i IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN HAK LEGALITAS ANAK

advertisement
IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN HAK LEGALITAS ANAK BERUPA AKTE
KELAHIRAN (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
JAKARTA TIMUR NOMOR: 717 Pdt. G/2012 PAJT
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ZULLISAN SHIDQI
NIM : 109044100036
KONSENTRASI HUKUM KELUARGA ISLAM
PROGRAM STUDI PERADILANAGAMA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2015 M
i
IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN HAK LEGALITAS ANAK BERUPA AKTE
KELAHIRAN (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
JAKARTA TIMUR NOMOR: 717 Pdt. Gl20l2 PAJT
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)
Oleh:
Zullisan Shidqi
NIM:
109044100036
Dr. H. Ahmbd Mukri Aii. M.A
NIP : 195703 12198503 1003
KONSENTRASI HUKUM KELUARGAISLAM
PROGRAM STUDI PERADILANAGAMA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015
M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul
"Izin Poligami Dengan Alasan Hak Legalitas Anak Berupa Akte
Kelahiran (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 717
Pdt.Gl?Dl2 PAJT)" telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum
Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 07 Januari 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Keluarga Islam.
J
akarta, 09 Januari 20
1
5
Mengesahkan
808121 999A31Aru
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
l. Ketua
H. KAmAryqdlana. S.A e.. MH.
NrP. i 9120224199803 1 003
2.
Sri Hidayati. M.A&
Sekretaris
NIP.
3. Pembimbing
1
97 1 A21 51997
$2A02
Dr. H. Ahmad Mukri Aji. MA
I.JIP. 1 95703121 98503 1003
4. Penguji I
Dr. H. M. Nurul Irflan. M.Ag.
NIP. r 97308022A033
5. Penguli II
I 2 I 00
Sri Hida:yati. M.Ag
NIP
1
97 1A21 51997 A320A2
1
LBMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu
Islam Negeri
2.
rufN
(S 1) di
Universitas
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan
dengan ketentuan yang berlaku
ini
saya cantumkan sesuai
di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti
bahwa karya
ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarla.
lv
ABSTRAK
ZULLISAN SHIDQI. NIM: 109044100036. Izin Poligami Dengan Alasan Hak
Legalitas Anak Berupa Akte Kelahiran (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan
Agama Jakarta Timur Nomor: 717 Pdt. G/2012 PAJT”. Program Studi Hukum
Keluarga Islam Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/ 2014 M. x + 107
halaman + lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum dan pertimbanganpertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam memutus suatu perkara
permohonan izin poligami. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif
yang bersifat deskriptif. Data peneltian ini meliputi data primer dan skunder. Teknik
pengumpulan data yang digunakan berupa studi putusan, studi kepustakaan dan
wawancara. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara menguraikan dan
mendeskripsikan putusan permohonan izin poligami yaitu Putusan Nomor: 717
Pdt.G/2012 PAJT dan menghubungkan dengan hasil wawancara (interview) yang
didapatkan dari hakim yang menangani perkara izin poligami tersebut.
Menurut undang-undang perkawinan ini adalah perkawinan yang bersifat monogami,
namun demikian beristri lebih dari seorang dapat dibenarkan asalkan tidak
bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya. Perkawinan lebih satu orang
dapat dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu. Dalam
pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijelaskan
bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu orang harus ada alasanalasan yaitu: 1) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. 2) istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3) istri tidak
dapat melahirkan keturunan. Tidak dijelaskan secara rinci apakah ketentuan tersebut
bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena itu, penggunaan alasan-alasan itu
diserahkan kepada hakim.
Apabila alasan-alasan sebagaimana tersebut sudah terpenuhi, maka Pengadilan
Agama juga harus meneliti apakan ada atau tidaknya syarat-syarat tertentu secara
kumulatif yaitu 1) persetujuan dari istri atau istri-istrinya. 2) kemampuan materil dari
orang yang bermaksud menikah lebih dari satu orang, dan 3) jaminan berlaku adil
terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah, jaminan berlaku adil ini dibuat dalam
persidangan Majlis Hakim.
Kata Kunci
Pembimbing
Daftar Pustaka
: Monogami, poligami, syarat kumulatif.
: Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA.
: 1992-2013.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, karunia
dan berbagai nikmatnya, terutama nikmat sehat serta kesempatan sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada suri tauladan kita, Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita
dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti
sekarang ini, mudah-mudahan kita termasuk bagian dari ummat beliau yang akan
mendapat syafa’at di yaumil akhirat kelak amin.
Dalam penulisan skripsi ini terdapat sedikit hambatan dan rintangan yang
penulis hadapi, Alhamdulillah berkat rahmat dan inayahnya serta kontribusi dan
motivasi dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, segala
kesulitan dapat diatasi dengan mudah dan lancar yang pada akhirnya skripsi ini dapat
terselesaikan.
Tidak lupa, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada orang-orang yang
turut mempengaruhi hamba dalam mendewasakan penulis, yang terhormat:
1. Dr. JM. Muslimin, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, MA., Ketua Program Doeble Degree. Bapak
Ismail Hasani, SH., MH. Sekretaris Program Doeble Degree;
3. Dr. H. Ahamad Mukri Aji, MA. Sebagai pembimbing skripsi, terimakasih
tak terhingga atas masukan dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini.
4. Keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta beserta segenap Dosen, Karyawan, dan seluruh staf yang telah
banyak membantu dan memberikan fasilitas bagi penulis selama studi di
Kampus yang super sekali ini.
vi
5. Pustakawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Pustakawan Fakultas Syariah dan Hukum, dan Universitas Indonesia,
yang telah memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyediakan
referensi dalam penulisan skripsi ini;
6. Kedua Orang Tuaku (Ayahanda M.Ilyas, Ibunda Asni Sinambela) dengan
segala kasih sayang, dan tanggung jawab rela berkorban jiwa raga demi
kesuksesan putranya. Yang mengajarkanku untuk hidup mandiri dan
mengingatkanku untuk selalu berbuat baik. Rabbighfirli wali walidayya
warhamhuma kama rabbayani shaghira, Amin.
7. Wak yati, yang telah mencurahkan perhatian yang begitu tulus, arahan ila
ahsani taqwim dan memberikan motivasi yang tak terhingga banyaknya
sehingga penulis berusaha untuk mewujudkan harapan-harapan baik
dengan penuh semangat. Jazakumullahu khairan katsiran.
8. Pak Romdonih dan buk Khadijah yang memberikan semangat dan canda
tawa mereka, serta khusushan Rara yang selalu menyemangati hari-hari
penulis dalam menyelesaikan karier pendidikan dalam menekuni dunia
hukum. Semoga Allah Menyayangi dan Melindungi kita semua amin.
Ihdinaa ya allahu Subulanaa.
9. Kawan-kawan seperjuangan di konsentrasi Pengadilan Agama dan
Administrasi Keperdataan Islam, kawan-kawan Double Degree dan Ilmu
Hukum angkatan 2009 dan 2013, mohon maaf atas segala kesalahan yang
pernah penulis perbuat kepada kalian.
10. Teman-teman seperjuangan Siti Ramadhani SH.i, Irpan Pasaribu SH,
Abdul Karim Munthe S.Sy, Lc, SH, MH bersama-sama penulis berjuang
dalam melanjutkan studi di perguruan tinggi di ibu kota ini.
11. Teman-teman kos “white house” Zuki, Karim, Azhar, Azmi, Mathori,
Eka, Lay Fikri, Sapta, Irpan, Syawal, Habib dan spesial kepada Ibu Kos
vii
yang terus memotivasi untuk tetap semangat dalam menyelesaikan studi
penulis. Alhamdulillah sekarang tercapai.
12. Teman-teman HMI seperjuangan di Komisariat Faksyahum Tahun 2009
dan HMI Cabang Ciputat, serta teman-teman LKBHMI yang berjuang
demi tegaknya hukum dan demokrasi di Indonesia.
Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak
dapat penulis tuliskan, semoga doa dan harapan kita semua dikabulkan-Nya, Amiin.
Semoga kontribusi dan partisipasi semua pihak tersebut menjadi investasi
amal shaleh, semoga Allah SWT membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda.
Terakhir harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca yang budiman. Kritik dan saran yang konstruktif sangat
penulis harapkan sebagai penyempurna atas karya ilmiah ini.
Jakarta, 09 Januari 2015
Penulis
Zullisan Shidqi
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………………….. ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ………………………………………..
iii
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………………. iv
ABSTRAK ………………………………………………………………………. v
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………….. 1
BAB II
B. Pembatasan dan PerumusanMasalah………………………..
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………..
6
D. Tinjauan Kajian Terdahulu………………………………….
7
E.
Metode Penelitian…………………………………………… 9
F.
Sistematika Penulisan……………………………………….. 12
POLIGAMI BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN UU
NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Pengertian, Dasar Hukum dan Syarat-syarat Poligami………... 14
B. Legalitas poligami…………………………………………….. 18
1. Poligami dalam prespektif fikih………………………….. 19
ix
2. Regulasi pelaksanaan poligami yang berlaku dalam
perspektif hukum positif di Indonesia ……..……………
25
C. Poligami dalam Lintas Sejarah dan Hikmah
Disyariatkan Poligami..………………………………………. 39
BAB III
PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR
SEBAGAI PELAKSANA KEKUSAAN KEHAKIMAN
A. Sejarah singkat Eksistensi Pengadilan Agama Jakarta Timur…. 50
B. Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur…………………. 64
C. Kasus Poligami Yang Diterima di Pengadilan Agama
Jakarta Timur….……………………………………………….. 70
D. Prosedur Perkara Permohonan Izin Poligami di Pengadilan
Agama Jakarta Timur …..…………………………………….. 74
BAB IV
ANALISIS
PUTUSAN
MAJLIS
HAKIM
PENGADILAN
AGAMA JAKARTA TIMUR NOMOR: 717PDT. G/2012 PAJT
A. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur………… 77
B. LandasanYuridis Putusan Izin Poligami Nomor 717
Pdt.G/2012 PAJT ….…………………………………………. 83
C. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam
Perkara Permohonan Izin Poligami…………………………… 87
x
D. Analisis penulis dalam menganalisa kasus poligami
terhadap putusan Majlis Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Timur ………………………………………………… 88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………. 99
B. Saran-saran……………………………………………............. 101
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 103
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan dalam bentuk berpasang-pasangan antara laki-laki dan
wanita. Oleh karenanya, keduanya diberikan jalan untuk menyalurkan dorongan
biologis mereka dengan jalan pernikahan yang sah. Tujuan pernikahan yang
sejatinya adalah untuk menyatukan antara keluarga yang satu dengan yang lain
dan terbinanya hubungan yang harmonis selaras dengan tujuan pernikahan
menurut undang-undang dan hukum Islam yakni sakinah, mawaddah dan
warahmah.1
Perkawinan dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk. Secara sederhana
dapat dipahami yaitu monogami dan poligami.Secara etimologi monogami ialah
perkawinan diantara seorang lelaki dan seorang perempuan, sedangkan poligami
merupakan perkawinan seorang lelaki dengan beberapa orang wanita pada satu
waktu.2
Permasalahan pernikahan poligami sering kali menuai kritik dari berbagai
elemen. Dalam banyak tempat Poligami banyak mengandung pro dan kontra dan
dinilai peyoratif bagi sebagian kalangan masyarakat muslim dan sebagian
1
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2007), h.26.
2
Achmad Khuzari. Nikah Sebgai Perikatan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
h.159.
1
2
kalangan lagi dalam posisi netral karena menganggap perkara poligami
mempunyai legal standing yakni Al-Quran dan As-Sunnah.3
Soal suami dapat beristri lebih dari seorang, ini telah menjadi masalah pro
dan kontra dari masa ke masa. Masalahnya memang tidak sederhana karena ia
bukan hanya menyangkut kepentingan laki-laki yang ingin beristri lebih dari
seorang itu saja, tetapi juga menyangkut kepentingan wanita yang bersedia
dimadu, dijadikan istri kedua dan seterusnya. Alasan yang dipergunakan oleh
laki-laki untuk melakukan poligami bermacam-macam sepanjang perkembangan
sejarah, di antaranya telah disebutkan pula dalam undang-undang perkawinan ini.
Demikian juga halnya dengan alasan seorang wanita bersedia dijadikan istri
kedua dan seterusnya. Alasanya tidak hanya karena cinta kepada laki-laki yang
bersangkutan, tetapi juga karena banyak faktor lain yang mendorongnya bersedia
menerima keadaan itu, di antaranya adalah desakan ekonomi, pandangan
masyarakat terhadap janda, gadis tua dan sebagainya.4
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
(selanjutnya disebut UU Perkawinan) asas perkawinan adalah monogami,
“seorang suami hanya boleh mempunyai seorang istri. Dan seorang wanita
3
Abuttawab Haikal. Poligami Dalam Islam vs Monogamy Barat. (Jakarta: CV Pedoman
Ilmu Jaya, 1993), h.67-69.
4
Muhammad Daud Ali. Hukum Islam dan Peradilan Agama. (Kumpulan Tulisan), (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.31.
3
hanya boleh mempunyai seorang suami”.5Namun demikian beristri lebih dari satu
orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang
dianutnya. Beristri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan memenuhi
beberapa alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang.
Perkawinan lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari
pengadilan agama terlebih dahulu. Dalam pasal 4 dan 5 UU Perkawinan
dijelaskan bahwa seorang peria bermaksud kawin lebih dari satu orang harus ada
alasan-alasan yaitu (1) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
(2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (3)
istri tidak dapat melahirkan keturunan. Tidak dijelaskan secara rinci apakah
ketentuan tersebut ini bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena itu,
penggunaan alasan-alasan tersebut diserahkan kepada hakim.6
Tampaknya alasan-alasan ini bernuansa fisik kecuali alasan yang ketiga.
Terkesan karena seorang suami tidak memperoleh kepuasan yang maksimal dari
istrinya, maka alternatifnya adalah poligami.7 Apabila alasan-alasan sebagaimana
tersebut di atas sudah terpenuhi, maka pengadilan agama memeriksa apakah ada
atau tidak syarat-syarat tertentu secara kummulatif yaitu: (1) persetujuan dari istri
5
Lihat pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
6
Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana,
2008), h.10.
7
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta:
Kencana, 2004), h.163.
4
atau istri-istrinya; (2) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka; (3) jaminan berlaku adil terhadap istriistrinya dan anak-anaknya apabila ia sudah menikah.8
Di samping itu, tidak semua wanita Islam dapat menerima poligami. Tidak
sedikit dari mereka yang merasa keberatan dengan ajaran itu. Maka oleh
karenanya para ulama dan fuqaha muslim serta dibantu oleh pemerintah telah
berusaha menagantisipasi problem yang akan timbul dari pernikahan poligami
yang tidak sesuai dengan aturan, maka mereka memberikan persyaratan yang
ketat untuk meminimalisir angka poligami dengan menetapkan persyaratan
berikut bila seseorang ingin menikah lebih dari seorang istri yakni: (1) dia harus
memiliki kemampuan dan kekayaan cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan
dengan bertambahnya istri yang dinikahinya itu; (2) dia harus memperlakukan
semua istri-istrinya itu dengan adil. Setiap istri diperlakukan secara sama dalam
memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya.9
Apabila perkawinan lebih
dari satu orang tidak dilakasanakan
sebagaimana ketentuan tersebut, maka pelakunya dapat dikenakan sanksi
sebagaimana disebut dalam pasal 44 dan 45 Peraturan pemerintah Nomor 9
8
Lihat pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
9
Abdur Rahman I Doi. Perkawinan Dalam Syariat Islam . (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),
h.45.
5
Tahun 1975 ini.10 Untuk membedakan persyaratan yang ada di pasal 4 dan 5
adalah, pada pasal 4 disebutkan dengan persyaratan alternatif yang artinya salah
satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5
adalah persayaratn kumulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang
akan melakukan poligami.11
Beranjak dari legalitas persyaratan hukum tertulis pada pasal 4 ayat 2
adalah bentuk aktualisasi hukum, dan juga sebgai asas untuk meminimalisir
terjadinya poligami yang tidak disertai dengan alasan yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Maka mudahnya mendapatkan izin poligami
dalam praktiknya di pengadilan agama menimbulkan persepsi inkonsistensi
pengadilan agama dalam memberikan izin poligami karena Realitas kongkritnya
mengizinkan permohonan berpoligami meskipun tidak sesuai dengan ketentuan
alasan dan syarat perundang-undangan.
Berangkat dari latar belakang permasalahan di atas, penulis merasa
tertarik untuk mengangkat sebuah judul ” IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN
HAK LEGALITAS ANAK BERUPA AKTE KELAHIRAN (STUDI KASUS
TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMU NOMOR:
717 Pdt. G/2012 PAJT”
10
Lihat pasal 44 dan 45 PP No. 9 Tahun 1975 tentang aturan pelaksana UU No. 1 Tahun
1974.
