8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Spiritual Care 2.1.1

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Spiritual Care
2.1.1 Defenisi Spiritual
Kata spiritual berasal dari bahasa Latin yaitu spiritusyang berarti hembusan atau
bernafas, kata ini memberikan makna segala sesuatu yang penting bagi hidup
manusia. Seseorang dikatakan memiliki spirit yang baik jika orang tersebut
memiliki harapan penuh, optimis dan berfikir positif, sebaliknya jika seseorang
kehilangan spiritnya maka orang tersebut akan menunjukkan sikap putus asa,
pesimis dan berfikir negatif (Blais et al, 2002 ; Roper, 2002).
Terdapat berbagai defenisi spiritual menurut sudut pandang masingmasing. Mahmoodishan (2010) dan Vlasblom (2012) mendefenisikan spiritualitas
merupakan konsep yang luas, sangat subjektif dan individualis, diartikan dengan
cara yang berbeda pada setiap orang. Spiritualitas adalah kepercayaan seseorang
akan adanya Tuhan, dan kepercayaan ini menjadi sumber kekuatan pada saat sakit
sehingga akan mempengaruhi keyakinannya tentang penyebab penyakit, proses
penyembuhan penyakit dan memilih orang yang akan merawatnya (Blais et al,
2002; Hamid, 2008).
Defenisi lain menyatakan bahwa spiritualitas merupakan bagian inti dari
individu yang tidak terlihat dan memberikan makna dan tujuan hidup serta
hubungan dan keterikatan dengan Yang Maha Tinggi yaitu Tuhan (DewitWeaver, 2001 dalam McEwen, 2003). Spiritualitas berbeda dengan agama,
spiritualitas merupakan konsep yang lebih luas yang bersifat universal dan pribadi
8
Universitas Sumatera Utara
9
sedangkan agama merupakan bagian dari spiritualitas yang terkait dengan budaya
dan masyarakat (McEwen, 2003).
2.1.2. Spiritual Care
Spiritual Care adalah praktek dan prosedur yang dilakukan oleh perawat
terhadap pasien untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien (Cavendish et al,
2003). Menurut Meehan (2012) spiritual care adalah kegiatan dalam keperawatan
untuk membantu pasien yang dilakukan melalui sikap dan tindakan praktek
keperawatan berdasarkan nilai-nilai keperawatan spiritual yaitu mengakui
martabat manusia, kebaikan, belas kasih, ketenangan dan kelemahlembutan.
Chan (2008) dan Mc Sherry & Jamieson (2010) mengatakan bahwa
spiritual care merupakan aspek perawatan yang integral dan fundamental dimana
perawat menunjukkan kepedulian kepada pasien.
Spiritual care berfokus pada menghormati pasien, interaksi yang ramah
dan simpatik, mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberikan kekuatan
pada pasien dalam menghadapi penyakitnya (Mahmoodishan, 2010). Spiritual
care tidak mempromosikan agama atau praktek untuk meyakinkan pasien tentang
agamannya melainkan memberi kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan
nilai-nilai dan kebutuhan mereka, dan memberdayakan mereka terkait dengan
penyakitnya ( Souza et al, 2007 dalam Sartori, 2010).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa spiritual care adalah praktek
dan prosedur keperawatan yang dilakukan perawat untuk memenuhi kebutuhan
spiritual pasien berdasarkan nilai-nilai keperawatan spiritual yang berfokus pada
menghormati pasien, interaksi yang ramah dan simpatik, mendengarkan dengan
Universitas Sumatera Utara
10
penuh perhatian, memberi kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan
kebutuhan pasien, memberikan kekuatan pada pasien dan memberdayakan mereka
terkait dengan penyakitnya, dan tidak mempromosikan agama atau praktek untuk
meyakinkan pasien tentang agamannya.
2.1.3. Kebutuhan Spiritual
Setiap manusia memiliki dimensi spiritual dan semua pasien memiliki
kebutuhan spiritual dan kebutuhan ini menonjol pada saat keadaan stres
emosional, sakit, atau bahkan menjelang kematian. Oleh karena itu perawat harus
sensitif akan kebutuhan spiritual pasien dan berespon dengan tepat. Pemenuhan
kebutuhan spiritual pasien dapat meningkatkan perilaku koping dan memperluas
sumber-sumber kekuatan pada pasien (Kozier et al, 2004).
Hamid (2008) mengatakan bahwa kebutuhan spiritual merupakan
kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan
dicintai, adanya rasa keterikatan, kebutuhan untuk memberi dan mendapat maaf.
Speck (2005, dalam Sartori, 2010) menggambarkan kebutuhan spiritual sebagai
bagian penting dari kehidupan kita yang dapat membantu kita untuk mengatasi
kondisi kita, menemukan makna dan tujuan, serta harapan dalam hidup. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Hodge et al (2011) menemukan enam kebutuhan
spiritual pasien yaitu :
a. Makna,tujuan, dan harapan hidup
Merupakan kebutuhan untuk memahami peristiwa dalam kehidupan secara
keseluruhan. Pasien membutuhkan penjelasan tentang penyakitnya, mengapa
penyakit ada pada dirinya, dengan adanya penjelasan diharapkan pasien tidak
Universitas Sumatera Utara
11
putus asa, berfikir positif, mensyukuri berkat Tuhan, fokus pada hal-hal yang
baik,membuat hidup menjadi lebih berarti. Kebutuhan akan makna, tujuan, dan
harapan erat kaitannya dengan kebutuhan akan hubungan dengan Tuhan.
b. Hubungan dengan Tuhan
Bagi pasien hubungan dengan Tuhan menjadi kebutuhan yang sangat
penting yang dapat membantu mereka menghadapi masa-masa sulit, memberikan
rasa yang utuh tentang makna dan tujuan serta memberikan harapan untuk masa
kini, masa depan, dan masa akhirat. Perilaku yang ditunjukkan pasien adalah
memohon, komunikasi dengan Tuhan, menerima kehendak Tuhan, menerima
rencana Tuhan, percaya bahwa Tuhan yang menyembuhkan penyakitnya, yakin
akan kehadiran Tuhan pada masa-masa perawatan penyakitnya dan pasien percaya
Tuhan yang memelihara dan mengawasi mereka.
c. Praktek spiritual
Pasien mempunyai keinginan untuk terlibat dalam kegiatan ibadah secara
rutin. Dengan kegiatan ibadah pasien berharap dapat meningkatkan hubungan
dengan Tuhan sehingga dapat mengatasi segala cobaan yang mereka hadapi.
Kegiatan yang dilakukan oleh pasien adalah berdoa, membaca kitab suci,
pelayanan keagamaan, mendengar musik rohani dan membaca buku yang bertema
rohani.
d. Kewajiban agama
Hal ini berhubungan dengan tradisi agama pasien misalnya adanya
makanan yang halal dan tidak halal, kematian dan proses penguburan yang harus
dihormati.
Universitas Sumatera Utara
12
e. Hubungan interpersonal
Selain hubungan dengan Tuhan, pasien juga membutuhkan hubungan
dengan orang lain, termasuk hubungan dengan kaum ulama. Kebutuhan ini
meliputi : mengunjungi anggota keluarga, menerima doa orang lain, meminta
maaf, menerima dukungan, dihargai dan dicintai orang lain.
f. Hubungan dengan perawat dan tenaga kesehatan lainnya
Pasien berharap memiliki interaksi dengan perawat dan tenaga kesehatan
lainnya. Pasien membutuhkan para tenaga kesehatan memiliki ekspresi wajah
yang ramah, kata-kata dan bahasa tubuh yang baik, menghormati, empati, peduli,
memberikan informasi tentang penyakitnya secara lengkap dan akurat, dan
mendiskusikan tentang pilihan pengobatan.
Narayanasamy (1991, 2001 dalam McSherry, 2006) mengatakan bahwa
kebutuhan spiritual pasien adalah kebutuhan akan makna dan tujuan, kebutuhan
akan cinta dan hubungan yang harmonis,kebutuhan akan pengampunan,
kebutuhan akan sumber pengharapan dan kekuatan, kebutuhan akan kreativitas,
kebutuhan akan kepercayaan, kebutuhan untuk mengekspresikan keyakinan
pribadi, kebutuhan untuk mempertahankan praktek spiritual, dan keyakinan pada
Tuhan atau dewa.
Penjelasan lebih rinci terkait kebutuhan spiritual pasien menurut
Narayanasamy (1991, 2001 dalam McSherry,2006) :
a. Kebutuhan akan makna dan tujuan
Kita semua memiliki kebutuhan untuk mengidentifikasi makna dan tujuan
hidup kita, hal ini membantu kita menemukan motivasi atau tujuan hidup kita.
Universitas Sumatera Utara
13
b. Cinta dan hubungan yang harmonis
Tanpa adanya cinta dan hubungan yang harmonis dengan orang lain
misalnya pasangan kita atau teman dekat, kita akan merasa sendiri dan kehilangan
sentuhan, rasa aman dan cinta.
c. Kebutuhan akan pengampunan.
