ÿþM icrosoft W ord - 1 . F oto M ediapalingoke

advertisement
Vol. 9, No. 1, Juni 2016
Vol. 9, No. 1, Juni 2016
“Politik dan Perubahan Sosial”
Foto Media Dan Hegemoni Pilkada
Mukhijab, MA.
Menjadi Singkel Menjadi Aceh, Menjadi Aceh Menjadi Islam
Muhajir Alfairusy, MA
Gelombang Transformasi Sosial Politik
Dalam Kajian Foucault dan Coleman
Masrizal, S.Sos.I., MA
Sosiologi Bencana: Sebuah Refleksi Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh
Akmal Saputra, S.Sos I., MA.
Jurnal Sosiologi USK adalah Jurnal Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Soial dan
Ilmu Politik yang memuat berbagai pendekatan sosial yang berlandaskan pada
berbagai isu-isu sosial kemasyarakatan secara lokal, nasional maupun
internasional melalui karya tulis ilmiah. Untuk kemajuan jurnal ini Redaksi
mengundang dan mengharapkan partisipasi para intelektual agar dapat
menyumbangkan tulisannya ke email : [email protected], Jurnal terbit
dua edisi dalam setahun (Juni dan Desember).
Kaedah Muhakkamah Dalam Pandangan Islam
(Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum)
Fatmah Taufik Hidayat& Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim
Kontribusi Perguruan Tinggi
Dalam Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial
Drs. T. Syarifuddin, M.Si
Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu
(Suatu Analisa Pendidikan di Aceh)
Zulfadli, M.Si
Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga
dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving
Suci Fajarni, MA
Program Studi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh
ISSN: 2252-5254
Jurnal Sosiologi
Media Pemikiran Dan Aplikasi
Universitas Syiah Kuala
Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Pengarah
Dr. Syarifuddin Hasyim, SH., M.Hum., Dr. Effendi Hasan, MA,
Dr. Hamdani, MA., Sufyan, M.Si
Pemimpin Redaksi
Masrizal, MA
Sekretaris Redaksi
Siti Ikramatoun, M.Si
Dewan Redaksi
Prof. Dr. Bahrein T. Sugihen. MA, Prof. Drs. Abidin Hasyim, M.Sc, Dr.
Muhammad Saleh, Sjafei, M.Si, Dr. Nurhayati, M.Si, Bukhari, MHSc,
Khairulyadi, M.HSc
Mitra Bestari
Prof. Dr. Heru Nugroho (Universitas Gadjah Mada )
Dr. Nirzalin, M.Si (Universitas Malikul Saleh)
Dr. Mahmuddin, M.Si (UIN Ar-Raniry)
T. Syarifuddin, M.Si (Universitas Iskandarmuda)
Sekretariat Pelaksana
Drs. Kasmarajaya, Purlina, SE, Suci Fajarni, S.Sos, MA
Sirkulasi
Cut Idawati, SE , Rahmatillah
Alamat Redaksi
Prodi Ilmu Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)-Universitas Syiah Kuala
Jln. Tgk. Tanoh Abee, Darussalam Banda Aceh
Telp. (0651) 7555267, Fax (0651) 7555270
Web: http://sosiologi.fisip.unsyiah.ac.id
E-mail: [email protected]
fb : Sosiologi Unsyiah
ISSN: 2252-5254
Jurnal Sosiologi
Media Pemikiran Dan Aplikasi
Universitas Syiah Kuala
Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
DAFTAR ISI
FOTO MEDIA DAN HEGEMONI PILKADA
Mukhijab, MA (Mahasiswa Doktoral Prodi Sosiologi UGM
Yogyakarta, Wartawan Senior Pikiran Rakyat Yogyakarta) . .............
1
MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, MENJADI
ACEH MENJADI ISLAM
Muhajir Alfairusy, MA (Mahasiswa Doktoral Antropologi UGM
Yogyakarta) ............................................................................................... 17
Gelombang Transformasi Sosial Politik Dalam Kajian
Foucault dan Coleman
Masrizal, S.Sos.I., MA (Dosen Sosiologi FISIP Unsyiah,
mahasiswa Doktoral Sosiologi UGM Yogyakarta) ............................. 35
Sosiologi Bencana: Sebuah Refleksi Pasca Gempa dan
Tsunami di Aceh
Akmal Saputra, S.Sos I., MA. Dosen Sosiologi Universitas Teuku
Umar, Mahasiswa Doktoral Sosiologi UGM Yogyakarta)................. 55
Kaedah Muhakkamah Dalam Pandangan Islam (Sebuah
Tinjauan Sosiologi Hukum)
Fatmah Taufik Hidayat& Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim
Lecturer Department of Syariah, Faculty of Islamic Studies,
National University of Malaysia, Selangor, Malaysia .......................... 67
Kontribusi
PerguruanTinggi
Dalam
Proses
Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial
Drs. T. Syarifuddin, M.Si ( Dosen Prodi Pembangunan Sosial
dan Kesos UNIDA) ............................................................................. 85
Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu (Suatu
Analisa Pendidikan di Aceh)
Zulfadli, M.Si ( Dosen Prodi Pendidikan Ekonomi FKIP
Unsyiah)
....................................................................................... 101
Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga dari
Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving
Suci Fajarni, MA ( Dosen Tidak tetap Prodi Sosiologi Unsyiah,
Alumni Unsyiah dan Pascasarjana Sosiologi UGM Yogyakarta). ... 115
Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada
1
Foto Media dan Hegemoni Dalam
Pilkada
Oleh: Mukhijab, MA1
Abstract
Let the pictures speak! With photos, everything can be open, no secrets. But
sociology-especially from the perspective of Semiotics in the study of
culture or media culture- was open an opportunity to interpret social
phenomena depicted behind the photos. In the context of this paper, a
photo opened a mystery of the phenomenon of power in local elections in
Bantul regency. The most powerful readings that the photos embedded
deep behind the hegemonic power of the spread is a public figure
Politicians and community leaders who are very dominant influence in the
district. Sample pictures of mass media as a case study in this paper Because
of the media photograph the leaders positioned as the sharpest weapon to
Awaken memories of voters. Sri Suryawidati-Sumarno was proved and
elected as regent and deputy regent in Bantul regency. Aspects of hegemony
that can be revealed behind their victory that the big names of the husband,
Idham, as a very potent political commodity.
Intisari :
Biarkan foto berbicara! Dengan foto, semuanya bisa terbuka, tidak ada
rahasia. Sosiologi –terutama dari perspektif semiotika dalam studi media
maupun studi budaya- terbuka kesempatan atau peluang untuk menafsirkan
fenomena sosial yang tergambar di balik foto. Dalam konteks tulisan ini,
foto membuka misteri fenomena kekuasaan dalam Pemilihan Kepala
Daerah di Kabupaten Bantul. Pembacaan paling dahsyat bahwa di balik foto
tertanam dalam-dalam hegemoni kekuasaan yang ditebarkan publik figure
politisi dan tokoh masyarakat yang sangat dominan pengaruhnya di
kabupaten tersebut. Sampel foto media menjadi studi kasus dalam tulisan ini
karena foto media bagi calon pemimpin diposisikan sebagai senjata paling
tajam untuk membangunkan ingatan pemilih. Sri Suryawidati-Sumarno
membuktikannya dan terpilih menjadi bupati dan wakil bupati di Kabupaten
Bantul. Aspek hegemoni yang bisa diungkap di balik kemenangan mereka
bahwa nama besar sang suami, Idham Samawi, sebagai komoditi politik
yang sangat ampuh.
1
Penulis adalah jurnalis dan mahasiswa program doktoral Ilmu Sosiologi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
2
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Foto : AHMAD ‘AMAR’ RIYADI/RADAR JOGJA/ Jumat 13
April 2010
Manusia Selfish
Thomas Hobbes, filosof
kelahiran Inggris, 1588, bisa jadi
terkesima teori nya tentang
psikologi manusia tamak makin
terbukti. Melalui karya monumental
Leviathan, pada bagian pertama
bukusnya
“Of
Man”,
dia
berpendapat bahwa manusia pada
dasarnya selfish atau mementingkan
diri sendiri, haus kekuasaan,
gandung konflik, dan jahah, dengan
kedok memeroleh kebahagiaan.
Maka
manusia
cenderung
mereproduksi
keinginan demi
keinginan berkuasa, baik keinginan
berkuasa dan lainnya untuk jangka
pendek maupun keinginan berkuasa
dan lainnya dalam jangka panjang
(Schmandt, 2015). Ketika suami
telah berkuasa, demi memenuhi
hasrat kekuasaan lebih lama lagi,
maka sang istri didorong menggapai
kekuasaan
lanjutan.
Hasrat
Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada
demikian dalam pandangan Hobbes
sebagai
cerminan
kelemahan
manusia, yang sesungguhnya tidak
bisa mengekalkan kekuasaannya
dan mengubah keadaan selalu lebih
baik. Agar memeroleh lebih, baik
kekuasaan maupun hasrat hajat
hidup lainnya, reproduksi keinginan
menjadi strateginya.
Fenomena selfish Hobbes
dapat dijumpai dalam konteks
Indonesia. Tidak terbatas dalam
bentuk para petualang kekuasaan
berebut berkuasa lebih dari satu
periode, mereka yang selesai
berkuasa, anggota keluarganya
didorong
meneruskan
kekuasaannya.
Publik
sering
mengistilahkan
fenomena
ini
sebagai perjuangan membangun
kekuasaan
warisan.
Dalam
perspektif Friedrich Nietzssche,
fenomena ini bisa dipadankan
kehendak acuh atau will depection,
pencapaian individu yang berdaulat,
sekalipun cara yang ditempuh
melawan konvensi moral dalam
masyarakat. Motivasinya
pada
insting vital, sekalipun harus
melawan dominasi atau kekuatan
hegemoni
masyarakat
(Ritzer,
2010). Apakah kekuasaan berbasis
selfish membawa kesejahteraan
rakyat atau sekedar mereproduksi
nepotisme berkedok demokrasi?
Tulisan ini tidak sebatas menyajikan
pelajaran bagaiamana menerapkan
metode semiotika secara sederhana,
lebih dari itu sebagai sentuhan dan
tangungjawab moral penulis untuk
menyemaikan urgensi kekuasaan
3
bermartabat, kekuasaan yang tidak
menghalkan segala cara.
Pilkada Tiga Kabupaten
Artikel ini bagian dari
refleksi penulis, yang diilhami
peristiwa Pemilihan Umum Kepala
Daerah (Pilkada) di Provinsi DI
Yogyakarta pada 23 Mei 2010 di
Kabupaten Bantul, Kabupaten
Sleman,
dan
Kabupaten
Gunungkidul. Berdasarkan data
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Provinsi DI Yogyakarta, pilkada
tiga kabupaten diikuti sebanyak
2.049.845 pemilih (sesuai daftar
pemilih tetap/DPT). Rinciannya,
Pilkada Kabupaten Bantul sebanyak
709.282
pemilih,
Kabupaten
Sleman sebanyak 759.062 pemilih,
dan
Kabupaten
Gunungkidul
sebanyak 582.502 pemilih.2
Kontestan Calon Bupai-Wakil
Bupati dan Pemenang Pilkada
Lokasi
Pilkada
Bantul
Calon bupatiwakil
Pemenang
Krdono - Ibnu
Karmanto
Sri
SuryawidatiSumarno Prs
Sukardiyono,
Darmawan
Sri
SuryawidatiSumarno Prs
Gunung Suharto – Arif
kidul
Gunadi
Sutrisno –
Slamet
Syaifullah, Muh, Lebih 2 Juta
Warga Tiga Kabupaten di DIY Nyoblos
Pilkada, www.tempointeraktif, 23 Mei
2010, diunduh 27 Mei 2010
2
4
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Lokasi
Pilkada
Calon bupatiwakil
Sutrisno –
Slamet
Sumpeno
Putro–
Badingah
Yanto–
Ngadiyono
Pemenang
Sleman
Bugiakso –.
Sri Purnomo
Kabul M.
– Yuni Setia
Basuki
Rahayu
Mimbar
Wiyono –
Cahyo Wening
Sukamto –
Suhardono
Sri Purnomo –
Yuni Setia
Rahayu
Zaelani –
Heru Irianto
Dirjaya
Hafidh Asrom
–
Sri Mulimatun
Achmad
Yulianto –
Nuki
Wachinudaton
Sumber Harian Kedaulatan Rakyat3
Seperti layaknya tahapan
pemilihan umum, pesta demokrasi
lokal tersebut diawali sosialisasi
tahapan pilkada dan pengenalan
kandidat calon bupati-wakil bupati.
Pasal 76 UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah
mengatur
kampanye
dapat
Calon Harus Jujur Beritahu
Dana Kampanye, Kedaulatan Rakyat 30
Maret 2010; Hj Ida, Sri Purnomo,
Sumpeno Unggul, Kedaulatan Rakyat, 24
Mei 2010
3
dilaksanakan melalui : pertemuan
terbatas; tatap muka dan dialog;
penyebaran melalui media cetak dan
media elektronik; penyiaran media
radio dan/atau televisi; penyebaran
bahan kampanye kepada umum;
pemasangan alat peraga di tempat umum;
rapat umum; debat publik/debat
terbuka antar calon; dan/atau
kegiatan lain yang tidak melanggar
peraturan undangan (ayat 1). Aturan
pelaksanaannya,
penyampaian
materi kampanye dilakukan dengan
cara yang sopan, tertib, dan bersifat
edukatif (ayat 4). Pasal 77 mengatur
cara sosialisasi lewat media cetak
dan media elektronik memberikan
kesempatan yang sama kepada
pasangan
calon,
untuk
menyampaikan tema dan materi
kampanye (ayat 1).
Kemudian kampanye lewat
media luar ruang dan tempat
pemasangannya diatur oleh KPUD
(ayat 5).4 Baliho dan sejenisnya yang
dipampang di area terbuka
merupakan salah satu perwujudan
kampanye dengan pemasangan alat
peraga atau kampanye luar ruang.
Dalam
bahasa
periklanan
dinamakan iklan luar ruang (outdoor).
Gambar pasangan calon bupatiwakil bupati dan gambar partai yang
mencalonkan mereka, mendomnasi
iklan politik luar ruang seperti
terjadi selama masa kampanye
terbuka di tiga kabupaten yang
melaksanakan pilkada. Pemasangan
baliho demikian sangat lumrah.
4
www.kpu.go.id
Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada
Dalam kasus Pilkada Bantul
2010, baliho pasangan calon Hj. Sri
Suryawidati - Drs.Sumarno Prs
(Idaman)
berpenampilan
lain.
Apabila dua pasang calon yang
menjadi pesaingnya memampang
hanya partai yang mencalonkan,
Idaman tidak hanya mencatumkan
partai pengusung, di antaranya
Partai Amanat Nasional dan Partai
Golkar, tetapi lambang Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) yang de jure tidak
mencalonkan pasangan ini. Kasus
ini terungkap dalam berita foto
media Radar Jogja, 13 April 2010.
KPUD Bantul mencatat pasangan
Hj. Sri Suryawidati – Drs. Sumarno
Prs (Idaman) memenangkan pilkada
tersebut.
Apakah
pemasangan
lambang
partai
yang
tidak
mencalonkan sebagai maneuver
yang disengaja dan bagian skenario
politik pasangan Idaman?
Apa
makna di balik pemasangan
lambang PDIP dalam baliho
Idaman? Apakah semata-mata
kegenitan politik atau bentuk
dominasi yang mengarah pada
upaya hegemoni politik? Artikel ini
bermaksud mengulas masalah iklan
politik luar ruang dalam kasus
kampanye Pilkada Kabupaten
Bantul tersebut, dengan pendekatan
foto media dengan strategi
semiotika negatif atau semiotika
foto media.
5
Foto Berbicara
Foto media selalu berbicara
apa adanya, yang berfungsi
menjelaskan lima hal yaitu untuk
menginformasikan, menunjukkan,
menggambarkan, memberi kejutan,
dan untuk membangunkan harapan
(to inform, to signify, to paint, to suprise,
to waken desire). Menurut Sunardi
ST (2002) kehadiran foto dalam
media dipandang sebagai bentuk
domestikasi
atau
penjinakan
kekuatan gila dari foto. Ketika
pembaca mengalami kesan sangat
mendalam, pakar semiotika negative
atau
semiotika
foto
menggambarkan sebagai keadaan
satori aura atau puncak kesan.
Capaian ‘satori aura’ menjadi tujuan
menumbuhkan kesan terhadap
pembaca media.
Dalam kancah semiotika,
foto digambarkan lebih jauh lagi
sebagai representasi yang tak
tergantikan oleh teks sekalipun.
Karena itu, foto menempati peran
dominasi
bagi
media
dan
pembacanya menggambarkan peran
foto media sebagai tirani baru
dalam masyarakat. Alasannya ada
dua hal. Pertama, foto mendominasi
model
pengetahuan
pembaca/audiens
dengan
menggeser
bentuk-bentuk
representasi
lainnya,
terutama
tulisan. Kedua, foto dipresentasikan
melalui kaidah-kaidah tertentu
untuk menghasilkan stereotipe,
yaitu ready made element of significant,
siap membuat elemen penting.
Dengan melihat foto, pembaca
media juga diharapkan tumbuh efek
6
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
sosialnya, ketika foto yang dilihat
adalah calon kepala daerah, audiens
bersangkutan
berorientasi
pengetahuannya
pada
calon
bersangkutan dan menjatuhkan
pilihannya kepada kandidat dalam
foto tersebut.
Mengapa foto
demikian spesial?
Foto
atau
gambar
meunjukkan pesan langsung, pesan
tanpa kode (a massage without a code, a
non coded-iconic massage) yaitu pesan
yang sampai pada ‘kita’ tanpa harus
melakukan penafsiran. Siapapun
dapat mengatakan itu adalah
kenyataan. Kita hadir dalam apa
yang ditunjuk foto (signifier) itu.
Tidak ada ruang mempersoalkan
antara foto dan realitas atau dalam
bahasa pakar semiotika Barthes
disebut analogon atau pesan
langsung atau denotative atau literer
(continuous massage atau massage which
totally exhausts its mode of existence)
(Sunardi, 2002)
Gambar dalam pembuka
paper ini adalah pasangan foto lakilaki dan perempuan dengan label
Bu Idham dan Pak Marno (Sri
Suryawidati – Sumarno disingkat
Idaman). Bagian bawah gambar dua
sosok
foto
tersebut
adalah
simbol/lambang partai yaitu Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP), Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Golkar, dan Partai
Karya Peduli Bangsa (PKPB).5
Foto karya Ahmad ‘Amar’
Riyadi, reporter Radar Jogja, ditayangkan,
Jumat
23
April
2010,
lihat
www.radarjogja.com, dan digunakan atas
izin redaktur Ikhwanuddin (iwa), Pilkada
5
Masyarakat Yogyakarta membaca
foto tersebut sebagai pasangan
calon bupati-wakil bupati dalam
Pilkada Kabupaten Bantul tahun
2010. Adapun partai-partai yang
terpampang
menggambarkan
sebagai “induk semang”” yang
mencalonkan pasangan tersebut.
Sampai tahap ini, foto dalam baliho
tersebut tidak ada kejanggalan. Foto
tersebut
telah
berfungsi
sebagaimana
fungsi
normatif
ninimal dalam dua aspek, yaitu
memberikan
informasi
dan
menggambarkan pasangan Idaman
sebagai calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah. Fotografer dan
penulis berita membuka perspektif
lain terhadap pembaca dengan
keterangan foto atau caption.
Keterangan fotonya sebagai berikut
: “MEMBINGUNGKAN : Logo
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) terpampang di baliho pasangan
Sri Suryawidati-Sumarno (Idaman).
Padahal pasangan yang dimajukan oleh
PDIP
adalah
Kardono-Ibnu
Kadarmanto (Karib).”
Duduk
masalah
mulai
makin jelas ketika membaca judul
berita : “Pilkada Lucu di Bantul,
Idaman Cantumkan Logo PDI
Perjuangan.” Ketika membaca
kutipan badan berita, masalah yang
ganjil dalam foto makin tergambar :
“Pemilihan kepala daerah atau
pemilihan bupati yang lucu akan
terjadi di Bantul. Lucu karena,
sebelumnya ada pernyataan dari
Lucu di Bantul Psangan Idaman
Cantumkan Logo PDI Perjuangan
Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada
Ketua DPD PDIP DI
Yogyakarta Idham Samawi
bahwa
meski
partainya
menjagokan pasangan KardonoIbnu Kadarmanto, bukan
pasangan ini yang akan
dimenangkan.
Dan
kini,
muncul baliho-baliho pasangan
Sri
Suryawidati-Sumarno
(Idaman) memasang logo PDIP.
Pasangan Idaman bukanlah
pasangan yang diajukan oleh
PDIP. Tapi, calon bupati Sri
Suryawidati tidak bukan
adalah isteri Idham Samawi,
ketua DPD PDIP DI
Yogyakarta yang juga bupati
Bantul.”
…“Peristiwa pemasangan logo
partai
bukan
pengusung
pasangan calon ini tentu saja
membingungkan penyelenggara
hajatan pemilihan bupati.
KPUD dan Panitia Pengawas
Pemilu (Panwaslu) bisa jadi
bingung menyikapi persoalan
ini.”
Pasangan Idaman sejatinya
diusung oleh PAN, Partai Golkar,
dan PKPB. PDIP tidak termasuk
sebagai partai yang mencalonkan
Idaman. Calon PDIP adalah
Kardono – Ibnu Kadarmanto
(Karib). Ketika Karib selesai
mendaftar dan memenuhi syarat
administrasi Komisi Pemilihan
Umum KPU Kabupatan Bantul,
DPC PDIP Bantul Aryunadi
menarik dukungan Karib. “Surat
pencabutan dukungan kepada
pasangan
karib
yang
telah
didaftarkan ke KPUD Bantul
7
sebagai cabup-cawabup yang resmi
diusung PDIP ini akan segera
disampaikan
kepada
KPUD
Bantul.”6
Masalah di dalam foto
Idaman menjadi terkuak misterinya
dengan mencantumkan penjelasan
Ketua DPD PDIP Provinsi DI
Yogyakarta M Idham Samawi. PDC
PDIP
Kabupatan
Bantul
mencalonkan Karib, namun DPP
PDIP merekomendasikan pasangan
Idaman :
“Sejak awal kami sudah diberi
tahu oleh DPC PDIP Bantul,
kalau itu adalah strategi agar
Pemilukada di Bantul bisa
berlangsung. Karena sejak awal
kami memang melihat adanya
indikasi agar Pemilukada di
Bantul ditunda karena hanya
ada satupasangan yang maju.7
Dari kronologis tersebut,
foto Idaman tersebut tidak hanya
memberikan
informasi
dan
gambaran, fungsi ketiga dari foto
berupa memberi kejutan terjadi di
dalamnya. Bentuknya pemasangan
logo partai yang tidak mencalonkan
Idaman menjadi calon bupati-wakil
bupati. Fenomena demikian dalam
pandangan Barthes dinamakan
DPD PDIP Pecat Ketua PAC
Tempel Dukungan Tetap ke Idaman,
Karib Bagian Strategi, Koran Kedaulatan
Rakyat, 20 April 2010 h.8; PDIP Jegal
Karib, , Koran radarjogja, 27 April 2010
7DPD PDIP Pecat Ketua PAC
Tempel Dukungan Tetap ke Idaman,
Karib Bagian Strategi, Koran Kedaulatan
Rakyat, 20 April 2010 h.8
6
8
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
neurosis, yang diartikan trauma
fotografis. Modus demikian biasa
terjadi ketika foto dipandang
sebagai
representasi
realisme
absolute, atau orang merasa tidak
bergairah tanpa foto, misalnya
seorang fans penyanyi tidak bisa
lepas dari foto idolanya karena
semua pengetahuan tentang idola
harus ditransformasi dalam foto.
Dengan mencantumkan lambing
PDIP diharapkan pendukung partai
ini mengalami neurosis atau
transformasi dukungan politik
berdasarkan afiliasi parta yang
digandunrunginya.
Dalam konteks budaya
media,
Barthes
berpendapat
audiens,
pembaca,
hendaknya
memiliki
strategi
untuk
mengonsumsi kesan foto massa
(mass image). Modusnya, menjaga
jarak dalam membaca hal “privat”
dan “public”. Privat adalah ruang
yang diciptakan oleh realisme
absolute dan publik adalah realisme
relatif atau mengonsumsi gambar
apa adanya, tanpa keterkejutan dan
audiuen tidak sepenuhnya siap
memberikan kepercayaan pada
gambar. Dalam bahasa awam,
gambar masih bisa bohong. Maka
audiens, pembaca harus bersikap
kritis, tidak langsung menerima
kebenaran yang terpampang di foto.
“Kita tidak harus mengikuti
“proyek”
fotografer.
Biarkan kita mengalami
neurosis, trauma fotografis.
Kita perlu mengurangi foto
dalam arti bahwa tidak
semua foto harus berakhir
pada foto. Kita butuh
proses understanding yang
bermula dari rasa tidak
percaya dan bukan hanya
pengalaman yang hadir
secara langsung dalam
realitas. Kita butuh jarak
antara saya dan realitas yang
dapat dijembatani oleh
understanding,” kata Sunardi
(2002)
Etika Iklan Politik
Foto pasangan Idaman
tersebut di atas, sebelum termediasi
ke media massa, adalah bentuk iklan
luar ruang (outdoor) jenis iklan
politik. Sebelum membahas lebih
jauh makna iklan tersebut, Andrew
Hughes memberikan penjelasan
landasan teoritis tentang iklan
politik. Pakar komunikasi dan
periklanan Universitas Nasional
Australia mengemukakan pokokpokok pikirannya sebagai berikut.
Iklan politik adalah proses dari
seorang
calon
(pemimpinan
tertentu) untuk mengomunikasikan
dan mempublikasikan diri dan
mengangkat keunggulan dirinya
dibanding
lawan
atau
rival
(politiknya). Tujuan iklan dalam
rangka meraih simpati atau
dukungan suara atau meningkatkan
kesadaran publik agar memahami
kelebihan dan kelamahan sang
kandidat dibanding profil lawan
politiknya. Dalam iklan tersebut
tercantum pula rancangan kebijakan
yang akan diperjuangkan atau
diterapkan pada masa memimpin
atau menjabat di institusi tertentu.
Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada
(O'Cass 2002; Pinkleton 1998;
Meirick 2002; Roddy & Garramone
1988).
Iklan tersebut merupakan ekspresi
pesan dari calon yang dikirim ke
target audience (pemilih), dan
umumnya menceritakan image
positif, sebaliknya menggambarkan
sisi negatif lawan politiknya. (Roddy
& Garramone 1988; Kristus,
Thorson & Caywood 1994;
Niffenegger 1989).
Para
peneliti
mengidentifikasi tiga jenis iklan
politik yaitu iklan (bertendensi)
serangan (kepada lawan); periklanan
komparatif, dan negatif periklanan.
Iklan jenis serangan (politik) atau
tepatnya bernada agresif secara
sepihak dari kandidat pemasang
iklan dimaksudkan untuk menarik
perhatian terhadap kelemahan
karakter maupun posisi lawan.
Model
iklan
demikian
sesungguhnya
sudah
masuk
kategori iklan negatif. Targetnya
agar calon pesaing rendah diri dan
terpecah persepsinya. Kemudian
iklan perbandingan (kompetitif)
menggunakan
dua
sisi
perbandingan calon satu dengan
calon
lawan
dengan
mengidentifikasi
calon
yang
ditargetkan dan beberapa aspek
khusus calon lawan misalnya
masalah pengalaman atau masalah
posisi. Namun di dalamnya
termasuk
unsur
merendahkan
lawan. Dalam hal ini, audiens masih
diberi
ruang
untuk
menilai
berdasarkan isu-isu kampanye dan
iklan
yang
ditawarklan
9
(Pinkleton,1997). Adapun dalam hal
negatif iklan, Hughes menekankan,
iklan
politik
yang
materi
substansialnya
manarget
atau
menggambarkan posisi negatif
lawan
(Meirick
2002),
bisa
diekspresikan dalam isu-isu tertulis
maupun gambar (Johnson-Cartee &
Copeland 1991). Istilah negatif itu
digunakan paling tidak untuk
menandaskasn sisi negatif lawan,
termasuk di dalamnya merendahkan
keunggulan lawan (Merritt 1984)
Bentuk iklan politik negatif
bisa termanivestasi antara lain
dalam
sebuah pesan negatif, fokus pada
gambar dan masalah yang buruk
bukan (kampanye) kebijakan yang
ditonjolkan, audien ditekan dengan
iklan tersebut. Hughes mengatakan,
“iklan negatif sebagai iklan yang
menyerang kelemahan calon dalam
isu-isu atau gambar dan menyoroti
kekuatan lawan dengan pesan
negatif. Iklan demikian biasanya
dipakai oleh kandidat baru, dalam
rangka menentang incumbent.”
Iklan negatif bertentangan
dengan pemasaran politik. Nursal
berpendapat,
dalam
political
marketing
mencerminkan
serangkaian aktivitas terencana,
strategis tapi juga taktis, berdimensi
jangka panjang dan jangka pendek,
untuk menyebarkan makna politik
kepada para pemilih. Tujuannya
membentuk dan menanamkan
harapan, sikap, keyakinan, orientasi,
dan perilaku pemilih (dengan nada
positif, red). (Reaksi) perilaku
pemilih yang diharapkan adalah
10
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
ekspresi
mendukung.
Menumbuhkan kesan positif dalam
iklan politik didasarkan fakta bahwa
memilih partai atau kandidat politik
berbeda dengan seseorang membeli
sebuah pesawat televisi, dan pemilih
menghadapi ketidakpastian yang
lebih besar ketimbang pembeli
sebuah produk konsumsi (Nursal,
2004: 23-37).
Mencantumkan
lambang
partai yang nota bene bukan partai
yang mencalonkan kandidat bupati
bisa dikategorikan bagian dari
pengiriman pesan yang negatif.
Dalam hal ini, pasangan Idaman
“merebut” partai yang telah
mendukung pasangan calon lawan,
Karib. Bahkan, PDIP sebagai
pengusung
Karib
akhirnya
mencabut
dukungan.
Konflik
politik semacam ini menumbuhkan
kesan, segala cara bisa digunakan
oleh Idaman dalam meraih
kekuasaan. Publik juga membaca
bahwa pasangan pesaing Idaman,
Karib, hanya boneka dalam Pilkada
2010 tersebut. Taktik serupa diduga
diterapkan Hj. Sri Suryawidati
bersama Misbakhul Munir yang
diusung
Partai
Demokrasi
Indonesia Perjuangan mencalonkan
kembali pada Pilkada Bantul 9
Desember 2015. Publik menduga
lawan politiknya, Suharsono-Abdul
Halim Muslih dicalonkan oleh
Partai
Gerinda
dan
Partai
Kebangkitan
Bangsa,
Partai
Kesejahteraan Sosial, sebagai calon
bayangan saja seperti Pilkada 2010.
Namun Suharsoo-Abdul Halim
Muslisn membantah dengan tegas
bahwa mereka bukan “boneka”
melainkan pejuang politik yang
sesungguhnya.
Terlepas
dari
perdebatean
sosok
keduanya,
pemilihan
membuktikan
Suharsono-Abdul Halim bukan
calon
bayangan
dengan
mengalahkan Hj. Sri SuryawidatiMisbahul Munir.
Moralitas Iklan
Adakah moralitas iklan atau
prinsip positif iklan politik berlaku
dalam praktik iklan politik di
Indonesia, khususnya Pilkada di
Bantul? Moralitas dalam iklan
diistilahkan dengan kredibilitas.
Iklan dalam bentuknya nyata dan
sebelum dikenal tidak punya
kredibilitas. Publisitas menjadi
mediasi iklan yang secara formal
melekatkan kredibilitas atau nilai
moral. Al Ries Laura Ries (2003)
memaklumatkan
demikian,
“Publisits
memberikan
tanda
pengenal
yang
menciptakan
kredibilitas periklanan. Sebelum
sebuah merek baru mempunyai
tanda pengenal dalam benak
seseorang,
kita
akan
mengabikannya.” Dia bermaksud
mengungkap nilai dasar iklan.
Ketika petugas “sales” yang tidak
dikenal menawarkan suatu produk
kepada pelanggan dan pelanggan
tidak mengenal perusahaan dan
hasilnya, konsumen akan langsung
menolak. Berbeda halnya, ketika
seseorang menawari konsumen
yang berstatus pelanggan, walaupun
produk baru yang ditawarkan,
karena konsumen telah mengenal
perusahaan
dan
produk
Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada
sebelumnya, sang konsumen bisa
tertarik.
Ketika
analogi
Ries
diterapkan dalam kasus Pilkada dan
kandidat Idaman memiliki konotasi
berikut. Tim Pencitraan Idaman
menawarkan “produk baru” calon
bupati Bantul. Produk tersebut, Sri
Suryawidati maupun Sumarno,
bagian dari rangkaian produk yang
dipasarkan dan dikenal sebelumnya.
Produk terdahulu dinamakan M.
Idam Samawi, suami Sri Suryawidati
dan Sumarno sebagai pendamping
M. Idam Samawi [wakil bupati
periode 2005-2010]. Ketika Tim
Pencitraan Idaman mengenalkan
keduanya dengan baliho, termasuk
mencantumkan ornamen produk
yang sebenarnya ilegal, PDIP, maka
masyarakat Bantul sebagai calon
pemilih tidak protes. Produk baru
bermerk Idaman telah dikenal
sebelumnya. Meskipun pasangan ini
mencantumkan
tambahan
ornament produk yang ilegal,
masyarakat tidak memprotes, justru
sebaliknya bisa menerima.
Bondan Winarno memberi
gambaran lain soal etika iklan.
Dalam contoh berikut, Bondan
Winarno
secara
eksplisit
menggambarkan
narasi
iklan
sebagaimana bahasa tidak netral.
Ada tumpangan ideologis dalam
narasi iklan yang ditayangkan.
Sebagai
contoh,
dia
mengetengahkan kasus iklan karya
Poliyama Advertising untuk iklan
produk susu merk Andec. Dalam
narasi
perbandingan,
iklan
menampilkan narasi pembanding
11
Andec dengan istilah “susu bubuk
full cream terkenal”. Dancow tidak
bisa
menerima
perbandingan
tersebut. Poliyama mengajukan
alasan bahwa pembandingan dua
produk berbeda sebagai bentuk
edukasi bagi konsumen. Namun,
Dancow tidak bisa menerima alasan
tersebut, dan akhirnya kasus ini
diproses sampai ke pengadilan,
meskipun Andec telah menarik
iklan tersebut. Kasus serupa dalam
iklan minyak goreng Tropikal.
Dalam
visualnya,
Tropikal
menampilkan
tetesan
minyak
goreng
yang
menetes
ke
pelimpahan. Bimoli menganggap
iklan Tropikal memiki kemiripan
atau menyerupai iklan Bimoli.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPK)
menjembatani
damai,
namun
Bimoli melanjutkan gugatannya
sampai ke pengadilan (Wanarno,
2008). Maknanya dalam konteks
iklan Pilkada “Idaman” Bantul,
memasang gambar dalam iklan yang
je dure bukan domain dalam paket
koalisi yang mencalonkan pasangan
tersebut, sebagai pelanggaran etika.
Namun, KPU Kabupaten Bantul
tidak bersikap dengan alasan
masalah semacam ini bersifat
debatable atau multitafsir.8
Iklan politik dalam pilkada
hanya satu bagian glamoure pesta
demokrasi nasional dan lokal.
Elemen-elemen kampanye di luar
koridor demokrasi jauh lebih
dominan. Fenomena politik uang,
intimidasi, kekerasan, anarki sebagai
8 KPU Konsultasi ke Provinsi,
Radar Jogja, 30 April 2010
12
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
bagian yang kadang lebih dominan
dalam proses pilkada. Substansi
demokratisasi yang ingin dicapai
dalam pilkada adalah pemilihan
langsung yang bisa mengeliminasi
distorsi praktik demokrasi atau
penyimpangan sebagaimana model
pemilihan tidak langsung atau
perwakilan di DPRD. Amirudin
dan Bisri berpendapat, proses
pilkada langsung tidak otomatis
menghilangkan berbagai distorsi
tersebut di atas (Bisri, 2006). Jika
model-model distruktif tersebut
tidak terjadi, model lain seperti
manipulasi dukungan merupakan
“fenomena” negatif dalam pilkada
seperti kasus di Bantul. Dalam
konteks tersebut, mencantumkan
lambang partai di luar konsensus
koalisi masuk kategori manipulasi
dukungan.
Aspek hegemoni
Merujuk kembali pada iklan
politik Pilkada Bantul. Bagian akhir
tulisan ini perlu mengulas ulang
aspek historis “klaim” Idaman
sebagai pasangan calon yang layak
mencantumkan lambang PDIP. Sri
Suryawidati merupakan istri bupati
Bantul, Idam Samawi. Idam Samawi
menjabat selama dua periode, 2000-2005 dan 2005-2010. Sedang
Sumarno adalah wakil bupati,
pendamping M. Idam Samawi.
Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Kepala Daerah, syarat mencalonkan
kepala daerah sebagaimana diatur
pasal 58 huruf O adalah seseorang
yang belum pernah menjabat
sebagai kepala derah atau wakil
kepala daerah selama dua kali masa
jabatan dalam jabatan yang
sama.Sebagai konsekuensi atas
jabatan bupati dua kali, M. Idam
Samawi tidak boleh mencalonkan
lagi. Alternatifnya, M. Idam Samawi
mencalonkan
istrinya,
Sri
Suryawidati.
Dia
bersama
pasangannya, Sumarno. Partai yang
mencalonkan
adalah
Koalisi
Idaman terdiri dari PDI-P, PAN,
Golkar, PKPB. Dengan alasan,
apabila pilkada hanya diikuti satu
pasangan, Pilkada Bantul tidak bisa
dilangsungkan,
maka
PDIP
mengusung calon bayangan atau
boneka dan partai ini mengawal
pencalonan
Karib
sampai
menyelesaikan
persyaratan
administrasi di KPUD Bantul (Bisri,
2005).
“Sandiwara” politik tersebut
bisa lancar karena M. Idam Samawi
statusnya sebagai bupati petahana
sekaligus ketua DPD PDIP
Provinsi DI Yogyakarta. Dia
terpilih menjadi pimpinan partai
dalam konferensi daerah (konferda)
III DPD PDIP DIY, 7 Maret 2010
untuk masa jabatan periode 20102015.9
Fenomena
tersebut
merupakan konstruksi bangunan
politik
nepotism
(nepotism)
(Honby,
dkk,
1977)
atau
memberikan kedudukan kepada
orang terdekat seperti dari suami
Kurniawan, Bagus, 2010, Idham
Samawi Terpilih Ketua DPD PDIP DIY,
www.detik.com, 7 Maret 2010 diunduh 20
Maret 2010
9
Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada
kepada istri. Atau pemberian secara
tidak
fair
sesuatu
yang
menguntungkan
atau
jabatan
kepada keluarga ketika anggota
keluarga lain berada dalam jabatan
tertentu.10
Semiotika menggambarkan
fenomena
dominasi
tersebut
sabagai hegemoni atau suatu relasi
kuasa di antara kelompok dan
institusi melalui proses persetujuan
ketimbang kekerasan dan paksaan
(Thwaites,dkk, 2009). Lobi politik
yang digalang oleh Bupati Bantul
sekaligus Ketua PDIP Provinsi DI
Yogyakarta M. Idam Samawi
menjadi kunci rekayasa politik
mengukuhkan jalinan koalisi partai
untuk mencalonkan istri, Sri
Suryawidati,
dan
membuat
sandiwara bahwa PDIP pencalonan
pasangan Karib. Semuanya diproses
secara damai, tanpa kekerasan
sedikitpun.
Dalam
perspektif
Gramsci, "hegemoni" mengacu
pada proses intelektual dan
kepemimpinan
moral
yang
termanivestasi dalam dominasi atau
elit mendominasi kelas bawahan.
Proses tersebut terjadi melalui
negosiasi dan persetujuan yang
secara tidak terasa sebenarnya
melalui paksaan (Mastroianni, 2002).
Dalam hal ini elit dominan
mengontrol relasi yang lebih lemah.
M. Idam Samawi adalah bupati dan
pimpinan partai sebagai representasi
elit dominant dimaskud, partai-
10 Oxford Leaner’s Pocket
Dictionary, New Edition, Fourth
Impression, 2005
13
partai pendukung Idaman sebagai
bawahan yang dihegemoni.
Ironi Demokrasi
Fenomena
Bantul
sesungguhnya gambaran tentang
ironi praktik demokrasi. Tujuan
demokrasi menciptakan keadilan
sosial
[sosial
justice]
yang
diabadikan, dilegalisasikan dalam
ikatan hukum yang adil [legal
justice]. Ketika dominasi hingga
hegemoni terjadi, praktik demokrasi
menciptakan strata dominasi versus
minoritas. Keadilan dan kesetaraan
dalam demokrasi yang menjadi
prinsip
utama
rasionalisasi
kekuasaan menjadi omong kosong,
isapan jempol.
Pilkada Bantul merupakan
cerminan
model
demokrasi
formalistik dengan penekanan
pemilihan kepala daerah menjadi
tujuan bukan substansi bagaimana
mengejawantahkan demokratisasi.
Hendra Nurtjahjo berpendapat
pencapaian tujuan demokrasi tidak
bebas nilai atau menghalalkan
segala cara. Hal penting dalam
praktik
demokrasi
adalah
pencapaian kekuasaan dengan
mengintrodusir
substansi
etis
[fenomena moralitas]. Dengan
demikian legitimasi yang dicapai
bukan sebatas legitimasi sosiologis
atau prinsip mayoritas. Dalam
perspektif
filsafat
demokrasi,
menurut
pandangan
Hendra
Nurtjahyo, demokrasi yang baik
dalam pelaksanaan mengawinkan
substansi etis dan prinsip mayoritas.
Kenyataannya fenomena kekuasaan
14
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
lebih dimainkan dan restriksi
moralitas diabaikan (Nurtjahjo,
2006). Pemasangan simbol partai
bukan pendukung menjadi satu saja
dari
sekian
contoh
yang
menyebabkan
terjadinya
ketimpangan
antara
urgensi
moralitas demokrasi dengan tujuan
mencapai mayoritas kekuasaan.
Apakah dominasi semacam
itu tidak bisa diubah? Semua proses
tahapan pencapaian hegemoni
bukan layaknya wahyu Tuhan, yang
konon datang dari langit. Proses
terbentuknya hegemoni direkayasa,
dinegosiasikan
berulang-ulang
sampai
mencapai
akumulasi
kekuasaan.
Dalam
tahap
konsolidasi, hegemoni mengubah
lahan yang semula [arena] konflik
politik dan perjuangan [kompetisi
politik] menjadi memiliki makna
dan secara tidak terasa menjadi
bagian dalam dominasi kekuasaan.
Praktik
demokrasi
dalam
perkembangannya tidak berada di
ruang hampa, terjadi proses
pendewasaan dan pematangan.
Dalam
pusaran
dinamika
demokrasi, hegemoni kekuasaan
sesungguhnya tidak bersifat statis
(Bakker, 2009). Maknanya suatu
saaat terjadi dinamika misalnya
elemen dalam koalisi melepaskan
diri dari jerat aktor hegemonik.
