BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Secara harafiah cantik berarti sesuatu yang indah, elok dan rupawan. Namun dalam praktiknya, cantik selalu identik dengan penampilan lahiriah (fisik) seorang wanita. Definisi cantik memiliki arti yang universal. Arti kata cantik dimaknai berbeda-beda di setiap daerah atau negara sesuai dengan kebudayaan yang melingkupinya. Di Indonesia misalnya, wanita Jawa yang cantik merupakan wanita yang memiliki kulit kuning langsat atau sawo matang dengan rambut hitam legam yang berkilau, sedangkan wanita dari suku Dayak menilai kecantikan dengan memiliki bentuk daun telinga yang memanjang ke bawah dengan aksesoris anting-anting yang besar dan banyak, semakin panjang daun telinga maka semakin cantik dan semakin tinggi pula kelas sosial wanita tersebut. Namun seiring perkembangan jaman yang disertai dengan kemajuan teknologi, pesatnya arus informasi dan globalisasi, konsep cantik di Indonesia dan di beberapa belahan dunia mengalami pergeseran. Pengaruh globalisasi telah menyentuh semua aspek kehidupan manusia, termasuk tubuh atau penampilan diri juga mengalami perubahan melalui proses konstruksi. Pada sisi lain kehadiran media, tidak dapat diabaikan dalam mengkonstruksi kecantikan tubuh wanita. Jika pada era tahun 1960-an hingga 1970-an standar ideal mengenai wanita cantik yaitu wanita yang memiliki tubuh kurus, kulit hitam dan rambut berombak, maka di awal era tahun 80-an standar kecantikan tersebut berubah dan perubahan tersebut dipelopori oleh media. Konstruksi kecantikan pada wanita yang dibangun oleh media adalah kecantikan dengan kriteria seperti kulit putih bersih bak wanita Eropa, bertubuh tinggi dengan pinggang yang ramping, wajah simetris, rambut lurus panjang dan payudara penuh berisi. Pada era ini media telah berhasil membentuk dan mempengaruhi konsep cantik dan standar tubuh ideal seorang 1 wanita. Secara tidak sadar para wanita ini telah dipaksa untuk mengubah cara pandang mereka terhadap tubuh mereka sendiri, hal ini menyebabkan berkurangnya kepercayaan terhadap penampilan diri mereka karena menganggap bahwa citra tubuh (body image) mereka tidak sesuai dengan apa yang dibentuk oleh media. Konstruksi yang dilakukan media terhadap tubuh wanita ini pun didukung dan diterapkan dalam pergaulan di masyarakat, di mana penampilan fisik seorang wanita menjadi standar ideal untuk menilai kecantikannya. Makna kecantikan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya telah mengalami pergeseran, dari yang bersifat pribadi (domestik), tetapi sekarang menjadi sangat umum dan dipertontokan. Kecantikan, bahkan menjadi ajang kompetisi melalui berbagai festival atau kontes, laiknya bentuk-bentuk kesenian lainnya, contohnya ajang pemilihan Puteri Indonesia, Miss World, Miss Universe, dan kontes-kontes kecantikan yang lainnya. Bahkan pasaran kerja pun tidak jarang menerapkan model pengetesan berdasarkan atas kriteria kecantikan atau keindahan penampilan seorang wanita, dengan menggunakan standarisasi yang disebut PBQ (A Professional Beauty Qualification) atau Kualifikasi Kecantikan Professional, perusahaan-perusahaan membuat seolah-olah tidak terjadi diskriminasi terhadap perempuan, dengan alasan bahwa PBQ merupakan syarat untuk menerapkan hubungan kerja yang mereka inginkan. Oleh standar tersebut kaum perempuan dipaksa untuk selalu memikirkan kecantikan mereka. Di luar standar tersebut, maka perempuan tidak dikategorikan cantik. Dari beberapa kasus pemutusan hubungan kerja yang dialami oleh kaum perempuan, sebagian besar disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat-syarat kecantikan yang telah ditentukan oleh perusahaan. Praktik-praktik penerapan PBQ di suatu perusahaan kini kian marak terjadi di berbagai belahan dunia, seperti yang terjadi di Korea Selatan. Di Korea Selatan, wanita yang hanya memiliki single eyelid harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dibandingkan dengan wanita yang memiliki double eyelid. Selain itu standar kecantikan mengenai ukuran tubuh pun hingga sekarang masih diberlakukan di kalangan pekerja fashion, contohnya saja 2 modeling. Di dunia modeling, model-model bertubuh kurus dengan kaki jenjang masih menjadi primadona sedangkan model-model bertubuh besar (size plus) diperlakukan dengan kurang baik, hanya ditawari sedikit pekerjaan bahkan diremehkan dan dipandang sebelah mata. Hal ini merupakan contoh bagaimana citra tubuh dikelola dalam suatu sistem sosial, politik dan kultural. Kecantikan juga berhubungan erat dengan bagaimana cara berpakaian yang baik, berperilaku yang baik, dan semua yang berkaitan dengan cara memperlakukan tubuh dengan baik pula. Oleh karena itu, menjaga penampilan oleh seorang wanita telah dianggap sebagai sebuah kewajiban. Tidak heran jika banyak wanita yang berlomba-lomba untuk menjadi cantik sesuai dengan persepsi cantik yang dimiliknya maupun yang dibentuk oleh media massa. Keinginan wanita untuk tampil cantik ini pula lah yang dimanfaatkan oleh para produsen untuk memproduksi berbagai macam jenis kosmetika. Tak heran jika dari hari ke hari persaingan yang terjadi dalam industri kosmetika semakin ketat. Setiap perusahaan berlomba menggunakan strategi pemasaran yang tepat agar dapat memenangkan persaingan. Salah satu strategi yang digunakan adalah strategi promosi melalui iklan. Menurut Djakfar (2007: 76) iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan konsumen, antara penjual dan calon pembeli. Dalam proses komunikasi itu iklan menyampaikan sebuah pesan. Dengan demikian iklan bermaksud memberikan informasi dengan tujuan yang terpenting adalah memperkenalkan produk atau jasa. Melalui kegiatan periklanan standar mengenai kecantikan itu diciptakan dan tertanam kuat di benak masyarakat. Para pembuat iklan menciptakan konsep sosok ideal mengenai wanita cantik dengan berbagai ciri-ciri sehingga produk kecantikan yang diiklankan dapat ditawarkan dan terjual kepada masyarakat luas, misalnya untuk menjadi cantik harus memiliki kulit yang putih dan mulus. Begitulah bagaimana iklan menanamkan nilai-nilai dan konsep ideal kecantikan yang baru dengan menciptakan mitos kecantikan. 3 Secara tegas iklan telah membentuk sebuah ideologi tentang makna atau image gaya hidup dan penampilan terutama tentang konsep kecantikan bagi wanita. Hal ini memperjelas bahwa iklan yang disampaikan melalui media massa memiliki peran yang sangat besar dalam memproduksi dan mengkonstruksi arti gaya hidup dengan kecantikan sebagai big idea-nya (Winarni, 2009: 3). Kehadiran pasar dan iklan yang memberikan janji-janji disertai berbagai produk kecantikan, pada akhirnya membuat perempuan menjadi tidak berdaya dan selalu ingin mengkonsumsi benda atau jasa demi sebuah kecantikan. Berbagai jenis produk kecantikan, mulai dari harga yang paling murah sampai dengan yang termahal, semuanya menjajikan pembentukan dan perawatan tubuh perempuan menjadi cantik (Ibrahim, 2006: 115). Dalam konteks ini tubuh dijadikan sebagai sebuah arena pertarungan untuk kecantikan. Kehadiran pasar dan iklan mode yang berubah-ubah, menandakan bahwa betapa tubuh dan kecantikan memiliki arti penting dalam kaitan dengan perubahan sosial budaya yang terjadi (Abdullah, 2006: 38). Di saat produsen iklan sedang gencar memborbadir konsumen dengan mengiklankan produk kosmetiknya menggunakan endorser dari kalangan public figure dengan paras yang rupawan untuk menarik minat masyarakat, berbeda hal dengan yang dilakukan oleh produk perawatan tubuh (skincare) asal Belanda, Dove. Dove justru menggunakan model wanita biasa dalam iklannya, bahkan cenderung tidak tampak cantik. Dove sendiri merupakan sebuah brand produk kosmetik yang berkonsentrasi pada produk perawatan tubuh seperti sabun mandi, shampoo, hand and body lotion serta deodorant. Dove mencoba menjadi salah satu brand skincare/toiletries yang bergerak melawan arus mainstream mengenai definisi „tubuh‟ seorang wanita. Dove mencoba untuk mengubah standar kecantikan yang telah tertanam dalam benak masyarakat selama ini. Untuk merealisasikan komitmennya maka sejak tahun 2004, Dove mulai meluncurkan strategi pemasaran yang berupa rangkaian advertising campaign yang diberi judul for Real Beauty dalam rangka mengubah mindset dan mitos yang salah tentang kecantikan wanita. 