Dalam kehidupan kita pasti akan mengalami hal-hal yang dapat
mengganggu dan adanya konflik. Akibatnya kita marah dan merasa bersalah, yang
dapat mengakibatkan gangguan fisik, psikologis, sosial, dan kesejahteraan
spiritual. Untuk menjaga keseimbangan ini, kita mencoba untuk menyelesaikan
konflik dalam hidup kita dengan cara memaafkan dan dimaafkan.
d. Kebutuhan akan kreativitas
Kemampuan untuk menemukan makna, ekspresi dan nilai dalam aspek
kehidupan seperti kegiatan sastra, seni, dan musik yang berasal dari kreativitas
setiap individu memberikan ekspresi, makna, serta sarana komunikasi. Kreativitas
akan menciptakan emosi seseorang dan perasaan yang indah dalam bentuk kreasi.
e. Kebutuhan akan kepercayaan
Individu akan merasa terisolasi dan diabaikan ketika kehilangan
kepercayaan. Kepercayaan merupakan dasar untuk membangun persahabatan dan
membina hubungan dengan orang lain.
f. Kebutuhan untuk mengekspresi keyakinan pribadi
Dalam kehidupan, ada kebutuhan yang mendasar untuk mengekspresikan
keyakinan pribadi seseorang. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan keyakinan
pribadi dapat menyebabkan frustasi dan akhirnya permusuhan.
Universitas Sumatera Utara
14
g. Kebutuhan untuk mempertahankan praktek spiritual
Kegiatan akan kebutuhan ini adalah berdoa, menghadiri kebaktian gereja,
mesjid atau kuil. Selama periode sakit atau dirawat inap, pasien berharap
kebutuhan ini tetap terpenuhi.
h. Keyakinan pada Tuhan atau dewa
Hal ini merupakan dimensi penting dari spiritual untuk beberapa individu.
Mereka yakin akan adanya kekuatan dari Tuhan atau dewa yang menciptakan
dunia.
Dalam mengidentifikasi kebutuhan spiritual pasien,
perawat harus
memiliki pemahaman dasar tentang kebutuhan spiritual pasien, menghormati
setiap keinginan pasien, menyadari bahwa pemenuhan kebutuhan spiritual pasien
bukan mempromosikan agama, perawat harus memahami spiritual mereka sendiri
sebelum mereka memenuhi kebutuhan spiritual pasien, memiliki komitmen dan
benar-benar berusaha untuk memahami kebutuhan pasien. Kebutuhan spiritual
pasien dapat diketahui perawat dengan mendengarkan secara aktif apa yang
disampaikan atau dikeluhkan oleh pasien melalui terciptanya komunikasi yang
efektif dan pengamatan terhadap pasien (Sartori, 2010).
2.1.4. Distres Spiritual
Monod (2012) menyatakan distres spiritual muncul ketika kebutuhan
spiritual tidak terpenuhi, sehingga dalam menghadapi penyakitnya pasien
mengalami depresi, cemas, dan marah kepada Tuhan. Distres spiritual dapat
menyebabkan ketidakharmonisan dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan dan
Tuhannya (Mesnikoff, 2002 dalam Hubbell et al, 2006).
Universitas Sumatera Utara
15
Kozier (2004) juga mengidentifikasi beberapa faktor yang berhubungan
dengan distres spiritual seseorang meliputi masalah-masalah fisiologis antara lain
diagnosis penyakit terminal, penyakit yang menimbulkan kecacatan atau
kelemahan, nyeri, kehilangan organ atau fungsi tubuh atau kematian bayi saat
lahir, masalah terapi atau pengobatan antara lain anjuran untuk transfusi darah,
aborsi, tindakan pembedahan, amputasi bagian tubuh dan isolasi, masalah
situasional antara lain kematian atau penyakit pada orang-orang yang dicintai,
ketidakmampuan untuk melakukan praktek spiritual (Carpenitto, 2002 dalam
Kozier et al, 2004). Karakteristik pasien yang mengalami distres spiritual menurut
Dover (2001) antara lain: pasien putus asa, tidak memiliki tujuan dalam hidupnya,
menganggap dirinya dijauhi Tuhan, dan tidak melakukan kegiatan ibadah.
Ketika sakit, kehilangan atau nyeri menyerang seseorang, kekuatan
spiritual dapat membantu seseorang untuk sembuh. Selama sakit atau kehilangan,
misalnya saja, individu merasa kurang mampu untuk merawat diri mereka dan
lebih bergantung pada orang lain. Distres spiritual dapat berkembang sejalan
dengan seseorang mencari makna tentang apa yang terjadi, dan dapat
mengakibatkan seseorang merasa sendiri dan terasing. Untuk itu diharapkan
perawat mengintegrasikan perawatan spiritual kedalam proses keperawatan
(Potter & Perry, 2004).
2.1.5. Kesehatan/Kesejahteraan Spiritual
Kesehatan spiritual atau disebut juga kesejahteraan spiritual adalah rasa
keharmonisan, saling adanya kedekatan antara diri sendiri dengan orang lain,
alam, dan dengan kehidupan yang tertinggi. Rasa keharmonisan ini tercapai ketika
Universitas Sumatera Utara
16
seseorang menemukan adanya keseimbangan antara nilai, tujuan, dan keyakinan
mereka akan hubungannya dengan diri sendiri dan orang lain (Potter & Perry,
2004). Ellison (1983 dan Pilch 1988 dalam Kozier et al, 2004) mendefenisikan
kesehatan spiritual adalah suatu cara hidupyang penuh makna, berguna,
menyenangkan dan bebas untuk memilih setiap ada kesempatan yang sesuai
dengan nilai-nilai spiritual.
Manusia memelihara dan meningkatkan spiritualnya dengan berbagai
cara, ada yang memfokuskan pada pengembangan dirinya sendiri yaitu dialognya
dengan Tuhan melalui doa, meditasi, melalui mimpi, berkomunikasi dengan alam,
atau melalui ekspresi dibidang seni seperti drama, musik dan menari, sementara
yang lain lebih memfokuskan pada dunia luar yaitu dengan mencintai orang lain,
melayani orang lain, gembira, tertawa, terlibat dalam pelayanan keagamaan,
persahabatan dan aktivitas bersama, rasa haru, empati, pengampunan, dan harapan
(Kozier et al, 2004). Hasil penelitian Dover (2001) dan Monod (2012)
menyimpulkan ketika penyakit menyerang seseorang maka kesehatan spiritualnya
dapat membantu untuk sembuh karena yakin semua usaha yang dilakukannya
akan berhasil, pasien mampu melewati masa-masa sulit dalam hidupnya, dan tidak
menyerah dengan penyakitnya.
2.2. Peran Perawat Dalam Spiritual Care
Dahulu spiritual carebelum dianggapsebagai suatu dimensiNursing
Therapeutic, tetapi dengan munculnya Holistic Nursing maka Spiritual care
menjadi aspek yang harus diperhatikan dan pengkajian kebutuhan spiritual pasien
berkembang dan dikenal sebagai aktivitas-aktivitas legitimasi dalam domain
Universitas Sumatera Utara
17
keperawatan (O′Brien, 1999). Perawat merupakan orang yang selalu hadir ketika
seseorang sakit, kelahiran, dan kematian. Pada peristiwa kehidupan tersebut
kebutuhan spiritual sering menonjol,
dalam hal ini perawat berperan untuk
memberikan spiritual care (Cavendish, 2003).
Balldacchino (2006) menyimpulkan bahwa perawat berperan dalam proses
keperawatan yaitu melakukan pengkajian, merumuskan diagnosa keperawatan,
menyusun rencana dan implementasi
keperawatan serta melakukan evaluasi
kebutuhan spiritual pasien, perawat juga berperan dalam komunikasi dengan
pasien, tim kesehatan lainnya dan organisasi klinis/pendidikan, serta menjaga
masalah etik dalam keperawatan. Peran perawat dalam proses keperawatan terkait
dengan spiritual caredijelaskan sebagai berikut :
2.2.1. Pengkajian kebutuhan spiritual pasien
Pengkajian spiritual menurut Kozier et al (2004) terdiri dari pengkajian
riwayat keperawatan dan pengkajian klinik. Pada pengkajian riwayat keperawatan
semua pasien diberikan satu atau dua pertanyaan misalnya ‟apakah keyakinan dan
praktek spiritual penting untuk anda sekarang?”, bagaimana perawat dapat
memberikan dukungan spiritual pada anda?”. Pasien yang memperlihatkan
beberapa kebutuhan spiritual yang tidak sehat yang beresiko mengalami distres
spiritualharus dilakukan pengkajian spiritual lebih lanjut.
