TINJAUAN PUSTAKA Diagnosis dan Manajemen Sindrom Sjogren Danny Jaya Jacobus Dokter Internship RSUD Dolopo dan Puskesmas Kare, Madiun Jawa Timur, Indonesia ABSTRAK Sindrom Sjogren (SS) merupakan penyakit autoimun yang menyerang kelenjar eksokrin (kelenjar lakrimal dan saliva), dengan manifestasi klinis berupa keratokonjungtivitis sika (mata kering), xerostomia (mulut kering), dan gejala ekstraglandular (artritis, vaskulitis, disfagia, dan lainnya). Etiologi SS sampai saat ini masih belum diketahui. Sering terjadi missed diagnosis karena keluhan tidak spesifik. Pemaparan komprehensif mengenai sejarah, epidemiologi, etiologi, imunopatologi, patofisiologi, manifestasi klinis, manifestasi laboratorium, kriteria diagnosis, terapi, dan prognosis penting untuk praktisi medis. Kata kunci: Sindrom Sjogren, keratokonjungtivitis sika, xerostomia, diagnosis, manajemen ABSTRACT Sjogren’s syndrome (SS) is an autoimmune disease that attacts the exocrine glands (lacrimal and salivary glands), clinically manifests as keratoconjunctivitis sicca (dry eye), xerostomia (dry mouth), and extraglandular symptoms (arthritis, vasculitis, dysphagia, etc.). The etiology is still unknown. Missed diagnosis often occurs because of non-specific complaints. Comprehensive presentation of history, epidemiology, etiology, immunopathology, pathophysiology, clinical manifestations, laboratory manifestations, diagnostic criteria, treatment, and prognosis is important for medical practitioners. Danny Jaya Jacobus. Diagnosis and Management of Sjogren Syndrome. Key words: Sjogren syndrome, keratoconjunctivitis sicca, xerostomia, diagnosis, management PENDAHULUAN Sindrom Sjogren (SS) disebut juga Autoimmune Exocrinopathy, Mickuliczs Disease, Geugerots Syndrome, Sicca Syndrome adalah penyakit autoimun sistemik yang terutama mengenai kelenjar eksokrin dan biasanya memberikan gejala kekeringan persisten pada mulut dan mata akibat gangguan fungsional kelenjar saliva dan lakrimalis. SS pertama kali dilaporkan oleh Hadden, Leber dan Mikulicz tahun 1880, terminologi SS diperkenalkan saat Sjogren di Swedia tahun 1933 melaporkan bahwa SS terkait dengan poliartritis dan penyakit sistemik lain. Sebagian besar kasus SS masih belum diketahui penyebabnya. SS diklasifikasikan sebagai SS primer apabila tidak berkaitan dengan penyakit autoimun sistemik, sedangkan SS sekunder apabila berkaitan dengan penyakit autoimun sistemik lain seperti Artritis Rematoid (RA), Systemic Lupus Eritematosus (SLE), dan Sklerosis Sistemik.1,2 EPIDEMIOLOGI SS merupakan penyakit autotimun yang sering dijumpai selain Systemic Lupus Eritematosus (SLE), di seluruh dunia angka kejadian SS Alamat korespondensi 336 berkisar 0,1-4% populasi.3 Di Amerika Serikat jumlah penderitanya mencapai 2-4 juta orang.4-6 Hanya 50% yang tidak didiagnosis dan hampir 60% ditemukan bersamaan dengan penyakit autoimun lain. SS dapat dijumpai pada semua usia, paling sering pada usia 40-60 tahun, terutama pada wanita dengan perbandingan wanita dan pria adalah 9:1.2 Prevalensinya pada populasi wanita di China berkisar 0,33-0,77%.7 ETIOLOGI Penyebab SS sampai saat ini masih belum diketahui pasti; terdapat peranan faktor genetik dan non genetik. Didapatkan adanya kaitan antara SS dengan Human Leukocyte Antigen (HLA) HLA-DR dan DQ.1,3,4 Frekuensi pasien dengan HLA-DR52 pada SS Primer diperkirakan mencapai 87%, sedangkan pada SS sekunder akan meningkat seiring penyakit penyertanya seperti RA, SLE, Sklerosis Sistemik. Keterkaitan genetik bervariasi berdasarkan etnis. Pada orang kulit putih gen yang berperan adalah HLA-DR3, HLA-DQ2, dan HLA-B8, berkaitan dengan HLA-DRB1*15 pada orang Spanyol, dan HLA-DR5 pada orang Yunani dan Israel.8-10 Hubungan SS dengan Virus Hepatitis C (VHC) masih diperdebatkan, pada tahun 1922 Haddad di Spanyol mendapatkan gambaran histologi SS pada 16 pasien dari 28 pasien VHC, sejak saat itu dilaporkan lebih dari 250 kasus SS berhubungan dengan VHC.11 Pada tahun 1994 didapatkan 4% pasien Hepatitis autoimun pada pasien SS Primer, sedangkan survei terbaru tahun 2008 mandapatkan 2 kasus Hepatitis autoimun dari 109 pasien SS.12 Kerusakan hingga kematian sel karena infeksi virus memicu reaksi antigen dan Tolllike receptor yang terdapat pada sel dendritik dan epitel, lewat reaksi antigen antibodi yang mengaktivasi dan memproduksi sitokin, kemokin, dan molekul adesi. Sehingga saat sel B dan T bermigrasi ke kelenjar