BAB II LANDASAN TEORI A. Persepsi Terhadap Pendidikan Inklusi 1. Definisi persepsi Persepsi merupakan suatu proses yang digunakan individu untuk mengelola dan menafsirkan pesan indera dari lingkungan dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan dengan cara mengorganisir dan menginterpretasi sehingga akan mempengaruhi perilaku individu (Robbins 2003). Gibson (1998) dan Sarwono (2000) menambahkan bahwa persepsi melibatkan alat indra dan proses kognisi yaitu menerima stimulus, mengorganisasi stimulus serta menafsirkan stimulus dengan proses tersebut akan mempengaruhi perilaku dan sikap individu. Definisi yang sama juga diungkapkan Solso, dkk (2008) bahwa persepsi melibatkan kognisi dalam penginterpretasian terhadap informasi. Kejadiankejadian atau informasi tersebut diproses sesuai pengetahuan yang dimiliki individu sebelumnya mengenai objek persepsi yang di interpretasikannya. Menurut McDowwell & Newel (1996) persepsi dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu yaitu perasaan sehingga mampu mempengaruhi persepsi individu tersebut. Rahmat (2005) menyebutkan persepsi dibagi menjadi dua bentuk yaitu positif dan negatif, apabila objek yang dipersepsi sesuai dengan penghayatan dan dapat diterima secara rasional dan emosional maka manusia akan mempersepsikan positif atau cenderung menyukai dan menanggapi sesuai dengan objek yang dipersepsikan. Apabila tidak sesuai dengan penghayatan maka persepsinya negatif 13 Universitas Sumatera Utara 14 atau cenderung menjauhi, menolak dan menanggapinya secara berlawanan terhadap objek persepsi tersebut. Robbins (2002) menambahkan bahwa persepsi positif merupakan penilaian individu terhadap suatu objek atau informasi dengan pandangan yang positif atau sesuai dengan yang diharapkan dari objek yang dipersepsikan atau dari aturan yang ada. Sedangkan, persepsi negatif merupakan persepsi individu terhadap objek atau informasi tertentu dengan pandangan yang negatif, berlawanan dengan yang diharapkan dari objek yang dipersepsikan atau dari aturan yang ada. Penyebab munculnya persepsi negatif seseorang dapat muncul karena adanya ketidakpuasan individu terhadap objek yang menjadi sumber persepsinya, adanya ketidaktahuan individu serta tidak adanya pengalaman inidvidu terhadap objek yang dipersepsikan dan sebaliknya, penyebab munculnya persepsi positif seseorang karena adanya kepuasan individu terhadap objek yang menjadi sumber persepsinya, adanya pengetahuan individu, serta adanya pengalaman individu terhadap objek yang dipersepsikan. Menurut Leavitt (1997) individu cenderung melihat kepada hal-hal yang mereka anggap akan memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka, dan mengabaikan hal-hal yang dianggap merugikan/mengganggu. Menurut Robbins (2002) keadaan psikologis menjadi sangat berperan dalam proses intepretasi atau penafsiran terhadap stimulus, sehingga sangat mungkin persepsi seorang individu akan berbeda dengan individu lain, meskipun objek/stimulusnya sama. Davidoff (1988) menambahkan bahwa penafsiran sangat dipengaruhi oleh karakteristikkarakteristik pribadi dari pelaku persepsi, antara lain sikap, motif/kebutuhan, Universitas Sumatera Utara 15 kepentingan/minat, pengalaman masa lalu dan harapan. Proses persepsi melibatkan intepretasi mengakibatkan hasil persepsi antara satu orang dengan orang lain sifatnya berbeda (individualistik). Berdasarkan defenisi yang dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan cara pandang individu terhadap stimulus yang ada di lingkungan melalui proses kognisi dan proses afeksi yang dipengaruhi oleh berbagai hal seperti pengetahuan sebelumnya, kebutuhan, suasana hati, pendidikan dan faktor lainnya sehingga memberikan makna yang berbeda dan akan mempengaruhi perilaku dan sikap individu. 