BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA A. Hasil Penelitian Dalam mengetengahkan hasil penelitian pada bab ini, penulis sengaja memilihkan contoh kasus berdasarkan tingkatan dan luasan pemerintahan. Contoh kasus ini diharapkan memperlihatkan bahwa korupsi dana pendidikan terdapat pada berbagai lini ketatanegaraan. Karena itu contoh kasusnya meliputi Kabupaten Gowa, Provinsi Banten, dan korupsi yang dilakukan mantan pejabat di Departemen Pendidikan Nasional dan dugaan korupsi beberapa rektor universitas negeri. Hukuman ringan yang tidak mendidik juga penting disimak. Di samping cara penyampaian kasus tersebut, cara lain yang akan dijumpai ialah liputan pemberitaan tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang anggota legislatif nasional, Angelina Sondakh, yang juga terbukti melakukan korupsi dana pendidikan. Di samping itu informasi publik tentang 619 milyar rupiah dana pendidikan yang dikorupsi selama satu dasawarsa; informasi publik bahwa sektor pendidikan menjadi sasaran empuk bagi para koruptor; dan suatu kajian ilmiah populer dari Febri Hendri AA, tentang Ironi (Korupsi) Pendidikan. Sumber datanya bukan putusan pengadilan tetapi media massa. Hal ini kiranya cukup beralasan, sekaligus mendukung prinsip hukum HAM tentang hak masyarakat untuk tahu (public rights to know). 51 Cara penyajian data tersebut diharapkan akan memudahkan dalam memperlihatkan beberapa ciri dari tindakan-tindakan korupsi, yang bertentangan dengan kaidah-kaidah HAM. 1. Contoh Kasus Kabupaten Gowa Beritakota Online menginformasikan pada 21 September 2013 bahwa kasus korupsi dana pendidikan gratis di Gowa – Sulawesi Selatan mencapai 20 milyar rupiah. Liputan lengkapnya adalah sebagai berikut:82 Hasil pemeriksaan yang dilakukan penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan terhadap ratusan kepala sekolah se Kabupaten Gowa atas laporan penyalahgunaan dana pendidikan gratis belum juga dirampungkan. Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Chaerul Amir menjelaskan tim penyidik masih terus bekerja merampungkan hasil pemeriksan atas para kepala sekolah maupun hasil pemeriksaan langsung di sekolah-sekolah Sunguminasa Kabupaten Gowa. ―Tim tetap melakukan pekerjaannya dan memang belum merampungkan hasil pemeriksaannya untuk kasus pendidikan gratis Gowa‖ Kata Chaerul Amir Jum‘at (20/9/2013) Penyelidikan kasus dugaan korupsi dana pendidikan gratis di kabupaten Gowa dengan total nilai Rp 20 Milyar mulai tahun 2010 hingga tahun 2012 dilakukan berdasarkan laporan masyarakat. Laporan tersebut menyebutkan dana pendidikan gratis yang diterima siswa tidak sesuai bahkan ada yang tidak mendapatkan sama sekali. Dugaan lain yang diterima penyidik berupa pemotongan honor guru dan manipulasi belanja siswa. Aktifis anti korupsi Djusman AR meminta penyidik benar-benar serius mengusut dugaan korupsi yang marak terjadi bukan sekedar euforia. Apalagi penyimpangan yang bersingungan dengan dunia pendidikan bukan hanya merugikan negara tetapi merusak masa depan Bangsa. 82 beritakotaonline.com, Udin Rangga (Pembuat Laporan), Andi A. Effendy (Editor), ―Kasus Korupsi Dana Pendidikan Gratis di Gowa Capai Rp 20 Milyar,‖ 21 September 2013, http://beritakotaonline.com/7345/kasus-korupsi-dana-pendidikan-gratis-di-gowa-capai-rp-20milyar/, dikunjungi pada Senin 23 Desember 2013, pukul 19.35 WIB. 52 1. Contoh Kasus Provinsi Banten Pada Rabu 28 Agustus 2013, okezone.com menurunkan berita bahwa menurut ICW, Provinsi Banten menjadi yang terkorup dalam bidang pendidikan.Media ini memberitakan bahwa:83 Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut Provinsi Banten sebagai juara korupsi dana pendidikan. Kerugian negara di Provinsi Banten mencapai Rp 209 miliar dengan 10 kasus. Sedangkan Provinsi Jawa Barat tercatat sebagai provinsi yang paling banyak melakukan praktik korupsi dengan 33 kasus. "Namun Jawa Barat kerugian negaranya tidak terlalu banyak, dari 33 kasus tercatat kerugian negara sebesar Rp 22,7 miliar," ujar Peneliti Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Febri Hendri, dalam diskusi bertema Satu Dasawarsa Dana Pendidikan Digrogoti Koruptor di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (28/8/2013). Sedang untuk para aktor yang menggerogoti dana pendidikan, lanjut Febri, 479 tersangka terkait dengan 296 kasus korupsi. "71 orang di antaranya adalah kepala dinas pendidikan, 179 orang adalah anak buah kepala dinas pendidikan, serta 114 adalah rekanan mereka," ungkapnya. Dikatakan Febri, Dinas Pendidikan adalah lembaga yang paling banyak melakukan korupsi dana pendidikan. Sebanyak 151 praktek korupsi dilakukan para pejabat dinas tersebut dengan kerugian negara mencapai Rp 356,5 miliar. "Perguruan tinggi juga mencatat prestasi korupsi dengan kerugian negara yang besar dengan menyelewengkan uang negara sebesar Rp 217,1 miliar yang tercatat dalam 30 praktek korupsi. Sekolah juga tidak luput dari praktek korupsi yakni 82 praktek korupsi dengan kerugian negara Rp 10,9 miliar," paparnya. 2. Contoh Kasus Nasional Mohammad Sofyan, mantan Inspektur Jenderal Kemendiknas, didakwa melakukan korupsi Rp 36 miliar saat masih menjabat. Dari total uang itu, Sofyan menikmati Rp 1,103 miliar. Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, dijelaskan bahwa Sofyan selaku kuasa pengguna anggaran, menandatangani SK Irjen pada 16 Januari 2009 untuk menetapkan kegiatan program joint audit pengawasan dan pemeriksaan (wasrik) pada masing83 okezone.com, Isnaini, “ICW: Provinsi Banten Juara Korupsi Dana Pendidikan,‖ 28 Agustus 2013, http://news.okezone.com/read/2013/08/28/339/856981/icw-provinsi-banten-juarakorupsi-dana-pendidikan, dikunjungi pada Senin 23 Desember 2013, pukul 19.52 WIB. 53 masing inspektorat yang meliputi, Wasrik Peningkatan Mutu Sarana Prasarana 9 tahun oleh Inspektorat I, Wasrik Peningkatan Mutu Relevansi dan Daya Saing oleh Inspektorat II, Wasrik Pendidikan Tinggi oleh Inspektorat III dan Warsik Sertifikat Guru oleh Inspektorat IV.84 Dari kegiatan-kegiatan tersebut, Sofyan memerintahkan pencairan anggaran dan menerima biaya perjalanan dinas yang tidak dilaksanakan. Dia juga memerintahkan pemotongan sebesar 5 persen atas biaya perjalanan dinas yang diterima para peserta pada program kegiatan joint audit Inspektorat I, II, III, IV dan investigasi Itjen Depdiknas tahun anggaran 2009. Secara lebih rinci, dari perbuatannya itu, Sofyan memperkaya diri sendiri yakni Rp 1,103 miliar, Abdul Apip (Rp 258 juta), Suharyanto (Rp 244 juta), Jauhari Sembiring (Rp 300 juta), Marhusa Panjaitan (Rp 334 juta). Amin Priatna (Rp 268 juta), Slamet Poernomo (Rp 153 juta), Sam Yhon (Rp 104 juta), Tini Suhartini (Rp 6 juta), Endang Supriyati (Rp 29 juta), Umar Sahid (Rp 67 juta), Setyo Bimandoko (Rp 71 juta) termasuk pihak lain sesuai surat tugas yakni Rp 33,561 miliar.85 "Yang dapat merugikan keuangan negara Rp 36,484 miliar," kata Jaksa Penuntut Umum I Kadek Wiradana ketika membaca surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis 20 Juni 2013. Jaksa mendakwa Sofyan dengan Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan dakwaan subsider, Sofyan melanggar Pasal 3 UU jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor.86 3. Kasus Dugaan Korupsi Beberapa Rektor Harian Republika memberitakan bahwa sejumlah nama rektor universitas negeri di Indonesia disebut menerima aliran dana kasus korupsi pembahasan anggaran proyek universitas di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang saat itu masih bernama Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas).87 84 detik.com, Ferdinan, ―Mantan Irjen Kemendiknas Didakwa Korupsi Rp 36 Miliar,‖ 20 Juni 2013, http://news.detik.com/read/2013/06/20/162125/2279236/10/mantan-irjenkemendiknas-didakwa-korupsi-rp-36-miliar, dikunjungi pada Rabu 25 Desember 2013, pukul 22.51 WIB. 85 86 Ibid. Ibid. 87 republika.co.id, Muhammad Hafil (Reporter), Karta Raharja Ucu (Redaktur), “Beberapa Rektor UN Diduga Terlibat Korupsi Kemendiknas”, 1 November 2012, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/11/01/mctc3v-beberapa-rektor-un-didugaterlibat-korupsi-kemendiknas, dikunjungi pada Rabu 25 Desember 2013, pukul 23.02 WIB. 54 Informasi itu diperoleh dari sidang lanjutan suap pembahasan anggaran proyek universitas di Kemendikbud dengan terdakwa Angelina Sondakh. Dalam kepengurusan proyek tersebut beberapa rektor universitas negeri mendapat jatah proyek yang sedang dikerjakan PT Permai Group, perusahaan milik Muhammad Nazaruddin.88 Diberitakan bahwa salah satu saksi, Staf Marketing PT Permai Group Clara Mauren menyebutkan ada empat universitas mendapatkan uang support dari salah satu perusahaan Nazaruddin. "Untuk Rektor Universitas Negeri Malang (proyek tahun 2009) pernah diajukan kas sebesar Rp 400-Rp 420 juta," kata Clara Mauren saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis 1November 2012. Clara juga menyebutkan Pembantu Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Supendi juga ikut memperoleh uang sebesar Rp 400 juta. Nilai proyek pengadaan alat laboratorium di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, kata Clara, mencapai Rp 49 miliar dengan keuntungan 40 persen dari nilai proyek. Sedangkan 'bagian' untuk Universitas Brawijaya diterima Rektor bernama Yogi dan Pembantu Rektor 2 Universitas Soedirman. "Saya lupa berapa kas untuk mereka," kata Clara.89 4. Tak Mendidik: Hukuman Yang Ringan Badan Pemeriksa Keuangan pernah melansir bahwa ditemukan sedikitnya 191.575 kasus penyimpangan keuangan negara dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 103,19 triliun. Karena itu, secara teoretis, korupsi berpotensi mengurangi kesejahteraan rakyat karena besarnya inefisiensi akibat salah alokasi sumber daya.90 Sangat memprihatinkan bahwa sebagian besar vonis kasus korupsi selama ini pun belum memenuhi rasa keadilan masyarakat karena terlalu ringan. Dalam catatan ICW (Indonesian Corruption Watch) pada awal tahun 2013, di Pengadilan 88 Ibid. 89 Ibid. 90 kompas.com, Khaerudin (penulis) & Caroline Damanik (editor), ―Hukuman Koruptor Terlalu Ringan‖, 9 September 2013, http://nasional.kompas.com/read/2013/09/09/1113063/Hukuman.Koruptor.Terlalu.Ringan , dikunjungi pada Rabu 22 Januari 2014, pukul 10.29 WIB. 55 Tindak Pidana Korupsi Jakarta saja, dari 240 terdakwa yang diadili sejak 2005 hingga 2009, vonis yang dijatuhkan ringan, yaitu rata-rata hanya 3 tahun 6 bulan. Bahkan, diskusi grup terfokus yang dilakukan beberapa kali oleh KPK, kata Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja di Jakarta, pada Sabtu 7 September 2013, menyimpulkan bahwa ada kecenderungan semakin besar uang yang dikorupsi, hukuman terhadap koruptornya semakin ringan. Hal ini berbanding terbalik dengan prinsip tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman minimum sampai maksimum. ‖Tanpa mengurangi rasa hormat kami terhadap kemandirian hakim, seyogyanya hakim membuka diri terhadap pandangan berbagai kalangan masyarakat, khususnya yang memiliki argumen yang dapat dipertanggungjawabkan,‖ kata Adnan tentang hasil diskusi tersebut.91 Dalam hubungan dengan hal itu, menurut wakil ketua KPK lainnya, Bambang Widjojanto, dampak korupsi yang mengakibatkan kerugian besar tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga sosial belum dipahami, terutama oleh hakim, meskipun mereka adalah hakim pengadilan tindak pidana korupsi. Lebih lanjut Bambang mengatakan ‖Akibat dari kejahatan (korupsi) tidak dilihat secara dalam, dan dampak tindak pidana korupsi tidak dipahami secara utuh. Padahal, kejahatan korupsi bila dilihat dampaknya akan sangat besar nilai kerugiannya.