eksokrin akan diaktivasi oleh sel dendritik dan sel epitel yang berfungsi sebagai Antigen Presenting Cell (APC).13 Keterlibatan struktur kelenjar lakrimal dan saliva juga diduga sebagai salah satu etiologi SS. Bentuk patologis kelenjar lakrimal dan saliva pada SS menunjukkan agregasi limfosit pada bagian periduktal, kemudian menuju email: [email protected] CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014 TINJAUAN PUSTAKA panlobulus. Sel-sel ini terdiri dari 75% sel TCD4 dan sel memori, 10% sel B dan sel plasma yang mensekresi immunoglobulin. Walaupun terjadi destruksi lobuli, 40-50% sampel biopsi kelenjar saliva pasien SS menunjukkan struktur normal sehingga proses destruksi kelenjar saliva dan lakrimal tidak menentukan derajat manifestasi klinis SS.14 Keterlibatan struktur pada SS bermanifestasi sebagai hipergamaglobulinemia dan produksi autoantibodi multipel, terutama Anti Nuclear Antibody (ANA) dan Rheumatoid Factor (RF). Hal ini bisa memicu aktivasi sel B poliklonal, tapi penyebab meluasnya aktivasi ini tidak diketahui pasti. Keterlibatan organ dan jaringan lain dapat menghasilkan reaksi antibodi, kompleks imun, atau infiltrasi limfosit dan terjadi pada satu per tiga kasus pasien SS. Pemanjangan masa hiperstimulasi sel B dapat memicu gangguan pada proses diferensiasi dan maturasi, dan dapat memicu peningkatan insiden limfoma.15 IMUNOPATOLOGI Gambaran histopatologi pada kelenjar lakrimalis dan saliva adalah Periductal Focal Lymphocytic Infiltration. Limfosit yang paling awal menginfiltrasi kelenjar saliva adalah sel T terutama CD45RO dan sel B CD20+. Pada SS didapatkan peningkatan B Cell Activating Factor (BAFF), yang merangsang pematangan sel B. Kadar plasma BAFF pada pasien SS berkorelasi dengan autoantibodi di sirkulasi dan jangka panjang mungkin berperan pada terjadinya limfoma. Pada sebagian besar pasien SS terjadi peningkatan imunoglobulin dan autoantibodi. Autoantibodi ini ada yang non spesifik seperti RF, ANA, dan yang spesifik SS seperti anti Ro (SS-A) dan anti LA (SS-B). Peran anti Ro dan anti-La pada patogenesis SS masih belum jelas. tetapi pada wanita hamil dapat memicu terjadinya komplikasi; setelah kehamilan 20 minggu antibodi ini bisa menembus plasenta dan mengakibatkan inflamasi sistem konduksi jantung janin menyebabkan congenital heart block.1,16,17 Penelitian di Norwegia mendapatkan dari 58 pasien SS yang hamil, 2 anaknya mengalami Congenital Heart Block.18 walaupun mekanisme abnormalitas imunitas humoral maupun selular masih belum diketahui pasti.19 Ada beberapa faktor yang diyakini bertanggung jawab mencetuskan SS yaitu kerentanan genetik, stres psikologis, hormonal, dan infeksi dapat memicu aktivasi sel epitel yang ditandai dengan terstimulusnya Toll-like receptor. Permulaan perjalanan SS adalah kelainan struktur kelenjar seperti perubahan matriks ekstraselular akibat infiltrasi sitokin, kemokin, dan limfosit. Adanya stimulus pada Toll-like receptor memicu aktivasi sel T dan sekresi sitokin pro-inflamasi. Teraktivasinya sel epitel tidak hanya berfungsi sebagai APC yang memicu aktivasi sel B atau sel T, tetapi juga mengaktivasi sel dendritik melalui regulasi molekul pro-apoptosis yang menyimpan bentukan eksosom sehingga dapat membantu aktivasi sel B. Selanjutnya terjadi peningkatan aktivitas B-cell activating factor (BAFF) yang sekresinya memicu disproporsi terhadap jumlah sel B yang diaktivasi sehingga memicu jumlah limfosit tambahan pada jaringan kelenjar yang selanjutnya memperberat proses destruksi kelenjar (gambar 1).20 Hiperaktivitas sel B merupakan kejadian peningkatan kadar imunoglobulin dan autoantibodi di sirkulasi untuk melawan autoantigen ribonukleoprotein. Ro/SS-A dan La/SS-B. Anti-La bersifat lebih spesifik tapi kurang sensitif untuk SS dibandingkan antiRo sejak munculnya penyakit autoimun SLE. Antibodi sirkulasi yang terlibat meliputi RF dan Anti-Fodrin. Cryoglobulin tipe II (monoclonal dengan aktivitas RF) tampak pada 20% pasien. Hipokomplemenemia terjadi pada pasien SS dengan vaskulitis sistemik, glomerulonefritis, dan limfoma sel B. Antimitochondrial Antibodies (AMA), sejalan dengan peningkatan transaminase dan alkalin fosfatase, ditemukan setidaknya pada 7% kasus pasien SS dengan tampilan histologis sirosis biliaris primer stadium I. Antithyroglobulin (anti-TG) dan Anti thyroid peroxidase (anti-TPO) muncul pada pasien SS dengan penyakit dasar Tiroiditis Hashimoto