IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN HAK LEGALITAS ANAK BERUPA AKTE KELAHIRAN (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR NOMOR: 717 Pdt. G/2012 PAJT Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: ZULLISAN SHIDQI NIM : 109044100036 KONSENTRASI HUKUM KELUARGA ISLAM PROGRAM STUDI PERADILANAGAMA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/2015 M i IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN HAK LEGALITAS ANAK BERUPA AKTE KELAHIRAN (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR NOMOR: 717 Pdt. Gl20l2 PAJT Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV) Oleh: Zullisan Shidqi NIM: 109044100036 Dr. H. Ahmbd Mukri Aii. M.A NIP : 195703 12198503 1003 KONSENTRASI HUKUM KELUARGAISLAM PROGRAM STUDI PERADILANAGAMA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "Izin Poligami Dengan Alasan Hak Legalitas Anak Berupa Akte Kelahiran (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 717 Pdt.Gl?Dl2 PAJT)" telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 07 Januari 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Keluarga Islam. J akarta, 09 Januari 20 1 5 Mengesahkan 808121 999A31Aru PANITIA UJIAN MUNAQASYAH l. Ketua H. KAmAryqdlana. S.A e.. MH. NrP. i 9120224199803 1 003 2. Sri Hidayati. M.A& Sekretaris NIP. 3. Pembimbing 1 97 1 A21 51997 $2A02 Dr. H. Ahmad Mukri Aji. MA I.JIP. 1 95703121 98503 1003 4. Penguji I Dr. H. M. Nurul Irflan. M.Ag. NIP. r 97308022A033 5. Penguli II I 2 I 00 Sri Hida:yati. M.Ag NIP 1 97 1A21 51997 A320A2 1 LBMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu Islam Negeri 2. rufN (S 1) di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan dengan ketentuan yang berlaku ini saya cantumkan sesuai di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarla. lv ABSTRAK ZULLISAN SHIDQI. NIM: 109044100036. Izin Poligami Dengan Alasan Hak Legalitas Anak Berupa Akte Kelahiran (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 717 Pdt. G/2012 PAJT”. Program Studi Hukum Keluarga Islam Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/ 2014 M. x + 107 halaman + lampiran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum dan pertimbanganpertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam memutus suatu perkara permohonan izin poligami. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Data peneltian ini meliputi data primer dan skunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi putusan, studi kepustakaan dan wawancara. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan putusan permohonan izin poligami yaitu Putusan Nomor: 717 Pdt.G/2012 PAJT dan menghubungkan dengan hasil wawancara (interview) yang didapatkan dari hakim yang menangani perkara izin poligami tersebut. Menurut undang-undang perkawinan ini adalah perkawinan yang bersifat monogami, namun demikian beristri lebih dari seorang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya. Perkawinan lebih satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu. Dalam pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu orang harus ada alasanalasan yaitu: 1) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. 2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Tidak dijelaskan secara rinci apakah ketentuan tersebut bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena itu, penggunaan alasan-alasan itu diserahkan kepada hakim. Apabila alasan-alasan sebagaimana tersebut sudah terpenuhi, maka Pengadilan Agama juga harus meneliti apakan ada atau tidaknya syarat-syarat tertentu secara kumulatif yaitu 1) persetujuan dari istri atau istri-istrinya. 2) kemampuan materil dari orang yang bermaksud menikah lebih dari satu orang, dan 3) jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah, jaminan berlaku adil ini dibuat dalam persidangan Majlis Hakim. Kata Kunci Pembimbing Daftar Pustaka : Monogami, poligami, syarat kumulatif. : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA. : 1992-2013. v KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, karunia dan berbagai nikmatnya, terutama nikmat sehat serta kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri tauladan kita, Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini, mudah-mudahan kita termasuk bagian dari ummat beliau yang akan mendapat syafa’at di yaumil akhirat kelak amin. Dalam penulisan skripsi ini terdapat sedikit hambatan dan rintangan yang penulis hadapi, Alhamdulillah berkat rahmat dan inayahnya serta kontribusi dan motivasi dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan mudah dan lancar yang pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Tidak lupa, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada orang-orang yang turut mempengaruhi hamba dalam mendewasakan penulis, yang terhormat: 1. Dr. JM. Muslimin, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, MA., Ketua Program Doeble Degree. Bapak Ismail Hasani, SH., MH. Sekretaris Program Doeble Degree; 3. Dr. H. Ahamad Mukri Aji, MA. Sebagai pembimbing skripsi, terimakasih tak terhingga atas masukan dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini. 4. Keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta segenap Dosen, Karyawan, dan seluruh staf yang telah banyak membantu dan memberikan fasilitas bagi penulis selama studi di Kampus yang super sekali ini. vi 5. Pustakawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pustakawan Fakultas Syariah dan Hukum, dan Universitas Indonesia, yang telah memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyediakan referensi dalam penulisan skripsi ini; 6. Kedua Orang Tuaku (Ayahanda M.Ilyas, Ibunda Asni Sinambela) dengan segala kasih sayang, dan tanggung jawab rela berkorban jiwa raga demi kesuksesan putranya. Yang mengajarkanku untuk hidup mandiri dan mengingatkanku untuk selalu berbuat baik. Rabbighfirli wali walidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira, Amin. 7. Wak yati, yang telah mencurahkan perhatian yang begitu tulus, arahan ila ahsani taqwim dan memberikan motivasi yang tak terhingga banyaknya sehingga penulis berusaha untuk mewujudkan harapan-harapan baik dengan penuh semangat. Jazakumullahu khairan katsiran. 8. Pak Romdonih dan buk Khadijah yang memberikan semangat dan canda tawa mereka, serta khusushan Rara yang selalu menyemangati hari-hari penulis dalam menyelesaikan karier pendidikan dalam menekuni dunia hukum. Semoga Allah Menyayangi dan Melindungi kita semua amin. Ihdinaa ya allahu Subulanaa. 9. Kawan-kawan seperjuangan di konsentrasi Pengadilan Agama dan Administrasi Keperdataan Islam, kawan-kawan Double Degree dan Ilmu Hukum angkatan 2009 dan 2013, mohon maaf atas segala kesalahan yang pernah penulis perbuat kepada kalian. 10. Teman-teman seperjuangan Siti Ramadhani SH.i, Irpan Pasaribu SH, Abdul Karim Munthe S.Sy, Lc, SH, MH bersama-sama penulis berjuang dalam melanjutkan studi di perguruan tinggi di ibu kota ini. 11. Teman-teman kos “white house” Zuki, Karim, Azhar, Azmi, Mathori, Eka, Lay Fikri, Sapta, Irpan, Syawal, Habib dan spesial kepada Ibu Kos vii yang terus memotivasi untuk tetap semangat dalam menyelesaikan studi penulis. Alhamdulillah sekarang tercapai. 12. Teman-teman HMI seperjuangan di Komisariat Faksyahum Tahun 2009 dan HMI Cabang Ciputat, serta teman-teman LKBHMI yang berjuang demi tegaknya hukum dan demokrasi di Indonesia. Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis tuliskan, semoga doa dan harapan kita semua dikabulkan-Nya, Amiin. Semoga kontribusi dan partisipasi semua pihak tersebut menjadi investasi amal shaleh, semoga Allah SWT membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda. Terakhir harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca yang budiman. Kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan sebagai penyempurna atas karya ilmiah ini. Jakarta, 09 Januari 2015 Penulis Zullisan Shidqi viii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………………….. ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ……………………………………….. iii LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………………. iv ABSTRAK ………………………………………………………………………. v KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. vi DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………….. 1 BAB II B. Pembatasan dan PerumusanMasalah……………………….. 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………….. 6 D. Tinjauan Kajian Terdahulu…………………………………. 7 E. Metode Penelitian…………………………………………… 9 F. Sistematika Penulisan……………………………………….. 12 POLIGAMI BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN UU NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian, Dasar Hukum dan Syarat-syarat Poligami………... 14 B. Legalitas poligami…………………………………………….. 18 1. Poligami dalam prespektif fikih………………………….. 19 ix 2. Regulasi pelaksanaan poligami yang berlaku dalam perspektif hukum positif di Indonesia ……..…………… 25 C. Poligami dalam Lintas Sejarah dan Hikmah Disyariatkan Poligami..………………………………………. 39 BAB III PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR SEBAGAI PELAKSANA KEKUSAAN KEHAKIMAN A. Sejarah singkat Eksistensi Pengadilan Agama Jakarta Timur…. 50 B. Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur…………………. 64 C. Kasus Poligami Yang Diterima di Pengadilan Agama Jakarta Timur….……………………………………………….. 70 D. Prosedur Perkara Permohonan Izin Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Timur …..…………………………………….. 74 BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAJLIS HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR NOMOR: 717PDT. G/2012 PAJT A. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur………… 77 B. LandasanYuridis Putusan Izin Poligami Nomor 717 Pdt.G/2012 PAJT ….…………………………………………. 83 C. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam Perkara Permohonan Izin Poligami…………………………… 87 x D. Analisis penulis dalam menganalisa kasus poligami terhadap putusan Majlis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur ………………………………………………… 88 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………. 99 B. Saran-saran……………………………………………............. 101 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 103 xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan dalam bentuk berpasang-pasangan antara laki-laki dan wanita. Oleh karenanya, keduanya diberikan jalan untuk menyalurkan dorongan biologis mereka dengan jalan pernikahan yang sah. Tujuan pernikahan yang sejatinya adalah untuk menyatukan antara keluarga yang satu dengan yang lain dan terbinanya hubungan yang harmonis selaras dengan tujuan pernikahan menurut undang-undang dan hukum Islam yakni sakinah, mawaddah dan warahmah.1 Perkawinan dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk. Secara sederhana dapat dipahami yaitu monogami dan poligami.Secara etimologi monogami ialah perkawinan diantara seorang lelaki dan seorang perempuan, sedangkan poligami merupakan perkawinan seorang lelaki dengan beberapa orang wanita pada satu waktu.2 Permasalahan pernikahan poligami sering kali menuai kritik dari berbagai elemen. Dalam banyak tempat Poligami banyak mengandung pro dan kontra dan dinilai peyoratif bagi sebagian kalangan masyarakat muslim dan sebagian 1 Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2007), h.26. 2 Achmad Khuzari. Nikah Sebgai Perikatan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.159. 1 2 kalangan lagi dalam posisi netral karena menganggap perkara poligami mempunyai legal standing yakni Al-Quran dan As-Sunnah.3 Soal suami dapat beristri lebih dari seorang, ini telah menjadi masalah pro dan kontra dari masa ke masa. Masalahnya memang tidak sederhana karena ia bukan hanya menyangkut kepentingan laki-laki yang ingin beristri lebih dari seorang itu saja, tetapi juga menyangkut kepentingan wanita yang bersedia dimadu, dijadikan istri kedua dan seterusnya. Alasan yang dipergunakan oleh laki-laki untuk melakukan poligami bermacam-macam sepanjang perkembangan sejarah, di antaranya telah disebutkan pula dalam undang-undang perkawinan ini. Demikian juga halnya dengan alasan seorang wanita bersedia dijadikan istri kedua dan seterusnya. Alasanya tidak hanya karena cinta kepada laki-laki yang bersangkutan, tetapi juga karena banyak faktor lain yang mendorongnya bersedia menerima keadaan itu, di antaranya adalah desakan ekonomi, pandangan masyarakat terhadap janda, gadis tua dan sebagainya.4 Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) asas perkawinan adalah monogami, “seorang suami hanya boleh mempunyai seorang istri. Dan seorang wanita 3 Abuttawab Haikal. Poligami Dalam Islam vs Monogamy Barat. (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h.67-69. 4 Muhammad Daud Ali. Hukum Islam dan Peradilan Agama. (Kumpulan Tulisan), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.31. 3 hanya boleh mempunyai seorang suami”.5Namun demikian beristri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya. Beristri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan memenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Perkawinan lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari pengadilan agama terlebih dahulu. Dalam pasal 4 dan 5 UU Perkawinan dijelaskan bahwa seorang peria bermaksud kawin lebih dari satu orang harus ada alasan-alasan yaitu (1) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Tidak dijelaskan secara rinci apakah ketentuan tersebut ini bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena itu, penggunaan alasan-alasan tersebut diserahkan kepada hakim.6 Tampaknya alasan-alasan ini bernuansa fisik kecuali alasan yang ketiga. Terkesan karena seorang suami tidak memperoleh kepuasan yang maksimal dari istrinya, maka alternatifnya adalah poligami.7 Apabila alasan-alasan sebagaimana tersebut di atas sudah terpenuhi, maka pengadilan agama memeriksa apakah ada atau tidak syarat-syarat tertentu secara kummulatif yaitu: (1) persetujuan dari istri 5 Lihat pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 6 Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2008), h.10. 7 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2004), h.163. 4 atau istri-istrinya; (2) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; (3) jaminan berlaku adil terhadap istriistrinya dan anak-anaknya apabila ia sudah menikah.8 Di samping itu, tidak semua wanita Islam dapat menerima poligami. Tidak sedikit dari mereka yang merasa keberatan dengan ajaran itu. Maka oleh karenanya para ulama dan fuqaha muslim serta dibantu oleh pemerintah telah berusaha menagantisipasi problem yang akan timbul dari pernikahan poligami yang tidak sesuai dengan aturan, maka mereka memberikan persyaratan yang ketat untuk meminimalisir angka poligami dengan menetapkan persyaratan berikut bila seseorang ingin menikah lebih dari seorang istri yakni: (1) dia harus memiliki kemampuan dan kekayaan cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan dengan bertambahnya istri yang dinikahinya itu; (2) dia harus memperlakukan semua istri-istrinya itu dengan adil. Setiap istri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya.9 Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilakasanakan sebagaimana ketentuan tersebut, maka pelakunya dapat dikenakan sanksi sebagaimana disebut dalam pasal 44 dan 45 Peraturan pemerintah Nomor 9 8 Lihat pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 9 Abdur Rahman I Doi. Perkawinan Dalam Syariat Islam . (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h.45. 5 Tahun 1975 ini.10 Untuk membedakan persyaratan yang ada di pasal 4 dan 5 adalah, pada pasal 4 disebutkan dengan persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah persayaratn kumulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.11 Beranjak dari legalitas persyaratan hukum tertulis pada pasal 4 ayat 2 adalah bentuk aktualisasi hukum, dan juga sebgai asas untuk meminimalisir terjadinya poligami yang tidak disertai dengan alasan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Maka mudahnya mendapatkan izin poligami dalam praktiknya di pengadilan agama menimbulkan persepsi inkonsistensi pengadilan agama dalam memberikan izin poligami karena Realitas kongkritnya mengizinkan permohonan berpoligami meskipun tidak sesuai dengan ketentuan alasan dan syarat perundang-undangan. Berangkat dari latar belakang permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat sebuah judul ” IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN HAK LEGALITAS ANAK BERUPA AKTE KELAHIRAN (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMU NOMOR: 717 Pdt. G/2012 PAJT” 10 Lihat pasal 44 dan 45 PP No. 9 Tahun 1975 tentang aturan pelaksana UU No. 1 Tahun 1974. 