Cover dalam depan belakang

advertisement
Diterbitkan oleh:
BADAN PENDIDIKAN KRISTEN PENABUR (BPK PENABUR)
I S S N : 1412-2588
Jurnal Pendidikan Penabur (JPP) dapat dipakai
sebagai medium tukar pikiran, informasi dan
penelitian ilmiah antar para pemerhati masalah pendidikan.
Penanggung Jawab
Ir. Budi Tarbudin, MBA.
Pemimpin Redaksi
Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A.
Sekretaris Redaksi
Rosmawati Situmorang
Dewan Editor
Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A.
Prof. Dr. Theresia K. Brahim
Dr. Ir. Hadiyanto Budisetio, M.M.
Ir. Budyanto Lestyana, M.Si.
Dra. Vitriyani Pryadarsina, M.Pd.
Alamat Redaksi :
Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lt. 5, Jakarta Barat 11470
Telepon (021) 5606773-76, Faks. (021) 5666968
http://www.bpkpenabur.or.id
E-mail : [email protected]
Jurnal Pendidikan Penabur
Nomor 21/Tahun ke-12/Desember 2013
ISSN: 1412-2588
Daftar Isi
Pengantar Redaksi
i
ii - v
Penerapan Karakter BEST melalui Program Gerakan Baca Buku pada Pengajaran Bahasa
Indonesia,
Roma Uli,
1-13
Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward Berjenjang dan Konsekuensi
Logis,
Angelia Prasastha Widi Nugraheni,
14-20
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal Melalui Pendekatan Konseling Singkat Berfokus Solusi,
Dwi Lestari,
21-36
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid,
Yohanes Paiman,
Language Learning Strategies to Improve Language Teaching,
Perlando Lubis,
37-51
52-62
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan Melalui Pembelajaran Terpadu Berbagai Disiplin Ilmu,
Keke Taruli Aritonang,
63-77
Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013 ,
78-87
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah,
Isu Mutakhir: Mau Kemana Kurikulum Pendidikan Kita?,
Resensi buku: Catatan Harian Guru: Menulis itu Mudah,
Profil BPK PENABUR Jatibarang,
Eti Artayatini,
Desmon Simanjuntak,
Hilda Karli,
Hotben Situmorang,
P. Slamet Widodo,
88-102
103-107
108-111
112-117
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013
i
Pengantar Redaksi
emasa pemerintahannya dalam berbagai kesempatan,
Sukarno sering mengungkapkan pentingnya
membangun bangsa dan karakter atau lebih populer
dengan istilah nation and character building. Sebagai
bangsa yang baru merdeka, Indonesia perlu membangun dirinya
yang tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan akibat penjajahan
lebih dari 350 tahun. Dalam membangun dirinya, bangsa Indonesia
juga perlu membangun karakter yang selama masa penjajahan
memiliki kepercayaan diri yang rendah, keberanian yang lemah,
dan jati diri yang tidak jelas. Untuk bisa duduk sejajar dengan
bangsa-bangsa lainnya, seluruh rakyat Indonesia dituntut untuk
membangun rasa percaya diri, keberanian, kerja keras, kebanggaan
dan jati diri. Bangsa Indonesia diharapkan memiliki karakter yang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD1945. Dengan karakter
yang demikianlah, bangsa ini dapat maju dengan laju menuju
masyarakat adil dan makmur.
Satu dekade belakangan ini, karakter bangsa Indonesia menjadi
bahan perbincangan dalam konteks yang tidak jauh berbeda dari
yang dikemukakan oleh Sukarno. Bangsa Indonesia dikhawatirkan
tidak akan dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur,
juga tidak akan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain melihat
fenomena yang terjadi di masyarakat dan pemerintahan. Berbagai
tindak kekerasan merebak di tengah-tengah masyarakat, tindakan
intoleransi terjadi di berbagai tempat, ketidakpedulian atas sesama
semakin menggejala, serta kehadiran Pemerintah di berbagai
peristiwa tidak dirasakan dan seolah-olah terjadi pembiaran.
Kerusuhan yang dipicu oleh pertentangan suku, agama, ras, dan
antar golongan sulit dapat dihentikan.
Tatanan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dilanda berbagai
korupsi, kolusi, dan nepotisme sementara angka kemiskinan tetap
tinggi dan masih banyak daerah yang tertinggal, terluar, atau
terpinggir yang kurang mendapat perhatian dalam pembangunan
ekonomi. Banyaknya kepala daerah, anggota legislatif, dan eksekutif
yang terlibat dalam suap dan korupsi serta bahasa tubuh mereka
yang tidak menunjukkan penyesalan dan rasa malu melunturkan
rasa optimisme masyarakat untuk meraih masa depan dan
kehidupan lebih baik.
Kalangan generasi muda juga tidak luput dari kemorosotan
moral dengan menunjukkan perilaku konsumerisme semakin tinggi,
keinginan serba instan tanpa perjuangan keras, kecanduan
minuman keras dan narkoba, serta keterlibatan dalam berbagai
kejahatan. Sungguhpun tidak dapat dipungkiri masih terdapat
banyak generasi muda yang berprestasi dan berbudi pekerti baik,
fenomena yang ada sekarang menghawatirkan kemungkinan
munculnya pemimpin masa depan yang tangguh dan dapat
S
ii
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
membawa bangsa Indonesia ke masyarakat yang dikehendaki:
masyarakat adil dan makmur lahir dan batin.
Kecemasan akan karakter bangsa Indonesia, membuat berbagai
pihak menoleh ke proses pembentukan karakter khususnya melalui
jalur pendidikan. Sistem pendidikan nasional pada hakikatnya
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta karakter bangsa Indonesia. Watak dan karakter yang
dimaksud dicirikan sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab (Psl 3, UU No.20 Thn 2003). Karakter
manusia Indonesia yang tertera dalam tujuan pendidikan nasional
sangat luhur dan mulia. Karakter itu dijabarkan lebih lanjut dalam
kurikulum serta diwujudkan dalam proses pendidikan di semua
jenis dan jenjang pendidikan.
Dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa,
Kementerian Pendidikan Nasional (2011) menetapkan 18 nilai
pendidikan karakter bangsa: religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/
komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli sosial dan peduli
lingkungan. Setiap satuan pendidikan diharuskan menyisipkan
serta mewujudkan nilai-nilai itu dalam setiap proses pembelajaran.
Berdasarkan penelitian Pusat Kurikulum semua sekolah sudah
mengetahui program pendidikan karakter tersebut dan di sekolah
yang dijadikan model, keberhasilannya ditentukan oleh kepala
sekolah
Proses pembentukan karakter tidak hanya terjadi di lembaga
pendidikan, tetapi juga di tengah-tengah masyarakat dan keluarga.
Bahkan sebenarnya proses pembentukan karakter dimulai sejak anak
dalam kandungan dan berkembang setelah lahir. Pada usia bayi
terjadi pertumbuhan dan perkembangan syaraf otak secara cepat
dan sangat dipengaruhi oleh stimulus yang datang dari
lingkungannya. Stimulus yang baik akan berpengaruh positif
terhadap perkembangan syaraf otak dan kemampuan berpikir anak
di kemudian hari. Stimulus positif yang dimaksud antara lain
belaian kasih sayang orang tua dan anggota keluarga serta suarasuara lembut di lingkungan anak. Orang tua dan anggota keluarga
hendaknya menyadari peranan mereka dalam pembentukan karakter
anak sejak usia dini yang dikenal dengan usia emas (golden age)
karena menentukan masa depannya.
Keberhasilan pendidikan karakter tidak terlepas dari
pengalaman nyata anak di lingkungannya, tidak semata-mata dari
apa yang didengarnya, tetapi juga dari pengalamannya sendiri
berinteraksi dengan lingkungannya serta apa yang disaksikannya.
Kejujuran akan terbentuk pada diri anak kalau dia sendiri
diperlakukan jujur oleh orang lain. Ia juga akan berperilaku sopan,
kalau dia menyaksikan perilaku sopan yang ditunjukkan oleh orang
lain. Dengan demikian “modeling” atau keteladanan diperlukan
dalam membentuk karakter seseorang dan masyarakat berperan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
iii
dalam pembentukan karakter dengan memberikan perilaku baik
yang dapat ditiru oleh orang lain.
Anak lebih banyak menghabiskan waktunya di luar lembaga
pendidikan sehingga pengalaman positif yang diperolehnya di
lembaga pendidikan dapat tererosi atau lenyap oleh pengalaman
tidak selaras yang didapatinya di tengah-tengah masyarakat dan
keluarga. Oleh karena itu, lembaga pendidikan, keluarga dan
masyarakat perlu bekerja sama dalam membentuk karakter anak.
Sungguhpun demikian, masyarakat dan orang tua pada umumnya
berharap lembaga pendidikan dapat memberikan pengalaman
belajar yang efektif dalam mengembangkan kecerdasan dan
membentuk karakter anak.
Dalam edisi sebelumnya (Juni 2013, Jurnal Pendidikan Penabur
terbit dengan tema Pendidikan Karakter Berdasarkan Nilai-Nilai
Kristiani (PKBN2K). Nilai-nilai yang terkandung dalam PKBN2K
adalah penguasaan diri, rendah hati, kesetiaan, kebaikan, kejujuran,
ketekunan, ketaatan, keberanian, kepedulian, sabar, murah hati, dan
pengorbanan. Edisi ini masih mengangkat pentingnya pendidikan
karakter tersebut karena banyak orangtua memilih sekolah dengan
harapan anaknya memperoleh pendidikan karakter yang tangguh
terhadap berbagai godaan. Bagaimana pendidikan karakter
dilakukan melalui proses pembelajaran diungkap dalam berbagai
hasil penelitian dalam edisi ini, misalnya penerapan karakter BEST
melalui program gerakan baca buku pada pengajaran bahasa
Indonesia, meningkatkan disiplin belajar di kelas melalui
metode reward berjenjang dan konsekwensi logis, menurunkan
prilaku bullying verbal melalui pendekatan konseling singkat
berfokus solusi, serta bagaimana mengatasi distorsi komunikasi
antara guru dan murid yang juga berkaitan dengan pendidikan
karakteristik.
Strategi pembelajaran dapat mengatasi kesulitan belajar peserta
didik karena keberagaman gaya belajar sehingga meningkatkan
capaian belajar mereka. Dalam edisi ini dimuat pula wacana tentang
bagaimana guru dapat mengintegrasian pendidikan
kewirausahaan melalui pembelajaran terpadu berbagai disiplin
ilmu. Penerapan strategi belajar bahasa untuk memperbaiki
pembelajaran bahasa, khususnya untuk mata pelajaran bahasa
asing. Strategi belajar tentu pula dipengaruhi oleh perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Guru dapat menggunakan
TIK untuk memudahkan peserta didik belajar serta meningkatkan
capaian belajar dan kinerjanya. Lalu bagaimana peranan TIK dalam
penerapan Kurikulum 2013 diwacanakan dalam salah satu tulisan
di edisi ini. Akan tetapi, TIK bukan segala-galanya karena
ketersediaan perangkat keras dan perangkat lunak yang lengkap di
sekolah bukan menjamin peningkatan mutu proses dan hasil
pembelajaran. Manajemen kepala sekolah, khususnya strategi dan
pengambilan keputusan kepala sekolah dalam mengelola semua
sumber daya di sekolah ikut menentukan. Dalam konteks yang
iv
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
demikian, edisi ini memuat pula wacana yang terkait dengan
pengambilan keputusan oleh kepala sekolah.
Kurikulum seyogianya dievaluasi pada kurun waktu tertentu
untuk mengetahui sejauh mana implementasi kurikulum dapat
mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan serta sejauh mana
pula isi kurikulum itu masih relevan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan masyarakat. Oleh
karena itu, sewajarnya pula setiap kurikulum disempurnakan
sebagai tindak lanjut hasil evaluasi. Akan tetapi di Indonesia sering
terjadi perubahan, pergantian, atau penyempurnaan kurikulum
tidak didahului dengan evaluasi yang menyeluruh dan meyakinkan
tetapi terkesan terkait dengan pergantian pejabat yang
berwewenang. Keadaan yang demikian membuat perubahan
kurikulum dari KBK menjadi Kurikulum 2013 menimbulkan polemik
yang berkepanjangan sehingga menimbulkan pertanyaan ke mana
arah kurikulum kita, sebagaimana diangkat sebagai isu mutakhir.
Dalam mengembangkan kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional, guru
dituntut memiliki kemampuan menulis secara ilmiah. Akan tetapi
masih banyak guru tidak terampil menulis dan mengalami kesulitan
menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan ilmiah. Oleh karena
itu menarik untuk ditelaah gagasan-gagasan yang membantu dan
memotivasi guru menulis dalam buku Catatan Harian Seorang Guru:
Menulis Itu Mudah, yang juga ditulis oleh seorang guru BPK
PENABUR.
Edisi ini dilengkapi dengan profil BPK PENABUR Jatibarang
yang mengalami perkembangan yang menggembirakan dari tahun
ke tahun sejak berdirinya, sehingga dapat mencerahi masyarakat
sekitarnya melalui pelayanan pendidikan. Penampilan profil ini
juga memotivasi BPK PENABUR lainnya melakukan refleksi diri
pada penghujung 2013 ini. Refleksi diri secara jujur akan
menghasilkan perbaikan kinerja secara terus menerus dan
berkesinambungan di kemudian hari sehingga terwujud visi dan
misi BPK PENABUR secara utuh.
Redaksi
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
v
Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku
Penelitian
Penerapan Karakter BEST melalui Program Gerakan Baca
Buku pada Pengajaran Bahasa Indonesia
Roma Uli
E-mail: [email protected]
SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta
Abstrak
risis pendidikan karakter telah memberikan dampak negatif terhadap perkembangan
karakter siswa. Berbagai kenakalan siswa di dalam dan di luar sekolah yang terjadi
belakangan ini perlu segera diatasi sehingga mereka menjadi generasi yang andal. Di BPK
PENABUR masalahnya ialah bagaimana membentuk karakter mereka sehingga sesuai
dengan profil lulusan BPK PENABUR yang berkarakter BEST. Dengan pemikiran membaca
bermanfaat untuk meningkatkan mental alertness, daya tangkap, kreativitas dan logika berpikir
serta meningkatkan wawasan pengetahuan siswa, penelitian ini merancang dan menerapkan
Program Gerakan Baca Buku (Gebaku) di kelas VIII di SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta. Hasil
penelitian ini menunjukkan Program Gebaku dapat meningkatkan minat baca siswa sekaligus
menanamkan karakter BEST pada diri siswa di SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta.
K
Kata-kata kunci: Pendidikan karakter, karakter, BEST, gerakan membaca buku.
The Application of BEST Character Through Book-Reading Movement
Program in Teaching Indonesian
Abstract
The crisis of character education has a negative impact on students’ character development. Increasing juvenile
delinquency conducted by the students in or out of school has to be overcome. In BPK PENABUR, the problem
is how to build the graduates’ character on the basis BEST.Considering reading is powerful in improving
mental alertness, achievement, creativity, logic, and enlarging students’ perspective, this descriptive research
designed and implemented Book-Reading Movement Program in grade VIII of SMPK 5 BPK PENABUR
Jakarta. The research findings show the Program is effective in improving the students’ reading interest and
building the BEST character for the students of SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta.
Keywords: Character building, character, BEST, book-reading movement
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
1
Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku
Pendahuluan
Krisis karakter dalam dunia pendidikan
sekarang ini telah menjadi momok yang
menakutkan. Mulai dari tawuran, vandalisme,
anarkisme sampai pornografi menunjukkan
parahnya krisis akhlak yang menggerogoti
bangsa ini. Berbagai kasus pelajar lainnya
seperti kecanduan minuman keras atau narkoba,
pencurian, dan seks bebas atau pemerkosaan,
menunjukkan bobroknya karakter yang dimiliki
sebagian pelajar.
Berdasarkan data, tahun 2010, terjadi 128
kasus tawuran antarpelajar. Data Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam
Vivanews menyatakan sedikitnya, sudah 17
pelajar meninggal akibat tawuran di wilayah
Jabodetabek sejak 1 Januari sampai 26 September 2012. Perilaku tersebut berkembang pada
kasus vandalisme dan anarkisme yang
menggambarkan kurangnya kepedulian sosial
pelajar terhadap sesama dan lingkungannya.
Hal ini ditambah dengan tontonan negatif
yang bebas dan mudah diakses semakin
melemahkan mental pelajar sehingga menjadi
konsumtif, serba instan, dan rapuh. Pelajar lebih
banyak menghabiskan waktu di dunia maya
daripada membaca. Tak heran jika minat baca
di Indonesia menurut United Nation Development
Program (UNDP) tahun 2010, berada di peringkat
112 dari 175 negara, tak sebanding dengan
jumlah penduduk Indonesia yang banyak.
Padahal menurut Sani B. Herwaman, psikolog
anak dan direktur Lembaga Psikologi Daya
Insani, “Membaca bermanfaat untuk meningkatkan mental alertness, daya tangkap, kreativitas
dan logika berpikir dan mening-katkan
wawasan pengetahuan. Membaca juga menanamkan nilai positif seperti rasa empati,
solidaritas, toleransi dan tolong menolong,”
(www.hminews.com, 2012)
Selain itu, fakta lain yang menunjukkan
ketidaktangguhan pelajar dalam bersaing dan
ketidaksiapan untuk menghadapi kegagalan
tergambar dalam potret Ujian Nasional yang
diwarnai beragam kecurangan. Sehingga
menabrak nilai-nilai kejujuran, ketangguhan,
dan keteladanan yang seharusnya dimiliki
pelajar.
2
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Hal inilah yang menjadi tolok ukur
pengembangan kurikulum berbasis karakter.
Perlunya penanaman nilai-nilai positif dalam
setiap aspek kegiatan belajar mengajar yang
dapat memberikan dampak positif terhadap
perkembangan pendidikan pelajar di sekolah.
Dengan sasaran penanaman pendidikan
karakter bangsa tidak hanya dilakukan dalam
pengajaran PMP/ PKN dan Agama tetapi dapat
terintegrasi pada semua mata pelajaran.
Berdasarkan penilaian akan pentingnya
pendidikan karakter tersebut, maka profil
lulusan BPK PENABUR Jakarta menanamkan
karakter BEST, yaitu:
1. Be Tough yang mengusung nilai kegigihan,
kemandirian, tanggung jawab, kejujuran,
kerendahan hati, keterampilan dan
kreativitas;
2. Excel Worldwide yaitu penanaman nilai
gemar belajar dan membaca dengan
wawasan nasional dan internasional serta
penguasaan IPTEK;
3. Share With Society yaitu penanaman nilai
kepemimpinan, keteladanan, dengan
memiliki sikap empati yang mampu
bersosialisasi;
4. Trust in God yaitu penanaman nilai
karakter yang mengandalkan Tuhan dalam
setiap aspek kehidupan.
Dengan tujuan dapat mencetak lulusan
BPK PENABUR yang berkarakter BEST, berarti
setiap bidang pengajaran perlu memilah dan
memilih celah penerapan karakter BEST dalam
materi pengajarannya masing-masing.
Penggalian dan penerapan yang tepat agar profil
karakter BEST tersebut dapat terealisasi dalam
proses belajar mengajar harus disesuaikan
dengan kurikulum pengajaran yang berlaku.
Demikian halnya dengan penerapan karakter
BEST dalam pengajaran bahasa Indonesia harus
disesuaikan dengan runutan aspek keterampilan berbahasa.
Di sisi lain, kurikulum bahasa Indonesia
menerapkan pembelajaran bahasa dalam empat
aspek keterampilan berbahasa, baik menyimak,
berbicara, menulis maupun membaca. Dalam
keempat aspek berbahasa tersebut beragam
aktivitas berbahasa memerlukan penanaman
nilai-nilai positif, seperti : ketangguhan,
kemandirian, tanggung jawab, kejujuran,
Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku
kerendahan hati, keterampilan dan kreativitas,
dll sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat pada
profil luluasan BPK PENABUR yang berkarakter
BEST. Khususnya pada aspek keterampilan
membaca. Sedangkan aspek keterampilan
membaca hanya dapat dimiliki jika proses
belajar mengajar dikondisikan dalam program
pengajaran bahasa Indonesia yang nyata
intensif dan terintegrasi.
Sayangnya tuntutan kurikulum tersebut
tidak sejalan dengan fakta minat membaca
pelajar SMP. Siswa lebih sulit membaca daripada
berbicara. Siswa lebih suka menghabiskan
waktu mengobrol, chatting dan menonton.
Bahkan ketersediaan perpustakaan yang
lengkap sekalipun tidak cukup memaksa siswa
BPK PENABUR di SMPK 5 untuk membaca.
Keadaan ini menimbulkan pemikiran,
bagaimana mengondisikan kegiatan belajar
mengajar dalam sebuah program pengajaran
bahasa Indonesia yang mampu membidik
tujuan keterampilan membaca.
Sebuah program pengajaran bahasa
menuntut siswa untuk aktif membaca dengan
sasaran utamanya adalah minat dan antusiasme siswa dalam membaca. Program tersebut
harus memberikan dorongan yang nyata
terhadap siswa sehingga tercipta ‘minat’
membaca siswa pada buku dengan menerapkan
nilai-nilai karakter BEST. Dengan demikan
akan tercapai sebuah proses pendidikan dan
pembentukkan karakter di kalangan pelajar
dalam aktivitas belajar mengajar pada
pelajaran bahasa Indonesia.
Latar belakang ini mendorong penulis
menerapkan karakter BEST melalui program
gebaku pada pengajaran bahasa Indonesia
dalam upaya meningkatkan minat baca siswa
di SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta. Sekolah ini
dipilih dengan pertimbangan karakteristik
sekolah dan minat siswa SMPK 5 terhadap
aktivitas membaca terbilang minim. Di
samping itu penulis yang adalah salah seorang
guru di SMPK 5 kelas VIII mengenal dengan
baik keadaan sekolah dengan baik dana layak
dijadikan sebagai tempat penelitian.
Program Gebaku menerapkan aspek profil
karakter BEST, yaitu Be Tough dan Excel Worldwide, dengan cara mewajibkan siswa membaca
buku dalam jumlah tertentu secara mandiri. Di
samping itu, penerapan karakter, Share With
Society dapat diterapkan dengan membentuk
sistem pengumpulan laporan hasil pembacaan
siswa melalui ketua kelasnya masing-masing
dengan menentukan kesepakatan tanggal
pengumpulan. Hal itu diharapkan mampu
menanamkan nilai empati kepada sesama
siswa melalui beragam sumber bacaan yang
dibaca. Selain itu, pengarahan atas jenis
bacaan pilihan ditekankan pada nilai-nilai
karakter positif sesuai prinsip karakter BEST
yang lain yaitu Trust in God baik dalam proses
pembacaan maupun pelaporannya.
Berdasarkan latar belakang yang telah
dikemukakan tersebut, maka masalah
dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana cara menerapkan karakter
BEST melalui program Gebaku dalam
pengajaran bahasa Indonesia di SMPK 5
BPK PENABUR.
2. Bagaimana penanaman karakter BEST
melalui program Gebaku dalam pengajaran
bahasa Indonesia dapat meningkatkan
minat baca siswa di SMPK 5 BPK
PENABUR Jakarta.
Tujuan tulis ini untuk mengetahui penerapan karakter BEST melalui Program Gebaku
pada pengajaran bahasa Indonesia di SMPK 5
BPK PENABUR dan memberikan gambaran
penerapan karakter BEST melalui Program
Gebaku dalam pengajaran bahasa Indonesia
dapat meningkatkan minat baca siswa.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pilihan cara menerapkan karakter BEST di
dalam diri siswa lulusan BPK PENABUR
Jakarta. Dengan demikian guru bahasa Indonesia dapat tetap menanamkan nilai-nilai
karakter, khususnya karakter BEST, dengan
memanfaatkan beragam fasilitas bacaan di
perpustakaan sekolah yang menunjang program kurikulum bahasa Indonesia yang ada.
Program Gebaku juga dapat menanamkan
kebiasaan membaca yang efektif. Kebiasaan
membaca tersebut dapat mengasah dan
menambah pengetahuan siswa baik secara
langsung maupun tidak langsung. Sehingga
kebiasaan tersebut dapat menunjang
ketajaman berpikir seseorang.
Di samping itu penanaman karakter BEST
melalui Program Gebaku dapat menjadi rujukan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
3
Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku
atau perbandingan bagi guru mata pelajaran lain
untuk dikembangkan sesuai dengan karakteristik sekolah dan siswa masing-masing. Bahkan
dalam kondisi tertentu dapat dimanfaatkan
sebagai media alternatif pengajaran terpadu
lintas mata pelajaran yang berbeda yang saling
menguntungkan baik bagi siswa maupun guru.
Kajian Pustaka
“Mendidik ialah menuntun segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka
sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya” demikian
menurut Ki Hajar Dewantara dalam buku
Zahara Idris. Selanjutnya, Idris menyampaikan
pendidikan adalah serangkaian kegiatan
komunikasi yang bertujuan, antara manusia
dewasa dengan si anak didik secara tatap muka
atau dengan menggunakan media dalam rangka
memberikan bantuan terhadap perkembangan
anak seutuhnya, dalam arti supaya dapat
mengembangkan potensinya semaksimal
mungkin, agar menjadi manusia dewasa yang
bertanggung jawab. (Zahara Idris, 1982 : 10)
Berdasarkan pendapat tersebut, pendidikan
adalah usaha sadar yang dilakukan terhadap
seseorang atau peserta didik dengan tujuan
tertentu, baik itu dalam proses kegiatan belajar
mengajar maupun dalam kehidupan sehariharinya dengan maksud membawa perubahan
ke arah yang lebih baik.
Karakter, Pendidikan Karakter, dan Karakter
BEST
Karakter dari sisi psikologi adalah sesuatu yang
terorganisasi dan terpola. Tidak statis tetapi
tumbuh secara teratur dan mengalami perubahan. Menurut Ryan dan Bohlin, karakter mengandung tiga unsur pokok yaitu mengetahui
kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan
(loving the good) dan melakukan kebaikan (doing
the good) (Abdul Majid dan Dian Andayani,
dalam Moenta, vol. 12, 2011).
Pendidikan karakter adalah sebuah peluang
bagi penyempurnaan diri manusia. Artinya,
sebuah usaha manusia untuk menjadikan
4
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
dirinya sebagai manusia yang berkeutamaan.
(Koesoema, 2007 : 81).
Berdasarkan penilaian akan pentingnya
pendidikan karakter tersebut, maka profil
lulusan BPK PENABUR Jakarta menanamkan
karakter BEST.
Membaca dan Minat Baca
Henry Guntur Tarigan (1986 : 5) berpendapat
bahwa “Membaca adalah suatu proses yang
dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca
untuk memperoleh pesan yang hendak
disampaikan oleh penulis melalui media katakata atau bahasa tulis”.
Minat adalah dorongan hati yang tinggi
untuk melakukan sesuatu. Minat baca adalah
ketertarikan untuk menekuni dan menguasai
bahan bacaan dalam upaya menambah
kompetensi diri.
Minat baca akan menjadi kebiasaan
membaca jika tersedia bahan bacaan yang
sesuai untuk dibaca dan ada cukup waktu
untuk membaca. (www.hminews.com, 2011)
Bahasa dan Peranannya serta Gebaku
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia,
baik dalam berelasi maupun dalam hal
menyampaikan pikiran dan mengembangkan
ide-idenya. Bahkan, menurut Sunaryo (2000 :
6) dalam blog Dewi (2010) tanpa adanya
bahasa (termasuk bahasa Indonesia) IPTEK
tidak dapat tumbuh dan berkembang.
Perkembangan IPTEK tersebut dapat
diterapkan dalam sebuah program membaca
yang disebut Program Gemar Baca Buku
(Gebaku). Program ini diadakan dengan
pemikiran bahwa membaca merupakan salah
satu keterampilan berbahasa yang memiliki
peranan penting dalam membangun karakter
suatu bangsa. Program Gebaku adalah program
membaca dalam pengajaran bahasa Indonesia
kelas VIII di SMPK 5 BPK PENABUR. Gebaku
dilakukan dalam upaya meningkatkan minat
baca siswa.
Berpedoman pada kurangnya antusiasme
siswa dalam membaca dan rendahnya
pemahaman siswa terhadap penyimpulan isi
wacana membuat penerapan Program Gebaku
penting untuk dilakukan. Meningkatkan minat
Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku
baca melalui program Gebaku dapat menjadi
sebuah cara untuk menanamkan kebiasaan
membaca bagi siswa di SMPK 5 dengan asumsi
tersedianya bahan bacaan yang sesuai dan
ketersediaan waktu membaca yang ditetapkan
guru melalui pertimbangan yang matang.
(redaksi Dalam Negeri, Demokrasi, Luar Negeri,
News 28 January 2011 - 998 views )
Gambaran ini menunjukkan bahasa, ilmu
pengetahuan dan teknologi saling berhubungan.
Pengembangan daya nalar melalui pengajaran
bahasa telah menjadikan bahasa sebagai prasarana berpikir kritis dan modern yang berkaitan
dengan IPTEK, khususnya bahasa Indonesia.
Dengan kata lain, menerapkan karakter
BEST melalui program Gebaku pada Pengajaran bahasa Indonesia di SMPK 5 BPK PENABUR selama satu semester (ganjil) merupakan
gambaran keterikatan antara bahasa dan
peranannya serta Gebaku sebagai bentuk
aplikasinya. Program Gebaku dilaksanakan
siswa tanggal 31 Agustus- 30 November 2012,
dengan asumsi bahwa proses pengumpulan
tugas dan pengolahan nilai bahasa Indonesia
dilakukan pada waktu tersebut.
Dengan harapan, karakter BEST yang
mengangkat nilai-nilai ketekunan, keterampilan, kreativitas, tanggung jawab, kejujuran,
kerendahan hati, gemar belajar dan membaca
dengan wawasan nasional dan internasional
serta penguasaan IPTEK, dapat terintegrasi
terintegrasi dalam pengajaran bahasa dengan
tidak melupakan penanaman nilai kepemimpinan, keteladanan, dan sikap empati yang
mampu bersosialisasi dengan baik. Hal ini
disebabkan oleh kedudukan bahasa sebagai alat
komunikasi manusia yang efektif.
Metodologi Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menerapkan
karakter BEST melalui program Gebaku pada
Pengajaran bahasa Indonesia di SMPK 5 BPK
PENABUR sepanjang satu semester (ganjil)
dimulai dari 31 Agustus-30 November 2012.
bahasa Indonesia sekaligus meningkatkan
minat baca siswa di SMPK 5 BPK PENABUR.
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini
termasuk penelitian deskriptif.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII
SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta tahun pelajaran
2012 -2013. Teknik pengambilan sampel
menggunakan sampel random dan terpilih kelas
VIIIA dengan jumlah 35 siswa.
Data dikumpulkan dengan menyebar
kuesioner serta observasi. Data yang dikumpulkan melalui kuesioner semi tertutup adalah
nilai-nilai karakter BEST terdapat dalam program Gebaku yang secara tidak langsung sudah
meningkatkan minat baca siswa di sekolah.
Teknik observasi yang digunakan adalah
observasi partisipan (participant observation)
yaitu metode pengumpulan data melalui
pengamatan dan penginderaan dimana peneliti
terlibat dalam keseharian informan.
Data yang diperoleh melalui observasi
adalah minat baca siswa selama proses
pemberlakuan Program Gebaku dengan
menganalisis hasil nilai pengumpulan laporan
Gebaku yang diberikan oleh siswa melalui rubrik
penilaian Gebaku.
Teknik analisis data dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan
pengolahan data sebagai berikut.
1. Pengisian kuesioner Gebaku yang diajukan
setelah proses pengajaran berakhir berdasarkan prosentase jawaban siswa. Yaitu :
jumlah jawaban per option
X 100%
jumlah siswa
2.
Pengolahan data untuk mengukur validitas
data yang telah diambil melalui analisis
nilai Gebaku siswa sesuai rubrik penilaian
dengan menginterpretasikannya terhadap
hasil nilai Gebaku.
Rancangan Program Gebaku
Dengan dasar prinsip BEST maka program
Gebaku dilakukan berdasarkan pemikiran
bahwa membaca adalah jendela informasi yang
dapat menerapkan nilai-nilai positif yang sesuai
dengan prinsip karakter BEST. Adapun
rancangan Program Gebaku sebagai berikut.
1. Siswa diwajibkan membaca 1 buku dalam
1 bulan.
2. Satu bulan siswa akan memberikan satu
buah laporan buku sesuai dengan format
laporan Gebaku yang telah disiapkan guru.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
5
Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku
3.
Kriteria buku yang dapat dibaca siswa
adalah semua buku bacaan yang sesuai
untuk anak SMP.
4. Tugas Gebaku dimulai bulan Agustus dan
berakhir di bulan November akhir.
5. Dua orang siswa ditunjuk sebagai penanggung jawab yang akan mengkoordinir
pengumpulan laporan Gebaku per bulan,
mengingatkan, dan melakukan pencatatan.
(guru juga melakukan pencatatan).
6. Siswa tersebut menyerahkan laporan
Gebaku sesuai dengan jadwal yang telah
disepakati oleh kelas ( tanggal pengumpulan di akhir bulan) kepada guru.
7. Perolehan nilai Gebaku akan dihitung
sebagai salah satu nilai formatif siswa untuk
mata pelajaran bahasa Indonesia kelas
VIII.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat
dideskripsikan pada Tabel 1 Gebaku, mulai
dari bulan pertama sampai bulan keempat.
d.
e.
Siswa yang tidak memberikan buku tepat
waktu sesuai dengan yang telah ditentukan
mendapat pengurangan nilai setiap
bulannya sehingga hanya akan mendapatkan nilai KKM yaitu 70 ( sesuai KKM
bahasa Indonesia).
Pemberian dan pengurangan nilai diberikan dan diakumulasi di akhir penutupan
Program Gebaku secara bertahap sesuai
bulannya (hal ini dilakukan dengan tujuan
menanamkan nilai tanggung jawab).
Implementasi
Program Gebaku
Penanaman budaya gemar membaca perlu
ditempatkan pada wadah yang tepat dalam
pengajaran bahasa Indonesia. Dengan pemikiran membaca dapat menambah wawasan
berpikir siswa baik secara nasional maupun
internasional. Di tengah zaman yang
Tabel 1: Penilaian Gebaku
No
Kriteria
1.
S k or
1
2
3
4
Membaca, menuliskan, dan memberikan isi
laporan Gebaku sesuai jadwal (per bulan)
20
20
20
20
80
2.
Membaca buku, menuliskan, dan
memberikan tambahan laporan Gebaku
+5
+5
+5
+5
+20
3.
Tidak membaca dan tidak mengumpulkan
laporan buku
-2
-2
-3
-3
-20
Keterangan perincian penilaian laporan
Gebaku sebagai berikut.
a. Satu buah laporan Gebaku dihitung
dengan skor 20 setiap bulan.
b. Setiap siswa wajib melaporkan 4 laporan
buku yang dibacanya selama 4 bulan
sehingga total skor siswa adalah 80.
c. Setiap penambahan satu buku dihitung 5
point dengan asumsi nilai tertinggi tetap
hanya 100. Artinya jumlah buku yang
dibaca menjadi 8 buah dengan ketentuan
tidak seluruhnya buku fiksi.
6
Bulan ke-
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
menekankan penguasaan IPTEK, Program
Gebaku menanamkan nilai ketekunan,
kegigihan, kemandirian, tanggung jawab,
kejujuran, kerendahan hati, keterampilan dan
kreativitas.
Melalui program membaca tersebut siswa
belajar menerapkan nilai kepemimpinan,
keteladanan, dan empati sehingga mampu
bersosialisasi dengan lingkungannya. Siswa
belajar menyadari keberadaaan dunia yang
modern, serba cepat, dan bebas dalam
menyerap setiap informasi yang ada. Dengan
Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku
demikian aktivitas membaca dapat dijadikan
salah satu wadah penanaman nilai karakter
yang mengandalkan Tuhan sebagai payung
yang aman dalam proses Program Gebaku.
Adapun deskripsi nilai-nilai yang
ditanamkan dalam Program Gebaku sebagai
berikut.
Penerapan Karakter BEST Melalui Program
Gebaku
Penerapan pengalaman belajar siswa pada
karya tulis ini lebih menekankan pada upaya
meningkatkan minat baca dengan sasaran menanamkan kebiasaan membaca dengan menuliskan kembali isi buku yang telah dibaca dalam
format laporan Gebaku yang disiapkan guru.
Gambaran penerapan karakter BEST dalam
Program Gebaku dapat di lihat pada tabel 2.
dijawab kuesioner sesuai dengan nilai-nilai
karakter BEST sebagai berikut.
Hasil Penerapan Program Gebaku Terhadap
Minat Baca Siswa
Dapat dideskripsikan nilai yang diperoleh
seluruh siswa 8A yang diambil sebagai sampel,
yaitu 35. Sebanyak 11,43 % mendapatkan nilai
100, artinya lebih dari 4 siswa membaca buku 8
buah buku selama 4 bulan. Kemudian 2, 86 %
mendapat nilai 95, artinya siswa sudah membaca 7 buah buku selama 4 bulan. Sebanyak 5,71 %
mendapat nilai 90, artinya siswa membaca 6
buah buku selama 4 bulan. Kemudian 11, 43 %
mendapat nilai 85, artinya siswa telah membaca
5 buah buku dalam 4 bulan. Kemudian 40%
mendapat nilai 80, yang artinya siswa membaca
sesuai dengan tanggung jawabnya. Sedangkan
Tabel 2: Deskripsi Nilai-Nilai Karakter Program Gebaku
No.
Kegiatan Gebaku
Nilai
1
Siswa membaca 1 buku dalam 1 bulan
Mandiri, tangguh
2
Siswa menuliskan laporan Gebaku
Tanggung Jawab
3
Siswa menuliskan laporan Gebaku dalam bentuk
ringkasan dan tanggapan
Terampil dan kreatif
4
Siswa memilih buku yang berwawasan
nasional/internasional, baik fiksi maupun nonfiksi
-
Gemar belajar dan membaca
Berwawasan nasional dan
internasional
5
Siswa mengkoordinir pengumpulan laporan
Gebaku, mengingatkan teman, dan melakukan
pencatatan
-
Berjiwa kepemim-pinan dan
menjadi teladan
Bersikap empati
Mampu bersosialisasi
Siswa memilih buku sesuai tingkat SMP
-
6
Hasil Penerapan Karakter BEST
1. Data hasil penerapan karakter BEST melalui
Program Gebaku terhadap minat baca
siswa dapat dideskripsikan sebagai berikut.
Tabel 5 menunjukkan bahwa perolehan nilai
laporan Gebaku berdasarkan jumlah buku
yang dikumpulkan selama satu semester,
dimulai bulan ke-1 sampai dengan ke-4.
2. Hasil analisis program Gebaku berdasarkan penerapan karakter BEST tergambar
dalam prosentase data kuesioner yang
-
Mengandalkan Tuhan dalam
setiap aspek
28,57% membaca 4 buah buku tetapi tidak sesuai
dengan ketentuan pengumpulan yang telah
disepakati.
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan 71, 43% siswa telah memiliki nilai tanggung
jawab, gigih, mandiri sesuai dengan kriteria
karakter Be Tough. Sejumlah 11, 43% siswa
memiliki ketangguhan karena dapat membaca
buku lebih dari yang ditentukan. Di sisi lain, 28,
57% siswa belum memiliki karakter Be Tough
karena masih harus diingatkan.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
7
Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku
Tabel 3: Deskripsi Karakter BEST dalam Program Gebaku
No
1.
2.
3.
4.
8
Karakter
B E ST
Be Tough
(Tangguh)
Exc el
Worldwide
Share with
Soc iety
Trust in
God
Deskripsi
Karakter
Program Gebaku
Indikator
Gigih
Membaca 1 buku
dalam 1 bulan
Siswa membaca satu buah buku
untuk satu bulan secara kontinu
Mandiri
Membaca 1 buku
dalam 1 bulan
Siswa membaca satu buku tanpa
bantuan orang lain
Tanggung
Jawab
Menuliskan laporan
Gebaku tepat waktu
Siswa menuliskan laporan Gebaku
sesuai dengan tugas yang diberikan
Jujur
Menuliskan laporan
Gebaku
Siswa menuliskan laporan Gebaku
sendiri tanpa bantuan orang lain
Rendah Hati
Menuliskan laporan
Gebaku dalam
bentuk ringkasan
dan tanggapan
Siswa menuliskan laporan Gebaku
dan memberikan tanggapan positif
Terampil
Kreatif
Menuliskan laporan
Gebaku dalam
bentuk ringkasan
dan tanggapan
Siswa menuliskan laporan Gebaku
dengan bahasa yang lugas dengan
tanggapan logis
Gemar Belajar
dan Membaca
Membaca 1 buku
dalam 1 bulan
Siswa memiliki kebiasaan membaca
dan belajar
Berwawasan
nasional dan
internasional
Memilih buku berwawasan nasional
dan internasional
Siswa mendapatkan pengalaman
membaca jenis buku asli karya penulis Indonesia dan buku terjemahan
Menguasai
IPTEK
Membaca 1 buku
untuk 1 bulan
Siswa mendapat informasi tentang
IPTEK dalam aktivitas membaca
Berjiwa
Kepemimpinan
Mengumpulkan
laporan Gebaku
sesuai kelasnya
Siswa mengkoordinir pengumpulan
laporan Gebaku teman setiap akhir
bulan.
Menjadi
T e l ad an
Memberi contoh
mengumpulkan
laporan Gebaku oleh
ketua kelas
Siswa menjadi contoh bagi siswa
lain dalam pengumpulan laporan
Gebaku berdasarkan jumlah buku
yang dibaca
Memiliki
Empati
Mengingatkan siswa
lain mengumpulkan
Gebaku tiap bulan
Siswa peduli dan empati terhadap
pengumpulan laporan Gebaku
teman
Mampu
Bersosialisasi
Mengingatkan
pengumpulan
Gebaku tiap bulan
Siswa aktif dalam pengumpulan
laporan Gebaku sesuai dengan batas
waktu yang disepakati
Mengandalkan
Tuhan di setiap
aspek
kehidupan
Memilih buku
dengan penuh
tanggung jawab
Siswa memilih buku bacaan dengan
bertanggung jawab dan takut akan
Tuhan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku
Data ini sejalan dengan hasil kuesioner
yang telah disebarkan setelah proses pemberlakuan Program Gebaku selesai. Sejumlah 74, 29%
siswa merasa program Gebaku memberikan
dampak positif terhadap kerajinan membaca,
menambah wawasan, dan perbendaharaan
kosa katanya.
Selama Program Gebaku, 80% siswa merasa
jumlah buku yang dibacanya bertambah dengan
rentang jumlah 2- 8 buah buku dalam 4 bulan
selama pemberlakuan Program Gebaku.
Sebanyak 71, 42 % siswa merasa minat bacanya
bertambah.
Sedangkan variasi jenis buku yang dipilih
telah sesuai dengan tingkat SMP, yaitu 68,57%
membaca novel remaja, 20% membaca buku ilmu
pengetahuan populer, 8,57% membaca buku
motivasi, dan 2,86% membaca buku selain ketiga
opsi tersebut.
Tabel 4: Data Pencatatan Hasil Pengumpulan Laporan Gebaku
No
S
1
Bulan Ke-
Tambahan Poin
1
2
3
4
+5
+5
+5 +5
A1
v
v
v
v
V
v
-
2
A2
v
v
v
v
-
-
3
A3
v
v
v
v
-
4
A4
v
v
v
v
5
A5
v
v
v
6
A6
v
v
7
A7
v
8
A8
9
Pengurangan Nilai
S k or
-2
-2
-3
-3
-
-
-
-
-
90
-
-
-
-
-
-
80
-
-
-
-
-
-
-
80
-
-
-
-
-
-
-
-
80
v
-
-
-
-
-
-
-
-
80
v
v
-
-
-
-
-
-
-
-
80
v
v
v
V
v
v
v
-
-
-
-
100
v
v
v
v
V
v
-
-
-
-
-
-
90
A9
v
v
v
v
-
-
-
-
-
-
-
-
80
10
A10
v
v
v
v
-
-
-
-
-
-
-
-
80
11
A11
v
v
v
v
V
-
-
-
-
-
-
-
85
12
A12
v
v
v
v
-
-
-
-
v
v
v
v
70
13
A13
v
v
v
v
-
-
-
-
v
v
v
v
70
14
A14
v
v
v
v
-
-
-
-
v
v
v
v
70
15
A15
v
v
v
v
V
-
-
-
-
-
-
-
85
16
A16
v
v
v
v
V
v
v
v
-
-
-
-
100
17
A17
v
v
v
v
-
-
-
-
-
-
-
-
80
18
A18
v
v
v
v
-
-
-
-
-
-
-
-
80
19
A19
v
v
v
v
V
v
v
v
-
-
-
-
100
20
A20
v
v
v
v
V
-
-
-
-
-
-
-
85
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
9
Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku
No
S
21
Bulan Ke-
Tambahan Point Pengurangan Nilai
1
2
3
4
+5
+5
A21
v
v
v
v
-
-
-
22
A22
v
v
v
v
-
-
23
A23
v
v
v
v
-
24
A24
v
v
v
v
25
A25
v
v
v
26
A26
v
v
27
A27
v
28
A28
29
-2
-3
-3
-
v
v
v
v
70
-
-
v
v
v
v
70
-
-
-
v
v
v
v
70
-
-
-
-
-
-
-
-
80
v
-
-
-
-
v
v
v
v
70
v
v
-
-
-
-
v
v
v
v
70
v
v
v
V
v
v
v
-
-
-
-
100
v
v
v
v
-
-
-
-
v
v
v
v
70
A29
v
v
v
v
V
v
v
-
-
-
-
-
95
30
A30
v
v
v
v
-
-
-
-
-
-
-
-
80
31
A31
v
v
v
v
-
-
-
-
v
v
v
v
80
32
A32
v
v
v
v
-
-
-
-
v
v
v
v
80
33
A33
v
v
v
v
V
-
-
-
-
-
-
-
85
34
A34
v
v
v
v
-
-
-
-
v
v
v
v
70
35
A35
v
v
v
v
-
-
-
-
-
-
-
-
80
Tabel 5: Perolehan Nilai Laporan Gebaku
No
Nilai
Jumlah Jumlah
Gebaku Siswa
B uku
%
1
100
4
8
11,43
2
95
1
7
2, 86
3
90
2
6
5,71
4
85
4
5
11,43
5
80
14
4
40
6
70
10
4
28,57
10
S k or
-2
Sebanyak 54,29% siswa menganggap
Program Gebaku dapat menanamkan karakter
ketekunan, tanggung jawab, kejujuran, dan
keterampilan. Sebanyak 60% siswa menganggap
Program Gebaku dapat menambah wawasan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
+5 +5
nasional dan internasional serta penguasaan
IPTEK dengan mengenal buku-buku terjemahan.
Berdasarkan jumlah dan jenis buku yang
dibaca maka program Gebaku dapat dijadikan
salah satu alternatif untuk meningkatkan minat
baca sekaligus menanamkan karakter BEST pada
diri siswa di SMPK 5. Hal ini sesuai hasil
kuesioner yang menyatakan sekitar 94,29%
siswa memberikan tanggapan positif untuk
pelaksanaan Program Gebaku.
Sesuai dengan nilai KKM mata pelajaran
bahasa Indonesia yaitu 70 dan target siswa
untuk membaca satu bulan satu buku maka
dapat ditafsirkan prosentase pencapaian yaitu
0- 50 % adalah kurang, 51 – 70 % cukup baik,
71- 80 % baik, dan 81 – 100 % kategori sangat
baik. Itu dapat dikatakan bahwa :
1. Prosentase siswa yang memiliki karakter
BEST dengan nilai Be Tough (71, 43 %) dan
Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku
Tabel 6 : Analisis Data Kuesioner Program Gebaku
No
1.
2.
3.
4.
Kriteria
Program Gebaku
membuat siswa
rajin membaca
Program Gebaku
menambah wawasan dan perbendaharaan kata
Tidak
T ah u
26(74,29%)
0 (0%)
9(25,71%)
Ada 74,29 % Siswa
0 (0 %) merasa menjadi
rajin membaca
Kesimpulan
0 (0%)
9(25,71%)
Jumlah buku yang
dibaca sekarang
lebih banyak
dibanding sebelum
Program Gebaku
28(80%)
5(14,29 %)
2 (5,71%)
Ada 80 % Siswa
0 (0 %) merasa menjadi
rajin membaca
Kriteria
<2
2-4
5-8
Jumlah buku yang
dibaca sepanjang
pemberlakuan
Program Gebaku
Dengan adanya
Program Gebaku
minat baca
bertambah
Tanggapan
terhadap Program
Gebaku
Kriteria
7
Mungkin
26(74,29 %)
Kriteria
6
Tidak
Ada 74,29 % Siswa
merasa wawasan
0 (0%)
dan kosakatanya
bertambah
Kriteria
5.
Ya
Jenis buku yang
sudah dibaca
sepanjang Program
Gebaku
2 (5,71%)
Ya
25(71,42 %)
S an g at
baik
14(40%)
Novel
24(68,57%)
> 10
13(37,14%) 13(37,14%) 7(20%)
Tidak
Mungkin
Tidak
T ah u
3(8,57%)
5(14,29%)
0(0 %)
Baik
Jelek
19(54,29%)
B uku
Ilmu
Pengetah u an
7(20%)
2(5,71%)
B uku
Motivasi
3(8,57%)
S an g at
jelek
0(0 %)
Lain
-lain
1(2,86%)
Kesimpulan
Rata-rata siswa
membaca 2-8 buku
Kesimpulan
Ada 71,42 % Siswa
merasa minat
bacanya bertambah
Kesimpulan
Sekitar 94,29 %
siswa memberikan
tanggapan positif
untuk program
Gebaku
Kesimpulan
Variasi jenis buku
yang dipilih siswa
sesuai dengan
tingkat SMP
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
11
Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku
No
Kriteria
8
Program Gebaku
secara tidak langsung menanamkan
karakter ketekunan
19(54,2%)
Kriteria
Ya
9
10
Ya
Program Gebaku
secara tidak langsung menanamkan
nilai tanggung
jawab, kejujuran,
dan keterampilan
19(54,29%)
Kriteria
Ya
Program Gebaku
secara tidak langsung telah menambah wawasan
nasional dan
internasional serta
penguasaan IPTEK
21(60%)
Mungkin
Tidak
Tahu
3(8,57 %)
10(28,57 %)
Siswa menganggap
Program Gebaku
3(8,57%)
dapat menanamkan
karakter ketekunan
Tidak
Mungkin
Tidak
Tahu
Tidak
Kesimpulan
Siswa menganggap
Program Gebaku
dapat menanamkan
karakter tanggung
jawab, kejujuran,
keterampilan
3(8,57 %)
13(37,14 %)
0(0 %)
Tidak
Mungkin
Tidak
Tahu
0(0 %)
Siswa menganggap
Program Gebaku
dapat menambah
13(37,14%) 1(2,8%) wawasan nasional
dan internasional
serta penguasaan
IPTEK
Exel Worlwide (74,2%), menunjukkan
kategori baik.
2. Prosentase siswa dalam hal banyaknya
jumlah buku yang dibaca (80%) dan
penambahan minat baca siswa (71,42)
dapat dinyatakan berkategori baik.
3. Prosentase siswa dalam hal menanggapi
pelaksanaan program Gebaku berdasarkan
kuesioner yang disebarkan menyatakan
positif (94,29%) dengan kategori sangat baik.
4. Prosentase siswa yang memiliki karakter
nilai Trust in God, dilihat dari variasi jenis
buku yang dipilih yang sesuai dengan
tingkat SMP (100%) dapat dikatakan
berkategori sangat baik.
Sedangkan berdasarkan pengamatan guru
bidang studi selama pengumpulan laporan
Gebaku (tabel 4), ketua kelas memimpin
teman-temannya dalam pengumpulan lapor-an,
memberi contoh pengumpulan, mengingat-kan
siswa lain mengumpulkan laporan Gebaku
12
Kesimpulan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Kesimpulan
setiap bulannya menunjukkan siswa telah
memiliki karakter Share with Society.