‖ 92 Hal senada dikatakan Koordinator Badan Pekerja ICW Danang Widoyoko. Ia menilai rendahnya putusan hakim terhadap terdakwa perkara korupsi menunjukkan kesadaran hakim, bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan dapat menghancurkan kehidupan berbangsa, masih rendah pula. Hal itu dapat terjadi 91 Ibid. 92 Ibid. 56 karena para hakim juga ‖dibesarkan‖ atau ‖dibentuk‖ di lingkungan peradilan yang banyak terjadi praktik korupsi sehingga cenderung permisif terhadap praktik korupsi. Ia mengatakan, ‖kesadaran hakim bahwa korupsi itu kejahatan extraordinary belum ada sehingga hukuman ringan-ringan saja sehingga diskriminatif dengan kejahatan biasa, seperti pelaku pencurian atau perampokan, yang mendapat hukuman tinggi.‖ 5. Seputar Kasus Angelina Sondakh Sebagaimana telah diketahui, Mahkamah Agung Republik Indonesia memperberat hukuman mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat, Angelina Sondakh alias Angie, terkait kasus korupsi Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga. Mantan Puteri Indonesia itu divonis 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500 juta dari vonis sebelumnya 4 tahun 6 bulan.93 Selain itu, seperti dikutip Harian Kompas, Kamis (21/11/2013), majelis kasasi juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS (sekitar Rp 27,4 miliar). Sebelumnya, baik Pengadilan Tindak Pidana Korupsi maupun Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tidak menjatuhkan pidana uang pengganti. 94 Putusan tersebut diberikan oleh majelis kasasi yang dipimpin Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar dengan hakim anggota MS Lumme dan Mohammad Askin, Rabu (20/11/2013). Angie dijerat Pasal 12 a Undang-Undang Pemberantasan 93 kompas.com, Sandro Gatra (editor), ―Dari 4,5 Tahun, MA Perberat Vonis Angie Jadi 12 Tahun‖, 21 November 2013, http://nasional.kompas.com/read/2013/11/21/0742539/Dari.4.5.Tahun.MA.Perberat.Vonis.Angie.J adi.12.Tahun, dikunjungi pada Rabu 22 Januari 2014, pukul 10.22 WIB. 94 Ibid. 57 Tipikor. MA membatalkan putusan Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menyatakan Angie melanggar Pasal 11 UU itu. 95 Menurut majelis kasasi, Angie dinilai aktif meminta dan menerima uang terkait proyek-proyek di Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga. ‖Terdakwa aktif meminta imbalan uang atau fee kepada Mindo Rosalina Manulang sebesar 7 persen dari nilai proyek. Disepakati 5 persen. Dan (fee) ini sudah harus diberikan kepada terdakwa 50 persen pada saat pembahasan anggaran dan 50 persen (sisanya) ketika DIPA turun. Itu aktifnya dia (terdakwa) untuk membedakan antara Pasal 11 dan Pasal 12 a," ungkap Artidjo kepada Kompas.96 Menurut Artidjo, majelis kasasi juga mempertimbangkan peran Angie aktif memprakarsai pertemuan dan memperkenalkan Mindo dengan Haris Iskandar, sekretaris pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional untuk mempermudah penggiringan anggaran Kemendiknas. ‖Terdakwa juga beberapa kali melakukan komunikasi dengan Mindo tentang tindak lanjut dan perkembangan upaya penggiringan anggaran dan penyerahan imbalan uang atau fee. Terdakwa lalu mendapat imbalan dari uang fee Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS,‖ ujarnya.97 Penting diketahui bahwa salah satu yang membedakan putusan MA dengan putusan sebelumnya adalah terkait uang pengganti. Artidjo menilai, pengadilan tingkat pertama dan banding terkesan seolah enggan menjatuhkan 95 Ibid. 96 Ibid. 97 Ibid. 58 pidana tambahan uang pengganti dengan alasan uang yang diterima Angie berasal dari swasta dan bukan dari keuangan negara. ‖Itu salah. Karena Pasal 17 UU Pemberantasan Tipikor jelas-jelas menyebutkan terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 18 UU yang sama. Jadi bisa dijatuhi hukuman uang pengganti,‖ ujar Artidjo.98 Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengapresiasi vonis kasasi yang dijatuhkan MA. Menurutnya, vonis kasasi MA terhadap Angie mencerminkan ketajaman rasa kepekaan dan keadilan sosial. Terlebih lagi, kata Busyro, vonis tersebut diputuskan di tengah-tengah pusaran pemikiran hukum para penegak hukum yang masih bermazhab ultrakonservatif positivistik dan tandus dari roh keadilan, seperti tercermin dalam rendahnya beberapa vonis terdakwa. 99 ‖Korupsi bukan saja kejahatan berwatak extraordinary, melainkan juga kejahatan yang membunuh rakyat pelan-pelan. Maka, vonis kasasi MA atas terdakwa Angie ini mencerminkan rasa kepekaan dan keadilan sosial,‖ kata Busyro. 100 KPK berharap vonis kasasi MA terhadap kasus-kasus korupsi yang mencerminkan kepekaan terhadap keadilan sosial tersebut dapat menjelma menjadi yurisprudensi, sebagaimana Wakil Ketua KPK yang lain, Bambang Widjojanto, mengatakannya bahwa KPK sangat mengapresiasi putusan vonis terhadap Angie. KPK pun, lanjut Bambang, akan mempelajari dengan serius vonis tersebut karena ada gap yang sangat lebar dengan putusan hukum di pengadilan 98 Ibid. 99 Ibid. 100 kompas.com, Khaerudin (penulis) & Caroline Damanik (editor), ―Vonis Angie, Cermin Tajamnya Kepekaan‖, 21 November 2013, http://nasional.kompas.com/read/2013/11/21/1827005/Vonis.Angie.Cermin.Tajamnya.Kepekaan , dikunjungi pada Rabu 22 Januari 2014, pukul 10.36 WIB. 59 tingkat sebelumnya. ‖Putusan ini menegaskan bahwa harapan itu masih ada. Semoga putusan ini akan dijadikan pembelajaran bagi hakim lain,‖ kata Bambang.101 Pada tempat terpisah, peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar, menyatakan, putusan majelis kasasi itu adalah putusan yang progresif dan mampu memenjarakan koruptor.102 Putusan tersebut harus menjadi tolok ukur dan standar bagi hakim-hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa korupsi. ‖Kalau bicara efek jera dalam pemberantasan korupsi, cara pandang hakim seharusnya seperti cara pandang hakim MA dalam putusan Angie ini. Efektifkan pidana tambahan. Sita uang hasil korupsi. Kalau tidak dilakukan, orang tidak takut korupsi karena hanya akan dikenai hukuman badan (penjara) saja, sementara uang hasil korupsinya aman. Setelah bebas, ia masih bisa menikmati hasil korupsi. Ini yang ada di benak koruptor saat ini,‖ ungkap Erwin.103 Pendapat yang kurang lebih sama juga datang dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad. Ia mengapresiasi putusan kasasi yang dijatuhkan Mahkamah Agung terhadap terpidana kasus korupsi Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga, Angelina Sondakh. Dalam putusan tersebut Angie divonis 12 tahun penjara dan diwajibkan 101 Ibid. 102 Berdasarkan catatan Kompas, Hakim Agung Artidjo selama ini dikenal dengan putusan-putusan yang memberatkan para terdakwa dibandingkan dengan putusan di pengadilan tingkat pertama ataupun banding. Ia, misalnya, memperberat hukuman Anggodo Widjojo dari 5 tahun menjadi 10 tahun.Ia juga memperberat hukuman Gayus Halomoan P Tambunan dari 10 tahun menjadi 12 tahun, membatalkan vonis bebas Bupati Subang (nonaktif) Eep Hidayat dan Bupati Sragen Untung Sarono Wiyono, serta memperberat hukuman bagi Muhammad Nazaruddin dari 4 tahun 10 bulan menjadi 7 tahun penjara. Ibid. 103 Ibid. 60 membayar uang pengganti senilai Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS (sekitar Rp 27,4 miliar). "Kita apresiasi putusan Mahkamah Agung," ujar Abraham singkat saat ditemui seusai menghadiri pelantikan Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto di Kejaksaan Agung, Kamis (21/11/2013). 104 Abraham juga berpandangan bahwa putusan MA telah memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Ia berharap, putusan tersebut dapat memberikan efek jera kepada Angie dan menjadi peringatan bagi sejumlah pihak yang berencana untuk melakukan tindak pidana korupsi. "Jadi begini, kita ingin setiap terdakwa korupsi itu putusannya memberi efek jera agar orang berpikir," katanya. 105 Ada beberapa hal mendasar yang perlu dicermati dalam putusan terhadap Angelina Sondakh. Pesan pertama putusan kasasi ini, proses hukum harus mampu membuktikan dapat menjangkau dan mengungkap secara tuntas semua jejaring yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan Angie. Alasannya amat sederhana, kejahatan ini terjadi tidak mungkin dilepaskan dari posisi Angie sebagai politisi di komisi yang langsung membawahkan kedua kementerian negara di atas. Karena itu, tindakan penyelewengan yang dilakukan pasti tidak sendiri.106 Dalam batas penalaran yang wajar, tindakan Angie hampir dapat dipastikan melibatkan pihak lain di komisi yang bermitra dengan kedua kementerian tersebut. Karena itu, agar logika penegakan hukum berjalan linear, 104 kompas.com, Dani Prabowo (penulis) & Caroline Damanik (editor), ―KPK Apresiasi Vonis Vonis MA Atas Angie‖, 21 November 2013, http://nasional.kompas.com/read/2013/11/21/1137169/KPK.Apresiasi.Vonis.MA.atas.Angie , dikunjungi pada Rabu 22 Januari 2014, pukul 11.04 WIB. 105 Ibid. 106 kompas.com, Saldi Isra (Penulis Opini), Caroline Damanik (editor), ―Pesan dari Putusan Angie,‖ 29 November 2013, ―http://nasional.kompas.com/read/2013/11/29/1106246/Pesan.dari.Putusan.Angie ‖, dikunjungi pada Rabu 22 Januari 2014, pukul 10. 