11 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.164. 6 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dari uraian di atas banyak sekali permasalahan yang muncul, untuk menghindari pembahasan yang sangat luas itu maka penulis menguraikan dasar-dasar hukum dan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur mengabulkan permohonan Izin Poligami dengan Nomor : 717 Pdt.G/2012 PAJT. 2. Perumusan Masalah Menurut Peraturan perundang-undangan tidak terdapat alasan poligami dengan alasan untuk mendapatkan legalitas anak (berupa keterangan poligami guna mengurus akte kelahiran anak). Akan tetapi pada realitas konkritnya di lapangan terdapat Putusan Pengadilan Agama, Legalitas Anak menjadi alasan poligami. Rumusan tersebut dirinci dengan membuat pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: a. Bagaimana aturan pemberian izin poligami menurut prespektif Undangundang No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam di Indonesia? b. Hal-hal apa saja yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam memberikan izin poligami pada perkara Nomor: 717 Pdt.G/2012 PAJT ? 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Adapun Tujuan Penelitian ini adalah: a. Memberikan wawasan yang utuh terkait pengaturan poligami dalam perundang-undangan di Indonesia dan hukum Islam. b. Mengetahui hal-hal yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan yang dipergunakan hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami Nomor: 717Pdt.G/2012 PAJT. 2. Sedangakan Manfaat dari Penelitian ini adalah: a. Secara akademik (academic interests), menambah ilmu pengetahuan di bidang hukum perdata Islam serta mengembangkan wawasan ilmu di bidang hukum keluarga, khususnya dalam bidang perkawinan dan mengetahui dasar hukum dan pertimbangan hakim dan memutuskan perkara pemberian izin poligami. b. Secara praktis, agar masyarakat mengetahui gambaran pengaturan poligami dalam hukum Islam dan perundang-udangan di Indonesia. Serta memperoleh hak atas informasi keilmuan secara memadai. D. Kajian Terdahulu Untuk mengetahui lebih jelas tentang penelitian ini, ada baiknya mengetahui penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini baik secara teori maupun kontribusi keilmuan. Sudah cukup banyak studi yang dilakukan seputar hukum perkawinan poligami baik ditinjau menurut prespektif hukum 8 Islam maupun perundang-undangan.Namun, sepanjang yang penulis ketahui belum ada seorang pun menulis tentang izin poligami di Pengadilan Agama Jakarta Timur pada perkara Nomor: 717 Pdt.G/2012 PAJT Berdasarkan hasil penulusuran kepustakaan, ada beberapa karya ilmiah yang secara sepesifik serumpun dengan judul yang diangkat oleh penulis. Biarpun objek kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang mendasar. Misalnya: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Izin Poligami (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Wates Tahun 2008). Yang disusun oleh Rahman Bahari.Skripsi ini membahas apakah pengaturan izin poligami hanya sebatas aturan normatif saja, karena data yang didapati di lapangan dalam relaitas masyarakat, umumnya poligami dilakukan bukan karena alasan yang sesuai dengan undang-undang melainkan karena alasan syahwat. Sementara skripsinya Ristyaningrum lebih fokus pada penekanan aspek teknis prosedur permohonan izin poligami dan alasan mengajukan poligami disebabkan istri kurang dapat melayani suaminya. Dengan judul skripsi yang dia angkat Izin Poligami (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2009. Lain halnya dengan Ahmad Faozi skrisi ini lebih membahas pada perbandingan poligami menurut Fiqh dan KHI serta mekanisme dan alasan mengajukan poligami disebabkan kurang sanggup lagi melayani kebutuhan sexuil 9 suami, dia juga membandingkan putusan-putusan hakim pengadilan agama mengaenai poligami.Izin Poligami (Kasus Putusan Pengadilan Agama Cianjur) Tahun 2009. Berbeda dengan Dani Tirtana yang mengangakat judul skripsinya Analisis Yuridis Izin Poligami dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2008. Skripsi ini lebih fokus menganalisis putusan hakim dari aspek hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Alasan suami untuk berpoligami karena menjalankan syariat agama. Karena tidak mau terjebak pada perbuatan zina. Dari beberapa kajian terdahulu, seluruhnya mengambil dari kajian mengenai poligami dan mayoritas alasan yang diajukan pemohon untuk mengajukan permohonan poligami disebabkan aspek ketidapuasan suami dengan berbagai alasan seperti yang dikemukakan diatas . Sepengetahuan penulis hingga saat ini belum ada penelitian lain yang menjadikan judul penelitian ” IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN HAK LEGALITAS ANAK BERUPA AKTE KELAHIRAN (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMU NOMOR: 717 Pdt. G/2012 PAJT” E. Metode Peneltian 1. Jenis dan Pendekatan Jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, yaitu dalam pnelitian ini pada umumnya menganalisis fakta-fakta atau kejadian-kejadian 10 yang relevan dengan norma-norma hukum.12 Oleh karenanya langkah awal dalam analisis ini adalah identifikasi fakta-fakta hukum berupa perbuatan, peristiwa atau keadaan-keadaan. Pendekatan normative dilakukan dengan mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah izin poligami menjadi kompetensi pengadilan agama. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainya. Dalam hal ini maka berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orangorang atau prilaku yang diamati dengan menganalisa dan menguraikan serta mendeskripsikan isi putusan yang telah penulis dapatkan dari informan yaitu dari hakim yang mengangani kasus izin poligami dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap yang didaptkan dari pengadilan Agama Jakarta Timur dengan Nomor:717Pdt. G/2012 PAJT. 1. Sumber Data Yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data skunder. Data primer sebagai data utama dalam penelitian ini ialah putusan pengadilan agama Jakarta timur Nomor: 717Pdt. G/2012 PAJT dan beberapa bahan hukum yang dikodifikasikan terkait dengan permasalahan izin poligami. Sedangkam data skunder ialah data yang diperoleh dengan dengan 12 Bambang Sunggono. Metodelogi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.113-114. 11 jalan mengdakan wawancara terhadap para pihak yang terkait dengan permasalahan yang penulis bahas.13Adapun instrument yang digunakan dengan mengadakan pedoman wawancara, yaitu dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman dan disesuaikan dengan siatusi wanwancara. 2. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam menghimpun seluruh data dan fakta yang menunjang permasalahan adalah sebagai berikut: a) Studi putusan yurisprudensi Studi putusan yurisprudensi yaitu teknik pengumpulan putusan yang sistematis dari keputusan mahkamah agung dan keputusan pengadian tinggi yang diikuti oleh hakim dalam memberikan keputusan sosial yang sama. Dalam hal ini, studi putusan yurisprudensi yang dilakukan adalah studi putusan pengadilan agama Jakarta timur Nomor:717 Pdt. G/2012 PAJT b) Studi kepustakaan (library research) Studi kepustakaan dimaksud untuk memperoleh landasan teoritis berupa konsep dari berbgai literatur yang terkait dengan materi pokok permasalahan yang akan penulis bahas, baik dari buku-buku karangan 13 Sutrisno Hadi. Metodelogi Research jilid 1. (Yogyakarta: ANDI SOFFET, 1994), h.67. 12 ilmiah. Undang-undang, peraturan pemerintah, kompilasi hukum Islam serta peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas.14 c) Wawancara (interview) Wawancara dilakukan terhadap responden-responden yang telah dipilih sebelumnya, yaitu hakim yang menangani perkara yang dimaksud. 3. Teknik Penulisan Skripsi Adapun pedoman dan teknik yang digunakan dalam penulisan skrispi ini adalah buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2012. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini kurang lebih penulis uraikan sebagai berikut: Bab Satu merupakan pendahuluan yang terdiri dari; latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Kajian Terdahulu, Metode Penulisan dan Penelitian, dan Sestematika Penulisan. Bab Dua Poligami berdasarkan Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan diIndonesia yang terdiri dari: Pengertian, Dasar hukum dan 14 Soerjono Soekanto. Pengantar Peneltian Hukum. (Jakarta: UI-PRESS, 1998), h.111-112. 13 Syarat-syarat Poligami, Legalitas Poligami Dalam Prespektif Fiqih, Regulasi Pelaksanaan Poligami Yang Berlaku Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia, dan Poligami dalam Lintas Sejarah dan Hikamah Disyariatkan Poligami. Bab Tiga Pengadilan Agama Jakarta Timur Sebagai Pelaksana Kekusaan Kehakiman yang terdiri dari: Sejarah Singkat Eksistensi Pengadilan Agama Jakarta Timur, Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur, Kasus Poligami Yang Diterima di Pengadilan Agama Jakarta Timur , dan Prosedur Perkara Permohonan Izin Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Bab Empat Analisis Putusan Majlis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 717Pdt. G/2012 PAJT yang terdiri dari: Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur, Landasan Yuridis Putusan Izin Poligami Nomor 717 Pdt.G/2012 PAJT, dan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Timur Dalam Perkara Permohonan Izin Poligami Bab Lima adalah merupakan bagian Penutup yang terdiri dari Kesimpulan, Saran-saran, dan Penutup. BAB II POLIGAMI BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN UU NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian, Dasar Hukum dan Syarat-syarat Poligami 1. Pengertian Poligami Kata monogami dapat dipasangkan dengan poligami sebagai antonim. Monogami adalah perkawinan dengan istri tunggal, artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan. Sedangkan poligami adalah perakwinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. 1 Dengan demikian makna umum poligami ini mempunyai dua kemungkinan pengertian, seorang laki-laki menikah dengan banyak perempuan atau seorang perempuan menikah dengan banyak laki-laki. Kemungkinan pertama disebut poligini dan kemungkinan kedua disebut poliandri. Hanya saja yang berkembang pengertian itu mengalami pergeseran sehingga poligami dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak, sedangkan poligini sendiri tidal lazim dipakai.2Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa Poligami berasal dari kata bahasa Yunani dari kata “Poly” atau ”polus”, yang berarti banyak 1 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa Poligami diartikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, dan juga disebutkan pengertian dari poligini dan poliandri. Poligini adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang peria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan, sedangkan poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 779. 2 Kuzari Achmad, Nikah Sebagai Perikatan …, h.159. 14 15 dan “gamein” atau gamos” yang berarti kawin atau perkawinan. Bila pengertian ini digabung maka akan diperoleh pengertian yang berarti poligami ialah suatu perkawinan yang lebih dari satu orang.3 Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walau ada yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan isteri. Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam memahami dan menafsirkan firman Alla SWT dalam surat An-Nisa‟ ayat 3.4 Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, akan tetapi asas monogami dalam UU Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami.5 3 Badriyah Fayumi, Euis Amalia, Yayan Sopyan, Sururin, Tien Rohmatin, Isu-isu Gender Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), h.40. 4 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.84. 5 Lihat Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya. 16 2. Dasar hukum dan syarat poligami Sedangkan dasar hukum mengenai poligami dalam pernikahan disebutkan secara jelas dan tegas dalam al-Qur‟an. Ayat yang sering menjadi rujukan para ulama dalam hal poligami antara lain ialah: adalah QS. Al-Nisa (4) : 3 yang artinya: Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,6 Maka (kawinilah) seorang saja,7 atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (al-Nisa [4]: 3). Sedangkan hadis-hadis Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang hukum poligami dengan jelas dan gamblangsebagai berikut: a. H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah RA dari Qais bin al-Haris: 6 Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. 7 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja. 8 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Ihya, tt), Jilid 1. h.628. Nomor hadis 1952. 17 Artinya: Dari Qais bin al-Haris berkata bahwa saya telah masuk Islam dan saya memeliki 8 (delapan) isteri, lalu saya datang kepada Rasulullah SAW lalu saya sebutkan kepadanya tentang hali itu maka Rasuluallah menyruhku untuk memilih 4 (empat) isteri saja. b. H.R Ahmad dan Turmuzi RA: Artinya: Dari Ibnu Umar RA ia berkata bahwa telah masuk Islam Qhailan asSaqafi dan dia memeliki 10 (10) isteri pada masa Jahiliyah dan mereka semua masuk Islam bersama dengannya, maka Rasulullah SAW menyuruhnya untuk memilih 4 (empat) saja. Sedangkan mengenai syarat poligami. Para ulama menyebutkan dua syarat yang Allah Subhanahu Wata‟ala sebut dalam Al-Quran ketika seorang lelaki hendak berpoligami, dan syarat lainnya yang disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu „Alaihi Wasallam antara lain sebagai berikut: 1. Jumlah istri yang paling banyak dikumpulkan adalah empat, tidak boleh lebih. 2. Bisa berbuat dan berlaku adil di antara para istri. 3. Adanya kemampuan jasmani dan nafkah dalam bentuk harta. 9 9. h.393. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001), Jilid 18 B. Legalitas Poligami Monogami ialah praktek perkawinan yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu, berbeda dengan perkawinan monogami, poligini adalah praktek perkawinan dengan dua orang istri atau lebih pada saat yang sama. Dua bentuk perkawinan ini memiliki legitimasi normatifnya dalam hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Tetapi dalam aktulisasi atau implementasinya, perkawinan poligini mengalami penyimpangan, cenderung mengutamakan keinginan-keinginan individual (self interrest). Padahal perkawinan poligini dalam Islam mengutamakan aspek kemaslahatan. Sejarawan Perancis terkemuka, Gustave Le Bon, menyatakan bahwa undang-undang Islam yang membenarkan poligami merupakan suatu keistimewaan dari agama ini, dan berkaitan dengan perselingkuhan dan hubungan gelap kaum peria dan wanita eropa.10 Keberadaan hukum di tengah masyarakat tidak hanya bertujuan menciptakan ketertiban dan keteraturan, tetapi hukum harus mampu memainkan peranan dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Dalam penegakan hukum, paling tidak ada tiga asas yang harus diperhatikan, yaitu: asas keadilan (Gerechtigkeit), asas kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan asas kepastian hukum 10 Haidar Abdullah, Kebebasan Seksual Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h.111. 19 (Rechtssicherheit). Dalam penegakan hukum, ketiga asas tersebut harus samasama diperhatikan secara proporsional dan seimbang.11 1. Poligami Dalam Perspektif Fikih Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa Islam bukanlah agama yang pertama kali mengenalkan institusi poligami. Fenomena poligami sudah ada pada sejarah manusia berabad-abad yang lalu sebelum datangnya Islam. Masyarakat Arab sebelum Islam juga sudah tidak asing lagi dengan praktik-praktik poligami dalam kehidupan sehari-harinya. Kedatangan Islam dengan ayat-ayat poligaminya, kendatipun tidak menghapus praktik ini, namun Islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan berlaku adil di antara para istri. Syarat-syarat ini ditemukan di dalam dua ayat poligaminya yaitu surah an-Nisa ayat 3 dan an-Nisa ayat 129. Artinya: “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya) maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” 11 Nur Rohim Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Jurisprudence Press, 2012),h. 84. 