IDENTIFIKASI DAN PEMBERDAYAAN SUMBERDAYA DESA

advertisement
Bidang Unggulan : Sosial Budaya
Kode/Nama Bidang Ilmu : 612/Sosiologi
LAPORAN PENELITIAN
HIBAH UNGGULAN UDAYANA
JUDUL:
IDENTIFIKASI DAN PEMBERDAYAAN SUMBERDAYA DESA
(Tinjauan Sosiologis Desa di Bali Menghadapi UU No.6 Tahun 2014)
TIM PENELITI
Dr. Drs. GPB Suka Arjawa, M.Si (0008076403) (Ketua)
Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si (0005015713) (Anggota)
Dr. Drh. Tjok Oka Pemayun, M.S. (0030065708) (Anggota)
I.B. Wicaksana Herlambang (Anggota)
I Gusti Agung Istri Devantari (Anggota)
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
i
DAFTAR ISI
RINGKASAN
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang .................................................................................................
1.1 Perumusan Masalah..........................................................................................
1.2 Tujuan Penelitian ..............................................................................................
1.3 Tujuan Utama
....................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................
1
2
3
3
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II. 1Tulisan dan Penelitian Terdahulu ..................................................................
II. 2 Penjelasan Konsep...........................................................................................
II. 3 Kerangka teoritis
...................................................................................
II. 4 Studi Pendahuluan .............................................................................................
II. 5 Kerangka Pemikiran dan Luaran ........................................................................
5
6
8
9
11
BAB III METODE PENELITIAN
III. 1 Jenis Penelitian ..............................................................................................
III. 2 Lokasi Penelitian dan Alasan Memilih Lokasi ...........................................
III. 3 Metode Penarikan Sampel ............................................................................
III. 4 Unit Analisis ...................................................................................................
III. 5 Sumber Data ...................................................................................................
III. 6 Teknik Pengumpulan Data ...........................................................................
III. 7 Teknik Analisis Data ......................................................................................
13
13
14
14
14
15
16
BAB IV. PEMBAHASAN........................................................................................
18
BAB V. KESIMPULAN..........................................................................................
77
LAMPIRAN..............................................................................................................
82
ii
IDENTIFIKASI DAN PEMBERDAYAAN SUMBERDAYA DESA
(Tinjauan Sosiologis Desa di Bali Menghadapi UU No.6 Tahun 2014)
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sumber daya baik yang kelihatan maupun yang
tidak kelihatan (tangible maupun intangible) di desa pakraman atau desa dinas di Bali dan
kemudian menyumbangkan hal itu kepada masyarakat untuk dapat difungsikan dengan maksimal
(diberdayakan). Masing-masing desa di masyarakat, pasti mempunyai sumber daya, akan tetapi
masyarakat Bali tidak terlalu memperhatikan. Target dari penelitian ini adalah bahwa
masyarakat desa mengetahui sumber daya tersebut dan mampu memanfaatkannya. Dengan
pemahaman dan kemampuan itu, masyarakat akan siap menyongsong Undang-Undang No. 6
Tahun 2014 tentang Desa. Undang- Undang ini mempunyai tujuan memaksimalkan potensi yang
ada di desa untuk pembangunan, guna menunjang pembangunan nasional. Untuk itu, penelitian
ini memakai metode kualitatif. Dengan metode ini peneliti langsung terjun ke lapangan, melihat
perkembangan yang ada dan kemudian menafsirkan berbagai realitas dalam bentuk makna, untuk
selanjutnya mendapatkan kesimpulan. Untuk menjelaskan pemanfaatan dan pemberdayaan
suber daya yang ada, penelitian ini memakaii teori pilihan rasional, yang memandang bahwa
manusia, dengan pengetahuannya akan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk
mendapatkan keuntungan maksimal. Dengan konteks pemikiran demikian, maka masyarakat,
dengan bantuan melalui penelitian ini, akan terdorong untuk lebih memperhatikan terhadap
potensi sumber daya yang ada di sekitarnya, kemudian focus mengembangkan sumber daya
tersebut. Dengan cara seperti itu, baik desa pakraman atau desa dinas atau desa apapun
sebutannya di wilayah itu, akan mampu optimal membangun dirinya dalam kerangka
pembangunan nasional, sebagai desa yang mandiri. Di Bali dengan demikian, desa yang telah
mandiri ini tidak akan kebingungan lagi untuk memilih salah satu desa itu untuk didaftarkan ke
pusat, dan siap melaksanakan amanah Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Kata Kunci: Sumberdaya, Pemberdayaan, Desa, Desa Pakraman
iii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Upaya penerapan Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa di Bali menuai
langkah cukup sulit. Baik masyarakat maupun pemerintah tidak berhasil mencapai kesepakatan
antara memilih Desa Pakraman atau Desa Dinas untuk diusulkan ke Jakarta. Hal ini menandakan
adanya faktor tertentu yang membuat kedua pihak kesulitan menentukan pilihan.
Secara
sosiologis masyarakat Bali sudah terbiasa dengan pelaksanaan kedua jenis desa tersebut karena
dipandang telah berlangsung kooperatif. Desa pakraman merupakan desa tradisional di Bali yang
telah berlangsung berabad-abad.
Munculnya Undang Undang No. 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, membuat di Bali juga diterapkan desa dinas. Dengan demikian di Bali
kemudian ada dua jenis desa, yaitu desa pakraman yang mengurus tentang hal-hal yang
berhubungan dengan adat dan Khayangan Tiga serta desa dinas yang berhubungan dengan hal
kenegaraan-kewarganegaraan. Dua desa itu ternyata mampu berjalan berdampingan dan saling
mendukung.
Karena itulah kemudian, ketika masyarakat diharuskan memilih salah satu dari desa
tersebut, tidak ada kesatuan pendapat bagi masyarakat di Bali. Sebagian cenderung memilih
desa pakraman dan sebagian lagi memilih desa dinas. Secara umum tidak ada kesepakatan
tentang hal ini. Akibatnya ketika tenggat batas waktu pendaftaran selesai tanggal 15 Januari
2015, tidak ada desa yang mendaftarkan diri melalui pemerintah daerah tingkat II. Dengan
kondisi seperti ini, ada waktu dua tahun lagi bagi masyarakat menetapkan pilihannya untuk
memilih salah satu dari dua desa tersebut. Undang Undang No. 6 Tahun 2014 pada hakekatnya
meminta masyarakat untuk memilih salah satu dari desa tersebut untuk di daftarkan kepada
pemerintah pusat
Dari sisi makna,
Undang Undang No. 6 Tahun 2014
sesungguhnya ingin
memaksimalkan segala potensi sumber daya yang ada di desa untuk kemajuan dan kemandirian
desa tersebut. Pemerintah akan memberikan berbagai bimbingan dan rangsangan untuk
1
memaksimalkan segala sumberdaya yang ada di desa agar dapat diberdayakan dan dimanfaatkan
secara maksimal. Salah satu upaya pemerintah untuk itu adalah memberikan bantuan keuangan
lebih dari 1 rupiah. Dana ini digunakan untuk memberdayakan segala sumber daya tersebut.
Dugaan ketidakmampuan masyarakat dan komponen masyarakat di Bali memilih salah satu
diantara desa dinas dan desa pakraman itu adalah tidak dan belum pernah diidentifikasinya
segala potensi sumber daya yang dimiliki, tidak memahami manfaat dari sumber daya, dan tidak
mempunyai pengetahuan untuk memberdayakannya. Padahal, setiap desa di Bali
memiliki
sumber daya tangible (tampak) dan intangible (tidak Nampak) yang dapat dimanfaatkan secara
maksimal. Misalnya, desa pakraman mempunyai tanah laba pura
yang luas, masyarakat
mempunyai lahan pertanian dan perkebunan yang luas, di desa juga banyak sarjana, potensi
semangat dan kebanggaan desa yang belum tergali, atau letak desa di jalan yang strategis.
Banyak potensi yang masih belum diidentifikasi dan diberdayakan.
Karena itulah, untuk memberikan masukan masyarakat memilih salah satu desa yang
akan dipilihnya, penelitian ini akan melakukan identifikasi sumber daya tersebut di desa-desa,
menggali manfaat dari sumber daya tersebut dan memberikannya kepada aparat desa untuk
menginformasikannya kepada masyarakat untuk dapat dimanfaatkan secara maksimal. Lokasi
penelitian yang dipilih adalah desa-desa di Kecamatan Kerambilan, Kabupaten Tabanan.
Kecamatan ini merupakan salah satu lumbung pertanian Kabupaten Tabanan, tetapi terbengkalai
karena ditinggal oleh masyarakatnya pergi bekerja bolak-balik ke Denpasar atau Badung bagian
selatan.
I.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang diungkap dalam penelitian ini adalah:
1). Apa jenis dan bentuk sumber daya manusia di desa
dinas dan desa pekraman yang
bersangkutan.
2). Bagaimana upaya pemberdayaan sumber daya tersebut bagi desa atau desa pakraman dalam
rangka penerapan Undang Undang No. 6 Tahun 2014
3). Bagaimana kesiapan desa dinas atau desa pakraman untuk memberdayakan sumber daya
tersebut?
2
I.3 Tujuan Penelitian
1). Untuk mengetahui berbagai macam sumber daya, baik yang tangible maupun intangible dari
desa pakraman atau desa dinas.
2). Untuk menjelaskan berbagai manfaat dari sumber daya
yang ditemukan di desa atau desa
pakraman tersebut.
3). Untuk
mengetahui dan menjelaskan kesiapan desa atau desa pakraman dalam
memberdayakan sumber daya tersebut.
I.4 Tujuan Utama
Tujuan utama dari penelitian ini adalah memberikan gambaran kepada desa bersangkutan
(desa pakraman dan desa dinas) tentang potensi sumber daya yang dimiliki di wilayahnya,
upaya untuk memberdayakan sumber daya tersebut sehingga dengan modal itu
dapat
melaksanakan amanat dari Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
I.5 Manfaat Penelitian
1). Penelitian ini akan memberikan bantuan dan bimbingan kepada desa pakraman dan desa
dinas untuk mengetahui apa saja sesungguhnya yang menjadi sumber daya yang ada di desa
tersebut, yang juga tidak saja memberikan inspirasi kepada desa lokasi penelitian tetapi juga
kepada desa pakraman lain di Bali.
2). Memberikan sumbangan pikiran dan inspirasi bagi desa di luar tempat penelitian, untuk
berupaya menggali sumber daya yang dimiliki dan upaya memberdayakannya.
3). Membuka pengetahuan masyarakat desa dan desa pakraman tentang potensi kemajuan yang
dimilikinya.
4). Memberikan sumbangan kepada pemerintah, khususnya daerah Tingkat II, baik di Bali
maupun di tempat lain di Indonesia dalam rangka menghadapi pemberlakuan Undang Undang
No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
3
5). Dengan pengetahuan yang diberikan tersebut, akan dapat membantu memudahkan pilihan
bagi komponen masyarakat untuk memilih desa pakraman atau desa dinas dalam kerangka
penerapan Undang Undang No. 6 Tahun 2014 ini.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Tulisan Terdahulu
Secara umum, tulisan-tulisan sosiologis tentang desa dan desa pakraman di Bali yang
mengupas tentang sumber daya dan pemberdayaan sumber daya desa, masih sangat minim.
Lebih banyak yang mengupas tentang desa pakraman, terutama menyangkut soal konflik. Ranah
yang dikupas kepanyakan dari sisi hukum. Windia (2014), dalam Hukum Adat Bali: Aneka
Kasus dan Penyelesaiannya, misalnya mengupas berbagai kasus yang ada di desa pakraman,
akan tetapi lebih banyak menitikberatkan pada masalah penyelesaian hukum. Beberapa tulisan
bunga rampai itu mempunyai persoalan sosial tentang kepemilikan sumber daya, terutama
berkitan dengan wilayah pariwisata. Tetapi yang ditekankan adalah kepantasan desa pakraman
dalam mengelolanya. Jadi tentang sumber daya dan pemberdayaan sumberdaya itu oleh
masyarakat, masih belum ada.
Tim Fakultas Hukum Universitas Udayana (2013) melakukan penelitian tentang “Konflik
Perbatasan Desa pakraman dalam Perspektif Ekonomis Tanah serta Penyelesaiannya”,
menyimpulkan bahwa konflik itu dipicu oleh faktor ekonomi rebutan lahan, retribusi, dan
manfaat ekonomi lainnya. Penyelesaian konflik menggunakan pola mediasi yang dilakukan
pemerintah daerah, dan upaya penanggulangannya lebih menekankan faktor represif. Jadi dalam
penelitian ini yang diungkapkan adalah faktor penyebab konflik dan penyelesaiannya yang
memang bersumber dari faktor-faktor ekonomi. Tidak mengupas soal sumber daya dan
pemberdayaannya.
Dharma Laksana dan kawan-kawan (2011) meneliti dengan judul “Eksistensi Gotong
Royong dan Tolong Menolong dalam Kehidupan masyarakat Adat dalam Perkembangan
Pariwisata di Desa Pakraman Penyaringan Desa Sanur Kauh”. Dalam kesimpulannya secara
garis besar disebutkan bahwa kehidupan gotong royong tersebut masih eksis di desa tersebut,
meskipun desa sudah menjadi daerah wisata. Penyebabnya adalah karena nilai solidaritas tinggi,
terutama saat kematian. Tulisan ini hanya menekankan tentang keberadaan nilai dan realitas
gotong royong saja, tetapi tidak mengupas tentang bagaimana pemberdayaan gotong royong itu
sebagai sebuah sumber daya tidak kelihatan (intangible) dari masyarakat. Sedangkan penelitian
5
yang akan dilakukan ini, justru mencoba memberikan masukan kepada masyarakat tentang
bagaimana memanfaatkan modal itu untuk kepentingan desa, demi menghadapi UU No. 6 Tahun
2014
Jayantiari dan kawan-kawan (2012) meneliti tentang “Otonomi Desa Adat dalam Kaitan
dengan Eksistensi Tanah adat di Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan”.
Dalam kesimpulannya disebutkan bahwa Desa Pakraman Kukuh secara mandiri mampu
menyelenggarakan kesejahteraan warganya melalui hutan desa sebagai pariwisata. Juga
ditemukan bahwa tanah adat di Desa Kukuh masih tetap eksis tanpa diperjualbelikan. Tulisan ini
memang mengupas tentang salah satu sumber daya yang diberdayakan desa pakraman. Akan
tetapi tidak mengupas tentang sumber daya lain
yang mungkin berada di desa tersebut.
Penelitian yang hendak dilakukan penulis, akan mencoba menelusuri berbagai sumber daya yang
ada di satu desa pakraman yang kemudian berpotensi diberdayakan untuk menghadapi UU No. 6
Tahun 2014.
Dengan demikian, penelitian yang berjudul “Identifikasi dan Pemberdayaan Sumber
Daya Desa: Tinjauan Sosiologis Desa di Bali Menghadapi UU No.6 Tahun 2014” ini layak
dilakukan untuk melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya karena mempunyai tujuan paling
utama, yaitu mampu memberikan sarana dan pemikiran bagi desa ataupun desa pakraman untuk
menyongsong penerapan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, terutama tentang potensi desa
yang dimiliki dan upaya untuk memberdayakannya.
II. 2 Penjelasan Konsep
Identifikasi
memudahkan
merupakan upaya mengenali bagian-bagian dari suatu obyek untuk
pengenalan terhadap obyek tersebut. Upaya pengenalan itu dapat dilakukan
dengan melihat ciri-ciri utama dari obyek bersangkutan agar dapat dikenali oleh masyarakat.
Ciri-ciri utama ini akan melekat pada obyek tersebut akan didapatkan apabila dikaitkan dengan
manfaat yang diinginkan terhadap obyek bersangkutan. Secara sosiologis, kemanfaatan itu bisa
dikaitkan dengan kebutuhan dan keperluan lingkungan masyarakat di mana obyek tersebut
berada. Beckmann dan Beckmann, kurang lebih menekankan bahwa konteks identitas itu
mengandung makna katagori-katagori yang mempunyai kaitan dengan obyek tersebut dengan
masyarakat (Ramstedt dan Thufail, 2011:19). Dengan demikian, pengkatagorian-pengkatagorian
6
yang dimaksudkan oleh Beckmann tersebut bisa dilihat pada pengenalan bagian-bagian dari
suatu obyek.
Identifikasi terhadap sumber daya ini dimaknai bahwa desa di Bali sesungguhnya telah
mempunyai sumber daya, akan tetapi karena kurang diperhatikan, menjadi terlantar dan
fungsinya tidak dimanfaatkan secara maksimal. Sumber daya itu sudah ada sehingga yang
duiperlukan hanya mengenalinya secara ulang dan menggali manfaat yang ada di dalam sumber
daya tersebut. Identifikasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini, tidak lain berupa penggalian
dan pengenalan sumber daya tersebut, untuk kemudian diinformasikan kepada aparat desa.
Informasi inilah merupakan salah satu komponen kognitif yang dapat dipakai oleh aparat desa
dalam konteks pemberdayaan sumber daya itu.
Sumber daya tidak lain merupakan obyek, baik berupa benda atau hal yang kelihatan
maupun tidak kelihatan (tangible maupun intangible), yang bisa diberdayakan (digunakan)
kemanfaatannya bagi masyarakat lingkungan maupun masyarakat secara luas. Dalam konteks
sosial, sumber daya yang tidak kelihatan misalnya adalah semangat kelompok, harmonisasi
hubungan sosial, stablitas sosial dan sebagainya. Sedangkan yang kelihatan dapat bermacammacam seperti luas tanah, kesuburan tanah, keindahan lokasi, jumlah penduduk, lokasi strategis,
arus air, angin dan sebagainya. Menurut James S. Colemaan, sumber daya itu merupakan hal
yang dapat dikendalikan oleh manusia (Ritzer, Nurhadi, 2011: 480). Lebih jauh lagi dikatakan
bahwa sumber daya tersebut dapat dikontrol oleh individu maupun korporat (lembaga). Dengan
demikian, kelompokpun dapat mengendalikan sumber daya ini.
Dalam konteks desa atau desa pakraman, sumber daya yang dimiliki itu dapat
dikendalikan oleh individu yang ada di desa, kelompok-kelompok atau sekehe yang ada, dan
juga dapat dikendalikan oleh desa maupun desa pakraman.
Sedangkan pemberdayaan
adalah pemanfaatan dari sumber daya tersebut secara
operasional sesuai dengan keunggulan dan fungsionalisasinya oleh dan untuk masyarakat.
Ginanjar Kartasasmita, dikutip oleh Mukhtar Sarman (1997:38), menyebutkan bahwa makna
pemberdayaan bagi masyarakat adalah bahwa mereka hendaknya tidak dijadikan obyek dalam
pembangunan, tetapi justru dijadikan subyek dalam pembangunannya sendiri. Penjelasan Catur
Utami dalam Supraja (2014:87) menyiratkan bahwa konteks makna pemberdayaan tersebut
7
mengaitkan antara masyarakat dengan sumber-sumber yang ada
agar sumber itu mampu
dimanfaatkan atau dioperasionalkan oleh masyarakat itu sendiri demi tujuan kehidupannya.
Dengan demikian, pemberdayaan adalah pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat untuk
tujuan kehidupan. Anggota masyaratlah yang harus bergerak secara aktif untuk mengolah dan
memanfaatkan kekayaan yang dimiliki.
Pemberdayaan ini dapat menguntungkan bagi
masyarakat baik secara materiil maupun spiritual.
II. 3 Kerangka Teoretis
Dalam sosiologi, secara umum ada tiga bentuk teori yang penting bagi perkembangan
manusia. Yang pertama, manusia selalu mengembangkan pengetahuan untuk tujuan penting
tertentu. Kedua, manusia mengubah lingkungan, bahasa dan kepentingan praktis yang
selanjutnya melahirkan pengetahuan hermeneutik, yakni tentang interpretasi, dan ketiga
kepentingan emansipasi (Pelly, Menanti, 1994:159).
Dalam penelitian ini, teori utama yang dipakai, adalah Teori Pilihan Rasional. Teori ini
merefleksikan upaya manusia mengembangkan pengetahuan demi tujuan-tujuan yang dipandang
penting bagi masyarakat.
Pada hakekatnya pemberdayaan merupakan pilihan-pilihan yang menguntungkan dan
terbaik dari berbagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk meraih manfat maksimal
kepada desa. Sumber daya di desa terdiri dari berbagai macam ragam dan karena itu mesti
dipilih
yang paling tepat dan pantas untuk mendorong kemajuan. Karena itulah, dalam
penelitian ini teori paling relevan yang dipakai sebagai pembimbing dan pendorong aplikasi
adalah teori pilihan rasional. Teori ini merupakan teori sosial yang diterapkan pada masyarakat
dan mempunyai sentuhan dengan perilaku-perilaku ekonomi, terutama pada aspek yang
menyangkut pilihan yang menguntungkan tersebut. Ritzer yang mengutip Coleman mengatakan
bahwa dalam teori pilihan rasional ini, aktor akan memilih tindakan yang memaksimalkan
keuntungannya (Ritzer, Nurhadi, 2011: 480). Aktor tersebut bisa individu, kelompok, lembaga,
komunitas atau masyarakat itu sendiri.
Teori Pilihan Rasional diungkapkan pertama kali oleh James C.Coleman, dengan dasar
pemahaman bahwa orang bertindak secara sengaja untuk mencapai suatu tujuan, dimana tujuan
dan tindakannya ini mempunyai satu nilai atau preferensi (Ritzer, Nurhadi, 2011: 480). Coleman
8
juga menyebutkan bahwa dalam melakukan pilihan untuk mendapatkan manfaat maksimal ini,
aktor akan menggunakan pertimbangan-pertimbangan kognitif. Pemahaman inilah yang
kemudian diperluas maknanya oleh Darren Sherkat bahwa untuk mendukung keuntungan
maksimal itu, diperlukan banyak informasi dalam proses pembalajaran (Mellor, 2000: 284).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori pilihan rasional itu menekankan kepada
pemampuan manusia atau kelompok sebagai aktor dalam memilih berbagai sumber yang ada,
untuk kemajuan demi mencapai tujuannya. Untuk melakukan pilihan yang tepat itu, haruslah
dilakukan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, dimana
pengetahuan ini didapatkan secara akumulatif. Bisa melalui pengetahuan lewat teman-teman,
informasi dan sebagainya. Dalam hubungan meraih keuntungan maksimal antara individu dan
kelompok, ada dua kondisi yang bisa diungkap oleh teori pilihan rasional, yakni ketika
pemikiran individu yang digunakan oleh kelompok dan pada saat pemikiran atau tindakan
kelompok atau korporat ditujukan untuk mencapai keuntungan bersama (lihat pembahasan Suka
Arjawa, 2014: 53).
Dalam konteks desa atau desa pakraman menghadapi penerapan Undang Undang No. 6
Tahun 2014, maka untuk dapat menjalankan amanat undang-undang ini yang berupa
kemandirian dan memberdayakan segala sumber daya yang ada, tidak lain dengan cara
mengenali sumber daya yang dimilikinya, kemudian memilih dari sumber daya tersebut untuk
dimaksimalkan manfaatnya agar dapat mencapai tujuan bersama. Penelitian ini membantu
mengenalkan dan menggali potensi sumber daya manusia yang ada di desa tersebut, dan
kemudian memberikan pemahaman tentang manfaat dan upaya untuk memaksimalkan
pemberdayaan sumber daya tersebut.
II. 4 Studi Pendahuluan yang Sudah Dilakukan
Dalam hal wilayah penelitian yang akan dilaksanakan, penulis telah melakukan observasi
awal, melihat kemungkinan-kemungkinan potensi yang ada di wilayah Kecamatan Kerambitan.
Beberapa temuan yang sudah dilihat adalah:
1. Pada bagian tengah kecamatan ini, dilewati oleh jalan utama Denpasar-Gilimanuk.
Sebagai area yang dilalui dengan jalan utama itu, mestinya masyarakat dapat melakukan
aktivitas perdagangan. Tidak semua dimanfaatkan dengan baik.
9
2. Pada bagian selatan, kecamatan ini berbatasan dengan Samudra Indonesia, dengan ombak
yang besar. Ini seharusnya dapat dipakai obyek pariwisata laut, tanpa harus merusak
alam.
3. Sebagian besar jalan yang menghubungkan desa-desa dan banjar di
Kecamatan
Kerambitan, relatif baik. Demikian juga yang menghubungkannya dengan kota Tabanan.
Seharusnya relasi sosial untuk perdagangan, juga bagus. Tetapi ini belum dimanfaatkan
dengan baik.
4. Tanah subur, banyak persawahan dan ladang. Ini sangat memprihatinkan karena banyak
terbengkalai. Banyak masyarakat bekerja di Denpasar dan Hotel-hotel di Badung selatan
5. Kehidupan gotong royong bagus.
6. Catatan memperlihatkan di seluruh Kecamatan Kerambitan telah banyak penduduk
menyandang gelar sarjana.
Sedangkan untuk pemahaman tentang Undang Undang No. 6 tahun 2014, tentang Desa,
penulis telah melakukan beberapa hal:
1. Memberikan wawancara dengan media massa, terutama televisi Republik Indonesia,
pada akhir bulan Januari 2015
2. Memberikan ceramah sebagai sosiolog dalam diskusi tentang UU No. 6 tahun 2014 di
Darmantra Centre, tanggal 12 Januari 2015.
3. Menulis Artikel di Harian Balipost tanggal 13 Januari 2015 (dilampirkan)
4. Mengupas dan menafsirkan pasal-pasal dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU
No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
10
II. 5 Kerangka Pemikiran dan Luaran
Identifikasi
Sumber Daya
Desa Pakraman /Desa dinas
Masukan
dari ahli,
dosen,
mahasiswa,
tokoh
masyarakat
dsb.
Pengenalan Terhadap Potensi Diri
Desa
Desa Mandiri dengan pemahaman
atas potensi sumber daya.
2016
Desa Mandiri Siap Menyongsong
UU No. 6 tahun 2014
2017
Bagan diatas dapat dijelaskan bahwa pada tahap awal, penelitian ini membantu melihat
dan mengenali berbagai sumber daya yang ada di desa bersangkutan, yang sebelumnya mungkin
belum dipahami kelebihan dan potensi yang dimilikinya. Segala temuan ini, dalam bentuk
laporan, akan diserahkan kepada desa atau desa pakraman bersangkutan. Akan tetapi, laporan ini
juga akan diberikan kepada pemerintah, baik melalui pemerintah kabupaten maupun pemerintah
provinsi dengan harapan dapat disebarkan kepada desa atau desa pakraman lain di Bali.
Tujuannya agar desa tersebut dapat memakai sebagai rujukan atau referensi.
11
Peneliti juga akan tetap melakukan hubungan dengan desa atau desa pakraman, melalui
tokoh-tokohnya atau melaluii pertemuan rutin, untuk memberikan penasihatan atau petunjuk,
bimbingan serta diskusi untuk mengoperasionalkan sumber daya tersebut. Tujuan lanjutan dari
penelitian ini adalah bahwa desa mampu memanfaatkan dan memberdayakan sumber daya yang
dimilikinya untuk kemandirian dari desa bersangkutan. Dengan kemampuan seperti itu, maka
desa ini akan dapat mandiri, mampu membangun sesuai dengan modal yang ada dalam kerangka
pembangunan nasional. Bagi desa di Bali, kemandirian ini akan membuat mereka percaya diri
dalam menyikapi amanah Undang Undang No. 6 Tahaun 2014, sehingga tidak terjadi keraguraguan. Desa dan Desa Pakraman akan dapat mengenali dirinya, mana yang lebih layak untuk
diajukan ke pusat. Paling tidak dalam waktu dua tahun (tahun 2017), desa di Bali sudah dapat
menentukan kemandiriannya ini.
Dalam konteks praktis, luaran penelitian ini akan dapat dijadikan contoh oleh masyarakat
desa pakraman atau desa dinas di Bali. Dalam konteks ilmiah, penelitian ini akan dimuat dalam
jurnal ilmiah nasional.
12
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini sifatnya kualitatif. Metode ini digunakan agar bisa melihat langsung dan
meresapi bagaimana kondisi di lapangan. Metode penelitian dengan jenis kualitatif merupakan
metode yang melibatkan penelitinya langsung turun ke lapangan, melihat dan menyelami
keadaan sosial yang berlaku sesungguhnya (Bryman, 2004:267). Dalam penelitian ini, terjun
langsung ke lapangan sangat dipentingkan. Tujuannya adalah dapat melihat langsung keadaan
geografis, mengamati lokasi yang bermanfaat dapat dikembangkan, serta melihat interaksi sosial
masyarakat. Interaksi ini perlu didalami untuk melihat karakter mereka, apakah semangat, penuh
konflik atau ada gaya interaksi lainnya. Terjun langsung ke lapangan juga berguna untuk
merasakan semangat mereka bekerja. Seluruhnya berguna untuk mengamati bagaimana potensipotensi yang ada di desa tersebut.
III. 2 Lokasi dan Alasan Pemilihan
Lokasi penelitian adalah di Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, Bali.
Kecamatan ini terletak kurang lebih 60-70 Kilometer di sebelah barat Kota Denpasar atau Kuta.
Akan tetapi, banyak masyarakat yang justru pergi bolak-balik dari Kerambitan menuju Denpasar,
Badung, Kuta, Jimbaran. Disaat ini, tanah-tanah pertanian di desa-desa Kecamatan Kerambitan
yang berdekatan dengan kota Tabanan, banyak yang telah beralih fungsi jadi perumahan.
Padahal, Kerambitan dikenal sebagai salah satu lumbung industri, sumber pertanian serta
perkebunan di Kabupaten Tabanan. Tetapi sumber daya ini terbengkalai karena tidak dilirik dan
ditinggal bekerja di Denpasar atau Kuta. Daerah ini juga mempunyai pantai yang berbatasan
dengan Samudra Indonesia, yang semuanya merupakan sumber daya yang mampu
dimaksimalkan manfaatnya untuk masyarakat. Jika hal ini mampu dimanfaatkan oleh desa atau
desa pakraman, anggota masyarakat tidak perlu sampai jauh pergi ke Denpasar dan tidak perlu
menjual tanah untuk kebutuhan keluarga, karena telah dapat memanfaatkan lahannya sendiri.
13
III. 3 Sampel
Sampel pada penelitian kualitatif merupakan sampel purposif. Artinya sampel yang sudah
ditentukan. Metode penarikan sampel ini sesuai dengan teknik bola salju. Artinya jumlah sampel
akan ditentukan oleh kualitas pertanyaan dari peneliti dan kualitas jawaban dari responden.
Apabila jawaban dinilai mempunyai kekurangan akan dikembangkan lagi dan memungkinkan
terjadinya pertambahan sampel kepada individu yang lain.
Dalam konteks desa, atau desa pakraman akan dicari desa di Kecamatan Kerambitan
secara berimbang, di daerah selatan, utara, barat, timur dan tengah, masing-masing dua desa.
Misalnya, Desa Tista di Selatan, Timpag di utara, Desa Tibubiyu di Barat, Desa Samsam bagian
timur dan Kukuh di bagian tengah.
III. 4 Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah wilayah desa, baik desa pakraman maupun desa
dinas atau dengan sebutan lainnya, dengan lingkungan yang ada di dalamnya. Dipakainya desa
sebagai unit analisis adalah untuk melihat, mengobservasi, dan mencari sumber daya yang ada di
wilayah tersebut terutama sumber daya yang nampak secara kasat mata, misalnya sawah, sungai
atau letak strategis. Sebagai sasaran analisis yang lain adalah anggota masyarakat, terutama
tokoh-tokoh yang berpengaruh baik dari kalangan remaja, dewasa muda, dewasa mauptun tokoh
yang sudah tua. Sasaran atau obyek analisis ini dipentingkan untuk mendapatkan pendapat dan
gambaran tentang potensi sumber daya tidak nampak, seperti misalnya semangat, kecerdasan,
tingkat pengetahuan dan cara pandang anggota masyarakat di desa tersebut. Dengan demikian,
unit yang akan dianalisis adalah desa dan anggota masyarakat yang ada di desa tersebut.
