T1_312008017_BAB III

advertisement
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA
A. Hasil Penelitian
Dalam mengetengahkan hasil penelitian pada bab ini, penulis sengaja
memilihkan contoh kasus berdasarkan tingkatan dan luasan pemerintahan. Contoh
kasus ini diharapkan memperlihatkan bahwa korupsi dana pendidikan terdapat
pada berbagai lini ketatanegaraan. Karena itu contoh kasusnya meliputi
Kabupaten Gowa, Provinsi Banten, dan korupsi yang dilakukan mantan pejabat di
Departemen Pendidikan Nasional dan dugaan korupsi beberapa rektor universitas
negeri. Hukuman ringan yang tidak mendidik juga penting disimak.
Di samping cara penyampaian kasus tersebut, cara lain yang akan
dijumpai ialah liputan pemberitaan tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh seorang anggota legislatif nasional, Angelina Sondakh, yang juga terbukti
melakukan korupsi dana pendidikan. Di samping itu informasi publik tentang 619
milyar rupiah dana pendidikan yang dikorupsi selama satu dasawarsa; informasi
publik bahwa sektor pendidikan menjadi sasaran empuk bagi para koruptor; dan
suatu kajian ilmiah populer dari Febri Hendri AA, tentang Ironi (Korupsi)
Pendidikan.
Sumber datanya bukan putusan pengadilan tetapi media massa. Hal ini
kiranya cukup beralasan, sekaligus mendukung prinsip hukum HAM tentang hak
masyarakat untuk tahu (public rights to know).
51
Cara penyajian data tersebut diharapkan akan memudahkan dalam
memperlihatkan beberapa ciri dari tindakan-tindakan korupsi, yang bertentangan
dengan kaidah-kaidah HAM.
1. Contoh Kasus Kabupaten Gowa
Beritakota Online menginformasikan pada 21 September 2013 bahwa kasus
korupsi dana pendidikan gratis di Gowa – Sulawesi Selatan mencapai 20 milyar
rupiah. Liputan lengkapnya adalah sebagai berikut:82
Hasil pemeriksaan yang dilakukan penyidik Pidana Khusus
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan terhadap ratusan kepala
sekolah se Kabupaten Gowa atas laporan penyalahgunaan dana
pendidikan gratis belum juga dirampungkan.
Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan
Chaerul Amir menjelaskan tim penyidik masih terus bekerja
merampungkan hasil pemeriksan atas para kepala sekolah maupun
hasil pemeriksaan langsung di sekolah-sekolah Sunguminasa
Kabupaten Gowa.
―Tim tetap melakukan pekerjaannya dan memang belum
merampungkan hasil pemeriksaannya untuk kasus pendidikan
gratis Gowa‖ Kata Chaerul Amir Jum‘at (20/9/2013)
Penyelidikan kasus dugaan korupsi dana pendidikan gratis di
kabupaten Gowa dengan total nilai Rp 20 Milyar mulai tahun
2010 hingga tahun 2012 dilakukan berdasarkan laporan
masyarakat. Laporan tersebut menyebutkan dana pendidikan gratis
yang diterima siswa tidak sesuai bahkan ada yang tidak
mendapatkan sama sekali.
Dugaan lain yang diterima penyidik berupa pemotongan honor
guru dan manipulasi belanja siswa. Aktifis anti korupsi Djusman
AR meminta penyidik benar-benar serius mengusut dugaan
korupsi yang marak terjadi bukan sekedar euforia. Apalagi
penyimpangan yang bersingungan dengan dunia pendidikan bukan
hanya merugikan negara tetapi merusak masa depan Bangsa.
82
beritakotaonline.com, Udin Rangga (Pembuat Laporan), Andi A. Effendy (Editor),
―Kasus Korupsi Dana Pendidikan Gratis di Gowa Capai Rp 20 Milyar,‖ 21 September 2013,
http://beritakotaonline.com/7345/kasus-korupsi-dana-pendidikan-gratis-di-gowa-capai-rp-20milyar/, dikunjungi pada Senin 23 Desember 2013, pukul 19.35 WIB.
52
1. Contoh Kasus Provinsi Banten
Pada Rabu 28 Agustus 2013, okezone.com menurunkan berita bahwa menurut
ICW, Provinsi Banten menjadi yang terkorup dalam bidang pendidikan.Media ini
memberitakan bahwa:83
Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut Provinsi Banten
sebagai juara korupsi dana pendidikan. Kerugian negara di
Provinsi Banten mencapai Rp 209 miliar dengan 10 kasus.
Sedangkan Provinsi Jawa Barat tercatat sebagai provinsi yang
paling banyak melakukan praktik korupsi dengan 33 kasus.
"Namun Jawa Barat kerugian negaranya tidak terlalu banyak, dari
33 kasus tercatat kerugian negara sebesar Rp 22,7 miliar," ujar
Peneliti Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Febri Hendri,
dalam diskusi bertema Satu Dasawarsa Dana Pendidikan
Digrogoti Koruptor di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan,
Rabu (28/8/2013).
Sedang untuk para aktor yang menggerogoti dana pendidikan,
lanjut Febri, 479 tersangka terkait dengan 296 kasus korupsi.
"71 orang di antaranya adalah kepala dinas pendidikan, 179 orang
adalah anak buah kepala dinas pendidikan, serta 114 adalah
rekanan mereka," ungkapnya.
Dikatakan Febri, Dinas Pendidikan adalah lembaga yang paling
banyak melakukan korupsi dana pendidikan. Sebanyak 151
praktek korupsi dilakukan para pejabat dinas tersebut dengan
kerugian negara mencapai Rp 356,5 miliar.
"Perguruan tinggi juga mencatat prestasi korupsi dengan kerugian
negara yang besar dengan menyelewengkan uang negara sebesar
Rp 217,1 miliar yang tercatat dalam 30 praktek korupsi. Sekolah
juga tidak luput dari praktek korupsi yakni 82 praktek korupsi
dengan kerugian negara Rp 10,9 miliar," paparnya.
2. Contoh Kasus Nasional
Mohammad Sofyan, mantan Inspektur Jenderal
Kemendiknas, didakwa melakukan korupsi Rp 36 miliar saat
masih menjabat. Dari total uang itu, Sofyan menikmati Rp 1,103
miliar. Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, dijelaskan bahwa
Sofyan selaku kuasa pengguna anggaran, menandatangani SK
Irjen pada 16 Januari 2009 untuk menetapkan kegiatan program
joint audit pengawasan dan pemeriksaan (wasrik) pada masing83
okezone.com, Isnaini, “ICW: Provinsi Banten Juara Korupsi Dana Pendidikan,‖ 28
Agustus 2013, http://news.okezone.com/read/2013/08/28/339/856981/icw-provinsi-banten-juarakorupsi-dana-pendidikan, dikunjungi pada Senin 23 Desember 2013, pukul 19.52 WIB.
