PENGAWASAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN CIREBON TERHADAP PRODUKSI GARAM RAKYAT DI KABUPATEN CIREBON BERDASARKAN PASAL 30 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI OVI SARI KUSUMAH E1A005020 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2011 PENGAWASAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN CIREBON TERHADAP PRODUKSI GARAM RAKYAT DI KABUPATEN CIREBON BERDASARKAN PASAL 30 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman OVI SARI KUSUMAH E1A005020 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2011 PENGAWASAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN CIREBON TERHADAP PRODUKSI GARAM RAKYAT DI KABUPATEN CIREBON BERDASARKAN PASAL 30 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman OVI SARI KUSUMAH E1A005020 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2011 LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI PENGAWASAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN CIREBON TERHADAP PRODUKSI GARAM RAKYAT DI KABUPATEN CIREBON BERDASARKAN PASAL 30 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh : OVI SARI KUSUMAH E1A005020 Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan disahkan : Pada Tanggal November 2011 Pembimbing I/ Penguji I Pembimbing II/ Penguji II Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. NIP 19520603 198003 2 001 Penguji III, I Ketut Karmi N, SH,M.Hum Suyadi, SH, M.Hum. NIP. 196105201987032001 NIP. 196110101987031001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. NIP 19520603 198003 2 001 ii PERNYATAAN Dengan ini saya : Nama : OVI SARI KUSUMAH NIM : EIA005020 SKS : 2005 Judul : PENGAWASAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN CIREBON TERHADAP PRODUKSI GARAM RAKYAT DI KABUPATEN CIREBON BERDASARKAN PASAL 30 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari Fakultas. Purwokerto, November 2011 OVI SARI KUSUMAH NIM EIA005020 iii KATA PENGANTAR Alhamdulillahi robbil’alamin dengan sujud syukur kehadirat Alloh SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena rahmat_Nya saja penulis masih diizinkan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “PENGAWASAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN CIREBON TERHADAP PRODUKSI GARAM RAKYAT DI KABUPATEN CIREBON BERDASARKAN PASAL 30 UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Dalam kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman sekaligus Dosen Pembimbing Akademik dan Dosen Skripsi/Dosen Penguji I. 2. Edi Waluyo, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Keperdataan. 3. I Ketut Karmi Nurjaya, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Skripsi II/Dosen Penguji II. 4. Suyadi, S.H., M.Hum. selaku Dosen Penguji III. 5. Seluruh Dosen Pengajar dan segenap staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 6. Ayah, Ibu, Bapak, Kakaku tercinta atas dukungan dan semangatnya. 7. Teman-teman angkatan 2005 dan KKN-PBA 2009 8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini, dan mohon maaf penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu. Penulis tidak dapat memberikan suatu balasan apapun kecuali hanya doa,semoga semua kebaikan, bantuan, dukungan, pengorbanan dan budi baik dari semua pihak mendapat iv balasan yang baik dari Alloh SWT. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, dan semoga dengan ketidaksempurnaan skripsi ini dapat dipahami sebagai ketidaksempurnaan penulis sebagai manusia biasa, dan penulis mohon kerelaan hati dari semua pihak untuk memberikan maaf. Akhirul kalam, semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat. Purwokerto, November 2011 Penulis v ABSTRAKSI Salah satu bentuk perlindungan konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah adanya pengaturan mengenai Pengawasan yang dilakukan Pemerintah terhadap barang dan/atau jasa. Kabupaten Cirebon sebagai salah satu kabupaten yang memiliki potensi garam yang cukup besar, maka untuk menjaga dan meningkatkan kualitas serta kuantitas hasil produksi garam di Cirebon, terus menerus dilakukan pembinaan dan pengawasan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan untuk mengetahui tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan apabila didalam pengawasan ditemukan penyimpangan dalam produksi garam rakyat di Kabupaten. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa Pengawasan yang dilakukan Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon adalah pengawasan preventif dan represif, pengawasan langsung dan tidak langsung, pengawasan intern dan ekstern, serta telah melibatkan masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tanggung jawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan adalah melakukan upaya-upaya guna menanggulangi penyimpangan yang ditemukan dalam pengawasan produksi garam rakyat. Kata Kunci : Pengawasan, Tanggung Jawab, Perlindungan Konsumen vi ABSTRACT One form of consumer protection regulated in Law Number 8 Year 1999 regarding Consumer Protection is the lack of regulation on the supervision by the Government for goods and / or services. Cirebon regency as one of the districts that have the potential of salt large enough, then to maintain and improve the quality and quantity of salt production in Cirebon, guidance and constant surveillance conducted by the Ministry of Industry and Trade Cirebon District. The purpose of this study was to determine the surveillance conducted by the Ministry of Industry and Trade of salt production in Cirebon District pursuant to Article 30 of Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection and to know the responsibilities of the Office of Industry and Trade if irregularities are found in the control of salt production people in the District. Based on the research results can be seen that the supervision of the Office of Industry and Trade made the production of salt in people Cirebon is a preventive and repressive control, direct and indirect supervision, supervision of internal and external, and has involved the community and the Institute of Consumer Protection Organization Self cigarettes, as defined in Article 30 paragraph (1) of Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection. Responsibilities of the Office of Industry and Trade made efforts to overcome the irregularities found in the control of salt production. Key word : surveillance, Responbility, consumer protection vii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………....................................... i HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………… ii HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………… iii KATA PENGANTAR…………………………………………………… iv ABSTRAKSI……………………………………………………………… vi ABSTRACT……………………………………………………………… vii DAFTAR ISI……………………………………………………………… viii BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah……………………………………….. 1 B. Perumusan Masalah……………………………………………. 8 C. Tujuan Penelitian……………………………………………….. 8 D. Kegunaan Penelitian……………………………………………. 9 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………...... 10 A. Definisi, Tujuan, dan Fungsi Hukum……………………….…. 10 B. Perlindungan Konsumen……………………………………..... 14 1. Hukum Perlindungan Konsumen……....................................... 14 2. Pengertian Perlindungan Konsumen……………………........ 17 3. Tujuan Perlindungan Konsumen………………………… … 19 4. Konsumen…………………………………………………….. 20 5. Pelaku Usaha………………………………………………. … 22 6. Hak dan Kewajiban………………………………………... .. 25 a. Hak dan Kewajiban Konsumen……………………...……… 25 viii b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha…………………..…….. 27 7. Para Pihak Dalam Perlindungan Konsumen……………... 31 8. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha……………. 33 C. Pengawasan…………………………………………………… 34 1. Pengertian Pengawasan………………………………………. 34 2. Macam-Macam Pengawasan……………………………….. . 37 3. Pengawasan Dinas Perindustrian Dan Perdagangan…...... . 38 D. Produk Garam Rakyat………………………………………. 42 1. Pengertian Garam…………………………………………..... 42 2. Produk Garam Rakyat……………………………………..... 42 3. Kajian Mengenai Garam Beryodium……………………….. 43 a. Pengertian dan Sumber Ketersediaan Yodium……….... …. 43 b. Kebutuhan Yodium……………………………………..... …. 45 c. Pengertian Garam Beryodium dan Akibat Kekurangan Yodium………………………………………………………… 47 d. Penggaraman di Indonesia dan Industri garam Beryodium………………………………………………........... 49 e. Distribusi Garam Beryodium…………………………….. …. 51 BAB III. METODE PENELITIAN……………………………………….. 52 A. Metode Pendekatan…………………………………………….. 52 B. Spesifikasi Penelitian…………………………………………… 52 C. Lokasi Penelitian……………………………………………….. 53 D. Sumber Data……………………………………………………. 53 ix E. Metode Pengumpulan Data…………………………………… 54 F. Metode Penyajian Data………………………………………… 55 G. Metode Analisis Data…………………………………………… 55 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………. 56 A. Hasil Penelitian…………………………………………………. 56 B. Pembahasan……………………………………………………… 75 BAB V. PENUTUP A. Simpulan………………………………………………………… 98 B. Saran…………………………………………………………….. 99 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan pembangunan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus mampu mendukung suksesnya di dalam dunia usaha guna mewujudkan pembangunan nasional Indonesia yang mandiri, kuat dan maju. Wujud dari perkembangan pembangunan tersebut ditandai dengan banyaknya beredar produk yang dipasarkan secara bebas, baik produk yang sudah lulus uji laboratorium maupun yang belum lulus uji laboratorium. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diundangkan pada tanggal 20 April Tahun 1999 pada Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 merupakan upaya pemerintah untuk memberi perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada adanya sejumlah hak konsumen yang perlu dilindungi dari tindakan-tindakan yang mungkin merugikan yang dilakukan pihak lain. Hak-hak ini merupakan hak-hak yang sifatnya mendasar dan universal sehingga perlu mendapat jaminan dari Negara atas pemenuhannya. 1 2 Undang-undang ini dibuat sebagai upaya pengawasan yang bersifat menyeluruh dan terpadu agar derajat kesehatan yang optimal dapat terwujud dengan baik. Ketentuan Pasal 30 Angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa : “Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundangan yang diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”. Adapun pendapat Henri Fayol yang mengemukakan tentang pengawasan, yaitu: “… Dalam setiap usaha, pengawasan terdiri atas tindakan meneliti apakah segala sesuatu tercapai atau berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan berdasarkan instruksi-instruksi yang telah dikeluarkan, prinsipprinsip yang telah ditetapkan. Pengawasan bertujuan menunjukkan atau menemukan kelemahan-kelemahan agar dapat diperbaiki dan mencegah berulangnya kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan itu. Pengawasan beroperasi terhadap segala hal, baik terhadap benda, manusia, perbuatan maupun hal-hal lainnya.1 Pengawasan dan pembinaan bagi para pelaku usaha yang masih sering menjual produknya yang belum memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan, maka diperlukan kegiatan-kegiatan yang mampu memberikan solusi agar dapat memberikan kontribusi terhadap suplai produknya yang memenuhi standar, kegiatan yang dapat dilakukan tersebut antara lain adalah pembinaan-pembinaan hukum (Kadarkum) kepada para pelaku usaha atau produsen, operasi pasar, sidak ke pasarpasar dan kampanye terhadap suatu produk yang dihasilkan, misalkan dapat melalui pondok pesantren. 1 H. Ibrahim Lubis, Pengendalian dan Pengawasan Proyek dalam Manajemen, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal 155. 3 Pertumbuhan dan perkembangan industri barang dan jasa di satu pihak membawa dampak positif dimana tersedianya kebutuhan dalam jumlah yang mencukupi, mutunya yang lebih baik, serta adanya alternatif pilihan bagi konsumen dalam pemenuhan kebutuhannya. Namun, disisi lain muncul juga dampak negatif yang dirasakan oleh konsumen dengan beredarnya produk yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan keamanan konsumen. Konsumen mempunyai kebebasan memiliki dan mengkonsumsi barang dan jasa yang ditawarkan oleh produsen, namun ada juga dampak negatif dari pertumbuhan dan perkembangan tersebut, yaitu konsumen akan menjadi sasaran atau obyek aktivitas bisnis bagi para pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarbesarnya dalam menjalankan usahanya. Kondisi tersebut dapat menjadikan posisi konsumen semakin lemah dan tidak berimbang. Bahkan konsumen menjadi obyek aktivitas pelaku usaha yang mengeksploitasinya demi mencapai profit yang sebesar-besarnya misalnya melalui promosi, cara penjualan, penerapan perjanjian standart yang merugikan, janji-janji kosong dan sebagainya. Praktek usaha yang demikian, secara langsung maupun tidak langsung telah merusak nama perusahaan para pelaku usaha itu sendiri, merebaknya bentuk-bentuk perdagangan yang curang serta meningkatnya peredaran barang dan jasa yang tidak memenuhi standart mutu, keamanan dan juga keselamatan konsumen. Sebagai pelaku usaha seharusnya mereka dituntut lebih professional dan bertanggung jawab dengan 4 tidak hanya mengedepankan keuntungan semata, tetapi juga kualitas produk yang tentunya aman bagi konsumen. Perilaku konsumen dalam pembelian akan mencerminkan tanggapan mereka terhadap berbagai rangsangan pemasaran yang terlihat dan tanggapan akan berbagai harga dan promosi. Hal ini sangat membantu produsen untuk tetap menjaga mutu, kualitas, dan perlindungan produk dari hal-hal yang dapat membahayakan konsumen. Pengetahuan dasar yang baik mengenai perilaku konsumen akan dapat memberikan masukan yang berarti bagi produsen dalam menjaga kualitas produksinya. Manusia sendiri untuk mempertahankan hidupnya harus memenuhi kebutuhankebutuhan hidup, baik spiritual maupun material. Kebutuhan spiritual berhubungan dengan masalah kejiwaan (rohani) seperti: kesenian, pendidikan, agama dan lain-lain. Sedangkan kebutuhan material dengan masalah badaniah (jasmani) seperti sandang, pangan dan kekayaan materi, termasuk kebutuhan pangan diantaranya garam, yang merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok. Garam ini sangat diperlukan oleh masyarakat selain yang fungsinya memberi rasa asin pada masakan, garam yang mengandung yodium ini juga dapat mencegah masyarakat dari penyakit dan kekurangan gizi, selain itu juga harga garam dapat dijangkau oleh masyarakat menengah keatas dan masyarakat menengah kebawah. Garam sebagai komoditi yang dibutuhkan dalam program GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium), karena garam ini merupakan media perantara yang 5 paling efektif untuk memasukkan zat yodium kedalam tubuh manusia, mengingat garam di konsumsi oleh seluruh manusia. Pengertian dari yodium itu sendiri adalah : “ Yodium adalah mineral yang terdapat di alam (tanah/air), yang merupakan zat gizi mikro yang diperlukan oleh tubuh manusia untuk membentuk hormon tiroksin yang berfungsi untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan fisik serta kecerdasan”.2 Garam beryodium memiliki peranan dan pengaruh yang besar bagi pertumbuhan manusia. Kekurangan garam beryodium dapat menimbulkan kecacatan permanen dan akibat lainnya seperti kasus berikut : LEBAK, KOMPAS.com - Ribuan anak di Kabupaten Lebak, Banten, terancam mengalami gangguan retardasi mental atau "idiot" akibat kekurangan mengkonsumsi garam yodium. "Saat ini di masyarakat masih banyak beredar garam yang tidak mengandung yodium," kata Kepala Seksi Gizi, Dinas Kesehatan, Kabupaten Lebak, Tata Sudita, Kamis. Tata mengatakan, kekurangan garam yodium cukup berbahaya karena dapat melahirkan generasi yang tidak berkualitas dan tidak produktif. Kekurangan garam yodium bisa menimbulkan generasi idiot atau retardasi mental, tubuh pendek, bisu tuli atau lumpuh. Selain itu, bila konsumsi diet rendah yodium akan menjadi anak yang kurang inteligensi atau kecerdasan, bodoh, lesu dan apatis dalam kehidupannya. Untuk itu, kekurangan yodium juga menyebabkan masyarakat miskin dan tidak berkembang dan anak mengalami kesulitan untuk belajar. Pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat diminta segera membuat peraturan daerah (Perda) tentang garam yodium untuk menyelamatkan generasi tersebut.3 Adapun penyebab dari Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) tersebut dapat berasal dari para produsen, distributor, dan petani garam. Yang berasal 2 Makalah Work Shop Garam Beryodium Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, 2003, hal 1. 