidak semua proses evaluasi melalui pengukuran, seorang guru harus tahu tentang pengukuran, selain itu perlu juga dipahami oleh setiap guru mengenai penilaian. Pengukuran lebih 47 Volume 2 No. 1 Agustus 2014 menekankan kepada proses penentuan kuantitas sesuatu dengan membandingkan dengan satuan ukuran tertentu (Suharismi Arikunto, 1990 : 3). Sedangkan penilaian menekankan kepada proses pembuatan keputusan terhadap sesuatu ukuran baik –buruk yang bersifat kualitatif (Suharismi Arikunto, 1990 : 3). Dari batasan pengukuran dan penilain dapat ditandai adanya perbedaan yang nyata antara keduanya. Pengukuran dilakukan apabila kegiatan penilaian membutuhkannya, bila kegiatan penilaian tidak membutuhkan maka kegiatan pengukuran tidak perlu dilakukan. Hasil pengukuran yang bersifat kuantitatif akan diolah dan dibandingkan dengan kriteria, hingga didapatkan hasil penilaian yang bersifat kualitatif. 2. Alat- Alat Evaluasi Dalam pengertian umum, alat adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk mempermudah seseorang untuk melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Kata “alat” biasa disebut juga dengan istilah “instrumen”. Dengan demikian maka alat evaluasi juga dikenal dengan instrumen evaluasi. Secara garis besar, alat evaluasi yang digunakan dapat digolongkan menjadi 2 macam yaitu tes dan bukan tes (nontes) (Suharsimi Arikunto, 2002 : 25). Secara harfiah, kata “tes” berasal dari bahasa Perancis Kuno; testum dengan arti :”piring untuk menyisihkan logam-logam mulia” (maksudnya dengan menggunakan alat berupa piring itu akan dapat diperoleh jenis-jenis logam mulia yang nilainya sangat tinggi) dalam 48 bahasa Inggris ditulis dengan test yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “tes”, “ujian atau percobaan” (Anas Sudjiono, 1996 : 66). Ada beberapa istilah yang memerlukan penjelasan sehubungan dengan uraian di atas, yaitu istilah test, testing, tester dan testee, yang masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Test adalah alat atau prosedur yang dipergunakan dalam rangka pengukuran dan penilaian; testing berarti saat dilaksanakannya atau peristiwa berlangsungnya pengukuran dan penilaian; tester artinya orang yang melaksanakan tes, atau pembuat tes atau eksperimentor, yaitu orang yang sedang melakukan percobaan (eksprimen); sedangkan testee (mufrad) dan testees (jama’) adalah pihak yang sedang dikenai tes (=peserta tes=peserta ujian), atau pihak yang sedang dikenai percobaan (Anas Sudjiono, 1996 : 66) Adapun dari segi istilah, menurut Anne Anastasi sebagaimana dikutif Anas Sudjiono dalam karya tulisnya berjudul “Psychological Testing, yang dimaksudkan dengan tes adalah alat pengukur yang mempunyai standar yang objektif sehingga dapat digunakan secara meluas, serta dapat betul-betul digunakan untuk mengukur dan membandingkan keadaan psikis atau tingkah laku individu (Anas Sudjiono, 1996 : 66). Tes dapat dipilah ke dalam berbagai kelompok. Dan bila dilihat dari segi konstruksinya, maka tes dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu ; (1) menurut bentuknya, dan Jurnal Pendidikan ‘IQRA’ (2) menurut ragamnya (Hisyam Zaini, dkk, 2002 : 164-165). Secara umum ada dua bentuk tes, yaitu tes objektif dan tes subjektif. Tes objektif adalah bentuk tes yang diskor secara` objektif. Disebut objektif karena kebenaran jawaban tes tidak berdasar pada penilaian dan korektor tes. Tes bentuk ini menyediakan alternatif jawaban untuk dipilih oleh peserta didik yang setiap butir soal memiliki hanya satu jawaban yang benar. Sedangkan tes subjektif adalah tes yang diskor dengan memasukkan penilaian dari korektor tes. Dalam tes bentuk ini peserta didik diminta untuk menjawab setiap butir soal. Jenis tes subjektif, antara lain, adalah tes esai/uraian, tes lisan, cek lis, skala lajuan, dan catatan harian. Adapun ragam tes dapat dibedakan menjadi dua yaitu ; (1) tes esai terbatas, dan (2) tes esai bebas. Butir tes objektif menurut ragamnya dibagi menjadi tiga, yaitu ; (1) tes benar –salah, (2) tes menjodohkan, dan (3) tes pilihan ganda. Adapun alat evaluasi dalam bentuk non tes adalah suatu strategi yang dipakai oleh guru/dosen untuk melakukan penilaian hasil belajar peserta didik dengan menggunakan instrumen selain tes. Alat evaluasi dalam bentuk non tes yang dilakukan dalam lingkungan pendidikan formal dari TK ((Taman KanakKanak) sampai dengan SLTA (Sekolah Lanjutan Atas) adalah melalui ; (1) observasi (pengamatan), (2) pemberian tugas untuk hasil karya/laporan, (3) Karangan, (4) skala sikap, (5) angket, dan (6) wawancara (Slameto, 2001 : 93). Sedangkan evaluasi dalam bentuk non tes yang biasa digunakan di lingkungan perguruan tinggi adalah melalui ; (1) Makalah, (2) Presentasi, (3) partisipasi, (4) proyek/penelitian, (5) praktik, (6) performa/kinerja, (7) pre tes, (8) penulisan proposal, (9) portofolio, dan (10) kehadiran (Hisyam Zaini, dkk, 2002 : 166). Jika seorang pendidik (guru/dosen) senantiasa