2. Aspek persepsi Aspek persepsi menurut McDowwell & Newel (1996) , yaitu: a. Kognisi Aspek kognisi merupakan aspek yang melibatkan cara berpikir, mengenali, memaknai suatu stimulus yang diterima oleh panca indera, pengalaman atau yang pernah dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Hurlock (1999) menambahkan bahwa aspek kognitif didasarkan atas konsep suatu informasi, aspek kognitif ini juga didasarkan pada pengalaman pribadi dan apa yang dipelajari. b. Afeksi Aspek afeksi merupakan aspek yang membangun aspek kognitif. Aspek afektif ini mencakup cara individu dalam merasakan, mengekspresikan emosi terhadap stimulus berdasarkan nilai-nilai dalam dirinya yang kemudian mempengaruhi persepsinya. Universitas Sumatera Utara 16 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi. Robbin (2003) menyatakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi. Faktor-faktor tersebut adalah : a. Keadaan pribadi orang yang mempersepsi Merupakan faktor yang terdapat dalam individu yang mempersepsikan. Misalnya kebutuhan, suasana hati, pendidikan, pengalaman masa lalu, sosial ekonomi dan karakteristik lain yang terdapat dalam diri individu. b. Karakteristik target yang dipersepsi Target tidak dilihat sebagai suatu yang terpisah, maka hubungan antar target dan latar belakang serta kedekatan/kemiripan dan hal-hal yang dipersepsi dapat mempengaruhi persepsi seseorang. c. Konteks situasi terjadinya persepsi Waktu dipersepsinya suatu kejadian dapat mempengaruhi persepsi, demikian pula dengan lokasi, cahaya, panas, atau faktor situasional lainnya. Berbeda dengan Robbins, menurut Thoha (2007) persepsi dipengaruhi oleh, yaitu: a. Psikologis Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di dalam dunia ini sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologis. b. Keluarga Pengaruh yang paling besar terhadap anak adalah keluarga. Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di dalam memahami dan melihat Universitas Sumatera Utara 17 kenyataan di dunia ini, banyak sikap dan persepsi-persepsi mereka yang diturunkan pada anak mereka. c. Kebudayaan Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai, dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan dunia ini. David Krech dan Ricard Crutcfield (dalam Rahmat, 2005) menambahkan faktor-faktor yang menentukan persepsi menjadi dua yaitu : faktor fungsional dan faktor struktural a. Faktor Fungsional Faktor fungsional adalah faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, jenis kelamin dan hal-hal lain yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Faktor fungsional yang menentukan persepsi adalah obyek-obyek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. b. Faktor Struktural Faktor struktural adalah faktor-faktor yang berasal semata-mata dari sifat stimulus fisik terhadap efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu. Faktor-faktor struktural yang menentukan persepsi menurut teori Gestalt bila kita ingin memahami suatu peristiwa kita tidak dapat meneliti faktor-faktor yang terpisah tetapi memandangnya dalam hubungan keseluruhan. Rahmat (2005) menambahkan tiga faktor personal yang mempengaruhi persepsi adalah: Universitas Sumatera Utara 18 a. Pengalaman, seseorang yang telah mempunyai pengalaman tentang hak-hak tertentu akan mempengaruhi kecermatan seseorang dalam memperbaiki persepsi. Semakin seseorang berpengalaman dalam suatu hal semakin baik persepsinya. b. Motivasi, motivasi individu terhadap suatu informasi akan mempengeruhi persepsinya. Seseorang yang memiliki motivasi dan harapan yang tinggi terhadap sesuatu, cenderung akan memiliki persepsi yang positif terhadap objek tersebut. c. Kepribadian, dalam psikoanalisis dikenal sebagai proyeksi yaitu usaha untuk mengeksternalisasi pengalaman subjektif secara tidak sadar.kepribadian seseorang yang extrovert dan berhati halus cenderung akan memiliki persepsi yang lebih baik terhadap sesuatu. 