- Universitas Udayana Repository

advertisement
FENOMENA KONFLIK SOSIAL YANG TERJADI DI BALI
Oleh: GPB Suka Arjawa
(Staf Pengajar Prodi Sosiologi, FISIP, Universitas Udayana)
Pendahuluan
Akhir-akhir ini sering kali terbaca di media massa cetak tentang konflik sosial yang
terjadi di Bali. Rentang wilayah masalah itu, secara geografis hampir mencakup seluruh
kabupaten yang ada. Tidak hanya di Gianyar, yang disebut-sebut sebagai wilayah konflik paling
banyak, tetapi juga di darah kabupeten lain seperti di Tabanan, Kelungkung, Karangasem bahkan
sampai di Kota Denpasar. Ini menandakan bahwa intensitas konflik itu sudah cukup luas di Bali.
Kalau dilihat dari struktur sosialnya, cakupan ini juga telah meluas. Artinya tidak hanya terjadi
konflik antara individu dengan individu tetapi juga antar individu dengan kelompok atau
kelompok dengan kelompok. Diusirnya salah satu anggota Desa Pakraman misalnya, merupakan
konflik yang terjadi antara kelompok dengan individu. Dan saling serang antar desa pakraman,
merupakan wujud kekerasan diantara kelompok.
Konflik di Bali, kalau dilihat dari sejarahnya, bisa dikatakan mempunyai dua bagian.
Yang pertama adalah konflik yang disebabkan oleh sistem sosial yang ada di Bali. Sistem sosial
di Bali sudah kental dengan berbagai struktur seperti kasta serta kelas masyarakat. Kelas ini bisa
dimaksudkan antara orang kaya dengan orang miskin, pembesar dengan anak buah (misalnya
kaum puri dengan anak biahnya), atau berbagai fungsional di desa pakraman. Yang kedua,
adalah konflik yang dipicu oleh perkembangan pariwisata. Ini terjadi setelah pariwisata menjadi
primadona setelah munculnya krisis keuangan di Indonesia menjelang jatuhnya Orde Baru.
Akan tetapi, perubahan sosial di Bali juga mempengaruhi tingkat kualifikasi konflik.
Perubahan sosial, dalam maknanya, seperti yang dikatakan oleh Farley, menyangkut perubahan
pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu (Sztompka,
2007: 5). Di Bali, pariwisata yang berkembang sejak tahun 1971 ini memberikan pola perubahan
cukup mendasar pada masyarakat.
Konflik berupa kesepekang yang terjadi di beberapa desa pakraman, disebabkan oleh
faktor sistem sosial itu. Misalnya, orang disepekang (dikucilkan) disebabkan oleh adanya
pengakuan sepihak atas kenaikan kasta. Atau orang dikeluarkan dari desa pakraman karena
tidak pernah melakukan gotong royong di kampung. Hal seperti ini kemungkinan besar telah
ada sejak dekade tigapuluhan seperti yang tergambarkan pada uraian Carol Warren (1993). Ini
semuanya dipicu oleh sistem sosial yang ada, dan lebih-lebih sistem sosial tersebut kurang
bahkan tidak diketahui maknanya oleh sebagian besar masyarakat. Konflik yang disebabkan oleh
perkembangan pariwisata, terkait dengan perebutan sumber-sumber ekonomi yang berbaisis
pariwisata, dan ini terjadi diantara desa pakraman. Konflik seperti ini paling sering mendorong
sebagian besar warga desa pakraman ikut terlibat konflik.
Tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana fenomena konflik sosial itu terjadi, dan
kemudian dikaitkan dengan beberapa konflik yang pernah ada di Bali.
Fenomena Konflik
Konflik merupakan gejala yang serba hadir di masyarakat karena pada hekekatnya
manusia itu penuh dengan dinamika. Konflik terjadi tidak hanya pada tataran individu saja tetapi
juga kelompok, korporasi bahkan negara. Jika dilihat dari dasar konflik, sumbernya adalah
perbedaan pendapat. Karena itu, sesungguhnya fenomena ini selalu ada. Karena perbedaan
pendapat merupakan dasar dari konflik maka fenomena ini selalu ada dalam kehidupan seharihari.
Konflik sosial merupakan pertentangan (sikap, persepsi, ide, pendirian, dsb) yang
ditandai oleh pergerakan oleh berbagai pihak (individu, kelompok, korporasi, negara dsb.)
sehingga menimbulkan persinggungan. Di masyarakat,
berbagai komponene psikologis itu
tidak bisa disatukan secara konprehensif. Karena itulah sikap, ide dan sejenisnya itu akan sering
tidak mendapatkan persepsi yang sama diantara satu dengan anggota masyarakat yang lain.