III. 5 Sumber Data
Data dalam penelitian ini ada dua yakni data primer dan data sekunder. Dalam penelitian
kualitatif, data primer merupakan data yang berasal dari lingkungan yang berasal dari wilayah
penelitian. Data seperti ini dapat dikumpulkan melalui observasi pada saat awal perencanaan
penelitian maupun setelah penelitian. Data hasil observasi ini akan dicatat dan direkam. Dapat
14
juga dilakukan melalui wawancara mendalam atau mendengarkan percakapan warga tentang
potensi desa dimana mereka berada.
Sumber data berikutnya adalah data sekunder yang berupa berbagai informasi yang telah
tercatat, baik dilihat dari buku-buku, internet maupun catatan yang ada di kecamatan, balai desa
maupun yang telah ada di arsip sederhana yang dimiliki penduduk. Misalnya penduduk yang
kebetulan menyimpan catatan pembangunan sebuah bendungan. Di Desa Pakaraman Telaga
Tunjung, Kerambitan, ada bendungan yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Termasuk
pula berbagaisumber tercatat yang ada di kantor pemerintahan Kabupaten Tabanan. Pendapat
dan hasildiskusi dengan para ahli atau cendekiawan juga dipakai sebagai acuan dan dipandang
sebagai data sekunder, sepanjang pendapat itu sesuai dengan tema dalam penelitian ini.
III. 6 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, data dikumpulkan dengan beberapa cara. Yang pertama adalah
observasi terhadap lingkungan fisik yang ada di desa yang telah ditetapkan sebagai sampel
untuk penelitian ini. Dalam konteks observasi, lokasi, kondisi geografis, demografis, sampai
hubungan sosial diantara penduduk akan dicatat sebagai langkah awal untuk melakukan
penelitian. Berdasarkan pencatatan segala obyek yang menonjol tersebut akan dilakukan langkah
lanjutan yang dapat berupa wawancara maupun diskusi dengan anggota masyarakat setempat.
Untuk mendapatkan pola pekerjaan mereka, jumlah ternak, penempatan kandang ternak juga
akan dicatat dan dimaknai.
Kedua, data dikumpulkan melalui wawancara mendalam. Dalam hal ini, wawancara
merupakan langkah lanjutan yang dilakukan setelah observasi. Diperlukan wawancara untuk
mengamati secara lebih mendalam dari pola interaksi, kondisi obyek yang dilihat, yang dapat
merupakan sumber daya dari desa tersebut. Disamping dilakukan dengan pencatatan, berbagai
obyek tersebut juga akan difoto dan direkam untuk kemudian dianalisis melalui metode
penafsiran atau hermenautika. Baik pertanyaan untuk wawancara
dicatat diturunkan dari
perumusaan masalah, dan kemudian dikembangkan saat melakukan wawancara. Observasi juga
merupakan turunan dari perumusan masalah yang ada dalam penelitian ini.
15
Ketiga, data dikumpulkan melalui diskusi kelompok yang terpusat (focus group
discusion), baik kepada anak-anak muda, remaja, dewasa dan orang tua. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang persoalan yang diangkat.
Data sekunder yang didapatkan dari buku-buku, maupun wawancara dengan pihak lain di
luar Kecamatan Kerambitan, akan dicatat untuk mendukung data primer.
III. 7 Teknik Analisis Data
Analisis data ini didasarkan pada perumusan masalah yang sudah ditetapkan. Analisis
data pada penelitian kualitatif sifatnya induktif. Artinya dari demikian banyak data yang
didapatkan, ditafsirkan melalui sebuah kesimpulan dan kemudian dikelompokkan sesuai dengan
perumusan masalah yang telah ditetapkan. Data yang didapatkan dari observasi fisik, akan
dimaknai sesuai dengan tema yang ada. Demikian juga data yang didapatkan melalui wawancara,
akan dikelompokkan sesuai dengan perumusan masalah, ditafsirkan dengan keterkaitan antara
satu pernyataan dengan pernyataan yang lainnya. Keterkaitan ini akan memungkinkan membuat
kesimpulan terhadap satu fenomena tertentu. Dalam pemahaman hermenutika, memahami
sesuatu itu adalah melalui penafsirannya (Gibbons, Noer Zaman, 2002: xiv)
Contoh Pencatatan Realitas, Tindak Lanjut, dan Pemaknaan
No
Realitas yang
Dicatat
Tindak Lanjut
Pemaknaan/Penafsiran
1
Kondisi geografis
tanah subur
-Bertanya dan wawancara kepada
anggota masyarakat (tokoh, ahli,
mahasiswa dsb), tentang
pemanfaatan tanah tersebut
-Petani yang rumahnya
besar memahami bahwa
tanah subur memang dapat
diberdayakan.
-Melakukan perbandingan
dengan wilayah desa lain,
kecamatan lain, atau kabupaten
lain.
-Anggota masyarakat yang
memilih kerja sebagai
tukang kebun di kota,
masih belum melihat
sebagai potensi sumberr
16
daya
2
Lokasi di jalan
raya utama
Melihat aktifitas kegiatan
masyarakat yang berhubungaan
dengan lokasi tersebut.
-Banyak warung pinggir
jalan merupakan indikasi
masyarakat memahami
kelebihan lokasinya.
3
Hewan dan
ternak terpelihara
dengan baik.
Melihat aktivitas ternak di
keluarga lain atau di desa lain.
Masyarakat memanfaatkan
ternak sebagai penghasilan
tamabahan. Bisa dikatakan
sebagai potensi desa.
4.
Bale banjar
dimanfaatkan,
baik sebagai
ruang kumpulkumpul maupun
kreatifitas.
Ikut beraktivitas dan menyelami
aktivitas yang ada.
Potensi semangat
kekeluargaan tinggi dan
kreativitas hidup dii desa
tersebut.
5
Dan sebagainya
17
BAB IV
PEMBAHASAN
IV. 1 Menggali Potensi Sumberdaya di Pedesaan
Salah satu pemikiran yang muncul terhadap keberadaan Undang-Undang No 6 Tahun
2014 tentang Desa ini adalah keinginann untuk menggerakkan desa dengan potensi-potensi yang
dimilikinya. Karena desa jumlahnya puluhan ribu di Indonesia, maka dapat dikatakan tidak
semua desa mempunyai potensi sumber daya manusia yang sama antara satu desa dengan yang
lain. Bentangan geografis Indonesia yang jutaan kilometer luasnya, dengan sifat geografis yang
bermacam-macam tidak memungkinkan kesamaan itu. Di Pulau Jawa dan Bali misalnya, banyak
dijumpai daerah pegunungan. Beberapa dari gunung itu aktif meletus atau dalam sejarahnya
pernah meletus. Ini yang membuat kekayaan alam di dua pulau tersebut lebih bervariasi serta
tanahnya subur. Di Pulau Papua, geografisnya lain lagi karena kaya dengan bahan tambang.
Demikian juga dengan Pulau Sumatra, Kalimantan serta Sulawesi yang kaya dengan bahan
pertambangan.
Apabila dilihat dari konteks budaya, Indonesia ini juga sangat kaya ragam. Catatan yang
pernah ada menyebutkan bahwa paling kurang Indonesia terdiri dari 250 suku bangsa. Masingmasing suku ini mempunyai budaya, seni, kebiasaan, sejarah yang berbeda-beda yang dapat
ditampilkan sebagai sebuah kekayaan budaya yang dapat diolah. Misalnya ditampilkan sebagai
sebuah pesta kesenian yang dapat mengundang turis. Budaya merupakan salah satu aset desa
yang dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan pendapatan desa kelak. Di Bali, dengan
kekayaan budayanya mempunyai bentuk budaya dalam wujud kesenian tradisionil yang
demikian banyak ada di setiap desa. Tari Sanghyang dengan berbagai bentuknya itu, tidak hanya
dijumpai di satu tempat tetapi juga ada di berbagai tempat, dengan wujud yang berbeda.
Disamping itu atraksi budaya yang dapat ditafsirkan sebagai bentuk seni seperti Perang Tipat di
Kapal, Mekotek di Tabanan, atau Omed-Omedan di Sesetan, merupakan atraksi yang dapat
diklaim sebagai milik desa dan kemudian diberdayakan untuk kemanfaatan desa tersebut. Salah
satu resiko dari pemberdayaan desa ini adalah komersialisasi terhadap upacara-upacara ritual
yang sebelumnya dipandang sakral.
Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa sesungguhnyaa menginginkan adanya
pemberdayaan sumber daya desa ini agar ke depan desa mampu mandiri. Dalam penjelasan
18
undang-undang ini, disebutkan bahwa tujuan dibentuknya pengaturan desa melalui keluarnya
undang-undang, ada
sembilan butir. Dari seluruh butir tersebut, setidaknya sebagian
mempunyai kaitan dengan upaya memberdayakan sumber daya desa, aset desa untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Tujuan itu adalah mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi
masyarakat desa untuk mengembangkan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama;
meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan
kesejahteraan umum; memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan
pembangunan nasional; dan memperkuat masyarakat desa sebagai subyek pembangunan.
Dari tujuan yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat desa, ada beberapa kalimat
kunci yang dapat dilihat yaitu, masyarakat desa harus dijadikan sebagai subyek pembangunan.
Disini harus dilihat bahwa pembangunan yang
hendak dilakukan di desa, tidak boleh
menyimpang dari lingkungan sosial dan lingkungan budaya yang ada di desa tersebut. Proyek
pembangunan yang akan dilaksanakan harus mengacu kepada lingkungan tersebut. Perencanaan
pembangunan dan pengembangannya harus dimulai dari apa yang ada di desa. Misalnya, apabila
di desa itu ada bendungan, maka proyek pembangunan dan pengembangan ke depan, haruslah
dimulai dari bendungan ini. Artinya pengembangan dapat dari pertanian, pengembangan
pariwisata air, budidaya perikanan, dan seterusnya. Apabila kebanyakan masyarakat di desa
tersebut dalam kehidupan sosialnya sebagai pedagang, maka haruslah dikembangkan upayaupaya pengembangan jiwa wirausaha, terutama bagi generasi penerusnya.
Kalimat kunci lain yang dapat dilihat dari tujuan tersebut adalah pengembangan potensi
dan aset desa demi kesejahteraan bersama. Dengan kalimat kunci seperti ini, maka yang
dipentingkan adalah mengenali potensi sumber daya manusia yang ada di desa untuk
mengembangkan potensi dan aset tersebut. Dalam kehidupan sosial sekarang, sesungguhnya
tantangan besar terletak disini karena orientasi pemuda desa, kebanyakan ke kota atau ke
wilayah-wilayah yang telah menyediakan lahan untuk langsung bekerja. Misalnya, pemuda desa
yang sudah mempunyai keterampilan, tamat diploma, tamat sarjana bahkan tamat doktor,
memilih bekerja di bank, di perhotelan dan sebagainya. Padahal, maksud dan tujuan dari undangundang ini adalah untuk menahan mereka-mereka itu keluar desa dan mengenali potensi yang
ada di desanya. Untuk hal ini, beberapa cara dapat dilakukan demi mengembangkan potensi desa
yang ada. Yang pertama, dalam bidang pendidikan tinggi, para dosen atau pengajar berupaya
mengenalkan pemahaman kepada mahasiswa tentang manfaat pembangunan desa, pengenalan
19
potensi sumber daya desa yang dimilikinya atau pemahaman tentang bagaimana perlunya
pembangunan desa demi memamtapkan pembangunan nasional. Kedua, dalam hal demikian,
para pejabat desa, baik kepala desa maupun tokoh-tokoh desa harus pro aktif melihat potensi
generasi mudanya, dan kemudian memberikan pesan kepada lembaga pendidikan dimana
pemuda itu melanjutkan pendidikan, agar kelak pemuda tersebut bersedia kembali ke desa.
Ketiga, desa dapat mengeluarkan bantuan keuangan untuk ikut membiaya pemuda melanjutkan
sekolah. Dan keempat adalah, pemantauan dini kepada sumber daya manusia desa, tentang
keahlian-keahlian yang dimiliki. Selanjutnya memberikan biaya melanjutkan pendidikan sesuai
dengan keterampilan yang dimiliki. Dengan cara demikian, akan dapat diupayakan partisipasi
warga untuk memanfaatkan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama.
Peningkatan pelayanan publik juga merupakan kata kunci menarik. Tidak lain, ini
ditujukan kepada aparat-aparat desa yang bekerja di birokrasi desa. Disamping aparatur desa
yang bertugas harus ditingkatkan kualitasnya, penting juga diperhatikan kualitas instrumeninstrumen yang dipakai untuk melayani masyarakat. Intinya adalah bagaimana aparat tersebut
sigap, kosentrasi dan dengan menggunakan prasarana yang modern, dapat memperingkas
pelayanannya kepada masyarakat, membuat rakyat merasa puas dan senang ketika berususan
dengan kantor kepala desa. Pembuatan kartu penduduk yang memerlukan waktu hanya satu hari,
tentu akan mempercepat proses lanjutan lainnya sehingga percepatan ini dapat mewujudkan
kesejahteraan umum. Pemakaian komputer
dan internet, menjadi persyaratan pokok bagi
keberlangsungan dari keberhasilan desa di masa depan.
Pembangunan desa pada akhirnya merupakan upaya untuk menghilangkan kesenjangan
nasional. Untuk menghilangkan kesenjangan ini, tidak lain cara yang dipakai adalah gerakangerakan pada bidang ekonomi. Kritik paling banyak yang ditujukan kepada Indonesia saat ini
adalah adanya kesenjangan dengan dimensi banyak. Artinya, dalam konteks negara secara utuh,
kemakmuran ekonomi antara Indonesia di bagian barat dengan baagian timur, sangat senjang.
Pembangunan banyak dilakukan di bagian barat, terutama di Pulau Jawa dan Bali. Jalan beraspal,
kendaraan serta pusat pengembangan intelektual, ada di wilayah Indonesia bagian barat.
Demikian juga halnya dengan proyek industri. Juga ada kesenjangan antara kota dengan desa.
Dalam proses pembangunan, kota seolah lebih dulu dikembangkan di dibanding dengan desa.
Akibatnya, banyak masyarakat desa mengalir ke kota dalam bentuk urbanisasi. Kesenjangan lain
antara kaya dengan miskin. Yang ditekankan dalam hal ini adalah lebar kesenjangan itu sangat
20
kentara. Contoh paling menyolok, justru dapat dilihat di Indonesia bagaian Barat, terutama di
Jakarta. Disamping hotel-hotel berbintang justru terlihat banyak sekali perumahan gubuk yang
memperlihatkan kontrasnya hasil pembangunan. Tidak hanya di Jakarta, kota besar lain seperti
Surabaya, Denpasar juga memperlihatkan disparitas kekayaan tersebut. Banyak masih dijumpai
ada pengemis dan gubuk-gubuk liar di pinggir jalan, padahal di beberapa wilayah hotel bintang
lima bertebaran.
Karena itulah kemudian, untuk menghindari adanya kesenjangan seperti ini,
pembangunan dengan pusat pedesaan akan memberikan banyak manfaat bagi perkembangan
Indonesia. Satu hal paling utama yang dapat dilihat dari pembangunan di desa, adalah bahwa
proyek tersebut akan dapat menekan arus urbanisasi ke kota. Urbanisasi ini disebabkan oleh
tidak adanya kegiatan pembangunan atau kegiatan ekonomi di pedesaan sehingga kebutuhan
masyarakat tidak mampu dipenuhi dengan baik. Dengan kegiatan ekonomi yang reletif lebih
banyak di perkotaan, membuat urbanisasi itu meningkat. Menghentikan hal itu adalah dengan
menggerakkan perekonomian di pedesaan. Dengan cara seperti inilah kelak diharapkan tidak
akan terjadi kesenjangan pembangunan anatara desa dengan kota. Karena Undang-Undang No. 6
Tahun 2014 ini berlaku untuk seluruh Indonesia, maka yang menjadi sasaran adalah seluruh
pedesaan di Indonesia. Hilangnya kesenjangan inipun diharapkan
untuk seluruh negara
Indonesia.
Maka, upaya-upaya untuk mencapai tujuan seperti yang disebutkan diatas, tidak lain
dengan cara memaksimalkan berbagai sumber daya yang ada di desa, dikembangkan dengan
karakter lingkungan dan identitas lingkungan di desa tersebut. Undang-Undang No. 6 Tahun
2014 menyebutkan bahwa desa sesungguhnyaa telah mempunyai aset yang dapat dikelola. Pasal
76 undang-undang ini menyebutkan bahwa aset desa itu dapat berupa tanah kas desa, tanah
ulayat, pasar desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik
desa, pemandian umum dan aset lainnya milik desa.
Terutama setelah reformasi,
Bali menjadi salah satu daerah yang paling banyak
mendapat luberan pendatang. Hal ini awalnya disebabkan oleh kerusuhan yang terjadi setelah
jatuhnya rejim Orde Baru. Bali yang dipandang aman, menjadi daerah tujuan tempat tinggal bagi
mereka-mereka yang berduit di Jakarta. Pada akhir kekuasaan Orde Baru juga terlihat ada
kelompok minoritas Tionghoa yang merasa terganggu tinggal di Jakarta, memindahkan tempat
tinggalnya di Bali.
21
Dampak lain dari kerusuhan Mei 1998 itu, yakni setelah runtuhnya Orde Baru adalah
penurunan aktivitas perekonomian negara. Investor banyak yang lari dari Jakarta sehingga mulai
banyak munculnya pengangguran di Jakarta khusunya dan di Jawa pada umumnya. Sebagai
daerah yang menjadi daerah tujuan pariwisata internasional dan terbaik di Indonesia, maka
perekonomian Bali relatif tidak terganggu, kecuali pada dua kali peledakan bom di Kuta. Hal ini
pula yang mendorong adanya aarus urbanaisasi semakin banyak ke Pulau Bali. Kaum urban dan
pendatang inilah yang kemudian datang ke desa-desa di Bali, termasuk juga desa pakraman.
Salah satu akibat psoitif dari adanya hal ini adalah semakin banyaknya usaha penginapan
(kos-kosan) yang ada di pedesaan. Usaha seperti ini memberikan pemasukan yang tidak sedikit
kepadamasyarakat yang membuka lahan itu. Di beberapa tempat, dibukanya upaya penginapan
atau kos-kosan di pedesaan ini mengubah secara mendasar mata pencaharian anggota masyarakat
dari sebelumnya menjadi petani kemudian menjadi pengusaha kos-kosan. Bagi mereka yang
mempunyai kemampuan kreatif dan memiliki usaha yang cukup banyak, usaha tersebut dapat
diperlebar juga dengan sampingan berupa usaha dagang, baik yang kecil maupun menengah.
Artinya ada masyarakat yang melebarkan usahanya dengan menyediakan usaha rantangan atau
jualan kebutuhan pangan yang dibutuhkan oleh mereka yang mengontrak kamar tersebut. Jika
bukan pemilik yang melakukan diversifikasi ini, masyarakat setempat juga dapat menggerakkan
perekonomian dengan membuka warung makanan. Jadi, mirip dengan upaya yang dilakukan
masyarakat kota.
Disamping upaya tersebut, di desa juga semakin banyak dijumpai usaha perbengkelan,
baik untuk kendaraan besar roda empat atau lebih maupun untuk roda dua. Relatif baik
tumbuhnya perekonomian Bali yang digerakkan oleh pariwisata, membuat dinamika gerakan
masyarakat semakin banyak, termasuk juga untuk mekukan aktivitas pariwisata yang jaraknya
cukup jauh dari desa di Tabanan ke Denpasar atau Badung.
membuat
Dinamika ini pada akhirnya
munculnya perpaduan antara kebutuhan gerak-cepat dengan kemampuan daya beli
masyarakat. Dipadu dengan relatif baiknya lalu lintas transportasi sampai ke desa-desa, maka
usaha perbengkelan itu dapat tumbuh sampai ke desa-desa. Dengan kemampuan daya beli
demikian, bukan hanya bengkel kendaraan roda dua yang ada, juga roda empat dengan bisnis
ikutannya, seperti karoseri dan pengelasan.
Karena listrik sudah mulai masuk desa-desa, maka alat-alat rumah tangga yang dapat
digerakkan dengan listrik juga banyak ada di desa. Sebagai penunjangnya, tidak hanya ada
22
usaha perbengkelan alat-alat listrik ini tumbuh di desa, akan tetapi juga toko-toko yang menjual
alat-alat listrik. Di daerah Kecamatan Kerambitan, terutama di bagian yang dibelah oleh alur
jalan raya Denpasar-Gilimanuk, segala macam barang-barang yang dijual di kota, termasuk
juga jenis-jenis usaha yang ada di perkotaan, seperti misalnya di kota Denpasar, juga ada di
sepanjang jalan tersebut. Ini disebabkan karena berbagai kebutuhan pengguna jalan raya sangat
beragam. Bahkan kompleks industri juga mulai merambah wilayah ini. Kecenderungan sosial
awal abad ke-21 (tahun 2015), kepadatan kota telah meningkat dengan banyaknya kaum urban
yang datang. Fenomena ini menyebabkan wilayah-wilayah untuk membangun kompleks
perindustrian semakin susah dijumpai. Karena itu untuk membangun kompleks perindustrian
yang semakin dibutuhkan masyarakat, pindah ke pedesaan. Dan wilayah desa yang dipilih
adalah yang dekat dengan jalan poros Denpasar-Gilimanuk serta mempunyai jalan aspal yang
kondisinya baik. Inilah yang membuat industri seperti perakitan mobil, gudang mobil, industri
furniture berdiri di wilayah pedesaan. Misalnya di Desa Pangkungkarung, Banjar Selingsing
tempat lokasi furniture atau servis mobil di Banjar Lumajang, Desa Samsam.
Suasana dan ciri masyarakat desa yang agraris tersebut sudah boleh dikatakan hilang
pada jalur-jalur seperti ini. Desa-desa yang ada di jalur ini hanya dicirikan oleh desa pakraman,
yaitu adanya tempat persembahyangan Khayangan Tiga, dimana masyarakatnya menggelar ritual
secara bersama-sama pada momen-momen tertentu. Ritual itu misalnya ngaben, atau
persembahyangan bersama (odalan). Model kehidupan masyarakat kota sehari-hari lebih banyak
kelihatan dengan penghargaan terhadap waktu. Jalan raya secara langsung dan tidak langsung
menjadi pendorong menjalarnya pola kehidupan kota menuju desa tersebut.
Secara langsung
karena jalan rayalah yang menjadi alur utama lalu-lintas masyarakat sehingga pertokoan dan
usaha jual beli, muncul di tempat seperti ini. Hal itu muncul di jalan raya di Kecamatan
Kerambitan yang dibelah oleh jalur utama Jawa-Bali. Secara tidak langsung, penduduk yang
tinggal di wilayah ini mempunyai kesempatan untuk melakukan perjalanan ke kota secara lebih
cepat dibandingkan dengan penduduk yang ada di pedalaman. Akibatnya, segala modernisasi
dan perubahan sosial yang ada di kota dapat masuk ke desa tersebut secara lebih cepat pula.
Masyarakat akan mencontoh segala perkembangan yang ada di kota untuk di bawa ke wilayah
desa mereka.
23
IV. 2 Potensi di Kecamatan Kerambitan, Tabanan
IV. 2. 1 Embung Telaga Tunjung
Embung, yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan bendungan yang ukuranya lebih
kecil, telah ada di Desa Telaga Tunjung. Ini berada di Keperbekelan Timpag. Dalam konteks
ekonomis, ia dapat digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan. Pada bidang
pertanian, bendungan ini sudah jelas mampu dimanfaatkan sebagai sumber air untuk mengairi
lahan pertanian yang ada di wilayah Timpag dan Kecamatan Kerambilan di bagian utara. Akan
tetapi, bendungan juga dapat dimanfaatkan untuk menarik pariwisata air, seperti wisata mancing
alami serta rekreasi. Bendungan yang luasnya mencapai 10 hektar ini sesungguhnya santat
bagus dipakai untuk sarana mancing. Beberapa dekade yang lalu, pemerintah Provinsi Bali
pernah menaburkan bibit ikan di Danau Batur yang kemudian dimanfaatkan masyarakat, bukan
saja sebagai sarana pariwisata tetapi juga sebagai tempat mata pencaharian. Hal yang sama
seharusnya juga dapat dilakukan di Embung Telaga Tunjung ini. Keuntungan yang dapat diraih
adalah bahwa dengan lokasi yang lebih kecil dibandingkan dengan Danau Batur, masyarakat
lebih mudah untuk melakukan aktivitas macing. Dalam arti secara teoritis, mendapatkan ikannya
lebih mudah dibanding dengan apa yang dilakukan di Danau Batur. Pemerintah Kabupaten
Tabanan tidak melakukan hal itu untuk memetik keuntungan dari keberadaan Embung Telaga
Tunjung. Padahal, masyarakat Tabanan, terutama di desa-desa, sangat rajin melakukan lomba
mancing di berbegai desa, dengan memakai kolam-kolam yang kecil dan dimiliki oleh
perkumpulan. Atau juga dilaksanakan di selokan-selokan kecil. Jadi, secara sosial, potensi untuk
melakukan lomba sebagai sebuah atraksi wisata di Emung Telaga Tunjung, sangat dimungkinkan
dalam bentuk lomba mancing.
Kalaupun kemudian tidak ada perhatian terhadap hal itu oleh pemerintah Kabupaten
Tabanan, seharusnya hal ini dapat dilakukan oleh pemerintahan desa yang ada di wilayah
tersebut, atau oleh bendesa pakraman yang ada di wilayah itu. Dalam hal ini, bukan berarti
lomba yang sifatnya mendadak. Dengan luas mencapai 10 hektar tersebut terlalu luas dipakai
sebagai sebagai arena lomba mincing secara mendadak. Akan tetapi dalam dilakukan sebagai
arena mincing secara regular. Pengelola, yang dalam hal ini bisa oleh kebendesaan atau desa
pakraman, dapat menggelar acara mancing itu di setiap waktu dan di setiap saat. Hanya saja
pengelola harus siap dan menjamin adanya ikan di dalam kolam besar tersebut, dengan cara
24
memasok ikan. Jadi, setiap hari anggota masyarakat dapat menggunakan tempat ini sebagai
arena mancing dan arena rekreasi. Sudah tentu yang kemudian menjadi pemasukan adalah
pungutan yang ditimpakan kepada mereka yang ingin memancing di lokasi tersebut.
Pengeloaan ini dapat dilakukan oleh pihak swasta, lembaga atau secara mandiri oleh desa
pakraman atau keperbekelan. Pengelolaan oleh pihak swasta akan memberikan kesempatan bagi
pengusaha untuk mengembangkan keterampilannya di bidang manajemen. Akan tetapi juga
mampu memberikan solusi terhadap desa pakraman atau desa dinas yang tidak mempunyai
keahlian di bidang itu untuk melakukan pengelolaan. Desa Pakraman atau desa dinas harus
terampil dalam membuat perjanjian dengan pihak yang akan diajak bekerja sama. Dalam hal ini,
pemerintah daerah tingkat II Tabanan seharusnya memberikan kesempatan kepada pihak desa
pakraman atau desa dinas untuk melakukan hal ini demi memaksimalkan kesempatan yang ada.
Pengelolaan yang dilakukan oleh lembaga atau korporasi atau kelompok orang juga dapat
dilakukan. Dengan pengelolaan oleh kelompok ini, keterampilan yang ada pada masing-masing
orang akan menyatu sehingga secara manajemen lebih baik. Kelemahannya adalah terletak pada
menyatukan keterampilan tersebut agar dapat menjadikan manajamen yang hebat. Masingmasing pihak yang mempunyai keterampilan biasanya mengeluarkan egonya masing-masing
sehingga kelompok sukar bertahan lama.
Paling menguntungkan sesungguhnya dilakukan oleh desa pakraman atau desa dinas.
Manfaat paling besar akan mengaktifkan potensi-potensi terampil yang ada di desa pakraman
dan di desa dinas tersebut. Ini memberikan manfaat pada beberapa hal. Secara ekonomis,
pengelolaan yang dilakukan desa pakraman atau desa dinas, memberikan keuntungan material
kepada desa tersebut sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan desa bersangkutan, baik
desa pakraman atau desa dinas. Selanjutnya akan merangsang lahirnya tenaga-tenaga
professional di desa sehingga tidak harus pergi ke luar desa mencari pekerjaan. Desa mempunyai
otonomi dan pengetahuan untuk mengelola aset miliknya sendiri.
Dalam hal wisata air,
Embung Telaga Tunjung tidak hanya dilakukan dengan
memanfaatkan embung tersebut sebagai sarana mancing. Rekreasi air seperti menghadirkan
perahu untuk rekreasi bagi anak-anak atau anak-anak muda juga dapat dilakukan sebagai
alternatif yang lain. Di masa lalu, masyarakat Bali, terutama di desa-desa sudah akrab dengan hal
seperti ini, apalagi di Kecamatan Kerambitan. Paling tidak ada dua tempat yang pernah populer
pada dekade tujuhpuluhan sebagai tempat rekreasi jukung yang laris dimanfaatkan oleh anak25
anak, yaitu di Banjar Mandung dan Banjar Selingsing pada Empelan Gubug. Wisata mejukungan
pada Hari Raya Ngembak Geni atau Galungan dan Kuningan di masa lalu merupakan pilihan
lain di luar menonton bioskop yang ada di kota Tabanan. Saat ini untuk membuat jukung, banyak
pilihan yang dapat dilakukan, yaitu memakai jukung tradisionil yang terbuat dari kayu atau
membeli yang sudah modern, seperti yang terbuat dari plastik. Wisata seperti ini akan menarik
bagi anak-anak, remaja atau muda-mudi. Dengan luas yang lebih dari lima hektar dari embung
tersebut, sangat memungkinkan mengembangkan wisata rekreasi ini karena manufer yang
dilakukan jukung dapat dilakukan secara lebih luas. Dengan latar belakang tradisi yang sudah
ada sebelumnya pada rekreasi jukung, maka menggalakkan rekreasi ini di embung tersebut
secara manajemen cukup dengan membangkitkan nostalgia masa lalu. Anak-anak muda sekarang
mempunyai orang tua yang mengalami masa-masa rekreasi jukung tradisionil tersebut. Maka
cerita dan pengalaman masa lalu, akan dapat memantik rekreasi seperti ini sekarang.
Olahraga air yang mungkin digelar di Embung Telaga Tunjung adalah kayak termasuk
juga penggelaran lomba kayak. Kayak tidak hanya dapat dilakukan di laut seperti yang dilakukan
di daerah pariwisata Sanur tetapi juga dapat dilakukan di Embung Telaga Tunjung yang cukup
luas areal bagi olahraga ini. Lomba-lomba yang dilakukan setiap minggu dapat juga digelar oleh
pengelola, baik desa pakraman maupun desa dinas.
Sekeliling embung ini luas, dengan dikitari oleh pohon-pohon hijau yang masih sangat
subur. Embung ini berada masuk ke pedesaan sekitar 20 menit dari jalur utama DenpasarGilimanuk dengan kondisi jalan aspal yang bagus. Dengan begitu tidak terlalu susah untuk
dijangkau. Dikelilingi oleh tebing alami yang tinggi di kiri-kanan embung, maka lokasi ini
potensial untuk membuat sarana pendukung rekreasi. Masyarakat dapat membuka warung
tradisionil sebagai lokasi penjualan makanan ringan. Bahkan juga dapat dimanfaatkan dengan
membuka lapangan futsal karena hawanya sejuk, bahkan di siang hari. Daerah pinggiran dari
Emung Telaga Tunjung juga dapat dibesihkan, dibentuk taman dengan diteduhi oleh pohonpohon rindang yang alami. Lingkungan ini juga dapat memberikan pemandangan yang jauh lebih
luas, lebih alami dan memikat dibandingkan dengan apa yang ditampilkan oleh hotel-hotel
berbintang, baik yang ada di daerah Nusa Dua, Jimbaran maupun tempat lain di Bali.