20 Selanjutnya pada surah yang sama ayat 129 Allah berfirman sebagai berikut: Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesunguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Ayat di atas menunjukkan bolehnya seorang laki-laki beristeri sampai dengan empat orang wanita saja dalam waktu yang sama. Penegasan ini dinyatakan dalam bentuk perintah. Akan tetapi, perintah pada ayat di atas hukumnya tidak dengan sendirinya menyatakan wajib seperti halnya perintah melakukan shalat lima waktu atau puasa di bulan ramadhan.12 Instrument hukum poligami tersebut hukumnya mubah, artinya bebas dilakukan oleh setiap lelaki muslim selama yang bersangkutan memenuhi persyaratan untuk dapat melakukannya dengan adil dan memberikan kecukupan kepada isteriisterinya. Namun dalam hal ini yang perlu dingat adalah prinsip murni dalam 12 Muhammad Thalib, Tuntunan Poligami dan Keutamaannya, (Bandung :Irsyad Baitus Salam, 2001), h.18. 21 Islam adalah monogami, yakni perkawinan antara satu laki-laki dengan satu perempuan, tanpa perceraian.13 Sebagaimana yang penulis kutip dari penjelasan yang disampaikan oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya yang mengambil pendapat dalam penafsiran Asghar, sebenarnya dua ayat di atas menjelaskan betapa al-Quran begitu berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang ada maka Al-Quran membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan syarat harus adil. Dengan mengutip al-Thabari, menurut Asghar, inti ayat di atas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka.14 Berbeda dalam pandangan fikih, poligami yang di dalam kitab-kitab fikih disebut dengan Ta’addud al-Zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, bahwa ulama sepakat tentang kebolehan poligami, kendatipun dengan persyaratan yang bergmacam-macam. As-Sarakhsi menyatakan kebolehan poligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya. As-Syafi‟i juga 13 Mahmoud Mohamed Taha, The Second Message of Islam, Terj., Nur Rachman, Syari‟ah Demokratik, (Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996), h.204. 14 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2004), h.158. 22 mensyaratkan keadilan di antara para istri, dan menurutnya keadilan ini hanya menyakut urusan materi atau unsur fisik saja semisal mengunjungi istri di malam atau di siang hari.15 Jika disederhanakan, pandangan normatif Al-Quran yang selanjutnya diadopsi oleh ulama-ulama fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh suami. Pertama, seorang laki-laki yang berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang laki-laki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain.16 Salah satu yang menjadi problematika sejak dahulu sampai sekarang yang tetap menjadi perdebatan hangat di kalangan ahli hukum Islam adalah status poligami. Mayoritas ilmuan klasik dan pertengahan berpendapat bahwa poligami adalah boleh secara mutlak. Sementara mayoritas pemikir kontemporer dan perundang-undangan muslim modern membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi tertentu yang sangat terbatas. Lebih dari itu ada pemikir dan UU perkawinan Muslim yang mengharamkan poligami secara mutlak.17 15 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia…, h. 158. 16 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia…, h. 159. 17 Akhmad Haries, Poligami dalam perspektif Asghar Ali Engineer dan relevansinya dengan konteks Indonesia, Jurnal Mazahib, vol. IV, No. 2, Desember 2007, h.1. 23 Dengan ungkapan lain, ada tiga (3) pandangan tentang poligami ini, yakni: Pertama, mereka yang membolehkan poligami secara mutlak, di antaranya mayoritas ulama klasik dan pertengahan, dengan syarat; mampu mencukupi nafkah keluarga, dan mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, di antaranya dari mazhab Hanafi seperti al- Sarakhsi, al-Kasani, Imam Malik dan Imam al-Syafi‟i. Kedua, mereka yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi-kondisi tertentu; Di antara tokoh yang masuk kelompok ini adalah Quraisy Shihab, Asghar Ali Engineer, Amina Wadud dan lain-lain. Dan ketiga, mereka yang melarang poligami secara mutlak, di antaranya al-Haddad dan Druze Lebanon.18 Sementara alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami, menurut Abdurrahman setelah merangkum pendapat fuqaha, setidaknya ada delapan keadaan. Pertama, istri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan. Kedua, istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan. Ketiga, istri sakit ingatan. Keempat, istri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai istri. Kelima, istri memiliki sifat buruk. Keenam, istri minggat dari rumah. Ketujuh, ketika terjadi ledakan perempuan dengan sebab perang misalnya. Kedelapan, 18 Khoiruddin Nasution, ”Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal Musawa, No. 1. Vol. 1. Maret 2002, h.59-78. 24 kebutuhan suami beristri lebih dari satu, dan jika tidak menimbulkan kemudharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya.19 Al-Athar dalam bukunya Ta’ddud al-Zaujat sebagaimana yang telah dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Hukum Perdata Islam di Indoneisia menyebutkan ada empat dampak negatif poligami yaitu: Pertama, poligami dapat menimbulkan kecemburuan diantara para istri. Kedua, menibulkan rasa kekhawatiaran istri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap bijaksana dan adil. Ketiga, anak-anak yang dilahirkan dari ibuibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya perkelahian, permusuhan dan saling cemburu. Keempat, kekacauan dalam bidang ekonomi.20 Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda (madunya istri tua) menjadi tegang, sementara anak-anak yang berlainan ibu menjurus kepada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya terjadi ketika ayahnya telah meniggal dunia, agar hal-hal yang bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang beristri 19 Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT rineka cipta, 1992), h.46- 47. 20 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia…, h.161. 25 lebih dari satu orang, maka undang-undang perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu,21 dengan mengantisipasi lebih awal membatasi kawin lebih dari satu orang dengan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu. Undang-undang perkawinan memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan itu betul-betul membawa manfaat kepada mereka yang melaksanakannya.22 Islam memiliki sistem-sistem perkawinan yang sempurna yang mempertimbangkan semua variable manusiawi dan memberikan jalan keluar yang jelas bagi kaum pria maupun wanita. Pengingkaran terhadap validitas dan legalitas poligami sama saja dengan meningkari ketuntasan sistem perkawinan Islam dan kebijakan ketetapan tuhan.23 2. Regulasi pelaksanaan poligami yang berlaku dalam perspektif hukum positif di Indonesia adalah: Asas perkawinan di Indonesia seperti yang tercantum dalam Undangundang No. 1 Tahun 1974 adalah monogami. Poligami merupakan 21 Sebagaimana yang penulis kutip dari bukunya amir syarifuddin, hukum perkawinan Islam Indonesia antara fikih munakahat dan undang-undang perkawinan menyebutkan, asas dan prinsip perkawinan itu dalam bahasa sederhananya adalah sebagai berikut: satu, asas sukarela. Dua, partisipasi keluarga. Tiga, perceraian dipersulit. Empat, poligami dibatasi secara ketat. Lima, kematangan calon mempelai. Enam, memperbaiki derajat kaum wanita. 22 23 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, …, h. 10 -11. Abu Aminan Bilal Philips, Monogami Dan Poligini Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h.8. 26 pengecualian dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang ditentukan dalam perundang-undangan. Perkawinan di Indonesia termasuk di dalamnya aturan poligami diatur sedemikian rupa yang terhimpun dalam beberapa peraturan perundangundangan di antaranya adalah: Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksana Udangundang No. 1 Tahun 1974, PP No. 10 Tahun 1983, PP No. 45 Tahun 1990 dan Kompilasi Hukum Islam. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam UU No. 1 Tahun 1974, masalah poligami diatur pada pasal 3, 4, dan 5. Pasal 3 berbunyi :24 (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihakyang bersangkutan. Dari penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria 24 (2). Lihat Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 3 ayat (1) dan 27 hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun dalam pasal 3 ayat (2) dijelaskan tentang pengecualian dari pasal 3 ayat (1) yakni: pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihakpihak yang berasangkutan. Dari paparan di atas, ternyata poligami di Indonesia tidak boleh dilakukan secara liar atau illegal. Institusi peradilanlah satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas memberikan dispensasi untuk poligami. Adapun persyaratan yang harus dilengkapi oleh orang yang mengajukan dispensasi poligami adalah cukup alasan. Alasan tersebut seperti yang tercantum dalam pasal 4 ayat (1) dan (2) yaitu:25 (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. 25 (2). Lihat Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 4 ayat (1) dan 28 b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Dengan demikian, seseorang yang ingin melaksanakan hajatnya untuk berpoligami harus mengajukan alasan-alasan yang sudah ditentukan dalam peraturan yang tertera dalam pasal 4 ayat (2) dalam pasal 5 ayat (1) dan (2) diperjelas lagi:26 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. adanya persetujuan dari isteri/ister-isteri b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka c. adanya jaminan bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama 26 (2). Lihat Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 5 ayat (1) dan 29 sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Aturan Pelaksana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Untuk kelancaran pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang mengatur ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Dan dalam hal suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Pengadilan Agama, kemudian di Pengadilan Agama akan memberikan keputusan apakah permohonan tersebut diluluskan atau ditolak. Dalam PP No. 9 Tahun 1975 mengatur lebih terperinci tentang Pelaksanaan poligami Atas Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan beristri lebih dari seorang. Yaitu : Pasal 40 Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Pasal 41 Pengadilan kemudian memeriksa mengenai : a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah : 30 1) bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; 2) bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3) bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan. b. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan. c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan: 1) surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau 2) surat keterangan pajak penghasilan; atau 3) surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan; d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. Pasal 42 (1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan. 31 (2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Pasal 43 Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang. Pasal 44 Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43. 3. PP No. 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya menganut asas monogami, dimana seorang pria hanya mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya mempunyai seorang suami. Namun dalam keadaan tertentu dan dengan putusan pengadilan maka seorang PNS pria bisa memiliki istri lebih dari seorang (poligami). Tujuan dibuatnya PP No. 10 Tahun 1983 ini adalah dinyatakan dalam konsideran pertimbangan poin (b) yakni bahwa pegawai negeri sipil wajib 32 memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga.27 Perizinan poligami dalam PP No. 10 Tahun 1983 sesuatu hal yang sangt sulit dilakukan. Peraturan disebutkan dalam pasal 4 yaitu: Pasal 4 (1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat. (2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil. (3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat. (4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan secara tertulis. (5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat. 27 Lihat consideran pertimbangan poin (b) Peraturan pemerintah No 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. 33 PNS pria yang ingin berpoligami wajib mengajukan izin secara tertulis terlebih dahulu dari pejabat dengan disertai alasan-alasan yang mendasari keinginannya tersebut. Izin tersebut hanya dapat diberikan jika memenuhi sekurang-kurangnya satu syarat alternatif dan semua syarat kumulatif.28 Adapun syarat alternatif sebagaimana dimaksud adalah :29 a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan Adapun syarat kumulatif yang harus dipenuhi adalah :30 a. ada persetujuan tertulis dari isteri b. PNS yang bersangkutan mempunyai menghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan c. ada jaminan tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. 28 Lihat Pasal 10 PP 10 Tahun 1983 29 Lihat Pasal 10 Ayat 2 PP 10 Tahun 1983 30 Pasal 10 Ayat 3 PP 10 Tahun 1983 34 Pejabat yang menerima permintaan izin untuk berpoligami wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan dari atasan PNS yang bersangkutan. Apabila ada alasan yang dirasa kurang meyakinkan maka pejabat tersebut dapat meminta keterangan tambahan dari isteri atau pihak lain yang dianggap perlu. Sebelum mengambil keputusan, maka pejabat memanggil PNS yang bersangkutan, baik sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberikan nasehat. Seorang pejabat juga dapat menolak permintaan izin untuk berpoligami jika :31 a. Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh PNS yang mengajukan izin b. Tidak memenuhi salah satu syarat alternatif dan semua syarat kumulatif c. Bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku d. Alasan yang dikemukakan untuk beristri lebih dari seorang bertentangan dengan akal sehat dan/atau e. Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan yang dinyatakan dalam surat keterangan atasan langsung dari PNS yang bersangkutan. 31 Pasal 10 Ayat 4 PP 10 Tahun 1983. 35 4. PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintahan Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil merupakan unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk menyelenggarakan kehidupan keluarga. PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 mengatur tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Dalam pasal 4 ayat 2 PP No. 10 Tahun 1983 menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil wanita di izinkan untuk menjadi istri kedua, ketiga ataupun keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, kemudian PP tersebut direvisi oleh PP No. 45 Tahun 1990 dengan tidak memperbolehkan sama sekali PNS wanita untuk menjadi istri kedua, ketiga ataupun keempat baik oleh Pria PNS maupun bukan PNS.32 5. Kompilasi Hukum Islam Yang melatarbelakangi Kompilasi Hukum Islam adalah keinginan untuk mengadakan kodifikasi dan unfikasi hukum Islam di Indonesia, minimal hukum Islam yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama, karena tanpa adanya hal itu, dikhawatirkan akan muncul 32 Sipil. Lihat pasal 4 Ayat 2 PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Izin Poligami Bagi Pegawai Negeri 36 ketidakpastian hukum di lingkungan Peradilan Agama yakni permasalahan yang sama, diajukan oleh orang yang berbeda menghasilkan hukum yang berbeda pula. Kompilasi ini dikukuhkan dengan Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991. Di dalamnya menyangkut tiga pokok permasalahan yang terbagi menjadi tiga buku. Buku I Berisi Hukum Perkawinan, Buku II Berisi Hukum Kewarisan, Buku III Berisi Hukum Wakaf.33 Dalam menjabarkan masalah poligami, KHI lebih cenderung sebagai tafsir dan bayan bagi Undang-undang No 1 Tahun 1974, yakni poligami sebagai dispensasi dari monogami dengan beberapa persyaratan. Permasalahan poligami tercantum dalam Bab IX dari pasal 55 sampai dengan pasal 59.34 Dalam Inpres No. 1/1991, masalah poligami diatur pada pasal 55, 56, 57, 58, dan 59. Pasal 55 berbunyi : (1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri. (2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. 