Dinamika
demikian
sebagai
konsekuensi bahwa hegemoni
menyatu dengan kekuatan sosial,
maka dinamika politik mengalami
perkembangan sejalan dinamika
kekuataan sosial dan politik dalam
masyarakat
terutama
elemen
masyarakat sipil.
Kekuatan masyarakat sipil
yang kritis sebagai motor untuk
melakukan perubahan, menjadi
tanda tanya besar. Seberapa kuat
dan luas masyarakat sipil di Bantul
memiliki kesadaran menggugat
ketidakadilan dalam demokrasi,
menentukan seberapa signifikan
‘kesehatan’ demokrasi di kabupaten
tersebut.
Selama
masa
pemerintahan M. Idam Samawi
[2000 – 2005 dan 2005 - 2010],
masyarakat Bantul lebih banyak
menikmati kemapanan keamanan,
stabilitas ekonomi dan politik.
Fenomena pemasangan lambang
partai secara ilegal dalam persiapan
pemilu pun tak tersentuh oleh suara
kritis. Masyarakat Bantul seperti
menikmati pajangan ‘kematian iklan
politik’, bersikap apatis melihat
realitas di lapangan.11
Sumber Bacaan
Buku dan e-book
Amirudin, Bisri, A Zaini, 2006,
Pilkada Langsung Problem dan
Prospek, Sketsa Singkat
11Lihat
dan baca lebih dalam
tentang “kematian iklan politik” dalam
Tinarbuko, Sumbo, Matinya Iklan Politik,
http://sumbo.wordpress.com
adalah
Dosen Komunikasi Visual FSR ISI
Yogyakarta dan Penulis Buku ''Iklan Politik
dalam Realitas Media'' (Penerbit Jalasutra
2009)
Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada
Perjalanan Pilkada 2005,
Pustaka Pelajar
Bakker, Chris, 2009,
Cultural Studies Teori dan
Praktik (judul asli Cultural
Studies, Theory and
Practice) penerjemah
Nurhadi, Kreasi Wacana
Honby, AS, dkk, 1977,
Kamus Inggris-Indonesia,
Indira, Pustaka Ilmu
Hughes, Andrew, 2003,
Definiting Negatif Political
Advertising, Definition, Feature
and
Tactics,
Australian
National University, Journal
of Advertising 18 (Winter),
dari
ANZMAC
2003
Conference Proceedings Adelaide
1-3 December 2003
,
www.google.com, diunduh Mei
2010
Mastroianni, Dominic, 2002,
Antonio Gramsci in Hegemoni,
http://www.english.emory.edu/
Bahri/hegemony.html, diunduh
15 Mei 2010
Nursal, Adman, 2004,
Political Marketing Strategi
Memenangkan Pemilu Sebuah
Pendekatan Baru Kampanye
Pemilihan DPR, DPD,
Presiden, Gramedia Pustaka
Utama
Nurtjahjo, Hendra, 2006,
Offset
Filsafat Demokrasi, Sinar Grafika
Ries, Al Ries Laura, 2003,
The Fall of Advertising and The
Rise of PR, penerjemah Bern
Hidayat, Gramedia Pustaka
h.xxiii
15
Ritzer, George, 2010,
Teori Sosial Postmodern,
Kreasi Wacana, Yogyakarta
Schhmandt, Henry J, 2015
Filsafat Politik, Kajian
Historis Dari Zaman
Yunani Kuono Ssampai
Zaman Modern, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Sunardi, ST, 2002,
Semiotika Negativa, Kanal
Yogyakara
Tinarbuko, Sumbo,
Matinya Iklan Politik,
http://sumbo.wordpress.co
m, tulisan yang samadalam
buku ''Iklan Politik dalam
Realitas Media'' (Penerbit
Jalasutra 2009)
Thwaites, Tony, David, Lloyd,
Mules, Warwick, 2009,
Introducing Cultural And
Media Studies, sebuah A
Pendekatan Semiotika (Semiotic
Approach), penerjemah Saleh
Rahmana, Jalasutra
Majalah/Koran/Jurnal
Oxford Leaner’s Pocket Dictionary,
New Edition, Fourth Impression,
2005
Radar Jogya,
Pilkada Lucu di Bantul
Pasangan Idaman
Cantumkan Logo PDI
Perjuangan, 23 April 2010
--------------,
PDIP Jegal Karib, 27 April
2010
---------, Suami Jadi Staf Ahli, 24
Mei 2010
PDIP Jegal Karib, h.
Kedaulatan Rakyat,
16
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
DPD PDIP Pecat Ketua
PAC Tempel, Dukungan
Tetap ke Idaman, Karib
Bagian Strategi, 20 April
0210,
Kedaulatan Rakyat,
Calon Harus Jujur Beritahu
Dana Kampanye,
Kedaulatan Rakyat 30
Maret 2010
Hj Ida, Sri Purnomo,
Sumpeno Unggul, Kedaulatan
Rakyat, 24 Mei 2010
Kompas,
Kubu Idaman Siapkan
Pasangan, www.kompascetak.com, 2 Maret 2010,
diunduh 20 Mei 2010
Kurniawan, Bagus, 2010,
Idham Samawi Terpilih Ketua
DPD PDIP DIY,
www.detik.com, 7 Maret
2010 diunduh 20 Maret
2010
Syaifullah, Muh,
Lebih 2 Juta Warga Tiga
Kabupaten di DIY Nyoblos
Pilkada,
www.tempointeraktif, 23
Mei 2010, diunduh 27 Mei
Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH,
MENJADI ACEH MENJADI ISLAM
17
“MENJADI SINGKEL MENJADI
ACEH, MENJADI ACEH MENJADI
ISLAM”
(Membaca Identitas Masyarakat
Majemuk Dan Refleksi Konflik Agama
Di Wilayah Perbatasan-Aceh Singkel)1
Oleh :
Muhajir Al Fairusy
(Mahasiswa S3 Antropologi UGM, dan Peneliti PKPM Aceh)
Identitas, dan jati diri merupakan salah satu konsep dalam kajian sosial
budaya untuk melihat masyarakat majemuk. Diskusi ini terfokus pada
keadaan masyarakat majemuk di Singkel, yang merupakan komunitas
hitoregen di perbatasan Aceh. Perbincangan identitas di Singkel, bahkan
ketika konflik meletus, jarang dimunculkan. Padahal, identitas merupakan
konsep benang merah untuk melihat dinamika masyarakat di sana. Kajian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan etnografi, dengan
menggunakan konsep identitas, dan pendekatan paradigma fenomenologi,
untuk melihat kesadara manusia dan kelompok masyarakat di Singkel. Pada
akhirnya, identitas menunjukkan satu pola dan benang merah, yang harus
dibaca secara mendalam untuk mewujudkan integrasi sosial di tengah
masyarakat majemuk Singkel.
Kata Kunci : Singkel, Masyarakat Majemuk, dan Identitas.
1 Alasan saya tidak menulis Kabupaten Singkil (menggunaka huruf “i”), karena
berdasar dokumen historiografi yang saya lakukan, dan dibenturkan dengan realitas sejarah,
ejaan “Singkel” (menggunakan huruf “e” bukan “i”/Singkil) tampak lebih mengakar secara
identitias, baik dari perjalanan sejarah, maupun bunyi pengucapan yang berkembang dalam
masyarakat Aceh dan Singkel sendiri. Ejaan ini, juga dapat dibaca pada beberapa teks lama,
termasuk dalam “Brochure, Kabupaten Aceh Selatan” yang diterbitkan oleh Kantor Kabupaten
Aceh Selatan (1954). Ejaan, atau lebih tepatnya pengucapan Singkel menjadi Singkil,
sebenarnya untuk mempertegas sebuah serpihan sejarah penting yang dicopot begitu saja
dari bingkainya. Sebagai perbandingan, kata “Aceh,” jika disimilekan tentu tak akan
menarik ditulis dan disebut dengan kata “Acih,” karena di sana terletak daya diplomasi
budaya sebuah komunitas, pertarungan identitas, dalam rangka menguatkan konstruksi
kesadaran sebuah bangsa seperti Singkel yang memiliki akar sejarah.
18 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
A. Pengantar
Diskusi dalam ruang
artikel
ini,
mencoba
memperbincangkan
kembali
fenomena, gejala sosial budaya, atau
kasus konflik di Aceh Singkel.
Meskipun sudah berlalu selama satu
tahun,
tampaknya
beberapa
lembaga di level nasional masih
menaruh perhatian, dan menyukai
mendiksusikan (kasus) Singkel. Saya
sendiri, beberapa kali mendapat
informasi dari kolega di Jakarta
lintas-kementerian,
bagaimana
sustainable-nya mereka bergelut dan
mencoba memecahkan persoalan
Singkel, yang barangkali oleh orang
Aceh dan Singkel kasus tersebut
sudah mulai memudar.
Dari berbagai konsep
(conceptual framework) kajian sosial
budaya, konsep identitas (jati diri)
sebagai frame of thinking, sering luput
dan tidak terlalu kencang-muncul
dalam rangka melihat refleksi dari
kasus letusan konflik agama di
teritorial perbatasan (frontir) Aceh
Singkel. Selama ini, kajian-kajian
sosial budaya terhadap Singkel,
sering diarahkan dan dihadaphadapkan (dugaan) sebagai gejala
intoleransi, kesenjangan ekonomi,
paradigma kerja FKUB, dan kajiankajian sosial menyangkut potensi
konflik, hingga kajian historis,
dengan klaim sebagai sejarah yang
berulang.
Namun,
belum
menemukan satu formulasi (hukum
sosial) yang jelas, bagaimana
seharusnya konflik yang sering
mengejutkan publik itu dibaca dan
dihadang kemudian hari. Karena
itu, kasus konflik di sana tampak
seperti
pembiaran,
hanya
menunggu waktu letupannya. Jika
memang harus diselesaikan atau
minimal dikurangi frekuensinya,
pertanyaannya kemudian harus
dimulai dari mana ?
Selama
beberapa
kesempatan bergelut mempelajari
dan melihat masyarakat Singkel,
saya sampai pada satu titik untuk
membuka simpul yang barangkali
menarik untuk diperbincangkankonsep identitas. Konsep ini,
kemudian interkoneksi dengan
setiap gejala sosial, dan dinamika
budaya yang kerap muncul di
tengah masyarakat majemuk di
sana. Harus diakui, Singkel
merupakan kabupaten dengan
komposisi penduduku bercorak
hiterogenitas.
Secara
umumn,
kelompok masyarakat Singkel dapat
dibagi ke dalam tiga tipologi.
Pertama,
masyarakat
pesisir
(karakter Minang) bermayoritas
Islam.
Kedua,
masyarakat
pedalaman/pinggiran sungai “orang
kampung”
(karakter
Boang)
bermayoritas
Islam.
Ketiga,
masyarakat di titik pusat kecamatan
(perpaduan antara Boang dan
Pakpak) seperti Kota Rimo dan
kecamatan perbatasan dengan
Tapanuli Tengah, pun dalam
Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 19
MENJADI ACEH MENJADI ISLAM
konteks kepercayaan, tipe ketiga ini
juga terbagi ke dalam tiga
kelompok, Islam, Kristen/ Katolik,
dan Pambi (animisme).
Namun,
sebagai
masyarakat
majemuk,
Singkel
memiliki
potensi
menjadi
masyarakat yang toleransi. Antara
orang pesisir, penduduk pinggiran
sungai, dan daratan memiliki
kecintaan yang sama pada Singkel.
Selain itu, keberadaan klan, dan
marga meskipun berbeda agama,
sebenarnya
telah
menjadi
penyambung identitas orang-orang
Singkel,
terutama
kelompok
masyarakat yang menetap di tepi
ketiga tadi, mengingat antarkerabat
mereka, sebagian besar masih satu
marga. Selain itu, aktifitas sosial
yang
kerap
mempertemukan
identitas berbeda tadi, dapat
ditemukan dalam interaksi sosial
seperti di pasar tradisional dan
institusi adat lokal.
Karena itu, dari catatan
sejarah “Singke baru” di sana,
masyarakat telah
biasa hidup
berdampingan dengan nilai-nilai
toleransi yang kuat, karena mereka
memiliki
relasi
klen
dan
kekerabatan yang luas-merujuk
pada satu wilayah teritorial. Namun
di sisi lain, keberadaan etnik Pakpak
di Singkel (khususnya yang
beragama selain Islam), yang telah
menetap di sana sejak era kolonial,
dalam perkembangannya mulai
dipersoalkan, ternyata identitas
mereka tak sepenuhnya diakui oleh
penduduk lokal, maupun etnik
Pakpak yang sudah beragama
Islam. Pengaruh geopolotik Aceh
sebagai wilayah yang dilebeli
identitas Islam, berimbas pada
kesadaran
identitas
(politik)
penduduk di sana. Modal sosial
klan tidak lagi berfungsi, ritual
sebagai integrasi sosial dianggap
sudah kurang
layak, akibat
rongrongan benih dan corak
konflik yang bermuatan konspirasi,
terorganisir dan didukung oleh
kerja struktural. Akibatnya, banyak
kerugian yang harus ditanggung
kelompok masyarakat Singkel,
pengaruh dari jaringan konflik yang
mulai meletus sejak pertengahan
tahun 60-an.
Padahal, Singkel sangat
membutuhkan integrasi sosial kuat
untuk melanjutkan pembangunan
wilayahnya yang masih tertinggal,
jika dibanding kabupaten lainnya di
Aceh. Karena itu, penelitian ini
terfokus
pada
kerja-kerja
membongkar
jati
diri,
dan
kesadaran orang Singkel menjadi
“Singkel” dalam konsep pola
budaya dan identitas, sebagai
benang merah membaca dinamika
masyarakat majemuk Singkel.
B. Paradigma/Konseptual
Sebagaimana
diketahui,
setiap kajian ilmu sosial budaya
selalu bergerak dan berangkat dari
sebuah paradigma dan konsep.
Ahimsa Putra dalam Paradigma Ilmu
Sosial-Budaya : Sebuah Pandangan
(2009), mengatakan, bahwa
20 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
“...Ilmu sosial budaya, selalu
bergerak dan berangkat dari
sebuah
paradigma.
Paradigma
merupakan
konsep yang berhubungan
satu sama lain secara logis,
membentuk
sebuah
kerangka pemikiran yang
berfungsi untuk memahami,
menafsirkan,
dan
menjelaskan kenyataan dan
atau
masalah
yang
dihadapi” (Ahimsa Putra,
2009).
Dari defenisi ini memberi
pengertian,
bahwa
paradigma
berdiri dengan sejumlah unsurunsur atau konsep. Secara spesifik,
paradigma adalah kumpulan makna
dan
pengertian-pengertian.
Paradigma sendiri dalam rangka
mencapai sebuah representasi (hasil
penelitian) dipengaruhi oleh unsurunsur
sebagaimana
dikatakan
Ahimsa Putra, dengan mengikuti
jalan pikiran yang telah dibuka oleh
Kuhn, Cuff dan Payne. Namun,
dalam ruang artikel ini, unsur-unsur
itu dan dijelaskan lagi. Namun,
akan digunakan dalam mencapai
representasi dari kajian ini.
Dalam ruang artikel ini,
saya
mencoba
menggunakan
pendekatan
(paradigma)
fenomenologi, untuk menjelaskan
konsep kesadaran identitas dalam
konteks
masyarakat
majemuk
Singkel. Sebagaimana diketahui,
fenomenologi merupakan salah
satu epistemologi atau arus
pemikiran dalam filsafat yang
diperkenalkan
oleh
Edmund
Husserl dan kian diperjelas setelah
dirumuskan oleh Hegel (Lihat
Ahimsa Putra, 2012). Dalam
fenomenologi, maka kesadaran
sebagai pengetahuan merupakan
hal penting bagi pelaku (subjek,
tineliti)
dalam
menyampaikan
sesuatu, berdasar klasifikasi yang
disampaikan lewat bahasa. Karena
itu, Fenonomenologi satu-satunya
epestimologi
yang
menolak
penyamaan manusia dengan alam,
secara tidak langsung menolak
positivisme. Dalam fenomenologi,
manusia sebagai subjek memiliki
kesadaran personal, yang kemudian
menjadi pengetahuan kolektif saat
bertemu
intersubjek
(lewa
komunikasi). Di sini, tineliti
(manusia) memiliki emik yang akan
menjadi sumber data dalam
penelitian. Filsafat ini pula yang
kemudian
menegaskan
dan
menunjukkan eksistensi manusia
berbeda dengan alam, bahwa setiap
gejala sosial yang muncul itu selalu
berasal dari kesadaran manusia, dan
dimaknai, ini tentu berbeda dengan
gejala alam.
Identitas, sebagai konsep
jati diri, merupakan sekumpulan
simbol atau tanda, baik fisik,
materiel maupun perilaku-yang
membuat seorang individu atau
sekumpulan
individu
terlihat
berbeda dengan individu atau
kumpulan individu yang lain (bdk.
Goodenough, 1976 dalam Ahimsa
Putra, 2013). Karena itu, jati diri
Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 21
MENJADI ACEH MENJADI ISLAM
atau identitas terdapat pada tingkat
individu
maupun
kumpulan
individu. Kumpulan individu dalam
hal menegasi identitas memiliki
simbol atau tanda-tada, baik fisik,
materiel, perilaku yang kemudian
disebut identitas, dan ini pula yang
membedakan
mereka
dengan
kumpulan individu yang lain.
Dalam konteks Singkel,
identitas kelompok manusia, secara
khusus dapat dibagi ke dalam dua
ruang, sesuai simbol dan penanda
yang dimiliki sebagai jati diri. Ruang
pertama,
identitas
kelompok
masyarakat berdasar bahasa dan
teritoria (orang pesisir-baapo yang
tinggal di pesisir Singkel, orang kadekade yang tinggal sepanjang aliran
Sungai
Singkel,
dan
orang
pakpak/kade-kade yang tinggal di
beberapa
pusat
kecamatan).
Selanjutnya ruang kedua, kelompok
masyarakat yang berbeda karena
simbol
agama
(Islam,
Kristen/Katolik,
dan Pambi).
Karena itu, di Singkel identitas
kelompok manusia begitu pekat,
dan membutuhkan kerja keras
untuk mengupas simpul ini-dan
melihat bagaimana seyogjanya
kelompok-kelompok tersebut dapat
bekerja membangun integrasi sosial
nantinya.
C. Metode Penelitian
Keberagaman Singkel ini,
nantinya merupakan perbincangan
yang akan ditawarkan secara
etnografik kontekstual, sehingga
peristiwa-peristiwa yang selama ini
terjadi di Singkel, yang dianggap
asing akan meluas dan memantul
pada diri (noetic) intelekutualitakosmopolitan (meminjam bahasa
P.M.
Laksono,
guru
besar
antropologi UGM). Di sini, cerita
akan ditampilkan dengan tafsir
budaya, sebagaimana dikatakan
Geertz (1972) bahwa prosedur
deskripsi yang pekat (thic description)
selalu diawali dari deksripsi yang
dangkal (minus tafsir) dari suatu
peristiwa
yang
diobservasi,
kemudian dengan penuh argumen
akan dikaitkan dengan fakta-fakta
lain.
Karena itu, penelitian ini
untuk mengumpulkan data tentang
kesadaran identitas kelompok
masyarakat lintas teritorial dan
agama di Singkel. Kajian ini,
menggunakan metode penelitian
kualitatif dan etnografi. Teknik
pengambilan data dengan teknik
observation (observasi) dan depth
interview (wawancara mendalam).
Peneliti juga melakukan perekaman
data visual dengan pemotretan
memanfaatkan
kamera
foto,
nantinya
data
visual
akan
ditampilkan dalam laporan tulisan
ini. Sebelum penelitian lapangan
(field research) dilaksanakan, terlebih
dahulu peneliti mengkaji berbagai
literatur yang berhubungan dengan
konsep kearifan identitas, serta
pendalaman
beberapa
bacaan
terhadap etnografi masyarakat yang
akan diteliti.
22 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Strauss & Corbin (2003;
10-11) mengatakan bahwa, Teori
yang grounded adalah teori yang
diperoleh secara induktif dari
penelitian tentang fenomena yang
dijelaskannya. Karenanya teori ini
ditemukan, disusun, dan dibuktikan
untuk
sementara
melalui
pengumpulan data yang sistematis
dan analisis data yang berkenaan
dengan fenomena itu. Dengan
demikian,
pengumpulan
data,
analisis, dan teori saling terkait
dalam hubungan timbal-balik.
Peneliti tidak memulai penyelidikan
dengan satu teori tertentu lalu
membuktikannya, tetapi dengan
suatu bidang kajian dan hal-hal
yang terkait dengan bidang
tersebut”.2
Karena penelitian ini
adalah penelitian kualitatif, sehingga
yang lebih dipentingkan adalah
kualitas dan kedalaman data, bukan
kuantitas data seperti pada metode
penelitian kuantitatif. Peneliti tidak
memanfaatkan kuisioner sebagai
instrumen penelitian, tidak ada
hipotesa, tidak mencari korelasi
antar variabel, tidak ada sebab dan
akibat (causality), tidak ada analisis
data statistik, tidak ada prosentase
responden terhadap populasi, dan
tidak ada istilah responden sebagai
narasumber pengumpulan data,
mengingat semua adalah poin-poin
Strauss, Anselm & Juliet
Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian
Kualitatif Tata Langkah dan Teknikteknik Teoritisasi Data. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
ciri khas pada metode penelitian
kuantitatif.3
Sebaliknya,
peneliti
memanfaatkan interview guidance
(panduan
atau
pedoman
wawancara) sebagai instrumen
penelitian, yang bersifat fleksibel
dan menyesuaikan dengan kondisi
di lapangan saat melakukan
wawancara mendalam. Narasumber
penggalian data adalah key persons
dan informan, bukan responden.
Penggalian data difokuskan pada
makna (meaning) yang ada di dalam
pikiran informan terhadap sistem
kearifan lokal yang dipraktikkan
dalam membangun kohesi sosial,
serta jaringan sosial dan jaringan
kekerabatan yang telah berlangsung
sekian lama, dipahami, dialami, atau
disaksikan.
Untuk mencapai lokasi
penelitian, yang tergolong jauh dari
pusat ibukota provinsi Aceh, maka
dari Banda Aceh, peneliti akan
melakukan perjalanan darat selama
13 jam menuju Ibukota Kabupaten
Aceh Singkel. Nantinya, peneliti
akan menetap dan tinggal bersama
masyarakat di beberapa kecamatan
Kabupaten Aceh Singkel, selama
waktu yang dibutuhkan dalam
pengumpulan
data
berbasis
pendekatan etnografi ini.
2
3 Spradley, James P. 1997.
Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 23
MENJADI ACEH MENJADI ISLAM
D. Pembahasan
1. Sejarah dan Titik Identitas
“Singkel Baru”
Dalam
konteks
historiografi,
berdasar
catatan/dokumen yang saya telaah,
maka saya membagi Singkel dalam
dua dunia, “dunia lama” dan “dunia
baru.” Dunia lama berkonotasi
Singkel abad ke-16-18 M, yang
merupakan bandar pelabuhan
penting, tempat singgah pendatang
dari Timur Tengah, China dan
Eropa, sekaligus penghasil kampe
dan kapur barus. Selain itu, Singkel
dunia lama merupakan Singkel yang
memproduksi intelektual sekaliber
Hamzah Fansuri dan Abdurrauf As
Singkily, dengan identitas
tunggalnya Islam. Adapun Singkel
dunia
baru,
merupakan
pembabakan Singkel yang dimulai
pada era kolonial Belanda.
Untuk
memudahkan
melihat tipologi Singkel yang saya
klasifikasi, saya sengaja membagi
pembabakan sejarah Singkel ke
dalam empat ruang berdasar
dokumen dan catatan lama. Pertama,
Singkel dalam konteks dunia lama
(pengaruh Islam dan sebagai
bandar pelabuhan penting). Kedua,
Singkel pada saat kedatangan
Belanda sebagai pintu gerbang
dunia baru, dan mulai membangun
Kota Singkel. Ketiga Kota Kedua
Singkel di era kolonial, dan ketiga
apah yang dimaksud dengan Niew
Singkel (Singke Baru) sebagai kota
ketiga yang menjadi landasan
sustainble perkembangan kota
Singkel sekarang. Lebih spesifik
dapat dilihat dari bagan berikut,
24 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Dari kotak-kotak bagan di
atas, kita dapat melihat bagaimana
perjalanan sejarah Singkel. Karena
itu, mengingat kajian ini buka
sebuah historiografi, maka saya
harus mengambil salah satu konsep
Singkel berdasar tipologi yang saya
buat, yaitu Singkel “dunia baru”
sebagai basis melihat identitas
dalam kajian ini. Singkel “dunia
baru” yang saya maksud, memiliki
ciri sebagai masyarakat majemuk,
multi jati diri, sekaligus titik
identitas sebagai kawasan geopolitik
Aceh. Karena itu, simbol ini
menjadi gerbang utama yang
menjadi acuan melihat identitas
yang telah dimulai diprakarsai oleh
Belanda
terhadap
masyarakat
majemuk Singkel, melalui kerjakerja
membangun
kelompok
masyarakat dengan identitas baru,
yang berlangsung hingga sekarang.
Selanjutnya,
dalam
konteks artikel ini, pembahasan
dimulai dari deskripsi histroris
singkat
terkait
sejarah
perkembangan
pembentukan
Singkel Baru, untuk membongkar
identitas
masyarakat
Singkel.
Identitas Singkel dalam dunia baru,
dalam perkembangannya kemudian
sebagai
kabupaten
Singkel
merupakan identitas sosial yang
ascribed (diperoleh begitu saja) sejak
Belanda membangun teritorial
Singkel pada tahun 1840 M.
Namun, dalam perkembangannya,
beberapa masyarakat pendatang ke
Singkel, maka identitas diperoleh
dengan achieved (harus mencapai),4
karena
kencangnya
negosiasi
identitas saat seseorang harus
menjadi Singkel, terutama dalam
konteks gagasan dan perilaku
perbedaan
(agama)
antarmasyarakat.
Harus diakui, mengenai
historiografi Singkel (khususnya
terfokus pada masa kolonial),
selama ini jarang disentuh dan
dibumikan lewat lembaran buku
dalam
jumlah
berbilang,
sebagaimana sejarah Aceh era
kolonial yang seakan dapat dilihat
utuh dan bernuansa epos. Di sini
menunjukkan posisi historiografi
Singkel (masih) lemah. Apalagi
selama ini, kecenderungan narasi
sejarah hanya dihegemoni oleh
wilayah-wilayah
tertentu
di
Nusantara, termasuk dalam skala
Aceh sendiri. Padahal, catatan
sejarah era kolonial, adalah kunci
melihat dinamika Singkel.
Setidaknya, untuk melihat
Singkel di era kolonial, ada dua
artikel (dokumen), yang menurut
saya
cukup
membantu
mendeskripsikan
wilayah
perbatasan Aceh ini pada masa
tersebut. Pertama, tulisan dan kajian
yang dilakukan oleh Sri Wahyuni,
dkk (2003) dalam bundel “Laporan
Budaya Masyarakat Suku Bangsa
Singkil,” yang diterbitkan oleh Balai
Lihat Ahimsa Putra, Budaya
Bangsa, Jati Diri dan Integrasi Nasional ;
Sebuah Teori, Jejak Nusantara, Edisi
Perdana, Tahun I, 2013, h. 7-19
4
Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 25
MENJADI ACEH MENJADI ISLAM
Kajian
Sejarah
dan
Nilai
Tradisional Banda Aceh. Kedua,
tulisan Sudirman di laman web
“Sejarah Maritim Singkil.5Dua artikel
ini, menjadi referensi sejarah yang
paling
memungkinkan
untuk
diakses, dalam rangka memahami
Singkel di masa kolonial. Kedua
tulisan ini juga memiliki banyak
kesamaan, sehingga Singkel masa
kolonial bisa dilihat dari satu arah
paradigma (pandangan) saja. Selain
itu,
ada
beberapa
video
(dokumentasi Kompas) yang dapat
menjadi dokumen pendukung.
Meskipun,
dokumentasi
yang
dibuat kompas terkait dengan
Singkel era kolonial, juga tak dapat
dilepas dari narasi dua tulisan
sebelumnya yang terlebih dahulu
membahas Singkel pada masa
tersebut.
Sebagaimana
diketahui,
kedatangan Belanda ke Nusantara,
menjadi pembabakan baru dalam
sejarah Nusantara berikutnya. Era
ini, menjadi barometer setiap
wilayah di Nusantara melakukan
transformasi dan konversi pola
hidup, dengan framing globalisasi
ala barat. Pun, sekaligus memasuki
pembabakan sejarah baru-setelah
lepas dari gaya hidup monarki
(kerajaan)
menuju
kesatuan
Republik Indonesia. Negosiasi
politik yang terjadi saat masuknya
Tulisan ini dapai diakses pada
laman
web
dirmanmanggeng.blogspot.co.id.
Dipublikasi pada tanggal 17 Februari
2009.
5
orang-orang
Barat
(Belanda)
tersebut, ikut merombak struktur
budaya kerajaan-kerajaan kecil
menjadi wilayah kewedanan di
bawah kontrol dagang VOC.
Singkel, juga demikian, mengalami
masa transisi hebat era dan
pascakolonial.
Keberadaan
“Singkel
baru” yang pertama sekali muncul
dan diperkenalkan oleh Belanda
untuk menunjukkan perkembangan
sebuah kota yang mereka bangun
sejak Tahun 1840/1841 s/d 1890
M, memang cenderung banyak
menguntungkan pendatang dari
Sumatera Utara, terutama etnik
Batak (Pakpak)-situsi yang sama
terjadi dalam masyarakat di Sibolga
dan Barus, di mana kebijakan
politik
Belanda
cenderung
menguntungkan
etnik
Batak
dibanding Etnik Melayu, Minang
dan Aceh (Lihat Tanjung, 2016).
Khusus di Singkel, etnik Pakpak
mereka didatangkan sebagai buruh
di perkebunan Belanda.
Dari
kunjungan
(observasi) saya ke Kabupaten
Pakpak Bharat dan Tapanuli
Tengah, masyarakat di sana
sebagian besar beragama Kristen
dan Katolik. Selain itu, di sana
masih berkembang kepercayaan
animisme
Parmalim.6
Kontak
Dalam perkembangannya,
penduduk yang beraliran kepercayaan
Pambimendapat pengaruh Kristen pada
tahun 1965 M, yang dibawa oleh
pendatang baru dari Manduamas dan
6
26 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
budaya lewat migrasi penduduk ke
Singkel, menjadi jawaban paling
memungkinkan terjadinya difusi
budaya,
yang
menelurkan
akulturasi, antara penduduk Singkel
daratan
dengan
pendatang
kelompok Pakpak ini. Perpindahan
penduduk dari dua kabupaten
tersebut ke Singkel terjadi secara
besar-besaran pada era kolonial.
Karena kebutuhan buruh sawit dan
dorongan ekonomi dalam rangka
memburu minyak kayu (Singkel :
ombil) yang hanya ada, dan tersebar
di hutan Singkel ketika itu.
Karena itu, istilah Singkel
Baru (Belanda ; Niew Singkel) yang
diperkenalkan Kolonial, secara
tidak langsung menunjukkan makna
konversi
sebuah
peradaban
sekaligus
identitas
kelompok
manusia baru-dengan atribut politik
kolonial. Meskipun, dari catatan
sebelumnya Singkel Baru hanya
ditulis sebatas perpindahan dari
lokasi lama ke lokasi baru. Namun,
tentunya Singkel baru tampil
dengan ciri khas identitasnya, yang
berbeda dengan jati diri, dan simbol
Singkel dalam konteks “dunia
lama”-di atas panggung sejarah
Islam Nusantara. Di sini, Singkel
baru yang dikonstruksi oleh
Barus. Tak pelak, banyak warga kemudian
beramai-ramai mengonversi kepercayaan
menjadi pemeluk agama (Katolik dan
Kristen di sana). Selain itu, sebagian dari
mereka juga memilih menjadi Muslimsetelah mendapat pengaruh dari Trumon,
Aceh Selatan dan penduduk pinggiran
sungai.
Belanda menjadi simbol sustainable,
meneruskan perjalanan sebuah
makna kota, dan kebudayaan
hingga sekarang.7 Istilah Singkel
Baru yang ditabal oleh Belanda,
selanjutnya kembali dipopulerkan
dalam sebuah video dokumentasi
Ekspedisi Cincin Api Kompas.
Karena itu, catatan sejarah ini
menjadi
penting
melihat
pembentukan identitas baru, yang
kemudian berdinamika.
2.
Kesadaran
Menjadi
Manusia
Singkel
bagi
Pendatang (Pakpak)
Dalam
banyak
fase
kebudayaan masyarakat (pada awal
kajian antropologi berkembang),
hampir seluruh anggota masyarakat
yang memiliki psikologi masif,
selalu menekankan pentingnya
homogenitas identitas (agama,
kesukuan, ras) dalam interaksi
sehari-hari.
Sikap
ini,
telah
memunculkan
semangat
antipluralis,
diskriminatif,
dan
kesadaran primordialisme sempit
telah menjadi ideologi utama, yang
sering diakhiri dengan tindakan
counter-productive-wajah dari konflik
atas dasar suku, ras, agama, dan
kebudayaan lokal (Lihat Setiadi
dalam Ahimsa Putra (ed), 2006 :
174-176).
Singkel Baru sebagai bagian
sosio kultura identitas, merupakan cikal
dari wajah Singkel sekarang dengan ragam
suku, dan berciri industri perkebunan
sawit.
7
Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 27
MENJADI ACEH MENJADI ISLAM
Etnomigrasi merupakan
fenomena yang telah berlangsung
lama di Singkel. Secara geopolitik,
keberadaan mayarakat majemuk
Singkel telah mewarnai Aceh dalam
bingkai diplomasi budaya, dan
multikultur (Lihat, Al Fairusy, 2015
dalam Warta Ar Raniry, Edisi II).
Namun, Dalam perkembangannya,
penduduk pendatang Pakpak yang
masih mempertahankan agama
warisannya (Kristen), dianggap
telah melawan kultur dan aturan
lokal. Para imigran kemudian harus
bergulat dengan nilai-nilai budaya
lokal (Singkel) dan menghadapi
lapisan kompleksitas tambahan,
yaitu etno-religius yang telah
mengakar dan dihegemoni oleh
penduduk manyoritas (Muslim).
Kompleksitas elemen persoalan ini,
telah
memunculkan
gesekangesekan, dan dapat dimanfaatkan
oleh siapa saja, terutama dengan
memanipulasi
simbol
(agama,
bahasa, dan ideologi) untuk
dijadikan pembenar melakukan
tindakan-tindakan
kekerasan,
seperti yang meletus pada tanggal
13 Oktober 2015.
Fenomena migrasi, satusatunya alasan paling kuat yang
membentuk pluralitas agama di
Singkel,
terutama
mobilitas
perpindahan masyarakat beretnik
Batak dan Pakpak, yang selanjutnya
menetap di Singkil. Ada banyak
cerita migrasi dan kedatangan
penduduk beragama Kristen ke
Singkel. Seorang Kepala Jemaat
Katolik bermarga Simanjuntak
bercerita pada saya, kakeknya
merupakan pendatang dari Pakpak
Bharat pada tahun 1918 M.
Pertama sekali datang ke Singkil
dengan jumlah 10 Kepala Keluarga
lain. Pada saat itu, kakeknya masih
penganut aliran kepercayaan Pambi.
Mereka datang atau “lari” ke
Singkel, karena mendapat tekanan
politik dari Belanda pada saat
perang kolonial. Sejak berada di
Singkel, mereka menjadi pengepul,
dan pengumpul minyak kayu untuk
obat sakit perut. Orang-orang
tempatan tempo dulu lebih
mengenal dengan sebutan “minyak
kayu kapur,” yang terdapat paling
banyak di hutan Singkil. sejak saat
itu, mereka memilih menetap di
perbatasan Singkel hingga sekarang.
Etnik Pakpak di Singkel,
sebagian
besar
datang
dari
Kabupaten Manduamas, Dairi dan
Phakpak Barat-Sumatera Utara.
Proses
amalgamasi
yang
berlangsung lama sejak abad ke-19,
menjadikan etnik Pakpak melebur
dengan etnik Boang (kade-kade),
sehingga
banyak
penduduk
memiliki marga yang sama walau
berbeda agama. Karena itu,
penduduk lokal dengan kaum
migran di Singkel (khususnya di
daratan dan pedalaman), sebagian
besar masih dalam garis kesatuan
etnik. Dalam perkembangannya,
nilai-nilai
pola
kebudayaan
menampakkan ke-nyarisan tidak
ada perbedaan lagi antara penduduk
lokal (Boang) dan pendatang
(Pakpak), yang mulai menunjukkan
28 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
identitas
tunggal, perilaku dan
bahasa-kecuali agama. Mereka
menampilkan unsur kultur, bahasa,
dan adat istiadat yang berkembang
sesuai karakteristik masyarakat
tempatan.
Persentuhan budaya dan
integrasi etnik Pakpak dan Boang,
dapat dilihat dari klen marga yang
digunakan oleh manusia Singkel
secara kolektif (meski berbeda
agama) di belakang nama mereka
(Bancin, Cibro, Manik, Angkat,
Berampu, dan lainnya). Kesatuan
etnik serumpun ini (proto Melayumeminjam istilah Muhammad Said)
merupakan modal sosial kuat dalam
sistem jaringan sosial masyarakat
Singkel.
Meskipun,
dalam
perkembangannya, agama menjadi
identitas baru dalam lingkaran klen
masyarakat Singkel daratan.
Adakala,
penduduk
Singkel harus memilih antara agama
dan adat (menjaga klan, dan marga).
Namun,
biasanya
keduanya
dijalankan beriringan, klan dan
marga tetap dijaga, meskipun
agama sudah berbeda. Agama dan
kepercayaan telah lama menguasai
wilayah-wilayah di Singkel, dapat
dipastikan tidak ada penduduk
Singkel yang tidak menganut sistem
religi. Keberadaan Islam, Kristen
dan Parmalim
sebagai sebuah
ideologi
keimanan,
bergerak
perlahan mewarnai pemukimanpemukiman penduduk Singkel.
Identitas lintas-keimanan ini dapat
dilihat dalam masyarakat Singkel,
terutama di teritorial perbatasan
yang semakin
Sumatera Utara.
dekat
dengan
Pendatang dari Sidikalang
umumnya
beragama
Katolik.
Menurut beberapa orang informan
saya dari Katolik, mereka yang
masih memiliki garis keturunan dari
Sidikalang, Sumatera Utara. Kakek
dan orang tua mereka mulai datang
ke Singkil pada tahun 1930 M.
Dalam perkembangannya, secara
bertahap, pendatang dari Pakpak
kemudin membuat pemukiman
baru di wilayah daratan dan
pedalaman Singkel, dan sebagian
ikut membaur dengan penduduk
Boang yang telah lama menetap di
Singkel (pinggiran sungai). Gereja
tertua di Singkel adalah milik
Jemaat Katolik, di Kuta Kerangan,
Kecamatan Simpang Kanan. Dari
informasi jemaat Katolik di sana,
Gereja ini telah dibangun sejak era
Belanda dengan denominasi Gereja
JKI (Jemaat Kristen Indonesia).
Namun,
sebagian
penduduk
pendatang mengganti agama lama
mereka, dan mengikuti agama
(Islam) yang telah dianut oleh
penduduk Boang.
Sejak
itu,
perbedaan
agama
dan
etnik
menjadi
keniscayaan di Singkel antara orang
Pakpak sendiri. Proses konversi
agama ini yang menarik, sebagian
besar karena dipengaruhi oleh
tekanan
geopolitik
Aceh-dan
dianggap dapat menjadi manusia
Singkel seutuhnya. Dari kesadara,
dan ngomong-ngomong yang saya
Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 29
MENJADI ACEH MENJADI ISLAM
lakukan dengan sebagian besar
muaallaf di sana, sebagian besar
mereka menjadi Islam, beranjan
dari pandangan untuk mencapai
otoritas dan kedamaian, lewat
ungkapan “Menjadi Singkel Menjadi
Aceh, Menjadi Aceh Menjadi Islam.”
Dalam tataran ideal, pada
dasarnya penduduk Singkel sangat
menjunjung ikatan kekerabatan dan
marga. Dari beberapa informan
lintas-agama di Singkel, saya
mendapat informasi, termasuk
prosesi menyambut hari raya
masing-masing meski telah berbeda
agama, hingga beberapa upacara
lainnya, mereka masih tetap saling
mengunjungi. Selama itu, hingga
pertengahan abad ke-20, tidak ada
gesekan atas nama “agama.”
Kondisi Singkel di sini hampir sama
dengan masyarakat kepulauan Kei.
Lewat jaringan kekerabatan dan
kesatuan etnik, mayarakat Kei
menemukan kembali “perekat
tradisi,” marga telah menjadi
perekat
paling
kuat
dalam
membangun kesadaran manusai
Kei untuk meninggalkan konflik,
dan sama-sama membangun Kei
(Lihat, Laksono dan Topatimasang
(peny), 2004).
Namun, Aceh sebagai
wilayah yang dianggap melekat keislamannya, dengan masuknya
komunitas migran dari provinsi
tetangga secara berkelanjutan, yang
ikut serta memboncengi nilai-nilai
identitas asal, dan kemudian
dihadapkan dengan masyarakat
Singkel, di mana tradisi lokal telah
dikooptasi dan diinisiasi oleh aturan
keacehan (berwajah Islam) menjadi
kontestasi
politik
tersendiri
kemudian
hari.
Apalagi,
pelaksanaan Syariat Islam dan
Peraturan Gubernur Aceh terkait
pembangunan
rumah
ibadah,
terkesan
ketat
memantau
perkembangan
masyarakat
(minoritas) selain Islam. Dalam
perkembangannya,
benturan
identitas agama tak dapat dielakkan.
Tekanan-tekanan
aturan,
dan
paradigma gaya hidup keacehan
menjadi
warna
baru
bagi
masyarakat Pakpak, yang telah lama
menetap
di
Singkel-sehingga
berpengaruh pada sikap memaknai
saudara
serumpun
(se-etnik)
dengan menarik garis batas
kepercayaan
yang
tebal.
Transformasi pemaknaan akibat
intervensi makna, berujung pada
tindakan,
sikap,
dan
cara
memandang pendatang (meski
semarga) menjadi alasan kuatgesekan pemicu konflik meletus
kemudian hari.
3. Agama Sebagai Identitas
Geopolitik dan Persoalannya.
Sejak Singkel masuk dalam
geopolitik Aceh, pengaruh Islam
dan adat keacehan sebagai doktrin
tunggal
yang
menghegomoni,
secara tidak langsung terus
dipompa mengisi ruang-ruang
tertentu dalam struktur masyarakat
Singkel. Bahkan, pengaruh ini,
30 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
terasa
dalam
istilah
yang
berkembang di tengah masyarakat
lewat ngomong-ngomong yang saya
ungkapkan di atas, “Menjadi Singkil
adalah menjadi Aceh, menjadi Aceh
adalah menjadi Islam.” Tidak sedikit
manusia Singkil yang dulunya
beragama selain Islam, setelah
menjadi Muslim merasa mendapat
otoritas dukungan, dan seakan
melebur menjadi utuh sebagai
“orang Singkel dan Aceh.”