45 WIB. 61 penyidikan harus mampu menjerat pihak lain yang menjadi bagian dari jejaring Angie. Bagaimanapun, manuver Angie ‖menggoreng‖ anggaran di DPR sulit berjalan mulus tanpa dukungan politisi lain.107 Bukan hanya kemampuan menjangkau politisi lain, proses hukum harus pula mampu mengendus kemungkinan keterlibatan sejumlah pihak di Kementerian Pendidikan Nasional serta di Kementerian Pemuda dan Olahraga.108 Sebagai kejahatan yang merupakan hasil kerja kolektif, pengaturan proyek tidak mungkin terjadi tanpa melibatkan mitra kerja di pemerintah.109 Alasannya sederhana, pembahasan anggaran di DPR, persetujuan harus diberikan pemerintah dan DPR. Pertanyaan mendasarnya: bisakah politisi bermain sendiri tanpa ‖membangun‖ mitra dengan pemerintah?110 Untuk mendukung logika di atas, ketika tahap-tahap awal penegakan hukum skandal ini, terkuak fakta keterlibatan sejumlah perguruan tinggi menerima kucuran dana dari manuver Angie. 111 Bahkan telah pula diketahui, beberapa pimpinan dari perguruan tinggi menjadi tersangka.112 Namun, proses hukum sebagian perguruan tinggi yang pernah dinyatakan menerima faedah dari manuver Angie mengalami kelumpuhan total.113 Selain itu, penegakan hukum pun enggan menelusuri kemungkinan adanya peran sejumlah pihak di Kementerian 107 Ibid. 108 Ibid. 109 Ibid. 110 Ibid. 111 Ibid. 112 Ibid. 113 Ibid. 62 Pendidikan Nasional.114 Hal yang sama harus pula dilakukan di Kementerian Pemuda dan Olahraga.115 Bukan hanya itu, penelusuran kepada pihak lain yang tidak kalah pentingnya dilakukan adalah kemungkinan keterkaitan dan peran Partai Demokrat.116 Sebagai salah seorang figur dengan posisi sentral dalam partai politik peraih suara terbesar dalam Pemilu 2009, putusan kasasi Angie seharusnya dimaknai pula sebagai amanat kepada KPK untuk menelusuri lebih jauh dan lebih serius kemungkinan keterlibatan Partai Demokrat dan sejumlah elitenya di tengah pusaran korupsi yang melibatkan Angie.117 Masih menurut Saldi Isra, skandal korupsi yang dilakukan Angie membuktikan satu hal: mereka yang diberikan mandat untuk mengelola negara, tanpa merasa takut, menggadaikan kewenangan yang diberikan kepadanya. Terkait dengan fakta itu, pesan berikutnya dari putusan Angie: mereka yang menggadaikan atau memperdagangkan kewenangan harus dijatuhi hukuman berat. Dengan hukuman berat, mereka yang memperoleh mandat yang sama harus berhitung kembali untuk menyalahgunakan kewenangan yang ada. 118 Dalam skandal Angie, mantan elite Partai Demokrat ini ‖menggoreng‖ sedemikian rupa otoritas yang dimiliki anggota DPR dalam penyusunan keuangan negara via APBN. Jamak diketahui, penyusunan APBN membuka celah terjadinya penyimpangan. Misalnya, Pasal 157 Ayat (1) Huruf c UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; serta Pasal 15 Ayat (5) UU No 17/2003 114 Ibid. 115 Ibid. 116 Ibid. 117 Ibid. Ibid. 118 63 tentang Keuangan Negara menyediakan ruang bagi anggota DPR membahas RAPBN secara terperinci alias sampai Satuan 3. Bahkan, kesempatan untuk memblokir (perbintangan) anggaran dalam Pasal 71 Huruf (g) dan Pasal 156 Huruf a, b UU No 27/2009 potensial ‖digoreng‖ untuk memperoleh keuntungan pribadi.119 Saldi mengatakan, pesan memberikan vonis berat tidak hanya karena alasan mengingkari amanah rakyat, tetapi juga karena tindakan tersebut merupakan pengingkaran serius terhadap amanah UUD 1945. Sebagai lembaga yang diberikan fungsi pengawasan, pembahasan, dan persetujuan dalam penyusunan RAPBN, anggota DPR harus dimaknai secara tepat. Salah satu pemahaman tersebut, peran dan keterlibatan DPR dalam pembahasan dan persetujuan RAPBN mesti dimaknai sebagai pintu masuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan keuangan negara.120 Sesuai dengan pemahaman ini, ketika kesempatan ikut membahas dan menyetujui RAPBN dimanfaatkan sedemikian untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok, para penyusun APBN dapat dikatakan mengingkari secara nyata amanat konstitusi. Dalam hal ini, tegas Saldi, Pasal 23 UUD 1945 secara eksplisit mengamanatkan bahwa pengelolaan keuangan negara dilakukan secara bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.121 Merujuk pertimbangan majelis hakim kasasi, bentuk pengingkaran nyata amanat konstitusi dapat dilacak dari tindakan aktif Angie meminta fee kepada Mindo 119 Ibid. 120 Ibid. 121 Ibid. 64 Rosalina Manulang sebesar 7 persen dari nilai proyek. Kemudian disepakati, fee ini menjadi 5 persen yang harus sudah diberikan 50 persen saat pembahasan anggaran dan 50 persen (sisanya) saat DIPA turun (Kompas, 21/11/2013). Secara sederhana, tulis Saldi Isra, jelas Angie melakukan upaya sistemastis dan terencana menggeser tujuan agung UUD 1945 menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menjadi keuntungan pribadi/golongan.122 6. Korupsi Dana Pendidikan: 619 Miliar Rupiah Pada Rabu 28 Agustus 2013, Metrotvnews.com memberitakan bahwa selama satu dasawarsa terjadi korupsi dana pendidikan sejumlah 619 milyar rupiah.123 Penulis sengaja mengutip secara lengkap pemberitaan tersebut: Ada 296 kasus korupsi pendidikan dengan 479 orang tersangka yang terjadi dalam satu dasawarsa terakhir di Indonesia. Indikasi kerugian keuangan negara mencapai Rp 619 miliar. Demikian hasil kajian Indonesian Corruption Watch (ICW) atas kasus korupsi pendidikan dari 2003 hingga 2013. "Paling banyak terungkap di tahun 2008. Di antaranya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan DAK (Dana Alokasi Khusus)," kata Peneliti Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Siti Juliantari dalam pemaparannya di kantor ICW, Jakarta, Rabu (28/8). ICW juga menyimpulkan, dari 479 tersangka yang menggerogoti dana pendidikan itu justru dilakukan oleh pejabat dan pegawai Dinas Pendidikan. "Tersangka paling banyak di Dinas Pendidikan. 71 orang di antaranya adalah Kepala Dinas Pendidikan, 179 orang pegawai Dinas Pendidikan, dan 114 rekanan mereka," kata Tari. Menurut hasil penelitian ICW, dari tahun ke tahun pola korupsi pendidikan masih menggunakan modus yang sama yakni penggelapan dan mark up. 122 Ibid. 123 metrotvnes.com, Timi Trieska Dara (Pembuat Laporan), Dani Fauzan (Editor), ―Satu Dasawarsa, Korupsi Pendidikan 619 Milyar,‖28 Agustus 2013, http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/08/28/6/177928/Satu-Dasawarsa-KorupsiPendidikan-Rp619-Miliar, Dikunjungi Senin 23 Desember 2013, pukul 18.28 WIB. 65 "Korupsi di sektor pendidikan sudah terjadi sejak perencanaan. Dan ini sangat menciderai hak warga negara untuk mendapat pendidikan berkualitas," ujarnya. Meski jumlah kasus korupsi pendidikan tidak meningkat namun kerugian negara semakin meningkat signifikan setiap tahunnya. 7. Dana Pendidikan Jadi Sasaran Empuk Koruptor Pada 29 Agustus 2013, tribunnews.com memberitakan bahwa dana pendidikan menjadi sasaran empuk koruptor. Liputan lengkapnya sebagai berikut:124 Dana pendidikan masih menjadi sasaran empuk koruptor. Demikian satu di antara kesimpulan hasil kajian ICW atas kasus korupsi pendidikan dalam satu dasawarsa terakhir. Dana dari APBN dan APBD seperti BOS, beasiswa, pembangunan dan rehabilitasi sekolah, gaji dan honor guru, pengadaan buku, pengadaan sarana prasarana (sarpras) serta operasional perguruan tinggi, operasional di Kemendikbud dan Dinas Pendidikan serta dana lainnya, dikorupsi politisi, rektor dan pejabat kampus, kepala sekolah, pejabat dan rekanan pemerintah yang terkait pendidikan. "ICW memakai metodologi kuantitatif dalam menghimpun data kasus korupsi yang ditangani penegak hukum selama 10 tahun terakhir. ICW memeroleh data lewat pemantauan kasus korupsi di media massa dan jaringan masyarakat sipil di seluruh Indonesia," ujar Staf Divisi Monitoring Pelayanan Publik, Siti Juliantari dalam keterangan pers yang diterima Tribunnews.com, Kamis (29/8/2013). Menurut Siti, hasil pemantauan mengungkap selama satu dasawarsa terakhir terdapat 296 kasus korupsi pendidikan. Indikasi kerugian negara sebesar 619 miliar rupiah, dan tersangka sebanyak 479 orang. Terkait hal tersebut ICW mengimbau Bareskrim Mabes Polri dan Jampidsus Kejagung lebih serius memantau penindakan kasus korupsi pendidikan di daerah, terutama soal tindak lanjut penanganan kasusnya. Pengelolaan anggaran pendidikan harus dibarengi peningkatan pengawasan dan partisipasi publik. Sekolah, Dinas Pendidikan, Kemendikbud, dan lembaga lain yang mengelola dana pendidikan wajib membuka perencanaan dan anggaran ke masyarakat. 124 tribunnews.com, Bahri Kurniawan (Penulis), Hasiolan Eko P Gultom (Editor), ―Dana Pendidikan Sasaran Empuk Koruptor,‖ 29 Agustus 2013, http://www.tribunnews.com/nasional/2013/08/29/dana-pendidikan-sasaran-empuk-koruptor , dikunjungi Senin 23 Desember 2013, pukul 19.20 WIB. 66 "BPK harus lebih aktif melakukan audit terhadap dana-dana pendidikan yang rutin dialokasikan, seperti DAK dan BOS. Lewat audit, kita dapat meningkatkan pengawasan terhadap dana-dana pendidikan," katanya. 8. Ironi Pendidikan Ironi Korupsi Pendidikan, juga diuraikan secara rinci oleh Febri Hendri AA, Peneliti Senior Institute for Strategic Initiatives dalam suatu opini sebagai berikut:125 BADAN Pemeriksa Keuangan RI menemukan masalah dalam pengelolaan dana ujian nasional. Ditemukan potensi kerugian negara mencapai belasan miliar rupiah dalam penyelenggaraan UN tahun 2012 dan 2013 (Kompas, 20/9/2013). Berdasarkan pemantauan Indonesian Corruption Watch (ICW) selama periode 2003-2013 ditemukan 296 kasus korupsi pendidikan yang disidik penegak hukum dan menyeret 479 orang sebagai tersangka. Kerugian negara atas seluruh kasus ini Rp 619,0 miliar (Laporan Kajian Satu Dasawarsa Korupsi Pendidikan, ICW 2013). Selama satu dasawarsa ini terdapat tren peningkatan dalam korupsi pendidikan dan aspek kerugian negara. Pada 2003 terdapat delapan kasus dengan kerugian negara Rp 19,0 miliar. Angka kerugian negara meningkat 422 persen pada 2013 menjadi delapan kasus dengan kerugian negara Rp 99,2 miliar. Puncak kasus korupsi terjadi pada 2007, di mana penegak hukum menindak 84 kasus dengan kerugian negara Rp 151,0 miliar. Hampir semua dana pendidikan tak luput dari praktik korupsi. Mulai dari dana pendidikan yang diperuntukkan bagi pembangunan gedung dan infrastruktur, dana operasional, dana gaji dan honor guru, dana pengadaan buku dan alat bantu mengajar, dana beasiswa, hingga dana yang dipungut dari masyarakat. Pejabat pendidikan dari tingkat pusat sampai daerah, dari rektor sampai kepala sekolah, dari rekanan Kemendikbud sampai rekanan dinas pendidikan terlibat dalam berbagai kasus korupsi. 