Simpulan
Kesimpulan
Program Gebaku dapat menerapkan karakter
BEST dalam pengajaran bahasa Indonesia kelas
VIII di SMPK 5 BPK PENABUR Jakarta. Melalui
proses pembacaaan buku, pelaporan isi buku,
dan pencatatan jumlah buku telah menerapkan
nilai ketekunan, kegigihan, kemandirian,
tanggung jawab, kejujuran, kerendahan hati,
keterampilan, kreativitas kepemimpinan,
keteladanan, dan empati sehingga mampu
bersosialisasi dengan lingkungannya siswa
sesuai dengan karakter BEST.
Kegiatan membaca buku dalam Program
Gebaku telah melatih kebiasaan membaca dan
dapat meningkatkan minat baca siswa. Sedangkan kebebasan memilih buku menjadi penerapan bentuk tanggung jawab yang disertai dengan
Penerapan Karakter Best melalui Program Gerakan Baca Buku
rasa takut akan Tuhan sehingga siswa tidak
salah mencermati isi sebuah buku.
Saran
Krisis karakter dalam dunia pendidikan merupakan salah satu tugas dan tanggung jawab
guru sebagai pengajar. Pemikiran yang tepat dan
pengondisian yang cermat dapat menciptakan
generasi muda dengan karakter yang handal.
Adapun beberapa saran yang dapat
disampaikan: Pertama, program Gebaku
sebaiknya dilakukan sepanjang pengajaran
bahasa, baik semester ganjil dan genap dengan
melibatkan berbagai mata pelajaran sehingga
jenis buku lebih terarah (jenis buku di semester
genap sudah ditentukan tema bukunya). Kedua
penanaman karakter dalam profil lulusan BPK
PENABUR perlu diaplikasikan dan disosialisasikan terus-menerus dalam setiap kesempatan
dan bidang ilmu. Ketiga, guru sebagai fasilitator
perlu memiliki semangat dan kecermatan
dengan memikirkan beragam cara yang dapat
mengasah peserta mengoptimalkan segala
kemampuan peserta didiknya.
Demikian beberapa saran dalam
penanaman karakter BEST yang dapat menjadi
acuan dan gambaran penanaman karakter di
setiap bidang sedini mungkin.
Daftar Pustaka
Idris, Zahara. (1982). Dasar-dasar kependidikan.
Bandung : Angkasa
Keraf, Gorys. (1979). Komposisi. Jakarta : Nusa
Indah
Koesoema, Doni. (2007). Pendidikan karakter.
Jakarta : Grasindo
Sugiyono, Prof. Dr. (2011) Metode penelitian
pendidikan. Bandung : Alfabeta
Suryabrata, Sumadi. (2003). Metodologi penelitan.
Jakarta : Universitas Gadjah Mada
Tarigan, Henry Guntur. (1981). Membaca sebagai
suatu keterampilan berbahasa. Bandung :
Angkasa
Indriana, Dewi Nur. (2010). Peranan bahasa
Indonesia dalam pengembangan IPTEK.
Tersedia: http://ghembiel09.blogspot. com/
2010/11/peranan-bahasa-indonesiadalam.html. 21 November 2010
Priliawito. (2012). Sederet tawuran pelajar di
Jabodetabek sejak awal 2012. Tersedia : http:/
/nasional.news.viva.co.id/news/read/
354946-sederet-tawuran-pelajar-di-jabo
detabek-sejak-awal-2012. 28 Sep’2012
Moenta, Andi Pangerang. (2012). Urgensi
pendidikan karakter bagi masa depan bangsa
Indonesia. Tersedia : oshttp://www.karya
tulisilmiah.com/urgensi-pendidikankarakter-bagi-masa-depan-bangsaindonesia.htmlted. 5 Maret 2011
More, Imanuel. (2012). Tawuran pelajar FR
akhirnya dikeluarkan dari SMA 70.
Tersedia:http://megapolitan.kompas.
com/read/2012/12/01/16431082/FR.
Akhirny.Dikeluarka.dari.SMA.70?
u t m _ s o u r c e = W P & u t m _
medium=Ktpidx&utm_campaign. 1
Desember 2012
Rahadjo, Mudjia. (2011). Metode pengumpulan
data penelitian kualitatif. Tersedia http://
mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/materikuliah/288-metode-pengumpulan-datapenelitian-kualitatif.html. 10 Juni 2011.
Redaksi Dalam Negeri. (2011). UNDP : Minat
baca orang Indonesia rendah. Tersedia :
http://hminews.com/news/undpminat-baca-orang-indonesia-rendah. 28
Januari 2011
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
13
Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward
Penelitian
Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode
Reward Berjenjang dan Konsekuensi Logis
Angelia Prasastha Widi Nugraheni
E-mail : [email protected]
SDK BPK PENABUR Bintaro Jakarta
Abstrak
enelitian ini bertujuan untuk meningkatkan disiplin belajar melalui reward berjenjang dan
metode konsekuensi logis. Hipotesis penelitian reward bertingkat dan konsekuensi logis
yang efektif untuk meningkatkan disiplin belajar . Subjek penelitian 30 orang siswa kelas
1A dari SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya Jakarta. Data dikumpulkan melalui kuesioner
dan diolah secara kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dilakukan dalam dua siklus dengan hasil
siklus I menunjukkan 40% siswa sangat baik, 33% baik dan 27% cukup baik dalam disiplin belajar.
Hasil akhir siklus II menunjukkan 54% sangat baik, 33% baik dan 13% cukup baik . Kesimpulan
penelitian ini adalah reward berjenjang dan metode konsekuensi logis dengan layanan bimbingan
individual efektif untuk meningkatkan disiplin belajar di kelas . Penelitian ini juga memberikan
saran operasional reward bertingkat dan metode konsekuensi logis yang efektif untuk meningkatkan
disiplin siswa belajar.
P
Kata-kata kunci : Disiplin belajar, reward berjenjang, konsekuensi logis.
Enhancing Learning Discipline in Classroom Through Graded Reward
and Logic Consequence Methods
Abstract
This research is aimed to the increase the discipline of studying with multilevel rewards and logical consequences method. The hypothesis is multilevel rewards and logical consequences are effective to increase
discipline of studying. The subject of this research were 30 students of 1A grade of SDK BPK PENABUR
Bintaro Jaya Jakarta. The data were collected using quesionnaire and analysed quantitatively and qualitatively.
This research was conducted in two cycles. The result of the first cycle shows that 40% of students are very
good, 33% are good and 27% are good enough in the discipline of studying. The final result in the second
cycle shows the increasing percentage of discipline of studying. The result shows that 54% are very good,
33% are good and 13% are good enough. The conclusion of the research is multilevel rewards and logical
consequences method with individualized tutoring services are effective to increase the discipline of studying
in classroom. This research also gives operational suggestions that multilevel rewards and logical consequences
methods are effective to increase students’ discipline of studying.
Keywords : Discipline of studying, multilevel rewards, logical consequences.
14
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward
Pendahuluan
Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan
bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dengan tujuan mengembangkan potensi peserta
didik menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab. Untuk mencapai tujuan itu
dibutuhkan pendidikan berkualitas dengan
proses belajar dan mengajar yang baik. Dalam
konteks yang demikian , guru memainkan
peranan yang penting dan strategis khususnya
dalam menemukan dan mengembangka
pendekatan, strategi, metode dan teknik
pembelajaran yang efektif untuk mengubah
perilaku peserta didik sesuai arah yang
diinginkan.
Dalam kenyataannya, masih dihadapi
berbagai masalah yang berkaitan dengan
pendidik dan peserta didik dalam mewujudkan
peserta didik dengan ciri seperti yang
diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional.
Sebagai contoh, pengamatan atas disiplin
peserta didik kelas 1 SDK Penabur Bintaro Jaya
bahwa mereka cenderung aktif secara motorik
dan membutuhkan upaya meningkatkan
perilaku disiplin belajar. Hal ini terlihat dari
sikap guru kelas 1 yang mengingatkan peserta
didik berulang-ulang seperti membawa alat tulis
lengkap, menyelesaikan tugas tepat waktu, tidak
berbicara atau bermain selama guru memberikan
penjelasan di kelas, menjawab dengan aktif,
serta menyelesaikan tugas-tugas secara mandiri.
Disiplin belajar merupakan salah satu faktor
pendukung proses belajar mengajar yang baik.
Sardirman (dalam La Ode, 2009 : 2) menegaskan
bahwa disiplin dalam pendidikan sangat
diperlukan untuk menjaga suasana belajar dan
mengajar berjalan lancar serta menciptakan
pribadi yang kuat bagi peserta didik. Disiplin
dapat mengajarkan anak untuk melakukan yang
baik dan benar serta menghindari perbuatan
yang tidak baik sehingga dapat menjadi investasi
atau berdampak seumur hidup (Desi, 2012 ).
Upaya meningkatkan disiplin belajar
tersebut dihubungkan dengan pemberian reward
yang efektif diberikan ketika perilaku sesuai
harapan (Gordon,1996 : 44). Pemberian reward
dapat mengarahkan dan mempertahankan
perilaku positif anak-anak (Nakita, 2006 : 12).
Hal ini karena reward dapat meningkatkan
ataupun memperbaiki perilaku yang diharapkan
apabila diasosiasikan sebagai pencapaian
perilaku yang diharapkan (Gordon 1996 : 50).
Disisi lain, terdapat juga pendapat yang
menyatakan, dalam upaya meningkatkan
disiplin peserta didik maka guru harus
menyatakan peraturan dan konsekuensi apabila
ada pelanggaran ( Ahmad Rohani HM, dkk.
dalam Triana, 2009 : 2). Oleh karena itu, peneliti
mencoba menghubungkan disiplin belajar
dengan pemberian konsekuensi, dalam hal ini
adalah konsekuensi logis. Konsekuensi logis
adalah konsekuensi yang secara sadar diterima
sebagai akibat tindakan yang dilakukan oleh
campur tangan orang lain (Gary & Anne, 2001 :
296 ). Nelsen (1997 : 68) mengungkapkan bahwa
melalui konsekuensi logis maka anak belajar
bertanggungjawab ketika perilakunya menyebabkan masalah terhadap oranglain ataupun
mengundang bahaya secara tidak disadari.
Dengan kata lain, konsekuensi logis merupakan
hukuman tanpa kekerasan dan tidak membuat
efek jera sesaat namun lebih bertujuan memberikan pembelajaran mengenai pelanggaran
perilaku.
Disiplin belajar melalui pemberian reward
dan konsekuensi logis dilakukan dengan peran
aktif guru dalam membantu menyelesaikan
masalah atau hambatan yang dihadapi peserta
didik untuk meningkatkan disiplin belajar di
kelas. Prayitno (dalam Shvoong, 2012 : 1)
menegaskan bahwa pengalaman kegagalan
yang dialami oleh peserta didik dalam belajar
tidak selalu disebabkan oleh kebodohan atau
rendahya intelegensi. Sering kali kegagalan itu
terjadi disebabkan karena mereka tidak mendapatkan layanan bimbingan yang memadai.
Dengan latar belakang seperti yang telah
diuraikan maka masalah dalam penelitian ini
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
15
Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward
ialah bagaimana menggunakan metode
reward berjenjang dan konsekuensi logis
dapat meningkatkan disiplin belajar
peserta didik kelas 1A SDK Penabur
Bintaro Jaya. Penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan disiplin belajar peserta
didik kelas 1A SDK BPK PENABUR Bintaro
Jakarta.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat pertama bagi peserta didik
dalam meningkatkan disiplin belajar di
kelas sehingga membantu kelancaran
belajar di kelas. Kedua, guru dapat
memanfaatkan hasil penelitian ini untuk
memperkaya wawasan baru untuk
meningkatkan disiplin belajar peserta
didik di kelas dengan metode reward
berjenjang dan konsekuensi logis. Ketiga,
sekolah dapat memperkaya referensi dalam
memfasilitasi pengem-bangan metode yang
baru.
What is Happen
now
General ideas
Reconnaissanc
Field of Action
General Plan
Evaluation
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan
kelas (PTK) dengan desain seperti yang
dikemukakan Stephen Kemmis (Hidayat, 2012:
18). Desain penelitian adalah sebagai terlihat
pada Gambar..
Penelitian dilakukan di SDK BPK
PENABUR Bintaro Jakarta pada Januari dan
Februari 2013. Subjek penelitian adalah 30 orang
peserta didik kelas 1A yang tergolong aktif secara
motorik dan cerdas namun membutuhkan upaya
peningkatan disiplin belajar. Data dikumpulkan
menggunakan instrumen kuesioner perilaku
disiplin belajar setelah masing- masing siklus
selesai dilakukan. Kuesioner disusun bekerjasama dengan wali kelas, mengacu pada definisi
disiplin belajar dari Gie (dalam Elly, 2011: 1).
Penelitian dilakukan dalam dua siklus
untuk melihat ada atau tidaknya peningkatan
disiplin belajar peserta didik dengan menggunakan metode yang diterapkan. Prosedur penelitian pada Siklus I dan II, terlihat pada Tabel 1.
Untuk melihat perbaikan disiplin belajar
peserta didik, dibandingkan hasil post tes siklus
16
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Gambar: Desain Penelitian Meningkatkan
Disiplin Belajar Melalui Metode Reward
Berjenjang dan Konsekuensi Logis di Kelas
I dan siklus II. Hasil post tes ditampilkan dalam
bentuk skala Likert dengan skor: Selalu: 3; Sering:
2; Jarang: 1; Tidak pernah : 0. Skor total yang
diperoleh masing-masing peserta didik kemudian diurutkan berdasarkan perolehan tertinggi
sampai terendah. Kemudian peneliti menentukan range kategori disiplin belajar yaitu Sangat
Baik, Baik, Cukup, Kurang dan Sangat Kurang.
Hasil Penelitian
Hasil post tes siklus I seperti tertera pada tabel 2.
Berdasarkan hasil pengolahan data dari siklus I
maka diperoleh urutan disiplin belajar seperti
tertera pada tabel 3.
Perolehan total skor dari 10 item hasil post
tes Siklus I menunjukkan skor terendah (48)
ditunjukkan pada item 5 yang mengung-kapkan
sikap asertif peserta didik untuk bertanya pada
Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward
Tabel 1: Prosedur Penelitian Meningkatkan Disiplin Belajar
Melalui Metode Reward Berjenjang dan Konsekuensi Logis di Kelas
No
Prosedur
Kegiatan
Waktu
1 hari
Siklus I
1.
General Plan
Mempersiapkan pohon disiplin belajar, nomor absen peserta
didik, pita merah dan jadual kunjungan kelas.
2.
First Ac tion
Step
-
Menjelaskan pentingnya disiplin belajar di kelas &
kriteria mendapatkan pita merah pada peserta didik.
Penyematan pita merah, menggantungkan nomor absen di
pohon disiplin belajar (Reward)
Melepaskan pita merah dan melepaskan nomor absen
dari pohon disiplin belajar (Konsekuensi Logis)
10'
3.
Monitoring
Observasi perilaku disiplin belajar peserta didik kelas 1A
1 Bulan
4.
Evaluation
Refleksi & Evaluasi dengan wali kelas dan peserta didik.
20'
1 hari
Siklus II
1.
Revised
General Plan
Mempersiapkan pohon disiplin belajar, foto peserta didik,
mendesain pin disiplin dan jadual kunjungan kelas.
2.
Sec ond
Ac tion Step
-
Menjelaskan pentingnya disiplin belajar di kelas &
kriteria mendapatkan pin disiplin pada peserta didik.
Penyematan pin disiplin, menggantungkan foto peserta
didik di pohon disiplin belajar (Reward)
Melepaskan pin dan foto dari pohon disiplin belajar
(Konsekuensi Logis)
10'
3.
Monitoring
Observasi perilaku disiplin belajar peserta didik kelas 1A
1 Bulan
4.
Evaluation
Refleksi & Evaluasi dengan wali kelas dan peserta didik.
20'
guru tentang mata pelajaran yang belum
dimengerti. Urutan selanjutnya adalah item
nomor 10 yaitu sebesar 58 yang mengungkapkan
penyelesaian tugas tepat waktu. Kemudian
disusul item 7 sebesar 64 yang menunjukkan
sikap duduk tenang di karpet. Selanjutnya
adalah item 3 sebesar 65, yang berkaitan dengan
memperhatikan penjelesan dari guru. Kemudian
item 8 sebesar 66 yaitu mengacungkan tangan
apabila ada pertanyaan materi pelajaran dari
guru. Selanjutnya adalah item nomor 2 yaitu
sebesar 67, berkaitan dengan mengumpulkan
Pekerjaan Rumah (PR) tepat waktu. Item
selanjutnya adalah item 4 sebesar 69 yang
berkaitan dengan konsentrasi mengerjakan
tugas di kelas. Skor item tersebut sama dengan
item 9 yang mengungkapkan kemandirian
mengerjakan tugas dan ulangan. Kemudian
dilanjutkan item 1 tentang datang tepat waktu
di kelas. Skor terbesar diperoleh pada item 6
yang menunjukkan kelengkapan membawa
buku dan alat tulis.
Berdasarkan hasil post test Siklus II maka
diperoleh 4 orang yang termasuk cukup dalam
disiplin belajar, sedangkan 10 orang tergolong
baik berperilaku disiplin belajar dan 16 orang
tergolong sangat baik dalam berperilaku disiplin
belajar. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar
(54%) peserta didik kelas 1A sangat baik
berperilaku disiplin belajar. Sedangkan 33%
prosentase termasuk baik dan sisanya 13%
diklasifikan cukup berperilaku disiplin belajar.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
17
Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward
Dapat disimpulkan bahwa ada peningkatan
prosentase perilaku disiplin belajar dari siklus I
ke siklus II.
Tabel 3: Jumlah Skor Per
Item Post Tes Siklus I
Nomor Item
Jumlah Skor
1
74
2
67
3
65
4
69
5
48
6
77
7
64
8
66
9
69
10
58
Tabel 2: Klasifikasi Hasil Post Tes Disiplin
Belajar Siklus I
Jumlah
Peserta
Siklus I
Klasifikasi
1-6
0
Sangat
Kurang
0%
2.
7 - 12
0
Kurang
0%
3.
13- 18
8
Cukup
27%
4.
19 - 24
10
Baik
33%
5.
25 - 30
12
Sangat Baik
40%
No.
1.
Rentang
S k or
Prosentase
Peserta
Detail sebaran skor per item post test Siklus
II tertera pada tabel 5. Berdasarkan jumlah skor
per item hasil post test siklus II maka diperoleh
skor terendah sebesar 44 pada item 5 yaitu
mengajukan pertanyaan pada guru tentang mata
pelajaran yang belum dimengerti. Selanjutnya
adalah item 8 sebesar 65 yaitu mengacungkan
tangan apabila ada pertanyaan materi pelajaran
Nomor Item
Jumlah Skor
1
82
2
74
Prosentase
Peserta
didik
3
71
4
70
Sangat
Kurang
0%
5
44
6
93
7
66
Tabel 4: Klasifikasi Hasil Post Tes Disiplin
Belajar Siklus II
No.
Rentang
S k or
Jumlah
Peserta
Siklus I
1.
0-6
0
Tabel 5: Jumlah Skor Per
Item Post Tes Siklus II
Klasifikasi
2.
7 - 12
0
Kurang
0%
3.
13- 18
4
Cukup
13%
8
65
4.
19 - 24
10
B ai k
33%
9
81
5.
25 - 30
16
Sangat Baik
54%
10
66
dari guru. Kemudian item 10 sebesar 66 yaitu
menyelesaikan tugas tepat waktu. Besar skor
tersebut sama dengan item 7 yaitu mengenai
duduk tenang di karpet. Dilanjutkan item 4
18
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
sebesar 70 yang menunjukkan konsentrasi ketika
mengerjakan tugas di kelas. Disusul kemudian
item 3 sebesar 71 yaitu memperhatikan ketika
guru menjelaskan. Selanjunya adalah item 2
Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward
sebesar 74 yaitu mengumpulkan PR tepat waktu.
Item selanjutnya adalah item 9 sebesar 81 tentang
mengerjakan ulangan dan tugas tanpa bantuan
siapapun di kelas. Selanjutnya item 1 sebesar 82
mengenai datang tepat waktu di kelas. Skor
terbesar adalah 93 pada item 6 yaitu membawa
buku dan alat tulis lengkap.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan
adanya peningkatan presentase dari siklus I ke
siklus 2. Hal ini dapat digambarkan melalui
Tabel 6.
Tabel 6: Hasil Post Tes Siklus I dan II
Disiplin Belajar di Kelas
Siklus I Siklus II
No.
Kategori
1.
Cukup
27 %
54 %
2.
Baik
33 %
33 %
3.
Sangat Baik
40 %
54 %
Prosentase
Berdasarkan hasil penelitian di atas maka
hipotesis penelitian diterima sehingga dapat
disimpulkan bahwa meningkatkan disiplin
belajar dapat secara efektif dilakukan melalui
metode reward berjenjang dan konsekuensi logis.
Pembahasan
Tujuan utama penelitian ini ialah meningkatkan
disiplin belajar peserta didik kelas 1A SDK BPK
PENABUR Bintaro Jaya. Untuk mencapai tujuan
itu diterapkan metode reward berjenjang dan
konsekuensi logis dalam PTK. Dalam dua siklus
terlihat perubahan perilaku peserta didik
khususnya perbaikan disiplin belajar peserta
didik. Disiplin belajar itu ditunjukkan pada
sikap peserta didik dalam mengacungkan
tangan apabila ada pertanyaan materi pelajaran
dari guru, menyelesaikan tugas tepat waktu,
duduk tenang di karpet, konsentrasi ketika
mengerjakan tugas di kelas, memperhatikan
ketika guru menjelaskan, mengumpulkan PR
tepat waktu, mengerjakan ulangan dan tugas
tanpa bantuan orang lain di kelas, serta datang
tepat waktu di kelas.
Perbaikan disiplin peserta didik itu
menunjukkan bahwa metode reward berjenjang
dan konsekuensi dapat diberlakukan kepada
peserta didik kelas 1 dengan usia 6 – 7 tahun.
Keberhasilan ini berkaitan erat dengan
kemampuan guru mempersiapkan desain
pembelajaran yang berbasis perilaku individual
dan menerapkannya secara konsisten dengan
memotivasi peserta didik berperan secara aktif.
Keberhasilan metode ini juga sesuai dengan
ciri peserta didik dalam usia yang secara
psikologis menyenangi dan mengharapkan
hadiah (reward) serta menghindari atau takut
akan hukuman atas perilaku mereka. Di samping
itu pearta didik dalam usia 6 – 7 tahun sangat
memerlukan perhatian secara individual.
Pendekatan individual yang dilakukan dalam
menerapkan metode ini menarik perhatian
peserta didik dan membuat suasana
pembelajaran menyenangkan. Suasana yang
demikian membuat peserta didik aktif, kreatif,
dan termotivasi berperilaku seperti yang
diharapkan. Dengan demikian perilaku anak –
anak dapat dibentuk sehingga mereka mengikuti
disiplin belajar yang lebih baik sehingga menjadi
suatu kebiasaan.
Sungguhpun terjadi perubahan disiplin
belajar peserta didik pada Siklus II, tetapi masih
terdapat sejumlah kecil peserta didik yang
perubahannya baru mencapai tahap cukup
(13%). Hal ini menunjukkan, diperlukan
perlakuan yang khusus kepada peserta didik itu
misalnya dengan perpanjangan waktu,
pembelajaran atau teknik pembelajaran yang
lebih sesuai dengan karakteristik mereka.
Secara keseluruhan, sebagian besar (87 %)
dari peserta didik menunjukan perubahan
disiplin belajar ke arah yang sangat baik atau
baik, sehingga dapat dianggap mencapai kriteria
belajar tuntas (mastery learning). Dengan kata
lain, ada peningkatan (14%) ke arah baik atau
sangat baik di siklus II. Dengan demikian,
metode ini dapat dikembangkan untuk
membentuk karakter/kepribadian peserta didik
dalam aspek lain seperti ketaatan, kesolehan,
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
19
Meningkatkan Disiplin Belajar di Kelas Melalui Metode Reward
dan kejujuran. Ataupun, melalui berbagai teknik
yang berbeda sesuai dengan karakteristik
subyek.
Simpulan
Kesimpulan
Metode reward berjenjang dan konsekuensi logis
dapat meningkatkan disiplin belajar peserta
didik kelas 1A SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya
Jakarta. Keberhasilan metode ini ditentukan oleh
kemampuan guru dalam mempersiapkan dan
melaksanakan proses pembelajaran sehingga
membuat pembelajaran menyenangkan serta
memotivasi peserta didik berperan aktif.
Saran
Metode reward berjenjang dan konsekuensi logis
dapat diterapkan untuk peserta didik lain yang
memiliki karakteristik yang sama dengan saran
berikut. Pertama, untuk mendapatkan data yang
lebih sahih, instrumen penelitian perlu
disempurnakan melalui uji instrumen. Kedua,
guru hendaknya menggunakan aneka metode
pembelajaran dan sumber belajar yang
bervariasi. Ketiga, metode hendaknya diterapkan
pada kurun waktu yang tidak akan disela oleh
liburan atau masa ujian. Keempat, kerja sama
kepala sekolah, guru, serta tenaga pendidikan
lainnya di sekolah hendaknya mendukung
pelaksanaan metode ini.
Daftar Pustaka
Desi (2012). Artikel seminar parenting di TKK BPK
PENABUR Sukabumi : Pola asuh anak.
Akses di http://www.bpkpenabur.
or.id/id/node/8861 (Diunduh 5
November 2012)
Elly dan Najlah (2011), Artikel : Penerapan
konseling kelompok realita untuk
meningkatkan disiplin belajar siswa.
Universitas negeri Surabaya : Jurnal
Volume 12 No 1. http://www. ppb.
20
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
jurnal.unesa.ac.id/75/volume-12-no-1juli-2011. Diunduh 3 September 2012
Gary, & Anne Marrie Ezzo (2001). Membesarkan
anak dengan cara Allah (Growing kids God’s
way). Jakarta : PT yayasan Bina keluarga
Indonesia
Gordon T (1996). Mengajarkan anak berdisiplin diri
di rumah dan di Sekolah. Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama
Hidayat (2012). Penelitian tindakan dalam bimbingan dan konseling, Jakarta : PT. Indeks
Huda, Muhammad (2009). Skripsi : Penerapan
metode reward dalam meningkatkan
motivasi belajar matematika siswa Kelas IV.
Madrasah Ibtidaiyyah Nahdlatul Ulama
(MI NU) Miftahul Huda Jabung Malang.
http://www lib.uin-malang.ac.id/
thesis/.../07140065-muhammad-nurulhuda.ps (Diunduh 2 September 2012).
La Ode, Deden (2010). Upaya Meningkatkan
kedisiplinan siswa Sekolah Dasar. http://
www.dedenbinlaode.web.id/2010/01/
disiplin.html (Diunduh 1 September
2012)
Majalah Nakita (2006). Disiplin dengan kasih
sayang. Jakarta : PT.Kompas Gramedia
Nelsen, James (1997). Disiplin Positif. Jakarta :
PT.Delapratasa
Novianto,Aryes (2004). Disiplin Belajar.
Dipungut 1 September 2012, diakses di
http://aryesnovianto.blogspot.com/
2004/06/pengertan-kedisiplinanbelajar.html?m=1
Prayitno dan Erman Amti (1999). Dasar-Dasar
Bimbingan dan Konseling Jakarta : PT.
Rineka Cipta
Triana, I Ktut (2009). Makalah Penelitian :
Meningkatkan disiplin dan tanggung jawab
siswa melalui sanksi berjenjang pada siswa
kelas III SD No I Sanur Tahun Pelajaran
2009/2010. Dipungut 1 September 2012,
diakses di KTI Online : Bali
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional .
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
Penelitian
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
Melalui Pendekatan Konseling Singkat Berfokus Solusi
Dwi Lestari
E-mail: [email protected]
SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya Jakarta
Abstrak
enelitian ini bertujuan mengurangi perilaku bullying secara verbal melalui Konseling
Singkat Berfokus Solusi di SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya . Bullying verbal meliputi:
menyebut nama seseorang dengan sembarangan atau membuat lelucon aneh, cara
berpakaian, etnis, gender, orientasi seksual, agama atau ketidakmampuan seseorang.
Sementara Konseling Singkat Berfokus Solusi ialah pendekatan konseling yang berasumsi optimis
bahwa setiap manusia sehat dan kompeten serta memiliki kemampuan dalam mengonstruk solusi
yang dapat meningkatkan kualitas hidupnya dengan optimal. Penelitian mencakup II siklus,
setiap siklus terdiri atas empat tahap yaitu: perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi.
Responden penelitian berjumlah enam siswa yang duduk di kelas 6 SD. Analisis hasil penelitian
menunjukkan penurunan perilaku bullying secara verbal pada siswa melalui pendekatan konseling
singkat berfokus solusi. Berdasarkan pengamatan dan percakapan dalam konseling kelompok
terlihat peningkatan pemahaman siswa tentang bullying verbal dan adanya keinginan siswa untuk
menghentikan perilaku bullying verbal. Hal ini ditandai dengan meningkatnya skala penilaian diri
pada siklus kedua. Perubahan dapat terlihat pada diri siswa meskipun tidak signifikan .
P
Kata-kata kunci : Bullying verbal , konseling singkat berfokus solusi
Decreasing Verbal Bullying Behavior Through The Approach of Solution-Focused Short Counseling
Abstract
The purpose of this research is to reduce verbal bullying behavior through Solution Focused Brief Counseling
Approaches in SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya. Bullying verbal such as calling name in vain or making
a weird joke, the way to dress, ethnicity, gender, sexual orientation, religion or disability. While the solution
focused brief counseling approach is the counseling approach withon the optimistic assumption that every
human being is healthy, competent and has the ability to construct solutions that can improve the quality of
life to the optimum. This study covers two cycles, each cycle consisting of four stages, namely planning,
action, observation and reflection. Respondents in this study amounted to six students in 6 grade VI. Analysis
of the results of this study show impairment of verbal bullying behavior through counseling approach focuses
on solutions to the students. Based on observations and conversations in a counseling group saw an increase
in students’ understanding of verbal bullying and the desire of students to stop verbal bullying behavior. It is
characterized by the increasing scaling question appraisers themselves through an increasing in the second
cycle. The next visible change from students although not significantly.
Keywords: Verbal bullying, solution focused brief counseling
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
21
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
Pendahuluan
Manusia merupakan mahluk yang paling indah
yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Oleh karena
itu, mereka diharapkan dapat menjadi manusia
yang seutuhnya. Menurut Frank (dalam
Prayitno, 1999 : 21) , ciri-ciri manusia yang dapat
berfungsi secara ideal adalah mereka yang
mampu mencapai penghayatan yang penuh
tentang makna hidup dan kehidupan; mampu
bebas memilih dalam bertindak; mampu
bertanggungjawab secara pribadi terhadap
segala tindakan dan mampu melibatkan diri
dalam kehidupan bersama orang lain.
Kehidupan bersama orang lain atau
lingkungan sosial ialah lingkungan antar
manusia yang meliputi pola-pola hubungan
sosial yang diharapkan dapat memberi
pengaruh positif kepada individu agar mampu
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya
sehingga terbentuklah apa yang dinamakan
manusia
seutuhnya.
Namun
pada
kenyataannya tidak selamanya lingkungan
sosial memberikan pengaruh positif, pengaruh
negatif pun kerap dirasakan oleh individu
lainnya. Sebagai contoh, dalam kehidupan
berkeluarga ketika orang dewasa melakukan
tindakkan kekerasan, mengancam dan/atau
mengintimidasi seorang anak secara langsung
atau tidak. Tindakkan kekerasan, mengancam
dan/atau mengintimidasi lebih di kenal dengan
istilah bullying. Berdasarkan hasil survei
kekerasan terhadap perempuan dan anak pada
2006 (Wedhaswary, 2010), secara nasional telah
terjadi sekitar 2,81 juta tindak kekerasan dan
sekitar 2,29 juta anak pernah menjadi korban
kekerasan. Jika persentase kekerasan 2009 ini
dianggap sama dengan 2006, yaitu 3,02 persen,
berarti ada lebih kurang 25 juta anak yang pernah
mendapat kekerasan1.
Berdasarkan hasil pengumpulan data awal
yang dilakukan oleh peneliti di SDK BPK
PENABUR Bintaro Jaya di awal tahun 2013,
khususnya pada siswa kelas 6, ditemukan data
melalui angket yang disebarkan kepada 114
siswa bahwa 85% siswa menyatakan pernah
mengalami bullying verbal oleh teman laki-laki
sebanyak 88%, teman perempuan 11% dan
orangtua sebanyak 1%. Selanjutnya mengenai
22
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
perasaan mereka ketika mengalami bullying verbal, mereka menyatakan 34% siswa merasa biasa
saja, 32% siswa merasa marah, 19% siswa
merasa sedih dan 15% merasa lainnya seperti
sabar, kesal, kecewa ataupun tidak
menyukainya. Sedangkan dampaknya bagi
siswa yang mengalami bullying verbal di
antaranya 35% siswa menjadi tidak percaya diri,
28% siswa ingin membalaskan dendam, 20%
siswa merasa konsep dirinya menjadi rusak, 9%
siswa menjadi negatif dalam berpikir dan 8%
siswa menjadi penakut. Sementara itu, hal ingin
siswa lakukan kepada pelaku bullying verbal
antara lain siswa menyatakan 48% membiarkan
saja, 26% di antaranya ingin membalas
perlakuan siswa yang melakukan bullying verbal, 5% ingin memukul atau menghajarnya dan
21% siswa melakukan hal yang lainnya seperti
ingin membuat siswa tersebut sadar,
mendoakan, ataupun menasehatinya. Kata-kata
yang pernah dilontarkan oleh pelaku bullying
verbal pun beraneka ragam seperti 25% berkata
kasar, 18% berkaitan dengan fisik, 16%
menyebutkan nama hewan, 12% mengatakan
bodoh, 12% berkaitan dengan seksualitas, 5%
berkaitan dengan sifat siswa tersebut, 4%
berkaitan dengan SARA dan 8% lainnya seperti
nama yang diubah dan menyebutkan nama
teman yang sedang disukai oleh siswa yang
mengalami bullying verbal. Sedangkan hal yang
dilakukan siswa ketika temannya menjadi
korban bullying verbal di antaranya 18% siswa
menghibur teman tersebut, 32% diam, 1% siswa
ikut mengejek dan 49% ingin membelanya
dengan melakukan bullying verbal lainnya.
Selanjutnya hal yang perlu mendapat perhatian
kita bersama dari pengumpulan data awal ini
adalah 8 dari 10 siswa merupakan pelaku verbal bullying itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik
untuk membantu siswa memiliki kebiasaan
saling mengasihi dan menghargai baik melalui
kata maupun melalui perilaku siswa dengan
menghentikan atau meminimalkan bullying verbal di sekolah sehingga diharapkan siswa dapat
lebih memaksimalkan potensi yang ada dalam
dirinya melalui lingkungan yang positif dan
menjadi manusia yang seutuhnya. Peneliti
memilih teknik konseling dengan pendekatan
Konseling singkat berfokus solusi (Solution Fo-
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
cus Brief Counseling), salah satu teknik
pendekatan konseling postmodern. Pemilihan
teknik ini dilakukan dengan pertimbangan
bahwa bullying verbal harus segera
diminimalkan atau dihentikan mengingat ada
banyak siswa yang pernah mengalami bahkan
menjadi pelaku bullying verbal khususnya di
kelas 6 SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya. Peneliti
memilih beberapa siswa kelas 6 dikarenakan
menurut beberapa siswa dan guru, siswa yang
yang terlibat dalam konseling kelompok ini
merupakan siswa yang paling kerap melakukan
bullying verbal, dengan demikian diharapkan
siswa yang melakukan konseling kelompok
dapat menjadi contoh dan membawa pengaruh
yang baik bagi siswa lainnya.
Berdasarkan permasalahan yang telah
dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tindakan bimbingan
konseling dalam layanan konseling kelompok
di SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya, dengan
mengambil judul Menurunkan Perilaku Bullying Verbal Melalui Pendekatan Konseling
Singkat Berfokus Solusi di SDK BPK PENABUR
Bintaro Jaya. Sebuah tindakkan yang dilakukan
untuk menurunkan permasalahan bullying verbal adalah dengan menggunakan pendekatan
konseling singkat berfokus solusi dalam layanan
konseling kelompok khususnya pada siswa
kelas 6.
Identifikasi Masalah
1. Bagaimana dampak perilaku bagi siswa
yang mengalami bullying verbal?
2. Bagaimanakah cara menurunkan verbal
bullying pada siswa kelas 6 SDK PENABUR
Bintaro?
3. Apakah pendekatan konseling berfokus
pada solusi dapat menurunkan perilaku
bullying verbal siswa?
Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas,
masalah dalam penelitian ini dirumuskan
adalah “Bagaimana menggunakan pendekatan
konseling singkat berfokus pada solusi dapat
menurunkan perilaku bullying verbal pada siswa
kelas 6 SDK BPK PENABUR Bintaro Jaya?”
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada maka
tujuan penelitian ini adalah menurunkan
perilaku bullying verbal melalui pendekatan
konseling singkat berfokus solusi pada 6 siswa
di SDK BPK PENABUR Bintaro.
Manfaat Penelitian
Bagi siswa, penelitian tindakan ini diharapkan
dapat membantu membiasakan diri untuk
berkata-kata yang positif sehingga dapat
menurunkan perilaku bullying verbal.
Bagi guru dan orangtua, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi sebuah masukan
untuk menangani siswa yang memiliki
kecenderungan melakukan bullying verbal.
Indikator Keberhasilan
Berdasarkan paparan di atas, maka indikator
keberhasilan penelitian ini adalah siswa dapat
mengikuti konseling kelompok dengan aktif
serta adanya penurunan jumlah siswa yang
melakukan bullying verbal berdasarkan
observasi dan wawancara dari siswa yang
bersangkutan ataupun dari siswa lainnya.
Kajian Pustaka
Hakekat Perilaku
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Perilaku berarti tanggapan atau reaksi individu
terhadap rangsangan atau lingkungan
(Depdiknas, 2001). Kuntjojo (2009) mengutip
pendapat Skinner yang menyatakan bahwa
tingkah laku adalah respon yang dihasilkan
organisme untuk menjawab stimulus yang
secara spesifik berhubungan dengan respon itu1.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku
adalah tanggapan atau respon seseorang
terhadap rangsangan dari luar.
Hakekat Bullying Verbal
Bullying verbal atau intimidasi secara lisan
adalah salah satu jenis bullying yang sulit
terdeteksi karena serangannya lebih banyak
terjadi bila tidak ada orang dewasa disekitarnya.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
23
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
Intimidasi ini memang tidak meninggalkan
kerusakan fisik, tetapi tipe intimidasi ini dapat
mengakibatkan dampak psikologis yang dalam
pada korbannya.
Bullying verbal terjadi ketika seseorang
menggunakan bahasa lisan untuk mendapatkan
kekuasaan atas korbannya. Bullying verbal
meliputi menggoda, memberikan nama
panggilan, membuat komentar seksual yang
tidak pantas, mengejek, dan mengancam. Orang
tua dan guru tidak selalu tanggap akan tipe
intimidasi ini karena tidak ada bukti kerusakan
fisik dan si korban mungkin terlalu takut untuk
berterus terang. WL Voor mengatakan: “Verbal
Bullying is by far the most common form throughout
the school years. Hurtful names or cruel jokes about
idiosyncrasies, appearance, clothes, ethnicity, race,
gender, sexual orientation, religion or disabilities are
all forms of bullying verbal”2. Bullying verbal kerap
ditemui di sekolah. Menyebut nama dengan
sembarangan atau membuat sebagai lelucon
yang aneh, cara berpakaian, etnis, gender,
orientasi seksual, agama atau ketidakmampuan
merupakan semua bentuk bullying verbal.
Hakekat Pendekatan Konseling
Singkat Berfokus Solusi
Nama pendekatan konseling ini adalah Solution
Focus Brief Counseling (SFBC). SFBC adalah suatu
konseling singkat yang dibangun atas potensi
konseli yang sebenarnya mampu mengkonstruksi solusi dari masalahnya.
SFBC dibangun atas dasar asumsi optimis
bahwa setiap manusia adalah sehat dan
kompeten serta memiliki kemampuan dalam
mengkonstruk solusi yang dapat meningkatkan
kualitas hidupnya dengan optimal. Asumsi
pokok dalam SFBC ini bahwa kita memiliki
kemampuan untuk mengatasi tantangan hidup,
walaupun kadang-kadang kita mungkin
kehilangan arah atau kesadaran tentang
kemampuan kita.
a. Hakekat Manusia
Konseling berfokus solusi tidak mempunyai
pandangan komprehensif tentang sifat manusia,
tetapi berfokus pada kekuatan dan kesehatan
konseli. Konseling berfokus solusi menganggap
manusia bersifat konstruktivis. Sehingga,
24
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
konseling berfokus solusi didasarkan pada
asumsi bahwa manusia benar-benar ingin berubah dan perubahan tersebut tidak terelakkan.
b. Perkembangan perilaku
1. Struktur Kepribadian
Struktur kepribadian manusia berdasarkan teori
SFBC adalah sebagai berikut:
a. SFBC tidak menggunakan teori kepriba-dian
dan psikopatologi yang ada saat ini.
b. Konselor tidak bisa memahami secara pasti
tentang penyebab masalah individu.
c. Konselor perlu tahu apa yang membuat
orang memasuki masa depan yang lebih
baik dan sehat, yaitu tujuan yang lebih baik
dan sehat.
d. Individu tidak bisa mengubah masa lalu,
tetapi bisa mengubah tujuannya
e. Tujuan yang lebih baik dapat mengatasi
masalah dan mengantarkan masa depan
yang lebih produktif.
f. Konselor perlu mengetahui karakteristik
tujuan konseling yang baik dan produktif,
proses positif, saat ini, praktis, spesifik,
kendali konseli dan bahasa konseli.g.
Sebagai ganti teori kepribadian dan
psikopatologi, masalah dan masa lalu, SFBC
berfokus pada saat ini yang dipandu oleh
tujuan positif yang spesifik yang dibangun
berdasarkan bahasa konseli dan dibawah
kendalinya.
2. Pribadi Sehat dan Bermasalah
Pribadi sehat berdasarkan teori SFBC adalah:
a. Manusia pada dasarnya kompeten,
memiliki kapasitas untuk membangun,
merancang/ merekonstruksikan solusisolusi sehingga mampu menyelesaikan
masalahnya
b. Tidak berkutat pada masalah, tetapi fokus
pada solusi dan bertindak mewujudkan
solusi yang diinginkan
Pribadi bermasalah menurut SFBC adalah:
a. Mengkonstruk kelemahan diri. Dengan cara
mengkonstruk cerita yang diberi label
“masalah” dan meyakini bahwa ketidakbahagiaan berpangkal pada dirinya.
b. Berkutat pada masalah dan merasa tidak
mampu menggunakan solusi yang
dibuatnya.
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
c. Hakikat Konseling
Walter dan Peller3 berpikir mengenai konseling
berfokus solusi sebagai model yang menerangkan bagaimana orang berubah dan bagaimana
mereka dapat meraih tujuan mereka. Berikut ini
beberapa asumsi dasar SFBC:
a. Individu-individu yang datang konseling
telah mempunyai kemampuan berperilaku
efektif, meskipun keefektifan tersebut
mungkin untuk sementara terhambat oleh
pikiran negatif. Pikiran berfokus masalah
mencegah orang dari mengenali cara efektif
mereka dalam menangani masalah
b. Ada keuntungan untuk fokus positif pada
solusi dan di masa depan. Jika konseli dapat
mereorientasi diri mereka dengan
mengarahkan kekuatan mereka menggunakan “ solution –talk” , merupakan suatu
kesempatan bagus dalam konseling singkat
c. Proses konseling diorientasikan pada
peningkatan kesadaran eksepsi (harapanharapan yang menyenangkan) terhadap
pola masalah yang dialami dan pemilihan
proses perubahan.
d. Konseli sering mengatakan satu sisi dari diri
mereka. SFBC mengajak konseli untuk
memerika sisi lain dari cerita hidupnya yang
disampaikan.
e. Perubahan kecil membuka jalan bagi
perubahan besar. Seringkali, perubahan
kecil adalah semua yang diperlukan untuk
menyelesaikan masalah yang dibawa
konseli ke konseling.
f. Konseli ingin berubah, memiliki kemampuan untuk berubah, dan melakukan yang
terbaik untuk membuat perubahan terjadi.
Konseli harus mengambil sikap kooperatif
dengan konseli daripada merancang
strategi sendiri untuk mengendalikan
hambatan. Ketika konselo mencari cara
untuk kooperatif dengan konseli, maka
perlawanan/ resistensi tidak akan terjadi.
Konseli bisa percaya pada niat mereka untuk
menyelesaikan masalah mereka. Tidak ada
solusi yang “benar” untuk masalah spesifik
yang dapat diaplikasikan pada semua orang. Setiap individu unik dan begitu juga
pada setiap penyelesaian masalahnya.
Kondisi Pengubahan
Bertolino dan O’Hanlon menekankan pentingnya membuat kolaborasi hubungan terapeutik
dan perlu dilakukan untuk keberhasilan
konseling. Diakui bahwa konselor memiliki
keahlian dalam menciptakan konteks untuk
perubahan, mereka menekankan bahwa konseli
adalah ahli dalam kehidupan mereka dan sering
memiliki perasaan yang bagus tentang apa yang
harus dan tidak harus dilakukan di masa lalu
dan begitu juga apa yang mungkin dilakukan di
masa depan. SFBC mengasumsikan pendekatan
kolaboratif dengan konseli berbeda dengan sikap
edukatif yang biasanya dikaitkan dengan model
terapi tradisional. Jika konseli terlibat dalam
proses terapeutik dari awal sampai akhir,
perubahan meningkat sehingga konseling akan
sangat berhasil. Singkatnya, hubungan
kolaborasi dan kooperatif cenderung lebih efektif
dari pada hubungan hierarki dalam konseling4.
Tujuan
SFBC menawarkan beberapa bentuk tujuan:
a. Mengubah cara pandang situasi atau
kerangka pikir.
b. Mengubah situasi masalah dan menekankan pada kekuatan dan sumber daya
konseli.
c. Konseli didorong untuk terlibat dalam
perubahan atau “ solution talk”, dari pada “
problem talk” dengan asumsi bahwa apa
yang dibicarakan adalah sebagian besar
apa yang akan dihasilkan.
d. Berbicara tentang perubahan dapat
menghasilkan perubahan. Secepat individu
belajar untuk berbicara dalam istilah
kemampuan dan kompetensi mereka, apa
sumber daya dan kekuatan yang mereka
miliki, dan apa yang siap mereka lakukan
dan mengerjakannya, mereka dapat
mencapai hal utama dalam konseling.
Sikap, Peran, dan Tugas Konselor
a. Mengidentifikasi dan memandu konseli
mengeksplorasi kekuatan-kekuatan dan
kompetensi yang dimiliki konseli.
b. Membantu konseli mengenali dan
membangun perkecualian-perkecualian
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
25
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
pada masalah, yaitu saat-saat ketika konseli
telah melakukan (memikirkan, merasakan)
sesuatu yang mengurangi atau membatasi
dampak masalah.
c. Melibatkan konseli untuk berpikir tentang
masa depan mereka dan apa yang mereka
inginkan yang berbeda di masa depan.
d. Konselor mengambil posisi “tidak mengetahui” untuk meletakkan konseli pada
posisi sebagai ahli mengenai kehidupan
mereka sendiri. Konselor tidak mengasumsikan diri sebagai ahli yang mengetahui
tindakan dan pengalaman konseli.
e. Membantu konseli dalam mengarahkan
perubahan tetapi tidak mendikte konseli
apa yang ingin diubah.
f. Konselor berusaha membentuk hubungan
yang kolaboratif dan menciptakan suatu
iklim yang respek, saling menghargai dan
membangun suatu dialog yang bisa
menggali konseli untuk mengembangkan
kisah-kisah yang mereka pahami dan
hayati dalam kehidupan mereka.
g. Konsisten dalam membantu konseli
berimajinasi bagaimana mereka menginginkan hal yang berbeda dan apa yang akan
dilakukan untuk membawa perubahan
tersebut terjadi dengan menanyakan “ apa
yang Anda inginkan dari datang kesini?”,
“apa yang akan membuat perbedaan
untukmu?” dan “ apa kemungkinankemungkinan yang Anda tandai bahwa
perubahan yang Anda inginkan terjadi?
Sikap, Peran, dan Tugas Konseli
a. Mau dan mampu berkolaborasi dengan
konselor.
b. Aktif terlibat dalam proses konseling
c. Memiliki motivasi untuk menyelesaikan
masalah.
Mekanisme Pengubahan
Berikut ini tahap-tahap konseling5:
1. Tahap konseling
a. Establishing rapport, yaitu pembentukan
hubungan baik agar proses konseling
berjalan lancar seperti yang diharapkan
dan agar tercipta iklim yang kolaboratif
26
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
antara konselor dengan konseli.
b. Identifying a solvable complaint, yaitu
mengidentifikasi keluhan-keluhan yang
akan dipecahkan.
c. Establishing goals atau menetapkan
tujuan yang akan dicapai dalam proses
konseling.
d. Designing an intervention atau merancang intervensi.
e. Strategic task that promote change. Yaitu
tugas tertentu yang diberikan oleh
konselor untuk mendorong perubahan.
f. Stabilization atau stabilisasi.
g. Termination. Pada tahap terminasi, ciriciri pertanyaan yang diajukan konselor
untuk mengidentifikasi keberhasilan
knseling yaitu: “ apa hal berbeda yang
diperlukan dalam hidup Anda yang
dihasilkan dengan datang kemari
sehingga Anda mengatakan bahwa
pertemuan kita bermanfaat?”, dan “
ketika masalah Anda teratasi, hal berbeda apa yang akan Anda lakukan?”.
2.
Teknik Konseling
a. Exeption-Finding Questions: Pertanyaan
tentang saat-saat dimana konseli bebas
dari masalah. SFBC didasarkan pada
gagasan dimana ada saat-saat dalam
hidup konseli ketika masalah yang
mereka identifikasi tidak bermasalah.
b. Miracle Questions: Pertanyaan yang
mengarahkan konseli berimajinasi apa
yang akan terjadi jika suatu masalah
dialami secara ajaib terselesaikan.
c. Scaling Questions: Pertanyaan yang
meminta konseli menilai kondisi dirinya
(masalah, pencapaian tujuan) berdasarkan skala 1-10.
d. Coping Questions: Pertanyaan yang
meminta konseli mengemukakan
pengalaman sukses dalam menangani
masalah yang dihadapi.
e. Compliments: Pesan tertulis yang
dirancang untuk memuji konseli atas
kelebihan, kemajuan, dan karakteristik
positif bagi pencapaian tujuannya.
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
Hakekat Layanan Konseling Kelompok
Layanan konseling kelompok adalah suatu
proses antar pribadi yang dinamis, terpusat
pada pikiran dan perilaku yang disadari, dibina,
dalam suatu kelompok kecil mengungkapkan
diri kepada sesama anggota dan konselor,
dimana komunikasi antar pribadi tersebut dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman
dan penerimaan diri terhadap nilai-nilai
kehidupan dan segala tujuan hidup serta untuk
belajar perilaku tertentu ke arah yang lebih baik
(Winkel dan Hastuti, 2004:198).
Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian pustaka yang telah
diuraikan di atas, maka dirumuskan hipotesis
tindakan sebagai berikut:
Penerapan pendekatan konseling berfokus pada
solusi dalam layanan konseling kelompok
menurunkan perilaku bullying verbal pada siswa
kelas 6 SDK BPK PENABUR Bintaro.