Kozier menyarankan pengkajian spiritual sebaiknya dilakukan pada akhir
proses pengkajian dengan alasan pada saat tersebut sudah terbangun hubungan
saling percaya antara perawat dan pasien. Untuk itu diharapkan perawat
meningkatkan sensitivitasnya, dapat menciptakan suasana yang menyenangkan
Universitas Sumatera Utara
18
dan saling percaya, hal ini akan meningkatkan keberhasilan pengkajian spiritual
pasien. Pertanyaan yang diajukan pada pasien saat wawancara untuk mengkaji
spiritual pasien antara lain : adakah praktik keagamaan yang penting bagi anda?,
dapatkah anda menceritakannya pada saya?, bagaimana situasi yang dapat
mengganggu praktik keagamaan anda?, bagaimana keyakinan anda bermanfaat
bagi anda?, apakah cara-cara itu penting untuk kebaikan anda sekarang?, dengan
cara bagaimana saya dapat memberi dukungan pada spiritual anda?, apakah anda
menginginkan dikunjungi oleh pemuka agama di rumah sakit?, apa harapanharapan anda dan sumber-sumber kekuatan anda sekarang?, apa yang membuat
anda merasa nyaman selama masa-masa sulit ini?.
Pada pengkajian klinik menurut Kozier et al (2004) meliputi :
a. Lingkungan yaitu apakah pasien memiliki kitab suci atau dilingkungannya
terdapat kitab suci atau buku doa lainnya, literatur-literatur keagamaan,
penghargaan keagamaan, simbol keagamaan misalnya tasbih, salib dan
sebagainya diruangan? Apakah gereja atau mesjid mengirimkan bunga atau
buletin?.
b. Perilaku yaitu apakah pasien berdoa sebelum makan atau pada waktu lainnya
atau membaca literatur keagamaan? Apakah pasien mengalami mimpi buruk
dan gangguan tidur atau mengekspresikan kemarahan pada Tuhan?
c. Verbalisasi yaitu apakah pasien menyebutkan tentang Tuhan atau kekuatan
yang Maha Tinggi, tentang doa-doa, keyakinan, mesjid, gereja, kuil, pemimpin
spiritual, atau topik-topik keagamaan? Apakah pasien menanyakan tentang
Universitas Sumatera Utara
19
kunjungan pemuka agama? Apakah pasien mengekspresikan ketakutannya
akan kematian?
d. Afek dan sikap yaitu apakah pasien menunjukkan tanda-tanda kesepian,
depresi, marah, cemas, apatis atau tampak tekun berdoa?
e. Hubungan interpersonal yaitu siapa yang berkunjung? Apakah pasien berespon
terhadap pengunjung? Apakah ada pemuka agama yang datang? Apakah pasien
bersosialisasi dengan pasien lainnya atau staf perawat?.
Hamid (2008) mengatakan bahwa pada dasarnya informasi awal yang
perlu dikaji secara umum adalah sebagai berikut :
a. Afiliasi agama : partisipasi pasien dalam kegiatan agama apakah dilakukan
secara aktif atau tidak, jenis partisipasi dalam kegiatan agama.
b. Keyakinan agama atau spiritual, mempengaruhi : praktek kesehatan yaitu diet,
mencari dan menerima terapi, ritual atau upacara agama, persepsi penyakit
yaitu hukuman, cobaan terhadap keyakinan, dan strategi koping.
c. Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi : tujuan dan arti hidup, tujuan dan
arti kematian, kesehatan dan pemeliharaannnya, hubungan dengan Tuhan ,diri
sendiri dan orang lain.
Pedoman pengkajian spiritual menurut Craven & Hirnle (1995, dalam
Hamid, 2008) mencakup empat area yaitu konsep tentang Tuhan, sumber harapan
dan kekuatan, praktek agama dan ritual, hubungan antara keyakinan spiritual dan
kondisi kesehatan. Pertanyaan yang dapat diajukan perawat untuk memperoleh
informasi tentang pola fungsi spiritual pasien sebagai data subjektif antara lain,
sebagai berikut : apakah agama atau Tuhan merupakan hal yang penting dalam
Universitas Sumatera Utara
20
kehidupan anda? Kepada siapa anda biasanya meminta bantuan? Apakah anda
merasa bahwa kepercayaan (agama) membantu anda? Jika ya, jelaskan bagaimana
dapat membantu anda? Apakah sakit atau kejadian penting lainnya yang pernah
anda alami telah mengubah perasaan anda terhadap Tuhan? Mengapa anda di
rumah sakit? Apakah kondisi sakit telah mempengaruhi cara anda memandang
kehidupan? Apakah penyakit anda telah mempengarui hubungan anda dengan
orang yang paling berarti dalam kehidupan anda? Apakah kondisi sakit yang anda
alami telah mempengaruhi cara anda melihat diri anda sendiri? Apakah yang
paling anda butuhkan saat ini?
Dalam mengkaji spiritual pada anak, Craven & Hirnle (1995, dalam
Hamid, 2008) membuat pertanyaan sebagai berikut : bagaimana perasaanmu
ketika dalam kesulitan? Selain kepada orang tua kepada siapa engkau meminta
perlindungan ketika sedang merasa takut? Apa kegemaran yang dilakukan ketika
sedang merasa gembira atau sedih? Engkau tahu siapa Tuhan itu?
Pengkajian data objektif dilakukan perawat melalui observasi. Hal-hal
yang perlu diobservasi adalah apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah,
cemas, agitasi, atau apatis? Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan,
membaca kitab suci, atau buku keagamaan? Apakah pasien sering mengeluh,
tidak dapat tidur, mimpi buruk dan berbagai bentuk gangguan tidur lainnya, atau
mengekspresikan kemarahannya terhadap agama? Apakah pasien menyebut nama
Tuhan, doa, rumah ibadah, atau topik keagamaan lainnya? Apakah pasien pernah
meminta dikunjungi oleh pemuka agama? Apakah pasien mengekspresikan
ketakutannya terhadap kematian, konflik batin tentang keyakinan agama,
Universitas Sumatera Utara
21
kepedulian
tentang
hubungan
dengan
Tuhan,
pertanyaan
tentang
arti
keberadaannnya didunia, arti penderitaan? Siapa pengunjung pasien? Bagaimana
pasien berespon terhadap pengunjung? Apakah pemuka agama datang menjenguk
pasien? Bagaimana pasien berhubungan dengan pasien yang lain dan dengan
tenaga keperawatan? Apakah pasien membawa kitab suci atau perlengkapan
sembahyang lainnya? Apakah pasien menerima kiriman tanda simpati dari unsur
keagamaan?. Menurut Smyt (2011) pengkajian spiritual pasien dimulai dari pasien
atau keluarga pasien dengan cara mendengarkan dan melalui pengamatan
termasuk interaksi pasien dengan perawat, keluarga dan pengunjung lainnya, pola
tidur, gangguan fisik, dan tekanan emosional.
Hasil penelitian Leeuwen et al (2006) menyimpulkan bahwa pengkajian
spiritual pasien terbatas pada satu atau dua pertanyaan yaitu apakah pasien
merupakan bagian dari komunitas keagamaan atau apakah pasien ingin bertemu
dengan pemuka agamanya. Namun dalam beberapa situasi perawat bertanya lebih
mendalam misalnya tentang pandangan spiritual pasien atau bagaimana pasien
mengatasi suatu kondisi yang sedang dihadapi. Pada pasien tertentu perawat
mengakui bahwa pengkajian spiritual dengan wawancara tidak perlu dilakukan,
hanya melalui observasi saja, perawat berfikir pasien yang sekarat tidak etis untuk
dilakukan wawancara. Perawat dapat mengkaji dan memperoleh kebutuhan
spiritual pasien jika komunikasi yang baik sudah terjalin antara perawat dan
pasien, sehingga perawat dapat mendorong pasien untuk mengungkapkan hal-hal
yang terkait kebutuhan spiritual (Sartory, 2010).
Universitas Sumatera Utara
22
2.2.2. Merumuskan Diagnosa Keperawatan
O′Brien (1998, 69) mengatakan bahwa peran perawat dalam merumuskan
diagnosa
keperawatan
terkait
dengan
spiritual
pasien
mengacu
pada
distresspiritual yaitu spiritual pain, pengasingan diri (spiritual alienation),
kecemasan (spiritual anxiety), rasa bersalah (spiritual guilt), marah (spiritual
anger), kehilangan (spiritual loss), putus asa (spiritual despair). Distres
spiritualselanjutnya dijabarkan dengan lebih spesifik sebagai berikut :
a. Spiritual pain
Spiritual painmerupakan ekspresi atau ungkapan dari ketidaknyamanan
pasien akan hubungannya dengan Tuhan. Pasien dengan penyakit terminal atau
penyakit kronis mengalami gangguan spiritual dengan mengatakan bahwa pasien
merasa hampa karena selama hidupnya tidak sesuai dengan yang Tuhan inginkan,
ungkapan ini lebih menonjol ketika pasien menjelang ajal.
b. Pengasingan diri (spiritual alienation)
Pengasingan diri diekspresikan pasien melalui ungkapan bahwa pasien
merasa kesepian atau merasa Tuhan menjauhi dirinya. Pasien dengan penyakit
kronis merasa frustasi sehingga bertanya : dimana Tuhan ketika saya butuh Dia
hadir?
c. Kecemasan (spiritual anxiety)
Dibuktikan dengan ekspresi takut akan siksaan dan hukuman Tuhan, takut
Tuhan tidak peduli, takut Tuhan tidak menyukai tingkahlakunya. Beberapa
budaya meyakini bahwa penyakit merupakan suatu hukuman dari Tuhan karena
kesalahan-kesalahan yang dilakukan semasa hidupnya.