53
masing inspektorat yang meliputi, Wasrik Peningkatan Mutu
Sarana Prasarana 9 tahun oleh Inspektorat I, Wasrik Peningkatan
Mutu Relevansi dan Daya Saing oleh Inspektorat II, Wasrik
Pendidikan Tinggi oleh Inspektorat III dan Warsik Sertifikat Guru
oleh Inspektorat IV.84
Dari kegiatan-kegiatan tersebut, Sofyan memerintahkan pencairan
anggaran dan menerima biaya perjalanan dinas yang tidak
dilaksanakan. Dia juga memerintahkan pemotongan sebesar 5
persen atas biaya perjalanan dinas yang diterima para peserta pada
program kegiatan joint audit Inspektorat I, II, III, IV dan
investigasi Itjen Depdiknas tahun anggaran 2009. Secara lebih
rinci, dari perbuatannya itu, Sofyan memperkaya diri sendiri yakni
Rp 1,103 miliar, Abdul Apip (Rp 258 juta), Suharyanto (Rp 244
juta), Jauhari Sembiring (Rp 300 juta), Marhusa Panjaitan (Rp 334
juta). Amin Priatna (Rp 268 juta), Slamet Poernomo (Rp 153
juta), Sam Yhon (Rp 104 juta), Tini Suhartini (Rp 6 juta), Endang
Supriyati (Rp 29 juta), Umar Sahid (Rp 67 juta), Setyo
Bimandoko (Rp 71 juta) termasuk pihak lain sesuai surat tugas
yakni Rp 33,561 miliar.85
"Yang dapat merugikan keuangan negara Rp 36,484 miliar," kata
Jaksa Penuntut Umum I Kadek Wiradana ketika membaca surat
dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis 20 Juni 2013.
Jaksa mendakwa Sofyan dengan Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan dakwaan
subsider, Sofyan melanggar Pasal 3 UU jo Pasal 18 UU
Pemberantasan Tipikor.86
3. Kasus Dugaan Korupsi Beberapa Rektor
Harian Republika memberitakan bahwa sejumlah nama rektor
universitas negeri di Indonesia disebut menerima aliran dana
kasus korupsi pembahasan anggaran proyek universitas di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang
saat itu masih bernama Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas).87
84
detik.com, Ferdinan, ―Mantan Irjen Kemendiknas Didakwa Korupsi Rp 36 Miliar,‖ 20
Juni 2013, http://news.detik.com/read/2013/06/20/162125/2279236/10/mantan-irjenkemendiknas-didakwa-korupsi-rp-36-miliar, dikunjungi pada Rabu 25 Desember 2013, pukul
22.51 WIB.
85
86
Ibid.
Ibid.
87
republika.co.id, Muhammad Hafil (Reporter), Karta Raharja Ucu (Redaktur),
“Beberapa Rektor UN Diduga Terlibat Korupsi Kemendiknas”, 1 November 2012,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/11/01/mctc3v-beberapa-rektor-un-didugaterlibat-korupsi-kemendiknas, dikunjungi pada Rabu 25 Desember 2013, pukul 23.02 WIB.
54
Informasi itu diperoleh dari sidang lanjutan suap pembahasan
anggaran proyek universitas di Kemendikbud dengan terdakwa
Angelina Sondakh. Dalam kepengurusan proyek tersebut beberapa
rektor universitas negeri mendapat jatah proyek yang sedang
dikerjakan PT Permai Group, perusahaan milik Muhammad
Nazaruddin.88
Diberitakan bahwa salah satu saksi, Staf Marketing PT Permai
Group Clara Mauren menyebutkan ada empat universitas
mendapatkan uang support dari salah satu perusahaan
Nazaruddin. "Untuk Rektor Universitas Negeri Malang (proyek
tahun 2009) pernah diajukan kas sebesar Rp 400-Rp 420 juta,"
kata Clara Mauren saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta,
Kamis 1November 2012. Clara juga menyebutkan Pembantu
Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Supendi juga ikut
memperoleh uang sebesar Rp 400 juta. Nilai proyek pengadaan
alat laboratorium di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, kata
Clara, mencapai Rp 49 miliar dengan keuntungan 40 persen dari
nilai proyek. Sedangkan 'bagian' untuk Universitas Brawijaya
diterima Rektor bernama Yogi dan Pembantu Rektor 2 Universitas
Soedirman. "Saya lupa berapa kas untuk mereka," kata Clara.89
4. Tak Mendidik: Hukuman Yang Ringan
Badan Pemeriksa Keuangan pernah melansir bahwa ditemukan sedikitnya
191.575 kasus penyimpangan keuangan negara dengan nilai kerugian negara
sebesar Rp 103,19 triliun. Karena itu, secara teoretis, korupsi berpotensi
mengurangi kesejahteraan rakyat karena besarnya inefisiensi akibat salah alokasi
sumber daya.90
Sangat memprihatinkan bahwa sebagian besar vonis kasus korupsi selama
ini pun belum memenuhi rasa keadilan masyarakat karena terlalu ringan. Dalam
catatan ICW (Indonesian Corruption Watch) pada awal tahun 2013, di Pengadilan
88
Ibid.
89
Ibid.
90
kompas.com, Khaerudin (penulis) & Caroline Damanik (editor), ―Hukuman Koruptor
Terlalu Ringan‖, 9 September 2013,
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/09/1113063/Hukuman.Koruptor.Terlalu.Ringan
, dikunjungi pada Rabu 22 Januari 2014, pukul 10.29 WIB.
55
Tindak Pidana Korupsi Jakarta saja, dari 240 terdakwa yang diadili sejak 2005
hingga 2009, vonis yang dijatuhkan ringan, yaitu rata-rata hanya 3 tahun 6 bulan.
Bahkan, diskusi grup terfokus yang dilakukan beberapa kali oleh KPK, kata
Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja di Jakarta, pada Sabtu 7 September 2013,
menyimpulkan bahwa ada kecenderungan semakin besar uang yang dikorupsi,
hukuman terhadap koruptornya semakin ringan. Hal ini berbanding terbalik
dengan prinsip tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman minimum sampai
maksimum. ‖Tanpa mengurangi rasa hormat kami terhadap kemandirian hakim,
seyogyanya hakim membuka diri terhadap pandangan berbagai kalangan
masyarakat,
khususnya
yang
memiliki
argumen
yang
dapat
dipertanggungjawabkan,‖ kata Adnan tentang hasil diskusi tersebut.91
Dalam hubungan dengan hal itu, menurut wakil ketua KPK lainnya,
Bambang Widjojanto, dampak korupsi yang mengakibatkan kerugian besar tidak
hanya secara ekonomi, tetapi juga sosial belum dipahami, terutama oleh hakim,
meskipun mereka adalah hakim pengadilan tindak pidana korupsi. Lebih lanjut
Bambang mengatakan ‖Akibat dari kejahatan (korupsi) tidak dilihat secara dalam,
dan dampak tindak pidana korupsi tidak dipahami secara utuh. Padahal, kejahatan
korupsi bila dilihat dampaknya akan sangat besar nilai kerugiannya.‖ 92 Hal senada
dikatakan Koordinator Badan Pekerja ICW Danang Widoyoko. Ia menilai
rendahnya putusan hakim terhadap terdakwa perkara korupsi menunjukkan
kesadaran hakim, bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan dapat
menghancurkan kehidupan berbangsa, masih rendah pula. Hal itu dapat terjadi
91
Ibid.
