BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar, karena masyarakat hidup dan berkembang di atas tanah.Hubungan manusia dengan tanah merupakan hubungan magis religius yang sedikit banyak mengandung unsur kekuatan gaib (mistik) sebagai suatu perwujudan manusia dengan alam sekitarnya. Semua makhluk hidup memerlukan tanah,karna tanah dapat menumbuhkan berbagai macam tanaman yang sangat dibutuhkan oleh manusia ataupun makhluk hidup lainnya. Dalam arti hukum,tanah mempunyai peranan yang sangat penting,karena merupakan sumber kehidupan dan penghidupan manusia itu sendiri, semua kegiatan yang dilakukan manusia,selalu dan pasti memerlukan tanah sebagai penopang kegiatan dalam hidupnya. Masyarakat memandang tanah sebagai sumber kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dunia. Tanah dipergunakan sebagai tempat tinggal dan sebagai sumber penghidupan manusia seperti untuk menanam padi, jagung, sayur-sayuran.Tanah merupakan fondasi yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia,di samping itu tanah juga merupakan sumber kekayaan bagi mereka yang memiliki dan menguasainya karena semua yang terkandung di dalamnya bisa merupakan sumber pendapatan ataupun sumber penghasilannya.Manusia sangat tergantung dengan tanah,bahkan sampai mati pun manusia masih memerlukan tanah untuk penguburannya. Begitu pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia,tanah juga memiliki peranan yang sangat penting bagi Bangsa Indonesia untuk melaksanakan dan melanjutkan pembangunan Nasional untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur,sesuai dengan 1 2 apa yang terkandung di dalam Pancasila dan juga UUD 1945. Bali sebagai pusat pariwisata dunia menyebabkan setiap orang berlomba-lomba untuk bisa memiliki dan menguasai tanah di Bali. Para investor tingkat dunia pun bersaing untuk menanamkan modal sebesar-besarnya untuk membangun hotel dan pusat-pusat hiburan demi meraup keuntungan yang tidak sedikit. Lahan-lahan banyak yang beralih fungsi, kawasan yang semula asri, berubah menjadi lahan beton. Pemukiman penduduk dibangun di mana-mana, hal ini tentu saja membuat kebutuhan akan tanah semakin meningkat dan berimbas pula pada nilai ekonomis tanah tersebut, harga tanah menjadi semakin melambung dan tidak terkendali, yang menyebabkan pula naiknya nilai pajak akan obyek tanah tersebut, hal ini tidak bisa dicegah, karena pengaruh dan dampak dari pembangunan di bidang pariwisata. Hal ini tidak hanya terjadi di daerah Denpasar dan Badung saja tetapi hampir di seluruh wilayah di Bali. Sebagai gambaran saja, harga tanah di Kabupaten khususnya Kuta Badung selatan, sudah mencapai 4-5 Milyar per are/100m2, di Kota Denpasar harga tanah berkisar 1-1,5 Milyar/100m2. Di Kabupaten Buleleng harga tanah mencapai 200-500juta/100m2. Sedangkan di Desa Ketewel Kecamatan Sukawati Gianyar harga tanah mencapai 600800juta/100m2, demikian juga Kabupaten Karangasem, Kabupaten Klungkung dan Kabupaten lainnya, harga tanah meningkat, hal ini merupakan dampak dari pembangunan yang begitu pesatnya. Begitu pesatnya pertumbuhan dan pembangunan di Bali menyebabkan peralihan hak atas tanah berubah terus. Keberanian investor untuk membeli tanah dengan harga tinggi menjadi salah satu penyebab kenaikan harga tanah dan penduduk lokal menjual tanahnya dengan harapan akan mendapatkan keuntungan 3 yang besar. Keinginan manusia yang selalu ingin menguasai dan memiliki tanah,tentu saja bisa menimbulkan sengketa di antara masyarakat itu sendiri,sebab itulah diperlukan adanya aturan-aturan yang jelas dalam kepemilikan tanah. Penguasaan tanah secara yuridis akan memberikan kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai tanah yang dihakinya. Semakin terbatasnya lahan yang tersedia untuk pembangunan, menyebabkan tanah-tanah adat mendapat perhatian dari pemerintah sebagai alternatif untuk Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, khususnya yang akan digunakan sebagai tempat pendidikan. Penguasaan tanah secara yuridis dilandasi oleh hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Dalam UUPA telah diatur dan ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional : 1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam pasal 1,sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi,beraspek perdata dan publik. 2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam pasal 2,semata-mata beraspek publik. 3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam pasal 3,,beraspek perdata dan publik. 4. Hak-hak perorangan/individual,semuanya beraspek perdata,terdiri atas: a. Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut dalam pasal 16 dan 53` b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan ,pasal 49. 4 c. Hak Jaminan atas tanah yang disebut “Hak tanggungan” dalam pasal 25,33,39 dan 51. Semua hak penguasaan atas tanah berisikan tentang serangkaian wewenang dan kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya.Penguasaan hak atas tanah terdiri atas Penguasaan secara perorangan/individual yang beraspek perdata dan penguasaan tanah bersama atau yang lebih dikenal dengan Tanah Adat,dalam UUPA disebut dengan Hak Ulayat,yang beraspek perdata dan juga beraspek publik. Masih adanya Hak Ulayat pada masyarakat hukum adat tertentu,dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari Kepala Adat dan para Tetua Adat dalam kenyataannya,yang diakui sebagai pengemban kewenangan dalam memimpin dan mengatur penggunaan tanah ulayat,yang merupakan tanah bersama masyarakat tanah adat yang bersangkutan. Pengakuan hukum adat dalam UUPA dapat dicermati sejak awal, yaitu melalui Konsiderans dinyatakan , bahwa “perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah”. Lebih lanjut dalam Pasal 5 UUPA ditemukan adanya pernyataan, bahwa “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, aixxxr dan ruang angkasa ialah hukum adat”.1 Dalam pandangan hukum adat menurut Herman Soesang Obeng disebutkan, bahwa tanah dan manusia mempunyai hubungan sedemikian erat, dan dalam jalinan pikiran (participerend denken), sehingga hubungan antara manusia dan tanah merupakan suatu hubungan magis religius yang sedikit banyak 1 mengandung unsur kekuatan gaib (mistik) I Made Suwitra, 2010. Eksintensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat di Bali. Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional, Majalah Logoz Publising, Bandung, hal 1 5 sebagai suatu perwujudan daripada dialog antara manusia dengan alam gaib, yaitu roh-roh yang dihargainya.2 Hak ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masayarakat hukum adat yang berkaitan dengan tanah yang ada di wilayah hukum adat tersebut. Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat tersebut beraspek publik dan juga beraspek perdata. Beraspek perdata artinya tanah adat/ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama masyarakat hukum adat,sedangkan beraspek publik menyangkut hak masyarakat hukum adat untuk mengatur,mengelola,memimpin penguasaan,pemeliharaan dan peruntukkan dari tanah yang ada di wilayahnya. Mengenai Hak Ulayat ini diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria. Yang dimaksud Hukum Adat dalam UUPA adalah hukum yang hidup dalam masyarakat dan merupakan hukum yang tidak tertulis dan di dalamnya mencerminkan sifat-sifat/unsur Nasional yang asli dengan ciri khususnya lebih mengedepankan sifat kekeluargaan dan sifat kegotongroyongan demi tercapainya keseimbangan serta lebih banyak diliputi oleh suasana keagamaan. Di Bali,tanah adat atau tanah ulayat merupakan tanah-tanah yang berada di bawah kekuasaan Desa Pakraman. Desa Pakraman adalah istilah /nama untuk kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Bali. Tanah-tanah yang ada di kesatuan masyarakat hukum tersebut lebih dikenal dengan nama Druwe Desa. Druwe Desa atau tanah-tanah ulayat ini,dikuasai dan dikelola oleh Desa Pakraman (pengaturan tentang wewenang dan kewajiban Desa Pakraman ini diatur dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001,jo Perda Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2 Herman Soesang Obeng, 1975, “Pertumbuhan hak milik individual menurut hukum adat dan menurut UUPA di Jawa Timur”, Majalah Hukum, No. 3 Tahun ke dua, Yayasan Penerbitan dan Pengembangan Hukum (Law Centre), hal. 51. 6 2003,tentang revisi Perda Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001). Walaupun pengaturan tentang Desa Pakraman sudah jelas diatur dalam Peraturan Daerah ,namun masalah-masalah adat tetap saja sering terjadi di Bali,apakah itu menyangkut tentang batas –batas tanah ataupun sengketa tentang pemilikan tanah, yang tentu saja hal bisa menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial di dalam masyarakat itu sendiri.. Sengketa tanah yang sering terjadi di dalam masyarakat hukum adat,khususnya dalam masyarakat hukum adat di Bali,umumnya dapat diatasi secara damai dengan cara mediasi untuk mencapai win-win solution. Hal inipun tidak terlepas dari peranan dan fungsi dari Desa Pakraman yang merupakan hakim perdamaian desa` Tanah merupakan salah satu asset msyarakat di Bali yang sangat mendasar, karena masyarakat hidup dan berkembang di atas tanah. Masyarakat di Bali memposisikan tanah pada kedudukan yang sangat penting karena merupakan faktor utama . Masyarakat memandang tanah sebagai sumber kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dunia. Tanah dipergunakan sebagai tempat tinggal dan sebagai sumber kehidupan manusia seperti untuk menanam padi, jagung, sayur-sayuran. Hal inilah menyebabkan tanah adat seperti PKD yang dikuasai secara individu di dalamnya terkandung konsep tri hita karana, yaitu berupa parhyangan yang berwujud merajan (believe system), pelemahan yang berwujud anggota keluarga yang tinggal di situ (social system)yang notabene sebagai krama banjar. Bali sebagai pusat pariwisata dunia menyebabkan orang berlomba-lomba untuk bisa memiliki tanah di Bali. Para investor tingkat dunia pun bersaing untuk menanamkan modal sebesar-besarnya untuk membangun hotel dan pusat-pusat hiburan demi meraup keuntungan yang tidak sedikit. Lahan-lahan 7 banyak yang beralih fungsi, kawasan yang semula asri, berubah menjadi lahan beton. Pemukiman penduduk dibangun di mana-mana, hal ini tentu saja membuat kebutuhan akan tanah semakin meningkat dan berimbas pula pada nilai ekonomis tanah tersebut, harga tanah menjadi semakin melambung dan tidak terkendali, yang menyebabkan pula naiknya nilai pajak akan obyek tanah tersebut, hal ini tidak bisa dicegah, karena pengaruh dan dampak dari pembangunan di bidang pariwisata. Hal ini tidak hanya terjadi di daerah Denpasar dan Badung saja tetapi hampir di seluruh wilayah di Bali. Sebagai gambaran saja, harga tanah di Kabupaten Badung selatan, khususnya Kuta sudah mencapai 4-5 Milyar per are/100m2, di Kota Denpasar harga tanah berkisar 1-1,5 Milyar/100m2. Di Kabupaten Buleleng harga tanah mencapai 200-500juta/100m2. Sedangkan di Desa Ketewel Kecamatan Sukawati Gianyar harga tanah mencapai 600800juta/100m2, demikian juga Kabupaten Karangasem, Kabupaten Klungkung dan Kabupaten lainnya, harga tanah meningkat hal ini dampak dari pembangunan yang begitu pesatnya. Pesatnya pembangunan di Bali menyebabkan peralihan hak atas tanah berubah terus. Keberanian investor untuk membeli tanah dengan harga tinggi menjadi salah satu penyebab kenaikan harga tanah dan penduduk lokal menjual tanahnya dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang besar. Semakin terbatasnya lahan yang tersedia untuk pembangunan menyebabkan tanah-tanah adat mendapat perhatian dari pemerintah sebagai alternatif untuk penyediaan lahan pembangunan khususnya yang akan digunakan sebagai tempat pendidikan. Hukum bagi bangsa Indonesia merupakan hal yang sangat penting sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa 8 negara Indonesia adalah negara hukum. 3 Di dalam negara hukum segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan atas hukum. Semua orang tanpa kecuali harus tunduk dan taat kepada hukum, hukumlah yang berkuasa dalam negara itu. 4 Menurut Herma Yulis seperti dikutif oleh H. Achmad Rubale tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti penting karena berfungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. 5 Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan. Oleh karena itu tanah tumbuh sebagai benda yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi. 6 Pengakuan hukum adat dalam UUPA dapat dicermati sejak awal, yaitu melalui Konsiderans dinyatakan , bahwa “perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah”. Lebih lanjut dalam Pasal 5 UUPA ditemukan adanya pernyataan, bahwa “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat”.7 Dalam pandangan hukum adat menurut Herman Soesang Obeng disebutkan, bahwa tanah dan manusia mempunyai hubungan sedemikian erat, dan dalam jalinan pikiran (participerend denken), sehingga hubungan antara manusia dan tanah merupakan suatu hubungan magis religius yang sedikit banyak mengandung unsur kekuatan 3 Undang-Undang 1945. Pasal 1 ayat (3) dalam perubahan Ketiga. Tarmisi, 2002. Penegakan Hukum atas Pelanggaran Hak Asasi Anak Tesis, Unpad, Bandung hal.34. 5 Dalam H. Achmad Rubale, 2007. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Cetakan Pertama. Kerja sama Pusderankum dan Bayumedia Malang hal.1. 6 I Made Suwitra, 2009. Eksistensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat Di Bali Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional , Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang h.7. 7 I Made Suwitra Ibid hal.1. 4 9 gaib (mistik) sebagai suatu perwujudan daripada dialog antara manusia dengan alam gaib, yaitu roh-roh yang dihargainya.8 Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan manusia, sehingga antara tanah dengan kehidupan manusia sangat erat sekali hubungannya, atau tanah tidak dapat dilepaskan dengan kehidupan manusia itu sendiri. Bahkan dapat dikatakan bahwa sampai matipun manusia masih memerlukan sebidang tanah, dalam hal ini sebagai tempat penguburannya. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai masing-masing orang adalah terbatas sekali, sedangkan jumlah manusia yang berhajat terhadap tanah bertambah banyak. Selain bertambah banyaknya manusia yang memerlukan tanah, seperti untuk perumahan dan untuk kemajuan dalam perkembangan di bidang ekonomi, sosial budaya dan kemajuan bidang teknologi yang menghendaki persediaan tanah yang luas seperti untuk keperluan pertanian atau perkebunan, peternakan, pabrik-pabrik, perkantoran, tempat hiburan dan jalan untuk kelancaran lalu lintas perhubungan. Untuk memenuhi kebutuhan di bidang perumahan dan pangan manusia memerlukan tanah, semakin lama tanah dirasakan semakin sempit, karena semakin bertambahnya jumlah manusia, permintaan terhadap tanah semakin meningkat. Persediaan tanah dengan keperluan manusia akan semakin tidak seimbang. Oleh karena tidak seimbangnya keadaan seperti di atas, akan menimbulkan permasalahanpermasalahan yang banyak seginya seperti sengketa tentang batas tanah ataupun sengketa tentang pemilikan tanah yang sering menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial di masyarakat. 