125 kompas.com, Febri Hendri AA (Penulis Opini), ―Ironi (Korupsi) Pendidikan,‖ 12 November 2013, http://nasional.kompas.com/read/2013/11/12/1600001/Ironi.Korupsi.Pendidikan#, dikunjungi pada Senin 23 Desember 2013, pukul 18.18 WIB. 67 Selama satu dasawarsa terakhir, penegak hukum telah menetapkan 479 tersangka terkait korupsi pendidikan, dengan 71 di antaranya kepala dinas pendidikan, 179 orang anak buah kepala dinas pendidikan, serta 114 adalah rekanan pemerintah pusat dan daerah. Beberapa pejabat pemerintah pusat dan anggota DPR juga terlibat dalam beberapa kasus korupsi. Masih banyak praktik korupsi yang lolos dari jeratan hukum karena lemahnya sistem pencegahan, tidak teraudit atau lemahnya penegakan hukum di Indonesia. B. Analisa Untuk menjawab rumusan masalah dalam sub bab analisa ini, maka akan dideskripsikan tiga alasan untuk menjelaskan isu hukum bahwa korupsi melanggar HAM, khususnya dalam bidang pendidikan. Dimulai dengan mengelaborasi ketentuan-ketentuan hukum yang ada di Bab II dalam rangka memperjelas kaidah-kaidah hukum yang ada di dalamnya, diteruskan dengan analisa terbatas atas pemberitaan kasus serta pendapat professor dan praktisi hukum, berdasarkan kaidah-kaidah itu, yang diharapkan menjelaskan korupsi sebagai pelanggaran HAM. Walaupun demikian berbagai pedekatan teoritik dalam memahami korupsi seperti apa itu korupsi, bentuk-bentuk korupsi, motivasi melakukan korupsi maupun strategi pencegahan atau pemberantasannya, tidak akan dibahas di sini secara sangat terinci, karena sudah cukup gamblang disampaikan pada Bab II sebagai bagian desiminasi pengetahuan dan informasi. Penulis berpandangan korupsi adalah tindakan terlarang karena melanggar hukum. Terhadap rumusan masalah ―Mengapa korupsi dana pendidikan melanggar HAM?,‖ dapat dianalisis dengan setidaknya tiga alasan. Secara konseptual penulis memahami dana pendidikan sebagai dana yang seharusnya digunakan untuk kegiatan pendidikan tetapi disalahgunakan. Hal ini 68 bisa saja menyangkut misalnya dana BOS, dana DAK, dana pengembangan sumber daya manusia baik siswa maupun guru, dana pembangunan gedung sekolah dan pengadaan berbagai sarana dan prasarana pendidikan, sebagaimana ada dalam berbagai pemberitaan. Dalam beberapa penyebutan akan digunakan istilah korupsi di bidang pendidikan. Secara khusus Skripsi ini tidak membahas tentang misalnya kebijakan tertentu yang koruptif atau berpeluang menyebabkan korupsi. Alasan Pertama, korupsi dana pendidikan melanggar ketentuan hukum HAM. Berdasarkan perumusan ketentuan hukum (legal drafting) dan uraian tertulis (textual analysis), ada berbagai kaidah hukum dalam ketentuanketentuan hukum, khususnya hak atas pendidikan, baik nasional maupun internasional, yang secara langsung maupun tidak langsung menentang korupsi. Pertama, kaidah-kaidah hukum dalam DUHAM 1948. Sebagaimana proklamasi Majelis Umum PBB yang terkutip dalam Bab II, maka dapat diperlihatkan beberapa kaidah hukum yang tercantum dalam proklamasi itu: 1. Kaidah sebagai suatu standar umum, yaitu untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara; 2. Kaidah penghargaan terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan; dan. 3. kaidah progresifitas tindakan. Berdasarkan Pasal 1 DUHAM, dapat diperinci bahwa setiap orang sebagai manusia: 1. dilahirkan sebagai manusia bebas; karena itu korupsi sebagai bentuk penindasan harus ditolak, pembebasan harus diperjuangkan dan; 2. mempunyai martabat yang sama; karena itu sesama manusia harus saling menghormati dan hukum memberi perlindungan untuk itu; 69 3. mempunyai hak-hak yang sama; karena itu kebutuhan akan pendidikan harus tersedia, terbuka dan berjalan secara berkeadilan untuk setiap orang. 4. dikarunia akal dan hati nurani; karena itu setiap orang harus mengembangkan kepedulian. Korupsi bersifat menindas dan tidak menghormati kemanusiaan pihak lain, apalagi hal itu misalnya tentang dana pendidikan untuk orang miskin. Korupsi menjauhkan dari hidup yang damai; 5. hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan; karena itu korupsi yang senyatanya hanya mementingkan diri atau kelompok, jelas berlawanan dengan kaidah persaudaraan. Dengan demikian seorang atau sekelompok orang (koruptor) dan praktek korupsi yang dilakukan telah tidak menghargai kebebasan, persamaan, persaudaraan dan perdamaian sebagai gugusan kaidah hukum yang diharapkan dalam kehidupan kemanusiaan yang beradab. Di samping itu, tindakan untuk mementingkan diri dan/atau kelompok sendiri mencerminkan kecacatan akal budi dan hati nurani yang baik. Selanjutnya kaidah hukum yang terdapat dalam Pasal 2 DUHAM yaitu: 1. Kaidah pengadaan hak dan kebebasan; DUHAM mengadakan untuk setiap orang hak dan kebebasan tanpa kecuali; DUHAM menegaskan bahwa setiap manusia pada dasarnya adalah bebas dan memilih untuk bebas; 2. Kaidah melawan pembedaan realitas badaniah/fisik; DUHAM melawan pembedaan berdasarkan ras, warna kulit dan jenis kelamin, Ketiganya (ras, warna kulit dan jenis kelamin) boleh jadi karena dianggap sebagai kelemahan, maka harus dicermati supaya tidak sampai menjadi obyek 70 permainan para koruptor, apalagi dalam kondisi ketegangan atau perebutan kepentingan politik yang keras; dan 3. Kaidah melawan pembedaan atas kondisi dan/atau pilihan bebas; DUHAM melawan pembedaan berdasarkan bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain, kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain. Khusus tentang bidang pendidikan, Pasal 26 ayat (1) DUHAM mengandung kaidah yang sangat substansial. Karena itu di samping memetakan kaidahnya, penulis akan mengelaborasi kaidah-kaidah dimaksud: 1. Hak memperoleh pendidikan untuk setiap orang; Hal ini tepat atau bersesuaian dengan amanat Pembukaan UUD 1945 kepada pemerintah Indonesia, siapa pun itu dan kapan pun waktunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu pejabat pemerintah dan para rektor yang terbukti bersalah melakukan korupsi padahal mereka sebagai penanggungjawab pembangunan, kemasyarakatan, pemerintahan dan pendidikan, mestinya dikenai hukuman yang mendidik seperti halnya Angelina Sondakh, dan tidaklah boleh kepada mereka dijatuhi sanksi yang ringan; 2. Pendidikan harus diadakan dengan cuma-cuma; Jangan sampai terulang lagi seperti korupsi atas dana pendidikan gratis yang terjadi di Kabupaten Gowa; 71 3. Kewajiban mengadakan pendidikan rendah; Program untuk ini tidak boleh diabaikan atau dikorup dana peruntukannya; 4. Pendidikan teknik dan kejuruan yang terbuka untuk umum; Tidak boleh ada diskriminasi dan perbuatan koruptif di dalamnya; dan 5. Adanya cara yang sama dan pantas untuk mengakses pendidikan tinggi. Kaidah ini mempersyaratkan perlakuan yang sama. Misalnya bahwa yang miskin atau lemah harus tetap dijamin aksesnya ke kawasan strategis yang bernama dunia pendidikan. Sedangkan Pasal 26 ayat (2) DUHAM menentukan bahwa: 1. Kaidah pembangunan; pendidikan harus bertujuan memperkembangkan pribadi secara luas; Korupsi jelas mempersempit, menunda, menghambat, atau bahkan meniadakan kesempatan berkembang. Semua potensi perkembangan bangsa, negara dan masyarakat Indonesia harus dioptimalkan untuk saling mendukung dengan kemajuan bangsa, negara dan masyarakat internasional lainnya dalam rangka peradaban bersama. Korupsi yang dilakukan para kepala sekolah di Kabupaten Gowa, pejabat pemerintah Provinsi Banten dan Pejabat teras di Kementrian Pendidikan Nasional, tentu bukanlah contoh yang baik tentang komitmen menjaga reputasi Indonesia, apalagi untuk dipercaya dalam keterlibatan internasional. 2. Kaidah penghargaan atas HAM dan kebebasan; pendidikan juga bertujuan mempertebal penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasankebebasan dasar; Hal ini hanya bisa berjalan di bawah kepemimpinan dan 72 organisasi pemerintahan khususnya di bidang pendidikan yang peka, sadar dan hidup dengan nilai-nilai dan pengenalan terhadap HAM. 3. Kaidah solidaritas; pendidikan harus menggiatkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama;dan 4. Kaidah perdamaian; pendidikan harus memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian. Kedua, kaidah-kaidah hukum dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol), yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 12 Tahun 2005. Kaidahnya terlihat misalnya dari Pasal 18 ayat (1) tentang hak atas kebebasan berpikir. Selanjutnya kaidah hukum lainnya ditentukan dalam Pasal 18 ayat (4) Kovenan Sipol bahwa Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Ketiga, kaidah-kaidah hukum dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Ekosob), yang juga telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 11 Tahun 2005. Kaidah hukum dalam Pasal 1 Kovenan Ekosob ialah: 1. Negara-negara Pihak mengakui hak setiap orang atas pendidikan; 2. Negara-negara Pihak menyetujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya; 3. Pengembangan kepribadian akan memperkuat penghormatan HAM; 4. Pendidikan memungkinkan partisipasi masyarakat berdasarkan solidaritas; 73 5. Pendidikan memajukan perdamaian sebagai tujuan PBB. Pasal 2 Kovenan Ekosob sesungguhnya mengandung rincian kaidah hukum yang mengharuskan bahwa: 1. Pendidikan dasar haruslah wajib dan cuma-cuma; 2. Pendidikan harus tersedia dan terbuka bagi semua orang; 3. Pendidikan tinggi juga harus tersedia, bahkan secara bertahap dengan cuma-cuma; 4. Pendidikan mendasar harus menjangkau semua orang; 5. Penyediaan sistem beasiswa; dan 6. Peningkatan kesejahteraan pendidik; Pasal 3 Kovenan Ekosob mengandung kaidah hukum berupa: 1. Adanya kebebasan bagi orang tua atau wali untuk memilih sekolah; dan 2. Adanya kebebasan bagi orang tua atau wali dalam menentukan pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya. Pasal 4 Kovenan Ekosob memungkinkan adanya kebebasan untuk individu dan badan-badan untuk mendirikan lembaga pendidikan. Pasal lain dalam Kovenan Ekosob yang mengandung kaidah hukum tentang pendidikan ialah Pasal 14: 1. Keharusan negara pihak untuk mengadakan wajib belajar; 2. Program wajib belajar harus dikerjakan secara progresif; dan 3. Secara bertahap wajib belajar harus diusahakan menjadi cuma-cuma. Keempat, Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan. Pasal 1 Konvensi ini mengandung kaidah-kaidah hukum berupa: 74 1. Perlunya kehati-hatian dan pencermatan karena diskriminasi mencakup pembedaan, pengesampingan, pembatasan atau pengutamaan apa pun; 2. Perlunya kehati-hatian dan pencermatan karena dasarnya berhubungan dengan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal usul kebangsaan atau sosial, kondisi ekonomi atau kelahiran; 3. Perlu kehati-hatian dan pencermatan karena diskriminasi mempunyai tujuan meniadakan atau mengurangi persamaan perlakuan dalam pendidikan, terutama: a. Dari mencabut akses orang atau kelompok apa pun ke pendidikan jenis apa pun atau pada tingkat apa pun; b. Dari membatasi orang atau kelompok apa pun ke pendidikan pada suatu standar yang lebih rendah mutunya; c. Tunduk pada ketentuan-ketentuan Pasal 2 Konvensi