4 Pada tahun 2013, Dove kembali meluncurkan iklan yang bertajuk “Real Beauty Sketches”. Iklan ini hadir sebagai akibat dari adanya stereotype tentang kecantikan yang membuat para wanita tidak percaya diri dengan dirinya sendiri. Fokus penelitian ini terletak pada naskah teks iklan Dove “Real Beauty Sketches” untuk menganalisis konstruksi pemaknaan yang terdapat pada teks tersebut. Dengan lebih berkonsentrasi pada tanda-tanda yang ditampilkan dalam iklan, sehingga dapat mengungkap bagaimana proses rekonstruksi makna cantik terjadi dan dapat mengidentifikasi maksud yang sebenarnya dibalik pembuatan iklan tersebut. 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, perumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana proses rekonstruksi kecantikan yang terjadi pada teks iklan produk perawatan tubuh (toiletries) khusus wanita Dove “Real Beauty Sketches”?” 1.3 TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara keseluruhan mengenai makna kecantikan wanita yang disampaikan oleh produk kosmetik Dove melalui iklan kampanyenya di media massa dengan mengindentifikasi makna-makna yang terkandung dalam naskah teks iklan tersebut melalui contoh kasus salah satu iklan Dove yang bertajuk “Real Beauty Sketches”. 5 1.4 MANFAAT PENELITIAN 1.4.1 Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu komunikasi, serta sebagai tambahan referensi bahan pustaka, khususnya penelitian tentang semiotika dengan minat pada kajian iklan. 1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan deskripsi dalam membaca makna yang terkandung dalam sebuah teks iklan melalui perangkat analisis semiotika. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi agensi periklanan mengenai strategi dan pendekatan yang tepat untuk mengiklankan produk kecantikan wanita agar dapat diterima dengan baik oleh segmen yang dituju. 1.5 KERANGKA PEMIKIRAN 1.5.1 Representasi Kecantikan dalam Iklan Sebagai Proses Mengkonstruksi Citra Tubuh Ada banyak nilai atau tanda yang digunakan untuk mengekspresikan cantik. Media massa memiliki peran yang besar dalam memproduksi dan mengkonstruksi nilai atau tanda ini. Salah satu jenis media massa yang digunakan untuk memproduksi nilai atau tanda ini adalah iklan. Iklan dalam fokus penelitian ini adalah iklan televisi atau iklan berbentuk video yang disebarkan melalu media massa seperti channel youtube. Jenis iklan yang dimaksud merupakan iklan kosmetik dengan target pasar sebagian besar adalah kaum wanita. Iklan telah banyak memproduksi nilai-nilai yang mengekspresikan konsep cantik. Melalui visualisasi berupa gambar bergerak full color, tagline yang menarik, endorser yang rupawan dan didukung oleh audio yang berupa musik dan bahasa persuasif iklan sehingga dapat menarik perhatian audiens. 6 Iklan berusaha menampilkan mitos terhadap identitas individu, identitas di sini merujuk pada „kecantikan‟ (konsep cantik). Konsep ini mungkin tidak terlalu menyatu dengan istilah identitas, tapi sebagai suatu predikat, sebutan „cantik‟ menjadi salah satu identitas yang ingin dicapai oleh individu. Media, dalam hal ini iklan, menampilkan kecantikan dalam suatu budaya tertentu. Kecantikan dikonstruksi dari suatu realitas sosial budaya dan kemudian direkayasa dan disajikan lagi kepada khalayak. Kecantikan yang ditampilkan merupakan kecantikan yang dibentuk oleh media tersebut, dengan agenda tertentu yang melatari media atau iklan tersebut. Salah satu bentuk operasionalisasi pembentukan identitas oleh media adalah dengan memberikan penawaran-penawaran citra tertentu terhadap tubuh. Misalnya dalam media massa dan iklan ditampilkan bagaimana cara merawat wajah, rambut yang sehat, kulit yang cerah, sampai pada hal yang abstrak seperti melakukan pembatasan tentang apa yang indah dan yang tidak indah, atau cantik dan tidak cantik. Seperti wajah yang berjerawat selalu diidentikkan dengan wajah yang kurang bersih, rambut keriting atau bergelombang digambarkan sebagai rambut yang susah diatur, kulit coklat diidentikkan dengan kulit yang kusam dan seterusnya. Pembentukan citra ini ditekankan pada tubuh manusia. Tubuh manusia dalam iklan adalah suatu representasi. Debat tentang apakah representasi dalam media massa merupakan refleksi “dunia nyata” ataukah hasil konstruksi, telah berakhir dan pandangan bahwa representasi dalam media massa adalah refleksi “dunia nyata” tampaknya sudah ditinggalkan. Representasi lebih dilihat sebagai suatu proses mengkonstruksi dunia sekitar kita dan juga proses memaknainya. Sturken dan Cartwrigth dalam bukunya Practice of Looking menjelaskan: Representasi merujuk pada penggunaan bahasa dan imaji untuk menciptakan makna tentang dunia sekitar kita. Kita menggunakan bahasa untuk memahami, menggambarkan dan menjelaskan dunia yang kita lihat, dan demikian juga dengan penggunaan imaji. Proses ini terjadi melalui sistem representasi, seperti 7 media bahasa dan visual, yang memiliki aturan dan konvensi tentang bagaimana mereka diorganisir (Sturken & Cartwrigth, 2001). Representasi tubuh dalam iklan terdiri dari signifikasi imaji-imajinya. Beberapa imaji yang bisa merepresentasikan tubuh antara lain: ras, seks (jenis kelamin), ukuran (langsing, gemuk, tinggi, pendek), rambut, tatapan, dan fashion. Seluruh imaji ini menandakan nilai tertentu, seperti nilai kecantikan, heteroseksualitas, kemudaan, feminitas sampai pada nilai baik dan buruk, benar dan salah, normal tidak normal. Mengeksplorasi makna imaji-imaji adalah dengan menyadari bahwa imajiimaji tersebut diproduksi dalam dinamika kekuasaan dan ideologi (Sturken & Cartwrigth, 2001). Tubuh yang terlihat adalah representasi dari suatu bentuk hubungan kekuasaan. Apa “yang terlihat” menandakan posisi dan aliran kekuasaan, sekaligus juga menandakan mana yang berhak ada dan mana yang tidak berhak, apa yang normal dan yang tidak. Iklan pada dasarnya adalah komunikasi untuk menarik perhatian audiens. Bisnis iklan bisa dikatakan sebagai bisnis “kejutan”. Iklan harus memiliki nilai kejutan (shock value). Iklan berlomba untuk tampil lebih mengejutkan dari iklan saingannya. (Sunardi, 2002). Iklan televisi dengan segmentasi pasar yang menyasar khusus untuk wanita sebagian besar adalah iklan produk yang langsung berkaitan dengan tubuh, seperti produk kosmetik, pembalut wanita, pakaian, sepatu dan sebagainya. Maka tidak heran jika iklan tersebut merasa wajib menampilkan sosok tubuh model (endorser) sebagai pengejut utama. Nilai kejutan di sini hanya sebatas mempengaruhi audiens untuk memperhatikan iklan tersebut. Sebagian besar iklan kosmetik di televisi lebih mengedepankan unsur stereotip. Tubuh yang hadir selain sarana untuk menarik perhatian juga sebagai sarana penegasan imaji yang sudah umum di masyarakat. Nilai seksi pada iklan pelangsing tubuh contohnya, selalu menampilkan tubuh langsing model dibalut kaos atau gaun ketat yang membentuk lekukan tubuh. Itulah nilai seksi yang berlaku saat ini, tidak baru dan tidak mengejutkan. Tujuan utama iklan-iklan 8 tersebut adalah untuk memperkuat stereotip yang ada, melalui penggunaan tubuh para model (endorser) yang dianggap sebagai standar kecantikan bagi audiens. Dari sini peneliti berpendapat bahwa media memiliki peran dan kendali untuk mengkonstruksi suatu nilai, dalam hal ini citra tubuh perempuan dan kemudian merepresentasikannya menjadi satu kesatuan utuh yang disebut „kecantikan‟. 1.5.2 Visualisasi Kecantikan dan Konstruksi Realitas dalam Iklan Kecantikan telah dipandang sebagai sesuatu yang sangat berharga, sehingga tak jarang perempuan sangat terobsesi untuk mendapatkan kecantikan. Tempat-tempat kebugaran, spa, salon kecantikan, toko kosmetik dan berbagai institusi kecantikan yang lain menjadi tempat-tempat yang diminati perempuan untuk mengubah dirinya menjadi cantik. Bahkan, mereka tidak segan untuk mengeluarkan biaya yang cukup besar demi mendapatkan kecantikan sesuai standar yang dibentuk oleh media maupun yang berlaku di masyarakat. Inilah yang dimanfaatkan oleh kapitalis. Saat ini identitas perempuan berada dalam konstruksi sosial yang diciptakan oleh kaum kapitalis. Bagi kapitalis, kecantikan merupakan salah satu wilayah strategis yang dapat dijadikan objek komoditas. Maka dari itu, mitosmitos kecantikan benar-benar dikembangkan dan disosialisasikan untuk menumbuhkan keinginan dalam diri perempuan. Berbagai komoditi atau produk kecantikan diproduksi untuk memenuhi kebutuhan perempuan dalam rangka menjadi cantik dan menarik. Sedangkan dari pandangan feminisme, kecantikan dipandang sebagai sebuah mitos yang dikosntruksi secara sosial, politik, dan ekonomi pada sebuah kebudayaan tertentu. Mitos kecantikan yang yang selalu mengeksploitasi potensi perempuan ini bagi kalangan feminis bahkan merupakan mitos yang dianggap sebagai salah satu bentuk dominasi dari sistem patriarki. Pelekatan berbagai stereotip terhadap tubuh perempuan ini telah mencabut kuasa atas dirinya karena 9 menurut Halley (1998), stereotip digunakan untuk mendefinisikan perempuan dan mengontrol mereka. Perempuan didefinisikan dalam hubungannya dengan lakilaki. