PDF (Bab I)

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit infeksi merupakan salah satu permasalahan dalam bidang
kesehatan yang dari waktu ke waktu terus berkembang. Kenyataan menunjukkan
bahwa di negara-negara yang sedang berkembang urutan peyakit-penyakit utama
nasional masih ditempati oleh berbagai penyakit infeksi (Nelwan, 2006). Infeksi
merupakan penyakit yang dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain atau dari
hewan ke manusia disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus,
bakteri, jamur dan protozoa. Staphylococcus aureus dan Escherichia coli adalah
contoh bakteri yang dapat menyebabkan infeksi (Jawetz et al., 2005).
Staphylococcus aureus merupakan patogen utama bagi manusia. Hampir
setiap orang pernah mengalami berbagai infeksi S. aureus selama hidupnya, dari
keracunan makanan yang berat sampai infeksi yang tidak dapat disembuhkan
(Jawetz et al., 2001). S. aureus merupakan flora normal pada kulit dan selaput
lendir manusia, mulut, dan saluran nafas bagian atas. Infeksi S. aureus dapat
menyebabkan endokartitis, meningitis, dan infeksi terhadap paru-paru (Jawetz et
al., 2001). Staphylococcus tahan terhadap kondisi kering, panas (bakteri tersebut
bertahan pada suhu 50˚C selama 30 menit) dan natrium klorida 9%, tetapi
dihambat oleh bahan kimia tertentu seperti heksaklorofen 3% (Jawetz et al.,
2001).
Escherichia coli adalah bakteri Gram negatif yang merupakan bagian flora
normal gastrointestinal manusia tapi juga merupakan penyebab umum infeksi
saluran urin, diare pada musafir, dan penyakit lain (Jawetz et al., 2001). Sifatnya
unik karena dapat menyebabkan infeksi primer pada usus misalnya diare pada
anak dan travelers diarrhea, seperti juga kemampuannya menimbulkan infeksi
pada jaringan tubuh lain di luar usus. Genus Escherichia terdiri dari 2 spesies
yaitu Escherichia coli dan Escherichia hermani (Jawetz et al., 2001).
1
2
Idealnya antibiotik dipilih untuk pengobatan bakteri-bakteri tersebut.
Tetapi timbul permasalahan baru yaitu permasalahan resistensi bakteri. Resistensi
bakteri terhadap antibiotik hanya salah satu contoh proses alamiah yang tidak
pernah ada akhirnya yang dilakukan oleh organisme untuk mengembangkan
toleransi terhadap keadaan lingkungan yang baru (Pelczar et al., 1988). Penelitian
yang dilakukan di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta tahun 2001-2002 menunjukkan
bahwa persentase resistensi Escherichia coli terhadap kanamisin sebesar 62,5%,
terhadap sefaleksin sebesar 57,1%, dan terhadap amoksisilin sebesar 86,2%
(Refdanita et al., 2002). Staphylococcus aureus (100%) resisten terhadap
ampisilin, amoksisilin, penisilin G, kloramfenikol, dan siprofloksasin (Refdanita
et al., 2002). Staphylococcus aureus banyak dilaporkan mengalami peningkatan
resistensi yang cukup tinggi, resistensi terhadap nafsilin terjadi pada 10-20%
kasus (Jawetz et al., 2005). Dari uraian tersebut timbul alternatif untuk
menjadikan pengobatan herbal atau alami sebagai pilihan dalam mengatasi
resistensi tersebut.
Indonesia dikenal dengan kekayaan tumbuhan obat. Jenis tumbuhan obat
tersebut mulai dari tanaman perdu hingga tanaman keras, merupakan tumbuhan
yang masih liar dan hanya terdapat di hutan belantara atau tanaman yang sudah
dibudidayakan. Tumbuhan tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan
setiap provinsi mempunyai keanekaragaman hayati yang bisa digunakan sebagai
obat alternatif (Mardisiswoyo and Rajakmangunsudarso, 1995).