ini, dari membentuk atau memelihara sistem-sistem atau lembaga-lembaga pendidikan yang terpisah bagi orang atau kelompok orang; atau d. Dari membebankan pada orang atau kelompok orang apa pun kondisikondisi yang tidak sesuai dengan kemuliaan manusia. Selanjutnya, Pasal 2 Konvensi ini juga menentukan bahwa: 1. Pendidikan mengacu pada semua jenis dan tingkat pendidikan; 2. Perlu diperhatikan akses ke pendidikan, standar dan kualitas pendidikan, dan kondisi-kondisi menurut yang telah diberikan. Keempat, Konvensi Hak Anak, yang dalam Pasal 1 ayat (3), mengatur kaidah berupa perintah kepada berbagai lembaga kesejahteraan sosial, legislatif, 75 eksekutif, dan yudikatif untuk mengutamakan pertimbangan tentang kepentingankepentingan terbaik untuk anak-anak. Kelima, berdasarkan Hak-hak konstitusional warga negara Republik Indonesia, dalam UUD 1945, maka setidaknya ada dua rumpun hak yang di dalamnya mengatur tentang hak atas pendidikan. Kedua rumpun hak itu ialah rumpun III tentang Hak untuk Mengembangkan Diri (Pasal 28C ayat 1) dan rumpun IV yaitu Hak atas Kemerdekaan Pikiran & Kebebasan Memilih (Pasal 31 dan Pasal 28C ayat 1). Keenam, berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, setidaknya terdapat dua kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Kewajiban yang pertama itu ialah kewajiban untuk memberikan layanan dan kemudahan (Pasal 11 ayat 1), dan kewajiban yang kedua yaitu kewajiban untuk menjamin tersedianya dana (Pasal 11 ayat 2). Selain itu juga ada bentuk tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah, yakni menyelenggarakan pendidikan secara demokratis dan berkeadilan (Pasal 4). Ketujuh, berdasarkan uraian Suparman Marzuki, maka penulis bersetuju bahwa pemaknaan atas kerangka hukum ekosob yang tercantum dalam Kovenan, dalam prinsip-prinsip Limburg dan pedoman Maastricht sudah sangat jelas bahwa kewajiban untuk menegaskan jaminan hukum dan jaminan komplain atas pemenuhan dan perlindungan hak ekosob oleh negara pihak bersifat segera, baik yang sifatnya penghormatan (kewajiban negara untuk tidak mengambil tindakantindakan yang mengakibatkan tercegahnya akses terhadap hak bersangkutan. Termasuk di dalamnya, mencegah melakukan sesuatu yang dapat menghambat warga memanfaatkan sumber-sumber daya alam materil yang tersedia); 76 perlindungan (kewajiban negara menjamin pihak ketiga (individu atau perusahaan) tidak melanggar hak individu lain atas akses terhadap hak bersangkutan serta mencegah deprivasi lebih lanjut dan jaminan bahwa mereka yang terlanggar haknya mendapat akses terhadap legal remedies; serta pemenuhan (mengharuskan negara untuk melakukan tindak pro aktif memperkuat akses masyarakat atas sumber-sumber daya). Dalam hubungan dengan uraian di atas, maka berdasarkan penjelasan de Mesa dalam Bab II, perlu diadakan perlawanan terhadap korupsi dana pendidikan, karena kemiskinan bisa saja diakibatkan oleh korupsi dana pendidikan, dan juga korupsi dana pendidikan bersifat diskriminatif, terutama bagi kaum miskin. Alasan Kedua, berdasarkan pendapat professor dan praktisi hukum serta proses hukum (legal process) dan putusan hukum (legal decision) dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi, ada bukti-bukti bahwa korupsi dana pendidikan melanggar HAM. Ada banyak contoh kasus, misalnya gelar perkara terhadap para pendidik di Kabupaten Gowa; data investigasi terhadap Banten sebagai Provinsi Terkorup di bidang pendidikan (bahkan kemudian penahanan Ratu Atut pada masa jabatannya selaku Gubernur); gelar perkara terhadap Mantan Irjen Kemendiknas; Sangkaan terhadap beberapa rektor perguruan tinggi negeri; laporan hasil investigasi ICW bahwa selama satu dasawarsa telah terjadi korupsi khususnya di bidang pendidikan sejumlah 619 milyar rupiah; dan telaah keprihatinan atas nasib pendidikan Indonesia yang diterjang praktek korupsi. Semuanya memperlihatkan tindakan inkonstitusional, yaitu melawan tujuan pencerdasan kehidupan bangsa, 77 dengan jalan mengambil yang bukan haknya untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok sendiri. Semua contoh kasus itu, betapa pun tidak akan dibahas secara detail, tetapi menunjukkan bukti mendasar bahwa korupsi memang melanggar HAM. Setidaknya dapat dilihat bahwa: 1. Para koruptor yang adalah pejabat atau yang berwenang secara kenegaraan dan inkonstitusional, ke pemerintahan, telah bersikap dan bertindak yaitu mengambil yang bukan haknya untuk memperkaya diri dan kelompoknya sendiri, padahal tugas pemerintah adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mendatangkan kesejahteraan umum. 2. Para koruptor telah melanggar hukum yang universal yang diputuskan dalam DUHAM dan berbagai konvensi seperti Konvensi Sipol, Konvensi Ekosob, Konvensi Hak Anak yang semuanya telah sah berlaku di Indonesia. Secara universal setiap orang akan memilih untuk bebas dan bukan sebaliknya ditindas koruptor; memilih untuk terdidik dan bukan sebaliknya membiarkan hak serta peluang memperkembangkan dirinya dirampok koruptor. Berbagai kaidah hukum telah disebutkan dalam analisa ini dan adalah logis bahwa berdasarkan buah pemikiran para ahli hukum (legal experts), baik karena capaian akademik maupun karena kedalaman dan keluasan pengalaman, korupsi melanggar HAM, tak terkecuali hak atas pendidikan. Berdasarkan 78 pendapat para ahli di Bab II, maka serangkaian pokok bahasan penting yang menegaskan korupsi sebagai pelanggaran HAM dapat ditampilkan di bawah ini. Berdasakan pendapat Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK, korupsi sebagai pelanggaran HAM, bahkan pelanggaran HAM berat karena: 1. Koruptor mencuri dana pembangunan; 2. Berdasarkan studi UNDP, korupsi menurunkan kualitas pembangunan manusia; indeks pembangunan manusia menjadi terhambat; 3. Akibat yang ditimbulkan korupsi, lebih besar daripada pencurian biasa. Perampok mencuri dari ATM, tetapi koruptor membangkrutkan lembaga perbankan. Dana pembangunan itu mestinya bermanfaat untuk mendatangkan pendidikan gratis, misalnya bahwa korupsi seharusnya tidak terjadi di Kabupaten Gowa karena dana itu akan sangat bermanfaat mendukung pendidikan anak-anak dari keluarga yang kurang mampu. Hal itu jelas bertentangan dengan Pasal 2 dan Pasal 14 Konvensi Ekosob yang mengamanatkan pendidikan gratis atau cumacuma dan yang wajib dilakukan oleh negara dan pemerintah. Kehidupan anakanak di sana tidak dibangun karena penyalahgunaan kekuasaan secara melawan hukum atau terjadi korupsi atas hak mereka. Kehilangan 20 milyar rupiah tentu saja bukan jumlah yang sedikit. Belum lagi kalau benar bahwa bukan hanya dana pendidikan gratis yang dikorupsi di sana tetapi juga dana yang dimanipulasi dari kebutuhan belanja siswa dan yang dipotong dari honor para guru. Para siswa tidak akan mendapatkan sentuhan pengembangan diri yang maksimal, dan para guru mungkin akan bermalas-malasan. 79 Pada akhirnya memang benar bahwa indeks pembangunan manusia Indonesia tidak akan bergerak naik. Akibatnya juga terjadi penumpukan potensi masalah pada para peserta didik karena mereka akan menjadi generasi yang tidak cukup berkualitas. Jelas bahwa mereka tidak akan mampu bersaing. Kehidupan mereka di kemudian hari berpotensi menimbulkan banyak masalah, karena bukan saja haknya telah tidak dipenuhi, tetapi juga mereka menjadi keseringan menyaksikan perilaku yang buruk dari pemerintah atau pelayan publik, bahkan ternyata juga para kepala sekolah. Bilamana praktek korupsi semacam ini dibiarkan terus terjadi maka akan menimbulkan ketidakpercayaan kepada pemerintah atau lembaga pendidikan. Menurut Joni Simanjuntak yang pernah menjadi Anggota Komisioner Komnas HAM, koruptor mengambil dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang seharusnya untuk memenuhi hak rakyat atas kesehatan, pendidikan dan perumahan. Suatu keadaan yang sangat disayangkan dan tidak terpuji bahwa Provinsi Banten yang masih muda usia justru menjadi provinsi dimana terjadi korupsi dana pendidikan sejumlah 209 milyar rupiah. Memprihatinkan karena umumnya pemekaran daerah justru terjadi dengan alasan dan tujuan untuk lebih melayani publik secara berkualitas. Dapat dikatakan telah terjadi pembohongan publik, manipulasi isu kesejahteraan. Hal ini juga dapat berarti ketidakmampuan tata pemerintahan dalam mengartikulasikan secara positif dan optimal dana dan sektor kependidikan yang bernilai strategis dalam konteks mendukung pembebasan umat manusia dari kebodohan, kemiskinana dan keterbelakangan, setidaknya di Banten. Bahkan harus dicermati, karena bisa saja telah terjadi apa yang disebut sebagai 80 ―meniadakan atau mengurangi persamaan perlakuan dalam pendidikan‖ sebagaimana disorot dalam Pasal 1 Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan. Menarik ketika Jimly Asshiddiqie, Guru Besar Hukum Tata Negara, juga berpendapat bahwa korupsi merupakan pelanggaran HAM berat, karena: 1. Kejahatan korupsi telah berurat akar dalam keseluruhan sendi kehidupan masyarakat Indonesia; 2. Kejahatan korupsi sudah melebihi dampak dan bahaya pelanggaran hak asasi manusia sehingga kejahatan korupsi dapat disetarakan dengan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights). Pendapat akademis Asshiddiqie tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting. Korupsi yang secara umum dapat diartikan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan publik untuk kepentingan diri dan kelompok sendiri, ternyata telah menimbukan dampak kerusakan melampau pelanggaran HAM berat. Kasus hukum yang melibatkan mantan Inspektur Jenderal Kementrian Pendidikan Nasional dan dugaan keterlibatan beberapa rektor perguruan tinggu negeri dalam korupsi dana pendidikan mestinya menjadi keprihatinan nasional. Kawasan pendidikan yang secara ideal (das solen) harusnya menjadi acuan pemulihan martabat kemanusiaan, justru dalam kenyataannnya (das sein) telah menjadi kawasan kejadian masalah, ranah reruntuhan peradaban. Karena itu dan dalam rangka akselerasi dan akurasi manejemen serta hukum tata pemerintahan, maka enam strategi pencegahan dan pemberantasan 81 korupsi, sebagaimana telah diterbitkan pemerintah lewat Keppres No. 55 Tahun 2012, harus segera ditindaklanjuti dengan penataan konkrit pada berbagai tingkatan dan luasan ketatanegaraan. Keenam strategi itu ialah strategi pencegahan, strategi penindakan; strategi harmonisasi peraturan perundangundangan; strategi penyelamatan aset hasil korupsi; strategi kerjasama internasional; dan strategi mekanisme pelaporan. Kalau tidak demikian maka apa yang dikatakan Asshiddiqie sebagai telah berurat akar itu akan