BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar, karena
masyarakat hidup dan berkembang di atas tanah.Hubungan manusia dengan tanah
merupakan hubungan magis religius yang sedikit banyak mengandung unsur
kekuatan gaib (mistik) sebagai suatu perwujudan manusia dengan alam sekitarnya.
Semua makhluk hidup memerlukan tanah,karna tanah dapat menumbuhkan berbagai
macam tanaman yang sangat dibutuhkan oleh manusia ataupun makhluk hidup
lainnya. Dalam arti hukum,tanah mempunyai peranan yang sangat penting,karena
merupakan sumber kehidupan dan penghidupan manusia itu sendiri, semua kegiatan
yang dilakukan manusia,selalu dan pasti memerlukan tanah sebagai penopang
kegiatan dalam hidupnya. Masyarakat
memandang
tanah
sebagai sumber
kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dunia. Tanah dipergunakan
sebagai tempat tinggal dan sebagai sumber penghidupan manusia seperti untuk
menanam padi, jagung, sayur-sayuran.Tanah
merupakan fondasi yang sangat
penting bagi kelangsungan hidup manusia,di samping itu tanah juga merupakan
sumber kekayaan bagi mereka yang memiliki dan menguasainya karena semua yang
terkandung di dalamnya bisa merupakan sumber pendapatan ataupun sumber
penghasilannya.Manusia sangat tergantung dengan tanah,bahkan sampai mati pun
manusia masih memerlukan tanah untuk penguburannya. Begitu pentingnya arti
tanah bagi kehidupan manusia,tanah juga memiliki peranan yang sangat penting
bagi Bangsa Indonesia untuk melaksanakan dan melanjutkan pembangunan
Nasional untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur,sesuai dengan
1
2
apa yang terkandung di dalam Pancasila dan juga UUD 1945. Bali sebagai pusat
pariwisata dunia menyebabkan setiap orang berlomba-lomba untuk bisa memiliki
dan menguasai tanah di Bali.
Para investor tingkat dunia pun bersaing untuk
menanamkan modal sebesar-besarnya untuk membangun hotel dan pusat-pusat
hiburan demi meraup keuntungan yang tidak sedikit. Lahan-lahan banyak yang
beralih fungsi, kawasan yang semula asri, berubah menjadi lahan beton. Pemukiman
penduduk dibangun di mana-mana, hal ini tentu saja membuat kebutuhan akan tanah
semakin meningkat dan berimbas pula pada nilai ekonomis tanah tersebut, harga
tanah menjadi semakin melambung dan tidak terkendali, yang menyebabkan pula
naiknya nilai pajak akan obyek tanah tersebut, hal ini tidak bisa dicegah, karena
pengaruh dan dampak dari pembangunan di bidang pariwisata. Hal ini tidak hanya
terjadi di daerah Denpasar dan Badung saja tetapi hampir di seluruh wilayah di
Bali.
Sebagai gambaran saja, harga tanah di Kabupaten
khususnya Kuta
Badung
selatan,
sudah mencapai 4-5 Milyar per are/100m2, di Kota Denpasar
harga tanah berkisar 1-1,5 Milyar/100m2.
Di Kabupaten Buleleng harga tanah mencapai 200-500juta/100m2. Sedangkan
di Desa Ketewel Kecamatan Sukawati Gianyar harga tanah mencapai 600800juta/100m2, demikian juga Kabupaten Karangasem, Kabupaten Klungkung dan
Kabupaten lainnya, harga tanah
meningkat,
hal ini merupakan dampak dari
pembangunan yang begitu pesatnya.
Begitu pesatnya pertumbuhan dan
pembangunan di Bali menyebabkan
peralihan hak atas tanah berubah terus. Keberanian investor untuk membeli tanah
dengan harga tinggi menjadi salah satu penyebab kenaikan harga tanah
dan
penduduk lokal menjual tanahnya dengan harapan akan mendapatkan keuntungan
3
yang besar. Keinginan manusia yang selalu ingin menguasai dan memiliki
tanah,tentu saja bisa menimbulkan sengketa di antara masyarakat itu sendiri,sebab
itulah diperlukan adanya aturan-aturan yang jelas dalam kepemilikan tanah.
Penguasaan tanah secara yuridis akan memberikan kewenangan kepada pemegang
hak untuk menguasai tanah yang dihakinya. Semakin terbatasnya lahan yang
tersedia untuk pembangunan, menyebabkan tanah-tanah adat mendapat perhatian
dari pemerintah sebagai alternatif untuk Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, khususnya yang akan digunakan sebagai
tempat pendidikan.
Penguasaan tanah secara yuridis dilandasi oleh hak, yang dilindungi oleh hukum
dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara
fisik tanah yang dihaki. Dalam UUPA telah diatur dan ditetapkan tata jenjang atau
hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional :
1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam pasal 1,sebagai hak penguasaan atas
tanah yang tertinggi,beraspek perdata dan publik.
2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam pasal 2,semata-mata beraspek
publik.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam pasal 3,,beraspek
perdata dan publik.
4. Hak-hak perorangan/individual,semuanya beraspek perdata,terdiri atas:
a. Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara
langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut
dalam pasal 16 dan 53`
b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan ,pasal 49.
4
c. Hak Jaminan atas tanah yang disebut “Hak tanggungan” dalam pasal
25,33,39 dan 51.
Semua hak penguasaan atas tanah berisikan tentang serangkaian wewenang dan
kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya.Penguasaan hak atas tanah
terdiri atas Penguasaan secara perorangan/individual yang beraspek perdata dan
penguasaan tanah bersama atau yang lebih dikenal dengan Tanah Adat,dalam UUPA
disebut dengan Hak Ulayat,yang beraspek perdata dan juga beraspek publik. Masih
adanya Hak Ulayat pada masyarakat hukum adat tertentu,dapat diketahui dari
kegiatan sehari-hari Kepala Adat dan para Tetua Adat dalam kenyataannya,yang
diakui sebagai pengemban kewenangan dalam memimpin dan mengatur penggunaan
tanah ulayat,yang merupakan tanah bersama masyarakat tanah adat yang
bersangkutan.
Pengakuan hukum adat dalam UUPA dapat dicermati sejak awal, yaitu
melalui Konsiderans dinyatakan , bahwa “perlu adanya hukum agraria nasional,
yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah”. Lebih lanjut dalam Pasal 5
UUPA ditemukan adanya pernyataan, bahwa “Hukum agraria yang berlaku atas
bumi, aixxxr dan ruang angkasa ialah hukum adat”.1 Dalam pandangan hukum
adat menurut Herman Soesang Obeng disebutkan, bahwa tanah dan manusia
mempunyai hubungan sedemikian erat, dan dalam jalinan pikiran (participerend
denken), sehingga hubungan antara manusia dan tanah merupakan suatu hubungan
magis religius yang sedikit banyak
1
mengandung unsur kekuatan gaib (mistik)
I Made Suwitra, 2010. Eksintensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat di Bali.
Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional, Majalah Logoz Publising, Bandung, hal 1
5
sebagai suatu perwujudan daripada dialog antara manusia dengan alam gaib, yaitu
roh-roh yang dihargainya.2
Hak ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masayarakat
hukum adat yang berkaitan dengan tanah yang ada di wilayah hukum adat tersebut.
Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat tersebut beraspek publik dan
juga beraspek perdata. Beraspek perdata artinya tanah adat/ulayat merupakan tanah
kepunyaan bersama masyarakat hukum adat,sedangkan beraspek publik menyangkut
hak
masyarakat
hukum
adat
untuk
mengatur,mengelola,memimpin
penguasaan,pemeliharaan dan peruntukkan dari tanah yang ada di wilayahnya.
Mengenai Hak Ulayat ini diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria.
Yang dimaksud Hukum Adat dalam UUPA adalah hukum yang hidup dalam
masyarakat dan merupakan hukum yang tidak tertulis dan di dalamnya
mencerminkan sifat-sifat/unsur Nasional yang asli dengan ciri khususnya
lebih
mengedepankan sifat kekeluargaan dan sifat kegotongroyongan demi tercapainya
keseimbangan serta lebih banyak diliputi oleh suasana keagamaan.