3 NN, Kamis, 23 Juli 2009, 22:28 WIB, Kurang Yodium, Ribuan Anak Lebak Terancam Idiot, http://www.kompas.com/&type=dns&ISN, diakses pada tanggal 14 April 2011. 6 dari para produsen yaitu para produsen yang memproduksi garam konsumsi tidak beryodium atau dengan kadar yodium yang rendah atau tidak memenuhi standar mutu, sedangkan dari distributor yaitu distributor yang mendistribusikan garam konsumsi tidak beryodium dan atau dengan kadar yodium yang rendah, dan yang berasal dari petani garam yaitu petani garam yang langsung menjual garam ke konsumen tanpa melalui proses iodisasi. Adapun penyebab kekurangan yodium juga dapat berasal dari konsumen itu sendiri yaitu mayoritas konsumen yang kurang kritis atau tidak peduli terhadap garam yang dikonsumsi oleh konsumen. Berdasarkan permasalahan tersebut maka sudah semestinya ada tangan ketiga yang menjamin standarisasi garam beryodium, dan menjaga kualitas garam beryodium melalui pengawasan pemerintah. Kabupaten Cirebon sebagai salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang memiliki potensi garam yang cukup besar, baik garam rakyat atau garam krosok maupun garam konsumsi beryodium, maka untuk menjaga dan meningkatkan kualitas serta kuantitas hasil produksi garam di Kabupaten Cirebon, terus menerus dilakukan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon terhadap para pengrajin garam yang ada di Kabupaten Cirebon, yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 78 Tahun 2001 tentang Larangan Peredaran Garam Konsumsi Tidak Beryodium. Kualitas produksi garam rakyat atau garam krosok di Kabupaten Cirebon memiliki kualitas III (NaCL kurang dari 90%) menyebabkan Kabupaten Cirebon 7 perlu penanganan intensif, untuk itu diperlukan partisipasi dari para pengusaha untuk memproduksi garam konsumsi beryodium yang memenuhi standar pemerintah yaitu antara 30-80 ppm untuk kandungan larutan Yodium atau KIO3 (Kalium Yodat). Berkaitan dengan uraian tersebut dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka peneliti tertarik dalam hubungan upaya pengawasan yang dilakukan oleh pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap produksi garam khususnya di Kabupaten Cirebon. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan apabila didalam pengawasan ditemukan penyimpangan dalam produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon. Berdasarkan wacana tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam masalah tersebut dan merumuskan dalam judul Pengawasan Dinas Perindustrian Dan Perdagangan Kabupaten Cirebon Terhadap Produksi Garam Rakyat Di Kabupaten Cirebon Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 8 B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ? 2. Bagaimanakah tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan apabila didalam pengawasan ditemukan penyimpangan dalam produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon ? C. 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan apabila didalam pengawasan ditemukan penyimpangan dalam produksi garam rakyat di Kabupaten. 9 D. 1. Kegunaan Penelitian Kegunaan Teoretis Untuk menambah wacana dan pustaka di bidang pengembangan disiplin ilmu hukum dagang pada umumnya dan hukum perlindungan konsumen pada khususnya. 2. Kegunaan Praktis Diharapkan dapat memberikan masukan dan sumbangan pemikiran yang berguna bagi seluruh masyarakat pengguna garam rakyat. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi, Tujuan, dan Fungsi Hukum Kumpulan dari suatu norma, nilai, sanksi dan peraturan yang membentuk suatu sistem dan saling mempengaruhi dapat disebut dengan suatu hukum. Hukum memaksa manusia karena memiliki sanksi yang tegas. Dalam melindungi masyarakatnya Negara menggunakan hukum untuk mengatur berbagai kepentingan yang ada di dalam suatu negara. ”Norma atau kaidah mengandung makna bahwa perbuatan apa yang harus dilakukan dan mana perbuatan yang tidak boleh dilakukan di dalam masyarakat. Di belakang Norma terdapat Nilai atau Value ,nilai merupakan bagian dasar dari norma. Nilai yang mempengaruhi tingkah laku manusia karena nilai merupakan patokan atau ukuran suatu tingkah laku seperti kejujuran, kesetiaan, kesusilaan, keindahan dan lainnya. Adressat dari norma hukum adalah masyarakat, kepada merekalah norma-norma tertuju.”4 Hukum dalam arti luas adalah mencakup segala peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sedangkan pengertian hukum dalam arti sempit adalah kumpulan peraturan tertulis, misalnya yang tercantum di dalam kitab perundangundangan. Hukum baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit yaitu didalamnya mengandung nilai-nilai umum yang dapat dijadikan pedoman bagi setiap orang untuk melaksanakan sesuatu serta dapat juga berfungsi untuk melindungi hak atau 4 Kansil. CST, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka , Jakarta, 1989, hal.83. 10 11 kepentingan individu dari segala bentuk kesewenang-wenangan dalam hubungannya sebagai mahluk sosial. “Hukum diartikan oleh Aristoteles adalah Particular Law is that which each community lays down and aplies to its own member.Universal law is the law of nature. Sedangkan Grotius mengartikan hukum sebagai law of moral action obliging to that which is right.5 Cukup berbeda Meyer dalam bukunya DE Algemene begrippen van het burgelijke recht mengartikan hukum sebagai semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan,ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa penguasanegara dalam melakukan tugasnya.”6 Menurut Soerjono Soekanto didalam bukunya menyatakan bahwa : ”Hukum harus dilihat dan dipelajari sebagai lembaga sosial. Hukum sebagai suatu bentuk pengendalian sosial yang khusus mengatur manusia agar terhindar dari perbuatan-perbuatan anti sosial. Intinya terletak pada teori kepentingan yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum berfungsi untuk memenuhi tujuan-tujuan sosial, jadi dalam artian sosialnya hukum merupakan suatu produk sosial yang sekaligus merupakan kekuatan sosial.”7 Mochtar Kusumaatmaja berpendapat bahwa : ”Hukum bukan saja merupakan gejala normatif, melainkan juga gejala sosial atau empiris, hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.8 Selanjutnya menurut Mochtar Kusumaatmaja, bahwa hukum sebagai kaidah sosial, tidak terlepas dari nilai (Values) yang berlaku di suatu masyarakat, bahkan dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.”9 5 Ibid., hal.35 Ibid., hal.36 7 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, hal. .69. 8 Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1993, hal. 35-36. 9 Ibid., hal.36. 6 12 Berdasarkan pendapat Mochtar Kusumaatmaja dapat ditafsirkan bahwa hukum bukan saja kumpulan teks normatif, tetapi juga menyangkut gejala sosial masyarakat. Hukum juga mengatur bagaimana bekerjanya suatu institusi dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah hukum di dalam masyarakat. Berkaitan dengan pendapat tersebut Lon Fuller menyatakan bahwa: ”Hukum itu sebagai usaha untuk tujuan tertentu (Purposeful enterprises). Penekanan disini ada pada usaha, maka dengan sendirinya ia mengandung resiko kegagalan. Keberhasilan usaha tersebut tergantung pada energi, wawasan, intelegensi, dan kejujuran dari mereka yang harus menjalankan hukum itu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum adalah suatu rangkaian yang urgen atau peraturan yang menguasai tingkah laku dan perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarakat.”10 Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, dikatakan bahwa : ”Tujuan hukum adalah terpelihara dan terjaminnya keteraturan kepastian dan ketertiban, karena tanpaketeraturan dan ketertiban, kehidupan manusia yang wajar memang tidak mungkin. Orang tidak dapat mengadakan usaha mengembangkan bakatnya tanpa adanya kepastian dan keteraturan. Oleh karena itu pandangan yang mengatakan bahwa tujuan hukum adalah menjamin keteraturan atau kepastian dan ketertiban tidak terlaksana.”11 Menurut Van Apeldoorn mengatakan bahwa : ”Hukum dibuat pada dasarnya bertujuan agar pergaulan hidup manusia dapat berjalan secara teratur dan damai, karena pada dasarnya hukum itu menghendaki perdamaian. Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya terhadap perbuatan yang merugikannya.”12 10 Bambang Purnomo, Azas-azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 19. Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Sosiologi Hukum, Balai Pustaka, Bandung, 2000, hal. 50. 12 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 40. 11 13 Menurut Sudikno, tujuan pokok hukum adalah : ”Menciptakan suatu tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan terciptanya ketertiban didalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.”13 Selain mempunyai tujuan, hukum juga mempunyai fungsi. Dalam melaksanakan peran pentingnya dalam masyarakat, hukum mempunyai fungsi seperti penertiban pengaturan, penyelesaian pertikaian dan sebagainya sehingga dapat mengiringi masyarakat yang berkembang. Secara garis besar fungsi hukum dapat diklasifikasikan dalam tiga tahap yaitu14 : 1. 2. 3. Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberikan pedoman dan petunjuk tentang bagaimana perilaku di dalam masyarakat. Menunjuk mana yang baik dan mana yang tercela melalui norma-normanya yang mengatur perintah-perintah ataupun larangan-larangan sehingga masyarakat diberi petunjuk bertingkah laku dan masing-masing anggota masyarakat tau apa yang harus di lakukan dan yang tidak boleh dilakukan sehingga terciptanya suatu ketertiban dan keteraturan. Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial. Hukum dengan sifat dan wataknya yang antara lain memiliki daya mengikat baik fisik maupun psikologis. Daya mengikat dan jika perlu memaksa ini adalah watak hukum yang bisa menangani kasus-kasus nyata dan memberi keadilan, menghukum yang bersalah, dan sebagainya. Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan atau disebut dengan social engineering. Hukum sebagai sarana pembangunan merupakan alat bagi otorita untuk membawa masyarakat kearah yang lebih maju. 13 Sudikno Mertokusumo,. Mengenal Hkum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hal. 14 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 153-154. 64. 14 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa definisi hukum adalah seperangkat kaidah, aturan, norma dan juga nilai yang diwujudkan dalam bentuk perintah, sanksi dan larangan guna menuntun pola perilaku manusia. Tujuan yang ingin dicapai hukum adalah keteraturan, ketertiban, keadilan dan faedah/ manfaat bagi msyarakat luas. A. Perlindungan Konsumen 1. Hukum Perlindungan Konsumen Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu perkembangan hukum di Indonesia. Pengaturan ketentuan mengenai perlindungan konsumen sebagai satu konsep terpadu merupakan hal baru. Di Indonesia, keinginan mewujudkan upaya hukum perlindungan konsumen sudah ada sejak tahun 1980-an. Tetapi, upaya tersebut baru bisa terealisasi pada tahun 1999 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut dengan UUPK. Diundangkannya UndangUndang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999 memberikan semangat baru dalam pemberdayaan konsumen di Indonesia dan menempatkan perlindungan konsumen kedalam tatanan sistem hukum nasional. Undangundang yang digolongkan baru tersebut pada dasarnya memuat ketentuanketentuan yang melindungi konsumen. 15 A.Z. Nasution memberikan penjelasan bahwa: “Hukum perlindungan merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen. Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau/jasa konsumen didalam pergaulan hidup.”15 Pengertian perlindungan hukum bagi konsumen adalah salah satu upaya penegakan hukum bagi konsumen yang membutuhkan pengaturan-pengaturan berupa ancaman bagi yang melanggar. Hal ini tercermin dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang merupakan perundang-undangan di Indonesia dengan kepentingan pemberian perlindungan hukum kepada konsumen. Hukum konsumen merupakan salah satu bidang dari ilmu hukun. Ilmu hukum di Indonesia dewasa ini masih kurang dikembangkan secara berencana untuk suatu pembangunan, sehingga teori-teori yang dihasilkannya tidak efektif dan tidak sampai ke titik final. Hal tersebut merupakan kesalahan yang dilakukan oleh bidang ilmu hukum dan para pengkaji-pengkaji hukumnya, khusus dalam bidang hukum perlindungan masyarakat kecil hal tersebut membawa akibat masih banyaknya kasus-kasus yang terjadi terkait dengan masalah konsumen. Masalah konsumen tersebut merupakan titik fokus dari 15 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2006, hal. 11 16 hukum konsumen yang kemudian dilakukan pembagian kepada hukum konsumen. Adapun pembagian hukum konsumen terdiri dari: a. b. 16 Hukum Konsumen Formil, titik fokusnya akan tertuju kepada antara lain: 1) Tanggung jawab mutlak (strict liability): 2) Pembuktian terbalik (omkering van bewijslast); 3) Subyek yang bertanggung jawab; 4) Polisi-polisi khusus; 5) Tindak pidana ekonomi; 6) Badan peradilan khusus (Small Claims Court); 7) Consumer Ombudsman; 8) Gugatan kelompok (class actions, public interest litigation); 9) Badan Pendamai (arbitration); dan 10) Organisasi Konsumen (consumer organization), semacam Yayasan Lembaga Konsumen di Indonesia. Hukum Konsumen Materiil, antara lain hal-hal yang berkenaan dengan: 1) Hak konsumen 2) Pranata-pranata masyarakat yang dapat dipergunakan sebagai yang dapat menyebabkan terhambatnya hak-hak konsumen seperti: a) Hak milik perindustrian (Industrial property right); b) Perjanjian baku (standard contract, standard veerwaarden, agreements d’adhesion); c) Service purna jual (after sales services); d) Berbagai versi jual beli; e) Persaingan curang; f) Perantara dalam perdagangan; g) Iklan yang tidak layak (unjust advertising, false advertising, bait advertising). 