tinjauan yuridis hak memperoleh rehabilitasi terhadap tersangka

advertisement
TINJAUAN YURIDIS HAK MEMPEROLEH REHABILITASI
TERHADAP TERSANGKA PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME
DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Halu Oleo
OLEH
NOPAN
H1 A1 12 029
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2016
ii
iii
ABSTRAK
Nopan, NIM: H1 A1 12 029, Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas
Haluoleo, Agustus 2016, Tinjauan Yuridis Hak Memperoleh Rehabilitasi
Terhadap Tersangka Pelaku Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem
Peradilan Pidana, Oheo K. Haris, sebagai pembimbing I dan Ramadan Tabiu,
sebagai pembimbing II.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hak
terdakwa teroris dalam memperoleh rehabilitasi menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme.
Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif adalah penelitian yang berpedoman kepada peraturan perundangundangan yang berlaku (hukum positif) yang relevan dengan masalah yang
diteliti.
Hasil penelitian menunjukan, rumusan Pasal 37 mengenai hak
memperoleh rehabilitasi dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme memiliki beberapa perbedaan dengan
rumusan Pasal 97 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Utamanya terkait
hal-hal yang berkaitan dengan aturan mengenai kewenangan memeriksa
rehabilitasi, pengajuan rehabilitasi, tenggang waktu mengajukan, sampai pada
aturan mengenai cara memperoleh rehabilitasi yang dilalaikan oleh pengadilan.
.
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikumwarahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan hidayah-Nya, limpahan rezeki,
kesehatan
dan
kesempatan
sehingga
penulis
dapat
melaksanakan
dan
menyelesaikan skripsi ini, selawat serta salam semoga selalu tercurah kepada
junjungan kita Nabi Besar Muhammad Shallallahu ’alaihi wasallam, beserta
seluruh keluarganya, sahabatnya dan kita umat muslim sampai akhir hayat.
Penelitian ini berjudul “Tinjauan Yuridis Hak Memperoleh Rehabilitasi
Terhadap Tersangka Pelaku Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan
Pidana”
Dalam penyusunan skripsi ini banyak hambatan dan tantangan yang
penulis dapatkan, namun atas bantuan dan bimbingan serta motivasi yang tiada
henti, disertai harapan yang optimis dan tekad yang kuat sehingga penulis dapat
mengatasi semua itu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini
banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih, penghormatan, dan penghargaan yang setinggitingginya kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Hadimin, S.Pd. dan Ibunda
tercinta Mina, S.Pd. yang telah susah payah melahirkan, membesarkan dengan
seluruh cinta dan kasih sayang, juga memberikan bantuan, serta dorongan kepada
v
penulis dalam menyelesaikan studi. Juga kepada saudara-saudaraku, Devin,
Heriawan dan Alfian Saputra dan semua keluarga yang telah memberikan
ketenangan hati dan kesabaran kepada penulis.
Ucapan terima kasih pula yang tidak terhingga, penghargaan dan
penghormatan kepada Bapak Dr. Oheo K. Haris, SH, M.SC, LL.M. selaku
Pembimbing I dan Bapak Ramadan Tabiu, SH, LL.M. selaku Pembimbing II yang
telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada :
1.
Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, MS sebagai Rektor Universitas Halu
Oleo Kendari.
2.
Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, SH., MS sebagai Dekan Fakultas
Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.
3.
Ibu Heryanti, SH., MH sebagai Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.
4.
Dosen pengajar dan staf Fakultas Hukum yang telah banyak memberikan
dukungan dan bimbingan selama mengikuti pendidikan.
5.
Ibu Dr. Hj. Sabrina Hidayat, S.H, M.H, Bapak Lade Sirjon, S.H, LL.M, serta
Bapak Ali Rizky, S.H.M.H. selaku penguji yang telah memberikan masukan
dan saran yang membangun demi penyempurnaan isi skripsi ini.
6.
Kepada rekan-rekan Kelas A Reguler 2012 Fakultas Hukum Universitas Halu
Oleo, Abu Annas, Zahren Zukri Alyafie, Dicky Rafliyanto, Firman Sam,
Limit Hadrianus, Syaiful, Muh. Iryansah Nasir, Andi Dangkang Marifatullah
Joenoes, Dzulkifli Jumardi, Fandy Achmad Tawakal, Herman Saputra, Tri
Hermawan, Galih Chandra Kirana, Afriani Roesman, Helisa Setiawati,
Kartini, Arizka Damayanti, Nur Afni, Salniati, Wa Ode Isra Mirad, Wa Ode
Nur Fitriyana, Zherly Amalia Ningzih, serta teman-teman yang tidak sempat
penulis tuliskan namanya satu persatu terima kasih atas semua bantuannya,
motivasi, dukungan moril, kekompakan, dan kenangannya.
7.
Kakak-kakak senior angkatan 2010, 2011 dan adik-adik junior angkatan
2013, 2014 dan 2015 Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala dukungan yang
selalu diberikan kepada penulis.
8.
Kepala Desa Puunangga, Mamanya Rey, Ibu aji beserta keluarga, serta
masyarakat Desa Puunangga, yang telah menerima kami, membantu kami,
serta memberi kami semangat dalam kegiatan KKN T.A. 2015/2016. Juga
untuk rekan-rekan KKN dari berbagai Fakultas, Universitas HaluOleo, Kak
Husni, Fatrah, Sansan, Ai, Ida, Ifa, Nova, dan Niar yang senantiasa
memberikan semangat, motivasi dan dukungan kepada penulis baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Akhirnya penulis berdoa semoga Allah, SWT selalu melindungi dan
melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dan
semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembangunan ilmu pengetahuan.
Wasalammualaikumwarahmatullahi wabarakatuh
Kendari,
Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………..…..i
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………………ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………iii
ABSTRAK………………………………………………………………………..iv
KATA PENGANTAR………………………………………………………….....v
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………...8
C. Tujuan Penelitian……………………………………………………….8
D. Manfaat Penelitian……………………………………………………..8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Terorisme……………………………….…………...9
1. Terorisme di Indonesia………………………………….…………17
2. Terorisme sebagai Kejahatan Luar Biasa……………...…………..22
B. Hak-Hak Tersangka dalam Hukum Nasional......................................25
1. Hak Tersangka/Terdakwa dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.....................................................................25
2. Hak Tersangka/Terdakwa dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1998 Tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.........................30
3. Hak Tersangka/Terdakwa dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.......................................32
vi
4. Hak Tersangka/Terdakwa dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman...............35
5. Hak Tersangka/Terdakwa dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme....36
C. Tinjauan Umum Sistem Peradilan Pidana............................................39
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian......................................................................................48
B. Jenis Pendekatan...................................................................................48
C. Bahan Penelitian Hukum......................................................................50
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum..................................................52
E. Teknik Analisis Bahan Hukum.............................................................52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Rehabilitasi Tersangka Pelaku Tindak Pidana Terorisme Dalam
Rumusan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Dan Rumusan
Pasal 97 jo. Pasal 1 Butir 23 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana……………..........................................................................53
A. Rehabilitasi Dalam Rumusan Pasal 97 jo. Pasal 1 Butir 23 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana………….…………………..53
1. Kewenangan Memeriksa…………………………………………54
2. Pengajuan Rehabilitasi…………………………………………...56
3. Tenggang Waktu Mengajukan…………………………………...59
4. Redaksi Amar Putusan…………………………………………...62
B. Rehabilitasi Tersangka Pelaku Tindak Pidana Terorisme
Dalam Rumusan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme……..64
1. Kewenangan Memeriksa…………………………………………66
2. Pengajuan Rehabilitasi…………………………………………...68
3. Tenggang Waktu Mengajukan…………………………………...70
4. Redaksi Amar Putusan…………………………………………..72
5. Kelalaian Pemberian Rehabilitasi………………………………..72
C. Usulan Rekomendasi Atas Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Tahun
2016………………………………………………………………….76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………..80
B. Saran…………………………………………………….…………...80
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum dan pancasila adalah dasar
negara dan pandangan hidup setiap warga negara indonesia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta Pancasila juga merupakan sumber dari semua
tertib hukum yang berlaku dinegara kita yang mana didalamnya sarat dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan/atau hak-hak asasi manusia, maka penegakan hukum
dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia adalah dua hal yang secara
simultan harus diperhatikan dan dipatuhi bagi setiap proses penegakkan hukum di
Indonesia1.
Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada
diri hukum. Namun dilihat dari sudut hukum, hak dan kewajiban secara individual
selalu berkonotasi dengan hak dan kewajiban individu anggota masyarakat
lainnya. Disamping itu, karena hukum tidak hanya mengatur hubungan antar
individu didalam pergaulan masyarakat, tetapi juga hubungan individu dengan
lingkungan dan masyarakat sebagai salah satu kesatuan komunitas, maka hak
asasi manusia (HAM) secara individual berkonotasi pula dengan HAM sebagai
kesatuan komunitas. Jadi HAM pada hakikatnya mengandung dua wajah, yaitu
HAM dalam arti “Hak Asasi Manusia” dan HAM dalam arti “Hak Asasi
1
M. Sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rule Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan, Pustaka
Yustisia, Yogyakarta, 2010, hlm. 8.
1
2
Masyarakat”. inilah dua aspek yang merupakan karakteristik dan
sekaligus identitas hukum, yaitu aspek kemanusiaan dan aspek kemasyarakatan 2.
Hak untuk hidup merupakan hak asasi paling dasar bagi seluruh manusia
yang memiliki sifat non derogable rights yang artinya bahwa hak ini mutlak harus
dimiliki oleh setiap orang. Pengecualian terhadap penghilangan hak hidup tidak
mencakup pada penghilangan hak hidup seseorang oleh orang lain tanpa ada
alasan hak yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah
satu contoh penghilangan hak hidup tanpa alasan hak adalah pembunuhan melalui
aksi terorisme. Aksi terorisme jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan,
martabat, dan norma agama. Terror juga telah menunjukan gerakannya sebagai
tragedi atas hak asasi manusia3
Terorisme adalah suatu kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban
yang menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara karena terorisme
sudah merupakan kejahatan yang bersifat transnasional (Transnational Crime)
yang menimbulkan bahaya keamanan, perdamaian dunia, serta merugikan
kesejahteraan masyarakat, sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara
terencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat
dilindungi dan dijunjung tinggi. Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa
Indonesia yang termasuk dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “…melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia…”
2
3
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 57.
Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama
(HAM dan Agama), PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 2
3
Persoalan terorisme di Indonesia menjadi titik perhatian pada saat terjadi
peledakan bom di legian, Bali, pada tanggal 12 Oktober 2002 yang menyebabkan
indonesia menjadi sorotan publik internasional, dimana teror yang terjadi itu
merupakan teror terbesar di Indonesia dari serangkaian teror yang pernah terjadi 4.
Mengantisipasi segala kemungkinan terjadinya kembali berbagai
serangan terhadap jiwa, harta benda, dan instalasi-instalasi vital yang ada di
Negara kita, maka pemerintah berpendapat bahwa syarat “hal ihwal kegentingan
yang memaksa” sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 telah terpenuhi.
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
Tahun 2002 (Perpu), menunjukan pemerintah ingin menegaskan bahwa Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dirumuskan dengan tetap menghormati
dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, yang mana penjelasan pemerintah
tersebut diatas secara mendalam dipaparkan oleh Romli Atmasasmita, 5 bahwa
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme berlandaskan kepada 6
(enam) prinsip yakni:
1. Prinsip National Security, yaitu untuk mewujudkan prinsip teritorialitas
sekaligus untuk melandasi pertahanan dan keamanan NKRI.
2. Prinsip Balance of Justice, yaitu untuk menegakan prinsip equality
before the law baik terhadap tersangka/terdakwa maupun korban
sehingga due proses harus digandengkan dengan crime control model
dalam mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme.
4
5
Ibid, hlm. 59.
Romli Atmasasmita, Pemberantasan Terorisme Dari Aspek Hukum Internasional; Seminar
Nasional Hakikat Kebijakan Kriminal Kejahatan Terorisme tgl 21-21 Maret 2003, hlm. 13.
4
3. Prinsip Safe Guarding Rules, yaitu prinsip untuk mencegah terjadinya
abuse of power.
4. Prinsip Save Harbor Rules, yaitu prinsip perlindungan kepada tersangka,
dan prinsip ini telah diperkuat oleh ketentuan yang mengkriminalisasi
perbuatan memberikan kemudahan (fasilitas) sesudah tindak pidana
tersebut dilakukan sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri.
5. Prinsip Sunshine Principle, yaitu prinsip transparansi dan akuntabilitas
dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dimuka sidang
pengadilan.
6. Prinsip Sanset Principle, yaitu prinsip pembatasan waktu (time limits)
terhadap kebijakan pemerintah yang bersifat pembentukan kelembagaan
khusus dan atau mekanisme khusus tertentu yang diperlukan untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme.
Perlindungan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa terorisme dalam
perjalanannya masih sering kali terabaikan, tidak hanya dari segi hukum materiil,
tetapi juga dari segi hukum formil suatu produk perundang-undangan. Pengabaian
hak-hak tersangka/terdakwa terorisme merupakan suatu bentuk pelanggaran
terhadap hak-hak individu warga Negara (individual freedom of the citizen) yang
dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Padahal, jaminan konstitusional ini
hanya boleh dilanggar berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh UndangUndang Dasar dan oleh pejabat negara yang diberi wewenang oleh undangundang pula. Pelanggaran yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan hanya boleh dilakukan sesuai dengan ketentuan KUHAP. Hak
5
individu warga Negara ini terlihat dalam pasal 3 Universal Declaration Of Human
Rights, yaitu the right to life, liberty and security. Hak-hak warga negara ini tidak
akan berarti bilamana secara sewenang-wenang negara (melalui aparatnya) dapat
membunuh
(extrajudicial
execution),
menangkap,
menahan,
menyiksa,
menggeledah dan menyita barang seorang warga Negara. Hal ini jelas bukanlah
perbuatan yang sah dalam suatu negara hukum.