kontinyu dan konsisten menggunakan alat evaluasi `melalui tes dan non tes, maka secara psikologis peserta didik termotivasi untuk belajar secara kritis karena tak seorang pun peserta didik yang tidak ingin lulus dalam ujian, baik dalam ujian ; formatif, sumatif, nasional, maupun dalam ujian masuk perguruan tinggi pada SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Prinsip-Prinsip & Syarat-Syarat Evaluasi 1. Prinsip-Prinsip Evaluasi Setiap guru harus memahami betul prinsip-prinsip evaluasi, karena dengan evaluasi peserta didik akan selalu termotivasi untuk belajar secara lebih intensif. Prinsip-prinsip evaluasi meliputi ; (1) Keterpaduan, (2) Cara belajar siswa aktif (CBSA), (3) Kontinutas, (4) Koherensi, (5) Diskriminilitas, (6) Keseluruhan, (7) Pedagogik, dan ( 8) Akuntabilitas (Slameto, 2001 : 19). 1. Prinsip Keterpaduan Evaluasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dan di dalam program pengajaran. Evaluasi adalah satu komponen dalam program yang berinteraksi dengan komponen-komponen lainnya 49 Volume 2 No. 1 Agustus 2014 (tujuan, materi, strategi instruksional, kegiatan peserta didik, guru, dan sarana). Perencanaan evaluasi harus dilakukan bersamaan dengan perencanaan satu program pengajaran. Banyak terjadi bahan evaluasi direncanakan dan dilaksanakan beberapa lama setelah program pengajaran selesai dilaksanakan, sehingga evaluasi dilakukan bukan terhadap apa yang direncanakan, tetapi terhadap apa yang telah dilakukan. 2. Prinsip Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) Hakikat dari CBSA ialah keterlibatan peserta didik secara mental, antusias dan asyik dalam kegiatan belajar-mengajar. Demikian pula halnya dengan evaluasi, evaluasi menuntut keterlibatan berupa motivasi yang besar dari peserta didik. Peserta didik seharusnya tidak merasakan evaluasi sebagai sesuatu yang menekan dan cenderung untuk dihindari, karena jika demikian hal ini menunjukkan bahwa prinsip ini tidak terdapat dalam evaluasi. Prinsip ini dapat diibaratkan dengan olah raga. Seseorang yang telah melatih dirinya dalam cabang olah raga tertentu akan merasa sangat tertekan jika ia tidak diikutsertakan dalam pertandingan. Kalah atau menang bukan soal utama baginya. Evaluasi (seperti pula halnya dengan pertandingan) merupakan puncak dari kegiatan belajar mengajar. Pada dasarnya, peserta didiklah yang mengukur kemampuannya melalui evaluasi, guru hanya berfungsi sebagai pemberi motivasi 3. Prinsip Kontinuitas 50 Pada dasarnya evaluasi berlangsung selama proses kegiatan belajar mengajar berjalan. Evaluasi tidak hanya terdapat pada awal dan/atau pada akhir pengajaran saja, tetapi juga selama proses belajar mengajar berlangsung, misalnya dalam bentuk pengamatan, tanya jawab, atau dialog. Hal ini dilakukan dalam rangka pemantapan program. 4. Prinsip Koherensi Sebagai akibat dari prinsip keterpaduan, maka evaluasi harus konsisten dengan kemampuan yang didukung oleh tujuan pengajaran. Sering terjadi, kemampuan yang didukung oleh tujuan ialah sikap (afektif) tetapi evaluasi ditujukan kepada pengetahuan. Evaluasi harus pula mempunyai koherensi dengan program pengajaran, artinya evaluasi harus benar-benar hasil yang diperoleh oleh kegiatan belajar mengajar, baik kegiatan tatap muka maupun kegiatan terstruktur. Kadang-kadang suatu tes dapat dijawab dengan benar oleh peserta didik sekaliupun tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar. 5. Prinsip Diskriminalitas Dari aspek psikologi diketahui bahwa setiap individu mempunyai perbedaan dengan individu lain. Individu adalah suatu person yang unik. Bahkan walaupun dua individu mempunyai pendapat yang sama, tetapi jalan pikiran untuk sampai pada pendapat yang sama itu tidaklah sama. Sesuai hakikat individu ini, evaluasi harus pula mampu menunjukkan perbedaan di kalangan peserta didik secara individual. 6. Prinsip Keseluruhan Perubahan tingkah laku yang sudah ditetapkan sebagai tujuan Jurnal Pendidikan ‘IQRA’ yang hendak dicapai bersifat utuh. Karena itu evaluasi yang akan dilakukan hendaknya bersifat utuh pula, yaitu meliputi seluruh segi tujuan pendidikan. Hal ini mengandung pengertian bahwa evaluasi ditujukan tidak hanya pada sesudah akhir proses pengajaran, tetapi juga selama proses belajar mengajar sedang berlangsung, misalnya peran serta, kreativitas dan cara-cara penyampaian ide-ide peserta didik baik di dalam maupun di luar proses belajar mengajar. 7. Prinsip Pedagogis Seluruh kegiatan evaluasi haruslah diketahui dan dirasakan oleh peserta didik tidak hanya sebagai rekaman hasil belajarnya saja, melainkan juga sebagai upaya perbaikan dan peningkatan perilaku dan sikapnya itu, sehingga hasil evaluasi harus dinyatakan dan dapat dirasakan sebagai penghargaan bagi yang berhasil dan sebaliknya merupakan hukuman (bagi yang belum berhasil) yang menantang untuk belajar lebih giat lagi. Dengan demikian evaluasi akan ikut membentuk motivasi perilaku secara posotif. 