Bidang Unggulan : Sosial Budaya Kode/Nama Bidang Ilmu : 612/Sosiologi LAPORAN PENELITIAN HIBAH UNGGULAN UDAYANA JUDUL: IDENTIFIKASI DAN PEMBERDAYAAN SUMBERDAYA DESA (Tinjauan Sosiologis Desa di Bali Menghadapi UU No.6 Tahun 2014) TIM PENELITI Dr. Drs. GPB Suka Arjawa, M.Si (0008076403) (Ketua) Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si (0005015713) (Anggota) Dr. Drh. Tjok Oka Pemayun, M.S. (0030065708) (Anggota) I.B. Wicaksana Herlambang (Anggota) I Gusti Agung Istri Devantari (Anggota) PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA 2015 i DAFTAR ISI RINGKASAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1.1 Perumusan Masalah.......................................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 1.3 Tujuan Utama .................................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 1 2 3 3 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. 1Tulisan dan Penelitian Terdahulu .................................................................. II. 2 Penjelasan Konsep........................................................................................... II. 3 Kerangka teoritis ................................................................................... II. 4 Studi Pendahuluan ............................................................................................. II. 5 Kerangka Pemikiran dan Luaran ........................................................................ 5 6 8 9 11 BAB III METODE PENELITIAN III. 1 Jenis Penelitian .............................................................................................. III. 2 Lokasi Penelitian dan Alasan Memilih Lokasi ........................................... III. 3 Metode Penarikan Sampel ............................................................................ III. 4 Unit Analisis ................................................................................................... III. 5 Sumber Data ................................................................................................... III. 6 Teknik Pengumpulan Data ........................................................................... III. 7 Teknik Analisis Data ...................................................................................... 13 13 14 14 14 15 16 BAB IV. PEMBAHASAN........................................................................................ 18 BAB V. KESIMPULAN.......................................................................................... 77 LAMPIRAN.............................................................................................................. 82 ii IDENTIFIKASI DAN PEMBERDAYAAN SUMBERDAYA DESA (Tinjauan Sosiologis Desa di Bali Menghadapi UU No.6 Tahun 2014) RINGKASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sumber daya baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan (tangible maupun intangible) di desa pakraman atau desa dinas di Bali dan kemudian menyumbangkan hal itu kepada masyarakat untuk dapat difungsikan dengan maksimal (diberdayakan). Masing-masing desa di masyarakat, pasti mempunyai sumber daya, akan tetapi masyarakat Bali tidak terlalu memperhatikan. Target dari penelitian ini adalah bahwa masyarakat desa mengetahui sumber daya tersebut dan mampu memanfaatkannya. Dengan pemahaman dan kemampuan itu, masyarakat akan siap menyongsong Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang- Undang ini mempunyai tujuan memaksimalkan potensi yang ada di desa untuk pembangunan, guna menunjang pembangunan nasional. Untuk itu, penelitian ini memakai metode kualitatif. Dengan metode ini peneliti langsung terjun ke lapangan, melihat perkembangan yang ada dan kemudian menafsirkan berbagai realitas dalam bentuk makna, untuk selanjutnya mendapatkan kesimpulan. Untuk menjelaskan pemanfaatan dan pemberdayaan suber daya yang ada, penelitian ini memakaii teori pilihan rasional, yang memandang bahwa manusia, dengan pengetahuannya akan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Dengan konteks pemikiran demikian, maka masyarakat, dengan bantuan melalui penelitian ini, akan terdorong untuk lebih memperhatikan terhadap potensi sumber daya yang ada di sekitarnya, kemudian focus mengembangkan sumber daya tersebut. Dengan cara seperti itu, baik desa pakraman atau desa dinas atau desa apapun sebutannya di wilayah itu, akan mampu optimal membangun dirinya dalam kerangka pembangunan nasional, sebagai desa yang mandiri. Di Bali dengan demikian, desa yang telah mandiri ini tidak akan kebingungan lagi untuk memilih salah satu desa itu untuk didaftarkan ke pusat, dan siap melaksanakan amanah Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kata Kunci: Sumberdaya, Pemberdayaan, Desa, Desa Pakraman iii BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Upaya penerapan Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa di Bali menuai langkah cukup sulit. Baik masyarakat maupun pemerintah tidak berhasil mencapai kesepakatan antara memilih Desa Pakraman atau Desa Dinas untuk diusulkan ke Jakarta. Hal ini menandakan adanya faktor tertentu yang membuat kedua pihak kesulitan menentukan pilihan. Secara sosiologis masyarakat Bali sudah terbiasa dengan pelaksanaan kedua jenis desa tersebut karena dipandang telah berlangsung kooperatif. Desa pakraman merupakan desa tradisional di Bali yang telah berlangsung berabad-abad. Munculnya Undang Undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, membuat di Bali juga diterapkan desa dinas. Dengan demikian di Bali kemudian ada dua jenis desa, yaitu desa pakraman yang mengurus tentang hal-hal yang berhubungan dengan adat dan Khayangan Tiga serta desa dinas yang berhubungan dengan hal kenegaraan-kewarganegaraan. Dua desa itu ternyata mampu berjalan berdampingan dan saling mendukung. Karena itulah kemudian, ketika masyarakat diharuskan memilih salah satu dari desa tersebut, tidak ada kesatuan pendapat bagi masyarakat di Bali. Sebagian cenderung memilih desa pakraman dan sebagian lagi memilih desa dinas. Secara umum tidak ada kesepakatan tentang hal ini. Akibatnya ketika tenggat batas waktu pendaftaran selesai tanggal 15 Januari 2015, tidak ada desa yang mendaftarkan diri melalui pemerintah daerah tingkat II. Dengan kondisi seperti ini, ada waktu dua tahun lagi bagi masyarakat menetapkan pilihannya untuk memilih salah satu dari dua desa tersebut. Undang Undang No. 6 Tahun 2014 pada hakekatnya meminta masyarakat untuk memilih salah satu dari desa tersebut untuk di daftarkan kepada pemerintah pusat Dari sisi makna, Undang Undang No. 6 Tahun 2014 sesungguhnya ingin memaksimalkan segala potensi sumber daya yang ada di desa untuk kemajuan dan kemandirian desa tersebut. Pemerintah akan memberikan berbagai bimbingan dan rangsangan untuk 1 memaksimalkan segala sumberdaya yang ada di desa agar dapat diberdayakan dan dimanfaatkan secara maksimal. Salah satu upaya pemerintah untuk itu adalah memberikan bantuan keuangan lebih dari 1 rupiah. Dana ini digunakan untuk memberdayakan segala sumber daya tersebut. Dugaan ketidakmampuan masyarakat dan komponen masyarakat di Bali memilih salah satu diantara desa dinas dan desa pakraman itu adalah tidak dan belum pernah diidentifikasinya segala potensi sumber daya yang dimiliki, tidak memahami manfaat dari sumber daya, dan tidak mempunyai pengetahuan untuk memberdayakannya. Padahal, setiap desa di Bali memiliki sumber daya tangible (tampak) dan intangible (tidak Nampak) yang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Misalnya, desa pakraman mempunyai tanah laba pura yang luas, masyarakat mempunyai lahan pertanian dan perkebunan yang luas, di desa juga banyak sarjana, potensi semangat dan kebanggaan desa yang belum tergali, atau letak desa di jalan yang strategis. Banyak potensi yang masih belum diidentifikasi dan diberdayakan. Karena itulah, untuk memberikan masukan masyarakat memilih salah satu desa yang akan dipilihnya, penelitian ini akan melakukan identifikasi sumber daya tersebut di desa-desa, menggali manfaat dari sumber daya tersebut dan memberikannya kepada aparat desa untuk menginformasikannya kepada masyarakat untuk dapat dimanfaatkan secara maksimal. Lokasi penelitian yang dipilih adalah desa-desa di Kecamatan Kerambilan, Kabupaten Tabanan. Kecamatan ini merupakan salah satu lumbung pertanian Kabupaten Tabanan, tetapi terbengkalai karena ditinggal oleh masyarakatnya pergi bekerja bolak-balik ke Denpasar atau Badung bagian selatan. I.2 Perumusan Masalah Permasalahan yang diungkap dalam penelitian ini adalah: 1). Apa jenis dan bentuk sumber daya manusia di desa dinas dan desa pekraman yang bersangkutan. 2). Bagaimana upaya pemberdayaan sumber daya tersebut bagi desa atau desa pakraman dalam rangka penerapan Undang Undang No. 6 Tahun 2014 3). Bagaimana kesiapan desa dinas atau desa pakraman untuk memberdayakan sumber daya tersebut? 2 I.3 Tujuan Penelitian 1). Untuk mengetahui berbagai macam sumber daya, baik yang tangible maupun intangible dari desa pakraman atau desa dinas. 2). Untuk menjelaskan berbagai manfaat dari sumber daya yang ditemukan di desa atau desa pakraman tersebut. 3). Untuk mengetahui dan menjelaskan kesiapan desa atau desa pakraman dalam memberdayakan sumber daya tersebut. I.4 Tujuan Utama Tujuan utama dari penelitian ini adalah memberikan gambaran kepada desa bersangkutan (desa pakraman dan desa dinas) tentang potensi sumber daya yang dimiliki di wilayahnya, upaya untuk memberdayakan sumber daya tersebut sehingga dengan modal itu dapat melaksanakan amanat dari Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. I.5 Manfaat Penelitian 1). Penelitian ini akan memberikan bantuan dan bimbingan kepada desa pakraman dan desa dinas untuk mengetahui apa saja sesungguhnya yang menjadi sumber daya yang ada di desa tersebut, yang juga tidak saja memberikan inspirasi kepada desa lokasi penelitian tetapi juga kepada desa pakraman lain di Bali. 2). Memberikan sumbangan pikiran dan inspirasi bagi desa di luar tempat penelitian, untuk berupaya menggali sumber daya yang dimiliki dan upaya memberdayakannya. 3). Membuka pengetahuan masyarakat desa dan desa pakraman tentang potensi kemajuan yang dimilikinya. 4). Memberikan sumbangan kepada pemerintah, khususnya daerah Tingkat II, baik di Bali maupun di tempat lain di Indonesia dalam rangka menghadapi pemberlakuan Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. 3 5). Dengan pengetahuan yang diberikan tersebut, akan dapat membantu memudahkan pilihan bagi komponen masyarakat untuk memilih desa pakraman atau desa dinas dalam kerangka penerapan Undang Undang No. 6 Tahun 2014 ini. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. 1 Tulisan Terdahulu Secara umum, tulisan-tulisan sosiologis tentang desa dan desa pakraman di Bali yang mengupas tentang sumber daya dan pemberdayaan sumber daya desa, masih sangat minim. Lebih banyak yang mengupas tentang desa pakraman, terutama menyangkut soal konflik. Ranah yang dikupas kepanyakan dari sisi hukum. Windia (2014), dalam Hukum Adat Bali: Aneka Kasus dan Penyelesaiannya, misalnya mengupas berbagai kasus yang ada di desa pakraman, akan tetapi lebih banyak menitikberatkan pada masalah penyelesaian hukum. Beberapa tulisan bunga rampai itu mempunyai persoalan sosial tentang kepemilikan sumber daya, terutama berkitan dengan wilayah pariwisata. Tetapi yang ditekankan adalah kepantasan desa pakraman dalam mengelolanya. Jadi tentang sumber daya dan pemberdayaan sumberdaya itu oleh masyarakat, masih belum ada. Tim Fakultas Hukum Universitas Udayana (2013) melakukan penelitian tentang “Konflik Perbatasan Desa pakraman dalam Perspektif Ekonomis Tanah serta Penyelesaiannya”, menyimpulkan bahwa konflik itu dipicu oleh faktor ekonomi rebutan lahan, retribusi, dan manfaat ekonomi lainnya. Penyelesaian konflik menggunakan pola mediasi yang dilakukan pemerintah daerah, dan upaya penanggulangannya lebih menekankan faktor represif. Jadi dalam penelitian ini yang diungkapkan adalah faktor penyebab konflik dan penyelesaiannya yang memang bersumber dari faktor-faktor ekonomi. Tidak mengupas soal sumber daya dan pemberdayaannya. Dharma Laksana dan kawan-kawan (2011) meneliti dengan judul “Eksistensi Gotong Royong dan Tolong Menolong dalam Kehidupan masyarakat Adat dalam Perkembangan Pariwisata di Desa Pakraman Penyaringan Desa Sanur Kauh”. Dalam kesimpulannya secara garis besar disebutkan bahwa kehidupan gotong royong tersebut masih eksis di desa tersebut, meskipun desa sudah menjadi daerah wisata. Penyebabnya adalah karena nilai solidaritas tinggi, terutama saat kematian. Tulisan ini hanya menekankan tentang keberadaan nilai dan realitas gotong royong saja, tetapi tidak mengupas tentang bagaimana pemberdayaan gotong royong itu sebagai sebuah sumber daya tidak kelihatan (intangible) dari masyarakat. Sedangkan penelitian 5 yang akan dilakukan ini, justru mencoba memberikan masukan kepada masyarakat tentang bagaimana memanfaatkan modal itu untuk kepentingan desa, demi menghadapi UU No. 6 Tahun 2014 Jayantiari dan kawan-kawan (2012) meneliti tentang “Otonomi Desa Adat dalam Kaitan dengan Eksistensi Tanah adat di Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan”. Dalam kesimpulannya disebutkan bahwa Desa Pakraman Kukuh secara mandiri mampu menyelenggarakan kesejahteraan warganya melalui hutan desa sebagai pariwisata. Juga ditemukan bahwa tanah adat di Desa Kukuh masih tetap eksis tanpa diperjualbelikan. Tulisan ini memang mengupas tentang salah satu sumber daya yang diberdayakan desa pakraman. Akan tetapi tidak mengupas tentang sumber daya lain yang mungkin berada di desa tersebut. Penelitian yang hendak dilakukan penulis, akan mencoba menelusuri berbagai sumber daya yang ada di satu desa pakraman yang kemudian berpotensi diberdayakan untuk menghadapi UU No. 6 Tahun 2014. Dengan demikian, penelitian yang berjudul “Identifikasi dan Pemberdayaan Sumber Daya Desa: Tinjauan Sosiologis Desa di Bali Menghadapi UU No.6 Tahun 2014” ini layak dilakukan untuk melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya karena mempunyai tujuan paling utama, yaitu mampu memberikan sarana dan pemikiran bagi desa ataupun desa pakraman untuk menyongsong penerapan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, terutama tentang potensi desa yang dimiliki dan upaya untuk memberdayakannya. II. 2 Penjelasan Konsep Identifikasi memudahkan merupakan upaya mengenali bagian-bagian dari suatu obyek untuk pengenalan terhadap obyek tersebut. Upaya pengenalan itu dapat dilakukan dengan melihat ciri-ciri utama dari obyek bersangkutan agar dapat dikenali oleh masyarakat. Ciri-ciri utama ini akan melekat pada obyek tersebut akan didapatkan apabila dikaitkan dengan manfaat yang diinginkan terhadap obyek bersangkutan. Secara sosiologis, kemanfaatan itu bisa dikaitkan dengan kebutuhan dan keperluan lingkungan masyarakat di mana obyek tersebut berada. Beckmann dan Beckmann, kurang lebih menekankan bahwa konteks identitas itu mengandung makna katagori-katagori yang mempunyai kaitan dengan obyek tersebut dengan masyarakat (Ramstedt dan Thufail, 2011:19). Dengan demikian, pengkatagorian-pengkatagorian 6 yang dimaksudkan oleh Beckmann tersebut bisa dilihat pada pengenalan bagian-bagian dari suatu obyek. Identifikasi terhadap sumber daya ini dimaknai bahwa desa di Bali sesungguhnya telah mempunyai sumber daya, akan tetapi karena kurang diperhatikan, menjadi terlantar dan fungsinya tidak dimanfaatkan secara maksimal. Sumber daya itu sudah ada sehingga yang duiperlukan hanya mengenalinya secara ulang dan menggali manfaat yang ada di dalam sumber daya tersebut. Identifikasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini, tidak lain berupa penggalian dan pengenalan sumber daya tersebut, untuk kemudian diinformasikan kepada aparat desa. Informasi inilah merupakan salah satu komponen kognitif yang dapat dipakai oleh aparat desa dalam konteks pemberdayaan sumber daya itu. Sumber daya tidak lain merupakan obyek, baik berupa benda atau hal yang kelihatan maupun tidak kelihatan (tangible maupun intangible), yang bisa diberdayakan (digunakan) kemanfaatannya bagi masyarakat lingkungan maupun masyarakat secara luas. Dalam konteks sosial, sumber daya yang tidak kelihatan misalnya adalah semangat kelompok, harmonisasi hubungan sosial, stablitas sosial dan sebagainya. Sedangkan yang kelihatan dapat bermacammacam seperti luas tanah, kesuburan tanah, keindahan lokasi, jumlah penduduk, lokasi strategis, arus air, angin dan sebagainya. Menurut James S. Colemaan, sumber daya itu merupakan hal yang dapat dikendalikan oleh manusia (Ritzer, Nurhadi, 2011: 480). Lebih jauh lagi dikatakan bahwa sumber daya tersebut dapat dikontrol oleh individu maupun korporat (lembaga). Dengan demikian, kelompokpun dapat mengendalikan sumber daya ini. Dalam konteks desa atau desa pakraman, sumber daya yang dimiliki itu dapat dikendalikan oleh individu yang ada di desa, kelompok-kelompok atau sekehe yang ada, dan juga dapat dikendalikan oleh desa maupun desa pakraman. Sedangkan pemberdayaan adalah pemanfaatan dari sumber daya tersebut secara operasional sesuai dengan keunggulan dan fungsionalisasinya oleh dan untuk masyarakat. Ginanjar Kartasasmita, dikutip oleh Mukhtar Sarman (1997:38), menyebutkan bahwa makna pemberdayaan bagi masyarakat adalah bahwa mereka hendaknya tidak dijadikan obyek dalam pembangunan, tetapi justru dijadikan subyek dalam pembangunannya sendiri. Penjelasan Catur Utami dalam Supraja (2014:87) menyiratkan bahwa konteks makna pemberdayaan tersebut 7 mengaitkan antara masyarakat dengan sumber-sumber yang ada agar sumber itu mampu dimanfaatkan atau dioperasionalkan oleh masyarakat itu sendiri demi tujuan kehidupannya. Dengan demikian, pemberdayaan adalah pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat untuk tujuan kehidupan. Anggota masyaratlah yang harus bergerak secara aktif untuk mengolah dan memanfaatkan kekayaan yang dimiliki. Pemberdayaan ini dapat menguntungkan bagi masyarakat baik secara materiil maupun spiritual. II. 3 Kerangka Teoretis Dalam sosiologi, secara umum ada tiga bentuk teori yang penting bagi perkembangan manusia. Yang pertama, manusia selalu mengembangkan pengetahuan untuk tujuan penting tertentu. Kedua, manusia mengubah lingkungan, bahasa dan kepentingan praktis yang selanjutnya melahirkan pengetahuan hermeneutik, yakni tentang interpretasi, dan ketiga kepentingan emansipasi (Pelly, Menanti, 1994:159). Dalam penelitian ini, teori utama yang dipakai, adalah Teori Pilihan Rasional. Teori ini merefleksikan upaya manusia mengembangkan pengetahuan demi tujuan-tujuan yang dipandang penting bagi masyarakat. Pada hakekatnya pemberdayaan merupakan pilihan-pilihan yang menguntungkan dan terbaik dari berbagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk meraih manfat maksimal kepada desa. Sumber daya di desa terdiri dari berbagai macam ragam dan karena itu mesti dipilih yang paling tepat dan pantas untuk mendorong kemajuan. Karena itulah, dalam penelitian ini teori paling relevan yang dipakai sebagai pembimbing dan pendorong aplikasi adalah teori pilihan rasional. Teori ini merupakan teori sosial yang diterapkan pada masyarakat dan mempunyai sentuhan dengan perilaku-perilaku ekonomi, terutama pada aspek yang menyangkut pilihan yang menguntungkan tersebut. Ritzer yang mengutip Coleman mengatakan bahwa dalam teori pilihan rasional ini, aktor akan memilih tindakan yang memaksimalkan keuntungannya (Ritzer, Nurhadi, 2011: 480). Aktor tersebut bisa individu, kelompok, lembaga, komunitas atau masyarakat itu sendiri. Teori Pilihan Rasional diungkapkan pertama kali oleh James C.Coleman, dengan dasar pemahaman bahwa orang bertindak secara sengaja untuk mencapai suatu tujuan, dimana tujuan dan tindakannya ini mempunyai satu nilai atau preferensi (Ritzer, Nurhadi, 2011: 480). Coleman 8 juga menyebutkan bahwa dalam melakukan pilihan untuk mendapatkan manfaat maksimal ini, aktor akan menggunakan pertimbangan-pertimbangan kognitif. Pemahaman inilah yang kemudian diperluas maknanya oleh Darren Sherkat bahwa untuk mendukung keuntungan maksimal itu, diperlukan banyak informasi dalam proses pembalajaran (Mellor, 2000: 284). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori pilihan rasional itu menekankan kepada pemampuan manusia atau kelompok sebagai aktor dalam memilih berbagai sumber yang ada, untuk kemajuan demi mencapai tujuannya. Untuk melakukan pilihan yang tepat itu, haruslah dilakukan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, dimana pengetahuan ini didapatkan secara akumulatif. Bisa melalui pengetahuan lewat teman-teman, informasi dan sebagainya. Dalam hubungan meraih keuntungan maksimal antara individu dan kelompok, ada dua kondisi yang bisa diungkap oleh teori pilihan rasional, yakni ketika pemikiran individu yang digunakan oleh kelompok dan pada saat pemikiran atau tindakan kelompok atau korporat ditujukan untuk mencapai keuntungan bersama (lihat pembahasan Suka Arjawa, 2014: 53). Dalam konteks desa atau desa pakraman menghadapi penerapan Undang Undang No. 6 Tahun 2014, maka untuk dapat menjalankan amanat undang-undang ini yang berupa kemandirian dan memberdayakan segala sumber daya yang ada, tidak lain dengan cara mengenali sumber daya yang dimilikinya, kemudian memilih dari sumber daya tersebut untuk dimaksimalkan manfaatnya agar dapat mencapai tujuan bersama. Penelitian ini membantu mengenalkan dan menggali potensi sumber daya manusia yang ada di desa tersebut, dan kemudian memberikan pemahaman tentang manfaat dan upaya untuk memaksimalkan pemberdayaan sumber daya tersebut. II. 4 Studi Pendahuluan yang Sudah Dilakukan Dalam hal wilayah penelitian yang akan dilaksanakan, penulis telah melakukan observasi awal, melihat kemungkinan-kemungkinan potensi yang ada di wilayah Kecamatan Kerambitan. Beberapa temuan yang sudah dilihat adalah: 1. Pada bagian tengah kecamatan ini, dilewati oleh jalan utama Denpasar-Gilimanuk. Sebagai area yang dilalui dengan jalan utama itu, mestinya masyarakat dapat melakukan aktivitas perdagangan. Tidak semua dimanfaatkan dengan baik. 9 2. Pada bagian selatan, kecamatan ini berbatasan dengan Samudra Indonesia, dengan ombak yang besar. Ini seharusnya dapat dipakai obyek pariwisata laut, tanpa harus merusak alam. 3. Sebagian besar jalan yang menghubungkan desa-desa dan banjar di Kecamatan Kerambitan, relatif baik. Demikian juga yang menghubungkannya dengan kota Tabanan. Seharusnya relasi sosial untuk perdagangan, juga bagus. Tetapi ini belum dimanfaatkan dengan baik. 4. Tanah subur, banyak persawahan dan ladang. Ini sangat memprihatinkan karena banyak terbengkalai. Banyak masyarakat bekerja di Denpasar dan Hotel-hotel di Badung selatan 5. Kehidupan gotong royong bagus. 6. Catatan memperlihatkan di seluruh Kecamatan Kerambitan telah banyak penduduk menyandang gelar sarjana. Sedangkan untuk pemahaman tentang Undang Undang No. 6 tahun 2014, tentang Desa, penulis telah melakukan beberapa hal: 1. Memberikan wawancara dengan media massa, terutama televisi Republik Indonesia, pada akhir bulan Januari 2015 2. Memberikan ceramah sebagai sosiolog dalam diskusi tentang UU No. 6 tahun 2014 di Darmantra Centre, tanggal 12 Januari 2015. 3. Menulis Artikel di Harian Balipost tanggal 13 Januari 2015 (dilampirkan) 4. Mengupas dan menafsirkan pasal-pasal dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. 10 II. 5 Kerangka Pemikiran dan Luaran Identifikasi Sumber Daya Desa Pakraman /Desa dinas Masukan dari ahli, dosen, mahasiswa, tokoh masyarakat dsb. Pengenalan Terhadap Potensi Diri Desa Desa Mandiri dengan pemahaman atas potensi sumber daya. 2016 Desa Mandiri Siap Menyongsong UU No. 6 tahun 2014 2017 Bagan diatas dapat dijelaskan bahwa pada tahap awal, penelitian ini membantu melihat dan mengenali berbagai sumber daya yang ada di desa bersangkutan, yang sebelumnya mungkin belum dipahami kelebihan dan potensi yang dimilikinya. Segala temuan ini, dalam bentuk laporan, akan diserahkan kepada desa atau desa pakraman bersangkutan. Akan tetapi, laporan ini juga akan diberikan kepada pemerintah, baik melalui pemerintah kabupaten maupun pemerintah provinsi dengan harapan dapat disebarkan kepada desa atau desa pakraman lain di Bali. Tujuannya agar desa tersebut dapat memakai sebagai rujukan atau referensi. 11 Peneliti juga akan tetap melakukan hubungan dengan desa atau desa pakraman, melalui tokoh-tokohnya atau melaluii pertemuan rutin, untuk memberikan penasihatan atau petunjuk, bimbingan serta diskusi untuk mengoperasionalkan sumber daya tersebut. Tujuan lanjutan dari penelitian ini adalah bahwa desa mampu memanfaatkan dan memberdayakan sumber daya yang dimilikinya untuk kemandirian dari desa bersangkutan. Dengan kemampuan seperti itu, maka desa ini akan dapat mandiri, mampu membangun sesuai dengan modal yang ada dalam kerangka pembangunan nasional. Bagi desa di Bali, kemandirian ini akan membuat mereka percaya diri dalam menyikapi amanah Undang Undang No. 6 Tahaun 2014, sehingga tidak terjadi keraguraguan. Desa dan Desa Pakraman akan dapat mengenali dirinya, mana yang lebih layak untuk diajukan ke pusat. Paling tidak dalam waktu dua tahun (tahun 2017), desa di Bali sudah dapat menentukan kemandiriannya ini. Dalam konteks praktis, luaran penelitian ini akan dapat dijadikan contoh oleh masyarakat desa pakraman atau desa dinas di Bali. Dalam konteks ilmiah, penelitian ini akan dimuat dalam jurnal ilmiah nasional. 12 BAB III METODE PENELITIAN III.1 Jenis Penelitian Penelitian ini sifatnya kualitatif. Metode ini digunakan agar bisa melihat langsung dan meresapi bagaimana kondisi di lapangan. Metode penelitian dengan jenis kualitatif merupakan metode yang melibatkan penelitinya langsung turun ke lapangan, melihat dan menyelami keadaan sosial yang berlaku sesungguhnya (Bryman, 2004:267). Dalam penelitian ini, terjun langsung ke lapangan sangat dipentingkan. Tujuannya adalah dapat melihat langsung keadaan geografis, mengamati lokasi yang bermanfaat dapat dikembangkan, serta melihat interaksi sosial masyarakat. Interaksi ini perlu didalami untuk melihat karakter mereka, apakah semangat, penuh konflik atau ada gaya interaksi lainnya. Terjun langsung ke lapangan juga berguna untuk merasakan semangat mereka bekerja. Seluruhnya berguna untuk mengamati bagaimana potensipotensi yang ada di desa tersebut. III. 2 Lokasi dan Alasan Pemilihan Lokasi penelitian adalah di Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, Bali. Kecamatan ini terletak kurang lebih 60-70 Kilometer di sebelah barat Kota Denpasar atau Kuta. Akan tetapi, banyak masyarakat yang justru pergi bolak-balik dari Kerambitan menuju Denpasar, Badung, Kuta, Jimbaran. Disaat ini, tanah-tanah pertanian di desa-desa Kecamatan Kerambitan yang berdekatan dengan kota Tabanan, banyak yang telah beralih fungsi jadi perumahan. Padahal, Kerambitan dikenal sebagai salah satu lumbung industri, sumber pertanian serta perkebunan di Kabupaten Tabanan. Tetapi sumber daya ini terbengkalai karena tidak dilirik dan ditinggal bekerja di Denpasar atau Kuta. Daerah ini juga mempunyai pantai yang berbatasan dengan Samudra Indonesia, yang semuanya merupakan sumber daya yang mampu dimaksimalkan manfaatnya untuk masyarakat. Jika hal ini mampu dimanfaatkan oleh desa atau desa pakraman, anggota masyarakat tidak perlu sampai jauh pergi ke Denpasar dan tidak perlu menjual tanah untuk kebutuhan keluarga, karena telah dapat memanfaatkan lahannya sendiri. 