Metodelogi dan Prosedur Penelitian
Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian tindakan
bimbingan konseling (action research), yaitu salah
satu strategi pemecahan masalah yang
memanfaatkan tindakan nyata dan proses
pengembangan kemampuan dalam memecahkan masalah. Penelitian ini mengacu pada
model penelitian tindakan Stephen Kemmis
yang melibatkan empat tahap, terdiri atas
perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi.
Keempat tahap itu berupa untaian putaran
kegiatan yang disebut sebagai siklus.
Subjek dan Tempat Penelitian
Subyek penelitian adalah siswa kelas 6 di SDK
BPK PENABUR Bintaro Jaya yang berjumlah 6
siswa yang terdiri dari kelas 6A dan 6D. SDK
BPK PENABUR Bintaro adalah salah satu
sekolah swasta di kota Tangerang Selatan yang
dikelola olah Yayasan BPK PENABUR Jakarta
yang beralamat di Jl. Panglima Polim A6 No. 1
Pondok Aren, Tangerang.
Prosedur Penelitian
a. Rencana Tindakan
Pada kegiatan penelitian, rencana tindakan ini
merupakan prosedur awal dari sebuah siklus.
Langkah perencanaan yang dilakukan adalah:
1. Merencanakan layanan konseling kelompok
dengan pendekatan berfokus solusi seperti
terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1: Perencanaan Layanan Konseling Kelompok dengan
Pendekatan Konseling Berfokus Solusi
No
Tahapan Konseling
Bentuk Kegiatan
1.
Establishing Rapport
Guru dan siswa melakukan pembentukan hubungan agar
tercipta iklim yang kolaboratif antara guru dan siswa.
2.
Identifiying a solvable
complaint
Siswa mengidentifikasi keluhan-keluhan yang akan
dipecahkan.
3.
Establising goals
Siswa menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam proses
konseling.
4.
Deigning an intervention
Guru merancang intervensi.
Strategic task promote
Guru memberikan tugas untuk mendorong perubahan.
5.
change
6.
Identitiying & emphazing
new behavior & change
Guru menugaskan siswa mengidentifikasi dan
menguarkan perilaku baru dan perubahan.
7.
Stabilazation
Guru menugaskan siswa melakukan stabilisasi.
8.
Termination
Guru memberikan pertanyaan kepada siswa mengenai
hasil konseling.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
27
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
2.
Mengembangkan skenario layanan
konseling kelompok
Peneliti membuat skenario layanan
konseling kelompok dengan pendekatan
konseling berfokus solusi adalah Establishing Rapport, Identifiying a solvable complaint,
Establising goals, Designing an intervention,
Strategic task promote change, Identifiying &
emphasizing new behavior & change,
Stabilazation, Termination.
Untuk siklus I, direncanakan tindakan
seperti tertera pada Tabel 2.
tidakan. Pengamatan ini dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu pengamatan terhadap
proses dan hasil. Tabel 3 menunjukkan
instrumen yang digunakan dalam penelitian
tindakan ini.
d. Refleksi
Pada setiap akhir satu siklus implementasi
tindakan konseling, hasil pengumpulan data
observasi dan wawancara serta angket
kemudian direfleksi, dicek ulang dan dianalisi
serta diinterpretasikan, kemudian disimpulkan
Tabel 2: Perencanaan Tindakan Siklus I
No.
Tahapan Konseling
Bentuk Kegiatan
1.
Establishing Rapport
Guru mengenalkan bullying verbal dan menggali perasaan
siswa ketika menjadi pelaku bullying verbal
2.
Identifiying a solvable
complaint
Melakukan indentifikasi mengenai keluhan-keluhan yang
dialami siswa dan lingkungan sekolah
3.
Establising goals
Menetapkan tujuan berkaitan dengan perilaku bullying
verbal
4.
Deigning an
intervention
Memberikan intervensi berkaitan dengan bullying verbal
seperti pemberian informasi, nasehat dan contoh
5.
Strategic task promote
change
Memberikan penugasan kepada siswa mengenai
perubahan yang siswa inginkan mengenai bullying verbal
6.
Identitiying &
emphazing new behavior
& change
Mengidentifikasi perilaku baru yang siswa lakukan
mengenai bullying verbal
7.
Stabilazation
Memberikan pertanyaan skala mengenai perubahan yang
terjadi pada dirinya
8.
Termination
Menggali pengalaman siswa terhadap layanan konseling
dan hasilnya bagi dirinya
b. Pelaksanaan Tindakan
Dalam penelitian ini, peneliti menyajikan topiktopik bahasan tertentu ada setiap pertemuan
sebagai sarana untuk menurunkan perilaku bullying verbal pada siswa.
c. Observasi
Peneliti menyiapkan lembar obsevasi dan angket
untuk merekam data proses dan dampak
tindakan yang dilakukan. Pengamatan ini
dilakukan sepanjang peneliti melakukan
28
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
pemaknaannya. Hasil refleksi tersebut
digunakan untuk perencanaan tindakan pada
siklus selanjutnya. Refleksi dilakukan
berdasarkan data-data yang didapat selama
melakukan penelitian. Data hasil selanjutnya
dilakukan analisis untuk mengetahui sejauhmana tindakan berpengaruh pada penyelesa-ian
masalah. Adapun kegiatan yang dilakukan
dalam analisis pada tahap refleksi ini ialah
menggolongkan data berdasarkan inidikator
keberhasilan, baik proses maupun hasil.
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
Tabel 3: Instrumen yang digunakan dalam penelitian tindakan
Hipotesis
Tindakan
Penerapan
pendekatan
konseling
berfokus
pada solusi
dalam
layanan
konseling
kelompok
dapat
menurunkan
perilaku
bullying
verbal
Indikator Keberhasilan
Data
Alat Perekam
Data
Proses
Prosedur pelaksanaan
oleh guru BK.
Pelaksanaan kegiatan.
Pedoman
Observasi
Keaktifan siswa.
Frekuensi sikap siswa dalam
konseling.
Pedoman
Observasi
Tanggapan siswa
terhadap kegiatan yang
diikuti.
Prosentase siswa yang senang
mengikuti konseling kelompok.
Angket
Skor angket mengenai bullying
verbal dan perubahan diri.
Angket
Hasil
Pemahaman mengenai
bullying verbal.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Siklus I
Perencanaan
Peneliti terlebih dahulu membuat perencanaan
tindakan yang akan dilakukan saat konseling
kelompok, seperti tertera dalam Tabel 4.
Pelaksanaan Tindakan
Siklus I dilaksanakan pada tanggal 4 dan 12
Februari 2013 dengan jumlah pertemuan
sebanyak dua kali, masing-masing pertemuan
dialokasikan waktu selama 20 menit setelah
pulang sekolah. Konseling kelompok ini
dilakukan secara berkesinambungan, artinya
antara pertemuan yang pertama sampai yang
ketiga saling berkaitan tetapi berbeda
pembahasannya.
Pengamatan
Berdasarkan pertemuan pertama dan kedua,
peneliti mengamati bahwa siswa cukup aktif
memberikan tanggapannya, siswa dengan
perlahan tapi pasti mengungkapkan hal-hal
yang dianggap sebagai bagian dari perilaku
bullying verbal. Hal yang terlihat pada saat awal
pertemuan siswa merasa malu-malu dan takut
ketika ingin berpendapat. Bahkan beberapa kali
didapati siswa saling memandang satu dengan
yang lain, namun ketika diberikan penjelasan
mengenai bullying verbal, ada 3 siswa, yaitu GB,
WL dan TM yang menundukkan kepalanya,
sesekali mereka menganggungkan kepalanya.
Tabel 5 menggambarkan hasil observasi
pertemuan 1 dan 2 dalam bentuk pedoman
observasi chek list dengan aspek yang diamati
ialah sikap siswa dalam konseling kelompok.
Refleksi Siklus I
Refleksi siklus I dilakukan setelah selesai
melakukan konseling kelompok melalui
pendekatan konseling singkat berfokus solusi.
Didapati hasil refleksi sebagai berikut.
1. Respon siswa berbeda-beda ada yang
memang tertarik untuk membahas pertemuan, ada pula siswa yaitu JS memiliki kecenderungan kurang tertarik terhadap konseling kelompok yang dilakukan, namun
dalam dua kali pertemuan seluruh peserta
hadir mengikuti konseling kelompok.
2. Dari skala pengukuran yang dikatakan
siswa nampaknya masih diperlukan
perubahan yang lebih signifikan sehingga
diharapkan siswa dapat benar-benar
menurunkan perilaku bullying verbal.
3. Pertanyaan-pertanyaan yang dipakai
dalam konseling kelompok dengan
pendekatan konseling singkat berfokus
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
29
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
Tabel 4: Perencanaan Konseling Kelompok dengan
Pendekatan Konseling Singkat Berfokus Solusi
No.
Tahapan
Konseling
Bentuk Kegiatan
Guru dan siswa
melakukan pembentukan
hubungan agar tercipta
iklim yang kolaboratif
antara guru dan siswa.
Establishing
Rapport
2.
Identifiying a Siswa mengidentifikasi
solvable
keluhan-keluhan yang
c omplaint
akan dipecahkan.
3.
Establising
goals
Siswa menetapkan tujuan
yang akan dicapai dalam
proses konseling.
Menetapkan tujuan
berkaitan dengan perilaku
bullying verbal
4.
Deigning an
intervention
Guru merancang
intervensi.
Memberikan informasi,
nasehat dan contoh berkaitan dengan bullying verbal
5.
Strategic task Guru memberikan tugas
promote
untuk mendorong
c hange
perubahan.
6.
Identitiying
& emphazing
new behavior
& c hange
Guru menugaskan siswa
mengidentifikasi dan
menguarkan perilaku
baru dan perubahan.
7.
Stabilazation
Guru menugaskan siswa
melakukan stabilisasi.
8.
Termination
Guru memberikan
pertanyaan kepada siswa
mengenai hasil konseling.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Pertemuan
pertama
Dengan
alokasi
waktu 20
menit
Topik Bahasan / Tema
1.
solusi seharusnya lebih banyak dilontarkan
sebagai teknik konseling, agar terlihat
perbedaan yang signifikan antara pendekatan konseling singkat berfokus solusi
dengan pendekatan konseling lainnya.
Berdasarkan refleksi yang dilakukan oleh
peneliti, maka perlu dilakukan siklus II
30
Alokasi
Waktu
Mengenal Bullying verbal
dan menggali perasaan
siswa ketika menjadi
pelaku bullying verbal
Melakukan indentifikasi
mengenai keluhan-keluhan
yang dialami siswa dan
lingkungan sekolah
Memberikan penugasan
kepada siswa mengenai
perubahan yang siswa
inginkan mengenai bullying
verbal
Mengidentifikasi perilaku
baru yang siswa lakukan
mengenai bullying verbal
Pertemuan
ke d u a
dengan
alokasi
waktu 20
menit
Memberikan pertanyaan
skala mengenai perubahan
yang terjadi pada dirinya
Menggali pengalaman
siswa terhadap layanan
konseling dan hasilnya
bagi dirinya
untuk memperbaiki proses layanan konseling sehingga diharapkan layanan ini dapat
lebih bermakna bagi siswa dan melalui
siswa yang melakukan konseling kelompok
ini, siswa dapat menjadi teladan dan
membawa pengaruh positif bagi temanteman yang lain.
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
Tabel 5: Hasil Pedoman Observasi Siklus I
No
Pernyataan/Indikator
GB
WL
JS
TM
YR
BL
V
V
V
1.
Siswa melakukan penugasan yang
diberikan guru
V
V
V
2.
Siswa aktif memberikan jawaban ketika
ditanya guru/konselor
V
V
-
3.
Siswa memperhatikan ketika guru/teman
yang lainnya sedang berbicara
-
-
-
V
V
V
4.
Siswa aktif bertanya/memberikan
tanggapan/pendapat
V
V
-
-
-
V
5.
Siswa menyanggah pendapat dengan baik
-
-
-
-
-
-
6.
Siswa mengerjakan skala penilaian dengan
b ai k
V
V
V
V
V
V
7.
Siswa melakukan penugasan yang
diberikan guru
V
V
V
V
V
V
8.
Siswa tidak melakukan bullying verbal
terhadap teman selama konseling
berlangsung
-
-
-
-
Jumlah Skor
5
5
3
4
62%
65%
Analisa Hasil: P = f/N x 100 %
V
V
-
5
3,75% 50% 62,5%
Jumlah Skor Maksimal
-
5
62,5%
8
Keterangan:
P = Perilaku, f=Frekeuensi Sikap yang Nampak, N=Skor Maksimal
Kriteria:
10% - 50 % : Kurang berpartisipasi aktif
51% - 80 % : Cukup berpartisipasi aktif
81% - 100% : Berpartisipasi aktif
Siklus II
Berdasarkan refleksi yang peniliti lakukan pada
siklus I, maka peneliti memutuskan untuk
memberbaiki teknik-teknik konseling
kelompok dengan pendekatan konseling
singkat berfokus solusi. Sebagaimana siklus I,
Siklus II ini juga terdiri atas empat kegiatan
utama yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Tabel 5 menunjukkan hasil
penelitian pada siklus II.
Perencanaan
Berdasarkan siklus I, Peneliti menyusun kembali
perencanaan tindakan yang akan dilakukan saat
konseling kelompok, kali ini pada awal
pertemuan peniliti hendak menyiapkan puzzle
yang terbuat dari kayu dan berbentuk bola
sebagai salah satu cara untuk membangun
hubungan yang lebih akrab dengan siswa
sehingga siswa dapat lebih terbuka dalam
berpendapat dan termotivasi untuk menemukan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
31
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
Tabel 6: Perencanaan Konseling Kelompok dengan
Pendekatan Konseling Singkat Berfokus Solusi
No.
32
T ah ap an
Konseling
Bentuk Kegiatan
Guru menyediakan
potongan puzzle dan
meminta siswa secara
bersama
menyelesaikannya
dengan membentuk bola
Alokasi
Waktu
1.
Establishing
Rapport
2.
Identifiying a Meminta siswa
solvable
mengidenfikasi perilaku
c omplaint
bullying verbal yang
masih mereka lakuan
3.
Establising
goals
Siswa kembali
menetapkan tujuan yang
akan dicapai dalam
proses konseling
Menetapkan kembali
tujuan berkaitan dengan
perilaku bullying verbal
4.
Deigning an
intervention
Siswa mencari cara-cara
yang patut dipergunakan
untuk perbaikan perilaku
Memberikan
informasi,nasehat dan
contoh yang berkaitan
dengan bullying verbal
5.
Strategic task Guru kembali
memberikan tugas untuk
promote
mendorong perubahan
c hange
perilaku
6.
Identitiying
& emphazing
new behavior
& c hange
Guru kembali
menugaskan siswa
mengidentifikasi dan
menguarkan perilaku
baru dan perubahan
7.
Stabilazation
Guru menugaskan siswa
melakukan perubahan
secara konsisten dan
terus-menerus
8.
Termination
Guru kembali
memberikan pertanyaan
kepada siswa mengenai
hasil konseling
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Pertemuan
pertama
Dengan
alokasi
waktu 30
menit
Topik Bahasan / Tema
Menjelaskan kembali
bullying verbal dan meyakinkan kembali bahwa
mereka mampu mengurangi bahkan menghentikan
perilaku bullying verbal
sama halnya dengan
mereka mampu
menyelesaikan tugas puzzle
Menentukan kembali
indentifikasi mengenai
perilaku bullying verbal
yang masih dilakukan
siswa
Memberikan penugasan
kepada siswa mengenai
perubahan yang siswa
inginkan mengenai bullying
verbal
Mengidentifikasi perilaku
baru yang siswa lakukan
mengenai bullying verbal
Pertemuan
ke d u a
dengan
alokasi
waktu 20
menit
Memberikan pertanyaan
skala mengenai perubahan
yang terjadi pada dirinya
Menggali pengalaman
siswa terhadap layanan
konseling dan hasilnya
bagi dirinya
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
solusi dan akhirnya siswa diharapkan mampu
menyelesaikan persoalannya, yaitu perilaku bullying verbal.
Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan siklus II pada penelitian ini
dilakukan pada tanggal 15 & 20 Februari 2013
dengan jumlah pertemuan sebanyak dua kali.
Berdasarkan siklus I, ternyata waktu konseling
kelompok dirasakan kurang sukup, terlebih
pada pertemuan ketiga ini kegiatan akan diawali
dengan menyusun puzzle yang cukup sulit. Oleh
karena itu diberikan penambahan waktu pada
pertemuan ketiga, namun pertemuan keempat
masih dialokasikan waktu selama 20 menit.
Seperti halnya pada siklus I, Siklus II ini
melakukan konseling kelompok secara
berkesinambungan, artinya antara pertemuan
yang pertama sampai yang ketiga saling
berkaitan tetapi berbeda pembahasannya.
2. Pengamatan
Pada siklus kedua ini tampak siswa lebih
antusias, misalnya ketika diberikan puzzle
mereka bersama berusaha untuk menyelesaikan
dengan saling memberikan pendapat. Seluruh
Tabel 7: Hasil Pedoman Observasi Siklas
No
Pernyataan/Indikator
GB
WL
JS
TM
YR
BL
1.
Siswa datang sesuai dengan waktu yang
disepakati
V
V
V
V
V
V
2.
Siswa aktif memberikan jawaban ketika
ditanya konselor
V
V
-
V
V
V
3.
Siswa memperhatikan ketika guru/teman
yang lainnya sedang berbicara
V
V
-
V
4.
Siswa aktif bertanya/memberikan
tanggapan/pendapat
V
V
-
-
V
V
5.
Siswa menyanggah pendapat dengan baik
V
-
-
V
V
V
6.
Siswa mengerjakan skala penilaian
dengan baik
V
V
V
V
V
V
7.
Siswa melakukan penugasan yang
diberikan guru
V
V
V
V
V
V
8.
Siswa tidak melakukan bullying verbal
terhadap teman selama konseling
berlangsung
-
V
V
V
V
-
Jumlah Skor
7
7
4
6
8
6
87,5%
87,5%
50%
75%
100%
75%
Analisa Hasil: P = f/N x 100 %
Jumlah Skor Maksimal
V
-
8
Keterangan:
P = Perilaku, f=Frekeuensi Sikap yang Nampak, N=Skor Maksimal
Kriteria:
10% - 50 % : Kurang berpartisipasi aktif
51% - 80 % : Cukup berpartisipasi aktif
81% - 100% : Berpartisipasi aktif
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
33
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
siswa berusaha untuk memberikan pendapatnya. GB, WL, YR, BL dan TM beberapa kali
mengungkapkan pendapatnya, sedangkan JS
terlihat lebih sering melihat teman-temannya
seolah-olah menyetujui pendapat mereka. Siswa
kerap berpendapat dengan kalimat-kalimat yang
singkat dan menggunakan gaya bahasa siswa.
Namun secara keseluruhan, sikap siswa baik
ketika memperhatikan penjelasan dan
pertanyaan yang dilontarkan guru.
Setelah proses konseling kelompok,
beberapa hari kemudian secara random guru
menanyakan kepada siswa kelas 6 mengenai
siswa yang mengikuti konseling kelompok,
Siswa yang ditanyakan memberikan respon yang
positif, dengan mengatakan, “Iya bu, dia udah
berubah”, namun ketika menyebut salah seorang
nama siswa yang mengikuti konseling kelompok,
siswa yang ditanyakan mengatakan “Wah,
kalau itu sih masih suka kasar Bu ngomongnya”.
Tabel 7 menjelaskan hasil observasi pertemuan
3 dan 4 dalam bentuk pedoman observasi chek
list dengan aspek yang diamati ialah sikap siswa
dalam konseling kelompok.
c.
d.
e.
Pertanyaan-pertanyaan yang dipakai
dalam konseling kelompok dengan
pendekatan konseling singkat berfokus
solusi sudah lebih banyak dilontarkan
sebagai teknik konseling, sehingga sudah
cukup terlihat perbedaan yang signifikan
antara pendekatan konseling singkat
berfokus solusi dengan pendekatan
kaonseling lainnya.
Berdasarkan informasi dari siswa yang
tidak mengikuti konseling kelompok secara
random, maka didapatkan informasi bahwa
terjadi perubahan perilaku pada siswa,
meskipun belum semua siswa yang
mengikuti konseling kelompok.
Berdasarkan refleksi pada siklus II yang
dilakukan oleh peneliti, maka dirasakan
cukup melakukan layanan konseling
kelompok kali ini.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian siklus I dan II, maka
diperoleh kesimpulan bahwa terdapat penurunan perilaku bullying verbal memalui
pendekatan konseling berfokus pada solusi pada
siswa. Berdasarkan pengamatan dan percakapan dalam konseling kelompok terlihat peningkatan pemahaman siswa terhadap bullying
verbal serta keinginan siswa untuk menghen-
Refleksi Siklus II
Setelah melakukan siklus II dengan dua kali
pertemuan, guru merasakan adanya perubahan
jika dibandingkan dengan siklus yang pertama,
adapun refleksi pada siklus II ini adalah sebagai
berikut:
a. Respon siswa dirasakan lebih baik pada
Tabel 8: Perbandingan Hasil Obsevasi dan Penilaian Diri
siklus II ini, siswa
Siklus 1 dan Siklus 2
lebih berani mengSiklus 1
Siklus 2
ungkapkan pendaNama
patnya dan lebih
Hasil
*Hasil Skala
Hasil
*Hasil Skala
Siswa
No
yakin akan perubaObservasi Penilaian diri Observasi Penilaian diri
han perilaku yang
1.
GB
62,5 %
4
87,5%
7
dilakukannya.
b. Dari skala pengukur2.
WL
62,5 %
5
87,5%
7
an yang dikatakan
3.
JS
37,5%
6
50%
7
siswa terdapat perubahan yang lebih
4.
TM
50%
6
75%
7
signifikan sehingga
diharapkan siswa
5.
YR
62,5%
5
100%
8
dapat benar-benar
BL
menurunkan perilaku
6.
62,5%
4
75%
7
bullying verbal.
* Skala Penilaian Diri = 1 - 10
34
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
tikan perilaku bullying verbal. Hal ini ditandai
dengan meningkatnya penilai diri melalui
scalling question yang makin meningkat di siklus
kedua. Selanjutnya terlihat perubahan dari siswa
meskipun belum secara signifikan. Bila
dibandingkan antara siklus ke-1 dan ke-2 akan
terlihat perbandingan sesuai Tabel 8.
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa
siswa telah mampu mengendalikan diri mereka
untuk tidak melakukan bullying verbal,
meskipun belum memenuhi harapan secara
maksimal. Demikian pula dalam menjawab
skala penilaian diri siswa mengenai perubahan
sikap bullying verbal juga meningkat. Meski boleh
dikatakan sedikit sekali tingkat perubahan,
namun siswa telah berupaya untuk menurunkan
sikap bullying verbal yang dilakukannya,
terutama terhadap teman-teman mereka.
Saat pelaksanaan siklus II, minat siswa
dalam melakukan konseling kelompok terlihat
lebih baik, selain itu perbedaan hubungan antara
siswa dan guru terasa lebih akrab. Selanjutnya
mengenai pengalaman siswa melakukan
konseling kelompok kali ini ada 3 siswa yang
memberikan komentar artinya 50% siswa
memiliki pengalaman yang positif. Guru
berharap ini menjadikan pengalaman bermakna
bagi siswa dan siswa sungguh-sungguh
melakukan perubahan itu dengan segala potensi
yang baik yang ada dalam diri siswa.
Simpulan
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
melalui beberapa tindakan dari siklus I dan II
maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, pendekatan konseling singkat berfokus
solusi untuk menurunkan bullying verbal
dirasakan cukup efektif karena didapati
perubahan dalam perilaku siswa yang
sebelumnya kerap melakukan bullying verbal
saat ini sudah mengalami penurunan perilaku
bullying verbal. Kedua, pendekatan konseling
singkat berfokus solusi ini dapat dipakai sebagai
alternatif pendekatan konseling yang berkaitan
dengan perilaku atau behavior siswa.
Saran
Berdasarkan temuan selama penelitian
tindakan, peneliti memberikan beberapa saran
yang agar perilaku verbal bullying dapat
dituntaskan sebgai berikut. Pertama, guru
pembim-bing atau peneliti, perlu menguasai
pengenai pendekatan konseling berfokus solusi
sehingga dapat digunakan secara lebih tepat dan
efektif, peneliti menyadari bahwa pada
penelitian ini peniliti belum menguasai
pendekatan ini, peneliti belajar secara otodidak
melalui pembacaan artikel-artikel di internet.
Oleh karena itu peneliti menyadari masih banyak
kekurangan yang harus diperbaiki. Pengetahuan
mengenai pendekatan konseling singkat
berfokus solusi ini mungkin akan lebih lengkap
dan mendalam jika peneliti mengikuti seminar/
pelatihan/pembelajaran lebih lanjut mengenai
salah satu pendekatan konseling post-modern ini.
Kedua, pihak sekolah perlu mendukung
menurunkan atau bahkan menuntaskan
perilaku bullying verbal dengan menjadi teladan
dan pengingat bagi siswa dalam kehidupan
sehari-hari. Ketiga pihak orang tua, perlu adanya
kerjasama antara sekolah dan orangtua sehingga
kontrol terhadap siswa dapat berjalan dengan
seksama. Dengan demikian diharapkan siswa
dapat berperilaku yang sama antara di rumah
dan di sekolah. Orang tua pun dapat menjadi
teladan dan pengingat bagi siswa untuk
menghentikan perilaku bullying verbal.
Sedangkan untuk saran penelitan lebih
lanjut berdasarkan temuan selama penelitian
tindakan pada beberapa siswa kelas 6 SDK BPK
PENABUR Bintaro Jaya, peneliti memberikan
saran untuk penelitian lanjut sebagai berikut.
Pertama, jika diperlukan penelitian yang lebih
mendalam mengenai menurunkan bullying
verbal melalui pendekatan konseling berfokus
solusi maka pelaksanaan 2 siklus dirasakan
kurang maka bisa ditambahkan kembali.Kedua,
instrumen yang dipakai dalam penelitian ini
sangat sedikit, akhirnya kurang mendapatkan
data secara menyeluruh, oleh karena itu dalam
penelitian lanjut diharapkan ada peneliti yang
bekerja sama dengan guru lain sehingga ada
yang melakukan observasi secara seksama saat
layanan konseling kelompok berlangsung.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
35
Menurunkan Perilaku Bullying Verbal
Ketiga, berdasarkan data saat pendahuluan,
yang dikatakan bahwa 8 dari 10 siswa pernah
melakukan bullying verbal, maka penelitian
lanjut sebaiknya diberikan dengan siswa yang
berbeda, dengan demikian diharapkan
menurunan perilaku verbal bullying dapat
dirasakan dan dilaksanakan khususnya pada
siswa dan teman sebayanya.
Catatan kaki;
Inggried Dwi Wedhaswary, “25 Juta Anak
Mengalami Kekerasan.” (http://nasional.
kompas.com/read/2010/03/19/12074218/
25.Juta.Anak.Indonesia.Alami.Kekerasan)
2
Ibid. h.36
3
William Voors,LC.S.W, Both Sides of the FenceBullying can come in a Variety of Forms. http://
www.isd361.k12.mn.us/bullying.pdf
4
Burhan Fantasi. Solution Focus Brief Counseling.
(http://bimbingandankonseling 07.blogspot.
com/2012/11/sfbc-solution-focus-briefcounseling.html)
5
Burhan Fantasi. Solution Focus Brief Counseling.
(http://bimbingandankonseling07.
blogspot.com/2012/11/sfbc-solution-focusbrief-counseling.html)
6
Burhan Fantasi. Solution Focus Brief Counseling.
(http://bimbingandankonseling07.
blogspot.com/2012/11/sfbc-solution-focusbrief-counseling.html)
1
36
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Daftar Pustaka
Fantasi. B. (2012). Solution focus brief counseling.
(http://bimbingandankonseling07.
blogspot.com/2012/11/sfbc-solutionfocus-brief-counseling.html)
Ginting. R. L., (2013). Efektifitas bimbingan melalui
role playing menanggulangi perilaku bullying
siswa. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesian
Hidayat, D.H. & Badrujaman, A (2012). Penelitian
tindakan dalam bimbingan konseling. Jakarta:
PT. Indeks
Kuntjojo. (2009). Psikologi kepribadian diktatwordpress.com. (http://luluvikar.files
.wordpress.com/2008/04/psikologikepribadian.pdf)
Prayitno, (1999). Dasar-dasar Bimbingan dan
Konseling. Jakarta: Rineka Cipta
Riadi, M. (2013). Layanan konseling kelompok.
http://www.kajianpustaka.com/2013/
01/layanan-konseling-kelompok.html
Vitalis, D.S, (2008). Layanan konseling kelompok.
Diktat Mata Kuliah Bimbingan Konseling
IKIP PGRI Madiun
Wedhaswary, I. D. (2010). 25 Juta anak mengalami
kekerasan (http://nasional.kompas.com/
read/2010/03/19/12074218/
25.Juta.Anak.Indonesia.Alami.Kekerasan)
WL Voor, Perspektive of bullying. http://
www.gobookee.com
Winkel & Hastuti, S. (2008). Bimbingan dan
konseling kelompok. Jakarta: Rineka Cipta
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
Penelitian
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
Yohanes Paiman
E-mail : [email protected]
SMPK BPK PENABUR Cirebon
Abstrak
eberhasilan pembelajaran amat ditentukan oleh faktor kualitas komunikasi yang dibangun
oleh guru dan murid. Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan siswa terdapat
masalah komunikasi antara guru dan murid di SMP Kristen PENABUR Cirebon yang
mengakibatkan pengaruh negatif pada kualitas pembelajaran. Penelitian yang
dilaksanakan dalam Mei 2013 ini bertujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengatasi
distorsi komunikasi itu dengan menggunakan siswa kelas 8A sebanyak 24 orang dan 4 (empat)
orang guru SMPK BPK PENABUR Cirebon. Melalui pengamatan, wawancara, dan angket diperoleh
data yang diolah dan dianalisis untuk mengidentifikasi jenis dan penyebab distorsi serta teknik
teknik mediasi untuk mengatasi masalah sebagai hasil penelitian. Penelitian ini memberikan saran
kepada guru untuk mengatasi masalah distorsi komunikasi dengan murid sehingga dapat terwujud
pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna
K
Kata-kata kunci : Distorsi komunikasi, relasi guru-murid, tipe-tipe relasi, pembelajaran bermakna.
Bridge The Distortion of Communication
Abstract
Instructional effectiveness is mostly ditermined by quality factor of communication between the teacher and
the students. By observing and interviewing the students of SMPK BPK PENABUR Cirebon, some
communication problems between the teacher and the students were discovered and gave negative effects to the
instructional quality. This research, conducted in May 2013, aimed at identifying, analyzing, solving the
communication distortion by using 24 students of 8A class and 4 teachers of SMP Kristen PENABUR
Cirebon. The data collected by observation, interview, and questionnaire concluded the the types and reasons
of communication distortion and futher analysis found the mediation technique as the solution to overcome
the communication distortion. The research recommended a number of suggestions for the teacher to avoid or
to solve the commuication problems to create joyful and meaningful instruction.
Keywords : Communication distrotion, teacher-students relation, relation type, meaningful instruction.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
37
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
Pendahuluan
Efektivitas pembelajaran, kualitas pembelajaran,
dan pencapaian ketuntasan belajar murid amat
bergantung pada kualitas dan intensitas
komunikasi pembelajaran murid dengan
gurunya. Komunikasi pembelajaran yang
dimaksud adalah interaksi guru-murid dalam
melaksanakan proses belajar-mengajar di kelas,
dalam guru memotivasi murid belajar dan dalam
murid berusaha membangun konsep
pengetahuan, sikap, dan perilaku (kognitif,
afektif, konatif) dalam belajar tersebut. Semakin
intensif, komunikatif, dan berkualitas tingkat
komunikasi guru-murid, semakin tinggi hasil
belajar murid. Sebaliknya, semakin terdistorsi
komunikasi guru-murid, semakin rendah hasil
belajar murid. Kondisi terakhir ini harus
dihindari, sebab kedua pihak dapat mengalami
kecemasan, kerugian, kegagalan, serta wibawa
pembelajaran, pendidikan, dan komunikasi
menjadi bias. Sungguhpun demikian hubungan
komunikasi antara murid dan guru dapat terjadi
seperti contoh berikut ini.
Ketika penulis masuk ke kelas 8 A untuk
mangajak mereka belajar menulis, pada awal Mei
2013, penulis menemukan persoalan serius
antara murid dan beberapa gurunya dari cara
mereka berbicara, dan cara melapor Gaya
bicaranya ngotot, terbata-bata, suara lantang,
dan sedikit mendiskreditkan guru termaksud,
sambil terbersit harapan agar saya memberikan
ruang bicara kepada mereka dan membantu
menyelesaikan persoalan ini.
Dari dialog yang terjadi dapat disimpulkan,
murid menganggap setidaknya ada empat guru
bermasalah dan menjengkelkan. Dikaitkan
dengan pelajaran menulis, dalam dialog
berikutnya murid dengan cepat menyusun tema
karangan “Bagaimana Memberantas Guru
Menyebalkan” dan kerangka gagasan yang
lengkap. Tema tersebut dipilih atas kesepakatan
murid dengan penulis, setelah penulis
mengajukan beberapa tema yang aktual tetapi
tidak diterima. Mereka sangat antusias dengan
tema itu karena sangat bermanfaat bagi mereka
sesuai dengan kondisi yang berkembang di kelas
mereka saat itu.
38
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Dari hasil dialog, penulis berasumsi bahwa
di kelas itu terjadi masalah komunikasi yang
serius antara guru dan murid yang berakibat
hubungan dan proses pembelajaran terhambat,
murid cenderung cuek, diam, kurang perhatian,
tidak fokus, dan kurang respon. Mereka
menganggap persoalan berasal dari guru dan
belum dibereskan. Mereka merasa di pihak
benar walaupun kelakuan mereka menjengkelkan guru. Sebaliknya, guru juga sering terpancing marah menghadapi sikap dan kelakuan
murid yang demikian. Kondisi ini tentu sangat
berpengaruh buruk pada proses belajar mereka,
pembelajaran tersendat, beku dan kaku. Kalau
terus dibiarkan, kondisi buruk itu tentu sangat
berpengaruh pada hasil tes pada pelajaran guru
yang bersangkutan. Pertama, karena mereka
kurang sinergis dan kurang proaktif terhadap
guru itu. Kedua, dalam kondisi seperti itu, tentu
mereka tidak termotivasi belajar dan kurang
menyiapkan diri menghadapi tes pelajaran. .
Dengan latar belakang seperti yang telah
dikemukakan, penulis meneliti masalah
komunikasi antara guru-murid itu dengan
rumusan masalah, “Benarkah telah terjadi
distorsi komunikasi antara guru-murid di kelas
8A, dan kalau benar, bagaimana cara
mengatasinya?” Penelitian ini bertujuan untuk
(1) mendeskripsikan hubungan komunikasi
antara guru-murid di kelas 8 A, serta(2)
memberikan saran memecahkan masalah
hubungan komunikasi itu.
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat
untuk (1) guru dan murid dalam memulihkan
komunikasi mereka, (2) guru dan murid dalam
meningkatkan hubungan komunikasi antara
mereka menjadi efektif dan produktif, (3) kepala
sekolah dalam menyusun program pembinaan
guru-murid dan melakukan pembinaan
terhadap guru dan murid, (4) pengawas/penilik
sekolah dalam membina guru dan murid, (5)
peneliti lain dalam melakukan penelitian sejenis
di sekolah lain, dan, (6) penulis dalam mengasah
ketajaman visi terhadap situasi yang
berkembang di kelas, dan menghimpunnya
dalam analisis-sintesis karya tulis yang dapat
dibaca sesama rekan guru, serta memberinya
manfaat.
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
Penentu Keberhasilan dan Kualitas
Pembelajaran
Pembelajaran merupakan ujung tombak praksis
pendidikan. Untuk itu, mutu pendidikan juga
amat ditentukan oleh kualitas pembelajaran di
kelas. Kualitas pembelajaran ditentukan oleh
tujuh faktor berikut: (1) materi pelajaran, (2)
metode pembelajaran, (3) media pembelajaran,
(4) relasi komunikasi, (5) kondisi kelas, (6)
motivasi belajar murid, dan (7) kondisi
lingkungan sekolah. Dari ketujuh faktor tersebut,
faktor relasi komunikasi antara guru dan murid
sangat penting. Pada bagian awal tulisan ini
sudah dipaparkan, tipe relasi/komunikasi yang
tepat, wibawa, gaul, dan produktif perlu
diciptakan oleh guru dan murid. Kondisi
demikian akan mendukung terciptanya
pembelajaran yang didasari komitmen dan
komunikasi hidup, aktif, dinamis, progresif,
produktif, dan multiarah. Sukses komunikasi
dan relasi menjadi dasar sukes pembelajaran
(Tessie Setiabudi & Josua Maruto, 2012: 23-24 ).
Komunikasi antara guru dan murid menjadi
dasar proses dan media transformasi ilmu,
pengetahuan, pengalaman, keterampilan,
pembentukan karakter, dan informasi murid,
sehingga ia menjadi pribadi berwawasan,
beriman, dan berkarakter. Untuk itu, komunikasi
harus dikondisikan baik, positif, produktif,
efektif, nyaman, menyenangkan, dinamis,
bahkan berkualitas. Suasana kelas perlu
kondusif; media pembelajaran perlu berfungsi
optimal dan memotivasi murid; metode
pembelajaran pilihan guru harus tepat,
bervariasi, meningkatkan motivasi belajar, dan
menarik minat belajar murid; kelas dan person
di dalamnya harus bebas dari segala persoalan
yang mengganggu proses komunikasi;
komunikasi harus multiarah, berdampak, dan
bermanfaat; murid harus berani dan terbuka
dalam komunikasi pembelajaran; kelas harus
hidup, progresif, humanis, dan berani
berkomunikasi etis.
Dengan kata lain, guru/pendidik wajib dan
harus mampu menciptakan suasana
pendidikan bermakna, menyenangkan, kreatif,
dinamis, dialogis, berkomitmen profesional
meningkatkan mutu pendidikan, memberikan
teladan dan menjaga nama baik lembaga, tugas/
profesi, dan kedudukan yang dipercayakan
kepadanya (UU Sisdiknas No. 20/2003, pasal
40.2 : 25).
Distorsi Komunikasi
Untuk memahami makna distorsi komunikasi,
berikut penulis deskripsikan beberapa konsep
dari aneka sumber. Pertama, Kamus Besar Bahasa
Indonesia edisi kedua ( 1999 : 238 ) mencatat,
bahwa distorsi dimaknai penyimpangan atau
gangguan di dalam siaran radio yang mengubah
atau mempengaruhi mutu siaran. Distorsi
komunikasi berarti penyimpangan proses
komunikasi sehingga berdampak pada kualitas
penyampaian dan penerimaan pesan. Kedua, AlBarry, (2003 : 147 ) mencatat, bahwa distorsi
dimaknai rongrongan, gangguan, penyimpangan, pemutarbalikan fakta dalam
komunikasi. Ketiga, Aqib ( 2010 : 66 ) mencatat,
bahwa distorsi komunikasi bermakna
komunikasi yang terkena hambatan. Dan
hambatan itu dapat datang dari lingkungan
sekolah; seperti cara penyajian pelajaran guru
yang kurang baik, hubungan guru dan murid
yang kurang baik, hubungan antara murid
dengan murid yang kurang menyenangkan,
kurang nyaman. Keempat, Chandra ( 1997 : 4 )
menyatakan, bahwa distorsi komunikasi adalah
gagalnya/terganggunya proses dan transaksi
pengiriman pesan dari pihak tertentu melalui
media tertentu dalam bentuk/kepingan tertentu
sehingga tidak tercapai sasaran yang
diharapkan dan tidak terjadi hubungan tertentu.
Selain hal tersebut, Hutagalung ( 2007 : 63-67 )
menyatakan, bahwa distorsi komunikasi adalah
sebuah komunikasi yang tidak efektif, pesan
pembicara diterima/tersaji tidak seperti yang
diinginkan pembicara. Ini terjadi karena ada
gangguan pada penyusunan penggalan
informasi pada pembicara, gangguan pada
saluran atau media informasi, dan kemampuan
dan teknik penafsiran pesan pada pihak
penerima pesan/pendengar.
Dalam tulisan ini, distorsi komunikasi
dimaknai (1) gangguan dalam proses
komunikasi pembelajaran yang berdampak
negatif pada kualitas pembelajaran, (2)
gangguan proses komunikasi guru-murid akibat
terjadi sesuatu dalam hubungan mereka yang
berdampak negatif pada proses belajar murid
dan relasi mereka yang lain. (3) Juga dapat
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
39
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
dimaknai, bahwa distorsi komunikasi adalah
komunikasi tidak efektif antara guru-murid
dalam pembelajaran karena terjadi sesuatu yang
tidak mengenakkan di antara mereka.
Distorsi relasi guru dan murid perlu diatasi
dan diselesaikan agar tidak berkepanjangan,
berdampak negatif, dan merugikan kedua pihak,
bahkan kelas dan sekolah itu. Untuk itu
diperlukan mediasi dari pihak-pihak terkait;
yaitu : guru yang dianggap mampu memediasi,
wali kelas, guru BK/BP, bahkan juga pihak
pimpinan sekolah, dan orangtua murid. Langkah
awalnya barangkali guru mediator perlu
menyiapkan dan memberikan prakondisi,
pendampingan, pendekatan, dan pencerahan
yang dapat diterima guru tertentu maupun murid
tersebut, untuk sebuah solusi terbuka, enak,
nyaman, dan medinginkan, bahkan memulihkan
suasana relasi mereka.
Metode Penelitian
Peneilitian ini termasuk penelitian deskriptif
yang dilaksanakan di SMP Kristen PENABUR
Cirebon dalam bulan Mei 2013 ( satu bulan ).
Data diambil dari siswa kelas 8A sebanyak 24
orang dan 4 (empat) orang guru SMP Kristen
PENABUR Cirebon. Pemilihan kelas 8 A sebagai
responden atas dasar tempat terjadinya kasus
dan penetapan guru atas dasar ungkapan murid
yang menganggapnya bermasalah. Dengan
demikian penelitian ini juga dapat dianggap
sebagai studi kasus.
Adapun rincian responden dilihat dari
jenis kelamin tertera pada Tabel 1.
Data dikumpulkan dari responden dengan
teknik diskusi, wawancara, pendampingan,
angket, tanya jawab, dan observasi. Pengumpulan data difokuskan pada komunikasi
pembelajaran antara guru-murid, khususnya
tentang distorsi komunikasi yang terjadi di
antara mereka.
Dalam penelitian ini, guru/penulis (1)
menangkap adanya permasalahan komunikasi
kelas; (2) menetapkan niat membereskan
masalah dengan mengajak murid melakukan
ungkap pendapat aktual melalui menulis tema
pilihan siswa; (3) mencermati ekspos uneg-uneg
murid dalam tulisan mereka dengan melakukan
tolly score ; (4) mengomunikasikan kondisi ekspos
hati murid kepada pihak Guru yang
bersangkutan, Wali Kelas, Guru BP/BK, serta
Kepala Sekolah, serta melakukan pendekatan
dan rencana pemulihan relasi mereka; (5)
mengomunikasikan rencana tersebut kepada
murid, dan diterima/disetujui; (e) melakukan
mediasi di antara kedua pihak; (6) mengamati
perubahan sikap murid dan guru purna
kegiatan mediasi; dan (g) menyusun laporan ini.
Hasil Penelitian
Data Awal Distorsi Komunikasi dan Perkembangannya
Dari keenam metode tarik informasi yang penulis
lakukan di kelas 8A pada bulan Mei 2013
diperoleh data nyata berkaitan dengan kondisi
relasi guru-murid di kelas itu. Deskripsi berikut
menggambarkan sikap dan pandangan negatif
murid pada gurunya yang dipandang kurang
moody dalam berbagai istilah mereka, sekaligus
perubahan sikap mereka setelah dilakukan
pendampingan, pembinaan, dan pencerahan,
diikuti evaluasi dan perbandingan penulis
berkaitan dengan perubahan sikap murid pada
gurunya, dengan variabel frekuensi data
antarsiklus yang tergambar
melalui tabel data pada bab ini.
Tabel 1: Responden Penelitian
Sorotan murid terhadap guru
Jenis Kelamin
yang kurang moody ada empat hal;
No Responden
Jumlah
yaitu
berkaitan
dengan
Laki-Laki Perempuan
performansi guru, gaya bicara
guru, kepribadian guru, dan
1.
Murid
9
15
24
kebiasaan guru. Namun demikian,
2.
Guru
1
3
4
murid juga memberi-kan usulan
solusi bagi masalah komunikasi
Jumlah
10
18
28
mereka. Ini merupakan sebuah
40
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
Tabel 2: Performansi/Tampilan Guru Menurut Murid
No
Aspek Sorotan
Data
Siklus 1
Data
Siklus 2
Evaluasi/Tafsiran Perubahan
Sikap Murid atas Guru
1
Sok berani dan nantang murid
1
1
Masih tetap
2
Sok tahu
1
0
Berubah, positif
3
Suka mlorotin uang siswa
1
0
Berubah, positif
4
Sering marah-marah tak jelas
1
0
Berubah, positif
5
Sok baik, sok bijak
1
0
Berubah, positif
6
Sok wibawa
2
1
Berubah, tapi belum total
7
Suka bikin aturan sendiri
2
0
Berubah, positif
8
Suka njilat Kepala Sekolah
2
0
Berubah, positif
9
Sering tampak galau sendiri
2
0
Berubah, positif
10
Sok kaya/dermawan
2
0
Berubah, positif
11
Belagu/songgong/sok
3
1
Berubah, tapi belum total
12
Sok sibuk
3
1
Berubah, tapi belum total
13
Tak nyadar/nggak nyipak
3
0
Berubah, positif
14
Suka nyindir/ngece/tak terus terang
3
0
Berubah, positif
15
Cara mengajar membosankan/ tak
menarik/kurang moody
4
1
Berubah, tapi belum total
16
Ngasih tugas tak kira-kira banyaknya/ngasih tugas tak jelas menjelang TAS/tak mau kalah dengan
guru lain
4
1
Berubah, tapi belum total
17
Tak mengerti sikon
4
1
Berubah, tapi belum total
18
Sok suci/sok lugu/sok polos
4
0
Berubah, positif
19
Suka ngomporin peristiwa
4
0
Berubah, positif
20
Ngajar tak jelas/tak kuasai materi
5
2
Berubah, tapi belum total
21
Cerewet/bawel
6
2
Berubah, tapi belum total
22
Sok modis/gaya/keren/ ganteng
7
2
Berubah, tapi belum total
23
Sok kuasa/ngatur/ngebos
7
3
Berubah, tapi belum total
72
12/11
Berubah total 12 item
Berubah tak total 11 item
Jumlah : 23 jenis sorotan, dengan
frekuensi
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
41
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
Tabel 3: Rekapitulasi Perubahan Penilaian Performansi Guru
No
Aspek Perubahan
Jumlah
%
Apresiasi
1
Berubah total
12
52,2 Bagus, perlu dijaga terus
2
Berubah, tidak total
11
47,8 Bagus, berubah, namun masih ada PR
Tabel 4: Gaya Bicara Guru Menurut Murid
No
Aspek Sorotan
Data
Siklus 1
Data
Siklus 2
Evaluasi/Tafsiran Perubahan
Sikap Murid atas Guru
1
Tak nyadar/nggak nyipak
1
0
Berubah, positif
2
Terlalu perfeksionis
1
0
Berubah, positif
3
Kurang menghargai siswa
1
0
Berubah, positif
4
Menyebalkan
1
0
Berubah, positif
5
Tidak/sok menyelesaikan masalah
1
0
Berubah, positif
6
Tak bisa menyaring kata-kata
1
0
Berubah, positif
7
Suka kepo/mau tahu saja
1
0
Berubah, positif
8
Suara cempreng
1
1
Tidak berubah, bawaan alam
9
Sok nggelo/ngelawak
2
0
Berubah, positif
10
Sok bijak
2
0
Berubah, positif
11
Suka memfitnah
2
0
Berubah, positif
12
Nyolot
2
1
Berubah, tapi belum total
13
Sok nggosip
2
0
Berubah, positif
14
Ceplas-ceplos/memancing emosi
murid/ blak-blakan
3
1
15
Sok berbahasa Inggris, padahal salah
3
1
Berubah, tapi belum total
16
Bertindak aneh, tak asli, tak alami,
dibuat-buat
3
0
Berubah, positif
17
Rewel/labil
4
2
Berubah, tapi belum total
18
Salah, tapi tak mau ngalah, sok
benar sendiri, merasa diri benar
8
3
Berubah, tapi belum total
39
12/ 6
Berubah total 12 item
Berubah tak total 6 item
Jumlah: 18 jenis sorotan, dengan
frekuensi
42
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Berubah, tapi belum total
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
anugerah Tuhan berupa atensi mereka untuk
berubah dan mengubah situasi buruk menjadi
baik dan kondusif. Ini sebuah sikap orang muda
pada posisi masa adolesens yang perlu kita
hargai dan kita beri respon syukur dan positif.
Tabel 2 menunjukkan data awal potret
buruk relasi mereka, perubahannya, dan kajian
penulis. Dari Tabel 2 dapat dinyatakan bahwa
(1) dari 23 jenis sorotan berjumlah 72 frekuensi,
berubah total sebanyak 12 jenis sorotan dan 11
jenis sorotan belum berubah total; (2) perubahan
dan kondisi angka itu menandai bahwa upaya
mediasi memberi pengaruh besar pada pola
penilaian murid terhadap guru dan kualitas
komunikasi guru-murid dalam aspek sorotan
performansi guru. Rekapitulasi persentase
perubahan kondisi tersebut nyata seperti pada
Tabel 3.
Dari Tabel 4 dapat dinyatakan bahwa (1)
dari 18 jenis sorotan berjumlah 39 frekuensi
berubah total sebanyak 12 jenis sorotan dan 6
jenis sorotan belum berubah total, (2) perubahan
dan kondisi angka itu menandai bahwa upaya
mediasi memberi pengaruh besar pada pola
penilaian murid terhadap guru dan kualitas
komunikasi guru-murid dalam aspek sorotan
gaya bicara guru. Rekapitulasi persentase
perubahan kondisi tersebut seperti pada Tabel
5.