Ekspansi/gempuran adat
Aceh dan Islam, tidak hanya sampai
di situ, Islam sebagai sebuah
ideologi,
perlahan
kemudian
digerakkan
oleh
kelompokkelompok keagamaan dalam rangka
menaklukkan sisi heterogenitas
Singkil yang telah ada sejak era
kolonial Belanda. Gerakan ini,
dipicu oleh konsep identitas, di
mana
kemudian
mereka
memandang identitas (baca ;
agama) menjadi persoalan yang tak
dapat dinegosiasi-karena faktorfaktor tertentu.
Dari
11
(sebelas)
kecamatan
dalam
Kabupaten
Singkil, 6 (enam) kecamatan
representasi Muslim, dan 5 (lima)
kecamatan
lagi,
hidup
berdampingan umat lintas-agama
dan kepercayaan. Sebagaimana
telah
diperbincangka,
bahwa
heterogenitas keimanan di Singkil,
dipengaruhi oleh migrasi yang
sudah berlangsung lama. Kawasan
ini memiliki 4 jalur lintas, dan pintu
gerbang
penghubung
dengan
kabupaten lain yang memengaruhi
corak kehidupan masyarakat dalam
perkembangannya, yaitu pintu
gerbang menuju Aceh Selatan,
pintu gerbang menuju Pakpak
Bharat, dan Dairi, pintu gerbang
menuju Tapanuli Tengah, dan pintu
gerbang bandar-pelabuhan yang
menghubungkan Singkel dengan
Sibolga dan Nias.
Dalam banyak diskusi,
agama memang memiliki daya
takluk tersendiri, menempatkan
individu dalam wajah identitas
berbeda.
Kehadiran
agama
seyogjanya menjadi pendorong bagi
pemeluknya untuk menegakkan
perdamaian,
dan
peningkatan
kualitas kemanusiaan. Namun, tak
jarang simbol agama digiring
sebagai
alat
pendorong
dehumanisasi seperti di Singkel,
yang berujung pada pelemahan
banyak sendi di tengah masyarakat,
dan mencabut akar tradisi jaringan
kekerabatan klen manusia Singkil.
Mengenai agama dalam
kajian sosial, sudah sangat banyak
diskusi
dan
perbincangan.
Representasinya dapat ditemukan
dan dilihat pada beberapa karya,
dan tulisan yang telah dihasilkan
oleh para ahli antropologi dan
sosiologi, yang tersebar di rak-rak
pustaka, dan toko buku. Selain itu,
dalam banyak kajian sosial dan
budaya,
menunjukkan
bahwa agama memiliki daya takluk
tersendiri,
dan
menempatkan
individu dalam wajah identitas yang
berbeda-beda sesuai simbol agama
yang melekat.
Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 31
MENJADI ACEH MENJADI ISLAM
Para ahli antropologi,
pada dasarnya membedakan antara
agama dan religi. Religi sendiri
merupakan serapan bahasa asing
(Barat) dari kata “Religion” yang
bermakna ikatan atau pengikat diri.
Sedangkan
agama
bermakna
peraturan dan ajaran. Di sini, kata
religi lebih bersifat personalistis,
dan menunjukkan pribadi manusia
sekaligus menonjolkan eksistensi
manusia. Karena itu, sangat terbuka
kemungkinan-kemungkinan untuk
dikaji dan dikupas lebih lanjut.
Selain
itu,
dalam
rangka
mempelajari
masalah
yang
berkaitan dengan agama atau religi
lewat
antropologi,
tidak
mempelajari agama atau religi
sebagai sistem teologi, melainkan
studi mengenai berbagai gejala
tanggapan manusia, kepercayaannya
(system of belief) dan gejala-gejala
pengalaman batinnya (Adimihardja,
1976 : 84-85)
Peristiwa 13 Oktober
2015 di Singkel, sebenanrya bukan
konflik agama, melainkan negosiasi
identitas
yang
gagal
dikompromikan.
Konflik
horizontal ini telah menjadi isu
nasional. Media tampak berlomba
menyajikan kasus yang terjadi di
wilayah perbatasan Aceh tersebut.
Kasus ini menjadi magnet, karena
menyangkut koyaknya toleransi
manusia Indonesia, seiring gaung
pluralitas yang sedang dibangun di
negara berbasis Bhineka Tunggal
Ika. Nyawa dan api yang membakar
rumah ibadah, menjadi tontonan
apik yang dibungkus narasi media,
varian tafsir dan amatan muncul,
mencoba mendefinisikan apa yang
sedang berlangsung di Singkel.
Sedotan perhatian publik nasional
terus meluas, di mana mana topik
hangat
pembicaraan
adalah
“Singkel” (Al Fairusy, dalam
Serambi Indonesia Damailah Singkil,
17 Oktober 2015).
Letusan konflik ini, tampak
seperti api dalam sekam, identitas
yang majemuk akibat transformasi
dan integrasi geopolitik gagal dibaca
oleh negara dan pengambil
kebijakan di Singkel. Elit benarbenar lengah dan lamban dalam
melakukan rekayasa sosial dan
membuat ritual besar, untuk
mengintegrasikan identitas-identitas
masyarakat Singkel “dunia baru”
yang telah ber-sporadis. Situasi ini,
diiringi pelemahan sistematis modal
sosial di Singkel. Saya ingat betul,
menjelang siang hari Sabtu, 10
Oktober 2015, setelah menyebrang
sungai Lae Alas dari Kecamatan
Kuala Baru, Aceh Singkil. Seorang
warga Singkel yang saya jumpai di
Kilangan,
memberi
info
mengejutkan, seruan dari sms yang
ia terima, untuk berkumpul di Tugu
Lipat Kajang pada tanggal 13
Oktober 2015. Pesan ini, tampak
dikirim secara masif oleh pengirim,
sebagai sinyal awal-3 hari lagi akan
segera meletus konflik gesekan
antarumat beragama di Singkel.
Namun, dibiarkan !!
32 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Seyogjanya, konflik yang
berujung pada intoleransi, dan
penghilangan nyawa manusia ini tak
perlu terjadi, jika negara cepat
bergerak dan mencegah. Apalagi,
konflik
antar-umat
berbeda
identitas agama di Singkel, bukan
yang pertama, tapi rentetatan dari
pengulangan konflik yang tak
pernah
dituntaskan
secara
permanen (1968, perjanjian 1979
hingga sekarang). Identitas Singkel
baru yang dikonstruksi oleh
kolonial, ternyata menghadapi
persoalan kegagalan negosiasi
kemudian hari-dalam konteks
geopolitik Aceh.
E. Kesimpulan
Tulisan dan perbincangan
teks ini telah menunjukkan peran
kebudayaan dalam konteks identitas
memahami masyarakat majemuk.
Untuk dapat memahami Singkel,
dengan persoalan identitas, maka
sebuah komunitas masyarakat
majemuk seperti Singkel perlu
dimaknai dan dicari benang merah
lewat kerja-kerja antropologi yang
membutuhkan waktu lama untuk
menemukan
pola
melihat
masyarakat
Singkel
secara
mendalam, seperti konsep identitas.
Masa
depan Singkel,
menyangkut masa depan banyak
partikel, terutama citra Islam dan
Aceh, lalu masa depan citra
Indonesia sebagai negara plural
yang akan diperhatikan oleh global.
Karena itu, pemutusan jaringan
konflik, dan kesepakatan damai
harus segera direalisasikan lewat
pemahaman kesadaran identitas
yang majemuk dari manusia dan
kelompok masyarakat Singkel.
Identitas Singkel baru, dan
etnomigrasi harus dikaji secara
mendalam
lewat
pendekatan
fenomenologi, serta penyebab
muncul ketimpangan struktur sosial
masyarakat perbatasan tersebut. Di
sini, komunikasi sosial dan budaya
keniscayaan. Rekayasa sosial dan
ritual budaya harus dihadirkan.
Apalagi, benturan identitas dengan
negosiasi
kedakuan
Singkel,
seyogjanya harus dicari makna
dibalik gejala sosial tersebut dengan
penelitian yang lebih mendalam.
Dalam
konteks
hubungan
antarumat beragama, jika kesadaran
identitas sebagai konsep dapat
dibaca, sangat memungkinkan
terbentuknya hubungan harmonis.
Tentunya, hubungan timbal balik
(principle of reciprocity) dan pertukaran
sosial (social exchange) harus
dijadikan sistem ideal yang
mempengaruhi sistem pemikiran
masyarakat
setempat
menuju
integrasi sosial.
Pada akhirnya, kesadaran
memaknai identitas saudara se-etnik
sangat penting di Singkel. Kerjakerja ini yang kemudian absen di
sana. Di sisi lain, provokasi luar
yang dapat memperkeruh dan
membelah masyarakat Singkel
harus dideteksi. Pun, perhatian elite
dan negara yang serius memahami
gesekan persoalan warganya, bukan
Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 33
MENJADI ACEH MENJADI ISLAM
membiarkan akumulasi kekecewaan
dan ketidakadilan yang selama ini
kerap muncul di sana. Konsep
identitas dan kesadaran satu klan,
harus benar-benar diritualkan di
Singkel,
sehingga
masyarakat
majemuk tersebut, dapat hidup
berdampingan dan memungkinkan
terciptanya integrasi sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, Kusnaka, Kerangka
Studi ; Antrhopologi Sosial
dalam
Pembangunan.
Bandung : Tarsito. 1976.
Ahimsa Putra, Shri, Heddy, Budaya
Bangsa, Jati Diri dan
Integrasi Nasional ; Sebuah
Teori, Jejak Nusantara,
Edisi Perdana, Tahun I,
2013, h. 6-19.
------------------, Fenomenologi Agama :
Pendekatan
Fenomenologi
untuk Memahami Agama,
Walisongo, Volume 20,
Nomor 2, November
2012, h. 271-304.
------------------. Paradigma Ilmu
Sosial-Budaya : Sebuah
Pandangan. 2009.
Spradley, James P. 1997. Metode
Etnografi.
Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Strauss, Anselm & Juliet Corbin.
Dasar-dasar
Penelitian
Kualitatif Tata Langkah
dan
Teknik-teknik
Teoritisasi
Data.
Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar. 2003.
Tanjung, Liana, Ida, Antara Orang
Pasisir dan Orang Batak di
Tapanuli
:
Kesadaran
Identitas Etnik di Barus dan
Sibolga,
1842-1980-An,
Ringkasan
Disertasi,
Fakultas Ilmu BudayaUGM, 2016.
Koran/Majalah
Al Fairusy, Muhajir, Damailah
Singkil, Serambi Indonesia, Opini,
17 Oktober 2015.
Al Fairusy, Muhajir, Kultur Konflik,
dan Ekspresi Etnomigrasi, Warta Ar
Raniry, Edisi II Tahun 2015, hal.
37-40
34 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 35
Dalam Kajian Foucult dan Coleman
Gelombang Transformasi Sosial Politik
Dalam Kajian Foucault dan Coleman
(Kajian Sosiologis Pergolakan Partai Lokal
dan Nasional di Pilkada Aceh)
Oleh: Masrizal, S.Sos.I., MA1
Abstrak
Artikel ini mengurai tentang gelombang transformasi sosial politik di
Pilkada Aceh yang diperankan oleh partai Politik Lokal dan nasional,
dengan melihat pendekatan kajian Foucault “Relasi Kekuasaan” dan
Coleman “Teori Pilihan rasional”. Intinya berbicara relasi kekuasaan dalam
pandangan Foucault (1982) bahwa relasi kekuasaan tidak dipahami dalam
suatu hubungan kepemilikan sebagai properti, perolehan, atau hak istimewa
yang dapat digenggam oleh sekelompok kecil masyarakat dan yang dapat
terancam punah. Tetapi Kekuasaan menurut Foucault mesti dipandang
sebagai relasi-relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan, yang
mempunyai ruang lingkup strategis. Memahami kekuasaan bukan dengan
mengajukan pertanyaan apa kekuasaan itu atau siapa yang memiliki
kekuasaan atau dari mana kekuasaan itu bersumber, melainkan memahami
kekuasaan mesti didekati dengan mengajukan pertanyaan bagaimana
kekuasaan beroperasi atau dengan cara apa kekuasaan itu dioperasikan. Hal
ini juga dijelaskan oleh Coleman (1990:13) tentang Teori Pilihan rasional
yang sangat tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa “tindakan
perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan
itu) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi)”. Maksudnya Coleman
menjelaskan bahwa kehidupan orang tak selalu berperilaku rasional, dengan
asumsinya bahwa ramalan teoritis yang ia buat adalah untuk melihat apakah
aktor bertindak tepat menurut rasionalitas atau menyimpang dari cara-cara
yang diamati (menyimpang dari rasionalitas). Melihat pada kajian ini jelas
proses Pilkada yang berlangsung dewasa ini tidak didasari pada perilaku
rasional tetapi sebaliknya. Metode library menjadi sebuah kajian analitikal
dalam melihat trasformasi sosial politik di Pilkada Aceh dengan kajian
sosiologi politik
Keywords : Tranformasi sosial, Pilkada , relasi kekuasaan, pilihan rasional
1 Dosen Sosiologi FISIP Unsyiah, Mahasiswa Doktoral (S3) Sosiologi Universitas
Gadjah Mada
36 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
pergolakan politik uang merupakan
Pendahuluan
Pesta
demokrasi
diselenggarakan
mendatang
yang
tahun
akan
2017
menghadirkan
pertarungan yang cukup sengit
diantara calon perseorangan dan
calon partai-partai politik, baik itu
partai politik lokal mapun partai
politik
nasional
meramaikan
daerah
yang
ikut
pemilihan
kepala
(Pilkada),
untuk
memperebutkan salah satu kursi
dipemerintahan,
baik
sebagai
gubernur/wakil
atau
walikota/bupati
dan
berbagai
dilakukan
upaya
wakilnya,
oleh
kandidat baik calon perseorangan
maupun calon dari parpol-parpol
tersebut, dan ini sangat menarik jika
dilihat
dalam
kajian
Sosiologi
pendekatan Foucalt tentang relasi
kekuasaan dan Coleman dalam
pendekatan teori pilihan rasional.
Pola
berkembang
Pilkada,
yang
saat
salah satu cara yang dilakukan
untuk
memuluskan
impian
tersebut. Politik uang merupakan
pemberian uang atau barang supaya
disaat
pilkada
seseorang
menggunakan hak pilihnya dengan
cara tertentu. Namun artikel ini
tidak berbicara spesifik tentang
politik Uang tetapi lebih kepada
pergolakan politik yang diperankan
oleh partai Poltik Lokal dan partai
politik nasional. Disamping itu yang
mengherankan
hampir
semua
masyarakat Aceh masih adanya
politikal
saling
menjatuhkan
diperankan oleh si calon pemimpin
maupun tim suksenya, baik itu di
media
Sosial
(Facebook,
WA,
Twitter dll) maupun di warungwarung kopi atau ruang publik
lainnya
yang
menjadi
tempat
berkumpulnya para tim sukses,
misalnya saling menuding calon si
sering
A salah dan si B benar, harusnya
pelaksanaan
politik yang baik tidak saling
salahsatunya
adalah
menjatuhkan
tetapi
saling
Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 37
Dalam Kajian Foucult dan Coleman
mendukung, kalau tidak percuma
diri masyarakat, karena hampir
saja Politik Damai menjadi icon
semua
yang ditawarkan kepada masyarakat
sepakat bahwa pola demokrasi
dalam
harus
mendukung
jalannya
masyarakat
dan
elitnya
dipertahankan
dalam
pemilihan kepala daerah di masing-
menjalankan
masing kabupaten/kota di Aceh.
Indonesia, tidak terkecuali Aceh,
Merubah pola perpolitikan
seperti ini bukan perkara mudah,
namun juga tidak sulit ketika
masyarakat dan pendukung calon
kepala daerah mengembalikannya
kepada hukum khusus yang dimiliki
Aceh
yakni
“Syariat
Islam”.
Dimana apa yang diperankan oleh
masyarakat, elit harus berdasarkan
kepada aturan yang sedang berlaku
di daerah tersebut, sehingga inilah
yang membedakan wilayah Aceh
dengan diluarnya. Jika hal ini tidak
dipraktikkan maka sama halnya kita
mempertontonkan kepada publik di
Luar Aceh bahwa Keistimewaan
Aceh tak lebih hanya kepentingan
dan simbolik euforia Kejayaan
Aceh dimasa silam.
Perjalanan
kekuatan
ini
dikembangkan,
Autoritarian
memang perlu ditanamkan di dalam
yang
di
harus
terus
karena
pola
dikembangkan
dimasa Orde baru hampir semua
masyarakat menklaim bahwa pola
perpolitikan
dimasa
tersebut
dinyatakan
gagal
dalam
menjalankan pola ruang publik
dalam berkreasi, jadi untuk itu perlu
semangat positif yang diarahkan
dalam menjawab tantangan pasca
reformasi. Meskipun Aceh memiliki
historis yang panjang terhadap
konflik,
tetapi
tidak
membuat
semangat demokrasi harus pudar
tetapi
semangat
tersebut
terus
dikembangkan untuk menuju yang
lebih baik. Meskipun banyak pihak
tidak sepakat Aceh bersatu dalam
menjawab
demokrasi
perpolitikan
(kemiskinan,
kesejahteraan
pengangguran
dll)
tetapi bagaimana masyarakat dan
38 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
elitnya yang akan bertarung dalam
Islam dan beberapa icon daerah
Pilkada
mampu
kabupaten/kota telah menerapkan
mewujudkan dan memberikan rasa
visi dan misi tersebut, hanya saja
kenyamanan
perlu
2017
nanti
kepada
warganya
penguatan
dalam memberikan hak pilihnya
masyarakat
dalam mencapai tujuan demokrasi,
lainnya.
meskipun elit Luar Aceh terus
berupaya agar proses demokrasi di
Aceh
tidak berjalan seperti yang
diharapkan
oleh
penyelenggara
negara (KIP, Bawaslu, Panwaslih,
dll).
Realitas
elitnya,
pihak
swasta
menunjukkan
bahwa
besarnya kepentingan elit luar Aceh
terhadap jalannya pesta akbar di
Aceh jelas sudah tercium sejak
beberapa
bentuk
Meminjam
dan
dari
tahun
lalu,
kontestasi
misalnya,
yang
telah
icon
dimainkan oleh Jakarta jelas sudah
Yogyakarta, rasanya menarik untuk
terbaca sejak digadang-gadangkan
diterapkan di Aceh, seperti “
sosok tokoh Aceh Tarmizi Karim,
Yogyakarta
ini
Abdullah Puteh dan lain-lain yang
apa
yang
mengeyam istana parlemen dan
pada
Hati
istana kementerian untuk menjadi
dalam
calon Gubenur, tetapi hal tersebut
menjawab
tidak menjadi momok yang berarti
tantangan zaman yang semakin hari
bagi tokoh Aceh dari Partai Lokal
terus
untuk
Berhati
Nyaman”
menunjukkan bahwa
dilakukan
didasari
masing-masing
warganya
menjalankan
dan
memiliki
perubahan,
ini
berkompetisi
di
Pilkada
membuktikan bahwa perpolitikan
Aceh, Apalagi yang dijagokan dari
yang
didasari
partai lokal Aceh adalah orang
melalui keyakinan hati masing-
nomor dua di Aceh periode sedang
masing masyarakat dan elitnya. Pola
berjalan, dan juga ketua partai lokal
ini tidaklah sulit dikembangkan di
yang memiliki kursi terbanyak di
Aceh karena Aceh menganut syariat
DPRA atau pemenang pemilu 2014
dijalankan
harus
Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 39
Dalam Kajian Foucult dan Coleman
lalu di Aceh, Yakni Muzakkir
Juga Kader Partai Politik Nasional
Manaf (Partai Aceh) Irwandi Yusuf
dari PAN, kecuali Zakaria Saman,
(Partai Nasional Aceh) dan dari
memilih
jalur perseorangan Zaini Abdullah
peguruan
(gubenur), Zakaria Saman (petinggi
akademisi yakni Teuku Alaidinsyah
PA) dan Abdullah Puteh (mantan
(dosen Teknik Unsyiah). Ini juga
Gubenur Aceh).
menjadi bukti tersendiri bagi politisi
Uniknya hampir semua wakilnya
dari
partai
membuktikan
Nasional.
bahwa
Ini
Aceh
memang sudah menjalin hubungan
baik
dengan
Pusat
dalam
menjalankan roda pembangunan.
Sebut saja Tarmizi Karim yang
menjadi wakilnya T. Machsalmina
Ali, Kader Golkar (partai nasional),
Muzakkir Manaf wakilnya, T.A,
Khalid, Partai Gerindra (partai
nasional), Irwandi Yusuf, wakilnya
wakilnya
dari
tinggi,
unsur
seoarang
Indonesia bahwa Pilkada Aceh unik
dan menarik untuk dikaji, dimana
banyak orang berfikir Aceh sulit
menyatu dengan aktor partai politik
nasional tetapi kenyataannya itu
berbalik dengan stigma mereka dari
luar Aceh yang merasa Aceh tidak
akan berdampngan dengan partai
Nasional.
Sehingga
ini
membuktikan Aceh ingin selalu
menjaga keutuhan dalam menjaga
NKRI.
Nova Iriansyah, Partai Demokrat,
Pilkada menjadi sangat penting
(partai
jalur
dalam kehidupan bernegara karena
perorangan juga sebagian wakilnya
rakyat harus memilih kandidat dari
kader dari partai politik nasional
partai atau kandidat perseorangan
Zaini
wakilnya
yang dapat benar-benar membawa
Nasaruddin (kader golkar) namun
aspirasi dan kepentingan dalam
memilih
formulasi kebijakan pemerintahan
nasional),
untuk
Abdullah,
naik
dari
calon
perorangan/independen, Abdullah
nantinya.
Sebagai
sebuah
Puteh, Wakilnya
mekanisme,
Pilkada
kemudian
Sayed Mustafa,
40 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
diharapkan
dilaksanakan
secara
sejarawan
dari
berbagai
hasil
bebas dan setara ( free and fair),
laporan perjalanan orang asing dari
dimana sistem pemilu menjamin
berbagai bangsa dan agama. Hal ini
hak individu dan adanya sistem
pula yang mendasari pemikiran
kontrol
Otto Syamsuddin Ishaq (2013: 95-
bagi
menajemen
pelaksanaan pilkada. Di dalam
96)
Pilkada,
problem
revolusi Politik di Aceh yang
struktural maupun problem kultural
dimulai sejak periode kesultanan,
yang
periode
akan
terjadi
kemudian
perilaku
membentuk
politisi
dan
perilaku
yang
menjeaskan
Kolonial
republik.
adanya
dan
Periode
periode
kesultanan
pemilih. Pertautan kedua perilaku
merupakan masa keemasan (golden
inilah yang kemudian membentuk
age) sebuah zaman ideal
representasi
lebih
masyarakat
terkesan penyerahan mandat yang
penerapan
bersifat
politik
transaktif
dipengaruhi
oleh
yang
Aceh,
hukum
dan
banyak
kejayaan
uang.
Politik
kemakmuran
bagi
dimana
Islam
politik
dan
sekaligus
terwujud,
dimana
transaktif
di
dalam
Pemilu
gelombang transformasi politik dan
kemudian
disebutkan
sebagai
aktor dipegang oleh ulama dan
umara,
korupsi Pemilu.
Liddle
(1997:
238-240),
Menyimpulkan bahwa self image
orang Aceh sangat dipengaruhi
oleh sejarahnya yang unik. Hal ini
seperti
sejarah
lisannya
yang
diwariskan turun temurun, dengan
berbagai bentuk memori menjadi
cerita bersama daripada sejarah
yang dikonstruksikan oleh para
karena
mereka
adalah
perumus dan pemimpin. Periode
kolonial
lebih
pemikirannya
banyak
arah
dipengaruhi
oleh
warga asing, meskipun spirit ke
Islaman tetap mengental dalam jiwa
warga Aceh, yang dalam kajian
tertentu disebut dengan ideologi
Jihad menyatu dengan kehidupan
masyarakatnya.
Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 41
Dalam Kajian Foucult dan Coleman
Terakhir, gelombang transformasi
Pergolakan Partai Politik Lokal
politik
dan Partai Politik Nasional di
Aceh
bergeser
kepada
Republik, dimana saat itu terjadi
Pilkada
perdebatan
Sosiologi (Relasi Kuasa dan
sengit
antara
masyarakat dan pemimpinnya, ada
sebagian warga menginginkan Aceh
tetap berada diluar republik, dengan
tetap
pada
Idoelogi
Jihad
mewujudkan Aceh sebagai daerah
yang
menganut
Islam
secara
seutuhnya, tetapi pemikiran itu
mulai memudar setelah Soekarno
mampu meyakinkan Daud Beurueh
dengan tetap menawarkan Aceh
Aceh
dalam
Kajian
Pilihan Rasional)
Melihat realitas perjalanan gerakan
partai politik lokal dan partai politik
nasional di Aceh menarik kiranya di
analisis dengan dua pendekatan
teori sosiologi yakni pilihan teori
relasi
kekuasaan
dalam
kajian
Foucalt dan pilihan rasional dalam
pendekatan Coleman.
yang
Atmosfir perjalanan partai politik
menganut syariat Islam sehingga
lokal (PA, PNA dan PDA) di
gelombang Jihad mulai ditinggalkan
Pilkada Aceh 2017-2022 menjadi
oleh masyarakatnya dan beralih
isu yang menarik untuk dikaji dalam
kepada percaya kepada Jakarta,
kajian Sosiologi Politik, karena
dengan berbagai tawaran diberikan,
ketiga Partai ini memiliki ideologi
tidak hanya konteks idiologi Islam
yang
tetapi
mewujudkan
sebagai
sebuah
juga
provinsi
menjadikan
sebagai daerah keistimewaan.
Aceh
berbeda-beda
tujuan
dalam
demokrasi.
Misalnya PA (Partai Aceh) yang
merupakan partai pemenang pemilu
dan pemenang Pilkada ditahun
2012-2017
kepada
berhasil
telah
publik
membuktikan
bahwa
mengambil
mereka
simpatik
42 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
masyarakat, yang pada saat itu yang
kuat, dan mengakar hingga ke
menjadi jagoannya adalah Zaini
pelosok
Abdullah- Muzakkir Manaf yang
hampir sebagian rumah warga rela
dalam
dinding rumahnya di cat dengan
kampanyenya
disingkat
gampong/desa,
partai
Aceh,
dan
dengan
ZIKIR,
yang
dalam
simbol
konotasi
islamnya
zikir
adalah
bentuk kebanggaan warga Aceh
identik dengan kedekatan hamba
terhadap
dengan tuhannya, Intinya begitu
berlambangkan
Tanggal 9 April 2012 yang silam
tersebut. partai yang dikenal sebagai
warga
kepala
partai yang getol memperjuangkan
daerah tersebut, bergitulah paling
UUPA, namun di Pilkada 2017-
tidak
2022
mengingat
calon
perumpamaannya
dalam
simbol
begitulah
partai
partai
bulan
ini
yang
bintang
harus
siap
pandangan penulis. Namun dua
berkompetsi sesama elitnya, karena
partai lokal lainnya (PNA dan
parai yang dbesarkan oleh Alm.
PDA)
Hasan
memilih
kancah
bersatu
demokrasi,
dalam
hal
ini
kadernya
Tiro
harus
untuk
merelakan
bertarung
dibuktikan dengan dukungan yang
sesamanya di Pilkada, meskipun 2
diberikan terhadap calon Irwandi
tokoh lainnya tidak menggunakan
Yusuf dan Nova Iriansyah yang
jasa Partai Aceh, tetapi 2 tokoh ini
didukung oleh 2 partai Lokal dan
juga orang yang sangat berpengaruh
tiga partai politik nasional.
di Partainya yakni Zaini Abdullah
Bicara
tentang
Pilkada
Aceh, terasa manis tatkala kita
memulai dengan melihat gerakan
politik yang ada ditubuh Partai
Aceh, Partai yang menjadi penguasa
di
bumi
serambi
mekkah
ini
memiliki pendukung yang sangat
(Gubenur 2012-2017) dan Zakaria
Saman (petinggi PA) yang keduanya
memilih
jalur
independen/perseorangan dengan
masing-masing wakilnya dari Unsur
kader
partai
Akedemisi kampus.
nasional
dan
Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 43
Dalam Kajian Foucult dan Coleman
Tentunya banyak pendukung Partai
mengetahui secara pasti apa tujuan
Aceh
yang
bertanya-tanya
mengapa
diharapkan
oleh
mereka
harus pisah mereka? Ini semua yang
berdua, tetapi yang terlihat secara
mampu menjawab adalah warga
kasat mata bahwa mereka tidak
dalam
tetapi
harmonis dan saling menjatuhkan,
masyarakat diluar PA juga bisa
misalnya yang beredar dimedia
mengamati dari luar, bahwa sedang
sosial
ada ketidakharmonisan di antara
elektronik seperti ungkapan yang
mereka
keluar dari mulut Muzakkir Manaf
Partai
dalam
Aceh,
memperjuangkan
dan
juga adanya intervensi dari luar
manusia gagal dalam membangun
Partai Aceh yang menginginkan
Aceh”
mereka terpisah sehingga dengan
mendiskreditkan
mudah akan diperankan oleh orang
yang di usungkan oleh Partai
berada diluar.
Nasional Aceh, Irwandi Yusuf
mereka
(Zaini
Abdullah
Muzakkir
Manaf)
telah
keretakan
yang
berarti
keduanya,
sehingga
dan
terjadi
dari
dibuktikan
dengan dipilkada 2017 masingmasing mereka mencalonkan diri
dan
dan
“
berjalan tiga tahun kepemimpinan
hewan
cetak
tujuan internal Partai, disamping
Hal ini dapat dilihat pasca
Dokter
media
penryataan
kepada
dokter
ini
Calon
sebagai dokter Hewan, berlatar
pendidikan kedokteran hewan dan
Dokter Manusia identik dengan
Zaini
Abdullah
yang
berlatarbelakang pendidikan dokter,
yang pada periode ini (2017-2022)
mencalonkan diri sebagai gubenur
Aceh dari calon perorangan.
sebagai Gubenur, ini bila dikaji
Sebenarnya pernyataan seperti itu
lebih jauh bahwa kedua tokoh ini
tidak perlu keluar, kemudian ini
memiliki ambisi besar menjadi
akan menjadi senjata atau alat bagi
penguasa atau orang nomor satu di
lawan
Aceh,
mengembalikan kepadanya bahwa
namun
kita
belum
politiknya
untuk
44 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
calon yang di usung oleh partai
penuh, dan bahkan kedatangan
penguasa ini tidak etis dan rusak
warga masyarakat kelapangan saat
secara
pilkada
individunya,
sehingga
lebih
kepada
kemauan
menjadi bumerang bagi dirinya dan
sendiri/keihklasan
untuk
pemilihnya.
Hal ini tak terlepas
menghadiri kampanye. Tetapi hal
dari adanya ketakutan besar dari
ini berbeda di periode pilkada
luar tatkala Partai ini terus berkuasa
2017-2022,
maka benih-benih yang dulunya
warga masyarakat diruang publik
ingin
memisahkan
NKRI
semakin
dimana
diri
dengan
(lokasi
kuat
dengan
deklarasi terus berkurang, apalagi
kekuasaan yang dimiliki, untuk itu
yang mendampingi petinggi Partai
setingan
Aceh dari partai Nasional (partai
terhadap
riak
ingin
memisahkan para tokohnya terus
pada
saat
Gerindra).
berlangsung hingga menuju tahun
2017.
kampanye)
kedatangan
Realitas desain politik Aceh
yang diperankan oleh eksekutif dan
Bila halnya semua kader PA sadar
legislatif telah membawa perubahan
akan mereka sedang dipengaruhi
yang signifikan dalam konstelasi
oleh luar mereka mungkin hal ini
politik di Aceh, khususnya pasca
tidak akan terjadi seperti sekarang,
Mou Partai Aceh mendominasi
kalaulah mereka kembali melihat
kursi
kebelakang sangat jauh berbeda
Aceh (DPRA) dan DPRK, Partai
semangat kader dan simpatisan
Aceh
pendukung
yang
partai-partai lokal lainnya, tetapi
mecalonkan diri di Pilkada Aceh
juga sekaligus mengalahkan partai-
2012-2017 lahir dari kader PA
partai
sendiri, baik itu sebagai gubenur
konstelasi
mapun wakilnya, dimana hampir
membawa implikasi yang penting,
semua ruang publik (lapangan)
khususnya
PA,
karena
dewan perwakilan
tidak
saja
nasional.
politik
bagi
rakyat
mengalahkan
Perubahan
di
masa
Aceh
depan
Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 45
Dalam Kajian Foucult dan Coleman
perdamaian di Aceh. Selanjutnya
di partai politik maupun institusi
kemenangan lainnya tidak hanya di
negara lainnya ( TNI/Polri dll)
sektor jatah kursi di parlemen tetapi
Aksi Partai Nasional dalam Pilkada
juga
eksekutif
Aceh
gubenur,
disimak,
hampir
sejak
masa
gubenur
Aceh
Irwandi-
Nazar
kursi
(gubenur/wakil
Bupati/walikota)
kepemimpinan
cukup
menarik
semua
untuk
calon
berdampingan
dengan partai nasional, dan bahkan
(2009-2012) hingga Zaini Abdullah-
juga
Muzakkir Manaf (2012-2017).
mencalonkan diri pernah mendaftar
Selain
itu
juga
Partai
yang
calon
kepada
perorangan
partai
nasional
diusung
yang
cawagub, saat Parnas mebuka ruang
Gubenur
menjabat Wakil
Aceh,
dan
sedang
cagub
untuk
dikomandoi oleh Muzakkir Manaf,
sekarang
sebagai
yang
atau
kepada calon yang akan di usung di
persiapan untuk ikut kompetisi
pilkada Aceh 2017-2022.
melalui Partai Aceh sebagai calon
Gerakan Partai Nasional dalam
gubenur
mendukung calon kepala daerah di
2017-2022,
dengan
didampingi T. A. Khalid dari partai
Pilkada
Nasional (ketua DPD Gerindra
sebagai berikut: pertama, Pasangan
Aceh). Menariknya partai lokal yang
Irwandi Yusuf- Nova Iriansyah
berkuasa ini menggandeng wakilnya
didukung oleh Partai Demokrat,
melalui partai nasional, ini adalah
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
satu prestasi, dan menarik untuk
Partai
dikaji, jikalah kembali pada butir
Perjuangan (PDIP) dengan dua
MoU
telah
Partai Lokal yakni Partai Nasional
dibentuk harus menjalin hubungan
Aceh (PNA) dan Partai Damai
baik
melalui
Aceh (PDA). Kedua Pasangan
perwakilannya di daerah apakah itu
Muzakkir Manaf- T.A. Khalid, di
jelas
ke
Parlok
yang
nasional
Aceh
dapat
Demokrasi
dijelaskan
Indonesia
dukung oleh Partai Gerindra, Partai
46 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Keadilah Sejahtera (PKS), Partai
parlemen (Partai Nasional Aceh)
Bulan Bintang, dan partai lokalnya
juga memilih calon dari partai
Partai Aceh (PA). Ketiga Tarmizi
nasional
Karim-
Ali
membuktikan kepada publik bahwa
didukung oleh Partai Golongan
Partai lokal di Aceh dalam Pilkada
Karya (Golkar), Partai Persatuan
Aceh 2017-2022 belum sepenuhnya
Pembangunan
Partai
memiliki kekuatan penuh dalam
(Nasdem),
meyakinkan pemilih. Ini halnya
Partai Amanat Nasional (PAN),
sangat berbeda dengan dua Pilkada
Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
Sebelumnya
dan PKPI, dengan tanpa ada
2017) dimana aktor partai Lokal
dukungan dari partai Lokal Aceh.
Aceh berani untuk berkompetisi
Begitu juga untuk tiga tokoh Aceh
dengan aktor/ kader partai politik
lainnya
nasional.
T.
Nasional
Machsalmina
(PPP),
Demokrat
yag
perorangan
naik
para
dari
wakilnya
jalur
dari
kader partai politik nasional.
Jika
dianalisis
secara
sebagai
wakilnya.
(2006-2012,
Ini
2012-
Sehingga ini menjadi penting ketika
melihat relasi kuasa pengakuan
politik
terhadap
perpolitikan
diperankan
oleh
partai
yang
politik
sepertinya ada sebuah ketakutan
nasional, dimana jika kita melihat
dari petinggi Partai Lokal di Aceh
kebelakang pengakuan kekuatan
(PA, PNA dan PDA). Misalnya
partai lokal mengalahkan partai
partai lokal yang sedang berkuasa di
politik nasional. Ini juga yang
Aceh (PA) disaat ada kadernya yang
menurut analisa penulis bahwa apa
ingin
yang diharapkan
berkompetisi
sesamanya
oleh sistem
sehingga memilih jalan bergandeng
perpolitikan nasional telah dicapai
dengan partai nasional, begitu juga
ketika
PNA secara lokal yang mendapat
kedalam sistem lokal Aceh, yang
suara nomor dua terbanyak di
dulunya sulit untuk ditembus. Bisa
mereka
mampu
masuk
Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 47
Dalam Kajian Foucult dan Coleman
saja pilihan ini menjadi sebuah
sumber
pilihan yang rasional melihat situasi
perhatian pihak lain. Dalam hal
terkini di Aceh.
tersebut
Kajian
teori
pilihan
rasional
Coleman (1990:13) dalam Ritzer
(2010) tampak jelas dalam gagasan
dasarnya
bahwa
“tindakan
perseorangan mengarah pada suatu
tujuan dan tujuan itu (dan juga
tindakan itu) ditentukan oleh nilai
atau pilihan (preferensi)”. Sehingga
ini sangat jelas bahwa ketika tujuan
daya
yang
menarik
terjadi
saling
ketergantungan
(saling
membutuhkan),
saling
ketergantungan tersebut meliputi
seluruh
sistem
sosial.
Setiap
individu bertujuan memaksimalkan
perwujudan
kepentingannya,
ini
memberi ciri saling tergantung atau
ciri sistemik tindakan mereka.
Pola
yang
berkembang
politik dalam meraih kursi nomor
dalam upaya kampanye hampir
satu Aceh maka dirasa perlu adanya
sebagian
penyatuan antara aktor lokal dan
perpolitikan
nasional sehingga ada kekuatan
massa dibuat berbasis kepada pola
yang luar biasa yang dalam kajian
Agama dan adat, dimana para
Coleman disebut adanya peranan
kandidat melihat arah Fanatisme
unsur “aktor” dan “sumberdaya”.
yang dimiliki rakyat Aceh dari
Sumber daya adalah sesuatu yang
waktu ke waktu sangat terkait
menarik perhatian dan yang dapat
dengan perjuangan agama dan adat.
dikontrol oleh aktor. Coleman
Disamping juga adanya hadih maja
menjelaskan interaksi antara aktor
Hukum ngon Adat lagee zat ngon sifeut.
dan sumber daya secara rinci
Hanya karena agamalah mereka
menuju ke tingkat sistem sosial,
mau berjuang mati-matian, kondisi
bahwa basis minimal untuk sistem
seperti ini tergambarkan dalam
sosial adalah dua orang aktor,
beberapa kali perang baik melawan
masing-masing
penjajah Belanda maupun rezim
mengendalikan
besar
dalam
arah
cara
menggalang
48 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Indonesia yang nasionalis-sekularis.
menekan dari suatu institusi pemilik
Kemudian pola ini pula yang
kekuasaan,
termasuk
meyakinkan para pemuda Aceh
Kekuasaan
bukan
diawal bergabung dengan gerakan
fungsi dominasi dari suatu kelas
aceh
yang didasarkan pada penguasaan
merdeka
(GAM)
dalam
merupakan
mencari arah politik, sehingga tidak
atas
hanya
ideologi (Marx), juga bukan dimiliki
dari
kalangan
laki-laki
terpengaruh dengan gerakan ini tapi
juga jenis kelamin perempuan yang
ekonomi
negara.
atau
manipulasi
berkat suatu kharisma (Weber).
Kekuasaan
tidak
dipandang
dikenal dengan sebutan Inong Balee,
secara negatif, melainkan positif
ini tak terlepas dari semangat
dan produktif. Kekuasaan bukan
perjuangan yang diturunkan oleh
merupakan institusi atau stuktur,
generasi
yang
bukan kekuatan yang dimiliki, tetapi
meninggalkan estapet rela membela
kekuasaan merupakan istilah yang
kebenaran dan keadilan.
digunakan untuk menyebut situasi
sebelumnya
Namun
berbeda
dalam
ketika
kajian
hal
ini
relasi
sangat
kekuasan
sosiologi
yang
strategis
kompleks
dalam
masyarakat. Kekuasaan menurut
Foucault mesti dipandang sebagai
dipaparkan oleh Foucault (1982),
relasi-relasi
dimana kekuasaan tidak dipahami
tersebar
dalam suatu hubungan kepemilikan
mempunyai ruang lingkup strategis.
sebagai properti, perolehan, atau
Memahami
hak istimewa yang dapat digenggam
dengan mengajukan pertanyaan apa
oleh sekelompok kecil masyarakat
kekuasaan itu atau siapa yang
dan yang dapat terancam punah.
memiliki kekuasaan atau dari mana
Kekuasaan juga tidak dipahami
kekuasaan
beroperasi secara negatif melalui
melainkan memahami kekuasaan
tindakan
mesti didekati dengan mengajukan
represif,
koersif,
dan
yang
seperti
beragam
jaringan,
kekuasaan
itu
dan
yang
bukan
bersumber,
Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 49
Dalam Kajian Foucult dan Coleman
pertanyaan bagaimana kekuasaan
adalah
beroperasi atau dengan cara apa
menjalankannya/menggerakkan,
kekuasaan itu dioperasikan.
jadi sepatutnya setiap seseorang
Cronin
(1996)
menunjukkan
orang
yang
yang menjadi penguasa harus lebih
pengertian kekuasaan sebelumnya
banyak
yang memandang secara substantif
dikembangkan sehingga hasilnya
tertanam dalam, dijalankan oleh,
juga berdampak positif. Kalaulah
dan
menjadi
ini tidak dijalankan sebagaimana
konsep kekuasaan relasional sebagai
mestinya maka yang terjadi adalah
suatu fungsi jaringan relasi antar
konflik.
subjek. Pergeseran ini berimplikasi
kemungkinan ketika sebuah negara
pula terhadap bagaimana kekuasaan
atau sebuah komunitas/masyarakat,
itu dioperasikan dan apa yang
organisasi
menjadi
dalam
dioperasikan dengan benar maka
beroperasinya
tunggulah akan terjadi benih-benih
kekuasaan. Apa yang digambarkan
konflik, bisa saja lahirnya secara
oleh
internal
terhadap
subjek
perhatian
menganalisis
Foucault
dan
aliran
Foucaltdian ini sebenarnya menjadi
energi
positif
Sehingga
yang
sangat
besar
dijalankan
atau
tanpa
bahkan
secara
eksternal.
sebuah pemikiran positif bagi aktor
Mengamati realitas Partai Lokal
atau banyak pemikir politik yang
di Aceh (PA, PNA, dan PDA) ini
mencoba menyalahkan pemahaman
sangat jelas bahwa organisasi Partai
tentang relasi kekuasaan yang selalu
Politik lokal yang sudah tumbuh
diarahkan kepada aspek negatif
besar
bukan positif. Harusnya semua
masyarakat ternyata lemah dalam
orang
menjalankan kekuasaanya. Begitu
harus
kekuasaan
itu
menyadari
dijalankan
bahwa
oleh
juga
dan
mengakar
ketika
ingin
seperti
dengan
mencari
manusia bukan oleh mesin yang
kekuasaan,
halnya
pola
sifatnya digerakkan, tetapi manusia
kekuasaan didapatkan dengan tidak
50 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
baik dari sebuah proses perjalanan
pesta
Demokrasi seperti Pilkada, maka
kebencian
hasilnya
keagamaan akan terus menjadi
ketika
menjalankan
demokrasi
lokal.
terhadap
organisasi
kekuasaan akan juga sulit dan
strategi
terkesan menindas lawan dalam
organisasi
Pilkada tersebut. perihal ini tidak
menjatuhkan lawannya, hal
hanya terjadi di Indonesia tetapi
dianggap mampu menekan dan
juga terjadi hampir semua belahan
menjatuhkan lawan. Ini juga yang
dunia
membuat Marx membenci korporat
yang
kenegaraan
menjalankan
melalui
roda
Demokrasi,
yang
jitu
Pola
bagi
tertentu
berlindung
apakah itu dalam bentuk Pemilu,
pendeta
Pilpres, atau pun Pilkada.
memanfaatkan
dimiliki
kelompok
dalam
dibalik
Gereja
ketiak
dengan
potensi
dalam
ini
yang
memuluskan
Proyeksi Isu Sara dan Potensi
kerjanya, namun setelah apa yang
Konflik Sosial
telah didapatkan maka Gereja tidak
Melihat kasus Pilkada Aceh 2012
dan Pilpres 2014, dalam pilkada
serentak perlu diwaspadai ujaran
kebencian
berbasis
organisasi
agama, seperti Wahabi, Syi’ah dan
Ahlussunnah
Wajamaah,
perlu
menjadi kajian serius bagi institusi
negara
yang
membidanginya,
misalnya Instittusi Kesbangpong
dan Limnas Aceh atau organisasi
lainnya
yang
terkait.