11
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.164.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dari uraian di atas banyak sekali permasalahan yang muncul, untuk
menghindari pembahasan yang sangat luas itu maka penulis menguraikan
dasar-dasar hukum dan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim
Pengadilan Agama Jakarta Timur mengabulkan permohonan Izin Poligami
dengan Nomor : 717 Pdt.G/2012 PAJT.
2. Perumusan Masalah
Menurut Peraturan perundang-undangan tidak terdapat
alasan
poligami dengan alasan untuk mendapatkan legalitas anak (berupa keterangan
poligami guna mengurus akte kelahiran anak). Akan tetapi pada realitas
konkritnya di lapangan terdapat Putusan Pengadilan Agama, Legalitas Anak
menjadi alasan poligami. Rumusan tersebut dirinci dengan membuat
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana aturan pemberian izin poligami menurut prespektif Undangundang No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam di Indonesia?
b. Hal-hal apa saja yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan hakim
dalam memberikan izin poligami pada perkara Nomor: 717 Pdt.G/2012
PAJT ?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Adapun Tujuan Penelitian ini adalah:
a. Memberikan wawasan yang utuh terkait pengaturan poligami dalam
perundang-undangan di Indonesia dan hukum Islam.
b. Mengetahui hal-hal yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan yang
dipergunakan hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami
Nomor: 717Pdt.G/2012 PAJT.
2. Sedangakan Manfaat dari Penelitian ini adalah:
a. Secara akademik (academic interests), menambah ilmu pengetahuan di
bidang hukum perdata Islam serta mengembangkan wawasan ilmu di
bidang hukum keluarga, khususnya dalam bidang perkawinan dan
mengetahui dasar hukum dan pertimbangan hakim dan memutuskan
perkara pemberian izin poligami.
b. Secara praktis, agar masyarakat mengetahui gambaran pengaturan
poligami dalam hukum Islam dan perundang-udangan di Indonesia.
Serta memperoleh hak atas informasi keilmuan secara memadai.
D. Kajian Terdahulu
Untuk mengetahui lebih jelas tentang penelitian ini, ada baiknya
mengetahui penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini baik secara
teori maupun kontribusi keilmuan. Sudah cukup banyak studi yang dilakukan
seputar hukum perkawinan poligami baik ditinjau menurut prespektif hukum
8
Islam maupun perundang-undangan.Namun, sepanjang yang penulis ketahui
belum ada seorang pun menulis tentang izin poligami di Pengadilan Agama
Jakarta Timur pada perkara Nomor: 717 Pdt.G/2012 PAJT
Berdasarkan hasil penulusuran kepustakaan, ada beberapa karya ilmiah
yang secara sepesifik serumpun dengan judul yang diangkat oleh penulis. Biarpun
objek kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang mendasar.
Misalnya: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Izin Poligami (Studi Terhadap
Putusan Pengadilan Agama Wates Tahun 2008). Yang disusun oleh Rahman
Bahari.Skripsi ini membahas apakah pengaturan izin poligami hanya sebatas
aturan normatif saja, karena data yang didapati di lapangan dalam relaitas
masyarakat, umumnya poligami dilakukan bukan karena alasan yang sesuai
dengan undang-undang melainkan karena alasan syahwat.
Sementara skripsinya Ristyaningrum lebih fokus pada penekanan aspek
teknis prosedur permohonan izin poligami dan alasan mengajukan poligami
disebabkan istri kurang dapat melayani suaminya. Dengan judul skripsi yang dia
angkat Izin Poligami (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta
Pusat Tahun 2009.
Lain halnya dengan Ahmad Faozi skrisi ini lebih membahas pada
perbandingan poligami menurut Fiqh dan KHI serta mekanisme dan alasan
mengajukan poligami disebabkan kurang sanggup lagi melayani kebutuhan sexuil
9
suami, dia juga membandingkan putusan-putusan hakim pengadilan agama
mengaenai poligami.Izin Poligami (Kasus Putusan Pengadilan Agama Cianjur)
Tahun 2009.
Berbeda dengan Dani Tirtana yang mengangakat judul skripsinya Analisis
Yuridis Izin Poligami dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun
2008. Skripsi ini lebih fokus menganalisis putusan hakim dari aspek hukum
Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Alasan suami untuk
berpoligami karena menjalankan syariat agama. Karena tidak mau terjebak pada
perbuatan zina.
Dari beberapa kajian terdahulu, seluruhnya mengambil dari kajian
mengenai poligami dan mayoritas alasan yang diajukan pemohon untuk
mengajukan permohonan poligami disebabkan aspek ketidapuasan suami dengan
berbagai alasan seperti yang dikemukakan diatas . Sepengetahuan penulis hingga
saat ini belum ada penelitian lain yang menjadikan judul penelitian ” IZIN
POLIGAMI DENGAN ALASAN HAK LEGALITAS ANAK BERUPA AKTE
KELAHIRAN (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA JAKARTA TIMU NOMOR: 717 Pdt. G/2012 PAJT”
E. Metode Peneltian
1. Jenis dan Pendekatan
Jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, yaitu dalam
pnelitian ini pada umumnya menganalisis fakta-fakta atau kejadian-kejadian
10
yang relevan dengan norma-norma hukum.12 Oleh karenanya langkah awal
dalam analisis ini adalah identifikasi fakta-fakta hukum berupa perbuatan,
peristiwa atau keadaan-keadaan. Pendekatan normative dilakukan dengan
mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang masalah izin poligami menjadi kompetensi pengadilan agama.
Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif yaitu
suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainya.
Dalam hal ini maka berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orangorang atau prilaku yang diamati dengan menganalisa dan menguraikan serta
mendeskripsikan isi putusan yang telah penulis dapatkan dari informan yaitu
dari hakim yang mengangani kasus izin poligami dan putusannya telah
berkekuatan hukum tetap yang didaptkan dari pengadilan Agama Jakarta
Timur dengan Nomor:717Pdt. G/2012 PAJT.
1. Sumber Data
Yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
skunder. Data primer sebagai data utama dalam penelitian ini ialah putusan
pengadilan agama Jakarta timur Nomor: 717Pdt. G/2012 PAJT dan beberapa
bahan hukum yang dikodifikasikan terkait dengan permasalahan izin
poligami. Sedangkam data skunder ialah data yang diperoleh dengan dengan
12
Bambang Sunggono. Metodelogi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar. (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003), h.113-114.
11
jalan mengdakan wawancara terhadap para pihak yang terkait dengan
permasalahan yang penulis bahas.13Adapun instrument yang digunakan
dengan mengadakan pedoman wawancara, yaitu dengan mempersiapkan
terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman dan disesuaikan
dengan siatusi wanwancara.
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam
menghimpun seluruh data dan fakta yang menunjang permasalahan adalah
sebagai berikut:
a) Studi putusan yurisprudensi
Studi putusan yurisprudensi yaitu teknik pengumpulan putusan
yang sistematis dari keputusan mahkamah agung dan keputusan pengadian
tinggi yang diikuti oleh hakim dalam memberikan keputusan sosial yang
sama. Dalam hal ini, studi putusan yurisprudensi yang dilakukan adalah
studi putusan pengadilan agama Jakarta timur Nomor:717 Pdt. G/2012
PAJT
b) Studi kepustakaan (library research)
Studi kepustakaan dimaksud untuk memperoleh landasan teoritis
berupa konsep dari berbgai literatur yang terkait dengan materi pokok
permasalahan yang akan penulis bahas, baik dari buku-buku karangan
13
Sutrisno Hadi. Metodelogi Research jilid 1. (Yogyakarta: ANDI SOFFET, 1994), h.67.
12
ilmiah. Undang-undang, peraturan pemerintah, kompilasi hukum Islam
serta peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang
dibahas.14
c) Wawancara (interview)
Wawancara dilakukan terhadap responden-responden yang telah
dipilih sebelumnya, yaitu hakim yang menangani perkara yang dimaksud.
3. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun pedoman dan teknik yang digunakan dalam penulisan skrispi
ini adalah buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Tahun 2012.
F.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini kurang lebih penulis uraikan sebagai
berikut:
Bab Satu merupakan pendahuluan yang terdiri dari; latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Tinjauan Kajian Terdahulu, Metode Penulisan dan Penelitian, dan Sestematika
Penulisan.
Bab Dua Poligami berdasarkan Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan diIndonesia yang terdiri dari: Pengertian, Dasar hukum dan
14
Soerjono Soekanto. Pengantar Peneltian Hukum. (Jakarta: UI-PRESS, 1998), h.111-112.
13
Syarat-syarat Poligami, Legalitas Poligami Dalam Prespektif Fiqih, Regulasi
Pelaksanaan Poligami Yang Berlaku Dalam Perspektif
Hukum Positif Di
Indonesia, dan Poligami dalam Lintas Sejarah dan Hikamah Disyariatkan
Poligami.
Bab Tiga Pengadilan Agama Jakarta Timur Sebagai Pelaksana Kekusaan
Kehakiman yang terdiri dari: Sejarah Singkat Eksistensi Pengadilan Agama
Jakarta Timur, Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur, Kasus Poligami
Yang Diterima di Pengadilan Agama Jakarta Timur , dan Prosedur Perkara
Permohonan Izin Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Timur.
Bab Empat Analisis Putusan Majlis Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Timur Nomor: 717Pdt. G/2012 PAJT yang terdiri dari: Deskripsi Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Timur, Landasan Yuridis Putusan Izin Poligami
Nomor 717 Pdt.G/2012 PAJT, dan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Timur
Dalam Perkara Permohonan Izin Poligami
Bab Lima adalah merupakan bagian Penutup yang terdiri dari
Kesimpulan, Saran-saran, dan Penutup.
BAB II
POLIGAMI BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN UU NO 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Pengertian, Dasar Hukum dan Syarat-syarat Poligami
1. Pengertian Poligami
Kata monogami dapat dipasangkan dengan poligami sebagai antonim.
Monogami adalah perkawinan dengan istri tunggal, artinya seorang laki-laki
menikah dengan seorang perempuan. Sedangkan poligami adalah perakwinan
dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. 1 Dengan
demikian makna umum poligami ini mempunyai dua kemungkinan
pengertian, seorang laki-laki menikah dengan banyak perempuan atau seorang
perempuan menikah dengan banyak laki-laki. Kemungkinan pertama disebut
poligini dan kemungkinan kedua disebut poliandri. Hanya saja yang
berkembang pengertian itu mengalami pergeseran sehingga poligami dipakai
untuk makna laki-laki beristri banyak, sedangkan poligini sendiri tidal lazim
dipakai.2Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa Poligami berasal
dari kata bahasa Yunani dari kata “Poly” atau ”polus”, yang berarti banyak
1
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa Poligami diartikan sebagai sistem perkawinan
yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang
bersamaan, dan juga disebutkan pengertian dari poligini dan poliandri. Poligini adalah sistem
perkawinan yang membolehkan seorang peria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu
yang bersamaan, sedangkan poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita
mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 779.
2
Kuzari Achmad, Nikah Sebagai Perikatan …, h.159.
14
15
dan “gamein” atau gamos” yang berarti kawin atau perkawinan. Bila
pengertian ini digabung maka akan diperoleh pengertian yang berarti
poligami ialah suatu perkawinan yang lebih dari satu orang.3
Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih
dari satu, dengan batasan umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita.
Walau ada yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari
empat atau bahkan lebih dari sembilan isteri. Perbedaan ini disebabkan
perbedaan dalam memahami dan menafsirkan firman Alla SWT dalam surat
An-Nisa‟ ayat 3.4
Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974
menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan
tegas dalam pasal 3 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada asasnya seorang
pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami,
akan tetapi asas monogami dalam UU
Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada
pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan
mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama
sekali sistem poligami.5
3
Badriyah Fayumi, Euis Amalia, Yayan Sopyan, Sururin, Tien Rohmatin, Isu-isu Gender
Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), h.40.
4
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.84.
5
Lihat Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya.
16
2. Dasar hukum dan syarat poligami
Sedangkan dasar hukum mengenai poligami dalam pernikahan
disebutkan secara jelas dan tegas dalam al-Qur‟an. Ayat yang sering menjadi
rujukan para ulama dalam hal poligami antara lain ialah:
adalah QS. Al-Nisa (4) : 3 yang artinya:
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,6 Maka (kawinilah) seorang
saja,7 atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. (al-Nisa [4]: 3).
Sedangkan hadis-hadis Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang
hukum poligami dengan jelas dan gamblangsebagai berikut:
a. H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah RA dari Qais bin al-Haris:
6
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,giliran
dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
7
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini
poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat
Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
8
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Ihya, tt), Jilid 1. h.628. Nomor hadis 1952.
17
Artinya:
Dari Qais bin al-Haris berkata bahwa saya telah masuk Islam dan
saya memeliki 8 (delapan) isteri, lalu saya datang kepada Rasulullah
SAW lalu saya sebutkan kepadanya tentang hali itu maka Rasuluallah
menyruhku untuk memilih 4 (empat) isteri saja.
b. H.R Ahmad dan Turmuzi RA:
Artinya:
Dari Ibnu Umar RA ia berkata bahwa telah masuk Islam Qhailan asSaqafi dan dia memeliki 10 (10) isteri pada masa Jahiliyah dan mereka semua
masuk Islam bersama dengannya, maka Rasulullah SAW menyuruhnya untuk
memilih 4 (empat) saja.
Sedangkan mengenai syarat poligami. Para ulama menyebutkan dua
syarat yang Allah Subhanahu Wata‟ala sebut dalam Al-Quran ketika seorang
lelaki hendak berpoligami, dan syarat lainnya yang disebutkan dalam hadits
Rasulullah Shallallahu „Alaihi Wasallam antara lain sebagai berikut:
1. Jumlah istri yang paling banyak dikumpulkan adalah empat, tidak boleh lebih.
2. Bisa berbuat dan berlaku adil di antara para istri.
3. Adanya kemampuan jasmani dan nafkah dalam bentuk harta.
9
9. h.393.
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001), Jilid
18
B. Legalitas Poligami
Monogami ialah praktek perkawinan yang hanya memperbolehkan
seorang laki-laki mempunyai satu istri
pada jangka waktu tertentu, berbeda
dengan perkawinan monogami, poligini adalah praktek perkawinan dengan dua
orang istri atau lebih pada saat yang sama. Dua bentuk perkawinan ini memiliki
legitimasi normatifnya dalam hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di
Indonesia. Tetapi dalam aktulisasi atau implementasinya, perkawinan poligini
mengalami penyimpangan, cenderung mengutamakan keinginan-keinginan
individual
(self
interrest).
Padahal
perkawinan
poligini
dalam
Islam
mengutamakan aspek kemaslahatan.
Sejarawan Perancis terkemuka, Gustave Le Bon, menyatakan bahwa
undang-undang
Islam
yang
membenarkan
poligami
merupakan
suatu
keistimewaan dari agama ini, dan berkaitan dengan perselingkuhan dan hubungan
gelap kaum peria dan wanita eropa.10
Keberadaan hukum di tengah masyarakat tidak hanya bertujuan
menciptakan ketertiban dan keteraturan, tetapi hukum harus mampu memainkan
peranan dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Dalam penegakan hukum,
paling tidak ada tiga asas yang harus diperhatikan, yaitu: asas keadilan
(Gerechtigkeit), asas kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan asas kepastian hukum
10
Haidar Abdullah, Kebebasan Seksual Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h.111.
19
(Rechtssicherheit). Dalam penegakan hukum, ketiga asas tersebut harus samasama diperhatikan secara proporsional dan seimbang.11
1. Poligami Dalam Perspektif Fikih
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa Islam
bukanlah agama yang pertama kali mengenalkan institusi poligami. Fenomena
poligami sudah ada pada sejarah manusia berabad-abad yang lalu sebelum
datangnya Islam. Masyarakat Arab sebelum Islam juga sudah tidak asing lagi
dengan praktik-praktik poligami dalam kehidupan sehari-harinya.
Kedatangan Islam dengan ayat-ayat poligaminya, kendatipun tidak
menghapus praktik ini, namun Islam membatasi kebolehan poligami hanya
sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti
keharusan berlaku adil di antara para istri. Syarat-syarat ini ditemukan di
dalam dua ayat poligaminya yaitu surah an-Nisa ayat 3 dan an-Nisa ayat 129.
Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya) maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya”
11
Nur Rohim Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, (Jakarta:
Jurisprudence Press, 2012),h. 84.
20
Selanjutnya pada surah yang sama ayat 129 Allah berfirman sebagai
berikut:
Artinya:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan
dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesunguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ayat di atas menunjukkan bolehnya seorang laki-laki beristeri sampai
dengan empat orang wanita saja dalam waktu yang sama. Penegasan ini
dinyatakan dalam bentuk perintah. Akan tetapi, perintah pada ayat di atas
hukumnya tidak dengan sendirinya menyatakan wajib seperti halnya perintah
melakukan shalat lima waktu atau puasa di bulan ramadhan.12 Instrument
hukum poligami tersebut hukumnya mubah, artinya bebas dilakukan oleh
setiap lelaki muslim selama yang bersangkutan memenuhi persyaratan untuk
dapat melakukannya dengan adil dan memberikan kecukupan kepada isteriisterinya. Namun dalam hal ini yang perlu dingat adalah prinsip murni dalam
12
Muhammad Thalib, Tuntunan Poligami dan Keutamaannya, (Bandung :Irsyad Baitus
Salam, 2001), h.18.