Hukum selalu menyatakan, bahwa apabila ada hak yang dilanggar, maka
selalu harus ada kemungkinan untuk menuntut dan memperolehnya (ubi jus ibi
remidium). Kelanjutan dari asas ini adalah penafsiran, bahwa hanya apabila ada
proses hukum untuk menuntutnya, dapat dikatakan adanya hak bersangkutan (ubi
remidium ibi jus).6 Yang menjadi masalah adalah, apabila peraturan yang
seharusnya digunakan untuk menuntut dan memperoleh hak-hak itu, malah justru
tidak mengatur secara explicit, dan atau menimbulkan kontradiktif dalam
penafsiran dan pengimplementasiannya. Jelas saja, hal ini akan mengakibatkan
tidak terpenuhinya hak-hak itu, dan membuka peluang kesewenang-wenangan
aparat penegak hukum dalam setiap proses peradilan (Ciminal Justice Process)
dalam sistem peradilan pidana.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorime yang kemudian disahkan
menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dibentuk dengan tujuan untuk
melindungi masyarakat, sedangkan paradigma pembentukan undang-undang ini
merupakan paradigma tritunggal, yaitu melindungi Wilayah Kesatuan Republik
6
Paul Sieghart, The Lawful Right of Mankind (An Introduction to The International Legal Code
of Human Rights), (Oxford University Press, 1986), hlm. 107-110.
6
Indonesia, Hak Asasi Manusia, dan Perlindungan Hak Asasi Tersangka. Dalam
kaitannya dengan perlindungan hak tersangka terorisme, dan berlakunya asas Lex
Specialis Derogat Legi Generalis dalam undang-undang ini, seringkali
memunculkan pertentangan, baik dikalangan aparat penegak hukum, para pihak
yang berperkara, maupun dikalangan pakar hukum pidana. Pertentangan ini
seringkali berkaitan dengan pemenuhan hak-hak baik itu korban terorisme,
maupun tersangka/terdakwa terorisme. Faktanya, undang-undang ini memang
memiliki kelemahan-kelemahan substantif yang perlu membutuhkan perbaikan.
Diantara kelemahan itu, kaitannya dengan hak-hak tersangka teroris, seperti;
berlakunya asas retroaktif penerapan ketentuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002
terhadap kasus bom bali tanggal 12 Oktober 2002 yang ditetapkan melalui Perpu
Nomor 2 Tahun 2002 yang disahkan dengan undang-undang nomor 16 tahun
2003 yang kemudian oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No.
013/PUU-I/2003 menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga undang-undang ini
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal lain berkaitan dengan perihal
penangkapan dan proses penyidikan mengenai tidak terdapatnya kejelasan dalam
pasal-pasal yang terdapat dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 maupun KUHAP
mengenai pada saat kapan tersangka akan diperiksa, selain itu, ada pula yang
berkaitan dengan masalah substantif seperti dalam pasal 25 ayat (2) mengenai
kepentingan penyidikan dan penuntutan, dan sampai pada persoalan yang
berkaitan dengan masalah hak memperoleh rehabilitasi bagi terdakwa yang
7
sampai saat ini, masih menjadi isu hangat dalam persoalan perlindungan Hak
Asasi Manusia, khususnya perlindungan terhadap hak-hak tersangka terorisme.
Melihat fenomena diatas, maka menjadi sesuatu yang sangat penting
untuk dibahas kaitannya dengan perlindungan hak tersangka demi terlaksananya
prinsip “due process of law” dan prinsip “fair trial” serta “equality before the
law” yang seimbang antara pihak korban dan pihak tersangka. Untuk itu,
mengingat pentingnya hal ini, berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas,
penulis tertarik untuk membahasnya lebih lanjut dalam penelitian saya yang
berjudul “TINJAUAN YURIDIS HAK MEMPEROLEH REHABILITASI
TERHADAP TERSANGKA PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME
DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA”.
8
B. Perumusan Masalah
Permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini,
berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Bagaimanakah hak terdakwa teroris dalam memperoleh rehabilitasi
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini berdasarkan penjabaran dalam latar
belakang dan rumusan masalah di atas adalah untuk mengetahui hak terdakwa
teroris dalam memperoleh rehabilitasi menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan
tindak pidana terorisme.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis penelitian ini yakni menambah wawasan pengetahuan
dalam lingkup HAM yang akan dapat dipergunakan untuk menjawab
permasalahan-permasalahan dan menjadi acuan literatur seputar hak asasi
tersangka.
2. Manfaat praktis penelitian ini dalam prakteknya akan dapat digunakan
sebagai acuan mengenai bagaimana bertindak dan menyikapi berbagai
masalah seputar pemenuhan hak asasi tersangka pidana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Terorisme
Kata “teroris” (pelaku) dan “terorisme” (aksi) berasal dari kata latin
”terrere” yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata “teror” juga
bisa berarti menimbulkan kengerian.
Doktrin membedakan terorisme ke dalam dua macam defenisi, yaitu
defenisi tindakan teroris (terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor).
Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong ke dalam
tindakan terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen kekerasan,
tujuan politik dan terror/intended audience.
Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European
Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa tahun 1977 terjadi
perluasan paradigma arti dari Crimes against State menjadi Crimes against
Humanity. Crimes against Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan
suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum
ada dalam suasana teror. Dalam kaitan HAM, Crimes against Humanity termasuk
kategori gross violation of human rights yang dilakukan sebagai bagian serangan
yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa yang
tidak bersalah (public by innocent).
9
10
Memahami makna terorisme lebih jauh dan mendalam, kiranya perlu
dikaji telebih dahulu pengertian atau defenisi terorisme yang dikemukakan baik
oleh beberapa lembaga maupun beberapa penulis/pakar atau ahli, yaitu :
1. US Central Inteligence Agency (CIA)
Terorisme Internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan
dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk
melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing 7.
2. US Federal Bureau of Investigation (FBI)
Teorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas
seseorang atau harta, untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan,
penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial
atau politik8.
3. US Departments of State and Defense
Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen
negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non
kombatan. Biasanya dengan maksud untuk mempengaruhi audiens.
Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga
negara atau wilayah lebih dari satu negara9.
4. TNI AD
Terorisme adalah cara berpikir dan bertindak yang menggunakan
teror sebagai teknik untuk mencapai tujuan10.
7
8
9
10
Muladi, Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, Op. cit., hal. 71.
Muladi, Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, Op. cit., hal. 72.
Loc.cit.
Berdasarkan Bujuknik (buku petunjuk teknik) tentang Anti Teror Tahun 2000.
11
5. Treaty on Cooperation among the States Members of the
Commonwealth of Independent States in Combating Terrorism, 1999
Terorisme adalah tindakan ilegal yang diancam hukuman di bawah
hukuman pidana yang dilakukan dengan tujuan merusak keselamatan
publik, mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau
moneter penduduk, dan mengambil bentuk :
a. Kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau
orang yang dilindungi hukum;
b. Menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta
benda dan objek materil lain sehingga membahayakan kehidupan
orang lain;
c. Menyebabkan kerusakan atas harta benda atau tejadinya akibat
yang membahayakan bagi masyarakat;
d. Mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat
dengan tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya atau
sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut;
e. Menyerang perwakilan negara asing atau staf anggota organisasi
internasional yang dilindungi secara internasional, begitu juga
tempat-tempat
bisnis
atau
kendaraan
orang-orang
yang
dilindungi secara internasional;
f. Tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris di bawah
perundang-undangan nasional atau instrumen legal yang diakui
secara internasional yang bertujuan memerangi terorisme.
12
6. Konvensi PBB Tahun 1937
Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan
langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror
terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat
luas11.
7. The Arab Convention on the Suppresion of Terrorism (1998)
Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif
dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak
kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah
masyarakat, rasa takut, dengan melukai mereka, atau mengancam
kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau bertujuan untuk
menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun
pribadi, atau menguasai atau merampasnya, atau bertujuan untuk
mengancam sumber daya nasional12.
8. State of the South Asian Association for Regional Cooperation
(SAARC) Regional Convention on Suppression of Terrorism
a. Kejahatan
dalam
lingkup
“Konvensi
untuk
Pembasmian
Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”,
ditandatangani di Hague pada 16 Desember 1970;
b. Kejahatan
dalam
lingkup
“Konvensi
untuk
Pembasmian
Perampasan Tidak Sah atas Penerbangan Sipil”, ditandatangani
di Montreal pada tanggal 23 September 1971;
11
12
Loudewijk F. Paulus, “Terorisme”, http://buletinlitbang.dephan.go.id, diakses pada 20 Mei
2016.
Loudewijk F. Paulus, Op. cit.
13
c. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi tentang Pencegahan dan
Hukuman atas Tindak Pidana terhadap Orang-Orang yang Secara
Internasional dilindungi, Termasuk Agen-Agen Diplomatik”,
ditandatangi di New York, 14 desember 1973;
d. Kejahatan dalam lingkup konvensi apapun di mana negaranegara anggota SAARC adalah pihak-pihak yang mengharuskan
anggotanya untuk menuntut atau melakukan ekstradisi;
e. Pembunuhan, pembantaian, serangan yang mencelakakan badan,
penculikan, kejahatan yang berhubungan dengan senjata api,
senjata, bahan peledak dan bahan-bahan lain yang jika digunakan
untuk melakukan kejahatan dapat berakibat kematian atau luka
yang serius atau kerusakan berat pada harta milik;
f. Usaha untuk melakukan kejahatan, atau turut sebagai kaki tangan
seseorang yang melakukan atau berusaha melakukan kejahatan
tersebut;
g. Usaha atau konspirasi untuk melakukan kejahatan, membantu,
memudahkan atau menganjurkan kejahatan tersebut atau
berpartisipasi sebagai kaki tangan dalam kejahatan yang
digambarkan.
9. Convention of the Organization of Islamic Conference on Combating
International Terorism, 1999
Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman tindakan
kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan
14
rencana tindak kejahatan individu atau kolektif dengan tujuan
menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka
atau mengancam kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan
hak mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harta
benda pribadi atau publik, atau menguasainya tau merampasnya,
membahayakan sumber nasional, atau fasilitas internasional, atau
mengancam stabilitas, integritas terirotial, kesatuan politis atau
kedaulatan negara-negara yang merdeka.
10. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan
ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan terutama tujuan
politik.
11. Black’s Law Dictionary
Tindakan terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur
kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan
manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian
Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk; (i) mengintimidasi penduduk
sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah; (iii) mempengaruhi
penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.
12. Terrorism Act 2000, UK
Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman
tindakan dengan ciri-ciri : i. Aksi yang melibatkan kekerasan serius
terhadap
seseorang,
kerugian
berat
terhadap
harta
benda,
15
membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang
melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau
keselamatan publik atau bagi tertentu yang didesain secara serius
untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik; ii.
Penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah
atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik;
iii. Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama
atau ideologi; iv. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam
subseksi yang melibatkan senjata api dan bahan peledak. Dari
beberapa hal tersebut ada catatan yang perlu diperhatikan
bahwasanya di UK mereka yang dalam aktivitas organisasi terlarang
dapat dipidana, keterlibatan bisa dalam bentuk keanggotaan,
membantu dalam bentuk uang atau kekayaan atau mempersiapkan
rapat organisasi terlarang, memakai seragam organisasi terlarang di
muka umum dan membantu pengumpulan dana. Suatu organisasi
dianggap
terlibat
apabila
berpartisipasi
dalam
terorisme,
mempersiapkan terorisme, menggalakkan dan mempromosikan
terorisme.
13. Menurut
Undang-Undang
Nomor
15
tahun
2003
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum,
Pasal 1 ayat 1, tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang
ini.
Mengenai
perbuatan
apa
saja
yang
16
dikategorikan ke dalam tindak pidana terorisme, diatur dalam
ketentuan pada Bab III, Pasal 6 dan 7, bahwa setiap orang dipidana
karena melakukan tindak pidana terorisme, jika :
Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan
harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional;
Seseorang juga dianggap melakukan tindak pidana terorisme,
berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang ini.
14. Menurut Laqueur (1999)
Setelah mengkaji lebih dari seratus defenisi terorisme adanya unsur
yang paling menonjol dari defenisi-defenisi tersebut yaitu bahwa ciri
utama dari terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau
ancaman kekerasan. Sementara motivasi politis dalam terorisme
sangat bervariasi, karena selain bermotif politis, terorisme seringkali
dilakukan karena adanya dorongan fanatisme agama13.
15. Menurut Muladi
Dalam catatan Muladi
bahwa
hakekat
perbuatan terorisme
mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
13
Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi
Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002), hlm. 33.
17
berkarakter politik, dengan berbagai bentuk perbuatan, seperti berupa
perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku terorisme
dapat merupakan individu, kelompok, atau negara, yang melakukan
tindak pidana tersebut dengan tujuan menimbulkan munculnya rasa
takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi
Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta
kepuasan tuntutan politik lain.
Menyimpulkan dari berbagai pendapat dan pandangan mengenai
pengertian yang berkaitan dengan terorisme di atas, dapat diketahui bahwasanya
terorisme adalah kejahatan yang direncanakan, terorganisasi, mengambil korban
dari masyarakat sipil dengan maksud mengintimidasi pemerintah, menempatkan
kekerasan sebagai kesadaran, metode berpikir, sekaligus alat pencapaian tujuan
yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.
1. Terorisme di Indonesia
Peristiwa terorisme di Indonesia sudah sering kali terjadi dalam sejarah
Indonesia. yang pertama pernah terjadi pada tahun 1981 yaitu teroris yang
menyamar sebagai penumpang dan membajak pesawat DC-9 Woyla14. Dan
peristiwa yang baru-baru ini terjadi adalah Bom di Sarinah. Berikut ini adalah
serangkaian aksi terorisme yang pernah terjadi di Indonesia :
Pada tahun 1981
Garuda Indonesia di serang oleh teroris yang menyamar sebagai
penumpang dan membajak pesawat DC-9 Woyla pada tanggal 28 Maret 1981.
14
http://ensiklopediasli.blogspot.co.id/2016/01/kumpulan-aksi-terorisme-di-indonesia.html,
diakses pada 20 Mei 2016.
18
Dalam perjalanan menuju Medan setelah transit di Palembang dari penerbangan di
Jakarta. Pesawat ini dibajak oleh 5 orang bersenjata yang mengaku sebagai
Komando Jihad, 3 dari 5 teroris tersebut mengaku sebagai bagian dari penumpang
pesawat Garuda Indonesia. Peristiwa tersebut merenggut 1 orang kru pesawat
tewas, 1 orang penumpang tewas, dan 3 orang teroris tewas.
Pada tahun 1985
5 tahun berikutnya, tepatnya pada tanggal 21 Januari 1985. Aksi
terorisme dengan motif "jihad" kembali terjadi. Kali ini terjadi pada salah satu
keajaiban dunia yaitu Candi Borobudur.
Pada tahun 2000
1.
Bulan Agustus, sebuah bom meledak di Kedubes Filipina. Akibat dari
kejadian ini 2 orang tewas dan 21 orang luka-luka termasuk didalamnya
Duta Besar Filipina untuk Indonesia yaitu Leonides T. Canay dan
kerusakan mobil-mobil yang terparkir di lokasi sekitar terjadi ledakan.