8. Prinsip Akuntabilitas Akuntabilitas adalah satu ciri dari pendidikan berdasar kompetensi. Pada akhirnya pendidikan dan pengajaran harus dapat dipertanggungjawabkan kepada lembaga pendidikan itu sendiri, kepada masyarakat pemakai tenaga lulusan, dan kepada kelompok profesional. Pertanggungjawan terhadap ketiga kelompok ini merupakan hal yang harus dipertimbangkan dalam evaluasi. 2. Syarat-Syarat Evaluasi Sebelum menyelenggarakan evaluasi maka seorang guru harus memperhatikan syarat-syarat evaluasi sebagai berikut : a. Kesahihan Kesahihan adalah identik dengan validitas yaitu ketepatan apa yang seharusnya mesti dievaluasi. Kesahihan dapat diterjemahkan pula sebagai kelayakan interpretasi terhadap hasil dari suatu instrumen evaluasi atau tes, dan tidak terhadap instrumen itu sendiri (Gronlund, 1985 : 57). Dengan demikian, akan kurang tepat bila mengatakan “kesahihan evaluasi” lebih tepat bila mengatakan “kesahihan interpretasi yang dibuat dari hasil evaluasi”. Kesahihan juga dapat dikatakan lebih menekankan pada hasil/perolehan evaluasi, bukan pada kegiatan evaluasinya. Dengan kata lain, kesahihan diperuntukkan menjawab pertanyaan “apakah hasil sahih?” Untuk memperoleh hasil evaluasi yang sahih, dibutuhkan instrumen yang memiliki syaratsyarat kesahihan suatu instrumen evaluasi. Kesahihan instrumen evaluasi diperoleh melalui hasil pemikiran dan dari hasil pengalaman. Dari dua cara tersebut, diperoleh empat macam kesahihan yang terdiri dari ; (1) kesahihan isi, (2) kesahihan konstruksi, (3) kesahihan ada, dan (4) kesahihan prediksi (Arikunto, 1990 : 64). Faktor-faktor yang mempengaruhui kesahihan hasil evaluasi meliputi ; (1) faktor instrumen evaluasi itu sendiri. Halhal yang barangkali menyebabkan atau mempengaruhi kesahihan hasil evaluasi yang ada dalam instrumen evaluasi, di antaranya ketidak jelasan 51 Volume 2 No. 1 Agustus 2014 petunjuk, tingkat kesulitan kosa kata dan struktur kalimat instrumen evaluasi, ketidaklayakan tingkat kesulitan item evaluasi, susunan item evaluasi yang kurang baik, item evaluasi yang terlalu pendek, dan dapat dikenalinya pola jawaban intrumen evaluasi, (2) faktor-faktor administrasi evaluasi dan penskoran, juga merupakan faktor-faktor yang mempunyai suatu pengaruh yang mengganggu kesahihan instrumen interpretasi hasil evaluasi. Dalam kasus instrumen evaluasi guru, faktorfaktor tersebut di antaranya berupa waktu yang tidak cukup untuk menyelesaikan evaluasi, bantuan secara tidak wajar kepada peserta didik yang meminta pertolongan, mencontek saat ujian, dan penskoran jawaban esai yang tidak diperoleh karena cenderung kesahihan yang rendah. Dalam hal evaluasi yang diterbitkan oleh lembaga tertentu, faktor-faktor tersebut di antaranya adalah kesalahan dalam mengikuti petunjuk batasan waktu, memberikan bantuan yang tidak sah kepada peserta didik, dan kesalahankesalahan dalam penskoran, sedangkan semua instrumen evaluasi (baik yang dibuat oleh maupun bukan), kondisi fisik dan psikis yang tidak menguntungkan pada saat evaluasi juga mempunyai pengaruh negatif, (3) faktor-faktor dalam respons-respons peserta didik merupakan faktor-faktor yang lebih banyak mempengaruhui kesahihan dari pada faktor yang ada` dalam instrumen evaluasi. Faktor-faktor dalam respons-respons peserta didik di antaranya adalah kecendrungan untuk merespons secara cepat daripada secara tepat, kecendrungan merespons secara coba-coba, dan 52 penggunaan daya tertentu dalam merespons item evaluasi esai (Gronlud, 1986 : 81) Dari uraian tersebut sudah jelas, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhui kesahihan adalah faktor-faktor dalam instrumen evaluasi, faktor-faktor dalam pengadministrasian dan penskoran evaluasi, dan faktor-faktor dalam respons-respons peserta didik. b. Keterandalan Syarat umum yang juga sama pentingnya dengan kesahihan adalah keterandalan evaluasi. Keterandalan evaluasi berhubungan dengan masalah kepercayaan, yakni tingkat kepercayaan bahwa suatu instrumen evaluasi mampu memberikan hasil yang tepat (Arikunto, 1990 : 81). Selain itu Gronlund (1985 : 86) juga mengemukakan bahwa keteradalan menunjukkan kepada konsistensi (keajegan) pengukuran yakni bagaimana keajegan skor tes atau hasil evaluasi lain yang berasal dari pengukuran yang satu ke pengukuran yang lain. Dengan kata lain, keterandalan dapat diartikan sebagai tingkat kepercayaan keajegan hasil evaluasi yang diperoleh dari suatu instrumen evaluasi. Keterandalan berhubungan erat dengan kesahihan, karena keterandalan menyediakan keajegan yang memungkinkan terjadinya kesahihan (Arikunto, 1990 : 81). Kemungkinan terjadinya kesahihan karena adanya keajegan, tidak selalu menjamin bahwa hasil evaluasi sahih (valid), dan sebaliknya keterandalan tidak dijamin ada pada hasil evaluasi yang memenuhui syarat kesahihan. Keterandalan dipengaruhui oleh Jurnal Pendidikan ‘IQRA’ sejumlah faktor, yakni hal yang berhubungan dengan tes itu sendiri, hal