26
IV. 2. 2 Posisi Geografis di Poros Jalan Raya Jawa-Bali
Kecamatan Kerambitan boleh dikatakan mempunyai lokasi yang menguntungkan apabila
dilihat dari alur jalan yang dimiliki. Sebagian dari desa-desa yang ada di Kecamatan ini dilalui
oleh jalan poros Bali-Jawa, yaitu jalan Denpasar-Gilimanuk. Kecamatan ini juga dihubungkan
oleh jalan aspal menuju Kota Tabanan. Pembangunan dan perencanaan sosial akan lebih mudah
dilakukan apabila mempunyai jalan raya yang lebih bagus. Pertama karena dengan transportasi
yang lebih baik, dapat diperkirakan alur angkutan kebutuhan masyarakat lebih terjamin
sampainya di tempat tujuan. Kedua, segala hasil barang dan jasa yang hidup di wilayah tersebut,
akan dijamin tercapai tujuannya dan waktu sampainya. Ketiga, lalu-lintas pergerakan masyarakat
dari satu wilayah ke wilayah lainnya relatif tidak mengalami hambatan sehingga kontak sosial
juga akan berlangsung dengan lebih baik. Keempat, dengan kontak sosial yang berlangsung lebih
baik, maka berbagai kebutuhan masyarakat akan dapat dipenuhi. Akan lebih baik lagi apabila
dengan kondisi sarana transportasi yang baik tersebut, masyarakat juga mampu melakukan
aktivitasnya secara lebih baik dengan dukungan alat komunikasi yang modern. Saat ini berbagai
pilihan alat komunikasi modern sudah tersedia di pasaran.
Di Kecamatan Kerambilan, Desa Pakraman Penyalin, Samsam I dan II, Lumajang,
Mandung, Sembung Meranggi, Sembung Gede, Meliling dan Pucuk merupakan desa-desa yang
dilalui dan dibelah oleh Jalan Raya Denpasar-Gilimanuk. Desa dinas yang dilalui oleh jalan
tersebut adalah Desa Dinas Samsam, Sembung Gede dan Timpag. Melihat kondisi demikian,
seharusnya baik desa pakraman maupun desa dinas yang ada berpotensi besar untuk
meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Desa-desa lain di kecamatan Kerambitan telah
dihubungkan oleh jalan yang telah diaspal dengan baik.
Berbagai kreatifitas untuk memanfaatkan potensi sumber daya dapat dilakukan oleh
desa pakraman dan desa dinas untuk meningkatkan kapasitas pendapatannya. Secara ekonomi
pembukaan toko, warung dan berbagai jasa lainnya dibutuhkan oleh masyarakat, dan terutama
oleh mereka yang lewat di jalan raya. Lalu lintas Denpasar-Gilimanuk dipenuhi oleh berbagai
kendaraan, mulai dari sepeda motor yang paling kecil sampai dengan mobil yang mempunyai
roda lebih dari 20. Dalam konteks jalan seperti yang disebutkan diatas, kemanfaatannya oleh
berbagai jenis jasa sudah dilakukan oleh masyarakat.
Kelemahan-kelemahan yang terlihat adalah bahwa,
jasa-jasa yang dibuat oleh
masyarakat desa pakraman dan desa dinas itu, masih terlihat monoton, ikut-ikutan dengan apa
27
yang dilakukan oleh anggota masyarakat lainnya. Sebagai contoh, saat ini sangat terkenal
warung nasi be guling. Sebagai bentuk dari aktivitas jasa ini, sepanjang jalan DenpasarGilimanuk di Kecamatan Kerambitan ada sekian banyak warung nasi be guling (babi gulung) di
pinggir-pinggir jalan. Sampai saat ini memang warung tersebut kelihatan masih laris. Akan
tetapi, mendirikan warung demikian berjejer di satu sisi jalan belum tentu memberikan
keuntungan maksimal di masa mendatang. Persaingan akan semakin ketat dan semakin banyak
yang membuat daya jual semakin sedikit dan akibatnya, keuntungan juga akan semakin kecil.
Pada akhirnya semangat untuk berusaha juga akan semakin menipis. Keseragaman ini masih
dapat dilihat pada obyek jualan pada warung-warung yang lain, entah mereka yang berjualan
kelontong atau berjualan minuman.
Kelemahan lain yang terlihat terutama di jalur poros Denpasar-Gilimanuk adalah kurang
pahamnya anggota masyarakat tentang manajemen warung. Bagi mereka yang mempunyai
warung atau tempat usaha yang lebih besar, sangat kurang memperhatikan lokasi parkir. Mereka
membangun warung dengan memanfaatkan lahan secara penuh sehingga lahan parkir menjadi
kurang. Di tengah kecenderungan masyarakat memakai kendaraan bermotor, tempat parkir
merupakan hal paling wajib dalam satu warung. Parkir yang luas merupakan daya tarik pertama
bagi setiap pelanggan dan pembeli. Akan tetapi, sebagian dari warung-warung yang ada di
sepanjang jalan itu, masih belum memperhatikan hal ini. Fenomena demikian merupakan ciri
khas dari warung tradisional Bali masa lalu. Ini bisa dipahami karena di masa lalu masyarakat
lebih banyak berjalan kaki untuk berbelanja
Boleh dikatakan sepanjang jalan Denpasar-Gilimanuk, sudah semua dimanfaatkan
dengan berbagai jasa yang ada. Berbagai jenis jasa yang kelihatan adalah warung, toko,
perbankan, bengkel, kontrakan, perkantoran, jasa foto copy, tukang cukur, salon, pencucian
kendaraan sampai dengan penginapan. Ini menandakan bahwa pemanfaatan tersebut sudah
optimal di masyarakat yang ada di pnggir jalan tersebut. Yang masih belum maksimal dilakukan
adalah sikap profesional mereka dalam melakukan pengelolaan. Kalau tadi disebutkan tentang
sarana parkir yang masih belum menunjang, hal lain yang tidak terlihat adalah soal ruangan dan
kebersihan. Terutama bagi warung-warung yang tradisional, ruangannya masih penuh dijejali
dengan berbagai barang yang dijual. Akibatnya meja yang seharusnya dapat dipakai untuk duduk
menikmati makanan, misalnya
rujak, sesak
dan tidak memberikan kenyamanan untuk
menikmati suguhan. Ini juga terjadi pada hal-hal lainnya, misalnya bengkel yang tidak
28
menyediakan kursi bagi pelanggan yang datang. Termasuk juga jasa foto copy yang tidak
memberikan ruang untuk duduk bagi pelanggan. Etika profesional hanya kelihatan pada kantorkantor yang bergerak pada bidang jasa, misalnya perbankan yang memang menyediakan kursi
bagi pelanggan dan pengguna jasa. Bagaimanapun, pelanggan akan merasa lebih nyaman datang
apabila kebutuhan primer fisiknya dipenuhi. Kebutuhan primer fisik ini diantaranya adalah
tempat duduk tadi. Kekurangan professional tersebut semakin terlihat apabila dilihat warung atau
jasa yang dibuka di jalan arteri dan bertambah lagi apabila memasuki wilayah pelosok.
Kebersihan dan penataan tempat berjualan juga kurang terlihat. Terutama di daerahdaerah yang ada di pedesaan debu yang melekat pada barang-barang jualan masih menempel.
Ini merupakan bagian dari kebiasaan masa lalu yang masih belum dapat diperbaiki sampai
sekarang. Dalam arti kebiasaan tersebut masih melekat. Padahal, kesadaran soal kebersihan
sudah semakin sering dimunculkan di media massa. Disamping debu yang melekat pada barangbarang, ornamen dari warung juga kelihatan masih kurang bersih.
IV. 2. 3 Sarjana dari Berbagai Disiplin Ilmu
Kecamatan Kerambitan dikenal mempunyai warga yang berpendidikan tinggi. Disamping
itu juga mempunyai semangat tinggi dalam berbagai bidang. Sebagai bagian dari Kabupaten
Tabanan, Kecamatan Kerambitan merupakan salah satu penghasil beras dan padi yang cukup
untuk memberikan kesejahteraan kepada keluarga. Di luar itu, yang patut juga dipertimbangkan
adalah semangat dan fanatisme terhadap daerah. Pada bidang olahraga sepakbola misalnya, di
masa lalu Kerambitan kerap menjadi juara se kabupaten Tabanan, mulai dari tingkat sekolah
dasar sampai kompetisi dewasa.
Di masa pendidikan bertambah maju, terutama dengan semakin terdidiknya mayarakat ke
perguruan tinggi, banyak sarjana juga berada di Kecamatan Kerambitan. Di desa Pakraman
Penyalin misalnya, jumlah sarjananya cukup signifikan. Akan tetapi, sarjana yang mampu
memanfaatkan alam
desa pakraman untuk maju sangat sedikit. Yang paling cocok
dikembangkan di desa pakraman ini adalah sektor pertanian,, petkebunan dan persawahan.
Tetapi sarjana pertanian hanya satu dan kemudian telah merantau ke Pulau Jawa.
Sarjana merupakan produk perguruan tinggi yang secara formal diakui memiliki
kemampuan untuk menganalisa masalah tertentu. Kemampuan menganalisis ini merupakan
kelebihannya apabila dibandingkan dengan tamatan akademi atau diploma. Tamatan diploma
29
dibekali oleh keterampilan mengolah atau membentuk suatu produk. Sedangkan sarjana
mempunyai kelebihan menganalisis. Obyek yang dianalisis itu bisa berupa produk, dimana
produk ini dihasilkan oleh sebuah keterampilan. Melalui analisislah kekurangan atau kelebihan
produk itu diketahui. Seorang yang mampu menghasilkan produk kue misalnya, akan dianalisis
oleh seorang sarjana ekonimi tentang pemasarannya, tentang bahan asalnya oleh sarjana kimia
atau potensi kebusukannya. Maka, seorang sarjana akan mampu membekali diri dan menambah
keterampilan, melalui kursus atau belajar secara mandiri untuk menghasilkan keterampilan.
Seorang sarjana ekonomi tidak akan salah apabila menambah wawasannya dengan terampil
membikin kue. Seorang sarjana teknik menambah keterampilannya dengan membikin produk
sepeda
elektrik. Atau seorang sarjana pertanian tidak keliru juga apabila menggabungkan
keahliannya pada bidang manajemen.
Dalam hal ini, harus diakui bahwa sarjana yang banyak bertebaran di pedesaan dan
menjadi aset desa pakraman maupun desa dinas itu, kurang mampu menggerakkan dirinya untuk
menambah keterampilan produksi atau keterampilan lainnya sehingga keahlian yang dimiliki
tidak dapat digunakan secara maksimal. Akibatnya, mereka banyak menganggur atau datang
menjadi kaum urban di perkotaan dan banyak bekerja di sektor pariwisata di Denpasar atau
Badung. Waktu yang terbuang percuma untuk menempuh jarak yang lebih dari 70 kilometer
tersebut tidak dipikirkan secara matang sehingga terbuang percuma, disamping juga tidak baik
untuk kesehatan pribadi.
Suara-suara kritis tentang desa pakraman, yang kebanyakan bernuansa negatif, dapat
dikatakan sesungguhnya mempunyai hubungan dengan tidak dimanfaatkannya secara maksimal
potensi sarjana
terhadap perkembangan dan pembaruan desa pakraman. Setidaknya secara
tekstual, desa pakraman itu mempunyai keterkaitan sangat kuat dengan sarjana hukum, terutama
dari kosentrasi hukum adat. Ini dikarenakan hukum adat itu merupakan pemikir dan otak dari
keberadaan desa pakraman tersebut. Sarjana hukum adat dididik untuk berfikir dan menganalisis
tentang sejarah adat, perkembangannya serta arah pembaruannya di masa depan. Ketika desa
pakraman berhadapan langsung dengan modernisasi, para sarjana yang mempunyai spesialisasi
hukum adat lah yang akan dapat mengembangkan dan memperbaiki hal seperti itu. Sekarang
jarang ada sarjana hukum adat yang memegang desa pakraman. Para sarjana ini tidak saja
mempunyai kemampuan untuk menganalisis sejarah dari hukum adat tersebut, tetapi juga secara
30
jelas mengkaji norma-norma yang sudah tidak sepatutnya dipertahankan serta memperbarui
kebiasaan yang ada berdasarkan perbandingan yang ada.
Sebagai seorang yang belajar hukum, mereka akan mengetahui bagaimana norma-norma
yang mestinya berlaku di masyarakat dan bagaimana pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Sebagai pembelajar adat, para sarjana ini tidak hanya mengetahui perkembangan hukum dan
norma-noma adat yang ada di daerahnya sendiri. Akan tetapi juga dari daerah-daerah lain di
Indonesia. Sebagai negara yang mempunyai banyak suku bangsa, maka tersedia demikian
banyak kebiasaan adat yang berlaku di berbagai wilayah Indonesia. Banyaknya kebiasaan inilah
yang sesungguhnya dapat dipakai sebagai perbandingan untuk memperbaiki segala kebiasaan
yang berlaku di desa pakraman di Bali. Ini sangat penting dilakukan di tengah perkembangan
jaman dan modernisasi yang demikian ketat di Bali.
Sarjana lain yang juga mempunyai keterkaitan dengan perkembangan desa pakraman di
Bali adalah sosiologi. Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat dengan berbagai
aspek yang ada. Setiap aspek perkembangan masyarakat akan dipelajari dalam ilmu ini. Desa
pakraman tidak lain merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki perkembangan kompleks
di Bali. Secara sederhana, desa pakraman ini merupakan lembaga yang hampir mirip dengan
negara. Di samping mempunyai wilayah dengan penduduknya, juga mempunyai aturan hukum,
pemerintahan dengan berbagai strukturnya, kekuatan ekonomi sampai dengan memiliki penjaga
keamanan. Termasuk juga perbatasan. Dengan keberadaan seperti itu, segala aspek
perkembangan sosial terjadi di dalam desa pakraman. Secara mendasar, desa ini boleh dikatakan
sebagai komunitas yang mempunyai tugas menjalankan keagamaannya dan komunitas tersebut
berjalan berdasarkan pada keagamaan Hindu. Karena itulah, hubungan sosial, persaudaraan,
gotong-royong, subordinasi, kekuasaan, pengaruh, konflik dan sebagainya ada di dalam
lingkungan desa pakraman dengan segala aspek-aspeknya. Masing-masing desa pakraman di
Bali mempunyai banyak ragam gaya sesuai dengan budaya mereka di lingkungan tersebut.
Sosiologi mempelajari setiap aspek dari kehidupan sosial, termasuk perubahan sosial yang akan
terjadi beserta bagaimana cara mengantisipasinya. Karena itu, sarjana sosiologi sangat
diperlukan untuk mengembangkan desa pakraman.
Sarjana Antropologi juga sangat diperlukan. Antropologi merupakan ilmu yang mengalir
seperti air. Ilmu ini mempelajari kebudayaan dan kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok
masyarakat.
Disebutkan juga apabila antropologi tersebut mempelajari suku bangsa. Akan
31
tetapi, apabila dilihat secara lebih dalam, misalnya dengan ciri khas dan kebiasaan yang berlaku
di desa bersangkutan, desa pakraman sesungguhnya merupakan kelompok masyarakat yang
malah mirip dengan suku. Di Bali, desa pakraman tersebut mempunyai kebiasaan yang berbedabeda dalam penerapan ritual agama. Dan karena itu juga mempunyai kebiasaan yang berebeda
dalam menerapkan praktik kehidupan mereka. Sebanyak 1500 lebih ada desa pakraman di Bali,
yang tidak semuanya mempunyai praktik yang sama antara satu sama lain. Dengan kondisi
seperti itulah sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang pantas untuk dilibatkan dalam
proses pengembangan desa pakraman ini. Artinya baik para sarjana antropologi maupun desa
pakraman tidak saling menjaga jarak, melainkan saling meleburkan diri satu sama lain untuk
mengembangkan desa pakraman.
Sarjana Sastra Bali dan Jawa Kuno diperlukan untuk memberikan pemahamanpemahaman terhadap tafsir sastra yang dipakai sebagai dasar menjalankan ritual agama Hindu.
Agama Hindu di Bali dijalankan atas dasar sastra baik yang berasal dari bahasa sansekerta
maupun dari bahasa Jawa Kuno (Kawi). Dalam hal sastra yang telah diterjemahkan, seperti
misalnya Bhagavat Gita, yang dipandang sebagai Weda V, masyarakat memandang arti dari
bait-bait syair yang ada di dalam buku suci tersebut telah diketahui. Akan tetapi, pemaknaan dari
bait syair itu belum tentu diketahui secara matang. Ini disebabkan karena setiap bait syair itu
dapat ditafsirkan menjadi beragam makna. Untuk memahami pemaknaan yang lebih luas itulah
maka diperlukan adanya penafsir-penafsir terhadap ajaran Weda ini sehingga masyarakat dapat
menjalankan agama secara lebih luas dan bermakna. Secara lebih luas artinya mempunyai
pilihan yang lebih banyak, disesuaikan dengan konteks waktu, tempat dan keadaan. Sarjana
sastra Bali mempunyai kemampuan untuk melakukan penafsiran tersebut.
Disamping melakukan melakukan tafsiran atas pemaknaan tersebut, sarjana sastra Bali
tentu saja juga mampu melakukan penerjemahan
terhadap sastra-sastra lain
yang dipakai
landasan dalam menjalankan ritual agama di Bali.
Sarjana Agama Hindu sudah tentu juga diperlukan oleh desa pakraman. Seperti juga
halnya dengan sarjana sastra Bali Kuno atau Jawa Kuno, sarjana agama Hindu diperlukan untuk
menerjemahkan makna agama yang dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman. Ritual
yang terlalu memberatkan masyarakat, yang menyita tenaga, waktu dan biaya, semestinya dapat
dikurangi agar masyarakat desa pakraman dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
perekonomian yang demikian cepat di Bali. Sarjana agama Hindu ini diperlukan untuk
32
menerjemahkan pemaknaan upacara sehingga desa pakraman di Bali dapat melakukan upacara
yang sesuai dengan pemaknaan itu agar tidak bertentangan dengan sebagian besar anggota
masyarakat. Sebuah pembaruan dari tradisi, misalnya menyederhakana upacara sampai 50
persen, berpotensi menimbulkan konflik. Karena itu, kerjasama antara sarjana agama Hindu
dengan sarjana sastra ini dalam menerjemahkan arti syair sastra dan menafsirkan pemaknaannya,
dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat dan kemudian tidak menimbulkan konflik sosial.
Dalam kerangka
menyongsong perkembangan
perekonomiannya yang demikian berkembang,
sosial
di
Bali,
dengan
aspek
desa pakraman mau tidak mau harus
memanfaatkan sarjana manajemen (ekonomi), atau teknik industri. Kedua sarjana ini mempunyai
keahlian dalam mengelola organisasi (perusahan) untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan. Teknik industri merupakan sarjana yang mempunyai kemampuan untuk mengelola
perusahan dan memikirkan berbagai kiat perkembangannya. Pengelolaan desa pakraman sesuai
dengan perkembangan jaman yang diatur dibawah Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, tidak
lain menginginkan desa sebagai sebuah organisasi yang mampu mengelola dirinya sendiri
termasuk aset yang dimiliki. Dengan demikian, diperlukan kemampuan manajamen untuk
mengelola modal yang dimiliki tersebut.
Sebagai sebuah komunitas tradisional di Bali, desa pakraman mau tidak mau
mendasarkan diri pada lingkungan tradisional yang menjadi penopang hidup masyarakat. Bali,
sejak berabad-abad telah dikelola dengan dasar pertanian dan perkebunan. Pertanian, terutama
persawahan menjadi dasar dari perkembangan struktur sosial di Bali, termasuk juga desa
pakraman. Pada hakekatnya desa pakraman ini merupakan struktur sosial yang banyak mengatur
tentang kegiatan sosial yang berbasis pertanian. Upacara agama yang menjadi fungsi pokok dari
desa pakraman, sesungguhnya juga merupakan endapan dari budaya pertanian. Dengan alasan
tersebut maka desa pakraman sangat memerlukan sarjana pertanian untuk perkembangannya.
Sarjana dengan kualifikasi inilah yang akan dapat memberikan masukan-masukan kepada desa
pakraman, terutama dalam hal sejauh mana ritual yang bebasis pertanian itu dapat dipertahankan
bagi desa pakraman yang berada di lingkungan perkotaan. Sebaliknya bagi desa pakraman yang
masih ada di desa dan pegunungan, sarjana pertanian ini akan mampu memberikan saran, contoh
dan praktik mengembangkan model-model pertanian terbaru untuk memacu desa tersebut
berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial paling modern.
33
Sarjana-sarjana dari ilmu yang lain lain akan sangat membantu perkembangan desa
pakraman, terutama apabila dikaitkan dengan berbagai perkembangan kemajuan sosial di Bali.
Dengan pesatnya pariwisata yang ada di Kuta, Sanur, Gianyar dan lain-lain, cara pengelolaan
desa pakraman tentu akan sangat berbeda. Dengan otonomi yang dimilikinya serta gaya
manajemen yang berbeda-beda, desa pakraman akan dapat memanfaatkan sarjana dari berbagai
disiplin ilmu untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
IV. 2. 4 Potensi Pariwisata Laut
Bagian selatan dari Kecamatan Kerambitan, yaitu di Kelating dan Pasut, berbatasan
langsung dengan Samudra Indonesia yang mempunyai ombak besar. Potensi ombak yang besar
ini sesungguhnya dapat dimanfaatkan sebagai obyek rekreasi surving, terutama kepada turis-turis
maancanegara yang datang ke Bali. Transportasi menuju daerah ini sudah lumayan bagus karena
jalan rayanya sudah mulus dan memakai aspal hotmik. Tidak saja terhubung langsung ke kota
Kabupaten Tabanan, tetapi juga terhubung langsung dengan pusat pariwisata di Tabanan, yaitu
Tanah Lot, dan dari sini, langsung terhubung ke Denpasar. Sebagai kawasan rekreasi, laut
Samudra Indonesia tidak hanya menawarkan ombak yang besar tetapi juga pantai yang indah
dan pemandangan sunset yang memesona. Sebagai tawaran pemandangan yang luas dan segar di
pantai, Pantai Pasut dan Kelating memberikan harapan. Demikian juga sunset nya. Karena itu
dua pantai di Kecamatan Kerambitan ini memberikan potensi besar sebagai daerah yang
menghasilkan pendapatan.
Pasir laut di wilayah ini memang tidak seperti Pantai Kuta atau pantai di kawasan Selatan
Kabupaten Badung yang semuanya putih. Pantai di Kelating dan Pasut berwarna hitam pekat.
Akan tetapi, bukan sekedar itu yang ditawarkan. Seperti yang diutarakan tadi, kedua pantai ini
menawarkan atraksi alami sunset yang bebas pandang di sore hari, sama dengan pemandangan
yang dijanjikan oleh Pantai Kuta, Tanah Lot, Ulu Watu maupun pantai lain yang ada di kawasan
Badung bagian selatan.
Desa Pakraman Kelating telah memelopori untuk membuat telanjakan sebagai sarana
masyarakat untuk berjalan-jalan melihat matahari terbenam. Telanjakan tersebut sudah bagus.
Pantai Kelating juga menawarkan posisi pantai yang datar untuk berjualan sehingga para
pedagang dapat mempergunakan secara baik. Posisi pantai ini kondusif bagi pariwisata pantai
dan laut. Gelombang lautnya cukup tinggi untuk kegiatan surving. Pantainya mempunyai bagian
34
datar untuk menyaksikan segala atraksi ke laut atau melihat pemandangan lain karena dari pantai
ini juga kelihatan kawasan Uluwatu, yang ada di Badung bagian selatan. Tebing curam dari
Uluwatu jelas kelihatan dari tempat ini, termasuk juga pemandangan malam harinya ke arah
Kuta. Lokasi untuk mandi secara umum juga ada pada sisi barat dari pantai tersebut yang tidak
terlalu dalam dengan ombak yang tidak terlalu besar. Bagi mereka yang menyukai
kegiatan
jalan-jalan, dapat melakukan perjalanan menuju pantai Yeh Gangga ke timur dengan berjalan
kaki atau ke pantai Pasut ke arah barat juga dengan jalan kaki.
Pantai pasut juga mempunyai potensi yang sama seperti yang ditawarkan oleh Pantai
Kelating. Malah pantai ini mempunyai pasir yang padat dan lebih lebar sehingga bagi anak-anak
yang menyukai olahraga pantai, seperti sepakbola, dan volley dalam melakukannya baik di pagi
hari maupun sore hari. Pasir yang lebih padat memungkinkan olahraga ini dilakukan di Pantai
Pasut. Malah, anak-anak muda yang suka trek-trekan, memakai arena pasir Pantai Pasut sebagai
arena balap kendaraan, sebuah olahraga yang mengandung resiko cukup berbahaya.
Pantai Kelating dan Pasut ini dapat mencontoh apa yang ada di Pantai Kedonganan,
yaitu membuka warung untuk makanan ikan, yang khusus untuk disajikan secara segar kepada
para pembeli, baik berupa pembeli lokal maupun pembeli asing (turis).
IV. 2. 5 Kesenian dan Manajemen Kesenian Tradisionil
Kerambitan mempunyai salah satu unsur kesenian yang disebut dengan Tektekan.
Kesenian ini sudah berusia puluhan tahun, yang berasal dari tradisi masyarakat. Ia memakai
instrumen utama
bambu yang dipukul. Pada awalnya, menjadi alat pengusir bala apabila
masyarakat terkena wabah penyakit. Masyarakat tradisionil Kerambitan, dan umumnya di Bali,
masih mempercayai bahwa penyakit itu disebabkan oleh gangguan-gangguan dari luar, dan
karena itu haruslah gangguan itu diusir dari lingkungan masyarakat. Cara mengusirnya adalah
melalui cara membisingkan lingkungan agar kekuatan-kekuatan tersebut keluar dari lingkungan.
Dengan logika seperti inilah masyarakat befikir bahwa penyakit yang menjangkiti sebagian besar
anggota masyarakat, akan dapat hilang.
Melihat fenomena bunyi tektek yang keluar dari suara bambu yang dipukul tersebut,
tokoh masyarakat Baturiti di Kerambitan, yaitu Anak Agung Silagunada kemudian mempunyai
ide bahwa keramaian tersebut dapat dikelola dan kemudian dibentuk sebagai sebuah instrumen
seni. Maka, berbagai jenis suara yang muncul dari berbagai jenis pukulan bambu itu kemudian
35
diubah menjadi seni dengan memasukkan unsur-unsur gong Bali. Unsur gong yang dimasukkan
itu adalah kendang sehingga melalui sebuah strategi seni, pada akhirnya mampu membentuk
untaian seni yang dapat dinikmati masyarakat banyak. Juga dimasukkan unsur-unsur dalam
kesenian drama yang lain, mislanya kisah tentang Mahabharata yang demikian pupuler di Bali.
Disamping itu, unsur lain yang dimasukkan adalah atraksi ngurek yang juga santat populer di
Bali. Atraksi tersebut berupa perkelahian antara kekuatan jahat yang disimbolkan dengan rangda
dengan kekuatan positif yang disimbolkan dengan barong. Atraksi ini akan berisi penusukan,
tetapi melalui kekuatan gaib tidak dapat tertembus. Bagi para penonton, disamping suara dari
tektekan tersebut yang agak aneh, atraksi ngurek ini juga mendapat perhatian yang banyak.
IV. 2. 6 Sumber Air
Salah satu aset yang dimiliki oleh desa adalah sumber air. Desa-desa yang ada di Bali
sesungguhnya sangat kaya dengan sumber air yang bersumber dari pegunungan. Bali bagian
tengah mempunyai pegunungan yang merupakan tempat penyimpanan air alami. Deretan
pegunungan ini membentang dari arah barat di Jembrana sampai ke timur di Karangansem, yang
secara simetris membelah Pulau Bali menjadi bagian utara dengan bagian selatan. Meskipun
dari sisi kontur tanah pegunungan itu kemungkinan merupakan hasil dari tumbukan lempeng
bumi di bawah, akan tetapi membawa manfaat besar bagi persediaan air di Bali. Yang menarik,
sumber air itu muncul tidak hanya langsung di lereng gunung seperti yang ada di wilayah
Jatiluwuh di Kabupaten Tabanan, atau di Kubu dan Tirtagangga di Karangsem, akan tetapi juga
muncul di daerah yang relatif jauh. Misalnya ada di Kebendesaan Samsam di Kecamatan
Kerambitan,Tabanan. Paling tidak empat dari lima banjar yang ada di Kebendesaan ini
mempunyai sumber air, yaitu Banjar Penyalin, Banjar Samsam, Kutuh Kelod, dan Kutuh Kaje.
Dalam ketentuan pada Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, salah satu aset desa yang
dapat dimanfaatkan adalah sumber air tersebut. Dengan ketentuan itu, maka sumber air ini dapat
dikelola oleh BUM Desa secara cermat untuk kesejahteraan bersama. Dalam hal kebutuhan air
bersih, Bali sesungguhnya sekarang sudah mulai sangat memerlukan air bersih. Kota Denpasar,
wilayah Badung bagian selatan memerlukan air dari wilayah-wilayah kabupaten lain untuk
menyediakan warganya dengan kebutuhan air. Industri pariwisata memerlukan debit air dalam
jumlah banyak di wilayah-wilayah yang disebutkan tadi. Demikian juga dengan perumahan
36
yang muncul di berbagai wilayah di Badung dan Denpasar. Karena itulah kemudian daerah
Tabanan menjadi alternatif untuk mencari ketersediaan air tersebut.
Dari sini apabila sumber air tersebut dikelola oleh BUM Desa, atau katakanlah oleh desa,
maka tidak ada individu atau pihak-pihak lain yang akan mampu membuat hal yang sifatnya
semena-mena terhadap penggunaan air. Desa akan membuat aturan tersendiri melalui BUM
Desa tersebut tentang pemanfaatan air dengan melibatkan masyarakat dan pengawasan dari
masyarakat dan pihak luar yang ditunjuk.
Air juga digunakan dalam lingkungan ekonomi sebagai sebuah obyek bisnis. Dengan
semakin dikenalnya air mineral serta air kemasan, berbagai perusahan yang bergerak di bidang
air, mencoba mencari-cari lahan untuk mengelola air yang kemudian diolah menjadi industri.
Kegiatan seperti ini seharusnya dapat dipergunakan oleh desa untuk kesejahteraan warganya
dengan cara mengelola bersama atau lewat BUM Desa. Seperti yang dikatakan tadi, Desa
Samsam di Kecamatan Kerambitan, Tabanan mempunyai sumber air dengan debit air yang
relatif besar.
Sebagai satu perbandingan, di daerah Tembuku, Bangli air yang ada di desa tersebut
dijual dengan menggunakan truk, untuk mengairi berbagai tempat yang kekurangan air. Akan
tetapi di Kecamatan Kerambitan, Tabanan, air tidaklah
kurang. Namun, air ini dapat
dimanfaatkan untuk cadangan masa depan apabila misalnya kekurangan air melanda Bali. Posisi
kecamatan ini sekitar 40 kilometer dari Gunung Batukaru sehingga memungkinkan sebagai
rembesan air sumber yang berasal dari gunung tersebut di bawah tanah.