Di Bali,tanah adat atau tanah ulayat merupakan tanah-tanah yang berada di
bawah kekuasaan Desa Pakraman. Desa Pakraman adalah istilah /nama untuk
kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Bali. Tanah-tanah yang ada di
kesatuan masyarakat hukum tersebut lebih dikenal dengan nama Druwe Desa.
Druwe Desa atau tanah-tanah ulayat ini,dikuasai dan dikelola oleh Desa Pakraman
(pengaturan tentang wewenang dan kewajiban Desa Pakraman ini diatur dalam
Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001,jo Perda Provinsi Bali Nomor 3 tahun
2
Herman Soesang Obeng, 1975, “Pertumbuhan hak milik individual menurut hukum adat dan
menurut UUPA di Jawa Timur”, Majalah Hukum, No. 3 Tahun ke dua, Yayasan Penerbitan dan
Pengembangan Hukum (Law Centre), hal. 51.
6
2003,tentang
revisi
Perda
Provinsi
Bali
Nomor
3
tahun
2001).
Walaupun pengaturan tentang Desa Pakraman sudah jelas diatur dalam Peraturan
Daerah ,namun masalah-masalah adat tetap saja sering terjadi di Bali,apakah itu
menyangkut tentang batas –batas tanah ataupun sengketa tentang pemilikan tanah,
yang tentu saja hal bisa menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial di dalam
masyarakat itu sendiri.. Sengketa tanah yang sering terjadi di dalam masyarakat
hukum adat,khususnya dalam masyarakat hukum adat di Bali,umumnya dapat
diatasi secara damai dengan cara mediasi untuk mencapai win-win solution. Hal
inipun tidak terlepas dari peranan dan fungsi dari Desa Pakraman yang merupakan
hakim perdamaian desa`
Tanah merupakan salah satu asset msyarakat
di Bali
yang sangat
mendasar, karena masyarakat hidup dan berkembang di atas tanah. Masyarakat
di Bali memposisikan tanah pada kedudukan yang sangat penting karena
merupakan faktor utama . Masyarakat memandang
tanah
sebagai sumber
kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dunia. Tanah dipergunakan
sebagai tempat tinggal dan sebagai sumber kehidupan manusia seperti untuk
menanam padi, jagung, sayur-sayuran. Hal inilah menyebabkan tanah adat seperti
PKD yang dikuasai secara individu di dalamnya terkandung konsep tri hita karana,
yaitu berupa parhyangan yang berwujud merajan (believe system), pelemahan yang
berwujud anggota keluarga yang tinggal di situ (social system)yang notabene
sebagai krama banjar. Bali sebagai pusat pariwisata dunia menyebabkan orang
berlomba-lomba untuk bisa memiliki tanah di Bali. Para investor tingkat dunia pun
bersaing untuk menanamkan modal sebesar-besarnya untuk membangun hotel dan
pusat-pusat hiburan demi meraup keuntungan yang tidak sedikit. Lahan-lahan
7
banyak yang beralih fungsi, kawasan yang semula asri, berubah menjadi lahan
beton. Pemukiman penduduk dibangun di mana-mana, hal ini tentu saja membuat
kebutuhan akan tanah semakin meningkat dan berimbas pula pada nilai ekonomis
tanah tersebut, harga tanah menjadi semakin melambung dan tidak terkendali, yang
menyebabkan pula naiknya nilai pajak akan obyek tanah tersebut, hal ini tidak bisa
dicegah, karena pengaruh dan dampak dari pembangunan di bidang pariwisata. Hal
ini tidak hanya terjadi di daerah Denpasar dan Badung saja tetapi hampir di
seluruh wilayah di Bali. Sebagai gambaran saja, harga tanah di Kabupaten Badung
selatan, khususnya Kuta
sudah mencapai 4-5 Milyar per are/100m2, di Kota
Denpasar harga tanah berkisar 1-1,5 Milyar/100m2.
Di Kabupaten Buleleng harga tanah mencapai 200-500juta/100m2. Sedangkan
di Desa Ketewel Kecamatan Sukawati Gianyar harga tanah mencapai 600800juta/100m2, demikian juga Kabupaten Karangasem, Kabupaten Klungkung
dan Kabupaten lainnya, harga tanah meningkat hal ini dampak dari pembangunan
yang begitu pesatnya.
Pesatnya pembangunan di Bali menyebabkan peralihan hak atas tanah
berubah terus.
Keberanian investor untuk membeli tanah dengan harga tinggi
menjadi salah satu penyebab kenaikan harga tanah dan penduduk lokal menjual
tanahnya dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang besar. Semakin
terbatasnya lahan yang tersedia untuk pembangunan menyebabkan tanah-tanah adat
mendapat perhatian dari pemerintah sebagai alternatif untuk penyediaan lahan
pembangunan khususnya yang akan digunakan sebagai tempat pendidikan.
Hukum bagi bangsa
Indonesia merupakan hal yang sangat penting
sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa
8
negara Indonesia adalah negara hukum. 3 Di dalam negara hukum segala
kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan
atas hukum. Semua
orang tanpa kecuali harus tunduk dan taat kepada hukum, hukumlah yang
berkuasa dalam negara itu. 4
Menurut Herma Yulis seperti dikutif oleh H. Achmad Rubale tanah
dalam kehidupan manusia mempunyai arti penting karena berfungsi ganda,
yaitu sebagai social asset dan capital asset. 5 Sebagai social asset tanah
merupakan sarana pengikat kesatuan
sosial di kalangan masyarakat
Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah
merupakan faktor modal dalam pembangunan. Oleh karena itu tanah tumbuh
sebagai benda yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan
objek spekulasi. 6 Pengakuan hukum adat dalam UUPA dapat dicermati sejak
awal, yaitu melalui Konsiderans dinyatakan , bahwa “perlu adanya hukum agraria
nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah”. Lebih lanjut dalam
Pasal 5 UUPA ditemukan
adanya
pernyataan, bahwa “Hukum agraria
yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat”.7 Dalam pandangan
hukum adat menurut
Herman Soesang Obeng disebutkan,
bahwa tanah dan
manusia mempunyai hubungan sedemikian erat, dan dalam jalinan pikiran
(participerend denken), sehingga hubungan antara manusia dan tanah merupakan
suatu hubungan magis religius yang sedikit banyak mengandung unsur kekuatan
3
Undang-Undang 1945. Pasal 1 ayat (3) dalam perubahan Ketiga.
Tarmisi, 2002. Penegakan Hukum atas Pelanggaran Hak Asasi Anak Tesis, Unpad,
Bandung hal.34.
5
Dalam H. Achmad Rubale, 2007. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Cetakan Pertama. Kerja sama Pusderankum dan Bayumedia Malang hal.1.
6
I Made Suwitra, 2009. Eksistensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat Di Bali
Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional , Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang h.7.
7
I Made Suwitra Ibid hal.1.
4
9
gaib (mistik) sebagai suatu perwujudan daripada dialog antara manusia dengan alam
gaib, yaitu roh-roh yang dihargainya.8
Tanah merupakan salah satu faktor
yang sangat penting bagi
kehidupan
manusia, sehingga antara tanah dengan kehidupan manusia sangat erat sekali
hubungannya, atau tanah tidak dapat dilepaskan dengan kehidupan manusia itu
sendiri. Bahkan dapat dikatakan bahwa sampai matipun manusia masih memerlukan
sebidang tanah, dalam hal ini sebagai tempat penguburannya. Jumlah luas tanah
yang dapat dikuasai masing-masing orang adalah terbatas sekali, sedangkan jumlah
manusia yang berhajat terhadap tanah bertambah banyak. Selain bertambah
banyaknya manusia yang memerlukan tanah, seperti untuk perumahan dan untuk
kemajuan dalam perkembangan di bidang ekonomi, sosial budaya dan kemajuan
bidang teknologi yang menghendaki persediaan tanah yang luas seperti untuk
keperluan pertanian atau perkebunan, peternakan, pabrik-pabrik, perkantoran,
tempat hiburan dan jalan untuk kelancaran lalu lintas perhubungan.