yang berhubungan dengan tercoba, dan hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan tes (Arikunto, 1990 : 82-84). Sedangkan Gronlund mengemukakan adanya 4 faktor yang mempengahui keterandalan, yakni ; panjang tes (banyak sedikitnya item tes, sebaran skor, tingkat kesulitan tes, dan objektivitas (Gronlund, 1985 : 100104). Untuk memperjelas tentang faktor-faktor yang mempengaruhui keterandalan, maka dapat dianalisis dengan mengacu kepada ; (1) panjang tes. Panjang tes berhubungan dengan banyaknya butir tes, pada umumnya lebih banyak butir tes lebih tinggi keterandalan evaluasi. Hal ini terjadi karena makin banyak soal tes makin banyak sampel yang diukur, proporsi jawaban benar makin banyak, dengan demikian faktor tebakan makin rendah. Karena pengertian tes dilakukan dengan tidak banyak menebak, maka keterandalan evaluasi makin tinggi, (2) sebaran skor. Kofisien keterandalan secara langsung dipengaruhui oleh sebaran skor dalam kelompok tercoba. Dengan kata lain besarnya sebaran skor akan membuat perkiraan keterandalan lebih tinggi akan terjadi menjadi kenyataan, karena kofisien keterandalan yang lebih besar dihasilkan pada saat orang perorang tetap pada posisi yang relatif sama dalam satu kelompok dari satu pengujian ke pengujian lainnya, itu berarti selisih yang dimungkinkan dari perubahan posisi dalam kelompok juga menyumbang memperbesar kofisien keterandalan, (3) tingkat kesulitan tes. Tes acuan norma yang paling mudah atau paling sukar untuk anggota-anggota kelompok yang mengerjakan, cenderung menghasilkan skor tes keterandalan yang rendanh. Ini disebabkan antara hasil tes yang mudah dan yang sulit keduanya dalam satu sebaran skor yang terbatas. Untuk tes yang mudah, skor akan berada bersama-sama pada bagian atas dan akhir skala penilaian. Sedangkan tes yang sulit, skor mengelompok bersama-sama pada bagian akhir bawah skala penilaian. Untuk kedua tes (mudah dan sukar), perbedaan antarorang perorang kecil sekali dan cenderung tidak dapat dipercaya. Tingkat kesulitan tes yang ideal untuk meningkatkan kofisien keterandalan adalah tes yang menghasilkan sebaran skor berbentuk genta atau kurva normal, dan (4) objektivitas. Objektivitas suatu tes menunjuk kepada tingkat skor kemampuan yang sama (yang dimiliki oleh peserta didik satu dengan peserta didik yang lain) memperoleh hasil yang sama dalam mengerjakan tes. Dengan kata lain, apabila ada peserta didik yang memiliki tingkat kemampuan yang sama dengan tingkat kemampuan peserta didik yang lain maka dapat dipastikan akan memperoleh hasil tes yang sama pada saat mengerjakan tes yang sama. Objektivitas prosedur tes yang tinggi akan menghasilkan keterandalan hasil tes yang tidak dipengaruhui oleh prosedur penskoran. c. Kepraktisan Dalam memilih tes dan dan instrumen evaluasi yang lain, 53 Volume 2 No. 1 Agustus 2014 kepraktisan merupakan syarat yang tidak dapat diabaikan. Kepraktisan evaluasi terutama dipertimbangkan pada saat memilih tes atau instrumen evaluasi lain yang dipublikasikan oleh suatu lembaga. Kepraktisan evaluasi dapat diartikan sebagai kemudahan-kemudahan yang ada pada instrumen evaluasi baik dalam mempersiapkan, menggunakan, menginterpretasi/memperoleh hasil, maupun kemudahan dalam menyimpannya (Dimyati & Mudjiono, 1999 : 198) Faktor-faktor yang mempengaruhui kepraktisan instrumen evaluasi meliputi ; (1) kemudahan mengadministrasi. Jika instrumen evaluasi diadministrasikan oleh seorang guru atau orang lain dengan kemampuan yang terbatas, kemudahan pengadministrasian adalah suatu kualitas penting yang diminta dalam instrumen evaluasi. Untuk memberikan kemudahan pengadministrasian instrumen evaluasi dapat dilakukan dengan jalan memberikan petunjuk sederhana dan jelas, subtes sebaiknya relatif sedikit, dan pengaturan tempo tes sebaiknya tidak menimbulkan kesulitan. Kesalahan-kesalahan dalam mengadministrasikan instrumen evaluasi akan menurunkan kepraktisannya, dan juga akan menyebabkan berkurangnya kesahihan dan keterandalan hasil evaluasi, (2) waktu yang disediakan untuk melancarkan evaluasi. Kepraktisan dipengaruhui pula oleh faktor waktu yang disediakan untuk melancarkan 54 evaluasi. Waktu antara 20 menit sampai 60 menit yang disediakan untuk melancarkan evaluasi merupakan waktu yang cukup untuk memberikan kepraktisan, (3) kemudahan menskor. Secara tradisional, hal yang membosankan dan aspek yang mengganggu dalam melancarkan evaluasi adalah penskoran. Guru seringkali bekerja berat berjam-jam untuk melaksanakan tugas ini. Kenyataan ini jelas mengurangi kepraktisan instrumen evaluasi. Untuk memberikan kemudahan penskoran diperlukan pengembangan berupa perbaikan petunjuk untuk penskoran dan lebih memudahkan kunci penskoran, pemisahan lembar jawaban dan lembar soal, dan penskoran menggunakan mesin, (4) kemudahan interpretasi dan aplikasi. Dalam analisa terakhir, keberhasilan atau kegagalan evaluasi ditentukan oleh penggunaan hasil evaluasi. Jika