Salah satu tanaman yang diduga mempunyai potensi sebagai antibakteri
adalah tanaman pare (Momordica charantia L.). Pare merupakan salah satu
tanaman yang digunakan sebagai obat tradisional karena mempunyai beberapa
khasiat, antara lain perasan daunnya dapat dipakai sebagai obat cacing, obat
muntah, dan untuk obat pencahar (Dharma, 1985).
Menurut hasil penelitian ekstrak buah dan daun pare mempunyai aktivitas
antimikroba pada mikroorganisme Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
Candida albicans, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Proteus
vulgaris, dan Salmonella typhi. Ekstrak metanol buah menunjukkan aktivitas
antimikroba yang lebih besar daripada ekstrak daun dengan persentase
3
penghambatan mencapai 75% dari semua mikroorganisme yang diuji. Diameter
zona hambat ekstrak metanol buah pare terhadap bakteri E. coli dengan
konsentrasi 0,4 mg/µL, 0,6 mg/µL, dan 1 mg/µL masing-masing adalah 7 mm,
8 mm, dan 8 mm. Diameter zona hambat ekstrak metanol buah pare terhadap
bakteri S. aureus dengan konsentrasi 0,2 mg/µL, 0,4 mg/µL, 0,6 mg/µL, dan
1 mg/µL masing-masing adalah 8 mm, 8 mm, 11 mm, dan 11 mm (Mwambete,
2009).
Data empiris dan penelitian tersebut mendorong peneliti untuk menguji
aktivitas antibakteri dan membuktikan kandungan senyawa kimia tanaman pare
yang mempunyai khasiat sebagai antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus multiresisten antibiotik sehingga bermanfaat bagi
perkembangan pengobatan penyakit infeksi karena bakteri di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar
belakang
masalah,
maka
dapat
dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1.
Apakah ekstrak etanol buah pare mempunyai aktivitas antibakteri terhadap
bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus multiresisten antibiotik?
2.
Apakah golongan senyawa kimia dalam ekstrak etanol buah pare yang
mempunyai aktivitas antibakteri?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1.
Mengetahui aktivitas antibakteri buah pare sebagai antibakteri terhadap
bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus multiresisten antibiotik.
2.
Mengetahui kandungan golongan senyawa kimia dalam ekstrak etanol buah
pare yang mempunyai aktivitas antibakteri.
4
D. Tinjauan Pustaka
1. Tanaman Pare
a. Klasifikasi tanaman pare
Tanaman pare mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Class
: Dicotyledonae
Ordo
: Cucurbitales
Familia
: Cucurbitaceae
Genus
: Momordica
Spesies
: Momordica charantia L (Syamsuhidayat and Hutapea, 1991).
b. Nama daerah
Tanaman pare dikenal dengan nama yang berbeda-beda di setiap daerah di
Indonesia.
Sumatera
: Prien (Gayo), paria (Batak Toba), foria (Nias), peria
(Melayu), kambeh (Minangkabau)
Jawa
: Paparae (Jakarta), paria (Sunda), pare (Jawa Tengah),
pepareh ( Madura)
Bali
: Paya
Nusa Tenggara
: Truwok (Sasak), paria (Bima), pania (Timor)
Sulawesi
: Papari (Menado), beleng gede (Gorontalo), paria
(Makasar), paria (Bugis)
Maluku
: Papariane (Seram), papari (Buru), papare (Halmahera),
kepare (Ternate) (Syamsuhidayat and Hutapea, 1991).