Universitas Sumatera Utara
23
d. Rasa bersalah (spiritual guilt)
Pasien mengatakan bahwa dia telah gagal melakukan hal-hal yang
seharusnya dia lakukan dalam hidupnya atau mengakui telah melakukan hal-hal
yang tidak disukai Tuhan.
e. Marah (spiritual anger)
Pasien mengekspresikan frustasi, kesedihan yang mendalam, Tuhan
kejam. Keluarga pasien juga marah dengan mengatakan mengapa Tuhan
mengijinkan orang yang mereka cintai menderita.
f. Kehilangan (spiritual loss)
Pasien mengungkapkan bahwa dirinya kehilangan cinta dari Tuhan, takut
bahwa hubungannya dengan Tuhan terancam, perasaan yang kosong. Kehilangan
sering diartikan dengan depresi, merasa tidak berguna dan tidak berdaya.
g. Putus asa (spiritual despair)
Pasien mengungkapkan bahwa tidak ada harapan untuk memiliki suatu
hubungan dengan Tuhan, Tuhan tidak merawat dia. Secara umum orang-orang
yang beriman sangat jarang mengalami keputusasaan.
Diagnosa keperawatan terkait kebutuhan spiritual menurut NANDA
(2012) antara lain: a) distress spiritual yang berhubungan dengan konflik nilai,
isolasi oleh orang lain, rasa takut, terpisah dari komunitas keagamaan, b) cemas
yang berhubungan dengan ancaman kematian, perubahan status kesehatan, c)
keputusasaan yang berhubungan dengan kehilangan keyakinan kepada Tuhan,
diabaikan oleh keluarga.
Universitas Sumatera Utara
24
2.2.3. Menyusun rencana keperawatan
Rencana keperawatan membantu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan
dalam diagnosa keperawatan. Rencana keperawatan merupakan kunci untuk
memberikan kebutuhan spiritual pasien dengan menekankan pentingnya
komunikasi yang efektif antara pasien dengan anggota tim kesehatan lainnya,
dengan keluarga pasien, atau orang-orang terdekat pasien. Memperhatikan
kebutuhan spiritual pasien memerlukan waktu yang banyak bagi perawat dan
menjadi sebuah tantangan bagi perawat disela-sela kegiatan rutin di ruang rawat
inap, sehingga malam hari merupakan waktu yang disarankan untuk untuk
berkomunikasi dengan pasien (Govier, 2000).
Pada fase rencana keperawatan, perawat membantu pasien untuk mencapai
tujuan yaitu memelihara atau memulihkan kesejahteraan spiritual sehingga
kepuasan spiritual dapat terwujud. Rencanaan keperawatan sesuai dengan
diagnosa keperawatan berdasarkan NANDA (2012) meliputi :
a.Mengkaji adanya indikasi ketaatan pasien dalam beragama, mengkaji sumbersumber harapan dan kekuatan pasien, mendengarkan pendapat pasien tentang
hubungan spiritual dan kesehatan, memberikan privasi, waktu dan tempat bagi
pasien untuk melakukan praktek spiritual, menjelaskan pentingnya hubungan
dengan Tuhan, empati terhadap perasaan pasien, kolaborasi dengan pemuka
agama, meyakinkan pasien bahwa perawat selalu mendukung pasien.
b. Menggunakan pendekatan yang menenangkan pasien, menjelaskan semua
prosedur dan apa yang akan dirasakan pasien selama prosedur, mendampingi
pasien untuk memberikan rasa aman dan mengurangi rasa takut, memberikan
Universitas Sumatera Utara
25
informasi tentang penyakit pasien, melibatkan keluarga untuk mendampingi
pasien, mengajarkan dan menganjurkan pasien untuk menggunakan tehnik
relaksasi, mendengarkan pasien dengan aktif, membantu pasien mengenali
situasi
yang
menimbulkan
kecemasan,
mendorong
pasien
untuk
mengungkapkan perasaan, ketakutan, dan persepsi.
c. Membantu pasien untuk beradaptasi terhadap perubahan atau ancaman dalam
kehidupan, meningkatkan hubungan interpersonal pasien, memberikan rasa
aman.
2.2.4. Implementasi keperawatan
Perawat dapat menggunakan empat alat/instrumen spiritual untuk
membantu perawat dalam melaksanakan spiritual care yaitu perawat perlu
mendengarkan pasien, perawat perlu hadir setiap saat untuk pasien, kemampuan
perawat untuk menerima apa yang disampaikan pasien, dan menyikapi dengan
bijaksana keterbukaan pasien pada perawat. Perawat perlu menyadari bahwa
memberikan spiritual care bukan hanya tugas dari pemuka agama, oleh karena itu
perawat juga harus mengenali keterbatasan pada diri sendiri dan harus
bekerjasama dengan disiplin ilmu lain seperti pembimbing rohani yang ada di
rumah sakit, sehingga dapat berperan penting dalam memberikan dukungan
terhadap kebutuhan spiritual pasien (Govier, 2000).
Penelitian Cavendish (2003) dan Narayanasamy (2004) menyimpulkan
bahwa kegiatan perawat dalam implementasi spiritual pasien adalah antara lain :
mendukung spiritual pasien, pendampingan/kehadiran, mendengarkan dengan
aktif, humor, terapi sentuhan, meningkatkan kesadaran diri, menghormati privasi,
Universitas Sumatera Utara
26
dan menghibur misalnya dengan terapi musik. Kozier et al (2004) mengatakan
bahwa perawat perlu mempertimbangkan praktek keagamaan tertentu yang akan
mempengaruhi asuhan keperawatan, seperti keyakinan pasien tentang kelahiran,
kematian, berpakaian, berdoa, dan perawat perlu mendukung spiritual pasien.
Kehadiran menurut Zerwekh (1997 dalam Kozier et al, 2004) diartikan
bahwa perawat hadir dan menyatu dengan pasien. Osterman dan Schwartz-Barcott
(1996 dalam Kozier et al, 2004) mengidentifikasi empat cara pendampingan untuk
pasien yaitu presensi yakni ketika perawat secara fisik hadir tetapi tidak fokus
pada pasien, presensi parsial yakni ketika perawat secara fisik hadir dan mulai
berusaha fokus pada pasien, presensi penuh yakni ketika perawat hadir disamping
pasien baik secara fisik, mental maupun emosional, dan dengan sengaja
memfokuskan diri pada pasien, presensi transenden yakni ketika perawat hadir
baik secara fisik, mental, emosional, maupun spiritual.
Membantu berdoa atau mendoakan pasien juga merupakan salah satu
tindakan keperawatan terkait spiritual pasien. Berdoa melibatkan rasa cinta dan
keterhubungan. Pasien dapat memilih untuk berpartisipasi secara pribadi atau
secara kelompok dengan keluarga, teman atau pemuka agama. Pada situasi ini
peran perawat adalah memastikan ketenangan lingkungan dan privasi pasien
terjaga.
Keadaan sakit dapat mempengaruhi kemampuan pasien untuk berdoa.
Pada beberapa rumah sakit pasien dapat meminta perawat untuk berdoa dengan
mereka dan ada yang berdoa dengan pasien hanya bila ada kesepakatan antara
pasien dengan perawat. Karena berdoa melibatkan perasaan yang dalam, perawat
Universitas Sumatera Utara
27
perlu menyediakan waktu bersama pasien setelah selesai berdoa, untuk
memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaannya
(Kozier et al, 2004).
Menurut Kozier et al (2004) perawat perlu juga merujuk pasien kepada
pemuka agama. Rujukan mungkin diperlukan ketika perawat membuat diagnosa
distres spiritual, perawat dan pemuka agama dapat bekerjasama untuk memenuhi
kebutuhan spiritual pasien. McSherry (2010) mengatakan bahwa dalam
implementasi perawat harus peduli, penuh kasih, gembira, ramah dalam
berinteraksi, dan menghargai privasi.
2.2.5. Evaluasi
Untuk melengkapi siklus proses keperawatan spiritual pasien, perawat
harus melakukan evaluasi yaitu dengan menentukan apakah tujuan telah tercapai.
Hal ini sulit dilakukan karena dimensi spiritual yang bersifat subjektif dan lebih
kompleks. Membahas hasil dengan pasien dari implementasi yang telah dilakukan
tampaknya menjadi cara yang baik untuk mengevaluasi spiritual care pasien
(Govier, 2000).
Hasil penelitian Narayanasamy (2004) mengatakan bahwa pada tahap
evaluasi perawat menilai bagaimana efek pada pasien dan keluarga pasien dimana
diharapkan ada efek yang positif terhadap pasien dan keluarganya, misalnya
pasien dan keluarganya mengungkapkan bahwa kebutuhan spiritual mereka
terpenuhi, mengucapkan terimakasih karena sudah menyediakan pemuka agama.