yang ditandai munculnya antibody Anticentromere Antibodies (ACA) yang berkorelasi dengan rendahnya angka kejadian pembesaran kelenjar parotis dan antibodi anti-La. Antibodi anti-DNA positif pada pasien SS yang berkaitan dengan SLE, antiphospholipid (a-PL), dan antineutrophil cytoplasmic (ANCA) merupakan antibodi atipikal yang paling sering ditemukan.21,22 MANIFESTASI KLINIS Gambaran klinik SS sangat luas berupa suatu eksokrinopati disertai gejala sistemik dan ekstraglandular. Xerostomia dan xerotrakea merupakan gambaran eksokrinopati mulut. Gambaran eksokrinopati pada mata berupa mata kering atau keratokonjungtivitis sicca akibat mata kering. Manifestasi ekstraglandular dapat mengenai paru, ginjal, pembuluh darah maupun otot. Gejala sistemik pada SS sama seperti penyakit autoimun lain dapat berupa kelelahan, demam, nyeri otot, artritis. Poliartiritis nonerosif merupakan Gambar 1 Patofisiologi SS. Pada keadaan predisposisi genetik, infeksi virus, pengaruh hormon dan faktor lingkungan menginisiasi aktivasi sel epitel, yang akan memicu aktivasi sel T dan memperkuat sekresi sitokin PATOFISIOLOGI Mekanisme patofisiologi yang mendasari terjadinya SS adalah stimulasi terus-menerus pada sistem autoimun, baik sel B maupun sel T, CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014 pro-inflamasi sehingga memicu aktivasi sel epitel. Hal ini menghasilkan formasi eksosome, aktivasi sel dendritik dan sekresi Interferon tipe 1 (IFN-1), dan BAFF memicu stimulasi dan proliferasi sel B sehingga menyebabkan disposisi limfosit. Sel T sitotoksik, apoptosis, dan formasi autoantibodi dan destruksi jaringan kelenjar lebih lanjut20 337 TINJAUAN PUSTAKA bentuk artiritis yang khas pada SS. Raynauds phenomena merupakan gangguan vaskular yang sering ditemukan, biasanya tanpa telangiektasis maupun ulserasi jari. Manifestasi ekstraglandular lain tergantung penyakit sistemik yang terkait misalnya RA, SLE, dan Sklerosis Sistemik. Meskipun SS tergolong penyakit autoimun yang jinak, bisa berkembang menjadi malignan, diduga karena transformasi sel B ke arah ganas.2 Manifestasi Glandular 1. Xerostomia Lebih dari 90% pasien dengan keluhan gejala SS adalah gangguan fungsional kelenjar saliva. Pasien sering mengeluhkan rasa tidak enak, sulit memproses makanan kering, dan membutuhkan minum lebih banyak air. Pada tahap awal SS, mulut tampak pucat dan lembap; dengan berjalannya penyakit, tidak tampak saliva pada dasar mulut. Seiring progresifitas penyakit, terutama pada stadium lanjut, mukosa cavum oris akan menjadi sangat kering. Permukaan lidah menjadi merah dan berlobulasi disertai depapilasi parsial maupun komplit. Xerostomia menjadi sangat nyeri disertai sensasi terbakar, disertai pembentukan fisura lidah, disfagia, disertai keilitis angularis. Keadaan di atas dapat memicu infeksi Staphylococcus aureus atau Pneumococcus yang bermanifestasi sebagai sialadenitis akut. Lebih jauh penyakit ini dapat menyebabkan karies dentis, infeksi periodontal, peningkatan kejadian kandidiasis.1,13,20 Gambar 2 Xerostomia pada pasien SS16 2. Keratoconjungtivitis Sicca (KCS) Mata kering pada SS disebut KCS yang lebih sering tampak dibanding xerostomia. Anamnesis yang cermat dibutuhkan untuk mendeteksi gejala mata kering. Keluhan utama KCS adalah rasa mengganjal bisa disertai rasa tebal, fotosensitif, dan sensasi terbakar. Mata kering disebabkan infiltrasi limfosit pada kelenjar lakrimal sehingga mengganggu produksi dan komposisi air 338 mata menyebabkan gangguan epitel kornea dan konjungtiva yang diketahui merupakan penanda KCS. Pada kasus berat, dapat terjadi gangguan visus. Komplikasi ulkus kornea dapat memicu perforasi dan iridosiklitis.13 3. Pembesaran Kelenjar Paratiroid Sekitar 20-30% pasien SS Primer mengalami pembesaran kelenjar parotis atau submandibula yang tidak nyeri. Pembesaran kelenjar ini bisa berubah menjadi limfoma. Suatu penelitian mendapatkan 98 orang dari 2311 pasien SS (4%) berkembang menjadi limfoma, sementara Ioannidis mendapatkan 38 dari 4384 pasien SS berkembang menjadi limfoma.2,16,23 Manifestasi Ekstraglandular Banyak manifestasi ekstraglandular pada SS yaitu artralgia (25-85%), fenomena Raynoud (13-62%), tiroiditis autoimun Hashimoto (1024%), renal tubular asidosis (5-33%), sirosis bilier primer dan hepatitis autoimun (2-4%), penyakit paru (7-35%), vaskulitis (9-32%). Risiko limfoma meningkat pada pasien SS. 1. Manifestasi Kulit Merupakan