Vol. 9, No. 1, Juni 2016 Vol. 9, No. 1, Juni 2016 “Politik dan Perubahan Sosial” Foto Media Dan Hegemoni Pilkada Mukhijab, MA. Menjadi Singkel Menjadi Aceh, Menjadi Aceh Menjadi Islam Muhajir Alfairusy, MA Gelombang Transformasi Sosial Politik Dalam Kajian Foucault dan Coleman Masrizal, S.Sos.I., MA Sosiologi Bencana: Sebuah Refleksi Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh Akmal Saputra, S.Sos I., MA. Jurnal Sosiologi USK adalah Jurnal Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Soial dan Ilmu Politik yang memuat berbagai pendekatan sosial yang berlandaskan pada berbagai isu-isu sosial kemasyarakatan secara lokal, nasional maupun internasional melalui karya tulis ilmiah. Untuk kemajuan jurnal ini Redaksi mengundang dan mengharapkan partisipasi para intelektual agar dapat menyumbangkan tulisannya ke email : [email protected], Jurnal terbit dua edisi dalam setahun (Juni dan Desember). Kaedah Muhakkamah Dalam Pandangan Islam (Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum) Fatmah Taufik Hidayat& Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial Drs. T. Syarifuddin, M.Si Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu (Suatu Analisa Pendidikan di Aceh) Zulfadli, M.Si Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving Suci Fajarni, MA Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh ISSN: 2252-5254 Jurnal Sosiologi Media Pemikiran Dan Aplikasi Universitas Syiah Kuala Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Pengarah Dr. Syarifuddin Hasyim, SH., M.Hum., Dr. Effendi Hasan, MA, Dr. Hamdani, MA., Sufyan, M.Si Pemimpin Redaksi Masrizal, MA Sekretaris Redaksi Siti Ikramatoun, M.Si Dewan Redaksi Prof. Dr. Bahrein T. Sugihen. MA, Prof. Drs. Abidin Hasyim, M.Sc, Dr. Muhammad Saleh, Sjafei, M.Si, Dr. Nurhayati, M.Si, Bukhari, MHSc, Khairulyadi, M.HSc Mitra Bestari Prof. Dr. Heru Nugroho (Universitas Gadjah Mada ) Dr. Nirzalin, M.Si (Universitas Malikul Saleh) Dr. Mahmuddin, M.Si (UIN Ar-Raniry) T. Syarifuddin, M.Si (Universitas Iskandarmuda) Sekretariat Pelaksana Drs. Kasmarajaya, Purlina, SE, Suci Fajarni, S.Sos, MA Sirkulasi Cut Idawati, SE , Rahmatillah Alamat Redaksi Prodi Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)-Universitas Syiah Kuala Jln. Tgk. Tanoh Abee, Darussalam Banda Aceh Telp. (0651) 7555267, Fax (0651) 7555270 Web: http://sosiologi.fisip.unsyiah.ac.id E-mail: [email protected] fb : Sosiologi Unsyiah ISSN: 2252-5254 Jurnal Sosiologi Media Pemikiran Dan Aplikasi Universitas Syiah Kuala Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 DAFTAR ISI FOTO MEDIA DAN HEGEMONI PILKADA Mukhijab, MA (Mahasiswa Doktoral Prodi Sosiologi UGM Yogyakarta, Wartawan Senior Pikiran Rakyat Yogyakarta) . ............. 1 MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, MENJADI ACEH MENJADI ISLAM Muhajir Alfairusy, MA (Mahasiswa Doktoral Antropologi UGM Yogyakarta) ............................................................................................... 17 Gelombang Transformasi Sosial Politik Dalam Kajian Foucault dan Coleman Masrizal, S.Sos.I., MA (Dosen Sosiologi FISIP Unsyiah, mahasiswa Doktoral Sosiologi UGM Yogyakarta) ............................. 35 Sosiologi Bencana: Sebuah Refleksi Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh Akmal Saputra, S.Sos I., MA. Dosen Sosiologi Universitas Teuku Umar, Mahasiswa Doktoral Sosiologi UGM Yogyakarta)................. 55 Kaedah Muhakkamah Dalam Pandangan Islam (Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum) Fatmah Taufik Hidayat& Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim Lecturer Department of Syariah, Faculty of Islamic Studies, National University of Malaysia, Selangor, Malaysia .......................... 67 Kontribusi PerguruanTinggi Dalam Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial Drs. T. Syarifuddin, M.Si ( Dosen Prodi Pembangunan Sosial dan Kesos UNIDA) ............................................................................. 85 Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu (Suatu Analisa Pendidikan di Aceh) Zulfadli, M.Si ( Dosen Prodi Pendidikan Ekonomi FKIP Unsyiah) ....................................................................................... 101 Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving Suci Fajarni, MA ( Dosen Tidak tetap Prodi Sosiologi Unsyiah, Alumni Unsyiah dan Pascasarjana Sosiologi UGM Yogyakarta). ... 115 Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada 1 Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada Oleh: Mukhijab, MA1 Abstract Let the pictures speak! With photos, everything can be open, no secrets. But sociology-especially from the perspective of Semiotics in the study of culture or media culture- was open an opportunity to interpret social phenomena depicted behind the photos. In the context of this paper, a photo opened a mystery of the phenomenon of power in local elections in Bantul regency. The most powerful readings that the photos embedded deep behind the hegemonic power of the spread is a public figure Politicians and community leaders who are very dominant influence in the district. Sample pictures of mass media as a case study in this paper Because of the media photograph the leaders positioned as the sharpest weapon to Awaken memories of voters. Sri Suryawidati-Sumarno was proved and elected as regent and deputy regent in Bantul regency. Aspects of hegemony that can be revealed behind their victory that the big names of the husband, Idham, as a very potent political commodity. Intisari : Biarkan foto berbicara! Dengan foto, semuanya bisa terbuka, tidak ada rahasia. Sosiologi –terutama dari perspektif semiotika dalam studi media maupun studi budaya- terbuka kesempatan atau peluang untuk menafsirkan fenomena sosial yang tergambar di balik foto. Dalam konteks tulisan ini, foto membuka misteri fenomena kekuasaan dalam Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Bantul. Pembacaan paling dahsyat bahwa di balik foto tertanam dalam-dalam hegemoni kekuasaan yang ditebarkan publik figure politisi dan tokoh masyarakat yang sangat dominan pengaruhnya di kabupaten tersebut. Sampel foto media menjadi studi kasus dalam tulisan ini karena foto media bagi calon pemimpin diposisikan sebagai senjata paling tajam untuk membangunkan ingatan pemilih. Sri Suryawidati-Sumarno membuktikannya dan terpilih menjadi bupati dan wakil bupati di Kabupaten Bantul. Aspek hegemoni yang bisa diungkap di balik kemenangan mereka bahwa nama besar sang suami, Idham Samawi, sebagai komoditi politik yang sangat ampuh. 1 Penulis adalah jurnalis dan mahasiswa program doktoral Ilmu Sosiologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Foto : AHMAD ‘AMAR’ RIYADI/RADAR JOGJA/ Jumat 13 April 2010 Manusia Selfish Thomas Hobbes, filosof kelahiran Inggris, 1588, bisa jadi terkesima teori nya tentang psikologi manusia tamak makin terbukti. Melalui karya monumental Leviathan, pada bagian pertama bukusnya “Of Man”, dia berpendapat bahwa manusia pada dasarnya selfish atau mementingkan diri sendiri, haus kekuasaan, gandung konflik, dan jahah, dengan kedok memeroleh kebahagiaan. Maka manusia cenderung mereproduksi keinginan demi keinginan berkuasa, baik keinginan berkuasa dan lainnya untuk jangka pendek maupun keinginan berkuasa dan lainnya dalam jangka panjang (Schmandt, 2015). Ketika suami telah berkuasa, demi memenuhi hasrat kekuasaan lebih lama lagi, maka sang istri didorong menggapai kekuasaan lanjutan. Hasrat Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada demikian dalam pandangan Hobbes sebagai cerminan kelemahan manusia, yang sesungguhnya tidak bisa mengekalkan kekuasaannya dan mengubah keadaan selalu lebih baik. Agar memeroleh lebih, baik kekuasaan maupun hasrat hajat hidup lainnya, reproduksi keinginan menjadi strateginya. Fenomena selfish Hobbes dapat dijumpai dalam konteks Indonesia. Tidak terbatas dalam bentuk para petualang kekuasaan berebut berkuasa lebih dari satu periode, mereka yang selesai berkuasa, anggota keluarganya didorong meneruskan kekuasaannya. Publik sering mengistilahkan fenomena ini sebagai perjuangan membangun kekuasaan warisan. Dalam perspektif Friedrich Nietzssche, fenomena ini bisa dipadankan kehendak acuh atau will depection, pencapaian individu yang berdaulat, sekalipun cara yang ditempuh melawan konvensi moral dalam masyarakat. Motivasinya pada insting vital, sekalipun harus melawan dominasi atau kekuatan hegemoni masyarakat (Ritzer, 2010). Apakah kekuasaan berbasis selfish membawa kesejahteraan rakyat atau sekedar mereproduksi nepotisme berkedok demokrasi? Tulisan ini tidak sebatas menyajikan pelajaran bagaiamana menerapkan metode semiotika secara sederhana, lebih dari itu sebagai sentuhan dan tangungjawab moral penulis untuk menyemaikan urgensi kekuasaan 3 bermartabat, kekuasaan yang tidak menghalkan segala cara. Pilkada Tiga Kabupaten Artikel ini bagian dari refleksi penulis, yang diilhami peristiwa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) di Provinsi DI Yogyakarta pada 23 Mei 2010 di Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Gunungkidul. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DI Yogyakarta, pilkada tiga kabupaten diikuti sebanyak 2.049.845 pemilih (sesuai daftar pemilih tetap/DPT). Rinciannya, Pilkada Kabupaten Bantul sebanyak 709.282 pemilih, Kabupaten Sleman sebanyak 759.062 pemilih, dan Kabupaten Gunungkidul sebanyak 582.502 pemilih.2 Kontestan Calon Bupai-Wakil Bupati dan Pemenang Pilkada Lokasi Pilkada Bantul Calon bupatiwakil Pemenang Krdono - Ibnu Karmanto Sri SuryawidatiSumarno Prs Sukardiyono, Darmawan Sri SuryawidatiSumarno Prs Gunung Suharto – Arif kidul Gunadi Sutrisno – Slamet Syaifullah, Muh, Lebih 2 Juta Warga Tiga Kabupaten di DIY Nyoblos Pilkada, www.tempointeraktif, 23 Mei 2010, diunduh 27 Mei 2010 2 4 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Lokasi Pilkada Calon bupatiwakil Sutrisno – Slamet Sumpeno Putro– Badingah Yanto– Ngadiyono Pemenang Sleman Bugiakso –. Sri Purnomo Kabul M. – Yuni Setia Basuki Rahayu Mimbar Wiyono – Cahyo Wening Sukamto – Suhardono Sri Purnomo – Yuni Setia Rahayu Zaelani – Heru Irianto Dirjaya Hafidh Asrom – Sri Mulimatun Achmad Yulianto – Nuki Wachinudaton Sumber Harian Kedaulatan Rakyat3 Seperti layaknya tahapan pemilihan umum, pesta demokrasi lokal tersebut diawali sosialisasi tahapan pilkada dan pengenalan kandidat calon bupati-wakil bupati. Pasal 76 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengatur kampanye dapat Calon Harus Jujur Beritahu Dana Kampanye, Kedaulatan Rakyat 30 Maret 2010; Hj Ida, Sri Purnomo, Sumpeno Unggul, Kedaulatan Rakyat, 24 Mei 2010 3 dilaksanakan melalui : pertemuan terbatas; tatap muka dan dialog; penyebaran melalui media cetak dan media elektronik; penyiaran media radio dan/atau televisi; penyebaran bahan kampanye kepada umum; pemasangan alat peraga di tempat umum; rapat umum; debat publik/debat terbuka antar calon; dan/atau kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan undangan (ayat 1). Aturan pelaksanaannya, penyampaian materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif (ayat 4). Pasal 77 mengatur cara sosialisasi lewat media cetak dan media elektronik memberikan kesempatan yang sama kepada pasangan calon, untuk menyampaikan tema dan materi kampanye (ayat 1). Kemudian kampanye lewat media luar ruang dan tempat pemasangannya diatur oleh KPUD (ayat 5).4 Baliho dan sejenisnya yang dipampang di area terbuka merupakan salah satu perwujudan kampanye dengan pemasangan alat peraga atau kampanye luar ruang. Dalam bahasa periklanan dinamakan iklan luar ruang (outdoor). Gambar pasangan calon bupatiwakil bupati dan gambar partai yang mencalonkan mereka, mendomnasi iklan politik luar ruang seperti terjadi selama masa kampanye terbuka di tiga kabupaten yang melaksanakan pilkada. Pemasangan baliho demikian sangat lumrah. 4 www.kpu.go.id Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada Dalam kasus Pilkada Bantul 2010, baliho pasangan calon Hj. Sri Suryawidati - Drs.Sumarno Prs (Idaman) berpenampilan lain. Apabila dua pasang calon yang menjadi pesaingnya memampang hanya partai yang mencalonkan, Idaman tidak hanya mencatumkan partai pengusung, di antaranya Partai Amanat Nasional dan Partai Golkar, tetapi lambang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang de jure tidak mencalonkan pasangan ini. Kasus ini terungkap dalam berita foto media Radar Jogja, 13 April 2010. KPUD Bantul mencatat pasangan Hj. Sri Suryawidati – Drs. Sumarno Prs (Idaman) memenangkan pilkada tersebut. Apakah pemasangan lambang partai yang tidak mencalonkan sebagai maneuver yang disengaja dan bagian skenario politik pasangan Idaman? Apa makna di balik pemasangan lambang PDIP dalam baliho Idaman? Apakah semata-mata kegenitan politik atau bentuk dominasi yang mengarah pada upaya hegemoni politik? Artikel ini bermaksud mengulas masalah iklan politik luar ruang dalam kasus kampanye Pilkada Kabupaten Bantul tersebut, dengan pendekatan foto media dengan strategi semiotika negatif atau semiotika foto media. 5 Foto Berbicara Foto media selalu berbicara apa adanya, yang berfungsi menjelaskan lima hal yaitu untuk menginformasikan, menunjukkan, menggambarkan, memberi kejutan, dan untuk membangunkan harapan (to inform, to signify, to paint, to suprise, to waken desire). Menurut Sunardi ST (2002) kehadiran foto dalam media dipandang sebagai bentuk domestikasi atau penjinakan kekuatan gila dari foto. Ketika pembaca mengalami kesan sangat mendalam, pakar semiotika negative atau semiotika foto menggambarkan sebagai keadaan satori aura atau puncak kesan. Capaian ‘satori aura’ menjadi tujuan menumbuhkan kesan terhadap pembaca media. Dalam kancah semiotika, foto digambarkan lebih jauh lagi sebagai representasi yang tak tergantikan oleh teks sekalipun. Karena itu, foto menempati peran dominasi bagi media dan pembacanya menggambarkan peran foto media sebagai tirani baru dalam masyarakat. Alasannya ada dua hal. Pertama, foto mendominasi model pengetahuan pembaca/audiens dengan menggeser bentuk-bentuk representasi lainnya, terutama tulisan. Kedua, foto dipresentasikan melalui kaidah-kaidah tertentu untuk menghasilkan stereotipe, yaitu ready made element of significant, siap membuat elemen penting. Dengan melihat foto, pembaca media juga diharapkan tumbuh efek 6 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 sosialnya, ketika foto yang dilihat adalah calon kepala daerah, audiens bersangkutan berorientasi pengetahuannya pada calon bersangkutan dan menjatuhkan pilihannya kepada kandidat dalam foto tersebut. Mengapa foto demikian spesial? Foto atau gambar meunjukkan pesan langsung, pesan tanpa kode (a massage without a code, a non coded-iconic massage) yaitu pesan yang sampai pada ‘kita’ tanpa harus melakukan penafsiran. Siapapun dapat mengatakan itu adalah kenyataan. Kita hadir dalam apa yang ditunjuk foto (signifier) itu. Tidak ada ruang mempersoalkan antara foto dan realitas atau dalam bahasa pakar semiotika Barthes disebut analogon atau pesan langsung atau denotative atau literer (continuous massage atau massage which totally exhausts its mode of existence) (Sunardi, 2002) Gambar dalam pembuka paper ini adalah pasangan foto lakilaki dan perempuan dengan label Bu Idham dan Pak Marno (Sri Suryawidati – Sumarno disingkat Idaman). Bagian bawah gambar dua sosok foto tersebut adalah simbol/lambang partai yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB).5 Foto karya Ahmad ‘Amar’ Riyadi, reporter Radar Jogja, ditayangkan, Jumat 23 April 2010, lihat www.radarjogja.com, dan digunakan atas izin redaktur Ikhwanuddin (iwa), Pilkada 5 Masyarakat Yogyakarta membaca foto tersebut sebagai pasangan calon bupati-wakil bupati dalam Pilkada Kabupaten Bantul tahun 2010. Adapun partai-partai yang terpampang menggambarkan sebagai “induk semang”” yang mencalonkan pasangan tersebut. Sampai tahap ini, foto dalam baliho tersebut tidak ada kejanggalan. Foto tersebut telah berfungsi sebagaimana fungsi normatif ninimal dalam dua aspek, yaitu memberikan informasi dan menggambarkan pasangan Idaman sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Fotografer dan penulis berita membuka perspektif lain terhadap pembaca dengan keterangan foto atau caption. Keterangan fotonya sebagai berikut : “MEMBINGUNGKAN : Logo Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terpampang di baliho pasangan Sri Suryawidati-Sumarno (Idaman). Padahal pasangan yang dimajukan oleh PDIP adalah Kardono-Ibnu Kadarmanto (Karib).” Duduk masalah mulai makin jelas ketika membaca judul berita : “Pilkada Lucu di Bantul, Idaman Cantumkan Logo PDI Perjuangan.” Ketika membaca kutipan badan berita, masalah yang ganjil dalam foto makin tergambar : “Pemilihan kepala daerah atau pemilihan bupati yang lucu akan terjadi di Bantul. Lucu karena, sebelumnya ada pernyataan dari Lucu di Bantul Psangan Idaman Cantumkan Logo PDI Perjuangan Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada Ketua DPD PDIP DI Yogyakarta Idham Samawi bahwa meski partainya menjagokan pasangan KardonoIbnu Kadarmanto, bukan pasangan ini yang akan dimenangkan. Dan kini, muncul baliho-baliho pasangan Sri Suryawidati-Sumarno (Idaman) memasang logo PDIP. Pasangan Idaman bukanlah pasangan yang diajukan oleh PDIP. Tapi, calon bupati Sri Suryawidati tidak bukan adalah isteri Idham Samawi, ketua DPD PDIP DI Yogyakarta yang juga bupati Bantul.” …“Peristiwa pemasangan logo partai bukan pengusung pasangan calon ini tentu saja membingungkan penyelenggara hajatan pemilihan bupati. KPUD dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) bisa jadi bingung menyikapi persoalan ini.” Pasangan Idaman sejatinya diusung oleh PAN, Partai Golkar, dan PKPB. PDIP tidak termasuk sebagai partai yang mencalonkan Idaman. Calon PDIP adalah Kardono – Ibnu Kadarmanto (Karib). Ketika Karib selesai mendaftar dan memenuhi syarat administrasi Komisi Pemilihan Umum KPU Kabupatan Bantul, DPC PDIP Bantul Aryunadi menarik dukungan Karib. “Surat pencabutan dukungan kepada pasangan karib yang telah didaftarkan ke KPUD Bantul 7 sebagai cabup-cawabup yang resmi diusung PDIP ini akan segera disampaikan kepada KPUD Bantul.”6 Masalah di dalam foto Idaman menjadi terkuak misterinya dengan mencantumkan penjelasan Ketua DPD PDIP Provinsi DI Yogyakarta M Idham Samawi. PDC PDIP Kabupatan Bantul mencalonkan Karib, namun DPP PDIP merekomendasikan pasangan Idaman : “Sejak awal kami sudah diberi tahu oleh DPC PDIP Bantul, kalau itu adalah strategi agar Pemilukada di Bantul bisa berlangsung. Karena sejak awal kami memang melihat adanya indikasi agar Pemilukada di Bantul ditunda karena hanya ada satupasangan yang maju.7 Dari kronologis tersebut, foto Idaman tersebut tidak hanya memberikan informasi dan gambaran, fungsi ketiga dari foto berupa memberi kejutan terjadi di dalamnya. Bentuknya pemasangan logo partai yang tidak mencalonkan Idaman menjadi calon bupati-wakil bupati. Fenomena demikian dalam pandangan Barthes dinamakan DPD PDIP Pecat Ketua PAC Tempel Dukungan Tetap ke Idaman, Karib Bagian Strategi, Koran Kedaulatan Rakyat, 20 April 2010 h.8; PDIP Jegal Karib, , Koran radarjogja, 27 April 2010 7DPD PDIP Pecat Ketua PAC Tempel Dukungan Tetap ke Idaman, Karib Bagian Strategi, Koran Kedaulatan Rakyat, 20 April 2010 h.8 6 8 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 neurosis, yang diartikan trauma fotografis. Modus demikian biasa terjadi ketika foto dipandang sebagai representasi realisme absolute, atau orang merasa tidak bergairah tanpa foto, misalnya seorang fans penyanyi tidak bisa lepas dari foto idolanya karena semua pengetahuan tentang idola harus ditransformasi dalam foto. Dengan mencantumkan lambing PDIP diharapkan pendukung partai ini mengalami neurosis atau transformasi dukungan politik berdasarkan afiliasi parta yang digandunrunginya. Dalam konteks budaya media, Barthes berpendapat audiens, pembaca, hendaknya memiliki strategi untuk mengonsumsi kesan foto massa (mass image). Modusnya, menjaga jarak dalam membaca hal “privat” dan “public”. Privat adalah ruang yang diciptakan oleh realisme absolute dan publik adalah realisme relatif atau mengonsumsi gambar apa adanya, tanpa keterkejutan dan audiuen tidak sepenuhnya siap memberikan kepercayaan pada gambar. Dalam bahasa awam, gambar masih bisa bohong. Maka audiens, pembaca harus bersikap kritis, tidak langsung menerima kebenaran yang terpampang di foto. “Kita tidak harus mengikuti “proyek” fotografer. Biarkan kita mengalami neurosis, trauma fotografis. Kita perlu mengurangi foto dalam arti bahwa tidak semua foto harus berakhir pada foto. Kita butuh proses understanding yang bermula dari rasa tidak percaya dan bukan hanya pengalaman yang hadir secara langsung dalam realitas. Kita butuh jarak antara saya dan realitas yang dapat dijembatani oleh understanding,” kata Sunardi (2002) Etika Iklan Politik Foto pasangan Idaman tersebut di atas, sebelum termediasi ke media massa, adalah bentuk iklan luar ruang (outdoor) jenis iklan politik. Sebelum membahas lebih jauh makna iklan tersebut, Andrew Hughes memberikan penjelasan landasan teoritis tentang iklan politik. Pakar komunikasi dan periklanan Universitas Nasional Australia mengemukakan pokokpokok pikirannya sebagai berikut. Iklan politik adalah proses dari seorang calon (pemimpinan tertentu) untuk mengomunikasikan dan mempublikasikan diri dan mengangkat keunggulan dirinya dibanding lawan atau rival (politiknya). Tujuan iklan dalam rangka meraih simpati atau dukungan suara atau meningkatkan kesadaran publik agar memahami kelebihan dan kelamahan sang kandidat dibanding profil lawan politiknya. Dalam iklan tersebut tercantum pula rancangan kebijakan yang akan diperjuangkan atau diterapkan pada masa memimpin atau menjabat di institusi tertentu. Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada (O'Cass 2002; Pinkleton 1998; Meirick 2002; Roddy & Garramone 1988). Iklan tersebut merupakan ekspresi pesan dari calon yang dikirim ke target audience (pemilih), dan umumnya menceritakan image positif, sebaliknya menggambarkan sisi negatif lawan politiknya. (Roddy & Garramone 1988; Kristus, Thorson & Caywood 1994; Niffenegger 1989). Para peneliti mengidentifikasi tiga jenis iklan politik yaitu iklan (bertendensi) serangan (kepada lawan); periklanan komparatif, dan negatif periklanan. Iklan jenis serangan (politik) atau tepatnya bernada agresif secara sepihak dari kandidat pemasang iklan dimaksudkan untuk menarik perhatian terhadap kelemahan karakter maupun posisi lawan. Model iklan demikian sesungguhnya sudah masuk kategori iklan negatif. Targetnya agar calon pesaing rendah diri dan terpecah persepsinya. Kemudian iklan perbandingan (kompetitif) menggunakan dua sisi perbandingan calon satu dengan calon lawan dengan mengidentifikasi calon yang ditargetkan dan beberapa aspek khusus calon lawan misalnya masalah pengalaman atau masalah posisi. Namun di dalamnya termasuk unsur merendahkan lawan. Dalam hal ini, audiens masih diberi ruang untuk menilai berdasarkan isu-isu kampanye dan iklan yang ditawarklan 9 (Pinkleton,1997). Adapun dalam hal negatif iklan, Hughes menekankan, iklan politik yang materi substansialnya manarget atau menggambarkan posisi negatif lawan (Meirick 2002), bisa diekspresikan dalam isu-isu tertulis maupun gambar (Johnson-Cartee & Copeland 1991). Istilah negatif itu digunakan paling tidak untuk menandaskasn sisi negatif lawan, termasuk di dalamnya merendahkan keunggulan lawan (Merritt 1984) Bentuk iklan politik negatif bisa termanivestasi antara lain dalam sebuah pesan negatif, fokus pada gambar dan masalah yang buruk bukan (kampanye) kebijakan yang ditonjolkan, audien ditekan dengan iklan tersebut. Hughes mengatakan, “iklan negatif sebagai iklan yang menyerang kelemahan calon dalam isu-isu atau gambar dan menyoroti kekuatan lawan dengan pesan negatif. Iklan demikian biasanya dipakai oleh kandidat baru, dalam rangka menentang incumbent.” Iklan negatif bertentangan dengan pemasaran politik. Nursal berpendapat, dalam political marketing mencerminkan serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik kepada para pemilih. Tujuannya membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi, dan perilaku pemilih (dengan nada positif, red). (Reaksi) perilaku pemilih yang diharapkan adalah 10 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 ekspresi mendukung. Menumbuhkan kesan positif dalam iklan politik didasarkan fakta bahwa memilih partai atau kandidat politik berbeda dengan seseorang membeli sebuah pesawat televisi, dan pemilih menghadapi ketidakpastian yang lebih besar ketimbang pembeli sebuah produk konsumsi (Nursal, 2004: 23-37). Mencantumkan lambang partai yang nota bene bukan partai yang mencalonkan kandidat bupati bisa dikategorikan bagian dari pengiriman pesan yang negatif. Dalam hal ini, pasangan Idaman “merebut” partai yang telah mendukung pasangan calon lawan, Karib. Bahkan, PDIP sebagai pengusung Karib akhirnya mencabut dukungan. Konflik politik semacam ini menumbuhkan kesan, segala cara bisa digunakan oleh Idaman dalam meraih kekuasaan. Publik juga membaca bahwa pasangan pesaing Idaman, Karib, hanya boneka dalam Pilkada 2010 tersebut. Taktik serupa diduga diterapkan Hj. Sri Suryawidati bersama Misbakhul Munir yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mencalonkan kembali pada Pilkada Bantul 9 Desember 2015. Publik menduga lawan politiknya, Suharsono-Abdul Halim Muslih dicalonkan oleh Partai Gerinda dan Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Kesejahteraan Sosial, sebagai calon bayangan saja seperti Pilkada 2010. Namun Suharsoo-Abdul Halim Muslisn membantah dengan tegas bahwa mereka bukan “boneka” melainkan pejuang politik yang sesungguhnya. Terlepas dari perdebatean sosok keduanya, pemilihan membuktikan Suharsono-Abdul Halim bukan calon bayangan dengan mengalahkan Hj. Sri SuryawidatiMisbahul Munir. Moralitas Iklan Adakah moralitas iklan atau prinsip positif iklan politik berlaku dalam praktik iklan politik di Indonesia, khususnya Pilkada di Bantul? Moralitas dalam iklan diistilahkan dengan kredibilitas. Iklan dalam bentuknya nyata dan sebelum dikenal tidak punya kredibilitas. Publisitas menjadi mediasi iklan yang secara formal melekatkan kredibilitas atau nilai moral. Al Ries Laura Ries (2003) memaklumatkan demikian, “Publisits memberikan tanda pengenal yang menciptakan kredibilitas periklanan. Sebelum sebuah merek baru mempunyai tanda pengenal dalam benak seseorang, kita akan mengabikannya.” Dia bermaksud mengungkap nilai dasar iklan. Ketika petugas “sales” yang tidak dikenal menawarkan suatu produk kepada pelanggan dan pelanggan tidak mengenal perusahaan dan hasilnya, konsumen akan langsung menolak. Berbeda halnya, ketika seseorang menawari konsumen yang berstatus pelanggan, walaupun produk baru yang ditawarkan, karena konsumen telah mengenal perusahaan dan produk Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada sebelumnya, sang konsumen bisa tertarik. Ketika analogi Ries diterapkan dalam kasus Pilkada dan kandidat Idaman memiliki konotasi berikut. Tim Pencitraan Idaman menawarkan “produk baru” calon bupati Bantul. Produk tersebut, Sri Suryawidati maupun Sumarno, bagian dari rangkaian produk yang dipasarkan dan dikenal sebelumnya. Produk terdahulu dinamakan M. Idam Samawi, suami Sri Suryawidati dan Sumarno sebagai pendamping M. Idam Samawi [wakil bupati periode 2005-2010]. Ketika Tim Pencitraan Idaman mengenalkan keduanya dengan baliho, termasuk mencantumkan ornamen produk yang sebenarnya ilegal, PDIP, maka masyarakat Bantul sebagai calon pemilih tidak protes. Produk baru bermerk Idaman telah dikenal sebelumnya. Meskipun pasangan ini mencantumkan tambahan ornament produk yang ilegal, masyarakat tidak memprotes, justru sebaliknya bisa menerima. Bondan Winarno memberi gambaran lain soal etika iklan. Dalam contoh berikut, Bondan Winarno secara eksplisit menggambarkan narasi iklan sebagaimana bahasa tidak netral. Ada tumpangan ideologis dalam narasi iklan yang ditayangkan. Sebagai contoh, dia mengetengahkan kasus iklan karya Poliyama Advertising untuk iklan produk susu merk Andec. Dalam narasi perbandingan, iklan menampilkan narasi pembanding 11 Andec dengan istilah “susu bubuk full cream terkenal”. Dancow tidak bisa menerima perbandingan tersebut. Poliyama mengajukan alasan bahwa pembandingan dua produk berbeda sebagai bentuk edukasi bagi konsumen. Namun, Dancow tidak bisa menerima alasan tersebut, dan akhirnya kasus ini diproses sampai ke pengadilan, meskipun Andec telah menarik iklan tersebut. Kasus serupa dalam iklan minyak goreng Tropikal. Dalam visualnya, Tropikal menampilkan tetesan minyak goreng yang menetes ke pelimpahan. Bimoli menganggap iklan Tropikal memiki kemiripan atau menyerupai iklan Bimoli. Komisi Penyiaran Indonesia (KPK) menjembatani damai, namun Bimoli melanjutkan gugatannya sampai ke pengadilan (Wanarno, 2008). Maknanya dalam konteks iklan Pilkada “Idaman” Bantul, memasang gambar dalam iklan yang je dure bukan domain dalam paket koalisi yang mencalonkan pasangan tersebut, sebagai pelanggaran etika. Namun, KPU Kabupaten Bantul tidak bersikap dengan alasan masalah semacam ini bersifat debatable atau multitafsir.8 Iklan politik dalam pilkada hanya satu bagian glamoure pesta demokrasi nasional dan lokal. Elemen-elemen kampanye di luar koridor demokrasi jauh lebih dominan. Fenomena politik uang, intimidasi, kekerasan, anarki sebagai 8 KPU Konsultasi ke Provinsi, Radar Jogja, 30 April 2010 12 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 bagian yang kadang lebih dominan dalam proses pilkada. Substansi demokratisasi yang ingin dicapai dalam pilkada adalah pemilihan langsung yang bisa mengeliminasi distorsi praktik demokrasi atau penyimpangan sebagaimana model pemilihan tidak langsung atau perwakilan di DPRD. Amirudin dan Bisri berpendapat, proses pilkada langsung tidak otomatis menghilangkan berbagai distorsi tersebut di atas (Bisri, 2006). Jika model-model distruktif tersebut tidak terjadi, model lain seperti manipulasi dukungan merupakan “fenomena” negatif dalam pilkada seperti kasus di Bantul. Dalam konteks tersebut, mencantumkan lambang partai di luar konsensus koalisi masuk kategori manipulasi dukungan. Aspek hegemoni Merujuk kembali pada iklan politik Pilkada Bantul. Bagian akhir tulisan ini perlu mengulas ulang aspek historis “klaim” Idaman sebagai pasangan calon yang layak mencantumkan lambang PDIP. Sri Suryawidati merupakan istri bupati Bantul, Idam Samawi. Idam Samawi menjabat selama dua periode, 2000-2005 dan 2005-2010. Sedang Sumarno adalah wakil bupati, pendamping M. Idam Samawi. Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Kepala Daerah, syarat mencalonkan kepala daerah sebagaimana diatur pasal 58 huruf O adalah seseorang yang belum pernah menjabat sebagai kepala derah atau wakil kepala daerah selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.Sebagai konsekuensi atas jabatan bupati dua kali, M. Idam Samawi tidak boleh mencalonkan lagi. Alternatifnya, M. Idam Samawi mencalonkan istrinya, Sri Suryawidati. Dia bersama pasangannya, Sumarno. Partai yang mencalonkan adalah Koalisi Idaman terdiri dari PDI-P, PAN, Golkar, PKPB. Dengan alasan, apabila pilkada hanya diikuti satu pasangan, Pilkada Bantul tidak bisa dilangsungkan, maka PDIP mengusung calon bayangan atau boneka dan partai ini mengawal pencalonan Karib sampai menyelesaikan persyaratan administrasi di KPUD Bantul (Bisri, 2005). “Sandiwara” politik tersebut bisa lancar karena M. Idam Samawi statusnya sebagai bupati petahana sekaligus ketua DPD PDIP Provinsi DI Yogyakarta. Dia terpilih menjadi pimpinan partai dalam konferensi daerah (konferda) III DPD PDIP DIY, 7 Maret 2010 untuk masa jabatan periode 20102015.9 Fenomena tersebut merupakan konstruksi bangunan politik nepotism (nepotism) (Honby, dkk, 1977) atau memberikan kedudukan kepada orang terdekat seperti dari suami Kurniawan, Bagus, 2010, Idham Samawi Terpilih Ketua DPD PDIP DIY, www.detik.com, 7 Maret 2010 diunduh 20 Maret 2010 9 Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada kepada istri. Atau pemberian secara tidak fair sesuatu yang menguntungkan atau jabatan kepada keluarga ketika anggota keluarga lain berada dalam jabatan tertentu.10 Semiotika menggambarkan fenomena dominasi tersebut sabagai hegemoni atau suatu relasi kuasa di antara kelompok dan institusi melalui proses persetujuan ketimbang kekerasan dan paksaan (Thwaites,dkk, 2009). Lobi politik yang digalang oleh Bupati Bantul sekaligus Ketua PDIP Provinsi DI Yogyakarta M. Idam Samawi menjadi kunci rekayasa politik mengukuhkan jalinan koalisi partai untuk mencalonkan istri, Sri Suryawidati, dan membuat sandiwara bahwa PDIP pencalonan pasangan Karib. Semuanya diproses secara damai, tanpa kekerasan sedikitpun. Dalam perspektif Gramsci, "hegemoni" mengacu pada proses intelektual dan kepemimpinan moral yang termanivestasi dalam dominasi atau elit mendominasi kelas bawahan. Proses tersebut terjadi melalui negosiasi dan persetujuan yang secara tidak terasa sebenarnya melalui paksaan (Mastroianni, 2002). Dalam hal ini elit dominan mengontrol relasi yang lebih lemah. M. Idam Samawi adalah bupati dan pimpinan partai sebagai representasi elit dominant dimaskud, partai- 10 Oxford Leaner’s Pocket Dictionary, New Edition, Fourth Impression, 2005 13 partai pendukung Idaman sebagai bawahan yang dihegemoni. Ironi Demokrasi Fenomena Bantul sesungguhnya gambaran tentang ironi praktik demokrasi. Tujuan demokrasi menciptakan keadilan sosial [sosial justice] yang diabadikan, dilegalisasikan dalam ikatan hukum yang adil [legal justice]. Ketika dominasi hingga hegemoni terjadi, praktik demokrasi menciptakan strata dominasi versus minoritas. Keadilan dan kesetaraan dalam demokrasi yang menjadi prinsip utama rasionalisasi kekuasaan menjadi omong kosong, isapan jempol. Pilkada Bantul merupakan cerminan model demokrasi formalistik dengan penekanan pemilihan kepala daerah menjadi tujuan bukan substansi bagaimana mengejawantahkan demokratisasi. Hendra Nurtjahjo berpendapat pencapaian tujuan demokrasi tidak bebas nilai atau menghalalkan segala cara. Hal penting dalam praktik demokrasi adalah pencapaian kekuasaan dengan mengintrodusir substansi etis [fenomena moralitas]. Dengan demikian legitimasi yang dicapai bukan sebatas legitimasi sosiologis atau prinsip mayoritas. Dalam perspektif filsafat demokrasi, menurut pandangan Hendra Nurtjahyo, demokrasi yang baik dalam pelaksanaan mengawinkan substansi etis dan prinsip mayoritas. Kenyataannya fenomena kekuasaan 14 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 lebih dimainkan dan restriksi moralitas diabaikan (Nurtjahjo, 2006). Pemasangan simbol partai bukan pendukung menjadi satu saja dari sekian contoh yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antara urgensi moralitas demokrasi dengan tujuan mencapai mayoritas kekuasaan. Apakah dominasi semacam itu tidak bisa diubah? Semua proses tahapan pencapaian hegemoni bukan layaknya wahyu Tuhan, yang konon datang dari langit. Proses terbentuknya hegemoni direkayasa, dinegosiasikan berulang-ulang sampai mencapai akumulasi kekuasaan. Dalam tahap konsolidasi, hegemoni mengubah lahan yang semula [arena] konflik politik dan perjuangan [kompetisi politik] menjadi memiliki makna dan secara tidak terasa menjadi bagian dalam dominasi kekuasaan. Praktik demokrasi dalam perkembangannya tidak berada di ruang hampa, terjadi proses pendewasaan dan pematangan. Dalam pusaran dinamika demokrasi, hegemoni kekuasaan sesungguhnya tidak bersifat statis (Bakker, 2009). Maknanya suatu saaat terjadi dinamika misalnya elemen dalam koalisi melepaskan diri dari jerat aktor hegemonik. Dinamika demikian sebagai konsekuensi bahwa hegemoni menyatu dengan kekuatan sosial, maka dinamika politik mengalami perkembangan sejalan dinamika kekuataan sosial dan politik dalam masyarakat terutama elemen masyarakat sipil. Kekuatan masyarakat sipil yang kritis sebagai motor untuk melakukan perubahan, menjadi tanda tanya besar. Seberapa kuat dan luas masyarakat sipil di Bantul memiliki kesadaran menggugat ketidakadilan dalam demokrasi, menentukan seberapa signifikan ‘kesehatan’ demokrasi di kabupaten tersebut. Selama masa pemerintahan M. Idam Samawi [2000 – 2005 dan 2005 - 2010], masyarakat Bantul lebih banyak menikmati kemapanan keamanan, stabilitas ekonomi dan politik. Fenomena pemasangan lambang partai secara ilegal dalam persiapan pemilu pun tak tersentuh oleh suara kritis. Masyarakat Bantul seperti menikmati pajangan ‘kematian iklan politik’, bersikap apatis melihat realitas di lapangan.11 Sumber Bacaan Buku dan e-book Amirudin, Bisri, A Zaini, 2006, Pilkada Langsung Problem dan Prospek, Sketsa Singkat 11Lihat dan baca lebih dalam tentang “kematian iklan politik” dalam Tinarbuko, Sumbo, Matinya Iklan Politik, http://sumbo.wordpress.com adalah Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta dan Penulis Buku ''Iklan Politik dalam Realitas Media'' (Penerbit Jalasutra 2009) Mukhijab, MA, Foto Media dan Hegemoni Dalam Pilkada Perjalanan Pilkada 2005, Pustaka Pelajar Bakker, Chris, 2009, Cultural Studies Teori dan Praktik (judul asli Cultural Studies, Theory and Practice) penerjemah Nurhadi, Kreasi Wacana Honby, AS, dkk, 1977, Kamus Inggris-Indonesia, Indira, Pustaka Ilmu Hughes, Andrew, 2003, Definiting Negatif Political Advertising, Definition, Feature and Tactics, Australian National University, Journal of Advertising 18 (Winter), dari ANZMAC 2003 Conference Proceedings Adelaide 1-3 December 2003 , www.google.com, diunduh Mei 2010 Mastroianni, Dominic, 2002, Antonio Gramsci in Hegemoni, http://www.english.emory.edu/ Bahri/hegemony.html, diunduh 15 Mei 2010 Nursal, Adman, 2004, Political Marketing Strategi Memenangkan Pemilu Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden, Gramedia Pustaka Utama Nurtjahjo, Hendra, 2006, Offset Filsafat Demokrasi, Sinar Grafika Ries, Al Ries Laura, 2003, The Fall of Advertising and The Rise of PR, penerjemah Bern Hidayat, Gramedia Pustaka h.xxiii 15 Ritzer, George, 2010, Teori Sosial Postmodern, Kreasi Wacana, Yogyakarta Schhmandt, Henry J, 2015 Filsafat Politik, Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuono Ssampai Zaman Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Sunardi, ST, 2002, Semiotika Negativa, Kanal Yogyakara Tinarbuko, Sumbo, Matinya Iklan Politik, http://sumbo.wordpress.co m, tulisan yang samadalam buku ''Iklan Politik dalam Realitas Media'' (Penerbit Jalasutra 2009) Thwaites, Tony, David, Lloyd, Mules, Warwick, 2009, Introducing Cultural And Media Studies, sebuah A Pendekatan Semiotika (Semiotic Approach), penerjemah Saleh Rahmana, Jalasutra Majalah/Koran/Jurnal Oxford Leaner’s Pocket Dictionary, New Edition, Fourth Impression, 2005 Radar Jogya, Pilkada Lucu di Bantul Pasangan Idaman Cantumkan Logo PDI Perjuangan, 23 April 2010 --------------, PDIP Jegal Karib, 27 April 2010 ---------, Suami Jadi Staf Ahli, 24 Mei 2010 PDIP Jegal Karib, h. Kedaulatan Rakyat, 16 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 DPD PDIP Pecat Ketua PAC Tempel, Dukungan Tetap ke Idaman, Karib Bagian Strategi, 20 April 0210, Kedaulatan Rakyat, Calon Harus Jujur Beritahu Dana Kampanye, Kedaulatan Rakyat 30 Maret 2010 Hj Ida, Sri Purnomo, Sumpeno Unggul, Kedaulatan Rakyat, 24 Mei 2010 Kompas, Kubu Idaman Siapkan Pasangan, www.kompascetak.com, 2 Maret 2010, diunduh 20 Mei 2010 Kurniawan, Bagus, 2010, Idham Samawi Terpilih Ketua DPD PDIP DIY, www.detik.com, 7 Maret 2010 diunduh 20 Maret 2010 Syaifullah, Muh, Lebih 2 Juta Warga Tiga Kabupaten di DIY Nyoblos Pilkada, www.tempointeraktif, 23 Mei 2010, diunduh 27 Mei Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, MENJADI ACEH MENJADI ISLAM 17 “MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, MENJADI ACEH MENJADI ISLAM” (Membaca Identitas Masyarakat Majemuk Dan Refleksi Konflik Agama Di Wilayah Perbatasan-Aceh Singkel)1 Oleh : Muhajir Al Fairusy (Mahasiswa S3 Antropologi UGM, dan Peneliti PKPM Aceh) Identitas, dan jati diri merupakan salah satu konsep dalam kajian sosial budaya untuk melihat masyarakat majemuk. Diskusi ini terfokus pada keadaan masyarakat majemuk di Singkel, yang merupakan komunitas hitoregen di perbatasan Aceh. Perbincangan identitas di Singkel, bahkan ketika konflik meletus, jarang dimunculkan. Padahal, identitas merupakan konsep benang merah untuk melihat dinamika masyarakat di sana. Kajian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan etnografi, dengan menggunakan konsep identitas, dan pendekatan paradigma fenomenologi, untuk melihat kesadara manusia dan kelompok masyarakat di Singkel. Pada akhirnya, identitas menunjukkan satu pola dan benang merah, yang harus dibaca secara mendalam untuk mewujudkan integrasi sosial di tengah masyarakat majemuk Singkel. Kata Kunci : Singkel, Masyarakat Majemuk, dan Identitas. 1 Alasan saya tidak menulis Kabupaten Singkil (menggunaka huruf “i”), karena berdasar dokumen historiografi yang saya lakukan, dan dibenturkan dengan realitas sejarah, ejaan “Singkel” (menggunakan huruf “e” bukan “i”/Singkil) tampak lebih mengakar secara identitias, baik dari perjalanan sejarah, maupun bunyi pengucapan yang berkembang dalam masyarakat Aceh dan Singkel sendiri. Ejaan ini, juga dapat dibaca pada beberapa teks lama, termasuk dalam “Brochure, Kabupaten Aceh Selatan” yang diterbitkan oleh Kantor Kabupaten Aceh Selatan (1954). Ejaan, atau lebih tepatnya pengucapan Singkel menjadi Singkil, sebenarnya untuk mempertegas sebuah serpihan sejarah penting yang dicopot begitu saja dari bingkainya. Sebagai perbandingan, kata “Aceh,” jika disimilekan tentu tak akan menarik ditulis dan disebut dengan kata “Acih,” karena di sana terletak daya diplomasi budaya sebuah komunitas, pertarungan identitas, dalam rangka menguatkan konstruksi kesadaran sebuah bangsa seperti Singkel yang memiliki akar sejarah. 18 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 A. Pengantar Diskusi dalam ruang artikel ini, mencoba memperbincangkan kembali fenomena, gejala sosial budaya, atau kasus konflik di Aceh Singkel. Meskipun sudah berlalu selama satu tahun, tampaknya beberapa lembaga di level nasional masih menaruh perhatian, dan menyukai mendiksusikan (kasus) Singkel. Saya sendiri, beberapa kali mendapat informasi dari kolega di Jakarta lintas-kementerian, bagaimana sustainable-nya mereka bergelut dan mencoba memecahkan persoalan Singkel, yang barangkali oleh orang Aceh dan Singkel kasus tersebut sudah mulai memudar. Dari berbagai konsep (conceptual framework) kajian sosial budaya, konsep identitas (jati diri) sebagai frame of thinking, sering luput dan tidak terlalu kencang-muncul dalam rangka melihat refleksi dari kasus letusan konflik agama di teritorial perbatasan (frontir) Aceh Singkel. Selama ini, kajian-kajian sosial budaya terhadap Singkel, sering diarahkan dan dihadaphadapkan (dugaan) sebagai gejala intoleransi, kesenjangan ekonomi, paradigma kerja FKUB, dan kajiankajian sosial menyangkut potensi konflik, hingga kajian historis, dengan klaim sebagai sejarah yang berulang. Namun, belum menemukan satu formulasi (hukum sosial) yang jelas, bagaimana seharusnya konflik yang sering mengejutkan publik itu dibaca dan dihadang kemudian hari. Karena itu, kasus konflik di sana tampak seperti pembiaran, hanya menunggu waktu letupannya. Jika memang harus diselesaikan atau minimal dikurangi frekuensinya, pertanyaannya kemudian harus dimulai dari mana ? Selama beberapa kesempatan bergelut mempelajari dan melihat masyarakat Singkel, saya sampai pada satu titik untuk membuka simpul yang barangkali menarik untuk diperbincangkankonsep identitas. Konsep ini, kemudian interkoneksi dengan setiap gejala sosial, dan dinamika budaya yang kerap muncul di tengah masyarakat majemuk di sana. Harus diakui, Singkel merupakan kabupaten dengan komposisi penduduku bercorak hiterogenitas. Secara umumn, kelompok masyarakat Singkel dapat dibagi ke dalam tiga tipologi. Pertama, masyarakat pesisir (karakter Minang) bermayoritas Islam. Kedua, masyarakat pedalaman/pinggiran sungai “orang kampung” (karakter Boang) bermayoritas Islam. Ketiga, masyarakat di titik pusat kecamatan (perpaduan antara Boang dan Pakpak) seperti Kota Rimo dan kecamatan perbatasan dengan Tapanuli Tengah, pun dalam Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 19 MENJADI ACEH MENJADI ISLAM konteks kepercayaan, tipe ketiga ini juga terbagi ke dalam tiga kelompok, Islam, Kristen/ Katolik, dan Pambi (animisme). Namun, sebagai masyarakat majemuk, Singkel memiliki potensi menjadi masyarakat yang toleransi. Antara orang pesisir, penduduk pinggiran sungai, dan daratan memiliki kecintaan yang sama pada Singkel. Selain itu, keberadaan klan, dan marga meskipun berbeda agama, sebenarnya telah menjadi penyambung identitas orang-orang Singkel, terutama kelompok masyarakat yang menetap di tepi ketiga tadi, mengingat antarkerabat mereka, sebagian besar masih satu marga. Selain itu, aktifitas sosial yang kerap mempertemukan identitas berbeda tadi, dapat ditemukan dalam interaksi sosial seperti di pasar tradisional dan institusi adat lokal. Karena itu, dari catatan sejarah “Singke baru” di sana, masyarakat telah biasa hidup berdampingan dengan nilai-nilai toleransi yang kuat, karena mereka memiliki relasi klen dan kekerabatan yang luas-merujuk pada satu wilayah teritorial. Namun di sisi lain, keberadaan etnik Pakpak di Singkel (khususnya yang beragama selain Islam), yang telah menetap di sana sejak era kolonial, dalam perkembangannya mulai dipersoalkan, ternyata identitas mereka tak sepenuhnya diakui oleh penduduk lokal, maupun etnik Pakpak yang sudah beragama Islam. Pengaruh geopolotik Aceh sebagai wilayah yang dilebeli identitas Islam, berimbas pada kesadaran identitas (politik) penduduk di sana. Modal sosial klan tidak lagi berfungsi, ritual sebagai integrasi sosial dianggap sudah kurang layak, akibat rongrongan benih dan corak konflik yang bermuatan konspirasi, terorganisir dan didukung oleh kerja struktural. Akibatnya, banyak kerugian yang harus ditanggung kelompok masyarakat Singkel, pengaruh dari jaringan konflik yang mulai meletus sejak pertengahan tahun 60-an. Padahal, Singkel sangat membutuhkan integrasi sosial kuat untuk melanjutkan pembangunan wilayahnya yang masih tertinggal, jika dibanding kabupaten lainnya di Aceh. Karena itu, penelitian ini terfokus pada kerja-kerja membongkar jati diri, dan kesadaran orang Singkel menjadi “Singkel” dalam konsep pola budaya dan identitas, sebagai benang merah membaca dinamika masyarakat majemuk Singkel. B. Paradigma/Konseptual Sebagaimana diketahui, setiap kajian ilmu sosial budaya selalu bergerak dan berangkat dari sebuah paradigma dan konsep. Ahimsa Putra dalam Paradigma Ilmu Sosial-Budaya : Sebuah Pandangan (2009), mengatakan, bahwa 20 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 “...Ilmu sosial budaya, selalu bergerak dan berangkat dari sebuah paradigma. Paradigma merupakan konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis, membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan, dan menjelaskan kenyataan dan atau masalah yang dihadapi” (Ahimsa Putra, 2009). Dari defenisi ini memberi pengertian, bahwa paradigma berdiri dengan sejumlah unsurunsur atau konsep. Secara spesifik, paradigma adalah kumpulan makna dan pengertian-pengertian. Paradigma sendiri dalam rangka mencapai sebuah representasi (hasil penelitian) dipengaruhi oleh unsurunsur sebagaimana dikatakan Ahimsa Putra, dengan mengikuti jalan pikiran yang telah dibuka oleh Kuhn, Cuff dan Payne. Namun, dalam ruang artikel ini, unsur-unsur itu dan dijelaskan lagi. Namun, akan digunakan dalam mencapai representasi dari kajian ini. Dalam ruang artikel ini, saya mencoba menggunakan pendekatan (paradigma) fenomenologi, untuk menjelaskan konsep kesadaran identitas dalam konteks masyarakat majemuk Singkel. Sebagaimana diketahui, fenomenologi merupakan salah satu epistemologi atau arus pemikiran dalam filsafat yang diperkenalkan oleh Edmund Husserl dan kian diperjelas setelah dirumuskan oleh Hegel (Lihat Ahimsa Putra, 2012). Dalam fenomenologi, maka kesadaran sebagai pengetahuan merupakan hal penting bagi pelaku (subjek, tineliti) dalam menyampaikan sesuatu, berdasar klasifikasi yang disampaikan lewat bahasa. Karena itu, Fenonomenologi satu-satunya epestimologi yang menolak penyamaan manusia dengan alam, secara tidak langsung menolak positivisme. Dalam fenomenologi, manusia sebagai subjek memiliki kesadaran personal, yang kemudian menjadi pengetahuan kolektif saat bertemu intersubjek (lewa komunikasi). Di sini, tineliti (manusia) memiliki emik yang akan menjadi sumber data dalam penelitian. Filsafat ini pula yang kemudian menegaskan dan menunjukkan eksistensi manusia berbeda dengan alam, bahwa setiap gejala sosial yang muncul itu selalu berasal dari kesadaran manusia, dan dimaknai, ini tentu berbeda dengan gejala alam. Identitas, sebagai konsep jati diri, merupakan sekumpulan simbol atau tanda, baik fisik, materiel maupun perilaku-yang membuat seorang individu atau sekumpulan individu terlihat berbeda dengan individu atau kumpulan individu yang lain (bdk. Goodenough, 1976 dalam Ahimsa Putra, 2013). Karena itu, jati diri Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 21 MENJADI ACEH MENJADI ISLAM atau identitas terdapat pada tingkat individu maupun kumpulan individu. Kumpulan individu dalam hal menegasi identitas memiliki simbol atau tanda-tada, baik fisik, materiel, perilaku yang kemudian disebut identitas, dan ini pula yang membedakan mereka dengan kumpulan individu yang lain. Dalam konteks Singkel, identitas kelompok manusia, secara khusus dapat dibagi ke dalam dua ruang, sesuai simbol dan penanda yang dimiliki sebagai jati diri. Ruang pertama, identitas kelompok masyarakat berdasar bahasa dan teritoria (orang pesisir-baapo yang tinggal di pesisir Singkel, orang kadekade yang tinggal sepanjang aliran Sungai Singkel, dan orang pakpak/kade-kade yang tinggal di beberapa pusat kecamatan). Selanjutnya ruang kedua, kelompok masyarakat yang berbeda karena simbol agama (Islam, Kristen/Katolik, dan Pambi). Karena itu, di Singkel identitas kelompok manusia begitu pekat, dan membutuhkan kerja keras untuk mengupas simpul ini-dan melihat bagaimana seyogjanya kelompok-kelompok tersebut dapat bekerja membangun integrasi sosial nantinya. C. Metode Penelitian Keberagaman Singkel ini, nantinya merupakan perbincangan yang akan ditawarkan secara etnografik kontekstual, sehingga peristiwa-peristiwa yang selama ini terjadi di Singkel, yang dianggap asing akan meluas dan memantul pada diri (noetic) intelekutualitakosmopolitan (meminjam bahasa P.M. Laksono, guru besar antropologi UGM). Di sini, cerita akan ditampilkan dengan tafsir budaya, sebagaimana dikatakan Geertz (1972) bahwa prosedur deskripsi yang pekat (thic description) selalu diawali dari deksripsi yang dangkal (minus tafsir) dari suatu peristiwa yang diobservasi, kemudian dengan penuh argumen akan dikaitkan dengan fakta-fakta lain. Karena itu, penelitian ini untuk mengumpulkan data tentang kesadaran identitas kelompok masyarakat lintas teritorial dan agama di Singkel. Kajian ini, menggunakan metode penelitian kualitatif dan etnografi. Teknik pengambilan data dengan teknik observation (observasi) dan depth interview (wawancara mendalam). Peneliti juga melakukan perekaman data visual dengan pemotretan memanfaatkan kamera foto, nantinya data visual akan ditampilkan dalam laporan tulisan ini. Sebelum penelitian lapangan (field research) dilaksanakan, terlebih dahulu peneliti mengkaji berbagai literatur yang berhubungan dengan konsep kearifan identitas, serta pendalaman beberapa bacaan terhadap etnografi masyarakat yang akan diteliti. 22 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Strauss & Corbin (2003; 10-11) mengatakan bahwa, Teori yang grounded adalah teori yang diperoleh secara induktif dari penelitian tentang fenomena yang dijelaskannya. Karenanya teori ini ditemukan, disusun, dan dibuktikan untuk sementara melalui pengumpulan data yang sistematis dan analisis data yang berkenaan dengan fenomena itu. Dengan demikian, pengumpulan data, analisis, dan teori saling terkait dalam hubungan timbal-balik. Peneliti tidak memulai penyelidikan dengan satu teori tertentu lalu membuktikannya, tetapi dengan suatu bidang kajian dan hal-hal yang terkait dengan bidang tersebut”.2 Karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif, sehingga yang lebih dipentingkan adalah kualitas dan kedalaman data, bukan kuantitas data seperti pada metode penelitian kuantitatif. Peneliti tidak memanfaatkan kuisioner sebagai instrumen penelitian, tidak ada hipotesa, tidak mencari korelasi antar variabel, tidak ada sebab dan akibat (causality), tidak ada analisis data statistik, tidak ada prosentase responden terhadap populasi, dan tidak ada istilah responden sebagai narasumber pengumpulan data, mengingat semua adalah poin-poin Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif Tata Langkah dan Teknikteknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ciri khas pada metode penelitian kuantitatif.3 Sebaliknya, peneliti memanfaatkan interview guidance (panduan atau pedoman wawancara) sebagai instrumen penelitian, yang bersifat fleksibel dan menyesuaikan dengan kondisi di lapangan saat melakukan wawancara mendalam. Narasumber penggalian data adalah key persons dan informan, bukan responden. Penggalian data difokuskan pada makna (meaning) yang ada di dalam pikiran informan terhadap sistem kearifan lokal yang dipraktikkan dalam membangun kohesi sosial, serta jaringan sosial dan jaringan kekerabatan yang telah berlangsung sekian lama, dipahami, dialami, atau disaksikan. Untuk mencapai lokasi penelitian, yang tergolong jauh dari pusat ibukota provinsi Aceh, maka dari Banda Aceh, peneliti akan melakukan perjalanan darat selama 13 jam menuju Ibukota Kabupaten Aceh Singkel. Nantinya, peneliti akan menetap dan tinggal bersama masyarakat di beberapa kecamatan Kabupaten Aceh Singkel, selama waktu yang dibutuhkan dalam pengumpulan data berbasis pendekatan etnografi ini. 2 3 Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 23 MENJADI ACEH MENJADI ISLAM D. Pembahasan 1. Sejarah dan Titik Identitas “Singkel Baru” Dalam konteks historiografi, berdasar catatan/dokumen yang saya telaah, maka saya membagi Singkel dalam dua dunia, “dunia lama” dan “dunia baru.” Dunia lama berkonotasi Singkel abad ke-16-18 M, yang merupakan bandar pelabuhan penting, tempat singgah pendatang dari Timur Tengah, China dan Eropa, sekaligus penghasil kampe dan kapur barus. Selain itu, Singkel dunia lama merupakan Singkel yang memproduksi intelektual sekaliber Hamzah Fansuri dan Abdurrauf As Singkily, dengan identitas tunggalnya Islam. Adapun Singkel dunia baru, merupakan pembabakan Singkel yang dimulai pada era kolonial Belanda. Untuk memudahkan melihat tipologi Singkel yang saya klasifikasi, saya sengaja membagi pembabakan sejarah Singkel ke dalam empat ruang berdasar dokumen dan catatan lama. Pertama, Singkel dalam konteks dunia lama (pengaruh Islam dan sebagai bandar pelabuhan penting). Kedua, Singkel pada saat kedatangan Belanda sebagai pintu gerbang dunia baru, dan mulai membangun Kota Singkel. Ketiga Kota Kedua Singkel di era kolonial, dan ketiga apah yang dimaksud dengan Niew Singkel (Singke Baru) sebagai kota ketiga yang menjadi landasan sustainble perkembangan kota Singkel sekarang. Lebih spesifik dapat dilihat dari bagan berikut, 24 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Dari kotak-kotak bagan di atas, kita dapat melihat bagaimana perjalanan sejarah Singkel. Karena itu, mengingat kajian ini buka sebuah historiografi, maka saya harus mengambil salah satu konsep Singkel berdasar tipologi yang saya buat, yaitu Singkel “dunia baru” sebagai basis melihat identitas dalam kajian ini. Singkel “dunia baru” yang saya maksud, memiliki ciri sebagai masyarakat majemuk, multi jati diri, sekaligus titik identitas sebagai kawasan geopolitik Aceh. Karena itu, simbol ini menjadi gerbang utama yang menjadi acuan melihat identitas yang telah dimulai diprakarsai oleh Belanda terhadap masyarakat majemuk Singkel, melalui kerjakerja membangun kelompok masyarakat dengan identitas baru, yang berlangsung hingga sekarang. Selanjutnya, dalam konteks artikel ini, pembahasan dimulai dari deskripsi histroris singkat terkait sejarah perkembangan pembentukan Singkel Baru, untuk membongkar identitas masyarakat Singkel. Identitas Singkel dalam dunia baru, dalam perkembangannya kemudian sebagai kabupaten Singkel merupakan identitas sosial yang ascribed (diperoleh begitu saja) sejak Belanda membangun teritorial Singkel pada tahun 1840 M. Namun, dalam perkembangannya, beberapa masyarakat pendatang ke Singkel, maka identitas diperoleh dengan achieved (harus mencapai),4 karena kencangnya negosiasi identitas saat seseorang harus menjadi Singkel, terutama dalam konteks gagasan dan perilaku perbedaan (agama) antarmasyarakat. Harus diakui, mengenai historiografi Singkel (khususnya terfokus pada masa kolonial), selama ini jarang disentuh dan dibumikan lewat lembaran buku dalam jumlah berbilang, sebagaimana sejarah Aceh era kolonial yang seakan dapat dilihat utuh dan bernuansa epos. Di sini menunjukkan posisi historiografi Singkel (masih) lemah. Apalagi selama ini, kecenderungan narasi sejarah hanya dihegemoni oleh wilayah-wilayah tertentu di Nusantara, termasuk dalam skala Aceh sendiri. Padahal, catatan sejarah era kolonial, adalah kunci melihat dinamika Singkel. Setidaknya, untuk melihat Singkel di era kolonial, ada dua artikel (dokumen), yang menurut saya cukup membantu mendeskripsikan wilayah perbatasan Aceh ini pada masa tersebut. Pertama, tulisan dan kajian yang dilakukan oleh Sri Wahyuni, dkk (2003) dalam bundel “Laporan Budaya Masyarakat Suku Bangsa Singkil,” yang diterbitkan oleh Balai Lihat Ahimsa Putra, Budaya Bangsa, Jati Diri dan Integrasi Nasional ; Sebuah Teori, Jejak Nusantara, Edisi Perdana, Tahun I, 2013, h. 7-19 4 Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 25 MENJADI ACEH MENJADI ISLAM Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh. Kedua, tulisan Sudirman di laman web “Sejarah Maritim Singkil.5Dua artikel ini, menjadi referensi sejarah yang paling memungkinkan untuk diakses, dalam rangka memahami Singkel di masa kolonial. Kedua tulisan ini juga memiliki banyak kesamaan, sehingga Singkel masa kolonial bisa dilihat dari satu arah paradigma (pandangan) saja. Selain itu, ada beberapa video (dokumentasi Kompas) yang dapat menjadi dokumen pendukung. Meskipun, dokumentasi yang dibuat kompas terkait dengan Singkel era kolonial, juga tak dapat dilepas dari narasi dua tulisan sebelumnya yang terlebih dahulu membahas Singkel pada masa tersebut. Sebagaimana diketahui, kedatangan Belanda ke Nusantara, menjadi pembabakan baru dalam sejarah Nusantara berikutnya. Era ini, menjadi barometer setiap wilayah di Nusantara melakukan transformasi dan konversi pola hidup, dengan framing globalisasi ala barat. Pun, sekaligus memasuki pembabakan sejarah baru-setelah lepas dari gaya hidup monarki (kerajaan) menuju kesatuan Republik Indonesia. Negosiasi politik yang terjadi saat masuknya Tulisan ini dapai diakses pada laman web dirmanmanggeng.blogspot.co.id. Dipublikasi pada tanggal 17 Februari 2009. 5 orang-orang Barat (Belanda) tersebut, ikut merombak struktur budaya kerajaan-kerajaan kecil menjadi wilayah kewedanan di bawah kontrol dagang VOC. Singkel, juga demikian, mengalami masa transisi hebat era dan pascakolonial. Keberadaan “Singkel baru” yang pertama sekali muncul dan diperkenalkan oleh Belanda untuk menunjukkan perkembangan sebuah kota yang mereka bangun sejak Tahun 1840/1841 s/d 1890 M, memang cenderung banyak menguntungkan pendatang dari Sumatera Utara, terutama etnik Batak (Pakpak)-situsi yang sama terjadi dalam masyarakat di Sibolga dan Barus, di mana kebijakan politik Belanda cenderung menguntungkan etnik Batak dibanding Etnik Melayu, Minang dan Aceh (Lihat Tanjung, 2016). Khusus di Singkel, etnik Pakpak mereka didatangkan sebagai buruh di perkebunan Belanda. Dari kunjungan (observasi) saya ke Kabupaten Pakpak Bharat dan Tapanuli Tengah, masyarakat di sana sebagian besar beragama Kristen dan Katolik. Selain itu, di sana masih berkembang kepercayaan animisme Parmalim.6 Kontak Dalam perkembangannya, penduduk yang beraliran kepercayaan Pambimendapat pengaruh Kristen pada tahun 1965 M, yang dibawa oleh pendatang baru dari Manduamas dan 6 26 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 budaya lewat migrasi penduduk ke Singkel, menjadi jawaban paling memungkinkan terjadinya difusi budaya, yang menelurkan akulturasi, antara penduduk Singkel daratan dengan pendatang kelompok Pakpak ini. Perpindahan penduduk dari dua kabupaten tersebut ke Singkel terjadi secara besar-besaran pada era kolonial. Karena kebutuhan buruh sawit dan dorongan ekonomi dalam rangka memburu minyak kayu (Singkel : ombil) yang hanya ada, dan tersebar di hutan Singkel ketika itu. Karena itu, istilah Singkel Baru (Belanda ; Niew Singkel) yang diperkenalkan Kolonial, secara tidak langsung menunjukkan makna konversi sebuah peradaban sekaligus identitas kelompok manusia baru-dengan atribut politik kolonial. Meskipun, dari catatan sebelumnya Singkel Baru hanya ditulis sebatas perpindahan dari lokasi lama ke lokasi baru. Namun, tentunya Singkel baru tampil dengan ciri khas identitasnya, yang berbeda dengan jati diri, dan simbol Singkel dalam konteks “dunia lama”-di atas panggung sejarah Islam Nusantara. Di sini, Singkel baru yang dikonstruksi oleh Barus. Tak pelak, banyak warga kemudian beramai-ramai mengonversi kepercayaan menjadi pemeluk agama (Katolik dan Kristen di sana). Selain itu, sebagian dari mereka juga memilih menjadi Muslimsetelah mendapat pengaruh dari Trumon, Aceh Selatan dan penduduk pinggiran sungai. Belanda menjadi simbol sustainable, meneruskan perjalanan sebuah makna kota, dan kebudayaan hingga sekarang.7 Istilah Singkel Baru yang ditabal oleh Belanda, selanjutnya kembali dipopulerkan dalam sebuah video dokumentasi Ekspedisi Cincin Api Kompas. Karena itu, catatan sejarah ini menjadi penting melihat pembentukan identitas baru, yang kemudian berdinamika. 2. Kesadaran Menjadi Manusia Singkel bagi Pendatang (Pakpak) Dalam banyak fase kebudayaan masyarakat (pada awal kajian antropologi berkembang), hampir seluruh anggota masyarakat yang memiliki psikologi masif, selalu menekankan pentingnya homogenitas identitas (agama, kesukuan, ras) dalam interaksi sehari-hari. Sikap ini, telah memunculkan semangat antipluralis, diskriminatif, dan kesadaran primordialisme sempit telah menjadi ideologi utama, yang sering diakhiri dengan tindakan counter-productive-wajah dari konflik atas dasar suku, ras, agama, dan kebudayaan lokal (Lihat Setiadi dalam Ahimsa Putra (ed), 2006 : 174-176). Singkel Baru sebagai bagian sosio kultura identitas, merupakan cikal dari wajah Singkel sekarang dengan ragam suku, dan berciri industri perkebunan sawit. 7 Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 27 MENJADI ACEH MENJADI ISLAM Etnomigrasi merupakan fenomena yang telah berlangsung lama di Singkel. Secara geopolitik, keberadaan mayarakat majemuk Singkel telah mewarnai Aceh dalam bingkai diplomasi budaya, dan multikultur (Lihat, Al Fairusy, 2015 dalam Warta Ar Raniry, Edisi II). Namun, Dalam perkembangannya, penduduk pendatang Pakpak yang masih mempertahankan agama warisannya (Kristen), dianggap telah melawan kultur dan aturan lokal. Para imigran kemudian harus bergulat dengan nilai-nilai budaya lokal (Singkel) dan menghadapi lapisan kompleksitas tambahan, yaitu etno-religius yang telah mengakar dan dihegemoni oleh penduduk manyoritas (Muslim). Kompleksitas elemen persoalan ini, telah memunculkan gesekangesekan, dan dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, terutama dengan memanipulasi simbol (agama, bahasa, dan ideologi) untuk dijadikan pembenar melakukan tindakan-tindakan kekerasan, seperti yang meletus pada tanggal 13 Oktober 2015. Fenomena migrasi, satusatunya alasan paling kuat yang membentuk pluralitas agama di Singkel, terutama mobilitas perpindahan masyarakat beretnik Batak dan Pakpak, yang selanjutnya menetap di Singkil. Ada banyak cerita migrasi dan kedatangan penduduk beragama Kristen ke Singkel. Seorang Kepala Jemaat Katolik bermarga Simanjuntak bercerita pada saya, kakeknya merupakan pendatang dari Pakpak Bharat pada tahun 1918 M. Pertama sekali datang ke Singkil dengan jumlah 10 Kepala Keluarga lain. Pada saat itu, kakeknya masih penganut aliran kepercayaan Pambi. Mereka datang atau “lari” ke Singkel, karena mendapat tekanan politik dari Belanda pada saat perang kolonial. Sejak berada di Singkel, mereka menjadi pengepul, dan pengumpul minyak kayu untuk obat sakit perut. Orang-orang tempatan tempo dulu lebih mengenal dengan sebutan “minyak kayu kapur,” yang terdapat paling banyak di hutan Singkil. sejak saat itu, mereka memilih menetap di perbatasan Singkel hingga sekarang. Etnik Pakpak di Singkel, sebagian besar datang dari Kabupaten Manduamas, Dairi dan Phakpak Barat-Sumatera Utara. Proses amalgamasi yang berlangsung lama sejak abad ke-19, menjadikan etnik Pakpak melebur dengan etnik Boang (kade-kade), sehingga banyak penduduk memiliki marga yang sama walau berbeda agama. Karena itu, penduduk lokal dengan kaum migran di Singkel (khususnya di daratan dan pedalaman), sebagian besar masih dalam garis kesatuan etnik. Dalam perkembangannya, nilai-nilai pola kebudayaan menampakkan ke-nyarisan tidak ada perbedaan lagi antara penduduk lokal (Boang) dan pendatang (Pakpak), yang mulai menunjukkan 28 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 identitas tunggal, perilaku dan bahasa-kecuali agama. Mereka menampilkan unsur kultur, bahasa, dan adat istiadat yang berkembang sesuai karakteristik masyarakat tempatan. Persentuhan budaya dan integrasi etnik Pakpak dan Boang, dapat dilihat dari klen marga yang digunakan oleh manusia Singkel secara kolektif (meski berbeda agama) di belakang nama mereka (Bancin, Cibro, Manik, Angkat, Berampu, dan lainnya). Kesatuan etnik serumpun ini (proto Melayumeminjam istilah Muhammad Said) merupakan modal sosial kuat dalam sistem jaringan sosial masyarakat Singkel. Meskipun, dalam perkembangannya, agama menjadi identitas baru dalam lingkaran klen masyarakat Singkel daratan. Adakala, penduduk Singkel harus memilih antara agama dan adat (menjaga klan, dan marga). Namun, biasanya keduanya dijalankan beriringan, klan dan marga tetap dijaga, meskipun agama sudah berbeda. Agama dan kepercayaan telah lama menguasai wilayah-wilayah di Singkel, dapat dipastikan tidak ada penduduk Singkel yang tidak menganut sistem religi. Keberadaan Islam, Kristen dan Parmalim sebagai sebuah ideologi keimanan, bergerak perlahan mewarnai pemukimanpemukiman penduduk Singkel. Identitas lintas-keimanan ini dapat dilihat dalam masyarakat Singkel, terutama di teritorial perbatasan yang semakin Sumatera Utara. dekat dengan Pendatang dari Sidikalang umumnya beragama Katolik. Menurut beberapa orang informan saya dari Katolik, mereka yang masih memiliki garis keturunan dari Sidikalang, Sumatera Utara. Kakek dan orang tua mereka mulai datang ke Singkil pada tahun 1930 M. Dalam perkembangannya, secara bertahap, pendatang dari Pakpak kemudin membuat pemukiman baru di wilayah daratan dan pedalaman Singkel, dan sebagian ikut membaur dengan penduduk Boang yang telah lama menetap di Singkel (pinggiran sungai). Gereja tertua di Singkel adalah milik Jemaat Katolik, di Kuta Kerangan, Kecamatan Simpang Kanan. Dari informasi jemaat Katolik di sana, Gereja ini telah dibangun sejak era Belanda dengan denominasi Gereja JKI (Jemaat Kristen Indonesia). Namun, sebagian penduduk pendatang mengganti agama lama mereka, dan mengikuti agama (Islam) yang telah dianut oleh penduduk Boang. Sejak itu, perbedaan agama dan etnik menjadi keniscayaan di Singkel antara orang Pakpak sendiri. Proses konversi agama ini yang menarik, sebagian besar karena dipengaruhi oleh tekanan geopolitik Aceh-dan dianggap dapat menjadi manusia Singkel seutuhnya. Dari kesadara, dan ngomong-ngomong yang saya Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 29 MENJADI ACEH MENJADI ISLAM lakukan dengan sebagian besar muaallaf di sana, sebagian besar mereka menjadi Islam, beranjan dari pandangan untuk mencapai otoritas dan kedamaian, lewat ungkapan “Menjadi Singkel Menjadi Aceh, Menjadi Aceh Menjadi Islam.” Dalam tataran ideal, pada dasarnya penduduk Singkel sangat menjunjung ikatan kekerabatan dan marga. Dari beberapa informan lintas-agama di Singkel, saya mendapat informasi, termasuk prosesi menyambut hari raya masing-masing meski telah berbeda agama, hingga beberapa upacara lainnya, mereka masih tetap saling mengunjungi. Selama itu, hingga pertengahan abad ke-20, tidak ada gesekan atas nama “agama.” Kondisi Singkel di sini hampir sama dengan masyarakat kepulauan Kei. Lewat jaringan kekerabatan dan kesatuan etnik, mayarakat Kei menemukan kembali “perekat tradisi,” marga telah menjadi perekat paling kuat dalam membangun kesadaran manusai Kei untuk meninggalkan konflik, dan sama-sama membangun Kei (Lihat, Laksono dan Topatimasang (peny), 2004). Namun, Aceh sebagai wilayah yang dianggap melekat keislamannya, dengan masuknya komunitas migran dari provinsi tetangga secara berkelanjutan, yang ikut serta memboncengi nilai-nilai identitas asal, dan kemudian dihadapkan dengan masyarakat Singkel, di mana tradisi lokal telah dikooptasi dan diinisiasi oleh aturan keacehan (berwajah Islam) menjadi kontestasi politik tersendiri kemudian hari. Apalagi, pelaksanaan Syariat Islam dan Peraturan Gubernur Aceh terkait pembangunan rumah ibadah, terkesan ketat memantau perkembangan masyarakat (minoritas) selain Islam. Dalam perkembangannya, benturan identitas agama tak dapat dielakkan. Tekanan-tekanan aturan, dan paradigma gaya hidup keacehan menjadi warna baru bagi masyarakat Pakpak, yang telah lama menetap di Singkel-sehingga berpengaruh pada sikap memaknai saudara serumpun (se-etnik) dengan menarik garis batas kepercayaan yang tebal. Transformasi pemaknaan akibat intervensi makna, berujung pada tindakan, sikap, dan cara memandang pendatang (meski semarga) menjadi alasan kuatgesekan pemicu konflik meletus kemudian hari. 3. Agama Sebagai Identitas Geopolitik dan Persoalannya. Sejak Singkel masuk dalam geopolitik Aceh, pengaruh Islam dan adat keacehan sebagai doktrin tunggal yang menghegomoni, secara tidak langsung terus dipompa mengisi ruang-ruang tertentu dalam struktur masyarakat Singkel. Bahkan, pengaruh ini, 30 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 terasa dalam istilah yang berkembang di tengah masyarakat lewat ngomong-ngomong yang saya ungkapkan di atas, “Menjadi Singkil adalah menjadi Aceh, menjadi Aceh adalah menjadi Islam.” Tidak sedikit manusia Singkil yang dulunya beragama selain Islam, setelah menjadi Muslim merasa mendapat otoritas dukungan, dan seakan melebur menjadi utuh sebagai “orang Singkel dan Aceh.” Ekspansi/gempuran adat Aceh dan Islam, tidak hanya sampai di situ, Islam sebagai sebuah ideologi, perlahan kemudian digerakkan oleh kelompokkelompok keagamaan dalam rangka menaklukkan sisi heterogenitas Singkil yang telah ada sejak era kolonial Belanda. Gerakan ini, dipicu oleh konsep identitas, di mana kemudian mereka memandang identitas (baca ; agama) menjadi persoalan yang tak dapat dinegosiasi-karena faktorfaktor tertentu. Dari 11 (sebelas) kecamatan dalam Kabupaten Singkil, 6 (enam) kecamatan representasi Muslim, dan 5 (lima) kecamatan lagi, hidup berdampingan umat lintas-agama dan kepercayaan. Sebagaimana telah diperbincangka, bahwa heterogenitas keimanan di Singkil, dipengaruhi oleh migrasi yang sudah berlangsung lama. Kawasan ini memiliki 4 jalur lintas, dan pintu gerbang penghubung dengan kabupaten lain yang memengaruhi corak kehidupan masyarakat dalam perkembangannya, yaitu pintu gerbang menuju Aceh Selatan, pintu gerbang menuju Pakpak Bharat, dan Dairi, pintu gerbang menuju Tapanuli Tengah, dan pintu gerbang bandar-pelabuhan yang menghubungkan Singkel dengan Sibolga dan Nias. Dalam banyak diskusi, agama memang memiliki daya takluk tersendiri, menempatkan individu dalam wajah identitas berbeda. Kehadiran agama seyogjanya menjadi pendorong bagi pemeluknya untuk menegakkan perdamaian, dan peningkatan kualitas kemanusiaan. Namun, tak jarang simbol agama digiring sebagai alat pendorong dehumanisasi seperti di Singkel, yang berujung pada pelemahan banyak sendi di tengah masyarakat, dan mencabut akar tradisi jaringan kekerabatan klen manusia Singkil. Mengenai agama dalam kajian sosial, sudah sangat banyak diskusi dan perbincangan. Representasinya dapat ditemukan dan dilihat pada beberapa karya, dan tulisan yang telah dihasilkan oleh para ahli antropologi dan sosiologi, yang tersebar di rak-rak pustaka, dan toko buku. Selain itu, dalam banyak kajian sosial dan budaya, menunjukkan bahwa agama memiliki daya takluk tersendiri, dan menempatkan individu dalam wajah identitas yang berbeda-beda sesuai simbol agama yang melekat. Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 31 MENJADI ACEH MENJADI ISLAM Para ahli antropologi, pada dasarnya membedakan antara agama dan religi. Religi sendiri merupakan serapan bahasa asing (Barat) dari kata “Religion” yang bermakna ikatan atau pengikat diri. Sedangkan agama bermakna peraturan dan ajaran. Di sini, kata religi lebih bersifat personalistis, dan menunjukkan pribadi manusia sekaligus menonjolkan eksistensi manusia. Karena itu, sangat terbuka kemungkinan-kemungkinan untuk dikaji dan dikupas lebih lanjut. Selain itu, dalam rangka mempelajari masalah yang berkaitan dengan agama atau religi lewat antropologi, tidak mempelajari agama atau religi sebagai sistem teologi, melainkan studi mengenai berbagai gejala tanggapan manusia, kepercayaannya (system of belief) dan gejala-gejala pengalaman batinnya (Adimihardja, 1976 : 84-85) Peristiwa 13 Oktober 2015 di Singkel, sebenanrya bukan konflik agama, melainkan negosiasi identitas yang gagal dikompromikan. Konflik horizontal ini telah menjadi isu nasional. Media tampak berlomba menyajikan kasus yang terjadi di wilayah perbatasan Aceh tersebut. Kasus ini menjadi magnet, karena menyangkut koyaknya toleransi manusia Indonesia, seiring gaung pluralitas yang sedang dibangun di negara berbasis Bhineka Tunggal Ika. Nyawa dan api yang membakar rumah ibadah, menjadi tontonan apik yang dibungkus narasi media, varian tafsir dan amatan muncul, mencoba mendefinisikan apa yang sedang berlangsung di Singkel. Sedotan perhatian publik nasional terus meluas, di mana mana topik hangat pembicaraan adalah “Singkel” (Al Fairusy, dalam Serambi Indonesia Damailah Singkil, 17 Oktober 2015). Letusan konflik ini, tampak seperti api dalam sekam, identitas yang majemuk akibat transformasi dan integrasi geopolitik gagal dibaca oleh negara dan pengambil kebijakan di Singkel. Elit benarbenar lengah dan lamban dalam melakukan rekayasa sosial dan membuat ritual besar, untuk mengintegrasikan identitas-identitas masyarakat Singkel “dunia baru” yang telah ber-sporadis. Situasi ini, diiringi pelemahan sistematis modal sosial di Singkel. Saya ingat betul, menjelang siang hari Sabtu, 10 Oktober 2015, setelah menyebrang sungai Lae Alas dari Kecamatan Kuala Baru, Aceh Singkil. Seorang warga Singkel yang saya jumpai di Kilangan, memberi info mengejutkan, seruan dari sms yang ia terima, untuk berkumpul di Tugu Lipat Kajang pada tanggal 13 Oktober 2015. Pesan ini, tampak dikirim secara masif oleh pengirim, sebagai sinyal awal-3 hari lagi akan segera meletus konflik gesekan antarumat beragama di Singkel. Namun, dibiarkan !! 32 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Seyogjanya, konflik yang berujung pada intoleransi, dan penghilangan nyawa manusia ini tak perlu terjadi, jika negara cepat bergerak dan mencegah. Apalagi, konflik antar-umat berbeda identitas agama di Singkel, bukan yang pertama, tapi rentetatan dari pengulangan konflik yang tak pernah dituntaskan secara permanen (1968, perjanjian 1979 hingga sekarang). Identitas Singkel baru yang dikonstruksi oleh kolonial, ternyata menghadapi persoalan kegagalan negosiasi kemudian hari-dalam konteks geopolitik Aceh. E. Kesimpulan Tulisan dan perbincangan teks ini telah menunjukkan peran kebudayaan dalam konteks identitas memahami masyarakat majemuk. Untuk dapat memahami Singkel, dengan persoalan identitas, maka sebuah komunitas masyarakat majemuk seperti Singkel perlu dimaknai dan dicari benang merah lewat kerja-kerja antropologi yang membutuhkan waktu lama untuk menemukan pola melihat masyarakat Singkel secara mendalam, seperti konsep identitas. Masa depan Singkel, menyangkut masa depan banyak partikel, terutama citra Islam dan Aceh, lalu masa depan citra Indonesia sebagai negara plural yang akan diperhatikan oleh global. Karena itu, pemutusan jaringan konflik, dan kesepakatan damai harus segera direalisasikan lewat pemahaman kesadaran identitas yang majemuk dari manusia dan kelompok masyarakat Singkel. Identitas Singkel baru, dan etnomigrasi harus dikaji secara mendalam lewat pendekatan fenomenologi, serta penyebab muncul ketimpangan struktur sosial masyarakat perbatasan tersebut. Di sini, komunikasi sosial dan budaya keniscayaan. Rekayasa sosial dan ritual budaya harus dihadirkan. Apalagi, benturan identitas dengan negosiasi kedakuan Singkel, seyogjanya harus dicari makna dibalik gejala sosial tersebut dengan penelitian yang lebih mendalam. Dalam konteks hubungan antarumat beragama, jika kesadaran identitas sebagai konsep dapat dibaca, sangat memungkinkan terbentuknya hubungan harmonis. Tentunya, hubungan timbal balik (principle of reciprocity) dan pertukaran sosial (social exchange) harus dijadikan sistem ideal yang mempengaruhi sistem pemikiran masyarakat setempat menuju integrasi sosial. Pada akhirnya, kesadaran memaknai identitas saudara se-etnik sangat penting di Singkel. Kerjakerja ini yang kemudian absen di sana. Di sisi lain, provokasi luar yang dapat memperkeruh dan membelah masyarakat Singkel harus dideteksi. Pun, perhatian elite dan negara yang serius memahami gesekan persoalan warganya, bukan Muhajir Al Faisury, MENJADI SINGKEL MENJADI ACEH, 33 MENJADI ACEH MENJADI ISLAM membiarkan akumulasi kekecewaan dan ketidakadilan yang selama ini kerap muncul di sana. Konsep identitas dan kesadaran satu klan, harus benar-benar diritualkan di Singkel, sehingga masyarakat majemuk tersebut, dapat hidup berdampingan dan memungkinkan terciptanya integrasi sosial. DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, Kusnaka, Kerangka Studi ; Antrhopologi Sosial dalam Pembangunan. Bandung : Tarsito. 1976. Ahimsa Putra, Shri, Heddy, Budaya Bangsa, Jati Diri dan Integrasi Nasional ; Sebuah Teori, Jejak Nusantara, Edisi Perdana, Tahun I, 2013, h. 6-19. ------------------, Fenomenologi Agama : Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama, Walisongo, Volume 20, Nomor 2, November 2012, h. 271-304. ------------------. Paradigma Ilmu Sosial-Budaya : Sebuah Pandangan. 2009. Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Strauss, Anselm & Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif Tata Langkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003. Tanjung, Liana, Ida, Antara Orang Pasisir dan Orang Batak di Tapanuli : Kesadaran Identitas Etnik di Barus dan Sibolga, 1842-1980-An, Ringkasan Disertasi, Fakultas Ilmu BudayaUGM, 2016. Koran/Majalah Al Fairusy, Muhajir, Damailah Singkil, Serambi Indonesia, Opini, 17 Oktober 2015. Al Fairusy, Muhajir, Kultur Konflik, dan Ekspresi Etnomigrasi, Warta Ar Raniry, Edisi II Tahun 2015, hal. 37-40 34 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 35 Dalam Kajian Foucult dan Coleman Gelombang Transformasi Sosial Politik Dalam Kajian Foucault dan Coleman (Kajian Sosiologis Pergolakan Partai Lokal dan Nasional di Pilkada Aceh) Oleh: Masrizal, S.Sos.I., MA1 Abstrak Artikel ini mengurai tentang gelombang transformasi sosial politik di Pilkada Aceh yang diperankan oleh partai Politik Lokal dan nasional, dengan melihat pendekatan kajian Foucault “Relasi Kekuasaan” dan Coleman “Teori Pilihan rasional”. Intinya berbicara relasi kekuasaan dalam pandangan Foucault (1982) bahwa relasi kekuasaan tidak dipahami dalam suatu hubungan kepemilikan sebagai properti, perolehan, atau hak istimewa yang dapat digenggam oleh sekelompok kecil masyarakat dan yang dapat terancam punah. Tetapi Kekuasaan menurut Foucault mesti dipandang sebagai relasi-relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan, yang mempunyai ruang lingkup strategis. Memahami kekuasaan bukan dengan mengajukan pertanyaan apa kekuasaan itu atau siapa yang memiliki kekuasaan atau dari mana kekuasaan itu bersumber, melainkan memahami kekuasaan mesti didekati dengan mengajukan pertanyaan bagaimana kekuasaan beroperasi atau dengan cara apa kekuasaan itu dioperasikan. Hal ini juga dijelaskan oleh Coleman (1990:13) tentang Teori Pilihan rasional yang sangat tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa “tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan itu) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi)”. Maksudnya Coleman menjelaskan bahwa kehidupan orang tak selalu berperilaku rasional, dengan asumsinya bahwa ramalan teoritis yang ia buat adalah untuk melihat apakah aktor bertindak tepat menurut rasionalitas atau menyimpang dari cara-cara yang diamati (menyimpang dari rasionalitas). Melihat pada kajian ini jelas proses Pilkada yang berlangsung dewasa ini tidak didasari pada perilaku rasional tetapi sebaliknya. Metode library menjadi sebuah kajian analitikal dalam melihat trasformasi sosial politik di Pilkada Aceh dengan kajian sosiologi politik Keywords : Tranformasi sosial, Pilkada , relasi kekuasaan, pilihan rasional 1 Dosen Sosiologi FISIP Unsyiah, Mahasiswa Doktoral (S3) Sosiologi Universitas Gadjah Mada 36 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 pergolakan politik uang merupakan Pendahuluan Pesta demokrasi diselenggarakan mendatang yang tahun akan 2017 menghadirkan pertarungan yang cukup sengit diantara calon perseorangan dan calon partai-partai politik, baik itu partai politik lokal mapun partai politik nasional meramaikan daerah yang ikut pemilihan kepala (Pilkada), untuk memperebutkan salah satu kursi dipemerintahan, baik sebagai gubernur/wakil atau walikota/bupati dan berbagai dilakukan upaya wakilnya, oleh kandidat baik calon perseorangan maupun calon dari parpol-parpol tersebut, dan ini sangat menarik jika dilihat dalam kajian Sosiologi pendekatan Foucalt tentang relasi kekuasaan dan Coleman dalam pendekatan teori pilihan rasional. Pola berkembang Pilkada, yang saat salah satu cara yang dilakukan untuk memuluskan impian tersebut. Politik uang merupakan pemberian uang atau barang supaya disaat pilkada seseorang menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu. Namun artikel ini tidak berbicara spesifik tentang politik Uang tetapi lebih kepada pergolakan politik yang diperankan oleh partai Poltik Lokal dan partai politik nasional. Disamping itu yang mengherankan hampir semua masyarakat Aceh masih adanya politikal saling menjatuhkan diperankan oleh si calon pemimpin maupun tim suksenya, baik itu di media Sosial (Facebook, WA, Twitter dll) maupun di warungwarung kopi atau ruang publik lainnya yang menjadi tempat berkumpulnya para tim sukses, misalnya saling menuding calon si sering A salah dan si B benar, harusnya pelaksanaan politik yang baik tidak saling salahsatunya adalah menjatuhkan tetapi saling Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 37 Dalam Kajian Foucult dan Coleman mendukung, kalau tidak percuma diri masyarakat, karena hampir saja Politik Damai menjadi icon semua yang ditawarkan kepada masyarakat sepakat bahwa pola demokrasi dalam harus mendukung jalannya masyarakat dan elitnya dipertahankan dalam pemilihan kepala daerah di masing- menjalankan masing kabupaten/kota di Aceh. Indonesia, tidak terkecuali Aceh, Merubah pola perpolitikan seperti ini bukan perkara mudah, namun juga tidak sulit ketika masyarakat dan pendukung calon kepala daerah mengembalikannya kepada hukum khusus yang dimiliki Aceh yakni “Syariat Islam”. Dimana apa yang diperankan oleh masyarakat, elit harus berdasarkan kepada aturan yang sedang berlaku di daerah tersebut, sehingga inilah yang membedakan wilayah Aceh dengan diluarnya. Jika hal ini tidak dipraktikkan maka sama halnya kita mempertontonkan kepada publik di Luar Aceh bahwa Keistimewaan Aceh tak lebih hanya kepentingan dan simbolik euforia Kejayaan Aceh dimasa silam. Perjalanan kekuatan ini dikembangkan, Autoritarian memang perlu ditanamkan di dalam yang di harus terus karena pola dikembangkan dimasa Orde baru hampir semua masyarakat menklaim bahwa pola perpolitikan dimasa tersebut dinyatakan gagal dalam menjalankan pola ruang publik dalam berkreasi, jadi untuk itu perlu semangat positif yang diarahkan dalam menjawab tantangan pasca reformasi. Meskipun Aceh memiliki historis yang panjang terhadap konflik, tetapi tidak membuat semangat demokrasi harus pudar tetapi semangat tersebut terus dikembangkan untuk menuju yang lebih baik. Meskipun banyak pihak tidak sepakat Aceh bersatu dalam menjawab demokrasi perpolitikan (kemiskinan, kesejahteraan pengangguran dll) tetapi bagaimana masyarakat dan 38 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 elitnya yang akan bertarung dalam Islam dan beberapa icon daerah Pilkada mampu kabupaten/kota telah menerapkan mewujudkan dan memberikan rasa visi dan misi tersebut, hanya saja kenyamanan perlu 2017 nanti kepada warganya penguatan dalam memberikan hak pilihnya masyarakat dalam mencapai tujuan demokrasi, lainnya. meskipun elit Luar Aceh terus berupaya agar proses demokrasi di Aceh tidak berjalan seperti yang diharapkan oleh penyelenggara negara (KIP, Bawaslu, Panwaslih, dll). Realitas elitnya, pihak swasta menunjukkan bahwa besarnya kepentingan elit luar Aceh terhadap jalannya pesta akbar di Aceh jelas sudah tercium sejak beberapa bentuk Meminjam dan dari tahun lalu, kontestasi misalnya, yang telah icon dimainkan oleh Jakarta jelas sudah Yogyakarta, rasanya menarik untuk terbaca sejak digadang-gadangkan diterapkan di Aceh, seperti “ sosok tokoh Aceh Tarmizi Karim, Yogyakarta ini Abdullah Puteh dan lain-lain yang apa yang mengeyam istana parlemen dan pada Hati istana kementerian untuk menjadi dalam calon Gubenur, tetapi hal tersebut menjawab tidak menjadi momok yang berarti tantangan zaman yang semakin hari bagi tokoh Aceh dari Partai Lokal terus untuk Berhati Nyaman” menunjukkan bahwa dilakukan didasari masing-masing warganya menjalankan dan memiliki perubahan, ini berkompetisi di Pilkada membuktikan bahwa perpolitikan Aceh, Apalagi yang dijagokan dari yang didasari partai lokal Aceh adalah orang melalui keyakinan hati masing- nomor dua di Aceh periode sedang masing masyarakat dan elitnya. Pola berjalan, dan juga ketua partai lokal ini tidaklah sulit dikembangkan di yang memiliki kursi terbanyak di Aceh karena Aceh menganut syariat DPRA atau pemenang pemilu 2014 dijalankan harus Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 39 Dalam Kajian Foucult dan Coleman lalu di Aceh, Yakni Muzakkir Juga Kader Partai Politik Nasional Manaf (Partai Aceh) Irwandi Yusuf dari PAN, kecuali Zakaria Saman, (Partai Nasional Aceh) dan dari memilih jalur perseorangan Zaini Abdullah peguruan (gubenur), Zakaria Saman (petinggi akademisi yakni Teuku Alaidinsyah PA) dan Abdullah Puteh (mantan (dosen Teknik Unsyiah). Ini juga Gubenur Aceh). menjadi bukti tersendiri bagi politisi Uniknya hampir semua wakilnya dari partai membuktikan Nasional. bahwa Ini Aceh memang sudah menjalin hubungan baik dengan Pusat dalam menjalankan roda pembangunan. Sebut saja Tarmizi Karim yang menjadi wakilnya T. Machsalmina Ali, Kader Golkar (partai nasional), Muzakkir Manaf wakilnya, T.A, Khalid, Partai Gerindra (partai nasional), Irwandi Yusuf, wakilnya wakilnya dari tinggi, unsur seoarang Indonesia bahwa Pilkada Aceh unik dan menarik untuk dikaji, dimana banyak orang berfikir Aceh sulit menyatu dengan aktor partai politik nasional tetapi kenyataannya itu berbalik dengan stigma mereka dari luar Aceh yang merasa Aceh tidak akan berdampngan dengan partai Nasional. Sehingga ini membuktikan Aceh ingin selalu menjaga keutuhan dalam menjaga NKRI. Nova Iriansyah, Partai Demokrat, Pilkada menjadi sangat penting (partai jalur dalam kehidupan bernegara karena perorangan juga sebagian wakilnya rakyat harus memilih kandidat dari kader dari partai politik nasional partai atau kandidat perseorangan Zaini wakilnya yang dapat benar-benar membawa Nasaruddin (kader golkar) namun aspirasi dan kepentingan dalam memilih formulasi kebijakan pemerintahan nasional), untuk Abdullah, naik dari calon perorangan/independen, Abdullah nantinya. Sebagai sebuah Puteh, Wakilnya mekanisme, Pilkada kemudian Sayed Mustafa, 40 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 diharapkan dilaksanakan secara sejarawan dari berbagai hasil bebas dan setara ( free and fair), laporan perjalanan orang asing dari dimana sistem pemilu menjamin berbagai bangsa dan agama. Hal ini hak individu dan adanya sistem pula yang mendasari pemikiran kontrol Otto Syamsuddin Ishaq (2013: 95- bagi menajemen pelaksanaan pilkada. Di dalam 96) Pilkada, problem revolusi Politik di Aceh yang struktural maupun problem kultural dimulai sejak periode kesultanan, yang periode akan terjadi kemudian perilaku membentuk politisi dan perilaku yang menjeaskan Kolonial republik. adanya dan Periode periode kesultanan pemilih. Pertautan kedua perilaku merupakan masa keemasan (golden inilah yang kemudian membentuk age) sebuah zaman ideal representasi lebih masyarakat terkesan penyerahan mandat yang penerapan bersifat politik transaktif dipengaruhi oleh yang Aceh, hukum dan banyak kejayaan uang. Politik kemakmuran bagi dimana Islam politik dan sekaligus terwujud, dimana transaktif di dalam Pemilu gelombang transformasi politik dan kemudian disebutkan sebagai aktor dipegang oleh ulama dan umara, korupsi Pemilu. Liddle (1997: 238-240), Menyimpulkan bahwa self image orang Aceh sangat dipengaruhi oleh sejarahnya yang unik. Hal ini seperti sejarah lisannya yang diwariskan turun temurun, dengan berbagai bentuk memori menjadi cerita bersama daripada sejarah yang dikonstruksikan oleh para karena mereka adalah perumus dan pemimpin. Periode kolonial lebih pemikirannya banyak arah dipengaruhi oleh warga asing, meskipun spirit ke Islaman tetap mengental dalam jiwa warga Aceh, yang dalam kajian tertentu disebut dengan ideologi Jihad menyatu dengan kehidupan masyarakatnya. Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 41 Dalam Kajian Foucult dan Coleman Terakhir, gelombang transformasi Pergolakan Partai Politik Lokal politik dan Partai Politik Nasional di Aceh bergeser kepada Republik, dimana saat itu terjadi Pilkada perdebatan Sosiologi (Relasi Kuasa dan sengit antara masyarakat dan pemimpinnya, ada sebagian warga menginginkan Aceh tetap berada diluar republik, dengan tetap pada Idoelogi Jihad mewujudkan Aceh sebagai daerah yang menganut Islam secara seutuhnya, tetapi pemikiran itu mulai memudar setelah Soekarno mampu meyakinkan Daud Beurueh dengan tetap menawarkan Aceh Aceh dalam Kajian Pilihan Rasional) Melihat realitas perjalanan gerakan partai politik lokal dan partai politik nasional di Aceh menarik kiranya di analisis dengan dua pendekatan teori sosiologi yakni pilihan teori relasi kekuasaan dalam kajian Foucalt dan pilihan rasional dalam pendekatan Coleman. yang Atmosfir perjalanan partai politik menganut syariat Islam sehingga lokal (PA, PNA dan PDA) di gelombang Jihad mulai ditinggalkan Pilkada Aceh 2017-2022 menjadi oleh masyarakatnya dan beralih isu yang menarik untuk dikaji dalam kepada percaya kepada Jakarta, kajian Sosiologi Politik, karena dengan berbagai tawaran diberikan, ketiga Partai ini memiliki ideologi tidak hanya konteks idiologi Islam yang tetapi mewujudkan sebagai sebuah juga provinsi menjadikan sebagai daerah keistimewaan. Aceh berbeda-beda tujuan dalam demokrasi. Misalnya PA (Partai Aceh) yang merupakan partai pemenang pemilu dan pemenang Pilkada ditahun 2012-2017 kepada berhasil telah publik membuktikan bahwa mengambil mereka simpatik 42 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 masyarakat, yang pada saat itu yang kuat, dan mengakar hingga ke menjadi jagoannya adalah Zaini pelosok Abdullah- Muzakkir Manaf yang hampir sebagian rumah warga rela dalam dinding rumahnya di cat dengan kampanyenya disingkat gampong/desa, partai Aceh, dan dengan ZIKIR, yang dalam simbol konotasi islamnya zikir adalah bentuk kebanggaan warga Aceh identik dengan kedekatan hamba terhadap dengan tuhannya, Intinya begitu berlambangkan Tanggal 9 April 2012 yang silam tersebut. partai yang dikenal sebagai warga kepala partai yang getol memperjuangkan daerah tersebut, bergitulah paling UUPA, namun di Pilkada 2017- tidak 2022 mengingat calon perumpamaannya dalam simbol begitulah partai partai bulan ini yang bintang harus siap pandangan penulis. Namun dua berkompetsi sesama elitnya, karena partai lokal lainnya (PNA dan parai yang dbesarkan oleh Alm. PDA) Hasan memilih kancah bersatu demokrasi, dalam hal ini kadernya Tiro harus untuk merelakan bertarung dibuktikan dengan dukungan yang sesamanya di Pilkada, meskipun 2 diberikan terhadap calon Irwandi tokoh lainnya tidak menggunakan Yusuf dan Nova Iriansyah yang jasa Partai Aceh, tetapi 2 tokoh ini didukung oleh 2 partai Lokal dan juga orang yang sangat berpengaruh tiga partai politik nasional. di Partainya yakni Zaini Abdullah Bicara tentang Pilkada Aceh, terasa manis tatkala kita memulai dengan melihat gerakan politik yang ada ditubuh Partai Aceh, Partai yang menjadi penguasa di bumi serambi mekkah ini memiliki pendukung yang sangat (Gubenur 2012-2017) dan Zakaria Saman (petinggi PA) yang keduanya memilih jalur independen/perseorangan dengan masing-masing wakilnya dari Unsur kader partai Akedemisi kampus. nasional dan Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 43 Dalam Kajian Foucult dan Coleman Tentunya banyak pendukung Partai mengetahui secara pasti apa tujuan Aceh yang bertanya-tanya mengapa diharapkan oleh mereka harus pisah mereka? Ini semua yang berdua, tetapi yang terlihat secara mampu menjawab adalah warga kasat mata bahwa mereka tidak dalam tetapi harmonis dan saling menjatuhkan, masyarakat diluar PA juga bisa misalnya yang beredar dimedia mengamati dari luar, bahwa sedang sosial ada ketidakharmonisan di antara elektronik seperti ungkapan yang mereka keluar dari mulut Muzakkir Manaf Partai dalam Aceh, memperjuangkan dan juga adanya intervensi dari luar manusia gagal dalam membangun Partai Aceh yang menginginkan Aceh” mereka terpisah sehingga dengan mendiskreditkan mudah akan diperankan oleh orang yang di usungkan oleh Partai berada diluar. Nasional Aceh, Irwandi Yusuf mereka (Zaini Abdullah Muzakkir Manaf) telah keretakan yang berarti keduanya, sehingga dan terjadi dari dibuktikan dengan dipilkada 2017 masingmasing mereka mencalonkan diri dan dan “ berjalan tiga tahun kepemimpinan hewan cetak tujuan internal Partai, disamping Hal ini dapat dilihat pasca Dokter media penryataan kepada dokter ini Calon sebagai dokter Hewan, berlatar pendidikan kedokteran hewan dan Dokter Manusia identik dengan Zaini Abdullah yang berlatarbelakang pendidikan dokter, yang pada periode ini (2017-2022) mencalonkan diri sebagai gubenur Aceh dari calon perorangan. sebagai Gubenur, ini bila dikaji Sebenarnya pernyataan seperti itu lebih jauh bahwa kedua tokoh ini tidak perlu keluar, kemudian ini memiliki ambisi besar menjadi akan menjadi senjata atau alat bagi penguasa atau orang nomor satu di lawan Aceh, mengembalikan kepadanya bahwa namun kita belum politiknya untuk 44 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 calon yang di usung oleh partai penuh, dan bahkan kedatangan penguasa ini tidak etis dan rusak warga masyarakat kelapangan saat secara pilkada individunya, sehingga lebih kepada kemauan menjadi bumerang bagi dirinya dan sendiri/keihklasan untuk pemilihnya. Hal ini tak terlepas menghadiri kampanye. Tetapi hal dari adanya ketakutan besar dari ini berbeda di periode pilkada luar tatkala Partai ini terus berkuasa 2017-2022, maka benih-benih yang dulunya warga masyarakat diruang publik ingin memisahkan NKRI semakin dimana diri dengan (lokasi kuat dengan deklarasi terus berkurang, apalagi kekuasaan yang dimiliki, untuk itu yang mendampingi petinggi Partai setingan Aceh dari partai Nasional (partai terhadap riak ingin memisahkan para tokohnya terus pada saat Gerindra). berlangsung hingga menuju tahun 2017. kampanye) kedatangan Realitas desain politik Aceh yang diperankan oleh eksekutif dan Bila halnya semua kader PA sadar legislatif telah membawa perubahan akan mereka sedang dipengaruhi yang signifikan dalam konstelasi oleh luar mereka mungkin hal ini politik di Aceh, khususnya pasca tidak akan terjadi seperti sekarang, Mou Partai Aceh mendominasi kalaulah mereka kembali melihat kursi kebelakang sangat jauh berbeda Aceh (DPRA) dan DPRK, Partai semangat kader dan simpatisan Aceh pendukung yang partai-partai lokal lainnya, tetapi mecalonkan diri di Pilkada Aceh juga sekaligus mengalahkan partai- 2012-2017 lahir dari kader PA partai sendiri, baik itu sebagai gubenur konstelasi mapun wakilnya, dimana hampir membawa implikasi yang penting, semua ruang publik (lapangan) khususnya PA, karena dewan perwakilan tidak saja nasional. politik bagi rakyat mengalahkan Perubahan di masa Aceh depan Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 45 Dalam Kajian Foucult dan Coleman perdamaian di Aceh. Selanjutnya di partai politik maupun institusi kemenangan lainnya tidak hanya di negara lainnya ( TNI/Polri dll) sektor jatah kursi di parlemen tetapi Aksi Partai Nasional dalam Pilkada juga eksekutif Aceh gubenur, disimak, hampir sejak masa gubenur Aceh Irwandi- Nazar kursi (gubenur/wakil Bupati/walikota) kepemimpinan cukup menarik semua untuk calon berdampingan dengan partai nasional, dan bahkan (2009-2012) hingga Zaini Abdullah- juga Muzakkir Manaf (2012-2017). mencalonkan diri pernah mendaftar Selain itu juga Partai yang calon kepada perorangan partai nasional diusung yang cawagub, saat Parnas mebuka ruang Gubenur menjabat Wakil Aceh, dan sedang cagub untuk dikomandoi oleh Muzakkir Manaf, sekarang sebagai yang atau kepada calon yang akan di usung di persiapan untuk ikut kompetisi pilkada Aceh 2017-2022. melalui Partai Aceh sebagai calon Gerakan Partai Nasional dalam gubenur mendukung calon kepala daerah di 2017-2022, dengan didampingi T. A. Khalid dari partai Pilkada Nasional (ketua DPD Gerindra sebagai berikut: pertama, Pasangan Aceh). Menariknya partai lokal yang Irwandi Yusuf- Nova Iriansyah berkuasa ini menggandeng wakilnya didukung oleh Partai Demokrat, melalui partai nasional, ini adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), satu prestasi, dan menarik untuk Partai dikaji, jikalah kembali pada butir Perjuangan (PDIP) dengan dua MoU telah Partai Lokal yakni Partai Nasional dibentuk harus menjalin hubungan Aceh (PNA) dan Partai Damai baik melalui Aceh (PDA). Kedua Pasangan perwakilannya di daerah apakah itu Muzakkir Manaf- T.A. Khalid, di jelas ke Parlok yang nasional Aceh dapat Demokrasi dijelaskan Indonesia dukung oleh Partai Gerindra, Partai 46 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Keadilah Sejahtera (PKS), Partai parlemen (Partai Nasional Aceh) Bulan Bintang, dan partai lokalnya juga memilih calon dari partai Partai Aceh (PA). Ketiga Tarmizi nasional Karim- Ali membuktikan kepada publik bahwa didukung oleh Partai Golongan Partai lokal di Aceh dalam Pilkada Karya (Golkar), Partai Persatuan Aceh 2017-2022 belum sepenuhnya Pembangunan Partai memiliki kekuatan penuh dalam (Nasdem), meyakinkan pemilih. Ini halnya Partai Amanat Nasional (PAN), sangat berbeda dengan dua Pilkada Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Sebelumnya dan PKPI, dengan tanpa ada 2017) dimana aktor partai Lokal dukungan dari partai Lokal Aceh. Aceh berani untuk berkompetisi Begitu juga untuk tiga tokoh Aceh dengan aktor/ kader partai politik lainnya nasional. T. Nasional Machsalmina (PPP), Demokrat yag perorangan naik para dari wakilnya jalur dari kader partai politik nasional. Jika dianalisis secara sebagai wakilnya. (2006-2012, Ini 2012- Sehingga ini menjadi penting ketika melihat relasi kuasa pengakuan politik terhadap perpolitikan diperankan oleh partai yang politik sepertinya ada sebuah ketakutan nasional, dimana jika kita melihat dari petinggi Partai Lokal di Aceh kebelakang pengakuan kekuatan (PA, PNA dan PDA). Misalnya partai lokal mengalahkan partai partai lokal yang sedang berkuasa di politik nasional. Ini juga yang Aceh (PA) disaat ada kadernya yang menurut analisa penulis bahwa apa ingin yang diharapkan berkompetisi sesamanya oleh sistem sehingga memilih jalan bergandeng perpolitikan nasional telah dicapai dengan partai nasional, begitu juga ketika PNA secara lokal yang mendapat kedalam sistem lokal Aceh, yang suara nomor dua terbanyak di dulunya sulit untuk ditembus. Bisa mereka mampu masuk Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 47 Dalam Kajian Foucult dan Coleman saja pilihan ini menjadi sebuah sumber pilihan yang rasional melihat situasi perhatian pihak lain. Dalam hal terkini di Aceh. tersebut Kajian teori pilihan rasional Coleman (1990:13) dalam Ritzer (2010) tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa “tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan itu) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi)”. Sehingga ini sangat jelas bahwa ketika tujuan daya yang menarik terjadi saling ketergantungan (saling membutuhkan), saling ketergantungan tersebut meliputi seluruh sistem sosial. Setiap individu bertujuan memaksimalkan perwujudan kepentingannya, ini memberi ciri saling tergantung atau ciri sistemik tindakan mereka. Pola yang berkembang politik dalam meraih kursi nomor dalam upaya kampanye hampir satu Aceh maka dirasa perlu adanya sebagian penyatuan antara aktor lokal dan perpolitikan nasional sehingga ada kekuatan massa dibuat berbasis kepada pola yang luar biasa yang dalam kajian Agama dan adat, dimana para Coleman disebut adanya peranan kandidat melihat arah Fanatisme unsur “aktor” dan “sumberdaya”. yang dimiliki rakyat Aceh dari Sumber daya adalah sesuatu yang waktu ke waktu sangat terkait menarik perhatian dan yang dapat dengan perjuangan agama dan adat. dikontrol oleh aktor. Coleman Disamping juga adanya hadih maja menjelaskan interaksi antara aktor Hukum ngon Adat lagee zat ngon sifeut. dan sumber daya secara rinci Hanya karena agamalah mereka