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kewajiban perempuan untuk menjadi cantik tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan kapitalis saja namun juga patriarki. Jerat kapitalis-patriarkis mengkonstruksi body image (citra tubuh) perempuan sebagai “legitimasi eksistensi”, sehingga perempuan harus terus mengidealkan tubuhnya untuk bisa diakui eksistensinya. Budaya masyarakat yang semacam itu selalu memandang tubuh perempuan sebagai objek. Media massa turut bertanggung jawab dalam mengkonstruksi realitas tentang kecantikan. Nilai-nilai yang terkandung di dalam strategi kapitalismepatriarki mensosialisasikan perempuan untuk memperlakukan tubuhnya lebih sebagai sebuah objek untuk diamati. Sobur, (2004:89) menjelaskan bagaimana media membangun kostruksi realitas terhadap isi media yang disampaikan kepada khalayak. Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya, media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempenggaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksinya. Sebagai contoh adalah iklan pemutih kulit. Secara tekstual, pencitraan yang diberikan adalah penyamarataan antara kulit yang putih dengan kecantikan. Hal ini dapat dilihat dari narasi yang dibangun berupa adanya ketertarikan pria hanya kepada wanita yang memiliki kulit yang putih. Secara wacana, iklan pemutih kulit pada wanita ini menunjukkan ketundukan seorang wanita terhadap kekuasaan pria, dimana dapat dilihat dari cara wanita yang harus mengubah warna kulitnya yang berwarna menjadi putih. Khalayak pemirsa diajak untuk beropini bahwa kulit yang putih adalah superior dan wanita diajak untuk mengganti warna kulitnya dengan warna putih. Ini adalah bentuk konstruksi realitas yang ada dimana menurut Naomi Wolf (2004), model pencitraan yang mensyaratkan perempuan bisa dikatakan cantik dengan harus putih dan langsing 10 adalah merupakan mitos yang menghanyutkan. Dia menjelaskan bahwa mitos tersebut telah merusak perempuan dan membuat mereka terobsesi meraih citra ideal tentang kesempurnaan fisik. Bahkan tidak sedikit perempuan tega merusak diri sendiri karena terpenjara oleh mitos kecantikan tersebut. 1.5.2.1 Konstruksi Realitas dalam Iklan Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1990), menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Berger dan Luckman (Bungin, 2008:14) menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman „kenyataan dan pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Berger dan Luckman memandang realitas sosial terbentuk melalui tiga tahap, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik yang ditandai oleh hubungan antar manusia dengan lingkungan dan dengan dirinya sendiri. Objektivasi adalah suatu proses di mana objek yang memiliki makna umum sebelum seorang individu lahir di dunia. Hasil objektivasi ini kemudian dikenal dengan nama pengetahuan. Sedangkan proses internalisasi adalah proses di mana individu terlahir tidak langsung menjadi anggota masyarakat. Melalui internalisasi, manusia menjadi produk masyarakat. Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckman telah direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subyektivasi, dan internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Substansi dari konstruksi sosial media massa ini adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan 11 sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis. Gambar 1.1 Proses Konstruksi Sosial Media Massa PROSES SOSIOLOGIS SIMULTAN EKSTERNALISASI M E D I A OBJEKTIVASI INTERNALISASI SOURCE MESSAGE M A S S A Realitas terkonstruksi : Objektif Subjektif Intersubjektif Lebih cepat Lebih luas Sebaran merata Membentuk opini massa Massa cenderung terkonstruksi Opini massa cenderung apriori Opini massa cenderung sinis CHANNEL RECEIVER EFFECTS Sumber : Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1990) Berger dan Luckman menganggap proses di mana orang menciptakan realitas kehidupan sehari-hari sebagai konstruksi realitas simbolik. Menurut mereka, dunia sosial adalah produk manusia, dan bukan sesuatu yang given. Dunia sosial dibangun melalui tipifikasi-tipifikasi yang memiliki referensi utama pada obyek dan peristiwa yang dialami secara rutin oleh individu dan dialami bersama dengan orang lain dalam pola yang taken for granted. Dan generasi yang lebih muda akan mempelajari realitas ini melalui proses sosialisasi, seperti mereka mempelajari hal-hal lain yang membangun dunia, yang mereka temui sehari-hari (Noviani, 2002:52). Berdasarkan pandangan Berger dan Luckman mengenai konstruksi realitas sosial, bahwa realitas sosial tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi sarat dengan 12 kepentingan-kepentingan, maka salah satu kepentingan di sana adalah kepentingan media massa. Media massa, dalam hal ini iklan, lazim melakukan berbagai tindakan dalam konstruksi realitas di mana hasil akhirnya berpengaruh kuat terhadap pembentukan makna atau citra tentang suatu realitas. Salah satu tindakan itu adalah dalam hal pilihan leksikal atau symbol (bahasa). Misalnya, sekalipun media massa hanya bersifat melaporkan, tapi jika pemilihan kata, istilah atau sebuah symbol yang secara konvensional memiliki arti tertentu di tengah masyarakat, tak pelak akan mengusik perhatian masyarakat tersebut (Sobur, 2002: 91-92). Iklan sebagai salah satu media massa memang telah menjadi bagian dari masyarakat industri kapitalis yang mempunyai kekuatan besar dan sulit untuk dielakkan. Iklan menyediakan gambaran tentang realitas, dan sekaligus mendefinisikan keinginan dan kemauan individu maupun kelompok. Iklan mendefinisikan apa itu gaya, dan apa itu selera bagus, bukan sebagai sebuah kemungkinan atau saran, melainkan sebagai sebuah tujuan yang diinginkan dan tidak bisa untuk dipertanyakan (Noviani, 2002:49). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa iklan adalah sebuah cermin yang memantulkan kembali realitasrealitas sosial yang terjadi di masyarakat. Iklan merangkum aspek-aspek realitas sosial. Bahkan lebih jauh lagi, berbagai pengaruh psikologis yang bersifat individu dari iklan tersebut lambat laun akan mengkristal secara kolektif dan menjadi perilaku masyarakat umum. Perilaku masyarakat umum ini pada gilirannya membentuk sistem nilai, gaya hidup, maupun standar budaya tertentu, termasuk mempengaruhi standar moral, etika, maupun estetika (Widyatama, 2007: 164). 1.5.3 Periklanan Sebagai Medium Rekonstruksi Sosial Bagaimana perempuan menilai tubuhnya akan sangat berkaitan dengan bagaimana lingkungan sosial dan budaya di luar dirinya menilai tubuh perempuan. Artinya kalangan perempuann akan selalu berusaha untuk 13 menyesuaikan bentuk tubuhnya sesuai dengan sosial dan budaya masyarakat, sampai dengan tingkatan ini kecantikan dipandang relatif bagi sebagian kalangan. Namun kini media massa yang merambah berbagai budaya telah banyak mengubah citra kecantikan wanita dalam budaya-budaya tersebut. Salah satu ciri kecantikan modern adalah tubuh yang ramping (Mulyana, 2005). Mitos kecantikan yang menghinggapi kaum perempuan akhirnya berujung pada banyaknya konsepsi yang dibangun secara sosial berkaitan dengan makna cantik yang kecenderungan definisinya, adalah banyak berangkat dari analisis secara fisik semata. Dalam konsep Hierarki kebutuhan yang dipopulerkan oleh Abraham Maslow (1984), kecantikan merupakan hal yang bisa membinggungkan untuk di kita pahami. Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kebutuhan fisiologis atau dasar 2. Kebutuhan akan rasa aman 3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi 4. Kebutuhan untuk dihargai Pada empat tingkatan kebutuhan manusia banyak orang memperkirakan kecantikan masuk dalam tingkatan ke-empat yaitu Self Esteem atau kebutuhan akan penghargaan. Penjabaran dari kebutuhan ini biasanya disebutkan seperti pujian, apresiasi dari orang lain, rasa kagum, rasa hormat dan lain-lain terhadap diri seorang perempuan. Berdasarkan Teori Maslow mengenai motif pemenuhan kebutuhan manusia maka cantik termasuk dalam kebutuhan akan penghargaan, bahwa seseorang ingin ‟‟dilihat‟‟. Dengan kekhawatiran kaum perempuan akan kehilangan penghargaan atas diri sendiri karena terjebak dengan mitos kecantikan yang selama ini diagungkan, kini mulai ada beberapa gerakan sosial baik dari kaum feminis maupun beberapa industri kecantikan yang meluncurkan kampanye sosial dalam rangka menyadarkan kaum perempuan bahwa cantik tidak hanya dari tampilan fisik semata. Tujuan utama gerakan ini adalah melakukan perombakan konsep 14 kecantikan dari mitos dominan yang dibawa oleh boneka Barbie menjadi lebih manusiawi. Boneka Barbie disinyalir berperan menjadi salah satu pembentuk citra perempuan cantik. Barbie bisa disebut sebagai miniatur dan refleksi dari kehidupan perempuan masa kini. Barbie menancapkan stigma bahwa perempuan cantik haruslah berfisik tinggi, langsing, berkulit cerah, dan berambut panjang. Disadari atau tidak Barbie telah menetapkan sebuah standar kecantikan seorang perempuan yang berlaku di masyarakat. Didukung oleh media, stigma kecantikan Barbie ini kemudian diperkuat dan terus mengakar hingga sekarang. Tidak heran banyak wanita terobsesi untuk menjadi cantik ala boneka Barbie, seperti seorang gadis asal Ukraina bernama Valeria Lukyanova yang rela menghabiskan milyaran rupiah biaya operasi plastik hanya untuk mendapatkan tampilan seperti laiknya boneka Barbie sungguhan. Langkah Valeria inipun kemudian ditiru oleh lebih banyak perempuan lainnya seperti Alina Kobalevskaya, Olga Oleynik dan Lolita Richi. Dalam tahap ini tingkat kebutuhan wanita untuk dihargai atas kecantikan sudah mencapai taraf mengkhawatirkan. Oleh sebab itu dibutuhkan wacana rekonstruksi kecantikan sebagai counter hegemoni terhadap mitos dominan tentang kecantikan dalam hal ini Barbie culture. Salah satu produsen produk perawatan tubuh (toiletries) yang menjadi fokus dalam penelitian ini, menyadari akan hal tersebut. Berdasarkan studi global yang dilakukan oleh Dr. Nancy Etcoff dari Harvard University yang berjudul “The Real Truth About Beauty : A Global Report” (2004) ditemukan fakta bahwa hanya 4% wanita di dunia yang menganggap diri mereka cantik dan 54% setuju bahwa mereka adalah kritikus terburuk ketika menilai penampilan atau kecantikan diri mereka sendiri. Inilah awal inisisasi Dove, sebagai salah satu brand kecantikan dari Unilever untuk berkomitmen menyadarkan 96% wanita lainnya yang menganggap dirinya tidak cantik bahwa mereka sebenarnya cantik dengan cara mereka sendiri. Salah satu strategi yang digunakan oleh Dove, untuk meluncurkan kampanyenya adalah dengan pemanfaatan media massa, salah satunya adalah dengan iklan. 15 Iklan memiliki pengaruh dalam menciptakan kriteria daya tarik seseorang. Mitos-mitos kecantikan dan feminitas dipadatkan dalam gambar visual tubuh. Melalui iklan, konsep tubuh ideal diproduksi, direproduksi, dan didistribusikan. Idealisasi yang dibentuk oleh iklan mendorong masyarakat untuk melakukan perombakan atas tubuhnya. Apa yang muncul di iklan atau media massa pada umumnya dianggap sebagai suatu nilai baru yang selalu diekspolarasi. Hal ini tidak terlepas dari peran iklan sebagai salah satu media persuasif yang dapat membujuk atau mempengaruhi orang. Inilah yang menjadikan iklan sebagai medium yang tepat untuk merekonstuksikan wacana cantik sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh pengiklan dalam hal ini Dove. Iklan sebagai media persuasif diharuskan menyampaikan pesan dengan tampilan bahasa yang menarik dan sentuhan cita rasa estetik yang atraktif. Hal tersebut mutlak diperlukan dalam mengemas iklan untuk merebut perhatian publik, mengingat derasnya arus informasi di media massa saat ini. Ketatnya persaingan produk dan merk dagang menuntut iklan harus bersaing dengan iklan yang lain, di samping merebut perhatian publik dari informasi yang lain. Seperti ditegaskan oleh Sternthal & Craig (1982) bahwa di negara yang terkena era globalisasi, setiap hari rata-rata orang dibombardir dengan ribuan pesan komersial yang tak sebanding dengan kapasitas orang menyerap pesan. Boleh dikata kurang dari satu persen pesan media yang dapat direaksi publik, termasuk di dalamnya iklan. Keadaan tersebut menggambarkan iklan harus bersaing dengan iklan maupun informasi yang lain. Oleh karena itu tidak mengherankan bila iklan harus menampilkan baik bahasa dan segenap aplikasi yang mendukung dapat menarik perhatian publik dan sekaligus dapat memberi citra produk yang ditawarkan. Selain itu kefektifan pesan memegang peranan penting dalam iklan. Orang akan membaca iklan atau mengabaikannya setelah dua detik pertama, maka dua detik kemudian harus dimanfaatkan untuk menarik perhatian Dyer (1982). Iklan di samping menarik, juga efektif dalam pesan, yakni mudah dimengerti pada saat dibaca sekilas, serta dapat berkomunikasi secara tepat dengan masyarakat yang dituju sekaligus memberi citra produk yang dapat membujuk Seperti ditegaskan 16 Khasali (1992: 87) bahwa iklan harus memperhatikan aspek singkat, padat katakata dan ilustrasi menarik serta komunikatif, disamping pertimbangan kesederhanaan dan sopan dengan penekanan pada keyakinan atas apa yang ditulisnya. Sehubungan dengan hal itu, tentunya iklan harus mempertimbangkan faktor sosial-budaya.dan dalam perancangannya kode-kode sosial menjadi pertimbangan agar terjadi frame of reference. 1.5.4 SEMIOTIKA Semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979). Alex Sobur mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996). Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika─atau dalam istilah Barthes, semiologi─pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Kurniawan, 2001). Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda (Littlejohn, 1996). Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berhubungan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk non-verbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya 17 dan bagaimana tanda disusun (Sobur, 2003). Semiotik memiliki tiga bidang studi utama:1 1. Tanda itu sendiri (the sign itself). Hal ini meliputi studi tentang variasi tanda yang berbeda, cara tanda yang berbeda dalam penyampaian makna, dan cara tanda berhubungan dengan orang-orang yang menggunakannya. 2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda (the codes or system into which sign are organized). Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya. 3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja (the culture within which these codes and signs operate). Hal ini selanjutnya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Menurut Charles Morris, kajian semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry) yakni sintaktik, semantik, dan pragmatik (Wibowo, 2011) : 1. Sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax) yaitu suatu cabang penyelidikan semiotika mengkaji hubungan-hubungan formal di antara satu atau tanda-tanda yang lain. Dengan begitu hubungan-hubungan fomal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi, pengertian sintaktik kurang lebih adalah semacam gramatika. 2. Semantik (semantics) yaitu suatu cabang penyelidikan yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda sebelum digunakan dalam tuturan tertentu. 3. Pragmatik (pragmatics) yaitu suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda interpreter-interpreter atau para pemakainya─pemakaian tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan. 1 Fiske, John. 1990. Introduction to Communication Studies. London & NY: Routledge. hal.40. 18 Semiotika mengenal dua tradisi, yaitu berdasarkan pada penemu kajian semiotik Charles Sander Peirce, filosof dari Amerika (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure, ahli linguistik dari Swiss (1857-1913). Keduanya sama-sama memfokuskan kajiannya pada elemen tanda (sign). Saussure lebih menaruh perhatian pada tanda sebagai sebuah sistem dan struktur, akan tetapi tidak mengabaikan penggunaan tanda secara konkret oleh individu-individu didalam konteks sosial. Sedangkan Peirce, meskipun menekankan produksi tanda, secara sosial dan proses interpretasi yang tanpa akhir, ia tidak mengabaikan sistem tanda. Kedua semiotika ini justru hidup dalam relasi saling mendinamisasi. Saussure berpendapat tanda memiliki dua entitas, yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna (aspek material), yaitu apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yaitu pikiran atau konsep (aspek mental) dan bahasa. Setelah kemunculannya, banyak ahli-ahli yang mengkaji kembali studi tentang semiotika tersebut, salah satunya Roland Barthes. Menurut Roland Barthes semiotik tidak hanya meneliti mengenai penanda dan petanda, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka secara keseluruhan.2 Barthes mengaplikasikan semiologinya ini hampir dalam setiap bidang kehidupan, seperti mode busana, iklan, film, sastra dan fotografi. Semiologi Barthes mengacu pada Saussure dengan menyelidiki hubungan antara penanda dan petanda, tidak hanya sampai disitu Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem tanda-penanda-petanda maka tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi setelah terbentuk sistem tanda-penanda-petanda, tanda tersebut akan menjadi petanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. 