gejala ekstraglandular yang paling sering dijumpai, dengan gambaran klinis yang luas. Kulit kering dan gambaran vaskulitis merupakan keluhan yang sering dijumpai. Manifestasi vaskulitis pada kulit bisa mengenai pembuluh darah sedang maupun kecil. Vaskulitis pembuluh darah sedang biasanya terkait dengan krioglobulin dan vaskulitis pada pembuluh darah kecil berupa purpura. Vaskulitis di kulit dikatakan merupakan petanda prognosis buruk.2 2. Manifestasi Paru Manifestasi penyakit paru yang sering dijumpai adalah Penyakit Paru Interstisial atau fibrosis berat. Adanya pembesaran kelenjar limfe parahiler sering menyerupai limfoma (pseudolimfoma). Manifestasi paru pada SS primer dan sekunder berbeda, manifestasi SS sekunder disebabkan oleh penyakit primer yang mendasari.2 3. Manifestasi Pembuluh Darah Vaskulitis ditemukan sekitar 5%, dapat mengenai pembuluh darah sedang maupun kecil dengan manifestasi klinik berbentuk purpura, urtikaria berulang, ulkus kulit, dan mononeuritis multipel. Vaskulitis pada organ internal jarang ditemukan. Fenomena Raynaud dijumpai pada 35% kasus dan biasanya muncul setelah bertahun-tahun, tanpa disertai telangiektasis dan ulserasi.2 4. Manifestasi Ginjal Keterlibatan ginjal hanya sekitar 10%. Manifestasi tersering berupa kelainan tubulus dengan gejala subklinis. Gambaran kilnis dapat berupa hipofosfaturia, hipokalemia, hiperkalemia, asidosis tubular renal tipe distal. Manifestasi sering tidak jelas, dapat menimbulkan komplikasi batu kalsium dan gangguan fungsi ginjal. Gejala hipokalemia sering dijumpai dengan klinis kelemahan otot. Pada biopsi ginjal didapatkan infiltrasi limfosit pada jaringan interstisial.2 5. Manifestasi Neuromuskular Manifestasi neurologi akibat vaskulitis sistem saraf dengan manifestasi klinik neuropati perifer. Neuropati kranial juga dapat dijumpai pada SS, biasanya tunggal, misalnya neuropati trigeminal, neuropati optik. Neuropati sensorik merupakan komplikasi neurologi yang sering dijumpai. Kelainan muskular hanya berupa mialgia dengan enzim otot dalam batas normal.2 6. Manifestasi Gastrointestinal Keluhan yang sering dijumpai adalah disfagia karena kekeringan daerah mulut dan esophagus, disamping itu dismotilitas esophagus akan menambah kesulitan proses menelan. Mual dan nyeri perut daerah epigastrium juga sering dijumpai. Biopsi mukosa lambung menunjukkan gastritis kronik atrofik yang secara histopatologi didapatkan infiltrasi limfosit.2 7. Artritis Lima puluh persen gejala artritis pada SS mungkin muncul lebih awal sebelum gejala sindrom sicca muncul. Artritis pada SS tidak erosif. Artralgia, kaku sendi, sinovitis, poliartritis kronis merupakan gejala lain yang mungkin dijumpai.2 MANIFESTASI LABORATORIUM Pada SS sering didapatkan peningkatan imunoglobulin serum poliklonal dan sejumlah auto antibodi yang sesuai dengan aktivitas kronis sel B. Laju endap darah meningkat sesuai peningkatan globulin gama. Suatu penelitian multisenter atas 400 pasien SS berdasarkan kriteria The European Community Preeliminary Criteria tahun 1993 mendapatkan CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014 TINJAUAN PUSTAKA Anti Ro 40% dan anti La 26%, ANA 74%, RF 38% pasien SS. Kelainan hematologi yang bisa didapatkan pada SS adalah anemia 20%, leukopenia 16%, dan trombositopenia 13%, hipergamaglobulinemia ditemukan hampir pada 80% kasus.1,2,16 Penelitian di London mengevaluasi 34 pasien keluhan mata dan mulut kering tapi tidak termasuk SS yang dikenal dengan Dry Eyes and Mouth Syndrome (DEMS); pada pemeriksaan anti Ro dan anti La semuanya negatif walaupun ANA positif (19%).24 KRITERIA DIAGNOSIS (THE EUROPEAN COMMUNITY PRELIMINARY CRITERIA,1993)25 I. Gejala Okular: jawaban “YA” pada paling tidak satu pertanyaan di bawah ini: 1. Apakah memiliki keluhan mata kering selama ≥3 bulan? 2. Apakah merasakan sensasi/rasa mengganjal pada mata? 3. Apakah menggunakan suplemen air mata paling tidak 3 kali sehari? II. Gejala Oral: jawaban “YA” pada paling tidak satu pertanyaan di bawah ini: 1. Apakah memiliki keluhan mulut kering selama ≥3 bulan? 2. Apakah memiliki riwayat/saat ini berupa pembesaran kelenjar saliva? 