IV. 2. 7 Wilayah Luas
Satu hal yang tidak diperhitungkan oleh masyarakat ketika melihat keunggulan desa
dibandingkan dengan kota adalah keluasan ruangan yang dimiliki oleh desa. Sudah menjadi ciri
dari desa itu mempunyai ruang yang jauh lebih lapang dibandingkan dengan kota yang demikian
sesak. Akan tetapi, di jaman sekarang, terutama di kecamatan Kerambitan khususnya dan di Bali
pada umumnya, keluasan dan keleluasaan ruangan ini benar-benar mampu dipandang sebagai
modal dasar untuk melakukan aktivitas menguntungkan, apalagi dikaitkan dengan sumber daya
ekonomi. Ruang wilayah yang leluasa luas dan tidak sesak tersebut dapat diberdayakan sebagai
sumber ekonomi. Di kaitkan dengan potensi pariwisata yang ada, sesungguhnya tanah yang luas
dan lapang ini dapat digunakan sebagai area kuliner dengan berbagai atraksinya. Dari sisi
37
pariwisata, akan dapat ditampilkan berbagai macam makanan khas Bali, dengan mengambil
tempat yang luas sehingga para turis dapat menikmati kuliner dengan nyaman. Termasuk juga
dengan penampilan atraksi apapun karena di desa dapat menggunakan ruangan dengan leluasa.
Kabupaten Tabanan, khsusunya Kecamatan Kerambitan mempunyai makanan khas lawar
anyang barak. Jika hal ini diperkenalkan dengan prinsip pariwisata, bukan saja menikmati lawar
yang diadon dengan darah hewan segar itu, akan tetapi proses pembuatannya dapat disuguhkan
kepada turis. Dengan menggunakan lahan yang luas, tidak sempit seperti yang ada di kota-kota,
masyarakat dapat melakukan atraksi tersebut mulai sejak awal, misalnya mulai menangkap babi,
kemudian proses lanjutannya sampai dengan selesai. Melalui ruangan terbuka juga para turis itu
akan dapat mengikuti segala prosesinya, termasuk mungkin dengan mempersembahkan sesajen,
sampai kemudian pengolahan.
Disamping itu, demi menambah semaraknya suasana, sambil menunggu racikannya
selesai, para guide juga dapat memberikan semacam kuliah penjelasan dengan asal-usul dari
kuliner ini, kemudian menjelaskan maknanya serta penggunannya bagi masyarakat. Kuliner Bali
mempunyai keterkaitan dengan ritual-ritual yang ada. Semasih menikmati, kuliner, dengan
keleluasan ruangan, dapat saja kemudian dipentaskan gong sebagai sebuah hiburan bagi para
tamu. Dan seusai pementasan dapat menyaksikan pertunjukan “tektekan”. Kerambitan
mempunyai seni
khusus “tektekan” yang terkenal
awalnya di wilayah itu yang sampai
kemudian terkenal di seluruh wilayah Bali. Atraksi ini dapat dilakukan seusai hidangan kuliner.
Dengan demikian, sesungguhnya dapat dikatakan bahwa potensi desa yang tidak terlihat
ini akan dapat dimaksimalkan dan kemudian dioptimalkan. Di masa lalu, luas wilayah desa
mungkin tidak mempunyai arti apa-apa dibandingkan dengan apa yang ada di perkotaan. Kini
setelah aliran listrik tersebut sudah sampai ke desa, dengan jalan-jalan juga sudah diaspal sampai
ke desa, seharusnya keleluasaan tempat
ini sangat dapat dimanfaatkan oleh masyarakat desa.
Gabungan antara listrik dengan jalan raya yang bagus ini sangat membantu optimalisasi
pembangunan desa. Dari sisi pendidikan, boleh dikatakan tingkat pendidikan paling rendah dari
masyarakat desa adalah tingkat sekolah menengah atas.
Pendidikan ini telah mampu
memberikan cara-cara berfikir kritis dan mengembangkan keterampilan sehingga sangat berguna
bagi pemberdayaan desa. Sikap kritis diperlukan untuk mengembangkan wisata kuliner.
Luas tanah dan ruang yang masih lapang di desa tersebut, tidak hanya dapat digunakan
untuk hal yang bersangkutan dengan kuliner saja, akan tetpi juga untuk berbagai kepentingan.
38
Pada bidang seni misalnya dapat dipakai pameran. Memberikan pameran instalasi, atau pameran
khusus tentang keramik dan berbagai jenisnya, juga dapat dilakukan di pedesaan. Pameran yang
memerlukan ruangan besar tidak dapat dilakukan di kota, kecuali menyewa lahan yang sewanya
mahal. Maka desa merupakan solusi untuk lahan ini mengingat sewa yang dilakukan tidak
terlalu mahal. Para seniman maupun budayawan, mestinya mampu memanfaatkan hal ini secara
lebih baik. Di Kecamatan Kerambitan misalnya, dengan infrastruktur jalan yang sudah bagus,
tidak memerlukan waktu banyak untuk datang ke kecamatan ini mengajak
turis untuk
mengunjungi kawasan pameran. Hanya diperlukan waktu sekitar satu jam untuk mengangkut
puluhan turis dengan kendaraan bus. Disamping itu, wilayah ini telah biasa dilalui melalui turis
yang ingin mengunjungi Bali secara cross country.
Kuntungan lain yang secara ekonomi dapat ditawarkan oleh desa adalah keaslian
produksinya. Di negara yang berbasis pertanian atau daerah yang berbasis pertanian dan
perkebunan, desa menduduki tempat yang vital karena di tempat inilah pertanian dan
perkebungan itu tumbuh dan berkembang. Demikian juga halnya dengan desa yang ada di
daerah pegunungan. Dari sinilah hasil kebun dan pertanian itu berasal. Dengan demikian,
keaslian produk pertanian dan perkebunan tersebut dapat dijamin.
Hal ini
dapat menjadi
keunggulan desa sekaligus mampu melakukan pemberdayaan kepada segala sumber daya yang
dimiliki tersebut. Sebab, di jaman modern sekarang, segala produk ekonomi yang dijual di pasar
kota, keasliannya sudah sangat dipertanyakan. Merebaknya produk kemasan yang bercampur
dengan pengawet buatan, sekarang banyak mendapat sorotan masyarakat. Demikian juga
produk-produk makanan dan ikan yang disimpan di tempat pengawet, termasuk juga dengan
sayur yang sudah dinyatakan tidak segar lagi.
Bahkan
soal keaslian ini tidak saja dapat diperlihatkan oleh sektor pertanian dan
perkebunan, akan tetapi juga oleh sektor peternakan dan kehewanan. Produk daging yang dijual
di pasaran di kota atau yang dijual sekarang, lebih banyak memakai produk yang sudah diolah
dengan sarana modern. Misalnya daging ayam merupakan produk modern karena makanan yang
dipakai untuk membesarkan ayam, berasal dari industri. Dari kualitas daging, dinilai kurang
bagus dibanding dengan produk asli desa. Demikian juga dengan cara masyarakat membesarkan
babi, sapi dan lainnya. Maka, dalam konteks ini, desa dapat melakukan hal yang sebaliknya,
yaitu tetap mempertahankan nilai ketradisionalan mereka. Memelihara ayam tidak dengan
konsentrat tetapi membiarkan hidup liar di ladang sehingga kualitas daging dan telornya jauh
39
lebih unggul di bidang rasa dengan ayam-ayam ras. Demikian juga beternak sapi sesuai dengan
apa yang dilakukan masyarakat di masa lalu, yakni memelihara sapi dengan pakan alami.
Desa, dapat memanfaatkan masalah orang kota ini dengan memproduksi barang-barangg
tersebut sesuai dengan keaslian dan kesegarannya. Dalam hal makanan ternak dan ayam, jelas
desa memberikan sumbangan besar karena kondisi alami desa dengan berbagai tumbuhan yang
ada. Tentu, desa yang ada di pantai, akan dapat menyumbangkan keasliannya dengan
menawarkan hasil ikan laut yang masih segar untuk dijual kepada masyarakat. Segala yang
menyangkut keaslian, seperti buah-buahan yang segar dapat langsung di petik dari
desa,
terutama desa yang jauh dari perkotaan dan daerah pegunungan. Di wilayah Kintamani misalnya,
dengan kondisi wilayah yang luas serta hawanya yang sejuk, cara untuk menikmati minuman
kopi, langsung disuguhkan dengan cara menyeduh di tempat, sambil melihat-lihat kebun kopi
yang ada di tempat tersebut.
IV. 2. 8 Nilai dan Suasana Tradisional
Dalam hubungan dengan perkembangan pariwisata di Bali, desa sesungguhnya masih
mampu memberikan sumbangan yang lain dengan memberdayakan potensi dan sumber daya
yang dimiliki. Tentu hal ini dapat dilakukan dengan adanya lalu lintas dan sarana lalu-lintas yang
baik menuju ke pedesaan. Sebagai sebuah komunitas yang berbasis pertanian, masyarakat Bali
masih menyimpan budaya, barang, sampai dengan ritual yang mentradisi. Kehidupan pertanian
di Bali, boleh dikatakan belum sepenuhnya beranjak ke arah modern. Masyarakat yang memakai
traktor untuk mengolah sawahnya, baru diperkenalkan pada dekade tujuhpuluhan. Akan tetapi
perkenalan tersebut masih belum tuntas sampai ke desa di pelosok. Masih ada masyarakat yang
menggunakan alat bajak, sawah, maupun menggunakan sapi untuk mengolah tanah. Demikian
juga, perkenalan dengan mesin penggiling padi. Meskipun diperkenalkan pada dekade
tujuhpuluhan, tetapi tetap ada anggota masyarakat yang masih menggunakan lesung, alu dan niru
untuk memisahkan kulit padi dan membersihkan beras. Sebagai sebuah atraksi, ini sangat
menarik bagi wisatawan. Mengolah tanah sawah dengan kerbau atau sapi, membersihkan beras
dengan alu, merupakan atraksi menarik. Namun, haruslah kemudian hal ini dikemas dalam
bentuk profesional. Mereka-mereka itu harus mendapatkan bayaran sampingan sebagai sebuah
atraksi karena ditonton, bahkan difoto dan direkam oleh turis. Karena itu, haruslah dikenakan
40
biaya untuk hal ini dari turis dan bayarannya itu diberikan kepada petani yang menjadi pelaku
langsung dari atraksi tersebut.
Kalaupun misalnya pengerjaan tersebut tidak dilakukan dengan cara tradisional, paling
tidak alat-alat untuk melakukan itu masih ada. Dan untuk itu, setiap desa tidak ada salahnya
membuka museum tradisi untuk memamerkan barang-barang yang dipakai untuk mengolah
sawah maupun untuk mengolah padi menjadi beras. Barang-barang tersebut terbuat dari barangbarang pilihan pada masanya sehingga masih bertahan sampai sekarang. Pembuatan museum ini
sangat menarik untuk ditindaklanjuti karena desa mempunyai lahan yang luas untuk itu.
Cara memasak masyarakat Bali juga unik, demikian juga dengan alat memasak dan
tungku dapur yang digunakan. Setelah gas masuk sampai ke kampung-kampung, ada perubahan
sosial cukup pesat di masyarakat kampung dalam hal memasak, yaitu menggunakan kompor gas.
Sebelumnya, masyarakat juga banyak yang memakai kompor minyak tanah. Akan tetapi,
belakangan muncul kesadaran bahwa hasil masakan tradisional yang menggunakan kayu bakar
mempunyai cita rasa yang jauh lebih enak. Pada keluarga-keluarga tertentu juga,
masih
menggunakan cara memasak tradisional dan menyajikannya dengan cara tradisional. Karena itu,
proses memasak yang ada pada masyarakat Bali ini, merupakan sebuah atraksi pengetahuan juga
bagi turis terutama yang sudah terlalu tersentuh dengan pola kehidupan masyarakat modern.
Mereka tentu akan mampu meningkatkan pengtahuannya terhadap masyarakat Bali dengan
melihat lesung, alu, nampan, sabit dan sebagainya sebagai alat-alat tradisionil sebagai penopang
kehidupan sosial.
Nilai tradisional yang paling sering dijual sebagai atraksi kepada turis, adalah atraksi
budaya yang dikaitkan dengan religiusitas. Masyarakat sembahyang di Pura, atau menghaturkan
sesaji di sawah, telah menjadi hal biasa untuk pariwisata di Bali. Namun kesadaran untuk
memungut biaya atas atraksi tersebut masih belum dilakukan. Masih terjadi pertetangan bagi
masyarakat, apakah seharusnya memungut biaya untuk upacara adat dan agama karena dinilai
sebagai merendahkan martabat ritual. Atraksi tersebut sudah menjadi turun temurun di Bali.
Bahwa sekarang ada turis yang menonton, itu merupakan konsekuensi dari konsepsi pariwisata
budaya yang dikembangkan di Bali. Akan tetapi, pada pihak lain, ada masyarakat yang
berpandangan bahwa turis yang melihat atraksi tersebut mendapatkan hiburan dan pengetahuan
sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup dan kualitas pengetahuan mereka. Peningkatan ini
haruslah dilakukan dengan
transformasi untuk menghargai peningkatan pengetahuan dan
41
kualitas hidup yang didapatkan. Uang adalah bentuk dari transformasi itu, seperti juga ketika kita
membeli makanan yang membuat kualitas hidup kita lebih baik, atau masuk ke sekolah yang
membayar jasa guru-guru yang mentransfer ilmu kepada murid-murid.
Dalam hal tradisionalitas dan keleluasaan ruangan ini, desa yang ada di kota tidak akan
mampu menyaingi desa yang ada di luar kota, apalagi yang di pedalaman dan pegunungan. Di
Bali, desa tidak hanya ada di pedalaman atau pegunungan tetapi juga di kota. Desa Pakraman
yang merupakan desa tradisional di Bali, ada juga di perkotaan. Sistem sosial di Bali, memang
tidak memandang adanya istilah kota, tetapi desa, yang kemudian terbagi-bagi menjadi banjar,
baik banjar pakraman maupun banjar dinas atau adminsitratif. Karena itulah di kota-kota yang
ada di Bali, dikenal juga keberadaan desa. Malah pola kehidupan sosial yang ada pada desa di
perkotaan sangat mirip dengan apa yang ada dipedesaan di pedalaman atau di luar kota.
Keterikatan kepada hinduisme dan desa pakraman tersebut, memungkinkan adanya kemiripan
pola-pola kehidupan
sosial dan sistem sosial tersebut. Hanya saja dalam hal
keleluasaan
ruangan, desa di kota tidak mampu menandingi desa yang ada di luar perkotaan. Ruang yang ada
di kota jauh lebih sesak karena adanya urbanisasi dan bangunan-bangunan untuk aktivitas
pendidikan, kebudayaan, pemerintahan serta perekonomian. Akan tetapi, keunggulan yang
dimiliki desa di perkotaan ada pada sektor sumber daya manusianya, yang jauh lebih terdidik dan
jauh lebih berpengalaman dengan hal-hal yang bersifat praktis. Dalam hal kepariwisataan dan
bisnis serta perekonomian, masyarakat di perkotaan jauh lebih berpengalaman.
Karena itu, ketimpangan ini sesungguhnya dapat dipakai sebagai saling-silang kebutuhan
antara masyarakat desa di luar perkotaan atau di pedalaman dengan masyarakat kota. Mereka
harus mampu saling bertukar pengalaman dan informasi termasuk keterampilan dan mampu
memberikan ruang kepada masyarakat desa kota untuk mengelola segala sumber daya yang ada
di pedesaan. Paling tidak masyarakat
desa kota bersedia mentransfer pengetahuan dan
keterampilannya kepada masyarakat pedesaan yang letaknya jauh di luar kota.
Tetapi dalam hal mengolah nilai-nilai tradisionalis untuk kepentingan pariwisata, dan
dengan demikian mampu mengembangkan sumber daya yang ada, masyarakat desa di kota
masih mampu melakukannya. Karena masyarakat Bali berbasis pada kehinduan, tradisi tersebut
masih dapat dipakai untuk disajikan sebagai atraksi pariwisata. Dilihat dari hal itu, maka
ketradisionalan tidak hanya dapat dilihat dari perilaku masyarakat beserta dengan berbagai
artefak yang dimilikinya, tetapi juga produk-produk yang sifatnya tradisional. Kuliner tradisional
42
misalnya, apabila dibandingkan dengan kuliner nasional atau internasional, tidak kalah
kualitasnya. Di desa, banyak kuliner tradisional yang dapat diolah mulai dari metode kulinernya
sampai dengan hasil masakannya untuk memberikan penghasilan kepada desa. Sebagai sebuah
hasil dari kreatifitas masyarakat, proses ini dapat dipertotonkan kepada turis. Atau apabila dilihat
dari nilai rasanya, dapat dijual tidak hanya di hotel tetapi juga untuk masyarakat desa sendiri.
Cara pengolahannya yang harus diperbaiki agar menjadi lebih bersih.
IV. 2. 9 Suasana Pedesaan
Banyak yang kurang memperhatikan bahwa suasana desa, sesungguhnya dapat dipakai
sebagai sebuah alternatif menikmati kehidupan di Bali. Apabila dilihat suasana kota Denpasar,
Badung dan Gianyar (terutama di Ubud) sudah demikian padat lalu lintasnya, perumahan yang
sudah sesak, dengan sawah yang sudah hampir tidak ada sisa, maka kondisi ini hampir sama
dengan apa yang ada di Jakarta. Persaingan hidup, terutama bagi mereka yang bekerja di
perhotelan, nampaknya sudah mulai sumpek. Bekerja mulai dari pukul 08.00 pagi sampai dengan
pukul 17.00 sore atau kalipatannya di sore dan malam hari, membuat pemikiran tidak selalu bisa
segar. Karena itu diperlukan suasana yang segar agar kosentrasi kerja dapat berlangsung dengan
baik dan kompetitif. Pantai mungkin sudah ditawarkan oleh daerah-daerah Badung dan Gianyar
bagian selatan. Akan tetapi, tetap diperlukan suasana alternatif untuk melepaskan ketegangan
tersebut.
Suasana inilah yang mesti ditawarkan oleh desa. Dalam keadaan demikian, desa-desa
yang paling menguntungkan itu adalah yang berlokasi di pegunungan atau yang mempunyai
kedudukan tinggi diatas 500 meter diatas permukaan laut. Seharusnya, suasana pedesaan ini
tidak mesti dimanfaatkan oleh desa di pegunungan saja tetapi juga dapat di desa yang ada di
dataran rendah, asal mampu memelihara suasana desanya. Jadi, desa yang rimbun dengan
suasana asli dapat dipakai sebagai daya tarik untuk menarik masyarakat perkotaan untuk tinggal
di desa. Mungkin ini dipakai sebagai wisatawan domestik yang mencari suasana alternatif untuk
menyegarkan pikiran. Karena itu, penginapan temporer atau penyewaan tempat tinggal di desa,
menjadi salah satu cara untuk menambah penghasilan. Pada desa yang berada di pegunungan,
hal ini akan bertambah positif lagi karena mempunyai suasana yang sejuk. Dalam contoh yang
ada di Bali bagian tengah misalnya, suasana dari Desa Petang sampai dengan Kintamani,
mempunyai suasana sejuk sehingga iklim tersebut dapat diberdayakan untuk meningkatkan
43
kesejahteraan desa. Beberapa desa di Badung bagian utara, misalnya di Auman, telah
menyediakan fasilitas trekking yang dapat tembus sampai di Bedugul Tabanan. Membuka lahan
warung makan juga tidak terlalu sulit dilakukan.
Dari skala jarak, Bali ini sesungguhnya relatif tidak terlalu melelahkan untuk dijelajah.
Satu putaran penuh Bali, memerlukan sekitar 12 sampai 13 jam untuk mengitari, dengan kondisi
jalan yang bagus, memakai kendaraan roda empat maupun kendaraan roda 2. Sedangkan jarak
dari Denpasar menuju Kintamani, sebagai obyek desa pegunungan, hanya memerlukan waktu
sekitar dua jam, dengan kondisi
jalan yang bagus, beraspal hotmik. Dengan demikian,
menempuh perjalanan menuju desa-desa lain di Bali, relatif tidak terlalu sulit. Inilah tawaran
yang dapat dilakukan oleh desa, untuk meringankan beban kehidupan di kota. Masyarakat
Jakarta, setiap hari libur pasti akan menyerbu daerah puncak di Bandung, tidak lain tujuannya
adalah untuk menghilangkan rasa penat bekerja di tengah sesaknya Ibu Kota. Satu hal yang
sudah diperlihatkan oleh keunggulan desa saat ini adalah adanya wisatawan yang memakai mobil
savari,menembus desa-desa pedalaman yang ada di Bali. Seharusnya, ini dipungut biaya setiap
ada konvoi yang datang melewati desa. Demikian juga dengan gras track yang dilakukan oleh
anak-anak muda memakai sepeda motor modifikasi (trill). Banyak lahan yang hancur akibat
dilalui oleh sepeda motor modifikasi ini.
Untuk melaksanakan pembangunan desa, sesungguhnya masyarakat di Bali tidak perlu
jauh-jauh mencari percontohan. Kabaupaten Bangli
di bawah kepemimpinan Bupati Made
Gianyar ternyata sudah menerapkan pembangunan dengan basis masyarakat pedesaan.
Pemerintah daerah ini, melalui pemikiran bupatinya
meyakini bahwa untuk membangun
kesejahteraan rakyat, maka bantuan pembangunan tersebut harus dilakukan dimulai dari
pedesaan. Pemikiran ini dapat dibenarkan karena mayoritas masyarakat di Bali itu hidup di
pedesaan, bahkan dengan basis pertanian. Di Bangli, yang tidak mempunyai akomodasi
pariwisata, seperti hotel-hotel yang ada di Denpasar dan Badung, mempunyai basis perkebunan
sebagai sektor utama kehidupan sosialnya, terutama perkebunan jeruk. Bangli juga tidak
mempunyai destinasi pariwisata yang banyak, kecuali Penelokan di Kintamani. Karena itulah
cara untuk mensejahterakan rakyatnya hanya dengan memberikan basis pembangunan pada
pedesaan.
Cara yang ditempuh adalah dengan memberikan dana pembangunan desa yang disebut
dengan alokasi dana desa (ADB). Desa diberikan dana yang berasal dari anggaran pendapatan
44
belanda daerah, yang kemudian dibagikan ke desa. Aparat desa lah yang kemudian memikirkan
apa yang harus dibangun demi memberdayakan masyarakat tersebut, termasuk juga untuk
mengatifkan berbagai sektor yang ada. Paling tidak hal ini sudah dilakukan selama empat tahun.
Apabila hal ini dibandingkan dengan tujuan dari Undang-Undang No. 6 Tahun 2014,
sesungguhnya mempunyai makna yang sama, yaitu memperkuat sektor pembangunan di desa,
dengan pembiayaan yang diberikan oleh pusat dan daerah, dimana dalam hal ini yang
dimaksudkan daerah itu adalah daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Di Bali, dengan demikian,
boleh dikatakan Bangli dipandang sebagai proyek percontohan
untuk menjalankan
operasionalisasi dana tersebut. Persoalan-persoalan yang muncul dari titik ini terletak pada
kemampuan dari aparat desa untuk mengelola keuangan itu dan membuat proposal. Dalam
konteks perkembangan kabupaten di Bali, pendapatan daerah Bangli boleh dikatakan tidak
terlalu besar apabila dibandingkan dengan Badung, Denpasar, Tabanan atau Gianyar. Akan
tetapi, kehidupan sosial masyarakat di desa ditopang oleh perkebunan, terutama kebun jeruk.
Disamping itu juga, banyak anggota masyarakat yang bekerja sebagai buruh, termasuk sopir
angkutan pasir yang dibawa ke proyek pembangunan di Denpasar dan Badung. Jarak antara
kabupaten Bangli dengan Denpasar dan Badung relative dapat ditempuh satu jam dengan
kendaraan. Truk dapat menempuh antara satu jam sampai dengan dua jam. Waktu tempuh ini
boleh dikatakan relatif tidak terlalu lama apabila dihubungkan dengan kondisi fisik sopir truk
yang mengantar pasir.
Dengan adanya aktivitas warga penghasil jeruk serta aktivitas buruh dan sopir dengan
penghasilan sampai 400 ribu per hari, cara memberikan dana langsung ke desa oleh bupati,
mungkin dapat membantu lebih menghidupkan pembangunan di desa, meningkatkan
kesejahteraan sosial serta kepentingan keluarga lainnya. Dilihat ke lapangan, di daerah
Kintamani, masyarakat mempunyai bentuk rumah yang mentereng. Boleh dikatakan tidak ada
lagi
masyarakat miskin di wilayah Kintamani sisi selatan ini. Namun apabila dilihat dari
Kintamai
di lereng
kaldera Gunung Batur, seperti di darah Sebaya atau Kubusalya,
masyarakatnya masih miskin dengan sarana jalan yang sanagat tidak mendukung.
45
IV. 3 Desa Pakraman
Desa pakraman adalah komunitas masyarakat Hindu di Bali yang menempati wilayah
tertentu, dipayungi oleh tempat persembahyangan yang disebut dengan Khayangan Tiga. Pada
Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2003, yang merupakan revisi dari Peraturan Daerah No. 3 Tahun
2001, dijelaskan bahwa desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali
yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu
secara turun-temurun dalam ikatan khayangan tiga atau khayangan desa yang mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri
(pasal 1 angka 4).
Ada beberapa frase kunci yang dapat menjelaskan desa pakraman ini. Yang pertama
adalah “masyarakat hukum adat di Propinsi Bali”. Artinya bahwa desa pakraman ini, dalam
konteks keberadaannya pada kasanah wilayah Indonesia, hanya ada di Propinsi Bali, yang
bersumber pada kebiasaan-kebiasaan yang dilaksanakannya sehari-hari (adat). Desa yang ada di
luar propinsi Bali, tidaklah disebutkan dengan sebutan “desa pakraman”, meskipun desa tersebut
dilandaskan pembentukannya pada kebiasaan yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat.
Kedua, “mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat
umat Hindu secara turun-temurun.” Paling tidak frase ini menekankan kepada identitas religius
yang melandasi desa pakraman itu, yaitu agama Hindu, yang mana identitas ini diikuti oleh
kebiasaan-kebiasaan yangtelah dilakukan turun temurun. Masyarakat yang keberadaannya di
luar agama Hindu, tidaklah termasuk dalam kesatuan masyarakat hukum yang disebut dengan
desa pakraman tersebut. Dalam konteks sosiologis dapat dikatakan bahwa kebiasaan yang turuntemurun itu telah tercermin di dalam pergaulan, kontak sosial, termasuk norma-norma setempat
yang muncul sebagai akibat pergaulan tersebut. Apabila di Bali terdapat kebiasaan yang berbedabeda, tetapi sepanjang hal itu merupakan roh dari agama Hindu Bali, maka hal itupun juga
merupakan bagian dari desa pakraman. Fakta inilah yang kemudian membuat masing-masing
desa pakraman itu mempunyai alur praktik sosial, budaya dan religius yang berbeda-beda di
Bali. Awaig-awig yang ada di satu desa pakraman, tidak dapat disamakan dengan awaig-awig di
desa pakraman yang lain. Hanya, pengikat dari konteks ini adalah kehinduan atau praktik ritual
agama Hindu di Bali.
Ketiga, “dalam ikatan Khayangan Tiga atau Khayangan Desa”. Frase ini menegaskan
bahwa Khayangan Tiga merupakan hal kemutlakan di dalam desa pakraman tersebut. Artinya
46
setiap desa pakraman harus mempunyai khayangan tiga atau khayangan desa tersebut. Di Bali,
yang disebut dengan khayangan tiga adalah tiga rangkaian kesatuan pura yang merupakan
simbolisasi kekuatan Tuhan, dimana masing-masing tempat sembahyang tersebut merupakan
manifestasi dari kekuatan Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa. Pada Khayangan Tiga,
Pura Desa
merupakan manifestasi dari Dewa Brahma, Pura Puseh merupakan manifestasi dari Dewa Wisnu
dan Pura Dalem merupakan manifestasi dari Dewa Siwa. Ketiga tempat sembahyang ini mutlak
dimiliki oleh komunitas yang disebut dengan Desa Pakraman, bagaimanapun wujud fisik dari
pura tersebut dan bagaimanapun lokasinya jaraknya. Desa yang tidak mempunyai tiga pura
tersebut, tidak dapat dikatakan sebagai desa pakraman. Sebaliknya apabila satu komunitas sosial
mempunyai tiga tempat persembahyangan tersebut, dia layak mendapat sebutan sebagai Desa
Pakaraman.
Keempat,
mempunyai wilayah tertentu. Dapat dikatakan bahwa masyarakat yang
tergabung dalam Desa pakraman ini harus mempunyai wilayah tertentu. Pada peraturan daerah
ini tidak disebutkan secara pasti seberapa jauh wilayah yang ditempati oleh masyarakat yang
tergabung di dalam desa pakraman tersebut. Juga tidak disebutkan berapa jumlah penduduknya
dan bagaimana perbatasannya. Yang paling utama adalah keterikatan mereka dengan tempat
persembahyangan bersama yang disebut dengan khayangan tiga tersebut. Dengan demikian, bisa
saja keanggotaan desa pakraman itu berasal dari tiga banjar dinas, atau bahkan satu banjar dinas,
bahkan satu banjar dinas dapat terdiri dari dua desa pakraman dengan komposisi tempat tinggal
penduduknya selang- seling atau berdampingan dengan penduduk rumah tangga yang menjadi
anggota desa pakraman lain. Tidak ada kewajiban desa pakraman tersebut mempunyai kuburan.
Karena itu dimungkinkan desa pakraman itu berdiri dengan tanpa kuburan asal masyarakat
tersebut mempunyai tiga tempat sembahnya tersebut, yaitu Khayangan Tiga. Di jaman sekarang,
tahun 2015 ini, dengan adanya jasa penitipan jenazah di rumah sakit, jasa untuk mengkremasi
jenazah, sangat mungkin desa pakraman ini berdiri hanya dengan mengikatkan diri pada pura
khayangan tiga, tanpa mempunyai kuburan.
Kelima, “mempunyai harta kekayaan sendiri”. Frase ini mencirikan tentang kesejarahan
dari desa pakraman itu di Bali. Desa pakraman ini merupakan komunitas gotong-royong, saling
tolong menolong, yang amat mungkin di masa lalu terkosentrasi pada pelaksanaan ritual
keagamaan. Seperti yang sudah diketahui dan dirasakan masyarakat, ritual Hindu Bali, apalagi di
masa lalu, ritual tersebut cenderung kompleks. Kekompleksan ini membutuhkan waktu, tenaga
47
dan biaya yang besar untuk menyelenggarakannya. Untuk pelaksanaan kompleksitas tersebut,
maka secara ekonomi memerlukan biaya yang besar. Maka untuk menutupi pembiayaan ini,
secara sosial desa pakraman mempunyai kekayaan yang dapat dikelola secara bersama. Inilah
barangkali yang menjadi dasar pemikiran munculnya harta benda yang dimiliki desa pakraman.
Yang paling terkenal, kekayaan ini adalah tanah laba pura, yang dipertahankan sampai sekarang.
Angka 10 pada pasal 1 Peraturan daerah No. 3 Tahun 2003 menyebutkan bahwa tanah ayahan
desa pakraman adalah tanah milik desa pakraman yang berada baik di dalam maupun di luar desa
pakraman. Ini juga menjadi kekayaan yang dapat dikelola oleh desa parkaran secara mandiri.
Tentu sekarang kekayaan tersebut berkembang semakin meluas seperti Lembaga Perkreditan
Rakyat dan sebagainya. Pura Khayangan Tiga tentu juga menjadi hak milik dari desa pakraman.
Keenam “ berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Dari sini dapat dikatakan bahwa
komunitas ini mempunyai kewenangan otonomi. Konstitusi Indonesia melindungi hal ini karena
masing-masing kebiasaan yang berupa adat tersebut mempunyai perwujudan praktik yang
berbeda-beda. Demikiann juga halnya di Bali. Meskipun mempunyai landasan keagamaan yang
sama, akan tetapi penafsiran atas ritual yang telah menjadi kebiasaan itu berbeda-beda. Dalam
hal desa pakraman, kepentingan mengurus rumah tangga sendiri yang bersendi otonomi itu
penting, demi mencegah konflik penafsiran.
