Diterbitkan oleh: BADAN PENDIDIKAN KRISTEN PENABUR (BPK PENABUR) I S S N : 1412-2588 Jurnal Pendidikan Penabur (JPP) dapat dipakai sebagai medium tukar pikiran, informasi dan penelitian ilmiah antar para pemerhati masalah pendidikan. Penanggung Jawab Ir. Budi Tarbudin, MBA. Pemimpin Redaksi Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A. Sekretaris Redaksi Rosmawati Situmorang Dewan Editor Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A. Prof. Dr. Theresia K. Brahim Dr. Ir. Hadiyanto Budisetio, M.M. Ir. Budyanto Lestyana, M.Si. Dra. Vitriyani Pryadarsina, M.Pd. Alamat Redaksi : Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lt. 5, Jakarta Barat 11470 Telepon (021) 5606773-76, Faks. (021) 5666968 http://www.bpkpenabur.or.id E-mail : [email protected] Jurnal Pendidikan Penabur Nomor 21/Tahun ke-12/Desember 2013 ISSN: 1412-2588 Daftar Isi Pengantar Redaksi i ii - v Penerapan Karakter BEST melalui Program Gerakan Baca Buku pada Pengajaran Bahasa Indonesia, Roma Uli, 1-13 Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward Berjenjang dan Konsekuensi Logis, Angelia Prasastha Widi Nugraheni, 14-20 Menurunkan Perilaku Bullying Verbal Melalui Pendekatan Konseling Singkat Berfokus Solusi, Dwi Lestari, 21-36 Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid, Yohanes Paiman, Language Learning Strategies to Improve Language Teaching, Perlando Lubis, 37-51 52-62 Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan Melalui Pembelajaran Terpadu Berbagai Disiplin Ilmu, Keke Taruli Aritonang, 63-77 Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013 , 78-87 Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah, Isu Mutakhir: Mau Kemana Kurikulum Pendidikan Kita?, Resensi buku: Catatan Harian Guru: Menulis itu Mudah, Profil BPK PENABUR Jatibarang, Eti Artayatini, Desmon Simanjuntak, Hilda Karli, Hotben Situmorang, P. Slamet Widodo, 88-102 103-107 108-111 112-117 Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013 i Pengantar Redaksi emasa pemerintahannya dalam berbagai kesempatan, Sukarno sering mengungkapkan pentingnya membangun bangsa dan karakter atau lebih populer dengan istilah nation and character building. Sebagai bangsa yang baru merdeka, Indonesia perlu membangun dirinya yang tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan akibat penjajahan lebih dari 350 tahun. Dalam membangun dirinya, bangsa Indonesia juga perlu membangun karakter yang selama masa penjajahan memiliki kepercayaan diri yang rendah, keberanian yang lemah, dan jati diri yang tidak jelas. Untuk bisa duduk sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya, seluruh rakyat Indonesia dituntut untuk membangun rasa percaya diri, keberanian, kerja keras, kebanggaan dan jati diri. Bangsa Indonesia diharapkan memiliki karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD1945. Dengan karakter yang demikianlah, bangsa ini dapat maju dengan laju menuju masyarakat adil dan makmur. Satu dekade belakangan ini, karakter bangsa Indonesia menjadi bahan perbincangan dalam konteks yang tidak jauh berbeda dari yang dikemukakan oleh Sukarno. Bangsa Indonesia dikhawatirkan tidak akan dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, juga tidak akan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain melihat fenomena yang terjadi di masyarakat dan pemerintahan. Berbagai tindak kekerasan merebak di tengah-tengah masyarakat, tindakan intoleransi terjadi di berbagai tempat, ketidakpedulian atas sesama semakin menggejala, serta kehadiran Pemerintah di berbagai peristiwa tidak dirasakan dan seolah-olah terjadi pembiaran. Kerusuhan yang dipicu oleh pertentangan suku, agama, ras, dan antar golongan sulit dapat dihentikan. Tatanan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dilanda berbagai korupsi, kolusi, dan nepotisme sementara angka kemiskinan tetap tinggi dan masih banyak daerah yang tertinggal, terluar, atau terpinggir yang kurang mendapat perhatian dalam pembangunan ekonomi. Banyaknya kepala daerah, anggota legislatif, dan eksekutif yang terlibat dalam suap dan korupsi serta bahasa tubuh mereka yang tidak menunjukkan penyesalan dan rasa malu melunturkan rasa optimisme masyarakat untuk meraih masa depan dan kehidupan lebih baik. Kalangan generasi muda juga tidak luput dari kemorosotan moral dengan menunjukkan perilaku konsumerisme semakin tinggi, keinginan serba instan tanpa perjuangan keras, kecanduan minuman keras dan narkoba, serta keterlibatan dalam berbagai kejahatan. Sungguhpun tidak dapat dipungkiri masih terdapat banyak generasi muda yang berprestasi dan berbudi pekerti baik, fenomena yang ada sekarang menghawatirkan kemungkinan munculnya pemimpin masa depan yang tangguh dan dapat S ii Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 membawa bangsa Indonesia ke masyarakat yang dikehendaki: masyarakat adil dan makmur lahir dan batin. Kecemasan akan karakter bangsa Indonesia, membuat berbagai pihak menoleh ke proses pembentukan karakter khususnya melalui jalur pendidikan. Sistem pendidikan nasional pada hakikatnya berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta karakter bangsa Indonesia. Watak dan karakter yang dimaksud dicirikan sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Psl 3, UU No.20 Thn 2003). Karakter manusia Indonesia yang tertera dalam tujuan pendidikan nasional sangat luhur dan mulia. Karakter itu dijabarkan lebih lanjut dalam kurikulum serta diwujudkan dalam proses pendidikan di semua jenis dan jenjang pendidikan. Dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa, Kementerian Pendidikan Nasional (2011) menetapkan 18 nilai pendidikan karakter bangsa: religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli sosial dan peduli lingkungan. Setiap satuan pendidikan diharuskan menyisipkan serta mewujudkan nilai-nilai itu dalam setiap proses pembelajaran. Berdasarkan penelitian Pusat Kurikulum semua sekolah sudah mengetahui program pendidikan karakter tersebut dan di sekolah yang dijadikan model, keberhasilannya ditentukan oleh kepala sekolah Proses pembentukan karakter tidak hanya terjadi di lembaga pendidikan, tetapi juga di tengah-tengah masyarakat dan keluarga. Bahkan sebenarnya proses pembentukan karakter dimulai sejak anak dalam kandungan dan berkembang setelah lahir. Pada usia bayi terjadi pertumbuhan dan perkembangan syaraf otak secara cepat dan sangat dipengaruhi oleh stimulus yang datang dari lingkungannya. Stimulus yang baik akan berpengaruh positif terhadap perkembangan syaraf otak dan kemampuan berpikir anak di kemudian hari. Stimulus positif yang dimaksud antara lain belaian kasih sayang orang tua dan anggota keluarga serta suarasuara lembut di lingkungan anak. Orang tua dan anggota keluarga hendaknya menyadari peranan mereka dalam pembentukan karakter anak sejak usia dini yang dikenal dengan usia emas (golden age) karena menentukan masa depannya. Keberhasilan pendidikan karakter tidak terlepas dari pengalaman nyata anak di lingkungannya, tidak semata-mata dari apa yang didengarnya, tetapi juga dari pengalamannya sendiri berinteraksi dengan lingkungannya serta apa yang disaksikannya. Kejujuran akan terbentuk pada diri anak kalau dia sendiri diperlakukan jujur oleh orang lain. Ia juga akan berperilaku sopan, kalau dia menyaksikan perilaku sopan yang ditunjukkan oleh orang lain. Dengan demikian “modeling” atau keteladanan diperlukan dalam membentuk karakter seseorang dan masyarakat berperan Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 iii dalam pembentukan karakter dengan memberikan perilaku baik yang dapat ditiru oleh orang lain. Anak lebih banyak menghabiskan waktunya di luar lembaga pendidikan sehingga pengalaman positif yang diperolehnya di lembaga pendidikan dapat tererosi atau lenyap oleh pengalaman tidak selaras yang didapatinya di tengah-tengah masyarakat dan keluarga. Oleh karena itu, lembaga pendidikan, keluarga dan masyarakat perlu bekerja sama dalam membentuk karakter anak. Sungguhpun demikian, masyarakat dan orang tua pada umumnya berharap lembaga pendidikan dapat memberikan pengalaman belajar yang efektif dalam mengembangkan kecerdasan dan membentuk karakter anak. Dalam edisi sebelumnya (Juni 2013, Jurnal Pendidikan Penabur terbit dengan tema Pendidikan Karakter Berdasarkan Nilai-Nilai Kristiani (PKBN2K). Nilai-nilai yang terkandung dalam PKBN2K adalah penguasaan diri, rendah hati, kesetiaan, kebaikan, kejujuran, ketekunan, ketaatan, keberanian, kepedulian, sabar, murah hati, dan pengorbanan. Edisi ini masih mengangkat pentingnya pendidikan karakter tersebut karena banyak orangtua memilih sekolah dengan harapan anaknya memperoleh pendidikan karakter yang tangguh terhadap berbagai godaan. Bagaimana pendidikan karakter dilakukan melalui proses pembelajaran diungkap dalam berbagai hasil penelitian dalam edisi ini, misalnya penerapan karakter BEST melalui program gerakan baca buku pada pengajaran bahasa Indonesia, meningkatkan disiplin belajar di kelas melalui metode reward berjenjang dan konsekwensi logis, menurunkan prilaku bullying verbal melalui pendekatan konseling singkat berfokus solusi, serta bagaimana mengatasi distorsi komunikasi antara guru dan murid yang juga berkaitan dengan pendidikan karakteristik. Strategi pembelajaran dapat mengatasi kesulitan belajar peserta didik karena keberagaman gaya belajar sehingga meningkatkan capaian belajar mereka. Dalam edisi ini dimuat pula wacana tentang bagaimana guru dapat mengintegrasian pendidikan kewirausahaan melalui pembelajaran terpadu berbagai disiplin ilmu. Penerapan strategi belajar bahasa untuk memperbaiki pembelajaran bahasa, khususnya untuk mata pelajaran bahasa asing. Strategi belajar tentu pula dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Guru dapat menggunakan TIK untuk memudahkan peserta didik belajar serta meningkatkan capaian belajar dan kinerjanya. Lalu bagaimana peranan TIK dalam penerapan Kurikulum 2013 diwacanakan dalam salah satu tulisan di edisi ini. Akan tetapi, TIK bukan segala-galanya karena ketersediaan perangkat keras dan perangkat lunak yang lengkap di sekolah bukan menjamin peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran. Manajemen kepala sekolah, khususnya strategi dan pengambilan keputusan kepala sekolah dalam mengelola semua sumber daya di sekolah ikut menentukan. Dalam konteks yang iv Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 demikian, edisi ini memuat pula wacana yang terkait dengan pengambilan keputusan oleh kepala sekolah. Kurikulum seyogianya dievaluasi pada kurun waktu tertentu untuk mengetahui sejauh mana implementasi kurikulum dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan serta sejauh mana pula isi kurikulum itu masih relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, sewajarnya pula setiap kurikulum disempurnakan sebagai tindak lanjut hasil evaluasi. Akan tetapi di Indonesia sering terjadi perubahan, pergantian, atau penyempurnaan kurikulum tidak didahului dengan evaluasi yang menyeluruh dan meyakinkan tetapi terkesan terkait dengan pergantian pejabat yang berwewenang. Keadaan yang demikian membuat perubahan kurikulum dari KBK menjadi Kurikulum 2013 menimbulkan polemik yang berkepanjangan sehingga menimbulkan pertanyaan ke mana arah kurikulum kita, sebagaimana diangkat sebagai isu mutakhir. Dalam mengembangkan kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional, guru dituntut memiliki kemampuan menulis secara ilmiah. Akan tetapi masih banyak guru tidak terampil menulis dan mengalami kesulitan menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan ilmiah. Oleh karena itu menarik untuk ditelaah gagasan-gagasan yang membantu dan memotivasi guru menulis dalam buku Catatan Harian Seorang Guru: Menulis Itu Mudah, yang juga ditulis oleh seorang guru BPK PENABUR. Edisi ini dilengkapi dengan profil BPK PENABUR Jatibarang yang mengalami perkembangan yang menggembirakan dari tahun ke tahun sejak berdirinya, sehingga dapat mencerahi masyarakat sekitarnya melalui pelayanan pendidikan. Penampilan profil ini juga memotivasi BPK PENABUR lainnya melakukan refleksi diri pada penghujung 2013 ini. Refleksi diri secara jujur akan menghasilkan perbaikan kinerja secara terus menerus dan berkesinambungan di kemudian hari sehingga terwujud visi dan misi BPK PENABUR secara utuh. Redaksi Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 v Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku Penelitian Penerapan Karakter BEST melalui Program Gerakan Baca Buku pada Pengajaran Bahasa Indonesia Roma Uli E-mail: [email protected] SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta Abstrak risis pendidikan karakter telah memberikan dampak negatif terhadap perkembangan karakter siswa. Berbagai kenakalan siswa di dalam dan di luar sekolah yang terjadi belakangan ini perlu segera diatasi sehingga mereka menjadi generasi yang andal. Di BPK PENABUR masalahnya ialah bagaimana membentuk karakter mereka sehingga sesuai dengan profil lulusan BPK PENABUR yang berkarakter BEST. Dengan pemikiran membaca bermanfaat untuk meningkatkan mental alertness, daya tangkap, kreativitas dan logika berpikir serta meningkatkan wawasan pengetahuan siswa, penelitian ini merancang dan menerapkan Program Gerakan Baca Buku (Gebaku) di kelas VIII di SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan Program Gebaku dapat meningkatkan minat baca siswa sekaligus menanamkan karakter BEST pada diri siswa di SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta. K Kata-kata kunci: Pendidikan karakter, karakter, BEST, gerakan membaca buku. The Application of BEST Character Through Book-Reading Movement Program in Teaching Indonesian Abstract The crisis of character education has a negative impact on students’ character development. Increasing juvenile delinquency conducted by the students in or out of school has to be overcome. In BPK PENABUR, the problem is how to build the graduates’ character on the basis BEST.Considering reading is powerful in improving mental alertness, achievement, creativity, logic, and enlarging students’ perspective, this descriptive research designed and implemented Book-Reading Movement Program in grade VIII of SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta. The research findings show the Program is effective in improving the students’ reading interest and building the BEST character for the students of SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta. Keywords: Character building, character, BEST, book-reading movement Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 1 Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku Pendahuluan Krisis karakter dalam dunia pendidikan sekarang ini telah menjadi momok yang menakutkan. Mulai dari tawuran, vandalisme, anarkisme sampai pornografi menunjukkan parahnya krisis akhlak yang menggerogoti bangsa ini. Berbagai kasus pelajar lainnya seperti kecanduan minuman keras atau narkoba, pencurian, dan seks bebas atau pemerkosaan, menunjukkan bobroknya karakter yang dimiliki sebagian pelajar. Berdasarkan data, tahun 2010, terjadi 128 kasus tawuran antarpelajar. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam Vivanews menyatakan sedikitnya, sudah 17 pelajar meninggal akibat tawuran di wilayah Jabodetabek sejak 1 Januari sampai 26 September 2012. Perilaku tersebut berkembang pada kasus vandalisme dan anarkisme yang menggambarkan kurangnya kepedulian sosial pelajar terhadap sesama dan lingkungannya. Hal ini ditambah dengan tontonan negatif yang bebas dan mudah diakses semakin melemahkan mental pelajar sehingga menjadi konsumtif, serba instan, dan rapuh. Pelajar lebih banyak menghabiskan waktu di dunia maya daripada membaca. Tak heran jika minat baca di Indonesia menurut United Nation Development Program (UNDP) tahun 2010, berada di peringkat 112 dari 175 negara, tak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang banyak. Padahal menurut Sani B. Herwaman, psikolog anak dan direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, “Membaca bermanfaat untuk meningkatkan mental alertness, daya tangkap, kreativitas dan logika berpikir dan mening-katkan wawasan pengetahuan. Membaca juga menanamkan nilai positif seperti rasa empati, solidaritas, toleransi dan tolong menolong,” (www.hminews.com, 2012) Selain itu, fakta lain yang menunjukkan ketidaktangguhan pelajar dalam bersaing dan ketidaksiapan untuk menghadapi kegagalan tergambar dalam potret Ujian Nasional yang diwarnai beragam kecurangan. Sehingga menabrak nilai-nilai kejujuran, ketangguhan, dan keteladanan yang seharusnya dimiliki pelajar. 2 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Hal inilah yang menjadi tolok ukur pengembangan kurikulum berbasis karakter. Perlunya penanaman nilai-nilai positif dalam setiap aspek kegiatan belajar mengajar yang dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan pendidikan pelajar di sekolah. Dengan sasaran penanaman pendidikan karakter bangsa tidak hanya dilakukan dalam pengajaran PMP/ PKN dan Agama tetapi dapat terintegrasi pada semua mata pelajaran. Berdasarkan penilaian akan pentingnya pendidikan karakter tersebut, maka profil lulusan BPK PENABUR Jakarta menanamkan karakter BEST, yaitu: 1. Be Tough yang mengusung nilai kegigihan, kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, kerendahan hati, keterampilan dan kreativitas; 2. Excel Worldwide yaitu penanaman nilai gemar belajar dan membaca dengan wawasan nasional dan internasional serta penguasaan IPTEK; 3. Share With Society yaitu penanaman nilai kepemimpinan, keteladanan, dengan memiliki sikap empati yang mampu bersosialisasi; 4. Trust in God yaitu penanaman nilai karakter yang mengandalkan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan. Dengan tujuan dapat mencetak lulusan BPK PENABUR yang berkarakter BEST, berarti setiap bidang pengajaran perlu memilah dan memilih celah penerapan karakter BEST dalam materi pengajarannya masing-masing. Penggalian dan penerapan yang tepat agar profil karakter BEST tersebut dapat terealisasi dalam proses belajar mengajar harus disesuaikan dengan kurikulum pengajaran yang berlaku. Demikian halnya dengan penerapan karakter BEST dalam pengajaran bahasa Indonesia harus disesuaikan dengan runutan aspek keterampilan berbahasa. Di sisi lain, kurikulum bahasa Indonesia menerapkan pembelajaran bahasa dalam empat aspek keterampilan berbahasa, baik menyimak, berbicara, menulis maupun membaca. Dalam keempat aspek berbahasa tersebut beragam aktivitas berbahasa memerlukan penanaman nilai-nilai positif, seperti : ketangguhan, kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku kerendahan hati, keterampilan dan kreativitas, dll sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat pada profil luluasan BPK PENABUR yang berkarakter BEST. Khususnya pada aspek keterampilan membaca. Sedangkan aspek keterampilan membaca hanya dapat dimiliki jika proses belajar mengajar dikondisikan dalam program pengajaran bahasa Indonesia yang nyata intensif dan terintegrasi. Sayangnya tuntutan kurikulum tersebut tidak sejalan dengan fakta minat membaca pelajar SMP. Siswa lebih sulit membaca daripada berbicara. Siswa lebih suka menghabiskan waktu mengobrol, chatting dan menonton. Bahkan ketersediaan perpustakaan yang lengkap sekalipun tidak cukup memaksa siswa BPK PENABUR di SMPK 5 untuk membaca. Keadaan ini menimbulkan pemikiran, bagaimana mengondisikan kegiatan belajar mengajar dalam sebuah program pengajaran bahasa Indonesia yang mampu membidik tujuan keterampilan membaca. Sebuah program pengajaran bahasa menuntut siswa untuk aktif membaca dengan sasaran utamanya adalah minat dan antusiasme siswa dalam membaca. Program tersebut harus memberikan dorongan yang nyata terhadap siswa sehingga tercipta ‘minat’ membaca siswa pada buku dengan menerapkan nilai-nilai karakter BEST. Dengan demikan akan tercapai sebuah proses pendidikan dan pembentukkan karakter di kalangan pelajar dalam aktivitas belajar mengajar pada pelajaran bahasa Indonesia. Latar belakang ini mendorong penulis menerapkan karakter BEST melalui program gebaku pada pengajaran bahasa Indonesia dalam upaya meningkatkan minat baca siswa di SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta. Sekolah ini dipilih dengan pertimbangan karakteristik sekolah dan minat siswa SMPK 5 terhadap aktivitas membaca terbilang minim. Di samping itu penulis yang adalah salah seorang guru di SMPK 5 kelas VIII mengenal dengan baik keadaan sekolah dengan baik dana layak dijadikan sebagai tempat penelitian. Program Gebaku menerapkan aspek profil karakter BEST, yaitu Be Tough dan Excel Worldwide, dengan cara mewajibkan siswa membaca buku dalam jumlah tertentu secara mandiri. Di samping itu, penerapan karakter, Share With Society dapat diterapkan dengan membentuk sistem pengumpulan laporan hasil pembacaan siswa melalui ketua kelasnya masing-masing dengan menentukan kesepakatan tanggal pengumpulan. Hal itu diharapkan mampu menanamkan nilai empati kepada sesama siswa melalui beragam sumber bacaan yang dibaca. Selain itu, pengarahan atas jenis bacaan pilihan ditekankan pada nilai-nilai karakter positif sesuai prinsip karakter BEST yang lain yaitu Trust in God baik dalam proses pembacaan maupun pelaporannya. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, maka masalah dirumuskan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimana cara menerapkan karakter BEST melalui program Gebaku dalam pengajaran bahasa Indonesia di SMPK 5 BPK PENABUR. 2. Bagaimana penanaman karakter BEST melalui program Gebaku dalam pengajaran bahasa Indonesia dapat meningkatkan minat baca siswa di SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta. Tujuan tulis ini untuk mengetahui penerapan karakter BEST melalui Program Gebaku pada pengajaran bahasa Indonesia di SMPK 5 BPK PENABUR dan memberikan gambaran penerapan karakter BEST melalui Program Gebaku dalam pengajaran bahasa Indonesia dapat meningkatkan minat baca siswa. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pilihan cara menerapkan karakter BEST di dalam diri siswa lulusan BPK PENABUR Jakarta. Dengan demikian guru bahasa Indonesia dapat tetap menanamkan nilai-nilai karakter, khususnya karakter BEST, dengan memanfaatkan beragam fasilitas bacaan di perpustakaan sekolah yang menunjang program kurikulum bahasa Indonesia yang ada. Program Gebaku juga dapat menanamkan kebiasaan membaca yang efektif. Kebiasaan membaca tersebut dapat mengasah dan menambah pengetahuan siswa baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga kebiasaan tersebut dapat menunjang ketajaman berpikir seseorang. Di samping itu penanaman karakter BEST melalui Program Gebaku dapat menjadi rujukan Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 3 Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku atau perbandingan bagi guru mata pelajaran lain untuk dikembangkan sesuai dengan karakteristik sekolah dan siswa masing-masing. Bahkan dalam kondisi tertentu dapat dimanfaatkan sebagai media alternatif pengajaran terpadu lintas mata pelajaran yang berbeda yang saling menguntungkan baik bagi siswa maupun guru. Kajian Pustaka “Mendidik ialah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya” demikian menurut Ki Hajar Dewantara dalam buku Zahara Idris. Selanjutnya, Idris menyampaikan pendidikan adalah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan, antara manusia dewasa dengan si anak didik secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya, dalam arti supaya dapat mengembangkan potensinya semaksimal mungkin, agar menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab. (Zahara Idris, 1982 : 10) Berdasarkan pendapat tersebut, pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan terhadap seseorang atau peserta didik dengan tujuan tertentu, baik itu dalam proses kegiatan belajar mengajar maupun dalam kehidupan sehariharinya dengan maksud membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Karakter, Pendidikan Karakter, dan Karakter BEST Karakter dari sisi psikologi adalah sesuatu yang terorganisasi dan terpola. Tidak statis tetapi tumbuh secara teratur dan mengalami perubahan. Menurut Ryan dan Bohlin, karakter mengandung tiga unsur pokok yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good) dan melakukan kebaikan (doing the good) (Abdul Majid dan Dian Andayani, dalam Moenta, vol. 12, 2011). Pendidikan karakter adalah sebuah peluang bagi penyempurnaan diri manusia. Artinya, sebuah usaha manusia untuk menjadikan 4 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 dirinya sebagai manusia yang berkeutamaan. (Koesoema, 2007 : 81). Berdasarkan penilaian akan pentingnya pendidikan karakter tersebut, maka profil lulusan BPK PENABUR Jakarta menanamkan karakter BEST. Membaca dan Minat Baca Henry Guntur Tarigan (1986 : 5) berpendapat bahwa “Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media katakata atau bahasa tulis”. Minat adalah dorongan hati yang tinggi untuk melakukan sesuatu. Minat baca adalah ketertarikan untuk menekuni dan menguasai bahan bacaan dalam upaya menambah kompetensi diri. Minat baca akan menjadi kebiasaan membaca jika tersedia bahan bacaan yang sesuai untuk dibaca dan ada cukup waktu untuk membaca. (www.hminews.com, 2011) Bahasa dan Peranannya serta Gebaku Bahasa merupakan alat komunikasi manusia, baik dalam berelasi maupun dalam hal menyampaikan pikiran dan mengembangkan ide-idenya. Bahkan, menurut Sunaryo (2000 : 6) dalam blog Dewi (2010) tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia) IPTEK tidak dapat tumbuh dan berkembang. Perkembangan IPTEK tersebut dapat diterapkan dalam sebuah program membaca yang disebut Program Gemar Baca Buku (Gebaku). Program ini diadakan dengan pemikiran bahwa membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang memiliki peranan penting dalam membangun karakter suatu bangsa. Program Gebaku adalah program membaca dalam pengajaran bahasa Indonesia kelas VIII di SMPK 5 BPK PENABUR. Gebaku dilakukan dalam upaya meningkatkan minat baca siswa. Berpedoman pada kurangnya antusiasme siswa dalam membaca dan rendahnya pemahaman siswa terhadap penyimpulan isi wacana membuat penerapan Program Gebaku penting untuk dilakukan. Meningkatkan minat Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku baca melalui program Gebaku dapat menjadi sebuah cara untuk menanamkan kebiasaan membaca bagi siswa di SMPK 5 dengan asumsi tersedianya bahan bacaan yang sesuai dan ketersediaan waktu membaca yang ditetapkan guru melalui pertimbangan yang matang. (redaksi Dalam Negeri, Demokrasi, Luar Negeri, News 28 January 2011 - 998 views ) Gambaran ini menunjukkan bahasa, ilmu pengetahuan dan teknologi saling berhubungan. Pengembangan daya nalar melalui pengajaran bahasa telah menjadikan bahasa sebagai prasarana berpikir kritis dan modern yang berkaitan dengan IPTEK, khususnya bahasa Indonesia. Dengan kata lain, menerapkan karakter BEST melalui program Gebaku pada Pengajaran bahasa Indonesia di SMPK 5 BPK PENABUR selama satu semester (ganjil) merupakan gambaran keterikatan antara bahasa dan peranannya serta Gebaku sebagai bentuk aplikasinya. Program Gebaku dilaksanakan siswa tanggal 31 Agustus- 30 November 2012, dengan asumsi bahwa proses pengumpulan tugas dan pengolahan nilai bahasa Indonesia dilakukan pada waktu tersebut. Dengan harapan, karakter BEST yang mengangkat nilai-nilai ketekunan, keterampilan, kreativitas, tanggung jawab, kejujuran, kerendahan hati, gemar belajar dan membaca dengan wawasan nasional dan internasional serta penguasaan IPTEK, dapat terintegrasi terintegrasi dalam pengajaran bahasa dengan tidak melupakan penanaman nilai kepemimpinan, keteladanan, dan sikap empati yang mampu bersosialisasi dengan baik. Hal ini disebabkan oleh kedudukan bahasa sebagai alat komunikasi manusia yang efektif. Metodologi Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menerapkan karakter BEST melalui program Gebaku pada Pengajaran bahasa Indonesia di SMPK 5 BPK PENABUR sepanjang satu semester (ganjil) dimulai dari 31 Agustus-30 November 2012. bahasa Indonesia sekaligus meningkatkan minat baca siswa di SMPK 5 BPK PENABUR. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta tahun pelajaran 2012 -2013. Teknik pengambilan sampel menggunakan sampel random dan terpilih kelas VIIIA dengan jumlah 35 siswa. Data dikumpulkan dengan menyebar kuesioner serta observasi. Data yang dikumpulkan melalui kuesioner semi tertutup adalah nilai-nilai karakter BEST terdapat dalam program Gebaku yang secara tidak langsung sudah meningkatkan minat baca siswa di sekolah. Teknik observasi yang digunakan adalah observasi partisipan (participant observation) yaitu metode pengumpulan data melalui pengamatan dan penginderaan dimana peneliti terlibat dalam keseharian informan. Data yang diperoleh melalui observasi adalah minat baca siswa selama proses pemberlakuan Program Gebaku dengan menganalisis hasil nilai pengumpulan laporan Gebaku yang diberikan oleh siswa melalui rubrik penilaian Gebaku. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan pengolahan data sebagai berikut. 1. Pengisian kuesioner Gebaku yang diajukan setelah proses pengajaran berakhir berdasarkan prosentase jawaban siswa. Yaitu : jumlah jawaban per option X 100% jumlah siswa 2. Pengolahan data untuk mengukur validitas data yang telah diambil melalui analisis nilai Gebaku siswa sesuai rubrik penilaian dengan menginterpretasikannya terhadap hasil nilai Gebaku. Rancangan Program Gebaku Dengan dasar prinsip BEST maka program Gebaku dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa membaca adalah jendela informasi yang dapat menerapkan nilai-nilai positif yang sesuai dengan prinsip karakter BEST. Adapun rancangan Program Gebaku sebagai berikut. 1. Siswa diwajibkan membaca 1 buku dalam 1 bulan. 2. Satu bulan siswa akan memberikan satu buah laporan buku sesuai dengan format laporan Gebaku yang telah disiapkan guru. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 5 Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku 3. Kriteria buku yang dapat dibaca siswa adalah semua buku bacaan yang sesuai untuk anak SMP. 4. Tugas Gebaku dimulai bulan Agustus dan berakhir di bulan November akhir. 5. Dua orang siswa ditunjuk sebagai penanggung jawab yang akan mengkoordinir pengumpulan laporan Gebaku per bulan, mengingatkan, dan melakukan pencatatan. (guru juga melakukan pencatatan). 6. Siswa tersebut menyerahkan laporan Gebaku sesuai dengan jadwal yang telah disepakati oleh kelas ( tanggal pengumpulan di akhir bulan) kepada guru. 7. Perolehan nilai Gebaku akan dihitung sebagai salah satu nilai formatif siswa untuk mata pelajaran bahasa Indonesia kelas VIII. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dideskripsikan pada Tabel 1 Gebaku, mulai dari bulan pertama sampai bulan keempat. d. e. Siswa yang tidak memberikan buku tepat waktu sesuai dengan yang telah ditentukan mendapat pengurangan nilai setiap bulannya sehingga hanya akan mendapatkan nilai KKM yaitu 70 ( sesuai KKM bahasa Indonesia). Pemberian dan pengurangan nilai diberikan dan diakumulasi di akhir penutupan Program Gebaku secara bertahap sesuai bulannya (hal ini dilakukan dengan tujuan menanamkan nilai tanggung jawab). Implementasi Program Gebaku Penanaman budaya gemar membaca perlu ditempatkan pada wadah yang tepat dalam pengajaran bahasa Indonesia. Dengan pemikiran membaca dapat menambah wawasan berpikir siswa baik secara nasional maupun internasional. Di tengah zaman yang Tabel 1: Penilaian Gebaku No Kriteria 1. S k or 1 2 3 4 Membaca, menuliskan, dan memberikan isi laporan Gebaku sesuai jadwal (per bulan) 20 20 20 20 80 2. Membaca buku, menuliskan, dan memberikan tambahan laporan Gebaku +5 +5 +5 +5 +20 3. Tidak membaca dan tidak mengumpulkan laporan buku -2 -2 -3 -3 -20 Keterangan perincian penilaian laporan Gebaku sebagai berikut. a. Satu buah laporan Gebaku dihitung dengan skor 20 setiap bulan. b. Setiap siswa wajib melaporkan 4 laporan buku yang dibacanya selama 4 bulan sehingga total skor siswa adalah 80. c. Setiap penambahan satu buku dihitung 5 point dengan asumsi nilai tertinggi tetap hanya 100. Artinya jumlah buku yang dibaca menjadi 8 buah dengan ketentuan tidak seluruhnya buku fiksi. 6 Bulan ke- Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 menekankan penguasaan IPTEK, Program Gebaku menanamkan nilai ketekunan, kegigihan, kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, kerendahan hati, keterampilan dan kreativitas. Melalui program membaca tersebut siswa belajar menerapkan nilai kepemimpinan, keteladanan, dan empati sehingga mampu bersosialisasi dengan lingkungannya. Siswa belajar menyadari keberadaaan dunia yang modern, serba cepat, dan bebas dalam menyerap setiap informasi yang ada. Dengan Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku demikian aktivitas membaca dapat dijadikan salah satu wadah penanaman nilai karakter yang mengandalkan Tuhan sebagai payung yang aman dalam proses Program Gebaku. Adapun deskripsi nilai-nilai yang ditanamkan dalam Program Gebaku sebagai berikut. Penerapan Karakter BEST Melalui Program Gebaku Penerapan pengalaman belajar siswa pada karya tulis ini lebih menekankan pada upaya meningkatkan minat baca dengan sasaran menanamkan kebiasaan membaca dengan menuliskan kembali isi buku yang telah dibaca dalam format laporan Gebaku yang disiapkan guru. Gambaran penerapan karakter BEST dalam Program Gebaku dapat di lihat pada tabel 2. dijawab kuesioner sesuai dengan nilai-nilai karakter BEST sebagai berikut. Hasil Penerapan Program Gebaku Terhadap Minat Baca Siswa Dapat dideskripsikan nilai yang diperoleh seluruh siswa 8A yang diambil sebagai sampel, yaitu 35. Sebanyak 11,43 % mendapatkan nilai 100, artinya lebih dari 4 siswa membaca buku 8 buah buku selama 4 bulan. Kemudian 2, 86 % mendapat nilai 95, artinya siswa sudah membaca 7 buah buku selama 4 bulan. Sebanyak 5,71 % mendapat nilai 90, artinya siswa membaca 6 buah buku selama 4 bulan. Kemudian 11, 43 % mendapat nilai 85, artinya siswa telah membaca 5 buah buku dalam 4 bulan. Kemudian 40% mendapat nilai 80, yang artinya siswa membaca sesuai dengan tanggung jawabnya. Sedangkan Tabel 2: Deskripsi Nilai-Nilai Karakter Program Gebaku No. Kegiatan Gebaku Nilai 1 Siswa membaca 1 buku dalam 1 bulan Mandiri, tangguh 2 Siswa menuliskan laporan Gebaku Tanggung Jawab 3 Siswa menuliskan laporan Gebaku dalam bentuk ringkasan dan tanggapan Terampil dan kreatif 4 Siswa memilih buku yang berwawasan nasional/internasional, baik fiksi maupun nonfiksi - Gemar belajar dan membaca Berwawasan nasional dan internasional 5 Siswa mengkoordinir pengumpulan laporan Gebaku, mengingatkan teman, dan melakukan pencatatan - Berjiwa kepemim-pinan dan menjadi teladan Bersikap empati Mampu bersosialisasi Siswa memilih buku sesuai tingkat SMP - 6 Hasil Penerapan Karakter BEST 1. Data hasil penerapan karakter BEST melalui Program Gebaku terhadap minat baca siswa dapat dideskripsikan sebagai berikut. Tabel 5 menunjukkan bahwa perolehan nilai laporan Gebaku berdasarkan jumlah buku yang dikumpulkan selama satu semester, dimulai bulan ke-1 sampai dengan ke-4. 2. Hasil analisis program Gebaku berdasarkan penerapan karakter BEST tergambar dalam prosentase data kuesioner yang - Mengandalkan Tuhan dalam setiap aspek 28,57% membaca 4 buah buku tetapi tidak sesuai dengan ketentuan pengumpulan yang telah disepakati. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan 71, 43% siswa telah memiliki nilai tanggung jawab, gigih, mandiri sesuai dengan kriteria karakter Be Tough. Sejumlah 11, 43% siswa memiliki ketangguhan karena dapat membaca buku lebih dari yang ditentukan. Di sisi lain, 28, 57% siswa belum memiliki karakter Be Tough karena masih harus diingatkan. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 7 Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku Tabel 3: Deskripsi Karakter BEST dalam Program Gebaku No 1. 2. 3. 4. 8 Karakter B E ST Be Tough (Tangguh) Exc el Worldwide Share with Soc iety Trust in God Deskripsi Karakter Program Gebaku Indikator Gigih Membaca 1 buku dalam 1 bulan Siswa membaca satu buah buku untuk satu bulan secara kontinu Mandiri Membaca 1 buku dalam 1 bulan Siswa membaca satu buku tanpa bantuan orang lain Tanggung Jawab Menuliskan laporan Gebaku tepat waktu Siswa menuliskan laporan Gebaku sesuai dengan tugas yang diberikan Jujur Menuliskan laporan Gebaku Siswa menuliskan laporan Gebaku sendiri tanpa bantuan orang lain Rendah Hati Menuliskan laporan Gebaku dalam bentuk ringkasan dan tanggapan Siswa menuliskan laporan Gebaku dan memberikan tanggapan positif Terampil Kreatif Menuliskan laporan Gebaku dalam bentuk ringkasan dan tanggapan Siswa menuliskan laporan Gebaku dengan bahasa yang lugas dengan tanggapan logis Gemar Belajar dan Membaca Membaca 1 buku dalam 1 bulan Siswa memiliki kebiasaan membaca dan belajar Berwawasan nasional dan internasional Memilih buku berwawasan nasional dan internasional Siswa mendapatkan pengalaman membaca jenis buku asli karya penulis Indonesia dan buku terjemahan Menguasai IPTEK Membaca 1 buku untuk 1 bulan Siswa mendapat informasi tentang IPTEK dalam aktivitas membaca Berjiwa Kepemimpinan Mengumpulkan laporan Gebaku sesuai kelasnya Siswa mengkoordinir pengumpulan laporan Gebaku teman setiap akhir bulan. Menjadi T e l ad an Memberi contoh mengumpulkan laporan Gebaku oleh ketua kelas Siswa menjadi contoh bagi siswa lain dalam pengumpulan laporan Gebaku berdasarkan jumlah buku yang dibaca Memiliki Empati Mengingatkan siswa lain mengumpulkan Gebaku tiap bulan Siswa peduli dan empati terhadap pengumpulan laporan Gebaku teman Mampu Bersosialisasi Mengingatkan pengumpulan Gebaku tiap bulan Siswa aktif dalam pengumpulan laporan Gebaku sesuai dengan batas waktu yang disepakati Mengandalkan Tuhan di setiap aspek kehidupan Memilih buku dengan penuh tanggung jawab Siswa memilih buku bacaan dengan bertanggung jawab dan takut akan Tuhan Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku Data ini sejalan dengan hasil kuesioner yang telah disebarkan setelah proses pemberlakuan Program Gebaku selesai. Sejumlah 74, 29% siswa merasa program Gebaku memberikan dampak positif terhadap kerajinan membaca, menambah wawasan, dan perbendaharaan kosa katanya. Selama Program Gebaku, 80% siswa merasa jumlah buku yang dibacanya bertambah dengan rentang jumlah 2- 8 buah buku dalam 4 bulan selama pemberlakuan Program Gebaku. Sebanyak 71, 42 % siswa merasa minat bacanya bertambah. Sedangkan variasi jenis buku yang dipilih telah sesuai dengan tingkat SMP, yaitu 68,57% membaca novel remaja, 20% membaca buku ilmu pengetahuan populer, 8,57% membaca buku motivasi, dan 2,86% membaca buku selain ketiga opsi tersebut. Tabel 4: Data Pencatatan Hasil Pengumpulan Laporan Gebaku No S 1 Bulan Ke- Tambahan Poin 1 2 3 4 +5 +5 +5 +5 A1 v v v v V v - 2 A2 v v v v - - 3 A3 v v v v - 4 A4 v v v v 5 A5 v v v 6 A6 v v 7 A7 v 8 A8 9 Pengurangan Nilai S k or -2 -2 -3 -3 - - - - - 90 - - - - - - 80 - - - - - - - 80 - - - - - - - - 80 v - - - - - - - - 80 v v - - - - - - - - 80 v v v V v v v - - - - 100 v v v v V v - - - - - - 90 A9 v v v v - - - - - - - - 80 10 A10 v v v v - - - - - - - - 80 11 A11 v v v v V - - - - - - - 85 12 A12 v v v v - - - - v v v v 70 13 A13 v v v v - - - - v v v v 70 14 A14 v v v v - - - - v v v v 70 15 A15 v v v v V - - - - - - - 85 16 A16 v v v v V v v v - - - - 100 17 A17 v v v v - - - - - - - - 80 18 A18 v v v v - - - - - - - - 80 19 A19 v v v v V v v v - - - - 100 20 A20 v v v v V - - - - - - - 85 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 9 Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku No S 21 Bulan Ke- Tambahan Point Pengurangan Nilai 1 2 3 4 +5 +5 A21 v v v v - - - 22 A22 v v v v - - 23 A23 v v v v - 24 A24 v v v v 25 A25 v v v 26 A26 v v 27 A27 v 28 A28 29 -2 -3 -3 - v v v v 70 - - v v v v 70 - - - v v v v 70 - - - - - - - - 80 v - - - - v v v v 70 v v - - - - v v v v 70 v v v V v v v - - - - 100 v v v v - - - - v v v v 70 A29 v v v v V v v - - - - - 95 30 A30 v v v v - - - - - - - - 80 31 A31 v v v v - - - - v v v v 80 32 A32 v v v v - - - - v v v v 80 33 A33 v v v v V - - - - - - - 85 34 A34 v v v v - - - - v v v v 70 35 A35 v v v v - - - - - - - - 80 Tabel 5: Perolehan Nilai Laporan Gebaku No Nilai Jumlah Jumlah Gebaku Siswa B uku % 1 100 4 8 11,43 2 95 1 7 2, 86 3 90 2 6 5,71 4 85 4 5 11,43 5 80 14 4 40 6 70 10 4 28,57 10 S k or -2 Sebanyak 54,29% siswa menganggap Program Gebaku dapat menanamkan karakter ketekunan, tanggung jawab, kejujuran, dan keterampilan. Sebanyak 60% siswa menganggap Program Gebaku dapat menambah wawasan Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 +5 +5 nasional dan internasional serta penguasaan IPTEK dengan mengenal buku-buku terjemahan. Berdasarkan jumlah dan jenis buku yang dibaca maka program Gebaku dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan minat baca sekaligus menanamkan karakter BEST pada diri siswa di SMPK 5. Hal ini sesuai hasil kuesioner yang menyatakan sekitar 94,29% siswa memberikan tanggapan positif untuk pelaksanaan Program Gebaku. Sesuai dengan nilai KKM mata pelajaran bahasa Indonesia yaitu 70 dan target siswa untuk membaca satu bulan satu buku maka dapat ditafsirkan prosentase pencapaian yaitu 0- 50 % adalah kurang, 51 – 70 % cukup baik, 71- 80 % baik, dan 81 – 100 % kategori sangat baik. Itu dapat dikatakan bahwa : 1. Prosentase siswa yang memiliki karakter BEST dengan nilai Be Tough (71, 43 %) dan Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku Tabel 6 : Analisis Data Kuesioner Program Gebaku No 1. 2. 3. 4. Kriteria Program Gebaku membuat siswa rajin membaca Program Gebaku menambah wawasan dan perbendaharaan kata Tidak T ah u 26(74,29%) 0 (0%) 9(25,71%) Ada 74,29 % Siswa 0 (0 %) merasa menjadi rajin membaca Kesimpulan 0 (0%) 9(25,71%) Jumlah buku yang dibaca sekarang lebih banyak dibanding sebelum Program Gebaku 28(80%) 5(14,29 %) 2 (5,71%) Ada 80 % Siswa 0 (0 %) merasa menjadi rajin membaca Kriteria <2 2-4 5-8 Jumlah buku yang dibaca sepanjang pemberlakuan Program Gebaku Dengan adanya Program Gebaku minat baca bertambah Tanggapan terhadap Program Gebaku Kriteria 7 Mungkin 26(74,29 %) Kriteria 6 Tidak Ada 74,29 % Siswa merasa wawasan 0 (0%) dan kosakatanya bertambah Kriteria 5. Ya Jenis buku yang sudah dibaca sepanjang Program Gebaku 2 (5,71%) Ya 25(71,42 %) S an g at baik 14(40%) Novel 24(68,57%) > 10 13(37,14%) 13(37,14%) 7(20%) Tidak Mungkin Tidak T ah u 3(8,57%) 5(14,29%) 0(0 %) Baik Jelek 19(54,29%) B uku Ilmu Pengetah u an 7(20%) 2(5,71%) B uku Motivasi 3(8,57%) S an g at jelek 0(0 %) Lain -lain 1(2,86%) Kesimpulan Rata-rata siswa membaca 2-8 buku Kesimpulan Ada 71,42 % Siswa merasa minat bacanya bertambah Kesimpulan Sekitar 94,29 % siswa memberikan tanggapan positif untuk program Gebaku Kesimpulan Variasi jenis buku yang dipilih siswa sesuai dengan tingkat SMP Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 11 Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku No Kriteria 8 Program Gebaku secara tidak langsung menanamkan karakter ketekunan 19(54,2%) Kriteria Ya 9 10 Ya Program Gebaku secara tidak langsung menanamkan nilai tanggung jawab, kejujuran, dan keterampilan 19(54,29%) Kriteria Ya Program Gebaku secara tidak langsung telah menambah wawasan nasional dan internasional serta penguasaan IPTEK 21(60%) Mungkin Tidak Tahu 3(8,57 %) 10(28,57 %) Siswa menganggap Program Gebaku 3(8,57%) dapat menanamkan karakter ketekunan Tidak Mungkin Tidak Tahu Tidak Kesimpulan Siswa menganggap Program Gebaku dapat menanamkan karakter tanggung jawab, kejujuran, keterampilan 3(8,57 %) 13(37,14 %) 0(0 %) Tidak Mungkin Tidak Tahu 0(0 %) Siswa menganggap Program Gebaku dapat menambah 13(37,14%) 1(2,8%) wawasan nasional dan internasional serta penguasaan IPTEK Exel Worlwide (74,2%), menunjukkan kategori baik. 2. Prosentase siswa dalam hal banyaknya jumlah buku yang dibaca (80%) dan penambahan minat baca siswa (71,42) dapat dinyatakan berkategori baik. 3. Prosentase siswa dalam hal menanggapi pelaksanaan program Gebaku berdasarkan kuesioner yang disebarkan menyatakan positif (94,29%) dengan kategori sangat baik. 4. Prosentase siswa yang memiliki karakter nilai Trust in God, dilihat dari variasi jenis buku yang dipilih yang sesuai dengan tingkat SMP (100%) dapat dikatakan berkategori sangat baik. Sedangkan berdasarkan pengamatan guru bidang studi selama pengumpulan laporan Gebaku (tabel 4), ketua kelas memimpin teman-temannya dalam pengumpulan lapor-an, memberi contoh pengumpulan, mengingat-kan siswa lain mengumpulkan laporan Gebaku 12 Kesimpulan Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Kesimpulan setiap bulannya menunjukkan siswa telah memiliki karakter Share with Society. Simpulan Kesimpulan Program Gebaku dapat menerapkan karakter BEST dalam pengajaran bahasa Indonesia kelas VIII di SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta. Melalui proses pembacaaan buku, pelaporan isi buku, dan pencatatan jumlah buku telah menerapkan nilai ketekunan, kegigihan, kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, kerendahan hati, keterampilan, kreativitas kepemimpinan, keteladanan, dan empati sehingga mampu bersosialisasi dengan lingkungannya siswa sesuai dengan karakter BEST. Kegiatan membaca buku dalam Program Gebaku telah melatih kebiasaan membaca dan dapat meningkatkan minat baca siswa. Sedangkan kebebasan memilih buku menjadi penerapan bentuk tanggung jawab yang disertai dengan Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku rasa takut akan Tuhan sehingga siswa tidak salah mencermati isi sebuah buku. Saran Krisis karakter dalam dunia pendidikan merupakan salah satu tugas dan tanggung jawab guru sebagai pengajar. Pemikiran yang tepat dan pengondisian yang cermat dapat menciptakan generasi muda dengan karakter yang handal. Adapun beberapa saran yang dapat disampaikan: Pertama, program Gebaku sebaiknya dilakukan sepanjang pengajaran bahasa, baik semester ganjil dan genap dengan melibatkan berbagai mata pelajaran sehingga jenis buku lebih terarah (jenis buku di semester genap sudah ditentukan tema bukunya). Kedua penanaman karakter dalam profil lulusan BPK PENABUR perlu diaplikasikan dan disosialisasikan terus-menerus dalam setiap kesempatan dan bidang ilmu. Ketiga, guru sebagai fasilitator perlu memiliki semangat dan kecermatan dengan memikirkan beragam cara yang dapat mengasah peserta mengoptimalkan segala kemampuan peserta didiknya. Demikian beberapa saran dalam penanaman karakter BEST yang dapat menjadi acuan dan gambaran penanaman karakter di setiap bidang sedini mungkin. Daftar Pustaka Idris, Zahara. (1982). Dasar-dasar kependidikan. Bandung : Angkasa Keraf, Gorys. (1979). Komposisi. Jakarta : Nusa Indah Koesoema, Doni. (2007). Pendidikan karakter. Jakarta : Grasindo Sugiyono, Prof. Dr. (2011) Metode penelitian pendidikan. Bandung : Alfabeta Suryabrata, Sumadi. (2003). Metodologi penelitan. Jakarta : Universitas Gadjah Mada Tarigan, Henry Guntur. (1981). Membaca sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung : Angkasa Indriana, Dewi Nur. (2010). Peranan bahasa Indonesia dalam pengembangan IPTEK. Tersedia: http://ghembiel09.blogspot. com/ 2010/11/peranan-bahasa-indonesiadalam.html. 21 November 2010 Priliawito. (2012). Sederet tawuran pelajar di Jabodetabek sejak awal 2012. Tersedia : http:/ /nasional.news.viva.co.id/news/read/ 354946-sederet-tawuran-pelajar-di-jabo detabek-sejak-awal-2012. 