3. Apakah banyak minum saat menelan makanan kering? III. Pemeriksaan Mata: tanda objektif keterlibatan mata sebagai temuan positif, paling tidak pada satu pemeriksaan di bawah ini: 1. Tes Schrimer I, dilakukan tanpa anestesi (<5 mm dalam 5 menit) 2. Skor Rose Bengal atau Skor Diagnosis Mata Kering (≥4 berdasarkan sistem van Bijsterveld) IV. Histopatologi: Pada sediaan kelenjar saliva minor (sediaan diambil dari mukosa yang tampak normal) terdapat sialadenitis limfositik fokal, yang dievaluasi oleh ahli Patologi Anatomi, dengan focus score ≥1, diartikan sebagai jumlah foci limfosit (sediaan mukosa acini yang mendekati normal mengandung >50 limfosit) per 4 mm2 jaringan kelenjar. V. Keterlibatan Kelenjar Saliva: Temuan klinis yang mengarah pada gangguan kelenjar CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014 saliva paling tidak pada salah satu metode diagnostik berikut: 1. Salivary Flow <1,5 ml dalam 15 menit 2. Sialografi parotis menunjukkan adanya sialektasi difus tanpa obstruksi duktus mayor 3. Scintigrafi saliva menunjukkan gangguan ambilan, berkurangnya konsentrasi dan/atau ekskresi saliva VI. Autoantibodi: pada serum terdapat Antibodi terhadap antigen Ro/SS-A atau antigen La/SS-B, atau keduanya. Diagnosis SS Primer: 1. Terdapat 4 dari 6 kriteria mengindikasikan adanya SS Primer selama terdapat kriteria IV (histopatologi) atau VI (serologi) positif 2. Terdapat 3 dari 4 tanda pada kriteria diagnosis (kriteria III,IV,V,VI) 3. Klasifikasi berdasarkan survei epidemiologi klinis Diagnosis SS Sekunder: pasien dengan klinis yang berkaitan dengan penyakit lain (penyakit jaringan ikat lain), terdapat kriteria I dan II disertai 2 tanda di antara kriteria III, IV, dan V. Kriteria Eksklusi: Riwayat terapi radiasi pada kepala/leher, infeksi HCV, HIV AIDS, limfoma, sarkoidosis, penyakit graft vs host, penggunaan obat anti kolinergik.26 PEMERIKSAAN TAMBAHAN 1. Tes Schirmer Berfungsi memeriksa fungsi kelenjar lakrimal. Terdapat 2 jenis tes yaitu Schirmer I dan II, Schirmer I adalah pemeriksaan yang masuk dalam kriteria diagnosis SS, yaitu meletakkan kertas kering di kelopak mata bawah selama 5 menit, normalnya adalah ≥15 mm kertas akan basah, jika <5 mm maka hal ini mengkonfirmasi diagnosa mata kering.26 2. Rose Bengal Pemeriksaan ini menggunakan bahan aniline yang dapat mewarnai epitel kornea dan konjungtiva yang tidak fungsional. Penilaiannya: 0-4, bila 3-4 berarti pewarnaan epitel lebih banyak yang menandakan hiposekresi lakrimal. Evaluasi dengan kriteria Van Bijsterveld membagi permukaan mata menjadi 3 yaitu: konjungtiva bulbar bagian nasal, kornea, konjungtiva bulbar bagian temporal, yang diberi nilai 0-3 (0: tidak ada pewarnaan; 3: pewarnaan jelas). Skor ≥4 sudah bernilai positif. Skor ini merupakan metode paling spesifik untuk mengevaluasi keluhan mata pada SS.27 3. Histopatologi Biopsi kelenjar eksokrin minor memberikan gambaran sangat spesifik yaitu infiltrasi limfosit dominan. Biopsi saliva minor merupakan standar baku diagnosis SS.2,8 4. Sialometri Merupakan pengukuran kecepatan produksi kelenjar saliva (parotis, submandibula, sublingual, atau total) tanpa adanya rangsangan. Pada SS aliran saliva akan diukur pada kelenjar submandibular/sublingual kemudian dibandingkan dengan kontrol; pengukuran pada kelenjar parotis tidak spesifik karena akan menunjukkan penurunan aliran saliva baik pada pasien SS dan non-SS. 2,27 5. Sialografi Bertujuan untuk mengetahui perubahan anatomi kelenjar saliva dan duktusnya. Pemeriksaan ini menggunakan kontras larut air yang dimasukkan dengan sistem kanulasi ke kelenjar saliva kemudian mengevaluasi kelainan yang terjadi.27 6. Scintigrafi Pemeriksaan ini dilakukan dengan injeksi 99mTcsodium intravena kemudian mengevaluasi ambilan 99mTc-sodium setelah 60 menit.2 PENATALAKSANAAN Prinsip penatalaksanaan SS adalah menggantikan fungsi kelenjar eksokrin dengan memberi lubrikasi sehingga memperbaiki kualitas hidup pasien. 1. Mata Pengobatan untuk mata kering bisa dimulai secara non-farmakologis seperti menghindari kondisi lingkungan yang memperberat mata kering (kering, berasap, ber-AC), dan aktivitas yang menyebabkan ketidakstabilan lapisan air mata (terlalu lama membaca atau di depan layar komputer). Penggunaan kacamata dengan dukungan ruangan sedikit lembap dapat menguntungkan. Pasien juga harus menghindari obat yang dapat menghambat produksi lakrimal seperti diuretik, β-bloker, antidepresan trisiklik, dan antihistamin, atau dalam dosis minimal.28-29 Penggunaan air mata buatan/artifisial merupakan modalitas yang paling sering, 339 TINJAUAN PUSTAKA terutama pada derajat ringan sampai sedang. Ada 2 jenis sediaan yaitu emulsi dan cairan hipotonik. Emulsi mengandung