Dalam arti, terjadi pertentangan antara individu dengan kelomopk, individu dengan individu atau
kelompok dengan kelompok. Dengan kenyataan seperti itu, maka mekanisme penyelesaian
konflik merupakan hal yang penting di masyarakat.
Konflik juga disebutkan dengan antagonisme, yang artinya sebagai pertentangan antara
satu pihak dengan pihak yang lain. Akan tetapi, kita tidak harus melihat antagonisme ini sebagai
seuatu yang sifatnya negatif belaka. Secara fungsional, konflik juga mempunyai kegunaan.
Kemajuan dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, pasti dimulai adanya perbedaanperbedaan antar berbagai pihak. Jika mekanisme penyelesaiannya tepat, maka konflik itu justru
mempunyai fungsi positif dan memberikan sumbangan kepada masyarakat.
Dalam pandangan Ralf Dahrendorf, konflik itu selalu ada di masyarakat. Konflik itu bisa
terlihat di permukaan tetapi juga ada konflik yang tersembunyi. Pandangan Dahrendorf ini bisa
diterjemahkan bahwa masyarakat itu merupakan bagian dari manusia, yang sesungguhnya
merupakan personal yang memang mempunyai kodrati konflik. Artinya manusia selalu
mempunyai jiwa konflik karena secara kodrati ingin menguasai pihaklain. Karena masyarakat itu
merupakan bagian dari manusia, maka dengan sendirinya konflik di dalam masyarakat itu selalu
ada. Organisasi sebagai bagian dari masyarakat juga sangat dipenuhi oleh konflik. Malah di
dalam organisasi ini, pertentangan itu selalu terjadi demi eksistensi organisasi tersebut. Konflik
yang mencuat dalam bentuk kekerasan atau antagonisme antar pihak yang bisa dilihat oleh mata
atau yang diungkap media massa, bisa dikatakan sebagai konflik terbuka. Konflik seperti ini
lebih mudah dipecahkan karena telah terbuka, sehingga mudah dianalisis. Analisa ini bisa
dilakukan mengenai asall musalnya, penyebabnya jenis dan sebagainya sehingga lebih bisa
dipecahkan dengan segera.
Dahrendorf mengatakan juga bahwa ada konflik tersembunyi. Dalam konteks Indonesia,
bisa dikatakan bahwa hal itu masih belum muncul di permukaan. Namun potensi-potensi
pertentangannya ada, sehingga sedikit saja ada faktor pemicu akan memudahkan konflik ini
meletus. Semakin lama konflik ini tersembunyi, mempunyai potensi besar
dalam hal
menumbuhkan daya ledaknya. Pada konteks konflik sosial, konflik tersembunyi yang ada pada
kelompok memungkinkan bertambahnya jumlah anggota sehingga berpotensi memperbesar daya
ledak konflik.
Teoritisi konflik yang lain adalah Lewis Coser. Dia mengungkapkan bahwa konflik itu
tidak hanya mempunyai sisi yang negatif tetapi juga mempunyai sisi yang positif. Artinya
konflik juga diperlukan untuk memperbaiki kualitas masyarakat. Konflik negatif memberikan
kerugian kepada masyarakat karena akan merusak tatananan yang ada. Tatanan itu tidak saja
pada pola hubungan antar pihak tetapi juga mampu merusak kepemilikan yang sudah ada.
Kekerasan yang dilakukan salah satu pihak kepada pihak lain, pasti akan merugikan salah satu
pihak. Bisa menimbulkan korban jiwa. Timbulnya korban jiwa adalah sebuah kehancuran.
Hubungan antar pihak sebagai akibat munculnya korban jiwa tidak akan mampu diperbaiki dan
menimbulkan kebencian dalam waktu yang lama. Korban jiwa itu sendiri merupakan kerugian
yang biayanya tidak bisa dihitungh dengan material. Inilah yang dimaksudkan dengan konflik
yang mempunyai sifat negatif oleh Coser.