Untuk memenuhi kebutuhan di bidang
perumahan dan pangan manusia
memerlukan tanah, semakin lama tanah dirasakan semakin sempit, karena semakin
bertambahnya jumlah manusia, permintaan terhadap tanah semakin meningkat.
Persediaan tanah dengan keperluan manusia akan semakin tidak seimbang. Oleh
karena tidak seimbangnya keadaan seperti di atas, akan menimbulkan permasalahanpermasalahan yang banyak seginya seperti sengketa tentang batas tanah ataupun
sengketa tentang pemilikan tanah yang sering menimbulkan kerawanan-kerawanan
sosial di masyarakat.
8
Herman Soesang Obeng, 1975. “Pertumbuhan Hak Milik Individual Menurut Hukum Adat
dan Menurut UUPA di Jawa Timur”, Majalah Hukum, No. 3 Tahun ke dua, Yayasan Penerbitan dan
Pengembangan Hukum (Law Centre), hal. 51.
10
Peralihan hak atas tanah dapat terjadi melalui beberapa cara, diantaranya adalah
dengan jual beli, tukar guling/ganti rugi, hibah, waris ataupun yang lainnya. Untuk
tanah adat yang dikuasai oleh perseorangan (krama desa) yaitu tanah pekarangan
desa (PKD) dan tanah ayahan desa (AyDs) secara bersama-sama sering disebut
"tanah ayah".9 Untuk tanah ayah ini ikatan adat tetap ada yakni berupa kewajiban
untuk desa ataupun pura. Kewajiban ini sering disebut dengan istilah "ayahan ".
Ayahan inilah yang mengekang atau mengikat tanah ayah tersebut, sehingga
menjadi hak milik terkekang. Adapun tujuan dari pengekangan ini pada hakekatnya
membatasi kebebasan usaha atau kebebasan gerak para anggota Desa Adat secara
perseorangan. Pengekangan ini dilakukan demi kepentingan Desa Adat karena tanah
ayah ini merupakan
Beschikkingssgebied
(wilayah kekuasaan) dari desa
pakraman.10
Berdasarkan Prasasti Bali Kuno, kelompok orang yang beragama Hindu diikat
oleh sima (dresta) disebut "karaman". Wilayah di mana krama berada dan berkuasa
disebut "thani" sehingga untuk orang yang tinggal dalam suatu thani atau wanua disebut
"anak thani ".
Dalam setiap thani terdapat "kahyangan" (pura) sebagai tempat
pemujaan karaman dan sekaligus sebagai "tali pengikat" sebuah karaman. Demi
untuk kepentingan komunitas krama, tanah-tanah yang berada di wilayahnya dibagibagikan kepada anggota krama yang sudah terbentuk "kurn" (keluarga). Lambat laun
krama dan thaninya disebut desa pakraman. Tanah pekarangan yang ditempati
oleh masing-masing anggota krama menjadi tanah pekarangan desa (tanah PKD)
dan tanah-tanah tegalan atau sawah yang menghasilkan disebut tanah ayahan desa
9
Suasthawa Dharmayuda I Md, 1987. Status dan Fungsi Tanah Adat di Bali Setelah
Berlakunya. UUPA. CV Kayu Mas Agungm Denpasar. hal. 136
10
Suasthawa Dharniayuda I Md. 1987. Op. Cit. hal. 117.
11
(AyDs). Baik tanah PKD maupun AyDs adalah merupakan "beschikkings gebied"
(wilayah kekuasaan) dari desa pakraman. Dasar penguasaan ini adalah "hak
ulayat" (hak wilayah) yakni hak-hak dari persekutuan Desa Adat atas tanah yang
didiami.
Berbicara mengenai tanah adat di Bali selain tidak dapat dipisahkan dengan
sejarah tanah adatnya juga tidak bisa dilepaskan dengan masyarakat hukum adat
selaku pemilik dari tanah adat. Masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 18B ayat
(2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang".
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pasal 1
angka 3 mebjelaskan bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang-orang
yang terikat oleh hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
karena persamaan tempat tinggal ataupun berdasarkan atas keturunan.
Ter Haar, mengemukakan bahwa di seluruh kepulauan Indonesia, pada tingkat
rakyat jelata terdapat pergaulan hidup dan golongan-golongan yang bertingkah laku
sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan bathin. Golongan-golongan itu
mempunyai susunan yang tetap dan kekal, dan orang- orang golongan itu masingmasing mengalami kehidupan sebagai hal yang sewajarnya, yang menurut kodrat
alam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan
memungkinkan untuk membubarkan diri. Golongan-golongan manusia tersebut
mempunyai pula pengurus sendiri, mempunyai harta benda milik keduniaan
12
dan milik gaib, golongan-golongan demikianlah yang merupakan persekutuan
hukum.11
Obyek yang sering menjadi sengketa
biasanya yang berhubungan dengan
tanah milik desa adat, dalam hal ini adalah tanah milik desa pakraman. Desa Adat
dengan Hak Ulayat yang dimilikinya mempertahankan semua harta desa pakraman,
sedangkan pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah berdasarkan Pasal 33 UUD
1945, bahwa Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 33 UUD 1945 inilah yang dijadikan landasan hukum bagi pemerintah
untuk menggunakan lahan-lahan adat yang dikuasai oleh Desa Pakraman.
Keterbatasan lahan yang semakin menyempit dan juga harga lahan yang semakin
tinggi menjadi alasan bagi pemerintah untuk menggunakan lahan-lahan adat milik
desa pakraman. Tanah adat atau tanah ulayat di Bali merupakan tanah-tanah yang
berada pada kekuasaan Desa Adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat
yang dikenal dengan tanah desa atau druwe desa. Menurut Made Suasthawa
Dharmayuda, tanah desa atau druwe desa di Bali dapat dibedakan menjadi tanah
desa atau druwe desa dalam artian luas dan dalam artian sempit. 12
Dalam artian yang luas tanah adat ini meliputi tanah-tanah:
1) Tanah Desa meliputi:
a. Tanah pasar, yaitu tanah yang dipergunakan untuk pasar;
b. Tanah lapang,
yaitu tanah yang dipakai untuk lapangan maupun kegiatan
lainnya;
11
Tar Haar, 1874. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K.Ng. Soebekti
Poesponoto, Pradnya Paramita Jakarta.hal.87
12
Suasthawa Dharmayuda I MD. Op. Cit. hal. 40
13
c. Tanah kuburan/setra, yaitu tanah yang dipergunakan untuk kuburan
atau menguburkan atau membakar mayat;
d.
Tanah bukti, yaitu tanah-tanah pertanian (sawah, ladang) yang diberikan
pada perangkat pejabat atau pengurus desa. Tanah bukti ini mirip
dengan tanah bengkok di Jawa.
2) Tanah Laba Pura adalah tanah-tanah yang dulunya milik desa (dikuasai
oleh desa) yang khusus dipergunakan untuk kepentingan pura. Tanah Laba
Pura atau Pelaba Pura ini ada dua macam yaitu:
a. Tanah yang khusus untuk tempat pembangunan pura, dan
b. Tanah yang diperuntukkan guna pembiayaan keperluan Pura, misalnya
untuk keperluan biaya rutin dan biaya perbaikan pura.
3) Tanah Pekarangan Desa (PKD) adalah merupakan tanah yang dikuasai
oleh desa yang diberikan kepada warga desa (krama desa) untuk mendirikan
perumahan yang lazimnya dengan ukuran luas tertentu yang hampir sama
bagi setiap keluarga. Kewajiban yang melekat lebih dikenal dengan "ayahan
" pada krama desa yang menempati tanah tersebut adalah adanya beban
berupa tenaga maupun materi yang diwajibkan oleh desa pakraman.
4) Tanah Ayahan Desa (AyDs) adalah merupakan tanah-tanah yang dikuasai
oleh desa yang penggarapannya diserahkan kepada masing-masing krama
desa dengan hak untuk menikmati dengan kewajiban memberikan
"ayahan" berupa tenaga maupun materi kepada desa pakraman.