21
Islam adalah monogami, yakni perkawinan antara satu laki-laki dengan satu
perempuan, tanpa perceraian.13
Sebagaimana yang penulis kutip dari penjelasan yang disampaikan
oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya yang
mengambil pendapat dalam penafsiran Asghar, sebenarnya dua ayat di atas
menjelaskan betapa al-Quran begitu berat untuk menerima institusi poligami,
tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang ada maka Al-Quran
membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan syarat harus
adil. Dengan mengutip al-Thabari, menurut Asghar, inti ayat di atas
sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil
terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka.14
Berbeda dalam pandangan fikih, poligami yang di dalam kitab-kitab
fikih disebut dengan Ta’addud al-Zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi
persoalan. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, bahwa ulama sepakat
tentang
kebolehan
poligami,
kendatipun
dengan
persyaratan
yang
bergmacam-macam. As-Sarakhsi menyatakan kebolehan poligami dan
mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani lelaki yang
berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya. As-Syafi‟i juga
13
Mahmoud Mohamed Taha, The Second Message of Islam, Terj., Nur Rachman, Syari‟ah
Demokratik, (Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996), h.204.
14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta:
Kencana, 2004), h.158.
22
mensyaratkan keadilan di antara para istri, dan menurutnya keadilan ini hanya
menyakut urusan materi atau unsur fisik saja semisal mengunjungi istri di
malam atau di siang hari.15
Jika disederhanakan, pandangan normatif Al-Quran yang selanjutnya
diadopsi oleh ulama-ulama fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan
yang harus dimiliki oleh suami. Pertama, seorang laki-laki yang berpoligami
harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai
keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang laki-laki
harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus
diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain.16
Salah satu yang menjadi problematika sejak dahulu sampai sekarang
yang tetap menjadi perdebatan hangat di kalangan ahli hukum Islam adalah
status poligami. Mayoritas ilmuan klasik dan pertengahan berpendapat bahwa
poligami adalah boleh secara mutlak. Sementara mayoritas pemikir
kontemporer dan perundang-undangan muslim modern membolehkan
poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi tertentu yang sangat
terbatas. Lebih dari itu ada pemikir dan UU perkawinan Muslim yang
mengharamkan poligami secara mutlak.17
15
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia…, h. 158.
16
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia…, h. 159.
17
Akhmad Haries, Poligami dalam perspektif Asghar Ali Engineer dan relevansinya dengan
konteks Indonesia, Jurnal Mazahib, vol. IV, No. 2, Desember 2007, h.1.
23
Dengan ungkapan lain, ada tiga (3) pandangan tentang poligami ini,
yakni: Pertama, mereka yang membolehkan poligami secara mutlak, di
antaranya mayoritas ulama klasik dan pertengahan, dengan syarat; mampu
mencukupi nafkah keluarga, dan mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya,
di antaranya dari mazhab Hanafi seperti al- Sarakhsi, al-Kasani, Imam Malik
dan Imam al-Syafi‟i. Kedua, mereka yang membolehkan poligami dengan
syarat-syarat dan dalam kondisi-kondisi tertentu; Di antara tokoh yang masuk
kelompok ini adalah Quraisy Shihab, Asghar Ali Engineer, Amina Wadud dan
lain-lain. Dan ketiga, mereka yang melarang poligami secara mutlak, di
antaranya al-Haddad dan Druze Lebanon.18
Sementara alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami,
menurut Abdurrahman setelah merangkum pendapat fuqaha, setidaknya ada
delapan keadaan. Pertama, istri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan
sulit disembuhkan. Kedua, istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis
tidak dapat melahirkan. Ketiga, istri sakit ingatan. Keempat, istri lanjut usia
sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai istri. Kelima, istri
memiliki sifat buruk. Keenam, istri minggat dari rumah. Ketujuh, ketika
terjadi ledakan perempuan dengan sebab perang misalnya. Kedelapan,
18
Khoiruddin Nasution, ”Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal Musawa, No. 1. Vol. 1.
Maret 2002, h.59-78.
24
kebutuhan suami beristri lebih dari satu, dan jika tidak menimbulkan
kemudharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya.19
Al-Athar dalam bukunya Ta’ddud al-Zaujat sebagaimana yang telah
dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya
Hukum Perdata Islam di Indoneisia menyebutkan ada empat dampak negatif
poligami yaitu: Pertama, poligami dapat menimbulkan kecemburuan diantara
para istri. Kedua, menibulkan rasa kekhawatiaran istri kalau-kalau suami tidak
bisa bersikap bijaksana dan adil. Ketiga, anak-anak yang dilahirkan dari ibuibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya perkelahian, permusuhan
dan saling cemburu. Keempat, kekacauan dalam bidang ekonomi.20
Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal
yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau
kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya
secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam
menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda
(madunya istri tua) menjadi tegang, sementara anak-anak yang berlainan ibu
menjurus kepada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya,
hal ini biasanya terjadi ketika ayahnya telah meniggal dunia, agar hal-hal yang
bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang beristri
19
Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT rineka cipta, 1992), h.46-
47.
20
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia…, h.161.
25
lebih dari satu orang, maka undang-undang perkawinan ini membatasi secara
ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu,21 dengan mengantisipasi
lebih awal membatasi kawin lebih dari satu orang dengan alasan-alasan dan
syarat-syarat tertentu. Undang-undang perkawinan memberikan suatu harapan
bahwa perkawinan yang dilaksanakan itu betul-betul membawa manfaat
kepada mereka yang melaksanakannya.22
Islam memiliki sistem-sistem perkawinan yang sempurna yang
mempertimbangkan semua variable manusiawi dan memberikan jalan keluar
yang jelas bagi kaum pria maupun wanita. Pengingkaran terhadap validitas
dan legalitas poligami sama saja dengan meningkari ketuntasan sistem
perkawinan Islam dan kebijakan ketetapan tuhan.23
2. Regulasi pelaksanaan poligami yang berlaku dalam perspektif hukum positif
di Indonesia adalah:
Asas perkawinan di Indonesia seperti yang tercantum dalam Undangundang No. 1 Tahun 1974 adalah monogami. Poligami merupakan
21
Sebagaimana yang penulis kutip dari bukunya amir syarifuddin, hukum perkawinan Islam
Indonesia antara fikih munakahat dan undang-undang perkawinan menyebutkan, asas dan prinsip
perkawinan itu dalam bahasa sederhananya adalah sebagai berikut: satu, asas sukarela. Dua, partisipasi
keluarga. Tiga, perceraian dipersulit. Empat, poligami dibatasi secara ketat. Lima, kematangan calon
mempelai. Enam, memperbaiki derajat kaum wanita.
22
23
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, …, h. 10 -11.
Abu Aminan Bilal Philips, Monogami Dan Poligini Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001), h.8.
26
pengecualian dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang ditentukan dalam
perundang-undangan.
Perkawinan di Indonesia termasuk di dalamnya aturan poligami diatur
sedemikian rupa yang terhimpun dalam beberapa peraturan perundangundangan di antaranya adalah: Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksana Udangundang No. 1 Tahun 1974, PP No. 10 Tahun 1983, PP No. 45 Tahun 1990
dan Kompilasi Hukum Islam.
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dalam UU No. 1 Tahun 1974, masalah poligami diatur pada pasal 3, 4,
dan 5.
Pasal 3 berbunyi :24
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihakyang
bersangkutan.
Dari penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974
dikatakan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria
24
(2).
Lihat Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 3 ayat (1) dan
27
hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami.
Namun dalam pasal 3 ayat (2) dijelaskan tentang pengecualian dari
pasal 3 ayat (1) yakni: pengadilan dapat memberi izin kepada seorang
suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihakpihak yang berasangkutan.
Dari paparan di atas, ternyata poligami di Indonesia tidak boleh
dilakukan secara liar atau illegal. Institusi peradilanlah satu-satunya
lembaga yang memiliki otoritas memberikan dispensasi untuk poligami.
Adapun persyaratan yang harus dilengkapi oleh orang yang mengajukan
dispensasi poligami adalah cukup alasan. Alasan tersebut seperti yang
tercantum dalam pasal 4 ayat (1) dan (2) yaitu:25
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang ini,
maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah
tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
25
(2).
Lihat Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 4 ayat (1) dan
28
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dengan demikian, seseorang yang ingin melaksanakan hajatnya
untuk berpoligami harus mengajukan alasan-alasan yang sudah ditentukan
dalam peraturan yang tertera dalam pasal 4 ayat (2) dalam pasal 5 ayat (1)
dan (2) diperjelas lagi:26
(1)
Untuk
dapat
mengajukan
permohonan
kepada
Pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini,
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. adanya persetujuan dari isteri/ister-isteri
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka
c. adanya jaminan bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama
26
(2).
Lihat Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 5 ayat (1) dan
29
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya
yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Aturan Pelaksana
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Untuk kelancaran pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 telah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang mengatur
ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Dan dalam hal suami
yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib
mengajukan permohonan tertulis kepada Pengadilan Agama, kemudian di
Pengadilan Agama akan memberikan keputusan apakah permohonan
tersebut diluluskan atau ditolak.
Dalam PP No. 9 Tahun 1975 mengatur lebih terperinci tentang
Pelaksanaan poligami Atas Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 tentang Pelaksanaan beristri lebih dari seorang. Yaitu :
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang
maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin
lagi, ialah :
30
1) bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
2) bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
3) bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b.
ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan
maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan,
persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.
c.
ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
1) surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
2) surat keterangan pajak penghasilan; atau
3) surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;
d.
ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau
janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan
41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang
bersangkutan.
31
(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan
beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya
yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin
Pengadilan seperti yang dimaksud
dalam Pasal 43.
3. PP No. 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi
pegawai negeri sipil.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada
dasarnya menganut asas monogami, dimana seorang pria hanya
mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya mempunyai seorang
suami. Namun dalam keadaan tertentu dan dengan putusan pengadilan
maka seorang PNS pria bisa memiliki istri lebih dari seorang (poligami).
Tujuan dibuatnya PP No. 10 Tahun 1983 ini adalah dinyatakan dalam
konsideran pertimbangan poin (b) yakni bahwa pegawai negeri sipil wajib
32
memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan
sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam
menyelenggarakan kehidupan berkeluarga.27
Perizinan poligami dalam PP No. 10 Tahun 1983 sesuatu hal yang
sangt sulit dilakukan. Peraturan disebutkan dalam pasal 4 yaitu:
Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri
kedua/ ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.
(3)
Pegawai
Negeri
Sipil
wanita
yang
akan
menjadi
isteri
kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3)
diajukan secara tertulis.
(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan
izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/
ketiga/keempat.
27
Lihat consideran pertimbangan poin (b) Peraturan pemerintah No 10 Tahun 1983 Tentang
Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
33
PNS pria yang ingin berpoligami wajib mengajukan izin secara
tertulis terlebih dahulu dari pejabat dengan disertai alasan-alasan yang
mendasari keinginannya tersebut. Izin tersebut hanya dapat diberikan jika
memenuhi sekurang-kurangnya satu syarat alternatif dan semua syarat
kumulatif.28 Adapun syarat alternatif sebagaimana dimaksud adalah :29
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, atau
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Adapun syarat kumulatif yang harus dipenuhi adalah :30
a.
ada persetujuan tertulis dari isteri
b.
PNS yang bersangkutan mempunyai menghasilan yang cukup untuk
membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan
dengan surat keterangan pajak penghasilan
c.
ada jaminan tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku
adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
28
Lihat Pasal 10 PP 10 Tahun 1983
29
Lihat Pasal 10 Ayat 2 PP 10 Tahun 1983
30
Pasal 10 Ayat 3 PP 10 Tahun 1983
34
Pejabat yang menerima permintaan izin untuk berpoligami wajib
memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam
surat permintaan izin dan dari atasan PNS yang bersangkutan. Apabila ada
alasan yang dirasa kurang meyakinkan maka pejabat tersebut dapat
meminta keterangan tambahan dari isteri atau pihak lain yang dianggap
perlu. Sebelum mengambil keputusan, maka pejabat memanggil PNS yang
bersangkutan, baik sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk
diberikan nasehat.
Seorang pejabat juga dapat menolak permintaan izin untuk
berpoligami jika :31
a.
Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh PNS
yang mengajukan izin
b.
Tidak memenuhi salah satu syarat alternatif dan semua syarat kumulatif
c.
Bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku
d.
Alasan yang dikemukakan untuk beristri lebih dari seorang
bertentangan dengan akal sehat dan/atau
e.
Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan yang
dinyatakan dalam surat keterangan atasan langsung dari PNS yang
bersangkutan.
31
Pasal 10 Ayat 4 PP 10 Tahun 1983.
35
4. PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintahan
Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi
Pegawai Negeri Sipil.
Pegawai Negeri Sipil merupakan unsur aparatur negara, abdi negara,
dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi
masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku,
termasuk
menyelenggarakan
kehidupan keluarga. PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990
mengatur tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Dalam pasal
4 ayat 2 PP No. 10 Tahun 1983 menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil
wanita di izinkan untuk menjadi istri kedua, ketiga ataupun keempat dari
bukan Pegawai Negeri Sipil, kemudian PP tersebut direvisi oleh PP No.
45 Tahun 1990 dengan tidak memperbolehkan sama sekali PNS wanita
untuk menjadi istri kedua, ketiga ataupun keempat baik oleh Pria PNS
maupun bukan PNS.32
5. Kompilasi Hukum Islam
Yang melatarbelakangi Kompilasi Hukum Islam adalah keinginan
untuk mengadakan kodifikasi dan unfikasi hukum Islam di Indonesia,
minimal hukum Islam yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan
Agama, karena tanpa adanya hal itu, dikhawatirkan akan muncul
32
Sipil.
Lihat pasal 4 Ayat 2 PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Izin Poligami Bagi Pegawai Negeri
36
ketidakpastian
hukum
di
lingkungan
Peradilan
Agama
yakni
permasalahan yang sama, diajukan oleh orang yang berbeda menghasilkan
hukum yang berbeda pula. Kompilasi ini dikukuhkan dengan Instruksi
Presiden RI No 1 Tahun 1991. Di dalamnya menyangkut tiga pokok
permasalahan yang terbagi menjadi tiga buku. Buku I Berisi Hukum
Perkawinan, Buku II Berisi Hukum Kewarisan, Buku III Berisi Hukum
Wakaf.33
Dalam menjabarkan masalah poligami, KHI lebih cenderung sebagai
tafsir dan bayan bagi Undang-undang No 1 Tahun 1974, yakni poligami
sebagai dispensasi dari monogami dengan beberapa persyaratan.
Permasalahan poligami tercantum dalam Bab IX dari pasal 55 sampai
dengan pasal 59.34
Dalam Inpres No. 1/1991, masalah poligami diatur pada pasal 55, 56,
57, 58, dan 59.
Pasal 55 berbunyi :
(1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya
sampai empat orang isteri.
(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
33
Badriyah Fayumi, Euis Amalia, Yayan Sopyan, Sururin, Tien Rohmatin, Isu-isu Gender
Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), h. 58-59.
34
Badriyah Fayumi, Euis Amalia, yayan sopyan, …, h.59.
37
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi,
suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Pasal 56 berbunyi :
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut
tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No.
Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa
izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57 berbunyi :
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58 berbunyi :
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat
yang ditentukan pada pasal 5 Undangundang No. 1 Tahun 1974 yaitu :
38
a. adanya persetujuan isteri
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat
diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekali pun telah ada
persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan
isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau
apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya
2 (dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian
Hakim.
Pasal 59 berbunyi :
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin
untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan
yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat
menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar
isteri yang bersangkutan.
39
C. Poligami Dalam Lintas Sejarah dan Hikmah Disyariatkan Poligami
1. Poligami Dalam Lintas Sejarah
Sebenarnya sistem poligami sudah meluas ke banyak bangsa
sebelum
Islam
melaksanakan
datang,
Diantaranya
bangsa-bangsa
yang
praktik poligami ialah: Bangsa Ibrani, Arab Jahiliyah,
Saqalibah atau disebut juga orang-orang terdahulu (Cisilia) yang sekarang
itu
mereka
dinisbatkan
kepada
bangsa-bangsa
penghuni
negara-
negara Rusia, Lituania, Polandia, Cokoslowakia dan Yugoslowakia dan
menurut sebagian Orang-orang Jerman dan Saxson, mereka memasukkan
juga bangsa-bangsa sekarang dinamakan: Jerman, Swiss, Belgia, Belanda,
Denmark, Swedia, Norwegia, dan Inggris. Tidak benar
mereka
katakan bahwa Islamlah yang
membawa
apa yang
sistem poligami.