Namun, disamping adanya hal yang sifatnya negatif itu, konflik juga mempunyai sisi
yang positif. Dalam sebuah komunitas kelompok, konflik yang terjadi diantara anggota
kelompok, justru akan mampu mempererat
kesatuan kelompok. Disini, pihak-pihak yang
mencoba menentang peraturan organisasi misalnya, akan dikeluarkan dari organisasi itu. Ini
adalah wujud konflik. Namun dengan adanya sikap tegas seperti itu, maka anggota-anggota
kelompok akan merasa ketakutan untuk melakukan tindakan pelanggaran. Daya kohesivitas dari
kelompok ini akan menjadi semakin kuat. Fungsi positif dari konflik seperti yang diutarakan
Coser, tidak hanya bisa dilihat dari sisi tersebut. Konflik justru membuka kesadaran tentang
adanya berbegai persoalan di dalam kelompok atau masyarakat. Dengan adanya kesadaran itu,
maka diharapkan akan mampu memberikan upaya-upaya untuk memperbaiki kekurangaana
tersebut untuk lebih meningkatkan kualitas subyek. Mislanya desa pakraman yang secara internal
ada konflik, akan memperbaiki dirinya dengan
merevisi awig-awig yang dipandang sudah
terlalu kuno. Memberikan kesempatan kepada para perantauan untuk membayar denda sebagai
akibat tidak ikut bergotong royong dalam satu satuan waktu, merupakan usaha perbaikan untuk
meningkatkan kualitas desa pakraman.
Dialektika ilmu pengetahuan, atau dialektika apapun, sesungguhnya merupakan bagian
dari konflik juga. Pada titik ini
konflik
dan perbedaan pendapat sangatlah diperlukan.
Perbedaan pendapat yang kemudian didebatkan dengan cara-cara ilmiah, akan menghasilkan
pembaruan dan membuat ilmu pengetahuan tersebut maju. Bidang-bidang teknologi dan
sebagainya sangat memerlurlukan dialektika ini untuk keunggulan mereka. Pembaruan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan produk teknologi sangat diuntungkan oleh adanya konflik
demikian. Hal inilah yang bisa dikatakan sebagai konflik yang mempunyai sifat positif.
Perkembangan masyarakat, majunya sebuah peradaban tidak bisa dilepaskan sebagai akibat dari
adanya konflik yang mengiringi.
Dalam masyarakat sedang berkembang konflik juga disebabkan oleh benturan antara
budaya
tradisionil
dengan
budaya
yang
sifatnya
modern.
Tradisionalitas
biasanya
mempertahankan pola-pola kehidupan seperti di masa lalu. Para penganut budaya tradisi ini
sangat menghormati kebiasaan leluhur, menghormati masa lalu dan tidak terlalu senang dengan
perubahan sosial. Modernisasi pada hakekatnya adalah sebuah perubahan sosial. Dengan
modernisasi setiap tatanan masa lalu, entah ia tradisi, kepercayaan, pola kerja, model kehidupan
dan sebagainya, akan dikritisi dan kemudian dikoreksi untuk digantikan dengan model yang
lebih baru. Salah satu dasar pertimbangan yang dipakai oleh mereka yang berpihak kepada
modernisasi adalah rasionalitas. Sikap yang mengutamakan rasionalitas ini memakai akumulasi
pengetahuan untuk bertindak. Sedangkan tindakan yang dilakukannya itu demi mendapatkan
tujuan dan hasil yang maksimal. Maka, modernisasi sebenarnya menggunakan pertimbangan
otak yang memakai akumulasi pengetahuan untukmendapatkan manfaat maksimal. Manfaat ini
bisa berupa keuntungan, efektifitas tenaga, waktu dan sebagainya. Disinilah terjadi benturan
antara modernitas yang mengandalkan efektivitas dengan tradisional yang mengandalkan masa
lalu. Konflik akan muncul diantara penganut paham ini.
Bali merupakan masyarakat transisional dimana sebagian masyarakatnya sudah
mengandalkan rasionalitas dan sebagian lagi masih
memegang tradisi yang masih
mengagungkan masa lalu. Tradisi upacara di Bali sangat membela nilai-nilai leluhur. Sedangkan
sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung kehidupan di Bali, merupakan rasionalitas yang
sangat terkait dengan pengetahuan-pengetahuan Barat. Inilah yang membuat banyak sekali
terjadi konflik dii Bali, yang justru melibatkan orang-orang Bali sendiri. Banyak kasus konflik
seperti itu di Bali.
Beberapa Kasus di Bali
Di Desa Pakuduwi, Kecamatan Tegalalang, Ubud misalnya, konflik terjadi sangat jelas
dipicu oleh perebutan potensi-potensi pariwisata. Ubud merupakan daerah pariwisata di Bali.
Desa ini cukupp unik dari sisi persoalan sosiologis. Ada ”pertempuran” antara tradisionalitas
dengan modernisasi di wilayah ini. Akan tetapi, di masa lalu, tradisi dengan modernisasi yang
diwakili oleh internasionalitas itu, mampu saling memberikan sumbangan berarti. Terapi serbuan
modernisasi yang begitu cepat dan terus menerus, pada akhirnya membuat penganut tradisi ini
seolah meminta pertangungjawaban modernisasi untuk mempertahankan tradisi tersebut. Inilah
yang menciptakan konflik-konflik yang muncul di sana. Dengan begitu, konflik disebabkan oleh
perubahan sosial yang begitu pesat di Ubud.