3) Tanggung jawab produksi (product safety and liability), seperti masalah: a) Mutu barang, makanan, minuman dan obat. b) Standar mutu/ standar industri. c) Masalah harga yang pantas 4) Ukuran, takaran dan timbangan yang tepat.16 Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal 163. 17 Mengingat luasnya obyek material hukum perlindungan konsumen, maka sangat sulit memberikan sistematika yang lengkap. Obyek materiil hukum konsumen mencakup semua lapangan hukum pada umumnya. Berdasarkan hasil inventarisasi terhadap peraturan-peraturan yang memuat materi perlindungan konsumen, pengaturan tentang Perlindungan Konsumen tersebar dalam delapan bidang, yaitu: a. b. c. d. e. f. g. h. 2. Obat-obatan dan bahan berbahaya; Makanan dan minuman; Alat-alat elektronika; Kendaraan bermotor; Metrology dan tera; Industri; Pengawasan mutu barang; Lingkungan hidup.17 Pengertian Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan mengenai Perlindungan Konsumen sebagai berikut : “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Rumusan pengertian perlindungan konsumen tersebut sudah cukup memadai. Maksudnya, kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi kepentingan perlindungan konsumen. Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan 17 Shidarta, op.cit. hal. 93 18 berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.18 Untuk mewujudkan perlindungan konsumen tersebut, supaya keinginankeinginan dari kedua pihak terwujud maka kedua belah pihak secara sadar harus memiliki itikad baik untuk saling memenuhi apa yang menjadi kewajibannya masing-masing. Hal tersebut juga belum cukup karena masih membutuhkan peran Pemerintah yang secara konsisten harus mampu menegakkan hukum secara benar terhadap segala bentuk pelanggaran hak-hak konsumen maupun pelaku usaha. Pelindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. Perlindungan konsumen didasarkan atas 5 (lima) asas seperti yang terurai dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa : “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. 18 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hal 1. 19 3. Tujuan Perlindungan Konsumen Tujuan dari penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan hukum bagi konsumen adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen, serta secara tidak langsung mendorong pelaku usaha di dalam menyelenggarakan kegiatan usaha dengan penuh rasa tanggung jawab. Masalah perlindungan konsumen juga diatur dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985. Resolusi ini memuat kepentingan konsumen yang harus dilindungi meliputi : a. b. c. d. e. f. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya; Promosi dan kepentingan sosial ekonomi konsumen; Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi; Pendidikan konsumen; Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; serta Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen.19 Perlindungan konsumen didasarkan atas 5 (lima) asas seperti yang terurai dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa : “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Untuk mewujudkan tujuan perlindungan hukum bagi konsumen, negara bertanggungjawab atas pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen. Pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut : 19 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal. 4. 20 a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konumen; b. berkembangnya lembaga perlindungan hukum bagi konsumen baik oleh negara atau swadaya masyarakat; c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan hukum bagi konsumen.20 4. Konsumen Konsumen dalam pengertian sehari-hari seringkali disebut sebagai pembeli. Pengertian konsumen secara hukum tidak hanya terbatas kepada pembeli saja. Istilah “konsumen” sebagai suatu konsep, telah diperkenalkan beberapa puluh tahun yang lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara yang memiliki Undang-Undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk menyediakan sarana peradilannya. Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa yang dimaksud konsumen yaitu : 20 Abdul Hakim Barkatullah, Op.cit., hal. 27. 21 “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” Menurut penjelasan pasal tersebut diatas, bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir yaitu pengguna dan pemanfaat akhir dari suatu produk. Masyarakat sebagai konsumen akhir membutuhkan barang dan jasa yang aman untuk dikonsumsi, dengan demikian tidak menimbulkan kerugian dan tidak membahayakan jasmani ataupun rohaninya. Berdasarkan pengertian konsumen yang ada dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka dapat dirumusan definisi konsumen, yaitu : a. Setiap orang Subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setipa orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Pengertian konsumen tidak hanya pada orang perseorangan namun juga mencakup badan hukum. b. Pemakai Penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah pemakai dalam hal ini tepat dipakai dalam ketentuan tersebut sekaligus menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. c. Barang dan/atau jasa Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini produk sudah berkonotasi barang dan/atau jasa. d. Yang tersedia dalam masyarakat Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah tersedia di pasaran. e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain 22 Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian konsumen. f. Barang dan/atau jasa itu tidak diperdagangkan Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen diberbagai Negara.21 Definisi konsumen terdapat juga dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, didalam undang-undang ini yang dimaksud dengan konsumen adalah : “setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.” Pengertian konsumen terdapat pula di berbagai negara, misalnya di Amerika Serikat dan di Eropa. Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk yang cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga korban yang bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai.22 5. Pelaku Usaha Kajian mengenai konsumen tidak dapat dipisahkan dari kajian mengenai pelaku usaha. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa : 21 22 Shidarta, Op.cit., hal 5-9 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit., hal. 7. 23 “Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Penjelasan “Pelaku Usaha” yang temasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.23 Pengertian mengenai pelaku usaha dalam ketentuan pasal tersebut cakupannya sangat luas karena tidak dibatasi hanya untuk pabrikan saja, melainkan juga para distributor (dan jaringannya), serta termasuk para importir. Cakupan luasnya pengertian mengenai pelaku usaha yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat eropa terutama Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah: a. b. c. d. e. 23 Pembuat produk jadi (finished product). Penghasil bahan baku. Pembuat suku cadang. Setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli dengan produk tertentu Importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan, atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan, pemasok (supplier) dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan.24 Abdul Hakim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010 hal. 37. Suyadi, Diktat Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen, Fakutas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2007, hal. 2. 24 24 Berdasarkan Pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa, cakupan kategori pelaku usaha cukup luas. Pelaku usaha dalam konteks tersebut dapat disederhanakan menjadi produsen/ seorang pembuat, dan juga distributor/ orang yang mendistribuskan barang. Hal ini tentunya sesuai dengan penjelasan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha berdasarkan penjelasan ketentuan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Pelaku usaha sebagai pencipta atau pembuat barang yang menjadi sumber terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan konsumen. b. Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen. c. Pengusaha jasa. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat diketahui bahwa, pelaku usaha bukanlah dikonsepsikan sebagai pembuat barang, dan pendistribusian barang, tetapi juga menyangkut jasa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak 25 hanya mengatur aspek barang tetapi jasa seperti perlindungan konsumen listrik, jasa konsultan dan praktik jasa lainnya. Di Amerika Serikat, faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen meliputi : a. Kelalaian si konsumen penderita; b. Penyalahgunaan produk yang tidak terduga pada saat produk dibuat (unforseeable misuse); c. Lewatnya jangka waktu penuntutan (daluarsa), yaitu 6 (enam) tahun setelah pembelian, atau 10 (sepuluh) tahun sejak barang diproduksi; d. Produk pesanan pemerintah pusat (federal); e. Kerugian yang timbul (sebagian) akibat kelalaian yang dilakukan produsen lain dalam kerja sama produksi(di beberapa negara bagian yang mengakui joint and several liability).25 6. Hak dan Kewajiban a. Hak dan Kewajiban Konsumen Konsumen sebagai pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat memiliki hak-hak yang dilindungi oleh UndangUndang. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan 25 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. hal. 42-43 26 Konsumen merumuskan sejumlah hak penting konsumen. Hak tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 4, hak-hak tersebut adalah : 1) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2) hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 9) hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. 27 Kewajiban konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UndangUndang tentang Perlindungan Konsumen, antara lain : 1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan; 2) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Selain hak dan kewajiban konsumen, dalam Undang-Undang juga diatur mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha. Hak-hak dan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Bab III tentang Hak dan Kewajiban sebagaimana dalam Pasal 6 dan 7. Hak-hak pelaku usaha adalah sebagai berikut : 1) hak menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 28 2) hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; 3) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; 4) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 5) hak-hak yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya. Hak-hak produsen/pelaku usaha dapat ditemukan antara lain pada faktorfaktor yang membebaskan produsen dari tanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat produk, yaitu apabila : a. Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan; b. Cacat timbul dikemudian hari; c. Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen; d. Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi; e. Cacat timbul akibat tidak ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa. 29 Mengenai kewajiban pelaku usaha sebagaimana termuat dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan tujuh kewajiban pelaku usaha, yakni : 1) beritikad baik dalam melaksanakan kegiatan usahanya; 2) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 3) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 4) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; 6) memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 30 7) memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mewajibkan pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. “Kewajiban pelaku usaha yang kedua yaitu memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi disamping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang merugikan konsumen.”26 Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi. Bentuk informasi tentang barang dan/atau jasa yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari pelaku usaha. 26 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit. hal. 44. 31 7. Para Pihak Dalam Perlindungan Konsumen Konsep perlindungan konsumen pada hakikatnya memberikan perlindungan terhadap konsumen, akan tetapi perlindungan konsumen bukanlah masalah konsumen sendiri. Setiap usaha atau upaya yang bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pelaksanaannya selalu melibatkan berbagai pihak. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen, oleh karena itu tidak hanya melibatkan satu pihak saja. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai saling keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah. Keterlibatan beberapa pihak yang saling terkait di dalam praktik perlindungan konsumen, antara lain sebagai berikut: a. Konsumen Semua manusia pada kodratnya adalah konsumen. Konsumen merupakan pihak dalam perlindungan konsumen yang memiliki kekuatan, nilai tawar maupun kedudukan yang baik secara pendidikan maupun secara ekonomi cenderung lemah. Untuk itu, perlu jaminan untuk memperoleh perlindungan secara hukum. Konsumen diartikan sebagai konsumen akhir, yaitu orang yang menggunakan barang dan jasa yang tersedia didalam masyarakat baik untuk kepentingan diri sendiri, 32 keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. b. Pelaku usaha Pelaku usaha adalah pihak yang menginformasikan masuknya bahan baku, bahan penolong dan lain-lain melalui proses yang menggunakan teknologi tertentu menjadi keluaran berupa barang jadi untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan masyarakat konsumen. c. Pemerintah Pemerintah adalah pihak yang mempunyai wewenang untuk membuat peraturan atau kebijaksanaan, melaksanakan dan menjalankan pelaksanaan peraturan yang dibuatnya agar ditaati oleh para pihak yang ada dalam daerah pemerintahannya yaitu seluruh penduduk Indonesia. Pemerintah disini bertugas untuk mengawasi jalannya peraturan serta Undang-Undang tersebut dengan baik. Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur, mengawasi serta mengendalikan produksi distribusi, dan peredaran produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik kesehatannya maupun keuangannya. 33 8. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga merumuskan serangkaian norma larangan sebagai bagian kaidah hukum. Dengan adanya larangan dimaksudkan untuk memastikan bahwa produk yang diperjualbelikan di masyarakat tidak dilakukan dengan cara melanggar hukum, sehingga ketertiban sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap konsumen dapat terwujud. Larangan ini dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan bagi pelaku usaha sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan sifat jujur pelaku usaha, dengan harapan akan tercipta suatu suasana iklim usaha yang menjamin adanya persaingan yang sehat. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan satu-satunya ketentuan umum yang berlaku secara general bagi kegiatan usaha dari para pelaku usaha di negara Republik Indonesia. Pelaku usaha dilarang untuk melaksanakan kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa yang merugikan konsumen. Undang-Undang menentukan berbagai larangan bagi pelaku usaha sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau jasa yang akan digunakan konsumen. 