13 III. 3 Sampel Sampel pada penelitian kualitatif merupakan sampel purposif. Artinya sampel yang sudah ditentukan. Metode penarikan sampel ini sesuai dengan teknik bola salju. Artinya jumlah sampel akan ditentukan oleh kualitas pertanyaan dari peneliti dan kualitas jawaban dari responden. Apabila jawaban dinilai mempunyai kekurangan akan dikembangkan lagi dan memungkinkan terjadinya pertambahan sampel kepada individu yang lain. Dalam konteks desa, atau desa pakraman akan dicari desa di Kecamatan Kerambitan secara berimbang, di daerah selatan, utara, barat, timur dan tengah, masing-masing dua desa. Misalnya, Desa Tista di Selatan, Timpag di utara, Desa Tibubiyu di Barat, Desa Samsam bagian timur dan Kukuh di bagian tengah. III. 4 Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah wilayah desa, baik desa pakraman maupun desa dinas atau dengan sebutan lainnya, dengan lingkungan yang ada di dalamnya. Dipakainya desa sebagai unit analisis adalah untuk melihat, mengobservasi, dan mencari sumber daya yang ada di wilayah tersebut terutama sumber daya yang nampak secara kasat mata, misalnya sawah, sungai atau letak strategis. Sebagai sasaran analisis yang lain adalah anggota masyarakat, terutama tokoh-tokoh yang berpengaruh baik dari kalangan remaja, dewasa muda, dewasa mauptun tokoh yang sudah tua. Sasaran atau obyek analisis ini dipentingkan untuk mendapatkan pendapat dan gambaran tentang potensi sumber daya tidak nampak, seperti misalnya semangat, kecerdasan, tingkat pengetahuan dan cara pandang anggota masyarakat di desa tersebut. Dengan demikian, unit yang akan dianalisis adalah desa dan anggota masyarakat yang ada di desa tersebut. III. 5 Sumber Data Data dalam penelitian ini ada dua yakni data primer dan data sekunder. Dalam penelitian kualitatif, data primer merupakan data yang berasal dari lingkungan yang berasal dari wilayah penelitian. Data seperti ini dapat dikumpulkan melalui observasi pada saat awal perencanaan penelitian maupun setelah penelitian. Data hasil observasi ini akan dicatat dan direkam. Dapat 14 juga dilakukan melalui wawancara mendalam atau mendengarkan percakapan warga tentang potensi desa dimana mereka berada. Sumber data berikutnya adalah data sekunder yang berupa berbagai informasi yang telah tercatat, baik dilihat dari buku-buku, internet maupun catatan yang ada di kecamatan, balai desa maupun yang telah ada di arsip sederhana yang dimiliki penduduk. Misalnya penduduk yang kebetulan menyimpan catatan pembangunan sebuah bendungan. Di Desa Pakaraman Telaga Tunjung, Kerambitan, ada bendungan yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Termasuk pula berbagaisumber tercatat yang ada di kantor pemerintahan Kabupaten Tabanan. Pendapat dan hasildiskusi dengan para ahli atau cendekiawan juga dipakai sebagai acuan dan dipandang sebagai data sekunder, sepanjang pendapat itu sesuai dengan tema dalam penelitian ini. III. 6 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, data dikumpulkan dengan beberapa cara. Yang pertama adalah observasi terhadap lingkungan fisik yang ada di desa yang telah ditetapkan sebagai sampel untuk penelitian ini. Dalam konteks observasi, lokasi, kondisi geografis, demografis, sampai hubungan sosial diantara penduduk akan dicatat sebagai langkah awal untuk melakukan penelitian. Berdasarkan pencatatan segala obyek yang menonjol tersebut akan dilakukan langkah lanjutan yang dapat berupa wawancara maupun diskusi dengan anggota masyarakat setempat. Untuk mendapatkan pola pekerjaan mereka, jumlah ternak, penempatan kandang ternak juga akan dicatat dan dimaknai. Kedua, data dikumpulkan melalui wawancara mendalam. Dalam hal ini, wawancara merupakan langkah lanjutan yang dilakukan setelah observasi. Diperlukan wawancara untuk mengamati secara lebih mendalam dari pola interaksi, kondisi obyek yang dilihat, yang dapat merupakan sumber daya dari desa tersebut. Disamping dilakukan dengan pencatatan, berbagai obyek tersebut juga akan difoto dan direkam untuk kemudian dianalisis melalui metode penafsiran atau hermenautika. Baik pertanyaan untuk wawancara dicatat diturunkan dari perumusaan masalah, dan kemudian dikembangkan saat melakukan wawancara. Observasi juga merupakan turunan dari perumusan masalah yang ada dalam penelitian ini. 15 Ketiga, data dikumpulkan melalui diskusi kelompok yang terpusat (focus group discusion), baik kepada anak-anak muda, remaja, dewasa dan orang tua. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang persoalan yang diangkat. Data sekunder yang didapatkan dari buku-buku, maupun wawancara dengan pihak lain di luar Kecamatan Kerambitan, akan dicatat untuk mendukung data primer. III. 7 Teknik Analisis Data Analisis data ini didasarkan pada perumusan masalah yang sudah ditetapkan. Analisis data pada penelitian kualitatif sifatnya induktif. Artinya dari demikian banyak data yang didapatkan, ditafsirkan melalui sebuah kesimpulan dan kemudian dikelompokkan sesuai dengan perumusan masalah yang telah ditetapkan. Data yang didapatkan dari observasi fisik, akan dimaknai sesuai dengan tema yang ada. Demikian juga data yang didapatkan melalui wawancara, akan dikelompokkan sesuai dengan perumusan masalah, ditafsirkan dengan keterkaitan antara satu pernyataan dengan pernyataan yang lainnya. Keterkaitan ini akan memungkinkan membuat kesimpulan terhadap satu fenomena tertentu. Dalam pemahaman hermenutika, memahami sesuatu itu adalah melalui penafsirannya (Gibbons, Noer Zaman, 2002: xiv) Contoh Pencatatan Realitas, Tindak Lanjut, dan Pemaknaan No Realitas yang Dicatat Tindak Lanjut Pemaknaan/Penafsiran 1 Kondisi geografis tanah subur -Bertanya dan wawancara kepada anggota masyarakat (tokoh, ahli, mahasiswa dsb), tentang pemanfaatan tanah tersebut -Petani yang rumahnya besar memahami bahwa tanah subur memang dapat diberdayakan. -Melakukan perbandingan dengan wilayah desa lain, kecamatan lain, atau kabupaten lain. -Anggota masyarakat yang memilih kerja sebagai tukang kebun di kota, masih belum melihat sebagai potensi sumberr 16 daya 2 Lokasi di jalan raya utama Melihat aktifitas kegiatan masyarakat yang berhubungaan dengan lokasi tersebut. -Banyak warung pinggir jalan merupakan indikasi masyarakat memahami kelebihan lokasinya. 3 Hewan dan ternak terpelihara dengan baik. Melihat aktivitas ternak di keluarga lain atau di desa lain. Masyarakat memanfaatkan ternak sebagai penghasilan tamabahan. Bisa dikatakan sebagai potensi desa. 4. Bale banjar dimanfaatkan, baik sebagai ruang kumpulkumpul maupun kreatifitas. Ikut beraktivitas dan menyelami aktivitas yang ada. Potensi semangat kekeluargaan tinggi dan kreativitas hidup dii desa tersebut. 5 Dan sebagainya 17 BAB IV PEMBAHASAN IV. 1 Menggali Potensi Sumberdaya di Pedesaan Salah satu pemikiran yang muncul terhadap keberadaan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa ini adalah keinginann untuk menggerakkan desa dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Karena desa jumlahnya puluhan ribu di Indonesia, maka dapat dikatakan tidak semua desa mempunyai potensi sumber daya manusia yang sama antara satu desa dengan yang lain. Bentangan geografis Indonesia yang jutaan kilometer luasnya, dengan sifat geografis yang bermacam-macam tidak memungkinkan kesamaan itu. Di Pulau Jawa dan Bali misalnya, banyak dijumpai daerah pegunungan. Beberapa dari gunung itu aktif meletus atau dalam sejarahnya pernah meletus. Ini yang membuat kekayaan alam di dua pulau tersebut lebih bervariasi serta tanahnya subur. Di Pulau Papua, geografisnya lain lagi karena kaya dengan bahan tambang. Demikian juga dengan Pulau Sumatra, Kalimantan serta Sulawesi yang kaya dengan bahan pertambangan. Apabila dilihat dari konteks budaya, Indonesia ini juga sangat kaya ragam. Catatan yang pernah ada menyebutkan bahwa paling kurang Indonesia terdiri dari 250 suku bangsa. Masingmasing suku ini mempunyai budaya, seni, kebiasaan, sejarah yang berbeda-beda yang dapat ditampilkan sebagai sebuah kekayaan budaya yang dapat diolah. Misalnya ditampilkan sebagai sebuah pesta kesenian yang dapat mengundang turis. Budaya merupakan salah satu aset desa yang dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan pendapatan desa kelak. Di Bali, dengan kekayaan budayanya mempunyai bentuk budaya dalam wujud kesenian tradisionil yang demikian banyak ada di setiap desa. Tari Sanghyang dengan berbagai bentuknya itu, tidak hanya dijumpai di satu tempat tetapi juga ada di berbagai tempat, dengan wujud yang berbeda. Disamping itu atraksi budaya yang dapat ditafsirkan sebagai bentuk seni seperti Perang Tipat di Kapal, Mekotek di Tabanan, atau Omed-Omedan di Sesetan, merupakan atraksi yang dapat diklaim sebagai milik desa dan kemudian diberdayakan untuk kemanfaatan desa tersebut. Salah satu resiko dari pemberdayaan desa ini adalah komersialisasi terhadap upacara-upacara ritual yang sebelumnya dipandang sakral. Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa sesungguhnyaa menginginkan adanya pemberdayaan sumber daya desa ini agar ke depan desa mampu mandiri. Dalam penjelasan 18 undang-undang ini, disebutkan bahwa tujuan dibentuknya pengaturan desa melalui keluarnya undang-undang, ada sembilan butir. Dari seluruh butir tersebut, setidaknya sebagian mempunyai kaitan dengan upaya memberdayakan sumber daya desa, aset desa untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Tujuan itu adalah mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat desa untuk mengembangkan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama; meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan memperkuat masyarakat desa sebagai subyek pembangunan. Dari tujuan yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat desa, ada beberapa kalimat kunci yang dapat dilihat yaitu, masyarakat desa harus dijadikan sebagai subyek pembangunan. Disini harus dilihat bahwa pembangunan yang hendak dilakukan di desa, tidak boleh menyimpang dari lingkungan sosial dan lingkungan budaya yang ada di desa tersebut. Proyek pembangunan yang akan dilaksanakan harus mengacu kepada lingkungan tersebut. Perencanaan pembangunan dan pengembangannya harus dimulai dari apa yang ada di desa. Misalnya, apabila di desa itu ada bendungan, maka proyek pembangunan dan pengembangan ke depan, haruslah dimulai dari bendungan ini. Artinya pengembangan dapat dari pertanian, pengembangan pariwisata air, budidaya perikanan, dan seterusnya. Apabila kebanyakan masyarakat di desa tersebut dalam kehidupan sosialnya sebagai pedagang, maka haruslah dikembangkan upayaupaya pengembangan jiwa wirausaha, terutama bagi generasi penerusnya. Kalimat kunci lain yang dapat dilihat dari tujuan tersebut adalah pengembangan potensi dan aset desa demi kesejahteraan bersama. Dengan kalimat kunci seperti ini, maka yang dipentingkan adalah mengenali potensi sumber daya manusia yang ada di desa untuk mengembangkan potensi dan aset tersebut. Dalam kehidupan sosial sekarang, sesungguhnya tantangan besar terletak disini karena orientasi pemuda desa, kebanyakan ke kota atau ke wilayah-wilayah yang telah menyediakan lahan untuk langsung bekerja. Misalnya, pemuda desa yang sudah mempunyai keterampilan, tamat diploma, tamat sarjana bahkan tamat doktor, memilih bekerja di bank, di perhotelan dan sebagainya. Padahal, maksud dan tujuan dari undangundang ini adalah untuk menahan mereka-mereka itu keluar desa dan mengenali potensi yang ada di desanya. Untuk hal ini, beberapa cara dapat dilakukan demi mengembangkan potensi desa yang ada. Yang pertama, dalam bidang pendidikan tinggi, para dosen atau pengajar berupaya mengenalkan pemahaman kepada mahasiswa tentang manfaat pembangunan desa, pengenalan 19 potensi sumber daya desa yang dimilikinya atau pemahaman tentang bagaimana perlunya pembangunan desa demi memamtapkan pembangunan nasional. Kedua, dalam hal demikian, para pejabat desa, baik kepala desa maupun tokoh-tokoh desa harus pro aktif melihat potensi generasi mudanya, dan kemudian memberikan pesan kepada lembaga pendidikan dimana pemuda itu melanjutkan pendidikan, agar kelak pemuda tersebut bersedia kembali ke desa. Ketiga, desa dapat mengeluarkan bantuan keuangan untuk ikut membiaya pemuda melanjutkan sekolah. Dan keempat adalah, pemantauan dini kepada sumber daya manusia desa, tentang keahlian-keahlian yang dimiliki. Selanjutnya memberikan biaya melanjutkan pendidikan sesuai dengan keterampilan yang dimiliki. Dengan cara demikian, akan dapat diupayakan partisipasi warga untuk memanfaatkan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama. Peningkatan pelayanan publik juga merupakan kata kunci menarik. Tidak lain, ini ditujukan kepada aparat-aparat desa yang bekerja di birokrasi desa. Disamping aparatur desa yang bertugas harus ditingkatkan kualitasnya, penting juga diperhatikan kualitas instrumeninstrumen yang dipakai untuk melayani masyarakat. Intinya adalah bagaimana aparat tersebut sigap, kosentrasi dan dengan menggunakan prasarana yang modern, dapat memperingkas pelayanannya kepada masyarakat, membuat rakyat merasa puas dan senang ketika berususan dengan kantor kepala desa. Pembuatan kartu penduduk yang memerlukan waktu hanya satu hari, tentu akan mempercepat proses lanjutan lainnya sehingga percepatan ini dapat mewujudkan kesejahteraan umum. Pemakaian komputer dan internet, menjadi persyaratan pokok bagi keberlangsungan dari keberhasilan desa di masa depan. Pembangunan desa pada akhirnya merupakan upaya untuk menghilangkan kesenjangan nasional. Untuk menghilangkan kesenjangan ini, tidak lain cara yang dipakai adalah gerakangerakan pada bidang ekonomi. Kritik paling banyak yang ditujukan kepada Indonesia saat ini adalah adanya kesenjangan dengan dimensi banyak. Artinya, dalam konteks negara secara utuh, kemakmuran ekonomi antara Indonesia di bagian barat dengan baagian timur, sangat senjang. Pembangunan banyak dilakukan di bagian barat, terutama di Pulau Jawa dan Bali. Jalan beraspal, kendaraan serta pusat pengembangan intelektual, ada di wilayah Indonesia bagian barat. Demikian juga halnya dengan proyek industri. Juga ada kesenjangan antara kota dengan desa. Dalam proses pembangunan, kota seolah lebih dulu dikembangkan di dibanding dengan desa. Akibatnya, banyak masyarakat desa mengalir ke kota dalam bentuk urbanisasi. Kesenjangan lain antara kaya dengan miskin. Yang ditekankan dalam hal ini adalah lebar kesenjangan itu sangat 20 kentara. Contoh paling menyolok, justru dapat dilihat di Indonesia bagaian Barat, terutama di Jakarta. Disamping hotel-hotel berbintang justru terlihat banyak sekali perumahan gubuk yang memperlihatkan kontrasnya hasil pembangunan. Tidak hanya di Jakarta, kota besar lain seperti Surabaya, Denpasar juga memperlihatkan disparitas kekayaan tersebut. Banyak masih dijumpai ada pengemis dan gubuk-gubuk liar di pinggir jalan, padahal di beberapa wilayah hotel bintang lima bertebaran. Karena itulah kemudian, untuk menghindari adanya kesenjangan seperti ini, pembangunan dengan pusat pedesaan akan memberikan banyak manfaat bagi perkembangan Indonesia. Satu hal paling utama yang dapat dilihat dari pembangunan di desa, adalah bahwa proyek tersebut akan dapat menekan arus urbanisasi ke kota. Urbanisasi ini disebabkan oleh tidak adanya kegiatan pembangunan atau kegiatan ekonomi di pedesaan sehingga kebutuhan masyarakat tidak mampu dipenuhi dengan baik. Dengan kegiatan ekonomi yang reletif lebih banyak di perkotaan, membuat urbanisasi itu meningkat. Menghentikan hal itu adalah dengan menggerakkan perekonomian di pedesaan. Dengan cara seperti inilah kelak diharapkan tidak akan terjadi kesenjangan pembangunan anatara desa dengan kota. Karena Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 ini berlaku untuk seluruh Indonesia, maka yang menjadi sasaran adalah seluruh pedesaan di Indonesia. Hilangnya kesenjangan inipun diharapkan untuk seluruh negara Indonesia. Maka, upaya-upaya untuk mencapai tujuan seperti yang disebutkan diatas, tidak lain dengan cara memaksimalkan berbagai sumber daya yang ada di desa, dikembangkan dengan karakter lingkungan dan identitas lingkungan di desa tersebut. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 menyebutkan bahwa desa sesungguhnyaa telah mempunyai aset yang dapat dikelola. Pasal 76 undang-undang ini menyebutkan bahwa aset desa itu dapat berupa tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik desa, pemandian umum dan aset lainnya milik desa. Terutama setelah reformasi, Bali menjadi salah satu daerah yang paling banyak mendapat luberan pendatang. Hal ini awalnya disebabkan oleh kerusuhan yang terjadi setelah jatuhnya rejim Orde Baru. Bali yang dipandang aman, menjadi daerah tujuan tempat tinggal bagi mereka-mereka yang berduit di Jakarta. Pada akhir kekuasaan Orde Baru juga terlihat ada kelompok minoritas Tionghoa yang merasa terganggu tinggal di Jakarta, memindahkan tempat tinggalnya di Bali. 21 Dampak lain dari kerusuhan Mei 1998 itu, yakni setelah runtuhnya Orde Baru adalah penurunan aktivitas perekonomian negara. Investor banyak yang lari dari Jakarta sehingga mulai banyak munculnya pengangguran di Jakarta khusunya dan di Jawa pada umumnya. Sebagai daerah yang menjadi daerah tujuan pariwisata internasional dan terbaik di Indonesia, maka perekonomian Bali relatif tidak terganggu, kecuali pada dua kali peledakan bom di Kuta. Hal ini pula yang mendorong adanya aarus urbanaisasi semakin banyak ke Pulau Bali. Kaum urban dan pendatang inilah yang kemudian datang ke desa-desa di Bali, termasuk juga desa pakraman. Salah satu akibat psoitif dari adanya hal ini adalah semakin banyaknya usaha penginapan (kos-kosan) yang ada di pedesaan. Usaha seperti ini memberikan pemasukan yang tidak sedikit kepadamasyarakat yang membuka lahan itu. Di beberapa tempat, dibukanya upaya penginapan atau kos-kosan di pedesaan ini mengubah secara mendasar mata pencaharian anggota masyarakat dari sebelumnya menjadi petani kemudian menjadi pengusaha kos-kosan. Bagi mereka yang mempunyai kemampuan kreatif dan memiliki usaha yang cukup banyak, usaha tersebut dapat diperlebar juga dengan sampingan berupa usaha dagang, baik yang kecil maupun menengah. Artinya ada masyarakat yang melebarkan usahanya dengan menyediakan usaha rantangan atau jualan kebutuhan pangan yang dibutuhkan oleh mereka yang mengontrak kamar tersebut. Jika bukan pemilik yang melakukan diversifikasi ini, masyarakat setempat juga dapat menggerakkan perekonomian dengan membuka warung makanan. Jadi, mirip dengan upaya yang dilakukan masyarakat kota. Disamping upaya tersebut, di desa juga semakin banyak dijumpai usaha perbengkelan, baik untuk kendaraan besar roda empat atau lebih maupun untuk roda dua. Relatif baik tumbuhnya perekonomian Bali yang digerakkan oleh pariwisata, membuat dinamika gerakan masyarakat semakin banyak, termasuk juga untuk mekukan aktivitas pariwisata yang jaraknya cukup jauh dari desa di Tabanan ke Denpasar atau Badung. membuat Dinamika ini pada akhirnya munculnya perpaduan antara kebutuhan gerak-cepat dengan kemampuan daya beli masyarakat. Dipadu dengan relatif baiknya lalu lintas transportasi sampai ke desa-desa, maka usaha perbengkelan itu dapat tumbuh sampai ke desa-desa. Dengan kemampuan daya beli demikian, bukan hanya bengkel kendaraan roda dua yang ada, juga roda empat dengan bisnis ikutannya, seperti karoseri dan pengelasan. Karena listrik sudah mulai masuk desa-desa, maka alat-alat rumah tangga yang dapat digerakkan dengan listrik juga banyak ada di desa. Sebagai penunjangnya, tidak hanya ada 22 usaha perbengkelan alat-alat listrik ini tumbuh di desa, akan tetapi juga toko-toko yang menjual alat-alat listrik. Di daerah Kecamatan Kerambitan, terutama di bagian yang dibelah oleh alur jalan raya Denpasar-Gilimanuk, segala macam barang-barang yang dijual di kota, termasuk juga jenis-jenis usaha yang ada di perkotaan, seperti misalnya di kota Denpasar, juga ada di sepanjang jalan tersebut. Ini disebabkan karena berbagai kebutuhan pengguna jalan raya sangat beragam. Bahkan kompleks industri juga mulai merambah wilayah ini. Kecenderungan sosial awal abad ke-21 (tahun 2015), kepadatan kota telah meningkat dengan banyaknya kaum urban yang datang. Fenomena ini menyebabkan wilayah-wilayah untuk membangun kompleks perindustrian semakin susah dijumpai. Karena itu untuk membangun kompleks perindustrian yang semakin dibutuhkan masyarakat, pindah ke pedesaan. Dan wilayah desa yang dipilih adalah yang dekat dengan jalan poros Denpasar-Gilimanuk serta mempunyai jalan aspal yang kondisinya baik. Inilah yang membuat industri seperti perakitan mobil, gudang mobil, industri furniture berdiri di wilayah pedesaan. Misalnya di Desa Pangkungkarung, Banjar Selingsing tempat lokasi furniture atau servis mobil di Banjar Lumajang, Desa Samsam. Suasana dan ciri masyarakat desa yang agraris tersebut sudah boleh dikatakan hilang pada jalur-jalur seperti ini. Desa-desa yang ada di jalur ini hanya dicirikan oleh desa pakraman, yaitu adanya tempat persembahyangan Khayangan Tiga, dimana masyarakatnya menggelar ritual secara bersama-sama pada momen-momen tertentu. Ritual itu misalnya ngaben, atau persembahyangan bersama (odalan). Model kehidupan masyarakat kota sehari-hari lebih banyak kelihatan dengan penghargaan terhadap waktu. Jalan raya secara langsung dan tidak langsung menjadi pendorong menjalarnya pola kehidupan kota menuju desa tersebut. Secara langsung karena jalan rayalah yang menjadi alur utama lalu-lintas masyarakat sehingga pertokoan dan usaha jual beli, muncul di tempat seperti ini. Hal itu muncul di jalan raya di Kecamatan Kerambitan yang dibelah oleh jalur utama Jawa-Bali. Secara tidak langsung, penduduk yang tinggal di wilayah ini mempunyai kesempatan untuk melakukan perjalanan ke kota secara lebih cepat dibandingkan dengan penduduk yang ada di pedalaman. Akibatnya, segala modernisasi dan perubahan sosial yang ada di kota dapat masuk ke desa tersebut secara lebih cepat pula. Masyarakat akan mencontoh segala perkembangan yang ada di kota untuk di bawa ke wilayah desa mereka. 23 IV. 2 Potensi di Kecamatan Kerambitan, Tabanan IV. 2. 1 Embung Telaga Tunjung Embung, yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan bendungan yang ukuranya lebih kecil, telah ada di Desa Telaga Tunjung. Ini berada di Keperbekelan Timpag. Dalam konteks ekonomis, ia dapat digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan. Pada bidang pertanian, bendungan ini sudah jelas mampu dimanfaatkan sebagai sumber air untuk mengairi lahan pertanian yang ada di wilayah Timpag dan Kecamatan Kerambilan di bagian utara. Akan tetapi, bendungan juga dapat dimanfaatkan untuk menarik pariwisata air, seperti wisata mancing alami serta rekreasi. Bendungan yang luasnya mencapai 10 hektar ini sesungguhnya santat bagus dipakai untuk sarana mancing. Beberapa dekade yang lalu, pemerintah Provinsi Bali pernah menaburkan bibit ikan di Danau Batur yang kemudian dimanfaatkan masyarakat, bukan saja sebagai sarana pariwisata tetapi juga sebagai tempat mata pencaharian. Hal yang sama seharusnya juga dapat dilakukan di Embung Telaga Tunjung ini. Keuntungan yang dapat diraih adalah bahwa dengan lokasi yang lebih kecil dibandingkan dengan Danau Batur, masyarakat lebih mudah untuk melakukan aktivitas macing. Dalam arti secara teoritis, mendapatkan ikannya lebih mudah dibanding dengan apa yang dilakukan di Danau Batur. Pemerintah Kabupaten Tabanan tidak melakukan hal itu untuk memetik keuntungan dari keberadaan Embung Telaga Tunjung. Padahal, masyarakat Tabanan, terutama di desa-desa, sangat rajin melakukan lomba mancing di berbegai desa, dengan memakai kolam-kolam yang kecil dan dimiliki oleh perkumpulan. Atau juga dilaksanakan di selokan-selokan kecil. Jadi, secara sosial, potensi untuk melakukan lomba sebagai sebuah atraksi wisata di Emung Telaga Tunjung, sangat dimungkinkan dalam bentuk lomba mancing. Kalaupun kemudian tidak ada perhatian terhadap hal itu oleh pemerintah Kabupaten Tabanan, seharusnya hal ini dapat dilakukan oleh pemerintahan desa yang ada di wilayah tersebut, atau oleh bendesa pakraman yang ada di wilayah itu. Dalam hal ini, bukan berarti lomba yang sifatnya mendadak. Dengan luas mencapai 10 hektar tersebut terlalu luas dipakai sebagai sebagai arena lomba mincing secara mendadak. Akan tetapi dalam dilakukan sebagai arena mincing secara regular. Pengelola, yang dalam hal ini bisa oleh kebendesaan atau desa pakraman, dapat menggelar acara mancing itu di setiap waktu dan di setiap saat. Hanya saja pengelola harus siap dan menjamin adanya ikan di dalam kolam besar tersebut, dengan cara 24 memasok ikan. Jadi, setiap hari anggota masyarakat dapat menggunakan tempat ini sebagai arena mancing dan arena rekreasi. Sudah tentu yang kemudian menjadi pemasukan adalah pungutan yang ditimpakan kepada mereka yang ingin memancing di lokasi tersebut. Pengeloaan ini dapat dilakukan oleh pihak swasta, lembaga atau secara mandiri oleh desa pakraman atau keperbekelan. Pengelolaan oleh pihak swasta akan memberikan kesempatan bagi pengusaha untuk mengembangkan keterampilannya di bidang manajemen. Akan tetapi juga mampu memberikan solusi terhadap desa pakraman atau desa dinas yang tidak mempunyai keahlian di bidang itu untuk melakukan pengelolaan. Desa Pakraman atau desa dinas harus terampil dalam membuat perjanjian dengan pihak yang akan diajak bekerja sama. Dalam hal ini, pemerintah daerah tingkat II Tabanan seharusnya memberikan kesempatan kepada pihak desa pakraman atau desa dinas untuk melakukan hal ini demi memaksimalkan kesempatan yang ada. Pengelolaan yang dilakukan oleh lembaga atau korporasi atau kelompok orang juga dapat dilakukan. Dengan pengelolaan oleh kelompok ini, keterampilan yang ada pada masing-masing orang akan menyatu sehingga secara manajemen lebih baik. Kelemahannya adalah terletak pada menyatukan keterampilan tersebut agar dapat menjadikan manajamen yang hebat. Masingmasing pihak yang mempunyai keterampilan biasanya mengeluarkan egonya masing-masing sehingga kelompok sukar bertahan lama. Paling menguntungkan sesungguhnya dilakukan oleh desa pakraman atau desa dinas. Manfaat paling besar akan mengaktifkan potensi-potensi terampil yang ada di desa pakraman dan di desa dinas tersebut. Ini memberikan manfaat pada beberapa hal. Secara ekonomis, pengelolaan yang dilakukan desa pakraman atau desa dinas, memberikan keuntungan material kepada desa tersebut sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan desa bersangkutan, baik desa pakraman atau desa dinas. Selanjutnya akan merangsang lahirnya tenaga-tenaga professional di desa sehingga tidak harus pergi ke luar desa mencari pekerjaan. Desa mempunyai otonomi dan pengetahuan untuk mengelola aset miliknya sendiri. Dalam hal wisata air, Embung Telaga Tunjung tidak hanya dilakukan dengan memanfaatkan embung tersebut sebagai sarana mancing. Rekreasi air seperti menghadirkan perahu untuk rekreasi bagi anak-anak atau anak-anak muda juga dapat dilakukan sebagai alternatif yang lain. Di masa lalu, masyarakat Bali, terutama di desa-desa sudah akrab dengan hal seperti ini, apalagi di Kecamatan Kerambitan. Paling tidak ada dua tempat yang pernah populer pada dekade tujuhpuluhan sebagai tempat rekreasi jukung yang laris dimanfaatkan oleh anak25 anak, yaitu di Banjar Mandung dan Banjar Selingsing pada Empelan Gubug. Wisata mejukungan pada Hari Raya Ngembak Geni atau Galungan dan Kuningan di masa lalu merupakan pilihan lain di luar menonton bioskop yang ada di kota Tabanan. Saat ini untuk membuat jukung, banyak pilihan yang dapat dilakukan, yaitu memakai jukung tradisionil yang terbuat dari kayu atau membeli yang sudah modern, seperti yang terbuat dari plastik. Wisata seperti ini akan menarik bagi anak-anak, remaja atau muda-mudi. Dengan luas yang lebih dari lima hektar dari embung tersebut, sangat memungkinkan mengembangkan wisata rekreasi ini karena manufer yang dilakukan jukung dapat dilakukan secara lebih luas. Dengan latar belakang tradisi yang sudah ada sebelumnya pada rekreasi jukung, maka menggalakkan rekreasi ini di embung tersebut secara manajemen cukup dengan membangkitkan nostalgia masa lalu. Anak-anak muda sekarang mempunyai orang tua yang mengalami masa-masa rekreasi jukung tradisionil tersebut. Maka cerita dan pengalaman masa lalu, akan dapat memantik rekreasi seperti ini sekarang. Olahraga air yang mungkin digelar di Embung Telaga Tunjung adalah kayak termasuk juga penggelaran lomba kayak. Kayak tidak hanya dapat dilakukan di laut seperti yang dilakukan di daerah pariwisata Sanur tetapi juga dapat dilakukan di Embung Telaga Tunjung yang cukup luas areal bagi olahraga ini. Lomba-lomba yang dilakukan setiap minggu dapat juga digelar oleh pengelola, baik desa pakraman maupun desa dinas. Sekeliling embung ini luas, dengan dikitari oleh pohon-pohon hijau yang masih sangat subur. Embung ini berada masuk ke pedesaan sekitar 20 menit dari jalur utama DenpasarGilimanuk dengan kondisi jalan aspal yang bagus. Dengan begitu tidak terlalu susah untuk dijangkau. Dikelilingi oleh tebing alami yang tinggi di kiri-kanan embung, maka lokasi ini potensial untuk membuat sarana pendukung rekreasi. Masyarakat dapat membuka warung tradisionil sebagai lokasi penjualan makanan ringan. Bahkan juga dapat dimanfaatkan dengan membuka lapangan futsal karena hawanya sejuk, bahkan di siang hari. Daerah pinggiran dari Emung Telaga Tunjung juga dapat dibesihkan, dibentuk taman dengan diteduhi oleh pohonpohon rindang yang alami. Lingkungan ini juga dapat memberikan pemandangan yang jauh lebih luas, lebih alami dan memikat dibandingkan dengan apa yang ditampilkan oleh hotel-hotel berbintang, baik yang ada di daerah Nusa Dua, Jimbaran maupun tempat lain di Bali. 26 IV. 2. 