8 Herman Soesang Obeng, 1975. “Pertumbuhan Hak Milik Individual Menurut Hukum Adat dan Menurut UUPA di Jawa Timur”, Majalah Hukum, No. 3 Tahun ke dua, Yayasan Penerbitan dan Pengembangan Hukum (Law Centre), hal. 51. 10 Peralihan hak atas tanah dapat terjadi melalui beberapa cara, diantaranya adalah dengan jual beli, tukar guling/ganti rugi, hibah, waris ataupun yang lainnya. Untuk tanah adat yang dikuasai oleh perseorangan (krama desa) yaitu tanah pekarangan desa (PKD) dan tanah ayahan desa (AyDs) secara bersama-sama sering disebut "tanah ayah".9 Untuk tanah ayah ini ikatan adat tetap ada yakni berupa kewajiban untuk desa ataupun pura. Kewajiban ini sering disebut dengan istilah "ayahan ". Ayahan inilah yang mengekang atau mengikat tanah ayah tersebut, sehingga menjadi hak milik terkekang. Adapun tujuan dari pengekangan ini pada hakekatnya membatasi kebebasan usaha atau kebebasan gerak para anggota Desa Adat secara perseorangan. Pengekangan ini dilakukan demi kepentingan Desa Adat karena tanah ayah ini merupakan Beschikkingssgebied (wilayah kekuasaan) dari desa pakraman.10 Berdasarkan Prasasti Bali Kuno, kelompok orang yang beragama Hindu diikat oleh sima (dresta) disebut "karaman". Wilayah di mana krama berada dan berkuasa disebut "thani" sehingga untuk orang yang tinggal dalam suatu thani atau wanua disebut "anak thani ". Dalam setiap thani terdapat "kahyangan" (pura) sebagai tempat pemujaan karaman dan sekaligus sebagai "tali pengikat" sebuah karaman. Demi untuk kepentingan komunitas krama, tanah-tanah yang berada di wilayahnya dibagibagikan kepada anggota krama yang sudah terbentuk "kurn" (keluarga). Lambat laun krama dan thaninya disebut desa pakraman. Tanah pekarangan yang ditempati oleh masing-masing anggota krama menjadi tanah pekarangan desa (tanah PKD) dan tanah-tanah tegalan atau sawah yang menghasilkan disebut tanah ayahan desa 9 Suasthawa Dharmayuda I Md, 1987. Status dan Fungsi Tanah Adat di Bali Setelah Berlakunya. UUPA. CV Kayu Mas Agungm Denpasar. hal. 136 10 Suasthawa Dharniayuda I Md. 1987. Op. Cit. hal. 117. 11 (AyDs). Baik tanah PKD maupun AyDs adalah merupakan "beschikkings gebied" (wilayah kekuasaan) dari desa pakraman. Dasar penguasaan ini adalah "hak ulayat" (hak wilayah) yakni hak-hak dari persekutuan Desa Adat atas tanah yang didiami. Berbicara mengenai tanah adat di Bali selain tidak dapat dipisahkan dengan sejarah tanah adatnya juga tidak bisa dilepaskan dengan masyarakat hukum adat selaku pemilik dari tanah adat. Masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang". Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pasal 1 angka 3 mebjelaskan bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang-orang yang terikat oleh hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena persamaan tempat tinggal ataupun berdasarkan atas keturunan. Ter Haar, mengemukakan bahwa di seluruh kepulauan Indonesia, pada tingkat rakyat jelata terdapat pergaulan hidup dan golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan bathin. Golongan-golongan itu mempunyai susunan yang tetap dan kekal, dan orang- orang golongan itu masingmasing mengalami kehidupan sebagai hal yang sewajarnya, yang menurut kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan memungkinkan untuk membubarkan diri. Golongan-golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri, mempunyai harta benda milik keduniaan 12 dan milik gaib, golongan-golongan demikianlah yang merupakan persekutuan hukum.11 Obyek yang sering menjadi sengketa biasanya yang berhubungan dengan tanah milik desa adat, dalam hal ini adalah tanah milik desa pakraman. Desa Adat dengan Hak Ulayat yang dimilikinya mempertahankan semua harta desa pakraman, sedangkan pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, bahwa Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 33 UUD 1945 inilah yang dijadikan landasan hukum bagi pemerintah untuk menggunakan lahan-lahan adat yang dikuasai oleh Desa Pakraman. Keterbatasan lahan yang semakin menyempit dan juga harga lahan yang semakin tinggi menjadi alasan bagi pemerintah untuk menggunakan lahan-lahan adat milik desa pakraman. Tanah adat atau tanah ulayat di Bali merupakan tanah-tanah yang berada pada kekuasaan Desa Adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang dikenal dengan tanah desa atau druwe desa. Menurut Made Suasthawa Dharmayuda, tanah desa atau druwe desa di Bali dapat dibedakan menjadi tanah desa atau druwe desa dalam artian luas dan dalam artian sempit. 12 Dalam artian yang luas tanah adat ini meliputi tanah-tanah: 1) Tanah Desa meliputi: a. Tanah pasar, yaitu tanah yang dipergunakan untuk pasar; b. Tanah lapang, yaitu tanah yang dipakai untuk lapangan maupun kegiatan lainnya; 11 Tar Haar, 1874. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K.Ng. Soebekti Poesponoto, Pradnya Paramita Jakarta.hal.87 12 Suasthawa Dharmayuda I MD. Op. Cit. hal. 40 13 c. Tanah kuburan/setra, yaitu tanah yang dipergunakan untuk kuburan atau menguburkan atau membakar mayat; d. Tanah bukti, yaitu tanah-tanah pertanian (sawah, ladang) yang diberikan pada perangkat pejabat atau pengurus desa. Tanah bukti ini mirip dengan tanah bengkok di Jawa. 2) Tanah Laba Pura adalah tanah-tanah yang dulunya milik desa (dikuasai oleh desa) yang khusus dipergunakan untuk kepentingan pura. Tanah Laba Pura atau Pelaba Pura ini ada dua macam yaitu: a. Tanah yang khusus untuk tempat pembangunan pura, dan b. Tanah yang diperuntukkan guna pembiayaan keperluan Pura, misalnya untuk keperluan biaya rutin dan biaya perbaikan pura. 3) Tanah Pekarangan Desa (PKD) adalah merupakan tanah yang dikuasai oleh desa yang diberikan kepada warga desa (krama desa) untuk mendirikan perumahan yang lazimnya dengan ukuran luas tertentu yang hampir sama bagi setiap keluarga. Kewajiban yang melekat lebih dikenal dengan "ayahan " pada krama desa yang menempati tanah tersebut adalah adanya beban berupa tenaga maupun materi yang diwajibkan oleh desa pakraman. 