Banyak yang menyebutkan secara satir bahwa desa pakaraman itu mirip seperti negara di
dalam negara. Mungkin ini hanya ungkapan lelucon yang ditujukan kepada lembaga ini karena
mempunyai fungsi, kewenangan serta kelengkapan organisasi mirip dengan negara. Pasal 5
Peraturan daerah No 3 Tahun 2003 mengatur tentang tugas desa pakraman sebagai berikut:
a. Membuat awig-awig
b. Mengatur karma desa
c. Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa
d. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama di
bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan,
e. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya,
melestarikan dan mengembangkan kebudayaann nasional pada umumnya dan
kebudayaan daerah pada khususnya berdasarkan “paras paros, sagilik-saguluk
salunglung-sabayantaka” (musyawarah-mufakat).
Pasal 6 dari peraturan ini mengatur wewenang desa pakraman, yaitu:
48
a. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap
membina kerukunan dan toleransi antarkrama desa sesuai dengan awaig-awig dan adat
kebiasaan setempat.
b. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di
wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan tri hita karana,
c. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.
Organisasi desa pakraman dalam menjalankan aktivitasnya mempunyai alat kelengkapan
yang disebut dengan prajuru. Dimana prajuru ini ditetapkan oleh masyarakat yang menjadi
anggota desa pakraman tersebut berdasarkan awig-awig yang dimilikinya (Pasal 7, Perda No. 3
Tahun 2003). Sedangkan pada bidang keamanan, dilengkapai dengan apa yang disebut pecalang
(pasal 17, Perda No. 3 Tahun 2003). Ketertiban dan keamanan di masyarakat dilaksanakan oleh
pecalang.
Dengan adanya fungsi, kewenangan dan kelengkapan seperti itu, ditambah dengan
kekayaan berupa barang bergerak maupun tidak bergerak, material maupun immaterial, serta
barang-barang yang memiliki makna magis dan religius, desa pakraman tersebut mirip dengan
negara di dalam negara. Apalagi kemudian lembaga ini mempunyai otoritas sendiri untuk
mengelolanya.
Desa pakraman merupakan sebutan untuk sistem kemasyarakatan asli dari masyarakat
Hindu di Bali. Akan tetapi, perhatian yang lebih menekankan kepada aspek hukum tentang
lembaga desa adat ini justru baru dimulai pada tahun 1986, ketika pemerintah daerah Bali
membuat Peraturan daerah No 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat
sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi daerah Tingkat I Bali. Ini boleh
dikatakan sebagai upaya pertama secara normative dalam mengatur, menegaskan eksistensi desa
adat di Bali, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Dalam peraturan daerah ini kata “adat”
masih dipakai untuk menyebutkan pakraman seperti yang dirtulis sekarang. Adat, dengan
demikian mencerminkan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali, sesuai dengan
leluhurnya, dan menurun secara berkesinambungan. Munculnya aturan normatif ini,
dapat
dipandang sebagai munculnya kesadaran baru dari kalangan elit dan intelektual Bali terhadap
perlindungan komunitas adat ini, baik secara hukum maupun dalam menghadapi perubahan
sosial. Aturan secara hukum perlu dibuat demi memberikan status yang jelas kedudukan, fungsi
dan eksistensi dari lembaga ini, baik bagi masyarakat Bali maupun masyarakat di luar Bali. Bagi
49
masyarakat Bali hal ini akan menambah keyakinannya dalam negara Indonesia karena
kebiasaan-kebiasaan yang telah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dan turun-temurun telah
mempunyai payung hukum. Bagi kalangan di luar masyarakat Bali, akan mengetahui bagaimana
keberadaan desa tradisionil di Bali dan bagaimana posisinya di dalam hukum nasional. Akan
tetapi yang juga perlu dilihat adalah bahwa munculnya peraturan daerah ini amat mungkin
didorong oleh mulai terasakannya desakan-desakan kepada desa adat dari pengaruh-pengaruh
luar, terutama dari arus turisme yang demikian deras di Bali.
Peraturan daerah ini kemudian diubah menjadi Peraturan Daerah Propinsi Bali No 3
Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebagaimana kemudian yang telah direvisi melalui
Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2003. Dua hal penting yang mesti dicatat dalam
perkembangan ini, terutama dari tahun 1986 dengan tahun 2001 adalah adanya bab khusus
tentang Pemberdayaan Desa Pakraman, Majelis Desa Pakraman serta bab tentang Pecalang.
Ketiga ketentuan ini tidak ada dalam peraturan daerah sebelumnya. Munculnya bab tentang
Pemberdayaan Desa Pakraman mencerminkan telah mulai ada kesadaran bahwa desa pakraman
ini dapat dibuat mandiri, maju dan menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Bahkan dalam
ketentuan pasal 1 angka 19 sengaja dijelaskan tentang maksud dari kata pemberdayaan itu, yaitu
rangkaian upaya aktif agar kondisi dan keberadaan desa pakraman dapat lestari dan kokoh
sehingga berperan positif dalam pembangunan. Dengan kata lain, desa pakraman ini dapat ikut
terlibat dalam perubahan sosial, membangun dirinya sendiri sesuai dengan perkembangan jaman
dan tetap eksis. Tidak lain, ini disebabkan karena desa pakraman mempunyai sumber daya atau
kepemilikan seperti yang disebutkan pada bab V tentang Harta Kekayaan Desa Pakraman dan
bab VI tentang Pendapatan Desa Pakraman.
Bab tentang Majelis Desa Pakraman boleh dikatakan sebagai sebuah lembaga yang
bermanfaat untuk menyelesaikan segala perbedaan-perbedaan yang ada di berbagai desa
pakraman di Bali dan menyamakan persepsi diantara sekian banyaknya desa pakraman yang
mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda meskipun dilandasi oleh agama Hindu. Sedangkan
Bab tentang Pecalang, merupakan antisipasi dari adanya konflik yang mungkin muncul intra
anggota desa pakraman tentang kesalahan penafsiran dari makna awaig-awig di tengah
perkembangan jaman serta antisipasi konflik yang mungkin terjadi di antara desa pakraman.
Konflik berpotensi muncul sebagai akibat perubahan sosial yang demikian deras di Bali dengan
industri pariwisatanya.
50
IV. 3. 1 Hubungan antara Desa Dinas Dengan Desa Pakraman
Meskipun dua desa ini berada di dalam satu komunitas, dalam pelaksanaan praktik
sehari-hari kedua desa tersebut menjalankan fungsinya secara mandiri. Pada intinya, desa dinas
menjalankan fungsinya dalam rangka administratif kependudukan yang berhubungan dengan
kepemerintahan. Sedangkan desa pakraman, menjalankan fungsi yang berhubungan dengan adat
dan keagamaan seperti yang dilakukan oleh masyarakat Bali secara turun-temurun dan
berkelanjutan. Dari konteks tersebut, sesungguhnya tidak ada kaitan antara desa pakraman
dengan desa dinas karena masing-masing mempunyai peran tersendiri.
Namun demikian, kedua desa di Bali ini mempunyai hubungan yang unik yang kemudian
membentuk pola hubungan harmonis. Yang pertama adalah adanya satu banjar dinas yang
langsung menjadi satu desa pakraman. Ini merupakan hubungan menarik karena di lingkungan
banjar dinas itu juga berdiri Pura Khayangan Tiga sebagai tempat persembahyangan dari seluruh
masyarakat yang ada di banjar dinas itu. Dalam konteks sistem sosial tradisional di Bali, banjar
ini disebut dengan Desa Pakraman atau dulu disebut dengan desa adat karena mempunyai Pura
Khayangan Tiga tersendiri. Hubungan antara
desa pakraman dengan banjar dinas
boleh
dikatakan sejajar, tidak saling intervensi, dan saling bekerjasama. Dikatakan sejajar karena
masing-masing mempunyai legitimasi. Banjar dinas merupakan unsur paling rendah (dekat
dengan masyarakat) dalam sistem kepemerintahan Indonesia di Bali. Banjar inilah yang
mengurus administrasi kependudukan dalam kerangka hubungan penduduk dengan negara atau
pemerintah. Sedangkan desa pakraman merupakan desa tradisional di Bali sehingga dengan
keberadaan itu juga memiliki legitimasi sosial.
Fungsi dari desa pakraman lebih banyak
mengatur soal hubungan sosial tradisional di Bali yang menyangkut kebudayaan dan ritual atau
berhubungan dengan sistem sosial ketradisionalan Bali. Dengan komposisi legistimasi seperti
itulah kemudian kedua sistem ini dapat hidup berdampingan tanpa harus mencampuri urusan
masing-masing lembaga. Keduanya mempunyai fungsi dan tugas masing-masing, dengan pokok
melayani masyarakat, akan tetapi dengan wujud yang berbeda. Akibat positif dari keberadaan
dua lembaga ini sering terlihat. Di darah-daerah rawan di Bali, terutama di desa atau lingkungan
yang dekat dengan perkotaan, desa pakraman dengan banjar dinas dapat melakukan kerjasama
dalam memelihara ketertiban dan keamanan.
Satuan pecalang yang dimiliki oleh
Desa
Pakraman dapat bersinergi melaksanakan tugas untuk menertibkan desa yang dengan demikian,
juga menciptakan ketertiban di banjar dinas. Dalam praktiknya pecalang melaksanakan tugas
51
dengan melakukan sidak ke tempat-tempat yang dipandang rawan pelanggaran seperti koskosan atau melakukan patroli ke wilayah lingkungan desa untuk memantau keamanan. Dalam
rapat yang dilakukan oleh desa pakraman misalnya, pimpinan (kelihan) banjar dinas dapat
memakai kesempatan memberikan pengumuman kepada warga tentang kebijakan-kebijakan
yang dilakukan pemerintah. Kerjasama antara kedua lembaga ini justru dapat memberikan saling
keberuntungan bagi warga.
Aparatur yang menjalankan desa dinas ada juga yang menjadi aparatur di desa pakraman
sehingga membuat segala perkembangan yang ada di kedua lingkungan lembaga tersebut, dapat
diketahui dan disikapi oleh aparatur yang sama. Atau sebaliknya aparatur yang secara struktural
mempunyai kedudukan tinggi di desa pakraman, mempunyai struktur juga di banjar dinas. Ini
membuat sikap saling hormat menghormati diantara kedua desa tersebut. Mau tidak mau, untuk
memelihara ketertiban lingkungan, baik desa pakraman maupun desa dinas (keperbekelan),
harus saling memberikan penilaian, bertukar informasi tentang segala potensi negatif yang ada di
desa untuk didiskusikan demi menciptakan ketertiban bersama.
Realitas adanya banjar dinas yang menjadi desa pakraman sesungguhnya merupakan
komposisi yang ideal karena kedua lembaga itu berada di dalam satu wilayah, satu lingkungan
dan dengan demikian juga aparaturnya dapat saling melengkapi. Harmonisasi
dalam
menyelenggarakan pemerintahan relatif dapat dipelihara karena lingkungan perbatasan dari dua
lembaga komunal ini sama. Satu hal yang dapat menjadi pengganjal dari dua lembaga ini adalah
pada bidang keyakinan dari warganya. Karena desa pakraman merupakan lembaga yang menjadi
pengayom masyarakat Hindu (Bali), maka warga di banjar tersebut yang bukan pemeluk Hindu
bukan menjadi wadah dari desa pakraman. Perbedaan budaya karena kebanyakan masyarakat
non-Hindu berasal dari luar daerah Bali, dan juga perbedaan agama, akan menimbulkan
ketidakpahaman tentang pola ritual atau pelaksanaan agama yang digelar. Pada titik inilah
penting bagi banjar dinas dengan aparatnya menjadi penghubungan yang baik dan fungsional
untuk menjelaskan kebiasaan dan ritual dari masing-masing kepercayaan tersebut kepada
berbagai pihak agar dapat saling dimengerti. Norma-norma, kebiasaan dan budaya dari masingmasing pihak harus dijelaskan oleh aparatur banjar dinas agar mampu memunculkan saling
pengertian. Dengan dasar saling pengertian inilah kemudian akan mampu diciptakan harmonisasi
di lingkungan tersebut. Tentu saja juga sosialisasi yang dilakukan oleh aparatur banjar dinas itu
52
dilakukan secara bersama-sama oleh aparat (prajuru) desa pakraman. Cara ini akan menambah
kentalnya upaya harmonisasi tersebut.
Harus diakui bahwa
ada perbedaan antara desa dinas (administratif) dengan desa
pakraman. Pada umumnya desa dinas itu terdiri dari beberapa banjar dinas yang kemudian
bersatu atau disatukan menjadi satu desa dinas, yang sekarang di Bali disebutkan dengan nama
keperbekelan. Misalnya Perbekel Samsam di Kecamatan Kerambitan, Tabanan, terdiri dari enam
banjar dinas, yaitu Banjar Penyalin, Banjar Kutuh Kelod, Kutuh Kaja, Samsam I, Samsam II dan
Banjar Dinas Lumajang. Akan tetapi di Keperbekelan Samsam terdapat Lima Desa Pakraman,
yaitu Samsam, Lumajang, Penyalin, Kutuh Kelod dan Kutuh Kaja. Dari sisi penyebutan anggota
masyarakat juga mempunyai perbedaan karena pada desa dinas (perbekel), disebut sebagai warga
dan desa pakraman, disebut dengan krama.
Dalam hal pengelompokan krama, desa pakraman mempunyai tingkatan-tingkatan
tertentu, sesuai dengan asal usul atau kepemilikan yang dikelola. Pembagian sebutan krama
(warga) pada desa pakraman ini setidaknya dikenal pada tiga kelompok, yaitu krama pengarep,
krama pangle, dan sekarang ada juga yang disebut dengan krama tamiu. Mereka yang disebut
dengan krama pengarep adalah orang yang
terkena ayah-ayahan dan ikut bertanggung jawab
di dalam ritual yang dilakukan oleh desa. Di wilayah lain, misalnya di Karangasem, mereka yang
disebut dengan krama pengarep adalah pihak yang mendapatkan hak untuk mengolah tanah
milik desa pakraman (Stuart-Fox, 2010: 37). Sedangkan krama pangele adalah mereka yang
berasal dari desa pakraman bersangkutan, akan tetapi karena berdomisili di wilayah yang jauh,
dapat melakukan ganti terhadap kerja gotong royong yang dilakukan di desa pakraman tersebut.
Sedangkan krama tamiu merupakan warga lain yang berasal dari luar wilayah, berdomisili di
wilayah desa pakraman tersebut tetapi tidak bergabung dengan desa pakraman. Paling banyak
mereka yang disebut sebagai krama tamiu ini adalah mereka yang beragama di luar Hindu dan
berasal dari daerah lain. Dalam kasus di Bali, di awal millennium ke-21 ini cukup banyak
krama tamiu yang menduduki wilayah desa pakraman, terutama yang berdekatan dengan kota.
Dalam konteks demikian, desa administrative (keperbekelan), tidak mempunyai
pembedaan dalam penyebutan anggota masyarakat yang berdomisili di wilayahnya. Seluruh
warga yang menyatakan bertanggung jawab dan berdomisili di wilayah desa tersebut mempunyai
hak dan kewajiban yang sama, tidak mempunyai pembedaan sebutan. Semua warga wajib
membayar pajak apabila berada di wilayah keperbekelan itu dan juga berhak untuk mengelola
53
tanah miliknya atas dasar pajak yang diserahkan, dan sebaliknya juga berhak mendapatkan
kepengurusan administrasi seperti memiliki KTP, mengurus kartu keluarga dan sebagainya.
Hubungan kerjasama antara desa pakraman dengan desa dinas atau banjar dinas, justru
semakin kental akhir-akhir ini ketika krama tamiu semakin banyak yang datang di Bali. Krama
tamiu tersebut bertempat tinggal di banjar-banjar yang menjadi wilayah desa dinas sekaligus
juga menjadi wilayah desa atau banjar pakraman. Datangnya krama tamiu ini memberikan
penghasilan tambahan bagi krama desa dengan penyediakan rumah-rumah kontrakan atau
tempat kost.
Akibat dari itu, jumlah penduduk satu desa menjadi bertambah banyak dan
dipandang perlu untuk melakukan kontrol lapangan demi menjaga ketertiban lingkungan. Untuk
melakukan kontrol inilah kemudian desa dinas (keperbekelan), memerlukan peran dari desa
pakraman dengan memanfaatkan petugas keamanan dari desa pakraman, yang disebut dengan
pecalang. Petugas keamanan desa pakraman yang berfungsi menjaga keamanan.
Ada dua varian kerjasama yang dilakukan. Varian yang pertama adalah pimpinan desa
dinas meminta bantuan kepada pimpinan desa pakraman (disebut dengan kelihan) untuk
mengaktifkan pecalang di wilayahnya masing-masing. Dalam kerangka ini, desa pakraman akan
bertindak sendirian untuk memantau situasi lingkungan yang ada di desa pakraman
bersangkutan. Dalam praktik, pecalang biasanya berkeliling wilayah desa untuk memantau
situasi dan melakukan razia terhadap warga yang tidak jelas identitasnya. Sedangkan varian
kedua, akan ada gabungan tindakan baik yang dilakukan oleh desa pakraman maupun desa dinas
(administratif) untuk melakukan pemantauan lingkungan. Desa pakraman akan
turun ke
lapangan dengan dilengkapi pecalang beserta jajaran pimpinan dan kelengkapan organisasi,
sedangkan jajaran pimpinan desa dinas juga melakukan hal yang sama. Karena garis komando
dari desa dinas ada di dalam pemerintahan negara, maka dalam konteks kerjasama ini, petugas
kepolisianlah yang akan mendampingi desa dinas dalam melakukan pemeriksanaan. Karena
itulah akan terlihat kerjasama koordinatif antara desa pakaraman dan dinas, yang dalam praktik
secara teknis akan mempunyai beragam metode untuk mengaplikasikannya. Misalnya, setiap
desa pakraman yang ada di desa dinas tersebut mendapat dampingan beberapa petugas kepolisian
saat melakukan sidak lingkungan.
Dalam kasus yang lain, bentuk kerjasama dan koordinasi antara desa dinas dengan desa
atau banjar pakraman itu sangat tergantung dari kebiasaan yang ada di wilayah bersangkutan. Di
Desa Pakaraman Eka Cita di Penyalin, Kecamatan Kerambitan, Tabanan misalnya, ketika desa
54
pakraman mendapatkan bantuan keuangan dari pemerintah propinsi, dalam jumlah tertentu juga
disumbangkan kepada banjar dinas, yang penggunannya untuk perbaikan sarana di wilayah
banjar tersebut. Membangun jalan menuju sungai atau permandian umum, mempunyai dua cara
pandang karena dapat memperbaiki infrastrutur di desa pakraman sekaligus juga di desa dinas.
Bantuan juga diberikan untuk memperbaiki kantor dari banjar dinas, atau untuk memperbaiki
bale banjar yang dipakai sebagai kantor dari banjar dinas.
Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 18B menyebutkan pada angka 2). Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Ini menandakan bahwa kesatuan masyarakat adat tersebut, dengan berbagai kebiasannya
masih tetap mendapatkan pengakuan oleh negara di dalam negara Kesatuan Republik Indonesia.
Adat pada awalnya merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, yaitu “Adah” yang artinya
kebiasaan, yakni perilaku masyarakat yang selalu terjadi (Samosir, 2013: 8). Desa pakraman
yang sekarang berlaku di Bali, pada awalnya disebut dengan desa adat yang memang mengacu
kepada kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Kebiasaan ini lebih mengacu
kepada ritual agama yang telah dilakukan masyarakat Bali secara turun-temurun dan berabadabad. Akan tetapi setelah menemukan makna kata yang lebih sesuai dengan konteks Bali, maka
kata “adat” tersebut kemudian dihilangkan dan dipakailah kata pakraman sebagai pelengkap kata
“desa” untuk menyebutkan praktik kebiasaan masyarakat Bali, sesuai ritual Hindu yang
dilakukan dan berlangsung di desa, dan menjadi desa pakraman untuk mengganti sebutan desa
adat.
IV. 3. 2 Kelemahan Desa Pakraman
Dalam perjalanan desa pakraman, sifat ketradisionalannya tidak dapat dilepaskan sama
sekali karena desa ini merupakan turunan dari desa Bali kuno yang mengadaptasi model-model
pemerintahan di masa lalu. Dengan adaptasi seperti itu maka legitimasi dari keberadaan desa
pakraman, tidak lain adalah tradisi tersebut. Apabila dilihat ke belakang, tradisi Bali sangat lekat
dengan pola-pola ritual agama Hindu sesuai dengan penafsiran dari masyarakat setempat,
ditambah dengan penafsiran dari pendeta atau orang-orang yang berpengaruh pada saat itu. Desa
pakraman mempunyai dua kekuatan yang tertuju kepada sifat tradisinya itu, yaitu hal ritual yang
55
berhubungan dengan agama
(Hindu) dan
para tokoh yang menjadi pembenar dari ritual
tersebut. Berhadapan dengan agama, masyarakat tidak mampu lagi menolak karena agama pada
masyarakat Indonesia, apalagi di Bali, agama merupakan keyakinan faktual dan ketundukan
yang mutlak. Kemudian ketika ritual agama tersebut dibenarkan oleh tokoh masyarakat, apalagi
raja dan para pendeta yang ada, maka ritual tersebut, tidak dapat dihindarkan lagi. Bagaimanapun
kompleksitasnya, pasti akan dijalankan. Desa pakraman merupakan sikretisme dari hal ini,
mekipun kini harus berhadapan dengan modernisasi di Bali. Dasar dari lembaga ini adalah
keterikatan warga dengan tempat persembahyangan masyarakat Hindu Bali yang percaya dengan
tiga sakti dari Tuhan, yaitu Brahma, Wisnu dan Syiwa yang kemudian diimplementasikan ke
dalam Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem.
Kelemahan lain dari desa pakraman adalah keberadaannya yang terpisah antara satu
dengan yang lain di Bali. Sejarah kemandirian lembaga ini ada di masing-masing desa. Kontak
yang terjadi jarang, kecuali pada desa pakraman yang berdekatan. Dan masing-masing desa
mempunyai wilayah yang luas sehingga harus mengadaptasi berbagai pendapat di wilayah yang
luas tersebut. Desa pakraman Bede di kabupaten Tabanan misalnya terdiri dari 39 banjar
pakraman yang membentang di dua Kecamatan, yaitu Kecamatan Tabanan dan Kerambitan.
Mencapai kata sepakat untuk satu model persembahyangan dan ritual memerlukan proses yang
cukup panjang disini.
Karena itulah kemudian munculnya lembaga yang mengayomi desa pakraman yang
berjenjang dari kecamatan sampai dengan propinsi, menjadi satu terobosan penting misalnya
untuk menghadapi kesenjangan dialog dan hubungan sosial antar desa pakraman tersebut di Bali.
Modernisasi memberikan dorongan yang sangat besar terhadap keberadaan desa pakraman ini.
Majelis desa pakraman yang berada pada tingkat kecamatan sampai di propinsi tersebut, akan
memberikan semacam informasi yang sangat berguna bagi perkembangan desa ini menghadapi
perubahan sosial. Kesamaan persepsi tentang perubahan sosial memberikan sumbangan penting
bagi keberadaan desa dan kemudian adanya persamaan-persmaan persepsi dengan bagaimana
pola ritual yang harus dilakukan oleh desa pakraman. Bentuk dari kemajuan itu sebagai akibat
adanya lembaga yang berjenjang ini adalah adanya kesepakatan untuk membuat awig-awig yang
secara umum mempunyai kesamaan. Pola ini paling tidak akan memberikan satu garis persepsi
yang sama terhadap pembuatan kelengkapan struktur maupun fungsi desa pakraman. Sekarang
misalnya kita lihat bahwa setiap desa pakraman telah memiliki pecalang, telah mempunyai LPD
56
atau apabila tidak mampu secara mandiri, dapat melakukan gabungan untuk membuat Lembaga
Perkreditan Desa secara bersama-sama.
Undang Undang No. 6 Tahun 2014 menyebutkan tentang berdirinya Badan Usaha Milik
Desa (BUMDesa) yang dapat dikelola oleh desa untuk mensejahterakan rakyat serta mengelola
aset-aset yang dimiliki oleh desa bersangkutan. Meskipun tidak sama dengan apa yang
dilaksnakan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, akan tetapi BUM
Desa ini merupakan ide untuk mengelola usaha aset yang dimiliki oleh desa.
Ketika kemudian pilihan dijatuhkan kepada desa pakraman sebagai desa “perwakilan”
dari Bali, maka seperti yang dikatakan oleh Dr. I Nyoman Subanda, bahwa dalam konteks
pengalaman keadministrasian, hal ini akan berdampak besar. Para pengurus desa pakraman tidak
mempunyai pengalaman dalam membuat administrasi seperti laporan keuangan tahunan dan
sebagainya yang harus dilakukan oleh aparat desa. Bukan tidak mungkin hal ini akan menjadi
pekerjaan berat. Disamping itu karena ada laporan tahunan kepada pemerintah, desa adat atau
desa pakraman akan tunduk oleh instruksi aturan-aturan pusat yang memungkinkan tergerusnya
aturan adat asli sendiri. Originalitas adat bisa tergerus. (Fajar Bali, 30 September 2014. Hal 111).
Harus juga dilihat, desa pakraman mempunyai nama sebutan desa adat di masa lalu.
Sebutan untuk pimpinan desa adat adalah kelihan adat. Kata kelihan ini berakar dari bahasa
daerah Bali, yang artinya “kelih”. Kata itu merujuk kepada orang yang lebih tua atau sudah tua.
Dalam pemahaman tradisional, seorang yang sudah tua dipandang mempunyai pengalaman yang
lebih banyak, baik di bidang sosial maupun kepemimpinan, termasuk juga pengetahuan. Karena
itu orang yang tua dipandang cocok untuk menjadi pemimpin. Apalagi dalam desa pakraman
atau desa adat di Bali, ritual upacara adat dan agama yang dilakukan, memerlukan “legitimasi”
dari orang-orang yang lebih tua. Ritual tersebut mempunyai perlengkapan, alat, tata krama yang
memerlukan
pengalaman dalam arti luas. Di tengah kemampuan mencatat dan menulis
masyarakat di masa lalu yang belum baik, maka hanya orang tua yang berpengalamanlah
dipandang layak memimpin desa adat.
Meskipun di jaman modern ini sebagian pimpinan desa pakraman dipimpin oleh mereka
yang masih muda, akan tetapi sebagian lain masih dipimpin oleh mereka yang
tua.
Konsekuensinya, masih banyak orang tua yang tidak mampu membaca dan menulis yang
memimpin desa pakraman. Apalagi apabila dikaitkan dengan kemampuan manajemen. Padahal,
57
sesuai dengan Undang-undang No 6 tahun 2014, desa akan mendapatkan dana milyaran rupiah
untuk dikelola demi kesejahteraan rakyat. Mengelola uang yang banyaknya milyaran rupiah ini,
memerlukan keterampilan manajemen dari seorang pimpinan. Apabila desa pakraman kelak
menjadi desa terpilih di beberapa kabupaten di Bali, tantangannya terletak pada konteks ini.
Bahkan desa pakraman yang dipimpin oleh anak muda pun berpotensi
tidak mempunyai
keterampilan manajemen. Pengelolaan keuangan yang jumlahnya sampai milyaran rupiah
tersebut, memerlukan keteramapilan
di luar manajemen, seperti misalnya mengoperasikan
perangkat lunak komputer dan sejenisnya.
Dalam sejarahnya, pemilihan kepada desa pakraman atau kepala adat, selalu menjadi
momok bagi generasi baru. Ini disebabkan oleh dipandang ribetnya upacara agama yang
menjadi tanggung jawab desa pakraman, disamping juga mengelola keragaman masyarakat
dengan berbagai perangainya. Pada konteks seperti ini, kepala desa pakraman terpilih karena
terpaksa atau karena dipaksa. Dalam pandangan manajemen, ini merupakan kelemahan karena
tidak akan mungkin dapat dihasilkan pimpinan dan pekerja yang handal apabila dimunculkan
dari kondisi yang memaksa. Mengelola desa dengan tujuan-tujuan seperti yang terlihat dalam
Undang-undang No 6 Tahun 2014, cukup sulit untuk
diwujudkan. Undang-undang ini
menginginkan tujuan idealis untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Salah satu caranya
adalah dengan memberikan bantuan keuangan, baik dari pusat maupun daerah. Bentuk
pertanggungjawaban
dari ini adalah membuat perencanaan sosial agar uang itu mampu
dimanfaatkan dengan baik, serta sudah menjadi kewajiban administrasi untuk membuat laporan
ke berbagai instansi yang memberikan bantuan keuangan. Pimpinan yang merasa terpaksa untuk
menjadi kepala desa pasti akan kesulitan mengelola ini. Yang paling dikhawatirkan dari hal-hal
seperti ini adalah adanya penyimpangan-penyimpangan keuangan.
Dalam hubungan dengan penyimpangan ini, adanya bantuan keuangan kepada desa dari
pusat maupun daerah, juga potensial berbahaya apabila dikaitkan dengan kepemimpinan. Isu
paling utama dari Undang-Undnag Desa ini adalah bahwa desa akan mendapat bantuan uang
sampai lebih dari 1 milyar setiap tahun. Banyak pihak kemudian yang tiba-tiba tertarik menjadi
kepala desa. Kecurigaan yang muncul adalah bahwa meningkatnya animo tersebut disebabkan
oleh adanya jumlah yang yang banyak tersebut. Keinginan yang
tiba-tiba ramai jika
dibandingkan dengan sepi sebelumnya, pantas dicurigai. Bukan tidak mungkin orang-otrang
58
seperti itu adalah mereka yang mempunyai sifat avonturir, yakni mencoba mengintip uang
tersebut demi keuntungan-keuntungan pribadi.
Maka, desa dan pemerintah pada umumnya, harus mempunyai aturan tersendiri untuk
memilih kepala desa. Masyarakat juga harus ditingkatkan pengetahuannya.
IV. 4 Kerjasama antar Sektor
Undang-Undang No 6 Tahun 2014 ini jelas mempunyai tujuan memperbaiki kualitas
desa yang ada sekarang, dengan desa yang dimaksud baik desa dinas, desa adat atau desa dengan
sebutan lain di Indonesia. Artinya memaksimalkan peran desa dalam keberadaannya di Indonesia
maupun memperbaiki kedudukannya dilihat dari sejarah
desa sebelumnya. Karena itulah,
disamping memperbaiki sistem pemerintahan desa, memperbaiki hubungan sosial dengan desadesa lainnya, pemerintah dari segala tingkatan memberikan bantuan kepada desa. Bantuan
tersebut
baik berupa penasihatan maupun banatuan pada bidang keuangan. Disamping
memberikan bantuan pada bidang keuangan, dalam kerangka memaksimalkan peran desa,
melalui undang-undang ini pemerintah memberikan kesempatan kepada desa untuk
memaksimlakan segala sumber daya yang ada dan dimiliki oleh desa.