menuju ke tingkat sistem sosial, mau berjuang mati-matian, kondisi bahwa basis minimal untuk sistem seperti ini tergambarkan dalam sosial adalah dua orang aktor, beberapa kali perang baik melawan masing-masing penjajah Belanda maupun rezim mengendalikan besar dalam arah cara menggalang 48 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Indonesia yang nasionalis-sekularis. menekan dari suatu institusi pemilik Kemudian pola ini pula yang kekuasaan, termasuk meyakinkan para pemuda Aceh Kekuasaan bukan diawal bergabung dengan gerakan fungsi dominasi dari suatu kelas aceh yang didasarkan pada penguasaan merdeka (GAM) dalam merupakan mencari arah politik, sehingga tidak atas hanya ideologi (Marx), juga bukan dimiliki dari kalangan laki-laki terpengaruh dengan gerakan ini tapi juga jenis kelamin perempuan yang ekonomi negara. atau manipulasi berkat suatu kharisma (Weber). Kekuasaan tidak dipandang dikenal dengan sebutan Inong Balee, secara negatif, melainkan positif ini tak terlepas dari semangat dan produktif. Kekuasaan bukan perjuangan yang diturunkan oleh merupakan institusi atau stuktur, generasi yang bukan kekuatan yang dimiliki, tetapi meninggalkan estapet rela membela kekuasaan merupakan istilah yang kebenaran dan keadilan. digunakan untuk menyebut situasi sebelumnya Namun berbeda dalam ketika kajian hal ini relasi sangat kekuasan sosiologi yang strategis kompleks dalam masyarakat. Kekuasaan menurut Foucault mesti dipandang sebagai dipaparkan oleh Foucault (1982), relasi-relasi dimana kekuasaan tidak dipahami tersebar dalam suatu hubungan kepemilikan mempunyai ruang lingkup strategis. sebagai properti, perolehan, atau Memahami hak istimewa yang dapat digenggam dengan mengajukan pertanyaan apa oleh sekelompok kecil masyarakat kekuasaan itu atau siapa yang dan yang dapat terancam punah. memiliki kekuasaan atau dari mana Kekuasaan juga tidak dipahami kekuasaan beroperasi secara negatif melalui melainkan memahami kekuasaan tindakan mesti didekati dengan mengajukan represif, koersif, dan yang seperti beragam jaringan, kekuasaan itu dan yang bukan bersumber, Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 49 Dalam Kajian Foucult dan Coleman pertanyaan bagaimana kekuasaan adalah beroperasi atau dengan cara apa menjalankannya/menggerakkan, kekuasaan itu dioperasikan. jadi sepatutnya setiap seseorang Cronin (1996) menunjukkan orang yang yang menjadi penguasa harus lebih pengertian kekuasaan sebelumnya banyak yang memandang secara substantif dikembangkan sehingga hasilnya tertanam dalam, dijalankan oleh, juga berdampak positif. Kalaulah dan menjadi ini tidak dijalankan sebagaimana konsep kekuasaan relasional sebagai mestinya maka yang terjadi adalah suatu fungsi jaringan relasi antar konflik. subjek. Pergeseran ini berimplikasi kemungkinan ketika sebuah negara pula terhadap bagaimana kekuasaan atau sebuah komunitas/masyarakat, itu dioperasikan dan apa yang organisasi menjadi dalam dioperasikan dengan benar maka beroperasinya tunggulah akan terjadi benih-benih kekuasaan. Apa yang digambarkan konflik, bisa saja lahirnya secara oleh internal terhadap subjek perhatian menganalisis Foucault dan aliran Foucaltdian ini sebenarnya menjadi energi positif Sehingga yang sangat besar dijalankan atau tanpa bahkan secara eksternal. sebuah pemikiran positif bagi aktor Mengamati realitas Partai Lokal atau banyak pemikir politik yang di Aceh (PA, PNA, dan PDA) ini mencoba menyalahkan pemahaman sangat jelas bahwa organisasi Partai tentang relasi kekuasaan yang selalu Politik lokal yang sudah tumbuh diarahkan kepada aspek negatif besar bukan positif. Harusnya semua masyarakat ternyata lemah dalam orang menjalankan kekuasaanya. Begitu harus kekuasaan itu menyadari dijalankan bahwa oleh juga dan mengakar ketika ingin seperti dengan mencari manusia bukan oleh mesin yang kekuasaan, halnya pola sifatnya digerakkan, tetapi manusia kekuasaan didapatkan dengan tidak 50 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 baik dari sebuah proses perjalanan pesta Demokrasi seperti Pilkada, maka kebencian hasilnya keagamaan akan terus menjadi ketika menjalankan demokrasi lokal. terhadap organisasi kekuasaan akan juga sulit dan strategi terkesan menindas lawan dalam organisasi Pilkada tersebut. perihal ini tidak menjatuhkan lawannya, hal hanya terjadi di Indonesia tetapi dianggap mampu menekan dan juga terjadi hampir semua belahan menjatuhkan lawan. Ini juga yang dunia membuat Marx membenci korporat yang kenegaraan menjalankan melalui roda Demokrasi, yang jitu Pola bagi tertentu berlindung apakah itu dalam bentuk Pemilu, pendeta Pilpres, atau pun Pilkada. memanfaatkan dimiliki kelompok dalam dibalik Gereja ketiak dengan potensi dalam ini yang memuluskan Proyeksi Isu Sara dan Potensi kerjanya, namun setelah apa yang Konflik Sosial telah didapatkan maka Gereja tidak Melihat kasus Pilkada Aceh 2012 dan Pilpres 2014, dalam pilkada serentak perlu diwaspadai ujaran kebencian berbasis organisasi agama, seperti Wahabi, Syi’ah dan Ahlussunnah Wajamaah, perlu menjadi kajian serius bagi institusi negara yang membidanginya, misalnya Instittusi Kesbangpong dan Limnas Aceh atau organisasi lainnya yang terkait. Inilah tantangan cukup serius yang perlu segera dikelola agar tidak menodai lagi diperhatikan seperti apa yang telah dijanjikan. Sehingga terjadilah pemberontakan Marxian dari terhadap gerakan keberadaan gereja dan lahirnya kelompok atheis dan lain-lain, peranan ini juga sudah diperankan oleh elit politik dewasa ini dengan berlindung dibawah kelompok organisasi Islam seperti Organisasi Masjid, Dayah/pesantren dan OKP Islam lainnya seperti FPI (front pembela islam) Anshor dan lain-lain. Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 51 Dalam Kajian Foucult dan Coleman Ancaman meroketnya kekerasan hadir sebelum Pilkada, bahkan jauh dan konflik sosial dalam pilkada sebelumnya. Misalnya isu Wahabi, serentak tentunya akan terjadi tapi aliran sesat, stigma kafir dan lan- tidak umum lain. Maka, momen politik seperti dewasa pilkada sering kali menjadi arena mengikuti Pilkada. Namun, untuk berbagai aktor (politisi, birokrasi, memuaskan birahi politik, sebagian tokoh agama, tokoh masyarakat) kecil masih akan menggunakan cara mengangkat sentimen intoleransi apa keagamaan yang sudah ada itu signifikan. masyarakat Secara makin pun, termasuk Laporan kekerasan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, misalnya, ”hanya” menemukan 5 persen kasus kekerasan terjadi terkait pilkada sebanyak 500 kali sepanjang 2005-2008. Pada 2010, International Crisis Group mencatat pada 220 pilkada terjadi 20 kasus kekerasan. Akan tetapi, ancaman penting serius berikut direspons yang adalah meningkatnya kekerasan non fisik. Salah satunya dalam bentuk ujaran kebencian pilkada Banyak menjelang serta riset setelah dan saat Pilkada. menunjukkan, hubungan kekerasan dan Pilkada tak selalu seperti kompor dan api. Dimana bahan baku konflik sudah untuk mobilisasi elektoral. Jadi, untuk mengatasi konflik, kita harus bergerak menuju sumber masalah, tak hanya terpaku pada momen pilkada semata tetapi bagaimana kita mampu memetakan dengan baik isu yang telah ada dan memberikan upaya pemecahannya. Menarik kiranya Kesbangpolimas Aceh membuat research (penelitian) kecil dengan melibatkan institusi Perguruan Tinggi untuk memetakan konflik Sosial yang diakibatkan melalui Pilkada Aceh, dengan melihat tahapan Pra Pilkada, sedang dan setelah Pilkada kemudian penelitian ini memberikan kontribusi setiap tahapannya kepada pemerintah 52 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Aceh dan pihak terkait terhadap seperti apa yang terjadi dewasa ini, Pemilihan kepala daerah (Pilkada), kekuasaan menjadi milik penguasa begitu juga saat pemilihan umum dan legislatif. kekuasaan tidak dipandang secara Sehingga keberadaan kelompoknya. Institusi Kesbangpol dan Linmas negatif, dalam produktif. bidang memberikan politik nuansa akan melainkan Intinya positif Kekuasaan dan bukan tersendiri merupakan institusi atau stuktur, dalam memberikan solusi kepada bukan kekuatan yang dimiliki, tetapi negara dan menjaga kestabilan kekuasaan merupakan istilah yang politik dalam mewujudkan Aceh digunakan untuk menyebut situasi yang bebas dari konflik sosial. strategis kompleks dalam masyarakat. Pola yang berkembang dalam upaya Penutup kampanye Pilkada hampir sebagian Transformasi sosial dalam kajian besar arah cara perpolitikan dalam politik saat Pilkada menarik kiranya menggalang massa dibuat berbasis dilihat pendekatan kepada pola Agama dan adat, kekuasaan Michel Foucault dan dimana para kandidat melihat arah kajian rasional Fanatisme yang dimiliki rakyat Coleman, dengan melihat realitas Aceh dari waktu ke waktu sangat partai politik lokal maupun partai terkait dengan perjuangan agama politik nasional, masih jauh dari dan adat. Sehingga titik kelemahan tujuan yang para ustad/tengku terus menjadi bahkan strategi empuk bagi para konseptor kekuasaan politik dalam menjalankan aksinya, sesungguhnya, dimana kekuasaan misalnya bergitu mendekati Pilkada bersifat produktif untuk menjawab maka tujuan sebuah demokrasi bukan menjadi target utama yang harus dengan Teori demokrasi sesungguhnya menggeser Pilihan dan makna masjid, Dayah/pesantren Masrizal,S.Sos.I., MA, Gelombang Transformasi Sosial Politik 53 Dalam Kajian Foucult dan Coleman diperhatikan, apalagi aktor yang dijagokan sesuai dengan kepercayaan para lembaga institusi agama tersebut, harusnya teori pilihan rasional mejadi sebuah alternatif yang harus dilihat oleh para konseptor politik sehingga tidak terkesan mencidrai jalannya proses demokrasi. Menariknya saat pilkada 2017-2022 sangatlah unik dan menarik, dimana Partai Lokal harus bergandeng dengan partai Politik Lokal dalam menggapai Aceh 1 dan Aceh 2 (Gubenur dan wakilnya), sehingga ini peluang yang baik bagi partai nasional dalam menjalankan aksi politiknya kedepan. Referensi: Abdi Mugis Mudhoffir, Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan bagi Sosiologi Politik, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 18. No. 1. Januari 2013, Labsosio UI, Jakarta Cronin, Ciaran. 1996. “Bourdieu and Foucault on Power and Modernity”. Philosophy Social Criticism, Vol. 22: 5585. Ikhsan Dermawan, Bentuk Resolusi Konflik Dalam Pilkada: Kasus Pilkada Kota Yogyakarta dan Kabupaten Jepara, Politika Vol.1. No.1, April 2010, MIPUndip. Semarang Masrizal, 2016, Gelombang Transformasi Sosial di Pilkada Aceh, Kesbangpol dan Linmas Aceh, sebuah proyeksi Pilkada Aceh dalam kajian Pakar. Banda Aceh. Tidak diterbitkan. Michel Foucault. 1982, The Subject and Power. In The Essential Foucault. New York: The New Press. Otto Syamsuddin Ishak, 2013, Aceh Pasca Konflik: kontestasi 3 varian Nasionalisme, Bandar Publishing, Banda Aceh. Ritzer, George and Douglas J. Goodman, 2010, Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir, Kreasi Wacana, Yogyakarta TB. Massa Jafar, Pilkada dan demokrasi konsosiasional di Aceh Jurnal Poelitik Volume 4/No.1/2008. Jurnal Politik Unas, Jakarta. 54 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Tim Peneliti KPU Bandung, Praktek Politik Uang Pada Pemilu Legislatif 2014: Studi Kasus di Kabupaten Bandung Barat, Laporan Penelitian. Bandung Akmal Saputra, S.Sos.I., MA, Sosiologi Bencana : Sebuah Refleksi Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh 55 Sosiologi Bencana: Sebuah Refleksi Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh Oleh : Akmal Saputra, S.Sos I., MA (Dosen Tetap Prodi Sosiologi FISIP-Universitas Teuku Umar) Abstrak Tulisan ini berangkat dari sebuah pengalaman dan pengamatan panjang penulis terhadap apa yang telah terjadi di Aceh pasca gempa dan tsunami tahun 2004. Penulis mencoba merefleksikan kembali sebagai upaya untuk “melawan lupa” apa yang sesungguhnya telah terjadi di Aceh, sekalipun tulisan-tulisan tentang gempa dan tsunami Aceh telah banyak ditulis oleh para akademisi dan praktisi, namun penulis menilai tulisan tentang gempa dan tsunami Aceh masih layak dikaji untuk pengembangan ilmu pengetahuan khsususnya bidang sosiologi. Adapun yang menjadi kajian dalam tulisan ini adalah: Pertama, membahas tentang dinamika sosial pembangunan masyarakat dan perubahan sosial. Kedua, Kritik terhadap pembangunan pasca gempa dan tsunami Aceh. Hasil analisis menunjukkan bahwa pembangunan masyarakat yang telah dilakukan pasca gempa dan tsunami selain memberikan manfaat, namun juga berdampak pada perubahan perilaku masyarakat, misalnya ketidak-jujuran penerima manfaat, ketergantungan penerima manfaat terhadap bantuan, nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan menjadi pudar. Perubahan-perubahan lainnya adalah mempengaruhi pada pengamalan agama, kehidupan sosial, gaya hidup westernisasi dan perubahan pola pikir masyarakat, perubahanperubahan pada arah positif juga terjadi, misalnya masyarakat mendapatkan pendidikan nonformal melalui berbagai program pembangunan pasca gempa dan tsunami. Motivasi pemuda untuk melanjutkan studi jenjang yang lebih tinggi, karena begitu banyak beasiswa dan juga peluang kerja yang terbuka lebar. Tulisan ini juga memberikan kritik pada program-program pembangunan yang dilakukan pasca gempa dan tsunami, kritik yang diberikan adalah pada tahap perencanaan dan pelaksanaan, selain itu tulisan ini juga memberikan beberapa rekomendasi sebagai bahan evaluasi untuk menyukseskan pembangunan dimasa mendatang. Kata kunci: Dinamika Sosial, Pembangunan Masyarakat dan Perubahan Sosial 56 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 A. Pendahuluan Tulisan ini akan merefleksikan dinamika sosial kehidupan masyarakat Aceh pasca gempa dan tsunami dalam rentang waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2010, ada dua hal yang akan penulis kaji, Pertama, dinamika sosial pembangunan masyarakat dan perubahan sosial, Kedua, kritik terhadap program-program pembangunan pasca gempa dan tsunami. Tulisan ini berikutnya akan penulis analisis pada poin pembahasan nantinya. Tulisantulisan mengenai gempa dan tsunami Aceh sesungguhnya telah banyak dikaji oleh para akademisi dan praktisi sebelumnya, namun penulis menganggap bahwa topik ini masih layak untuk terus dikaji sebagai pengembangan ilmu pengetahuan (knowledge) dan semoga bermanfaat untuk masyarakat secara umum, baik akademisi maupun praktisi. Gempa dan tsunami telah melanda Aceh pada tahun 2004 tepatnya 12 tahun yang lalu, sesungguhnya telah berdampak pada segala sisi kehidupan masyarakat Aceh, baik itu agama, pendidikan, psikologis, ekonomi, sosial, budaya, politik, kesehatan, lingkungan alam, infrastruktur dan jumlah masyarakat yang meninggal dunia. Berangkat dari keterpurukan tersebut, membuat mata dunia tertuju pada Aceh untuk melakukan bantuan kemanusiaan dengan berbagai motivasinya yang kemudian diimplementasi melalui lembaga-lembaga international baik itu melalui NGO (Non Goverment Organization) maupun lembaga PBB (perserikatan bangsa-bangsa). Pembangunan Aceh pasca gempa dan tsunami tentu tidak terlepas dari peran-peran NGO lokal sebagai mitra NGO asing dan juga peran pemerintah melalui lembaga BRR NAD-Nias (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) yang dibentuk oleh pemerintah melalui UU No.10 Tahun 2005. BRR NAD-Nias berfungsi untuk penertiban dan kendali mutu terhadap program LSM dan para donor (Dzikron, A.M, 2009: 150). Pasca gempa dan tsunami, Aceh menjadi dikenal, selain karena dikenal sebagai daerah yang mengalami konflik yang panjang yaitu GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dengan Pemerintah Republik Indonesia. Pasca gempa dan tsunami berbagai NGO kemudian memusatkan perhatiannya pada pembangunan Aceh, pembangunan yang dilakukan adalah memperbaiki infrastruktur yang telah mengalami kerusakan yang sangat serius dan juga pembangunan sosial yang berupa perbaikan sumber daya manusia, pendidikan, kehidupan sosial, kesehatan, pemulihan psikologis masyarakat (phsycosocial) yang mengalami trauma dan juga perbaikan dibidang ekonomi Akmal Saputra, S.Sos.I., MA, Sosiologi Bencana : Sebuah Refleksi Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh (economic empowerment) bagi masyarakat yang telah kehilangan mata pencahariannya. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh membutuhkan waktu yang lama, upaya-upaya penanggulangan bencana dilakukan dalam tiga tahap: Pertama, tanggap darurat (emergency relief), Kedua, tahap rehabilitasi, Ketiga, tahap rekonstruksi (Dzikron, A.M, 2009: 150). Berbagai dinamika sosial dalam masyarakat tentu saja terjadi, baik saat pembangunan dan pasca pembangunan. Perubahanperubahan sosial dalam masyarakat juga ikut mengambil bagian pada saat dan pasca pembangunan Aceh. Pola-pola kehidupan masyarakat juga mulai berubah, karena telah bersinggungan dan berinteraksi dengan berbagai budaya asing yang sebelumnya masyarakat tidak mengenalnya. Penulis berharap kajian ini nantinya menjadi sebuah refleksi bagi masyarakat Aceh sebagai upaya-upaya masyarakat Aceh untuk “melawan lupa” (meminjam istilah media televisi Metro TV), yaitu apa sesungguhnya telah terjadi pada masyarakat kita pada tahun 2004 silam. Bencana alam gempa dan tsunami menjadi sejarah sekaligus pelajaran yang sangat berharga dan bermakna bagi masyarakat Aceh yang kemudian sejarah ini dapat diceritakan pada anak cucu berikutnya yang merupakan generasi penerus bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu mengingat sejarah bangsanya. 57 Sejarah menjadi pedoman dimasa mendatang, gempa dan tsunami yang telah terjadi telah menjadi sejarah, semoga kita dapat mengambil hikmahnya, baik pada peningkatan spritual dan pengembangan ilmu pengetahuan. B. Dinamika Sosial Pembangunan Masyarakat dan Perubahan Sosial Hingar-bingar yang terjadi pasca gempa dan tsunami merupakan sebuah dinamika sosial dalam kehidupan masyarakat, gejala-gejala sosial yang terjadi kemudian menjadi menarik untuk dikaji dalam kerangka ilmu pengetahuan, khsususnya bidang sosiologi. Kajian ini mungkin saja dapat dikatakan sebagai “Sosiologi Bencana”, Sosiologi Bencana menjadi sebuah tawaran baru dalam kajian Sosiologi, karena sesungguhnya bencana alam dapat melahirkan bencana sosial. Sepertinya para sosiolog hari ini sedang mengarahkan pikirannya ke arah sana, karena akan berbeda sekali ketika mengkaji masyarakat pasca bencana alam dengan masyarakat yang bukan mengalami bencana alam. Alasan lainnya Indonesia secara geografis merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana alam selain bencana karena ulah tangan manusia yang serakah merusak alam atau lingkungan hidup yang akhirnya menyebabkan terjadinya bencana alam (Kementerian Perencanaan Pembangunan 58 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Nasional, 2006:5). Bencana alam dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu karena kondisi geografis, geologis dan iklim (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2006:5). Indonesia terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, gesekan lempeng tektonik (gempa) ini apabila terjadi di samudera maka akan menimbulkan gelombang pasang atau yang dikenal dengan gelombang tsunami (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2006:5). Di wilayah selatan dan timur Indonesia ini juga terdapat sabuk vulkanik yang memanjang mulai dari Sumatera-Jawa-Nusa Tenggara sampai Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2006:5). Berangkat dari kondisi geografis Indonesia yang demikian, maka Indonesia termasuk wilayah yang rawan terhadap bencana alam dan sering mengalami bencana banjir, longsor, gempa bumi, letusan gunung berapi seperti yang kita lihat di media (televisi dan media cetak) akhirakhir ini. Apabila “Sosiologi Bencana” disepakati oleh para pakar menjadi sebuah kajian, maka penulis melihat Aceh layak menjadi sebuah “laboratorium bencana”. Penulis mengatakan untuk mempelajari “bencana” maka datanglah ke Aceh, mengapa? Pertama, karena Aceh salah satu wilayah di dunia yang pernah mengalami bencana alam terdahsyat. Di Aceh hari telah dibentuk sebuah lembaga TDMRCUnsyiah (Tsunami & Disaster Mitigation Research Centre-Universitas Syiah Kuala) Banda Aceh, selain itu juga telah ada Pasca Sarjana Kebencanaan di Universitas Syiah Kuala dan juga di prodi Sosiologi Universitas Syiah Kuala telah ada matakuliah Sosiologi Kebencanaan. Kedua, proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh atau yang dikenal dengan istilah pembangunan mengalami dinamika sosial yang unik, keunikan terus ditemukan saat dan pasca pembangunan, Ketiga, di Aceh terdapat museum tsunami dan situs-situs sejarah tsunami, salah satunya kapal apung (dulu digunakan sebagai pembangkit listrik milik PLN di Ulee Lheue), dari museum dan situs-situs tersebut begitu banyak informasi yang bisa didapatkan oleh para pengunjung sebagai pengetahuan yang sangat berharga. Pembangunan masyarakat dengan konsep pemberdayaan menjadi sebuah formula di abad sekarang ini, pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk mengembalikan masyarakat yang mengalami ketidakberdayaan menjadi masyarakat yang berdaya dan mandiri, atau masyarakat yang Akmal Saputra, S.Sos.I., MA, Sosiologi Bencana : Sebuah Refleksi Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh powerless menuju masyarakat yang powerfull (meminjam istilah dari Edi Suharto). Pemberdayaan atau yang dikenal dengan istilah empowerment berasal dari kata “power” yang berarti kemampuan, tenaga, atau kekuasaan, namun secara harfiah, istilah “pemberdayaan” dapat diartikan sebagai peningkatan kemampuan, tenaga, kekuatan, atau kekuasaan (Najiyati, dkk, 2005: 51). Untuk mencapai kemandirian masyarakat ada empat prinsip yang harus dicapai pada programprogram pemberdayaan, yaitu kesetaraan, partisipasi, kemandirian/keswadayaan dan keberlanjutan (Najiyati, dkk, 2005: 54). Secara teori, mungkin terlihat begitu mudah untuk memberdayakan sekelompok masyarakat yang mengalami powerless, misalnya masyarakat yang mengalami masalah kemiskinan, masalah pendidikan dan masalah sosial lainnya, namun apabila kita menjadi bagian dari pelaku pemberdayaan/pekerja sosial (social worker), maka kita akan menemukan banyak hal yang berbeda, begitu banyak tantangan, seorang social worker akan menghadapi orangorang yang berbeda secara latar belakang pendidikan, latar belakang sosial, latar belakang historis, latar belakang budaya, latar belakang ekonomi, dan latar belakang agama. Tentu saja akan berbeda karakteristik suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain, maka langkah 59 dan strategi yang diambil juga harus tepat, seorang social worker harus memahami masyarakat secara sosiologis dan antropologis. Apabila kita melihat kondisi pembangunan masyarakat Aceh pasca gempa dan tsunami, rentang waktu 2004 sampai dengan 2010, maka akan kita temukan berbagai dinamika sosial, mulai dari pembangunan infrastruktur, pembangunan non infrastruktur sampai pada konflik pemberi bantuan dengan penerima bantuan, konflik pemberi bantuan dengan pemerintah gampong (desa), konflik masyarakat dengan lembaga-lembaga pemerintah, konflik masyarakat dengan social worker. Persoalan-persoalan lainnya adalah adanya upaya-upaya pemurtadan yang dilakukan oleh beberapa lembaga yang membawa bendera bantuan kemanusiaan, namun yang dilakukan adalah melakukan pendangkalan aqidah terhadap umat Islam atau pemurtadan. Koordinasi antar lembaga pemberi bantuan dengan pemerintah berjalan kurang baik atau NGO lokal dengan pemerintah atau NGO lokal dengan NGO lokal lainnya, sehingga program-program pembangunan menjadi tumpah tindih dan sulit untuk dihindari. Berikutnya penulis juga akan menguraikan beberapa fakta yang penulis dapatkan dari hasil observasi penulis selama menjadi relawan gempa dan tsunami Aceh, Program pembangunan yang 60 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 berorientasi pada bantuan langsung (charity) dalam jangka waktu yang lama ternyata berdampak pada ketergantungan suatu masyarakat terhadap bantuan yang diberikan, misalnya saja program cash for work, yaitu masyarakat dimobilisasi untuk membersihkan lingkungan gampongnya (desa), kemudian diberikan upah, dampak yang terjadi kemudian adalah mempengaruhi nilai-nilai kebersamaan yang sebelumnya telah dibangun sebelum terjadi gempa dan tsunami. Budaya gotong-royong yang merupakan sebuah bentuk kearifan lokal masyarakat Indonesia secara umum dan juga masyarakat Aceh telah terjadi pergeseran yang kemudian melahirkan masyarakat Aceh yang materialis dan individualis. Masyarakat Aceh yang sebelumnya memiliki etos kerja yang tinggi, kemudian menjadi masyarakat yang tidak memiliki etos untuk bekerja, mengapa? Bantuan logistik begitu banyak diberikan ke tenda-tenda dan barak-barak pengungsi, pengungsi tinggal menunggu panggilan pengumuman dari pengelola posko pengungsian atau dari meunasah melalui alat pengeras suara untuk mengambil bantuan logistik atau bahkan ada yang diantar langsung ke tendatenda/barak-barak pengungsian. Penulis tidak bermaksud menyalahkan para pekerja kemanusiaan yang memberikan bantuan, namun bantuan logistik (charity) yang diberikan dalam jangka panjang akan mempengaruhi kondisi sosial masyarakat. Bantuan logistik yang berbentuk charity hanya dapat diberikan pada tahap tanggap darurat saja (emergency), setelah itu program-program pembangunan harus diarahkan pada program-program yang berbasis empowerment dengan harapan menuju kemandirian masyarakat. Pembangunan infrastruktur juga mengalami persoalan, misalnya saja pada pembangunan rumahrumah bantuan untuk korban gempa dan tsunami, sebagian masyarakat ada yang mendapatkan rumah ganda, seharusnya mendapatkan bantuan rumah sesuai dengan porsinya. Selain itu, dinamika yang terjadi pada program-program pemberdayaan ekonomi, misalnya saja bantuan dana usaha (hibah atau dikembalikan ke pengelola tanpa bunga untuk kemudian disalurkan ke masyarakat yang lain). Bantuan dana tersebut pada dasarnya diarahkan untuk masyarakat yang telah memiliki usaha agar dapat meningkatkan usahanya atau masyarakat yang memiliki motivasi untuk berwirausaha. Sebagian masyarakat memanfaatkan dana tersebut untuk membeli kebutuhan-kebutuhan yang lain atau keinginan-keinginan yang lain, bahkan ada yang memalsukan data bahwa telah memiliki usaha, padahal tidak ada usaha sama sekali, Jika dana itu harus dikembalikan, sebagian masyarakat tidak mau Akmal Saputra, S.Sos.I., MA, Sosiologi Bencana : Sebuah Refleksi Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh mengembalikannya. Penulis menilai pada sebagian masyarakat tidak mempergunakan bantuan dana tersebut dengan baik, padahal dana tersebut sangat bermanfaat untuk memperbaiki kondisi ekonominya. Selain itu sebagian bantuan dana untuk pemberdayaan ekonomi atau yang dikenal dengan konsep simpan pinjam dikelola dengan sistem konvensional (bunga), bukan dikelola dengan konsep syariah (ekonomi Islam), sehingga menimbulkan permasalahan dalam kehidupan masyarakat Aceh, sebagian masyarakat tidak mau mengakses dana tersebut karena bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebagian masyarakat ada juga yang mengakses dana tersebut, namun sebagian peminjam tidak memanfaatkan untuk usaha, tetapi untuk membeli kebutuhankebutuhan atau keinginankeinginan yang lain dan bahkan sebagian peminjam tidak mau mengembalikan dana pinjamannya atau terjadi kemacetan pada pinjamannya. Dinamika yang lain juga dapat kita lihat ketika ada bantuan ternak, bantuan bibit ikan, bantuan bibit pertanian dan perkebunan justru bantuan itu dijual untuk membeli kebutuhan atau keinginan yang lain bukan dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi ekonomi yang sedang lemah. Penulis tidak menafikan bahwa banyak program pembangunan yang juga berhasil (terlepas bahwa ada kepentingan asing 61 pada bantuan tsunami Aceh atau tidak), kota-kota yang pernah terkena dampak gempa dan tsunami di Aceh sekarang infrastrukturnya dinilai sudah sangat baik, misalnya pembangunan jalan, pembangunan rumah-rumah penduduk, pembangunan sekolah-sekolah, kampus, drainase, jalan antar kabupaten misalnya dari Banda Aceh menuju Meulaboh, pembangunan escape building (gedung yang dimanfaatkan saat terjadinya tsunami sebagai gedung untuk penyelamatan), dibangunnya early warning system (sistem peringatan dini saat tsunami), di bentuknya institusi-institusi lokal yang beranggotakan masyarakat sendiri yang memiliki tugas dan fungsi untuk pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat yang merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat, dibuatnya peta-peta rawan bencana. Sekilas diatas, penulis menguraikan fakta-fakta sosial yang terjadi di Aceh pasca gempa dan tsunami, fakta-fakta sosial diatas akan menjadi kajian untuk pengembangan ilmu pengetahuan kedepan, khususnya sosiologi. Fakta-fakta sosial ini sesungguhnya berbeda dengan daerah-daerah yang lain di Indonesia, karena kondisinya berbeda dan tidak dapat di generalisir, Pertama, kondisi masyarakat Aceh yang mengalami musibah terdahsyat, sehingga mempengaruhi secara psikologis (trauma, kehilangan keluarga, kehilangan mata pencaharian), 62 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Kedua, kondisi geografis yang berbeda, yaitu masyarakat pesisir dengan watak yang berbeda dengan masyarakat pegunungan, Ketiga, sosio-antropologis atau kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat yang lain di Indonesia. Pada dasarnya masyarakat akan terus berubah dan tidak stagnan atau statis, masyarakat akan terus berlari dari suatu titik ke titik yang lain. Teori-teori ilmu sosial akan terus berubah seiring dengan perkembangan dan perubahan sosial masyarakat, Sosiolog akan terus mengkaji gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat untuk pengembangan ilmu pengetahuan, oleh karena demikian ilmu pengetahuan diharapkan memberikan kontribusi bagi masyarakat yang mengalami masalah-masalah sosial atau kondisi ketidakberfungsian sosial. Kontak dengan budaya yang berbeda merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya perubahan sosial, perubahan sosial dalam masyarakat sulit untuk dapat dibendung, perubahan sosial akan terus terjadi, namun yang diperlukan adalah bagaimana suatu kelompok masyarakat untuk terus melakukan apa yang dinamakan dengan pengendalian sosial (social control), karena perubahan sosial itu dapat berupa perubahan positif dan perubahan negatif. Kita kembali melihat ke belakang untuk sementara merefleksi perubahan sosial yang terjadi di Aceh pasca gempa dan tsunami dalam rentang waktu antara tahun 2004 sampai dengan tahun 2010, mengapa penulis mengajak pembaca untuk melihat dalam rentang waktu yang demikian?, karena rentang waktu tersebut merupakan rentang waktu proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, Banyak NGO Asing yang berakhir program pembangunannya di Aceh antara tahun 2009 dan 2010, hanya sebagian kecil saja yang masih tinggal. Perubahan sosial yang terjadi di Aceh begitu jelas terlihat, perubahan sosial begitu cepat terjadi, baik perubahan positif maupun negatif. Perubahan yang positif khususnya peningkatan dibidang pendidikan, begitu banyak pendidikan-pendidikan non formal yang dapat diakses oleh masyarakat Aceh, misalnya saja melalui pelatihan, workshop, lokakarya. Pelatihan-pelatihan tersebut dapat berupa pelatihan mengenai manajemen bencana, pelatihan soft skill, berwirausaha, pelatihan pemberdayaan masyarakat sampai pada bagaimana mengelola keuangan yang sebelumnya jarang didapatkan di Aceh. Selain itu juga mulai tumbuh semangat anak-anak muda untuk melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi sampai pada pasca sarjana, mengapa? Begitu banyak beasiswa yang bisa di dapatkan di Aceh, selain itu juga termotivasi karena peluang kerja terbuka lebar di Aceh pasca gempa dan tsunami, apalagi yang mampu berbahasa asing. Akmal Saputra, S.Sos.I., MA, Sosiologi Bencana : Sebuah Refleksi Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh Orang-orang yang mampu berbahasa asing dapat bekerja di lembaga-lembaga kemanusiaan yang bertaraf International dan nasional. Berikutnya penulis juga akan mengajak pembaca untuk tidak melupakan perubahanperubahan negatif yang terjadi di Aceh pasca gempa dan tsunami. Aceh adalah provinsi yang dikenal dengan daerah yang menjalankan hukum berlandaskan Syariat Islam, terlepas dari pergulatan dan diskusi yang panjang tentang menjalankan syariat Islam secara kaffah atau tidak. Beberapa pengamatan penulis pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, pengamalan agama menjadi berkurang, masyarakat disibukkan dan menghabiskan waktu untuk urusan keduniaan, sebagian masyarakat dan juga pekerja kemanusiaan yang berasal dari Aceh, ada yang berlama-lama diwarung kopi, selain mengobrol sebagian lagi menggunakan fasilitas wifi untuk kebutuhan pada social media dan bermain games semata, bukan digunakan untuk hal-hal yang bersifat positif. Pasca gempa dan tsunami usaha warung kopi menjamur di Aceh, usaha perhotelan dan juga tempat-tempat wisata pinggir pantai terbuka lebar di Aceh yang kemudian tempat-tempat wisata disalahgunakan oleh para pemuda dan pemudi untuk melakukan halhal yang menyimpang dari ajaran Islam. Pergaulan para pekerja 63 kemanusiaan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda mempengaruhi tata kehidupan masyarakat Aceh, mengapa demikian? Kontak yang lama dengan budaya yang berbeda, maka akan mempengaruhi perilaku sosial, gaya hidup westernisasi (kebaratbaratan), pola pikir dan tindakan masyarakat setempat. Aceh pada saat itu seolah menjadi miniaturnya dunia, hampir semua bangsa yang ada dibelahan dunia ini dapat kita temukan di Aceh, berbagai jenis kulit, rambut, bahasa, budaya, ras ada di Aceh. C. Kritik Program Pembangunan Pasca Gempa dan Tsunami Kritikan ini bukan bermaksud untuk tidak menghargai apa yang telah dilakukan oleh dunia untuk Aceh, sebuah program pembangunan tentu saja tidak terlepas dari dinamika. Menurut Dzikron, Hirarki dalam rekonstruksi Aceh pasca gempa dan tsunami ditentukan oleh pihak asing berdasarkan master plan tingkat dunia yaitu PBB (perserikatan bangsa-bangsa) yang kemudian diimplementasikan oleh BRRNAD-Nias, tentu saja master plan tidak terlepas dari kepentingan asing yaitu kepentingan ekonomi, politik, sosial dan agama (Dzikron, A.M, 2009: 176-177). Menanggapi apa yang dikatakan Dzikron, seharusnya implementasi setiap program pembangunan tidak terlepas dari nilai-nilai sosiologis 64 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 dan antropologis masyarakat Aceh dan juga nilai-nilai Islam yang dianut oleh masyarakat Aceh. Penduduk di provinsi Aceh mayoritas adalah muslim, penduduk yang non muslim hanya sebagian kecil saja, dan mereka adalah pendatang dan menetap di Aceh, sebagiannya juga sudah lama menetap di Aceh, ada yang menjadi pedagang, bekerja di lembaga pemerintahan dan bekerja disektorsektor yang lain, tidak ada konflik agama yang terjadi, kecuali yang terjadi di kabupaten Aceh Singkil beberapa waktu yang lalu, Aceh salah satu wilayah yang sangat toleransi. Pasca gempa dan tsunami justru banyak berkembang adalah para pengusaha-pengusaha, hotelhotel berjamur di wilayah Aceh, warung kopi modern dengan fasilitas wifi juga menjamur, termasuk juga restoran-restoran. Pelatihan-pelatihan atau workshop sangat sering dilaksanakan di hotelhotel, sehingga yang menikmati kesejahteraan adalah para pengusaha-pengusaha. Masyarakat yang tekena dampak gempa dan tsunami menjadi penonton dan mungkin saja belum terberdayakan sesuai dengan konsep pemberdayaan (empowerment) yaitu dengan harapan menuju kemandirian masyarakat. Ketergantungan terhadap asing terus terjadi, padahal kemampuan diri sendiri lebih bermanfaat dibanding bantuan asing yang bersifat temporer. (Dzikron, A.M, 2009: 177-178). Penulis juga menilai aspekaspek misionaris (penyebaran agama katolik dan kristen) di Aceh juga terjadi, kita tidak tahu apakah proyek misionaris ini berasal dari asing ataukah dari Indonesia sendiri, misalnya saja ditemukan dan beredarnya tulisan-tulisan tentang ajaran kristen dan katolik, artinya bahwa bantuan kemanusiaan yang seharusnya sangat humanis, justru menjadi ajang pemurtadan bagi masyarakat Aceh yang beragama Islam. Dampaknya adalah ditakutkan akan memicu konflik antar agama yang ada di Indonesia. Donor asing yang begitu besar anggarannya membuat NGO lokal sebagai mitra menjadi ketergantungan terhadap donor. Program-program akan berjalan apabila di dukung oleh donordonor asing. Pada saat donor asing hengkang dari Aceh, NGO lokal juga menjadi layu dan tak berdaya, seharusnya NGO lokal harus tetap berjaya dan mandiri melalui fundrising. Penulis ingin mengatakan bahwa kemandirian bagi NGO lokal juga sangat penting, tanpa harus banyak berharap pada donor, kemudian kemandirian masyarakat jauh lebih penting, kemandirian dari segala aspek yaitu: pendidikan, ekonomi, sosial, agama dan budaya tanpa harus bergantung pada charity asing dan lokal. Penulis berharap, ketidak berfungsian sosial atau ketidak-mandirian sosial masyarakat Akmal Saputra, S.Sos.I., MA, Sosiologi Bencana : Sebuah Refleksi Pasca Gempa dan Tsunami di Aceh jangan dimanfaatkan untuk proyekproyek “kemiskinan” dalam tanda kutip. Kritikan ini dimaksudkan hanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan semata, bukan untuk rasis ataupun mau menyudutkan kelompok tertentu, dengan harapan menjadi bahan evaluasi bagi program-program pembangunan kedepan, semua orang berharap setiap program-program kemanusiaan harus benar-benar menunjuk sesuatu yang humanis tanpa ada misi-misi tertentu yang dapat memecah-belahkan kehidupan masyarakat yang sudah sangat harmonis. . D. Penutup Penulis telah menguraikan dinamika sosial pasca gempa dan tsunami Aceh dan tidak bermaksud untuk menyalahkan masyarakat Aceh yang sedang mengalami musibah bencana alam gempa dan tsunami pada saat itu, atau menyinggung kelompok tertentu yang telah menyalurkan bantuan saat gempa dan tsunami. Semua kita tahu bahwa bencana alam ini merupakan salah satu musibah yang terbesar dalam sejarah kehidupan manusia, oleh karena demikian apa yang telah kita lakukan hari ini tentu saja harus menjadi pelajaran dihari esok. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk saling tolongmenolong dalam kebaikan, manusia yang beruntung adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia yang 65 lain, manusia yang beruntung apabila hari ini lebih baik dari hari yang kemarin atau esok hari lebih baik dari hari ini. tulisan ini adalah hasil pengamatan penulis saat menjadi relawan gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, penulis mencoba menganalisis sesuai dengan kemampuan penulis, semoga saja dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan kedepan khususnya sosiologi dan juga bermanfaat bagi segenap masyarakat baik akademisi dan praktisi dan pencinta ilmu pengetahuan. E. Daftar Pustaka Edi Suharto. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Pembangunan kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama Elly M.Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. M.Dzikron A.M. 2009. Tragedi Tsunami di Aceh, Bencana Alam atau Rekayasa?. Yogyakarta: (MT&P) LAW FIRM. Najiyati, S., Agus Asmana, I Nyoman N. Suryadiputra. 2005. PemberdayaanMasyarakat di Lahan Gambut. Proyek Climate 66 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Bogor: Wetlands International - Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Nugroho, Heru. 2001. Negara, Pasar dan Keadilan Sosial . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana 2006-2009, Kerjasama antara Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana di Dukung oleh UNDP. Perum Percetakan Negara RI. 2006 Soerjono Soekanto, 2010. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Soetomo. 2008. Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soetomo. 2009. Pembangunan Masyarakat: Merangkai Sebuah Kerangka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim, Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam 67 KAEDAH ADAT MUHAKKAMAH DALAM PANDANGAN ISLAM (Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum) Fatmah Taufik Hidayat1 & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim2 ABSTRAK Dalam kehidupan bermasyarakat, adat dan ‘urf tidak bisa dilepaskan. Adat dan ‘urf merupakan kebiasaan yang muncul dalam masyarakat. Islam bisa mentolerir adat dan ‘urf yang berkembang dalam masyarakat sejauh itu tidak bertentangan dalam hukum yang berlaku dalam Islam, dan bahkan Islam menjadikan adat dan ‘urf itu sebagai sebuah pedoman ketetapan hukum selama ianya memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam. Kajian ini menguraikan prinsip-prinsip adat yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, dan juga bagaimana Islam memandang adat dan ‘urf tersebut serta bagaimana adat dan ‘urf bisa diangkat menjadi sebuah ketetapan hukum dalam Islam. Kajian ini merupakan kajian literatur dimana tulisan-tulisan dan buku-buku yang berkaitan akan dijadikan referensi dalam penulisan kajian ini. Kata kunci: Adat, ‘urf, budaya, Department of Syariah, Faculty of Islamic Studies, National University of Malaysia, Selangor, Malaysia, [email protected], Telp: +601123066702 (corresponding author) 1 2 Department of Syariah, Faculty of Islamic Studies, National University of Malaysia, Selangor, Malaysia, 68 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 PENGENALAN Islam merupakan agama yang terbuka di mana ia memberikan ruang yang cukup untuk menerima masuknya unsur-unsur budaya luar sepanjang hal tersebut tidak berlawanan dengan hukum yang telah ditetapkan. Hal ini terlihat jelas apabila Islam dibawa oleh para mubaligh ke wilayah-wilayah baru, maka Islam tidak sepenuhnya menyingkirkan ajaran yang tengah berlaku sejak lama pada masyarakat saat itu, tetapi bahkan memberikan ruang dan tempat yang cukup untuk beradaptasi dengan budaya setempat. Oleh karena itu salah satu hal yang sangat diperhatikan oleh Islam ketika memasuki wilayah-wilayah baru tersebut adalah hukum adat dan ‘urf. Di mana Islam memberi jalan kepada hukum adat dan ‘urf yang berlaku di wilayah tersebut selama ianya tidak bertentangan dengan hukum Islam. Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan permufakatan (konvensi) masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dicontohi oleh Nabi Muhammad SAW dimana kebijakan-kebijakan baginda yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan baginda terhadap tradisitradisi para sahabat atau masyarakat pada saat itu. Hal di atas menunjukkan sangatlah penting bagi umat Islam untuk mengetahui serta mengamalkan salah satu metode Ushl Fiqh untuk mengistimbath setiap permasalahan dalam kehidupan ini. Pengambilan kaidah ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW: ﻣﺎ رآﻩ اﳌﺴﻠﻤﻮن ﺣﺴﻨﺎ ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪ اﷲ اﻣﺮ ﺣﺴﻦ Artinya: ”Apa yang dipandang baik menurut kaum muslimin, maka menurut Allah SWT pun digolongkan sebagai perkara yang baik” 3 Waqar Ahmed menjelaskan juga bahwa ulama menetapkan ‘urf dan adat kebiasaan itu merupakan salah satu daripada sumber hukum dalam keadaan ketiadaan nas. Sebagai contoh akan hal ini adalah ini adalah sebagian ucpan dari Abdullah bin Mas’ud ra. Yang lengkapnya: إن ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻧﻈﺮ إﻟﻰ ﻗﻠﻮب اﻟﻌﺒﺎد ﻓﻮﺟﺪ ﻗﻠﺐ ﻣﺤﻤﺪ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﺧﯿﺮ ﻗﻠﻮب اﻟﻌﺒﺎد ﻓﺎﺻﻄﻔﺎه ﻟﻨﻔﺴﮫ اﻟﺤﺪﯾﺚ إﻟﻰ أن ﻗﺎل وﻣﺎ رأوه ﺳﯿﺌﺎ ﻓﮭﻮ ﻋﻨﺪ ﷲ..… . ﺳﯿﺊImam Ahmad, al-Musnad vol. 1/379 . 3 Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim, Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam seperti aktivitas jual beli buah yang belum masak yang memungkinkan terjadinya penipuan atau terbatal kerana jual beli terhadap benda yang belum jelas kadar serta sifatnya. Namun, jika adat kebiasaan jual beli sebegitu berterusan berlaku, ia tidak dilarang4. Indonesia merupakan sebuah negara besar yang memiliki keanekaragaman adat dan tradisi. Oleh karena itu di perlukan kajian untuk mengenal nilai-nilai syariah dalam amalan adat serta syarat berlakunya ‘urf. Hal ini juga dapat berguna bagi menambah pemahaman masyarakat Islam di Indonesia tentang adat. Meskipun sekarang ini banyak kajian mengenai adat dan hubungannya dalam Islam di Indonesia, akan tetapi masih ada kesalahfahaman di kalangan masyarakat terhadap konsep adat yang di maksud oleh syariah. Hal ini nampak jelas dari masih ramai masyarakat yang mengambil jalan mudah dengan hanya menjalani apa sudah yang diterapkan oleh nenek moyang mereka. farha binti muhammad, nur shazwani binti sadzali, yusri bin yusoff. penggunaan kaedah fioh al-adat muhakkamah dalam hikayat raja-raja m e layu. hal: 315 4 69 Maka oleh karena itu, permasalahan yang ingin dikaji dalam tulisan ini adalah adakah kaedah adat muhakkamah yang dijalankan dalam ahkam itu bersesuaian dalam syariah Islam dan adakah dapat memberi dampak yang baik dalam meningkatkan kefahaman fiqh tentang syariah Islam. . ARTI ADAT DAN AL ‘URF Istilah adat berasal dari bahasa Arab yang bermaksud amalan kebiasaan seseorang atau masyarakat keseluruhannya secara khusus5. Adat menurut bahasa berasal dari kata ﻋﺎدةsedangkan akar katanya ﻋﺎد – ﯾﻌﻮدyang berarti ( ﺗﻜﺮارpengulangan). Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: ﻮدو َن ﻟِ َﻤﺎ ﻗَﺎﻟُﻮا ﻓَـﺘَ ْﺤ ِﺮ ُﻳﺮ َرﻗَـﺒَ ٍﺔ ﱢﻣﻦ ﻗَـْﺒ ِﻞ أَن ُ }ﰒﱠ ﻳـَ ُﻌ 6 {ﻳـَﺘَ َﻤﺎ ﱠﺳﺎ "Kemudian mereka kembali terhadap apa yang mereka katakan..." Tetapi yang perlu digarisbawahi bahwa tidak setiap kebiasaan disebut dengan adat. 5 6 Abdullah Alwi:2001 .3 أﯾﺔ: اﻟﻤﺠﺎدﻟﺔ.اﻟﻘﺮان 70 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Suatu kebiasan bisa dikatakan sebagai adat apabila dilakukan secara berterusan dan diyakini oleh masyarakat sebagai hukum yang harus dipatuhi. Para ulama berpendapat bahawa istilah adat dan 'urf mempunyai arti yang sama. Hal ini berdasarkan kepada definisi ulama’ fiqh yang membawa maksud: Sedangkan arti adat dikalangan ulama fiqh adalah sebagai norma yang sudah melekat dalam hati akibat pengulangulangan sehingga diterima sebagai sebuah realitas yang rasional dan layak menurut penilaian akal sehat. Sebagai contoh norma yang bersifat individual adalah seperti kebiasaan tidur, makan minum, dll. Sedangkan norma sosial adalah sebentuk kebenaran umum yang diciptakan, disepakati, dan dijalankan oleh komunitas tertentu, sehingga menjadi semacam keharusan sosial yang harus ditaati7. "اﻟﻌﺮف ﻫﻮ ﻣﺎ ﺗﻌﺎرﻓﻪ اﻟﻨﺎس وﺳﺎروا ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ "ﻗﻮل أو ﻓﻌﻞ أو ﺗﺮك وﻳﺴﻤﻰ اﻟﻌﺎدة Kata ‘urf secara etimologi berarti sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh Abdul karim Zaidahan, istilah ‘urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan8. Maioen Zubair,2005. Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, (Surabaya: Khalista. Hal 274. 8 Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, MA 7 “’Urf adalah sesuatu yang dianggap umum oleh manusia dan terus diberlakukan, baik itu berupa ucapan atau gerakan dan itu juga disebut adat”. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan ‘urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nas syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan dengannya. PERBEDAAN ANTARA AL‘ADAH DENGAN AL-‘URF Perbedaan antara kedua istilah ini sering kali menimbulkan perbedaan pendapat, dimana terdapat sebagian kelompok ulama yang melihat adanya perbedaan antara istilah adat dan ‘urf. Berikut ini merupakan perbandingan perbedaan antara ‘Urf dengan ‘Adah. Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim, Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam Tabel 1. perbandingan antara ‘Urf dengan ‘Adah ‘Urf Adat memiliki makna yang lebih sempit. Terdiri dari ‘urf shahih dan fasid. ‘Adah Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas. Adat tanpa melihat apakah baik atau buruk. Urf merupakan Adat mencakup kebiasaan orang kebiasaan banyak. pribadi. Adat juga muncul dari sebab alami. Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak. 71 dan rinciannya terdapat perbedaan pendapat diantara mazhab-mazhab tersebut, sehingga ‘urf dimasukkan ke dalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama. Dasar lafadh al-‘adah tidak terdapat dalam al-Qur’an dan asSunnah, namun yang terdapat pada keduanya adalah lafadh al-‘urf dan al-ma’ruf. Ayat dan hadist inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama untuk kaidah ini. Di antaranya ialah: a. Dalil aI-Qur’an Firman Allah Ta’ala: ِ ِ ْ ف وأَﻋ ِﺮض ﻋ ِﻦ ِ ِ {9ﲔ َ ْ ْ َ } ُﺧﺬ اﻟْ َﻌ ْﻔ َﻮ َوأ ُْﻣ ْﺮ ﺑِﺎﻟْ ُﻌ ْﺮ َ اﳉَﺎﻫﻠ Maksudnya: LANDASAN HUKUM ‘URF Menurut hasil penelitian dari alTayyib Khudari al-Sayyid, yang merupakan guru besar Ushul Fiqh di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinsipnya mazhab fiqh tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah Jadilah Engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh10. Juga firman-Nya: }ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ إذا ﺣﻀﺮ اﺣﺪﻛﻢ اﳌﻮت إن ﺗﺮك ﺧﲑا {11اﻟﻮﺻﻴﺔ ﻟﻠﻮاﻟﺪﻳﻦ واﻷﻗﺮﺑﲔ ﺑﺎﳌﻌﺮوف ﺣﻘﺎ ﻋﻠﻰ اﳌﺘﻘﲔ Maksudnya: Di wajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu 10 11 QS Al-Araaf[7]:199 .180: آﯾﺔ.اﻟﺒﻘﺮة 72 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf 12. Beberapa ayat lain yang menyebut lafadh ’urf atau ma’ruf yang mencapai 37 ayat. Maksud dari ma’ruf di semua ayat ini adalah dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan kebiasaan manusia yang berlaku. b. Dalil sunnah وﻣﺎ رآﻩ،ﻣﺎ رآﻩ اﳌﺴﻠﻤﻮن ﺣﺴﻨﺎ ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪ اﷲ اﻣﺮ ﺣﺴﻦ اﳌﺴﻠﻤﻮن ﺳﻴﺌﺎ ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪ اﷲ ﺳﻲء Artinya: "Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang-orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk"13 SYARAT-SYARAT ‘URF MENJADI SANDARAN HUKUM Untuk menjadikan ‘urf sebagai sandaran hukum, maka harus dipenuhi syarat-syarat dibawah ini: QS.Al-Baqarah[2]: 180 HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud 12 13 1. Urf itu harus berlaku umum. Artinya, ‘urf itu harus dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ‘urf orangorang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum. 2. Tidak bertentangan dengan nas syar’i juga tidak bertentangan dengan nas sabit (tetap), dalil-dalil syarak yang lain dan kaedah-kaedah yang telah ditetapkan oleh syarak. Jika ia bertentangan dengan perkara tersebut, maka sudah tentu ‘urf itu tertolak dan tidak dapat digunakan dalam syarak. Contohnya yaitu ‘urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan. 3.‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru. Dalam hal ini contohnya adalah kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah, saya tidak akan makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi; lalu lima tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa maksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim, Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan. 4. Tidak berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah). Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan tashrih, maka ‘urf itu tidak berlaku. Contohnya ialah kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari termasuk hari Ahad dan hari libur, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk setiap hari maskipun ‘urf masyarakat memberlakukan hari Ahad libur. JENIS-JENIS ADAT Dalam kajian ushul fiqh, para fuqaha’ membagi jenis-jenis adat berdasarkan sasaran kajian menjadi tiga jenis. Pertama, adat dilihat dari sisi bentuk materialnya; kedua, adat dilihat dari segi cakupannya; dan ketiga, adat dilihat dari segi keabsahannya sebagai dalil untuk dijadikan sebagai salah satu sumber hukum Islam. A. Kajian adat dilihat dari segi bentuk material. Dari aspek ini, adat dapat terbagi menjadi dua, yaitu adat 73 dalam bentuk ungkapan (qauli) atau lafadh dan adat dalam bentuk praktek (‘amali)14. Adat pertama (qauli) merupakan kebiasaan masyarakat dalam menggunakan ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan adat dalam bentuk praktek (‘amali) adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Adapun yang dimaksud dengan perbuatan biasa di sini adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu, atau kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam cara tertentu. Adapun adat yang berkaitan dengan mu‘amalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad atau transaksi atau lainnya dengan cara tertentu15. 14 Abdul Wahab Khallaf, 1970: 145 Al-Zarqa, Mustafa Ahmad. 1978. al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Aamm. Damascus: Dar al-Fikr. Hal 857-872 dan AlSuyuti, tt: 99 123 15 74 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 B. Kajian adat cakupan. dari segi Dari segi cakupannya, adat terbagi menjadi dua, adat yang bersifat umum (‘am) dan adat yang bersifat khusus (khas). Dimaksud adat yang umum di sini adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah16. Misalnya, dalam jual beli mobil, maka seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban cadangan, termasuk dalam harga jual tanpa akad tersendiri. Adapun dimaksudkan dengan adat yang khusus adalah kebiasaan yang berlaku di daerah tertentu dan dalam masyarakat tertentu. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dijual, maka konsumen dapat mengembalikannya, namun pada daerah lain cacat yang terdapat dalam barang yang sama, konsumen tidak dapat mengembalikan barang itu17. C. Kajian adat dilihat dari segi keabsahannya. Dari segi ini, adat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu adat yang shahih dan adat yang fasid18. Muh. Abu Zahrah, 1958: 217 Zahrah, 1978: 216-217 18 Wahbah alZuhaili, 1978: 381 16 17 Dimaksudkan dengan adat yang shahih adalah kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash, tidak menghilangkan kemaslahatan dan tidak pula membawa 19 kemudaratan . Misalnya, dalam masa pertunangan, pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita, tetapi hadiah itu tidak dianggap sebagai mahar. Adapun adat yang fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil syara‘ dan kaidah dasar dalam syara‘. Misalnya, kebiasaan manusia menghalalkan riba. Contoh lain adalah soal sogok-menyogok untuk memenangkan perkaranya, seseorang memberi sejumlah uang kepada hakim. PANDANGAN ULAMA TERHADAP ‘URF SEBAGAI DALIL SYARA’ Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara ’urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. Jika terdapat keadaan darurat maka mengamalkan ‘urf fasid dapat di 19 Abu Zahrah, Muhammad.1978. Ushul al-Fiqh. AlQahirah: Dar al-Fikr al-Arabi, hal 217 Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim, Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam toleransi dan ini hanya apabila darurat dan sangat dibutuhkan Imam Syafi’i yang terkenal dengan qaul qadim20 dan qaul jadidnya21 pernah suatu ketika beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa madzhab fuqaha’berhujjah berdasarkan ‘urf22. Imam al-Qarafi seorang mujtahid yang beraliran Maliki, misalnya menyatakan bahwa seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan masyarakat tersebut23. Senada dengan al-Qarafi, Imam al-Syatibi 20 Qaul Qadim pandangan fiqih Al-Imam Asy-Syafi'i versi masa lalu ketika berada di Irak yang berupa tulisan atau fatwa ("pendapat yang lama") 21 Qaul Jadid pandangan fiqih AlImam Asy-syafi'i menurut versi yang terbaru ketika beliaw berada di Mesir ("pendapat yang baru"). 22 Hasyiyah ‘ala Al-Qaul AlMukhtar fi Syarh Ghayah Al-Ikhtishar (Muhammad bin Qasim Al Ghazzi). Cetakan pertama, tahun 1432 H. Dr. Sa’aduddin bin Muhammad Al-Kubi. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif. 23 Abdul Aziz Dahlan, dkk. 2001. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. Jilid 6 201. 75 dan Ibn Qayyim al Jauziyah, berpendapat bahwa adat bisa diterima sebagai dalil untuk menetapkan hukum Islam. Namun, kedua Imam tersebut memberikan catatan, apabila tidak ada nas yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi. Misalnya, seseorang yang mempergunakan jasa pemandian umum dengan harga tertentu padahal lamanya ia dalam kamar mandi itu dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas. Sesuai dengan ketentuan umum hukum Islam tentang suatu akad, kedua hal itu harus jelas. Tetapi karena perbuatan seperti ini telah memasyarakat, maka seluruh ulama mazhab menganggap sah akad tersebut. Menurut mereka, adat seperti ini termasuk adat dalam bentuk ‘amali. Abdul Wahab Khalaf (2004) berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’urf akan fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut: “Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan siatuasi (kondisi)”24. Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi beban hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah 24 hal 90. Abdul Wahab Khalaf . 2004 : 76 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 sebagai berikut: “Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”. Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat, keadaan, dan adat. CONTOH PENERAPAN KAIDAH “Al Adah Muhakkamah” 1. Jual beli dengan uang muka (‘arbun). Hal ini merupakan suatu transaksi dimana seseorang membeli suatu barang dan membayar sejumlah uang dimuka kepada penjual, dengan syarat jika transaksi selesai, maka uang muka tadi akan diperhitungkan ke dalam total harga. Dan jika pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak akan mengembalikan uang muka tersebut. Pendapat jumhur ulama (kecuali Imam Ahmad) adalah transaksi tersebut tidak sah dengan alasan pengambilan uang muka tersebut tidak adil dan mengandung unsur gharar25. Dasar hukum adalah hadits Rosulullah SAW (dilaporkan oleh Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwattha serta An-Nasai, Abu Daud dan Ibnu Majah) yang melarang penjualan ‘arbun. Meskipun hadits ini dianggap hadits lemah. Adapun ulama Mazhab Hambali membolehkan transaksi ‘urbun berdasarkan hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abdul Razzaq bahwa Rasulullah SAW ditanya mengenai tentang jual beli ‘urbun dan beliau membolehkannya. Begitu juga pendapat ulama kontemporer (Ahmad Al Zarqa, Al Qardawi dan Al Zuhayli) yang membolehkan memihak pendapat ulama mazhab Hambali. Alasannya adalah uang muka untuk menguatkan komitmen bahwa si pembeli tidak akan merubah akad jual beli yang disepakati. Antara kaedah-kaedah fiqh yang merujuk kepada penggunaan Gharar adalah hal ketidaktahuan terhadap akibat suatu perkara, kejadian/peristiwa dalam transaksi perdagangan atau jual beli, atau ketidakjelasan antara baik dengan buruknya. semua hal yang mengandung ketidakjelasan ; pertaruhan, atau perjudian. Abdul Azhim Badawi, Al-Waaji Fi Fiqhu Sunnah wa kitab Al-Aziz, Cet. I, Th.1416H, Dar Ibnu Rajab, Hal. 332 25 Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim, Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam kaidah yang berkaitan dengan adat dan 'urf ialah26: "ﻗﺎﻋﺪة "اﻟﻌﺎدة ﻣﺤﻜﻤﺔ “Adat bisa dijadikan hukum”. Adat dalam kaidah ini mencakup 'urf qauliy (adat dalam bentuk ungkapan) dan amali (adat dalam bentuk peraktek) yang bermakna bahwa syara’ menghukumi kebiasaan manusia didalam pembentukan hukum baik bersifat umum maupun khusus. Di samping itu hal ini bisa juga menjadi dalil atas hukum selama nas tidak dijumpai27. ﻗﺎﻋﺪة "اﺳﺘﻌﻤﺎل اﻟﻨﺎس ﺣﺠﺔ ﻳﺠﺐ "اﻟﻌﻤﻞ ﺑﻬﺎ “Perbuatan manusia adalah merupakan hujjah (alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”. Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya. Lihat: Shubayr, Muhammad Uthman. 2000. al Qawa’id al-Kulliyyah Wa al-Dawabit al-Fiqhiyyah Fi alShari’ah alIslamiyyah. ‘Amman: Dar al Furqan. Hlm. 265-268; Azzam, Abd al-Aziz. 2001. alMaqasid al Shariyyah Fi al Qawaid alFiqhiyyah. Kaherah: Dar al-Bayan Li al Tiba’ah Wa al-Nashr. Hlm. 193-217. 27 Wahba Zuhaili. Ushul Fiqh Islami. Beirut: Darul Fikr. Juz II. hlm. 131. 26 77 Contohnya apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku. ت ْ ﺿﻄََﺮ َد ْ ﺎدةُ اِذَا ا َ اﻟﻌ َ ﻗﺎﻋﺪة "إﻧﱠ َﻤﺎ ﺗُـ ْﻌﺘَﺒَـ ُﺮ "ﺖ ْ َاَو ﻏَﻠَﺒ “Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”. Kaidah ini menjelaskan salah satu dari syarat diperhitungkannya 'urf ialah harus berlaku umum dan ini merupakan qayyid28 dari kaidah sebelumnya (al-‘adah al‘muhakkamah). Contohnya apabila seorang yang berlangganan koran selalu diantar ke rumahnya, ketika koran tersebut tidak di antar ke rumahnya, maka orang tersebut dapat menuntut kepada pihak pengusaha koran tersebut. "ﻗﺎﻋﺪة "اﻟﻤﻌﺮوف ﻋﺮﻓﺎ ﻛﺎﻟﻤﺸﺮوط ﺷﺮﻃﺎ Artinya: “Sesuatu hal yang dibenarkan oleh kebiasaan (adat/urf) sama halnya dengan sesuatu yang dibenarkan dalam syarat perjanjian”. Maksudnya sesuatu yang diakui oleh kebiasaan 28 kata muqayyad berarti terikat dengan ikatan atau syarat tertentu 78 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 akan dianggap seolah-olah menjadi kesepakatan sebuah kontrak. Contoh penerapannya: Jika menurut kebiasaan umum seorang penjual AC bertanggung jawab terhadap pemasangannya, maka pemasangan itu dianggap sebagai syarat dalam kontrak jual beli itu, meskipun secara eksplisit tidak dicantumkan dalam kontrak. Jika kebiasaan umum dalam sewa menyewa rumah adalah sewa itu dibayar di awal bulan, maka itu dianggap seolah-olah suatu syara kontrak. Jika seseorang telah memberi kuasa kepada orang lain untuk menyewa sebuah rumah untuknya, maka orang yang diberi kuasa itu diharapkan menyewa rumah sesuai dengan syarat yang biasanya berlaku di pasar. "ﻗﺎﻋﺪة "اﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﺑﺎﻟﻌﺮف ﻛﺎﻟﺘﻌﻴﻦ ﺑﺎﻟﻨﺺ Artinya: “Sesuatu penetapan hukum berdasarkan ‘urf adalah sama kedudukannya dengan penetapan hukum yang didasarkan oleh nas”. Maksudnya sebuah ketetapan hukum atas dasar adat itu sama seperti ketentuan hukum atas dasar nas syariat Islam. Sehinggga tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menolaknya. Contoh penerapan kaidah ini: dari Jika seseorang telah menyewa kendaraan atau hewan pengangkut beban, maka dia dapat menggunakannya secara normal. Namun, jika dia ingin menggunakannya untuk tujuan yang tidak normal, maka dia hanya dapat melakukannya apabila pemilik kendaraan atau hewan tersebut mengijinkannya secara eksplisit. Jika seseorang menggunakan rumah atau bangunan seseorang tanpa melakukan persetujuan sewa menyewa formal, maka dia akan membayar ongkos sewa yang biasa berlaku kepada pemiliknya. Walapun bentuk kaidah ini sedikit berbeda, namun arti dan maksudnya tetap sama, yaitu kata ta’yin (ketentuan) diganti dengan kata thabit (ketetapan), sehingga berbunyi al-thabit bi al-‘urf ka althabit bi al-nas. Maksud kaidah ini tidak jauh berbeda dengan kaidah sebelumnya, yaitu: Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim, Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam 79 "ﻗﺎﻋﺪة "اﻟﺜﺎﺑﺖ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف ﻛﺎﻟﺜﺎﺑﺖ ﺑﺎﻟﻨﺺ “Yang ditetapkan oleh (adat) ‘urf sama dengan yang ditetapkan oleh nas”29. Contoh dari kaidah ini yaitu: Dalam adat minangkabau tentang hubungan kekerabatan, yaitu matrilenial, artinya keturunan itu hanya dihitung menurut garis perempuan saja bukan laki-laki, sehingga suami dan anaknya harus diam di rumah keluarga pihak perempuan (matrilokal). Sekalipun demikian pada umumnya kekuasaan masih dipegang oleh suami. Dalam hal ini Islam bisa mentolerirnya sebab tidak bertentangan dengan nas, baik alQur’an maupun hadits. Contoh lainnya dalam kaidah ini yaitu apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti30. Dahlan, Tamrin, Kaidahkaidah Hukum Islam. (Kulliyah alKhamsah),(Malang: UIN Maliki Press,2010).hlm.240 30 Dahlan, Tamrin, Kaidahkaidah Hukum Islam(Kulliyah alKhamsah),(Malang: UIN Maliki Press,2010).hlm.240 29 ِ ﺸﺎﺋِ ِﻊ ﻻَ ﻟِﻠﻨ ِ " ﻗﺎﻋﺪة ِ ِاﻟﻌ ْﺒـ َﺮةُ ﻟﻠِﻐَﺎﻟ ﺐ اﻟ ﱠ "ﱠﺎد ِر “Adat yang diperhitungkan adalah yang berlaku umum; dikenal oleh manusia bukan yang jarang terjadi”. Kaidah ini juga merupakan salah satu syarat untuk diperhitungkannya adat sebagai sandaran hukum harus berpijak pada ketentuan umum bukan yang jarang atau langka31. Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan lain yaitu: ِ ﺎد ﻻَ ﺑِﺎﻟﻨ ِ َﻗﺎﻋﺪة "اﻟﺤﻜْﻢ ﺑِﺎ ﻟﻤ ْﻌﺘ " ﱠﺎد ِر ُ ُ ُ “Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi” Contohnya yaitu yang berhubungan dengan menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar berdasarkan pada kebiasaan. ِ ِ " ﻗﺎﻋﺪة "ِﺎدة َ اﻟﻌ َ اﻟﺤﻘ ْﻴـ َﻘﺔُ ﺗُـ ْﺘـ َﺮ ُك ﺑِ َﺪﻻَﻟَﺔ َ “Arti hakiki (yang sebenarnya) dapat ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”. Kaidah ini mempunyai 31 http://habyb-mudzakir08.blogspot.my/2014/04/al-adatumuhakkamah.html 80 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 makna bahwa sesungguhnya lafazh yang digunakan diselain makna hakiki bilamana diucapkan maka diarahkan kepada makna 'urf bukan makna hakiki. Kaidah ini hanya tertentu pada 'urf lafazh. Contohnya yaitu apabila seseorang membeli batu bata dan sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi, maka seorang penjual batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga batu bata naik.32 ﻗﺎﻋﺪة "ﻻ ﻳﻨﻜﺮ ﺗﻐﻴﺮ اﻷﺣﻜﺎم ﺑﺘﻐﻴﺮ "اﻟﺰﻣﺎن “Tidak dapat dipungkiri berubahnya hukum tergantung dengan perubahan waktu.” Makna dari kaidah ini adalah hukum-hukum yang sudah dibentuk berdasarkan 'urf asal, bisa berubah dengan terbentuknya 'urf baru yang merubah hukum 'urf asal (hukum pertama) yang sudah menjadi ketetapan karena hukum berkisar diantara adanya `illat33 dan 32 http://habyb-mudzakir08.blogspot.my/2014/04/al-adatumuhakkamah.html 33 ‘illat merupakan hukum qiyas dalam arti suatu sifat yang pada asal sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada far’u yang belum ditetapkan hukumnya. Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, hal. 188. ‘illat adalah suatu sifat pada asal yang di bina atasnnya hukum dan diketahui dengannya hukum pada sesuatu tidak adanya `illat. Antara contoh yang menggambarkan perubahan hukum akibat perubahan al- ‘urf ialah: Hadist yang di riwayatkan oleh Ibnu Mas’ud yaitu: أﻧﻪ ﺳﺌﻞ ﻋﻦ: ﺣﺪﻳﺚ ﻋﻠﻘﻤﺔ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد رﺟﻞ ﺗﺰوج اﻣﺮأة وﱂ ﻳﻔﺮض ﳍﺎ ﺻﺪاﻗﺎ وﱂ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻘﺎل اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد ﳍﺎ ﻣﺜﻞ ﺻﺪاق،ﺎ ﺣﱴ ﻣﺎت ﻧﺴﺎﺋﻬﺎ ﻻ وﻛﺲ وﻻ ﺷﻄﻂ وﻋﻠﻴﻬﺎ اﻟﻌﺪة وﳍﺎ : ﻓﻘﺎم ﻣﻌﻘﻞ ﺑﻦ ﺳﻨﺎن اﻷﺷﺠﻌﻲ ﻓﻘﺎل،اﳌﲑاث ﰲ ﺑﺮوع-ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ﻗﻀﻰ رﺳﻮل اﷲ ﻓﻔﺮح ﺎ،ﺑﻨﺖ واﺷﻖ اﻣﺮأة ﻣﻨﺎ ﻣﺜﻞ اﻟﺬي ﻗﻀﻴﺖ .34اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد Artinya : Dari Alqamah berkata: “Ketika Ibnu Mas’ud ditanya tentang seseorang yang menikahi wanita, kemudian ia mati sebelum memberikan mas kawin pada istrinya dan juga belum bersenggama dengannya. Jawab Ibnu Mas’ud: Istrinya tetap berhak mendapatkan mas kawin (mahar seperti mahar wanita dari golongan (mahar misil)), tanpa kurang atau lebih, dan atasnya berlaku iddah serta ia berhak mendapat warisan”. Maka berdirilah Ma’qil ibnu Sinan Al Asyja’i dan berkata: “Rasulullah saw telah memutuskan masalah 34 ﺑﺎب. اﻟﻤﺠﻠﺪ اﻟﺜﺎﻧﻲ.رواه اﻟﺘﺮﻣﺬي َ ﺑَﺎبُ َﻣﺎ َﺟﺎ َء ﻓﻲ اﻟ ﱠﺮﺟ ُِﻞ ﯾﺘﺰ ﱠو ُج اﻟﻤﺮأة- 42 اﻟﻨﻜﺎح ِ ُ ْ ﻓﯿﻤﻮت ﻋَﻨﮭﺎ ﻗﺒ َﻞ 1154 رﻗﻢ.ﯾﻔﺮض ﻟﮭﺎ أن َ Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim, Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam Barwa’ binti Wasyq, sebagaimana yang putuskan. Ia adalah seorang wanita kaum kami.” Karena itu Ibnu Mas’ud menjadi senang.” Keputusan ini mengindikasikan bahwa kadar mas kawin tergantung pada kebiasaan tempat dan waktu kasus tersebut terjadi. Dengan kata lain penerapan mahar miśil pada suatu tempat akan berbeda dengan tempat dan waktu yang lain. Pendapat ini diriwayatkan oleh Imam al-Syāfi`ī yang berdasarkan pada paradigma yang dibuatnya yaitu qiyas. Juga ketetapan tersebut mempunyai korelasi dengan `urf pada tataran pelaksanaan. Apabila 'urf sudah berlaku dikalangan masyarakat tentang adanya penyerahan mahar secara keseluruhan sebelum di-dhukhu (bersenggama) kemudian ada 'urf baru yang menunda sebagian mahar sebelum bersenggama, maka dengan ini yang diamalkan adalah 'urf yang baru dan mengabaikan 'urf yang lama. KESIMPULAN Kajian ini menjelaskan bahwa dalam kajian-kajian ushul fikih, al‘adah wa al-‘urf dipergunakan 81 untuk suatu kebiasaan yang berkembang di tengah masyarakat. Dan para ulama ushul fikih (ushuliyyun) mempergunakan dua kata ini secara bergantian dalam menjelaskan kebiasan; kadang memakai al-‘adah (selanjutnya ditulis adat) dan kadang memakai al-‘urf. Hukum Islam adalah syumul (universal) dan waqiyah (kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan dan penetapannya sangat memperhatikan tradisi, kondisi (sosiokultural), dan tempat masyarakat sebagai objek (khitab), dan sekaligus subjek (pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan perhatiannya terhadap tradisi, kondisi, dan kultural setempat. Adat memiliki pengaruh yang sangat besar di dalam pembentukan hukum Islam, sebab banyak hukum yang didasarkan kepada maslahah, sementara maslahah sendiri bisa berubah dengan perubahan situasi dan kondisi. Akan tetapi hukum yang dimaksud disini adalah hukum yang bersifat ijtihadiy35 dan tidak Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk 35 82 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 memiliki acuan nas secara eksplisit, seperti dibolehkannya bai` almu`athah.