92
Ibid.
56
karena para hakim juga ‖dibesarkan‖ atau ‖dibentuk‖ di lingkungan peradilan
yang banyak terjadi praktik korupsi sehingga cenderung permisif terhadap praktik
korupsi. Ia mengatakan, ‖kesadaran hakim bahwa korupsi itu kejahatan
extraordinary belum ada sehingga hukuman ringan-ringan saja sehingga
diskriminatif dengan kejahatan biasa, seperti pelaku pencurian atau perampokan,
yang mendapat hukuman tinggi.‖
5. Seputar Kasus Angelina Sondakh
Sebagaimana telah diketahui, Mahkamah Agung Republik Indonesia
memperberat hukuman mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi
Partai Demokrat, Angelina Sondakh alias Angie, terkait kasus korupsi
Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Mantan Puteri Indonesia itu divonis 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500
juta dari vonis sebelumnya 4 tahun 6 bulan.93
Selain itu, seperti dikutip Harian Kompas, Kamis (21/11/2013), majelis
kasasi juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti
senilai Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS (sekitar Rp 27,4 miliar).
Sebelumnya, baik Pengadilan Tindak Pidana Korupsi maupun Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta, tidak menjatuhkan pidana uang pengganti. 94
Putusan tersebut diberikan oleh majelis kasasi yang dipimpin Ketua Kamar Pidana
MA Artidjo Alkostar dengan hakim anggota MS Lumme dan Mohammad Askin,
Rabu (20/11/2013). Angie dijerat Pasal 12 a Undang-Undang Pemberantasan
93
kompas.com, Sandro Gatra (editor), ―Dari 4,5 Tahun, MA Perberat Vonis Angie Jadi
12 Tahun‖, 21 November 2013,
http://nasional.kompas.com/read/2013/11/21/0742539/Dari.4.5.Tahun.MA.Perberat.Vonis.Angie.J
adi.12.Tahun, dikunjungi pada Rabu 22 Januari 2014, pukul 10.22 WIB.
94
Ibid.
57
Tipikor. MA membatalkan putusan Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta yang menyatakan Angie melanggar Pasal 11 UU itu. 95
Menurut majelis kasasi, Angie dinilai aktif meminta dan menerima uang terkait
proyek-proyek di Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda
dan Olahraga. ‖Terdakwa aktif meminta imbalan uang atau fee kepada Mindo
Rosalina Manulang sebesar 7 persen dari nilai proyek. Disepakati 5 persen. Dan
(fee) ini sudah harus diberikan kepada terdakwa 50 persen pada saat pembahasan
anggaran dan 50 persen (sisanya) ketika DIPA turun. Itu aktifnya dia (terdakwa)
untuk membedakan antara Pasal 11 dan Pasal 12 a," ungkap Artidjo kepada
Kompas.96
Menurut Artidjo, majelis kasasi juga mempertimbangkan peran Angie
aktif memprakarsai pertemuan dan memperkenalkan Mindo dengan Haris
Iskandar, sekretaris pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian
Pendidikan Nasional untuk mempermudah penggiringan anggaran Kemendiknas.
‖Terdakwa juga beberapa kali melakukan komunikasi dengan Mindo tentang
tindak lanjut dan perkembangan upaya penggiringan anggaran dan penyerahan
imbalan uang atau fee. Terdakwa lalu mendapat imbalan dari uang fee Rp 12,58
miliar dan 2,35 juta dollar AS,‖ ujarnya.97
Penting diketahui bahwa salah satu yang membedakan putusan MA
dengan putusan sebelumnya adalah terkait uang pengganti. Artidjo menilai,
pengadilan tingkat pertama dan banding terkesan seolah enggan menjatuhkan
95
Ibid.
96
Ibid.
97
Ibid.
58
pidana tambahan uang pengganti dengan alasan uang yang diterima Angie berasal
dari swasta dan bukan dari keuangan negara. ‖Itu salah. Karena Pasal 17 UU
Pemberantasan Tipikor jelas-jelas menyebutkan terdakwa dapat dijatuhi pidana
tambahan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 18 UU yang sama. Jadi bisa
dijatuhi hukuman uang pengganti,‖ ujar Artidjo.98
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengapresiasi vonis kasasi yang
dijatuhkan MA. Menurutnya, vonis kasasi MA terhadap Angie mencerminkan
ketajaman rasa kepekaan dan keadilan sosial. Terlebih lagi, kata Busyro, vonis
tersebut diputuskan di tengah-tengah pusaran pemikiran hukum para penegak
hukum yang masih bermazhab ultrakonservatif positivistik dan tandus dari roh
keadilan, seperti tercermin dalam rendahnya beberapa vonis terdakwa. 99 ‖Korupsi
bukan saja kejahatan berwatak extraordinary, melainkan juga kejahatan yang
membunuh rakyat pelan-pelan. Maka, vonis kasasi MA atas terdakwa Angie ini
mencerminkan rasa kepekaan dan keadilan sosial,‖ kata Busyro. 100
KPK berharap vonis kasasi MA terhadap kasus-kasus korupsi yang
mencerminkan kepekaan terhadap keadilan sosial tersebut dapat menjelma
menjadi yurisprudensi, sebagaimana Wakil Ketua KPK yang lain, Bambang
Widjojanto, mengatakannya bahwa KPK sangat mengapresiasi putusan vonis
terhadap Angie. KPK pun, lanjut Bambang, akan mempelajari dengan serius vonis
tersebut karena ada gap yang sangat lebar dengan putusan hukum di pengadilan
98
Ibid.
99
Ibid.
100
kompas.com, Khaerudin (penulis) & Caroline Damanik (editor), ―Vonis Angie,
Cermin Tajamnya Kepekaan‖, 21 November 2013,
http://nasional.kompas.com/read/2013/11/21/1827005/Vonis.Angie.Cermin.Tajamnya.Kepekaan ,
dikunjungi pada Rabu 22 Januari 2014, pukul 10.36 WIB.
59
tingkat sebelumnya. ‖Putusan ini menegaskan bahwa harapan itu masih ada.
Semoga putusan ini akan dijadikan pembelajaran bagi hakim lain,‖ kata
Bambang.101
Pada tempat terpisah, peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin
Natosmal Oemar, menyatakan, putusan majelis kasasi itu adalah putusan yang
progresif dan mampu memenjarakan koruptor.102 Putusan tersebut harus menjadi
tolok ukur dan standar bagi hakim-hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa korupsi. ‖Kalau bicara efek jera dalam pemberantasan korupsi, cara
pandang hakim seharusnya seperti cara pandang hakim MA dalam putusan Angie
ini. Efektifkan pidana tambahan. Sita uang hasil korupsi. Kalau tidak dilakukan,
orang tidak takut korupsi karena hanya akan dikenai hukuman badan (penjara)
saja, sementara uang hasil korupsinya aman. Setelah bebas, ia masih bisa
menikmati hasil korupsi. Ini yang ada di benak koruptor saat ini,‖ ungkap
Erwin.103
Pendapat yang kurang lebih sama juga datang dari Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad. Ia mengapresiasi putusan kasasi
yang dijatuhkan Mahkamah Agung terhadap terpidana kasus korupsi Kementerian
Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga, Angelina
Sondakh. Dalam putusan tersebut Angie divonis 12 tahun penjara dan diwajibkan
101
Ibid.