hasil evaluasi diterjemahkan/ditafsirkan secara tepat dan diterapkan secara efektif, hasil evaluasi akan mendukung terhadap keputusan-keputusan pendidikan yang lebih tepat. Untuk memudahkan interpretasi dan aplikasi hasil evaluasi diperlukan petunjuk yang jelas. Semakin mudah interpretasi dan aplikasi hasil evaluasi, semakin meningkatkan kepraktisan evaluasi, dan (5) tersedianya bentuk instrumen evaluasi yang ekuivalen atau sebanding. Untuk berbagai kegunaan pendidikan, bentuk-bentuk ekuivalen untuk tes yang sama seringkali diperlukan. Bentuk ekuivalen dari sebuah tes mengukur aspek-aspek perilaku melalui butir-butir tes yang memiliki kesamaan dalam isi, Jurnal Pendidikan ‘IQRA’ tingkat kesulitan, dan karakteristik lainnya. Dengan demikian, satu bentuk suatu tes dapat menggantikan yang lain, sedangkan instrumen evaluasi yang sebanding adalah instrumen evaluasi yang memiliki kemungkinan dibandingkan makna dari skala skor umum yang dimiliki, sehingga untuk tes berseri cukup menggunakan skala skor. Adanya bentuk-bentuk yang ekuivalen atau sebanding dari instrumen evaluasi akan mempraktiskan dalam melancarkan evaluasi. Pengertian, Jenis & sifat Motivasi 1. Pengertian Motivasi Belajar Banyak sekali, bahkan sudah umum orang menyebut dengan “motif” untuk menunjuk mengapa seseorang itu sesuatu. Apa motifnya si Ahmad membuat kekacauan, apa motifnya si Budi itu rajin membaca, apa motifnya Pak Rahman memberikan insentif kepada para pembantunya, dan begitu seterusnya. Kalau demikian apa yang dimaksud dengan motif ? Kata “motif” diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktivitasaktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Berawal dari kata “motif” itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak. Menurut Mc.Donald sebagaimana dikutif Sardiman A.M, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandainya dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan (Sardiman A.M, 2007 : 73). Dari pengertian yang dikemukakan Mc.Donald ini mengandung tiga elemen penting yaitu ; (1) bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia, (2) motivasi ditandai dengan munculnya, feeling (rasa), afeksi seseorang, (3) motivasi akan diransang karena adanya tujuan. Dengan ke tiga elemen di atas, maka dapat dikatakan bahwa motivasi itu sebagai sesuatu yang kompleks. Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi yang ada pada diri manusia, sehingga akan bergayut dengan persoalan gejala kejiwaan, perasaan dan juga emosi, untuk kemudian bertindak melakukan sesuatu. Dari pengertian itu juga dipahami, bahwa motivasi adalah serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan perasaan tidak suka itu. Jadi motivasi itu dapat dirangsang oleh faktor dari luar tetapi motivasi itu adalah tumbuh di dalam diri seseorang. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri peserta didik yang menimbulkan kegiatan belajar, yang 55 Volume 2 No. 1 Agustus 2014 menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai. Dikatakan “keseluruhan”, karena pada umumnya ada beberapa motif yang bersama-sama menggerakkan peserta didik untuk belajar, misalnya dengan adanya evaluasi. 2. Jenis Motivasi Motivasi, sebagai kekuatan mental individu, memiliki tingkattingkat. Para ahli ilmu jiwa mempunyai pendapat yang berbeda tentang tingkat kekuatan tersebut. Perbedaan pendapat tersebut umumnya didasarkan pada penelitian tentang perilaku belajar pada hewan. Meskipun berbeda pendapat tentang tingkat kekuatannya, tetapi mereka umumnya sependapat bahwa motivasi tersebut dibedakan menjadi dua jenis yaitu ; (1) motivasi primer, dan (2) motivasi sekunder (Dimyati & Mudjiono, 2006 : 86). Motivasi primer adalah motivasi yang didasarkan pada motif-motif dasar. Motif-motif dasar tersebut umumnya berasal dari segi biologis atau jasmani manusia. Manusia adalah makhluk berjasmani, sehingga perilakunya terpengaruh oleh insting atau kebutuhan jasmaninya. Mc Dougall misalnya ; berpendapat bahwa tingkah laku terdiri dari pemikiran tentang tujuan, perasaan subjektif, dan dorongan mencapai kepuasan. Insting itu memiliki tujuan dan memerlukan pemuasan. Tingkah laku insting tersebut dapat diaktifkan, dimodifikasi, dipicu secara spontan, dan dapat diorganisasikan. Adapun motivasi sekunder adalah motivasi yang dipelajari. Hal ini berbeda dengan motivasi primer. 