4. Proses terbentuknya persepsi Proses terbentuknya persepsi tidak akan terlepas dari pengalaman penginderaan dan pemikiran. Seperti yang telah dijelaskan oleh Robbins (2003) bahwa pengalaman masa lalu akan memberikan dasar pemikiran, pemahaman, pandangan atau tanggapan individu terhadap sesuatu yang ada di sekitarnya (Robbins, 2003). Myers (1992) mengemukakan bahwa persepsi terjadi dalam tiga tahapan yang berkesinambungan dan terpadu satu dan lainnya, yaitu : a. Pemilihan Pada saat memperhatikan sesuatu berarti individu tidak memperhatikan yang lainnya. Mengapa dan apa yang disaring biasanya berasal dari beberapa faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri dari enam prinsip : Universitas Sumatera Utara 19 1) Intensitas, intensitas atau kuatnya suatu stimulus, suara keras di dalam ruangan yang sepi atau cahaya yang sangat tajam biasanya mengarahkan perhatian. 2) Ukuran, sesuatu yang besar akan lebih menarik perhatian. 3) Kontras, sesuatu yang berlatar belakang kontras biasanya sangat menonjol. 4) Pengulangan, stimulus yang diulang lebih menarik perhatian daripada yang sesekali saja. 5) Gerakan. Perhatian individu akan lebih tertarik kepadda objek yang bergerak untuk dilihat daripada objek yang sama tapi diam. 6) Dikenal dan sesuatu yang baru. Objek baru yang berada di lingkungan yang lebih dikenal akan lebih menarik perhatian. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi : 1) Faktor fisiologis, individu dirangsang oleh apa yang sedang terjadi di luar dirinya melalui pengindraan seperti mata, kulit, lidah, telinga, hidung, tetapi tidak semua individu yang memiliki kekuatan indera yang sama, maka tidak setiap individu mampu mempersepsikan dengan baik. 2) Faktor psikologis, meliputi motivasi dan pengalaman belajar masa lalu. Motivasi dan pengalaman belajar masa lalu setiap individu berbeda. Sehingga individu cenderung mempersepsikan apa yang sesuai dengan kebutuhan, motivasi dan minatnya. Universitas Sumatera Utara 20 b. Pengorganisasian Pengelolaan stimulus atau informasi melibatkan proses kognisi, dimana individu memahami dan memaknai stimulus yang ada. Individu yang memiliki tingkat kognisi yang baik cenderung akan memiliki persepsi yang baik terhadap objek yang dipersepsikan. c. Interpretasi Dalam interpretasi individu biasanya melihat konteks dari objek atau stimulus. Selain itu, interpretasi juga terjadi apa yang disebut dengan proses mengalami lingkungan, yaitu mengecek persepsi. Apakah orang lain juga melihat sama seperti yang dilihat individu melalui konsensus validitas dan perbandingan. B. Pendidikan Inklusi 1. Definisi pendidikan inklusi Istilah terbaru dipergunakan untuk mendeskripsikan penyatuan bagi anakanak berkelainan ke dalam program-program sekolah adalah inklusi, bagi sebagian pendidik hal ini dilihat sebagai deskripsi yang positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realitas dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh (Smith, 2006). Ainscow & Booth (2002) menambahkan bahwa anak-anak yang dianggap sebagai anak berkebutuhan sebaiknya ditempatkan di sekolah umum yang sama dengan anak normal umumnya yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan sosial bagi anak berkebutuhan khusus maupun anak normal. Universitas Sumatera Utara 21 Menurut Banks (2010) penekanan pada pendidikan inklusi terketak pada perubahan pendekatan belajar mengajar agar murid dengan perbedaan gender, kultur, sosial, etnis dan bahasa bisa mendapatkan kesetaraan pendidikan dalam institusi yang ada. Banks (2010) dan Bennett (2003) menambahkan bahwa sekolah inklusi dirancang untuk menjadi sekolah yang heterogen, dan harapannya bisa menjawab semua kebutuhan individu dalam hal pendidikan dalam konteks sosial yang sama, tidak ada persyaratan khusus untuk bisa menjadi siswanya, dimana sekolah inklusi memang ditujukan agar anak berkebutuhan khusus bisa masuk sekolah biasa. Meyer, Jill dkk (2005) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi merupakan sekolah yang mendasarkan pada asas pendidikan multikultural. Definisi tersebut dilengkapi oleh Choate (2000) bahwa sekolah inklusi merupakan sekolah yang mengijinkan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus untuk dapat belajar di kelas pendidikan umum. Sapon-Shevin (dalam Direktori PLB, 2004) menambahkan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas regular bersama-sama teman seusianya. Sementara itu Staub dan Peck (dalam Direktori PLB, 2004) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas regular. Hal ini menunjukkan bahwa sekolah regular dapat menerima semua anak tanpa membedakan latar belakang kondisi. Freiberg (Direktori PLB, 2004) menambahkan bahwa melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan atau yang disebut sebagai anak berkebutuhan khusus dan Universitas Sumatera Utara 22 yang sering dikenal anak cacat dididik bersama-sama anak lainnya (non ABK) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Selain itu Meyer, Jill dkk (2005) menjelaskan mengenai tujuan dari pendidikan inklusi adalah untuk mengajarkan pada siswa agar bisa mengapresiasikan dan menghargai orang lain, bisa menyadari bahwa mereka merupakan bagian dari masyarakat luas, bisa menghargai perbedaan cara pandang, dan bisa menerima tugas perutusan dalam masyarakat dan lingkungan sosialnya. Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang mengizinkan siswa berkebutuhan khusus untuk dapat bersekolah di sekolah regular bersama dengan anak normal lainnya agar siswa berkebutuhan mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak lainya. 2. Konsep dalam pendidikan inklusi Stubbs (2000) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa konsep-konsep utama yang terkait dengan pendidikan inklusi, yaitu: a. Konsep-konsep tentang anak Semua anak berhak memperoleh pendidikan di dalam komunitasnya sendiri, dapat belajar, dan siapapun dapat mengalami kesulitan dalam belajar. Oleh karena itu semua anak membutuhkan dukungan untuk belajar dan pengajaran yang berfokus pada anak bermanfaat bagi semua anak. b. Konsep-konsep tentang pendidikan dan sekolah Konsep pendidikan lebih luas dari pada sekolah formal dengan memiliki sistem pendidikan yang fleksibel dan responsif. Inklusi menjamin lingkungan yang Universitas Sumatera Utara 23 ramah, melibatkan meningkatkan mutu partisipasi sekolah masyarakat dengan dan berkolaborasi menggunakan untuk pendekatan yang menyeluruh. c. Konsep-konsep tentang keberagaman dan diskriminasi Pendidikan inklusi memandang keberagaman sebagai sumber kekuatan dengan cara berusaha memberantas diskrimiansi. Pendidikan inklusi juga mempersiapkan siswa untuk menghargai dan menghormati perbedaan. d. Konsep-konsep tentang proses untuk mempromosikan inklusi Untuk mengembangkan pendidikan inklusi, sekolah harus mampu mengidentifikasi dan mengatasi hambatan inklusi serta meningkatkan partisipasi bagi semua orang dan menjalin kolaborasi serta kemitraan. e. Penelitian kolaboratif Inklusi dapat berjalan optimal dengan cara melibatkan sumber daya yang ada di lingkungan yaitu anak, orangtua, guru, kelompok termarjinalisasi untuk berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan inklusi. 3. Lima elemen pendidikan inklusi Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsif terhadap kebutuhan individual siswa. Untuk itu, Sapon-Shevin (dalam Direktorat PLB, 2007) mengemukakan lima elemen yang wajib ada di sekolah inklusi, yaitu: Universitas Sumatera Utara 24 a. Menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Sekolah mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana dan perilaku sosial yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, suku, agama, dan sebagainya. Pendidikan inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. b. Penerapan kurikulum dan pembelajaran yang kooperatif. Pembelajaran di kelas inklusi akan bergeser dari pendekatan pembelajaran kompetitif yang kaku dan mengacu materi tertentu, ke pendekatan pembelajaran kooperatif yang melibatkan kerjasama antarsiswa dan