102
Berdasarkan catatan Kompas, Hakim Agung Artidjo selama ini dikenal dengan
putusan-putusan yang memberatkan para terdakwa dibandingkan dengan putusan di pengadilan
tingkat pertama ataupun banding. Ia, misalnya, memperberat hukuman Anggodo Widjojo dari 5
tahun menjadi 10 tahun.Ia juga memperberat hukuman Gayus Halomoan P Tambunan dari 10
tahun menjadi 12 tahun, membatalkan vonis bebas Bupati Subang (nonaktif) Eep Hidayat dan
Bupati Sragen Untung Sarono Wiyono, serta memperberat hukuman bagi Muhammad Nazaruddin
dari 4 tahun 10 bulan menjadi 7 tahun penjara. Ibid.
103
Ibid.
60
membayar uang pengganti senilai Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS (sekitar
Rp 27,4 miliar). "Kita apresiasi putusan Mahkamah Agung," ujar Abraham
singkat saat ditemui seusai menghadiri pelantikan Wakil Jaksa Agung Andhi
Nirwanto di Kejaksaan Agung, Kamis (21/11/2013). 104 Abraham juga
berpandangan bahwa putusan MA telah memberikan rasa keadilan bagi
masyarakat. Ia berharap, putusan tersebut dapat memberikan efek jera kepada
Angie dan menjadi peringatan bagi sejumlah pihak yang berencana untuk
melakukan tindak pidana korupsi. "Jadi begini, kita ingin setiap terdakwa korupsi
itu putusannya memberi efek jera agar orang berpikir," katanya. 105
Ada beberapa hal mendasar yang perlu dicermati dalam putusan terhadap
Angelina Sondakh. Pesan pertama putusan kasasi ini, proses hukum harus mampu
membuktikan dapat menjangkau dan mengungkap secara tuntas semua jejaring
yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan Angie. Alasannya amat
sederhana, kejahatan ini terjadi tidak mungkin dilepaskan dari posisi Angie
sebagai politisi di komisi yang langsung membawahkan kedua kementerian
negara di atas. Karena itu, tindakan penyelewengan yang dilakukan pasti tidak
sendiri.106 Dalam batas penalaran yang wajar, tindakan Angie hampir dapat
dipastikan melibatkan pihak lain di komisi yang bermitra dengan kedua
kementerian tersebut. Karena itu, agar logika penegakan hukum berjalan linear,
104
kompas.com, Dani Prabowo (penulis) & Caroline Damanik (editor), ―KPK Apresiasi
Vonis Vonis MA Atas Angie‖, 21 November 2013,
http://nasional.kompas.com/read/2013/11/21/1137169/KPK.Apresiasi.Vonis.MA.atas.Angie ,
dikunjungi pada Rabu 22 Januari 2014, pukul 11.04 WIB.
105
Ibid.
106
kompas.com, Saldi Isra (Penulis Opini), Caroline Damanik (editor), ―Pesan dari
Putusan Angie,‖ 29 November 2013,
―http://nasional.kompas.com/read/2013/11/29/1106246/Pesan.dari.Putusan.Angie ‖,
dikunjungi pada Rabu 22 Januari 2014, pukul 10. 45 WIB.
61
penyidikan harus mampu menjerat pihak lain yang menjadi bagian dari jejaring
Angie. Bagaimanapun, manuver Angie ‖menggoreng‖ anggaran di DPR sulit
berjalan mulus tanpa dukungan politisi lain.107 Bukan hanya kemampuan
menjangkau politisi lain, proses hukum harus pula mampu mengendus
kemungkinan keterlibatan sejumlah pihak di Kementerian Pendidikan Nasional
serta di Kementerian Pemuda dan Olahraga.108 Sebagai kejahatan yang merupakan
hasil kerja kolektif, pengaturan proyek tidak mungkin terjadi tanpa melibatkan
mitra kerja di pemerintah.109 Alasannya sederhana, pembahasan anggaran di DPR,
persetujuan harus diberikan pemerintah dan DPR. Pertanyaan mendasarnya:
bisakah politisi bermain sendiri tanpa ‖membangun‖ mitra dengan pemerintah?110
Untuk mendukung logika di atas, ketika tahap-tahap awal penegakan
hukum skandal ini, terkuak fakta keterlibatan sejumlah perguruan tinggi
menerima kucuran dana dari manuver Angie. 111 Bahkan telah pula diketahui,
beberapa pimpinan dari perguruan tinggi menjadi tersangka.112 Namun, proses
hukum sebagian perguruan tinggi yang pernah dinyatakan menerima faedah dari
manuver Angie mengalami kelumpuhan total.113 Selain itu, penegakan hukum pun
enggan menelusuri kemungkinan adanya peran sejumlah pihak di Kementerian
107
Ibid.
108
Ibid.
109
Ibid.
110
Ibid.
111
Ibid.
112
Ibid.
113
Ibid.
62
Pendidikan Nasional.114 Hal yang sama harus pula dilakukan di Kementerian
Pemuda dan Olahraga.115 Bukan hanya itu, penelusuran kepada pihak lain yang
tidak kalah pentingnya dilakukan adalah kemungkinan keterkaitan dan peran
Partai Demokrat.116 Sebagai salah seorang figur dengan posisi sentral dalam partai
politik peraih suara terbesar dalam Pemilu 2009, putusan kasasi Angie seharusnya
dimaknai pula sebagai amanat kepada KPK untuk menelusuri lebih jauh dan lebih
serius kemungkinan keterlibatan Partai Demokrat dan sejumlah elitenya di tengah
pusaran korupsi yang melibatkan Angie.117
Masih menurut Saldi Isra, skandal korupsi yang dilakukan Angie
membuktikan satu hal: mereka yang diberikan mandat untuk mengelola negara,
tanpa merasa takut, menggadaikan kewenangan yang diberikan kepadanya.
Terkait dengan fakta itu, pesan berikutnya dari putusan Angie: mereka yang
menggadaikan atau memperdagangkan kewenangan harus dijatuhi hukuman berat.
Dengan hukuman berat, mereka yang memperoleh mandat yang sama harus
berhitung kembali untuk menyalahgunakan kewenangan yang ada. 118
Dalam skandal Angie, mantan elite Partai Demokrat ini ‖menggoreng‖
sedemikian rupa otoritas yang dimiliki anggota DPR dalam penyusunan keuangan
negara via APBN. Jamak diketahui, penyusunan APBN membuka celah
terjadinya penyimpangan. Misalnya, Pasal 157 Ayat (1) Huruf c UU No 27/2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; serta Pasal 15 Ayat (5) UU No 17/2003
114
Ibid.
115
Ibid.
116
Ibid.
117
Ibid.
Ibid.