Data Tabel 6 menunjukkan, (1) dari 26
jenis sorotan dengan 73 frekuensi mengalami
perubahan total sebanyak 17 jenis sorotan dan 9
Tabel 5: Rekapitulasi Perubahan Penilaian Gaya Bicara Guru
No
Aspek Perubahan
Jumlah
%
Apresiasi
1
Berubah total
12
66,7 Bagus, perlu dijaga terus
2
Berubah, tidak total
6
33,3 Bagus, berubah, namun masih ada PR
Tabel 6: Kepribadian Guru Menurut Murid
No
Aspek Sorotan
Data
Siklus 1
Data
Siklus 2
Evaluasi/Tafsiran Perubahan
Sikap Murid atas Guru
1
Kurang introspeksi diri/koreksi diri
1
0
Berubah, positif
2
Memaklumi kesalahan anak tercinta
1
0
Berubah, positif
3
Menentang anak melawan/tak sependapat
1
0
Berubah, positif
4
Kelam
1
0
Berubah, positif
5
Semau atau sering membuat aturan sendiri
2
0
Berubah, positif
6
Kurang profesional/mengajar tak jelas
2
1
Berubah, tapi belum total
7
Berpihak kepada murid pintar/kaya
2
0
Berubah, positif
8
Sering salah tanggap/early c onc lution
2
0
Berubah, positif
9
Sok keren/over PD
2
0
Berubah, positif
10
Suka panas hati/bersungut-sungut tak jelas
2
0
Berubah, positif
11
Mengejar hal-hal tak perlu/sok sibuk
2
0
Berubah, positif
12
Sok bijak/sok perfeksionis
2
0
Berubah, positif
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
43
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
No
Aspek Sorotan
Data
Siklus 1
Data
Siklus 2
Evaluasi/Tafsiran Perubahan
Sikap Murid atas Guru
13
Belagu/sombong
2
0
Berubah, positif
14
Pekerjaan/tugas salah sedikit harus
diulang seluruhnya
2
1
Berubah, tapi belum total
15
Sok polos/ceplas-ceplos
2
0
Berubah, positif
16
Memberatkan kesalahan anak
biasa/tak menghargai murid
3
1
Berubah, tapi belum total
17
Suka ngejek/nyindir
3
0
Berubah, positif
18
Berpikir negatif/sugesti kurang positif
3
0
Berubah, positif
19
Ingin dihormati/kekanak-kanakan
4
2
Berubah, tapi belum total
20
Pilih kasih, suka membandingkan murid
4
1
Berubah, tapi belum total
21
Ngomongin dari belakang/nggosip
4
0
Berubah, positif
22
Suka ngomporin, masalah kecil dibesar-besarka
4
0
Berubah, positif
23
Suka marah-marah, senewen, cerewet
4
1
Berubah, tapi belum total
24
Merasa diri paling benar, tak mau kalah
5
2
Berubah, tapi belum total
25
Kurang moody
6
1
Berubah, tapi belum total
26
Mudah galau/labil
7
2
Berubah, tapi belum total
73
17/9
Berubah total 17 item
Berubah tak total 9 item
Jumlah: 26 jenis sorotan, dengan frekuensi
jenis sorotan belum berubah total, (2) perubahan
dan kondisi angka itu menandai bahwa upaya
mediasi memberi pengaruh besar pada pola
penilaian murid terhadap guru dan kualitas
komunikasi guru-murid dalam aspek sorotan
kepribadian guru. Rekapitulasi persentase
perubahan kondisi tersebut nyata seperti pada
Tabel 7. Dari Tabel 8 dapat dinyatakan bahwa
(1) dari 14 jenis sorotan dengan 44 frekuensi
mengalami perubahan total sebanyak 10 jenis
sorotan dan 4 jenis sorotan belum berubah total,
(2) perubahan dan kondisi angka itu menandai
bahwa upaya mediasi memberi pengaruh besar
pada pola penilaian murid terhadap guru dan
kualitas komunikasi guru-murid dalam aspek
sorotan kebiasaan guru. Rekapitulasi persentase
perubahan kondisi tersebut seperti pada Tabel
9.
Tabel 7: Rekapitulasi Perubahan Penilaian Kepribadian Guru
No
44
Aspek Perubahan
Jumlah
%
Apresiasi
1
Berubah total
17
65,4 Bagus, perlu dijaga terus
2
Berubah, tidak total
9
34,6 Bagus, berubah, namun masih ada PR
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
Tabel 8: Kebiasaan Guru Menurut Murid
No
Aspek Sorotan
Data
Siklus 1
Data
Siklus 2
Evaluasi/Tafsiran Perubahan
Sikap Murid atas Guru
1
Sok tahu
1
0
Berubah, positif
2
Suka kepo/mau tahu saja
1
0
Berubah, positif
3
Kurang introspeksi/kurang koreksi diri
1
0
Berubah, positif
4
Sok wibawa
2
0
Berubah, positif
5
Sering salah tanggap/early c onc lution
2
0
Berubah, positif
6
Sok keren/over PD
2
0
Berubah, positif
7
Belagu, songgong, sok
3
0
Berubah, positif
8
Tak nyadar/nggak nyipak
3
0
Berubah, positif
9
Suka ngece/nyindir/tak terus
terang/tak terbuka
3
0
Berubah, positif
10
Cara ngajar membosankan/tak
menarik/ kurang moody
4
2
Berubah, tapi belum total
11
Rewel/labil
4
1
Berubah, tapi belum total
12
Suka marah-marah, tak jelas/senewen
5
2
Berubah, tapi belum total
13
Cerewet/bawel
6
0
Berubah, positif
14
Mudah galau/labil
7
3
Berubah, tapi belum total
44
10/4
Berubah total 10 item
Berubah tak total 4 item
Jumlah: 14 jenis sorotan, dengan frekuensi
Tabel 9: Rekapitulasi Perubahan Penilaian Kebiasaan Guru
No
Aspek Perubahan
Jumlah
%
Apresiasi
1
Berubah total
10
71,4 Bagus, perlu dijaga terus
2
Berubah, tidak total
4
28,6 Bagus, berubah, namun masih ada PR
Pembahasan
Dari deskripsi dan potret perilaku komunikasi
guru-murid yang tergambar pada tabel-tabel di
atas dapat dirumuskan analisis sebagai
berikut.
a. Tipe Relasi Terdistorsi dan Sikap Guru
Ada cukup banyak persepsi buruk murid
terhadap guru dalam berelasi. Ini menandai,
bahwa potret relasi guru-murid terjadi buruk dan
tidak sehat, perlu diagnosis, solusi, dan terapi
terpadu. Banyak pihak (wali kelas, guru BK,
Kepala Sekolah, guru yang disegani murid, guru
tersorot, dan murid tersebut, bahkan orangtua
murid) perlu diajak berdialog, berdiskusi,
membedah persoalan, dan membereskannya
secara bersama, jujur, tulus, visioner, dan
transparan. Transparan berarti, masing-masing
rela mengakui kesalahan, kalau memang salah,
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
45
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
rela meminta maaf, rela memberikan maaf, dan
bersedia membereskan diri dari persoalannya,
bagi kebaikan relasi mereka selanjutnya. Kondisi
relasi buruk ini ditandai oleh empat faktor
seperti nyata pada tabel potret buruk relasi
mereka di atas.
Dari Tabel 2, 4, 6, dan 8 itu dapat dikatakan,
bahwa betapa sentralnya figur guru menjadi
senter perhatian murid di kelas, bahkan mampu
mempengaruhi secara signifikan terjadinya
komunikasi pembelajaran efektif dan
berkualitas. Secara praktis faktor figur dan potret
buruk guru itu dapat diurutkan dari jumlah
frekuensi kecil ke besar seperti berikut.
1. Faktor gaya bicara guru : 18 jenis potret
buruk dengan frekuensi 39 (rata-rata 2,2
frekuensi per jenis potret buruk guru).
2. Faktor kebiasaan guru : 14 jenis figur buruk
dengan frekuensi 44 (rata-rata 3,2 frekuensi
per jenis potret buruk guru).
3. Faktor penampilan guru : 23 jenis potret
buruk dengan frekuensi 72 (rata-rata 3,2
frekuensi per jenis potret buruk guru ).
4. Faktor kepribadian guru : 26 jenis potret
buruk dengan frekuensi 73 (rata-rata 2,9
frekuensi per jenis potret buruk guru).
Dalam upaya penyelesaian masalah,
keempat faktor beserta jumlah variasi dan
frekuensinya perlu manjadi dasar dan prioritas.
Ketepatan menerapkan penyelesaian distorsi
komunikasi berdasar prioritas kondisi di atas
tentu berpengaruh pada sukses upaya pemberesan masalah yang berdampak pada terbangunnya
komunikasi tepat dan efektif, serta kondisi
pembelajaran yang berkualitas dan produktif.
b.
Penyebab Terjadinya Komunikasi
Terdistori
Kondisi komunikasi yang terdistorsi terjadi
dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut.
Pertama, dominansi kondisi siswa di kelas itu.
Secara fisik, kelas dengan 24 murid itu dihuni
siswa sebanyak 9 orang dan siswi sebanyak 15
orang. Jadi jumlah siswi lebih dominan.
Tambahan lagi, murid putri banyak yang lebih
pandai, banyak bicara (alias: cerewet ), kritis,
berani, tegas daripada siswanya. Dalam
banyak ekspos ide dan pengambilan keputusan
saat pembelajaran pun tampak, bahwa peran
siswi sangat dominan. Jumlah siswi yang
46
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
banyak dan kondisi karakter yang menunjang,
menjadikan kelas ini cenderung noisi/riuh.
Apalagi ketika kelas itu berhadapan dengan
figur guru yang menurut mereka kurang oke/
kurang diminati, masalahnya akan tambah
panas, komunikasinya cenderung terdistorsi.
Ini menuntut kehadiran sosok guru yang
berkualitas dalam multiaspek, sehingga
mampu
menanggapi,
mengelola,
mengamankan situasi, dan berkolaborasi
dengan kelas itu bagi terciptanya pembelajaran
yang nyaman dan berkualitas.
Kedua, masa badai-kritis. Usia SMP, kelas 8,
atau usia 14-an tahun, merupakan usia mencari
jati diri, usia membangun identitas, usia
bertualang fisik-psikis, usia berani dan vokal,
usia menentang, usia sulit dinasihati/
diarahkan, usia semau sendiri/nggelo, usia mau
mendebat yang dianggap lawan. Kondisi ini
perlu dihadapi dengan cermat, bijak, sabar,
terbuka, dan penuh pengertian. Untuk itu perlu
dihadirkan sosok guru hangabehi, hangayomi,
hanentremkan. Guru yang menguasai kelas
dengan wibawa dan profesi ( mumpuni ),
melindungi, dan menenteramkan siswa dan
kelas itu.
Ketiga, egosentrik murid. Sifat egosentrik
mengundang sikap pementingan diri. Perhatian
dan perilaku orang lain mesti sejalan dengan
minat dirinya, tertuju, mendukung, menyetujui
kehendaknya, jika tidak, maka kondisi frontal
bisa terjadi. Pihak berseberangan dengan
sifatnya biasanya dilawan karena menciptakan
ketidakamanan dirinya. Untuk itu, kelas
demikian mesti didampingi guru yang sabar,
berintegritas, berkharisma tinggi, disegani
murid, mengerti kelas tanpa kehilangan pamor
diri, tanggap dan tangguh merangkul kelas bagi
kelangsungan dan keuntungan proses
pembelajaran.
c. Dampak Distorsi Komunikasi
Dampak distorsi komunikasi cukup nyata,
signifikan, dan perlu disikapi arif, bahkan perlu
dicarikan solusi holistik, tepat, dan
bermanfaat. Berikut ini aneka dampak yang
timbul dalam relasi pembelajaran di kelas
tersebut.
Pertama, suasana kelas riuh. Kondisi ini
mengganggu terbangunnya konsentrasi kelas.
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
Perhatian terhadap pelajaran jadi bias.
Penguasaan pelajaran tidak optimal.
Pembelajaran lebih banyak untuk pengarahan
dan pembangunan sikon kondusif, walaupun
hasilnya kadang tidak maksimal. Hasil tes
pelajaran guru tersorot rendah, tidak mencapai
KKM.
Kedua, komunikasi dan pembelajaran
terganggu dan kurang kondusif. Pada jadwal
Guru Tersorot, kondisi cukup kritis dan riskan.
Murid sulit diatur dan dikendalikan, sehingga
pembelajaran berjalan tidak efektif. Pada Guru
Gaul dan Berkarisma, kondisi riuh berjalan
singkat saja. Pembelajaran berjalan cukup efektif.
Ketiga, masing-masing mempertahankan
ego, jaga gengsi, jaim. Dalam konteks kondisi ini,
Guru BK dan Kepala Sekolah turun tangan turut
memberikan arahan, penilaian kinerja belajar
murid, menyadarkan mereka, mengingatkan
murid membangun visi, misi, dan tanggung
jawab belajarnya secara positif, dinamis, dan
bermanfaat. Murid perlu menyadari, bahwa
dirinya dikirim ke sekolah untuk belajar, bukan
untuk berseteru dengan guru tertentu yang
kurang sejalan dengan dirinya.
Keempat, murid masa bodoh belajar.
Dampak dari kondisi ini adalah nilai tes
beberapa pelajaran mereka tak maksimal. Ini
merugikan banyak pihak. Kelanjutan kondisi ini
harus dihentikan. Untuk itu, Wali Kelas dan
Guru BK mengundang, atau memberihatukan
halnya kepada orangtua. Misinya, orangtua
tahu/paham, lalu juga melakukan diagnosis
dan terapi sesuai porsinya sebagai orangtua di
rumah. Jadi antara sekolah dan rumah sinkron,
saling topang, saling menyemangati untuk
sama-sama berhasil mendidik dan membimbing
anak, serta lepas dari persoalan komunikasi.
Kelima, ada protes dan ketidakpercayaan.
Kondisi ini amat riskan dan kritis sehingga
perlu dicegah dan dihentikan. Agar permasalahan tuntas, maka diadakan dialog terbuka
antara Tim Sekolah dengan murid/kelas.
Masing-masing dipersilakan berbicara, lainnya
mendengarkan dengan baik dan paham. Ada
moderator yang memandu dialog ini.
Selanjutnya, murid dipersilakan berbicara dulu;
diikuti pihak guru tersorot menyampaikan
keluhannya. Ada kesempatan berkonfirmasi
antarpihak bermasalah. Harapannya, masalah
klir. Komunikasi pulih normal. Pembelajaran
berjalan lancar dan berkualitas. Pihak Sekolah
memoderatori dialog, sambil merancang
kesimpulan untuk diusulkan kepada forum
sebagai sebuah solusi bersama. Demikianlah
langkah final dilakukan, sampai ditemukan
dan disepakati solusi dan suasana damai
semua pihak. Hasil dari mediasi ini dapat
dicermati pada Tabel 2, 4, 6, 8, dan Tabel 3, 5,
7, 9 di atas. Perubahan persepsi dan penilaian
jati diri guru dari murid mengalami perubahan
signifikan. Ada persepsi murid yang berubah
total, ada pula yang masih perlu digiatkan
terus dengan pembinaan dan pengarahan
guru tersaring secara berkelanjutan.
d. Keunikan Kelas
Walaupun terjadi banyak potret persepsi buruk
mereka terhadap guru dalam berelasi, ternyata
murid masih rela memberikan ide untuk solusi
permasalahan. Ini ditandai oleh usulan mereka
seperti terbaca pada Tabel 10.
Dari deskripsi pada Tabel 10 tentang
usulan solusi, mereka menghendaki guru
melakukan sesuatu yang dapat dengan
nyaman mereka terima. Terkait dengan
masalah penampilan, mereka menghendaki
guru bersikap profesional, proporsional; guru
serius menangani masalah siswa/kelas; guru
perlu melakukan dialog terbuka dengan siswa;
guru perlu terus tampil moody, cerah, ceria,
demokratis, disegani. Terkait dengan masalah
gaya bicara, mereka menghendaki guru jangan
banyak bicara; guru jangan lancang bicara;
guru jangan sering atau suka menggsosip.
Terkait dengan masalah kepribadian, mereka
menghendaki guru harus nyipak/nyadar; guru
perlu melakukan introspeksi dan koreksi diri
intens; guru terus menerapkan positive
thinking, jangan negatif; guru perlu tahu dan
peka terhadap sikon yang berkembang di kelas
itu; guru perlu mengenali karakter setiap
muridnya dan dengan itu melayani mereka
maksimal. Terkait dengan masalah kebiasaan,
mereka menghendaki guru memiliki emosi
stabil dan mantap; guru perlu terus berubah
ke arah yang lebih baik; guru perlu terus menata
diri agar kehadirannya dapat diterima murid
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
47
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
Tabel 10: Usulan/Solusi Murid Atas Masalah
No
Frekuensi
Aspek Usulan Murid
1
Guru jangan banyak lancang bicara
1
2
Guru harus profesional
1
3
Guru jangan suka nggosip
1
4
Guru harus tahu/peka terhadap sikon kelas
1
5
Guru jangan berpikir negatif
1
6
Guru harus serius menangani masalah
1
7
Guru perlu mengenali sikap dan karakter
muridnya
1
8
Guru perlu melakukan dialog dengan murid
secara terbuka agar persoalan menjadi jelas
1
9
Guru perlu terus didoakan
1
10
Emosi & perilaku guru harus stabil, hindari
sikap kurang moody
2
11
Guru perlu mengubah diri & sikapnya
3
12
Guru perlu koreksi diri secara intens
3
13
Guru salah harus ditegur dan diberikan sanksi
3
14
Guru harus terus sadar diri/nyipak
7
Jumlah: 14 jenis usulan perubahan guru
27
dan menjadi teladan; guru harus terus didoakan
agar dekat Tuhan dan diberkati, serta layak
melayani.
Berkaitan pula dengan butir usulan di atas
dapat dikatakan, bahwa mereka galau, mereka
diamuk masa badai, namun mereka masih
mempunyai nyali dan niat untuk bebas dari
persoalan. Terlebih lagi, mereka berminat terus
mendoakan guru. Ini merupakan semangat
teologis, mulia, dan bekarakter. Niat mereka
perlu sangat dihargai.
e. Usulan Solusi dan Manfaaatnya
Mengingat sukses dan kualitas pembelajaran
ditentukan salah satunya oleh faktor
komunikasi guru-murid, maka distorsi komu48
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Apresiasi Terhadap
Usulan Murid
1 Semua usulan positif
murid yang dapat
meningkatkan kua
litas, kepribadian,
karakter,
keterterimaan guru
di mata murid itu
baik ditindaklanjuti
karena akan
berdampak positifefektif pada
peningkatan kuali tas
komunikasi
pembelajaran dan
meningkatkan
keberhasil an studi
dan prestasi murid
2 Untuk itu, temuan
ini kiranya dapat
menjadi bagian
perhatian dan
program kerja
Kepala Sekolah
dalam menyu-sun
dan melakukan
program pembinaan
guru; terlebih guru
bermasalah di mata
murid.
nikasi harus dibebaskan. Berikut ini beberapa
usulan pemberesan masalah komunikasi dan
penciptaan relasi yang membangun pembelajaran berkualitas.
Pertama, usulan solusi siswa. Sesuai
dengan deskripsi usulan siswa yang tercantum
pada tabel 10, maka apa pun usulan dan
tuntutan murid perlu diterima, dikaji, disikapi
positif oleh Guru dan Sekolah, serta diwujudkan
dalam praktik pembelajaran nyata. Klarifikasi
positif dan berimbang perlu diciptakan, demi
menenteramkan suasana hati dan perasaan
kedua pihak.
Kedua, perlu dialog. Dialog memungkinkan
kedua pihak melahirkan uneg-uneg dan
keluhannya. Keluar dan terungkapnya beban
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
mereka melalui dialog tentu sangat mendukung
perdamaian yang diharapkan. Moderator dialog
ini perlu dipilih figur bijak, demokratis,
berwawasan luas, dan mampu merangkulmenyatukan dua pihak.
Ketiga, perlu sikap dan semangat keterbukaan. Sikap terbuka muncul atas dasar kejujuran
seseorang. Sikap jujur ini tentu melicinkan dan
melancarkan upaya penyatuan kedua pihak
bermasalah. Untuk itu, perlu dirancang tindakan
yang mampu merangsang dan membangun
sikap jujur dan tulus kedua pihak.
Keempat, perlu menyadari proporsi tugas
masing-masing. Tugas guru itu mengajar,
mendidik, membimbing, melatih, berteladan,
membekali generasi muda, dan siar iman.
Sedangkan tugas murid itu belajar, berlatih,
mendewasakan dan memandirikan diri,
meneladani guru/orangtua, mengenali,
percaya, dan setia kepada Tuhan. Keduanya
perlu berjalan dan berelasi seiring, dinamis,
dan harmonis. Keharmonisan keduanya
mampu menepis silang pendapat mereka.
Kelima, perlu melibatkan banyak pihak
terkait. Ide atau gagasan dari banyak pihak tentu
lebih lengkap dan sempurna. Untuk itu, ketika
permasalahan terjadi dan mencapai ujung
kompleksnya dan dirasa perlu melibatkan
banyak pihak terkait, maka hal itu perlu
ditempuh. Pihak-pihak terkait yang diperlukan
diharapkan mampu berkiprah optimal,
bermanfaat, dan mendukung solusi atas
malasah.
Keenam, perlu koreksi-introspeksi. Koreksi
dan introspeksi merupakan keterampilan
managerial internal yang bermanfaat untuk
membangun diri bertambah baik. Koreksi dan
introspeksi juga merupakan bagian dari sikap
rendah hati seseorang. Dengan sikapnya yang
positif ini, seseorang yang terlibat masalah tidak
akan membesarkan egosentriknya dan proaktif
turut menyelesaikan masalah sesegera mungkin.
Untuk itu, sikap ini perlu terus ditanamkan
dalam diri murid serta semuanya.
Ketujuh, prinsip belajar adalah komunikasi.
Belajar dan sebuah pembelajaran memerlukan
media komunikasi. Untuk itu, jalannya
komunikasi perlu didukung semua pihak.
Komunikasi harus optimal, mendasar, positif,
dan berdampak. Semua pihak harus memikirkan
terbangunnya komunikasi ini, serta mampu
berkomunikasi dengan benar, maksimal, dan
bermanfaat.
Kedelapan, misi murid adalah belajar, dan
misi guru adalah mendampingi murid belajarsukses. Misi masing-masing perlu diwujudkan
maksimal dn sinergis. Masing-masing berjuang
proporsional dan efektif. Jika masing-masing
bertugas sesuai tugas pokok dan fungsinya,
distorsi komunikasi pasti terhindari dan tidak
terjadi. Komunikasi pembelajaran lancar.
Kesembilan, perlu kesiapan, kesabaran,
kelegaan guru menghadapi kekritisan murid.
Setiap manusia, pribadi maupun secara
komunal, guru maupun siapa saja, menginginkan hidup damai, tenteram, dan bersabahat
dengan siapa pun, tanpa masalah yang berarti.
Guru sebagai pembimbing murid hendaknya
mengembangkan dan memiliki sikap sabar,
tulus, dan menerima kekritisan murid.
Sebaliknya, cara murid menyampaikan
kekritisannya perlu juga didasari sikap santun
dan etis. Kondisi itu akan turut mengamankan
relasi yang mereka bangun dalam pembelajaran.
f. Hasil Solusi
Setelah aneka jurus solusi ditempuh dan
dilakukan dan melibatkan banyak pihak terkait
secara ulet, sabar, tekun, dan tangguh, akhirnya
permasalahan dan konflik guru-murid dalam
berelasi pembelajaran dapat teratasi. Beberapa
faktor yang dapat dirasakan sebagai hasil solusi
upaya pemberesan burengnya relasi mereka
dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.
Pertama, masalah selesai Setelah jelas
duduk perkara dan penyebab timbulnya
persepsi buruk relasi mereka, maka masingmasing dapat menerima keadaan, rela
mengampuni, dan masalah selesai. Relasi
mereka pulih baik.
Kedua, hubungan bipihak menjadi normal
dan baik. Kedua pihak menyadari bahwa setiap
persoalan harus dan segera diselesaikan.
Kesadaran mereka membereskan persoalan
menjadi awal pembangunan komunikasi yang
bersahabat dan bermanfaat bagi kehidupan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
49
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
pembelajaran mereka. Pembelajaran kembali
berjalan normal, dinamis, terjaga, dan membanggakan.
Ketiga, kelas terkendali, nyaman. Kelas
menjadi salah satu pusat kegiatan belajar. Untuk
itu, kelas perlu dicipta aman, terkendali,
kondusif, menarik, merangsang mereka berkumpul, membuat mereka kangen berkumpul. Kelas
harus bebas masalah. Kelas yang terkendali
nyaman menjadikan murid krasan belajar,
bahkan lebih kritis dan produktif dalam belajar.
Keempat, murid naik kelas semua. Ukuran
sukses belajar murid di antaranya adalah naik
kelas murni di akhir tahun pelajaran, nilainya
baik atau melampaui KKM, bahkan mereka
sangat berprestasi dalam bidang akademis
maupun noakademis. Murid dan kelas ini
semula bermasalah, namun masalahnya
ditangani serius melibatkan banyak metode,
peran, dan tokoh terkait, sampai masing-masing
menyadari kesalahan dan saling mengampuni,
hati kembali nol/netral dan nyaman penuh
syukur. Hasil akhir yang dapat kami nikmati dan
laporkan di sini adalah, mereka semuanya naik
ke kelas 9. Mereka sukses setelah berdinamika
positif dalam proses pembinaan dan
pembelajaran. Sajian data siklus 1 dan data
siklus 2 setelah proses mediasi menunjukkan
perkembangan positif upaya mediasi kondisi
relasi mereka. Itu dapat dicermati pada tabel 2,
4, 6, dan 8. Puji Tuhan, Allelluya. Sungguh besar
anugerah-Nya. Kami sungguh bersyukur
kepada Tuhan, atas perubahan positif yang
terjadi.
Simpulan
Kesimpulan
Dari kajian di atas, penulis berkesimpulan,
pertama , sukses pembelajaran ditentukan
banyak faktor, seperti : penguasaan materi oleh
guru dan penyajiaannya, penerapan metode
pembelajaran yang tepat, media pembelajaran
yang cocok dan diversifikatif, intensitas dan
produktivitas relasi guru murid, motivasi belajar
murid yang intrinsik dan tinggi, lingkungan
kelas dan sekolah yang menarik dan kondusif,
kemampuan managerial guru, profesionalitas
guru, kreativitas dan kemampuan guru
50
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
memahami dan menerapkan UU Sisdiknas. Dari
kesemua itu dan terkait dengan topik tulisan ini,
maka faktor komunikasi guru-murid harus
menjadi perhatian utama guru, karena
komunikasi merupakan pintu masuk
mengerjakan banyak hal bersama murid,
komunikasi menjadi awal seluruh aktivitas
pembelajaran.
Kedua, murid sekarang bersikap kritis
terhadap guru, terlebih guru yang kurang
disukai. Dalam konteks kajian empirik ini,
mereka menyoroti gurunya dalam hal penampilan, gaya bicara, kesenangan/ kebiasaan
buruk gurunya, maupun kepribadiannya.
Masalah penampilan guru dan kepribadiannya
menempati tingkat sorotan murid cukup serius.
Penampilan guru disorot murid dalam 23 titik
sorot dalam 72 frekuensi. Kepribadian guru
disorot murid dalam 26 titik sorot dalam 73
frekuensi. Masalah ini serius dan perlu
perhatian, bahkan perlu perubahan internal
guru. Kekritisan murid hendaknya tidak
menjadikan sumber kemarahan/emosi guru,
sejauh penyampaian kekritisan murid itu masih
dalam batas wajar, etis, dan misinya positif.
Ketiga, walaupun murid menilai banyak
keburukan guru, mereka ternyata juga memiliki,
bahkan memberikan keperduliannya terhadap
guru agar guru berusaha memperbaiki
keburukan yang d soroti murid. Ini nyata dari
usulan yang murid nyatakan. Ada 14 variasi
usulan dan 27 frekuensi yang perlu diperhatikan
dan ditindaklanjuti. Pelaksanaan dan
pewujudan usulan murid tentu akan membuat
murid puas dan bangga pada guru dan
sekolahnya, karena gurunya bukan penguasa
melainkan figur yang dinamis dan progresif.
Keempat, distorsi komunikasi bisa terjadi
karena beberapa sebab, seperti dominansi kondisi struktur kelas, atau, kelas tidak seimbang,
adanya masa badai kritis murid, dan sikap egosentrik murid. Juga faktor salah paham, kondisi
tertekan, kondisi guru yang nyebelin. Semua itu
berdampak negatif bagi kelas, sehingga kelas
menjadi bureng. Kapan saja kondisi ini muncul,
maka perlu segera diambil tindakan tepat.
Kelima, guru sebagai manager kelas harus
mampu mengelola kelas secara mantap,
dinamis, mampu mengakomodasi banyak aspek
Menjembatani Distorsi Komunikasi Guru-Murid
untuk menciptakan pembelajaran yang efektif
dan berkualitas, melalui sebuah komunikasi
yang efektif.
Keenam, konflik dalam sebuah relasi biasa,
sering, dan bahkan potensial terjadi. Kita perlu
belajar secara akademis maupun empiris untuk
menguasai dan mampu menerapkan managemen konflik. Ini penting agar setiap konflik yang
terjadi dan kita hadapi dapat diselesaikan secara optimal dan berhasil, tidak mengganggu
pro-duktivitas pembelajaran. Hidup dan
pembel-ajaran kita tenteram, penuh suka cita,
tidak galau.
Ketujuh, ketepatan kita menyelesaikan suatu
konflik ternyata memberikan banyak manfaat
yang menggembirakan dan membanggakan.
Namun untuk mewujudkan hal itu diperlukan
keseriusan, keuletan, kesabaran, daya juang,
ketawakalan, dan kerendah-hatian kedua pihak.
Kedelapan, dengan memahami dan menerapkan kesimpulan di atas, diharapkan distorsi
komunikasi dalam pembelajaran tidak terjadi,
sehingga pembelajaran berjalan efektif,
demokratis, produktif, dan berkualitas, bahkan
memenuhi harapan banyak pihak.
Saran
Dari uraian dan kesimpulan di atas, penulis
menyampaikan saran terutama kepada guru.
Pertama, guru dan semua pendidik perlu memahami faktor penentu keberhasilan pembelajaran
agar juga mampu mengimplemen-tasikannya
dalam pembelajaran yang diasuhnya. Dalam
konteks topik karya tulis ini, guru harus mampu
mengelola, menciptakan sistem dan praktik
komunikasi yang nyaman, produktif, dan
berdampak signifikan pada pembelajaran.
Kedua, kekritisan murid terhadap guru, dalam
hal sisi negatif guru, perlu diperhatikan,
ditindaklanjuti, dicarikan solusi agar sorotan
buruk itu tidak menjadi ganjalan dan gangguan
komunikasi pembelajaran mereka. Salah satu
caranya adalah menjaga kualitas, integritas, dan
wibawa diri. Ketiga, di balik sorotan negatif
murid terhadap gurunya, ada sorotan dan
usulan positif murid; yaitu usulan solusi
komunikasi mereka. Ini sikap mulia dan teologis.
Untuk itu, usulan mereka perlu diwujudkan
bersama, demi pulihnya kepercayaan mereka
terhadap guru. Keempat guru harus mampu
menghindari terjadinya distorsi komunikasi di
kelasnya agar pembelajaran di kelas mulus dan
efektif tumbuh berbuahkan kualitas dan prestasi.
Kelima, guru harus mampu menjadi manager dan
komunikator kelas yang berwibawa, penuh
integritas, efektif dan produktif. Keenam, guru
sebagai pendidik harus menguasai managemen
konflik dan mampu mengimplemen-tasikannya
di kelas/sekolah manakala kondisi itu muncul
tanpa diduga. Ketujuh, jika terjadi konflik
komunikasi pembelajaran, kedua pihak, terlebih
guru, harus rela dan dengan rendah hati
menyelesaikannya secara cepat, tepat,
demokratis, dan berimbang.
Daftar Pustaka
Al-Barry, M. Dahlan .(2003). Kamus induk istilah
ilmiah-seri intelektual. Surabaya : Target
Press
Ali, Lukman (Penjab). (1999). Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Kedua. Jakarta :Balai
Pustaka
Aqib, Zainal. (201)0. Profesinoalisme guru dalam
pembelajaran. Surabaya : Insan Cendikia
Chandra, Robby I. (1997). Pemimpin yang handal
dan komunikatif. Jakarta : Bina Warga
Chandra, Robby I. (1998). Menatap Benturan
Budaya : Budaya Kota, Kawula Muda, dan
Media Modern. Jakarta : Bina Warga
Depdiknas.( 2003). UU Sisdiknas No. 20 Tahun
2003. Jakarta : Depdiknas
Hutagalung, Inge. (2007). Pengembangan
kepribadian-tinjauan praktis menuju pribadi
positif. Jakarta : PT Indeks
Rusmana, Nandang. (2009). Bimbingan dan
konseling kelompok di sekolah (Metode, teknik,
aplikasi). Bandung : Rizqi Press
Setiabudi, Tessie & Joshua Maruta. (2012). Cerdas
mengajar (Panduan wajib bagi orangtua dan
guru untuk mendampingi anak-anak menjadi
pemenang ). Jakarta : Grasindo
Slavin, Robert E. (2008). Cooperative learning (
Teori, riset, dan praktik ). Bandung : Nusa
Media
Suparman, Atwi. (1997). Model-model
pembelajaran interaktif. Jakarta : STIA-LAN
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
51
Language Learning Strategies to Improve Language Teaching
Penelitian
Language Learning Strategies to Improve
Language Teaching
Perlando Lubis
E-mail: [email protected]
SMAK 1 BPK PENABUR Bandung
Abstrac
mplementing a strategy in learning a language is generally believed to be important for one
to be a successful or good language learner. This study was designed to investigate the use
of language learning strategies (LLS) and seek out whether or not there is a difference in
using LLS based on the major or elective program (IPA, or Nature or Earth Science, and IPS,
or Social Science) on the 11th Graders of SMAK 1 BPK PENABUR Bandung. A total number of 194
students participated in this research held from February to May 2012: 105 IPA students and 89 IPS
students. These participants were provided with two sets of self-reported questionnaires: Background
Characteristics and Oxford’s Strategy Inventory for Language Learning (SILL). The data were then
computed and analyzed using descriptive statistics and t-test. The research findings were: 1) The
student-respondents were reported to have medium-use level in using LLS and 2) statistical
differences were identified to use each of the six subcategories of LLS concerning with elective
program. IPS students were reported to use four subcategories: social strategy, affective strategy,
metacognitive strategy, and memory strategy more than IPA students. Moreover, the first two strategies were reported to show significant differences between these two groups. This implies that successful language learners implement certain strategies in their learning process. Finally, conducting
such research is beneficial for English teachers to set up a strategy in their teaching activities.
I
Keywords: Good language learners (GLL), language learning strategies (LLS), Oxford’s SILL
Strategi Belajar Bahasa untuk Meningkatkan Pembelajaran Bahasa
Abstrak
Menerapkan strategi dalam proses pembelajaran bahasa dipandang penting bagi seseorang supaya menjadi
pembelajar yang berhasil. Penelitian ini dirancang untuk mengetahui penggunaan Strategi Pembelajaran
Bahasa (SPB) dan mengetahui apakah terdapat perbedaan dalam menggunakan SPB oleh para siswa kelompok
IPA dan IPS Kelas 11 SMAK 1 BPK PENABUR Bandung. Sebanyak 194 siswa kelas 11 berpartisipasi
sebagai responden dalam penelitian yang dilakukan selama Februari-Mei 2012, dengan 105 siswa kelompok
IPA dan 89 kelompok IPS. Seluruh responden diberikan dua set kuesioner yaitu Background Characteristics
dan Strategy Inventory for Language Learning (SILL). Data yang diperoleh kemudian diproses dan
dianalisis dengan menggunakan statistik deskiptif dan t-test melalui SPSS 17.0. Hasil penelitian adalah: 1)
para siswa termasuk katagori menengah dalam penggunaan SPB dan 2) perbedaan statistik diperoleh pada
masing-masing subkatagori berkaitan dengan kelompok atau jurusan. Kelompok IPS menggunakan lebih
banyak SPB daripada Kelompok IPA pada subkatagori social strategy, affective strategy, metacognitive
strategy, dan memory strategy. Dari empat subkatagori ini, subkatagori pertama dan kedua menunjukkan
perbedaan yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan, siswa yang berhasil dalam belajar bahasa
menggunakan strategi tertentu dalam proses belajarnya. Akhirnya melakukan penelitian seperti iini bermanfaat
kepada guru bahasa Inggris dalam kegiatan pembelajaran.
Kata-kata kunci: Pembelajar bahasa yang baik, strategi pembelajaran bahasa, SILL Oxford
52
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Language Learning Strategies to Improve Language Teaching
Introduction
In order to achieve the goals in learning process
or activities to any skills, including language
skills, learners should develop what Brown
(2001: 208) mentions as “strategic investment”
by which they spend time, effort and attention to
the language they are learning and in which they
set up strategies toward the ultimate mastery in
the language itself. Numerous researchers have
demonstrated how language learning strategies
(LLS) are put into practice by the respondentlearners: O’Malley & Chamot, (1990), Oxford et
al., (1985), Griffiths and Parr (2000), Bull and
Yingxin (2001), Wu (2008) and Chang, Liu and
Lee (2007). From this bunch of research there is a
common thread protruding out as pedagogical
implications which lead to a general understanding that implementing LLS is meaningful
to maximize learners’ effective learning.
Therefore, raising learners’ awareness to develop
their LLS is required by teachers to do in their
classroom activities. In relation to this
concluding and suggesting framework, the term
‘good language learner (GLL)’ is widely used to
present what to develop in order to achieve the
goals in the learning process. Naiman, Frohlich,
Stern and Todesco (1978 in Cook, 1991: 79-80)
formulate six common strategies developed by
GLLs. Meanwhile, Rubin and Thompson (1982
in Brown, 2001: 209) propose some generalizations that a GLL is categorized in.
From the writer’s experience and observation, the problematic issue is that there are
schools where English teaching has still been
focused more on the Grammar Translation
Method or Traditional Grammar Method with
developing less on the skills. Focusing more on
this kind of method can be identified by some
major characteristics (Prator and Celce-Murcia
in Brown, 2001: 18-19): 1) Much vocabulary is
taught in the form of lists of isolated words, 2)
Long, elaborate explanations of the intricacies of
grammar are given, 3) grammar provides the
rules for putting words together, and instruction
often focuses on the form and inflection of words,
4) little attention is paid to the content of texts,
which are treated as exercises in grammatical
analysis, and (5) often the only drills are exercises
in translating disconnected sentences from the
target language into the mother tongue.
Since teaching English, like any languages,
is generally understood to focus more on the
development of the four skills – listening,
speaking, reading and writing-the method or
approach to teach the four skills should then be
implemented rather than emphasizing more on
teaching grammar. Also, from the early interview
with some of the respondents, it was found that
they did not recognize that there has been a set of
strategies in language learning by which they
can maximize their achievement and are surely
led to be good language learners. This set of
language learning strategies is applicable to any
languages, including one’s native, national or
even foreign language.
In order to help learners maximize their
achievement in their language learning, not only
teachers’ teaching methods should be developed
or improved but also students’ LLS. Raising
student’s awareness to implement LLS, in the
writer’s opinion, should come first due to what
O’Malley et all (1985: 21) say that “teachers were
generally unaware of their students’ strategies”.
And to raise students’ awareness to whether or
not they have applied strategies or in other words
they do know about their strategic investment in
their LLS, it can be commenced by conducting a
notice to their LLS through research. In
conclusion, the importance of this research was
to develop both the teachers’ and students’
awareness to the fact that there is a set of language
learning strategies applicable to maximize
students’ achievement and to recall teaching
colleagues to be able to identify their students’
LLS and at the same time encourage the students
to use the LLS to maximize their achievement.
However, the scope of this research focuses on
English as the respondents’ foreign language.
Conceptual Framework
One step prior to understand what LLS discusses
about is to know what types of L2 knowledge.
Faerch and Kaseper (1983 in Ellis, 1987: 165-167)
mention that there are two types of L2 knowledge:
declarative and procedural. The former means
“knowing that” and the latter means “knowing
how”. The summary of the two types of L2
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
53
Language Learning Strategies to Improve Language Teaching
knowledge is depicted by the following figure.
According to Rubin (1981: 43 cited in Chang et
al. (2007)) strategies are “the techniques or
devices, which a learner may use to acquire
learning”. Therefore, it can be comprehended that
there are deliberate efforts which are taken by a
language learner while they are in their learning
process in order to maximize their achievement
Declarative knowledge
(i.e. L2 rules and chunks
of speech)
L2
knowledge
social processes/strategies
(i.e. devices for managing
interaction in L2)
procedural
knowledge
for learning L2
(i.e. devices for internalizing or
automatizing L2 knowledge)
cognitive
strategies/
processes
production/reception processes
and strategies
(i.e. devices for using existing
resources automatically)
for using
communication strategies
(i.e. devices for compensating
for inadequate resources)
Figure 1: Types of L2 knowledge
knowledge”. Brown (2001: 210) defines that
strategies are “specific methods of approaching
a problem or task, modes of operation for
achieving a particular end, or planned designs
for controlling and manipulating certain
information”.
O’Malley et al. (1985: 23) state that “language
learning strategies have been broadly defined as
any set of operations or steps used by a learner
that will facilitate the acquisition, storage,
retrieval, or use of information”. Chamot (1987:
71 cited in Chang et al. (2007) provides a
definition of learning strategies “as techniques
approaches or deliberate actions that students
take in order to facilitate the learning and recall
of both linguistic and content area information”.
Cook (1991: 78) shares her opinion that a learning
strategy is “a choice that the learner makes while
learning or using the second language that affects
54
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
in the language learning itself.
In line with LLS, Oxford (1990) has
formulated and then provided the taxonomy of
learning strategies as Table 1.
Naiman, Frohlich, Stern and Todesco (1978
in Cook, 1991: 79-80) provide six general
strategies good language learners demonstrate:
1. GLL strategy 1: find a learning style that
suits you;
2. GLL strategy 2: involve yourself in the
language learning process;
3. GLL strategy 3: develop an awareness of
language both as system and as
communication;
4. GLL strategy 4: pay constant attention to
expanding your language knowledge;
5. GLL strategy 5: develop the L2 as a separate
system;
6. GLL strategy 6: take into account the
Language Learning Strategies to Improve Language Teaching
Table 1: Oxford's LLS System
T yp e
Direct
strategies
Indirect
strategies
Primary
strategies
Secondary strategies
1. Memory
strategies
A.
B.
C.
D.
Creating mental linkages
Applying images and sounds
Reviewing well
Employing action
2. Cognitive
strategies
A.
B.
C.
D.
Practicing
Receiving and sending
Analyzing and reasoning
Creating structure for input and output
3. Compensation
strategies
A.
B.
Guessing intelligently
Overcoming limitations in speaking and writing
4. Metacognitive
strategies
A.
B.
C.
Centering your learning
Arranging and planning your learning
Evaluating your learning
5. Affective
strategies
A.
B.
C.
Lowering your anxiety
Encouraging yourself
Taking your emotional temperature
6. Social
strategies
A.
B.
C.
Asking questions
Cooperating with others
Empathizing with others
demands that L2 learning imposes
Similar to what the six strategies the four
researchers share, Rubin and Thompson (1982
in Brown, 2001: 209) come up with some common
characteristics of good language learners. They
draw 14 points that good language learners:
(1) find their own way, taking charge of their
learning;
(2) organize information about language
(3) are creative, developing a “feel” for the
language by experimenting with its
grammar and words;
(4) make their own opportunities for practice
in using the language inside and outside
the classroom;
(5) learn to live with uncertainty by not getting
flustered and by continuing to talk or listen
without understanding every word;
(6) use mnemonics and other memory strategies
to recall what has been learned
(7) make errors work for them and against them;
(8) use linguistic knowledge, including of their
first language, in learning a second
language;
(9) use contextual cues to help them in
comprehension;
(10) learn to make intelligent guesses;
(11) learn chunks of language as wholes and
formalized routines to help them perform
“beyond their competence”;
(12) learn certain tricks that help to keep
conversations going;
(13) learn certain production strategies to fill in
gaps in their own competence; and
(14) learn different styles of speech and writing
and learn to vary their language according
to the formality of the situation.
In conclusion, language learners’
awareness to implement suitable strategies in the
language learning process is required in order to
maximize their achievement in mastering the
language or developing their language skills.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
55
Language Learning Strategies to Improve Language Teaching
Methodology
Research Questions
This research was aimed to investigate
language learning strategies used by the 11th
graders of SMAK 1 BPK PENABUR Bandung
based the following research questions:
1. What kinds of language learning strategies
do the 11th graders of SMAK 1 BPK
PENABUR Bandung use?
2. Is there any difference in using language
learning strategies based on the learner’s
elective program (IPA or IPS)?
Population
The population of this research was the 11th
graders of the research site, that is, a secondary
school in Bandung. The members of this
population are divided into two parts of
elective programs: IPA (nature or earth science)
with 105 students and IPS (social science) with
89 students. All these 194 11th graders in the
two elective programs of the school, all of
whom were statistically computed.
There are two major programs offered to
the students at the research site, that is,
classical program and non-classical program
or special program. The latter is comprised of
three subprograms: Cambridge International
Programme (CIP), bilingual program and
acceleration program, all of which are in IPA
program. Meanwhile, classical program
consists of IPA and IPS programs.
Instrument of the Research
There are two instruments of questionnaires used
in this research: (a) Respondents’ Characteristics, (b) Strategy Inventory for Language
Learning (SILL).
Respondents’ Characteristics
The researcher designed three questions for the
students-respondents to gather the data
regarding the name, class, and elective program
(IPA or IPS).
The Strategy Inventory for Language Learning
(SILL)
The Strategy Inventory for language Learning
(SILL) (Oxford, 1990) version 7.0 was provided
to the student-respondents in order to know the
56
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
LLS preference each student used and
subsequently to find out the strategy used by
elective program.
The version 7.0 of SILL contained of 50
items, and characterized into six subcategory
of language learning strategy:
(1) memory strategies (items 1 to 9),
(2) cognitive strategies (items 10 to 23),
(3) compensation strategies (items 24 to 29),
(4) metacognitive strategies (items 30 to 38),
(5) affective strategies (items 39 to 44), and
(6 social strategies (items 45 to 50).
The following shows the statements of
each strategy develops by which the
respondents were required to answer based on
what they thought they have implemented in
the course of their learning English.
Table 2: Part A - Memory Strategies
No.
Strategy
1.
I think of relationships between what
I already know and new things I
learn in English.
2.
I use new English words in a
sentence so I can remember them.
3.
I connect the sound of a new English
word and an image or picture of the
word to help me remember the word.
4.
I remember a new English word by
making a mental picture of a
situation in which the word might be
u se d.
5.
I use rhymes to remember new
English words.
6.
I use flashcards to remember new
English words.
7.
I physically act out new English
words.
8.
I review English lessons often.
9.
I remember new English words or
phrases by remembering their
location on the page, on the board, or
on a street sign.
Language Learning Strategies to Improve Language Teaching
Table 3: Part B - Cognitive Strategies
No.
Strategy
Table 4: Part C - Compensation Strategies
No.
Strategy
1 0.
I say or write new English words
several times.
24.
To understand unfamiliar English
words, I make guesses.
11.
I try to talk like native English
speakers.
25.
12.
I practice the sounds in English.
When I can't think of a word during a
conversation in English, I use
gestures.
1 3.
I use the English words I know in
different ways.
26.
I make up new words if I do not
know the right ones in English.
1 4.
27.
I start conversations in English.
I read English without looking up
every new word.
1 5.
I watch English language TV shows
spoken in English or go to movies
spoken in English.
28.
I try to guess what the other person
will say next in English.
29.
If I can't think of an English word, I
use a word or phrase that means the
same thing.
1 6.
I read for pleasure in English.
17.
I write notes, messages, letters, or
reports by dividing it into parts that I
understand.
18.
I fi rst skim an English passage then
go back and read carefully.
19.
I look for words in my own language
that are similar to new words in
English.
20.
I try to find patterns in English.
21.
I find the meaning of an English
word by dividing it into parts that I
understand.
22.
I try not to translate word-for word.
23.
I make summaries of information
that I hear or read in English.
Table 5: Part D - Metacognitive Strategies
No.
Strategy
30.
I try to find as many ways as I can to
use my English.
31.
I notice my English mistakes and use
that information to help me do better.
32.
I pay attention when someone is
speaking English.
33.
I try to find out how to be a better
learner of English.
34.
I plan my schedule so I will have
enough time to study English.
35.
I look for people I can talk to in
English.
36.
I look for opportunities to read as
much as possible in English.
37
I have clear goals for improving my
English skills.
38
I think about my progress in le arning
English.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
57
Language Learning Strategies to Improve Language Teaching
Table 6: Part E - Affective Strategies
No.
Strategy
39.
I try to relax whenever I feel afraid of
using English.
40.
I encourage myself to speak English
even when I am afraid of making a
mistake.
In order to understand the average each
respondent has achieved, the following table
points out the respondent’s position in using the
LLS:
Table 8: Key to Understanding
Respondents' Averages
Average Score
41.
I give myself a reward or treat when
I do well in English.
42.
I notice if I am tense or nervous
when I am studying or using English.
3.5 to 4.4
I write down my feelings in a
language learning diary.
2.5 to 3.4
I talk to someone else about how I
feel when I am learning English.
1.5 to 2.4
43.
44.
Table 7: Part F - Social Strategies
No.
4.5 to 5.0
High
1.0 to 1.4
Remarks
Always or
almost always
u se d
Usually used
Medium
Low
Sometimes
u se d
Generally not
u se d
Never or almost
never used
Strategy
45..
If I do not understand something in
English, I ask the other person to
slow down or say it again.
46.
I ask English speakers to correct me
when I talk.
47.
I practice English with other students.
48.
I ask for help from English speakers
49.
I ask questions in English
50.
I try to learn about the culture of
English speakers.
These SILL 50 items are evaluated on a fivepoint Likert scale ranging from 1 to 5. The
number indicates how often the learner uses the
strategies.
Never or almost never true of me
(1)
Generally not true of me
(2)
Somewhat true of me
(3)
Generally true of me
(4)
Always or almost always true of me (5)
58
Category
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Research Findings And Discussion
The Statistical Package for the Social Science
(SPSS) for Microsoft Windows 17.0 was used to
compute the statistics of the collected data. This
SPSS was used to obtain descriptive statistics,
including frequencies, means, standard
deviations and percentages and the use of
language learning strategies. t-test was
implemented to find out whether there was any
significance of language learning strategies used
by the respondents regarding the gender and
elective program.
Research Question 1
What kinds of language learning strategies do
the 11th graders of SMAK 1 BPK PENABUR
Bandung use?
To investigate the language learning strategies that
the 11th graders grouped in IPA and IPS as their
elective program of the research site use, descriptive
statistics was then applied. Table 2 shows that the
mean of frequency of overall strategy used by the
respondents was 2.95 which is categorized
‘medium’ (which means range from 2.5 to 3.4)
Language Learning Strategies to Improve Language Teaching
Table 9: Summary of Descriptive Statistics for
Language Learning Strategy Use
m<3
LLS
M
m3>
SD
Frequency
%
Frequency
%
Memory
2.71
.581
140
72.2
54
27.8
Cognitive
3.02
.580
99
51.0
95
49.0
Compensation
3.44
. 71 8
59
30.5
135
69.5
Metacognitive
2.95
. 682
106
54.8
88
45.2
Affective
2.62
. 61 5
150
77.4
44
22.6
Social
2.80
.703
128
66.2
66
33.8
Overall
2.95
.481
113
58.0
81
42.0
3.
As it is presented in Table 9, the following
demonstrates the language learning strategies in
order (from the mostly used one to the least used
one) and what the means are categorized based on
Table 8:
1. Compensation strategy (M= 3.44) which is
categorized medium.
2. Cognitive strategy (M= 3.02) which is
categorized medium.
4.
5.
6.
Metacognitive strategy (M= 2.95) which is
categorized medium.
Social strategy (M= 2.80) which is
categorized medium.
Memory strategy (M= 2.71) which is
categorized medium.
Affective strategy (M= 2.62) which is
categorized medium.
Table 10: Summary of Variation in Language Learning Strategy
Use by Elective Program
N
M
SD
LLS
IPA
IPS
IPA
IPS
IPA
IPS
Memory
105
89
2.66
2.76
.578 .580
Cognitive
105
89
3.04
3.00
.537
Compensation
105
89
Metacognitive
105
Affective
t
P
-1.714
.087
.621
.517
.605
3.47
3.41 .706 .732
.826
.409
89
2.90
3.00
.671
691
-1.422
.156
105
89
2.52
2.73
.571 .643
-3.194
.002
Social
105
89
2.69
2.90
.683 .708
-2.933
.004
Overall
105
89
2.90
3.00 .430 .524
-1.961
.051
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
59
Language Learning Strategies to Improve Language Teaching
Research Question 2
Is there any difference in using language
learning strategies based on the learner’s
elective program (IPA or IPS)?
To answer this research question, conducting ttest of equality of means was required and the
relationships between the respondents’ chosen
elective program, either IPA or IPS, and the use
of language learning strategies. The computed
results of this test analysis is performed in Table
4. As present in the table, no significant
differences were identified between IPA and IPS
learners in overall strategy use (t= -1.961, p>.051).