34 B. Pengawasan 1. Pengertian Pengawasan Peran Pemerintah dalam perlindungan konsumen dapat berupa pembinaan dan pengawasan yang juga terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 29 dan Pasal 30. Dengan adanya tanggung jawab Pemerintah atas pembinaan yang terdapat dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang konsumen Perlindungan tidak lain Konsumen, dimaksudkan penyelenggaraan untuk perlindungan memberdayakan konsumen memperoleh haknya. Ada kekhawatiran, pelaku usaha dengan prinsip ekonominya, menjadikan konsumen menderita kerugian karenanya. Pemberdayaan konsumen tersebut, sesuai asas keadilan dan keseimbangan, tidak boleh merugikan kepentingan pelaku usaha. Hal ini dinyatakan juga dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa, piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi sebaliknya melalui perlindungan konsumen tersebut dapat mendorong iklim berusaha yang sehat, dan lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.27 Sehubungan dengan ketentuan Pasal 29 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai pembinaan, dalam penjelasan 27 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, hal 181. 35 Umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menentukan, faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran akan haknya masih rendah, yang terutama disebabkan oleh pendidikan yang masih rendah. Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) untuk melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan penting, karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang berupaya mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin sesuai prinsip ekonomi. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mengenai pengawasan yang terdapat dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan kekuasaan kepada lembaga-lembaga pemerintah untuk melakukan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen demi terjaminnya hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha. Dan pengawasan terhadap pelaku usaha mengandung makna pemastian atas terpenuhinya atau terselenggaranya hak dan kewajiban para pihak. Oleh karena itu, pengawasan merupakan unsur yang penting dalam hal terlaksananya perlindungan konsumen. 36 Pengawasan itu sendiri dapat diartikan, yaitu berasal dari kata awas, sehingga pengawasan merupakan kegiatan mengawasi saja, dalam arti melihat sesuatu dengan seksama yang kemudian dilaporkan.28 Menurut Ibrahim Lubis menyatakan bahwa pengawasan adalah : “Kegiatan yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki“.29 Jadi, dapat disimpulkan pengertian pengawasan adalah: “Setiap kegiatan yang hasilnya harus dilaporkan agar kegiatan tersebut sesuai dengan rencana dan tidak menyimpang dari yang dikehendaki.” Pengawasan ini sendiri merupakan bagian dari suatu fungsi manajemen atau “ Managerial functions “ yang telah berubah-ubah sepanjang masa. Fungsi manajeman itu menurut George F. Terry meliputi: 28 a. perencanaan (Planning) b. mengorganisir (Organizing) c. menggerakkan (Actuating) d. mengawasi (Controlling).30 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 7. Ibrahim Lubis, Op.cit., hal. 154. 30 Bennett N. B. Silalahi, Manajemen Integratif (bacaan untuk manajer utama), Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen LPMI, Jakarta, 1995, hal. 29. 29 37 2. Macam-Macam Pengawasan Di suatu Negara yang sedang berkembang, pengawasan merupakan hal yang sangat penting agar maksud dan tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Untuk mencapai tujuan Negara atau organisasi, maka dalam hal pengawasan diklasifikasikan macam-macam pengawasan berdasarkan berbagai hal, yaitu: a. b. c. Pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung 1) Pengawasan langsung Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara “on the spot” di tempat pekerjaan, dan menerima laporanlaporan secara langsung pula dari pelaksana. Hal ini dilakukan dengan inspeksi. 2) Pengawasan tidak langsung Pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporan-laporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tertulis, mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan sebagainya tanpa pengawasan “on the spot” Pengawasan preventif dan pengawasan represif Walaupun prinsip pengawasan adalah preventif, namun bila dihubungkan dengan waktu pelaksanaan pekerjaan, dapat dibedakan antara pengawasan preventif dan pengawasan represif. 1) Pengawasan preventif Pengawasan preventif dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan dimulai. Misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan-persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lain. 2) Pengawasan represif Adapun pengawasan represif dilakukan melalui post audit, dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan di tempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan dan sebagainya. Pengawasan intern dan pengawasan ekstern 1) Pengawasan intern 38 2) 3. Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. Pengawasan ekstern Pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi sendiri. 31 Pengawasan Dinas Perindustrian Dan Perdagangan Sebagai ketentuan dasar dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap produsen garam tersebut dapat berpedoman pada peraturan pelaksana yang ada seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, dan sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium maka telah diterbitkan Surat Keputusan Menteri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Nomor 77/M/SK/5/1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan, Pengemasan dan Pelabelan Garam Beryodium. Di samping itu industri garam konsumsi beryodium wajib memiliki Sertifikat Standart Nasional Indonesia (SNI ). "Keeratan hubungan antara pembinaan dan pengawasan terutama disebabkan karena kegiatan pengawasan dan standart ini untuk bagian yang sangat besar ditentukan oleh suatu pembinaan. Standart adalah ukuran yang ditetapkan atas dasar mana akibat yang benar-benar terjadi dapat dinilai. Standart tersebut menunjukkan pernyataan atau tujuan dari perusahaan atau bagian daripada tujuan dengan dasar mana tugas-tugas yang dilaksanakan dapat diukur. Standart-standart dapat bersifat fisis, dalam arti bahwa satandart-standart itu menunjukkan kuantitas-kuantitas daripada macam-macam produksi, kesatuan-kesatuan jasa, jam-jam kerja 31 Victor M, Situmorang dan Yusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 21. 39 buruh, kecepatan, volume pembatalan dan banyak dasar ukuran lain yang bersifat fisis.”32 “Banyaknya pembagian bidang-bidang hukum Perlindungan Konsumen serta beragamnya jenis peraturan yang melingkupinya menuntut adanya konsistensi, baik dalam substansi maupun penerapannya di lapangan. Adapun peraturan-peraturan lain, baik yang setingkat dengan undangundang maupun yang dibawahnya merupakan pengaturan yang bersifat lebih sektoral. UUPK merupakan peraturan yang dapat disebut sebagai umbrella act. Didalam penjelasan umum UUPK menyebutkan sejumlah undang-undang yang dapat dikategorikan sebagai peraturan hukum sektoral, undang-undang tersebut telah ada mendahului UUPK.”33 Salah satu Undang-Undang yang ada sebelum munculnya UUPK adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Terkait dengan masalah pengawasan, pengawasan pemerintah disektor Pangan didasarkan pada Pasal 53 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang merumuskan sebagai berikut : 1) Untuk mengawasi pemenuhan ketentuan undang-undang ini, pemerintah berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan. 2) Dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah berwenang: a. Memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan atau proses produksi penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan pangan untuk memeriksa, meneliti, dan 32 33 Ibrahim Lubis, Op.cit., hal. 156. Shidarta, Op.cit., hal. 95. 40 mengambil contoh pangan dan segala sesuatu yang diduga digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau perdagangan pangan; b. Menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau patut diduga yang digunakan dalam pengangkutan pangan serta mengambil dan memeriksa contoh pangan; c. Membuka dan meneliti kemasan pangan; d. Memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau perdagangan pangan, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; e. Memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha dokumen lain sejenis. 3) Pejabat pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilengkapi dengan surat perintah. 4) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), patut diduga merupakan tindak pidana di bidang pangan, segera dilakukan tindakan penyidikan oleh penyidik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 41 5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapakn lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pengawasan merupakan bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan untuk meminimalisir penyimpangan yang dilakukan pemerintah, maka dalam menyelenggarakan pemerintahan diperlukan adanya pengawasan. Pengawasan Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap standar mutu suatu produk merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menjamin kepastian hukum bagi konsumen, sehingga dapat mencegah penyimpanganpenyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pelaku usaha sebagai produsen senantiasa harus diawasi supaya mereka bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku, sehingga pelaku usaha benar-benar memenuhi kewajibannya. Pengawasan diperlukan, mengingat bahwa kecenderungan untuk melakukan kewajiban dipandang ada pada setiap orang, tidak terkecuali pemerintah khususnya dalam hal ini adalah Dinas Perindustrian dan Perdagangan selaku instansi yang berwenang untuk melakukan tugas pembinaan dan pengawasan. Oleh karena itu, tindakan untuk menghilangkan atau mempersempit kemungkinan adanya pelanggaran terhadap ketentuanketentuan yang berlaku. Dengan pengawasan diharapkan pemenuhan hak-hak konsumen dapat terjamin dan sebaliknya pemenuhan kewajiban-kewajiban pelaku usaha dapat dipastikan. 42 C. Produk Garam Rakyat 1. Pengertian Garam Garam merupakan satu komposisi kimia yang sering digunakan sebagai konsumsi setiap orang didalam makanan dan berfungsi sebagai penyedap makanan, namun akhir-akhir ini garam juga digunakan sebagai bahan dagangan, dalam industri perobatan, pertanian maupun dalam bidang pembuatan makanan. Garam itu sendiri memiliki peranan dan pengaruh yang sangat besar bagi pertumbuhan manusia. Pengertian garam adalah : “benda yang larut di air, putih warnanya dan asin rasanya yang diperoleh dari endapan air laut.”34 Di dalam ilmu kimia, garam adalah : “senyawa ionik yang terdiri dari ion positif (kation) dan ion negatif (anion), sehingga membentuk senyawa netral (tanpa bermuatan). Garam terbentuk dari hasil reaksi asam, basa dan natrium klorida (NaCl).”35 2. Produk Garam Rakyat Garam rakyat merupakan garam yang diproduksi oleh petani garam yang berada di sekitar daerah pantai dan dikonsumsi oleh setiap orang. Proses produksi garam yang dilakukan rakyat tidak mengalami perubahan, yaitu 34 35 2011 Depdiknas, op.cit, hal. 255. http://id.wikipedia.org/wiki/Garam_%28kimia%29, Manfaat Garam, di akses 12 Januari 43 prosesnya dimulai dengan meratakan petak petak tambak dengan alat bantu silender baja yang ditarik tenaga manusia, setelah itu lalu diberi air. Dengan bantuan sinar matahari, air laut ini mengkristal dan menjadi butiran-butiran garam. Butiran-butiran garam itulah yang dikonsumsi oleh masyarakat. Mengenai izin pembuatan garam rakyat, terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 25 Tahun 1957 Tentang Penghapusan Monopoli Garam dan Pembikinan Garam Rakyat, yaitu: “Pembikinan garam rakyat hanya dapat dilakukan setelah yang berkepentingan mendapat surat izin dari Kepala Daerah Propinsi/atau pejabat yang dikuasakan olehnya yang juga dapat menetapkan syaratsyaratnya mengenai luas tanah penggaraman, cara pembikinan garam, kesehatan dan syarat-syarat lain berdasarkan kepentingan umum.” 3. Kajian Mengenai Garam Beryodium a. Pengertian dan Sumber Ketersediaan Yodium Yodium merupakan unsur pokok dalam pembentukan hormon tiroksin. Selain itu yodium juga merupakan unsur penting bagi kehidupan manusia, karena sangat diperlukan dalam pertumbuhan, perkembangan fungsi otak. Tubuh memerlukan yodium secara teratur setiap harinya, maka yodium menjadi bagian dari makanan setiap hari.36 Yodium merupakan sejenis mineral yang terdapat di alam, baik di tanah maupun di air, merupakan zat gizi mikro yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Yodium merupakan 36 hal. 26. Darwin Karyadi dan Muhilal, Kecukupan Gizi yang Dianjurkan,PT. Gramedia, Jakarta, 1985, 44 mineral yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah yang relatif kecil, sekitar 25 mg. Tetapi yodium mempunyai peranan yang sangat penting untuk pembentukan hormon tiroksin. Yodium merupakan komponen struktural dari hormon tiroksin yang dihasilkan oleh kelenjar gondok tiroid yaitu, triiodotironin (T3) dan tetraiodotironin (T4).37 Fungsi yodium dalam tubuh sebagai komponen yang penting dalam pembentukan tiroksin pada kelenjar gondok, serta pengendali transduksi energi seluler.38 Peran tiroksin untuk meningkatkan laju oksidasi dalam sel-sel tubuh sehingga dapat meningkatkan kadar BMR (Bassal Metabolisme Rate).39 Sebagaian besar tiroksin diserap melalui usus kecil, tetapi diantaranya langsung masuk ke dalam sel darah melalui dinding lambung. Penyerapan yodium berlangsung cepat yaitu dalam waktu sekitar 3-6 menit setelah makanan dicerna dalam mulut.40 “Laut merupakan sumber utama yodium, oleh karena itu makanan laut yang berupa ikan, udang dan kerang serta ganggang laut merupakan sumber yodium yang baik. Daerah yang dekat dengan pantai mengandung yodium cukup banyak, berbeda dengan daerah yang jauh dari pantai terutama daerah berkapur dan daerah yang mengalami erosi yang mempunyai sedikit atau tidak mengandung yodium. Daerah yang jauh dari pantai mempunyai kandungan yodium yang sedikit, sehingga tanaman yang tumbuh mempunyai sedikit atau tidak sama sekali mengandung yodium. 37 Achmad Djaeni Soediaoetama, Ilmu Gizi Untuk mahasiswa dan Profesi Jilid 2, Dian Rakyat, Jakarta, 1999, hal. 56. 38 Kartasapoetra dkk, Ilmu Gizi, Rinieka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 97. 