Upaya memaksimalkan peranan desa dalam kerangka memajukan Indonesia tersebut
boleh dikatakan sebagai upaya dasar bagi pembangunan negara karena desa merupakan basis
dasar dari negara Indonesia. Dengan memajukan desa maka secara simultan Indonesia maju
secara nasional sebab kemajuan itu akan merata, tidak hanya sepihak pada daerah-daerah
perkotaan atau desa yang berdekatan dengan kota. Kemajuan itupun sangat kuat mempunyai
dasar dalam berkompetisi dengan dunia internasional (globalisasi) karena keberhasilan
pembangunan di desa itu didasarkan pada potensi-potensi dan aset yang dimiliki oleh desa
bersangkutan. Potensi itulah yang diunggulkan untuk menopang kesejahteraan rakyat, sehingga
apabila kemakmuran rakyat berbasis kepada kemampuan dasar desa itu, maka potensi akan
semakin ditingkatkan kualitasnya oleh masyarakat di desa bersangkutan sehingga sumber daya
itu semakin hari kualitasnya semakin meningkat, semakin berkembang dan semakin menemukan
pembaruan. Misalnya, sebuah desa yang dikelilingi oleh sungai, maka sungai itu tidak hanya
dapat dimanfaatkan airnya untuk menyiram tanaman, akan tetapi juga dapat dipakai mengairi
persawahan, kemudian memelihara berbagai jenis ikan, wisata air untuk anak-anak, sumber air
59
bersih, sampai pada akhirnya pembangkit tenaga listrik untuk mengairi desa. Apabila desa itu
cocok sebagai penghasil kayu jati karena tanahnya berkapur, masyarakat di sekitar desa itu tidak
saja memperluas perkebunan jatinya tetapi juga mengembangkan berbagai jenis varian tanaman
jati, mendirikan usaha ukir-ukiran sampai mebel dan menghidupakan upaya ekspor furniture.
Memaksimalkan peranan desa dalam pembangunan nasional dan memperkuat ketahanan
negara, dapat dilakukan melalui kerjasama dengan desa lain. Secara sosiologis, ini sangat
berguna. Cara melakukan kerjasama ini akan memunculkan interaksi dengan masyarakat lain,
baik dalam bentuk perorangan maupun kelompok. Bagi Indonesia cara kerjasama ini penting
karena dasar dari masyarakat Indonesia itu adalah gotong royong. Akan tetapi bukan sekedar
gotong royong itu yang menjadi maanfaat utama dari kerjasama ini. Budaya Indonesia dalam
khasanah sosiologisnya adalah kontak sosial. Di dalam kontak sosial ini akan ditemui berbagai
macam manfaat. Yang pertama tentang pertukaran informasi. Baik di kota, desa maupun
pegunungan, informasi itu sangat penting untuk saling memahami perkembangan sosial yang
ada. Di desa perkembangan sosial itu berguna untuk saling memberikan pengetahuan. Informasi
pada hakekatnya adalah pengetahuan yang sudah dikemas. Bagaimanapun bentuk dan wujud
pengetahuan itu, apabila disebarkan akan dapat berguna bagi masyarakat. Misalnya tentang
kepenyakitan. Berjangkitnya penyakit rabies di Bali perlu diinformasikan ke desa lain agar desa
yang lain bersiaga menghadapi wabah ini. Informasi tersebut tentu juga diikuti dengan cara-cara
pencegahan dan teknik pertolongan pertama. Demikian juga informasi tentang kejahatan serta
informasi lain.
Kedua, kerjasama ini akan memberi manfaat mengetahui karakter dan kebiasaan dari
desa lain. Pengetahuan tentang karkater desa lain dengan sendirinya juga akan mengetahui sifat
secara umum dari desa tetangga dengan melihat kebiasaan yang dilakukan. Hal ini akan mampu
mencegah munculnya konflik antar desa. Di desa-desa yang berdekatan, konflik sering muncul
disebabkan oleh ketidakpahaman dari kebiasaan dari desa tetangga. Kerjasama yang akan
dilakukan, bagaimanapun akan memberikan kesempatan untuk mengetahui karakter
desa
tersebut. Desa yang terbiasa menggelar ritual pertanian, pasti mempunyai mayoritas warga
petani. Demikian juga desa yang pemudanya mempunyai kegiatan olahraga sore hari,
menandakan kekompakan pada generasi muda.
Ketiga, memberikan kesempatan saling bertukar pengalaman dan pengetahuan. Masingmasing desa mempunyai potensi yang berbeda-beda dan masing-masing penduduk mempunyai
60
keterampilan yang juga berbeda-beda. Untuk memberikan manfaat yang lebih maksimal dari
potensi-potensi tersebut, maka kerjasama merupakan cara yang paling baik untuk
mengembangkannya. Desa yang mempunyai mayoritas penduduk sebagai petani, memerlukan
orang yang cakap untuk memasarkan hasil pertanian, atau memerlukan desa yang mempunyai
alat untuk mengolah gabah. Kerjasama
yang saling menguntungkan ini tentu saja juga
memberikan sumbangan penting bagi saling meningkatnya pemahaman antar individu.
Keempat,
bermanfaat untuk saling mengenal secara individual. Mengenal individu
masing-masing desa penting karena jalinan keakraban sesungguhnya berada pada tataran
individu. Kerjasama antar desa memberikan kesempatan untuk pengenalan individu ini.
Keakraman yang terjalin antar individu antar desa, mempunyai pengaruh besar kepada stabilitas
antar desa sebab hal ini dapat menurun pada generasi yang baru. Persahabatan yang dijalin oleh
orang tua, dapat menjalar menurun
kepada anak-anak dan dari anak-anak kepada cucu.
Demikian seterusnya.
Pada masyarakat Bali masa lalu, paling tidak dekade tujuhpuluhan dan sebelumnya,
contoh kerjasama positif dapat dilihat pada lomba laying-layang. Lomba ini memberikan
kesempatan adanya pertemuan komunitas penggemar layang-layang dari satu desa dengan desa
lainnya. Juga memberikan kesempatan memunculkan rasa solidaritas dan persaudaraan yang
tinggi. Desa yang menggelar lomba layang-layang akan mengundang desa sekitar untuk
berlomba, meminta bantuan kepanitiaan, bantuan makanan berupa kue sampai nasi dan
minuman. Cara-cara seperti ini juga akan dilakukan oleh desa-desa lain yang menggelar lomba
laying-layang di waktu lain, dan demikian terus bergiliran setiap tahun manakala sudah ada
masa untuk lomba laying-layang. Cara meminta bantuan dan pelibatan seperti ini, sangat ampuh
untuk membina persahabatan serta menekan konflik.
Dalam konteks demikian, Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang desa ini memberikan
peluang untuk melakukan kerjasama dengan desa lainnya dalam hal upaya meningkatkan
potensi desa. Pasal 83 dari undang-undang ini menyebutkan tentang kawasan perdesaan.
Kawasan yang dimaksud
merupakan perpaduan pembangunan antar desa dalam satu
kabupaten/kota. Basis dari pasal ini mempunyai tujuan agar pembangunan itu terpadu dan
disesuaikan dengan perencanaan-perencanaan yang telah dilakukan oleh pemerintah.
Perencanaan tersebut dibuat dengan memperhatikan potensi yang ada di masing-masing desa
yang dipandang mampu melaksanakan perpaduan tersebut, dengan titik pusat pada bidang
61
pertanian. Untuk melaksanakan pembangunan yang terpadu ini, tidak lain harus dilakukan
dengan melakukan kerjasama antar desa dengan memanfaatkan aset-aset yang ada. Penggunaan
aset tersebut dapat saja dilakukan secara silang, dalam arti antara aset yang dimiliki oleh satu
desa akan dapat dimaksimalkan pemberdayaannya melalui tenaga terampil dari desa yang lain.
Dalam penafsiran dari undang-undang tersebut serta Peraturan pemerintah No 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang No 6 tahun 2014, pemerintahlah, baik pusat
maupun daerah yang menentukan kawasan perdesaan itu, yang kemudian disosialisasikan. Desa
kemudian menyambutnya dengan membuat kajian dan kemudian usulan untuk menetapkan
kawasan perdesaan tersebut.
Dengan demikian, melalui kerjasama antar desa dapat dilakukan maksimalisasi manfaat
dari pembangunan desa ini. Dalam konteks pembangunan kawasan perdesaan, konsep awalnya
yang meliputi wilayah-wilayah yang ditetapkan itu, berasal dari pemerintah. Desa tetap
mempunyai peran untuk menginventarisasi aset dan potensi-potensi yang ada untuk
dikembangkan. Dalam kerangka inventarisasi inilah kemudian dimungkinkan lagi melakukan
kontak sosial dengan desa-desa lainnya untuk mencapai saling pengertian. Inventarisasi aset dan
potensi pengembangan ini perlu mendapatkan kerjasama untuk saling memudahkan. Pemerintah
akan mudah melakukan penilaian, dan ketika kerjasama antar kawasan perdesaan itu terjadi,
akan mudah melakukan tindakan baik untuk memngembangkan usaha maupun mencari solusi
masalah yang muncul.
Cara lain untuk memaksimalkan peranan desa untuk kesejahteraan rakyat itu adalah
dengan mengoptimalkan potensi dan sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh desa. UndangUndang No. 6 Tahun 2014 ini telah memberikan garis-garis besar upaya untuk memaksimalkan
potensi tersebut demi dapat mengejar kepentingan-kepentingan yang sifatnya ekonomis, dengan
tujuan utama demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara struktural, pemerintah telah
digariskan dalam undang-undang untuk memberikan bantuan kepada desa demi melakukan
pembangunan itu. Pemerintah yang dimaksudkan ini, tidak hanya pada pemerintah kabupaten
saja, akan tetapi juga pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Pasal 72 Undang-Undang itu
menyebutkan bahwa dana yang akan didapatkan oleh desa dari pemerintah dapat berupa alokasi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah
Kabupaten/Kota, alokasi dana desa yang merupakan
dana perimbangan yang diterima
62
kabupaten/kota, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan
belanja daerah Kabupaten/Kota.
Makna dari pernyataan dalam undang-undang ini adalah bahwa pemerintah tidak akan
membiarkan desa tersebut berjalan sendirian semata-mata hanya dengan mengolah asetnya
sendiri untuk mengembangkan diri, tetapi tetap memberikan dana rangsangan yang dapat
dipadukan dengan kekayaan serta kemampuan yang dimiliki oleh desa. Jika memang desa
mempunyai modal yang besar dan potensi besar pula untuk mengembangkannya, tentu hal ini
tidak masalah. Namun apabila dana yang besar tersebut kemudian dipadukan dengan bantuan
yang diberikan oleh pemerintah, akan menjadi sinergi positif untuk menjalankan fungsi desa
sebagai basis utama mensejahterakan masyarakat Indonesia. Keterlibatan pemerintah dalam
memberikan bantuan ini boleh dipandang sebagai hasil pemikiran yang menyadari bahwa tidak
seluruhnya desa-desa di Indonesia yang jumlahnya ribuan tersebut, mampu mengembangkan diri
secara mandiri. Bahkan sebagian besar desa-desa yang ada di Indonesia masih memerlukan dana
sebagai penopang melaksanakan pembangunan.
Hal ini juga merupakan kewajiban dari
pemerintah untuk menyebarkan hasil pendapat negara kepada masyarakat melalui bantuan
kepada desa.
Keterlibatan pemerintah dalam memberikan bantuan itu dapat juga dibaca bahwa
pembangunan di pedesaan itu harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan normatif yang ditentukan
pemerintah. Dalam arti, sesuai dengan norma-norma yang ada di dalam koridor negara
Indonesia. Setiap perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah pasti menekankan hal ini,
termasuk juga dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014. Koridor utama yang harus ditaati
adalah tidak bertentangan dengan Pancasila dan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Bantuan dari pemerintah tersebut juga dapat ditafsirkan sebagai adanya bentuk diksusi dua arah
antara pemerintah dengan desa dalam kerangka melakukan berbagai perencanaan-perencanaan
pembangunan di pedesaan. Ini misalnya terlihat jelas dalam hal pembentukan pembangunan
daerah perdesaan. Pembangunan ini
berbasis pada pertanian antar desa yang ada di
kabupaten/kota. Perencanaan pembangunan ini mesti dkoordinasikan dengan pemerintah daerah
kabupaten/kota.
Upaya memaksimalkan pembangunan desa untuk kepentingan ekonomi demi
kesejahteraan rakyat, tidak hanya dilakukan melalui bantuan dari pemerintah tersebut. Ia juga
dapat dilakukan dengan memanfaatkan aset-aset desa yang sudah dimiliki. Karena itu aset desa
63
harus diketahui dan digali keberadaannya.
Cara paling bagus untuk memaksimalkan
pembangunan desa dalam konteks ini adalah dengan memadukan dua hal tadi, yaitu antara
bantuan dari pemerintah dengan aset yang dimiliki oleh desa. Bagi yang tidak mempunyai aset
dan potensi atau bagi desa yang masih belum
menggali potensi desanya, bantuan dari
pemerintah itu masti dipandang sebagai rangsangan atau modal awal untuk menggerakkan
potensi dan aset yang ada, betapapun minimnya aset tersebut. Misalnya, bantuan itu dapat
digunakan sebagai upaya untuk membuat lokasi pengolahan air, yang mana akan dapat dipakai
untuk menjual air sumber kepada umum.
Oleh pemerintah, aset yang telah diakui oleh undang-undang sudah dinyatakan secara
jelas. Bahkan aset tersebut dapat diperluas lagi sepanjang itu dinyatakan sah. Aset itu
diantaranya adalah, seperti yang dinyatakan pada pasal 76, dapat berupa tanah kas desa, tanah
ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan
hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik desa, permaindian umum dan aset lainnya milik
desa. Juga dikatakan, bahwa aset pemerintah, termasuk pemerintah daerah, yang berskala desa
dapat dihibahkan kepemilikannya kepada desa. Kekayaan milik desa yang telah diambilalih oleh
pemerintah kabupaten/kota, dapat diambilalih lagi oleh desa sepanjang tidak dipakai untuk
kepentingan umum.
Untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, segala aset yang disebutkan diatas, dapat diolah
dan dipakai
untuk itu, dengan memadukan dana yang dimiliki desa dan bantuan pemerintah.
Sebutan yang diterakan pada undang-undang tentunya tidak dapat disamaratakan dengan
kepemilikan aset dari desa-desa yang ada di Indonesia. Karena itulah kemudian tetap ada
kemungkinan desa yang masih mempunyai kekayaan lain di luar yang ditentukan oleh undangundang. Aset ini dapat dimiliki apabila prosedurnya dilakukan dengan cara yang sah. Di Bali
misalnya, sangat jarang desa mempunyai tambatan perahu. Namun desa pakraman mempunyai
aset yang sering disebut dengan laba pura . Akhir-akhir ini desa pakraman juga mempunyai
pasar tradisional. Kecenderungan ini semakin banyak dilakukan oleh desa pakraman sebagai
akibat dari perubahan sosial yang ada. Bali pada
dasawarsa kedua abad ke-21 ini terasa
mengalami urbanisasi yang besar dengan datangnya warga dari luar pulau. Di desa-desa di
Bali juga banyak dijumpai sumber air pegunungan. Akan tetapi sumber air ini banyak yang
terbuang atau dimiliki oleh perorangan karena ada di tanah yang dimiliki oleh perorangan.
64
Aset yang dimiliki desa, seperti yang disebutkan pada undang-undang itulah yang
seharusnya dikelola, dikembangkan secara terus-menerus dengan memakai modal yang ada,
untuk mensejahterakan masyarakat yang ada di pedesaan. Ini yang menjadi tujuan dari
pemerintah untuk membentuk Undang-Undang No 6 tahun 2014. Pesan yang dikembangkan
dari perundangan ini dapat berupa menggugah masyarakat dan aparat desa tentang potensi yang
dimilikinya untuk dikembangkan secara mandiri, dengan perlindungan dan sokongan pemerintah
demi memperkuat ketahanan negara dan bangsa Indonesia. Sebagai wilayah organisasional yang
terletak pada struktur paling bawah, berhadapan langsung dengan rakyat, kesadaran kepemilikan
aset ini memang harus digugah. Sebelumnya tidak banyak desa yang sadar dengan berbagai
kekayaan yang dimiliki.
Yang selanjutnya adalah memaksimalkan sumber daya manusia. Intinya tentang potensipotensi yang dimiliki oleh sumber daya manusia itu guna mendukung maksimalisasi ekonomi
dan kerjasama dengan desa lain. Sumber daya manusia mempunyai karakter yang unik dan luar
biasa. Meskipun manusia tidak merasakan mempunyai keterampilan di dalam kehidupannya,
akan tetapi manakala ada seseorang yang menemukan keterampilan tersebut dan kemudian
mengasahnya, mereka akan menemukan kesenangan tersendiri untuk menekuni. Manusia juga
akan terbiasa dan menyesuaikan diri dengan keterampilan itu. Atau, keterampilan itu ditemukan
secara kebetulan dan merasa cocok, senang dan tidak terbebani dengan keterampilan tersebut.
Misalnya seseorang yang menemukan dirinya sebagai pedagang dan menemukan kenikmatan di
sana. Bukan tidak mungkin hal ini akan berlanjut terus dan semakin hari mengasahnya.
Demikian juga dengan keterampilan lain seperti menulis, melukis, membuat kue, memasak,
beternak dan sebagainya. Inilah keunikan dari manusia yang dapat mengerjakan apa saja,
menemukan apa saja di dalam perjalanan hidupnya dan kemudian menekuni profesi tersebut.
Dan apabila profesi dan kesenangan itu dikembangkan dengan kesediaan-kesediaan belajar,
maka hal ini akan menjadi luar biasa perkembangannya. Kepercayaan diri terhadap keterampilan
tersebut akan mampu membuat perkembangan luar biasa. Seseorang yang menemukan diri pada
keterampilan memperbaiki kendaraan (bengkel), akan dapat membuka cabang-cabang bengkel di
berbagai tempat dan akhirnya menyedot banyak lapangan pekerjaan.
Secara nasional, Indonesia sekarang dikatakan sebagai negara yang mempunyai bonus
demografi. Hal ini memberikan pemahaman bahwa diantara 250 juta penduduk Indonesia di
tahun 2015 ini, mayoritas dari penduduk itu mempunyai usia produktif, antara 17 sampai dengan
65
50 tahun. Keadaan demikian merupakan keuntungan bagi suatu negara untuk menggerakkan
segala potensi yang dimiliki negara itu, entah potensi alam seperti pertanian, pertambangan dan
sebagainya. Atau potensi ekonomi perdagangan baik yang berskala domestik, nasional, bahkan
internasional. Bonus demografi tersebut terasa juga di pedesaan. Di Bali misalnya, rapat-rapat
di pedesaan banyak yang dikendalikan oleh anak-anak muda usia di bawah 50 tahun yang
mendominasi pendapat dan usulan. Tenaga kerja di pedesaan juga banyak yang berumber dari
anak-anak muda, bahkan di bawah 40 tahun. Lalu-lintas penglaju di pedesaan yang bekerja di
kota Denpasar dan Badung, membuktikan bahwa hanya usia-usia produktiflah yang mampu
melakukan aktivitas tersebut karena memerlukan tenaga ekstra untuk menempuh jarak antara 50
sampai 60 kilometer. Banyak warga pedesaan di Bali
yang memilih cara menglaju untuk
bekerja pada rentang jarak antara 50 sampai 60 kilometer tersebut. Fenomena ini tidak hanya
terlihat pada siang hari tetapi juga malam hari, bahkan juga sampai dini hari.
Sekali lagi, hal itu membuktikan apabila memang bonus demografi ada di Indonesia,
termasuk juga pedesaan. Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa ini sesungguhnya
memberikan arahan memanfaatkan bonus demografi untuk memaksimalkan potensi sumber daya
manusia yang ada, memanfaatkan sumber daya yang ada di desa demi kemakmuran rakyat. Dari
sumber daya manusia itu sesungguhnya dapat digali berbagai macam potensi yang dapat
memanfaatkan aset dan sumber daya desa untuk kemakmuran rakyat. Undang-Undang ini,
termasuk peraturan pelaksanannya, sudah jelas tidak mencantumkan bagaimana aset sumber
daya manusia yang harus dimiliki oleh desa dalam rangka mengejar tujuan undang-undang
tersebut. Akan tetapi untuk mencapai kesejahteraan rakyat dengan strategi pemberdayaan, mau
tidak mau haruslah dilakukan oleh generasi aktif dan produktif.
Pasal 127 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa memuat tentang upaya
pemberdayaan masyarakat desa. Hal penting yang harus dilihat dalam upaya pemberdayaan ini
adalah bahwa upaya itu mendorong partisipasi masyarakat membuat perencanaan pembangunan
desa, mengembangkan program pembangunan agar berkelanjutan; menyusun perancanaan yang
berpihak kepada masyarakat miskin, tidak mampu, berkebutuhan khusus, dan sebagainya;
menyelenggarakan peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia masyarakat desa;
melakukan pendampingan dan seterusnya. Semua kondisi-kondisi tersebut hanya dapat
dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih aktif dan produktif. Potensi-potensi inilah yang
66
kemudian harus digali oleh masyarakat desa demi mendapatkan kecocokan dalam
pembangunannya.
IV. 4. 1 Pendampingan
Upaya untuk memajukan negara dengan berbasiskan pada desa, boleh dikatakan sebagai
upaya pelaksanaan yang baru, meski ide tersebut sudah lama. Keinginan untuk membentuk desa
sebagai daerah tingkat III misalnya, boleh dikatakan sebagai keinginan untuk membangun desa
sejak jaman Orde Lama. Akan tetapi karena persoalan politik dan administrasi kenegaraan yang
belum tuntas, hal ini tidak sempat terlaksana. Harus jujur diakui bahwa perpaduan antara
keinginan yang tertunda dengan basis petani yang menjadi mayoritas penduduk desa di Indonesia
itu, mempunyai dampak kemana-mana. Pada tingkat kebijakan politik, pemerintah Orde Baru
sesungguhnya sudah mempunyai kebijakan yang bagus dalam garis-garis besar haluan negara,
dengan menetapkan proses pembangunan yang disebut Pelita. Mulai dari Pelita I sampai dengan
Pelita IV, kebijakan ini telah menetapkan pertanian sebagai basis pembangunan Indonesia.
Secara langsung dan tidak langsung, sesungguhnya langkah politis ini telah
memperhatikan desa sebagai pusat pembangunan karena basis pertanian itu ada di desa dan
rakyat Indonesia kebanyakan ada di pedesaan. Karena itu, langkah politis ini sudah benar. Pada
tingkatan akademis, pada pertengahan pemerintahan Orde Baru, perguruan tinggi juga telah
mencetak banyak sarjana pertanian. Bahkan dekade delapanpuluhan, sarjana pertanian menjadi
salah satu favorit bagi anak-anak sekolah lanjutan atas untuk kuliah di perguruan tinggi.
Pemerintah juga mulai mengembangkan fakultas dan program studi yang relatif baru, yaitu
Teknologi Pertanian. Akan tetapi perkembangan ini kemudian seolah berbenturan dengan
kenyataan yang ada karena pada saat itu kegiatan perekonomian yang berbasis industri sudah
mulai kelihatan di Indonesia, termasuk juga dengan barang-barang impornya. Jika dipakai kasus
Malari sebagai salah satu tolok ukur, maka boleh dikatakan bahwa impor barang-barang dari luar
negeri (Jepang) sudah mulai kelihatan pada awal dekade tujuhpuluhan.
Inilah yang kemudian kiranya berdampak pada kosentrasi pembangunan pertanian, yang
juga pada akhirnya pada pembangunan di pedesaan. Sarjana-sarjana pertanian yang dihasilkan
oleh perguruan tinggi, bahkan perguruan tinggi ternama, tidak dapat bekerja secara maksimal
pada garis linear sesuai dengan jurusannya di kampus, tetapi malah terserap pada dunia kerja
yang berorientasi ekonomi, seperti perbankan, media massa atau sektor industri. Pemikiran67
pemikiran mereka lebih banyak terserap kepada sektor industri dan bisnis. Dan secara pelanpelan juga, kebijakan nasional negara pada waktu itu kelihatan pada orientasi impor dan
dirgantara. Sektor pertanian dan pedesaan menjadi kurang terperhatikan.
Dari situlah kemudian dampak ini berkembang kemana-mana sampai dengan saat ini.
Industri menjadi lahan paling menonjol dalam kehidupan masyarakat dan pertanian semakin
tertinggalkan. Di Bali, dua dekade pertama abad ke-21 ini sangat kelihatan pengaruhnya.
Disamping lahan pertanian, perkebunan dan persawahan terkikis oleh perumahan, generasi muda
juga sudah mulai meninggalkan desa, beralih dari sektor pertanian menuju sektor jasa atau
industri. Sangat terlihat ladang menjadi semak dan sawah-sawah menjadi kering, sementara
generasi petani yang lebih tua, tidak mampu lagi bekerja di sawah. Desa relatif kosong
aktivitasnya karena kebanyakan generasi muda lari ke kota. Di perguruan tinggi, Fakultas
Pertanian tidak lagi menjadi favorit dan berpindah menuju Fakultas Ekonomi, Hukum dan
bahkan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Inilah yang menjadi persoalan untuk menerapkan pelaksanaan dari Undang-undang No. 6
Tahun 2014. Karena itu, ketika ada usulan tentang adanya pendampingan terhadap pelaksanaan
ini, menjadi ide yang positif untuk pengembangan mayarakat desa.
dipertimbangkan adalah, bahwa pendampingan ini haruslah
Yang harus
memakai pertimbangan model-
model perencanaan sosial. Perencanaan sosial merupakan suatu pertimbangan yang dilakukan
untuk mencapai tujuan-tujuan dari masyarakat. Pertimbangan yang dimaksudkan itu adalah
pergulatan pikiran yang berasal dari berbagai pihak, ditujukan untuk membangun masyarakat,
baik dalam bentuk kelompok maupun desa, dengan tujuan-tujuan tertentu. Tujuan itu ditetapkan
oleh masyarakat dengan sasaran yang sudah disepakati, juga dengan batasan waktu yang telah
ditetapkan. Karena itu merupakan perencanaan sosial, maka sasarannya tersebut haruslah
menguntungkan setiap komponen masyarakat yang ada. Pelibatan untuk menetapkan
perencanaan itu adalah seluruh anggota masyarakat.
Salah satu tugas pendamping desa itu adalah mendampingi dalam mengelola dana desa.
Dalam pandangan Padjung (Kompas, 6 Juli 2015, hal 7),
tahun 2015 ini telah ada 13.000-an
fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM
Mandiri), yang
sesungguhnya merupakan pendamping desa, yang kini telah melakukan pendampingan kepada
67.108 desa. Tahun 2015 ini pemerintah akan menambah 26.000 pendamping desa. Dengan
jumlah yang mencapai puluhan ribu tersebut, diharapkan desa akan mampu mengaktifkan
68
kegiatannya. Namun, jika dilihat jumlah desa di Indonesia sekarang yang mencapai lebih dari
80.000, maka jumlah pendamping ini masih kurang. Paling pantas kalau pendamping tersebut
lebih dari satu orang dalam satu desa sehingga mampu mengeluarkan pendapat lebih banyak dan
berdikusi dengan cara yang lebih luas.
Pada masyarakat pedesaan, termasuk juga dengan kondisi yang ada sekarang, masih
banyak anggota masyarakat masih belum menguasai pengetahuan yang komprehensif, yang
mewakili untuk seluruh pencapaian tujuan tersebut. Perencanaan sosial, secara teoritis,
memerlukan banyak ahli untuk memberikan saran dan sumbangan pikiran untuk mengkaji
sasaran yang telah ditetapkan masyarakat tersebut. Pendampingan terhadap desa dalam kerangka
Undang-undang No. 6 Tahun 2014 ini haruslah melibatkan banyak ahli agar sasaran yang
ditetapkan desa bersangkutan bisa realistis dan tercapai dalam target waktu yang telah
ditetapkan.
Salah satu hal penting yang harus dijalankan oleh petugas pendamping desa ini adalah
kemampuannya untuk menyederhanakan pengertian berbagai peraturan tentang desa atau yang
mengenai desa agar masyarakat menjadi mengerti. Ada lebih dari satu peraturan yang mengenai
desa sehingga membuat masyarakat tidak memahami. Titik tolak kepentingan ini terdapat pada
upaya pemahaman sehingga masyarakat dapat terhindar dari berbagai penyalahgunaan
wewenang dan terutama dalam penyalahgunaan penggunaan keuangan desa. Besarnya dana
yang diberikan kepada desa (lebih dari 1 milyar), memungkinkan bagi munculnya berbagai
penyelewengan tersebut. Apabila dilihat dari pengalaman dan keterampilan aparat desa, apalagi
yang berasal dari desa tradisioni (seperti misalnya hukum adat), akan berpotensi menimbulkan
kesalahan administrasi keuangan sehingga dapat dipandang penyimpangan atau korupsi. Kajiankajian Komisi Pemberantasan Korupi (KPK) seperti yang diutarakan Padjung (2015), bahwa ada
14
persoalan pengelolaan dana desa yang berpotensi menjadi korupsi. Diantaranya adalah
berhubungan dengan pengawasan, pengaduan masyarakat, pertanggungjawaban, sumber daya
manusia, serta monitor dan evaluasi.
Pada tingkat
pendidikan, sesungguhnya pada pertengahan pemerintahan Orde Baru,
pembangunan di Indonesia telah diisi dengan upaya-upaya peningkatan pendidikan seperti yang
telah terlihat, misalnya adanya pembangunan sekolah dasar yang disebut dengan Inpres. Sekolah
dasar yang mendasarkan pada instruksi presiden ini mempunyaai keterkaitan dengan upaya
pemerintah untuk menuntaskan pendidikan masyarakat enam tahun. Maksudnya seluruh
69
masyarakat Indonesia paling tidak harus tamat sekolah dasar (yang kelak dilanjutkan menjadi
pendidikan sembilan dan 12 tahun). Akibat lanjutan dari kebijakan sekolah dasar Inpres ini
adalah munculnya sekolah-sekolahh dasar yang ada di pedesaan. Dengan demikian, juga ikut
membantu pembangunan desa serta memberantas buta huruf.
Sutoro Eko (Kompas, 2 Juli 2015, Pendampingan Desa, hal 7), menyatakan bahwa
dalam upaya pendampingan desa ini, masyarakat diharapkan pada konteks pro politik. Yang
dimaksudkan adalah bahwa pendampingan tersebut tidak dimaksudkan sebagai mesin politik
tetapi bahwa pendampingan tersebut harus mengandung jalan ideologis sesuai dengan Undangundang Desa, representasi politik, serta pemberdayaan dan edukasi politik. Dia selanjutnya
menyebutkan bahwa pendampingan tersebut mempunyai jalan ideologis yang memuliakan desa,
hendak mempromosikan desa sebagai masyarakat yang mempunyai pemerintahan yang maju
kuat, demokratis dan mandiri. Kedua disebutkan bahwa pendampingan tersebut mengandung
jalan repolitisi masyarakat. Artinya masyarakat mempunyai kesadaran sendiri dalam berpolitik,
kritis yang mengutamakan kedaulatan politik mereka. Eko menyebutkan, salah satu bentuk kritis
tersebut adalah rakyat secara berani menolak politik uang.
Ketiga, pendampingan tersebut tidak ditempuh dalam aras pembinaan tetapi
pemberdayaan. Dimaksudkan bahwa rakyat mampu memperkuat desanya secara ekonomi,
politik dan budaya. Pembinaan terlalu mengandung konotasi penerapan ekspansi atasan,
termasuk birokrasi pemerintah atasan kepada desa dan masyarakat. Yang keempat bahwa
pendampingan yang dilakukan tidak hanya menghasilkan alat dokumen semata tetapi harus
mempunyai sentuhan
filosofis.
Misalnya dalam setiap perencanaan yang dilakukan, ada
pembelajaran bagi masyarakat desa untuk membangun impian kolektif dan mandiri dalam
mengambil keputusan politik.
Dari empat hal yang dikemukakan diatas, harus diterjemahkan bahwa pendamping desa
harus mampu memberikan rasa percaya diri, kemampuan intelektual baik pada bidang politik,
budaya, ekonomi dan sosial untuk membangun desanya sesuai dengan karakter desa
bersangkutan. Dari sisi personil pendamping, ini tidak boleh dilakukan secara main-main karena
seorang pendamping, disamping mempunyai kemampuan yang luas, juga harus mempunyai
keterampilan mendorong aktivitas yang muncul di masyarakat. Ia adalah ahli yang mempuni
pada bidangnya sebagai pendamping. Tetapi juga harus mempunyai relasi sosial yang luas.