IPA students were identified to have the mean of
frequency 2.90 and IPS students were identified
to have the mean 3.00 in using the language
learning strategy. As a result, IPS students were
reported to use language learning strategy more
than did IPA students.
In line with the six language learning strategies,
Table 4 presented the statistical point that there
was no significant differences in the use of
memory strategy, cognitive strategy,
compensation strategy and metacognitive
strategy by the respondents’ elective program
group (t = - 1.714, .517, .826, and -1.422, p> .05).
Meanwhile, significant differences were
identified in the use of affective strategy and social
strategy (-3.194 and -2.933, p< .05).
On the subject of the means of frequency and
in relation to the significance level, it was also
reported that IPS students used social strategy
and affective strategy more than IPA students. In
terms of social strategy, the means of IPS students
and IPA students were 2.90 and 2.69 and of
affective strategy the means of IPS students and
IPA students were 2.73 and 2.52. In addition, the
differences of means were also found between
IPA students and IPS students regarding with
memory strategy and metacognitive strategy in
which IPS students were reported to use these
two strategies more than IPA students did. The
means of IPS students in using metacognitive and
memory strategy were 3.00 and 2.76 compared
to 2.90 and 2.66 of IPA students’. Meanwhile, it
was reported that IPA students had different
means from those IPS students did in the use of
cognitive strategy and compensation strategy.
Compared to IPA students whose means in the
use of compensation strategy and cognitive
60
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
strategy and were 3.47 and 3.04, IPS students
were reported to have the means of 3.41 and 3.00.
In conclusion, IPS students were reported to
use four subcategories of language learning
strategies, that is, social strategy, affective
strategy, metacognitive strategy, and memory
strategy more than did IPA students. Moreover,
the first two strategies were reported to show
significant differences between these two groups
of students.
In the writer’s opinion, there were two
empirical limitations that might lead to further
research. First, there was insufficient time to
explain each of the fifty items in depth in order
the student-respondents would obtain the
around-the-circle understanding to the items. The
writer took 40-minute teaching period per
classroom to take the data. Comprehending the
items clearly would surely direct to the accuracy
of determining each student’s preference of LLS.
To cope with this feasible bias, overall in all the
classes the writer highlighted some statements
that the students might not understand well or
even misunderstand. For instance, the writer
explained what Strategies 3, 6 7 and 9 (memory
strategies). Also, the writers discussed Strategies
12, 17 and 20 (cognitive strategies; Strategy 26
(compensation strategies); Strategies 33, 34 and
38 (metacognitive strategies); Strategies 40 and
42 (affective strategies) and Strategy 50 (social
strategies). Second, in addition to the SILL
questionnaire, which was then analyzed
quantitatively, having interviews to the students
individually was supposed to be conducted
merely under the objective to obtain very accurate
data confirming each student’s preference of LLS.
However, the writer arguest that it would be
abundant work and take longer time. Therefore,
the writer shared LLS and the SILL strategies to
his English co-teachers who teach the 11 th
graders to implement this study and share with
their students to obtain more accurate LLS.
Meanwhile, the writer also realizes that this
research cannot measure perfectly the students’
LLS which is in this study administered
quantitatively. It should then methodically be
conducted qualitatively by such data collection
techniques as interviews. Administering
interviews is thought to support the findings
done by this study in order the much clearer
Language Learning Strategies to Improve Language Teaching
coverage to the output is obtained. In addition to
this, choosing 11th graders as the respondents is
a good way to obtain the summary of their LLS.
However, the writer has happened to realize that
it should be better to have another similar
research involving or opting the 10th graders the
respondents prior to this study in order the
students’ LLS can be identified as early as they
are in the 10th grade. Therefore, the teachers can
have the early data of their students’ LLS and
later can put an appropriate strategy into practice
to maximize their achievement in English. Of
course, this scheme happens to indicate the
process in the senior high school (Year 10 to Year
12).
Conclusion and Pedagogical
Implications
Conclusion
This research was designed to find out the rate
of using learning strategies applied by the 11th
graders of SMAK 1 BPK PENABUR Bandung as
well as to seek whether there was any difference
in using the language learning strategies (LLS)
between two different groups of 11th graders
based on their elective programs, that is, IPA and
IPS.
It was found that all the 194 students of the
11th graders participating in this research were
categorized medium in using the LLS with the
average of 2.95. Among the six strategies
categorized in the Oxford’s SILL, the most
frequently used strategies was compensation
followed by cognitive, metacognitive, social,
memory and affective. Such means, both the
overall average and each of the six categories
individually, revealed a conclusion that these
respondents had not applied strategies
frequently.
Referring to the data taken from these
respondents based on the two different groups
consisting of 105 IPA students and 89 IPS
students, IPS students were reported to use four
subcategories of LLS than did IPA students. The
four subcategories were (1) social strategies, (2)
affective strategies, (3) metacognitive strategies
and (4) memory strategies. The first two strategies
were reported to show significant differences
between these two groups of students: mean of
2.90 (IPS) to 2.69 (IPA) for social strategies and
2.73 (IPS) to 2.52 (IPA) for affective strategies.
Pedagogical Implications
This summary of data findings conveys the
meaning of how important raising students’
awareness of LLS to achieve the goal to be a GLL
as promoted by Naiman, Frohlich, Stern and
Todesco (1978 in Cook, 1991) and Rubin and
Thompson (1982 in Brown, 2001). Collecting the
data of students’ LLS can be a good start to achieve
the objective since conducting this research
means mapping the students’ strengths and
preference in order teachers and educators can
better understand the class and implement which
strategies to maximize the students’ potentials.
The extension of this is that both teachers
and educators can design or opt learning
materials and methods to be conducted in the
classroom. For example, the class whose students
prefer social strategies can have pair or group
works in a more portion. Students under the rote
learning system intending them to memorize a
lot of information in many of their exams,
therefore are required to use memory strategies.
Meanwhile, students with a genre-based
approach (GBA) in which they are exposed with
relatively abundant reading passages with
various text types can be directed to develop their
compensation strategies or metacognitive
strategies in order to be able to use their reading
techniques including guessing meaning from
contexts or comprehend well unfamiliar words
in the texts by certain knowledge previously
acquired or obtained.
Last but not least, the writer would like to
recommend his teaching colleagues to conduct
the research on LLS as the early step to maximize
the students’ achievement in language learning,
particularly English. It should then be
understood that every (English) language learner
has his or her own preference in using LSS
whether it is memory, cognitive, compensation,
metacognitive, affective or social. Furthermore,
in addition to the scope of the research, that is,
limited to choosing the 11 th graders as the
respondents and finding out the LLS preference
used based on the elective subject (IPA and IPS),
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
61
Language Learning Strategies to Improve Language Teaching
it is recommended to administer another research
based on different graders (the 10th and 12th) or
gender (male students and female ones).
Bibliography
Brown, H. Douglas. (2001). Teaching by Principals:
An interactive approach to language
pedagogy, Second Edition. New York:
Addison Wesley Longman, Inc
Chang, Ching-yi and Shen Ming-chang. (2010).
The effects of belief about language learning
strategy use of Junior High School EFL
learners in remote districts. Taiwan:
Research in Higher Education Journal
Chang, Ching-yi, Shu-Chen Liu and Yi-Nian Lee.
(2004). A study of language learning
strategies used by college efl learners in
Taiwan. Taiwan: Research in Higher
Education Journal
62
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Cook, Vivian. (1991). Second language learning and
language teaching. New York Routledge,
Chapman and Hall, Inc
Feyten, Carine M., Jeffra J. Flaitz and Michella A.
LaRocca. (1999). Consciousness raising and
strategy use. California: Applied
Language Learning. Volume 10.
Numbers 1 & 2. California: Defense
Language Institute Foreign Language
Center
Griffiths, Carol. (2004). Language learning
strategies: Theory and research. Occasional
Paper No. 1. 2004. Auckland: School of
Foundation Studies. AIS St. Helens
Wu, Ya-Ling. (2008). Language learning strategies
used by students at different proficiency
levels. The Asian EFL Journal. Volume 10.
Issue 4
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan
Opini
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan melalui
Pembelajaran Terpadu Berbagai Disiplin Ilmu
Keke Taruli Aritonang
E-mail: [email protected]
SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta
Abstrak
endidikan kewirausahaan bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh (holistik),
sebagai insan yang memiliki karakter, pemahaman, dan keterampilan sebagai
wirausahawan. Pada dasarnya pendidikan kewirausahaan dapat diimplementasikan
secara terpadu dengan kegiatan pendidikan di sekolah, antara lain melalui semua mata
pelajaran, bahan ajar, ekstrakurikuler, maupun pengembangan diri. Tulisan ini menawarkan salah
satu cara menerapkan pendidikan kewirausahaan melalui pembelajaran menulis kreatif puisi
dengan menggunakan konsep terpadu berbagai disiplin ilmu. Mata pelajaran yang dipadukan
adalah bahasa Indonesia, PKn, dan Matematika. Melalui tahap-tahap kewirausahaan yaitu
exploring, planning, doing, communicating, dan reflecting, ditanamkan nilai-nilai kewirausahaan serta
peserta didik memiliki keterampilan dalam menulis kreatif puisi (bahasa Indonesia) bertema HAM
(PKn) dalam bentuk media segitiga atau segiempat (Matematika) yang memiliki nilai jual.
P
Kata-kata kunci : Pendidikan kewirausahaan, menulis kreatif puisi, pembelajaran terpadu, disiplin
ilmu
Integrating Entrepreneurship Education Through Integrated Learning Various Disciplines
Abstract
Entrepreneurship education is intended to build a person holistically as a human being with character,
insight, and skills as an entrepreneur. Principally entrepreneuship education can be practised in integrated
educational activities at school, such as through all subjects, instructional materials, extracurricular programs,
and self-development. This article offers an entrepreneurship education method through poetry creative
writing applying interdisciplinary approach. The integrated subjects consist of Indonesian, Civics, and
Mathematics. Through enterpreunership steps: exploring, planning, doing, communicating and reflecting,
entrepreneurship value is developed and the students possess poetry creative writing skill (Indonesian), with
human rights themes for Civics, and in the forms of triangel and square for Mathematics which are saleable.
Keywords: Entrepreneurhip education, poetry creative writing, integrated instruction, discipline
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
63
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan
Pendahuluan
Mutu hasil pendidikan tidak saja ditentukan
oleh indikator kuantitatif, tetapi yang sangat
penting untuk dicapai adalah indikator
kualitatif yang meliputi: beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadiwarganegara yang demokratis serta
bertanggungjawab. Indikator kualitatif tersebut
berkaitan dengan pembentukan karakter peserta
didik dan berkaitan dengan pembentukan sikap
serta keterampilan/skill berwirausaha peserta
didik sehingga mampu bersaing, beretika,
bermoral, sopan santun, memiliki sikap dan keterampilan/skill berwirausaha, (Kemendiknas,
2010:1)
Berdasarkan penelitian di Harvard
University Amerika Serikat dalam Kemendiknas
(2010), kesuksesan seseorang tidak ditentukan
semata-mata oleh pengetahuan dan
kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih
oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain
(soft skill). Penelitian ini mengungkapkan,
kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh
hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill. Bahkan
orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil
dikarenakan lebih banyak didukung
kemampuan soft skill dari pada hard skill. Hal
ini mengisyaratkan mutu pendidikan karakter,
termasuk karakter kewirausahaan peserta didik,
sangat penting untuk segera ditingkatkan.
Pemerintah telah mengeluarkan Intruksi
Presiden Nomor 4 Tahun 1995 tentang Gerakan
Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Intruksi ini
mengamanatkan kepada seluruh masyarakat
dan bangsa Indonesia untuk mengembangkan
program kewirausahaan. Pemerintah menyadari
bahwa dunia usaha merupakan tulang
punggung perekonomian nasional, sehingga
harus diupayakan untuk ditingkatkan secara
terus menerus. Melalui gerakan ini diharapkan
karakter kewirausahaan akan menjadi bagian
dari etos kerja masyarakat dan bangsa Indonesia,
sehingga dapat melahirkan wirausahawan baru
yang handal dan tangguh. Tetapi sayangnya,
upaya Pemerintah dalam memasyarakatkan
kewirausahaan tersebut belum membawa
64
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
pengaruh yang signifikan karena masih banyak
penduduk yang tidak produktif setiap tahun.
Hal itu memunculkan pertanyaan, seberapa jauh
keberhasilan pelaksanaan Gerakan Nasional
Memasyarakatkan dan Membudayakan
Kewirausahaan yang telah dilakukan sejak
tahun 1995 dan apa dampak dari program itu.
Menurut Kemendiknas (2010:20), untuk
revitalisasi kebijakan Gerakan Nasional
Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan perlunya mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan, mengingat jumlah terbesar
pengangguran terbuka dari tamatan satuan
pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah. Berdasarkan hal itulah pemerintah
mengeluarkan kebijakan pembangunan
Pendidikan Nasional tahun 2010 – 2014, yang
dimaksudkan untuk penerapan metodologi
pendidikan akhlak mulia dan karakter bangsa
termasuk karakter wirausaha.
Dalam Rencana Strategis (Renstra)
Kemendiknas yang termuat dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2010 -2014, Substansi Inti Program
Aksi Bidang Pendidikan adalah peningkatan
akses yang berkualitas, terjangkau, relevan, dan
efisien menuju terangkatnya kesejahteraan
hidup rakyat, kemandirian, keluhuran budi
pekerti, dan karakter bangsa yang kuat.
Pembangunan bidang pendidikan diarahkan
demi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang
didukung keselarasan antara ketersediaan
tenaga terdidik dengan kemampuan: (1)
menciptakan lapangan kerja atau kewirausahaan dan (2) menjawab tantangan kebutuhan
tenaga kerja. Dengan demikian, substansi inti
program aksi bidang pendidikan yang terkait
dengan pendidikan kewirausahaan adalah
perlunya penataan ulang kurikulum sekolah
yang dibagi menjadi kurikulum tingkat nasional,
daerah, dan sekolah sehingga dapat mendorong
penciptaan hasil didik yang mampu menjawab
keutuhan sumber daya manusia untuk
mendukung pertumbuhan nasional dan daerah
dengan memasukkan pendidikan kewirausahaan, di antaranya dengan mengembangkan
model link and match. (Kemendiknas 2010:5).
Realita di lapangan, sistem pembelajaran
saat ini belum sepenuhnya secara efektif
membangun, peserta didik memiliki akhlak
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan
mulia dan karakter bangsa termasuk karakter
wirausaha. Hal ini antara lain ditunjukkan
dengan jumlah pengangguran yang relatif tinggi,
jumlah wirausaha yang masih relatif sedikit, dan
terjadinya degradasi moral.
Kebijakan untuk menanggulangi masalah
ini terutama masalah yang terkait dengan
kewirausahaan antara lain dapat dilakukan
dengan cara: (a) menanamkan pendidikan
menghubungkaitkan konsep-konsep dari
berbagai bidang kajian dalam http://
remenmaos.blogspot.com/2011. Adapun bidang
kajian dalam pembelajaran menulis kreatif puisi
ini adalah menghubungkaitkan tiga disiplin
ilmu sekaligus, yaitu Bahasa Indonesia, PKn, dan
Matematika. Pemahaman akan konsep pembelajaran terpadu melalui pembelajaran menulis
kreatif puisi ini, ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1: Pemahaman Konsep Disiplin Ilmu
Pemahaman Konsep Disiplin Ilmu
KATA KUNCI/KONSEP
Bahasa Indonesia:
- Menulis kreatif
- Puisi
Menulis kreatif puisi berkenaan dengan
peristiwa yang pernah dialami
PKN :
- Hak Azazi Manusia (HAM)
Deskripsi kasus-kasus pelanggaran HAM
Matematika :
- Segi empat
- Segi tiga
Identifikasi macam-macam bentuk segi
tiga dan segi empat.
kewirausahaan ke dalam semua mata pelajaran,
bahan ajar, ekstrakurikuler, maupun
pengembangan diri, (b) mengembangkan
kurikulum pendidikan yang memberikan
muatan pendidikan kewirausahaan yang
mampu meningkatkan pemahaman tentang
kewirausahaan, menumbuhkan karakter dan
ketrampilan/skill berwirausaha, dan (c)
menumbuhkan budaya berwirausaha di
lingkungan sekolah, Kemendiknas (2010:6).
Salah satu cara menanamkan pendidikan
kewirausahaan ke dalam semua mata pelajaran,
adalah menggunakan pembelajaran terpadu
berbagai disiplin ilmu. Salah satu kunci
pembelajaran terpadu yang terdiri atas beberapa
bidang kajian adalah menyediakan lingkungan
belajar yang menempatkan peserta didik
mendapat pengalaman belajar yang dapat
KALIMAT PEMAHAMAN (Suatu
pernyataan dari hasil proses
menghubungkan 3 konsep atau lebih
sehingga menimbulkan pemahaman yang
lebih hakiki dan mendalam).
Pemahaman akan proses kreatifitas menulis
puisi bertema pelanggaran Hak Azazi
Manusia (HAM) berkenaan dengan peristiwa
yang pernah dialami yang dituangkan dalam
bentuk media berbagai segi empat dan segi
tiga.
Ada beberapa manfaat yang diperoleh
dalam pelaksanaan pembelajaran terpadu di
atas, menurut Prabowo (2000:5) antara lain:
pertama, dengan menggabungkan berbagai
mata pelajaran akan terjadi penghematan karena
tumpang tindih materi dapat dikurangi bahkan
dihilangkan.Kedua siswa dapat melihat
hubungan yang bermakna sebab materi
pembelajaran lebih berperan sebagai sarana atau
alat daripada tujuan akhir itu sendiri. Ketiga,
pembelajaran terpadu dapat meningkatkan taraf
kecakapan berpikir siswa. Hal ini dapat terjadi
karena siswa dihadapkan pada gagasan atau
pemikiran yang lebih besar, lebih luas dan lebih
dalam ketika menghadapi situasi pembelajaran.
Kemungkinan pembelajaran yang terpotongpotong sedikit sekali terjadi, sebab siswa
dilengkapi dengan pengalaman belajar yang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
65
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan
lebih terpadu sehingga akan mendapat
pengertian mengenai proses dan materi yang
lebih terpadu. Keempat, pembelajaran terpadu
memberikan penerapan-penerapan dunia nyata
sehingga dapat mempertinggi kesempatan
transfer pembelajaran (transfer of learning).
Kelima, dengan pemaduan pembelajaran
antarmata pelajaran diharapkan penguasaan
materi pembelajaran akan semakin baik dan
meningkat. Keenam, pengalaman belajar antar
mata pelajaran sangat positif untuk membentuk
pendekatan menyeluruh pembelajaran terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan siswa karena
lebih aktif dan otonom dalam pemikirannya.
Motivasi belajar dapat diperbaiki dan
ditingkatkan dalam pembelajaran antar mata
pelajaran. Para siswa akan terlibat dalam
“konfrontasi yang melibatkan banyak pemikiran” dengan pokok bahasan yang dihadapi.
Ketujuh, pembelajaran terpadu membentuk dan
menciptakan struktur kognitif atau pengetahuan
awal siswa yang dapat menjembatani pemahaman yang terkait, pemahaman yang terorganisasi dan pemahaman yang lebih baik.
Berdasarkan manfaat yang telah dikemukakan, pembelajaran terpadu dipilih dalam
menerapkan pendidikan kewirausahaan
melalui pembelajaran menulis kreatif puisi.
Pengertian Kewirausahaan
Menurut Prawirokusuma dalam Kemendiknas
(2010: 15), wirausahawan adalah orang yang
melakukan upaya kreatif dan inovatif dengan
mengembangkan ide dan meramu sumber daya
untuk menemukan peluang dan perbaikan
hidup. Kewirausahaan muncul apabila
seseorang individu berani mengembangkan
usaha dan ide barunya. Kewirausahaan
meliputi semua fungsi, aktivitas dan tindakan
yang berhubungan dengan perolehan peluang
dan penciptaan organisasi usaha. Esensi
kewirausahaan adalah menciptakan nilai
tambah di pasar melalui proses pengkombinasian sumber daya dengan cara baru dan
berbeda agar dapat bersaing. Zimmerer dalam
Kemendiknas(2010: 16), nilai tambah tersebut
dapat diciptakan melalui cara berikut: (1)
pengembangan teknologi baru (2) penemuan
pengetahuan baru (3) perbaikan produk (barang
66
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
dan jasa) yang sudah ada, (4) penemuan caracara yang berbeda untuk menghasilkan barang
dan jasa yang lebih banyak dengan sumber daya
yang lebih
Walaupun di antara para ahli ada yang
lebih menekankan kewirausahaan pada peran
pengusaha kecil, sebenarnya karakter
wirausaha juga dimiliki oleh orang yang
berprofesi di luar wirausaha. Karakter
kewirausahaan ada pada setiap orang yang
menyukai perubahan, pembaharuan, kemajuan
dan tantangan, apapun profesinya. Dengan
demikian, ada enam hakekat pentingnya
kewirausahaan.
1. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang
diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan
sumber daya, tenaga penggerak, tujuan,
siasat, kiat, proses dan hasil bisnis (Ahmad
Sanusi, 1994: 16)
Bila dikaitkan dengan pengertian
entrepreneurship di atas, guru harus
memegang dua peran sekaligus, yaitu
sebagai sutradara sekaligus sebagai
aktornya. Artinya, guru harus berusaha
bertanggung jawab semaksimal mungkin
dalam merencanakan dan melaksanakan
pengajaran kewirausahaan. Guru harus
memiliki sejumlah kemampuan mengaplikasikan berbagai teori belajar dalam bidang
pengajaran, menerapkan metode pengajaran yang efektif dan efisien, memiliki
kemampuan melibatkan siswa untuk
berpartisipasi aktif, dan kemampuan
membuat suasan belajar yang menunjang
agar apa yang telah dirancang, dapat
mencapai tujuan dan tepat waktu.
2. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang
dibutuhkan untuk memulai sebuah usaha
dan mengembangkan usaha (Soeharto
Prawiro, dalam Kemendiknas, 2010:16) .
Melalui pembelajaran menulis kreatif puisi
dengan menggunakan konsep terpadu yang
di dalamnya memadukan tiga mata
pelajaran sekaligus, yaitu Bahasa Indonesia, PKn, dan Matematika ini merupakan
usaha baru bagi guru agar lebih berkreatif
dalam memberikan pembelajaran kepada
siswa.
3. Kewirausahaan adalah suatu proses dalam
mengerjakan sesuatu yang baru (kreatif) dan
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan
4.
5.
berbeda (inovatif) yang bermanfaat dalam
memberikan nilai lebih (Soeharto Prawiro,
dalam Kemendiknas, 2010:16)
Dalam menerapkan pendidikan kewirausahaan ke dalam mata pelajaran, yaitu Bahasa
Indonesia, guru harus berusaha memilih
materi yang cocok yang dapat dijadikan
baru. Misalnya materi menulis, ini sangat
cocok untuk siswa berkreatif dan berbeda
dari tulisan sebelumnya. Apakah itu menulis puisi, cerpen, berita, artikel, dan lain sebagainya dengan kreatifitas yang siswa miliki.
Kewirausahaan adalah kemampuan untuk
menciptakan sesuatu yang baru dan
berbeda (Drucker, dalam Kemendiknas,
2010:16 )
Dalam menerapkan pendidikan kewirausahaan guru berusaha menciptakan sesuatu
yang sudah ada tetapi dengan cara baru dan
berbeda. Misalnya dalam mempublikasikan
karya siswa berupa tulisan, seperti puisi,
tidak harus dalam bentuk buku atau dalam
majalah seperti pada umumnya. Dalam
pembelajaran ini yang dilakukan dalam
mempublikasikan puisi tersebut adalah
siswa melekatkan hasil karyanya tersebut
pada benda yang sering digunakan oleh
mereka. Misalnya pada tas, kotak pensil,
botol minum, gelas, kaos, payung, dan lain
sebagainya.
Kewirausahaan adalah suatu proses
penerapan kreatifitas dan keinovasian
dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki
kehidupan usaha (Zimmerer, dalam
Kemendiknas, 2010:17)
Dalam menerapkan pendidikan kewirausahaan melalui pembelajaran menulis kreatif
puisi, diharapkan siswa tidak hanya
mengembangkan kemampuan membuat
tulisan, tetapi juga kecermatan untuk
membuat argumen, memiliki kemampuan
untuk menuangkan ide atau gagasan
dengan cara membuat tulisan yang menarik
dibaca. Untuk mencapai itu siswa harus
menyusun dan menghubungkan antara
kalimat yang satu dengan kalimat yang lain
sehingga menjadi tulisan yang utuh. Di
sinilah perlunya guru menggunakan berbagai cara agar siswa mampu membuat tulis-
an yang baik dan menarik. Cara yang dapat
dilakukan adalah memanfaatkan media
pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan
variatif, sehingga pembelajaran dapat
berlangsung dengan mengoptimalkan proses dan berorientasi pada prestasi belajar.
6. Kewirausahaan adalah usaha menciptakan
nilai tambah dengan jalan mengkombinasikan sumber melalui cara baru dan berbeda
untuk memenangkan persaingan (Soeharto
Prawiro, dalam Kemendiknas, 2010:17)
Melekatkan hasil karya puisi pada benda
tertentu merupakan usaha menciptakan
nilai tambah. Benda tersebut memiliki nilai
tambah, yaitu adanya puisi yang menarik,
sehingga dapat bersaing dengan benda
yang sama tetapi tidak ada puisinya. Benda
tersebut juga pastinya memiliki nilai jual
yang lumayan.
Berdasakan keenam pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa kewirausahaan adalah
nilai-nilai yang membentuk karakter dan
perilaku seseorang yang selalu kreatif berdaya,
bercipta, berkarya dan bersahaja dan berusaha
dalam rangka meningkatkan pendapatan dalam
kegiatan usahanya. Menurut para ahli
kewirausahaan, ada banyak nilai-nilai
kewirausahaan yang mestinya dimiliki oleh
peserta didik maupun warga sekolah yang lain.
Menurut Mien Uno dalam buku Membentuk Jiwa
Wirausaha (2012:27) karakter yang dibangun
dalam pendidikan kewirausahaan adalah : (1)
pengenalan terhadap diri sendiri, (2) kreatif, (3)
mampu berpikir kritis, (4) mampu memecahkan
permasalahan, (5) dapat berkomunikasi, (6)
mampu membawa diri di berbagai lingkungan,
(7) menghargai waktu, (8) empati, (9) mau berbagi
dengan orang lain, (10) mampu mengatasi stress,
(11) bisa mengendalikan emosi, dan (12) mampu
membuat keputusan.
Menurut Kemendiknas (2010:10), nilai-nilai
yang dikembangkan dalam pendidikan
kewirausahaan adalah pengembangan nilai dari
ciri seorang wirausaha. Ada 17 nilai kewirausahaan yang dianggap paling pokok dan sesuai
dengan tingkat perkembangan peserta didik.
Beberapa nilai-nilai kewirausahaan beserta
deskripsinya yang akan diintegrasikan melalui
pendidikan kewirausahaan adalah sebagai
berikut.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
67
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan
Tabel 2 : Nilai-nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Kewirausahaan
Nilai
Deskripsi
Mandiri
Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas-tugas
Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil
berbeda dari produk jasa yang telah ada
Berani mengambil
risiko
Kemampuan seseorang untuk menyukai pekerjaan yang menantang,
berani dan mampu mengambil risiko kerja
Berorientasi pada
tindakan
Mengambil inisiatif untuk bertindak, dan bukan menunggu, sebelum
sebuah kejadian yang tidak dikehendaki terjadi
Kepemimpinan
Sikap dan perilaku seseorang yang selalu terbuka terhadap saran dan
kritik, mudah bergaul, bekerjasama, dan mengarahkan orang lain.
Kerja keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
menyelesaikan tugas dan mengatasi berbagai hambatan
Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai
orang yang selalu dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan
Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan
Inovatif
Kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka
memecahkan persoalan-persoalan dan peluang untuk meningkatkan
dan memperkaya kehidupan
Tanggung jawab
Sikap dan perilaku seseorang yang mau dan mampu melaksanakan
tugas dan kewajibannya
Kerja sama
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya mampu
menjalin hubungan dengan orang lain dalam melaksanakan tindakan,
dan pekerjaan
Pantang
menyerah (ulet)
Sikap dan perilaku seseorang yang tidak mudah menyerah untuk
mencapai suatu tujuan dengan berbagai alternatif
Komitmen
Kesepakatan mengenai sesuatu hal yang dibuat oleh seseorang, baik
terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
Realistis
Kemampuan menggunakan fakta/realita sebagai landasan berpikir
yang rasional dalam setiap pengambilan keputusan maupun
tindakan/perbuatannya.
Rasa ingin tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui secara
mendalam dan luas dari apa yang dipelajari, dilihat, dan didengar
Komunikatif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan
bekerjasama dengan orang lain
Motivasi kuat
untuk sukses
Sikap dan tindakan selalu mencari solusi terbaik
68
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan
Meredith (dalam Kemendiknas 2010:17)
memberikan ciri-ciri seseorang yang memiliki
karakter wirausaha sebagai orang yang (1)
percaya diri, (2) berorientasi tugas dan hasil, (3)
berani mengambil risiko, (4) berjiwa
kepemimpinan, (5) berorientasi ke depan, dan
(6) keorisinalan. Bentuk ketata kelakuan ciri-ciri
wirausaha nampak pada Tabel 3.
yang bermakna kepada anak didik. Arti
bermakna disini dikarenakan dalam
pembelajaran terpadu diharapkan anak akan
memperoleh pemahaman terhadap konsepkonsep yang mereka pelajari dengan melalui
pengalaman langsung dan menghubungkannya
dengan konsep lain yang sudah mereka pahami.
Pembelajaran terpadu merupakan pendekatan
Tabel 3: Bentuk Ketata Kelakuan Ciri-ciri Karakter Wirausaha
Ciri-ciri
Kewirausahaan
Bentuk Tata - Kelakuan
Percaya diri
1.
2.
Bekerja penuh keyakinan
Tidak ketergantungan dalam melakukan pekerjaan
Berorientasi pada
tugas dan hasil
1.
2.
3.
1. Memenuhi kebutuhan akan prestasi
Orientasi pekerjaan berupa laba, tekun dan tabah, tekad kerja keras
Berinisiatif
Berani mengambil
risiko
1.
2.
Berani dan mampu mengambil resiko kerja
Menyukai pekerjaan yang menantang
Berjiwa
Kepemimpinan
1.
2.
Bertingkah laku sebagai pemimpin yang terbuka terhadap saran
dan kritik.
Mudah bergaul dan bekerjasama dengan orang lain
Berfikir kearah
hasil (manfaat)
1.
2.
3.
4
Kreatif dan Inovatif
Luwes dalam melaksanakan pekerjaan
Mempunyai banyak sumberdaya
Serba bisa dan berpengetahuan luas
Keorisinilan
1.
Berfikiran menatap ke depan Perspektif
Pembelajaran Terpadu Berbagai
Disiplin Ilmu
Cohen dan Manion (1992: 20) dan Brand (1991:
18) dalam http://remenmaos. blogspot.com/
2011 pembelajaran terpadu menunjuk pada
kegiatan belajar yang terorganisasikan secara
lebih terstruktur yang bertolak pada tema-tema
tertentu atau pelajaran tertentu sebagai titik
pusatnya (center core / center of interest). Sedangkan
menurut Prabowo (2000:2), pembelajaran
terpadu merupakan pendekatan belajar
mengajar yang melibatkan beberapa bidang
studi.
Pendekatan belajar mengajar seperti ini diharapkan akan dapat memberikan pengalaman
belajar mengajar yang memperhatikan dan
menyesuaikan dengan tingkat perkembangan
anak didik.
Pendekatan yang berangkat dari teori
pembelajaran yang menolak drill-system sebagai
dasar pembentukan pengetahuan dan struktur
intelektual anak. Langkah awal dalam melaksanakan pembelajaran terpadu adalah pemilihan/
pengembangan topik atau tema, maka sebelum
merancang pembelajaran terpadu, hendaknya
guru mengumpulkan dan menyusun seluruh
pokok bahasan dari semua bidang studi dalam
satu catur wulan, kemudian dilanjutkan dengan
proses perancangan pembelajaran terpadu.
Menurut Depdikbud (1996: 9) dalam http:/
/remenmaos.blogspot.com/2011 pembelajaran
terpadu memiliki kelebihan sebagai berikut : (1)
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
69
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan
Pengalaman dan kegiatan belajar anak akan
selalu relevan dengan tingkat perkembangan
anak, (2) kegiatan yang dipilih sesuai dengan
dan bertolak pada minat dan kebutuhan anak,
(3) seluruh kegiatan belajar lebih bermakna bagi
anak sehingga hasil belajar akan dapat bertahan
lebih lama, (4) menumbuh kembangkan
keterampilan berpikir anak, (5) menyajikan
kegiatan yang bersifat pragmatis sesuai dengan
permasalahan yang sering ditemui dalam
lingkungan anak, dan (6) menumbuhkembangkan keterampilan sosial anak seperti
kerja sama, toleransi, komunikasi dan respek
terhadap gagasan orang lain.
Selain itu, kelebihan pembelajaran terpadu
adalah memiliki pengalaman belajar yang
sangat positif untuk membentuk pendekatan
menyeluruh pembelajaran terhadap pengembangan ilmu pengetahuan siswa karena lebih
aktif dan otonom dalam pemikirannya. Motivasi
belajar dapat diperbaiki dan ditingkatkan dalam
pembelajaran antarmata pelajaran. Para siswa
akan terlibat dalam “konfrontasi yang
melibatkan banyak pemikiran” dengan pokok
bahasan yang dihadapi.
Selain kelebihan pembelajaran terpadu juga
memiliki keterbatasan terutama pada
pelaksanaannya, terutama pada aspek evaluasi
yang lebih banyak menuntut guru untuk
melakukan evaluasi tidak hanya terhadap hasil
tetapi juga terhadap proses. Adapun prinsipprinsip pembelajaran
Terpadu, (Hilda Karli , 2003:53) http://
remenmaos.blogspot.com/2011 yaitu meliputi:
1. Prinsip penggalian tema, yaitu tema harus :
(a) tidak terlalu luas, namun dengan
mudah dapat digunakan memadukan
banyak bidang studi, (b) bermakna artinya
bahwa tema yang dipilih untuk dikaji harus
memberikan bekal bagi siswa untuk belajar
selanjutnya, (c) disesuaikan dengan tingkat
perkembangan psikologis anak, (d)
dikembangkan harus mampu mewadahi
sebagian besar minat anak, (e) tema yang
dipilih hendaknya mempertimbangkan
penstiwa-peristiwa otentik yang terjadi
dalam rentang waktu belajar, mempertimbangkan kurikulum yang berlaku, serta
harapan dari masyarakat, dan juga mempertimbangkan ketersediaan sumber belajar.
2. Prinsip Pelaksanaan Pembelajaran Terpadu, yaitu di antaranya: (a) guru hendaknya jangan menjadi “single actor “ yang
mendominasi pembicaraan dalam proses
belajar mengajar, (b) pemberian tanggung
jawab individu dan kelompok harus jelas
dalam setiaptugas yang menuntut
adanyakerjasamakelompok, dan (c) guru
perlu akomodatif terhadap ide yang
terkadang sama sekali tidak terpikirkan
dalam poses perencanaan.
3. Prinsip Evaluasi, yaitu : (a) memberi
kesempatan kepada siswa untuk melakukan
evaluasi diri di samping bentuk evaluasi
Tabel 4 : Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Konsep Terpadu Bidang Studi
Bidang Studi
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Bahasa Indonesia
Menulis
16. Mengungkapkan keindahan
alam dan pengalaman melalui
kegiatan menulis kreatif puisi.
16.2 Menulis kreatif puisi
berkenan dengan peristiwa yang
pernah dialami
PKn
3. Menampilkan sikap positif
terhadap perlindungan dan
penegakkan
3.2 Mendeskripsikan kasus
pelanggaran dan upaya
penegakkan HAM
Matematika
6. Memahami konsep segi empat
dan segitiga serta menentukan
ukurannya.
6.2 Mengidentifikasikan sifat-sifat
persegi panjang, persegi,
trapesium, jajargenjang, belah
ketupat, dan layang-layang
70
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan
lainnya, dan (b) guru perlu mengajak siswa
untuk mengevaluasi perolehan belajar yang
telah dicapai berdasarkan kriteria
keberhasilan pencapaian tujuan yang telah
disepakati dalam kontrak.
4. Prinsip Reaksi, adalah dampak pengiring
yang penting bagi perilaku secara sadar
belum tersentuh oleh guru dalam kegiatan
belajar mengajar. Karena itu, guru dituntut
agar mampu merencanakan dan
melaksanakan pembelajaran sehingga
tujuan pembelajaran tercapai secara tuntas.
Guru harus bereaksi terhadap reaksi siswa
dalam semua “event” yang tidak diarahkan
ke aspek yang sempit, tetapi ke suatu
kesatuan utuh dan bermakna.
Berdasarkan prinsip pembelajaran terpadu
di atas, maka penulis memilih tema Menulis
Kreatif Puisi, dengan memadukan tiga mata
pelajaran, yakni bahasa Indonesia, PKn, dan
Matematika. Konsep terpadu bersumber dari
KTSP 2006 tingkat SMP kelas 7, yaitu sebagai
tertera dalam Tabel 4.
Berdasarkan SK dan KD di atas, maka
pemahaman konsep disiplin ilmu yang akan
diterapkan adalah dengan menggunakan kata
kunci masing-masing bidang studi sehingga
menghasilkan penggabungan, sebagai berikut .
dalam bentuk media berbagai segitiga atau
segiempat yang memiliki nilai jual.
Langkah-Langkah Pengintegrasian
Pendidikan Kewirausahaan
melalui Pembelajaran Terpadu
Berbagai Disiplin Ilmu
Langkah Pertama : Menjelaskan Materi
Pendidikan Kewirausahaan
Guru terlebih dahulu menjelaskan KD dan
indikator penilaian pembelajaran kewirausahaan dengan menggunakan konsep terpadu
berbagai disiplin ilmu dan membagi kelompok
belajar
Kompetensi Dasar dan Indikator Penilaian
Pembelajaran Terpadu Berbagai Disiplin Ilmu,
yaitu :
a. Kompetensi Dasar Bahasa Indonesia :
Menulis kreatif puisi berkenaan dengan
peristiwa yang pernah dialami
Indikator bahasa Indonesia (penilaian):
• Menjelaskan pengertian dari puisi.
• Menyebutkan dan menjelaskan unsurunsur puisi.
• Menjelaskan bagaimana langkah-langkah
penulisan kreatif puisi.
Menulis kreatif puisi bertema
pelanggaran Hak Azazi Manusia
(HAM) berkenaan dengan peristiwa yang pernah dialami yang
dituangkan dalam bentuk media
berbagai segiempat dan segitiga
PKn
• Hak Azazi Manusia
• Kasus-kasus
pelanggran HAM
Bahasa Indonesia
Menulis kreatif puisi berkenaan dengan peristiwa
yang pernah dialami
•
•
Matematika
Segitiga
Segiempat
Gambar 1: Hasil Penggabungan Konsep Disiplin Ilmu
Hasil yang diharapkan dari penggabungan
konsep disiplin ilmu tersebut adalah
penanaman nilai-nilai kewirausahaan dan
peserta didik dapat memilih produk inovasi
yang sudah dilekatkan puisi bertema HAM
•
Membuat puisi berdasarkan langkahlangkah penulisan kreatif puisi bertema
HAM yang pernah dialami baik di
sekolah, lingkungan rumah, dan
lingkungan masyarakat .
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
71
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan
b.
c.
d.
Kompetensi Dasar PKn : Mendeskripsikan
kasus pelanggaran dan upaya penegakkan
Hak Azazi Manusia (HAM)
Indikator PKn (penilaian):
• Menjelaskan apa yang dimaksud
dengan pelanggaran HAM .
• Menganalisa kasus-kasus pelanggaran
HAM di lingkungan keluarga, sekolah,
dan masyarakat.
• Memilih salah satu kasus pelanggaran
HAM yang pernah dialami.
Kompetensi Dasar Matematika :
Mengidentifikasi sifat-sifat persegi panjang,
persegi, trapesium, jajargenjang, belah
ketupat, dan layang-layang.
Indikator Matematika (penilaian) :
• Menjelaskan pengertian jajargenjang,
persegi, persegi panjang, belah ketupat,
trapesium, dan layang-layang.
• Membuat salah satu frame berbentuk
segiempat atau segitiga.
Membagi kelompok belajar
Setiap kelompok terdiri dari 6 sampai 7
orang. Siswa memilih sendiri anggota
kelompoknya dan menuliskan nama
kelompoknya.
Langkah Kedua : Menulis kreatif puisi
berkenaan dengan peristiwa yang pernah
dialami.
Siswa mendengarkan penjelasan guru
bagaimana langkah-langkah menulis kreatif
puisi berkenaan dengan peristiwa yang pernah
dialami bertema HAM, yaitu sebagai berikut.
Memilih kasus pelanggaran HAM yang
pernah dialami.
Menceritakan kasus pelanggaran HAM
yang pernah dialami.
Mengindentifikasikan kata-kata yang
terdapat dalam cerita tersebut.
Mengubah kata-kata tersebut dengan diksi/
pilihan kata yang sesuai dengan puisi
Menulis puisi sesuai dengan kata-kata yang
telah diubah.
72
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Contoh :
1)
Memilih kasus pelanggaran HAM yang
pernah dialami.
Kasus pelanggaran HAM :
Pernah dikroyok segerombolan siswa SMA
di dalam bis Patas, saat pulang sekolah.
2) Menceritakan kasus pelanggaran HAM
yang pernah dialami
Kejadian ini terjadi ketika saya masih sekolah
di kelas 2 SPG. ketika pulang sekolah saya dan
teman naik bis Patas dariSalemba Raya
maumenujukePerumnasKlender. Bis masih
dalam keadaan kosong melaju dengan pelan
untuk mencari penumpang. Tiba-tibasaatbis di
Matraman, segerombolan pelajar pria berpakaian seragam SMA, mencegatbis. Ada yang
menghalangi jalannya bis dengan cara merentangkan kedua tangannya, ada yang menggedorgedor badan bis dengan berbagai benda yang di
bawa. Gerombolan pelajar itu masuk dengan
beringasnya. Nampaknya mereka mencari-cari
seseorang, karena orang yang dicarinya tidak
ada gerombolan ini tiba-tiba menarik-narik
bajuku dengan kencang dan menanyakan, “anak
sekolah mana elu” dan yang lainnya memukul
kepalaku dengan gulungan karton yang dibawa
mereka. Kepalaku lumayan sakit. Aku dan
temanku hanya terdiam tidak berani melawan
mereka, kenek dan supir pun tidak dapat berbuat
apa-apa. Ketika mereka sudah turun, aku dan
temanku hanya dapat menangis.
3) Mengindentifikasikan kata-kata yang
terdapat dalam cerita tersebut
Pulang sekolah bis Patas kosongmelaju di
Matraman gerombolon pelajar pria mencegat bis menghalangi merentangkan kedua
tangan menggedor badan bis berbagai
benda beringas menarik-narik bajuku
kencang memukul kepalaku gulungan
karton kepala sakit terdiam tidak berani
melawan menangis.
4) Mengubah kata-kata tersebut dengan diksi/
pilihan kata yang sesuai dengan puisi.
5) Menulis puisi sesuai dengan kata-kata yang
telah diubah
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan
Tabel 5: Mengubah Identifikasi
Kata dengan Diksi/Pilihan Kata
yang Sesuai dengan Puisi
Identifikasi
Kata-Kata
Diksi/Pilihan
Kata Lain
Bis Patas
Kendaraan
Kosong
Sepi
Melaju
Melaju
di Matraman
di Matraman
Segerombolan
Gerombolan
Pelajar pria
Laki-laki
Mencegat bis
Menyetop
menghalangi
Menghalangi
Merentangkan
Merentangkan
Kedua tangan
Kedua tangang
menggedor
Menggebrak
Badan bis
Tubuh bis
Beringas
Menyeramkan
Menarik-narik
Menarik-narik
Bajuku
Kemejaku
kencang
Kencang
Memukul
Menghajar
Kepalaku
Kepala
Gulungan
karton
Gulungan
karton
Kepalaku sakit Sakit, nyeri
Terdiam
Tertunduk
Tidak berani
Nyali
Menangis
Menangis
Bringas
Oleh : Keke Taruli Aritonang
Aku melihat,
Gerombolan laki-laki berbaju putih abu-abu
Menyetop dengan paksa tubuh bis
Sontak berhenti
Dan aku melihat
Kedua belah tangan laki-laki berbaju
putih abu-abu
Merentangkan
Menghalangi laju tubuh bis
Lalu aku melihat
Kedua belah tangan laki-laki berbaju putih
abu-abu
Menggebrak, menghajar
Tubuh bis yang oleng ke kanan ke kiri
Aku melihat
Tangan laki-laki berbaju putih abu-abu
berisikan pentungan,
penggaris, ikat pinggang, gulungan
karton
Dan aku melihat
Wajah laki-laki berbaju putih abu-abu
Serupa iblis mengamuk
Lalu aku mendengar suara-suara tidak jelas
sambil menarik-narik bajuku
Aku merasakan
Kepalaku di pukul
Ada rasa sakit mendera
Dan aku tidak dapat melawan
Gerombolan serupa iblis berbaju putih abuabu,
turun meninggalkan tubuh bis
Aku tertunduk, terdiam, lalu menangis
Setelah mendengarkan penjelasan guru
tentang langkah-langkah menulis kreatif puisi,
siswa mengerjakan tugas di rumah, yaitu sebagai
berikut.
Buatlah puisi, masing-masing siswa satu puisi
bertema : HAM
Dengan langkah sebagai berikut:
a) Ceritakan salah satu kasus pelanggaran
HAM yang pernah dialami.
b) Identifikasikan kata-kata yang terdapat
dalam cerita tersebut.
c) Ubah kata-kata tersebut dengan diksi/
pilihan kata yang sesuai dengan puisi
d) Buatlah puisi berdasarkan kata-kata pada
soal c.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
73
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan
Langkah Ketiga : Melaksanakan Tahap
Kewirausahaan
Pada langkah ketiga ini, guru menjelaskan
terlebih dahulu bahwa tujuan belajar
kewirausahaan adalah siswa diharuskan untuk
mempelajari setiap tahap wirausaha agar dapat
mengembangkan gagasan-gagasan yang mereka
miliki untuk menjadi sebuah inovasi. Adapun
tahap-tahap kewirausahaan yang harus
dilakukan siswa, yaitu dengan menggunakan
Learning Cyle, berikut.
Planning
Pada tahap planning ini siswa dapat
merencanakan secara detail apa yang akan
dilakukan untuk menghasilkan produk
yang akan digunakan dalam melekatkan
puisi Hal-hal yang harus direncanakan
dalam tahap ini yaitu : mencatat bahan dan
alat yang diperlukan saat tahap doing,
pembagian tugas antar anggota kelompok,
produk inovasi yang akan digunakan,
anggaran biaya yang diperlukan, target pemasaran, dan lain sebagainya.
Karakter yang ditanamkan pada
tahap planning, adalah: kreatif,
Exploring
berani mengambil risiko, berorientasi pada tindakan, inovatif, dan jujur
3) Doing
Pada tahap doing ini siswa
Reflecting
Planning
diharapkan sudah dapat :
MENULIS
KREATIF
a. Menghasilkan produk inovasi
PUISI
yang berisikan puisi bertema HAM
dalam bentuk segitiga ataupun
segiempat.
b. Membuat iklan/poster sebagai
Doing
Communicating
bahan promosi untuk produk yang
telah dihasilkan
c. Membuat powet point untuk tahap
communicating
Gambar 2: Siklus Belajar
Karakter yang ditanamkan pada
Sumber: Ciputra dalam Makalah Managing Entrepreneurship tahap doing, adalah: pantang
Curriculum oleh Ciputra Entrepreneurship School
menyerah, motivasi kuat untuk
sukses, kerja sama, kreatif, inovatif, dan
kerja keras
1) Exploring
Pada tahap exploring siswa diharuskan 4) Communicating
Pada tahap communicating siswa dapat :
mencari sendiri teori-teori tentang puisi
mempersentasikan hasil Learning Cyle
(pengertian, jenis-jenis puisi, unsur-unsur
kewirausahaan yang selama ini dilakukan,
puisi, langkah-langkah penulisan kreatif
dan produk yang telah dihasilkan di hadappuisi), HAM (pengertian pelanggaran
an teman, guru, bahkan orang tua siswa.
HAM, kasus-kasus pelanggaran HAM di
Karakter yang ditanamkan pada tahap
lingkungan keluarga, sekolah, dan
communicating, adalah: kepemimpinan, dan
masyarakat, salah satu kasus pelanggaran
komunikatif
HAM yang pernah dialami), segitiga dan
segiempat (pengertian, jenis/bentuk 5) Reflecting
Di tahap reflecting guru dan siswa
segitiga dan segiempat). Teori tersebut dapat
mengadakan evaluasi untuk menemukan
diambil dari browsing internet, buku-buku,
hal-hal yang dapat diperbaiki dan
dan lain sebagainya.
dikembangkan.
Karakter yang ditanamkan pada tahap
Karakter yang ditanamkan pada tahap
exploring ini adalah: mandiri, kerja keras,
reflecting, adalah: komitmen, realistis, dan
tanggung jawab, kerja sama, dan rasa ingin
jujur
tahu
74
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
2)
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan
Langkah Keempat : Menyusun Rubrik
Penilaian
Pada langkah keempat ini guru menyusun rubrik
penilaian yang akan digunakan untuk penilaian
akhir pembelajaran kewirausahaan. Membuat
jadwal tampil presentasi. Membuat undangan
untuk orang tua murid yang akan diundang
pada saat anaknya tampil presentasi. Membuat
kuesioner yang akan diisi oleh orang tua pada
saat siswa tampil presentasi. Berikut ini Tabel 5
Tabel 5: Rubrik Penilaian Tahap Akhir Pendidikan Kewirausahaand engan
Menggunakan Pembelajaran Terpadu Berbagai Disiplin Ilmu Kelas VII
Kriteria Penilaian
Nama
Kelompok
Kelas
Kelancaran
Berbicara
(5 - 20)
Kemampuan
Berkomunikasi
(5 - 20)
Tabel 6: Jadwal Tampil Tahap Akhir
Pendidikan Kewirausahaan
denganMenggunakan Pembelajaran
Terpadu Berbagai Disiplin Ilmu Kelas VII
Materi
Presentasi
(5 - 30 )
Hasil
Produk
(5 - 30 )
Jumlah
dan 6 adalah rubrik penilaian, jadwal tampil
presentasi, dan kuesioner.
Langkah kelima : Memberikan Pengarahaan
Pada langkah kelima ini guru memberikan
Nama
pengarahan kepada siswa mengenai kapan
No.
Kelompok/Nama Kelas Waktu
harus mengumpulkan produk yang sudah
Undian
Siswa
dilekatkan puisi, memberikan format jadwal
tampil, membagi surat undangan untuk orang
tua, memberitahukan kriteria penilaian presentasi, dan lain sebagainya
yang berhubungan dengPetunjuk Pengisian : Centanglah kriteria penilaian yang
an tahap akhir pembelsesuai dengan penampilan kelompok
ajaran kewirausahaan.
Nama Kelompok :
Kelas :
Kriteria Penilaian
Fokus Penilaian
Kurang Cukup Baik
Siswa menguasai materi
presentasi
Suara terdengar dengan
jelas
Presentasi dilakukan
dengan lancar
Penyampaian ide mudah
dimengerti
Mempersentasikan materi
dengan percaya diri
Sangat
Baik
Langkah Keenam :
Memberikan Penilaian
dan Evaluasi
Pada langkah keenam, ini
tim penilai (guru dan
wakil kurikulum), bersama
orang tua siswa memberikan penilaian dan evaluasi untuk memberikan
kritik, pujian, dan masukan agar lebih baik lagi ke
depannya pada masingmasing kelompok yang
sudah tampil presentasi.