Sebenarnya sistim poligami itu tersebar hingga hari ini ke beberapa
bangsa
tidak beragama Islam, seperti orang-orang bangsa Afrikia,
India, Cina dan Jepang, tetapi juga tidak benar kalau dikatakan sistem
poligami ini tersebar ke negara-negara umat beragama Islam saja.35
Bangsa Arab sebelum Islam melakukan poligami tanpa batas, bahkan
taurat yang ada di tangan kita saat ini membolehkan poligami tanpa batas.
35
http://master.islamic.uii.ac.id/index.php/Artikel/POLIGAMI-DAN-APLIKASI-HUKUMISLAM-DI-INDONESIA.html, diakses, pada tanggal 13 juli 2014 jam13:20 WIB.
40
Taurat juga menyebutkan bahwa sebagian para nabi melakukan poligami
tanpa batas, dan Islam datang membatasinya dengan jumlah empat orang
wanita dan meletakkan syarat adil dan mampu memberi nafkah, dan ia adalah
syarat setiap perkawinan sekalipun hanya dengan satu orang. Ia adalah syarat
agama yang menyebabkan seseorang berdosa bila tidak menunaikannya.36
Poligami telah dikenal oleh bangsa-bangsa di permukaan bumi sebagai
masalah kemasyarakatan. Poligami juga banyak diperhatikan oleh para
sarjana dan ahli-ahli seksiologi seperti Sigmund Freud, Adler, H. Levie, Jung,
Charlotte Buhler, Margaret Mead dan lain-lain. Di dunia Barat, kebanyakan
orang benci dan menentang poligami. Sebagian besar bangsa-bangsa disana
menganggap bahwa poligami adalah hasil dari perbuatan cabul dan oleh
karenanya dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral. Akan tetapi,
kenyataannya menunjukkan lain, dan inilah yang mengherankan. Di Barat,
kian merajalela terjadinya praktik-praktik poligami secara liar atau non-legal
di luar perkawinan yang sah, hal yang demikian sejak dulu sudah bukan
rahasia lagi. Hendrik II, Hendrik IV, Lodeewijk XV, Rechlieu, dan Napoleon
I, adalah sekadar contoh orang-orang besar Eropa yang berpoligami secara
illegal, bahkan Pendeta-pendeta Nasrani yang telah bersumpah tidak akan
kawin selam hidupnya, tidak malu-malunya membiasakan juga kebiasaan
36
Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi, (Jakarta: Tim
Pustaka Darul Haq, 2007), h.73.
41
memelihara istri-istri gelap dengan izin sederhana dari uskup atau kepalakepala gereja mereka.37
Melihat realita ini, banyak juga diantara para sarjana barat, penganjur
poligami atau paling tidak orang-orang barat yang mulai terbuka dan bersikap
lunak dengan poligami. Dr. Gustav Le Bon pernah berkata: “pada masa-masa
yang akan datang nanti, Undang-undang Bangsa Eropa akan melegalisasi
poligami”. M. Letourbeau juga pernah berkata: “hingga sampai saat ini,
belum juga dapat diyakini bahwa sistem monogami itu yang lebih baik”.38
Di zaman yang serba modern ini, soal poligami tampaknya masih
hangat dibicarakan. Malah sebagian orang tidak puas
dengan sekedar
membahas tentang baik buruknya sistem poligami bagi manusia, tetapi lebih
jauh lagi orang ingin mengetahui sifat biologis manusia pria dan wanita.
Yaitu, apakah memang manusia jenis kelamin pria itu bersifat poligami atau
tidak dan apakah manusia wanita itu bersifat monogami atau tidak.39
Dalam realitasnya, hanya golongan Kristen Katholik saja yang tidak
membolehkan pembubaran akad nikah kecuali dengan kematian saja,
sedangkan aliran-aliran Ortodoks dan Protestan atau Gereja Masehi Injil
37
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali
Press, 2009).h. 353.
38
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,…,h. 353.
39
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,…,h. 355.
42
membolehkan seorang Kristen untuk menceraikan istrinya dengan syaratsyarat yang tertentu pula.40
Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan
tidak mengahruskan umatnya melaksanakan monogami mutlak. Dengan
pengertian seorang laki-laki hanya boleh beristri seorang wanita dalam
keadaan dan situasi apa pun dan tidak pandang bulu apakah laki-laki itu kaya
atau miskin, hiposek atau hipersek, adil atau tidak adil secara lahiriyah. Islam
pada dasarnya menganut sistem monogami dengan memberikan kelonggaran
dibolehkannya poligami terbatas. Pada perinsipnya seorang laki-laki hanya
boleh memiliki seorang istri dan sebaliknya seorang istri hanya memiliki
seorang suami. Tetapi, Islam tidak menutup diri adanya kecendrungan lakilaki beristri banyak sebagaimana yang sudah berjalan dahulu kala. Islam tidak
menutup rapat kemungkinan adanya laki-laki tertentu berpoligami, tetapi
tidak semua laki-laki harus berbuat demikian karena tidak semuanya
mempunyai kemampuan untuk berpoligami.
Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami sebagai
alternatif atau pun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks
laki-laki atau sebab-sebab lain yang menggangu ketenangan batinnya agar
tidak sampai jatuh ke lembah perzinaan maupun pelajaran yang jelas-jelas
diharamkan agama. Oleh sebab itu tujuan poligami adalah menghindari agar
40
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap…, h. 356.
43
suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang Islam dengan mencari
jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi dengan syarat bisa berlaku adil.
Poligami dalam lintas sejarah manusia ternyata mengukuti pola fikir
masyarakat terhadap pandangan mereka kepada kaum perempuan. Ketika
suatu masyarakat itu memandang kedudukan dan derajat perempuan itu
sebagai makhluk yang hina, maka poligami menjadi subur (banyak
dilakukan), sebaliknya pada masyarakat yang memandang kedudukan dan
derajat perempuan itu terhormat, poligami pun berkurang. Jadi konklusi dari
tingkat perkembangan poligami dilihat dari realita sejarahnya juga mengalami
diagram fluktuatif.
Islam datang dengan membawa pesan moral kemanusiaan yang tidak
ada bandingannya dalam agama manapun. Ketika Nabi Muhammad SAW.
membawa pesan Islam datang, kebebasan berpoligami itu tidak serta merta
dihapuskan, namun setelah ayat menyinggung poligami diwahyukan, Nabi
SAW lalu melakuka perubahan sesuai petunjuk kandungan ayat. Pertama,
membatasi jumlah bilangan isteri hanya empat. Kedua, Islam menetapkan
bagi seorang pria yang melakukan poligami untuk berlaku adil terhadap
semua isterinya.
Dengan adanya sistem poligami dan ketentuannya dalam ajaran islam,
merupakan suatu karunia begi kelestariannya, yang menghindari dari
44
perbuatan-perbuatan sosial yang kotor dan akhlak yang rendah dalam
masyarakat yang mengakui poligami. Adapun dalam masyarakat yang
melarang poligami dapat dilihat hal-hal sebagai berikut:41
a. Kejahatan dan pelacuran tersebar dimana-mana sehingga jumlah pelacur
lebih banyak dari pada perempuan yang bersuami.
b. Banyaknya anak-anak yang lahir tanpa ayah yang jelas, sebagai hasil dari
perbuatan diluar nikah. Di amerika, misalnya setiap tahun lahir anak di
luar nikah lebih dari dua ratus ribu.
c. Munculnya bermacam-macam penyakit badan, kegoncangan mental, dan
gangguan-gangguan syarat.
d. Mengakibatkan keruntuhan mental.
e. Merusak hubungan yang sehat antara suami dan istrinya, menggangu
kehidupan rumah tangga dan memutuskan tali ikatan kekeluargaan,
sehingga tidak lagi menganggap segala sesuatu yang berharga dalam
kehidupan bersuami istri.
f. Meragukan sahnya keturunan sehingga suami tidak yakin bahwa anakanak yang diasuh dan dididik adalah darah dagingnya sendiri.
Bahwasanya Ini membuktikan poligami yang diajarkan oleh Islam
merupakan cara yang paling sehat dalam memecahkan masalah ini dan
41
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap…, h.360.
45
merupakan cara yang paling cocok untuk dipergunakan oleh umat manusia
dalam hidupnya di dunia.
Secara
historis
masalah
poligami
sebelumnya
telah
marak
diperbincangkan, jauh sebelum UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
menjadi Undang-undang. Pada akhirnya monogami ditetapkan menjadi salah
satu azas tetapi dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada orang yang
menurut hukum dan agamanya diizinkan bagi seorang suami beristeri lebih
dari seorang. Masuk dalam pengecualian tersebut adalah orang yang
beragama Islam, karena secara normatif tekstual Al-Qur‟an dianggap
membolehkan poligami.
2. Hikmah Disyariatkannya poligami
Sesungguhnya segala sesuatu yang ditetapkan dalam ajaran agama
Islam ini tidak akan ditetapkan kecuali untuk satu hikmah atau beberapa
banyak hikmah yang terkandung di dalamnya, dan manusia
kadang
menemukan hikmah-hikmah tersebut atau hanya sebagiannya saja sejak awal,
dan kadang hikmah-hikmah tersebut bisa ditangkap manusia setelah memeras
pikiran dan melewati beberapa proses peneltian yang panjang, dan kadang
manusia tidak bisa mengetahui secara mutlak.42 Hikmah poligami beragam
dan banyak sekali, di antaranya:
42
Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi…, h.64.
46
Pertama: terdapat realita yang tampak mencolok di berbagai
masyarakat dunia akan lebih banyak jumlah kaum wanita yang telah melewati
umur untuk menikah dibanding kaum laki-laki, sebagaimana yang terjadi di
Negara-negara Eropa Utara, dimana kaum wanita disana melebihi kaum lakilaki secara mencolok diluar waktu perang sekalipun. Maka solusinya adalah,
laki-laki yang telah mencapai umur untuk menikah sebagian atau semuanya
menikahi lebih dari seorang, dan bahwasanya wanita kedua, ketiga atau
keempat tersebut adalah istri terhormat dan mulia bagi suaminya.43
Kedua: umat manusia seringkali mengalami krisis yang menyebabkan
surplusnya kaum wanita, seperti yang biasa terjadi pasca revolusi, wabah atau
bencana alam. Banyak kaum wanita yang akan hidup tanpa suami, dan itu
akan menghasilkan resiko semakin berkurangnya angka kelahiran dan itu
tidak mustahil. Jika dalam kondisi seperti ini poligami tidak diperbolehkan
sebagaimana yang dilakukan islam, maka kemesuman, pergaulan bebas,
penyelewengan dan pelacuran akan tersebar di masyarakat dan semakin
meningkat jumlah anak-anak haram.44
Ketiga: jika istri mandul sang suami ingin punya anak, maka tak ada
jalan baginya, karena mencintai anak-anak adalah insting yang tertanam
dalam diri manusia, maka solusinya adalah, istri yang mandul itu tetap
43
Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi, …,h.65-66.
44
Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi, …,h.67.
47
bersama sang suami menikmati hak-hak perkawinan secara sempurna, dan
suami dibolehkan untuk menikah dengan wanita lain (poligami) untuk
mewujudkan fitrah manusia berupa kecintaanya terhadap anak-anak, tanpa
meniggalkan mudharat atau merampas hak-hak istrinya yang pertama dan ini
adalah solusi islami.45
Keempat: bahwa istri ditimpa penyakit yang berkepanjangan atau
penyakit yang menular atau penyakit yang menakutkan yang menyebabkan
sang suami tidak dapat menggaulinya sebagaimana layaknya hubungan suami
istri yang normal.46
Kelima: bahwa seorang laki-laki memiliki kekuatan biologis yang
hebat dimana dia tidak cukup dengan seorang istri atau tidak bisa menahan
diri pada hari-hari dimana sang istri tidak boleh digauli, seperti masa-masa
haid, hamil, semasa melahirkan, ketika sedang sakit, atau karena usia yang
telah lanjut.47
Keenam: Anak yang dilahirkan menpunyai legal formal dan ayah yang
jelas. Banyaknya anak-anak yang lahir tanpa ayah yang jelas, sebagai hasil
dari perbuatan di luar nikah. Berbeda dengan anak yang lahir dari perbuatan
zina yang akan selalu mendapat cemoohan dan cacian dari masyarakat,
45
Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi…, h.68.
46
Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi …, h.69.
47
Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi…, h. 71
48
sedangkan anak yang lahir dari pernikahan poligami yang resmi akan
mendapat legal formal baik dari Negara maupun dari masyarakat.
Ketujuh: Status yang jelas bagi perempuan. Sama halnya dengan anak
yang lahir dari perbuatan zina yang tidak memiliki status yang jelas di
masyarakat dan hukum, maka perempuan yang berbuat zina juga tidak
memiliki ststus sosial yang jelas.
Kedelapan: Hanya Allah lah yang maha mengetahui hikmah dari
segala ucapan dan perbuatan, karena dibolehkannya poligami bukan berarti
menghina kaum wanita atau merendahkan derajat dan kemulian mereka, akan
tetapi semata demi kemaslahatan bagi wanita, laki-laki dan masyarakat
banyak.
Sayyid Sabiq menerangkan hikmah berpoligami cukup panjang
sebagaimana disadur oleh Achmad Kuzari dalam bukunya nikah sebagai
perikatan antara lain:48
1. Sebagai karunia dan rahmat Allah, dan menjadi diperlukan untuk
kemakmuran dan kemaslahatan.
2. Memperbesar jumlah ummat karena keagungan itu hanyalah bagi yang
berjumlah banyak.
3. Mengurangi jumlah janda sambil menyantuni mereka.
4. Mengantisipasi kenyataan bahwa jumlah wanita berlebih dibanding pria.
48
Kuzari Achmad, Nikah Sebagai Perikatan,…,h. 166.
49
5. Mengisi tenggang waktu yang lowong berhubungan secara kodrati pria
itu lebih panjang masa membutuhkan berhubungan seks baik karena
dalam usia lanjut yang wanita sudah tidak membutuhkan sementara pria
tetap saja, atau pun karena tenggang waktu sebab haid dan nifas.
6. Dapat mengatasi kalau istri mandul, dan
7. Sebaliknya di tempat yang menganut pemaksaan monogami terlahir
banyak kefasikan, banyak WTS (wanita tuna susila), dan banyak pula
anak di luar nikah.
Dari penjelasan mengenai beberapa banyak hikmah yang sudah
penulis kemukakan di atas menunjukkan bahwa syariat Islam membawa
ajaran yang komprehensif mengenai solusi dari persoalan pelik kehidupan
masyarakat dan membawa maslahat bagi umat manusia, sedangkan bagi
mereka
yang
mengingkari
adanya
sistem
poligami
dalam
hukum
perkawinannya maka bisa dilihat banyak timbul masalah-masalah sosial
dalam lingkungan masyarakat, keluarga, dan Negara.
BAB III
PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR SEBAGAI PELAKSANA
KEKUSAAN KEHAKIMAN
A. Sejarah Singkat Eksistensi Pengadilan Agama Jakarta Timur
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan
peradilan
guna
menegakkan
hukum
dan
keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum republik
Indonesia.1
Kata peradilan berasal dari kata adil dengan awalan “per” dan imbuhan
“an”. Kata peradilan sebagai terjemahan dari Qadha yang berarti memutuskan,
melaksanakan,menyelesaikan. Dan ada pula yang menyatakan bahwa umumnya
kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan.2
Dalam
literatur
fikih
islam,
peradilan
disebut
Qadha
artinya
menyelesaikan seperti firman Allah:
Artinya:
11
Lihat pasal 1 undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman. Dan lihat bukunya fauzan, pokok-pokok hukum acara perdata peradilan agama dan
mahkamah syariah di Indonesia, Jakarta: kencana, 2007, h.1.
2
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang
Surut, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.1.
50
51
“Manakala zaid telah menyelasaikan keperluannya dari zainab” (QS. AlAhzab: 37)
Ada juga yang berarti menunaikan seperti firman Allah:
Artinya:
“Apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah kepelosok
bumi” (QS. Al-Jumu’ah: 10)
Di samping itu menyelesaikan dan menunaikan seperti di atas. Arti
qadha yang dimaksud ada pula yang berarti memutuskan hukum atau
menetapkan suatu ketetapan. Dalam dunia peradilan menurut para pakar,
makna yang terakhir inilah yang dianggap signifikan. Dimana makna hukum
disini pada asalnya berarti menghalangi atau mencegah, karenanya qadhi
dinamakan hakim karena seorang hakim berfungsi untuk menghalangi orang
yang zalim dan penganiayaan. Oleh karena itu apabila seseorang menagatakan
hakim telah menghukum begini artinya hakim telah meletakkan sesuatu hak
yang mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya yang berhak.
Kata peradilan menurut istilah ahli fikih adalah berarti:
1. Lembaga hukum (tempat dimana seorang mengajukan mohon keadilan)
2. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seorang yang
mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar
harus mengikutinya.