Relasi ini diperlukan untuk menjalin hubungan sekaligus menarik ahli lain memberikan dan
70
mentransfer pengetahuan dan keterampilannya kepada desa, agar masyarakat memiliki
kemampuan untuk memberdayakan desa.
Di tengah iklim politik yang sekarang banyak mempengaruhi orang-orang desa, maka
seharusnya pendamping ini juga mampu memberikan pemahaman tentang politik dan sosiologi.
Pemahaman politik ini penting karena sampai sekarang budaya politik masyarakat itu masih
sederhana, dipengaruhi oleh kebiasaan yang terjadi pada jaman Orde Baru. Kebiasaan-kebiasaan
itu misalnya mudah terpengaruh oleh bujukan orang lain, masih mendukung politik kekerabatan
dalam praktik, sampai dengan mudah terkena suap menjelang pemilihan umum. Masyarakat
seperti ini harus disadarkan. Bahkan hal paling utama yang harus ditekankan oleh pendamping
justru harus memberikan kesadaran tentang politik tersebut. Dalam arti luas, kesadaran ini akan
mampu memberikan sumbangan kepada masyarakat desa untuk bersikap mandiri dalam
membuat keputusan dan melakukan bargaining dengan kekuatan pemerintah atau pada kelompok
politik. Tetapi kesadaran politik paling besar yang haarus ditanamkan adalah makna, tujuan dan
hakekat pembangunan desa serta apa yang tertera di dalam Undang-undang No. 6 Tahun 2014
ini. Pembangunan politik itu ilakukan dengan berbagai strategi, seperti memilih pendamping
yang berkomitmen membangun desa dan bersedia dalam jangka waktu yang lama tinggal
bersama masyarakat, melakukan diskusi serta memberikan berbagai keterangan berkaitan dengan
pembangunan desa.
Jalan paling penting untuk memuliakan desa, seperti yang dimaksudkan Sutoro Eko,
dapat ditafsirkan bahwa desa itu akan mendapat martabat yang lebih mulai apabila mampu
memanfaatkan segala sumber daya yang ada di desanya untuk kesejahteraan rakyat. Segenap
potensi desa yang ada, mulai dari kekayaan alam sampai dengan sumber daya manusianya
mampu mempunyai kesadaran dan kemudian mengembangkan sumberr daya itu untuk
kesejahteraan rakyat. Masyarakat menyadari kepentingan desa dan bersyukur atas adanya
berbagai sumber daya tersebut, yang dengan bantuan pemerintah mampu diolah. Kemampuan ini
kemudian dikembangkan kepada generasi berikut. Meskipun anggota masyarat di desa itu ada
berjauhan dan berkedudukan sebagai ahli, mereka tidak lepas dari desanya sendiri.
Budiman Sudjatmiko, Kompas 10 Juli 2015, menyebutkan bahwa dana desa tersebut,
secara umum mampu memberikan tiga jenis pertumbuhan, yaitu pertumbuhan alami,
pertumbuhan langsung dan pertumbuhan rentetan. Pertumbuhan alami dalam hal ini
dimaksudkan sebagai pertumbuhan yang terjadi secara mandiri tanpa adanya intervensi dari
71
bantuan dana desa yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sedangkan pertumbuhan langsung adalah
aktivitas ekonomi yang muncul sebagai akibat dari adanya bantuan dana desa dari pemerintah
tersebut. Sedangkan pertumbuhan rentetan adalah pertumbuhan yang memicu terjadinya efek
multiplier sebagai akibat bantuan pemerntah ini. Misalnya munculnya usaha baru sebagai akibat
timbuhnya sebuah usaha dan kemudian memunculkan usaha lainnya lagi.
Dalam konteks yang dikemukana oleh Sudjatmiko tersebut, pertumbuhan alami yang
ada di desa terletak pada upaya peningkatan kesejahteraan yang terjadi hanya karena potensi
desa yang ada. Pertumbuhan ini secara umum boleh dikatakan minim, dan karena itulah
kemudian muncul ide untuk membangun desa, yang salah satu cara untuk pembangunan itu
dilakukan dengan memberikan dana desa, sekitar 1,4 milyar rupiah (Sudjatmiko, 2015, Kompas
7 Juli). Pembangunan yang hanya mengandalkan potensi alami saat sekarang ini cukup sulit.
Karena kesulitan itulah kemudian memunculkan urbanisasi. Banyak faktor yang membuat
kesulitan itu, salah satunya adalah dana yang tidak dimiliki desa. Disamping itu juga adalah
kesadaran untuk membangun desa sudah dikalahkan oleh kenyataan bahwa hidup di kota akan
lebih mampu memberikan penghasilan yang lebih banyak. Disamping itu pekerjaan lebih banyak
terbuka di kota.
Apa yang dimaksud dengan pertumbuhan langsung, seperti yang telah diungkapkan
diatas, merupakan ide dasar dari pembangunan desa serta diluncurkannya dana untuk
membangun desa. Diharapkan bantuan ini akan memberikan rangsangan pembangunan usaha di
desa. Pemberian bantuan ini seharusnya tidak saja memberikan rangsangan usaha saja tetapi
juga upaya rangsangan lain, pada bidang yang lain yang bukan sektor ekonomi. Inilah yang
kemudian dimaksudkan oleh Sudjatmiko sebagai efek rentetan dari bantuan dana desa tersebut.
Secara ekonomi jelas sebuah usaha akan memberikan rentetan lain. Misalnya seorang yang
membuka bengkel karoseri mobil, akan membuka usaha penjualan cat. Penjualan cat
itu
berpotensi membuka jasa pengantaran dan seterusnya. Tentu ini akan mampu melibatkan banyak
orang. Akan tetapi dana desa ini seharusnya juga mampu mengaktifkan ide yang lain, misalnya
meningkatkan
tingkat pendidikan. Bantuan dana tersebut harus dapat meningkatkan status
pendidikan pemuda, misalnya yang sebelumnya hanya tingkat sekolah menengah atas menuju
perguruan tinggi. Hal lain yang juga didorong oleh munculnya bantuan ini adalah kesadaran
tentang kesehatan, misalnya dengan memperbaiki kondisi kebersihan rumah, membuat kamar
mandi dan sejenisnya.
72
Di negara yang terdiri dari kesatuan masyarakat yang berbasis kesamaan nilai, maka
akan muncul kearifan-kearifan lokal yang dipakai sebagai patokan hidup masyarakat. Indonesia
yang terdiri dari ratusan suku bangsa, dan bahkan mungkin ribuan, pasti memiliki kearifan yang
jumlahnya
sama atau melebihi kesatuan budaya yang ada. Kearifan lokal ini muncul
berdasarkan atas cara pandang terbaik yang disepakati oleh masyarakat yang memilikii
kebudayaan tersebut. Ia mengendap berdasarkan sejarah perjalanan masyarakat itu, disarikan
berdasarkan berbagai pertimbangan yang ada dan kemudian menjadi persetujuan bersama.
Persetujuan ini bisa secara diam-diam maupun dengan kesepakatan dari anggota masyarakat.
Karena muncul berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, maka ia masuk wilayah
kognitif, yang artinya telah dipertimbangkan berdasarkan olah pikir dan olah otak manusia,
khususnya mereka yang memiliki kearifan tersebut. Jadi endapan ini sesungguhnya merupakan
intisari kepintaran dari budaya-budaya dalam hubungan dengan relasi sosial, kontak sosial
diantara penganut kebudayaan itu. Sebagai sebuah intisasi kepintaran, maka kearifan lokal
menjadi sumber daya yang mampu diberdayakan, sebuah sumber daya yang mampu
dimanfaatkan untuk kemajuan desa nanti.
Kearifan lokal, dalam konteks pengembangan sumber daya desa ini, bisa mempunyai
beberapa fungsi sekaligus. Yang pertama adalah sumber pengawas moral dan etika dalam
menjalankan tugas. Pemberdayaan desa seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 6
Tahun 2014 ini menjadi sangat menarik baik dalam pembahasan maupun oleh orang-orang yang
menginginkan keuntungan tertentu, karena menyediakan uang lebih dari 1 milyar rupiah untuk
memberdayakannya. Dari sisi ketertiban sosial, yang paling dikhawatirkan adalah adanya
penyimpangan penggunaan uang tersebut atas nama pemberdayaan desa. Dalam arti,
dikhawatirkan adanya banyak korupsi. Ini sesuatu yang harus diwaspadai dan nampaknya
rasional untuk dikemukakan saat ini. Boleh dikatakan, Indonesia saat ini sudah masuk ke dalam
kapitalis yang menawarkan banyak barang-barang mewah yang menjadi kebutuhan manusia,
seperti yang terlihat di televisi. Pada sisi lain, mencari pekerjaan saat ini sulit dan dengan
demikian, mencari penghasilan juga susah. Desa, sebagai bagian dari sistem keindonesiaan,
boleh ditakan jauh lebih miskin dibanding dengan masyarakat yang hidup di kota. Padahal,
kehidupan di kota tidak senyaman dengan kehidupan di pedesaan. Dengan konteks demikian,
73
maka adanya kesempatan menjadi pengurus desa dengan pengeloaan uang sampai milyaran
rupiah, sangat potensial memunculkan adanya korupsi atau penyimpangan.
Disini, kearifan lokal mampu menjadi patokan bertindak bagi para aparat desa untuk
menjalankan tugasnya, menjadikannya rambu-rambu yang dapat menghindarkan aparat dari
penyelewengan tugas. Di Bali, secara umum kearifan lokal itu biasanya bertumpun pada phala
karma, kearifan lokal berbasisi Hindu yang membuat penyimpangan itu dapat direm. Maknanya
adalah bahwa segala perbuatan pasti ada hasilnya. Apabila kita berbuat baik, akan menghasilkan
produk positif dan sebaliknya apabila berbuat jahat, akan menghasilkan hasil yang negatif.
Kearifan ini sampai sekarang masih hidup dan dipercaya kehadirannya oleh masyarakat. Di
setiap desa pasti aka nada kearifan lokal yang mampu berfungsi untuk menjaga etika dan moral
dalam melakukan tindakan. Kearifan disini bersumber dari etika dan pergaulan sosial.
Kedua, kearifan lokal juga dapat diberdayakan sebagai sarana untuk menggerakkan
segala potensi desa. Misalnya di Bali ada konsepsi segalak saguluk salunglung sebayantaka.
Kearifan ini mempunyai akar pada kerjasama yang boleh disepadankan dengan berat sama
dipikul, ringan sama-sama dijinjing. Jadi boleh dikatakan kerjasama dalam bentuk yang lebih
erat tanpa membeda-bedakan golongan. Apabila hal ini mampu dijalankan, akan dihasilkan
produk yang berdaya untuk kepentingan sosial. Bahkan konsepsi tersebut mampu mengelola
konflik dan memecahkan masalah secara bersama-sama. Konflik harus dipecahkan bersamasama tanpa harus memberatkan pihak yang lain. Pekerjaan mengelola perbedaan secara bersamasama akan menghasilkan sesuatu yang sifatnya positif.
Kearifan lokal tersebut, dapat hidup melintasi kelompok, misalnya berlaku secara umum
di Bali oleh masyarakat Hindu, akan tetapi juga dapat hidup dan dipakai oleh satu kelompok
budaya tersendiri. Desa atau desa pakraman merupakan kelompok yang bisa jadi juga dilingkupi
oleh satu kesatuan budaya sehingga di dalamnya muncul satu kearifan tersendiri. Misalnya di
sebuah desa di Pupuan, ada kearifan yang menghargai segala bentuk kehidupan, sehingga apabila
ada salah satu mahluk hidup yang meninggal, pemiliknya tidak akan melakukan aktivitas apapun
pada satu satuan waktu. Sebelan misalnya, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk
penafsiran sehingga di setiap desa atau banjar di Bali mempunyai cara tersendiri untuk
menerapkannnya. Ada wilayah yang menerapkan hanya tiga hari sebagai bentuk berkabung
untuk seluruh komunitas tetapi juga ada yang sampai 12 hari.
74
Selama ini, kearifan lokal yang ada di desa tersebut seolah berada dalam keadaan diam
sehingga lama-kelamaan akan tidak dikenal masyarakat, terutama generasi baru, yang pada
akhirnya dikhawatirkan akan mati tergerus oleh cara pandang modern. Menggunakan alat mesin
sebagai pengolah tanah di sawah jelas menguntungkan karena membuat pengerjaan lahan jauh
lebih cepat. Akan tetapi cara demikian menghilangkan kekerabatan antar desa. Karena itu
kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat secara gotong-royong, akan mampu membangkitkan
atau mempertahankan kearifan tersebut sehingga dapat terbukti manfaatnya. Generasi baru akan
melihat bukti keampuan kearifan tersebut, khususnya dalam melaksanakan kerjasama antar desa.
Cara inilah yang akan mengawal pertumbuhan ekonomi dan segala penghasilan yang dapat
diraih oleh masing-masing desa untuk kepentingan bersama maupun secara sendiri-sendiri.
IV. 4. 2 Kerjasama dengan desa lain
Potensi yang juga dapat dipakai untuk meningkatkan peemberdayaan desa adalah
kerjasama dengan desa yang lain. Salah satu inti dari kerjasama adalah saling memberikan
dukungan atas kelamahan dan kelebihan yang ada. Dengan cara seperti ini kekurangan yang
dimiliki oleh satu desa akan dapat tertutupi oleh kelebihan yang dimiliki oleh desa lain. Dalam
konteks desa, kerjasama ini sesungguhnya bukanlah hal yang aneh.
Secara umum, kearifan lokal yang ada di Indonesia dan menjadi jiwa dari negara adalah
gotong-royong. Inti dari gotong royong tersebut tidak lain kerjasama yang di dalamnya
menyiratkan adanya upaya untuk saling membantu antar berbagai pihak serta menambah
kekurangan dengan kelebihan yang dimiliki pihak lain dan sebaliknya memberikan kelebihan
kita untuk menambal kekurangan yang kita miliki. Sebuah keluarga kaya, tetap memerlukan
orang lain dalam upacara pemakaman jenazah di Bali misalnya. Itu tidak lain merupakan cara
menambal kekurangan diri dari kelebihan yang dimiliki orang atau kelompok lain.
Secara tradisional, di Bali kekerabatan tersebut berlangsung lintas perbatasan. Ini
disebabkan oleh adanya pola pernikahan, kaitan sejarah masa lalu tentang silsilah, atau karena
pergerakan masyarakat seperti transmigrasi lokal di masa lalu, membentuk tempat tinggal baru di
tempat lain. Akan tetapi, pada upacara ritual adat, para kerabat tersebut akan datang untuk
memberikan bantuan kepada salah satu anggota keluarga yang menggelar upacara. Ini sering
disebut dengan metulungan yang artinya, saling membantu. Dengan demikian, pekerjaan yang
dilakukan, akan terselesaikan dengan baik dan acara yang hendak dilaksanakan terlenggaran.
75
Satu aspek keuntungan yang telah terjalin disini adalah adanya perpaduan antara solidaritas,
keihklasan dan tanpa pamrih. Nilai-nilai tersebut, masih melekat pada kehidupan masyarakat
pedesaan hingga saat ini, dan menjadi sangat terlihat pada upacara agama, terutama kematian.
Di Bali, pada masa lalu, sekitar dekade tujuhpuluhan lomba layang-layang tradisionil sangat
memperlihatkan pola kerjasama seperti ini.
Nilai yang disebutkan diatas, menjadi modal dasar untuk melakukan kerjasama antar
desa, baik antar desa pakraman dengan desa dinas, desa pakraman dengan desa pakraman
maupun antar desa dinas. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk melakukan kerjasama tersebut,
bahkan dengan desa yang lokasinya berjauhan dengan desa lainnya. Kerjasama yang paling
memungkinkan dan paling baik adalah antar desa yang ada berdekatan karena pengotrolan
terhadap berbagai aset yang dikerjasamakan tersebut lebih mudah dilakukan. Pengelolaan air
sungai, perusahan, koperasi dan sebagainya dapat lebih mudah dilakukan dengan desa-desa yang
bersebelahan. Meski konflik pengelolaan berpotensi muncul, akan tetapi kerjasama ini pun dapat
menimalkan konflik asal sebelumnya ditetapkan dengan kesepakatan-kesepakatan yang
dituangkan dalam peraturan bersama.
Tidak dapat dilepaskan bahwa desa-desa yang berdekatan, apalagi berbatasan,
mempunyai keunggulan lain dalam melakukan kerjasama, yaitu
hubungan sosial antara
penduduknya. Banyak yang tidak menyadari bahwa hubungan kekerabatan di desa-desa seperti
ini telah dibina sejak masih kecil, masih anak-anak melalui jenjang pendidikan. Taman kanakkanak, atau sekolah dasar, bahkan sekolah menengah pertama dan atas, menjadi wilayah yang
sangat potensial untuk mengeratkan hubungan persahabatan antar warga di berbagai desa
tersebut. Hubungan ini mempunyai dasar yang kuat karena dilalui dengan permainan-permainan
masa kecil yang masih melekat sampai dewasa. Karena itulah kemudian pertemanan ini dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk mengekalkan dan menertibkan kerjasama yang ada
diantara desa tersebut. Dalam arti, kalaupun konflik dan ketidaksepakatan yang muncul sebagai
akibat kerjasama ini, tidak akan muncul sebagai konflik terbuka yang dapat merugikan berbagai
pihak.
76
BAB V
KESIMPULAN
Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014,
mempunyai manfaat untuk
menumbuhkan kepercayaan diri desa dalam melaksanakan pembangunan. Kepercayaan diri ini
akan tumbuh bersamaan dengan keberhasilan desa tersebut melaksanakan pembangunan yang
bersumber dan dimulai dari desa itu. Apabila Indonesia berhasil melaksanakan pembangunan
dari maka secara nasional memberikan ciri tersendiri bagi Indonesia apabila dibandingkan
dengan negara-negara lain. Pada umumnya pembangunan itu dimulai dari kota karena kota
merupakan pusat dari intelektual, gagasan, modal sampai dengan politik. Karena itulah, apabila
berhasil melakukan pembangunan dari desa ini, merupakan sukses tersendiri dan menjadi yang
pertama di dunia. Undang-undang Desa yang diluncurkan pemerintah memberikan semangat
sepert itu. Semangat itu diwujudkan, baik dalam ketentuan kesiapan pemerintah memberikan
bantuan keuangan, pendampingan serta mendorong adanya kerjasama antara satu desa dengan
desa lainnya serta memberikan pendampingan untuk menggali potensi desa yang ada.
Masing-masing desa sebenarnya mempunyai sumber daya sendiri yang dapat digali
potensinya untuk dikembangkan. Sampai saat ini, masih jarang potensi desa yang dimiliki
tersebut digali dan dikembangkan untuk pengembangan desa itu sendiri. Masih banyak para
pencari kerja di desa lebih menyukai pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, meskipun cara
demikian sering merugikan masyarakat itu sendiri. Tidak disadari bahwa jauhnya jarak ke kota
dari desa, tenaga yang dikeluarkan, sampai biaya yang diperlukan memberikan tekanan tersendiri
kepada masyarakat, yang mengurangi modalnya untuk membangun kesejahteraan.
Di Kecamatan Kerambitan, desa-desa yang ada di desa tersebut mempunyai potensi
besar untuk maju, tetapi sekarang masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Temuan di
lapangan memperlihatkan bahwa desa di wilayah kecamatan ini mempunyai sembilan sumber
daya yang dapat dikembangkan. Di Desa Timpag, ada bendungan yang dinamakan Embung
Telaga Tunjung. Sampai sekarang kondisi ini hanya dipakai untuk pengairan sawah saja. Padahal
sesungguhnya dapat dipakai lebih dari itu, misalnya untuk perikanan sampai dengan
kepariwisataan.
Sebagian desa dari kecamatan ini terletak di jalur jalan raya Denpasar-
Gilimnuk. Jalur ini ramai sehingga dapat dimanfaatkan untuk potensi perdagangan. Kecamatan
Kerambitan terkenal dengan Seni Tektekan. Seni ini sekarang sudah mulai redup, dan kurang
77
mendapat perhatian dari masyarakatnya. Kecamatan Kerambitan juga kaya dengan sumber air.
Kalau dimanfaatkan dapat digunakan untuk mengairi sawah, tegalan sampai dengan diolah
menjadi air kemasan. Desa-desa di wilayah ini cukup luas, dan relatif dekat dengan kota
sehingga berpotensi juga untuk dikembangkan perekonomian berbasis desa, yang pemasarannya
dilakukan di kota. Bagian selatan dari kecamatan ini berbatasan dengan Samudra Indonesia yang
dapat dipontensikan untuk olahraga laut. Seperti juga dengan wilayah lain, banyak sarjana yang
tinggal di pedesaan di Kerambitan. Nilai-nilai tradisional dan suasana tradisionil masih dijumpai
di desa-desa Kecamatan Kerambitan. Paling tidak hal ini dapat dikembangkan untuk potensi
kuliner yang asli desa. Tentu juga suasana pedesaan dapat dipergunakan untuk menambah
kemantapan pariwisata untuk nyamannya suasana.
Dengan demikian, apabila dimanafaatkan secara maksimal dan dicari secara kritis
potensi-potensi yang ada, masing-masing desa mempunyai sumber daya yang dapat
diberdayakan dengan baik. Desa akan menjadi pusat pembangunan. ****
78
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Bryman, Alan, 2004, Social Research Methods, Great Britain, Oxford University Press
Catur Utama, Fransisca Romana, 2014, “Pemberdayaan dan Pemanfaatan Teknologi yang
Mencerdaskan Masyarakat, dalam Menuju Teknologi Transkomunitas, Supraja, Muhamad
(ed.), 2014, UGM, Lingkar Studi Mikrososiologi.
Gibbons,Michael T., Noer Zaman, Ali (Pen.), 2002, Telaah Hermeneutis Wacana Sosial-Politik
Kontmporer: Tafsir Politik, Yogyakarta: Qalam
Mellor, Philip, A., 2000, “Rationali Choice or Sacred Contagion? ‘Rationality Non-Rationality
and Religion” dalam Social Compas, 47 (2).
Pelly, Usman, Menanti, Asih, 1994, Teori-Teori Sosial Budaya, Jakarta, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ritzer, George, Nurhadi (Pen.), 2011, Teori Sosiologi: Dari Teori Klasik sampai Perkembangan
Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Bantul, Kreasi Wacana
Samosir, Djamanat, 2013, Hukum Adat Indonesia: Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan
Hukum di Indonesia, Bandung, Nuansa Aulia
Stuart-Fox, David J., Putra Yadnya, I. B (terj), 2010, Pura Besakih: Pura, Agama, dan
Masyarakat Bali, Udayana University Press.
Windya, Wayan P., 2014, Hukum Adat Bali: Aneka Kasus dan Penylesaiannya, Denpasar,
Udayana University Press
Tulisan di Jurnal Ilmiah
Sarman, Mukhtar, 1997, “Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat: pelajaran dari
Program IDT, dalam Prisma, 1, Januari 1997
Suka Arjawa, GPB, 2014, “Pilihan Rasional di Balik Pembebasan Corby”, dalam Global dan
Strategis, Th. 8, No. 1, Januari-Juni 2014.
79
Hasil Penelitian
Dharma Laksana, I Gusti Ngurah, 2011, ““Eksistensi Gotong Royong dan Tolong Menolong
dalam Kehidupan masyarakat Adat dalam Perkembangan Pariwisata di Desa pakraman
Penyaringan Desa Sanur Kauh”, Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Udayana
Jayantiari, IGA Mas Rwa, et. All., 2011, “Otonomi Desa Adat dalam Kaitan dengan Eksistensi
Tanah Adat di Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan, Penelitian,
Fakultas Hukum Universsitas Udayana.
Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, “Konflik Perbatasan Desa pakraman
dalam perspektif Ekonomis Tanah serta Penyelesaiannya”, Penelitian, Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
Perundang-Undangan dan Peraturan
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja
Peraturan Pemerintah No 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undng No 6
Tahun 2014 tentang Desa
Undang –Undang Republik Indonesia No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 1965 tentang Desapraja sebagai Bentuk
Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik
Indonesia.
Peraturan Daerah Propinsi daerah Tingkat I Bali, No. 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan Fungsi
dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah
Tingkat I Bali.
Peraturan Daerah Proinsi Bali No 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman
Peraturan Daaerah Propinsi Bali No.3 Tahun 2003 Tentang Revisi atas Perda No 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman.
Koran
Setiawan, Bambang, 2014, “Kekuatan di Tengah Ikatan yang Melemah”, dalam Kompas, 28
November 2014, hal 63.
80
Fajar Bali, 30 September 2014.
Padjung, Rusnadi, 2015, Khawatir Dana Desa Dikorupsi, dalam Kompas, 6 Juli 2015, hal. 7.
Kompas, 2 Juli 2015, hal 5 dan 6.
Kompas, 3 Juli 2015.
Kompas, 10 Juli 2015, hal 7.
81
LAMPIRAN
BIODATA KETUA PENELITI
A. Identitas Diri
1
Nama Lengkap
Dr. Drs. I Gst. Pt. Bagus Suka Arjawa, M.Si (L)
2
Jabatan Fungsional
Lektor
3
Jabatan Struktural
Dekan, Fisip Unud
4
Nip.
196407081992031003
5
NIDN
0008076403
6
Tempat dan Tanggal Lahir
Tabanan, 8 Juli 1964
7
Alamat Rumah
Perum Griya Tansa Trisna, Jl Cendana II/1
Dalung
8
No Hp
081.246 30 641
9
Alamat Kantor
Fisip Unud, Jl. PB Sudirman, Denpasar
10 No Telpon/Faks
0361255378, 255916
11 Alamat E-Mail
[email protected]
12 Lulusan yang telah dihasilkan
S1. lebih dari 100 orang, termasuk di FH Unud
13 Mata Kuliah yang diampu
1.
2.
3.
4.
5.
Sosiologi Kemiskinan
Sosiologi Konflik
Perubahan Sosial
Pengantar Ilmu Politik
Sosiologi Politik
82
B. Riwayat Pendidikan
Program
S1
S2
S3
Nama Perguruan
Tinggi
Universitas
Airlangga
Universitas
Airlangga
Universitas
Airlangga
Bidang Ilmu
Sosial Politik
Ilmu Sosial
Ilmu Sosial
Tahun Masuk
1985
2004
2006
Tahun Lulus
1990
2006
2010
Judul Skripsi/Tesis/
Faktor-Faktor yang
membuat
Membaiknya
Hubungan Cina-Uni
Soviet
Konflik Antar Partai Pergeseran
Politik Pra-Pemilu
Pelaksanaan Ritual
Ngaben di Bali
Drs. T Siedjadino,
M.A.
Drs. Pratmoko,
MA., Drs. Wisnu
Pramutanto, M.Si.
Disertasi
Nama pembimbing/
Promotor
Prof. Dr. I Nyoman
Sirtha, SH., MS,
Prof. Dr. Drs.
Laurentius Dyson
P., MA.
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun terakhir
No
Tahun
Judul Penelitian
Sumber Dana
1
2011
Fungsi Konflik Sosial di Bali PNBP
(Di Gianyar)
2
2011
Fenomena Sampah di Kota
Denpasar
Mandiri
2
2012
Konflik Sosial di Banjar
Pangkung Karung
Mandiri
3
2013
Penyelesaian Konflik Sosial
PNBP
Jumlah
Rp.39.000.000,-
Rp. 6.000.000,-
83
di Desa Pakraman Gereseh
4
2014
Menekan Kemiskinan di
Daerah Pariwisata dengan
tanggung Jawab Sosial
Perusahan (Studi di Badung
Bagian Selatan)
Hibah
Unggulan
Udayana
Rp.
35.000.000,-
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Tahun
Judul Pengabdian Kepada
Masyarakat
Sumber Dana
Jumlah
1
2013
Inventarisasi dan
Katalogisasi Koleksi Pustaka
FISIP
Rp. 4.000.000,-
2
2013
Kesadaran Hak Politik
Perempuan
FISIP
Rp. 4.000.000,-
3
2012
Pencegahan Konflik pada
Anak Remaja
PNBP
Rp. 4.000.000,-
4
2012
Pembersihan sampah di
Sanur
PNBP
5
2011
Pengenalan Lingkungan
Sehat di Panti Asuhan
PNBP
6
2011
Sosialisasi Prodi ke SMA
FISIP
Rp. 4.000.000,-
E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun terakhir
No
Judul Artikel Ilmiah
Volume/Nomor
Nama Jurnal
1
Modernisasi dan Rasionalitas
dalam Pelaksanaan Upacara
Agama di Bali
No. 1, Vo. 2 Tahun
2011
Widya
Sosiopolitika
84
2
Desa Pakraman dan kekuasaan
terhadap Warga Masyarakat
No. 1, Vol.3 Tahun
2012
Widya
Sosiopolitika
3
Konflik Kepentingan Antar
Kelompok dan Satu Komunitas
Prosiding Seminar
APSSI, 2013
Kecerdasan Sosial
Mengelola Konflik
4
Ancaman Dinamit bagi Politisi
dan Partai Politik
21 Februari 2014
Balipost
5
Elektabilitas Partai dan
Elektabilitas Capres
24 Januari 2014
Balipost
6
Kesempatan untuk Perbaiki
Kualitas Caleg
7 Februari 2014
Balipost
7
Penulis Kolom (Artikel) Tetap
Sejak
Sejak Tahun 1990
Balipost
F. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada pertemuan/Seminar Ilmiah dalam 5
tahun terakhir
No
Nama Pertemuan Ilmiah/seminar
Judul Artikel Ilmiah
Waktu dan Tempat
1
Seminar Konflik Sosial di Bali
”Mengurai Potensi
Konflik Sosial di
Bali”
Denpasar, 5 Maret
2012
2.
Seminar Nasional KMHDI
”Membangun
Denpasar, 26
Budaya Politik
September 2011
santut Menuju Good
Goverment”
3
Seminar sehari Kekerasan dan
Anarkhisme
”Fenomena
Kekerasan
Anarkhisme Massa
yang terjadi di
Indoensia”
4
Pertemuan Balai Diklat Provinsi
Jawa Tengah
”Sinergi Pemerintah Kuta, 9 Juni 2011
dalam
Penanggulangan
Kemiskinan di Bali”
Jembrana, 27 Juni
2012
85
5
Focus Gorup Disscution Lembaga
Administrasi Negara
”Grand Design
Kelitbangan di
BidangAdministrasi
Negara”
Denpasar, 29
Agustus 2013
6
Indonesian Frontiers of Social
Science Symposium”
“Konflik Sosial di
Bali”
Lombok, 17-19
Oktober 2013
7
Dialog Publik LPP RRI
“Optimalisasi Peran
LPP RRI dalam
Melayani Publik
Melalui siaran dan
Pemberitaan”
Denpasar, 23
September 2-13
8
Dialog Agama dan Masyarakat
”Agama dan
Masyarakat”
Denpasar 3 Oktober
2012
9
Forum Komunikasi Kehumasan
Kementerian Komunikasi dan
Informatika
”Meningkatkan
Ketahanan Sosial
Menghadapi
Tantangan
Globalisasi ”
Denpasar, 25 April
2013
10
Seminar Nasional Konflik
”Mengurai Akar
Permasalahan
Konflik”
Denpasar, 20
Oktober 2011
11
Serasehat HUT Bayangkara Polda
Bali
”Konflik Adat di
Bali”
Denpasar, Juli 2013
12
Sosialisasi hasil_hasil DPD RI
“Urgensi Perubahan
Kelima UUD 1945”
Denpasar, 26 April
2013
13
Konferensi Nasional Sosiologi
“Kecerdasan Sosial
Mengelola Konflik”
Palembang, 23-25
April 2013
14
Diklat Kepemimpinan Propinsi Jawa
Tengah
”Kepemimpinan
Birokrasi dalam
Mencegah Korupsi”
Denpasar, 8
November 2012
15.
