BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH
Secara harafiah cantik berarti sesuatu yang indah, elok dan rupawan.
Namun dalam praktiknya, cantik selalu identik dengan penampilan lahiriah (fisik)
seorang wanita. Definisi cantik memiliki arti yang universal. Arti kata cantik
dimaknai berbeda-beda di setiap daerah atau negara sesuai dengan kebudayaan
yang melingkupinya. Di Indonesia misalnya, wanita Jawa yang cantik merupakan
wanita yang memiliki kulit kuning langsat atau sawo matang dengan rambut
hitam legam yang berkilau, sedangkan wanita dari suku Dayak menilai kecantikan
dengan memiliki bentuk daun telinga yang memanjang ke bawah dengan
aksesoris anting-anting yang besar dan banyak, semakin panjang daun telinga
maka semakin cantik dan semakin tinggi pula kelas sosial wanita tersebut.
Namun seiring perkembangan jaman yang disertai dengan kemajuan
teknologi, pesatnya arus informasi dan globalisasi, konsep cantik di Indonesia dan
di beberapa belahan dunia mengalami pergeseran. Pengaruh globalisasi telah
menyentuh semua aspek kehidupan manusia, termasuk tubuh atau penampilan diri
juga mengalami perubahan melalui proses konstruksi. Pada sisi lain kehadiran
media, tidak dapat diabaikan dalam mengkonstruksi kecantikan tubuh wanita. Jika
pada era tahun 1960-an hingga 1970-an standar ideal mengenai wanita cantik
yaitu wanita yang memiliki tubuh kurus, kulit hitam dan rambut berombak, maka
di awal era tahun 80-an standar kecantikan tersebut berubah dan perubahan
tersebut dipelopori oleh media. Konstruksi kecantikan pada wanita yang dibangun
oleh media adalah kecantikan dengan kriteria seperti kulit putih bersih bak wanita
Eropa, bertubuh tinggi dengan pinggang yang ramping, wajah simetris, rambut
lurus panjang dan payudara penuh berisi. Pada era ini media telah berhasil
membentuk dan mempengaruhi konsep cantik dan standar tubuh ideal seorang
1
wanita. Secara tidak sadar para wanita ini telah dipaksa untuk mengubah cara
pandang mereka terhadap tubuh mereka sendiri, hal ini menyebabkan
berkurangnya kepercayaan terhadap penampilan diri mereka karena menganggap
bahwa citra tubuh (body image) mereka tidak sesuai dengan apa yang dibentuk
oleh media.
Konstruksi yang dilakukan media terhadap tubuh wanita ini pun didukung
dan diterapkan dalam pergaulan di masyarakat, di mana penampilan fisik seorang
wanita menjadi standar ideal untuk menilai kecantikannya. Makna kecantikan
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya telah mengalami pergeseran, dari yang
bersifat pribadi (domestik), tetapi sekarang menjadi sangat umum dan
dipertontokan. Kecantikan, bahkan menjadi ajang kompetisi melalui berbagai
festival atau kontes, laiknya bentuk-bentuk kesenian lainnya, contohnya ajang
pemilihan Puteri Indonesia, Miss World, Miss Universe, dan kontes-kontes
kecantikan yang lainnya. Bahkan pasaran kerja pun tidak jarang menerapkan
model pengetesan berdasarkan atas kriteria kecantikan atau keindahan penampilan
seorang wanita, dengan menggunakan standarisasi yang disebut PBQ (A
Professional Beauty Qualification) atau Kualifikasi Kecantikan Professional,
perusahaan-perusahaan membuat seolah-olah tidak terjadi diskriminasi terhadap
perempuan, dengan alasan bahwa PBQ merupakan syarat untuk menerapkan
hubungan kerja yang mereka inginkan. Oleh standar tersebut kaum perempuan
dipaksa untuk selalu memikirkan kecantikan mereka. Di luar standar tersebut,
maka perempuan tidak dikategorikan cantik. Dari beberapa kasus pemutusan
hubungan kerja yang dialami oleh kaum perempuan, sebagian besar disebabkan
oleh tidak terpenuhinya syarat-syarat kecantikan yang telah ditentukan oleh
perusahaan. Praktik-praktik penerapan PBQ di suatu perusahaan kini kian marak
terjadi di berbagai belahan dunia, seperti yang terjadi di Korea Selatan. Di Korea
Selatan, wanita yang hanya memiliki single eyelid harus berusaha lebih keras
untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dibandingkan dengan wanita yang
memiliki double eyelid. Selain itu standar kecantikan mengenai ukuran tubuh pun
hingga sekarang masih diberlakukan di kalangan pekerja fashion, contohnya saja
2
modeling. Di dunia modeling, model-model bertubuh kurus dengan kaki jenjang
masih menjadi primadona sedangkan model-model bertubuh besar (size plus)
diperlakukan dengan kurang baik, hanya ditawari sedikit pekerjaan bahkan
diremehkan dan dipandang sebelah mata. Hal ini merupakan contoh bagaimana
citra tubuh dikelola dalam suatu sistem sosial, politik dan kultural.
Kecantikan juga berhubungan erat dengan bagaimana cara berpakaian
yang baik, berperilaku yang baik, dan semua yang berkaitan dengan cara
memperlakukan tubuh dengan baik pula. Oleh karena itu, menjaga penampilan
oleh seorang wanita telah dianggap sebagai sebuah kewajiban. Tidak heran jika
banyak wanita yang berlomba-lomba untuk menjadi cantik sesuai dengan persepsi
cantik yang dimiliknya maupun yang dibentuk oleh media massa. Keinginan
wanita untuk tampil cantik ini pula lah yang dimanfaatkan oleh para produsen
untuk memproduksi berbagai macam jenis kosmetika. Tak heran jika dari hari ke
hari persaingan yang terjadi dalam industri kosmetika semakin ketat. Setiap
perusahaan berlomba menggunakan strategi pemasaran yang tepat agar dapat
memenangkan persaingan. Salah satu strategi yang digunakan adalah strategi
promosi melalui iklan. Menurut Djakfar (2007: 76) iklan dilukiskan sebagai
komunikasi antara produsen dan konsumen, antara penjual dan calon pembeli.
Dalam proses komunikasi itu iklan menyampaikan sebuah pesan. Dengan
demikian iklan bermaksud memberikan informasi dengan tujuan yang terpenting
adalah memperkenalkan produk atau jasa.
Melalui kegiatan periklanan standar mengenai kecantikan itu diciptakan
dan tertanam kuat di benak masyarakat. Para pembuat iklan menciptakan konsep
sosok ideal mengenai wanita cantik dengan berbagai ciri-ciri sehingga produk
kecantikan yang diiklankan dapat ditawarkan dan terjual kepada masyarakat luas,
misalnya untuk menjadi cantik harus memiliki kulit yang putih dan mulus.
Begitulah bagaimana iklan menanamkan nilai-nilai dan konsep ideal kecantikan
yang baru dengan menciptakan mitos kecantikan.
3
Secara tegas iklan telah membentuk sebuah ideologi tentang makna atau
image gaya hidup dan penampilan terutama tentang konsep kecantikan bagi
wanita. Hal ini memperjelas bahwa iklan yang disampaikan melalui media massa
memiliki peran yang sangat besar dalam memproduksi dan mengkonstruksi arti
gaya hidup dengan kecantikan sebagai big idea-nya (Winarni, 2009: 3).
Kehadiran pasar dan iklan yang memberikan janji-janji disertai berbagai
produk kecantikan, pada akhirnya membuat perempuan menjadi tidak berdaya dan
selalu ingin mengkonsumsi benda atau jasa demi sebuah kecantikan. Berbagai
jenis produk kecantikan, mulai dari harga yang paling murah sampai dengan yang
termahal, semuanya menjajikan pembentukan dan perawatan tubuh perempuan
menjadi cantik (Ibrahim, 2006: 115). Dalam konteks ini tubuh dijadikan sebagai
sebuah arena pertarungan untuk kecantikan. Kehadiran pasar dan iklan mode yang
berubah-ubah, menandakan bahwa betapa tubuh dan kecantikan memiliki arti
penting dalam kaitan dengan perubahan sosial budaya yang terjadi (Abdullah,
2006: 38).
Di saat produsen iklan sedang gencar memborbadir konsumen dengan
mengiklankan produk kosmetiknya menggunakan endorser dari kalangan public
figure dengan paras yang rupawan untuk menarik minat masyarakat, berbeda hal
dengan yang dilakukan oleh produk perawatan tubuh (skincare) asal Belanda,
Dove. Dove justru menggunakan model wanita biasa dalam iklannya, bahkan
cenderung tidak tampak cantik. Dove sendiri merupakan sebuah brand produk
kosmetik yang berkonsentrasi pada produk perawatan tubuh seperti sabun mandi,
shampoo, hand and body lotion serta deodorant. Dove mencoba menjadi salah
satu brand skincare/toiletries yang bergerak melawan arus mainstream mengenai
definisi „tubuh‟ seorang wanita. Dove mencoba untuk mengubah standar
kecantikan yang telah tertanam dalam benak masyarakat selama ini. Untuk
merealisasikan komitmennya maka sejak tahun 2004, Dove mulai meluncurkan
strategi pemasaran yang berupa rangkaian advertising campaign yang diberi judul
for Real Beauty dalam rangka mengubah mindset dan mitos yang salah tentang
kecantikan wanita.