118
63
tentang Keuangan Negara menyediakan ruang bagi anggota DPR membahas
RAPBN secara terperinci alias sampai Satuan 3. Bahkan, kesempatan untuk
memblokir (perbintangan) anggaran dalam Pasal 71 Huruf (g) dan Pasal 156
Huruf a, b UU No 27/2009 potensial ‖digoreng‖ untuk memperoleh keuntungan
pribadi.119
Saldi mengatakan, pesan memberikan vonis berat tidak hanya karena
alasan mengingkari amanah rakyat, tetapi juga karena tindakan tersebut
merupakan pengingkaran serius terhadap amanah UUD 1945. Sebagai lembaga
yang diberikan fungsi pengawasan, pembahasan, dan persetujuan dalam
penyusunan RAPBN, anggota DPR harus dimaknai secara tepat. Salah satu
pemahaman tersebut, peran dan keterlibatan DPR dalam pembahasan dan
persetujuan RAPBN mesti dimaknai sebagai pintu masuk untuk melaksanakan
fungsi pengawasan keuangan negara.120
Sesuai dengan pemahaman ini, ketika kesempatan ikut membahas dan
menyetujui RAPBN dimanfaatkan sedemikian untuk kepentingan pribadi dan/atau
kelompok, para penyusun APBN dapat dikatakan mengingkari secara nyata
amanat konstitusi. Dalam hal ini, tegas Saldi, Pasal 23 UUD 1945 secara eksplisit
mengamanatkan
bahwa
pengelolaan keuangan
negara
dilakukan
secara
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.121
Merujuk pertimbangan majelis hakim kasasi, bentuk pengingkaran nyata amanat
konstitusi dapat dilacak dari tindakan aktif Angie meminta fee kepada Mindo
119
Ibid.
120
Ibid.
121
Ibid.
64
Rosalina Manulang sebesar 7 persen dari nilai proyek. Kemudian disepakati, fee
ini menjadi 5 persen yang harus sudah diberikan 50 persen saat pembahasan
anggaran dan 50 persen (sisanya) saat DIPA turun (Kompas, 21/11/2013). Secara
sederhana, tulis Saldi Isra, jelas Angie melakukan upaya sistemastis dan terencana
menggeser tujuan agung UUD 1945 menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat menjadi keuntungan pribadi/golongan.122
6. Korupsi Dana Pendidikan: 619 Miliar Rupiah
Pada Rabu 28 Agustus 2013, Metrotvnews.com memberitakan bahwa
selama satu dasawarsa terjadi korupsi dana pendidikan sejumlah 619 milyar
rupiah.123 Penulis sengaja mengutip secara lengkap pemberitaan tersebut:
Ada 296 kasus korupsi pendidikan dengan 479 orang tersangka
yang terjadi dalam satu dasawarsa terakhir di Indonesia. Indikasi
kerugian keuangan negara mencapai Rp 619 miliar.
Demikian hasil kajian Indonesian Corruption Watch (ICW) atas
kasus korupsi pendidikan dari 2003 hingga 2013.
"Paling banyak terungkap di tahun 2008. Di antaranya dana BOS
(Bantuan Operasional Sekolah) dan DAK (Dana Alokasi
Khusus)," kata Peneliti Divisi Monitoring Pelayanan Publik
ICW, Siti Juliantari dalam pemaparannya di kantor ICW,
Jakarta, Rabu (28/8).
ICW juga menyimpulkan, dari 479 tersangka yang menggerogoti
dana pendidikan itu justru dilakukan oleh pejabat dan pegawai
Dinas Pendidikan.
"Tersangka paling banyak di Dinas Pendidikan. 71 orang di
antaranya adalah Kepala Dinas Pendidikan, 179 orang pegawai
Dinas Pendidikan, dan 114 rekanan mereka," kata Tari.
Menurut hasil penelitian ICW, dari tahun ke tahun pola korupsi
pendidikan masih menggunakan modus yang sama yakni
penggelapan dan mark up.
122
Ibid.
123
metrotvnes.com, Timi Trieska Dara (Pembuat Laporan), Dani Fauzan (Editor), ―Satu
Dasawarsa, Korupsi Pendidikan 619 Milyar,‖28 Agustus 2013,
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/08/28/6/177928/Satu-Dasawarsa-KorupsiPendidikan-Rp619-Miliar, Dikunjungi Senin 23 Desember 2013, pukul 18.28 WIB.
65
"Korupsi di sektor pendidikan sudah terjadi sejak perencanaan.
Dan ini sangat menciderai hak warga negara untuk mendapat
pendidikan berkualitas," ujarnya.
Meski jumlah kasus korupsi pendidikan tidak meningkat namun
kerugian negara semakin meningkat signifikan setiap tahunnya.
7. Dana Pendidikan Jadi Sasaran Empuk Koruptor
Pada 29 Agustus 2013, tribunnews.com memberitakan bahwa dana
pendidikan menjadi sasaran empuk koruptor. Liputan lengkapnya sebagai
berikut:124
Dana pendidikan masih menjadi sasaran empuk koruptor.
Demikian satu di antara kesimpulan hasil kajian ICW atas kasus
korupsi pendidikan dalam satu dasawarsa terakhir.
Dana dari APBN dan APBD seperti BOS, beasiswa,
pembangunan dan rehabilitasi sekolah, gaji dan honor guru,
pengadaan buku, pengadaan sarana prasarana (sarpras) serta
operasional perguruan tinggi, operasional di Kemendikbud dan
Dinas Pendidikan serta dana lainnya, dikorupsi politisi, rektor dan
pejabat kampus, kepala sekolah, pejabat dan rekanan pemerintah
yang terkait pendidikan.
"ICW memakai metodologi kuantitatif dalam menghimpun data
kasus korupsi yang ditangani penegak hukum selama 10 tahun
terakhir. ICW memeroleh data lewat pemantauan kasus korupsi di
media massa dan jaringan masyarakat sipil di seluruh Indonesia,"
ujar Staf Divisi Monitoring Pelayanan Publik, Siti Juliantari dalam
keterangan pers yang diterima Tribunnews.com, Kamis
(29/8/2013).
Menurut Siti, hasil pemantauan mengungkap selama satu
dasawarsa terakhir terdapat 296 kasus korupsi pendidikan.
Indikasi kerugian negara sebesar 619 miliar rupiah, dan tersangka
sebanyak 479 orang.
Terkait hal tersebut ICW mengimbau Bareskrim Mabes Polri dan
Jampidsus Kejagung lebih serius memantau penindakan kasus
korupsi pendidikan di daerah, terutama soal tindak lanjut
penanganan kasusnya.
Pengelolaan anggaran pendidikan harus dibarengi peningkatan
pengawasan dan partisipasi publik. Sekolah, Dinas Pendidikan,
Kemendikbud, dan lembaga lain yang mengelola dana pendidikan
wajib membuka perencanaan dan anggaran ke masyarakat.
124
tribunnews.com, Bahri Kurniawan (Penulis), Hasiolan Eko P Gultom (Editor), ―Dana
Pendidikan Sasaran Empuk Koruptor,‖ 29 Agustus 2013,
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/08/29/dana-pendidikan-sasaran-empuk-koruptor ,
dikunjungi Senin 23 Desember 2013, pukul 19.20 WIB.