2 Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media Suatu Penggantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. hal.123. 19 1.5.4.1 Semiotika Roland Barthes Roland Barthes adalah penerus pemikiran Sausurre. Sausurre tertarik pada cara kompleks pemebentukan kalimat dan cara-cara bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Menurut Barthes, semiologi bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai “tanda” alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Dalam memahami makna, Barthes membuat sebuah model sistematis dimana fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) yang digambarkan sebagai berikut : Gambar 1.2 Signifikasi Dua Tahap Barthes tahap pertama realitas tahap kedua tanda kultur mitos denotasi Penanda ---------Petanda konotasi Sumber: John Fiske, Cultural and Communication Studies, 2006, hal.122. 20 Tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Denotasi merupakan penandaan primer (sistem penandaan tingkat pertama) yang merupakan penunjukan arti literatur atau yang eksplisit dari gambar, kata-kata dan fenomena yang lain. Tahap kedua adalah konotasi. Konotasi menggambarkan hubungan yang terjadi ketika suatu tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi melibatkan simbol-simbol, sejarah dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional. Konotasi mempunyai makna yang subyektif atau paling tidak inter-subyektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang telah digambarkan tanda terhadap sebuah obyek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. Pada tatanan (signifakasi) tahap kedua berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari melainkan sebuah cara pemaknaan. Mitos yaitu makna yang didapat seseorang berdasar referensi kultural yang dimilikinya. Barthes menyebutkan bahwa mitos adalah sebuah rantai konsep. Mitos adalah cerita yang digunakan oleh suatu kebudayaan untuk memahami aspek alam atau realitas. Menurut Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, suatu cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal tertentu.3 Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam (Sobur, 2001: 126). Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos, satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama 3 Fiske. Op. Cit., hal.121. 21 sekali dengan makna asalnya. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Teori Roland Barthes mengenai hubungan sintagmatik dan paradigmatik. 1. Sintagmatik Normalnya, setelah sebuah unit dipilih dari sebuah paradigma, unit tersebut akan dikombinasikan dengan unit yang lain. Kombinasi inilah yang disebut dengan sintagma. Jadi, sebuah kata (dalam bentuk tertulis) adalah sebuah sintagma visual yang terdiri dari serangkaian pilihan paradigmatik dari huruf di dalam alfabet. Sebuah kalimat adalah sebuah sintagma kata-kata, contohnya baju kita pakai adalah sebuah sintagma pilihan-pilihan dari beberapa paradigma topi, dasi, kemeja, jaket, celana panjang, kaus kaki, dan lain-lain. Cara kita menata ruangan adalah sebuah sintagma dari pilihan-pilihan paradigma-paradigma kursi, meja, sofa, karper, wallpapers, dan sebagainya. Sebuah menu merupakan sebuah contoh dari sebuah sistem yang komplit. Pilihan dari masing-masing makanan (paradigma) diberikan secara penuh, dimana setiap pelangan mengombinasikannya menjadi sebuah hidangan, serta pesanan yang diberikan kepada pelayan adalah sebuah sintagma (Fiske, 2012: 95). Aspek penting dari sintagma adalah aturan dan konvensi yang digunakan untuk mengombinasikan unit-unit. Pada bahasa kita menyebutnya sebagai tata bahasa atau sintaksis, pada musik kita menyebutnya sebagai melodi (harmoni adalah merupakan masalah pilihan paradigmatik); pada pakaian kita menyebutnya selera yang bagus, atau naluri berbusan, meskipun juga terdapat aturan formal. Bagi Saussure, kunci untuk memahami tanda adalah hubungan struktural antara tanda. Terdapat dua tipe hubungan, struktural paradigmatik yang terkait dengan 22 pilihan dan sintagmatik yang terkait dengan kombinasi (dari tanda-tanda yang terpilih) (Fiske, 2012:96). 2. Paradigmatik Barthes adalah seorang pengikut Saussure. Dari jalur Saussurean, membaca dan menstrukturkan teks dapat dilakukan dalam dua langkah, yaitu sintagmatik dan paradigmatik. Analisis sintagmatik melihat teks sebagai suatu rangkaian dari satuan ruang dan waktu yang membentuk teks. Pada tingkat selanjutnya, pemaknaan berikutnya dilakukan secara paradigmatik. Setiap tanda berada dalam kodenya sebagai bagian dari suatu paradigma, suatu ralasi in absentia yang mengabaikan tanda tersebut dengan tanda-tanda lain (Sunarto dan Hermawan, 2011: 240). Paradigmatik (paradigms) merupakan sebuah istilah teknis untuk menggambarkan bahwa sebuah tanda itu bermakna dalam hubungannya dengan tanda lainnya (Danesi, 2010:46). Paradigma adalah satu rangkaian set di mana sebuah pilihan dibuat dan hanya satu unit dari satu set rangkaian tanda tersebut yang mungkin dipilih. Contoh yang sederhana adalah huruf-huruf dalam alfabet. Alfabet membentuk paradigma untuk bahasa tulis dan menggambarkan dua karakteristik dasar dari paradigma yaitu (Fiske, 2012: 93-94): 1. Satu unit dalam paradigma harus memiliki satu kesamaan artinya mereka harus berbagi karakteristik yang menentukan keanggotaan mereka pada sebuah paradigma. Kita harus tahu bahwa M adalah sebuah huruf dan oleh sebab itu merupakan anggota dari paradigma alfabet. Kita juga secara seimbang mengenali bahwa 5 dan + bukan merupakan alfabet. 2. Masing-masing unit dalam sebuah paradigma harus secara jelas berbeda dengan unit-unit yang lain. Kita harus bisa membedakan satu tanda dengan tanda-tanda yang lain terkait dengan signifier dan signified mereka miliki. Alat yang kita gunakan untuk membedakan satu penanda dengan yang lain disebut fitur pembeda/distingtif dari sebuah tanda. 23 Setiap kali kita berkomunikasi kita harus memilih tanda-tanda sebuah paradigma. Kata-kata adalah sebuah paradigma kumpulan kata (vocabulary) bahasa Inggris adalah bagian dari paradigma. Kata-kata juga dikategorikan ke dalam paradigma yang lebih spesifik: paradigma tata bahasa, seperti kata benda atau kata kerja; paradigma penggunaan-bahasa bayi, bahasa hukum, perbincangan romantis, umpatan maskulin; ataupun paradigma suara-tiga istilah dari Saussure untuk menganalisis tanda yang membentuk paradigma dan sering kali digunakan yakni Sn, Sr, Sd. S di sini secara konvensi mengindikasikan paradigma dan –n, -r, -d, merupakan fitur pembeda yang mengidentifikasikan unit-unit dalam paradigma (Fiske, 2012: 94). Contoh lain dari paradigma adalah cara mengganti sorotan kamera di televisi diantaranya potong (cut), menghilang (fade), melembut (dissolve), hapus (wipe), dan sebagainya; gaya kursi yang kita gunakan di ruang tamu; hingga tipe mobil yang kita kendarai. Semua itu melibatkan pilihan-pilihan paradigmatik, dan makna dari unit yang kita pilih sangat ditentukan oleh makna dari unit-unit yang tidak kita pilih. Dimana kita dapat menyimpulkan dengan mengatakan di mana ada pilihan di situ ada makna, dan makna dari yang dipilih ditentukan oleh makna yang tidak terpilih (Fiske, 2012: 95). 1.5.4.2 Semiotoka Sebagai Interpretasi Budaya Dalam menelusuri sistem budaya, semiotika berperan memberi sketsa tentang potret manusia sebagai “meaning-seeking creature” atau makhluk pencari makna. Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979). Lebih khusus, semiotika menjadi alat yang efektif dalam memperjelas akar-akar kesukuan dari sistem sosial yang ada dewasa ini. Sejatinya, perbedaan mendasar spesies manusia dari spesies lainnya adalah kemampuannya untuk merepresentasi dunia dalam bentuk gambar-gambar, suarasuara, isyarat-isyarat tangan, dan sebagainya. Kemampuan inilah yang menjadi alasan mengapa spesies manusia diatur bukan oleh seleksi alam, melainkan oleh kekuatan sejarah, suatu kekuatan akumulasi makna yang diperoleh oleh generasigenerasi sebelumnya dan diturunkan dalam bentuk tanda-tanda. 