2 Posisi Geografis di Poros Jalan Raya Jawa-Bali Kecamatan Kerambitan boleh dikatakan mempunyai lokasi yang menguntungkan apabila dilihat dari alur jalan yang dimiliki. Sebagian dari desa-desa yang ada di Kecamatan ini dilalui oleh jalan poros Bali-Jawa, yaitu jalan Denpasar-Gilimanuk. Kecamatan ini juga dihubungkan oleh jalan aspal menuju Kota Tabanan. Pembangunan dan perencanaan sosial akan lebih mudah dilakukan apabila mempunyai jalan raya yang lebih bagus. Pertama karena dengan transportasi yang lebih baik, dapat diperkirakan alur angkutan kebutuhan masyarakat lebih terjamin sampainya di tempat tujuan. Kedua, segala hasil barang dan jasa yang hidup di wilayah tersebut, akan dijamin tercapai tujuannya dan waktu sampainya. Ketiga, lalu-lintas pergerakan masyarakat dari satu wilayah ke wilayah lainnya relatif tidak mengalami hambatan sehingga kontak sosial juga akan berlangsung dengan lebih baik. Keempat, dengan kontak sosial yang berlangsung lebih baik, maka berbagai kebutuhan masyarakat akan dapat dipenuhi. Akan lebih baik lagi apabila dengan kondisi sarana transportasi yang baik tersebut, masyarakat juga mampu melakukan aktivitasnya secara lebih baik dengan dukungan alat komunikasi yang modern. Saat ini berbagai pilihan alat komunikasi modern sudah tersedia di pasaran. Di Kecamatan Kerambilan, Desa Pakraman Penyalin, Samsam I dan II, Lumajang, Mandung, Sembung Meranggi, Sembung Gede, Meliling dan Pucuk merupakan desa-desa yang dilalui dan dibelah oleh Jalan Raya Denpasar-Gilimanuk. Desa dinas yang dilalui oleh jalan tersebut adalah Desa Dinas Samsam, Sembung Gede dan Timpag. Melihat kondisi demikian, seharusnya baik desa pakraman maupun desa dinas yang ada berpotensi besar untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Desa-desa lain di kecamatan Kerambitan telah dihubungkan oleh jalan yang telah diaspal dengan baik. Berbagai kreatifitas untuk memanfaatkan potensi sumber daya dapat dilakukan oleh desa pakraman dan desa dinas untuk meningkatkan kapasitas pendapatannya. Secara ekonomi pembukaan toko, warung dan berbagai jasa lainnya dibutuhkan oleh masyarakat, dan terutama oleh mereka yang lewat di jalan raya. Lalu lintas Denpasar-Gilimanuk dipenuhi oleh berbagai kendaraan, mulai dari sepeda motor yang paling kecil sampai dengan mobil yang mempunyai roda lebih dari 20. Dalam konteks jalan seperti yang disebutkan diatas, kemanfaatannya oleh berbagai jenis jasa sudah dilakukan oleh masyarakat. Kelemahan-kelemahan yang terlihat adalah bahwa, jasa-jasa yang dibuat oleh masyarakat desa pakraman dan desa dinas itu, masih terlihat monoton, ikut-ikutan dengan apa 27 yang dilakukan oleh anggota masyarakat lainnya. Sebagai contoh, saat ini sangat terkenal warung nasi be guling. Sebagai bentuk dari aktivitas jasa ini, sepanjang jalan DenpasarGilimanuk di Kecamatan Kerambitan ada sekian banyak warung nasi be guling (babi gulung) di pinggir-pinggir jalan. Sampai saat ini memang warung tersebut kelihatan masih laris. Akan tetapi, mendirikan warung demikian berjejer di satu sisi jalan belum tentu memberikan keuntungan maksimal di masa mendatang. Persaingan akan semakin ketat dan semakin banyak yang membuat daya jual semakin sedikit dan akibatnya, keuntungan juga akan semakin kecil. Pada akhirnya semangat untuk berusaha juga akan semakin menipis. Keseragaman ini masih dapat dilihat pada obyek jualan pada warung-warung yang lain, entah mereka yang berjualan kelontong atau berjualan minuman. Kelemahan lain yang terlihat terutama di jalur poros Denpasar-Gilimanuk adalah kurang pahamnya anggota masyarakat tentang manajemen warung. Bagi mereka yang mempunyai warung atau tempat usaha yang lebih besar, sangat kurang memperhatikan lokasi parkir. Mereka membangun warung dengan memanfaatkan lahan secara penuh sehingga lahan parkir menjadi kurang. Di tengah kecenderungan masyarakat memakai kendaraan bermotor, tempat parkir merupakan hal paling wajib dalam satu warung. Parkir yang luas merupakan daya tarik pertama bagi setiap pelanggan dan pembeli. Akan tetapi, sebagian dari warung-warung yang ada di sepanjang jalan itu, masih belum memperhatikan hal ini. Fenomena demikian merupakan ciri khas dari warung tradisional Bali masa lalu. Ini bisa dipahami karena di masa lalu masyarakat lebih banyak berjalan kaki untuk berbelanja Boleh dikatakan sepanjang jalan Denpasar-Gilimanuk, sudah semua dimanfaatkan dengan berbagai jasa yang ada. Berbagai jenis jasa yang kelihatan adalah warung, toko, perbankan, bengkel, kontrakan, perkantoran, jasa foto copy, tukang cukur, salon, pencucian kendaraan sampai dengan penginapan. Ini menandakan bahwa pemanfaatan tersebut sudah optimal di masyarakat yang ada di pnggir jalan tersebut. Yang masih belum maksimal dilakukan adalah sikap profesional mereka dalam melakukan pengelolaan. Kalau tadi disebutkan tentang sarana parkir yang masih belum menunjang, hal lain yang tidak terlihat adalah soal ruangan dan kebersihan. Terutama bagi warung-warung yang tradisional, ruangannya masih penuh dijejali dengan berbagai barang yang dijual. Akibatnya meja yang seharusnya dapat dipakai untuk duduk menikmati makanan, misalnya rujak, sesak dan tidak memberikan kenyamanan untuk menikmati suguhan. Ini juga terjadi pada hal-hal lainnya, misalnya bengkel yang tidak 28 menyediakan kursi bagi pelanggan yang datang. Termasuk juga jasa foto copy yang tidak memberikan ruang untuk duduk bagi pelanggan. Etika profesional hanya kelihatan pada kantorkantor yang bergerak pada bidang jasa, misalnya perbankan yang memang menyediakan kursi bagi pelanggan dan pengguna jasa. Bagaimanapun, pelanggan akan merasa lebih nyaman datang apabila kebutuhan primer fisiknya dipenuhi. Kebutuhan primer fisik ini diantaranya adalah tempat duduk tadi. Kekurangan professional tersebut semakin terlihat apabila dilihat warung atau jasa yang dibuka di jalan arteri dan bertambah lagi apabila memasuki wilayah pelosok. Kebersihan dan penataan tempat berjualan juga kurang terlihat. Terutama di daerahdaerah yang ada di pedesaan debu yang melekat pada barang-barang jualan masih menempel. Ini merupakan bagian dari kebiasaan masa lalu yang masih belum dapat diperbaiki sampai sekarang. Dalam arti kebiasaan tersebut masih melekat. Padahal, kesadaran soal kebersihan sudah semakin sering dimunculkan di media massa. Disamping debu yang melekat pada barangbarang, ornamen dari warung juga kelihatan masih kurang bersih. IV. 2. 3 Sarjana dari Berbagai Disiplin Ilmu Kecamatan Kerambitan dikenal mempunyai warga yang berpendidikan tinggi. Disamping itu juga mempunyai semangat tinggi dalam berbagai bidang. Sebagai bagian dari Kabupaten Tabanan, Kecamatan Kerambitan merupakan salah satu penghasil beras dan padi yang cukup untuk memberikan kesejahteraan kepada keluarga. Di luar itu, yang patut juga dipertimbangkan adalah semangat dan fanatisme terhadap daerah. Pada bidang olahraga sepakbola misalnya, di masa lalu Kerambitan kerap menjadi juara se kabupaten Tabanan, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai kompetisi dewasa. Di masa pendidikan bertambah maju, terutama dengan semakin terdidiknya mayarakat ke perguruan tinggi, banyak sarjana juga berada di Kecamatan Kerambitan. Di desa Pakraman Penyalin misalnya, jumlah sarjananya cukup signifikan. Akan tetapi, sarjana yang mampu memanfaatkan alam desa pakraman untuk maju sangat sedikit. Yang paling cocok dikembangkan di desa pakraman ini adalah sektor pertanian,, petkebunan dan persawahan. Tetapi sarjana pertanian hanya satu dan kemudian telah merantau ke Pulau Jawa. Sarjana merupakan produk perguruan tinggi yang secara formal diakui memiliki kemampuan untuk menganalisa masalah tertentu. Kemampuan menganalisis ini merupakan kelebihannya apabila dibandingkan dengan tamatan akademi atau diploma. Tamatan diploma 29 dibekali oleh keterampilan mengolah atau membentuk suatu produk. Sedangkan sarjana mempunyai kelebihan menganalisis. Obyek yang dianalisis itu bisa berupa produk, dimana produk ini dihasilkan oleh sebuah keterampilan. Melalui analisislah kekurangan atau kelebihan produk itu diketahui. Seorang yang mampu menghasilkan produk kue misalnya, akan dianalisis oleh seorang sarjana ekonimi tentang pemasarannya, tentang bahan asalnya oleh sarjana kimia atau potensi kebusukannya. Maka, seorang sarjana akan mampu membekali diri dan menambah keterampilan, melalui kursus atau belajar secara mandiri untuk menghasilkan keterampilan. Seorang sarjana ekonomi tidak akan salah apabila menambah wawasannya dengan terampil membikin kue. Seorang sarjana teknik menambah keterampilannya dengan membikin produk sepeda elektrik. Atau seorang sarjana pertanian tidak keliru juga apabila menggabungkan keahliannya pada bidang manajemen. Dalam hal ini, harus diakui bahwa sarjana yang banyak bertebaran di pedesaan dan menjadi aset desa pakraman maupun desa dinas itu, kurang mampu menggerakkan dirinya untuk menambah keterampilan produksi atau keterampilan lainnya sehingga keahlian yang dimiliki tidak dapat digunakan secara maksimal. Akibatnya, mereka banyak menganggur atau datang menjadi kaum urban di perkotaan dan banyak bekerja di sektor pariwisata di Denpasar atau Badung. Waktu yang terbuang percuma untuk menempuh jarak yang lebih dari 70 kilometer tersebut tidak dipikirkan secara matang sehingga terbuang percuma, disamping juga tidak baik untuk kesehatan pribadi. Suara-suara kritis tentang desa pakraman, yang kebanyakan bernuansa negatif, dapat dikatakan sesungguhnya mempunyai hubungan dengan tidak dimanfaatkannya secara maksimal potensi sarjana terhadap perkembangan dan pembaruan desa pakraman. Setidaknya secara tekstual, desa pakraman itu mempunyai keterkaitan sangat kuat dengan sarjana hukum, terutama dari kosentrasi hukum adat. Ini dikarenakan hukum adat itu merupakan pemikir dan otak dari keberadaan desa pakraman tersebut. Sarjana hukum adat dididik untuk berfikir dan menganalisis tentang sejarah adat, perkembangannya serta arah pembaruannya di masa depan. Ketika desa pakraman berhadapan langsung dengan modernisasi, para sarjana yang mempunyai spesialisasi hukum adat lah yang akan dapat mengembangkan dan memperbaiki hal seperti itu. Sekarang jarang ada sarjana hukum adat yang memegang desa pakraman. Para sarjana ini tidak saja mempunyai kemampuan untuk menganalisis sejarah dari hukum adat tersebut, tetapi juga secara 30 jelas mengkaji norma-norma yang sudah tidak sepatutnya dipertahankan serta memperbarui kebiasaan yang ada berdasarkan perbandingan yang ada. Sebagai seorang yang belajar hukum, mereka akan mengetahui bagaimana norma-norma yang mestinya berlaku di masyarakat dan bagaimana pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Sebagai pembelajar adat, para sarjana ini tidak hanya mengetahui perkembangan hukum dan norma-noma adat yang ada di daerahnya sendiri. Akan tetapi juga dari daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagai negara yang mempunyai banyak suku bangsa, maka tersedia demikian banyak kebiasaan adat yang berlaku di berbagai wilayah Indonesia. Banyaknya kebiasaan inilah yang sesungguhnya dapat dipakai sebagai perbandingan untuk memperbaiki segala kebiasaan yang berlaku di desa pakraman di Bali. Ini sangat penting dilakukan di tengah perkembangan jaman dan modernisasi yang demikian ketat di Bali. Sarjana lain yang juga mempunyai keterkaitan dengan perkembangan desa pakraman di Bali adalah sosiologi. Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat dengan berbagai aspek yang ada. Setiap aspek perkembangan masyarakat akan dipelajari dalam ilmu ini. Desa pakraman tidak lain merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki perkembangan kompleks di Bali. Secara sederhana, desa pakraman ini merupakan lembaga yang hampir mirip dengan negara. Di samping mempunyai wilayah dengan penduduknya, juga mempunyai aturan hukum, pemerintahan dengan berbagai strukturnya, kekuatan ekonomi sampai dengan memiliki penjaga keamanan. Termasuk juga perbatasan. Dengan keberadaan seperti itu, segala aspek perkembangan sosial terjadi di dalam desa pakraman. Secara mendasar, desa ini boleh dikatakan sebagai komunitas yang mempunyai tugas menjalankan keagamaannya dan komunitas tersebut berjalan berdasarkan pada keagamaan Hindu. Karena itulah, hubungan sosial, persaudaraan, gotong-royong, subordinasi, kekuasaan, pengaruh, konflik dan sebagainya ada di dalam lingkungan desa pakraman dengan segala aspek-aspeknya. Masing-masing desa pakraman di Bali mempunyai banyak ragam gaya sesuai dengan budaya mereka di lingkungan tersebut. Sosiologi mempelajari setiap aspek dari kehidupan sosial, termasuk perubahan sosial yang akan terjadi beserta bagaimana cara mengantisipasinya. Karena itu, sarjana sosiologi sangat diperlukan untuk mengembangkan desa pakraman. Sarjana Antropologi juga sangat diperlukan. Antropologi merupakan ilmu yang mengalir seperti air. Ilmu ini mempelajari kebudayaan dan kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Disebutkan juga apabila antropologi tersebut mempelajari suku bangsa. Akan 31 tetapi, apabila dilihat secara lebih dalam, misalnya dengan ciri khas dan kebiasaan yang berlaku di desa bersangkutan, desa pakraman sesungguhnya merupakan kelompok masyarakat yang malah mirip dengan suku. Di Bali, desa pakraman tersebut mempunyai kebiasaan yang berbedabeda dalam penerapan ritual agama. Dan karena itu juga mempunyai kebiasaan yang berebeda dalam menerapkan praktik kehidupan mereka. Sebanyak 1500 lebih ada desa pakraman di Bali, yang tidak semuanya mempunyai praktik yang sama antara satu sama lain. Dengan kondisi seperti itulah sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang pantas untuk dilibatkan dalam proses pengembangan desa pakraman ini. Artinya baik para sarjana antropologi maupun desa pakraman tidak saling menjaga jarak, melainkan saling meleburkan diri satu sama lain untuk mengembangkan desa pakraman. Sarjana Sastra Bali dan Jawa Kuno diperlukan untuk memberikan pemahamanpemahaman terhadap tafsir sastra yang dipakai sebagai dasar menjalankan ritual agama Hindu. Agama Hindu di Bali dijalankan atas dasar sastra baik yang berasal dari bahasa sansekerta maupun dari bahasa Jawa Kuno (Kawi). Dalam hal sastra yang telah diterjemahkan, seperti misalnya Bhagavat Gita, yang dipandang sebagai Weda V, masyarakat memandang arti dari bait-bait syair yang ada di dalam buku suci tersebut telah diketahui. Akan tetapi, pemaknaan dari bait syair itu belum tentu diketahui secara matang. Ini disebabkan karena setiap bait syair itu dapat ditafsirkan menjadi beragam makna. Untuk memahami pemaknaan yang lebih luas itulah maka diperlukan adanya penafsir-penafsir terhadap ajaran Weda ini sehingga masyarakat dapat menjalankan agama secara lebih luas dan bermakna. Secara lebih luas artinya mempunyai pilihan yang lebih banyak, disesuaikan dengan konteks waktu, tempat dan keadaan. Sarjana sastra Bali mempunyai kemampuan untuk melakukan penafsiran tersebut. Disamping melakukan melakukan tafsiran atas pemaknaan tersebut, sarjana sastra Bali tentu saja juga mampu melakukan penerjemahan terhadap sastra-sastra lain yang dipakai landasan dalam menjalankan ritual agama di Bali. Sarjana Agama Hindu sudah tentu juga diperlukan oleh desa pakraman. Seperti juga halnya dengan sarjana sastra Bali Kuno atau Jawa Kuno, sarjana agama Hindu diperlukan untuk menerjemahkan makna agama yang dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman. Ritual yang terlalu memberatkan masyarakat, yang menyita tenaga, waktu dan biaya, semestinya dapat dikurangi agar masyarakat desa pakraman dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan perekonomian yang demikian cepat di Bali. Sarjana agama Hindu ini diperlukan untuk 32 menerjemahkan pemaknaan upacara sehingga desa pakraman di Bali dapat melakukan upacara yang sesuai dengan pemaknaan itu agar tidak bertentangan dengan sebagian besar anggota masyarakat. Sebuah pembaruan dari tradisi, misalnya menyederhakana upacara sampai 50 persen, berpotensi menimbulkan konflik. Karena itu, kerjasama antara sarjana agama Hindu dengan sarjana sastra ini dalam menerjemahkan arti syair sastra dan menafsirkan pemaknaannya, dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat dan kemudian tidak menimbulkan konflik sosial. Dalam kerangka menyongsong perkembangan perekonomiannya yang demikian berkembang, sosial di Bali, dengan aspek desa pakraman mau tidak mau harus memanfaatkan sarjana manajemen (ekonomi), atau teknik industri. Kedua sarjana ini mempunyai keahlian dalam mengelola organisasi (perusahan) untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Teknik industri merupakan sarjana yang mempunyai kemampuan untuk mengelola perusahan dan memikirkan berbagai kiat perkembangannya. Pengelolaan desa pakraman sesuai dengan perkembangan jaman yang diatur dibawah Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, tidak lain menginginkan desa sebagai sebuah organisasi yang mampu mengelola dirinya sendiri termasuk aset yang dimiliki. Dengan demikian, diperlukan kemampuan manajamen untuk mengelola modal yang dimiliki tersebut. Sebagai sebuah komunitas tradisional di Bali, desa pakraman mau tidak mau mendasarkan diri pada lingkungan tradisional yang menjadi penopang hidup masyarakat. Bali, sejak berabad-abad telah dikelola dengan dasar pertanian dan perkebunan. Pertanian, terutama persawahan menjadi dasar dari perkembangan struktur sosial di Bali, termasuk juga desa pakraman. Pada hakekatnya desa pakraman ini merupakan struktur sosial yang banyak mengatur tentang kegiatan sosial yang berbasis pertanian. Upacara agama yang menjadi fungsi pokok dari desa pakraman, sesungguhnya juga merupakan endapan dari budaya pertanian. Dengan alasan tersebut maka desa pakraman sangat memerlukan sarjana pertanian untuk perkembangannya. Sarjana dengan kualifikasi inilah yang akan dapat memberikan masukan-masukan kepada desa pakraman, terutama dalam hal sejauh mana ritual yang bebasis pertanian itu dapat dipertahankan bagi desa pakraman yang berada di lingkungan perkotaan. Sebaliknya bagi desa pakraman yang masih ada di desa dan pegunungan, sarjana pertanian ini akan mampu memberikan saran, contoh dan praktik mengembangkan model-model pertanian terbaru untuk memacu desa tersebut berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial paling modern. 33 Sarjana-sarjana dari ilmu yang lain lain akan sangat membantu perkembangan desa pakraman, terutama apabila dikaitkan dengan berbagai perkembangan kemajuan sosial di Bali. Dengan pesatnya pariwisata yang ada di Kuta, Sanur, Gianyar dan lain-lain, cara pengelolaan desa pakraman tentu akan sangat berbeda. Dengan otonomi yang dimilikinya serta gaya manajemen yang berbeda-beda, desa pakraman akan dapat memanfaatkan sarjana dari berbagai disiplin ilmu untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. IV. 2. 4 Potensi Pariwisata Laut Bagian selatan dari Kecamatan Kerambitan, yaitu di Kelating dan Pasut, berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia yang mempunyai ombak besar. Potensi ombak yang besar ini sesungguhnya dapat dimanfaatkan sebagai obyek rekreasi surving, terutama kepada turis-turis maancanegara yang datang ke Bali. Transportasi menuju daerah ini sudah lumayan bagus karena jalan rayanya sudah mulus dan memakai aspal hotmik. Tidak saja terhubung langsung ke kota Kabupaten Tabanan, tetapi juga terhubung langsung dengan pusat pariwisata di Tabanan, yaitu Tanah Lot, dan dari sini, langsung terhubung ke Denpasar. Sebagai kawasan rekreasi, laut Samudra Indonesia tidak hanya menawarkan ombak yang besar tetapi juga pantai yang indah dan pemandangan sunset yang memesona. Sebagai tawaran pemandangan yang luas dan segar di pantai, Pantai Pasut dan Kelating memberikan harapan. Demikian juga sunset nya. Karena itu dua pantai di Kecamatan Kerambitan ini memberikan potensi besar sebagai daerah yang menghasilkan pendapatan. Pasir laut di wilayah ini memang tidak seperti Pantai Kuta atau pantai di kawasan Selatan Kabupaten Badung yang semuanya putih. Pantai di Kelating dan Pasut berwarna hitam pekat. Akan tetapi, bukan sekedar itu yang ditawarkan. Seperti yang diutarakan tadi, kedua pantai ini menawarkan atraksi alami sunset yang bebas pandang di sore hari, sama dengan pemandangan yang dijanjikan oleh Pantai Kuta, Tanah Lot, Ulu Watu maupun pantai lain yang ada di kawasan Badung bagian selatan. Desa Pakraman Kelating telah memelopori untuk membuat telanjakan sebagai sarana masyarakat untuk berjalan-jalan melihat matahari terbenam. Telanjakan tersebut sudah bagus. Pantai Kelating juga menawarkan posisi pantai yang datar untuk berjualan sehingga para pedagang dapat mempergunakan secara baik. Posisi pantai ini kondusif bagi pariwisata pantai dan laut. Gelombang lautnya cukup tinggi untuk kegiatan surving. Pantainya mempunyai bagian 34 datar untuk menyaksikan segala atraksi ke laut atau melihat pemandangan lain karena dari pantai ini juga kelihatan kawasan Uluwatu, yang ada di Badung bagian selatan. Tebing curam dari Uluwatu jelas kelihatan dari tempat ini, termasuk juga pemandangan malam harinya ke arah Kuta. Lokasi untuk mandi secara umum juga ada pada sisi barat dari pantai tersebut yang tidak terlalu dalam dengan ombak yang tidak terlalu besar. Bagi mereka yang menyukai kegiatan jalan-jalan, dapat melakukan perjalanan menuju pantai Yeh Gangga ke timur dengan berjalan kaki atau ke pantai Pasut ke arah barat juga dengan jalan kaki. Pantai pasut juga mempunyai potensi yang sama seperti yang ditawarkan oleh Pantai Kelating. Malah pantai ini mempunyai pasir yang padat dan lebih lebar sehingga bagi anak-anak yang menyukai olahraga pantai, seperti sepakbola, dan volley dalam melakukannya baik di pagi hari maupun sore hari. Pasir yang lebih padat memungkinkan olahraga ini dilakukan di Pantai Pasut. Malah, anak-anak muda yang suka trek-trekan, memakai arena pasir Pantai Pasut sebagai arena balap kendaraan, sebuah olahraga yang mengandung resiko cukup berbahaya. Pantai Kelating dan Pasut ini dapat mencontoh apa yang ada di Pantai Kedonganan, yaitu membuka warung untuk makanan ikan, yang khusus untuk disajikan secara segar kepada para pembeli, baik berupa pembeli lokal maupun pembeli asing (turis). IV. 2. 5 Kesenian dan Manajemen Kesenian Tradisionil Kerambitan mempunyai salah satu unsur kesenian yang disebut dengan Tektekan. Kesenian ini sudah berusia puluhan tahun, yang berasal dari tradisi masyarakat. Ia memakai instrumen utama bambu yang dipukul. Pada awalnya, menjadi alat pengusir bala apabila masyarakat terkena wabah penyakit. Masyarakat tradisionil Kerambitan, dan umumnya di Bali, masih mempercayai bahwa penyakit itu disebabkan oleh gangguan-gangguan dari luar, dan karena itu haruslah gangguan itu diusir dari lingkungan masyarakat. Cara mengusirnya adalah melalui cara membisingkan lingkungan agar kekuatan-kekuatan tersebut keluar dari lingkungan. Dengan logika seperti inilah masyarakat befikir bahwa penyakit yang menjangkiti sebagian besar anggota masyarakat, akan dapat hilang. Melihat fenomena bunyi tektek yang keluar dari suara bambu yang dipukul tersebut, tokoh masyarakat Baturiti di Kerambitan, yaitu Anak Agung Silagunada kemudian mempunyai ide bahwa keramaian tersebut dapat dikelola dan kemudian dibentuk sebagai sebuah instrumen seni. Maka, berbagai jenis suara yang muncul dari berbagai jenis pukulan bambu itu kemudian 35 diubah menjadi seni dengan memasukkan unsur-unsur gong Bali. Unsur gong yang dimasukkan itu adalah kendang sehingga melalui sebuah strategi seni, pada akhirnya mampu membentuk untaian seni yang dapat dinikmati masyarakat banyak. Juga dimasukkan unsur-unsur dalam kesenian drama yang lain, mislanya kisah tentang Mahabharata yang demikian pupuler di Bali. Disamping itu, unsur lain yang dimasukkan adalah atraksi ngurek yang juga santat populer di Bali. Atraksi tersebut berupa perkelahian antara kekuatan jahat yang disimbolkan dengan rangda dengan kekuatan positif yang disimbolkan dengan barong. Atraksi ini akan berisi penusukan, tetapi melalui kekuatan gaib tidak dapat tertembus. Bagi para penonton, disamping suara dari tektekan tersebut yang agak aneh, atraksi ngurek ini juga mendapat perhatian yang banyak. IV. 2. 