Dalam artian yang sempit adalah terbatas pada tanah-tanah desa yang dikuasai
langsung oleh Desa Adat sebagaimana ditentukan dalam angka 1 di atas, yaitu
tanah-tanah yang terdiri atas tanah pasar, tanah lapang, tanah setra, dan tanah
14
bukti. Tanah pasar yang dimaksud ini adalah tanah-tanah milik Desa Adat yang
langsung dikuasai oleh dan pemanfaatannya dipergunakan untuk kepentingan
perekonomian desa yaitu berupa pasar desa. Pasar-pasar desa berupa pasar
tradisional dapat dijumpai di beberapa desa di Bali yang pengelolaannya
dilakukan oleh Desa Adat sebagai masyarakat hukum adat yang bersifat otonum.
Istilah tanah setra adalah tanah yang digunakan untuk kegiatan upacara pitra
yadnya baik berupa upacara kematian seperti mendem sawa (menguburkan mayat),
upecara pengabenan atau pelebon (pembakaran mayat, atau kremasi). Biasanya
setiap Desa Adat memiliki setidaknya satu atau lebih areal setra, yang
keberadaannya dekat dengan Pura Dalem/Kahayangan. Dalam setiap areal setra,
selalu dilengkapi dengan Pura Mrajepati atau Pengulun Setra.
Tanah lapang adalah tanah milik Desa Adat yang dipergunakan untuk baik
kegiatan yang berhubungan dengan adat dan agama sebagai kegiatan Desa Adat
maupun kegiatan lainnya seperti kegiatan olah raga, upacara nasional oleh anakanak sekolah atau kegiatan lainnya. Tanah Bukti, adalah tanah yang diberikan
kepada pejabat desa tertentu, sebagai imbalan jabatannya sehingga tanah bukti ini
juga disebut dengan tanah jabatan. Iman Sudiyat mengemukakan bahwa tanah
jabatan itu di wilayah Batak disebut dengan saba na bolak, di Sulawesi Selatan
disebut galung arajang, di Ambon disebut dengan dusun dati raja, di Bali disebut
dengan bukti, dan di Jawa disebut dengan tanah bengkok/lungguh.13
Di samping pengelompokkan dalam arti luas dan sempit, tanah adat di Bali
juga dapat dikelompokkan berdasarkan atas ukuran siapa yang menguasai tanah
adat tersebut. Sehingga akan dapat ditemukan:
13
Iman Sudiyat, 1978. Hukum Adat , Seketsa Azas, Liberty, hal.7
15
1) Tanah adat yang dikuasai oleh Desa Adat yaitu:
a. Tanah Druwe Desa,
b. Tanah Laba Pura.
2)
Tanah adat yang dikuasai oleh perseorangan (masing-masing krama desa
pakraman) yaitu:
a. Tanah Pekarangan Desa,
b. Tanah Ayahan Desa. 14
Untuk tanah adat yang dikuasai oleh perseorangan (krama desa) yaitu tanah
pekarangan desa (PKD) dan tanah ayahan desa (AyDs) secara bersama-sama
sering disebut "tanah ayah" saja.15 Untuk tanah ayah ini ikatan adat tetap ada yakni
berupa kewajiban untuk desa ataupun pura. Kewajiban ini sering disebut dengan istilah
"ayahan ". Ayahan inilah yang mengekang atau mengikat tanah ayah tersebut,
sehingga menjadi hak milik terkekang. Adapun tujuan dari pengekangan ini pada
hakekatnya membatasi kebebasan usaha atau kebebasan gerak para anggota Desa
Adat secara perseorangan. Pengekangan ini dilakukan demi kepentingan Desa Adat
karena tanah ayah ini merupakan Beschikkinggebied (wilayah kekuasaan) dari desa
pakraman.16
Tetapi pada kenyataannya memang tidak jarang dalam usaha untuk memperoleh
tanah yang diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan baik oleh pemerintah
ataupun para pengusaha swasta kurang memperhatikan tata cara dan persyaratan
yang diatur dalam hukum masyarakat hukum adat yang bersangkutan, maupun asas-
14
Suasthawa Dharmayuda I Md, 1987,op. cit, hal. 42
Suasthawa Dharmayuda, I Md, 1980, op. cit, hal.136
16
Suasthawa Dharniayuda , I Md, 1987. op. Cit, hal. 117.
15
16
asas dan ketentuan-ketentuan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Mengenai kewajiban mendengar pendapat masyarakat
hukum adat yang
bersangkutan, terdapat pengaturannya antara lain dalam KEPPRES Nomor 55
Tahun 1993, Pasal 1 dan 9 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum (harus) dilakukan melalui musyawarah.
Musyawarah adalah proses atau kegiatan saling mendengar, dengan sikap saling
menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara
pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.17
Sengketa dalam penggunaan tanah yang terjadi di Bali umumnya karena
persepsi masyarakat terhadap tanah adat mempunyai kedudukan sangat penting
bagi kehidupan manusia dan bangsa Indonesia pada umumnya. Dalam kehidupan
manusia, keberadaan tanah tidak akan terlepas dari segala tindak tanduk manusia itu
sendiri, sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan
melanjutkan kehidupannya.
Di Bali, masyarakat desa adat tidak hanya masih ada
tetapi menjadi jantung kehidupan sosial masyarakat yang turun-temurun memiliki
harta kekayaan berupa tanah. Bagi masyarakat adat Bali, persoalan tanah adat
menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan sering kali menimbulkan sengketa
adat. Sengketa tersebut menyangkut tanah adat, baik antara krama (warga) desa adat
dan desa adat lain, maupun antar desa adat dan institusi pemerintah untuk
kepentingan pembangunan. baik itu peruntukkannya berdalih pariwisata untuk
17
KEPPRES Nomor 55 Tahun 1993, Pasal 1 dan 9 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum.
17
kepentingan umum maupun sebagai tempat pendidikan. Dalam banyak kasus yang
terjadi, pemerintah seringkali tidak meminta pertimbangan dan persetujuan desa
pakraman, untuk mengambil alih dan fungsi tanah-tanah desa adat
dalam
pembangunan pariwisata bali, sehingga warga desa adat merasa dirugikan oleh
pemerintah yang selalu berdalih demi kepentingan umum.
Oleh karena itu, tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat,
sehingga sering terjadi sengketa di antara sesamanya dalam satu keluarga terutama
yang menyangkut tanah, sengketa juga terjadi antara masyarakat desa dengan
pemerintah
setempat. Setiap waktu masih saja dijumpai meletusnya
sengketa
dalam kehidupan masyarakat Bali, yang lebih dikenal dengan istilah biota atau
wicara dalam berbagai menifestasinya, seperti sengketa perebutan batas wilayah
desa pakraman, sengketa penggunaan kuburan (setra), masalah kasta, bentrokan
fisik atau tindak kekerasan antar warga dan lain sebagainya.18
Istilah
sengketa (dispute) dijumpai dalam
kepustakaan hukum,
sehingga
dalam penelitian ini penulis menggunakan istilah sengketa. Timbulnya sengketa adat
dalam kehidupan masyarakat di
berbagai tempat dan waktu merupakan suatu
petunjuk bahwa suasana pergaulan hidup antara sesama anggota masyarakat adat
Bali tidak berjalan dengan harmonis. Untuk itulah, diperlukan kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan antara manusia dengan tanah. Secara hakiki, makna dan posisi
strategik tanah dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya dalam artian fisik saja
tetapi juga menyangkut aspek sosial, politik dan budaya dan menyangkut juga dari
aspek hukum. Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan
mereka, tanah tempat mereka dimakamkan, dan menjadi tempat kediaman orang18
I Wayan Arimbawa 2012, op. cit, hal 2.
18
orang halus dan arwah para leluhurnya.
Tanah adat merupakan milik dari
masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dahulu, tanah telah memegang
peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa, serta pendukung suatu
Negara yang coraknya agraris berdominasi.
Persekutuan masyarakat hukum adat berhak atas tanah adat dan mempunyai
hak-hak tertentu atas tanah adat. Pengakuan pemerintah akan keberadaan dari
masyarakat hukum adat diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5
Tahun 1960 Pasal 3 yaitu :
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi.19
Berdasarkan atas berlakunya hak tersebut ke luar, maka persekutuan masyarakat
hukum adat itu sebagai kesatuan yang berkuasa, memungut hasil dan tanah itu
dengan membatasi adanya orang-orang lain yang melakukan hal yang serupa itu.