52
Dalam kajian hukum acara perdata peradilan agama ada beberapa
istilah yang perlu dipahami, yaitu:3
1. Peradilan, bersal dari bahasa arab adil yang sudah diserap menjadi bahasa
Indonesia yang berarti proses mengadili atau suatu upaya untuk mencari
keadilan atau penyelasaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan
menurut peraturan yang berlaku. Peradilan merupakan suatu pengertian
yang umum. Dalam bahasa arab disebut al-qadha, artinya proses mengadili
dan proses mencari keadilan. Dalam bahasa belanda disebut recshtpraak
(kini tertuang dalam pasal 1 butir 2 UU Nomor 3 Tahun 2006.
2. Pengadilan, merupakan pengertian yang khusus adalah suatu lembaga
(institusi) tempat mengadili atau menyelesaian sengketa hukum di dalam
rangka kekuasaan kehakiman, yang mempunyai kewenangan absolut dan
relatif sesuai dengan peraturan perundag-undagan yang menentukannya/
membentuknya. Dalam bahasa disebut al-mahkamah, dalam bahasa belanda
disebut radd.
3. Pengadilan Agama, adalah suatu badan peradilan agama pada tingkat
pertama. PTA, adalah peradilan agama tingkat banding.
4. Hakim, hakim adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk
meyelesaikan dakwaan-dakwaan dan persengketaan, karena penguasa tidak
mampu melaksanakan sendiri semua tugas, sebagaimana Rasulullah SAW.
3
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia…, h. 6-7.
53
Pada masanya telah mengangkat qadhi untuk meyelesaikan sengketa di
antara manusia di tempat-tempat yang jauh (kini diatur dalam pasal 1 butir 3
UU No. 7 Tahun 1998).
5. Yang dimaksud dengan hukum acara perdata disini adalah hukum acara
perdata yang berlaku di lingkungan peradilan agama.
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa peradilan dapat diidentifikasi
sebgai bagian dari pranata hukum, sedangkan hukum dapat diidentifikasikan
sebagai bagian dari pranata sosial. Mengutip pandangan sumner, bahwa
pranata adalah konsep dan struktur, hukum adalah pranata (institution). Hal
itu didasarkan kepada gagasan keadilan dan kepatutan. Gagasan itu
dikonstruksikan dan mencakup pengadilan (courts), perangkat hukum
(statutory provisions). Oleh karena itu, peradilan dapat didentifikasi sebagai
pranata sosial . dalam kenyataannya, peradilan berhubungan secara timbal
balik, bahkan saling tergantung (interdependency) dengan pranata hukum
lainnya, seperti perangkat hukum (tertulis dan tidak tertulis), sistem hukuman,
politik hukum, dan nilai-nilai hukum, bahkan berhubungan dengan
penyuluhan hukum dan pendidikan hukum.4
Dalam penataan hubungan diantara anggota masyarakat manusia itu
diperlukan patokan tingkah laku yang disepakati bersama, yang bersumber
kepada nilai-nilai budaya yang dipatuhi dan mengikat kepada semua pihak.
4
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia…, h. 17-18.
54
Dalam wujudnya yang lebih konkrit patokan tingkah laku itu dikenal sebagai
hukum, yang berfungsi sebagai pengendali masyarakat untuk mewujudkan
ketertiban dan ketentaraman.5
Peradilan Agama adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu
diantara empat lingkungan peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang
sah di Indonesia. Tiga lingkungan peradilan Negara lainnya adalah Peradilan
Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan dalam
undang-undang yang baru yakni Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman ditambah dengan Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Agama adalah salah satu di antara peradilan khusus di
Indonesia. Dua peradilan khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan
Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau menangani golongan rakyat
tertentu. Dalam hal Peradilan Agama hanya berwenang dibidang perdata
tertentu saja, tidak termasuk bidang pidana dan pula hanya untuk orang-orang
Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata islam tertentu tidak
mencakup seluruh perdata islam.
Peradilan Agama adalah peradilan islam di Indonesia, sebab dari jenisjenis perkara yang boleh diadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut
5
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia …, h. 20.
55
agama islam. Dirangkaikannya kata-kata peradilan islam dengan di Indonesia
adalah karena jenis perkara yang boleh diadilinya, tidaklah mencakup segala
macam perkara menurut Peradilan Islam secara universal. Tegasnya peradilan
agama adalah Peradilan Islam limitatif, yang telah disesuaikan (di mutatis
mutandis-kan) dengan keadaan di Indonesia.6
Dari yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa peradilan
agama adalah satu dari peradilan Negara di Indonesia yang sah, yang bersifat
peradilan khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu,
bagi orang-orang Islam di Indonesia.7
Pasal 24 ayat (2) undang-undang dasar 1945 (hasil amandemen
ketiga), menegaskan bahwa: (kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah
mahkamah konstitusi.8
Amandemen ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
mengakibatkan posisi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama menjadi
6
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam,
Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan
Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh,( Jakarta: Kencana, 2010), h. 9-10.
7
Basiq Djalil, peradilan Agama di Indonesia…, h. 10.
8
Lihat pasal 24 ayat (2) uud nri 1945 hasil amandemen ke-3.
56
sangat kokoh, selain juga kewenangan absolutnya menjadi bertambah luas
sejak diamandemennya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undangundang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan pertama dan kedua atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.9
Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 berbunyi: “Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan”. Menurut pasal ini kekuasaan kehakiman
pertama, merupakan kekuasaan yang merdeka (an independent judiciary).
Pada masa yang lalu disebut “een onafhankelijke macth” yakni kekuasaan
kehakiman yang bebas, tidak tergantung pada kekuasaan lain. Kedua,
kekuasaan menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan , agar ketertiban masyarakat dapat tercipta (to achieve social order)
dan ketertiban masyarakat terpelihara (to maintain social order). Penegasan
mengenai pengertian tersebut diulang kembali pada pasal 1 uu no. 4 tahun
2004 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi “ kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
9
Taufiq Hamami, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
Pasca Amandemen ke Tiga UUD 1945, (Jakarta: Tatanusa, 2013), h.2.
57
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi
terselenggaranya Negara hukum republik Indonesia.10
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa peradilan agama merupakan salah satu lembaga peradilan
Negara disamping peradilan militer, peradilan tata usaha Negara, dan perdilan
umum. Keempat lembaga peradilan tersebut merupakan lembaga kekuasaan
kehakiman di Indonesia, yang bertugas menerima, mengadili, memeriksa, dan
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.
Sebagai milik bangsa Indonesia, khususnya yang beragama islam,
Peradilan Agama lahir tumbuh dan berkembang bersama tumbuh dan
berkembangnya bangsa Indonesia. Kehadirannya mutlak sangat diperlukan
untuk meneggakan hukum dan keadilan bersama dengan lembaga peradilan
lainnya. Peradilan Agama telah memberikan andil yang cukup besar kepada
bangsa Indonesia pada umumnya, khususnya bagi umat Islam sejak Islam
berada di bumi persada ini.
Dalam pemerintahan kerajaan Islam sebagai ciri tata pemerintahan
nusantara pada priode berikutnya. Peradilan Agama memperoleh tempat yang
lebih nyata sebagai penasihat raja dalam bidang agama, dengan keluarnya
Stbl. 1882 Nomor 152 oleh pemerintah kolonial Belanda, yang kemudian
ditambah dan diubah dengan Stbl. 1937 Nomor 116 dan 160 dan Stbl 1937
10
Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan Peninjauan Kembali
Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 1.
58
Nomor 638 dan 639 Peradilan Agama diakui sebagai peradilan Negara,
meskipun dibiarkan pertumbuhannya tanpa adanya pembinaan sama sekali.11
Kemudian pada zaman kemerdekaan, tercatat beberapa peraturan yang
mengakui eksistensi peradilan agama, antara lain adalah undang-undang
darurat Nmor 1 Tahun 1951 Jo. Undang-undang Nomor 1 tahun 1961,
peraturan pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, undang-undang Nomor 14
Tahun 1970, undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, peraturan pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, peeraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, dan
terakhir undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dan
ditambah dengan undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama.
Meskipun Peradilan Agama telah tumbuh dan berkembang seperti
sekarang ini, tetapi jarang sekali kita temui tulisan-tulisan tentang peradilan
agama di Indonesia secara utuh dan lengkap. Meskipun peradilan agama telah
mempunyai sejarah yang panjang, tetapi dilewatkan saja oleh para
cendekiawan dalam percaturan ilmu pengetahuan. Kondisi seperti ini
mungkin disebabkan para ulama dan cendekiawan muslim selalu menganggap
rendah terhdap Peradilan Agama ini. Mereka menganggap bahwa berbicata
tentang peradilan agama berarti sama saja berbicara tentang kemunduran ,
11
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian Dalam
Sistem Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 205.
59
juga berbicara tentang hal yang sia-sia dan tidak tertolong lagi dari masa
kejayaan islam.12
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 dan Kompilasi Hukum Islam dengan Impress Nomor 1 Tahun 1991.
Diharapkan mulai babak baru dalam sejarah perkembangan peradilan agama
di Indonesia.
Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku
kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan bagi
rakyat pencari keadilan dalam perkara tertentu antara otang-orang yang
beragama islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, sedekah, dan ekonomi syariah. Dengan penegasan kewenangan
peradilan agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum
kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut,
termasuk pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan
pelaksananya dan memperkuat landasan hukum mahkamah syariah dalam
melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun.13
Dalam Undang-undang ini, kewenangan pengadilan di lingkungan
Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan
12
13
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan…, h. 206.
Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), h.230.
60
kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan
tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah. Dalam kaitannya dengan
perubahan undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan
umum undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
menyatakan “ para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk
memilih hukum apa yang digunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan
dihapus.14
Sebagai kelanjutan dari sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap
peradilan agama, pada tahun 1828 dengan ketetapan Komisaris Jenderal
tanggal 12 Maret 1828 nomor 17 khusus untuk Jakarta (Betawi) di tiap-tiap
distrik dibentuk satu majelis distrik yang terdiri dari :
a. Komandan Distrik sebagai Ketua
b. Para penghulu masjid dan Kepala Wilayah sebagai anggota
Majelis ada perbedaan semangat dan arti terhadap Pasal 13 Staatsblad
1820 Nomor 22, maka melalui resolusi tanggal 1 Desember 1835 pemerintah
di masa itu mengeluarkan penjelasan Pasal 13 Staatsblad Nomor 22 tahun
1820 sebagai berikut:
“Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain
mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa
sejenis yang harus diputus menurut hukum Islam, maka para “pendeta”
14
Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia…, h. 230.
61
memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembiayaan yang timbul
dari keputusan dari para “pendeta” itu harus diajukan kepada pengadilanpengadilan biasa”.15
Penjelasan ini dilatarbelakangi pula oleh adanya kehendak dari
pemerintah Hindia Belanda untuk memberlakukan politik konkordansi dalam
bidang hukum, karena beranggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari
hukum yang telah ada di Indonesia. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1838
di Belanda diberlakukan Burgerlijk Wetboek (BW).
Akan tetapi dalam rangka pelaksanaan politik konkordansi itu, Mr.
Scholten van Oud Haarlem yang menjadi Ketua Komisi penyesuaian undangundang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda membuat
sebuah nota kepada pemerintahnya, dalam nota itu dikatakan bahwa :
“Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan
mungkin juga perlawanan jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang
Bumi Putera, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat
tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka ”.16
Di daerah khusus Ibukota Jakarta, berdasarkan Keputusan Menteri
Agama Nomor 4 Tahun 1967 lahir Peradilan Agama Jakarta dan diadakan
15
http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php
16
http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php
62
perubahan kantor-kantor cabang Pengadilan Agama dari 2 kantor cabang
menjadi 4 kantor cabang, antara lain :
a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur
b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
c. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat
d. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan dalam pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan
salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Tata Usaha Negara, dan peradilan Militer, merupakan salah satu badan
peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan
keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang
yang beragama Islam.
Pengadilan Agama Jakarta Timur yang merupakan Pengadilan Tingkat
Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
dibidang: Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan
ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
63
Di samping tugas pokok dimaksud di atas, Pengadilan Agama Jakarta
Timur mempunyai fungsi, antara lain sebagai berikut :17
1. Fungsi mengadili
(judicial power), yakni menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama dalam tingkat pertama ( vide : Pasal 49 Undangundang Nomor 3 Tahun 2006).
2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan
pengarahan, bimbingan, dan
petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya,
baik menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun
administrasi
umum/perlengkapan,
keuangan,
kepegawaian,
dan
pembangunan. ( vide : Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3
Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera
Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti
di bawah jajarannya agar
peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya ( vide : Pasal
53 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan
terhadap
pelaksanaan
administrasi
umum
kesekretariatan
pembangunan. ( vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
17
http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php
serta
64
4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang
hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila
diminta. ( vide : Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun
2006).
5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan
(teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian,
keuangan, dan umum/perlengakapan) ( vide : KMA Nomor KMA/080/
VIII/2006).
6. Fungsi Lainnya :
a. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat
dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam
dan lain-lain ( vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006).
Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan
sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat
dalam era keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang
diatur
dalam
Keputusan
Ketua
Mahkamah
Agung
RI
Nomor
KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
B. Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur
Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama ialah pengadilan
yang bertindak menerima, memeriksa dan memutus setiap permohonan atau
65
gugatan pada tahap paling awal. Pengadilan Agama bertindak sebagai
pengadilan yang menampung pada tahap awalnya segala perkara yang diajukan
oleh masyarakat pencari. Tidak boleh mengajukan suatu permohonan atau
gugatan langsung ke pengadilan tinggi agama. Semua jenis perkara terlebih
dahulu mesti melalui Pengadilan Agama dalam hierarki sebagai pengadilan
tingkat pertama. Terhadap semua permohonan atau guagatan perkara yang
diajukan kepadanya dalam kedudukan instansi pengadilan tingkat pertama,
harus menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya.
Dan tidak boleh menolak untuk meneriama, memeriksa dan memutus perkara
yang diajukan kepadanya dengan dalih apapun. Hal ini ditegaskan dalam Pasal
56 yang bunyinya: “pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas, malinkan wajub memeriksa dan wajib memutusnya”.
Pengadilan Agama merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan
kehakiman yang memberikan layanan hukum bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undangundang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50
Tahun
2009.
Kekuasaan
kehakiman
dilingkungan
Peradilan
Agama
dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang
berpuncak pada Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai Pengadilan
66
Negara tertinggi. Seluruh pembinaan baik pembinaan teknis peradilan maupun
pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dilakukan oleh Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat
Pertama yang bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan memutus
perkara-perkara di tingkat pertama di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan
hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam serta waqaf, zakat, infaq dan
shadaqah serta ekonomi Syari’ah sebagaimana di atur dalam Pasal 49 UU
Nomor 50 Tahun 2009.
Sedangkan Dalam Undang undang Nomor 3 tahun 2006 Pengadilan
Agama yang merupakan Pengadilan tingkat Pertama mempunyai susunan
Organisasi Pengadilan Agama yang terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Hakim,
Panitera/Sekretaris, Wakil Panitera, Wakil Sekretaris,Panitera Muda Gugatan,
Panitera Muda Permohonan, Panitera Muda Hukum, Kasubbag Umum,
Kasubbag Kepegawaian, Kasubbag Keuangan, Panitera Pengganti dan Jurusita
/Jurusita Pengganti.
Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur 2014
1. Hakim
No
Nama
1
Dra. H. Zulkarnain, SH, MH
2
Drs. H. Chazim Maksalina, MH
jabatan
Ketua pengadilan
Wakil ketua pengadilan
67
3
Dra. Hj. Ai Zainab, SH
Hakim
4
HM. Kailani, SH, MH
Hakim
5
Dra. Nuraini Saladdin, SH. MH
Hakim
6
Dra. Ismet Ilyas, SH.
Hakim
7
Dars. Ahmad Zawawi
Hakim
8
Drs. Dalih Efendy, SH, M.Esy
Hakim
9
Drs. Wawan Iskandar
Hakim
10
Drs. Jajat Sudrajat, SH. MH
Hakim
11
Hj. Nuroniah, SH. MH
Hakim
12
Drs. Sultoni, Mh
Hakim
13
Hj. Yustimar B, SH
Hakim
14
Dra. Orba Susilawati, MHi
Hakim
15
Drs. Amril Mawardi, SH.
Hakim
16
Hj. Shafwah, SH. MH
Hakim
17
Drs. M. Danil, MA
Hakim
18
Drs. H. Chalid L, MH.
Hakim
2. Kepaniteraan/ Sekertaris
No
Nama
Jabatan
1
Dra. Hj. Aminah
Panitera/Sekertris
2
H. Hafani Baihaqi lc, SH
Wakil Panitera
3
Andi Subhi, S.Sos
Wakil Skertaris
68
4
Drs. Moh Taufik, MH
Panmud Hukum
5
Dani Nurwahyudi
Anggota Panmud Hukum
6
Andi Sundari
Anggota Panmud Hukum
7
Asis Hidayanti, SH
Panmud Gugatan
8
Kemas M Irfan, SH
Anggota Panmud Gugatan
9
Dra. Ida Fiiriani
10
Siti Mahbubah, SA.g
Panmud Permohonan
Anggota Panmud
Permohonan
11
Sri Komalasari
Anggota Panmud
Permohonan
12
Monika Septi Indriyani, A.Md
Anggota Panmud
Permohonan
13
Muhammad Zuhri
kasub Bag Umum
14
R Yadi SW
Anggota Kasub Bag Umum
15
Handika Imom, S.kom
Anggota Kasub Bag Umum
16
Murtakiyah SH
Anggota Kasub Bag Umum
17
Dewi Utari
18
Sukarta, Spd
19
Winahya V, AMd.