4) Tanah Ayahan Desa (AyDs) adalah merupakan tanah-tanah yang dikuasai oleh desa yang penggarapannya diserahkan kepada masing-masing krama desa dengan hak untuk menikmati dengan kewajiban memberikan "ayahan" berupa tenaga maupun materi kepada desa pakraman. Dalam artian yang sempit adalah terbatas pada tanah-tanah desa yang dikuasai langsung oleh Desa Adat sebagaimana ditentukan dalam angka 1 di atas, yaitu tanah-tanah yang terdiri atas tanah pasar, tanah lapang, tanah setra, dan tanah 14 bukti. Tanah pasar yang dimaksud ini adalah tanah-tanah milik Desa Adat yang langsung dikuasai oleh dan pemanfaatannya dipergunakan untuk kepentingan perekonomian desa yaitu berupa pasar desa. Pasar-pasar desa berupa pasar tradisional dapat dijumpai di beberapa desa di Bali yang pengelolaannya dilakukan oleh Desa Adat sebagai masyarakat hukum adat yang bersifat otonum. Istilah tanah setra adalah tanah yang digunakan untuk kegiatan upacara pitra yadnya baik berupa upacara kematian seperti mendem sawa (menguburkan mayat), upecara pengabenan atau pelebon (pembakaran mayat, atau kremasi). Biasanya setiap Desa Adat memiliki setidaknya satu atau lebih areal setra, yang keberadaannya dekat dengan Pura Dalem/Kahayangan. Dalam setiap areal setra, selalu dilengkapi dengan Pura Mrajepati atau Pengulun Setra. Tanah lapang adalah tanah milik Desa Adat yang dipergunakan untuk baik kegiatan yang berhubungan dengan adat dan agama sebagai kegiatan Desa Adat maupun kegiatan lainnya seperti kegiatan olah raga, upacara nasional oleh anakanak sekolah atau kegiatan lainnya. Tanah Bukti, adalah tanah yang diberikan kepada pejabat desa tertentu, sebagai imbalan jabatannya sehingga tanah bukti ini juga disebut dengan tanah jabatan. Iman Sudiyat mengemukakan bahwa tanah jabatan itu di wilayah Batak disebut dengan saba na bolak, di Sulawesi Selatan disebut galung arajang, di Ambon disebut dengan dusun dati raja, di Bali disebut dengan bukti, dan di Jawa disebut dengan tanah bengkok/lungguh.13 Di samping pengelompokkan dalam arti luas dan sempit, tanah adat di Bali juga dapat dikelompokkan berdasarkan atas ukuran siapa yang menguasai tanah adat tersebut. Sehingga akan dapat ditemukan: 13 Iman Sudiyat, 1978. Hukum Adat , Seketsa Azas, Liberty, hal.7 15 1) Tanah adat yang dikuasai oleh Desa Adat yaitu: a. Tanah Druwe Desa, b. Tanah Laba Pura. 2) Tanah adat yang dikuasai oleh perseorangan (masing-masing krama desa pakraman) yaitu: a. Tanah Pekarangan Desa, b. Tanah Ayahan Desa. 14 Untuk tanah adat yang dikuasai oleh perseorangan (krama desa) yaitu tanah pekarangan desa (PKD) dan tanah ayahan desa (AyDs) secara bersama-sama sering disebut "tanah ayah" saja.15 Untuk tanah ayah ini ikatan adat tetap ada yakni berupa kewajiban untuk desa ataupun pura. Kewajiban ini sering disebut dengan istilah "ayahan ". Ayahan inilah yang mengekang atau mengikat tanah ayah tersebut, sehingga menjadi hak milik terkekang. Adapun tujuan dari pengekangan ini pada hakekatnya membatasi kebebasan usaha atau kebebasan gerak para anggota Desa Adat secara perseorangan. Pengekangan ini dilakukan demi kepentingan Desa Adat karena tanah ayah ini merupakan Beschikkinggebied (wilayah kekuasaan) dari desa pakraman.16 Tetapi pada kenyataannya memang tidak jarang dalam usaha untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan baik oleh pemerintah ataupun para pengusaha swasta kurang memperhatikan tata cara dan persyaratan yang diatur dalam hukum masyarakat hukum adat yang bersangkutan, maupun asas- 14 Suasthawa Dharmayuda I Md, 1987,op. cit, hal. 42 Suasthawa Dharmayuda, I Md, 1980, op. cit, hal.136 16 Suasthawa Dharniayuda , I Md, 1987. op. Cit, hal. 117. 15 16 asas dan ketentuan-ketentuan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai kewajiban mendengar pendapat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, terdapat pengaturannya antara lain dalam KEPPRES Nomor 55 Tahun 1993, Pasal 1 dan 9 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum (harus) dilakukan melalui musyawarah. Musyawarah adalah proses atau kegiatan saling mendengar, dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.17 Sengketa dalam penggunaan tanah yang terjadi di Bali umumnya karena persepsi masyarakat terhadap tanah adat mempunyai kedudukan sangat penting bagi kehidupan manusia dan bangsa Indonesia pada umumnya. Dalam kehidupan manusia, keberadaan tanah tidak akan terlepas dari segala tindak tanduk manusia itu sendiri, sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Di Bali, masyarakat desa adat tidak hanya masih ada tetapi menjadi jantung kehidupan sosial masyarakat yang turun-temurun memiliki harta kekayaan berupa tanah. Bagi masyarakat adat Bali, persoalan tanah adat menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan sering kali menimbulkan sengketa adat. Sengketa tersebut menyangkut tanah adat, baik antara krama (warga) desa adat dan desa adat lain, maupun antar desa adat dan institusi pemerintah untuk kepentingan pembangunan. baik itu peruntukkannya berdalih pariwisata untuk 17 KEPPRES Nomor 55 Tahun 1993, Pasal 1 dan 9 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. 17 kepentingan umum maupun sebagai tempat pendidikan. Dalam banyak kasus yang terjadi, pemerintah seringkali tidak meminta pertimbangan dan persetujuan desa pakraman, untuk mengambil alih dan fungsi tanah-tanah desa adat dalam pembangunan pariwisata bali, sehingga warga desa adat merasa dirugikan oleh pemerintah yang selalu berdalih demi kepentingan umum. Oleh karena itu, tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa di antara sesamanya dalam satu keluarga terutama yang menyangkut tanah, sengketa juga terjadi antara masyarakat desa dengan pemerintah setempat. Setiap waktu masih saja dijumpai meletusnya sengketa dalam kehidupan masyarakat Bali, yang lebih dikenal dengan istilah biota atau wicara dalam berbagai menifestasinya, seperti sengketa perebutan batas wilayah desa pakraman, sengketa penggunaan kuburan (setra), masalah kasta, bentrokan fisik atau tindak kekerasan antar warga dan lain sebagainya.18 Istilah sengketa (dispute) dijumpai dalam kepustakaan hukum, sehingga dalam penelitian ini penulis menggunakan istilah sengketa. Timbulnya sengketa adat dalam kehidupan masyarakat di berbagai tempat dan waktu merupakan suatu petunjuk bahwa suasana pergaulan hidup antara sesama anggota masyarakat adat Bali tidak berjalan dengan harmonis. Untuk itulah, diperlukan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah. Secara hakiki, makna dan posisi strategik tanah dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya dalam artian fisik saja tetapi juga menyangkut aspek sosial, politik dan budaya dan menyangkut juga dari aspek hukum. Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah tempat mereka dimakamkan, dan menjadi tempat kediaman orang18 I Wayan Arimbawa 2012, op. cit, hal 2. 18 orang halus dan arwah para leluhurnya. Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dahulu, tanah telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa, serta pendukung suatu Negara yang coraknya agraris berdominasi. Persekutuan masyarakat hukum adat berhak atas tanah adat dan mempunyai hak-hak tertentu atas tanah adat. Pengakuan pemerintah akan keberadaan dari masyarakat hukum adat diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 3 yaitu : Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi.19 Berdasarkan atas berlakunya hak tersebut ke luar, maka persekutuan masyarakat hukum adat itu sebagai kesatuan yang berkuasa, memungut hasil dan tanah itu dengan membatasi adanya orang-orang lain yang melakukan hal yang serupa itu. Sebagai suatu kesatuan masyarakat, mereka bertanggung jawab terhadap orangorang dari masyarakat luar itu atas perbuatan-perbuatan pelanggaran di wilayah tanah masyarakat itu. I Gusti Ngurah Tara Wiguna, dalam bukunya Hak-hak atas tanah pada masa Bali Kuna Abad X-XI Masehi mengatakan bahwa: Tanah dalam kehidupan manusia memiliki berbagai nilai antara lain : nilai politis, nilai sosial, nilai ekonomis dan nilai religi. Tanah yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan sanksi dan kekuasaan serta pengakuan dalam kehidupan masyarakat, maka tanah itu akan mempunyai nilai politis. Tanah yang berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari terutama yang berkaitan dengan pangan, sandang, papan dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya, maka tanah akan mempunyai nilai sosial ekonomi. Tanah yang dipakai 19 Boedi Harsono, 1999. Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan hal 62 19 untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat psikologis atau berkaitan dengan 'kehidupan keagamaan atau religious magis, maka tanah akan memiliki nilai simbolis dan religius.”20 Selanjutnya, aspek-aspek mengenai tanah diatur dalam hukum adat termasuk di dalamnya mengenai tanah-tanah adat yang dikuasai dan dikelola sepenuhnya oleh desa adat setempat. Jenis-jenis hak atas tanah telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria seperti ; hak milik, hak pakai, hak sewa, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak-hak lain yang telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Tanah adat dapat dikategorikan berdasarkan status dan fungsi tanah. seperti yang dikemukakan oleh I Gusti Ngurah Tara Wiguna, sebagai berikut: 1. Tanah pekarangan desa, yaitu tanah yang diperuntukkan untuk membangun rumah tempat tinggal bagi para warga desa. 2. Tanah ayahan desa, berupa tanah pertanian (tanah basah atau kering) yang dibagikan kepada anggota / warga desa. 3. Tanah laba pura juga berupa tanah pertanian yang terikat oleh satu pura atau lebih dan hasilnya dipergunakan untuk pemeliharaan pura. 4. Tanah pecatu dan tanah bukti, yaitu tanah pertanian yang diberikan oleh raja sebagai imbalan atas jasa seseorang. 5. Tanah druwe desa, tanah yang dipergunakan untuk kepentingan desa secara bersama-sama, seperti kuburan, tanah lapang, tanah pasar, balai desa, dan sebagainya.21 Dewasa ini, banyak terjadi pergeseran hak atas tanah, khususnya menyangkut 20 I Gusti Ngurah Tara Wiguna, 2009. Hak-hak Atas Tanah pada Masa Bali Kuna Abad X-XI Masehi , Udayana University Press, Denpasar, hal.10. 21 I Gusti Ngurah Tara Wiguna, op. cit, hal. 16. 20 tanah desa yang dikuasai dan dikelola oleh desa pakraman. Hal seperti ini sering menimbulkan sengketa di antara warga desa pakraman, bahkan diantaranya konflik yang terjadi antara desa adat dengan pemerintah daerah (Pemda). Sengketa ini timbul akibat tanah adat yang digunakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) . Ada beberapa permasalahan yang timbul di masyarakat yang menyebabkan terjadinya sengketa. Berawal dari penggunaan lahan atau tanah adat oleh pemerintah daerah, yang digunakan sebagai fasilitas umum ataupun sebagai tempat pendidikan. Seperti kasus atau sengketa yang terjadi di Dsa Pakraman Bale Agung Tenaon, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Dalam kasus yang diteliti ini, menyangkut peralihan tanah adat yang digunakan oleh Pemda sebagai tempat pendidikan. Dalam hal peralihan tanah adat dikategorikan sebagai kasus adat, yaitu kasus sengketa yang menjadi kompetensi lembaga-lembaga adat dalam penyelesaiannya dengan pemerintah daerah. Soerjono Soekanto, memberikan batasan tentang sengketa sebagai adanya ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau kelompok- kelompok yang mengadakan hubungan, oleh karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar.22 Lebih lanjut ditegaskan oleh Koentjaraninggrat suatu sengketa, baru merupakan sengketa hukum adat manakala sudah ada tindakan sosial yang bersifat reaktif atas pelanggaran yang dilakukan. Kasus adat sebagai sengketa yang diatur menurut hukum adat, dalam kenyataannya dapat menyempit dan melebar, karena kasusnya sudah tidak murni lagi. Itulah sebabnya, setiap kasus adat yang tergolong berat, selalu ditangani secara "gotong royong" antara perangkat adat dengan perangkat 22 Soerjono Soekanto, Jakarta.hal. 145 1999. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum Rajagrafindo Parsada, 21 kedinasan. Bagaimanapun, hukum adat sebagai hukum lokal perlu mendapat dukungan dan pengakuan dari pemerintah untuk menambah kekuatan berlakunya hukum adat. Sengketa mengandung spectrum pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antara perorangan, konflik antar keluarga, sampai dengan konflik antar kampung, dan bahkan sampai dengan sengketa massal yang melibatkan beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primodial. Konflik horizontal yang dimaksudkan adalah konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti idiologi politik, ekonomi dan faktor primordial. Sedangkan sengketa vertikal adalah konflik antara pemerintah dengan warga masyarakat. Pada umumnya masyarakat Desa Adat mempunyai harapan untuk menikmati kedamaian dan bukan komunitas yang lain. Jika terjadi sengketa adat, maka masyarakat pada umumnya menjadi terperangah dan memberikan perhatian yang jauh lebih besar atas konflik tersebut. Sementara jika terjadi sengketa yang lain, tetapi tidak menyangkut adat, maka masyarakat menganggap sengketa yang terjadi sebagai sesuatu yang biasa saja. Kasus atau sengketa adat yang terjadi di Bali, karena adanya pelanggaran atas norma adat Bali dan norma agama Hindu, sehingga bisa mengakibatkan terganggunya keseimbangan alam nyata dan tidak nyata atau alam gaib yang dalam agama Hindu disebut dengan istilah Sekala Niskala. Sengketa adalah suatu keadaan di mana seseorang atau sekelompok orang merasa diperlakukan tidak adil. Dalam hal terjadinya sengketa adat, cukup banyak yang tidak bisa diatasi oleh hukum. kendatipun hukum itu didukung oleh kewenangan, fasilitas. dan pembiayaan. Hukum sebagai beban bagi masyarakat 22 lokal akan sangat terasa apabila masyarakat tersebut belum banyak dijamah oleh perubahan sosial yang besar. Oleh sebab itu perlu kearifan dari penegak hukum dalam mengatasi sengketa yang terjadi terutama sekali jika itu menyangkut masalah adat, yang berarti juga akan secara tidak langsung melibatkan kelompok yang lebih besar lagi, yaitu Desa Pakraman. Terjadinya sengketa adat dalam kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Bali akibat adanya ketidak jelasan hak atas tanah adat dengan Pemerintah Daerah. Desa adat merupakan desa yang mempunyai kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri, karena desa adat memiliki struktur kepengurusan yang disebut prajuru Desa Adat yang berfungsi untuk membantu tercapainya kepentingan para anggotanya, hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 7 BAB IV, Peraturan Daerah Provinsi Bali, tentang Desa Adat , yaitu : 1. Desa Adat dipimpin oleh Prajuru Adat 2. Prajuru Desa Adat dipilih atau ditetapkan oleh krama Desa Adat menurut aturan yang ditetapkan dalam Awig-Awig desa Pakraman. 