Universitas Sumatera Utara
28
2.3. Standar Operasional Prosedur (SOP) Spiritual Care
Penelitian Baldacchino (2006) dan Cavendish et al (2003) menemukan
jika perawat melakukan kegiatan spiritual care, jenis dan frekwensi dari
intervensi tidak diketahui karena spiritual care jarang bahkan tidak pernah
didokumentasikan. Menurut Broten (1997 dalam Cavendish et al (2003)
mengatakan beberapa perawat tidak mendokumentasikan kegiatan spiritual care
karena tidak ada petunjuk pelaksanaan. Cavendish et al (2003) mengungkapkan
bahwa dalam memberikan spiritual care pada pasien, perawat dapat
menggunakan petunjuk pelaksanaan Nursing Interventions Classification (NIC)
Labels. Kegiatan perawat dalam memberikan spiritual care dikategorikan menjadi
10 kategori yaitu: fasilitasi pertumbuhan spiritual, dukungan spiritual, kehadiran,
mendengarkan dengan aktif, humor, sentuhan, terapi sentuhan, peningkatan
kesadaran diri, rujukan, dan terapi musik. Sepuluh kategori tersebut akan
diuraikan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Standar Operasional Prosedur Spiritual Care berdasarkan
Nursing Interventions Classification (NIC) Labels
NO
1.
NIC Label
Fasilitasi
pertumbuhan
spiritual
Perencanaan NIC
Pelaksanaan NIC
Mendorong pasien
untuk mengungkapkan
perasaannya
b. Mendorong pasien
melakukan
praktek
spiritual
c. Mendukung pasien aktif
dalam
kegiatan
keagamaan
d. Mendorong pasien
meningkatkan
hubungan
a. Menanyakan pasien tentang
perasaannya
b. Mendorong pasien berdoa
c. Mendoakan pasien
d. Mendorong keluarga,
kerabat berdoa bersama
pasien
e. Meminta keluarga,
kerabat agar membantu
memenuhi kebutuhan
spiritual pasien
a.
Universitas Sumatera Utara
29
NO
NIC Label
Perencanaan NIC
Pelaksanaan NIC
dengan keluarga, orang f. Meminta keluarga, kerabat
lain dan pemuka agama
peduli dengan spiritual
e.
Mempromosikan
pasien
hubungan dengan orang g. Memberikan kartu ucapan
lain untuk kegiatan
pada pasien
keagamaan
f.
Menciptakan h. Menyediakan lingkungan
lingkungan
yang
yang nyaman
nyaman
i. Merujuk kepemuka agama
j. Menyediakan tempat berdoa
pasien dengan pemuka
agama
2
3.
Dukungan
spiritual
Kehadiran
a. Mendorong pasien
melakukan kegiatan
keagamaan , jika
diinginkan
b. Mendorong pasien
menggunakan sumber
daya spiritual jika
diinginkan
c. Menyediakan artikel
keagamaan
d. Menfasilitasi pasien
menggunakan
meditasi, doa, ritual
dan tradisi agama
lainnya
e. Mendengarkan dengan
aktif
f. Meyakinkan pasien
bahwa perawat
mendukung pasien
a. Menunjukkan sikap
menerima
b. Mengungkapkan
secara verbal bahwa
perawat empati
terhadap pengalaman
pasien
c. Membangun
kepercayaan dan hal
a. Mengingatkan pasien untuk
ibadah
b. Mengantar pasien ibadah
c. Menawarkan spiritual care
d.
e.
f.
g.
h.
i.
a.
b.
c.
d.
Menanyakan apakah
pasien dan keluarga butuh
pemuka agama
Menyediakanartikel
keagamaan
Mengijinkan pasien untuk
meditasi, berdoa, dan
ritual lainnya
Mendengarkan dengan
aktif ungkapan pasien
tentang perasaannya
Menghibur pasien
Mendiskusikan tentang
penyakit dan kematian
Mengakui pasien sebagai
individu yang unik
Berbicara dengan keluarga
pasien
Menawarkan dukungan
emosional kepada pasien
dan keluarga
Penguatan melalui
sentuhan
Universitas Sumatera Utara
30
positif
d. Mendengarkan
keprihatinan pasien
e. Menyentuh pasien
NO
NIC Label
Perencanaan NIC
untuk mengungkapkan
keprihatinan
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Mendengarkan a. Menetapkan tujuan
dengan aktif
untuk berinteraksi
b. Menunjukkan
kesadaran dan
kepekaan terhadap
emosi pasien
c. Mendorong pasien
untuk merefleksikan
sikap, pengalaman
masa lalu dengan
situasi saat ini
Humor
Membuat cerita lucu
sehingga pasien gembira
Sentuhan
Memegang tangan pasien
untuk
memberikan
dukungan emosional
Terapi
Memegang tangan pasien
sentuhan
dengan lembut
Peningkatan
Membantu pasien untuk
Kesadaran diri mengidentifikasi sumber
motivasi
Rujukan
Mengidentifikasi asuhan
keperawatan/kesehatan
yang dibutuhkan pasien
Terapi musik
Memfasilitasi partisipasi
aktif pasien, misalnya
memainkan alat musik
atau bernyanyi jika hal ini
diinginkan dan layak
:memeluk,membelai,
berpegangan tangan
e. Bertindak sebagai advokat
:
Pelaksanaan NIC
Perawat hadir secara fisik
untuk membantu keluarga
dan pasien
a. Membiarkan pasien
bercerita tentang pasien
sendiri
b. Mendorong pasien untuk
selalu semangat
c. Melakukan diskusi tentang
hal-hal yang tidak pasti
Membuat humor dengan
cerita lucu
Memegang tangan pasien
Menyampaikan energy positif
melalui sentuhan
Menyampaikan pada pasien
tentang
keyakinan
yang
positif
Mengidentifikasi kebutuhan
spiritual pasien
Menyanyikan
lagu-lagu
rohani bersama pasien untuk
menenangkan pasien
2.4. Peran manajer perawat dalamspiritual care
Menurut Amankwa et al (2009) peran manajer perawat dalam
menyediakan spiritual care bagi pasien tergantung pada beberapa faktor, tetapi
Universitas Sumatera Utara
31
tujuan akhirnya hanya dapat dicapai ketika manajer perawat memahami tentang
spiritual care dan menanamkan sikap dan nilai-nilai kepada orang-orang dalam
hal ini perawat yang dipimpinnya, untuk itu peran manajer perawat adalah
melakukan advokasi dalam pembuatan kebijakan untuk staf perawat terkait
dengan peningkatan pelayanan spiritual care oleh perawat karena penyediaan
spiritual care bagi pasien rawat inap merupakan salah satu area yang
membutuhkan pengembangan kebijakan oleh manajer perawat.
Manajer perawat juga berperan memberikan bimbingan dan dukungan
atau motivasi bagi perawat, bertanggungjawab untuk memimpin perawat dalam
melaksanakan spiritual care dan menciptakan lingkungan perawatan yang
mendukung intervensi spiritual care bagi pasien,jika manajer perawat
melaksanakan program-program kegiatan spiritual care, maka staf perawat akan
mendapatkan arah yang jelas terkait spiritual care (McSherry, 2010; Jenkins,
2010; Mehaan, 2012; Battey 2012). Sebaliknya jika manajer perawat tidak
diberikan kekuasaan yang cukup oleh rumah sakit dan manajer perawat
memaksakan perawat untuk melakukan apapun untuk rumah sakit tanpa
mempertimbangkan kesejahteraan mereka akibatnya perawat merasa rendah diri,
tidak berdaya dan merasa diabaikan (Fen Wu dan Ying Lin, 2011).
Amankwaa (2009) mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi
persepsi manajer perawat tentang peran mereka dalam
menyediakan spiritual care. Faktor internal terdiri dari persepsi manajer perawat
tentang spiritual care terkait dengan keagamaan, manfaat spiritual care sebagai
ukuran kenyamanan, intervensi spiritual care oleh pemuka agama, perasaan yang
Universitas Sumatera Utara
32
tidak nyaman, kepribadian manajer perawat misalnya sifat, kebutuhan, dan
skilnya, dan kebijakan tentang holistic spiritual. Faktor eksternal yaitu tidak
adanya pengawasan, tidak ada pendidikan dan pelatihan spiritual care , pengaruh
dari tren profesi yaitu holistic care, dan job description yang tidak jelas.
Hasil penelitian Amankwaa (2009) merekomendasikan empat hal untuk
meningkatkan peran manajer perawat dalam memberikan spiritual care :
a. Menyertakan aspek spiritualitas dalam pelatihan kepemimpinan
Harus ada pedoman yang menjelaskan tentang manfaat spiritual care
untuk pasien. Manajer perawat dapat melaksanakan perannya melalui pendidikan
dan pelatihan.
b. Mendukung staf
Spiritual care harus menjadi perawatan yang rutin. Manajer perawat
memiliki kemampuan untuk mengembangkan kebijakan terkait spiritual care.
Manajer perawat harus mendukung staf perawat, karena memberikan spiritual
care dapat meningkatkan hubungan antara perawat dengan pasien dan
meningkatkan hasil perawatan sehingga menghasilkan kepuasan bagi pasien dan
perawat.
c. Advokasi untuk penilaian spiritual.