Kasub Bag Keuangan
Kasub Bag Kepegawaian
Anggota Kasub Bag
kepegawaian
69
3. Jurusita Pengganti
No
Nama
Jabatan
1
Veny Rahmawaty
Jurusita pengganti
2
Sirajuddin Haris
Jurusita pengganti
3
Dirwansyah R
Jurusita pengganti
4
Yuspa
Jurusita pengganti
5
Iman Suwardi
Jurusita pengganti
6
Marhamah
Jurusita pengganti
7
Hisni Mubarak, SH,i
Jurusita pengganti
8
Sanjaya Langgeng S
Jurusita pengganti
9
Muh Arsy
Jurusita pengganti
10
Desy Puspasari, A.MD
Jurusita pengganti
4. Juru Sita
No
Nama
Jabatan
1
Moh sidik
Juru sita
2
Ade husniati
Juru sita
3
Prio rinato
Juru sita
4
Agus alwi
Juru sita
70
5. Panitera Pengganti
No
Nama
jabatan
1
Ulhelmi BA
Panitera pengganti
2
Dra. Siti Nurhayati
Panitera pengganti
3
Drs. H. Ujang s
Panitera pengganti
4
Hj. Spa Khitiyatun , MH
Panitera pengganti
5
Matsanah, SH
Panitera pengganti
6
Yuslima SH
Panitera pengganti
7
Andra a, SH. MH
Panitera pengganti
8
Fathony, SH
Panitera pengganti
9
Eva Zulhaefah, SH
Panitera pengganti
10
Rita Syuriyah, SH
Panitera pengganti
11
Windarti, sh
Panitera pengganti
12
Sri Muyati, SA.g
Panitera pengganti
13
Rahma S, SH. MH
Panitera pengganti
14
Syarif Maulana, SH
Panitera pengganti
15
Dwiarti Yuliani, SH
Panitera pengganti
16
Rohimah, SH
Panitera pengganti
17
Hj. Alfiah Yuliastuti, SH.
Panitera pengganti
C. Kasus Poligami Yang Diterima di Pengadilan Agama Jakarta Timur
Perkara poligami yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur
sudah ada sejak dulu. Diperkirakan sejak didirikannya Pengadian Agama
71
Jakarta Timur maka perkara poligami itu ada meskipun tidak ada penjelasan
atau data yang akurat yang bisa memaparkan itu semua.
Kewenangan memberi izin bagi suami untuk melakukan poligami
berada di pengadilan agama. Para pegawai KUA hanya bertugas mencatatkan
pernikahan poligami yang permohonan izinnya telah disetujui oleh pengadilan
agama. Para pegawai KUA yang diteliti memahami aturan ini dengan baik.
Mereka sering didatangi oleh seorang laki-laki yang berstatus suami untuk
memohon dinikahkan dengan seorang wanita (melakukan poligami). Namun,
pegawai KUA tidak pernah melayani, membantu, dan memberikan izin bagi
suami untuk melakukan pernikahan dan mencatatnya. KUA mengarahkan suami
untuk datang ke pengadilan agama dan memperoleh penetapan izin poligami.18
Seorang suami yang ingin melakukan poligami harus melalui
Pengadilan Agama. Pengadilan berhak menentukan boleh tidaknya poligami
setelah melihat dan memeriksa syarat-syarat pengajuan izin poligami.
Pengadilan Agama yang berada Jakarta Timur berwenang memeriksa dan
mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya, termasuk poligami. Pada
tahun 2012 ini Pengadilan Agama Jakarta Timur menerima perkara 11 perkara
poligami. Dari 11 perkara tersebut 10 perkara telah diputus.19 Perkara Poligami
memang tidak banyak terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur yang tak
18
Alimin, Euis Nurlelawati, Potret Administrasi Keperdataan Islam Di Indonesia, (Ciputat, Orbit
Publishing, 2013), h.80.
19
Sementara Kasus Poligami hanya 11 Perkara yang diterima, dan yang telah diputus berjumlah
10 Perkara.
72
sebanding dengan perkara cerai talak,20 dan cerai gugat21 yang masing-masing
mencapai ratusan, bahkan ribuan kasus yang diterima dan yang telah diputus
pada tahun 2012. Permohonan mengajukan izin poligami dengan alasan yang
bervariasi.22
Untuk kelancaran pelaksanaan Undang-Undang Undang-Undang No.
1 Tahun 1974, telah dikeluarkan Peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang
mengatur ketentuan pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut. Dan dalam hal
suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib
mengajukan permohonan tertulis kepada Pengadilan Agama, kemudian di
Pengadilan Agama akan memberikan keputusan apakah permohonan tersebut
dikabulkankan atau ditolak.
Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam tugasnya memberikan
putusan tentang permohonan poligami, berpedoman pada aturan yang berlaku.
Yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam pasal 55-59.
Berdasarkan kekuasaan mengadili atau menangani perkara (Absolute
Coupetensial) Pengadilan Agama Jakarta Timur berhak untuk menyelesaikan
perkara perkawinan poligami, dan mempunyai pertimbangan serta penafsiran
20
Kasus Cerai Talak yang diterima di Pengadilan Agama Jakarta Timur untuk Tahun 2012 adalah
811 Perkara, sedangkan yang telah diputus berjumlah 721 Perkara.
21
Sementara Kasus Cerai Gugat yang diterima Pengadilan Agama Jakarta Timur berjumlah 1926
Perkara untuk tahun 2012, sedangkan yang telah diputus adalah 1569 Perkara.
22
Hasil Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Timur Tentang Perkara-perkara Yang
Diterima dan Perkara-perkara Yang Telah Diputus.
73
tentang poligami. Dalam mengajukan perkaranya, bagi para pihak yang
mengajukan permohonan poligami harus memenuhi beberapa persyaratan yang
ketat dan menunjukkan bukti-bukti serta alasan-alasan yang kuat yang bisa
diterima oleh hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. Dalam hal ini hakim
Pengadilan Agama berpedoman kepada Undang-Undang serta Kompilasi
Hukum Islam dalam mempertimbangkan perkara tersebut.
Adapun alasan-alasan berpoligami
yang dapat diterima oleh
Pengadilan Agama Jakarta Timut diantaranya adalah seperti yang tercantum
dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
3. Istri tidak bisa melahirkan atau mandul.
Dari kasus-kasus permohonan poligami yang diterima dan dikabulkan
oleh
Pengadilan
Agama
Jakarta
Timur
ada
beberapa
alasan
yang
melatarbelakangi para pihak mengajukan permohonan izin poligami. Ada
kalanya mereka mengajukan permohonan poligaminya tersebut karena istri
mengalami cacat badan, dan ada pula yang beralasan istri tidak bisa melahirkan
keturunan yang mana dari alasan-alasan tersebut memang sesuai dengan apa
yang ada dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam pasal 57 tentang poligami. Dan ada juga poligami dilakukan secara siri
atau (diam-diam), dan ada juga karena alasan anak dari pernikahan poligami,
74
dengan cara siri tersebut, butuh akte klahiran anak (legalitas anak), disinilah
hakim harus lebih berperan dan berfikir bagaimana mempertimbangkan
berbagai pertimbangan dan mengambil keputusan yang dapat meyentuh rasa
keadilan, manfaat, dan maslahat dari para pemohon.
Dalam hal ini hakim sebagai pihak yang berwenang memutuskan
perkara izin poligami tentunya mempunyai pertimbangan-pertimbangan serta
kriteria-kriteria tertentu dalam mengabulkan perkara poligami dengan berbagai
alasan yang diajukan kepadanya, karena memang hakim berwenang untuk
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di
masyarakat dengan tanpa mengenyampingkan peraturan perundang-undangan
yang ada. Di samping itu alasan-alasan yang menjadi syarat diperbolehkannya
poligami yang termaktub dalam Undang-Undang masih bersifat global. Masih
perlu adanya penafsiran-penafsiran hukum oleh hakim untuk memahaminya.
D. Prosedur Perkara Permohonan Izin Poligami di Pengadilan Agama
Jakarta Timur
Seorang suami yang beragama Islam yang menghendaki beristri lebih
dari satu orang wajib mengajukan permohonan ijin poligami kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami (pemohon) Syaratsyarat untuk mengajukan poligami sebagaiamana diatur dalam pasal 4 dan 5
Undang-undang No. 1 tahun 1974 maupun dalam PP nomor 9 tahun 1975 dan
pasal-pasal sebagaimana disebut dalam kompilasi Hukum Islam.
75
Permohonan izin untuk beristeri lebih dari seorang yang diajukan oleh
suami. Prosedurnya sebagai berikut :
1. Suami yang telah beristeri seorang atau tiga orang yang menghendaki
kawin lagi (Pemohon), mengajukan permohonan tertulis ke pengadilan;
2. Permohonan diajukan ke pengadilan agama di tempat tinggal Pemohon;
3. Permohonan harus memuat: identitas para pihak (Pemohon dan Termohon
= isteri); posita (yaitu: alasan-alasan/dalil yang mendasari diajukannya,
rincian harta kekayaan dan/atau jumlah penghasilan, identitas calon isteri),
petitum (yaitu hal yang dimohon putusannya dari pengadilan);
4. Alasan izin poligami harus mencakup salah satu dari alasan-alasan yang
tercantum pada pasal 4 ayat (2) UU no. 1 tahun 1974, jo. Pasal 57
Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan;
5. Harus memenuhi syarat sebagaimana tercantum pada pasal 5 ayat (1) UU
No. 1 tahun 1974, yaitu :
a. Adanya persetujuan isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
76
3. Adanya jaminan bahwa sumi akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak;
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAJLIS HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA
TIMUR NOMOR: 717 Pdt. G/2012 PAJT.
A. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur
Seluruh Pengadilan di indonesia tidak terkecuali Pengadilan Agama
yang menjalankan fungsi yudisial (fungsi peradilan) dan selaku pelaksana
kekuasaan kehakiman. Maka perkara yang masuk ke pengadilan harus
menguraikan kasusnya terlebih dahulu. Apa pun bentuk perkara atau kasus yang
diajukan. Karena dengan melihat perkara yang telah diajukan dan diterima oleh
pengadilan, maka akan mudah diketahui lebih lanjut duduk perkara yang sampai
berujung pada litigasi (institusi peradilan) yang dalam hal ini dibahas adalah
perkara atau kasus poligami, sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut sebagai
berikut:
1. Ringkasan Kasus
Adalah Udjang Rosid bin R. Huzney Djoyonegoro, umur 58 tahun,
agama Islam, perkerkaan wiraswasta tempat kediaman di: jalan kayu manis 8
RT. 12 RW. 07 No. 13 kelurahan kayu manis kecamatan matraman kota
Jakarta timur, bersetatus menikah dengan Jamilah binti Djain Arbian, umur 58
tahun, agama Islam, pekerjaan pensiunan PNS tempat kediaman di jalan kayu
manis 8 RT. 12 RW. 07 No. 13 kelurahan kayu manis kecamatan matraman
kota Jakarta timur. Selama pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon
77
78
telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan dikaruniai 5 orang
anak bernama: Dedi Rosyadi, laki-laki yang lahir di Jakarta pada tanggal 14
Januari 1975, Dina Rosdiana, perempuan yang lahir di Jakarta tanggal 11 Mei
1978, Dodi Resmawan, laki-laki yang lahir di Jakarta tanggal 29 September
1980, Dani Resmana, laki-laki yang lahir di Jakarta tanggal 08 April 1982,
Dudi Dharmawan, laki-laki yang lahir di Jakarta tanggal 09 Mei 1987. Bahwa
setelah menikah pemohon dan termohon tidak memiliki harta bersama.
Pemohon hendak menikah lagi (poligami) dengan seorang
perempuan nama Yayah Awaliyah binti Suma, Umur 27 tahun, agama Islam,
pendidikan SD, Pekerjaan Tani, Tempat kediaman di kampung Nunuk RT. 01
RW. 03 Desa Nunuk Kecamatan Maja Kabupaten Majalengka, Jawa Barat,
sebagai “calon istri kedua pemohon”, yang akan dilangsungkan dan dicatatkan
dihadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama KUA Kecamatan
Maja Kabupaten Majalengka, jawa barat, hal ini dikarenakan istri tidak
keberatan untuk dipoligami.
Sebab-sebab pemohon berkehendak untuk berpoligami adalah:
1. Bahwa, pemohon dengan calon istri kedua pemohon telah menikah siri
dengan persetujuan istri pertama pemohon, dan telah dikaruniai seorang
anak laki-laki.
2. Bahwa, pemohon beri’tikad baik untuk membantu kehidupan calon istri
dalam kehidupannya sehari-hari.
79
3. Bahwa, anak laki-laki hasil dari pernikahan siri memerlukan keterangan
poligami guna mengurus akta kelahiran.
Termohon menyatakan rela dan tidak keberatan apabila pemohon
menikah lagi dengan calon istri kedua pemohon tersebut. Bahwa calon istri
kedua pemohon menyatakan tidak akan menganggu gugat harta benda yang
sudah ada selama ini, melainkan tetap utuh sebagai harta bersama antara
pemohon dengan termohon.
2. Duduk Perkara
Bahwa pemohon Udjang Rosid bin R. Huzney Djoyonegoro hendak
menikah lagi (poligami) dengan seorang perempuan nama Yayah Awaliyah
binti Suma, Umur 27 tahun, agama Islam, pendidikan SD, Pekerjaan Tani,
Tempat kediaman di kampung Nunuk RT. 01 RW. 03 Desa Nunuk
Kecamatan Maja Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, sebagai “calon istri
kedua pemohon”, yang akan dilangsungkan dan dicatatkan di hadapan
Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama KUA Kecamatan Maja
Kabupaten Majalengka, jawa barat, hal ini disebabkan istri tidak keberatan
untuk dipoligami.
Bahwa, sebab-sebab pemohon berkehendak untuk berpoligami adalah:
a. Bahwa, pemohon dengan calon istri kedua pemohon telah menikah siri
dengan persetujuan istri pertama pemohon, dan telah dikaruniai seorang
anak laki-laki.
80
b. Bahwa, pemohon beri’tikad baik untuk membantu kehidupan calon istri
dalam kehidupannya sehari-hari.
c. Bahwa, anak laki-laki hasil dari pernikahan siri memerlukan keterangan
poligami guna mengurus akta kelahiran.
Termohon menyatakan rela dan tidak keberatan apabila pemohon
menikah lagi dengan calon istri kedua pemohon tersebut. Bahwa calon istri
kedua pemohon menyatakan tidak akan menganggu gugat harta benda yang
sudah ada selama ini, melainkan tetap utuh sebagai harta bersama antara
pemohon dengan termohon.
3. Pertimbangan Hakim Peradilan Agama
Ada beberapa pertimbangan yang dilakukan oleh para hakim dalam
persidangan, dan itu menjadi petunjuk untuk langkah lebih lanjut yakni dalam
mengambil keputusan. Pertimbangan hakim pengadilan agama Jakarta timur
dalam perkara poligami adalah mengabulkan permohonan pemohon dan
menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk menikah lagi (poligami)
dengan seseorang perepmpuan bernama Yayah Awaliyah binti
Suma,
didasari atas pertimbangan permohonan yang sanggup berlaku adil terhdap
istri-istrinya dan mendapatkan persetujuan dari istri pertamanya. Dan
pemohon telah menyatakan kesediaan atas tanggungawab dalam membina
rumah tangganya di masa yang akan datang.
81
Menimbang bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan
pemohon dan termohon telah datang sendiri menghadap di muka persidangan
lalu majlis hakim berusaha menasehati pemohon untuk tidak berpoligami,
termasuk melalui lembaga mediasi dengan mediator Risman Kamal, SH,
namun nasehat tidak berhasil.
Menimbang bahwa kemudian dibacakan surat permohonan yang
isinya tetap dipertahankan oleh pemohon dan atas permohonan tersebut di atas
termohon telah mengajukan jawaban yang pada pokoknya membenarkan dalil
pemohon dan selanjutnya termohon menyatakan tidak keberatan pemohon
menikah lagi dengan Yayah Awaliyah binti suma.