Sebagai suatu kesatuan masyarakat, mereka bertanggung jawab terhadap orangorang dari masyarakat luar itu atas perbuatan-perbuatan pelanggaran di wilayah
tanah masyarakat itu.
I Gusti Ngurah Tara Wiguna, dalam bukunya Hak-hak atas tanah pada masa
Bali Kuna Abad X-XI Masehi mengatakan bahwa:
Tanah dalam kehidupan manusia memiliki berbagai nilai antara lain : nilai
politis, nilai sosial, nilai ekonomis dan nilai religi. Tanah yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan sanksi dan kekuasaan serta pengakuan
dalam kehidupan masyarakat, maka tanah itu akan mempunyai nilai politis.
Tanah yang berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari terutama
yang berkaitan dengan pangan, sandang, papan dan kegiatan-kegiatan sosial
lainnya, maka tanah akan mempunyai nilai sosial ekonomi. Tanah yang dipakai
19
Boedi Harsono, 1999. Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan hal 62
19
untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat psikologis atau berkaitan dengan
'kehidupan keagamaan atau religious magis, maka tanah akan memiliki nilai
simbolis dan religius.”20
Selanjutnya, aspek-aspek mengenai tanah diatur dalam hukum adat termasuk di
dalamnya mengenai tanah-tanah adat yang dikuasai dan dikelola sepenuhnya oleh
desa adat setempat. Jenis-jenis hak atas tanah telah diatur dalam Undang-Undang
Pokok Agraria seperti ; hak milik, hak pakai, hak sewa, hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak-hak lain yang telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang
Pokok Agraria.
Tanah adat dapat dikategorikan berdasarkan status dan fungsi tanah. seperti yang
dikemukakan oleh I Gusti Ngurah Tara Wiguna, sebagai berikut:
1. Tanah pekarangan desa, yaitu tanah yang diperuntukkan untuk membangun
rumah tempat tinggal bagi para warga desa.
2. Tanah ayahan desa, berupa tanah pertanian (tanah basah atau kering) yang
dibagikan kepada anggota / warga desa.
3. Tanah laba pura juga berupa tanah pertanian yang terikat oleh satu pura atau lebih
dan hasilnya dipergunakan untuk pemeliharaan pura.
4. Tanah pecatu dan tanah bukti, yaitu tanah pertanian yang diberikan oleh raja
sebagai imbalan atas jasa seseorang.
5. Tanah druwe desa, tanah yang dipergunakan untuk kepentingan desa secara
bersama-sama, seperti kuburan, tanah lapang, tanah pasar, balai desa, dan
sebagainya.21
Dewasa ini, banyak terjadi pergeseran hak atas tanah, khususnya menyangkut
20
I Gusti Ngurah Tara Wiguna, 2009. Hak-hak Atas Tanah pada Masa Bali Kuna Abad X-XI
Masehi , Udayana University Press, Denpasar, hal.10.
21
I Gusti Ngurah Tara Wiguna, op. cit, hal. 16.
20
tanah desa yang dikuasai dan dikelola oleh desa pakraman. Hal seperti ini sering
menimbulkan sengketa di antara warga desa pakraman, bahkan diantaranya konflik
yang terjadi antara desa adat dengan pemerintah daerah (Pemda). Sengketa ini
timbul akibat tanah adat yang digunakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) .
Ada beberapa permasalahan yang timbul di masyarakat yang menyebabkan
terjadinya sengketa.
Berawal dari penggunaan lahan atau tanah adat oleh
pemerintah daerah, yang digunakan sebagai fasilitas umum ataupun sebagai tempat
pendidikan. Seperti kasus atau sengketa yang terjadi di Dsa Pakraman Bale Agung
Tenaon, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Dalam kasus yang diteliti ini,
menyangkut peralihan tanah adat yang digunakan oleh Pemda sebagai tempat
pendidikan.
Dalam hal peralihan tanah adat dikategorikan sebagai kasus adat, yaitu kasus
sengketa yang menjadi kompetensi lembaga-lembaga adat dalam penyelesaiannya
dengan
pemerintah daerah. Soerjono Soekanto, memberikan batasan tentang
sengketa sebagai adanya ketidakserasian
antara pribadi-pribadi atau kelompok-
kelompok yang mengadakan hubungan, oleh karena hak salah satu pihak terganggu
atau dilanggar.22
Lebih lanjut ditegaskan oleh Koentjaraninggrat suatu sengketa, baru merupakan
sengketa hukum adat manakala sudah ada tindakan sosial yang bersifat reaktif atas
pelanggaran yang dilakukan. Kasus adat sebagai sengketa yang diatur menurut
hukum adat, dalam kenyataannya dapat menyempit dan melebar, karena kasusnya
sudah tidak murni lagi. Itulah sebabnya, setiap kasus adat yang tergolong berat,
selalu ditangani secara "gotong royong" antara perangkat adat dengan perangkat
22
Soerjono Soekanto,
Jakarta.hal. 145
1999. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum
Rajagrafindo Parsada,
21
kedinasan. Bagaimanapun, hukum adat sebagai hukum lokal perlu mendapat
dukungan dan pengakuan dari pemerintah untuk menambah kekuatan berlakunya
hukum adat. Sengketa mengandung spectrum pengertian yang sangat luas, mulai
dari konflik kecil antara perorangan, konflik antar keluarga, sampai dengan konflik
antar kampung, dan bahkan sampai dengan sengketa massal yang melibatkan
beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primodial.
Konflik horizontal yang dimaksudkan adalah konflik antar kelompok masyarakat
yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti idiologi politik, ekonomi dan faktor
primordial.
Sedangkan sengketa vertikal adalah konflik antara pemerintah dengan warga
masyarakat. Pada umumnya masyarakat Desa Adat mempunyai harapan untuk
menikmati kedamaian dan bukan komunitas yang lain. Jika terjadi sengketa adat,
maka masyarakat pada umumnya menjadi terperangah dan memberikan perhatian
yang jauh lebih besar atas konflik tersebut. Sementara jika terjadi sengketa yang
lain, tetapi tidak menyangkut adat, maka masyarakat menganggap sengketa yang
terjadi sebagai sesuatu yang biasa saja. Kasus atau sengketa adat yang terjadi di
Bali, karena adanya pelanggaran atas norma adat Bali dan norma agama Hindu,
sehingga bisa mengakibatkan terganggunya keseimbangan alam nyata dan tidak
nyata atau alam gaib yang dalam agama Hindu disebut dengan istilah Sekala
Niskala.
Sengketa adalah suatu keadaan di mana seseorang atau sekelompok orang
merasa diperlakukan tidak adil. Dalam hal terjadinya sengketa adat, cukup banyak
yang tidak bisa diatasi oleh hukum. kendatipun hukum itu didukung oleh
kewenangan, fasilitas. dan pembiayaan. Hukum sebagai beban bagi masyarakat
22
lokal akan sangat terasa apabila masyarakat tersebut belum banyak dijamah oleh
perubahan sosial yang besar. Oleh sebab itu perlu kearifan dari penegak hukum
dalam mengatasi sengketa yang terjadi terutama sekali jika itu menyangkut masalah
adat, yang berarti juga akan secara tidak langsung melibatkan kelompok yang lebih
besar lagi, yaitu Desa Pakraman.
Terjadinya sengketa adat dalam kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di
Bali akibat adanya ketidak jelasan hak atas tanah adat dengan Pemerintah Daerah.
Desa adat merupakan desa yang mempunyai kewenangan untuk mengurus rumah
tangganya sendiri, karena desa adat memiliki struktur kepengurusan yang disebut
prajuru Desa Adat yang berfungsi untuk membantu tercapainya kepentingan para
anggotanya, hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 7 BAB IV, Peraturan
Daerah Provinsi Bali, tentang Desa Adat , yaitu :
1. Desa Adat dipimpin oleh Prajuru Adat
2. Prajuru Desa Adat dipilih atau ditetapkan oleh krama Desa Adat menurut aturan
yang ditetapkan dalam Awig-Awig desa Pakraman.