c. Khasiat
Daun pare berkhasiat sebagai obat cacing, obat batuk, obat demam nifas,
obat kencing nanah, obat malaria, obat mual, dan obat susah berak. Bijinya
digunakan sebagai obat luka, dagingnya sebagai obat sariawan dan menambah
nafsu makan (Syamsuhidayat and Hutapea,1991). Buah pare berkhasiat sebagai
stimulan, obat sakit perut, anti muntah, pencahar. Selain itu buah pare juga
5
digunakan pada penyakit gout, rematik serta kasus-kasus penyakit limpa dan hati
sub akut (Kumar et al., 2010)
d. Kandungan kimia pare
Ekstrak metanol buah pare kering yang sudah difraksinasi dan diisolasi
menghasilkan senyawa kukurbitan triterpenoid baru seperti 5β,19-epoksi-3β, 25dihidroksikukurbita-6,23(E)-din(4)
dan
3β,7β,25-trihidroksikukurbita-5,23(E)-
din-19-al(5). Selain itu pare juga mengandung momordikosid I,3β,7β,25trihidroksikukurbita-5, 23(E)-din,19-al,5β,19-epoksikukurbita-6,23(E)-din-3β,19,
25-triol,5β,19-epoksi-19-metoksikukurbita-6,23(E)-din-3β,25-diol, momordikosid
L, asam para-metoksibensoat, sitosterol, dan stigmastadinol (Harinantenaina et
al., 2006).
Gambar 1. Struktur kimia senyawa yang terkandung di dalam pare
Menurut Juliana et al., (2010) cit Grover (2004) pare banyak mengandung
senyawa metabolit sekunder diantaranya adalah senyawa metabolit sekunder
turunan triterpenoid, turunan flavonoid dan turunan steroid. Senyawa-senyawa
metabolit sekunder tersebut berupa glikosida ataupun aglikon, selain itu pare juga
mengandung senyawa fenolik seperti polifenol.
6
2. Bakteri
a. Escherichia coli
Sistem klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom
: Bacteria
Phylum
: Proteobacteria
Class
: Gamma Proteobacteria
Order
: Enterobacteriales
Family
: Enterobacteriaceae
Genus
: Escherichia
Species
: Escherichia coli
(Todar, 2004).
Escherichia coli adalah bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek,
berderet seperti rantai. E. coli dapat memfermentasi glukosa dan laktosa
membentuk asam dan gas. E. coli dapat tumbuh baik pada media Mc. Conkey dan
dapat mencegah laktosa dengan cepat, juga dapat tumbuh pada media agar darah.
Escherichia coli juga dapat merombak karbohidrat dan asam–asam lemak menjadi
asam dan gas serta dapat menghasilkan gas karbondioksida dan hidrogen (Pelczar
and Chan, 1988).
Escherichia coli banyak ditemukan di dalam usus besar manusia sebagai
flora normal, tapi bila kesehatan menurun, bakteri ini dapat bersifat patogen
terutama akibat toksin yang dihasilkan. Escherichia coli umumnya tidak
menyebabkan penyakit bila masih berada dalam usus, tetapi dapat menyebabkan
penyakit pada saluran kencing, paru, saluran empedu, dan saluran otak (Jawetz et
al., 1991).
Escherichia coli dan sebagian besar bakteri enterik yang lain membentuk
koloni bulat, cembung serta lembut dengan tepi yang berbeda. Escherichia coli
menghasilkan tes positif terhadap indol, lisin dekarboksilase, dan memfermentasi
manitol dan menghasilkan gas dari laktosa (Jawetz et al., 2005).
Escherichia coli resisten terhadap ampisilin, resistensi tersebut termasuk
jenis resistensi yang didapat. Resistensi antibiotik dapat diklasifikasikan menjadi
dua yaitu resistensi alami dan resistensi yang didapat. Resistensi yang didapat
apabila bakteri tersebut sebelumnya sensitif terhadap suatu antibiotik kemudian
7
berubah menjadi resisten. Terdapat dua mekanisme kemungkinan terjadinya
kejadian ini, yaitu karena adanya mutasi pada kromosom DNA bakteri, atau
terdapat materi genetik baru yang spesifik dapat menghambat mekanisme kerja
antibiotik (Harniza, 2009).
b. Staphylococcus aureus
Sistem klasifikasinya sebagai berikut:
Kingdom
: Bacteria
Phylum
: Firmicutes
Class
: Bacilli
Order
: Bacillales
Family
: Staphylococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Species
: Staphylococcus aureus
(Todar, 2004).
Staphylococcus merupakan sel Gram positif berbentuk bulat biasanya
tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur seperti anggur. Staphylococcus
tumbuh dengan cepat pada berbagai tipe media dan dengan aktif melakukan
metabolisme, melakukan fermentasi karbohidrat dan menghasilkan bermacammacam pigmen dari warna putih hingga kuning gelap (Jawetz et al., 2005).