6 Sumber Air Salah satu aset yang dimiliki oleh desa adalah sumber air. Desa-desa yang ada di Bali sesungguhnya sangat kaya dengan sumber air yang bersumber dari pegunungan. Bali bagian tengah mempunyai pegunungan yang merupakan tempat penyimpanan air alami. Deretan pegunungan ini membentang dari arah barat di Jembrana sampai ke timur di Karangansem, yang secara simetris membelah Pulau Bali menjadi bagian utara dengan bagian selatan. Meskipun dari sisi kontur tanah pegunungan itu kemungkinan merupakan hasil dari tumbukan lempeng bumi di bawah, akan tetapi membawa manfaat besar bagi persediaan air di Bali. Yang menarik, sumber air itu muncul tidak hanya langsung di lereng gunung seperti yang ada di wilayah Jatiluwuh di Kabupaten Tabanan, atau di Kubu dan Tirtagangga di Karangsem, akan tetapi juga muncul di daerah yang relatif jauh. Misalnya ada di Kebendesaan Samsam di Kecamatan Kerambitan,Tabanan. Paling tidak empat dari lima banjar yang ada di Kebendesaan ini mempunyai sumber air, yaitu Banjar Penyalin, Banjar Samsam, Kutuh Kelod, dan Kutuh Kaje. Dalam ketentuan pada Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, salah satu aset desa yang dapat dimanfaatkan adalah sumber air tersebut. Dengan ketentuan itu, maka sumber air ini dapat dikelola oleh BUM Desa secara cermat untuk kesejahteraan bersama. Dalam hal kebutuhan air bersih, Bali sesungguhnya sekarang sudah mulai sangat memerlukan air bersih. Kota Denpasar, wilayah Badung bagian selatan memerlukan air dari wilayah-wilayah kabupaten lain untuk menyediakan warganya dengan kebutuhan air. Industri pariwisata memerlukan debit air dalam jumlah banyak di wilayah-wilayah yang disebutkan tadi. Demikian juga dengan perumahan 36 yang muncul di berbagai wilayah di Badung dan Denpasar. Karena itulah kemudian daerah Tabanan menjadi alternatif untuk mencari ketersediaan air tersebut. Dari sini apabila sumber air tersebut dikelola oleh BUM Desa, atau katakanlah oleh desa, maka tidak ada individu atau pihak-pihak lain yang akan mampu membuat hal yang sifatnya semena-mena terhadap penggunaan air. Desa akan membuat aturan tersendiri melalui BUM Desa tersebut tentang pemanfaatan air dengan melibatkan masyarakat dan pengawasan dari masyarakat dan pihak luar yang ditunjuk. Air juga digunakan dalam lingkungan ekonomi sebagai sebuah obyek bisnis. Dengan semakin dikenalnya air mineral serta air kemasan, berbagai perusahan yang bergerak di bidang air, mencoba mencari-cari lahan untuk mengelola air yang kemudian diolah menjadi industri. Kegiatan seperti ini seharusnya dapat dipergunakan oleh desa untuk kesejahteraan warganya dengan cara mengelola bersama atau lewat BUM Desa. Seperti yang dikatakan tadi, Desa Samsam di Kecamatan Kerambitan, Tabanan mempunyai sumber air dengan debit air yang relatif besar. Sebagai satu perbandingan, di daerah Tembuku, Bangli air yang ada di desa tersebut dijual dengan menggunakan truk, untuk mengairi berbagai tempat yang kekurangan air. Akan tetapi di Kecamatan Kerambitan, Tabanan, air tidaklah kurang. Namun, air ini dapat dimanfaatkan untuk cadangan masa depan apabila misalnya kekurangan air melanda Bali. Posisi kecamatan ini sekitar 40 kilometer dari Gunung Batukaru sehingga memungkinkan sebagai rembesan air sumber yang berasal dari gunung tersebut di bawah tanah. IV. 2. 7 Wilayah Luas Satu hal yang tidak diperhitungkan oleh masyarakat ketika melihat keunggulan desa dibandingkan dengan kota adalah keluasan ruangan yang dimiliki oleh desa. Sudah menjadi ciri dari desa itu mempunyai ruang yang jauh lebih lapang dibandingkan dengan kota yang demikian sesak. Akan tetapi, di jaman sekarang, terutama di kecamatan Kerambitan khususnya dan di Bali pada umumnya, keluasan dan keleluasaan ruangan ini benar-benar mampu dipandang sebagai modal dasar untuk melakukan aktivitas menguntungkan, apalagi dikaitkan dengan sumber daya ekonomi. Ruang wilayah yang leluasa luas dan tidak sesak tersebut dapat diberdayakan sebagai sumber ekonomi. Di kaitkan dengan potensi pariwisata yang ada, sesungguhnya tanah yang luas dan lapang ini dapat digunakan sebagai area kuliner dengan berbagai atraksinya. Dari sisi 37 pariwisata, akan dapat ditampilkan berbagai macam makanan khas Bali, dengan mengambil tempat yang luas sehingga para turis dapat menikmati kuliner dengan nyaman. Termasuk juga dengan penampilan atraksi apapun karena di desa dapat menggunakan ruangan dengan leluasa. Kabupaten Tabanan, khsusunya Kecamatan Kerambitan mempunyai makanan khas lawar anyang barak. Jika hal ini diperkenalkan dengan prinsip pariwisata, bukan saja menikmati lawar yang diadon dengan darah hewan segar itu, akan tetapi proses pembuatannya dapat disuguhkan kepada turis. Dengan menggunakan lahan yang luas, tidak sempit seperti yang ada di kota-kota, masyarakat dapat melakukan atraksi tersebut mulai sejak awal, misalnya mulai menangkap babi, kemudian proses lanjutannya sampai dengan selesai. Melalui ruangan terbuka juga para turis itu akan dapat mengikuti segala prosesinya, termasuk mungkin dengan mempersembahkan sesajen, sampai kemudian pengolahan. Disamping itu, demi menambah semaraknya suasana, sambil menunggu racikannya selesai, para guide juga dapat memberikan semacam kuliah penjelasan dengan asal-usul dari kuliner ini, kemudian menjelaskan maknanya serta penggunannya bagi masyarakat. Kuliner Bali mempunyai keterkaitan dengan ritual-ritual yang ada. Semasih menikmati, kuliner, dengan keleluasan ruangan, dapat saja kemudian dipentaskan gong sebagai sebuah hiburan bagi para tamu. Dan seusai pementasan dapat menyaksikan pertunjukan “tektekan”. Kerambitan mempunyai seni khusus “tektekan” yang terkenal awalnya di wilayah itu yang sampai kemudian terkenal di seluruh wilayah Bali. Atraksi ini dapat dilakukan seusai hidangan kuliner. Dengan demikian, sesungguhnya dapat dikatakan bahwa potensi desa yang tidak terlihat ini akan dapat dimaksimalkan dan kemudian dioptimalkan. Di masa lalu, luas wilayah desa mungkin tidak mempunyai arti apa-apa dibandingkan dengan apa yang ada di perkotaan. Kini setelah aliran listrik tersebut sudah sampai ke desa, dengan jalan-jalan juga sudah diaspal sampai ke desa, seharusnya keleluasaan tempat ini sangat dapat dimanfaatkan oleh masyarakat desa. Gabungan antara listrik dengan jalan raya yang bagus ini sangat membantu optimalisasi pembangunan desa. Dari sisi pendidikan, boleh dikatakan tingkat pendidikan paling rendah dari masyarakat desa adalah tingkat sekolah menengah atas. Pendidikan ini telah mampu memberikan cara-cara berfikir kritis dan mengembangkan keterampilan sehingga sangat berguna bagi pemberdayaan desa. Sikap kritis diperlukan untuk mengembangkan wisata kuliner. Luas tanah dan ruang yang masih lapang di desa tersebut, tidak hanya dapat digunakan untuk hal yang bersangkutan dengan kuliner saja, akan tetpi juga untuk berbagai kepentingan. 38 Pada bidang seni misalnya dapat dipakai pameran. Memberikan pameran instalasi, atau pameran khusus tentang keramik dan berbagai jenisnya, juga dapat dilakukan di pedesaan. Pameran yang memerlukan ruangan besar tidak dapat dilakukan di kota, kecuali menyewa lahan yang sewanya mahal. Maka desa merupakan solusi untuk lahan ini mengingat sewa yang dilakukan tidak terlalu mahal. Para seniman maupun budayawan, mestinya mampu memanfaatkan hal ini secara lebih baik. Di Kecamatan Kerambitan misalnya, dengan infrastruktur jalan yang sudah bagus, tidak memerlukan waktu banyak untuk datang ke kecamatan ini mengajak turis untuk mengunjungi kawasan pameran. Hanya diperlukan waktu sekitar satu jam untuk mengangkut puluhan turis dengan kendaraan bus. Disamping itu, wilayah ini telah biasa dilalui melalui turis yang ingin mengunjungi Bali secara cross country. Kuntungan lain yang secara ekonomi dapat ditawarkan oleh desa adalah keaslian produksinya. Di negara yang berbasis pertanian atau daerah yang berbasis pertanian dan perkebunan, desa menduduki tempat yang vital karena di tempat inilah pertanian dan perkebungan itu tumbuh dan berkembang. Demikian juga halnya dengan desa yang ada di daerah pegunungan. Dari sinilah hasil kebun dan pertanian itu berasal. Dengan demikian, keaslian produk pertanian dan perkebunan tersebut dapat dijamin. Hal ini dapat menjadi keunggulan desa sekaligus mampu melakukan pemberdayaan kepada segala sumber daya yang dimiliki tersebut. Sebab, di jaman modern sekarang, segala produk ekonomi yang dijual di pasar kota, keasliannya sudah sangat dipertanyakan. Merebaknya produk kemasan yang bercampur dengan pengawet buatan, sekarang banyak mendapat sorotan masyarakat. Demikian juga produk-produk makanan dan ikan yang disimpan di tempat pengawet, termasuk juga dengan sayur yang sudah dinyatakan tidak segar lagi. Bahkan soal keaslian ini tidak saja dapat diperlihatkan oleh sektor pertanian dan perkebunan, akan tetapi juga oleh sektor peternakan dan kehewanan. Produk daging yang dijual di pasaran di kota atau yang dijual sekarang, lebih banyak memakai produk yang sudah diolah dengan sarana modern. Misalnya daging ayam merupakan produk modern karena makanan yang dipakai untuk membesarkan ayam, berasal dari industri. Dari kualitas daging, dinilai kurang bagus dibanding dengan produk asli desa. Demikian juga dengan cara masyarakat membesarkan babi, sapi dan lainnya. Maka, dalam konteks ini, desa dapat melakukan hal yang sebaliknya, yaitu tetap mempertahankan nilai ketradisionalan mereka. Memelihara ayam tidak dengan konsentrat tetapi membiarkan hidup liar di ladang sehingga kualitas daging dan telornya jauh 39 lebih unggul di bidang rasa dengan ayam-ayam ras. Demikian juga beternak sapi sesuai dengan apa yang dilakukan masyarakat di masa lalu, yakni memelihara sapi dengan pakan alami. Desa, dapat memanfaatkan masalah orang kota ini dengan memproduksi barang-barangg tersebut sesuai dengan keaslian dan kesegarannya. Dalam hal makanan ternak dan ayam, jelas desa memberikan sumbangan besar karena kondisi alami desa dengan berbagai tumbuhan yang ada. Tentu, desa yang ada di pantai, akan dapat menyumbangkan keasliannya dengan menawarkan hasil ikan laut yang masih segar untuk dijual kepada masyarakat. Segala yang menyangkut keaslian, seperti buah-buahan yang segar dapat langsung di petik dari desa, terutama desa yang jauh dari perkotaan dan daerah pegunungan. Di wilayah Kintamani misalnya, dengan kondisi wilayah yang luas serta hawanya yang sejuk, cara untuk menikmati minuman kopi, langsung disuguhkan dengan cara menyeduh di tempat, sambil melihat-lihat kebun kopi yang ada di tempat tersebut. IV. 2. 8 Nilai dan Suasana Tradisional Dalam hubungan dengan perkembangan pariwisata di Bali, desa sesungguhnya masih mampu memberikan sumbangan yang lain dengan memberdayakan potensi dan sumber daya yang dimiliki. Tentu hal ini dapat dilakukan dengan adanya lalu lintas dan sarana lalu-lintas yang baik menuju ke pedesaan. Sebagai sebuah komunitas yang berbasis pertanian, masyarakat Bali masih menyimpan budaya, barang, sampai dengan ritual yang mentradisi. Kehidupan pertanian di Bali, boleh dikatakan belum sepenuhnya beranjak ke arah modern. Masyarakat yang memakai traktor untuk mengolah sawahnya, baru diperkenalkan pada dekade tujuhpuluhan. Akan tetapi perkenalan tersebut masih belum tuntas sampai ke desa di pelosok. Masih ada masyarakat yang menggunakan alat bajak, sawah, maupun menggunakan sapi untuk mengolah tanah. Demikian juga, perkenalan dengan mesin penggiling padi. Meskipun diperkenalkan pada dekade tujuhpuluhan, tetapi tetap ada anggota masyarakat yang masih menggunakan lesung, alu dan niru untuk memisahkan kulit padi dan membersihkan beras. Sebagai sebuah atraksi, ini sangat menarik bagi wisatawan. Mengolah tanah sawah dengan kerbau atau sapi, membersihkan beras dengan alu, merupakan atraksi menarik. Namun, haruslah kemudian hal ini dikemas dalam bentuk profesional. Mereka-mereka itu harus mendapatkan bayaran sampingan sebagai sebuah atraksi karena ditonton, bahkan difoto dan direkam oleh turis. Karena itu, haruslah dikenakan 40 biaya untuk hal ini dari turis dan bayarannya itu diberikan kepada petani yang menjadi pelaku langsung dari atraksi tersebut. Kalaupun misalnya pengerjaan tersebut tidak dilakukan dengan cara tradisional, paling tidak alat-alat untuk melakukan itu masih ada. Dan untuk itu, setiap desa tidak ada salahnya membuka museum tradisi untuk memamerkan barang-barang yang dipakai untuk mengolah sawah maupun untuk mengolah padi menjadi beras. Barang-barang tersebut terbuat dari barangbarang pilihan pada masanya sehingga masih bertahan sampai sekarang. Pembuatan museum ini sangat menarik untuk ditindaklanjuti karena desa mempunyai lahan yang luas untuk itu. Cara memasak masyarakat Bali juga unik, demikian juga dengan alat memasak dan tungku dapur yang digunakan. Setelah gas masuk sampai ke kampung-kampung, ada perubahan sosial cukup pesat di masyarakat kampung dalam hal memasak, yaitu menggunakan kompor gas. Sebelumnya, masyarakat juga banyak yang memakai kompor minyak tanah. Akan tetapi, belakangan muncul kesadaran bahwa hasil masakan tradisional yang menggunakan kayu bakar mempunyai cita rasa yang jauh lebih enak. Pada keluarga-keluarga tertentu juga, masih menggunakan cara memasak tradisional dan menyajikannya dengan cara tradisional. Karena itu, proses memasak yang ada pada masyarakat Bali ini, merupakan sebuah atraksi pengetahuan juga bagi turis terutama yang sudah terlalu tersentuh dengan pola kehidupan masyarakat modern. Mereka tentu akan mampu meningkatkan pengtahuannya terhadap masyarakat Bali dengan melihat lesung, alu, nampan, sabit dan sebagainya sebagai alat-alat tradisionil sebagai penopang kehidupan sosial. Nilai tradisional yang paling sering dijual sebagai atraksi kepada turis, adalah atraksi budaya yang dikaitkan dengan religiusitas. Masyarakat sembahyang di Pura, atau menghaturkan sesaji di sawah, telah menjadi hal biasa untuk pariwisata di Bali. Namun kesadaran untuk memungut biaya atas atraksi tersebut masih belum dilakukan. Masih terjadi pertetangan bagi masyarakat, apakah seharusnya memungut biaya untuk upacara adat dan agama karena dinilai sebagai merendahkan martabat ritual. Atraksi tersebut sudah menjadi turun temurun di Bali. Bahwa sekarang ada turis yang menonton, itu merupakan konsekuensi dari konsepsi pariwisata budaya yang dikembangkan di Bali. Akan tetapi, pada pihak lain, ada masyarakat yang berpandangan bahwa turis yang melihat atraksi tersebut mendapatkan hiburan dan pengetahuan sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup dan kualitas pengetahuan mereka. Peningkatan ini haruslah dilakukan dengan transformasi untuk menghargai peningkatan pengetahuan dan 41 kualitas hidup yang didapatkan. Uang adalah bentuk dari transformasi itu, seperti juga ketika kita membeli makanan yang membuat kualitas hidup kita lebih baik, atau masuk ke sekolah yang membayar jasa guru-guru yang mentransfer ilmu kepada murid-murid. Dalam hal tradisionalitas dan keleluasaan ruangan ini, desa yang ada di kota tidak akan mampu menyaingi desa yang ada di luar kota, apalagi yang di pedalaman dan pegunungan. Di Bali, desa tidak hanya ada di pedalaman atau pegunungan tetapi juga di kota. Desa Pakraman yang merupakan desa tradisional di Bali, ada juga di perkotaan. Sistem sosial di Bali, memang tidak memandang adanya istilah kota, tetapi desa, yang kemudian terbagi-bagi menjadi banjar, baik banjar pakraman maupun banjar dinas atau adminsitratif. Karena itulah di kota-kota yang ada di Bali, dikenal juga keberadaan desa. Malah pola kehidupan sosial yang ada pada desa di perkotaan sangat mirip dengan apa yang ada dipedesaan di pedalaman atau di luar kota. Keterikatan kepada hinduisme dan desa pakraman tersebut, memungkinkan adanya kemiripan pola-pola kehidupan sosial dan sistem sosial tersebut. Hanya saja dalam hal keleluasaan ruangan, desa di kota tidak mampu menandingi desa yang ada di luar perkotaan. Ruang yang ada di kota jauh lebih sesak karena adanya urbanisasi dan bangunan-bangunan untuk aktivitas pendidikan, kebudayaan, pemerintahan serta perekonomian. Akan tetapi, keunggulan yang dimiliki desa di perkotaan ada pada sektor sumber daya manusianya, yang jauh lebih terdidik dan jauh lebih berpengalaman dengan hal-hal yang bersifat praktis. Dalam hal kepariwisataan dan bisnis serta perekonomian, masyarakat di perkotaan jauh lebih berpengalaman. Karena itu, ketimpangan ini sesungguhnya dapat dipakai sebagai saling-silang kebutuhan antara masyarakat desa di luar perkotaan atau di pedalaman dengan masyarakat kota. Mereka harus mampu saling bertukar pengalaman dan informasi termasuk keterampilan dan mampu memberikan ruang kepada masyarakat desa kota untuk mengelola segala sumber daya yang ada di pedesaan. Paling tidak masyarakat desa kota bersedia mentransfer pengetahuan dan keterampilannya kepada masyarakat pedesaan yang letaknya jauh di luar kota. Tetapi dalam hal mengolah nilai-nilai tradisionalis untuk kepentingan pariwisata, dan dengan demikian mampu mengembangkan sumber daya yang ada, masyarakat desa di kota masih mampu melakukannya. Karena masyarakat Bali berbasis pada kehinduan, tradisi tersebut masih dapat dipakai untuk disajikan sebagai atraksi pariwisata. Dilihat dari hal itu, maka ketradisionalan tidak hanya dapat dilihat dari perilaku masyarakat beserta dengan berbagai artefak yang dimilikinya, tetapi juga produk-produk yang sifatnya tradisional. Kuliner tradisional 42 misalnya, apabila dibandingkan dengan kuliner nasional atau internasional, tidak kalah kualitasnya. Di desa, banyak kuliner tradisional yang dapat diolah mulai dari metode kulinernya sampai dengan hasil masakannya untuk memberikan penghasilan kepada desa. Sebagai sebuah hasil dari kreatifitas masyarakat, proses ini dapat dipertotonkan kepada turis. Atau apabila dilihat dari nilai rasanya, dapat dijual tidak hanya di hotel tetapi juga untuk masyarakat desa sendiri. Cara pengolahannya yang harus diperbaiki agar menjadi lebih bersih. IV. 2. 9 Suasana Pedesaan Banyak yang kurang memperhatikan bahwa suasana desa, sesungguhnya dapat dipakai sebagai sebuah alternatif menikmati kehidupan di Bali. Apabila dilihat suasana kota Denpasar, Badung dan Gianyar (terutama di Ubud) sudah demikian padat lalu lintasnya, perumahan yang sudah sesak, dengan sawah yang sudah hampir tidak ada sisa, maka kondisi ini hampir sama dengan apa yang ada di Jakarta. Persaingan hidup, terutama bagi mereka yang bekerja di perhotelan, nampaknya sudah mulai sumpek. Bekerja mulai dari pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul 17.00 sore atau kalipatannya di sore dan malam hari, membuat pemikiran tidak selalu bisa segar. Karena itu diperlukan suasana yang segar agar kosentrasi kerja dapat berlangsung dengan baik dan kompetitif. Pantai mungkin sudah ditawarkan oleh daerah-daerah Badung dan Gianyar bagian selatan. Akan tetapi, tetap diperlukan suasana alternatif untuk melepaskan ketegangan tersebut. Suasana inilah yang mesti ditawarkan oleh desa. Dalam keadaan demikian, desa-desa yang paling menguntungkan itu adalah yang berlokasi di pegunungan atau yang mempunyai kedudukan tinggi diatas 500 meter diatas permukaan laut. Seharusnya, suasana pedesaan ini tidak mesti dimanfaatkan oleh desa di pegunungan saja tetapi juga dapat di desa yang ada di dataran rendah, asal mampu memelihara suasana desanya. Jadi, desa yang rimbun dengan suasana asli dapat dipakai sebagai daya tarik untuk menarik masyarakat perkotaan untuk tinggal di desa. Mungkin ini dipakai sebagai wisatawan domestik yang mencari suasana alternatif untuk menyegarkan pikiran. Karena itu, penginapan temporer atau penyewaan tempat tinggal di desa, menjadi salah satu cara untuk menambah penghasilan. Pada desa yang berada di pegunungan, hal ini akan bertambah positif lagi karena mempunyai suasana yang sejuk. Dalam contoh yang ada di Bali bagian tengah misalnya, suasana dari Desa Petang sampai dengan Kintamani, mempunyai suasana sejuk sehingga iklim tersebut dapat diberdayakan untuk meningkatkan 43 kesejahteraan desa. Beberapa desa di Badung bagian utara, misalnya di Auman, telah menyediakan fasilitas trekking yang dapat tembus sampai di Bedugul Tabanan. Membuka lahan warung makan juga tidak terlalu sulit dilakukan. Dari skala jarak, Bali ini sesungguhnya relatif tidak terlalu melelahkan untuk dijelajah. Satu putaran penuh Bali, memerlukan sekitar 12 sampai 13 jam untuk mengitari, dengan kondisi jalan yang bagus, memakai kendaraan roda empat maupun kendaraan roda 2. Sedangkan jarak dari Denpasar menuju Kintamani, sebagai obyek desa pegunungan, hanya memerlukan waktu sekitar dua jam, dengan kondisi jalan yang bagus, beraspal hotmik. Dengan demikian, menempuh perjalanan menuju desa-desa lain di Bali, relatif tidak terlalu sulit. Inilah tawaran yang dapat dilakukan oleh desa, untuk meringankan beban kehidupan di kota. Masyarakat Jakarta, setiap hari libur pasti akan menyerbu daerah puncak di Bandung, tidak lain tujuannya adalah untuk menghilangkan rasa penat bekerja di tengah sesaknya Ibu Kota. Satu hal yang sudah diperlihatkan oleh keunggulan desa saat ini adalah adanya wisatawan yang memakai mobil savari,menembus desa-desa pedalaman yang ada di Bali. Seharusnya, ini dipungut biaya setiap ada konvoi yang datang melewati desa. Demikian juga dengan gras track yang dilakukan oleh anak-anak muda memakai sepeda motor modifikasi (trill). Banyak lahan yang hancur akibat dilalui oleh sepeda motor modifikasi ini. Untuk melaksanakan pembangunan desa, sesungguhnya masyarakat di Bali tidak perlu jauh-jauh mencari percontohan. Kabaupaten Bangli di bawah kepemimpinan Bupati Made Gianyar ternyata sudah menerapkan pembangunan dengan basis masyarakat pedesaan. Pemerintah daerah ini, melalui pemikiran bupatinya meyakini bahwa untuk membangun kesejahteraan rakyat, maka bantuan pembangunan tersebut harus dilakukan dimulai dari pedesaan. Pemikiran ini dapat dibenarkan karena mayoritas masyarakat di Bali itu hidup di pedesaan, bahkan dengan basis pertanian. Di Bangli, yang tidak mempunyai akomodasi pariwisata, seperti hotel-hotel yang ada di Denpasar dan Badung, mempunyai basis perkebunan sebagai sektor utama kehidupan sosialnya, terutama perkebunan jeruk. Bangli juga tidak mempunyai destinasi pariwisata yang banyak, kecuali Penelokan di Kintamani. Karena itulah cara untuk mensejahterakan rakyatnya hanya dengan memberikan basis pembangunan pada pedesaan. Cara yang ditempuh adalah dengan memberikan dana pembangunan desa yang disebut dengan alokasi dana desa (ADB). Desa diberikan dana yang berasal dari anggaran pendapatan 44 belanda daerah, yang kemudian dibagikan ke desa. Aparat desa lah yang kemudian memikirkan apa yang harus dibangun demi memberdayakan masyarakat tersebut, termasuk juga untuk mengatifkan berbagai sektor yang ada. Paling tidak hal ini sudah dilakukan selama empat tahun. Apabila hal ini dibandingkan dengan tujuan dari Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, sesungguhnya mempunyai makna yang sama, yaitu memperkuat sektor pembangunan di desa, dengan pembiayaan yang diberikan oleh pusat dan daerah, dimana dalam hal ini yang dimaksudkan daerah itu adalah daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Di Bali, dengan demikian, boleh dikatakan Bangli dipandang sebagai proyek percontohan untuk menjalankan operasionalisasi dana tersebut. Persoalan-persoalan yang muncul dari titik ini terletak pada kemampuan dari aparat desa untuk mengelola keuangan itu dan membuat proposal. Dalam konteks perkembangan kabupaten di Bali, pendapatan daerah Bangli boleh dikatakan tidak terlalu besar apabila dibandingkan dengan Badung, Denpasar, Tabanan atau Gianyar. Akan tetapi, kehidupan sosial masyarakat di desa ditopang oleh perkebunan, terutama kebun jeruk. Disamping itu juga, banyak anggota masyarakat yang bekerja sebagai buruh, termasuk sopir angkutan pasir yang dibawa ke proyek pembangunan di Denpasar dan Badung. Jarak antara kabupaten Bangli dengan Denpasar dan Badung relative dapat ditempuh satu jam dengan kendaraan. Truk dapat menempuh antara satu jam sampai dengan dua jam. Waktu tempuh ini boleh dikatakan relatif tidak terlalu lama apabila dihubungkan dengan kondisi fisik sopir truk yang mengantar pasir. Dengan adanya aktivitas warga penghasil jeruk serta aktivitas buruh dan sopir dengan penghasilan sampai 400 ribu per hari, cara memberikan dana langsung ke desa oleh bupati, mungkin dapat membantu lebih menghidupkan pembangunan di desa, meningkatkan kesejahteraan sosial serta kepentingan keluarga lainnya. Dilihat ke lapangan, di daerah Kintamani, masyarakat mempunyai bentuk rumah yang mentereng. Boleh dikatakan tidak ada lagi masyarakat miskin di wilayah Kintamani sisi selatan ini. Namun apabila dilihat dari Kintamai di lereng kaldera Gunung Batur, seperti di darah Sebaya atau Kubusalya, masyarakatnya masih miskin dengan sarana jalan yang sanagat tidak mendukung. 45 IV. 3 Desa Pakraman Desa pakraman adalah komunitas masyarakat Hindu di Bali yang menempati wilayah tertentu, dipayungi oleh tempat persembahyangan yang disebut dengan Khayangan Tiga. Pada Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2003, yang merupakan revisi dari Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001, dijelaskan bahwa desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan khayangan tiga atau khayangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (pasal 1 angka 4). Ada beberapa frase kunci yang dapat menjelaskan desa pakraman ini. Yang pertama adalah “masyarakat hukum adat di Propinsi Bali”. Artinya bahwa desa pakraman ini, dalam konteks keberadaannya pada kasanah wilayah Indonesia, hanya ada di Propinsi Bali, yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan yang dilaksanakannya sehari-hari (adat). Desa yang ada di luar propinsi Bali, tidaklah disebutkan dengan sebutan “desa pakraman”, meskipun desa tersebut dilandaskan pembentukannya pada kebiasaan yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Kedua, “mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun.” Paling tidak frase ini menekankan kepada identitas religius yang melandasi desa pakraman itu, yaitu agama Hindu, yang mana identitas ini diikuti oleh kebiasaan-kebiasaan yangtelah dilakukan turun temurun. Masyarakat yang keberadaannya di luar agama Hindu, tidaklah termasuk dalam kesatuan masyarakat hukum yang disebut dengan desa pakraman tersebut. Dalam konteks sosiologis dapat dikatakan bahwa kebiasaan yang turuntemurun itu telah tercermin di dalam pergaulan, kontak sosial, termasuk norma-norma setempat yang muncul sebagai akibat pergaulan tersebut. Apabila di Bali terdapat kebiasaan yang berbedabeda, tetapi sepanjang hal itu merupakan roh dari agama Hindu Bali, maka hal itupun juga merupakan bagian dari desa pakraman. Fakta inilah yang kemudian membuat masing-masing desa pakraman itu mempunyai alur praktik sosial, budaya dan religius yang berbeda-beda di Bali. Awaig-awig yang ada di satu desa pakraman, tidak dapat disamakan dengan awaig-awig di desa pakraman yang lain. Hanya, pengikat dari konteks ini adalah kehinduan atau praktik ritual agama Hindu di Bali. Ketiga, “dalam ikatan Khayangan Tiga atau Khayangan Desa”. Frase ini menegaskan bahwa Khayangan Tiga merupakan hal kemutlakan di dalam desa pakraman tersebut. Artinya 46 setiap desa pakraman harus mempunyai khayangan tiga atau khayangan desa tersebut. Di Bali, yang disebut dengan khayangan tiga adalah tiga rangkaian kesatuan pura yang merupakan simbolisasi kekuatan Tuhan, dimana masing-masing tempat sembahyang tersebut merupakan manifestasi dari kekuatan Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa. Pada Khayangan Tiga, Pura Desa merupakan manifestasi dari Dewa Brahma, Pura Puseh merupakan manifestasi dari Dewa Wisnu dan Pura Dalem merupakan manifestasi dari Dewa Siwa. Ketiga tempat sembahyang ini mutlak dimiliki oleh komunitas yang disebut dengan Desa Pakraman, bagaimanapun wujud fisik dari pura tersebut dan bagaimanapun lokasinya jaraknya. Desa yang tidak mempunyai tiga pura tersebut, tidak dapat dikatakan sebagai desa pakraman. Sebaliknya apabila satu komunitas sosial mempunyai tiga tempat persembahyangan tersebut, dia layak mendapat sebutan sebagai Desa Pakaraman. Keempat, mempunyai wilayah tertentu. Dapat dikatakan bahwa masyarakat yang tergabung dalam Desa pakraman ini harus mempunyai wilayah tertentu. Pada peraturan daerah ini tidak disebutkan secara pasti seberapa jauh wilayah yang ditempati oleh masyarakat yang tergabung di dalam desa pakraman tersebut. Juga tidak disebutkan berapa jumlah penduduknya dan bagaimana perbatasannya. Yang paling utama adalah keterikatan mereka dengan tempat persembahyangan bersama yang disebut dengan khayangan tiga tersebut. Dengan demikian, bisa saja keanggotaan desa pakraman itu berasal dari tiga banjar dinas, atau bahkan satu banjar dinas, bahkan satu banjar dinas dapat terdiri dari dua desa pakraman dengan komposisi tempat tinggal penduduknya selang- seling atau berdampingan dengan penduduk rumah tangga yang menjadi anggota desa pakraman lain. Tidak ada kewajiban desa pakraman tersebut mempunyai kuburan. Karena itu dimungkinkan desa pakraman itu berdiri dengan tanpa kuburan asal masyarakat tersebut mempunyai tiga tempat sembahnya tersebut, yaitu Khayangan Tiga. Di jaman sekarang, tahun 2015 ini, dengan adanya jasa penitipan jenazah di rumah sakit, jasa untuk mengkremasi jenazah, sangat mungkin desa pakraman ini berdiri hanya dengan mengikatkan diri pada pura khayangan tiga, tanpa mempunyai kuburan. Kelima, “mempunyai harta kekayaan sendiri”. Frase ini mencirikan tentang kesejarahan dari desa pakraman itu di Bali. Desa pakraman ini merupakan komunitas gotong-royong, saling tolong menolong, yang amat mungkin di masa lalu terkosentrasi pada pelaksanaan ritual keagamaan. Seperti yang sudah diketahui dan dirasakan masyarakat, ritual Hindu Bali, apalagi di masa lalu, ritual tersebut cenderung kompleks. Kekompleksan ini membutuhkan waktu, tenaga 47 dan biaya yang besar untuk menyelenggarakannya. Untuk pelaksanaan kompleksitas tersebut, maka secara ekonomi memerlukan biaya yang besar. Maka untuk menutupi pembiayaan ini, secara sosial desa pakraman mempunyai kekayaan yang dapat dikelola secara bersama. Inilah barangkali yang menjadi dasar pemikiran munculnya harta benda yang dimiliki desa pakraman. Yang paling terkenal, kekayaan ini adalah tanah laba pura, yang dipertahankan sampai sekarang. Angka 10 pada pasal 1 Peraturan daerah No. 3 Tahun 2003 menyebutkan bahwa tanah ayahan desa pakraman adalah tanah milik desa pakraman yang berada baik di dalam maupun di luar desa pakraman. Ini juga menjadi kekayaan yang dapat dikelola oleh desa parkaran secara mandiri. Tentu sekarang kekayaan tersebut berkembang semakin meluas seperti Lembaga Perkreditan Rakyat dan sebagainya. Pura Khayangan Tiga tentu juga menjadi hak milik dari desa pakraman. Keenam “ berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Dari sini dapat dikatakan bahwa komunitas ini mempunyai kewenangan otonomi. Konstitusi Indonesia melindungi hal ini karena masing-masing kebiasaan yang berupa adat tersebut mempunyai perwujudan praktik yang berbeda-beda. Demikiann juga halnya di Bali. Meskipun mempunyai landasan keagamaan yang sama, akan tetapi penafsiran atas ritual yang telah menjadi kebiasaan itu berbeda-beda. Dalam hal desa pakraman, kepentingan mengurus rumah tangga sendiri yang bersendi otonomi itu penting, demi mencegah konflik penafsiran. Banyak yang menyebutkan secara satir bahwa desa pakaraman itu mirip seperti negara di dalam negara. Mungkin ini hanya ungkapan lelucon yang ditujukan kepada lembaga ini karena mempunyai fungsi, kewenangan serta kelengkapan organisasi mirip dengan negara. Pasal 5 Peraturan daerah No 3 Tahun 2003 mengatur tentang tugas desa pakraman sebagai berikut: a. Membuat awig-awig b. Mengatur karma desa c. Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa d. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama di bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan, e. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaann nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya berdasarkan “paras paros, sagilik-saguluk salunglung-sabayantaka” (musyawarah-mufakat). Pasal 6 dari peraturan ini mengatur wewenang desa pakraman, yaitu: 48 a. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antarkrama desa sesuai dengan awaig-awig dan adat kebiasaan setempat. b. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan tri hita karana, c. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman. Organisasi desa pakraman dalam menjalankan aktivitasnya mempunyai alat kelengkapan yang disebut dengan prajuru. Dimana prajuru ini ditetapkan oleh masyarakat yang menjadi anggota desa pakraman tersebut berdasarkan awig-awig yang dimilikinya (Pasal 7, Perda No. 3 Tahun 2003). Sedangkan pada bidang keamanan, dilengkapai dengan apa yang disebut pecalang (pasal 17, Perda No. 3 Tahun 2003). Ketertiban dan keamanan di masyarakat dilaksanakan oleh pecalang. Dengan adanya fungsi, kewenangan dan kelengkapan seperti itu, ditambah dengan kekayaan berupa barang bergerak maupun tidak bergerak, material maupun immaterial, serta barang-barang yang memiliki makna magis dan religius, desa pakraman tersebut mirip dengan negara di dalam negara. Apalagi kemudian lembaga ini mempunyai otoritas sendiri untuk mengelolanya. Desa pakraman merupakan sebutan untuk sistem kemasyarakatan asli dari masyarakat Hindu di Bali. Akan tetapi, perhatian yang lebih menekankan kepada aspek hukum tentang lembaga desa adat ini justru baru dimulai pada tahun 1986, ketika pemerintah daerah Bali membuat Peraturan daerah No 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi daerah Tingkat I Bali. Ini boleh dikatakan sebagai upaya pertama secara normative dalam mengatur, menegaskan eksistensi desa adat di Bali, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Dalam peraturan daerah ini kata “adat” masih dipakai untuk menyebutkan pakraman seperti yang dirtulis sekarang. Adat, dengan demikian mencerminkan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali, sesuai dengan leluhurnya, dan menurun secara berkesinambungan. Munculnya aturan normatif ini, dapat dipandang sebagai munculnya kesadaran baru dari kalangan elit dan intelektual Bali terhadap perlindungan komunitas adat ini, baik secara hukum maupun dalam menghadapi perubahan sosial. Aturan secara hukum perlu dibuat demi memberikan status yang jelas kedudukan, fungsi dan eksistensi dari lembaga ini, baik bagi masyarakat Bali maupun masyarakat di luar Bali. Bagi 49 masyarakat Bali hal ini akan menambah keyakinannya dalam negara Indonesia karena kebiasaan-kebiasaan yang telah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dan turun-temurun telah mempunyai payung hukum. Bagi kalangan di luar masyarakat Bali, akan mengetahui bagaimana keberadaan desa tradisionil di Bali dan bagaimana posisinya di dalam hukum nasional. Akan tetapi yang juga perlu dilihat adalah bahwa munculnya peraturan daerah ini amat mungkin didorong oleh mulai terasakannya desakan-desakan kepada desa adat dari pengaruh-pengaruh luar, terutama dari arus turisme yang demikian deras di Bali. Peraturan daerah ini kemudian diubah menjadi Peraturan Daerah Propinsi Bali No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebagaimana kemudian yang telah direvisi melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2003. Dua hal penting yang mesti dicatat dalam perkembangan ini, terutama dari tahun 1986 dengan tahun 2001 adalah adanya bab khusus tentang Pemberdayaan Desa Pakraman, Majelis Desa Pakraman serta bab tentang Pecalang. Ketiga ketentuan ini tidak ada dalam peraturan daerah sebelumnya. Munculnya bab tentang Pemberdayaan Desa Pakraman mencerminkan telah mulai ada kesadaran bahwa desa pakraman ini dapat dibuat mandiri, maju dan menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Bahkan dalam ketentuan pasal 1 angka 19 sengaja dijelaskan tentang maksud dari kata pemberdayaan itu, yaitu rangkaian upaya aktif agar kondisi dan keberadaan desa pakraman dapat lestari dan kokoh sehingga berperan positif dalam pembangunan. Dengan kata lain, desa pakraman ini dapat ikut terlibat dalam perubahan sosial, membangun dirinya sendiri sesuai dengan perkembangan jaman dan tetap eksis. Tidak lain, ini disebabkan karena desa pakraman mempunyai sumber daya atau kepemilikan seperti yang disebutkan pada bab V tentang Harta Kekayaan Desa Pakraman dan bab VI tentang Pendapatan Desa Pakraman. Bab tentang Majelis Desa Pakraman boleh dikatakan sebagai sebuah lembaga yang bermanfaat untuk menyelesaikan segala perbedaan-perbedaan yang ada di berbagai desa pakraman di Bali dan menyamakan persepsi diantara sekian banyaknya desa pakraman yang mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda meskipun dilandasi oleh agama Hindu. Sedangkan Bab tentang Pecalang, merupakan antisipasi dari adanya konflik yang mungkin muncul intra anggota desa pakraman tentang kesalahan penafsiran dari makna awaig-awig di tengah perkembangan jaman serta antisipasi konflik yang mungkin terjadi di antara desa pakraman. Konflik berpotensi muncul sebagai akibat perubahan sosial yang demikian deras di Bali dengan industri pariwisatanya. 50 IV. 3. 1 Hubungan antara Desa Dinas Dengan Desa Pakraman Meskipun dua desa ini berada di dalam satu komunitas, dalam pelaksanaan praktik sehari-hari kedua desa tersebut menjalankan fungsinya secara mandiri. Pada intinya, desa dinas menjalankan fungsinya dalam rangka administratif kependudukan yang berhubungan dengan kepemerintahan. Sedangkan desa pakraman, menjalankan fungsi yang berhubungan dengan adat dan keagamaan seperti yang dilakukan oleh masyarakat Bali secara turun-temurun dan berkelanjutan. Dari konteks tersebut, sesungguhnya tidak ada kaitan antara desa pakraman dengan desa dinas karena masing-masing mempunyai peran tersendiri. Namun demikian, kedua desa di Bali ini mempunyai hubungan yang unik yang kemudian membentuk pola hubungan harmonis. Yang pertama adalah adanya satu banjar dinas yang langsung menjadi satu desa pakraman. Ini merupakan hubungan menarik karena di lingkungan banjar dinas itu juga berdiri Pura Khayangan Tiga sebagai tempat persembahyangan dari seluruh masyarakat yang ada di banjar dinas itu. Dalam konteks sistem sosial tradisional di Bali, banjar ini disebut dengan Desa Pakraman atau dulu disebut dengan desa adat karena mempunyai Pura Khayangan Tiga tersendiri. Hubungan antara desa pakraman dengan banjar dinas boleh dikatakan sejajar, tidak saling intervensi, dan saling bekerjasama. Dikatakan sejajar karena masing-masing mempunyai legitimasi. Banjar dinas merupakan unsur paling rendah (dekat dengan masyarakat) dalam sistem kepemerintahan Indonesia di Bali. Banjar inilah yang mengurus administrasi kependudukan dalam kerangka hubungan penduduk dengan negara atau pemerintah. Sedangkan desa pakraman merupakan desa tradisional di Bali sehingga dengan keberadaan itu juga memiliki legitimasi sosial. Fungsi dari desa pakraman lebih banyak mengatur soal hubungan sosial tradisional di Bali yang menyangkut kebudayaan dan ritual atau berhubungan dengan sistem sosial ketradisionalan Bali. Dengan komposisi legistimasi seperti itulah kemudian kedua sistem ini dapat hidup berdampingan tanpa harus mencampuri urusan masing-masing lembaga. Keduanya mempunyai fungsi dan tugas masing-masing, dengan pokok melayani masyarakat, akan tetapi dengan wujud yang berbeda. Akibat positif dari keberadaan dua lembaga ini sering terlihat. Di darah-daerah rawan di Bali, terutama di desa atau lingkungan yang dekat dengan perkotaan, desa pakraman dengan banjar dinas dapat melakukan kerjasama dalam memelihara ketertiban dan keamanan. Satuan pecalang yang dimiliki oleh Desa Pakraman dapat bersinergi melaksanakan tugas untuk menertibkan desa yang dengan demikian, juga menciptakan ketertiban di banjar dinas. Dalam praktiknya pecalang melaksanakan tugas 51 dengan melakukan sidak ke tempat-tempat yang dipandang rawan pelanggaran seperti koskosan atau melakukan patroli ke wilayah lingkungan desa untuk memantau keamanan. Dalam rapat yang dilakukan oleh desa pakraman misalnya, pimpinan (kelihan) banjar dinas dapat memakai kesempatan memberikan pengumuman kepada warga tentang kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah. Kerjasama antara kedua lembaga ini justru dapat memberikan saling keberuntungan bagi warga. Aparatur yang menjalankan desa dinas ada juga yang menjadi aparatur di desa pakraman sehingga membuat segala perkembangan yang ada di kedua lingkungan lembaga tersebut, dapat diketahui dan disikapi oleh aparatur yang sama. Atau sebaliknya aparatur yang secara struktural mempunyai kedudukan tinggi di desa pakraman, mempunyai struktur juga di banjar dinas. Ini membuat sikap saling hormat menghormati diantara kedua desa tersebut. Mau tidak mau, untuk memelihara ketertiban lingkungan, baik desa pakraman maupun desa dinas (keperbekelan), harus saling memberikan penilaian, bertukar informasi tentang segala potensi negatif yang ada di desa untuk didiskusikan demi menciptakan ketertiban bersama. Realitas adanya banjar dinas yang menjadi desa pakraman sesungguhnya merupakan komposisi yang ideal karena kedua lembaga itu berada di dalam satu wilayah, satu lingkungan dan dengan demikian juga aparaturnya dapat saling melengkapi. Harmonisasi dalam menyelenggarakan pemerintahan relatif dapat dipelihara karena lingkungan perbatasan dari dua lembaga komunal ini sama. Satu hal yang dapat menjadi pengganjal dari dua lembaga ini adalah pada bidang keyakinan dari warganya. Karena desa pakraman merupakan lembaga yang menjadi pengayom masyarakat Hindu (Bali), maka warga di banjar tersebut yang bukan pemeluk Hindu bukan menjadi wadah dari desa pakraman. Perbedaan budaya karena kebanyakan masyarakat non-Hindu berasal dari luar daerah Bali, dan juga perbedaan agama, akan menimbulkan ketidakpahaman tentang pola ritual atau pelaksanaan agama yang digelar. Pada titik inilah penting bagi banjar dinas dengan aparatnya menjadi penghubungan yang baik dan fungsional untuk menjelaskan kebiasaan dan ritual dari masing-masing kepercayaan tersebut kepada berbagai pihak agar dapat saling dimengerti. Norma-norma, kebiasaan dan budaya dari masingmasing pihak harus dijelaskan oleh aparatur banjar dinas agar mampu memunculkan saling pengertian. Dengan dasar saling pengertian inilah kemudian akan mampu diciptakan harmonisasi di lingkungan tersebut. Tentu saja juga sosialisasi yang dilakukan oleh aparatur banjar dinas itu 52 dilakukan secara bersama-sama oleh aparat (prajuru) desa pakraman. Cara ini akan menambah kentalnya upaya harmonisasi tersebut. Harus diakui bahwa ada perbedaan antara desa dinas (administratif) dengan desa pakraman. Pada umumnya desa dinas itu terdiri dari beberapa banjar dinas yang kemudian bersatu atau disatukan menjadi satu desa dinas, yang sekarang di Bali disebutkan dengan nama keperbekelan. Misalnya Perbekel Samsam di Kecamatan Kerambitan, Tabanan, terdiri dari enam banjar dinas, yaitu Banjar Penyalin, Banjar Kutuh Kelod, Kutuh Kaja, Samsam I, Samsam II dan Banjar Dinas Lumajang. Akan tetapi di Keperbekelan Samsam terdapat Lima Desa Pakraman, yaitu Samsam, Lumajang, Penyalin, Kutuh Kelod dan Kutuh Kaja. Dari sisi penyebutan anggota masyarakat juga mempunyai perbedaan karena pada desa dinas (perbekel), disebut sebagai warga dan desa pakraman, disebut dengan krama. Dalam hal pengelompokan krama, desa pakraman mempunyai tingkatan-tingkatan tertentu, sesuai dengan asal usul atau kepemilikan yang dikelola. Pembagian sebutan krama (warga) pada desa pakraman ini setidaknya dikenal pada tiga kelompok, yaitu krama pengarep, krama pangle, dan sekarang ada juga yang disebut dengan krama tamiu. Mereka yang disebut dengan krama pengarep adalah orang yang terkena ayah-ayahan dan ikut bertanggung jawab di dalam ritual yang dilakukan oleh desa. Di wilayah lain, misalnya di Karangasem, mereka yang disebut dengan krama pengarep adalah pihak yang mendapatkan hak untuk mengolah tanah milik desa pakraman (Stuart-Fox, 2010: 37). Sedangkan krama pangele adalah mereka yang berasal dari desa pakraman bersangkutan, akan tetapi karena berdomisili di wilayah yang jauh, dapat melakukan ganti terhadap kerja gotong royong yang dilakukan di desa pakraman tersebut. Sedangkan krama tamiu merupakan warga lain yang berasal dari luar wilayah, berdomisili di wilayah desa pakraman tersebut tetapi tidak bergabung dengan desa pakraman. Paling banyak mereka yang disebut sebagai krama tamiu ini adalah mereka yang beragama di luar Hindu dan berasal dari daerah lain. Dalam kasus di Bali, di awal millennium ke-21 ini cukup banyak krama tamiu yang menduduki wilayah desa pakraman, terutama yang berdekatan dengan kota. Dalam konteks demikian, desa administrative (keperbekelan), tidak mempunyai pembedaan dalam penyebutan anggota masyarakat yang berdomisili di wilayahnya. Seluruh warga yang menyatakan bertanggung jawab dan berdomisili di wilayah desa tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak mempunyai pembedaan sebutan. Semua warga wajib membayar pajak apabila berada di wilayah keperbekelan itu dan juga berhak untuk mengelola 53 tanah miliknya atas dasar pajak yang diserahkan, dan sebaliknya juga berhak mendapatkan kepengurusan administrasi seperti memiliki KTP, mengurus kartu keluarga dan sebagainya. Hubungan kerjasama antara desa pakraman dengan desa dinas atau banjar dinas, justru semakin kental akhir-akhir ini ketika krama tamiu semakin banyak yang datang di Bali. Krama tamiu tersebut bertempat tinggal di banjar-banjar yang menjadi wilayah desa dinas sekaligus juga menjadi wilayah desa atau banjar pakraman. Datangnya krama tamiu ini memberikan penghasilan tambahan bagi krama desa dengan penyediakan rumah-rumah kontrakan atau tempat kost. Akibat dari itu, jumlah penduduk satu desa menjadi bertambah banyak dan dipandang perlu untuk melakukan kontrol lapangan demi menjaga ketertiban lingkungan. Untuk melakukan kontrol inilah kemudian desa dinas (keperbekelan), memerlukan peran dari desa pakraman dengan memanfaatkan petugas keamanan dari desa pakraman, yang disebut dengan pecalang. Petugas keamanan desa pakraman yang berfungsi menjaga keamanan. Ada dua varian kerjasama yang dilakukan. Varian yang pertama adalah pimpinan desa dinas meminta bantuan kepada pimpinan desa pakraman (disebut dengan kelihan) untuk mengaktifkan pecalang di wilayahnya masing-masing. Dalam kerangka ini, desa pakraman akan bertindak sendirian untuk memantau situasi lingkungan yang ada di desa pakraman bersangkutan. Dalam praktik, pecalang biasanya berkeliling wilayah desa untuk memantau situasi dan melakukan razia terhadap warga yang tidak jelas identitasnya. Sedangkan varian kedua, akan ada gabungan tindakan baik yang dilakukan oleh desa pakraman maupun desa dinas (administratif) untuk melakukan pemantauan lingkungan. Desa pakraman akan turun ke lapangan dengan dilengkapi pecalang beserta jajaran pimpinan dan kelengkapan organisasi, sedangkan jajaran pimpinan desa dinas juga melakukan hal yang sama. Karena garis komando dari desa dinas ada di dalam pemerintahan negara, maka dalam konteks kerjasama ini, petugas kepolisianlah yang akan mendampingi desa dinas dalam melakukan pemeriksanaan. Karena itulah akan terlihat kerjasama koordinatif antara desa pakaraman dan dinas, yang dalam praktik secara teknis akan mempunyai beragam metode untuk mengaplikasikannya. Misalnya, setiap desa pakraman yang ada di desa dinas tersebut mendapat dampingan beberapa petugas kepolisian saat melakukan sidak lingkungan. Dalam kasus yang lain, bentuk kerjasama dan koordinasi antara desa dinas dengan desa atau banjar pakraman itu sangat tergantung dari kebiasaan yang ada di wilayah bersangkutan. Di Desa Pakaraman Eka Cita di Penyalin, Kecamatan Kerambitan, Tabanan misalnya, ketika desa 54 pakraman mendapatkan bantuan keuangan dari pemerintah propinsi, dalam jumlah tertentu juga disumbangkan kepada banjar dinas, yang penggunannya untuk perbaikan sarana di wilayah banjar tersebut. Membangun jalan menuju sungai atau permandian umum, mempunyai dua cara pandang karena dapat memperbaiki infrastrutur di desa pakraman sekaligus juga di desa dinas. Bantuan juga diberikan untuk memperbaiki kantor dari banjar dinas, atau untuk memperbaiki bale banjar yang dipakai sebagai kantor dari banjar dinas. Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 18B menyebutkan pada angka 2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Ini menandakan bahwa kesatuan masyarakat adat tersebut, dengan berbagai kebiasannya masih tetap mendapatkan pengakuan oleh negara di dalam negara Kesatuan Republik Indonesia. Adat pada awalnya merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, yaitu “Adah” yang artinya kebiasaan, yakni perilaku masyarakat yang selalu terjadi (Samosir, 2013: 8). Desa pakraman yang sekarang berlaku di Bali, pada awalnya disebut dengan desa adat yang memang mengacu kepada kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Kebiasaan ini lebih mengacu kepada ritual agama yang telah dilakukan masyarakat Bali secara turun-temurun dan berabadabad. Akan tetapi setelah menemukan makna kata yang lebih sesuai dengan konteks Bali, maka kata “adat” tersebut kemudian dihilangkan dan dipakailah kata pakraman sebagai pelengkap kata “desa” untuk menyebutkan praktik kebiasaan masyarakat Bali, sesuai ritual Hindu yang dilakukan dan berlangsung di desa, dan menjadi desa pakraman untuk mengganti sebutan desa adat. IV. 3. 2 Kelemahan Desa Pakraman Dalam perjalanan desa pakraman, sifat ketradisionalannya tidak dapat dilepaskan sama sekali karena desa ini merupakan turunan dari desa Bali kuno yang mengadaptasi model-model pemerintahan di masa lalu. Dengan adaptasi seperti itu maka legitimasi dari keberadaan desa pakraman, tidak lain adalah tradisi tersebut. Apabila dilihat ke belakang, tradisi Bali sangat lekat dengan pola-pola ritual agama Hindu sesuai dengan penafsiran dari masyarakat setempat, ditambah dengan penafsiran dari pendeta atau orang-orang yang berpengaruh pada saat itu. Desa pakraman mempunyai dua kekuatan yang tertuju kepada sifat tradisinya itu, yaitu hal ritual yang 55 berhubungan dengan agama (Hindu) dan para tokoh yang menjadi pembenar dari ritual tersebut. Berhadapan dengan agama, masyarakat tidak mampu lagi menolak karena agama pada masyarakat Indonesia, apalagi di Bali, agama merupakan keyakinan faktual dan ketundukan yang mutlak. Kemudian ketika ritual agama tersebut dibenarkan oleh tokoh masyarakat, apalagi raja dan para pendeta yang ada, maka ritual tersebut, tidak dapat dihindarkan lagi. Bagaimanapun kompleksitasnya, pasti akan dijalankan. Desa pakraman merupakan sikretisme dari hal ini, mekipun kini harus berhadapan dengan modernisasi di Bali. Dasar dari lembaga ini adalah keterikatan warga dengan tempat persembahyangan masyarakat Hindu Bali yang percaya dengan tiga sakti dari Tuhan, yaitu Brahma, Wisnu dan Syiwa yang kemudian diimplementasikan ke dalam Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Kelemahan lain dari desa pakraman adalah keberadaannya yang terpisah antara satu dengan yang lain di Bali. Sejarah kemandirian lembaga ini ada di masing-masing desa. Kontak yang terjadi jarang, kecuali pada desa pakraman yang berdekatan. Dan masing-masing desa mempunyai wilayah yang luas sehingga harus mengadaptasi berbagai pendapat di wilayah yang luas tersebut. Desa pakraman Bede di kabupaten Tabanan misalnya terdiri dari 39 banjar pakraman yang membentang di dua Kecamatan, yaitu Kecamatan Tabanan dan Kerambitan. Mencapai kata sepakat untuk satu model persembahyangan dan ritual memerlukan proses yang cukup panjang disini. Karena itulah kemudian munculnya lembaga yang mengayomi desa pakraman yang berjenjang dari kecamatan sampai dengan propinsi, menjadi satu terobosan penting misalnya untuk menghadapi kesenjangan dialog dan hubungan sosial antar desa pakraman tersebut di Bali. Modernisasi memberikan dorongan yang sangat besar terhadap keberadaan desa pakraman ini. Majelis desa pakraman yang berada pada tingkat kecamatan sampai di propinsi tersebut, akan memberikan semacam informasi yang sangat berguna bagi perkembangan desa ini menghadapi perubahan sosial. Kesamaan persepsi tentang perubahan sosial memberikan sumbangan penting bagi keberadaan desa dan kemudian adanya persamaan-persmaan persepsi dengan bagaimana pola ritual yang harus dilakukan oleh desa pakraman. Bentuk dari kemajuan itu sebagai akibat adanya lembaga yang berjenjang ini adalah adanya kesepakatan untuk membuat awig-awig yang secara umum mempunyai kesamaan. Pola ini paling tidak akan memberikan satu garis persepsi yang sama terhadap pembuatan kelengkapan struktur maupun fungsi desa pakraman. Sekarang misalnya kita lihat bahwa setiap desa pakraman telah memiliki pecalang, telah mempunyai LPD 56 atau apabila tidak mampu secara mandiri, dapat melakukan gabungan untuk membuat Lembaga Perkreditan Desa secara bersama-sama. Undang Undang No. 6 Tahun 2014 menyebutkan tentang berdirinya Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) yang dapat dikelola oleh desa untuk mensejahterakan rakyat serta mengelola aset-aset yang dimiliki oleh desa bersangkutan. Meskipun tidak sama dengan apa yang dilaksnakan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, akan tetapi BUM Desa ini merupakan ide untuk mengelola usaha aset yang dimiliki oleh desa. Ketika kemudian pilihan dijatuhkan kepada desa pakraman sebagai desa “perwakilan” dari Bali, maka seperti yang dikatakan oleh Dr. I Nyoman Subanda, bahwa dalam konteks pengalaman keadministrasian, hal ini akan berdampak besar. Para pengurus desa pakraman tidak mempunyai pengalaman dalam membuat administrasi seperti laporan keuangan tahunan dan sebagainya yang harus dilakukan oleh aparat desa. Bukan tidak mungkin hal ini akan menjadi pekerjaan berat. Disamping itu karena ada laporan tahunan kepada pemerintah, desa adat atau desa pakraman akan tunduk oleh instruksi aturan-aturan pusat yang memungkinkan tergerusnya aturan adat asli sendiri. Originalitas adat bisa tergerus. (Fajar Bali, 30 September 2014. Hal 111). Harus juga dilihat, desa pakraman mempunyai nama sebutan desa adat di masa lalu. Sebutan untuk pimpinan desa adat adalah kelihan adat. Kata kelihan ini berakar dari bahasa daerah Bali, yang artinya “kelih”. Kata itu merujuk kepada orang yang lebih tua atau sudah tua. Dalam pemahaman tradisional, seorang yang sudah tua dipandang mempunyai pengalaman yang lebih banyak, baik di bidang sosial maupun kepemimpinan, termasuk juga pengetahuan. Karena itu orang yang tua dipandang cocok untuk menjadi pemimpin. Apalagi dalam desa pakraman atau desa adat di Bali, ritual upacara adat dan agama yang dilakukan, memerlukan “legitimasi” dari orang-orang yang lebih tua. Ritual tersebut mempunyai perlengkapan, alat, tata krama yang memerlukan pengalaman dalam arti luas. Di tengah kemampuan mencatat dan menulis masyarakat di masa lalu yang belum baik, maka hanya orang tua yang berpengalamanlah dipandang layak memimpin desa adat. Meskipun di jaman modern ini sebagian pimpinan desa pakraman dipimpin oleh mereka yang masih muda, akan tetapi sebagian lain masih dipimpin oleh mereka yang tua. Konsekuensinya, masih banyak orang tua yang tidak mampu membaca dan menulis yang memimpin desa pakraman. Apalagi apabila dikaitkan dengan kemampuan manajemen. Padahal, 57 sesuai dengan Undang-undang No 6 tahun 2014, desa akan mendapatkan dana milyaran rupiah untuk dikelola demi kesejahteraan rakyat. Mengelola uang yang banyaknya milyaran rupiah ini, memerlukan keterampilan manajemen dari seorang pimpinan. Apabila desa pakraman kelak menjadi desa terpilih di beberapa kabupaten di Bali, tantangannya terletak pada konteks ini. Bahkan desa pakraman yang dipimpin oleh anak muda pun berpotensi tidak mempunyai keterampilan manajemen. Pengelolaan keuangan yang jumlahnya sampai milyaran rupiah tersebut, memerlukan keteramapilan di luar manajemen, seperti misalnya mengoperasikan perangkat lunak komputer dan sejenisnya. Dalam sejarahnya, pemilihan kepada desa pakraman atau kepala adat, selalu menjadi momok bagi generasi baru. Ini disebabkan oleh dipandang ribetnya upacara agama yang menjadi tanggung jawab desa pakraman, disamping juga mengelola keragaman masyarakat dengan berbagai perangainya. Pada konteks seperti ini, kepala desa pakraman terpilih karena terpaksa atau karena dipaksa. Dalam pandangan manajemen, ini merupakan kelemahan karena tidak akan mungkin dapat dihasilkan pimpinan dan pekerja yang handal apabila dimunculkan dari kondisi yang memaksa. Mengelola desa dengan