33 Badriyah Fayumi, Euis Amalia, Yayan Sopyan, Sururin, Tien Rohmatin, Isu-isu Gender Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), h. 58-59. 34 Badriyah Fayumi, Euis Amalia, yayan sopyan, …, h.59. 37 (3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang. Pasal 56 berbunyi : (1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. (2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. Tahun 1975. (3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 57 berbunyi : Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 58 berbunyi : (1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undangundang No. 1 Tahun 1974 yaitu : 38 a. adanya persetujuan isteri b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekali pun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama. (3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Pasal 59 berbunyi : Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan. 39 C. Poligami Dalam Lintas Sejarah dan Hikmah Disyariatkan Poligami 1. Poligami Dalam Lintas Sejarah Sebenarnya sistem poligami sudah meluas ke banyak bangsa sebelum Islam melaksanakan datang, Diantaranya bangsa-bangsa yang praktik poligami ialah: Bangsa Ibrani, Arab Jahiliyah, Saqalibah atau disebut juga orang-orang terdahulu (Cisilia) yang sekarang itu mereka dinisbatkan kepada bangsa-bangsa penghuni negara- negara Rusia, Lituania, Polandia, Cokoslowakia dan Yugoslowakia dan menurut sebagian Orang-orang Jerman dan Saxson, mereka memasukkan juga bangsa-bangsa sekarang dinamakan: Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Inggris. Tidak benar mereka katakan bahwa Islamlah yang membawa apa yang sistem poligami. Sebenarnya sistim poligami itu tersebar hingga hari ini ke beberapa bangsa tidak beragama Islam, seperti orang-orang bangsa Afrikia, India, Cina dan Jepang, tetapi juga tidak benar kalau dikatakan sistem poligami ini tersebar ke negara-negara umat beragama Islam saja.35 Bangsa Arab sebelum Islam melakukan poligami tanpa batas, bahkan taurat yang ada di tangan kita saat ini membolehkan poligami tanpa batas. 35 http://master.islamic.uii.ac.id/index.php/Artikel/POLIGAMI-DAN-APLIKASI-HUKUMISLAM-DI-INDONESIA.html, diakses, pada tanggal 13 juli 2014 jam13:20 WIB. 40 Taurat juga menyebutkan bahwa sebagian para nabi melakukan poligami tanpa batas, dan Islam datang membatasinya dengan jumlah empat orang wanita dan meletakkan syarat adil dan mampu memberi nafkah, dan ia adalah syarat setiap perkawinan sekalipun hanya dengan satu orang. Ia adalah syarat agama yang menyebabkan seseorang berdosa bila tidak menunaikannya.36 Poligami telah dikenal oleh bangsa-bangsa di permukaan bumi sebagai masalah kemasyarakatan. Poligami juga banyak diperhatikan oleh para sarjana dan ahli-ahli seksiologi seperti Sigmund Freud, Adler, H. Levie, Jung, Charlotte Buhler, Margaret Mead dan lain-lain. Di dunia Barat, kebanyakan orang benci dan menentang poligami. Sebagian besar bangsa-bangsa disana menganggap bahwa poligami adalah hasil dari perbuatan cabul dan oleh karenanya dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral. Akan tetapi, kenyataannya menunjukkan lain, dan inilah yang mengherankan. Di Barat, kian merajalela terjadinya praktik-praktik poligami secara liar atau non-legal di luar perkawinan yang sah, hal yang demikian sejak dulu sudah bukan rahasia lagi. Hendrik II, Hendrik IV, Lodeewijk XV, Rechlieu, dan Napoleon I, adalah sekadar contoh orang-orang besar Eropa yang berpoligami secara illegal, bahkan Pendeta-pendeta Nasrani yang telah bersumpah tidak akan kawin selam hidupnya, tidak malu-malunya membiasakan juga kebiasaan 36 Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi, (Jakarta: Tim Pustaka Darul Haq, 2007), h.73. 41 memelihara istri-istri gelap dengan izin sederhana dari uskup atau kepalakepala gereja mereka.37 Melihat realita ini, banyak juga diantara para sarjana barat, penganjur poligami atau paling tidak orang-orang barat yang mulai terbuka dan bersikap lunak dengan poligami. Dr. Gustav Le Bon pernah berkata: “pada masa-masa yang akan datang nanti, Undang-undang Bangsa Eropa akan melegalisasi poligami”. M. Letourbeau juga pernah berkata: “hingga sampai saat ini, belum juga dapat diyakini bahwa sistem monogami itu yang lebih baik”.38 Di zaman yang serba modern ini, soal poligami tampaknya masih hangat dibicarakan. Malah sebagian orang tidak puas dengan sekedar membahas tentang baik buruknya sistem poligami bagi manusia, tetapi lebih jauh lagi orang ingin mengetahui sifat biologis manusia pria dan wanita. Yaitu, apakah memang manusia jenis kelamin pria itu bersifat poligami atau tidak dan apakah manusia wanita itu bersifat monogami atau tidak.39 Dalam realitasnya, hanya golongan Kristen Katholik saja yang tidak membolehkan pembubaran akad nikah kecuali dengan kematian saja, sedangkan aliran-aliran Ortodoks dan Protestan atau Gereja Masehi Injil 37 Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2009).h. 353. 38 Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,…,h. 353. 39 Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,…,h. 355. 42 membolehkan seorang Kristen untuk menceraikan istrinya dengan syaratsyarat yang tertentu pula.40 Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan tidak mengahruskan umatnya melaksanakan monogami mutlak. Dengan pengertian seorang laki-laki hanya boleh beristri seorang wanita dalam keadaan dan situasi apa pun dan tidak pandang bulu apakah laki-laki itu kaya atau miskin, hiposek atau hipersek, adil atau tidak adil secara lahiriyah. Islam pada dasarnya menganut sistem monogami dengan memberikan kelonggaran dibolehkannya poligami terbatas. Pada perinsipnya seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang istri dan sebaliknya seorang istri hanya memiliki seorang suami. Tetapi, Islam tidak menutup diri adanya kecendrungan lakilaki beristri banyak sebagaimana yang sudah berjalan dahulu kala. Islam tidak menutup rapat kemungkinan adanya laki-laki tertentu berpoligami, tetapi tidak semua laki-laki harus berbuat demikian karena tidak semuanya mempunyai kemampuan untuk berpoligami. Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami sebagai alternatif atau pun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks laki-laki atau sebab-sebab lain yang menggangu ketenangan batinnya agar tidak sampai jatuh ke lembah perzinaan maupun pelajaran yang jelas-jelas diharamkan agama. Oleh sebab itu tujuan poligami adalah menghindari agar 40 Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap…, h. 356. 43 suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang Islam dengan mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi dengan syarat bisa berlaku adil. Poligami dalam lintas sejarah manusia ternyata mengukuti pola fikir masyarakat terhadap pandangan mereka kepada kaum perempuan. Ketika suatu masyarakat itu memandang kedudukan dan derajat perempuan itu sebagai makhluk yang hina, maka poligami menjadi subur (banyak dilakukan), sebaliknya pada masyarakat yang memandang kedudukan dan derajat perempuan itu terhormat, poligami pun berkurang. Jadi konklusi dari tingkat perkembangan poligami dilihat dari realita sejarahnya juga mengalami diagram fluktuatif. Islam datang dengan membawa pesan moral kemanusiaan yang tidak ada bandingannya dalam agama manapun. Ketika Nabi Muhammad SAW. membawa pesan Islam datang, kebebasan berpoligami itu tidak serta merta dihapuskan, namun setelah ayat menyinggung poligami diwahyukan, Nabi SAW lalu melakuka perubahan sesuai petunjuk kandungan ayat. Pertama, membatasi jumlah bilangan isteri hanya empat. Kedua, Islam menetapkan bagi seorang pria yang melakukan poligami untuk berlaku adil terhadap semua isterinya. Dengan adanya sistem poligami dan ketentuannya dalam ajaran islam, merupakan suatu karunia begi kelestariannya, yang menghindari dari 44 perbuatan-perbuatan sosial yang kotor dan akhlak yang rendah dalam masyarakat yang mengakui poligami. Adapun dalam masyarakat yang melarang poligami dapat dilihat hal-hal sebagai berikut:41 a. Kejahatan dan pelacuran tersebar dimana-mana sehingga jumlah pelacur lebih banyak dari pada perempuan yang bersuami. b. Banyaknya anak-anak yang lahir tanpa ayah yang jelas, sebagai hasil dari perbuatan diluar nikah. Di amerika, misalnya setiap tahun lahir anak di luar nikah lebih dari dua ratus ribu. c. Munculnya bermacam-macam penyakit badan, kegoncangan mental, dan gangguan-gangguan syarat. d. Mengakibatkan keruntuhan mental. e. Merusak hubungan yang sehat antara suami dan istrinya, menggangu kehidupan rumah tangga dan memutuskan tali ikatan kekeluargaan, sehingga tidak lagi menganggap segala sesuatu yang berharga dalam kehidupan bersuami istri. f. Meragukan sahnya keturunan sehingga suami tidak yakin bahwa anakanak yang diasuh dan dididik adalah darah dagingnya sendiri. Bahwasanya Ini membuktikan poligami yang diajarkan oleh Islam merupakan cara yang paling sehat dalam memecahkan masalah ini dan 41 Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap…, h.360. 45 merupakan cara yang paling cocok untuk dipergunakan oleh umat manusia dalam hidupnya di dunia. Secara historis masalah poligami sebelumnya telah marak diperbincangkan, jauh sebelum UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjadi Undang-undang. Pada akhirnya monogami ditetapkan menjadi salah satu azas tetapi dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan agamanya diizinkan bagi seorang suami beristeri lebih dari seorang. Masuk dalam pengecualian tersebut adalah orang yang beragama Islam, karena secara normatif tekstual Al-Qur‟an dianggap membolehkan poligami. 2. Hikmah Disyariatkannya poligami Sesungguhnya segala sesuatu yang ditetapkan dalam ajaran agama Islam ini tidak akan ditetapkan kecuali untuk satu hikmah atau beberapa banyak hikmah yang terkandung di dalamnya, dan manusia kadang menemukan hikmah-hikmah tersebut atau hanya sebagiannya saja sejak awal, dan kadang hikmah-hikmah tersebut bisa ditangkap manusia setelah memeras pikiran dan melewati beberapa proses peneltian yang panjang, dan kadang manusia tidak bisa mengetahui secara mutlak.42 Hikmah poligami beragam dan banyak sekali, di antaranya: 42 Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi…, h.64. 46 Pertama: terdapat realita yang tampak mencolok di berbagai masyarakat dunia akan lebih banyak jumlah kaum wanita yang telah melewati umur untuk menikah dibanding kaum laki-laki, sebagaimana yang terjadi di Negara-negara Eropa Utara, dimana kaum wanita disana melebihi kaum lakilaki secara mencolok diluar waktu perang sekalipun. Maka solusinya adalah, laki-laki yang telah mencapai umur untuk menikah sebagian atau semuanya menikahi lebih dari seorang, dan bahwasanya wanita kedua, ketiga atau keempat tersebut adalah istri terhormat dan mulia bagi suaminya.43 Kedua: umat manusia seringkali mengalami krisis yang menyebabkan surplusnya kaum wanita, seperti yang biasa terjadi pasca revolusi, wabah atau bencana alam. Banyak kaum wanita yang akan hidup tanpa suami, dan itu akan menghasilkan resiko semakin berkurangnya angka kelahiran dan itu tidak mustahil. Jika dalam kondisi seperti ini poligami tidak diperbolehkan sebagaimana yang dilakukan islam, maka kemesuman, pergaulan bebas, penyelewengan dan pelacuran akan tersebar di masyarakat dan semakin meningkat jumlah anak-anak haram.44 Ketiga: jika istri mandul sang suami ingin punya anak, maka tak ada jalan baginya, karena mencintai anak-anak adalah insting yang tertanam dalam diri manusia, maka solusinya adalah, istri yang mandul itu tetap 43 Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi, …,h.65-66. 44 Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi, …,h.67. 47 bersama sang suami menikmati hak-hak perkawinan secara sempurna, dan suami dibolehkan untuk menikah dengan wanita lain (poligami) untuk mewujudkan fitrah manusia berupa kecintaanya terhadap anak-anak, tanpa meniggalkan mudharat atau merampas hak-hak istrinya yang pertama dan ini adalah solusi islami.45 Keempat: bahwa istri ditimpa penyakit yang berkepanjangan atau penyakit yang menular atau penyakit yang menakutkan yang menyebabkan sang suami tidak dapat menggaulinya sebagaimana layaknya hubungan suami istri yang normal.46 Kelima: bahwa seorang laki-laki memiliki kekuatan biologis yang hebat dimana dia tidak cukup dengan seorang istri atau tidak bisa menahan diri pada hari-hari dimana sang istri tidak boleh digauli, seperti masa-masa haid, hamil, semasa melahirkan, ketika sedang sakit, atau karena usia yang telah lanjut.47 Keenam: Anak yang dilahirkan menpunyai legal formal dan ayah yang jelas. Banyaknya anak-anak yang lahir tanpa ayah yang jelas, sebagai hasil dari perbuatan di luar nikah. Berbeda dengan anak yang lahir dari perbuatan zina yang akan selalu mendapat cemoohan dan cacian dari masyarakat, 45 Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi…, h.68. 46 Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi …, h.69. 47 Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi…, h. 71 48 sedangkan anak yang lahir dari pernikahan poligami yang resmi akan mendapat legal formal baik dari Negara maupun dari masyarakat. Ketujuh: Status yang jelas bagi perempuan. Sama halnya dengan anak yang lahir dari perbuatan zina yang tidak memiliki status yang jelas di masyarakat dan hukum, maka perempuan yang berbuat zina juga tidak memiliki ststus sosial yang jelas. Kedelapan: Hanya Allah lah yang maha mengetahui hikmah dari segala ucapan dan perbuatan, karena dibolehkannya poligami bukan berarti menghina kaum wanita atau merendahkan derajat dan kemulian mereka, akan tetapi semata demi kemaslahatan bagi wanita, laki-laki dan masyarakat banyak. Sayyid Sabiq menerangkan hikmah berpoligami cukup panjang sebagaimana disadur oleh Achmad Kuzari dalam bukunya nikah sebagai perikatan antara lain:48 1. Sebagai karunia dan rahmat Allah, dan menjadi diperlukan untuk kemakmuran dan kemaslahatan. 2. Memperbesar jumlah ummat karena keagungan itu hanyalah bagi yang berjumlah banyak. 3. Mengurangi jumlah janda sambil menyantuni mereka. 4. Mengantisipasi kenyataan bahwa jumlah wanita berlebih dibanding pria. 48 Kuzari Achmad, Nikah Sebagai Perikatan,…,h. 166. 49 5. Mengisi tenggang waktu yang lowong berhubungan secara kodrati pria itu lebih panjang masa membutuhkan berhubungan seks baik karena dalam usia lanjut yang wanita sudah tidak membutuhkan sementara pria tetap saja, atau pun karena tenggang waktu sebab haid dan nifas. 6. Dapat mengatasi kalau istri mandul, dan 7. Sebaliknya di tempat yang menganut pemaksaan monogami terlahir banyak kefasikan, banyak WTS (wanita tuna susila), dan banyak pula anak di luar nikah. Dari penjelasan mengenai beberapa banyak hikmah yang sudah penulis kemukakan di atas menunjukkan bahwa syariat Islam membawa ajaran yang komprehensif mengenai solusi dari persoalan pelik kehidupan masyarakat dan membawa maslahat bagi umat manusia, sedangkan bagi mereka yang mengingkari adanya sistem poligami dalam hukum perkawinannya maka bisa dilihat banyak timbul masalah-masalah sosial dalam lingkungan masyarakat, keluarga, dan Negara. BAB III PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR SEBAGAI PELAKSANA KEKUSAAN KEHAKIMAN A. Sejarah Singkat Eksistensi Pengadilan Agama Jakarta Timur Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum republik Indonesia.1 Kata peradilan berasal dari kata adil dengan awalan “per” dan imbuhan “an”. Kata peradilan sebagai terjemahan dari Qadha yang berarti memutuskan, melaksanakan,menyelesaikan. Dan ada pula yang menyatakan bahwa umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan.2 Dalam literatur fikih islam, peradilan disebut Qadha artinya menyelesaikan seperti firman Allah: Artinya: 11 Lihat pasal 1 undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Dan lihat bukunya fauzan, pokok-pokok hukum acara perdata peradilan agama dan mahkamah syariah di Indonesia, Jakarta: kencana, 2007, h.1. 