II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Agronomi Tanaman Karet Karet adalah polimer hidrokarbon yang terbentuk dari emulsi kesusuan, yang dikenal sebagai latex (http://id.wikipedia.org. 2008). Karet adalah tanaman perkebunan/industri tahunan berupa pohon batang lurus yang pertama kali ditemukan di Brasil dan mulai dibudidayakan tahun 1601. Di Indonesia, Malaysia dan Singapura tanaman karet dicoba dibudidayakan pada tahun 1876. Tanaman karet pertama di Indonesia ditanam di Kebun Raya Bogor. Indonesia pernah menguasai produksi karet dunia, namun saat ini posisi Indonesia didesak oleh dua negara tetangga Malaysia dan Thailand. Klasifikasi botani tanaman karet adalah sebagai berikut: - Divisi : Spermatophyta - Sub divisi : Angiospermae - Kelas : Dicotyledonae - Keluarga : Euphorbiaceae - Genus : Hevea - Spesies : Hevea brasiliensis Kegiatan pemuliaan karet di Indonesia telah banyak menghasilkan klonklon karet unggul sebagai penghasil lateks dan penghasil kayu. Pada Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet 2005, telah direkomendasikan klon-klon unggul baru generasi-4 untuk periode tahun 2006 – 2010, yaitu klon: IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 104, IRR 112, dan IRR 118. Klon IRR 42 dan IRR 112 akan diajukan pelepasannya sedangkan klon IRR lainnya sudah dilepas secara resmi. Klon-klon tersebut menunjukkan produktivitas dan kinerja yang baik pada berbagai lokasi, tetapi memiliki variasi karakter agronomi dan sifat-sifat sekunder lainnya. Oleh karena itu pengguna harus memilih dengan cermat klon-klon yang sesuai agroekologi wilayah pengembangan dan jenis-jenis produk karet yang akan dihasilkan. Klon-klon lama yang sudah dilepas yaitu GT 1, AVROS 2037, PR 255, PR 261, PR 300, PR 303, RRIM 600, RRIM 712, BPM 1, BPM 24, BPM 107, BPM 109, PB 260, RRIC 100 masih memungkinkan untuk dikembangkan, tetapi harus dilakukan secara hati-hati baik dalam penempatan lokasi maupun sistem pengelolaannya. Klon GT 1 dan RRIM 600 di berbagai lokasi dilaporkan mengalami gangguan penyakit daun Colletotrichum dan Corynespora. Sedangkan klon BPM 1, PR 255, PR 261 memiliki masalah dengan mutu lateks sehingga pemanfaatan lateksnya terbatas hanya cocok untuk jenis produk karet tertentu. Klon PB 260 sangat peka terhadap kekeringan alur sadap dan gangguan angin dan kemarau panjang, karena itu pengelolaanya harus dilakukan secara tepat (http://warintek.progressio.or.id. 2008). 2.2. Produksi Karet Indonesia Sentra utama produksi Karet ada di Indonesia bagian timur (khususnya Sulawesi Tenggara) tidaklah begitu besar jika dibandingkan wilayah bagian barat (seperti Sumatera dan Kalimantan) sehingga perlu pemikiran dan pengembangan yang berkelanjutan, sehingga mampu menghasilkan karet yang bernilai jual tinggi. Harga karet alam yang membaik saat ini harus dijadikan momentum yang mampu mendorong percepatan pembenahan dan peremajaan karet yang kurang poduktif dengan menggunakan klon-klon unggul dan perbaikan teknologi budidaya lainnya. Pemerintah telah menetapkan sasaran pengembangan produksi karet alam Indonesia sebesar 3 - 4 juta ton/tahun pada tahun 2025. Sasaran produksi tersebut hanya dapat dicapai apabila minimal 85% areal kebun karet (rakyat) yang saat ini kurang produktif berhasil diremajakan dengan menggunakan klon karet unggul. Potensi produksi lateks beberapa klon anjuran yang sudah dilepas disajikan pada Gambar di bawah ini: Produksi Klon Gambar 1. Produksi Lateks Beberapa Klon Anjuran (***, ** dan * adalah ratarata produksi 15, 10, dan 5 tahun sadap) Sumber: Anwar, 2001 2.3. Beberapa aspek penting untuk kesesuaian agroklimat tanaman Karet 2. 3. 1. Suhu Udara 3 Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas. Dibeberapa kebun karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring kearah utara. Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zone antara 15o LS dan 15o LU. Diluar itu pertumbuhan tanaman karet agak terhambat sehingga memulai produksinya juga terlambat. Suhu udara yang baik bagi pertumbuhan o tanaman antara 24-28 C (http://warintek.progressio.or.id. 2008). 2. 3. 2. Curah Hujan Hujan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman Karet baik secara langsung dalam hal pemenuhan kebutuhan air bagi tanaman yang bervariasi menurut fase perkembangan tanaman, kondisi iklim dan tanah, maupun secara tidak langsung melalui pengaruh terhadap kelembaban udara dan tanah serta radiasi matahari. Ketiga faktor lingkungan fisik tersebut erat kaitannya dengan penyerapan air dan hara serta penyakit tanaman. Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.500 mm sampai 4.000 mm/tahun,dengan hari hujan berkisar antara 100 sd. 150 HH/tahun. Namun demikian, jika sering hujan pada pagi hari, produksi akan berkurang (Anwar, 2001). 2. 3. 