komponen cairan dan lipid untuk mata kering derajat evaporasi tinggi. Sedangkan cairan hipotonik digunakan hanya untuk menambah jumlah lakrima dan mengurangi osmolaritas lapisan air mata.28,30,31 Saat ini sudah terdapat tetes mata serum autolog terbuat dari bahan non-alergenik bersifat sama seperti air mata normal untuk pasien dengan intoleransi air mata artifisial, mendukung reepitelisasi karena mengandung Epithelial Growth Factor, fibronektin, dan vitamin.32-34 Terapi sistemik untuk kasus mata kering adalah agonis muskarinik (M) yang menstimulasi sel kelenjar lakrimalis yaitu dengan Pilokarpin 5 mg 4 kali sehari atau Cevimeline 30 mg 3 kali sehari. Kedua obat tersebut menyebabkan stimulasi sekresi aqueus humor dan mucus pada reseptor M1 dan M3, cevimeline juga memiliki efek anti-apoptosis yang dimediasi reseptor M1.35 Pemberian imunomodulator seperti emulsi Siklosporin A 0,05% menstabilkan respon imun pada mata dengan mengurangi disposisi limfosit; pemberian oral tidak menunjukkan respon yang berarti.36 2. Mulut Terapi non farmakologi adalah hidrasi adekuat, menghindari iritan (kopi, alkohol, nikotin), mengkonsumsi minuman/makanan rendah gula bahkan bebas gula dapat meningkatkan stimulus terhadap aliran saliva; sebagai alternatif dapat mengkonsumsi sugar-free lozenges yang memperbaiki kondisi mukosa kavum oris dan mata, dengan efek samping minimal.37-39 Perawatan gigi dan mulut penting untuk mencegah komplikasi, obat kumur dapat mengurangi komplikasi termasuk infeksi Candida yang membutuhkan penanganan khusus.17 Pemberian saliva artifisial bertujuan sebagai lubrikan dan membasahi mukosa cavum oris biasa digunakan untuk mulut kering derajat sedang hingga berat yang menimbulkan gangguan pencernaan.40-42 Agen agonis muskarinik seperti Pilokarpin dan Cevimeline meningkatkan aliran saliva, dan mengatasi keluhan mulut kering.36,43-45 Imunomodulator Interferon A diberikan jika dicurigai infeksi virus sebagai penyebab. Siklosporin A juga dapat diberikan untuk menekan infiltrasi limfosit dan stabiliasi sistem imun.36 3. Sistemik i. Antiinflamasi dan Disease-Modifying Antirheumatic Drugs(DMARD) Mudah lelah, artralgia, myalgia, dan demam adalah gejala non-eksokrin yang sering ditemui. Analgesik dan Non Steroid Anti Inflammatory Drugs (NSAID) menjadi lini pertama untuk mengatasi keluhan muskuloskeletal dan gejala konstitusional, tapi tidak memberikan efek untuk sindrom kekeringan mata dan mulut.46 Pemberian kortikosteroid diindikasikan untuk artritis, manifestasi kutaneus, dan gejala konstitusional pada SS. Prednisolon 40 mg/ hari selama 6 bulan memperbaiki produksi saliva setelah satu bulan pemberian, mulai titrasi dosis rendah selama 48 bulan.47 Hidroklorokuin memperbaiki gejala muskuloskeletal dan gejala konstitusional. Obat ini mengganggu produksi sitokin proinflamasi seperti IL-1a dan IL-6; tidak hanya menghasilkan perbaikan klinis namun juga perbaikan serologis IgG, laju endap darah, ANA, RF, IL-6. Hidroksiklorokuin meningkatkan produksi kelenjar saliva setelah terapi selama 6 bulan.48 Metotrexate digunakan untuk artritis yang mengenai beberapa sendi.49 Azathioprine dosis rendah per-oral tidak menghasilkan efikasi klinis dan laboratorium.50 Leflonomide masih diteliti lebih lanjut.51 ii. Agen Biologis Penelitian pada 16 pasien SS primer yang diterapi Infliximab 3 mg/kg pada minggu 0, minggu 2, minggu 6 menghasilkan perbaikan klinis.11 Penggunaan Rituximab infus 375 mg/m2 dengan prednison 25 mg intravena pada 8 pasien SS primer selama 12 minggu dapat mengurangi keluhan mata dan mulut kering.52 iii. Terapi Lain Prednisolon secara signifikan menurunkan kadar serum IgG dan anti-Ro/SS 20 pasien SS.11 PROGNOSIS Prognosis pasien SS tidak banyak diteliti; walaupun bukan penyakit ganas, dapat terjadi vaskulitis dan limfoma yang dapat menyebabkan kematian.53-54 DAFTAR PUSTAKA 1. Sumariyono. Diagnosis dan Tatalaksana Sindrom Sjorgen. Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi. 2008.p134-6. 2. Yuliasih. Sindroma Sjogren. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II edisi IV. Pusat Penerbitan IPD FKUI 2006.p1193-6. 3. Helmick CG, Felson DT, Lawrence RC, et al. Estimates of the prevalence of arthritis and other rheumatic conditions in the United States. Part I. Arthritis Rheum. Jan 2008;58(1):15-25. 4. Fox PC. Autoimmune diseases and Sjögren’s syndrome: an autoimmune exocrinopathy. Ann. NY Acad. Sci.1098,2007;15–21. 