66
"BPK harus lebih aktif melakukan audit terhadap dana-dana
pendidikan yang rutin dialokasikan, seperti DAK dan BOS. Lewat
audit, kita dapat meningkatkan pengawasan terhadap dana-dana
pendidikan," katanya.
8. Ironi Pendidikan
Ironi Korupsi Pendidikan, juga diuraikan secara rinci oleh Febri Hendri
AA, Peneliti Senior Institute for Strategic Initiatives dalam suatu opini sebagai
berikut:125
BADAN Pemeriksa Keuangan RI menemukan masalah dalam
pengelolaan dana ujian nasional. Ditemukan potensi kerugian
negara mencapai belasan miliar rupiah dalam penyelenggaraan
UN
tahun
2012
dan
2013
(Kompas,
20/9/2013).
Berdasarkan pemantauan Indonesian Corruption Watch (ICW)
selama periode 2003-2013 ditemukan 296 kasus korupsi
pendidikan yang disidik penegak hukum dan menyeret 479 orang
sebagai tersangka.
Kerugian negara atas seluruh kasus ini Rp 619,0 miliar (Laporan
Kajian Satu Dasawarsa Korupsi Pendidikan, ICW 2013). Selama
satu dasawarsa ini terdapat tren peningkatan dalam korupsi
pendidikan dan aspek kerugian negara. Pada 2003 terdapat
delapan kasus dengan kerugian negara Rp 19,0 miliar.
Angka kerugian negara meningkat 422 persen pada 2013 menjadi
delapan kasus dengan kerugian negara Rp 99,2 miliar.
Puncak kasus korupsi terjadi pada 2007, di mana penegak hukum
menindak 84 kasus dengan kerugian negara Rp 151,0 miliar.
Hampir semua dana pendidikan tak luput dari praktik korupsi.
Mulai dari dana pendidikan yang diperuntukkan bagi
pembangunan gedung dan infrastruktur, dana operasional, dana
gaji dan honor guru, dana pengadaan buku dan alat bantu
mengajar, dana beasiswa, hingga dana yang dipungut dari
masyarakat.
Pejabat pendidikan dari tingkat pusat sampai daerah, dari rektor
sampai kepala sekolah, dari rekanan Kemendikbud sampai
rekanan dinas pendidikan terlibat dalam berbagai kasus korupsi.
125
kompas.com, Febri Hendri AA (Penulis Opini), ―Ironi (Korupsi) Pendidikan,‖ 12
November 2013,
http://nasional.kompas.com/read/2013/11/12/1600001/Ironi.Korupsi.Pendidikan#, dikunjungi pada
Senin 23 Desember 2013, pukul 18.18 WIB.
67
Selama satu dasawarsa terakhir, penegak hukum telah menetapkan
479 tersangka terkait korupsi pendidikan, dengan 71 di antaranya
kepala dinas pendidikan, 179 orang anak buah kepala dinas
pendidikan, serta 114 adalah rekanan pemerintah pusat dan
daerah.
Beberapa pejabat pemerintah pusat dan anggota DPR juga terlibat
dalam beberapa kasus korupsi. Masih banyak praktik korupsi yang
lolos dari jeratan hukum karena lemahnya sistem pencegahan,
tidak teraudit atau lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
B. Analisa
Untuk menjawab rumusan masalah dalam sub bab analisa ini, maka akan
dideskripsikan tiga alasan untuk menjelaskan isu hukum bahwa korupsi melanggar
HAM, khususnya dalam bidang pendidikan.
Dimulai dengan mengelaborasi ketentuan-ketentuan hukum yang ada di
Bab II dalam rangka memperjelas kaidah-kaidah hukum yang ada di dalamnya,
diteruskan dengan analisa terbatas atas pemberitaan kasus serta pendapat professor
dan praktisi hukum, berdasarkan kaidah-kaidah itu, yang diharapkan menjelaskan
korupsi sebagai pelanggaran HAM.
Walaupun demikian berbagai pedekatan teoritik dalam memahami korupsi
seperti apa itu korupsi, bentuk-bentuk korupsi, motivasi melakukan korupsi
maupun strategi pencegahan atau pemberantasannya, tidak akan dibahas di sini
secara sangat terinci, karena sudah cukup gamblang disampaikan pada Bab II
sebagai bagian desiminasi pengetahuan dan informasi. Penulis berpandangan
korupsi adalah tindakan terlarang karena melanggar hukum. Terhadap rumusan
masalah ―Mengapa korupsi dana pendidikan melanggar HAM?,‖ dapat dianalisis
dengan setidaknya tiga alasan.
Secara konseptual penulis memahami dana pendidikan sebagai dana yang
seharusnya digunakan untuk kegiatan pendidikan tetapi disalahgunakan. Hal ini
68
bisa saja menyangkut misalnya dana BOS, dana DAK, dana pengembangan
sumber daya manusia baik siswa maupun guru, dana pembangunan gedung
sekolah dan pengadaan berbagai sarana dan prasarana pendidikan, sebagaimana
ada dalam berbagai pemberitaan. Dalam beberapa penyebutan akan digunakan
istilah korupsi di bidang pendidikan. Secara khusus Skripsi ini tidak membahas
tentang misalnya kebijakan tertentu yang koruptif atau berpeluang menyebabkan
korupsi.
Alasan Pertama, korupsi dana pendidikan melanggar ketentuan
hukum HAM. Berdasarkan perumusan ketentuan hukum (legal drafting) dan
uraian tertulis (textual analysis), ada berbagai kaidah hukum dalam ketentuanketentuan hukum, khususnya hak atas pendidikan, baik nasional maupun
internasional, yang secara langsung maupun tidak langsung menentang korupsi.
Pertama, kaidah-kaidah hukum dalam DUHAM 1948. Sebagaimana proklamasi
Majelis Umum PBB yang terkutip dalam Bab II, maka dapat diperlihatkan
beberapa kaidah hukum yang tercantum dalam proklamasi itu:
1. Kaidah sebagai suatu standar umum, yaitu untuk keberhasilan bagi semua
bangsa dan semua negara;
2. Kaidah penghargaan terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan; dan.
3. kaidah progresifitas tindakan.
Berdasarkan Pasal 1 DUHAM, dapat diperinci bahwa setiap orang sebagai
manusia:
1. dilahirkan sebagai manusia bebas; karena itu korupsi sebagai bentuk
penindasan harus ditolak, pembebasan harus diperjuangkan dan;
2. mempunyai martabat yang sama; karena itu sesama manusia harus saling
menghormati dan hukum memberi perlindungan untuk itu;
69
3. mempunyai hak-hak yang sama; karena itu kebutuhan akan pendidikan
harus tersedia, terbuka dan berjalan secara berkeadilan untuk setiap orang.
4. dikarunia akal dan hati nurani; karena itu setiap orang harus
mengembangkan kepedulian. Korupsi bersifat menindas dan tidak
menghormati kemanusiaan pihak lain, apalagi hal itu misalnya tentang
dana pendidikan untuk orang miskin. Korupsi menjauhkan dari hidup yang
damai;
5. hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan; karena itu korupsi
yang senyatanya hanya mementingkan diri atau kelompok, jelas
berlawanan dengan kaidah persaudaraan.