`urf atau adat juga bisa menjadi acuan di dalam menafsiri nas atau teks yang mujmal36 dan menjelaskan hal-hal yang tidak memiliki kriteria dari syar`i. Tujuan utama syari’at Islam (termasuk didalamnya aspek hukum) untuk kemaslahatan manusia – sebagaimana di kemukakan as-Syatibi– akan teralisir dengan konsep tersebut. Pada gilirannya syari’at (hukum) Islam dapat akrab, membumi, dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus meninggalkan prinsipprinsip dasarnya. Sehingga dengan metode al-’urf ini, sangat diharapkan berbagai macam problematika kehidupan dapat dipecahkan dengan metode ushul fiqh salah satunya al-’urf, yang mana ’urf dapat memberikan penjelasan lebih rinci tanpa melanggar al-Quran dan as-Sunnah memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. https://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad 36 Mujmal ialah ungkapan yang di dalamnya terkandung banyak makna, namun makna mana yang dimaksud di antara makna-makna tersebut tidak jelas (kabur). Artinya, apa yang dimaksud tidak bisa diketahui begitu saja dari ungkapan itu sendiri, tapi harus ditafsiri, diteliti dan dipikir secara mendalam. Adapun sumbangan kajian ini adalah untuk menjelaskan kedudukan adat dan ‘urf di dalam syariat Islam. Kajian ini turut memaparkan bagaimana adat dan ‘urf itu bisa jadikan hukum dalam Islam. RUJUKAN Abdul Aziz Dahlan, dkk. 2001. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. Jilid 6 201. Abdul Wahab Khalaf, Kaidahkaidah Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 135-136. Abu Zahrah, Muhammad. 1978. Ushul al-Fiqh. Al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi. Akgul, Y. S. & Kambhamettu, C. 2003. A coarse-to-fine deformable contour optimization framework. IEEE Transactions on Analysis and Machi Al-Suyuti Al-Asybah wa al-Nadhair (Singapura: Sulaiman Mar‘i, tth.). Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam(Beirut: Dar alFikr, tth.), Jilid II. Al-Zarqa, Mustafa Ahmad. "alMadkhal al-Fiqhi al-‘Aamm: al-Fiqh al-Islami fi Thawbihi al-Jadid." Damascus: Dar al-Fikr (1978) Jilid I dan II Fatmah Taufik Hidayat & Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim, Kaedah Adat mahakkamah Dalam Pandangan Islam Al-Zuhayli, Muhammad. (2005). Op.Cit.Hlm. 193-194 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II ( Jakarta : logos wacana Ilmu, 1999) Azzam, Abd al-Aziz. (2001). alMaqasid alShariyyah Fi al Qawaid al-Fiqhiyyah. Kaherah: Dar al-Bayan Li al Tibacah Wa al-Nashr. Hlm. 193-217. https://ibelboyz.wordpress.com/2 011/10/13/%E2%80%98u rf-pengertian-dasar hukummacam macam-kedudukandan-permasalahannya/ Ibn al-Thayyib alMu‘tazily, Al-Mu‘tamad fi Ushul alFiqh (Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyah, tth.). Imron Rosyadi. 2005. KEDUDUKAN AL-‘ADAH WA AL-‘URF DALAM BANGUNAN HUKUM ISLAM. Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta. SUHUF, Vol. XVII, No. 01/Mei 2005: 3-12 Lahaji & Nova Effenty Muhammad. 2015. Qaul qadim dan qaul jadid imam syafi’i: telaah faktor sosiologisnya. Al-Mizan. Volume 11 Nomor 1 Juni 2015. Halaman 119-135 http://journal.iaingorontalo .ac.id/index.php/am Lahmuddin Nasution, 2001. Pembaruan Hukum Islam 83 dalam Mazhab Syafi‘i (Bandung: Rosda. Maioen Zubair,2005. Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, (Surabaya: Khalista. Hal 274. Muhammad Abu Zahrah, Ushul alFiqh (Kairo: Dar al-Fikr alAdaby, 1958). Nadratuzzaman Hosen.2009. Analisis bentuk gharar dalam transaksi ekonomi. Fakultas Syariah dan Hukum Jakarta. AlIqtishad: Vol. I, No 1, Januari 2009 hal 54. Rahmat Illahi Besri. 2011. ‘Urf: Pengertian, Dasar Hukum, macam-macam, kedudukan, dan permasalahannya.Oktober 13, 2011 Wahbah al-Zuhaili, Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Kitab, 1978). Wikipedia. 2016. Mazhab Syafi'i. https://id.wikipedia.org/wi ki/Mazhab_Syafi'i 84 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial 85 KONTRIBUSI PERGURUAN TINGGI DALAM PROSES PEMBANGUNAN BIDANG KESEJAHTERAAN SOSIAL Oleh : Drs. T. Syarifuddin, M.Si. (Dosen Fisipol Unida Prodi Pembagunan Sosial/Sosiatri) 1. Pendahuluan Di tengah kemajuan bergulir Pembangunan merupakan proses dunia semua menghadapi perkembangan perubahan yang terencana dari yang sedang suatu situasi nasional yang satu ke akan situasi nasional yang lain yang lebih negara berbagai tantangan tinggi. Dapat dikatakan bahwa dalam mensejahterakan rakyatnya pembangunan merupakan terutama menghadapi upaya perubahan menuju keadaan globalisasi, tantangan kemajuan ilmu dan situasi yang lebih baik. pengetahuan dan teknologi. Sebagai Tertinggal akibat tersebut tradisional menjadi modern, bodoh membuat antara negara yang satu menjadi pandai, miskin menjadi dengan negara lain seakan tidak kaya, sakit menjadi sehat. dari globalisasi menjadi suatu maju, bisa berdiri sendiri. Oleh karena itu Timbulnya banyak masalah sebuah negara akan dapat saling pembangunan pada sebuah negara mempengaruhi lain didominasi oleh pengaruh negara terutama di bidang politik yang maju yang kuat di bidang ekonomi berlandaskan ketertiban dunia, di dan Iptek atas negara berkembang. bidang ekonomi, dan yang sangat Pada zaman ini kemajuan teknologi kuat adalah sosial budaya. Menurut komunikasi, informasi serta (Katz dalam Tjokrowinoto, 1995) industrialisasi membawa banyak satu sama 86 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 perubahan sosial budaya yang membawa daerah ini menghadapi sangat luar biasa sebagai tantangan berbagai masalah sosial. Masalah dalam kebangsaan. kemiskinan masih tetap menjadi Lebih mendasar efek dari pada beban dalam masyarakat. Menurut globalisasi yang menjurus kepada data BPS “Persentase penduduk modernisasi dalam miskin (yang berada di bawah garis moralitas kemiskinan) di Aceh pada Maret kehidupan akan lebih mempengaruhi masyarakat. 2014 sebesar 18,05 persen, Berbagai masalah sosial bisa meningkat terjadi kejahatan, dibandingkan Maret 2013 yang konflik antar Ras, kemiskinan, sebesar 17,6 persen,” ( BPS Aceh : perceraian, pelacuran, delinkwensi Profil Kemiskinan Maret 2014, (kenakalan) anak-anak, remaja, dan http://aceh.bps.go.id/?r- orang brs/view&id-417, diakses 29-11- saja seperti tua, penyalahgunaan 0,45 persen narkotika, bunuh diri, dan sakit 014). jiwa. Fenomena gelandangan dan gelandangan pengemis di musim-musim bulan (gepeng) meskipun kurangnya data tertentu dan jelang lebaran juga yang valid tentang masalah ini tidak asing lagi terjadi di kota-kota karena disebabkan oleh berbagai besar. faktor Indonesia sebagai negera Kemudian dan masalah dan pengemis bersifat musiman, namun peningkatan jumlah gepeng berkembang yang sedang giatnya di melaksanakan di dirasakan. Persoalan kemiskinan segala bidang juga tidak terlepas dapat dikatakan merupakan sumber dengan tantangan tersebut. yang pembangunan Di pusat-pusat bermuara ibu kota pada juga masalah daerah Aceh tidak hanya karena kesejahteraan sosial yang harus globalisasi, dihadapi oleh bangsa ini. konflik kemajuan dan teknologi, tsunami telah Begitu juga masalah ganja Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial 87 sudah menjadi potret buram bagi menyenangkan dalam masyarakat daerah Aceh seakan Aceh sebagai yang merusak keharmonisan sosial daerah lumbung ganja, sebagian perlu diawasi dengan suatu usaha besar yang bersama setiap elemen masyarakat tran dan pemerintah. Untuk pemecahan tanaman tertangkap di ganja ruas jalan Sumatera disebut berasal dari Aceh. berbagai Hal ini megindikasikan pemuda memerlukan dukungan semua pihak Aceh tidak banyak terserap di agar secara perlahan-lahan dapat lapangan ditanggulangi. kerja (pengangguran) akhirnya tergiur dengan menanam masalah sosial Mengantisipasi berbagai ganja. Kondisi ini membawa kesan permasalahan yang kurang menyenangkan bagi aktifis sosial memiliki kesempatan masyarakat sebagai bentuk dari dan masalah sosial yang seakan tidak mengoptimalkan dapat terpecahkan. Masalah sosial yang dimiliki masyarakat. Dalam adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat sesuatu yang tidak itu, ini maka setiap wewenang setiap potensi dikehendaki oleh semua orang, yang tidak sesuai dengan norma-norma kesejahteraan sosial kehidupan masyarakat. Menurut tidak menekankan P.A.F. Walter dalam Sartono Wirjo ekonomi semata. Namun segala Soemarto, (1990:45) menyebutkan aspek yang akan mendukung untuk bahwa masalah sosial adalah suatu menciptakan kondisi yang merupakan ancaman mandiri dan kuat harus selalu bagi kesejahteraan masyarakat, dan dikembangkan mempengaruhi bagi sejumlah warga sendiri. Diharapkan ketimpangan masyarakat. Dari pengertian ini pemahaman dapat pembangunan kondisi dipahami kehidupan bahwa yang setiap tidak akan untuk hanya memperjuangkan masyarakat masyarakat oleh yang masyarakat masyarakat tidak pada tentang semakin parah. Agar cita - cita kesejahteraan 88 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 masyarakat dari berbagai aspek Menurut Indah Meitasari, dapat diupayakan oleh masyarakat (2013) “Pembangunan” seringkali sendiri, dan juga dengan proses diartikan pengembangan masyarakat bermakna material, dan senantiasa kekuatan luar yang tidak sehat tidak dihubungkan dengan ekonomi atau mempunyai celah untuk mencoba pertumbuhan mengusik kesejahteraan masyarakat. Namun sebenarnya pembangunan Secara spesifik ada masalah harus memberikan hasil yang dapat pertumbuhan yang (growth oriented). besar saat ini yang harus disikapi dirasakan oleh semua oleh sehingga tidak merugikan orang perguruan tinggi memberikan kontribusi dalam atau pihak lain, karena berhasil pembangunan membangun bidang kesejahteraan sosial yang manusia. dihadapi oleh negara Indonesia berorientasi pada ekonomi umumnya dan Aceh harkat martabat Pembangunan yang pada pertumbuhan semata mengabaikan khususnya, yaitu : Bagaimana hakekat manusia yang direduksi mengembangkan kesiapan menjadi obyek atau materi, bukan sumber manusia menjadi subyek dari pembangunan. daya mengantisipasi masalah sosial Seharusnya manusia sebagai menjadi masyarakat mandiri dan orientasi pembangunan, sehingga kuat dinamakan menghadapi globalisasi, tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi? pembangunan yang berorientasi pada manusia. Manusia diberikan kesempatan untuk mengekspresikan kepentingan dan kebutuhannya digunakan 2. Arti Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan untuk yang dapat perencanaan pembangunan yang bersifat sosial dengan tujuan utama adalah Human Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial Development. Hal ini merupakan n-sosial-jakarta-529042.html, paradigma diakses 30-11-014). pembangunan yang 89 disebut sebagai pembangunan yang Selanjutnya Midgley (2005: berpusat pada manusia (people centred 25) mendefinisikan Pembangunan development), Sosial merupakan sebuah proses Ciri berpusat pembangunan pada manusia yang adalah perubahan sosial yang terencana dalam rangka meningkatkan manusia sebagai tujuan akhir dari kesejahteraan aktivitas pembangunan dan bukan menyeluruh, hanya sebagai alat. Sehingga apapun dengan yang dihasilkan dari pembangunan pembangunan ekonomi. yang bersifat menghasilkan fisik, harus pembangunan masyarakat yang proses secara berhubungan dinamis Sedangkan dalam tujuan pembangunan sosial budaya manusia (human development), yang menurut batasan yang diberikan dicapai melalui alat ukur, salah oleh Badan Pusat Statistik adalah satunya Development terwujudnya kesejahteraan rakyat Index yang mengukur lama hidup, yang ditandai dengan meningkatnya pengetahuan dan standar hidup kualitas kehidupan yang layak dan yang layak. Terdiri dari : angka bermartabat harapan hidup, angka melek huruf, perhatian utama pada tercukupinya daya beli, rata-rata lama bersekolah, kebutuhan dasar. Sasaran umum pemerataan pendapatan dan yang akan dicapai antara lain ketimpangan jender. Indah meningkatnya ketahanan sosial dan yaitu Human serta memberi Meitasari, budaya, meningkatnya kedudukan (http://jakarta.kompasiana.com/so dan sial- meningkatnya budaya/2013/01/29/pembanguna pemuda, peranan serta pembudayaan perempuan, partisipasi aktif meningkatnya dan prestasi 90 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 olahraga. Dari pengertian di atas memprihatinkan dapat kegagalan pembangunan (Distorted difahami bahwa pembangunan sosial merupakan Development) suatu kegiatan yang membawa oleh perubahan pada kesejahteraan masyarakat masyarakat secara menyeluruh, karena direncanakan pada banyak saat didominasi kesejahteraan di merata. sosial Indonesia Itu ini artinya tidak adanya dan masyarakat yang lemah dan yang dilaksanakan oleh masyarakat itu kuat tidak berjalan seimbang. Kita sendiri bisa melihat banyak sekali saat ini sebagai subyek pembangunan. pengusaha-pengusaha besar baik Terkait dengan hal itu antara dari kalangan sendiri ataupun asing lain ada tiga tantangan pokok yang yang sangat dalam kelemahan masyarakat yang lemah pembangunan bidang kesejahteraan untuk meraih keuntungan yang sosial terutama di Aceh. Tantangan sebesar-besarnya. pertama, adalah globalisasi, konflik Ketiga dan mendesak tsunami yang dapat beruntung memanfaatkan tantangan merupakan tersebut kegagalan memudahkan kekuatan asing yang pembangunan tidak memihak negara dapat masuk negara berkembang ternyata tidak secara perlahan. Tantangan kedua saja oleh faktor-faktor kendali, industrialisasi seperti yang mempunyai terhadap ketidakstabilan negara- politik, akibat yang luas terhadap ekonomi sistem politik yang otoriter, perang dan sosial masyarakat. Dampak dan perpecahan, namun juga oleh perdagangan kurangnya bebas yang akan perhatian membawa efek akan mudah hilang manusia kemandirian sosial. Negara-negara yang berhasil masyarakat yang serta kepada lembaga-lembaga terlalu bergantung pada kekuatan dalam pembangunan ternyata asing. Tantangan ketiga, yang juga memberikan perhatian yang besar Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial 91 terhadap pembangunan di bidang pendekatan yang keliru yaitu terlalu kesejahteraan sosial. terpusat Midgley menyebut Distorted Development pada pertumbuhan penekanan ekonomi yang ……yang melibatkan lapisan masyarakat yang pembangunan ekonominya tidak terbatas. Dalam proses pembuatan disertai dengan suatu tingkat yang keputusan rakyat banyak memadai dari pembangunan bidang diikutsertakan sosial.…kegagalan untuk mengerjakan mengharmonikan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi pembangunan sosial, dan kecuali apa tidak untuk yang harus dikerjakan dalam suatu proyek dan pembangunan. juga Kemudian Midgley (2005:7-10) menjamin bahwa keuntungan dari menegaskan bahwa untuk dapat kemajuan ekonomi dapat dirasakan mengatasi oleh seluruh masyarakat, Midgley pembangunan yang terdistorsi ini (2005: 4). Kegagalan yang terjadi (distorted adalah dibutuhkan perspektif baru dalam kegagalan menyeimbangkan ekonomi pembangunan dengan pembangunan Misalnya: dalam obyektifitas bidang pendapatan sosial. permasalahan development) upaya pembangunan, memang perspektif baru tersebut adalah “Perspektif Pembangunan Sosial”. perkapita Kesejahteraan sosial tinggi tetapi masih banyak yang diterjemahkan sebagai suatu tata pengangguran, kehidupan dan penghidupan sosial perumahan pembangunan yang perkampungan masif kumuh tapi masih material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, banyak, dan lainnya. Selain itu, kesusilaan, dan ketentraman lahir pengalaman kegagalan dan bathin. Hal ini sesuai dengan pembangunan di berbagai negara Undang-undang Nomor 11 Tahun berkembang, 2009 dan selain karena pasal 1 tentang 92 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 penyelenggaraan sosial dan kesejahteraan rakyat Sedangkan masalah Indonesia kesejahteraan sosial juga merupakan menjelaskan bahwa, Kesejahteraan bagian dari masalah sosial. Sebagai Sosial adalah kondisi terpenuhinya ilustrasi, kebutuhan material, spiritual, dan masalah utama yang terbentang sosial warga Negara agar dapat dalam domain masalah sosial dan hidup masalah layak merupakan dan mampu diri sehingga Namun, secara khusus, masalah melaksanakan fungsi kemiskinan kemudian menyentuh mengembangkan dapat kemiskinan sosialnya. Sejalan dengan itu kesejahteraan sosial. dimensi kesejahteraan sosial, seperti Keputusan Menteri Sosial RI No. fakir 58/HUK/2008 menegaskan bahwa kecacatan (ODK), anak dan lansia Kesejahteraan Sosial telantar, dan rumah tidak layak memungkinkan bagi setiap warga huni. Populasi yang mengalami Negara mengadakan problema ini dikenal dengan istilah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan Penyandang Masalah Kesejahteraan jasmaniah, rohaniah, dan sosial Sosial sebaik-baiknya bagi diri, keluarga Pelayanan Kesejahteraan serta (PPKS), Syahruman untuk masyarakat dengan miskin, (PMKS) orang atau dengan Pemerlu Sosial (2011), menjunjung tinggi hak-hak azasi http://sosbud.kompasiana.com/1/ serta kewajiban manusia sesuai 12/24/masalah-kesejahteraan- dengan Pancasila. Maksud dari sosial-dan-pekerjaan-sosial-di- pengertian dan ketentuan di atas indonesia-424943.html, diakses 1- jelas bahwa Negara berkewajiban 12- 2014. Dengan demikian dalam memberikan setiap menanggulangi masalah sosial maka memperoleh bidang kesejahteraan merupakan kehidupan yang layak sejahtera lahir sasaran utama diperhatikan karena dan bathin. masalah ini meliputi dimensi yang warganya hak untuk pada Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial komplek dalam pembangunan 93 3. Kontribusi Perguruan Tinggi sosial. Perguruan tinggi merupakan Pada tingkat yang paling dasar, salah satu pilar kemajuan bangsa, mengacu pada ADB (1990) dan tempat UNDP (2003) dalam Sumardjo, (2010), daya Kesejahteraan manusia yang beradab pembangunan adalah kemampuan manusia untuk pembangunan bidang kesejahteraan memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu : sosial, sudah semestinya merespon Kecukupan pangan, sandang, papan, secara tepat sesuai tridharma yang kesehatan, dan pendidikan. Apabila diembannya. Salah satu upaya yang kebutuhan dasarnya tersebut terpenuhi, dilakukan kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai kurikulum perguruan tinggi yang kondisi berbasis pada pembangunan bidang aman pertama dalam mempersiapkan manusia sumber pelaksana terutama adalah merancang kesejahteraan manusia. Faktanya prilaku kesejahteraan manusia itu sendiri sering kurang diimplementasikan kondusif bagi upaya mewujudkan tridharma perguruan tinggi, yaitu kesejahteraan mereka, baik secara pendidikan, individu, keluarga maupun masyarakat, pengabdian pada masyarakat. sehingga menyebabkan kesenjangan dalam uapaya sosial, melalui penelitian, dan Perumusan kurikulum kearah mewujudkan ini harus dilandasi pada pemikiran kesejahteraannya. Di sinilah peran bahwa untuk mewujudkan usaha pemerintah dan pihak-pihak terkait kesejahteraan termasuk tinggi kesejahteraan rakyat dibutuhkan yang upaya penigkatan kapital manusia upaya-upaya (human capital) dan kapital sosial perguruan mengembangkan kondusif bagi suasana sosial atau mewujudkan kesejahteraan sosial secara (social beradab dan berkeadilan (bermartabat). pemberdayaan yang menjadi dasar bagi capital) dalam pengembangan bentuk partisipasi 94 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 masyarakat dalam pembangunan berkonsentrasi pada pemberdayan bangsa. Di samping itu untuk masyarakat dan kebijakan sosial mengembangkan kapital manusia memegang peranan utama dalam : dan kapital sosial selain melalui (1) mengembangkan sumber daya investasi sosial, dibutuhkan pula manusia lingkungan sosial, budaya, hukum, bidang kesejahteraan sosial melalui ekonomi, pendidikan dan politik yang dalam kondusif, seperti penegakan hak mengembangkan azasi pengetahuan, manusia (human right), pembangunan formal, (2) ilmu serta konsep kepastian hukum (social justice), serta alternatif kebijakan pembangunan menghargai sosial melalui aktifitas penelitian, martabat manusia (human dignity). Hal ini menjadi dan pemacu pemberdayaan masyarakat melalui dan keharusan untuk terwujudnya kesejahteraan sosial. Universitas (3) mengembangkan inovasi, dalam bentuk pengabdian Iskandarmuda pada tinggi yang masyarakat yang sejahtera, mandiri, menyelenggarakan bidang kajian dan bermartabat (berkeadilan dan pembangunan berperadaban). suatu perguruan sosial kesejahteraan dan masyarakat telah mengembangkan berkontribusi kurikulum 4. dalam proses Kontribusi dan Kesejahteraan sosial dengan segala tantangan dan Keberadaan permasalahan yang ini dihadapinya. program studi Keilmuan Sosiatri/Pembangunan Sosial pembangunan bidang kesejahteraan Dalam hal menuju program studi/keilmuan Sosiatri/Pembangunan Sosial Sosiatri/Pembangunan Sosial salah Fisipol Unida sebagai satu-satunya satu prodi pada Fakultas Ilmu prodi yang ada di luar pulau Jawa Sosial yaitu Aceh di ujung barat pulau dan Ilmu Politik Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial Sumatera sejak tahun 80-an adalah didorong oleh semangat dan Program studi memberikan 95 ini telah kontribusi dan tuntutan masyarakat dalam upaya memainkan peran penting dalam menanggulangi derap kelainan sosial langkah pembangunan kemasyarakatan (Social Disorganized) daerah, khususnya dalam bidang dan sosial pembangunan masyarakat dan telah dari memperkuat sumber daya manusia pembangunan bidang pembangunan sosial dan adanya kesenjangan sebagai dampak berkembangnya kawasan-kawasan industri besar di kesejahteraan. Daerah Istimewa Aceh yang ada penelitian dan kerjasama dalam pada tahun 1980/1981. Terjadi implementasi penanganan masalah peledakan sosial atau urbanisasi dan Berbagai kemasyarakatan hasil serta pemukiman baru sehingga sangat kemiskinan telah memberi hasil berdampak positif. pada kemiskinan merusak sendi-sendi perekonomian Sejumlah alumni Sosiatri telah masyarakat desa akibat konflik yang bekerja berkepanjangan dan krisis ekonomi Pemerintah dan swasta seperti di di Aceh. Konflik Aceh terjadi lagi Perguruan Tinggi, Dinas Sosial, pada tahun 1998, dan secara latin Kantor konflik Kabupaten/kota, Aceh belum ada di berbagai instansi Pemerintahan dan penyelesaian secara tuntas sampai Keluarga sekarang. Oleh sebab itu, kehadiran (BKKBN), Jurusan Ilmu Sosiatri sebagai Ilmu serta di berbagai lembaga negeri Pembangunan yang dan swasta lainnya. Beberapa di mempelajari kelainan-kelainan antara alumni Sosiatri ada pula yang sosial relevan dalam menduduki jabatan politis seperti dan Bupati, anggota DPRD, pejabat Sosial sangat menjawab permasalahan tantangan yang dihadapi daerah. Berencana Kantor anggota Nasional TNI/Polri eselon II dan III di seluruh 96 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Indonesia dengan jumlah alumni pada peningkatan kualitas dharma lebih dari 600 orang. pendidian dari pada pengabdian Selain itu penelitian kegiatan dan pada masyarakat. Sementara pengabdian instansi terkait belum maksimal masyarakat yang dilakukan oleh dalam upaya meningkatkan sinergi dosen dengan dengan perguruan tinggi terutama mahasiswa telah menjadi tugas di prodi Sosiatri/Pembangunan Sosial Program Fisipol Unida. bersama-sama Studi Sosiatri/Pembangunan Sosial. Hasil penelitian ini Sampai saat ini program studi berguna bagi Sosiatri/Pembangunan pengajaran serta memperoleh peringkat Akreditasi dipublikasikan dalam bentuk jurnal B, dengan keputusan BAN-PT maupun seminar walaupun dalam Nomor porsi yang sedikit. Dalam kegiatan XII/S1/II/2010 pengabdian Februari 2010. Pada awalnya Ilmu pengembangan kerjasama dengan pada terjalin beberapa masyarakat, antara instansi lain Sosiatri : Sosial 048/BAN-PT/Aktanggal dikembangkan 25 sebagai di jawaban atas tuntutan sosial untuk antaranya dengan Lembaga Suadaya merespon kondisi problematik yang Masyarakat cukup Woman Development kompleks pasca Center (WDC) Kota Banda Aceh, kemerdekaan seperti : buta huruf, Prodi Pembangunan Sosial UGM tingkat harapan hidup yang rendah, Yogyakarta, dan Pemda Aceh Jaya. pengangguran, Meskipun dengan pendapatan perkapita yang rendah, instansi terkait dirasakan belum dan masalah sosial lainnya. Pada cukup efektif bagi pembangunan periode tersebut konsentrasi kajian bidang kesejahteraan sosial, hal ini Prodi mungkin terjadi karena perguruan masyarakat. Pada perkembangan tinggi saat ini banyak memfokuskan berikutnya konsentrasi kajian prodi kerjasama Sosiatri gelandangan, adalah penyakit Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial ini bukan hanya penyakit 97 masyarakat. Prodi Pembangunan masyarakat tetapi juga ditambah Sosial pengembangan masyarakat. Dalam pemecahan masalah yang efektif dekade konsentrasi karena tidak hanya berfokus pada dirubah pemecahan masalah, namun juga kebijakan pada strategi pasca penanganan demikian masalah. Pendekatan pembangunan konsentrasi kajian Ilmu Sosiatri yang digunakan : Pembangunan pada saat ini adalah Pembangunan Masyarakat Masyarakat dan Kebijakan Sosial, Development/CD), dan dan pendekatan semula individual Pengorganisasian Masyarakat bergeser (Community Organizer/CO) untuk terakhir penyakit masyarakat menjadi konsentrasi sosial. Dengan ke community. konsentrasi Kedua tersebut mereprensentasikan kajian mengenai upaya yang dilakukan menggagas strategi (Community memecahkan berbagai macam lulusan Prodi persoalan sosial. Profil secara integral untuk menyelesaikan Pembangunan Sosial : 1. Mampu permasalahan sosial yang akan menjadi bermuara masyarakat (community development pada pembangunan bidang kesejahteraan sosial. ahli pembangunan specialist) untuk institusi pemerintah (state), LSM (civil society organization) 5. Kompetensi Lulusan Prodi Sosiatri/Pembangunan Sosial Fisipol Unida Program Studi Pembangunan Sosial merupakan studi mempelajari pembangunan yang mengenai sosial melalui strategi pemecahan masalah sosial sehingga tercapai kesejahteraan dan perusahaan (corporate). Mampu melakukan analisis kebijakan sosial untuk pemerintah dan lembaga legislatif. 2. Mampu menjadi peneliti sosial (sosial researcher), dan 3. Mampu menjadi akademisi. Kompetensi lulusan Prodi Pembangunan Sosial dalam proses 98 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Pembangunan Bidang Tenaga Kesejahteraan Sosial Kesejahteraan Sosial adalah : 1. Masyarakat), selain itu juga Sebagai menjadi fasilitator program Program- Pemberdayaan fasilitator pengorganisasian dalam masyarakat Masyarakat, dan 2. Sebagai Tenaga untuk Ahli dalam merumuskan Kebijakan bencana. Sosial berdasarkan persoalan yang Sebagai Tenaga ada di dalam masyarakat (bottom up Merumuskan Kebijakan Sosial planning). adalah : Untuk itu pada bagian ini penanggulangan Ahli dalam a. Membuat kebijakan tentang dikemukakan beberapa hal pokok mekanisme bantuan sosial. yang terkait dengan kontribusi b. Membuat kebijakan tentang lulusan perguruan tinggi ini yang penanggulangan bencana alam relevansi dan bencana sosial. kurikulumnya dalam pembangunan bidang kesejahteraan c. Membuat kebijakan tentang sosial antara lain : Sebagai pengelolaan dana sosial dari Fasilitator program Program- Pemberdayaan Masyarakat, yaitu : a. Menjadi pemerintah, masyarakat, dan fasilitator swasta. 6. Penutup dalam Perguruan pemberdayaan sosial keluarga, b. tinggi fakir miskin, komunitas adat lembaga terpencil, dan wanita rawan merupakan pilar kemajuan bangsa sosial masyarakat (TKSM). tempat Menjadi fasilitator dalam daya pendidikan sebagai mempersiapkan manusia. adalah sumber Kebijakan pemberdayaan organisasi sosial pengembangan pendidikan tinggi dan kemitraan (karang taruna, tidak dapat dipisahkan dengan organisasi sosial, LSM, dan kebutuhan pembangunan di daerah Drs. T. Syarifuddin, M.Si., Kontribusi Perguruan Tinggi Dalam Proses Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial yaitu kebutuhan manusia dalam sumber daya 99 berperadaban). pembangunan, Program terutama perguruan tinggi yang memberikan terkait memainkan peran penting dalam dengan pembangunan bidang kesejahteraan sosial. derap Program studi ini telah kontribusi dan langkah pembangunan Studi daerah, telah memperkuat sumber Sosiatri/Pembangunan Sosial salah daya manusia bidang pembangunan satu prodi pada Fakultas Ilmu sosial dan kesejahteraan. Berbagai Sosial dan Ilmu Politik Unida hasil penelitian dan kerjasama, dengan meskipun konsentrasi pemberdayan pada masyarakat dan instansi kerjasama terkait dengan belum cukup kebijakan sosial memegang peranan maksimal, utama dalam pembangunan bidang implementasi penanganan masalah kesejahteraan sosial mengembangkan manusia dalam sosial sumber : (1) daya pembangunan namun dalam kemasyarakatan serta kemiskinan telah memberi hasil positif. Sejumlah alumni telah bidang kesejahteraan sosial melalui bekerja di berbagai instansi negeri pendidikan dan swasta di daerah ini. Selain formal, mengembangkan pengetahuan, (2) ilmu serta konsep kontribusi percepatan segi lulusan, dalam program-program alternatif kebijakan pembangunan pembangunan bidang kesejahteraan sosial melalui aktifitas penelitian, sosial, dan pengkajian program Pemberdayaan (3) mengembangkan kontribusi dengan pemberdayaan masyarakat melalui Masyarakat, inovasi, dalam bentuk pengabdian Perumusan Kebijakan Sosial.: pada masyarakat menuju Oleh dan karena program itu perlu peningkatan sinergi masyarakat yang sejahtera, mandiri, konsistensi dan bermartabat (berkeadilan dan instansi terkait dengan perguruan 100 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 tinggi dalam hal kerjasama terutama perguruan tinggi yang membidangi kajian pembangunan sosial dan kesejahteraan. DAFTAR PUSTAKA Darmawan, Danang A, ([email protected]), 28 Nov 2014, Provil Prodi Pembangunan Sosial/Sosiatri, E-mail kepada T. Syarifuddin (teukusyarifuddin@yahoo. com). James, Midgley, (2005), Pembangunan Sosial; Perspektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial, Diperta Isalam Dapag RI, Jaakarta Rohman, Arif (2014), Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia, http://sosbud.kompasiana .com/2014/11/24/pemba ngunan-kesejahteraansosial-di-indonesiahambatan-tantangan-danpeluang-705615.html, diakses 29 Nov 2014 Syahruman, (2011), Masalah Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial di Indonesia, (online), http://sosbud.kompasiana .com/2011/12/24/masala h-kesejahteraan-sosialdan-pekerjaan-sosial-diindonesia-424943.html, diakses 1 Desb 2014 Sumardjo, ( 2010), Pemberdayaan Masyarakat dan Pngelolaan Konflik dalam Rangka Pengelolaan Kebun Sawit Berkelanjutan. Kerjasama Care IPB dengan Badan Litbang Pembangunan Daerah. Pekanbaru. ________, (2010). Penyuluhan Mengembangkan Kapital Manusia dan Kapital Sosial menuju Kesejahteraan UNDP. 2003. Human Development Report 2003. Millenium Development Goals: A Compact among Nationms to End Human Poverty. Oxford University Press. New York. Wirjosoemarto, Sartono, (1990), Ilmu Sosiatri Suatu Pengantar, Fisipol UGM, Yogyakarta Zulfadli, M.Si, Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu 101 LEMBAGA PENDIDIKAN UNTUK PENCARI ILMU (Suatu Analisa Pendidikan di Aceh) Oleh : Zulfadli, M.Si ( Dosen Prodi Pendidikan Ekonomi FKIP Unsyiah) Abstrak Mencari ilmu hukumnya fardhu. Maka pemerintah harus menyiapkan lembaga pendidikan bagi pencari ilmu. Beberapa permasalahan yang diuraikan dalam tulisan ini meliputi; (1) Klasifikasi lembaga pendidikan baik di Indonesia maupun di Aceh, (2) Hukum mencari ilmu, (3) Keutamaan pemilik ilmu, (4) Ilmuwan yang diharapkan. Lembaga pendidikan di indonesia dalam UU bisa kita klasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: sekolah dan luar sekolah, selanjutnya pembagian ini lebih rincinya menjadi tiga bentuk: ( 1). Informal, (2). Formal, (3). dan nonformal. Jalur formal adalah lembaga pendidikan yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dengan jenis pendidikan: (1) Umum, (2) Kejuruan, (3) Akademik, (4) Profesi, (5) Advokasi, (6). Keagamaan.Tingkatan pendidikan dalam kerajaan Aceh Darussalam adalah sebagai berikut: (10) Meunasah, (2) Rangkang, (3) Dayah, (4) dayah Tengku Chiek, (5) Jamiah Baiturrahman. Mencari ilmu syar’i adalah fardhu kifayah, apabila ada orang yang sudah mempelajarinya maka hukumnya menjadi sunnah bagi yang lainnya. Tetapi terkadang mencari ilmu itu menjadi fardhu ‘ain bagi manusia. Keutamaan bagi pemilik ilmu akan angkat derajatnya di dunia dan di akhirat. Ilmuwan yang diharapkan adalah yang memiliki wawasan/pengetahuan yang luas serta mengamalkan ilmunya, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlak, adab, dan muamalah. Kata Kunci: Lembaga Pendidikan, Ilmu Abstract Looking for legal science fard. Then the government should prepare educational institutions for knowledge seekers. Some of the problems described in this article include; (1) The classification of educational institutions both in Indonesia and in Aceh, (2) Legal seek knowledge, (3) Virtue owner science, (4) Scientists are expected. Educational institutions in 102 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Indonesia in the Act could we classify into two groups: the school and outside of school, then it is more detailed division into three forms: (1). Informal, (2). Formal, (3). and non-formal. Formal channel is the institution consisting of primary education, secondary education, and higher education with the kind of education: (1) General, (2) Vocational (3) Academic, (4) Profession, (5) Advocacy, (6). Religious. Levels of education in the kingdom of Aceh Darussalam are as follows: (10) meunasah, (2) rangkang, (3) Boarding School, (4) dayah Tengku Chiek, (5) Baiturrahman association. Seeking knowledge is fard kifayah Shar'ie, if there are people who have studied the law becomes Sunnah for others. But sometimes seek knowledge it becomes fard 'ayn for humans. The virtue of the owner will be taken up science in the world and in the hereafter. Scientists expected is that having insight / knowledge broad and apply their knowledge, both in matters of faith, worship, morals, manners, and muamalah. Keywords: Institute of Education, Science I. Pendahuluan Mencari ilmu syar’i adalah fardhu kifayah, apabila ada orang yang sudah mempelajarinya maka hukumnya sunnah bagi yang lainnya. Tetapi terkadang mencari ilmu itu menjadi fardhu ‘ain bagi manusia. Dalam upaya menuntut ilmu, orang tua cenderung mencari lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai dengan keinginannya. Lembaga Pendidikan (baik formal, non formal atau informal) adalah tempat transfer ilmu pengetahuan dan budaya (peradaban). Melalui praktik pendidikan, peserta didik diajak untuk memahami bagaimana sejarah atau pengalaman budaya dapat ditransformasi dalam zaman kehidupan yang akan mereka alami serta mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan dan tuntutan yang ada di dalamnya. Dengan demikian, makna pengetahuan dan kebudayaan sering kali dipaksakan untuk dikombinasikan karena adanya pengaruh zaman terhadap pengetahuan jika ditransformasikan. Oleh karena itu pendidikan nasional bertujuan mempersiapkan masyarakat baru yang lebih ideal, yaitu masyarakat yang mengerti hak dan kewajiban dan berperan aktif dalam proses pembangunan bangsa. Esensi dari tujuan pendidikan nasional adalah proses menumbuhkan bentuk budaya keilmuan, sosial, ekonomi, dan politik yang lebih baik dalam perspektif tertentu harus mengacu pada masa depan yang jelas (pembukaan UUD 1945 alenia 4). Melalui kegiatan pendidikan, gambaran tentang masyarakat yang ideal itu dituangkan dalam alam pikiran peserta didik sehingga Zulfadli, M.Si, Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu terjadi proses pembentukan dan perpindahan budaya. Pemikiran ini mengandung makna bahwa lembaga pendidikan sebagai tempat pembelajaran manusia memiliki fungsi sosial (agen perubahan di masyarakat). Lembaga pendidikan di Aceh sebagai wilayah yang memiliki julukan daerah istimewa dimana salah satunya adalah bidang pendidikan, memiliki tatanan tersediri pada struktur pendidikan daerah. Tatanan tersebut merupakan peninggalan dari sistem pendidikan pada masa kesultanan. Namun saat ini sudah mulai pudah akibat masuknya berbagai sistem pendidikan nasional maupun pola pendidikan Barat. 2. Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi permasalahan adalah: 1. Bagaimana klasifikasi lembaga pendidikan baik di Indonesia maupun di Aceh? 2. Apa hukum mencari ilmu? 3. Apa keutamaan pemilik ilmu? 4. Bagaimana ilmuwan yang diharapkan? 3. Pembahasan 3.1 Lembaga Pendidikan. Lembaga pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap corak dan karakter masyarakat. Belajar dari sejarah perkembanganya lembaga pendidikan yang ada di indonesia memiliki beragam corak dan tujuan 103 yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang melingkupi, mulai dari zaman kerajaan dengan bentuknya yang sangat sederhana dan zaman penjajahan yang sebagian memiliki corak ala barat dan gereja, dan corak ketimuran ala pesantren sebagai penyeimbang, serta model dan corak kelembagaan yang berkembang saat ini tentunya tidak terlepas dari kebutuhan dan tujuantujuan tersebut. Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989. Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.Sebagai sistem sosial, lembaga pendidikan harus memiliki fungsi dan peran dalam 104 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 perubahan masyarakat menuju ke arah perbaikan dalam segala lini. Dalam hal ini lembaga pendidikan memiliki dua karakter secara umum. Pertama, melaksanakan peranan fungsi dan harapan untuk mencapai tujuan dari sebuah sistem. Kedua mengenali individu yang berbeda-beda dalam peserta didik yang memiliki kepribadian dan disposisi kebutuhan. Kemudian sebagai agen perubahan lembaga pendidikan berfungsi sebagai alat: 1) Pengembangan pribadi 2) Pengembangan warga 3) Pengembangan Budaya 4) Pengembangan bangsa 3.1.1 Lembaga Pendidikan di Indonesia. Lembaga pendidikan di Indonesia dalam UU bisa kita klasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: sekolah dan luar sekolah, selanjutnya pembagian ini lebih rincinya menjadi tiga bentuk: 1). informal. 2). formal 3). dan nonformal Sebelum kita melngkah pada pembahasan lebih jauh, tentunya kita harus mengetahui peran masing-masing lembaga secara umum, ketiga klasifikasi di atas dalam pergumulanya di masyarakat memiliki peran yang berbeda-beda, lembaga pendidikan pertama, yaitu informal atau keluarga, ranah garapanya adalah lebih banyak di arah kan dalam pembentukan karakter atau keyakinan dan norma. Lembaga pendidikan kedua, yaitu formal atau sekolah, peran besarnya lebih banyak di arahkan pada pengembangan penalaran murid. Yang terakhir lembaga pendidikan ketiga, yaitu masyarakat, peranya lebih banyak pada pembentukan karakter sosial. Ketiga pembagian di atas adalah merupakan perubahan mendasar, Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan informal (keluarga) tersebut sebenarnya juga telah diberlakukan, namun masih termasuk dalam jalur pendidikan luar sekolah, dan ketentuan penyelenggaraannyapun tidak konkrit. Penjelasan dari klasifikasi tersebut adalah: 1. Pendidikan informal, atau pendidikan pertama adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, hal ini adalah menjadi pendidikan primer bagi peserta dalam dalam pembentukan karakter dan kepribadian, hal ini penulis fikir sesuai dengan konsep al Qur’an dalam masalah pendidikan dikeluarga yaitu menjaga keluarga kita dari hal-hal yang negative. 2. Pendidikan nonformal, atau pendidikan kedua meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan Zulfadli, M.Si, Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan nonformal meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan. Adapun pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, atau ingin melengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat, yang berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional. 3. Jalur formal adalah lembaga pendidikan yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan 105 menengah, dan pendidikan tinggi dengan jenis pendidikan: 1). umum 2). Kejuruan 3). Akademik 4). profesi 5). Advokasi 6). keagamaan. Pendidikan formal dapat coraknya diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat. Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah berbentuk lembaga sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (Mts) atau bentuk lain yang sederajad. Sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar, bagi anak usia 0-6 tahun diselenggarakan pendidikan anak usia dini, tetapi bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal (TK, atau Raudatul Athfal), sedangkan dalam nonformal bisa dalam bentuk (TPQ, kelompok bermain, taman/panti penitipan anak) dan/atau informal (pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Sedangkan Pendidikan menengah yang merupakan kelanjutan pendidikan dasar terdiri 106 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 atas, pendidikan umum dan pendidikan kejuruan yang berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajad. Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah, pendidikan ini mencakup program pendidikan diplom, sarjana, magister, dan doctor. Perguruan tinggi memiliki beberapa bentuk yaitu akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas yang secara umum lembaga-lembaga tinggi ini dibentuk dan diformat untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, serta menyelenggarakan program akademik, profesi dan advokasi. Semua lembaga formal di atas diberi hak dan wewenang oleh pemerintah untuk memberikan gelar akademik kepada setiap peserta didik yang telah menempuh pendidikan di lembaga tersebut, Khusus bagi perguruan tinggi yang memiliki program profesi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakan doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni. Untuk menagulangi permasalahan yang cukup aktual dan meresahkan masyarakat saat ini, seperti pemberian gelar-gelar instan, pembuatan skripsi atau tesis palsu, ijazah palsu dan lain-lain, pemerintah telah mengatur dan mengancam sebagai tindak pidana dengan sanksi yang juga telah ditetapkan dalam UU Sisdiknas yang baru. Masih ada pendapat lain mengenai lembaga pendidikan sebagai tempat mencari ilmu. Menurut Yose Rizal & Moh. Suraji (2009:72) tempat menuntut ilmu adalah “di sekolah umum, di perguruan tinggi Islam, di pondok, dengan cara otodidak/belajar sendiri melalui banyak membaca”.Pelajar-pelajar yang di pondok pesantren disebut santri. Santri adalah sebutan khusus bagi kaum terpelajar yang belajar dalam pondok pesantren. Menurut pesantren, santri di bagi atas dua kelompok : 1. Santri mukim, yaitu muridmurid yang berasal dari daerah yang jauh. Kelompok ini menginap dan menetap dalam pondok. 2. Santri kadong, yaitu muridmurid yang berasal dari desadesa sekeling pesantren. Kelompok ini tidak menetap di pondok pesantren. Selain itu ada juga santri yang tinggal menetap di dalam pesantren dengan alasan-alasan lain sebagai berikut : Zulfadli, M.Si, Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu - Karena ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas tentang Islam secara lebih mendalam di bawah bimbingan kyai yang memimpin pesantren. - Karena ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, beorganisasi maupun hubungan dengan pesantren-pesantren yang terkenal. - Karena ingin memuaskan studinya dipesantren tanpa disibukan oleh kewajiban sehari-hari di rumah. 3.1.2. Lembaga Pendidikan di Aceh Setiap raja di Aceh di dampingi oleh alim ulama, Di samping itu, juga ada lembaga pendidikan dayah. Dayah di Aceh berfungsi sebagai tempat belajar agama; banteng terhadap kekuatan melawan penjajah dan merupakan pendidikan yang cukup populer dalam sejarah Aceh.Dayah menjadi pusat dari pembahasan tentang pendidikan Islam dalam konteks masyarakat Aceh masa lalu dan masa sekarang. Keberadaan dayah sebagai pusat pendidikan Islam masa lalu yang sudah menghasilkan ulama dan tokoh-tokoh yang berpengaruh dimasanya memang tidak diragukan lagi. Dayah masa lalu secara sukses telah mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama, salah satunya terbukti bahwa output 107 dayah bukan hanya ulama saja tapi juga seorang politikus atau negarawan yang berpengaruh. Ini semua dikarenakan pendidikan dayah saat itu yang tidak dikotomi. Harus diakui, institusi dayah sendiri mengalami pasang surut yang sangat signifikan, terutama di masa penjajahan Belanda. Penghancuran dayah dan segala pemimpin dayah itu sendiri telah mempengaruhi tahun-tahun kemunduran dayah setelah kolonial Belanda memulai pendudukannya di Aceh pada tahun 1873. Dayah dan pemimpin dayah saat itu adalah simbol dan motor penggerak. Adapun tingkatan pendidikan dalam kerajaan Aceh Darussalam menurut Munawiyah dkk (2009: 56-57) sebagai berikut: A. Meunasah Meunasah atau madrasah, yaitu sekolah yang sama dengan sekolah dasar kalau sekarang. Ia didirikan tiap-tiap kampung atau desa. Di meunasah murid-murid diajarkan menulis dan membaca huruf-huruf Arab, membaca Al-Quran, cara beribadah, akhlak, rukun Islam, rukuniman tiap malam jumat. Buku-buku pelajaran dalam bahasa Melayu, seperti kitab Perukunan, risalah Masailan Mubtadin. B. Rangkang Menurut ketentuan Qanun Meuke Kuta Alam, bahwa tipa-tiap mukim harus didirikan satu mesjid. Mesjid sebagai pusat 108 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 segala kegiatan ummat, juga merupakan pusat pendidikan dalam mukim yang bersangkutan yaitu, pendidikan tingkat menengah pertama. Kebanyakan murid terus mondok di mesjid, sehingga dirasa perlu membangun pondok-pondok sekeliling mesjid sebagai asrama yang bernama rangkang, karena itulah pendidikan menengah pertama ini dinamakan rangkang. Dirangkang ini diajar Fiqh, Ibadah, Tauhid, Tassawuf, sejarah Islam/umum, bahasa Arab disamping masih dipergunakan buku-buku pelajaran dalam bahasa melayu, juga mulai dipakai buku-buku pelajaran dalam bahasa Arab. C. Dayah Dayah disamakan dengan sekolah menengah atas atau madrasah aliyah kalau sekarang. Hampir dalam tiaptiap daerah nanggroe (negeri) berdiri dayah. Kadang-kadang ada dayah berpusat pada mesjid bersama dengan rangkang, tetapi kebanyakan dayah berdiri sendiri diluar lingkungan mesjid, menyediakan sebuah balai utama sebagai aula, yang digunakan menjadi tempat belajar dan sembahyang jamaah. Dalam dayah semua pelajaran diajar dalam bahasa Arab, dengan mempergunakan kitab- kitab bahasa Arab ilmu-ilmu yang diajarkan antar lain: fiqh muamalat, tauhid, tassawuf/akhlak, geografi (ilmu bumi) sejarah/ilmu tata negara dan bahasa Arab. Disamping dayah-dayah yang sifatnya umum, juga ada dayah-dayah khusus, umpamanya dayah khusus untuk wanita, dayah khusus yang didalamnya diajarkan ilmu pertanian, ilmu pertukangan, ilmu perniagaan dan sebagainya. D. Dayah Teungku Chiek Dayah Teungku Chiek yang disebut juga dayah manyang, dapat disamakan dengan akademi.Dayah Teungku Chiek jumlahnya tidak terlalu banyak, hanya ada di beberapa tempat seperti telah dijelaskan bahwa “dayah” berasal dari “zawiyah” dan teungku Chiek Artinya guru besar, jadi dayah teungku chiek artinya dayah guru besar. Mata pelajaran yang diajarkan dalam dayah teungku Chiek antara lain bahasa Arab, Fiqh jinayat (hukum pidana), fiqh munakahat (hukum perkawinan), fiqh dauly (hukum tata negara), sejarah islam, sejarah negara-negara, tauhid/filsafat, tassawuf/ akhlak, ilmu falak, tafsir, hadist dan lain-lain. Ada dayah teungku Chiek yang hanya mengajar ilmu-ilmu tertentu saja, seperti umpamanya ilmu Zulfadli, M.Si, Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu hukum (fiqh), ilmu tafsir, ilmu hadist dan sebagainya. E. Jamiah Baiturrahman Setalah berdiri dayah-dayah teungku Chiek di berbagai tempat dalam kerajaan Aceh Darussalam, maka di ibu kota negara Banda Aceh didirikan pula Jamiah Baiturrahman (Universitas Baiturrahman) yang menjadi satu kesatuan dengan mesjid Jami’ Baiturrahman. Jamiah Baiturrahman mempunyai bermacam-macam “daar” (kalau sekarang kira-kira fakultas), seperti daarut tafsir wal hadist (fakultas ilmu tafsir/hadist), darul thib wal kimia (fakultas kedokteran dan kimia), darut tarikh (fakultas sejarah), darul siyasah (fakultas sosial politik), darul falsafah (fakultas filsafat) dan lainlainnya. Setelah masa Dayah Baiturrahman, perkembangan dayah menjadi redup dan menurun akibat terjadinya perang antara kerajaan Aceh, ulama dan masyarakat Aceh dengan bangsa Eropa terutama Portugis dan Belanda. Perang ini memberi pengaruh negatif terhadap kurikulum dayah. 3.2. Hukum Mencari Ilmu Muhammad bin Shalih al‘Utsaimin (2006:20), mengatakan bahwa: 109 “Mencari ilmu syar’i adalah fardhu kifayah, apabila ada orang yang sudah mempelajarinya maka hukumnya menjadi sunnah bagi yang lainnya. Tetapi terkadang mencari ilmu itu menjadi fardhu ‘ain bagi manusia. Batasnya adalah apabila seseorang akan melakukan ibadah yang akan dia jalankan atau mu’amalah yang akan dia kerjakan, maka dia wajib dalam keadaan ini mengetahui bagaimana cara melakukan ibadah ini dan juga bagaimana dia melaksanakan mu’amalah ini. Adapun ilmu yang lainnya (yang tidak akan dikerjakan saat itu), maka tetap hukumnya fardhu kifayah. Setiap pencari ilmu harus menyadari bahwa dirinya sedang melaksanakan amalah yang hukumnya fardhu kifayah ketika mencari ilmu sehingga dia memperoleh pahala mengerjakan amalan fardhu kifayah seraya memperoleh ilmu”. Tidak diragukan lagi bahwa mencari ilmu termasuk amalan yang paling utama, bahkan dia adalah jihat di jalan Allah, terutama pada zaman kita sekarang ketika kebid’ahan mulai tampak di tengah masyarakat Islam dan menyebar secara luas, ketika kebodohan mulai 110 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 merata dari kalangan orang yang mencari fatwa tanpa ilmu, dan ketika perdebatan mulai menyebar dikalangan manusia, maka tiga hal ini mengharuskan para pemuda untuk bersungguh dalam mencari ilmu. Oleh karena itu, kita sangat butuh kepada ahli ilmu yang memiliki ilmu yang mendalam dan penelaahan yang luas, sehingga pemahaman tentang agama Allah, dan memiliki sikap hikmah dalam membimbing para hamba Allah, karena kebanyakan manusia sekarang hanya memperoleh ilmu secara teoritis dalam salah satu masalah akan tetapi tidak menaruh perhatian terhadap upaya memperbaiki manusia dan pendidikan mereka. Apabila mereka berfatwa dengan ini dan itu, maka hal itu menjadi penyebab timbulnya kejelekan lebih besar, tidak ada yang mengetahui masa berlangsungnya kecuali Allah. 3.3. Keutamaan Pemilik Ilmu Allah telah memuji ilmu dan pemiliknya serta mendorong hamba-hamba-Nya untuk berilmu dan membekali diri dengannya. Demikian juga Sunah Nabi yang suci. Ilmu adalah amal shalih yang paling utama dan ibadah yang paling utama dan mulia serta paling utama diantara ibadah-ibadah sunnah, karena ilmu termasuk jenis jihad di jalan Allah, karena sesungguhnya agama Allah hanya akan tegak dengan dua hal (Muhammad bin Shalih al- ‘Utsaimin (2006:9): “Pertama, dengan ilmu dan penjelasan, Kedua, dengan perang dan senjata.” Kedua hal ini merupakan keharusan. Agama ini tidak mungkin tegak dan menang tampa keduanya. Hal yang pertama harus lebih dipentingkan dari hal yang kedua. Oleh karena itu Nabi tidak menyerang suatu kaum sebelum sampainya dakwah kepada mereka. Jadi, ilmu lebih didahulukan dari pada perang. Allah Ta’ala berfirman: Ataukah orang yang beribadah sepanjang malam sambil bersujud dan berdiri karena takut akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya (QS. Az-Zumar: 9) Kata tanya disini mesti memiliki lawan kata, sehingga artinya: Apakah orang yang beribadah sepanjang malam dan siang sama dengan orang yang keadaanya tidak demikian? golongan kedua yang keutamaannya kurang adalah golongan yang tidak berilmu, maka apakah sama orang yang beribadah sepanjang malam sambil bersujud dan berdiri karena takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat Allah dengan orang yang mengembangkan diri untuk melakukan ketaatan kepada Allah? Jawabnya adalah, tidak sama. Lalu orang yang beribadah dengan mengharapkan pahala dari Allah dan takut akan akhirat, Zulfadli, M.Si, Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu apakah ibadahnya ini berdasarkan ilmu atau kebodohan? jawabnya adalah, berdasarkan ilmu. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: “Apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orangorang yang tidak berilmu? hanya orang yang berakal yang bisa mengambil pelajaran.’’(QS. Az-Zumar:9) Tidak sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu sebagaimana tidak sama orang yang hidupnya dengan orang yang mati, orang yang mendengar dengan orang yang tuli, dan orang yang melihat dengan orang yang buta. Ilmu adalah cahaya yang bisa dijadikan petunjuk oleh manusia sehingga mereka bisa keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang. Ilmu menjadi sebab di angkatnya derajat orang-orang yang dikehendaki oleh Allah dari kalangan hamba-Nya, “Niscaya Allah akan mninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orangorang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...’’(QS. AlMmujaadilah:11) Oleh karena itu kita dapati bahwa ahli ilmu merupakan tumpuan pujian, setiap kali nama mereka disebut, manusia selalu memujinya. Ini adalah pengangkatan derajat mereka di dunia. Adapun di akhirat, derajat mereka diangkat sesuai dengan 111 dakwah kepada Allah dan amal dari ilmu yang mereka miliki. Seseorang hamba yang sejati adalah orang yang beribadah kepada Allah atas dasar ilmu dan telah jelasnya kebenaran baginya. Inilah jalan Nabi. “Katakanlah, inilah jalanku yang lurus, aku mengajak manusia kepada Allah atas dasar ilmu yang aku lakukan beserta pengikutku. Mahasuci Allah dan aku bukanlah termasuk orang musyrik.” (QS. Yusuf:108) Seorang manusia yang bersuci dan dia mengetahui bahwa dia berada diatas cara bersuci yang sesuai dengan syari’at, apakah orang ini sama dengan yang bersuci hanya karena dia melihat cara bersuci ayahnya atau ibunya? Manakah yang lebih sempurna dalam melakuakan ibadah diantara keduanya? Seorang yang bersuci karena dia mengetahui bahwa Allah memerintahkan untuk bersuci dan apa yang dia lakukan dan cara bersuci Nabi Muhammad SAW lalu dia bersuci karena malaksanakan perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah Muhammad SAW, ataukah seorang yang bersuci atas dasar kebiasan? Jawabnya adalah, tidak diragukan lagi bahwa orang pertamalah yang (lebih sempurna dalam) beribadah kepada Allah atas dasar ilmu. Samakah kedua orang tadi? Sekalipun keduanya melakukan hal yang sama, akan tetapi orang orang 112 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 yang pertama melakukannya berdasarkan ilmu dengan berharap kepada Allah dan takut kepada akhirat. Apakah kita menyadari ketika berwudhu, kita sedang melaksanakan perintah Allah dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sanpai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki...’’(QS. AlMaa-idah:6) Apakah ketika berwudhu seseorang menyadari ayat ini dan dia berwudhu karena melaksanakan perintah Allah? Apakah diapun menyadari bahwa ini adalah cara berwudhu Rasulullah SAW dan dia berwudhu mengikuti Rasullullah SAW. Jawabnya, Ya! Kenyataanya, diantara kita ada yang menyadari hal itu, oleh karena itu ketika mengerjakan ibadah, kita wajib meniatkanya unutuk melaksanakanya perintah Allah sehingga dengan meniatkanya untuk melaksanakan perintah Allah sehingga hal itu tercapailah ikhlas. Kitapun mesti meniatkan untuk mengikuti Rasullah SAW dalam melakukan ibadah tersebut. Kita mengetahui bahwa diantara syarat wudhu adalah niat, akan tetapi niat ini terkadang dimaksudkan untuk beramal, dan inilah yang dibahas dalam bidang fiqih. Terkadang juga dimaksudkan meniatkan apa yang diamalkan, dan ketika itu kita harus memperhatikan perkara yang agung ini, yaitu kita menyadari bahwa kita beribadah dalam rangka melaksanakan perintah Allah agar keikhlasan dapat tercapai dan menyadari bahwa Rasullah SAW melakukan hal ini kitapun mengikuti dalam hal ini agar sikap mutaba’ah (mengikuti) pun tercapai, karena diantara syarat sahnya amalan adalah ikhlas dan mutabah’ah. Sehingga dengan kedua hal ini terealisasikanlah syahadat (persaksian) bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah SAW. Kita kembali kepada penjelasan yang lalu tentang keutamaan ilmu. Karena dengan ilmu seseorang beribadah kepada Allah berdasarkan bashirah (mata hati), maka hatinya akan selalu terpaut dengan ibadah dan hatinya pun akan diterangi dengan ibadah itu sehingga dia melakukannya berdasarkan hal itu dan menganggap hal itu sebagai ibadah dan bukan sebagai adat (kebiasaan) semata. Oleh karena itu apabila seseorang mengerjakan shalat berdasarkan sikap ini, maka dia termasuk orang yang dijamin oleh apa yang diterangkan Allah bahwa shalat itu akan mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar. Zulfadli, M.Si, Lembaga Pendidikan Untuk Pencari Ilmu 3.4. Ilmuwan yang Diharapkan Dalam kitab Ta’limul Muta’allim (Aliy As’ad,2007:24-26) diterangkan bahwa: “Penuntut ilmu hendaklah memilih yang terbagus dari setiap bidang ilmu, memilih ilmu apa yang diperlukan dalam urusan agama di saat ini, kemudian apa yang diperlukan diwaktu nanti. Hendaklah memperioritaskan ilmu Tauhid dan mengenal Allah SWT berdasarkan dalil, karena iman secara taqlidmeskipun sah menurut madzhab kami- namun tetap berdosa karena meninggalkan pemakaian dalil. Dan hendaklah memilih ilmu kuna, bukan ilmu yang baru; para ulama’ berkata “tekunilah ilmu yang kuna dan jauhkan ilmu yang baru. Waspadalah, jangan teperangkap dalam ilmu perdebatan yang tumbuh subur setelah habisnya para ulama’ besar, karena ilmu tersebut akan menjauhkan pelajar dari fiqih, membuang-buang umur dan melahirkan sifat buas serta permusuhan. Fenomena demikian termasuk tanda-tanda kiamat, hilangnya ilmu fiqih. Demikianlah menurut hadits Nabi.” 113 Seorang penuntut ilmu harus mengamalkan ilmunya, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlak, adab, dan muamalah, karena amalah adalah buah dan kesimpulan dari ilmu. Pembawa ilmu itu seperti orang membawa senjata, bisa bermanfaat baginya atau bisa juga mencelakakannya. 4. 1. 2. Kesimpulan Lembaga pendidikan di indonesia dalam UU bisa kita klasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: sekolah dan luar sekolah, selanjutnya pembagian ini lebih rincinya menjadi tiga bentuk: ( 1). Informal, (2). Formal, (3). dan nonformal. Jalur formal adalah lembaga pendidikan yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dengan jenis pendidikan: (1) Umum, (2) Kejuruan, (3) Akademik, (4) Profesi, (5) Advokasi, (6). Keagamaan.Tingkatan pendidikan dalam kerajaan Aceh Darussalam adalah sebagai berikut: (10) Meunasah, (2) Rangkang, (3) Dayah, (4) dayah Tengku Chiek, (5) Jamiah Baiturrahman. Mencari ilmu syar’i adalah fardhu kifayah, apabila ada orang yang sudah mempelajarinya maka hukumnya menjadi sunnah 114 3. 4. Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 bagi yang lainnya. Tetapi terkadang mencari ilmu itu menjadi fardhu ‘ain bagi manusia. Keutamaan bagi pemilik ilmu akan angkat derajatnya di dunia dan di akhirat. Ilmuwan yang diharapkan adalah yang memiliki wawasan/pengetahuan yang luas serta mengamalkan ilmunya, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlak, adab, dan muamalah. DAFTAR PUSTAKA Adian Husaini (2013). Filsafat Ilmu. Gema Insani. Jakarta Aliy As’ad. (2007). Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu pengetahuan. Edisi Revisi. Penerbit Menara Kudus: Yogyakarta Danial, (2013). Filsafat Ilmu. Penerbit Kaukaba: Yogyakarta. Muhammad bin Shalih al‘Utsaimin. (2006:7). Panduan Lengkap Menuntut Ilmu. Pustaka Ibnu Katsir: Bogor. Munawiyah dkk. (2009). Sejarah Peradaban islam. Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN ArRaniry. Banda Aceh. Yose Rizal dan Moh. Suraji. (2009). Filsafat Hidup: Untuk Pecinta Ilmu. Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 115 Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving KONTRIBUSI GLIDIK TERHADAP EKONOMI KELUARGA: DARI PEMENUHAN MATERI HINGGA KONSEP SAVING (Studi Kasus Pada Masyarakat Pedukuhan Sompok, Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul) Oleh: Suci Fajarni, M.A (Alumni Pasca Sarjana Sosiologi UGM, Dosen Tidak Tetap Universitas Syiah Kuala) Abstrak Fenomena menjamurnya sektor informal di perkotaan merupakan salah satu dampak yang tidak direncanakan dari kebijakan pembangunan ekonomi politik Orde Baru, di mana hal tersebut ikut mentransformasikan masyarakat desa dengan bekerja di kota pada pagi hari dan kembali ke desa pada sore hari. Secara lokal istilah tersebut dikenal sebagai Glidik. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk memahami dinamika glidik dan kontribusinya terhadap perbaikan ekonomi keluarga di Pedukuhan Sompok, Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, yang berjarak sekitar 20 kilometer dari sebelah Selatan Kota Yogyakarta. Metode studi kasus (case study) digunakan untuk mencapai tujuan penelitian dengan khalayak sasaran warga pelaku glidik di luar desa yang berasal dari Pedukuhan Sompok. Teknik pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini memiliki kesimpulan bahwa kecenderungan untuk bekerja di sektor non pertanian diperkotaan mulai berkembang di masyarakat dengan di dukung oleh tersedianya sarana transportasi yang memudahkan 116 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 masyarakat untuk beralih mencari kerja di sektor informal. Glidik bagi masyarakat Sompok tidak hanya membantu mengurangi beban perekonomian dan masalah sosial (pengangguran terbuka dan kemiskinan) di masyarakat, namun glidik juga berkontribusi penuh untuk memenuhi keperluan rumah tangga jangka panjang masyarakat di Pedukuhan Sompok, baik untuk kebutuhan primer seperti konsumsi, maupun untuk pemenuhan kebutuhankebutuhan yang bersifat sekunder. Hal ini terbukti dari hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa penghasilan dari bekerja sebagai glidik pada keluarga di Pedukuhan Sompok tidak lagi digunakan untuk sekedar pemenuhan materi semata, namun juga memenuhi konsep penyimpanan (saving). Kata Kunci: Glidik, Ekonomi Masyarakat Desa, Konsep Saving 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu dampak yang tidak direncanakan dari kebijakan pembangunan ekonomi dan strategi rekayasa politik Orde Baru adalah fenomena menggelembungnya sektor informal di perkotaan. Secara akademik istilah sektor informal diperkenalkan pada tahun 1970-an sebagai kelanjutan dari diskusi luas tentang isu-isu “urban bias” dan “why poor stay poor” yang merupakan argumen utama dari Michael Lipton. Sejak awal tahun 1970-an hingga akhir tahun 1980-an, penduduk Jawa telah mengalami perubahan sosial secara besarbesaran dan mentransformasi secara signifikan daerah pedesaan maupun perkotaan. Pada tahuntahun tersebut, masyarakat desa yang bekerja di kota dengan cara berangkat kerja di pagi hari dan kembali desa pada sore hari mulai bermunculan di pulau Jawa. Secara lokal, istilah ini dikenal sebagai Glidik. Berdasarkan teori migrasi, istilah glidikdidefinisikan sebagai commuting/ commuters.Glidikdinilai penting oleh masyarakat pedesaan (khususnya bagi masyarakat desa yang lokasi tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari pusat kota)karena mampu membantu mengurangi beban ekonomi atau tekanan keterbatasan peluang kerja serta masalah sosial seperti pengangguran terbuka dan kemiskinan. Begitupula halnya dengan masyarakat Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul yang telah lama mempraktekkan glidik. Desa Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 117 Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving Sriharjo berjarak sekitar 20 kilometer dari sebelah Selatan Kota Yogyakarta.1Perkembangan glidikdi Desa Sriharjotidak terlepas dari sejarah demografi dan kemiskinan yang dulunya pernah melandamasayarakat desa tersebut. Sepertiga wilayah bagian desa ini yaitu di bagian barat merupakan dataran rendah yang subur, sedangkan sisanya di bagian timur merupakan daerah perbukitan yang kering. Di bagian timur desa hanyaterdapat sedikit sawah tadah hujan , tegalan, dan hutan. Selain kering dan tidak subur, wilayah bagian timur lebih terisolir dibandingkan dengan bagian barat desa. Pemukiman penduduk dibagian timur mengelompok di kaki perbukitan, berjejer bertingkat sesuai dengan kontur tanah yang kering, sehingga produktivitas lahan sangat rendah.Gambaran atas keterbatasan akses lahan pertanian tersebut dapat diperoleh secara holistik pada masyarakat yang tinggal di wilayah bagian timur Desa Sriharjo, yaitu masyarakat yang berada di Pedukuhan Sompok. Terbatasnya akses di bidang pertanian2 menjadikan masyarakat Pedukuhan Sompok Desa Sriharjosulit mengandalkan lahan pertanian untuk dapat menopang kehidupan mereka. Seperti yang dijelaskan dalam Penelitian David Penny dan Masri Singarimbun pada tahun 1969 yang menunjukkan bahwaDesa Sriharjo menjadi salah satu tipe desa miskin di Jawa pada awal tahun 1970-an karena disebabkan oleh terbatasnya akses penduduk ke sektor pertanian.3Sehingga tekanan ekonomi akibat sempitnya lahan pertanian pada gilirannya akan menyempitkan kesempatan kerja dan menurunkan pendapatan masyarakat.Sebagai upaya untuk mengatasi keterbatasan tersebut, masyarakat pada saat itu hanya mampu mengembangkan kegiatankegiatan seperti buruh derep, ngasak, buruh tani, buruh tebang tebu, dan lain sebagainya untuk dapat bertahan hidup. Namun,semenjak infrastruktur seperti akses jalandesa mulai dibangun di Desa Sriharjo, terjadi perubahan mendasar pada mode transportasi masyarakat yang kemudian mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun 1989,4 penduduk Pande Made Kutanegara. Akses Terhadap Sumber Daya dan Kemiskinan di Pedesaan Jawa. Jurnal Humaniora Volume XII, No. 3/2000. (Halaman: 317). 2 Masalah ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor,misalnya terkait dengan kondisi lahan pertanian yang kering dan kurang subur, luas lahan yang sempit, atau pola distribusi kepemilikan dan penguasaan lahan yang tidak merata. Penny, David & Masri Singarimbun. 1973. Population and Poverty in Rural Java. Dalam Pande Made Kutanegara. Akses Terhadap Sumber Daya dan Kemiskinan di Pedesaan Jawa. Jurnal Humaniora Volume XII, No. 3/2000. (Halaman: 318) 4 Ini merupakan kali ketiga Masri Singarimbun kembali mengadakan kunjungan ke Sriharjo. Pada tahap ini, 1 3 118 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Sriharjo pada saat itu sudah sangat mudah menemukan angkutan bus atau minibus yang lalu lalang setiap saat menuju ke kota maupun sebaliknya. Disadari atau tidak, dengan adanya pembangunan infrastruktur seperti akses jalan tersebut yang mengakibatkan masuknya sarana transportasi seperti bus dan lain sebagainya membuat masyarakat desamemiliki peluang yang bagus untuk mengakses beberapa bidang pekerjaan lain di perkotaan atau melakukan glidik sekaligus mengandalkan glidik sebagai mekanisme untuk keluar dari jeratan keterbatasan akses pekerjaan di bidang pertanian. Sehingga masyarakat pedukuhan Sompokyang berada di bagian timur Desa Sriharjo (yakni masyarakat yang mengalami langsungdampak dari minimnya akses di bidang pertanian yang disebabkan oleh lokasi pedukuhan yangberada di tanah perbukitan yang kering)dapat menemukan sumber-sumber pendapatan lain dengan mencari peluang kerja dengan melakukan glidik ke kotakota di luar desa tersebut. Penelitian yang mengambil judul “KontribusiGlidikBagi kesan yang ditemukannya justru sangat berbeda dengan kesan pertama dan keduanya ketika ia mengunjungi Sriharjo pada tahun 1970 dan 1975 tersebut. Masri tidak lagi merasakan kesan miskin dan kumuh, karena pada saat itu sarana transportasi dan akses jalan di DesaSiharjo mengalami perkembangan yang pesat. Keluarga: dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving” (Studi Kasus Pada Masyarakat Pedukuhan Sompok, Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul)” inimerupakan sebuah upaya untuk melihat dinamika glidikdi Pedukuhan Sompok, Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Jawa Tengah, terutama dalam menilai kontribusinya terhadap perbaikan ekonomi keluarga. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 3 hingga 8 Juni 2014, sedangkan proses penulisan selesai ditulis oleh peneliti yaitu pada tanggal 7 Januari 2015. Maka, berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, masalah yang hendak direfleksikan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan: “Bagaimana kontribusi glidik terhadap perbaikan ekonomi keluarga di Pedukuhan Sompok, Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Jawa Tengah?” B. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan untuk memahami dinamika glidikdan kontribusinya terhadap ekonomi rumah tangga. Secara khusus, penelitian iniakan diarahkan untuk melihat kontribusi glidik terhadap perbaikan ekonomi keluarga di Pedukuhan Sompok, Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Suci Fajarni, MA, Kontribusi G Glidik lidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 119 Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving C. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode studi kasus (case study) yang dilakukan di Pedukuhan Sompokyang terdiri dari7 (tujuh) RT, dengan khalayak sasaran adalah warga pelaku glidik di luar desa. Teknik pengumpulan informan dalam penelitian ini pada tahap awal melalui sensus. Sekitar 30% masyarakatdari jumlah 298 KK yang berdomisili di Pedukuhan Sompok dan terlibat glidik.Artinya, dari ketujuh RT tersebut, sebanyak 194 masyarakatnya terlibat glidik.Maka berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan selama berada di lokasi penelitian, peneliti mengkategorikan beberapa jenis pekerjaan yang menjadi mata pencaharian dari keluarga-keluarga yang terlibat glidik di Pedukuhan Sompok mulai dari RT 01 hingga RT 07. Pekerjaan tersebut dapat dikategorikan ke dalam jenis pekerja konstruksi dan bangunan, pekerja non proyek (PNS, Karyawan Swasta), buruh pertanian luar desa, dan huller keliling. Secara khusus, penelitian ini mengambil informan yang berada di RT 04 sebanyak 4 (empat) informan. Alasan pemilihan jumlah informan sebanyak 4 (empat) orang tersebut dikarenakan menyesuaikan dengan keterbatasan waktu penelitian yang ada. Teknik pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara. Sedangkan teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kualitatif kualitatif.Teknik analisis diawali dari data terkait informasi tentang glidik di daerah tersebut sebagai tahapan awal untuk memperoleh kajian yang lebih dalam tentang kontribusi glidik terhadap perbaikan ekonomi keluarga di Pedukuhan Sompok. 2. SETTING PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Sompok merupakan salah satu pedukuhan yang berada di Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Pedukuhan Sompok secara keseluruhan mempunyai luas 111. 8861 Ha. Letak geografis Pedukuhan Sompok dapat dilihat dari peta berikut ini: Gambar 1. Peta Persebaran Dusun/ Pedukuhan Desa Sriharjo5 120 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 Jumlah penduduk Pedukuhan Sompok secara keseluruhan adalah 1023 jiwa. Di mana laki-laki berjumlah 503 jiwa dan perempuan 520 jiwa. Pedukuhan Sompokmemiliki 268 KK yang tersebar dalam 7 (tujuh) RT. Ketujuh RT tersebut mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang berbeda-beda yang dapat dilihat dari perbedaan jumlah KK.. RT 04 dan RT 05 merupakan RT dengan jumlah KK terpadat di Pedukuhan Sompok dengan jumlah KK masing-masing 50 dan 43 KK. Sedangkan RT dengan jumlah KK yang paling sedikit adalah RT 03 yakni 29 KK.5 Secara geografis, Pedukuhan Sompok berada di sebelah selatan pegunungan seribu dan sebelah utara Sungai Oyo. Hal ini membuat Dusun Sompok dikelilingi oleh lanskap alam berupa pegunungan dan sungai, di mana sebagian besar wilayahnya terletak di areal perbukitan yang tandus dan hanya sebagian kecil terletak di daerah lembah di pinggir sungai Oyo. Pegunungan yang berada di wilayah Pedukuhan Sompok walaupun terlihat hijau dan rindang namun tidak begitu bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Pegunungan hanya bisa dimanfaatkan untuk menanam pohon-pohon besar yang tidak Berdasarkan paparan Sekretaris Desa Sriharjo, Bapak Ngadiran di Pedukuhan Sompok (tanggal 06 Juni 2015). 5 dapat dipanen dalam kurun waktu yang singkat. Lahan yang ada tidak bisa dimanfaatkan untuk menanam tanaman-tanaman pertanian yang bisa dipanen setahun sekali atau bahkan setahun dua kali. Selain diakibatkan oleh kondisi lahan yang kering dan tidak subur, hal ini juga dikarenakan banyaknyakerat ekor panjang yang menyerbu lahan pertanian warga di sekitar perbukitan. Penggunaan lahan di Pedukuhan Sompok terbagi ke dalam beberapa jenis dan proporsi penggunaannya yaitu:sawah 34%, ladang 23%, pemukiman 27%, hutan lindung 10%, dan penggunaan lainnya 6%. Lahan pertanian di Pedukuhan Sompok didominasi oleh ladang dengan luas yang mencapai 78% dari seluruh luas ladang. Grafik 1. Penggunaan Lahan di Pedukuhan Sompok6 Lahan pertanian yang tersebar di Pedukuhan Sompok lebih banyak berupa tegalan atau ladang, dan hanya sebagian kecil berupa lahan sawah. Berhubung terbatasnya lahan sawah yang dimiliki,maka guna meningkatkan pendapatan keluarganya, masyarakat Sompok berusaha untuk menyiasati keterbatasan tersebut dengan mengembangkan akses pekerjaan di luar pedukuhan dengan memanfaatkan infrastruktur 6 Sumber: Pemetaan Swadaya 2009. Dikutip dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Des) Tahun 2015-2020 Desa Sriharjo Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. 2015. Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 121 Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving yang sudah memadai untuk dapat melakukan glidik ke kota-kota di luar desa. Secara lengkap, penggunaan lahan di Pedukuhan Sompok dapat dilihat pada grafik di bawah ini:7 royong tersebut masih tetap menjadi kultur yang diaplikasikan dalam setiap kesempatan. Salah satunya adalah gotong royong dalam pembangunan infrastruktur, seperti bekerja bakti membersihkan kampung atau memperbaiki Grafik 1. Penggunaan Lahan di Pedukuhan Sompok7 80 69,2 70 60 Ladang/ Tegalan 50 Pemukiman 40 35 30 20 10 Sawah/ Pertanian 16 13,5 4,7 Hutan Lindung Rakyat Lain-Lain Jumlah (Ha) 0 Pedukuhan Sompok B. Kehidupan Sosial di Pedukuhan Sompok Masyarakat di Pedukuhan Sompok hidup dalam keadaan sosial yang akrab dan saling membantu. Gotong royong merupakan ciri khas warga Sompok. Tradisi gotong royong masih mengakar kuat di masyarakat. Hal tersebut bisa dilihat dari bagaimana gotong 7 Sumber: Pemetaan Swadaya 2009. Dikutip dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Des) Tahun 2015-2020 Desa Sriharjo Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. 2015. jembatan, membersihkan makam. Solidaritas sosial masyarakat Pedukuhan Sompok juga cukup tingg i terkait dengan proses menjenguk warga yang sedang ditimpa musibah seperti meninggal dunia. Ketika salah seorang warga meninggal dunia, maka seluruh masyarakat akan di informasikan melalui pengeras suara dimasjid sehingga masyarakat lainnya dapat segera hadir. Hal yang menarik adalah banyaknya masyarakat Sompok yang bekerja glidik membuat pedukuhan tersebut terlihat sepi antara waktu pagi hingga sore hari. Namun ketika 122 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 mereka diinformasikan bahwa ada tetangga yang meninggal, maka mereka akanpamit pulang dari tempat kerja mereka dan kembali ke Sompok untuk membantu keluarga yang sedang dilanda musibah. Selain itu, masyarakat yang menghadiri upacara kematian umumnya datang dengan membawa sejumlah uang, gula, teh, dan beras sebagai simbol belasungkawa sekaligus pemberian bantuan untuk acara tahlilan ataudoa bersama di rumah duka yangbiasanya digelar dalam beberapa hari setelah orang tersebut meninggal. yaitupada hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, dan hari ke-1000. C. Pekerjaan dan Ekonomi Masyarakat Pedukuhan Sompok Bangkitnya perekonomian masyarakat di Pedukuhan Sompokdi pengaruhi oleh usaha masyarakat dengan mencari penghasilan atau pekerjaan lain di luar desa. Wilayah pertanian yang terbatas menyebabkan masyarakat Sompok cenderung mencari sumber pendapatan lain seperti konstruksi bangunan, penambang pasir, buruh pertanian, dan beberapa sumber pendapatan non pertanian lainnya. Berbagai kategori pekerjaan yang berbeda-beda tersebut dilakukan secara glidik,seperti yang terlihat melalui data yang telah dirangkum di bawah ini: Tabel 1. Klasifikasi Glidik Berdasarkan Jenis Pekerjaan dan KK di Pedukuhan Sompok8 Klasifikasi Glidik RT 01 02 03 04 05 06 07 Jumlah Buruh Jumlah Buruh KK Buruh Non Pertanian HullerLain-lain Proyek (Luar Keliling Proyek Desa) 32 2 13 5 4 4 39 33 1 1 29 17 2 1 3 50 20 10 4 4 12 43 1 1 12 9 40 5 9 1 4 35 13 2 1 91 36 10 28 29 268 194 Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritasmata pencaharian masyarakat Pedukuhan Sompok bekerja sebagaiglidik. Masyarakat Sompok telah menempuh berbagai strategi untuk mempertahankan kehidupan mereka yaitu dengan mengembangkan penganekaragaman jenis pekerjaan. Bagi masyarakat yang memiliki lahan pertanian, selain bekerja di sektor pertanian mereka juga pelaku glidik yang bekerja sebagai buruh bangunan, buruh pabrik, buruh industri paruh hari. Dengan penggabungan tersebut, maka kebutuhan barang-barang konsumsi harian seperti beras dan sayuran dapat dengan mudah terpenuhi. Sedangkan bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan, mereka akan murni melakukan glidik dan melakukan maksimalisasi kegiatan anggota rumah tangga guna Monografi yang disusun oleh Kepala Dukuh Sompok (Bapak Hardono) 8 Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 123 Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving menyokong kehidupan rumah tangganya. Dulu, masyarakat yang memiliki akses terhadap sumber daya seperti mereka-mereka yang menempati kelas sosial tinggi seperti pegawai negeri, birokrasi desa, dan kelompok pedagang atau pengusaha sukses memiliki kehidupan cenderung lebih baik dibandingkan dengan masyarakat yang mengalami kendala dalam mengakses di bidang pekerjaan.Namun fenomena yang berkembang saat ini adalah munculnya kelas sosial atas baru dari kelompok miskin pada masa lalu atau kelompok yang saat ini aktif terlibat glidik. Walaupun ratarata tingkat pendidikan mereka rendah, mereka sangat giat bekerja sebagai buruh bangunan di kota/ maupun di luar desa. Mereka berhasil menginvestasikan kelebihan pendapatannya di sektor pertanian melalui sistem sewamenyewa lahan, gadai, dan pembelian lahan pertanian. Melalui cara seperti itu, akses ke sektor pertanian yang selama ini tertutup bagi mereka (karena tidak memiliki akses terhadap lahan pertanian) berhasil diterobos melalui keberhasilan di sektor non pertanian yang diperoleh dengan melakukanglidik. D. Sarana dan Prasarana Penunjang Glidik Pada Masyarakat Pedukuhan Sompok Secara umum, sarana dan prasarana seperti pembangunan jembatan dan jalan-jalan di Pedukuhan Sompok yang menghubungkannya dengan desadesa lain maupun kecamatan sudah sangat memadai, khususnya dalam menunjang aktivitas glidik bagi masyarakat yang terlibat langsung dalam pekerjaan tersebut. Akses jalan aspal terbentang mulai dari jalan utama yaitu jalan provinsi yang terus membentuk cabang sampai kepada Kecamatan Imogiri yang terus terhubung hingga ke wilayah Desa Sriharjo yang kemudian membentuk cabang sampai pada pemukiman yang menghubungkan ke 13 Pedukuhan yang terdapat di wilayah Desa Sriharjo. Akses jalan yang menghubungkan Pedukuhan Sompok dengan beberapa Pedukuhan lainnya seperti misalnya Pedukuhan Kedung Miri memanjang dari barat sampai ke timur dan dinilai sudah cukup baik untuk melancarkan sarana transportasi seperti bus, minibus, serta berbagai kendaraan angkutan lainnya untuk beroperasi di pedukuhan tersebut. Kondisi jalan desa atau gang sebagian besar sudah dalam kondisi baik karena telah diperkeras dengan menggunakan paving block. Kekurangan yang masih ada adalah terdapat beberapa bagian jalan yang berupa jalan tanah dan batu (yaitu jalan yang menghubungkan Pedukuhan Sompok dan Pedukuhan Wunut). Namun 124 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 meskipun demikian, kondisi jalan di sekitar lokasi pada kedua pedukuhan tersebut sudah diperkeras dengan aspal sehingga memudahkan masyarakat Sompok untuk untuk melakukan glidik.Hal yang tak kalah penting adalah pembangunan jembatan Siluk di wilayah Dogongan untuk pertama kalinya yakni sekitar tahun 1980-an. Dengan adanya pembangunan jembatan tersebut, Pedukukuhan Sompok serta 12 pedukuhan lainnya di Desa Sriharjo pada akhirnya mampu terlepas dari keterisoliran wilayah tersebut. Jembatan Siluk semakin memudahkan masyarakat melakukan glidik untuk mengakses pekerjaan lain di luar pedukuhan. 3. PEMBAHASAN 1. Bapak Tukiran (45 tahun) Sejarah Awal Glidik: dari Jakarta kembali ke Yogyakarta Salah seorang informan yang bernama Tukiran bercerita bahwa dirinya telah terlibat glidik sejak tahun 1987 silam, yang dimulai dengan bekerja sebagai pengaspal jalan di perkotaan. Pada saat itu beliau masih berusia 17 tahun. Pak Tukiran yang hanya mengenyam pendidikan SD menyatakan bahwa dia sengaja tidak melanjutkan pendidikan SLTP, karena satu-satunya pekerjaan yang diminatinya pada saat itu adalah melakukan glidiksebagai buruh pada proyek pembangunan. Hal ini menarik, karena selain memang profesi tersebut juga digelutinya karena beliau memiliki skill yang diturunkan dari ayah kandungnya yang juga bekerja glidiksebagai buruh pada proyek di luar Bantul, faktor banyaknya remaja seusia beliau yang pada saat itu memilih untuk melakukan glidik pada proyek pembangunan, rata-rata memiliki kehidupan yang jauh lebih beruntung jika dibandingkan dengan remaja-remaja yang hanya menghabiskan waktu luangnya dengan bekerja di Pedukuhan Sompok, baik sebagai buruh tani atau pedagang di warung. Atas dasar pertimbangan tersebut, Bapak Tukiran pun meluruskan niatnya untuk mengikuti jejak ayahnya dengan menjadi buruh proyek bangunan dengan mengadu nasib di luar desa. Sebagai pekerja glidik proyek bangunan yang tergolong produktif, bapak Tukiran pernah bekerja menangani proyek pembangunan di Jakarta dan Bandung sekitar tahun 1987 hingga 1990. Pada masa itu beliau hanya pulang 2 (dua) bulan sekali ke rumahnya. Namun sejak tahun 1993 hingga saat ini, lokasi daerah pekerjaan utama glidik beliau adalah di seputaran Kota Yogyakarta, Bantul, dan Wonosari. Setiap harinya beliau bekerja pada pukul 08:00 pagi dan kembali ke rumahnya pada pukul 16:00 petang. Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 125 Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving Satu Pohon untuk Sepuluh Tahun Selain bekerja sebagai glidik pada proyek bangunan, Bapak Tukiran juga memiliki sebuah lahan hasil warisan dari orang tuanya dengan luas lebih kurang 6x15 m2 yang berada di perbukitan yang berseberangan dengan sungai Oyo. Ladang tersebut pada awalnya ditanami dengan tanaman palawija. Namun sebelum sempat panen, kera-kera hutan yang turun dari perbukitan sudah terlebih dahulu merusak tanaman tersebut. Menurutnya, lahan perkebunan yang berada di desa ini agak sulit jika ditanami dengan tanamantanaman seperti palawija, selain karena tidak bisa mengontrol kerakera hutan yang sangat banyak akibat minimnya waktu yang diperoleh untuk mengelola lahan, jarak juga menjadi kendala bagi Bapak Tukiran dan keluarganya untuk mengelola lahan tersebut. Sehingga hingga saat ini lahan tersebut ditanami pohon jati dengan pertimbangan Hasil yang diperoleh dari lahan jati tersebut bervariasi, jika pohon tersebut berukuran kecil, maka satu batangnya akan dihargai sebesar Rp. 800.000, sedangkan jika ukurannya besar, satu batang pohon jati tersebut akan dihargai sebesar Rp. 2.000.000 hingga Rp. 3.000.000 rupiah per batangnya. Namun Bapak Tukiran tidak menggantungkan harapan perekonomian yang terlalu besar terhadap keberadaan lahan jatinya tersebut. Hal ini lebih karena disebabkan lamanya usia panen pohon yang cukup lama, yakni sekitar sepuluh sampai dengan sebelas tahunan untuk sekali panen per batangnya. Bekerja Untuk Anak Tercinta Bapak Tukiran menyatakan bahwa dia tetap memilih untuk mempertahankan pekerjaan glidik proyek pembangunan yang sudah sejak lama ditekuninya. Hal ini dikarenakan banyaknya penghasilan yang dapat diperolehnya dari melakukan glidik. Menurutnya, dia bisa mengumpulkan uang sebesar Rp. 350.000 per minggu. Atau jika dibagikan dalam jumlah hari, maka per harinya Bapak Tukiran akan memperoleh pendapatannya sebesar Rp. 50.000. Menurut pengakuannya, Bapak Tukiran tidak memiliki penghasilan lain yang dapat diperoleh selain dari hasil melakukan glidik. Walaupun memiliki lahan jati, namun jangka waktu panen yang lama membuat Bapak Tukiran tidak dapat sepenuhnya mengandalkan hasil panen tersebut untuk konsumsi keluarga per harinya. Sedangkan untuk pengeluaran rumah tangga, beliau menyatakan bahwa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan untuk membeli sayur, beras, rokok, bensin untuk 2 sepeda motor miliknya untuk glidik dan milik anaknya untuk sekolah, dan menafkahi seorang istrinya yang merupakan ibu rumah tangga 126 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 dan seorang anak laki-laki yang berusia 16 tahun, maka rata-rata kisaran pengeluarannya per bulan adalah sebesar Rp. 600.000 hingga Rp. 700.000. Sebagai seorang pekerja glidik di proyek pembangunan yang tidak pernah libur atau berhenti bekerja dalam waktu yang lama, Bapak Tukiran mengakui bahwa hasil pendapatannya tidak sertamerta dihabiskan untuk konsumsi sehari-hari atau pengeluaran semata. Karena per bulannya beliau mengakui akan menyimpan sebagian dari hasil gajinya untuk keperluan biaya kuliah anak lelaki semata wayangnya kelak yang saat ini masih sedang melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas. Motivasi yang kuat dari bapak Tukiran untuk menyekolahkan anak lelaki semata wayangnya ke jenjang perguruan tinggi membuatnya secara tidak langsung telah mempraktekkan konsep penyimpanan (saving)yang sebenarnya terlihat jarang dilakukan oleh masyarakat pedesaan yang umumnya hanya memenuhi kebutuhan konsumsi harian semata. Dibandingkan dengan hasil panen lahan jati yang hanya dapat dilakukan sekitar 10 hingga 11 tahun per batang, maka kontribusi yang besar dari pekerjaan glidik diakui oleh Bapak Tukiran sangat membantunya untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung. Sehingga pengeluaran per bulan dari keluarga Bapak Tukiran tidak semata-mata untuk pemenuhan kebutuhan materi sehari-hari, namun juga telah mempraktikkan konsep penyimpanan(saving). 2. Bapak Wanari (52 tahun) Ditemui di dapurrumahnya pada hari sabtu sekitar pukul 15:10 WIB, Bapak Wanari terlihat sedang membersihkan kencur sambil duduk menghadap pintu belakang rumahnya. Setelah membentangkan tikar plastik di atas lantai yang di semen kasar, beliau kemudian mempersilahkan peneliti untuk masuk dan duduk di atas tikar tersebut. Bapak Wanari menyatakan bahwaia baru saja pulang dari memanen hasil kencur.Wawancara berlangsung layaknya obrolan biasa yang mengalir begitu saja. Bapak Wanari yang mengaku tidak menyelesaikan Sekolah Dasar mulai bercerita bahwa beliau memutuskan untuk terlibat glidiksejak beliau sudah menikah dan umurnya sudah tak lagi muda yakni 30 tahun. Dari hasil pernikahannya, bapak Wanari hanya dikaruniai seorang putri yang saat ini juga sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak dan tinggal di Pedukuhan yang berbeda dengannya. Saat ini bapak Wanari tinggal bersama seorang istri dan sering menghabiskan masa tuanya dengan bekerja paruh waktu sebagai glidik pada proyek bangunan di Kota Bantul dan sekitarnya. Sepulang dari glidik, pada sore harinya beliau rutin menggarap lahan kencur miliknya Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 127 Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving yang berada lumayan jauh dari Pedukuhan Sompok, yaitu di sekitar Mangunan. Beralih Kerja Akibat Kera Memutuskan untuk menjadiglidik di proyek pembangunan adalah keputusan yang secara tidak sengaja diambil oleh Bapak Wanari. Berawal dari ajakan rekan sekampungnya yang telah berhasil membuktikan bahwa penghasilan dari bekerja sebagai glidik pada proyek pembangunan jauh lebih menguntungkan, akhirnya beliau pun nekat mengikuti jejak temannya tersebut untuk mengadu nasib di Bantul. Hal itu dilakukannya karena memang hasil pertanian ketelanya di lahan keringnya yang memiliki luas sekitar 50m2pada saat itu sudah tidak dapat lagi diandalkan akibat banyaknya kera-kera berekor panjang yang turun dari pegunungan dan mengganggu lahan pertaniannya sehingga membuatnya gagal menikmati hasil panen. Mengingat anak perempuannya yang sudah besar dan pengeluaran ekonomi keluarga semakin membengkak, maka bapak Wanari pun memutuskan untukbekerja sebagai glidik pada proyek pembangunan di Bantul pada pagi hingga sore hari, sedangkan sore harinya beliau kembali mengontrol lahan pertaniannya yang saat ini sudah mulai ditanami kencur dengan pertimbangan bahwa tanaman tersebut tidak diminati kera, sehingga hasil panen menjadi aman dan beliau tetap bisa bekerja paruh waktu sebagai glidik pada proyek pembangunan. Setelah beberapa bulan bekerja, Bapak Wanari mengakui bahwa pendapatan dari hasil glidik adalah sebesar Rp. 40.000 per hari dan apabila dikalkulasikan dalam seminggu Bapak Wanari dapat mengumpulkan sebesar Rp. 280.000. Sedangkan pendapatan dari hasil panen kencur di lahan kering miliknya adalah Rp. 9000 per kilogram dan panen hanya dapat dilakukan dalam kurun waktu setahun sekali. Istri bapak Wanari yang sehari-harinya bekerja sebagai ibu rumah tangga sesekali juga ikut membantu perekonomian keluarga dengan bekerja sebagai pencari kayu bakar. Dalam satu hari, istrinya dapat mengumpulkan 1 hingga 2 ikat kayu bakar yang dihargai sebesar Rp. 20.000 per ikatnya. Mengingat kurangnya penghasilan rumah tangga dari hasil panen kencur membuat bapak Wanari sangat bersyukur dapat merasakan pekerjaan glidik di proyek pembangunan. Namun, beliau juga menyatakan sering mengalami vakum sejenak dari pekerjaan proyek pembangunan akibat sepi order-an dan juga faktor kesehatannya. Biasanya rentang waktu yang paling lama tidak bekerja glidik di proyek pembangunan adalah sekitar 2 hingga 3 bulan. Saat tidak bekerja glidik, maka beliau memutuskan 128 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 untuk membantu istrinya mengumpulkan kayu bakar di kebun. Sedangkan untuk pengeluaran rumah tangga, Bapak Wanari menyatakan bahwa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan untuk membeli sayur, beras, rokok, dan menafkahi seorang istrinya, maka pengeluarannya di bulan lalu adalah sekitar Rp. 450.000 per bulan. Kontribusi glidik bagi keluarga bapak Wanari sejauh ini hanya dapat membantu pemenuhan materi semata dan belum bisa mempraktekkan hingga ke konsep penyimpanan (saving). Hal ini disebabkan beberapa hal, selain faktor produktifitas ataupun kesehatan Bapak Wanari yang menurun dikarenakan usianya yang tak lagi muda, sepinya tawaran untuk bekerja di proyek pembangunan juga menjadi kendala bagi keluarga Bapak Wanari untuk menyimpan hasil pendapatan dari pekerjaannya yang tidak pasti tersebut. 3. Mujiyo (68 tahun) Bapak Mujiyo adalah seorang kepala keluarga dengan pendidikan terakhir tidak tamat SD. Beliau memiliki satu tanggungan yaitu seorang istri. Kedua anaknya telah menikah dan berkeluarga. salah satu menantu bapak Mujiyo tinggal di rumah yang sama dan juga bekerja sebagai glidik, namun walaupun berada dalam satu rumah yang sama, secara ekonomi mereka terpisah. Bapak Mujiyo telah bekerja sebagai pekerja glidik pada proyek bangunan sejak dari umur 17 tahun. Namun pada tahun 2006 setelah gempa hebat mengguncang Bantul, beliau sempat vakum dari pekerjaannya selama beberapa bulan. Namun setelah itu, Bapak Mujiyo memutuskan untuk beralih ke pekerjaan menggiling padi menjadi beras (huller keliling) sejak tahun 2006. Pekerjaan ini pada awalnya ditekuni dengan menggunakan huller milik tetangganya, namun setelah bekerja selama 2 tahun, bapak Mujiyo kemudian telah mampu membeli huller pribadi tepat pada tahun 2008. Sebagai seseorang yang tidak memiliki lahan pertanian dan perkebunan, Bapak Mujiyo menjadikan glidik huller keliling sebagai pekerjaan utamanya. Lokasi utama bapak Mujiyo melakukan glidik adalah desa-desa di sekitar Bantul dengan durasi bekerja sebanyak lima kali dalam seminggu. Sebagaiseseorang yang tidak memiliki lahan pertanian, pendapatan ekonomi keluarga Bapak Mujiyo murnidiperoleh dari hasilglidik huller keliling. Penghasilannya tidak menentu, kisaran perharinya adalah sebesar Rp. 30.000 hingga Rp. 40.000. Walaupun penghasilannya tidak menentu, namun pendapatan Bapak Mujiyo tidak pernah di bawah Rp. 30.000 rupiah dikarenakan beliau telah memiliki langganan yang rutin menggiling padidengannya. Sedangkan untuk Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 129 Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving biaya pengeluaran rumah tangga pada bulan lalu, bapak Mujiyo menyatakan pengeluarannya sebesarRp.700.000 dansudah mencakup dana untuk kegiatan nyumbang. 4. Karmiati (22 tahun) Karmiati merupakan remaja putri yang berusia 22 tahun, dan saat ini bekerja glidiksebagai karyawan di PT. Dong Yong Trace yang berada di Bantul, yaitu sebuah perusahaan yang memproduksi wig/ rambut palsu. Menurut penuturannya, setelah menyelesaikan pendidikan SMP beberapa tahun lalu, ia memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan menengah atas karena terkendala biaya, sehingga terbersit keinginan untuk ikut membantu ekonomi keluarga. Karmiati merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ayah Karmiati yang bernama Bapak Sakiyo (47 tahun) sehari-hari bekerja sebagai glidik pada proyek pembangunan di desa-desa di luar Bantul, di mana penghasilan adalah sebesar Rp. 40.000 per hari, dan harus menghidupi empat orang anak dan seorang istri yang hanya seorang ibu rumah tangga, sedangkan keluarga tersebut tidak memiliki lahan pertanian yang bisa digarap untuk menunjang perekonomian mereka. Menurut pengakuannya, Karmiati menyatakan bahwa ia tidak memiliki keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Sehingga setelah menamatkan pendidikan SMP, Karmiati kemudianmencoba melamar pekerjaan untuk membantu ayahnya menyekolahkan ke tiga adiknya yang saat ini sedang berada di jenjang SD (1 orang) dandua lainnya bersekolah di SMP. Tahun 2012 merupakan pertama kalinya Karmiati bekerja di pabrik wig dan masih bertahan hingga saat ini dengan alasan penghasilan atau gaji yang diperolehsetiap bulannya sangat membantu ekonomi keluarga tersebut. Sebagai karyawan swasta, Karmiati akan digaji secara penuh jika ia tidak libur bekerja. Setiap harinya, Karmiati melakukanglidikdimulai dari jam 7:30 pagi hingga jam 5 sore. Ia hanya libur ketika hari sabtu. Penghasilan yang diperoleh Karmiati adalah sebesar Rp. 1.300.000 per bulan. Untuk pengeluaran rumah tangga selama satu bulan, Karmiati mengaku kurang tahu, sehingga peneliti kemudian mencoba bertanya kepada ibu Karmiati yang pada proses wawancara berlangsung, juga sedang berada ditempat tersebut. Menurut pengakuan ibu Karmiati, pada bulan lalu pengeluarankeluarga tersebut lebih kurang sekitar Rp. 900.000, sudah mencakup seluruh kebutuhan primer seperti beras, peralatan mandi, membayar tagihan listrik, termasuk untuk biaya bensin masing-masing kendaraan Karmiati dan ayahnya yang sama-sama 130 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 bekerja glidik di lokasi yang terpisah. Menurut pengakuan ibu dari Karmiati, gaji atau pendapatan anak dan suaminya tersebut dikumpulkan dan dikelola langsung oleh beliau. Sehingga setiap bulannya, pendapatan Karmiati dan ayahnya digabungkan menjadi satu, dan sisa dana yang tidak digunakan akan ditabung untuk disimpan dan kelak akan dipergunakan untuk membiayai sekolah ketiga adik Karmiati serta kebutuhankebutuhan mendesak lainnya.Menurut penuturan ibu tersebut, total pendapatan ayah Karmiati bulan lalu adalah Rp. 1.200.000. 4. ANALISIS Kontribusi Glidik dan Pengeluaran Masyarakat dari Kemiskinan Setiap subyek penelitian yang peneliti temui memiki peluang yang berbeda-beda sesuai dengan dengan kebutuhan masing-masing rumah tangga.Gambaran tersebut telah penulis ringkas dalam tabel berikut: Nama Informan Penghasila n Dari Glidik (Per bulan) Tukiran (45) Wanari (52) Mujiyo (68) Karmiati (22) Rp. 1.500.000 Rp. 1. 200.000 Rp. 900.000 Rp. 1.300.000 Ukuran kemiskinan di Yogyakarta berdasarkan ketetapan BPS 2014adalah sebesar Rp. 330.000 per bulan yang dapat dilihat melalui pengeluaran per kapita perbulan dan pertanggungan tiap-tiap keluarga. Jika pengeluaran sebuah keluarga lebih besar dari Rp. 330.000, maka keluarga tersebut digolongkan sebagai keluarga yang mampu di bidang ekonomi, dan begitupun sebaliknya. Jumlah pengeluaran dari hasil pendapatan glidik dari keempat keluarga informan tersebut semuanya berada di atas Rp. 330.000 per bulannya. Hal ini menandakan bahwa jika mengikuti ukuran BPS, maka keempat keluarga tersebut tidak ada yang berada di bawah garis kemiskinan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa glidik terbukti memberikan banyak kontribusi terhadap perbaikan ekonomi keluarga di Pedukuhan Sompok. Melihat penghasilan Bapak Wanari sekaligus pengeluarannya yang memiliki gap yang sangat jauh, seharusnya beliau dapat mempraktikkan konsep saving, namun berdasarkan penuturannya, Penghasilan Anggota Keluarga Lainnya Yang melakukan Glidik Jumlah Pengeluaran Bulan Lalu Dana yang Disimpan (Saving) (Per bulan) (Per bulan) - Rp. 600.000 Rp. 800.000 - Rp. 450.000 - - Rp. 700.000 Rp. 200.000 Rp. 900.000 Rp. 1.600.000 Rp.1.200.000 (Ayah) Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 131 Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving kontribusi glidik bagi keluarga bapak Wanari sejauh ini hanya dapat membantu pemenuhan materi semata dan belum bisa dipraktekkan hingga ke konsep penyimpanan (saving). Hal ini disebabkan beberapa hal, selain faktor produktifitas ataupun kesehatan Bapak Wanari yang menurun dikarenakan usianya yang tak lagi muda, sepinya tawaran untuk bekerja di proyek pembangunan juga menjadi kendala utama bagi keluarga Bapak Wanari untuk dapat menyimpan hasil pendapatan dari pekerjaannya yang tidak pasti tersebut. Sehingga dana yang tersisa setiap bulannya akan terus digunakan ketika beliau tidak mendapatkan tawaran bekerja di proyek pembangunan selama berbulan-bulan. Kesimpulan: Kontribusi Glidik Bagi Keluarga: dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving Kecenderungan untuk bekerja di sektor non pertanian di kota mulai berkembang di masyarakat dengan didukung oleh tersedianya sarana transportasi yang memudahkan masyarakat untuk beralih mencari kerja di sektor informal khususnya di perkotaan. Masyarakat Pedukuhan Sompok yang semula bekerja sebagai buruh tani di perkebunan tebu, tukang nderes kelapa, mulai meninggalkan sektor pertanian untuk bekerja paruh waktu di sektor non pertanian di kota. Oleh karena itu, hingga saat ini hampir sebagian besar masyarakat desa telah terlibat dalam kegiatan glidik non pertanian di luar desa. Dengan kata lain, telah terjadi perubahan struktur ekonomi masyarakat dari yang pada awalnya mengandalkan pendapatan mereka pada sektor pertanian, kemudian bergeser ke sektor-sektor bukan pertanian. Pergeseran dan terciptanya peluang kerja di sektor non pertanian di perkotaan menimbulkan banyak perubahan bagi masyarakat Pedukuhan Sompok. Glidik dinilai sangat penting oleh masyarakat Sompok karena dapat membantu mengurangi beban ekonomi (tekanan keterbatasan peluang kerja) dan masalah sosial (pengangguran terbuka dan kemiskinan). Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang telah dilakukan ini yang dapat memberi kesimpulan bahwa penghasilan dari bekerja sebagai glidik pada keluarga di Pedukuhan Sompok tidak lagi digunakan untuk sekedar pemenuhan materi semata, namun beberapa keluarga di Pedukuhan Sompok dapat mengalokasikan sebagian pendapatan dari gaji hasil glidik untuk dapat disimpan (saving). Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti paparkan di atas dapat disimpulkan 3 (tiga) dari 4 (empat) keluarga yang menjadi sasaran penelitian ini menyatakan bahwa konsep penyimpanan uang (saving)telah menjadi bagian dari perilaku ekonomi beberapa keluarga tersebut. Beberapa 132 Jurnal Sosiologi USK, Volume 9, Nomor 1, Juni 2016 keluarga tersebut tidak hanya merasakan kontribusi glidik yang begitu besar terhadap perbaikan ekonomi keluarganya, namun mereka juga mulai memahami pentingnya penyimpanan uang (saving) sebagai salah satu metode untuk memenuhi keperluan rumah tangga jangka panjang, baik untuk kebutuhan primer seperti konsumsi, maupun untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat sekunder, tergantung dari kebutuhan keluarga tersebut. DAFTAR PUSTAKA ______ . 1992. Teorimigrasi: Volume 3 dari Pusat Penelitian Kependudukan. Seri terjemahan. Penerbit Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. ______. 1994. Sejarah Daerah Jawa Tengah. Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Jakarta Li, Tania Murray. 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: YayasanObor Indonesia. Michael P. Todaro, Stephen C. Smith. 2009. Economic Development. AddisonWesley. Nain, Ahmad ShukriMohd., Rosman Md. Yusoff. 2003. Konsep, Teori, DimensidanIsu Pembangunan. UniversitiTeknologi Malaysia. Pande Made Kutanegara. Akses Terhadap Sumber Daya dan Kemiskinan di Pedesaan Jawa. Jurnal Humaniora Volume XII, No. 3/2000. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) Tahun 2015-2020 Desa Sriharjo Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. 2015. DAFTAR INFORMAN Caroline B. Brettell and James F. Hollifield, eds.Migration Theory: Talking Across Disciplines, 2nd Edition. New York: Routledge. Ngadiran (Sekretaris Desa Sriharjo). (Wawancara hari sabtutanggal 06 Juni 2015 pukul 09:15 WIB) Mujiyo (68 tahun). (Wawancara hari sabtu tanggal 6 Juni 2015 pukul 14:40 WIB) Lipton, Michael. 1977. Why Poor People Stay Poor: Urban Bias in World Development. Harvard University Press. Wanari (52 tahun). (Wawancara hari sabtu tanggal 6 Juni 2015 pukul 15:55 WIB) Suci Fajarni, MA, Kontribusi Glidik Terhadap Ekonomi Keluarga: 133 Dari Pemenuhan Materi Hingga Konsep Saving Tukiran (45 tahun). (Wawancara hari sabtu tanggal 6 Juni 2015 pukul 17:15 WIB) Karmiati (22 tahun). (Wawancara hari sabtu tanggal 6 Juni 2015 pukul 19:45 WIB)