Inilah
tantangan cukup serius yang perlu
segera dikelola agar tidak menodai
lagi diperhatikan seperti apa yang
telah dijanjikan. Sehingga terjadilah
pemberontakan
Marxian
dari
terhadap
gerakan
keberadaan
gereja dan lahirnya kelompok atheis
dan lain-lain, peranan ini juga sudah
diperankan oleh elit politik dewasa
ini dengan berlindung dibawah
kelompok organisasi Islam seperti
Organisasi
Masjid,
Dayah/pesantren dan OKP Islam
lainnya seperti FPI (front pembela
islam) Anshor dan lain-lain.
Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 51
Dalam Kajian Foucult dan Coleman
Ancaman meroketnya kekerasan
hadir sebelum Pilkada, bahkan jauh
dan konflik sosial dalam pilkada
sebelumnya. Misalnya isu Wahabi,
serentak tentunya akan terjadi tapi
aliran sesat, stigma kafir dan lan-
tidak
umum
lain. Maka, momen politik seperti
dewasa
pilkada sering kali menjadi arena
mengikuti Pilkada. Namun, untuk
berbagai aktor (politisi, birokrasi,
memuaskan birahi politik, sebagian
tokoh agama, tokoh masyarakat)
kecil masih akan menggunakan cara
mengangkat sentimen intoleransi
apa
keagamaan yang sudah ada itu
signifikan.
masyarakat
Secara
makin
pun,
termasuk
Laporan
kekerasan.
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan Indonesia, misalnya,
”hanya” menemukan 5 persen
kasus
kekerasan
terjadi
terkait
pilkada sebanyak 500 kali sepanjang
2005-2008.
Pada
2010,
International
Crisis
Group
mencatat pada 220 pilkada terjadi
20 kasus kekerasan. Akan tetapi,
ancaman
penting
serius
berikut
direspons
yang
adalah
meningkatnya kekerasan non fisik.
Salah satunya dalam bentuk ujaran
kebencian
pilkada
Banyak
menjelang
serta
riset
setelah
dan
saat
Pilkada.
menunjukkan,
hubungan kekerasan dan Pilkada
tak selalu seperti kompor dan api.
Dimana bahan baku konflik sudah
untuk mobilisasi elektoral.
Jadi, untuk mengatasi konflik, kita
harus bergerak menuju sumber
masalah, tak hanya terpaku pada
momen
pilkada
semata
tetapi
bagaimana kita mampu memetakan
dengan baik isu yang telah ada dan
memberikan upaya pemecahannya.
Menarik kiranya Kesbangpolimas
Aceh
membuat
research
(penelitian) kecil dengan melibatkan
institusi Perguruan Tinggi untuk
memetakan konflik Sosial yang
diakibatkan melalui Pilkada Aceh,
dengan
melihat
tahapan
Pra
Pilkada, sedang dan setelah Pilkada
kemudian
penelitian
ini
memberikan
kontribusi
setiap
tahapannya
kepada
pemerintah
52 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Aceh dan pihak terkait terhadap
seperti apa yang terjadi dewasa ini,
Pemilihan kepala daerah (Pilkada),
kekuasaan menjadi milik penguasa
begitu juga saat pemilihan umum
dan
legislatif.
kekuasaan tidak dipandang secara
Sehingga keberadaan
kelompoknya.
Institusi Kesbangpol dan Linmas
negatif,
dalam
produktif.
bidang
memberikan
politik
nuansa
akan
melainkan
Intinya
positif
Kekuasaan
dan
bukan
tersendiri
merupakan institusi atau stuktur,
dalam memberikan solusi kepada
bukan kekuatan yang dimiliki, tetapi
negara dan menjaga kestabilan
kekuasaan merupakan istilah yang
politik dalam mewujudkan Aceh
digunakan untuk menyebut situasi
yang bebas dari konflik sosial.
strategis
kompleks
dalam
masyarakat.
Pola yang berkembang dalam upaya
Penutup
kampanye Pilkada hampir sebagian
Transformasi sosial dalam kajian
besar arah cara perpolitikan dalam
politik saat Pilkada menarik kiranya
menggalang massa dibuat berbasis
dilihat
pendekatan
kepada pola Agama dan adat,
kekuasaan Michel Foucault dan
dimana para kandidat melihat arah
kajian
rasional
Fanatisme yang dimiliki rakyat
Coleman, dengan melihat realitas
Aceh dari waktu ke waktu sangat
partai politik lokal maupun partai
terkait dengan perjuangan agama
politik nasional, masih jauh dari
dan adat. Sehingga titik kelemahan
tujuan
yang
para ustad/tengku terus menjadi
bahkan
strategi empuk bagi para konseptor
kekuasaan
politik dalam menjalankan aksinya,
sesungguhnya, dimana kekuasaan
misalnya bergitu mendekati Pilkada
bersifat produktif untuk menjawab
maka
tujuan sebuah demokrasi bukan
menjadi target utama yang harus
dengan
Teori
demokrasi
sesungguhnya
menggeser
Pilihan
dan
makna
masjid,
Dayah/pesantren
Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 53
Dalam Kajian Foucult dan Coleman
diperhatikan, apalagi aktor yang
dijagokan
sesuai
dengan
kepercayaan para lembaga institusi
agama tersebut, harusnya teori
pilihan
rasional
mejadi
sebuah
alternatif yang harus dilihat oleh
para konseptor politik sehingga
tidak terkesan mencidrai jalannya
proses demokrasi. Menariknya saat
pilkada 2017-2022 sangatlah unik
dan menarik, dimana Partai Lokal
harus bergandeng dengan partai
Politik Lokal dalam menggapai
Aceh 1 dan Aceh 2 (Gubenur dan
wakilnya), sehingga ini peluang
yang baik bagi partai nasional
dalam menjalankan aksi politiknya
kedepan.
Referensi:
Abdi
Mugis Mudhoffir, Teori
Kekuasaan Michel Foucault:
Tantangan bagi Sosiologi
Politik, Jurnal Sosiologi
Masyarakat, Vol. 18. No.
1. Januari 2013, Labsosio
UI, Jakarta
Cronin, Ciaran. 1996. “Bourdieu
and Foucault on Power
and Modernity”. Philosophy
Social Criticism, Vol. 22: 5585.
Ikhsan Dermawan, Bentuk Resolusi
Konflik Dalam Pilkada:
Kasus
Pilkada
Kota
Yogyakarta dan Kabupaten
Jepara, Politika Vol.1.
No.1, April 2010, MIPUndip. Semarang
Masrizal,
2016,
Gelombang
Transformasi
Sosial
di
Pilkada Aceh, Kesbangpol
dan Linmas Aceh, sebuah
proyeksi Pilkada Aceh
dalam kajian Pakar. Banda
Aceh. Tidak diterbitkan.
Michel Foucault. 1982, The Subject
and Power. In The
Essential Foucault. New
York: The New Press.
Otto Syamsuddin Ishak, 2013,
Aceh Pasca Konflik:
kontestasi
3
varian
Nasionalisme,
Bandar
Publishing, Banda Aceh.
Ritzer, George and Douglas J.
Goodman,
2010, Teori
Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan
Mutakhir,
Kreasi
Wacana,
Yogyakarta
TB. Massa Jafar, Pilkada dan
demokrasi konsosiasional
di Aceh Jurnal Poelitik
Volume
4/No.1/2008.
Jurnal
Politik
Unas,
Jakarta.
54 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Tim
Peneliti KPU Bandung,
Praktek Politik Uang Pada
Pemilu Legislatif 2014:
Studi Kasus di Kabupaten
Bandung Barat, Laporan
Penelitian. Bandung
Akmal Saputra, S.Sos.I., MA, Sosiologi Bencana : Sebuah Refleksi
Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh
55
Sosiologi Bencana: Sebuah Refleksi
Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh
Oleh :
Akmal Saputra, S.Sos I., MA
(Dosen Tetap Prodi Sosiologi FISIP-Universitas Teuku Umar)
Abstrak
Tulisan ini berangkat dari sebuah pengalaman dan pengamatan panjang
penulis terhadap apa yang telah terjadi di Aceh pasca gempa dan tsunami
tahun 2004. Penulis mencoba merefleksikan kembali sebagai upaya untuk
“melawan lupa” apa yang sesungguhnya telah terjadi di Aceh, sekalipun
tulisan-tulisan tentang gempa dan tsunami Aceh telah banyak ditulis oleh
para akademisi dan praktisi, namun penulis menilai tulisan tentang gempa
dan tsunami Aceh masih layak dikaji untuk pengembangan ilmu
pengetahuan khsususnya bidang sosiologi. Adapun yang menjadi kajian
dalam tulisan ini adalah: Pertama, membahas tentang dinamika sosial
pembangunan masyarakat dan perubahan sosial. Kedua, Kritik terhadap
pembangunan pasca gempa dan tsunami Aceh. Hasil analisis menunjukkan
bahwa pembangunan masyarakat yang telah dilakukan pasca gempa dan
tsunami selain memberikan manfaat, namun juga berdampak pada
perubahan perilaku masyarakat, misalnya ketidak-jujuran penerima manfaat,
ketergantungan penerima manfaat terhadap bantuan, nilai-nilai kebersamaan
dan kegotong-royongan menjadi pudar. Perubahan-perubahan lainnya
adalah mempengaruhi pada pengamalan agama, kehidupan sosial, gaya
hidup westernisasi dan perubahan pola pikir masyarakat, perubahanperubahan pada arah positif juga terjadi, misalnya masyarakat mendapatkan
pendidikan nonformal melalui berbagai program pembangunan pasca
gempa dan tsunami. Motivasi pemuda untuk melanjutkan studi jenjang yang
lebih tinggi, karena begitu banyak beasiswa dan juga peluang kerja yang
terbuka lebar. Tulisan ini juga memberikan kritik pada program-program
pembangunan yang dilakukan pasca gempa dan tsunami, kritik yang
diberikan adalah pada tahap perencanaan dan pelaksanaan, selain itu tulisan
ini juga memberikan beberapa rekomendasi sebagai bahan evaluasi untuk
menyukseskan pembangunan dimasa mendatang.
Kata kunci: Dinamika Sosial, Pembangunan Masyarakat dan
Perubahan Sosial
56
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
A. Pendahuluan
Tulisan
ini
akan
merefleksikan dinamika sosial
kehidupan masyarakat Aceh pasca
gempa dan tsunami dalam rentang
waktu tahun 2004 sampai dengan
tahun 2010, ada dua hal yang akan
penulis kaji, Pertama, dinamika
sosial pembangunan masyarakat
dan perubahan sosial, Kedua, kritik
terhadap
program-program
pembangunan pasca gempa dan
tsunami. Tulisan ini berikutnya
akan penulis analisis pada poin
pembahasan nantinya. Tulisantulisan mengenai gempa dan
tsunami Aceh sesungguhnya telah
banyak dikaji oleh para akademisi
dan praktisi sebelumnya, namun
penulis menganggap bahwa topik
ini masih layak untuk terus dikaji
sebagai
pengembangan
ilmu
pengetahuan
(knowledge)
dan
semoga
bermanfaat
untuk
masyarakat secara umum, baik
akademisi maupun praktisi.
Gempa dan tsunami telah
melanda Aceh pada tahun 2004
tepatnya 12 tahun yang lalu,
sesungguhnya telah berdampak
pada
segala
sisi
kehidupan
masyarakat Aceh, baik itu agama,
pendidikan, psikologis, ekonomi,
sosial, budaya, politik, kesehatan,
lingkungan alam, infrastruktur dan
jumlah masyarakat yang meninggal
dunia. Berangkat dari keterpurukan
tersebut, membuat mata dunia
tertuju pada Aceh untuk melakukan
bantuan
kemanusiaan dengan
berbagai
motivasinya
yang
kemudian diimplementasi melalui
lembaga-lembaga international baik
itu melalui NGO (Non Goverment
Organization) maupun lembaga PBB
(perserikatan
bangsa-bangsa).
Pembangunan Aceh pasca gempa
dan tsunami tentu tidak terlepas
dari peran-peran NGO lokal
sebagai mitra NGO asing dan juga
peran pemerintah melalui lembaga
BRR
NAD-Nias
(Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi) yang
dibentuk oleh pemerintah melalui
UU No.10 Tahun 2005. BRR
NAD-Nias
berfungsi
untuk
penertiban dan kendali mutu
terhadap program LSM dan para
donor (Dzikron, A.M, 2009: 150).
Pasca gempa dan tsunami,
Aceh menjadi dikenal, selain karena
dikenal sebagai daerah yang
mengalami konflik yang panjang
yaitu GAM (Gerakan Aceh
Merdeka) dengan Pemerintah
Republik Indonesia. Pasca gempa
dan tsunami berbagai NGO
kemudian
memusatkan
perhatiannya pada pembangunan
Aceh,
pembangunan
yang
dilakukan adalah memperbaiki
infrastruktur yang telah mengalami
kerusakan yang sangat serius dan
juga pembangunan sosial yang
berupa perbaikan sumber daya
manusia, pendidikan, kehidupan
sosial,
kesehatan,
pemulihan
psikologis masyarakat (phsycosocial)
yang mengalami trauma dan juga
perbaikan
dibidang
ekonomi
Akmal Saputra, S.Sos.I., MA, Sosiologi Bencana : Sebuah Refleksi
Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh
(economic
empowerment)
bagi
masyarakat yang telah kehilangan
mata pencahariannya.
Proses rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh membutuhkan
waktu yang lama, upaya-upaya
penanggulangan bencana dilakukan
dalam tiga tahap: Pertama, tanggap
darurat (emergency relief), Kedua, tahap
rehabilitasi,
Ketiga,
tahap
rekonstruksi (Dzikron, A.M, 2009:
150). Berbagai dinamika sosial
dalam masyarakat tentu saja terjadi,
baik saat pembangunan dan pasca
pembangunan.
Perubahanperubahan sosial dalam masyarakat
juga ikut mengambil bagian pada
saat dan pasca pembangunan Aceh.
Pola-pola kehidupan masyarakat
juga mulai berubah, karena telah
bersinggungan dan berinteraksi
dengan berbagai budaya asing yang
sebelumnya
masyarakat
tidak
mengenalnya.
Penulis berharap kajian ini
nantinya menjadi sebuah refleksi
bagi masyarakat Aceh sebagai
upaya-upaya masyarakat Aceh
untuk “melawan lupa” (meminjam
istilah media televisi Metro TV), yaitu
apa sesungguhnya telah terjadi pada
masyarakat kita pada tahun 2004
silam. Bencana alam gempa dan
tsunami menjadi sejarah sekaligus
pelajaran yang sangat berharga dan
bermakna bagi masyarakat Aceh
yang kemudian sejarah ini dapat
diceritakan pada anak cucu
berikutnya
yang
merupakan
generasi penerus bangsa. Bangsa
yang besar adalah bangsa yang
selalu mengingat sejarah bangsanya.
57
Sejarah menjadi pedoman dimasa
mendatang, gempa dan tsunami
yang telah terjadi telah menjadi
sejarah,
semoga
kita
dapat
mengambil hikmahnya, baik pada
peningkatan
spritual
dan
pengembangan ilmu pengetahuan.
B. Dinamika
Sosial
Pembangunan Masyarakat
dan Perubahan Sosial
Hingar-bingar yang terjadi
pasca
gempa
dan
tsunami
merupakan sebuah dinamika sosial
dalam
kehidupan
masyarakat,
gejala-gejala sosial yang terjadi
kemudian menjadi menarik untuk
dikaji dalam kerangka ilmu
pengetahuan, khsususnya bidang
sosiologi. Kajian ini mungkin saja
dapat dikatakan sebagai “Sosiologi
Bencana”,
Sosiologi
Bencana
menjadi sebuah tawaran baru dalam
kajian
Sosiologi,
karena
sesungguhnya bencana alam dapat
melahirkan
bencana
sosial.
Sepertinya para sosiolog hari ini
sedang mengarahkan pikirannya ke
arah sana, karena akan berbeda
sekali ketika mengkaji masyarakat
pasca bencana alam dengan
masyarakat yang bukan mengalami
bencana alam.
Alasan lainnya Indonesia
secara geografis merupakan wilayah
yang rawan terhadap bencana alam
selain bencana karena ulah tangan
manusia yang serakah merusak
alam atau lingkungan hidup yang
akhirnya menyebabkan terjadinya
bencana
alam
(Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
58
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Nasional, 2006:5). Bencana alam
dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu karena kondisi
geografis, geologis dan iklim
(Kementerian
Perencanaan
Pembangunan Nasional, 2006:5).
Indonesia terletak pada
pertemuan empat lempeng tektonik
yaitu lempeng Benua Asia, Benua
Australia,
lempeng
Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik,
gesekan lempeng tektonik (gempa)
ini apabila terjadi di samudera maka
akan menimbulkan gelombang
pasang atau yang dikenal dengan
gelombang tsunami (Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Nasional, 2006:5).
Di wilayah selatan dan
timur Indonesia ini juga terdapat
sabuk vulkanik yang memanjang
mulai dari Sumatera-Jawa-Nusa
Tenggara sampai Sulawesi, yang
sisinya
berupa
pegunungan
vulkanik tua dan dataran rendah
yang sebagian didominasi oleh
rawa-rawa.
(Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Nasional, 2006:5). Berangkat dari
kondisi geografis Indonesia yang
demikian,
maka
Indonesia
termasuk wilayah yang rawan
terhadap bencana alam dan sering
mengalami bencana banjir, longsor,
gempa bumi, letusan gunung berapi
seperti yang kita lihat di media
(televisi dan media cetak) akhirakhir ini.
Apabila
“Sosiologi
Bencana” disepakati oleh para
pakar menjadi sebuah kajian, maka
penulis melihat Aceh layak menjadi
sebuah “laboratorium bencana”.
Penulis
mengatakan
untuk
mempelajari
“bencana”
maka
datanglah ke Aceh, mengapa?
Pertama, karena Aceh salah satu
wilayah di dunia yang pernah
mengalami
bencana
alam
terdahsyat. Di Aceh hari telah
dibentuk sebuah lembaga TDMRCUnsyiah (Tsunami & Disaster
Mitigation Research Centre-Universitas
Syiah Kuala) Banda Aceh, selain itu
juga telah ada Pasca Sarjana
Kebencanaan di Universitas Syiah
Kuala dan juga di prodi Sosiologi
Universitas Syiah Kuala telah ada
matakuliah Sosiologi Kebencanaan.
Kedua, proses rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh atau yang
dikenal
dengan
istilah
pembangunan mengalami dinamika
sosial yang unik, keunikan terus
ditemukan
saat
dan
pasca
pembangunan, Ketiga, di Aceh
terdapat museum tsunami dan
situs-situs sejarah tsunami, salah
satunya kapal apung (dulu digunakan
sebagai pembangkit listrik milik PLN
di Ulee Lheue), dari museum dan
situs-situs tersebut begitu banyak
informasi yang bisa didapatkan oleh
para
pengunjung
sebagai
pengetahuan yang sangat berharga.
Pembangunan masyarakat
dengan konsep pemberdayaan
menjadi sebuah formula di abad
sekarang
ini,
pemberdayaan
masyarakat
bertujuan
untuk
mengembalikan masyarakat yang
mengalami
ketidakberdayaan
menjadi masyarakat yang berdaya
dan mandiri, atau masyarakat yang
Akmal Saputra, S.Sos.I., MA, Sosiologi Bencana : Sebuah Refleksi
Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh
powerless menuju masyarakat yang
powerfull (meminjam istilah dari Edi
Suharto). Pemberdayaan atau yang
dikenal dengan istilah empowerment
berasal dari kata “power” yang
berarti kemampuan, tenaga, atau
kekuasaan, namun secara harfiah,
istilah
“pemberdayaan”
dapat
diartikan
sebagai
peningkatan
kemampuan, tenaga, kekuatan, atau
kekuasaan (Najiyati, dkk, 2005: 51).
Untuk mencapai kemandirian
masyarakat ada empat prinsip yang
harus dicapai pada programprogram pemberdayaan, yaitu
kesetaraan,
partisipasi,
kemandirian/keswadayaan
dan
keberlanjutan (Najiyati, dkk, 2005:
54).
Secara teori, mungkin
terlihat begitu mudah untuk
memberdayakan
sekelompok
masyarakat
yang
mengalami
powerless, misalnya masyarakat yang
mengalami masalah kemiskinan,
masalah pendidikan dan masalah
sosial lainnya, namun apabila kita
menjadi bagian dari pelaku
pemberdayaan/pekerja sosial (social
worker), maka kita akan menemukan
banyak hal yang berbeda, begitu
banyak tantangan, seorang social
worker akan menghadapi orangorang yang berbeda secara latar
belakang pendidikan, latar belakang
sosial, latar belakang historis, latar
belakang budaya, latar belakang
ekonomi, dan latar belakang agama.
Tentu
saja
akan
berbeda
karakteristik
suatu
kelompok
masyarakat dengan kelompok
masyarakat yang lain, maka langkah
59
dan strategi yang diambil juga harus
tepat, seorang social worker harus
memahami
masyarakat secara
sosiologis dan antropologis.
Apabila kita melihat kondisi
pembangunan masyarakat Aceh
pasca gempa dan tsunami, rentang
waktu 2004 sampai dengan 2010,
maka akan kita temukan berbagai
dinamika sosial, mulai dari
pembangunan
infrastruktur,
pembangunan non infrastruktur
sampai pada konflik pemberi
bantuan dengan penerima bantuan,
konflik pemberi bantuan dengan
pemerintah
gampong
(desa),
konflik
masyarakat
dengan
lembaga-lembaga
pemerintah,
konflik masyarakat dengan social
worker. Persoalan-persoalan lainnya
adalah
adanya
upaya-upaya
pemurtadan yang dilakukan oleh
beberapa lembaga yang membawa
bendera bantuan kemanusiaan,
namun yang dilakukan adalah
melakukan pendangkalan aqidah
terhadap
umat
Islam
atau
pemurtadan. Koordinasi antar
lembaga pemberi bantuan dengan
pemerintah berjalan kurang baik
atau
NGO
lokal
dengan
pemerintah atau NGO lokal
dengan NGO lokal lainnya,
sehingga
program-program
pembangunan menjadi tumpah
tindih dan sulit untuk dihindari.
Berikutnya penulis juga
akan menguraikan beberapa fakta
yang penulis dapatkan dari hasil
observasi penulis selama menjadi
relawan gempa dan tsunami Aceh,
Program
pembangunan
yang
60
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
berorientasi pada bantuan langsung
(charity) dalam jangka waktu yang
lama ternyata berdampak pada
ketergantungan suatu masyarakat
terhadap bantuan yang diberikan,
misalnya saja program cash for work,
yaitu masyarakat dimobilisasi untuk
membersihkan
lingkungan
gampongnya (desa), kemudian
diberikan upah, dampak yang
terjadi
kemudian
adalah
mempengaruhi
nilai-nilai
kebersamaan yang sebelumnya
telah dibangun sebelum terjadi
gempa dan tsunami. Budaya
gotong-royong yang merupakan
sebuah bentuk kearifan lokal
masyarakat Indonesia secara umum
dan juga masyarakat Aceh telah
terjadi pergeseran yang kemudian
melahirkan masyarakat Aceh yang
materialis dan individualis.
Masyarakat Aceh yang
sebelumnya memiliki etos kerja
yang tinggi, kemudian menjadi
masyarakat yang tidak memiliki etos
untuk bekerja, mengapa? Bantuan
logistik begitu banyak diberikan ke
tenda-tenda
dan
barak-barak
pengungsi,
pengungsi
tinggal
menunggu panggilan pengumuman
dari pengelola posko pengungsian
atau dari meunasah melalui alat
pengeras suara untuk mengambil
bantuan logistik atau bahkan ada
yang diantar langsung ke tendatenda/barak-barak
pengungsian.
Penulis
tidak
bermaksud
menyalahkan
para
pekerja
kemanusiaan yang memberikan
bantuan, namun bantuan logistik
(charity) yang diberikan dalam
jangka panjang akan mempengaruhi
kondisi sosial masyarakat. Bantuan
logistik yang berbentuk charity
hanya dapat diberikan pada tahap
tanggap darurat saja (emergency),
setelah
itu
program-program
pembangunan harus diarahkan
pada
program-program
yang
berbasis
empowerment
dengan
harapan
menuju
kemandirian
masyarakat.
Pembangunan infrastruktur
juga mengalami persoalan, misalnya
saja pada pembangunan rumahrumah bantuan untuk korban
gempa dan tsunami, sebagian
masyarakat ada yang mendapatkan
rumah
ganda,
seharusnya
mendapatkan bantuan rumah sesuai
dengan porsinya. Selain itu,
dinamika yang terjadi pada
program-program pemberdayaan
ekonomi, misalnya saja bantuan
dana usaha (hibah atau dikembalikan
ke pengelola tanpa bunga untuk
kemudian disalurkan ke masyarakat
yang lain). Bantuan dana tersebut
pada dasarnya diarahkan untuk
masyarakat yang telah memiliki
usaha agar dapat meningkatkan
usahanya atau masyarakat yang
memiliki
motivasi
untuk
berwirausaha. Sebagian masyarakat
memanfaatkan dana tersebut untuk
membeli
kebutuhan-kebutuhan
yang lain atau keinginan-keinginan
yang lain, bahkan ada yang
memalsukan data bahwa telah
memiliki usaha, padahal tidak ada
usaha sama sekali, Jika dana itu
harus
dikembalikan,
sebagian
masyarakat
tidak
mau
Akmal Saputra, S.Sos.I., MA, Sosiologi Bencana : Sebuah Refleksi
Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh
mengembalikannya. Penulis menilai
pada sebagian masyarakat tidak
mempergunakan bantuan dana
tersebut dengan baik, padahal dana
tersebut sangat bermanfaat untuk
memperbaiki kondisi ekonominya.
Selain itu sebagian bantuan
dana untuk pemberdayaan ekonomi
atau yang dikenal dengan konsep
simpan pinjam dikelola dengan
sistem konvensional (bunga), bukan
dikelola dengan konsep syariah
(ekonomi
Islam),
sehingga
menimbulkan permasalahan dalam
kehidupan
masyarakat
Aceh,
sebagian masyarakat tidak mau
mengakses dana tersebut karena
bertentangan dengan nilai-nilai
Islam. Sebagian masyarakat ada
juga yang mengakses dana tersebut,
namun sebagian peminjam tidak
memanfaatkan untuk usaha, tetapi
untuk
membeli
kebutuhankebutuhan
atau
keinginankeinginan yang lain dan bahkan
sebagian peminjam tidak mau
mengembalikan dana pinjamannya
atau terjadi kemacetan pada
pinjamannya. Dinamika yang lain
juga dapat kita lihat ketika ada
bantuan ternak, bantuan bibit ikan,
bantuan bibit pertanian dan
perkebunan justru bantuan itu
dijual untuk membeli kebutuhan
atau keinginan yang lain bukan
dimanfaatkan untuk memperbaiki
kondisi ekonomi yang sedang
lemah.
Penulis tidak menafikan
bahwa
banyak
program
pembangunan yang juga berhasil
(terlepas bahwa ada kepentingan asing
61
pada bantuan tsunami Aceh atau tidak),
kota-kota yang pernah terkena
dampak gempa dan tsunami di
Aceh sekarang infrastrukturnya
dinilai sudah sangat baik, misalnya
pembangunan jalan, pembangunan
rumah-rumah
penduduk,
pembangunan
sekolah-sekolah,
kampus, drainase, jalan antar
kabupaten misalnya dari Banda
Aceh
menuju
Meulaboh,
pembangunan
escape
building
(gedung yang dimanfaatkan saat
terjadinya tsunami sebagai gedung
untuk penyelamatan), dibangunnya
early
warning
system
(sistem
peringatan dini saat tsunami), di
bentuknya institusi-institusi lokal
yang beranggotakan masyarakat
sendiri yang memiliki tugas dan
fungsi untuk pengurangan risiko
bencana berbasis masyarakat yang
merupakan salah satu program
pemberdayaan
masyarakat,
dibuatnya peta-peta rawan bencana.
Sekilas
diatas,
penulis
menguraikan fakta-fakta sosial yang
terjadi di Aceh pasca gempa dan
tsunami, fakta-fakta sosial diatas
akan
menjadi
kajian untuk
pengembangan ilmu pengetahuan
kedepan, khususnya sosiologi.
Fakta-fakta sosial ini sesungguhnya
berbeda dengan daerah-daerah yang
lain di Indonesia, karena kondisinya
berbeda dan tidak dapat di
generalisir,
Pertama,
kondisi
masyarakat Aceh yang mengalami
musibah
terdahsyat,
sehingga
mempengaruhi secara psikologis
(trauma,
kehilangan
keluarga,
kehilangan mata pencaharian),
62
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Kedua, kondisi geografis yang
berbeda, yaitu masyarakat pesisir
dengan watak yang berbeda dengan
masyarakat pegunungan, Ketiga,
sosio-antropologis atau kebudayaan
yang berbeda dengan masyarakat
yang lain di Indonesia.
Pada dasarnya masyarakat
akan terus berubah dan tidak
stagnan atau statis, masyarakat akan
terus berlari dari suatu titik ke titik
yang lain. Teori-teori ilmu sosial
akan terus berubah seiring dengan
perkembangan dan perubahan
sosial masyarakat, Sosiolog akan
terus mengkaji gejala-gejala sosial
yang ada dimasyarakat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan,
oleh karena demikian ilmu
pengetahuan
diharapkan
memberikan
kontribusi
bagi
masyarakat
yang
mengalami
masalah-masalah sosial atau kondisi
ketidakberfungsian sosial.
Kontak dengan budaya
yang berbeda merupakan salah satu
faktor
pendorong
terjadinya
perubahan sosial, perubahan sosial
dalam masyarakat sulit untuk dapat
dibendung, perubahan sosial akan
terus
terjadi,
namun
yang
diperlukan adalah bagaimana suatu
kelompok masyarakat untuk terus
melakukan apa yang dinamakan
dengan pengendalian sosial (social
control), karena perubahan sosial itu
dapat berupa perubahan positif dan
perubahan negatif.
Kita kembali melihat ke
belakang
untuk
sementara
merefleksi perubahan sosial yang
terjadi di Aceh pasca gempa dan
tsunami dalam rentang waktu
antara tahun 2004 sampai dengan
tahun 2010, mengapa penulis
mengajak pembaca untuk melihat
dalam
rentang
waktu
yang
demikian?, karena rentang waktu
tersebut merupakan rentang waktu
proses rehabilitasi dan rekonstruksi
Aceh, Banyak NGO Asing yang
berakhir program pembangunannya
di Aceh antara tahun 2009 dan
2010, hanya sebagian kecil saja yang
masih tinggal.
Perubahan sosial yang
terjadi di Aceh begitu jelas terlihat,
perubahan sosial begitu cepat
terjadi, baik perubahan positif
maupun negatif. Perubahan yang
positif khususnya peningkatan
dibidang pendidikan, begitu banyak
pendidikan-pendidikan non formal
yang dapat diakses oleh masyarakat
Aceh, misalnya saja melalui
pelatihan, workshop, lokakarya.
Pelatihan-pelatihan tersebut dapat
berupa
pelatihan
mengenai
manajemen bencana, pelatihan soft
skill,
berwirausaha,
pelatihan
pemberdayaan masyarakat sampai
pada
bagaimana
mengelola
keuangan yang sebelumnya jarang
didapatkan di Aceh. Selain itu juga
mulai tumbuh semangat anak-anak
muda
untuk
melanjutkan
pendidikan keperguruan tinggi
sampai pada pasca sarjana,
mengapa? Begitu banyak beasiswa
yang bisa di dapatkan di Aceh,
selain itu juga termotivasi karena
peluang kerja terbuka lebar di Aceh
pasca gempa dan tsunami, apalagi
yang mampu berbahasa asing.
Akmal Saputra, S.Sos.I., MA, Sosiologi Bencana : Sebuah Refleksi
Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh
Orang-orang
yang
mampu
berbahasa asing dapat bekerja di
lembaga-lembaga
kemanusiaan
yang bertaraf International dan
nasional.
Berikutnya penulis juga
akan mengajak pembaca untuk
tidak
melupakan
perubahanperubahan negatif yang terjadi di
Aceh pasca gempa dan tsunami.
Aceh adalah provinsi yang dikenal
dengan daerah yang menjalankan
hukum berlandaskan Syariat Islam,
terlepas dari pergulatan dan diskusi
yang panjang tentang menjalankan
syariat Islam secara kaffah atau
tidak.
Beberapa
pengamatan
penulis pada masa rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh, pengamalan
agama
menjadi
berkurang,
masyarakat
disibukkan
dan
menghabiskan waktu untuk urusan
keduniaan, sebagian masyarakat dan
juga pekerja kemanusiaan yang
berasal dari Aceh, ada yang
berlama-lama diwarung kopi, selain
mengobrol
sebagian
lagi
menggunakan fasilitas wifi untuk
kebutuhan pada social media dan
bermain games semata, bukan
digunakan untuk hal-hal yang
bersifat positif.
Pasca gempa dan tsunami
usaha warung kopi menjamur di
Aceh, usaha perhotelan dan juga
tempat-tempat wisata pinggir pantai
terbuka lebar di Aceh yang
kemudian tempat-tempat wisata
disalahgunakan oleh para pemuda
dan pemudi untuk melakukan halhal yang menyimpang dari ajaran
Islam. Pergaulan para pekerja
63
kemanusiaan yang berasal dari latar
belakang budaya yang berbeda
mempengaruhi tata kehidupan
masyarakat
Aceh,
mengapa
demikian? Kontak yang lama
dengan budaya yang berbeda, maka
akan mempengaruhi perilaku sosial,
gaya hidup westernisasi (kebaratbaratan), pola pikir dan tindakan
masyarakat setempat. Aceh pada
saat itu seolah menjadi miniaturnya
dunia, hampir semua bangsa yang
ada dibelahan dunia ini dapat kita
temukan di Aceh, berbagai jenis
kulit, rambut, bahasa, budaya, ras
ada di Aceh.
C. Kritik
Program
Pembangunan
Pasca
Gempa dan Tsunami
Kritikan
ini
bukan
bermaksud untuk tidak menghargai
apa yang telah dilakukan oleh dunia
untuk Aceh, sebuah program
pembangunan tentu saja tidak
terlepas dari dinamika. Menurut
Dzikron,
Hirarki
dalam
rekonstruksi Aceh pasca gempa dan
tsunami ditentukan oleh pihak
asing berdasarkan master plan tingkat
dunia yaitu PBB (perserikatan
bangsa-bangsa) yang kemudian
diimplementasikan oleh BRRNAD-Nias, tentu saja master plan
tidak terlepas dari kepentingan
asing yaitu kepentingan ekonomi,
politik, sosial dan agama (Dzikron,
A.M, 2009: 176-177). Menanggapi
apa yang dikatakan Dzikron,
seharusnya implementasi setiap
program
pembangunan
tidak
terlepas dari nilai-nilai sosiologis
64
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
dan antropologis masyarakat Aceh
dan juga nilai-nilai Islam yang
dianut oleh masyarakat Aceh.
Penduduk di provinsi Aceh
mayoritas
adalah
muslim,
penduduk yang non muslim hanya
sebagian kecil saja, dan mereka
adalah pendatang dan menetap di
Aceh, sebagiannya juga sudah lama
menetap di Aceh, ada yang menjadi
pedagang, bekerja di lembaga
pemerintahan dan bekerja disektorsektor yang lain, tidak ada konflik
agama yang terjadi, kecuali yang
terjadi di kabupaten Aceh Singkil
beberapa waktu yang lalu, Aceh
salah satu wilayah yang sangat
toleransi.
Pasca gempa dan tsunami
justru banyak berkembang adalah
para pengusaha-pengusaha, hotelhotel berjamur di wilayah Aceh,
warung kopi modern dengan
fasilitas wifi juga menjamur,
termasuk juga restoran-restoran.
Pelatihan-pelatihan atau workshop
sangat sering dilaksanakan di hotelhotel, sehingga yang menikmati
kesejahteraan
adalah
para
pengusaha-pengusaha. Masyarakat
yang tekena dampak gempa dan
tsunami menjadi penonton dan
mungkin saja belum terberdayakan
sesuai
dengan
konsep
pemberdayaan (empowerment) yaitu
dengan
harapan
menuju
kemandirian
masyarakat.
Ketergantungan terhadap asing
terus terjadi, padahal kemampuan
diri sendiri lebih bermanfaat
dibanding bantuan asing yang
bersifat temporer. (Dzikron, A.M,
2009: 177-178).
Penulis juga menilai aspekaspek
misionaris
(penyebaran
agama katolik dan kristen) di Aceh
juga terjadi, kita tidak tahu apakah
proyek misionaris ini berasal dari
asing ataukah dari Indonesia
sendiri, misalnya saja ditemukan
dan beredarnya tulisan-tulisan
tentang ajaran kristen dan katolik,
artinya
bahwa
bantuan
kemanusiaan yang seharusnya
sangat humanis, justru menjadi
ajang pemurtadan bagi masyarakat
Aceh yang beragama Islam.
Dampaknya adalah ditakutkan akan
memicu konflik antar agama yang
ada di Indonesia.
Donor asing yang begitu
besar anggarannya membuat NGO
lokal sebagai mitra menjadi
ketergantungan terhadap donor.
Program-program akan berjalan
apabila di dukung oleh donordonor asing. Pada saat donor asing
hengkang dari Aceh, NGO lokal
juga menjadi layu dan tak berdaya,
seharusnya NGO lokal harus tetap
berjaya dan mandiri melalui
fundrising. Penulis ingin mengatakan
bahwa kemandirian bagi NGO
lokal juga sangat penting, tanpa
harus banyak berharap pada donor,
kemudian kemandirian masyarakat
jauh lebih penting, kemandirian
dari segala aspek yaitu: pendidikan,
ekonomi, sosial, agama dan budaya
tanpa harus bergantung pada charity
asing dan lokal. Penulis berharap,
ketidak berfungsian sosial atau
ketidak-mandirian sosial masyarakat
Akmal Saputra, S.Sos.I., MA, Sosiologi Bencana : Sebuah Refleksi
Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh
jangan dimanfaatkan untuk proyekproyek “kemiskinan” dalam tanda
kutip.
Kritikan ini dimaksudkan
hanya untuk pengembangan ilmu
pengetahuan semata, bukan untuk
rasis ataupun mau menyudutkan
kelompok tertentu, dengan harapan
menjadi bahan evaluasi bagi
program-program pembangunan
kedepan, semua orang berharap
setiap
program-program
kemanusiaan harus benar-benar
menunjuk sesuatu yang humanis
tanpa ada misi-misi tertentu yang
dapat
memecah-belahkan
kehidupan masyarakat yang sudah
sangat harmonis.
.
D. Penutup
Penulis telah menguraikan
dinamika sosial pasca gempa dan
tsunami Aceh dan tidak bermaksud
untuk menyalahkan masyarakat
Aceh yang sedang mengalami
musibah bencana alam gempa dan
tsunami pada saat itu, atau
menyinggung kelompok tertentu
yang telah menyalurkan bantuan
saat gempa dan tsunami. Semua
kita tahu bahwa bencana alam ini
merupakan salah satu musibah yang
terbesar dalam sejarah kehidupan
manusia, oleh karena demikian apa
yang telah kita lakukan hari ini
tentu saja harus menjadi pelajaran
dihari esok.
Islam mengajarkan kepada
umatnya untuk saling tolongmenolong dalam kebaikan, manusia
yang beruntung adalah manusia
yang bermanfaat bagi manusia yang
65
lain, manusia yang beruntung
apabila hari ini lebih baik dari hari
yang kemarin atau esok hari lebih
baik dari hari ini. tulisan ini adalah
hasil pengamatan penulis saat
menjadi relawan gempa dan
tsunami Aceh tahun 2004, penulis
mencoba
menganalisis
sesuai
dengan
kemampuan
penulis,
semoga saja dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan
kedepan khususnya sosiologi dan
juga bermanfaat bagi segenap
masyarakat baik akademisi dan
praktisi
dan
pencinta
ilmu
pengetahuan.
E. Daftar Pustaka
Edi
Suharto. 2006. Membangun
Masyarakat Memberdayakan
Rakyat, Kajian Strategis
Pembangunan
kesejahteraan
Sosial dan Pekerjaan Sosial.
Bandung: Refika Aditama
Elly M.Setiadi dan Usman Kolip.
2011. Pengantar Sosiologi,
Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori,
Aplikasi dan Pemecahannya.
Jakarta:
Kencana
Prenadamedia Group.
M.Dzikron A.M. 2009. Tragedi
Tsunami di Aceh, Bencana
Alam
atau
Rekayasa?.
Yogyakarta: (MT&P) LAW
FIRM.
Najiyati, S., Agus Asmana, I
Nyoman N. Suryadiputra. 2005.
PemberdayaanMasyarakat di
Lahan Gambut. Proyek Climate
66
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Change, Forests and Peatlands in
Indonesia.
Bogor:
Wetlands
International - Indonesia
Programme dan Wildlife Habitat
Canada.
Nugroho,
Heru. 2001. Negara,
Pasar dan Keadilan Sosial .
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rencana Aksi Nasional Pengurangan
Resiko Bencana 2006-2009,
Kerjasama
antara
Kementerian
Negara
Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan
Nasional dengan Badan
Koordinasi
Nasional
Penanganan Bencana di
Dukung
oleh UNDP.