Memberikan apresiasi
(berupa hadiah) kepada
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
75
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan
kelompok terbaik dalam presentasi dan produk
inovasi yang dihasilkan.
Simpulan
Kesimpulan
Penerapan Pendidikan kewirausahaan melalui
pembelajaran menulis kreatif puisi dengan
menggunakan konsep terpadu berbagai disiplin
ilmu, diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran ini memiliki beberapa keunggulan sebagai
berikut.
Pertama, melalui pembelajaran dengan
konsep memadukan mata pelajaaran bahasa
Indonesia, Pkn, dan matematika akan terjadi
penghematan karena tumpang tindih materi
dapat dikurangi bahkan dihilangkan, berpusat
pada anak (student centered), proses pembelajaran
mengutamakan pemberian pengalaman
langsung, serta pemisahan antar bidang studi
tidak terlihat jelas. Disamping itu pembelajaran
terpadu menyajikan konsep dari berbagai bidang
studi dalam satu proses pembelajaran dan
pembelajaran terpadu juga memberikan hasil
yang dapat berkembang sesuai dengan minat
dan kebutuhan anak.
Kedua, melalui tahap-tahap kewirausahaan
yang dilakukan, siswa terlatih untuk memiliki
jiwa, sikap dan perilaku wirausaha, yaitu : a)
penuh percaya diri, ketika siswa tampil dalam
mempersentasikan hasil belajar mereka, penuh
keyakinan, optimis, disiplin, berkomitmen, dan
bertanggungjawab dalam mengerjakan tugastugas yang diberikan, b) memiliki inovasi, dalam
menemukan produk inovasi yang akan
dilekatkan pada puisi, c) memiliki motif
berprestasi dengan membuat puisi bertema HAM
yang baik sesuai dengan langkah-langkah yang
telah diajarkan, d) memiliki jiwa kepemimpinan,
siswa berani tampil beda, dapat dipercaya, dan
tangguh dalam bertindak, e) berani mengambil
resiko, ketika siswa harus memperhitungkan
anggaran dana yang dibutuhkan dalam
membeli, mencari, memilih produk yang cocok
untuk digunakan dalam melekatkan pusi.
Ketiga, melalui tahap-tahap kewirausahaan
yang dilakukan, siswa terlatih untuk berpikir
kreatif dan bertindak inovatif sehingga
76
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
tantangan yang dihadapi selama menjalankan
tahap-tahap tersebut dapat teratasi dan
terpecahkan.
Keempat, pembelajaran kewirausahaan
akan sangat mudah dilaksanakan apabila
adanya kerjasama antara guru, kepala sekolah,
wakil kepala sekolah, serta orangtua siswa yang
mendukung.
Saran
Dalam mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan melalui pembelajaran terpadu berbagai
disiplin ilmu, atau materi lainnya, yang penulis
dapat sarankan adalah :
1. Dalam Penyusunan rencana pembelajaran,
guru harus melakukannya dengan matang,
terutama yang berkaitan dengan kebutuhan,
karakter, dan minat siswa.
2. Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru
harus dapat menyusun langkah-langkah
pembelajaran secara sistematis, memberikan bimbingan yang maksimal, dan dapat
menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan, sehingga proses pembelajaran kewirausahaan dapat berjalan sesuai
dengan jadwal yang sudah dibuat.
3. Dalam penilaian, guru harus terbuka
kepada siswa agar siswa sungguh-sungguh
mengerjakan tugas yang diberikan,
sehingga hasilnya maksimal.
Semoga pengintegrasian pendidikan
kewirausahaan melalui pembelajaran terpadu
berbagai disiplin ilmu yang penulis paparkan
ini dapat memberi manfaat dan menjadi contoh
bagi teman-teman guru bahasa Indonesia
khususnya guru yang bekerja pada Yayasan
BPK PENABUR.
Daftar Pustaka
Ciputra, dkk. (2011). Ciputra Quantum Leap 2
Kenapa & bagaimana entrepreneurship
mengubah masa depan bangsa dan masa
depan anda. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo
Ciputra dalam Makalah Managing Entrepreneurship Curriculum oleh Ciputra Entrepreneurship School
Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan
Desy Retno Kencono, dkk. (1992). Pelajaran
Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia SMP.
Surabaya: Kendang Sari
Dinas Pendidikan Dasar. (2006). Kurikulum
satuan pendidikan tingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Dinas Pendidikan Dasar. (2006). Kurikulum
satuan pendidikan tingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta
Dinas Pendidikan Dasar. (2006). Kurikulum
satuan pendidikan tingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Matematika. Jakarta:
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
http://remenmaos.blogspot.com/2011
Kementrian Pendidikan Nasional Badan
Penelitian dan Pengembangan. (2010)
Bahan pelatihan pengembangan pendidikan
kewirausahaan. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Pusat Kurikulum
Nurgiyantoro, Burhan. (2002). Teori pengkajian
fiksi. Gajah Mada University Press
Riduwan, Drs. (2006). Belajar mudah penelitian
untuk guru karyawan dan peneliti pemula.
Bandung: Alfabeta
Sudjana, Nana. (1991). Penilaian hasil proses
belajar mengajar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Supratman dan Yani Maryani. (2006). Intisari
sastra Indonesia untuk SLTP. Bandung:
Pustaka Setia
Tarigan, H.G. (1985). Menulis sebagai suatu
keterampilan berbahasa. Bandung: Penerbit
Angkasa
Wijatno, Serian. (2012). Entrepreneurship untuk
SMP. Jakarta: Salemba Empat
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
77
Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013
Opini
Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi
dalam Kurikulum 2013
Desmon Simanjuntak
E-mail: [email protected]
Kurikulum dan Evaluasi BPK PENABUR Jakarta
Abstrak
i dalam struktur Kurikulum 2013, teknologi informasi dan komunikasi tidak lagi sebagai
mata pelajaran yang diajarkan, akan tetapi teknologi informasi dan komunikasi akan
menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran. Artinya, meskipun tidak
dicantumkan sebagai mata pelajaran, namun keterampilan menggunakan peralatan
teknologi informasi dan komunikasi mutlak digunakan untuk kelancaran proses pembelajaran.
Keterampilan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dibutuhkan untuk melakukan
pengindividualisasian pembelajaran pada semua mata pelajaran. Permasalahannya ialah
bagaimana teknis pengintegrasian ke dalam mata pelajaran lain? bagaimana nasib guru-guru
yang selama ini mengajar mata pelajaran teknologi informasi dan komunikasi? Tulisan ini
membahas bagaimana peranan teknologi informasi dan komunikasi dalam Kurikulum 2013,
bagaimana memilih dan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam mendukung
pembelajaran. Tulisan ini juga memberikan saran kepada pihak-pihak terkait dalam
penyelenggaraan pendidikan pada umumnya dan pembelajaran pada khususnya.
D
Kata-kata kunci: Kurikulum 2013, teknologi informasi dan komunikasi, lingkungan pembelajaran,
kompetensi guru.
Role of Information and Communication Technology in 2013 Curriculum
Abstract
In the 2013 Curriculum, the information technology and communication (ICT) is no longer taught as a
separate subject, but it will function as a means of learning in all subjects . Applying ICT in all instructional
processes indicates it can facilitate the students in learning and improve their performance. Variety of
learning styles can be overcome and individual learning can be be performed by by using ITC under one
condition the teacher has skills to organize. This article discusses how to design, develop, and integrate ITC
into instructional process. The discussion also focuses on the implementation of the 2013 Curriculum related
to the ITC application to support. Beside the technical skill the teacher should posess as well as the required
instructional environment, this article also gives some recommendation how to optimize the use of ITC
particularly in the instructional practices to omrove the students’ learning outcome.
Keywords: 2013 Curriculum , the information and communication technology, the instructional environment,
teacher competence.
78
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013
Pendahuluan
Salah satu hal yang menarik dalam perubahan
Kurikulum 2013 adalah dihilangkannya mata
pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK), sehingga menimbulkan pro dan kontra
baik dari pihak akademisi maupun praktisi
pendidikan. Di dalam struktur Kurikulum 2013,
TIK tidak lagi sebagai mata pelajaran yang
diajarkan, akan tetapi TIK akan menjadi sarana
pembelajaran pada semua mata pelajaran,
artinya mata pelajaran TIK tidak akan diajarkan
lagi di sekolah dasar dan menengah, akan tetapi
TIK menjadi alat bantu guru (tools) pembelajaran
pada semua mata pelajaran. Pertanyaan yang
muncul kemudian, bagaimana teknis pengintegrasian ke dalam mata pelajaran lain?
Bagaimana nasib guru-guru yang selama ini
mengajar mata pelajaran TIK? Karena di dalam
penjelasan Kurikulum 2013 tersebut, TIK hanya
berperan sebagai sarana pembelajaran dalam
hal ini sebagai alat bantu di dalam proses
pembelajaran.
Sebenarnya struktur Kurikulum 2013 tidak
mencantumkan mata pelajaran TIK sebagai mata
pelajaran di sekolah dasar dan menengah.
Berkenaan dengan diterapkannya Kurikulum
2013, mata pelajaran TIK terintegrasi pada semua
mata pelajaran. Artinya, meskipun tidak
dicantumkan sebagai mata pelajaran, namun
keterampilan menggunakan peralatan TIK
mutlak digunakan untuk kelancaran proses
pembelajaran. Keterampilan menggunakan
teknologi informasi dan komunikasi dibutuhkan
untuk melakukan pengindividualisasian
pembelajaran pada semua mata pelajaran. Jika
Kurikulum 2013 diterapkan maka semua kelas
akan memiliki satu unit komputer/ laptop untuk
setiap peserta didik. Sehingga nantinya peserta
didik akan menggali pengetahuannya dari
peralatan TIK.
Dalam kaitan itu, peranan guru dalam
Kurikulum 2013 adalah sebagai fasilitator,
mediator, dan motivator yang membantu peserta
didik memecahkan masalah belajar yang
dialaminya. Artinya, bukan perkara mudah
merubah mindset para guru dari sebelumnya
sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi
fasilitator dalam proses pembelajaran, sehingga
diperlukan kebijakan yang mendukung guru
untuk terus menerus belajar dan melatih dirinya
dengan pengetahuan dan keterampilan
menggunakan TIK. Namun permasalahan yang
muncul kemudian adalah, media dan peralatan
TIK mana yang digunakan oleh guru dalam
proses pembelajaran? Apakah media dan
peralatan TIK tersebut dapat memenuhi gaya
belajar peserta didik, memenuhi karakteristik
peserta didik yang berbeda? Dan bagaimana
dengan kemampuan awal peserta didik
terhadap media dan peralatan TIK tersebut?.
Hal tersebut merupakan sekelumit masalah
dalam pengadaan media dalam proses
pembelajaran yang didalamnya terintegrasi
kemampuan teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, kendala terbesar saat ini
adalah apakah guru mampu merancang dan
menghasilkan media pembelajaran yang
berbasiskan teknologi informasi dan komunikasi
yang memenuhi gaya belajar peserta didik?
seperti media pembelajaran berbasis komputer,
multimedia, animasi, audio video dan media
pembelajaran berbasis website.
Faktanya saat ini bahwa kemampuan guruguru pada beberapa sekolah belum memadai
untuk menghasilkan media dan produk
pembelajaran berbasis TIK. Selama ini guru-guru
hanya mengandalkan ceramah, diskusi, praktik
laboratorium dan kunjungan lapangan dalam
proses pembelajaran. Padahal dalam penerapan
Kurikulum 2013 semua mata pelajaran sudah
terintegrasi dengan TIK. Artinya peserta didik
akan benar-benar merasa belajar langsung
melalui eksperimen, demonstrasi dan kunjungan
lapangan namun mereka sesungguhnya berada
pada ruang kelas. Peserta didik dapat merasakan
sendiri belajar dengan melakukan sendiri
menggunakan media pembelajaran atau bahan
ajar yang berbasis TIK. Dengan mengklik satu
tombol peserta didik seolah-olah berada pada
dunia nyata. Suasana belajar seperti itu yang
dimaksudkan, jika TIK terintegrasi pada semua
mata pelajaran. Untuk menciptakan suasana
seperti itu mutlak dibutuhkan media atau bahan
ajar multimedia.
Tulisan ini mengulas peranan TIK dalam
Kurikulum 2013, bagaimana pembelajaran
berbasis TIK dan bagaimana peranan guru
dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
79
Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013
Untuk memperjelas isi tulisan ini, pemanfaatan
TIK dalam pembelajaran, pergeseran peranan
guru dan peserta didik, dan bagaimana
pengunaan TIK dalam pembelajaran, juga
dibahas dalam uraian berikut.
Pembahasan
Pemanfaatan TIK dalam Pembelajaran
Menurut Weiser seperti yang dikutip Santrock
(2004 : 499), sekarang ini kita berada di era
komputer pribadi (PC) di mana satu orang punya
satu komputer. Tetapi generasi komputer
berikutnya akan berupa ubiquitous computing,
yang menekankan pada distribusi komputer ke
lingkungan, ketimbang ke personal. Dalam
lingkungan ini, teknologi akan menjadi latar
belakang. Ringkasnya, ubiquitous computing akan
berupa dunia pasca-PC. Perangkat teknologi
umum, seperti telepon dan perangkat elektronik
lainnya akan terkoneksi dengan internet dan
pengguna mungkin tidak menyadari perangkat
mana di lingkungannya yang terkoneksi.
Perangkat komputer baru yang kecil, portable,
mobile, dan murah diperkirakan akan menggantikan komputer desktop.
Ubiquitous adalah kebalikan dari realitas
virtual. Jika realitas virtual menempatkan orang
di dalam dunia yang diciptakan orang di dalam
dunia yang diciptakan komputer, ubiquitous
computing akan memaksa komputer eksis di
dunia manusia. Perangkat komputer baru yang
kecil, portable, mobile, dan murah ini dapat
disediakan kepada lebih banyak murid
ketimbang komputer desktop. Perangkat baru ini,
dipasangkan dengan jaringan murah, dapat
memampukan murid untuk membawa perangkat informasi personal ke lapangan untuk
membantu mengerjakan suatu tugas dan bisa
dibawa pulang. Mereka bisa meningkatkan
kolaborasi dan memudahkan penggunaan
tanpa dibatasi lokasi.
Di sisi lain, menurut (2010 : 244), TIK
memberikan peluang bagi berkembangnya
kreativitas dan kemandirian peserta didik.
Pembelajaran dengan dukungan TIK memungkinkan peserta didik menghasilkan karya-karya
baru yang orisinil, memiliki nilai tinggi, dan
dapat dikembangkan lebih jauh untuk
80
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
kepentingan yang lebih bermakna. Melalui TIK,
peserta didik akan memperoleh berbagai
informasi dalam lingkup yang lebih luas dan
mendalam sehingga meningkatkan wawasannya. Hal ini memberikan peluang untuk
mengembangkan dan memanfaatkan TIK dalam
pembelajaran.
Dari kedua pendapat ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa pemanfaatan TIK dalam
pembelajaran menjadi tuntutan yang mendesak
di abad 21, mengingat semakin derasnya arus
informasi dan tuntutan zaman yang semakin
maju setidaknya kecil kemungkinan bagi guru
untuk menjadi satu-satunya sumber belajar
paling sahih. Namun tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam satuan pendidikan sekolah guru
memiliki peranan yang strategis. Oleh karena itu,
penggunaan TIK di sekolah hendaknya dimulai
dari titik pangkal yang strategis pula yaitu guru.
Di samping itu, TIK dalam dunia
pendidikan juga digunakan untuk menunjang
proses pembelajaran, dimana pemanfaatan TIK
dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:
(1) memanfaatkan fasilitas multimedia yang
sudah tersedia untuk mempermudah kegiatan
yang dilakukan selama proses pembelajaran.
Misalnya, untuk presentasi. Jika dahulu
presentasi hanya menggunakan media OHP
yang monoton, sekarang presentasi sudah dapat
ditampilkan dengan LCD projector dan dibuat
lebih kreatif dengan menampilkan berbagai
konten multimedia, seperti gambar, video, suara,
dan sebagainya; (2) memanfaatkan internet
untuk proses pembelajaran jarak jauh (kelas
virtual). Kelas virtual ini sudah menjadi tren di
era globalisasi sekarang. Karena kelas virtual
mmiliki beberapa keuntungan, seperti: peserta
didik dapat mengekspresikan diri, bersosialisasi, saling berbagi pengetahuan, meningkatkan
kreativitas, dan menumbuhkan cara belajar yang
mandiri; (3) memungkinkan peserta didik untuk
berdemonstrasi dengan perangkat multimedia
yang ada. Misalnya, menampilkan suatu
kegiatan eksperimen dengan tujuan untuk
memperlihatkan bagaimana cara yang
dilakukan dalam ekseperimen tersebut.
Menurut pemanfaatannya, TIK di dalam
pendidikan dapat dikategorisasikan menjadi 4
(empat) kelompok manfaat, yaitu:
Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013
1.
2.
3.
4.
TIK sebagai Gudang Ilmu Pengetahuan, di
kelompok ini TIK dimanfaatkan sebagai
referensi ilmu pengetahuan terkini,
manajemen pengetahuan, jaringan pakar
beragam bidang ilmu, jaringan antar
institusi pendidikan, pusat pengembangan
materi ajar, wahana pengembangan
kurikulum, dan komunitas perbandingan
standar kompetensi.
TIK sebagai Alat bantu Pembelajaran, di
dalam kelompok ini sekurang-kurangnya
ada 3 fungsi TIK yang dapat dimanfaatkan
sehari-hari di dalam proses belajarmengajar, yaitu (a) TIK sebagai alat bantu
guru yang meliputi: animasi peristiwa, alat
uji peserta didik, sumber referensi ajar,
evaluasi kinerja peserta didik, simulasi
kasus, alat peraga visual, dan media
komunikasi antar guru. Kemudian; (b) TIK
sebagai alat bantu interaksi guru-peserta
didik yang meliputi: komunikasi gurupeserta didik, kolaborasi kelompok studi,
dan manajemen kelas terpadu; (3) TIK
sebagai alat bantu peserta didik meliputi:
buku interaktif, belajar mandiri, latihan soal,
media illustrasi, simulasi pelajaran, alat
karya peserta didik, dan media komunikasi
antar peserta didik.
TIK sebagai Fasilitas Pembelajaran, di
dalam kelompok ini TIK dapat dimanfaatkan sebagai: perpustakaan elektronik, kelas
virtual, aplikasi multimedia, kelas teater
multimedia, kelas jarak jauh, papan
elektronik sekolah, alat ajar multiintelejensia, pojok internet, dan komunikasi
kolaborasi kooperasi (intranet sekolah) dan,
TIK sebagai Infrastruktur Pembelajaran, di
dalam kelompok ini TIK memberikan
dukungan teknis dan aplikatif untuk
pembelajaran, baik dalam skala menengah
maupun luas, yang meliputi: ragam
teknologi kanal distribusi, ragam aplikasi
dan perangkat lunak, bahasa pemprograman, sistem basis data, komputer personal,
alat-alat digital, sistem operasi, sistem
jaringan dan komunikasi data, dan
infrastruktur teknologi informasi (media
transmisi).
Berangkat dari optimalisasi pemanfaatan
TIK untuk pembelajaran tersebut, hal ini akan
memberi sumbangsih besar dalam peningkatan
kualitas sumber daya manusia di Indonesia yang
cerdas dan kompetitif melalui pembangunan
masyarakat berpengetahuan (knowledge-based
society). Masyarakat yang tangguh karena
memiliki kecakapan: (a) ICT and Media literacy
skills), (b) Critical thinking skills, (3) Problem solving
skills, (4) Effective communication skills, dan (5)
Collaborative skills yang diperlukan untuk
mengatasi setiap permasalahan dan tantangan
hidupnya.
Perkembangan TIK memang memiliki
banyak manfaat, khususnya di bidang
pendidikan, maka banyak orang yang ingin
segera bisa memanfaatkannya. Namun, tidak
bisa dipungkiri pemanfaatan TIK di dalam sektor
pendidikan memiliki beberapa kendala, di
antaranya: (1) kurangnya pengadaan
infrastruktur TIK, hal ini disebabkan sulit
dijangkaunya beberapa daerah tertentu di
Indonesia, sehingga penyebarannya tidak
merata. Masih banyak daerah yang sulit
dijangkau oleh alat transportasi. Untuk
mencapai daerah yang dituju, hanya dapat
ditempuh dengan berjalan kaki. Sedangkan
dengan berjalan kaki, tidak memungkinkan
untuk membawa berbagai peralatan multimedia;
(2) masih digunakannya perangkat multimedia
bekas di lembaga-lembaga pendidikan yang
terdapat di daerah pedesaan. Perangkat
multimedia bekas ini tentunya masih
menggunakan spesifikasi yang sudah tertinggal
jamannya. Sehingga penggunaannya tidak
mampu bersaing dengan laju perkembangan TIK
yang begitu pesat; (3) kurangnya infrastruktur
telekomunikasi dan perangkat hukum yang
mengaturnya, sebab cyber law belum diterapkan
di dunia hukum Indonesia; (4) mahalnya biaya
pengadaan dan penggunaan fasilitas TIK. Hal
ini dikembalikan lagi kepada pemerintah,
sedangkan pemerintah masih sulit mengalokasikan dana anggaran untuk pengadaan
fasilitas TIK yang dapat menunjang pendidikan
Indonesia. Sebagai contoh, pengadaan fasilitas
di daerah pedesaan masih sangat minim.
Sementara di kota sudah hampir merata,
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
81
Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013
terutama di lembaga-lembaga pendidikan
unggulan.
Oleh Sebab itu, menurut Miarso (2004 : 496),
TIK hendaknya tidak dipandang sebagai artefak
saja, melainkan juga dipandang sebagai proses
dan struktur tertentu. Ini berarti bahwa TIK
seharusnya dijadikan bagian integral sistem
pendidikan. Sebagai bagian integral, masuknya
komponen teknologi ini akan mempengaruhi
komponen lain diantaranya perubahan peranan
guru dalam satuan pendidikan sekolah. Peranan
guru dalam hal ini tidak lagi menjadi satusatunya sumber belajar, melainkan lebih
berperan sebagai perancang dan konseptor
dalam proses pembelajaran.
Pergeseran Peranan Guru dan Peserta didik
Dalam paparan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia tentang
pengembangan Kurikulum 2013, dijelaskan
bahwa dalam kerangka kompetensi abad 21,
guru diharapkan melek informasi, melek media
dan melek TIK, artinya guru tidak cukup hanya
meningkatkan pengetahuan saja, tetapi harus
dilengkapi dengan kemampuan kreatif dan kritis,
berkarakter kuat (bertanggung jawab, sosial,
toleran, produktif dan adaptif), disamping itu
didukung dengan kemampuan memanfaatkan
informasi dan berkomunikasi.
Menurut Surya (2010 : 241), pesatnya
perkembangan TIK telah mengakibatkan terjadi
pergeseran pandangan tentang pembelajaran,
baik di kelas maupun di luar kelas. Dalam
pandangan tradisional di masa lalu, proses
pembelajaran dipandang sebagai: (1) sesuatu
yang sulit dan berat; (2) upaya mengisi
kekurangan siswa; (3) satu proses transfer dan
penerimaan informasi; (4) proses individual atau
soliter; (5) kegiatan yang dilakukan dengan
menjabarkan materi pelajaran pada satu-satuan
kecil dan terisolasi. Seiring dengan
perkembangan TIK, telah terjadi perubahan
mengenai pembelajaran, yaitu pembelajaran
sebagai: (1) proses alami; (2) proses sosial; (3)
proses aktif dan pasif; (4) proses linear dan atau
tidak linear; (5) proses yang berlangsung
integratif dan kontekstual; (6) aktivitas yang
berbasis pada model kekuatan, kecakapan,
minat, dan kultur siswa; (7) aktivitas yang dinilai
berdasarkan pemenuhan tugas, perolehan hasil,
82
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
dan pemecahan masalah nyata, baik individual
maupun kelompok.
Hal itu telah mengubah peran guru dan
peserta didik dalam pembelajaran. Peran guru
telah berubah: (1) peran guru yang pada awalnya
hanya sebagai sumber utama informasi dan
sumber jawaban, menjadi fasilitator pembelajaran, pelatih, kolaborator, navigator
pengetahuan, dan mitra belajar; (2) peranan
guru dalam mengendalikan semua aspek
pembelajaran sudah tidak berlaku lagi, tetapi
lebih banyak memberikan alternatif dan
tanggung jawab kepada peserta didik dalam
proses pembelajaran. Sementara itu, peran
peserta didik dalam pembelajaran telah
mengalami perubahan, yaitu: (1) peserta didik
yang sebelumnya hanya sebagai penerima
informasi yang pasif, kini menjadi partisipan
aktif dalam proses pembelajaran; (4) peserta
didik yang biasanya mengungkapkan kembali
pengetahuan, sekarang menghasilkan berbagai
pengetahuan; (5) peserta didik yang hanya
sebagai aktivitas pembelajaran individu,
kini menjadi pembelajaran kolaborasi.
Lingkungan pembelajaran yang berpusat
pada guru telah bergeser menjadi berpusat pada
siswa. Secara rinci dapat digambarkan seperti
terlihat pada tabel.
Sebuah survey yang dilakukan oleh Office
of Technology Assessment seperti yang dikutip Jhon
W. Santrock (2004 : 493), menemukan bahwa
mayoritas guru tidak akrab dengan komputer.
Komputer masih sering dipakai untuk kegiatan
yang biasa, bukan untuk pembelajaran yang
konstruktif dan aktif. Banyak guru tidak
memiliki pengetahuan memadai dalam
menggunakan komputer, dan banyak sekolah
tidak menyediakan workshop atau pelatihan yang
dibutuhkan. Dengan perkembangan teknologi
yang pesat, komputer yang dibeli sekolah
menjadi cepat ketinggalan zaman. Bahkan ada
yang rusak dan perlu diperbaiki. Kenyataan ini
berarti bahwa pembelajaran di sekolah belum
direvolusionerkan secara teknologis. Hanya
ketika sekolah memiliki guru yang terlatih secara
teknologis, maka revolusi teknologi akan benarbenar mengubah sekolah.
Di dalam proses belajar-mengajar
tentunya ada subjek dan objek yang berperan
secara aktif, dinamik dan interaktif di dalam
Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013
Tabel : Perbandingan Lingkungan Pembelajaran Berpusat
pada Guru dan Berpusat pada Siswa
Lingkungan
Berpusat pada Guru
Berpusat pada Siswa
Aktivitas kelas
Guru sebagai sentral dan bersifat
didaktis
Siswa sebagai sentral dan
bersifat interaktif
Peran guru
Menyampaikan fakta-fakta, guru
sebagai ahli
Kolaboratif, kadang-kadang
siswa sebagai ahli
Penekanan pengajaran
Mengingat fakta-fakta
Hubungan antara informasi
dan temuan
Konsep pengetahuan
Akumulasi fakta secara kuantitas
Tranformasi fakta-fakta
Penampilan
keberhasilan
Penilaian acuan norma
Kuantitas pemahaman,
penilaian acuan patokan
Penilaian
Soal-soal pilihan berganda
Portofolio, pemecahan
masalah, dan penampilan
Penggunaan teknologi
Latihan dan praktik
Komunikasi, akses,
kolaboratif, ekspresi
ruang belajar, baik di dalam kelas maupun di
luar kelas. Guru & peserta didik sama-sama
dituntut untuk membuat suasana belajar dan
proses transfer of knowledge–nya berjalan
menyenangkan serta tidak membosankan.
Oleh karena itu, penataan peran guru dan
peserta didik di dalam kelas yang
mengintegrasikan TIK di dalam pembelajaran
perlu dipahami dan dimaknai dengan sebaikbaiknya. Karena di era pendidikan berbasis TIK,
peran Guru tidak hanya sebagai pengajar semata
namun sekaligus menjadi fasilitator,
kolaborator, mentor, pelatih, pengarah dan
teman belajar bagi peserta didik. Misalkan saja,
seorang guru harus mengajar murid tentang
ekosistem pertanian. Untuk sekolah yang tidak
berlokasi di kawasan pertanian, seperti sekolah
di daerah perkotaan, pendekatan tradisionalnya
adalah menyuruh murid membaca topik dalam
buku ajar, atau mungkin dengan mengamati
komponen biotik dan abiotik melalui gambar,
mendengar pemaparan tentang topik, dan
mungkin kemudian menjawab pertanyaan yang
memicu diskusi lebih lanjut. Cara lain yang jauh
berbeda adalah dengan menggunakan video
pembelajaran di kelas untuk mengeksplorasi
ekosistem pertanian. Murid mengeksplorasi
komposisi spesies yang tidak beragam, rantai
energi dan aliran nutrisi, membuat lingkungan
pertanian di komputer, menambah siklus
kimiawi maupun rantai makanan di
persawahan, dan mencari tahu aktivitas
pertanian yang terkait dengan ruang dan fungsi,
yang mencakup komponen biotik dan abiotik
serta interaksinya. Penggunaan teknologi
komputer dalam mempelajari kehidupan di
ekosistem pertanian ini menghasilkan
pembelajaran yang lebih eksploratif dan
interaktif daripada hanya membaca buku dan
mendengar paparan deskripsinya guru.
Untuk mendukung proses integrasi TIK di
dalam pembelajaran, maka manajemen sekolah,
guru dan peserta didik harus memahami 9
(sembilan) prinsip integrasi TIK dalam
pembelajaran yang terdiri atas prinsip-prinsip,
yaitu: (1) aktif, artinya memungkinkan peserta
didik dapat terlibat aktif oleh adanya proses
belajar yang menarik dan bermakna; (2)
konstruktif, artinya memungkinkan peserta
didik dapat menggabungkan ide-ide baru ke
dalam pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya untuk memahami makna atau
keinginan tahuan dan keraguan yang selama ini
ada dalam benaknya; (3) kolaboratif, memungJurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
83
Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013
kinkan peserta didik dalam suatu kelompok
atau komunitas yang saling bekerjasama,
berbagi ide, saran atau pengalaman,
menasehati dan memberi masukan untuk
sesama anggota kelompoknya; (4) antusiastik:
memungkinkan peserta didik dapat secara
aktif dan antusias berusaha untuk mencapai
tujuan yang diinginkan; (5) dialogis, artinya
memungkinkan proses belajar secara inherent
merupakan suatu proses sosial dan dialogis
dimana peserta didik memperoleh keuntungan
dari proses komunikasi tersebut baik di dalam
maupun luar sekolah; (6) kontekstual, artinya
memungkinkan situasi belajar diarahkan pada
proses belajar yang bermakna (real-world)
melalui pendekatan “problem-based atau casebased learning”; (7) reflektif, artinya
memungkinkan peserta didik dapat
menyadari apa yang telah ia pelajari serta
merenungkan apa yang telah dipelajarinya
sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri; (8)
multisensory, artinya memungkinkan pembelajaran dapat disampaikan untuk berbagai
modalitas belajar (multisensory), baik audio,
visual, maupun kinestetik; (9) high order thinking
skills training, artinya memungkinkan untuk
melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi
(seperti problem solving, pengambilan keputusan,
dan lain-lain) serta secara tidak langsung juga
meningkatkan “ICT & media literacy.”
Oleh sebab itu, guru dapat memberikan
pilihan dan tanggung jawab yang besar kepada
peserta didik untuk mengalami peristiwa belajar.
Dengan peran guru sebagaimana dimaksud,
maka peran peserta didik pun mengalami
perubahan, dari partisipan pasif menjadi
partisipan aktif yang banyak menghasilkan dan
berbagi (sharing) pengetahuan/ keterampilan
serta berpartisipasi sebanyak mungkin
sebagaimana layaknya seorang ahli. Di sisi lain
peserta, didik juga dapat belajar secara individu,
sebagaimana halnya juga kolaboratif dengan
peserta didik lain.
Pemilihan dan Penggunaan TIK
dalam Pembelajaran
Tak dapat disangkal lagi bahwa perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi yang telah
84
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
berlangsung begitu cepat, telah menyebabkan
sejumlah perubahan yang besar pada
masyarakat. Menurut Marshall McLuhan
seperti yang dikutip oleh Miarso (2004 : 491),
mengungkapkan bagaimana medium, atau
proses teknologi elektrik dapat membentuk dan
mengatur kembali pola interdependensi sosial
dan segala aspek kehidupan pribadi manusia.
Penggunaan TIK dalam pembelajaran
memiliki dampak yang besar terhadap
perkembangan peserta didik. Seperti halnya
tujuan utama dari pembelajaran berbasis TIK
adalah sebagai upaya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan, penerapan TIK juga
memiliki kelebihan dan kelemahan sebagai
dampak dari penggunaan TIK dalam proses
pembelajaran. Adapun beberapa kelebihan
penerapan pembelajaran berbasis TIK yang
merupakan dampak positif penerapan
pembelajaran berbasis TIK, yaitu: (1) menciptakan kondisi belajar yang menyenangkan dan
mengasyikkan; (2) peserta didik akan menjadi
lebih aktif dalam proses pembelajaran; (3)
membekali kecakapan peserta didik untuk
menggunakan teknologi tinggi; (4) mendorong
lingkungan belajar konstruktivis; (5) mendorong
lahirnya pribadi kreatif dan mandiri pada diri
peserta didik; (6) meningkatkan kemampuan
berpikir kritis peserta didik; (7) membantu
peserta didik yang memiliki kecepatan belajar
lambat. Selain memiliki kelebihan, penerapan
TIK juga mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:
(1) penerapannya membutuhkan biaya yang
relatif besar; (2) rentan terhadap penyalahgunaan fungsi; (3) guru dalam penerapan TIK
dituntut memiliki keahlian tinggi; (4) sulit
diterapkan di sekolah yang kurang maju yang
pada umumnya terdapat di pedesaan.
Di sisi lain, pembelajaran yang berkualitas
mencerminkan adanya lingkungan belajar yang
memungkinkan peserta didik dapat melakukan
pengawasan terhadap pemenuhan kebutuhan
emosionalnya, melakukan pilihan-pilihan yang
memungkinnya terlibat secara fisik, emosional,
dan mental dalam proses belajar, serta
lingkungan yang memberinya kebebasan
menentukan pilihan belajar sesuai dengan
kemampuan dan kemuannya.
Oleh karena itu, banyak hal yang bisa
dilakukan untuk meningkatkan kualitas
Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013
pembelajaran, salah satunya dengan memilih
dan menggunakan TIK dengan tepat untuk
mendukung pembelajaran di kelas,
diantaranya dengan: (1) memilih teknologi
dengan tujuan untuk membantu murid
melakukan eksplorasi aktif, menyusun, dan
me-restrukturisasi informasi, metodenya guru
mencari software yang membuat murid
langsung bisa mengolah informasi. Karena
informasi yang diberikan dalam bentuk
multimedia akan memicu murid untuk aktif
memilih,
mengorganisir,
dan
mengintegrasikan informasi visual dan verbal;
(2) mencari cara untuk menggunakan teknologi
sebagai bagian dari pembelajaran kolaboratif
dan pembelajaran dunia nyata, metodenya
dengan mencari teknologi seperti web dan email
sebagai alat untuk menyediakan kesempatan
kepada murid untuk melakukan pembelajaran
kolaboratif, berjalan ke luar kelas untuk mengkaji
dunia riil, dan berkomunikasi dengan orang di
lokasi berbeda; (3) memilih teknologi yang
menyajikan model positif bagi murid, metodenya
dengan mengundang seseorang dari komunitas
untuk berbicara di depan kelas, atau bisa
mempertimbangkan model yang diasosiasikan
murid dengan teknologi; (4) meningkatkan
keahlian pengajaran, artinya guru tidak perlu
takut bahwa teknologi akan mengganti
posisinya. Teknologi menjadi efektif di kelas
hanya jika guru tahu cara menggunakannya,
menunjukkannya, memandu dan memonitor
penggunaannya, dan menggunakannya untuk
mengembangkan murid yang termotivasi untuk
belajar aktif dan berkomunikasi secara efektif;
(5) mempelajari teknologi dan meningkatkan
pengetahuan dan kompetensi di bidang
teknologi, artinya guru harus terbuka terhadap
teknologi, mengikuti perkembangan teknologi
dengan membaca jurnal pendidikan, dan
mengikuti kursus-kursus pendidikan komputer.
Karena determinan utama dari penggunaan TIK
yang efektif di kelas adalah kompetensi guru
dalam menggunakan teknologi dan sikap positif
terhadap teknologi.
Untuk mendukung terwujudnya proses
pembelajaran yang berkualitas dalam upaya
mencapai tujuan pendidikan, salah satu hal
yang dapat dilakukan adalah penggunaan atau
pemanfaatan teknologi dalam proses
pendidikan dan pembelajaran. Selain itu, TIK
memiliki peranan yang cukup strategis dalam
sektor pendidikan, di antaranya: (1) TIK
sebagai keahlian dan kompetensi. maksudnya,
penggunaan TIK harus proporsional atau TIK
bisa masuk ke semua lapisan masyarakat tapi
sesuai dengan porsinya masing-masing; (2) TIK
sebagai infratruktur pembelajaran. Infrastruktur
pembelajaran di sini maksudnya adalah
tersedianya bahan belajar dalam format digital,
jaringan antar sekolah, sehingga belajar bisa
dijangkau di mana saja dan kapan saja; (3) TIK
sebagai sumber bahan belajar. Hal ini mengenai
buku dan bahan belajar yang diperbaharui
secara kontiniu dengan menggunakan teknologi.
karena tanpa teknologi, pembelajaran yang upto-date membutuhkan waktu yang cukup lama;
(4) TIK sebagai alat bantu dan fasilitas
pembelajaran. Seperti yang kita ketahui, fasilitas
TIK sangat membantu proses pembelajaran.
Contohnya, dalam menyampaikan informasi,
dengan menggunakan fasilitas multimedia
informasi akan cepat sampai ke peserta didik
dengan lebih akurat karena dengan adanya
berbagai fasilitas multidedia tersebut, peserta
didik lebih termotivasi untuk belajar dan
mengeksplorasi pengetahuannya secara lebih
luas; (5) TIK sebagai pendukung manajemen
pembelajaran. TIK sangat mendukung dalam hal
mengelola pembelajaran, karena pada dasarnya
tiap individu memerlukan dukungan
pembelajaran yang tanpa henti; (6) TIK sebagai
sistem pendukung keputusan. Dalam mengambil sebuah keputusan, setiap individu memiliki
alasan tersendiri. Oleh sebab itu, diperlukan
informasi berdasarkan fakta yang ada dalam
mengambil sebuah keputusan.
Upaya perbaikan kualitas sumber daya
manusia Indonesia dapat ditempuh melalui
penyempurnaan kurikulum, penambahan
anggaran pendidikan, pengadaan sarana dan
prasarana pendidikan, pengembangan profesionalisme tenaga pengajar (guru), pertukaran
pelajar dan penyediaan sarana teknologi
informasi dalam rangka penyesuaian perkembangan ilmu pengetahuan dengan negara lain.
Berkembangnya teknologi informasi memungkinkan suatu negara mengikuti perkembangan
kemajuan negara lain tanpa dibatasi dimensi
ruang dan waktu. Informasi yang terjadi diluar
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
85
Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013
suatu negara dapat diketahui hanya dalam
hitungan detik tanpa harus mendatangi sumber
informasi tersebut. Perkembangan dan kemajuan dunia teknologi informasi ini dapat
dimanfaatkan dalam berbagai bidang
kehidup-an termasuk bidang pendidikan.
Perkembangan dunia pendidikan di suatu
negara dengan mudah dapat diakses melalui
fasilitas internet. Isu-isu pendidikan, hasilhasil penelitian dan berbagai temuan lainnya
dapat diperoleh dengan mudah melalui
fasilitas tersebut.
Oleh sebab itu, pelaksanaan Kurikulum 2013
tanpa peralatan dan perangkat pembelajaran
yang mendukung mustahil akan mencapai
tujuan yang ditetapkan. Jika mengandalkan
strategi-strategi belajar sebelumnya maka
Kurikulum 2013 niscaya akan sulit terlaksana.
Sehingga untuk mencapai tujuan pembelajaran
yang telah ditetapkan sebaiknya disediakan
terlebih dahulu media pembelajaran atau bahan
ajar multimedia. Bahan ajar multimedia
merupakan bahan ajar yang berbasis teknologi
multimedia, yaitu penggabungan dari dua unsur
media yang berbeda. Dan saat ini tersedia
banyak program (software) yang bisa diandalkan
untuk mengembangkan bahan ajar multimedia
untuk semua mata pelajaran.
Simpulan
Kesimpulan
Perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi tidak mungkin dibendung dengan
regulasi. Teknologi itu juga bukan obat mujarab
untuk memecahkan masalah pendidikan.
Teknologi itu bahkan akan menimbulkan masalah bila tidak mendapat perhatian yang
sungguh-sungguh dan penanganan yang
professional. Artinya pembelajaran berbasis TIK
tidak akan menghilangkan konteks awal
pembelajaran yang berlangsung secara tatap
muka di dalam ruang kelas melainkan melalui
beberapa tahapan evolusi sesuai kondisi
sekolah. Pada sekolah yang baru merintis
pembelajaran berbasis TIK, pembelajaran
digambarkan sebagai proses tatap muka di
86
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
dalam kelas dengan konten digital sebagai
suplemen. Pada tahap ini guru sebagai penyampai materi. Konten digital yang disampaikan
hanya bersifat tambahan sehinggatidak wajib
disampaikan. Proses pembelajaran dibatasi
oleh ruang dan waktu. Pada tingkat yang lebih
tinggi,
pembelajaran
berbasis
TIK
digambarkan sebagai proses pembelajaran
tatap muka di dalam kelas dengan konten
digital sebagai komplemen. Pada kondisi ini
guru masih sebagai penyampai materi.
Beberapa konten digital wajib disampai-kan
karena masuk ke dalam struktur kurikulum,
sedangkan proses pembelajaran masih dibatasi
ruang dan waktu.
Pada tingkatan berikutnya, pembelajaran
berbasis TIK digambarkan sebagai proses
pembelajaran yang telah mengintegrasikan
kemajuan TIK ke dalam proses pembelajaran.
Seluruh konten pembelajaran berbentuk digital,
dan wajib disampaikan karena masuk ke dalam
struktur kurikulum. Peserta didik dapat mengakses konten pembelajaran tanpa terbatas ruang
dan waktu dan guru berperan sebagai tutor.
Pengelolaan pembelajaran tidak menggunakan
TIK sehingga masih terdapat campur tangan
pengelolaan pembelajaran secara manual.
Pada tingkatan paling tinggi, pembelajaran
berbasis TIK digambarkan sebagai proses
pembelajaran yang telah menyatu dengan
kemajuan TIK (menyatu seperti infuse yang tidak
dapat dibedakan lagi antara cairan infuse dengan
darah). Pada kondisi ini, peserta didik
melaksanakan pembelajaran secara mandiri dan
online yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Guru dalam tingkatan ini berperan sebagai tutor.
Penerapan Kurikulum 2013 memang
menimbulkan sejumlah kekhawatiran, khususnya guru TIK di sekolah dasar dan menengah,
karena mata pelajaran TIK tidak tercantum di
dalam struktur Kurikulum 2013. Terlepas dari
isu yang berkembang bahwa penerapan
Kurikulum 2013 terkait dengan kebijakan politis,
dan apakah guru TIK akan tersisih di dalam
struktur Kurikulum 2013. Guru TIK sebaiknya
harus bersikap proaktif terhadap berbagai
perubahan terutama terhadap perubahan
kurikulum nasional. Apabila guru terus
membangun kepercayaan diri, dan meyakinkan
Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kurikulum 2013
pemerintah akan pentingnya mata pelajaran TIK
ini dalam Kurikulum 2013, maka tidak akan
menutup kemungkinan TIK akan menjadi mata
pelajaran inti di dalam kurikulum nasional.
Saran
Dalam kondisi sekarang ini perlu terus
ditingkatkan peran dan fungsi lembaga yang
melaksanakan, mengkoordinasikan, dan
membina kegiatan di bidang teknologi informasi
dan komunikasi. Dalam satuan pendidikan
sekolah hendaknya penggunaan TIK dalam
Kurikulum 2013 ini dimulai dengan titik
pangkal strategis, yaitu guru. Para guru harus
diyakinkan terlebih dahulu akan kegunaan
teknologi itu dan bahwa teknologi tidak akan
menggantikan kedudukannya sebagai guru,
melainkan membantu untuk tidak menyimpan
dan menyajikan konsep, prinsip dan prosedur
yang ingin diajarkannya. Untuk itu para guru
harus ditingkatkan rasa percaya dirinya, serta
dilibatkan dan ikut berpartisipasi dalam
menerapkan dan mengembangkan TIK.
Daftar Pustaka
Miarso, Yusufhadi. (2004). Menyemai benih
teknologi pendidikan. Jakarta : Kencana
Nuh, Mohammad. (2013). Pengembangan
kurikulum 2013. Paparan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. Jakarta, 15 Maret 2013
http://tepenr06.wordpress.com/2013/05/08/
teknolog-pendidikan-dalam-kurikulum2013/, diunduh pada tanggal 26
September 2013
http://wafaardani.blogspot.com/, di unduh
tanggal 4 september 2013
http://fisikafitri.wordpress.com/category/
pembelajaran-fisika-berbasis-tik/
diunduh tanggal, 6 september 2013.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 67 Tahun 2013. Kerangka dasar dan
struktur kurikulum Sekolah Dasar/ Madrasah
Ibtidaiyah
Santrock, Jhon W. (2004). Psikologi pendidikan –
edisi kedua. Jakarta : Kencana
Surya, Mohamad. (2010). Guru dalam tantangan
pola pembelajaran di era milenium ketiga
dalam: Education for change – Pendidikan
untuk perubahan: Terus berkarya menjadi
berkat. Jakarta : BPK Gunung Mulia
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
87
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah
Opini
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan
Kepala Sekolah
Hilda Karli
E-mail: [email protected]
Universitas Terbuka - Bandung
Abstrak
engambilan keputusan merupakan proses seseorang memecahkan masalah dengan cara
yang paling tepat untuk mempertahankan diri dalam kehidupannya. Kesalahan
mengambil keputusan dapat mengakibatkan tujuan tidak dapat tercapai. Bagaimana
sebenarnya cara mengambil keputusan yang tepat, menjadi masalah yang kerap kali
dihadapi oleh kepala sekolah sebagai pengambil keputusan. Tulisan ini membahasa pendekatan,
strategi, metode dan teknik pengambilan keputusan dengan melakukan kajian atas sejumlah teori
pengambilan keputusan dari berbagai referensi. Berdasarkan kajian yang dilakkukan, tulisan ini
mengambil kesimpulan atas teknik pengambilan keputusan yang tepat. Di samping itu tulisan ini
memberikan saran, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam proses pengambilan keputusan. ,
P
Kata-kata kunci: Pengambilan keputusan, strategi pengambilan keputusan, model pengambilan
keputusan, landasan pengambilan keputusan
Principal’s Considerations and Decision Making Strategies Abstract
Decision making is an activity done by anybody to solve a problem most effectively to maintain his/her life.
A mistake in making a decision can result in a failure in achieving the objective. How to make an appropriate
decision becomes a problem often faced by a school principal as a decision maker. This article discusses a
number of approaches, strategies, methods, and techniques of decision making referring to a number of related
theories in various sources. Based on the deductive and inductive analysis, this article concludes the appropriate
decision making process and suggests some factors to conside.
Keywords: Decision making, decision making strategy, decision making model, decision making reference
Pendahuluan
Pendidikan memiliki peranan strategis dalam
menyiapkan generasi yang berkualitas untuk
kepentingan masa depan bangsa. Pendidikan
dijadikan institusi utama dalam upaya membentuk manusia seutuhnya. Rintisan Sekolah
88
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Bertaraf Internasional (RSBI) atau Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan sekolah yang
menghasilkan lulusan mampu berkomunikasi
dengan bahasa Inggris dan menguasai komputer
serta aplikasinya. Hal ini untuk meningkatkan
mutu pendidikan Indonesia agar dapat
mengantisipasi perubahan globalisasi yang
pesat ( http://satriadharma.com/tag/rsbi/).
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah
Program RSBI lahir didasarkan pada
ketentuan Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UU No. 20 tahun 2003) pasal 50 ayat
3 yang menyatakan Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua
jenjang pendidikan untuk dikembangkan
menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional. Untuk memenuhi ketentuan ini,
Kemendikbud, khususnya Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,
telah merintis beberapa sekolah yang
diharapkan mampu menerapkan standar mutu
menuju SBI. SBI adalah sekolah yang memenuhi
Standar Nasional Pendidikan (SNP) serta
mempunyai keunggulan yang merujuk pada
standar pendidikan salah satu negara anggota
Organization for Economic Co-operation Development (OECD) dan/atau negara maju lainnya
yang mempunyai keunggulan tertentu dalam
bidang pendidikan sehingga memiliki daya
saing di forum internasional. Intinya RSBI atau
SBI mengadopsi kurikulum internasional (http:/
/satriadharma.com/tag/rsbi/).
Kepala sekolah adalah seorang yang
mengatur sebuah sistem organisasi sekolah.
Oleh karena itu sebagai pemimpin sekolah tentu
ia akan menemukan masalah dan harus
membuat sebuah keputusan agar masalahnya
dapat terselesaikan. Shull dalam dalam Ety
Rochaety (2008:151) mengatakan bahwa
pengambilan keputusan adalah proses kesadaran manusia terhadap fenomena individual
maupun sosial berdasarkan kejadian faktual dan
nilai pemikiran yang mencakup aktivitas
perilaku pemilihan satu atau beberapa alternatif
sebagai jalan keluar untuk memecahkan masalah
yang dihadapi. Oleh karena itu keberhasilan
suatu sekolah tergantung pada mutu keputusan
yang diambil oleh kepala sekolah yang
memimpin.
Dasar pengambilan keputusan menurut
George R. Terry dalam Ety Rochaety (2008: 153))
diklasifiksasikan menjadi lima hal yaitu: (a)
intuisi, (b) pengalaman, (c) fakta, (d) wewenang,
dan (e) rasional. Artinya seorang pemimpin
dalam mengambil keputusan harus memikirkan
banyak pertimbangan yang matang agar
keputusan yang diambil tepat melalui proses
berpikir induktif atau deduktif (Cooper dan
Schindler dalam Dermawan, 2004:47)). Menurut
Lipman (2008:85) seorang pembuat keputusan
dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti:
ketepatan merumuskan masalah, jumlah dan
bentuk data informasi, persepsi orang pembuat
keputusan itu sendiri, nilai individu, sosial dan
organisasi, alternatif jawaban yang andal dan
terpercaya, kejelian memilih alternatif jawaban,
serta pelaksanaan dan evaluasi atas keputusan
tersebut.
Menurut KOMPAS (8 Juli 2010), RSBI
mendapat bantuan dana dari APBN dan APBD
serta orang tua. Uang pungutan dari orang tua
dipergunakan untuk sarana prasarana seperti
AC dan internet. Terbentuk kasta antara pelajar,
seperti kasta yang memiliki laptop atau handphone
yang canggih dengan pelajar yang tidak memiliki
laptop. Oleh karena itu terjadi kecemburuan
social dan RSBI dikatakan sekolah untuk orang
yang “berduit”. (http://scribd.com/doc/
50340377).
Survei SMAN 1 Taliban menemukan bahwa
selain kurikulum nasional, juga menggunakan
kurikulum Cambridge dan kurikulum
Internasional General Certificate of Secondary
Education. Oleh karena itu siswa wajib mengikuti
tiga kali ujian akhir. Hal ini merupakan
pengkhianatan pada tujuan pendidikan
nasional. Masalah yang muncul lagi adalah
sumber daya manusia terutama guru yang
mengajar masih belum fasih bahasa Inggris atau
guru yang pandai bahasa Inggris namun tidak
menguasai pedagogik kependidikan. (http://
kampus.okezone.com/read/).