Sejarah di daerah ini dipengaruhi oleh lingkungan alamnya yang amat mendukung
kehidupan
sosial disana. Alamnya memberikan suasana yang sejuk karena berada di daaerah
yang tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah. Alamnya di masa lalu mempunyai areal
sawah yang luas. Persawahan inilah yang membuat pemandangan dan udara yang bersih dan
sejuk. Inilah yang membuah Dang Hyang Dwijendra memilih Ubud sebagai tempat persinggahan
sebelum membangun Pura Besakih sekitar abad kesembilan. Pendeta ini datang dari Jawa untuk
menyebarkan agama Hindu di Bali, dan memakai Sungai Ayung sebagai tempat
persinggahannya.
Di awal abad ke duapuluh merupakan era dimana Ubud menjadi serbuan bagi para
pendatang dari luar negeri. Pelukis atau seniman seperti Walter Spies, Rudolf Bonet, Arie
Smith, sampai Antonio Blanco semuanya datang ke Ubud karena kondisi alam mereka yang
bagus. Iklim yang ada juga memungkinkan bagi para seniman luar negeri ini datang. Seniman
inilah yang pada awalnya membawa nama pembaharu dan modernisasi di wilayah tersebut.
Mereka diberikan inspirasi oleh tradisi di Ubud dan sebaliknya tradisi tersebut mendapatkan
warna pembaruan dari modernisasi Barat. Smith misalnya memberikan pembaruan kepada
pelukis Ubud dengan perspektif yang model Barat. Sebelumnya, anak-anak di Ubud melukis
tanpa memakai perspektif. Mereka membentuk perkumulan yang namanya Pita Maha. Smith
pula yang memberikan sentuhan kepada Tari Kecak, yang sebelumnya merupakan tari sakral,
menjadikannya tarian komersil, sampai sekarang.
Perpaduan antara tradisionil dan modernisasi ini paad akhirnya membuat daya tarik bagi
turisme. Kebudayaan Eropa yang dibawakan oleh para seniman ini, bagaimanapun juga
memberikan pengaruh kepada para turis yang datang di Ubud sekarang. Turisme inilah yang
memberikan sumbangan pendapat paling besat bagi wilayah itu. Diakui atau tidak pariwisata
memberikan sumbangan besar bagi pendapatan mereka. Pada sisi lain, berbagai upacara dan
ritual Hindu yang ada di Bali, banyak menghabiskan biaya. Di Ubud, pariwisata inilah yang
memberikan sumbangan, memberi kemudiadan biaya bagi masyarakat dalam melaksanakan
upacara. Disamping itu, pembangunan-pembangunan adat dan bangunan milik desa pakraman,
didapatkan dari hasil periwisata ini.
Konflik yang muncul di Ubud, tidak lain disebabkan oleh adanya perburuan sumbersumber pariwisata. Tujuan akhirnya, adalah mendapatkan pembagian keuntungan yang berupa
penghasilan dari kalangan pariwisata. Di Desa Pakudui, konfliknya bersumber pada kepemilikan
wilayah yang secara geografis mempunyai posisi unik. Artinya, desa pakudui kangin mempunyai
wilayah di desa Pakudui barat, yang lokasinya tepat di pintu masuk desa pakudui barat. Lokasi
wilayah itu ternyata mempunyai panorama indah berupa tebing yang dengan pemandangan
alami berupa tebing dengan terasering persawahan. Pemandangan ini hampir sama dengan apa
yang ada di Ceking, yakni tempat yang ada hanya beberapa ratus meter dari lokasi itu ke arah
selatan. Ceking mampu menghasilkan pemasukan sampai jutaan rupiah setiap hari. Karena
lokasinya berada di wilayah Barat dan kemudian mempunyai penghasilan untuk pariwisata,
maka munculah keinginan-keinginan untuk menguasai wilayah Pakudui Kangin yang ada di
barat tersebut menjadi milik dari Pakudui barat. Inilah yang tidak disetujui oleh Pakudui Kangin
sehingga banjar ini ingin membentuk Desa Pakraman sendiri.