Perum Percetakan Negara
RI. 2006
Soerjono Soekanto, 2010. Sosiologi
Suatu Pengantar, Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
Soetomo. 2008. Strategi-Strategi
Pembangunan
Masyarakat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soetomo.
2009.
Pembangunan
Masyarakat:
Merangkai
Sebuah
Kerangka.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim,
Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam
67
KAEDAH ADAT MUHAKKAMAH
DALAM PANDANGAN ISLAM
(Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum)
Fatmah Taufik Hidayat1 & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim2
ABSTRAK
Dalam kehidupan bermasyarakat, adat dan ‘urf tidak bisa dilepaskan. Adat
dan ‘urf merupakan kebiasaan yang muncul dalam masyarakat. Islam bisa
mentolerir adat dan ‘urf yang berkembang dalam masyarakat sejauh itu tidak
bertentangan dalam hukum yang berlaku dalam Islam, dan bahkan Islam
menjadikan adat dan ‘urf itu sebagai sebuah pedoman ketetapan hukum
selama ianya memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam.
Kajian ini menguraikan prinsip-prinsip adat yang berkembang dalam
masyarakat Indonesia, dan juga bagaimana Islam memandang adat dan ‘urf
tersebut serta bagaimana adat dan ‘urf bisa diangkat menjadi sebuah
ketetapan hukum dalam Islam. Kajian ini merupakan kajian literatur dimana
tulisan-tulisan dan buku-buku yang berkaitan akan dijadikan referensi dalam
penulisan kajian ini.
Kata kunci: Adat, ‘urf, budaya,
Department of Syariah, Faculty of Islamic Studies, National University of
Malaysia, Selangor, Malaysia, [email protected], Telp: +601123066702
(corresponding author)
1
2 Department of Syariah, Faculty of Islamic Studies, National University of
Malaysia, Selangor, Malaysia,
68 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
PENGENALAN
Islam merupakan agama yang
terbuka di mana ia memberikan
ruang yang cukup untuk menerima
masuknya unsur-unsur budaya luar
sepanjang hal tersebut tidak
berlawanan dengan hukum yang
telah ditetapkan. Hal ini terlihat
jelas apabila Islam dibawa oleh para
mubaligh ke wilayah-wilayah baru,
maka Islam tidak sepenuhnya
menyingkirkan ajaran yang tengah
berlaku sejak lama pada masyarakat
saat itu, tetapi bahkan memberikan
ruang dan tempat yang cukup
untuk beradaptasi dengan budaya
setempat. Oleh karena itu salah
satu hal yang sangat diperhatikan
oleh Islam ketika memasuki
wilayah-wilayah baru tersebut
adalah hukum adat dan ‘urf. Di
mana Islam memberi jalan kepada
hukum adat dan ‘urf yang berlaku
di wilayah tersebut selama ianya
tidak bertentangan dengan hukum
Islam.
Waqar Ahmed Husaini
mengemukakan,
Islam
sangat
memperhatikan
tradisi
dan
permufakatan
(konvensi)
masyarakat untuk dijadikan sumber
bagi jurisprudensi hukum Islam
dengan
penyempurnaan
dan
batasan-batasan tertentu. Hal ini
sesuai dengan apa yang telah
dicontohi oleh Nabi Muhammad
SAW dimana kebijakan-kebijakan
baginda yang berkaitan dengan
hukum yang tertuang dalam
sunnahnya banyak mencerminkan
kearifan baginda terhadap tradisitradisi para sahabat atau masyarakat
pada saat itu.
Hal di atas menunjukkan
sangatlah penting bagi umat Islam
untuk
mengetahui
serta
mengamalkan salah satu metode
Ushl Fiqh untuk mengistimbath
setiap
permasalahan
dalam
kehidupan ini. Pengambilan kaidah
ini berdasarkan sabda Nabi
Muhammad SAW:
‫ﻣﺎ رآﻩ اﳌﺴﻠﻤﻮن ﺣﺴﻨﺎ ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪ اﷲ اﻣﺮ ﺣﺴﻦ‬
Artinya:
”Apa
yang
dipandang baik menurut kaum
muslimin, maka menurut Allah
SWT pun digolongkan sebagai
perkara yang baik” 3
Waqar Ahmed menjelaskan
juga bahwa ulama menetapkan ‘urf
dan adat kebiasaan itu merupakan
salah satu daripada sumber hukum
dalam keadaan ketiadaan nas.
Sebagai contoh akan hal ini adalah
ini adalah sebagian ucpan dari
Abdullah bin Mas’ud
ra.
Yang
lengkapnya:
‫إن ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻧﻈﺮ إﻟﻰ ﻗﻠﻮب اﻟﻌﺒﺎد ﻓﻮﺟﺪ ﻗﻠﺐ ﻣﺤﻤﺪ‬
‫ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﺧﯿﺮ ﻗﻠﻮب اﻟﻌﺒﺎد ﻓﺎﺻﻄﻔﺎه ﻟﻨﻔﺴﮫ‬
‫ اﻟﺤﺪﯾﺚ إﻟﻰ أن ﻗﺎل وﻣﺎ رأوه ﺳﯿﺌﺎ ﻓﮭﻮ ﻋﻨﺪ ﷲ‬..…
. ‫ ﺳﯿﺊ‬Imam Ahmad, al-Musnad vol. 1/379 .
3
Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim,
Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam
seperti aktivitas jual beli buah yang
belum masak yang memungkinkan
terjadinya penipuan atau terbatal
kerana jual beli terhadap benda
yang belum jelas kadar serta
sifatnya.
Namun,
jika
adat
kebiasaan jual beli sebegitu
berterusan berlaku, ia tidak
dilarang4.
Indonesia
merupakan
sebuah negara besar yang memiliki
keanekaragaman adat dan tradisi.
Oleh karena itu di perlukan kajian
untuk mengenal nilai-nilai syariah
dalam amalan adat serta syarat
berlakunya ‘urf. Hal ini juga dapat
berguna
bagi
menambah
pemahaman masyarakat Islam di
Indonesia tentang adat.
Meskipun sekarang ini
banyak kajian mengenai adat dan
hubungannya dalam Islam di
Indonesia, akan tetapi masih ada
kesalahfahaman
di
kalangan
masyarakat terhadap konsep adat
yang di maksud oleh syariah. Hal
ini nampak jelas dari masih ramai
masyarakat yang mengambil jalan
mudah dengan hanya menjalani apa
sudah yang diterapkan oleh nenek
moyang mereka.
farha binti muhammad, nur
shazwani binti sadzali, yusri bin yusoff.
penggunaan
kaedah
fioh
al-adat
muhakkamah dalam hikayat raja-raja m e
layu. hal: 315
4
69
Maka oleh karena itu,
permasalahan yang ingin dikaji
dalam tulisan ini adalah adakah
kaedah adat muhakkamah yang
dijalankan dalam ahkam itu
bersesuaian dalam syariah Islam
dan adakah dapat memberi dampak
yang baik dalam meningkatkan
kefahaman fiqh tentang syariah
Islam. .
ARTI ADAT DAN AL ‘URF
Istilah adat berasal dari bahasa
Arab yang bermaksud amalan
kebiasaan
seseorang
atau
masyarakat keseluruhannya secara
khusus5. Adat menurut bahasa
berasal dari kata ‫ ﻋﺎدة‬sedangkan
akar katanya ‫ ﻋﺎد – ﯾﻌﻮد‬yang berarti
( ‫ ﺗﻜﺮار‬pengulangan). Oleh karena
itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah
terbiasa dilakukan tanpa diusahakan
dikatakan sebagai adat. Hal ini
sebagaimana firman Allah Swt:
‫ﻮدو َن ﻟِ َﻤﺎ ﻗَﺎﻟُﻮا ﻓَـﺘَ ْﺤ ِﺮ ُﻳﺮ َرﻗَـﺒَ ٍﺔ ﱢﻣﻦ ﻗَـْﺒ ِﻞ أَن‬
ُ ‫}ﰒﱠ ﻳـَ ُﻌ‬
6
{‫ﻳـَﺘَ َﻤﺎ ﱠﺳﺎ‬
"Kemudian mereka kembali
terhadap
apa
yang
mereka
katakan..."
Tetapi
yang
perlu
digarisbawahi bahwa tidak setiap
kebiasaan disebut dengan adat.
5
6
Abdullah Alwi:2001
.3 ‫ أﯾﺔ‬:‫ اﻟﻤﺠﺎدﻟﺔ‬.‫اﻟﻘﺮان‬
70 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Suatu kebiasan bisa dikatakan
sebagai adat apabila dilakukan
secara berterusan dan diyakini oleh
masyarakat sebagai hukum yang
harus dipatuhi.
Para ulama berpendapat
bahawa istilah adat dan 'urf
mempunyai arti yang sama. Hal ini
berdasarkan kepada definisi ulama’
fiqh yang membawa maksud:
Sedangkan
arti
adat
dikalangan ulama fiqh adalah
sebagai norma yang sudah melekat
dalam hati akibat pengulangulangan sehingga diterima sebagai
sebuah realitas yang rasional dan
layak menurut penilaian akal sehat.
Sebagai contoh norma yang bersifat
individual adalah seperti kebiasaan
tidur,
makan
minum,
dll.
Sedangkan norma sosial adalah
sebentuk kebenaran umum yang
diciptakan,
disepakati,
dan
dijalankan oleh komunitas tertentu,
sehingga
menjadi
semacam
keharusan sosial yang harus ditaati7.
‫"اﻟﻌﺮف ﻫﻮ ﻣﺎ ﺗﻌﺎرﻓﻪ اﻟﻨﺎس وﺳﺎروا ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ‬
"‫ﻗﻮل أو ﻓﻌﻞ أو ﺗﺮك وﻳﺴﻤﻰ اﻟﻌﺎدة‬
Kata ‘urf secara etimologi
berarti sesuatu yang di pandang
baik dan diterima oleh akal sehat.
Sedangkan secara terminologi,
seperti yang dikemukakan oleh
Abdul karim Zaidahan, istilah ‘urf
berarti sesuatu yang tidak asing lagi
bagi suatu masyarakat karena telah
menjadi kebiasaan dan menyatu
dengan kehidupan mereka baik
berupa perbuatan atau perkataan8.
Maioen Zubair,2005. Formulasi
Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh
Konseptual, (Surabaya: Khalista. Hal 274.
8 Prof. Dr. Satria Effendi, M.
Zein, MA
7
“’Urf adalah sesuatu yang
dianggap umum oleh manusia dan
terus diberlakukan, baik itu berupa
ucapan atau gerakan dan itu juga
disebut adat”.
Dari keterangan di atas
dapat disimpulkan bahwa makna
kaidah ini menurut istilah para
ulama adalah bahwa sebuah adat
kebiasaan dan ‘urf itu bisa dijadikan
sebuah sandaran untuk menetapkan
hukum syar’i apabila tidak terdapat
nas syar’i atau lafadh shorih (tegas)
yang bertentangan dengannya.
PERBEDAAN ANTARA AL‘ADAH DENGAN AL-‘URF
Perbedaan antara kedua istilah ini
sering kali menimbulkan perbedaan
pendapat, dimana terdapat sebagian
kelompok ulama yang melihat
adanya perbedaan antara istilah adat
dan ‘urf. Berikut ini merupakan
perbandingan perbedaan antara
‘Urf dengan ‘Adah.
Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim,
Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam
Tabel 1. perbandingan antara ‘Urf
dengan ‘Adah
‘Urf
Adat memiliki
makna
yang
lebih sempit.
Terdiri dari ‘urf
shahih dan fasid.
‘Adah
Adat memiliki
cakupan makna
yang lebih luas.
Adat
tanpa
melihat apakah
baik atau buruk.
Urf merupakan Adat mencakup
kebiasaan orang kebiasaan
banyak.
pribadi.
Adat
juga
muncul
dari
sebab alami.
Adat juga bisa
muncul
dari
hawa nafsu dan
kerusakan
akhlak.
71
dan rinciannya terdapat perbedaan
pendapat diantara mazhab-mazhab
tersebut, sehingga ‘urf dimasukkan
ke dalam kelompok dalil-dalil yang
diperselisihkan dikalangan ulama.
Dasar lafadh al-‘adah tidak
terdapat dalam al-Qur’an dan asSunnah, namun yang terdapat pada
keduanya adalah lafadh al-‘urf dan
al-ma’ruf. Ayat dan hadist inilah
yang dijadikan dasar oleh para
ulama untuk kaidah ini. Di
antaranya ialah:
a. Dalil aI-Qur’an
Firman Allah Ta’ala:
ِ ِ ْ ‫ف وأَﻋ ِﺮض ﻋ ِﻦ‬
ِ
ِ
{9‫ﲔ‬
َ ْ ْ َ ‫} ُﺧﺬ اﻟْ َﻌ ْﻔ َﻮ َوأ ُْﻣ ْﺮ ﺑِﺎﻟْ ُﻌ ْﺮ‬
َ ‫اﳉَﺎﻫﻠ‬
Maksudnya:
LANDASAN HUKUM ‘URF
Menurut hasil penelitian dari alTayyib Khudari al-Sayyid, yang
merupakan guru besar Ushul Fiqh
di Universitas Al-Azhar Mesir
dalam karyanya fi al-ijtihad ma la
nassa fih, bahwa mazhab yang
dikenal banyak menggunakan ‘Urf
sebagai landasan hukum adalah
kalangan Hanafiyah dan kalangan
Malikiyyah, dan selanjutnya oleh
kalangan Hanabilah dan kalangan
Syafi’iyah.
Menurutnya,
pada
prinsipnya mazhab fiqh tersebut
sepakat menerima adat istiadat
sebagai landasan pembentukan
hukum, meskipun dalam jumlah
Jadilah Engkau pemaaf dan
suruhlah orang mengerjakan yang
ma’ruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh10.
Juga firman-Nya:
‫}ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ إذا ﺣﻀﺮ اﺣﺪﻛﻢ اﳌﻮت إن ﺗﺮك ﺧﲑا‬
{11‫اﻟﻮﺻﻴﺔ ﻟﻠﻮاﻟﺪﻳﻦ واﻷﻗﺮﺑﲔ ﺑﺎﳌﻌﺮوف ﺣﻘﺎ ﻋﻠﻰ اﳌﺘﻘﲔ‬
Maksudnya:
Di wajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu
10
11
QS Al-Araaf[7]:199
.180:‫ آﯾﺔ‬.‫اﻟﺒﻘﺮة‬
72 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu bapak dan
karib kerabatnya secara ma’ruf 12.
Beberapa ayat lain yang
menyebut lafadh ’urf atau ma’ruf
yang mencapai 37 ayat. Maksud
dari ma’ruf di semua ayat ini adalah
dengan cara baik yang diterima oleh
akal sehat dan kebiasaan manusia
yang berlaku.
b. Dalil sunnah
‫ وﻣﺎ رآﻩ‬،‫ﻣﺎ رآﻩ اﳌﺴﻠﻤﻮن ﺣﺴﻨﺎ ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪ اﷲ اﻣﺮ ﺣﺴﻦ‬
‫اﳌﺴﻠﻤﻮن ﺳﻴﺌﺎ ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪ اﷲ ﺳﻲء‬
Artinya:
"Apa yang dipandang baik oleh
orang-orang Islam maka baik pula
di sisi Allah, dan apa saja yang
dipandang buruk oleh orang-orang
Islam maka menurut Allah pun
digolongkan sebagai perkara yang
buruk"13
SYARAT-SYARAT
‘URF
MENJADI
SANDARAN
HUKUM
Untuk menjadikan ‘urf sebagai
sandaran hukum, maka harus
dipenuhi syarat-syarat dibawah ini:
QS.Al-Baqarah[2]: 180
HR. Ahmad, Bazar, Thabrani
dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud
12
13
1. Urf itu harus berlaku umum.
Artinya, ‘urf itu harus dipahami
oleh semua lapisan masyarakat, baik
di semua daerah maupun pada
daerah tertentu. Oleh karena itu,
kalau hanya merupakan ‘urf orangorang tententu saja, tidak bisa
dijadikan sebagai sebuah sandaran
hukum.
2. Tidak bertentangan dengan nas
syar’i juga tidak bertentangan
dengan nas sabit (tetap), dalil-dalil
syarak yang lain dan kaedah-kaedah
yang telah ditetapkan oleh syarak.
Jika ia bertentangan dengan perkara
tersebut, maka sudah tentu ‘urf itu
tertolak dan tidak dapat digunakan
dalam syarak. Contohnya yaitu ‘urf
di masyarakat bahwa seorang suami
harus memberikan tempat tinggal
untuk istrinya. ‘Urf semacam ini
berlaku dan harus dikerjakan.
3.‘Urf itu sudah berlaku sejak lama,
bukan sebuah ‘urf baru.
Dalam hal ini contohnya
adalah kalau ada seseorang yang
mengatakan demi Allah, saya tidak
akan makan daging selamanya. Dan
saat dia mengucapkan kata tersebut
yang dimaksud dengan daging
adalah daging kambing dan sapi;
lalu lima tahun kemudian ‘urf
masyarakat berubah bahwa maksud
daging adalah semua daging
termasuk daging ikan. Lalu orang
tersebut makan daging ikan, maka
orang tersebut tidak dihukumi
melanggar sumpahnya karena
Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim,
Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam
sebuah lafadh tidak didasarkan
pada ‘urf yang muncul belakangan.
4. Tidak berbenturan dengan
tashrih (ketegasan seseorang dalam
sebuah masalah). Jika sebuah ‘urf
berbenturan dengan tashrih, maka
‘urf itu tidak berlaku.
Contohnya ialah kalau
seseorang bekerja di sebuah kantor
dengan gaji bulanan Rp. 500.000,tapi pemilik kantor tersebut
mengatakan bahwa gaji ini kalau
masuk setiap hari termasuk hari
Ahad dan hari libur, maka wajib
bagi pekerja tersebut untuk masuk
setiap
hari
maskipun
‘urf
masyarakat memberlakukan hari
Ahad libur.
JENIS-JENIS ADAT
Dalam kajian ushul fiqh, para
fuqaha’ membagi jenis-jenis adat
berdasarkan sasaran kajian menjadi
tiga jenis. Pertama, adat dilihat dari
sisi bentuk materialnya; kedua, adat
dilihat dari segi cakupannya; dan
ketiga, adat dilihat dari segi
keabsahannya sebagai dalil untuk
dijadikan sebagai salah satu sumber
hukum Islam.
A. Kajian adat dilihat dari segi
bentuk material.
Dari aspek ini, adat dapat
terbagi menjadi dua, yaitu adat
73
dalam bentuk ungkapan (qauli) atau
lafadh dan adat dalam bentuk
praktek (‘amali)14. Adat pertama
(qauli)
merupakan
kebiasaan
masyarakat dalam menggunakan
ungkapan
tertentu
untuk
mengungkapkan sesuatu sehingga
makna ungkapan itulah yang
dipahami masyarakat. Sedangkan
yang dimaksud dengan adat dalam
bentuk praktek (‘amali) adalah
kebiasaan
masyarakat
yang
berkaitan dengan perbuatan biasa
atau
mu’amalah
keperdataan.
Adapun yang dimaksud dengan
perbuatan biasa di sini adalah
perbuatan
masyarakat
dalam
masalah kehidupan mereka yang
tidak terkait dengan kepentingan
orang lain, seperti kebiasaan
masyarakat tertentu memakan
makanan khusus atau meminum
minuman tertentu, atau kebiasaan
masyarakat dalam memakai pakaian
tertentu dalam cara tertentu.
Adapun adat yang berkaitan dengan
mu‘amalah
perdata
adalah
kebiasaan
masyarakat
dalam
melakukan akad atau transaksi atau
lainnya dengan cara tertentu15.
14
Abdul Wahab Khallaf, 1970:
145
Al-Zarqa, Mustafa Ahmad.
1978. al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Aamm.
Damascus: Dar al-Fikr. Hal 857-872 dan
AlSuyuti, tt: 99 123
15
74 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
B. Kajian adat
cakupan.
dari
segi
Dari segi cakupannya, adat
terbagi menjadi dua, adat yang
bersifat umum (‘am) dan adat yang
bersifat khusus (khas). Dimaksud
adat yang umum di sini adalah
kebiasaan tertentu yang berlaku
secara luas di seluruh masyarakat
dan di seluruh daerah16. Misalnya,
dalam jual beli mobil, maka seluruh
alat yang diperlukan untuk
memperbaiki mobil seperti kunci,
tang, dongkrak, dan ban cadangan,
termasuk dalam harga jual tanpa
akad tersendiri.
Adapun
dimaksudkan
dengan adat yang khusus adalah
kebiasaan yang berlaku di daerah
tertentu dan dalam masyarakat
tertentu. Misalnya, kebiasaan yang
berlaku di kalangan para pedagang
apabila terdapat cacat tertentu pada
barang yang dijual, maka konsumen
dapat mengembalikannya, namun
pada daerah lain cacat yang
terdapat dalam barang yang sama,
konsumen
tidak
dapat
mengembalikan barang itu17.
C. Kajian adat dilihat dari segi
keabsahannya.
Dari segi ini, adat dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu adat
yang shahih dan adat yang fasid18.
Muh. Abu Zahrah, 1958: 217
Zahrah, 1978: 216-217
18 Wahbah alZuhaili, 1978: 381
16
17
Dimaksudkan dengan adat yang
shahih adalah kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat yang
tidak bertentangan dengan nash,
tidak menghilangkan kemaslahatan
dan
tidak
pula
membawa
19
kemudaratan . Misalnya, dalam
masa pertunangan, pihak laki-laki
memberikan hadiah kepada pihak
wanita, tetapi hadiah itu tidak
dianggap sebagai mahar. Adapun
adat yang fasid adalah kebiasaan
yang bertentangan dengan dalil
syara‘ dan kaidah dasar dalam
syara‘. Misalnya, kebiasaan manusia
menghalalkan riba. Contoh lain
adalah soal sogok-menyogok untuk
memenangkan
perkaranya,
seseorang memberi sejumlah uang
kepada hakim.
PANDANGAN
ULAMA
TERHADAP ‘URF SEBAGAI
DALIL SYARA’
Para ulama telah sepakat bahwa
seorang mujtahid dan seorang
hakim harus memelihara ’urf shahih
yang ada di masyarakat dan
menetapkannya sebagai hukum.
Para ulama juga menyepakati
bahwa ’urf fasid harus dijauhkan
dari kaidah-kaidah pengambilan
dan penetapan hukum. Jika
terdapat keadaan darurat maka
mengamalkan ‘urf fasid dapat di
19 Abu Zahrah,
Muhammad.1978. Ushul al-Fiqh. AlQahirah: Dar al-Fikr al-Arabi, hal 217
Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim,
Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam
toleransi dan ini hanya apabila
darurat dan sangat dibutuhkan
Imam Syafi’i yang terkenal
dengan qaul qadim20 dan qaul
jadidnya21 pernah suatu ketika
beliau menetapkan hukum yang
berbeda pada waktu beliau masih
berada di Mekkah (qaul qadim)
dengan setelah beliau berada di
Mesir (qaul jadid). Hal ini
menunjukkan bahwa madzhab
fuqaha’berhujjah berdasarkan ‘urf22.
Imam al-Qarafi seorang
mujtahid yang beraliran Maliki,
misalnya
menyatakan
bahwa
seorang
mujtahid
dalam
menetapkan suatu hukum harus
terlebih dahulu meneliti kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat
setempat sehingga hukum yang
ditetapkan itu tidak bertentangan
atau menghilangkan kemaslahatan
masyarakat
tersebut23.
Senada
dengan al-Qarafi, Imam al-Syatibi
20 Qaul Qadim pandangan fiqih
Al-Imam Asy-Syafi'i versi masa lalu ketika
berada di Irak yang berupa tulisan atau
fatwa ("pendapat yang lama")
21 Qaul Jadid pandangan fiqih AlImam Asy-syafi'i menurut versi yang
terbaru ketika beliaw berada di Mesir
("pendapat yang baru").
22 Hasyiyah ‘ala Al-Qaul AlMukhtar fi Syarh Ghayah Al-Ikhtishar
(Muhammad bin Qasim Al Ghazzi).
Cetakan pertama, tahun 1432 H. Dr.
Sa’aduddin bin Muhammad Al-Kubi.
Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
23 Abdul Aziz Dahlan, dkk. 2001.
Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve. Jilid 6 201.
75
dan Ibn Qayyim al Jauziyah,
berpendapat bahwa adat bisa
diterima sebagai dalil untuk
menetapkan hukum Islam. Namun,
kedua Imam tersebut memberikan
catatan, apabila tidak ada nas yang
menjelaskan hukum suatu masalah
yang dihadapi. Misalnya, seseorang
yang
mempergunakan
jasa
pemandian umum dengan harga
tertentu padahal lamanya ia dalam
kamar mandi itu dan berapa jumlah
air yang terpakai tidak jelas. Sesuai
dengan ketentuan umum hukum
Islam tentang suatu akad, kedua hal
itu harus jelas. Tetapi karena
perbuatan
seperti
ini
telah
memasyarakat, maka seluruh ulama
mazhab menganggap sah akad
tersebut. Menurut mereka, adat
seperti ini termasuk adat dalam
bentuk ‘amali.
Abdul
Wahab
Khalaf
(2004) berpandangan bahwa suatu
hukum yang bersandar pada ’urf
akan fleksibel terhadap waktu dan
tempat, karena Islam memberikan
prinsip sebagai berikut: “Suatu
ketetapan hukum (fatwa) dapat
berubah disebabkan berubahnya
waktu, tempat, dan siatuasi
(kondisi)”24.
Dengan
demikian,
memperhatikan waktu dan tempat
masyarakat yang akan diberi beban
hukum sangat penting. Prinsip yang
sama dikemukakan dalam kaidah
24
hal 90.
Abdul Wahab Khalaf . 2004 :
76 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
sebagai berikut: “Tidak dapat
diingkari adanya perubahan karena
berubahnya waktu (zaman)”. Dari
prinsip ini, seseorang dapat
menetapkan
hukum
atau
melakukan
perubahan
sesuai
dengan perubahan waktu (zaman).
Ibnu Qayyim mengemukakan
bahwa suatu ketentuan hukum yang
ditetapkan oleh seorang mujtahid
mungkin saja mengalami perubahan
karena perubahan waktu, tempat,
keadaan, dan adat.
CONTOH
PENERAPAN
KAIDAH
“Al
Adah
Muhakkamah”
1. Jual beli dengan uang muka
(‘arbun).
Hal ini merupakan suatu transaksi
dimana seseorang membeli suatu
barang dan membayar sejumlah
uang dimuka kepada penjual,
dengan syarat jika transaksi selesai,
maka uang muka tadi akan
diperhitungkan ke dalam total
harga. Dan jika pembeli tidak
membayar sisanya, maka penjual
tidak akan mengembalikan uang
muka tersebut.
Pendapat jumhur ulama
(kecuali Imam Ahmad) adalah
transaksi tersebut tidak sah dengan
alasan pengambilan uang muka
tersebut tidak adil dan mengandung
unsur gharar25. Dasar hukum adalah
hadits Rosulullah SAW (dilaporkan
oleh Imam Malik dalam kitabnya
Al-Muwattha serta An-Nasai, Abu
Daud dan Ibnu Majah) yang
melarang
penjualan
‘arbun.
Meskipun hadits ini dianggap hadits
lemah.
Adapun ulama Mazhab
Hambali membolehkan transaksi
‘urbun
berdasarkan
hadits
Rasulullah yang diriwayatkan oleh
Abdul Razzaq bahwa Rasulullah
SAW ditanya mengenai tentang jual
beli
‘urbun
dan
beliau
membolehkannya. Begitu juga
pendapat ulama kontemporer
(Ahmad Al Zarqa, Al Qardawi dan
Al Zuhayli) yang membolehkan
memihak pendapat ulama mazhab
Hambali. Alasannya adalah uang
muka untuk menguatkan komitmen
bahwa si pembeli tidak akan
merubah akad jual beli yang
disepakati.
Antara kaedah-kaedah fiqh
yang merujuk kepada penggunaan
Gharar
adalah
hal
ketidaktahuan terhadap akibat suatu
perkara, kejadian/peristiwa dalam transaksi
perdagangan atau jual beli, atau
ketidakjelasan
antara
baik
dengan
buruknya. semua hal yang mengandung
ketidakjelasan ; pertaruhan, atau perjudian.
Abdul Azhim Badawi, Al-Waaji Fi Fiqhu
Sunnah wa kitab Al-Aziz, Cet. I,
Th.1416H, Dar Ibnu Rajab, Hal. 332
25
Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim,
Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam
kaidah yang berkaitan dengan adat
dan 'urf ialah26:
"‫ﻗﺎﻋﺪة "اﻟﻌﺎدة ﻣﺤﻜﻤﺔ‬
“Adat
bisa
dijadikan
hukum”. Adat dalam kaidah ini
mencakup 'urf qauliy (adat dalam
bentuk ungkapan) dan amali (adat
dalam bentuk peraktek) yang
bermakna
bahwa
syara’
menghukumi kebiasaan manusia
didalam pembentukan hukum baik
bersifat umum maupun khusus. Di
samping itu hal ini bisa juga
menjadi dalil atas hukum selama
nas tidak dijumpai27.
‫ﻗﺎﻋﺪة "اﺳﺘﻌﻤﺎل اﻟﻨﺎس ﺣﺠﺔ ﻳﺠﺐ‬
"‫اﻟﻌﻤﻞ ﺑﻬﺎ‬
“Perbuatan manusia adalah
merupakan
hujjah
(alasan/argument/dalil) yang wajib
diamalkan”. Maksud kaidah ini
adalah apa yang sudah menjadi adat
kebiasaan di masyarakat, menjadi
pegangan, dalam arti setiap anggota
masyarakat menaatinya.
Lihat: Shubayr, Muhammad
Uthman. 2000. al Qawa’id al-Kulliyyah Wa
al-Dawabit al-Fiqhiyyah Fi alShari’ah alIslamiyyah. ‘Amman: Dar al Furqan. Hlm.
265-268; Azzam, Abd al-Aziz. 2001. alMaqasid al Shariyyah Fi al Qawaid alFiqhiyyah. Kaherah: Dar al-Bayan Li al
Tiba’ah Wa al-Nashr. Hlm. 193-217.
27 Wahba Zuhaili. Ushul Fiqh
Islami. Beirut: Darul Fikr. Juz II. hlm. 131.
26
77
Contohnya apabila tidak
ada perjanjian antara sopir truk dan
kuli mengenai menaikkan dan
menurunkan batu bata, maka sopir
diharuskan membayar ongkos
sebesar kebiasaan yang berlaku.
‫ت‬
ْ ‫ﺿﻄََﺮ َد‬
ْ ‫ﺎدةُ اِذَا ا‬
َ ‫اﻟﻌ‬
َ ‫ﻗﺎﻋﺪة "إﻧﱠ َﻤﺎ ﺗُـ ْﻌﺘَﺒَـ ُﺮ‬
"‫ﺖ‬
ْ َ‫اَو ﻏَﻠَﺒ‬
“Adat
yang
dianggap
(sebagai pertimbangan hukum) itu
hanyalah adat yang terus-menerus
berlaku atau berlaku umum”.
Kaidah ini menjelaskan salah satu
dari syarat diperhitungkannya 'urf
ialah harus berlaku umum dan ini
merupakan qayyid28 dari kaidah
sebelumnya
(al-‘adah
al‘muhakkamah).
Contohnya apabila seorang
yang berlangganan koran selalu
diantar ke rumahnya, ketika koran
tersebut tidak di antar ke rumahnya,
maka orang tersebut dapat
menuntut kepada pihak pengusaha
koran tersebut.
"‫ﻗﺎﻋﺪة "اﻟﻤﻌﺮوف ﻋﺮﻓﺎ ﻛﺎﻟﻤﺸﺮوط ﺷﺮﻃﺎ‬
Artinya: “Sesuatu hal yang
dibenarkan
oleh
kebiasaan
(adat/urf) sama halnya dengan
sesuatu yang dibenarkan dalam
syarat perjanjian”. Maksudnya
sesuatu yang diakui oleh kebiasaan
28 kata muqayyad berarti terikat
dengan ikatan atau syarat tertentu
78 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
akan dianggap seolah-olah menjadi
kesepakatan sebuah kontrak.
Contoh penerapannya:
 Jika menurut kebiasaan
umum seorang penjual AC
bertanggung
jawab
terhadap pemasangannya,
maka
pemasangan
itu
dianggap sebagai syarat
dalam kontrak jual beli itu,
meskipun secara eksplisit
tidak dicantumkan dalam
kontrak.
 Jika kebiasaan umum dalam
sewa menyewa rumah
adalah sewa itu dibayar di
awal bulan, maka itu
dianggap seolah-olah suatu
syara kontrak.
 Jika
seseorang
telah
memberi kuasa kepada
orang lain untuk menyewa
sebuah rumah untuknya,
maka orang yang diberi
kuasa
itu
diharapkan
menyewa rumah sesuai
dengan syarat yang biasanya
berlaku di pasar.
"‫ﻗﺎﻋﺪة "اﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﺑﺎﻟﻌﺮف ﻛﺎﻟﺘﻌﻴﻦ ﺑﺎﻟﻨﺺ‬
Artinya:
“Sesuatu
penetapan
hukum
berdasarkan ‘urf adalah
sama kedudukannya dengan
penetapan hukum yang
didasarkan
oleh
nas”.
Maksudnya
sebuah
ketetapan hukum atas dasar
adat itu sama seperti
ketentuan hukum atas dasar
nas syariat Islam. Sehinggga
tidak ada alasan bagi siapa
pun untuk menolaknya.
Contoh penerapan
kaidah ini:
dari
 Jika
seseorang
telah
menyewa kendaraan atau
hewan pengangkut beban,
maka
dia
dapat
menggunakannya
secara
normal. Namun, jika dia
ingin
menggunakannya
untuk tujuan yang tidak
normal, maka dia hanya
dapat melakukannya apabila
pemilik kendaraan atau
hewan
tersebut
mengijinkannya
secara
eksplisit.
 Jika
seseorang
menggunakan rumah atau
bangunan seseorang tanpa
melakukan
persetujuan
sewa menyewa formal,
maka dia akan membayar
ongkos sewa yang biasa
berlaku kepada pemiliknya.
Walapun bentuk kaidah ini
sedikit berbeda, namun arti dan
maksudnya tetap sama, yaitu kata
ta’yin (ketentuan) diganti dengan
kata thabit (ketetapan), sehingga
berbunyi al-thabit bi al-‘urf ka althabit bi al-nas. Maksud kaidah ini
tidak jauh berbeda dengan kaidah
sebelumnya, yaitu:
Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim,
Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam
79
"‫ﻗﺎﻋﺪة "اﻟﺜﺎﺑﺖ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف ﻛﺎﻟﺜﺎﺑﺖ ﺑﺎﻟﻨﺺ‬
“Yang ditetapkan oleh (adat)
‘urf sama
dengan yang
ditetapkan oleh nas”29.
Contoh dari kaidah ini
yaitu:
Dalam adat minangkabau
tentang hubungan kekerabatan,
yaitu matrilenial, artinya keturunan
itu hanya dihitung menurut garis
perempuan saja bukan laki-laki,
sehingga suami dan anaknya harus
diam di rumah keluarga pihak
perempuan (matrilokal). Sekalipun
demikian
pada
umumnya
kekuasaan masih dipegang oleh
suami. Dalam hal ini Islam bisa
mentolerirnya
sebab
tidak
bertentangan dengan nas, baik alQur’an maupun hadits. Contoh
lainnya dalam kaidah ini yaitu
apabila orang memelihara sapi
orang
lain,
maka
upah
memeliharanya adalah anak dari
sapi itu dengan perhitungan, anak
pertama untuk yang memelihara
dan anak yang kedua utuk yang
punya, begitulah selanjutnya secara
beganti-ganti30.
Dahlan, Tamrin, Kaidahkaidah Hukum Islam. (Kulliyah alKhamsah),(Malang:
UIN
Maliki
Press,2010).hlm.240
30
Dahlan, Tamrin, Kaidahkaidah
Hukum
Islam(Kulliyah
alKhamsah),(Malang:
UIN
Maliki
Press,2010).hlm.240
29
ِ ‫ﺸﺎﺋِ ِﻊ ﻻَ ﻟِﻠﻨ‬
ِ " ‫ﻗﺎﻋﺪة‬
ِ ِ‫اﻟﻌ ْﺒـ َﺮةُ ﻟﻠِﻐَﺎﻟ‬
‫ﺐ اﻟ ﱠ‬
"‫ﱠﺎد ِر‬
“Adat yang diperhitungkan
adalah yang berlaku umum; dikenal
oleh manusia bukan yang jarang
terjadi”. Kaidah ini juga merupakan
salah
satu
syarat
untuk
diperhitungkannya adat sebagai
sandaran hukum harus berpijak
pada ketentuan umum bukan yang
jarang atau langka31.
Ibnu Rusydi menggunakan
ungkapan lain yaitu:
ِ ‫ﺎد ﻻَ ﺑِﺎﻟﻨ‬
ِ َ‫ﻗﺎﻋﺪة "اﻟﺤﻜْﻢ ﺑِﺎ ﻟﻤ ْﻌﺘ‬
" ‫ﱠﺎد ِر‬
ُ ُ ُ
“Hukum itu dengan yang
biasa terjadi bukan dengan yang
jarang terjadi”
Contohnya yaitu yang
berhubungan dengan menetapkan
hukum mahar dalam perkawinan
namun tidak ada kejelasan berapa
banyak ketentuan mahar, maka
ketentuan mahar berdasarkan pada
kebiasaan.
ِ
ِ " ‫ﻗﺎﻋﺪة‬
"ِ‫ﺎدة‬
َ ‫اﻟﻌ‬
َ ‫اﻟﺤﻘ ْﻴـ َﻘﺔُ ﺗُـ ْﺘـ َﺮ ُك ﺑِ َﺪﻻَﻟَﺔ‬
َ
“Arti
hakiki
(yang
sebenarnya) dapat ditinggalkan
karena ada petunjuk arti menurut
adat”. Kaidah ini mempunyai
31
http://habyb-mudzakir08.blogspot.my/2014/04/al-adatumuhakkamah.html
80 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
makna bahwa sesungguhnya lafazh
yang digunakan diselain makna
hakiki bilamana diucapkan maka
diarahkan kepada makna 'urf bukan
makna hakiki. Kaidah ini hanya
tertentu pada 'urf lafazh.
Contohnya yaitu apabila
seseorang membeli batu bata dan
sudah menyerahkan uang muka,
maka berdasarkan adat kebiasaan
akad jual beli telah terjadi, maka
seorang penjual batu bata tidak bisa
membatalkan jual belinya meskipun
harga batu bata naik.32
‫ﻗﺎﻋﺪة "ﻻ ﻳﻨﻜﺮ ﺗﻐﻴﺮ اﻷﺣﻜﺎم ﺑﺘﻐﻴﺮ‬
"‫اﻟﺰﻣﺎن‬
“Tidak dapat dipungkiri
berubahnya hukum tergantung
dengan perubahan waktu.”
Makna dari kaidah ini
adalah hukum-hukum yang sudah
dibentuk berdasarkan 'urf asal, bisa
berubah dengan terbentuknya 'urf
baru yang merubah hukum 'urf asal
(hukum pertama) yang sudah
menjadi ketetapan karena hukum
berkisar diantara adanya `illat33 dan
32
http://habyb-mudzakir08.blogspot.my/2014/04/al-adatumuhakkamah.html
33 ‘illat merupakan hukum qiyas
dalam arti suatu sifat yang pada asal sifat
itu menjadi dasar untuk menetapkan
hukum pada far’u yang belum ditetapkan
hukumnya. Muhammad Abu Zahra, Ushul
al-Fiqh, hal. 188. ‘illat adalah suatu sifat
pada asal yang di bina atasnnya hukum dan
diketahui dengannya hukum pada sesuatu
tidak adanya `illat. Antara contoh
yang menggambarkan perubahan
hukum akibat perubahan al- ‘urf
ialah:
Hadist yang di riwayatkan oleh
Ibnu Mas’ud yaitu:
‫ أﻧﻪ ﺳﺌﻞ ﻋﻦ‬: ‫ﺣﺪﻳﺚ ﻋﻠﻘﻤﺔ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد‬
‫رﺟﻞ ﺗﺰوج اﻣﺮأة وﱂ ﻳﻔﺮض ﳍﺎ ﺻﺪاﻗﺎ وﱂ ﻳﺪﺧﻞ‬
‫ ﻓﻘﺎل اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد ﳍﺎ ﻣﺜﻞ ﺻﺪاق‬،‫ﺎ ﺣﱴ ﻣﺎت‬
‫ﻧﺴﺎﺋﻬﺎ ﻻ وﻛﺲ وﻻ ﺷﻄﻂ وﻋﻠﻴﻬﺎ اﻟﻌﺪة وﳍﺎ‬
:‫ ﻓﻘﺎم ﻣﻌﻘﻞ ﺑﻦ ﺳﻨﺎن اﻷﺷﺠﻌﻲ ﻓﻘﺎل‬،‫اﳌﲑاث‬
‫ ﰲ ﺑﺮوع‬-‫ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬- ‫ﻗﻀﻰ رﺳﻮل اﷲ‬
‫ ﻓﻔﺮح ﺎ‬،‫ﺑﻨﺖ واﺷﻖ اﻣﺮأة ﻣﻨﺎ ﻣﺜﻞ اﻟﺬي ﻗﻀﻴﺖ‬
.34‫اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد‬
Artinya :
Dari Alqamah berkata: “Ketika
Ibnu Mas’ud ditanya tentang
seseorang yang menikahi wanita,
kemudian
ia
mati
sebelum
memberikan mas kawin pada
istrinya
dan
juga
belum
bersenggama dengannya. Jawab
Ibnu Mas’ud: Istrinya tetap berhak
mendapatkan mas kawin (mahar
seperti mahar wanita dari golongan
(mahar misil)), tanpa kurang atau
lebih, dan atasnya berlaku iddah
serta ia berhak mendapat warisan”.
Maka berdirilah Ma’qil ibnu Sinan
Al Asyja’i dan berkata: “Rasulullah
saw telah memutuskan masalah
34 ‫ ﺑﺎب‬.‫ اﻟﻤﺠﻠﺪ اﻟﺜﺎﻧﻲ‬.‫رواه اﻟﺘﺮﻣﺬي‬
َ‫ ﺑَﺎبُ َﻣﺎ َﺟﺎ َء ﻓﻲ اﻟ ﱠﺮﺟ ُِﻞ ﯾﺘﺰ ﱠو ُج اﻟﻤﺮأة‬- 42 ‫اﻟﻨﻜﺎح‬
ِ
ُ
ْ ‫ﻓﯿﻤﻮت ﻋَﻨﮭﺎ ﻗﺒ َﻞ‬
1154‫ رﻗﻢ‬.‫ﯾﻔﺮض ﻟﮭﺎ‬
‫أن‬
َ
Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim,
Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam
Barwa’ binti Wasyq, sebagaimana
yang putuskan. Ia adalah seorang
wanita kaum kami.” Karena itu
Ibnu Mas’ud menjadi senang.”
Keputusan
ini
mengindikasikan bahwa kadar mas
kawin tergantung pada kebiasaan
tempat dan waktu kasus tersebut
terjadi. Dengan kata lain penerapan
mahar miśil pada suatu tempat akan
berbeda dengan tempat dan waktu
yang lain. Pendapat ini diriwayatkan
oleh
Imam
al-Syāfi`ī
yang
berdasarkan pada paradigma yang
dibuatnya yaitu qiyas.