materi belajar yang bersifat tematik. c. Guru menerapkan pembelajaran yang interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkatian erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus bergeser dengan model antarsiswa saling bekerjasama, saling mengajar dan belajar, secara aktif saling berpartisipasi serta bertanggungjawab terhadap pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi melainkan untuk saling belajar mengajar dengan yang lain. Universitas Sumatera Utara 25 d. Mendorong guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi. Aspek terpenting dari pendidikan inklusif adalah pengajaran dengan tim, kolaborasi dan konsultasi. Kerjasama antara guru dengan profesi lain dalam suatu tim sangat diperlukan, seperti dengan para professional, ahli bina bicara, petugas bimbingan, guru pembimbing khusus, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk dapat bekerjasama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan dan dorongan secara terus-menerus. e. Keterlibatan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan dan pembelajaran. Keberhasilan pendidikan inklusi sangat bergantung kepada partisipasi aktif dari orang tua pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan program pengajaran individual (PPI) dan bantuan dalam belajar di rumah. 4. Faktor Penentu Keberhasilan Pendidikan Inklusi Stubbs (2002) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi yang sukses ditentukan oleh 3 faktor penentu utama, yaitu: a. Adanya kerangka yang kuat Pengembangan kerangka yang kuat merupakan komponen utama pendidikan inklusi, yang akan berfungsi sebagai program. Kerangka ini harus terdiri dari: 1) Nilai-nilai dan keyakinan yang kuat Universitas Sumatera Utara 26 Nilai-nilai dan keyakinan orang sangatlah mendalam dan tidak mudah untuk diubah. Salah satu hambatan utama implementasi inklusi sering kali adalah sikap negatif. 2) Prinsip-prinsip dasar Pendidikan inklusi memiliki prinsip-prinsip yang berakar pada nilai dan keyakinan dan semuanya memunculkan tindakan yang harus dilakukan agar inklusi terlaksana. Berikut ini adalah beberapa contoh topik diskusi, tetapi dalam konteksnya masing-masing, topik diskusi tersebut perlu dikembangkan secara kolaboratif. a) Semua anak berhak untuk bersekolah di lingkungan masyarakatnya tanpa tergantung pada karakteristik anak ataupun kesukaan guru. b) Mengubah sistem agar sesuai dengan anak, bukan sebaliknya. c) Dukungan yang tepat harus diberikan agar anak mendapat akses untuk belajar (misalnya Braile, rekaman audio, bahasa isyarat). d) Lingkungan pendidikan harus fleksibel dan ramah kepada kelompok yang berbeda-beda. e) Mengganggu, menghina dan mendiskriminasi anak penyandang cacat tidak akan ditoleransi, artinya anak penyandang cacat tidak seharusnya disalahkan bila tidak dapat menyesuaikan diri. f) Sekolah menggunakan seluruh aspek pendekatan pendidikan untuk menangani semua hambatan inklusi. Universitas Sumatera Utara 27 g) Pemecahan masalah harus dilihat sebagai tanggung jawab bersama antara sekolah, keluarga, anak dan masyarakat, dan harus mencerminkan suatu model sosial. 3) Indikator keberhasilan Indikator atau ukuran keberhasilan perlu dikembangkan secara partisipatif di dalam budaya dan konteks lokal. Pendekatan untuk mengembangkan indikator tersebut adalah: a) Membentuk tim koordinasi partisipatori. b) Menyiapkan materi untuk menstimulasi diskusi yang didasarkan pada pernyataan-pernyataan tentang inklusi dari berbagai dokumen internasional, studi kasus, dan definisi pendidikan inklusi. c) Menggunakan pendekatan partisipatori untuk membuat daftar nilainilai, keyakinan dan prinsip-prinsip inti yang berkaitan dengan pendidikan inklusi. d) Mendapatkan opini dari kelompok-kelompok yang tersisihkan, seperti perempuan, anak-anak, penyandang cacat, orang lanjut usia. e) Menggunakan penerapan isu kebijakan, kurikulum, pelatihan, bangunan sekolah dengan menyesuaikan pada