3. Struktur dan susunan Prajuru Desa Adat diatur dalam Awig-Awig Desa
Pakraman.
Jika ditinjau dari Pasal 7 tersebut, maka dapat kita lihat dengan jelas bahwa
Desa Adat termasuk dalam kualifikasi masyarakat hukum adat yang mempunyai
fungsi sebagai hakim perdamaian desa. Jika terjadi sesuatu di lingkungan desa adat
itu sendiri. Penanganan konflik atau sengketa adat di desa adat diselesaikan oleh
hakim desa (prajuru adat), mengutamakan perdamaian, seperti dikemukakan oleh
Soerjono Soekanto, ada tiga jenis pola penanganan sengketa yang diterapkan pada
23
masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia.23 Pertama, pola Negosiasi yaitu
perundingan antara pihak-pihak yang berselisih dengan menggunakan cara-cara
yang mereka anggap baik. Kedua, pola Mediasi yaitu kepala adat bertindak sebagai
mediator atau penengah bagi pihak-pihak yang bersengketa. Ketiga, Ajudikasi yakni
kepala adat bertindak sebagai hukum yang akan memberikan keputusan terhadap
perkara yang diajukan.
Untuk kasus-kasus adat (yang sering terjadi akhir-akhir ini) pola negosiasi
masih relevan untuk digunakan. Bagi kasus-kasus yang belum menyentuh
ketentraman desa, dapat digunakan cara-cara negosiasi, dalam hal ini kepala adat
hadir sebagai mediator, yang tidak memberikan keputusan, tetapi hanya bertindak
untuk mengarahkan, memberi pertimbangan dan ikut memberikan jalan keluar, yang
nantinya bisa menguntungkan dan mendamaikan semua pihak yang bertikai.
Secara umum penyelesaian sengketa digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu
melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lebih
dikenal dengan norma (Alternative Dispute Resolution). ADR merupakan
penyelesaian sengketa yang lebih diarahkan pada suatu kesepakatan atau solusi
terhadap sengketa.
Seperti yang dikemukakan oleh T.O.Ihromi Nader Todd, ada beberapa cara
yang digunakan oleh masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya, yaitu sebagai
berikut :
1) Membiarkan saja (lumping it). Pihak yang merasa diperlakukan tidak adil gagal
dalam upaya untuk menekankan tuntutannya. Dia mengambil keputusan untuk
mengabaikan saja masalah atau isu yang menimbulkan tuntutannya dan dia
23
Soerjono Soekanto, 1999, op. cip, hal 176
24
tidak melanjutkan hubungan dengan pihak yang dirasakannya merugikan. lni
dilakukan karena berbagai kemungkinan seperti kurangnya informasi mengenai
bagaimana proses mengajukan keluhan ke pengadilan, kurangnya akses ke
lembaga peradilan atau sengaja tidak diproses ke pengadilan, karena
diperkirakan bahwa kerugiannya lebih besar dari keuntungannya, dalam arti
materiil maupun kejiwaan.
2) Mengelak (avoidance). Pihak yang merasa dirugikan memilih untuk mengurangi
hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya atau sama sekali
menghentikan hubungan tersebut. Berbeda dengan pemecahan pertama,
hubungan-hubungan berlangsung terus, isunya saja yang dianggap selesai, dalam
hal bentuk yang kedua ini pihak yang dirugikan mengelakkannya.
3) Paksaan (coercion). Dalam hal ini satu pihak memaksakan pemecahan masalah
kepada pihak lain. Pemecahan masalah lain bersifat unilateral dilakukan dengan
pemaksaan atau ancaman untuk menggunakan kekerasan dari aatu pihak kepada
pihak lainnya. Penggunaan cara ini umumnya mengurangi kemungkinan
penyelesaian secara damai.
4) Perundingan (negotiation). Dua pihak yang berhadapan dalam penyelesaian
masalah ini merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan dari masalah yang
mereka hadapi dilakukan mereka berdua, mereka sepakat, tanpa adanya pihak
ketiga yang mencampurinya. Kedua pihak berupaya untuk saling meyakinkan.
Jadi mereka membuat peraturan mereka sendiri dan tidak memecahkannya
dengan bertitik tolak dari aturan-aturan yang ada.
5) Mediasi (mediation). Yaitu pemecahan masalah melalui perantara, dalam cara ini
ada pihak ketiga yang membantu kedua pihak yang beselisih pendapat untuk
25
menemukan kesepakatan. Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua pihak
yang bersengketa atau ditunjukkan oleh pihak yang berwenang untuk itu.
6) Arbitrase. Dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk meminta perantara
pihak ketiga, arbitrator, dan sejak semula telah setuju bahwa mereka akan
menerima keputusan dari arbitrator tersebut.
7) Peradilan (adjudication). Pihak ketiga mempunyai wewenang untuk mencampuri
pemecahan masalah, lepas dan keinginan para pihak yang bersengketa. Pihak
ketiga ini adalah pihak yang berhak membuat keputusan dan menegakkan
keputusan itu. Dalam beberapa kasus sengketa adat, terutama dalam sengketa
antar desa pakraman, penyelesaian sengketa adat melalui mekanisme hukum adat
ternyata belum mampu menyelesaikan sengketa secara tuntas, bahkan ada pula
yang menemui jalan buntu serta menimbulkan sengketa baru yang semakin tajam
dan terbuka,bahkan tidak jarang
menimbulkan bentrok fisik
dan tindak
kekerasan. Akibatnya proses penyelesaian sengketa tanah adat menjadi berlarutlarut.
Penulis menemukan kesenjangan (gap) antara harapan untuk menyelesaikan
sengketa tanah adat melalui musyawarah/paruman desa sebagai mekanisme hukum
adat (das solen) akan mengeluarkan biaya yang sedikit dibandingkan dengan
menyelesaikan sengketa tanah adat melalui pengadilan. Salah satu sengketa yang
terjadi dalam masyarakat di desa Pakraman Bale Agung Tenaon, Desa Alasangker
Kecamatan Buleleng Kabupaten
dijadikan tempat
belakangi
Buleleng
adalah sengketa tanah adat yang
pendidikan oleh Pemerintah Daerah.
Hal ini yang melatar
penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini.
Atas pertimbangan
tersebut maka penulis angkat sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul
26
“Penyelesaian Sengketa
Tanah Adat Yang Dijadikan Tempat Pendidikan Oleh
Pemerintah Daerah (Studi kasus di Desa Pakraman Bale Agung Tenaon, Desa
Alasangker Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1) Bagaimanakah penyelesaian sengketa tanah adat yang dijadikan tempat
pendidikan oleh Pemerintah Daerah?.
2) Apa upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa tanah adat
yang dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.Tujuan Umum
Untuk meneliti mekanisme hukum adat dalam menyelesaikan sengketa tanah
adat yang dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah, sehingga dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat adat dan penegak hukum,
dalam mengatasi permasalahan yang timbul bagi kepentingan masyarakat di Bali.
1.3.2.Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui dan menganalisis penyelesaian sengketa
tanah adat yang
dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah.
2) Untuk mengetahui dan menganalisis upaya-upaya
yang
dilakukan untuk
menyelesaikan sengketa tanah adat yang dijadikan tempat pendidikan oleh
Pemerintah Daerah.
27
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis bagi
pengembangan ilmu hukum dan dapat digunakan sebagai bahan refrensi oleh para
pihak yang melakukan penelitian dalam bidang sengketa tanah adat.
1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini terdiri dari dua kepentingan yaitu:
1) Bagi kalangan akademis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber
informasi ilmiah dalam kaitannya dengan penelitian penyelesaian sengketa
tanah adat yang dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah.
2) Bagi masyarakat desa adat, hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai
informasi untuk mengetahui penyelesaian sengketa tanah adat yang dijadikan
tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah.
1.5 . Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran
1.5.1. Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengindentifikasi teori hukum umum
dan teori hukum khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum dan norma-norma
hukum yang akan dipakai sebagai landasan membahas permasalahan penelitian.