Juga
ketetapan tersebut mempunyai
korelasi dengan `urf pada tataran
pelaksanaan.
 Apabila 'urf sudah berlaku
dikalangan
masyarakat
tentang adanya penyerahan
mahar secara keseluruhan
sebelum
di-dhukhu
(bersenggama) kemudian
ada 'urf baru yang
menunda sebagian mahar
sebelum
bersenggama,
maka dengan ini yang
diamalkan adalah 'urf yang
baru dan mengabaikan 'urf
yang lama.
KESIMPULAN
Kajian ini menjelaskan bahwa
dalam kajian-kajian ushul fikih, al‘adah wa al-‘urf dipergunakan
81
untuk suatu kebiasaan yang
berkembang di tengah masyarakat.
Dan para ulama ushul fikih
(ushuliyyun) mempergunakan dua
kata ini secara bergantian dalam
menjelaskan kebiasan; kadang
memakai al-‘adah (selanjutnya
ditulis adat) dan kadang memakai
al-‘urf.
Hukum
Islam
adalah
syumul (universal) dan waqiyah
(kontekstual) karena dalam sejarah
perkembangan dan penetapannya
sangat memperhatikan tradisi,
kondisi (sosiokultural), dan tempat
masyarakat sebagai objek (khitab),
dan sekaligus subjek (pelaku,
pelaksana) hukum. Perjalanan
selanjutnya, para Imam Mujtahid
dalam
menerapkan
atau
menetapkan
suatu
ketentuan
hukum
(fiqh)
juga
tidak
mengesampingkan
perhatiannya
terhadap tradisi, kondisi, dan
kultural setempat.
Adat memiliki pengaruh
yang sangat besar di dalam
pembentukan hukum Islam, sebab
banyak hukum yang didasarkan
kepada
maslahah,
sementara
maslahah sendiri bisa berubah
dengan perubahan situasi dan
kondisi. Akan tetapi hukum yang
dimaksud disini adalah hukum yang
bersifat ijtihadiy35 dan tidak
Ijtihad adalah sebuah usaha
yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya
bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang
sudah berusaha mencari ilmu untuk
35
82 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
memiliki acuan nas secara eksplisit,
seperti dibolehkannya bai` almu`athah.`urf atau adat juga bisa
menjadi acuan di dalam menafsiri
nas atau teks yang mujmal36 dan
menjelaskan hal-hal yang tidak
memiliki kriteria dari syar`i.
Tujuan utama syari’at Islam
(termasuk
didalamnya
aspek
hukum)
untuk
kemaslahatan
manusia
–
sebagaimana
di
kemukakan
as-Syatibi–
akan
teralisir dengan konsep tersebut.
Pada gilirannya syari’at (hukum)
Islam dapat akrab, membumi, dan
diterima
di
tengah-tengah
kehidupan masyarakat yang plural,
tanpa harus meninggalkan prinsipprinsip dasarnya. Sehingga dengan
metode
al-’urf
ini,
sangat
diharapkan
berbagai
macam
problematika kehidupan dapat
dipecahkan dengan metode ushul
fiqh salah satunya al-’urf, yang
mana ’urf dapat memberikan
penjelasan lebih rinci tanpa
melanggar al-Quran dan as-Sunnah
memutuskan suatu perkara yang tidak
dibahas dalam Al Quran maupun hadis
dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan
matang.
https://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad
36
Mujmal ialah ungkapan yang di
dalamnya terkandung banyak makna,
namun makna mana yang dimaksud di
antara makna-makna tersebut tidak jelas
(kabur). Artinya, apa yang dimaksud tidak
bisa diketahui begitu saja dari ungkapan itu
sendiri, tapi harus ditafsiri, diteliti dan
dipikir secara mendalam.
Adapun sumbangan kajian
ini adalah untuk menjelaskan
kedudukan adat dan ‘urf di dalam
syariat Islam. Kajian ini turut
memaparkan bagaimana adat dan
‘urf itu bisa jadikan hukum dalam
Islam.
RUJUKAN
Abdul Aziz Dahlan, dkk. 2001.
Ensiklopedi Hukum Islam.
Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve. Jilid 6 201.
Abdul Wahab Khalaf, Kaidahkaidah
Hukum
Islam
(Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), 135-136.
Abu Zahrah, Muhammad. 1978.
Ushul al-Fiqh. Al-Qahirah:
Dar al-Fikr al-Arabi.
Akgul, Y. S. & Kambhamettu, C.
2003. A coarse-to-fine
deformable
contour
optimization
framework.
IEEE Transactions on
Analysis and Machi
Al-Suyuti Al-Asybah wa al-Nadhair
(Singapura: Sulaiman Mar‘i,
tth.).
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Ahkam(Beirut: Dar alFikr, tth.), Jilid II.
Al-Zarqa, Mustafa Ahmad. "alMadkhal al-Fiqhi al-‘Aamm:
al-Fiqh
al-Islami
fi
Thawbihi
al-Jadid."
Damascus: Dar al-Fikr
(1978) Jilid I dan II
Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim,
Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam
Al-Zuhayli, Muhammad. (2005).
Op.Cit.Hlm. 193-194
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (
Jakarta : logos wacana Ilmu,
1999)
Azzam, Abd al-Aziz. (2001). alMaqasid alShariyyah Fi al
Qawaid
al-Fiqhiyyah.
Kaherah: Dar al-Bayan Li al
Tibacah Wa al-Nashr. Hlm.
193-217.
https://ibelboyz.wordpress.com/2
011/10/13/%E2%80%98u
rf-pengertian-dasar hukummacam macam-kedudukandan-permasalahannya/
Ibn
al-Thayyib
alMu‘tazily, Al-Mu‘tamad fi Ushul alFiqh (Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyah, tth.).
Imron Rosyadi. 2005.
KEDUDUKAN AL-‘ADAH WA
AL-‘URF DALAM BANGUNAN
HUKUM ISLAM. Fakultas Agama
Islam Universitas Muhammadiyah
Surakarta. SUHUF, Vol. XVII, No.
01/Mei 2005: 3-12
Lahaji
&
Nova
Effenty
Muhammad. 2015. Qaul
qadim dan qaul jadid imam
syafi’i:
telaah
faktor
sosiologisnya.
Al-Mizan.
Volume 11 Nomor 1 Juni
2015. Halaman
119-135
http://journal.iaingorontalo
.ac.id/index.php/am
Lahmuddin
Nasution,
2001.
Pembaruan Hukum Islam
83
dalam
Mazhab
Syafi‘i
(Bandung: Rosda.
Maioen Zubair,2005. Formulasi
Nalar Fiqh Telaah Kaidah
Fiqh
Konseptual,
(Surabaya: Khalista. Hal
274.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul alFiqh (Kairo: Dar al-Fikr alAdaby, 1958).
Nadratuzzaman
Hosen.2009.
Analisis bentuk gharar
dalam transaksi ekonomi.
Fakultas
Syariah
dan
Hukum
Jakarta.
AlIqtishad: Vol. I, No 1,
Januari 2009 hal 54.
Rahmat Illahi Besri. 2011. ‘Urf:
Pengertian, Dasar Hukum,
macam-macam, kedudukan,
dan
permasalahannya.Oktober
13, 2011
Wahbah al-Zuhaili, Al-Wasith fi
Ushul al-Fiqh al-Islami
(Damaskus: Dar al-Kitab,
1978).
Wikipedia. 2016. Mazhab Syafi'i.
https://id.wikipedia.org/wi
ki/Mazhab_Syafi'i
84 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam
Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial
85
KONTRIBUSI PERGURUAN
TINGGI DALAM PROSES
PEMBANGUNAN BIDANG
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Oleh : Drs. T. Syarifuddin, M.Si. (Dosen Fisipol Unida
Prodi Pembagunan Sosial/Sosiatri)
1. Pendahuluan
Di
tengah
kemajuan
bergulir
Pembangunan merupakan proses
dunia
semua
menghadapi
perkembangan
perubahan yang terencana dari
yang
sedang
suatu situasi nasional yang satu ke
akan
situasi nasional yang lain yang lebih
negara
berbagai
tantangan
tinggi.
Dapat dikatakan bahwa
dalam mensejahterakan rakyatnya
pembangunan merupakan
terutama menghadapi
upaya perubahan menuju keadaan
globalisasi,
tantangan
kemajuan
ilmu
dan
situasi
yang
lebih
baik.
pengetahuan dan teknologi. Sebagai
Tertinggal
akibat
tersebut
tradisional menjadi modern, bodoh
membuat antara negara yang satu
menjadi pandai, miskin menjadi
dengan negara lain seakan tidak
kaya, sakit menjadi sehat.
dari
globalisasi
menjadi
suatu
maju,
bisa berdiri sendiri. Oleh karena itu
Timbulnya banyak masalah
sebuah negara akan dapat saling
pembangunan pada sebuah negara
mempengaruhi
lain
didominasi oleh pengaruh negara
terutama di bidang politik yang
maju yang kuat di bidang ekonomi
berlandaskan ketertiban dunia, di
dan Iptek atas negara berkembang.
bidang ekonomi, dan yang sangat
Pada zaman ini kemajuan teknologi
kuat adalah sosial budaya. Menurut
komunikasi,
informasi
serta
(Katz dalam Tjokrowinoto, 1995)
industrialisasi
membawa
banyak
satu
sama
86
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
perubahan
sosial
budaya
yang
membawa daerah ini menghadapi
sangat luar biasa sebagai tantangan
berbagai masalah sosial. Masalah
dalam
kebangsaan.
kemiskinan masih tetap menjadi
Lebih mendasar efek dari pada
beban dalam masyarakat. Menurut
globalisasi yang menjurus kepada
data BPS “Persentase penduduk
modernisasi
dalam
miskin (yang berada di bawah garis
moralitas
kemiskinan) di Aceh pada Maret
kehidupan
akan
lebih
mempengaruhi
masyarakat.
2014
sebesar
18,05
persen,
Berbagai masalah sosial bisa
meningkat
terjadi
kejahatan,
dibandingkan Maret 2013 yang
konflik antar Ras, kemiskinan,
sebesar 17,6 persen,” ( BPS Aceh :
perceraian, pelacuran, delinkwensi
Profil Kemiskinan Maret 2014,
(kenakalan) anak-anak, remaja, dan
http://aceh.bps.go.id/?r-
orang
brs/view&id-417, diakses 29-11-
saja
seperti
tua,
penyalahgunaan
0,45
persen
narkotika, bunuh diri, dan sakit
014).
jiwa. Fenomena gelandangan dan
gelandangan
pengemis di musim-musim bulan
(gepeng) meskipun kurangnya data
tertentu dan jelang lebaran juga
yang valid tentang masalah ini
tidak asing lagi terjadi di kota-kota
karena disebabkan oleh berbagai
besar.
faktor
Indonesia
sebagai
negera
Kemudian
dan
masalah
dan
pengemis
bersifat
musiman,
namun peningkatan jumlah gepeng
berkembang yang sedang giatnya
di
melaksanakan
di
dirasakan. Persoalan kemiskinan
segala bidang juga tidak terlepas
dapat dikatakan merupakan sumber
dengan tantangan tersebut.
yang
pembangunan
Di
pusat-pusat
bermuara
ibu
kota
pada
juga
masalah
daerah Aceh tidak hanya karena
kesejahteraan sosial yang harus
globalisasi,
dihadapi oleh bangsa ini.
konflik
kemajuan
dan
teknologi,
tsunami
telah
Begitu juga masalah ganja
Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam
Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial
87
sudah menjadi potret buram bagi
menyenangkan dalam masyarakat
daerah Aceh seakan Aceh sebagai
yang merusak keharmonisan sosial
daerah lumbung ganja, sebagian
perlu diawasi dengan suatu usaha
besar
yang
bersama setiap elemen masyarakat
tran
dan pemerintah. Untuk pemecahan
tanaman
tertangkap
di
ganja
ruas
jalan
Sumatera disebut berasal dari Aceh.
berbagai
Hal ini megindikasikan pemuda
memerlukan dukungan semua pihak
Aceh tidak banyak terserap di
agar secara perlahan-lahan dapat
lapangan
ditanggulangi.
kerja
(pengangguran)
akhirnya tergiur dengan menanam
masalah
sosial
Mengantisipasi
berbagai
ganja. Kondisi ini membawa kesan
permasalahan
yang kurang menyenangkan bagi
aktifis sosial memiliki kesempatan
masyarakat sebagai bentuk dari
dan
masalah sosial yang seakan tidak
mengoptimalkan
dapat terpecahkan. Masalah sosial
yang dimiliki masyarakat. Dalam
adalah
kegiatan pemberdayaan masyarakat
sesuatu
yang
tidak
itu,
ini
maka
setiap
wewenang
setiap
potensi
dikehendaki oleh semua orang,
yang
tidak sesuai dengan norma-norma
kesejahteraan
sosial
kehidupan masyarakat. Menurut
tidak
menekankan
P.A.F. Walter dalam Sartono Wirjo
ekonomi semata. Namun segala
Soemarto, (1990:45) menyebutkan
aspek yang akan mendukung untuk
bahwa masalah sosial adalah suatu
menciptakan
kondisi yang merupakan ancaman
mandiri dan kuat harus selalu
bagi kesejahteraan masyarakat, dan
dikembangkan
mempengaruhi bagi sejumlah warga
sendiri. Diharapkan ketimpangan
masyarakat. Dari pengertian ini
pemahaman
dapat
pembangunan
kondisi
dipahami
kehidupan
bahwa
yang
setiap
tidak
akan
untuk
hanya
memperjuangkan
masyarakat
masyarakat
oleh
yang
masyarakat
masyarakat
tidak
pada
tentang
semakin
parah. Agar cita - cita kesejahteraan
88
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
masyarakat dari berbagai aspek
Menurut
Indah
Meitasari,
dapat diupayakan oleh masyarakat
(2013) “Pembangunan” seringkali
sendiri, dan juga dengan proses
diartikan
pengembangan
masyarakat
bermakna material, dan senantiasa
kekuatan luar yang tidak sehat tidak
dihubungkan dengan ekonomi atau
mempunyai celah untuk mencoba
pertumbuhan
mengusik kesejahteraan masyarakat.
Namun sebenarnya pembangunan
Secara spesifik ada masalah
harus memberikan hasil yang dapat
pertumbuhan
yang
(growth
oriented).
besar saat ini yang harus disikapi
dirasakan
oleh
semua
oleh
sehingga tidak
merugikan
orang
perguruan
tinggi
memberikan kontribusi dalam
atau pihak lain, karena berhasil
pembangunan
membangun
bidang
kesejahteraan
sosial
yang
manusia.
dihadapi oleh negara Indonesia
berorientasi
pada
ekonomi
umumnya
dan
Aceh
harkat
martabat
Pembangunan
yang
pada
pertumbuhan
semata
mengabaikan
khususnya, yaitu : Bagaimana
hakekat manusia yang direduksi
mengembangkan
kesiapan
menjadi obyek atau materi, bukan
sumber
manusia
menjadi subyek dari pembangunan.
daya
mengantisipasi
masalah
sosial
Seharusnya
manusia
sebagai
menjadi masyarakat mandiri dan
orientasi pembangunan, sehingga
kuat
dinamakan
menghadapi
globalisasi,
tuntutan
kemajuan
ilmu
pengetahuan dan teknologi?
pembangunan
yang
berorientasi pada manusia. Manusia
diberikan
kesempatan
untuk
mengekspresikan kepentingan dan
kebutuhannya
digunakan
2. Arti Pembangunan Sosial
dan Kesejahteraan
untuk
yang
dapat
perencanaan
pembangunan yang bersifat sosial
dengan tujuan utama adalah Human
Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam
Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial
Development. Hal ini merupakan
n-sosial-jakarta-529042.html,
paradigma
diakses 30-11-014).
pembangunan
yang
89
disebut sebagai pembangunan yang
Selanjutnya Midgley (2005:
berpusat pada manusia (people centred
25) mendefinisikan Pembangunan
development),
Sosial merupakan sebuah proses
Ciri
berpusat
pembangunan
pada
manusia
yang
adalah
perubahan sosial yang terencana
dalam
rangka
meningkatkan
manusia sebagai tujuan akhir dari
kesejahteraan
aktivitas pembangunan dan bukan
menyeluruh,
hanya sebagai alat. Sehingga apapun
dengan
yang dihasilkan dari pembangunan
pembangunan ekonomi.
yang
bersifat
menghasilkan
fisik,
harus
pembangunan
masyarakat
yang
proses
secara
berhubungan
dinamis
Sedangkan
dalam
tujuan
pembangunan
sosial
budaya
manusia (human development), yang
menurut batasan yang diberikan
dicapai melalui alat ukur, salah
oleh Badan Pusat Statistik adalah
satunya
Development
terwujudnya kesejahteraan rakyat
Index yang mengukur lama hidup,
yang ditandai dengan meningkatnya
pengetahuan dan standar hidup
kualitas kehidupan yang layak dan
yang layak. Terdiri dari : angka
bermartabat
harapan hidup, angka melek huruf,
perhatian utama pada tercukupinya
daya beli, rata-rata lama bersekolah,
kebutuhan dasar. Sasaran umum
pemerataan
pendapatan
dan
yang akan dicapai antara lain
ketimpangan
jender.
Indah
meningkatnya ketahanan sosial dan
yaitu Human
serta
memberi
Meitasari,
budaya, meningkatnya kedudukan
(http://jakarta.kompasiana.com/so
dan
sial-
meningkatnya
budaya/2013/01/29/pembanguna
pemuda,
peranan
serta
pembudayaan
perempuan,
partisipasi
aktif
meningkatnya
dan
prestasi
90
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
olahraga. Dari pengertian di atas
memprihatinkan
dapat
kegagalan pembangunan (Distorted
difahami
bahwa
pembangunan sosial merupakan
Development)
suatu kegiatan yang membawa
oleh
perubahan
pada
kesejahteraan
masyarakat
masyarakat
secara
menyeluruh,
karena
direncanakan
pada
banyak
saat
didominasi
kesejahteraan
di
merata.
sosial
Indonesia
Itu
ini
artinya
tidak
adanya
dan
masyarakat yang lemah dan yang
dilaksanakan oleh masyarakat itu
kuat tidak berjalan seimbang. Kita
sendiri
bisa melihat banyak sekali saat ini
sebagai
subyek
pembangunan.
pengusaha-pengusaha besar baik
Terkait dengan hal itu antara
dari kalangan sendiri ataupun asing
lain ada tiga tantangan pokok yang
yang
sangat
dalam
kelemahan masyarakat yang lemah
pembangunan bidang kesejahteraan
untuk meraih keuntungan yang
sosial terutama di Aceh. Tantangan
sebesar-besarnya.
pertama, adalah globalisasi, konflik
Ketiga
dan
mendesak
tsunami
yang
dapat
beruntung
memanfaatkan
tantangan
merupakan
tersebut
kegagalan
memudahkan kekuatan asing yang
pembangunan
tidak memihak negara dapat masuk
negara berkembang ternyata tidak
secara perlahan. Tantangan kedua
saja oleh faktor-faktor kendali,
industrialisasi
seperti
yang
mempunyai
terhadap
ketidakstabilan
negara-
politik,
akibat yang luas terhadap ekonomi
sistem politik yang otoriter, perang
dan sosial masyarakat. Dampak
dan perpecahan, namun juga oleh
perdagangan
kurangnya
bebas
yang
akan
perhatian
membawa efek akan mudah hilang
manusia
kemandirian
sosial. Negara-negara yang berhasil
masyarakat
yang
serta
kepada
lembaga-lembaga
terlalu bergantung pada kekuatan
dalam
pembangunan
ternyata
asing. Tantangan ketiga, yang juga
memberikan perhatian yang besar
Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam
Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial
91
terhadap pembangunan di bidang
pendekatan yang keliru yaitu terlalu
kesejahteraan sosial.
terpusat
Midgley
menyebut
Distorted
Development
pada
pertumbuhan
penekanan
ekonomi
yang
……yang
melibatkan lapisan masyarakat yang
pembangunan ekonominya tidak
terbatas. Dalam proses pembuatan
disertai dengan suatu tingkat yang
keputusan rakyat banyak
memadai dari pembangunan bidang
diikutsertakan
sosial.…kegagalan
untuk
mengerjakan
mengharmonikan
tujuan-tujuan
pembangunan
ekonomi
pembangunan
sosial,
dan
kecuali
apa
tidak
untuk
yang
harus
dikerjakan dalam suatu proyek
dan
pembangunan.
juga
Kemudian
Midgley
(2005:7-10)
menjamin bahwa keuntungan dari
menegaskan bahwa untuk dapat
kemajuan ekonomi dapat dirasakan
mengatasi
oleh seluruh masyarakat, Midgley
pembangunan yang terdistorsi ini
(2005: 4). Kegagalan yang terjadi
(distorted
adalah
dibutuhkan perspektif baru dalam
kegagalan
menyeimbangkan
ekonomi
pembangunan
dengan
pembangunan
Misalnya:
dalam
obyektifitas
bidang
pendapatan
sosial.
permasalahan
development)
upaya pembangunan,
memang
perspektif
baru tersebut adalah “Perspektif
Pembangunan Sosial”.
perkapita
Kesejahteraan
sosial
tinggi tetapi masih banyak yang
diterjemahkan sebagai suatu tata
pengangguran,
kehidupan dan penghidupan sosial
perumahan
pembangunan
yang
perkampungan
masif
kumuh
tapi
masih
material maupun spiritual yang
diliputi
oleh
rasa
keselamatan,
banyak, dan lainnya. Selain itu,
kesusilaan, dan ketentraman lahir
pengalaman
kegagalan
dan bathin. Hal ini sesuai dengan
pembangunan di berbagai negara
Undang-undang Nomor 11 Tahun
berkembang,
2009
dan
selain
karena
pasal
1
tentang
92
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
penyelenggaraan
sosial
dan
kesejahteraan
rakyat
Sedangkan
masalah
Indonesia
kesejahteraan sosial juga merupakan
menjelaskan bahwa, Kesejahteraan
bagian dari masalah sosial. Sebagai
Sosial adalah kondisi terpenuhinya
ilustrasi,
kebutuhan material, spiritual, dan
masalah utama yang terbentang
sosial warga Negara agar dapat
dalam domain masalah sosial dan
hidup
masalah
layak
merupakan
dan
mampu
diri
sehingga
Namun, secara khusus, masalah
melaksanakan
fungsi
kemiskinan kemudian menyentuh
mengembangkan
dapat
kemiskinan
sosialnya.
Sejalan
dengan
itu
kesejahteraan
sosial.
dimensi kesejahteraan sosial, seperti
Keputusan Menteri Sosial RI No.
fakir
58/HUK/2008 menegaskan bahwa
kecacatan (ODK), anak dan lansia
Kesejahteraan
Sosial
telantar, dan rumah tidak layak
memungkinkan bagi setiap warga
huni. Populasi yang mengalami
Negara
mengadakan
problema ini dikenal dengan istilah
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
Penyandang Masalah Kesejahteraan
jasmaniah, rohaniah, dan sosial
Sosial
sebaik-baiknya bagi diri, keluarga
Pelayanan
Kesejahteraan
serta
(PPKS),
Syahruman
untuk
masyarakat
dengan
miskin,
(PMKS)
orang
atau
dengan
Pemerlu
Sosial
(2011),
menjunjung tinggi hak-hak azasi
http://sosbud.kompasiana.com/1/
serta kewajiban manusia sesuai
12/24/masalah-kesejahteraan-
dengan Pancasila. Maksud dari
sosial-dan-pekerjaan-sosial-di-
pengertian dan ketentuan di atas
indonesia-424943.html, diakses 1-
jelas bahwa Negara berkewajiban
12- 2014. Dengan demikian dalam
memberikan
setiap
menanggulangi masalah sosial maka
memperoleh
bidang kesejahteraan merupakan
kehidupan yang layak sejahtera lahir
sasaran utama diperhatikan karena
dan bathin.
masalah ini meliputi dimensi yang
warganya
hak
untuk
pada
Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam
Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial
komplek
dalam
pembangunan
93
3. Kontribusi Perguruan Tinggi
sosial.
Perguruan tinggi merupakan
Pada tingkat yang paling dasar,
salah satu pilar kemajuan bangsa,
mengacu pada ADB (1990) dan
tempat
UNDP (2003) dalam Sumardjo, (2010),
daya
Kesejahteraan manusia yang beradab
pembangunan
adalah kemampuan manusia untuk
pembangunan bidang kesejahteraan
memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu :
sosial, sudah semestinya merespon
Kecukupan pangan, sandang, papan,
secara tepat sesuai tridharma yang
kesehatan, dan pendidikan. Apabila
diembannya. Salah satu upaya yang
kebutuhan dasarnya tersebut terpenuhi,
dilakukan
kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai
kurikulum perguruan tinggi yang
kondisi
berbasis pada pembangunan bidang
aman
pertama
dalam
mempersiapkan
manusia
sumber
pelaksana
terutama
adalah
merancang
kesejahteraan manusia. Faktanya prilaku
kesejahteraan
manusia itu sendiri sering kurang
diimplementasikan
kondusif bagi upaya mewujudkan
tridharma perguruan tinggi, yaitu
kesejahteraan mereka, baik secara
pendidikan,
individu, keluarga maupun masyarakat,
pengabdian pada masyarakat.
sehingga menyebabkan kesenjangan
dalam
uapaya
sosial,
melalui
penelitian,
dan
Perumusan kurikulum kearah
mewujudkan
ini harus dilandasi pada pemikiran
kesejahteraannya. Di sinilah peran
bahwa untuk mewujudkan usaha
pemerintah dan pihak-pihak terkait
kesejahteraan
termasuk
tinggi
kesejahteraan rakyat dibutuhkan
yang
upaya penigkatan kapital manusia
upaya-upaya
(human capital) dan kapital sosial
perguruan
mengembangkan
kondusif
bagi
suasana
sosial
atau
mewujudkan kesejahteraan sosial secara
(social
beradab dan berkeadilan (bermartabat).
pemberdayaan yang menjadi dasar
bagi
capital)
dalam
pengembangan
bentuk
partisipasi
94
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
masyarakat dalam pembangunan
berkonsentrasi pada pemberdayan
bangsa. Di samping itu untuk
masyarakat dan kebijakan sosial
mengembangkan kapital manusia
memegang peranan utama dalam :
dan kapital sosial selain melalui
(1) mengembangkan sumber daya
investasi sosial, dibutuhkan pula
manusia
lingkungan sosial, budaya, hukum,
bidang kesejahteraan sosial melalui
ekonomi,
pendidikan
dan
politik
yang
dalam
kondusif, seperti penegakan hak
mengembangkan
azasi
pengetahuan,
manusia
(human
right),
pembangunan
formal,
(2)
ilmu
serta
konsep
kepastian hukum (social justice), serta
alternatif kebijakan pembangunan
menghargai
sosial melalui aktifitas penelitian,
martabat
manusia
(human dignity). Hal ini menjadi
dan
pemacu
pemberdayaan masyarakat melalui
dan
keharusan
untuk
terwujudnya kesejahteraan sosial.
Universitas
(3)
mengembangkan
inovasi, dalam bentuk pengabdian
Iskandarmuda
pada
tinggi
yang
masyarakat yang sejahtera, mandiri,
menyelenggarakan bidang kajian
dan bermartabat (berkeadilan dan
pembangunan
berperadaban).
suatu
perguruan
sosial
kesejahteraan
dan
masyarakat
telah
mengembangkan
berkontribusi
kurikulum 4.
dalam
proses
Kontribusi
dan Kesejahteraan
sosial dengan segala tantangan dan
Keberadaan
permasalahan yang
ini
dihadapinya.
program studi
Keilmuan
Sosiatri/Pembangunan Sosial
pembangunan bidang kesejahteraan
Dalam hal
menuju
program
studi/keilmuan
Sosiatri/Pembangunan
Sosial
Sosiatri/Pembangunan Sosial salah
Fisipol Unida sebagai satu-satunya
satu prodi pada Fakultas Ilmu
prodi yang ada di luar pulau Jawa
Sosial
yaitu Aceh di ujung barat pulau
dan
Ilmu
Politik
Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam
Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial
Sumatera sejak tahun 80-an adalah
didorong
oleh
semangat
dan
Program
studi
memberikan
95
ini
telah
kontribusi
dan
tuntutan masyarakat dalam upaya
memainkan peran penting dalam
menanggulangi
derap
kelainan
sosial
langkah
pembangunan
kemasyarakatan (Social Disorganized)
daerah, khususnya dalam bidang
dan
sosial
pembangunan masyarakat dan telah
dari
memperkuat sumber daya manusia
pembangunan
bidang pembangunan sosial dan
adanya
kesenjangan
sebagai
dampak
berkembangnya
kawasan-kawasan industri besar di
kesejahteraan.
Daerah Istimewa Aceh yang ada
penelitian dan kerjasama dalam
pada tahun 1980/1981. Terjadi
implementasi penanganan masalah
peledakan
sosial
atau
urbanisasi
dan
Berbagai
kemasyarakatan
hasil
serta
pemukiman baru sehingga sangat
kemiskinan telah memberi hasil
berdampak
positif.
pada
kemiskinan
merusak sendi-sendi perekonomian
Sejumlah alumni Sosiatri telah
masyarakat desa akibat konflik yang
bekerja
berkepanjangan dan krisis ekonomi
Pemerintah dan swasta seperti di
di Aceh. Konflik Aceh terjadi lagi
Perguruan Tinggi, Dinas Sosial,
pada tahun 1998, dan secara latin
Kantor
konflik
Kabupaten/kota,
Aceh
belum
ada
di
berbagai
instansi
Pemerintahan
dan
penyelesaian secara tuntas sampai
Keluarga
sekarang. Oleh sebab itu, kehadiran
(BKKBN),
Jurusan Ilmu Sosiatri sebagai Ilmu
serta di berbagai lembaga negeri
Pembangunan
yang
dan swasta lainnya. Beberapa di
mempelajari
kelainan-kelainan
antara alumni Sosiatri ada pula yang
sosial
relevan
dalam
menduduki jabatan politis seperti
dan
Bupati, anggota DPRD, pejabat
Sosial
sangat
menjawab
permasalahan
tantangan yang dihadapi daerah.
Berencana
Kantor
anggota
Nasional
TNI/Polri
eselon II dan III di seluruh
96
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Indonesia dengan jumlah alumni
pada peningkatan kualitas dharma
lebih dari 600 orang.
pendidian dari pada pengabdian
Selain
itu
penelitian
kegiatan
dan
pada
masyarakat.
Sementara
pengabdian
instansi terkait belum maksimal
masyarakat yang dilakukan oleh
dalam upaya meningkatkan sinergi
dosen
dengan
dengan perguruan tinggi terutama
mahasiswa telah menjadi tugas di
prodi Sosiatri/Pembangunan Sosial
Program
Fisipol Unida.
bersama-sama
Studi
Sosiatri/Pembangunan Sosial. Hasil
penelitian
ini
Sampai saat ini program studi
berguna
bagi
Sosiatri/Pembangunan
pengajaran
serta
memperoleh peringkat Akreditasi
dipublikasikan dalam bentuk jurnal
B, dengan keputusan BAN-PT
maupun seminar walaupun dalam
Nomor
porsi yang sedikit. Dalam kegiatan
XII/S1/II/2010
pengabdian
Februari 2010. Pada awalnya Ilmu
pengembangan
kerjasama
dengan
pada
terjalin
beberapa
masyarakat,
antara
instansi
lain
Sosiatri
:
Sosial
048/BAN-PT/Aktanggal
dikembangkan
25
sebagai
di
jawaban atas tuntutan sosial untuk
antaranya dengan Lembaga Suadaya
merespon kondisi problematik yang
Masyarakat
cukup
Woman
Development
kompleks
pasca
Center (WDC) Kota Banda Aceh,
kemerdekaan seperti : buta huruf,
Prodi Pembangunan Sosial UGM
tingkat harapan hidup yang rendah,
Yogyakarta, dan Pemda Aceh Jaya.
pengangguran,
Meskipun
dengan
pendapatan perkapita yang rendah,
instansi terkait dirasakan belum
dan masalah sosial lainnya. Pada
cukup efektif bagi pembangunan
periode tersebut konsentrasi kajian
bidang kesejahteraan sosial, hal ini
Prodi
mungkin terjadi karena perguruan
masyarakat. Pada perkembangan
tinggi saat ini banyak memfokuskan
berikutnya konsentrasi kajian prodi
kerjasama
Sosiatri
gelandangan,
adalah
penyakit
Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam
Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial
ini
bukan
hanya
penyakit
97
masyarakat. Prodi Pembangunan
masyarakat tetapi juga ditambah
Sosial
pengembangan masyarakat. Dalam
pemecahan masalah yang efektif
dekade
konsentrasi
karena tidak hanya berfokus pada
dirubah
pemecahan masalah, namun juga
kebijakan
pada strategi pasca penanganan
demikian
masalah. Pendekatan pembangunan
konsentrasi kajian Ilmu Sosiatri
yang digunakan : Pembangunan
pada saat ini adalah Pembangunan
Masyarakat
Masyarakat dan Kebijakan Sosial,
Development/CD),
dan
dan pendekatan semula individual
Pengorganisasian
Masyarakat
bergeser
(Community Organizer/CO) untuk
terakhir
penyakit
masyarakat
menjadi
konsentrasi
sosial.
Dengan
ke
community.
konsentrasi
Kedua
tersebut
mereprensentasikan
kajian
mengenai upaya yang dilakukan
menggagas
strategi
(Community
memecahkan
berbagai
macam
lulusan
Prodi
persoalan sosial.
Profil
secara integral untuk menyelesaikan
Pembangunan Sosial : 1. Mampu
permasalahan sosial yang akan
menjadi
bermuara
masyarakat (community development
pada
pembangunan
bidang kesejahteraan sosial.
ahli
pembangunan
specialist) untuk institusi pemerintah
(state), LSM (civil society organization)
5. Kompetensi Lulusan Prodi
Sosiatri/Pembangunan Sosial
Fisipol Unida
Program Studi Pembangunan
Sosial
merupakan
studi
mempelajari
pembangunan
yang
mengenai
sosial
melalui
strategi pemecahan masalah sosial
sehingga
tercapai
kesejahteraan
dan perusahaan (corporate). Mampu
melakukan analisis kebijakan sosial
untuk pemerintah dan lembaga
legislatif.
2.
Mampu
menjadi
peneliti sosial (sosial researcher), dan
3. Mampu menjadi akademisi.
Kompetensi lulusan Prodi
Pembangunan Sosial dalam proses
98
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Pembangunan
Bidang
Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan Sosial adalah : 1.
Masyarakat), selain itu juga
Sebagai
menjadi
fasilitator
program
Program-
Pemberdayaan
fasilitator
pengorganisasian
dalam
masyarakat
Masyarakat, dan 2. Sebagai Tenaga
untuk
Ahli dalam merumuskan Kebijakan
bencana.
Sosial berdasarkan persoalan yang
Sebagai Tenaga
ada di dalam masyarakat (bottom up
Merumuskan Kebijakan Sosial
planning).
adalah :
Untuk itu pada bagian ini
penanggulangan
Ahli dalam
a. Membuat kebijakan tentang
dikemukakan beberapa hal pokok
mekanisme bantuan sosial.
yang terkait dengan kontribusi
b. Membuat kebijakan tentang
lulusan perguruan tinggi ini yang
penanggulangan bencana alam
relevansi
dan bencana sosial.
kurikulumnya
dalam
pembangunan bidang kesejahteraan
c. Membuat kebijakan tentang
sosial antara lain :
Sebagai
pengelolaan dana sosial dari
Fasilitator
program
Program-
Pemberdayaan
Masyarakat, yaitu :
a.
Menjadi
pemerintah, masyarakat, dan
fasilitator
swasta.
6. Penutup
dalam
Perguruan
pemberdayaan sosial keluarga,
b.
tinggi
fakir miskin, komunitas adat
lembaga
terpencil, dan wanita rawan
merupakan pilar kemajuan bangsa
sosial masyarakat (TKSM).
tempat
Menjadi
fasilitator
dalam
daya
pendidikan
sebagai
mempersiapkan
manusia.
adalah
sumber
Kebijakan
pemberdayaan organisasi sosial
pengembangan pendidikan tinggi
dan kemitraan (karang taruna,
tidak dapat dipisahkan dengan
organisasi sosial, LSM, dan
kebutuhan pembangunan di daerah
Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam
Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial
yaitu
kebutuhan
manusia
dalam
sumber
daya
99
berperadaban).
pembangunan,
Program
terutama perguruan tinggi yang
memberikan
terkait
memainkan peran penting dalam
dengan
pembangunan
bidang kesejahteraan sosial.
derap
Program
studi
ini
telah
kontribusi
dan
langkah
pembangunan
Studi
daerah, telah memperkuat sumber
Sosiatri/Pembangunan Sosial salah
daya manusia bidang pembangunan
satu prodi pada Fakultas Ilmu
sosial dan kesejahteraan. Berbagai
Sosial dan Ilmu Politik Unida
hasil penelitian dan kerjasama,
dengan
meskipun
konsentrasi
pemberdayan
pada
masyarakat
dan
instansi
kerjasama
terkait
dengan
belum
cukup
kebijakan sosial memegang peranan
maksimal,
utama dalam pembangunan bidang
implementasi penanganan masalah
kesejahteraan
sosial
mengembangkan
manusia
dalam
sosial
sumber
:
(1)
daya
pembangunan
namun
dalam
kemasyarakatan
serta
kemiskinan telah memberi hasil
positif.
Sejumlah
alumni
telah
bidang kesejahteraan sosial melalui
bekerja di berbagai instansi negeri
pendidikan
dan swasta di daerah ini. Selain
formal,
mengembangkan
pengetahuan,
(2)
ilmu
serta
konsep
kontribusi
percepatan
segi
lulusan,
dalam
program-program
alternatif kebijakan pembangunan
pembangunan bidang kesejahteraan
sosial melalui aktifitas penelitian,
sosial,
dan
pengkajian program Pemberdayaan
(3)
mengembangkan
kontribusi
dengan
pemberdayaan masyarakat melalui
Masyarakat,
inovasi, dalam bentuk pengabdian
Perumusan Kebijakan Sosial.:
pada
masyarakat
menuju
Oleh
dan
karena
program
itu
perlu
peningkatan
sinergi
masyarakat yang sejahtera, mandiri,
konsistensi
dan bermartabat (berkeadilan dan
instansi terkait dengan perguruan
100
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
tinggi dalam hal kerjasama terutama
perguruan tinggi yang membidangi
kajian pembangunan sosial dan
kesejahteraan.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan,
Danang
A,
([email protected]),
28 Nov 2014, Provil Prodi
Pembangunan Sosial/Sosiatri,
E-mail
kepada
T.
Syarifuddin
(teukusyarifuddin@yahoo.
com).
James,
Midgley,
(2005),
Pembangunan
Sosial;
Perspektif
Pembangunan
dalam Kesejahteraan Sosial,
Diperta Isalam Dapag RI,
Jaakarta
Rohman, Arif (2014), Pembangunan
Kesejahteraan
Sosial
di
Indonesia,
http://sosbud.kompasiana
.com/2014/11/24/pemba
ngunan-kesejahteraansosial-di-indonesiahambatan-tantangan-danpeluang-705615.html,
diakses 29 Nov 2014
Syahruman,
(2011),
Masalah
Kesejahteraan Sosial dan
Pekerjaan Sosial di Indonesia,
(online),
http://sosbud.kompasiana
.com/2011/12/24/masala
h-kesejahteraan-sosialdan-pekerjaan-sosial-diindonesia-424943.html,
diakses 1 Desb 2014
Sumardjo, ( 2010), Pemberdayaan
Masyarakat dan Pngelolaan
Konflik
dalam
Rangka
Pengelolaan Kebun Sawit
Berkelanjutan. Kerjasama
Care IPB dengan Badan
Litbang
Pembangunan
Daerah. Pekanbaru.
________, (2010).
Penyuluhan
Mengembangkan
Kapital
Manusia dan Kapital Sosial
menuju Kesejahteraan
UNDP.
2003.
Human
Development
Report
2003.
Millenium
Development Goals: A
Compact among Nationms to
End
Human
Poverty.
Oxford University Press.
New York.
Wirjosoemarto, Sartono, (1990),
Ilmu
Sosiatri
Suatu
Pengantar, Fisipol UGM,
Yogyakarta
Zulfadli, M.Si, Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu
101
LEMBAGA PENDIDIKAN UNTUK
PENCARI ILMU
(Suatu Analisa Pendidikan di Aceh)
Oleh : Zulfadli, M.Si ( Dosen Prodi Pendidikan Ekonomi FKIP Unsyiah)
Abstrak
Mencari ilmu hukumnya fardhu. Maka pemerintah harus menyiapkan
lembaga pendidikan bagi pencari ilmu. Beberapa permasalahan yang
diuraikan dalam tulisan ini meliputi; (1) Klasifikasi lembaga pendidikan baik
di Indonesia maupun di Aceh, (2) Hukum mencari ilmu, (3) Keutamaan
pemilik ilmu, (4) Ilmuwan yang diharapkan. Lembaga pendidikan di
indonesia dalam UU bisa kita klasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu:
sekolah dan luar sekolah, selanjutnya pembagian ini lebih rincinya menjadi
tiga bentuk: ( 1). Informal, (2). Formal, (3). dan nonformal. Jalur formal
adalah lembaga pendidikan yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi dengan jenis pendidikan: (1) Umum, (2)
Kejuruan, (3) Akademik, (4) Profesi, (5) Advokasi, (6).
Keagamaan.Tingkatan pendidikan dalam kerajaan Aceh Darussalam adalah
sebagai berikut: (10) Meunasah, (2) Rangkang, (3) Dayah, (4) dayah Tengku
Chiek, (5) Jamiah Baiturrahman. Mencari ilmu syar’i adalah fardhu kifayah,
apabila ada orang yang sudah mempelajarinya maka hukumnya menjadi
sunnah bagi yang lainnya. Tetapi terkadang mencari ilmu itu menjadi fardhu
‘ain bagi manusia. Keutamaan bagi pemilik ilmu akan angkat derajatnya di
dunia dan di akhirat. Ilmuwan yang diharapkan adalah yang memiliki
wawasan/pengetahuan yang luas serta mengamalkan ilmunya, baik dalam
masalah aqidah, ibadah, akhlak, adab, dan muamalah.
Kata Kunci: Lembaga Pendidikan, Ilmu
Abstract
Looking for legal science fard. Then the government should prepare
educational institutions for knowledge seekers. Some of the problems
described in this article include; (1) The classification of educational
institutions both in Indonesia and in Aceh, (2) Legal seek knowledge, (3)
Virtue owner science, (4) Scientists are expected. Educational institutions in
102
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Indonesia in the Act could we classify into two groups: the school and
outside of school, then it is more detailed division into three forms: (1).
Informal, (2). Formal, (3). and non-formal. Formal channel is the institution
consisting of primary education, secondary education, and higher education
with the kind of education: (1) General, (2) Vocational (3) Academic, (4)
Profession, (5) Advocacy, (6). Religious. Levels of education in the kingdom
of Aceh Darussalam are as follows: (10) meunasah, (2) rangkang, (3)
Boarding School, (4) dayah Tengku Chiek, (5) Baiturrahman association.