28 Sep’2012 Moenta, Andi Pangerang. (2012). Urgensi pendidikan karakter bagi masa depan bangsa Indonesia. Tersedia : oshttp://www.karya tulisilmiah.com/urgensi-pendidikankarakter-bagi-masa-depan-bangsaindonesia.htmlted. 5 Maret 2011 More, Imanuel. (2012). Tawuran pelajar FR akhirnya dikeluarkan dari SMA 70. Tersedia:http://megapolitan.kompas. com/read/2012/12/01/16431082/FR. Akhirny.Dikeluarka.dari.SMA.70? u t m _ s o u r c e = W P & u t m _ medium=Ktpidx&utm_campaign. 1 Desember 2012 Rahadjo, Mudjia. (2011). Metode pengumpulan data penelitian kualitatif. Tersedia http:// mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/materikuliah/288-metode-pengumpulan-datapenelitian-kualitatif.html. 10 Juni 2011. Redaksi Dalam Negeri. (2011). UNDP : Minat baca orang Indonesia rendah. Tersedia : http://hminews.com/news/undpminat-baca-orang-indonesia-rendah. 28 Januari 2011 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 13 Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward Penelitian Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward Berjenjang dan Konsekuensi Logis Angelia Prasastha Widi Nugraheni E-mail : [email protected] SDK BPK PENABUR Bintaro Jakarta Abstrak enelitian ini bertujuan untuk meningkatkan disiplin belajar melalui reward berjenjang dan metode konsekuensi logis. Hipotesis penelitian reward bertingkat dan konsekuensi logis yang efektif untuk meningkatkan disiplin belajar . Subjek penelitian 30 orang siswa kelas 1A dari SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya Jakarta. Data dikumpulkan melalui kuesioner dan diolah secara kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dilakukan dalam dua siklus dengan hasil siklus I menunjukkan 40% siswa sangat baik, 33% baik dan 27% cukup baik dalam disiplin belajar. Hasil akhir siklus II menunjukkan 54% sangat baik, 33% baik dan 13% cukup baik . Kesimpulan penelitian ini adalah reward berjenjang dan metode konsekuensi logis dengan layanan bimbingan individual efektif untuk meningkatkan disiplin belajar di kelas . Penelitian ini juga memberikan saran operasional reward bertingkat dan metode konsekuensi logis yang efektif untuk meningkatkan disiplin siswa belajar. P Kata-kata kunci : Disiplin belajar, reward berjenjang, konsekuensi logis. Enhancing Learning Discipline in Classroom Through Graded Reward and Logic Consequence Methods Abstract This research is aimed to the increase the discipline of studying with multilevel rewards and logical consequences method. The hypothesis is multilevel rewards and logical consequences are effective to increase discipline of studying. The subject of this research were 30 students of 1A grade of SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya Jakarta. The data were collected using quesionnaire and analysed quantitatively and qualitatively. This research was conducted in two cycles. The result of the first cycle shows that 40% of students are very good, 33% are good and 27% are good enough in the discipline of studying. The final result in the second cycle shows the increasing percentage of discipline of studying. The result shows that 54% are very good, 33% are good and 13% are good enough. The conclusion of the research is multilevel rewards and logical consequences method with individualized tutoring services are effective to increase the discipline of studying in classroom. This research also gives operational suggestions that multilevel rewards and logical consequences methods are effective to increase students’ discipline of studying. Keywords : Discipline of studying, multilevel rewards, logical consequences. 14 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward Pendahuluan Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dengan tujuan mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Untuk mencapai tujuan itu dibutuhkan pendidikan berkualitas dengan proses belajar dan mengajar yang baik. Dalam konteks yang demikian , guru memainkan peranan yang penting dan strategis khususnya dalam menemukan dan mengembangka pendekatan, strategi, metode dan teknik pembelajaran yang efektif untuk mengubah perilaku peserta didik sesuai arah yang diinginkan. Dalam kenyataannya, masih dihadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidik dan peserta didik dalam mewujudkan peserta didik dengan ciri seperti yang diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Sebagai contoh, pengamatan atas disiplin peserta didik kelas 1 SDK Penabur Bintaro Jaya bahwa mereka cenderung aktif secara motorik dan membutuhkan upaya meningkatkan perilaku disiplin belajar. Hal ini terlihat dari sikap guru kelas 1 yang mengingatkan peserta didik berulang-ulang seperti membawa alat tulis lengkap, menyelesaikan tugas tepat waktu, tidak berbicara atau bermain selama guru memberikan penjelasan di kelas, menjawab dengan aktif, serta menyelesaikan tugas-tugas secara mandiri. Disiplin belajar merupakan salah satu faktor pendukung proses belajar mengajar yang baik. Sardirman (dalam La Ode, 2009 : 2) menegaskan bahwa disiplin dalam pendidikan sangat diperlukan untuk menjaga suasana belajar dan mengajar berjalan lancar serta menciptakan pribadi yang kuat bagi peserta didik. Disiplin dapat mengajarkan anak untuk melakukan yang baik dan benar serta menghindari perbuatan yang tidak baik sehingga dapat menjadi investasi atau berdampak seumur hidup (Desi, 2012 ). Upaya meningkatkan disiplin belajar tersebut dihubungkan dengan pemberian reward yang efektif diberikan ketika perilaku sesuai harapan (Gordon,1996 : 44). Pemberian reward dapat mengarahkan dan mempertahankan perilaku positif anak-anak (Nakita, 2006 : 12). Hal ini karena reward dapat meningkatkan ataupun memperbaiki perilaku yang diharapkan apabila diasosiasikan sebagai pencapaian perilaku yang diharapkan (Gordon 1996 : 50). Disisi lain, terdapat juga pendapat yang menyatakan, dalam upaya meningkatkan disiplin peserta didik maka guru harus menyatakan peraturan dan konsekuensi apabila ada pelanggaran ( Ahmad Rohani HM, dkk. dalam Triana, 2009 : 2). Oleh karena itu, peneliti mencoba menghubungkan disiplin belajar dengan pemberian konsekuensi, dalam hal ini adalah konsekuensi logis. Konsekuensi logis adalah konsekuensi yang secara sadar diterima sebagai akibat tindakan yang dilakukan oleh campur tangan orang lain (Gary & Anne, 2001 : 296 ). Nelsen (1997 : 68) mengungkapkan bahwa melalui konsekuensi logis maka anak belajar bertanggungjawab ketika perilakunya menyebabkan masalah terhadap oranglain ataupun mengundang bahaya secara tidak disadari. Dengan kata lain, konsekuensi logis merupakan hukuman tanpa kekerasan dan tidak membuat efek jera sesaat namun lebih bertujuan memberikan pembelajaran mengenai pelanggaran perilaku. Disiplin belajar melalui pemberian reward dan konsekuensi logis dilakukan dengan peran aktif guru dalam membantu menyelesaikan masalah atau hambatan yang dihadapi peserta didik untuk meningkatkan disiplin belajar di kelas. Prayitno (dalam Shvoong, 2012 : 1) menegaskan bahwa pengalaman kegagalan yang dialami oleh peserta didik dalam belajar tidak selalu disebabkan oleh kebodohan atau rendahya intelegensi. Sering kali kegagalan itu terjadi disebabkan karena mereka tidak mendapatkan layanan bimbingan yang memadai. Dengan latar belakang seperti yang telah diuraikan maka masalah dalam penelitian ini Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 15 Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward ialah bagaimana menggunakan metode reward berjenjang dan konsekuensi logis dapat meningkatkan disiplin belajar peserta didik kelas 1A SDK Penabur Bintaro Jaya. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan disiplin belajar peserta didik kelas 1A SDK BPK PENABUR Bintaro Jakarta. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat pertama bagi peserta didik dalam meningkatkan disiplin belajar di kelas sehingga membantu kelancaran belajar di kelas. Kedua, guru dapat memanfaatkan hasil penelitian ini untuk memperkaya wawasan baru untuk meningkatkan disiplin belajar peserta didik di kelas dengan metode reward berjenjang dan konsekuensi logis. Ketiga, sekolah dapat memperkaya referensi dalam memfasilitasi pengem-bangan metode yang baru. What is Happen now General ideas Reconnaissanc Field of Action General Plan Evaluation Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan desain seperti yang dikemukakan Stephen Kemmis (Hidayat, 2012: 18). Desain penelitian adalah sebagai terlihat pada Gambar.. Penelitian dilakukan di SDK BPK PENABUR Bintaro Jakarta pada Januari dan Februari 2013. Subjek penelitian adalah 30 orang peserta didik kelas 1A yang tergolong aktif secara motorik dan cerdas namun membutuhkan upaya peningkatan disiplin belajar. Data dikumpulkan menggunakan instrumen kuesioner perilaku disiplin belajar setelah masing- masing siklus selesai dilakukan. Kuesioner disusun bekerjasama dengan wali kelas, mengacu pada definisi disiplin belajar dari Gie (dalam Elly, 2011: 1). Penelitian dilakukan dalam dua siklus untuk melihat ada atau tidaknya peningkatan disiplin belajar peserta didik dengan menggunakan metode yang diterapkan. Prosedur penelitian pada Siklus I dan II, terlihat pada Tabel 1. Untuk melihat perbaikan disiplin belajar peserta didik, dibandingkan hasil post tes siklus 16 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Gambar: Desain Penelitian Meningkatkan Disiplin Belajar Melalui Metode Reward Berjenjang dan Konsekuensi Logis di Kelas I dan siklus II. Hasil post tes ditampilkan dalam bentuk skala Likert dengan skor: Selalu: 3; Sering: 2; Jarang: 1; Tidak pernah : 0. Skor total yang diperoleh masing-masing peserta didik kemudian diurutkan berdasarkan perolehan tertinggi sampai terendah. Kemudian peneliti menentukan range kategori disiplin belajar yaitu Sangat Baik, Baik, Cukup, Kurang dan Sangat Kurang. Hasil Penelitian Hasil post tes siklus I seperti tertera pada tabel 2. Berdasarkan hasil pengolahan data dari siklus I maka diperoleh urutan disiplin belajar seperti tertera pada tabel 3. Perolehan total skor dari 10 item hasil post tes Siklus I menunjukkan skor terendah (48) ditunjukkan pada item 5 yang mengung-kapkan sikap asertif peserta didik untuk bertanya pada Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward Tabel 1: Prosedur Penelitian Meningkatkan Disiplin Belajar Melalui Metode Reward Berjenjang dan Konsekuensi Logis di Kelas No Prosedur Kegiatan Waktu 1 hari Siklus I 1. General Plan Mempersiapkan pohon disiplin belajar, nomor absen peserta didik, pita merah dan jadual kunjungan kelas. 2. First Ac tion Step - Menjelaskan pentingnya disiplin belajar di kelas & kriteria mendapatkan pita merah pada peserta didik. Penyematan pita merah, menggantungkan nomor absen di pohon disiplin belajar (Reward) Melepaskan pita merah dan melepaskan nomor absen dari pohon disiplin belajar (Konsekuensi Logis) 10' 3. Monitoring Observasi perilaku disiplin belajar peserta didik kelas 1A 1 Bulan 4. Evaluation Refleksi & Evaluasi dengan wali kelas dan peserta didik. 20' 1 hari Siklus II 1. Revised General Plan Mempersiapkan pohon disiplin belajar, foto peserta didik, mendesain pin disiplin dan jadual kunjungan kelas. 2. Sec ond Ac tion Step - Menjelaskan pentingnya disiplin belajar di kelas & kriteria mendapatkan pin disiplin pada peserta didik. Penyematan pin disiplin, menggantungkan foto peserta didik di pohon disiplin belajar (Reward) Melepaskan pin dan foto dari pohon disiplin belajar (Konsekuensi Logis) 10' 3. Monitoring Observasi perilaku disiplin belajar peserta didik kelas 1A 1 Bulan 4. Evaluation Refleksi & Evaluasi dengan wali kelas dan peserta didik. 20' guru tentang mata pelajaran yang belum dimengerti. Urutan selanjutnya adalah item nomor 10 yaitu sebesar 58 yang mengungkapkan penyelesaian tugas tepat waktu. Kemudian disusul item 7 sebesar 64 yang menunjukkan sikap duduk tenang di karpet. Selanjutnya adalah item 3 sebesar 65, yang berkaitan dengan memperhatikan penjelesan dari guru. Kemudian item 8 sebesar 66 yaitu mengacungkan tangan apabila ada pertanyaan materi pelajaran dari guru. Selanjutnya adalah item nomor 2 yaitu sebesar 67, berkaitan dengan mengumpulkan Pekerjaan Rumah (PR) tepat waktu. Item selanjutnya adalah item 4 sebesar 69 yang berkaitan dengan konsentrasi mengerjakan tugas di kelas. Skor item tersebut sama dengan item 9 yang mengungkapkan kemandirian mengerjakan tugas dan ulangan. Kemudian dilanjutkan item 1 tentang datang tepat waktu di kelas. Skor terbesar diperoleh pada item 6 yang menunjukkan kelengkapan membawa buku dan alat tulis. Berdasarkan hasil post test Siklus II maka diperoleh 4 orang yang termasuk cukup dalam disiplin belajar, sedangkan 10 orang tergolong baik berperilaku disiplin belajar dan 16 orang tergolong sangat baik dalam berperilaku disiplin belajar. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar (54%) peserta didik kelas 1A sangat baik berperilaku disiplin belajar. Sedangkan 33% prosentase termasuk baik dan sisanya 13% diklasifikan cukup berperilaku disiplin belajar. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 17 Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward Dapat disimpulkan bahwa ada peningkatan prosentase perilaku disiplin belajar dari siklus I ke siklus II. Tabel 3: Jumlah Skor Per Item Post Tes Siklus I Nomor Item Jumlah Skor 1 74 2 67 3 65 4 69 5 48 6 77 7 64 8 66 9 69 10 58 Tabel 2: Klasifikasi Hasil Post Tes Disiplin Belajar Siklus I Jumlah Peserta Siklus I Klasifikasi 1-6 0 Sangat Kurang 0% 2. 7 - 12 0 Kurang 0% 3. 13- 18 8 Cukup 27% 4. 19 - 24 10 Baik 33% 5. 25 - 30 12 Sangat Baik 40% No. 1. Rentang S k or Prosentase Peserta Detail sebaran skor per item post test Siklus II tertera pada tabel 5. Berdasarkan jumlah skor per item hasil post test siklus II maka diperoleh skor terendah sebesar 44 pada item 5 yaitu mengajukan pertanyaan pada guru tentang mata pelajaran yang belum dimengerti. Selanjutnya adalah item 8 sebesar 65 yaitu mengacungkan tangan apabila ada pertanyaan materi pelajaran Nomor Item Jumlah Skor 1 82 2 74 Prosentase Peserta didik 3 71 4 70 Sangat Kurang 0% 5 44 6 93 7 66 Tabel 4: Klasifikasi Hasil Post Tes Disiplin Belajar Siklus II No. Rentang S k or Jumlah Peserta Siklus I 1. 0-6 0 Tabel 5: Jumlah Skor Per Item Post Tes Siklus II Klasifikasi 2. 7 - 12 0 Kurang 0% 3. 13- 18 4 Cukup 13% 8 65 4. 19 - 24 10 B ai k 33% 9 81 5. 25 - 30 16 Sangat Baik 54% 10 66 dari guru. Kemudian item 10 sebesar 66 yaitu menyelesaikan tugas tepat waktu. Besar skor tersebut sama dengan item 7 yaitu mengenai duduk tenang di karpet. Dilanjutkan item 4 18 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 sebesar 70 yang menunjukkan konsentrasi ketika mengerjakan tugas di kelas. Disusul kemudian item 3 sebesar 71 yaitu memperhatikan ketika guru menjelaskan. Selanjunya adalah item 2 Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward sebesar 74 yaitu mengumpulkan PR tepat waktu. Item selanjutnya adalah item 9 sebesar 81 tentang mengerjakan ulangan dan tugas tanpa bantuan siapapun di kelas. Selanjutnya item 1 sebesar 82 mengenai datang tepat waktu di kelas. Skor terbesar adalah 93 pada item 6 yaitu membawa buku dan alat tulis lengkap. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan presentase dari siklus I ke siklus 2. Hal ini dapat digambarkan melalui Tabel 6. Tabel 6: Hasil Post Tes Siklus I dan II Disiplin Belajar di Kelas Siklus I Siklus II No. Kategori 1. Cukup 27 % 54 % 2. Baik 33 % 33 % 3. Sangat Baik 40 % 54 % Prosentase Berdasarkan hasil penelitian di atas maka hipotesis penelitian diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa meningkatkan disiplin belajar dapat secara efektif dilakukan melalui metode reward berjenjang dan konsekuensi logis. Pembahasan Tujuan utama penelitian ini ialah meningkatkan disiplin belajar peserta didik kelas 1A SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya. Untuk mencapai tujuan itu diterapkan metode reward berjenjang dan konsekuensi logis dalam PTK. Dalam dua siklus terlihat perubahan perilaku peserta didik khususnya perbaikan disiplin belajar peserta didik. Disiplin belajar itu ditunjukkan pada sikap peserta didik dalam mengacungkan tangan apabila ada pertanyaan materi pelajaran dari guru, menyelesaikan tugas tepat waktu, duduk tenang di karpet, konsentrasi ketika mengerjakan tugas di kelas, memperhatikan ketika guru menjelaskan, mengumpulkan PR tepat waktu, mengerjakan ulangan dan tugas tanpa bantuan orang lain di kelas, serta datang tepat waktu di kelas. Perbaikan disiplin peserta didik itu menunjukkan bahwa metode reward berjenjang dan konsekuensi dapat diberlakukan kepada peserta didik kelas 1 dengan usia 6 – 7 tahun. Keberhasilan ini berkaitan erat dengan kemampuan guru mempersiapkan desain pembelajaran yang berbasis perilaku individual dan menerapkannya secara konsisten dengan memotivasi peserta didik berperan secara aktif. Keberhasilan metode ini juga sesuai dengan ciri peserta didik dalam usia yang secara psikologis menyenangi dan mengharapkan hadiah (reward) serta menghindari atau takut akan hukuman atas perilaku mereka. Di samping itu pearta didik dalam usia 6 – 7 tahun sangat memerlukan perhatian secara individual. Pendekatan individual yang dilakukan dalam menerapkan metode ini menarik perhatian peserta didik dan membuat suasana pembelajaran menyenangkan. Suasana yang demikian membuat peserta didik aktif, kreatif, dan termotivasi berperilaku seperti yang diharapkan. Dengan demikian perilaku anak – anak dapat dibentuk sehingga mereka mengikuti disiplin belajar yang lebih baik sehingga menjadi suatu kebiasaan. Sungguhpun terjadi perubahan disiplin belajar peserta didik pada Siklus II, tetapi masih terdapat sejumlah kecil peserta didik yang perubahannya baru mencapai tahap cukup (13%). Hal ini menunjukkan, diperlukan perlakuan yang khusus kepada peserta didik itu misalnya dengan perpanjangan waktu, pembelajaran atau teknik pembelajaran yang lebih sesuai dengan karakteristik mereka. Secara keseluruhan, sebagian besar (87 %) dari peserta didik menunjukan perubahan disiplin belajar ke arah yang sangat baik atau baik, sehingga dapat dianggap mencapai kriteria belajar tuntas (mastery learning). Dengan kata lain, ada peningkatan (14%) ke arah baik atau sangat baik di siklus II. Dengan demikian, metode ini dapat dikembangkan untuk membentuk karakter/kepribadian peserta didik dalam aspek lain seperti ketaatan, kesolehan, Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 19 Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward dan kejujuran. Ataupun, melalui berbagai teknik yang berbeda sesuai dengan karakteristik subyek. Simpulan Kesimpulan Metode reward berjenjang dan konsekuensi logis dapat meningkatkan disiplin belajar peserta didik kelas 1A SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya Jakarta. Keberhasilan metode ini ditentukan oleh kemampuan guru dalam mempersiapkan dan melaksanakan proses pembelajaran sehingga membuat pembelajaran menyenangkan serta memotivasi peserta didik berperan aktif. Saran Metode reward berjenjang dan konsekuensi logis dapat diterapkan untuk peserta didik lain yang memiliki karakteristik yang sama dengan saran berikut. Pertama, untuk mendapatkan data yang lebih sahih, instrumen penelitian perlu disempurnakan melalui uji instrumen. Kedua, guru hendaknya menggunakan aneka metode pembelajaran dan sumber belajar yang bervariasi. Ketiga, metode hendaknya diterapkan pada kurun waktu yang tidak akan disela oleh liburan atau masa ujian. Keempat, kerja sama kepala sekolah, guru, serta tenaga pendidikan lainnya di sekolah hendaknya mendukung pelaksanaan metode ini. Daftar Pustaka Desi (2012). Artikel seminar parenting di TKK BPK PENABUR Sukabumi : Pola asuh anak. Akses di http://www.bpkpenabur. or.id/id/node/8861 (Diunduh 5 November 2012) Elly dan Najlah (2011), Artikel : Penerapan konseling kelompok realita untuk meningkatkan disiplin belajar siswa. Universitas negeri Surabaya : Jurnal Volume 12 No 1. http://www. ppb. 20 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 jurnal.unesa.ac.id/75/volume-12-no-1juli-2011. Diunduh 3 September 2012 Gary, & Anne Marrie Ezzo (2001). Membesarkan anak dengan cara Allah (Growing kids God’s way). Jakarta : PT yayasan Bina keluarga Indonesia Gordon T (1996). Mengajarkan anak berdisiplin diri di rumah dan di Sekolah. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama Hidayat (2012). Penelitian tindakan dalam bimbingan dan konseling, Jakarta : PT. Indeks Huda, Muhammad (2009). Skripsi : Penerapan metode reward dalam meningkatkan motivasi belajar matematika siswa Kelas IV. Madrasah Ibtidaiyyah Nahdlatul Ulama (MI NU) Miftahul Huda Jabung Malang. http://www lib.uin-malang.ac.id/ thesis/.../07140065-muhammad-nurulhuda.ps (Diunduh 2 September 2012). La Ode, Deden (2010). Upaya Meningkatkan kedisiplinan siswa Sekolah Dasar. http:// www.dedenbinlaode.web.id/2010/01/ disiplin.html (Diunduh 1 September 2012) Majalah Nakita (2006). Disiplin dengan kasih sayang. Jakarta : PT.Kompas Gramedia Nelsen, James (1997). Disiplin Positif. Jakarta : PT.Delapratasa Novianto,Aryes (2004). Disiplin Belajar. Dipungut 1 September 2012, diakses di http://aryesnovianto.blogspot.com/ 2004/06/pengertan-kedisiplinanbelajar.html?m=1 Prayitno dan Erman Amti (1999). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling Jakarta : PT. Rineka Cipta Triana, I Ktut (2009). Makalah Penelitian : Meningkatkan disiplin dan tanggung jawab siswa melalui sanksi berjenjang pada siswa kelas III SD No I Sanur Tahun Pelajaran 2009/2010. Dipungut 1 September 2012, diakses di KTI Online : Bali Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional . Menurunkan Perilaku Bullying Verbal Penelitian Menurunkan Perilaku Bullying Verbal Melalui Pendekatan Konseling Singkat Berfokus Solusi Dwi Lestari E-mail: [email protected] SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya Jakarta Abstrak enelitian ini bertujuan mengurangi perilaku bullying secara verbal melalui Konseling Singkat Berfokus Solusi di SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya . Bullying verbal meliputi: menyebut nama seseorang dengan sembarangan atau membuat lelucon aneh, cara berpakaian, etnis, gender, orientasi seksual, agama atau ketidakmampuan seseorang. Sementara Konseling Singkat Berfokus Solusi ialah pendekatan konseling yang berasumsi optimis bahwa setiap manusia sehat dan kompeten serta memiliki kemampuan dalam mengonstruk solusi yang dapat meningkatkan kualitas hidupnya dengan optimal. Penelitian mencakup II siklus, setiap siklus terdiri atas empat tahap yaitu: perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Responden penelitian berjumlah enam siswa yang duduk di kelas 6 SD. Analisis hasil penelitian menunjukkan penurunan perilaku bullying secara verbal pada siswa melalui pendekatan konseling singkat berfokus solusi. Berdasarkan pengamatan dan percakapan dalam konseling kelompok terlihat peningkatan pemahaman siswa tentang bullying verbal dan adanya keinginan siswa untuk menghentikan perilaku bullying verbal. Hal ini ditandai dengan meningkatnya skala penilaian diri pada siklus kedua. Perubahan dapat terlihat pada diri siswa meskipun tidak signifikan . P Kata-kata kunci : Bullying verbal , konseling singkat berfokus solusi Decreasing Verbal Bullying Behavior Through The Approach of Solution-Focused Short Counseling Abstract The purpose of this research is to reduce verbal bullying behavior through Solution Focused Brief Counseling Approaches in SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya. Bullying verbal such as calling name in vain or making a weird joke, the way to dress, ethnicity, gender, sexual orientation, religion or disability. While the solution focused brief counseling approach is the counseling approach withon the optimistic assumption that every human being is healthy, competent and has the ability to construct solutions that can improve the quality of life to the optimum. This study covers two cycles, each cycle consisting of four stages, namely planning, action, observation and reflection. Respondents in this study amounted to six students in 6 grade VI. Analysis of the results of this study show impairment of verbal bullying behavior through counseling approach focuses on solutions to the students. Based on observations and conversations in a counseling group saw an increase in students’ understanding of verbal bullying and the desire of students to stop verbal bullying behavior. It is characterized by the increasing scaling question appraisers themselves through an increasing in the second cycle. The next visible change from students although not significantly. Keywords: Verbal bullying, solution focused brief counseling Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 21 Menurunkan Perilaku Bullying Verbal Pendahuluan Manusia merupakan mahluk yang paling indah yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Oleh karena itu, mereka diharapkan dapat menjadi manusia yang seutuhnya. Menurut Frank (dalam Prayitno, 1999 : 21) , ciri-ciri manusia yang dapat berfungsi secara ideal adalah mereka yang mampu mencapai penghayatan yang penuh tentang makna hidup dan kehidupan; mampu bebas memilih dalam bertindak; mampu bertanggungjawab secara pribadi terhadap segala tindakan dan mampu melibatkan diri dalam kehidupan bersama orang lain. Kehidupan bersama orang lain atau lingkungan sosial ialah lingkungan antar manusia yang meliputi pola-pola hubungan sosial yang diharapkan dapat memberi pengaruh positif kepada individu agar mampu mengoptimalkan potensi yang dimilikinya sehingga terbentuklah apa yang dinamakan manusia seutuhnya. Namun pada kenyataannya tidak selamanya lingkungan sosial memberikan pengaruh positif, pengaruh negatif pun kerap dirasakan oleh individu lainnya. Sebagai contoh, dalam kehidupan berkeluarga ketika orang dewasa melakukan tindakkan kekerasan, mengancam dan/atau mengintimidasi seorang anak secara langsung atau tidak. Tindakkan kekerasan, mengancam dan/atau mengintimidasi lebih di kenal dengan istilah bullying. Berdasarkan hasil survei kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2006 (Wedhaswary, 2010), secara nasional telah terjadi sekitar 2,81 juta tindak kekerasan dan sekitar 2,29 juta anak pernah menjadi korban kekerasan. Jika persentase kekerasan 2009 ini dianggap sama dengan 2006, yaitu 3,02 persen, berarti ada lebih kurang 25 juta anak yang pernah mendapat kekerasan1. Berdasarkan hasil pengumpulan data awal yang dilakukan oleh peneliti di SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya di awal tahun 2013, khususnya pada siswa kelas 6, ditemukan data melalui angket yang disebarkan kepada 114 siswa bahwa 85% siswa menyatakan pernah mengalami bullying verbal oleh teman laki-laki sebanyak 88%, teman perempuan 11% dan orangtua sebanyak 1%. Selanjutnya mengenai 22 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 perasaan mereka ketika mengalami bullying verbal, mereka menyatakan 34% siswa merasa biasa saja, 32% siswa merasa marah, 19% siswa merasa sedih dan 15% merasa lainnya seperti sabar, kesal, kecewa ataupun tidak menyukainya. Sedangkan dampaknya bagi siswa yang mengalami bullying verbal di antaranya 35% siswa menjadi tidak percaya diri, 28% siswa ingin membalaskan dendam, 20% siswa merasa konsep dirinya menjadi rusak, 9% siswa menjadi negatif dalam berpikir dan 8% siswa menjadi penakut. Sementara itu, hal ingin siswa lakukan kepada pelaku bullying verbal antara lain siswa menyatakan 48% membiarkan saja, 26% di antaranya ingin membalas perlakuan siswa yang melakukan bullying verbal, 5% ingin memukul atau menghajarnya dan 21% siswa melakukan hal yang lainnya seperti ingin membuat siswa tersebut sadar, mendoakan, ataupun menasehatinya. Kata-kata yang pernah dilontarkan oleh pelaku bullying verbal pun beraneka ragam seperti 25% berkata kasar, 18% berkaitan dengan fisik, 16% menyebutkan nama hewan, 12% mengatakan bodoh, 12% berkaitan dengan seksualitas, 5% berkaitan dengan sifat siswa tersebut, 4% berkaitan dengan SARA dan 8% lainnya seperti nama yang diubah dan menyebutkan nama teman yang sedang disukai oleh siswa yang mengalami bullying verbal. Sedangkan hal yang dilakukan siswa ketika temannya menjadi korban bullying verbal di antaranya 18% siswa menghibur teman tersebut, 32% diam, 1% siswa ikut mengejek dan 49% ingin membelanya dengan melakukan bullying verbal lainnya. Selanjutnya hal yang perlu mendapat perhatian kita bersama dari pengumpulan data awal ini adalah 8 dari 10 siswa merupakan pelaku verbal bullying itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk membantu siswa memiliki kebiasaan saling mengasihi dan menghargai baik melalui kata maupun melalui perilaku siswa dengan menghentikan atau meminimalkan bullying verbal di sekolah sehingga diharapkan siswa dapat lebih memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya melalui lingkungan yang positif dan menjadi manusia yang seutuhnya. Peneliti memilih teknik konseling dengan pendekatan Konseling singkat berfokus solusi (Solution Fo- Menurunkan Perilaku Bullying Verbal cus Brief Counseling), salah satu teknik pendekatan konseling postmodern. Pemilihan teknik ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa bullying verbal harus segera diminimalkan atau dihentikan mengingat ada banyak siswa yang pernah mengalami bahkan menjadi pelaku bullying verbal khususnya di kelas 6 SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya. Peneliti memilih beberapa siswa kelas 6 dikarenakan menurut beberapa siswa dan guru, siswa yang yang terlibat dalam konseling kelompok ini merupakan siswa yang paling kerap melakukan bullying verbal, dengan demikian diharapkan siswa yang melakukan konseling kelompok dapat menjadi contoh dan membawa pengaruh yang baik bagi siswa lainnya. Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tindakan bimbingan konseling dalam layanan konseling kelompok di SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya, dengan mengambil judul Menurunkan Perilaku Bullying Verbal Melalui Pendekatan Konseling Singkat Berfokus Solusi di SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya. Sebuah tindakkan yang dilakukan untuk menurunkan permasalahan bullying verbal adalah dengan menggunakan pendekatan konseling singkat berfokus solusi dalam layanan konseling kelompok khususnya pada siswa kelas 6. Identifikasi Masalah 1. Bagaimana dampak perilaku bagi siswa yang mengalami bullying verbal? 2. Bagaimanakah cara menurunkan verbal bullying pada siswa kelas 6 SDK PENABUR Bintaro? 3. Apakah pendekatan konseling berfokus pada solusi dapat menurunkan perilaku bullying verbal siswa? Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, masalah dalam penelitian ini dirumuskan adalah “Bagaimana menggunakan pendekatan konseling singkat berfokus pada solusi dapat menurunkan perilaku bullying verbal pada siswa kelas 6 SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya?” Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ada maka tujuan penelitian ini adalah menurunkan perilaku bullying verbal melalui pendekatan konseling singkat berfokus solusi pada 6 siswa di SDK BPK PENABUR Bintaro. Manfaat Penelitian Bagi siswa, penelitian tindakan ini diharapkan dapat membantu membiasakan diri untuk berkata-kata yang positif sehingga dapat menurunkan perilaku bullying verbal. Bagi guru dan orangtua, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah masukan untuk menangani siswa yang memiliki kecenderungan melakukan bullying verbal. Indikator Keberhasilan Berdasarkan paparan di atas, maka indikator keberhasilan penelitian ini adalah siswa dapat mengikuti konseling kelompok dengan aktif serta adanya penurunan jumlah siswa yang melakukan bullying verbal berdasarkan observasi dan wawancara dari siswa yang bersangkutan ataupun dari siswa lainnya. Kajian Pustaka Hakekat Perilaku Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Perilaku berarti tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (Depdiknas, 2001). Kuntjojo (2009) mengutip pendapat Skinner yang menyatakan bahwa tingkah laku adalah respon yang dihasilkan organisme untuk menjawab stimulus yang secara spesifik berhubungan dengan respon itu1. Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku adalah tanggapan atau respon seseorang terhadap rangsangan dari luar. Hakekat Bullying Verbal Bullying verbal atau intimidasi secara lisan adalah salah satu jenis bullying yang sulit terdeteksi karena serangannya lebih banyak terjadi bila tidak ada orang dewasa disekitarnya. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 23 Menurunkan Perilaku Bullying Verbal Intimidasi ini memang tidak meninggalkan kerusakan fisik, tetapi tipe intimidasi ini dapat mengakibatkan dampak psikologis yang dalam pada korbannya. Bullying verbal terjadi ketika seseorang menggunakan bahasa lisan untuk mendapatkan kekuasaan atas korbannya. Bullying verbal meliputi menggoda, memberikan nama panggilan, membuat komentar seksual yang tidak pantas, mengejek, dan mengancam. Orang tua dan guru tidak selalu tanggap akan tipe intimidasi ini karena tidak ada bukti kerusakan fisik dan si korban mungkin terlalu takut untuk berterus terang. WL Voor mengatakan: “Verbal Bullying is by far the most common form throughout the school years. Hurtful names or cruel jokes about idiosyncrasies, appearance, clothes, ethnicity, race, gender, sexual orientation, religion or disabilities are all forms of bullying verbal”2. Bullying verbal kerap ditemui di sekolah. Menyebut nama dengan sembarangan atau membuat sebagai lelucon yang aneh, cara berpakaian, etnis, gender, orientasi seksual, agama atau ketidakmampuan merupakan semua bentuk bullying verbal. Hakekat Pendekatan Konseling Singkat Berfokus Solusi Nama pendekatan konseling ini adalah Solution Focus Brief Counseling (SFBC). SFBC adalah suatu konseling singkat yang dibangun atas potensi konseli yang sebenarnya mampu mengkonstruksi solusi dari masalahnya. SFBC dibangun atas dasar asumsi optimis bahwa setiap manusia adalah sehat dan kompeten serta memiliki kemampuan dalam mengkonstruk solusi yang dapat meningkatkan kualitas hidupnya dengan optimal. Asumsi pokok dalam SFBC ini bahwa kita memiliki kemampuan untuk mengatasi tantangan hidup, walaupun kadang-kadang kita mungkin kehilangan arah atau kesadaran tentang kemampuan kita. a. Hakekat Manusia Konseling berfokus solusi tidak mempunyai pandangan komprehensif tentang sifat manusia, tetapi berfokus pada kekuatan dan kesehatan konseli. Konseling berfokus solusi menganggap manusia bersifat konstruktivis. Sehingga, 24 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 konseling berfokus solusi didasarkan pada asumsi bahwa manusia benar-benar ingin berubah dan perubahan tersebut tidak terelakkan. b. Perkembangan perilaku 1. Struktur Kepribadian Struktur kepribadian manusia berdasarkan teori SFBC adalah sebagai berikut: a. SFBC tidak menggunakan teori kepriba-dian dan psikopatologi yang ada saat ini. b. Konselor tidak bisa memahami secara pasti tentang penyebab masalah individu. c. Konselor perlu tahu apa yang membuat orang memasuki masa depan yang lebih baik dan sehat, yaitu tujuan yang lebih baik dan sehat. d. Individu tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi bisa mengubah tujuannya e. Tujuan yang lebih baik dapat mengatasi masalah dan mengantarkan masa depan yang lebih produktif. f. Konselor perlu mengetahui karakteristik tujuan konseling yang baik dan produktif, proses positif, saat ini, praktis, spesifik, kendali konseli dan bahasa konseli.g. Sebagai ganti teori kepribadian dan psikopatologi, masalah dan masa lalu, SFBC berfokus pada saat ini yang dipandu oleh tujuan positif yang spesifik yang dibangun berdasarkan bahasa konseli dan dibawah kendalinya. 2. Pribadi Sehat dan Bermasalah Pribadi sehat berdasarkan teori SFBC adalah: a. Manusia pada dasarnya kompeten, memiliki kapasitas untuk membangun, merancang/ merekonstruksikan solusisolusi sehingga mampu menyelesaikan masalahnya b. Tidak berkutat pada masalah, tetapi fokus pada solusi dan bertindak mewujudkan solusi yang diinginkan Pribadi bermasalah menurut SFBC adalah: a. Mengkonstruk kelemahan diri. Dengan cara mengkonstruk cerita yang diberi label “masalah” dan meyakini bahwa ketidakbahagiaan berpangkal pada dirinya. b. Berkutat pada masalah dan merasa tidak mampu menggunakan solusi yang dibuatnya. Menurunkan Perilaku Bullying Verbal c. Hakikat Konseling Walter dan Peller3 berpikir mengenai konseling berfokus solusi sebagai model yang menerangkan bagaimana orang berubah dan bagaimana mereka dapat meraih tujuan mereka. Berikut ini beberapa asumsi dasar SFBC: a. Individu-individu yang datang konseling telah mempunyai kemampuan berperilaku efektif, meskipun keefektifan tersebut mungkin untuk sementara terhambat oleh pikiran negatif. Pikiran berfokus masalah mencegah orang dari mengenali cara efektif mereka dalam menangani masalah b. Ada keuntungan untuk fokus positif pada solusi dan di masa depan. Jika konseli dapat mereorientasi diri mereka dengan mengarahkan kekuatan mereka menggunakan “ solution –talk” , merupakan suatu kesempatan bagus dalam konseling singkat c. Proses konseling diorientasikan pada peningkatan kesadaran eksepsi (harapanharapan yang menyenangkan) terhadap pola masalah yang dialami dan pemilihan proses perubahan. d. Konseli sering mengatakan satu sisi dari diri mereka. SFBC mengajak konseli untuk memerika sisi lain dari cerita hidupnya yang disampaikan. e. Perubahan kecil membuka jalan bagi perubahan besar. Seringkali, perubahan kecil adalah semua yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang dibawa konseli ke konseling. f. Konseli ingin berubah, memiliki kemampuan untuk berubah, dan melakukan yang terbaik untuk membuat perubahan terjadi. Konseli harus mengambil sikap kooperatif dengan konseli daripada merancang strategi sendiri untuk mengendalikan hambatan. Ketika konselo mencari cara untuk kooperatif dengan konseli, maka perlawanan/ resistensi tidak akan terjadi. Konseli bisa percaya pada niat mereka untuk menyelesaikan masalah mereka. Tidak ada solusi yang “benar” untuk masalah spesifik yang dapat diaplikasikan pada semua orang. Setiap individu unik dan begitu juga pada setiap penyelesaian masalahnya. Kondisi Pengubahan Bertolino dan O’Hanlon menekankan pentingnya membuat kolaborasi hubungan terapeutik dan perlu dilakukan untuk keberhasilan konseling. Diakui bahwa konselor memiliki keahlian dalam menciptakan konteks untuk perubahan, mereka menekankan bahwa konseli adalah ahli dalam kehidupan mereka dan sering memiliki perasaan yang bagus tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan di masa lalu dan begitu juga apa yang mungkin dilakukan di masa depan. SFBC mengasumsikan pendekatan kolaboratif dengan konseli berbeda dengan sikap edukatif yang biasanya dikaitkan dengan model terapi tradisional. Jika konseli terlibat dalam proses terapeutik dari awal sampai akhir, perubahan meningkat sehingga konseling akan sangat berhasil. Singkatnya, hubungan kolaborasi dan kooperatif cenderung lebih efektif dari pada hubungan hierarki dalam konseling4. Tujuan SFBC menawarkan beberapa bentuk tujuan: a. Mengubah cara pandang situasi atau kerangka pikir. b. Mengubah situasi masalah dan menekankan pada kekuatan dan sumber daya konseli. c. Konseli didorong untuk terlibat dalam perubahan atau “ solution talk”, dari pada “ problem talk” dengan asumsi bahwa apa yang dibicarakan adalah sebagian besar apa yang akan dihasilkan. d. Berbicara tentang perubahan dapat menghasilkan perubahan. Secepat individu belajar untuk berbicara dalam istilah kemampuan dan kompetensi mereka, apa sumber daya dan kekuatan yang mereka miliki, dan apa yang siap mereka lakukan dan mengerjakannya, mereka dapat mencapai hal utama dalam konseling. Sikap, Peran, dan Tugas Konselor a. Mengidentifikasi dan memandu konseli mengeksplorasi kekuatan-kekuatan dan kompetensi yang dimiliki konseli. b. Membantu konseli mengenali dan membangun perkecualian-perkecualian Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 25 Menurunkan Perilaku Bullying Verbal pada masalah, yaitu saat-saat ketika konseli telah melakukan (memikirkan, merasakan) sesuatu yang mengurangi atau membatasi dampak masalah. c. Melibatkan konseli untuk berpikir tentang masa depan mereka dan apa yang mereka inginkan yang berbeda di masa depan. d. Konselor mengambil posisi “tidak mengetahui” untuk meletakkan konseli pada posisi sebagai ahli mengenai kehidupan mereka sendiri. Konselor tidak mengasumsikan diri sebagai ahli yang mengetahui tindakan dan pengalaman konseli. e. Membantu konseli dalam mengarahkan perubahan tetapi tidak mendikte konseli apa yang ingin diubah. f. Konselor berusaha membentuk hubungan yang kolaboratif dan menciptakan suatu iklim yang respek, saling menghargai dan membangun suatu dialog yang bisa menggali konseli untuk mengembangkan kisah-kisah yang mereka pahami dan hayati dalam kehidupan mereka. g. Konsisten dalam membantu konseli berimajinasi bagaimana mereka menginginkan hal yang berbeda dan apa yang akan dilakukan untuk membawa perubahan tersebut terjadi dengan menanyakan “ apa yang Anda inginkan dari datang kesini?”, “apa yang akan membuat perbedaan untukmu?” dan “ apa kemungkinankemungkinan yang Anda tandai bahwa perubahan yang Anda inginkan terjadi? Sikap, Peran, dan Tugas Konseli a. Mau dan mampu berkolaborasi dengan konselor. b. Aktif terlibat dalam proses konseling c. Memiliki motivasi untuk menyelesaikan masalah. Mekanisme Pengubahan Berikut ini tahap-tahap konseling5: 1. Tahap konseling a. Establishing rapport, yaitu pembentukan hubungan baik agar proses konseling berjalan lancar seperti yang diharapkan dan agar tercipta iklim yang kolaboratif 26 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 antara konselor dengan konseli. b. Identifying a solvable complaint, yaitu mengidentifikasi keluhan-keluhan yang akan dipecahkan. c. Establishing goals atau menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam proses konseling. d. Designing an intervention atau merancang intervensi. e. Strategic task that promote change. Yaitu tugas tertentu yang diberikan oleh konselor untuk mendorong perubahan. f. Stabilization atau stabilisasi. g. Termination. Pada tahap terminasi, ciriciri pertanyaan yang diajukan konselor untuk mengidentifikasi keberhasilan knseling yaitu: “ apa hal berbeda yang diperlukan dalam hidup Anda yang dihasilkan dengan datang kemari sehingga Anda mengatakan bahwa pertemuan kita bermanfaat?”, dan “ ketika masalah Anda teratasi, hal berbeda apa yang akan Anda lakukan?”. 2. Teknik Konseling a. Exeption-Finding Questions: Pertanyaan tentang saat-saat dimana konseli bebas dari masalah. SFBC didasarkan pada gagasan dimana ada saat-saat dalam hidup konseli ketika masalah yang mereka identifikasi tidak bermasalah. b. Miracle Questions: Pertanyaan yang mengarahkan konseli berimajinasi apa yang akan terjadi jika suatu masalah dialami secara ajaib terselesaikan. c. Scaling Questions: Pertanyaan yang meminta konseli menilai kondisi dirinya (masalah, pencapaian tujuan) berdasarkan skala 1-10. d. Coping Questions: Pertanyaan yang meminta konseli mengemukakan pengalaman sukses dalam menangani masalah yang dihadapi. e. Compliments: Pesan tertulis yang dirancang untuk memuji konseli atas kelebihan, kemajuan, dan karakteristik positif bagi pencapaian tujuannya. Menurunkan Perilaku Bullying Verbal Hakekat Layanan Konseling Kelompok Layanan konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis, terpusat pada pikiran dan perilaku yang disadari, dibina, dalam suatu kelompok kecil mengungkapkan diri kepada sesama anggota dan konselor, dimana komunikasi antar pribadi tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan diri terhadap nilai-nilai kehidupan dan segala tujuan hidup serta untuk belajar perilaku tertentu ke arah yang lebih baik (Winkel dan Hastuti, 2004:198). Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian pustaka yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut: Penerapan pendekatan konseling berfokus pada solusi dalam layanan konseling kelompok menurunkan perilaku bullying verbal pada siswa kelas 6 SDK BPK PENABUR Bintaro. Metodelogi dan Prosedur Penelitian Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian tindakan bimbingan konseling (action research), yaitu salah satu strategi pemecahan masalah yang memanfaatkan tindakan nyata dan proses pengembangan kemampuan dalam memecahkan masalah. Penelitian ini mengacu pada model penelitian tindakan Stephen Kemmis yang melibatkan empat tahap, terdiri atas perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Keempat tahap itu berupa untaian putaran kegiatan yang disebut sebagai siklus. Subjek dan Tempat Penelitian Subyek penelitian adalah siswa kelas 6 di SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya yang berjumlah 6 siswa yang terdiri dari kelas 6A dan 6D. SDK BPK PENABUR Bintaro adalah salah satu sekolah swasta di kota Tangerang Selatan yang dikelola olah Yayasan BPK PENABUR Jakarta yang beralamat di Jl. Panglima Polim A6 No. 1 Pondok Aren, Tangerang. Prosedur Penelitian a. Rencana Tindakan Pada kegiatan penelitian, rencana tindakan ini merupakan prosedur awal dari sebuah siklus. Langkah perencanaan yang dilakukan adalah: 1. Merencanakan layanan konseling kelompok dengan pendekatan berfokus solusi seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1: Perencanaan Layanan Konseling Kelompok dengan Pendekatan Konseling Berfokus Solusi No Tahapan Konseling Bentuk Kegiatan 1. Establishing Rapport Guru dan siswa melakukan pembentukan hubungan agar tercipta iklim yang kolaboratif antara guru dan siswa. 