Dengan demikian seorang atau sekelompok orang (koruptor) dan praktek korupsi
yang dilakukan telah tidak menghargai kebebasan, persamaan, persaudaraan dan
perdamaian sebagai gugusan kaidah hukum yang diharapkan dalam kehidupan
kemanusiaan yang beradab. Di samping itu, tindakan untuk mementingkan diri
dan/atau kelompok sendiri mencerminkan kecacatan akal budi dan hati nurani
yang baik.
Selanjutnya kaidah hukum yang terdapat dalam Pasal 2 DUHAM yaitu:
1. Kaidah pengadaan hak dan kebebasan; DUHAM mengadakan untuk setiap
orang hak dan kebebasan tanpa kecuali; DUHAM menegaskan bahwa
setiap manusia pada dasarnya adalah bebas dan memilih untuk bebas;
2. Kaidah melawan pembedaan realitas badaniah/fisik; DUHAM melawan
pembedaan berdasarkan ras, warna kulit dan jenis kelamin, Ketiganya (ras,
warna kulit dan jenis kelamin) boleh jadi karena dianggap sebagai
kelemahan, maka harus dicermati supaya tidak sampai menjadi obyek
70
permainan para koruptor, apalagi dalam kondisi ketegangan atau
perebutan kepentingan politik yang keras; dan
3. Kaidah melawan pembedaan atas kondisi dan/atau pilihan bebas; DUHAM
melawan pembedaan berdasarkan bahasa, agama, politik atau pandangan
lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran
ataupun kedudukan lain, kedudukan politik, hukum atau kedudukan
internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik
dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian,
jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.
Khusus tentang bidang pendidikan, Pasal 26 ayat (1) DUHAM mengandung
kaidah yang sangat substansial. Karena itu di samping memetakan kaidahnya,
penulis akan mengelaborasi kaidah-kaidah dimaksud:
1. Hak memperoleh pendidikan untuk setiap orang; Hal ini tepat atau
bersesuaian dengan amanat Pembukaan UUD 1945 kepada pemerintah
Indonesia, siapa pun itu dan kapan pun waktunya untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Karena itu pejabat pemerintah dan para rektor yang
terbukti
bersalah
melakukan
korupsi
padahal
mereka
sebagai
penanggungjawab pembangunan, kemasyarakatan, pemerintahan dan
pendidikan, mestinya dikenai hukuman yang mendidik seperti halnya
Angelina Sondakh, dan tidaklah boleh kepada mereka dijatuhi sanksi yang
ringan;
2. Pendidikan harus diadakan dengan cuma-cuma; Jangan sampai terulang
lagi seperti korupsi atas dana pendidikan gratis yang terjadi di Kabupaten
Gowa;
71
3. Kewajiban mengadakan pendidikan rendah; Program untuk ini tidak boleh
diabaikan atau dikorup dana peruntukannya;
4. Pendidikan teknik dan kejuruan yang terbuka untuk umum; Tidak boleh
ada diskriminasi dan perbuatan koruptif di dalamnya; dan
5. Adanya cara yang sama dan pantas untuk mengakses pendidikan tinggi.
Kaidah ini mempersyaratkan perlakuan yang sama. Misalnya bahwa yang
miskin atau lemah harus tetap dijamin aksesnya ke kawasan strategis yang
bernama dunia pendidikan.
Sedangkan Pasal 26 ayat (2) DUHAM menentukan bahwa:
1. Kaidah pembangunan; pendidikan harus bertujuan memperkembangkan
pribadi secara luas; Korupsi jelas mempersempit, menunda, menghambat,
atau bahkan meniadakan kesempatan berkembang. Semua potensi
perkembangan
bangsa,
negara
dan
masyarakat
Indonesia
harus
dioptimalkan untuk saling mendukung dengan kemajuan bangsa, negara
dan masyarakat internasional lainnya dalam rangka peradaban bersama.
Korupsi yang dilakukan para kepala sekolah di Kabupaten Gowa, pejabat
pemerintah Provinsi Banten dan Pejabat teras di Kementrian Pendidikan
Nasional, tentu bukanlah contoh yang baik tentang komitmen menjaga
reputasi
Indonesia,
apalagi
untuk
dipercaya
dalam
keterlibatan
internasional.
2. Kaidah penghargaan atas HAM dan kebebasan; pendidikan juga bertujuan
mempertebal penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasankebebasan dasar; Hal ini hanya bisa berjalan di bawah kepemimpinan dan
72
organisasi pemerintahan khususnya di bidang pendidikan yang peka, sadar
dan hidup dengan nilai-nilai dan pengenalan terhadap HAM.
3. Kaidah solidaritas; pendidikan harus menggiatkan saling pengertian,
toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras maupun
agama;dan
4. Kaidah perdamaian; pendidikan harus memajukan kegiatan Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian.
Kedua, kaidah-kaidah hukum dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil
dan Politik (Kovenan Sipol), yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU
No. 12 Tahun 2005. Kaidahnya terlihat misalnya dari Pasal 18 ayat (1) tentang
hak atas kebebasan berpikir. Selanjutnya kaidah hukum lainnya ditentukan dalam
Pasal 18 ayat (4) Kovenan Sipol bahwa Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji
untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang
sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak
mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Ketiga, kaidah-kaidah hukum dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Ekosob), yang juga telah diratifikasi
Indonesia dengan UU No. 11 Tahun 2005. Kaidah hukum dalam Pasal 1 Kovenan
Ekosob ialah:
1. Negara-negara Pihak mengakui hak setiap orang atas pendidikan;
2. Negara-negara Pihak menyetujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada
perkembangan kepribadian manusia seutuhnya;
3. Pengembangan kepribadian akan memperkuat penghormatan HAM;
4. Pendidikan memungkinkan partisipasi masyarakat berdasarkan solidaritas;
73
5. Pendidikan memajukan perdamaian sebagai tujuan PBB.
Pasal 2 Kovenan Ekosob sesungguhnya mengandung rincian kaidah hukum yang
mengharuskan bahwa:
1. Pendidikan dasar haruslah wajib dan cuma-cuma;
2. Pendidikan harus tersedia dan terbuka bagi semua orang;
3. Pendidikan tinggi juga harus tersedia, bahkan secara bertahap dengan
cuma-cuma;
4. Pendidikan mendasar harus menjangkau semua orang;
5. Penyediaan sistem beasiswa; dan
6. Peningkatan kesejahteraan pendidik;
Pasal 3 Kovenan Ekosob mengandung kaidah hukum berupa:
1. Adanya kebebasan bagi orang tua atau wali untuk memilih sekolah; dan
2. Adanya kebebasan bagi orang tua atau wali dalam menentukan pendidikan
agama dan moral bagi anak-anaknya.
Pasal 4 Kovenan Ekosob memungkinkan adanya kebebasan untuk individu dan
badan-badan untuk mendirikan lembaga pendidikan.