56 Sebagai ilustrasi, orang yang lapar akan tertarik pada makanan tanpa belajar. Untuk memperoleh makanan tersebut orang harus bekerja terlebih dahulu. Agar dapat bekerja dengan baik, orang harus bekerja terlebih dahulu. Agar dapat bekerja dengan baik, orang harus belajar bekerja. Bekerja dengan baik merupakan motivasi sekunder. Motivasi sekunder biasanya juga disebut motivasi sosial, dan ia memegang peranan penting bagi kehidupan manusia. Para ahli membagi motivasi sekunder tersebut menurut pandangan yang berbedabeda. Thomas dan Znaniecki misalnya ; menggolongkan motivasi sekunder menjadi keinginankeinginan untuk ; (1) memperoleh pengalaman baru, (2) mendapat respon, (3) memperoleh pengakuan, dan memperoleh rasa aman. Sementara Mc Cleland menggolongkan menjadi kebutuhankebutuhan untuk ; (1) berpretasi, seperti bekerja dengan kualitas produksi tinggi, dan memperoleh IPK 3,50 ke atas, (2) memperoleh kasih sayang seperti rela berkorban untuk sesama, dan (3) memperoleh kekuasaan, seperti kekuasaan pada tujuan perkumpulan. Ahli lain, Marx menggolongkan motivasi sekunder menjadi ; (1) kebutuhan organisme seperti motif ingin tahu, memperoleh kecakapan, berpretasi, (2) motif-motif sosial seperti kasih sayang (Jalaluddin Rakhmat, 1991 : 34-39). Dari uraian tentang jenis motivasi itu, dapat dipahami bahwa motivasi primer adalah motivasi yang bersifat bawaan yang dibawa sejak manusia itu. Motivasi primer adalah berkaitan dengan kebutuhan- Jurnal Pendidikan ‘IQRA’ kebutuhan biologis seperti ; keinginan makan, minum dan kebutuhan seksual. Sedangkan motivasi sekunder adalah motivasi karena adanya tujuan yang ingin dicapai oleh setiap individu. 3. Sifat Motivasi Motivasi seseorang dapat bersumber dari dalam diri sendiri yang dikenal sebagai motivasi internal dan dari luar diri seseorang yang dikenal sebagai motivasi eksternal. Di samping itu, untuk membedakan motivasi intrinsik yang dikarenakan orang tersebut senang melakukannya. Sebagai ilustrasi peserta didik membaca sebuah buku, karena ia ingin mengetahui kisah seorang tokoh, bukan karena tugas sekolah. Motivasi memang mendorong terus, dan member energi pada tingkah laku. Setelah peserta didik tersebut menamatkan sebuah buku maka ia mencari buku lain untuk memahami tokoh yang lain. Keberhasilan membaca sebuah buku akan menimbulkan keinginan baru untuk membaca buku yang lain. Dalam hal ini, motivasi intrinsik tersebut mengarah pada timbulnya motivasi berpretasi. Menurut Monks, motivasi berpretasi telah muncul pada saat usia anak berusia balita. Hal ini berarti bahwa motivasi intrinsik perlu diperhatikan oleh para guru sejak ; TK, SD, SLTP pada usia ini para guru masih member tekanan pada pendidikan kepribadiaan, khususnya disiplin diri untuk beremansipasi. Penguatan terhadap motivasi intrinsik perlu diperhatikan, sebab disiplin diri merupakan kunci keberhasilan belajar (Siti Rahayu, 1989 : 161-164). Motivasi ekstrinsik adalah dorongan terhadap perilaku seseorang yang ada di luar perbuatan yang dilakukannya. Orang berbuat sesuatu, karena dorongan dari luar seperti adanya hadiah dan menghindari hukuman. Sebagai ilustrasi, peserta didik kelas satu SMP belum mengetahui tujuan belajar di SMP. Semula, ia hanya ikut-ikutan belajar di SMP karena teman sebayanya juga belajar di SMP. Berkah penjelasan wali kelas satu SMP, peserta didik memahami faedah belajar di SMP bagi dirinya. Peserta didik tersebut belajar dengan giat dan bersemangat. Hasil belajar tersebut sangat baik, dan ia berhasil lulus SMP dengan NEM sangat baik. Ia menyadari pentingnya belajar dan melanjutkan belajar di SMA. Di SMA ia belajar dengan penuh semangat karena ingin masuk AKABRI. Berkat ketekunan dan semangat belajarnya maka ia lulus SMA dengan nilai sangat baik, dan diterima di AKABRI. Dalam contoh tersebut, motivasi ekstrinsik membuat siswa yang belajar ikutikutan menjadi belajar penuh semangat. Peserta didik belajar dengan tujuannya sendiri, berkat informasi guru. Selanjutnya menyadari pentingnya belajar, dan ia belajar bersungguh-sungguh penuh semangat. Dalam hal ini motivasi intrinsik dapat berubah menjadi motivasi intrinsik, yaitu pada saat menyadari pentingnya belajar, dan ia belajar sungguh-sungguh tanpa disuruh orang lain (Siti Rahayu, 1989 : 166). Para ahli ilmu jiwa member tekanan yang berbeda pada motivasi, akibatnya saran tentang 57 Volume 2 No. 1 Agustus 2014 pembelajaran juga berbeda-beda. Mc.Dougall dan Freud menekankan perlunya motivasi intrinsik. Skinner dan Bandura menekankan perlunya motivasi ekstrinsik. Sementara Maslow dan Rogers menunjukkan bahwa kedua motivasi tersebut sama-sama pentingnya. Motivasi ekstrinsik banyak dilakukan di sekolah dan di masyarakat. Hadiah dan hukuman sering digunakan untuk meningkatkan kegiatan belajar. Jika peserta didik belajar dengan hasil sangat memuaskan, maka ia memperoleh hadiah dari guru atau orang tua. Sebaliknya, jika hasil belajar tidak baik, memperoleh nilai kurang, maka ia akan memperoleh peringatan atau hukuman dari guru atau dari orang tua. Peringatan tersebut tidak menyenangkan peserta didik. Motivasi belajar meningkat, sebab peserta didik tidak senang memperoleh peringatan dari guru atau orang tua. Dalam hal ini hukuman dan juga hadiah dapat merupakan motivasi ekstrinsik bagi peserta didik untuk belajar dengan bersemangat. Pengaruh Evaluasi Terhadap Motivasi Belajar Peserta Didik Pengaruh evaluasi terhadap motivasi belajar peserta didik tidak dapat dipisahkan dengan tujuan evaluasi itu sendiri. Tujuan evaluasi yaitu