4
Pada tahun 2013, Dove kembali meluncurkan iklan yang bertajuk “Real
Beauty Sketches”. Iklan ini hadir sebagai akibat dari adanya stereotype tentang
kecantikan yang membuat para wanita tidak percaya diri dengan dirinya sendiri.
Fokus penelitian ini terletak pada naskah teks iklan Dove “Real Beauty Sketches”
untuk menganalisis konstruksi pemaknaan yang terdapat pada teks tersebut.
Dengan lebih berkonsentrasi pada tanda-tanda yang ditampilkan dalam iklan,
sehingga dapat mengungkap bagaimana proses rekonstruksi makna cantik terjadi
dan dapat mengidentifikasi maksud yang sebenarnya dibalik pembuatan iklan
tersebut.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, perumusan
masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
“Bagaimana proses rekonstruksi kecantikan yang terjadi pada teks iklan
produk perawatan tubuh (toiletries) khusus wanita Dove “Real Beauty
Sketches”?”
1.3
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara keseluruhan
mengenai makna kecantikan wanita yang disampaikan oleh produk kosmetik
Dove melalui iklan kampanyenya di media massa dengan mengindentifikasi
makna-makna yang terkandung dalam naskah teks iklan tersebut melalui contoh
kasus salah satu iklan Dove yang bertajuk “Real Beauty Sketches”.
5
1.4
MANFAAT PENELITIAN
1.4.1
Manfaat Akademis
Penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan
kontribusi
bagi
pengembangan ilmu komunikasi, serta sebagai tambahan referensi bahan pustaka,
khususnya penelitian tentang semiotika dengan minat pada kajian iklan.
1.4.2
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan deskripsi dalam membaca
makna yang terkandung dalam sebuah teks iklan melalui perangkat analisis
semiotika. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi
agensi periklanan mengenai strategi dan pendekatan yang tepat untuk
mengiklankan produk kecantikan wanita agar dapat diterima dengan baik oleh
segmen yang dituju.
1.5
KERANGKA PEMIKIRAN
1.5.1
Representasi Kecantikan dalam Iklan Sebagai Proses Mengkonstruksi
Citra Tubuh
Ada banyak nilai atau tanda yang digunakan untuk mengekspresikan
cantik. Media massa memiliki peran yang besar dalam memproduksi dan
mengkonstruksi nilai atau tanda ini. Salah satu jenis media massa yang digunakan
untuk memproduksi nilai atau tanda ini adalah iklan. Iklan dalam fokus penelitian
ini adalah iklan televisi atau iklan berbentuk video yang disebarkan melalu media
massa seperti channel youtube. Jenis iklan yang dimaksud merupakan iklan
kosmetik dengan target pasar sebagian besar adalah kaum wanita. Iklan telah
banyak memproduksi nilai-nilai yang mengekspresikan konsep cantik. Melalui
visualisasi berupa gambar bergerak full color, tagline yang menarik, endorser
yang rupawan dan didukung oleh audio yang berupa musik dan bahasa persuasif
iklan sehingga dapat menarik perhatian audiens.
6
Iklan berusaha menampilkan mitos terhadap identitas individu, identitas di
sini merujuk pada „kecantikan‟ (konsep cantik). Konsep ini mungkin tidak terlalu
menyatu dengan istilah identitas, tapi sebagai suatu predikat, sebutan „cantik‟
menjadi salah satu identitas yang ingin dicapai oleh individu. Media, dalam hal ini
iklan, menampilkan kecantikan dalam suatu budaya tertentu. Kecantikan
dikonstruksi dari suatu realitas sosial budaya dan kemudian direkayasa dan
disajikan lagi kepada khalayak. Kecantikan yang ditampilkan merupakan
kecantikan yang dibentuk oleh media tersebut, dengan agenda tertentu yang
melatari media atau iklan tersebut.
Salah satu bentuk operasionalisasi pembentukan identitas oleh media
adalah dengan memberikan penawaran-penawaran citra tertentu terhadap tubuh.
Misalnya dalam media massa dan iklan ditampilkan bagaimana cara merawat
wajah, rambut yang sehat, kulit yang cerah, sampai pada hal yang abstrak seperti
melakukan pembatasan tentang apa yang indah dan yang tidak indah, atau cantik
dan tidak cantik. Seperti wajah yang berjerawat selalu diidentikkan dengan wajah
yang kurang bersih, rambut keriting atau bergelombang digambarkan sebagai
rambut yang susah diatur, kulit coklat diidentikkan dengan kulit yang kusam dan
seterusnya. Pembentukan citra ini ditekankan pada tubuh manusia.
Tubuh manusia dalam iklan adalah suatu representasi. Debat tentang
apakah representasi dalam media massa merupakan refleksi “dunia nyata” ataukah
hasil konstruksi, telah berakhir dan pandangan bahwa representasi dalam media
massa adalah refleksi “dunia nyata” tampaknya sudah ditinggalkan. Representasi
lebih dilihat sebagai suatu proses mengkonstruksi dunia sekitar kita dan juga
proses memaknainya. Sturken dan Cartwrigth dalam bukunya Practice of Looking
menjelaskan:
Representasi merujuk pada penggunaan bahasa dan imaji untuk menciptakan
makna tentang dunia sekitar kita. Kita menggunakan bahasa untuk memahami,
menggambarkan dan menjelaskan dunia yang kita lihat, dan demikian juga
dengan penggunaan imaji. Proses ini terjadi melalui sistem representasi, seperti
7
media bahasa dan visual, yang memiliki aturan dan konvensi tentang bagaimana
mereka diorganisir (Sturken & Cartwrigth, 2001).
Representasi tubuh dalam iklan terdiri dari signifikasi imaji-imajinya.
Beberapa imaji yang bisa merepresentasikan tubuh antara lain: ras, seks (jenis
kelamin), ukuran (langsing, gemuk, tinggi, pendek), rambut, tatapan, dan fashion.
Seluruh imaji ini menandakan nilai tertentu, seperti nilai kecantikan,
heteroseksualitas, kemudaan, feminitas sampai pada nilai baik dan buruk, benar
dan salah, normal tidak normal.
Mengeksplorasi makna imaji-imaji adalah dengan menyadari bahwa imajiimaji tersebut diproduksi dalam dinamika kekuasaan dan ideologi (Sturken &
Cartwrigth, 2001). Tubuh yang terlihat adalah representasi dari suatu bentuk
hubungan kekuasaan. Apa “yang terlihat” menandakan posisi dan aliran
kekuasaan, sekaligus juga menandakan mana yang berhak ada dan mana yang
tidak berhak, apa yang normal dan yang tidak.
Iklan pada dasarnya adalah komunikasi untuk menarik perhatian audiens.
Bisnis iklan bisa dikatakan sebagai bisnis “kejutan”. Iklan harus memiliki nilai
kejutan (shock value). Iklan berlomba untuk tampil lebih mengejutkan dari iklan
saingannya. (Sunardi, 2002). Iklan televisi dengan segmentasi pasar yang
menyasar khusus untuk wanita sebagian besar adalah iklan produk yang langsung
berkaitan dengan tubuh, seperti produk kosmetik, pembalut wanita, pakaian,
sepatu dan sebagainya. Maka tidak heran jika iklan tersebut merasa wajib
menampilkan sosok tubuh model (endorser) sebagai pengejut utama. Nilai kejutan
di sini hanya sebatas mempengaruhi audiens untuk memperhatikan iklan tersebut.
Sebagian besar iklan kosmetik di televisi lebih mengedepankan unsur
stereotip. Tubuh yang hadir selain sarana untuk menarik perhatian juga sebagai
sarana penegasan imaji yang sudah umum di masyarakat. Nilai seksi pada iklan
pelangsing tubuh contohnya, selalu menampilkan tubuh langsing model dibalut
kaos atau gaun ketat yang membentuk lekukan tubuh. Itulah nilai seksi yang
berlaku saat ini, tidak baru dan tidak mengejutkan. Tujuan utama iklan-iklan
8
tersebut adalah untuk memperkuat stereotip yang ada, melalui penggunaan tubuh
para model (endorser) yang dianggap sebagai standar kecantikan bagi audiens.
Dari sini peneliti berpendapat bahwa media memiliki peran dan kendali untuk
mengkonstruksi suatu nilai, dalam hal ini citra tubuh perempuan dan kemudian
merepresentasikannya menjadi satu kesatuan utuh yang disebut „kecantikan‟.
1.5.2
Visualisasi Kecantikan dan Konstruksi Realitas dalam Iklan
Kecantikan telah dipandang sebagai sesuatu yang sangat berharga,
sehingga tak jarang perempuan sangat terobsesi untuk mendapatkan kecantikan.
Tempat-tempat kebugaran, spa, salon kecantikan, toko kosmetik dan berbagai
institusi kecantikan yang lain menjadi tempat-tempat yang diminati perempuan
untuk mengubah dirinya menjadi cantik. Bahkan, mereka tidak segan untuk
mengeluarkan biaya yang cukup besar demi mendapatkan kecantikan sesuai
standar yang dibentuk oleh media maupun yang berlaku di masyarakat. Inilah
yang dimanfaatkan oleh kapitalis.
Saat ini identitas perempuan berada dalam konstruksi sosial yang
diciptakan oleh kaum kapitalis. Bagi kapitalis, kecantikan merupakan salah satu
wilayah strategis yang dapat dijadikan objek komoditas. Maka dari itu, mitosmitos kecantikan benar-benar dikembangkan dan disosialisasikan untuk
menumbuhkan keinginan dalam diri perempuan. Berbagai komoditi atau produk
kecantikan diproduksi untuk memenuhi kebutuhan perempuan dalam rangka
menjadi cantik dan menarik.