semakin mencengkeram Indonesia. Pada gilirannya Indonesia juga secara internasional mungkin akan mengalami krisis kepercayaan karena tidak cukup menjamin keterlibatan dalam rangka kerja menunaikan pemaknaan atas pembebasan, persamaan, persaudaraan dan perdamaian berbasis penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak atas pendidikan dan HAM secara umum. Indriyanto Seno Adji, salah satu tim pakar yang menggodok perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, tidak setuju jika dikatakan pemberlakuan asas pembuktian terbalik dianggap melanggar HAM. Indriyanto ketika ditemui hukumonline justru mengatakan bahwa korupsilah yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pernyataan Seno Adji ini dapat dipahami dalam konteks keprihatinan atas maraknya korupsi. Maksudnya adalah bahwa lebih mendesak untuk menangani persoalan-persoalan korupsi karena di dalamnya telah terjadi pelanggaran HAM berat. Karena itu berbagai strategi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti disebutkan di atas perlu segera digiatkan secara nyata. Tidak boleh tidak, korupsi yang membelenggu kebebasan dan tujuan memperkembangkan 82 hidup, harus dilawan. Pendidikan anti-korupsi juga mendesak. Pendidikan berbasis HAM menjadi kebutuhan aktual Indonesia. Jaleswari Pramodhawardani, Peneliti LIPI dan The Indonesian Institute bahkan menyebut korupsi sama dengan pelanggaran HAM karena: 1. Korupsi adalah penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan pribadi; 2. Korupsi merupakan salah satu kejahatan sosial terbesar; 3. Mengacu kepada mantan Sekjen PBB, Kofi Annan, korupsi telah merugikan kaum miskin dengan mengalihkan dana yang ditujukan untuk pembangunan, melemahkan kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dasar, dan menghalangi bantuan atau investasi asing; 4. Hubungan antara korupsi dan HAM sering dianggap sebagai satu mata uang dengan dua sisi. Artinya, korupsi yang melumpuhkan suatu negara merupakan pertemuan antara kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi HAM warga negaranya di satu sisi dan sekaligus pengabaian untuk pemenuhan kewajiban tersebut di lain sisi. 5. Korupsi tampak sebagai penyangkalan hak-hak perseorangan dan cara yang digunakan untuk penyelidikan serta tuntutan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum yang diskriminatif. Kasus nenek Minah yang mengambil tiga biji buah kakao senilai Rp 2.100 milik perkebunan PT RSA, untuk ditanam, menuai ongkos mahal karena ia divonis 1,5 bulan penjara, percobaan selama tiga bulan. Bandingkan dengan vonis pengadilan koruptor yang merugikan negara miliaran atau triliunan rupiah. 6. Dalam melakukan reformasi antikorupsi, terutama yang menargetkan efisiensi pengurangan pengeluaran belanja negara, terjadi inkonsistensi 83 antara pemenuhan kebutuhan dasar dan hak seperti kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan dengan hak sosial dan ekonomi masyarakat miskin yang termarjinalkan. 7. Anggaran pendidikan yang merupakan porsi terbesar APBN belum menyentuh kebutuhan dasar masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan dengan mudah dan murah. 8. Fakta ini penting untuk menunjukkan bahwa hubungan antara korupsi yang meluas dan HAM akan melumpuhkan negara sebagai akibat tidak bertemunya dan terpenuhinya kewajiban negara terhadap HAM mereka. Karena itu, HAM dapat digunakan sebagai dukungan untuk melawan korupsi. 9. Sebuah negara yang korup, bagaimanapun, akan gagal membawa warga negaranya ke arah dan tujuan yang dicita-citakan ketika korupsi memimpin ke arah pelanggaran HAM. Setidaknya ada tiga hal yang tercederai di sana. Pertama, korupsi mengabadikan diskriminasi. Kedua, korupsi mencegah perwujudan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat, terutama rakyat miskin. Ketiga, korupsi memimpin ke arah pelanggaran hak sipil politik warga; dan 10. Korupsi ada dan nyata dalam kinerja buruk partai politik, lembaga peradilan dan kepolisian sebagaimana yang ditunjukkan hasil survei pendapat umum yang dilakukan oleh Transparency International, Global Corruption, 2004. Dari survei tersebut, 36 dari 62 negara-negara itu memperlihatkan partai politik merupakan institusi yang paling dipengaruhi oleh korupsi, terburuk di Ekuador, diikuti oleh Argentina, India, dan Peru. 84 Responden di Argentina, Indonesia, Korea Selatan, Taiwan, dan Ukraina menilai parlemen atau pembuat undang-undang sama korupnya dengan partai politik. Uraian panjang lebar Pramodhawardani tersebut menjadi beralasan ketika ICW memperlihatkan data bahwa selama satu dasawarsa yaitu sejak 2003 sampai dengan 2013, di seluruh Indonesia terjadi 296 kasus korupsi dana pendidikan dengan 479 orang tersangka di Indonesia. Indikasi kerugian keuangan negara mencapai Rp 619 miliar. Sangat memalukan karena ICW juga menyimpulkan bahwa dari 479 tersangka yang menggerogoti dana pendidikan itu justru dilakukan oleh pejabat dan pegawai Dinas Pendidikan. Sebagaimana diungkapkan seorang wakil ICW, "Tersangka paling banyak di Dinas Pendidikan. 71 orang di antaranya adalah Kepala Dinas Pendidikan, 179 orang pegawai Dinas Pendidikan, dan 114 rekanan mereka." kata Tari. Menurut hasil penelitian ICW, dari tahun ke tahun pola korupsi pendidikan masih menggunakan modus yang sama yakni penggelapan dan mark up. Berita di atas sangat mengganggu karena reformasi politik Indonesia, seperti umumnya negara-negara demokratis lainnya, selalu mengusung dan mengumandangkan isu-isu HAM dan penguatan kehidupan masyarakat sipil yang menghayati demokrasi substantif. Bahkan DUHAM 1948 misalnya mengamanatkan tindakan-tindakan progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatannya yang universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari negara-negara anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari wilayah-wilayah yang ada di bawah kekuasaan hukum 85 mereka. Faktanya justru menunjukkan dana kependidikan justru dikorupsi sendiri oleh pelayan publik di bidang pendidikan. Padahal tindakan progresif ini harus termasuk progresifitas melawan korupsi. Hal itu hendak membuktikan bahwa korupsi juga ada di mana-mana, tetapi universalitas HAM membuktikan bahwa di wilayah mana saja di seluruh penjuru bumi ini setiap orang tidak mau dan tidak akan pernah mau dicurangi atau dirampok hak-haknya. Universalitas atau keumuman HAM diakui dan dijunjung tinggi seluruh masyarakat dunia, misalnya bahwa setiap orang akan memilih untuk hidup terdidik dan bukan ditindas kebodohan. Mimin Dwi Hartono, anggota staf Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2009, korupsi melanggar HAM dengan penjelasan bahwa: 1. Dalam tingkatan tertinggi, merampas kesejahteraan publik, memiskinkan masyarakat, dan mengarah ke pelanggaran hak sosial dan ekonomi yang berat. 2. Korupsi adalah salah satu masalah terbesar yang dihadapi negara berkembang di seluruh dunia. 3. Dari perspektif hak asasi manusia, korupsi adalah salah satu hambatan terbesar dalam memenuhi kewajiban negara untuk melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia. 4. Sistem politik yang korup mengabaikan hak fundamental untuk berpartisipasi dalam berdemokrasi. 5. Sistem pengadilan yang korup tidak hanya melanggar hak dasar, yaitu kesetaraan di hadapan hukum, tapi juga mengabaikan hak prosedural yang dijamin oleh konvensi internasional tentang hak asasi manusia. 86 6. Korupsi dalam administrasi publik membahayakan hak untuk hidup ketika dana kesehatan publik diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Sebanyak 3 miliar orang masih hidup dengan penghasilan di bawah dua dolar sehari, total pendapatan domestik bruto 48 negara termiskin lebih kecil daripada jumlah kekayaan tiga orang terkaya di dunia, 1 miliar anak hidup dalam kemiskinan, 640 juta hidup tanpa permukiman yang layak, 400 juta tidak punya akses atas air, dan 270 juta tidak punya akses atas fasilitas kesehatan. Kemiskinan bukan suatu kondisi yang statis, melainkan produk dari proses pemiskinan. Dengan demikian, kemiskinan tidak timbul dengan sendirinya (by nature), tapi diciptakan (created). Proses pemiskinan dan kemiskinan tersebut di antaranya disebabkan oleh korupsi. Banyak yang mengatakan kemiskinan sebagai anak kandung dari korupsi. Fakta menunjukkan bahwa negara yang miskin adalah negara yang tinggi tingkat korupsinya, dan sebaliknya. 7. Negara yang miskin tercatat sebagai negara yang melakukan banyak pelanggaran hak asasi manusia. Maka pemiskinan adalah bentuk pelanggaran HAM karena membuat orang tidak bisa menikmati hakhaknya, seperti hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak atas perumahan. Di antara korupsi, pemiskinan, dan HAM terdapat interkorelasi sebab-akibat. 8. Korupsi adalah bentuk dari pemiskinan yang menyebabkan kemiskinan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia adalah negara terkorup keenam di dunia. 87 9. Maka sudah seharusnya pemberantasan korupsi berjalan sinergis dengan penegakan HAM. Sebab, pemberantasan korupsi bertujuan menyelamatkan kekayaan negara dan/atau mengontrol kekuasaan sehingga dapat dipergunakan secara tepat guna untuk menyejahterakan masyarakat dan mewujudkan pembangunan yang berkeadilan. Para pelaku korupsi atau koruptor telah mengambil hak masyarakat untuk berkembang secara ekonomi, sosial, dan budaya. 10. Ada kesamaan prinsip antara pemberantasan korupsi dan penegakan HAM, yaitu transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, penegakan hukum, kebebasan berekspresi, hak atas informasi, pemisahan kekuasaan, kesetaraan, nondiskriminasi, dan keadilan. Berdasarkan uraian Hartono di atas, maka negara, pemerintah, dan berbagai kekuatan politik sebenarnya juga diingatkan untuk tidak menganggap remeh pernyataan Sen tentang pembangunan sebagai suatu proses untuk memperluas kebebasan nyata yang dinikmati rakyat. Senada dengan itu, Freire mengartikulasikannya secara tepat dalam konteks atau bidang pendidikan, ketika dia mengatakan dan membangun filsafat pendidikannya bahwa pendidikan adalah suatu proses pembebasan. Dengan demikian maka berbagai ketentuan hukum HAM yang mengalir dari DUHAM 1948 khususnya yang menyangkut urusan pendidikan, pertama-tama harus dimaknai sebagai ketentuan pembebasan. Negara-negara harus bertanggungjawab atas kerja pembebasan itu dalam rangka penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. Hal tersebut juga sangat tepat dan beralasan karena sejalan dengan pernyataan atau proklamasi DUHAM, dimana dikatakan bahwa tujuannya agar 88 setiap orang dan setiap badan di dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat DUHAM dimaksud, akan berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan pendidikan guna menggiatkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasankebebasan tersebut. DUHAM dan teoritisasi HAM harus disosialisasikan dalam berbagai jenjang pendidikan. Kebijakan dan hukum anti-korupsi harus menjadi bagian dari kerja kurikuler berbagai lembaga pendidikan dari yang terendah sampai dengan yang paling tinggi. Pendidikan berbasis HAM menjadi sesuatu yang harus berjalan. Hubungan antara korupsi dan HAM, juga disorot secara tajam oleh George Aditjondro, Penulis Buku ―Korupsi Kepresidenan: Oligarki Tiga Kaki.