Seminar Nasional Tentang Kota
’Perluasan Wilayah
Kota: Munculnya
Denpasar, 5
86
Kota Satelit
September 2012
G. Pengalaman Penulisan Buku dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Judul Buku
Tahun
Jumlah
Halaman
Penerbit
1
Novel Politik
2003
125
Belum
diterbitkan
2
Kumpulan Tulisan soal
Sampah
20011
80
Belum
diterbitkan
3
Memiliki Ribuan Artikel
Sosial dan Politik
Sejak tahun
1990
Yang Tercatat
di internet
(mulai tahun
2000) sekitar
2100 Artikel,
masing-masing
4 halaman.
Belum
Diterbitkan
H. Pengalaman Perolehan HKI dalam 5-10 Tahun Terakhir
No.
Judul /Tema HKI
Tahun
Jenis
No.P/ID
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekaysa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Judul/Tema/Jenis Rekayasa Tahun
sosial lainnya yang telah
diterapkan
Tempat
penerapan
Respon
Masyarakat
87
1
Penyederhanaan Sarana
Upacara Banten
2013
Jembrana
Positif
2
Mengubah Pola Pikiran
Dalam Mencari Perguruan
Tinggi
2012
Denpasar,
Tabanan
Positif
J. Penghargaan yang pernah diraih dalam 10 Tahun terakhir (dari Pemerintah, Asosiasi, atau
Institusi lainnya.
No.
Jenis Penghargaan
Institusi Pemberi Penghargaan
Tahun
1
Penghargaan sebagai Juara
III Menulis tentang
Otonomi Daerah
Pemerintah Kabupaten (Bupati
Isran Noor)
2013
2
Applied Aproach (AA)
Universitas Airlangga
2006
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima resikonya. Demikian biodata ini saya
buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian
Hibah Unggulan Udayana.
Denpasar, 16 Februari 2015
Pengusul
Dr. I Gst. Pt. Bagus Suka Arjawa, M.Si
NIP. 196407081992031003
88
M.SBIODATA ANGGOTA PENELITI
A. Identitas Diri
1
Nama Lengkap
Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si
2
Jabatan Fungsional
Lektor Kepala
3
Jabatan Struktural
Ketua Prodi Sosiologi, Fisip Unud
4
Nip.
19570105 198601 2 001
5
NIDN
0005015713
6
Tempat dan Tanggal Lahir
Tabanan, 5 Januari 1957.
7
Alamat Rumah
Perumahan Taman Sekar, Tabanan
8
No Hp
08977027879
9
Alamat Kantor
Jl. PB Sudirman Denpasar
10 No Telpon/Faks
0361255378, 255916
11 Alamat E-Mail
12 Lulusan yang telah dihasilkan
13 Mata Kuliah yang diampu
S1. lebih dari 50 orang, termasuk di FS Unud
1. Sosiologi Kemiskinan
2. Sosiologi Konflik
3. Perubahan Sosial
4. Sosiologi Politik
89
B. Riwayat Pendidikan
Program
S1
S2
S3
Nama Perguruan
Tinggi
Universitas
Udayana
Universitas
Padjadjaran
Universitas
Udayana
Bidang Ilmu
Antropologi
Sosio Antropologi
Kajian Budaya
Tahun Masuk
Tahun Lulus
2008
1985
2011
Judul Skripsi/Tesis/
Disertasi
Nama pembimbing/
Promotor
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun terakhir
No
Tahun
Judul Penelitian
Sumber Dana
1
2011
Fungsi Konflik Sosial di Bali PNBP
(Di Gianyar)
2
2011
2
2012
Konflik Sosial di Banjar
Pangkung Karung
Mandiri
3
2013
Penyelesaian Konflik Sosial
di Desa Pakraman Gereseh
PNBP
Jumlah
Rp.39.000.000,-
Rp. 6.000.000,-
90
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Tahun
Judul Pengabdian Kepada
Masyarakat
Sumber Dana
Jumlah
1
2013
Inventarisasi dan
Katalogisasi Koleksi Pustaka
FISIP
Rp. 4.000.000,-
2
2013
Kesadaran Hak Politik
Perempuan
FISIP
Rp. 4.000.000,-
3
2012
Pencegahan Konflik pada
Anak Remaja
PNBP
Rp. 4.000.000,-
4
2012
Pembersihan sampah di
Sanur
PNBP
5
2011
Pengenalan Lingkungan
Sehat di Panti Asuhan
PNBP
Rp. 4.000.000,-
E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun terakhir
No
Judul Artikel Ilmiah
Volume/Nomor
Nama Jurnal
1
2
F. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada pertemuan/Seminar Ilmiah dalam 5
tahun terakhir
No
Nama Pertemuan Ilmiah/seminar
Judul Artikel Ilmiah
Waktu dan Tempat
1
2.
91
3
4
G. Pengalaman Penulisan Buku dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Judul Buku
Tahun
Jumlah
Halaman
Penerbit
1
2
3
H. Pengalaman Perolehan HKI dalam 5-10 Tahun Terakhir
No.
Judul /Tema HKI
Tahun
Jenis
No.P/ID
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekaysa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Judul/Tema/Jenis Rekayasa Tahun
sosial lainnya yang telah
diterapkan
Tempat
penerapan
Respon
Masyarakat
1
2
92
J. Penghargaan yang pernah diraih dalam 10 Tahun terakhir (dari Pemerintah, Asosiasi, atau
Institusi lainnya.
No.
Jenis Penghargaan
Institusi Pemberi Penghargaan
Tahun
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima resikonya. Demikian biodata ini saya
buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian
Hibah Unggulan Udayana
Denpasar, 21 Februari 2014
Pengusul
(Dr. Dra. Ni Nyoman Kebayantini, M.Si)
NIP. 19570105 198601 2 001
93
BIODATA ANGGOTA PENELITI
A. Identitas Diri
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Nama Lengkap (dengan
gelar)
Jabatan Fungsional
Jabatan Struktural
NIP/NIK/No.Identitas lainnya
NIDN
Tempat dan Tanggal Lahir
Alamat Rumah
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Nomor Telepon/Faks /HP
Alamat Kantor
Nomor Telepon/Faks
Alamat e-mail
Lulusan yang telah dihasilkan
Mata Kuliah yang diampu
Dr.drh.Tjok Gde Oka Pemayun,MS
L
Lektor Kepala
Pembantu Dekan II
195706301987101001
0030065708
Gianyar, 30 Juni 1957
Perum Padma Indah Blok/C 6. Peguyangan Kangin,
denpasar Utara, Bali
0817567709
FKH –UNUD. Kampus Jl. Sudirman Denpasar
(03610) 223791/ Faks (0361) 223791
[email protected]
S1 = 10 orang; S2 = 2 orang
1. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi
Veteriner
2. Ilmu Kebidanan dan Kemajiran
3. Ilmu Teknologi Reproduksi Lanjutan
B. Riwayat Pendidikan
Program
Nama Perguruan Tinggi
S-1
Univ. Airlangga
Bidang Ilmu
Tahun Masuk
Tahun Lulus
Judul
Skripsi/Thesis/Disertasi
Kedokteran
Hewan
1979
1986
Aktivitas ovarium
sapi bali yang di
potong di RPH
Pesanggaran
Denpasar Bali
Nama
Pembimbing/Promotor
Prof.Dr.drh. Laba
Mahaputra, MSc
S-2
Univ. Gajah
Mada
Sain Veteriner
S-3
Univ. Airlangga
1989
1991
Pengaruh
Penyuntikan GnRH dan PMSG
pada sapi perah
yang mengalami
anestrus
postpartum
2001
2006
Kadar PG F2 α dari
cairan vesikula seminalis
produk sel monolayer ,
Produk sel monolayer
vesikula seminalis dan
endometrium sapi bali
serta uji bioaktifitasnya
Drh. Edy
Mulyono, Ph.D
Prof.Dr.drh. Laba
Mahaputra, MSc
Ilmu Kedokteran
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
No
.
1
Tahun
Judul Penelitian
Hibah I
2008/2009
Produksi PGF2  dari
Produk Sel Monolayer
Pendanaan
Dibiayai oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen
94
Vesikula Seminalis Dan
Endometrium DalamUpaya
Meningkatkan Efisiensi
Reproduksi Sapi Bali
Pendidikan Nasional, Sesuai dengan
Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah
Penelitian Nomor :
027/SP2H/PP/DP2M/III/2008; tanggal 6
Maret 2008
1.
Hibah
II
2009/2010
Produksi PGF2  dari
Produk Sel Monolayer
Vesikula Seminalis Dan
Endometrium DalamUpaya
Meningkatkan Efisiensi
Reproduksi Sapi Bali
Dana DIPA Universitas Udayana Tahun
Anggaran 2009 Surat Perjanjian Kontrak
Nomor: 1491B.45/H14/HM/2009 Tanggal
16 April 2009
2
Hibah III
2010/2011
Produksi PGF2  dari
Produk Sel Monolayer
Vesikula Seminalis Dan
Endometrium DalamUpaya
Meningkatkan Efisiensi
Reproduksi Sapi Bali
Dibiayai dari Dana DIPA Universitas
Udayana Tahun Anggaran 2010 dengan
Surat Perjanjian Kontrak Nomor:
1677A.17/H14/HM/2010
Hibah
Penelitian
Strategis
Nasional
Tahun
2009
UNUD
Gambaran
Hormon
Reproduksi Dan Induksi
Berahi Pada Sapi Bali
Yang Menderita Anestrus
Postpartum Dalam Upaya
Meningkatkan
Populasi
Sapi Bali
Dibiayai dari DIPA Universitas
Udayana tahun 2009
Nomor: 0229.0/023-04.2/XX/2009
Tanggal 31 Desember 2008
D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Tahun
1
2011
2
2013
Judul Pengabdian
Kepada
Masyarakat
Penyuluhan Dan Pelayanan Kesehatan
Ternak Sapi Di Desa Sanding, Kecamatan
Tampaksiring Gianyar Dalam Upaya
Meningkatkan Produktivitas Ternak Sapi
Penyuluhan dan Pelayanan Kesehatan
Ternak Sapi di Desa Pejeng Kaja,
Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten
Gianyar Dalam Upaya Meningkatkan
Kesejahteraan Peternak
Pendanaan
DIPA UNUD
PNBP UNUD
95
E.
Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No.
1
Judul Artikel Ilmiah
Penurunan kadar progesteron Kuda
Fase luteal setelah pemberian
Prostaglandin F2 alpha Hasil ekstraksi
Vesikula seminalis Sapi Bali
2
Kadar Progesteron Akibat Pemberian
Vol.2(1):7-22. Februari
PMSG dan Gn-RH pada Sapi Perah
Agustus 2010.
Yang Mengalami Anestrus Postpartum
Kadar dan Daya Luteolitik PGF2α Vol.12, No.1, Maret 2011
Produksi Sel Monolayer Vesikula
Seminalis dan Endometrium Sapi Bali .
3
F.
Vol/Nomor
Vol.9, No.4, Desember
2008
Pengalaman Penyampaian
Makalah
Seminar Ilmiah dalam 5 Tahun Terakhir
No.
1.
Nama Pertemuan ilmiah/
Seminar
Seminar Dosen FKH Unud
Secara
Nama Jurnal
Jurnal
Veteriner
Buletin
Veteriner
Udayana
Jurnal
Veteriner
Oral pada Pertemuan/
Judul Artikel Ilmiah
Peranan Prostaglandin F 2 alfa
Waktu
dan
Ruang Sidang Lt. I
G. Pengalaman Penulisan Buku dalam 5 Tahun Terakhir
No.
1.
Judul
Buku
Reproduksi Ternak Sapi
Tahun
2010
Jumlah
Halaman
160
Penerbit
Pelawa Sari
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima resikonya. Demikian biodata ini saya
buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian
Hibah Unggulan Udayana
Denpasar, 16 Februari
Pengusul
Dr.drh. Tjok Gde Oka Pemayun,MS
(NIP. 195706301987101001)
96
BIODATA ANGGOTA PENELITI
A. Identitas Diri
1
Nama Lengkap
I. B. Wicaksana Herlambang
2
Jabatan Fungsional
3
Jabatan Struktural
Mahasiswa Prodi Sosiologi
4
NIM.
1021005009
5
NIDN
6
Tempat dan Tanggal Lahir
Denpasar, 3 Februari 1993
7
Alamat Rumah
Jl. Gunung Sari III/30 Denpasar
8
No Hp
081916424211
9
Alamat Kantor
10 No Telpon/Faks
11 Alamat E-Mail
[email protected]
12 Lulusan yang telah dihasilkan
13 Mata Kuliah yang diampu
B. Riwayat Pendidikan
Program
S1
Nama Perguruan
Tinggi
Universitas
Udayana
S2
S3
97
Bidang Ilmu
Sosiologi
Tahun Masuk
2010
Tahun Lulus
Judul Skripsi/Tesis/
Disertasi
Nama pembimbing/
Promotor
Masyarakat
Multikultur: Studi
tentang Interaksi
Sosial antara
Masyarakat Etis
Bali dan Etnis sasak
di Kota Amlapura
Dr. GPB Suka
Arjawa, M.Si.
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun terakhir
No
Tahun
Judul Penelitian
Sumber Dana
Jumlah
98
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Tahun
Judul Pengabdian Kepada
Masyarakat
Sumber Dana
1
2012
Pembersihan sampah di
Sanur
PNBP
2
2011
Pengenalan Lingkungan
Sehat di Panti Asuhan
PNBP
Jumlah
Rp. 4.000.000,-
E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun terakhir
No
Judul Artikel Ilmiah
Volume/Nomor
Nama Jurnal
1
2
F. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada pertemuan/Seminar Ilmiah dalam 5
tahun terakhir
No
Nama Pertemuan Ilmiah/seminar
Judul Artikel Ilmiah
Waktu dan Tempat
1
2.
3
4
99
G. Pengalaman Penulisan Buku dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Judul Buku
Tahun
Jumlah
Halaman
Penerbit
1
2
3
H. Pengalaman Perolehan HKI dalam 5-10 Tahun Terakhir
No.
Judul /Tema HKI
Tahun
Jenis
No.P/ID
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekaysa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Judul/Tema/Jenis Rekayasa Tahun
sosial lainnya yang telah
diterapkan
Tempat
penerapan
Respon
Masyarakat
1
2
100
J. Penghargaan yang pernah diraih dalam 10 Tahun terakhir (dari Pemerintah, Asosiasi, atau
Institusi lainnya.
No.
Jenis Penghargaan
Institusi Pemberi Penghargaan
Tahun
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima resikonya. Demikian biodata ini saya
buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian
Hibah Unggulan Udayana
Denpasar, 21 Februari 2014
Pengusul
(I. B. Wicaksana Herlambang)
NIM. 1021005009
101
BIODATA ANGGOTA PENELITI
A. Identitas Diri
1
Nama Lengkap
I Gusti Agung Istri Deviantari
2
Jabatan Fungsional
3
Jabatan Struktural
4
NIM
5
NIDN
6
Tempat dan Tanggal Lahir
Denpasar, 11 Mei 1993
7
Alamat Rumah
Jalan Batuyang, Gang Elang IX, No. 18,
Batubulan, Gianyar.
8
No Hp
085737618457
9
Alamat Kantor
1121005011
10 No Telpon/Faks
11 Alamat E-Mail
[email protected]
12 Lulusan yang telah dihasilkan
13 Mata Kuliah yang diampu
B. Riwayat Pendidikan
Program
S1
Nama Perguruan
Tinggi
Universitas
Udayana
S2
S3
102
Bidang Ilmu
Sosiologi
Tahun Masuk
2010
Tahun Lulus
Judul Skripsi/Tesis/
Disertasi
Nama pembimbing/
Promotor
Fotographer:
Gerakan Sosial
Lingkungan Hutan
Bakau di Denpasar
Selatan
Ikma Citra ranteallo,
S.Sos., MA. Dan I
Gede Kamajaya,
S.Pd., M.Si.
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun terakhir
No
Tahun
Judul Penelitian
Sumber Dana
Jumlah
103
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Tahun
Judul Pengabdian Kepada
Masyarakat
Sumber Dana
1
2012
Pembersihan sampah di
Sanur
PNBP
2
2011
Pengenalan Lingkungan
Sehat di Panti Asuhan
PNBP
Jumlah
Rp. 4.000.000,-
E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun terakhir
No
Judul Artikel Ilmiah
Volume/Nomor
Nama Jurnal
1
2
F. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada pertemuan/Seminar Ilmiah dalam 5
tahun terakhir
No
Nama Pertemuan Ilmiah/seminar
Judul Artikel Ilmiah
Waktu dan Tempat
1
2.
3
4
104
G. Pengalaman Penulisan Buku dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Judul Buku
Tahun
Jumlah
Halaman
Penerbit
1
2
3
H. Pengalaman Perolehan HKI dalam 5-10 Tahun Terakhir
No.
Judul /Tema HKI
Tahun
Jenis
No.P/ID
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekaysa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Judul/Tema/Jenis Rekayasa Tahun
sosial lainnya yang telah
diterapkan
Tempat
penerapan
Respon
Masyarakat
105
1
2
J. Penghargaan yang pernah diraih dalam 10 Tahun terakhir (dari Pemerintah, Asosiasi, atau
Institusi lainnya.
No.
Jenis Penghargaan
Institusi Pemberi Penghargaan
Tahun
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima resikonya. Demikian biodata ini saya
buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian
Hibah Unggulan Udayana.
Denpasar, 21 Februari 2014
Pengusul
(I Gusti Agung Istri Deviantari)
NIM. 1021005011
106
SURAT PERNYATAAN PERSONALIA PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, kami:
1. Nama Lengkap
: Dr. Drs. I Gst. Pt. Bagus Suka Arjawa, M.Si.
NIP/NIDN
: 196407081992031003 / 0008076403
Fakultas/Prodi.
: FISIP/ Sosiologi
Status dalam Penelitian
: Ketua Peneliti
2. Nama Lengkap
: Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si.
NIP/NIDN
: 195701051986012001 / 0005015713
Fakultas/Prodi
: FISIP / Sosiologi
Status dalam Penelitian
: Anggota
3.Nama Lengkap
: Dr.drh.Tjok Gde Oka Pemayun,MS
NIP/NIDN
: 195706301987101001/0030065708
Fakultas/Prodi
: Kedokteran Hewan
Status dalam Penelitian
: Anggota
3. Nama Lengkap
: I. B. Wicakasana Herlambang
NIM
: 1021005009
Fakultas/Prodi
: FISIP / Sosiologi
Status dalam Penelitian
: Anggota
4. Nama Lengkap
: I Gusti Agung Istri Deviantari
107
NIM
: 111005011
Fakultas/Prodi
: FISIP / Sosiologi
Status dalam Penelitian
: Anggota
Menyatakan bahwa kami secara bersama-sama telah menyusun proposal penelitian Hibah
Unggulan Udayana yang berjudul: Identifikasi dan Pemberdayaan Sumberdaya Desa
(Tinjauan Sosiologis Desa di Bali Menghadapi UU No.6 Tahun 2014). Apabila Proposal ini
disetujui, maka kami secara bersama-sama akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
penelitian ini sampai tuntas sesuai dengan persyaratan yang dituangkan dalam Surat Perjanjian
Pelaksanaan Penelitian.
Demikian Surat Pernyataan ini kami buat dan ditandatangani bersama sehingga dapat digunakan
sebagaimana mestinya.
Denpasar, 17 Februari 2015
Dr. Drs. I Gst. Pt. Bagus Suka Arjawa, M.Si.
(NIP.196407081992031003)
_________________________
Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si.
(NIP. 195701051986012001)
_________________________
Dr.drh.Tjok Gde Oka Pemayun,MS
(NIP.195706301987101001)
_________________________
I. B. Wicakasana Herlambang
(NIM. 1021005009)
_________________________
I Gusti Agung Istri Deviantari
(NIM. 111005011)
_________________________
108
Organisasi Penelitian
No.
Nama/NIDN
Instansi
Asal
Prodi
Sosiologi,
Fisip Unud
Bidang Ilmu
1
Dr. I Gst.Pt.
Bagus Suka
Arjawa
2.
Dr. Ni Luh
Nyoman
Kebayantini,
M.Si
Prodi
Sosiologi,
Fisip Unud
Sosiologi/Antropologi 10 jam /
Budaya
Minggu
3.
Dr. Cokorda
Pemayun
Fakultas
Kedokteran
Hewan
Fakultas Kedokteran
Hewan
Sosiologi
Alokasi
Jam/Minggu
10
jam/Minggu
10 jam per
minggu
Mahasiswa
Prodi
Sosiologi
Unud,
semester 8
10 jam per
minggu
Mahasiswa
10 jam per
Uraian Tugas
Peneliti utama,
mengkoordinir
penelitian dan
melakukan
observasi,
anaalisis data dan
membuat
kesimpulan.
-Mengobeservasi
sumber-sumber
daya yang
Nampak maupun
tidak namapak
yang dapat
dikembangkan
sebagai sumber
daya desa.
Mengobservasi
sumber-sumber
budaya di desa
yang dapat
dikembangkan
untuk
memberdayakan
masyarakat.
Mengidentifikasi
sumber daya
kehewanan,
peternakan dan
pertanian yang
dapat
dikembangkan di
desa.
Membantu
melakukan
wawancara dan
mengobservasi
sumber daya
lingkungan
Membantu
109
Prodi
Sosiologi
Unud
semester 9
minggu
wawancara,
mengidentitifikasi
konflik dan
kerjasama di
desa.
110
Foto-Foto Potensi Desa
Salah satu potensi desa yang belum dimaksimalkan, yaitu KUD Timpag yang ada di Kerambilan
bagian utara.
111
Foto Bendungan Telaga Tunjung, potensi pengairan dan pariwsata yang belum digarap.
112
Daerah Persawahan sebagai potensi kemakmuran desa
113
Sebagian wilayah Kecamatan Kerambitan, dilewati jalur utama Jawa-Bali yang kalau
dimanfaatkan akan dapat meningkatkan potensi ekonomi desa.
114
BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN
JUSTIFIKASI PENGGUNAAN ANGGARAN
IV. 1 Gaji dan Upah
No
Pelaksana
Honor
Jumlah
1.
Satu orang peneliti utama.
@, Rp. 800.000/bulan.
Sepuluh Bulan , 6 x Rp.
750. 000,- = Rp.
5.250.000,-
Rp. 4800000,-
2.
Dua orang peneliti
@ Rp. 600.000,- /bulan.
Rp. 7200.000,-
2 x 6 x Rp. 600.000,- =
Rp. 7.000.000,3.
Dua orang peneliti/petugas
lapangan
@ Rp 250.000,-/bulan.
Rp. 3000000,-
2 x 6 x 250.000=
Rp. 4.200.000,-
4
Sub Total Biaya
Rp. 15000000,-
2. Bahan Penunjang Penelitian dan Habis Pakai
No.
Nama Bahan
Justifikasi
pemakaian
Biaya Satuan
Jumlah
1.
Kertas HVS 80 gram
Kuarto 10 rim
Membuat proposal,
laporan akhir,
artikel untuk
seminar serta jurnal.
@Rp. 60.000,-
Rp. 600.000,-
2.
Kertas HVS 80 gram folio Untuk laporan akhir
@Rp. 60.000,-
Rp. 300000,115
sebanyak 5 rim.
yang diminta oleh
kepala desa maupun
anggota masyarakat.
3.
Flashdish sebanyak 7 biji
Diberikan kepada
peneliti untuk
menyimpan
berbagai data
4.
Pembelian white board,
pulfen, stabillo, pensil,
boxi.
Untuk mencatatkan
hasil penelitian serta
memaparkan hasil
penelitian saat
melakukan diskusi
5.
Buku harian untuk para
peneliti dan petugas
lapangan, masing-masing
3 buah
Untuk mencatat
segala ide, gagasan
dan peristiwa yang
ada di lapangan
@Rp. 15.000,-
6.
Pembelian termasuk
fotocopy surat kabar dan
majalah bekas.
Mencatat berbagai
keluhan dan
berbagai potensi
desa yang ada di
Bali.
Rp. 290000,-
7.
Toner Laser Jet warna
8.
Tas komprehensif,
sebanyak 6 buah.
Dipakai oleh
peneliti ke lapangan
9.
Map elit untuk diskusi
kelompok, dan seminar
sebanyak 60 lembar
Dipakai untuk
@ Rp. 12000,menempatkan
bahan-bahan diskusi
Rp. 720000,-
10
Snack untuk diskusi
sebanyak 60 bagian
Digunakan saat
diskusi, termasuk
diskusi terpusat
(Focus Group
Discution)
@ Rp. 15000,-
Rp. 900000,-
11
Konsumsi (nasi) sebanyak Digunakan saat
60 kotak
diskusi, termasuk
@ Rp.25000,-
Rp. 1500000,-
@ Rp.70000,-
Rp. 490000,-
Rp. 975000
Rp. 225000,-
5 x 3 x Rp.
15.000,Rp. 290000,-
Rp. 2.000.000,@ Rp 150000
Rp.900000,-
116
diskusi terpusat
(Focus Group
Discution)
12
Membuat sertifikat
sebanyak 75 lembar
Untuk dibagikan
kepada peserta
diskusi dan kepada
anggota masyarakat
di desa
@ Rp. 12000,-
Rp.900000,-
13
Biaya menyewa jasa
pengetikan selama
penelitian
Untuk mengimbangi @ Rp. 2000,-,
pengetikan kurang
total sebanyak
rapi dari peneliti
250 halaman
Rp. 500000,-
14
Menyewa kamera selama
9 bulan penelitian
Memotret dan
Rp 100000,- per
mendokumentasikan bulan
fenomena yang ada
dalam penelitian
Rp. 900000,-
15
Membuat spanduk
Di pakai di desadesa lokasi
penelitian, sebanyak
lima desa dan 1 saat
melakukan diskusi
@ Rp. 400000,-
Rp. 2400000,-
16
Menyewa LCD
Untuk Diskusi
kelompok dan
Seminar
@ Rp 200000,-
Rp. 400000,-
17
Membeli buku-buku
penunjang penelitian,
termasuk foto copy
bahan-bahan yang
berbentuk buku, sebanyak
50 buah
Untuk menunjang
penelitian secara
teoritik
@ Rp 60.000,-
Rp. 6000000,-
18
Sub Total Biaya Bahan
Habis Pakai /bahan
penelitian
Rp.20000000,-
117
3. Biaya Perjalanan
No.
Uraian
Satuan
Jumlah
1.
Biaya perjalanan observasi pada
awal penelitian untuk empat lima
orang, selama dua hari
@.Rp. 60000,-
Rp. 960000,-
2x 4 x 2 x Rp.
60000,- =
Rp. 960000,-
.2
Biaya Perjalanan 5 orang untuk
melakukan wawancara selama
penelitian, selama 10 kali
@ Rp. 50.000,-
Rp. 2500000,-
5 x 10 x Rp,
50000,-=
Rp. 2500000,-
3.
Biaya ongkos kendaraan, ojek,
pengantaran dan sebagainya
selama penelitian. Untuk 5 orang
@. Rp 300000,-
Rp. 1500000,-
5 x Rp. 300000,- =
Rp. 1500000,-
4
Tip untuk perjalanan
5.
Sub Total Biaya
Rp. 40000,Rp. 5000000,-
4. Pengeluaran Lain Lain
No.
1.
Uraian
Fotocopy laporan dan penjilidan
24 eksemplar (sebagian diberikan
Satuan
@ Rp. 40000,-
Jumlah
Rp. 960000,-
118
kepada masyarakat)
2.
Biaya pertemuan rapat tim, dengan @ Rp.45000,tokoh-tokoh di lapangan sebanyak
2 x Rp. 450000=
dua kali
Rp. 900000,-
3
Biaya rapat hasil observasi
Rp. 950000,-
4
Biaya memberikan penjelasan
kepada tokoh-tokoh desa
Rp. 950.000,-
5.
Biaya pendokumentasian dalam
bentuk foto
Rp. 500.000,-
6.
Biaya seminar termasuk snack
dan nasi
Rp.950000,-
7.
Mengundang tokoh adat dan dinas
Rp.900000,-
8.
Temu muka dengan masyarakat
menyampaikan terima kasih atas
kesempatan penelitian
Rp. 750000,-
8
Biaya publikasi ilmiah
Rp. 850000,-
9.
Rapat pengolahan data dengan tim
peneliti
@ Rp 175000,-
Rp. 875000,-
10.
Biaya pembelian banten dan
persembahyangan selama di
lapangan
@ Rp. 75000,-
Rp. 900000,-
11
Membeli hiasan untuk pertemuan
dan seminar
Rp 515000,-
Sub Total Biaya
Rp. 10000000,-
119
Total Biaya Keseluruhan pada satu tahun penelitian
No.
Kegiatan
Jumlah Biaya
1.
Gaji dan Upah
Rp. 15000.000,-
2.
Biaya Habis Pakai / bahan penelitian
Rp. 20.000.000,-
3
Biaya Perjalanan
Rp. 5.000.000,-
4
Pengeluaran lain-lain
Rp. 10.000.000,-
5.
Jumlah total biaya per tahun
Rp. 50.000.000,-
IV. 2 JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN
No.
Kegiatan
Pelaksanaan
Keterangan
1
Mencari dan pembuatan
surat-surat ijin penelitian
Minggu pertama bulan April
1 – 5 April 2015
1
Persiapan Observasi di
daerah tingkat
Kecamatan
Minggu kedua bulan April 2015
Selama tujuh hari
dilakkan di seluruh
Kecamatan
Kerambitan, Tabanan
2
Pembuatan daftar
pertanyaan untuk
wawancara
Minggu ketiga April 2015
Antara tanggal 20-26
April 2015
3
Pembekalan dan
pelatihan peneliti dan
tenaga lapangan
Minggu keempat bulan April
2015
Tanggal 27 – 30 April
2015
4
Pembelian sarana
penunjang penelitian
Minggu pertama bulan Mei
Tanggal 3 – 6 Mei
2015
5
Menghubungi tokoh dan
Minggu pertama dan kedua
Tanggal 8 -11 Mei
120
aparat desa di lapangan
Bulan Mei
2015
3
Wawancara di lapangan
Minggu kedua Mei sampai
dengan akhir Mei dan awal juni
sampai minggu kedua bulan Juni
2015
Tanggal 14 Mei sampai
31 Mei sampai dangan
8 Juni.
4.
Diskusi dari temuan
lapangan
Minggu kedua bulan Juni 2015
Tanggal 13 – 20 Juni
2015
5
Orientasi dengan desadesa lain
Minggu ketiga bulan Juni 2015
Tanggal 22- 25 Juni
2015
5.
Triangulasi ke lapangan
Minggu keempat bulan Juli 2015 Tanggal 24-30 Juli
2015.
6
Analisis data dan
penulisan laporan
Bulan Agustus 2015
Bulan Agustus 2015
7.
Seminar hasil penelitian
Bulan September 2015
Minggu Ketiga
September 2015
8.
Laporan hasil penelitian
Bulan Oktober 2015
Bulan Oktober 2015
121
No. Kegiatan
Mencari dan
1
pembuatan
2
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
surat-surat ijin
penelitian
Persiapan
Observasi di
daerah tingkat
Kecamatan
Pembuatan
daftar
pertanyaan
untuk
wawancara
Pembekalan dan
pelatihan
peneliti dan
tenaga lapangan
Pembelian
sarana
penunjang
penelitian
Menghubungi
tokoh dan
aparat desa di
lapangan
Wawancara di
lapangan
Diskusi dari
temuan
lapangan
Orientasi
dengan desadesa lain
Triangulasi ke
lapangan
Analisis data
dan penulisan
laporan
Seminar hasil
penelitian
Laporan hasil
penelitian
122
Download