untuk ; (1) mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh peserta didik dalam suatu kurun waktu proses belajar tertentu. Hal ini berarti dengan evaluasi guru dapat mengetahui kemajuan perubahan tingkah laku peserta didik sebagai hasil proses belajar dan mengajar 58 yang melibatkan dirinya selaku pembimbing dan pembantu kegiatan belajar peserta didiknya itu, (2) posisi atau kedudukan peserta didik dalam kelompok kelasnya. Dengan demikian, hasil evaluasi itu dapat dijadikan guru sebagai alat penetap apakah peserta didik termasuk kategori cepat, sedang, atau lambat dalam arti mutu kemampuan belajarnya, (3) mengetahui tingkat usaha yang dilakukan oleh peserta didik dalam belajar. Hal ini berarti dengan evaluasi, guru akan dapat mengetahui gambaran tingkat usaha peserta didik. Hasil yang baik pada umumnya menunjukkan tingkah usaha yang efisien, sedangkan hasil yang buruk adalah cermin usaha yang tidak efisien, (4) mengetahui hingga sejauh mana peserta didik telah mendayagunakan kapasitas kognitifnya (kemampuan kecerdasan yang dimilikinya) untuk keperluan belajar. Jadi, hasil evaluasi itu dapat dijadikan guru sebagai gambaran realisasi pemamfaatan kecerdasan peserta didik, dan (5) mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode mengajar yang telah digunakan guru dalam proses belajar mengajar (PBM). Dengan demikian, apabila sebuah metode yang digunakan guru tidak mendorong munculnya prestasi peserta didik yang memuaskan, maka guru dianjurkan untuk mengganti metode tersebut (Muhibbin Syah, 2007 : 142). Dari uraian tersebut tersirat, bahwa tujuan evaluasi adalah untuk mendapat data pembuktian tentang sejauh mana tingkat kemampuan dan keberhasilan peserta didik dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Selain itu, juga dapat Jurnal Pendidikan ‘IQRA’ digunakan oleh guru dan para pengawas pendidikan untuk mengukur atau menilai sampai di mana keefektifan pengalamanpengalaman mengajar, kegiatankegiatan belajar, dan metode-metode mengajar yang digunakan. Dengan demikian betapa pentingnya evaluasi itu memberikan motivasi belajar terhadap peserta didik. Menurut (Hisyam Zaini, dkk, 2002 : 158-160), bahwa evaluasi mempunyai beberapa fungsi yaitu ; (1) sebagai alat seleksi. Evaluasi dapat digunakan untuk mengambil keputusan tentang orang-orang yang diterima atau ditolak dalam suatu proses seleksi penerimaan siswa di sekolah atau mahasiswa di perguruan tinggi, (2) penempatan. Hal ini biasa dilakukan dalam kursus atau pelatihan yang bertujuan untuk menentukan tempat yang paling cocok bagi seseorang dalam berpretasi dalam suatu proses pendidikan. Contoh tes penempatan dalam kurus bahasa Inggris untuk menentukan apakah seseorang masuk pada tingkat elementary, intermediate, atau advance, (3) diagnosis dan remedial. Tes seperti ini biasanya digunakan untuk mengukur kekuatan dan kelemahan seseorang dalam rangka memperbaiki penguasaan atau kemampuan dalam suatu program pendidikan tertentu. Jadi, sebelum dilakukan remedial, biasanya didahului oleh suatu tes diagnosis. Misalnya tes yang dilakukan oleh suatu program pendidikan tertentu untuk mencapai persyaratan kualifikasi atau sertifikasi dari program pendidikan tersebut, (4) untuk memotivasi dan membimbing belajar. Hasil tes seharusnya dapat memotivasi belajar peserta didik dan sekaligus dapat menjadi pembimbing bagi untuk belajar. Bagi mereka yang memperoleh skor yang rendah seharusnya menjadi cambuk untuk lebih berhasil dalam tes yang akan datang. Bagi mereka yang mendapat skor yang tinggi seharusnya menjadi motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan hasil tesnya serta menjadi pedoman untuk mempelajari bahan pengayaan, (5) perbaikan kurikulum. Salah satu peran penting dalam penilaian pendidikan ialah mencari dasar yang kokoh bagi perbaikan kurikulum pendidikan. Dengan kata lain, perbaikan kurikulum atau program pendidikan harus senantiasa berdasarkan pada hasil penilaian yang sistemik. Misalnya tes yang bersifat eksprimen yang dilakukan dalam rangka uji coba kurikulum atau program pendidikan baru yang akan diterapkan, (6) pengembangan. Hasil pengukuran, tes, dan penilaian juga dapat memberi sumbangan berarti bagi perkembangan teori dan dasar pendidikan. Misalnya ilmu seperti pengukuran pendidikan dan psikometrik sangat membutuhkan hasil-hasil pengukuran, tes, dan penilaian yang dilakukan sebagai kegiatan sehari-hari seorang pendidik (guru/dosen). Dari hasil ini akan diperoleh pengetahuan empirik yang sangat berharga untuk pengembangan ilmu dan teori-teori ilmu pengetahuan yang ingin dikembangkan. Sementara menurut (M.Ngalim Purwanto, 1990 : 5-7) bahwa fungsi evaluasi dapat dikelompokkan menjadi empat fungsi yaitu untuk ; (1) untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan serta keberhasilan 59 Volume 2 No. 1 Agustus 2014 peserta didik setelah mengalami atau melakukan kegiatan belajar selama jangka waktu tertentu. Hasil evaluasi