Konflik ini boleh dikatakan sebagai upaya memperebutkan sumber-sumber ekonomi
yang memang di Ubud, paling banyak menonjol pada bidang pariwisata. Sebagai desa yang
penduduknya semuanya menganut agama Hindu, maka sumber-sumber pariwisata itu akan bisa
dipakai sebagai pembiayaan untuk melakukan upacara adat atau agama. Seperti biasa, ritual yang
ada di Bali memerlukan biaya yang besar dan memerlukan dana yang banyak.
Konflik juga bisa disebabkan oleh adanya pelanggaran dari simbol-simbol dan identitas
tradisional. Gotong royong bisa dikatakan sebagai sebuah identitas tradisional di Bali. Hal ini
berakar dari banjar pakraman dan desa pakraman. Komunitas ini terbentuk untuk berkaitan
dengan identitas tersebut. Desa pakraman lebih banyak kepada koordinasi soal-soal yang
berkaitan dengan ritual keagamaan karena desa pakraman ini terikat oleh Pura Khayangan Tiga.
Setiap warga yang bersembahyang di pura tersebut, mereka adalah bagian dari desa pakraman
tersebut. Akan tetapi, ritual lainnya seperti potong gigi, kematian, upacara di pura dan
sejenisnya, berlangsung di banjar pakraman, sebuah komunitas yang
berada di bawah desa
pakraman. Karena itulah anggota banjar pakraman ini terbentuk oleh adanya berbagai ritual
tersebut. Karena berbagai ritual yang ada di Bali (Hindu) itu cukup kompleks, maka
pengerjaannya haruslah dilakukan secara bersama-sama, yang dalam konteks Indonesia disebut
dengan gotong-royong. Tujuannya adalah demi menyelesaikan pekerjaan yang cukup banyak
tersebut. Gotong royong dan bekerja bersama-sama merupakan identitas tradisionil yang mutlak
dilakukan dan para anggota komunitas juga mutlak mengikuti gotong royong tersebut.
Pada titik inilah terjadi persinggungan-persinggungan di Bali. Karena perubahan sosial
yang demikian pesat di Bali, maka tidak semua masyarakat kini mampu melaksanakan tugas itu
secara disiplin. Akan tetapi, baik desa pakraman maupun banjar pakraman kurang
memperhatikan hal ini. Anggota warga yang tidak mampu ikut dalam kegiatan tersebut,
dianggap salah. Ketidakhadiran yang terus-menerus membuat anggota Desa Pakraman yang
bersangkutan bisa dikeluarkan dari keanggotaan. Inilah yang menimbulkan konflik horizontal di
Bali, dimana anggota masyarakat konflik dengan masyarakat lainnya.
Kasus di Desa Munduk Juwet, adalah salah satu contoh dari banyak contoh yang ada di
Bali. Disini, salah satu anggota masyarakatnya tidak bisa diijinkan untuk dikubur di kuburan
kampung karena dipandang anaknya
tidak berdisiplin dalam melakukan gotong royong
tersebut..
Konflik Politik
Di Bali konflik politik
mempunyai sejarah tersendiri. Perjuangan masyarakat Bali
melawan penjajah, adalah bukti adanya konflik politik yang intens di Bali. Konsepsi ”puputan”,
yang dimaknai sebagai perang habis-habisan, merupakan perujudan konflik politik tersebut.
Paling tidak ada tiga konflik yang menyangkut hal ini, yaitu Puputan Kelungkung, Puputan
Badung dan Puputan Margarana. Semuanya ini merupakan upaya masyarakat Bali
mempertahankan wilayahnya terhadap penjajahan Belanda.
Akan tetapi, pada tahun 1965 Bali juga tidak lepas dari konflik horizontal antara non
komunis dengan mereka yang dipandang mengikuti Partai Komunis Indonesia. Pertentangan
antara dua kelompok ini bisa dipandang sebagai konflik horizontal karena yang terlihat di
permukaan yang berkonflik adalah antar masyarakat. Di balik fenomena tersebut, ada tersamarsamar konflik vertikal karena banayak cerita yang menyebutkan bahwa angkatan bersenjata ikut
dalam peristiwa tersebut dan bahkan dicurigai juga merekayasanya. Konflik ideologi ini,
menurut Robert Cribb menelan korban sampai 100 ribu orang di Bali (Cribb, 1991: 8). Peristiwa
tersebut, hingga sekarang masih menyisakan trauma bagi masyarakat, dan nama PKI dicap
sebagai penjahat dan musuh dai negara.