24 Penerapan semiotika dalam menginterpretasi budaya dipelopori oleh Roland Barthes, seorang semiotikus Perancis tahun 50-an, yang dia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Mythologies. Barthes mengembangkan teori konotasi menjadi dasar untuk mengkaji budaya dan membangun terori kebudayaan. Dalam kajian tentang kebudayaan, teori konotasi dikembangkannya menjadi teori tentang mitos. Dia mengemukakan bahwa mitos adalah bahasa : “le mythe est une parole”. Dalam uraiannya, dia juga mengemukakan bahwa mitos dalam pengertian khusus merupakan pengembangan dari konotasi (Hoed, 2008: 66). Prinsip-prinsip dasar semiotika sudah banyak dikemukakan oleh para lingus maupun antropolog, namun Barthes mengangkat masalah-masalah yang konetemporer di Perancis pada masa itu dan menganalisis signifikansi budaya, mulai dari gulat profesional sampai budaya striptease, dan semacamnya. Semiologi Roland Barthes mendasari kajian pada objek-objek kenyataan atau unsur-unsur kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan ini merupakan suatu konstruksi dari suatu wacana kebudayaan tertentu yang ada dibelakangnya. Kajian meliputi kesustraan, film, busana dan berbagai fenomena kebudayaan lainnya. Hal ini berhubungan dengan mitos sebagai kajian Barthes yang dapat ditemukan pada kehidupan sehari-hari. Mitos dapat berbentuk verbal atau visual, tidak hanya wacana tertulis yang dapat menjadi mitos, fotografi, film, pertunjukkan, iklan, busana, televisi, lirik lagu, dapat dibaca sebagai sebuah teks. . Kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam teks-teks dan dengan demikian, ideologi mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan sebagainya (Sobur, 2003). Roland Barthes dalam bukunya S/Z mengelompokkan kode-kode tersebut menjadi lima kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kultural atau kode kebudayaan (Sobur, 2003) : 1. Kode hermeneutika atau kode teka-teki pada harapan pembaca untuk mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode tekateki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. 25 2. Kode semik atau kode konotatif melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. 3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan, baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam produksi wicara maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. 4. Kode proaretik atau kode tindakan dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca oleh seseorang. Dengan kata lain, semua teks bersifat naratif. 5. Kode gnomic atau kode kultural merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisikan oleh acuan ke apa yang diketahui. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya di dalam S/Z Barthes berbicara tentang konotasi sebagai ekspresi suatu budaya. Model Barthes ini, mempunyai keunggulan dalam ranah mitos. Teori Barthes tentang mitos dimaksudkan untuk meneliti budaya media seperti iklan. Iklan mengambil bentuk sistem mitos karena iklan menggunakan sistem tanda tingkat pertama (gambar, musik, kata-kata, dan gerak-gerik) sebagai landasan untuk pembentukan sistem semiotik tingkat dua (Sunardi, 2002: 129). Seperti halnya ketika Barthes menganalisis pesan iklan dari sebuah produk Pasta Panzani (Barthes, 1977). Dalam penelitiannya, Barthes mengkategorikan pesan dalam iklan produk Pasta Panzani menjadi tiga bagian. Pertama, pesan linguistiknya (semua kata dab kalimat dalam iklan). Kedua, pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto iklan hanya dapat berfungsi bilamana dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat). Ketiga, pesan ikonik tak terkodekan (denotasi dalam iklan) (Sobur, 2003: 119). Pada dasarnya lambang yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal dan non-verbal. Lembang verbal merupakan bahasa yang dikenal, 26 sedangkan lambang non-verbal berupa bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan yang tidak secara khusus meniru rupa atas bentuk realitas. Menurut Berger dalam menganalisis iklan ada enam hal yang perlu dipertimbangkan (Tinaburko, 2008: 117): 1. Penanda dan petanda 2. Gambar, indeks dan simbol 3. Fenomena sosiologis 4. Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk 5. Desain dari iklan 6. Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi tersebut. Menurut Roland Barthes, semua objek kultural dapat diolah secara tekstual. Teks di sini dalam arti luas. Teks tidak hanya berkaitan dengan aspek linguistik, namun semiotik dapat meneliti teks di mana tanda-tanda terkodifikasi dalam sebuah sistem. Karena dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian makna denotatif yang melandasi keberadaannya. Acuan yang digunakan yakni melakukan penelitian berdasarkan denotatif dan konotatif. Denotasi cenderung digambarkan sebagai makna yang jelas atau makna yang sebenarnya dari sebuah tanda. Denotasi dapat merupakan sebagai kata yang memiliki arti sesuai dengan apa yang ada di dalam kamus Bahasa Indonesia, yang dapat merupakan makna yang sesungguhnya atau makna yang sebenarnya dari apa yang tertulis dan dilihat. Sedangkan menurut Piliang (Piliang, 2008: 18), makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan pesanan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi. Dalam pandangan Williamson (Piliang, 1999: 20), pada teori semiotika “iklan menganut prinsip peminjaman tanda sekaligus peminjaman kode sosial. Misalnya, iklan yang menghadirkan bintang film terkenal, figur bintang film tersebut dipinjam mitosnya, ideologinya, imagenya, dan sifat-sifat glamour-nya dari bintang film tersebut”. Makna konotatif 27 dapat bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum yaitu denotatif. Konotasi juga bisa dikatakan sebagai sebuah emosi atau perasaan yang diyakini oleh sekelompok orang. Sehingga konotatif dapat merupakan sebuah makna kiasan dari denotasi itu sendiri atau makna yang bukan sesungguhnya. 1.5.4.3 Semiotika dalam Iklan Iklan adalah pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media. Iklan merupakan sebuah wilayah simbolik yang dapat digunakan dengan baik dalam anaisis ideologi. Penyajian iklan tidak sekadar menjual produknya, tetapi sekaligus menjual sistem pembentukan ide yang berlapis-lapis, terintegrasi, dan terproyeksi ke dalam citra produknya (James Lull dalam Widodo, 2003: 112). Iklan merupakan bagian dari bauran promosi (promotion mix) yang merupakan salah satu bagian dari bauran pemasaran (marketing mix). Iklan digunakan sebagai media untuk mengkomunikasikan individu dengan materi produk atau jasa yang digunakan, setiap iklan menampilkan alur cerita dan simbol-simbol yang digunakan untuk membangun citra produk. Beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa iklan adalah bagian dari kegiatan promosi (promotion mix) yang bertujuan untuk memperkenalkan sebuah produk atau jasa kepada masyarakat atau calon konsumen yang diampaikan dan disebarluaskan melalui berbagai media. Secara struktural sebuah iklan terdiri dari tiga elemen tanda, yaitu gambar objek atau produk yang diiklankan (object), gambar benda-benda si sekitar objek yang memberikan konteks pada objek tersebut (context), serta tulisan atau teks (text), yang memberikan keterangan tertulis, yang satu sama lainnya saling mengisi dalam menciptakan suatu ide, gagasan, konsep, atau makna sebuah iklan. Mulai dari makna yang eksplisit, yaitu makna berdasarkan apa yang tampak (dennotative), serta makna lebih mendalam, yang berkaitan dengan pemahamanpemahaman ideologi dan kultural (connotative). 