yang diperoleh itu selanjutnya dapat digunakan untuk memperbaiki cara belajar peserta didik (fungsi formatif) dan atau untuk mengisi rapor atau Surat Tanda Tamat Belajar, yang berarti pula untuk menentukan kenaikan kelas atau lulus tidaknya peserta didik dari suatu lembaga pendidikan tertentu (fungsi sumatif), (2) untuk mengetahui tingkat keberhasilan program pengajaran. Pengajaran sebagai suatu sistem terdiri atas beberapa komponen yang saling berkaitan satu sama lain. Komponen-komponen yang dimaksud antara lain adalah tujuan, materi atau bahan pengajaran, (3) keperluan bimbingan dan Konseling (BK). Hasil-hasil evaluasi yang dilaksanakan oleh guru/dosen terhadap peserta didiknya dapat dijadikan sumber imformasi bagi pelayanan konselor (guru BK) sekolah atau penasihat akademik di perguruan tinggi, dan (4) keperluan pengembangan dan perbaikan kurikulum sekolah yang bersangkutan. Setiap guru/dosen melaksanakan kegiatan evaluasi dalam rangka menilai keberhasilan belajar peserta didik dan menilai program pengajaran, yang berarti pula menilai isi atau materi pelajaran yang terdapat dalam kurikulum. Seorang guru/dosen yang dinamis tidak akan begitu saja mengikuti apa yang tertera di dalam kurikulum, ia selalu berusaha untuk menentukan dan memilih materi-materi mana yang sesuai dengan kondisi peserta didik dan situasi lingkungan serta 60 perkembangan masyarakat pada masa yang lalu itu, materi kurikulum yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat akan ditinggalkannya dan diganti dengan materi yang dianggap sesuai. Dari fungsi-fungsi evaluasi yang dikemukakan oleh kedua tokoh pendidikan tersebut dapat dipahami, bahwa evaluasi di samping dapat dijadikan sebagai alat motivasi belajar terhadap peserta didik yang mengikuti remedial karena memperoleh skor yang rendah agar meningkatkan volume dan strategi belajarnya agar mereka juga dapat memperoleh skor yang tinggi seperti kawan-kawannya yang lain. Adapun terhadap peserta didik yang sudah memperoleh skor yang tinggi agar selalu mempertahankan volume dan strategi belajarnya agar mereka selalu dapat bersaing bukan saja pada level pendidikan yang sementara diikuti, tetapi bisa bersaing pada level-level yang lebih kompetitif atau pada level pendidikan yang lebih tinggi. Selain daripada itu fungsi evaluasi juga dapat dijadikan untuk memperbaiki, dan mengembangkan kurikulum sehingga ilmu pengetahuan semakin berkembang untuk kesejahteraan umat manusia. F. Penutup Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pengertian evaluasi dapat dilihat dari dua hal yaitu dari segi bahasa dan istilah. Dari segi bahasa artinya penilaian. Sementara dari segi istilah artinya penetapan nilai dari seluruh proses yang dicapai oleh Jurnal Pendidikan ‘IQRA’ peserta didik. Adapun alat-alat evaluasi itu ada dua bentuk yaitu tes dan nontes. 2. Prinsip-prinsip evaluasi harus memiliki keterpaduan, dapat mengaktifkan peserta didik (siswa/mahasiswa), bersifat kontinyu, koherensi, tidak diskriminilitas, bersifat menyeluruh, bersifat mendidik (pedagogik), dan akuntabilitas (transparansi). Selain daripada itu evaluasi harus ; sahih, andal dan praktis. 3. Motivasi adalah dorongan dari dalam dan luar individu manusia. Motivasi itu ada dua jenis yaitu motivasi primer dan motivasi sekunder. Motivasi primer berifat intrinsik. Sedangkan motivasi sekunder bersifat ekstrinsik. 4. Pengaruh evaluasi itu terhadap motivasi belajar peserta didik adalah terkait dengan fungsi dan tujuan evaluasi itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharismi, Penilaian Program pendidikan, Jakarta : Depdikbud, 1980. --------------------------, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Cet.III, Jakarta : PT.Bumi Aksara, 2005 Davies, Teacher As Curiculum Evaluators, Sydney, George Allen and Unwin, 1981. Dimyati & Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Cet.I, Jakarta : PT.Rineka Cipta, 2006. Gronlund, Norman E, Measurement and Evaluation In Teaching : New York : MacMillan Publishing Company, 1985. Nurkancana, Evaluasi Pendidikan, Jakarta : Depdikbud, 1986. Purwanto, M.Ngalim, Prinsip-Prinsip & Teknik Evaluasi Pengajaran, Cet.VIII, Bandung : PT.Remaja Rosda Karya, 1990. Sudjana, Nana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung : PT.Remaja Rosda Karya, 1990. Sudjiono, Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta : PT.Raja Rrafindo Persada, 1996. Sardiman, AM, Interaksi Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2007. Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet.XIII, Bandung : PT.Remaja Rosda Karya, 2007. Tayibnas, Farida Yusuf, Evaluasi Program, Cet.I, Jakarta : PT.Rineka Cipta, 2000. Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Bandung : PT.Remaja Rosda Karya, 1991. Rahayu, Siti, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1989. Zaini, Hisyam, dkk, Desain Pembelajaran, Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 2000. 61