3. Tanah Lahan kering (tanah) untuk pertumbuhan tanaman karet pada umumnya lebih mempersyaratkan sifat fisik tanah daripada sifat kimianya. Hal ini disebabkan karena perbaikan sifat kimia untuk syarat tumbuh tanaman karet perlakuan tanah agar sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dibandingkan dengan perbaikan sifat fisiknya. Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet baik tanah vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut < 2 m. Tanah vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, tekstur, sulum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara umum kurang baik karena kandungan haranya rendah. Tanah aluvial biasanya cukup subur, tetapi sifat fisikanya terutama drainase dan aerasenya kurang baik. Reaksi tanah berkisar antara pH 3, 0 - pH 8,0 tetapi tidak sesuai pada pH < 3,0 dan > pH 8,0. Sifat-sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet pada umumnya antara lain : - Sulum tanah sampai 100 cm, tidak terdapat batu-batuan dan lapisan cadas - Aerase dan drainase cukup - Tekstur tanah remah, poreus dan dapat menahan air - Struktur terdiri dari 35% liat dan 30% pasir - Tanah bergambut tidak lebih dari 20 cm - Kandungan hara NPK cukup dan tidak kekurangan unsur hara mikro - Reaksi tanah dengan pH 4,5 - pH 6,5 - Kemiringan tanah < 16% dan - Permukaan air tanah < 100 cm (Anwar, 2001). 2. 4. Pewilayahan Tanaman dan Evaluasi Lahan Pewilayahan tanaman merupakan salah satu metode evaluasi lahan yang mengidentifikasi lahan yang dapat digunakan untuk tanaman tertentu, sehingga dapat ditentukan kelas-kelas kesesuaian lahan terhadap tanaman dan diperoleh lahan yang potensial untuk pengembangan tanaman (Komarudin, 1998). Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna tanah dan juga suatu proses dalam menduga potensi lahan tertentu baik untuk pertanian maupun non pertanian. Potensi suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, lereng, topografi dan persyaratan penggunaan lahan atau syarat tumbuh tanaman. Inti dari evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh lahan yang digunakan. Dengan cara ini maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian untuk jenis penggunaan lahan tersebut. Kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu. Penilaian kesesuian lahan dibedakan menurut tingkatannya pada tabel di bawah ini: Tabel 2.1 Tingkat Kelas untuk Kesesuaian Lahan. Kelas S1 (Sangat Sesuai): Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau 4 Kelas S2 (Sesuai): Kelas S3 (Sesuai Marginal ): Kelas N (Tidak Sesuai): faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata. Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta. Lahan yang karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi. Sumber: Hidayat dkk., 2007. penyimpanan, pengolahan maupun analisis data secara simultan, sehingga dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan (spasial) (Widyawati, 2005). Teknologi SIG mengintegrasikan operasi-operasi umum database, seperti query dan analisa statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan (Prasetyo, 2003). Fungsi analisis SIG yang banyak digunakan dalam penelitian ini yaitu fungsi tumpang susun (overlay). Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial sebagai masukannya. Operasi tumpang susun dalam SIG umumnya dilakukan dengan salah satu dari lima cara yang dikenal, yaitu : 1. Pemanfaatan fungsi logika dan fungsi Boolean, seperti gabungan (union), irisan (intersection) dan lain-lain; 2. Pemanfaatan fungsi rasional, seperti ukuran lebih-besar, lebih-kecil, sama dengan, dan kombinasinya; 3. Pemanfaatan fungsi aritmatika seperti penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian; 4. Pemanfaatan data atribut atau tabel dua dimensi (atau 3-dimensi); 5. Menyilangkan 2 peta secara langsung (variasi tabel 2-dimensi) (Harimudin, 2007). Ketiga kelas ini didasarkan pada faktor pembatas yang mempengaruhi kelanjutan penggunaan lahan (Lampiran 1). 2. 5. Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG adalah sistem informasi yang didasarkan pada kerja komputer yang memasukkan, mengelola, memanipulasi dan menganalisa data serta memberi uraian (Aronaff, 1989). Dan SIG merupakan alat yang bermanfaat untuk pengumpulan, penimbunan, pengambilan kembali data yang diinginkan dan penayangan data keruangan yang berasal dari kenyataan dunia (Barrough, 1986). SIG dapat diartikan sebuah sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan (manipulasi), analisis dan penayangan data secara spasial terkait dengan muka bumi (Linden, 1987). SIG juga merupakan suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi., dengan konsep dasarnya yang merupakan suatu sistem terpadu yang mengorganisir perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan data, yang selanjutnya dapat mendayagunakan sistem 5