Tiga
tipe
staphylococcus
Staphylococcus
aureus,
saprophyticus.
Staphylococcus
yang
Staphylococcus
aureus
berkaitan
dengan
epidermidis, dan
bersifat
koagulase
medis
adalah
Staphylococcus
positif,
yang
membedakannya dari spesies lain. Staphylococcus aureus adalah patogen utama
pada manusia. Hampir setiap orang pernah mengalami berbagai infeksi
Staphylococcus aureus selama hidupnya, dari keracunan makanan yang berat
sampai infeksi yang tidak dapat disembuhkan (Jawetz et al., 2005).
Stafilokokus tumbuh dengan baik pada berbagai media bakteriologi
dibawah suasana aerobik atau mikroaerofilik. Bakteri tersebut tumbuh dengan
cepat pada temperatur 37˚C namun pembentukan pigmen yang terbaik adalah
pada temperatur kamar (20-35˚C). Koloni pada media yang padat berbentuk bulat,
lembut, dan mengkilat. S. aureus biasanya membentuk koloni abu-abu hingga
kuning emas (Jawetz et al., 2005).
8
Stafilokokus bersifat nonmotil dan tidak membentuk spora. Stafilokokus
menghasilkan katalase, yang membedakannya dengan streptokokus. Stafilokokus
memfermentasi karbohidrat, menghasilkan asam laktat dan tidak menghasilkan
gas (Jawetz et al., 2005).
Staphylococcus sensitif terhadap beberapa obat antimikroba. Resistensinya
dikelompokkan dalam beberapa golongan:
1) Biasanya menghasilkan enzim beta laktamase, yang berada di bawah kontrol
plasmid, dan membuat organisme resisten terhadap beberapa penisilin
(penisilin G, ampisilin, tikarsilin, piperasilin, dan obat-obat yang sama).
2) Resisten terhadap nafsilin (dan terhadap metisilin dan oksasilin) yang tidak
tergantung pada produksi beta-laktamase.
3) Galur S. aureus yang mempunyai tingkat kerentanan menengah terhadap
vankomisin (Kadar Hambat Minimum 4-8 mg/mL) telah diisolasi di Jepang,
Amerika Serikat dan beberapa negara lain dan ini sangat mendapat perhatian
dari para klinisi.
4) Plasmid juga dapat membawa gen untuk resistensi terhadap tetrasiklin,
eritromisin, aminoglikosida dan obat-obat lainnya.
5) Akibat sifat “toleran” berdampak bahwa staphylococcus dihambat oleh obat
tetapi tidak dibunuh oleh obat tersebut, misalnya terdapat perbedaan yang
besar antara KHM (Kadar Hambat Minimum) dan KBM (Kadar Bunuh
Minimum) dari obat antimikroba (Jawetz et al., 2005).
3. Antibakteri
Antibakteri adalah obat atau senyawa kimia yang digunakan untuk
membasmi bakteri, khususnya bakteri yang bersifat merugikan manusia.
Beberapa istilah yang digunakan untuk menjelaskan proses pembasmian
bakteri adalah:
a.
Germisid
adalah bahan yang dipakai untuk membasmi mikroorganisme
dengan mematikan sel-sel vegetatif, tetapi tidak selalu mematikan bentuk
sporanya.
b.
Bakterisid adalah bahan yang dipakai untuk mematikan bentuk-bentuk
vegetatif bakteri.
9
c.
Bakteriostatik adalah suatu bahan yang mempunyai kemampuan untuk
menghambat pertumbuhan bakteri tanpa mematikannya.
d.
Antiseptik adalah suatu bahan yang menghambat atau membunuh
mikroorganisme dengan mencegah pertumbuhan atau menghambat aktivitas
metabolisme, digunakan pada jaringan hidup.
e.
Desinfektan adalah bahan yang dipakai untuk membasmi bakteri dan
mikroorganisme patogen tapi belum tentu beserta sporanya, digunakan pada
benda mati (Pelczar and Chan, 1988).
Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat dan membunuh
bakteri, masing-masing dikenal sebagai Kadar Hambat Minimal (KHM) dan
Kadar Bunuh Minimal (KBM). Antibakteri tertentu aktivitasnya dapat meningkat
menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM
(Setiabudy and Ganiswara, 1995).
Kemoterapetik mikroba dapat digolongkan atas dasar mekanisme kerjanya
yaitu zat bakterisid dan zat bakteriostatik. Zat bakterisid berkhasiat memastikan
kuman masih tergantung dari kesanggupan reaksi sedangkan zat bakteriostatis
berkhasiat menghentikan pertumbuhan kuman. Penggolongan yang juga sering
digunakan adalah berdasarkan luas aktivitasnya, artinya terhadap banyak atau
sedikitnya jenis, yaitu antibiotik dengan aktivitas luas dan sempit (Tjay and
Rahardja, 2002).
Antimikroba yang ideal harus memenuhi syarat-syarat antara lain
mempunyai kemampuan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme yang luas (broad spectrum antibiotic), tidak menimbulkan
terjadinya resistensi dari mikroorganisme patogen, tidak menimbulkan efek
samping (side effect) yang buruk pada tubuh (seperti reaksi alergi, kerusakan
syaraf, iritasi lambung, dan sebagainya), serta tidak mengganggu keseimbangan
flora normal tubuh seperti flora usus atau flora kulit (Jawetz et al., 2001).
Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba:
a. pH Lingkungan
b. Komponen-komponen perbenihan
c. Stabilitas obat
10
d. Besarnya inokulum bakteri
e. Masa pengeraman
f. Aktivitas metabolik mikroorganisme
(Jawetz et al., 1991).
Mekanisme kerja antibakteri adalah sebagai berikut :
a.
Perusakan dinding sel
Bakteri memiliki lapisan luar yang kaku, disebut dinding sel yang dapat
mempertahankan bentuk bakteri dan melindungi membran protoplasma di
bawahnya (Jawetz et al., 2001). Struktur dinding sel dapat dirusak dengan cara
mennghambat pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk.
Antibiotik yang bekerja dengan mekanisme ini diantaranya adalah penisilin
(Pelczar and Chan, 1988).
b.
Perubahan permeabilitas sel
Membran sitoplasma mempertahankan bahan-bahan tertentu di dalam sel
serta mengatur aliran keluar masuknya bahan-bahan lain. Membran memelihara
integritas komponen-komponen seluler. Kerusakan pada membran akan
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel. Polimiksin
bekerja dengan merusak struktur dinding sel dalam kemudian antibiotik tersebut
bergabung dengan membran sel sehingga menyebabkan disorientasi komponenkomponen lipoprotein serta mencegah berfungsinya membran sebagai perintang
osmotil (Pelczar and Chan, 1988).
c.
Perubahan molekul protein dan asam nukleat
Hidup suatu sel bergantung pada terpeliharanya molekul-molekul protein
dan asam-asam nukleat dalam keadaan alamiahnya. Suatu antibakteri dapat
mengubah keadaan ini dengan mendenaturasikan protein dan asam-asam nukleat
sehingga merusak sel tanpa dapat diperbaiki lagi. Salah satu antibakteri yang
bekerja dengan cara mendenaturasi protein dan merusak membrane sel adalah
fenolat dan persenyawaan fenolat (Pelczar and Chan, 1988).
d.
Penghambatan kerja enzim
Setiap enzim yang ada di dalam sel merupakan sasaran potensial bagi
bekerjanya
suatu
penghambat.
Penghambatan
ini
dapat
mengakibatkan
terganggunya metabolisme atau matinya sel. Sulfonamid merupakan salah satu
11
contoh antibiotik yang bekerja dengan cara penghambatan kerja enzim (Pelczar
and Chan, 1988).
e.