2. Identifiying a solvable complaint Siswa mengidentifikasi keluhan-keluhan yang akan dipecahkan. 3. Establising goals Siswa menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam proses konseling. 4. Deigning an intervention Guru merancang intervensi. Strategic task promote Guru memberikan tugas untuk mendorong perubahan. 5. change 6. Identitiying & emphazing new behavior & change Guru menugaskan siswa mengidentifikasi dan menguarkan perilaku baru dan perubahan. 7. Stabilazation Guru menugaskan siswa melakukan stabilisasi. 8. Termination Guru memberikan pertanyaan kepada siswa mengenai hasil konseling. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 27 Menurunkan Perilaku Bullying Verbal 2. Mengembangkan skenario layanan konseling kelompok Peneliti membuat skenario layanan konseling kelompok dengan pendekatan konseling berfokus solusi adalah Establishing Rapport, Identifiying a solvable complaint, Establising goals, Designing an intervention, Strategic task promote change, Identifiying & emphasizing new behavior & change, Stabilazation, Termination. Untuk siklus I, direncanakan tindakan seperti tertera pada Tabel 2. tidakan. Pengamatan ini dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu pengamatan terhadap proses dan hasil. Tabel 3 menunjukkan instrumen yang digunakan dalam penelitian tindakan ini. d. Refleksi Pada setiap akhir satu siklus implementasi tindakan konseling, hasil pengumpulan data observasi dan wawancara serta angket kemudian direfleksi, dicek ulang dan dianalisi serta diinterpretasikan, kemudian disimpulkan Tabel 2: Perencanaan Tindakan Siklus I No. Tahapan Konseling Bentuk Kegiatan 1. Establishing Rapport Guru mengenalkan bullying verbal dan menggali perasaan siswa ketika menjadi pelaku bullying verbal 2. Identifiying a solvable complaint Melakukan indentifikasi mengenai keluhan-keluhan yang dialami siswa dan lingkungan sekolah 3. Establising goals Menetapkan tujuan berkaitan dengan perilaku bullying verbal 4. Deigning an intervention Memberikan intervensi berkaitan dengan bullying verbal seperti pemberian informasi, nasehat dan contoh 5. Strategic task promote change Memberikan penugasan kepada siswa mengenai perubahan yang siswa inginkan mengenai bullying verbal 6. Identitiying & emphazing new behavior & change Mengidentifikasi perilaku baru yang siswa lakukan mengenai bullying verbal 7. Stabilazation Memberikan pertanyaan skala mengenai perubahan yang terjadi pada dirinya 8. Termination Menggali pengalaman siswa terhadap layanan konseling dan hasilnya bagi dirinya b. Pelaksanaan Tindakan Dalam penelitian ini, peneliti menyajikan topiktopik bahasan tertentu ada setiap pertemuan sebagai sarana untuk menurunkan perilaku bullying verbal pada siswa. c. Observasi Peneliti menyiapkan lembar obsevasi dan angket untuk merekam data proses dan dampak tindakan yang dilakukan. Pengamatan ini dilakukan sepanjang peneliti melakukan 28 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 pemaknaannya. Hasil refleksi tersebut digunakan untuk perencanaan tindakan pada siklus selanjutnya. Refleksi dilakukan berdasarkan data-data yang didapat selama melakukan penelitian. Data hasil selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui sejauhmana tindakan berpengaruh pada penyelesa-ian masalah. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam analisis pada tahap refleksi ini ialah menggolongkan data berdasarkan inidikator keberhasilan, baik proses maupun hasil. Menurunkan Perilaku Bullying Verbal Tabel 3: Instrumen yang digunakan dalam penelitian tindakan Hipotesis Tindakan Penerapan pendekatan konseling berfokus pada solusi dalam layanan konseling kelompok dapat menurunkan perilaku bullying verbal Indikator Keberhasilan Data Alat Perekam Data Proses Prosedur pelaksanaan oleh guru BK. Pelaksanaan kegiatan. Pedoman Observasi Keaktifan siswa. Frekuensi sikap siswa dalam konseling. Pedoman Observasi Tanggapan siswa terhadap kegiatan yang diikuti. Prosentase siswa yang senang mengikuti konseling kelompok. Angket Skor angket mengenai bullying verbal dan perubahan diri. Angket Hasil Pemahaman mengenai bullying verbal. Hasil Penelitian dan Pembahasan Siklus I Perencanaan Peneliti terlebih dahulu membuat perencanaan tindakan yang akan dilakukan saat konseling kelompok, seperti tertera dalam Tabel 4. Pelaksanaan Tindakan Siklus I dilaksanakan pada tanggal 4 dan 12 Februari 2013 dengan jumlah pertemuan sebanyak dua kali, masing-masing pertemuan dialokasikan waktu selama 20 menit setelah pulang sekolah. Konseling kelompok ini dilakukan secara berkesinambungan, artinya antara pertemuan yang pertama sampai yang ketiga saling berkaitan tetapi berbeda pembahasannya. Pengamatan Berdasarkan pertemuan pertama dan kedua, peneliti mengamati bahwa siswa cukup aktif memberikan tanggapannya, siswa dengan perlahan tapi pasti mengungkapkan hal-hal yang dianggap sebagai bagian dari perilaku bullying verbal. Hal yang terlihat pada saat awal pertemuan siswa merasa malu-malu dan takut ketika ingin berpendapat. Bahkan beberapa kali didapati siswa saling memandang satu dengan yang lain, namun ketika diberikan penjelasan mengenai bullying verbal, ada 3 siswa, yaitu GB, WL dan TM yang menundukkan kepalanya, sesekali mereka menganggungkan kepalanya. Tabel 5 menggambarkan hasil observasi pertemuan 1 dan 2 dalam bentuk pedoman observasi chek list dengan aspek yang diamati ialah sikap siswa dalam konseling kelompok. Refleksi Siklus I Refleksi siklus I dilakukan setelah selesai melakukan konseling kelompok melalui pendekatan konseling singkat berfokus solusi. Didapati hasil refleksi sebagai berikut. 1. Respon siswa berbeda-beda ada yang memang tertarik untuk membahas pertemuan, ada pula siswa yaitu JS memiliki kecenderungan kurang tertarik terhadap konseling kelompok yang dilakukan, namun dalam dua kali pertemuan seluruh peserta hadir mengikuti konseling kelompok. 2. Dari skala pengukuran yang dikatakan siswa nampaknya masih diperlukan perubahan yang lebih signifikan sehingga diharapkan siswa dapat benar-benar menurunkan perilaku bullying verbal. 3. Pertanyaan-pertanyaan yang dipakai dalam konseling kelompok dengan pendekatan konseling singkat berfokus Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 29 Menurunkan Perilaku Bullying Verbal Tabel 4: Perencanaan Konseling Kelompok dengan Pendekatan Konseling Singkat Berfokus Solusi No. Tahapan Konseling Bentuk Kegiatan Guru dan siswa melakukan pembentukan hubungan agar tercipta iklim yang kolaboratif antara guru dan siswa. Establishing Rapport 2. Identifiying a Siswa mengidentifikasi solvable keluhan-keluhan yang c omplaint akan dipecahkan. 3. Establising goals Siswa menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam proses konseling. Menetapkan tujuan berkaitan dengan perilaku bullying verbal 4. Deigning an intervention Guru merancang intervensi. Memberikan informasi, nasehat dan contoh berkaitan dengan bullying verbal 5. Strategic task Guru memberikan tugas promote untuk mendorong c hange perubahan. 6. Identitiying & emphazing new behavior & c hange Guru menugaskan siswa mengidentifikasi dan menguarkan perilaku baru dan perubahan. 7. Stabilazation Guru menugaskan siswa melakukan stabilisasi. 8. Termination Guru memberikan pertanyaan kepada siswa mengenai hasil konseling. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Pertemuan pertama Dengan alokasi waktu 20 menit Topik Bahasan / Tema 1. solusi seharusnya lebih banyak dilontarkan sebagai teknik konseling, agar terlihat perbedaan yang signifikan antara pendekatan konseling singkat berfokus solusi dengan pendekatan konseling lainnya. Berdasarkan refleksi yang dilakukan oleh peneliti, maka perlu dilakukan siklus II 30 Alokasi Waktu Mengenal Bullying verbal dan menggali perasaan siswa ketika menjadi pelaku bullying verbal Melakukan indentifikasi mengenai keluhan-keluhan yang dialami siswa dan lingkungan sekolah Memberikan penugasan kepada siswa mengenai perubahan yang siswa inginkan mengenai bullying verbal Mengidentifikasi perilaku baru yang siswa lakukan mengenai bullying verbal Pertemuan ke d u a dengan alokasi waktu 20 menit Memberikan pertanyaan skala mengenai perubahan yang terjadi pada dirinya Menggali pengalaman siswa terhadap layanan konseling dan hasilnya bagi dirinya untuk memperbaiki proses layanan konseling sehingga diharapkan layanan ini dapat lebih bermakna bagi siswa dan melalui siswa yang melakukan konseling kelompok ini, siswa dapat menjadi teladan dan membawa pengaruh positif bagi temanteman yang lain. Menurunkan Perilaku Bullying Verbal Tabel 5: Hasil Pedoman Observasi Siklus I No Pernyataan/Indikator GB WL JS TM YR BL V V V 1. Siswa melakukan penugasan yang diberikan guru V V V 2. Siswa aktif memberikan jawaban ketika ditanya guru/konselor V V - 3. Siswa memperhatikan ketika guru/teman yang lainnya sedang berbicara - - - V V V 4. Siswa aktif bertanya/memberikan tanggapan/pendapat V V - - - V 5. Siswa menyanggah pendapat dengan baik - - - - - - 6. Siswa mengerjakan skala penilaian dengan b ai k V V V V V V 7. Siswa melakukan penugasan yang diberikan guru V V V V V V 8. Siswa tidak melakukan bullying verbal terhadap teman selama konseling berlangsung - - - - Jumlah Skor 5 5 3 4 62% 65% Analisa Hasil: P = f/N x 100 % V V - 5 3,75% 50% 62,5% Jumlah Skor Maksimal - 5 62,5% 8 Keterangan: P = Perilaku, f=Frekeuensi Sikap yang Nampak, N=Skor Maksimal Kriteria: 10% - 50 % : Kurang berpartisipasi aktif 51% - 80 % : Cukup berpartisipasi aktif 81% - 100% : Berpartisipasi aktif Siklus II Berdasarkan refleksi yang peniliti lakukan pada siklus I, maka peneliti memutuskan untuk memberbaiki teknik-teknik konseling kelompok dengan pendekatan konseling singkat berfokus solusi. Sebagaimana siklus I, Siklus II ini juga terdiri atas empat kegiatan utama yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Tabel 5 menunjukkan hasil penelitian pada siklus II. Perencanaan Berdasarkan siklus I, Peneliti menyusun kembali perencanaan tindakan yang akan dilakukan saat konseling kelompok, kali ini pada awal pertemuan peniliti hendak menyiapkan puzzle yang terbuat dari kayu dan berbentuk bola sebagai salah satu cara untuk membangun hubungan yang lebih akrab dengan siswa sehingga siswa dapat lebih terbuka dalam berpendapat dan termotivasi untuk menemukan Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 31 Menurunkan Perilaku Bullying Verbal Tabel 6: Perencanaan Konseling Kelompok dengan Pendekatan Konseling Singkat Berfokus Solusi No. 32 T ah ap an Konseling Bentuk Kegiatan Guru menyediakan potongan puzzle dan meminta siswa secara bersama menyelesaikannya dengan membentuk bola Alokasi Waktu 1. Establishing Rapport 2. Identifiying a Meminta siswa solvable mengidenfikasi perilaku c omplaint bullying verbal yang masih mereka lakuan 3. Establising goals Siswa kembali menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam proses konseling Menetapkan kembali tujuan berkaitan dengan perilaku bullying verbal 4. Deigning an intervention Siswa mencari cara-cara yang patut dipergunakan untuk perbaikan perilaku Memberikan informasi,nasehat dan contoh yang berkaitan dengan bullying verbal 5. Strategic task Guru kembali memberikan tugas untuk promote mendorong perubahan c hange perilaku 6. Identitiying & emphazing new behavior & c hange Guru kembali menugaskan siswa mengidentifikasi dan menguarkan perilaku baru dan perubahan 7. Stabilazation Guru menugaskan siswa melakukan perubahan secara konsisten dan terus-menerus 8. Termination Guru kembali memberikan pertanyaan kepada siswa mengenai hasil konseling Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Pertemuan pertama Dengan alokasi waktu 30 menit Topik Bahasan / Tema Menjelaskan kembali bullying verbal dan meyakinkan kembali bahwa mereka mampu mengurangi bahkan menghentikan perilaku bullying verbal sama halnya dengan mereka mampu menyelesaikan tugas puzzle Menentukan kembali indentifikasi mengenai perilaku bullying verbal yang masih dilakukan siswa Memberikan penugasan kepada siswa mengenai perubahan yang siswa inginkan mengenai bullying verbal Mengidentifikasi perilaku baru yang siswa lakukan mengenai bullying verbal Pertemuan ke d u a dengan alokasi waktu 20 menit Memberikan pertanyaan skala mengenai perubahan yang terjadi pada dirinya Menggali pengalaman siswa terhadap layanan konseling dan hasilnya bagi dirinya Menurunkan Perilaku Bullying Verbal solusi dan akhirnya siswa diharapkan mampu menyelesaikan persoalannya, yaitu perilaku bullying verbal. Pelaksanaan Tindakan Pelaksanaan siklus II pada penelitian ini dilakukan pada tanggal 15 & 20 Februari 2013 dengan jumlah pertemuan sebanyak dua kali. Berdasarkan siklus I, ternyata waktu konseling kelompok dirasakan kurang sukup, terlebih pada pertemuan ketiga ini kegiatan akan diawali dengan menyusun puzzle yang cukup sulit. Oleh karena itu diberikan penambahan waktu pada pertemuan ketiga, namun pertemuan keempat masih dialokasikan waktu selama 20 menit. Seperti halnya pada siklus I, Siklus II ini melakukan konseling kelompok secara berkesinambungan, artinya antara pertemuan yang pertama sampai yang ketiga saling berkaitan tetapi berbeda pembahasannya. 2. Pengamatan Pada siklus kedua ini tampak siswa lebih antusias, misalnya ketika diberikan puzzle mereka bersama berusaha untuk menyelesaikan dengan saling memberikan pendapat. Seluruh Tabel 7: Hasil Pedoman Observasi Siklas No Pernyataan/Indikator GB WL JS TM YR BL 1. Siswa datang sesuai dengan waktu yang disepakati V V V V V V 2. Siswa aktif memberikan jawaban ketika ditanya konselor V V - V V V 3. Siswa memperhatikan ketika guru/teman yang lainnya sedang berbicara V V - V 4. Siswa aktif bertanya/memberikan tanggapan/pendapat V V - - V V 5. Siswa menyanggah pendapat dengan baik V - - V V V 6. Siswa mengerjakan skala penilaian dengan baik V V V V V V 7. Siswa melakukan penugasan yang diberikan guru V V V V V V 8. Siswa tidak melakukan bullying verbal terhadap teman selama konseling berlangsung - V V V V - Jumlah Skor 7 7 4 6 8 6 87,5% 87,5% 50% 75% 100% 75% Analisa Hasil: P = f/N x 100 % Jumlah Skor Maksimal V - 8 Keterangan: P = Perilaku, f=Frekeuensi Sikap yang Nampak, N=Skor Maksimal Kriteria: 10% - 50 % : Kurang berpartisipasi aktif 51% - 80 % : Cukup berpartisipasi aktif 81% - 100% : Berpartisipasi aktif Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 33 Menurunkan Perilaku Bullying Verbal siswa berusaha untuk memberikan pendapatnya. GB, WL, YR, BL dan TM beberapa kali mengungkapkan pendapatnya, sedangkan JS terlihat lebih sering melihat teman-temannya seolah-olah menyetujui pendapat mereka. Siswa kerap berpendapat dengan kalimat-kalimat yang singkat dan menggunakan gaya bahasa siswa. Namun secara keseluruhan, sikap siswa baik ketika memperhatikan penjelasan dan pertanyaan yang dilontarkan guru. Setelah proses konseling kelompok, beberapa hari kemudian secara random guru menanyakan kepada siswa kelas 6 mengenai siswa yang mengikuti konseling kelompok, Siswa yang ditanyakan memberikan respon yang positif, dengan mengatakan, “Iya bu, dia udah berubah”, namun ketika menyebut salah seorang nama siswa yang mengikuti konseling kelompok, siswa yang ditanyakan mengatakan “Wah, kalau itu sih masih suka kasar Bu ngomongnya”. Tabel 7 menjelaskan hasil observasi pertemuan 3 dan 4 dalam bentuk pedoman observasi chek list dengan aspek yang diamati ialah sikap siswa dalam konseling kelompok. c. d. e. Pertanyaan-pertanyaan yang dipakai dalam konseling kelompok dengan pendekatan konseling singkat berfokus solusi sudah lebih banyak dilontarkan sebagai teknik konseling, sehingga sudah cukup terlihat perbedaan yang signifikan antara pendekatan konseling singkat berfokus solusi dengan pendekatan kaonseling lainnya. Berdasarkan informasi dari siswa yang tidak mengikuti konseling kelompok secara random, maka didapatkan informasi bahwa terjadi perubahan perilaku pada siswa, meskipun belum semua siswa yang mengikuti konseling kelompok. Berdasarkan refleksi pada siklus II yang dilakukan oleh peneliti, maka dirasakan cukup melakukan layanan konseling kelompok kali ini. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian siklus I dan II, maka diperoleh kesimpulan bahwa terdapat penurunan perilaku bullying verbal memalui pendekatan konseling berfokus pada solusi pada siswa. Berdasarkan pengamatan dan percakapan dalam konseling kelompok terlihat peningkatan pemahaman siswa terhadap bullying verbal serta keinginan siswa untuk menghen- Refleksi Siklus II Setelah melakukan siklus II dengan dua kali pertemuan, guru merasakan adanya perubahan jika dibandingkan dengan siklus yang pertama, adapun refleksi pada siklus II ini adalah sebagai berikut: a. Respon siswa dirasakan lebih baik pada Tabel 8: Perbandingan Hasil Obsevasi dan Penilaian Diri siklus II ini, siswa Siklus 1 dan Siklus 2 lebih berani mengSiklus 1 Siklus 2 ungkapkan pendaNama patnya dan lebih Hasil *Hasil Skala Hasil *Hasil Skala Siswa No yakin akan perubaObservasi Penilaian diri Observasi Penilaian diri han perilaku yang 1. GB 62,5 % 4 87,5% 7 dilakukannya. b. Dari skala pengukur2. WL 62,5 % 5 87,5% 7 an yang dikatakan 3. JS 37,5% 6 50% 7 siswa terdapat perubahan yang lebih 4. TM 50% 6 75% 7 signifikan sehingga diharapkan siswa 5. YR 62,5% 5 100% 8 dapat benar-benar BL menurunkan perilaku 6. 62,5% 4 75% 7 bullying verbal. * Skala Penilaian Diri = 1 - 10 34 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Menurunkan Perilaku Bullying Verbal tikan perilaku bullying verbal. Hal ini ditandai dengan meningkatnya penilai diri melalui scalling question yang makin meningkat di siklus kedua. Selanjutnya terlihat perubahan dari siswa meskipun belum secara signifikan. Bila dibandingkan antara siklus ke-1 dan ke-2 akan terlihat perbandingan sesuai Tabel 8. Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa siswa telah mampu mengendalikan diri mereka untuk tidak melakukan bullying verbal, meskipun belum memenuhi harapan secara maksimal. Demikian pula dalam menjawab skala penilaian diri siswa mengenai perubahan sikap bullying verbal juga meningkat. Meski boleh dikatakan sedikit sekali tingkat perubahan, namun siswa telah berupaya untuk menurunkan sikap bullying verbal yang dilakukannya, terutama terhadap teman-teman mereka. Saat pelaksanaan siklus II, minat siswa dalam melakukan konseling kelompok terlihat lebih baik, selain itu perbedaan hubungan antara siswa dan guru terasa lebih akrab. Selanjutnya mengenai pengalaman siswa melakukan konseling kelompok kali ini ada 3 siswa yang memberikan komentar artinya 50% siswa memiliki pengalaman yang positif. Guru berharap ini menjadikan pengalaman bermakna bagi siswa dan siswa sungguh-sungguh melakukan perubahan itu dengan segala potensi yang baik yang ada dalam diri siswa. Simpulan Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan melalui beberapa tindakan dari siklus I dan II maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, pendekatan konseling singkat berfokus solusi untuk menurunkan bullying verbal dirasakan cukup efektif karena didapati perubahan dalam perilaku siswa yang sebelumnya kerap melakukan bullying verbal saat ini sudah mengalami penurunan perilaku bullying verbal. Kedua, pendekatan konseling singkat berfokus solusi ini dapat dipakai sebagai alternatif pendekatan konseling yang berkaitan dengan perilaku atau behavior siswa. Saran Berdasarkan temuan selama penelitian tindakan, peneliti memberikan beberapa saran yang agar perilaku verbal bullying dapat dituntaskan sebgai berikut. Pertama, guru pembim-bing atau peneliti, perlu menguasai pengenai pendekatan konseling berfokus solusi sehingga dapat digunakan secara lebih tepat dan efektif, peneliti menyadari bahwa pada penelitian ini peniliti belum menguasai pendekatan ini, peneliti belajar secara otodidak melalui pembacaan artikel-artikel di internet. Oleh karena itu peneliti menyadari masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Pengetahuan mengenai pendekatan konseling singkat berfokus solusi ini mungkin akan lebih lengkap dan mendalam jika peneliti mengikuti seminar/ pelatihan/pembelajaran lebih lanjut mengenai salah satu pendekatan konseling post-modern ini. Kedua, pihak sekolah perlu mendukung menurunkan atau bahkan menuntaskan perilaku bullying verbal dengan menjadi teladan dan pengingat bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga pihak orang tua, perlu adanya kerjasama antara sekolah dan orangtua sehingga kontrol terhadap siswa dapat berjalan dengan seksama. Dengan demikian diharapkan siswa dapat berperilaku yang sama antara di rumah dan di sekolah. Orang tua pun dapat menjadi teladan dan pengingat bagi siswa untuk menghentikan perilaku bullying verbal. Sedangkan untuk saran penelitan lebih lanjut berdasarkan temuan selama penelitian tindakan pada beberapa siswa kelas 6 SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya, peneliti memberikan saran untuk penelitian lanjut sebagai berikut. Pertama, jika diperlukan penelitian yang lebih mendalam mengenai menurunkan bullying verbal melalui pendekatan konseling berfokus solusi maka pelaksanaan 2 siklus dirasakan kurang maka bisa ditambahkan kembali.Kedua, instrumen yang dipakai dalam penelitian ini sangat sedikit, akhirnya kurang mendapatkan data secara menyeluruh, oleh karena itu dalam penelitian lanjut diharapkan ada peneliti yang bekerja sama dengan guru lain sehingga ada yang melakukan observasi secara seksama saat layanan konseling kelompok berlangsung. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 35 Menurunkan Perilaku Bullying Verbal Ketiga, berdasarkan data saat pendahuluan, yang dikatakan bahwa 8 dari 10 siswa pernah melakukan bullying verbal, maka penelitian lanjut sebaiknya diberikan dengan siswa yang berbeda, dengan demikian diharapkan menurunan perilaku verbal bullying dapat dirasakan dan dilaksanakan khususnya pada siswa dan teman sebayanya. Catatan kaki; Inggried Dwi Wedhaswary, “25 Juta Anak Mengalami Kekerasan.” (http://nasional. kompas.com/read/2010/03/19/12074218/ 25.Juta.Anak.Indonesia.Alami.Kekerasan) 2 Ibid. h.36 3 William Voors,LC.S.W, Both Sides of the FenceBullying can come in a Variety of Forms. http:// www.isd361.k12.mn.us/bullying.pdf 4 Burhan Fantasi. Solution Focus Brief Counseling. (http://bimbingandankonseling 07.blogspot. com/2012/11/sfbc-solution-focus-briefcounseling.html) 5 Burhan Fantasi. Solution Focus Brief Counseling. (http://bimbingandankonseling07. blogspot.com/2012/11/sfbc-solution-focusbrief-counseling.html) 6 Burhan Fantasi. Solution Focus Brief Counseling. (http://bimbingandankonseling07. blogspot.com/2012/11/sfbc-solution-focusbrief-counseling.html) 1 36 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Daftar Pustaka Fantasi. B. (2012). Solution focus brief counseling. (http://bimbingandankonseling07. blogspot.com/2012/11/sfbc-solutionfocus-brief-counseling.html) Ginting. R. L., (2013). Efektifitas bimbingan melalui role playing menanggulangi perilaku bullying siswa. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesian Hidayat, D.H. & Badrujaman, A (2012). Penelitian tindakan dalam bimbingan konseling. Jakarta: PT. Indeks Kuntjojo. (2009). Psikologi kepribadian diktatwordpress.com. (http://luluvikar.files .wordpress.com/2008/04/psikologikepribadian.pdf) Prayitno, (1999). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta Riadi, M. (2013). Layanan konseling kelompok. http://www.kajianpustaka.com/2013/ 01/layanan-konseling-kelompok.html Vitalis, D.S, (2008). Layanan konseling kelompok. Diktat Mata Kuliah Bimbingan Konseling IKIP PGRI Madiun Wedhaswary, I. D. (2010). 25 Juta anak mengalami kekerasan (http://nasional.kompas.com/ read/2010/03/19/12074218/ 25.Juta.Anak.Indonesia.Alami.Kekerasan) WL Voor, Perspektive of bullying. http:// www.gobookee.com Winkel & Hastuti, S. (2008). Bimbingan dan konseling kelompok. Jakarta: Rineka Cipta Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid Penelitian Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid Yohanes Paiman E-mail : [email protected] SMPK BPK PENABUR Cirebon Abstrak eberhasilan pembelajaran amat ditentukan oleh faktor kualitas komunikasi yang dibangun oleh guru dan murid. Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan siswa terdapat masalah komunikasi antara guru dan murid di SMP Kristen PENABUR Cirebon yang mengakibatkan pengaruh negatif pada kualitas pembelajaran. Penelitian yang dilaksanakan dalam Mei 2013 ini bertujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengatasi distorsi komunikasi itu dengan menggunakan siswa kelas 8A sebanyak 24 orang dan 4 (empat) orang guru SMPK BPK PENABUR Cirebon. Melalui pengamatan, wawancara, dan angket diperoleh data yang diolah dan dianalisis untuk mengidentifikasi jenis dan penyebab distorsi serta teknik teknik mediasi untuk mengatasi masalah sebagai hasil penelitian. Penelitian ini memberikan saran kepada guru untuk mengatasi masalah distorsi komunikasi dengan murid sehingga dapat terwujud pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna K Kata-kata kunci : Distorsi komunikasi, relasi guru-murid, tipe-tipe relasi, pembelajaran bermakna. Bridge The Distortion of Communication Abstract Instructional effectiveness is mostly ditermined by quality factor of communication between the teacher and the students. By observing and interviewing the students of SMPK BPK PENABUR Cirebon, some communication problems between the teacher and the students were discovered and gave negative effects to the instructional quality. This research, conducted in May 2013, aimed at identifying, analyzing, solving the communication distortion by using 24 students of 8A class and 4 teachers of SMP Kristen PENABUR Cirebon. The data collected by observation, interview, and questionnaire concluded the the types and reasons of communication distortion and futher analysis found the mediation technique as the solution to overcome the communication distortion. The research recommended a number of suggestions for the teacher to avoid or to solve the commuication problems to create joyful and meaningful instruction. Keywords : Communication distrotion, teacher-students relation, relation type, meaningful instruction. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 37 Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid Pendahuluan Efektivitas pembelajaran, kualitas pembelajaran, dan pencapaian ketuntasan belajar murid amat bergantung pada kualitas dan intensitas komunikasi pembelajaran murid dengan gurunya. Komunikasi pembelajaran yang dimaksud adalah interaksi guru-murid dalam melaksanakan proses belajar-mengajar di kelas, dalam guru memotivasi murid belajar dan dalam murid berusaha membangun konsep pengetahuan, sikap, dan perilaku (kognitif, afektif, konatif) dalam belajar tersebut. Semakin intensif, komunikatif, dan berkualitas tingkat komunikasi guru-murid, semakin tinggi hasil belajar murid. Sebaliknya, semakin terdistorsi komunikasi guru-murid, semakin rendah hasil belajar murid. Kondisi terakhir ini harus dihindari, sebab kedua pihak dapat mengalami kecemasan, kerugian, kegagalan, serta wibawa pembelajaran, pendidikan, dan komunikasi menjadi bias. Sungguhpun demikian hubungan komunikasi antara murid dan guru dapat terjadi seperti contoh berikut ini. Ketika penulis masuk ke kelas 8 A untuk mangajak mereka belajar menulis, pada awal Mei 2013, penulis menemukan persoalan serius antara murid dan beberapa gurunya dari cara mereka berbicara, dan cara melapor Gaya bicaranya ngotot, terbata-bata, suara lantang, dan sedikit mendiskreditkan guru termaksud, sambil terbersit harapan agar saya memberikan ruang bicara kepada mereka dan membantu menyelesaikan persoalan ini. Dari dialog yang terjadi dapat disimpulkan, murid menganggap setidaknya ada empat guru bermasalah dan menjengkelkan. Dikaitkan dengan pelajaran menulis, dalam dialog berikutnya murid dengan cepat menyusun tema karangan “Bagaimana Memberantas Guru Menyebalkan” dan kerangka gagasan yang lengkap. Tema tersebut dipilih atas kesepakatan murid dengan penulis, setelah penulis mengajukan beberapa tema yang aktual tetapi tidak diterima. Mereka sangat antusias dengan tema itu karena sangat bermanfaat bagi mereka sesuai dengan kondisi yang berkembang di kelas mereka saat itu. 38 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Dari hasil dialog, penulis berasumsi bahwa di kelas itu terjadi masalah komunikasi yang serius antara guru dan murid yang berakibat hubungan dan proses pembelajaran terhambat, murid cenderung cuek, diam, kurang perhatian, tidak fokus, dan kurang respon. Mereka menganggap persoalan berasal dari guru dan belum dibereskan. Mereka merasa di pihak benar walaupun kelakuan mereka menjengkelkan guru. Sebaliknya, guru juga sering terpancing marah menghadapi sikap dan kelakuan murid yang demikian. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh buruk pada proses belajar mereka, pembelajaran tersendat, beku dan kaku. Kalau terus dibiarkan, kondisi buruk itu tentu sangat berpengaruh pada hasil tes pada pelajaran guru yang bersangkutan. Pertama, karena mereka kurang sinergis dan kurang proaktif terhadap guru itu. Kedua, dalam kondisi seperti itu, tentu mereka tidak termotivasi belajar dan kurang menyiapkan diri menghadapi tes pelajaran. . Dengan latar belakang seperti yang telah dikemukakan, penulis meneliti masalah komunikasi antara guru-murid itu dengan rumusan masalah, “Benarkah telah terjadi distorsi komunikasi antara guru-murid di kelas 8A, dan kalau benar, bagaimana cara mengatasinya?” Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan hubungan komunikasi antara guru-murid di kelas 8 A, serta(2) memberikan saran memecahkan masalah hubungan komunikasi itu. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk (1) guru dan murid dalam memulihkan komunikasi mereka, (2) guru dan murid dalam meningkatkan hubungan komunikasi antara mereka menjadi efektif dan produktif, (3) kepala sekolah dalam menyusun program pembinaan guru-murid dan melakukan pembinaan terhadap guru dan murid, (4) pengawas/penilik sekolah dalam membina guru dan murid, (5) peneliti lain dalam melakukan penelitian sejenis di sekolah lain, dan, (6) penulis dalam mengasah ketajaman visi terhadap situasi yang berkembang di kelas, dan menghimpunnya dalam analisis-sintesis karya tulis yang dapat dibaca sesama rekan guru, serta memberinya manfaat. Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid Penentu Keberhasilan dan Kualitas Pembelajaran Pembelajaran merupakan ujung tombak praksis pendidikan. Untuk itu, mutu pendidikan juga amat ditentukan oleh kualitas pembelajaran di kelas. Kualitas pembelajaran ditentukan oleh tujuh faktor berikut: (1) materi pelajaran, (2) metode pembelajaran, (3) media pembelajaran, (4) relasi komunikasi, (5) kondisi kelas, (6) motivasi belajar murid, dan (7) kondisi lingkungan sekolah. Dari ketujuh faktor tersebut, faktor relasi komunikasi antara guru dan murid sangat penting. Pada bagian awal tulisan ini sudah dipaparkan, tipe relasi/komunikasi yang tepat, wibawa, gaul, dan produktif perlu diciptakan oleh guru dan murid. Kondisi demikian akan mendukung terciptanya pembelajaran yang didasari komitmen dan komunikasi hidup, aktif, dinamis, progresif, produktif, dan multiarah. Sukses komunikasi dan relasi menjadi dasar sukes pembelajaran (Tessie Setiabudi & Josua Maruto, 2012: 23-24 ). Komunikasi antara guru dan murid menjadi dasar proses dan media transformasi ilmu, pengetahuan, pengalaman, keterampilan, pembentukan karakter, dan informasi murid, sehingga ia menjadi pribadi berwawasan, beriman, dan berkarakter. Untuk itu, komunikasi harus dikondisikan baik, positif, produktif, efektif, nyaman, menyenangkan, dinamis, bahkan berkualitas. Suasana kelas perlu kondusif; media pembelajaran perlu berfungsi optimal dan memotivasi murid; metode pembelajaran pilihan guru harus tepat, bervariasi, meningkatkan motivasi belajar, dan menarik minat belajar murid; kelas dan person di dalamnya harus bebas dari segala persoalan yang mengganggu proses komunikasi; komunikasi harus multiarah, berdampak, dan bermanfaat; murid harus berani dan terbuka dalam komunikasi pembelajaran; kelas harus hidup, progresif, humanis, dan berani berkomunikasi etis. Dengan kata lain, guru/pendidik wajib dan harus mampu menciptakan suasana pendidikan bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dialogis, berkomitmen profesional meningkatkan mutu pendidikan, memberikan teladan dan menjaga nama baik lembaga, tugas/ profesi, dan kedudukan yang dipercayakan kepadanya (UU Sisdiknas No. 20/2003, pasal 40.2 : 25). Distorsi Komunikasi Untuk memahami makna distorsi komunikasi, berikut penulis deskripsikan beberapa konsep dari aneka sumber. Pertama, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua ( 1999 : 238 ) mencatat, bahwa distorsi dimaknai penyimpangan atau gangguan di dalam siaran radio yang mengubah atau mempengaruhi mutu siaran. Distorsi komunikasi berarti penyimpangan proses komunikasi sehingga berdampak pada kualitas penyampaian dan penerimaan pesan. Kedua, AlBarry, (2003 : 147 ) mencatat, bahwa distorsi dimaknai rongrongan, gangguan, penyimpangan, pemutarbalikan fakta dalam komunikasi. Ketiga, Aqib ( 2010 : 66 ) mencatat, bahwa distorsi komunikasi bermakna komunikasi yang terkena hambatan. Dan hambatan itu dapat datang dari lingkungan sekolah; seperti cara penyajian pelajaran guru yang kurang baik, hubungan guru dan murid yang kurang baik, hubungan antara murid dengan murid yang kurang menyenangkan, kurang nyaman. Keempat, Chandra ( 1997 : 4 ) menyatakan, bahwa distorsi komunikasi adalah gagalnya/terganggunya proses dan transaksi pengiriman pesan dari pihak tertentu melalui media tertentu dalam bentuk/kepingan tertentu sehingga tidak tercapai sasaran yang diharapkan dan tidak terjadi hubungan tertentu. Selain hal tersebut, Hutagalung ( 2007 : 63-67 ) menyatakan, bahwa distorsi komunikasi adalah sebuah komunikasi yang tidak efektif, pesan pembicara diterima/tersaji tidak seperti yang diinginkan pembicara. Ini terjadi karena ada gangguan pada penyusunan penggalan informasi pada pembicara, gangguan pada saluran atau media informasi, dan kemampuan dan teknik penafsiran pesan pada pihak penerima pesan/pendengar. Dalam tulisan ini, distorsi komunikasi dimaknai (1) gangguan dalam proses komunikasi pembelajaran yang berdampak negatif pada kualitas pembelajaran, (2) gangguan proses komunikasi guru-murid akibat terjadi sesuatu dalam hubungan mereka yang berdampak negatif pada proses belajar murid dan relasi mereka yang lain. (3) Juga dapat Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 39 Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid dimaknai, bahwa distorsi komunikasi adalah komunikasi tidak efektif antara guru-murid dalam pembelajaran karena terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan di antara mereka. Distorsi relasi guru dan murid perlu diatasi dan diselesaikan agar tidak berkepanjangan, berdampak negatif, dan merugikan kedua pihak, bahkan kelas dan sekolah itu. Untuk itu diperlukan mediasi dari pihak-pihak terkait; yaitu : guru yang dianggap mampu memediasi, wali kelas, guru BK/BP, bahkan juga pihak pimpinan sekolah, dan orangtua murid. Langkah awalnya barangkali guru mediator perlu menyiapkan dan memberikan prakondisi, pendampingan, pendekatan, dan pencerahan yang dapat diterima guru tertentu maupun murid tersebut, untuk sebuah solusi terbuka, enak, nyaman, dan medinginkan, bahkan memulihkan suasana relasi mereka. Metode Penelitian Peneilitian ini termasuk penelitian deskriptif yang dilaksanakan di SMP Kristen PENABUR Cirebon dalam bulan Mei 2013 ( satu bulan ). Data diambil dari siswa kelas 8A sebanyak 24 orang dan 4 (empat) orang guru SMP Kristen PENABUR Cirebon. Pemilihan kelas 8 A sebagai responden atas dasar tempat terjadinya kasus dan penetapan guru atas dasar ungkapan murid yang menganggapnya bermasalah. Dengan demikian penelitian ini juga dapat dianggap sebagai studi kasus. Adapun rincian responden dilihat dari jenis kelamin tertera pada Tabel 1. Data dikumpulkan dari responden dengan teknik diskusi, wawancara, pendampingan, angket, tanya jawab, dan observasi. Pengumpulan data difokuskan pada komunikasi pembelajaran antara guru-murid, khususnya tentang distorsi komunikasi yang terjadi di antara mereka. Dalam penelitian ini, guru/penulis (1) menangkap adanya permasalahan komunikasi kelas; (2) menetapkan niat membereskan masalah dengan mengajak murid melakukan ungkap pendapat aktual melalui menulis tema pilihan siswa; (3) mencermati ekspos uneg-uneg murid dalam tulisan mereka dengan melakukan tolly score ; (4) mengomunikasikan kondisi ekspos hati murid kepada pihak Guru yang bersangkutan, Wali Kelas, Guru BP/BK, serta Kepala Sekolah, serta melakukan pendekatan dan rencana pemulihan relasi mereka; (5) mengomunikasikan rencana tersebut kepada murid, dan diterima/disetujui; (e) melakukan mediasi di antara kedua pihak; (6) mengamati perubahan sikap murid dan guru purna kegiatan mediasi; dan (g) menyusun laporan ini. Hasil Penelitian Data Awal Distorsi Komunikasi dan Perkembangannya Dari keenam metode tarik informasi yang penulis lakukan di kelas 8A pada bulan Mei 2013 diperoleh data nyata berkaitan dengan kondisi relasi guru-murid di kelas itu. Deskripsi berikut menggambarkan sikap dan pandangan negatif murid pada gurunya yang dipandang kurang moody dalam berbagai istilah mereka, sekaligus perubahan sikap mereka setelah dilakukan pendampingan, pembinaan, dan pencerahan, diikuti evaluasi dan perbandingan penulis berkaitan dengan perubahan sikap murid pada gurunya, dengan variabel frekuensi data antarsiklus yang tergambar melalui tabel data pada bab ini. Tabel 1: Responden Penelitian Sorotan murid terhadap guru Jenis Kelamin yang kurang moody ada empat hal; No Responden Jumlah yaitu berkaitan dengan Laki-Laki Perempuan performansi guru, gaya bicara guru, kepribadian guru, dan 1. Murid 9 15 24 kebiasaan guru. Namun demikian, 2. Guru 1 3 4 murid juga memberi-kan usulan solusi bagi masalah komunikasi Jumlah 10 18 28 mereka. Ini merupakan sebuah 40 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid Tabel 2: Performansi/Tampilan Guru Menurut Murid No Aspek Sorotan Data Siklus 1 Data Siklus 2 Evaluasi/Tafsiran Perubahan Sikap Murid atas Guru 1 Sok berani dan nantang murid 1 1 Masih tetap 2 Sok tahu 1 0 Berubah, positif 3 Suka mlorotin uang siswa 1 0 Berubah, positif 4 Sering marah-marah tak jelas 1 0 Berubah, positif 5 Sok baik, sok bijak 1 0 Berubah, positif 6 Sok wibawa 2 1 Berubah, tapi belum total 7 Suka bikin aturan sendiri 2 0 Berubah, positif 8 Suka njilat Kepala Sekolah 2 0 Berubah, positif 9 Sering tampak galau sendiri 2 0 Berubah, positif 10 Sok kaya/dermawan 2 0 Berubah, positif 11 Belagu/songgong/sok 3 1 Berubah, tapi belum total 12 Sok sibuk 3 1 Berubah, tapi belum total 13 Tak nyadar/nggak nyipak 3 0 Berubah, positif 14 Suka nyindir/ngece/tak terus terang 3 0 Berubah, positif 15 Cara mengajar membosankan/ tak menarik/kurang moody 4 1 Berubah, tapi belum total 16 Ngasih tugas tak kira-kira banyaknya/ngasih tugas tak jelas menjelang TAS/tak mau kalah dengan guru lain 4 1 Berubah, tapi belum total 17 Tak mengerti sikon 4 1 Berubah, tapi belum total 18 Sok suci/sok lugu/sok polos 4 0 Berubah, positif 19 Suka ngomporin peristiwa 4 0 Berubah, positif 20 Ngajar tak jelas/tak kuasai materi 5 2 Berubah, tapi belum total 21 Cerewet/bawel 6 2 Berubah, tapi belum total 22 Sok modis/gaya/keren/ ganteng 7 2 Berubah, tapi belum total 23 Sok kuasa/ngatur/ngebos 7 3 Berubah, tapi belum total 72 12/11 Berubah total 12 item Berubah tak total 11 item Jumlah : 23 jenis sorotan, dengan frekuensi Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 41 Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid Tabel 3: Rekapitulasi Perubahan Penilaian Performansi Guru No Aspek Perubahan Jumlah % Apresiasi 1 Berubah total 12 52,2 Bagus, perlu dijaga terus 2 Berubah, tidak total 11 47,8 Bagus, berubah, namun masih ada PR Tabel 4: Gaya Bicara Guru Menurut Murid No Aspek Sorotan Data Siklus 1 Data Siklus 2 Evaluasi/Tafsiran Perubahan Sikap Murid atas Guru 1 Tak nyadar/nggak nyipak 1 0 Berubah, positif 2 Terlalu perfeksionis 1 0 Berubah, positif 3 Kurang menghargai siswa 1 0 Berubah, positif 4 Menyebalkan 1 0 Berubah, positif 5 Tidak/sok menyelesaikan masalah 1 0 Berubah, positif 6 Tak bisa menyaring kata-kata 1 0 Berubah, positif 7 Suka kepo/mau tahu saja 1 0 Berubah, positif 8 Suara cempreng 1 1 Tidak berubah, bawaan alam 9 Sok nggelo/ngelawak 2 0 Berubah, positif 10 Sok bijak 2 0 Berubah, positif 11 Suka memfitnah 2 0 Berubah, positif 12 Nyolot 2 1 Berubah, tapi belum total 13 Sok nggosip 2 0 Berubah, positif 14 Ceplas-ceplos/memancing emosi murid/ blak-blakan 3 1 15 Sok berbahasa Inggris, padahal salah 3 1 Berubah, tapi belum total 16 Bertindak aneh, tak asli, tak alami, dibuat-buat 3 0 Berubah, positif 17 Rewel/labil 4 2 Berubah, tapi belum total 18 Salah, tapi tak mau ngalah, sok benar sendiri, merasa diri benar 8 3 Berubah, tapi belum total 39 12/ 6 Berubah total 12 item Berubah tak total 6 item Jumlah: 18 jenis sorotan, dengan frekuensi 42 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Berubah, tapi belum total Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid anugerah Tuhan berupa atensi mereka untuk berubah dan mengubah situasi buruk menjadi baik dan kondusif. Ini sebuah sikap orang muda pada posisi masa adolesens yang perlu kita hargai dan kita beri respon syukur dan positif. Tabel 2 menunjukkan data awal potret buruk relasi mereka, perubahannya, dan kajian penulis. Dari Tabel 2 dapat dinyatakan bahwa (1) dari 23 jenis sorotan berjumlah 72 frekuensi, berubah total sebanyak 12 jenis sorotan dan 11 jenis sorotan belum berubah total; (2) perubahan dan kondisi angka itu menandai bahwa upaya mediasi memberi pengaruh besar pada pola penilaian murid terhadap guru dan kualitas komunikasi guru-murid dalam aspek sorotan performansi guru. Rekapitulasi persentase perubahan kondisi tersebut nyata seperti pada Tabel 3. Dari Tabel 4 dapat dinyatakan bahwa (1) dari 18 jenis sorotan berjumlah 39 frekuensi berubah total sebanyak 12 jenis sorotan dan 6 jenis sorotan belum berubah total, (2) perubahan dan kondisi angka itu menandai bahwa upaya mediasi memberi pengaruh besar pada pola penilaian murid terhadap guru dan kualitas komunikasi guru-murid dalam aspek sorotan gaya bicara guru. Rekapitulasi persentase perubahan kondisi tersebut seperti pada Tabel 5. Data Tabel 6 menunjukkan, (1) dari 26 jenis sorotan dengan 73 frekuensi mengalami perubahan total sebanyak 17 jenis sorotan dan 9 Tabel 5: Rekapitulasi Perubahan Penilaian Gaya Bicara Guru No Aspek Perubahan Jumlah % Apresiasi 1 Berubah total 12 66,7 Bagus, perlu dijaga terus 2 Berubah, tidak total 6 33,3 Bagus, berubah, namun masih ada PR Tabel 6: Kepribadian Guru Menurut Murid No Aspek Sorotan Data Siklus 1 Data Siklus 2 Evaluasi/Tafsiran Perubahan Sikap Murid atas Guru 1 Kurang introspeksi diri/koreksi diri 1 0 Berubah, positif 2 Memaklumi kesalahan anak tercinta 1 0 Berubah, positif 3 Menentang anak melawan/tak sependapat 1 0 Berubah, positif 4 Kelam 1 0 Berubah, positif 5 Semau atau sering membuat aturan sendiri 2 0 Berubah, positif 6 Kurang profesional/mengajar tak jelas 2 1 Berubah, tapi belum total 7 Berpihak kepada murid pintar/kaya 2 0 Berubah, positif 8 Sering salah tanggap/early c onc lution 2 0 Berubah, positif 9 Sok keren/over PD 2 0 Berubah, positif 10 Suka panas hati/bersungut-sungut tak jelas 2 0 Berubah, positif 11 Mengejar hal-hal tak perlu/sok sibuk 2 0 Berubah, positif 12 Sok bijak/sok perfeksionis 2 0 Berubah, positif Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 43 Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid No Aspek Sorotan Data Siklus 1 Data Siklus 2 Evaluasi/Tafsiran Perubahan Sikap Murid atas Guru 13 Belagu/sombong 2 0 Berubah, positif 14 Pekerjaan/tugas salah sedikit harus diulang seluruhnya 2 1 Berubah, tapi belum total 15 Sok polos/ceplas-ceplos 2 0 Berubah, positif 16 Memberatkan kesalahan anak biasa/tak menghargai murid 3 1 Berubah, tapi belum total 17 Suka ngejek/nyindir 3 0 Berubah, positif 18 Berpikir negatif/sugesti kurang positif 3 0 Berubah, positif 19 Ingin dihormati/kekanak-kanakan 4 2 Berubah, tapi belum total 20 Pilih kasih, suka membandingkan murid 4 1 Berubah, tapi belum total 21 Ngomongin dari belakang/nggosip 4 0 Berubah, positif 22 Suka ngomporin, masalah kecil dibesar-besarka 4 0 Berubah, positif 23 Suka marah-marah, senewen, cerewet 4 1 Berubah, tapi belum total 24 Merasa diri paling benar, tak mau kalah 5 2 Berubah, tapi belum total 25 Kurang moody 6 1 Berubah, tapi belum total 26 Mudah galau/labil 7 2 Berubah, tapi belum total 73 17/9 Berubah total 17 item Berubah tak total 9 item Jumlah: 26 jenis sorotan, dengan frekuensi jenis sorotan belum berubah total, (2) perubahan dan kondisi angka itu menandai bahwa upaya mediasi memberi pengaruh besar pada pola penilaian murid terhadap guru dan kualitas komunikasi guru-murid dalam aspek sorotan kepribadian guru. Rekapitulasi persentase perubahan kondisi tersebut nyata seperti pada Tabel 7. Dari Tabel 8 dapat dinyatakan bahwa (1) dari 14 jenis sorotan dengan 44 frekuensi mengalami perubahan total sebanyak 10 jenis sorotan dan 4 jenis sorotan belum berubah total, (2) perubahan dan kondisi angka itu menandai bahwa upaya mediasi memberi pengaruh besar pada pola penilaian murid terhadap guru dan kualitas komunikasi guru-murid dalam aspek sorotan kebiasaan guru. Rekapitulasi persentase perubahan kondisi tersebut seperti pada Tabel 9. Tabel 7: Rekapitulasi Perubahan Penilaian Kepribadian Guru No 44 Aspek Perubahan Jumlah % Apresiasi 1 Berubah total 17 65,4 Bagus, perlu dijaga terus 2 Berubah, tidak total 9 34,6 Bagus, berubah, namun masih ada PR Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid Tabel 8: Kebiasaan Guru Menurut Murid No Aspek Sorotan Data Siklus 1 Data Siklus 2 Evaluasi/Tafsiran Perubahan Sikap Murid atas Guru 1 Sok tahu 1 0 Berubah, positif 2 Suka kepo/mau tahu saja 1 0 Berubah, positif 3 Kurang introspeksi/kurang koreksi diri 1 0 Berubah, positif 4 Sok wibawa 2 0 Berubah, positif 5 Sering salah tanggap/early c onc lution 2 0 Berubah, positif 6 Sok keren/over PD 2 0 Berubah, positif 7 Belagu, songgong, sok 3 0 Berubah, positif 8 Tak nyadar/nggak nyipak 3 0 Berubah, positif 9 Suka ngece/nyindir/tak terus terang/tak terbuka 3 0 Berubah, positif 10 Cara ngajar membosankan/tak menarik/ kurang moody 4 2 Berubah, tapi belum total 11 Rewel/labil 4 1 Berubah, tapi belum total 12 Suka marah-marah, tak jelas/senewen 5 2 Berubah, tapi belum total 13 Cerewet/bawel 6 0 Berubah, positif 14 Mudah galau/labil 7 3 Berubah, tapi belum total 44 10/4 Berubah total 10 item Berubah tak total 4 item Jumlah: 14 jenis sorotan, dengan frekuensi Tabel 9: Rekapitulasi Perubahan Penilaian Kebiasaan Guru No Aspek Perubahan Jumlah % Apresiasi 1 Berubah total 10 71,4 Bagus, perlu dijaga terus 2 Berubah, tidak total 4 28,6 Bagus, berubah, namun masih ada PR Pembahasan Dari deskripsi dan potret perilaku komunikasi guru-murid yang tergambar pada tabel-tabel di atas dapat dirumuskan analisis sebagai berikut. a. Tipe Relasi Terdistorsi dan Sikap Guru Ada cukup banyak persepsi buruk murid terhadap guru dalam berelasi. Ini menandai, bahwa potret relasi guru-murid terjadi buruk dan tidak sehat, perlu diagnosis, solusi, dan terapi terpadu. Banyak pihak (wali kelas, guru BK, Kepala Sekolah, guru yang disegani murid, guru tersorot, dan murid tersebut, bahkan orangtua murid) perlu diajak berdialog, berdiskusi, membedah persoalan, dan membereskannya secara bersama, jujur, tulus, visioner, dan transparan. Transparan berarti, masing-masing rela mengakui kesalahan, kalau memang salah, Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 45 Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid rela meminta maaf, rela memberikan maaf, dan bersedia membereskan diri dari persoalannya, bagi kebaikan relasi mereka selanjutnya. Kondisi relasi buruk ini ditandai oleh empat faktor seperti nyata pada tabel potret buruk relasi mereka di atas. Dari Tabel 2, 4, 6, dan 8 itu dapat dikatakan, bahwa betapa sentralnya figur guru menjadi senter perhatian murid di kelas, bahkan mampu mempengaruhi secara signifikan terjadinya komunikasi pembelajaran efektif dan berkualitas. Secara praktis faktor figur dan potret buruk guru itu dapat diurutkan dari jumlah frekuensi kecil ke besar seperti berikut. 