tujuan-tujuan seperti yang terlihat dalam Undang-undang No 6 Tahun 2014, cukup sulit untuk diwujudkan. Undang-undang ini menginginkan tujuan idealis untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Salah satu caranya adalah dengan memberikan bantuan keuangan, baik dari pusat maupun daerah. Bentuk pertanggungjawaban dari ini adalah membuat perencanaan sosial agar uang itu mampu dimanfaatkan dengan baik, serta sudah menjadi kewajiban administrasi untuk membuat laporan ke berbagai instansi yang memberikan bantuan keuangan. Pimpinan yang merasa terpaksa untuk menjadi kepala desa pasti akan kesulitan mengelola ini. Yang paling dikhawatirkan dari hal-hal seperti ini adalah adanya penyimpangan-penyimpangan keuangan. Dalam hubungan dengan penyimpangan ini, adanya bantuan keuangan kepada desa dari pusat maupun daerah, juga potensial berbahaya apabila dikaitkan dengan kepemimpinan. Isu paling utama dari Undang-Undnag Desa ini adalah bahwa desa akan mendapat bantuan uang sampai lebih dari 1 milyar setiap tahun. Banyak pihak kemudian yang tiba-tiba tertarik menjadi kepala desa. Kecurigaan yang muncul adalah bahwa meningkatnya animo tersebut disebabkan oleh adanya jumlah yang yang banyak tersebut. Keinginan yang tiba-tiba ramai jika dibandingkan dengan sepi sebelumnya, pantas dicurigai. Bukan tidak mungkin orang-otrang 58 seperti itu adalah mereka yang mempunyai sifat avonturir, yakni mencoba mengintip uang tersebut demi keuntungan-keuntungan pribadi. Maka, desa dan pemerintah pada umumnya, harus mempunyai aturan tersendiri untuk memilih kepala desa. Masyarakat juga harus ditingkatkan pengetahuannya. IV. 4 Kerjasama antar Sektor Undang-Undang No 6 Tahun 2014 ini jelas mempunyai tujuan memperbaiki kualitas desa yang ada sekarang, dengan desa yang dimaksud baik desa dinas, desa adat atau desa dengan sebutan lain di Indonesia. Artinya memaksimalkan peran desa dalam keberadaannya di Indonesia maupun memperbaiki kedudukannya dilihat dari sejarah desa sebelumnya. Karena itulah, disamping memperbaiki sistem pemerintahan desa, memperbaiki hubungan sosial dengan desadesa lainnya, pemerintah dari segala tingkatan memberikan bantuan kepada desa. Bantuan tersebut baik berupa penasihatan maupun banatuan pada bidang keuangan. Disamping memberikan bantuan pada bidang keuangan, dalam kerangka memaksimalkan peran desa, melalui undang-undang ini pemerintah memberikan kesempatan kepada desa untuk memaksimlakan segala sumber daya yang ada dan dimiliki oleh desa. Upaya memaksimalkan peranan desa dalam kerangka memajukan Indonesia tersebut boleh dikatakan sebagai upaya dasar bagi pembangunan negara karena desa merupakan basis dasar dari negara Indonesia. Dengan memajukan desa maka secara simultan Indonesia maju secara nasional sebab kemajuan itu akan merata, tidak hanya sepihak pada daerah-daerah perkotaan atau desa yang berdekatan dengan kota. Kemajuan itupun sangat kuat mempunyai dasar dalam berkompetisi dengan dunia internasional (globalisasi) karena keberhasilan pembangunan di desa itu didasarkan pada potensi-potensi dan aset yang dimiliki oleh desa bersangkutan. Potensi itulah yang diunggulkan untuk menopang kesejahteraan rakyat, sehingga apabila kemakmuran rakyat berbasis kepada kemampuan dasar desa itu, maka potensi akan semakin ditingkatkan kualitasnya oleh masyarakat di desa bersangkutan sehingga sumber daya itu semakin hari kualitasnya semakin meningkat, semakin berkembang dan semakin menemukan pembaruan. Misalnya, sebuah desa yang dikelilingi oleh sungai, maka sungai itu tidak hanya dapat dimanfaatkan airnya untuk menyiram tanaman, akan tetapi juga dapat dipakai mengairi persawahan, kemudian memelihara berbagai jenis ikan, wisata air untuk anak-anak, sumber air 59 bersih, sampai pada akhirnya pembangkit tenaga listrik untuk mengairi desa. Apabila desa itu cocok sebagai penghasil kayu jati karena tanahnya berkapur, masyarakat di sekitar desa itu tidak saja memperluas perkebunan jatinya tetapi juga mengembangkan berbagai jenis varian tanaman jati, mendirikan usaha ukir-ukiran sampai mebel dan menghidupakan upaya ekspor furniture. Memaksimalkan peranan desa dalam pembangunan nasional dan memperkuat ketahanan negara, dapat dilakukan melalui kerjasama dengan desa lain. Secara sosiologis, ini sangat berguna. Cara melakukan kerjasama ini akan memunculkan interaksi dengan masyarakat lain, baik dalam bentuk perorangan maupun kelompok. Bagi Indonesia cara kerjasama ini penting karena dasar dari masyarakat Indonesia itu adalah gotong royong. Akan tetapi bukan sekedar gotong royong itu yang menjadi maanfaat utama dari kerjasama ini. Budaya Indonesia dalam khasanah sosiologisnya adalah kontak sosial. Di dalam kontak sosial ini akan ditemui berbagai macam manfaat. Yang pertama tentang pertukaran informasi. Baik di kota, desa maupun pegunungan, informasi itu sangat penting untuk saling memahami perkembangan sosial yang ada. Di desa perkembangan sosial itu berguna untuk saling memberikan pengetahuan. Informasi pada hakekatnya adalah pengetahuan yang sudah dikemas. Bagaimanapun bentuk dan wujud pengetahuan itu, apabila disebarkan akan dapat berguna bagi masyarakat. Misalnya tentang kepenyakitan. Berjangkitnya penyakit rabies di Bali perlu diinformasikan ke desa lain agar desa yang lain bersiaga menghadapi wabah ini. Informasi tersebut tentu juga diikuti dengan cara-cara pencegahan dan teknik pertolongan pertama. Demikian juga informasi tentang kejahatan serta informasi lain. Kedua, kerjasama ini akan memberi manfaat mengetahui karakter dan kebiasaan dari desa lain. Pengetahuan tentang karkater desa lain dengan sendirinya juga akan mengetahui sifat secara umum dari desa tetangga dengan melihat kebiasaan yang dilakukan. Hal ini akan mampu mencegah munculnya konflik antar desa. Di desa-desa yang berdekatan, konflik sering muncul disebabkan oleh ketidakpahaman dari kebiasaan dari desa tetangga. Kerjasama yang akan dilakukan, bagaimanapun akan memberikan kesempatan untuk mengetahui karakter desa tersebut. Desa yang terbiasa menggelar ritual pertanian, pasti mempunyai mayoritas warga petani. Demikian juga desa yang pemudanya mempunyai kegiatan olahraga sore hari, menandakan kekompakan pada generasi muda. Ketiga, memberikan kesempatan saling bertukar pengalaman dan pengetahuan. Masingmasing desa mempunyai potensi yang berbeda-beda dan masing-masing penduduk mempunyai 60 keterampilan yang juga berbeda-beda. Untuk memberikan manfaat yang lebih maksimal dari potensi-potensi tersebut, maka kerjasama merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkannya. Desa yang mempunyai mayoritas penduduk sebagai petani, memerlukan orang yang cakap untuk memasarkan hasil pertanian, atau memerlukan desa yang mempunyai alat untuk mengolah gabah. Kerjasama yang saling menguntungkan ini tentu saja juga memberikan sumbangan penting bagi saling meningkatnya pemahaman antar individu. Keempat, bermanfaat untuk saling mengenal secara individual. Mengenal individu masing-masing desa penting karena jalinan keakraban sesungguhnya berada pada tataran individu. Kerjasama antar desa memberikan kesempatan untuk pengenalan individu ini. Keakraman yang terjalin antar individu antar desa, mempunyai pengaruh besar kepada stabilitas antar desa sebab hal ini dapat menurun pada generasi yang baru. Persahabatan yang dijalin oleh orang tua, dapat menjalar menurun kepada anak-anak dan dari anak-anak kepada cucu. Demikian seterusnya. Pada masyarakat Bali masa lalu, paling tidak dekade tujuhpuluhan dan sebelumnya, contoh kerjasama positif dapat dilihat pada lomba laying-layang. Lomba ini memberikan kesempatan adanya pertemuan komunitas penggemar layang-layang dari satu desa dengan desa lainnya. Juga memberikan kesempatan memunculkan rasa solidaritas dan persaudaraan yang tinggi. Desa yang menggelar lomba layang-layang akan mengundang desa sekitar untuk berlomba, meminta bantuan kepanitiaan, bantuan makanan berupa kue sampai nasi dan minuman. Cara-cara seperti ini juga akan dilakukan oleh desa-desa lain yang menggelar lomba laying-layang di waktu lain, dan demikian terus bergiliran setiap tahun manakala sudah ada masa untuk lomba laying-layang. Cara meminta bantuan dan pelibatan seperti ini, sangat ampuh untuk membina persahabatan serta menekan konflik. Dalam konteks demikian, Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang desa ini memberikan peluang untuk melakukan kerjasama dengan desa lainnya dalam hal upaya meningkatkan potensi desa. Pasal 83 dari undang-undang ini menyebutkan tentang kawasan perdesaan. Kawasan yang dimaksud merupakan perpaduan pembangunan antar desa dalam satu kabupaten/kota. Basis dari pasal ini mempunyai tujuan agar pembangunan itu terpadu dan disesuaikan dengan perencanaan-perencanaan yang telah dilakukan oleh pemerintah. Perencanaan tersebut dibuat dengan memperhatikan potensi yang ada di masing-masing desa yang dipandang mampu melaksanakan perpaduan tersebut, dengan titik pusat pada bidang 61 pertanian. Untuk melaksanakan pembangunan yang terpadu ini, tidak lain harus dilakukan dengan melakukan kerjasama antar desa dengan memanfaatkan aset-aset yang ada. Penggunaan aset tersebut dapat saja dilakukan secara silang, dalam arti antara aset yang dimiliki oleh satu desa akan dapat dimaksimalkan pemberdayaannya melalui tenaga terampil dari desa yang lain. Dalam penafsiran dari undang-undang tersebut serta Peraturan pemerintah No 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang No 6 tahun 2014, pemerintahlah, baik pusat maupun daerah yang menentukan kawasan perdesaan itu, yang kemudian disosialisasikan. Desa kemudian menyambutnya dengan membuat kajian dan kemudian usulan untuk menetapkan kawasan perdesaan tersebut. Dengan demikian, melalui kerjasama antar desa dapat dilakukan maksimalisasi manfaat dari pembangunan desa ini. Dalam konteks pembangunan kawasan perdesaan, konsep awalnya yang meliputi wilayah-wilayah yang ditetapkan itu, berasal dari pemerintah. Desa tetap mempunyai peran untuk menginventarisasi aset dan potensi-potensi yang ada untuk dikembangkan. Dalam kerangka inventarisasi inilah kemudian dimungkinkan lagi melakukan kontak sosial dengan desa-desa lainnya untuk mencapai saling pengertian. Inventarisasi aset dan potensi pengembangan ini perlu mendapatkan kerjasama untuk saling memudahkan. Pemerintah akan mudah melakukan penilaian, dan ketika kerjasama antar kawasan perdesaan itu terjadi, akan mudah melakukan tindakan baik untuk memngembangkan usaha maupun mencari solusi masalah yang muncul. Cara lain untuk memaksimalkan peranan desa untuk kesejahteraan rakyat itu adalah dengan mengoptimalkan potensi dan sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh desa. UndangUndang No. 6 Tahun 2014 ini telah memberikan garis-garis besar upaya untuk memaksimalkan potensi tersebut demi dapat mengejar kepentingan-kepentingan yang sifatnya ekonomis, dengan tujuan utama demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara struktural, pemerintah telah digariskan dalam undang-undang untuk memberikan bantuan kepada desa demi melakukan pembangunan itu. Pemerintah yang dimaksudkan ini, tidak hanya pada pemerintah kabupaten saja, akan tetapi juga pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Pasal 72 Undang-Undang itu menyebutkan bahwa dana yang akan didapatkan oleh desa dari pemerintah dapat berupa alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, alokasi dana desa yang merupakan dana perimbangan yang diterima 62 kabupaten/kota, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan belanja daerah Kabupaten/Kota. Makna dari pernyataan dalam undang-undang ini adalah bahwa pemerintah tidak akan membiarkan desa tersebut berjalan sendirian semata-mata hanya dengan mengolah asetnya sendiri untuk mengembangkan diri, tetapi tetap memberikan dana rangsangan yang dapat dipadukan dengan kekayaan serta kemampuan yang dimiliki oleh desa. Jika memang desa mempunyai modal yang besar dan potensi besar pula untuk mengembangkannya, tentu hal ini tidak masalah. Namun apabila dana yang besar tersebut kemudian dipadukan dengan bantuan yang diberikan oleh pemerintah, akan menjadi sinergi positif untuk menjalankan fungsi desa sebagai basis utama mensejahterakan masyarakat Indonesia. Keterlibatan pemerintah dalam memberikan bantuan ini boleh dipandang sebagai hasil pemikiran yang menyadari bahwa tidak seluruhnya desa-desa di Indonesia yang jumlahnya ribuan tersebut, mampu mengembangkan diri secara mandiri. Bahkan sebagian besar desa-desa yang ada di Indonesia masih memerlukan dana sebagai penopang melaksanakan pembangunan. Hal ini juga merupakan kewajiban dari pemerintah untuk menyebarkan hasil pendapat negara kepada masyarakat melalui bantuan kepada desa. Keterlibatan pemerintah dalam memberikan bantuan itu dapat juga dibaca bahwa pembangunan di pedesaan itu harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan normatif yang ditentukan pemerintah. Dalam arti, sesuai dengan norma-norma yang ada di dalam koridor negara Indonesia. Setiap perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah pasti menekankan hal ini, termasuk juga dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014. Koridor utama yang harus ditaati adalah tidak bertentangan dengan Pancasila dan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bantuan dari pemerintah tersebut juga dapat ditafsirkan sebagai adanya bentuk diksusi dua arah antara pemerintah dengan desa dalam kerangka melakukan berbagai perencanaan-perencanaan pembangunan di pedesaan. Ini misalnya terlihat jelas dalam hal pembentukan pembangunan daerah perdesaan. Pembangunan ini berbasis pada pertanian antar desa yang ada di kabupaten/kota. Perencanaan pembangunan ini mesti dkoordinasikan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota. Upaya memaksimalkan pembangunan desa untuk kepentingan ekonomi demi kesejahteraan rakyat, tidak hanya dilakukan melalui bantuan dari pemerintah tersebut. Ia juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan aset-aset desa yang sudah dimiliki. Karena itu aset desa 63 harus diketahui dan digali keberadaannya. Cara paling bagus untuk memaksimalkan pembangunan desa dalam konteks ini adalah dengan memadukan dua hal tadi, yaitu antara bantuan dari pemerintah dengan aset yang dimiliki oleh desa. Bagi yang tidak mempunyai aset dan potensi atau bagi desa yang masih belum menggali potensi desanya, bantuan dari pemerintah itu masti dipandang sebagai rangsangan atau modal awal untuk menggerakkan potensi dan aset yang ada, betapapun minimnya aset tersebut. Misalnya, bantuan itu dapat digunakan sebagai upaya untuk membuat lokasi pengolahan air, yang mana akan dapat dipakai untuk menjual air sumber kepada umum. Oleh pemerintah, aset yang telah diakui oleh undang-undang sudah dinyatakan secara jelas. Bahkan aset tersebut dapat diperluas lagi sepanjang itu dinyatakan sah. Aset itu diantaranya adalah, seperti yang dinyatakan pada pasal 76, dapat berupa tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik desa, permaindian umum dan aset lainnya milik desa. Juga dikatakan, bahwa aset pemerintah, termasuk pemerintah daerah, yang berskala desa dapat dihibahkan kepemilikannya kepada desa. Kekayaan milik desa yang telah diambilalih oleh pemerintah kabupaten/kota, dapat diambilalih lagi oleh desa sepanjang tidak dipakai untuk kepentingan umum. Untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, segala aset yang disebutkan diatas, dapat diolah dan dipakai untuk itu, dengan memadukan dana yang dimiliki desa dan bantuan pemerintah. Sebutan yang diterakan pada undang-undang tentunya tidak dapat disamaratakan dengan kepemilikan aset dari desa-desa yang ada di Indonesia. Karena itulah kemudian tetap ada kemungkinan desa yang masih mempunyai kekayaan lain di luar yang ditentukan oleh undangundang. Aset ini dapat dimiliki apabila prosedurnya dilakukan dengan cara yang sah. Di Bali misalnya, sangat jarang desa mempunyai tambatan perahu. Namun desa pakraman mempunyai aset yang sering disebut dengan laba pura . Akhir-akhir ini desa pakraman juga mempunyai pasar tradisional. Kecenderungan ini semakin banyak dilakukan oleh desa pakraman sebagai akibat dari perubahan sosial yang ada. Bali pada dasawarsa kedua abad ke-21 ini terasa mengalami urbanisasi yang besar dengan datangnya warga dari luar pulau. Di desa-desa di Bali juga banyak dijumpai sumber air pegunungan. Akan tetapi sumber air ini banyak yang terbuang atau dimiliki oleh perorangan karena ada di tanah yang dimiliki oleh perorangan. 64 Aset yang dimiliki desa, seperti yang disebutkan pada undang-undang itulah yang seharusnya dikelola, dikembangkan secara terus-menerus dengan memakai modal yang ada, untuk mensejahterakan masyarakat yang ada di pedesaan. Ini yang menjadi tujuan dari pemerintah untuk membentuk Undang-Undang No 6 tahun 2014. Pesan yang dikembangkan dari perundangan ini dapat berupa menggugah masyarakat dan aparat desa tentang potensi yang dimilikinya untuk dikembangkan secara mandiri, dengan perlindungan dan sokongan pemerintah demi memperkuat ketahanan negara dan bangsa Indonesia. Sebagai wilayah organisasional yang terletak pada struktur paling bawah, berhadapan langsung dengan rakyat, kesadaran kepemilikan aset ini memang harus digugah. Sebelumnya tidak banyak desa yang sadar dengan berbagai kekayaan yang dimiliki. Yang selanjutnya adalah memaksimalkan sumber daya manusia. Intinya tentang potensipotensi yang dimiliki oleh sumber daya manusia itu guna mendukung maksimalisasi ekonomi dan kerjasama dengan desa lain. Sumber daya manusia mempunyai karakter yang unik dan luar biasa. Meskipun manusia tidak merasakan mempunyai keterampilan di dalam kehidupannya, akan tetapi manakala ada seseorang yang menemukan keterampilan tersebut dan kemudian mengasahnya, mereka akan menemukan kesenangan tersendiri untuk menekuni. Manusia juga akan terbiasa dan menyesuaikan diri dengan keterampilan itu. Atau, keterampilan itu ditemukan secara kebetulan dan merasa cocok, senang dan tidak terbebani dengan keterampilan tersebut. Misalnya seseorang yang menemukan dirinya sebagai pedagang dan menemukan kenikmatan di sana. Bukan tidak mungkin hal ini akan berlanjut terus dan semakin hari mengasahnya. Demikian juga dengan keterampilan lain seperti menulis, melukis, membuat kue, memasak, beternak dan sebagainya. Inilah keunikan dari manusia yang dapat mengerjakan apa saja, menemukan apa saja di dalam perjalanan hidupnya dan kemudian menekuni profesi tersebut. Dan apabila profesi dan kesenangan itu dikembangkan dengan kesediaan-kesediaan belajar, maka hal ini akan menjadi luar biasa perkembangannya. Kepercayaan diri terhadap keterampilan tersebut akan mampu membuat perkembangan luar biasa. Seseorang yang menemukan diri pada keterampilan memperbaiki kendaraan (bengkel), akan dapat membuka cabang-cabang bengkel di berbagai tempat dan akhirnya menyedot banyak lapangan pekerjaan. Secara nasional, Indonesia sekarang dikatakan sebagai negara yang mempunyai bonus demografi. Hal ini memberikan pemahaman bahwa diantara 250 juta penduduk Indonesia di tahun 2015 ini, mayoritas dari penduduk itu mempunyai usia produktif, antara 17 sampai dengan 65 50 tahun. Keadaan demikian merupakan keuntungan bagi suatu negara untuk menggerakkan segala potensi yang dimiliki negara itu, entah potensi alam seperti pertanian, pertambangan dan sebagainya. Atau potensi ekonomi perdagangan baik yang berskala domestik, nasional, bahkan internasional. Bonus demografi tersebut terasa juga di pedesaan. Di Bali misalnya, rapat-rapat di pedesaan banyak yang dikendalikan oleh anak-anak muda usia di bawah 50 tahun yang mendominasi pendapat dan usulan. Tenaga kerja di pedesaan juga banyak yang berumber dari anak-anak muda, bahkan di bawah 40 tahun. Lalu-lintas penglaju di pedesaan yang bekerja di kota Denpasar dan Badung, membuktikan bahwa hanya usia-usia produktiflah yang mampu melakukan aktivitas tersebut karena memerlukan tenaga ekstra untuk menempuh jarak antara 50 sampai 60 kilometer. Banyak warga pedesaan di Bali yang memilih cara menglaju untuk bekerja pada rentang jarak antara 50 sampai 60 kilometer tersebut. Fenomena ini tidak hanya terlihat pada siang hari tetapi juga malam hari, bahkan juga sampai dini hari. Sekali lagi, hal itu membuktikan apabila memang bonus demografi ada di Indonesia, termasuk juga pedesaan. Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa ini sesungguhnya memberikan arahan memanfaatkan bonus demografi untuk memaksimalkan potensi sumber daya manusia yang ada, memanfaatkan sumber daya yang ada di desa demi kemakmuran rakyat. Dari sumber daya manusia itu sesungguhnya dapat digali berbagai macam potensi yang dapat memanfaatkan aset dan sumber daya desa untuk kemakmuran rakyat. Undang-Undang ini, termasuk peraturan pelaksanannya, sudah jelas tidak mencantumkan bagaimana aset sumber daya manusia yang harus dimiliki oleh desa dalam rangka mengejar tujuan undang-undang tersebut. Akan tetapi untuk mencapai kesejahteraan rakyat dengan strategi pemberdayaan, mau tidak mau haruslah dilakukan oleh generasi aktif dan produktif. Pasal 127 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa memuat tentang upaya pemberdayaan masyarakat desa. Hal penting yang harus dilihat dalam upaya pemberdayaan ini adalah bahwa upaya itu mendorong partisipasi masyarakat membuat perencanaan pembangunan desa, mengembangkan program pembangunan agar berkelanjutan; menyusun perancanaan yang berpihak kepada masyarakat miskin, tidak mampu, berkebutuhan khusus, dan sebagainya; menyelenggarakan peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia masyarakat desa; melakukan pendampingan dan seterusnya. Semua kondisi-kondisi tersebut hanya dapat dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih aktif dan produktif. Potensi-potensi inilah yang 66 kemudian harus digali oleh masyarakat desa demi mendapatkan kecocokan dalam pembangunannya. IV. 4. 1 Pendampingan Upaya untuk memajukan negara dengan berbasiskan pada desa, boleh dikatakan sebagai upaya pelaksanaan yang baru, meski ide tersebut sudah lama. Keinginan untuk membentuk desa sebagai daerah tingkat III misalnya, boleh dikatakan sebagai keinginan untuk membangun desa sejak jaman Orde Lama. Akan tetapi karena persoalan politik dan administrasi kenegaraan yang belum tuntas, hal ini tidak sempat terlaksana. Harus jujur diakui bahwa perpaduan antara keinginan yang tertunda dengan basis petani yang menjadi mayoritas penduduk desa di Indonesia itu, mempunyai dampak kemana-mana. Pada tingkat kebijakan politik, pemerintah Orde Baru sesungguhnya sudah mempunyai kebijakan yang bagus dalam garis-garis besar haluan negara, dengan menetapkan proses pembangunan yang disebut Pelita. Mulai dari Pelita I sampai dengan Pelita IV, kebijakan ini telah menetapkan pertanian sebagai basis pembangunan Indonesia. Secara langsung dan tidak langsung, sesungguhnya langkah politis ini telah memperhatikan desa sebagai pusat pembangunan karena basis pertanian itu ada di desa dan rakyat Indonesia kebanyakan ada di pedesaan. Karena itu, langkah politis ini sudah benar. Pada tingkatan akademis, pada pertengahan pemerintahan Orde Baru, perguruan tinggi juga telah mencetak banyak sarjana pertanian. Bahkan dekade delapanpuluhan, sarjana pertanian menjadi salah satu favorit bagi anak-anak sekolah lanjutan atas untuk kuliah di perguruan tinggi. Pemerintah juga mulai mengembangkan fakultas dan program studi yang relatif baru, yaitu Teknologi Pertanian. Akan tetapi perkembangan ini kemudian seolah berbenturan dengan kenyataan yang ada karena pada saat itu kegiatan perekonomian yang berbasis industri sudah mulai kelihatan di Indonesia, termasuk juga dengan barang-barang impornya. Jika dipakai kasus Malari sebagai salah satu tolok ukur, maka boleh dikatakan bahwa impor barang-barang dari luar negeri (Jepang) sudah mulai kelihatan pada awal dekade tujuhpuluhan. Inilah yang kemudian kiranya berdampak pada kosentrasi pembangunan pertanian, yang juga pada akhirnya pada pembangunan di pedesaan. Sarjana-sarjana pertanian yang dihasilkan oleh perguruan tinggi, bahkan perguruan tinggi ternama, tidak dapat bekerja secara maksimal pada garis linear sesuai dengan jurusannya di kampus, tetapi malah terserap pada dunia kerja yang berorientasi ekonomi, seperti perbankan, media massa atau sektor industri. Pemikiran67 pemikiran mereka lebih banyak terserap kepada sektor industri dan bisnis. Dan secara pelanpelan juga, kebijakan nasional negara pada waktu itu kelihatan pada orientasi impor dan dirgantara. Sektor pertanian dan pedesaan menjadi kurang terperhatikan. Dari situlah kemudian dampak ini berkembang kemana-mana sampai dengan saat ini. Industri menjadi lahan paling menonjol dalam kehidupan masyarakat dan pertanian semakin tertinggalkan. Di Bali, dua dekade pertama abad ke-21 ini sangat kelihatan pengaruhnya. Disamping lahan pertanian, perkebunan dan persawahan terkikis oleh perumahan, generasi muda juga sudah mulai meninggalkan desa, beralih dari sektor pertanian menuju sektor jasa atau industri. Sangat terlihat ladang menjadi semak dan sawah-sawah menjadi kering, sementara generasi petani yang lebih tua, tidak mampu lagi bekerja di sawah. Desa relatif kosong aktivitasnya karena kebanyakan generasi muda lari ke kota. Di perguruan tinggi, Fakultas Pertanian tidak lagi menjadi favorit dan berpindah menuju Fakultas Ekonomi, Hukum dan bahkan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Inilah yang menjadi persoalan untuk menerapkan pelaksanaan dari Undang-undang No. 6 Tahun 2014. Karena itu, ketika ada usulan tentang adanya pendampingan terhadap pelaksanaan ini, menjadi ide yang positif untuk pengembangan mayarakat desa. dipertimbangkan adalah, bahwa pendampingan ini haruslah Yang harus memakai pertimbangan model- model perencanaan sosial. Perencanaan sosial merupakan suatu pertimbangan yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dari masyarakat. Pertimbangan yang dimaksudkan itu adalah pergulatan pikiran yang berasal dari berbagai pihak, ditujukan untuk membangun masyarakat, baik dalam bentuk kelompok maupun desa, dengan tujuan-tujuan tertentu. Tujuan itu ditetapkan oleh masyarakat dengan sasaran yang sudah disepakati, juga dengan batasan waktu yang telah ditetapkan. Karena itu merupakan perencanaan sosial, maka sasarannya tersebut haruslah menguntungkan setiap komponen masyarakat yang ada. Pelibatan untuk menetapkan perencanaan itu adalah seluruh anggota masyarakat. Salah satu tugas pendamping desa itu adalah mendampingi dalam mengelola dana desa. Dalam pandangan Padjung (Kompas, 6 Juli 2015, hal 7), tahun 2015 ini telah ada 13.000-an fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), yang sesungguhnya merupakan pendamping desa, yang kini telah melakukan pendampingan kepada 67.108 desa. Tahun 2015 ini pemerintah akan menambah 26.000 pendamping desa. Dengan jumlah yang mencapai puluhan ribu tersebut, diharapkan desa akan mampu mengaktifkan 68 kegiatannya. Namun, jika dilihat jumlah desa di Indonesia sekarang yang mencapai lebih dari 80.000, maka jumlah pendamping ini masih kurang. Paling pantas kalau pendamping tersebut lebih dari satu orang dalam satu desa sehingga mampu mengeluarkan pendapat lebih banyak dan berdikusi dengan cara yang lebih luas. Pada masyarakat pedesaan, termasuk juga dengan kondisi yang ada sekarang, masih banyak anggota masyarakat masih belum menguasai pengetahuan yang komprehensif, yang mewakili untuk seluruh pencapaian tujuan tersebut. Perencanaan sosial, secara teoritis, memerlukan banyak ahli untuk memberikan saran dan sumbangan pikiran untuk