Banyak permasalahan yang muncul di RSBI,
seperti kurikulum yang digunakan, evaluasi
akhir, SDM yang belum siap, dan sarana
prasarana yang belum lengkap. Masalah
tersebut sepertinya belum dapat dipecahkan dan
mungkin menjadi masalah berikutnya. Seorang
kepala sekolah yang bertindak sebagai
pelaksana kebijakan Kemendikbud harus jeli
dan cepat tanggap dengan masalah yang muncul
tersebut.
Menurut hasil penelitian dari Johara Nonci
(2006: 5), seorang Kepala Sekolah Dasar di
Tamalapea, Kecamatan Jeneponto, Makasar,
mengambil keputusan masih bersifat tradisional. Ia tidak menggunakan pola berpikir induktif
atau deduktif dan kurangnya informasi dalam
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
89
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah
mengolah alternatif keputusan. Di pihak lain,
kepala sekolah pada umumnya sudah dibekali
ilmu kepemimpinan, yang di antaranya teori
pengambilan keputusan, akan etapi dalam
perakteknya hasilnya belum seperti yag
diharapkan. Oleh karena itu tulisan ini mengkaji
bagaimana seorang kepala sekolah dapat
terampil mengambil keputusan seputar RSBI.
Lebih lanjut masalah tersebut dirinci menjadi (1)
langkah-langkah seorang kepala sekolah dalam
mengambil keputusan yang tepat, (2) teknikteknik seorang kepala sekolah mengambil
keputusan yang tepat, dan (3) faktor-faktor yang
perlu dipertimbangkan oleh seorang kepala
sekolah dalam mengambil keputusan.
Secara umum kajian ini bertujuan mendeskripsikan proses pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh kepala sekolah. Secara khusus
kajian diarahkan untuk (1) menjelaskan
langkah-langkah kepala sekolah dalam mengambil keputusan yang tepat, (2) mendeskripsikan teknik-teknik kepala sekolah dalam
mengambil keputusan yang tepat, serta (3)
menyebutkan factor-faktor yang perlu
dipertimbangkan oleh seorang kepala sekolah
dalam mengambil keputusan.
melalui pilihan dari beberapa alternatif jawaban
yang sudah disusun berdasarkan sistem
keluaran (output). Dari beberapa definisi yang
dirujuk, dapat disimpulkan bahwa pengambilan
keputusan adalah suatu proses yang dilakuan
oleh manusia untuk mempertahankan diri dalam
kehidupannya dengan memecahkan permasalahan yang timbul melalui pencarian jawaban
pemecahan yang paling tepat untuk masalah
tersebut.
Salah satu fungsi yang sangat penting
dalam kepemimpinan ialah pengambilan
keputusan. Semakin tinggi posisi seseorang
dalam kepemimpinan organisasi maka tugas
utamanya semakin banyak berkaitan dengan
pengambilan keputusan. Perilaku dan cara
pemimpin dalam pola pengambilan keputusan
sangat mempengaruhi perilaku dan sikap dari
pengikutnya. Menurut Lipman (2008:91) ada
lima tingkatan orang yang terlibat dalam
Kajian Teoritis
A.
Dasar Pertimbangan Pengambilan
Keputusan
1.
Pengambilan keputusan
Ada beberapa definisi pengambilan keputusan.
Menurut George R. Terry dalam Ety Rochaety
(2008: 151), pengambilan keputusan adalah
pemilihan alternatif perilaku tertentu dari dua
atau lebih alternatif yang ada. Sedangkan
pendapat dari Shull dalam dalam Ety Rochaety
(2008:151) pengambilan keputusan adalah
proses kesadaran manusia terhadap fenomena
individual maupun sosial berdasarkan kejadian
faktual dan nilai pemikiran yang mencakup
aktivitas perilaku pemilihan satu atau beberapa
alternatif sebagai jalan keluar untuk
memecahkan masalah yang dihadapi. Menurut
Lipman (1985:81) pengambilan keputusan
adalah sebuah proses untuk memecahkan
masalah melalui sebuah sistem yang dirancang
90
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Gambar 1: Tingkat Keterlibatan dalam
Pengambilan Keputusan
pengambilan keputusan seperti tergambar pada
Gambar 1.
Gambar 1 menunjukkan, pertama, ada orang
yang bertindak sebagai pengambil keputusan,
misalnya kepala sekolah yang karena
kedudukan dan jabatannya harus mengambil
keputusan. Kedua, ada pula yang berperan
memberikan saran dalam memilih alternatif
spesifik, misalnya wakil kepala sekolah.
Sementara yang ketiga (misalnya guru-guru)
mengembangkan/memberikan berbagai
alternatif pilihan. Keempat, ada pula yang
memberikan informasi dan konsekwensi tentang
masing-masing alternatif. Misalnya, siswa dapat
terlibat sebagai penyedia informasi langsung
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah
karena mereka tahu kejadiannya sehari-hari.
Tetapi ada juga yang kelima, sama sekali tidak
berperan serta dalam proses pengambilan
keputusan itu.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
dalam mengambil keputusan, menurut George
R. Terry dalam Ety Rochaety (2008: 153)) diklasifiksasikan menjadi lima hal yaitu: (a) intuisi,
pengambilan keputusan ini memiliki sifat
subjektif sehingga mudah terkena pengaruh
namun sisi lain waktu yang digunakan untuk
mengambil keputusan relatif lebih pendek; (b)
pengalaman, pengambilan keputusan ini
memiliki manfaat bagi pengetahuan praktis
karena berdasarkan pengalaman seseorang
dapat memperkirakan atau memperhitungkan
baik buruknya keputusan; (c). fakta, pengambilan keputusan ini memiliki tingkat kepercayaan yang lebih tinggi sehingga orang dapat
menerima keputusan dengan lapang dada; (d)
wewenang, pengambilan keputusan ini
memiliki otoritas dari pimpinan pada bawahannya dan keputusan dapat bertahan lama
namun menimbulkan rutinitas dan sering
melewatkan permasalahan yang seharusnya
dipecahkan; dan (e) rasional, pengambilan
keputusan ini memiliki sifat objektif, logis,
konsisten dan transparan. Kejelasan masalah,
orientasi tujuan, pengetahuan alternatif dan
konsekuensi pemilihan jawaban serta hasil
maksimal didasarkan atas ekonomis. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa seorang
pemimpin dalam mengambil keputusan harus
memikirkan banyak pertimbangan yang matang
agar keputusan yang diambil tepat.
2. Berpikir dalam Pengambilan Keputusan
Seorang pemimpin dalam mengambil keputusan
tentu akan mengalami proses berpikir. Sebab
tanpa berpikir tentu seorang pemimpin akan
mengambil keputusan yang tidak tepat karena
memiliki pandangan yang sempit terhadap
masalah.
Menurut Cooper dan Schindler dalam
Dermawan (2004:47) bahwa berpikir induktif
dan deduktif merupakan prinsip seorang
pemimpin dalam mengambil keputusan.
Umumnya istilah berpikir induktif dan deduktif
sering dikaitkan dengan pola berpikir ilmiah.
Ciri pemikiran dengan gaya ilmiah antara lain:
a. adanya observasi langsung dan terarah atas
fenomena dan masalah; b. secara jelas dapat
mendefinisikan variabel, metode dan prosedur
yang dipakai untuk mendapatkan data empiris;
c. pengajuan hipotesis yang dapat diuji dan
diukur; d. adanya mekanisme untuk mengajukan
hipotesa yang lebih baik; e. menggunakan alat
ukur dan alat uji hipotesa seperti statistik; f.
proses pembenaran.
Pemikiran ilmiah ini menggabungkan
antara pemikiran logika dan empiris untuk
menghasilkan sebuah persepsi dan fenomena
yang sifatnya sistematis. Gambar 2 menunjukkan alur gaya pemikiran ilmiah untuk memper-
Induktif
Teori,konsep
Fakta, masalah
Alat untuk
memecahkan masalah
(matematika,
statistika, pendekatan
Kualitatif dan
kuantitatif
Praduga pertama
Deduktif
Prinsip Aristoteles
Menguji hipotesa
Gambar 2: Alur Gaya Pemikiran Ilmiah Disadur
(Cooper dan Schindler dalam Dermawan (2004:47)
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
91
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah
jelas tentang cara berpikir ilmiah seorang pemimpin dalam mengambil keputusan.
Gambar 3 menjelaskan bahwa alur
pemikiran ilmiah tidak sepenuhnya benar
karena manusia tidak lepas dari jiwa dan raga.
Oleh karena itu dalam mengambil keputusan
perlu juga ada pemikiran kreatif artinya
kebijakan yang akan dibuat dalam mengambil
keputusan diperuntukkan untuk kebaikan
orang banyak. Iman, hati dan kasih sangat
diperlukan dalam mengambil keputusan.
Seseorang harus seimbang antara pikiran logika
ilmiah dan insting hati nurani yang bicara.
Kebijakan yang tepat dibuat akan memenangkan
jiwa, membersihkan jiwa, memberi , melayani
dan mencerahkan pada sesama manusia untuk
kesejahteraan bersama. Bukan untuk
kepentingan diri sendiri.
Iman
Hati
S
Membersihkan Hati
Memberi
Melayani
Mencerahkan
Memenangkan Jiwa
Y
U
K
U
Kasih
R
Gambar 3: Alur Gaya Pemikiran Kreatif
(Syafaruddin (2004:99)
A.
Strategi Pengambilan Keputusan
Sejumlah teori, model, dan teknik pengambilan
keputusan yang terbaik telah diciptakan untuk
mempermudah para pengambil keputusan
dalam melakukan pemilihan alternatif solusi.
1. Model Pengambilan Keputusan
Model langkah-langkah membuat keputusan
menurut Lipman (1985:85) dapat dilihat pada
gambar 4. Menurut Lipman dalam menjalani
kehidupan manusia berinteraksi dengan
sesamanya, masalah dapat muncul mendadak,
dapat dirasakan, atau bias bahkan subyektif.
92
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Untuk itu menurut Barnard dalam Lipman (1985:
86) masalah itu perlu dilihat tingkat urgensinya
dan dimulai dari mana. Oleh karena itu masalah
yang muncul perlu diidentifikasi sehingga
masalah yang muncul lebih spesifik dan jelas.
Dalam memecahkan masalah seorang
pengambil
keputusan
value
perlu
memperhatikan faktor seperti kehidupan sosial,
organisasi dan individu), information (terdiri dari
jumlah data, bentuk data dapat dibantu oleh
komputer dan alur informasi yang dapat
diperoleh serta mempertimbang-kan waktu),
perceptual screen (terdiri kreativitas, IQ,
situasional, kebutuhan, dan pengalaman
sebelumnya),
weighing
alternatives
(mempertimbangkan kebutuhan, isu,
kesempatan, seberapa sering terjadi,
kemungkinan untuk mengukurnya). Making a
choise (memilih dari beberapa alternatif jawaban
yang sudah dipikirkan secara tepat dengan
mempertimbangkan side effect yang mungkin
akan muncul) serta implemen-tation and evaluation
(saat pelaksanaan serta mengevaluasi serta
merefleksikan kemung-kinan yang harus
direvisi).
Menurut Dunstan dan Rankin dalam
Lipman (1985:89) bahwa proses membuat
keputusan serta pelaksanaannya dapat dibagi
dalam 3 tahap yaitu before the decision, the moment
of decision, dan after the decision. Pada gambar
dapat dilihat bahwa before the decision adalah
mempertimbangkan positif dan negatif dari
setiap alternatif jawaban pemecahan masalah
yang dibuat, the moment of decision adalah
keadaan yang sangat sulit saat memilih alternatif
jawaban, dan after the decision adalah saat
waktunya akan melaksanakan keputusan yang
sudah dipilih dalam action .
Model pengambilan keputusan ini dengan
mengidentifikasi masalah lalu secara detail
menguraikan masalah tersebut lebih spesifik.
Ketika masalah muncul tentu diperlukan sebuah
pemecahan masalah berupa kebijakan yang
dibuat guna menyelesaikan masalah tersebut.
Dalam mengambil keputusan tersebut erlu
dipertimbnagkan seperti factor budaya setempat,
nilai sosial masyarakat, serta nilai kehidupan
setiap individu. Membuat beberapa alternatif
untuk mengambil keputusan kemudian dipilih
keputusan mana yang terbaik dan keputusan
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah
Feedback
Amount, form, and flow of information
Perceptual Screen
Identifiy
problem
Define
problem
Decition
Maker
Formulated Alternatives
A1 Estimated
Outcomes
Make
choice
An Estimated
Outcomes
Implement
ation and
evaluate
the
decision
Social, organizational, and individual values
Past
Present
Future
Gambar 4: Model Pengambilan Keputusan (Lipman 1985 : 85)
tersebut dilaksanakan. Kemudian dievaluasi MoModel pengambilan keputusan ini lebih
agar tahu kendala dan keberhasilan keputusan sempit karena lebih terbatas. Maksudnya
tersebut. Jika ada masalah lain muncul efek dari pengambilan keputusannya akan diterap-kan
keputusan tersebut maka siklus kembali lagi dengan mencari kriteria yang paling tepat saat
untuk mengidentifikasi masalah
secara detail.
Identifikasi
Tetapkan
Pencarian
Pemilihan
Menurut Cohen dalam
dan
kriteria
alternatif
alternatif
Dermawan (2004:112) model
terbatas
definisikan
solusi
solusi yang
pengambil keputusan dapat
masalah
tertentu
memuaskan
dikategorikan berdasarkan suorganisasi
dut pandang rasional atau tidak
seperti dibahas di bawah ini:
a. Model pengambilan kepuLakukan
tusan berdasarkan panperubahan
Solusi
tidak
minor untuk
dangan rasionalitas yang
menyesuaikan
dibatasi.
ya
Model pengambilan keputusan ini berangkat dari
Apakah hal
kehidupan nyata yaitu
Terapkan solusi
tersebut
adanya keterbatasan rasioya
menyelesaikan
nalitas manusia dalam
masalah
pengambilan keputusan.
tidak
Selain itu pengambil keputusan dibatasi oleh sejumKurangi
lah keterbatasan atau
tingkat
hambatan kala menentukan
preferensi atas
proses pengambilan keputusan dan menentukan
Gambar 5: Model Pengambilan Keputusan Berdasarkan
pilihan.
Pandangan Rasionalitas yang Dibatasi
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
93
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah
mencari alternatif keputusan. Oleh karena
kriteria terbatas sudah ditentukan saat
mengidentifikasi masalah. Intinya agar solusi
yang paling memuaskan untuk organisasi. Jika
tidak dapat diterap-kan maka ada perubahan
sedikit dari peng-harapan atau keinginan
pembuat keputus-an diubah disesuaikan dengan
kondisi.
b. Model pengambilan keputusan yang tidak
terstruktur.
Model ini dikenal sebagai model tong
sampah karena model ini membalikan
proses awal pengambilan keputusan yang
artinya pengambil keputusan dapat
mengajukan sejumlah solusi terhadap
masalah yang sesungguhnya tidak ada,
maka pengambil keputusan menciptakan
sejumlah masalah yang mereka dapat
selesaikan melalui solusi yang sudah
tersedia. Menurut model ini keputusan
merupakan hasil suatu interaksi yang rumit
antara 4 peristiwa yang saling tidak terikat
yaitu problem (masalah), solution
(penyelesaian masalah), participants
(pengambil keputusan), choice opportunities
(peluang) menurut Cohen dalam
Dermawan ( 2004 : 112).
2. Teknik Pengambilan Keputusan
Ketika seorang pembuat keputusan akan mencari
jawaban pemecahan masalahnya maka teknik
atau cara yang dipergunakan dapat bermacammacam tergantung tujuan yang hendak dicapai.
Teknik pengambilan keputusan ada 6 jenis,
yaitu:
a. Analisis Diagram Pareto, yaitu teknik untuk
membantu pemimpin dalam menemukan
perubahan yang akan memberi manfaat
terbesar. Teknik ini berguna dalam kondisi
terdapatnya sejumlah alternatif solusi dan
tindakan yang memungkinkan dapat
dipilih. Langkah-langkah yang digunakan
adalah: 1). Tulis semua daftar keinginan
atau perubahan yang hendak kita raih; 2)
beri skor setiap kelompok; 3) pilih skor yang
paling tinggi untuk alternatif jawaban
pengambilan keputusan.
b. Analisis Perbandingan Sepasang, yaitu
teknik untuk membantu pemimpin dalam
memilih pengambilan keputusan dari
94
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
beberapa alternatif jawaban yang ada.
Teknik ini untuk menetapkan skala prioritas
dan yang memberikan manfaat yang besar.
Langkah-langkah yang digunakan adalah:
1). Tulis semua daftar pilihan yang dimiliki;
2) gambarkan tabel pilihan yang terdiri dari
baris dan kolom; 3) pergunakan tabel untuk
membandingkan alternatif jawaban yang
ada; 4) beri skor variasi antara 1-4 untuk
setiap pemilihan alternatif jawaban; 5)
jumlahkan setiap item dan konversikan
dalam persentase.
c. Analisis Jaringan, yaitu teknik untuk
membantu pemimpin dalam memilih satu
pengambilan keputusan dari sejumlah
alternatif yang ada. Teknik ini untuk
mempertimbangkan sejumlah faktor-faktor
yang mempengaruhi dalam pengambilan
keputusan yang sudah diambil. Langkahlangkah yang digunakan adalah:
1) Tulis semua daftar pilihan dan faktor
yang sudah ditetapkan;
2) gambarkan tabel pilihan yang terdiri
dari baris dan kolom;
3) tetapkan tingkat kepentingan relatif dari
seluruh faktor yang ditujukkan dalam
bentuk angka;
4) beri skor dari 0 – 3 ;
5) kalikan setiap skor dengan nilai
kepentingan relatif yang sudah kita
tetapkan;
6) jumlahkan seluruh skor dan skor
tertinggi merupakan pilihan solusi yang
tepat untuk masalah yang dihadapi.
d. Teknik Implikasi Plus – Minus, yaitu teknik
pengambilan keputusan untuk menilai
pandangan pro – kontra dan implikasi dari
sebuah keputusan atau pilihan. Teknik ini
untuk menilai kembali apakah pilihan yang
diambil merupakan pilihan yang paling
tepat. Langkah-langkah yang digunakan
antara lain :
1) Gambar tabel dengan judul setiap
kolom: plus, minus dan implikasi;
2) Di kolom plus tulis seluruh konsekuensi positif dari suatu pilihan;
3) Di kolom minus tulis seluruh konsekuensi negatif dari suatu pilihan;
4) Di kolom implikasi tulis seluruh
implikasi beserta hasil yang
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah
e.
f.
g.
memungkinkan dari pilihan yang
diambil baik positif maupun negatif;
5) Tentukan skor untuk setiap
konsekuensi yang telah ditetapkan;
6) Jumlahkan seluruh skor dari kolom
plus, minus, dan implikasi.
Analisis Kekuatan Lapangan, yaitu teknik
untuk membantu pemimpin dalam memilih
pengambilan keputusan dengan melihat
sejumlah kekuatan dari yang mendukung
maupun yang menghalangi tujuan atau
rencana yang akan diputuskan. Teknik ini
untuk membantu kita dalam menimbang
tingkat kepentingan setiap faktor kekuatan
yang kemudian memberikan input bagi kita
tentang implementasi dari rencana.
Langkah-langkah yang digunakan antara
lain :
1) Gambar tabel dengan judul setiap kolom:
kekuatan dan penghalang;
2) Di kolom penghalang maupun kekuatan
uraikan secara detail;
3) Tentukan skor untuk setiap uraian dari
1–5
Analisis Biaya dan Manfaat, yaitu teknik
untuk membantu pemimpin dalam
pengambilan keputusan berdasarkan biaya
yang akan muncul dan nilai seluruh biaya.
Teknik ini untuk menentukan sejumlah
manfaat ekonomi yang dihasilkan dari
suatu tindakan.
Langkah-langkah yang digunakan antara
lain :
1) Rinci semua biaya yang dikeluarkan
2) Rinci manfaat setiap biaya yang dikeluarkan
3) Jumlahkan seluruh biaya yang dikeluarkan
4) Jumlahkan seluruh manfaat yang
didapat
5) Hitung selisih antara biaya dan manfaat
kemudian perkirakan berapa lama
pengembalian dana investasi.
4) Jumlahkan skor untuk kekuatan dan
penghalang
Analisis SWOT, yaitu teknik untuk
membantu pemimpin dalam mengambil
keputusan dengan cara menggambarkan
secara detail seluruh kekuatan (Strenght),
kelemahan (Weakness), peluang (Oppor-
tunity), hambatan (Threat). Teknik ini untuk
membantu pimpinan memiliki kerangka
kerja dan siap mengantisipasi jika ada
kendala.
Langkah-langkah yang
digunakan antara lain :
1) Susun setiap poin S, W, O, dan T secara
rinci;
2) Setiap poin di atas dihitung skor bobot,
rating, dan jumlah dengan menggunakan tabel. Untuk bobot diberi skor 0,1 –
1, untuk rating diberi skor 1 – 5,
sedangkan untuk jumlah adalah
perkalian antara bobot dengan rating;
3) Analisis setiap poin SWOT dengan
menggunakan tabel yaitu kolom berisi
strategi untuk S dan T, dan baris berisi
strategi untuk O dan W;
4) Tentukan keputusan strategis dari
setiap poin SO, WO, ST, dan WT. Berikut
adalah tabel format menganalisis dan
menentukkan keputusan strategis
menggunakan Analisa SWOT.
Tabel : Format Analisis SWOT
Strength (S) Threat (T)
Opportunities (O)
Strategi
untuk SO
Strategi
untuk TO
Weakness (W)
Strategi
untuk WS
Strategi
umtuk WT
C.
Landasan yang Mendasari
1.
Landasan Psikologi
a. Teori Gestalt
Menurut Hergenhann (2010:284) Gestalt
memandang belajar sebagai problem
khusus dalam persepsi. Mereka mengasumsikan bahwa ketika suatu organisme
berhadapan dengan sebuah problem akan
muncul keadaan disekuibrilium kognitif
dan keadaan ini akan terus menerus
berlanjut sampai problem terselesaikan. Hal
ini karena disekuibrilium kognitif
mengandung unsur motivasional yang
menyebabkan organisme berusaha untuk
mendapatkan keseimbang-an dalam sistem
mentalnya.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
95
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah
b.
Belajar menurut Gestalt adalah fenomena
kognitif, di mana organisme melihat solusi
setelah memikirkan problem. Pembelajar
memikirkan semua unsur yang dibutuhkan
untuk memecahkan problem dan menempatkannya bersama (secara kognitif) dalam
satu cara dan kemudian cara-cara lainnya
sampai problem terpecahkan. Ketika solusi
muncul organisme mendapatkan wawasan
(insight) tentang solusi problem. Problem
dapat terpecahkan atau tidak jadi menurut
Gestalt belajar itu sifatnya diskontinu.
Belajar berwawasan (insightful learning)
adalah belajar yang mempunyai 4
karakteristik yaitu : transisi dari prasolusi
ke solusi terjadi secara mendadak, kinerja
berdasarkan solusi yang tepat, hasil solusi
akan tertanam dalam benak anak, dapat
mengaplikasikan pada masalah yang
ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Teori Jung
Carl Gustav Jung (1875 – 1954) adalah
seorang pengikut Sigmund Freud yang
beraliran psikologi analisis. Jung berpendapat bahwa jiwa seseorang terdiri dari
rasional dan irasional dimana pikiran dan
perasaan termasuk kedalam rasional
sedangkan penginderaan dan intuisi
termasuk irasional. Dalam penilaian
rasional dijabarkan dengan kata benar atau
salah, senang atau tidak senang dan seterusnya, sedangkan penilaian irasional dijabarkan dengan kata sadar dan tidak sadar.
Pikiran
Penginderaan
Intuisi
Perasaan
Gambar 6: Fungsi Jiwa Menurut Jung
Oleh karena itu manusia selalu ada dalam
dunianya sendiri namun karena manusia
adalah makhluk sosial maka manusia harus
bergaul dengan lingkungannya. Oleh karena itu
96
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
harus ada keseimbangan antara dunia dalam
diri dan dunia luar. Seseorang harus dapat
menyesuaikan diri dengan dunia luar dengan
berbagai manifestasi, misalnya seorang kepala
sekolah yang tidak mampu mengatur
bawahannya akan menjadi berlagak sok. Hal ini
karena kepala sekolah tersebut ingin menutupi
kelemahannya dengan berbagai tingkah laku
yang tidak sesuai dengan keadaan. Untuk
memperjelas dapat dilihat pada Gambar 7.
Pikiran
Dunia
Obyek
Pesona
Penginderaan
Intuisi
Aku
Dunia
Subyek
Perasaan
Gambar 7: Hubungan Pribadi Dengan
Dunia dalam Diri dan Dunia Luar
1.
Landasan Filosofi
Aristoteles dianggap sebagai bapak ilmu
empiris karena memelopori pengumpulan
data yang komprehensif dan sistematis.
Beliau memilih metode ilmiah secara
deduktif dan induktif dalam praktek
kehidupan sehari-hari, misalnya seorang
kepala sekolah akan mengumpulkan data
riwayat hidup, data sekolah (NEM, Prestasi
Belajar, Data Siswa, dll.) karena hal ini
sangat penting untuk mengambil keputusan.
Menurut beliau, pengambilan keputusan
dengan data riil tentu lebih akurat
dibandingkan dengan pengambilan
keputusan yang hanya mengandalkan
intuisi semata. Filsafat etika yang diajukan
oleh Aristoteles adalah manusia yang
bertindak melalui pikiran rasional dan
bijaksana untuk tujuan kebaikan (Yuana
(2010: 44)).
John Dewey (1859-1952) adalah seorang
filsuf yang memiliki aliran pragmatisme.
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah
John Dewey terkenal dengan slogan “ dilakukan saat perencanaan, penggerakan,
Kebenaran adalah sesuatu yang benar”. pengawasan, dan pengorganisasian. PengamDewey menganggap kebenaran sebagai sesuatu yang
Perencanaan
realistis dan bersifat teruji.
Ada 5 tahap proses pengujian secara intelektual, yaitu:
a. Saat ada perubahan maka
Pengambilan
Pengawasan
Pengoragnisasian
manusia segera berpikir
Keputusan
untuk mencari penyelesaian
b. Merumuskan permasaPenggerakan
lahan
c. Menyusun dugaan
d. Mengidentifikasi hipoGambar 8. Fungsi Manajemen dalam
tesa dan pencarian urutPengambilan Keputusan
an tingkat kebenaran
e. Pengujian untuk membuktikan bilan keputusan ini tidak hanya bersifat
kebenaran
substantif untuk menyusun rencana-rencana
strategis tetapi juga dalam menangani
pelaksanaan tugas-tugas operasional serta
A. Manajemen Kepemimpinan Sekolah
Manajemen merupakan sebuah proses mengatasi masalah-masalah yang menyimpang
bekerja sama baik antar individu mapun dari rencana.
Para kepala sekolah perlu mempelajari atau
kelompok serta sumber daya lainnya untuk
mencapai tujuan organisasi. Menurut mengenali masalah apa saja yang dihadapi atau
Gintings (2009:5) manajemen terdiri dari peluang apa saja yang harus ditangkap oleh
unsur uang, sumber daya manusia (SDM), organisasi. Oleh karena itu faktor apa saja yang
material, pasar, teknik dan metode di dalam menyebabkan munculnya masalah atau faktor
suatu organisasi, dalam prosesnya apa saja yang menjadi kekuatan dan kelemahan
manajemen memiliki fungsi perencanaan harus diidentifikasikan secara rasional dan
(plan), pengorganisasian (organizing), sistematis. Kepala sekolah harus dapat
penggerakkan (actuating) dan pengawasan merumuskan masalah yang tepat agar proses
pengambilan keputusan menjadi baik.
(controling).
Para kepala sekolah menyusun sejumlah
Salah satu fungsi yang melekat dalam
manajemen terutama fungsi perencanaan alternatif yang diperkirakan atau menjadi
adalah pengambilan keputusan. Sebagai praduga sementara dalam menjawab perumussebuah sistem kerja manajemen, an masalah. Berbagai alternatif jawaban dibuat
pengambilan keputusan perlu dipertim- untuk memecahkan permasalahan dan yang
bangkan dengan tepat. Seorang kepala bersifat menguntungkan bagi organisasi.
Para kepala sekolah menilai keuntungan
sekolah dituntut keberanian untuk
mengambil resiko atas keputusan yang atau kerugian dan kelemahan atau kekuatan
diambil.
dari setiap alternatif jawaban dalam
Mondy dan Premeaux dalam Syarafuddin memecahkan permasalahan. Diperlukan kejelian
(2004:54) menggambarkan hubungan dalam memilih alternatif jawaban guna
fungsi manajemen dengan pengambilan mengambil keputusan. Tidak saja pikiran,
keputusan seperti terlihat pada Gambar 8. perasaan, penindraan dan intuisi yang baik
Para kepala sekolah bertanggung jawab dalam memilih alternatif jawaban tersebut.
terhadap masa depan organisasi melalui
Para kepala sekolah memilih jawaban dari
pengambilan keputusan sesuai tingkatan perumusan masalah yang dianggap paling
kedudukannya. Proses pengambilan keputusan menguntungkan organisasi dan siap untuk
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
97
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah
ditetapkan dalam organisasi. Selanjutnya
dilaksanakan sebagai keputusan yang diambil
oleh organisasi.
Para kepala sekolah harus mengevaluasi
keputusan yang sudah diambil apakah sudah
mencapai tujuan yang diinginkan atau belum.
Jika belum maka perlu ada perbaikan dengan
melihat kembali alternatif jawaban yang dibuat
atau menambah dengan melengkapi alternatif
jawaban yang lain.
Sistem sekolah mengolah berbagai input
kemudian diolah atau ditarnsformasikan
menjadi output yang selanjutnya keluaran
ditransformasi kepada masyarakat. Pusat
kegiatan ada pada proses pembelajaran antara
siswa dan guru. Selain ada proses evaluasi yang
dilakukan oleh guru untuk melihat sejauh mana
perkembangan siswanya.
Kegiatan organisasi sekolah berkaitan
dengan kegiatan yang melibatkan kelompok
untuk mengambil sebuah keputusan. Hal ini
berkaitan dengan alokasi, wewenang, dan
koordinasi kegiatan. Setiap fungsi memiliki
keahliannya sendiri-sendiri untuk menjalankan
tugasnya. Umumnya di dunia pendidikan ada
jenjang wewenang dari seorang pengawas
hingga guru. Dapat dilihat pada Gambar 9.
Dari gambar di atas dapat dikatakan bahwa
seorang pengawas mempunyai garis perintah
yang lebih tinggi daripada kepala sekolah.
Walaupun memang seorang pengawas masih
harus tunduk pada kewenangan pemerintah.
Koordinator sekolah mempunyai garis perintah
lebih tinggi daripada seorang guru namun
koordinator ada di bawah perintah seorang
kepala sekolah. Agar berjalan baik dalam sistem
Gambar 9: Sistem Organisasi Sekolah
dan Aktivitas
98
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
organisasi sekolah guru yang melayani
bimbingan atau guru yang mengajar bidang
studi atau guru yang mendukung layanan pada
siswa ada di bawah perintah kordinator.
Pembahasan
Timbulnya banyak permasalahan karena
sebuah sekolah yang dipimpin oleh seorang
kepala sekolah tidak mempunyai sebuah
keputusan yang tepat dalam hal mengelola.
Seorang kepala sekolah hendaknya terampil
dalam mengambil keputusan, tentu banyak halhal yang perlu dipertimbangkan (Lipman 1985:
90). Fungsi manajemen dapat memberi petunjuk
agar pengambilan keputusan lebih tepat.
Dimulai
dari
fungsi
perencanaan,
pengoorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan. Saat merencanakan suatu
program hendaknya seorang pemimpin berpikir
secara induktif dan deduktif dalam menentukan
alternatif pilihan untuk memecahkan
permasalahan atau menentukan perencanaan
Cooper dan Schindler dalam Dermawan
(2004:47).
Menurut Lipman (1985: 81) model proses
pengambil keputusan ada 6 langkah dimulai
dari identifikasi masalah lalu merumuskan
masalah selanjutnya dibuat keputusan dengan
berbagai macam jawaban alternatif, pembuat
keputusan harus dapat memilih salah satu
jawaban alternatif yang paling tepat yang
selanjutnya dilaksanakan dan dievaluasi
pelaksanaannya untuk menjadi bahan refleksi.
Ketika akan memutuskan seorang pembuat
keputusan harus memperhatikan beberapa hal
seperti: value perlu memperhatikan faktor seperti
kehidupan sosial, organisasi dan individu),
information (terdiri dari jumlah data, bentuk data
dapat dibantu oleh komputer dan alur informasi
yang dapat diperoleh serta mempertimbangkan
waktu), perceptual screen (terdiri kreativitas, IQ,
situasional, kebutuhan, dan pengalaman
sebelumnya), weighing alternatives (mempertimbangkan kebutuhan, isu, kesempatan,
seberapa sering terjadi, kemungkinan untuk
mengukurnya). Model ini sejalan dengan yang
diungkapkan oleh (Cooper dan Schindler dalam
Dermawan, 2004:47) bahwa dalam pengambil
keputusan seorang pengambil keputusan harus
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah
berpikir cara induktif dan deduktif untuk
mencari jawaban alternatif pemecahannya.
Dari model pengambilan keputusan yang
dikemukan oleh Lipman dan Cooper, seorang
pengambil keputusan harus memiliki banyak
informasi tentang RSBI misalnya, dengan cara
mengobservasi langsung SBI yang sudah ada
baik lokal maupun di luar negara jika
memungkinkan untuk mencari banyak
informasi tentang SBI. Dari informasi tersebut
akan muncul permasalahan. Misalnya berapa
biaya yang harus dipersiapkan untuk
mendirikan SBI? Pertanyaan lain mungkin
muncul bagaimana mempersiapkan SDM yang
handal? dsb. Ketika studi banding ke SBI
hendaknya sudah dipersiapkan instrumen yang
tepat apa yang akan dicari informasi SBI. Jika
memungkinkan instrumen tersebut divalidasi
sebelumnya.
Selanjutnya langkah menyusun rumusan
masalah yang perlu dijawab sementara
(hipotesa) misalnya SDM harus yang memiliki
persyaratan lulusan S-2 keguruan dan yang
fasih berbahasa inggris baik bicara maupun
menulis; biaya yang harus disediakan saat
mendirikan SBI sekitar 2 milyar dengan rincian
yang jelas untuk sarana prasarana, SDM, dll;
kurikulum mengadopsi dari kurikulum IB hanya
untuk IPA dan matematika. Dari semua hipotesa
tersebut dibuktikan kebenarannya dengan
menggunakan instrumen baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Hasil dari semua
perhitungan tersebut untuk menjawab rumusan
masalah sebagai bahan pertimbangan untuk
mengambil keputusan. Pemimpin dapat
mempertimbangkan hasil alternatif jawaban
untuk mengambil keputusan dalam
merencanakan program sebuah SBI.
Misalnya ada permasalahan pada SDM saat
pelaksanaan RSBI maka menurut Lipman,
seorang pengambil keputusan harus dapat
mencari jawaban alternatif permasalahan yang
tepat misalnya dari data informasi bahwa guru
yang berpendidikan S-2 non kependidikan lebih
banyak daripada S-2 kependidikan, guru yang
berbahasa Inggris pada guru yang S-2 non
kependidikan dan S-1 kependidikan tidak fasih
berbahasa Inggris. Dibuat beberapa alternatif
jawaban seperti guru S-2 non kependidikan
dikuliahkan khusus untuk pedagogik, atau guru
S1 kependidikan dileskan bahasa Inggris secara
intensif, atau guru S-1 kependidikan magang di
sekolah internasional untuk beberapa lama agar
bahasa Inggrisnya bisa lebih baik, dll.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut dapat
dicari oleh pembuat keputusan dari data
informasi yang didapat, brainstroming dengan
staf guru yang berwenang, atau mencari seorang
konsultan.
Misalnya timbul masalah pada kurikulum
yang digunakan RSBI, maka pengambil
keputusan perlu mendapat banyak data tentang
kurikulum yang digunakan sekarang, apa
keunggulan dan kelemahannya. Dapat juga dari
hasil observasi dan studi banding atau
pencarian dari internet didapatkan info
kelemahan dan kekuatan kurikulum dari negara
Singapura, Malaysia, New Zealand, Hongkong,
Jepang, dan Kanada. Dari info tersebut dipilih
beberapa alternatif kurikulum yang dianggap
tepat diterapkan di Indonesia baik ditinjau dari
segi budaya, sosial dan politik. Misalnya
pemilihan kurikulum yang tepat adalah
kurikulum dari Hongkong karena dari segi
budaya, sosial dan politik tidak terlalu beda jauh.
Maka pemilihan kurikulum Hongkong
diujicobakan dahulu pada 1-2 kelas agar dapat
diketahui sejauhmana keberhasilannya.
Selanjutnya mengevaluasi pelaksanaan
kurikulum Hongkong tersebut untuk direvisi
sebagai solusi selanjutnya.
Seorang kepala sekolah ketika sudah
mempunyai alternatif keputusan perlu
dipertimbangkan dari segi perasaan dan intuisi.
Siagian dalam Syafaruddin (2004:67)
mengungkapkan bahwa seorang pemimpin
dalam proses mengambil keputusan selain
berpikir ilmiah (rasional) juga berpikir kreatif
artinya berpikir didasarkan pada perasaan,
pengalaman, dan intuisi seseorang.
Keseimbangan antara pikiran, perasaan, intuisi,
dan pengindraan sering diungkapkan dalam
kalimat “iman, pelayanan dan doa”. Manusia
yang hidup secara sosial tentu akan saling
berinteraksi satu dengan lainnya. Dalam
interaksinya akan ada melayani dan dilayani.
Oleh karena itu seorang pemimpin yang baik
tentu akan mengambil keputusan bukan untuk
kepentingan pribadi melainkan untuk
kesejahteraan bersama.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
99
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah
Pengambilan keputusan didirikannya SBI
dengan tujuan yang baik yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa dalam rangka mengantisipasi era globalisasi maka perlu mempertimbangkan dari segi kesejateraan bersama
misalnya, apakah hanya anak yang dari
kalangan tertentu yang dapat bersekolah di SBI
atau setiap anak Indonesia? Pemimpin perlu
merefleksikannya dalam doa dan iman kepada
Tuhan memohon bantuannya dalam menentukan alternatif pengambilan keputusan.
Pemimpin yang agung seperti terungkap
dalam Alkitab, bahwa rencana akan gagal jika
tidak disertai pertimbangan sedangkan rencana
akan berhasil jika banyak yang memberi nasehat
(Amsal 15 : 22). Melihat profil kepemimpinan
Nabi Nehemia sebagai seorang pembuat
keputusan yang jelas memberikan contoh
teladan yang harus ditiru oleh kita semua.
Dalam Nehemia 5 ayat 7 dikatakan bahwa
setelah berpikir masak-masak. Sebuah
pernyataan yang memperingatkan pada
pimpinan untuk berhati-hati dalam mengambil
keputusan karena menyangkut banyak pihak.
Oleh karena itu minta banyak nasihat pada
orang-orang yang berpengalaman atau
“ahlinya”. Kaitan dengan SBI pihak yang
terlibat antara lain guru dan staf, siswa, orang
tua, dinas setempat, mempertanggung jawabkan
kepada Allah YME, dll.
Setelah seorang pimpinan menentukan
alternatif jawaban dalam pengambilan
keputusan, maka teknik yang dipakai tergantung
dari tujuan yang akan dicapai. Dari setiap
alternatif jawaban perlu dipertimbangkan lagi
agar keputusan yang diambil tepat. Misalnya,
setelah kepala sekolah mengetahui dari studi
banding dan info dari berbagai pihak maka
teknik yang dapat digunakan untuk mengetahui
berapa lama BEP (Break Even Point) yang dapat
dicapai oleh SBI tersebut dengan menggunakan
teknik analisis biaya dan manfaat. Teknik
analisis digram Pareto dapat digunakan seorang
pimpinan untuk mengetahui apakah SBI tepat
berlokasi disuatu area. Untuk penentuan kurikulum yang akan diadopsi oleh SBI dapat menggunakan analisis jaringan dengan memilih beberapa kurikulum dari luar negeri seperti, Jepang,
Hongkong, Singapura, dan lain-lain. Kriteria
yang perlu dipertimbangkan adalah harga
100
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Franchase, bahan Ajar, media, kemampuan guru
mengajar, kemampuan siswa. Analisa SWOT
dapat digunakan untuk menganalisa kekuatan
dan kelemahan pesaing SBI lain. Dengan
memanfaatkan seluruh teknik yang ada, seorang
pimpinan akhirnya dapat mengambil keputusan
secara bijaksana untuk kepentingan bersama.
Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan
oleh seorang pemimpin dalam pengambilan
keputusan seperti: pertama Posisi atau
kedudukan yang mengambil keputusan itu
sebagai pembuat keputusan atau penentu
keputusan. Misalnya pembuat keputusan dalam
kebijakan SBI dibuat oleh kepala sekolah bagi
sekolah swasta, sedangkan yang penentu
kebijakan oleh anggota yayasan sekolah tersebut.
Kedua, Masalah yang dihadapi tersebut
masalah yang rutin atau insidental atau
masalahnya terstruktur atau tidak terstruktur.
Umumnya masalah rutin bisa dipecahkan oleh
guru namun masalah yang sifatnya insidental
bisa dipecahkan oleh guru atau kepala sekolah.
Sebagai komite sekolah atau yayasan dari
sekolah akan memecahkan masalah umumnya
masalah yang tidak terstruktur artinya masalah
tersebut sifatnya tidak tetap dan jarang dijumpai.
Ketiga, keadaan internal organisasi seperti
tersedianya dana, keadaan SDM, kompetensi
karyawan yang ada, kelengkapan sarana
prasarana di sekolah, struktur organisasi
sekolah. Pertimbangkan apakah guru harus
memiliki ijazah keguruan, ataukah sarjana
bahkan magister, dana yang dikucurkan dari
yayasan atau bantuan komite sekolah atau
bahkan dapat bantuan dari UNICEF atau badan
hukum lainnya.
Keempat, keadaan eksternal organisasi
seperti budaya, ekonomi, sosial dan politik
setempat, misalnya daerah pemukiman yang
hampir 75% penduduknya bekerja di kantoran
dan berpenghasilan minimal 6 juta dapat
dikatakan orang tua yang mampu untuk
menyekolahkan anaknya dengan biaya yang
melebihi batas normal sekolah biasa, atau
penduduk tersebut banyaknya kedutaan dari
berbagai negara maka tentu bahasa yang
digunakan adalah bahasa inggris sebagai
pengantarnya.
Kelima, tersedianya informasi yang
diperlukan misalnya banyak siswa yang akan
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah
sekolah di SBI sifat informasi harus akurat, up to
date, relevan dan memiliki kesalahan kecil
sehingga data tersebut bisa dipakai sebagai
acuan untuk mengambil keputusan; keenam,
kepribadian dan kecakapan pengambail
keputusan meliputi intelegensi, keterampilan
kebutuhan dan penilaian. Pengambilan
keputusan merupakan seni dan ilmu karena
setiap pemimpin mempunyai gaya dan tipe
tersendiri dalam mengambil keputusan.
Dari paparan di atas penulis hendak
mendeskripsikan bahwa dari analisa masalah
yang muncul berdirinya SBI atau RSBI jika
ditelaah lebih jauh dimulai dari fungsi
perencanaan dalam sistem organisasi harus
menggunakan model langkah-langkah
pengambil keputusan dalam mencari beberapa
jawaban alternatif untuk diambil keputusannya.
Cara berpikir seorang pemimpin mempengaruhi
keputusan dan teknik yang dipakai untuk
mempermudah mencari alternatif jawabanpun
berpengaruh atas kebijakan SBI.
Simpulan
yang dapat diperoleh serta mempertimbangkan
waktu), perceptual screen (terdiri kreativitas, IQ,
situasional, kebutuhan, dan pengalaman
sebelumnya), weighing alternatives (mempertimbangkan kebutuhan, isu, kesempatan, seberapa
sering terjadi, kemungkinan untuk mengukurnya).
Untuk membantu setiap langkah dalam
memecahkan masalah ada teknik-teknik yang
dapat dimanfaatkan oleh seorang kepala
sekolah untuk mengambil keputusan yang tepat
dan bijaksana antara lain: teknik analisa
diagram pareto, analisa perbandingan
sepasang, analisa jaringan, analisa implikasi
Plus-Minus, analisa kekuatan lapangan, analisa
biaya dan manfaat dan analisa SWOT.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan
oleh seorang kepala sekolah dalam mengambil
keputusan seperti: 1) Posisi atau kedudukan
yang mengambil keputusan ;2) Masalah yang
dihadapi; 3) keadaan internal organisasi: 4)
keadaan eksternal organisasi; 5) tersedianya
informasi yang diperlukan; 6) kepribadian dan
kecakapan pengambil keputusan.
Kesimpulan
Rekomendasi
Pengambilan keputusan adalah proses seorang
manusia dalam mempertahankan dirinya dalam
kehidupan untuk memecahkan permasalahan
yang timbul dengan mencari jawaban
pemecahan masalah tersebut yang paling tepat.
Menuurt Lipman (1985: 81) model proses
pengambil keputusan ada 6 langkah dimulai
dari identifikasi masalah lalu merumuskaan
masalah selanjutnya dibuat keputusan dengan
berbagai macam jawaban alternatif, pembuat
keputusan harus dapat memilih salah satu
jawaban alternatif yang paling tepat yang
selanjutnya dilaksanakan dan dievaluasi
pelaksanaannya untuk menjadi bahan refleksi.
Ketika akan memutuskan, seorang pembuat
keputusan harus memperhatikan beberapa hal
yaitu: value perlu memperhatikan faktor seperti
kehidupan sosial, organisasi dan individu),
information (terdiri dari jumlah data, bentuk data
dapat dibantu oleh komputer dan alur informasi
Seorang pemimpin dalam menjalankan sebuah
organisasi selalu mengambil keputusan yang
merupakan prasayarat penentu tindakan.
Pengambilan keputusan merupakan sebuah
ilmu dan seni yang harus dicari, dipelajari,
dimiliki dan dikembangkan secara mendalam
oleh setiap pimpinan. Ragamnya masalah yang
muncul dalam sebuah organisasi tentu akan
melakukan pengambilan keputusan yang
beragam pula tergantung sudut pandang
pimpinan. Oleh karena itu seorang pimpinan
dalam mengambil keputusan sebaiknya:1.
Jangan mengambil keputusan secara kebetulan;
2. Jangan mengambil keputusan secara
sembrono (tergesa-gesa); 3. Jangan mengambil
keputusan tanpa menguasai hakekat
masalahnya; 4.jangan mengambil mengambil
keputusan karena “trend” atau isu di
masyarakat; 5. Jangan hanya ada stu alternatif
jawaban dalam mengambil keputusan.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
101
Pertimbangan dan Strategi Pengambilan Keputusan Kepala Sekolah
Daftar Pustaka
Dermawan, R. (2004). Pengambilan keputusan.
Bandung: Alfabeta
Gintings, A.(2009). SIM Pendidikan. Bandung:
Uninus Press
Hergenhahn, B.R. (2010). Theories of learning.
Jakarta: Kencana Predana Media Group
http://kampus.okezone.com/read/
http://satriadharma.com/tag/rsbi/
http://scribd.com/doc/50340377
Lembaga Alkitab Indonesia. (1976). Alkitab.
Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia
Lipman, J.M. dan Rankin, R.E,. (1985). The
principalship concepts, competencies, and
cases. New York: Longman
102
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
Nonci, Johara. (2006). Pola kepemimpinan Kepala
sekolah dalam lulusan akta kekepalasekolahan
dalam pengambilan keputusan. Jurnal
Samudera Ilmu. 1. (1). 274 -277
Poerwadarminta, W.J.J. (2007). Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Rochaety, Ety .(2008). SIM Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara
Suryabrata,S. (1983). Psikologi kepribadian.
Jakarta: Rajagrafindo Persada
Syafaruddin & Anzizhan. (2004). Sistem
pengambilan keputusan pendidikan. Jakarta:
Grasindo
Tjahjono, H. (2002). Kepemimpinan dimensi
keempat. Jakarta: Elex Media Komputindo
Yuana, K. (2010). The greatest philosophers. Yogya:
Andi offset
Isu Mutakhir: Mau Kemana Kurikulum Pendidikan?
Isu Mutakhir
Mau Kemana Kurikulum Pendidikan Kita?
Hotben Situmorang
E-mail: [email protected]
Bidang Peningkatan Profesi Guru-IGI, Jakarta
ebuah iklan susu
yang
menggambarkan
kecerdasan anak balita
dengan mengambil satu buku
‘papanya’ yang sedang sibuk
dan menaruhnya ke kolong
meja. Sang ‘papa’ menunduk
hendak mengambilnya dan
serta-merta si anak meraih
punggungnya dan
menunjukkan sikap ingin
main kuda-kudaan. Suara
sang ibu menegaskan : “Ooo,
Papa jadi kudanya?” Tentu
gambaran ini hanya iklan,
nalar anak balita dalam
merancang situasi yang akan
terjadi setelah mengambil
buku papanya tentu hanya
rekayasa kreatif dari iklan
susu tersebut. Akan tetapi
persoalan bernalar memang
telah menjadi sorotan para
ahli dan pemerhati
pendidikan masa kini.
Hujan kritik terhadap
pelaksanaan Ujian Nasional
(UN), yang oleh para aktivis
dinyatakan sebagai biang
kerok yang mereduksi tujuan
pendidikan menjadi nirnalar.
Evaluasi pendidikan yang
berfokus pada pelaksanaan
UN dengan mengedepankan
ingatan perlu perubahan
S
sehingga menjadikan proses
dan nalar menjadi titik
beratnya. Gundah gulana
pemegang kekuasaan untuk
berbuat yang lebih baik dalam
kebijakan pendidikan jelas
terlihat dan mencoba melirik
apa yang dilakukan Negara
maju.
Kegundahan tersebut
juga juga dipengaruhi beban
tanggung jawab terhadap
amanat pembukaan UUD 45
yang menyatakan : “…
melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan
kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban
dunia …” (huruf tebal
tambahan penulis).
Selanjutnya dipertegas
pada pasal 28C UUD 45 Ayat
(1) : “Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi
kesejahteraan umat
manusia.” (huruf tebal
tambahan penulis).
Penugasan pemegang
kendali kebijakan dinyatakan
pada pasal 31 ayat (3) :
“Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan
bangsa, yang diatur dengan
undang-undang.” (huruf tebal
tambahan penulis).
Negara yang
pendidikannya sudah baik
juga terus bergumul dalam
mempersiapkan generasi
mudanya. Berbagai program/
kebijakan pendidikan dalam
menghadapi persaingan
global telah menjadi rumor
yang mempengaruhi dunia.
Amerika mencetuskan
program “No Child Left
Behind” sebagai usaha
mengatasi ketimpangan di
masyarakatnya. An act to close
the achievement gap, so that no
child is left behind.
Dalam merancang
kurikulum pendidikan untuk
jenjang Pre-University,
Cambridge menegaskan, “Pre-
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
103
Isu Mutakhir: Mau Kemana Kurikulum Pendidikan Kita?
U is a post-16 development
which aims to prepare students
with the skills and knowledge
required to make a success of their
subsequent studies at university.
Universities tell Pre-U that they
want students who are equipped
to benefit from a higher education
experience which calls for a more
independent and self-directed
style of learning.”
Sesungguhnya usaha
perbaikan mutu pendidikan
telah berlangsung sejak
Indonesia merdeka. Dari
usaha pemerataan mutu
pendidikan dan mobilisasi
tenaga terdidik untuk menjadi
guru telah terjadi pada awal
kemerdekaan republik ini.
Dari sisi kurikulum, beberapa
kali perubahan yang
dimaksudkan menselaraskan
kemajuan teknologi dengan
proses pendidikan. Berbagai
penamaan kurikulum seperti :
Broad- Based Curriculum,
Competency-Based Curriculum
dan hingga diberlakukannya
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP).