Seeking knowledge is fard kifayah Shar'ie, if there are people who have
studied the law becomes Sunnah for others. But sometimes seek knowledge
it becomes fard 'ayn for humans. The virtue of the owner will be taken up
science in the world and in the hereafter. Scientists expected is that having
insight / knowledge broad and apply their knowledge, both in matters of
faith,
worship,
morals,
manners,
and
muamalah.
Keywords: Institute of Education, Science
I.
Pendahuluan
Mencari ilmu syar’i adalah
fardhu kifayah, apabila ada orang
yang sudah mempelajarinya maka
hukumnya sunnah bagi yang
lainnya. Tetapi terkadang mencari
ilmu itu menjadi fardhu ‘ain bagi
manusia. Dalam upaya menuntut
ilmu, orang tua cenderung mencari
lembaga-lembaga pendidikan yang
sesuai
dengan
keinginannya.
Lembaga Pendidikan (baik formal,
non formal atau informal) adalah
tempat transfer ilmu pengetahuan
dan budaya (peradaban). Melalui
praktik pendidikan, peserta didik
diajak untuk memahami bagaimana
sejarah atau pengalaman budaya
dapat ditransformasi dalam zaman
kehidupan yang akan mereka alami
serta mempersiapkan mereka dalam
menghadapi
tantangan
dan
tuntutan yang ada di dalamnya.
Dengan
demikian,
makna
pengetahuan
dan
kebudayaan
sering kali dipaksakan untuk
dikombinasikan karena adanya
pengaruh
zaman
terhadap
pengetahuan
jika
ditransformasikan.
Oleh karena itu pendidikan
nasional bertujuan mempersiapkan
masyarakat baru yang lebih ideal,
yaitu masyarakat yang mengerti hak
dan kewajiban dan berperan aktif
dalam
proses
pembangunan
bangsa.
Esensi
dari
tujuan
pendidikan nasional adalah proses
menumbuhkan bentuk budaya
keilmuan, sosial, ekonomi, dan
politik yang lebih baik dalam
perspektif tertentu harus mengacu
pada masa depan yang jelas
(pembukaan UUD 1945 alenia 4).
Melalui
kegiatan
pendidikan,
gambaran tentang masyarakat yang
ideal itu dituangkan dalam alam
pikiran peserta didik sehingga
Zulfadli, M.Si, Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu
terjadi proses pembentukan dan
perpindahan budaya. Pemikiran ini
mengandung
makna
bahwa
lembaga pendidikan sebagai tempat
pembelajaran manusia memiliki
fungsi sosial (agen perubahan di
masyarakat).
Lembaga pendidikan di
Aceh sebagai wilayah yang memiliki
julukan daerah istimewa dimana
salah satunya adalah bidang
pendidikan,
memiliki
tatanan
tersediri pada struktur pendidikan
daerah.
Tatanan
tersebut
merupakan peninggalan dari sistem
pendidikan pada masa kesultanan.
Namun saat ini sudah mulai pudah
akibat masuknya berbagai sistem
pendidikan nasional maupun pola
pendidikan Barat.
2. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas,
yang menjadi permasalahan adalah:
1. Bagaimana klasifikasi lembaga
pendidikan baik di Indonesia
maupun di Aceh?
2. Apa hukum mencari ilmu?
3. Apa keutamaan pemilik ilmu?
4. Bagaimana ilmuwan yang
diharapkan?
3. Pembahasan
3.1 Lembaga Pendidikan.
Lembaga
pendidikan
memberikan
pengaruh
yang
signifikan terhadap corak dan
karakter masyarakat. Belajar dari
sejarah perkembanganya lembaga
pendidikan yang ada di indonesia
memiliki beragam corak dan tujuan
103
yang berbeda-beda sesuai dengan
kondisi yang melingkupi, mulai dari
zaman kerajaan dengan bentuknya
yang sangat sederhana dan zaman
penjajahan yang sebagian memiliki
corak ala barat dan gereja, dan
corak ketimuran ala pesantren
sebagai penyeimbang, serta model
dan corak kelembagaan yang
berkembang saat ini tentunya tidak
terlepas dari kebutuhan dan tujuantujuan tersebut.
Dalam upaya meningkatkan
mutu sumber daya manusia,
mengejar ketertinggalan di segala
aspek kehidupan dan menyesuaikan
dengan perubahan global serta
perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, bangsa Indonesia
melalui DPR dan Presiden pada
tanggal 11 Juni 2003 telah
mensahkan Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional yang baru,
sebagai pengganti Undang-undang
Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.
Undang-undang Sisdiknas Nomor
20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22
Bab dan 77 pasal tersebut juga
merupakan pengejawantahan dari
salah satu tuntutan reformasi yang
marak sejak tahun 1998.
Perubahan mendasar yang
dicanangkan dalam Undang-undang
Sisdiknas yang baru tersebut antara
lain adalah demokratisasi dan
desentralisasi pendidikan, peran
serta
masyarakat,
tantangan
globalisasi,
kesetaraan
dan
keseimbangan, jalur pendidikan,
dan peserta didik.Sebagai sistem
sosial, lembaga pendidikan harus
memiliki fungsi dan peran dalam
104
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
perubahan masyarakat menuju ke
arah perbaikan dalam segala lini.
Dalam hal ini lembaga pendidikan
memiliki dua karakter secara
umum. Pertama, melaksanakan
peranan fungsi dan harapan untuk
mencapai tujuan dari sebuah
sistem. Kedua mengenali individu
yang berbeda-beda dalam peserta
didik yang memiliki kepribadian
dan disposisi kebutuhan. Kemudian
sebagai agen perubahan lembaga
pendidikan berfungsi sebagai alat:
1) Pengembangan pribadi
2) Pengembangan warga
3) Pengembangan Budaya
4) Pengembangan bangsa
3.1.1 Lembaga Pendidikan di
Indonesia.
Lembaga pendidikan di
Indonesia dalam UU bisa kita
klasifikasikan
menjadi
dua
kelompok yaitu: sekolah dan luar
sekolah, selanjutnya pembagian ini
lebih rincinya menjadi tiga bentuk:
1). informal.
2). formal
3). dan nonformal
Sebelum kita melngkah
pada pembahasan lebih jauh,
tentunya kita harus mengetahui
peran masing-masing lembaga
secara umum, ketiga klasifikasi di
atas dalam pergumulanya di
masyarakat memiliki peran yang
berbeda-beda, lembaga pendidikan
pertama, yaitu informal atau
keluarga, ranah garapanya adalah
lebih banyak di arah kan dalam
pembentukan
karakter
atau
keyakinan dan norma. Lembaga
pendidikan kedua, yaitu formal atau
sekolah, peran besarnya lebih
banyak
di
arahkan
pada
pengembangan penalaran murid.
Yang terakhir lembaga pendidikan
ketiga, yaitu masyarakat, peranya
lebih banyak pada pembentukan
karakter sosial.
Ketiga pembagian di atas
adalah
merupakan perubahan
mendasar, Dalam Sisdiknas yang
lama pendidikan
informal
(keluarga) tersebut sebenarnya juga
telah diberlakukan, namun masih
termasuk dalam jalur pendidikan
luar
sekolah, dan
ketentuan
penyelenggaraannyapun
tidak
konkrit. Penjelasan dari klasifikasi
tersebut adalah:
1. Pendidikan informal, atau
pendidikan pertama adalah
kegiatan pendidikan yang
dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan yang berbentuk
kegiatan belajar secara mandiri,
hal ini adalah menjadi
pendidikan primer bagi peserta
dalam dalam pembentukan
karakter dan kepribadian, hal
ini penulis fikir sesuai dengan
konsep al Qur’an dalam
masalah pendidikan dikeluarga
yaitu menjaga keluarga kita dari
hal-hal yang negative.
2. Pendidikan nonformal, atau
pendidikan kedua meliputi
pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini,
pendidikan
kepemudaan,
pendidikan
pemberdayaan
perempuan,
pendidikan
keaksaraan,
pendidikan
Zulfadli, M.Si, Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu
keterampilan dan pelatihan
kerja, pendidikan kesetaraan,
serta pendidikan lain yang
ditujukan
untuk
mengembangkan kemampuan
peserta
didik.
Satuan
pendidikan nonformal meliputi
lembaga
kursus,
lembaga
pelatihan, kelompok belajar,
pusat
kegiatan
belajar
masyarakat (PKBM), dan
majelis taklim, serta satuan
pendidikan yang sejenis. Hasil
pendidikan nonformal dapat
dihargai setara dengan hasil
program pendidikan formal
setelah melalui proses penilaian
penyetaraan oleh lembaga yang
ditunjuk oleh pemerintah
(pusat) dan pemerintah daerah
dengan
mengacu
pada
standard nasional pendidikan.
Adapun pendidikan nonformal
diselenggarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan
layanan
pendidikan
yang
berfungsi sebagai pengganti,
penambah,
atau
ingin
melengkap pendidikan formal
dalam rangka mendukung
pendidikan sepanjang hayat,
yang
berfungsi
mengembangkan
potensi
peserta
didik
dengan
penekanan pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan
fungsional
serta
pengembangan sikap dan
kepribadian professional.
3. Jalur formal adalah lembaga
pendidikan yang terdiri dari
pendidikan dasar, pendidikan
105
menengah, dan pendidikan
tinggi dengan jenis pendidikan:
1). umum
2). Kejuruan
3). Akademik
4). profesi
5). Advokasi
6). keagamaan.
Pendidikan formal dapat
coraknya diwujudkan dalam bentuk
satuan
pendidikan
yang
diselenggarakan oleh pemerintah
(pusat), pemerintah daerah dan
masyarakat. Pendidikan dasar yang
merupakan jenjang pendidikan yang
melandasi
jenjang
pendidikan
menengah berbentuk lembaga
sekolah dasar (SD) dan madrasah
ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain
yang sederajat, serta sekolah
menengah pertama (SMP) dan
madrasah tsanawiyah (Mts) atau
bentuk lain yang sederajad.
Sebelum memasuki jenjang
pendidikan dasar, bagi anak usia 0-6
tahun diselenggarakan pendidikan
anak usia dini, tetapi bukan
merupakan
prasyarat
untuk
mengikuti
pendidikan
dasar.
Pendidikan anak usia dini dapat
diselenggarakan melalui jalur formal
(TK, atau Raudatul Athfal),
sedangkan dalam nonformal bisa
dalam bentuk (TPQ, kelompok
bermain, taman/panti penitipan
anak)
dan/atau
informal
(pendidikan
keluarga
atau
pendidikan yang diselenggarakan
oleh lingkungan.
Sedangkan
Pendidikan
menengah
yang
merupakan
kelanjutan pendidikan dasar terdiri
106
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
atas, pendidikan umum dan
pendidikan
kejuruan
yang
berbentuk sekolah menengah atas
(SMA), madrasah aliyah (MA),
sekolah menengah kejuruan (SMK),
dan madrasah aliyah kejuruan
(MAK) atau bentuk lain yang
sederajad.
Pendidikan tinggi merupakan
jenjang
pendidikan
setelah
pendidikan menengah, pendidikan
ini mencakup program pendidikan
diplom, sarjana, magister, dan
doctor. Perguruan tinggi memiliki
beberapa bentuk yaitu akademi,
politeknik, sekolah tinggi, institut
atau universitas yang secara umum
lembaga-lembaga
tinggi
ini
dibentuk dan diformat untuk
menyelenggarakan
pendidikan,
penelitian dan pengabdian pada
masyarakat,
serta
menyelenggarakan
program
akademik, profesi dan advokasi.
Semua lembaga formal di
atas diberi hak dan wewenang oleh
pemerintah untuk memberikan
gelar akademik kepada setiap
peserta didik yang telah menempuh
pendidikan di lembaga tersebut,
Khusus bagi perguruan tinggi yang
memiliki program profesi sesuai
dengan program pendidikan yang
diselenggarakan doktor berhak
memberikan
gelar
doktor
kehormatan (doktor honoris causa)
kepada individu yang layak
memperoleh
penghargaan
berkenaan dengan jasa-jasa yang
luar biasa dalam bidang ilmu
pengetahuan,
teknologi,
kemasyarakatan,
keagamaan,
kebudayaan, atau seni. Untuk
menagulangi permasalahan yang
cukup aktual dan meresahkan
masyarakat saat ini, seperti
pemberian
gelar-gelar
instan,
pembuatan skripsi atau tesis palsu,
ijazah
palsu
dan
lain-lain,
pemerintah telah mengatur dan
mengancam sebagai tindak pidana
dengan sanksi yang juga telah
ditetapkan dalam UU Sisdiknas
yang baru.
Masih ada pendapat lain
mengenai lembaga pendidikan
sebagai tempat mencari ilmu.
Menurut Yose Rizal & Moh. Suraji
(2009:72) tempat menuntut ilmu
adalah “di sekolah umum, di
perguruan tinggi Islam, di pondok,
dengan
cara
otodidak/belajar
sendiri
melalui
banyak
membaca”.Pelajar-pelajar yang di
pondok pesantren disebut santri.
Santri adalah sebutan khusus bagi
kaum terpelajar yang belajar dalam
pondok
pesantren.
Menurut
pesantren, santri di bagi atas dua
kelompok :
1. Santri mukim, yaitu muridmurid yang berasal dari daerah
yang jauh. Kelompok ini
menginap dan menetap dalam
pondok.
2. Santri kadong, yaitu muridmurid yang berasal dari desadesa
sekeling
pesantren.
Kelompok ini tidak menetap di
pondok pesantren.
Selain itu ada juga santri yang
tinggal menetap di dalam pesantren
dengan alasan-alasan lain sebagai
berikut :
Zulfadli, M.Si, Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu
- Karena ingin mempelajari
kitab-kitab
lain
yang
membahas tentang Islam
secara lebih mendalam di
bawah bimbingan kyai yang
memimpin pesantren.
- Karena ingin memperoleh
pengalaman
kehidupan
pesantren, baik dalam bidang
pengajaran,
beorganisasi
maupun hubungan dengan
pesantren-pesantren
yang
terkenal.
- Karena ingin memuaskan
studinya dipesantren tanpa
disibukan oleh kewajiban
sehari-hari di rumah.
3.1.2. Lembaga Pendidikan di
Aceh
Setiap raja di Aceh di
dampingi oleh alim ulama, Di
samping itu, juga ada lembaga
pendidikan dayah. Dayah di Aceh
berfungsi sebagai tempat belajar
agama; banteng terhadap kekuatan
melawan penjajah dan merupakan
pendidikan yang cukup populer
dalam sejarah Aceh.Dayah menjadi
pusat dari pembahasan tentang
pendidikan Islam dalam konteks
masyarakat Aceh masa lalu dan
masa sekarang. Keberadaan dayah
sebagai pusat pendidikan Islam
masa lalu yang sudah menghasilkan
ulama dan tokoh-tokoh yang
berpengaruh dimasanya memang
tidak diragukan lagi. Dayah masa
lalu
secara
sukses
telah
mengintegrasikan
pendidikan
umum dan pendidikan agama, salah
satunya terbukti bahwa output
107
dayah bukan hanya ulama saja tapi
juga seorang politikus atau
negarawan yang berpengaruh. Ini
semua dikarenakan pendidikan
dayah saat itu yang tidak dikotomi.
Harus diakui, institusi dayah
sendiri mengalami pasang surut
yang sangat signifikan, terutama di
masa
penjajahan
Belanda.
Penghancuran dayah dan segala
pemimpin dayah itu sendiri telah
mempengaruhi
tahun-tahun
kemunduran dayah setelah kolonial
Belanda memulai pendudukannya
di Aceh pada tahun 1873. Dayah
dan pemimpin dayah saat itu adalah
simbol dan motor penggerak.
Adapun
tingkatan
pendidikan dalam kerajaan Aceh
Darussalam menurut Munawiyah
dkk (2009: 56-57) sebagai berikut:
A. Meunasah
Meunasah atau madrasah, yaitu
sekolah yang sama dengan
sekolah dasar kalau sekarang.
Ia didirikan tiap-tiap kampung
atau desa. Di meunasah
murid-murid diajarkan menulis
dan membaca huruf-huruf
Arab, membaca Al-Quran, cara
beribadah,
akhlak,
rukun
Islam, rukuniman tiap malam
jumat. Buku-buku pelajaran
dalam bahasa Melayu, seperti
kitab
Perukunan,
risalah
Masailan Mubtadin.
B. Rangkang
Menurut ketentuan Qanun
Meuke
Kuta Alam, bahwa tipa-tiap
mukim harus didirikan satu
mesjid. Mesjid sebagai pusat
108
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
segala kegiatan ummat, juga
merupakan pusat pendidikan
dalam
mukim
yang
bersangkutan yaitu, pendidikan
tingkat menengah pertama.
Kebanyakan
murid
terus
mondok di mesjid, sehingga
dirasa
perlu
membangun
pondok-pondok
sekeliling
mesjid sebagai asrama yang
bernama rangkang, karena
itulah pendidikan menengah
pertama
ini
dinamakan
rangkang.
Dirangkang ini diajar Fiqh,
Ibadah, Tauhid, Tassawuf,
sejarah Islam/umum, bahasa
Arab
disamping
masih
dipergunakan
buku-buku
pelajaran dalam bahasa melayu,
juga mulai dipakai buku-buku
pelajaran dalam bahasa Arab.
C. Dayah
Dayah disamakan dengan
sekolah menengah atas atau
madrasah
aliyah
kalau
sekarang. Hampir dalam tiaptiap daerah nanggroe (negeri)
berdiri dayah. Kadang-kadang
ada dayah berpusat pada
mesjid
bersama
dengan
rangkang, tetapi kebanyakan
dayah berdiri sendiri diluar
lingkungan
mesjid,
menyediakan sebuah balai
utama sebagai aula, yang
digunakan menjadi tempat
belajar
dan
sembahyang
jamaah.
Dalam dayah semua pelajaran
diajar dalam bahasa Arab,
dengan mempergunakan kitab-
kitab bahasa Arab ilmu-ilmu
yang diajarkan antar lain: fiqh
muamalat,
tauhid,
tassawuf/akhlak,
geografi
(ilmu bumi) sejarah/ilmu tata
negara dan bahasa Arab.
Disamping dayah-dayah yang
sifatnya umum, juga ada
dayah-dayah
khusus,
umpamanya dayah khusus
untuk wanita, dayah khusus
yang didalamnya diajarkan
ilmu
pertanian,
ilmu
pertukangan, ilmu perniagaan
dan sebagainya.
D. Dayah Teungku Chiek
Dayah Teungku Chiek yang
disebut juga dayah manyang,
dapat
disamakan
dengan
akademi.Dayah
Teungku
Chiek jumlahnya tidak terlalu
banyak, hanya ada di beberapa
tempat seperti telah dijelaskan
bahwa “dayah” berasal dari
“zawiyah” dan teungku Chiek
Artinya guru besar, jadi dayah
teungku chiek artinya dayah
guru besar.
Mata pelajaran yang diajarkan
dalam dayah teungku Chiek
antara lain bahasa Arab, Fiqh
jinayat (hukum pidana), fiqh
munakahat
(hukum
perkawinan),
fiqh
dauly
(hukum tata negara), sejarah
islam, sejarah negara-negara,
tauhid/filsafat,
tassawuf/
akhlak, ilmu falak, tafsir, hadist
dan lain-lain. Ada dayah
teungku Chiek yang hanya
mengajar ilmu-ilmu tertentu
saja, seperti umpamanya ilmu
Zulfadli, M.Si, Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu
hukum (fiqh), ilmu tafsir, ilmu
hadist dan sebagainya.
E. Jamiah Baiturrahman
Setalah berdiri dayah-dayah
teungku Chiek di berbagai
tempat dalam kerajaan Aceh
Darussalam, maka di ibu kota
negara Banda Aceh didirikan
pula Jamiah Baiturrahman
(Universitas
Baiturrahman)
yang menjadi satu kesatuan
dengan
mesjid
Jami’
Baiturrahman.
Jamiah
Baiturrahman
mempunyai
bermacam-macam
“daar”
(kalau
sekarang
kira-kira
fakultas), seperti daarut tafsir wal
hadist
(fakultas
ilmu
tafsir/hadist), darul thib wal
kimia (fakultas kedokteran dan
kimia), darut tarikh (fakultas
sejarah), darul siyasah (fakultas
sosial politik), darul falsafah
(fakultas filsafat) dan lainlainnya.
Setelah
masa
Dayah
Baiturrahman, perkembangan
dayah menjadi redup dan
menurun akibat terjadinya
perang antara kerajaan Aceh,
ulama dan masyarakat Aceh
dengan bangsa Eropa terutama
Portugis dan Belanda. Perang
ini memberi pengaruh negatif
terhadap kurikulum dayah.
3.2. Hukum Mencari Ilmu
Muhammad bin Shalih al‘Utsaimin (2006:20), mengatakan
bahwa:
109
“Mencari ilmu syar’i adalah
fardhu kifayah, apabila ada
orang
yang
sudah
mempelajarinya
maka
hukumnya menjadi sunnah
bagi yang lainnya. Tetapi
terkadang mencari ilmu itu
menjadi fardhu ‘ain bagi
manusia. Batasnya adalah
apabila seseorang akan
melakukan ibadah yang
akan dia jalankan atau
mu’amalah yang akan dia
kerjakan, maka dia wajib
dalam
keadaan
ini
mengetahui bagaimana cara
melakukan ibadah ini dan
juga
bagaimana
dia
melaksanakan mu’amalah
ini. Adapun ilmu yang
lainnya (yang tidak akan
dikerjakan saat itu), maka
tetap hukumnya fardhu
kifayah. Setiap pencari ilmu
harus menyadari bahwa
dirinya
sedang
melaksanakan amalah yang
hukumnya fardhu kifayah
ketika
mencari
ilmu
sehingga dia memperoleh
pahala mengerjakan amalan
fardhu
kifayah
seraya
memperoleh ilmu”.
Tidak diragukan lagi bahwa
mencari ilmu termasuk amalan yang
paling utama, bahkan dia adalah
jihat di jalan Allah, terutama pada
zaman kita sekarang ketika
kebid’ahan mulai tampak di tengah
masyarakat Islam dan menyebar
secara luas, ketika kebodohan mulai
110
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
merata dari kalangan orang yang
mencari fatwa tanpa ilmu, dan
ketika perdebatan mulai menyebar
dikalangan manusia, maka tiga hal
ini mengharuskan para pemuda
untuk bersungguh dalam mencari
ilmu.
Oleh karena itu, kita sangat
butuh kepada ahli ilmu yang
memiliki ilmu yang mendalam dan
penelaahan yang luas, sehingga
pemahaman tentang agama Allah,
dan memiliki sikap hikmah dalam
membimbing para hamba Allah,
karena
kebanyakan
manusia
sekarang hanya memperoleh ilmu
secara teoritis dalam salah satu
masalah akan tetapi tidak menaruh
perhatian
terhadap
upaya
memperbaiki
manusia
dan
pendidikan mereka. Apabila mereka
berfatwa dengan ini dan itu, maka
hal itu menjadi penyebab timbulnya
kejelekan lebih besar, tidak ada
yang
mengetahui
masa
berlangsungnya kecuali Allah.
3.3. Keutamaan Pemilik Ilmu
Allah telah memuji ilmu
dan pemiliknya serta mendorong
hamba-hamba-Nya untuk berilmu
dan membekali diri dengannya.
Demikian juga Sunah Nabi yang
suci. Ilmu adalah amal shalih yang
paling utama dan ibadah yang
paling utama dan mulia serta paling
utama
diantara
ibadah-ibadah
sunnah, karena ilmu termasuk jenis
jihad di jalan Allah, karena
sesungguhnya agama Allah hanya
akan tegak dengan dua hal
(Muhammad bin Shalih al-
‘Utsaimin
(2006:9):
“Pertama,
dengan ilmu dan penjelasan, Kedua,
dengan perang dan senjata.”
Kedua hal ini merupakan
keharusan. Agama ini tidak
mungkin tegak dan menang tampa
keduanya. Hal yang pertama harus
lebih dipentingkan dari hal yang
kedua. Oleh karena itu Nabi tidak
menyerang suatu kaum sebelum
sampainya dakwah kepada mereka.
Jadi, ilmu lebih didahulukan dari
pada perang.
Allah Ta’ala berfirman:
Ataukah orang yang beribadah
sepanjang
malam
sambil
bersujud dan berdiri karena
takut
akhirat
dan
mengharapkan rahmat Rabbnya (QS. Az-Zumar: 9)
Kata tanya disini mesti
memiliki lawan kata, sehingga
artinya: Apakah orang yang
beribadah sepanjang malam dan
siang sama dengan orang yang
keadaanya
tidak
demikian?
golongan kedua yang keutamaannya
kurang adalah golongan yang tidak
berilmu, maka apakah sama orang
yang beribadah sepanjang malam
sambil bersujud dan berdiri karena
takut
kepada
akhirat
dan
mengharapkan
rahmat
Allah
dengan
orang
yang
mengembangkan
diri
untuk
melakukan ketaatan kepada Allah?
Jawabnya adalah, tidak
sama. Lalu orang yang beribadah
dengan mengharapkan pahala dari
Allah dan takut akan akhirat,
Zulfadli, M.Si, Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu
apakah ibadahnya ini berdasarkan
ilmu atau kebodohan? jawabnya
adalah, berdasarkan ilmu. Oleh
karena itu Allah Ta’ala berfirman:
“Apakah sama orang-orang
yang berilmu dengan orangorang yang tidak berilmu?
hanya orang yang berakal yang
bisa mengambil pelajaran.’’(QS.
Az-Zumar:9)
Tidak sama orang yang
berilmu dengan orang yang tidak
berilmu sebagaimana tidak sama
orang yang hidupnya dengan orang
yang mati, orang yang mendengar
dengan orang yang tuli, dan orang
yang melihat dengan orang yang
buta. Ilmu adalah cahaya yang bisa
dijadikan petunjuk oleh manusia
sehingga mereka bisa keluar dari
kegelapan menuju cahaya yang
terang. Ilmu menjadi sebab di
angkatnya derajat orang-orang yang
dikehendaki oleh Allah dari
kalangan hamba-Nya,
“Niscaya
Allah
akan
mninggikan orang-orang yang
beriman diantaramu dan orangorang yang diberi ilmu
pengetahuan
beberapa
derajat...’’(QS.
AlMmujaadilah:11)
Oleh karena itu kita dapati
bahwa ahli ilmu merupakan
tumpuan pujian, setiap kali nama
mereka disebut, manusia selalu
memujinya.
Ini
adalah
pengangkatan derajat mereka di
dunia. Adapun di akhirat, derajat
mereka diangkat sesuai dengan
111
dakwah kepada Allah dan amal dari
ilmu yang mereka miliki.
Seseorang hamba yang
sejati adalah orang yang beribadah
kepada Allah atas dasar ilmu dan
telah jelasnya kebenaran baginya.
Inilah jalan Nabi.
“Katakanlah, inilah jalanku
yang lurus, aku mengajak
manusia kepada Allah atas
dasar ilmu yang aku lakukan
beserta pengikutku. Mahasuci
Allah dan aku bukanlah
termasuk orang musyrik.” (QS.
Yusuf:108)
Seorang manusia yang
bersuci dan dia mengetahui bahwa
dia berada diatas cara bersuci yang
sesuai dengan syari’at, apakah orang
ini sama dengan yang bersuci hanya
karena dia melihat cara bersuci
ayahnya atau ibunya? Manakah
yang lebih sempurna dalam
melakuakan
ibadah
diantara
keduanya? Seorang yang bersuci
karena dia mengetahui bahwa Allah
memerintahkan untuk bersuci dan
apa yang dia lakukan dan cara
bersuci Nabi Muhammad SAW lalu
dia bersuci karena malaksanakan
perintah Allah dan mengikuti
sunnah Rasulullah Muhammad
SAW, ataukah seorang yang bersuci
atas dasar kebiasan? Jawabnya
adalah, tidak diragukan lagi bahwa
orang pertamalah yang (lebih
sempurna dalam) beribadah kepada
Allah atas dasar ilmu.
Samakah kedua orang tadi?
Sekalipun keduanya melakukan hal
yang sama, akan tetapi orang orang
112
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
yang
pertama
melakukannya
berdasarkan ilmu dengan berharap
kepada Allah dan takut kepada
akhirat. Apakah kita menyadari
ketika berwudhu,
kita sedang
melaksanakan perintah Allah dalam
firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila
kamu
hendak
mengerjakan shalat, maka
basuhlah
mukamu
dan
tanganmu sanpai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan
kedua mata kaki...’’(QS. AlMaa-idah:6)
Apakah ketika berwudhu
seseorang menyadari ayat ini dan
dia berwudhu karena melaksanakan
perintah Allah? Apakah diapun
menyadari bahwa ini adalah cara
berwudhu Rasulullah SAW dan
dia berwudhu mengikuti Rasullullah
SAW. Jawabnya, Ya! Kenyataanya,
diantara kita ada yang menyadari
hal itu, oleh karena itu ketika
mengerjakan ibadah, kita wajib
meniatkanya
unutuk
melaksanakanya perintah Allah
sehingga dengan meniatkanya
untuk melaksanakan perintah Allah
sehingga hal itu tercapailah ikhlas.
Kitapun mesti meniatkan untuk
mengikuti Rasullah SAW dalam
melakukan ibadah tersebut. Kita
mengetahui bahwa diantara syarat
wudhu adalah niat, akan tetapi niat
ini terkadang dimaksudkan untuk
beramal, dan inilah yang dibahas
dalam bidang fiqih. Terkadang juga
dimaksudkan meniatkan apa yang
diamalkan, dan ketika itu kita harus
memperhatikan perkara yang agung
ini, yaitu kita menyadari bahwa kita
beribadah
dalam
rangka
melaksanakan perintah Allah agar
keikhlasan dapat tercapai dan
menyadari bahwa Rasullah SAW
melakukan
hal
ini
kitapun
mengikuti dalam hal ini agar sikap
mutaba’ah (mengikuti) pun tercapai,
karena diantara syarat sahnya
amalan
adalah
ikhlas
dan
mutabah’ah. Sehingga dengan
kedua hal ini terealisasikanlah
syahadat (persaksian) bahwa tidak
ada ilah yang berhak diibadahi
dengan benar kecuali Allah dan
sesungguhnya Muhammad adalah
Rasulullah SAW.
Kita
kembali
kepada
penjelasan yang lalu tentang
keutamaan ilmu. Karena dengan
ilmu seseorang beribadah kepada
Allah berdasarkan bashirah (mata
hati), maka hatinya akan selalu
terpaut dengan ibadah dan hatinya
pun akan diterangi dengan ibadah
itu sehingga dia melakukannya
berdasarkan
hal
itu
dan
menganggap hal itu sebagai ibadah
dan bukan sebagai adat (kebiasaan)
semata. Oleh karena itu apabila
seseorang
mengerjakan shalat
berdasarkan sikap ini, maka dia
termasuk orang yang dijamin oleh
apa yang diterangkan Allah bahwa
shalat itu akan mencegahnya dari
perbuatan keji dan mungkar.
Zulfadli, M.Si, Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu
3.4. Ilmuwan yang Diharapkan
Dalam
kitab
Ta’limul
Muta’allim (Aliy As’ad,2007:24-26)
diterangkan bahwa:
“Penuntut ilmu hendaklah
memilih yang terbagus dari
setiap bidang ilmu, memilih
ilmu apa yang diperlukan
dalam urusan agama di saat
ini, kemudian apa yang
diperlukan diwaktu nanti.
Hendaklah
memperioritaskan
ilmu
Tauhid dan mengenal Allah
SWT berdasarkan dalil,
karena iman secara taqlidmeskipun sah menurut
madzhab kami- namun
tetap
berdosa
karena
meninggalkan pemakaian
dalil.
Dan
hendaklah
memilih ilmu kuna, bukan
ilmu yang baru; para ulama’
berkata “tekunilah ilmu
yang kuna dan jauhkan ilmu
yang baru. Waspadalah,
jangan teperangkap dalam
ilmu
perdebatan
yang
tumbuh subur
setelah
habisnya para ulama’ besar,
karena ilmu tersebut akan
menjauhkan pelajar dari
fiqih,
membuang-buang
umur dan melahirkan sifat
buas serta permusuhan.
Fenomena
demikian
termasuk
tanda-tanda
kiamat, hilangnya ilmu
fiqih. Demikianlah menurut
hadits Nabi.”
113
Seorang penuntut ilmu
harus mengamalkan ilmunya, baik
dalam masalah aqidah, ibadah,
akhlak, adab, dan muamalah,
karena amalah adalah buah dan
kesimpulan dari ilmu. Pembawa
ilmu itu seperti orang membawa
senjata, bisa bermanfaat baginya
atau bisa juga mencelakakannya.
4.
1.
2.
Kesimpulan
Lembaga
pendidikan
di
indonesia dalam UU bisa kita
klasifikasikan menjadi dua
kelompok yaitu: sekolah dan
luar
sekolah,
selanjutnya
pembagian ini lebih rincinya
menjadi tiga bentuk: ( 1).
Informal, (2). Formal, (3). dan
nonformal. Jalur formal adalah
lembaga pendidikan yang
terdiri dari pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi dengan jenis
pendidikan: (1) Umum, (2)
Kejuruan, (3) Akademik, (4)
Profesi, (5) Advokasi, (6).
Keagamaan.Tingkatan
pendidikan dalam kerajaan
Aceh
Darussalam
adalah
sebagai
berikut:
(10)
Meunasah, (2) Rangkang, (3)
Dayah, (4) dayah Tengku
Chiek,
(5)
Jamiah
Baiturrahman.
Mencari ilmu syar’i adalah
fardhu kifayah, apabila ada
orang
yang
sudah
mempelajarinya
maka
hukumnya menjadi sunnah
114
3.
4.
Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
bagi yang lainnya. Tetapi
terkadang mencari ilmu itu
menjadi fardhu ‘ain bagi
manusia.
Keutamaan bagi pemilik ilmu
akan angkat derajatnya di dunia
dan di akhirat.
Ilmuwan yang diharapkan
adalah
yang
memiliki
wawasan/pengetahuan yang
luas
serta
mengamalkan
ilmunya, baik dalam masalah
aqidah, ibadah, akhlak, adab,
dan muamalah.
DAFTAR PUSTAKA
Adian Husaini (2013). Filsafat Ilmu.
Gema Insani. Jakarta
Aliy As’ad. (2007). Bimbingan Bagi
Penuntut Ilmu pengetahuan.
Edisi Revisi. Penerbit
Menara Kudus: Yogyakarta
Danial, (2013). Filsafat Ilmu.
Penerbit Kaukaba:
Yogyakarta.
Muhammad bin Shalih al‘Utsaimin. (2006:7). Panduan
Lengkap Menuntut Ilmu.
Pustaka Ibnu Katsir: Bogor.
Munawiyah dkk. (2009). Sejarah
Peradaban islam. Pusat Studi
Wanita (PSW) IAIN ArRaniry. Banda Aceh.
Yose Rizal dan Moh. Suraji. (2009).
Filsafat
Hidup:
Untuk
Pecinta Ilmu.
Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 115
Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving
KONTRIBUSI GLIDIK TERHADAP
EKONOMI KELUARGA: DARI
PEMENUHAN MATERI HINGGA
KONSEP SAVING
(Studi Kasus Pada Masyarakat Pedukuhan
Sompok, Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri,
Kabupaten Bantul)
Oleh: Suci Fajarni, M.A
(Alumni Pasca Sarjana Sosiologi UGM, Dosen Tidak Tetap
Universitas Syiah Kuala)
Abstrak
Fenomena menjamurnya sektor informal di perkotaan merupakan salah
satu dampak yang tidak direncanakan dari kebijakan pembangunan ekonomi
politik Orde Baru, di mana hal tersebut ikut mentransformasikan masyarakat
desa dengan bekerja di kota pada pagi hari dan kembali ke desa pada sore hari.
Secara lokal istilah tersebut dikenal sebagai Glidik. Penelitian ini mempunyai
tujuan untuk memahami dinamika glidik dan kontribusinya terhadap perbaikan
ekonomi keluarga di Pedukuhan Sompok, Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri,
Kabupaten Bantul, yang berjarak sekitar 20 kilometer dari sebelah Selatan Kota
Yogyakarta. Metode studi kasus (case study) digunakan untuk mencapai tujuan
penelitian dengan khalayak sasaran warga pelaku glidik di luar desa yang
berasal dari Pedukuhan Sompok. Teknik pengambilan data dilakukan dengan
teknik wawancara. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah deskriptif
kualitatif. Penelitian ini memiliki kesimpulan bahwa
kecenderungan untuk
bekerja di sektor non pertanian diperkotaan mulai berkembang di masyarakat
dengan di dukung oleh tersedianya sarana transportasi yang memudahkan
116 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
masyarakat untuk beralih mencari kerja di sektor informal. Glidik bagi
masyarakat Sompok tidak hanya membantu mengurangi beban perekonomian
dan masalah sosial (pengangguran terbuka dan kemiskinan) di masyarakat,
namun glidik juga berkontribusi penuh untuk memenuhi keperluan rumah
tangga jangka panjang masyarakat di Pedukuhan Sompok, baik untuk
kebutuhan primer seperti konsumsi, maupun untuk pemenuhan kebutuhankebutuhan yang bersifat sekunder. Hal ini terbukti dari hasil penelitian
memberikan kesimpulan bahwa penghasilan dari bekerja sebagai glidik pada
keluarga di Pedukuhan Sompok tidak lagi digunakan untuk sekedar pemenuhan
materi semata, namun juga memenuhi konsep penyimpanan (saving).
Kata Kunci: Glidik, Ekonomi Masyarakat Desa, Konsep Saving
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu dampak yang
tidak direncanakan dari kebijakan
pembangunan ekonomi dan strategi
rekayasa politik Orde Baru adalah
fenomena
menggelembungnya
sektor informal di perkotaan.
Secara akademik istilah sektor
informal diperkenalkan pada tahun
1970-an sebagai kelanjutan dari
diskusi luas tentang isu-isu “urban
bias” dan “why poor stay poor” yang
merupakan argumen utama dari
Michael Lipton.
Sejak awal tahun 1970-an
hingga akhir tahun 1980-an,
penduduk Jawa telah mengalami
perubahan sosial secara besarbesaran dan mentransformasi
secara signifikan daerah pedesaan
maupun perkotaan. Pada tahuntahun tersebut, masyarakat desa
yang bekerja di kota dengan cara
berangkat kerja di pagi hari dan
kembali desa pada sore hari mulai
bermunculan di pulau Jawa. Secara
lokal, istilah ini dikenal sebagai
Glidik. Berdasarkan teori migrasi,
istilah glidikdidefinisikan sebagai
commuting/
commuters.Glidikdinilai
penting oleh masyarakat pedesaan
(khususnya bagi masyarakat desa
yang lokasi tempat tinggalnya tidak
terlalu jauh dari pusat kota)karena
mampu membantu mengurangi
beban ekonomi atau tekanan
keterbatasan peluang kerja serta
masalah
sosial
seperti
pengangguran
terbuka
dan
kemiskinan.
Begitupula halnya dengan
masyarakat
Desa
Sriharjo,
Kecamatan Imogiri, Kabupaten
Bantul
yang
telah
lama
mempraktekkan
glidik.
Desa
Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 117
Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving
Sriharjo berjarak sekitar 20
kilometer dari sebelah Selatan Kota
Yogyakarta.1Perkembangan glidikdi
Desa Sriharjotidak terlepas dari
sejarah demografi dan kemiskinan
yang
dulunya
pernah
melandamasayarakat desa tersebut.
Sepertiga wilayah bagian desa ini
yaitu di bagian barat merupakan
dataran rendah yang subur,
sedangkan sisanya di bagian timur
merupakan daerah perbukitan yang
kering. Di bagian timur desa
hanyaterdapat sedikit sawah tadah
hujan , tegalan, dan hutan. Selain
kering dan tidak subur, wilayah
bagian timur lebih terisolir
dibandingkan dengan bagian barat
desa.
Pemukiman
penduduk
dibagian timur mengelompok di
kaki perbukitan, berjejer bertingkat
sesuai dengan kontur tanah yang
kering, sehingga produktivitas lahan
sangat rendah.Gambaran atas
keterbatasan akses lahan pertanian
tersebut dapat diperoleh secara
holistik pada masyarakat yang
tinggal di wilayah bagian timur
Desa Sriharjo, yaitu masyarakat
yang berada di Pedukuhan
Sompok.
Terbatasnya akses di bidang
pertanian2 menjadikan masyarakat
Pedukuhan
Sompok
Desa
Sriharjosulit mengandalkan lahan
pertanian untuk dapat menopang
kehidupan mereka. Seperti yang
dijelaskan dalam Penelitian David
Penny dan Masri Singarimbun pada
tahun 1969 yang menunjukkan
bahwaDesa Sriharjo menjadi salah
satu tipe desa miskin di Jawa pada
awal tahun 1970-an karena
disebabkan oleh terbatasnya akses
penduduk
ke
sektor
pertanian.3Sehingga
tekanan
ekonomi akibat sempitnya lahan
pertanian pada gilirannya akan
menyempitkan kesempatan kerja
dan
menurunkan
pendapatan
masyarakat.Sebagai upaya untuk
mengatasi keterbatasan tersebut,
masyarakat pada saat itu hanya
mampu mengembangkan kegiatankegiatan seperti buruh derep,
ngasak, buruh tani, buruh tebang
tebu, dan lain sebagainya untuk
dapat bertahan hidup.
Namun,semenjak
infrastruktur seperti akses jalandesa
mulai dibangun di Desa Sriharjo,
terjadi perubahan mendasar pada
mode transportasi masyarakat yang
kemudian
mengalami
perkembangan yang sangat pesat.
Pada tahun 1989,4 penduduk
Pande Made Kutanegara. Akses
Terhadap Sumber Daya dan Kemiskinan di
Pedesaan Jawa. Jurnal Humaniora Volume
XII, No. 3/2000. (Halaman: 317).
2 Masalah ini bisa disebabkan
oleh beberapa faktor,misalnya terkait
dengan kondisi lahan pertanian yang
kering dan kurang subur, luas lahan yang
sempit, atau pola distribusi kepemilikan
dan penguasaan lahan yang tidak merata.
Penny, David & Masri
Singarimbun. 1973. Population and
Poverty in Rural Java. Dalam Pande Made
Kutanegara. Akses Terhadap Sumber Daya
dan Kemiskinan di Pedesaan Jawa. Jurnal
Humaniora Volume XII, No. 3/2000.
(Halaman: 318)
4 Ini merupakan kali ketiga Masri
Singarimbun
kembali
mengadakan
kunjungan ke Sriharjo. Pada tahap ini,
1
3
118 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Sriharjo pada saat itu sudah sangat
mudah menemukan angkutan bus
atau minibus yang lalu lalang setiap
saat menuju ke kota maupun
sebaliknya. Disadari atau tidak,
dengan adanya pembangunan
infrastruktur seperti akses jalan
tersebut
yang
mengakibatkan
masuknya
sarana
transportasi
seperti bus dan lain sebagainya
membuat masyarakat desamemiliki
peluang
yang
bagus
untuk
mengakses
beberapa
bidang
pekerjaan lain di perkotaan atau
melakukan
glidik
sekaligus
mengandalkan
glidik
sebagai
mekanisme untuk keluar dari
jeratan keterbatasan akses pekerjaan
di bidang pertanian. Sehingga
masyarakat
pedukuhan
Sompokyang berada di bagian
timur Desa Sriharjo (yakni
masyarakat
yang
mengalami
langsungdampak dari minimnya
akses di bidang pertanian yang
disebabkan oleh lokasi pedukuhan
yangberada di tanah perbukitan
yang kering)dapat menemukan
sumber-sumber pendapatan lain
dengan mencari peluang kerja
dengan melakukan glidik ke kotakota di luar desa tersebut.