1. Faktor gaya bicara guru : 18 jenis potret buruk dengan frekuensi 39 (rata-rata 2,2 frekuensi per jenis potret buruk guru). 2. Faktor kebiasaan guru : 14 jenis figur buruk dengan frekuensi 44 (rata-rata 3,2 frekuensi per jenis potret buruk guru). 3. Faktor penampilan guru : 23 jenis potret buruk dengan frekuensi 72 (rata-rata 3,2 frekuensi per jenis potret buruk guru ). 4. Faktor kepribadian guru : 26 jenis potret buruk dengan frekuensi 73 (rata-rata 2,9 frekuensi per jenis potret buruk guru). Dalam upaya penyelesaian masalah, keempat faktor beserta jumlah variasi dan frekuensinya perlu manjadi dasar dan prioritas. Ketepatan menerapkan penyelesaian distorsi komunikasi berdasar prioritas kondisi di atas tentu berpengaruh pada sukses upaya pemberesan masalah yang berdampak pada terbangunnya komunikasi tepat dan efektif, serta kondisi pembelajaran yang berkualitas dan produktif. b. Penyebab Terjadinya Komunikasi Terdistori Kondisi komunikasi yang terdistorsi terjadi dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut. Pertama, dominansi kondisi siswa di kelas itu. Secara fisik, kelas dengan 24 murid itu dihuni siswa sebanyak 9 orang dan siswi sebanyak 15 orang. Jadi jumlah siswi lebih dominan. Tambahan lagi, murid putri banyak yang lebih pandai, banyak bicara (alias: cerewet ), kritis, berani, tegas daripada siswanya. Dalam banyak ekspos ide dan pengambilan keputusan saat pembelajaran pun tampak, bahwa peran siswi sangat dominan. Jumlah siswi yang 46 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 banyak dan kondisi karakter yang menunjang, menjadikan kelas ini cenderung noisi/riuh. Apalagi ketika kelas itu berhadapan dengan figur guru yang menurut mereka kurang oke/ kurang diminati, masalahnya akan tambah panas, komunikasinya cenderung terdistorsi. Ini menuntut kehadiran sosok guru yang berkualitas dalam multiaspek, sehingga mampu menanggapi, mengelola, mengamankan situasi, dan berkolaborasi dengan kelas itu bagi terciptanya pembelajaran yang nyaman dan berkualitas. Kedua, masa badai-kritis. Usia SMP, kelas 8, atau usia 14-an tahun, merupakan usia mencari jati diri, usia membangun identitas, usia bertualang fisik-psikis, usia berani dan vokal, usia menentang, usia sulit dinasihati/ diarahkan, usia semau sendiri/nggelo, usia mau mendebat yang dianggap lawan. Kondisi ini perlu dihadapi dengan cermat, bijak, sabar, terbuka, dan penuh pengertian. Untuk itu perlu dihadirkan sosok guru hangabehi, hangayomi, hanentremkan. Guru yang menguasai kelas dengan wibawa dan profesi ( mumpuni ), melindungi, dan menenteramkan siswa dan kelas itu. Ketiga, egosentrik murid. Sifat egosentrik mengundang sikap pementingan diri. Perhatian dan perilaku orang lain mesti sejalan dengan minat dirinya, tertuju, mendukung, menyetujui kehendaknya, jika tidak, maka kondisi frontal bisa terjadi. Pihak berseberangan dengan sifatnya biasanya dilawan karena menciptakan ketidakamanan dirinya. Untuk itu, kelas demikian mesti didampingi guru yang sabar, berintegritas, berkharisma tinggi, disegani murid, mengerti kelas tanpa kehilangan pamor diri, tanggap dan tangguh merangkul kelas bagi kelangsungan dan keuntungan proses pembelajaran. c. Dampak Distorsi Komunikasi Dampak distorsi komunikasi cukup nyata, signifikan, dan perlu disikapi arif, bahkan perlu dicarikan solusi holistik, tepat, dan bermanfaat. Berikut ini aneka dampak yang timbul dalam relasi pembelajaran di kelas tersebut. Pertama, suasana kelas riuh. Kondisi ini mengganggu terbangunnya konsentrasi kelas. Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid Perhatian terhadap pelajaran jadi bias. Penguasaan pelajaran tidak optimal. Pembelajaran lebih banyak untuk pengarahan dan pembangunan sikon kondusif, walaupun hasilnya kadang tidak maksimal. Hasil tes pelajaran guru tersorot rendah, tidak mencapai KKM. Kedua, komunikasi dan pembelajaran terganggu dan kurang kondusif. Pada jadwal Guru Tersorot, kondisi cukup kritis dan riskan. Murid sulit diatur dan dikendalikan, sehingga pembelajaran berjalan tidak efektif. Pada Guru Gaul dan Berkarisma, kondisi riuh berjalan singkat saja. Pembelajaran berjalan cukup efektif. Ketiga, masing-masing mempertahankan ego, jaga gengsi, jaim. Dalam konteks kondisi ini, Guru BK dan Kepala Sekolah turun tangan turut memberikan arahan, penilaian kinerja belajar murid, menyadarkan mereka, mengingatkan murid membangun visi, misi, dan tanggung jawab belajarnya secara positif, dinamis, dan bermanfaat. Murid perlu menyadari, bahwa dirinya dikirim ke sekolah untuk belajar, bukan untuk berseteru dengan guru tertentu yang kurang sejalan dengan dirinya. Keempat, murid masa bodoh belajar. Dampak dari kondisi ini adalah nilai tes beberapa pelajaran mereka tak maksimal. Ini merugikan banyak pihak. Kelanjutan kondisi ini harus dihentikan. Untuk itu, Wali Kelas dan Guru BK mengundang, atau memberihatukan halnya kepada orangtua. Misinya, orangtua tahu/paham, lalu juga melakukan diagnosis dan terapi sesuai porsinya sebagai orangtua di rumah. Jadi antara sekolah dan rumah sinkron, saling topang, saling menyemangati untuk sama-sama berhasil mendidik dan membimbing anak, serta lepas dari persoalan komunikasi. Kelima, ada protes dan ketidakpercayaan. Kondisi ini amat riskan dan kritis sehingga perlu dicegah dan dihentikan. Agar permasalahan tuntas, maka diadakan dialog terbuka antara Tim Sekolah dengan murid/kelas. Masing-masing dipersilakan berbicara, lainnya mendengarkan dengan baik dan paham. Ada moderator yang memandu dialog ini. Selanjutnya, murid dipersilakan berbicara dulu; diikuti pihak guru tersorot menyampaikan keluhannya. Ada kesempatan berkonfirmasi antarpihak bermasalah. Harapannya, masalah klir. Komunikasi pulih normal. Pembelajaran berjalan lancar dan berkualitas. Pihak Sekolah memoderatori dialog, sambil merancang kesimpulan untuk diusulkan kepada forum sebagai sebuah solusi bersama. Demikianlah langkah final dilakukan, sampai ditemukan dan disepakati solusi dan suasana damai semua pihak. Hasil dari mediasi ini dapat dicermati pada Tabel 2, 4, 6, 8, dan Tabel 3, 5, 7, 9 di atas. Perubahan persepsi dan penilaian jati diri guru dari murid mengalami perubahan signifikan. Ada persepsi murid yang berubah total, ada pula yang masih perlu digiatkan terus dengan pembinaan dan pengarahan guru tersaring secara berkelanjutan. d. Keunikan Kelas Walaupun terjadi banyak potret persepsi buruk mereka terhadap guru dalam berelasi, ternyata murid masih rela memberikan ide untuk solusi permasalahan. Ini ditandai oleh usulan mereka seperti terbaca pada Tabel 10. Dari deskripsi pada Tabel 10 tentang usulan solusi, mereka menghendaki guru melakukan sesuatu yang dapat dengan nyaman mereka terima. Terkait dengan masalah penampilan, mereka menghendaki guru bersikap profesional, proporsional; guru serius menangani masalah siswa/kelas; guru perlu melakukan dialog terbuka dengan siswa; guru perlu terus tampil moody, cerah, ceria, demokratis, disegani. Terkait dengan masalah gaya bicara, mereka menghendaki guru jangan banyak bicara; guru jangan lancang bicara; guru jangan sering atau suka menggsosip. Terkait dengan masalah kepribadian, mereka menghendaki guru harus nyipak/nyadar; guru perlu melakukan introspeksi dan koreksi diri intens; guru terus menerapkan positive thinking, jangan negatif; guru perlu tahu dan peka terhadap sikon yang berkembang di kelas itu; guru perlu mengenali karakter setiap muridnya dan dengan itu melayani mereka maksimal. Terkait dengan masalah kebiasaan, mereka menghendaki guru memiliki emosi stabil dan mantap; guru perlu terus berubah ke arah yang lebih baik; guru perlu terus menata diri agar kehadirannya dapat diterima murid Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 47 Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid Tabel 10: Usulan/Solusi Murid Atas Masalah No Frekuensi Aspek Usulan Murid 1 Guru jangan banyak lancang bicara 1 2 Guru harus profesional 1 3 Guru jangan suka nggosip 1 4 Guru harus tahu/peka terhadap sikon kelas 1 5 Guru jangan berpikir negatif 1 6 Guru harus serius menangani masalah 1 7 Guru perlu mengenali sikap dan karakter muridnya 1 8 Guru perlu melakukan dialog dengan murid secara terbuka agar persoalan menjadi jelas 1 9 Guru perlu terus didoakan 1 10 Emosi & perilaku guru harus stabil, hindari sikap kurang moody 2 11 Guru perlu mengubah diri & sikapnya 3 12 Guru perlu koreksi diri secara intens 3 13 Guru salah harus ditegur dan diberikan sanksi 3 14 Guru harus terus sadar diri/nyipak 7 Jumlah: 14 jenis usulan perubahan guru 27 dan menjadi teladan; guru harus terus didoakan agar dekat Tuhan dan diberkati, serta layak melayani. Berkaitan pula dengan butir usulan di atas dapat dikatakan, bahwa mereka galau, mereka diamuk masa badai, namun mereka masih mempunyai nyali dan niat untuk bebas dari persoalan. Terlebih lagi, mereka berminat terus mendoakan guru. Ini merupakan semangat teologis, mulia, dan bekarakter. Niat mereka perlu sangat dihargai. e. Usulan Solusi dan Manfaaatnya Mengingat sukses dan kualitas pembelajaran ditentukan salah satunya oleh faktor komunikasi guru-murid, maka distorsi komu48 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Apresiasi Terhadap Usulan Murid 1 Semua usulan positif murid yang dapat meningkatkan kua litas, kepribadian, karakter, keterterimaan guru di mata murid itu baik ditindaklanjuti karena akan berdampak positifefektif pada peningkatan kuali tas komunikasi pembelajaran dan meningkatkan keberhasil an studi dan prestasi murid 2 Untuk itu, temuan ini kiranya dapat menjadi bagian perhatian dan program kerja Kepala Sekolah dalam menyu-sun dan melakukan program pembinaan guru; terlebih guru bermasalah di mata murid. nikasi harus dibebaskan. Berikut ini beberapa usulan pemberesan masalah komunikasi dan penciptaan relasi yang membangun pembelajaran berkualitas. Pertama, usulan solusi siswa. Sesuai dengan deskripsi usulan siswa yang tercantum pada tabel 10, maka apa pun usulan dan tuntutan murid perlu diterima, dikaji, disikapi positif oleh Guru dan Sekolah, serta diwujudkan dalam praktik pembelajaran nyata. Klarifikasi positif dan berimbang perlu diciptakan, demi menenteramkan suasana hati dan perasaan kedua pihak. Kedua, perlu dialog. Dialog memungkinkan kedua pihak melahirkan uneg-uneg dan keluhannya. Keluar dan terungkapnya beban Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid mereka melalui dialog tentu sangat mendukung perdamaian yang diharapkan. Moderator dialog ini perlu dipilih figur bijak, demokratis, berwawasan luas, dan mampu merangkulmenyatukan dua pihak. Ketiga, perlu sikap dan semangat keterbukaan. Sikap terbuka muncul atas dasar kejujuran seseorang. Sikap jujur ini tentu melicinkan dan melancarkan upaya penyatuan kedua pihak bermasalah. Untuk itu, perlu dirancang tindakan yang mampu merangsang dan membangun sikap jujur dan tulus kedua pihak. Keempat, perlu menyadari proporsi tugas masing-masing. Tugas guru itu mengajar, mendidik, membimbing, melatih, berteladan, membekali generasi muda, dan siar iman. Sedangkan tugas murid itu belajar, berlatih, mendewasakan dan memandirikan diri, meneladani guru/orangtua, mengenali, percaya, dan setia kepada Tuhan. Keduanya perlu berjalan dan berelasi seiring, dinamis, dan harmonis. Keharmonisan keduanya mampu menepis silang pendapat mereka. Kelima, perlu melibatkan banyak pihak terkait. Ide atau gagasan dari banyak pihak tentu lebih lengkap dan sempurna. Untuk itu, ketika permasalahan terjadi dan mencapai ujung kompleksnya dan dirasa perlu melibatkan banyak pihak terkait, maka hal itu perlu ditempuh. Pihak-pihak terkait yang diperlukan diharapkan mampu berkiprah optimal, bermanfaat, dan mendukung solusi atas malasah. Keenam, perlu koreksi-introspeksi. Koreksi dan introspeksi merupakan keterampilan managerial internal yang bermanfaat untuk membangun diri bertambah baik. Koreksi dan introspeksi juga merupakan bagian dari sikap rendah hati seseorang. Dengan sikapnya yang positif ini, seseorang yang terlibat masalah tidak akan membesarkan egosentriknya dan proaktif turut menyelesaikan masalah sesegera mungkin. Untuk itu, sikap ini perlu terus ditanamkan dalam diri murid serta semuanya. Ketujuh, prinsip belajar adalah komunikasi. Belajar dan sebuah pembelajaran memerlukan media komunikasi. Untuk itu, jalannya komunikasi perlu didukung semua pihak. Komunikasi harus optimal, mendasar, positif, dan berdampak. Semua pihak harus memikirkan terbangunnya komunikasi ini, serta mampu berkomunikasi dengan benar, maksimal, dan bermanfaat. Kedelapan, misi murid adalah belajar, dan misi guru adalah mendampingi murid belajarsukses. Misi masing-masing perlu diwujudkan maksimal dn sinergis. Masing-masing berjuang proporsional dan efektif. Jika masing-masing bertugas sesuai tugas pokok dan fungsinya, distorsi komunikasi pasti terhindari dan tidak terjadi. Komunikasi pembelajaran lancar. Kesembilan, perlu kesiapan, kesabaran, kelegaan guru menghadapi kekritisan murid. Setiap manusia, pribadi maupun secara komunal, guru maupun siapa saja, menginginkan hidup damai, tenteram, dan bersabahat dengan siapa pun, tanpa masalah yang berarti. Guru sebagai pembimbing murid hendaknya mengembangkan dan memiliki sikap sabar, tulus, dan menerima kekritisan murid. Sebaliknya, cara murid menyampaikan kekritisannya perlu juga didasari sikap santun dan etis. Kondisi itu akan turut mengamankan relasi yang mereka bangun dalam pembelajaran. f. Hasil Solusi Setelah aneka jurus solusi ditempuh dan dilakukan dan melibatkan banyak pihak terkait secara ulet, sabar, tekun, dan tangguh, akhirnya permasalahan dan konflik guru-murid dalam berelasi pembelajaran dapat teratasi. Beberapa faktor yang dapat dirasakan sebagai hasil solusi upaya pemberesan burengnya relasi mereka dalam pembelajaran adalah sebagai berikut. Pertama, masalah selesai Setelah jelas duduk perkara dan penyebab timbulnya persepsi buruk relasi mereka, maka masingmasing dapat menerima keadaan, rela mengampuni, dan masalah selesai. Relasi mereka pulih baik. Kedua, hubungan bipihak menjadi normal dan baik. Kedua pihak menyadari bahwa setiap persoalan harus dan segera diselesaikan. Kesadaran mereka membereskan persoalan menjadi awal pembangunan komunikasi yang bersahabat dan bermanfaat bagi kehidupan Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 49 Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid pembelajaran mereka. Pembelajaran kembali berjalan normal, dinamis, terjaga, dan membanggakan. Ketiga, kelas terkendali, nyaman. Kelas menjadi salah satu pusat kegiatan belajar. Untuk itu, kelas perlu dicipta aman, terkendali, kondusif, menarik, merangsang mereka berkumpul, membuat mereka kangen berkumpul. Kelas harus bebas masalah. Kelas yang terkendali nyaman menjadikan murid krasan belajar, bahkan lebih kritis dan produktif dalam belajar. Keempat, murid naik kelas semua. Ukuran sukses belajar murid di antaranya adalah naik kelas murni di akhir tahun pelajaran, nilainya baik atau melampaui KKM, bahkan mereka sangat berprestasi dalam bidang akademis maupun noakademis. Murid dan kelas ini semula bermasalah, namun masalahnya ditangani serius melibatkan banyak metode, peran, dan tokoh terkait, sampai masing-masing menyadari kesalahan dan saling mengampuni, hati kembali nol/netral dan nyaman penuh syukur. Hasil akhir yang dapat kami nikmati dan laporkan di sini adalah, mereka semuanya naik ke kelas 9. Mereka sukses setelah berdinamika positif dalam proses pembinaan dan pembelajaran. Sajian data siklus 1 dan data siklus 2 setelah proses mediasi menunjukkan perkembangan positif upaya mediasi kondisi relasi mereka. Itu dapat dicermati pada tabel 2, 4, 6, dan 8. Puji Tuhan, Allelluya. Sungguh besar anugerah-Nya. Kami sungguh bersyukur kepada Tuhan, atas perubahan positif yang terjadi. Simpulan Kesimpulan Dari kajian di atas, penulis berkesimpulan, pertama , sukses pembelajaran ditentukan banyak faktor, seperti : penguasaan materi oleh guru dan penyajiaannya, penerapan metode pembelajaran yang tepat, media pembelajaran yang cocok dan diversifikatif, intensitas dan produktivitas relasi guru murid, motivasi belajar murid yang intrinsik dan tinggi, lingkungan kelas dan sekolah yang menarik dan kondusif, kemampuan managerial guru, profesionalitas guru, kreativitas dan kemampuan guru 50 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 memahami dan menerapkan UU Sisdiknas. Dari kesemua itu dan terkait dengan topik tulisan ini, maka faktor komunikasi guru-murid harus menjadi perhatian utama guru, karena komunikasi merupakan pintu masuk mengerjakan banyak hal bersama murid, komunikasi menjadi awal seluruh aktivitas pembelajaran. Kedua, murid sekarang bersikap kritis terhadap guru, terlebih guru yang kurang disukai. Dalam konteks kajian empirik ini, mereka menyoroti gurunya dalam hal penampilan, gaya bicara, kesenangan/ kebiasaan buruk gurunya, maupun kepribadiannya. Masalah penampilan guru dan kepribadiannya menempati tingkat sorotan murid cukup serius. Penampilan guru disorot murid dalam 23 titik sorot dalam 72 frekuensi. Kepribadian guru disorot murid dalam 26 titik sorot dalam 73 frekuensi. Masalah ini serius dan perlu perhatian, bahkan perlu perubahan internal guru. Kekritisan murid hendaknya tidak menjadikan sumber kemarahan/emosi guru, sejauh penyampaian kekritisan murid itu masih dalam batas wajar, etis, dan misinya positif. Ketiga, walaupun murid menilai banyak keburukan guru, mereka ternyata juga memiliki, bahkan memberikan keperduliannya terhadap guru agar guru berusaha memperbaiki keburukan yang d soroti murid. Ini nyata dari usulan yang murid nyatakan. Ada 14 variasi usulan dan 27 frekuensi yang perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti. Pelaksanaan dan pewujudan usulan murid tentu akan membuat murid puas dan bangga pada guru dan sekolahnya, karena gurunya bukan penguasa melainkan figur yang dinamis dan progresif. Keempat, distorsi komunikasi bisa terjadi karena beberapa sebab, seperti dominansi kondisi struktur kelas, atau, kelas tidak seimbang, adanya masa badai kritis murid, dan sikap egosentrik murid. Juga faktor salah paham, kondisi tertekan, kondisi guru yang nyebelin. Semua itu berdampak negatif bagi kelas, sehingga kelas menjadi bureng. Kapan saja kondisi ini muncul, maka perlu segera diambil tindakan tepat. Kelima, guru sebagai manager kelas harus mampu mengelola kelas secara mantap, dinamis, mampu mengakomodasi banyak aspek Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dan berkualitas, melalui sebuah komunikasi yang efektif. Keenam, konflik dalam sebuah relasi biasa, sering, dan bahkan potensial terjadi. Kita perlu belajar secara akademis maupun empiris untuk menguasai dan mampu menerapkan managemen konflik. Ini penting agar setiap konflik yang terjadi dan kita hadapi dapat diselesaikan secara optimal dan berhasil, tidak mengganggu pro-duktivitas pembelajaran. Hidup dan pembel-ajaran kita tenteram, penuh suka cita, tidak galau. Ketujuh, ketepatan kita menyelesaikan suatu konflik ternyata memberikan banyak manfaat yang menggembirakan dan membanggakan. Namun untuk mewujudkan hal itu diperlukan keseriusan, keuletan, kesabaran, daya juang, ketawakalan, dan kerendah-hatian kedua pihak. Kedelapan, dengan memahami dan menerapkan kesimpulan di atas, diharapkan distorsi komunikasi dalam pembelajaran tidak terjadi, sehingga pembelajaran berjalan efektif, demokratis, produktif, dan berkualitas, bahkan memenuhi harapan banyak pihak. Saran Dari uraian dan kesimpulan di atas, penulis menyampaikan saran terutama kepada guru. Pertama, guru dan semua pendidik perlu memahami faktor penentu keberhasilan pembelajaran agar juga mampu mengimplemen-tasikannya dalam pembelajaran yang diasuhnya. Dalam konteks topik karya tulis ini, guru harus mampu mengelola, menciptakan sistem dan praktik komunikasi yang nyaman, produktif, dan berdampak signifikan pada pembelajaran. Kedua, kekritisan murid terhadap guru, dalam hal sisi negatif guru, perlu diperhatikan, ditindaklanjuti, dicarikan solusi agar sorotan buruk itu tidak menjadi ganjalan dan gangguan komunikasi pembelajaran mereka. Salah satu caranya adalah menjaga kualitas, integritas, dan wibawa diri. Ketiga, di balik sorotan negatif murid terhadap gurunya, ada sorotan dan usulan positif murid; yaitu usulan solusi komunikasi mereka. Ini sikap mulia dan teologis. Untuk itu, usulan mereka perlu diwujudkan bersama, demi pulihnya kepercayaan mereka terhadap guru. Keempat guru harus mampu menghindari terjadinya distorsi komunikasi di kelasnya agar pembelajaran di kelas mulus dan efektif tumbuh berbuahkan kualitas dan prestasi. Kelima, guru harus mampu menjadi manager dan komunikator kelas yang berwibawa, penuh integritas, efektif dan produktif. Keenam, guru sebagai pendidik harus menguasai managemen konflik dan mampu mengimplemen-tasikannya di kelas/sekolah manakala kondisi itu muncul tanpa diduga. Ketujuh, jika terjadi konflik komunikasi pembelajaran, kedua pihak, terlebih guru, harus rela dan dengan rendah hati menyelesaikannya secara cepat, tepat, demokratis, dan berimbang. Daftar Pustaka Al-Barry, M. Dahlan .(2003). Kamus induk istilah ilmiah-seri intelektual. Surabaya : Target Press Ali, Lukman (Penjab). (1999). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta :Balai Pustaka Aqib, Zainal. (201)0. Profesinoalisme guru dalam pembelajaran. Surabaya : Insan Cendikia Chandra, Robby I. (1997). Pemimpin yang handal dan komunikatif. Jakarta : Bina Warga Chandra, Robby I. (1998). Menatap Benturan Budaya : Budaya Kota, Kawula Muda, dan Media Modern. Jakarta : Bina Warga Depdiknas.( 2003). UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Jakarta : Depdiknas Hutagalung, Inge. (2007). Pengembangan kepribadian-tinjauan praktis menuju pribadi positif. Jakarta : PT Indeks Rusmana, Nandang. (2009). Bimbingan dan konseling kelompok di sekolah (Metode, teknik, aplikasi). Bandung : Rizqi Press Setiabudi, Tessie & Joshua Maruta. (2012). Cerdas mengajar (Panduan wajib bagi orangtua dan guru untuk mendampingi anak-anak menjadi pemenang ). Jakarta : Grasindo Slavin, Robert E. (2008). Cooperative learning ( Teori, riset, dan praktik ). Bandung : Nusa Media Suparman, Atwi. (1997). Model-model pembelajaran interaktif. Jakarta : STIA-LAN Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 51 Language Learning Strategies to Improve Language Teaching Penelitian Language Learning Strategies to Improve Language Teaching Perlando Lubis E-mail: [email protected] SMAK 1 BPK PENABUR Bandung Abstrac mplementing a strategy in learning a language is generally believed to be important for one to be a successful or good language learner. This study was designed to investigate the use of language learning strategies (LLS) and seek out whether or not there is a difference in using LLS based on the major or elective program (IPA, or Nature or Earth Science, and IPS, or Social Science) on the 11th Graders of SMAK 1 BPK PENABUR Bandung. A total number of 194 students participated in this research held from February to May 2012: 105 IPA students and 89 IPS students. These participants were provided with two sets of self-reported questionnaires: Background Characteristics and Oxford’s Strategy Inventory for Language Learning (SILL). The data were then computed and analyzed using descriptive statistics and t-test. The research findings were: 1) The student-respondents were reported to have medium-use level in using LLS and 2) statistical differences were identified to use each of the six subcategories of LLS concerning with elective program. IPS students were reported to use four subcategories: social strategy, affective strategy, metacognitive strategy, and memory strategy more than IPA students. Moreover, the first two strategies were reported to show significant differences between these two groups. This implies that successful language learners implement certain strategies in their learning process. Finally, conducting such research is beneficial for English teachers to set up a strategy in their teaching activities. I Keywords: Good language learners (GLL), language learning strategies (LLS), Oxford’s SILL Strategi Belajar Bahasa untuk Meningkatkan Pembelajaran Bahasa Abstrak Menerapkan strategi dalam proses pembelajaran bahasa dipandang penting bagi seseorang supaya menjadi pembelajar yang berhasil. Penelitian ini dirancang untuk mengetahui penggunaan Strategi Pembelajaran Bahasa (SPB) dan mengetahui apakah terdapat perbedaan dalam menggunakan SPB oleh para siswa kelompok IPA dan IPS Kelas 11 SMAK 1 BPK PENABUR Bandung. Sebanyak 194 siswa kelas 11 berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian yang dilakukan selama Februari-Mei 2012, dengan 105 siswa kelompok IPA dan 89 kelompok IPS. Seluruh responden diberikan dua set kuesioner yaitu Background Characteristics dan Strategy Inventory for Language Learning (SILL). Data yang diperoleh kemudian diproses dan dianalisis dengan menggunakan statistik deskiptif dan t-test melalui SPSS 17.0. Hasil penelitian adalah: 1) para siswa termasuk katagori menengah dalam penggunaan SPB dan 2) perbedaan statistik diperoleh pada masing-masing subkatagori berkaitan dengan kelompok atau jurusan. Kelompok IPS menggunakan lebih banyak SPB daripada Kelompok IPA pada subkatagori social strategy, affective strategy, metacognitive strategy, dan memory strategy. Dari empat subkatagori ini, subkatagori pertama dan kedua menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan, siswa yang berhasil dalam belajar bahasa menggunakan strategi tertentu dalam proses belajarnya. Akhirnya melakukan penelitian seperti iini bermanfaat kepada guru bahasa Inggris dalam kegiatan pembelajaran. Kata-kata kunci: Pembelajar bahasa yang baik, strategi pembelajaran bahasa, SILL Oxford 52 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Language Learning Strategies to Improve Language Teaching Introduction In order to achieve the goals in learning process or activities to any skills, including language skills, learners should develop what Brown (2001: 208) mentions as “strategic investment” by which they spend time, effort and attention to the language they are learning and in which they set up strategies toward the ultimate mastery in the language itself. Numerous researchers have demonstrated how language learning strategies (LLS) are put into practice by the respondentlearners: O’Malley & Chamot, (1990), Oxford et al., (1985), Griffiths and Parr (2000), Bull and Yingxin (2001), Wu (2008) and Chang, Liu and Lee (2007). From this bunch of research there is a common thread protruding out as pedagogical implications which lead to a general understanding that implementing LLS is meaningful to maximize learners’ effective learning. Therefore, raising learners’ awareness to develop their LLS is required by teachers to do in their classroom activities. In relation to this concluding and suggesting framework, the term ‘good language learner (GLL)’ is widely used to present what to develop in order to achieve the goals in the learning process. Naiman, Frohlich, Stern and Todesco (1978 in Cook, 1991: 79-80) formulate six common strategies developed by GLLs. Meanwhile, Rubin and Thompson (1982 in Brown, 2001: 209) propose some generalizations that a GLL is categorized in. From the writer’s experience and observation, the problematic issue is that there are schools where English teaching has still been focused more on the Grammar Translation Method or Traditional Grammar Method with developing less on the skills. Focusing more on this kind of method can be identified by some major characteristics (Prator and Celce-Murcia in Brown, 2001: 18-19): 1) Much vocabulary is taught in the form of lists of isolated words, 2) Long, elaborate explanations of the intricacies of grammar are given, 3) grammar provides the rules for putting words together, and instruction often focuses on the form and inflection of words, 4) little attention is paid to the content of texts, which are treated as exercises in grammatical analysis, and (5) often the only drills are exercises in translating disconnected sentences from the target language into the mother tongue. Since teaching English, like any languages, is generally understood to focus more on the development of the four skills – listening, speaking, reading and writing-the method or approach to teach the four skills should then be implemented rather than emphasizing more on teaching grammar. Also, from the early interview with some of the respondents, it was found that they did not recognize that there has been a set of strategies in language learning by which they can maximize their achievement and are surely led to be good language learners. This set of language learning strategies is applicable to any languages, including one’s native, national or even foreign language. In order to help learners maximize their achievement in their language learning, not only teachers’ teaching methods should be developed or improved but also students’ LLS. Raising student’s awareness to implement LLS, in the writer’s opinion, should come first due to what O’Malley et all (1985: 21) say that “teachers were generally unaware of their students’ strategies”. And to raise students’ awareness to whether or not they have applied strategies or in other words they do know about their strategic investment in their LLS, it can be commenced by conducting a notice to their LLS through research. In conclusion, the importance of this research was to develop both the teachers’ and students’ awareness to the fact that there is a set of language learning strategies applicable to maximize students’ achievement and to recall teaching colleagues to be able to identify their students’ LLS and at the same time encourage the students to use the LLS to maximize their achievement. However, the scope of this research focuses on English as the respondents’ foreign language. Conceptual Framework One step prior to understand what LLS discusses about is to know what types of L2 knowledge. Faerch and Kaseper (1983 in Ellis, 1987: 165-167) mention that there are two types of L2 knowledge: declarative and procedural. The former means “knowing that” and the latter means “knowing how”. The summary of the two types of L2 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 53 Language Learning Strategies to Improve Language Teaching knowledge is depicted by the following figure. According to Rubin (1981: 43 cited in Chang et al. (2007)) strategies are “the techniques or devices, which a learner may use to acquire learning”. Therefore, it can be comprehended that there are deliberate efforts which are taken by a language learner while they are in their learning process in order to maximize their achievement Declarative knowledge (i.e. L2 rules and chunks of speech) L2 knowledge social processes/strategies (i.e. devices for managing interaction in L2) procedural knowledge for learning L2 (i.e. devices for internalizing or automatizing L2 knowledge) cognitive strategies/ processes production/reception processes and strategies (i.e. devices for using existing resources automatically) for using communication strategies (i.e. devices for compensating for inadequate resources) Figure 1: Types of L2 knowledge knowledge”. Brown (2001: 210) defines that strategies are “specific methods of approaching a problem or task, modes of operation for achieving a particular end, or planned designs for controlling and manipulating certain information”. O’Malley et al. (1985: 23) state that “language learning strategies have been broadly defined as any set of operations or steps used by a learner that will facilitate the acquisition, storage, retrieval, or use of information”. Chamot (1987: 71 cited in Chang et al. (2007) provides a definition of learning strategies “as techniques approaches or deliberate actions that students take in order to facilitate the learning and recall of both linguistic and content area information”. Cook (1991: 78) shares her opinion that a learning strategy is “a choice that the learner makes while learning or using the second language that affects 54 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 in the language learning itself. In line with LLS, Oxford (1990) has formulated and then provided the taxonomy of learning strategies as Table 1. Naiman, Frohlich, Stern and Todesco (1978 in Cook, 1991: 79-80) provide six general strategies good language learners demonstrate: 1. GLL strategy 1: find a learning style that suits you; 2. GLL strategy 2: involve yourself in the language learning process; 3. GLL strategy 3: develop an awareness of language both as system and as communication; 4. GLL strategy 4: pay constant attention to expanding your language knowledge; 5. GLL strategy 5: develop the L2 as a separate system; 6. GLL strategy 6: take into account the Language Learning Strategies to Improve Language Teaching Table 1: Oxford's LLS System T yp e Direct strategies Indirect strategies Primary strategies Secondary strategies 1. Memory strategies A. B. C. D. Creating mental linkages Applying images and sounds Reviewing well Employing action 2. Cognitive strategies A. B. C. D. Practicing Receiving and sending Analyzing and reasoning Creating structure for input and output 3. Compensation strategies A. B. Guessing intelligently Overcoming limitations in speaking and writing 4. Metacognitive strategies A. B. C. Centering your learning Arranging and planning your learning Evaluating your learning 5. Affective strategies A. B. C. Lowering your anxiety Encouraging yourself Taking your emotional temperature 6. Social strategies A. B. C. Asking questions Cooperating with others Empathizing with others demands that L2 learning imposes Similar to what the six strategies the four researchers share, Rubin and Thompson (1982 in Brown, 2001: 209) come up with some common characteristics of good language learners. They draw 14 points that good language learners: (1) find their own way, taking charge of their learning; (2) organize information about language (3) are creative, developing a “feel” for the language by experimenting with its grammar and words; (4) make their own opportunities for practice in using the language inside and outside the classroom; (5) learn to live with uncertainty by not getting flustered and by continuing to talk or listen without understanding every word; (6) use mnemonics and other memory strategies to recall what has been learned (7) make errors work for them and against them; (8) use linguistic knowledge, including of their first language, in learning a second language; (9) use contextual cues to help them in comprehension; (10) learn to make intelligent guesses; (11) learn chunks of language as wholes and formalized routines to help them perform “beyond their competence”; (12) learn certain tricks that help to keep conversations going; (13) learn certain production strategies to fill in gaps in their own competence; and (14) learn different styles of speech and writing and learn to vary their language according to the formality of the situation. In conclusion, language learners’ awareness to implement suitable strategies in the language learning process is required in order to maximize their achievement in mastering the language or developing their language skills. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 55 Language Learning Strategies to Improve Language Teaching Methodology Research Questions This research was aimed to investigate language learning strategies used by the 11th graders of SMAK 1 BPK PENABUR Bandung based the following research questions: 1. What kinds of language learning strategies do the 11th graders of SMAK 1 BPK PENABUR Bandung use? 2. Is there any difference in using language learning strategies based on the learner’s elective program (IPA or IPS)? Population The population of this research was the 11th graders of the research site, that is, a secondary school in Bandung. The members of this population are divided into two parts of elective programs: IPA (nature or earth science) with 105 students and IPS (social science) with 89 students. All these 194 11th graders in the two elective programs of the school, all of whom were statistically computed. There are two major programs offered to the students at the research site, that is, classical program and non-classical program or special program. The latter is comprised of three subprograms: Cambridge International Programme (CIP), bilingual program and acceleration program, all of which are in IPA program. Meanwhile, classical program consists of IPA and IPS programs. Instrument of the Research There are two instruments of questionnaires used in this research: (a) Respondents’ Characteristics, (b) Strategy Inventory for Language Learning (SILL). Respondents’ Characteristics The researcher designed three questions for the students-respondents to gather the data regarding the name, class, and elective program (IPA or IPS). The Strategy Inventory for Language Learning (SILL) The Strategy Inventory for language Learning (SILL) (Oxford, 1990) version 7.0 was provided to the student-respondents in order to know the 56 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 LLS preference each student used and subsequently to find out the strategy used by elective program. The version 7.0 of SILL contained of 50 items, and characterized into six subcategory of language learning strategy: (1) memory strategies (items 1 to 9), (2) cognitive strategies (items 10 to 23), (3) compensation strategies (items 24 to 29), (4) metacognitive strategies (items 30 to 38), (5) affective strategies (items 39 to 44), and (6 social strategies (items 45 to 50). The following shows the statements of each strategy develops by which the respondents were required to answer based on what they thought they have implemented in the course of their learning English. Table 2: Part A - Memory Strategies No. Strategy 1. I think of relationships between what I already know and new things I learn in English. 2. I use new English words in a sentence so I can remember them. 3. I connect the sound of a new English word and an image or picture of the word to help me remember the word. 4. I remember a new English word by making a mental picture of a situation in which the word might be u se d. 5. I use rhymes to remember new English words. 6. I use flashcards to remember new English words. 7. I physically act out new English words. 8. I review English lessons often. 9. I remember new English words or phrases by remembering their location on the page, on the board, or on a street sign. Language Learning Strategies to Improve Language Teaching Table 3: Part B - Cognitive Strategies No. Strategy Table 4: Part C - Compensation Strategies No. Strategy 1 0. I say or write new English words several times. 24. To understand unfamiliar English words, I make guesses. 11. I try to talk like native English speakers. 25. 12. I practice the sounds in English. When I can't think of a word during a conversation in English, I use gestures. 1 3. I use the English words I know in different ways. 26. I make up new words if I do not know the right ones in English. 1 4. 27. I start conversations in English. I read English without looking up every new word. 1 5. I watch English language TV shows spoken in English or go to movies spoken in English. 28. I try to guess what the other person will say next in English. 29. If I can't think of an English word, I use a word or phrase that means the same thing. 1 6. I read for pleasure in English. 17. I write notes, messages, letters, or reports by dividing it into parts that I understand. 18. I fi rst skim an English passage then go back and read carefully. 19. I look for words in my own language that are similar to new words in English. 20. I try to find patterns in English. 21. I find the meaning of an English word by dividing it into parts that I understand. 22. I try not to translate word-for word. 23. I make summaries of information that I hear or read in English. Table 5: Part D - Metacognitive Strategies No. Strategy 30. I try to find as many ways as I can to use my English. 31. I notice my English mistakes and use that information to help me do better. 32. I pay attention when someone is speaking English. 33. I try to find out how to be a better learner of English. 34. I plan my schedule so I will have enough time to study English. 35. I look for people I can talk to in English. 36. I look for opportunities to read as much as possible in English. 37 I have clear goals for improving my English skills. 38 I think about my progress in le arning English. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 57 Language Learning Strategies to Improve Language Teaching Table 6: Part E - Affective Strategies No. Strategy 39. I try to relax whenever I feel afraid of using English. 40. I encourage myself to speak English even when I am afraid of making a mistake. In order to understand the average each respondent has achieved, the following table points out the respondent’s position in using the LLS: Table 8: Key to Understanding Respondents' Averages Average Score 41. I give myself a reward or treat when I do well in English. 42. I notice if I am tense or nervous when I am studying or using English. 3.5 to 4.4 I write down my feelings in a language learning diary. 2.5 to 3.4 I talk to someone else about how I feel when I am learning English. 1.5 to 2.4 43. 44. Table 7: Part F - Social Strategies No. 4.5 to 5.0 High 1.0 to 1.4 Remarks Always or almost always u se d Usually used Medium Low Sometimes u se d Generally not u se d Never or almost never used Strategy 45.. If I do not understand something in English, I ask the other person to slow down or say it again. 46. I ask English speakers to correct me when I talk. 47. I practice English with other students. 48. I ask for help from English speakers 49. I ask questions in English 50. I try to learn about the culture of English speakers. These SILL 50 items are evaluated on a fivepoint Likert scale ranging from 1 to 5. The number indicates how often the learner uses the strategies. Never or almost never true of me (1) Generally not true of me (2) Somewhat true of me (3) Generally true of me (4) Always or almost always true of me (5) 58 Category Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Research Findings And Discussion The Statistical Package for the Social Science (SPSS) for Microsoft Windows 17.0 was used to compute the statistics of the collected data. This SPSS was used to obtain descriptive statistics, including frequencies, means, standard deviations and percentages and the use of language learning strategies. t-test was implemented to find out whether there was any significance of language learning strategies used by the respondents regarding the gender and elective program. Research Question 1 What kinds of language learning strategies do the 11th graders of SMAK 1 BPK PENABUR Bandung use? To investigate the language learning strategies that the 11th graders grouped in IPA and IPS as their elective program of the research site use, descriptive statistics was then applied. Table 2 shows that the mean of frequency of overall strategy used by the respondents was 2.95 which is categorized ‘medium’ (which means range from 2.5 to 3.4) Language Learning Strategies to Improve Language Teaching Table 9: Summary of Descriptive Statistics for Language Learning Strategy Use m<3 LLS M m3> SD Frequency % Frequency % Memory 2.71 .581 140 72.2 54 27.8 Cognitive 3.02 .580 99 51.0 95 49.0 Compensation 3.44 . 71 8 59 30.5 135 69.5 Metacognitive 2.95 . 682 106 54.8 88 45.2 Affective 2.62 . 61 5 150 77.4 44 22.6 Social 2.80 .703 128 66.2 66 33.8 Overall 2.95 .481 113 58.0 81 42.0 3. As it is presented in Table 9, the following demonstrates the language learning strategies in order (from the mostly used one to the least used one) and what the means are categorized based on Table 8: 1. Compensation strategy (M= 3.44) which is categorized medium. 2. Cognitive strategy (M= 3.02) which is categorized medium. 4. 5. 