mengkaji sasaran yang telah ditetapkan masyarakat tersebut. Pendampingan terhadap desa dalam kerangka Undang-undang No. 6 Tahun 2014 ini haruslah melibatkan banyak ahli agar sasaran yang ditetapkan desa bersangkutan bisa realistis dan tercapai dalam target waktu yang telah ditetapkan. Salah satu hal penting yang harus dijalankan oleh petugas pendamping desa ini adalah kemampuannya untuk menyederhanakan pengertian berbagai peraturan tentang desa atau yang mengenai desa agar masyarakat menjadi mengerti. Ada lebih dari satu peraturan yang mengenai desa sehingga membuat masyarakat tidak memahami. Titik tolak kepentingan ini terdapat pada upaya pemahaman sehingga masyarakat dapat terhindar dari berbagai penyalahgunaan wewenang dan terutama dalam penyalahgunaan penggunaan keuangan desa. Besarnya dana yang diberikan kepada desa (lebih dari 1 milyar), memungkinkan bagi munculnya berbagai penyelewengan tersebut. Apabila dilihat dari pengalaman dan keterampilan aparat desa, apalagi yang berasal dari desa tradisioni (seperti misalnya hukum adat), akan berpotensi menimbulkan kesalahan administrasi keuangan sehingga dapat dipandang penyimpangan atau korupsi. Kajiankajian Komisi Pemberantasan Korupi (KPK) seperti yang diutarakan Padjung (2015), bahwa ada 14 persoalan pengelolaan dana desa yang berpotensi menjadi korupsi. Diantaranya adalah berhubungan dengan pengawasan, pengaduan masyarakat, pertanggungjawaban, sumber daya manusia, serta monitor dan evaluasi. Pada tingkat pendidikan, sesungguhnya pada pertengahan pemerintahan Orde Baru, pembangunan di Indonesia telah diisi dengan upaya-upaya peningkatan pendidikan seperti yang telah terlihat, misalnya adanya pembangunan sekolah dasar yang disebut dengan Inpres. Sekolah dasar yang mendasarkan pada instruksi presiden ini mempunyaai keterkaitan dengan upaya pemerintah untuk menuntaskan pendidikan masyarakat enam tahun. Maksudnya seluruh 69 masyarakat Indonesia paling tidak harus tamat sekolah dasar (yang kelak dilanjutkan menjadi pendidikan sembilan dan 12 tahun). Akibat lanjutan dari kebijakan sekolah dasar Inpres ini adalah munculnya sekolah-sekolahh dasar yang ada di pedesaan. Dengan demikian, juga ikut membantu pembangunan desa serta memberantas buta huruf. Sutoro Eko (Kompas, 2 Juli 2015, Pendampingan Desa, hal 7), menyatakan bahwa dalam upaya pendampingan desa ini, masyarakat diharapkan pada konteks pro politik. Yang dimaksudkan adalah bahwa pendampingan tersebut tidak dimaksudkan sebagai mesin politik tetapi bahwa pendampingan tersebut harus mengandung jalan ideologis sesuai dengan Undangundang Desa, representasi politik, serta pemberdayaan dan edukasi politik. Dia selanjutnya menyebutkan bahwa pendampingan tersebut mempunyai jalan ideologis yang memuliakan desa, hendak mempromosikan desa sebagai masyarakat yang mempunyai pemerintahan yang maju kuat, demokratis dan mandiri. Kedua disebutkan bahwa pendampingan tersebut mengandung jalan repolitisi masyarakat. Artinya masyarakat mempunyai kesadaran sendiri dalam berpolitik, kritis yang mengutamakan kedaulatan politik mereka. Eko menyebutkan, salah satu bentuk kritis tersebut adalah rakyat secara berani menolak politik uang. Ketiga, pendampingan tersebut tidak ditempuh dalam aras pembinaan tetapi pemberdayaan. Dimaksudkan bahwa rakyat mampu memperkuat desanya secara ekonomi, politik dan budaya. Pembinaan terlalu mengandung konotasi penerapan ekspansi atasan, termasuk birokrasi pemerintah atasan kepada desa dan masyarakat. Yang keempat bahwa pendampingan yang dilakukan tidak hanya menghasilkan alat dokumen semata tetapi harus mempunyai sentuhan filosofis. Misalnya dalam setiap perencanaan yang dilakukan, ada pembelajaran bagi masyarakat desa untuk membangun impian kolektif dan mandiri dalam mengambil keputusan politik. Dari empat hal yang dikemukakan diatas, harus diterjemahkan bahwa pendamping desa harus mampu memberikan rasa percaya diri, kemampuan intelektual baik pada bidang politik, budaya, ekonomi dan sosial untuk membangun desanya sesuai dengan karakter desa bersangkutan. Dari sisi personil pendamping, ini tidak boleh dilakukan secara main-main karena seorang pendamping, disamping mempunyai kemampuan yang luas, juga harus mempunyai keterampilan mendorong aktivitas yang muncul di masyarakat. Ia adalah ahli yang mempuni pada bidangnya sebagai pendamping. Tetapi juga harus mempunyai relasi sosial yang luas. Relasi ini diperlukan untuk menjalin hubungan sekaligus menarik ahli lain memberikan dan 70 mentransfer pengetahuan dan keterampilannya kepada desa, agar masyarakat memiliki kemampuan untuk memberdayakan desa. Di tengah iklim politik yang sekarang banyak mempengaruhi orang-orang desa, maka seharusnya pendamping ini juga mampu memberikan pemahaman tentang politik dan sosiologi. Pemahaman politik ini penting karena sampai sekarang budaya politik masyarakat itu masih sederhana, dipengaruhi oleh kebiasaan yang terjadi pada jaman Orde Baru. Kebiasaan-kebiasaan itu misalnya mudah terpengaruh oleh bujukan orang lain, masih mendukung politik kekerabatan dalam praktik, sampai dengan mudah terkena suap menjelang pemilihan umum. Masyarakat seperti ini harus disadarkan. Bahkan hal paling utama yang harus ditekankan oleh pendamping justru harus memberikan kesadaran tentang politik tersebut. Dalam arti luas, kesadaran ini akan mampu memberikan sumbangan kepada masyarakat desa untuk bersikap mandiri dalam membuat keputusan dan melakukan bargaining dengan kekuatan pemerintah atau pada kelompok politik. Tetapi kesadaran politik paling besar yang haarus ditanamkan adalah makna, tujuan dan hakekat pembangunan desa serta apa yang tertera di dalam Undang-undang No. 6 Tahun 2014 ini. Pembangunan politik itu ilakukan dengan berbagai strategi, seperti memilih pendamping yang berkomitmen membangun desa dan bersedia dalam jangka waktu yang lama tinggal bersama masyarakat, melakukan diskusi serta memberikan berbagai keterangan berkaitan dengan pembangunan desa. Jalan paling penting untuk memuliakan desa, seperti yang dimaksudkan Sutoro Eko, dapat ditafsirkan bahwa desa itu akan mendapat martabat yang lebih mulai apabila mampu memanfaatkan segala sumber daya yang ada di desanya untuk kesejahteraan rakyat. Segenap potensi desa yang ada, mulai dari kekayaan alam sampai dengan sumber daya manusianya mampu mempunyai kesadaran dan kemudian mengembangkan sumberr daya itu untuk kesejahteraan rakyat. Masyarakat menyadari kepentingan desa dan bersyukur atas adanya berbagai sumber daya tersebut, yang dengan bantuan pemerintah mampu diolah. Kemampuan ini kemudian dikembangkan kepada generasi berikut. Meskipun anggota masyarat di desa itu ada berjauhan dan berkedudukan sebagai ahli, mereka tidak lepas dari desanya sendiri. Budiman Sudjatmiko, Kompas 10 Juli 2015, menyebutkan bahwa dana desa tersebut, secara umum mampu memberikan tiga jenis pertumbuhan, yaitu pertumbuhan alami, pertumbuhan langsung dan pertumbuhan rentetan. Pertumbuhan alami dalam hal ini dimaksudkan sebagai pertumbuhan yang terjadi secara mandiri tanpa adanya intervensi dari 71 bantuan dana desa yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sedangkan pertumbuhan langsung adalah aktivitas ekonomi yang muncul sebagai akibat dari adanya bantuan dana desa dari pemerintah tersebut. Sedangkan pertumbuhan rentetan adalah pertumbuhan yang memicu terjadinya efek multiplier sebagai akibat bantuan pemerntah ini. Misalnya munculnya usaha baru sebagai akibat timbuhnya sebuah usaha dan kemudian memunculkan usaha lainnya lagi. Dalam konteks yang dikemukana oleh Sudjatmiko tersebut, pertumbuhan alami yang ada di desa terletak pada upaya peningkatan kesejahteraan yang terjadi hanya karena potensi desa yang ada. Pertumbuhan ini secara umum boleh dikatakan minim, dan karena itulah kemudian muncul ide untuk membangun desa, yang salah satu cara untuk pembangunan itu dilakukan dengan memberikan dana desa, sekitar 1,4 milyar rupiah (Sudjatmiko, 2015, Kompas 7 Juli). Pembangunan yang hanya mengandalkan potensi alami saat sekarang ini cukup sulit. Karena kesulitan itulah kemudian memunculkan urbanisasi. Banyak faktor yang membuat kesulitan itu, salah satunya adalah dana yang tidak dimiliki desa. Disamping itu juga adalah kesadaran untuk membangun desa sudah dikalahkan oleh kenyataan bahwa hidup di kota akan lebih mampu memberikan penghasilan yang lebih banyak. Disamping itu pekerjaan lebih banyak terbuka di kota. Apa yang dimaksud dengan pertumbuhan langsung, seperti yang telah diungkapkan diatas, merupakan ide dasar dari pembangunan desa serta diluncurkannya dana untuk membangun desa. Diharapkan bantuan ini akan memberikan rangsangan pembangunan usaha di desa. Pemberian bantuan ini seharusnya tidak saja memberikan rangsangan usaha saja tetapi juga upaya rangsangan lain, pada bidang yang lain yang bukan sektor ekonomi. Inilah yang kemudian dimaksudkan oleh Sudjatmiko sebagai efek rentetan dari bantuan dana desa tersebut. Secara ekonomi jelas sebuah usaha akan memberikan rentetan lain. Misalnya seorang yang membuka bengkel karoseri mobil, akan membuka usaha penjualan cat. Penjualan cat itu berpotensi membuka jasa pengantaran dan seterusnya. Tentu ini akan mampu melibatkan banyak orang. Akan tetapi dana desa ini seharusnya juga mampu mengaktifkan ide yang lain, misalnya meningkatkan tingkat pendidikan. Bantuan dana tersebut harus dapat meningkatkan status pendidikan pemuda, misalnya yang sebelumnya hanya tingkat sekolah menengah atas menuju perguruan tinggi. Hal lain yang juga didorong oleh munculnya bantuan ini adalah kesadaran tentang kesehatan, misalnya dengan memperbaiki kondisi kebersihan rumah, membuat kamar mandi dan sejenisnya. 72 Di negara yang terdiri dari kesatuan masyarakat yang berbasis kesamaan nilai, maka akan muncul kearifan-kearifan lokal yang dipakai sebagai patokan hidup masyarakat. Indonesia yang terdiri dari ratusan suku bangsa, dan bahkan mungkin ribuan, pasti memiliki kearifan yang jumlahnya sama atau melebihi kesatuan budaya yang ada. Kearifan lokal ini muncul berdasarkan atas cara pandang terbaik yang disepakati oleh masyarakat yang memilikii kebudayaan tersebut. Ia mengendap berdasarkan sejarah perjalanan masyarakat itu, disarikan berdasarkan berbagai pertimbangan yang ada dan kemudian menjadi persetujuan bersama. Persetujuan ini bisa secara diam-diam maupun dengan kesepakatan dari anggota masyarakat. Karena muncul berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, maka ia masuk wilayah kognitif, yang artinya telah dipertimbangkan berdasarkan olah pikir dan olah otak manusia, khususnya mereka yang memiliki kearifan tersebut. Jadi endapan ini sesungguhnya merupakan intisari kepintaran dari budaya-budaya dalam hubungan dengan relasi sosial, kontak sosial diantara penganut kebudayaan itu. Sebagai sebuah intisasi kepintaran, maka kearifan lokal menjadi sumber daya yang mampu diberdayakan, sebuah sumber daya yang mampu dimanfaatkan untuk kemajuan desa nanti. Kearifan lokal, dalam konteks pengembangan sumber daya desa ini, bisa mempunyai beberapa fungsi sekaligus. Yang pertama adalah sumber pengawas moral dan etika dalam menjalankan tugas. Pemberdayaan desa seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 6 Tahun 2014 ini menjadi sangat menarik baik dalam pembahasan maupun oleh orang-orang yang menginginkan keuntungan tertentu, karena menyediakan uang lebih dari 1 milyar rupiah untuk memberdayakannya. Dari sisi ketertiban sosial, yang paling dikhawatirkan adalah adanya penyimpangan penggunaan uang tersebut atas nama pemberdayaan desa. Dalam arti, dikhawatirkan adanya banyak korupsi. Ini sesuatu yang harus diwaspadai dan nampaknya rasional untuk dikemukakan saat ini. Boleh dikatakan, Indonesia saat ini sudah masuk ke dalam kapitalis yang menawarkan banyak barang-barang mewah yang menjadi kebutuhan manusia, seperti yang terlihat di televisi. Pada sisi lain, mencari pekerjaan saat ini sulit dan dengan demikian, mencari penghasilan juga susah. Desa, sebagai bagian dari sistem keindonesiaan, boleh ditakan jauh lebih miskin dibanding dengan masyarakat yang hidup di kota. Padahal, kehidupan di kota tidak senyaman dengan kehidupan di pedesaan. Dengan konteks demikian, 73 maka adanya kesempatan menjadi pengurus desa dengan pengeloaan uang sampai milyaran rupiah, sangat potensial memunculkan adanya korupsi atau penyimpangan. Disini, kearifan lokal mampu menjadi patokan bertindak bagi para aparat desa untuk menjalankan tugasnya, menjadikannya rambu-rambu yang dapat menghindarkan aparat dari penyelewengan tugas. Di Bali, secara umum kearifan lokal itu biasanya bertumpun pada phala karma, kearifan lokal berbasisi Hindu yang membuat penyimpangan itu dapat direm. Maknanya adalah bahwa segala perbuatan pasti ada hasilnya. Apabila kita berbuat baik, akan menghasilkan produk positif dan sebaliknya apabila berbuat jahat, akan menghasilkan hasil yang negatif. Kearifan ini sampai sekarang masih hidup dan dipercaya kehadirannya oleh masyarakat. Di setiap desa pasti aka nada kearifan lokal yang mampu berfungsi untuk menjaga etika dan moral dalam melakukan tindakan. Kearifan disini bersumber dari etika dan pergaulan sosial. Kedua, kearifan lokal juga dapat diberdayakan sebagai sarana untuk menggerakkan segala potensi desa. Misalnya di Bali ada konsepsi segalak saguluk salunglung sebayantaka. Kearifan ini mempunyai akar pada kerjasama yang boleh disepadankan dengan berat sama dipikul, ringan sama-sama dijinjing. Jadi boleh dikatakan kerjasama dalam bentuk yang lebih erat tanpa membeda-bedakan golongan. Apabila hal ini mampu dijalankan, akan dihasilkan produk yang berdaya untuk kepentingan sosial. Bahkan konsepsi tersebut mampu mengelola konflik dan memecahkan masalah secara bersama-sama. Konflik harus dipecahkan bersamasama tanpa harus memberatkan pihak yang lain. Pekerjaan mengelola perbedaan secara bersamasama akan menghasilkan sesuatu yang sifatnya positif. Kearifan lokal tersebut, dapat hidup melintasi kelompok, misalnya berlaku secara umum di Bali oleh masyarakat Hindu, akan tetapi juga dapat hidup dan dipakai oleh satu kelompok budaya tersendiri. Desa atau desa pakraman merupakan kelompok yang bisa jadi juga dilingkupi oleh satu kesatuan budaya sehingga di dalamnya muncul satu kearifan tersendiri. Misalnya di sebuah desa di Pupuan, ada kearifan yang menghargai segala bentuk kehidupan, sehingga apabila ada salah satu mahluk hidup yang meninggal, pemiliknya tidak akan melakukan aktivitas apapun pada satu satuan waktu. Sebelan misalnya, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk penafsiran sehingga di setiap desa atau banjar di Bali mempunyai cara tersendiri untuk menerapkannnya. Ada wilayah yang menerapkan hanya tiga hari sebagai bentuk berkabung untuk seluruh komunitas tetapi juga ada yang sampai 12 hari. 74 Selama ini, kearifan lokal yang ada di desa tersebut seolah berada dalam keadaan diam sehingga lama-kelamaan akan tidak dikenal masyarakat, terutama generasi baru, yang pada akhirnya dikhawatirkan akan mati tergerus oleh cara pandang modern. Menggunakan alat mesin sebagai pengolah tanah di sawah jelas menguntungkan karena membuat pengerjaan lahan jauh lebih cepat. Akan tetapi cara demikian menghilangkan kekerabatan antar desa. Karena itu kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat secara gotong-royong, akan mampu membangkitkan atau mempertahankan kearifan tersebut sehingga dapat terbukti manfaatnya. Generasi baru akan melihat bukti keampuan kearifan tersebut, khususnya dalam melaksanakan kerjasama antar desa. Cara inilah yang akan mengawal pertumbuhan ekonomi dan segala penghasilan yang dapat diraih oleh masing-masing desa untuk kepentingan bersama maupun secara sendiri-sendiri. IV. 4. 2 Kerjasama dengan desa lain Potensi yang juga dapat dipakai untuk meningkatkan peemberdayaan desa adalah kerjasama dengan desa yang lain. Salah satu inti dari kerjasama adalah saling memberikan dukungan atas kelamahan dan kelebihan yang ada. Dengan cara seperti ini kekurangan yang dimiliki oleh satu desa akan dapat tertutupi oleh kelebihan yang dimiliki oleh desa lain. Dalam konteks desa, kerjasama ini sesungguhnya bukanlah hal yang aneh. Secara umum, kearifan lokal yang ada di Indonesia dan menjadi jiwa dari negara adalah gotong-royong. Inti dari gotong royong tersebut tidak lain kerjasama yang di dalamnya menyiratkan adanya upaya untuk saling membantu antar berbagai pihak serta menambah kekurangan dengan kelebihan yang dimiliki pihak lain dan sebaliknya memberikan kelebihan kita untuk menambal kekurangan yang kita miliki. Sebuah keluarga kaya, tetap memerlukan orang lain dalam upacara pemakaman jenazah di Bali misalnya. Itu tidak lain merupakan cara menambal kekurangan diri dari kelebihan yang dimiliki orang atau kelompok lain. Secara tradisional, di Bali kekerabatan tersebut berlangsung lintas perbatasan. Ini disebabkan oleh adanya pola pernikahan, kaitan sejarah masa lalu tentang silsilah, atau karena pergerakan masyarakat seperti transmigrasi lokal di masa lalu, membentuk tempat tinggal baru di tempat lain. Akan tetapi, pada upacara ritual adat, para kerabat tersebut akan datang untuk memberikan bantuan kepada salah satu anggota keluarga yang menggelar upacara. Ini sering disebut dengan metulungan yang artinya, saling membantu. Dengan demikian, pekerjaan yang dilakukan, akan terselesaikan dengan baik dan acara yang hendak dilaksanakan terlenggaran. 75 Satu aspek keuntungan yang telah terjalin disini adalah adanya perpaduan antara solidaritas, keihklasan dan tanpa pamrih. Nilai-nilai tersebut, masih melekat pada kehidupan masyarakat pedesaan hingga saat ini, dan menjadi sangat terlihat pada upacara agama, terutama kematian. Di Bali, pada masa lalu, sekitar dekade tujuhpuluhan lomba layang-layang tradisionil sangat memperlihatkan pola kerjasama seperti ini. Nilai yang disebutkan diatas, menjadi modal dasar untuk melakukan kerjasama antar desa, baik antar desa pakraman dengan desa dinas, desa pakraman dengan desa pakraman maupun antar desa dinas. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk melakukan kerjasama tersebut, bahkan dengan desa yang lokasinya berjauhan dengan desa lainnya. Kerjasama yang paling memungkinkan dan paling baik adalah antar desa yang ada berdekatan karena pengotrolan terhadap berbagai aset yang dikerjasamakan tersebut lebih mudah dilakukan. Pengelolaan air sungai, perusahan, koperasi dan sebagainya dapat lebih mudah dilakukan dengan desa-desa yang bersebelahan. Meski konflik pengelolaan berpotensi muncul, akan tetapi kerjasama ini pun dapat menimalkan konflik asal sebelumnya ditetapkan dengan kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan dalam peraturan bersama. Tidak dapat dilepaskan bahwa desa-desa yang berdekatan, apalagi berbatasan, mempunyai keunggulan lain dalam melakukan kerjasama, yaitu hubungan sosial antara penduduknya. Banyak yang tidak menyadari bahwa hubungan kekerabatan di desa-desa seperti ini telah dibina sejak masih kecil, masih anak-anak melalui jenjang pendidikan. Taman kanakkanak, atau sekolah dasar, bahkan sekolah menengah pertama dan atas, menjadi wilayah yang sangat potensial untuk mengeratkan hubungan persahabatan antar warga di berbagai desa tersebut. Hubungan ini mempunyai dasar yang kuat karena dilalui dengan permainan-permainan masa kecil yang masih melekat sampai dewasa. Karena itulah kemudian pertemanan ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk mengekalkan dan menertibkan kerjasama yang ada diantara desa tersebut. Dalam arti, kalaupun konflik dan ketidaksepakatan yang muncul sebagai akibat kerjasama ini, tidak akan muncul sebagai konflik terbuka yang dapat merugikan berbagai pihak. 76 BAB V KESIMPULAN Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, mempunyai manfaat untuk menumbuhkan kepercayaan diri desa dalam melaksanakan pembangunan. Kepercayaan diri ini akan tumbuh bersamaan dengan keberhasilan desa tersebut melaksanakan pembangunan yang bersumber dan dimulai dari desa itu. Apabila Indonesia berhasil melaksanakan pembangunan dari maka secara nasional memberikan ciri tersendiri bagi Indonesia apabila dibandingkan dengan negara-negara lain. Pada umumnya pembangunan itu dimulai dari kota karena kota merupakan pusat dari intelektual, gagasan, modal sampai dengan politik. Karena itulah, apabila berhasil melakukan pembangunan dari desa ini, merupakan sukses tersendiri dan menjadi yang pertama di dunia. Undang-undang Desa yang diluncurkan pemerintah memberikan semangat sepert itu. Semangat itu diwujudkan, baik dalam ketentuan kesiapan pemerintah memberikan bantuan keuangan, pendampingan serta mendorong adanya kerjasama antara satu desa dengan desa lainnya serta memberikan pendampingan untuk menggali potensi desa yang ada. Masing-masing desa sebenarnya mempunyai sumber daya sendiri yang dapat digali potensinya untuk dikembangkan. Sampai saat ini, masih jarang potensi desa yang dimiliki tersebut digali dan dikembangkan untuk pengembangan desa itu sendiri. Masih banyak para pencari kerja di desa lebih menyukai pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, meskipun cara demikian sering merugikan masyarakat itu sendiri. Tidak disadari bahwa jauhnya jarak ke kota dari desa, tenaga yang dikeluarkan, sampai biaya yang diperlukan memberikan tekanan tersendiri kepada masyarakat, yang mengurangi modalnya untuk membangun kesejahteraan. Di Kecamatan Kerambitan, desa-desa yang ada di desa tersebut mempunyai potensi besar untuk maju, tetapi sekarang masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Temuan di lapangan memperlihatkan bahwa desa di wilayah kecamatan ini mempunyai sembilan sumber daya yang dapat dikembangkan. Di Desa Timpag, ada bendungan yang dinamakan Embung Telaga Tunjung. Sampai sekarang kondisi ini hanya dipakai untuk pengairan sawah saja. Padahal sesungguhnya dapat dipakai lebih dari itu, misalnya untuk perikanan sampai dengan kepariwisataan. Sebagian desa dari kecamatan ini terletak di jalur jalan raya Denpasar- Gilimnuk. Jalur ini ramai sehingga dapat dimanfaatkan untuk potensi perdagangan. Kecamatan Kerambitan terkenal dengan Seni Tektekan. Seni ini sekarang sudah mulai redup, dan kurang 77 mendapat perhatian dari masyarakatnya. Kecamatan Kerambitan juga kaya dengan sumber air. Kalau dimanfaatkan dapat digunakan untuk mengairi sawah, tegalan sampai dengan diolah menjadi air kemasan. Desa-desa di wilayah ini cukup luas, dan relatif dekat dengan kota sehingga berpotensi juga untuk dikembangkan perekonomian berbasis desa, yang pemasarannya dilakukan di kota. Bagian selatan dari kecamatan ini berbatasan dengan Samudra Indonesia yang dapat dipontensikan untuk olahraga laut. Seperti juga dengan wilayah lain, banyak sarjana yang tinggal di pedesaan di Kerambitan. Nilai-nilai tradisional dan suasana tradisionil masih dijumpai di desa-desa Kecamatan Kerambitan. Paling tidak hal ini dapat dikembangkan untuk potensi kuliner yang asli desa. Tentu juga suasana pedesaan dapat dipergunakan untuk menambah kemantapan pariwisata untuk nyamannya suasana. Dengan demikian, apabila dimanafaatkan secara maksimal dan dicari secara kritis potensi-potensi yang ada, masing-masing desa mempunyai sumber daya yang dapat diberdayakan dengan baik. Desa akan menjadi pusat pembangunan. **** 78 DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Bryman, Alan, 2004, Social Research Methods, Great Britain, Oxford University Press Catur Utama, Fransisca Romana, 2014, “Pemberdayaan dan Pemanfaatan Teknologi yang Mencerdaskan Masyarakat, dalam Menuju Teknologi Transkomunitas, Supraja, Muhamad (ed.), 2014, UGM, Lingkar Studi Mikrososiologi. Gibbons,Michael T., Noer Zaman, Ali (Pen.), 2002, Telaah Hermeneutis Wacana Sosial-Politik Kontmporer: Tafsir Politik, Yogyakarta: Qalam Mellor, Philip, A., 2000, “Rationali Choice or Sacred Contagion? ‘Rationality Non-Rationality and Religion” dalam Social Compas, 47 (2). Pelly, Usman, Menanti, Asih, 1994, Teori-Teori Sosial Budaya, Jakarta, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ritzer, George, Nurhadi (Pen.), 2011, Teori Sosiologi: Dari Teori Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Bantul, Kreasi Wacana Samosir, Djamanat, 2013, Hukum Adat Indonesia: Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Bandung, Nuansa Aulia Stuart-Fox, David J., Putra Yadnya, I. B (terj), 2010, Pura Besakih: Pura, Agama, dan Masyarakat Bali, Udayana University Press. Windya, Wayan P., 2014, Hukum Adat Bali: Aneka Kasus dan Penylesaiannya, Denpasar, Udayana University Press Tulisan di Jurnal Ilmiah Sarman, Mukhtar, 1997, “Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat: pelajaran dari Program IDT, dalam Prisma, 1, Januari 1997 Suka Arjawa, GPB, 2014, “Pilihan Rasional di Balik Pembebasan Corby”, dalam Global dan Strategis, Th. 8, No. 1, Januari-Juni 2014. 79 Hasil Penelitian Dharma Laksana, I Gusti Ngurah, 2011, ““Eksistensi Gotong Royong dan Tolong Menolong dalam Kehidupan masyarakat Adat dalam Perkembangan Pariwisata di Desa pakraman Penyaringan Desa Sanur Kauh”, Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Udayana Jayantiari, IGA Mas Rwa, et. All., 2011, “Otonomi Desa Adat dalam Kaitan dengan Eksistensi Tanah Adat di Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan, Penelitian, Fakultas Hukum Universsitas Udayana. Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, “Konflik Perbatasan Desa pakraman dalam perspektif Ekonomis Tanah serta Penyelesaiannya”, Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Udayana. Perundang-Undangan dan Peraturan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Peraturan Pemerintah No 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undng No 6 Tahun 2014 tentang Desa Undang –Undang Republik Indonesia No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 1965 tentang Desapraja sebagai Bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Peraturan Daerah Propinsi daerah Tingkat I Bali, No. 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Peraturan Daerah Proinsi Bali No 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman Peraturan Daaerah Propinsi Bali No.3 Tahun 2003 Tentang Revisi atas Perda No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Koran Setiawan, Bambang, 2014, “Kekuatan di Tengah Ikatan yang Melemah”, dalam Kompas, 28 November 2014, hal 63. 80 Fajar Bali, 30 September 2014. Padjung, Rusnadi, 2015, Khawatir Dana Desa Dikorupsi, dalam Kompas, 6 Juli 2015, hal. 7. Kompas, 2 Juli 2015, hal 5 dan 6. Kompas, 3 Juli 2015. Kompas, 10 Juli 2015, hal 7. 81 LAMPIRAN BIODATA KETUA PENELITI A. Identitas Diri 1 Nama Lengkap Dr. Drs. I Gst. Pt. Bagus Suka Arjawa, M.Si (L) 2 Jabatan Fungsional Lektor 3 Jabatan Struktural Dekan, Fisip Unud 4 Nip. 196407081992031003 5 NIDN 0008076403 6 Tempat dan Tanggal Lahir Tabanan, 8 Juli 1964 7 Alamat Rumah Perum Griya Tansa Trisna, Jl Cendana II/1 Dalung 8 No Hp 081.246 30 641 9 Alamat Kantor Fisip Unud, Jl. PB Sudirman, Denpasar 10 No Telpon/Faks 0361255378, 255916 11 Alamat E-Mail [email protected] 12 Lulusan yang telah dihasilkan S1. lebih dari 100 orang, termasuk di FH Unud 13 Mata Kuliah yang diampu 1. 2. 3. 4. 