2.
Tanggal 27 Agustus, peledakan bom kembali terjadi pada kedutaan. Kali
ini yang menjadi sasarannya adalah Malaysia. Beruntung, dalam
peristiwa tersebut tidak memakan korban jiwa.
3.
Tanggal 23 September, peledakan bom kembali terjadi, sasarannya
adalah di Gedung Bursa Efek Jakarta tepatnya di lantai parkir P2. Dalam
peristiwa tersebut 10 orang tewas, 90 orang luka-luka dan sebanyak 104
mobil rusak berat.
4.
Tanggal 24 Desember, serangkaian peledakan bom yang terjadi di
beberapa kota di Indonesia. Dalam peristiwa ini 16 orang tewas.
19
Pada tahun 2001
1.
Tanggal 22 Juli, bom yang diledakkan di Gereja Santa Anna dan HKBP
kawasan Kalimalang, Jakarta Timur. Pada kejadian ini sebanyak 5 orang
tewas.
2.
Tanggal 23 September, bom yang meledakkan kawasan Plaza Atrium
Senen. Beruntung pada aksi terorisme ini tidak ada korban jiwa.
3.
Tanggal 12 Oktober, bom pada restoran cepat saji KFC Makassar. Pada
aksi terorisme ini tidak ada korban jiwa.
4.
Tanggal 6 November, peledakan bom yang terjadi di halaman sekolah
AIS (Australian International School). Dalam peristiwa ini tidak ada
memakan korban jiwa15.
Pada tahun 200216
1.
Tanggal 1 Januari, peledakan bom yang terjadi pada malam tahun baru,
bom ini meledak pada kawasan Bulungan, Jakarta tepatnya di salah satu
rumah makan
2.
Tanggal 12 Oktober, bom Bali ada tiga ledakan yang terjadi dan
mengakibatkan korban meninggal sebanyak 202 orang dan 300 orang
luka-luka. Sebagian besar yang menjadi korban adalah warga Australia
dan sempat menjadi headlines news di berbagai negara.
3.
Tanggal 5 Desember, bom yang meledakkan sebuah restoran sepat saji
McDonald's Makassar. Dalam kejadian ini sebanyak 3 tewas dan 11
lainnya luka-luka.
15
16
https://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme_di_Indonesia, diakses pada 20 Mei 2016.
Loc.cit.
20
Pada tahun 2003
1.
Tanggal 3 Februari, bom yang pertama terjadi di lobi Bhayangkari
Mabes Polri Jakarta.
2.
Tanggal 27 April, peledakan bom yang terjadi di terminal 2F Bandara
Soekarno-Hatta. Pada peristiwa ini memakan 10 korban, 2 luka berat dan
yang lain hanya mengalami luka ringan.
3.
Tanggal 5 Agustus, peledakan bom yang terjadi di Hotel JW Marriot.
Pada peristiwa tersebut puluhan korban tewas dan ratusan lainnya
menderita luka-luka.
Pada tahun 2004
1.
Tanggal 10 Januari, bom pertama ini dikenal dengan nama Bom Palopo.
Dalam peristiwa ini 4 orang tewas.
2.
Tanggal 9 September, pemboman yang kedua dikenal dengan nama Bom
Kedubes Australia. Pada kejadian ini sebanyak 5 orang tewas, ratusan
orang luka-luka, dan beberapa gedung disekitar terkena dampaknya.
3.
Tanggal 12 Desember, pemboman yang ketiga dikenal dengan Bom
Gereja Immanuel di Palu, Sulawesi Tengah.
Pada tahun 2005
1.
Tanggal 21 Maret, ada dua bom yang meledak di Kota Ambon dan
beruntung pada kejadian ini tidak ada korban jiwa.
2.
Tanggal 28 Mei, pemboman ini dikenal dengan nama Bom Tentena.
Dalam kejadian ini sebanyak 22 orang tewas.
21
3.
Tanggal 8 Juni, bom meledak di Pamulang. Yang menjadi sasarannya
adalah kediaman Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin
Indonesia Abu Jibril. Tidak ada korban jiwa pada peristiwa ini.
4.
Tanggal 1 Oktober, bom kembali meledak di Bali, pada peristiwa ini
sebanyak 22 orang tewas dan 102 orang luka-luka.
5.
Tanggal 31 Desember, peledakan bom di Palu, Sulawesi Tengah yang
menjadi sasarannya adalah sebuah pasar dan mengakibatkan 8 orang
tewas dan 45 orang luka-luka17.
Pada tahun 2009
Empat tahun kemudian, dua bom diledakkan secara bersamaan di Jakarta
tepatnya di JW Marriot dan Ritz-Carlton.
Pada tahun 2011-2012
Tanggal 15 April 2011, tiga bom meledak di tiga kota di Indonesia. Kota
pertama adalah Cirebon dimana sebuah bom bunuh diri diledakkan di Masjid
Malporesta. Peristiwa ini menewaskan pelaku pemboman dan melukai 25 orang.
Kota kedua adalah Tangerang dimana polisi berhasil menggagalkan aksi
pemboman terhadap Gereja Christ Cathedral. Kota ketiga adalah Solo, Jawa
Tengah. Sebuah bom bunuh diri diledakkan di GBIS Kepunten, Solo, Jawa
Tengah. Dalam peristiwa ini 1 orang pelaku tewas sedangkan 28 orang lainnya
luka-luka.
Tanggal 19 Agustus 2012, pemboman yang terjadi di Pospam Gladak,
Solo Jawa Tengah, tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.
17
(Sumber: Harian KOMPAS edisi 8 Oktober 2005).
22
Pada tahun 2013
Bom Polres Poso 2013, 9 Juni 2013 dengan target personel polisi yang
sedang apel pagi. Bom meledak di depan Masjid Mapolres Poso, Sulawesi
Tengah. 1 orang petugas bangunan terluka di tangan sebelah kiri, sementara
pelaku bom bunuh diri tewas di tempat.
Pada tahun 2016
Tanggal 14 Januari, terjadi ledakan bom di pos polisi di depan gedung
Sarinah dan Starbucks di jalan M.H Thamrin. Peristiwa tersebut terjadi pada
pukul 10.30 WIB. Bom yang lebih dikenal dengan nama Bom Sarinah ini
menyebabkan 7 orang tewas dan melukai 17 orang.
2. Terorisme Sebagai Kejahatan Luar Biasa
Terorisme merupakan kejahatan lintas Negara (Transnational crime),
terorganisasi, dan bahkan merupakan tindak pidana internasional yang
mempunyai jaringan luas, yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional
maupun internasional18.
Banyak pihak menyatakan bahwa tindak pidana terorisme adalah extra
ordinary crime. Derajat “keluarbiasaan” ini pula yang menjadi salah satu alasan
dikeluarkannya
Perpu
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Terorisme
dan
pemberlakuaannya secara retroaktif untuk kasus bom Bali.
18
Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
23
Selama ini, sesuai dengan Statuta Roma, yang telah diakui sebagai extra
ordinary crime adalah pelanggaran HAM berat yang meliputi crime against
humanity, genocide, war crimes dan Agressions19.
Menentukan kejahatan mana yang termasuk dalam kategori extra
ordinary crime, harus ditentukan dulu karakteristiknya. Namun saat ini
karakteristik extra ordinary crime masih kabur. Penentuan pelanggaran HAM
berat sebagai extra ordinary crime didasarkan pada dokumen hukum
internasional yaitu Statuta Roma. Apabila kita bersandar kepada teori hirarki Hans
Kelsen, maka penentuan tindak pidana terorisme sebagai extra ordinary crime
pun harus di dasarkan pada dokumen hukum yang lebih tinggi dari sebuah
undang-undang, dengan mengingat bahwa penentuan suatu kejahatan sebagai
extra ordinary crime akan menyimpangi bahkan bertentangan dengan beberapa
prinsip hukum, misalnya asas legalitas20.
Berdasarkan konvensi dan praktik hukum internasional, kejahatan
kemanusiaan (crime against humanity) diatur dan dikualifikasikan kepada pelaku
negara. Misalnya Resolusi PBB tentang pelanggaran HAM zionisme Israel kepada
bangsa Palestina; sidang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap
penguasa Serbia, Slobodan Milosevic, atas tindakan pemusnahan etnis Bosnia.
Terorisme negara ini menurut Statuta Roma yang dimaksudkan sebagai kejahatan
luar biasa (extra ordinary crime). Sedangkan terorisme oleh warga hanyalah
kejahatan bersifat sporadis. Sebab kejahatan perang, agresi, kejahatan terhadap
19
20
Trimoelja Darmasetia Soerjadi. Terorisme, perang global, dan masa depan demokrasi,
Matapena, Jakarta, 2004, hlm. 32.
Loc.cit.
24
kemanusiaan dan genosida adalah kejahatan sistemik. Negara yang mampu dan
mempunyai “keabsahan” tindakan itu dalam arti sebenarnya21.
Pelanggaran HAM berat masuk kategori sebagai extra ordinary crime
berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sistematis dan biasanya
dilakukan oleh pihak pemegang kekuasaan sehingga kejahatan tersebut baru bisa
diadili jika kekuasaan itu runtuh, dan alasan bahwa kejahatan tersebut sangat
bertentangan dan mencederai rasa kemanusiaan secara mendalam dan dilakukan
dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat kemanusiaan.
Tindak pidana terorisme dimasukkan dalam “extra ordinary crime “
dengan
alasan
sulitnya
pengungkapan
karena
merupakan
kejahatan
“transnational“dan melibatkan jaringan internasional. Fakta menunjukkan bahwa
memang tindak pidana terorisme lebih banyak merupakan tindak pidana yang
melibatkan jaringan internasional, namun kesulitan pengungkapan bukan karena
perbuatannya ataupun sifat internasionalnya. Kemampuan pengungkapan suatu
tindak pidana lebih ditentukan oleh kemampuan dan profesionalisme aparat
kepolisian yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban. Kejahatan
lintas batas tentu bukan merupakan alasan yang valid untuk menentukannya
sebagai “extra ordinary crime”, karena di jaman ini banyak tindak pidana yang
memiliki jaringan internasional (misalnya pencucian uang, perdagangan orang,
dan penyelundupan)22.
Menurut Indriyanto Seno Aji, terorisme sudah menjadi bagian dari
“extra ordinary crime“ yang berarti suatu kejahatan kekerasan yang berdimensi
21
22
Aulia Rosa Nasution, Terorisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam perspektif
hukum internasional dan hak asasi manusia. Kencana, Jakarta, 2012, hlm. 128.
Loc.cit.
25
khusus atau berbeda dengan kejahatan kekerasan lainnya yang sering disebut
kejahatan kebiadaban dalam era keberadaban karena kejahatan itu mengorbankan
manusia atau orang-orang yang tidak berdosa. Sesuai dengan karakteristik
kejahatan terorisme yang mana menggunakan kekerasan dalam operandinya. Dan
akibat dari kejahatannya dapat merusak sistem perekonomian, integritas negara,
penduduk sipil yang tidak berdosa, serta fasilitas umum lain dalam konteks
melawan hukum yang signifikan sekali. Karena itu, pelaku teror yang berlindung
sebagai pelaku delik politik atau “political purpose“ yang dilakukan dengan
“purpose of violence“ di mana tindakan dimaksudkan untuk membuat shock atau
intimidasi kepada “governmental authority“ atau yang berakibat pada ”public by
innocent“, berlakulah prinsip ekstradibilitas. Hal ini sejalan dengan Pasal 1 ECST
bahwa delik yang dikategorikan sebagai ”acts of terror“ bukanlah sebagai pelaku
delik politik, dan karenanya dapat dilakukan tindakan ekstradisi.
B. Hak-Hak Tersangka Dalam Hukum Nasional23
1.
Hak Tersangka/Terdakwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
sering disebut KUHAP, diberlakukan mulai tahun 1981 untuk menggantikan
hukum acara pidana yang terdapat dalam HIR 1941 (het Herziene Inlandsh
Reglement diterjemahkan sebagai Reglemen Indonesia yang diperbaharui,
disingkat RIB).
23
Munir Fuadi, Sylvia Laura L, Hak Asasi Tersangka Pidana, Kencana, Jakarta, 2015, hlm. 15
26
Ada sepuluh asas yang ditegaskan dalam Penjelasan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Kesepuluh asas ini dapat
dibedakan menjadi 7 (tujuh) asas umum dan 3 (tiga) asas khusus, yaitu :
Asas-asas umum :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun;
Praduga tidak bersalah;
Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum;
Hak pengadilan terdakwa di muka pengadilan;
Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
peradilan yang terbuka untuk umum.
Asas-asas khusus :
h.
i.
j.
Pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang
dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
hak seorang tersangka untuk diberitahukan tentang persangkaan dan
pendakwaan terhadapnya;
Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusanputusannya.
Asas pertama tentang “perlakuan sama di muka hukum tanpa
diskriminasi”, tidak saja terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tetapi juga tercantum
dalam bagian menimbang dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Asas ini
serupa dengan yang terdapat dalam Pasal 6 dan 7 UDHR dan Pasal 16 ICCPR.
Baik tersangka, terdakwa dan aparat penegak hukum adalah sama-sama warga
negara yang mempunyai hak, kedudukan dan kewajiban yang sama di hadapan
hukum, yakni sama-sama bertujuan mencari dan mewujudkan kebenaran dan
27
keadilan. Setiap orang, apakah ia tersangka atau terdakwa, berhak mendapatkan
perlindungan hukum tanpa adanya diskriminasi.
Asas kedua tentang “praduga tak bersalah”, Unsur-unsur dalam asas ini
adalah prinsip utama perlindungan hak warga negara melalui proses hukum yang
adil (due process of law), yang mencakup :
a.
Bahwa kesalahan seseorang harus dibuktikan dalam sidang
pengadilan yang jujur atau fair trail , berimbang dan tidak memihak
(impartiality);
b.
Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat
negara;
c.
Bahwa sidang pengadilan harus terbuka untuk umum;
d.
Bahwa tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan
untuk dapat membela diri sepenuhnya, tanpa campur tangan
pemerintah atau kekuasaan sosial politik manapun.
Asas ketiga, adalah tentang “hak untuk memperoleh kompensasi (ganti
rugi) dan rehabilitasi”. Hak ini sebenarnya mengandung dua asas, yaitu :
a.
Hak waga negara untuk memperoleh kompensasi (yang berbentuk
uang) dan rehabilitasi (yang berupa pemulihan nama baiknya).
b.