Landasan teoritis terdiri atas pemikiran-pemikiran teoritis yaitu pengertian tentang
hukum, konsep-konsep hukum dan teori-teori hukum yang digunakan dalam setiap
penelitian, disebabkan terdapat hubungan yang erat antara teori dengan kegiatan
yang akan dilakukan dalam penelitian.
Teori hukum yang digunakan berkaitan dengan sengketa tanah adat yang
28
dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah adalah :
1.Teori konflik/Sengketa.
Teori konflik menurut Ralf Dahendorf mengatakan bahwa ciri-ciri konflik
dalam suatu organisasi; sosial adalah sebagai berikut :
a. Sistem sosial selalu berada dalam keadaan konflik
b. Konflik terjadi karena adanya kepentingan yang bertentangan yang tidak dapat
dicegah dalam struktur masyarakat sosial.
c. Kepentingan-kepentingan tersebut berpolarisasi dalam dua kelompok yang saling
bertentangan.
d. Kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan mencerminkan deferensiasi
dalam dua kelompok yang saling bertentangan diantara kelompok-kelompok yang
berkuasa dan dikuasai.
e. Penjelasan suatu sengketa akan menimbulkan berbagai kepentingan yang saling
bertentangan yang dalam kondisi tertentu menimbulkan konflik.
f. Perubahan sosial merupakan akibat konflik yang tidak dapat dicegah pada
berbagai tipe pola yang telah melembaga.24 Konflik dalam kehidupan sosial
masyarakat, sering timbul karena adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda
antara masing-masing kelompok, yang sama-sama mempertahankan prinsipprinsip mereka.
2. Teori Badan Hukum
a. Teori Fiksi
Teori ini ini dipelopori oleh sarjana Jerman Friedrich Carl von Savigny (1779-
24
Ralf Dahendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri, Jakarta : CV. Rajawali,
1986) hal. 197.
29
1861) tokoh utama aliran sejarah pada masa permulaan abad ke 19. Menurut teori
fiksi ini,hanya manusia sajalah yang mempunyai kehendak. Badan hukum adalah
adalah suatu abtraksi dan bukan merupakan suatu hal yang kongkrit. Karna
merupakan suatu abtraksi maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan
hukum, sebab hukum memberikan hak-hak kepada yang bersangkutan suatu
kekuasaan. Badan hukum itu semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau Negara.
Badan hukum itu fiksi, yaitu sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang yang
menghidupkannya dalam bayangan untuk menerangkan sesuatu hal.Dengan kata
lain sebenarnya menurut alam,manusia selalu merupakan subyek hukum,tetapi orang
yang menciptakan dalam bayangannya, dan badan hukum diperhitungkan sama
dengan manusia. Orang bersikap seolah-olah ada subyek hukum yang lain,tetapi
wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan,sehingga yang
melakukan manusia sebagai wakil-wakilnya.25
b. Teori Orgaan
Teori ini dikemukakan oleh sarjana Jerman yaitu Otto von Gierke(1841-1921)
Menurut Otto von Gierke, badan hukum itu seperti manusia yang menjadi
penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum. Badan hukum itu menjadi
suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ
–organ badan tersebut misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti
manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau
dengan perantaraan tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apapun yang
mereka putuskan adalah kehendak dari badan hukum. Menurut teori organ
ini,badan hukum itu bukanlah suatu hal yang abstrak,tetapi dia benar-benar ada.
25
Chidir Ali, 1999. Badan Hukum, Artikel Alumni Bandung , dimuat pada http/repository
.usu. ac.idi
30
Menurut teori ini, badan hukum bukanlah suatu kekayaan yang tidak
bersubjek,tetapi badan hukum itu merupakan suatu organisasi yang riil dan yang
hidup seperti manusia biasa.Fungsi badan hukum disamakan dengan fungsi
manusia. Jadi badan hukum itu tidak berbeda dengan manusia. Jadi dari sini dapat
kita simpulkan bahwa tiap-tiap perkumpulan/perhimpunan orang,adalah badan
hukum 26
Jika dilihat dari definisi teori Orgaan ini,maka desa adat atau desa
pakraman,bisa disebut sebagai Badan Hukum, karena desa adat merupakan suatu
organisasi yang riil dan yang hidup serta bekerja seperti manusia biasa. Lembaga
Desa adatnya merupakan Badan Hukum,sedangkan Bendesa dan Kelian Desanya
serta anggota Krama Desanya bertindak sebagai organ-organ dari Desa Adat
tersebut. Dengan demikian yang dimaksud dengan teori Orgaan ini adalah Badan
hukum itu riil adanya,yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya melalui
perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut.Apapun yang diputuskan,itu
adalah kehendak dari Badan Hukum tersebut. Jadi menurut teori ini,tiap-tiap
perkumpulan atau perhimpunan orang,adalah Badan Hukum.
c. Teori Kekayaan Bersama
Teori kekayaan bersama ini dikemukakan oleh seorang sarjana Jerman yaitu
Rudolf von Jhering, menurutnya teori kekayaan bersama itu mengangggap badan
hukum itu sebagai kumpulan manusia. Kepentingan badan hukum adalah
kepentingan seluruh anggotanya. Menurut teori ini badan hukum itu bukanlah
abstraksi dan bukan organisma. Pada hakikatnya,hak dan kewajiban badan hukum
adalah tanggung jawab bersama-sama. Harta kekayaan badan hukum itu adalah
26
Chidir Ali, op. cip,
31
milik bersama seluruh anggota. Para anggota yang berhimpun merupakan suatu
kesatuan yang membentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum. Oleh karena
itu,badan hukum hanyalah suatu kontruksi yuridis belaka, dan pada hakikatnya
badan hukum itu merupakan sesuatu yang abstrak.27
Desa adat atau desa pakraman ,jika dikaitkan dengan teori kekayaan bersama
ini,maka bisa digolongkan ke dalam Badan Hukum,karena desa adat merupakan
kumpulan orang-orang yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama, dalam
hal mengelola tanah adat yang ada di wilayah hukum adat mereka dan para
anggota krama yang terhimpun di dalam desa adat tersebut merupakan suatu
kesatuan, dan kepentingan desa adat merupakan kepentingan seluruh anggota krama
desa adat. Dalam hal sengketa yang terjadi,di mana masyarakat desa Alasangker
khususnya Desa Pakraman Bale Agung Tenaon, menuntut adanya kompensasi dari
pemerintah, atas tanah adat mereka yang digunakan sebagai tempat pendidikan
maka dapat dikatakan bahwa tuntutan tersebut merupakan kepentingan dari seluruh
warga desa Alasangker untuk menjaga harta kekayaan mereka yang ada dalam ruang
lingkup wilayah adat mereka.
3. Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara
normatif dan bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan multi tafsir (keragu-raguan) dan logis
dalam artian, ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak
berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari
27
Chidir Ali, op. cip,
32
ketidakpastian aturan, dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi
norma.
Thomas Hobbes mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia
lainnya (Homo Hominilipus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang
merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk
menghindari jatuhnya korban. Konskuensi dari pandangan ini adalah bahwa
perilaku manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang
dibayangkan dalam pikiran pembuat aturan.28
Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan suatu kepastian
tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa
kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum
secara benar-benar. Kepastian hukum menjamin keadilan bagi setiap insan dan
anggota masyarakat dengan masyarakat lain tanpa membedakan dari mana dia
berasal.
Dari teori-teori tersebut di atas dapat disimpulkan, desa adat memenuhi syarat
sebagai badan hukum dan teori yang dikemukakan Molenggraaf tentang teori
milik kolektif memenuhi unsur-unsur desa adat sebagai badan hukum.
Harta
kekayaan desa adat dapat berupa tanah disebut tanah adat atau tanah desa. Tanah
desa ini terdiri dari :
a. Tanah desa dalam arti sempit, yang diistilahkan dengan druwe desa atau tanah
druwe.
b. Tanah Pelaba Pura.
c. Tanah Pekarangan Desa (PKD).
28
Thomas Hobbes, New York, Evanston, San Fransisco London, https . // wikipedia.0rg.wiki.