6. Metacognitive strategy (M= 2.95) which is categorized medium. Social strategy (M= 2.80) which is categorized medium. Memory strategy (M= 2.71) which is categorized medium. Affective strategy (M= 2.62) which is categorized medium. Table 10: Summary of Variation in Language Learning Strategy Use by Elective Program N M SD LLS IPA IPS IPA IPS IPA IPS Memory 105 89 2.66 2.76 .578 .580 Cognitive 105 89 3.04 3.00 .537 Compensation 105 89 Metacognitive 105 Affective t P -1.714 .087 .621 .517 .605 3.47 3.41 .706 .732 .826 .409 89 2.90 3.00 .671 691 -1.422 .156 105 89 2.52 2.73 .571 .643 -3.194 .002 Social 105 89 2.69 2.90 .683 .708 -2.933 .004 Overall 105 89 2.90 3.00 .430 .524 -1.961 .051 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 59 Language Learning Strategies to Improve Language Teaching Research Question 2 Is there any difference in using language learning strategies based on the learner’s elective program (IPA or IPS)? To answer this research question, conducting ttest of equality of means was required and the relationships between the respondents’ chosen elective program, either IPA or IPS, and the use of language learning strategies. The computed results of this test analysis is performed in Table 4. As present in the table, no significant differences were identified between IPA and IPS learners in overall strategy use (t= -1.961, p>.051). IPA students were identified to have the mean of frequency 2.90 and IPS students were identified to have the mean 3.00 in using the language learning strategy. As a result, IPS students were reported to use language learning strategy more than did IPA students. In line with the six language learning strategies, Table 4 presented the statistical point that there was no significant differences in the use of memory strategy, cognitive strategy, compensation strategy and metacognitive strategy by the respondents’ elective program group (t = - 1.714, .517, .826, and -1.422, p> .05). Meanwhile, significant differences were identified in the use of affective strategy and social strategy (-3.194 and -2.933, p< .05). On the subject of the means of frequency and in relation to the significance level, it was also reported that IPS students used social strategy and affective strategy more than IPA students. In terms of social strategy, the means of IPS students and IPA students were 2.90 and 2.69 and of affective strategy the means of IPS students and IPA students were 2.73 and 2.52. In addition, the differences of means were also found between IPA students and IPS students regarding with memory strategy and metacognitive strategy in which IPS students were reported to use these two strategies more than IPA students did. The means of IPS students in using metacognitive and memory strategy were 3.00 and 2.76 compared to 2.90 and 2.66 of IPA students’. Meanwhile, it was reported that IPA students had different means from those IPS students did in the use of cognitive strategy and compensation strategy. Compared to IPA students whose means in the use of compensation strategy and cognitive 60 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 strategy and were 3.47 and 3.04, IPS students were reported to have the means of 3.41 and 3.00. In conclusion, IPS students were reported to use four subcategories of language learning strategies, that is, social strategy, affective strategy, metacognitive strategy, and memory strategy more than did IPA students. Moreover, the first two strategies were reported to show significant differences between these two groups of students. In the writer’s opinion, there were two empirical limitations that might lead to further research. First, there was insufficient time to explain each of the fifty items in depth in order the student-respondents would obtain the around-the-circle understanding to the items. The writer took 40-minute teaching period per classroom to take the data. Comprehending the items clearly would surely direct to the accuracy of determining each student’s preference of LLS. To cope with this feasible bias, overall in all the classes the writer highlighted some statements that the students might not understand well or even misunderstand. For instance, the writer explained what Strategies 3, 6 7 and 9 (memory strategies). Also, the writers discussed Strategies 12, 17 and 20 (cognitive strategies; Strategy 26 (compensation strategies); Strategies 33, 34 and 38 (metacognitive strategies); Strategies 40 and 42 (affective strategies) and Strategy 50 (social strategies). Second, in addition to the SILL questionnaire, which was then analyzed quantitatively, having interviews to the students individually was supposed to be conducted merely under the objective to obtain very accurate data confirming each student’s preference of LLS. However, the writer arguest that it would be abundant work and take longer time. Therefore, the writer shared LLS and the SILL strategies to his English co-teachers who teach the 11 th graders to implement this study and share with their students to obtain more accurate LLS. Meanwhile, the writer also realizes that this research cannot measure perfectly the students’ LLS which is in this study administered quantitatively. It should then methodically be conducted qualitatively by such data collection techniques as interviews. Administering interviews is thought to support the findings done by this study in order the much clearer Language Learning Strategies to Improve Language Teaching coverage to the output is obtained. In addition to this, choosing 11th graders as the respondents is a good way to obtain the summary of their LLS. However, the writer has happened to realize that it should be better to have another similar research involving or opting the 10th graders the respondents prior to this study in order the students’ LLS can be identified as early as they are in the 10th grade. Therefore, the teachers can have the early data of their students’ LLS and later can put an appropriate strategy into practice to maximize their achievement in English. Of course, this scheme happens to indicate the process in the senior high school (Year 10 to Year 12). Conclusion and Pedagogical Implications Conclusion This research was designed to find out the rate of using learning strategies applied by the 11th graders of SMAK 1 BPK PENABUR Bandung as well as to seek whether there was any difference in using the language learning strategies (LLS) between two different groups of 11th graders based on their elective programs, that is, IPA and IPS. It was found that all the 194 students of the 11th graders participating in this research were categorized medium in using the LLS with the average of 2.95. Among the six strategies categorized in the Oxford’s SILL, the most frequently used strategies was compensation followed by cognitive, metacognitive, social, memory and affective. Such means, both the overall average and each of the six categories individually, revealed a conclusion that these respondents had not applied strategies frequently. Referring to the data taken from these respondents based on the two different groups consisting of 105 IPA students and 89 IPS students, IPS students were reported to use four subcategories of LLS than did IPA students. The four subcategories were (1) social strategies, (2) affective strategies, (3) metacognitive strategies and (4) memory strategies. The first two strategies were reported to show significant differences between these two groups of students: mean of 2.90 (IPS) to 2.69 (IPA) for social strategies and 2.73 (IPS) to 2.52 (IPA) for affective strategies. Pedagogical Implications This summary of data findings conveys the meaning of how important raising students’ awareness of LLS to achieve the goal to be a GLL as promoted by Naiman, Frohlich, Stern and Todesco (1978 in Cook, 1991) and Rubin and Thompson (1982 in Brown, 2001). Collecting the data of students’ LLS can be a good start to achieve the objective since conducting this research means mapping the students’ strengths and preference in order teachers and educators can better understand the class and implement which strategies to maximize the students’ potentials. The extension of this is that both teachers and educators can design or opt learning materials and methods to be conducted in the classroom. For example, the class whose students prefer social strategies can have pair or group works in a more portion. Students under the rote learning system intending them to memorize a lot of information in many of their exams, therefore are required to use memory strategies. Meanwhile, students with a genre-based approach (GBA) in which they are exposed with relatively abundant reading passages with various text types can be directed to develop their compensation strategies or metacognitive strategies in order to be able to use their reading techniques including guessing meaning from contexts or comprehend well unfamiliar words in the texts by certain knowledge previously acquired or obtained. Last but not least, the writer would like to recommend his teaching colleagues to conduct the research on LLS as the early step to maximize the students’ achievement in language learning, particularly English. It should then be understood that every (English) language learner has his or her own preference in using LSS whether it is memory, cognitive, compensation, metacognitive, affective or social. Furthermore, in addition to the scope of the research, that is, limited to choosing the 11 th graders as the respondents and finding out the LLS preference used based on the elective subject (IPA and IPS), Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 61 Language Learning Strategies to Improve Language Teaching it is recommended to administer another research based on different graders (the 10th and 12th) or gender (male students and female ones). Bibliography Brown, H. Douglas. (2001). Teaching by Principals: An interactive approach to language pedagogy, Second Edition. New York: Addison Wesley Longman, Inc Chang, Ching-yi and Shen Ming-chang. (2010). The effects of belief about language learning strategy use of Junior High School EFL learners in remote districts. Taiwan: Research in Higher Education Journal Chang, Ching-yi, Shu-Chen Liu and Yi-Nian Lee. (2004). A study of language learning strategies used by college efl learners in Taiwan. Taiwan: Research in Higher Education Journal 62 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Cook, Vivian. (1991). Second language learning and language teaching. New York Routledge, Chapman and Hall, Inc Feyten, Carine M., Jeffra J. Flaitz and Michella A. LaRocca. (1999). Consciousness raising and strategy use. California: Applied Language Learning. Volume 10. Numbers 1 & 2. California: Defense Language Institute Foreign Language Center Griffiths, Carol. (2004). Language learning strategies: Theory and research. Occasional Paper No. 1. 2004. Auckland: School of Foundation Studies. AIS St. Helens Wu, Ya-Ling. (2008). Language learning strategies used by students at different proficiency levels. The Asian EFL Journal. Volume 10. Issue 4 Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan Opini Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan melalui Pembelajaran Terpadu Berbagai Disiplin Ilmu Keke Taruli Aritonang E-mail: [email protected] SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta Abstrak endidikan kewirausahaan bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh (holistik), sebagai insan yang memiliki karakter, pemahaman, dan keterampilan sebagai wirausahawan. Pada dasarnya pendidikan kewirausahaan dapat diimplementasikan secara terpadu dengan kegiatan pendidikan di sekolah, antara lain melalui semua mata pelajaran, bahan ajar, ekstrakurikuler, maupun pengembangan diri. Tulisan ini menawarkan salah satu cara menerapkan pendidikan kewirausahaan melalui pembelajaran menulis kreatif puisi dengan menggunakan konsep terpadu berbagai disiplin ilmu. Mata pelajaran yang dipadukan adalah bahasa Indonesia, PKn, dan Matematika. Melalui tahap-tahap kewirausahaan yaitu exploring, planning, doing, communicating, dan reflecting, ditanamkan nilai-nilai kewirausahaan serta peserta didik memiliki keterampilan dalam menulis kreatif puisi (bahasa Indonesia) bertema HAM (PKn) dalam bentuk media segitiga atau segiempat (Matematika) yang memiliki nilai jual. P Kata-kata kunci : Pendidikan kewirausahaan, menulis kreatif puisi, pembelajaran terpadu, disiplin ilmu Integrating Entrepreneurship Education Through Integrated Learning Various Disciplines Abstract Entrepreneurship education is intended to build a person holistically as a human being with character, insight, and skills as an entrepreneur. Principally entrepreneuship education can be practised in integrated educational activities at school, such as through all subjects, instructional materials, extracurricular programs, and self-development. This article offers an entrepreneurship education method through poetry creative writing applying interdisciplinary approach. The integrated subjects consist of Indonesian, Civics, and Mathematics. Through enterpreunership steps: exploring, planning, doing, communicating and reflecting, entrepreneurship value is developed and the students possess poetry creative writing skill (Indonesian), with human rights themes for Civics, and in the forms of triangel and square for Mathematics which are saleable. Keywords: Entrepreneurhip education, poetry creative writing, integrated instruction, discipline Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 63 Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan Pendahuluan Mutu hasil pendidikan tidak saja ditentukan oleh indikator kuantitatif, tetapi yang sangat penting untuk dicapai adalah indikator kualitatif yang meliputi: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri, dan menjadiwarganegara yang demokratis serta bertanggungjawab. Indikator kualitatif tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik dan berkaitan dengan pembentukan sikap serta keterampilan/skill berwirausaha peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun, memiliki sikap dan keterampilan/skill berwirausaha, (Kemendiknas, 2010:1) Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat dalam Kemendiknas (2010), kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill dari pada hard skill. Hal ini mengisyaratkan mutu pendidikan karakter, termasuk karakter kewirausahaan peserta didik, sangat penting untuk segera ditingkatkan. Pemerintah telah mengeluarkan Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Intruksi ini mengamanatkan kepada seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia untuk mengembangkan program kewirausahaan. Pemerintah menyadari bahwa dunia usaha merupakan tulang punggung perekonomian nasional, sehingga harus diupayakan untuk ditingkatkan secara terus menerus. Melalui gerakan ini diharapkan karakter kewirausahaan akan menjadi bagian dari etos kerja masyarakat dan bangsa Indonesia, sehingga dapat melahirkan wirausahawan baru yang handal dan tangguh. Tetapi sayangnya, upaya Pemerintah dalam memasyarakatkan kewirausahaan tersebut belum membawa 64 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 pengaruh yang signifikan karena masih banyak penduduk yang tidak produktif setiap tahun. Hal itu memunculkan pertanyaan, seberapa jauh keberhasilan pelaksanaan Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan yang telah dilakukan sejak tahun 1995 dan apa dampak dari program itu. Menurut Kemendiknas (2010:20), untuk revitalisasi kebijakan Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan perlunya mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan, mengingat jumlah terbesar pengangguran terbuka dari tamatan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Berdasarkan hal itulah pemerintah mengeluarkan kebijakan pembangunan Pendidikan Nasional tahun 2010 – 2014, yang dimaksudkan untuk penerapan metodologi pendidikan akhlak mulia dan karakter bangsa termasuk karakter wirausaha. Dalam Rencana Strategis (Renstra) Kemendiknas yang termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 -2014, Substansi Inti Program Aksi Bidang Pendidikan adalah peningkatan akses yang berkualitas, terjangkau, relevan, dan efisien menuju terangkatnya kesejahteraan hidup rakyat, kemandirian, keluhuran budi pekerti, dan karakter bangsa yang kuat. Pembangunan bidang pendidikan diarahkan demi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang didukung keselarasan antara ketersediaan tenaga terdidik dengan kemampuan: (1) menciptakan lapangan kerja atau kewirausahaan dan (2) menjawab tantangan kebutuhan tenaga kerja. Dengan demikian, substansi inti program aksi bidang pendidikan yang terkait dengan pendidikan kewirausahaan adalah perlunya penataan ulang kurikulum sekolah yang dibagi menjadi kurikulum tingkat nasional, daerah, dan sekolah sehingga dapat mendorong penciptaan hasil didik yang mampu menjawab keutuhan sumber daya manusia untuk mendukung pertumbuhan nasional dan daerah dengan memasukkan pendidikan kewirausahaan, di antaranya dengan mengembangkan model link and match. (Kemendiknas 2010:5). Realita di lapangan, sistem pembelajaran saat ini belum sepenuhnya secara efektif membangun, peserta didik memiliki akhlak Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan mulia dan karakter bangsa termasuk karakter wirausaha. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan jumlah pengangguran yang relatif tinggi, jumlah wirausaha yang masih relatif sedikit, dan terjadinya degradasi moral. Kebijakan untuk menanggulangi masalah ini terutama masalah yang terkait dengan kewirausahaan antara lain dapat dilakukan dengan cara: (a) menanamkan pendidikan menghubungkaitkan konsep-konsep dari berbagai bidang kajian dalam http:// remenmaos.blogspot.com/2011. Adapun bidang kajian dalam pembelajaran menulis kreatif puisi ini adalah menghubungkaitkan tiga disiplin ilmu sekaligus, yaitu Bahasa Indonesia, PKn, dan Matematika. Pemahaman akan konsep pembelajaran terpadu melalui pembelajaran menulis kreatif puisi ini, ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1: Pemahaman Konsep Disiplin Ilmu Pemahaman Konsep Disiplin Ilmu KATA KUNCI/KONSEP Bahasa Indonesia: - Menulis kreatif - Puisi Menulis kreatif puisi berkenaan dengan peristiwa yang pernah dialami PKN : - Hak Azazi Manusia (HAM) Deskripsi kasus-kasus pelanggaran HAM Matematika : - Segi empat - Segi tiga Identifikasi macam-macam bentuk segi tiga dan segi empat. kewirausahaan ke dalam semua mata pelajaran, bahan ajar, ekstrakurikuler, maupun pengembangan diri, (b) mengembangkan kurikulum pendidikan yang memberikan muatan pendidikan kewirausahaan yang mampu meningkatkan pemahaman tentang kewirausahaan, menumbuhkan karakter dan ketrampilan/skill berwirausaha, dan (c) menumbuhkan budaya berwirausaha di lingkungan sekolah, Kemendiknas (2010:6). Salah satu cara menanamkan pendidikan kewirausahaan ke dalam semua mata pelajaran, adalah menggunakan pembelajaran terpadu berbagai disiplin ilmu. Salah satu kunci pembelajaran terpadu yang terdiri atas beberapa bidang kajian adalah menyediakan lingkungan belajar yang menempatkan peserta didik mendapat pengalaman belajar yang dapat KALIMAT PEMAHAMAN (Suatu pernyataan dari hasil proses menghubungkan 3 konsep atau lebih sehingga menimbulkan pemahaman yang lebih hakiki dan mendalam). Pemahaman akan proses kreatifitas menulis puisi bertema pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) berkenaan dengan peristiwa yang pernah dialami yang dituangkan dalam bentuk media berbagai segi empat dan segi tiga. Ada beberapa manfaat yang diperoleh dalam pelaksanaan pembelajaran terpadu di atas, menurut Prabowo (2000:5) antara lain: pertama, dengan menggabungkan berbagai mata pelajaran akan terjadi penghematan karena tumpang tindih materi dapat dikurangi bahkan dihilangkan.Kedua siswa dapat melihat hubungan yang bermakna sebab materi pembelajaran lebih berperan sebagai sarana atau alat daripada tujuan akhir itu sendiri. Ketiga, pembelajaran terpadu dapat meningkatkan taraf kecakapan berpikir siswa. Hal ini dapat terjadi karena siswa dihadapkan pada gagasan atau pemikiran yang lebih besar, lebih luas dan lebih dalam ketika menghadapi situasi pembelajaran. Kemungkinan pembelajaran yang terpotongpotong sedikit sekali terjadi, sebab siswa dilengkapi dengan pengalaman belajar yang Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 65 Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan lebih terpadu sehingga akan mendapat pengertian mengenai proses dan materi yang lebih terpadu. Keempat, pembelajaran terpadu memberikan penerapan-penerapan dunia nyata sehingga dapat mempertinggi kesempatan transfer pembelajaran (transfer of learning). Kelima, dengan pemaduan pembelajaran antarmata pelajaran diharapkan penguasaan materi pembelajaran akan semakin baik dan meningkat. Keenam, pengalaman belajar antar mata pelajaran sangat positif untuk membentuk pendekatan menyeluruh pembelajaran terhadap pengembangan ilmu pengetahuan siswa karena lebih aktif dan otonom dalam pemikirannya. Motivasi belajar dapat diperbaiki dan ditingkatkan dalam pembelajaran antar mata pelajaran. Para siswa akan terlibat dalam “konfrontasi yang melibatkan banyak pemikiran” dengan pokok bahasan yang dihadapi. Ketujuh, pembelajaran terpadu membentuk dan menciptakan struktur kognitif atau pengetahuan awal siswa yang dapat menjembatani pemahaman yang terkait, pemahaman yang terorganisasi dan pemahaman yang lebih baik. Berdasarkan manfaat yang telah dikemukakan, pembelajaran terpadu dipilih dalam menerapkan pendidikan kewirausahaan melalui pembelajaran menulis kreatif puisi. Pengertian Kewirausahaan Menurut Prawirokusuma dalam Kemendiknas (2010: 15), wirausahawan adalah orang yang melakukan upaya kreatif dan inovatif dengan mengembangkan ide dan meramu sumber daya untuk menemukan peluang dan perbaikan hidup. Kewirausahaan muncul apabila seseorang individu berani mengembangkan usaha dan ide barunya. Kewirausahaan meliputi semua fungsi, aktivitas dan tindakan yang berhubungan dengan perolehan peluang dan penciptaan organisasi usaha. Esensi kewirausahaan adalah menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses pengkombinasian sumber daya dengan cara baru dan berbeda agar dapat bersaing. Zimmerer dalam Kemendiknas(2010: 16), nilai tambah tersebut dapat diciptakan melalui cara berikut: (1) pengembangan teknologi baru (2) penemuan pengetahuan baru (3) perbaikan produk (barang 66 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 dan jasa) yang sudah ada, (4) penemuan caracara yang berbeda untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih banyak dengan sumber daya yang lebih Walaupun di antara para ahli ada yang lebih menekankan kewirausahaan pada peran pengusaha kecil, sebenarnya karakter wirausaha juga dimiliki oleh orang yang berprofesi di luar wirausaha. Karakter kewirausahaan ada pada setiap orang yang menyukai perubahan, pembaharuan, kemajuan dan tantangan, apapun profesinya. Dengan demikian, ada enam hakekat pentingnya kewirausahaan. 1. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses dan hasil bisnis (Ahmad Sanusi, 1994: 16) Bila dikaitkan dengan pengertian entrepreneurship di atas, guru harus memegang dua peran sekaligus, yaitu sebagai sutradara sekaligus sebagai aktornya. Artinya, guru harus berusaha bertanggung jawab semaksimal mungkin dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran kewirausahaan. Guru harus memiliki sejumlah kemampuan mengaplikasikan berbagai teori belajar dalam bidang pengajaran, menerapkan metode pengajaran yang efektif dan efisien, memiliki kemampuan melibatkan siswa untuk berpartisipasi aktif, dan kemampuan membuat suasan belajar yang menunjang agar apa yang telah dirancang, dapat mencapai tujuan dan tepat waktu. 2. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang dibutuhkan untuk memulai sebuah usaha dan mengembangkan usaha (Soeharto Prawiro, dalam Kemendiknas, 2010:16) . Melalui pembelajaran menulis kreatif puisi dengan menggunakan konsep terpadu yang di dalamnya memadukan tiga mata pelajaran sekaligus, yaitu Bahasa Indonesia, PKn, dan Matematika ini merupakan usaha baru bagi guru agar lebih berkreatif dalam memberikan pembelajaran kepada siswa. 3. Kewirausahaan adalah suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru (kreatif) dan Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan 4. 5. berbeda (inovatif) yang bermanfaat dalam memberikan nilai lebih (Soeharto Prawiro, dalam Kemendiknas, 2010:16) Dalam menerapkan pendidikan kewirausahaan ke dalam mata pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, guru harus berusaha memilih materi yang cocok yang dapat dijadikan baru. Misalnya materi menulis, ini sangat cocok untuk siswa berkreatif dan berbeda dari tulisan sebelumnya. Apakah itu menulis puisi, cerpen, berita, artikel, dan lain sebagainya dengan kreatifitas yang siswa miliki. Kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (Drucker, dalam Kemendiknas, 2010:16 ) Dalam menerapkan pendidikan kewirausahaan guru berusaha menciptakan sesuatu yang sudah ada tetapi dengan cara baru dan berbeda. Misalnya dalam mempublikasikan karya siswa berupa tulisan, seperti puisi, tidak harus dalam bentuk buku atau dalam majalah seperti pada umumnya. Dalam pembelajaran ini yang dilakukan dalam mempublikasikan puisi tersebut adalah siswa melekatkan hasil karyanya tersebut pada benda yang sering digunakan oleh mereka. Misalnya pada tas, kotak pensil, botol minum, gelas, kaos, payung, dan lain sebagainya. Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreatifitas dan keinovasian dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan usaha (Zimmerer, dalam Kemendiknas, 2010:17) Dalam menerapkan pendidikan kewirausahaan melalui pembelajaran menulis kreatif puisi, diharapkan siswa tidak hanya mengembangkan kemampuan membuat tulisan, tetapi juga kecermatan untuk membuat argumen, memiliki kemampuan untuk menuangkan ide atau gagasan dengan cara membuat tulisan yang menarik dibaca. Untuk mencapai itu siswa harus menyusun dan menghubungkan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain sehingga menjadi tulisan yang utuh. Di sinilah perlunya guru menggunakan berbagai cara agar siswa mampu membuat tulis- an yang baik dan menarik. Cara yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan media pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan variatif, sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan mengoptimalkan proses dan berorientasi pada prestasi belajar. 6. Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan mengkombinasikan sumber melalui cara baru dan berbeda untuk memenangkan persaingan (Soeharto Prawiro, dalam Kemendiknas, 2010:17) Melekatkan hasil karya puisi pada benda tertentu merupakan usaha menciptakan nilai tambah. Benda tersebut memiliki nilai tambah, yaitu adanya puisi yang menarik, sehingga dapat bersaing dengan benda yang sama tetapi tidak ada puisinya. Benda tersebut juga pastinya memiliki nilai jual yang lumayan. Berdasakan keenam pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan adalah nilai-nilai yang membentuk karakter dan perilaku seseorang yang selalu kreatif berdaya, bercipta, berkarya dan bersahaja dan berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan dalam kegiatan usahanya. Menurut para ahli kewirausahaan, ada banyak nilai-nilai kewirausahaan yang mestinya dimiliki oleh peserta didik maupun warga sekolah yang lain. Menurut Mien Uno dalam buku Membentuk Jiwa Wirausaha (2012:27) karakter yang dibangun dalam pendidikan kewirausahaan adalah : (1) pengenalan terhadap diri sendiri, (2) kreatif, (3) mampu berpikir kritis, (4) mampu memecahkan permasalahan, (5) dapat berkomunikasi, (6) mampu membawa diri di berbagai lingkungan, (7) menghargai waktu, (8) empati, (9) mau berbagi dengan orang lain, (10) mampu mengatasi stress, (11) bisa mengendalikan emosi, dan (12) mampu membuat keputusan. Menurut Kemendiknas (2010:10), nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan kewirausahaan adalah pengembangan nilai dari ciri seorang wirausaha. Ada 17 nilai kewirausahaan yang dianggap paling pokok dan sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik. Beberapa nilai-nilai kewirausahaan beserta deskripsinya yang akan diintegrasikan melalui pendidikan kewirausahaan adalah sebagai berikut. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 67 Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan Tabel 2 : Nilai-nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Kewirausahaan Nilai Deskripsi Mandiri Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil berbeda dari produk jasa yang telah ada Berani mengambil risiko Kemampuan seseorang untuk menyukai pekerjaan yang menantang, berani dan mampu mengambil risiko kerja Berorientasi pada tindakan Mengambil inisiatif untuk bertindak, dan bukan menunggu, sebelum sebuah kejadian yang tidak dikehendaki terjadi Kepemimpinan Sikap dan perilaku seseorang yang selalu terbuka terhadap saran dan kritik, mudah bergaul, bekerjasama, dan mengarahkan orang lain. Kerja keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas dan mengatasi berbagai hambatan Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan Inovatif Kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan dan peluang untuk meningkatkan dan memperkaya kehidupan Tanggung jawab Sikap dan perilaku seseorang yang mau dan mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya Kerja sama Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya mampu menjalin hubungan dengan orang lain dalam melaksanakan tindakan, dan pekerjaan Pantang menyerah (ulet) Sikap dan perilaku seseorang yang tidak mudah menyerah untuk mencapai suatu tujuan dengan berbagai alternatif Komitmen Kesepakatan mengenai sesuatu hal yang dibuat oleh seseorang, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Realistis Kemampuan menggunakan fakta/realita sebagai landasan berpikir yang rasional dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan/perbuatannya. Rasa ingin tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui secara mendalam dan luas dari apa yang dipelajari, dilihat, dan didengar Komunikatif Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain Motivasi kuat untuk sukses Sikap dan tindakan selalu mencari solusi terbaik 68 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan Meredith (dalam Kemendiknas 2010:17) memberikan ciri-ciri seseorang yang memiliki karakter wirausaha sebagai orang yang (1) percaya diri, (2) berorientasi tugas dan hasil, (3) berani mengambil risiko, (4) berjiwa kepemimpinan, (5) berorientasi ke depan, dan (6) keorisinalan. Bentuk ketata kelakuan ciri-ciri wirausaha nampak pada Tabel 3. yang bermakna kepada anak didik. Arti bermakna disini dikarenakan dalam pembelajaran terpadu diharapkan anak akan memperoleh pemahaman terhadap konsepkonsep yang mereka pelajari dengan melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami. Pembelajaran terpadu merupakan pendekatan Tabel 3: Bentuk Ketata Kelakuan Ciri-ciri Karakter Wirausaha Ciri-ciri Kewirausahaan Bentuk Tata - Kelakuan Percaya diri 1. 2. Bekerja penuh keyakinan Tidak ketergantungan dalam melakukan pekerjaan Berorientasi pada tugas dan hasil 1. 2. 3. 1. Memenuhi kebutuhan akan prestasi Orientasi pekerjaan berupa laba, tekun dan tabah, tekad kerja keras Berinisiatif Berani mengambil risiko 1. 2. Berani dan mampu mengambil resiko kerja Menyukai pekerjaan yang menantang Berjiwa Kepemimpinan 1. 2. Bertingkah laku sebagai pemimpin yang terbuka terhadap saran dan kritik. Mudah bergaul dan bekerjasama dengan orang lain Berfikir kearah hasil (manfaat) 1. 2. 3. 4 Kreatif dan Inovatif Luwes dalam melaksanakan pekerjaan Mempunyai banyak sumberdaya Serba bisa dan berpengetahuan luas Keorisinilan 1. Berfikiran menatap ke depan Perspektif Pembelajaran Terpadu Berbagai Disiplin Ilmu Cohen dan Manion (1992: 20) dan Brand (1991: 18) dalam http://remenmaos. blogspot.com/ 2011 pembelajaran terpadu menunjuk pada kegiatan belajar yang terorganisasikan secara lebih terstruktur yang bertolak pada tema-tema tertentu atau pelajaran tertentu sebagai titik pusatnya (center core / center of interest). Sedangkan menurut Prabowo (2000:2), pembelajaran terpadu merupakan pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi. Pendekatan belajar mengajar seperti ini diharapkan akan dapat memberikan pengalaman belajar mengajar yang memperhatikan dan menyesuaikan dengan tingkat perkembangan anak didik. Pendekatan yang berangkat dari teori pembelajaran yang menolak drill-system sebagai dasar pembentukan pengetahuan dan struktur intelektual anak. Langkah awal dalam melaksanakan pembelajaran terpadu adalah pemilihan/ pengembangan topik atau tema, maka sebelum merancang pembelajaran terpadu, hendaknya guru mengumpulkan dan menyusun seluruh pokok bahasan dari semua bidang studi dalam satu catur wulan, kemudian dilanjutkan dengan proses perancangan pembelajaran terpadu. Menurut Depdikbud (1996: 9) dalam http:/ /remenmaos.blogspot.com/2011 pembelajaran terpadu memiliki kelebihan sebagai berikut : (1) Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 69 Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan Pengalaman dan kegiatan belajar anak akan selalu relevan dengan tingkat perkembangan anak, (2) kegiatan yang dipilih sesuai dengan dan bertolak pada minat dan kebutuhan anak, (3) seluruh kegiatan belajar lebih bermakna bagi anak sehingga hasil belajar akan dapat bertahan lebih lama, (4) menumbuh kembangkan keterampilan berpikir anak, (5) menyajikan kegiatan yang bersifat pragmatis sesuai dengan permasalahan yang sering ditemui dalam lingkungan anak, dan (6) menumbuhkembangkan keterampilan sosial anak seperti kerja sama, toleransi, komunikasi dan respek terhadap gagasan orang lain. Selain itu, kelebihan pembelajaran terpadu adalah memiliki pengalaman belajar yang sangat positif untuk membentuk pendekatan menyeluruh pembelajaran terhadap pengembangan ilmu pengetahuan siswa karena lebih aktif dan otonom dalam pemikirannya. Motivasi belajar dapat diperbaiki dan ditingkatkan dalam pembelajaran antarmata pelajaran. Para siswa akan terlibat dalam “konfrontasi yang melibatkan banyak pemikiran” dengan pokok bahasan yang dihadapi. Selain kelebihan pembelajaran terpadu juga memiliki keterbatasan terutama pada pelaksanaannya, terutama pada aspek evaluasi yang lebih banyak menuntut guru untuk melakukan evaluasi tidak hanya terhadap hasil tetapi juga terhadap proses. Adapun prinsipprinsip pembelajaran Terpadu, (Hilda Karli , 2003:53) http:// remenmaos.blogspot.com/2011 yaitu meliputi: 1. Prinsip penggalian tema, yaitu tema harus : (a) tidak terlalu luas, namun dengan mudah dapat digunakan memadukan banyak bidang studi, (b) bermakna artinya bahwa tema yang dipilih untuk dikaji harus memberikan bekal bagi siswa untuk belajar selanjutnya, (c) disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologis anak, (d) dikembangkan harus mampu mewadahi sebagian besar minat anak, (e) tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan penstiwa-peristiwa otentik yang terjadi dalam rentang waktu belajar, mempertimbangkan kurikulum yang berlaku, serta harapan dari masyarakat, dan juga mempertimbangkan ketersediaan sumber belajar. 2. Prinsip Pelaksanaan Pembelajaran Terpadu, yaitu di antaranya: (a) guru hendaknya jangan menjadi “single actor “ yang mendominasi pembicaraan dalam proses belajar mengajar, (b) pemberian tanggung jawab individu dan kelompok harus jelas dalam setiaptugas yang menuntut adanyakerjasamakelompok, dan (c) guru perlu akomodatif terhadap ide yang terkadang sama sekali tidak terpikirkan dalam poses perencanaan. 3. Prinsip Evaluasi, yaitu : (a) memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan evaluasi diri di samping bentuk evaluasi Tabel 4 : Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Konsep Terpadu Bidang Studi Bidang Studi Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Bahasa Indonesia Menulis 16. Mengungkapkan keindahan alam dan pengalaman melalui kegiatan menulis kreatif puisi. 16.2 Menulis kreatif puisi berkenan dengan peristiwa yang pernah dialami PKn 3. Menampilkan sikap positif terhadap perlindungan dan penegakkan 3.2 Mendeskripsikan kasus pelanggaran dan upaya penegakkan HAM Matematika 6. Memahami konsep segi empat dan segitiga serta menentukan ukurannya. 6.2 Mengidentifikasikan sifat-sifat persegi panjang, persegi, trapesium, jajargenjang, belah ketupat, dan layang-layang 70 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan lainnya, dan (b) guru perlu mengajak siswa untuk mengevaluasi perolehan belajar yang telah dicapai berdasarkan kriteria keberhasilan pencapaian tujuan yang telah disepakati dalam kontrak. 4. Prinsip Reaksi, adalah dampak pengiring yang penting bagi perilaku secara sadar belum tersentuh oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar. Karena itu, guru dituntut agar mampu merencanakan dan melaksanakan pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran tercapai secara tuntas. Guru harus bereaksi terhadap reaksi siswa dalam semua “event” yang tidak diarahkan ke aspek yang sempit, tetapi ke suatu kesatuan utuh dan bermakna. Berdasarkan prinsip pembelajaran terpadu di atas, maka penulis memilih tema Menulis Kreatif Puisi, dengan memadukan tiga mata pelajaran, yakni bahasa Indonesia, PKn, dan Matematika. Konsep terpadu bersumber dari KTSP 2006 tingkat SMP kelas 7, yaitu sebagai tertera dalam Tabel 4. Berdasarkan SK dan KD di atas, maka pemahaman konsep disiplin ilmu yang akan diterapkan adalah dengan menggunakan kata kunci masing-masing bidang studi sehingga menghasilkan penggabungan, sebagai berikut . dalam bentuk media berbagai segitiga atau segiempat yang memiliki nilai jual. Langkah-Langkah Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan melalui Pembelajaran Terpadu Berbagai Disiplin Ilmu Langkah Pertama : Menjelaskan Materi Pendidikan Kewirausahaan Guru terlebih dahulu menjelaskan KD dan indikator penilaian pembelajaran kewirausahaan dengan menggunakan konsep terpadu berbagai disiplin ilmu dan membagi kelompok belajar Kompetensi Dasar dan Indikator Penilaian Pembelajaran Terpadu Berbagai Disiplin Ilmu, yaitu : a. Kompetensi Dasar Bahasa Indonesia : Menulis kreatif puisi berkenaan dengan peristiwa yang pernah dialami Indikator bahasa Indonesia (penilaian): • Menjelaskan pengertian dari puisi. • Menyebutkan dan menjelaskan unsurunsur puisi. • Menjelaskan bagaimana langkah-langkah penulisan kreatif puisi. Menulis kreatif puisi bertema pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) berkenaan dengan peristiwa yang pernah dialami yang dituangkan dalam bentuk media berbagai segiempat dan segitiga PKn • Hak Azazi Manusia • Kasus-kasus pelanggran HAM Bahasa Indonesia Menulis kreatif puisi berkenaan dengan peristiwa yang pernah dialami • • Matematika Segitiga Segiempat Gambar 1: Hasil Penggabungan Konsep Disiplin Ilmu Hasil yang diharapkan dari penggabungan konsep disiplin ilmu tersebut adalah penanaman nilai-nilai kewirausahaan dan peserta didik dapat memilih produk inovasi yang sudah dilekatkan puisi bertema HAM • Membuat puisi berdasarkan langkahlangkah penulisan kreatif puisi bertema HAM yang pernah dialami baik di sekolah, lingkungan rumah, dan lingkungan masyarakat . Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 71 Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan b. c. d. Kompetensi Dasar PKn : Mendeskripsikan kasus pelanggaran dan upaya penegakkan Hak Azazi Manusia (HAM) Indikator PKn (penilaian): • Menjelaskan apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM . • Menganalisa kasus-kasus pelanggaran HAM di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. • Memilih salah satu kasus pelanggaran HAM yang pernah dialami. Kompetensi Dasar Matematika : Mengidentifikasi sifat-sifat persegi panjang, persegi, trapesium, jajargenjang, belah ketupat, dan layang-layang. Indikator Matematika (penilaian) : • Menjelaskan pengertian jajargenjang, persegi, persegi panjang, belah ketupat, trapesium, dan layang-layang. • Membuat salah satu frame berbentuk segiempat atau segitiga. Membagi kelompok belajar Setiap kelompok terdiri dari 6 sampai 7 orang. Siswa memilih sendiri anggota kelompoknya dan menuliskan nama kelompoknya. Langkah Kedua : Menulis kreatif puisi berkenaan dengan peristiwa yang pernah dialami. Siswa mendengarkan penjelasan guru bagaimana langkah-langkah menulis kreatif puisi berkenaan dengan peristiwa yang pernah dialami bertema HAM, yaitu sebagai berikut. Memilih kasus pelanggaran HAM yang pernah dialami. Menceritakan kasus pelanggaran HAM yang pernah dialami. Mengindentifikasikan kata-kata yang terdapat dalam cerita tersebut. Mengubah kata-kata tersebut dengan diksi/ pilihan kata yang sesuai dengan puisi Menulis puisi sesuai dengan kata-kata yang telah diubah. 72 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Contoh : 1) Memilih kasus pelanggaran HAM yang pernah dialami. Kasus pelanggaran HAM : Pernah dikroyok segerombolan siswa SMA di dalam bis Patas, saat pulang sekolah. 2) Menceritakan kasus pelanggaran HAM yang pernah dialami Kejadian ini terjadi ketika saya masih sekolah di kelas 2 SPG. ketika pulang sekolah saya dan teman naik bis Patas dariSalemba Raya maumenujukePerumnasKlender. Bis masih dalam keadaan kosong melaju dengan pelan untuk mencari penumpang. Tiba-tibasaatbis di Matraman, segerombolan pelajar pria berpakaian seragam SMA, mencegatbis. Ada yang menghalangi jalannya bis dengan cara merentangkan kedua tangannya, ada yang menggedorgedor badan bis dengan berbagai benda yang di bawa. Gerombolan pelajar itu masuk dengan beringasnya. Nampaknya mereka mencari-cari seseorang, karena orang yang dicarinya tidak ada gerombolan ini tiba-tiba menarik-narik bajuku dengan kencang dan menanyakan, “anak sekolah mana elu” dan yang lainnya memukul kepalaku dengan gulungan karton yang dibawa mereka. Kepalaku lumayan sakit. Aku dan temanku hanya terdiam tidak berani melawan mereka, kenek dan supir pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika mereka sudah turun, aku dan temanku hanya dapat menangis. 3) Mengindentifikasikan kata-kata yang terdapat dalam cerita tersebut Pulang sekolah bis Patas kosongmelaju di Matraman gerombolon pelajar pria mencegat bis menghalangi merentangkan kedua tangan menggedor badan bis berbagai benda beringas menarik-narik bajuku kencang memukul kepalaku gulungan karton kepala sakit terdiam tidak berani melawan menangis. 4) Mengubah kata-kata tersebut dengan diksi/ pilihan kata yang sesuai dengan puisi. 5) Menulis puisi sesuai dengan kata-kata yang telah diubah Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan Tabel 5: Mengubah Identifikasi Kata dengan Diksi/Pilihan Kata yang Sesuai dengan Puisi Identifikasi Kata-Kata Diksi/Pilihan Kata Lain Bis Patas Kendaraan Kosong Sepi Melaju Melaju di Matraman di Matraman Segerombolan Gerombolan Pelajar pria Laki-laki Mencegat bis Menyetop menghalangi Menghalangi Merentangkan Merentangkan Kedua tangan Kedua tangang menggedor Menggebrak Badan bis Tubuh bis Beringas Menyeramkan Menarik-narik Menarik-narik Bajuku Kemejaku kencang Kencang Memukul Menghajar Kepalaku Kepala Gulungan karton Gulungan karton Kepalaku sakit Sakit, nyeri Terdiam Tertunduk Tidak berani Nyali Menangis Menangis Bringas Oleh : Keke Taruli Aritonang Aku melihat, Gerombolan laki-laki berbaju putih abu-abu Menyetop dengan paksa tubuh bis Sontak berhenti Dan aku melihat Kedua belah tangan laki-laki berbaju putih abu-abu Merentangkan Menghalangi laju tubuh bis Lalu aku melihat Kedua belah tangan laki-laki berbaju putih abu-abu Menggebrak, menghajar Tubuh bis yang oleng ke kanan ke kiri Aku melihat Tangan laki-laki berbaju putih abu-abu berisikan pentungan, penggaris, ikat pinggang, gulungan karton Dan aku melihat Wajah laki-laki berbaju putih abu-abu Serupa iblis mengamuk Lalu aku mendengar suara-suara tidak jelas sambil menarik-narik bajuku Aku merasakan Kepalaku di pukul Ada rasa sakit mendera Dan aku tidak dapat melawan Gerombolan serupa iblis berbaju putih abuabu, turun meninggalkan tubuh bis Aku tertunduk, terdiam, lalu menangis Setelah mendengarkan penjelasan guru tentang langkah-langkah menulis kreatif puisi, siswa mengerjakan tugas di rumah, yaitu sebagai berikut. Buatlah puisi, masing-masing siswa satu puisi bertema : HAM Dengan langkah sebagai berikut: a) Ceritakan salah satu kasus pelanggaran HAM yang pernah dialami. b) Identifikasikan kata-kata yang terdapat dalam cerita tersebut. c) Ubah kata-kata tersebut dengan diksi/ pilihan kata yang sesuai dengan puisi d) Buatlah puisi berdasarkan kata-kata pada soal c. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 73 Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan Langkah Ketiga : Melaksanakan Tahap Kewirausahaan Pada langkah ketiga ini, guru menjelaskan terlebih dahulu bahwa tujuan belajar kewirausahaan adalah siswa diharuskan untuk mempelajari setiap tahap wirausaha agar dapat mengembangkan gagasan-gagasan yang mereka miliki untuk menjadi sebuah inovasi. Adapun tahap-tahap kewirausahaan yang harus dilakukan siswa, yaitu dengan menggunakan Learning Cyle, berikut. Planning Pada tahap planning ini siswa dapat merencanakan secara detail apa yang akan dilakukan untuk menghasilkan produk yang akan digunakan dalam melekatkan puisi Hal-hal yang harus direncanakan dalam tahap ini yaitu : mencatat bahan dan alat yang diperlukan saat tahap doing, pembagian tugas antar anggota kelompok, produk inovasi yang akan digunakan, anggaran biaya yang diperlukan, target pemasaran, dan lain sebagainya. Karakter yang ditanamkan pada tahap planning, adalah: kreatif, Exploring berani mengambil risiko, berorientasi pada tindakan, inovatif, dan jujur 3) Doing Pada tahap doing ini siswa Reflecting Planning diharapkan sudah dapat : MENULIS KREATIF a. Menghasilkan produk inovasi PUISI yang berisikan puisi bertema HAM dalam bentuk segitiga ataupun segiempat. b. Membuat iklan/poster sebagai Doing Communicating bahan promosi untuk produk yang telah dihasilkan c. Membuat powet point untuk tahap communicating Gambar 2: Siklus Belajar Karakter yang ditanamkan pada Sumber: Ciputra dalam Makalah Managing Entrepreneurship tahap doing, adalah: pantang Curriculum oleh Ciputra Entrepreneurship School menyerah, motivasi kuat untuk sukses, kerja sama, kreatif, inovatif, dan kerja keras 1) Exploring Pada tahap exploring siswa diharuskan 4) Communicating Pada tahap communicating siswa dapat : mencari sendiri teori-teori tentang puisi mempersentasikan hasil Learning Cyle (pengertian, jenis-jenis puisi, unsur-unsur kewirausahaan yang selama ini dilakukan, puisi, langkah-langkah penulisan kreatif dan produk yang telah dihasilkan di hadappuisi), HAM (pengertian pelanggaran an teman, guru, bahkan orang tua siswa. HAM, kasus-kasus pelanggaran HAM di Karakter yang ditanamkan pada tahap lingkungan keluarga, sekolah, dan communicating, adalah: kepemimpinan, dan masyarakat, salah satu kasus pelanggaran komunikatif HAM yang pernah dialami), segitiga dan segiempat (pengertian, jenis/bentuk 5) Reflecting Di tahap reflecting guru dan siswa segitiga dan segiempat). Teori tersebut dapat mengadakan evaluasi untuk menemukan diambil dari browsing internet, buku-buku, hal-hal yang dapat diperbaiki dan dan lain sebagainya. dikembangkan. Karakter yang ditanamkan pada tahap Karakter yang ditanamkan pada tahap exploring ini adalah: mandiri, kerja keras, reflecting, adalah: komitmen, realistis, dan tanggung jawab, kerja sama, dan rasa ingin jujur tahu 74 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 2) Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan Langkah Keempat : Menyusun Rubrik Penilaian Pada langkah keempat ini guru menyusun rubrik penilaian yang akan digunakan untuk penilaian akhir pembelajaran kewirausahaan. Membuat jadwal tampil presentasi. Membuat undangan untuk orang tua murid yang akan diundang pada saat anaknya tampil presentasi. Membuat kuesioner yang akan diisi oleh orang tua pada saat siswa tampil presentasi. Berikut ini Tabel 5 Tabel 5: Rubrik Penilaian Tahap Akhir Pendidikan Kewirausahaand engan Menggunakan Pembelajaran Terpadu Berbagai Disiplin Ilmu Kelas VII Kriteria Penilaian Nama Kelompok Kelas Kelancaran Berbicara (5 - 20) Kemampuan Berkomunikasi (5 - 20) Tabel 6: Jadwal Tampil Tahap Akhir Pendidikan Kewirausahaan denganMenggunakan Pembelajaran Terpadu Berbagai Disiplin Ilmu Kelas VII Materi Presentasi (5 - 30 ) Hasil Produk (5 - 30 ) Jumlah dan 6 adalah rubrik penilaian, jadwal tampil presentasi, dan kuesioner. Langkah kelima : Memberikan Pengarahaan Pada langkah kelima ini guru memberikan Nama pengarahan kepada siswa mengenai kapan No. Kelompok/Nama Kelas Waktu harus mengumpulkan produk yang sudah Undian Siswa dilekatkan puisi, memberikan format jadwal tampil, membagi surat undangan untuk orang tua, memberitahukan kriteria penilaian presentasi, dan lain sebagainya yang berhubungan dengPetunjuk Pengisian : Centanglah kriteria penilaian yang an tahap akhir pembelsesuai dengan penampilan kelompok ajaran kewirausahaan. Nama Kelompok : Kelas : Kriteria Penilaian Fokus Penilaian Kurang Cukup Baik Siswa menguasai materi presentasi Suara terdengar dengan jelas Presentasi dilakukan dengan lancar Penyampaian ide mudah dimengerti Mempersentasikan materi dengan percaya diri Sangat Baik Langkah Keenam : Memberikan Penilaian dan Evaluasi Pada langkah keenam, ini tim penilai (guru dan wakil kurikulum), bersama orang tua siswa memberikan penilaian dan evaluasi untuk memberikan kritik, pujian, dan masukan agar lebih baik lagi ke depannya pada masingmasing kelompok yang sudah tampil presentasi. Memberikan apresiasi (berupa hadiah) kepada Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 75 Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan kelompok terbaik dalam presentasi dan produk inovasi yang dihasilkan. Simpulan Kesimpulan Penerapan Pendidikan kewirausahaan melalui pembelajaran menulis kreatif puisi dengan menggunakan konsep terpadu berbagai disiplin ilmu, diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran ini memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut. Pertama, melalui pembelajaran dengan konsep memadukan mata pelajaaran bahasa Indonesia, Pkn, dan matematika akan terjadi penghematan karena tumpang tindih materi dapat dikurangi bahkan dihilangkan, berpusat pada anak (student centered), proses pembelajaran mengutamakan pemberian pengalaman langsung, serta pemisahan antar bidang studi tidak terlihat jelas. Disamping itu pembelajaran terpadu menyajikan konsep dari berbagai bidang studi dalam satu proses pembelajaran dan pembelajaran terpadu juga memberikan hasil yang dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak. Kedua, melalui tahap-tahap kewirausahaan yang dilakukan, siswa terlatih untuk memiliki jiwa, sikap dan perilaku wirausaha, yaitu : a) penuh percaya diri, ketika siswa tampil dalam mempersentasikan hasil belajar mereka, penuh keyakinan, optimis, disiplin, berkomitmen, dan bertanggungjawab dalam mengerjakan tugastugas yang diberikan, b) memiliki inovasi, dalam menemukan produk inovasi yang akan dilekatkan pada puisi, c) memiliki motif berprestasi dengan membuat puisi bertema HAM yang baik sesuai dengan langkah-langkah yang telah diajarkan, d) memiliki jiwa kepemimpinan, siswa berani tampil beda, dapat dipercaya, dan tangguh dalam bertindak, e) berani mengambil resiko, ketika siswa harus memperhitungkan anggaran dana yang dibutuhkan dalam membeli, mencari, memilih produk yang cocok untuk digunakan dalam melekatkan pusi. Ketiga, melalui tahap-tahap kewirausahaan yang dilakukan, siswa terlatih untuk berpikir kreatif dan bertindak inovatif sehingga 76 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 tantangan yang dihadapi selama menjalankan tahap-tahap tersebut dapat teratasi dan terpecahkan. Keempat, pembelajaran kewirausahaan akan sangat mudah dilaksanakan apabila adanya kerjasama antara guru, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, serta orangtua siswa yang mendukung. Saran Dalam mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan melalui pembelajaran terpadu berbagai disiplin ilmu, atau materi lainnya, yang penulis dapat sarankan adalah : 1. Dalam Penyusunan rencana pembelajaran, guru harus melakukannya dengan matang, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan, karakter, dan minat siswa. 2. Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru harus dapat menyusun langkah-langkah pembelajaran secara sistematis, memberikan bimbingan yang maksimal, dan dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, sehingga proses pembelajaran kewirausahaan dapat berjalan sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat. 3. Dalam penilaian, guru harus terbuka kepada siswa agar siswa sungguh-sungguh mengerjakan tugas yang diberikan, sehingga hasilnya maksimal. Semoga pengintegrasian pendidikan kewirausahaan melalui pembelajaran terpadu berbagai disiplin ilmu yang penulis paparkan ini dapat memberi manfaat dan menjadi contoh bagi teman-teman guru bahasa Indonesia khususnya guru yang bekerja pada Yayasan BPK PENABUR. Daftar Pustaka Ciputra, dkk. (2011). Ciputra Quantum Leap 2 Kenapa & bagaimana entrepreneurship mengubah masa depan bangsa dan masa depan anda. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Ciputra dalam Makalah Managing Entrepreneurship Curriculum oleh Ciputra Entrepreneurship School Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan Desy Retno Kencono, dkk. (1992). Pelajaran Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia SMP. Surabaya: Kendang Sari Dinas Pendidikan Dasar. (2006). Kurikulum satuan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) Bahasa Indonesia. Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dinas Pendidikan Dasar. (2006). Kurikulum satuan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dinas Pendidikan Dasar. (2006). Kurikulum satuan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) Matematika. Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta http://remenmaos.blogspot.com/2011 Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan. (2010) Bahan pelatihan pengembangan pendidikan kewirausahaan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Nurgiyantoro, Burhan. (2002). Teori pengkajian fiksi. Gajah Mada University Press Riduwan, Drs. (2006). Belajar mudah penelitian untuk guru karyawan dan peneliti pemula. Bandung: Alfabeta Sudjana, Nana. (1991). Penilaian hasil proses belajar mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Supratman dan Yani Maryani. (2006). Intisari sastra Indonesia untuk SLTP. Bandung: Pustaka Setia Tarigan, H.G. (1985). Menulis sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa Wijatno, Serian. (2012). Entrepreneurship untuk SMP. Jakarta: Salemba Empat Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 77 Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013 Opini Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013 Desmon Simanjuntak E-mail: [email protected] Kurikulum dan Evaluasi BPK PENABUR Jakarta Abstrak i dalam struktur Kurikulum 2013, teknologi informasi dan komunikasi tidak lagi sebagai mata pelajaran yang diajarkan, akan tetapi teknologi informasi dan komunikasi akan menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran. Artinya, meskipun tidak dicantumkan sebagai mata pelajaran, namun keterampilan menggunakan peralatan teknologi informasi dan komunikasi mutlak digunakan untuk kelancaran proses pembelajaran. Keterampilan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dibutuhkan untuk melakukan pengindividualisasian pembelajaran pada semua mata pelajaran. Permasalahannya ialah bagaimana teknis pengintegrasian ke dalam mata pelajaran lain? bagaimana nasib guru-guru yang selama ini mengajar mata pelajaran teknologi informasi dan komunikasi? Tulisan ini membahas bagaimana peranan teknologi informasi dan komunikasi dalam Kurikulum 2013, bagaimana memilih dan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam mendukung pembelajaran. Tulisan ini juga memberikan saran kepada pihak-pihak terkait dalam penyelenggaraan pendidikan pada umumnya dan pembelajaran pada khususnya. D Kata-kata kunci: Kurikulum 2013, teknologi informasi dan komunikasi, lingkungan pembelajaran, kompetensi guru. Role of Information and Communication Technology in 2013 Curriculum Abstract In the 2013 Curriculum, the information technology and communication (ICT) is no longer taught as a separate subject, but it will function as a means of learning in all subjects . Applying ICT in all instructional processes indicates it can facilitate the students in learning and improve their performance. Variety of learning styles can be overcome and individual learning can be be performed by by using ITC under one condition the teacher has skills to organize. This article discusses how to design, develop, and integrate ITC into instructional process. The discussion also focuses on the implementation of the 2013 Curriculum related to the ITC application to support. Beside the technical skill the teacher should posess as well as the required instructional environment, this article also gives some recommendation how to optimize the use of ITC particularly in the instructional practices to omrove the students’ learning outcome. Keywords: 2013 Curriculum , the information and communication technology, the instructional environment, teacher competence. 78 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013 Pendahuluan Salah satu hal yang menarik dalam perubahan Kurikulum 2013 adalah dihilangkannya mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), sehingga menimbulkan pro dan kontra baik dari pihak akademisi maupun praktisi pendidikan. Di dalam struktur Kurikulum 2013, TIK tidak lagi sebagai mata pelajaran yang diajarkan, akan tetapi TIK akan menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran, artinya mata pelajaran TIK tidak akan diajarkan lagi di sekolah dasar dan menengah, akan tetapi TIK menjadi alat bantu guru (tools) pembelajaran pada semua mata pelajaran. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana teknis pengintegrasian ke dalam mata pelajaran lain? Bagaimana nasib guru-guru yang selama ini mengajar mata pelajaran TIK? Karena di dalam penjelasan Kurikulum 2013 tersebut, TIK hanya berperan sebagai sarana pembelajaran dalam hal ini sebagai alat bantu di dalam proses pembelajaran. Sebenarnya struktur Kurikulum 2013 tidak mencantumkan mata pelajaran TIK sebagai mata pelajaran di sekolah dasar dan menengah. Berkenaan dengan diterapkannya Kurikulum 2013, mata pelajaran TIK terintegrasi pada semua mata pelajaran. Artinya, meskipun tidak dicantumkan sebagai mata pelajaran, namun keterampilan menggunakan peralatan TIK mutlak digunakan untuk kelancaran proses pembelajaran. Keterampilan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dibutuhkan untuk melakukan pengindividualisasian pembelajaran pada semua mata pelajaran. Jika Kurikulum 2013 diterapkan maka semua kelas akan memiliki satu unit komputer/ laptop untuk setiap peserta didik. Sehingga nantinya peserta didik akan menggali pengetahuannya dari peralatan TIK. Dalam kaitan itu, peranan guru dalam Kurikulum 2013 adalah sebagai fasilitator, mediator, dan motivator yang membantu peserta didik memecahkan masalah belajar yang dialaminya. Artinya, bukan perkara mudah merubah mindset para guru dari sebelumnya sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi fasilitator dalam proses pembelajaran, sehingga diperlukan kebijakan yang mendukung guru untuk terus menerus belajar dan melatih dirinya dengan pengetahuan dan keterampilan menggunakan TIK. Namun permasalahan yang muncul kemudian adalah, media dan peralatan TIK mana yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran? Apakah media dan peralatan TIK tersebut dapat memenuhi gaya belajar peserta didik, memenuhi karakteristik peserta didik yang berbeda? Dan bagaimana dengan kemampuan awal peserta didik terhadap media dan peralatan TIK tersebut?. Hal tersebut merupakan sekelumit masalah dalam pengadaan media dalam proses pembelajaran yang didalamnya terintegrasi kemampuan teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, kendala terbesar saat ini adalah apakah guru mampu merancang dan menghasilkan media pembelajaran yang berbasiskan teknologi informasi dan komunikasi yang memenuhi gaya belajar peserta didik? seperti media pembelajaran berbasis komputer, multimedia, animasi, audio video dan media pembelajaran berbasis website. Faktanya saat ini bahwa kemampuan guruguru pada beberapa sekolah belum memadai untuk menghasilkan media dan produk pembelajaran berbasis TIK. Selama ini guru-guru hanya mengandalkan ceramah, diskusi, praktik laboratorium dan kunjungan lapangan dalam proses pembelajaran. Padahal dalam penerapan Kurikulum 2013 semua mata pelajaran sudah terintegrasi dengan TIK. Artinya peserta didik akan benar-benar merasa belajar langsung melalui eksperimen, demonstrasi dan kunjungan lapangan namun mereka sesungguhnya berada pada ruang kelas. Peserta didik dapat merasakan sendiri belajar dengan melakukan sendiri menggunakan media pembelajaran atau bahan ajar yang berbasis TIK. Dengan mengklik satu tombol peserta didik seolah-olah berada pada dunia nyata. Suasana belajar seperti itu yang dimaksudkan, jika TIK terintegrasi pada semua mata pelajaran. Untuk menciptakan suasana seperti itu mutlak dibutuhkan media atau bahan ajar multimedia. Tulisan ini mengulas peranan TIK dalam Kurikulum 2013, bagaimana pembelajaran berbasis TIK dan bagaimana peranan guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 79 Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013 Untuk memperjelas isi tulisan ini, pemanfaatan TIK dalam pembelajaran, pergeseran peranan guru dan peserta didik, dan bagaimana pengunaan TIK dalam pembelajaran, juga dibahas dalam uraian berikut. Pembahasan Pemanfaatan TIK dalam Pembelajaran Menurut Weiser seperti yang dikutip Santrock (2004 : 499), sekarang ini kita berada di era komputer pribadi (PC) di mana satu orang punya satu komputer. Tetapi generasi komputer berikutnya akan berupa ubiquitous computing, yang menekankan pada distribusi komputer ke lingkungan, ketimbang ke personal. Dalam lingkungan ini, teknologi akan menjadi latar belakang. Ringkasnya, ubiquitous computing akan berupa dunia pasca-PC. Perangkat teknologi umum, seperti telepon dan perangkat elektronik lainnya akan terkoneksi dengan internet dan pengguna mungkin tidak menyadari perangkat mana di lingkungannya yang terkoneksi. Perangkat komputer baru yang kecil, portable, mobile, dan murah diperkirakan akan menggantikan komputer desktop. Ubiquitous adalah kebalikan dari realitas virtual. Jika realitas virtual menempatkan orang di dalam dunia yang diciptakan orang di dalam dunia yang diciptakan komputer, ubiquitous computing akan memaksa komputer eksis di dunia manusia. Perangkat komputer baru yang kecil, portable, mobile, dan murah ini dapat disediakan kepada lebih banyak murid ketimbang komputer desktop. Perangkat baru ini, dipasangkan dengan jaringan murah, dapat memampukan murid untuk membawa perangkat informasi personal ke lapangan untuk membantu mengerjakan suatu tugas dan bisa dibawa pulang. Mereka bisa meningkatkan kolaborasi dan memudahkan penggunaan tanpa dibatasi lokasi. Di sisi lain, menurut (2010 : 244), TIK memberikan peluang bagi berkembangnya kreativitas dan kemandirian peserta didik. Pembelajaran dengan dukungan TIK memungkinkan peserta didik menghasilkan karya-karya baru yang orisinil, memiliki nilai tinggi, dan dapat dikembangkan lebih jauh untuk 80 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 kepentingan yang lebih bermakna. Melalui TIK, peserta didik akan memperoleh berbagai informasi dalam lingkup yang lebih luas dan mendalam sehingga meningkatkan wawasannya. Hal ini memberikan peluang untuk mengembangkan dan memanfaatkan TIK dalam pembelajaran. Dari kedua pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan TIK dalam pembelajaran menjadi tuntutan yang mendesak di abad 21, mengingat semakin derasnya arus informasi dan tuntutan zaman yang semakin maju setidaknya kecil kemungkinan bagi guru untuk menjadi satu-satunya sumber belajar paling sahih. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam satuan pendidikan sekolah guru memiliki peranan yang strategis. Oleh karena itu, penggunaan TIK di sekolah hendaknya dimulai dari titik pangkal yang strategis pula yaitu guru. Di samping itu, TIK dalam dunia pendidikan juga digunakan untuk menunjang proses pembelajaran, dimana pemanfaatan TIK dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan: (1) memanfaatkan fasilitas multimedia yang sudah tersedia untuk mempermudah kegiatan yang dilakukan selama proses pembelajaran. Misalnya, untuk presentasi. Jika dahulu presentasi hanya menggunakan media OHP yang monoton, sekarang presentasi sudah dapat ditampilkan dengan LCD projector dan dibuat lebih kreatif dengan menampilkan berbagai konten multimedia, seperti gambar, video, suara, dan sebagainya; (2) memanfaatkan internet untuk proses pembelajaran jarak jauh (kelas virtual). Kelas virtual ini sudah menjadi tren di era globalisasi sekarang. Karena kelas virtual mmiliki beberapa keuntungan, seperti: peserta didik dapat mengekspresikan diri, bersosialisasi, saling berbagi pengetahuan, meningkatkan kreativitas, dan menumbuhkan cara belajar yang mandiri; (3) memungkinkan peserta didik untuk berdemonstrasi dengan perangkat multimedia yang ada. Misalnya, menampilkan suatu kegiatan eksperimen dengan tujuan untuk memperlihatkan bagaimana cara yang dilakukan dalam ekseperimen tersebut. Menurut pemanfaatannya, TIK di dalam pendidikan dapat dikategorisasikan menjadi 4 (empat) kelompok manfaat, yaitu: Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013 1. 2. 3. 4. TIK sebagai Gudang Ilmu Pengetahuan, di kelompok ini TIK dimanfaatkan sebagai referensi ilmu pengetahuan terkini, manajemen pengetahuan, jaringan pakar beragam bidang ilmu, jaringan antar institusi pendidikan, pusat pengembangan materi ajar, wahana pengembangan kurikulum, dan komunitas perbandingan standar kompetensi. TIK sebagai Alat bantu Pembelajaran, di dalam kelompok ini sekurang-kurangnya ada 3 fungsi TIK yang dapat dimanfaatkan sehari-hari di dalam proses belajarmengajar, yaitu (a) TIK sebagai alat bantu guru yang meliputi: animasi peristiwa, alat uji peserta didik, sumber referensi ajar, evaluasi kinerja peserta didik, simulasi kasus, alat peraga visual, dan media komunikasi antar guru. Kemudian; (b) TIK sebagai alat bantu interaksi guru-peserta didik yang meliputi: komunikasi gurupeserta didik, kolaborasi kelompok studi, dan manajemen kelas terpadu; (3) TIK sebagai alat bantu peserta didik meliputi: buku interaktif, belajar mandiri, latihan soal, media illustrasi, simulasi pelajaran, alat karya peserta didik, dan media komunikasi antar peserta didik. TIK sebagai Fasilitas Pembelajaran, di dalam kelompok ini TIK dapat dimanfaatkan sebagai: perpustakaan elektronik, kelas virtual, aplikasi multimedia, kelas teater multimedia, kelas jarak jauh, papan elektronik sekolah, alat ajar multiintelejensia, pojok internet, dan komunikasi kolaborasi kooperasi (intranet sekolah) dan, TIK sebagai Infrastruktur Pembelajaran, di dalam kelompok ini TIK memberikan dukungan teknis dan aplikatif untuk pembelajaran, baik dalam skala menengah maupun luas, yang meliputi: ragam teknologi kanal distribusi, ragam aplikasi dan perangkat lunak, bahasa pemprograman, sistem basis data, komputer personal, alat-alat digital, sistem operasi, sistem jaringan dan komunikasi data, dan infrastruktur teknologi informasi (media transmisi). Berangkat dari optimalisasi pemanfaatan TIK untuk pembelajaran tersebut, hal ini akan memberi sumbangsih besar dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia yang cerdas dan kompetitif melalui pembangunan masyarakat berpengetahuan (knowledge-based society). Masyarakat yang tangguh karena memiliki kecakapan: (a) ICT and Media literacy skills), (b) Critical thinking skills, (3) Problem solving skills, (4) Effective communication skills, dan (5) Collaborative skills yang diperlukan untuk mengatasi setiap permasalahan dan tantangan hidupnya. Perkembangan TIK memang memiliki banyak manfaat, khususnya di bidang pendidikan, maka banyak orang yang ingin segera bisa memanfaatkannya. Namun, tidak bisa dipungkiri pemanfaatan TIK di dalam sektor pendidikan memiliki beberapa kendala, di antaranya: (1) kurangnya pengadaan infrastruktur TIK, hal ini disebabkan sulit dijangkaunya beberapa daerah tertentu di Indonesia, sehingga penyebarannya tidak merata. Masih banyak daerah yang sulit dijangkau oleh alat transportasi. Untuk mencapai daerah yang dituju, hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Sedangkan dengan berjalan kaki, tidak memungkinkan untuk membawa berbagai peralatan multimedia; (2) masih digunakannya perangkat multimedia bekas di lembaga-lembaga pendidikan yang terdapat di daerah pedesaan. Perangkat multimedia bekas ini tentunya masih menggunakan spesifikasi yang sudah tertinggal jamannya. Sehingga penggunaannya tidak mampu bersaing dengan laju perkembangan TIK yang begitu pesat; (3) kurangnya infrastruktur telekomunikasi dan perangkat hukum yang mengaturnya, sebab cyber law belum diterapkan di dunia hukum Indonesia; (4) mahalnya biaya pengadaan dan penggunaan fasilitas TIK. Hal ini dikembalikan lagi kepada pemerintah, sedangkan pemerintah masih sulit mengalokasikan dana anggaran untuk pengadaan fasilitas TIK yang dapat menunjang pendidikan Indonesia. Sebagai contoh, pengadaan fasilitas di daerah pedesaan masih sangat minim. Sementara di kota sudah hampir merata, Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 81 Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013 terutama di lembaga-lembaga pendidikan unggulan. Oleh Sebab itu, menurut Miarso (2004 : 496), TIK hendaknya tidak dipandang sebagai artefak saja, melainkan juga dipandang sebagai proses dan struktur tertentu. Ini berarti bahwa TIK seharusnya dijadikan bagian integral sistem pendidikan. Sebagai bagian integral, masuknya komponen teknologi ini akan mempengaruhi komponen lain diantaranya perubahan peranan guru dalam satuan pendidikan sekolah. Peranan guru dalam hal ini tidak lagi menjadi satusatunya sumber belajar, melainkan lebih berperan sebagai perancang dan konseptor dalam proses pembelajaran. Pergeseran Peranan Guru dan Peserta didik Dalam paparan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tentang pengembangan Kurikulum 2013, dijelaskan bahwa dalam kerangka kompetensi abad 21, guru diharapkan melek informasi, melek media dan melek TIK, artinya guru tidak cukup hanya meningkatkan pengetahuan saja, tetapi harus dilengkapi dengan kemampuan kreatif dan kritis, berkarakter kuat (bertanggung jawab, sosial, toleran, produktif dan adaptif), disamping itu didukung dengan kemampuan memanfaatkan informasi dan berkomunikasi. Menurut Surya (2010 : 241), pesatnya perkembangan TIK telah mengakibatkan terjadi pergeseran pandangan tentang pembelajaran, baik di kelas maupun di luar kelas. Dalam pandangan tradisional di masa lalu, proses pembelajaran dipandang sebagai: (1) sesuatu yang sulit dan berat; (2) upaya mengisi kekurangan siswa; (3) satu proses transfer dan penerimaan informasi; (4) proses individual atau soliter; (5) kegiatan yang dilakukan dengan menjabarkan materi pelajaran pada satu-satuan kecil dan terisolasi. Seiring dengan perkembangan TIK, telah terjadi perubahan mengenai pembelajaran, yaitu pembelajaran sebagai: (1) proses alami; (2) proses sosial; (3) proses aktif dan pasif; (4) proses linear dan atau tidak linear; (5) proses yang berlangsung integratif dan kontekstual; (6) aktivitas yang berbasis pada model kekuatan, kecakapan, minat, dan kultur siswa; (7) aktivitas yang dinilai berdasarkan pemenuhan tugas, perolehan hasil, 82 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 dan pemecahan masalah nyata, baik individual maupun kelompok. Hal itu telah mengubah peran guru dan peserta didik dalam pembelajaran. Peran guru telah berubah: (1) peran guru yang pada awalnya hanya sebagai sumber utama informasi dan sumber jawaban, menjadi fasilitator pembelajaran, pelatih, kolaborator, navigator pengetahuan, dan mitra belajar; (2) peranan guru dalam mengendalikan semua aspek pembelajaran sudah tidak berlaku lagi, tetapi lebih banyak memberikan alternatif dan tanggung jawab kepada peserta didik dalam proses pembelajaran. Sementara itu, peran peserta didik dalam pembelajaran telah mengalami perubahan, yaitu: (1) peserta didik yang sebelumnya hanya sebagai penerima informasi yang pasif, kini menjadi partisipan aktif dalam proses pembelajaran; (4) peserta didik yang biasanya mengungkapkan kembali pengetahuan, sekarang menghasilkan berbagai pengetahuan; (5) peserta didik yang hanya sebagai aktivitas pembelajaran individu, kini menjadi pembelajaran kolaborasi. Lingkungan pembelajaran yang berpusat pada guru telah bergeser menjadi berpusat pada siswa. Secara rinci dapat digambarkan seperti terlihat pada tabel. Sebuah survey yang dilakukan oleh Office of Technology Assessment seperti yang dikutip Jhon W. Santrock (2004 : 493), menemukan bahwa mayoritas guru tidak akrab dengan komputer. Komputer masih sering dipakai untuk kegiatan yang biasa, bukan untuk pembelajaran yang konstruktif dan aktif. Banyak guru tidak memiliki pengetahuan memadai dalam menggunakan komputer, dan banyak sekolah tidak menyediakan workshop atau pelatihan yang dibutuhkan. Dengan perkembangan teknologi yang pesat, komputer yang dibeli sekolah menjadi cepat ketinggalan zaman. Bahkan ada yang rusak dan perlu diperbaiki. Kenyataan ini berarti bahwa pembelajaran di sekolah belum direvolusionerkan secara teknologis. Hanya ketika sekolah memiliki guru yang terlatih secara teknologis, maka revolusi teknologi akan benarbenar mengubah sekolah. Di dalam proses belajar-mengajar tentunya ada subjek dan objek yang berperan secara aktif, dinamik dan interaktif di dalam Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013 Tabel : Perbandingan Lingkungan Pembelajaran Berpusat pada Guru dan Berpusat pada Siswa Lingkungan Berpusat pada Guru Berpusat pada Siswa Aktivitas kelas Guru sebagai sentral dan bersifat didaktis Siswa sebagai sentral dan bersifat interaktif Peran guru Menyampaikan fakta-fakta, guru sebagai ahli Kolaboratif, kadang-kadang siswa sebagai ahli Penekanan pengajaran Mengingat fakta-fakta Hubungan antara informasi dan temuan Konsep pengetahuan Akumulasi fakta secara kuantitas Tranformasi fakta-fakta Penampilan keberhasilan Penilaian acuan norma Kuantitas pemahaman, penilaian acuan patokan Penilaian Soal-soal pilihan berganda Portofolio, pemecahan masalah, dan penampilan Penggunaan teknologi Latihan dan praktik Komunikasi, akses, kolaboratif, ekspresi ruang belajar, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Guru & peserta didik sama-sama dituntut untuk membuat suasana belajar dan proses transfer of knowledge–nya berjalan menyenangkan serta tidak membosankan. Oleh karena itu, penataan peran guru dan peserta didik di dalam kelas yang mengintegrasikan TIK di dalam pembelajaran perlu dipahami dan dimaknai dengan sebaikbaiknya. Karena di era pendidikan berbasis TIK, peran Guru tidak hanya sebagai pengajar semata namun sekaligus menjadi fasilitator, kolaborator, mentor, pelatih, pengarah dan teman belajar bagi peserta didik. Misalkan saja, seorang guru harus mengajar murid tentang ekosistem pertanian. Untuk sekolah yang tidak berlokasi di kawasan pertanian, seperti sekolah di daerah perkotaan, pendekatan tradisionalnya adalah menyuruh murid membaca topik dalam buku ajar, atau mungkin dengan mengamati komponen biotik dan abiotik melalui gambar, mendengar pemaparan tentang topik, dan mungkin kemudian menjawab pertanyaan yang memicu diskusi lebih lanjut. Cara lain yang jauh berbeda adalah dengan menggunakan video pembelajaran di kelas untuk mengeksplorasi ekosistem pertanian. Murid mengeksplorasi komposisi spesies yang tidak beragam, rantai energi dan aliran nutrisi, membuat lingkungan pertanian di komputer, menambah siklus kimiawi maupun rantai makanan di persawahan, dan mencari tahu aktivitas pertanian yang terkait dengan ruang dan fungsi, yang mencakup komponen biotik dan abiotik serta interaksinya. Penggunaan teknologi komputer dalam mempelajari kehidupan di ekosistem pertanian ini menghasilkan pembelajaran yang lebih eksploratif dan interaktif daripada hanya membaca buku dan mendengar paparan deskripsinya guru. Untuk mendukung proses integrasi TIK di dalam pembelajaran, maka manajemen sekolah, guru dan peserta didik harus memahami 9 (sembilan) prinsip integrasi TIK dalam pembelajaran yang terdiri atas prinsip-prinsip, yaitu: (1) aktif, artinya memungkinkan peserta didik dapat terlibat aktif oleh adanya proses belajar yang menarik dan bermakna; (2) konstruktif, artinya memungkinkan peserta didik dapat menggabungkan ide-ide baru ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya untuk memahami makna atau keinginan tahuan dan keraguan yang selama ini ada dalam benaknya; (3) kolaboratif, memungJurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 83 Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013 kinkan peserta didik dalam suatu kelompok atau komunitas yang saling bekerjasama, berbagi ide, saran atau pengalaman, menasehati dan memberi masukan untuk sesama anggota kelompoknya; (4) antusiastik: memungkinkan peserta didik dapat secara aktif dan antusias berusaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan; (5) dialogis, artinya memungkinkan proses belajar secara inherent merupakan suatu proses sosial dan dialogis dimana peserta didik memperoleh keuntungan dari proses komunikasi tersebut baik di dalam maupun luar sekolah; (6) kontekstual, artinya memungkinkan situasi belajar diarahkan pada proses belajar yang bermakna (real-world) melalui pendekatan “problem-based atau casebased learning”; (7) reflektif, artinya memungkinkan peserta didik dapat menyadari apa yang telah ia pelajari serta merenungkan apa yang telah dipelajarinya sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri; (8) multisensory, artinya memungkinkan pembelajaran dapat disampaikan untuk berbagai modalitas belajar (multisensory), baik audio, visual, maupun kinestetik; (9) high order thinking skills training, artinya memungkinkan untuk melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (seperti problem solving, pengambilan keputusan, dan lain-lain) serta secara tidak langsung juga meningkatkan “ICT & media literacy.” Oleh sebab itu, guru dapat memberikan pilihan dan tanggung jawab yang besar kepada peserta didik untuk mengalami peristiwa belajar. Dengan peran guru sebagaimana dimaksud, maka peran peserta didik pun mengalami perubahan, dari partisipan pasif menjadi partisipan aktif yang banyak menghasilkan dan berbagi (sharing) pengetahuan/ keterampilan serta berpartisipasi sebanyak mungkin sebagaimana layaknya seorang ahli. Di sisi lain peserta, didik juga dapat belajar secara individu, sebagaimana halnya juga kolaboratif dengan peserta didik lain. Pemilihan dan Penggunaan TIK dalam Pembelajaran Tak dapat disangkal lagi bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang telah 84 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 berlangsung begitu cepat, telah menyebabkan sejumlah perubahan yang besar pada masyarakat. Menurut Marshall McLuhan seperti yang dikutip oleh Miarso (2004 : 491), mengungkapkan bagaimana medium, atau proses teknologi elektrik dapat membentuk dan mengatur kembali pola interdependensi sosial dan segala aspek kehidupan pribadi manusia. Penggunaan TIK dalam pembelajaran memiliki dampak yang besar terhadap perkembangan peserta didik. Seperti halnya tujuan utama dari pembelajaran berbasis TIK adalah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, penerapan TIK juga memiliki kelebihan dan kelemahan sebagai dampak dari penggunaan TIK dalam proses pembelajaran. Adapun beberapa kelebihan penerapan pembelajaran berbasis TIK yang merupakan dampak positif penerapan pembelajaran berbasis TIK, yaitu: (1) menciptakan kondisi belajar yang menyenangkan dan mengasyikkan; (2) peserta didik akan menjadi lebih aktif dalam proses pembelajaran; (3) membekali kecakapan peserta didik untuk menggunakan teknologi tinggi; (4) mendorong lingkungan belajar konstruktivis; (5) mendorong lahirnya pribadi kreatif dan mandiri pada diri peserta didik; (6) meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik; (7) membantu peserta didik yang memiliki kecepatan belajar lambat. Selain memiliki kelebihan, penerapan TIK juga mempunyai beberapa kelemahan, yaitu: (1) penerapannya membutuhkan biaya yang relatif besar; (2) rentan terhadap penyalahgunaan fungsi; (3) guru dalam penerapan TIK dituntut memiliki keahlian tinggi; (4) sulit diterapkan di sekolah yang kurang maju yang pada umumnya terdapat di pedesaan. Di sisi lain, pembelajaran yang berkualitas mencerminkan adanya lingkungan belajar yang memungkinkan peserta didik dapat melakukan pengawasan terhadap pemenuhan kebutuhan emosionalnya, melakukan pilihan-pilihan yang memungkinnya terlibat secara fisik, emosional, dan mental dalam proses belajar, serta lingkungan yang memberinya kebebasan menentukan pilihan belajar sesuai dengan kemampuan dan kemuannya. Oleh karena itu, banyak hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013 pembelajaran, salah satunya dengan memilih dan menggunakan TIK dengan tepat untuk mendukung pembelajaran di kelas, diantaranya dengan: (1) memilih teknologi dengan tujuan untuk membantu murid melakukan eksplorasi aktif, menyusun, dan me-restrukturisasi informasi, metodenya guru mencari software yang membuat murid langsung bisa mengolah informasi. Karena informasi yang diberikan dalam bentuk multimedia akan memicu murid untuk aktif memilih, mengorganisir, dan mengintegrasikan informasi visual dan verbal; (2) mencari cara untuk menggunakan teknologi sebagai bagian dari pembelajaran kolaboratif dan pembelajaran dunia nyata, metodenya dengan mencari teknologi seperti web dan email sebagai alat untuk menyediakan kesempatan kepada murid untuk melakukan pembelajaran kolaboratif, berjalan ke luar kelas untuk mengkaji dunia riil, dan berkomunikasi dengan orang di lokasi berbeda; (3) memilih teknologi yang menyajikan model positif bagi murid, metodenya dengan mengundang seseorang dari komunitas untuk berbicara di depan kelas, atau bisa mempertimbangkan model yang diasosiasikan murid dengan teknologi; (4) meningkatkan keahlian pengajaran, artinya guru tidak perlu takut bahwa teknologi akan mengganti posisinya. Teknologi menjadi efektif di kelas hanya jika guru tahu cara menggunakannya, menunjukkannya, memandu dan memonitor penggunaannya, dan menggunakannya untuk mengembangkan murid yang termotivasi untuk belajar aktif dan berkomunikasi secara efektif; (5) mempelajari teknologi dan meningkatkan pengetahuan dan kompetensi di bidang teknologi, artinya guru harus terbuka terhadap teknologi, mengikuti perkembangan teknologi dengan membaca jurnal pendidikan, dan mengikuti kursus-kursus pendidikan komputer. Karena determinan utama dari penggunaan TIK yang efektif di kelas adalah kompetensi guru dalam menggunakan teknologi dan sikap positif terhadap teknologi. Untuk mendukung terwujudnya proses pembelajaran yang berkualitas dalam upaya mencapai tujuan pendidikan, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah penggunaan atau pemanfaatan teknologi dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Selain itu, TIK memiliki peranan yang cukup strategis dalam sektor pendidikan, di antaranya: (1) TIK sebagai keahlian dan kompetensi. maksudnya, penggunaan TIK harus proporsional atau TIK bisa masuk ke semua lapisan masyarakat tapi sesuai dengan porsinya masing-masing; (2) TIK sebagai infratruktur pembelajaran. Infrastruktur pembelajaran di sini maksudnya adalah tersedianya bahan belajar dalam format digital, jaringan antar sekolah, sehingga belajar bisa dijangkau di mana saja dan kapan saja; (3) TIK sebagai sumber bahan belajar. Hal ini mengenai buku dan bahan belajar yang diperbaharui secara kontiniu dengan menggunakan teknologi. karena tanpa teknologi, pembelajaran yang upto-date membutuhkan waktu yang cukup lama; (4) TIK sebagai alat bantu dan fasilitas pembelajaran. Seperti yang kita ketahui, fasilitas TIK sangat membantu proses pembelajaran. Contohnya, dalam menyampaikan informasi, dengan menggunakan fasilitas multimedia informasi akan cepat sampai ke peserta didik dengan lebih akurat karena dengan adanya berbagai fasilitas multidedia tersebut, peserta didik lebih termotivasi untuk belajar dan mengeksplorasi pengetahuannya secara lebih luas; (5) TIK sebagai pendukung manajemen pembelajaran. TIK sangat mendukung dalam hal mengelola pembelajaran, karena pada dasarnya tiap individu memerlukan dukungan pembelajaran yang tanpa henti; (6) TIK sebagai sistem pendukung keputusan. Dalam mengambil sebuah keputusan, setiap individu memiliki alasan tersendiri. Oleh sebab itu, diperlukan informasi berdasarkan fakta yang ada dalam mengambil sebuah keputusan. Upaya perbaikan kualitas sumber daya manusia Indonesia dapat ditempuh melalui penyempurnaan kurikulum, penambahan anggaran pendidikan, pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, pengembangan profesionalisme tenaga pengajar (guru), pertukaran pelajar dan penyediaan sarana teknologi informasi dalam rangka penyesuaian perkembangan ilmu pengetahuan dengan negara lain. Berkembangnya teknologi informasi memungkinkan suatu negara mengikuti perkembangan kemajuan negara lain tanpa dibatasi dimensi ruang dan waktu. Informasi yang terjadi diluar Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 85 Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013 suatu negara dapat diketahui hanya dalam hitungan detik tanpa harus mendatangi sumber informasi tersebut. Perkembangan dan kemajuan dunia teknologi informasi ini dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang kehidup-an termasuk bidang pendidikan. Perkembangan dunia pendidikan di suatu negara dengan mudah dapat diakses melalui fasilitas internet. Isu-isu pendidikan, hasilhasil penelitian dan berbagai temuan lainnya dapat diperoleh dengan mudah melalui fasilitas tersebut. Oleh sebab itu, pelaksanaan Kurikulum 2013 tanpa peralatan dan perangkat pembelajaran yang mendukung mustahil akan mencapai tujuan yang ditetapkan. Jika mengandalkan strategi-strategi belajar sebelumnya maka Kurikulum 2013 niscaya akan sulit terlaksana. Sehingga untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebaiknya disediakan terlebih dahulu media pembelajaran atau bahan ajar multimedia. Bahan ajar multimedia merupakan bahan ajar yang berbasis teknologi multimedia, yaitu penggabungan dari dua unsur media yang berbeda. Dan saat ini tersedia banyak program (software) yang bisa diandalkan untuk mengembangkan bahan ajar multimedia untuk semua mata pelajaran. Simpulan Kesimpulan Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tidak mungkin dibendung dengan regulasi. Teknologi itu juga bukan obat mujarab untuk memecahkan masalah pendidikan. Teknologi itu bahkan akan menimbulkan masalah bila tidak mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dan penanganan yang professional. Artinya pembelajaran berbasis TIK tidak akan menghilangkan konteks awal pembelajaran yang berlangsung secara tatap muka di dalam ruang kelas melainkan melalui beberapa tahapan evolusi sesuai kondisi sekolah. Pada sekolah yang baru merintis pembelajaran berbasis TIK, pembelajaran digambarkan sebagai proses tatap muka di 86 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 dalam kelas dengan konten digital sebagai suplemen. Pada tahap ini guru sebagai penyampai materi. Konten digital yang disampaikan hanya bersifat tambahan sehinggatidak wajib disampaikan. Proses pembelajaran dibatasi oleh ruang dan waktu. Pada tingkat yang lebih tinggi, pembelajaran berbasis TIK digambarkan sebagai proses pembelajaran tatap muka di dalam kelas dengan konten digital sebagai komplemen. Pada kondisi ini guru masih sebagai penyampai materi. Beberapa konten digital wajib disampai-kan karena masuk ke dalam struktur kurikulum, sedangkan proses pembelajaran masih dibatasi ruang dan waktu. Pada tingkatan berikutnya, pembelajaran berbasis TIK digambarkan sebagai proses pembelajaran yang telah mengintegrasikan kemajuan TIK ke dalam proses pembelajaran. Seluruh konten pembelajaran berbentuk digital, dan wajib disampaikan karena masuk ke dalam struktur kurikulum. Peserta didik dapat mengakses konten pembelajaran tanpa terbatas ruang dan waktu dan guru berperan sebagai tutor. Pengelolaan pembelajaran tidak menggunakan TIK sehingga masih terdapat campur tangan pengelolaan pembelajaran secara manual. Pada tingkatan paling tinggi, pembelajaran berbasis TIK digambarkan sebagai proses pembelajaran yang telah menyatu dengan kemajuan TIK (menyatu seperti infuse yang tidak dapat dibedakan lagi antara cairan infuse dengan darah). Pada kondisi ini, peserta didik melaksanakan pembelajaran secara mandiri dan online yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Guru dalam tingkatan ini berperan sebagai tutor. Penerapan Kurikulum 2013 memang menimbulkan sejumlah kekhawatiran, khususnya guru TIK di sekolah dasar dan menengah, karena mata pelajaran TIK tidak tercantum di dalam struktur Kurikulum 2013. Terlepas dari isu yang berkembang bahwa penerapan Kurikulum 2013 terkait dengan kebijakan politis, dan apakah guru TIK akan tersisih di dalam struktur Kurikulum 2013. Guru TIK sebaiknya harus bersikap proaktif terhadap berbagai perubahan terutama terhadap perubahan kurikulum nasional. Apabila guru terus membangun kepercayaan diri, dan meyakinkan Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013 pemerintah akan pentingnya mata pelajaran TIK ini dalam Kurikulum 2013, maka tidak akan menutup kemungkinan TIK akan menjadi mata pelajaran inti di dalam kurikulum nasional. Saran Dalam kondisi sekarang ini perlu terus ditingkatkan peran dan fungsi lembaga yang melaksanakan, mengkoordinasikan, dan membina kegiatan di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Dalam satuan pendidikan sekolah hendaknya penggunaan TIK dalam Kurikulum 2013 ini dimulai dengan titik pangkal strategis, yaitu guru. Para guru harus diyakinkan terlebih dahulu akan kegunaan teknologi itu dan bahwa teknologi tidak akan menggantikan kedudukannya sebagai guru, melainkan membantu untuk tidak menyimpan dan menyajikan konsep, prinsip dan prosedur yang ingin diajarkannya. Untuk itu para guru harus ditingkatkan rasa percaya dirinya, serta dilibatkan dan ikut berpartisipasi dalam menerapkan dan mengembangkan TIK. Daftar Pustaka Miarso, Yusufhadi. (2004). Menyemai benih teknologi pendidikan. Jakarta : Kencana Nuh, Mohammad. (2013). Pengembangan kurikulum 2013. Paparan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Jakarta, 15 Maret 2013 http://tepenr06.wordpress.com/2013/05/08/ teknolog-pendidikan-dalam-kurikulum2013/, diunduh pada tanggal 26 September 2013 http://wafaardani.blogspot.com/, di unduh tanggal 4 september 2013 http://fisikafitri.wordpress.com/category/ pembelajaran-fisika-berbasis-tik/ diunduh tanggal, 6 september 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 67 Tahun 2013. Kerangka dasar dan struktur kurikulum Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah Santrock, Jhon W. (2004). Psikologi pendidikan – edisi kedua. Jakarta : Kencana Surya, Mohamad. (2010). Guru dalam tantangan pola pembelajaran di era milenium ketiga dalam: Education for change – Pendidikan untuk perubahan: Terus berkarya menjadi berkat. Jakarta : BPK Gunung Mulia Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 87 Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah Opini Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah Hilda Karli E-mail: [email protected] Universitas Terbuka - Bandung Abstrak engambilan keputusan merupakan proses seseorang memecahkan masalah dengan cara yang paling tepat untuk mempertahankan diri dalam kehidupannya. Kesalahan mengambil keputusan dapat mengakibatkan tujuan tidak dapat tercapai. Bagaimana sebenarnya cara mengambil keputusan yang tepat, menjadi masalah yang kerap kali dihadapi oleh kepala sekolah sebagai pengambil keputusan. Tulisan ini membahasa pendekatan, strategi, metode dan teknik pengambilan keputusan dengan melakukan kajian atas sejumlah teori pengambilan keputusan dari berbagai referensi. Berdasarkan kajian yang dilakkukan, tulisan ini mengambil kesimpulan atas teknik pengambilan keputusan yang tepat. Di samping itu tulisan ini memberikan saran, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam proses pengambilan keputusan. , P Kata-kata kunci: Pengambilan keputusan, strategi pengambilan keputusan, model pengambilan keputusan, landasan pengambilan keputusan Principal’s Considerations and Decision Making Strategies Abstract Decision making is an activity done by anybody to solve a problem most effectively to maintain his/her life. A mistake in making a decision can result in a failure in achieving the objective. How to make an appropriate decision becomes a problem often faced by a school principal as a decision maker. This article discusses a number of approaches, strategies, methods, and techniques of decision making referring to a number of related theories in various sources. Based on the deductive and inductive analysis, this article concludes the appropriate decision making process and suggests some factors to conside. Keywords: Decision making, decision making strategy, decision making model, decision making reference Pendahuluan Pendidikan memiliki peranan strategis dalam menyiapkan generasi yang berkualitas untuk kepentingan masa depan bangsa. Pendidikan dijadikan institusi utama dalam upaya membentuk manusia seutuhnya. Rintisan Sekolah 88 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Bertaraf Internasional (RSBI) atau Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan sekolah yang menghasilkan lulusan mampu berkomunikasi dengan bahasa Inggris dan menguasai komputer serta aplikasinya. Hal ini untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia agar dapat mengantisipasi perubahan globalisasi yang pesat ( http://satriadharma.com/tag/rsbi/). Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah Program RSBI lahir didasarkan pada ketentuan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 tahun 2003) pasal 50 ayat 3 yang menyatakan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Untuk memenuhi ketentuan ini, Kemendikbud, khususnya Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, telah merintis beberapa sekolah yang diharapkan mampu menerapkan standar mutu menuju SBI. SBI adalah sekolah yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) serta mempunyai keunggulan yang merujuk pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation Development (OECD) dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional. Intinya RSBI atau SBI mengadopsi kurikulum internasional (http:/ /satriadharma.com/tag/rsbi/). Kepala sekolah adalah seorang yang mengatur sebuah sistem organisasi sekolah. Oleh karena itu sebagai pemimpin sekolah tentu ia akan menemukan masalah dan harus membuat sebuah keputusan agar masalahnya dapat terselesaikan. Shull dalam dalam Ety Rochaety (2008:151) mengatakan bahwa pengambilan keputusan adalah proses kesadaran manusia terhadap fenomena individual maupun sosial berdasarkan kejadian faktual dan nilai pemikiran yang mencakup aktivitas perilaku pemilihan satu atau beberapa alternatif sebagai jalan keluar untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu keberhasilan suatu sekolah tergantung pada mutu keputusan yang diambil oleh kepala sekolah yang memimpin. Dasar pengambilan keputusan menurut George R. Terry dalam Ety Rochaety (2008: 153)) diklasifiksasikan menjadi lima hal yaitu: (a) intuisi, (b) pengalaman, (c) fakta, (d) wewenang, dan (e) rasional. Artinya seorang pemimpin dalam mengambil keputusan harus memikirkan banyak pertimbangan yang matang agar keputusan yang diambil tepat melalui proses berpikir induktif atau deduktif (Cooper dan Schindler dalam Dermawan, 2004:47)). Menurut Lipman (2008:85) seorang pembuat keputusan dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti: ketepatan merumuskan masalah, jumlah dan bentuk data informasi, persepsi orang pembuat keputusan itu sendiri, nilai individu, sosial dan organisasi, alternatif jawaban yang andal dan terpercaya, kejelian memilih alternatif jawaban, serta pelaksanaan dan evaluasi atas keputusan tersebut. Menurut KOMPAS (8 Juli 2010), RSBI mendapat bantuan dana dari APBN dan APBD serta orang tua. Uang pungutan dari orang tua dipergunakan untuk sarana prasarana seperti AC dan internet. Terbentuk kasta antara pelajar, seperti kasta yang memiliki laptop atau handphone yang canggih dengan pelajar yang tidak memiliki laptop. Oleh karena itu terjadi kecemburuan social dan RSBI dikatakan sekolah untuk orang yang “berduit”. (http://scribd.com/doc/ 50340377). Survei SMAN 1 Taliban menemukan bahwa selain kurikulum nasional, juga menggunakan kurikulum Cambridge dan kurikulum Internasional General Certificate of Secondary Education. Oleh karena itu siswa wajib mengikuti tiga kali ujian akhir. Hal ini merupakan pengkhianatan pada tujuan pendidikan nasional. Masalah yang muncul lagi adalah sumber daya manusia terutama guru yang mengajar masih belum fasih bahasa Inggris atau guru yang pandai bahasa Inggris namun tidak menguasai pedagogik kependidikan. (http:// kampus.okezone.com/read/). Banyak permasalahan yang muncul di RSBI, seperti kurikulum yang digunakan, evaluasi akhir, SDM yang belum siap, dan sarana prasarana yang belum lengkap. Masalah tersebut sepertinya belum dapat dipecahkan dan mungkin menjadi masalah berikutnya. Seorang kepala sekolah yang bertindak sebagai pelaksana kebijakan Kemendikbud harus jeli dan cepat tanggap dengan masalah yang muncul tersebut. Menurut hasil penelitian dari Johara Nonci (2006: 5), seorang Kepala Sekolah Dasar di Tamalapea, Kecamatan Jeneponto, Makasar, mengambil keputusan masih bersifat tradisional. Ia tidak menggunakan pola berpikir induktif atau deduktif dan kurangnya informasi dalam Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 89 Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah mengolah alternatif keputusan. Di pihak lain, kepala sekolah pada umumnya sudah dibekali ilmu kepemimpinan, yang di antaranya teori pengambilan keputusan, akan etapi dalam perakteknya hasilnya belum seperti yag diharapkan. Oleh karena itu tulisan ini mengkaji bagaimana seorang kepala sekolah dapat terampil mengambil keputusan seputar RSBI. Lebih lanjut masalah tersebut dirinci menjadi (1) langkah-langkah seorang kepala sekolah dalam mengambil keputusan yang tepat, (2) teknikteknik seorang kepala sekolah mengambil keputusan yang tepat, dan (3) faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan oleh seorang kepala sekolah dalam mengambil keputusan. Secara umum kajian ini bertujuan mendeskripsikan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh kepala sekolah. Secara khusus kajian diarahkan untuk (1) menjelaskan langkah-langkah kepala sekolah dalam mengambil keputusan yang tepat, (2) mendeskripsikan teknik-teknik kepala sekolah dalam mengambil keputusan yang tepat, serta (3) menyebutkan factor-faktor yang perlu dipertimbangkan oleh seorang kepala sekolah dalam mengambil keputusan. melalui pilihan dari beberapa alternatif jawaban yang sudah disusun berdasarkan sistem keluaran (output). Dari beberapa definisi yang dirujuk, dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan adalah suatu proses yang dilakuan oleh manusia untuk mempertahankan diri dalam kehidupannya dengan memecahkan permasalahan yang timbul melalui pencarian jawaban pemecahan yang paling tepat untuk masalah tersebut. Salah satu fungsi yang sangat penting dalam kepemimpinan ialah pengambilan keputusan. Semakin tinggi posisi seseorang dalam kepemimpinan organisasi maka tugas utamanya semakin banyak berkaitan dengan pengambilan keputusan. Perilaku dan cara pemimpin dalam pola pengambilan keputusan sangat mempengaruhi perilaku dan sikap dari pengikutnya. Menurut Lipman (2008:91) ada lima tingkatan orang yang terlibat dalam Kajian Teoritis A. Dasar Pertimbangan Pengambilan Keputusan 1. Pengambilan keputusan Ada beberapa definisi pengambilan keputusan. Menurut George R. Terry dalam Ety Rochaety (2008: 151), pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada. Sedangkan pendapat dari Shull dalam dalam Ety Rochaety (2008:151) pengambilan keputusan adalah proses kesadaran manusia terhadap fenomena individual maupun sosial berdasarkan kejadian faktual dan nilai pemikiran yang mencakup aktivitas perilaku pemilihan satu atau beberapa alternatif sebagai jalan keluar untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Menurut Lipman (1985:81) pengambilan keputusan adalah sebuah proses untuk memecahkan masalah melalui sebuah sistem yang dirancang 90 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Gambar 1: Tingkat Keterlibatan dalam Pengambilan Keputusan pengambilan keputusan seperti tergambar pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan, pertama, ada orang yang bertindak sebagai pengambil keputusan, misalnya kepala sekolah yang karena kedudukan dan jabatannya harus mengambil keputusan. Kedua, ada pula yang berperan memberikan saran dalam memilih alternatif spesifik, misalnya wakil kepala sekolah. Sementara yang ketiga (misalnya guru-guru) mengembangkan/memberikan berbagai alternatif pilihan. Keempat, ada pula yang memberikan informasi dan konsekwensi tentang masing-masing alternatif. Misalnya, siswa dapat terlibat sebagai penyedia informasi langsung Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah karena mereka tahu kejadiannya sehari-hari. Tetapi ada juga yang kelima, sama sekali tidak berperan serta dalam proses pengambilan keputusan itu. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengambil keputusan, menurut George R. Terry dalam Ety Rochaety (2008: 153)) diklasifiksasikan menjadi lima hal yaitu: (a) intuisi, pengambilan keputusan ini memiliki sifat subjektif sehingga mudah terkena pengaruh namun sisi lain waktu yang digunakan untuk mengambil keputusan relatif lebih pendek; (b) pengalaman, pengambilan keputusan ini memiliki manfaat bagi pengetahuan praktis karena berdasarkan pengalaman seseorang dapat memperkirakan atau memperhitungkan baik buruknya keputusan; (c). fakta, pengambilan keputusan ini memiliki tingkat kepercayaan yang lebih tinggi sehingga orang dapat menerima keputusan dengan lapang dada; (d) wewenang, pengambilan keputusan ini memiliki otoritas dari pimpinan pada bawahannya dan keputusan dapat bertahan lama namun menimbulkan rutinitas dan sering melewatkan permasalahan yang seharusnya dipecahkan; dan (e) rasional, pengambilan keputusan ini memiliki sifat objektif, logis, konsisten dan transparan. Kejelasan masalah, orientasi tujuan, pengetahuan alternatif dan konsekuensi pemilihan jawaban serta hasil maksimal didasarkan atas ekonomis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin dalam mengambil keputusan harus memikirkan banyak pertimbangan yang matang agar keputusan yang diambil tepat. 2. Berpikir dalam Pengambilan Keputusan Seorang pemimpin dalam mengambil keputusan tentu akan mengalami proses berpikir. Sebab tanpa berpikir tentu seorang pemimpin akan mengambil keputusan yang tidak tepat karena memiliki pandangan yang sempit terhadap masalah. Menurut Cooper dan Schindler dalam Dermawan (2004:47) bahwa berpikir induktif dan deduktif merupakan prinsip seorang pemimpin dalam mengambil keputusan. Umumnya istilah berpikir induktif dan deduktif sering dikaitkan dengan pola berpikir ilmiah. Ciri pemikiran dengan gaya ilmiah antara lain: a. adanya observasi langsung dan terarah atas fenomena dan masalah; b. secara jelas dapat mendefinisikan variabel, metode dan prosedur yang dipakai untuk mendapatkan data empiris; c. pengajuan hipotesis yang dapat diuji dan diukur; d. adanya mekanisme untuk mengajukan hipotesa yang lebih baik; e. menggunakan alat ukur dan alat uji hipotesa seperti statistik; f. proses pembenaran. Pemikiran ilmiah ini menggabungkan antara pemikiran logika dan empiris untuk menghasilkan sebuah persepsi dan fenomena yang sifatnya sistematis. Gambar 2 menunjukkan alur gaya pemikiran ilmiah untuk memper- Induktif Teori,konsep Fakta, masalah Alat untuk memecahkan masalah (matematika, statistika, pendekatan Kualitatif dan kuantitatif Praduga pertama Deduktif Prinsip Aristoteles Menguji hipotesa Gambar 2: Alur Gaya Pemikiran Ilmiah Disadur (Cooper dan Schindler dalam Dermawan (2004:47) Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 91 Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah jelas tentang cara berpikir ilmiah seorang pemimpin dalam mengambil keputusan. Gambar 3 menjelaskan bahwa alur pemikiran ilmiah tidak sepenuhnya benar karena manusia tidak lepas dari jiwa dan raga. Oleh karena itu dalam mengambil keputusan perlu juga ada pemikiran kreatif artinya kebijakan yang akan dibuat dalam mengambil keputusan diperuntukkan untuk kebaikan orang banyak. Iman, hati dan kasih sangat diperlukan dalam mengambil keputusan. Seseorang harus seimbang antara pikiran logika ilmiah dan insting hati nurani yang bicara. Kebijakan yang tepat dibuat akan memenangkan jiwa, membersihkan jiwa, memberi , melayani dan mencerahkan pada sesama manusia untuk kesejahteraan bersama. Bukan untuk kepentingan diri sendiri. Iman Hati S Membersihkan Hati Memberi Melayani Mencerahkan Memenangkan Jiwa Y U K U Kasih R Gambar 3: Alur Gaya Pemikiran Kreatif (Syafaruddin (2004:99) A. Strategi Pengambilan Keputusan Sejumlah teori, model, dan teknik pengambilan keputusan yang terbaik telah diciptakan untuk mempermudah para pengambil keputusan dalam melakukan pemilihan alternatif solusi. 1. Model Pengambilan Keputusan Model langkah-langkah membuat keputusan menurut Lipman (1985:85) dapat dilihat pada gambar 4. Menurut Lipman dalam menjalani kehidupan manusia berinteraksi dengan sesamanya, masalah dapat muncul mendadak, dapat dirasakan, atau bias bahkan subyektif. 92 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Untuk itu menurut Barnard dalam Lipman (1985: 86) masalah itu perlu dilihat tingkat urgensinya dan dimulai dari mana. Oleh karena itu masalah yang muncul perlu diidentifikasi sehingga masalah yang muncul lebih spesifik dan jelas. Dalam memecahkan masalah seorang pengambil keputusan value perlu memperhatikan faktor seperti kehidupan sosial, organisasi dan individu), information (terdiri dari jumlah data, bentuk data dapat dibantu oleh komputer dan alur informasi yang dapat diperoleh serta mempertimbang-kan waktu), perceptual screen (terdiri kreativitas, IQ, situasional, kebutuhan, dan pengalaman sebelumnya), weighing alternatives (mempertimbangkan kebutuhan, isu, kesempatan, seberapa sering terjadi, kemungkinan untuk mengukurnya). Making a choise (memilih dari beberapa alternatif jawaban yang sudah dipikirkan secara tepat dengan mempertimbangkan side effect yang mungkin akan muncul) serta implemen-tation and evaluation (saat pelaksanaan serta mengevaluasi serta merefleksikan kemung-kinan yang harus direvisi). Menurut Dunstan dan Rankin dalam Lipman (1985:89) bahwa proses membuat keputusan serta pelaksanaannya dapat dibagi dalam 3 tahap yaitu before the decision, the moment of decision, dan after the decision. Pada gambar dapat dilihat bahwa before the decision adalah mempertimbangkan positif dan negatif dari setiap alternatif jawaban pemecahan masalah yang dibuat, the moment of decision adalah keadaan yang sangat sulit saat memilih alternatif jawaban, dan after the decision adalah saat waktunya akan melaksanakan keputusan yang sudah dipilih dalam action . Model pengambilan keputusan ini dengan mengidentifikasi masalah lalu secara detail menguraikan masalah tersebut lebih spesifik. Ketika masalah muncul tentu diperlukan sebuah pemecahan masalah berupa kebijakan yang dibuat guna menyelesaikan masalah tersebut. Dalam mengambil keputusan tersebut erlu dipertimbnagkan seperti factor budaya setempat, nilai sosial masyarakat, serta nilai kehidupan setiap individu. Membuat beberapa alternatif untuk mengambil keputusan kemudian dipilih keputusan mana yang terbaik dan keputusan Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah Feedback Amount, form, and flow of information Perceptual Screen Identifiy problem Define problem Decition Maker Formulated Alternatives A1 Estimated Outcomes Make choice An Estimated Outcomes Implement ation and evaluate the decision Social, organizational, and individual values Past Present Future Gambar 4: Model Pengambilan Keputusan (Lipman 1985 : 85) tersebut dilaksanakan. Kemudian dievaluasi MoModel pengambilan keputusan ini lebih agar tahu kendala dan keberhasilan keputusan sempit karena lebih terbatas. Maksudnya tersebut. Jika ada masalah lain muncul efek dari pengambilan keputusannya akan diterap-kan keputusan tersebut maka siklus kembali lagi dengan mencari kriteria yang paling tepat saat untuk mengidentifikasi masalah secara detail. Identifikasi Tetapkan Pencarian Pemilihan Menurut Cohen dalam dan kriteria alternatif alternatif Dermawan (2004:112) model terbatas definisikan solusi solusi yang pengambil keputusan dapat masalah tertentu memuaskan dikategorikan berdasarkan suorganisasi dut pandang rasional atau tidak seperti dibahas di bawah ini: a. Model pengambilan kepuLakukan tusan berdasarkan panperubahan Solusi tidak minor untuk dangan rasionalitas yang menyesuaikan dibatasi. ya Model pengambilan keputusan ini berangkat dari Apakah hal kehidupan nyata yaitu Terapkan solusi tersebut adanya keterbatasan rasioya menyelesaikan nalitas manusia dalam masalah pengambilan keputusan. tidak Selain itu pengambil keputusan dibatasi oleh sejumKurangi lah keterbatasan atau tingkat hambatan kala menentukan preferensi atas proses pengambilan keputusan dan menentukan Gambar 5: Model Pengambilan Keputusan Berdasarkan pilihan. Pandangan Rasionalitas yang Dibatasi Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 93 Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah mencari alternatif keputusan. Oleh karena kriteria terbatas sudah ditentukan saat mengidentifikasi masalah. Intinya agar solusi yang paling memuaskan untuk organisasi. Jika tidak dapat diterap-kan maka ada perubahan sedikit dari peng-harapan atau keinginan pembuat keputus-an diubah disesuaikan dengan kondisi. b. Model pengambilan keputusan yang tidak terstruktur. Model ini dikenal sebagai model tong sampah karena model ini membalikan proses awal pengambilan keputusan yang artinya pengambil keputusan dapat mengajukan sejumlah solusi terhadap masalah yang sesungguhnya tidak ada, maka pengambil keputusan menciptakan sejumlah masalah yang mereka dapat selesaikan melalui solusi yang sudah tersedia. Menurut model ini keputusan merupakan hasil suatu interaksi yang rumit antara 4 peristiwa yang saling tidak terikat yaitu problem (masalah), solution (penyelesaian masalah), participants (pengambil keputusan), choice opportunities (peluang) menurut Cohen dalam Dermawan ( 2004 : 112). 2. Teknik Pengambilan Keputusan Ketika seorang pembuat keputusan akan mencari jawaban pemecahan masalahnya maka teknik atau cara yang dipergunakan dapat bermacammacam tergantung tujuan yang hendak dicapai. Teknik pengambilan keputusan ada 6 jenis, yaitu: a. Analisis Diagram Pareto, yaitu teknik untuk membantu pemimpin dalam menemukan perubahan yang akan memberi manfaat terbesar. Teknik ini berguna dalam kondisi terdapatnya sejumlah alternatif solusi dan tindakan yang memungkinkan dapat dipilih. Langkah-langkah yang digunakan adalah: 1). Tulis semua daftar keinginan atau perubahan yang hendak kita raih; 2) beri skor setiap kelompok; 3) pilih skor yang paling tinggi untuk alternatif jawaban pengambilan keputusan. b. Analisis Perbandingan Sepasang, yaitu teknik untuk membantu pemimpin dalam memilih pengambilan keputusan dari 94 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 beberapa alternatif jawaban yang ada. Teknik ini untuk menetapkan skala prioritas dan yang memberikan manfaat yang besar. Langkah-langkah yang digunakan adalah: 1). Tulis semua daftar pilihan yang dimiliki; 2) gambarkan tabel pilihan yang terdiri dari baris dan kolom; 3) pergunakan tabel untuk membandingkan alternatif jawaban yang ada; 4) beri skor variasi antara 1-4 untuk setiap pemilihan alternatif jawaban; 5) jumlahkan setiap item dan konversikan dalam persentase. c. Analisis Jaringan, yaitu teknik untuk membantu pemimpin dalam memilih satu pengambilan keputusan dari sejumlah alternatif yang ada. Teknik ini untuk mempertimbangkan sejumlah faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan yang sudah diambil. Langkahlangkah yang digunakan adalah: 1) Tulis semua daftar pilihan dan faktor yang sudah ditetapkan; 2) gambarkan tabel pilihan yang terdiri dari baris dan kolom; 3) tetapkan tingkat kepentingan relatif dari seluruh faktor yang ditujukkan dalam bentuk angka; 4) beri skor dari 0 – 3 ; 5) kalikan setiap skor dengan nilai kepentingan relatif yang sudah kita tetapkan; 6) jumlahkan seluruh skor dan skor tertinggi merupakan pilihan solusi yang tepat untuk masalah yang dihadapi. d. Teknik Implikasi Plus – Minus, yaitu teknik pengambilan keputusan untuk menilai pandangan pro – kontra dan implikasi dari sebuah keputusan atau pilihan. Teknik ini untuk menilai kembali apakah pilihan yang diambil merupakan pilihan yang paling tepat. Langkah-langkah yang digunakan antara lain : 1) Gambar tabel dengan judul setiap kolom: plus, minus dan implikasi; 2) Di kolom plus tulis seluruh konsekuensi positif dari suatu pilihan; 3) Di kolom minus tulis seluruh konsekuensi negatif dari suatu pilihan; 4) Di kolom implikasi tulis seluruh implikasi beserta hasil yang Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah e. f. g. memungkinkan dari pilihan yang diambil baik positif maupun negatif; 5) Tentukan skor untuk setiap konsekuensi yang telah ditetapkan; 6) Jumlahkan seluruh skor dari kolom plus, minus, dan implikasi. Analisis Kekuatan Lapangan, yaitu teknik untuk membantu pemimpin dalam memilih pengambilan keputusan dengan melihat sejumlah kekuatan dari yang mendukung maupun yang menghalangi tujuan atau rencana yang akan diputuskan. Teknik ini untuk membantu kita dalam menimbang tingkat kepentingan setiap faktor kekuatan yang kemudian memberikan input bagi kita tentang implementasi dari rencana. Langkah-langkah yang digunakan antara lain : 1) Gambar tabel dengan judul setiap kolom: kekuatan dan penghalang; 2) Di kolom penghalang maupun kekuatan uraikan secara detail; 3) Tentukan skor untuk setiap uraian dari 1–5 Analisis Biaya dan Manfaat, yaitu teknik untuk membantu pemimpin dalam pengambilan keputusan berdasarkan biaya yang akan muncul dan nilai seluruh biaya. Teknik ini untuk menentukan sejumlah manfaat ekonomi yang dihasilkan dari suatu tindakan. Langkah-langkah yang digunakan antara lain : 1) Rinci semua biaya yang dikeluarkan 2) Rinci manfaat setiap biaya yang dikeluarkan 3) Jumlahkan seluruh biaya yang dikeluarkan 4) Jumlahkan seluruh manfaat yang didapat 5) Hitung selisih antara biaya dan manfaat kemudian perkirakan berapa lama pengembalian dana investasi. 4) Jumlahkan skor untuk kekuatan dan penghalang Analisis SWOT, yaitu teknik untuk membantu pemimpin dalam mengambil keputusan dengan cara menggambarkan secara detail seluruh kekuatan (Strenght), kelemahan (Weakness), peluang (Oppor- tunity), hambatan (Threat). Teknik ini untuk membantu pimpinan memiliki kerangka kerja dan siap mengantisipasi jika ada kendala. Langkah-langkah yang digunakan antara lain : 1) Susun setiap poin S, W, O, dan T secara rinci; 2) Setiap poin di atas dihitung skor bobot, rating, dan jumlah dengan menggunakan tabel. Untuk bobot diberi skor 0,1 – 1, untuk rating diberi skor 1 – 5, sedangkan untuk jumlah adalah perkalian antara bobot dengan rating; 3) Analisis setiap poin SWOT dengan menggunakan tabel yaitu kolom berisi strategi untuk S dan T, dan baris berisi strategi untuk O dan W; 4) Tentukan keputusan strategis dari setiap poin SO, WO, ST, dan WT. Berikut adalah tabel format menganalisis dan menentukkan keputusan strategis menggunakan Analisa SWOT. Tabel : Format Analisis SWOT Strength (S) Threat (T) Opportunities (O) Strategi untuk SO Strategi untuk TO Weakness (W) Strategi untuk WS Strategi umtuk WT C. Landasan yang Mendasari 1. Landasan Psikologi a. Teori Gestalt Menurut Hergenhann (2010:284) Gestalt memandang belajar sebagai problem khusus dalam persepsi. Mereka mengasumsikan bahwa ketika suatu organisme berhadapan dengan sebuah problem akan muncul keadaan disekuibrilium kognitif dan keadaan ini akan terus menerus berlanjut sampai problem terselesaikan. Hal ini karena disekuibrilium kognitif mengandung unsur motivasional yang menyebabkan organisme berusaha untuk mendapatkan keseimbang-an dalam sistem mentalnya. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 95 Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah b. Belajar menurut Gestalt adalah fenomena kognitif, di mana organisme melihat solusi setelah memikirkan problem. Pembelajar memikirkan semua unsur yang dibutuhkan untuk memecahkan problem dan menempatkannya bersama (secara kognitif) dalam satu cara dan kemudian cara-cara lainnya sampai problem terpecahkan. Ketika solusi muncul organisme mendapatkan wawasan (insight) tentang solusi problem. Problem dapat terpecahkan atau tidak jadi menurut Gestalt belajar itu sifatnya diskontinu. Belajar berwawasan (insightful learning) adalah belajar yang mempunyai 4 karakteristik yaitu : transisi dari prasolusi ke solusi terjadi secara mendadak, kinerja berdasarkan solusi yang tepat, hasil solusi akan tertanam dalam benak anak, dapat mengaplikasikan pada masalah yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Teori Jung Carl Gustav Jung (1875 – 1954) adalah seorang pengikut Sigmund Freud yang beraliran psikologi analisis. Jung berpendapat bahwa jiwa seseorang terdiri dari rasional dan irasional dimana pikiran dan perasaan termasuk kedalam rasional sedangkan penginderaan dan intuisi termasuk irasional. Dalam penilaian rasional dijabarkan dengan kata benar atau salah, senang atau tidak senang dan seterusnya, sedangkan penilaian irasional dijabarkan dengan kata sadar dan tidak sadar. Pikiran Penginderaan Intuisi Perasaan Gambar 6: Fungsi Jiwa Menurut Jung Oleh karena itu manusia selalu ada dalam dunianya sendiri namun karena manusia adalah makhluk sosial maka manusia harus bergaul dengan lingkungannya. Oleh karena itu 96 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 harus ada keseimbangan antara dunia dalam diri dan dunia luar. Seseorang harus dapat menyesuaikan diri dengan dunia luar dengan berbagai manifestasi, misalnya seorang kepala sekolah yang tidak mampu mengatur bawahannya akan menjadi berlagak sok. Hal ini karena kepala sekolah tersebut ingin menutupi kelemahannya dengan berbagai tingkah laku yang tidak sesuai dengan keadaan. Untuk memperjelas dapat dilihat pada Gambar 7. Pikiran Dunia Obyek Pesona Penginderaan Intuisi Aku Dunia Subyek Perasaan Gambar 7: Hubungan Pribadi Dengan Dunia dalam Diri dan Dunia Luar 1. Landasan Filosofi Aristoteles dianggap sebagai bapak ilmu empiris karena memelopori pengumpulan data yang komprehensif dan sistematis. Beliau memilih metode ilmiah secara deduktif dan induktif dalam praktek kehidupan sehari-hari, misalnya seorang kepala sekolah akan mengumpulkan data riwayat hidup, data sekolah (NEM, Prestasi Belajar, Data Siswa, dll.) karena hal ini sangat penting untuk mengambil keputusan. Menurut beliau, pengambilan keputusan dengan data riil tentu lebih akurat dibandingkan dengan pengambilan keputusan yang hanya mengandalkan intuisi semata. Filsafat etika yang diajukan oleh Aristoteles adalah manusia yang bertindak melalui pikiran rasional dan bijaksana untuk tujuan kebaikan (Yuana (2010: 44)). John Dewey (1859-1952) adalah seorang filsuf yang memiliki aliran pragmatisme. Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah John Dewey terkenal dengan slogan “ dilakukan saat perencanaan, penggerakan, Kebenaran adalah sesuatu yang benar”. pengawasan, dan pengorganisasian. PengamDewey menganggap kebenaran sebagai sesuatu yang Perencanaan realistis dan bersifat teruji. Ada 5 tahap proses pengujian secara intelektual, yaitu: a. Saat ada perubahan maka Pengambilan Pengawasan Pengoragnisasian manusia segera berpikir Keputusan untuk mencari penyelesaian b. Merumuskan permasaPenggerakan lahan c. Menyusun dugaan d. Mengidentifikasi hipoGambar 8. Fungsi Manajemen dalam tesa dan pencarian urutPengambilan Keputusan an tingkat kebenaran e. Pengujian untuk membuktikan bilan keputusan ini tidak hanya bersifat kebenaran substantif untuk menyusun rencana-rencana strategis tetapi juga dalam menangani pelaksanaan tugas-tugas operasional serta A. Manajemen Kepemimpinan Sekolah Manajemen merupakan sebuah proses mengatasi masalah-masalah yang menyimpang bekerja sama baik antar individu mapun dari rencana. Para kepala sekolah perlu mempelajari atau kelompok serta sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut mengenali masalah apa saja yang dihadapi atau Gintings (2009:5) manajemen terdiri dari peluang apa saja yang harus ditangkap oleh unsur uang, sumber daya manusia (SDM), organisasi. Oleh karena itu faktor apa saja yang material, pasar, teknik dan metode di dalam menyebabkan munculnya masalah atau faktor suatu organisasi, dalam prosesnya apa saja yang menjadi kekuatan dan kelemahan manajemen memiliki fungsi perencanaan harus diidentifikasikan secara rasional dan (plan), pengorganisasian (organizing), sistematis. Kepala sekolah harus dapat penggerakkan (actuating) dan pengawasan merumuskan masalah yang tepat agar proses pengambilan keputusan menjadi baik. (controling). Para kepala sekolah menyusun sejumlah Salah satu fungsi yang melekat dalam manajemen terutama fungsi perencanaan alternatif yang diperkirakan atau menjadi adalah pengambilan keputusan. Sebagai praduga sementara dalam menjawab perumussebuah sistem kerja manajemen, an masalah. Berbagai alternatif jawaban dibuat pengambilan keputusan perlu dipertim- untuk memecahkan permasalahan dan yang bangkan dengan tepat. Seorang kepala bersifat menguntungkan bagi organisasi. Para kepala sekolah menilai keuntungan sekolah dituntut keberanian untuk mengambil resiko atas keputusan yang atau kerugian dan kelemahan atau kekuatan diambil. dari setiap alternatif jawaban dalam Mondy dan Premeaux dalam Syarafuddin memecahkan permasalahan. Diperlukan kejelian (2004:54) menggambarkan hubungan dalam memilih alternatif jawaban guna fungsi manajemen dengan pengambilan mengambil keputusan. Tidak saja pikiran, keputusan seperti terlihat pada Gambar 8. perasaan, penindraan dan intuisi yang baik Para kepala sekolah bertanggung jawab dalam memilih alternatif jawaban tersebut. terhadap masa depan organisasi melalui Para kepala sekolah memilih jawaban dari pengambilan keputusan sesuai tingkatan perumusan masalah yang dianggap paling kedudukannya. Proses pengambilan keputusan menguntungkan organisasi dan siap untuk Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 97 Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah ditetapkan dalam organisasi. Selanjutnya dilaksanakan sebagai keputusan yang diambil oleh organisasi. Para kepala sekolah harus mengevaluasi keputusan yang sudah diambil apakah sudah mencapai tujuan yang diinginkan atau belum. Jika belum maka perlu ada perbaikan dengan melihat kembali alternatif jawaban yang dibuat atau menambah dengan melengkapi alternatif jawaban yang lain. Sistem sekolah mengolah berbagai input kemudian diolah atau ditarnsformasikan menjadi output yang selanjutnya keluaran ditransformasi kepada masyarakat. Pusat kegiatan ada pada proses pembelajaran antara siswa dan guru. Selain ada proses evaluasi yang dilakukan oleh guru untuk melihat sejauh mana perkembangan siswanya. Kegiatan organisasi sekolah berkaitan dengan kegiatan yang melibatkan kelompok untuk mengambil sebuah keputusan. Hal ini berkaitan dengan alokasi, wewenang, dan koordinasi kegiatan. Setiap fungsi memiliki keahliannya sendiri-sendiri untuk menjalankan tugasnya. Umumnya di dunia pendidikan ada jenjang wewenang dari seorang pengawas hingga guru. Dapat dilihat pada Gambar 9. Dari gambar di atas dapat dikatakan bahwa seorang pengawas mempunyai garis perintah yang lebih tinggi daripada kepala sekolah. Walaupun memang seorang pengawas masih harus tunduk pada kewenangan pemerintah. Koordinator sekolah mempunyai garis perintah lebih tinggi daripada seorang guru namun koordinator ada di bawah perintah seorang kepala sekolah. Agar berjalan baik dalam sistem Gambar 9: Sistem Organisasi Sekolah dan Aktivitas 98 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 organisasi sekolah guru yang melayani bimbingan atau guru yang mengajar bidang studi atau guru yang mendukung layanan pada siswa ada di bawah perintah kordinator. Pembahasan Timbulnya banyak permasalahan karena sebuah sekolah yang dipimpin oleh seorang kepala sekolah tidak mempunyai sebuah keputusan yang tepat dalam hal mengelola. Seorang kepala sekolah hendaknya terampil dalam mengambil keputusan, tentu banyak halhal yang perlu dipertimbangkan (Lipman 1985: 90). Fungsi manajemen dapat memberi petunjuk agar pengambilan keputusan lebih tepat. Dimulai dari fungsi perencanaan, pengoorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. Saat merencanakan suatu program hendaknya seorang pemimpin berpikir secara induktif dan deduktif dalam menentukan alternatif pilihan untuk memecahkan permasalahan atau menentukan perencanaan Cooper dan Schindler dalam Dermawan (2004:47). Menurut Lipman (1985: 81) model proses pengambil keputusan ada 6 langkah dimulai dari identifikasi masalah lalu merumuskan masalah selanjutnya dibuat keputusan dengan berbagai macam jawaban alternatif, pembuat keputusan harus dapat memilih salah satu jawaban alternatif yang paling tepat yang selanjutnya dilaksanakan dan dievaluasi pelaksanaannya untuk menjadi bahan refleksi. Ketika akan memutuskan seorang pembuat keputusan harus memperhatikan beberapa hal seperti: value perlu memperhatikan faktor seperti kehidupan sosial, organisasi dan individu), information (terdiri dari jumlah data, bentuk data dapat dibantu oleh komputer dan alur informasi yang dapat diperoleh serta mempertimbangkan waktu), perceptual screen (terdiri kreativitas, IQ, situasional, kebutuhan, dan pengalaman sebelumnya), weighing alternatives (mempertimbangkan kebutuhan, isu, kesempatan, seberapa sering terjadi, kemungkinan untuk mengukurnya). Model ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh (Cooper dan Schindler dalam Dermawan, 2004:47) bahwa dalam pengambil keputusan seorang pengambil keputusan harus Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah berpikir cara induktif dan deduktif untuk mencari jawaban alternatif pemecahannya. Dari model pengambilan keputusan yang dikemukan oleh Lipman dan Cooper, seorang pengambil keputusan harus memiliki banyak informasi tentang RSBI misalnya, dengan cara mengobservasi langsung SBI yang sudah ada baik lokal maupun di luar negara jika memungkinkan untuk mencari banyak informasi tentang SBI. Dari informasi tersebut akan muncul permasalahan. Misalnya berapa biaya yang harus dipersiapkan untuk mendirikan SBI? Pertanyaan lain mungkin muncul bagaimana mempersiapkan SDM yang handal? dsb. Ketika studi banding ke SBI hendaknya sudah dipersiapkan instrumen yang tepat apa yang akan dicari informasi SBI. Jika memungkinkan instrumen tersebut divalidasi sebelumnya. Selanjutnya langkah menyusun rumusan masalah yang perlu dijawab sementara (hipotesa) misalnya SDM harus yang memiliki persyaratan lulusan S-2 keguruan dan yang fasih berbahasa inggris baik bicara maupun menulis; biaya yang harus disediakan saat mendirikan SBI sekitar 2 milyar dengan rincian yang jelas untuk sarana prasarana, SDM, dll; kurikulum mengadopsi dari kurikulum IB hanya untuk IPA dan matematika. Dari semua hipotesa tersebut dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan instrumen baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hasil dari semua perhitungan tersebut untuk menjawab rumusan masalah sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan. Pemimpin dapat mempertimbangkan hasil alternatif jawaban untuk mengambil keputusan dalam merencanakan program sebuah SBI. Misalnya ada permasalahan pada SDM saat pelaksanaan RSBI maka menurut Lipman, seorang pengambil keputusan harus dapat mencari jawaban alternatif permasalahan yang tepat misalnya dari data informasi bahwa guru yang berpendidikan S-2 non kependidikan lebih banyak daripada S-2 kependidikan, guru yang berbahasa Inggris pada guru yang S-2 non kependidikan dan S-1 kependidikan tidak fasih berbahasa Inggris. Dibuat beberapa alternatif jawaban seperti guru S-2 non kependidikan dikuliahkan khusus untuk pedagogik, atau guru S1 kependidikan dileskan bahasa Inggris secara intensif, atau guru S-1 kependidikan magang di sekolah internasional untuk beberapa lama agar bahasa Inggrisnya bisa lebih baik, dll. Kemungkinan-kemungkinan tersebut dapat dicari oleh pembuat keputusan dari data informasi yang didapat, brainstroming dengan staf guru yang berwenang, atau mencari seorang konsultan. Misalnya timbul masalah pada kurikulum yang digunakan RSBI, maka pengambil keputusan perlu mendapat banyak data tentang kurikulum yang digunakan sekarang, apa keunggulan dan kelemahannya. Dapat juga dari hasil observasi dan studi banding atau pencarian dari internet didapatkan info kelemahan dan kekuatan kurikulum dari negara Singapura, Malaysia, New Zealand, Hongkong, Jepang, dan Kanada. Dari info tersebut dipilih beberapa alternatif kurikulum yang dianggap tepat diterapkan di Indonesia baik ditinjau dari segi budaya, sosial dan politik. Misalnya pemilihan kurikulum yang tepat adalah kurikulum dari Hongkong karena dari segi budaya, sosial dan politik tidak terlalu beda jauh. Maka pemilihan kurikulum Hongkong diujicobakan dahulu pada 1-2 kelas agar dapat diketahui sejauhmana keberhasilannya. Selanjutnya mengevaluasi pelaksanaan kurikulum Hongkong tersebut untuk direvisi sebagai solusi selanjutnya. Seorang kepala sekolah ketika sudah mempunyai alternatif keputusan perlu dipertimbangkan dari segi perasaan dan intuisi. Siagian dalam Syafaruddin (2004:67) mengungkapkan bahwa seorang pemimpin dalam proses mengambil keputusan selain berpikir ilmiah (rasional) juga berpikir kreatif artinya berpikir didasarkan pada perasaan, pengalaman, dan intuisi seseorang. Keseimbangan antara pikiran, perasaan, intuisi, dan pengindraan sering diungkapkan dalam kalimat “iman, pelayanan dan doa”. Manusia yang hidup secara sosial tentu akan saling berinteraksi satu dengan lainnya. Dalam interaksinya akan ada melayani dan dilayani. Oleh karena itu seorang pemimpin yang baik tentu akan mengambil keputusan bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk kesejahteraan bersama. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 99 Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah Pengambilan keputusan didirikannya SBI dengan tujuan yang baik yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dalam rangka mengantisipasi era globalisasi maka perlu mempertimbangkan dari segi kesejateraan bersama misalnya, apakah hanya anak yang dari kalangan tertentu yang dapat bersekolah di SBI atau setiap anak Indonesia? Pemimpin perlu merefleksikannya dalam doa dan iman kepada Tuhan memohon bantuannya dalam menentukan alternatif pengambilan keputusan. Pemimpin yang agung seperti terungkap dalam Alkitab, bahwa rencana akan gagal jika tidak disertai pertimbangan sedangkan rencana akan berhasil jika banyak yang memberi nasehat (Amsal 15 : 22). Melihat profil kepemimpinan Nabi Nehemia sebagai seorang pembuat keputusan yang jelas memberikan contoh teladan yang harus ditiru oleh kita semua. Dalam Nehemia 5 ayat 7 dikatakan bahwa setelah berpikir masak-masak. Sebuah pernyataan yang memperingatkan pada pimpinan untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan karena menyangkut banyak pihak. Oleh karena itu minta banyak nasihat pada orang-orang yang berpengalaman atau “ahlinya”. Kaitan dengan SBI pihak yang terlibat antara lain guru dan staf, siswa, orang tua, dinas setempat, mempertanggung jawabkan kepada Allah YME, dll. Setelah seorang pimpinan menentukan alternatif jawaban dalam pengambilan keputusan, maka teknik yang dipakai tergantung dari tujuan yang akan dicapai. Dari setiap alternatif jawaban perlu dipertimbangkan lagi agar keputusan yang diambil tepat. Misalnya, setelah kepala sekolah mengetahui dari studi banding dan info dari berbagai pihak maka teknik yang dapat digunakan untuk mengetahui berapa lama BEP (Break Even Point) yang dapat dicapai oleh SBI tersebut dengan menggunakan teknik analisis biaya dan manfaat. Teknik analisis digram Pareto dapat digunakan seorang pimpinan untuk mengetahui apakah SBI tepat berlokasi disuatu area. Untuk penentuan kurikulum yang akan diadopsi oleh SBI dapat menggunakan analisis jaringan dengan memilih beberapa kurikulum dari luar negeri seperti, Jepang, Hongkong, Singapura, dan lain-lain. Kriteria yang perlu dipertimbangkan adalah harga 100 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Franchase, bahan Ajar, media, kemampuan guru mengajar, kemampuan siswa. Analisa SWOT dapat digunakan untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan pesaing SBI lain. Dengan memanfaatkan seluruh teknik yang ada, seorang pimpinan akhirnya dapat mengambil keputusan secara bijaksana untuk kepentingan bersama. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan oleh seorang pemimpin dalam pengambilan keputusan seperti: pertama Posisi atau kedudukan yang mengambil keputusan itu sebagai pembuat keputusan atau penentu keputusan. Misalnya pembuat keputusan dalam kebijakan SBI dibuat oleh kepala sekolah bagi sekolah swasta, sedangkan yang penentu kebijakan oleh anggota yayasan sekolah tersebut. Kedua, Masalah yang dihadapi tersebut masalah yang rutin atau insidental atau masalahnya terstruktur atau tidak terstruktur. Umumnya masalah rutin bisa dipecahkan oleh guru namun masalah yang sifatnya insidental bisa dipecahkan oleh guru atau kepala sekolah. Sebagai komite sekolah atau yayasan dari sekolah akan memecahkan masalah umumnya masalah yang tidak terstruktur artinya masalah tersebut sifatnya tidak tetap dan jarang dijumpai. Ketiga, keadaan internal organisasi seperti tersedianya dana, keadaan SDM, kompetensi karyawan yang ada, kelengkapan sarana prasarana di sekolah, struktur organisasi sekolah. Pertimbangkan apakah guru harus memiliki ijazah keguruan, ataukah sarjana bahkan magister, dana yang dikucurkan dari yayasan atau bantuan komite sekolah atau bahkan dapat bantuan dari UNICEF atau badan hukum lainnya. Keempat, keadaan eksternal organisasi seperti budaya, ekonomi, sosial dan politik setempat, misalnya daerah pemukiman yang hampir 75% penduduknya bekerja di kantoran dan berpenghasilan minimal 6 juta dapat dikatakan orang tua yang mampu untuk menyekolahkan anaknya dengan biaya yang melebihi batas normal sekolah biasa, atau penduduk tersebut banyaknya kedutaan dari berbagai negara maka tentu bahasa yang digunakan adalah bahasa inggris sebagai pengantarnya. Kelima, tersedianya informasi yang diperlukan misalnya banyak siswa yang akan Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah sekolah di SBI sifat informasi harus akurat, up to date, relevan dan memiliki kesalahan kecil sehingga data tersebut bisa dipakai sebagai acuan untuk mengambil keputusan; keenam, kepribadian dan kecakapan pengambail keputusan meliputi intelegensi, keterampilan kebutuhan dan penilaian. Pengambilan keputusan merupakan seni dan ilmu karena setiap pemimpin mempunyai gaya dan tipe tersendiri dalam mengambil keputusan. Dari paparan di atas penulis hendak mendeskripsikan bahwa dari analisa masalah yang muncul berdirinya SBI atau RSBI jika ditelaah lebih jauh dimulai dari fungsi perencanaan dalam sistem organisasi harus menggunakan model langkah-langkah pengambil keputusan dalam mencari beberapa jawaban alternatif untuk diambil keputusannya. Cara berpikir seorang pemimpin mempengaruhi keputusan dan teknik yang dipakai untuk mempermudah mencari alternatif jawabanpun berpengaruh atas kebijakan SBI. Simpulan yang dapat diperoleh serta mempertimbangkan waktu), perceptual screen (terdiri kreativitas, IQ, situasional, kebutuhan, dan pengalaman sebelumnya), weighing alternatives (mempertimbangkan kebutuhan, isu, kesempatan, seberapa sering terjadi, kemungkinan untuk mengukurnya). Untuk membantu setiap langkah dalam memecahkan masalah ada teknik-teknik yang dapat dimanfaatkan oleh seorang kepala sekolah untuk mengambil keputusan yang tepat dan bijaksana antara lain: teknik analisa diagram pareto, analisa perbandingan sepasang, analisa jaringan, analisa implikasi Plus-Minus, analisa kekuatan lapangan, analisa biaya dan manfaat dan analisa SWOT. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan oleh seorang kepala sekolah dalam mengambil keputusan seperti: 1) Posisi atau kedudukan yang mengambil keputusan ;2) Masalah yang dihadapi; 3) keadaan internal organisasi: 4) keadaan eksternal organisasi; 5) tersedianya informasi yang diperlukan; 6) kepribadian dan kecakapan pengambil keputusan. Kesimpulan Rekomendasi Pengambilan keputusan adalah proses seorang manusia dalam mempertahankan dirinya dalam kehidupan untuk memecahkan permasalahan yang timbul dengan mencari jawaban pemecahan masalah tersebut yang paling tepat. Menuurt Lipman (1985: 81) model proses pengambil keputusan ada 6 langkah dimulai dari identifikasi masalah lalu merumuskaan masalah selanjutnya dibuat keputusan dengan berbagai macam jawaban alternatif, pembuat keputusan harus dapat memilih salah satu jawaban alternatif yang paling tepat yang selanjutnya dilaksanakan dan dievaluasi pelaksanaannya untuk menjadi bahan refleksi. Ketika akan memutuskan, seorang pembuat keputusan harus memperhatikan beberapa hal yaitu: value perlu memperhatikan faktor seperti kehidupan sosial, organisasi dan individu), information (terdiri dari jumlah data, bentuk data dapat dibantu oleh komputer dan alur informasi Seorang pemimpin dalam menjalankan sebuah organisasi selalu mengambil keputusan yang merupakan prasayarat penentu tindakan. Pengambilan keputusan merupakan sebuah ilmu dan seni yang harus dicari, dipelajari, dimiliki dan dikembangkan secara mendalam oleh setiap pimpinan. Ragamnya masalah yang muncul dalam sebuah organisasi tentu akan melakukan pengambilan keputusan yang beragam pula tergantung sudut pandang pimpinan. Oleh karena itu seorang pimpinan dalam mengambil keputusan sebaiknya:1. Jangan mengambil keputusan secara kebetulan; 2. Jangan mengambil keputusan secara sembrono (tergesa-gesa); 3. Jangan mengambil keputusan tanpa menguasai hakekat masalahnya; 4.jangan mengambil mengambil keputusan karena “trend” atau isu di masyarakat; 5. Jangan hanya ada stu alternatif jawaban dalam mengambil keputusan. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 101 Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah Daftar Pustaka Dermawan, R. (2004). Pengambilan keputusan. Bandung: Alfabeta Gintings, A.(2009). SIM Pendidikan. Bandung: Uninus Press Hergenhahn, B.R. (2010). Theories of learning. Jakarta: Kencana Predana Media Group http://kampus.okezone.com/read/ http://satriadharma.com/tag/rsbi/ http://scribd.com/doc/50340377 Lembaga Alkitab Indonesia. (1976). Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia Lipman, J.M. dan Rankin, R.E,. (1985). The principalship concepts, competencies, and cases. New York: Longman 102 Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 Nonci, Johara. (2006). Pola kepemimpinan Kepala sekolah dalam lulusan akta kekepalasekolahan dalam pengambilan keputusan. Jurnal Samudera Ilmu. 1. (1). 274 -277 Poerwadarminta, W.J.J. (2007). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Rochaety, Ety .(2008). SIM Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Suryabrata,S. (1983). Psikologi kepribadian. Jakarta: Rajagrafindo Persada Syafaruddin & Anzizhan. (2004). Sistem pengambilan keputusan pendidikan. Jakarta: Grasindo Tjahjono, H. (2002). Kepemimpinan dimensi keempat. Jakarta: Elex Media Komputindo Yuana, K. (2010). The greatest philosophers. Yogya: Andi offset Isu Mutakhir: Mau Kemana Kurikulum Pendidikan? Isu Mutakhir Mau Kemana Kurikulum Pendidikan Kita? Hotben Situmorang E-mail: [email protected] Bidang Peningkatan Profesi Guru-IGI, Jakarta ebuah iklan susu yang menggambarkan kecerdasan anak balita dengan mengambil satu buku ‘papanya’ yang sedang sibuk dan menaruhnya ke kolong meja. Sang ‘papa’ menunduk hendak mengambilnya dan serta-merta si anak meraih punggungnya dan menunjukkan sikap ingin main kuda-kudaan. Suara sang ibu menegaskan : “Ooo, Papa jadi kudanya?” Tentu gambaran ini hanya iklan, nalar anak balita dalam merancang situasi yang akan terjadi setelah mengambil buku papanya tentu hanya rekayasa kreatif dari iklan susu tersebut. Akan tetapi persoalan bernalar memang telah menjadi sorotan para ahli dan pemerhati pendidikan masa kini. Hujan kritik terhadap pelaksanaan Ujian Nasional (UN), yang oleh para aktivis dinyatakan sebagai biang kerok yang mereduksi tujuan pendidikan menjadi nirnalar. Evaluasi pendidikan yang berfokus pada pelaksanaan UN dengan mengedepankan ingatan perlu perubahan S sehingga menjadikan proses dan nalar menjadi titik beratnya. Gundah gulana pemegang kekuasaan untuk berbuat yang lebih baik dalam kebijakan pendidikan jelas terlihat dan mencoba melirik apa yang dilakukan Negara maju. Kegundahan tersebut juga juga dipengaruhi beban tanggung jawab terhadap amanat pembukaan UUD 45 yang menyatakan : “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia …” (huruf tebal tambahan penulis). Selanjutnya dipertegas pada pasal 28C UUD 45 Ayat (1) : “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” (huruf tebal tambahan penulis). Penugasan pemegang kendali kebijakan dinyatakan pada pasal 31 ayat (3) : “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” (huruf tebal tambahan penulis). Negara yang pendidikannya sudah baik juga terus bergumul dalam mempersiapkan generasi mudanya. Berbagai program/ kebijakan pendidikan dalam menghadapi persaingan global telah menjadi rumor yang mempengaruhi dunia. Amerika mencetuskan program “No Child Left Behind” sebagai usaha mengatasi ketimpangan di masyarakatnya. An act to close the achievement gap, so that no child is left behind. Dalam merancang kurikulum pendidikan untuk jenjang Pre-University, Cambridge menegaskan, “Pre- Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 103 Isu Mutakhir: Mau Kemana Kurikulum Pendidikan Kita? U is a post-16 development which aims to prepare students with the skills and knowledge required to make a success of their subsequent studies at university. Universities tell Pre-U that they want students who are equipped to benefit from a higher education experience which calls for a more independent and self-directed style of learning.” Sesungguhnya usaha perbaikan mutu pendidikan telah berlangsung sejak Indonesia merdeka. Dari usaha pemerataan mutu pendidikan dan mobilisasi tenaga terdidik untuk menjadi guru telah terjadi pada awal kemerdekaan republik ini. Dari sisi kurikulum, beberapa kali perubahan yang dimaksudkan menselaraskan kemajuan teknologi dengan proses pendidikan. Berbagai penamaan kurikulum seperti : Broad- Based Curriculum, Competency-Based Curriculum dan hingga diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kesemuanya itu dimaksudkan meningkatkan mutu pendidikan. Dengan KTSP diharapkan muncul inovasi pembelajaran yang lebih bermutu dan sekaligus memfasilitasi adaptasi kurikulum dari negara yang sudah maju. Kurikulum 2013 yang mulai dijalankan dengan mengacu pada KepMen No. 70 tahun 2013 memiliki tujuan untuk meningkatkan rasa ingin tahu siswa dan mendorong siswa untuk aktif dan bernalar. Kurikulum tersebut didesain sedemikian sehingga menjadikan siswa 104 tidak hanya menjadi obyek namun bisa menjadi subyek dan ikut mengembangkan wawasan pembelajaran yang ada. Standar penilaian pada kurikulum ini tentu berbeda dengan kurikulum sebelumnya, dan salah satu komponen penting dalam menilai siswa adalah kemampuan anak bertanya . Secara teknis perangkat kurikulum ini telah disiapkan lengkap dengan buku materi dan silabus, serta buku pegangan guru yang berisi alternatif pendekatan (pedagogi) yang hendak dipergunakan guru dalam membahas topik pelajaran. Guru tak lagi dibebani dengan kewajiban untuk membuat silabus seperti yang pada pelaksanaan kurikulum sebelumnya. Persoalan yang luput dari pertimbangan penentu kebijakan ini adalah dampak terhadap kreatifitas guru yang terbunuh. Guru yang seharusnya memformulasikan proses pembelajaran berdasarkan kondisi sekolah dan keberadaan siswanya menjadi terabaikan. Maksud memudahkan guru alih-alih menjadikan ‘guru menjadi buruh’. Penyusun naskah juga dikwatirkan tidak memikirkan sedemikian luas dan banyaknya ragam wilayah Indonesia, sehingga dimungkinkan terjadi pendangkalan konsep materi yang hendak disampaikan guru (yang penting tersampaikan). Sebagai contoh, dalam membicarakan ‘pengaruh angin barat’ tentu lebih sulit difahami Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 masyarakat petani atau perkotaan, tetapi mudah bagi masyarakat nelayan atau kepulauan terkait kedekatan peristiwa tersebut dengan kehidupan sehari-hari. Yang menjadi pertanyaan lainnya adalah kesiapan guru mengeksekusi kurikulum ini, karena peluncurannya yang terkesan dipaksakan. Kesan “paksa” bisa jadi berkonotasi negatif pada aspek psikologis pelaksana. Karena terpaksa bisa jadi pelaksanaannya hanya seadanya atau lebih ekstrim terjadi penolakan sehingga tindakan guru justru akan lebih mempertontonkan kelemahan kurikulum ini. Jika ini terjadi maka yang dirugikan adalah siswa. Siswa yang menjadi objek berdirinya sekolah seharusnya sepadan dengan apa yang disampaikan Terry M. Moe dalam bukunya Teacher’s Union and America’s Public School (2011,p3), sebagai berikut. … because of this so, everything about the public schools-how they are staff, how they are funded, and more generally how they are organized to do their work-shoud be decided with the best interests of children in mind. (huruf tebal tambahan penulis). Sementara jika ditelusuri, ternyata dokumen Kurikulum 2013, juga masih memunculkan pertanyaan. Sebagai contoh, seorang guru bernama Puti Saraspaty mempertanyakan apakah ada yang dapat memahami Kompetensi Dasar (KD) Bahasa Indonesia untuk siswa kelas 1 SD semester satu Isu Mutakhir: Mau Kemana Kurikulum Pendidikan? berdasarkan kurikulum 2013 (dapat dilihat di Permendikbud No.67 tahun 2013). KD yang dipertanyakan adalah: ”Mengamati dan menirukan teks deskriptif tentang anggota tubuh dan pancaindra, wujud dan sifat benda, serta peristiwa siang dan malam secara mandiri dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan kosakata bahasa daerah untuk membantu penyajian.” Mungkin masih banyak pertanyaan teknis yang mucul dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 akibat kekurangpahaman pelaksana. Kesan dipaksakan dalam implementasi kurikulum 2013 juga terlihat dari jumlah sekolah yang dituntut mengimplementasikan kurikulum ini berubah dari rencana awal seluruh sekolah (100%) dikurangi sehingga hanya menunjuk sekitar 10 % dari sekolah negeri yang menjadi milik/dijalankan oleh Pemerintah ditambah dengan beberapa/segelintir sekolah swasta. Sekolah swasta yang ditunjuk juga hanya sekolah yang dari awal diperkirakan dapat menambah angka kesuksesan berhasilnya kurikulum 2013 ini. Jumlah sekolah swasta yang pada kenyataannya jauh lebih besar tidak termasuk dalam perhitungan kuota 10% tersebut. Dapat dikatakan bahwa peran sekolah swasta tidak menjadi pertimbangan, atau swasta dipersilahkan mengikuti perkembangan di sekolah negeri. Kebijakan yang sesungguhnya mengingkari fakta, bahwa pelopor perubahan pembelajaran dan inovasi kurikulum sesungguhnya adalah sekolah swasta. Ungkapan jujur yang disampaikan oleh Tim yang mewakili Kemendikbud pada sidang Mahkamah Konstitusi saat perkara Sekolah Bertaraf Internasional diperkarakan. Penilaian aktivis pendidikan terhadap kurikulum baru yang menggantikan KTSP ini sebenarnya masih pro-kontra. Ada pendapat yang menyatakannya hanya sesuai untuk anak-anak yang berasal dari golongan menengah ke atas. Hal ini terkait model pengembangannya yang mengadopsi pembelajaran yang berlaku di sekolah yang menyatakan diri bertaraf internasional tersebut. Sementara pendapat lain, penerapan kurikulum baru ini antara lain agar metode yang muncul di sekolah internasional juga dapat dirasakan seluruh sekolah di Indonesia, termasuk di sekolah pedesaan atau yang terletak di daerah geografis yang tergolong sulit dijangkau. Dengan demikian muncul kehawatiran, implementasi Kurikulum 2013 akan menghasilkan kastanisasi pendidikan. Kasta tertinggi yang merupakan sekolah dengan perangkat sarana dan sumberdaya yang baiklah yang ditunjuk melaksanakannya. Sekolah dengan sumberdaya minimal yang dipersepsi sebagai kasta terendah dinilai akan kesulitan sehingga diberikan kelonggaran tidak mengimplementasikan Kurikulum 2013. Padahal UUD ’45 mengamanatkan desain pendidikan adalah untuk seluruh masyarakat Indonesia, dengan tidak membeda-bedakan derajat kehidupannya. Kata ‘satu sistem pendidikan nasional’ yang tercantum pada UUD 45 pasal 28C Ayat (1) memang menjadi perdebatan dan pergumulan tersendiri apabila memperhatikan luasnya negara ini dengan disparitas yang ada. Dalam konteks inilah kebijakan Pemerintah ditentang, manakala dibangunnya sekolah rintisan bertaraf internasional yang oleh masyarakat dituduh sebagai ‘kastanisasi’ pendidikan, sehingga kebijakan tentang RSBI dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Usaha Pemerintah dalam memajukan pendidikan memang memerlukan pemikiran yang menyeluruh dan tidak parsial. Kemajuan harus menjadi milik semua anak bangsa. Entah apa yang terjadi jika Pemerintahan berubah pada tahun 2014. Melihat banyaknya keragaman situasi, baik letak geografis maupun demografis, sesungguhnya KTSP merupakan pilihan terbaik yang dapat diterima karena masing-masing sekolah mengetahui kondisi lapangan sehingga metode pembelajarannya dapat dicari yang sesuai. Pemerintah seharusnya tidak mengganti kurikulum tetapi menekankan Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 105 Isu Mutakhir: Mau Kemana Kurikulum Pendidikan Kita? pembenahan dan evaluasi. Jika pada pelaksanaan KTSP terjadi masalah yang cukup signifikan dan berdampak pada proses belajar anak didik, masalah tersebut seharusnya dibenahi. Misalnya, Lembar Kerja Siswa (LKS) dengan konten tak sesuai, karena kemampuan guru yang masih kurang. Kemampuan guru yang demikianlah yang perlu ditingkatkan. Contoh lain, persepsi yang tidak tepat atas atas muatan lokal dalam kurikulum. Banyak sekolah memanfaatkanya sebagai ruang penambahan mata pelajaran tertentu yang tidak berkaitan dengan situasi lokal kedudukan sekolah. Seyogianya kearifan lokal yang menjadi salah satu filosofy kehidupan masyarakat tempat sekolah berada dapat dijadikan menjadi bagian kurikulum dengan sebutan muatan lokal. Pembelajaran muatan lokal juga tidak seharusnya dipaksakan diajarkan di sekolah. Keterlibatan siswa atau perancangan program tertentu yang memberi pengalaman dan pemahaman siswa akan makna kehidupan masyarakat lokal dapat dijadikan sebagai bagian kurikulum. Membantu orang tua dalam usaha tertentu yang menopang kehidupan keluarga juga merupakan pembelajaran berharga yang perlu diberikan kredit poin, asalkan periode pelaksanaannya memenuhi kriteria yang digariskan sekolah. Australia membebas-kan 106 siswa “Year XI” dari wajib belajar di sekolah asalkan yang bersangkutan bekerja setidaknya 20 jam setiap minggu dan memper-oleh penghasilan. Sekolah tetap memberikan sertifikat untuk melanjut ke perguruan tinggi yang relevan setelah masa “Year XII”. Selama periode tersebut sekolah berkomunikasi dengan lembaga yang mempekerjakan siswa tersebut. Isu remunerasi yang diterima guru dengan aturan yang berlaku juga tidak terbebas dari persoalan implementasi Kurikulum 2013. Terjadinya penggabungan mata pelajaran yang pada SD semula 10 mata pelajaran menjadi enam mata pelajaran, berakibat pada sejumlah mata pelajaran yang hilang. Untuk mata pelajaran SMP, dari 12 menjadi hanya 10 mata pelajaran, dan disisi lain ada perubahan alokasi waktu pembelajaran dari yang sebelumnya 32 jam menjadi 38 jam pelajaran per minggu sehingga ruang modivikasi bagi sekolah menjadi sempit. Lain lagi pada jenjang SMA/SMK yang semula ada 18 mata pelajaran menjadi 9 yang wajib dan ditambah dengan peminatan akademik untuk SMA dan peminatan vokasional pada SMK. Ada pelajaran wajib dan pilihan (= diikuti/dipelajari sesuai minat). Pada setiap jenjang pendidikan (mulai kelas 4 (SD/MI) ke atas, bisa terjadi moving kelas; artinya, peserta didik bergerak ke ruangan Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 sesuai dengan mata pelajaran yang diminatinya, dan di sana guru sudah menati mereka. Kesemuanya ini berakibat pada adanya kemungkinan mata pelajaran tertentu tidak diminati, maka konsekuensinya adalah pengurangan guru. Kesemuanya dari aturan teknis penugasan guru berakibat pada banyaknya guru mendapat penugasan kurang dari 24 jam. Kekurangan jam tatap muka berkaitan dengan tunjangan profesi guru. Jika pada sekolah negeri peralihan tugas guru tidak mengganggu penghasilan guru maka hal tersebut berbeda dengan sekolah swasta. Sekolah swasta sangat memperhitungkan jam mengajar dalam pengelolaan keuangan untuk gaji guru. Sekali lagi kebijakan implementasi kurikulum ini tidak memperhatikan persoalan sekolah swasta dan kewajiban Negara dalam memaknai isi dari UUD yang menyatakan pendidikan di baiayai Negara. Dari paparan di atas maka perguruan swasta perlu mengambil sikap yang tidak menyerah dan hanya menjadi pengikut pada perubahan kebijakan pendidikan. Perguruan swasta perlu tetap menjadi innovator dan yang unggul dan menjadi sumber inspirasi Pemerintah dalam memperbaharui kurikulum, termasuk sitem pendidikan secara umum. Kebijakan perubahan kurikulum pendidikan menjadi versi 2013 yang dilaksanakan Pemerintah Isu Mutakhir: Mau Kemana Kurikulum Pendidikan? yang menggusur pembelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) perlu dilihat dengan hati terbuka. Postingan Setyo Purnomo pada milis Ikatan Guru Indonesia dapat dijadikan bahan refleksi. Disebutkan, Finlandia, negara yang amat terkenal pesona proses pendidikannya, mengguncang dunia IT dengan menjual Nokia kepada Microsoft senilai US$ 7,2 miliar atau sekitar Rp 80 triliun di tengah desasdesus pailitnya perusahaan produsen Blackberry. Satu ikon nasional Finlandia yang sistem pendidikannya sudah teruji bagus oleh TIMMS dan PIRLS memang terjual, sepertinya terlambat mengikuti perubah-an zaman. Akan tetapi, jika ditelaah lebih jauh, ternyata Linux terlahir di negeri ini, yang selanjutnya melahirkan Android, yang pertumbuhan-nya sangat cepat. Dengan kata lain, negara yang berpendidikan baik ini membuat keputusan cerdas. Penempatan bidang studi TIK sejajar atau terintegrasi dengan pembelajaran lainnya perlu pertimbangan yang matang, karena TIK diperlukan pada masa ini dan masa akan datang. Kebutuhan ini terlihat dalam video yang menarik di dengan judul What Most Schools Don’t Teach di Youtube ( http:// www.youtube.com/watch? v=nKIu9yen5nc (Preview. Selain itu, kita juga diingatkan tentang anak kecil beranjak remaja yang bernama Thomas Suarez ( http:// www.ted.com/talks/thomas_ suarez_a_12_year_old_app_ developer.html ) Pembelajaran TIK memang bukan segalanya, namun dalam konteks memahami gerak zaman, maka memahami TIK nyaris menjadi kebutuhan mutlak. Kehadiran kurikulum 2013 yang diharapkan menjadi solusi pembelajaran yang ‘nir-nalar’ menjadi pembelajaran ‘bernalar’. Apabila dilaksanakan dengan sosialisasi yang minim akan mengundang banyak pertanyaan, yang di antaranya, mau kemana arah pendidikan nasional, bagaimana menerjemahkan kurikulum ini sesuai dengan konteks geografis kedudukan sekolah? Bagaimana dengan ikon Indonesia?! Kalau kemudian ada yang mengatakan bahwa Indonesia kaya dengan budaya dan pesona alamnya sehingga bisa “dijual” lewat pariwisata, maka semestinya ada sesuatu yang dititipkan dalam kurikulum pendidikan nasional untuk mendukung keyakinan itu. Kalau dikatakan negara ini adalah negara agraris, maka harus ada bagian tersebut dalam kurikulum pendidikan nasional. Demikian juga, jika disebut Indonesia adalah negara maritim, apa ikon nasional yang dapat dijadikan “anchor” bagi tetap eksisnya Indonesia di masa depan? Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku penentu kebijakan perlu mempertimbangkan persoalan yang dihadapi perguruan swasta. Perguruan swasta yang menjalankan kurikulum 2013 akan memperhitungkan biaya operasional dalam penyediaan guru seiring keleluasaan siswa memilih bidang studi yang diminatinya. Implementasi kurikulum 2013 memang menuntut sekolah berinovasi dalam menginterpretasikan tujuan kebijakan pemerintah. Perguruan swasta tidak mungkin hanya sebagai pengikut (copy paste) jika mau bertahan dan tetap ambil bagian dalam layanan pendidikan. Perlu berlari lebih cepat. Sekiranya juga apa yang disumbangkan oleh perguruan swasta pada pengembangan kurikulum pendidikan di Indonesia akan mendorong pemerintah menyempurnakan tanggung jawabnya dalam memenuhi amanat konstitusi. Pada ahirnya kurikulum pendidikan yang mempersiapkan generasi muda dengan bernalar akan mengantarkan bangsa ini pada tataran kehidupan yang lebih baik, percayalah. Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013 107 Resensi buku: Catatan Harian Guru: Menulis Itu Mudah Resensi buku Judul Buku: Catatan Harian Guru: Menulis itu Mudah Pengarang: Keke Taruli Aritonang Penerbit: C.V. Andi Offset Yogyakarta Tahun Terbit/Catakan: 2013/Cetakan ke-1 Ukuran: 16 x 23 cm Jumlah Halaman: xii + 340 halaman ISBN: 978 – 979 – 29 – 3577 – 6 Resensi oleh: P. Slamet Widodo E-mail: [email protected] SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya enulis merupakan suatu proses kreatifitas menuangkan gagasan ataupun ide yang ada di dalam pikiran ke dalam bentuk tulisan dengan tujuan tertentu. Menulis adalah suatu bentuk berpikir dimana yang dituangkan dalam kata-kata yang lebih mudah dipahami dan mudah dimengerti. Menulis adalah menuangkan gagasan ke dalam bentuk tulisan. Gagasan yang ditulis bisa milik sendiri atau milik orang lain. Menulis berbeda dengan mengarang. Sedangkan yang dimaksud dengan mengarang ialah menciptakan gagasan. Dalam sebuah karangan, ide atau gagasan milik pengarang. Di era modern seperti sekarang ini, menulis menjadi hal yang sering disepelekan oleh kalangan kaum remaja, apalagi kalangan anak-anak yang orang tua didiknya tidak pernah mengajarkan pentingnya menulis bahkan bagi para guru sekalipun. M 108 Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013 Pelajaran menulis bagi anak usia remaja sangatlah penting. Dengan menanamkan pentingnya menulis, anak bisa belajar menulis sehingga ketika dewasa mereka telah memiliki kemampuan menulis. Menulis lebih mudah daripada mengarang. Banyak orang bisa menulis, namun belum tentu seorang yang bisa menulis bisa mengarang. Oleh karena itu, menulis sebenarnya bukan sulit, apalalagi bagi seorang guru yang tiap hari bergumul dengan pekerjaan menulis. Menulis lebih menitikberatkan proses menuangkan pengalaman, sehingga siapa saja seharusnya tidak mengalami kesulitan menulis. Akan tetapi, menulis belum menjadi budaya serta kebutuhan semua guru. Sejumlah guru masih mengalami kesulitan menulis dan bagi mereka menulis itu merupakan tantangan tersendiri. Dalam situasi seperti ini, buku yang berjudul Catatan Harian Guru: Menulis itu Mudah Resensi buku: Catatan Harian Guru: Menulis Itu Mudah yang ditulis oleh Keke Taruli Aritonang merupakan buku yang mengajak para guru untuk bisa menulis. Buku ini memberikan inspirasi dan motivasi tersendiri bagi para guru untuk menulis. Dengan gaya bahasa yang sangat luas dan mudah dimengeri, penulis membagi pengalaman asal muasal menjadi penulis. Berbagai macam cara ditempuh agar bisa menulis buku. Ia menulis buku dimulai dari menuliskan pengalamannya dalam catatan harian, membuat jurnal, membuat kliping dan banyak membaca. Kegiatan tersebut bisa dijadikan sumber penulisan ide. Namun, yang paling menentukan seseorang bisa menulis adalah dengan latihan menulis secara rutin dan disiplin yang keras. Di sela-sela waktu kosong, ibu yang mengajar di SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta ini menyempatkan diri untuk menulis. Bahkan dikemukakan pula bahwa di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga pun dia meluangkan waktu untuk menulis meskipun hanya beberapa kalimat. Bagi ibu yang memiliki tiga anak ini, menulis merupakan karier di masa yang akan datang selain sebagai guru yang juga harus mengerjakan tugasnya setiap hari. Ia menyaari, tidak selamanya akan menjadi guru dan pada suatu saat ia harus berhenti karena faktor umur atau faktor lain. Oleh karena itu, keterampilan menulis merupakan bekal yang sangat berharga bila kelak pensiun atau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya harus keluar atau dikeluarkan dari tempat bekerja. Motivasi ini muncul karena penulis pernah mempunya pengalaman yang tidak menyenangkan . Ia pernah dikeluarkan secara mendadak dari pekerjaan sebagai guru di SMAK 2 BPK PENABUR Jakarta. Mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi di masa depan, penulis ingin menegaskan bahwa keterampilan menulis sebenarnya sangat berguna bagi guru. Lebih lanjut, Keke Aritonang menyampaikan pesan bahwa meskipun sulit, sebenarnya menulis tetap dapat dipelajari. Jika ingin mau belajar menulis, kuncinya cuma satu, yaitu jangan malas. Segala macam pengalaman bisa dituangkan dalam bentuk tulisan. Menurutnya, semua orang terutama guru bisa menjadi penulis andal. Syaratnya adalah mau memaksa diri untuk berlatih menulis setiap hari dengan hati yang ikhlas dan menjadikan kegiatan menulis sebagai karier di masa yang akan datang. Selain menyampaikan keberhasilannya dalam menulis, ibu yang dilahirkan di Jakarta 44 tahun yang lalu ini membagi pengalaman kegagalan dalam menulis. Ia mengisahkan, tidak sedikit tulisannya ditolak oleh penerbit maupun majalah. Namun, ia tidak pernah putus asa. Misalnya, dari ketujuh lomba yang diikutinya pada tahun 2008, hanya satu yang berhasil lolos menjadi finalis, yaitu Lomba Keberhasilan Guru (hal. 63). Bahkan baru pada tahun 2011 lolos menjadi finalis LIPI tetapi belum jadi pemenang. Buku ini juga bercerita tentang cara menulis yang benar. Langkah-langkah menulis buku disampaikan secara jelas dan terperinci. Dikemukakan, bagaimana membaca pedoman lomba menulis buku, mengumpulkan bahan, membuka situs internet, sampai cara membuat konsep/kerangka tulisan. Penulis buku ini sangat menyadari bahwa tugas seorang guru sangat banyak dan berat sehingga menyita hampir separuh waktu dalam sehari. Untuk itu, Keke juga membagi pengalamannya cara memanfaatkan waktu dan tempat menulis. Dia mengatakan bahwa menulis dapat dilakukan dimana saja, baik di sekolah, di rumah, maupun di tempat-tempat umum. Kapan waktunya menulis? Hampir setiap hari dia menulis di sela-sela kesibukan sebagai guru dan sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus ketiga buah hatinya. Sebenarnya, guru memiliki banyak waktu menulis ketika libur panjang kenaikan kelas, libur hari raya, dan libur nasional yang selalu ada setiap tahun. Di manakah tempat menulis? Bagi dia, tempat yang paling nyaman untuk menulis adalah di rumah di samping di tempat kerja di waktu lowong. Masalahnya ialah bagaimana memanfaatkan waktu dan berkonsentrasi untuk menulis. Penulis yang pada tahun 2004 meraih gelar Magister Pendidikan di Universitas Kristen Indonesia Jakarta ini juga menyampaikan pendapatnya tentang keuntungan menulis. Dengan gaya bahasa yang lugas dan enak dibaca, dia mengatakan bahwa banyak keuntungan dari pekerjaan menulis antara lain ada rasa kepuasan batin, menghasilkan uang, Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013 109 Resensi buku: Catatan Harian Guru: Menulis Itu Mudah dikenal sebagai penulis, dipercaya menjadi Jerih payahnya membimbing para siswanya pembicara, dan memiliki kepercayaan diri. membuahkan hasil yang cukup membanggakan. Beruntung bagi penulis karena tulisannya Selain memberikan motivasi, penulis juga yang tidak diterima di media tertentu, kemudian menempuh berbagai macam metode agar dikirimkan ke Jurnal Pendidikan PENABUR. siswanya mau menulis. Salah satunya adalah Setelah disempurnakan serta diedit kembali mewajibkan setiap siswa untuk menulis buku tulisan tersebut dapat dimuat. Pengalaman ini harian. Dengan semangat yang tidak mengenal antara lain menjadi motivasi dan mendorong- lelah, guru bahasa Indonesia di SMPK 1 BPK nya untuk terus menulis. PENABUR Jakarta ini juga membimbing Motivasi merupakan salah satu pendorong siswanya menulis karya ilmiah. Upaya lain yang bagi seorang untuk menulis. Bagi seorang Keke dilakukannya adalah bimbingan menulis yang setiap tahun mengikuti ajang lomba melalui kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan menulis, suami, teman, murid, sanak saudara, ekstrakurikuler dirancang dengan sistematis kepala sekolah, dan ketiga buah hatinya juga dan terprogram. Dengan kegiatan ini lahirlah memberikan motivasi menulis. Dalam pengala- penulis-penulis kecil yang meraih prestasi. man menulis, ia tidak dapat melupakan Perhatian juga diberikan kepada para siswa seseorang yang tidak bosan mau mendengarkan yang mengikuti kegiatan bimbingan menulis keluh kesahnya yakni Rosmawati Situmorang, dengan memublikasikan hasil karya tulis staf Bidang Pendidikan BPK PENABUR. mereka. Dengan memublikasikan hasil karya Selain membagi pengalamannya dalam entah baik atau jelek, siswa merasa bangga. menulis, Keke Inilah yang memyang menerbitkan buat para siswa buku pertama bergemar menulis atau Berbagai cara dilakukan untuk judul Keterampilan minimal pernah menjadikan siswanya penulis Menulis Bahasa memiliki pengandal, mulai dari memberikan Indonesia untuk alaman menulis. motivasi, membimbing siswa Tingkat SMP/MTs Buku yang termengikuti berbagai ajang lomba ini rajin membagi dalam empat menulis, memublikasikan hasil bimbing siswanya bagian ini pada menjadi penulis. intinya merupakan tulisan siswa, menyusun program Sebagian dari isi sebuah tulisan kegiatan menulis... . bukunya setebal motivasi dan ins240 halaman ini pirasi bagi para merupakan guru dan siapa saja curahan pengalamannya membina siswa yang berminat menjadi penulis. Dengan menjadi penulis. Berbagai cara dilakukan untuk membaca buku ini diharapkan para guru bisa menjadikan siswanya penulis andal, mulai dari menulis karena pada prinsipnya menulis itu memberikan motivasi, membimbing siswa mudah. Buku ini merupakan buku yang bagus mengikuti berbagai ajang lomba menulis, bagi para guru atau siapa saja yang mulai belajar memublikasikan hasil tulisan siswa, menyusun menulis. program kegiatan menulis, hingga membuka Banyak orang menuliskan peristiwa yang ekstrakurikuler menulis pun dilakoninya. dialami dalam kehidupannya dalam catatan Langkah pertama yang dilakukannya harian. Namun, kebanyakan catatan harian dalam membimbing para siswanya adalah tersebut berupa pengalaman hidup, entah memberi motivasi menulis. Siswa yang kelihatan kehidupan yang menyenangkan, kesuksesan, berbakat menulis didorong untuk mengikuti atau yang menyedihkan. Inilah perbedaan lomba menulis cerita remaja. Alhasil para siswa catatan harian seorang Keke yang adalah guru. yang dibimbingnya mendapat prestasi dalam Dia menuliskan catatan hariannya dengan ajang Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR). berbagi pengalaman yang memberikan 110 Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013 Resensi buku: Catatan Harian Guru: Menulis Itu Mudah tuntunan bagi pembacanya. Kalau boleh dibilang, buku ini merupakan buku catatan harian yang unik dan berbeda dengan bukubuku serupa. Pembaca dapat menimba ilmu dari buku Catatan Harian ini. Bahkan pembaca bisa melatih menulis dengan petunjuk dalam buku ini. Bagi seorang guru, apalagi guru bahasa Indonesia, buku ini memperkaya metode serta cara membimbing siswa dalam mengarang dan menulis. Alangkah naifnya bila seorang guru bahasa Indonesia tidak bisa mengarang dan menulis, sementara dia harus mengajarkan cara mengarang dan menulis. Melalui buku ini, Keke memberikan guru tidak hanya motivasi, tetapi juga kiat-kiat terampil mengarang dan menulis . Setelah membaca seluruh buku ini, penulis resensi berpendapat, buku ini bermanfaat serta wajib dibaca oleh para guru bahasa Indonesia terutama guru di kalangan BPK PENABUR karena pengalaman yang ditulis dalam buku ini bersumber dari siswa BPK PENABUR. Dengan bahasa yang sederhana Keke memaparkan langkah-langkah membina para anak didiknya yang memiliki keinginan mengarang dan menulis. Mungkin pengalaman yang ditulis dalam buku catatan harian ini bisa membuka mata para guru bahasa Indonesia dan melihat pentingnya guru bahasa Indonesia memiliki keterampilan menulis. Membaca buku, yang diterbitkan oleh Penerbit ANDI Yogyakarta ini, dari halaman ke halaman memang kadang agak menjenuhkan karena bahasa yang terkesan monoton dan lugas. Penggunaan bahasa baku membuat kesan kaku dan melelahkan membacanya. Ketebalan isi buku ini (340 hlm) dapat juga pembaca enggan menelusuri kata demi kata. Kesan yang dikemukakan itu dapat dimaklumi karena buku ini merupakan sebuah pengalaman. Kadang ditemui pesan yang yang diulang-ulang. Misalnya ia menyinggung tentang “alasan tidak ada waktu” (hal. 4 paragraf ke-2: “alasan tidak ada waktu untuk menulis hanya alasan klise.”; hal. 10 paragraf ke-3: “umumnya seorang guru memang tidak punya waktu banyak waktu”, hal. 12: “ guru tidak mampu lagi menyisihkan waktu untuk mengembangkan diri.”) Dengan gaya penulisan seperti ini seolah ia ingin menepis alasan bahwa guru tidak mampu menulis karena sibuk atau tidak punya waktu. Bahkan seorang Keke ingin membuktikan bahwa alasan tidak punya waktu bukan menjadi halangan bagi seorang guru untuk menulis. Banyak pengarang menuliskan catatan hariannya dalam bentuk buku. Salah satu buku yang mirip dengan buku ini adalah buku yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto yang berjudul “Mengarang itu Gampang” (2004). Buku tersebut memaparkan bagaimana cara mengarang dengan mudah. Arswendo menuturkan bagaimana cara mengarang dengan gaya bahasa tidak baku dan santai dalam bentuk tanya jawab. Dengan teknik tanya jawab yang hidup, dinamis dan gaya bahasa tidak baku, penulis berusaha meyakinkan pembaca bahwa mengarang itu mudah dan bisa dilakukan oleh banyak orang. Buku Mengarang itu Gampang karya Arswendo Atmowiloto, bahasanya komunikatif, sistematikanya logis dan tepat, isinya sederhana dan mudah diterapkan serta nilai kemanfaatannya tinggi. Dibandingkan dengan buku sejenis, keunggulan buku Catatan Harian Guru: Menulis itu Mudah ini antara lain banyaknya contoh kongkrit karya yang dihasilkan baik oleh penulis itu sendiri maupun para siswanya. Penulis ,yang juga pengarang buku ini, ingin menunjukkan bahwa dengan cara yang dilakukan, ia mampu mengajarkan kepada anak didiknya cara mengarang. Sekaligus ia juga ingin menunjukkan kepada para pembaca bahwa semua orang pada prinsipnya bisa mengarang dan menuliskan gagasan yang dikarangnya. Setelah membaca buku ini sampai tuntas, sebenarnya ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan kepada pembaca. Secara tersirat penulis ingin mengatakan “kalau siswa saja bisa menulis seharusnya guru juga bisa menulis!”. Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013 111 Profil BPK PENABUR Jatibarang Profil BPK PENABUR Jatibarang “Menjadi Sekolah Berkat bagi Masyarakat” Eti Artayatini E-mail: [email protected] BPK PENABUR Jatibarang Sejarah Singkat S ekitar tahun 1906, seorang anggota Majelis GKI Indramayu, Tan Hiang Eng, menghibahkan tanah kepada gereja. Atas dukungan biaya dari beliau pula dibangun sebuah gedung gereja yang sekaligus digunakan sebagai ruang sekolah. Untuk mendukung pertumbuhan jemaat di Jatibarang didirikanlah sekolah Kristen/Zending School tahun 1932. Guru pertama yang ditugaskan adalah Ong Guan Soey. Pada tahun 1932 NZV menempatkan seorang guru injil yang bernama S. Majan yang membuat pendidikan serta kegiatan gereja semakin baik. Tahun 1935 pengurus sekolah membeli sebidang tanah di Jalan Siliwangi No. 55 (dahulu Jl. Tuparev) dan di tempat itu kemudian dibangun Sekolah Zending yang sekarang bernama BPK PENABUR Jatibarang. Ketika Jepang masuk ke Indonesia semua sekolah Belanda tutup dan gedung sekolah itu kemudian berfungsi menjadi pusat pengungsian tahun 1946. Setahun kemudian (tahun 1947) gedung sekolah itu dijadikan markas TRI. Pada tanggal 5 Oktober 1948 dengan dukungan Mejelis Gereja THHK Jatibarang, dibentuk Panitia Persiapan Pendirian Sekolah Rakyat Kristen yang diketuai oleh Yo Kian Seng dengan penasehat Oey Bian Tiong dan Liem Boen Liong. Tanggal 19 Juli 1950, berdiri BPK JABAR di Bandung, dan di Jatibarang juga berdiri secara resmi BPK Jatibarang di bawah naungan 112 Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013 Cirebon, diketuai oleh Bapak Laba Budiman dengan sekretaris Tan kok Tjay, bendahara Liem Eng Kian dan anggota Tan Tjin Lok. Berdasarkan keputusan Sidang Sinode GKI Jabar Tahun 1960, KPS Jatibarang resmi menjadi bagian anggota BPK Jabar dengan ketua KPS Bapak Laba Budiman. Sedangkan Pengurus Yayasan BPK PENABUR Jatibarang dari masa ke masa dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 : Ketua Yayasan No Nama Periode 1. Ishak Tanadi 1982-1984 2. Winanto 1984-1986 3. Winanto 1986-1990 4. Winanto 1990-1994 5. Nila Mariawati 1994-1996 6. Nila Mariawati 1996-1998 7. Nila Mariawati 1998-2002 8. Santo 2002-2006 9. Piping Hadiyanto 2006-2010 10. Piping Hadiyanto 2010-2011 11 Santo 2011 - 2014 Profil BPK PENABUR Jatibarang Susunan Pengurus BPK PENABUR Jatibarang periode 2010-2014 sesuai Tabel 2. Tabel 2: Susunan Pengurus Periode 2010-2014 No Nama Periode 1. Pdt. Rahmadi Putra S.Si Penasehat 2. Santo Ketua 3. Sumiasih Sekretaris 4. Ritha Wihardjo Bendahara 5. Santo Bid. Pendidikan 6. Iman Cahya Bid. Personalia 7. Robby Santoso Bid. ORSIS 8. Julius Chandra Bid. Sarpras Tabel 4 : Kepala SDK No Kho Im Liok 1948-1951 2. Tan Kim Hok 1951-1955 3. Tan Hok Liem 1955-1962 4. Lim Kem Kwie 1962-1963 5. Susyati Tanuwijaya 1963-1999 6. Agustini Tanusatrio (Pj) 1999-2003 7. Agustini Tanusatrio 2003- 2009 8. Dwi Puji Lestarianti 2009 - 2011 9. Agustini Tanustario 2011- sekarang Tabel 5 : Kepala SMPK No No Nama Periode Yenny Adriani Oeli 1975-1982 2. Sukamto Amelia 1985-1988 3. Tuti Mujiastuti 1989-1990 1. 4. Yulia Chandra 1991-2001 5. Linda R. Siregar 2001-2009 6. Eti Artayatini 2009-2011 7. Linda R. Siregar 2011 - sekarang Periode 1. Sementara itu Kepala sekolah TK, SD, dan SMP BPK PENABUR Jatibarang dari masa ke masa sesuai Tabel 3, 4 dan 5. Tabel 3 : Kepala TKK Nama Nama Periode 1. Sarno 1968-1976 2. Melisa 1976-1977 3. Anna Maria 1977-1979 4. Marwoto 1979-1980 5. Budiharto 1980-1997 6. Agustini Tanusatrio 1997-2003 7. Dwi Puji Lestarianti (Pj) 2003-2004 8. Dwi Puji Lestarianti 2003-sekarang Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013 113 Profil BPK PENABUR Jatibarang Menjadi Sekolah yang Mampu Memberikan Kualitas Pendidikan yang Baik Bagi Masyarakat BPK PENABUR Jatibarang merupakan lembaga pendidikan Kristen yang telah lama berdiri dan secara kualitas diakui oleh Pemerintah dan masyarakat sekitar. Seiring perkembangan jaman, lembaga pendidikan formal baik Kristen maupun non Kristen semakin berkembang pula, serta menawarkan kepada masyarakat berbagai fasilitas dan hasil yang menjanjikan. Sejalan dengan persaingan pendidikan formal yang semakin ketat, BPK PENABUR Jatibarang perlu melakukan pembenahan baik dalam fasilitas, program maupun sumber daya manusia, dalam hal ini guru-guru yang mengajar di BPK PENABUR Jatibarang. Pada tahun pelajaran 2012-2013, Pengurus BPK PENABUR Jatibarang melakukan pembenahan fasilitas sekolah antara lain dengan melengkapi laboratorium komputer dan ruang kelas, seperti terlihat pada Tabel 6. Pembenahan fasilitas itu disertai dengan pelatihan teknologi informasi (IT) kepada guru sehingga mereka dapat menggunakan fasilitas yang ada dengan baik serta mendukung proses KBM di kelas. Potensi yang ada di setiap jenjang sekolah BPK PENABUR Jatibarang terus digali serta dikembangkan agar mampu memberikan pendidikan yang baik bagi masyarakat sekitar. Tabel 7 menunjukkan jumlah siswa yang mengalami peningkatan, terutama pada jenjang TK & SMP. Meningkatnya jumlah siswa itu tidak terlepas dari kerja keras pengurus, Tim PSB dan juga guru/ karyawan BPK PENABUR Jatibarang. Namun, ke depan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mempertahankan jumlah siswa seperti yang ada sekarang. Sungguhpun upaya promosi perlu tetap ditingkatkan, di sisi lain terdapat sejumal fenomena berikut yang tidak dapat diabaikan. 1. Sedikitnya pasangan muda yang memiliki anak usai sekolah, dan berhasilnya program KB di Jatibarang. 2. Jumlah lembaga pendidikan formal di Jatibarang sudah lebih dari cukup untuk 114 Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013 3. sebuah kecamatan (TK : 15 sekolah , SD: 60 sekolah, SMP: 12 sekolah). Masyarakat Jatibarang masih berorientasi ke sekolah negeri, karena sekolah negeri memiliki dana BOS sehingga dapat memberikan biaya sekolah gratis dan murah bagi masyarakat. Tabel 6 : Sarana dan Prasarana Sekolah Jenjang Jenjang TK K - Playground dengan berbagai macam permainan - Sarana bermain di dalam kelas bagi anak - Area- area tema - Lab Komputer - Ruang Multimedia - Ruang ber AC - Perpustakaan - Aula TK- SD- SMP SDK - Ruang Multimedia Kipas angin setiap kelas Kelas 5 & 6 dilengkapi LCD Lab Komputer Aula TK- SD- SMP Perpustakaan SD- SMP Kantin SD- SMP Laboratorium IPA Lapangan Sepak bola Lapangan Basket Area Wifi SMPK - Ruang Multimedia Kipas angin setiap kelas Setiap dilengkapi LCD Lab Komputer Aula TK- SD- SMP Perpustakaan SD- SMP Kantin SD- SMP Laboratorium IPA Peralatan Band Lapangan Sepak bola Lapangan Basket Area Wifi Profil BPK PENABUR Jatibarang Tabel 7 : Data siswa Tahun 2009-2014 Jenjang 4. 2009/2010 2010/2011 2011/2012 2012/2013 2013/2014 TK K 55 53 58 78 68 SDK 109 112 102 101 115 SMP 51 47 40 50 50 Jumlah 215 21 2 200 229 233 Sebagian besar masyarakat Jatibarang adalah muslim yang belum terbiasa menyekolahkan anaknya di sekolah yang bercirikan keagamaan yang berbeda dengan keyakinannya. Guru di BPK PENABUR Jatibarang, secara pendidikan sudah memenuhi rata-rata lulusan S1, tetapi kompetensi mereka masih diperlukan ditingkatan. Oleh sebab itu, di masing-masing jenjang dilakukan berbagai jenis kegiatan seperti Tabel 8 : Data Guru 2009-2014 Jenjang 2009/2010 2010/2011 2011/2012 2012/2013 2013/2014 TK K 3 tetap 3 tetap 2 tetap 2 tetap 2 tetap 6 tetap 7 tetap 7 tetap 7 tetap 7 tetap 1 kontrak 1 kontrak 1 kontrak 2 kontrak 1 kontrak 1 honor 2 honor 2 honor 4 honor 1 honor 4 tetap 3 tetap 3 tetap 3 tetap 5 tetap 2 kontrak 2 kontrak 2 kontrak 5 kontrak 3 kontrak 1 honor 2 honor 2 honor SDK SMPK 5. Jarak satu sekolah dengan sekolah yang lain berdekatan. Untuk menyiasati kenyata-an di atas, diperlukan usaha yang lebih lagi dari pengurus, Tim PSB dan juga guru/ karyawan. Guru sebagai pendidik memegang peranan penting dan strategis dalam meningkat-kan mutu proses dan hasil pendidikan serta sekali gus untuk meningkatkan daya tarik sekolah. Gambaran tentang jumlah dan status guru TK, SD, dan SMP BPK PENABUR Jatibarang tertera pada Tabel 8. - - Tabel 9 : Peningkatan Sumber Daya Manusia 1. Mengikuti MGMP BPK PENABUR 2. Mengikuti KKG Dinas Jatibarang/ Indramayu 3. Pelatihan Multimedia & IT 4. Pelatihan Bahasa Inggris 5. Studi Banding dengan BPK PENABUR Cirebon 6. Seminar/ pelatihan BPK PENABUR 7. Seminar/ Pelatihan Dinas Jatibarang/ Indramayu 8. Pelatihan membuat soal 9. Pelatihan/ pembinaan kurikulum 10. Retret guru/ karyawan Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013 115 Profil BPK PENABUR Jatibarang terlihat pada Tabel 9. Melalui kegiatan ini diharapkan guru dapat termotivasi serta meningkatkan kemampuan, kualitas dan prestasi. Lebih lanjut, mereka diharapkan mampu mencetak siswa berprestasi yang meng-angkat nama BPK PENABUR Jatibarang. Prestasi siswa BPK PENABUR Jatibarang yang terlihat pada Tabel 10 merupakan salah satu hasil dari pelatihan dan pembinaan terhadap guru yang kemudian berimbas pada siswa. Diharapkan prestasi ini dapat terus ditingkatkan sehingga BPK PENABUR Jatibarang dapat menjadi salah satu sekolah unggulan di daerah Jatibarang. Untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pengembangan BPK PENABUR Jatibarang setiap jenjang menyusun program dan kegiatan sebagaimana terlihat pada Tabel 11. Tabel 10 : Prestasi Siswa 2013 Jenjang TK K SDK SMPK 116 Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013 Jenis lomba Tingkat Prestasi Lomba Mewarnai Kecamatan Juara II Lomba Puzzle Kecamatan Juara II Busana daerah Kecamatan Juara II Lomba mewarnai Kabupaten Finalis Calistung 1 Kecamatan Juara II Calistung 3 Kecamatan Juara III IPS Terpadu Kecamatan Juara I Pidato Bahasa Inggris Kecamatan Juara III Membuat cerita bergambar Kecamatan Juara IV Bermain alat musik Kecamatan Juara I Kreativitas kertas daur ulang Kecamatan Juara I Siswa berprestasi Kecamatan Juara I TIK Kecamatan Juara III Teknologi Sederhana Kecamatan Juara II Menyanyi solo Kecamatan Juara I Atletik putri Kecamatan Juara I Catur putri Kecamatan Juara I Renang putri Kecamatan Juara IV Matematika Kecamatan Juara I OSN Propinsi Finalis Guru Berprestasi Kecamatan Juara III Bahasa Ingggris Kecamatan Finalis Bahasa Ingggris Kecamatan Finalis OSN Propinsi Finalis Profil BPK PENABUR Jatibarang Tabel 11 : Program Kegiatan Sekolah Jenjang Penutup Program Kunjungan belajar ke pabrik tempe, panti asuhan, posyandu, dan study tour Ekstrakulikuler : Tarian daerah & modern, angklung, menyanyi, berenang TK K Perayaan keagamaan : Natal, Paskah, Imlek Kegiatan Khusus : Sabtu gembira, c hildren day, HUT BPK PENABUR, sport day, hari pahlawan, valentine day, music day, kartini day, hari pendidikan nasional, rekreasi anak, English day. Ekstrakulikuler : Basket, futsal, musik, sains c lub (Math, IPA, B. Inggris). SDK Perayaan keagamaan : Natal, paskah, imlek. Kegiatan Khusus : Valentine day, c olour day, hari pahlawan, hari Kartini, hari guru. Ekstrakulikuler : Pramuka, PMR, basket, futsal, musik angklung, band, sains c lub, jurnalistik. SMPK Perayaan keagamaan/ hari besar nasional : Natal, paskah, hari batik, hari bumi, hari buku, imlek, valentine day, hari pramuka, sumpah pemuda, hari pahlawan, hari Kartini, hari guru. BPK PENABUR Jatibarang, tetap berpegang pada visinya yaitu: iman, ilmu dan pelayanan. Dengan pembentukan karakter melalui PKBN2K, diharapkan BPK PENABUR Jatibarang dapat membawa pengaruh yang baik bagi siswa/i, orang tua dan masyarakat sekitar. BPK PENABUR Jatibarang telah berusaha untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan, dan juga telah berusaha melayani masyarakat di Jatibarang dengan semaksimal mungkin sehingga pada waktunya nanti visi itu dapat terwujud dengan baik. Sungguhpun visi itu belum tercapai sepenuhnya, BPK PENABUR Jatibarang tetap mensyukuri prestasi yang dicapai sekarang. Harapan dan doa ialah semoga Tuhan selalu memberkati BPK PENABUR Jatibarang dan memberikan jalan bagi peningkatan mutu dan kualitas pendidikan yang diselenggarakannya sehingga sekolah BPK PENABUR Jatibarang mampu menghasilkan kualitas pendidikan yang baik bagi masyarakat. Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013 117 1. Belum diterbitkan/ Belum Pernah dikirim ke Media Cetak Lain. A. Persyaratan 2. Karya Asli: Dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris 1. Kajian Pustaka 2. Kajian Empiris 3. Kajian/ Studi Kasus B. Ragam Naskah 4. Evaluasi 5. Kajian Kebijakan 6. Kajian Pengembangan 7. Analisis Deskriptif/Opini 8. Resensi Buku a. Menggambarkan Isi Naska, Singkat dan Padat 1. Judul b. Tidak Spesifik/Sempit, Tidak Terlalu Umum c. Paling panjang 14 Kata a.Nama Lengkap, Tanpa Gelar 2. Identitas Penulis b. Alamat e-mail Pribadi c. Nama Institusi/Lembaga i. Sifat: Informatif ii. Latar Belakang Masalah & Masalah iii. Tujuan a. Isi iv. Metode, Tempat & Waktu v. Hasil & Saran 150 -200 kata 3. Abstrak b. Panjang Dalam 1 paragraf Minimal 3 kata c. Kata-Kata Kunci Merupakan istilah/konsep penting i. Bahasa Indonesia d. Bahasa Acuan Penulisan Ilmiah ii. Bahasa Inggris i. Latar Belakang Masalah a. Isi C. Struktur Naskah ii. Rumusan Masalah iii. Manfaat Penelitian iv. Kajian Pustaka/Teori 4. Pendahuluan i. Deskriptif b. Bentuk ii. Informatif a. Jenis Penelitian 5. Metode Penelitian b. Tempat dan Waktu Penelitian c. Prosedur Penelitian: sumber, teknik pengumpulan & analisis data i. Kualitatif a. Hasil/Data ii. Kuantitatif i. Interpretasi 6. Hasil dan Pembahasan b. Pembahasan ii. Analisis: induktif, deduktif, komparatif i. Makro/Umum c. Implikasi ii. Mikro/Khusus a. Kesimpulan 7. Penutup b. Saran a. Gaya/Style: APA b. Jumlah referensi minimal 5 8. Daftar Pustaka c. Dirujuk langsung dlm tulisan d. Terbitan minimal 5 thn terakhir 1. Format: A4 D. Fisik Naskah 2. Huruf: Book Antique- 10 point, 3. Panjang naskah: 4.000 - 10.000 kata dengan1,5 spasi 4. Wujud: Soft copy dan printout