kondisi dan situasi yang ada. f) Mendeskripsikan perilaku, keterampilan, pengetahuan dan perubahan konkret yang akan menunjukkan bahwa nilai-nilai, keyakinan atau prinsip-prinsip itu benar-benar dipraktikkan. Universitas Sumatera Utara 28 b. Implementasi berdasarkan budaya dan konteks lokal. Masalah yang muncul dalam pendidikan inklusi dapat diatasi dengan cara menyesuaikan permasalahan yang muncul dalam budaya/konteks tertentu. Sehingga, solusi yang diekspor dari suatu budaya/konteks tidak dapat mengatasi permasalahan dalam budaya/konteks lain yang sama sekali berbeda. Maka, pendidikan inklusi mempertimbangkan hal-hal berikut: 1) Situasi praktis, jelaslah isu-isu setiap budaya akan berbeda menurut tiap budaya dan konteks. Pendidikan inklusi akan berjalan optimal jika disesuaikan dengan budaya dan konteks lokal yang ada. 2) Sumber-sumber daya yang tersedia (orang, keuangan, materi). Banyak orang beragumen bahwa mereka tidak dapat melaksanakan pendidikan inklusi karena kita tidak memiliki sumber daya yang cukup. Padahal, pendidikan inklusi dapat berkembang optimal dengan memaksimalkan sumber daya yang ada. 3) Faktor-faktor budaya. Sangatlah penting untuk secara sadar mempertimbangkan faktorfaktor budaya dalam merencanakan pendidikan inklusi. Dimana, budaya yang berbeda memiliki kebutuhan, pengetahuan, kondisi dan masalah yang berbeda. Setiap budaya juga memiliki faktor-faktor utama yang terkait dengan budaya lokal, baik faktor pendukung maupun faktor penghambat. Pendidikan inklusi dapat berjalan optimal jika mampu memahami dan mengidentifikasi hal tersebut. Universitas Sumatera Utara 29 c. Partisipasi yang berkesinambungan dan refleksi diri yang kritis Pendidikan inklusi tidak akan berhasil jika hanya merupakan struktur yang mati. Pendidikan inklusi merupakan proses yang dinamis dan agar pendidikan inklusi terus hidup, diperlukan adanya monitoring yang melibatkan semua stakeholder. Satu prinsip inti dari pendidikan inklusi adalah harus tanggap terhadap keberagaman secara fleksibel, yang senantiasa berubah dan tidak dapat diprediksi. Jadi, pendidikan inklusi harus tetap hidup dan mengalir. Secara bersama-sama, ketiga faktor penentu utama tersebut membentuk organisme hidup yang kuat, yang dapat beradaptasi dan tumbuh dalam budaya dan konteks lokal. C. Masyarakat Kota Medan 1. Definisi masyarakat Menurut Koentjaraningrat (1990) istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab yaitu syaraka yag berarti “ikut serta, berpartisipasi”. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata Latin socius, yang berarti “kawan”. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau dengan istilah ilmiah saling berinteraksi. Pola tersebut harus bersifat menetap dan kontinyu, dengan kata lain pola tersebut harus sudah menjadi adat istiadat yang khas. Menurut Soekanto (2006) masyarakat merupakan kumpulan individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda, tetapi semua perbedaan yang ada menyatu dan menciptakan kebersamaan yang berjalan harmonis dan membuat kebudayaan tersendiri. Universitas Sumatera Utara 30 Paul B. Horton & C. Hunt (dalam Soekanto, 2006) menambahkan bahwa masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersamasama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok/kumpulan manusia tersebut. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah kumpulan manusia yang saling berinteraksi, tinggal dalam suatu wilayah dalam waktu yang lama serta melakukan kegiatan secara bersama. 