Kewajiban pejabat penegak hukum mempertanggungjawabkan
(accountability) perilakunya selama tahap pra-ajudikasi.
Prinsip yang terkandung pula dalam asas ini adalah bahwa negara dapat pula
meminta mempertanggungjawabkan segala tindakan yang dilakukan terhadap
warga negaranya.
28
Asas keempat adalah tentang “hak untuk mendapat bantuan hukum”.
Apabila seorang warga negara berhak untuk diperlakukan sama di muka hukum
dan para pejabat hukum harus memberlakukannya dengan praduga bahwa ia tidak
bersalah, dengan akibat bahwa apabila terjadi kesewenangan ia akan memperoleh
kompensasi dan atau rehabilitasi, maka doktrin “equality of arms” juga harus
ditaati.
Asas kelima, merupakan “hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan”,
yang harus diperhatikan bahwa pengadilan tidak dapat memeriksa suatu perkara
tindak pidana apabila terdakwa tidak dapat dihadirkan oleh jaksa. Dengan
berpedoman pada proses hukum yang adil, bagaimanapun kuatnya bukti-bukti
yang dimiliki polisi atau penuntut umum, akan tetapi “sudut pandang” tersangka
atau terdakwa selalu masih harus didengar dan dipertimbangkan. Apabila
tersangka atau terdakwa tidak dapat hadir atau dihadirkan, maka suatu proses
peradilan pidana yang tetap juga dijalankan, telah melanggar “hak untuk membela
diri” dan “praduga tidak bersalah” seorang warga negara. Meskipun KUHAP
tidak memuat asas ini secara jelas dalam ketentuan-ketentuannya, tetapi
penafsiran bahwa peradilan “in absentia” tidak dimungkinkan dalam KUHAP
dapat terbaca dari beberapa pasal (misalnya pasal-pasal 145 (5), 154 (5), 155 (1),
203 dan 205). Pengecualian hanya terdapat dalam perkara pelanggaran lalu-lintas
(Pasal 214 (1)). Apa yang tidak boleh ditafsirkan dari asas kehadiran ini, adalah
bahwa kehadiran terdakwa pada sidang pengadilan dimaksudkan untuk
“mempermalukan” terdakwa di muka umum. Tujuannya hanyalah untuk memberi
29
kesempatan terdakwa mengajukan pembelaan, dengan diperlakukan sesuai harkat
dan martabatnya sebagai manusia.
Asas keenam menegaskan adanya “peradilan yang bebas dan dilakukan
dengan cepat dan sederhana”. Di sini kita lihat ada dua asas, yaitu : i. Peradilan
yang bebas dari pengaruh siapapun; ii. Bahwa cara proses peradilan pidana
haruslah cepat dengan sederhana. Tidak boleh ada kelambatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan oleh penegak hukum (Pasal 50 KUHAP).
Asas ketujuh adalah tentang “peradilan yang terbuka untuk umum”
disini adalah adanya “public hearing” dan dimaksudkan untuk mencegah adanya
“secret hearing”, dimana masyarakat tidak dapat mengawasi apakah pengadilan
secara seksama telah melindungi hak-hak terdakwa. Tidak pernah asas ini boleh
diartikan untuk menjadikan peradilan itu suatu “show case” atau dimaksudkan
sebagai “instrument of deterrence”, baik dengan cara mempermalukan terdakwa
(prevensi khusus) ataupun menakut-nakuti masyarakat atau “potential offenders”
(prevensi umum).
Asas kedelapan tentang “dasar undang-undang dan kewajiban adanya
surat perintah dalam pelanggaran atas hak-hak individu warga negara”. Yang
dimaksud dengan “pelanggaran hak-hak individu warga negara” adalah
pelanggaran atas hak kemerdekaan (individual freedom of the citizen) yang
dijamin oleh UUD 1945. Jaminan kontitusional ini hanya boleh dilanggar
berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan oleh pejabat
negara yang diberi wewenang oleh undang-undang pula. Pelanggaran yang
berupa: penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan itu, hanya boleh
30
dilakukan sesuai dengan ketentuan KUHAP. Hak individu warga negara ini dapat
kita lihat dalam Pasal 3 UDHR, yaitu “the right to life, liberty and security”.
Asas kesembilan tentang “hak seorang tersangka untuk diberitahukan
tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya”, asas ini merupakan salah satu
unsur dasar dalam hak warga negara atas “liberty and security”.
Asas kesepuluh membawa kita kepada tahap purna-ajudikasi (postadjudication) dan tidak lagi menyangkut seorang tersangka atau terdakwa, tetapi
seorang terpidana. Asas bahwa pengadilan berkewajiban mengendalikan
pelaksanaan putusannya, dapat hanyalah dilihat sejauh kewajiban pengawasan.
2.
Hak Tersangka/Terdakwa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1998 Tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia
Perlindungan HAM agar warga negara terhindar dari segala bentuk
penyiksaan dan kekerasan baik berupa fisik maupun psikis adalah dengan
melaksanakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 Tentang
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Merendahkan Martabat
Manusia dengan secara serius dan konsekuen. Beberapa pasal dalam kaitannya
untuk melindungi hak asasi tersangka/terdakwa antara lain :
a. Kewajiban negara untuk mencegah penyiksaan dengan langkahlangkah legislatif,administrasi, hukum,atau langkah-langkah efektif
lainnya (Pasal 2
31
b. Kewajiban negara untuk menjamin bahwa pendidikan dan informasi
mengenai larangan terhadap penyiksaan seluruhnya dimasukkan dalam
pelatihan bagi para petugas penegak hukum, sipil atau militer, petugas
kesehatan, pejabat publik, dan orang-orang lain yang ada kaitannya
dengan penahanan, interogasi, atau perlakuan terhadap setiap orang
yang ditangkap,
ditahan, atau dipenjara (Pasal 10 ayat (1));
c. Kewajiban negara untuk senantiasa mengawasi secara sistematik
peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaankebiasaan dan peraturan untuk melakukan penahanan serta perlakuan
terhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara dalam
setiap wilayah kewenangan hukumnya, dengan maksud untuk
mencegah terjadinya kasus penyiksaan (Pasal 11);
d. Kewajiban negara untuk menjamin agar instansi-instansi yang
berwenang harus melakukan suatu penyelidikan dengan cepat dan
tidak memihak, setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai
bahwa suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di dalam wilayah
kewenangan hukumnya (Pasal 12);
e. Kewajiban negara untuk menjamin agar setiap orang yang menyatakan
bahwa dirinya telah disiksa dalam wilayah kewenangan hukumnya
mempunyai hak untuk mengadu, dan agar kasusnya diperiksa dengan
segera dan tidak memihak oleh pihak-pihak berwenang. Langkahlangkah harus diambil untuk menjamin bahwa orang yang mengadu
32
dan saksi-saksi dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi
sebagai akibat dari pengaduannya atau setiap kesaksian yang mereka
berikan (Pasal 13);
f. Kewajiban negara untuk menjamin agar dalam sistem hukumnya
korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan
mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak,
termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam hal
korban meninggal dunia sebagai akibat tindak penyiksaan, ahli
warisnya berhak mendapatkan kompesasi (Pasal 14).
3.
Hak Tersangka/Terdakwa dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia24
Khusus terkait dengan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa, yakni
agar dapat membatasi penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan
aparat maupun pejabat pemerintah. Beberapa ketentuan dalam undang-undang
terkait perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa antara lain :
a. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum
yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di
depan hukum (Pasal 3 ayat 2);
b. Hak atas perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia tanpa
diskriminasi (Pasal 3 ayat 3);
24
Ibid, hlm. 21
33
c. Hak untuk hidup, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, persamaan di muka hukum, dan tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut (Pasal 4);
d. Hak untuk menuntut dan memperoleh perlindungan hukum (Pasal 5
ayat 1)
e. Hak untuk mendapat bantuan hukum dan proses pengadilan yang adil,
objektif dan tidak berpihak (Pasal 5 ayat 2)25;
f. Hak untuk hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan
batin (Pasal 9 ayat 2);
g. Hak mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan baik perkara
perdata, pidana, maupun administrasi melalui proses peradilan yang
bebas, tidak memihak dan objektif oleh hakim yang jujur dan adil
untuk memperoleh putusan yang adil dan benar (Pasal 17)26;
h. Hak untuk dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan
kesalahannya melalui sidang pengadilan yang sah dan diberikan segala
jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya (Pasal 18 ayat
1)27;
i. Hak tidak dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada
sebelum tindak pidana itu dilakukannya (Pasal 18 ayat 2);
25
26
27
Ibid, hlm. 22.
Loc.cit.
Loc.cit.
34
j. Hak setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka
berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka (Pasal
18 (2));
k. Hak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai
adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (Pasal 18 ayat 4);
l. Hak tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama
atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap (Pasal 18 ayat 5)28;
m. Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan hak miliknya (Pasal 29 ayat 1);
n. Hak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana
saja ia berada (Pasal 29 ayat 2);
o. Hak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 30);
p. Hak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang
kejam,
tidak
manusiawi,
merendahkan
derajat
dan
martabat
kemanusiaannya (Pasal 33 ayat 1);
q. Hak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa
(Pasal 33 ayat 2);
28
Ibid, hlm. 23.
35
r. Setiap orang dan atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat
bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan
pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM (Pasal 90);
4.
Hak Tersangka/Terdakwa dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta asas-asas
peradilan dan pedoman bagi semua lingkungan peradilan. Undang-Undang ini
mengatur pula perihal perlindungan HAM tersangka/terdakwa, antara lain :
a. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal
4 (2));
b. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang (Pasal 5 ayat 1);
c. Hak setiap orang untuk tidak dikenakan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh
kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang (Pasal 7);
d. Hak untuk dianggap tidak bersalah bagi setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan
sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 8)
e. Hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi bagi setiap orang
yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan
36
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang di
terapkannya (Pasal 9 ayat 1);
f. Hak untuk memperoleh bantuan hukum terhadap setiap orang yang
tersangkut perkara (Pasal 37);
g. Hak tersangka menghubungi dan meminta bantuan advokat sejak saat
dilakukan penangkapan dan/atau penahanan (Pasal 38).
5.
Hak Tersangka/Terdakwa Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pada dasarnya, tindak pidana terorisme adalah extraordinary crime.
Derajat ”keluar-biasaan” ini pula yang menjadi salah satu alasan dikeluarkannya
Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-undang
Anti
Terorisme
dan
pemberlakuannya secara retroaktif untuk kasus bom bali.
Selama ini yang telah diakui sebagai extraordinary crime adalah
pelanggaran hak asasi manusia berat yang meliputi crime against humanity dan
genocide (sesuai dengan Statuta Roma). Untuk menentukan kejahatan yang
termasuk dalam kategori extraordinary crime harus ditentukan karakteristik
extraordinary crime. Penentuan pelanggaran hak asasi manusia berat sebagai
extraordinary crime didasarkan pada kaidah hukum internasional yaitu statuta
roma29.
29
Pasal 7 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pelanggaran hak asasi manusia meliputi:
- Kejahatan Genosida
- Kejahatan terhadap kemanusiaan.
37
Setelah terjadi serangkaian peledakan bom di Bali dengan puncaknya
pada tanggal 12 Oktober 2002 berupa ledakan dahsyat yang terjadi di Sari Cafe,
Jalan Legian, Kuta, untuk mengantisipasi segala kemungkinan terjadinya kembali
berbagai serangan terhadap jiwa, harta benda, dan instalasi-instalasi vital lainnya,
Pemerintah berpendapat bahwa syarat ”hal ikhwal kegentingan yang memaksa”
sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 telah terpenuhi.
Ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
1 Tahun 2002 (Perpu), Pemerintah menegaskan bahwa Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang ini dirumuskan dengan tetap menghormati dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Penjelasan pemerintah tersebut diatas secara mendalam dipaparkan oleh
Romli Atmasasmita, bahwa Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme berlandaskan kepada 6 (enam) prinsip, yaitu:
1. Prinsip National Security; adalah untuk mewujudkan prinsip
teritorialitas dari hukum pidana sekaligus untuk melandasi
pertahanan dan keamanan negara sebagai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Prinsip Balance of Justice; adalah untuk menegakan prinsip equality
before the law, baik tehadap tersangka/terdakwa maupun terhadap
korban sehingga due process harus digandengkan dengan crime
control model dalam mencegan dan memberantas tindak pidana
terorisme.
38
3. Prinsip
Save
Guarding
Rules;
adalah
prinsip
yang
harus
dipertahankan dan dilaksanakan untuk mencegah terjadinya abuse of
power dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ini.
4. Prinsip Save Harbor Rules; adalah prinsip yang diharapkan upaya
untuk memberikan perlindungan kepada tersangka pelaku tindak
pidana
terorisme
dan
prinsip
ini
dalam
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah diperkuat oleh
ketentuan
yang
mengkriminalisasi
perbuatan
memberikan
kemudahan (fasilitas) sesudah tindak pidana tersebut dilakukan
(accessories after the fact) sebagai tindak pidana yang berdiri
sendiri.
5. Prinsip Sunshine Principle; adalah prinsip yang mengedepankan
transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan dalam kasus pidana
terorisme.
6. Prinsip
Sunset
Principle;
adalah prinsip yang mengadakan
pembatasan waktu terhadap kebijakan pemerintah yang bersifat
pembentukan kelembagaan khusus dan atau mekanisme khusus
tertentu yang diperlukan untuk mencegah dan memberantas tindak
pidana terorisme.
Bila mencermati pasal-pasal yang mengatur tentang hak-hak tersangka,
terdakwa dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme hanya
dalam pasal 19, yaitu hak tersangka yang umurnya di bawah 18 tahun untuk tidak
39
di jatuhi hukuman mati dan seumur hidup, pasal 24 Undang-undang Nomor 15
tahun 2003 yaitu hak tersangka yang umurnya di bawah 18 untuk tidak dijatuhi
pidana minimum. Khusus pasal 20, 21, 22, dan pasal 25 ayat (2) yaitu hak
tersangka untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi
wewenang untuk melakukan penahanan paling lama 6 bulan30.
Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, juga mengatur
tentang hak tersangka untuk memberikan keterangan secara bebas, dan hak
tersangka untuk mendapat bantuan hukum sesuai pilihannya serta hak tersangka
untuk berhubungan ataupun berbicara dengan penasihat hukumnya setiap saat,
berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (Pasal 37 (1)), dan Pasal 38 ayat 1, 2, dan 3 mengenai
pengajuan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi31.