28 Semiotika periklanan memberikan pandangan interdisipliner terhadap ilmu pertukaran tanda dan riset terhadap pertukaran komoditas. Pada bidang interdisipliner ini, semiotika memberikan sumbangan metodologi dan objek investigasi terhadap penelitian periklanan. Semiotika menyediakan perangkat teori untuk menganalisa tanda-tanda dan proses komunikasi dalam periklanan. Lebih jauh, semiotika menganalisa secara horisontal dari pengertian pesan verbal yang sempit menuju kode-kode yang lebih kompleks yang digunakan pada komunikasi persuasi (North, 1990: 476). Semiotika iklan sendiri terkait dengan materi budaya yang disajikan sebagai tanda yang menciptakan makna dalam informasi. Materi budaya yang dimaksudkan di sini antara lain gaya hidup, cara berpakaian, penataan rambut, cara berpikir dan lainnya. Kemudian dalam iklan, makna pula mendapatkan tambahan nilai dari musik, dan efek suara yang ada dalam eksekusinya. Iklan dibentuk oleh banyak simbol. Ketajaman dan kontras antara gelap dan terang dapat merepresentasikan keadaan yang berbeda maknanya, memperdengarkan suara, kombinasi kata, yang menyimbolkan sebuah objek, tindakan dan properti. Iklan dalam konteks semiotika dapat diamati sebagai suatu upaya menyampaikan pesan dengan menggunakan seperangkat tanda dalam suatu sistem. Dalam semiotika periklanan, terdapat tiga tingkatan makna, yaitu makna konotasi semantik dan ideologi; makna kode, visual dan pesan non-verbal dan bentuk asli pesan iklan. Pada makna konotasi semantik dan ideologi, konsep semantik dibagi menjadi dua yaitu makna konotasi dan denotasi sebagai alat menganalisis (Bogart, 1990). Pada tingkatan kedua yaitu kode-kode, visual dan pesan non-verbal, konsep kode digunakan untuk menjelaskan keberagaman saluran dan sistem semiotik yang digunakan dalam pesan iklan multimedia. Pada tingkatan pesan ketiga yaitu bentuk asli pesan iklan, adalah semantik dan paradigmatik. Pesan semantik adalah pesan terselubung karena iklan adalah pesan mengenai komoditas yang digabungkan dengan ajakan untuk melakukan penjualan atau pembelian. Sedangkan pesan paradigmatik adalah pesan yang terbuka karena pada setiap proses periklanan memberikan dampak tidak langsung 29 pada bentuk semiotika untuk pertukaran makna dengan tujuan ekonomi yaitu pertukaran komoditas (Bogart, 1990). 1.6 METODOLOGI PENELITIAN 1.6.1 Tipe dan Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dilakukan oleh peneliti ialah pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor, pendekatan ini berarti sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang yang berlaku yang dapat diamati. Sedangkan Kirk dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya4. Dari dua definisi di atas, dapat diambil benang merahnya bahwa penelitian dengan menggunakan metode kualitatif merupakan sebuah prosedur yang bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya, serta orang-orang dalam kawasan yang diteliti, dengan menghasilkan data yang bersifat menggambarkan sesuatu hal apa adanya, berupa kata-kata tertulis atau lisan. 1.6.2 Sifat Penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan bentuk penelitian yang menggambarkan dan mempelajari suatu situasi atau kejadian (Babbie & Wagner, 1992: 91). Peneliti melakukan penelitian kemudian menggambarkan apa yang diamati. Penelitian ini bersifat deskriptif dalam kaitannya menganalisis muatan subyek dalam kontribusi membentuk aspek-aspek dalam masyarakat. Tujuan utama penelitian yang bersifat deskriptif adalah untuk menggambarkan sikap suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian 4 Moleong , Lexy J (A). 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hlm. 3 30 dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tersebut (Sevilla dkk, 1993: 71). Jadi penelitian deskriptif hanyalah memaparkan situasi dan peristiwa, penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan antar variabel, tidak pula menguji atau membuat prediksi (Rakhmat, 1999: 24). 1.6.3 Objek Penelitian Dalam penelitian ini, objek yang akan diteliti ialah iklan produk kosmetik khusus wanita Dove versi “Real Beauty Sketches”, yang diunduh dari media sosial youtube. Iklan Dover “Real Beauty Sketches” diunggah ke situs media sosial youtube sejak 14 April 2013 oleh Dove United States dan telah ditonton sebanyak lebih dari 63 juta kali. Berdurasi tiga menit, iklan ini menampilkan Gil Zamora, seorang seniman forensic yang pernah bekerja di Kepolisian San Jose dari tahun 1995 hingga 2011. Dalam sebuah ruangan besar, Gil menggambar sketsa wanita yang diundang datang ke ruangan tersebut tanpa melihat, bahkan Gil tidak bertemu langsung dengan para wanita tersebut. Gil hanya menggambar wajah berdasarkan petunjuk suara para wanita. Setelah selesai menggambar berdasarkan petunjuk dari para wanita itu sendiri, Gil kemudian menggambar sketsa wanita yang sama, namun lewat penjelasan orang lain yang sebelumnya bertemu dengan sang wanita. Hasilnya, ada dua gambar sketsa yeng berbeda dari masing-masing wanita. Sketsa pertama menggambarkan interpretasi masing-masing wanita tentang kontur dan kondisi wajah mereka, sedangkan sketsa kedua merepresentasikan interpretasi orang lain terhadap para wanita yang mereka temui sebelum memberikan penjelasan kepada Gil. Ketika disandingkan, gambar sketsa hasil penjelasan langsung para wanita tentang diri mereka sendiri ternyata tidak sebagus gambar sketsa hasil penjelasan orang lain. Hal yang menunjukan bahwa wanita-wanita ini tidak percaya diri dengan wajah mereka sendiri dengan menonjolkan kekurangan yang ada daripada kelebihan yang dimiliki, padahal bagi orang lain mereka sebenarnya cantik. Kedua sketsa tersebut dipajang untuk kemudian dilihat sendiri oleh para wanita yang sekaligus dapat membandingkan 31 bahwa apa yang mereka lihat dan rasa tidak sama dengan apa yang dilihat oleh orang lain. Hal ini kemudian yang membuat para wanita tersebut menangis terharu dan yakin bahwa mereka sebenarnya cantik. Dengan mengusung tag line “You are more beautiful than you think”, iklan ini mencoba untuk mengubah cara pandang para wanita terhadap citra tubuh mereka yang selama ini menyempit akibat dari konstruksi kecantikan yang dibawa oleh pasar dan media, menjadi lebih luas maknanya. Hal inilah yang akan menjadi fokus penelitian yang akan peneliti analisis menggunakan metode analisis yang telah ditentukan. 1.6.4 Metode Pengumpulan Data dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti terbagi menjadi dua jenis sumber, yaitu : 1.6.4.1 Sumber Primer Sumber primer yang digunakan yaitu metode dokumentasi. Dokumentasi ialah setiap bahan tertulis ataupun film, lain dari record, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik. Dokumen juga memiliki arti yaitu sebuah catatan peristiwa yang sudah berlalu5. Metode dokumen bertujuan untuk menggali data-data masa lampau secara sistematis dan objektif dan mendapatkan informasi yang mendukung analisis dan interpretasi data6. Dokumentasi dapat berbentuk dokumen public atau dokumen private. Dokumen publik misalnya; laporan polisi, berita-berita surat kabar, transkrip acara TV, dan lainnya. Dokumen privat misalnya; memo, surat-surat pribadi, catatan telepon, buku harian individu, dan lainnya. Ada juga dokumen yang berbentuk tulisan misalnya; catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), cerita, biografi, peraturan dan kebijakan. Dokumen yang berbentuk karya misalnya; karya seni yang dapat berupa: gambar, patung, film, rekaman audio maupun visual, dan lainnya. Dalam penelitian ini data yang diperoleh yaitu berupa observasi pada video atau gambar bergerak iklan berbentuk film pendek produk 5 Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Hlm. 82 Krisyantono, rakhmat. 2008. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm. 118 6 32 kosmetik khusus wanita Dove versi “Real Beauty Sketches” yang merupakan dokumen publik yang dapat ditonton dan diunduh secara luas dan bebas melalui media sosial youtube. 1.6.4.2 Sumber Sekunder Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa data pendukung yang berupa buku pustaka, artikel cetak maupun online sebagai studi kepustakaan yang dijadikan sebagai data sekunder. 1.6.5 Metode Analisis Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode semiotika. Penelitian semiotik merupakan salah satu bentuk analisis teks media yang bersifat kualitatif. Sebagaimana juga analisis konstruksi sosial media massa yang menganalisis realitas sosial media massa, analisis semiotika juga menganalisis tidak sekedar realitas media massa akan tetapi konteks realitas pada umumnya. Semiotik sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan „tanda‟.7 Dengan demikian, semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Tanda adalah representasi dari sejumlah gejala yang memiliki dan mewakili sejumlah kriteria seperti: nama, peran fungsi, tujuan dan keinginan. Segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat juga disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Jadi apapun yang ada di dunia ini, hal-hal apapun yang memiliki kriteria diatas, dia dapat dikatakan sebagai tanda, jadi dapat dibayangkan begitu banyak tanda yang ada di dunia ini, dari hal-hal yang kecil sampai sesuatu yang besar, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Setangkai bunga, peristiwa memerahnya wajah, binatang, isyarat tangan, ramburambu lalu lintas, sikap diam membisu, gagap, semuanya itu dapat dikatakan sebagai tanda. Bahkan Charles Sanders Peirce mengatakan bahwa tanpa tanda maka manusia tidak akan dapat berkomunikasi.8 7 8 Sobur. 