Setelah itu, peristiwa yang cukup besar terjadi di Bali adalah setelah tumbangnya Orde
Baru, yakni ketika Megawati Soekarnoputri gagal menjadi presiden dikalahkan oleh Gus Dur
pada tahun 1999. Saat itu, kelompok-kelompok yang dicurigai berada di balik Megawati
melakukan ulah dengan melakukan pembakaran ban di jalan-jalan serta melakukan penebangan
pohon di pinggir jalan. Meskipun sasaran konflik ini seperti hanya mengungkapkan kekecewaan
akibat kalahnya Megawati Sukarnoputri, akan tetapi hal itu telah memberikan rasa takut dan
khawatir kepada masyarakat.
Pemilu kepada daerah Kabupaten Tabanan tahun 2004, merupakan ajang konflik politik yang
cukup ramai. Dalam beberapa catatan yang dilakukan oleh pihak kepolisian Kabupaten Tabanan,
menjelang kamapanye pemilihan kepala daerah tersebut, telah terjadi 27 konflik antara partai
politik, yang kebanyakan melibatkan PDI Perjuangan dengan Partai Golkar. Pertentangan antara
dua partai ini sangat intens, dimana banyak pertemuan-pertemuan yang dilakukan Partai Golkar
maupun partai lainnya dirusak oleh simpatisan PDI Perjuangan. Demikian juga pertemuanpertemuan yang dilakukan oleh partai lainnya yang dianggap sebagai saingan dari PDI
Perjuangan. Konflik ini adalah konflik karena persoalan politik, yang akhirnya melibatkan
banyak massa masyarakat. Konflik seperti ini disebabkan oleh perbedaan nilai dan ideologi
partai, dimana masing-masing ingin menjadi penguasa politik (Rauf, 2001: 52).
Secara teoritik juga bisa dikatakan bahwa konflik itu merupakan akibat dari perubahan
sosial di masyarakat Bali. Dalam hal ini adalah perubahan sosial pada bidang politik.
Sebelumnya, sejak kejatuhan Orde Lama, dan terutama mulai dekade tujuhpuluhan, politik di
Bali dikuasai oleh Golkar, yakni mesin politik yang dibentuk Orde Baru. Kekuatan ini
mendominasi dalam waktu yang begitu lama, sekitar 32 tahun jika dihitung sejak tahun 1966
atau sekitar 28 tahun jika dihitung sejak tahun 1970. Ketika terjadi unjuk rasa yang kemudian
menurunkan rezim Presiden Soeharto dengan Orde Baru nya, ini merupakan perubahan tatatan
sosial yang besar. Masyarakat yang sebelumnya
takut dalam berbicara politik,
tiba-tiba
mendapatkan kebebasan berbicara setelah Orde Baru jatuh tahun 1998. Kemudian partai yang
sebelumnya tenggelam dan ditekan oleh Orde Baru, yaitu Partai Demokrasi Indonesia tiba-tiba
saja mendapat tempat di depan.
Karena banyak tokoh PDI Perjuangan tidak mempunyai pendidikan yang cukup, maka
sikap-sikap dan perilaku politiknya banyak menyimpang. Dari sinilah muncul yang disebut rasa
hegemoni. Hegemoni merupakan pandangan atau sikap atau tindakan yang merasa kelompoknya
paling mempunyai pengaruh dan memandang pihak lain tidak berhak untuk mendominasi. Apa
yang dilakukan oleh simpatisan-simpatisan PDI Perjuangan di Tabanan pada tahun 2004 itu
mirip dengan hegemoni. Tindakan pengerusakan bahkan pemukulan terhadap para simpatisan
partai lain, memerlihatkan indikasi ke arah itu. Wilayah Selabih, Abiantuwung juga menjadi
daerah konflik (Suka Arjawa, 2006: 67).
Atau bisa juga dikatakan bahwa partai ini selalu merasa terancam oleh partai lain karena
tidak ingin lagi mengalami masa-masa tertekan seperti pada masa Orde Baru. Untuk mencegah
kembalinya
masa kelam itu, mereka melakukan segala macam cara untuk menghilangkan
ancama dari partai-partai lain. Karena PDI Perjuangan mempunyai ideologi yang sifatnya
nasionalis, maka partai-partai yang mempunyai ideologi yang sama coba dibungkam karena
khawatir kesamaan ideologi tersebut akan mampu menarik simpatisan partai ini menuju partai
lain. Dengan demikian, kekerasan yang terjadi tidak hanya antara PDI Perjuangan dengan Partai
Golkar tetapi juga antara PDI Perjuangan dengan PNI Marhaenisme, Partai Nasionalis Benteng
Kemerdekaan, bahkan dengan Partai Karya Peduli Bangsa. Yang terakhir ini merupakan partai
kecil yang tidak begitu berpengaruh. Akan tetapi karena dibentuk oleh tokoh-tokoh Golkar yang
merupakan sempalan dari Partai Golkar dan mempunyai ideologi yang nasionalis, maka
dipandang ada alasan bagi PDI Perjuangan untuk menghalangi partai ini untuk mencari
pengaruh.