C. Tinjauan Umum Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan
yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana
materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Dalam sistem
peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana
melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.
Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan.
30
31
Soeharto. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme. PT
Refika Aditama. Bandung. 2007, hlm. 134.
Ibid, hlm. 138.
40
Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu:
pendekatan normatif, administratif dan sosial.
1. Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai
institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga
keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistim penegakan hukum semata-mata.
2. Pendekatan administratif, memandang keempat aparatur penegak hukum
sebagai suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik
hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai
dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem
yang dipergunakan adalah sistem administrasi.
3. Pendekatan sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga
masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan
atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut
dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem
sosial.
Lebih lanjut menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistim dalam
peradilan pidana, ialah :
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan).
41
2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen
peradilan pidana.
3. Efektifitas sistim penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penyelesaian perkara.
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “The
administration of justice”
Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana adalah :
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana
3. Mengusahakan
mereka
yang
pernah
melakukan
kejahatan
tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat
merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam
bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau
layak. Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula
sikap batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat
meskipun ia menjadi pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia
memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling
tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak
didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan
pembelaan dan hak untuk disidang dimuka pengadilan yang bebas dan dengan
hakim yang tidak memihak. Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang
42
adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan
penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung
oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak warga masyarakat.
Sistem hukum yang baik, berusaha untuk membatasi tindakan yang
merugikan masyarakat demi rasa aman masyarakat itu sendiri. Ketika masyarakat
merasa tidak aman, terjadilah tindakan-tindakan main hakim sendiri atau take the
law into their own hands. Tindakan main hakim sendiri adalah perwujudan
gagalnya pemerintah dalam memberikan perlindungan dan jaminan rasa aman
kepada masyarakat, baik terhadap keamanan jiwa maupun harta bendanya.
Kondisi ini diakibatkan oleh :
1.
Pengabaian hukum (disregarding the laws);
2.
Ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law);
3.
Ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law);
4.
Penyalahgunaan hukum (misuse of the law).
Oleh karena itu, untuk mencegah tindakan main hakim sendiri oleh
masyarakat, tugas menciptakan keamanan masyarakat itu diserahkan kepada
negara melalui Sistem Peradilan Pidana.
Sistem Peradilan Pidana Mempunyai tujuan jangka pendek untuk
resosialisasi, tujuan jangka menengah untuk pemberantasan kejahatan dan tujuan
jangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat. Perkembangan Sistem Peradilan
Pidana dapat dilihat dari bentuk-bentuk hukuman, tambahan jenis hak untuk
43
pelaku dan korban, dan reformasi penegakan hukum. Perkembangan ini dapat
dilihat dari berubahnya kebiasaan, ide politik dan kondisi ekonomi32.
Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro,S.H.,M.A., Sistem Peradilan
Pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk
menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi di sini berarti usaha untuk
mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.
Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan
masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan, dengan
diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan bersalah serta
mendapatkan pidana.
Sedangkan Sistem Peradilan Pidana menurut Andi Hamzah, bukan
hanya meliputi hukum, tetapi termasuk juga berbagai unsur non-hukum. Sistem
Peradilan Pidana dimulai dari pembentukan undang-undang hukum pidana di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sampai kepada pembinaan narapidana hingga
keluar dari Lembaga Pemasyarakatan.
Konsepsi Sistem Peradilan Pidana adalah teori yang berkenaan dengan
upaya pengendalian kejahatan melalui kerjasama dan koordinasi antara lembaga
penegak hukum, yang oleh undang-undang diberi tugas untuk itu. Seperti
kepolisian dalam penyidikan, kejaksaan dalam penuntutan, Mahkamah Agung
(pengadilan) dalam peradilan, Lembaga Pemasyarakatan (Kementerian Hukum
dan HAM) dalam pemasyarakatan, dan Advokat dalam pemberian bantuan
hukum. Namun, koordinasi antara lembaga penegak hukum sering terjadi tidak
32
Barda Nawawi Arief, Op.cit, 2011., hlm. 45.
44
sebagaimana yang diharapkan. Kita mengetahui bahwa lembaga-lembaga tersebut
masing-masing secara administratif berdiri sendiri.
Perlindungan dan perlakuan yang sama di depan hukum merupakan
bentuk hak asasi yang paling sulit dijalankan dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia. Seorang tersangka, terdakwa atau terpidana, merupakan pihak yang
rentan atas pelanggaran HAM. Pemerintah, yang berdasarkan undang-undang
wajib memenuhi HAM tersebut, seringkali tidak mampu melakukan perlindungan
apapun ketika dituntut untuk memenuhi kewajibannya 33
Hukum acara pidana merupakan ketentuan mengenai proses peradilan
pidana. Oleh karena itu, kewajiban untuk memberikan jaminan atas perlindungan
hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana selama menjalani proses peradilan
pidana sampai menjalani hukumannya, diatur juga dalam hukum acara pidana.
Kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka melindungi
HAM. Melalui sejumlah prosedur hukum itulah, hakim dapat tiba pada
kesimpulan apakah seseorang secara faktual dapat dinyatakan bersalah atas suatu
tindak pidana yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang hukum
pidana materil34. Sementara itu, hak untuk menuntut tanggung jawab terhadap
pelanggaran atas hak asasi seorang tersangka, terdakwa maupun terpidana,
dijamin melalui lembaga seperti Habeas Corpus di Australia dan Inggris, lembaga
Praperadilan di Indonesia, atau lembaga Rechter-Commisaris di Belanda.
Merujuk pada pengertian Sistem Peradilan Pidana, dapat dikatakan
bahwa Sistem Peradilan Pidana erat kaitannya dengan hak tersangka dan terdakwa
33
34
Barda Nawawi Arief, Op.cit, 2011., hlm. 58.
Loc.cit.
45
yang harus dilindungi berkenaan dengan adanya perlakuan dari penegak hukum
dalam melakukan tindakan upaya paksa, mulai dari tahap pemeriksaan
pendahuluan (penyelidikan dan penyidikan), penuntutan, pemeriksaan di sidang
pengadilan, putusan hakim, upaya hukum, sampai adanya putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Oleh karena Sistem Peradilan
Pidana merupakan suatu sistem, Sistem Peradilan Pidana harus memiliki struktur
yang berfungsi secara koheren, koordinatif dan integratif untuk mencapai efisiensi
dan efektivitas yang maksimal35.
Sebagaimana pendapat Muladi, Sistem Peradilan Pidana terpadu adalah
sinkronisasi atau keselarasan struktural, substansial dan kultural. Ketiga hal
tersebut di atas saling berkait dan mempengaruhi. Berfungsinya Sistem Peradilan
Pidana terpadu dengan baik dan benar ditentukan sejauh mana ketiga sinkronisasi
(keselarasan) tersebut bekerja. Jika terdapat kelemahan pada salah satu sistem
kerja komponennya akan mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem yang
terintegrasi itu. Dengan demikian, kegagalan pada salah satu sub-sistem saja, akan
mengurangi efektivitas sistem tersebut, bahkan dapat menyebabkan tidak
berfungsinya sistem tersebut secara keseluruhan.
Tujuan pokok gabungan fungsi Sistem Peradilan Pidana adalah untuk
menegakkan, melaksanakan (menjalankan) dan memutuskan hukum pidana.
Dengan demikian, kegiatan Sistem Peradilan Pidana didukung dan dilaksanakan
oleh 4 (empat) fungsi utama :
1.
35
Fungsi pembuatan undang-undang (law making function).
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern(Rechtstaat), Refika Aditama,Bandung,2009, hlm.
55.
46
Fungsi ini dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah atau badan lain
berdasarkan delegated legislation. Sedapat mungkin, hukum yang diatur
dalam undang-undang, tidak kaku (not rigid), fleksibel, dan akomodatif
terhadap kondisi-kondisi perubahan sosial (enough to accomodate changing
social conditions).
2.
Fungsi penegakan hukum (law enforcement function).
Tujuan objektif fungsi ini ditinjau dari pendekatan tata tertib sosial (social
order):
a. Penegakan hukum secara aktual (the actual law enforcement) meliputi
tindakan :
1)
Penyelidikan-penyidikan (investigation);
2)
Penangkapan (arrest)-penahanan (detention);
3)
Persidangan pengadilan (trial);
4) Pemidanaan (punishment) guna memperbaiki tingkah laku individu
terpidana (correcting the behavior of individual offender).
b. Efek preventif (preventive effect)
Fungsi penegakan hukum diharapkan mencegah orang (anggota
masyarakat) melakukan tindak pidana. Kehadiran dan eksistensi polisi di
tengah-tengah kehidupan masyarakat, dimaksudkan sebagai upaya
pencegahan. Dengan demikan, kehadiran dan keberadaan polisi dianggap
mengandung preventive effect yang memiliki daya cegah (detterent effort)
anggota masyarakat melakukan tindak kriminal.
3.
Fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan (Function of Adjudication).
47
Fungsi ini merupakan subfungsi dari kerangka penegakan hukum yang
dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Hakim serta pejabat pengadilan
yang terkait. Melalui fungsi inilah ditentukan :
a. Kesalahan terdakwa (the determination of guilty);
b. Penjatuhan hukuman (the imposition of punishment).
4.
Fungsi memperbaiki terpidana (The Function of Punishment).
Fungsi ini meliputi aktivitas Lembaga Pemasyarakatan, Pelayanan Sosial
terkait, dan Lembaga Kesehatan Mental. Tujuan umum semua lembagalembaga yang berhubungan dengan penghukuman dan pemenjaraan terpidana
: merehabilitasi pelaku pidana (to rehabilitate the offender) agar dapat
menjalani kehidupan normal dan produktif (return to a normal and
productive life)36.
Selain adanya kebutuhan akan keterpaduan Sistem Peradilan Pidana,
suatu sistem berupaya menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik
kepentingan negara, masyarakat maupun individu, termasuk kepentingan pelaku
tindak pidana dan korban kejahatan. Hal ini sejalan dengan tujuan akhir dari
politik kriminal yaitu perlindungan masyarakat dalam kerangka kebijaksanaan
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat atau politik sosial. Manfaat lain yang
terutama dari kebutuhan akan keterpaduan Sistem Peradilan Pidana adalah
terciptanya perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia dalam
proses pidana.
36
Ibid, hlm. 57.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
Hukum Normatif yaitu penelitian yang menitikberatkan kepada norma-norma
ataupun aturan-aturan yang berlaku berkaitan dengan Hak Asasi Manusia,
kejahatan terorisme, serta pandangan hukum nasional terhadap perlindungan hakhak tersangka terorisme.
B. Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini, yaitu:
1. Pendekatan Perundang-undangan.
Menurut Peter Mahmud Marzuki37 pendekatan undang-undang (Statute
Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Dengan
mempelajari konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang
dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan undangundang dasar atau antara regulasi dan undang-undang, dimana hasil dari
telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang
dihadapi. Dengan memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan
perundang-undangan maka pengambilan konklusi dapat dilakukan dengan
tepat sehingga proposisi yang diajukan dapat terjawab dengan baik38.
2. Pendekatan Konseptual
37
38
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2015, hlm. 137.
Ibid, hlm. 141.
48
49
Pendekatan konseptual (Conceptual Approach) dilakukan manakala
peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada, dikarenakan memang
belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi 39. Dalam
membangun konsep, hal pertama yang harus dilakukan adalah beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu
hukum. Peneliti perlu merujuk prinsip-prinsip hukum, yang mana prinsipprinsip ini dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun
doktrin-doktrin hukum. Meskipun tidak eksplisit, konsep hukum dapat juga
di ketemukan didalam Undang-undang, hanya saja dalam mengidentifikasi
prinsip tersebut, peneliti terlebih dahulu memahami konsep tersebut melalui
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang ada40.
3. Pendekatan Perbandingan
Pendekatan komparatif (Comparative Approach) dilakukan dengan
membandingkan undang-undang terkait mengenai hal yang sama. Selain
itu, dapat juga diperbandingkan di samping undang-undang yaitu putusan
pengadilan di beberapa negara untuk kasus yang sama.
Dalam pendekatan perbandingan, dikenal beberapa bentuk pendekatan
yaitu Comparative Law, Comparative Jurisprudence, dan Comparative
Foreign Law. Kegunaan dalam pendekatan ini adalah untuk memperoleh
persamaan dan perbedaan di antara undang-undang tersebut, dalam rangka
memecahkan suatu isu hukum. Hal ini untuk menjawab mengenai isu
hukum antara ketentuan undang-undang dengan filosofi yang melahirkan
39
40
Ibid, hlm.177.
Ibid, hlm.178.
50
undang-undang itu. Dengan demikian perbandingan tersebut, peneliti akan
memperoleh gambaran mengenai konsistensi antara filosofi dan undangundang yang ada. Hal ini sama juga dapat dilakukan dengan
memperbandingkan putusan pengadilan antara suatu negara dengan negara
lain untuk kasus serupa41.
4. Pendekatan Kasus
Pendekatan kasus (Case Aproach) dilakukan dengan cara menelaah
kasus-kasus terkait dengan isu yang sedang dihadapi, dan telah menjadi
putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Kasus ini dapat berupa
kasus yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain. Yang menjadi kajian
pokok
di
dalam
pendekatan
kasus
adalah rasio
decidendi
atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu
putusan.
Secara praktis ataupun akademis, pendekatan kasus mempunyai
kegunaan
dalam
mengkaji rasio decidendi atau reasoning tersebut
merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu
hukum. Perlu pula dikemukakan bahwa pendekatan kasus tidak sama
dengan studi kasus (case study). Di dalam pendekatan kasus (case
approach), beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu hukum.
Sedangkan Studi kasus merupakan suatu studi dari berbagai aspek
hukum42.
C. Bahan Penelitian Hukum
41
42
Ibid, hlm. 172.
Ibid, hlm. 158.
51
Bahan penelitian adalah bahan hukum yang diperoleh melalui studi
kepustakaan (Library Research), bahan hukum yang dimaksud terdiri atas :
1. Bahan Hukum Primer
Berasal dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
objek penelitian, yaitu berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hak asasi tersangka menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1998 Tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Universal Declaration Of
Human Rights 1948.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer yang
terdiri atas hasil-hasil penelitian, makalah-makalah, seminar, atau forum
sejenis, artikel-artikel, dan tulisan-tulisan yang tersebar di berbagai media
yang relevan dengan objek penelitian.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum
primer dan sekunder dalam hal ini kamus hukum dan ensiklopedia hukum.