Penghambatan sintesis asam nukleat dan protein
DNA, RNA dan protein memegang peranan amat penting di dalam proses
kehidupan normal sel. Hal ini berarti bahwa gangguan apapun yang terjadi pada
pembentukan atau pada fungsi zat-zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan
total pada sel. Tetrasiklin merupakan salah satu antibiotik yang dapat
menghambat sintesis protein dengan cara menghalangi terikatnya RNA pada
tempat spesifik ribosom selama pemanjangan rantai peptida (Pelczar and Chan,
1988).
4.
Resistensi Antibiotik
Dalam pengobatan penyakit infeksi salah satu masalah sulit yang dihadapi
kini adalah terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik yang digunakan (Volk
and Wheeler, 1993). Berkembangnya resistensi terhadap obat-obatan hanya salah
satu contoh proses alamiah yang tak pernah ada akhirnya yang dilakukan oleh
organisme untuk mengembangkan toleransi terhadap keadaan lingkungan yang
baru. Resistensi terhadap obat pada suatu mikroorganisme dapat disebabkan oleh
suatu faktor yang memang sudah ada pada mikroorganisme itu sebelumnya atau
mungkin juga faktor itu diperoleh kemudian (Pelczar and Chan, 1988).
Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya sel mikroba
oleh antimikroba. Sifat ini dapat merupakan suatu mekanisme alamiah untuk
bertahan hidup (Setiabudy and Gan, 1995). Resistensi merupakan masalah
individual epidemilogik yang menggambarkan ketahanan mikroba terhadap
antibiotik tertentu yang dapat berupa resistensi alamiah, resistensi karena adanya
mutasi spontan (resistensi kromosomal), dan resistensi silang yaitu karena adanya
faktor R pada sitoplasma (resistensi ekstrakromosomal) atau resistensi karena
pemindahan gen yang resistensi atau faktor R atau plasmid (Wattimena, 1991).
Penyebab terjadinya resistensi mikroba adalah penggunaan antibiotik yang
tidak tepat, misalnya penggunaan dengan dosis yang tidak memadai, pemakaian
yang tidak teratur atau tidak kontinyu, demikian juga waktu pengobatan yang
tidak cukup lama. Maka untuk mencegah atau memperlambat timbulnya resistensi
12
mikroba, harus diperhatikan cara-cara penggunaan antibiotik yang tepat
(Wattimena, 1991).
Mikroorganisme dapat memperlihatkan resistensi terhadap obat-obatan
melalui berbagai mekanisme :
a.
Mikroorganisme menghasilkan enzim yang merusak obat aktif.
b.
Mikroorganisme mengubah permeabilitasnya terhadap obat tersebut.
c.
Mikroorganisme mengembangkan sasaran struktur yang diubah terhadap
obat.
d.
Mikroorganisme mengembangkan jalur metabolisme lain yang melalui jalan
pintas reaksi yang dihambat oleh obat.
e.
Mikroorganisme membentuk suatu enzim yang telah mengalami perubahan
tetapi enzim tersebut masih dapat menjalankan fungsi metabolismenya serta
tidak begitu dipengaruhi oleh obat seperti enzim pada bakteri yang peka
(Jawetz et al., 1991).
5.
Uji Aktivitas Antibakteri
Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap antimikroba dapat dilakukan
dengan salah satu dari dua metode pokok yakni dilusi atau difusi. Penting sekali
untuk menggunakan metode standar untuk mengendalikan semua faktor yang
mempengaruhi aktivitas antimikroba (Jawetz et al., 2005).
a.
Metode Dilusi
Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara
bertahap, baik dengan media cair atau padat. Kemudian media diinokulasi bakteri
uji dan dieramkan. Tahap akhir metode ini, antimikroba dilarutkan dengan kadar
yang menghambat atau mematikan. Uji kepekaan cara dilusi agar memakan waktu
dan penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja. Uji kepekaan cara dilusi
cair dengan menggunakan tabung reaksi, tidak praktis dan jarang dipakai, namun
kini ada cara yang lebih sederhana dan banyak dipakai, yakni menggunakan
microdilution plate (Jawetz et al., 2005).