Sedangkan dari pandangan feminisme, kecantikan dipandang sebagai
sebuah mitos yang dikosntruksi secara sosial, politik, dan ekonomi pada sebuah
kebudayaan tertentu. Mitos kecantikan yang yang selalu mengeksploitasi potensi
perempuan ini bagi kalangan feminis bahkan merupakan mitos yang dianggap
sebagai salah satu bentuk dominasi dari sistem patriarki. Pelekatan berbagai
stereotip terhadap tubuh perempuan ini telah mencabut kuasa atas dirinya karena
9
menurut Halley (1998), stereotip digunakan untuk mendefinisikan perempuan dan
mengontrol mereka. Perempuan didefinisikan dalam hubungannya dengan lakilaki. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kewajiban perempuan untuk menjadi
cantik tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan kapitalis saja namun juga patriarki.
Jerat kapitalis-patriarkis mengkonstruksi body image (citra tubuh) perempuan
sebagai “legitimasi eksistensi”, sehingga perempuan harus terus mengidealkan
tubuhnya untuk bisa diakui eksistensinya. Budaya masyarakat yang semacam itu
selalu memandang tubuh perempuan sebagai objek.
Media massa turut bertanggung jawab dalam mengkonstruksi realitas
tentang kecantikan. Nilai-nilai yang terkandung di dalam strategi kapitalismepatriarki mensosialisasikan perempuan untuk memperlakukan tubuhnya lebih
sebagai sebuah objek untuk diamati. Sobur, (2004:89) menjelaskan bagaimana
media membangun kostruksi realitas terhadap isi media yang disampaikan kepada
khalayak. Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan
bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat
merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang
akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya, media massa
mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempenggaruhi makna dan
gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksinya.
Sebagai contoh adalah iklan pemutih kulit. Secara tekstual, pencitraan
yang diberikan adalah penyamarataan antara kulit yang putih dengan kecantikan.
Hal ini dapat dilihat dari narasi yang dibangun berupa adanya ketertarikan pria
hanya kepada wanita yang memiliki kulit yang putih. Secara wacana, iklan
pemutih kulit pada wanita ini menunjukkan ketundukan seorang wanita terhadap
kekuasaan pria, dimana dapat dilihat dari cara wanita yang harus mengubah
warna kulitnya yang berwarna menjadi putih. Khalayak pemirsa diajak untuk
beropini bahwa kulit yang putih adalah superior dan wanita diajak untuk
mengganti warna kulitnya dengan warna putih. Ini adalah bentuk konstruksi
realitas yang ada dimana menurut Naomi Wolf (2004), model pencitraan yang
mensyaratkan perempuan bisa dikatakan cantik dengan harus putih dan langsing
10
adalah merupakan mitos yang menghanyutkan. Dia menjelaskan bahwa mitos
tersebut telah merusak perempuan dan membuat mereka terobsesi meraih citra
ideal tentang kesempurnaan fisik. Bahkan tidak sedikit perempuan tega merusak
diri sendiri karena terpenjara oleh mitos kecantikan tersebut.
1.5.2.1 Konstruksi Realitas dalam Iklan
Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1990), menggambarkan proses
sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara
terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.
Berger dan Luckman (Bungin, 2008:14) menjelaskan realitas sosial dengan
memisahkan pemahaman „kenyataan dan pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai
kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki
keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri.
Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata
(real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
Berger dan Luckman memandang realitas sosial terbentuk melalui tiga
tahap, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi yaitu
usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan
mental maupun fisik yang ditandai oleh hubungan antar manusia dengan
lingkungan dan dengan dirinya sendiri. Objektivasi adalah suatu proses di mana
objek yang memiliki makna umum sebelum seorang individu lahir di dunia. Hasil
objektivasi ini kemudian dikenal dengan nama pengetahuan. Sedangkan proses
internalisasi adalah proses di mana individu terlahir tidak langsung menjadi
anggota masyarakat. Melalui internalisasi, manusia menjadi produk masyarakat.
Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan
Luckman telah direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media massa
menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subyektivasi, dan
internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai
“konstruksi sosial media
massa”. Substansi dari konstruksi sosial media massa ini adalah pada sirkulasi
informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan
11
sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga
membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung
sinis.
Gambar 1.1 Proses Konstruksi Sosial Media Massa
PROSES SOSIOLOGIS SIMULTAN
EKSTERNALISASI
M
E
D
I
A
OBJEKTIVASI
INTERNALISASI
SOURCE
MESSAGE
M
A
S
S
A
Realitas terkonstruksi :
Objektif
Subjektif
Intersubjektif
Lebih cepat
Lebih luas
Sebaran merata
Membentuk opini massa
Massa cenderung
terkonstruksi
Opini massa cenderung
apriori
Opini massa cenderung sinis
CHANNEL
RECEIVER
EFFECTS
Sumber : Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1990)
Berger dan Luckman menganggap proses di mana orang menciptakan
realitas kehidupan sehari-hari sebagai konstruksi realitas simbolik. Menurut
mereka, dunia sosial adalah produk manusia, dan bukan sesuatu yang given.
Dunia sosial dibangun melalui tipifikasi-tipifikasi yang memiliki referensi utama
pada obyek dan peristiwa yang dialami secara rutin oleh individu dan dialami
bersama dengan orang lain dalam pola yang taken for granted. Dan generasi yang
lebih muda akan mempelajari realitas ini melalui proses sosialisasi, seperti mereka
mempelajari hal-hal lain yang membangun dunia, yang mereka temui sehari-hari
(Noviani, 2002:52).
Berdasarkan pandangan Berger dan Luckman mengenai konstruksi realitas
sosial, bahwa realitas sosial tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi sarat dengan
12
kepentingan-kepentingan, maka salah satu kepentingan di sana adalah
kepentingan media massa. Media massa, dalam hal ini iklan, lazim melakukan
berbagai tindakan dalam konstruksi realitas di mana hasil akhirnya berpengaruh
kuat terhadap pembentukan makna atau citra tentang suatu realitas. Salah satu
tindakan itu adalah dalam hal pilihan leksikal atau symbol (bahasa). Misalnya,
sekalipun media massa hanya bersifat melaporkan, tapi jika pemilihan kata, istilah
atau sebuah symbol yang secara konvensional memiliki arti tertentu di tengah
masyarakat, tak pelak akan mengusik perhatian masyarakat tersebut (Sobur, 2002:
91-92).
Iklan sebagai salah satu media massa memang telah menjadi bagian dari
masyarakat industri kapitalis yang mempunyai kekuatan besar dan sulit untuk
dielakkan. Iklan menyediakan gambaran
tentang realitas, dan sekaligus
mendefinisikan keinginan dan kemauan individu maupun kelompok. Iklan
mendefinisikan apa itu gaya, dan apa itu selera bagus, bukan sebagai sebuah
kemungkinan atau saran, melainkan sebagai sebuah tujuan yang diinginkan dan
tidak bisa untuk dipertanyakan (Noviani, 2002:49). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa iklan adalah sebuah cermin yang memantulkan kembali realitasrealitas sosial yang terjadi di masyarakat. Iklan merangkum aspek-aspek realitas
sosial. Bahkan lebih jauh lagi, berbagai pengaruh psikologis yang bersifat
individu dari iklan tersebut lambat laun akan mengkristal secara kolektif dan
menjadi perilaku masyarakat umum. Perilaku masyarakat umum ini pada
gilirannya membentuk sistem nilai, gaya hidup, maupun standar budaya tertentu,
termasuk mempengaruhi standar moral, etika, maupun estetika (Widyatama,
2007: 164).
1.5.3
Periklanan Sebagai Medium Rekonstruksi Sosial
Bagaimana perempuan menilai tubuhnya akan sangat berkaitan dengan
bagaimana lingkungan sosial dan budaya di luar dirinya menilai tubuh
perempuan. Artinya kalangan perempuann akan selalu berusaha untuk
13
menyesuaikan bentuk tubuhnya sesuai dengan sosial dan budaya masyarakat,
sampai dengan tingkatan ini kecantikan dipandang relatif bagi sebagian kalangan.
Namun kini media massa yang merambah berbagai budaya telah banyak
mengubah citra kecantikan wanita dalam budaya-budaya tersebut. Salah satu ciri
kecantikan modern adalah tubuh yang ramping (Mulyana, 2005). Mitos
kecantikan yang menghinggapi kaum perempuan akhirnya berujung pada
banyaknya konsepsi yang dibangun secara sosial berkaitan dengan makna cantik
yang kecenderungan definisinya, adalah banyak berangkat dari analisis secara
fisik semata.
Dalam konsep Hierarki kebutuhan yang dipopulerkan oleh Abraham
Maslow (1984), kecantikan merupakan hal yang bisa membinggungkan untuk di
kita pahami. Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan fisiologis atau dasar
2. Kebutuhan akan rasa aman
3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
4. Kebutuhan untuk dihargai
Pada empat tingkatan kebutuhan manusia banyak orang memperkirakan
kecantikan masuk dalam tingkatan ke-empat yaitu Self Esteem atau kebutuhan
akan penghargaan. Penjabaran dari kebutuhan ini biasanya disebutkan seperti
pujian, apresiasi dari orang lain, rasa kagum, rasa hormat dan lain-lain terhadap
diri seorang perempuan. Berdasarkan Teori Maslow mengenai motif pemenuhan
kebutuhan manusia maka cantik termasuk dalam kebutuhan akan penghargaan,
bahwa seseorang ingin ‟‟dilihat‟‟.