Banyak alat penilaian spiritual dapat ditemukan dalam literatur dan harus
digunakan untuk menilai kebutuhan unik dari semua pasien. Penilaian spiritual
pasien adalah meminta perawat untuk menanyakan tentang sumber dukungan bagi
pasien, konsekuensi yang berhubungan dengan penyakit saat ini, dan masalah
pengobatan. Dengan adanya komunikasi antara perawat dan pasien, maka perawat
Universitas Sumatera Utara
33
dapat menemukan cara untuk mendukung pasien selama dirawat inap dan
memenuhi kebutuhan holistik dan spiritual pasien.
d. Sertakan pendidikan spiritual care dalam orientasi keperawatan
Diskusikan kebijakan yang berhubungan dengan perawatan holistik dan
spiritual serta meninjau instrumen penilaian spiritual. Mengorientasikan perawat
baru dengan harapan bahwa perawatan spiritual merupakan perawatan yang rutin
untuk memenuhi spiritual pasien. Hal ini juga menekankan pentingnya spiritual
care sebagai komponen dari holistic nursing.
Menurut Patelarou ( 2012) bahwa perawat membutuhkan hubungan yang
positif dengan manajer perawat agar mereka dapat bekerja dengan efektif dan
melaksanakan tugas mereka sehari-hari. Sementara itu manajer perawat
mengharapkan perawat dapat menjadi sumber informasi didalam membantu
manajer perawat dalam kegiatan memenuhi kebutuhan spiritual pasien (Meehan,
2012)
2.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi perawat dalam memberikan spiritual
care
Aspek spiritual sangat berperan penting bagi kesehatan, kesejahteraan, dan
kualitas hidup manusia. Dengan demikian, maka pemberian spiritual care
merupakan hal yang harus dilakukan perawat agar dapat membantu memelihara
dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pasien.Namun perawat selalu
merasa kesulitan dalam memberikan spiritual care pasien.
Menurut Mc Sherry
(2006) faktor-faktor yang mempengarui perawat
dalam dalam memberikan spiritual care dibagi dua yaitu faktor intrinsik terdiri
Universitas Sumatera Utara
34
dari ketidakmampuan perawat berkomunikasi, ambiqu, kurangnya pengetahuan
tentang spiritual, hal yang bersifat pribadi, dan takut melakukan kesalahan, faktor
ekstrinsik terdiri dari organisasi dan manajemen, hambatan ekonomi berupa
kekurangan perawat, kurangnya waktu, masalah pendidikan perawat. Faktor
intrinsik dan ekstrinsik dijelaskan sebagai berikut :
a. Ketidakmampuan perawat untuk berkomunikasi.
Ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif dapat mengakibatkan
pasien tidak mampu mengungkapkan kebutuhan spiritualnya, sedangkan ada
tidaknya kebutuhan spiritual pasien dapat diketahui
perawat dari pasien itu
sendiri, hal ini akan berakibat pula pada ketidakmampuan perawat menilai atau
menafsirkan keadaan, hal ini akan mengakibatkan pasien dan perawat putus asa,
situasi ini tidak mudah diatasi, karena tidak ada solusi yang mudah. Perawat dapat
mencoba mengatasi keadaan ini dengan berbagai tehnik untuk mencoba
menemukan apa yang menjadi kebutuhan spiritual pasien.
b. Ambigu
Ambigu muncul ketika perawat berbeda keyakinan dengan pasien yang
dirawatnya. Hal ini dapat mengakibatkan rasa tidak aman, sehingga perawat
menghindar dari keadaan ini. McSherry (1998) mengatakan ambigu mencakup
kebingungan perawat, takut salah, dan menganggap spiritual terlalu sensitif dan
merupakan hak pribadi pasien.
c. Kurangnya pengetahuan tentang spiritual care
Ambigu juga dapat muncul ketka perawat tidak mengetahui tentang
spiritual care. Ozbasaran et al (2011) dan Hubbell et al (2006) mengatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
35
persepsi perawat tentang spiritual caredapat menjadi penghalang perawat dalam
memberikan spiritual care. Jika mereka percaya bahwa pemberian spiritual care
adalah ibadah maka persepsi ini akan secara langsung mempengaruhi kemampuan
mereka untuk mengatasi kebutuhan spiritual pasien. Kozier et al (2004)
mengatakan bahwa perawat yang memperhatikan spiritualitas dirinya dapat
bekerja lebih baik dalam merawat pasien yang memiliki kebutuhan spiritual.
Untuk dapat memberikan spiritual care pada pasien, penting untuk menciptakan
kondisi yang nyaman akan spiritualitas diri sendiri.
Spiritual perawat itu sendiri juga merupakan faktor yang mempengaruhi
pemberian spiritual care, karena hal ini dapat digunakan sebagai strategi dalam
intervensi dan kekuatan yang mendukung ditempat kerja. Persepsi perawat
terhadap spiritualitas secara langsung dapat mempengaruhi bagaimana mereka
berperilaku, bagaimana menangani pasien, dan bagaimana berkomunikasi dengan
pasien pada saat perawat memberikan spiritual care(Mahmoodishan, 2010).
d. Hal yang bersifat pribadi
Perawat berpendapat bahwa spiritual merupakan hal yang bersifat pribadi,
sehingga sulit untuk ditangani oleh perawat. Dalam mengekspresikan kebutuhan
spiritualnya pasien mengharapkan tersedianya ruangan atau kamar yang tenang
dimana pasien dapat dengan tenang menceritakan tentang masalah-masalah
pribadinya (McSherry, 1998)
e. Takut melakukan kesalahan
Perawat merasa takut jika apa yang dilakukannya merupakan hal yang
salah, dalam situasi yang sulit hal ini dapat mengakibatkan penolakan dari pasien.
Universitas Sumatera Utara
36
f. Organisasi dan manajemen
Jika profesi perawat akan memberikan perawatan spiritual yang efektif,
maka manajemen harus mampu mengatasi hambatan ekstrinsik. Manajemen harus
bertanggungjawab dan mendukung pemberian spiritual care.
g. Hambatan ekonomi berupa kekurangan perawat, kurangnya waktu,
masalah pendidikan
Merupakan hambatan terbesar dalam memberikan spiritual care.
McSherry (1998) dan Sartory (2010) menyimpulkan bahwa hambatan ekonomi
termasuk didalamnya adalah kekurangan perawat, waktu dan masalah pendidikan,
dimana perawat mengungkapkan bahwa mereka kurang percaya diri dalam
memberikan spiritual carekarena kurangnya wawasan dan pengetahuan. Hasil
penelitian Wong (2008) menemukan bahwa perawat dengan tingkat pendidikan
sarjana lebih baik dalam memberikan spiritual care, oleh karena itu
pendidikan mempunyai pengaruh yang positif terhadap pemberian spiritual care
oleh perawat kepada pasien (Fen Wu dan Ying Lin, 2011).
Pendidikan
keperawatan
mempunyai
peranan
penting
dalam
mempersiapkan perawat untuk memberikan spiritual care. Hasil penelitian
Hubbell (2006) mengatakan bahwa perawat mengakui pendidikan tentang
spiritual care yang mereka terima selama pendidikan tidak memadai dan spiritual
care terintegrasi dengan pendidikan dasar mereka sehingga kompetensi
perawatpun berkurang.
Selain beberapa faktor diatas masih ada faktor lainnya yaitu karakteristik
perawat mencakup perbedaan gender, pengalaman kerja, status perkawinan (Chan,
Universitas Sumatera Utara
37
2008; Fen Wu dan Ying Lin, 2011; Highfield, Taylor, & Amenta , 2000 dalam
Mc Ewan, 2003).
Fen Wu dan Ying Lin (2011) mengatakan bahwa wanita lebih baik dalam
mengekspresikan wajah mereka, berempati terhadap perasaan-perasaan orang lain.
Para wanita diyakini menjadi pengasih dan penyayang, cepat merasa iba dan
menghibur orang lain serta sensitif pada kebutuhan-kebutuhan orang lain.
Keistimewaan-keistimewaan ini dianggap sebagai karakter perawat sampai saat
ini. Fen Wu dan Ying Lin (2011) juga menyimpulkan bahwa perawat yang
berpengalaman 10-19 tahun memiliki nilai yang tinggi tentang spiritual
caredaripada perawat yang memiliki pengalaman kurang dari 3 tahun. Chan
(2008) mengemukakan bahwa perawat yang sudah menikah memiliki tingkat
persepsi terkait spiritual care yang cukup tinggi.
2.6. Landasan Teori
2.6.1. Holistic Nursing
Model yang paling komprehensif yang tersedia untuk memandu perawatan
kesehatan adalah bio-psiko-sosio-spiritual. Pada model holistik, semua penyakit
memiliki tanda dan gejala bio-psiko-sosio-spiritual. Dimensi spiritual dalam
model bio-psiko-sosio-spiritual menggabungkan spiritualitas dalam konteks yang
luas yaitu nilai-nlai, makna, dan tujuan hidup (Dossey, 2005).