Penelitian yang mengambil
judul
“KontribusiGlidikBagi
kesan yang ditemukannya justru sangat
berbeda dengan kesan pertama dan
keduanya ketika ia mengunjungi Sriharjo
pada tahun 1970 dan 1975 tersebut. Masri
tidak lagi merasakan kesan miskin dan
kumuh, karena pada saat itu sarana
transportasi dan akses jalan di DesaSiharjo
mengalami perkembangan yang pesat.
Keluarga: dari Pemenuhan Materi
Hingga Konsep Saving” (Studi
Kasus Pada Masyarakat Pedukuhan
Sompok, Desa Sriharjo, Kecamatan
Imogiri,
Kabupaten
Bantul)”
inimerupakan sebuah upaya untuk
melihat
dinamika
glidikdi
Pedukuhan Sompok, Desa Sriharjo,
Kecamatan Imogiri, Kabupaten
Bantul, Jawa Tengah, terutama
dalam
menilai
kontribusinya
terhadap
perbaikan
ekonomi
keluarga. Penelitian ini dilakukan
pada tanggal 3 hingga 8 Juni 2014,
sedangkan proses penulisan selesai
ditulis oleh peneliti yaitu pada
tanggal 7 Januari 2015.
Maka, berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan di
atas,
masalah yang hendak
direfleksikan dalam penelitian ini
dapat
dirumuskan
dalam
pertanyaan: “Bagaimana kontribusi
glidik terhadap perbaikan ekonomi
keluarga di Pedukuhan Sompok, Desa
Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten
Bantul, Jawa Tengah?”
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai
tujuan untuk memahami dinamika
glidikdan kontribusinya terhadap
ekonomi rumah tangga. Secara
khusus,
penelitian
iniakan
diarahkan untuk melihat kontribusi
glidik terhadap perbaikan ekonomi
keluarga di Pedukuhan Sompok,
Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri,
Kabupaten Bantul.
Suci Fajarni, MA, Kontribusi G
Glidik
lidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 119
Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
metode studi kasus (case study) yang
dilakukan
di
Pedukuhan
Sompokyang terdiri dari7 (tujuh)
RT, dengan khalayak sasaran adalah
warga pelaku glidik di luar desa.
Teknik pengumpulan informan
dalam penelitian ini pada tahap
awal melalui sensus. Sekitar 30%
masyarakatdari jumlah 298 KK
yang berdomisili di Pedukuhan
Sompok dan terlibat glidik.Artinya,
dari ketujuh RT tersebut, sebanyak
194
masyarakatnya
terlibat
glidik.Maka berdasarkan identifikasi
yang telah dilakukan selama berada
di lokasi penelitian, peneliti
mengkategorikan beberapa jenis
pekerjaan yang menjadi mata
pencaharian dari keluarga-keluarga
yang terlibat glidik di Pedukuhan
Sompok mulai dari RT 01 hingga
RT 07. Pekerjaan tersebut dapat
dikategorikan ke dalam jenis
pekerja konstruksi dan bangunan,
pekerja
non
proyek
(PNS,
Karyawan Swasta), buruh pertanian
luar desa, dan huller keliling.
Secara khusus, penelitian ini
mengambil informan yang berada
di RT 04 sebanyak 4 (empat)
informan. Alasan pemilihan jumlah
informan sebanyak 4 (empat) orang
tersebut dikarenakan menyesuaikan
dengan
keterbatasan
waktu
penelitian yang ada. Teknik
pengambilan data dilakukan dengan
teknik wawancara. Sedangkan
teknik analisis yang digunakan
adalah teknik analisis deskriptif
kualitatif
kualitatif.Teknik
analisis diawali
dari data terkait informasi tentang
glidik di daerah tersebut sebagai
tahapan awal untuk memperoleh
kajian yang lebih dalam tentang
kontribusi glidik terhadap perbaikan
ekonomi keluarga di Pedukuhan
Sompok.
2. SETTING PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Sompok merupakan salah
satu pedukuhan yang berada di
Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri,
Kabupaten Bantul. Pedukuhan
Sompok
secara
keseluruhan
mempunyai luas 111. 8861 Ha.
Letak
geografis
Pedukuhan
Sompok dapat dilihat dari peta
berikut ini:
Gambar 1. Peta Persebaran Dusun/ Pedukuhan
Desa Sriharjo5
120 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
Jumlah
penduduk
Pedukuhan
Sompok
secara
keseluruhan adalah 1023 jiwa. Di
mana laki-laki berjumlah 503 jiwa
dan
perempuan
520
jiwa.
Pedukuhan Sompokmemiliki 268
KK yang tersebar dalam 7 (tujuh)
RT.
Ketujuh
RT
tersebut
mempunyai tingkat kepadatan
penduduk yang berbeda-beda yang
dapat dilihat dari perbedaan jumlah
KK.. RT 04 dan RT 05 merupakan
RT dengan jumlah KK terpadat di
Pedukuhan
Sompok
dengan jumlah KK masing-masing
50 dan 43 KK. Sedangkan RT
dengan jumlah KK yang paling
sedikit adalah RT 03 yakni 29 KK.5
Secara
geografis,
Pedukuhan Sompok berada di
sebelah selatan pegunungan seribu
dan sebelah utara Sungai Oyo. Hal
ini membuat Dusun Sompok
dikelilingi oleh lanskap alam berupa
pegunungan dan sungai, di mana
sebagian besar wilayahnya terletak
di areal perbukitan yang tandus dan
hanya sebagian kecil terletak di
daerah lembah di pinggir sungai
Oyo.
Pegunungan yang berada di
wilayah
Pedukuhan
Sompok
walaupun terlihat hijau dan rindang
namun
tidak
begitu
bisa
dimanfaatkan secara maksimal oleh
masyarakat. Pegunungan hanya bisa
dimanfaatkan untuk menanam
pohon-pohon besar yang tidak
Berdasarkan paparan Sekretaris
Desa Sriharjo, Bapak Ngadiran di
Pedukuhan Sompok (tanggal 06 Juni
2015).
5
dapat dipanen dalam kurun waktu
yang singkat. Lahan yang ada tidak
bisa dimanfaatkan untuk menanam
tanaman-tanaman pertanian yang
bisa dipanen setahun sekali atau
bahkan setahun dua kali. Selain
diakibatkan oleh kondisi lahan yang
kering dan tidak subur, hal ini juga
dikarenakan banyaknyakerat ekor
panjang yang menyerbu lahan
pertanian
warga
di
sekitar
perbukitan.
Penggunaan
lahan
di
Pedukuhan Sompok terbagi ke
dalam beberapa jenis dan proporsi
penggunaannya yaitu:sawah 34%,
ladang 23%, pemukiman 27%,
hutan
lindung
10%,
dan
penggunaan lainnya 6%. Lahan
pertanian di Pedukuhan Sompok
didominasi oleh ladang dengan luas
yang mencapai 78% dari seluruh
luas ladang.
Grafik 1. Penggunaan Lahan di Pedukuhan Sompok6
Lahan
pertanian
yang
tersebar di Pedukuhan Sompok
lebih banyak berupa tegalan atau
ladang, dan hanya sebagian kecil
berupa lahan sawah. Berhubung
terbatasnya lahan sawah yang
dimiliki,maka guna meningkatkan
pendapatan
keluarganya,
masyarakat Sompok berusaha
untuk menyiasati keterbatasan
tersebut dengan mengembangkan
akses pekerjaan di luar pedukuhan
dengan memanfaatkan infrastruktur
6 Sumber: Pemetaan Swadaya
2009. Dikutip dari Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa (RPJM-Des)
Tahun
2015-2020
Desa
Sriharjo
Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul.
2015.
Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 121
Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving
yang sudah memadai untuk dapat
melakukan glidik ke kota-kota di
luar
desa.
Secara
lengkap,
penggunaan lahan di Pedukuhan
Sompok dapat dilihat pada grafik di
bawah ini:7
royong tersebut masih tetap
menjadi kultur yang diaplikasikan
dalam setiap kesempatan. Salah
satunya adalah gotong royong
dalam pembangunan infrastruktur,
seperti bekerja bakti membersihkan
kampung
atau
memperbaiki
Grafik 1. Penggunaan Lahan di Pedukuhan Sompok7
80
69,2
70
60
Ladang/ Tegalan
50
Pemukiman
40
35
30
20
10
Sawah/ Pertanian
16
13,5
4,7
Hutan Lindung
Rakyat
Lain-Lain
Jumlah (Ha)
0
Pedukuhan Sompok
B. Kehidupan
Sosial
di
Pedukuhan Sompok
Masyarakat di Pedukuhan
Sompok hidup dalam keadaan
sosial yang akrab dan saling
membantu.
Gotong
royong
merupakan ciri khas warga
Sompok. Tradisi gotong royong
masih
mengakar
kuat
di
masyarakat. Hal tersebut bisa
dilihat dari bagaimana gotong
7 Sumber: Pemetaan Swadaya
2009. Dikutip dari Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa (RPJM-Des)
Tahun 2015-2020 Desa Sriharjo
Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul.
2015.
jembatan, membersihkan makam.
Solidaritas sosial masyarakat
Pedukuhan Sompok juga cukup
tingg i terkait dengan proses
menjenguk warga yang sedang
ditimpa musibah seperti meninggal
dunia. Ketika salah seorang warga
meninggal dunia, maka seluruh
masyarakat akan di informasikan
melalui pengeras suara dimasjid
sehingga masyarakat lainnya dapat
segera hadir. Hal yang menarik
adalah
banyaknya
masyarakat
Sompok yang bekerja glidik
membuat pedukuhan tersebut
terlihat sepi antara waktu pagi
hingga sore hari. Namun ketika
122 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
mereka diinformasikan bahwa ada
tetangga yang meninggal, maka
mereka akanpamit pulang dari
tempat kerja mereka dan kembali
ke Sompok untuk membantu
keluarga yang sedang dilanda
musibah.
Selain itu, masyarakat yang
menghadiri
upacara
kematian
umumnya
datang
dengan
membawa sejumlah uang, gula, teh,
dan
beras
sebagai
simbol
belasungkawa sekaligus pemberian
bantuan untuk acara tahlilan
ataudoa bersama di rumah duka
yangbiasanya
digelar
dalam
beberapa hari setelah orang
tersebut meninggal. yaitupada hari
ke-7, hari ke-40, hari ke-100, dan
hari ke-1000.
C. Pekerjaan dan Ekonomi
Masyarakat
Pedukuhan
Sompok
Bangkitnya perekonomian
masyarakat
di
Pedukuhan
Sompokdi pengaruhi oleh usaha
masyarakat
dengan
mencari
penghasilan atau pekerjaan lain di
luar desa. Wilayah pertanian yang
terbatas menyebabkan masyarakat
Sompok
cenderung
mencari
sumber pendapatan lain seperti
konstruksi bangunan, penambang
pasir, buruh pertanian, dan
beberapa sumber pendapatan non
pertanian lainnya. Berbagai kategori
pekerjaan
yang
berbeda-beda
tersebut
dilakukan
secara
glidik,seperti yang terlihat melalui
data yang telah dirangkum di bawah
ini:
Tabel 1. Klasifikasi Glidik
Berdasarkan Jenis Pekerjaan
dan KK di Pedukuhan Sompok8
Klasifikasi Glidik
RT
01
02
03
04
05
06
07
Jumlah
Buruh
Jumlah
Buruh
KK Buruh Non Pertanian HullerLain-lain
Proyek
(Luar Keliling
Proyek
Desa)
32
2
13
5
4
4
39
33
1
1
29
17
2
1
3
50
20
10
4
4
12
43
1
1
12
9
40
5
9
1
4
35
13
2
1
91
36
10
28
29
268
194
Berdasarkan data di atas,
dapat
disimpulkan
bahwa
mayoritasmata
pencaharian
masyarakat Pedukuhan Sompok
bekerja sebagaiglidik. Masyarakat
Sompok telah menempuh berbagai
strategi untuk mempertahankan
kehidupan mereka yaitu dengan
mengembangkan
penganekaragaman jenis pekerjaan.
Bagi masyarakat yang memiliki
lahan pertanian, selain bekerja di
sektor pertanian mereka juga
pelaku glidik yang bekerja sebagai
buruh bangunan, buruh pabrik,
buruh industri paruh hari. Dengan
penggabungan tersebut, maka
kebutuhan barang-barang konsumsi
harian seperti beras dan sayuran
dapat dengan mudah terpenuhi.
Sedangkan bagi masyarakat yang
tidak memiliki lahan, mereka akan
murni melakukan glidik dan
melakukan maksimalisasi kegiatan
anggota rumah tangga guna
Monografi yang disusun oleh Kepala
Dukuh Sompok (Bapak Hardono)
8
Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 123
Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving
menyokong kehidupan rumah
tangganya.
Dulu, masyarakat yang
memiliki akses terhadap sumber
daya seperti mereka-mereka yang
menempati kelas sosial tinggi
seperti pegawai negeri, birokrasi
desa, dan kelompok pedagang atau
pengusaha
sukses
memiliki
kehidupan cenderung lebih baik
dibandingkan dengan masyarakat
yang mengalami kendala dalam
mengakses
di
bidang
pekerjaan.Namun fenomena yang
berkembang saat ini adalah
munculnya kelas sosial atas baru
dari kelompok miskin pada masa
lalu atau kelompok yang saat ini
aktif terlibat glidik. Walaupun ratarata tingkat pendidikan mereka
rendah, mereka sangat giat bekerja
sebagai buruh bangunan di kota/
maupun di luar desa. Mereka
berhasil
menginvestasikan
kelebihan pendapatannya di sektor
pertanian melalui sistem sewamenyewa lahan, gadai, dan
pembelian lahan pertanian. Melalui
cara seperti itu, akses ke sektor
pertanian yang selama ini tertutup
bagi mereka (karena tidak memiliki
akses terhadap lahan pertanian)
berhasil
diterobos
melalui
keberhasilan di sektor non
pertanian yang diperoleh dengan
melakukanglidik.
D. Sarana
dan
Prasarana
Penunjang
Glidik
Pada
Masyarakat
Pedukuhan
Sompok
Secara umum, sarana dan
prasarana seperti pembangunan
jembatan dan jalan-jalan di
Pedukuhan
Sompok
yang
menghubungkannya dengan desadesa lain maupun kecamatan sudah
sangat memadai, khususnya dalam
menunjang aktivitas glidik bagi
masyarakat yang terlibat langsung
dalam pekerjaan tersebut. Akses
jalan aspal terbentang mulai dari
jalan utama yaitu jalan provinsi
yang terus membentuk cabang
sampai kepada Kecamatan Imogiri
yang terus terhubung hingga ke
wilayah Desa Sriharjo yang
kemudian membentuk cabang
sampai pada pemukiman yang
menghubungkan ke 13 Pedukuhan
yang terdapat di wilayah Desa
Sriharjo.
Akses
jalan
yang
menghubungkan
Pedukuhan
Sompok
dengan
beberapa
Pedukuhan lainnya seperti misalnya
Pedukuhan
Kedung
Miri
memanjang dari barat sampai ke
timur dan dinilai sudah cukup baik
untuk
melancarkan
sarana
transportasi seperti bus, minibus,
serta berbagai kendaraan angkutan
lainnya untuk beroperasi di
pedukuhan tersebut.
Kondisi jalan desa atau
gang sebagian besar sudah dalam
kondisi baik karena telah diperkeras
dengan menggunakan paving block.
Kekurangan yang masih ada adalah
terdapat beberapa bagian jalan yang
berupa jalan tanah dan batu (yaitu
jalan
yang
menghubungkan
Pedukuhan
Sompok
dan
Pedukuhan
Wunut).
Namun
124 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
meskipun demikian, kondisi jalan di
sekitar
lokasi
pada
kedua
pedukuhan
tersebut
sudah
diperkeras dengan aspal sehingga
memudahkan masyarakat Sompok
untuk untuk melakukan glidik.Hal
yang tak kalah penting adalah
pembangunan jembatan Siluk di
wilayah Dogongan untuk pertama
kalinya yakni sekitar tahun 1980-an.
Dengan adanya pembangunan
jembatan tersebut, Pedukukuhan
Sompok serta 12 pedukuhan
lainnya di Desa Sriharjo pada
akhirnya mampu terlepas dari
keterisoliran wilayah tersebut.
Jembatan
Siluk
semakin
memudahkan
masyarakat
melakukan glidik untuk mengakses
pekerjaan lain di luar pedukuhan.
3. PEMBAHASAN
1. Bapak Tukiran (45 tahun)
Sejarah Awal Glidik: dari
Jakarta
kembali
ke
Yogyakarta
Salah seorang informan
yang bernama Tukiran bercerita
bahwa dirinya telah terlibat glidik
sejak tahun 1987 silam, yang
dimulai dengan bekerja sebagai
pengaspal jalan di perkotaan. Pada
saat itu beliau masih berusia 17
tahun. Pak Tukiran yang hanya
mengenyam
pendidikan
SD
menyatakan bahwa dia sengaja
tidak melanjutkan pendidikan
SLTP,
karena
satu-satunya
pekerjaan yang diminatinya pada
saat
itu
adalah
melakukan
glidiksebagai buruh pada proyek
pembangunan. Hal ini menarik,
karena selain
memang profesi
tersebut juga digelutinya karena
beliau
memiliki
skill
yang
diturunkan dari ayah kandungnya
yang juga bekerja glidiksebagai
buruh pada proyek di luar Bantul,
faktor banyaknya remaja seusia
beliau yang pada saat itu memilih
untuk melakukan glidik pada proyek
pembangunan, rata-rata memiliki
kehidupan
yang
jauh
lebih
beruntung
jika
dibandingkan
dengan remaja-remaja yang hanya
menghabiskan waktu luangnya
dengan bekerja di Pedukuhan
Sompok, baik sebagai buruh tani
atau pedagang di warung. Atas
dasar pertimbangan tersebut, Bapak
Tukiran pun meluruskan niatnya
untuk mengikuti jejak ayahnya
dengan menjadi buruh proyek
bangunan dengan mengadu nasib di
luar desa.
Sebagai
pekerja
glidik
proyek bangunan yang tergolong
produktif, bapak Tukiran pernah
bekerja
menangani
proyek
pembangunan di Jakarta dan
Bandung sekitar tahun 1987 hingga
1990. Pada masa itu beliau hanya
pulang 2 (dua) bulan sekali ke
rumahnya. Namun sejak tahun
1993 hingga saat ini, lokasi daerah
pekerjaan utama glidik
beliau
adalah
di
seputaran
Kota
Yogyakarta, Bantul, dan Wonosari.
Setiap harinya beliau bekerja pada
pukul 08:00 pagi dan kembali ke
rumahnya pada pukul 16:00 petang.
Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 125
Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving
Satu Pohon untuk Sepuluh
Tahun
Selain bekerja sebagai glidik
pada proyek bangunan, Bapak
Tukiran juga memiliki sebuah lahan
hasil warisan dari orang tuanya
dengan luas lebih kurang 6x15 m2
yang berada di perbukitan yang
berseberangan dengan sungai Oyo.
Ladang tersebut pada awalnya
ditanami dengan tanaman palawija.
Namun sebelum sempat panen,
kera-kera hutan yang turun dari
perbukitan sudah terlebih dahulu
merusak
tanaman
tersebut.
Menurutnya, lahan perkebunan
yang berada di desa ini agak sulit
jika ditanami dengan tanamantanaman seperti palawija, selain
karena tidak bisa mengontrol kerakera hutan yang sangat banyak
akibat minimnya waktu yang
diperoleh untuk mengelola lahan,
jarak juga menjadi kendala bagi
Bapak Tukiran dan keluarganya
untuk mengelola lahan tersebut.
Sehingga hingga saat ini lahan
tersebut ditanami pohon jati
dengan pertimbangan
Hasil yang diperoleh dari
lahan jati tersebut bervariasi, jika
pohon tersebut berukuran kecil,
maka satu batangnya akan dihargai
sebesar Rp. 800.000, sedangkan jika
ukurannya besar, satu batang
pohon jati tersebut akan dihargai
sebesar Rp. 2.000.000 hingga Rp.
3.000.000 rupiah per batangnya.
Namun Bapak Tukiran tidak
menggantungkan
harapan
perekonomian yang terlalu besar
terhadap keberadaan lahan jatinya
tersebut. Hal ini lebih karena
disebabkan lamanya usia panen
pohon yang cukup lama, yakni
sekitar sepuluh sampai dengan
sebelas tahunan untuk sekali panen
per batangnya.
Bekerja Untuk Anak Tercinta
Bapak Tukiran menyatakan
bahwa dia tetap memilih untuk
mempertahankan pekerjaan glidik
proyek pembangunan yang sudah
sejak lama ditekuninya. Hal ini
dikarenakan banyaknya penghasilan
yang dapat diperolehnya dari
melakukan glidik. Menurutnya, dia
bisa mengumpulkan uang sebesar
Rp. 350.000 per minggu. Atau jika
dibagikan dalam jumlah hari, maka
per harinya Bapak Tukiran akan
memperoleh
pendapatannya
sebesar Rp. 50.000. Menurut
pengakuannya, Bapak Tukiran tidak
memiliki penghasilan lain yang
dapat diperoleh selain dari hasil
melakukan
glidik.
Walaupun
memiliki lahan jati, namun jangka
waktu panen yang lama membuat
Bapak Tukiran tidak dapat
sepenuhnya mengandalkan hasil
panen tersebut untuk konsumsi
keluarga per harinya.
Sedangkan
untuk
pengeluaran rumah tangga, beliau
menyatakan
bahwa
untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari,
seperti kebutuhan untuk membeli
sayur, beras, rokok, bensin untuk 2
sepeda motor miliknya untuk glidik
dan milik anaknya untuk sekolah,
dan menafkahi seorang istrinya
yang merupakan ibu rumah tangga
126 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
dan seorang anak laki-laki yang
berusia 16 tahun, maka rata-rata
kisaran pengeluarannya per bulan
adalah sebesar Rp. 600.000 hingga
Rp. 700.000.
Sebagai seorang pekerja
glidik di proyek pembangunan yang
tidak pernah libur atau berhenti
bekerja dalam waktu yang lama,
Bapak Tukiran mengakui bahwa
hasil pendapatannya tidak sertamerta dihabiskan untuk konsumsi
sehari-hari
atau
pengeluaran
semata. Karena per bulannya beliau
mengakui
akan
menyimpan
sebagian dari hasil gajinya untuk
keperluan biaya kuliah anak lelaki
semata wayangnya kelak yang saat
ini masih sedang melanjutkan
pendidikan Sekolah Menengah
Atas.
Motivasi yang kuat dari
bapak
Tukiran
untuk
menyekolahkan anak lelaki semata
wayangnya ke jenjang perguruan
tinggi membuatnya secara tidak
langsung telah mempraktekkan
konsep penyimpanan (saving)yang
sebenarnya terlihat jarang dilakukan
oleh masyarakat pedesaan yang
umumnya
hanya
memenuhi
kebutuhan konsumsi harian semata.
Dibandingkan dengan hasil panen
lahan jati yang hanya dapat
dilakukan sekitar 10 hingga 11
tahun per batang, maka kontribusi
yang besar dari pekerjaan glidik
diakui oleh Bapak Tukiran sangat
membantunya untuk menyisihkan
sebagian penghasilannya untuk
ditabung. Sehingga pengeluaran per
bulan dari keluarga Bapak Tukiran
tidak
semata-mata
untuk
pemenuhan kebutuhan materi
sehari-hari, namun juga telah
mempraktikkan
konsep
penyimpanan(saving).
2. Bapak Wanari (52 tahun)
Ditemui di dapurrumahnya
pada hari sabtu sekitar pukul 15:10
WIB, Bapak Wanari terlihat sedang
membersihkan
kencur
sambil
duduk menghadap pintu belakang
rumahnya. Setelah membentangkan
tikar plastik di atas lantai yang di
semen kasar, beliau kemudian
mempersilahkan peneliti untuk
masuk dan duduk di atas tikar
tersebut. Bapak Wanari menyatakan
bahwaia baru saja pulang dari
memanen hasil kencur.Wawancara
berlangsung layaknya obrolan biasa
yang mengalir begitu saja. Bapak
Wanari yang mengaku tidak
menyelesaikan Sekolah Dasar mulai
bercerita bahwa beliau memutuskan
untuk terlibat glidiksejak beliau
sudah menikah dan umurnya sudah
tak lagi muda yakni 30 tahun. Dari
hasil pernikahannya, bapak Wanari
hanya dikaruniai seorang putri yang
saat ini juga sudah berkeluarga dan
memiliki dua orang anak dan
tinggal di Pedukuhan yang berbeda
dengannya. Saat ini bapak Wanari
tinggal bersama seorang istri dan
sering menghabiskan masa tuanya
dengan bekerja paruh waktu
sebagai
glidik
pada
proyek
bangunan di Kota Bantul dan
sekitarnya. Sepulang dari glidik,
pada sore harinya beliau rutin
menggarap lahan kencur miliknya
Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 127
Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving
yang berada lumayan jauh dari
Pedukuhan Sompok, yaitu di
sekitar Mangunan.
Beralih Kerja Akibat Kera
Memutuskan
untuk
menjadiglidik
di
proyek
pembangunan adalah keputusan
yang secara tidak sengaja diambil
oleh Bapak Wanari. Berawal dari
ajakan rekan sekampungnya yang
telah berhasil membuktikan bahwa
penghasilan dari bekerja sebagai
glidik pada proyek pembangunan
jauh
lebih
menguntungkan,
akhirnya
beliau
pun
nekat
mengikuti jejak temannya tersebut
untuk mengadu nasib di Bantul.
Hal itu dilakukannya karena
memang hasil pertanian ketelanya
di lahan keringnya yang memiliki
luas sekitar 50m2pada saat itu sudah
tidak dapat lagi diandalkan akibat
banyaknya
kera-kera
berekor
panjang
yang
turun
dari
pegunungan dan mengganggu lahan
pertaniannya sehingga membuatnya
gagal menikmati hasil panen.
Mengingat
anak
perempuannya yang sudah besar
dan pengeluaran ekonomi keluarga
semakin membengkak, maka bapak
Wanari
pun
memutuskan
untukbekerja sebagai glidik pada
proyek pembangunan di Bantul
pada pagi hingga sore hari,
sedangkan sore harinya beliau
kembali
mengontrol
lahan
pertaniannya yang saat ini sudah
mulai ditanami kencur dengan
pertimbangan bahwa tanaman
tersebut tidak diminati kera,
sehingga hasil panen menjadi aman
dan beliau tetap bisa bekerja paruh
waktu sebagai glidik pada proyek
pembangunan.
Setelah beberapa bulan
bekerja, Bapak Wanari mengakui
bahwa pendapatan dari hasil glidik
adalah sebesar Rp. 40.000 per hari
dan apabila dikalkulasikan dalam
seminggu Bapak Wanari dapat
mengumpulkan
sebesar
Rp.
280.000. Sedangkan pendapatan
dari hasil panen kencur di lahan
kering miliknya adalah Rp. 9000 per
kilogram dan panen hanya dapat
dilakukan dalam kurun waktu
setahun sekali. Istri bapak Wanari
yang sehari-harinya bekerja sebagai
ibu rumah tangga sesekali juga ikut
membantu perekonomian keluarga
dengan bekerja sebagai pencari
kayu bakar. Dalam satu hari,
istrinya dapat mengumpulkan 1
hingga 2 ikat kayu bakar yang
dihargai sebesar Rp. 20.000 per
ikatnya.
Mengingat
kurangnya
penghasilan rumah tangga dari hasil
panen kencur membuat bapak
Wanari sangat bersyukur dapat
merasakan pekerjaan glidik di
proyek pembangunan. Namun,
beliau juga menyatakan sering
mengalami vakum sejenak dari
pekerjaan proyek pembangunan
akibat sepi order-an dan juga faktor
kesehatannya. Biasanya rentang
waktu yang paling lama tidak
bekerja
glidik
di
proyek
pembangunan adalah sekitar 2
hingga 3 bulan. Saat tidak bekerja
glidik, maka beliau memutuskan
128 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
untuk
membantu
istrinya
mengumpulkan kayu bakar di
kebun.
Sedangkan
untuk
pengeluaran rumah tangga, Bapak
Wanari menyatakan bahwa untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari,
seperti kebutuhan untuk membeli
sayur, beras, rokok, dan menafkahi
seorang
istrinya,
maka
pengeluarannya di bulan lalu adalah
sekitar Rp. 450.000 per bulan.
Kontribusi
glidik
bagi
keluarga bapak Wanari sejauh ini
hanya dapat membantu pemenuhan
materi semata dan belum bisa
mempraktekkan hingga ke konsep
penyimpanan (saving). Hal ini
disebabkan beberapa hal, selain
faktor
produktifitas
ataupun
kesehatan Bapak Wanari yang
menurun dikarenakan usianya yang
tak lagi muda, sepinya tawaran
untuk
bekerja
di
proyek
pembangunan juga menjadi kendala
bagi keluarga Bapak Wanari untuk
menyimpan hasil pendapatan dari
pekerjaannya yang tidak pasti
tersebut.
3. Mujiyo (68 tahun)
Bapak
Mujiyo
adalah
seorang kepala keluarga dengan
pendidikan terakhir tidak tamat SD.
Beliau memiliki satu tanggungan
yaitu seorang istri. Kedua anaknya
telah menikah dan berkeluarga.
salah satu menantu bapak Mujiyo
tinggal di rumah yang sama dan
juga bekerja sebagai glidik, namun
walaupun berada dalam satu rumah
yang sama, secara ekonomi mereka
terpisah.
Bapak Mujiyo telah bekerja
sebagai pekerja glidik pada proyek
bangunan sejak dari umur 17 tahun.
Namun pada tahun 2006 setelah
gempa hebat mengguncang Bantul,
beliau
sempat
vakum
dari
pekerjaannya selama beberapa
bulan. Namun setelah itu, Bapak
Mujiyo memutuskan untuk beralih
ke pekerjaan menggiling padi
menjadi beras (huller keliling) sejak
tahun 2006. Pekerjaan ini pada
awalnya
ditekuni
dengan
menggunakan
huller
milik
tetangganya, namun setelah bekerja
selama 2 tahun, bapak Mujiyo
kemudian telah mampu membeli
huller pribadi tepat pada tahun
2008. Sebagai seseorang yang tidak
memiliki lahan pertanian dan
perkebunan,
Bapak
Mujiyo
menjadikan glidik huller keliling
sebagai pekerjaan utamanya.
Lokasi utama bapak Mujiyo
melakukan glidik adalah desa-desa
di sekitar Bantul dengan durasi
bekerja sebanyak lima kali dalam
seminggu. Sebagaiseseorang yang
tidak memiliki lahan pertanian,
pendapatan ekonomi keluarga
Bapak Mujiyo murnidiperoleh dari
hasilglidik
huller
keliling.
Penghasilannya tidak menentu,
kisaran perharinya adalah sebesar
Rp. 30.000 hingga Rp. 40.000.
Walaupun penghasilannya tidak
menentu,
namun
pendapatan
Bapak Mujiyo tidak pernah di
bawah
Rp.
30.000
rupiah
dikarenakan beliau telah memiliki
langganan yang rutin menggiling
padidengannya. Sedangkan untuk
Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 129
Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving
biaya pengeluaran rumah tangga
pada bulan lalu, bapak Mujiyo
menyatakan
pengeluarannya
sebesarRp.700.000
dansudah
mencakup dana untuk kegiatan
nyumbang.
4. Karmiati (22 tahun)
Karmiati merupakan remaja
putri yang berusia 22 tahun, dan
saat ini bekerja glidiksebagai
karyawan di PT. Dong Yong Trace
yang berada di Bantul, yaitu sebuah
perusahaan yang memproduksi
wig/ rambut palsu. Menurut
penuturannya,
setelah
menyelesaikan pendidikan SMP
beberapa tahun lalu, ia memilih
untuk
tidak
melanjutkan
pendidikan menengah atas karena
terkendala biaya, sehingga terbersit
keinginan untuk ikut membantu
ekonomi keluarga.
Karmiati merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara. Ayah
Karmiati yang bernama Bapak
Sakiyo (47 tahun) sehari-hari
bekerja sebagai glidik pada proyek
pembangunan di desa-desa di luar
Bantul, di mana penghasilan adalah
sebesar Rp. 40.000 per hari, dan
harus menghidupi empat orang
anak dan seorang istri yang hanya
seorang ibu rumah tangga,
sedangkan keluarga tersebut tidak
memiliki lahan pertanian yang bisa
digarap
untuk
menunjang
perekonomian mereka. Menurut
pengakuannya,
Karmiati
menyatakan bahwa ia tidak
memiliki keinginan kuat untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang
selanjutnya.
Sehingga
setelah
menamatkan pendidikan SMP,
Karmiati
kemudianmencoba
melamar
pekerjaan
untuk
membantu ayahnya menyekolahkan
ke tiga adiknya yang saat ini sedang
berada di jenjang SD (1 orang)
dandua lainnya bersekolah di SMP.
Tahun 2012 merupakan
pertama kalinya Karmiati bekerja di
pabrik wig dan masih bertahan
hingga saat ini dengan alasan
penghasilan
atau
gaji
yang
diperolehsetiap bulannya sangat
membantu
ekonomi
keluarga
tersebut. Sebagai karyawan swasta,
Karmiati akan digaji secara penuh
jika ia tidak libur bekerja. Setiap
harinya,
Karmiati
melakukanglidikdimulai dari jam
7:30 pagi hingga jam 5 sore. Ia
hanya libur ketika hari sabtu.
Penghasilan
yang
diperoleh
Karmiati adalah sebesar Rp.
1.300.000 per bulan.
Untuk pengeluaran rumah
tangga selama satu bulan, Karmiati
mengaku kurang tahu, sehingga
peneliti
kemudian
mencoba
bertanya kepada ibu Karmiati yang
pada
proses
wawancara
berlangsung, juga sedang berada
ditempat
tersebut.
Menurut
pengakuan ibu Karmiati, pada
bulan lalu pengeluarankeluarga
tersebut lebih kurang sekitar Rp.
900.000, sudah mencakup seluruh
kebutuhan primer seperti beras,
peralatan mandi, membayar tagihan
listrik, termasuk untuk biaya bensin
masing-masing kendaraan Karmiati
dan ayahnya yang sama-sama
130 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
bekerja glidik di lokasi yang
terpisah.
Menurut pengakuan ibu
dari Karmiati, gaji atau pendapatan
anak dan suaminya tersebut
dikumpulkan dan dikelola langsung
oleh beliau. Sehingga setiap
bulannya, pendapatan Karmiati dan
ayahnya digabungkan menjadi satu,
dan sisa dana yang tidak digunakan
akan ditabung untuk disimpan dan
kelak akan dipergunakan untuk
membiayai sekolah ketiga adik
Karmiati
serta
kebutuhankebutuhan
mendesak
lainnya.Menurut penuturan ibu
tersebut, total pendapatan ayah
Karmiati bulan lalu adalah Rp.
1.200.000.
4. ANALISIS
Kontribusi
Glidik
dan
Pengeluaran Masyarakat dari
Kemiskinan
Setiap subyek penelitian
yang peneliti temui memiki peluang
yang berbeda-beda sesuai dengan
dengan kebutuhan masing-masing
rumah tangga.Gambaran tersebut
telah penulis ringkas dalam tabel
berikut:
Nama
Informan
Penghasila
n Dari
Glidik
(Per
bulan)
Tukiran
(45)
Wanari
(52)
Mujiyo
(68)
Karmiati
(22)
Rp.
1.500.000
Rp. 1.
200.000
Rp. 900.000
Rp.
1.300.000
Ukuran kemiskinan di
Yogyakarta berdasarkan ketetapan
BPS 2014adalah sebesar Rp.
330.000 per bulan yang dapat
dilihat melalui pengeluaran per
kapita perbulan dan pertanggungan
tiap-tiap keluarga. Jika pengeluaran
sebuah keluarga lebih besar dari
Rp. 330.000, maka keluarga
tersebut
digolongkan
sebagai
keluarga yang mampu di bidang
ekonomi, dan begitupun sebaliknya.
Jumlah pengeluaran dari
hasil pendapatan glidik dari keempat
keluarga
informan
tersebut
semuanya berada di atas Rp.
330.000 per bulannya. Hal ini
menandakan bahwa jika mengikuti
ukuran BPS, maka keempat
keluarga tersebut tidak ada yang
berada di bawah garis kemiskinan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
glidik terbukti memberikan banyak
kontribusi terhadap perbaikan
ekonomi keluarga di Pedukuhan
Sompok.
Melihat penghasilan Bapak
Wanari sekaligus pengeluarannya
yang memiliki gap yang sangat jauh,
seharusnya
beliau
dapat
mempraktikkan konsep saving,
namun berdasarkan penuturannya,
Penghasilan
Anggota Keluarga
Lainnya Yang
melakukan Glidik
Jumlah
Pengeluaran
Bulan Lalu
Dana yang
Disimpan
(Saving)
(Per bulan)
(Per bulan)
-
Rp. 600.000
Rp. 800.000
-
Rp. 450.000
-
-
Rp. 700.000
Rp. 200.000
Rp. 900.000
Rp. 1.600.000
Rp.1.200.000
(Ayah)
Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 131
Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving
kontribusi glidik bagi keluarga
bapak Wanari sejauh ini hanya
dapat
membantu
pemenuhan
materi semata dan belum bisa
dipraktekkan hingga ke konsep
penyimpanan (saving). Hal ini
disebabkan beberapa hal, selain
faktor
produktifitas
ataupun
kesehatan Bapak Wanari yang
menurun dikarenakan usianya yang
tak lagi muda, sepinya tawaran
untuk
bekerja
di
proyek
pembangunan juga menjadi kendala
utama bagi keluarga Bapak Wanari
untuk dapat menyimpan hasil
pendapatan dari pekerjaannya yang
tidak pasti tersebut. Sehingga dana
yang tersisa setiap bulannya akan
terus digunakan ketika beliau tidak
mendapatkan tawaran bekerja di
proyek
pembangunan
selama
berbulan-bulan.
Kesimpulan: Kontribusi Glidik
Bagi Keluarga: dari Pemenuhan
Materi Hingga Konsep Saving
Kecenderungan
untuk
bekerja di sektor non pertanian di
kota
mulai
berkembang
di
masyarakat dengan didukung oleh
tersedianya sarana transportasi yang
memudahkan masyarakat untuk
beralih mencari kerja di sektor
informal khususnya di perkotaan.
Masyarakat Pedukuhan Sompok
yang semula bekerja sebagai buruh
tani di perkebunan tebu, tukang
nderes kelapa, mulai meninggalkan
sektor pertanian untuk bekerja
paruh waktu di sektor non
pertanian di kota. Oleh karena itu,
hingga saat ini hampir sebagian
besar masyarakat desa telah terlibat
dalam kegiatan glidik non pertanian
di luar desa. Dengan kata lain,
telah terjadi perubahan struktur
ekonomi masyarakat dari yang pada
awalnya mengandalkan pendapatan
mereka pada sektor pertanian,
kemudian bergeser ke sektor-sektor
bukan pertanian.
Pergeseran dan terciptanya
peluang kerja di sektor non
pertanian
di
perkotaan
menimbulkan banyak perubahan
bagi
masyarakat
Pedukuhan
Sompok. Glidik dinilai sangat
penting oleh masyarakat Sompok
karena
dapat
membantu
mengurangi
beban
ekonomi
(tekanan keterbatasan peluang
kerja)
dan
masalah
sosial
(pengangguran
terbuka
dan
kemiskinan). Hal ini terbukti dari
hasil penelitian yang telah dilakukan
ini yang dapat memberi kesimpulan
bahwa penghasilan dari bekerja
sebagai glidik pada keluarga di
Pedukuhan Sompok tidak lagi
digunakan
untuk
sekedar
pemenuhan materi semata, namun
beberapa keluarga di Pedukuhan
Sompok dapat mengalokasikan
sebagian pendapatan dari gaji hasil
glidik untuk dapat disimpan (saving).
Berdasarkan hasil penelitian
yang telah peneliti paparkan di atas
dapat disimpulkan 3 (tiga) dari 4
(empat) keluarga yang menjadi
sasaran penelitian ini menyatakan
bahwa konsep penyimpanan uang
(saving)telah menjadi bagian dari
perilaku
ekonomi
beberapa
keluarga
tersebut.
Beberapa
132 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016
keluarga tersebut tidak hanya
merasakan kontribusi glidik yang
begitu besar terhadap perbaikan
ekonomi
keluarganya,
namun
mereka juga mulai memahami
pentingnya penyimpanan uang
(saving) sebagai salah satu metode
untuk memenuhi keperluan rumah
tangga jangka panjang, baik untuk
kebutuhan
primer
seperti
konsumsi,
maupun
untuk
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
yang bersifat sekunder, tergantung
dari kebutuhan keluarga tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
______ . 1992. Teorimigrasi:
Volume 3 dari Pusat Penelitian
Kependudukan. Seri terjemahan.
Penerbit Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas
Gadjah Mada.
______. 1994. Sejarah Daerah Jawa
Tengah.
Depdikbud
Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional
Proyek
Inventarisasi
dan
Dokumentasi
Sejarah
Nasional. Jakarta
Li, Tania Murray. 2002. Proses
Transformasi
Daerah
Pedalaman
di
Indonesia.
Jakarta:
YayasanObor
Indonesia.
Michael P. Todaro, Stephen C.
Smith.
2009.
Economic
Development.
AddisonWesley.
Nain,
Ahmad
ShukriMohd.,
Rosman Md. Yusoff. 2003.
Konsep,
Teori,
DimensidanIsu
Pembangunan.
UniversitiTeknologi
Malaysia.
Pande Made Kutanegara. Akses
Terhadap Sumber Daya dan
Kemiskinan di Pedesaan Jawa.
Jurnal Humaniora Volume
XII, No. 3/2000.
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa (RPJMDes) Tahun 2015-2020 Desa
Sriharjo Kecamatan Imogiri,
Kabupaten Bantul. 2015.
DAFTAR INFORMAN
Caroline B. Brettell and James F.
Hollifield,
eds.Migration
Theory:
Talking
Across
Disciplines, 2nd Edition. New
York: Routledge.
Ngadiran (Sekretaris Desa Sriharjo).
(Wawancara hari sabtutanggal 06
Juni 2015 pukul 09:15 WIB)
Mujiyo (68 tahun). (Wawancara hari
sabtu tanggal 6 Juni 2015 pukul
14:40 WIB)
Lipton, Michael. 1977. Why Poor
People Stay Poor: Urban Bias in World
Development. Harvard University
Press.
Wanari (52 tahun). (Wawancara
hari sabtu tanggal 6 Juni 2015 pukul
15:55 WIB)
Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 133
Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving
Tukiran (45 tahun). (Wawancara
hari sabtu tanggal 6 Juni 2015 pukul
17:15 WIB)
Karmiati (22 tahun). (Wawancara
hari sabtu tanggal 6 Juni 2015 pukul
19:45 WIB)
Download