39 Achmad Djaeni Soediaoetama, Op cit., hal. 56 40 Ibid., hal. 59 45 Salah satu cara penanggulangan kekurangan yodium di Indonesia adalah dengan cara fortifikasi melalui garam dapur dengan yodium.”41 b. Kebutuhan Yodium Kebutuhan yodium per hari menurut Olson et, al, dalam buku Darwin Karyadi dan Muhilal (1985: 27) sekitar 1-2µ g/kg berat badan. Perkiraan kecukupan yang dianjurkan sekitar 40-120µ g/hari untuk anak umur 10 tahun, dan 150µ g/hari untuk orang dewasa. Dan untuk wanita hamil dan menyusui dianjurkan tambahan masing-masing 25µ g dan 50µ g/hari.42 Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi belum mencamtumkan konsumsi yodium yang disarankan, tetapi di negara maju konsumsi yodium yang dianjurkan untuk orang dewasa (19-22 tahun) adalah 120µ g/hari, orang tua (23-50 tahun) sebanyak 130µ g/hari, dan untuk usia lebih dari 19-50 tahun sebanyak 110µ g/hari dan untuk usia lebih dari 51 tahun adalah 80µ g/hari.43 Sebagai salah satu dasar dari hormon tiroid, yodium merupakan bahan yang mutlak dibutuhkan untuk gizi manusia. Kebutuhan gizi manusia berbedabeda, tergantung dari berat tubuh, tinggi badan, umur, jenis kelamin, dan penyakit. Anjuran untuk pengkonsumsian garam beryodium menurut Food and Nutrition Board, National Academy of 41 Sunita Almatsier, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal. 264 42 Darwin Karyadi dan Muhilal, Op cit., hal. 27 F.G. Winarno, Winarno, Kimia Pangan dan Gizi, PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2004, hal. 166. 43 46 Sciences, National Regional Council pada tahun 1974, yang dikutip oleh Solihin Pudjiaji adalah sebagai berikut:44 Sumber : Food and Nutrition Board, National Academy of Science, National Regional Council tahun1974. Kebutuhan yodium sehari-hari sekitar 1-2µ g/kg berat badan. Widya Karya Pangan dan Gizi 1998, yang dikutip oleh Sunita Almatsier, menganjurkan AKG un tuk yodium sebagai berikut:45 Sumber : Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1999. 44 45 Solihin Pudjiaji, Ilmu Gizi Klinis Pada Anak Edisi 4, Rinieka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 202 Sunita Almatsier, Op cit., hal. 264 47 c. Pengertian Garam Beryodium dan Akibat Kekurangan Yodium Garam beryodium adalah suatu inovasi yang ditawarkan kepada konsumen atau setiap keluarga untuk mencegah kekurangan yodium sebagai upaya jangka panjang. Sedang pemberian kapsul minyak beryodium sebagai upaya jangka pengek, dan hanya ditujukan pada seluruh wanita usia subur (15-49 tahun) yang tinggal didaerah GAKY berat dan sedang. Saat ini garam yang beredar di pasaran, sudah ada yang mencantumkan kandungan yodium pada kemasan bungkus garam. Tetapi masih ada juga produsen yang tidak mencantumkan kandungan yodium pada kemasan bungkus garam. Penggunaan garam dapur tanpa yodium dapat menyebabkan pembesaran kelenjar gondok, gangguan fungsi mental serta gangguan perkembangan fisik.46 Klasifikasi dari pembesaran kelenjar tiroid yaitu: 1) Grade 0: normal 2) Grade IA: kelenjar gondok tidak terlihat, baik datar maupun tengadah dan palpasi terasa lebih besar dari ruas terakhir ibu jari terakhir ibu jari penderita. 3) Grade IB: kelenjar gondok dengan tengadah tidak terlihat, dengan tengadah maksimal terlihat dan dengan palpasi teraba lebih besar dari grade IA. 4) Grade II: kelenjar gondok dengan inspeksi terlihat dalam posisi datar dan dengan palpasi terasa lebih besar dari grade IB. 5) Grade III: kelenjar gondok cukup besar dan terlihat dalam jarak 6 meter atau lebih.47 Tubuh yang kekurangan yodium akan mengalami gangguan fisik maupun mental, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Gangguuan 46 47 Solihin Pudjiaji, Op cit., hal. 198 Loc cit 48 akibat kekurangan yodium meliputi gangguan pertumbuhan fisik, antara lain pembesaran kelenjar gondok, badan kerdil, gangguan motorik seperti kesulitan untuk berdiri atau cacat. Kekurangan yodium juga mengakibatkan keterbelakangan mental termasuk berkurangnya tingkat kecerdasan. Selain itu, kekurangan yodium dapat menjadi penyebab terjadinya gangguan reproduksi, keguguran dan bayi lahir mati.48 Yodium pada hakekatnnya diperlukan oleh semua orang, terutama pada masa pertumbuhan janin, bayi dan masa remaja. Kekurangan yodium yang serius bagi ibu yang sedang hamil dapat mengakibatkan bayi lahir mati atau bayi lahir dalam keadaan cacat fisik atau cacat mental. Selain itu juga berisiko terhadap seringnya mengalami keguguran. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan yodium akan tumbuh menjadi anak yang bodoh dan pertumbuhan fisiknya terganggu. Bila bayi tersebut tidak segera diberi yodium cukup, kondisi fisik dan mental akan bertambah buruk. Dampak lain dari kekurangan yodium adalah akan kehilangan sejumlah IQ point. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa penduduk yang hidup di daerah rawan yodium memiliki IQ sebesar 13,5 point lebih rendah dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di daerah cukup yodium.49 Secara garis besar akibat yang ditimbulkan karena kekurangan garam beryodium dapat dilihat sebagai berikut :50 KELOMPOK RENTAN 1. Ibu hamil 2.Janin 48 DAMPAK • • • • Keguguran Lahir mati Cacat bawaan Meningkatnya kematian perinatal BPS, Garam Yodium Rumah Tangga Propinsi Jawa Tengah 1999, BPS, Jawa Tengah, 1999,hal. 2. 49 Ibid., hal. 2-3 50 Departemen Kesehatan RI, Rencana Aksi Nasional Kesinambungan Program Penanggulangan Gangguan Akibat Kurang Yodium. Departeman Kesehatan, Jakarta, 2005, hal. 7. 49 3. Neonatus 4. Anak dan remaja 5. Dewasa Sumber d. Meningkatkan kematian bayi • Kretin neurologi (keterbelakangan mental, lumpuh spatis) • Kretin myxodematosa • Cebol • Kelainan fungsi psikomotor • Gondok neonates • Hipotirodi neonates • Gondok • Gangguan pertubuhan fungsi fisik dan mental • Hipotirioidi juvenile • • • • Gondok dengan komplikasinya Hipotiroidi Gangguan fungsi mental Iodine induced hyper tyroid :Departemen Kesehatan RI, Rencana Aksi Nasional Kesinambungan Program Penanggulangan Gangguan Akibat Kurang Yodium tahun 2005. Penggaraman di Indonesia dan Industri Garam Beryodium Teknologi penggaraman di Indonesia pada umumnya masih dilakukan secara sederhana/tradisional, dengan sistem kristalisasi total yang menghasilkan kualitas garam rendah (dengan kadar NaCl 75-80% dari produktivitas 3 5-45 ton Ha/musim/ 5 bulan). Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah kolam penampung (reservoir) penguapan dan kolam kristalisasi yang belum memadai, tidak adanya kolam untuk air tua di kolam kristalisasi, dikembalikannya air buangan dari kolam sebelumnya dan belum adanya kontrol kualitas, pemanfaatan sistem air, serta pengetahuan akan sistem, aliran dan pintu air yang kurang. 50 Potensi lahan penggaraman tersebar diseluruh Indonesia yang terkonsentrasi di 6 propinsi, yaitu di Nangroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan di Nusa Tenggara Timur. Uji coba pembangunan deplot penggaraman dengan sistem kristalisasi bertingkat berada di 7 lokasi, yaitu Cirebon, Pati, Rembang, Sampang, Pamekasan, Bima dan Janeponto.51 Garam yang beredar di pasaran merupakan salah satu produk yang harus menerapkan SNI (Standar Nasional Indonesia) yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1991 mengenai Standar Nasional Indonesia dan SK Menteri Perindustrian No. 29/M/SK/2/1995 tentang pengesahan SNI dan Penggunaan tanda SNI secara wajib terhadap 10 macam produk industri. Menurut SNI 01-3556.2-1994/Rev/2000 syarat mutu garam beryodium yaitu dimana kandungan KIO3 minimal 30 ppm.52 Pada umumnya perusahan yang belum menerapkan SNI adalah industri kecil yang berada di sentra produksi yang perlu pembinaan mengenai sistem manajemen mutu, pelatihan teknik produksi, dan bantuan peralatan mesin yodisasi garam.53 51 Loc cit. Ibid., hal. 8 53 Loc cit 52 51 e. Distribusi Garam Beryodium Masalah garam beryodium dapat dilihat dari dua aspek, yaitu masalah supply dan demand. Jika pada supply tidak terdapat masalah, maka masalah GAKY tidak akan muncul, dan sebaliknya jika tidak ada masalah pada demand maka masalah GAKY dapat terselesaikan, oleh karena itu pembenahan akan supply perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaan garam beryodium yang berkualitas di pelosok tanah air dan menumbuhkan demand atau kebutuhan masyarakat untuk mengkonsumsi garam beryodium. Distribusi garam beryodium dari perusahaan ke masyarakat, tergantung dari kemampuan produksi dan pemasaran dalam pasar bebas. Perusahaan yang besar mampu melakukan distribusi antar pulau dan antar propinsi, sedang perusahaan menengah dan kecil hanya mampu memasarkan produksinya dalam satu wilayah saja, baik dalam wilayah propinsi, kabupaten/ kota. Pasar yang berada di daerah terpencil pada umumnya sulit terjangkau oleh distributor garam beryodium, dan yang ada berasal dari distributor informal yang memasarkan garam krosok non-yodium.54 54 Ibid., hal. 9 52 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode pendekatan Yuridis Normatif. Ronny Hanintijo Soemitro menjelaskan metode pendekatan Yuridis Normatif yaitu sebagai berikut : “Pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, selain itu konsepsi ini melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom terlepas dari kehidupan masyarakat.”55 Penggunaan metode yuridis normatif dimaksudkan guna menelaah dan mengkaji lebih dalam mengenai pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. B. Spesifikasi Penelitian Dalam usaha memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun penulisan hukum, maka akan dipergunakan spesifikasi penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang menggambarkan keadaan obyek yang akan diteliti.56 Bambang 55 Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hal 13-14. 56 Ronny Hanintjito Sumitro, 1988. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta. Ghalia Indonesia, hal. 16. 52 53 Sunggono menjelaskan lebih lanjut bahwa, penelitian deskriptif bersifat deduktif berdasarkan teori atau konsep umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan seperangkat data, dan menunjukan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data lainnya.57 Dalam hal ini peneliti menggambarkan dan menganalisa pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada lembaga atau instansi yang terkait, yaitu Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, Pusat Informasi Ilmiah Universitas Jenderal Soedirman dan Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. D. Sumber Data 1. Data Sekunder Di dalam penelitian ini data sekunder yang dipakai dapat dibedakan menjadi : a. Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat. 57 hal. 43 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, 54 Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, catatan resmi, lembar negara penjelasan, risalah, putusan hakim dan yurisprudensi.58 b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum dalam bentuk buku-buku atau artikel. Bahan hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan bahan hukum primer dan sekunder sebagai data sekunder untuk melengkapi deskripsi suatu realitas. 2. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari obyek penelitian yang berupa keterangan-keterangan hasil interview atau wawancara dengan salah satu pihak terkait dengan objek penelitian sebagai penunjang dan atau pendukung data sekunder. E. Metode Pengumpulan Data 1. Data Sekunder Data yang diperoleh dari studi pustaka yaitu mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, literatur dan dokumen yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. 58 Ibidt., hal.113 55 2. Data Primer Data yang diperoleh dari interview atau wawancara dengan pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon untuk melengkapi data sekunder. F. Metode Penyajian Data Metode penyajian data dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, logis dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh. G. Metode Analisis Data Seluruh data dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif yaitu menafsirkan dan menjabarkan data berdasarkan teori hukum atau kaidah-kaidah hukum serta doktrin hukum yang relevan guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Pada penelitian normative pengolahan data pada hakekatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.59 Dalam hal ini penulis menggunakan undang-undang sebagai dasar analisa/ konstruksi analisis dipadukan dengan data penelitian baik sekunder maupun primer kemudian dikaitkan dengan doktrin sarjana, sehinngga mendapatkan suatu kesimpulan. 59 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 251-252 56 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon diperoleh data sekunder sebagai berikut : 1.1. Data Sekunder 1.1. Definisi Umum dan Pengertian 1.1.1. Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor : 42/M-IND/PER/11/2005 Tentang Pengolahan, Pengemasan Dan Pelabelan Garam Beriodium menyatakan bahwa, Garam Beriodium adalah garam konsumsi yang komponen utamanya natrium Khlorida (NACL) dan mengandung senyawa iodium melalui proses iodisasi serta memenuhi SNI Nomor 01-3556-2000 dan/atau revisinya. 1.1.2. Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa, Pengolahan Garam beriodium adalah proses pencucian dan iodisasi, yang 57 menghasilkan garam beriodium, yang memenuhi SNI Nomor 01-3556-2000 dan/atau revisinya. Yang memenuhi SNI tersebut adalah sebagai berikut : Syarat Mutu Garam Konsumsi Beriodium No 1. 2. 3. 4. 4.1 4.2 4.3 5. Kriteria Uji Kadar air (H2O) Kadar NaCl (natrium klorida) dihitung dari jumlah klorida Iodium dihitung sebagai Kalium Iodat (KIO3) Cemaran logam : Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Raksa (Hg) Arsen (As) Keterangan : b/b Satuan Persyaratan %(b/b) maks. 7 %(b/b)adbk min. 94,7 mg/kg min. 30 mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg maks. 10 maks. 10 maks. 0,1 maks. 0,1 = bobot/bobot adbk = atas dasar bahan kering 1.1.3. Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa, Pengemasan garam beriodium adalah cara melindungi garam beriodium yang diperdagangkan agar tetap terjamin mutu dan berat isinya dengan menggunakan bahan dan teknologi kemasan yang memenuhi persyaratan. 1.1.4. Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa, angka Pelabelan garam beriodium adalah pemberian tanda SNI, nama perusahaan dan 58 tanda-tanda lain yang dipersyaratkan pada kemasan garam beriodium yang diperdagangkan. 1.1.5. Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa, Sentra produksi garam adalah wilayah penghasil garam melalui proses penguapan. 1.1.6. Pasal 1 huruf c Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 78 Tahun 2001 tentang Larangan Peredaran Garam Konsumsi Tidak Beryodium menyatakan bahwa, Garam Konsumsi adalah garam beryodium yang mengandung Natrium Chlorida yang diproduksi melalui proses yodisasi yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dapat diperdagangkan untuk konsumsi manusia, ternak, pengasinan ikan dan bahan penolong industri pangan. 1.2. Pengolahan dan Pengadaan Garam Beryodium 1.2.1. Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium menyatakan bahwa, garam yang dapat diperdagangkan untuk keperluan konsumsi manusia atau ternak, pengasinan ikan, atau bahan penolong industri pangan adalah garam beryodium yang telah memenuhi Standar Indonesia (SII)/Standar Nasional Indonesia (SNI). 59 1.2.2. Pasal 2 menyatakan bahwa, garam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, sebelum diperdagangkan wajib terlebih dahulu diolah melalui proses pencucian dan iodisasi. 1.2.3. Pasal 3 menyatakan bahwa, dalam hal garam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 telah memenuhi syarat untuk langsung di iodisasi, proses iodisasi dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu melalui proses pencucian. 