3. Struktur dan susunan Prajuru Desa Adat diatur dalam Awig-Awig Desa Pakraman. Jika ditinjau dari Pasal 7 tersebut, maka dapat kita lihat dengan jelas bahwa Desa Adat termasuk dalam kualifikasi masyarakat hukum adat yang mempunyai fungsi sebagai hakim perdamaian desa. Jika terjadi sesuatu di lingkungan desa adat itu sendiri. Penanganan konflik atau sengketa adat di desa adat diselesaikan oleh hakim desa (prajuru adat), mengutamakan perdamaian, seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, ada tiga jenis pola penanganan sengketa yang diterapkan pada 23 masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia.23 Pertama, pola Negosiasi yaitu perundingan antara pihak-pihak yang berselisih dengan menggunakan cara-cara yang mereka anggap baik. Kedua, pola Mediasi yaitu kepala adat bertindak sebagai mediator atau penengah bagi pihak-pihak yang bersengketa. Ketiga, Ajudikasi yakni kepala adat bertindak sebagai hukum yang akan memberikan keputusan terhadap perkara yang diajukan. Untuk kasus-kasus adat (yang sering terjadi akhir-akhir ini) pola negosiasi masih relevan untuk digunakan. Bagi kasus-kasus yang belum menyentuh ketentraman desa, dapat digunakan cara-cara negosiasi, dalam hal ini kepala adat hadir sebagai mediator, yang tidak memberikan keputusan, tetapi hanya bertindak untuk mengarahkan, memberi pertimbangan dan ikut memberikan jalan keluar, yang nantinya bisa menguntungkan dan mendamaikan semua pihak yang bertikai. Secara umum penyelesaian sengketa digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lebih dikenal dengan norma (Alternative Dispute Resolution). ADR merupakan penyelesaian sengketa yang lebih diarahkan pada suatu kesepakatan atau solusi terhadap sengketa. Seperti yang dikemukakan oleh T.O.Ihromi Nader Todd, ada beberapa cara yang digunakan oleh masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya, yaitu sebagai berikut : 1) Membiarkan saja (lumping it). Pihak yang merasa diperlakukan tidak adil gagal dalam upaya untuk menekankan tuntutannya. Dia mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalah atau isu yang menimbulkan tuntutannya dan dia 23 Soerjono Soekanto, 1999, op. cip, hal 176 24 tidak melanjutkan hubungan dengan pihak yang dirasakannya merugikan. lni dilakukan karena berbagai kemungkinan seperti kurangnya informasi mengenai bagaimana proses mengajukan keluhan ke pengadilan, kurangnya akses ke lembaga peradilan atau sengaja tidak diproses ke pengadilan, karena diperkirakan bahwa kerugiannya lebih besar dari keuntungannya, dalam arti materiil maupun kejiwaan. 2) Mengelak (avoidance). Pihak yang merasa dirugikan memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya atau sama sekali menghentikan hubungan tersebut. Berbeda dengan pemecahan pertama, hubungan-hubungan berlangsung terus, isunya saja yang dianggap selesai, dalam hal bentuk yang kedua ini pihak yang dirugikan mengelakkannya. 3) Paksaan (coercion). Dalam hal ini satu pihak memaksakan pemecahan masalah kepada pihak lain. Pemecahan masalah lain bersifat unilateral dilakukan dengan pemaksaan atau ancaman untuk menggunakan kekerasan dari aatu pihak kepada pihak lainnya. Penggunaan cara ini umumnya mengurangi kemungkinan penyelesaian secara damai. 4) Perundingan (negotiation). Dua pihak yang berhadapan dalam penyelesaian masalah ini merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan dari masalah yang mereka hadapi dilakukan mereka berdua, mereka sepakat, tanpa adanya pihak ketiga yang mencampurinya. Kedua pihak berupaya untuk saling meyakinkan. Jadi mereka membuat peraturan mereka sendiri dan tidak memecahkannya dengan bertitik tolak dari aturan-aturan yang ada. 5) Mediasi (mediation). Yaitu pemecahan masalah melalui perantara, dalam cara ini ada pihak ketiga yang membantu kedua pihak yang beselisih pendapat untuk 25 menemukan kesepakatan. Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua pihak yang bersengketa atau ditunjukkan oleh pihak yang berwenang untuk itu. 6) Arbitrase. Dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk meminta perantara pihak ketiga, arbitrator, dan sejak semula telah setuju bahwa mereka akan menerima keputusan dari arbitrator tersebut. 7) Peradilan (adjudication). Pihak ketiga mempunyai wewenang untuk mencampuri pemecahan masalah, lepas dan keinginan para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga ini adalah pihak yang berhak membuat keputusan dan menegakkan keputusan itu. Dalam beberapa kasus sengketa adat, terutama dalam sengketa antar desa pakraman, penyelesaian sengketa adat melalui mekanisme hukum adat ternyata belum mampu menyelesaikan sengketa secara tuntas, bahkan ada pula yang menemui jalan buntu serta menimbulkan sengketa baru yang semakin tajam dan terbuka,bahkan tidak jarang menimbulkan bentrok fisik dan tindak kekerasan. Akibatnya proses penyelesaian sengketa tanah adat menjadi berlarutlarut. Penulis menemukan kesenjangan (gap) antara harapan untuk menyelesaikan sengketa tanah adat melalui musyawarah/paruman desa sebagai mekanisme hukum adat (das solen) akan mengeluarkan biaya yang sedikit dibandingkan dengan menyelesaikan sengketa tanah adat melalui pengadilan. Salah satu sengketa yang terjadi dalam masyarakat di desa Pakraman Bale Agung Tenaon, Desa Alasangker Kecamatan Buleleng Kabupaten dijadikan tempat belakangi Buleleng adalah sengketa tanah adat yang pendidikan oleh Pemerintah Daerah. Hal ini yang melatar penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini. Atas pertimbangan tersebut maka penulis angkat sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul 26 “Penyelesaian Sengketa Tanah Adat Yang Dijadikan Tempat Pendidikan Oleh Pemerintah Daerah (Studi kasus di Desa Pakraman Bale Agung Tenaon, Desa Alasangker Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng). 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1) Bagaimanakah penyelesaian sengketa tanah adat yang dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah?. 2) Apa upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa tanah adat yang dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan Umum Untuk meneliti mekanisme hukum adat dalam menyelesaikan sengketa tanah adat yang dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah, sehingga dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat adat dan penegak hukum, dalam mengatasi permasalahan yang timbul bagi kepentingan masyarakat di Bali. 1.3.2.Tujuan Khusus 1) Untuk mengetahui dan menganalisis penyelesaian sengketa tanah adat yang dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah. 2) Untuk mengetahui dan menganalisis upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa tanah adat yang dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah. 27 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis bagi pengembangan ilmu hukum dan dapat digunakan sebagai bahan refrensi oleh para pihak yang melakukan penelitian dalam bidang sengketa tanah adat. 1.4.2. Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini terdiri dari dua kepentingan yaitu: 1) Bagi kalangan akademis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi ilmiah dalam kaitannya dengan penelitian penyelesaian sengketa tanah adat yang dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah. 2) Bagi masyarakat desa adat, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk mengetahui penyelesaian sengketa tanah adat yang dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah. 1.5 . Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.5.1. Landasan Teoritis Landasan teoritis adalah upaya untuk mengindentifikasi teori hukum umum dan teori hukum khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum dan norma-norma hukum yang akan dipakai sebagai landasan membahas permasalahan penelitian. Landasan teoritis terdiri atas pemikiran-pemikiran teoritis yaitu pengertian tentang hukum, konsep-konsep hukum dan teori-teori hukum yang digunakan dalam setiap penelitian, disebabkan terdapat hubungan yang erat antara teori dengan kegiatan yang akan dilakukan dalam penelitian. Teori hukum yang digunakan berkaitan dengan sengketa tanah adat yang 28 dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah adalah : 1.Teori konflik/Sengketa. Teori konflik menurut Ralf Dahendorf mengatakan bahwa ciri-ciri konflik dalam suatu organisasi; sosial adalah sebagai berikut : a. Sistem sosial selalu berada dalam keadaan konflik b. Konflik terjadi karena adanya kepentingan yang bertentangan yang tidak dapat dicegah dalam struktur masyarakat sosial. c. Kepentingan-kepentingan tersebut berpolarisasi dalam dua kelompok yang saling bertentangan. d. Kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan mencerminkan deferensiasi dalam dua kelompok yang saling bertentangan diantara kelompok-kelompok yang berkuasa dan dikuasai. e. Penjelasan suatu sengketa akan menimbulkan berbagai kepentingan yang saling bertentangan yang dalam kondisi tertentu menimbulkan konflik. f. Perubahan sosial merupakan akibat konflik yang tidak dapat dicegah pada berbagai tipe pola yang telah melembaga.24 Konflik dalam kehidupan sosial masyarakat, sering timbul karena adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda antara masing-masing kelompok, yang sama-sama mempertahankan prinsipprinsip mereka. 2. Teori Badan Hukum a. Teori Fiksi Teori ini ini dipelopori oleh sarjana Jerman Friedrich Carl von Savigny (1779- 24 Ralf Dahendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri, Jakarta : CV. Rajawali, 1986) hal. 197. 29 1861) tokoh utama aliran sejarah pada masa permulaan abad ke 19. Menurut teori fiksi ini,hanya manusia sajalah yang mempunyai kehendak. Badan hukum adalah adalah suatu abtraksi dan bukan merupakan suatu hal yang kongkrit. Karna merupakan suatu abtraksi maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum, sebab hukum memberikan hak-hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan. Badan hukum itu semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau Negara. Badan hukum itu fiksi, yaitu sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang yang menghidupkannya dalam bayangan untuk menerangkan sesuatu hal.Dengan kata lain sebenarnya menurut alam,manusia selalu merupakan subyek hukum,tetapi orang yang menciptakan dalam bayangannya, dan badan hukum diperhitungkan sama dengan manusia. Orang bersikap seolah-olah ada subyek hukum yang lain,tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan,sehingga yang melakukan manusia sebagai wakil-wakilnya.25 b. Teori Orgaan Teori ini dikemukakan oleh sarjana Jerman yaitu Otto von Gierke(1841-1921) Menurut Otto von Gierke, badan hukum itu seperti manusia yang menjadi penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum. Badan hukum itu menjadi suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ –organ badan tersebut misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apapun yang mereka putuskan adalah kehendak dari badan hukum. Menurut teori organ ini,badan hukum itu bukanlah suatu hal yang abstrak,tetapi dia benar-benar ada. 25 Chidir Ali, 1999. Badan Hukum, Artikel Alumni Bandung , dimuat pada http/repository .usu. ac.idi 30 Menurut teori ini, badan hukum bukanlah suatu kekayaan yang tidak bersubjek,tetapi badan hukum itu merupakan suatu organisasi yang riil dan yang hidup seperti manusia biasa.Fungsi badan hukum disamakan dengan fungsi manusia. Jadi badan hukum itu tidak berbeda dengan manusia. Jadi dari sini dapat kita simpulkan bahwa tiap-tiap perkumpulan/perhimpunan orang,adalah badan hukum 26 Jika dilihat dari definisi teori Orgaan ini,maka desa adat atau desa pakraman,bisa disebut sebagai Badan Hukum, karena desa adat merupakan suatu organisasi yang riil dan yang hidup serta bekerja seperti manusia biasa. Lembaga Desa adatnya merupakan Badan Hukum,sedangkan Bendesa dan Kelian Desanya serta anggota Krama Desanya bertindak sebagai organ-organ dari Desa Adat tersebut. Dengan demikian yang dimaksud dengan teori Orgaan ini adalah Badan hukum itu riil adanya,yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya melalui perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut.Apapun yang diputuskan,itu adalah kehendak dari Badan Hukum tersebut. Jadi menurut teori ini,tiap-tiap perkumpulan atau perhimpunan orang,adalah Badan Hukum. c. Teori Kekayaan Bersama Teori kekayaan bersama ini dikemukakan oleh seorang sarjana Jerman yaitu Rudolf von Jhering, menurutnya teori kekayaan bersama itu mengangggap badan hukum itu sebagai kumpulan manusia. Kepentingan badan hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya. Menurut teori ini badan hukum itu bukanlah abstraksi dan bukan organisma. Pada hakikatnya,hak dan kewajiban badan hukum adalah tanggung jawab bersama-sama. Harta kekayaan badan hukum itu adalah 26 Chidir Ali, op. cip, 31 milik bersama seluruh anggota. Para anggota yang berhimpun merupakan suatu kesatuan yang membentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum. Oleh karena itu,badan hukum hanyalah suatu kontruksi yuridis belaka, dan pada hakikatnya badan hukum itu merupakan sesuatu yang abstrak.27 Desa adat atau desa pakraman ,jika dikaitkan dengan teori kekayaan bersama ini,maka bisa digolongkan ke dalam Badan Hukum,karena desa adat merupakan kumpulan orang-orang yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama, dalam hal mengelola tanah adat yang ada di wilayah hukum adat mereka dan para anggota krama yang terhimpun di dalam desa adat tersebut merupakan suatu kesatuan, dan kepentingan desa adat merupakan kepentingan seluruh anggota krama desa adat. Dalam hal sengketa yang terjadi,di mana masyarakat desa Alasangker khususnya Desa Pakraman Bale Agung Tenaon, menuntut adanya kompensasi dari pemerintah, atas tanah adat mereka yang digunakan sebagai tempat pendidikan maka dapat dikatakan bahwa tuntutan tersebut merupakan kepentingan dari seluruh warga desa Alasangker untuk menjaga harta kekayaan mereka yang ada dalam ruang lingkup wilayah adat mereka. 3. Teori Kepastian Hukum Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif dan bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan multi tafsir (keragu-raguan) dan logis dalam artian, ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari 27 Chidir Ali, op. cip, 32 ketidakpastian aturan, dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Thomas Hobbes mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (Homo Hominilipus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari jatuhnya korban. Konskuensi dari pandangan ini adalah bahwa perilaku manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam pikiran pembuat aturan.28 Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan suatu kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara benar-benar. Kepastian hukum menjamin keadilan bagi setiap insan dan anggota masyarakat dengan masyarakat lain tanpa membedakan dari mana dia berasal. Dari teori-teori tersebut di atas dapat disimpulkan, desa adat memenuhi syarat sebagai badan hukum dan teori yang dikemukakan Molenggraaf tentang teori milik kolektif memenuhi unsur-unsur desa adat sebagai badan hukum. Harta kekayaan desa adat dapat berupa tanah disebut tanah adat atau tanah desa. Tanah desa ini terdiri dari : a. Tanah desa dalam arti sempit, yang diistilahkan dengan druwe desa atau tanah druwe. b. Tanah Pelaba Pura. c. Tanah Pekarangan Desa (PKD). 