2 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.1. 50 51 “Manakala zaid telah menyelasaikan keperluannya dari zainab” (QS. AlAhzab: 37) Ada juga yang berarti menunaikan seperti firman Allah: Artinya: “Apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah kepelosok bumi” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Di samping itu menyelesaikan dan menunaikan seperti di atas. Arti qadha yang dimaksud ada pula yang berarti memutuskan hukum atau menetapkan suatu ketetapan. Dalam dunia peradilan menurut para pakar, makna yang terakhir inilah yang dianggap signifikan. Dimana makna hukum disini pada asalnya berarti menghalangi atau mencegah, karenanya qadhi dinamakan hakim karena seorang hakim berfungsi untuk menghalangi orang yang zalim dan penganiayaan. Oleh karena itu apabila seseorang menagatakan hakim telah menghukum begini artinya hakim telah meletakkan sesuatu hak yang mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya yang berhak. Kata peradilan menurut istilah ahli fikih adalah berarti: 1. Lembaga hukum (tempat dimana seorang mengajukan mohon keadilan) 2. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya. 52 Dalam kajian hukum acara perdata peradilan agama ada beberapa istilah yang perlu dipahami, yaitu:3 1. Peradilan, bersal dari bahasa arab adil yang sudah diserap menjadi bahasa Indonesia yang berarti proses mengadili atau suatu upaya untuk mencari keadilan atau penyelasaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan menurut peraturan yang berlaku. Peradilan merupakan suatu pengertian yang umum. Dalam bahasa arab disebut al-qadha, artinya proses mengadili dan proses mencari keadilan. Dalam bahasa belanda disebut recshtpraak (kini tertuang dalam pasal 1 butir 2 UU Nomor 3 Tahun 2006. 2. Pengadilan, merupakan pengertian yang khusus adalah suatu lembaga (institusi) tempat mengadili atau menyelesaian sengketa hukum di dalam rangka kekuasaan kehakiman, yang mempunyai kewenangan absolut dan relatif sesuai dengan peraturan perundag-undagan yang menentukannya/ membentuknya. Dalam bahasa disebut al-mahkamah, dalam bahasa belanda disebut radd. 3. Pengadilan Agama, adalah suatu badan peradilan agama pada tingkat pertama. PTA, adalah peradilan agama tingkat banding. 4. Hakim, hakim adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk meyelesaikan dakwaan-dakwaan dan persengketaan, karena penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri semua tugas, sebagaimana Rasulullah SAW. 3 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia…, h. 6-7. 53 Pada masanya telah mengangkat qadhi untuk meyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat-tempat yang jauh (kini diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No. 7 Tahun 1998). 5. Yang dimaksud dengan hukum acara perdata disini adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan agama. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa peradilan dapat diidentifikasi sebgai bagian dari pranata hukum, sedangkan hukum dapat diidentifikasikan sebagai bagian dari pranata sosial. Mengutip pandangan sumner, bahwa pranata adalah konsep dan struktur, hukum adalah pranata (institution). Hal itu didasarkan kepada gagasan keadilan dan kepatutan. Gagasan itu dikonstruksikan dan mencakup pengadilan (courts), perangkat hukum (statutory provisions). Oleh karena itu, peradilan dapat didentifikasi sebagai pranata sosial . dalam kenyataannya, peradilan berhubungan secara timbal balik, bahkan saling tergantung (interdependency) dengan pranata hukum lainnya, seperti perangkat hukum (tertulis dan tidak tertulis), sistem hukuman, politik hukum, dan nilai-nilai hukum, bahkan berhubungan dengan penyuluhan hukum dan pendidikan hukum.4 Dalam penataan hubungan diantara anggota masyarakat manusia itu diperlukan patokan tingkah laku yang disepakati bersama, yang bersumber kepada nilai-nilai budaya yang dipatuhi dan mengikat kepada semua pihak. 4 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia…, h. 17-18. 54 Dalam wujudnya yang lebih konkrit patokan tingkah laku itu dikenal sebagai hukum, yang berfungsi sebagai pengendali masyarakat untuk mewujudkan ketertiban dan ketentaraman.5 Peradilan Agama adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga lingkungan peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan dalam undang-undang yang baru yakni Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman ditambah dengan Mahkamah Konstitusi. Peradilan Agama adalah salah satu di antara peradilan khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau menangani golongan rakyat tertentu. Dalam hal Peradilan Agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu saja, tidak termasuk bidang pidana dan pula hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata islam tertentu tidak mencakup seluruh perdata islam. Peradilan Agama adalah peradilan islam di Indonesia, sebab dari jenisjenis perkara yang boleh diadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut 5 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia …, h. 20. 55 agama islam. Dirangkaikannya kata-kata peradilan islam dengan di Indonesia adalah karena jenis perkara yang boleh diadilinya, tidaklah mencakup segala macam perkara menurut Peradilan Islam secara universal. Tegasnya peradilan agama adalah Peradilan Islam limitatif, yang telah disesuaikan (di mutatis mutandis-kan) dengan keadaan di Indonesia.6 Dari yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa peradilan agama adalah satu dari peradilan Negara di Indonesia yang sah, yang bersifat peradilan khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia.7 Pasal 24 ayat (2) undang-undang dasar 1945 (hasil amandemen ketiga), menegaskan bahwa: (kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.8 Amandemen ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia mengakibatkan posisi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama menjadi 6 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh,( Jakarta: Kencana, 2010), h. 9-10. 7 Basiq Djalil, peradilan Agama di Indonesia…, h. 10. 8 Lihat pasal 24 ayat (2) uud nri 1945 hasil amandemen ke-3. 56 sangat kokoh, selain juga kewenangan absolutnya menjadi bertambah luas sejak diamandemennya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undangundang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan pertama dan kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.9 Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 berbunyi: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Menurut pasal ini kekuasaan kehakiman pertama, merupakan kekuasaan yang merdeka (an independent judiciary). Pada masa yang lalu disebut “een onafhankelijke macth” yakni kekuasaan kehakiman yang bebas, tidak tergantung pada kekuasaan lain. Kedua, kekuasaan menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan , agar ketertiban masyarakat dapat tercipta (to achieve social order) dan ketertiban masyarakat terpelihara (to maintain social order). Penegasan mengenai pengertian tersebut diulang kembali pada pasal 1 uu no. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi “ kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan 9 Taufiq Hamami, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Pasca Amandemen ke Tiga UUD 1945, (Jakarta: Tatanusa, 2013), h.2. 57 guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya Negara hukum republik Indonesia.10 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa peradilan agama merupakan salah satu lembaga peradilan Negara disamping peradilan militer, peradilan tata usaha Negara, dan perdilan umum. Keempat lembaga peradilan tersebut merupakan lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia, yang bertugas menerima, mengadili, memeriksa, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Sebagai milik bangsa Indonesia, khususnya yang beragama islam, Peradilan Agama lahir tumbuh dan berkembang bersama tumbuh dan berkembangnya bangsa Indonesia. Kehadirannya mutlak sangat diperlukan untuk meneggakan hukum dan keadilan bersama dengan lembaga peradilan lainnya. Peradilan Agama telah memberikan andil yang cukup besar kepada bangsa Indonesia pada umumnya, khususnya bagi umat Islam sejak Islam berada di bumi persada ini. Dalam pemerintahan kerajaan Islam sebagai ciri tata pemerintahan nusantara pada priode berikutnya. Peradilan Agama memperoleh tempat yang lebih nyata sebagai penasihat raja dalam bidang agama, dengan keluarnya Stbl. 1882 Nomor 152 oleh pemerintah kolonial Belanda, yang kemudian ditambah dan diubah dengan Stbl. 1937 Nomor 116 dan 160 dan Stbl 1937 10 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 1. 58 Nomor 638 dan 639 Peradilan Agama diakui sebagai peradilan Negara, meskipun dibiarkan pertumbuhannya tanpa adanya pembinaan sama sekali.11 Kemudian pada zaman kemerdekaan, tercatat beberapa peraturan yang mengakui eksistensi peradilan agama, antara lain adalah undang-undang darurat Nmor 1 Tahun 1951 Jo. Undang-undang Nomor 1 tahun 1961, peraturan pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, peeraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, dan terakhir undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Meskipun Peradilan Agama telah tumbuh dan berkembang seperti sekarang ini, tetapi jarang sekali kita temui tulisan-tulisan tentang peradilan agama di Indonesia secara utuh dan lengkap. Meskipun peradilan agama telah mempunyai sejarah yang panjang, tetapi dilewatkan saja oleh para cendekiawan dalam percaturan ilmu pengetahuan. Kondisi seperti ini mungkin disebabkan para ulama dan cendekiawan muslim selalu menganggap rendah terhdap Peradilan Agama ini. Mereka menganggap bahwa berbicata tentang peradilan agama berarti sama saja berbicara tentang kemunduran , 11 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 205. 59 juga berbicara tentang hal yang sia-sia dan tidak tertolong lagi dari masa kejayaan islam.12 Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam dengan Impress Nomor 1 Tahun 1991. Diharapkan mulai babak baru dalam sejarah perkembangan peradilan agama di Indonesia. Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan dalam perkara tertentu antara otang-orang yang beragama islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, dan ekonomi syariah. Dengan penegasan kewenangan peradilan agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut, termasuk pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksananya dan memperkuat landasan hukum mahkamah syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun.13 Dalam Undang-undang ini, kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan 12 13 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan…, h. 206. Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h.230. 60 kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah. Dalam kaitannya dengan perubahan undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyatakan “ para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang digunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.14 Sebagai kelanjutan dari sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap peradilan agama, pada tahun 1828 dengan ketetapan Komisaris Jenderal tanggal 12 Maret 1828 nomor 17 khusus untuk Jakarta (Betawi) di tiap-tiap distrik dibentuk satu majelis distrik yang terdiri dari : a. Komandan Distrik sebagai Ketua b. Para penghulu masjid dan Kepala Wilayah sebagai anggota Majelis ada perbedaan semangat dan arti terhadap Pasal 13 Staatsblad 1820 Nomor 22, maka melalui resolusi tanggal 1 Desember 1835 pemerintah di masa itu mengeluarkan penjelasan Pasal 13 Staatsblad Nomor 22 tahun 1820 sebagai berikut: “Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang harus diputus menurut hukum Islam, maka para “pendeta” 14 Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia…, h. 230. 61 memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembiayaan yang timbul dari keputusan dari para “pendeta” itu harus diajukan kepada pengadilanpengadilan biasa”.15 Penjelasan ini dilatarbelakangi pula oleh adanya kehendak dari pemerintah Hindia Belanda untuk memberlakukan politik konkordansi dalam bidang hukum, karena beranggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari hukum yang telah ada di Indonesia. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1838 di Belanda diberlakukan Burgerlijk Wetboek (BW). Akan tetapi dalam rangka pelaksanaan politik konkordansi itu, Mr. Scholten van Oud Haarlem yang menjadi Ketua Komisi penyesuaian undangundang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda membuat sebuah nota kepada pemerintahnya, dalam nota itu dikatakan bahwa : “Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan mungkin juga perlawanan jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang Bumi Putera, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka ”.16 Di daerah khusus Ibukota Jakarta, berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1967 lahir Peradilan Agama Jakarta dan diadakan 15 http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php 16 http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php 62 perubahan kantor-kantor cabang Pengadilan Agama dari 2 kantor cabang menjadi 4 kantor cabang, antara lain : a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan c. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat d. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan dalam pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan peradilan Militer, merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam. Pengadilan Agama Jakarta Timur yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 63 Di samping tugas pokok dimaksud di atas, Pengadilan Agama Jakarta Timur mempunyai fungsi, antara lain sebagai berikut :17 1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama ( vide : Pasal 49 Undangundang Nomor 3 Tahun 2006). 2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. ( vide : Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006). 3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya ( vide : Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan pembangunan. ( vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006). 17 http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php serta 64 4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. ( vide : Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006). 5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan umum/perlengakapan) ( vide : KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006). 6. Fungsi Lainnya : a. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain ( vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006). Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. B. Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama ialah pengadilan yang bertindak menerima, memeriksa dan memutus setiap permohonan atau 65 gugatan pada tahap paling awal. Pengadilan Agama bertindak sebagai pengadilan yang menampung pada tahap awalnya segala perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari. Tidak boleh mengajukan suatu permohonan atau gugatan langsung ke pengadilan tinggi agama. Semua jenis perkara terlebih dahulu mesti melalui Pengadilan Agama dalam hierarki sebagai pengadilan tingkat pertama. Terhadap semua permohonan atau guagatan perkara yang diajukan kepadanya dalam kedudukan instansi pengadilan tingkat pertama, harus menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dan tidak boleh menolak untuk meneriama, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih apapun. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 56 yang bunyinya: “pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, malinkan wajub memeriksa dan wajib memutusnya”. Pengadilan Agama merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman yang memberikan layanan hukum bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undangundang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai Pengadilan 66 Negara tertinggi. Seluruh pembinaan baik pembinaan teknis peradilan maupun pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama yang bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara di tingkat pertama di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam serta waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi Syari’ah sebagaimana di atur dalam Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009. Sedangkan Dalam Undang undang Nomor 3 tahun 2006 Pengadilan Agama yang merupakan Pengadilan tingkat Pertama mempunyai susunan Organisasi Pengadilan Agama yang terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera/Sekretaris, Wakil Panitera, Wakil Sekretaris,Panitera Muda Gugatan, Panitera Muda Permohonan, Panitera Muda Hukum, Kasubbag Umum, Kasubbag Kepegawaian, Kasubbag Keuangan, Panitera Pengganti dan Jurusita /Jurusita Pengganti. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur 2014 1. Hakim No Nama 1 Dra. H. Zulkarnain, SH, MH 2 Drs. H. Chazim Maksalina, MH jabatan Ketua pengadilan Wakil ketua pengadilan 67 3 Dra. Hj. Ai Zainab, SH Hakim 4 HM. Kailani, SH, MH Hakim 5 Dra. Nuraini Saladdin, SH. MH Hakim 6 Dra. Ismet Ilyas, SH. Hakim 7 Dars. Ahmad Zawawi Hakim 8 Drs. Dalih Efendy, SH, M.Esy Hakim 9 Drs. Wawan Iskandar Hakim 10 Drs. Jajat Sudrajat, SH. MH Hakim 11 Hj. Nuroniah, SH. MH Hakim 12 Drs. Sultoni, Mh Hakim 13 Hj. Yustimar B, SH Hakim 14 Dra. Orba Susilawati, MHi Hakim 15 Drs. Amril Mawardi, SH. Hakim 16 Hj. Shafwah, SH. MH Hakim 17 Drs. M. Danil, MA Hakim 18 Drs. H. Chalid L, MH. Hakim 2. Kepaniteraan/ Sekertaris No Nama Jabatan 1 Dra. Hj. Aminah Panitera/Sekertris 2 H. Hafani Baihaqi lc, SH Wakil Panitera 3 Andi Subhi, S.Sos Wakil Skertaris 68 4 Drs. Moh Taufik, MH Panmud Hukum 5 Dani Nurwahyudi Anggota Panmud Hukum 6 Andi Sundari Anggota Panmud Hukum 7 Asis Hidayanti, SH Panmud Gugatan 8 Kemas M Irfan, SH Anggota Panmud Gugatan 9 Dra. Ida Fiiriani 10 Siti Mahbubah, SA.g Panmud Permohonan Anggota Panmud Permohonan 11 Sri Komalasari Anggota Panmud Permohonan 12 Monika Septi Indriyani, A.Md Anggota Panmud Permohonan 13 Muhammad Zuhri kasub Bag Umum 14 R Yadi SW Anggota Kasub Bag Umum 15 Handika Imom, S.kom Anggota Kasub Bag Umum 16 Murtakiyah SH Anggota Kasub Bag Umum 17 Dewi Utari 18 Sukarta, Spd 19 Winahya V, AMd. Kasub Bag Keuangan Kasub Bag Kepegawaian Anggota Kasub Bag kepegawaian 69 3. Jurusita Pengganti No Nama Jabatan 1 Veny Rahmawaty Jurusita pengganti 2 Sirajuddin Haris Jurusita pengganti 3 Dirwansyah R Jurusita pengganti 4 Yuspa Jurusita pengganti 5 Iman Suwardi Jurusita pengganti 6 Marhamah Jurusita pengganti 7 Hisni Mubarak, SH,i Jurusita pengganti 8 Sanjaya Langgeng S Jurusita pengganti 9 Muh Arsy Jurusita pengganti 10 Desy Puspasari, A.MD Jurusita pengganti 4. Juru Sita No Nama Jabatan 1 Moh sidik Juru sita 2 Ade husniati Juru sita 3 Prio rinato Juru sita 4 Agus alwi Juru sita 70 5. Panitera Pengganti No Nama jabatan 1 Ulhelmi BA Panitera pengganti 2 Dra. Siti Nurhayati Panitera pengganti 3 Drs. H. Ujang s Panitera pengganti 4 Hj. Spa Khitiyatun , MH Panitera pengganti 5 Matsanah, SH Panitera pengganti 6 Yuslima SH Panitera pengganti 7 Andra a, SH. MH Panitera pengganti 8 Fathony, SH Panitera pengganti 9 Eva Zulhaefah, SH Panitera pengganti 10 Rita Syuriyah, SH Panitera pengganti 11 Windarti, sh Panitera pengganti 12 Sri Muyati, SA.g Panitera pengganti 13 Rahma S, SH. MH Panitera pengganti 14 Syarif Maulana, SH Panitera pengganti 15 Dwiarti Yuliani, SH Panitera pengganti 16 Rohimah, SH Panitera pengganti 17 Hj. Alfiah Yuliastuti, SH. Panitera pengganti C. Kasus Poligami Yang Diterima di Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara poligami yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur sudah ada sejak dulu. Diperkirakan sejak didirikannya Pengadian Agama 71 Jakarta Timur maka perkara poligami itu ada meskipun tidak ada penjelasan atau data yang akurat yang bisa memaparkan itu semua. Kewenangan memberi izin bagi suami untuk melakukan poligami berada di pengadilan agama. Para pegawai KUA hanya bertugas mencatatkan pernikahan poligami yang permohonan izinnya telah disetujui oleh pengadilan agama. Para pegawai KUA yang diteliti memahami aturan ini dengan baik. Mereka sering didatangi oleh seorang laki-laki yang berstatus suami untuk memohon dinikahkan dengan seorang wanita (melakukan poligami). Namun, pegawai KUA tidak pernah melayani, membantu, dan memberikan izin bagi suami untuk melakukan pernikahan dan mencatatnya. KUA mengarahkan suami untuk datang ke pengadilan agama dan memperoleh penetapan izin poligami.18 Seorang suami yang ingin melakukan poligami harus melalui Pengadilan Agama. Pengadilan berhak menentukan boleh tidaknya poligami setelah melihat dan memeriksa syarat-syarat pengajuan izin poligami. Pengadilan Agama yang berada Jakarta Timur berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya, termasuk poligami. Pada tahun 2012 ini Pengadilan Agama Jakarta Timur menerima perkara 11 perkara poligami. Dari 11 perkara tersebut 10 perkara telah diputus.19 Perkara Poligami memang tidak banyak terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur yang tak 18 Alimin, Euis Nurlelawati, Potret Administrasi Keperdataan Islam Di Indonesia, (Ciputat, Orbit Publishing, 2013), h.80. 19 Sementara Kasus Poligami hanya 11 Perkara yang diterima, dan yang telah diputus berjumlah 10 Perkara. 72 sebanding dengan perkara cerai talak,20 dan cerai gugat21 yang masing-masing mencapai ratusan, bahkan ribuan kasus yang diterima dan yang telah diputus pada tahun 2012. Permohonan mengajukan izin poligami dengan alasan yang bervariasi.22 Untuk kelancaran pelaksanaan Undang-Undang Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, telah dikeluarkan Peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang mengatur ketentuan pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut. Dan dalam hal suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Pengadilan Agama, kemudian di Pengadilan Agama akan memberikan keputusan apakah permohonan tersebut dikabulkankan atau ditolak. Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam tugasnya memberikan putusan tentang permohonan poligami, berpedoman pada aturan yang berlaku. Yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam pasal 55-59. Berdasarkan kekuasaan mengadili atau menangani perkara (Absolute Coupetensial) Pengadilan Agama Jakarta Timur berhak untuk menyelesaikan perkara perkawinan poligami, dan mempunyai pertimbangan serta penafsiran 20 Kasus Cerai Talak yang diterima di Pengadilan Agama Jakarta Timur untuk Tahun 2012 adalah 811 Perkara, sedangkan yang telah diputus berjumlah 721 Perkara. 21 Sementara Kasus Cerai Gugat yang diterima Pengadilan Agama Jakarta Timur berjumlah 1926 Perkara untuk tahun 2012, sedangkan yang telah diputus adalah 1569 Perkara. 22 Hasil Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Timur Tentang Perkara-perkara Yang Diterima dan Perkara-perkara Yang Telah Diputus. 73 tentang poligami. Dalam mengajukan perkaranya, bagi para pihak yang mengajukan permohonan poligami harus memenuhi beberapa persyaratan yang ketat dan menunjukkan bukti-bukti serta alasan-alasan yang kuat yang bisa diterima oleh hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. Dalam hal ini hakim Pengadilan Agama berpedoman kepada Undang-Undang serta Kompilasi Hukum Islam dalam mempertimbangkan perkara tersebut. Adapun alasan-alasan berpoligami yang dapat diterima oleh Pengadilan Agama Jakarta Timut diantaranya adalah seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu: 1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. 2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan. 3. Istri tidak bisa melahirkan atau mandul. Dari kasus-kasus permohonan poligami yang diterima dan dikabulkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Timur ada beberapa alasan yang melatarbelakangi para pihak mengajukan permohonan izin poligami. Ada kalanya mereka mengajukan permohonan poligaminya tersebut karena istri mengalami cacat badan, dan ada pula yang beralasan istri tidak bisa melahirkan keturunan yang mana dari alasan-alasan tersebut memang sesuai dengan apa yang ada dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 57 tentang poligami. Dan ada juga poligami dilakukan secara siri atau (diam-diam), dan ada juga karena alasan anak dari pernikahan poligami, 74 dengan cara siri tersebut, butuh akte klahiran anak (legalitas anak), disinilah hakim harus lebih berperan dan berfikir bagaimana mempertimbangkan berbagai pertimbangan dan mengambil keputusan yang dapat meyentuh rasa keadilan, manfaat, dan maslahat dari para pemohon. Dalam hal ini hakim sebagai pihak yang berwenang memutuskan perkara izin poligami tentunya mempunyai pertimbangan-pertimbangan serta kriteria-kriteria tertentu dalam mengabulkan perkara poligami dengan berbagai alasan yang diajukan kepadanya, karena memang hakim berwenang untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat dengan tanpa mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang ada. Di samping itu alasan-alasan yang menjadi syarat diperbolehkannya poligami yang termaktub dalam Undang-Undang masih bersifat global. Masih perlu adanya penafsiran-penafsiran hukum oleh hakim untuk memahaminya. D. Prosedur Perkara Permohonan Izin Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Timur Seorang suami yang beragama Islam yang menghendaki beristri lebih dari satu orang wajib mengajukan permohonan ijin poligami kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami (pemohon) Syaratsyarat untuk mengajukan poligami sebagaiamana diatur dalam pasal 4 dan 5 Undang-undang No. 1 tahun 1974 maupun dalam PP nomor 9 tahun 1975 dan pasal-pasal sebagaimana disebut dalam kompilasi Hukum Islam. 75 Permohonan izin untuk beristeri lebih dari seorang yang diajukan oleh suami. Prosedurnya sebagai berikut : 1. Suami yang telah beristeri seorang atau tiga orang yang menghendaki kawin lagi (Pemohon), mengajukan permohonan tertulis ke pengadilan; 2. Permohonan diajukan ke pengadilan agama di tempat tinggal Pemohon; 3. Permohonan harus memuat: identitas para pihak (Pemohon dan Termohon = isteri); posita (yaitu: alasan-alasan/dalil yang mendasari diajukannya, rincian harta kekayaan dan/atau jumlah penghasilan, identitas calon isteri), petitum (yaitu hal yang dimohon putusannya dari pengadilan); 4. Alasan izin poligami harus mencakup salah satu dari alasan-alasan yang tercantum pada pasal 4 ayat (2) UU no. 1 tahun 1974, jo. Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan; 5. Harus memenuhi syarat sebagaimana tercantum pada pasal 5 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974, yaitu : a. Adanya persetujuan isteri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; 76 3. Adanya jaminan bahwa sumi akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak; BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAJLIS HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR NOMOR: 717 Pdt. G/2012 PAJT. A. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Seluruh Pengadilan di indonesia tidak terkecuali Pengadilan Agama yang menjalankan fungsi yudisial (fungsi peradilan) dan selaku pelaksana kekuasaan kehakiman. Maka perkara yang masuk ke pengadilan harus menguraikan kasusnya terlebih dahulu. Apa pun bentuk perkara atau kasus yang diajukan. Karena dengan melihat perkara yang telah diajukan dan diterima oleh pengadilan, maka akan mudah diketahui lebih lanjut duduk perkara yang sampai berujung pada litigasi (institusi peradilan) yang dalam hal ini dibahas adalah perkara atau kasus poligami, sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Ringkasan Kasus Adalah Udjang Rosid bin R. Huzney Djoyonegoro, umur 58 tahun, agama Islam, perkerkaan wiraswasta tempat kediaman di: jalan kayu manis 8 RT. 12 RW. 07 No. 13 kelurahan kayu manis kecamatan matraman kota Jakarta timur, bersetatus menikah dengan Jamilah binti Djain Arbian, umur 58 tahun, agama Islam, pekerjaan pensiunan PNS tempat kediaman di jalan kayu manis 8 RT. 12 RW. 07 No. 13 kelurahan kayu manis kecamatan matraman kota Jakarta timur. Selama pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon 77 78 telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan dikaruniai 5 orang anak bernama: Dedi Rosyadi, laki-laki yang lahir di Jakarta pada tanggal 14 Januari 1975, Dina Rosdiana, perempuan yang lahir di Jakarta tanggal 11 Mei 1978, Dodi Resmawan, laki-laki yang lahir di Jakarta tanggal 29 September 1980, Dani Resmana, laki-laki yang lahir di Jakarta tanggal 08 April 1982, Dudi Dharmawan, laki-laki yang lahir di Jakarta tanggal 09 Mei 1987. Bahwa setelah menikah pemohon dan termohon tidak memiliki harta bersama. Pemohon hendak menikah lagi (poligami) dengan seorang perempuan nama Yayah Awaliyah binti Suma, Umur 27 tahun, agama Islam, pendidikan SD, Pekerjaan Tani, Tempat kediaman di kampung Nunuk RT. 01 RW. 03 Desa Nunuk Kecamatan Maja Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, sebagai “calon istri kedua pemohon”, yang akan dilangsungkan dan dicatatkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama KUA Kecamatan Maja Kabupaten Majalengka, jawa barat, hal ini dikarenakan istri tidak keberatan untuk dipoligami. Sebab-sebab pemohon berkehendak untuk berpoligami adalah: 1. Bahwa, pemohon dengan calon istri kedua pemohon telah menikah siri dengan persetujuan istri pertama pemohon, dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki. 2. Bahwa, pemohon beri’tikad baik untuk membantu kehidupan calon istri dalam kehidupannya sehari-hari. 79 3. Bahwa, anak laki-laki hasil dari pernikahan siri memerlukan keterangan poligami guna mengurus akta kelahiran. Termohon menyatakan rela dan tidak keberatan apabila pemohon menikah lagi dengan calon istri kedua pemohon tersebut. Bahwa calon istri kedua pemohon menyatakan tidak akan menganggu gugat harta benda yang sudah ada selama ini, melainkan tetap utuh sebagai harta bersama antara pemohon dengan termohon. 2. Duduk Perkara Bahwa pemohon Udjang Rosid bin R. Huzney Djoyonegoro hendak menikah lagi (poligami) dengan seorang perempuan nama Yayah Awaliyah binti Suma, Umur 27 tahun, agama Islam, pendidikan SD, Pekerjaan Tani, Tempat kediaman di kampung Nunuk RT. 01 RW. 03 Desa Nunuk Kecamatan Maja Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, sebagai “calon istri kedua pemohon”, yang akan dilangsungkan dan dicatatkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama KUA Kecamatan Maja Kabupaten Majalengka, jawa barat, hal ini disebabkan istri tidak keberatan untuk dipoligami. Bahwa, sebab-sebab pemohon berkehendak untuk berpoligami adalah: a. Bahwa, pemohon dengan calon istri kedua pemohon telah menikah siri dengan persetujuan istri pertama pemohon, dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki. 80 b. Bahwa, pemohon beri’tikad baik untuk membantu kehidupan calon istri dalam kehidupannya sehari-hari. c. Bahwa, anak laki-laki hasil dari pernikahan siri memerlukan keterangan poligami guna mengurus akta kelahiran. Termohon menyatakan rela dan tidak keberatan apabila pemohon menikah lagi dengan calon istri kedua pemohon tersebut. Bahwa calon istri kedua pemohon menyatakan tidak akan menganggu gugat harta benda yang sudah ada selama ini, melainkan tetap utuh sebagai harta bersama antara pemohon dengan termohon. 3. Pertimbangan Hakim Peradilan Agama Ada beberapa pertimbangan yang dilakukan oleh para hakim dalam persidangan, dan itu menjadi petunjuk untuk langkah lebih lanjut yakni dalam mengambil keputusan. Pertimbangan hakim pengadilan agama Jakarta timur dalam perkara poligami adalah mengabulkan permohonan pemohon dan menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan seseorang perepmpuan bernama Yayah Awaliyah binti Suma, didasari atas pertimbangan permohonan yang sanggup berlaku adil terhdap istri-istrinya dan mendapatkan persetujuan dari istri pertamanya. Dan pemohon telah menyatakan kesediaan atas tanggungawab dalam membina rumah tangganya di masa yang akan datang. 