33
d. Tanah ayahan Desa (AyDs).29
Tanah desa ini adalah dalam kekuasaan desa adat dengan hak mengatur,
memelihara dan menjaga agar tetap utuh. Berkaitan dengan kekuasaan ini Assip K.
Flechtim memakai istilah kekuasaan sosial adalah keseluruhan dari kemampuan,
hubungan-hubungan dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain
untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemegang kekuasaan (social power is the
sum total of all those capacities, relationship and processes by which compliance of
others is secured for ends determined by the power holder).30
Inti dari pengertian kekuasaan di atas adalah
adanya kemampuan untuk
mengendalikan, mengawasi tingkah laku orang lain baik secara langsung maupun
dengan segala alat yang tersedia. Apabila dikaitkan dengan desa adat terdapat
kekuasaan pada prajuru desa dengan awig-awig desa untuk mengatur hubungan antar
krama desa serta mempertahankan hak-hak yang dimiliki terutama terhadap tanah
desa. Tanah desa ini adalah dalam kekuasaan desa adat dengan hak mengatur,
memelihara dan menjaga agar tetap utuh. Berkaitan dengan kekuasaan ini Assip K.
Flechtim memakai istilah kekuasaan sosial adalah keseluruhan dari kemampuan,
hubungan-hubungan dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain
untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemegang kekuasaan (social power is the
sum total of all those capacities, relationship and processes by which compliance of
others is secured for ends determined by the power holder).
Sedang Mac Iver merumuskan kekuasaan sebagai " the capacity to control the
behavior of others either directly by fiat or indirectly by the manipulation of
29
Kantor Wilayah BPN Prop.Bali, Problematika Pemberian Strata/Denis Hak Atas Tanah
Masyarakat Adat Dalam Desa Adat di Bali, Makalah Seminar, tanggal 18 Juni 2004, hal.2.
30
Tan Thong Kie, 2007. Studi Notariat Serba-Serbi Prantek Notaris, PT Ichtiar, Jakarta.
34
available means ", yang artinya kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku
orang lain baik secara langsung dengan memberi perintah, maupun secara tidak
langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia.31
1.5.2. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan kerangka berpikir
sebagai berikut:
Gambar
KERANGKA PEMIKIRAN
LATAR BELAKANG
MASALAH
*Tanah mempuarti yang sangat
penting bagi kehidupan manusia.
*Pertambahan penduduk tidak sebanding dengan luas
lahan yang ada.
*Terbatasnya lah-
an untuk pembangunan menyebabkan lahan/tanah adat menjadi
perhatian Pemerintah
RUMUSAN
MASALAH
LANDASAN
TEORI
1.Bagaimanakah
penyelesaian
sengketa tanah
adat yang dijadikan
tempat pendidikan
oleh Pemerintah
Daerah?
TEORI KONFLIK
2.Apa upaya-upaya
yang dilakukan
untuk
menyelesaikan
sengketa tanah
adat yang dijadikan
tempat pendidikan
oleh Pemerintah
Daerah?
RALF DAHENDROF
TEORI
BADAN HUKUM:
-Teori Fiksi
-Teori Orgaan
-Teori Kekayaan
Bersama
TEORI KEPASTIAN
HUKUM
THOMAS HOBBES
METODE
PENELITIAN
1.Jenis Penelitian:
Empiris
2.Lokasi :
Desa Pakraman Bale
Agung Tenaon
3. Jenis Data:
Primer dan
Sekunder
4.Sumber Data;
Observasi,
Wawancara
5. Pengumpulan Data :
Lapangan, Kepustakaan
6.Teknik Pengolahan
Data;
Kualitatif Analisis Data;
Deskriptif
Penyajian Data; Analisis
Deskriptif
KESIMPULAN
SARAN
1.Penyelesaian sengketa tanah adat yang
1.Kepada masyarakat adat jika terjadi
terjadi di Desa Bale Agung Tenaon
sengketa diharapkan menyelesaikan
diselesaikan melalui Paruman Desa Adat
sengketa adat dengan menggunakan
dengan melibatkan DPRD sebagai mediator
mekanisme hukum adat yang berlaku dan
bagi kedua belah pihak yang bersengketa .
Peraturan-peraturan yang ada.
31
2.Penyelesaian
sengketa
dengan
cara
2.Sebaiknya
Pemda
mensosialisasikann
Flechteim Assip,K, 1952, Fundamentals of Political
Science,
New York
: Ronald, Press Co,UU
hal 16
Mediasi.
yang mengatur tentang tanah adat.
35
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian aspek hukum empiris (yuridis empiris)
untuk menjawab permasalahan mengenai sengketa dalam penggunaan tanah adat
untuk pendidikan oleh Pemerintah Daerah di Desa Pakraman Bale Agung Tenaon,
Alasangker Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng,dengan metode purposive
sampling,yaitu dengan sengaja memilih dan menentukan lokasi penelitian sesuai
dengan masalah atau sengketa yang terjadi,serta dengan mempertimbangkan bahwa
belum ada peneliti lain yang melakukan penelitian yang terkait dengan sengketa
yang terjadi di desa ini.
1.6.2. Jenis Pendekatan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris yaitu
melakukan penelitian berdasarkan peraturan yang ada, termasuk awig-awig desa dan
penerapan awig-awig tersebut dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara
Desa Pakraman Bale Agung Tenaon, dan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten
Buleleng.
1.6.3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Desa Pakraman Bale Agung Tenaon,
Alasangker Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng dengan metode purposive
sampling yang
terkait tanah adat yang dijadikan tempat penyelenggaraan
pendidikan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng. Penulis dengan sengaja memilih
lokasi penelitian ini didasarkan pada permasalahan / sengketa yang terjadi dan
sampai saat ini belum ada yang meneliti kasus sengketa ini.
36
1.6.4. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data Primer dan data
Sekunder. Data primer berupa hasil penelitian lapangan (field research) dan data
sekunder berupa hasil penelitian kepustakaan (library research).
2. Sumber Data
Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan, baik dari
responden yaitu prajuru desa adat dan masyarakat di lokasi Desa Pakraman Bale
Agung Tenaon , Alasangker yang memiliki tanah adat yang dipergunakan sebagai
tempat pendidikan dan upaya penyelesaian sengketa di Desa Pakraman Bale
Agung Tenaon, dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng.
Data sekunder diperoleh dari perpustakaan, buku-buku, dan hasil penelitian.
1.6.5. Teknik Pengumpulan Data
Dilihat dari cara memperolehnya, data dibedakan menjadi data primer dan
data sekunder.
1. Data primer
merupakan data yang diperoleh secara langsung di lapangan
melalui observasi dan wawancara.
2. Data
sekunder diperoleh
melalui penelusuran kepustakaan diantaranya
peraturan-peraturan, perundang-undangan, majalah-majalah hukum,teori- teori
hukum,
pendapat para sarjana hukum,data dari internet
dan buku-buku
penunjang lainnya sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
37
1.6.6. Teknik Pengolahan /Analisis Data
1. Teknik pengolahan data
Data yang telah terkumpul kemudian diolah dengan teknik pengolahan data
kualitatif. Data hasil penelitian diidentifikasi dan diedit, dengan tujuan untuk
mengetahui data mana yang digunakan sebagai bahan analisis dan data mana
yang tidak sesuai dengan permasalahan ,yang harus dihilangkan. Data yang telah
diedit kemudian diklasifikasi dan menghubungkan data yang satu dengan data
yang lainnya sesuai dengan permasalahan yang dikaji.
2. Teknik analisis data
Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan teknik analisis yaitu
menganalisa apa adanya dari suatu kondisi atau realita hukum atau non hukum dikaji
dengan teori-teori atau asas-asas umum di bidang hukum. Hasil analisis tersebut
kemudian diinterprestasikan atau ditafsirkan untuk memahami
makna dari
keseluruhan kualitas data, sehingga memperoleh gambaran terhadap permasalahan
yang diteliti.
3. Teknik penyajian data
Keseluruhan hasil penelitian kemudian disajikan secara deskriptif analisis, yaitu
dengan memaparkan secara rinci dan lengkap segala persoalan yang terkait dengan
masalah yang diteliti disertai dengan usulan-usulan sesuai teori-teori hukum.
Download