28 Thomas Hobbes, New York, Evanston, San Fransisco London, https . // wikipedia.0rg.wiki. 33 d. Tanah ayahan Desa (AyDs).29 Tanah desa ini adalah dalam kekuasaan desa adat dengan hak mengatur, memelihara dan menjaga agar tetap utuh. Berkaitan dengan kekuasaan ini Assip K. Flechtim memakai istilah kekuasaan sosial adalah keseluruhan dari kemampuan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemegang kekuasaan (social power is the sum total of all those capacities, relationship and processes by which compliance of others is secured for ends determined by the power holder).30 Inti dari pengertian kekuasaan di atas adalah adanya kemampuan untuk mengendalikan, mengawasi tingkah laku orang lain baik secara langsung maupun dengan segala alat yang tersedia. Apabila dikaitkan dengan desa adat terdapat kekuasaan pada prajuru desa dengan awig-awig desa untuk mengatur hubungan antar krama desa serta mempertahankan hak-hak yang dimiliki terutama terhadap tanah desa. Tanah desa ini adalah dalam kekuasaan desa adat dengan hak mengatur, memelihara dan menjaga agar tetap utuh. Berkaitan dengan kekuasaan ini Assip K. Flechtim memakai istilah kekuasaan sosial adalah keseluruhan dari kemampuan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemegang kekuasaan (social power is the sum total of all those capacities, relationship and processes by which compliance of others is secured for ends determined by the power holder). Sedang Mac Iver merumuskan kekuasaan sebagai " the capacity to control the behavior of others either directly by fiat or indirectly by the manipulation of 29 Kantor Wilayah BPN Prop.Bali, Problematika Pemberian Strata/Denis Hak Atas Tanah Masyarakat Adat Dalam Desa Adat di Bali, Makalah Seminar, tanggal 18 Juni 2004, hal.2. 30 Tan Thong Kie, 2007. Studi Notariat Serba-Serbi Prantek Notaris, PT Ichtiar, Jakarta. 34 available means ", yang artinya kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia.31 1.5.2. Kerangka Pemikiran Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan kerangka berpikir sebagai berikut: Gambar KERANGKA PEMIKIRAN LATAR BELAKANG MASALAH *Tanah mempuarti yang sangat penting bagi kehidupan manusia. *Pertambahan penduduk tidak sebanding dengan luas lahan yang ada. *Terbatasnya lah- an untuk pembangunan menyebabkan lahan/tanah adat menjadi perhatian Pemerintah RUMUSAN MASALAH LANDASAN TEORI 1.Bagaimanakah penyelesaian sengketa tanah adat yang dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah? TEORI KONFLIK 2.Apa upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa tanah adat yang dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah? RALF DAHENDROF TEORI BADAN HUKUM: -Teori Fiksi -Teori Orgaan -Teori Kekayaan Bersama TEORI KEPASTIAN HUKUM THOMAS HOBBES METODE PENELITIAN 1.Jenis Penelitian: Empiris 2.Lokasi : Desa Pakraman Bale Agung Tenaon 3. Jenis Data: Primer dan Sekunder 4.Sumber Data; Observasi, Wawancara 5. Pengumpulan Data : Lapangan, Kepustakaan 6.Teknik Pengolahan Data; Kualitatif Analisis Data; Deskriptif Penyajian Data; Analisis Deskriptif KESIMPULAN SARAN 1.Penyelesaian sengketa tanah adat yang 1.Kepada masyarakat adat jika terjadi terjadi di Desa Bale Agung Tenaon sengketa diharapkan menyelesaikan diselesaikan melalui Paruman Desa Adat sengketa adat dengan menggunakan dengan melibatkan DPRD sebagai mediator mekanisme hukum adat yang berlaku dan bagi kedua belah pihak yang bersengketa . Peraturan-peraturan yang ada. 31 2.Penyelesaian sengketa dengan cara 2.Sebaiknya Pemda mensosialisasikann Flechteim Assip,K, 1952, Fundamentals of Political Science, New York : Ronald, Press Co,UU hal 16 Mediasi. yang mengatur tentang tanah adat. 35 1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian aspek hukum empiris (yuridis empiris) untuk menjawab permasalahan mengenai sengketa dalam penggunaan tanah adat untuk pendidikan oleh Pemerintah Daerah di Desa Pakraman Bale Agung Tenaon, Alasangker Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng,dengan metode purposive sampling,yaitu dengan sengaja memilih dan menentukan lokasi penelitian sesuai dengan masalah atau sengketa yang terjadi,serta dengan mempertimbangkan bahwa belum ada peneliti lain yang melakukan penelitian yang terkait dengan sengketa yang terjadi di desa ini. 1.6.2. Jenis Pendekatan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris yaitu melakukan penelitian berdasarkan peraturan yang ada, termasuk awig-awig desa dan penerapan awig-awig tersebut dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara Desa Pakraman Bale Agung Tenaon, dan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Buleleng. 1.6.3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di Desa Pakraman Bale Agung Tenaon, Alasangker Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng dengan metode purposive sampling yang terkait tanah adat yang dijadikan tempat penyelenggaraan pendidikan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng. Penulis dengan sengaja memilih lokasi penelitian ini didasarkan pada permasalahan / sengketa yang terjadi dan sampai saat ini belum ada yang meneliti kasus sengketa ini. 36 1.6.4. Jenis dan Sumber Data 1. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data Primer dan data Sekunder. Data primer berupa hasil penelitian lapangan (field research) dan data sekunder berupa hasil penelitian kepustakaan (library research). 2. Sumber Data Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan, baik dari responden yaitu prajuru desa adat dan masyarakat di lokasi Desa Pakraman Bale Agung Tenaon , Alasangker yang memiliki tanah adat yang dipergunakan sebagai tempat pendidikan dan upaya penyelesaian sengketa di Desa Pakraman Bale Agung Tenaon, dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng. Data sekunder diperoleh dari perpustakaan, buku-buku, dan hasil penelitian. 1.6.5. Teknik Pengumpulan Data Dilihat dari cara memperolehnya, data dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. 1. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di lapangan melalui observasi dan wawancara. 2. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran kepustakaan diantaranya peraturan-peraturan, perundang-undangan, majalah-majalah hukum,teori- teori hukum, pendapat para sarjana hukum,data dari internet dan buku-buku penunjang lainnya sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. 37 1.6.6. Teknik Pengolahan /Analisis Data 1. Teknik pengolahan data Data yang telah terkumpul kemudian diolah dengan teknik pengolahan data kualitatif. Data hasil penelitian diidentifikasi dan diedit, dengan tujuan untuk mengetahui data mana yang digunakan sebagai bahan analisis dan data mana yang tidak sesuai dengan permasalahan ,yang harus dihilangkan. Data yang telah diedit kemudian diklasifikasi dan menghubungkan data yang satu dengan data yang lainnya sesuai dengan permasalahan yang dikaji. 2. Teknik analisis data Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan teknik analisis yaitu menganalisa apa adanya dari suatu kondisi atau realita hukum atau non hukum dikaji dengan teori-teori atau asas-asas umum di bidang hukum. Hasil analisis tersebut kemudian diinterprestasikan atau ditafsirkan untuk memahami makna dari keseluruhan kualitas data, sehingga memperoleh gambaran terhadap permasalahan yang diteliti. 3. Teknik penyajian data Keseluruhan hasil penelitian kemudian disajikan secara deskriptif analisis, yaitu dengan memaparkan secara rinci dan lengkap segala persoalan yang terkait dengan masalah yang diteliti disertai dengan usulan-usulan sesuai teori-teori hukum.