81 Menimbang bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan pemohon dan termohon telah datang sendiri menghadap di muka persidangan lalu majlis hakim berusaha menasehati pemohon untuk tidak berpoligami, termasuk melalui lembaga mediasi dengan mediator Risman Kamal, SH, namun nasehat tidak berhasil. Menimbang bahwa kemudian dibacakan surat permohonan yang isinya tetap dipertahankan oleh pemohon dan atas permohonan tersebut di atas termohon telah mengajukan jawaban yang pada pokoknya membenarkan dalil pemohon dan selanjutnya termohon menyatakan tidak keberatan pemohon menikah lagi dengan Yayah Awaliyah binti suma. Menimbang, bahwa untuk memperkuat dalil-dalinya pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis sebagai berikut: a. Foto copy kutipan akta nikah dari kantor urusan agama kecamatan mataraman kota Jakarta timur dengan Nomor: 792/23/1974 tanggal 09 November 1974 (P1) b. Surat keterangan penghasilan pemohon tanggal 01 Mei 2012 (P2) c. Surat pernyataan berlaku adil dari pemohon tanggal 16 Maret 2012 (P3) d. Surat pernyataan siap dimadu (P5) e. Surat pernyataan akan berbuat dan bertindak adil serta bertanggung jawab terhadap istri sesuai syariat Islam (P6) 82 Menimbang bahwa di depan persidangan mejlis hakim telah mendengar calon istri pemohon sebagai berikut: 1. Yayah Awaliyah binti Suma, yang bersangkutan telah memberi keterangan sebagai berikut: a. Bahwa saya dengan pemohon mau menikah secara resmi, sebelumnya kami sudah menikah siri 6 tahun yang lalu dan kami sudah dikaruniai anak satu orang dan butuh buku/surat nikah untuk mengurus akta kelahiran anak kami tersebut. b. Bahwa istri pertama pemohon mengetahuinya dan tidak keberatan. c. Bahwa saya mengetahui kalau pemohon dengan istri pertamanya punya anak lima orang. d. Bahwa selama ini pemohon datang ke Majalengka satu bulan sekali. e. Bahwa pemohon memberikan nafkah sebesar 1.500.000,-(satu juta lima ratus ribu rupiah). f. Bahwa saya tidak keberatan dan saya ridho didatangi pemohon sekali sebulan. Menimbang bahwa selanjutnya dalam kesimpulannya baik pemohon maupun termohon membenarkannya. Menimbang bahwa selanjutnya dalam kesimpulannya baik pemohon maupun termohon tetap pada dalil-dalinya dan selanjutnya pemohon maupun termohon mohon putusan. 83 Menimbang bahwa untuk mempersingkat putusan ini maka segala sesuatu yang tercatata dalam berita acara persidangan perkara ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan ini. B. LandasanYuridis Putusan Izin Poligami Nomor: 717 Pdt.G/2012 PAJT. Dalam hal prosedur dan tata cara permohonan poligami secara yuridis formal sudah diatur dalam aturan perundang-undangan yang berlaku dan yang diterapkan di Indonesia sebagai hukum positif, sebagaimana dalam undangundang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia. Oleh sebab itu landasan hukum yang digunakan oleh hakim penting untuk dilihat karena hakim juga dikatakan sebagai corong undang-undang, sekaligus juga menjalankan fungsi yudisial yang merdeka. Maka mengenai landasan pertimbangan dan landasan yuridis putusan ini akan dijelaskan sebagaimana berikut: Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan pemohon adalah sebagaimana di atas: Menimbang, bahwa alasan pemohon mengajukan permohonan izin poligami adalah disebabkan selama pernikahan, pemohon dengan termohon telah dikaruniai lima orang anak, berhubung karena pemohon telah menikah siri dengan calon istri kedua dan telah dikarunia satu orang anak dari pernikahan siri tersebut telah disetujui oleh termohon dan permohonan ini pemohon lakukan 84 untuk dicatatkan di kantor urusan agama, supaya anak yang dilahirkan dari perkawinan siri tersebut dapat diurus, pemohon mampu memenuhi kebutuhan hidup istri-istri pemohon karena pemohon bekerja sebagai wiraswasta (Depelofer Koran) dan mempunyai penghasilan setiap bulannya relatif mencukupi untuk kebutuhan hidup bersama kedua istri dan anak, dan pemohon sanggup berlaku adil terhadap istri-istri pemohon sebagaimana bukti P2 dan P6. Menimbang bahwa atas dalil pemohon tersebut diatas, termohon telah mengajukan jawaban yang pada pokoknya membenarkan dalil pemohon dan selanjutnya termohon tidak menyatakan keberatan pemohon menikah lagi dengan Yayah Awaliyah binti Suma. Menimbang bahwa berdasarkan pengakuan termohon diperkuat dengan bukti P1 telah membuktikan bahwa benar pemohon dan termohon adalah suami istri sampai sekarang dan belum pernah bercerai. Menimbang bahwa perempuan yang akan dikawini oleh pemohon adalah bernama yayah awaliyah binti suma seorang perempuan dari kampung Nunuk RT 01/ RW 03 Desa Nunuk Kecamatan Maja Kabupaten Majalengka Jawa Barat sesuai pengakuan pemohon dan termohon di persidangan. Menimbang bahwa berdasarkan keterangan calon istri kedua pemohon diperkuat dengan bukti-bukti tertulis telah membuktikan bahwa perempuan yang telah bernama yayah awaliyah binti suma adalah berstatus gadis, baik pemohon maupun termohon dengan Yayah Awaliyah binti Suma tidak ada hubungan nasab 85 atau sepersusuan sehingga secara yuridis tidak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan dengan pemohon. Menimbang bahwa berdasarkan keterangan calon istri Yayah Awaliyah binti Suma dan termohon bahwa termohon tidak keberatan pemohon kawin lagi dengan calon istrinya tersebut sesuai dengan bukti P5. Menimbang bahwa berdasarkan bukti keterangan dari termohon, pemohon dalam pergaulan ditengah-tengah masyarakat tidak ada cacat dalam berumah tangga termasuk orang yang tidak pernah melakukan perbuatan yang tercela sehingga menurut majlis sudah sesuai dengan bukti P6 yaitu surat pernyataan berbuat adil dari pemohon dan disamping itu pemohon dapat membuktikan bahwa pemohon akan mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya kelak. Menimbang, bahawa disamping itu berdasarkan bukti P2 yang diajukan di persidangan yang diketahui oleh pejabat setempat bahwa pemohon mempunyai penghasilan Rp. 5.000.000,-(lima juta rupiah) sebulan, hal ini menurut majlis telah membuktikan adanya kepastian bahwa pemohon mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya. Menimbang bahwa syarat utama beristri lebih dari seoarng adalah harus mampu berlaku adil sesuai dengan maksud ketentuan pasal 55 ayat (1) KHI Majlis berpendapat pemohon telah memenuhi syarat utama sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan pasal 55 ayat (1) KHI tersebut di atas. 86 Menimbang, bahwa termohon juga menyatakan kerelaannya apabila pemohon menikah lagi dengan Yayah Awaliyah binti Suma sebagaimana dalam surat pernyataan tidak keberatan untuk dimadu yang dibuatnya tanggal 13 Maret 2012 (P4). Dengan demikian pemohon telah memenuhi syarat utama sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 58 ayat (1) KHI. Menimbang, bahwa apabila dalil-dalil permohonan pemohon dihubungkan dengan pengakuan termohon, keterangan calon istri dan bukti-bukti yang ada maka Majlis Hakim menemukan fakta-fakta sebagai berikut: 1. Bahwa pemohon dan termohon adalah suami istri yang sah selama berumah tangga telah dikarunia lima orang anak. 2. Bahwa pemohon akan menikah lagi dengan Yayah Awaliyah binti Suma. 3. Bahwa pemohon dan termohon tidak ada hubungan keluarga/ darah dengan calon istri pemohon. 4. Bahwa pemohon telah rela untuk dimadu. 5. Bahwa pemohon telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk berpoligami. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka menurut majlis permohonan pemohon untuk beristri lagi telah mempunyai alasan dan telah sesuai dengan maksud ketentuan pasal 4 ayat …Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Jo pasal 57 KHI dan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 3 artinya: 87 “dan kamu boleh kawin dengan wanita yang hala bagi kamu, dua, tiga atau empat”. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka permohonan pemohon untuk menikah lagi dengan perempuan bernama Yayah Awaliyah binti Suma dapat dikabulkan. Menimbang bahwa perkara a quo masih dalam bidang perkawinan maka sesuai dengan ketentuan pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diamandemen dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 diubah kedua dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009 biaya perkara dibebankan kepada pemohon. Mengingat segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dalil-dali tersebut diatas. C. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam Perkara Permohonan Izin Poligami Penetapan pengadilan dalam perkara perdata khususnya pada perkara permohonan izin poligami umumnya mengandung amar penetapan tunggal, yaitu pnetapan berupa pengabulan atau penolakan permohonan pemohon untuk melakukan perbuatan hukum. Selanjutnya terhadap putusan poligami di atas dengan Nomor: 717 Pdt. G/2012 PAJT. Mutlak dikabulkan melalui pertimbangan-pertimbagan yang 88 panjang, karena semua prosedur yang harus dijalankan pemohon sudah terpenuhi. Hal ini dapat dilihat dari hasil penetapan majlis hakim dalam putusan yang berbunyi: 1. Mengabulkan permohonan pemohon; 2. Memberi izin kepada pemohon (Udjang Rosyid bin R Huzney Djoyonegoro) untuk menikah lagi (Poligami) dengan seorang perempuan bernama Yayah Awaliyah binti Suma; 3. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 516.000,- (Lima ratus enam belas ribu rupiah). Demikianlah putusan ni dijatuhkan dalam musyawarah Majlis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur pada hari selasa tanggal 8 Mei 2012 Masehi, bertepatan dengan tanggal 16 Jumadil Akhir 1433 Hijriyah, oleh Hj. Yustimar B, SH, selaku Hakim Ketua dan H. Abdillah, SH., MH, serta Hj Shafwah, SH., MH. Selaku Hakim Anggota dan pada hari itu juga diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dengan diabantu oleh Zulhemi, BA selaku panitera pengganti dengan dihadiri oleh pemohon dan termohon. D. Analisis Penulis Dalam Menganalisa Kasus Poligami Terhadap Putusan Majlis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Ahkam al-usrat atau family law adalah istilah lain yang sering juga digunakan adalah al-ahwal al-syakhshiyyah dan personal law, yang mana ini 89 semua bisa kita sebut sebagai hukum keluarga yang mengatur hak dan kewajiban anggota keluarga, atas dasar keturunan (nasab) dan perkawinan. tapi hukum keluarga (ahkam al-usrat) yang dimaksud dalam penulisan ini adalah masalah poligami sebagaimana diatur dalam aturan perundang-undang yang berlaku di Indonesia. Peradilan sebagai tenda keadilan bagi para pencari kebenaran dan keadilan, bahkan harus mampu memerankan diri untuk memfungsikan putusan hakim sebagai sarana transformasi keadilan social ( a tool of social justice transformation).1 Sebagai kaidah hukum, ia mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, ataupun prosedur apa yang harus dilalui, dimana sanksi-sanksi yang dijatuhkan masyarakat bagi individu yang tidak bisa menyesuaikan diri adalah tegas. Penciptaan hukum tersebut sejalan dengan keinginan alami manusia untuk mendapatkan atau memperoleh keadilan dalam kehidupan bersama sebagai anggota masyarakat, sehingga tercipta keteraturan dan ketertiban dalam suatu tatanan sosial (social order). Kelembagaan peradilan ini merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sehingga pengadilan wajib memeriksa dan memutus perkara, pengadilan tidak boleh 1 kata sambutan M Busyro Muqaddas, SH, M.Hum dalam bukunya Wajah Hakim Dalam Putusan: Studi Atas Putusan Hakim Berdimensi Hak Asasi Manusia yang ditulis oleh Amzulian Rifa’i, Suparman Marzuki, dan Andry Sujtamoko. Yang diterbitkan oleh pusat studi hak asasi manusia universitas Islam Indonesia. 90 menolak suatu perkara dengan alasan ketiadaan hukum atau hukumnya tidak jelas mengaturnya, apabila hakim dihadapkan pada situasi ketiadaan hukum atau hukum yang tidak jelas, sedangkan perkara harus diselesaikan, hakim wajib mencari kaidah-kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat atau hakim dapat berpedoman pada putusan hakim yang terdahulu (yurisprudensi Mahmakah Agung), memperhatikan kewajiban hakim yang demikian itu, menunjukan bahwa hakim bukanlah corong undang-undang melainkan berperan menemukan hukum (rechtsvinding) atau membentuk hukum (rechtsvorming). Poligami dibenarkan agama dengan syarat-syarat tertentu. Ia bagaikan pintu darurat di pesawat. Tidak boleh dibuka kecuali atas izin pilot dalam situasi yang sangat gawat. Yang duduk di kursi pintu darurat haruslah memenuhi syarat pula, yakni yang mampu dan mengetahui cara-cara membukanya.2 Untuk menelaah lebih lanjut kasus poligami yang telah diputuskan oleh hakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur, maka penulis akan menjelaskan beberapa konstruksi hukum yang digunakan di dalam persidangan dari mulai syarat-syarat diperbolehkannya poligami, alat-alat bukti yang dipergunakan di persidangan, dan alasan-alasan yang diajukan di depan hakim untuk mendapatkan pertimbangan yang berujung pada pengambilan keputusan dari dewan hakim persidangan. Di antaranya sebagai berikut: 2 M. Quraish Shihab, Menjawab 101 Soal Perempuan Yang Patut Untuk Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h.76. 91 1. Mengenai syarat yang harus dipenuhi pemohon untuk mengajukan poligami adalah dengan dibacakan surat permoohonan yang isinya tetap dipertahankan oleh pemohon dan atas permohonan tersebut di atas termohon telah mengajukan jawaban yang pada pokoknya membenarkan dalil pemohon dan selanjutnya termohon menyatakan tidak keberatan pemohon menikah lagi dengan Yayah Awaliyah binti Suma. Dan telah membuat surat pernyataan berlaku adil serta membuat pernyataan akan berbuat dan bertindak adil serta bertanggung jawab terhadap istri sesuai syariat islam. Jikalau kita melihat Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 5 Ayat (1) dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 58 Ayat (1) maka permohonan yang dilakukan pemohon sudah memenuhi syarat diperbolehkannya melakukan poligami. 2. Mengenai alat-alat bukti yang diajukan pemohon, tidak hanya dilakukan secara oral (lisan) tetapi juga secara tertulis dan disampaikan di persidangan dengan mengajukan beberapa bukti tertulis dari mulai pertama, bukti P1 bahwa pemohon dan termohon adalah suami istri sampai sekarang dan belum pernah bercerai. Kedua, baik permohon dan termohon dengan Yayah Awaliyah binti Suma tidak ada hubungan nasab atau sepersusuan sehingga secara yuridis tidak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan dengan pemohon. Ketiga, termohon tidak keberatan pemohon kawin lagi dengan calon istrinya tersebut sesuai dengan bukti P5. Keempat, surat pernyataan 92 berbuat adil dari pemohon dan di samping itu pemohon dapat membuktikan bahwa pemohon akan mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anakanaknya kelak sesuai dengan bukti P6. Sedangkan saksi-saksi yang datang ke pengadilan dan memberikan kesaksian dalam persidangan adalah pertama, termohon sendiri yang menyatakan rela dan tidak keberatan apabila pemohon menikah lagi dengan calon istri kedua pemohon tersebut. Kedua, orang tua dan para keluarga termohon dan calon istri kedua pemohon menyatakan rela atau tidak keberatan apabila pemohon menikah dengan calon istri kedua pemohon. Jikalau kita melihat beberapa bukti yang sudah diajukan di pengadilan maka sudah memenuhi syarat-syarat pembuktian. Karena, Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam undangundang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR, dan pasal 284 R.Bg. sebagai berikut: alat bukti surat (tulisan), alat bukti saksi, persangkaan (dugaan), pengakuan, dan sumpah.3 Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan.4 3 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 239. 4 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 539. 93 Sedangkan membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasardasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.5 3. Mengenai alasan-alasan pemohon mengajukan permohonan izin poligami adalah disebabkan selama pernikahan, pemohon telah menikah siri dengan calon istri kedua dan telah dikarunia satu orang anak dari pernikahan siri tersebut dan telah disetujui termohon dan permohonan ini pemohon lakukan untuk dicatat di Kantor Urusan Agama, supaya anak yang dilahirkan dari perkawinan siri tersebut dapat diurus (bahwa anak laki-laki hasil pernikahan siri memerlukan keterangan poligami guna mengurus akta kelahiran). Jikalau merujuk pada undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 4 Ayat (2) dan kompilasi hukum Islam pasal 57, memang tidak ada alasan dilegalkannya poligami dengan alasan guna mengurus akta kelahiran anak atau ingin mendapatkan legalitas anak. Karena pasal tersebut sudah menjelaskan secara detail beberapa alasan yuridis yang dapat dibenarkan untuk melakukan poligami yaitu: istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan yang terakhir istri tidak dapat melahirkan keturunan. Akan tetapi hakim mengatakan bahwa, kita tidak boleh terburu-buru dan menjustifikasi bahwa putusan ini diluar 5 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006), h. 135. 