Dengan kekhawatiran kaum perempuan akan kehilangan penghargaan atas
diri sendiri karena terjebak dengan mitos kecantikan yang selama ini diagungkan,
kini mulai ada beberapa gerakan sosial baik dari kaum feminis maupun beberapa
industri kecantikan
yang meluncurkan kampanye sosial dalam rangka
menyadarkan kaum perempuan bahwa cantik tidak hanya dari tampilan fisik
semata. Tujuan utama gerakan ini adalah melakukan perombakan konsep
14
kecantikan dari mitos dominan yang dibawa oleh boneka Barbie menjadi lebih
manusiawi. Boneka Barbie disinyalir berperan menjadi salah satu pembentuk citra
perempuan cantik. Barbie bisa disebut sebagai miniatur dan refleksi dari
kehidupan perempuan masa kini. Barbie menancapkan stigma bahwa perempuan
cantik haruslah berfisik tinggi, langsing, berkulit cerah, dan berambut panjang.
Disadari atau tidak Barbie telah menetapkan sebuah standar kecantikan seorang
perempuan yang berlaku di masyarakat. Didukung oleh media, stigma kecantikan
Barbie ini kemudian diperkuat dan terus mengakar hingga sekarang. Tidak heran
banyak wanita terobsesi untuk menjadi cantik ala boneka Barbie, seperti seorang
gadis asal Ukraina bernama Valeria Lukyanova yang rela menghabiskan milyaran
rupiah biaya operasi plastik hanya untuk mendapatkan tampilan seperti laiknya
boneka Barbie sungguhan. Langkah Valeria inipun kemudian ditiru oleh lebih
banyak perempuan lainnya seperti Alina Kobalevskaya, Olga Oleynik dan Lolita
Richi. Dalam tahap ini tingkat kebutuhan wanita untuk dihargai atas kecantikan
sudah mencapai taraf mengkhawatirkan. Oleh sebab itu dibutuhkan wacana
rekonstruksi kecantikan sebagai counter hegemoni terhadap mitos dominan
tentang kecantikan dalam hal ini Barbie culture.
Salah satu produsen produk perawatan tubuh (toiletries) yang menjadi
fokus dalam penelitian ini, menyadari akan hal tersebut. Berdasarkan studi global
yang dilakukan oleh Dr. Nancy Etcoff dari Harvard University yang berjudul “The
Real Truth About Beauty : A Global Report” (2004) ditemukan fakta bahwa hanya
4% wanita di dunia yang menganggap diri mereka cantik dan 54% setuju bahwa
mereka adalah kritikus terburuk ketika menilai penampilan atau kecantikan diri
mereka sendiri. Inilah awal inisisasi Dove, sebagai salah satu brand kecantikan
dari Unilever untuk berkomitmen menyadarkan 96% wanita lainnya yang
menganggap dirinya tidak cantik bahwa mereka sebenarnya cantik dengan cara
mereka sendiri. Salah satu strategi yang digunakan oleh Dove, untuk meluncurkan
kampanyenya adalah dengan pemanfaatan media massa, salah satunya adalah
dengan iklan.
15
Iklan memiliki pengaruh dalam menciptakan kriteria daya tarik seseorang.
Mitos-mitos kecantikan dan feminitas dipadatkan dalam gambar visual tubuh.
Melalui iklan, konsep tubuh ideal diproduksi, direproduksi, dan didistribusikan.
Idealisasi yang dibentuk oleh iklan mendorong masyarakat untuk melakukan
perombakan atas tubuhnya. Apa yang muncul di iklan atau media massa pada
umumnya dianggap sebagai suatu nilai baru yang selalu diekspolarasi. Hal ini
tidak terlepas dari peran iklan sebagai salah satu media persuasif yang dapat
membujuk atau mempengaruhi orang. Inilah yang menjadikan iklan sebagai
medium yang tepat untuk merekonstuksikan wacana cantik sesuai dengan tujuan
yang diinginkan oleh pengiklan dalam hal ini Dove.
Iklan sebagai media persuasif diharuskan menyampaikan pesan dengan
tampilan bahasa yang menarik dan sentuhan cita rasa estetik yang atraktif. Hal
tersebut mutlak diperlukan dalam mengemas iklan untuk merebut perhatian
publik, mengingat derasnya arus informasi di media massa saat ini. Ketatnya
persaingan produk dan merk dagang menuntut iklan harus bersaing dengan iklan
yang lain, di samping merebut perhatian publik dari informasi yang lain. Seperti
ditegaskan oleh Sternthal & Craig (1982) bahwa di negara yang terkena era
globalisasi, setiap hari rata-rata orang dibombardir dengan ribuan pesan komersial
yang tak sebanding dengan kapasitas orang menyerap pesan. Boleh dikata kurang
dari satu persen pesan media yang dapat direaksi publik, termasuk di dalamnya
iklan. Keadaan tersebut menggambarkan iklan harus bersaing dengan iklan
maupun informasi yang lain. Oleh karena itu tidak mengherankan bila iklan harus
menampilkan baik bahasa dan segenap aplikasi yang mendukung dapat menarik
perhatian publik dan sekaligus dapat memberi citra produk yang ditawarkan.
Selain itu kefektifan pesan memegang peranan penting dalam iklan. Orang
akan membaca iklan atau mengabaikannya setelah dua detik pertama, maka dua
detik kemudian harus dimanfaatkan untuk menarik perhatian Dyer (1982). Iklan
di samping menarik, juga efektif dalam pesan, yakni mudah dimengerti pada saat
dibaca sekilas, serta dapat berkomunikasi secara tepat dengan masyarakat yang
dituju sekaligus memberi citra produk yang dapat membujuk Seperti ditegaskan
16
Khasali (1992: 87) bahwa iklan harus memperhatikan aspek singkat, padat katakata dan ilustrasi menarik serta komunikatif, disamping pertimbangan
kesederhanaan dan sopan dengan penekanan pada keyakinan atas apa yang
ditulisnya. Sehubungan dengan hal itu, tentunya iklan harus mempertimbangkan
faktor sosial-budaya.dan dalam perancangannya kode-kode sosial menjadi
pertimbangan agar terjadi frame of reference.
1.5.4
SEMIOTIKA
Semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda.
Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial
yang terbangun sebelumnya, dapat mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979). Alex
Sobur mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi
(Littlejohn, 1996). Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya
berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama
manusia. Semiotika─atau dalam istilah Barthes, semiologi─pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek
tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur
dari tanda (Kurniawan, 2001).
Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna
(meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda (Littlejohn,
1996). Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas
berhubungan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk non-verbal,
teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya
17
dan bagaimana tanda disusun (Sobur, 2003). Semiotik memiliki tiga bidang studi
utama:1
1. Tanda itu sendiri (the sign itself). Hal ini meliputi studi tentang variasi
tanda yang berbeda, cara tanda yang berbeda dalam penyampaian
makna, dan cara tanda berhubungan dengan orang-orang yang
menggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda (the codes or system
into which sign are organized). Studi ini mencakup cara berbagai kode
dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau
budaya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja (the culture within which
these codes and signs operate). Hal ini selanjutnya bergantung pada
penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan
bentuknya sendiri.
Menurut Charles Morris, kajian semiotika pada dasarnya dapat dibedakan
ke dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry) yakni sintaktik,
semantik, dan pragmatik (Wibowo, 2011) :
1. Sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax) yaitu suatu cabang
penyelidikan semiotika mengkaji hubungan-hubungan formal di antara
satu atau tanda-tanda yang lain. Dengan begitu hubungan-hubungan fomal
ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi,
pengertian sintaktik kurang lebih adalah semacam gramatika.
2. Semantik (semantics) yaitu suatu cabang penyelidikan yang mempelajari
hubungan di antara tanda-tanda sebelum digunakan dalam tuturan tertentu.
3. Pragmatik (pragmatics) yaitu suatu cabang penyelidikan semiotika yang
mempelajari hubungan di antara tanda-tanda interpreter-interpreter atau
para pemakainya─pemakaian tanda-tanda. Pragmatik secara khusus
berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi
situasional yang melatari tuturan.
1
Fiske, John. 1990. Introduction to Communication Studies. London & NY: Routledge. hal.40.
18
Semiotika mengenal dua tradisi, yaitu berdasarkan pada penemu kajian
semiotik Charles Sander Peirce, filosof dari Amerika (1839-1914) dan Ferdinand
de Saussure, ahli linguistik dari Swiss (1857-1913). Keduanya sama-sama
memfokuskan kajiannya pada elemen tanda (sign). Saussure lebih menaruh
perhatian pada tanda sebagai sebuah sistem dan struktur, akan tetapi tidak
mengabaikan penggunaan tanda secara konkret oleh individu-individu didalam
konteks sosial. Sedangkan Peirce, meskipun menekankan produksi tanda, secara
sosial dan proses interpretasi yang tanpa akhir, ia tidak mengabaikan sistem tanda.
Kedua semiotika ini justru hidup dalam relasi saling mendinamisasi. Saussure
berpendapat tanda memiliki dua entitas, yaitu signifier (penanda) dan signified
(petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna (aspek material), yaitu apa yang
dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental,
yaitu pikiran atau konsep (aspek mental) dan bahasa.