52
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Metode yang digunakan untuk memperoleh bahan hukum yang lengkap
dalam penelitian ini, penulis tempuh dengan cara penelitian kepustakaan (Library
Research) guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat atau tulisan para
ahli dan pihak-pihak (instansi) yang berwenang dengan masalah yang diteliti,
serta peraturan perundang-undangan baik dalam bentuk ketentuan formal, maupun
data melalui naskah-naskah resmi yang ada.
E. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik analisis
Normatif Kualitatif yaitu peneliti akan mendeskripsikan secara lengkap
berdasarkan fakta-fakta yang terungkap sesuai dengan hasil penelitian yang
diperoleh dari objek penelitian lalu di korelasikan dengan undang-undang yang
berlaku yang berkaitan dengan hak-hak asasi tersangka terorisme khususnya
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan Martabat Manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, dan Universal Declaration Of Human Rights 1948.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Rehabilitasi Tersangka Pelaku Tindak Pidana Terorisme Dalam Rumusan
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Dan Rumusan Pasal 97 jo. Pasal 1 Butir 23 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
A. Rehabilitasi Dalam Rumusan Pasal 97 jo. Pasal 1 butir 23 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana
Rehabilitasi dalam KUHAP diatur dalam Bab XII, Bagian Kedua,
sebagai lanjutan ketentuan ganti kerugian. Rehabilitasi diatur hanya dalam satu
pasal saja, yakni Pasal 97 KUHAP. Dengan demikian, masih diharapkan
peraturan pelaksana, terutama yang berhubungan dengan :
-
Bentuk rehabilitasi yang dapat diberikan pengadilan, dan
-
Cara pemberitahuan rehabilitasi
Pengertian rehabilitasi merujuk pada Pasal 1 butir 23 KUHAP, yang
berbunyi :
“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya
dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada
tingkat penyidikan, penuntutan atau pengadilan karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”.
53
54
Dari pengertian singkat diatas, tampak jelas apa yang menjadi tujuan
rehabilitasi yang Menurut M. Yahya Harahap, tujuan dari rehabilitasi adalah
sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan, dan
martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik
berupa penangkapan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, padahal ternyata semua tindakan yang dikenakan kepada dirinya
merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut undang-undang43. Misalnya
seorang tersangka yang telah dikenakan pemeriksaan penyidikan, ditangkap atau
ditahan. Ternyata kemudian penyidikan dihentikan karena tidak cukup bukti untuk
mengajukannya kesidang pengadilan. Dalam kejadian yang seperti ini, tersangka
berhak mengajukan permintaan rehabilitasi pemulihan nama baik serta kedudukan
harkat dan martabatnya dalam keadaan semula sebelum kepada dirinya dilakukan
pemeriksaan penyidikan. Demikian juga halnya terhadap seorang terdakwa yang
dituntut dan diperiksa disidang pengadilan. Ternyata putusan yang dijatuhkan
pengadilan terhadapnya berupa pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan
hukum. Dalam putusan yang demikian, memberi hak kepada terdakwa untuk
memperoleh rehabilitasi dari pengadilan yang bersangkutan.
1. Kewenangan Memeriksa
Dalam rehabilitasi, terdapat dua instansi yang berwenang memeriksa dan
memutus permintaan rehabilitasi. Hal ini ditentukan dalam Pasal 97 KUHAP.
Kewenangan pemeriksaan pada salah satu instansi ditentukan berdasar tingkat
pemeriksaan perkara yang bersangkutan. Jika perkaranya dihentikan sampai
43
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta, 2006, hlm. 69.
55
tingkat pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, yang berwenang memeriksanya
adalah Praperadilan. Jika pemeriksaan perkara sampai pada tingkat pengadilan,
yang berwenang pemeriksanya adalah pengadilan
Apabila pemeriksaan perkara sudah sampai ke tingkat pengadilan, dan
dari hasil pemeriksaan pengadilan menjatuhkan:
-
Putusan pembebasan, dan
-
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, maka dalam hal ini,
rehabilitasi diberikan pengadilan yang memutusnya.
Bertitik tolak dari bunyi ketentuan Pasal 97 ayat (2), rehabilitasi berdasar
putusan pengadilan yang membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum.
Jadi, menurut ketentuan Pasal 97 ayat (2), jika pengadilan menjatuhkan
putusan bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, rehabilitasi tersebut
diberikan dan “dicantumkan” sekaligus dalam amar atau diktum putusan
pengadilan yang bersangkutan.
Di samping rehabilitasi diberikan langsung oleh pengadilan dalam
putusan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, Praperadilan
berwenang memeriksa rehabilitasi. Jenis rehabilitasi yang termasuk dalam
kewenangan Praperadilan meliputi permintaan rehabilitasi atas tindakan
penegakan hukum yang tidak sah yang perkaranya tidak dilanjutkan ke sidang
pengadilan.
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 97 ayat (3). Bertitik tolak dari ketentuan
pasal ini, apabila proses tingkat pemeriksaan perkara masih dalam taraf
56
penyidikan atau penuntutan, lantas pemeriksaan dihentikan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan sehingga perkara yang bersangkutan tidak diajukan ke
pengadilan, dalam peristiwa yang semacam ini, yang berwenang memeriksa
permintaan rehabilitasi adalah Praperadilan.
2. Pengajuan Rehabilitasi
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam KUHAP hanya
mencantumkan satu pasal tentang rehabilitasi yakni Pasal 97. Oleh karena itu,
masih dibutuhkan peraturan pelaksana baik yang berhubungan dengan orang yang
berhak mengajukan rehabilitasi, tenggang waktu pengajuan, maupun bunyi amar
putusan rehabilitasi. Baru setelah KUHAP berumur dua tahun, pemerintah
mengeluarkan peraturan pelaksana pada tanggal 1 Agustus 1983, sebagaimana
yang diatur dalam Bab V Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, yang
terdiri dari Pasal 12 sampai Pasal 15.
Mengenai orang yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi tidak
begitu jelas diatur dalam Pasal 97. Hanya dalam Pasal 97 ayat (3) ada disinggung
sepintas lalu orang yang berhak mengajukan permintaan. Berdasar ayat (3)
tersebut, hanya tersangka saja yang disebut yang berhak mengajukan. Untung
Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983, memperjelas masalah ini. Berpedoman pada
ketentuan Pasal 97 ayat (3) KUHAP dan Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983, orang
yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi :
-
Tersangka,
-
Keluarga tersangka, atau
-
Kuasanya.
57
Memperhatikan tentang orang yang berhak mengajukan permintaan
rehabilitasi yang diatur dalam ketentuan diatas, “terdakwa” tidak termasuk
kedalam kelompok orang yang berhak mengajukannya. Undang-undang dan
peraturan hanya menyebut tersangka saja, dan menyampingkan terdakwa untuk
mengajukan permintaan rehabilitasi. Padahal Pasal 97 ayat (1) KUHAP sudah
menegaskan bahwa seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh
pengadilan dijatuhkan kepadanya putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum. Bukankah yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) ini, tiada lain daripada
terdakwa yang kepadanya dijatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum. Jadi orang yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) ialah orang yang
didakwa atau diperiksa dalam sidang pengadilan, oleh pengadilan dijatuhkan
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Berarti Pasal 97 ayat (1)
telah membenarkan sendiri adanya hak terdakwa untuk memperoleh rehabilitasi,
apabila pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum kepadanya. Kalau begitu, kenapa Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 12 PP No. 27
Tahun 1983 tidak mencantumkan terdakwa sebagai orang yang berhak
mengajukan rehabilitasi. Menutut M. Yahya Harahap hal ini disebabkan, bagi
terdakwa yang kepadanya dijatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, tanpa mengajukan permintaan kepadanya “mesti diberikan secara
langsung” rehabilitasi pada saat putusan dijatuhkan. Jika pengadilan negeri
menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, harus
memberikan sekaligus rehabilitasi kepada terdakwa dengan jalan mencantunkan
dalam amar putusan. Demikian juga Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung,
58
harus memberikan dan mencantumkan rehabilitasi jika terhadap terdakwa
dijatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum44.
Hak mengajukan rehabilitasi yang diberikan undang-undang kepada
keluarga tersangka merupakan hak yang sederajat dengan yang diberikan kepada
tersangka. Sejak semula keluarga tersangka berhak mengajukan permintaan
rehabilitasi, sekalipun tersangka masih hidup dan sehat. Tidak ada hak prioritas
antara tersangka dengan keluarganya. Masing-masing mempunyai hak sederajat
untuk mengajukan permintaan rehabilitasi.
Tentang diberikan kemungkinan kepada kuasa mengajukan permintaan
rehabilitasi, memperlihatkan sifat rehabilitasi agak cenderung kearah keperdataan.
Memang rehabilitasi secara murni adalah hak keperdataan yang seharusnya
dimintakan atau digugat didepan peradilan perdata. Akan tetapi lain halnya
dengan rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 97 KUHAP. Permintaan rehabilitasi
atas tindakan pejabat penegak hukum yang dikenakan kepada seseorang, tidak
perlu melalui gugat perdata. Apabila pejabat penegak hukum melakukan tindakan
pidana penangkapan, penahanan yang tidak berdasar alasan yang dibenarkan
undang-undang atau apabila terhadap terdakwa dijatuhkan putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, rehabilitasi atas tindakan dan peristiwa tersebut
tidak perlu melalui proses perdata. Yang bersangkutan atau keluarganya dapat
mengajukan permintaan rehabilitasi melalui proses yang diatur dalam Pasal 97
KUHAP jo. Bab V PP No. 27 Tahun 1983.
44
Ibid, hlm. 72.
59
Beda proses permintaan dan pemeriksaan rehabilitasi melalui pengadilan
perdata dengan apa yang diatur dalam KUHAP, terletak pada subjek yang menjadi
pihak. Rehabilitasi melalui gugatan perdata, mesti ada pihak yang digugat sebagai
pihak yang dipersalahkan melakukan perbuatan melawan hukum. Dan orang yang
melakukan perbuatan melawan hukum tersebut berkewajiban untuk merehabiliter
nama baik orang yang dirugikan atas fitnah atau pencemaran nama baiknya.
Sedang proses rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 97 KUHAP, tidak
menempatkan seseorang sebagai pihak tergugat. Malahan pihak pemohon sendiri,
bukan merupakan pihak secara murni. Atau walaupun disebut ada pihak yakni
pemohon pada satu sisi dan pejabat penegak hukum yang bersangkutan pada
pihak lain, sifat keberadaan mereka sebagai pihak adalah semu. Pemohon secara
semu bertindak sebagai penggugat, dan pejabat atau instansi yang terlibat atau
Negara berada dalam kedudukan sebagai tergugat semu.
3. Tenggang Waktu Mengajukan
Tenggang waktu mengajukan permintaan rehabilitasi ditentukan dalam
Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983 yang berbunyi :
“Permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3)
KUHAP diajukan oleh tersangka, keluarganya, atau kuasanya kepada pengadilan
yang berwenang selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah putusan
mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada
pemohon”.
Berdasarkan
bunyi
ketentuan
pasal
tersebut,
tenggang
waktu
mengajukan permintaan rehabilitasi adalah 14 hari terhitung sejak putusan
60
mengenai tidak sahnya penangkapan atau penahanan diberitahukan. Jika pasal 12
diteliti lebih lanjut, tenggang waktu yang diatur didalamnya hanya berkenaan
dengan permintaan rehabilitasi yang disebut dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP,
yakni tenggang waktu mengenai rehabilitasi atas alasan penangkapan atau
penahanan yang tidak sah, yang perkaranya tidak diajukan kesidang pengadilan.
Sedang tenggang waktu atas alasan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum sebagaimana yang disebut dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP, tidak ada
disinggung dalam Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983. Alasannya, setiap putusan
pengadilan yang berupa pembebsaan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum,
harus sekaligus memberikan dan mencantukan rehabilitasi. Itu sebabnya tidak ada
tenggang waktu untuk itu. Pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum, merupakan hak yang wajib diberikan dan
dicantumkan sekaligus secara langsung dalam putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum. Dengan demikian, rehabilitasi dalam putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum tidak perlu diminta dan diajukan terdakwa.
Berarti tidak ada tenggang waktunya. Kemudian rehabilitasi yang diberikan dan
dicantumkan dalam putusan tersebut, baru dianggap sah dan mempunyai kekuatan
mengikat terhitung sejak putusan yang bersangkutan memperoleh kekuatan
hukum tetap. Umpamanya, Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan bebas
terhadap terdakwa, Maka berpedoman pada ketentuan Pasal 97 ayat (2) KUHAP,
Pengadilan Negeri yang bersangkutan harus memberikan dan mencantumkan
rehabilitasi dalam putusan. Sekiranya terhadap putusan bebas Pengadilan Negeri
itu dimintakan kasasi oleh jaksa, dengan sendirinya pemberian rehabilitasi belum
61
berlaku. Pemberian rehabilitasi yang dicantumkan dalam putusan Pengadilan
Negeri tersebut baru sah dan mengikat, setelah putusan memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Akan tetapi, yang terjadi dalam kenyataan praktek peradilan, sering
putusan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, tidak
mencantumkan amar pemberian rehabilitasi. Banyak putusan bebas yang
dijatuhkan pengadilan baik pada tingkat pertama maupun pada tingkat kasasi,
tidak konsekuen mengikuti ketentuan Pasal 97 ayat (2). Sebagai bukti beberapa
putusan Mahkamah Agung yang berisi putusan pembebasan atau pelepasan dari
segala tuntutan hukum, tidak dicantumkan pemberian rehabilitasi dalam amar
putusan. Akibatnya, kalau terdakwa berkehendak memperoleh rehabilitasi,
terpaksa harus mengajukannya lagi kepengadilan. Misalnya putusan Mahkamah
Agung tanggal 28 Januari 1983 Reg. No. 597 K/Pid/1982. Dalam perkara ini,
Pengadilan Negeri Sragen dan Pengadilan Tinggi Semarang menjatuhkan
hukuman pemidanaan kepada terdakwa atas kesalahan membantu melakukan
kejahatan pemalsuan surat dan mempergunakan surat palsu. Dalam tingkat kasasi
putusan tersebut dibatalkan Mahkamah Agung atas alasan apa yang didakwakan
kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena mengenai cap
dan pembuatan stempel palsu adalah perbuatan orang lain, bukan atas suruhan
terdakwa. Oleh karena itu, apa yang didakwakan tidak terbukti secara sah, dan
meyakinkan. Namun dalam amar putusan pembebasan tidak dicantumkan
rehabilitasi kepada terdakwa. Demikian pula putusan Mahkamah Agung tanggal 6
juni 1983, Reg. No. 298 K/Pid/1982. Dalam perkara ini Pengadilan Negeri
62
Gunung Sitoli menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa-terdakwa atas kesalahan
melakukan perkosaan. Pada tingkat banding, putusan dikuatkan Pengadilan Tinggi
Medan dengan perbaikan sepanjang mengenai beratnya hukuman seperti yang
dapat dilihat dalam putusannya tanggal 19 Desember 1981, Reg. No. 158/1981.
Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi membetalkan putusan dimaksud berdasar
pertimbangan, tidak ada seorang saksi pun atau alat bukti lain yang dapat
dipergunakan untuk membuktikan kesalahan para terdakwa, karena itu para
terdakwa dibebaskan dari dakwaan. Disini pun Mahkamah Agung tidak
mencantumkan pemberian rehabilitasi kepada para terdakwa, sehingga jelas
pembebasan ini tidak konsekuen mengikuti ketentuan Pasal 97 ayat (2) KUHAP.
Demikian seterusnya dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Agustus 1983,
Reg. No. 1982 K/Pid/1982 dan putusan tanggal 15 Agustus 1983 Reg. No. 932
K/Pid/1982. Dalam putusan-putusan pembebasan ini ternyata Mahkamah Agung
tidak mencantumkan amar pemberian rehabilitasi kepada terdakwa.
4. Redaksi Amar Putusan
Bunyi redaksi pemberian Rehabilitasi, diatur dalam Pasal 14 PP No. 27
Tahun 1983. Perumusan redaksi ini dalam peraturan, memperlancar pelayanan
pemberian rehabilitasi. Sebab dengan ditentukan rumusan standar, dalam
pemberian rehabilitasi, baik pemohon maupun pengadilan tidak memperdebatkan
rumusan redaksi. Pengadilan dan pemohon terikat, dan harus tunduk menerima
rumusan yang ditentukan dalam Pasal 14 PP No. 27 Tahun 1983.
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, tujuan utama pemberian
rehabilitasi sebagai upaya hukum yang sah untuk memulihkan nama baik serta
63
harkat martabat seseorang kedalam keadaan semula sebelum yang bersangkutan
ditangkap atau ditahan atau sebelum yang bersangkutan di periksa di pengadilan.
Pemberian rehabilitasi didasarkan atas putusan pengadilan atau Praperadilan, yang
rumusan redaksinya telah ditentukan dalam Pasal 14. Pasal ini memuat dua jenis
redaksi, namun isi yang terkandung adalah sama. Dasar pembedaan rumusan itu
dalam dua redaksi, semata-mata didasarkan atas alasan perbedaan status pemohon
serta instansi yang memeriksa permintaan rehabilitasi yang diajukan :
-
Yang memeriksanya pengadilan,
Apabila yang berwenang memberikan adalah pengadilan atas alasan
pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum sesuai
dengan yang diatur dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP, amar putusan
pemberian rehabilitasi berbunyi : “Memulihkan hak terdakwa dalam
kemampuan, kedudukan, dan harkat martabatnya”.
-
Yang memeriksa Praperadilan,
Apabila permintaan rehabilitasi didasarkan atas alasan penangkapan
atau penahanan yang tidak sah, yang berwenang memeriksa
permintaan rehabilitasi adalah praperadilan, berdasar Pasal 97 ayat
(3),
bunyi
amar
penetapan
Praperadilan
dalam
pemberian
rehabilitasi: “Memulihkan hak pemohon dalam kemampuan,
kedudukan, dan harkat martabatnya”.
Dari kedua bunyi redaksi yang tertera diatas, pada hakikatnya tidak
terdapat perbedaan yang prinsipil, hanya terdapat perbedaan satu kata saja, yakni
64
perkataan “terdakwa” pada redaksi yang pertama, diubah dengan perkataan
“pemohon” pada redaksi yang kedua.
B. Rehabilitasi Tersangka Pelaku Tindak Pidana Terorisme Dalam Rumusan
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, dalam hukum terdapat suatu
asas penting yang dikenal dengan asas lex specialis derogat legi generali, yang
mana secara sederhana hal ini berarti aturan yang bersifat khusus (specialis)
mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generali), maka aturan yang
bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat
khusus. Dengan kata lain, aturan yang khusus itulah sebagai hukum yang valid,
dan mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa
konkrit.
Penerapan asas lex specialis derogat legi generali dalam suatu tindak
pidana khusus secara jelas dirumuskan dalam Pasal 63 Ayat 2 Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang berbunyi :
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum,
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus
itulah yang diterapkan.”
Menurut Bagir Manan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan
dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu:
65
1.
Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum
tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum
khusus tersebut;
2.
Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuanketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
3.
Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan
hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis45. Misalnya, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
sama-sama termasuk lingkungan hukum pidana.
Sebagaimana
pemaparan
mengenai
hak
rehabilitasi
bagi
tersangka/terdakwa dalam rumusan Pasal 1 Butir 23 jo. Pasal 97 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana yang telah dipaparkan dalam pembahasan
sebelumnya,
dalam
Undang-Undang
Nomor
15
Tahun
2003
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang merupakan suatu produk lex
specialis,
juga
mengatur
tentang
pemberian
hak
rehabilitasi
bagi
tersangka/terdakwa.
Berbeda dengan pengertian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana diatas, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dirumuskan dalam Pasal
37 Ayat 1, sebagai berikut :
“Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan di
putus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang
putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.
45
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, hal. 56.
66
Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa rehabilitasi
dalam pasal ini adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan,
nama baik, jabatan, atau hak-hak lain termasuk penyembuhan dan pemulihan fisik
atau psikis serta perbaikan harta benda.
Menurut H. Soeharto, dari ketentuan Pasal 37 Ayat 1 Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 ini, mempunyai pengertian yang lebih sempit, karena yang
dapat diberikan hak rehabilitasi menurut undang-undang ini hanya ditujukan
terhadap seseorang yang telah diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, artinya terhadap
putusan tersebut tidak dilakukan upaya hukum atau tidak ada upaya hukum lagi.
Sedangkan terhadap seseorang yang ditangkap atau ditahan dalam tingkat
penyidikan dan penuntutan yang mana perkaranya tidak lanjut ke pengadilan,
tidak diatur dalam undang-undang ini, sehingga pengaturannya kembali pada
Pasal 97 ayat (3) KUHAP.
1. Kewenangan Memeriksa
Dalam pengaturan rehabilitasi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, hanya terdapat satu instansi
yang berwenang memutus permintaan rehabilitasi. Hal ini sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang
berbunyi: ”Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam
putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”. Rumusan ini sejalan
dengan bunyi Pasal 97 ayat (2) KUHAP. Sedang untuk perkara yang dihentikan
ditingkat pemeriksaan penyidikan atau penuntutan dalam undang-undang ini tidak
67
diatur lebih lanjut, sehingga pengaturannya kembali pada rumusan Pasal 97 ayat
(3) KUHAP jo. Pasal 14 ayat (2) PP No. 27 Tahun 1983 yakni dimintakan dan
diputus oleh hakim Praperadilan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sudikno
Mertokusumo yang mengatakan bahwa keberlakuan lex specialis derogat legi
generali, harus memenuhi kriteria:
1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum,
dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu
Undang-Undang.
2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang
khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas
pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan
Undang-Undang khusus tersebut46.
Apabila pemeriksaan perkara sudah sampai ke tingkat pengadilan, dan
dari hasil pemeriksaan pengadilan menjatuhkan:
-
Putusan pembebasan, dan
-
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, maka dalam hal ini,
rehabilitasi diberikan pengadilan yang memutusnya.
Bertitik tolak dari bunyi ketentuan Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003, rehabilitasi berdasar putusan pengadilan yang
membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.
46
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Liberty. Yogyakarta. 1996. hlm.
16
68
Jadi, menurut ketentuan Pasal 37 ayat (2), jika pengadilan menjatuhkan
putusan bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, rehabilitasi tersebut
diberikan dan “dicantumkan” sekaligus dalam amar atau diktum putusan
pengadilan yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan rumusan dalam Pasal 97
ayat (2) KUHAP.
2. Pengajuan Rehabilitasi
Jika kita merujuk pada Pasal 38 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003, proses pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Menurut H. Soeharto, Ketentuan pasal ini
membingungkan dan memberikan ketidakpastian hukum, karena merujuk pada
rumusan Pasal 37 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, jelas
mengatakan bahwa rehabilitasi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam
putusan pengadilan. Hal ini jelas menimbulkan tanda tanya perihal kata “korban”
yang dimaksud dalam rumusan Pasal 38 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 ini. Apakah yang dimaksud adalah tersangka yang mengajukannya
kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang perkaranya belum
sampai pada tahap pengadilan, ataukah terdakwa yang mengajukannya kepada
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atas dasar putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum, ataupun bisa jadi korban yang dimaksud dalam pasal
ini adalah rehabilitasi fisik dan psikis korban dari tindak pidana terorisme.
Sayangnya, Undang-Undang ini tidak memberikan penjelasan lebih lanjut terkait
korban yang dimaksud dalam rumusan Pasal 38 ayat (3) tersebut. Adapun dalam
PP No. 24 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi,
69
Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme,
hanya mengatur perihal perlindungan korban terorisme yang berstatus saksi, dan
tidak membahas pengajuan rehabilitasi sebagaimana yang dirumuskan Pasal 38
ayat (3) tersebut. Praktis, tidak adanya peraturan pelaksana undang-undang ini
mengakibatkan perlunya penjelasan lebih lanjut terkait pengertian korban yang
dimaksud dalam undang-undang ini. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Aliansi
Indonesia Damai (AIDA), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan
Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatakan perlunya penambahan
pengertian korban dalam rancangan undang-undang terorisme yang baru. Lebih
lanjut di katakan bahwa “undang-undang pemberantasan terorisme tahun 2003
dan RUU Pemberantasan terorisme 2016, tim perumus juga tidak mencantumkan
hak-hak korban terorisme secara lebih spesifik. Pengaturan serba minimalis terkait
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi pun tidak berupaya diperjelas (pasal 36-42).
Padahal dalam perkembangan terbaru, respon Negara atas Korban terorisme sudah
sangat spesifik. Rekomendasi pelapor khusus PBB maupun Memorandum Madrid
justru tidak masuk dalam revisi UU pemberantasan Terorisme tersebut”.
Makna korban sejatinya dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 Pasal 1 Angka 3 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang
mengatakan bahwa korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Akan tetapi, dalam konteks terorisme, menurut Institute for Criminal Justice
Reform (ICJR) dalam jurnal yang diterbitkannya terkait usulan rekomendasi RUU
Pemberantasan Terorisme, memaparkan bahwa korban dalam undang-undang
70
terorisme ada 2 jenis, yaitu korban akibat tindak pidana, dan korban kesalahan
prosedural. Korban akibat tindak pidana memiliki hak memperoleh kompensasi
dan restitusi. Sedangkan korban kesalahan prosedural, memiliki hak untuk
memperoleh rehabilitasi. Jika korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat
3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 adalah terdakwa yang di kategorikan
sebagai korban kesalahan prosedural sehingga perlu mengajukan permintaan
rehabilitasi kepada menteri Kehakiman dan HAM, maka jelaslah pendapat H.
Soeharto yang mengatakan Pasal ini membingungkan, karena disisi lain, Pasal 37
jelas mengatakan bahwa rehabilitasi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam
putusan pengadilan. Selain itu, akan berimplikasi pada tenggang waktu
mengajukan rehabilitasi yang baik dalam KUHAP maupun Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, samasama tidak mengatur perihal tenggang waktu mengajukan permintaan rehabilitasi
bagi seseorang yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
3. Tenggang Waktu Mengajukan
Oleh karena tenggang waktu pengajuan rehabilitasi atas penangkapan
atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan
mengenai orangnya tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
ini, maka pengaturannya merujuk kepada Pasal 97 ayat (3) KUHAP jo. Pasal 12
PP No. 27 Tahun 1983. Tenggang waktu mengajukan permintaan rehabilitasi
dalam Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983 berbunyi :
“Permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3)
KUHAP diajukan oleh tersangka, keluarganya, atau kuasanya kepada pengadilan
71
yang berwenang selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah putusan
mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada
pemohon”.
Berdasarkan
bunyi
ketentuan
pasal
tersebut,
tenggang
waktu
mengajukan permintaan rehabilitasi adalah 14 hari terhitung sejak putusan
mengenai tidak sahnya penangkapan atau penahanan diberitahukan. Jika pasal 12
diteliti lebih lanjut, tenggang waktu yang diatur didalamnya hanya berkenaan
dengan permintaan rehabilitasi yang disebut dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP,
yakni tenggang waktu mengenai rehabilitasi atas alasan penangkapan atau
penahanan yang tidak sah, yang perkaranya tidak diajukan kesidang pengadilan.
Sedang tenggang waktu atas alasan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum sebagaimana yang disebut dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 jo. Pasal 97 ayat (1) KUHAP, tidak ada disinggung dalam
Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983. Alasannya, setiap putusan pengadilan yang
berupa pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, harus sekaligus
memberikan dan mencantumkan rehabilitasi. Itu sebabnya tidak ada tenggang
waktu untuk itu. Sejalan dengan alasan itu, sebagaimana yang diungkapkan oleh
M. Yahya Harahap bahwa Pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum, merupakan hak yang wajib diberikan dan
dicantumkan sekaligus secara langsung dalam putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum. Dengan demikian, rehabilitasi dalam putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum tidak perlu diminta dan diajukan terdakwa.
Berarti tidak ada tenggang waktunya. Kemudian rehabilitasi yang diberikan dan
72
dicantumkan dalam putusan tersebut, baru dianggap sah dan mempunyai kekuatan
mengikat terhitung sejak putusan yang bersangkutan memperoleh kekuatan
hukum tetap.
4. Redaksi Amar Putusan
Bunyi redaksi pemberian Rehabilitasi, mengikuti rumusan Pasal 14 ayat
(1) dan (2) PP No. 27 Tahun 1983. Hal ini dikarenakan tidak diaturnya secara
khusus dalam peraturan pelaksananya tersendiri.
Perumusan redaksi ini dalam peraturan, memperlancar pelayanan
pemberian rehabilitasi. Sebab dengan ditentukan rumusan standar, dalam
pemberian rehabilitasi, baik pemohon maupun pengadilan tidak memperdebatkan
rumusan redaksi. Pengadilan dan pemohon terikat, dan harus tunduk menerima
rumusan yang ditentukan dalam Pasal 14 PP No. 27 Tahun 1983.