Menimbang, bahwa untuk memperkuat dalil-dalinya pemohon telah
mengajukan bukti-bukti tertulis sebagai berikut:
a. Foto copy kutipan akta nikah dari kantor urusan agama kecamatan
mataraman kota Jakarta timur dengan Nomor: 792/23/1974 tanggal 09
November 1974 (P1)
b. Surat keterangan penghasilan pemohon tanggal 01 Mei 2012 (P2)
c. Surat pernyataan berlaku adil dari pemohon tanggal 16 Maret 2012 (P3)
d. Surat pernyataan siap dimadu (P5)
e. Surat pernyataan akan berbuat dan bertindak adil serta bertanggung jawab
terhadap istri sesuai syariat Islam (P6)
82
Menimbang bahwa di depan persidangan mejlis hakim telah
mendengar calon istri pemohon sebagai berikut:
1. Yayah Awaliyah binti Suma, yang bersangkutan telah memberi
keterangan sebagai berikut:
a. Bahwa saya dengan pemohon mau menikah secara resmi,
sebelumnya kami sudah menikah siri 6 tahun yang lalu dan kami
sudah dikaruniai anak satu orang dan butuh buku/surat nikah untuk
mengurus akta kelahiran anak kami tersebut.
b. Bahwa istri pertama pemohon mengetahuinya dan tidak keberatan.
c. Bahwa saya mengetahui kalau pemohon dengan istri pertamanya
punya anak lima orang.
d. Bahwa selama ini pemohon datang ke Majalengka satu bulan sekali.
e. Bahwa pemohon memberikan nafkah sebesar 1.500.000,-(satu juta
lima ratus ribu rupiah).
f. Bahwa saya tidak keberatan dan saya ridho didatangi pemohon sekali
sebulan.
Menimbang bahwa selanjutnya dalam kesimpulannya baik pemohon
maupun termohon membenarkannya.
Menimbang bahwa selanjutnya dalam kesimpulannya baik pemohon
maupun termohon tetap pada dalil-dalinya dan selanjutnya pemohon maupun
termohon mohon putusan.
83
Menimbang bahwa untuk mempersingkat putusan ini maka segala
sesuatu yang tercatata dalam berita acara persidangan perkara ini merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari putusan ini.
B. LandasanYuridis Putusan Izin Poligami Nomor: 717 Pdt.G/2012 PAJT.
Dalam hal prosedur dan tata cara permohonan poligami secara yuridis
formal sudah diatur dalam aturan perundang-undangan yang berlaku dan yang
diterapkan di Indonesia sebagai hukum positif, sebagaimana dalam undangundang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam dan
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia.
Oleh sebab itu landasan hukum yang digunakan oleh hakim penting untuk dilihat
karena hakim juga dikatakan sebagai corong undang-undang, sekaligus juga
menjalankan fungsi
yudisial yang merdeka. Maka mengenai landasan
pertimbangan dan landasan yuridis putusan ini akan dijelaskan sebagaimana
berikut:
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan pemohon adalah
sebagaimana di atas:
Menimbang, bahwa alasan pemohon mengajukan permohonan izin
poligami adalah disebabkan selama pernikahan, pemohon dengan termohon telah
dikaruniai lima orang anak, berhubung karena pemohon telah menikah siri
dengan calon istri kedua dan telah dikarunia satu orang anak dari pernikahan siri
tersebut telah disetujui oleh termohon dan permohonan ini pemohon lakukan
84
untuk dicatatkan di kantor urusan agama, supaya anak yang dilahirkan dari
perkawinan siri tersebut dapat diurus, pemohon mampu memenuhi kebutuhan
hidup istri-istri pemohon karena pemohon bekerja sebagai wiraswasta (Depelofer
Koran) dan mempunyai penghasilan setiap bulannya relatif mencukupi untuk
kebutuhan hidup bersama kedua istri dan anak, dan pemohon sanggup berlaku
adil terhadap istri-istri pemohon sebagaimana bukti P2 dan P6.
Menimbang bahwa atas dalil pemohon tersebut diatas, termohon telah
mengajukan jawaban yang pada pokoknya membenarkan dalil pemohon dan
selanjutnya termohon tidak menyatakan keberatan pemohon menikah lagi dengan
Yayah Awaliyah binti Suma.
Menimbang bahwa berdasarkan pengakuan termohon diperkuat dengan
bukti P1 telah membuktikan bahwa benar pemohon dan termohon adalah suami
istri sampai sekarang dan belum pernah bercerai.
Menimbang bahwa perempuan yang akan dikawini oleh pemohon adalah
bernama yayah awaliyah binti suma seorang perempuan dari kampung Nunuk RT
01/ RW 03 Desa Nunuk Kecamatan Maja Kabupaten Majalengka Jawa Barat
sesuai pengakuan pemohon dan termohon di persidangan.
Menimbang bahwa berdasarkan keterangan calon istri kedua pemohon
diperkuat dengan bukti-bukti tertulis telah membuktikan bahwa perempuan yang
telah bernama yayah awaliyah binti suma adalah berstatus gadis, baik pemohon
maupun termohon dengan Yayah Awaliyah binti Suma tidak ada hubungan nasab
85
atau
sepersusuan
sehingga
secara
yuridis
tidak
ada
halangan
untuk
melangsungkan perkawinan dengan pemohon.
Menimbang bahwa berdasarkan keterangan calon istri Yayah Awaliyah
binti Suma dan termohon bahwa termohon tidak keberatan pemohon kawin lagi
dengan calon istrinya tersebut sesuai dengan bukti P5.
Menimbang bahwa berdasarkan bukti keterangan dari termohon, pemohon
dalam pergaulan ditengah-tengah masyarakat tidak ada cacat dalam berumah
tangga termasuk orang yang tidak pernah melakukan perbuatan yang tercela
sehingga menurut majlis sudah sesuai dengan bukti P6 yaitu surat pernyataan
berbuat adil dari pemohon dan disamping itu pemohon dapat membuktikan bahwa
pemohon akan mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya kelak.
Menimbang, bahawa disamping itu berdasarkan bukti P2 yang diajukan di
persidangan yang diketahui oleh pejabat setempat bahwa pemohon mempunyai
penghasilan Rp. 5.000.000,-(lima juta rupiah) sebulan, hal ini menurut majlis
telah membuktikan adanya kepastian bahwa pemohon mampu menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya.
Menimbang bahwa syarat utama beristri lebih dari seoarng adalah harus
mampu berlaku adil sesuai dengan maksud ketentuan pasal 55 ayat (1) KHI
Majlis berpendapat pemohon telah memenuhi syarat utama sebagaimana yang
dimaksud dalam ketentuan pasal 55 ayat (1) KHI tersebut di atas.
86
Menimbang, bahwa termohon juga menyatakan kerelaannya apabila
pemohon menikah lagi dengan Yayah Awaliyah binti Suma sebagaimana dalam
surat pernyataan tidak keberatan untuk dimadu yang dibuatnya tanggal 13 Maret
2012 (P4). Dengan demikian pemohon telah memenuhi syarat utama sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 58 ayat (1) KHI.
Menimbang, bahwa apabila dalil-dalil permohonan pemohon dihubungkan
dengan pengakuan termohon, keterangan calon istri dan bukti-bukti yang ada
maka Majlis Hakim menemukan fakta-fakta sebagai berikut:
1. Bahwa pemohon dan termohon adalah suami istri yang sah selama berumah
tangga telah dikarunia lima orang anak.
2. Bahwa pemohon akan menikah lagi dengan Yayah Awaliyah binti Suma.
3. Bahwa pemohon dan termohon tidak ada hubungan keluarga/ darah dengan
calon istri pemohon.
4. Bahwa pemohon telah rela untuk dimadu.
5. Bahwa pemohon telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
untuk berpoligami.
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka
menurut majlis permohonan pemohon untuk beristri lagi telah mempunyai alasan
dan telah sesuai dengan maksud ketentuan pasal 4 ayat …Undang-undang No. 1
Tahun 1974 Jo pasal 57 KHI dan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 3
artinya:
87
“dan kamu boleh kawin dengan wanita yang hala bagi kamu, dua, tiga
atau empat”.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
maka permohonan pemohon untuk menikah lagi dengan perempuan bernama
Yayah Awaliyah binti Suma dapat dikabulkan.
Menimbang bahwa perkara a quo masih dalam bidang perkawinan maka
sesuai dengan ketentuan pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
yang diamandemen dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 diubah kedua
dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009 biaya perkara dibebankan kepada
pemohon.
Mengingat segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan dalil-dali tersebut diatas.
C. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam Perkara Permohonan Izin
Poligami
Penetapan pengadilan dalam perkara perdata khususnya pada perkara
permohonan izin poligami umumnya mengandung amar penetapan tunggal, yaitu
pnetapan berupa pengabulan atau penolakan permohonan pemohon untuk
melakukan perbuatan hukum.
Selanjutnya terhadap putusan poligami di atas dengan Nomor: 717 Pdt.
G/2012 PAJT. Mutlak dikabulkan melalui pertimbangan-pertimbagan yang
88
panjang, karena semua prosedur yang harus dijalankan pemohon sudah terpenuhi.
Hal ini dapat dilihat dari hasil penetapan majlis hakim dalam putusan yang
berbunyi:
1. Mengabulkan permohonan pemohon;
2. Memberi izin kepada pemohon (Udjang Rosyid bin R Huzney Djoyonegoro)
untuk menikah lagi (Poligami) dengan seorang perempuan bernama Yayah
Awaliyah binti Suma;
3. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar
Rp. 516.000,- (Lima ratus enam belas ribu rupiah).
Demikianlah putusan ni dijatuhkan dalam musyawarah Majlis Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Timur pada hari selasa tanggal 8 Mei 2012
Masehi, bertepatan dengan tanggal 16 Jumadil Akhir 1433 Hijriyah, oleh Hj.
Yustimar B, SH, selaku Hakim Ketua dan H. Abdillah, SH., MH, serta Hj
Shafwah, SH., MH. Selaku Hakim Anggota dan pada hari itu juga diucapkan
dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dengan diabantu oleh
Zulhemi, BA selaku panitera pengganti dengan dihadiri oleh pemohon dan
termohon.
D. Analisis Penulis Dalam Menganalisa Kasus Poligami Terhadap Putusan
Majlis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur
Ahkam al-usrat atau family law adalah istilah lain yang sering juga
digunakan adalah al-ahwal al-syakhshiyyah dan personal law, yang mana ini
89
semua bisa kita sebut sebagai hukum keluarga yang mengatur hak dan kewajiban
anggota keluarga, atas dasar keturunan (nasab) dan perkawinan. tapi hukum
keluarga (ahkam al-usrat) yang dimaksud dalam penulisan ini adalah masalah
poligami sebagaimana diatur dalam aturan perundang-undang yang berlaku di
Indonesia.
Peradilan sebagai tenda keadilan bagi para pencari kebenaran dan
keadilan, bahkan harus mampu memerankan diri untuk memfungsikan putusan
hakim sebagai
sarana transformasi keadilan social ( a tool of social justice
transformation).1
Sebagai kaidah hukum, ia mengatur apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan, ataupun prosedur apa yang harus dilalui, dimana sanksi-sanksi yang
dijatuhkan masyarakat bagi individu yang tidak bisa menyesuaikan diri adalah
tegas. Penciptaan hukum tersebut sejalan dengan keinginan alami manusia untuk
mendapatkan atau memperoleh keadilan dalam kehidupan bersama sebagai
anggota masyarakat, sehingga tercipta keteraturan dan ketertiban dalam suatu
tatanan sosial (social order).
Kelembagaan peradilan ini merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sehingga
pengadilan wajib memeriksa dan memutus perkara, pengadilan tidak boleh
1
kata sambutan M Busyro Muqaddas, SH, M.Hum dalam bukunya Wajah Hakim Dalam
Putusan: Studi Atas Putusan Hakim Berdimensi Hak Asasi Manusia yang ditulis oleh Amzulian Rifa’i,
Suparman Marzuki, dan Andry Sujtamoko. Yang diterbitkan oleh pusat studi hak asasi manusia
universitas Islam Indonesia.
90
menolak suatu perkara dengan alasan ketiadaan hukum atau hukumnya tidak jelas
mengaturnya, apabila hakim dihadapkan pada situasi ketiadaan hukum atau
hukum yang tidak jelas, sedangkan perkara harus diselesaikan, hakim wajib
mencari kaidah-kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat atau hakim dapat
berpedoman pada putusan hakim yang terdahulu (yurisprudensi Mahmakah
Agung), memperhatikan kewajiban hakim yang demikian itu, menunjukan bahwa
hakim bukanlah corong undang-undang melainkan berperan menemukan hukum
(rechtsvinding) atau membentuk hukum (rechtsvorming).
Poligami dibenarkan agama dengan syarat-syarat tertentu. Ia bagaikan
pintu darurat di pesawat. Tidak boleh dibuka kecuali atas izin pilot dalam situasi
yang sangat gawat. Yang duduk di kursi pintu darurat haruslah memenuhi syarat
pula, yakni yang mampu dan mengetahui cara-cara membukanya.2
Untuk menelaah lebih lanjut kasus poligami yang telah diputuskan oleh
hakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur, maka penulis akan menjelaskan
beberapa konstruksi hukum yang digunakan di dalam persidangan dari mulai
syarat-syarat diperbolehkannya poligami, alat-alat bukti yang dipergunakan di
persidangan, dan alasan-alasan yang diajukan di depan hakim untuk mendapatkan
pertimbangan yang berujung pada pengambilan keputusan dari dewan hakim
persidangan. Di antaranya sebagai berikut:
2
M. Quraish Shihab, Menjawab 101 Soal Perempuan Yang Patut Untuk Anda Ketahui,
(Jakarta: Lentera Hati, 2010), h.76.
91
1.
Mengenai syarat yang harus dipenuhi pemohon untuk mengajukan poligami
adalah dengan dibacakan surat permoohonan yang isinya tetap dipertahankan
oleh pemohon dan atas permohonan tersebut di atas termohon telah
mengajukan jawaban yang pada pokoknya membenarkan dalil pemohon dan
selanjutnya termohon menyatakan tidak keberatan pemohon menikah lagi
dengan Yayah Awaliyah binti Suma. Dan telah membuat surat pernyataan
berlaku adil serta membuat pernyataan akan berbuat dan bertindak adil serta
bertanggung jawab terhadap istri sesuai syariat islam. Jikalau kita melihat
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 5 Ayat (1) dan
Kompilasi Hukum Islam Pasal 58 Ayat (1) maka permohonan yang
dilakukan pemohon sudah memenuhi syarat diperbolehkannya melakukan
poligami.
2.
Mengenai alat-alat bukti yang diajukan pemohon, tidak hanya dilakukan
secara oral (lisan) tetapi juga secara tertulis dan disampaikan di persidangan
dengan mengajukan beberapa bukti tertulis dari mulai pertama, bukti P1
bahwa pemohon dan termohon adalah suami istri sampai sekarang dan belum
pernah bercerai. Kedua, baik permohon dan termohon dengan Yayah
Awaliyah binti Suma tidak ada hubungan nasab atau sepersusuan sehingga
secara yuridis tidak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan dengan
pemohon. Ketiga, termohon tidak keberatan pemohon kawin lagi dengan
calon istrinya tersebut sesuai dengan bukti P5. Keempat, surat pernyataan
92
berbuat adil dari pemohon dan di samping itu pemohon dapat membuktikan
bahwa pemohon akan mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anakanaknya kelak sesuai dengan bukti P6. Sedangkan saksi-saksi yang datang ke
pengadilan dan memberikan kesaksian dalam persidangan adalah pertama,
termohon sendiri yang menyatakan rela dan tidak keberatan apabila pemohon
menikah lagi dengan calon istri kedua pemohon tersebut. Kedua, orang tua
dan para keluarga termohon dan calon istri kedua pemohon menyatakan rela
atau tidak keberatan apabila pemohon menikah dengan calon istri kedua
pemohon. Jikalau kita melihat beberapa bukti yang sudah diajukan di
pengadilan maka sudah memenuhi syarat-syarat pembuktian. Karena,
Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam undangundang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR, dan pasal 284
R.Bg. sebagai berikut: alat bukti surat (tulisan), alat bukti saksi, persangkaan
(dugaan), pengakuan, dan sumpah.3 Menurut M. Yahya Harahap, S.H.,
dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa alat bukti
(bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat
membantu dalam hal memberi keterangan dan penjelasan tentang sebuah
masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan.4
3
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 239.
4
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,
dan putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 539.
93
Sedangkan membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasardasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan
guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.5
3. Mengenai alasan-alasan pemohon mengajukan permohonan izin poligami
adalah disebabkan selama pernikahan, pemohon telah menikah siri dengan
calon istri kedua dan telah dikarunia satu orang anak dari pernikahan siri
tersebut dan telah disetujui termohon dan permohonan ini pemohon
lakukan untuk dicatat di Kantor Urusan Agama, supaya anak yang
dilahirkan dari perkawinan siri tersebut dapat diurus (bahwa anak laki-laki
hasil pernikahan siri memerlukan keterangan poligami guna mengurus
akta kelahiran). Jikalau merujuk pada undang-undang perkawinan No. 1
Tahun 1974 pasal 4 Ayat (2) dan kompilasi hukum Islam pasal 57,
memang tidak ada alasan dilegalkannya poligami dengan alasan guna
mengurus akta kelahiran anak atau ingin mendapatkan legalitas anak.