5. Sosiologi Kemiskinan Sosiologi Konflik Perubahan Sosial Pengantar Ilmu Politik Sosiologi Politik 82 B. Riwayat Pendidikan Program S1 S2 S3 Nama Perguruan Tinggi Universitas Airlangga Universitas Airlangga Universitas Airlangga Bidang Ilmu Sosial Politik Ilmu Sosial Ilmu Sosial Tahun Masuk 1985 2004 2006 Tahun Lulus 1990 2006 2010 Judul Skripsi/Tesis/ Faktor-Faktor yang membuat Membaiknya Hubungan Cina-Uni Soviet Konflik Antar Partai Pergeseran Politik Pra-Pemilu Pelaksanaan Ritual Ngaben di Bali Drs. T Siedjadino, M.A. Drs. Pratmoko, MA., Drs. Wisnu Pramutanto, M.Si. Disertasi Nama pembimbing/ Promotor Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS, Prof. Dr. Drs. Laurentius Dyson P., MA. C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun terakhir No Tahun Judul Penelitian Sumber Dana 1 2011 Fungsi Konflik Sosial di Bali PNBP (Di Gianyar) 2 2011 Fenomena Sampah di Kota Denpasar Mandiri 2 2012 Konflik Sosial di Banjar Pangkung Karung Mandiri 3 2013 Penyelesaian Konflik Sosial PNBP Jumlah Rp.39.000.000,- Rp. 6.000.000,- 83 di Desa Pakraman Gereseh 4 2014 Menekan Kemiskinan di Daerah Pariwisata dengan tanggung Jawab Sosial Perusahan (Studi di Badung Bagian Selatan) Hibah Unggulan Udayana Rp. 35.000.000,- D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Sumber Dana Jumlah 1 2013 Inventarisasi dan Katalogisasi Koleksi Pustaka FISIP Rp. 4.000.000,- 2 2013 Kesadaran Hak Politik Perempuan FISIP Rp. 4.000.000,- 3 2012 Pencegahan Konflik pada Anak Remaja PNBP Rp. 4.000.000,- 4 2012 Pembersihan sampah di Sanur PNBP 5 2011 Pengenalan Lingkungan Sehat di Panti Asuhan PNBP 6 2011 Sosialisasi Prodi ke SMA FISIP Rp. 4.000.000,- E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun terakhir No Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor Nama Jurnal 1 Modernisasi dan Rasionalitas dalam Pelaksanaan Upacara Agama di Bali No. 1, Vo. 2 Tahun 2011 Widya Sosiopolitika 84 2 Desa Pakraman dan kekuasaan terhadap Warga Masyarakat No. 1, Vol.3 Tahun 2012 Widya Sosiopolitika 3 Konflik Kepentingan Antar Kelompok dan Satu Komunitas Prosiding Seminar APSSI, 2013 Kecerdasan Sosial Mengelola Konflik 4 Ancaman Dinamit bagi Politisi dan Partai Politik 21 Februari 2014 Balipost 5 Elektabilitas Partai dan Elektabilitas Capres 24 Januari 2014 Balipost 6 Kesempatan untuk Perbaiki Kualitas Caleg 7 Februari 2014 Balipost 7 Penulis Kolom (Artikel) Tetap Sejak Sejak Tahun 1990 Balipost F. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada pertemuan/Seminar Ilmiah dalam 5 tahun terakhir No Nama Pertemuan Ilmiah/seminar Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat 1 Seminar Konflik Sosial di Bali ”Mengurai Potensi Konflik Sosial di Bali” Denpasar, 5 Maret 2012 2. Seminar Nasional KMHDI ”Membangun Denpasar, 26 Budaya Politik September 2011 santut Menuju Good Goverment” 3 Seminar sehari Kekerasan dan Anarkhisme ”Fenomena Kekerasan Anarkhisme Massa yang terjadi di Indoensia” 4 Pertemuan Balai Diklat Provinsi Jawa Tengah ”Sinergi Pemerintah Kuta, 9 Juni 2011 dalam Penanggulangan Kemiskinan di Bali” Jembrana, 27 Juni 2012 85 5 Focus Gorup Disscution Lembaga Administrasi Negara ”Grand Design Kelitbangan di BidangAdministrasi Negara” Denpasar, 29 Agustus 2013 6 Indonesian Frontiers of Social Science Symposium” “Konflik Sosial di Bali” Lombok, 17-19 Oktober 2013 7 Dialog Publik LPP RRI “Optimalisasi Peran LPP RRI dalam Melayani Publik Melalui siaran dan Pemberitaan” Denpasar, 23 September 2-13 8 Dialog Agama dan Masyarakat ”Agama dan Masyarakat” Denpasar 3 Oktober 2012 9 Forum Komunikasi Kehumasan Kementerian Komunikasi dan Informatika ”Meningkatkan Ketahanan Sosial Menghadapi Tantangan Globalisasi ” Denpasar, 25 April 2013 10 Seminar Nasional Konflik ”Mengurai Akar Permasalahan Konflik” Denpasar, 20 Oktober 2011 11 Serasehat HUT Bayangkara Polda Bali ”Konflik Adat di Bali” Denpasar, Juli 2013 12 Sosialisasi hasil_hasil DPD RI “Urgensi Perubahan Kelima UUD 1945” Denpasar, 26 April 2013 13 Konferensi Nasional Sosiologi “Kecerdasan Sosial Mengelola Konflik” Palembang, 23-25 April 2013 14 Diklat Kepemimpinan Propinsi Jawa Tengah ”Kepemimpinan Birokrasi dalam Mencegah Korupsi” Denpasar, 8 November 2012 15. Seminar Nasional Tentang Kota ’Perluasan Wilayah Kota: Munculnya Denpasar, 5 86 Kota Satelit September 2012 G. Pengalaman Penulisan Buku dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul Buku Tahun Jumlah Halaman Penerbit 1 Novel Politik 2003 125 Belum diterbitkan 2 Kumpulan Tulisan soal Sampah 20011 80 Belum diterbitkan 3 Memiliki Ribuan Artikel Sosial dan Politik Sejak tahun 1990 Yang Tercatat di internet (mulai tahun 2000) sekitar 2100 Artikel, masing-masing 4 halaman. Belum Diterbitkan H. Pengalaman Perolehan HKI dalam 5-10 Tahun Terakhir No. Judul /Tema HKI Tahun Jenis No.P/ID I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekaysa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul/Tema/Jenis Rekayasa Tahun sosial lainnya yang telah diterapkan Tempat penerapan Respon Masyarakat 87 1 Penyederhanaan Sarana Upacara Banten 2013 Jembrana Positif 2 Mengubah Pola Pikiran Dalam Mencari Perguruan Tinggi 2012 Denpasar, Tabanan Positif J. Penghargaan yang pernah diraih dalam 10 Tahun terakhir (dari Pemerintah, Asosiasi, atau Institusi lainnya. No. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Penghargaan Tahun 1 Penghargaan sebagai Juara III Menulis tentang Otonomi Daerah Pemerintah Kabupaten (Bupati Isran Noor) 2013 2 Applied Aproach (AA) Universitas Airlangga 2006 Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima resikonya. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian Hibah Unggulan Udayana. Denpasar, 16 Februari 2015 Pengusul Dr. I Gst. Pt. Bagus Suka Arjawa, M.Si NIP. 196407081992031003 88 M.SBIODATA ANGGOTA PENELITI A. Identitas Diri 1 Nama Lengkap Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si 2 Jabatan Fungsional Lektor Kepala 3 Jabatan Struktural Ketua Prodi Sosiologi, Fisip Unud 4 Nip. 19570105 198601 2 001 5 NIDN 0005015713 6 Tempat dan Tanggal Lahir Tabanan, 5 Januari 1957. 7 Alamat Rumah Perumahan Taman Sekar, Tabanan 8 No Hp 08977027879 9 Alamat Kantor Jl. PB Sudirman Denpasar 10 No Telpon/Faks 0361255378, 255916 11 Alamat E-Mail 12 Lulusan yang telah dihasilkan 13 Mata Kuliah yang diampu S1. lebih dari 50 orang, termasuk di FS Unud 1. Sosiologi Kemiskinan 2. Sosiologi Konflik 3. Perubahan Sosial 4. Sosiologi Politik 89 B. Riwayat Pendidikan Program S1 S2 S3 Nama Perguruan Tinggi Universitas Udayana Universitas Padjadjaran Universitas Udayana Bidang Ilmu Antropologi Sosio Antropologi Kajian Budaya Tahun Masuk Tahun Lulus 2008 1985 2011 Judul Skripsi/Tesis/ Disertasi Nama pembimbing/ Promotor C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun terakhir No Tahun Judul Penelitian Sumber Dana 1 2011 Fungsi Konflik Sosial di Bali PNBP (Di Gianyar) 2 2011 2 2012 Konflik Sosial di Banjar Pangkung Karung Mandiri 3 2013 Penyelesaian Konflik Sosial di Desa Pakraman Gereseh PNBP Jumlah Rp.39.000.000,- Rp. 6.000.000,- 90 D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Sumber Dana Jumlah 1 2013 Inventarisasi dan Katalogisasi Koleksi Pustaka FISIP Rp. 4.000.000,- 2 2013 Kesadaran Hak Politik Perempuan FISIP Rp. 4.000.000,- 3 2012 Pencegahan Konflik pada Anak Remaja PNBP Rp. 4.000.000,- 4 2012 Pembersihan sampah di Sanur PNBP 5 2011 Pengenalan Lingkungan Sehat di Panti Asuhan PNBP Rp. 4.000.000,- E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun terakhir No Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor Nama Jurnal 1 2 F. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada pertemuan/Seminar Ilmiah dalam 5 tahun terakhir No Nama Pertemuan Ilmiah/seminar Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat 1 2. 91 3 4 G. Pengalaman Penulisan Buku dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul Buku Tahun Jumlah Halaman Penerbit 1 2 3 H. Pengalaman Perolehan HKI dalam 5-10 Tahun Terakhir No. Judul /Tema HKI Tahun Jenis No.P/ID I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekaysa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul/Tema/Jenis Rekayasa Tahun sosial lainnya yang telah diterapkan Tempat penerapan Respon Masyarakat 1 2 92 J. Penghargaan yang pernah diraih dalam 10 Tahun terakhir (dari Pemerintah, Asosiasi, atau Institusi lainnya. No. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Penghargaan Tahun Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima resikonya. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian Hibah Unggulan Udayana Denpasar, 21 Februari 2014 Pengusul (Dr. Dra. Ni Nyoman Kebayantini, M.Si) NIP. 19570105 198601 2 001 93 BIODATA ANGGOTA PENELITI A. Identitas Diri 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Nama Lengkap (dengan gelar) Jabatan Fungsional Jabatan Struktural NIP/NIK/No.Identitas lainnya NIDN Tempat dan Tanggal Lahir Alamat Rumah 8. 9. 10. 11. 12. 13. Nomor Telepon/Faks /HP Alamat Kantor Nomor Telepon/Faks Alamat e-mail Lulusan yang telah dihasilkan Mata Kuliah yang diampu Dr.drh.Tjok Gde Oka Pemayun,MS L Lektor Kepala Pembantu Dekan II 195706301987101001 0030065708 Gianyar, 30 Juni 1957 Perum Padma Indah Blok/C 6. Peguyangan Kangin, denpasar Utara, Bali 0817567709 FKH –UNUD. Kampus Jl. Sudirman Denpasar (03610) 223791/ Faks (0361) 223791 [email protected] S1 = 10 orang; S2 = 2 orang 1. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Veteriner 2. Ilmu Kebidanan dan Kemajiran 3. Ilmu Teknologi Reproduksi Lanjutan B. Riwayat Pendidikan Program Nama Perguruan Tinggi S-1 Univ. Airlangga Bidang Ilmu Tahun Masuk Tahun Lulus Judul Skripsi/Thesis/Disertasi Kedokteran Hewan 1979 1986 Aktivitas ovarium sapi bali yang di potong di RPH Pesanggaran Denpasar Bali Nama Pembimbing/Promotor Prof.Dr.drh. Laba Mahaputra, MSc S-2 Univ. Gajah Mada Sain Veteriner S-3 Univ. Airlangga 1989 1991 Pengaruh Penyuntikan GnRH dan PMSG pada sapi perah yang mengalami anestrus postpartum 2001 2006 Kadar PG F2 α dari cairan vesikula seminalis produk sel monolayer , Produk sel monolayer vesikula seminalis dan endometrium sapi bali serta uji bioaktifitasnya Drh. Edy Mulyono, Ph.D Prof.Dr.drh. Laba Mahaputra, MSc Ilmu Kedokteran C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir No . 1 Tahun Judul Penelitian Hibah I 2008/2009 Produksi PGF2 dari Produk Sel Monolayer Pendanaan Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen 94 Vesikula Seminalis Dan Endometrium DalamUpaya Meningkatkan Efisiensi Reproduksi Sapi Bali Pendidikan Nasional, Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian Nomor : 027/SP2H/PP/DP2M/III/2008; tanggal 6 Maret 2008 1. Hibah II 2009/2010 Produksi PGF2 dari Produk Sel Monolayer Vesikula Seminalis Dan Endometrium DalamUpaya Meningkatkan Efisiensi Reproduksi Sapi Bali Dana DIPA Universitas Udayana Tahun Anggaran 2009 Surat Perjanjian Kontrak Nomor: 1491B.45/H14/HM/2009 Tanggal 16 April 2009 2 Hibah III 2010/2011 Produksi PGF2 dari Produk Sel Monolayer Vesikula Seminalis Dan Endometrium DalamUpaya Meningkatkan Efisiensi Reproduksi Sapi Bali Dibiayai dari Dana DIPA Universitas Udayana Tahun Anggaran 2010 dengan Surat Perjanjian Kontrak Nomor: 1677A.17/H14/HM/2010 Hibah Penelitian Strategis Nasional Tahun 2009 UNUD Gambaran Hormon Reproduksi Dan Induksi Berahi Pada Sapi Bali Yang Menderita Anestrus Postpartum Dalam Upaya Meningkatkan Populasi Sapi Bali Dibiayai dari DIPA Universitas Udayana tahun 2009 Nomor: 0229.0/023-04.2/XX/2009 Tanggal 31 Desember 2008 D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir No. Tahun 1 2011 2 2013 Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Penyuluhan Dan Pelayanan Kesehatan Ternak Sapi Di Desa Sanding, Kecamatan Tampaksiring Gianyar Dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Ternak Sapi Penyuluhan dan Pelayanan Kesehatan Ternak Sapi di Desa Pejeng Kaja, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar Dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Peternak Pendanaan DIPA UNUD PNBP UNUD 95 E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir No. 1 Judul Artikel Ilmiah Penurunan kadar progesteron Kuda Fase luteal setelah pemberian Prostaglandin F2 alpha Hasil ekstraksi Vesikula seminalis Sapi Bali 2 Kadar Progesteron Akibat Pemberian Vol.2(1):7-22. Februari PMSG dan Gn-RH pada Sapi Perah Agustus 2010. Yang Mengalami Anestrus Postpartum Kadar dan Daya Luteolitik PGF2α Vol.12, No.1, Maret 2011 Produksi Sel Monolayer Vesikula Seminalis dan Endometrium Sapi Bali . 3 F. Vol/Nomor Vol.9, No.4, Desember 2008 Pengalaman Penyampaian Makalah Seminar Ilmiah dalam 5 Tahun Terakhir No. 1. Nama Pertemuan ilmiah/ Seminar Seminar Dosen FKH Unud Secara Nama Jurnal Jurnal Veteriner Buletin Veteriner Udayana Jurnal Veteriner Oral pada Pertemuan/ Judul Artikel Ilmiah Peranan Prostaglandin F 2 alfa Waktu dan Ruang Sidang Lt. I G. Pengalaman Penulisan Buku dalam 5 Tahun Terakhir No. 1. Judul Buku Reproduksi Ternak Sapi Tahun 2010 Jumlah Halaman 160 Penerbit Pelawa Sari Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima resikonya. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian Hibah Unggulan Udayana Denpasar, 16 Februari Pengusul Dr.drh. Tjok Gde Oka Pemayun,MS (NIP. 195706301987101001) 96 BIODATA ANGGOTA PENELITI A. Identitas Diri 1 Nama Lengkap I. B. Wicaksana Herlambang 2 Jabatan Fungsional 3 Jabatan Struktural Mahasiswa Prodi Sosiologi 4 NIM. 1021005009 5 NIDN 6 Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar, 3 Februari 1993 7 Alamat Rumah Jl. Gunung Sari III/30 Denpasar 8 No Hp 081916424211 9 Alamat Kantor 10 No Telpon/Faks 11 Alamat E-Mail [email protected] 12 Lulusan yang telah dihasilkan 13 Mata Kuliah yang diampu B. Riwayat Pendidikan Program S1 Nama Perguruan Tinggi Universitas Udayana S2 S3 97 Bidang Ilmu Sosiologi Tahun Masuk 2010 Tahun Lulus Judul Skripsi/Tesis/ Disertasi Nama pembimbing/ Promotor Masyarakat Multikultur: Studi tentang Interaksi Sosial antara Masyarakat Etis Bali dan Etnis sasak di Kota Amlapura Dr. GPB Suka Arjawa, M.Si. C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun terakhir No Tahun Judul Penelitian Sumber Dana Jumlah 98 D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Sumber Dana 1 2012 Pembersihan sampah di Sanur PNBP 2 2011 Pengenalan Lingkungan Sehat di Panti Asuhan PNBP Jumlah Rp. 4.000.000,- E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun terakhir No Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor Nama Jurnal 1 2 F. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada pertemuan/Seminar Ilmiah dalam 5 tahun terakhir No Nama Pertemuan Ilmiah/seminar Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat 1 2. 3 4 99 G. Pengalaman Penulisan Buku dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul Buku Tahun Jumlah Halaman Penerbit 1 2 3 H. Pengalaman Perolehan HKI dalam 5-10 Tahun Terakhir No. Judul /Tema HKI Tahun Jenis No.P/ID I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekaysa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul/Tema/Jenis Rekayasa Tahun sosial lainnya yang telah diterapkan Tempat penerapan Respon Masyarakat 1 2 100 J. Penghargaan yang pernah diraih dalam 10 Tahun terakhir (dari Pemerintah, Asosiasi, atau Institusi lainnya. No. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Penghargaan Tahun Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima resikonya. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian Hibah Unggulan Udayana Denpasar, 21 Februari 2014 Pengusul (I. B. Wicaksana Herlambang) NIM. 1021005009 101 BIODATA ANGGOTA PENELITI A. Identitas Diri 1 Nama Lengkap I Gusti Agung Istri Deviantari 2 Jabatan Fungsional 3 Jabatan Struktural 4 NIM 5 NIDN 6 Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar, 11 Mei 1993 7 Alamat Rumah Jalan Batuyang, Gang Elang IX, No. 18, Batubulan, Gianyar. 8 No Hp 085737618457 9 Alamat Kantor 1121005011 10 No Telpon/Faks 11 Alamat E-Mail [email protected] 12 Lulusan yang telah dihasilkan 13 Mata Kuliah yang diampu B. Riwayat Pendidikan Program S1 Nama Perguruan Tinggi Universitas Udayana S2 S3 102 Bidang Ilmu Sosiologi Tahun Masuk 2010 Tahun Lulus Judul Skripsi/Tesis/ Disertasi Nama pembimbing/ Promotor Fotographer: Gerakan Sosial Lingkungan Hutan Bakau di Denpasar Selatan Ikma Citra ranteallo, S.Sos., MA. Dan I Gede Kamajaya, S.Pd., M.Si. C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun terakhir No Tahun Judul Penelitian Sumber Dana Jumlah 103 D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Sumber Dana 1 2012 Pembersihan sampah di Sanur PNBP 2 2011 Pengenalan Lingkungan Sehat di Panti Asuhan PNBP Jumlah Rp. 4.000.000,- E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun terakhir No Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor Nama Jurnal 1 2 F. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada pertemuan/Seminar Ilmiah dalam 5 tahun terakhir No Nama Pertemuan Ilmiah/seminar Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat 1 2. 3 4 104 G. Pengalaman Penulisan Buku dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul Buku Tahun Jumlah Halaman Penerbit 1 2 3 H. Pengalaman Perolehan HKI dalam 5-10 Tahun Terakhir No. Judul /Tema HKI Tahun Jenis No.P/ID I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekaysa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul/Tema/Jenis Rekayasa Tahun sosial lainnya yang telah diterapkan Tempat penerapan Respon Masyarakat 105 1 2 J. Penghargaan yang pernah diraih dalam 10 Tahun terakhir (dari Pemerintah, Asosiasi, atau Institusi lainnya. No. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Penghargaan Tahun Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima resikonya. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian Hibah Unggulan Udayana. Denpasar, 21 Februari 2014 Pengusul (I Gusti Agung Istri Deviantari) NIM. 1021005011 106 SURAT PERNYATAAN PERSONALIA PENELITIAN Yang bertanda tangan di bawah ini, kami: 1. Nama Lengkap : Dr. Drs. I Gst. Pt. Bagus Suka Arjawa, M.Si. NIP/NIDN : 196407081992031003 / 0008076403 Fakultas/Prodi. : FISIP/ Sosiologi Status dalam Penelitian : Ketua Peneliti 2. Nama Lengkap : Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si. NIP/NIDN : 195701051986012001 / 0005015713 Fakultas/Prodi : FISIP / Sosiologi Status dalam Penelitian : Anggota 3.Nama Lengkap : Dr.drh.Tjok Gde Oka Pemayun,MS NIP/NIDN : 195706301987101001/0030065708 Fakultas/Prodi : Kedokteran Hewan Status dalam Penelitian : Anggota 3. Nama Lengkap : I. B. Wicakasana Herlambang NIM : 1021005009 Fakultas/Prodi : FISIP / Sosiologi Status dalam Penelitian : Anggota 4. Nama Lengkap : I Gusti Agung Istri Deviantari 107 NIM : 111005011 Fakultas/Prodi : FISIP / Sosiologi Status dalam Penelitian : Anggota Menyatakan bahwa kami secara bersama-sama telah menyusun proposal penelitian Hibah Unggulan Udayana yang berjudul: Identifikasi dan Pemberdayaan Sumberdaya Desa (Tinjauan Sosiologis Desa di Bali Menghadapi UU No.6 Tahun 2014). Apabila Proposal ini disetujui, maka kami secara bersama-sama akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penelitian ini sampai tuntas sesuai dengan persyaratan yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian. Demikian Surat Pernyataan ini kami buat dan ditandatangani bersama sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya. Denpasar, 17 Februari 2015 Dr. Drs. I Gst. Pt. Bagus Suka Arjawa, M.Si. (NIP.196407081992031003) _________________________ Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si. (NIP. 195701051986012001) _________________________ Dr.drh.Tjok Gde Oka Pemayun,MS (NIP.195706301987101001) _________________________ I. B. Wicakasana Herlambang (NIM. 1021005009) _________________________ I Gusti Agung Istri Deviantari (NIM. 111005011) _________________________ 108 Organisasi Penelitian No. Nama/NIDN Instansi Asal Prodi Sosiologi, Fisip Unud Bidang Ilmu 1 Dr. I Gst.Pt. Bagus Suka Arjawa 2. Dr. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si Prodi Sosiologi, Fisip Unud Sosiologi/Antropologi 10 jam / Budaya Minggu 3. Dr. Cokorda Pemayun Fakultas Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Sosiologi Alokasi Jam/Minggu 10 jam/Minggu 10 jam per minggu Mahasiswa Prodi Sosiologi Unud, semester 8 10 jam per minggu Mahasiswa 10 jam per Uraian Tugas Peneliti utama, mengkoordinir penelitian dan melakukan observasi, anaalisis data dan membuat kesimpulan. -Mengobeservasi sumber-sumber daya yang Nampak maupun tidak namapak yang dapat dikembangkan sebagai sumber daya desa. Mengobservasi sumber-sumber budaya di desa yang dapat dikembangkan untuk memberdayakan masyarakat. Mengidentifikasi sumber daya kehewanan, peternakan dan pertanian yang dapat dikembangkan di desa. Membantu melakukan wawancara dan mengobservasi sumber daya lingkungan Membantu 109 Prodi Sosiologi Unud semester 9 minggu wawancara, mengidentitifikasi konflik dan kerjasama di desa. 110 Foto-Foto Potensi Desa Salah satu potensi desa yang belum dimaksimalkan, yaitu KUD Timpag yang ada di Kerambilan bagian utara. 111 Foto Bendungan Telaga Tunjung, potensi pengairan dan pariwsata yang belum digarap. 112 Daerah Persawahan sebagai potensi kemakmuran desa 113 Sebagian wilayah Kecamatan Kerambitan, dilewati jalur utama Jawa-Bali yang kalau dimanfaatkan akan dapat meningkatkan potensi ekonomi desa. 114 BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN JUSTIFIKASI PENGGUNAAN ANGGARAN IV. 1 Gaji dan Upah No Pelaksana Honor Jumlah 1. Satu orang peneliti utama. @, Rp. 800.000/bulan. Sepuluh Bulan , 6 x Rp. 750. 000,- = Rp. 5.250.000,- Rp. 4800000,- 2. Dua orang peneliti @ Rp. 600.000,- /bulan. Rp. 7200.000,- 2 x 6 x Rp. 600.000,- = Rp. 7.000.000,3. Dua orang peneliti/petugas lapangan @ Rp 250.000,-/bulan. Rp. 3000000,- 2 x 6 x 250.000= Rp. 4.200.000,- 4 Sub Total Biaya Rp. 15000000,- 2. Bahan Penunjang Penelitian dan Habis Pakai No. Nama Bahan Justifikasi pemakaian Biaya Satuan Jumlah 1. Kertas HVS 80 gram Kuarto 10 rim Membuat proposal, laporan akhir, artikel untuk seminar serta jurnal. @Rp. 60.000,- Rp. 600.000,- 2. Kertas HVS 80 gram folio Untuk laporan akhir @Rp. 60.000,- Rp. 300000,115 sebanyak 5 rim. yang diminta oleh kepala desa maupun anggota masyarakat. 3. Flashdish sebanyak 7 biji Diberikan kepada peneliti untuk menyimpan berbagai data 4. Pembelian white board, pulfen, stabillo, pensil, boxi. Untuk mencatatkan hasil penelitian serta memaparkan hasil penelitian saat melakukan diskusi 5. Buku harian untuk para peneliti dan petugas lapangan, masing-masing 3 buah Untuk mencatat segala ide, gagasan dan peristiwa yang ada di lapangan @Rp. 15.000,- 6. Pembelian termasuk fotocopy surat kabar dan majalah bekas. Mencatat berbagai keluhan dan berbagai potensi desa yang ada di Bali. Rp. 290000,- 7. Toner Laser Jet warna 8. Tas komprehensif, sebanyak 6 buah. Dipakai oleh peneliti ke lapangan 9. Map elit untuk diskusi kelompok, dan seminar sebanyak 60 lembar Dipakai untuk @ Rp. 12000,menempatkan bahan-bahan diskusi Rp. 720000,- 10 Snack untuk diskusi sebanyak 60 bagian Digunakan saat diskusi, termasuk diskusi terpusat (Focus Group Discution) @ Rp. 15000,- Rp. 900000,- 11 Konsumsi (nasi) sebanyak Digunakan saat 60 kotak diskusi, termasuk @ Rp.25000,- Rp. 1500000,- @ Rp.70000,- Rp. 490000,- Rp. 975000 Rp. 225000,- 5 x 3 x Rp. 15.000,Rp. 290000,- Rp. 2.000.000,@ Rp 150000 Rp.900000,- 116 diskusi terpusat (Focus Group Discution) 12 Membuat sertifikat sebanyak 75 lembar Untuk dibagikan kepada peserta diskusi dan kepada anggota masyarakat di desa @ Rp. 12000,- Rp.900000,- 13 Biaya menyewa jasa pengetikan selama penelitian Untuk mengimbangi @ Rp. 2000,-, pengetikan kurang total sebanyak rapi dari peneliti 250 halaman Rp. 500000,- 14 Menyewa kamera selama 9 bulan penelitian Memotret dan Rp 100000,- per mendokumentasikan bulan fenomena yang ada dalam penelitian Rp. 900000,- 15 Membuat spanduk Di pakai di desadesa lokasi penelitian, sebanyak lima desa dan 1 saat melakukan diskusi @ Rp. 400000,- Rp. 2400000,- 16 Menyewa LCD Untuk Diskusi kelompok dan Seminar @ Rp 200000,- Rp. 400000,- 17 Membeli buku-buku penunjang penelitian, termasuk foto copy bahan-bahan yang berbentuk buku, sebanyak 50 buah Untuk menunjang penelitian secara teoritik @ Rp 60.000,- Rp. 6000000,- 18 Sub Total Biaya Bahan Habis Pakai /bahan penelitian Rp.20000000,- 117 3. Biaya Perjalanan No. Uraian Satuan Jumlah 1. Biaya perjalanan observasi pada awal penelitian untuk empat lima orang, selama dua hari @.Rp. 60000,- Rp. 960000,- 2x 4 x 2 x Rp. 60000,- = Rp. 960000,- .2 Biaya Perjalanan 5 orang untuk melakukan wawancara selama penelitian, selama 10 kali @ Rp. 50.000,- Rp. 2500000,- 5 x 10 x Rp, 50000,-= Rp. 2500000,- 3. Biaya ongkos kendaraan, ojek, pengantaran dan sebagainya selama penelitian. Untuk 5 orang @. Rp 300000,- Rp. 1500000,- 5 x Rp. 300000,- = Rp. 1500000,- 4 Tip untuk perjalanan 5. Sub Total Biaya Rp. 40000,Rp. 5000000,- 4. Pengeluaran Lain Lain No. 1. Uraian Fotocopy laporan dan penjilidan 24 eksemplar (sebagian diberikan Satuan @ Rp. 40000,- Jumlah Rp. 960000,- 118 kepada masyarakat) 2. Biaya pertemuan rapat tim, dengan @ Rp.45000,tokoh-tokoh di lapangan sebanyak 2 x Rp. 450000= dua kali Rp. 900000,- 3 Biaya rapat hasil observasi Rp. 950000,- 4 Biaya memberikan penjelasan kepada tokoh-tokoh desa Rp. 950.000,- 5. Biaya pendokumentasian dalam bentuk foto Rp. 500.000,- 6. Biaya seminar termasuk snack dan nasi Rp.950000,- 7. Mengundang tokoh adat dan dinas Rp.900000,- 8. Temu muka dengan masyarakat menyampaikan terima kasih atas kesempatan penelitian Rp. 750000,- 8 Biaya publikasi ilmiah Rp. 850000,- 9. Rapat pengolahan data dengan tim peneliti @ Rp 175000,- Rp. 875000,- 10. Biaya pembelian banten dan persembahyangan selama di lapangan @ Rp. 75000,- Rp. 900000,- 11 Membeli hiasan untuk pertemuan dan seminar Rp 515000,- Sub Total Biaya Rp. 10000000,- 119 Total Biaya Keseluruhan pada satu tahun penelitian No. Kegiatan Jumlah Biaya 1. Gaji dan Upah Rp. 15000.000,- 2. Biaya Habis Pakai / bahan penelitian Rp. 20.000.000,- 3 Biaya Perjalanan Rp. 5.000.000,- 4 Pengeluaran lain-lain Rp. 10.000.000,- 5. Jumlah total biaya per tahun Rp. 50.000.000,- IV. 2 JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN No. Kegiatan Pelaksanaan Keterangan 1 Mencari dan pembuatan surat-surat ijin penelitian Minggu pertama bulan April 1 – 5 April 2015 1 Persiapan Observasi di daerah tingkat Kecamatan Minggu kedua bulan April 2015 Selama tujuh hari dilakkan di seluruh Kecamatan Kerambitan, Tabanan 2 Pembuatan daftar pertanyaan untuk wawancara Minggu ketiga April 2015 Antara tanggal 20-26 April 2015 3 Pembekalan dan pelatihan peneliti dan tenaga lapangan Minggu keempat bulan April 2015 Tanggal 27 – 30 April 2015 4 Pembelian sarana penunjang penelitian Minggu pertama bulan Mei Tanggal 3 – 6 Mei 2015 5 Menghubungi tokoh dan Minggu pertama dan kedua Tanggal 8 -11 Mei 120 aparat desa di lapangan Bulan Mei 2015 3 Wawancara di lapangan Minggu kedua Mei sampai dengan akhir Mei dan awal juni sampai minggu kedua bulan Juni 2015 Tanggal 14 Mei sampai 31 Mei sampai dangan 8 Juni. 4. Diskusi dari temuan lapangan Minggu kedua bulan Juni 2015 Tanggal 13 – 20 Juni 2015 5 Orientasi dengan desadesa lain Minggu ketiga bulan Juni 2015 Tanggal 22- 25 Juni 2015 5. Triangulasi ke lapangan Minggu keempat bulan Juli 2015 Tanggal 24-30 Juli 2015. 6 Analisis data dan penulisan laporan Bulan Agustus 2015 Bulan Agustus 2015 7. Seminar hasil penelitian Bulan September 2015 Minggu Ketiga September 2015 8. Laporan hasil penelitian Bulan Oktober 2015 Bulan Oktober 2015 121 No. Kegiatan Mencari dan 1 pembuatan 2 April Mei Juni Juli Agustus September Oktober surat-surat ijin penelitian Persiapan Observasi di daerah tingkat Kecamatan Pembuatan daftar pertanyaan untuk wawancara Pembekalan dan pelatihan peneliti dan tenaga lapangan Pembelian sarana penunjang penelitian Menghubungi tokoh dan aparat desa di lapangan Wawancara di lapangan Diskusi dari temuan lapangan Orientasi dengan desadesa lain Triangulasi ke lapangan Analisis data dan penulisan laporan Seminar hasil penelitian Laporan hasil penelitian 122