2. Masyarakat kota Medan Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara. Kota ini merupakan kota terbesar ke tiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Di samping itu, Kota Medan juga sebagai daerah pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka. Kota Medan memiliki posisi strategi sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan telah mendorong perkembangan kota dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan (Wikipedia, 2010). Kehadiran Kota Medan sebagai suatu bentuk kota yang memiliki beragam budaya, etnis, agama yang berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan munculnya Kota Medan sebagai kota metropolitan dan kota pluralistk yang berjalan dengan damai (Pemko Medan, 2007). Keanekaragaman suku bangsa di Kota Medan terlihat dari jumlah masjid, gereja, kuil dan vihara Tionghoa yang banyak tersebar di seluruh daerah. Universitas Sumatera Utara 31 Penduduk Kota Medan terdiri dari berbagai suku bangsa, yaitu suku bangsa Jawa, suku-suku dari Tapanuli (Batak, Mandailing, Karo), Melayu dan banyak pula suku bangsa keturunan India dan Tionghoa (Cipta Karya 2007). Keanekaragaman yang ada di Kota Medan membuat Kota Medan dinobatkan menjadi kota multikultural yang damai dan berjalan harmonis (Waspada, 2007). Tidak heran, pengukuhan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dilakukan di Kota Medan pada tanggal 31 Juli 2007 periode 2007-2012. Penyebaran suku bangsa di Kota Medan dapat dilihat dalam Tabel 1: Tabel 1 Perbandingan Suku Bangsa di Kota Medan pada Tahun 1930, 1980, 2000 Suku bangsa Tahun 1930 Tahun 1980 Tahun 2000 Jawa 24,9% 29,41% 33,03% Batak 10,7% 14,11% -Tionghoa 35,63% 12,8% 10,65% Mandailing 6,43% 11,91% 9,36% Minangkabau 7,3% 10,93% 8,6% Melayu 7,06% 8,57% 6,59% Karo 0,12% 3,99% 4,10% Aceh -2,19% 2,78% Sunda 1,58% 1,90% -Lain-lain 16,62% 4,13% 3,95% Sumber: 1930 dan 1980; 2000: BPS Sumut Adapun jumlah penduduk Kota Medan menurut BPS tahun 2009 mencapai 2.121.05 jiwa, dibagi atas 21 kecamatan yang mencakup 151 kelurahan, dapat dilihat pada Tabel 2: Universitas Sumatera Utara 32 Tabel 2. Jumlah penduduk dilihat dari Kecamatan No Kecamatan 1. Medan Tuntungan 2. Medan Johor 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. Medan Amplas Medan Denai Medan Area Medan Kota Medan Maimun Medan Polonia Medan Baru Medan Selayang Medan Sunggal Medan Helvetia Medan Petisah Medan Barat Medan Timur Medan Perjuangan Medan Tembung Medan Deli Medan Labuhan Medan Marelan Medan Belawan Kota Medan Laki-laki 34 153 57 495 57 127 69 746 53 866 41 298 28 212 26 389 20 822 42 434 54 452 71 713 32 795 38 513 56 201 51 752 70 628 75 246 53 522 64 183 48 908 1 049 457 Perempuan Jumlah 35 919 70 073 58 725 116 220 58 029 70 194 55 386 42 994 29 646 27 038 23 394 43 244 56 216 73 662 35 325 40 585 57 673 53 950 71 158 74 830 53 399 62 436 47 791 1 071 596 115 156 139 939 109 253 84 292 57 859 53 427 44 216 85 678 110 667 145 376 68 120 79 098 113 874 105 702 141 786 150 076 106 922 126 619 96 700 2 121 05 Sumber: BPS Medan, 2009 Penduduk Kota Medan memiliki beragam pekerjaan, dapat dilihat pada Tabel 3 : Tabel 3. Jumlah penduduk Kota Medan menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2009 No Jenis pekerjaan Jumlah jiwa Presentase 1 Pegawai Negeri 18.670 4,88 2 Pegawai Swasta 14.570 3,81 3 TNI/ POLRI 3.562 0,93 4 Tenaga Pengajar 43.551 11,38 5 Tenaga Kesehatan 2.399 0,63 6 Lain-lain 300.000 78,37 Sumber : BPS Medan Dalam Angka, 2009. Universitas Sumatera Utara 33 Penduduk Kota Medan berdasarkan tingkat pendidikan terdiri dari tamat SD,SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. Untuk mengetahui lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah Penduduk Kota Medan menurut Tingkat Pendidikan No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1 SD 412.893 21,51 2 SLTP 626.617 32,65 3 SLTA 670.597 34,94 4 Perguruan Tinggi 209.246 10,90 Sumber : BPS Medan Dalam Angka, 2009. Tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk Kota Medan paling besar berada pada tingkat pendidikan menengah yaitu Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebesar 670.597 orang (34,94%), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebesar 626.617 orang (32,65%), Sekolah Dasar (SD) berjumlah 412.893 orang (21,51%), dan perguruan tinggi (PT) 209.246 orang (10,90%). Universitas Sumatera Utara