‖ Disebutnya, korupsi telah secara nyata mencederai rasa keadilan dan kemanusiaan karena telah mengambil secara sistematis aset negara yang seharusnya dipergunakan untuk menyejahterakan rakyat. Menurut George Aditjondro, terdapat tiga lapis korupsi. Lapis pertama adalah korupsi yang langsung berkaitan antara warga dan aparat negara, yaitu suap dan pemerasan. Disebut suap jika prakarsa untuk memberikan barang, jasa, dan uang berasal dari warga, atau pemerasan jika prakarsa untuk mendapatkan barang, jasa, dan uang berasal dari aparat negara. Lapis kedua adalah korupsi lingkaran dalam (inner circle) di pusat pemerintahan, yaitu nepotisme, kroniisme, dan kelas baru. Nepotisme adalah korupsi antara pelayan publik dan mereka yang menerima kemudahan dalam bisnisnya karena adanya hubungan darah/persaudaraan. Kroniisme sama pengertiannya dengan nepotisme tapi tidak ada hubungan darah di antara kedua belah pihak yang sama-sama menerima keuntungan. Kemudian kelas baru: mereka yang mengambil kebijakan dengan mereka yang menerima kemudahan 89 khusus untuk usaha mereka ada dalam lingkaran kekuasaan pemerintahan. Lapis ketiga adalah korupsi yang berbentuk jejaring, yang melibatkan birokrat, politikus, aparat hukum, aparat keamanan negara, perusahaan negara, perusahaan swasta, serta lembaga pendidikan dan penelitian yang memberikan kesan ilmiah dan obyektif serta menjadi alat legitimasi kebijakan yang diambil oleh jejaring tersebut. Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya dan sulit dibuktikan karena adanya konspirasi yang canggih antarelemen untuk melakukan proses pemiskinan secara berjemaah. Korupsi yang disebut sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime) ini berkontribusi sangat besar bagi tumbuh kembangnya kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural tercipta bukan karena masyarakat yang tidak berdaya, melainkan karena kebijakan yang memang diciptakan untuk memiskinkan masyarakat atau pemiskinan (impoverishment). Uraian akademis Aditjondro ini, senyatanya terjadi dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh Angelina Sondakh. Ciri korupsi sebagaimana diuraikan Aditjondro dengan kategori lapis dua dan lapis tiga-nya, nampak dalam kasus yang melibatkan Sondakh. Kasus ini juga memperlihatkan ketidakpekaan sebagai wakil rakyat atas pergumulan nyata warga Indonesia yang kebanyakan masih bergelut dengan kesulitan dana pendidikan. Keadilan muncul terbalik, mereka yang berkuasa benar-benar menjadikan dana pendidikan sebagai sasaran korupsi. Kasus ini tidak terbantahkan bahwa telah terjadi perusakan terhadap citacita pembebasan, persamaan, persaudaraan, perdamaian, sebagai akibat korupsi politik atas dana pendidikan, padahal pendidikan bertujuan mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sondakh dan siapa pun yang sebenarnya terlibat di dalamnya, dengan perbuatan demikian 90 telah senyatanya melawan konstitusionalitas dan identitas Indonesia sebagai negara hukum. Mereka juga telah telah melawan kaidah-kaidah internasionalitas Indonesia yang telah meratifikasi berbagai perjanjian internasional tentang HAM, misalnya, prinsip kepentingan terbaik untuk anak sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi Hak Anak, yang juga telah diratifikasi dengan Keppres RI No. 36, 25 Agustus 1999. Padahal prinsip ini jelas menghendaki pengutamaan terhadap kepentingan-kepentingan terbaik untuk anak, prinsip yang memastikan bahwa pendidikan adalah kebutuhan utama setiap anak. Alasan Ketiga, ada contoh lain sebagai perbandingan analisa yang dapat dipelajari. Dari semua ketentuan internasional di atas, yang paling langsung berkenaan dengan hak atas pendidikan ialah Kovenan Ekosob. Uraian yang lebih terperinci tentang korupsi sebagai pelanggaran HAM dapat dilihat di bawah ini.126 Hak atas pendidikan dijamin dalam beberapa instrumen internasional, terutama Pasal 13 dan 14 Kovenan Ekosob. Secara umum, hak ini memiliki dua dimensi utama: dimensi sosial dan dimensi kebebasan. Dimensi sosial mengacu pada hak untuk menerima pendidikan diarahkan pada tujuan dan sasaran yang diidentifikasi dalam Pasal 13 ayat (1) dari Kovenan Ekosob. Hak untuk menerima 126 Bagian ini sengaja dipilihkan dan disajikan Penulis untuk mengapresiasi penjelasan tentang Bab Pembahasan, dalam Buku Panduan Penelitian dan Penulisan Skripsi, Fakultas Hukum UKSW, Desember 2013, yang memungkinkan Pendekatan Perbandingan dalam Bab Pembahasan. Mungkin Pendekatan Perbandingan di sini berbeda dengan yang dimaksudkan, tetapi Penulis berpandangan perlu juga mengenal gagasan pihak lain secara lengkap atas topik yang relatif sama. Dengan demikian para Pembaca dapat melakukan sendiri perbandingan dengan mungkin lebih teliti. Pembahasan tentang bagian ini dengan perubahan terbatas, mengacu kepada: ichrp.org, Julio Bacio Terracino, Corruption As A Violation of Human Rights, International Council and Human Rights Policy, pp. 23-26, http://www.ichrp.org/files/papers/150/131_terracino_en_2008.pdf dikunjungi pada Selasa 21 Januari 2014 pukul 08.32 WIB. 91 pendidikan mewajibkan negara untuk membuat berbagai bentuk pendidikan (dasar, menengah, tinggi, dan fundamental) tersedia dan mudah diakses untuk semua. Sementara pendidikan dasar harus gratis dan wajib, pendidikan menengah dan tinggi yang dibuat secara umum tersedia dan dapat diakses melalui pengenalan progresif pendidikan gratis. Korupsi juga sangat mungkin hadir dalam sektor pendidikan. Di sebagian besar negara, sektor pendidikan merupakan salah satu komponen terbesar dari sektor publik. Mengkonsumsi antara 20% dan 30% dari total anggaran, mempekerjakan proporsi tertinggi sumber daya manusia terdidik, dan kekhawatiran antara 20% dan 25% dari populasi. Hal ini menciptakan peluang dan insentif untuk korupsi yang terjadi dalam berbagai bentuk dan pada semua tingkatan. Tawaran dicurangi untuk tender, penggelapan dana, biaya pendaftaran ilegal, absensi, dan penipuan dalam pemeriksaan adalah beberapa bentuk bahwa korupsi dapat mengambil di sektor pendidikan. Korupsi di sektor pendidikan telah dikaitkan dengan hak asasi manusia untuk pendidikan. Misalnya, Komisi Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Rakyat menyatakan bahwa penutupan sewenang-wenang dari universitas dan sekolah menengah selama dua tahun, disertai dengan non-pembayaran gaji guru karena korupsi, yang mencegah siswa dari sekolah dan guru dari menyediakan pendidikan kepada siswa, melanggar hak untuk pendidikan di bawah Piagam Afrika. Hal ini menunjukkan hubungan yang agak umum dan tidak langsung antara korupsi dan hak atas pendidikan. Dalam rangka untuk menentukan kapan praktik korupsi dapat merupakan pelanggaran terhadap hak atas pendidikan, itu adalah penggunaan untuk mengikuti fitur hak terhadap ketersediaan, aksesibilitas, 92 dapat diterima, dan kemampuan beradaptasi. Pendidikan dalam segala bentuknya dan di semua tingkatan harus berisi fitur tersebut. Institusi dan program pendidikan harus tersedia dalam jumlah yang cukup. Ketersediaan juga berarti bahwa institusi dan program pendidikan harus dilengkapi dengan apa yang mereka butuhkan untuk berfungsi, seperti bangunan, fasilitas sanitasi, air minum yang aman, guru terlatih menerima gaji yang kompetitif, dan bahan ajar. Beberapa praktik korupsi yang berbeda di sektor pendidikan memiliki efek negatif pada ketersediaan pendidikan. Paling menonjol, penggelapan dana awalnya dialokasikan untuk menyediakan pendidikan menghilangkan sumber daya yang dibutuhkan untuk melengkapi lembaga pendidikan. Fitur kedua dari hak atas pendidikan adalah aksesibilitas, dimana pendidikan harus dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi. Aksesibilitas tidak hanya mengacu pada akses fisik tetapi juga untuk akses ekonomi. Dalam konteks ini, pendidikan harus terjangkau untuk semua dan benar-benar gratis di tingkat sekolah dasar. Praktik korupsi di sektor pendidikan, terutama di tingkat sekolah dan kelas, dapat membatasi atau sama sekali menghambat akses pendidikan. Pertama, korupsi memerlukan diskriminasi. Dengan demikian, ketika anak-anak diminta untuk melakukan pembayaran tidak resmi, akses mereka terhadap pendidikan tidak didasarkan pada standar kesetaraan tetapi pada kemampuan untuk membayar suap, yang berjumlah diskriminasi dan korupsi. Kedua, banyak praktik korupsi mempengaruhi aksesibilitas pendidikan. Ketika masuk ke kelas hanya diberikan setelah membayar suap, atau ketika orang tua diminta untuk membayar uang 93 sekolah swasta di mana guru mengajarkan anak mereka esensi kurikulum setelah jam sekolah resmi, atau ketika orang tua harus membayar jika mereka ingin buku latihan anak untuk dikoreksi, hanya orang yang memiliki sumber daya yang cukup ekonomi dan bersedia menanggung korupsi memiliki akses ke pendidikan. Yang paling penting, semua praktik korupsi yang memerlukan pencairan uang di pendidikan dasar bertentangan dengan fakta bahwa ini harus bebas. Terbukti, sebagian besar praktik korupsi di sektor pendidikan, terutama di tingkat sekolah dan kelas, membatasi akses ke pendidikan. Fitur-fitur lainnya dari hak atas pendidikan adalah penerimaan dan adaptasi. Bentuk dan substansi pendidikan harus dapat diterima oleh siswa dan orang tua berkaitan dengan relevansi, kesesuaian budaya dan kualitas, dan juga harus fleksibel untuk beradaptasi dengan kebutuhan perubahan masyarakat. Korupsi di sektor pendidikan memiliki dampak pada standar kualitas pendidikan, sehingga mempengaruhi unsur penerimaan hak atas pendidikan. Korupsi dalam pengadaan mempengaruhi perolehan materi pendidikan, makanan, bangunan, dan peralatan, biasanya menghasilkan produk-produk berkualitas buruk. Perekrutan personil juga dapat dinodai oleh korupsi. Suap dalam prosedur perekrutan dapat mengakibatkan guru wajar tanpa pengecualian yang ditunjuk. Oleh karena itu, korupsi di sektor pendidikan juga menghasilkan pendidikan standar. Hak atas pendidikan