5. Kessel A, Toubi E, Rozenbaum M, Zisman D, Sabo E, Rosner I. Sjögren’s syndrome in the community: can serology replace salivary gland biopsy? Rheumatol. Int. 2006;26,337–9. 6. Kruszka P, O’Brian RJ. Diagnosis and management of Sjögren syndrome. Am. Fam. Physician. 2009;79,465–70. 7. Xiang YJ, Dai SM. Prevalence of rheumatic diseases and disability in China. Rheumatol. Int.2009;29,481–90. 8. Price EJ, Venables PJ. The etiopathogenesis of Sjögren’s syndrome. Semin Arthritis Rheum. Oct 1995;25(2):117-33. 9. Mattey DL, González-Gay MA, Hajeer AH, Dababneh A, Thomson W, García-Porrúa C, et al. Association between HLA-DRB1*15 and secondary Sjögren’s syndrome in patients with rheumatoid arthritis. J Rheumatol. 2000;27(11):2611-6. 10. Papasteriades CA, Skopouli FN, Drosos AA, Andonopoulos AP, Moutsopoulos HM. HLA-alloantigen associations in Greek patients with Sjögren’s syndrome. J Autoimmun. Feb 1988;1(1):85-90. 11. Casals MR Font J. Primary Sjogren Syndrome: Current and emergent aetiopathogenic concepts. Rheumatology. 2005;44:1354-67. 12. Brun JG. Madland TM. Gjesdal CB. Sjogren syndrome in an-out-patient clinic; classification of patient according to the preliminary European criteria and the proposed modified European criteria. Rheumatology. 2004:41;301-4. 13. Fox RI. Sjögren’s syndrome. Lancet. 2005;366(9482):321-31. 14. Parkin B, Chew JB, White VA, Garcia-Briones G, Chhanabhai M, Rootman J. Lymphocytic infiltration and enlargement of the lacrimal glands: a new subtype of primary Sjögren’s syndrome?. Ophthalmology. 2005;112(11):2040-7. 340 CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014 TINJAUAN PUSTAKA 15. Ng KP, Isenberg DA. Sjögren’s syndrome: diagnosis and therapeutic challenges in the elderly. Drugs Aging. 2008;25(1):19-33. 16. Troy Daniels. Sjogrens Syndrome: Primer on Rheumatic Diseases. 2008;13:389-97. 17. Price EJ. Venables PJ. Dry eyes and mouth syndrome, a subgroup of patient presenting with sicca symptoms. Rheumatol.2003;41:416-25. 18. Kassan SS. Marulampos M. Moutsopolulos MD. Clinical manifestation and early diagnosis of sjogren syndrome. Arch. Int. Med. 2004:164;1275-84. 19. Delaleu N, Jonsson MV, Appel S. New concepts in the pathogenesis of Sjogren’s syndrome. Rheum. Dis. Clin. North America, 2008.34(4);833-45. 20. Kassan SS, Thomas TL, Moutsopoulos HM, Hoover R, Kimberly RP, Budman DR, et al. Increased risk of lymphoma in sicca syndrome. Ann. Intern. Med. 2004;89(6):888-92. 21. Soliotis FC, Moutsopoluos HM. Sjogren’s syndrome. Autoimmunity. 2004;37:305-7. 22. Ramos-Casals M, Brito-Zeron P, Font J. The overlap of Sjogren’s syndrome with other systemic autoimmune diseases. Semin Arthritis Rheum 2007;36:246-55. 23. Casals MR. Tzioufas AG. Front J. Primary sjorgen syndrome; new clinic and therapeutic concepts. Ann. Rheum. Dis. 2005:64;347-54. 24. Rosas J. Casals MR. Ena J.Usefulness of basal and Pilocarpin stimulated salivary flow in primary Sjorgen syndrome correlation with clinical immunological and histological features. Rheumatology. 2004:41:670-5. 25. Vitali C, Bombardieri S, Jonsson R, Moutsopoulos HM, Alexander EL, Carsons SE, et al. European Study Group on Classification Criteria for Sjogren’s Syndrome. Classification criteria for Sjogren’s syndrome: A revised version of the European criteria proposed by the American-European Consesnus Group. Ann Rheum Dis. 2002;61:554-8. 26. De Monchy, I., Jonsson M.V., Appel, S., Jonsson R. New concepts in the pathogenesis of Sjogren’s syndrome. Rheum. Dis. Clin. North America. 2011:21(5),656-60. 27. Kalk, W.W., Mansour, K., Vissink, A., Spijkervet F.K., Bootsma, H., Kallenberg, C.G.< et al. Oral and ocular manifestation in Sjogren’s syndrome. J. Rheumatology. 2002;29(5),924-30. 28. Foulks GN. The evolving treatment of dry eyes. Ophtalmol Clin North Am. 2003;16:29-35. 29. Wolkoff P, Nojgaard JK, Franck C., Skov P. The modern office environment desiccates the eyes? Indoor Air. 2006;16:258-65. 30. Korb DR, Scaffidi RC, Greiner JV, Kenyon KR, Herman JP, Blackie CA, et al. The effect of two novel lubricant eye drops on tear film lipid layer thickness in subjects with dry eye symptoms. Optom Vis Sci. 2005;82:594-601. 31. Aragona P, Di Stefano G, Ferreri G, Spinella R, Stilo A. Sodium hyaluronate eye drops of different of different osmolarity for the the treatment of dry eye in Sjogren’s syndrome patients. Br J Ophtalmol. 2002;86:879-84. 