Holistic Nursingadalah cara yang paling lengkap untuk konsep dan
praktek keperawatan profesional dimana Holistic Nursingbertujuan untuk
tercapainya keseimbangan atau harmoni antara tubuh, pikiran, dan jiwa
Universitas Sumatera Utara
38
yangberfungsi untuk kesejahteraan, masing-masing saling berhubungan
dan
masing-masing mempengaruhi yang lain (Dossey, 2005).
2.6.2. Memahami Spiritualitas
Salah satu hambatan untuk menggabungkan spiritualitasdalam perawatan
holistik adalahkurangnya kemampuan masyarakat untuk mendiskusikan dan
mengekspresikan hal-halroh atau jiwa . Memang banyak pembahasanspiritualitas
dalam keperawatan dan literatur kesehatan lainnya menunjukkan nilai-nilai dan
perspektif mengenai Sang Pencipta, hubungan dengan orang lain dandunia ,
pengalaman penderitaan , doa , dansejenisnya . Karena spiritualitas adalah
esensisetiap orang dan tidak terbatas pada perspektif agama tertentu , perawat
perlu berusaha untuk terbuka kepada pasien sehingga memungkinkan pasien
untuk mengekspresikan spiritualnya. Perawat perlu mengenali persepsi, harapan
dan pengalaman pasien tentang spiritualnya dalam perawatan kesehatan. Banyak
orang kurang memahami antara agama dan spiritual mereka sendiri. Praktek
Holistic Nursing
mengakui bahwa agama dan spiritualitasberbeda dan
menghormati bagaimana
pasien mengekspresikan
spiritual mereka (Dossey,
2005).
2.6.3. Elemen Spiritual
Dossey (2005) mengatakan bahwa manusia mengekspresikan pengalaman
spiritual mereka terkait hubungan mereka dengan Tuhan, alam,orang lain, dan
diri sendiri yang disebut dengan elemen spiritual. Elemen spiritual dijelaskan
sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
39
a. Hubungan dengan Tuhan
Kita tidak mampu menjelaskan tentang hal-hal yang lebih besar dan lebih
kuat diluar diri kita. Pikiran rasional kita tidak bisa memahami Tuhan, dan katakata yang digunakan untuk membicarakan tentang Tuhan masih kurang. Tuhan
jauh dari konsep apapun yang dipikirkan manusia. Konsep tentang Tuhan yang
dikembangkan oleh pikiran rasional bersifat pribadi atau kelompok.
Keterhubungan dengan Tuhan melibatkan hal-hal seperti doa, ritual,
kedamaian dan ketenangan. Ajaran tradisi keagamaan memberikan berbagai
perspektif yang berbeda oleh karena itu dalam memberikan spiritual care perlu
memahami bagaimana orang mencari dan merasakan hubungan dengan Tuhan dan
hambatan yang mereka hadapi.
b. Hubungan dengan alam
Pengungkapan spiritual melalui rasa keterhubungan dengan alam dan
lingkungan. Hewan-hewan seperti burung dan ikan serta mahluk lainnya dibumi
memberikan makna dan sukacita bagi manusia. Menyadari semua bentuk
kehidupan dibumi, misalnya burung-burung, lebah dengan bunga-bunga
menggambarkan keajaiban dari berbagai bentuk kehidupan yang sangat
memberikan pengalaman spiritual. Manusia termasuk dalam untaian jaringan
kehidupan di bumi, dengan demikian, apa yang terjadi pada bumi dan lingkungan
akan mempengaruhi manusia dan sebaliknya.
Banyak manusia mengalami adanya hubungan dengan Tuhan melalui
alam. Manusia sering mengekspresikan perasaannya tentang ciptaan Tuhan saat
mereka sedang berjalan dipantai, duduk dibawah pohon, melihat matahari
Universitas Sumatera Utara
40
terbenam, mendengarkan suara air yang mengalir, dan merawat tanaman. Alam
dapat menjadi sumber kekuatan, inspirasi, dan kenyamanan, yang semuanya
merupakan atribut dari spiritual.
c. Hubungan dengan orang lain
Spiritualitas diketahui dan dialami dengan adanya suatu hubungan yang
ditandai dengan adanya kenyamanan, dukungan, konflik, dan perselisihan.
Manusia mengekspresikan spiritualitas melalui ikatan. Spiritualitas dibentuk dan
dipelihara melalui pengalaman seseorang yang dimulai dari keluarga sebagai unit
terkecil dari masyarakat. Masyarakat, baik formal maupun informal memberikan
kesempatan untuk mengekspresikan spiritual.
Manusia sering membicarakan tentang spiritual melalui hubunganhubungan yang dibinanya, baik hubungan yang harmonis maupun yang tidak.
Berada bersama orang lain dengan cara mencintai dan mendukung, hubungan
yang sulit dan menyakitkan dengan keluarga,teman, dan kenalan
merupakan
sebuah ekspresi dari spiritualitas. Hubungan yang memerlukan penyembuhan
misalnya memberikan dukungan dan kenyamanan merupakan hal yang penting
dalam spiritualitas. Spiritualitas mencakup hubungan baik suka dan duka, dan
spiritualitas
mengajarkan
perdamaian
jika
suatu
hubungan
rusak.
Ketidakharmonisan suatu hubungan akan menimbulkan rasa putus asa yang
mengakibatkan kesendirian dan akhirnya menimbulkan distres spiritual.
Hubungan spiritual dengan orang lain dapat terlihat dalam kehidupan
sehari-hari antara lain : saat sukacita, kesedihan, ritual, seksualitas, doa, bermain,
kemarahan, perdamaian, dan kepedulian.
Universitas Sumatera Utara
41
d. Hubungan dengan diri sendiri
Spiritualitas menanamkan kesadaran yang terus menerus tentang
pentingnya menjadi diri sendiri. Kemampuan untuk berada dalam kesadaran akan
tubuh-jiwa dan pikiran adalah elemen penting dari hubungan dengandiri sendiri
yang memungkinkanmereka untuk menerima semua aspek dari diri mereka
sendiritanpa menghakimi. Spiritualitas dapat ditunjukkan melalui tindakan seperti
membantu orang lain , berkebun , menghibur, menjenguk yang sakit ,merawat
keluarga , menghabiskan waktu denganteman-teman , berjalan-jalan , meluangkan
waktu untuk diri sendiri , dan menciptakan tempat ibadah untuk diri sendiri dan
orang lain.
e. Memandang Spiritual sebagai masalah kehidupan
Masalah-masalah spiritual adalah "masalah kehidupan" yang tidak dapat
diukur.Hal-hal yang berhubungan dengan misteri, cinta, penderitaan, harapan,
pengampunan, rahmat, perdamaian, dan doa merupakan domain spiritual.
Penjelasan lebih rinci terkait domain spiritualsebagai berikut :
a. Misteri
Misteri melekat pada pengalaman manusia sehingga melekat pada
spiritualitas. Misteri digambarkan sebagai sesuatu yang sulit diartikan dan
dijelaskan. Spiritualitas mendukung dan mendorong manusia untuk bertanya dan
mencari tau ketika seseorang dihadapkan dengan suatu misteri, dan menemukan
misteri tentang perjalanan spiritual mereka merupakan bagian penting dari
spiritual care.
Universitas Sumatera Utara
42
b. Cinta
Cinta merupakan sumber dari semua kehidupan, dan menimbulkan energi
untuk menyembuhkan oleh karena itu cinta harus dirasakan dan diekspresikan.
Mencintai kehadiran adalah komponen kunci dari spiritual care.
c. Penderitaan
Penderitaan merupakan salah satu dari misteri kehidupan. Hal ini terjadi
pada fisik, mental, emosional, dan spiritual. Bagi beberapa orang, penderitaan
akan meningkatkan kesadaran akan spiritualnya, sebagian orang akan marah dan
frustasi, ada juga yang menilainya sebagai berkah, sesuatu yan harus bertahan,
atau bahkan bukti adanya kutukan. Tidak semua orang berusaha untuk
meringankan penderitaan. Sosiokultural, agama, keluarga, dan faktor lingkungan
mempengarubhi suatu respon individu terhadap penderitaan. Dengan demikian
memiliki pengetahuan tentang kepribadian, budaya, tradisi agama, dan latar
belakang keluarga akan membantu perawat memahami makna penderitaan bagi
seseorang, perawat perlu menyadari respon dan pemahaman mereka terhadap
penderitaan. Dengan demikian tidak membingungkan persepsi perawat terhadap
pasien. Keadaan ini menuntut perawat untuk selalu hadir bagi pasien-pasien yang
mengalami
penderitaan.