94 aturan hukum, karena kalau kita lihat kasus ini terdapat banyak faktor yang menjadi bahan pertimbangan hakim. Misalnya saja, si anak ingin memiliki legalitas berupa akte kelahiran anak. Untuk itu istri yang berstatus nikah sirri memerlukan buku nikah atau surat nikah.6 Tujuannya tidak lain dan tidak bukan agar status hukum mereka sah di mata Negara. Dan hakim ketika menjalankan tugasnya menggunakan tiga asas hukum, yaitu asas kepastian hukum, asas kemanfaatan hukum, dan asas keadilan hukum. Yang dimaksud dengan asas kepatian hukum adalah yaitu hakim harus menjalankan fungsinya sesuai dengan undang-undang atau aturan hukum yang sudah ditentukan, sedangkan asas kemanfaatan hukum adalah berbicara tentang manfaat dan mafsadat. Apabila hakim memutuskan suatu perkara, apakah setelah diputus akan membawa manfaat bagi kedua belah pihak baik pemohon atau termohon atau penggugat dan tergugat, atau justru akan membawa dampak mafsadat. Dan yang terkahir adalah asas kadilan hukum, dimana fungsi pengadilan adalah judiciary, memberi keadilan bagi mereka yang mencari keadilan. Sehingga putusan hakim sesuai dengan rasa keadilan dan dirasakan oleh kedua belah pihak yang berperkara.7 Kelahiran merupakan 6 sebuah peristiwa hukum yang Wawancara penulis pada Hari rabu Tanggal 01 Oktober 2014, Jam 10.00 Wib di Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan salah seorang Hakim Majlis Hj. Shafwah, SH. MH. Yang menangani Perkara Poligami Nomor 717 Pdt. G/2012 PAJT. 7 Wawancara penulis pada Hari rabu Tanggal 01 Oktober 2014, Jam 10.00 Wib di Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan salah seorang Hakim Majlis Hj. Shafwah, SH. MH. Yang menangani Perkara Poligami Nomor 717 Pdt. G/2012 PAJT. 95 menimbulkan banyak akibat hukum. Kenapa demikian? Karena dari peristiwa kelahiran akan menimbulkan hubungan waris, hubungan keluarga, hubungan perwalian, dan hubungan-hubungan lainnyanya yang berkaitan dengan lahirnya subjek hukum baru ke dunia dengan segala status dan kedudukannya dimata hukum. Dalam hukum waris, kelahiran anak merupakan peristiwa hadirnya ahli waris yang akan menduduki peringkat tertinggi dalam pewarisan, sedangkan menurut hukum keluarga kelahiran anak akan menjadi awal timbulnya hak dan kewajiban alimentasi orang tua kepada anaknya, sedangkan hukum perwalian akan timbul pada saat orang tua si anak tidak sanggup memikul tanggung jawab terhadap anaknya.8 Undang-undang telah menjamin hak seorang anak sejak ia masih berada dalam kandungan. Jika si anak ternyata lahir dalam keadaan meninggal, maka hak-hak itu dianggap tidak pernah ada, hak tersebut menunjukkan bahwa hukum telah memandang bayi dalam kandungan sebagai subjek hukum yang memiliki hak-hak keperdataan. Seorang anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan akan menyandang status dan kedudukan di mata hukum berdasarkan perkawinan orang tuanya. Suatu perkawinan yang sah akan melahirkan seorang anak yang memiliki status dan kedudukan yang sah dimata hukum, sedangkan seorang anak 8 Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materil UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka Jakarta, 2012), h.3-4. 96 yang lahir dari suatu hubungan yang tidak sah tanpa adanya perkawinan yang sah, maka anak tersebut akan menyandang status sebagai anak luar kawin ketika kelak ia terlahir ke dunia.9 Dalam hukum islam, para ulama sepakat mengatakan bahwa nasab seseorang kepada ibunya terjadi dengan sebab kehamilan sebagai akibat hubungan seksual yang dilakukannya dengan seorang lelaki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah yang sah maupun melalui hubungan gelap, samen leven, perselingkuhan, dan perzinaan. Sedangkan nasab anak terhadap ayah kandungnya hanya bisa terjadi dan memungkinkan dibentuk melalui tiga cara, yaitu, pertama melalui perkawinan yang sah, kedua melalui perkawinan yang fasid atau batil, termasuk dalam nikah di bawah tangan dan ketiga, melalui hubungan badan secara syubhat. Di luar tiga cara ini nasab anak kepada ayah kandungnya tidak bisa dibentuk, walaupun menurut sebagian ulama terdapat konsep istilhaq atau pengakuan seseorang atas seorang anak, qiyafah atau metode menetapkan keturunan melalui perkiraan dan bahkan ada cara qur’ah atau undian dalam menelusuri nasab seorang anak, namun ketiga cara ini masih sangat debatable dan tidak disepakati oleh para ulama.10 Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa pernikahan yang sah atau fasid merupakan salah satu cara atau dasar yang sangat kuat dan dianggap sah untuk menetapkan 9 Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak…, h. 4. M. Nurul Irfan, Nasab Dan Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 10 78-79. 97 nasab seorang anak kepada kedua orangtuanya, sekalipun pernikahan dan kelahiran anak itu tidak didaftarkan secara resmi pada instansi terkait.11 4. Sedangkan mengenai landasan hukum yang digunakan oleh hakim di pengadilan agama Jakarta timur adalah Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 4 dan pasal 5 Ayat (1) dan Peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam Pasal 55, pasal 57 dan pasal 58 Ayat (1), dan firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa Ayat 3. 5. Ditinjau dari sifatnya, kekuatan putusan hakim dapat bercorak macammacam, ini tergantung dari isi putusan itu. Jikalau melihat sifat hukum dari penetapan tersebut, dapat dikategorikan penetapan tersebut berupa penetapan konstitutif yang berarti menciptakan keadaan hukum baru bagi pemohon, yaitu diberikannya izin kepada pemohon untuk menikah lagi dengan cara poligami dengan wanita yang tercantum dalam surat permohonan. Meskipun pemohon masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan istri terdahulunya. Putusan hakim menurut penulis mengacu pada asas kemanfaatan dan kemaslahatan hukum, sebagaimana telah disebutkan dalam asas-asas hukum perdata dan asas hukum islam, karena dalam sitem hukumnya sama-sama megenal asas tersebut. Dapat dilihat dari alasan-alasan yang disampaikan di persidangan pengadilan, meskipun tidak sesuai dengan istrumen hukum yang 11 M. Nurul Irfan, Nasab Dan Status Anak Dalam Hukum Islam…, h. 123. 98 sudah secara explisit diatur dalam undang-undang perkawinan mengenai alasanalasan dilegalkannya poligami, akan tetapi itu semua tidaklah cukup bagi hakim, karena hakim juga melihat syarat-syarat yang telah dipenuhi pemohon serta melakukan pertimbangan-pertimbangan hukum lainnya seperti saksi-saksi yang hadir dipersidangan yang memberikan kesaksiannya. Maka dengan ini Majlis Hakim membuat kesimpulan dan memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon. Demikianlah beberapa analisis penulis paparkan mengenai Syarat-syarat yang diajukan oleh pemohon di Pengadilan Agama Jakarta Timur, alat-alat bukti berupa surat-surat pernyataan yang dibuat oleh pemohon dan saksi-saksi yang dihadirkan di Persidangan, alasan-alasan yang disampaikan di Persidangan, dan landasan hukum yang digunakan hakim untuk memutuskan perkara yang dihadapkan kepada mereka dalam perkara poligami, dengan menggunakan kaca mata hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dalam mengakhiri penyusunan skripsi ini perlu sedikit dan merupakan suatu keharusan bagi penulis untuk memberikan uraian yang merupakan kesimpulan dari apa-apa yang sudah penulis kemukakan di muka dan beberapa saran yang mungkin dapat terealisasikan. Berikut kesimpulan dan sarannya: 1. Hukum perkawinan di Indonesia menganut asas seorang pria hanya mempunyai satu orang isteri atau asas monogami. Sebagaimana disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi hukum perkawinan di Indonesia menganut perinsip monogami tidak mutlak (terbuka), hal ini dapat dilihat dari pasal 3 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan adanya izin dari Pengadilan dan pihak-pihak yang bersangkutan setelah terpenuhinya persyaratan alternatif yang terdapat dalam pasal 4 ayat (2) dan persyaratan kumulatif dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Begitu juga dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. 2. Hasil keputusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur mengenai Izin Poligami Telah Sesuai Dengan Ketentuan Hukum Islam dan Perundang- 99 100 undangan. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan-pertimbagan hakim dalam memutus perkara poligami putusan Nomor 717 Pdt.G/2012 PAJT, antara lain; a. Pertimbangan Majlis Hakim adalah dengan menggunakan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dalam undang-undang ini poligami diatur dalam pasal 3 ayat (2), pasal 4 ayat (1) dan (2) dan pasal 5 ayat (1) dan (2). b. Pertimbangan Majlis Hakim adalah dengan menggunakan Peraturan pemerintah No. 7 Tahun 1975, Peraturan pemerintah ini adalah penjelasan atau disebut sebgai aturan pelaksana dari undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974. Mengenai Syarat poligami, prosedur poligami, dan sanksi poligami apabila tidak dijalankan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Pertimbangan Majlis Hakim merujuk pada Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam kompilasi hukum islam ini poligmi diatur dalam pasal 57, dan pasal 58 ayat (1). Kompilasi berlaku di setiap lingkungan Peradilan Agama di Indonesia. Sebagai bentuk aktualisasi hukum Islam yang berlaku bagi orang-orang muslim di pengadilan dan bentuk unifikasi dan kodifikasi hukum Islam di pengandilan agama. d. Al-Quran Surat Annisa (4) Ayat 3 menjadi sandaran dan dasar hukum dijadikannya dalil oleh sebagian ummat Islam dalam melakukan praktik 101 poligami di masyarakat. Hal ini juga telah diakui oleh Pengadilan Agama Jakarta Timur sehingga Majlis Hakim Pengadilan Agama dalam setiap pemberian izin poligami mengambil sandaran hukum pada ketentuan ayat diatas. Menurut hukum Islam poligami hukumnya boleh, jika dilakukan dalam keadaan dharurat dan telah memenuhi syarat-syarat, yaitu mampu berlaku adil di antara sesama isteri, anak-anaknya, keadilan suami merupakan konsekuensi logis dari poligami tersebut. Selain itu harus mempunyai kemampuan biaya. 3. Setiap putusan hakim harus mengacu pada tiga aspek, yaitu: pertama, yuridis dalam hal ini undang-undang yang mengatur, kedua, manfaat, yakni cenderung melihat pada manfaat dan maslahat. ketiga, keadilan (justice), yang harus ada pada putusan yang akan dijatuhkan sebagaimana fungsi yudisial oleh hakim yakni menegakkan hukum dan keadilan. B. Saran Sebagai catatan akhir maka penulis akan memberikan saran: 1. Kepada Pemerintah pemerintah harus lebih protektif kepada seluruh warga Negara Indonesia baik dari aspek formil dan meteril dalam melegislasi undang-undang terutama dalam masalah perkawinan dan yang berhubungan dengannya pada masa kini dan akan datang. 2. Kepada Para Hakim agar lebih berihtiyath atau ekstra hati-hati dalam memeriksa, mengadili perkara apalagi dalam memutuskan suatu perkara yang 102 berimplikasi pada kehidupan para pencari keadilan yang seharusnya membawa manfaat dan maslahat. 3. Kepada Akademisi khusunya bagi para intelektual akademisi yakni mahasiswa. Mahasiswa harus lebih proaktif dan responsif untuk mensosialisasikan aturan dalam hukum perkawinan secara komprehensif, agar informasi mengenai aturan tersebut tidak hanya sampai di kalangan masyarakat elit saja melainkan pada masyarakat lapisan paling bawah terutama dalam bidang hukum keluarga terkait aturan perkawinan utamanya sosialisasi poligami yang memiliki legalitas dan yang illegal atau tidak sah secara yuridis formal. 4. Kepada Masyarakat agar menghindari intensitas potensi konflik dalam rumah tangga yang disebabkan poligami. Dan para pelaku poligami harus memenuhi syarat utama berpoligami yaitu berlaku adil dan berkemampuan secara materi. DAFTAR PUSTAKA Buku Abdullah, Haidar, Kebebasan Seksual Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003. Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Alimin, Nurlelawati, Euis, Potret Administrasi Keperdataan Islam Di Indonesia, Ciputat, Orbit Publishing, 2013. Amzulian Rifa’i, Suparman Marzuki, dan Andry Sujtamoko, Wajah Hakim Dalam Putusan: Studi Atas Putusan Hakim Berdimensi Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia universitas Islam Indonesia. Arifin, Jaenal Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008. Badriyah Fayumi, Euis Amalia, Yayan Sopyan, Sururin, Tien Rohmatin, Isu-isu Gender Dalam Islam, Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002. Bilal Philips, Abu Aminan, Monogami Dan Poligini Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Cotterel, Roger, Sosiologi Hukum, diterjemahkan dari karya Roger Cotterel, The Sociology Of Law: An Introduction (London: Butterworths, 2004) Bandung: Nusa Media, 2012. Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang 103 Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, Jakarta: Kencana, 2010. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007. Hadi, Sutrisno, Metodelogi Research jilid 1, Yogyakarta: Andi Soffet, 1994. Haikal, Abuttawab, Poligami Dalam Islam vs Monogamy Barat, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993. Hanbal, Ahmad bin, Musnad Ahmad bin Hanbal, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001. Hamami, Taufiq, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Pasca Amandemen ke Tiga UUD 1945, Jakarta: Tatanusa, 2013. Harahap, Yahya Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Harahap, Yahya Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Hilmi Farhat, Karam Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi, Jakarta: tim Pustaka Darul Haq, 2007. I Doi , Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Khuzari, Achmad, Nikah Sebgai Perikatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995. Majah, Ibn, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Ihya, tt), Jilid 1. h.628. Nomor hadis 1952. 104 Manan, Abdul Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2008. Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008. Manan, Abdul, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta: Kencana, 2007. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2007. Nasution, Khoiruddin, ”Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal Musawa, No. 1. Vol. 1. Maret 2002. Nasution, Khoiruddin, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Nurul Irfan, H.M, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2012. Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004. Rahman, Abdur, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: PT rineka cipta, 1992. Riadi, Edi, Dinamika Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Bidang Perdata Islam, Jakarta: Gramata Publishing, 2011. 105 Shihab, M. Quraish Menjawab 101 Soal Perempuan Yang Patut Untuk Anda Ketahui, Jakarta: Lentera Hati, 2010. Soekanto, Soerjono, Pengantar Peneltian Hukum, Jakarta: UI-PRESS, 1998. Sunggono, Bambang. Metodelogi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007. Thalib, Muhammad, Tuntunan Poligami dan Keutamaannya, Bandung :Irsyad Baitus Salam, 2001. Tihami, Sahrani, Sohari, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materil UU Perkawinan, Jakarta: Prestasi Pustaka Jakarta, 2012. Yunus, Nur Rohim, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, Jakarta: Jurisprudence Press, 2012. Zuhriah, Erfaniah, Peradilan Agama Di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, Malang: UIN-Malang Press, 2008. Peraturan Perundang-undangan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Aturan Pelaksana dari UU Perkawinan. 106 Internet http://master.islamic.uii.ac.id/index.php/Artikel/POLIGAMI-DAN-APLIKASIHUKUM-ISLAM-DI-INDONESIA.html, diakses, pada tanggal 13 juli 2014 jam13:20 WIB. http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php 107