Setelah kemunculannya, banyak ahli-ahli yang mengkaji kembali studi
tentang semiotika tersebut, salah satunya Roland Barthes. Menurut Roland
Barthes semiotik tidak hanya meneliti mengenai penanda dan petanda, tetapi juga
hubungan yang mengikat mereka secara keseluruhan.2 Barthes mengaplikasikan
semiologinya ini hampir dalam setiap bidang kehidupan, seperti mode busana,
iklan, film, sastra dan fotografi. Semiologi Barthes mengacu pada Saussure
dengan menyelidiki hubungan antara penanda dan petanda, tidak hanya sampai
disitu Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos. Mitos menurut
Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem
tanda-penanda-petanda maka tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi setelah
terbentuk sistem tanda-penanda-petanda, tanda tersebut akan menjadi petanda
baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru.
2
Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media Suatu Penggantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. hal.123.
19
1.5.4.1 Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Sausurre. Sausurre tertarik pada
cara kompleks pemebentukan kalimat dan cara-cara bentuk kalimat menentukan
makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja
menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Menurut Barthes, semiologi bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun
substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat
ditafsirkan sebagai “tanda” alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran
linguistik. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya,
interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan
diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of
signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi
(makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal).
Dalam memahami makna, Barthes membuat sebuah model sistematis
dimana fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi
dua tahap (two order of signification) yang digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1.2 Signifikasi Dua Tahap Barthes
tahap pertama
realitas
tahap kedua
tanda
kultur
mitos
denotasi
Penanda
---------Petanda
konotasi
Sumber: John Fiske, Cultural and Communication Studies, 2006, hal.122.
20
Tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified didalam
sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi,
yaitu makna paling nyata dari tanda. Denotasi merupakan penandaan primer
(sistem penandaan tingkat pertama) yang merupakan penunjukan arti literatur atau
yang eksplisit dari gambar, kata-kata dan fenomena yang lain.
Tahap kedua adalah konotasi. Konotasi menggambarkan hubungan yang
terjadi ketika suatu tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta
nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi melibatkan simbol-simbol, sejarah dan
hal-hal yang berhubungan dengan emosional. Konotasi mempunyai makna yang
subyektif atau paling tidak inter-subyektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa
yang telah digambarkan tanda terhadap sebuah obyek, sedangkan konotasi adalah
bagaimana menggambarkannya.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang
menandai suatu masyarakat. Pada tatanan (signifakasi) tahap kedua berhubungan
dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. Pengertian mitos di sini tidaklah
menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari melainkan sebuah cara
pemaknaan. Mitos yaitu makna yang didapat seseorang berdasar referensi kultural
yang dimilikinya. Barthes menyebutkan bahwa mitos adalah sebuah rantai
konsep. Mitos adalah cerita yang digunakan oleh suatu kebudayaan untuk
memahami aspek alam atau realitas. Menurut Barthes, mitos merupakan cara
berpikir
dari
suatu
kebudayaan
tentang
sesuatu,
suatu
cara
untuk
mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal tertentu.3 Mitos adalah cerita
yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa
aspek dari realitas atau alam (Sobur, 2001: 126). Pada dasarnya semua hal dapat
menjadi mitos, satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk
waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi
pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya menjadi
penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama
3
Fiske. Op. Cit., hal.121.
21
sekali dengan makna asalnya. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat
kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda
tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan
membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi
kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut
akan menjadi mitos.
Teori Roland Barthes mengenai hubungan sintagmatik dan paradigmatik.
1. Sintagmatik
Normalnya, setelah sebuah unit dipilih dari sebuah paradigma, unit
tersebut akan dikombinasikan dengan unit yang lain. Kombinasi inilah yang
disebut dengan sintagma. Jadi, sebuah kata (dalam bentuk tertulis) adalah sebuah
sintagma visual yang terdiri dari serangkaian pilihan paradigmatik dari huruf di
dalam alfabet. Sebuah kalimat adalah sebuah sintagma kata-kata, contohnya baju
kita pakai adalah sebuah sintagma pilihan-pilihan dari beberapa paradigma topi,
dasi, kemeja, jaket, celana panjang, kaus kaki, dan lain-lain. Cara kita menata
ruangan adalah sebuah sintagma dari pilihan-pilihan paradigma-paradigma kursi,
meja, sofa, karper, wallpapers, dan sebagainya. Sebuah menu merupakan sebuah
contoh dari sebuah sistem yang komplit. Pilihan dari masing-masing makanan
(paradigma)
diberikan
secara
penuh,
dimana
setiap
pelangan
mengombinasikannya menjadi sebuah hidangan, serta pesanan yang diberikan
kepada pelayan adalah sebuah sintagma (Fiske, 2012: 95).
Aspek penting dari sintagma adalah aturan dan konvensi yang digunakan
untuk mengombinasikan unit-unit. Pada bahasa kita menyebutnya sebagai tata
bahasa atau sintaksis, pada musik kita menyebutnya sebagai melodi (harmoni
adalah merupakan masalah pilihan paradigmatik); pada pakaian kita menyebutnya
selera yang bagus, atau naluri berbusan, meskipun juga terdapat aturan formal.
Bagi Saussure, kunci untuk memahami tanda adalah hubungan struktural antara
tanda. Terdapat dua tipe hubungan, struktural paradigmatik yang terkait dengan
22
pilihan dan sintagmatik yang terkait dengan kombinasi (dari tanda-tanda yang
terpilih) (Fiske, 2012:96).
2. Paradigmatik
Barthes adalah seorang pengikut Saussure. Dari jalur Saussurean,
membaca dan menstrukturkan teks dapat dilakukan dalam dua langkah, yaitu
sintagmatik dan paradigmatik. Analisis sintagmatik melihat teks sebagai suatu
rangkaian dari satuan ruang dan waktu yang membentuk teks. Pada tingkat
selanjutnya, pemaknaan berikutnya dilakukan secara paradigmatik. Setiap tanda
berada dalam kodenya sebagai bagian dari suatu paradigma, suatu ralasi in
absentia yang mengabaikan tanda tersebut dengan tanda-tanda lain (Sunarto dan
Hermawan, 2011: 240).
Paradigmatik (paradigms) merupakan sebuah istilah teknis untuk
menggambarkan bahwa sebuah tanda itu bermakna dalam hubungannya dengan
tanda lainnya (Danesi, 2010:46). Paradigma adalah satu rangkaian set di mana
sebuah pilihan dibuat dan hanya satu unit dari satu set rangkaian tanda tersebut
yang mungkin dipilih. Contoh yang sederhana adalah huruf-huruf dalam alfabet.
Alfabet membentuk paradigma untuk bahasa tulis dan menggambarkan dua
karakteristik dasar dari paradigma yaitu (Fiske, 2012: 93-94):
1. Satu unit dalam paradigma harus memiliki satu kesamaan artinya mereka
harus berbagi karakteristik yang menentukan keanggotaan mereka pada
sebuah paradigma. Kita harus tahu bahwa M adalah sebuah huruf dan oleh
sebab itu merupakan anggota dari paradigma alfabet. Kita juga secara
seimbang mengenali bahwa 5 dan + bukan merupakan alfabet.
2. Masing-masing unit dalam sebuah paradigma harus secara jelas berbeda
dengan unit-unit yang lain. Kita harus bisa membedakan satu tanda dengan
tanda-tanda yang lain terkait dengan signifier dan signified mereka miliki.
Alat yang kita gunakan untuk membedakan satu penanda dengan yang lain
disebut fitur pembeda/distingtif dari sebuah tanda.
23
Setiap kali kita berkomunikasi kita harus memilih tanda-tanda sebuah
paradigma. Kata-kata adalah sebuah paradigma kumpulan kata (vocabulary)
bahasa Inggris adalah bagian dari paradigma. Kata-kata juga dikategorikan ke
dalam paradigma yang lebih spesifik: paradigma tata bahasa, seperti kata benda
atau kata kerja; paradigma penggunaan-bahasa bayi, bahasa hukum, perbincangan
romantis, umpatan maskulin; ataupun paradigma suara-tiga istilah dari Saussure
untuk menganalisis tanda yang membentuk paradigma dan sering kali digunakan
yakni Sn, Sr, Sd. S di sini secara konvensi mengindikasikan paradigma dan –n, -r,
-d, merupakan fitur pembeda yang mengidentifikasikan unit-unit dalam
paradigma (Fiske, 2012: 94). Contoh lain dari paradigma adalah cara mengganti
sorotan kamera di televisi diantaranya potong (cut), menghilang (fade), melembut
(dissolve), hapus (wipe), dan sebagainya; gaya kursi yang kita gunakan di ruang
tamu; hingga tipe mobil yang kita kendarai. Semua itu melibatkan pilihan-pilihan
paradigmatik, dan makna dari unit yang kita pilih sangat ditentukan oleh makna
dari unit-unit yang tidak kita pilih. Dimana kita dapat menyimpulkan dengan
mengatakan di mana ada pilihan di situ ada makna, dan makna dari yang dipilih
ditentukan oleh makna yang tidak terpilih (Fiske, 2012: 95).
1.5.4.2 Semiotoka Sebagai Interpretasi Budaya
Dalam menelusuri sistem budaya, semiotika berperan memberi sketsa
tentang potret manusia sebagai “meaning-seeking creature” atau makhluk pencari
makna. Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan
sebagai tanda (Eco, 1979). Lebih khusus, semiotika menjadi alat yang efektif
dalam memperjelas akar-akar kesukuan dari sistem sosial yang ada dewasa ini.