Kesemuanya itu dimaksudkan
meningkatkan mutu
pendidikan. Dengan KTSP
diharapkan muncul inovasi
pembelajaran yang lebih
bermutu dan sekaligus
memfasilitasi adaptasi
kurikulum dari negara yang
sudah maju.
Kurikulum 2013 yang
mulai dijalankan dengan
mengacu pada KepMen No.
70 tahun 2013 memiliki
tujuan untuk meningkatkan
rasa ingin tahu siswa dan
mendorong siswa untuk aktif
dan bernalar. Kurikulum
tersebut didesain sedemikian
sehingga menjadikan siswa
104
tidak hanya menjadi obyek
namun bisa menjadi subyek
dan ikut mengembangkan
wawasan pembelajaran yang
ada. Standar penilaian pada
kurikulum ini tentu berbeda
dengan kurikulum
sebelumnya, dan salah satu
komponen penting dalam
menilai siswa adalah
kemampuan anak bertanya .
Secara teknis perangkat
kurikulum ini telah disiapkan
lengkap dengan buku materi
dan silabus, serta buku
pegangan guru yang berisi
alternatif pendekatan
(pedagogi) yang hendak
dipergunakan guru dalam
membahas topik pelajaran.
Guru tak lagi dibebani dengan
kewajiban untuk membuat
silabus seperti yang pada
pelaksanaan kurikulum
sebelumnya.
Persoalan yang luput
dari pertimbangan penentu
kebijakan ini adalah dampak
terhadap kreatifitas guru yang
terbunuh. Guru yang
seharusnya memformulasikan
proses pembelajaran
berdasarkan kondisi sekolah
dan keberadaan siswanya
menjadi terabaikan. Maksud
memudahkan guru alih-alih
menjadikan ‘guru menjadi
buruh’. Penyusun naskah
juga dikwatirkan tidak
memikirkan sedemikian luas
dan banyaknya ragam
wilayah Indonesia, sehingga
dimungkinkan terjadi
pendangkalan konsep materi
yang hendak disampaikan
guru (yang penting
tersampaikan). Sebagai
contoh, dalam membicarakan
‘pengaruh angin barat’ tentu
lebih sulit difahami
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
masyarakat petani atau
perkotaan, tetapi mudah bagi
masyarakat nelayan atau
kepulauan terkait kedekatan
peristiwa tersebut dengan
kehidupan sehari-hari.
Yang menjadi pertanyaan
lainnya adalah kesiapan guru
mengeksekusi kurikulum ini,
karena peluncurannya yang
terkesan dipaksakan. Kesan
“paksa” bisa jadi berkonotasi
negatif pada aspek psikologis
pelaksana. Karena terpaksa
bisa jadi pelaksanaannya
hanya seadanya atau lebih
ekstrim terjadi penolakan
sehingga tindakan guru justru
akan lebih mempertontonkan
kelemahan kurikulum ini. Jika
ini terjadi maka yang
dirugikan adalah siswa.
Siswa yang menjadi objek
berdirinya sekolah
seharusnya sepadan dengan
apa yang disampaikan Terry
M. Moe dalam bukunya
Teacher’s Union and America’s
Public School (2011,p3),
sebagai berikut.
… because of this so, everything
about the public schools-how they
are staff, how they are funded,
and more generally how they are
organized to do their work-shoud
be decided with the best
interests of children in mind.
(huruf tebal tambahan
penulis).
Sementara jika
ditelusuri, ternyata dokumen
Kurikulum 2013, juga masih
memunculkan pertanyaan.
Sebagai contoh, seorang guru
bernama Puti Saraspaty
mempertanyakan apakah ada
yang dapat memahami
Kompetensi Dasar (KD)
Bahasa Indonesia untuk
siswa kelas 1 SD semester satu
Isu Mutakhir: Mau Kemana Kurikulum Pendidikan?
berdasarkan kurikulum 2013
(dapat dilihat di Permendikbud No.67 tahun 2013). KD
yang dipertanyakan adalah:
”Mengamati dan
menirukan teks deskriptif
tentang anggota tubuh dan
pancaindra, wujud dan sifat
benda, serta peristiwa siang
dan malam secara mandiri
dalam bahasa Indonesia lisan
dan tulis yang dapat diisi
dengan kosakata bahasa
daerah untuk membantu
penyajian.” Mungkin masih
banyak pertanyaan teknis
yang mucul dalam
pelaksanaan Kurikulum 2013
akibat kekurangpahaman
pelaksana.
Kesan dipaksakan dalam
implementasi kurikulum 2013
juga terlihat dari jumlah
sekolah yang dituntut
mengimplementasikan
kurikulum ini berubah dari
rencana awal seluruh sekolah
(100%) dikurangi sehingga
hanya menunjuk sekitar 10 %
dari sekolah negeri yang
menjadi milik/dijalankan
oleh Pemerintah ditambah
dengan beberapa/segelintir
sekolah swasta. Sekolah
swasta yang ditunjuk juga
hanya sekolah yang dari awal
diperkirakan dapat
menambah angka kesuksesan
berhasilnya kurikulum 2013
ini. Jumlah sekolah swasta
yang pada kenyataannya jauh
lebih besar tidak termasuk
dalam perhitungan kuota 10%
tersebut. Dapat dikatakan
bahwa peran sekolah swasta
tidak menjadi pertimbangan,
atau swasta dipersilahkan
mengikuti perkembangan di
sekolah negeri. Kebijakan
yang sesungguhnya
mengingkari fakta, bahwa
pelopor perubahan
pembelajaran dan inovasi
kurikulum sesungguhnya
adalah sekolah swasta.
Ungkapan jujur yang
disampaikan oleh Tim yang
mewakili Kemendikbud pada
sidang Mahkamah Konstitusi
saat perkara Sekolah Bertaraf
Internasional diperkarakan.
Penilaian aktivis
pendidikan terhadap
kurikulum baru yang
menggantikan KTSP ini
sebenarnya masih pro-kontra.
Ada pendapat yang
menyatakannya hanya sesuai
untuk anak-anak yang berasal
dari golongan menengah ke
atas. Hal ini terkait model
pengembangannya yang
mengadopsi pembelajaran
yang berlaku di sekolah yang
menyatakan diri bertaraf
internasional tersebut.
Sementara pendapat lain,
penerapan kurikulum baru ini
antara lain agar metode yang
muncul di sekolah
internasional juga dapat
dirasakan seluruh sekolah di
Indonesia, termasuk di
sekolah pedesaan atau yang
terletak di daerah geografis
yang tergolong sulit
dijangkau.
Dengan demikian muncul
kehawatiran, implementasi
Kurikulum 2013 akan
menghasilkan kastanisasi
pendidikan. Kasta tertinggi
yang merupakan sekolah
dengan perangkat sarana dan
sumberdaya yang baiklah
yang ditunjuk
melaksanakannya. Sekolah
dengan sumberdaya minimal
yang dipersepsi sebagai kasta
terendah dinilai akan
kesulitan sehingga diberikan
kelonggaran tidak
mengimplementasikan
Kurikulum 2013. Padahal
UUD ’45 mengamanatkan
desain pendidikan adalah
untuk seluruh masyarakat
Indonesia, dengan tidak
membeda-bedakan derajat
kehidupannya. Kata ‘satu
sistem pendidikan nasional’
yang tercantum pada UUD 45
pasal 28C Ayat (1) memang
menjadi perdebatan dan
pergumulan tersendiri apabila
memperhatikan luasnya
negara ini dengan disparitas
yang ada. Dalam konteks
inilah kebijakan Pemerintah
ditentang, manakala
dibangunnya sekolah rintisan
bertaraf internasional yang
oleh masyarakat dituduh
sebagai ‘kastanisasi’
pendidikan, sehingga
kebijakan tentang RSBI
dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi. Usaha Pemerintah
dalam memajukan
pendidikan memang
memerlukan pemikiran yang
menyeluruh dan tidak parsial.
Kemajuan harus menjadi
milik semua anak bangsa.
Entah apa yang terjadi jika
Pemerintahan berubah pada
tahun 2014.
Melihat banyaknya
keragaman situasi, baik letak
geografis maupun demografis,
sesungguhnya KTSP
merupakan pilihan terbaik
yang dapat diterima karena
masing-masing sekolah
mengetahui kondisi lapangan
sehingga metode
pembelajarannya dapat dicari
yang sesuai. Pemerintah
seharusnya tidak mengganti
kurikulum tetapi menekankan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
105
Isu Mutakhir: Mau Kemana Kurikulum Pendidikan Kita?
pembenahan dan evaluasi.
Jika pada pelaksanaan KTSP
terjadi masalah yang cukup
signifikan dan berdampak
pada proses belajar anak
didik, masalah tersebut
seharusnya dibenahi.
Misalnya, Lembar Kerja Siswa
(LKS) dengan konten tak
sesuai, karena kemampuan
guru yang masih kurang.
Kemampuan guru yang
demikianlah yang perlu
ditingkatkan.
Contoh lain, persepsi
yang tidak tepat atas atas
muatan lokal dalam
kurikulum. Banyak sekolah
memanfaatkanya sebagai
ruang penambahan mata
pelajaran tertentu yang tidak
berkaitan dengan situasi lokal
kedudukan sekolah.
Seyogianya kearifan lokal
yang menjadi salah satu
filosofy kehidupan
masyarakat tempat sekolah
berada dapat dijadikan
menjadi bagian kurikulum
dengan sebutan muatan lokal.
Pembelajaran muatan lokal
juga tidak seharusnya
dipaksakan diajarkan di
sekolah. Keterlibatan siswa
atau perancangan program
tertentu yang memberi
pengalaman dan pemahaman
siswa akan makna kehidupan
masyarakat lokal dapat
dijadikan sebagai bagian
kurikulum. Membantu orang
tua dalam usaha tertentu yang
menopang kehidupan
keluarga juga merupakan
pembelajaran berharga yang
perlu diberikan kredit poin,
asalkan periode pelaksanaannya memenuhi kriteria
yang digariskan sekolah.
Australia membebas-kan
106
siswa “Year XI” dari wajib
belajar di sekolah asalkan
yang bersangkutan bekerja
setidaknya 20 jam setiap
minggu dan memper-oleh
penghasilan. Sekolah tetap
memberikan sertifikat untuk
melanjut ke perguruan tinggi
yang relevan setelah masa
“Year XII”. Selama periode
tersebut sekolah
berkomunikasi dengan
lembaga yang mempekerjakan
siswa tersebut.
Isu remunerasi yang
diterima guru dengan aturan
yang berlaku juga tidak
terbebas dari persoalan
implementasi Kurikulum
2013. Terjadinya
penggabungan mata pelajaran
yang pada SD semula 10 mata
pelajaran menjadi enam mata
pelajaran, berakibat pada
sejumlah mata pelajaran yang
hilang. Untuk mata pelajaran
SMP, dari 12 menjadi hanya
10 mata pelajaran, dan disisi
lain ada perubahan alokasi
waktu pembelajaran dari
yang sebelumnya 32 jam
menjadi 38 jam pelajaran per
minggu sehingga ruang
modivikasi bagi sekolah
menjadi sempit.
Lain lagi pada jenjang
SMA/SMK yang semula ada
18 mata pelajaran menjadi 9
yang wajib dan ditambah
dengan peminatan akademik
untuk SMA dan peminatan
vokasional pada SMK. Ada
pelajaran wajib dan pilihan
(= diikuti/dipelajari sesuai
minat).
Pada setiap jenjang
pendidikan (mulai kelas 4
(SD/MI) ke atas, bisa terjadi
moving kelas; artinya, peserta
didik bergerak ke ruangan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
sesuai dengan mata
pelajaran yang diminatinya,
dan di sana guru sudah
menati mereka. Kesemuanya
ini berakibat pada adanya
kemungkinan mata pelajaran
tertentu tidak diminati, maka
konsekuensinya adalah
pengurangan guru.
Kesemuanya dari aturan
teknis penugasan guru
berakibat pada banyaknya
guru mendapat penugasan
kurang dari 24 jam.
Kekurangan jam tatap muka
berkaitan dengan tunjangan
profesi guru. Jika pada
sekolah negeri peralihan
tugas guru tidak mengganggu
penghasilan guru maka hal
tersebut berbeda dengan
sekolah swasta. Sekolah
swasta sangat memperhitungkan jam mengajar dalam
pengelolaan keuangan untuk
gaji guru. Sekali lagi kebijakan
implementasi kurikulum ini
tidak memperhatikan
persoalan sekolah swasta dan
kewajiban Negara dalam
memaknai isi dari UUD yang
menyatakan pendidikan di
baiayai Negara.
Dari paparan di atas
maka perguruan swasta perlu
mengambil sikap yang tidak
menyerah dan hanya menjadi
pengikut pada perubahan
kebijakan pendidikan.
Perguruan swasta perlu tetap
menjadi innovator dan yang
unggul dan menjadi sumber
inspirasi Pemerintah dalam
memperbaharui kurikulum,
termasuk sitem pendidikan
secara umum.
Kebijakan perubahan
kurikulum pendidikan
menjadi versi 2013 yang
dilaksanakan Pemerintah
Isu Mutakhir: Mau Kemana Kurikulum Pendidikan?
yang menggusur pembelajaran Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) perlu
dilihat dengan hati terbuka.
Postingan Setyo Purnomo
pada milis Ikatan Guru
Indonesia dapat dijadikan
bahan refleksi. Disebutkan,
Finlandia, negara yang amat
terkenal pesona proses
pendidikannya, mengguncang dunia IT dengan menjual
Nokia kepada Microsoft senilai
US$ 7,2 miliar atau sekitar Rp
80 triliun di tengah desasdesus pailitnya perusahaan
produsen Blackberry. Satu ikon
nasional Finlandia yang
sistem pendidikannya sudah
teruji bagus oleh TIMMS dan
PIRLS memang terjual, sepertinya terlambat mengikuti
perubah-an zaman. Akan
tetapi, jika ditelaah lebih jauh,
ternyata Linux terlahir di
negeri ini, yang selanjutnya
melahirkan Android, yang
pertumbuhan-nya sangat
cepat. Dengan kata lain,
negara yang berpendidikan
baik ini membuat keputusan
cerdas.
Penempatan bidang studi
TIK sejajar atau terintegrasi
dengan pembelajaran lainnya
perlu pertimbangan yang
matang, karena TIK diperlukan pada masa ini dan masa
akan datang. Kebutuhan ini
terlihat dalam video yang
menarik di dengan judul What
Most Schools Don’t Teach di
Youtube ( http://
www.youtube.com/watch?
v=nKIu9yen5nc (Preview. Selain
itu, kita juga diingatkan tentang
anak kecil beranjak remaja yang
bernama Thomas Suarez ( http://
www.ted.com/talks/thomas_
suarez_a_12_year_old_app_
developer.html )
Pembelajaran TIK memang
bukan segalanya, namun
dalam konteks memahami
gerak zaman, maka memahami
TIK nyaris menjadi kebutuhan
mutlak.
Kehadiran kurikulum
2013 yang diharapkan
menjadi solusi pembelajaran
yang ‘nir-nalar’ menjadi
pembelajaran ‘bernalar’.
Apabila dilaksanakan dengan
sosialisasi yang minim akan
mengundang banyak
pertanyaan, yang di
antaranya, mau kemana arah
pendidikan nasional,
bagaimana menerjemahkan
kurikulum ini sesuai dengan
konteks geografis kedudukan
sekolah? Bagaimana dengan
ikon Indonesia?! Kalau
kemudian ada yang
mengatakan bahwa Indonesia
kaya dengan budaya dan
pesona alamnya sehingga
bisa “dijual” lewat
pariwisata, maka semestinya
ada sesuatu yang dititipkan
dalam kurikulum pendidikan
nasional untuk mendukung
keyakinan itu. Kalau
dikatakan negara ini adalah
negara agraris, maka harus
ada bagian tersebut dalam
kurikulum pendidikan
nasional. Demikian juga, jika
disebut Indonesia adalah
negara maritim, apa ikon
nasional yang dapat
dijadikan “anchor” bagi tetap
eksisnya Indonesia di masa
depan? Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
selaku penentu kebijakan
perlu mempertimbangkan
persoalan yang dihadapi
perguruan swasta. Perguruan
swasta yang menjalankan
kurikulum 2013 akan
memperhitungkan biaya
operasional dalam
penyediaan guru seiring
keleluasaan siswa memilih
bidang studi yang
diminatinya. Implementasi
kurikulum 2013 memang
menuntut sekolah berinovasi
dalam menginterpretasikan
tujuan kebijakan pemerintah.
Perguruan swasta tidak
mungkin hanya sebagai
pengikut (copy paste) jika mau
bertahan dan tetap ambil
bagian dalam layanan
pendidikan. Perlu berlari lebih
cepat. Sekiranya juga apa
yang disumbangkan oleh
perguruan swasta pada
pengembangan kurikulum
pendidikan di Indonesia akan
mendorong pemerintah
menyempurnakan tanggung
jawabnya dalam memenuhi
amanat konstitusi. Pada
ahirnya kurikulum
pendidikan yang
mempersiapkan generasi
muda dengan bernalar akan
mengantarkan bangsa ini
pada tataran kehidupan yang
lebih baik, percayalah.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.21/Tahun ke-12/Desember 2013
107
Resensi buku: Catatan Harian Guru: Menulis Itu Mudah
Resensi buku
Judul Buku:
Catatan Harian Guru: Menulis itu Mudah
Pengarang:
Keke Taruli Aritonang
Penerbit:
C.V. Andi Offset Yogyakarta
Tahun Terbit/Catakan:
2013/Cetakan ke-1
Ukuran:
16 x 23 cm
Jumlah Halaman: xii + 340 halaman
ISBN: 978 – 979 – 29 – 3577 – 6
Resensi oleh:
P. Slamet Widodo
E-mail: [email protected]
SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya
enulis merupakan suatu proses
kreatifitas menuangkan gagasan
ataupun ide yang ada di dalam pikiran
ke dalam bentuk tulisan dengan tujuan
tertentu. Menulis adalah suatu bentuk berpikir
dimana yang dituangkan
dalam kata-kata yang
lebih mudah dipahami
dan mudah dimengerti.
Menulis adalah menuangkan gagasan ke dalam
bentuk tulisan. Gagasan
yang ditulis bisa milik
sendiri atau milik orang
lain. Menulis berbeda
dengan mengarang. Sedangkan yang dimaksud
dengan mengarang ialah
menciptakan gagasan.
Dalam sebuah karangan,
ide atau gagasan milik
pengarang.
Di era modern seperti
sekarang ini, menulis menjadi hal yang sering
disepelekan oleh kalangan kaum remaja,
apalagi kalangan anak-anak yang orang tua
didiknya tidak pernah mengajarkan pentingnya
menulis bahkan bagi para guru sekalipun.
M
108
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013
Pelajaran menulis bagi anak usia remaja
sangatlah penting. Dengan menanamkan
pentingnya menulis, anak bisa belajar menulis
sehingga ketika dewasa mereka telah memiliki
kemampuan menulis. Menulis lebih mudah
daripada mengarang.
Banyak orang bisa menulis,
namun belum tentu
seorang yang bisa menulis
bisa mengarang. Oleh karena itu, menulis sebenarnya
bukan sulit, apalalagi bagi
seorang guru yang tiap hari
bergumul dengan pekerjaan menulis. Menulis lebih
menitikberatkan proses
menuangkan pengalaman,
sehingga siapa saja seharusnya tidak mengalami
kesulitan menulis.
Akan tetapi, menulis
belum menjadi budaya
serta kebutuhan semua guru. Sejumlah guru
masih mengalami kesulitan menulis dan bagi
mereka menulis itu merupakan tantangan
tersendiri. Dalam situasi seperti ini, buku yang
berjudul Catatan Harian Guru: Menulis itu Mudah
Resensi buku: Catatan Harian Guru: Menulis Itu Mudah
yang ditulis oleh Keke Taruli Aritonang
merupakan buku yang mengajak para guru
untuk bisa menulis. Buku ini memberikan
inspirasi dan motivasi tersendiri bagi para guru
untuk menulis.
Dengan gaya bahasa yang sangat luas dan
mudah dimengeri, penulis membagi
pengalaman asal muasal menjadi penulis.
Berbagai macam cara ditempuh agar bisa
menulis buku. Ia menulis buku dimulai dari
menuliskan pengalamannya dalam catatan
harian, membuat jurnal, membuat kliping dan
banyak membaca. Kegiatan tersebut bisa
dijadikan sumber penulisan ide. Namun, yang
paling menentukan seseorang bisa menulis
adalah dengan latihan menulis secara rutin dan
disiplin yang keras. Di sela-sela waktu kosong,
ibu yang mengajar di SMPK 1 BPK PENABUR
Jakarta ini menyempatkan diri untuk menulis.
Bahkan dikemukakan pula bahwa di tengah
kesibukannya sebagai ibu rumah tangga pun dia
meluangkan waktu untuk menulis meskipun
hanya beberapa kalimat.
Bagi ibu yang memiliki tiga anak ini, menulis
merupakan karier di masa yang akan datang
selain sebagai guru yang juga harus
mengerjakan tugasnya setiap hari. Ia menyaari,
tidak selamanya akan menjadi guru dan pada
suatu saat ia harus berhenti karena faktor umur
atau faktor lain. Oleh karena itu, keterampilan
menulis merupakan bekal yang sangat berharga
bila kelak pensiun atau terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan, misalnya harus keluar atau
dikeluarkan dari tempat bekerja. Motivasi ini
muncul karena penulis pernah mempunya
pengalaman yang tidak menyenangkan . Ia
pernah dikeluarkan secara mendadak dari
pekerjaan sebagai guru di SMAK 2 BPK
PENABUR Jakarta. Mengantisipasi berbagai
kemungkinan yang terjadi di masa depan,
penulis ingin menegaskan bahwa keterampilan
menulis sebenarnya sangat berguna bagi guru.
Lebih lanjut, Keke Aritonang menyampaikan pesan bahwa meskipun sulit, sebenarnya
menulis tetap dapat dipelajari. Jika ingin mau
belajar menulis, kuncinya cuma satu, yaitu
jangan malas. Segala macam pengalaman bisa
dituangkan dalam bentuk tulisan. Menurutnya,
semua orang terutama guru bisa menjadi penulis
andal. Syaratnya adalah mau memaksa diri
untuk berlatih menulis setiap hari dengan hati
yang ikhlas dan menjadikan kegiatan menulis
sebagai karier di masa yang akan datang.
Selain menyampaikan keberhasilannya
dalam menulis, ibu yang dilahirkan di Jakarta
44 tahun yang lalu ini membagi pengalaman
kegagalan dalam menulis. Ia mengisahkan, tidak
sedikit tulisannya ditolak oleh penerbit maupun
majalah. Namun, ia tidak pernah putus asa.
Misalnya, dari ketujuh lomba yang diikutinya
pada tahun 2008, hanya satu yang berhasil lolos
menjadi finalis, yaitu Lomba Keberhasilan Guru
(hal. 63). Bahkan baru pada tahun 2011 lolos
menjadi finalis LIPI tetapi belum jadi pemenang.
Buku ini juga bercerita tentang cara menulis
yang benar. Langkah-langkah menulis buku
disampaikan secara jelas dan terperinci.
Dikemukakan, bagaimana membaca pedoman
lomba menulis buku, mengumpulkan bahan,
membuka situs internet, sampai cara membuat
konsep/kerangka tulisan.
Penulis buku ini sangat menyadari bahwa
tugas seorang guru sangat banyak dan berat
sehingga menyita hampir separuh waktu dalam
sehari. Untuk itu, Keke juga membagi
pengalamannya cara memanfaatkan waktu dan
tempat menulis. Dia mengatakan bahwa menulis
dapat dilakukan dimana saja, baik di sekolah,
di rumah, maupun di tempat-tempat umum.
Kapan waktunya menulis? Hampir setiap hari
dia menulis di sela-sela kesibukan sebagai guru
dan sebagai ibu rumah tangga yang harus
mengurus ketiga buah hatinya. Sebenarnya,
guru memiliki banyak waktu menulis ketika
libur panjang kenaikan kelas, libur hari raya, dan
libur nasional yang selalu ada setiap tahun.
Di manakah tempat menulis? Bagi dia,
tempat yang paling nyaman untuk menulis
adalah di rumah di samping di tempat kerja di
waktu lowong. Masalahnya ialah bagaimana
memanfaatkan waktu dan berkonsentrasi untuk
menulis.
Penulis yang pada tahun 2004 meraih gelar
Magister Pendidikan di Universitas Kristen
Indonesia Jakarta ini juga menyampaikan
pendapatnya tentang keuntungan menulis.
Dengan gaya bahasa yang lugas dan enak
dibaca, dia mengatakan bahwa banyak
keuntungan dari pekerjaan menulis antara lain
ada rasa kepuasan batin, menghasilkan uang,
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013
109
Resensi buku: Catatan Harian Guru: Menulis Itu Mudah
dikenal sebagai penulis, dipercaya menjadi Jerih payahnya membimbing para siswanya
pembicara, dan memiliki kepercayaan diri.
membuahkan hasil yang cukup membanggakan.
Beruntung bagi penulis karena tulisannya
Selain memberikan motivasi, penulis juga
yang tidak diterima di media tertentu, kemudian menempuh berbagai macam metode agar
dikirimkan ke Jurnal Pendidikan PENABUR. siswanya mau menulis. Salah satunya adalah
Setelah disempurnakan serta diedit kembali mewajibkan setiap siswa untuk menulis buku
tulisan tersebut dapat dimuat. Pengalaman ini harian. Dengan semangat yang tidak mengenal
antara lain menjadi motivasi dan mendorong- lelah, guru bahasa Indonesia di SMPK 1 BPK
nya untuk terus menulis.
PENABUR Jakarta ini juga membimbing
Motivasi merupakan salah satu pendorong siswanya menulis karya ilmiah. Upaya lain yang
bagi seorang untuk menulis. Bagi seorang Keke dilakukannya adalah bimbingan menulis
yang setiap tahun mengikuti ajang lomba melalui kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan
menulis, suami, teman, murid, sanak saudara, ekstrakurikuler dirancang dengan sistematis
kepala sekolah, dan ketiga buah hatinya juga dan terprogram. Dengan kegiatan ini lahirlah
memberikan motivasi menulis. Dalam pengala- penulis-penulis kecil yang meraih prestasi.
man menulis, ia tidak dapat melupakan
Perhatian juga diberikan kepada para siswa
seseorang yang tidak bosan mau mendengarkan yang mengikuti kegiatan bimbingan menulis
keluh kesahnya yakni Rosmawati Situmorang, dengan memublikasikan hasil karya tulis
staf Bidang Pendidikan BPK PENABUR.
mereka. Dengan memublikasikan hasil karya
Selain membagi pengalamannya dalam entah baik atau jelek, siswa merasa bangga.
menulis, Keke
Inilah yang memyang menerbitkan
buat para siswa
buku pertama bergemar menulis atau
Berbagai
cara
dilakukan
untuk
judul Keterampilan
minimal pernah
menjadikan siswanya penulis
Menulis Bahasa
memiliki pengandal, mulai dari memberikan
Indonesia untuk
alaman menulis.
motivasi, membimbing siswa
Tingkat SMP/MTs
Buku yang termengikuti berbagai ajang lomba
ini rajin membagi dalam empat
menulis, memublikasikan hasil
bimbing siswanya
bagian ini pada
menjadi penulis.
intinya merupakan
tulisan siswa, menyusun program
Sebagian dari isi
sebuah tulisan
kegiatan menulis... .
bukunya setebal
motivasi dan ins240 halaman ini
pirasi bagi para
merupakan
guru dan siapa saja
curahan pengalamannya membina siswa yang berminat menjadi penulis. Dengan
menjadi penulis. Berbagai cara dilakukan untuk membaca buku ini diharapkan para guru bisa
menjadikan siswanya penulis andal, mulai dari menulis karena pada prinsipnya menulis itu
memberikan motivasi, membimbing siswa mudah. Buku ini merupakan buku yang bagus
mengikuti berbagai ajang lomba menulis, bagi para guru atau siapa saja yang mulai belajar
memublikasikan hasil tulisan siswa, menyusun menulis.
program kegiatan menulis, hingga membuka
Banyak orang menuliskan peristiwa yang
ekstrakurikuler menulis pun dilakoninya.
dialami dalam kehidupannya dalam catatan
Langkah pertama yang dilakukannya harian. Namun, kebanyakan catatan harian
dalam membimbing para siswanya adalah tersebut berupa pengalaman hidup, entah
memberi motivasi menulis. Siswa yang kelihatan kehidupan yang menyenangkan, kesuksesan,
berbakat menulis didorong untuk mengikuti atau yang menyedihkan. Inilah perbedaan
lomba menulis cerita remaja. Alhasil para siswa catatan harian seorang Keke yang adalah guru.
yang dibimbingnya mendapat prestasi dalam Dia menuliskan catatan hariannya dengan
ajang Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR). berbagi pengalaman yang memberikan
110
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013
Resensi buku: Catatan Harian Guru: Menulis Itu Mudah
tuntunan bagi pembacanya. Kalau boleh
dibilang, buku ini merupakan buku catatan
harian yang unik dan berbeda dengan bukubuku serupa. Pembaca dapat menimba ilmu dari
buku Catatan Harian ini. Bahkan pembaca bisa
melatih menulis dengan petunjuk dalam buku ini.
Bagi seorang guru, apalagi guru bahasa
Indonesia, buku ini memperkaya metode serta
cara membimbing siswa dalam mengarang dan
menulis. Alangkah naifnya bila seorang guru
bahasa Indonesia tidak bisa mengarang dan
menulis, sementara dia harus mengajarkan cara
mengarang dan menulis. Melalui buku ini, Keke
memberikan guru tidak hanya motivasi, tetapi
juga kiat-kiat terampil mengarang dan menulis .
Setelah membaca seluruh buku ini, penulis
resensi berpendapat, buku ini bermanfaat serta
wajib dibaca oleh para guru bahasa Indonesia
terutama guru di kalangan BPK PENABUR
karena pengalaman yang ditulis dalam buku ini
bersumber dari siswa BPK PENABUR. Dengan
bahasa yang sederhana Keke memaparkan
langkah-langkah membina para anak didiknya
yang memiliki keinginan mengarang dan
menulis. Mungkin pengalaman yang ditulis
dalam buku catatan harian ini bisa membuka
mata para guru bahasa Indonesia dan melihat
pentingnya guru bahasa Indonesia memiliki
keterampilan menulis.
Membaca buku, yang diterbitkan oleh
Penerbit ANDI Yogyakarta ini, dari halaman ke
halaman memang kadang agak menjenuhkan
karena bahasa yang terkesan monoton dan
lugas. Penggunaan bahasa baku membuat kesan
kaku dan melelahkan membacanya. Ketebalan
isi buku ini (340 hlm) dapat juga pembaca
enggan menelusuri kata demi kata.
Kesan yang dikemukakan itu dapat
dimaklumi karena buku ini merupakan sebuah
pengalaman. Kadang ditemui pesan yang yang
diulang-ulang. Misalnya ia menyinggung
tentang “alasan tidak ada waktu” (hal. 4
paragraf ke-2: “alasan tidak ada waktu untuk
menulis hanya alasan klise.”; hal. 10 paragraf ke-3:
“umumnya seorang guru memang tidak punya waktu
banyak waktu”, hal. 12: “ guru tidak mampu lagi
menyisihkan waktu untuk mengembangkan diri.”)
Dengan gaya penulisan seperti ini seolah ia
ingin menepis alasan bahwa guru tidak mampu
menulis karena sibuk atau tidak punya waktu.
Bahkan seorang Keke ingin membuktikan bahwa
alasan tidak punya waktu bukan menjadi
halangan bagi seorang guru untuk menulis.
Banyak pengarang menuliskan catatan
hariannya dalam bentuk buku. Salah satu buku
yang mirip dengan buku ini adalah buku yang
ditulis oleh Arswendo Atmowiloto yang berjudul
“Mengarang itu Gampang” (2004). Buku tersebut
memaparkan bagaimana cara mengarang
dengan mudah. Arswendo menuturkan
bagaimana cara mengarang dengan gaya bahasa
tidak baku dan santai dalam bentuk tanya jawab.
Dengan teknik tanya jawab yang hidup, dinamis
dan gaya bahasa tidak baku, penulis berusaha
meyakinkan pembaca bahwa mengarang itu
mudah dan bisa dilakukan oleh banyak orang.
Buku Mengarang itu Gampang karya Arswendo
Atmowiloto, bahasanya komunikatif,
sistematikanya logis dan tepat, isinya sederhana
dan mudah diterapkan serta nilai
kemanfaatannya tinggi.
Dibandingkan dengan buku sejenis,
keunggulan buku Catatan Harian Guru: Menulis
itu Mudah ini antara lain banyaknya contoh
kongkrit karya yang dihasilkan baik oleh penulis
itu sendiri maupun para siswanya. Penulis
,yang juga pengarang buku ini, ingin
menunjukkan bahwa dengan cara yang
dilakukan, ia mampu mengajarkan kepada anak
didiknya cara mengarang. Sekaligus ia juga ingin
menunjukkan kepada para pembaca bahwa
semua orang pada prinsipnya bisa mengarang
dan menuliskan gagasan yang dikarangnya.
Setelah membaca buku ini sampai tuntas,
sebenarnya ada sesuatu yang penting yang ingin
disampaikan kepada pembaca. Secara tersirat
penulis ingin mengatakan “kalau siswa saja bisa
menulis seharusnya guru juga bisa menulis!”.
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013
111
Profil BPK PENABUR Jatibarang
Profil BPK PENABUR Jatibarang
“Menjadi Sekolah Berkat bagi Masyarakat”
Eti Artayatini
E-mail: [email protected]
BPK PENABUR Jatibarang
Sejarah Singkat
S
ekitar tahun 1906, seorang anggota
Majelis GKI Indramayu, Tan Hiang
Eng, menghibahkan tanah kepada
gereja. Atas dukungan biaya dari beliau
pula dibangun sebuah gedung gereja yang
sekaligus digunakan sebagai ruang sekolah.
Untuk mendukung pertumbuhan jemaat di
Jatibarang didirikanlah sekolah Kristen/Zending
School tahun 1932. Guru pertama yang
ditugaskan adalah Ong Guan Soey. Pada tahun
1932 NZV menempatkan seorang guru injil yang
bernama S. Majan yang membuat pendidikan
serta kegiatan gereja semakin baik. Tahun 1935
pengurus sekolah membeli sebidang tanah di
Jalan Siliwangi No. 55 (dahulu Jl. Tuparev) dan
di tempat itu kemudian dibangun Sekolah
Zending yang sekarang bernama BPK
PENABUR Jatibarang. Ketika Jepang masuk ke
Indonesia semua sekolah Belanda tutup dan
gedung sekolah itu kemudian berfungsi menjadi
pusat pengungsian tahun 1946. Setahun
kemudian (tahun 1947) gedung sekolah itu
dijadikan markas TRI.
Pada tanggal 5 Oktober 1948 dengan
dukungan Mejelis Gereja THHK Jatibarang,
dibentuk Panitia Persiapan Pendirian Sekolah
Rakyat Kristen yang diketuai oleh Yo Kian Seng
dengan penasehat Oey Bian Tiong dan Liem
Boen Liong. Tanggal 19 Juli 1950, berdiri BPK
JABAR di Bandung, dan di Jatibarang juga berdiri
secara resmi BPK Jatibarang di bawah naungan
112
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013
Cirebon, diketuai oleh Bapak Laba Budiman
dengan sekretaris Tan kok Tjay, bendahara Liem
Eng Kian dan anggota Tan Tjin Lok. Berdasarkan
keputusan Sidang Sinode GKI Jabar Tahun 1960,
KPS Jatibarang resmi menjadi bagian anggota
BPK Jabar dengan ketua KPS Bapak Laba
Budiman.
Sedangkan Pengurus Yayasan BPK PENABUR Jatibarang dari masa ke masa dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 : Ketua Yayasan
No
Nama
Periode
1.
Ishak Tanadi
1982-1984
2.
Winanto
1984-1986
3.
Winanto
1986-1990
4.
Winanto
1990-1994
5.
Nila Mariawati
1994-1996
6.
Nila Mariawati
1996-1998
7.
Nila Mariawati
1998-2002
8.
Santo
2002-2006
9.
Piping Hadiyanto
2006-2010
10.
Piping Hadiyanto
2010-2011
11
Santo
2011 - 2014
Profil BPK PENABUR Jatibarang
Susunan Pengurus BPK PENABUR
Jatibarang periode 2010-2014 sesuai Tabel 2.
Tabel 2: Susunan Pengurus
Periode 2010-2014
No
Nama
Periode
1.
Pdt. Rahmadi
Putra S.Si
Penasehat
2.
Santo
Ketua
3.
Sumiasih
Sekretaris
4.
Ritha Wihardjo
Bendahara
5.
Santo
Bid. Pendidikan
6.
Iman Cahya
Bid. Personalia
7.
Robby Santoso
Bid. ORSIS
8.
Julius Chandra
Bid. Sarpras
Tabel 4 : Kepala SDK
No
Kho Im Liok
1948-1951
2.
Tan Kim Hok
1951-1955
3.
Tan Hok Liem
1955-1962
4.
Lim Kem Kwie
1962-1963
5.
Susyati
Tanuwijaya
1963-1999
6.
Agustini
Tanusatrio (Pj)
1999-2003
7.
Agustini
Tanusatrio
2003- 2009
8.
Dwi Puji
Lestarianti
2009 - 2011
9.
Agustini
Tanustario
2011- sekarang
Tabel 5 : Kepala SMPK
No
No
Nama
Periode
Yenny Adriani
Oeli
1975-1982
2.
Sukamto Amelia
1985-1988
3.
Tuti Mujiastuti
1989-1990
1.
4.
Yulia Chandra
1991-2001
5.
Linda R. Siregar
2001-2009
6.
Eti Artayatini
2009-2011
7.
Linda R. Siregar
2011 - sekarang
Periode
1.
Sementara itu Kepala sekolah TK, SD, dan
SMP BPK PENABUR Jatibarang dari masa ke
masa sesuai Tabel 3, 4 dan 5.
Tabel 3 : Kepala TKK
Nama
Nama
Periode
1.
Sarno
1968-1976
2.
Melisa
1976-1977
3.
Anna Maria
1977-1979
4.
Marwoto
1979-1980
5.
Budiharto
1980-1997
6.
Agustini
Tanusatrio
1997-2003
7.
Dwi Puji
Lestarianti (Pj)
2003-2004
8.
Dwi Puji
Lestarianti
2003-sekarang
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013
113
Profil BPK PENABUR Jatibarang
Menjadi Sekolah yang Mampu
Memberikan Kualitas Pendidikan
yang Baik Bagi Masyarakat
BPK PENABUR Jatibarang merupakan lembaga
pendidikan Kristen yang telah lama berdiri dan
secara kualitas diakui oleh Pemerintah dan
masyarakat sekitar. Seiring perkembangan
jaman, lembaga pendidikan formal baik Kristen
maupun non Kristen semakin berkembang pula,
serta menawarkan kepada masyarakat berbagai
fasilitas dan hasil yang menjanjikan. Sejalan
dengan persaingan pendidikan formal yang
semakin ketat, BPK PENABUR Jatibarang perlu
melakukan pembenahan baik dalam fasilitas,
program maupun sumber daya manusia, dalam
hal ini guru-guru yang mengajar di BPK
PENABUR Jatibarang.
Pada tahun pelajaran 2012-2013, Pengurus
BPK PENABUR Jatibarang melakukan
pembenahan fasilitas sekolah antara lain
dengan melengkapi laboratorium komputer dan
ruang kelas, seperti terlihat pada Tabel 6.
Pembenahan fasilitas itu disertai dengan
pelatihan teknologi informasi (IT) kepada guru
sehingga mereka dapat menggunakan fasilitas
yang ada dengan baik serta mendukung proses
KBM di kelas.
Potensi yang ada di setiap jenjang sekolah
BPK PENABUR Jatibarang terus digali serta
dikembangkan agar mampu memberikan
pendidikan yang baik bagi masyarakat sekitar.
Tabel 7 menunjukkan jumlah siswa yang
mengalami peningkatan, terutama pada jenjang
TK & SMP. Meningkatnya jumlah siswa itu tidak
terlepas dari kerja keras pengurus, Tim PSB dan
juga guru/ karyawan BPK PENABUR
Jatibarang. Namun, ke depan ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan untuk mempertahankan jumlah siswa seperti yang ada sekarang.
Sungguhpun upaya promosi perlu tetap
ditingkatkan, di sisi lain terdapat sejumal
fenomena berikut yang tidak dapat diabaikan.
1. Sedikitnya pasangan muda yang memiliki
anak usai sekolah, dan berhasilnya program KB di Jatibarang.
2. Jumlah lembaga pendidikan formal di
Jatibarang sudah lebih dari cukup untuk
114
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013
3.
sebuah kecamatan (TK : 15 sekolah , SD: 60
sekolah, SMP: 12 sekolah).
Masyarakat Jatibarang masih berorientasi
ke sekolah negeri, karena sekolah negeri
memiliki dana BOS sehingga dapat
memberikan biaya sekolah gratis dan murah
bagi masyarakat.
Tabel 6 : Sarana dan Prasarana Sekolah
Jenjang
Jenjang
TK K
- Playground dengan berbagai
macam permainan
- Sarana bermain di dalam
kelas bagi anak
- Area- area tema
- Lab Komputer
- Ruang Multimedia
- Ruang ber AC
- Perpustakaan
- Aula TK- SD- SMP
SDK
-
Ruang Multimedia
Kipas angin setiap kelas
Kelas 5 & 6 dilengkapi LCD
Lab Komputer
Aula TK- SD- SMP
Perpustakaan SD- SMP
Kantin SD- SMP
Laboratorium IPA
Lapangan Sepak bola
Lapangan Basket
Area Wifi
SMPK
-
Ruang Multimedia
Kipas angin setiap kelas
Setiap dilengkapi LCD
Lab Komputer
Aula TK- SD- SMP
Perpustakaan SD- SMP
Kantin SD- SMP
Laboratorium IPA
Peralatan Band
Lapangan Sepak bola
Lapangan Basket
Area Wifi
Profil BPK PENABUR Jatibarang
Tabel 7 : Data siswa Tahun 2009-2014
Jenjang
4.
2009/2010
2010/2011
2011/2012
2012/2013
2013/2014
TK K
55
53
58
78
68
SDK
109
112
102
101
115
SMP
51
47
40
50
50
Jumlah
215
21 2
200
229
233
Sebagian besar masyarakat Jatibarang
adalah muslim yang belum terbiasa
menyekolahkan anaknya di sekolah yang
bercirikan keagamaan yang berbeda dengan
keyakinannya.
Guru di BPK PENABUR Jatibarang, secara
pendidikan sudah memenuhi rata-rata lulusan
S1, tetapi kompetensi mereka masih diperlukan
ditingkatan. Oleh sebab itu, di masing-masing
jenjang dilakukan berbagai jenis kegiatan seperti
Tabel 8 : Data Guru 2009-2014
Jenjang
2009/2010
2010/2011
2011/2012
2012/2013
2013/2014
TK K
3 tetap
3 tetap
2 tetap
2 tetap
2 tetap
6 tetap
7 tetap
7 tetap
7 tetap
7 tetap
1 kontrak
1 kontrak
1 kontrak
2 kontrak
1 kontrak
1 honor
2 honor
2 honor
4 honor
1 honor
4 tetap
3 tetap
3 tetap
3 tetap
5 tetap
2 kontrak
2 kontrak
2 kontrak
5 kontrak
3 kontrak
1 honor
2 honor
2 honor
SDK
SMPK
5.
Jarak satu sekolah dengan
sekolah yang lain berdekatan.
Untuk menyiasati kenyata-an di
atas, diperlukan usaha yang lebih
lagi dari pengurus, Tim PSB dan juga
guru/ karyawan.
Guru sebagai pendidik memegang peranan penting dan strategis
dalam meningkat-kan mutu proses
dan hasil pendidikan serta sekali
gus untuk meningkatkan daya tarik
sekolah. Gambaran tentang jumlah
dan status guru TK, SD, dan SMP
BPK PENABUR Jatibarang tertera
pada Tabel 8.
-
-
Tabel 9 : Peningkatan Sumber Daya Manusia
1. Mengikuti MGMP BPK PENABUR
2. Mengikuti KKG Dinas Jatibarang/ Indramayu
3. Pelatihan Multimedia & IT
4. Pelatihan Bahasa Inggris
5. Studi Banding dengan BPK PENABUR Cirebon
6. Seminar/ pelatihan BPK PENABUR
7. Seminar/ Pelatihan Dinas Jatibarang/ Indramayu
8. Pelatihan membuat soal
9. Pelatihan/ pembinaan kurikulum
10. Retret guru/ karyawan
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013
115
Profil BPK PENABUR Jatibarang
terlihat pada Tabel 9. Melalui
kegiatan ini diharapkan guru
dapat termotivasi serta meningkatkan kemampuan, kualitas dan prestasi. Lebih lanjut,
mereka diharapkan mampu
mencetak siswa berprestasi
yang meng-angkat nama BPK
PENABUR Jatibarang.
Prestasi siswa BPK
PENABUR Jatibarang yang
terlihat pada Tabel 10 merupakan salah satu hasil dari
pelatihan dan pembinaan
terhadap guru yang kemudian
berimbas pada siswa. Diharapkan prestasi ini dapat terus
ditingkatkan sehingga BPK
PENABUR Jatibarang dapat
menjadi salah satu sekolah
unggulan di daerah Jatibarang.
Untuk meningkatkan
mutu
pendidikan
dan
pengembangan BPK PENABUR Jatibarang setiap jenjang
menyusun program dan
kegiatan sebagaimana terlihat
pada Tabel 11.
Tabel 10 : Prestasi Siswa 2013
Jenjang
TK K
SDK
SMPK
116
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013
Jenis lomba
Tingkat
Prestasi
Lomba Mewarnai
Kecamatan
Juara II
Lomba Puzzle
Kecamatan
Juara II
Busana daerah
Kecamatan
Juara II
Lomba mewarnai
Kabupaten
Finalis
Calistung 1
Kecamatan
Juara II
Calistung 3
Kecamatan
Juara III
IPS Terpadu
Kecamatan
Juara I
Pidato Bahasa Inggris
Kecamatan
Juara III
Membuat cerita
bergambar
Kecamatan
Juara IV
Bermain alat musik
Kecamatan
Juara I
Kreativitas kertas
daur ulang
Kecamatan
Juara I
Siswa berprestasi
Kecamatan
Juara I
TIK
Kecamatan
Juara III
Teknologi Sederhana
Kecamatan
Juara II
Menyanyi solo
Kecamatan
Juara I
Atletik putri
Kecamatan
Juara I
Catur putri
Kecamatan
Juara I
Renang putri
Kecamatan
Juara IV
Matematika
Kecamatan
Juara I
OSN
Propinsi
Finalis
Guru Berprestasi
Kecamatan
Juara III
Bahasa Ingggris
Kecamatan
Finalis
Bahasa Ingggris
Kecamatan
Finalis
OSN
Propinsi
Finalis
Profil BPK PENABUR Jatibarang
Tabel 11 : Program Kegiatan Sekolah
Jenjang
Penutup
Program
Kunjungan belajar ke pabrik tempe,
panti asuhan, posyandu, dan study tour
Ekstrakulikuler : Tarian daerah &
modern, angklung, menyanyi, berenang
TK K
Perayaan keagamaan : Natal, Paskah,
Imlek
Kegiatan Khusus : Sabtu gembira,
c hildren day, HUT BPK PENABUR, sport
day, hari pahlawan, valentine day, music
day, kartini day, hari pendidikan nasional,
rekreasi anak, English day.
Ekstrakulikuler : Basket, futsal, musik,
sains c lub (Math, IPA, B. Inggris).
SDK
Perayaan keagamaan : Natal, paskah,
imlek.
Kegiatan Khusus : Valentine day, c olour
day, hari pahlawan, hari Kartini, hari guru.
Ekstrakulikuler : Pramuka, PMR, basket,
futsal, musik angklung, band, sains c lub,
jurnalistik.
SMPK
Perayaan keagamaan/ hari besar
nasional : Natal, paskah, hari batik, hari
bumi, hari buku, imlek, valentine day,
hari pramuka, sumpah pemuda, hari
pahlawan, hari Kartini, hari guru.
BPK PENABUR Jatibarang, tetap
berpegang pada visinya yaitu: iman,
ilmu dan pelayanan. Dengan
pembentukan karakter melalui
PKBN2K,
diharapkan
BPK
PENABUR Jatibarang dapat
membawa pengaruh yang baik bagi
siswa/i, orang tua dan masyarakat
sekitar. BPK PENABUR Jatibarang
telah berusaha untuk meningkatkan
mutu dan kualitas pendidikan, dan
juga telah berusaha melayani
masyarakat di Jatibarang dengan
semaksimal mungkin sehingga pada
waktunya nanti visi itu dapat
terwujud dengan baik.
Sungguhpun visi itu belum
tercapai sepenuhnya, BPK PENABUR
Jatibarang tetap mensyukuri prestasi
yang dicapai sekarang. Harapan dan
doa ialah semoga Tuhan selalu
memberkati BPK PENABUR Jatibarang dan memberikan jalan bagi
peningkatan mutu dan kualitas
pendidikan yang diselenggarakannya sehingga sekolah BPK
PENABUR Jatibarang mampu menghasilkan kualitas pendidikan yang
baik bagi masyarakat.
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 21/Tahun ke-12/Desember 2013
117
1. Belum diterbitkan/ Belum Pernah dikirim ke Media Cetak Lain.
A. Persyaratan
2. Karya Asli: Dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris
1. Kajian Pustaka
2. Kajian Empiris
3. Kajian/ Studi Kasus
B. Ragam Naskah
4. Evaluasi
5. Kajian Kebijakan
6. Kajian Pengembangan
7. Analisis Deskriptif/Opini
8. Resensi Buku
a. Menggambarkan Isi Naska, Singkat dan Padat
1. Judul
b. Tidak Spesifik/Sempit, Tidak Terlalu Umum
c. Paling panjang 14 Kata
a.Nama Lengkap, Tanpa Gelar
2. Identitas Penulis
b. Alamat e-mail Pribadi
c. Nama Institusi/Lembaga
i. Sifat: Informatif
ii. Latar Belakang Masalah & Masalah
iii. Tujuan
a. Isi
iv. Metode, Tempat & Waktu
v. Hasil & Saran
150 -200 kata
3. Abstrak
b. Panjang
Dalam 1 paragraf
Minimal 3 kata
c. Kata-Kata Kunci
Merupakan istilah/konsep penting
i. Bahasa Indonesia
d. Bahasa
Acuan Penulisan Ilmiah
ii. Bahasa Inggris
i. Latar Belakang Masalah
a. Isi
C. Struktur Naskah
ii. Rumusan Masalah
iii. Manfaat Penelitian
iv. Kajian Pustaka/Teori
4. Pendahuluan
i. Deskriptif
b. Bentuk
ii. Informatif
a. Jenis Penelitian
5. Metode Penelitian
b. Tempat dan Waktu Penelitian
c. Prosedur Penelitian: sumber, teknik pengumpulan & analisis data
i. Kualitatif
a. Hasil/Data
ii. Kuantitatif
i. Interpretasi
6. Hasil dan Pembahasan
b. Pembahasan
ii. Analisis: induktif, deduktif, komparatif
i. Makro/Umum
c. Implikasi
ii. Mikro/Khusus
a. Kesimpulan
7. Penutup
b. Saran
a. Gaya/Style: APA
b. Jumlah referensi minimal 5
8. Daftar Pustaka
c. Dirujuk langsung dlm tulisan
d. Terbitan minimal 5 thn terakhir
1. Format: A4
D. Fisik Naskah
2. Huruf: Book Antique- 10 point,
3. Panjang naskah: 4.000 - 10.000 kata dengan1,5 spasi
4. Wujud: Soft copy dan printout
Download