Metode dilusi adalah metode untuk menentukan konsentrasi minimal suatu
antibakteri yang dapat menghambat atau membunuh mikroorganisme. Pada
prinsipnya sampel antibakteri diencerkan sampai diperoleh beberapa konsentrasi.
13
Pada dilusi cair, masing-masing konsentrasi sampel antibakteri ditambah suspensi
kuman dalam media. Sedangkan pada dilusi padat tiap konsentrasi obat dicampur
dengan media agar kemudian ditanami bakteri (Departemen Kesehatan RI, 1994).
b. Metode Difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram
kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada medium padat yang
sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah diinkubasi,
diameter zona hambat sekitar cakram dipergunakan untuk mengukur kekuatan
hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi beberapa faktor
fisik dan kimia, selain faktor antara obat dan organisme (misalnya sifat medium
dan kemampuan difusi, ukuran molekular dan stabilitas obat). Meskipun
demikian, standardisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan melakukan uji
kepekaan dengan baik (Jawetz et al., 2005).
6.
Uji Bioautografi
Metode yang spesifik untuk mendeteksi bercak pada kromatogram hasil
kromatografi lapis tipis (KLT) dan kromatografi kertas yang mempunyai aktivitas
sebagai antibakteri, antifungi, antibiotik, dan antiviral disebut bioautografi (Djide,
2003).
Bioautografi dapat dibagi menjadi tiga metode, yaitu:
a.
Bioautografi Langsung
Bioautografi langsung adalah metode bioautografi yang dilakukan dengan
menumbuhkan mikroorganisme secara langsung di atas lempeng Kromatografi
Lapis Tipis (KLT). Prinsip kerja dari metode ini adalah suspensi mikroorganisme
uji yang peka dalam medium cair disemprotkan pada permukaan Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) yang telah dihilangkan sisa-sisa eluen yang menempel pada
lempeng kromatogram. Setelah itu dilakukan inkubasi pada suhu dan waktu
tertentu.
Pengeringan
kromatogram
dilakukan
secara
hati-hati
dengan
menggunakan hair dryer untuk menghiangkan sisa eluen. Senyawa dalam
lempeng kromatogram dideteksi dengan menggunakan sinar UV pada panjang
gelombang 254 nm dan 366 nm. Setelah diketahui letak dan jumlah senyawa aktif
yang terpisah atau terisolasi, dengan timbulnya noda (spot) pada lempeng KLT,
14
selanjutnya disemprotkan suspensi bakteri uji sebanyak 5-6 ml di atas permukaan
lempeng KLT tadi secara merata. Besarnya lempeng KLT yang sering digunakan
adalah 20x20 cm dan untuk meratakan suspensi bakteri yang telah disemprotkan
dapat menggunakan alat putar atau roller yang dilapisi dengan kertas
kromatogram (Whatman, Clipton). Lempeng KLT diinkubasi semalam (1x24 jam)
dalam box plastik dan dilapisi dengan kertas, kemudian disemprot dengan 5 ml
larutan TTC (20 mg/ml) atau INT (5 mg/ml), INTB (5 mg/ml) serta MTT (2,5
mg/ml) dan selanjutnya diinkubasi kembali selama 4 jam pada suhu 37C
(Akhyar, 2010).
b. Bioautografi kontak
Bioautografi kontak dilakukan dengan cara senyawa antimikroba
dipindahkan dari lempeng KLT ke medium agar yang telah diinokulasikan bakteri
uji yang peka secara merata dan melakukan kontak langsung. Metode ini
didasarkan atas difusi dari senyawa yang telah dipisahkan dengan Kromatogafi
Lapis Tipis (KLT) atau kromatografi kertas. Lempeng kromatografi tersebut
ditempatkan di atas permukaan Nutrien Agar yang telah diinokulasikan dengan
mikroorganisme yang sensitif terhadap senyawa antimikroba yang dianalisis.
Setelah 15-30 menit, lempeng kromatografi tersebut dipindahkan dari permukaan
medium. Senyawa antimikroba yang telah berdifusi dari lempeng kromatogram ke
dalam media agar akan menghambat pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi pada
waktu dan suhu yang tepat sampai noda yang menghambat pertumbuhan
mikroorganisme uji tampak pada permukaan membentuk zona yang jernih. Untuk
memperjelas digunakan indikator aktivitas dehidrogenase (Akhyar, 2010).
c.