Sejatinya, perbedaan mendasar spesies manusia dari spesies lainnya adalah
kemampuannya untuk merepresentasi dunia dalam bentuk gambar-gambar, suarasuara, isyarat-isyarat tangan, dan sebagainya. Kemampuan inilah yang menjadi
alasan mengapa spesies manusia diatur bukan oleh seleksi alam, melainkan oleh
kekuatan sejarah, suatu kekuatan akumulasi makna yang diperoleh oleh generasigenerasi sebelumnya dan diturunkan dalam bentuk tanda-tanda.
24
Penerapan semiotika dalam menginterpretasi budaya dipelopori oleh
Roland Barthes, seorang semiotikus Perancis tahun 50-an, yang dia tuangkan
dalam bukunya yang berjudul Mythologies. Barthes mengembangkan teori
konotasi menjadi dasar untuk mengkaji budaya dan membangun terori
kebudayaan. Dalam kajian tentang kebudayaan, teori konotasi dikembangkannya
menjadi teori tentang mitos. Dia mengemukakan bahwa mitos adalah bahasa : “le
mythe est une parole”. Dalam uraiannya, dia juga mengemukakan bahwa mitos
dalam pengertian khusus merupakan pengembangan dari konotasi (Hoed, 2008:
66). Prinsip-prinsip dasar semiotika sudah banyak dikemukakan oleh para lingus
maupun antropolog, namun Barthes mengangkat masalah-masalah yang
konetemporer di Perancis pada masa itu dan menganalisis signifikansi budaya,
mulai dari gulat profesional sampai budaya striptease, dan semacamnya.
Semiologi Roland Barthes mendasari kajian pada objek-objek kenyataan
atau unsur-unsur kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan ini merupakan suatu
konstruksi dari suatu wacana kebudayaan tertentu yang ada dibelakangnya. Kajian
meliputi kesustraan, film, busana dan berbagai fenomena kebudayaan lainnya. Hal
ini berhubungan dengan mitos sebagai kajian Barthes yang dapat ditemukan pada
kehidupan sehari-hari. Mitos dapat berbentuk verbal atau visual, tidak hanya
wacana tertulis yang dapat menjadi mitos, fotografi, film, pertunjukkan, iklan,
busana, televisi, lirik lagu, dapat dibaca sebagai sebuah teks.
. Kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam teks-teks dan dengan
demikian, ideologi mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes
masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut
pandang, dan sebagainya (Sobur, 2003). Roland Barthes dalam bukunya S/Z
mengelompokkan
kode-kode
tersebut
menjadi
lima
kode,
yakni
kode
hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kultural atau
kode kebudayaan (Sobur, 2003) :
1. Kode hermeneutika atau kode teka-teki pada harapan pembaca untuk
mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode tekateki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional.
25
2. Kode semik atau kode konotatif melihat bahwa konotasi kata atau frase
tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang
mirip.
3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat
struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari
beberapa oposisi biner atau pembedaan, baik dalam taraf bunyi menjadi fonem
dalam produksi wicara maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui
proses.
4. Kode proaretik atau kode tindakan dianggap sebagai perlengkapan utama teks
yang dibaca oleh seseorang. Dengan kata lain, semua teks bersifat naratif.
5. Kode gnomic atau kode kultural merupakan acuan teks ke benda-benda yang
sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme
tradisional didefinisikan oleh acuan ke apa yang diketahui.
Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya di dalam S/Z
Barthes berbicara tentang konotasi sebagai ekspresi suatu budaya.
Model Barthes ini, mempunyai keunggulan dalam ranah mitos. Teori
Barthes tentang mitos dimaksudkan untuk meneliti budaya media seperti iklan.
Iklan mengambil bentuk sistem mitos karena iklan menggunakan sistem tanda
tingkat pertama (gambar, musik, kata-kata, dan gerak-gerik) sebagai landasan
untuk pembentukan sistem semiotik tingkat dua (Sunardi, 2002: 129).
Seperti halnya ketika Barthes menganalisis pesan iklan dari sebuah produk
Pasta Panzani (Barthes, 1977). Dalam penelitiannya, Barthes mengkategorikan
pesan dalam iklan produk Pasta Panzani menjadi tiga bagian. Pertama, pesan
linguistiknya (semua kata dab kalimat dalam iklan). Kedua, pesan ikonik yang
terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto iklan hanya dapat berfungsi
bilamana dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat).
Ketiga, pesan ikonik tak terkodekan (denotasi dalam iklan) (Sobur, 2003: 119).
Pada dasarnya lambang yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis,
yaitu verbal dan non-verbal. Lembang verbal merupakan bahasa yang dikenal,
26
sedangkan lambang non-verbal berupa bentuk dan warna yang disajikan dalam
iklan yang tidak secara khusus meniru rupa atas bentuk realitas. Menurut Berger
dalam menganalisis iklan ada enam hal yang perlu dipertimbangkan (Tinaburko,
2008: 117):
1. Penanda dan petanda
2. Gambar, indeks dan simbol
3.
Fenomena sosiologis
4. Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
5. Desain dari iklan
6. Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan
oleh publikasi tersebut.
Menurut Roland Barthes, semua objek kultural dapat diolah secara
tekstual. Teks di sini dalam arti luas. Teks tidak hanya berkaitan dengan aspek
linguistik, namun semiotik dapat meneliti teks di mana tanda-tanda terkodifikasi
dalam sebuah sistem. Karena dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar
memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian makna
denotatif yang melandasi keberadaannya. Acuan yang digunakan yakni
melakukan penelitian berdasarkan denotatif dan konotatif.
Denotasi cenderung digambarkan sebagai makna yang jelas atau makna
yang sebenarnya dari sebuah tanda. Denotasi dapat merupakan sebagai kata yang
memiliki arti sesuai dengan apa yang ada di dalam kamus Bahasa Indonesia, yang
dapat merupakan makna yang sesungguhnya atau makna yang sebenarnya dari
apa yang tertulis dan dilihat. Sedangkan menurut Piliang (Piliang, 2008: 18),
makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan pesanan dan emosi
serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi. Dalam pandangan Williamson (Piliang,
1999: 20), pada teori semiotika “iklan menganut prinsip peminjaman tanda
sekaligus peminjaman kode sosial. Misalnya, iklan yang menghadirkan bintang
film terkenal, figur bintang film tersebut dipinjam mitosnya, ideologinya, imagenya, dan sifat-sifat glamour-nya dari bintang film tersebut”. Makna konotatif
27
dapat bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum
yaitu denotatif. Konotasi juga bisa dikatakan sebagai sebuah emosi atau perasaan
yang diyakini oleh sekelompok orang. Sehingga konotatif dapat merupakan
sebuah makna kiasan dari denotasi itu sendiri atau makna yang bukan
sesungguhnya.
1.5.4.3 Semiotika dalam Iklan
Iklan adalah pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada
masyarakat lewat suatu media. Iklan merupakan sebuah wilayah simbolik yang
dapat digunakan dengan baik dalam anaisis ideologi. Penyajian iklan tidak
sekadar menjual produknya, tetapi sekaligus menjual sistem pembentukan ide
yang berlapis-lapis, terintegrasi, dan terproyeksi ke dalam citra produknya (James
Lull dalam Widodo, 2003: 112).
Iklan merupakan bagian dari bauran promosi (promotion mix) yang
merupakan salah satu bagian dari bauran pemasaran (marketing mix). Iklan
digunakan sebagai media untuk mengkomunikasikan individu dengan materi
produk atau jasa yang digunakan, setiap iklan menampilkan alur cerita dan
simbol-simbol yang digunakan untuk membangun citra produk. Beberapa
pengertian di atas dapat dipahami bahwa iklan adalah bagian dari kegiatan
promosi (promotion mix) yang bertujuan untuk memperkenalkan sebuah produk
atau jasa kepada masyarakat atau calon konsumen yang diampaikan dan
disebarluaskan melalui berbagai media.
Secara struktural sebuah iklan terdiri dari tiga elemen tanda, yaitu gambar
objek atau produk yang diiklankan (object), gambar benda-benda si sekitar objek
yang memberikan konteks pada objek tersebut (context), serta tulisan atau teks
(text), yang memberikan keterangan tertulis, yang satu sama lainnya saling
mengisi dalam menciptakan suatu ide, gagasan, konsep, atau makna sebuah iklan.
Mulai dari makna yang eksplisit, yaitu makna berdasarkan apa yang tampak
(dennotative), serta makna lebih mendalam, yang berkaitan dengan pemahamanpemahaman ideologi dan kultural (connotative).
28
Semiotika periklanan memberikan pandangan interdisipliner terhadap ilmu
pertukaran tanda dan riset terhadap pertukaran komoditas. Pada bidang
interdisipliner ini, semiotika memberikan sumbangan metodologi dan objek
investigasi terhadap penelitian periklanan. Semiotika menyediakan perangkat teori
untuk menganalisa tanda-tanda dan proses komunikasi dalam periklanan. Lebih
jauh, semiotika menganalisa secara horisontal dari pengertian pesan verbal yang
sempit menuju kode-kode yang lebih kompleks yang digunakan pada komunikasi
persuasi (North, 1990: 476).
Semiotika iklan sendiri terkait dengan materi budaya yang disajikan
sebagai tanda yang menciptakan makna dalam informasi. Materi budaya yang
dimaksudkan di sini antara lain gaya hidup, cara berpakaian, penataan rambut,
cara berpikir dan lainnya. Kemudian dalam iklan, makna pula mendapatkan
tambahan nilai dari musik, dan efek suara yang ada dalam eksekusinya. Iklan
dibentuk oleh banyak simbol. Ketajaman dan kontras antara gelap dan terang
dapat merepresentasikan keadaan yang berbeda maknanya, memperdengarkan
suara, kombinasi kata, yang menyimbolkan sebuah objek, tindakan dan properti.