1.2.4. Pasal 4 menyatakan bahwa, garam beryodium yang diperdagangkan wajib dikemas dan diberi label. 1.2.5. Pasal 5 menyatakan bahwa : (1) (2) Pengolahan, pengemasan, dan pelabelan garam beryodium dilakukan oleh: a. Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT. Garam; b. Badan Hukum Swasta dan Koperasi yang ditunjuk oleh Menteri Perindustrian. Persyaratan teknis pengolahan, pengemasan dan pelabelan garam beryodium ditetapkan oleh Menteri Perindustrian. 1.2.6. Pasal 2 Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor : 42/M-IND/PER/11/2005 Tentang Pengolahan, Pengemasan Dan Pelabelan Garam Beriodium menyatakan bahwa : (1) (2) Garam yang dapat diiodisasi wajib memenuhi persyaratan kualitas garam bahan baku sesuai SNI 014435-2000 dan atau revisinya. Garam yang belum memenuhi syarat sebagai garam bahan baku untuk diiodisasi sesuai SNI sebagaimana 60 dimaksud pada ayat (1) wajib ditingkatkan kualitasnya melalui proses pencucian sesuai persyaratan teknis sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini. 1.2.7. Pasal 3 menyatakan bahwa : (1) (2) (3) (4) Proses Pencucian garam sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) dapat dilakukan di sentra produksi atau di luar sentra produksi. Proses pencucian yang di lakukan di luar sentra produksi hanya dapat di lakukan oleh perusahaan garam yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. mempunyai izin pencucian garam; dan b. mempunyai peralatan pencucian garam yang terpasang. Garam yang telah dicuci di sentra produksi dan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan akan di pasarkan keluar sentara produksi harus disertai surat keterangan dari pemerintah daerah Kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang perindustrian tempat asal garam, yang menyatakan bahwa garam telah memenuhi persyaratan pencucian. Garam yang belum dicuci di sentra produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan akan dipasarkan keluar sentra produksi harus di sertai surat keterangan permintaan garam dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab dibidang perindustrian tempat tujuan pemasaran garam. 1.2.8. Pasal 4 menyatakan bahwa : (1) (2) Proses iodisasi garam yang dilakukan di sentra atau di luar sentra produksi wajib memenuhi persyaratan teknis sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini. Proses iodisasi garam, pengemasan dan pelabelan garam beriodium yang dilakukan di sentra atau di luar sentra produksi garam wajib dilakukan secara terpadu. 61 1.3. Larangan dan Sanksi Peredaran Garam Tak beryodium 1.3.1. Pasal 26 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 15 Tahun 2010 Tentang Pengendalian Produksi Dan Peredaran Garam menyatakan bahwa setiap orang dilarang: a. b. c. memproduksi, memperdagangkan atau mengedarkan garam konsumsi beryodium yang tidak memenuhi persyaratan SNI; membawa masuk dan/atau keluar garam konsumsi beryodium yang tidak memenuhi persyaratan SNI di Daerah; dan menggunakan garam beryodium yang tidak memenuhi persyaratan SNI untuk produksi industri pangan. 1.3.2. Pasal 27 menyatakan bahwa : (1) (2) Produsen dan pelaku usaha garam yang melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 10, dikenakan sanksi administrasi, berupa: a. teguran tertulis; b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha; c. pembekuan izin; d. pencabutan izin; e. penetapan ganti rugi; f. pengumuman produk garam yang tidak beryodium atau tidak memenuhi SNI kepada masyarakat melalui media massa; dan/atau g. denda. Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Gubernur, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 1.3.3. Pasal 28 menyatakan bahwa : (1) Barang siapa melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 26, diancam pidana kurungan paling 62 (2) (3) (4) lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana yang lebih tinggi dari ancaman pidana dalam Peraturan Daerah ini, maka dikenakan sanksi pidana yang lebih tinggi, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan Daerah dan disetorkan ke Kas Daerah. 1.3.4. Pasal 29 menyatakan bahwa, Penegakan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja sesuai dengan kewenangannya, berkoordinasi dengan Kepolisian Republik Indonesia, berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. 1.3.5. Pasal 3 Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 78 Tahun 2001 tentang Larangan Peredaran Garam Konsumsi Tidak Beryodium menyatakan bahwa : 1) Setiap garam konsumsi yang dijual di pasar atau tempat lain dalam Daerah harus mengandung yodium dan memenuhi SNI. 2) Garam konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikemas dan diberi label. 3) Pengemasan dan pemberian pelabelan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 1.3.6. Pasal 5 menyatakan bahwa : (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) diancam pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda 63 sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. 1.4. Pembinaan dan Pengawasan 1.4.1. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Penyelenggaraan tentang Pembinaan Perlindungan Dan Pengawasan Konsumen menyatakan bahwa, Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. 1.4.2. Pasal 3 menyatakan bahwa : (1) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait, yang meliputi upaya untuk : a. (2) terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; dan c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. Menteri teknis terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sesuai dengan bidang tugas masing-masing. 64 1.4.3. Pasal 4 menyatakan bahwa, dalam upaya untuk menciptakan iklim usaha dan menumbuhkan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, Menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam hal : a. b. c. d. e. f. g. h. i. penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen; pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen; peningkatan peranan BPKN dan BPSK melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lembaga; peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masingmasing; peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan, keterampilan; penelitian terhadap barang dan/atau jasa beredar yang menyangkut perlindungan konsumen; peningkatan kualitas barang dan/atau jasa; peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, dan menjual barang dan/atau jasa; dan; peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa serta pencantuman label dan klausula baku. 1.4.4. Pasal 5 menyatakan bahwa, dalam upaya untuk mengembangkan LPKSM, Menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam hal : 65 a. b. pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen; pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan keterampilan. 1.4.5. Pasal 6 menyatakan bahwa, dalam upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen, Menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam hal : a. b. c. d. peningkatan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil di bidang perlindungan konsumen; peningkatan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang dan/atau jasa; pengembangan dan pemberdayaan lembaga pengujian mutu barang; dan penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu barang dan/atau jasa serta penerapannya. 1.4.6. Pasal 7 menyatakan bahwa, pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. 66 1.4.7. Pasal 8 menyatakan bahwa : (1) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa. (3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat. (4) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendirisendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing. 1.4.8. Pasal 9 menyatakan bahwa : (1) Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan atau survei. (3) Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. (4) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. 1.4.9. Pasal 10 menyatakan bahwa : (1) (2) (3) Pengawasan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan atau survei. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang 67 (4) (5) risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. Penelitian, pengujian dan/atau survei sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen. Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. 1.4.10. Pasal 11 menyatakan bahwa, pengujian terhadap barang dan/atau jasa yang beredar dilaksanakan melalui laboratorium penguji yang telah diakreditasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 1.4.11. Pasal 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium menyatakan bahwa : (1) Menteri Perindustrian melakukan pengawasan terhadap pengolahan, pengemasan, dan pelabelan garam beryodium (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Perindustrian berkoordinasi dengan Departemen/Lembaga terkait. (3) Segala biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibebankan pada Anggaran Belanja Departemen Perindustrian. 68 1.4.12. Pasal 5 Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 634/MPP/Kep/9/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan Jasa yang Beredar di Pasar menyebutkan bahwa : (1) Pengawasan pemenuhan ketentuan standar mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar, yang telah diberlakukan Standar Nasional Indonesia wajib atau standar lain yang telah dipersyaratkan oleh Menteri atau Menteri Tekhnis lainnya. (2) Pengawasan oleh barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman pada ketentuan yang berlaku. 1.4.13. Pasal 21 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 15 Tahun 2010 Tentang Pengendalian Produksi Dan Peredaran Garam menyatakan bahwa : (1) Pemerintah Daerah melakukan monitoring dan evaluasi dalam pengendalian produksi dan peredaran garam, berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. (2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Dinas Kesehatan serta OPD, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur. 69 1.4.14. Pasal 22 menyatakan bahwa : (1) Dalam rangka koordinasi, pembinaan, pengawasan dan pengendalian produksi dan peredaran garam, dibentuk Tim Koordinasi yang ditetapkan oleh Gubernur. (2) Tim Koordinasi dalam rangka pengendalian produksi dan peredaran garam di Kabupaten/Kota dibentuk oleh Bupati/Walikota, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur: a. Dinas Perindustrian dan Perdagangan; b. Dinas Kesehatan; c. Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Bandung; d. Asosiasi Pengusaha Garam; e. Lembaga Swadaya Masyarakat; f. Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga; dan g. unsur masyarakat sesuai kebutuhan. 1.4.15 Pasal 4 Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 78 Tahun 2001 tentang Larangan Peredaran Garam Konsumsi Tidak Beryodium menyatakan bahwa : (1) Pembinaan terhadap Produsen Garam dilaksanakan oleh Dinas. (2) Pengawasan terhadap perdagangan, pengemasan dan pelabelan garam dilaksanakan oleh Dinas. peredaran konsumsi (3) Tata cara pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Bupati. 70 1.5. Perizinan Pasal 13 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 15 Tahun 2010 Tentang Pengendalian Produksi Dan Peredaran Garam menyatakan bahwa : (1) (2) (3) (4) Orang perorangan, badan usaha dan koperasi yang memproduksi dan mengedarkan garam beryodium harus memiliki perizinan, sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri; dan b. Sertifikasi Mutu Pangan. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diterbitkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia atau lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi. 1.6. Tanggungjawab Pemerintah 1.6.1. Pasal 16 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 15 Tahun 2010 Tentang Pengendalian Produksi Dan Peredaran Garam menyatakan bertanggungjawab dalam bahwa, Pemerintah pengendalian Daerah produksi dan peredaran garam, meliputi : a. b. pengaturan ketersediaan garam beryodium yang memenuhi persyaratan SNI di Daerah; pelarangan produksi dan peredaran garam tidak beryodium untuk konsumsi; 71 c. d. e. f. pengkoordinasian kegiatan dalam menjamin produksi dan peredaran garam yang memenuhi peryaratan SNI; peningkatan kualitas garam untuk produktivitas dan kesejahteraan petani garam; pengintegrasian upaya penanggulangan pencegahan gangguan akibat kekurangan yodium dengan program pembangunan di Daerah; dan advokasi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota mengenai pengendalian dan pelarangan produksi serta peredaran garam tidak beryodium. 1.6.2. Pasal 17 menyatakan bahwa, dalam rangka menjamin ketersediaan garam beryodium dan garam tidak beryodium, Pemerintah Daerah melaksanakan fasilitasi, pemberian bimbingan, supervisi, konsultansi, koordinasi pengawasan antardaerah, pendidikan dan pelatihan, serta monitoring dan evaluasi. 1.6.3. Pasal 18 menyatakan bahwa : (1) (2) (3) Pemerintah Daerah melakukan fasilitasi dalam bentuk: a. pendampingan teknis produksi, manajemen dan pemasaran serta penyediaan yodium (KIO3) kepada produsen garam beryodium; b. sosialisasi peraturan perundang-undangan di bidang produksi dan peredaran garam kepada pelaku usaha; dan c. peningkatan pengetahuan mengenai pentingnya konsumsi garam beryodium kepada konsumen. Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Kesehatan serta OPD, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur. 72 1.6.4. Pasal 19 menyatakan bahwa : (1) (2) (3) 2. Bimbingan, supervisi dan konsultansi dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk: a. pemberian pedoman teknis pembuatan garam kepada perajin garam dan produsen garam beryodium; b. pemberian arahan mengenai penggunaan alat kendali mutu produksi garam kepada produsen; c. sosialisasi peraturan perudang-undangan yang berkaitan dengan garam beryodium sesuai persyaratan SNI kepada pelaku usaha; dan d. penerapan pemantauan wilayah setempat garam melalui Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga. Bimbingan, supervisi dan konsultansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Dinas Kesehatan serta OPD, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai bimbingan, supervisi dan konsultansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur. Data Primer Berdasarkan hasil penelitian di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon diperoleh data primer sebagai berikut : 2.1. Hasil Wawancara Dengan Drs. Zaenal Muttaqin Selaku Kepala Bidang Perlindungan Konsumen : 2.1.1. Tanggungjawab Dinas terhadap konsumen yaitu : Perindustrian dan Perdagangan 73 a. Memberikan perlindungan berupa penyuluhan atau himbauan dalam bentuk spanduk atau reklame untuk menkonsumsi garam beryodium terhadap merk-merk garam tertentu yang telah memenuhi standar. Contoh : “agar terhindar dari penyakit gondok diwajibkan mengkonsumsi garam yang beryodium” atau “ keluarga sehat mengkonsumsi garam beryodium”. b. Meskipun dampak yang ditimbulkan akibat kekurangan yodium tidak serta merta dirasakan dampaknya, namun dapat berakibat dalam jangka panjang yang apabila terdapat masyarakat kekurangan yodium maka dapat berobat ke puskesmas ataupun rumah sakit umum dengan menggunakan jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) melalui kerjasama atau koordinasi dengan dinas kesehatan. 