2001. Op. Cit., hal.87. Sobur, Op. Cit., hal.124. 33 Metode ini dipandang relevan karena peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai rekonstruksi makna cantik dalam iklan Dove “Real Beauty Sketches”. Dengan metode ini diyakini peneliti dapat melihat tanda-tanda baik yang implisit atau yang eksplisit dalam iklan tersebut. Seperti yang dihasilkan melalui analisis semiotik Barthes yang mengungkapkan bahwa makna konotasi merupakan makna yang penting juga dalam sebuah pesan maka dalam iklan ini dapat dilihat arti pesannya secara menyeluruh sehingga bisa mengidentifikasi maksud yang sebenarnya dibalik pembuatan iklan tersebut. 1.6.6 Teknik Analisis Data Sebelum memasuki tahap analisis dan interpretasi, peneliti akan melakukan transkrip data menjadi data tertulis terlebih dahulu. Apabila proses sistemasi data telah dilakukan, peneliti dapat memulai tahap analisisnya. Transkripsi bertujuan untuk menghasilkan seperangkat data guna menciptakan proses analisis dan pengkodean (coding) secara hati-hati (Bauer & Gaskell, 2000: 250). Proses ini akan menerjemahkan dan menyederhanakan kompleksivitas gambar bergerak (moving images) dalam iklan Dove “Real Beauty Sketches” yang kaya akan multimodal teks. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotik dari Roland Barthes karena teknik tersebut sesuai dengan obyek penelitan mengenai media iklan. Semiotika merupakan metode yang secara spesifik membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan tanda (sign). Teknik analisis ini digunakan untuk menganalisis makna-makna yang tersirat dari pesan komunikasi yang disampaikan dalam bentuk lambang baik secara verbal maupun non verbal. Semiotika diterapkan pada tanda-tanda, simbol-simbol, lambang yang tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Pada konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sistem signifikasi dalam semiotika Barthes dapat dijelaskan sebagai berikut: 34 Tabel 1.1 Gambar Peta Tanda Roland Barthes 1. Signifier 2. Signified (penanda) (petanda) 3. Denotative Sign (tanda denotatif) 4. Connotative signifier 5. Connotative Signified (penanda konotatif) (petanda konotatif) 6. Connotative sign (tanda konotative) Dari peta Barthes tersebut terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tanmbahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.9 Karena aspek konotasi menjadi titik pusat perhatian dalam proses analisa nanti, maka akan disinggung sedikit mengenai aspek konotasi dalam sinematografis, Barthes memberikan penjelasan mengenai prosedur-prosedur konotasi. Prosedur-prosedur konotasi tersebut, antara lain:10 1. Objek, misalnya dengan penataan properti yang ada dalam suatu adegan, yang dapat menimbulkan makna tertentu, sehingga muncul pemahaman yang dapat dipahami secara konotasi. 2. Trick effect, misalnya dengan memadukan dua gambar secara artifisial. 3. Pose, misal dengan mengatur arah pandangan mata atau cara duduk seorang aktor atau aktris dalam film. 4. Estetisme, misal dengan diperhatikannya nilai estetis dalam adegan yang berdampak pada pemahaman akan teks secara keseluruhan 9 Sobur. 2001. Op.Cit.,hal.69. Kris Budiman. “Analisis Wacana: Pendekatan Semiotik Roland Barthes” (pelatihan Analisis Wacana, Yogyakarta, 7-12 Febuari 2000), hal.11. 10 35 5. Fotogenia, dengan mengatur exposure, lighting 6. Sintaksis, dengan merangkai beberapa foto dengan sebuah sekuen sehingga penanda dan petanda konotasinya tidak ditemukan pada fragmen-fragmen, melainkan pada keseluruhan rangkaian tersebut. Image yang dibangun melalui prosedur-prosedur konotasi ini akan memiliki banyak muatan pesan. Ketika sudut pandang kamera (camera angle) berperan, posisi aktor atau aktris didalam frame, kegunaan lighting menjadi aspek pencahayaan yang nyata, pencapaian efek dengan warna, dan proses-proses selanjutnya tentunya akan menghasilkan makna-makna tertentu. Untuk menganalisis iklan dapat menggunakan tanda-tanda dan sistem tanda pada iklan tersebut. Sehingga penganalisa dan tahapannya tidak luput dari beberapa hal-hal berikut menurut Berger (Tinarbuko, 2008, pp. 117-118): 1. Mencari makna keseluruhan dari iklan. 2. Mencermati hubungan yang muncul antara elemen gambar dan elemen tertulis. 3. Mengamati tanda-tanda dan lambang-lambang serta peran yang dimainkan oleh tanda dan simbol yang terdapat dalam iklan tersebut. 4. Memahami ekspresi-ekspresi, pose, yang ditampilkan oleh model iklan atau figure iklan. 5. Pemahaman background dan foreground pada iklan. 6. Pemahaman bahasa yang digunakan dalam iklan tersebut. Analisis yang digunakan adalah membagi iklan dalam suatu struktur video iklan yaitu scene dan shot. Scene (adegan) adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Sedangkan shot adalah satu tangkapan/bidikan kamera terhadap sebuah objek. Shot acapkali dianggap sebagai unsur terkecil dari produk sinematografis seperti film atau iklan televisi. Dalam semiotik, dikenal berbagai shot sebagai penanda yang masing-masing mempunyai makna sendiri. Selain shot kamera juga dikenal gerakan kamera (camera moves) yang berfungsi sebagai penanda. Berikut adalah tabel tentang teknik-teknik pengambilan gambar, pergerakan kamera, serta unsur-unsur lainnya. 36 Tabel 1.2 Teknik Pengambilan Gambar Penanda Petanda Ukuran Pengambilan Gambar Emosi, peristiwa penting, drama Big close-up Keintiman Close-up Hubungan personal dengan subjek Medium shot Konteks, jarak publik Long shot Hubungan Sosial Full shot Sudut Pengambilan Gambat (camera angle) Dominasi, kekuatan, kewenangan High Kesetaraan Eye level Kelemahan, tidak punya kekuatan Low Jenis Lensa Dramatis Keseharian, normalitas Dramatis, keintiman, kerahasiaan Wide angle Normal Tele Komposisi Tenang, stabil, religiusitas Keseharian, alamiah Ketiadaan konflik Disorientasi, gangguan Simetris Asimetris Statis Dinamis Fokus Selective focus Soft focus Deep focus Pencahayaan Menarik perhatian penonton Romantika, nostalgia Semua elemen adalah penting High key Low key High contrast Low contrast Kode Sinematik Kebahagiaan Kesedihan Teatrikal, dramatis Realitas, documenter Observasi Konteks Mengikuti, mengamati Mengikuti, mengamati Mulai/awal Selesai/akhir Jarak waktu, hubungan antar adegan Kesimpulan yang menghentak Film tua Kesaan waktu, perhatian Evaluasi, apresiasi keindahan Zoom in Zoom out Pan (ke kiri atau ke kanan) Tilt (ke atas atau ke bawah) Fade in Fade out Dissolve Wove Iris out Slow motion Sumber : (Selby & Cowdery, 1995) 37 Selanjutnya data akan dianalisis menggunakan teori Roland Barthes mengenai hubungan sintagmatik dan paradigmatik untuk didapatkan makna denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat dalam teks iklan Dove “Real Beauty Sketches”. Kemudian akan dibedah menggunakan lima kode Roland Barthes, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kultural atau kode kebudayaan Dari identifikasi tanda-tanda tersebut akan dapat diketahui makna-makna yang direpresentasikan dalam iklan Dove “Real Beauty Sketches”, baik makna denotatif maupun konotatif. Untuk menguraikan tandatanda verbal dan visual dalam iklan yang diteliti, maka tanda-tanda tersebut dipisahkan berdasarkan strukturnya yaitu penanda dan petanda agar dapat ditemukan makna denotatif dan konotatifnya. 1.7 SISTEMATIKA PENULISAN Agar penelitian ini mengarah ke judul, maka dalam penelitian ini penulis susun menjadi lima bab dengan rincian sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisi jenjang-jenjang penelitian yang meliputi rancangan penelitian. Terdiri dari sub-sub bab tentang latar belakang masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan. BAB II : KAJIAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka dan kajian teoritis yang berguna sebagai alat untuk mengkaji pesan-pesan yang terkandung dalam objek penelitian melalui pembedahan pengertian konsep variable-variabel yang digunakan dalam penelitian ini. 38 BAB III : TINJAUAN UMUM BRAND DOVE Bab ini berisi tentang tinjauan umum Brand Dove yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini BAB IV : ANALISIS DATA & PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang penafsiran penulis, dengan data-data yang terhimpun. Analisis ini bertujuan untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan berkaitan dengan rekonstruksi konsep kecantikan dan citra tubuh dalam iklan. BAB V : PENUTUP Pada bab terakhir ini memuat kesimpulan dari semua hal pada bab-bab sebelumnya dan saran-saran yang konstruktif terhadap konsep dan juga disertai dengan daftar pustaka serta lampiran-lampirannya. 39