Konflik politik yang ada, khususnya di Kabupaten Tabanan itu, merupakan salah satu
warna konflik yang ada di Bali mutakhir. Komentar dari masyarakat, ketidakpuasan masyarakat
terhadap partai politik dan semakin berpengalamannya para politisi PDI Perjuangan, membuat
tahun-tahun berikutnya, konflik antar partai politik di kabupaten Tabanan cukup berkurang.
Pada akhirnya, konflik internal intra PDI Perjuangan muncul menjelang pemilihan bupati pada
tahun 2011 yang lalu.
Konflik ini pada tataran sosial lebih terlihat sebagai konflik yang berskala horizontal
karena yang paling terlibat adalah masyarakat, terutama masyarakat lapisan bawah. padahall
mungkin saja konflik itu diciptakan oleh elit-elit partai politik yang memegang kekuasaan di
pemerintahan. Dilihat dari sisi ini, seharusnya konflik itu lebih dilihat sebagai konflik vertikal
tersembunyi. Karena itu, dari peristiwa ini bisa dikatakan bahwa konflik horizontal itu bisa
dikatakan sebagai jembatan untuk melihat dalam skala yang lebih jauh, posisi yang
sesungguhnya dari pemicu dan penyebab konflik.
Beberapa Catatan Teoritik
Dengan melihat fenomena pertentangan yang ada di Bali, maka ada beberapa catatan
penting yang harus dilihat.
Pertama bisa dikatakan bahwa konflik itu ada pada tataran kesadaran kolektif yang
kemudian memunculkan adanya kekuasaan.Kesadaran kolektif (kelompok) diikat oleh simbolsimbol dan norma yang ada. Pelanggaran terhadap norma ini membuat kesadaran kolektif kuat
untuk melakukan pergerakan. Pada masyarakat Hindu di Bali, kesadaran kolektif itu ada pada
nilai-nilai agama, nilai-nilai sosial budaya. Banyak masyarakat Hindu di Bali kurang mampu
membedakan antara agama dan kebudayaan. Padahal sesungguhnya hal ini bisa dipisahkan.
Kepercayaan terhadap Tuhan (agama) itu hanya ada pada konsepsi Brahma, Wisnu dan Siwa.
Dalam hal simbolik, pada masyarakat Bali hal itu diwujudkan di dalam Pura Desa, Puseh, dan
Dalem. Simbol itu pada tataran keluarga ada pada rong tiga. Atau jika dalam bentuk warna, ia
termanifestasikan pada warna merah, hitam dan putih. Atau jika dalam bentuk benda di bumi, ia
mewujud dalam api, air dan zat padat, Mencipta,memelihara dan melebur. Pada titik inilah posisi
agama Hindu di Bali. Di luar dari hal itu, bisa dikatakan sebagai budaya. Karena tidak adanya
pemahaman itu, sering kali terjadi salah paham sehingga menimbulkan konflik. Orang yang
tidak bisa ikut gotong royong, dikatakan sebagai menyalahi aturan agama.
Kelemahannya, kesadaran tersebut terlalu bersifat sangat lokal, yaitu dreste desa, bahkan
dreste pribadi, kelompok di dalam satu desa. Pelanggaran terhadap hal ini akan menimbulkan
perlawanan. Artinya, pemahaman dan berbagai penafsiran itu, tidak beragam. Masing-masing
desa mempunyai penafsiran tersendiri terhadap jalannya upacara agama sehingga menimbulkan
fanatisme tersendiri. Desa tertentu mempunyai kebiasaan (dan ini adalah budaya) untuk tidur di
pura selama tiga hari selama masa persembahyangan. Ini merupakan praktik sosial budaya di
suatu tempat. Namun, karena sudah berlangsung turun-temurun, ini dipandang sebagai praktik
agama mereka. Maka jika ada yang melanggar akan dipandang sebagai melawan agama.
Secara tidak sadar fenomena ini menimbulkaan kekuasaan, yang sifatnya sangat lokal.
Kekuasan itu muncul karena ada pemahaman atas kebenaran bersama, dengan didukung oleh
kekuatan bersama. Karena kekuatan itu dirasakan besar, munculah kemudian perasaan berkuasa.