2.1.2. Belum pernah ada gabungan masyarakat yang menggugat Dinas Perindustrian dan Perdagangan, baik masyarakat secara langsung maupun LSM yang mengajukan gugatan tentang GAKY, karena, masih awamnya masyarakat mengajukan tuntutan tentang kekurangan yodium, karena tuntutan dari masyarakat ataupun LSM ini sifatnya delik aduan. 74 2.1.3. Upaya Dinas Perindustrian dan Perdagangan dalam mewujudkan pengadaan garam beryodium bagi masyarakat : a. Upaya preventif yang dilaksanakan atau dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan yaitu mengadakan penyuluhan kepada masyarakat desa yang bekerjasama dengan kepala desa, dinas kesehatan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan itu sendiri. Upaya preventif lainnya yaitu dapat dilakukannya sosialisasi kepada masyarakat secara menyeluruh. b. Upaya represifnya yaitu uji laboratorium dengan mengambil sampel secara langsung dari perusahaan garam untuk diadakan uji laboratorium dan dilaksanakan secara rutin minimal satu bulan satu kali dan hasilnya diberitahukan kepada perusahaan tersebut apakah sudah memenuhi syarat atau belum terutama kepada perusahaan yang tidak memenuhi standar iodisasi. c. Upaya kuratifnya yaitu pertolongan yang dilakukan Dinas Perindustrian masyarakat selaku dan Perdagangan konsumen yaitu kepada memberikan 75 pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan dinas kesehatan. 2.1.4. Mengenai tata cara pengawasan dan pembinaan terhadap produsen garam di Kabupaten Cirebon diatur dalam Keputusan Bupati Nomor 535/Kep.83-INDAG/2002 tentang Tata Cara Pengawasan dan Pembinaan Produsen Garam . B. 1. Pembahasan Pengawasan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Terhadap Produksi Garam Rakyat Di Kabupaten Cirebon. Pengawasan menurut Pasal 30 UUPK merumuskan sebagai berikut: (1) (2) (3) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Adapun penjelasan mengenai Pasal 30 UUPK adalah sebagai berikut : (2) “Yang dimaksud dengan menteri teknis adalah menteri yang bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya.” (3) “Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang 76 dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survey. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha.” Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa : “Ketentuan Pasal 30 di atas ini, cukup menjanjikan upaya perlindungan konsumen melalui pemberdayaan setiap unsur yang ada yaitu masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat disamping pemerintah sendiri melalui menteri dan/atau menteri teknis yang terkait. Apabila diperhatikan substansi Pasal 30 tersebut, juga tampak bahwa pengawasan lebih banyak menitikberatkan pada peran masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, dibanding dengan peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh menteri dan/atau menteri teknis yang terkait. Seperti terlihat dalam pasal tersebut, pemerintah diserahi tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya. Sementara pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, selain tugas yang sama dengan apa yang menjadi tugas pemerintah di atas, juga diserahi tugas pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Ayat 4 dari pasal tersebut juga menentukan bahwa, apabila pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ternyata mendapatkan hal-hal yang menyimpang dari peraturan perundangundangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti, untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang beredar di pasar, pemerintah sepenuhnya menyerahkan dan menanti laporan 77 masyarakat dan/atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, untuk kemudian diambil tindakan.”60 Berdasarkan data sekunder nomor 1.4.6 tentang pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen, data sekunder nomor 1.4.7 tentang obyek dan prosedur pengawasan oleh pemerintah, data sekunder nomor 1.4.9 tentang obyek dan prosedur pengawasan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, jika dikaitkan dengan Pasal 30 UUPK dan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dapat diketahui bahwa, pengawasan terhadap produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan LPKSM. Untuk pengawasan dari pihak pemerintah sendiri dilakukan oleh menteri terkait yang dalam hal ini yaitu oleh Menteri Perdagangan dan Industri, serta institusi daerah dibawahnya yaitu Dinas Perindustrian dan Perdagangan Cirebon. Dalam hal pengawasan tersebut menteri atau dinas terkait memiliki wewenang untuk melakukan tindakan terhadap produsen apabila terjadi permasalahan dalam bidang produksi, distribusi dan konsumsi garam di daerah Kabupaten Cirebon. Pengawasan merupakan hal yang sangat penting agar maksud dan tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Bentuk-bentuk pengawasan dalam bidang produksi garam beryodim di Kabupaten Cirebon sangatlah 60 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op cit., hal. 184-185 78 beragam. Menurut Victor M. Situmorang dan Yusuf Juhir, pengawasan dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai hal sebagai berikut, yaitu : a) Pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung 1) Pengawasan langsung Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara “on the spot” di tempat pekerjaan, dan menerima laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksana. Hal ini dilakukan dengan inspeksi. 2) Pengawasan tidak langsung Pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporanlaporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tertulis, mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan sebagainya tanpa pengawasan “on the spot”. b) Pengawasan preventif dan pengawasan represif Walaupun prinsip pengawasan adalah preventif, namun bila dihubungkan dengan waktu pelaksanaan pekerjaan, dapat dibedakan antara pengawasan preventif dan pengawasan represif. 1) Pengawasan preventif Pengawasan preventif dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan dimulai. Misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan-persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lain. 2) Pengawasan represif Adapun pengawasan represif dilakukan melalui post audit, dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan di tempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan dan sebagainya. c) Pengawasan intern dan pengawasan ekstern 1) Pengawasan intern Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. 2) Pengawasan ekstern Pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi sendiri. 61 61 Victor M, Situmorang dan Yusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 21. 79 Bentuk-bentuk pengawasan dalam bidang produksi garam beryodim di Kabupaten Cirebon dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk pengawasan sebagai berikut : a) Pengawasan Langsung Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara “on the spot” di tempat pekerjaan, dan menerima laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksana. Hal ini dilakukan dengan inspeksi. Menurut Henry Fayol, definisi pengawasan yakni : “… Dalam setiap usaha, pengawasan terdiri atas tindakan meneliti apakah segala sesuatu tercapai atau berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan berdasarkan instruksi-instruksi yang telah dikeluarkan, prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Pengawasan bertujuan menunjukkan atau menemukan kelemahan-kelemahan agar dapat diperbaiki dan mencegah berulangnya kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan itu. Pengawasan beroperasi terhadap segala hal, baik terhadap benda, manusia, perbuatan maupun hal-hal lainnya.”62 Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, menerangkan bahwa : (1) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa. 62 H. Ibrahim Lubis, op. cit. hal 155. 80 Berdasarkan data nomor 1.6.4 tentang kewenangan pengawasan garam Pemerintah Kabupaten Cirebon dan data 1.6.2 mengenai wewenang bimbingan, supervisi dan pemfasilitasan dikaitkan dengan pendapat Henry Fayol dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa pengawasan garam merupakan tindakan meneliti apakah segala sesuatu tercapai atau berjalan sesuai dengan rencana yang telah di tetapkan berdasarkan instruksiinstruksi yang telah di keluarkan, prinsip-prinsip yang telah di tetapkan dan dilakukan bersifat langsung dari atasan, dalam hal ini wewenang langsung diberikan kepada Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Cirebon. Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Cirebon setelah diberikan kewenangan akan memiliki hak untuk meninjau, meneliti, mengevaluasi serta melakukan tindakan terhadap peredaran garam di masyarakat. Bentuk adanya pengawsan langsung adalah Dinas dalam hal ini turun langsung meninjau lapangan, pengujian, razia dan lainnya. b) Pengawasan Tidak Langsung Pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporanlaporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tertulis, mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan sebagainya tanpa pengawasan “on the spot”. 81 Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir menyatakan bahwa: “Pengawasan tidak langsung adalah kebalikan dari pengawasan langsung, yang dilakukan tanpa mendatangi tempat pelaksanaan pekerjaan atau objek yang diawasi. Pengawasan ini dilakukan dengan mempelajari dan menganalisa dokumen yang menyangkut objek yang diawasi yang disampaikan oleh pelaksana atau pun sumber lain. Dokumen-dokumen tersebut bisa berupa laporan pelaksanaan pekerjaan, baik laporan berkala maupun laporan insidentil, laporan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari perangkat pengawas lainnya, surat pengaduan dari masyarakat, berita atau artikel dari media massa, dan dokumen-dokumen lainnya. Disamping melalui laporan tertulis tersebut pengawasan ini juga dapat dilakukan dengan mempergunakan bahan yang berupa laporan lisan.”63 Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa : (1) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa. (3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat. (4) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Berdasarkan data sekunder nomor 1.4.13 mengenai monitoring, kordinasi dan evaluasi dalam pengendalian produksi dan peredaran garam 63 . Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Op cit., hal. 27-28 82 dan data sekunder nomor 1.6.4 mengenai wewenang pengawasan garam Pemerintah Kabupaten Cirebon dikaitkan dengan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, serta pendapat Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir dapat diketahui bahwa, selain adanya pengawasan langsung adapula pengawasan tidak langsung yang bersifat kordinatif dan subordinatif. Artinya pengawasan tersebut memiliki tahapan demi tahapan. Dalam hal ini Dinas harus berkordinasi dengan atasan yaitu Bupati, Bupati juga harus melakukan kordinasi dan memberikan laporan secara tertulis kepada Gubernur. c) Pengawasan Preventif dan Pengawasan Represif Pengawasan preventif dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan dimulai. Misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan-persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lain. Pengawasan represif dilakukan melalui post audit, dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan di tempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan dan sebagainya. Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir menyatakan bahwa: “Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum pekerjaan mulai dilaksanakan, misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lainnya. Pengawasan refresif adalah pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan atau kegiatan tersebut dilaksanakan, hal ini kita ketahui melalui audit dengan pemerikasaaan terhadap pelaksanaan pekerjaan di tempat dan meminta laporan pelaksanaan kegiatan.”64 64 Ibid., hal. 29 83 Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa : Dalam upaya untuk menciptakan iklim usaha dan menumbuhkan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, Menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam hal : a. penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen; b. pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen; c. peningkatan peranan BPKN dan BPSK melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lembaga; d. peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masingmasing; e. peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan, keterampilan; f. penelitian terhadap barang dan/atau jasa beredar yang menyangkut perlindungan konsumen; g. peningkatan kualitas barang dan/atau jasa; h. peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, dan menjual barang dan/atau jasa; dan; i. peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa serta pencantuman label dan klausula baku. Berdasarkan data sekunder nomor 1.6.3 mengenai pendampingan teknis produksi, sosialisasi peraturan perundangundangan dan peningkatan pengetahuan mengenai pentingnya 84 konsumsi garam beryodium kepada konsumen serta data sekunder nomor 1.3 mengenai larangan dan sanksi peredaran garam tak beryodium, dikaitkan dengan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, serta pendapat Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir dapat diketahui bahwa, pengawasan dilakukan dengan cara sebelum sesuatu hal dikerjakan/ tahap perencanaan. Dalam hal ini untuk menunjang kegiatan pengawasan banyak di lakukan pendampingan teknis produksi, sosialisasi peraturan perundang-undangan dan peningkatan pengetahuan mengenai pentingnya konsumsi garam beryodium kepada konsumen. Selain itu berlaku pula pengawasan represif atau pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan atau kegiatan tersebut dilaksanakan. Dalam hal ini pengawasan yang langsung ditujukan kepada pengusaha. Dalam hal ini pula diberlakukan larangan dan sanksi bagi pelanggaran peredaran garam tak beryodium. d) Pengawasan Intern dan Pengawasan Ekstern Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. Pada dasarnya pengawasan harus dilakukan oleh pucuk pimpinan sendiri. Setiap pimpinan unit dalam organisasi pada dasarnya berkewajiban membantu pucuk pimpinan 85 mengadakan pengawasan secara fungsional sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Pengawasan eksern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi sendiri, seperti halnya pengawsan dibidang keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sepanjang meliputi seluruh Aparatur Negara dan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan negara terhadap departemen dan instansi pemerintah lain. Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir menyatakan bahwa: “Pengawasan ”intern” adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. Pengawasan intern lebih dikenal dengan pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional adalah pengawasan terhadap pemerintah daerah, yang dilakukan secara fungsional oleh lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan pengawasan fungsional, yang kedudukannya merupakan bagian dari lembaga yang diawasi seperti Inspektorat Jendral, Inspektorat Propinsi, Kabupaten/Kota. Sementara pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi itu sendiri, seperti BPK.”65 Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa : Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dan penerapan dilaksanakan ketentuan oleh peraturan pemerintah, perundang-undangannya masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Berdasarkan data sekunder nomor 1.4.14 mengenai tim kordinasi pengawasan dan 1.6.4 mengenai pemberian wewenang mengawasi dikaitkan dengan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 65 Ibid., hal. 28-29 86 Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, serta pendapat Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir dapat diketahui bahwa, pengawasan memiliki dua koridor yaitu dilaksanakan secara intern dan ekstern. Secara intern pengawasan dilaksanakan secara subordinat dari atas ke bawah, sedangkan secara eksternal sesuai dengan perintah Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, maka melalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 15 Tahun 2010 Tentang Pengendalian Produksi Dan Peredaran Garam dibentuklah Tim Koordinasi yang terdiri dari unsur Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Kesehatan, Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Bandung, Asosiasi Pengusaha Garam, Lembaga Swadaya Masyarakat, Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga dan unsur masyarakat sesuai kebutuhan. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pengawasan garam beryodium rakyat dilakukan secara prosedural dan bertingkat. Artinya pengawasan terhadap garam rakyat dilakukan oleh satuan-satuan teknis tertentu sesuai prosedur. Dan dapat diketahui bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pengawasan setiap produk yang beredar. Kegiatan pengawasan telah dilakukan mulai dari 87 proses produksi, peredaran sampai penggunaan agar tidak membahayakan masyarakat selaku konsumen dan pengawasan Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap standar mutu suatu produk merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menjamin kepastian hukum bagi konsumen, sehingga dapat mencegah penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pelaku usaha sebagai produsen senantiasa harus diawasi supaya mereka bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku, sehingga pelaku usaha benar-benar memenuhi kewajibannya. Penjelasan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa : Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa : “Penjelasan ayat 3 yang menentukan bahwa pengawasan dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan/atau survei, terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha, menuntut upaya pemahaman dan peningkatan kesadaran terhadap apa yang menjadi hak-haknya sangat penting.”66 66 Ibid., hal. 188 88 Berdasarkan data sekunder nomor 1.4.7 mengenai obyek dan prosedur pengawasan oleh pemerintah, data sekunder nomor 1.4.11 tentang pengawasan oleh Menteri Perindustrian, data sekunder nomor 1.3 mengenai larangan dan sanksi peredaran garam tak beryodium, Penjelasan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jika dikaitkan dengan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dapat diketahui bahwa, bentuk pengawasan dilakukan dengan berbagai macam cara antara lain : a. Pengawasan oleh pemerintah yang dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku penjualan garam beryodium yang dilakukan dengan survei atau penelitian. b. Pengawasan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan garam beryodium yang dilakukan dengan survei atau penelitian. c. Hasil pengawasan mengenai garam beryodium dapat disebarluaskan kepada masyarakat. d. Larangan terhadap garam tidak beryodium. Bentuk pengawasan tersebut berpusat pada lima kategori objek pengawasan antara lain : a. Kendali mutu 89 b. Pengolahan c. Pengemasan dan pelabelan d. Standar mutu e. Perizinan Kendali mutu merupakan bagian dari proses produksi garam beryodium. Untuk mengendalikan mutu garam beryodium produsen garam wajib memproduksi dan mengendalikan mutu garam beryodium dan garam tidak beryodium. Garam beryodium digunakan untuk konsumsi masyarakat dan garam tidak beryodium untuk kepentingan industri. Pengolahan garam konsumsi beryodium meliputi pencucian, penirisan atau pengeringan, penggilingan, iodisasi serta pengemasan dan pelabelan. Pengolahan garam tidak beryodium untuk kepentingan industri, tidak melalui proses iodisasi. Dalam SK Menteri Perindustrian RI Nomor 77/SK/5/1995 proses pengolahan garam beryodium meliputi : 1) Pencucian, 2) Pengeringan dan 3) Iodisasi. Secara singkat proses produksi garam beryodium dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Pencucian Garam : Tujuan pencucian garam ini adalah untuk menghilangkan semua kotoran yang ada pada garam dan mengendapkan logam – logam berat. Air yang digunakan adalah air jenuh garam (brine) dengan konsentrasi 25° Be. Prosedur pencucian garam sebagai berikut : 90 a) Garam dan air dimasukkan kedalam crusher untuk menghaluskan garam. b) Garam yang telah dihaluskan masuk kedalam talang pencuci pertama sambil disemprotkan air pencucian. c) Garam bersama dengan air pencuci masuk kedalam bak penampung garam pertama. d) Garam yang telah dicuci dari bak penampung garam pertama, dimasukkan kedalam talang pencuci kedua dengan sekop yang terbuat dari monel. e) Garam yang telah masuk kedalam talang pencuci kedua sambil disemprotkan air pencuci ketiga dengan sekop yang terbuat dari monel. f) Garam yang telah dicuci dari bak penampung garam kedua, dimasukkan kedalam talang pencuci ketiga dengan skop terbuat dari monel. g) Garam yang telah masuk kedalam pencuci talang ketiga sambil disemprotkan air pencuci, meluncur masuk kedalam bak penampung garam ketiga h) Garam yang telah dicuci dari bak penampung garam ketiga dipindahkan ke dalam bak penampung pengeringan bahan. 91 i) Air pencuci dari pencuci garam dari masing-masing bak penampung garam mengalir masuk kedalam saluran pembuangan air pencuci yang menuju kedalam bak sirkulasi air pencuci, terus mengalir kedalam bak sirkulasi. j) Air pencuci garam dari bak sirkulasi dipantau konsentrasinya dan dialirkan dengan pompa sirkulasi air pencuci ke pipa pembagi, demikian seterusnya. 2) Pengeringan : Garam yang telah dicuci segera ditiriskan dengan alat pengering. 3) Iodisasi garam dengan prosedur sebagai berikut : a) Timbang garam yang akan diyodisasi b) Masukan garam yang akan diodisasi kedalam alat yodisasi yang telah disiapkan. c) Masukkan larutan KIO3 kedalam tangki larutan d) Hidupkan mesin uji hasil pertama. Apabila belum sesuai dengan persyaratan kadar Yodium < 30 ppm, cek kembali flow meter. Objek pengawasan lainnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon dalam produksi garam beryodium adalah pengemasan dan pelabelan. Sesuai dengan SK Menteri Perindustrian No.77/.M/SK/5/1995, untuk menjamin ketepatan berat isi kemasan yang ditentukan, pengisian dan penimbangan dilakukan dengan menggunakan 92 mesin pengisi dan penimbang otomatis, sedangkan untuk memenuhi syarat pengemasan maka penutupan dilakukan secara mekanis atau semi otomatis. Syarat-syarat label antara lain : 1) 2) Label garam beryodium harus memenuhi ketentuan yang berlaku. Pada kemasan garam beryodium harus tertera keteranganketerangan yang jelas sebagai berikut : a) Nama makan “ Garam Beryodium” b) Nama / merek dagang c) Kandungan KIO3 > 30 ppm d) Berat bersih yang dinyatakan dalam system matrik e) Kode produk f) Nomor pendaftaran dari Departemen Kesehatan g) Nama dan Alamat Perusahaan h) Komposisi makanan/garam yang dikemas Pengawasan juga dilakukan dalam segi standar mutu, pelaku usaha garam untuk konsumsi masyarakat, wajib mengedarkan garam yang memenuhi standar mutu garam konsumsi beryodium sesuai persyaratan SNI. Dalam hal garam beryodium untuk konsumsi masyarakat tidak memenuhi standar mutu, maka dilakukan penarikan, penyitaan dan pemusnahan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Penarikan, penyitaan dan pemusnahan garam dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan selanjutnya juga terdapat dalam bentuk prefentif yaitu perizinan. Pengawasan Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap garam beryodium dapat digambarkan dalam mekanisme sebagai berikut : 93 Mekanisme Pengawasan Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Pengawasan Pemerintah (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon) Masyarakat Objek Pengawasan a. Kendali mutu b. Pengolahan c. Pengemasan dan pelabelan d. Standar mutu e. Perizinan Survei Tidak ditemukan pelanggaran Penelitian Pengujian Ditemukan Pelanggaran Penindakan langsung Penarikan, penyitaan dan pemusnahan garam 94 Pengawasan Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap standar mutu suatu produk merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menjamin kepastian hukum bagi konsumen, sehingga dapat mencegah penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pelaku usaha sebagai produsen senantiasa harus diawasi supaya mereka bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku, sehingga pelaku usaha benar-benar memenuhi kewajibannya. Pengawasan diperlukan, mengingat bahwa kecenderungan untuk melakukan kewajiban dipandang ada pada setiap orang. Oleh karena itu, tindakan untuk menghilangkan atau mempersempit kemungkinan adanya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dengan pengawasan diharapkan pemenuhan hak-hak konsumen dapat terjamin dan sebaliknya pemenuhan kewajiban-kewajiban pelaku usaha dapat dipastikan. 2. Tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan Apabila Terjadi Ketidak Sesuaian Dalam Pengawasan Produksi Garam Rakyat di Kabupaten Cirebon. Sekarang ini penggunaan garam beryodium sedang digalakkan oleh pemerintah, guna mengurangi timbulnya penyakit gondok, penurunan fungsi mental, dan perkembangan fisik. Yodium sendiri merupakan salah 95 satu mineral yang penting bagi kehidupan manusia, mengingat pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan fungsi otak.67 Dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pembangunan kesehatan dengan mendorong kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, maka perlu mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya karena merupakan investasi bagi pembangunan di Daerah. Gangguan akibat kekurangan yodium merupakan masalah kesehatan khususnya gizi masyarakat dan berdampak pada kelangsungan hidup dan sumberdaya manusia pada aspek kecerdasan, pengembangan sosial dan ekonomi. Untuk melindungi kesehatan melalui peningkatan gizi masyarakat sebagaimana dimaksud maka pemerintah pusat dan daerah dalam hal ini mengeluarkan peraturanperaturan yang meenjamin ketersediaan garam beryodium bagi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan Pasal 29 UUPK dapat diketahui bahwa, pembinaan dalam rangka perlindungan konsumen yang diselenggarakan oleh pemerintah merupakan upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen. Oleh sebab itu, untuk semakin menguatkan tugas pemerintah terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen terdapat Pasal 30 UUPK tentang pengawasan yang ketentuan peraturan perundang67 I Dewa Nyoman S, Penentuan Status Gizi, EGC, Jakarta, 2002, hal. 163. 96 undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, pemerintah bersifat sebagai penegak hukum yang memiliki tanggung jawab terhadap kinerja pengawasan. Berdasarkan data sekunder nomor 1.6.1 mengenai tanggungjawab Pemerintah Daerah dalam pengendalian produksi dan peredaran garam, data sekunder nomor 1.6.2 mengenai jaminan ketersediaan garam beryodium dan garam tidak beryodium, data primer nomor 2.11 mengenai tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap konsumen dapat diketahui bahwa, secara umum tanggungjawab pemerintah terhadap ketersediaan garam beryodium di daerah antara lain : a. pengaturan ketersediaan garam beryodium yang memenuhi persyaratan SNI di Daerah; b. pelarangan produksi dan peredaran garam tidak beryodium untuk konsumsi; c. pengkoordinasian kegiatan dalam menjamin produksi dan peredaran garam yang memenuhi peryaratan SNI; d. peningkatan kualitas garam untuk produktivitas dan kesejahteraan petani garam; e. pengintegrasian upaya penanggulangan pencegahan gangguan akibat kekurangan yodium dengan program pembangunan di Daerah; dan f. advokasi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota mengenai pengendalian dan pelarangan produksi serta peredaran garam tidak beryodium. Untuk menjamin ketersediaan garam beryodium dan garam tidak beryodium, Pemerintah Daerah melaksanakan fasilitasi, pemberian 97 bimbingan, supervisi, konsultansi, koordinasi pengawasan antar daerah, pendidikan dan pelatihan, serta monitoring dan evaluasi. 98 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dipaparkan penulis pada Bab IV maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengawasan yang dilakukan Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon telah melibatkan masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan apabila terjadi ketidak sesuaian dalam pengawasan produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon adalah melakukan upaya-upaya guna menanggulangi penyimpangan yang ditemukan dalam pengawasan produksi garam rakyat misalnya pemberian bimbingan, supervisi, konsultasi, koordinasi pengawasan antardaerah, pendidikan, pelatihan, monitoring, evaluasi ataupun penarikan garam dari pasaran sampai dengan pencabutan izin. 99 B. Tanggungjawab Saran pemerintah sebagai pelaku pengawasan dimasa mendatang seharusnya dirumuskan secara jelas dalam peraturan perundangundangan, baik akibat hukum maupun bentuk tanggungjawabnya sehingga ada landasan hukum yang pasti dan tegas. DAFTAR PUSTAKA Literatur Buku : Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers. Jakarta. A.Z Nasution. 2006.Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Diadit Media. Jakarta Barkatullah, Abdul Halim. 2010. Hak-Hak Konsumen. Nusa Media. Bandung. Febriana, Titik Triwulan Tutik dan Shita. 2010. Perlindungan Hukum bagi Pasien. PT. Prestasi Pustakaraya. Jakarta. Kansil, C.S.T. 1985. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Aksara Baru. Jakarta. Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika. Jakarta. Komalawati, Veronika. 1989. Hukum dan Etika dalam Praktek dokter. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006 Soemitro, Ronny Hanintijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1981. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Zulvadi, Dudi. 2010. Etika dan Manajemen Kebidanan. Cahaya Ilmu. Yogyakarta. Literatur Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999Tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 Tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 369/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/Menkes/Sk/Vii/2002 tentang Registrasi Dan Praktik Bidan Literatur Website : http://bidanshop.blogspot.com/2010/04/kematian-di-tangan-bidan.html http://www.fakultashukum-universitaspancasakti.com