5. Kelalaian Pemberian Rehabilitasi
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dalam prakteknya, sering
terjadi kelalaian mencantumkan pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, pun dalam kasus terorisme. Padahal pemberian
rehabilitasi dalam putusan yang demikian merupakan perlindungan terhadap hak
asasi terdakwa. Hal ini sesuai dengan salah satu asas yang menjadi tujuan
KUHAP yakni disamping KUHAP bertujuan melindungi kepentingan umum,
sekaligus harus melindungi hak asasi terdakwa. Dengan demikian pemberian dan
pencantuman amar rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum merupakan “kewajiban” bagi pengadilan dalam semua tingkat,
mulai dari tingkat pertama, banding, dan kasasi.
73
Oleh karena pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari
segala tuntuan hukum merupakan perlindungan terhadap hak asasi terdakwa,
pencantuman dalam putusan yang demikian adalah bersifat “imperatif”.
Ketentuan Pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP jo Pasal 37 ayat (1) dan (2) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 bersifat memaksa bagi semua tingkat pemeriksaan
untuk mencantumkan pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum sesuai dengan redaksi rehabilitasi yang diatur dalam Pasal
14 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1983.
Oleh karena itu, putusan yang lalai mencantumkan pemberian
rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
memperkosa hak asasi terdakwa serta sekaligus pula mengandung kesalahan
penerapan hukum, selayaknya perkosaan dan kekeliruan itu dapat diperbaiki
apabila putusan yang bersangkutan sudah sempat memperoleh kekuatan hukum
tetap. Sekiranya putusan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dan
terhadap putusan diminta lagi upaya kasasi, masih ada kemungkinan untuk
memperbaiki kelalaian dalam tingkat kasasi.
Akan tetapi yang menjadi permasalahannya, apabila putusan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Umpamanya Pengadilan Negeri menjatuhkan
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tanpa mencantumkan
pemberian rehabilitasi kepada terdakwa. Jaksa tidak mengajukan kasasi, berarti
putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Padahal putusan jelas mengandung
perkosaan dan kesalahan penerapan hukum karena lalai mencantumkan pemberian
rehabilitasi.
74
Hal yang seperti ini bisa juga terjadi pada tingkat banding. Misalnya,
Pengadilan Negeri menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. Atas putusan
tersebut terdakwa atau jaksa mengajukan banding. Pengadilan Tinggi dalam
tingkat banding menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
tanpa mencantumkan pemberian rehabilitasi kepada terdakwa. Terhadap putusan
itu jaksa tidak mengajukan kasasi, sehingga putusan yang mengandung perkosaan
dan kekeliruan penerapan hukum itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
Demikian pula misalnya hal ini terjadi pada tingkat kasasi. Yang menjadi
pertanyaan adalah apakah dalam kasus yang demikian masih ada upaya hukum
yang dapat ditempuh terdakwa untuk memperoleh rehabilitasi.
Menurut M. Yahya Harahap, jika “bertitik tolak dari ketentuan undangundang dan peraturan, sama sekali tidak ada diatur tata cara memperoleh
rehabilitasi dalam kasus- kasus tersebut. Akibatnya, jika semata-mata bertitik
tolak dari ketentuan peraturan dan perundang-undangan “tertutup” hak terdakwa
untuk memperoleh rehabilitasi”. Berarti atas kelalaian pengadilan menerapkan
hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 jo. Pasal 97 ayat (2) KUHAP, hilang dan lenyaplah hak terdakwa
memperoleh rehabilitasi.
Tentu hal ini tidak patut dan tidak adil. Sebab keteledoran dan kelalaian
pengadilan dijadikan alasan untuk pembenaran perkosaan terhadap hak asasi
terdakwa. Hal ini tidak adil, dan sangat merugikan kepentingan terdakwa. Oleh
karena itu praktek hukum mesti menciptakan upaya hukum yang praktis dan
memadai demi untuk memulihkan hak dan perlindungan kepentingan terdakwa.
75
Praktek hukum mesti membuka jalan yang memberi hak bagi terdakwa untuk
memperbaiki kelalaian pengadilan, pemberian hukum ini sangat prinsipil sebagai
sarana memperbaiki kesalahan yang dilakukan pengadilan sendiri.
Sehubungan dengan banyaknya putusan bebas yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, akan tetapi tidak mencantumkan pemberian rehabilitasi,
maka Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.
11 Tahun 1985 tentang Permohonan Rehabilitasi dari Terdakwa yang Dibebaskan
atau Dilepas dari Segala Tuntutan Hukum (“SEMA No. 11 Tahun 1985”). Dalam
SEMA ini diatur bahwa dalam hal putusan bebas/lepas tidak mencantumkan
mengenai rehabilitasi terdakwa, maka apabila orang tersebut menghendaki agar
rehabilitasinya diberikan oleh Pengadilan, ia dapat mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya dalam tingkat
pertama. Ketua Pengadilan Negeri setelah menerima permohonan itu kemudian
memberikan rehabilitasi dalam bentuk penetapan.
Meneliti bunyi SEMA No. 11 Tahun 1985, terdapat kata “dapat
mengajukan
permohonan
kepada
Ketua
Pengadilan
Negeri”,
kemudian
dilanjutkan dengan kalimat “memberikan rehabilitasi dalam bentuk penetapan”,
yang notabennya jika merujuk pada ketentuan Pasal 14 ayat (2) PP No.27 Tahun
1983 seharusnya ditujukan kepada tersangka dalam Praperadilan, yang mana akan
terasa rancu jika di gunakan kepada terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum dan telah berkekuatan hukum tetap tersebut.
Sejalan dengan SEMA No. 11 Tahun 1985, menurut M. Yahya Harahap,
memang jika bertitik tolak dari ketentuan peraturan dan perundang-undangan,
76
“tertutup” hak terdakwa untuk memperoleh rehabilitasi. Akan tetapi, lebih lanjut
ia katakan bahwa akan lebih logis jika ditempuh upaya hukum yang praktis dan
sederhana, dengan cara pendekatan “konsistensi” terhadap ketentuan dan tata cara
dan proses pemeriksaan rehabilitasi yang diatur bagi Praperadilan yakni tata cara
permintaan rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 97 ayat (3) jo. Pasal 77 huruf b,
jo. Pasal 82, dan jo. Pasal 83 ayat (1) KUHAP. Artinya, tata cara untuk
mengajukan rehabilitasi yang dilalaikan dapat menggunakan tata cara permintaan
rehabiitasi tersangka dalam Praperadilan dengan dasar upaya hukum praktis dan
sederhana dan pendekatan konsistensi.
C. Usulan Rekomendasi Atas Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Tahun 2016
Pada akhir Januari 2016, Pemerintah kemudian memfinalkan RUU
Pemberantasan Terorisme, yang mana pada bulan Februari 2016 pemerintah
menyerahkan naskah rancangan tersebut kepada DPR secara terbatas. Meskipun
revisi Undang-Undang Antiteror tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional
2016 (Prolegnas), Dalam naskah tersebut beberapa muatan baru dalam RUU
dirumuskan sebagai berikut :
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Muatan
Perluasan tindak pidana terorisme
Terorisme anak
Penahanan
Penangkapan
Penelitian berkas perkara
Alat bukti
Pemeriksaan saksi
Perlindungan aparat penegak hukum
Penanggulangan dan deradikalisasi
Ketentuan Peralihan
Pasal
6, 10 A, 12 A, 12 B, 13 A, 14,
15
16A
25
28
28A
31
32
33
43A 43B
43 C, 46 A
77
Sumber: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) berdasarkan RUU versi 29
Januari 2016
Menurut lembaga Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Institute for
Criminal Justice Reform (ICJR), dan Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban,
seluruh muatan dalam revisi tersebut ternyata tidak menyentuh dan tidak
menyinggung secara detail dan konkret baik mengenai hak korban terorisme,
maupun hak tersangka atau hak terdakwa terorisme yang berkaitan dengan hak
memperoleh rehabilitasi, sehingga tertangkap kesan jika RUU ini lebih menyoroti
soal pelaku terorisme, baik dari segi hukum materil, hukum acara bahkan soal
pemidanaan sampai dengan program deradikalisasi. Hal ini menjadi keprihatinan
karena dalam praktiknya hak tersangka terorisme yang berkaitan dengan
pemenuhan hak rehabilitasi di Indonesia dalam situasi yang minim perhatian,
yang dikarenakan singkatnya pengaturan mengenai hak rehabilitasi, dan juga
dikerenakan tidak adanya peraturan pelaksanaan dalam Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003 ini, hingga saat ini.
Lebih lanjut dikatakan bahwa mengenai akuntabilitas kinerja aparat
penegak hukum sendiri dalam pemberantasan terorisme, RUU versi 2016 ini
masih belum membahas secara spesifik bentuk pertanggungjawaban dan
akuntabilitas aparat penegak hukum dalam melakukan operasi pemberantasan
terorisme. Tidak adanya mekanisme akuntabilitas tercermin pada saat dilakukan
pencegahan, penangkapan, dan penahanan terhadap terduga teroris. Kasus salah
tangkap yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak hanya satu dua kali
terjadi. Penyiksaan selama proses pemeriksaan bahkan berakibat pada kematian
78
seperti kasus Siyono kepada yang diduga melakukan tindak pidana terorisme, juga
bukan hal baru.
Data yang dimiliki Komnas HAM, disebutkan bahwa sebanyak 112
orang yang diduga melakukan terorisme, dari periode 2004 – 2015, tewas tanpa
menjalani proses peradilan terlebih dahulu, dan tidak adanya data perihal
pemberian rehabilitasi bagi tersangka, keluarganya, maupun kuasanya. Sedangkan
kasus-kasus terorisme yang telah masuk dalam proses peradilan pidana dan telah
diputus bebas maupun lepas di Pengadilan Negeri, dalam Amar Putusan
pengadilan tersebut tidak pernah dicantumkan baik mengenai kompensasi,
restitusi, dan juga rehabilitasi yang menyebutkan bahwa penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan telah melalui prosedur sebagaimana yang
ditentukan undang-undang. Hanya dalam kasus JW Marriot saja, hakim
mengamanatkan pemberian kompensasi bagi korban, sisanya kompensasi kepada
korban di kasus terorisme lain, sama sekali tidak ada, termasuk juga masalah
pemberian hak rehabilitasi. Seperti dalam kasus Ruqayyah Binti Husen Luceno
Alias Fatimah Zahra Anis yang tidak terbukti kasus terorisme, akan tetapi dalam
kasus imigrasi, juga seperti dalam kasus Al Khelaiw Ali Abdullah alias Ali yang
juga tidak terbukti dalam kasus terorisme, Hakim tidak menerapkan ketentuan
Pasal 37 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo. Pasal 97 ayat (2)
KUHAP, jo. Pasal 14 PP No. 27 Tahun 1983 yang mengharuskan rehabilitasi
diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan.
Untuk itu, sejalan dengan pendapat M. Yahya Harahap dan SEMA No.
11 Tahun 1985, ada baiknya jika terdakwa yang menginginkan pemberian
79
rehabilitasi atas dirinya, mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama, yang mana Ketua
Pengadilan Negeri setelah menerima permohonan itu kemudian memberikan
rehabilitasi dalam bentuk penetapan, sesuai dengan ketentuan tata cara pengajuan
rehabilitasi tersangka dalam Praperadilan. Akan tetapi, menurut hemat penulis,
akan lebih baik jika segera dibuatkan suatu aturan yang lebih memadai, agar lebih
memiliki kepastian hukum, dan terpenuhinya hak asasi terdakwa.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dari rumusan masalah
yang dibahas dapat ditarik simpulan bahwa :
Rumusan Pasal 37 mengenai hak memperoleh rehabilitasi dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme memiliki beberapa perbedaan dengan rumusan Pasal 97 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Utamanya terkait hal-hal yang
berkaitan dengan aturan mengenai kewenangan memeriksa rehabilitasi,
pengajuan rehabilitasi, tenggang waktu mengajukan, sampai pada aturan
mengenai cara memperoleh rehabilitasi yang dilalaikan oleh pengadilan.
B.
Saran
Adapun saran-saran yang dapat diberikan adalah :
1.
Agar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dapat dijadikan landasan
hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia, maka
diperlukan penyempurnaan baik secara substansial maupun secara
operasional.
2.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyangkut
masalah
kompensasi, restitusi, dan utamanya hak rehabilitasi, harus ada hukum
acaranya sendiri.
80
81
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Arief, Barda Nawawi. 2011. Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Kencana.
Bagir Manan. 2007. Hukum Positif Indonesia. Jakarta: Kencana.
Bujuknik (buku petunjuk teknik) tentang Anti Teror Tahun 2000.
Darmasetia Soerjadi, Trimoelja. 2004. Terorisme, perang global, dan masa depan
demokrasi. Jakarta: Matapena.
Fuady, Munir. 2009. Teori Negara Hukum Modern(Rechtstaat). Bandung: Refika
Aditama.
__________, Laura L, Sylvia. 2015. Hak Asasi Tersangka Pidana. Jakarta:
Kencana.
Lubis, M.Sofyan. 2010. Prinsip Miranda Rule Hak Tersangka Sebelum
Pemeriksaan. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Mahmud Marzuki, Peter. 2015. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Mertokusumo, Sudikno. 1996. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty.
Muhammad Mustofa, Muhammad.2002. Memahami Terorisme: Suatu Perspektif
Kriminologi. Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III.
Rosa Nasution, Aulia. 2012. Terorisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
dalam perspektif hukum internasional dan hak asasi manusia. Jakarta:
Kencana.
Soeharto, H. 2007. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak
Pidana Terorisme. Bandung: PT. Refika Aditama.
Sieghart, Paul. 1986. The Lawful Right of Mankind (An Introduction to The
International Legal Code of Human Rights). Oxford University Press.
82
Wahid, Abdul, dkk. 2004. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama (HAM dan
Agama). Bandung: PT. Refika Aditama.
Yahya Harahap, M. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali, Jakarta: Grafika.
B. Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Universal Declaration Of Human Rights 1948.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi
atau Merendahkan Martabat Manusia.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
C. Sumber Internet
Buckeye State Blog, A History Of The Right to Counsel, Posted : 26 September
2007.
Loudewijk F. Paulus, “Terorisme”, http://buletinlitbang.dephan.go.id.
Https://www.komnasham.go.id/siaran-pers/pers-rilis-terkait-tanah-runtuh.
Https://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme_di_Indonesia, diakses pad 20 Mei 2016
Http://ensiklopediasli.blogspot.co.id/2016/01/aksi-terorisme-di-indonesia. html
Sumber: Harian KOMPAS edisi 8 Oktober 2005.
Download