Bioautografi pencelupan
Bioautografi pencelupan dilakukan dengan cara medium agar yang telah
diinokulasikan dengan suspensi bakteri dituang di atas lempeng Kromatografi
Lapis Tipis (KLT). Pada prakteknya metode ini dilakukan sebagai berikut yaitu
bahwa lempeng kromatografi yang telah dielusi diletakkan dalam cawan petri,
sehingga permukaan tertutup oleh medium agar yang berfungsi sebagai base
layer. Setelah base layer-nya memadat, dituangkan medium yang telah
15
disuspensikan mikroba uji yang berfungsi sebagai seed layer. Kemudian
diinkubasi pada suhu dan waktu yang sesuai (Akhyar, 2010).
E. Landasan Teori
Penelitian mengenai kandungan senyawa dalam pare telah banyak
dilakukan. Menurut Juliana et al., (2010) cit Grover (2004) pare banyak
mengandung senyawa metabolit sekunder diantaranya adalah senyawa metabolit
sekunder turunan triterpenoid, turunan flavonoid, dan turunan steroid. Ekstrak
metanol daging buah pare yang difraksinasi dengan n-heksan kemudian dilakukan
pemisahan dan pemurnian dengan menggunakan teknik kromatografi kolom dan
rekristalisasi, menghasilkan senyawa turunan terpenoid yaitu triterpen aglikon
jenis kukurbitan yang tidak memiliki gugus karbonil (Juliana et al., 2010). Ekstrak
metanol buah pare kering yang sudah difraksinasi dan diisolasi menghasilkan
senyawa
kukurbitan
triterpenoid
baru
seperti
5β,
19-epoksi-3β,
25-
dihidroksikukurbita-6, 23(E)-din(4) dan 3β, 7β, 25-trihidroksikukurbita-5, 23(E)din-19-al(5) (Gambar 1). Selain itu pare juga mengandung momordikosid I, 3β,
7β, 25-trihidroksikukurbita-5, 23(E)-din, 19-al, 5β, 19-epoksikukurbita 6, 23(E)din-3β, 19, 25-triol, 5β, 19-epoksi-19-metoksikukurbita-6, 23(E)-din-3β, 25-diol,
momordikosid L, asam para-metoksibensoat, sitosterol, dan stigmastadinol
(Gambar 2) (Harinantenaina et al., 2006).
Trombetta et al. (2005), melaporkan khasiat antimikroba dari tiga
monoterpen (linalil asetat, mentol, dan timol) terhadap bakteri Gram positif
Staphylococcus aureus dan bakteri Gram negatif Escherichia coli. Hasilnya
menunjukkan bahwa setiap monoterpen menghambat pertumbuhan kedua strain
mikroba, meskipun S. aureus lebih sensitif dibandingkan dengan E. coli terhadap
semua senyawa. MIC (Minimum Inhibitory Concentration) menunjukkan bahwa
mentol jauh lebih toksik terhadap S. aureus dibandingkan linalil asetat, dan
mentol adalah senyawa yang paling beracun terhadap E. coli. Menurut paparan
hasil penelitian diperoleh bahwa ekstrak buah dan daun pare mempunyai aktivitas
antimikroba pada mikroorganisme Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
Candida albicans, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Proteus
16
vulgaris, dan Salmonella typhi. Ekstrak metanol buah menunjukkan aktivitas
antimikroba yang lebih besar daripada ekstrak daun dengan persentase
penghambatan mencapai 75% pada mikroorganisme (Mwambete, 2009).
Gambar 2. Struktur kimia senyawa yang terkandung di dalam pare
F. Hipotesis
1.
Buah pare mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli
dan Staphylococcus aureus multiresisten antibiotik.
2.
Senyawa golongan terpenoid dalam ekstrak etanol buah pare mempunyai
aktivitas antibakteri.
Download