Karena pasal tersebut sudah menjelaskan secara detail beberapa alasan
yuridis yang dapat dibenarkan untuk melakukan poligami yaitu: istri tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, istri mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan yang terakhir istri tidak
dapat melahirkan keturunan. Akan tetapi hakim mengatakan bahwa, kita
tidak boleh terburu-buru dan menjustifikasi bahwa putusan ini diluar
5
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
2006), h. 135.
94
aturan hukum, karena kalau kita lihat kasus ini terdapat banyak faktor
yang menjadi bahan pertimbangan hakim. Misalnya saja, si anak ingin
memiliki legalitas berupa akte kelahiran anak. Untuk itu istri yang
berstatus nikah sirri memerlukan buku nikah atau surat nikah.6 Tujuannya
tidak lain dan tidak bukan agar status hukum mereka sah di mata Negara.
Dan hakim ketika menjalankan tugasnya menggunakan tiga asas hukum,
yaitu asas kepastian hukum, asas kemanfaatan hukum, dan asas keadilan
hukum. Yang dimaksud dengan asas kepatian hukum adalah yaitu hakim
harus menjalankan fungsinya sesuai dengan undang-undang atau aturan
hukum yang sudah ditentukan, sedangkan asas kemanfaatan hukum adalah
berbicara tentang manfaat dan mafsadat. Apabila hakim memutuskan
suatu perkara, apakah setelah diputus akan membawa manfaat bagi kedua
belah pihak baik pemohon atau termohon atau penggugat dan tergugat,
atau justru akan membawa dampak mafsadat. Dan yang terkahir adalah
asas kadilan hukum, dimana fungsi pengadilan adalah judiciary, memberi
keadilan bagi mereka yang mencari keadilan. Sehingga putusan hakim
sesuai dengan rasa keadilan dan dirasakan oleh kedua belah pihak yang
berperkara.7 Kelahiran merupakan
6
sebuah peristiwa hukum yang
Wawancara penulis pada Hari rabu Tanggal 01 Oktober 2014, Jam 10.00 Wib di Pengadilan
Agama Jakarta Timur dengan salah seorang Hakim Majlis Hj. Shafwah, SH. MH. Yang menangani
Perkara Poligami Nomor 717 Pdt. G/2012 PAJT.
7
Wawancara penulis pada Hari rabu Tanggal 01 Oktober 2014, Jam 10.00 Wib di Pengadilan
Agama Jakarta Timur dengan salah seorang Hakim Majlis Hj. Shafwah, SH. MH. Yang menangani
Perkara Poligami Nomor 717 Pdt. G/2012 PAJT.
95
menimbulkan banyak akibat hukum. Kenapa demikian? Karena dari
peristiwa kelahiran akan menimbulkan hubungan waris, hubungan
keluarga, hubungan perwalian, dan hubungan-hubungan lainnyanya yang
berkaitan dengan lahirnya subjek hukum baru ke dunia dengan segala
status dan kedudukannya dimata hukum. Dalam hukum waris, kelahiran
anak merupakan peristiwa hadirnya ahli waris yang akan menduduki
peringkat tertinggi dalam pewarisan, sedangkan menurut hukum keluarga
kelahiran anak akan menjadi awal timbulnya hak dan kewajiban
alimentasi orang tua kepada anaknya, sedangkan hukum perwalian akan
timbul pada saat orang tua si anak tidak sanggup memikul tanggung jawab
terhadap anaknya.8 Undang-undang telah menjamin hak seorang anak
sejak ia masih berada dalam kandungan. Jika si anak ternyata lahir dalam
keadaan meninggal, maka hak-hak itu dianggap tidak pernah ada, hak
tersebut menunjukkan bahwa hukum telah memandang
bayi dalam
kandungan sebagai subjek hukum yang memiliki hak-hak keperdataan.
Seorang anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan biologis yang
dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan akan menyandang status
dan kedudukan di mata hukum berdasarkan perkawinan orang tuanya.
Suatu perkawinan yang sah akan melahirkan seorang anak yang memiliki
status dan kedudukan yang sah dimata hukum, sedangkan seorang anak
8
Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya
Putusan MK Tentang Uji Materil UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka Jakarta, 2012), h.3-4.
96
yang lahir dari suatu hubungan yang tidak sah tanpa adanya perkawinan
yang sah, maka anak tersebut akan menyandang status sebagai anak luar
kawin ketika kelak ia terlahir ke dunia.9 Dalam hukum islam, para ulama
sepakat mengatakan bahwa nasab seseorang kepada ibunya terjadi dengan
sebab kehamilan sebagai akibat hubungan seksual yang dilakukannya
dengan seorang lelaki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad
nikah yang sah maupun melalui hubungan gelap, samen leven,
perselingkuhan, dan perzinaan. Sedangkan nasab anak terhadap ayah
kandungnya hanya bisa terjadi dan memungkinkan dibentuk melalui tiga
cara, yaitu, pertama melalui perkawinan yang sah, kedua melalui
perkawinan yang fasid atau batil, termasuk dalam nikah di bawah tangan
dan ketiga, melalui hubungan badan secara syubhat. Di luar tiga cara ini
nasab anak kepada ayah kandungnya tidak bisa dibentuk, walaupun
menurut sebagian ulama terdapat konsep istilhaq atau pengakuan
seseorang atas seorang anak, qiyafah atau metode menetapkan keturunan
melalui perkiraan dan bahkan ada cara qur’ah atau undian dalam
menelusuri nasab seorang anak, namun ketiga cara ini masih sangat
debatable dan tidak disepakati oleh para ulama.10 Ulama fikih sepakat
menyatakan bahwa pernikahan yang sah atau fasid merupakan salah satu
cara atau dasar yang sangat kuat dan dianggap sah untuk menetapkan
9
Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak…, h. 4.
M. Nurul Irfan, Nasab Dan Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h.
10
78-79.
97
nasab seorang anak kepada kedua orangtuanya, sekalipun pernikahan dan
kelahiran anak itu tidak didaftarkan secara resmi pada instansi terkait.11
4.
Sedangkan mengenai landasan hukum yang digunakan oleh hakim di
pengadilan agama Jakarta timur adalah Undang-undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 pasal 4 dan pasal 5 Ayat (1) dan Peraturan pemerintah No. 9
Tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam Pasal 55, pasal 57 dan pasal 58 Ayat
(1), dan firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa Ayat 3.
5.
Ditinjau dari sifatnya, kekuatan putusan hakim dapat bercorak macammacam, ini tergantung dari isi putusan itu. Jikalau melihat sifat hukum dari
penetapan tersebut, dapat dikategorikan penetapan tersebut berupa penetapan
konstitutif yang berarti menciptakan keadaan hukum baru bagi pemohon,
yaitu diberikannya izin kepada pemohon untuk menikah lagi dengan cara
poligami dengan wanita yang tercantum dalam surat permohonan. Meskipun
pemohon masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan istri
terdahulunya.
Putusan hakim menurut penulis mengacu pada asas kemanfaatan dan
kemaslahatan hukum, sebagaimana telah disebutkan dalam asas-asas hukum
perdata dan asas hukum islam, karena dalam sitem hukumnya sama-sama
megenal asas tersebut. Dapat dilihat dari alasan-alasan yang disampaikan di
persidangan pengadilan, meskipun tidak sesuai dengan istrumen hukum yang
11
M. Nurul Irfan, Nasab Dan Status Anak Dalam Hukum Islam…, h. 123.
98
sudah secara explisit diatur dalam undang-undang perkawinan mengenai alasanalasan dilegalkannya poligami, akan tetapi itu semua tidaklah cukup bagi hakim,
karena hakim juga melihat syarat-syarat yang telah dipenuhi pemohon serta
melakukan pertimbangan-pertimbangan hukum lainnya seperti saksi-saksi yang
hadir dipersidangan yang memberikan kesaksiannya. Maka dengan ini Majlis
Hakim membuat kesimpulan dan memutuskan untuk mengabulkan permohonan
pemohon.
Demikianlah beberapa analisis penulis paparkan mengenai Syarat-syarat
yang diajukan oleh pemohon di Pengadilan Agama Jakarta Timur, alat-alat bukti
berupa surat-surat pernyataan yang dibuat oleh pemohon dan saksi-saksi yang
dihadirkan di Persidangan, alasan-alasan yang disampaikan di Persidangan, dan
landasan hukum yang digunakan hakim untuk memutuskan perkara yang
dihadapkan kepada mereka dalam perkara poligami, dengan menggunakan kaca
mata hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam mengakhiri penyusunan skripsi ini perlu sedikit dan merupakan suatu
keharusan bagi penulis untuk memberikan uraian yang merupakan kesimpulan
dari apa-apa yang sudah penulis kemukakan di muka dan beberapa saran yang
mungkin dapat terealisasikan. Berikut kesimpulan dan sarannya:
1. Hukum perkawinan di Indonesia menganut asas seorang pria hanya
mempunyai satu orang isteri atau asas monogami. Sebagaimana disebutkan
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam. Akan tetapi hukum perkawinan di Indonesia menganut perinsip
monogami tidak mutlak (terbuka), hal ini dapat dilihat dari pasal 3 ayat (2)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan adanya izin
dari Pengadilan dan pihak-pihak yang bersangkutan setelah terpenuhinya
persyaratan alternatif yang terdapat dalam pasal 4 ayat (2) dan persyaratan
kumulatif dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Begitu juga dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam.
2. Hasil keputusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur mengenai Izin
Poligami Telah Sesuai Dengan Ketentuan Hukum Islam dan Perundang-
99
100
undangan. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan-pertimbagan hakim dalam
memutus perkara poligami putusan Nomor 717 Pdt.G/2012 PAJT, antara lain;
a. Pertimbangan Majlis Hakim adalah dengan menggunakan Undang-undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dalam undang-undang ini poligami diatur
dalam pasal 3 ayat (2), pasal 4 ayat (1) dan (2) dan pasal 5 ayat (1) dan
(2).
b. Pertimbangan Majlis Hakim adalah dengan menggunakan Peraturan
pemerintah No. 7 Tahun 1975, Peraturan pemerintah ini adalah penjelasan
atau disebut sebgai aturan pelaksana dari undang-undang perkawinan No.
1 Tahun 1974. Mengenai Syarat poligami, prosedur poligami, dan sanksi
poligami apabila tidak dijalankan sebagaimana ketentuan peraturan
perundang-undangan.
c. Pertimbangan Majlis Hakim merujuk pada Instruksi Presiden (Inpres) No.
1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam kompilasi hukum
islam ini poligmi diatur dalam pasal 57, dan pasal 58 ayat (1). Kompilasi
berlaku di setiap lingkungan Peradilan Agama di Indonesia. Sebagai
bentuk aktualisasi hukum Islam yang berlaku bagi orang-orang muslim di
pengadilan dan bentuk unifikasi dan kodifikasi hukum Islam di
pengandilan agama.
d. Al-Quran Surat Annisa (4) Ayat 3 menjadi sandaran dan dasar hukum
dijadikannya dalil oleh sebagian ummat Islam dalam melakukan praktik
101
poligami di masyarakat. Hal ini juga telah diakui oleh Pengadilan Agama
Jakarta Timur sehingga Majlis Hakim Pengadilan Agama dalam setiap
pemberian izin poligami mengambil sandaran hukum pada ketentuan ayat
diatas. Menurut hukum Islam poligami hukumnya boleh, jika dilakukan
dalam keadaan dharurat dan telah memenuhi syarat-syarat, yaitu mampu
berlaku adil di antara sesama isteri, anak-anaknya, keadilan suami
merupakan konsekuensi logis dari poligami tersebut. Selain itu harus
mempunyai kemampuan biaya.
3. Setiap putusan hakim harus mengacu pada tiga aspek, yaitu: pertama, yuridis
dalam hal ini undang-undang yang mengatur, kedua, manfaat, yakni
cenderung melihat pada manfaat dan maslahat. ketiga, keadilan (justice),
yang harus ada pada putusan yang akan dijatuhkan sebagaimana fungsi
yudisial oleh hakim yakni menegakkan hukum dan keadilan.
B. Saran
Sebagai catatan akhir maka penulis akan memberikan saran:
1. Kepada Pemerintah pemerintah harus lebih protektif kepada seluruh warga
Negara Indonesia baik dari aspek formil dan meteril dalam melegislasi
undang-undang terutama dalam masalah perkawinan dan yang berhubungan
dengannya pada masa kini dan akan datang.
2. Kepada Para Hakim agar lebih berihtiyath atau ekstra hati-hati dalam
memeriksa, mengadili perkara apalagi dalam memutuskan suatu perkara yang
102
berimplikasi pada kehidupan para pencari keadilan yang seharusnya
membawa manfaat dan maslahat.
3. Kepada Akademisi khusunya bagi para intelektual akademisi yakni
mahasiswa.
Mahasiswa
harus
lebih
proaktif
dan
responsif
untuk
mensosialisasikan aturan dalam hukum perkawinan secara komprehensif, agar
informasi mengenai aturan tersebut tidak hanya sampai di kalangan
masyarakat elit saja melainkan pada masyarakat lapisan paling bawah
terutama dalam bidang hukum keluarga terkait aturan perkawinan utamanya
sosialisasi poligami yang memiliki legalitas dan yang illegal atau tidak sah
secara yuridis formal.
4. Kepada Masyarakat agar menghindari intensitas potensi konflik dalam rumah
tangga yang disebabkan poligami. Dan para pelaku poligami harus memenuhi
syarat utama berpoligami yaitu berlaku adil dan berkemampuan secara materi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah, Haidar, Kebebasan Seksual Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003.
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan),
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Alimin, Nurlelawati, Euis, Potret Administrasi Keperdataan Islam Di Indonesia,
Ciputat, Orbit Publishing, 2013.
Amzulian Rifa’i, Suparman Marzuki, dan Andry Sujtamoko, Wajah Hakim Dalam
Putusan: Studi Atas Putusan Hakim Berdimensi Hak Asasi Manusia, Pusat
Studi Hak Asasi Manusia universitas Islam Indonesia.
Arifin, Jaenal Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2008.
Badriyah Fayumi, Euis Amalia, Yayan Sopyan, Sururin, Tien Rohmatin, Isu-isu
Gender Dalam Islam, Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2002.
Bilal Philips, Abu Aminan, Monogami Dan Poligini Dalam Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001.
Cotterel, Roger, Sosiologi Hukum, diterjemahkan dari karya Roger Cotterel, The
Sociology Of Law: An Introduction (London: Butterworths, 2004) Bandung:
Nusa Media, 2012.
Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum
Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang
103
Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam
Aceh, Jakarta: Kencana, 2010.
Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Hadi, Sutrisno, Metodelogi Research jilid 1, Yogyakarta: Andi Soffet, 1994.
Haikal, Abuttawab, Poligami Dalam Islam vs Monogamy Barat, Jakarta: CV
Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
Hanbal, Ahmad bin, Musnad Ahmad bin Hanbal, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001.
Hamami, Taufiq, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia Pasca Amandemen ke Tiga UUD 1945, Jakarta: Tatanusa, 2013.
Harahap, Yahya Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Harahap, Yahya Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Hilmi Farhat, Karam Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi,
Jakarta: tim Pustaka Darul Haq, 2007.
I Doi , Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: Rineka Cipta,
1992.
Khuzari, Achmad, Nikah Sebgai Perikatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.
Majah, Ibn, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Ihya, tt), Jilid 1. h.628. Nomor hadis
1952.
104
Manan, Abdul Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Jakarta: Kencana, 2008.
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2008.
Manan, Abdul, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian
Dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta: Kencana, 2007.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2006.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
2007.
Nasution, Khoiruddin, ”Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal Musawa, No. 1.
Vol. 1. Maret 2002.
Nasution, Khoiruddin, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Nurul Irfan, H.M, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Amzah,
2012.
Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2004.
Rahman, Abdur, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: PT rineka cipta, 1992.
Riadi, Edi, Dinamika Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Bidang
Perdata Islam, Jakarta: Gramata Publishing, 2011.
105
Shihab, M. Quraish Menjawab 101 Soal Perempuan Yang Patut Untuk Anda Ketahui,
Jakarta: Lentera Hati, 2010.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Peneltian Hukum, Jakarta: UI-PRESS, 1998.
Sunggono, Bambang. Metodelogi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2003.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007.
Thalib, Muhammad, Tuntunan Poligami dan Keutamaannya, Bandung :Irsyad Baitus
Salam, 2001.
Tihami, Sahrani, Sohari, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta:
Rajawali Press, 2009.
Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya
Putusan MK Tentang Uji Materil UU Perkawinan, Jakarta: Prestasi Pustaka
Jakarta, 2012.
Yunus, Nur Rohim, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, Jakarta:
Jurisprudence Press, 2012.
Zuhriah, Erfaniah, Peradilan Agama Di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan
Pasang Surut, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Peraturan Perundang-undangan
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Aturan Pelaksana dari UU Perkawinan.
106
Internet
http://master.islamic.uii.ac.id/index.php/Artikel/POLIGAMI-DAN-APLIKASIHUKUM-ISLAM-DI-INDONESIA.html, diakses, pada tanggal 13 juli 2014
jam13:20 WIB.
http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php
107
Download