Kelompok ini, atau juga institusi, lembaga desa pakraman, merasa berkuasa untuk menentukan
nasib orang. Kenyataan ini mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Randhal Collins, bahwa
kelompok masyarakat yang mempunyai kekuasaan besar akan memaksakan gagasan mereka
kepada seluruh masyarakat. (Ritzer, 2007: 164). Upaya menghukum yang direstui oleh desa
pakraman merupakan bagian dari kekuasaan. Jadi, kesadaran kolektif menimbulkan kekuasaan,
kekuasaan menimbulkan rasa kekuatan, dan kekuatan yang tanpa kontrol oleh pemahaman yang
baik akan bisa menciptakan konflik. Banyak fenomena seperti ini muncul di Bali, yang
kemudian menimbulkan konflik-konflik horizontal.
Kesimpulan
Konflik merupakan gejala yang sudah pasti ada di masyarakat karena kodrat manusia
memang selalu mempunyai pertentangan di dalam dirinya. Karena manusia juga menjadi
anggota kelompok atau anggota masyarakat, maka konflik itu pasti juga terjadi di dalam
masyarakat atau institusi.Akan tetapi, konflik tidak seluruhnya bersifat negatif. Ia juga mampu
mempunyai manfaat positif. Konflik negatif memberikan kehancuran kepada masyarakat. Tetapi
konflik juga mampu membuat sumbangan positif berupa penyadaran kelompok, kohesivitas
kelompok semakin bertambah dan melakukan pembaruan di masyarakat. Konflik juga
menyebabkan adanya kemajuan dan perkembangan di bidang pengetahuan dan teknologi.
Konflik yang terjadi di Bali merupakan cerminan dari benturan antara sikap
tradisionalisme dengan modernisasi. Tradisionalisme diwakili oleh berbagai ritual keagamaan
yang ada, dan telah berlangsung turun-temurun. Modernisme diperlihatkan oleh pergerakan
ekonomi yang diperlihatkan pertumbuhan pariwisata. Tumbuhnya hotelHotels ebagai penunjang pariwisata tersebut merupakan sisi modernisme, representasi dari sikap
rasional. Rasionalisem sangat mengagungkan manfaat maksimal yang bisa dilihat dari pola
keuntungan atau ringkasnya ritual. Sedangkan tradisionalisme, masih menjunjung nilai-nilai
leluhur. Nilai ini masih sangatsarat dengan upacara yang banyak menyita waktu, tenaga dan
uang. Pertemuan antara hal inilah yang membuat sering terjadi konfik di Bali.
Konflik yang terjadi di Bali, banyak mengakibatkan masalah pada tingkat akar rumput
dalam bentuk konflik horizontal. Yang terjadi adalah konflik di dasar dari sistem sosial di Bali,
yaitu antar desa pakraman atau anggota intra desa pakraman. Karena itu, pemecahan masalah
tidak hanya harus dipecahkan secara hukum akan tetapi juga mencari pemecahan-pemecahan
sosial dan budaya. Pemecahan sosial diperlukan untuk melihat komponen dari unsur sosial yang
sudah perlu diperbaiki. Dan pemecahan budaya dicari untukmemberikan penyadaran kepada
masyarakat tentang perlunya membentuk pola budaya yang baru atau yang diperbarui dari yang
sudah ada. Tujuannya adalah demi menciptakan stabilitas sosial.
*****
Daftar Pustaka
Cribb, Robert (ed.), 1991, The Indonesian Killing 1965-1966: Studies from Java and
Bali, Australia, Aristoc Press Pty. Ltd.
Rauf, Maswadi, 2001, Konsensus dan Konflik Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis,
Jakarta, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Ritzer, George, Goodman, Douglas J., 2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta, Prenada
Kencana Group.
Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Prenada Media Group.
Suka Arjawa, GPB, 2006, ”Konflik Antar Partai Politik Pra-Pemilu”,Tesis, Universitas
Airlangga
Warren, Carol, 1993, Adat and Dinas: Balinese Communities in The Indonesian State,
Kuala Lumpur, Oxford University Press.
Catatan:
1. Konflik sosial yang terjadi di Banjar Munduk Juwet, Kabupaten Tabanan, merupakan
penelusuran langsung penulis pada tahun 2009.
2. Konflik Sosial di daerah Pakuduwi, Gianyar merupakan penelusuran penulis ke lapangan
tahun 2011.
3. Penulis menjadi saksi langsung konflik politik berupa penghancuran sarana di jalan raya
Denpasar-Gilimanuk tahun 1999, saat Megawati kalah dari Gus Dur dalam pemilihan
presiden. Di depan rumah penulis di Banjar Penyalin Tabanan, orang-orang yang tidak
berasal dari kampung penulis, mengamuk, menghancurkan sarana yang ada di pinggir
jalan.
Download