Iklan dalam konteks semiotika dapat diamati sebagai suatu upaya
menyampaikan pesan dengan menggunakan seperangkat tanda dalam suatu
sistem. Dalam semiotika periklanan, terdapat tiga tingkatan makna, yaitu makna
konotasi semantik dan ideologi; makna kode, visual dan pesan non-verbal dan
bentuk asli pesan iklan. Pada makna konotasi semantik dan ideologi, konsep
semantik dibagi menjadi dua yaitu makna konotasi dan denotasi sebagai alat
menganalisis (Bogart, 1990). Pada tingkatan kedua yaitu kode-kode, visual dan
pesan non-verbal, konsep kode digunakan untuk menjelaskan keberagaman
saluran dan sistem semiotik yang digunakan dalam pesan iklan multimedia. Pada
tingkatan pesan ketiga yaitu bentuk asli pesan iklan, adalah semantik dan
paradigmatik. Pesan semantik adalah pesan terselubung karena iklan adalah pesan
mengenai komoditas yang digabungkan dengan ajakan untuk melakukan
penjualan atau pembelian. Sedangkan pesan paradigmatik adalah pesan yang
terbuka karena pada setiap proses periklanan memberikan dampak tidak langsung
29
pada bentuk semiotika untuk pertukaran makna dengan tujuan ekonomi yaitu
pertukaran komoditas (Bogart, 1990).
1.6
METODOLOGI PENELITIAN
1.6.1
Tipe dan Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan oleh peneliti ialah pendekatan kualitatif.
Menurut Bogdan dan Taylor, pendekatan ini berarti sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang yang berlaku yang dapat diamati. Sedangkan Kirk dan Miller
mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada
manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut
dalam bahasanya dan dalam peristilahannya4.
Dari dua definisi di atas, dapat diambil benang merahnya bahwa penelitian
dengan menggunakan metode kualitatif merupakan sebuah prosedur yang
bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya, serta orang-orang
dalam kawasan yang diteliti, dengan menghasilkan data yang bersifat
menggambarkan sesuatu hal apa adanya, berupa kata-kata tertulis atau lisan.
1.6.2
Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan
bentuk penelitian yang menggambarkan dan mempelajari suatu situasi atau
kejadian (Babbie & Wagner, 1992: 91). Peneliti melakukan penelitian kemudian
menggambarkan apa yang diamati. Penelitian ini bersifat deskriptif dalam
kaitannya menganalisis muatan subyek dalam kontribusi membentuk aspek-aspek
dalam masyarakat. Tujuan utama penelitian yang bersifat deskriptif adalah untuk
menggambarkan sikap suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian
4
Moleong , Lexy J (A). 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hlm. 3
30
dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tersebut (Sevilla dkk,
1993: 71). Jadi penelitian deskriptif hanyalah memaparkan situasi dan peristiwa,
penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan antar variabel, tidak pula
menguji atau membuat prediksi (Rakhmat, 1999: 24).
1.6.3
Objek Penelitian
Dalam penelitian ini, objek yang akan diteliti ialah iklan produk kosmetik
khusus wanita Dove versi “Real Beauty Sketches”, yang diunduh dari media
sosial youtube. Iklan Dover “Real Beauty Sketches” diunggah ke situs media
sosial youtube sejak 14 April 2013 oleh Dove United States dan telah ditonton
sebanyak lebih dari 63 juta kali. Berdurasi tiga menit, iklan ini menampilkan Gil
Zamora, seorang seniman forensic yang pernah bekerja di Kepolisian San Jose
dari tahun 1995 hingga 2011. Dalam sebuah ruangan besar, Gil menggambar
sketsa wanita yang diundang datang ke ruangan tersebut tanpa melihat, bahkan
Gil tidak bertemu langsung dengan para wanita tersebut. Gil hanya menggambar
wajah berdasarkan petunjuk suara para wanita. Setelah selesai menggambar
berdasarkan petunjuk dari para wanita itu sendiri, Gil kemudian menggambar
sketsa wanita yang sama, namun lewat penjelasan orang lain yang sebelumnya
bertemu dengan sang wanita.
Hasilnya, ada dua gambar sketsa yeng berbeda dari masing-masing wanita.
Sketsa pertama menggambarkan interpretasi masing-masing wanita tentang
kontur dan kondisi wajah mereka, sedangkan sketsa kedua merepresentasikan
interpretasi orang lain terhadap para wanita yang mereka temui sebelum
memberikan penjelasan kepada Gil. Ketika disandingkan, gambar sketsa hasil
penjelasan langsung para wanita tentang diri mereka sendiri ternyata tidak
sebagus gambar sketsa hasil penjelasan orang lain. Hal yang menunjukan bahwa
wanita-wanita ini tidak percaya diri dengan wajah mereka sendiri dengan
menonjolkan kekurangan yang ada daripada kelebihan yang dimiliki, padahal bagi
orang lain mereka sebenarnya cantik. Kedua sketsa tersebut dipajang untuk
kemudian dilihat sendiri oleh para wanita yang sekaligus dapat membandingkan
31
bahwa apa yang mereka lihat dan rasa tidak sama dengan apa yang dilihat oleh
orang lain. Hal ini kemudian yang membuat para wanita tersebut menangis
terharu dan yakin bahwa mereka sebenarnya cantik. Dengan mengusung tag line
“You are more beautiful than you think”, iklan ini mencoba untuk mengubah cara
pandang para wanita terhadap citra tubuh mereka yang selama ini menyempit
akibat dari konstruksi kecantikan yang dibawa oleh pasar dan media, menjadi
lebih luas maknanya. Hal inilah yang akan menjadi fokus penelitian yang akan
peneliti analisis menggunakan metode analisis yang telah ditentukan.
1.6.4
Metode Pengumpulan Data
dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan oleh
peneliti terbagi menjadi dua jenis sumber, yaitu :
1.6.4.1 Sumber Primer
Sumber primer yang digunakan yaitu metode dokumentasi. Dokumentasi
ialah setiap bahan tertulis ataupun film, lain dari record, yang tidak dipersiapkan
karena adanya permintaan seorang penyidik. Dokumen juga memiliki arti yaitu
sebuah catatan peristiwa yang sudah berlalu5. Metode dokumen bertujuan untuk
menggali data-data masa lampau secara sistematis dan objektif dan mendapatkan
informasi yang mendukung analisis dan interpretasi data6.
Dokumentasi dapat berbentuk dokumen public atau dokumen private.
Dokumen publik misalnya; laporan polisi, berita-berita surat kabar, transkrip
acara TV, dan lainnya. Dokumen privat misalnya; memo, surat-surat pribadi,
catatan telepon, buku harian individu, dan lainnya. Ada juga dokumen yang
berbentuk tulisan misalnya; catatan harian, sejarah kehidupan (life histories),
cerita, biografi, peraturan dan kebijakan. Dokumen yang berbentuk karya
misalnya; karya seni yang dapat berupa: gambar, patung, film, rekaman audio
maupun visual, dan lainnya. Dalam penelitian ini data yang diperoleh yaitu berupa
observasi pada video atau gambar bergerak iklan berbentuk film pendek produk
5
Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Hlm. 82
Krisyantono, rakhmat. 2008. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. Hlm. 118
6
32
kosmetik khusus wanita Dove versi “Real Beauty Sketches” yang merupakan
dokumen publik yang dapat ditonton dan diunduh secara luas dan bebas melalui
media sosial youtube.
1.6.4.2 Sumber Sekunder
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa data pendukung yang
berupa buku pustaka, artikel cetak maupun online sebagai studi kepustakaan yang
dijadikan sebagai data sekunder.
1.6.5
Metode Analisis
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode semiotika.
Penelitian semiotik merupakan salah satu bentuk analisis teks media yang bersifat
kualitatif. Sebagaimana juga analisis konstruksi sosial media massa yang
menganalisis realitas sosial media massa, analisis semiotika juga menganalisis
tidak sekedar realitas media massa akan tetapi konteks realitas pada umumnya.
Semiotik sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia
sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan „tanda‟.7
Dengan demikian, semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda.
Tanda adalah representasi dari sejumlah gejala yang memiliki dan
mewakili sejumlah kriteria seperti: nama, peran fungsi, tujuan dan keinginan.
Segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat juga disebut tanda.
Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Jadi apapun yang ada di dunia ini,
hal-hal apapun yang memiliki kriteria diatas, dia dapat dikatakan sebagai tanda,
jadi dapat dibayangkan begitu banyak tanda yang ada di dunia ini, dari hal-hal
yang kecil sampai sesuatu yang besar, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Setangkai bunga, peristiwa memerahnya wajah, binatang, isyarat tangan, ramburambu lalu lintas, sikap diam membisu, gagap, semuanya itu dapat dikatakan
sebagai tanda. Bahkan Charles Sanders Peirce mengatakan bahwa tanpa tanda
maka manusia tidak akan dapat berkomunikasi.8
7
8
Sobur. 2001. Op. Cit., hal.87.
Sobur, Op. Cit., hal.124.
33
Metode ini dipandang relevan karena peneliti ingin meneliti lebih lanjut
mengenai rekonstruksi makna cantik dalam iklan Dove “Real Beauty Sketches”.