juga memiliki dimensi kebebasan. Ini menyangkut hak kebebasan akademik dan otonomi kelembagaan dan itu berarti kebebasan pribadi individu atau orang tua atau wali untuk memilih lembaga pendidikan memenuhi pendidikan, agama, moral dan keyakinan mereka (ICESCR Art. 13.3). Hal ini juga berarti kebebasan orang untuk mendirikan dan mengarahkan lembaga 94 pendidikan mereka sendiri (ICESCR Art. 13,4). Dimensi hak atas pendidikan juga dapat terhambat oleh korupsi. Misalnya, jika orang tua diminta untuk membayar suap untuk mentransfer anak dari satu sekolah ke sekolah lain atau hanya untuk menjaga anak mereka di sekolah. Ketika orang tua membutuhkan sumber daya ekonomi untuk menyuap sekolah mereka akan lebih memilih untuk anak-anak mereka, atau ketika orang tua hanya tidak ingin ikut serta dalam praktek korupsi, mereka tidak bebas untuk memilih lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka seperti yang dipersyaratkan oleh hak atas pendidikan . Seperti dibuktikan, korupsi di sektor pendidikan mempengaruhi hak atas pendidikan dalam banyak cara. Dalam rangka untuk menentukan kapan praktek korupsi tersebut merupakan pelanggaran hak, hal ini berguna untuk secara singkat mengacu kepada kewajiban pada negara-negara mengenai hak atas pendidikan. Negara memiliki beberapa kewajiban berkaitan dengan hak atas pendidikan. Sesuai dengan pasal 2 ayat (2) dari Konvensi Ekosob, negara tetap memiliki kewajiban segera dan umum menjamin hak atas pendidikan tanpa diskriminasi apapun terlepas dari kendala pada sumber daya. Ketika korupsi membatasi akses ke pendidikan, diskriminasi jelas terjadi karena akan ditampilkan kemudian dalam pekerjaan ini. Sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) dari Konvensi Ekosob, negara juga memiliki kewajiban umum untuk mengambil langkah-langkah untuk secara progresif mencapai realisasi penuh hak atas pendidikan. Ketika korupsi di sektor pendidikan meluas dan sistematis, negara tampaknya tidak akan mengambil langkah-langkah ke arah yang benar. Tapi yang paling penting, hak atas pendidikan, seperti semua hak asasi manusia, membebankan pada negara tiga 95 kewajiban khusus: kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi. Kewajiban untuk menghormati mengharuskan negara untuk menghindari tindakan-tindakan yang menghambat atau mencegah pemenuhan hak atas pendidikan. Negara harus mencegah penolakan akses ke pendidikan baik dalam hukum dan praktek. Langsung atau tidak langsung biaya, seperti pungutan wajib pada orang tua (kadang-kadang digambarkan sebagai sukarela, padahal sebenarnya mereka tidak) merupakan disinsentif untuk menikmati hak atas pendidikan. Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah mengidentifikasi bahwa kegagalan untuk mengambil tindakan yang menangani diskriminasi pendidikan secara de facto merupakan pelanggaran hak atas pendidikan. Jadi, ketika seseorang meminta suap untuk mengakses pendidikan mereka, ada diskriminasi de facto jelas dan negara tidak mematuhi kewajibannya untuk menghormati penikmatan hak orang itu untuk pendidikan. Kewajiban untuk melindungi membutuhkan negara untuk mengambil langkah-langkah yang mencegah pihak ketiga untuk campur tangan dengan pemenuhan hak atas pendidikan. Untuk tujuan ini, negara-negara harus memerangi diskriminasi dalam akses pendidikan dan harus mempertahankan standar pendidikan yang dapat diterima kualitas. Sebagian besar contoh di bawah bagian ini adalah kasus di mana pihak ketiga ikut campur dalam pemenuhan hak atas pendidikan, terutama berkaitan dengan akses dan kualitas pendidikan. Ketika ini mengambil tempat, negara tidak mematuhi kewajiban mereka untuk melindungi kenikmatan hak ini. Kewajiban untuk memenuhi mengharuskan negara untuk mengambil langkah-langkah positif yang memungkinkan dan membantu individu serta 96 masyarakat untuk menikmati hak atas pendidikan. Negara harus bekerja untuk pendidikan gratis dan harus membuat fasilitas pendidikan dan bahan ajar tersedia bagi warga negara mereka. Ketika penggelapan dana ditakdirkan untuk hasil pendidikan di kurangnya fasilitas pendidikan dan bahan ajar, negara jelas tidak mematuhi kewajibannya untuk memenuhi. Seperti yang terlihat di bagian ini, praktek yang paling korup di sektor pendidikan melanggar salah satu atau lebih dari unsur-unsur hak atas pendidikan (ketersediaan, aksesibilitas, dapat diterima, dan kemampuan beradaptasi). Kasuskasus seperti bukti cara di mana korupsi melanggar secara langsung hak atas pendidikan. Di samping itu, korupsi juga melanggar hak-hak anak, sebagai kelompok yang masih berusia sebagai peserta didik.127 Anak-anak, serta orang dewasa, memiliki hak asasi manusia sipil, politik ,ekonomi, sosial dan budaya. Dalam banyak hal hak-hak mereka mirip dengan hak asasi manusia dewasa. Namun, karena status khusus mereka sebagai anak-anak dan karena ketidakdewasaan fisik dan mental mereka, anak-anak membutuhkan perlindungan khusus. Dengan demikian hak asasi manusia yang khusus untuk anak-anak telah diidentifikasi terutama dalam Konvensi PBB Tahun 1989 tentang Hak-hak Anak (Konvensi Hak Anak/KHA) dan Pasal 24 Konvensi Sipol Pasal 10 ayat (3) Konvensi Ekosob. Hak-hak anak banyak, seperti hak untuk didaftarkan, nama dan diberi kewarganegaraan setelah kelahiran, hak untuk tidak dipisahkan dari orang tua mereka, hak untuk terlibat dalam bermain dan kegiatan rekreasi, atau hak untuk dilindungi dari pekerja anak. 127 Ibid, pp. 12-13. 97 Banyak hak-hak anak yang dibagi dengan orang dewasa, seperti hak untuk hidup atau hak atas kesehatan, dapat dilanggar oleh korupsi dengan cara yang sama seperti yang dilanggar berkaitan dengan orang dewasa, yang telah dianalisa dalam pekerjaan ini. Namun, hak atas pendidikan sangat penting untuk anak-anak, karena mereka adalah pemegang utama hak tersebut. Dengan demikian, seperti yang dijelaskan secara lebih rinci dalam sectionon hak untuk pendidikan, korupsi di sektor pendidikan sangat sering melanggar hak atas pendidikan anak-anak. Selain itu, korupsi dapat mempengaruhi hak-hak tertentu lainnya yang khusus untuk anak-anak. Tiga hak dapat diidentifikasi sebagai sangat dipengaruhi oleh praktek-praktek korupsi : hak anak untuk dilindungi dalam prosedur adopsi, hak anak untuk dilindungi dari perdagangan dan eksploitasi seksual, dan hak untuk dilindungi dari pekerja anak. Anak-anak memiliki hak atas perlindungan khusus dalam hal adopsi, terutama dalam kasus-kasus adopsi antarnegara. Untuk tujuan ini, negara harus memastikan bahwa adopsi seorang anak disahkan hanya oleh pejabat yang berwenang mengikuti prosedur hukum dan mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Selain itu, secara khusus diperlukan negara untuk mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa pengangkatan tidak menghasilkan keuntungan finansial yang tidak tepat bagi mereka yang terlibat di dalamnya (Pasal 21 d KHA). Namun, dalam banyak kasus antarnegara korupsi adopsi merupakan bagian dari prosedur. Kadang-kadang, besar suap yang diberikan kepada hakim dan panti asuhan untuk mempercepat proses adopsi, atau hakim korup mungkin, misalnya, menerima dokumen palsu yang mengaku berisi persetujuan dari orang tua kandung. Praktek korupsi seperti mencerminkan 98 bahwa, hak anak untuk dilindungi dalam proses adopsi dilanggar karena hasil adopsi dalam bentuk keuntungan finansial bagi pihak-pihak yang terlibat dalam prosedur, dan karena tidak mengikuti prosedur hukum, dan tidak mengambil atau mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Semua ini adalah pelanggaran langsung dari Pasal 21 dari Konvensi Hak Anak. Korupsi dalam adopsi di antaranya juga dapat melanggar hak-hak lainnya dari anak, seperti hak atas identitas. Setiap anak berhak untuk mempertahankan identitasnya, termasuk kewarganegaraan, nama dan hubungan keluarga ( Pasal 8 KHA). Hak anak untuk identitas secara implisit meliputi hak untuk kebenaran tentang sejarah sendiri. Dalam kasus korupsi adopsi antarnegara, dalam rangka untuk menutupi jejak prosedur ilegal, bukti garis keturunan keluarga anak-anak, akar etnis mereka, dan sejarah medis mereka selamanya hilang, sehingga melanggar hak anak atas identitas. Korupsi dalam adopsi antarnegara memfasilitasi komersialisasi anakanak dengan segala resiko dan penyalahgunaan yang ini berarti juga melanggar beberapa HAM yang dimiliki anak-anak. Korupsi merusak hak-hak anak juga hadir dalam kasus-kasus perdagangan anak, khususnya untuk eksploitasi seksual. Anak-anak harus dilindungi dari semua bentuk eksploitasi seksual dan kekerasan seksual (Pasal 34 KHA), dan dari penculikan, penjualan, dan perdagangan (Pasal 35 KHA dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Penjualan anak-anak, Pelacuran anak dan Pornografi Anak ). Meskipun demikian, anak-anak sering menjadi korban kejahatan ini. Dalam rangka melaksanakan perdagangan atau eksploitasi seksual terhadap anak, penjahat umumnya mengambil bagian dalam korupsi, penyuapan. Misalnya, pejabat pemerintah harus disuap sehingga penjahat disediakan dengan dokumen 99 yang diperlukan untuk menyeberang perbatasan, dan aparat penegak hukum harus disuap sehingga mereka menutup mata untuk kegiatan ini. Ketika anak-anak tidak dilindungi oleh negara terhadap praktek-praktek kriminal seperti ini, hak-hak anak untuk dilindungi dari segala bentuk eksploitasi seksual dan pelecehan seksual, dan dari penculikan, penjualan, dan perdagangan dilanggar. Korupsi adalah penting untuk melakukan pelanggaran. Situasi serupa terjadi mengenai pekerja anak. Anak-anak memiliki hak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari melakukan setiap pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan mereka ( Pasal 32 KHA). Anak di bawah usia yang ditentukan oleh hukum seharusnya tidak diperbolehkan untuk bekerja. Di banyak negara, penegakan hukum terhadap pekerja anak masih minim karena pengawas ketenagakerjaan dibeli melalui suap oleh majikan. Ketika seorang anak bekerja di pabrik dan inspektur tenaga kerja yang seharusnya menegakkan hukum dan melindungi anak-anak memilih untuk tidak melakukannya dalam pertukaran untuk suap dari majikan, negara gagal memenuhi kewajibannya untuk melindungi anak. Akibatnya, hak anak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi dan tenaga kerja yang dilanggar . Penyuapan dan korupsi merupakan elemen penting dalam rantai peristiwa yang mengarah ke sana dan menopang pelanggaran-pelanggaran hak-hak anak. Tanpa korupsi semua kegiatan ilegal, seperti penipuan adopsi antarnegara, perdagangan anak, dan pekerja anak tidak bisa mendapatkan tempat. 100