32. Noble BA, Loh RS, MacLennan S, Pesudovs K, Reynolds A, Bridges LR, et al. Comparison of autologous serum eye drops with conventional therapy in randomized controlled crossover trial for ocular surface disease. Br J Ophtalmol. 2004;88:647-52. 33. Kojima T, Ishida R, Dogru M, Goto E, Matsumoto Y, Kaido M, et al. The effect of autologous serum eyedrops in the treatment of severe dry eye disease: a prospectice randomized cas-control study. Am J Ophtalmol. 2005;139:242-6. 34. Geerling G, Maclennan S, Hartwig D. Autologous serum eye drops for ocular surface disorder. Br J Ophtalmol 2004;88:1467-74. 35. Fox RI, Konttinen Y, Fisher A. Use of muscarinic agonists in the treatment of Sjogren’s syndrome. Clin Immunol. 2001;101:249-63. 36. Aikaterini TS, Judith AJ. Primary Sjogren’s Syndrome: Current and Prospective Therapies.Semin Arthritis Rheum. 2008;37:273-92. 37. Silvestre-Donat FJ, Miralles-Jorda L, Martinez-Mihi V. Protocol for the clinical management of dry mouth. Med Oral. 2004;9:273-9. 38. Porter SR, Scully C, Hegarty AM. An update of the etiology and management of xerostomia. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 2004;97:28-46. 39. Fox PC, Curnmins MJ, Curnmins JM. A third study on the use of orally administered anhydrous crystalline maltose for relief of dry mouth in primary Sjogren’s syndrome. J Alternat Complement Med. 2002;8:651-9. 40. Wynn RI, Meiller TF. Artificial saliva products and drugs to treat xerostomia. Gen Dent. 2000;48:630-6. 41. Urquhart D, Fowler CE. Review of the use of polymers in saliva substitutes for sympatomatic relief of xerostomia. J Clin Dent. 2006;17:29-33. 42. Al Hashimi I, Taylor SE. A new medication for treatment of dry mouth in Sjogren’s syndrome. Tex Dent J. 2001;118:262-6. 43. Papas AS, Fernandez MM, Castano RA, Gallagher SC, Trivedi M, Shrotriya RC. Oral pilocarpine for symptomatic relief of dry mouth and dry eyes in patients with Sjogren’s syndrome. Adv Exp Med Biol. 1998;438:973-8. 44. Vivino FB, Al-Hashimi I, Khan Z, LeVeque FG, Salisbury PL 3rd, Tran-Johnson, et al. Pilocarpine tablets for the treatment of dry mouth and dry eye symptoms in patients with Sjogren syndrome: a randomized, placebo-controlled, fixed-dose, multicenter trial. P92-01 Study Group. Arch Intern Med. 1999;159:174-81. 45. Petrone D, Condemi JJ, Fife R, Gluck O, Cohen S, Dalgin P. A double-blind, randomized, placebo-controlled study of cevimeline in Sjogren’s syndrome patients with xerostomia and keratoconjunctivitis sicca. Arthritis Rheum. 2002;46:748-54. 46. Kok MR, yamato S, Lodde BM, Wang J, Couwenhoven RI, Yakar S, et al. Local adeno-associated virus mediated interleukin 10 gene transfer has disease-modifying effects in a murine model of Sjogren’s syndrome. Hum Gene Ther. 2003;14:1605-18. 47. Miyawaki S, Nishiyarna S, Matoba K. Efficacy of low-dose prednisolone maintenance for saliva production and serological abnormalities in patients with primary Sjogren’s syndrome. Intern Med. 1999;38:938-43. 48. Sperber K, Quraishi H, Kalb TH, Panja A, Stecher V, Mayer L. Selective regulation of cytokine secretion by hyroxychloroquine: inhibition of interleukin 1 alpha (IL-1-alpha) and IL-6 in human monocytes and T cells. J Rheumatol. 1993.20:803-8. 49. Skopouli FN, Jagielo P, Tsifetaki N, Mousopoulos HM. Methotrexate in primary Sjogren’s syndrome .Clin Exp Rheumatol. 1996;14:555-8. 50. Price EJ, Rigby SP, Clancy U, Benables PJ. A double blind placebo controlled trial of azathioprine in the treatment of primary Sjogren’s syndrome. J Rheumatol. 1998;25:896-9. 51. Van Woerkom J, Kruize AA, Geenen R, van Roon EN, Goldschmeding R, Verstappen SM, et al. Safety and efficacy of Leflunomide in primary Sjogren’s syndrome- a phase II pilot study. Ann Rheum Dis. 2007 Jan 12; (Epub ahead of print). 52. Meijer JM, Pijpe J, Vissink A. Treatment of Primary Sjogren syndrome with Rituximab; extended follow up, safety and efficacy of treatment. Ann. Rheum. Dis. 2009;68:284-5. 53. Tsifetaki N, Kitsos CA, Paschides. Oral Pilocarpin for the treatment of ocular symptoms in patient with Sjogren syndrome. A randomized controlled study. Ann. Rheum Dis. 2003;62:1204-7. 54. Dawson L, Caulfield V, Hydroxychloroquine therapy in patient with primary sjogren syndrome may improve salivary gland hypofunction by inhibition of glandular cholinesterase. Rheumatology. 2005;44:449-55. CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014 341