Dengan metode ini diyakini peneliti dapat melihat tanda-tanda baik yang implisit
atau yang eksplisit dalam iklan tersebut. Seperti yang dihasilkan melalui analisis
semiotik Barthes yang mengungkapkan bahwa makna konotasi merupakan makna
yang penting juga dalam sebuah pesan maka dalam iklan ini dapat dilihat arti
pesannya secara menyeluruh sehingga bisa mengidentifikasi maksud yang
sebenarnya dibalik pembuatan iklan tersebut.
1.6.6
Teknik Analisis Data
Sebelum memasuki tahap analisis dan interpretasi, peneliti akan
melakukan transkrip data menjadi data tertulis terlebih dahulu. Apabila proses
sistemasi data telah dilakukan, peneliti dapat memulai tahap analisisnya.
Transkripsi bertujuan untuk menghasilkan seperangkat data guna menciptakan
proses analisis dan pengkodean (coding) secara hati-hati (Bauer & Gaskell, 2000:
250). Proses ini akan menerjemahkan dan menyederhanakan kompleksivitas
gambar bergerak (moving images) dalam iklan Dove “Real Beauty Sketches”
yang kaya akan multimodal teks.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotik
dari Roland Barthes karena teknik tersebut sesuai dengan obyek penelitan
mengenai media iklan. Semiotika merupakan metode yang secara spesifik
membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan tanda (sign). Teknik
analisis ini digunakan untuk menganalisis makna-makna yang tersirat dari pesan
komunikasi yang disampaikan dalam bentuk lambang baik secara verbal maupun
non verbal. Semiotika diterapkan pada tanda-tanda, simbol-simbol, lambang yang
tidak memiliki arti pada dirinya sendiri.
Pada konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya memiliki makna
tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Sistem signifikasi dalam semiotika Barthes dapat dijelaskan
sebagai berikut:
34
Tabel 1.1
Gambar Peta Tanda Roland Barthes
1. Signifier
2. Signified
(penanda)
(petanda)
3. Denotative Sign (tanda denotatif)
4. Connotative signifier
5. Connotative Signified
(penanda konotatif)
(petanda konotatif)
6. Connotative sign (tanda konotative)
Dari peta Barthes tersebut terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan
unsur material. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tanmbahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaannya.9
Karena aspek konotasi menjadi titik pusat perhatian dalam proses analisa
nanti, maka akan disinggung sedikit mengenai aspek konotasi dalam
sinematografis, Barthes memberikan penjelasan mengenai prosedur-prosedur
konotasi. Prosedur-prosedur konotasi tersebut, antara lain:10
1. Objek, misalnya dengan penataan properti yang ada dalam suatu
adegan, yang dapat menimbulkan makna tertentu, sehingga muncul
pemahaman yang dapat dipahami secara konotasi.
2. Trick effect, misalnya dengan memadukan dua gambar secara
artifisial.
3. Pose, misal dengan mengatur arah pandangan mata atau cara duduk
seorang aktor atau aktris dalam film.
4. Estetisme, misal dengan diperhatikannya nilai estetis dalam adegan
yang berdampak pada pemahaman akan teks secara keseluruhan
9
Sobur. 2001. Op.Cit.,hal.69.
Kris Budiman. “Analisis Wacana: Pendekatan Semiotik Roland Barthes” (pelatihan Analisis
Wacana, Yogyakarta, 7-12 Febuari 2000), hal.11.
10
35
5. Fotogenia, dengan mengatur exposure, lighting
6. Sintaksis, dengan merangkai beberapa foto dengan sebuah sekuen
sehingga penanda dan petanda konotasinya tidak ditemukan pada
fragmen-fragmen, melainkan pada keseluruhan rangkaian tersebut.
Image yang dibangun melalui prosedur-prosedur konotasi ini akan
memiliki banyak muatan pesan. Ketika sudut pandang kamera (camera angle)
berperan, posisi aktor atau aktris didalam frame, kegunaan lighting menjadi aspek
pencahayaan yang nyata, pencapaian efek dengan warna, dan proses-proses
selanjutnya tentunya akan menghasilkan makna-makna tertentu.
Untuk menganalisis iklan dapat menggunakan tanda-tanda dan sistem
tanda pada iklan tersebut. Sehingga penganalisa dan tahapannya tidak luput dari
beberapa hal-hal berikut menurut Berger (Tinarbuko, 2008, pp. 117-118):
1. Mencari makna keseluruhan dari iklan.
2. Mencermati hubungan yang muncul antara elemen gambar dan elemen
tertulis.
3. Mengamati tanda-tanda dan lambang-lambang serta peran yang
dimainkan oleh tanda dan simbol yang terdapat dalam iklan tersebut.
4. Memahami ekspresi-ekspresi, pose, yang ditampilkan oleh model iklan
atau figure iklan.
5. Pemahaman background dan foreground pada iklan.
6. Pemahaman bahasa yang digunakan dalam iklan tersebut.
Analisis yang digunakan adalah membagi iklan dalam suatu struktur video
iklan yaitu scene dan shot. Scene (adegan) adalah satu segmen pendek dari
keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat
oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Sedangkan shot adalah
satu tangkapan/bidikan kamera terhadap sebuah objek. Shot acapkali dianggap
sebagai unsur terkecil dari produk sinematografis seperti film atau iklan televisi.
Dalam semiotik, dikenal berbagai shot sebagai penanda yang masing-masing
mempunyai makna sendiri. Selain shot kamera juga dikenal gerakan kamera
(camera moves) yang berfungsi sebagai penanda. Berikut adalah tabel tentang
teknik-teknik pengambilan gambar, pergerakan kamera, serta unsur-unsur lainnya.
36
Tabel 1.2
Teknik Pengambilan Gambar
Penanda
Petanda
Ukuran Pengambilan Gambar
Emosi, peristiwa penting, drama
Big close-up
Keintiman
Close-up
Hubungan personal dengan subjek
Medium shot
Konteks, jarak publik
Long shot
Hubungan Sosial
Full shot
Sudut Pengambilan Gambat (camera
angle)
Dominasi, kekuatan, kewenangan
High
Kesetaraan
Eye level
Kelemahan, tidak punya kekuatan
Low
Jenis Lensa
Dramatis
Keseharian, normalitas
Dramatis, keintiman, kerahasiaan
Wide angle
Normal
Tele
Komposisi
Tenang, stabil, religiusitas
Keseharian, alamiah
Ketiadaan konflik
Disorientasi, gangguan
Simetris
Asimetris
Statis
Dinamis
Fokus
Selective focus
Soft focus
Deep focus
Pencahayaan
Menarik perhatian penonton
Romantika, nostalgia
Semua elemen adalah penting
High key
Low key
High contrast
Low contrast
Kode Sinematik
Kebahagiaan
Kesedihan
Teatrikal, dramatis
Realitas, documenter
Observasi
Konteks
Mengikuti, mengamati
Mengikuti, mengamati
Mulai/awal
Selesai/akhir
Jarak waktu, hubungan antar adegan
Kesimpulan yang menghentak
Film tua
Kesaan waktu, perhatian
Evaluasi, apresiasi keindahan
Zoom in
Zoom out
Pan (ke kiri atau ke kanan)
Tilt (ke atas atau ke bawah)
Fade in
Fade out
Dissolve
Wove
Iris out
Slow motion
Sumber : (Selby & Cowdery, 1995)
37
Selanjutnya data akan dianalisis menggunakan teori Roland Barthes
mengenai hubungan sintagmatik dan paradigmatik untuk didapatkan makna
denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat dalam teks iklan Dove “Real Beauty
Sketches”. Kemudian akan dibedah menggunakan lima kode Roland Barthes,
yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode
kultural atau kode kebudayaan Dari identifikasi tanda-tanda tersebut akan dapat
diketahui makna-makna yang direpresentasikan dalam iklan Dove “Real Beauty
Sketches”, baik makna denotatif maupun konotatif. Untuk menguraikan tandatanda verbal dan visual dalam iklan yang diteliti, maka tanda-tanda tersebut
dipisahkan berdasarkan strukturnya yaitu penanda dan petanda agar dapat
ditemukan makna denotatif dan konotatifnya.
1.7
SISTEMATIKA PENULISAN
Agar penelitian ini mengarah ke judul, maka dalam penelitian ini penulis
susun menjadi lima bab dengan rincian sebagai berikut :
BAB I
: PENDAHULUAN
Bab ini berisi jenjang-jenjang penelitian yang meliputi rancangan
penelitian. Terdiri dari sub-sub bab tentang latar belakang masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metodologi
penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka dan kajian teoritis yang berguna
sebagai alat untuk mengkaji pesan-pesan yang terkandung dalam objek
penelitian melalui pembedahan pengertian konsep variable-variabel yang
digunakan dalam penelitian ini.
38
BAB III : TINJAUAN UMUM BRAND DOVE
Bab ini berisi tentang tinjauan umum Brand Dove yang menjadi unit
analisis dalam penelitian ini
BAB IV : ANALISIS DATA & PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang penafsiran penulis, dengan data-data yang
terhimpun. Analisis ini bertujuan untuk mendapatkan jawaban dari
permasalahan berkaitan dengan rekonstruksi konsep kecantikan dan citra
tubuh dalam iklan.
BAB V : PENUTUP
Pada bab terakhir ini memuat kesimpulan dari semua hal pada bab-bab
sebelumnya dan saran-saran yang konstruktif terhadap konsep dan juga
disertai dengan daftar pustaka serta lampiran-lampirannya.
39
Download