Mendengarkan
dengan
aktif
ketika
pasien
mengungkapkan perasaannya merupakan bagian yang penting.
d. Harapan
Harapan berupa orientasi terhadap masa depan. Pepatah yang mengatakan
bahwa “ mata air adalah abadi” mencerminkan semangat energi dan
mengantisipasi bahwa esok akan lebih baik atau setidaknya berbeda. Harapan
Universitas Sumatera Utara
43
akan
membantu
orang
mengatasi
ketakutan
dan
ketidakpastian
yang
memungkinkan mereka untuk membayangkan hal-hal yang positif.
e. Pengampunan
Pengampunan merupakan kebutuhan yang mendalam dari kehidupan,
pengampunan bukan
berarti
melupakan, membebaskan, atau mengorbankan
melainkan adalah proses memperluas cinta kasih. Seseorang yang mendendam,
membenci, mengasihani diri sendiri, atau keinginan untuk menghukum orang
yang telah menyakiti tidak akan membuat nyaman seseorang. Keyakinan agama,
budaya, pendidikan keluarga, dan pengalaman pribadi akan membentuk suatu
sikap tentang pengampunan sehingga mampu memberikan ruang untuk Tuhan
agar memberikan kenyamanan.
f. Perdamaian
Perdamaian bagi banyak orang tidak dapat dipisahkan dari keadilan. Cinta
akan perdamaian akan dapat mengubah dunia. Menghargai, memiliki hubungan
dengan orang lain dan semua ciptaan Tuhan tanpa adanya batas jarak, waktu, dan
ruang maka disitulah tumbuh perdamaian dan keadilan.
g. Rahmat
Rahmat mengandung unsur yang mengejutkan, kekaguman, misteri, rasa
bersyukur, dan dukungan yang tidak direncanakan dan tidak terduga. Rahmat
yang datang didalam kehidupan seseorang akan merespon seseorang untuk
mengucap syukur.
Universitas Sumatera Utara
44
h. Doa
Doa adalah naluri manusia yang mendalam, dalam bentuk komunikasi
dengan Tuhan. Beberapa orang memasukkan tehnik relaksasi, ketenangan,
kesadaran untuk bernafas, fokus dan visualisasi mereka sebagai bentuk dari doa
bahkan berjalan, menari atau memainkan drum merupakan ungkapan doa. Doa
merupakan pertimbangan yang tepat untuk keperawatan dalam proses
penyembuhan.
2.6.4. Spiritualitas dalam Holistic Nursing
Holistic Nursing memandang spiritualitas sebagai dimensi dari manusia
yang diperlukan dalam memberikan keperawatan yang menyeluruh antara tubuh ,
pikiran dan jiwa (Montgomery 1999, dalam Narayanasamy 2004). Clisset et al
(2004) mengatakan bahwa dimensi spiritual akan membangkitkan perasaan yang
menunjukkan keberadaan cinta, iman, harapan, kepercayaan, kekaguman dan
inspirasi, perasaan ini lebih menonjol pada saat individu mengalami stres
emosional, sedang sakit atau kehilangan.
Cara
perawat
untuk
peduli
dan
memelihara
diri
sendiri
akan
mempengaruhi kemampuan mereka untuk berfungsi secara efektif dalam
perannya untuk menyembuhkan dan mengintegrasikan spiritualitas dalam praktek
klinis. Dalam perspektif holistik menyediakan spiritual caremerupakan kewajiban
perawat yang jika diabaikan
pasien akan merasakan kehilangan martabatnya
sebagai manusia. Melalui pendekatan holistic nursing perawat harus kompeten
dan percaya diri dalam memberikan spiritual caremelalui pengkajian bio-psikososio dan spiritual, merumuskan diagnosa keperawatan, menyusun rencana
Universitas Sumatera Utara
45
keperawatan, berkontribusi dalam implementasi dan evaluasi keperawatan
(Govier, 2000; McSherry, 2010; Fen Wu, 2011; Narayanasami, 2003).
2.7. Konsep Studi Fenomenologi
Fenomenologi adalah metode penelitian kualitatif dimana peneliti
mencoba untuk menemukan dan mengeksplorasi pengalaman hidup manusia.
Fenomenologi berakar dari ilmu filosofi yang dikembangkan oleh Husserl dan
Heidegger, mereka memandang fenomena subjektif dengan keyakinan bahwa
kebenaran tentang realita didasarkan pada pengalaman hidup manusia yang penuh
makna dan dialami secara sadar. Fenomenologi telah menjadi bidang yang tidak
terpisahkan dari penelitian keperawatan karena banyak digunakan untuk
mempelajari fenomena penting dalam dunia keperawatan (Husserl, 1965; Merleau
& Ponty, 1956 dalam Chamberlain, 2009).
Pengalaman manusia dipelajari oleh peneliti untuk mengetahui dan
memahami makna dari pengalaman tersebut melalui berbagai cara. Peneliti
berusaha mengeksplorasi pengalaman informan melalui pengumpulan data dan
peneliti berusaha masuk kedalam dunia informan, dengan demikian peneliti dapat
merasakan pengalaman informan dengan cara yang sama. Pengumpulan data
dapat dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview), observasi,
focus groups discusion, dan partisipation observation, sedangkan alat
pengumpulan data utama adalah peneliti sendiri, dan alat bantu lainnya seperti
panduan wawancara, panduan observasi, catatan lapangan, dan alat perekam suara
atau gambar ((Polit & Beck, 2008 ; Denzin & Lincoln, 2009).
Universitas Sumatera Utara
46
Menurut Fochtman (2008 dalam Sosha, 2011; Polit & Beck, 2008),
fenomenologi terdiri dari :
a. Fenomenologi deskriptif
Jenis penelitian ini difokuskan pada deskripsi pengalaman yang dialami
oleh manusia. Husserl (1962 dalam Denzin dan Lincoln, 2009) berpendapat
bahwa hubungan antara persepsi dan objek-objeknya tidaklah pasif dan kesadaran
manusia secara aktif mengandung objek-objek pengalaman.
Menurut Beck (1994), fenomenologist dalam proses analisa data pada
fenomenologi deskriptif adalah Collaizi (1998), Giorgi (1985), dan Van Kaam
(1959). Perbedaan antara ketiga fenomenologist tersebut yaitu : Collaizi
menganjurkan kembali kepada partisipan untuk memvalidasi hasil yang sudah
diperoleh peneliti dari informan, Giorgi berpendapat bahwa memvalidasi hasil
hanya mengandalkan peneliti saja, tidak perlu kembali kepada informan untuk
memvalidasi hasil temuan, sedangkan menurut Van Kaam bahwa kesepakatan
hasil analisis data diperoleh dengan menggunakan bantuan dari ahlinya.
b. Fenomenologi interpretif-hermeneutik
Fenomenologi interpretif-hermeneutik dikembangkan oleh Heidegger pada
tahun 1962. Inti dari fenomenologi ini adalah pemahaman dan penafsiran, bukan
sekedar deskripsi dari pengalaman manusia tetapi menemukan pemahaman
dengan cara masuk kedalam dunia partisipan (Sosha, 2012). Menurut Beck
(1994), fenomenologist dalam proses analisa data pada fenomenologi interpretifhermeneutik adalah Van Manen (1990).
Universitas Sumatera Utara
47
Menurut Guba & Lincoln (1990 dalam Shenton, 2003) bahwa penelitian
kualitatif termasuk fenomenologi perlu ditingkatkan kualitas dan integritasnya.
Oleh karena itu perlu dilakukan keabsahan data melalui empat kriteria yaitu
credibility, transferability, dependability, dan confirmability. Keabsahan data
akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Credibility
Menjamin credibility merupakan salah satu yang paling penting dilakukan.
Credibility dilakukan untuk mengetahui apakah proses dan hasil penelitian
kredibel, dapat dipercaya dan diterima. Kredibilitas suatu penelitian dapat dicapai
ketika peneliti dapat mengembangkan dan menginterpretasikan pengalaman
partisipan yang sedang ditelitinya, dalam hal ini kesadaran peneliti merupakan
suatu hal yang esensial. Kredibilitas dapat dicapai dengan prolonged engagement,
catatan lapangan yang komprehensif, hasil rekaman dan transkrip, triangulasi data
dan member checking.
b. Transferability
Transferability merupakan validitas eksternal yang berarti sejauhmana
penelitian ini dapat dilakukan pada situasi dan di tempat yang berbeda. Seorang
peneliti harus dapat menyediakan deskripsi data yang baik pada laporan
penelitiannya sehingga orang lain dapat mengaplikasikannya ke dalam konteks
yang berbeda.
c. Dependability
Keabsahan data pada dependability harus menunjukkan bahwa jika
penelitian ini diulang dengan konteks, metode dan peserta yang sama maka akan
Universitas Sumatera Utara
48
diperoleh hasil yang sama, oleh karena itu dependability sangat bergantung pada
credibility. Hal ini berarti proses dari penelitian tersebut dapat diaudit.
Auditability menjadi kriteria kepadatan data ketika menghadapi konsistensi data.
d. Confirmability
Confirmability merupakan salah satu kriteria yang menunjukkan
interpretasi telah didapat pada saat penelitian. Confirmability dipertahankan ketika
credibility, transferability, dan dependability tercapai. Confirmability juga dapat
diartikan objektivitas, dimana ada persamaan tentang akurasi data, relevansi atau
makna yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, hal ini dapat dilakukan dengan
cara audit trial. Dalam penelitian audit trial dilakukan oleh pembimbing.
Universitas Sumatera Utara
Download