Pasal lain dalam Kovenan Ekosob yang mengandung kaidah hukum tentang
pendidikan ialah Pasal 14:
1. Keharusan negara pihak untuk mengadakan wajib belajar;
2. Program wajib belajar harus dikerjakan secara progresif; dan
3. Secara bertahap wajib belajar harus diusahakan menjadi cuma-cuma.
Keempat, Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan. Pasal 1 Konvensi
ini mengandung kaidah-kaidah hukum berupa:
74
1. Perlunya kehati-hatian dan pencermatan karena diskriminasi mencakup
pembedaan, pengesampingan, pembatasan atau pengutamaan apa pun;
2. Perlunya kehati-hatian dan pencermatan karena dasarnya berhubungan
dengan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pendapat lain, asal usul kebangsaan atau sosial, kondisi ekonomi atau
kelahiran;
3. Perlu kehati-hatian dan pencermatan karena diskriminasi mempunyai
tujuan meniadakan atau mengurangi persamaan perlakuan dalam
pendidikan, terutama:
a. Dari mencabut akses orang atau kelompok apa pun ke pendidikan jenis
apa pun atau pada tingkat apa pun;
b. Dari membatasi orang atau kelompok apa pun ke pendidikan pada suatu
standar yang lebih rendah mutunya;
c. Tunduk pada ketentuan-ketentuan Pasal 2 Konvensi ini, dari membentuk
atau memelihara sistem-sistem atau lembaga-lembaga pendidikan yang
terpisah bagi orang atau kelompok orang; atau
d. Dari membebankan pada orang atau kelompok orang apa pun kondisikondisi yang tidak sesuai dengan kemuliaan manusia.
Selanjutnya, Pasal 2 Konvensi ini juga menentukan bahwa:
1. Pendidikan mengacu pada semua jenis dan tingkat pendidikan;
2. Perlu diperhatikan akses ke pendidikan, standar dan kualitas pendidikan,
dan kondisi-kondisi menurut yang telah diberikan.
Keempat, Konvensi Hak Anak, yang dalam Pasal 1 ayat (3), mengatur kaidah
berupa perintah kepada berbagai lembaga kesejahteraan sosial, legislatif,
75
eksekutif, dan yudikatif untuk mengutamakan pertimbangan tentang kepentingankepentingan terbaik untuk anak-anak.
Kelima, berdasarkan Hak-hak konstitusional warga negara Republik Indonesia,
dalam UUD 1945, maka setidaknya ada dua rumpun hak yang di dalamnya
mengatur tentang hak atas pendidikan. Kedua rumpun hak itu ialah rumpun III
tentang Hak untuk Mengembangkan Diri (Pasal 28C ayat 1) dan rumpun IV yaitu
Hak atas Kemerdekaan Pikiran & Kebebasan Memilih (Pasal 31 dan Pasal 28C
ayat 1).
Keenam, berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, setidaknya terdapat dua kewajiban Pemerintah dan
Pemerintah Daerah. Kewajiban yang pertama itu ialah kewajiban untuk
memberikan layanan dan kemudahan (Pasal 11 ayat 1), dan kewajiban yang kedua
yaitu kewajiban untuk menjamin tersedianya dana (Pasal 11 ayat 2). Selain itu
juga ada bentuk tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah, yakni
menyelenggarakan pendidikan secara demokratis dan berkeadilan (Pasal 4).
Ketujuh, berdasarkan uraian Suparman Marzuki, maka penulis bersetuju bahwa
pemaknaan atas kerangka hukum ekosob yang tercantum dalam Kovenan, dalam
prinsip-prinsip Limburg dan pedoman Maastricht sudah sangat jelas bahwa
kewajiban untuk menegaskan jaminan hukum dan jaminan komplain atas
pemenuhan dan perlindungan hak ekosob oleh negara pihak bersifat segera, baik
yang sifatnya penghormatan (kewajiban negara untuk tidak mengambil tindakantindakan yang mengakibatkan tercegahnya akses terhadap hak bersangkutan.
Termasuk di dalamnya, mencegah melakukan sesuatu yang dapat menghambat
warga memanfaatkan sumber-sumber daya alam materil yang tersedia);
76
perlindungan (kewajiban negara menjamin pihak ketiga (individu atau
perusahaan) tidak melanggar hak individu lain atas akses terhadap hak
bersangkutan serta mencegah deprivasi lebih lanjut dan jaminan bahwa mereka
yang terlanggar haknya mendapat akses terhadap legal remedies; serta pemenuhan
(mengharuskan negara untuk melakukan tindak pro aktif memperkuat akses
masyarakat atas sumber-sumber daya).
Dalam hubungan dengan uraian di atas, maka berdasarkan penjelasan de Mesa
dalam Bab II, perlu diadakan perlawanan terhadap korupsi dana pendidikan,
karena kemiskinan bisa saja diakibatkan oleh korupsi dana pendidikan, dan juga
korupsi dana pendidikan bersifat diskriminatif, terutama bagi kaum miskin.
Alasan Kedua, berdasarkan pendapat professor dan praktisi hukum
serta proses hukum (legal process) dan putusan hukum (legal decision) dalam
penyelesaian kasus-kasus korupsi, ada bukti-bukti bahwa korupsi dana
pendidikan melanggar HAM.
Ada banyak contoh kasus, misalnya gelar perkara terhadap para pendidik
di Kabupaten Gowa; data investigasi terhadap Banten sebagai Provinsi Terkorup
di bidang pendidikan (bahkan kemudian penahanan Ratu Atut pada masa
jabatannya selaku Gubernur); gelar perkara terhadap Mantan Irjen Kemendiknas;
Sangkaan terhadap beberapa rektor perguruan tinggi negeri; laporan hasil
investigasi ICW bahwa selama satu dasawarsa telah terjadi korupsi khususnya di
bidang pendidikan sejumlah 619 milyar rupiah; dan telaah keprihatinan atas nasib
pendidikan Indonesia yang diterjang praktek korupsi. Semuanya memperlihatkan
tindakan inkonstitusional, yaitu melawan tujuan pencerdasan kehidupan bangsa,
77
dengan jalan mengambil yang bukan haknya untuk memperkaya diri sendiri atau
kelompok sendiri.
Semua contoh kasus itu, betapa pun tidak akan dibahas secara detail, tetapi
menunjukkan bukti mendasar bahwa korupsi memang melanggar HAM.
Setidaknya dapat dilihat bahwa:
1. Para koruptor yang adalah pejabat atau yang berwenang secara
kenegaraan dan
inkonstitusional,
ke pemerintahan, telah bersikap dan bertindak
yaitu
mengambil
yang bukan
haknya
untuk
memperkaya diri dan kelompoknya sendiri, padahal tugas pemerintah
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mendatangkan
kesejahteraan umum.
2. Para koruptor telah melanggar hukum yang universal yang diputuskan
dalam DUHAM dan berbagai konvensi seperti Konvensi Sipol,
Konvensi Ekosob, Konvensi Hak Anak yang semuanya telah sah
berlaku di Indonesia. Secara universal setiap orang akan memilih untuk
bebas dan bukan sebaliknya ditindas koruptor; memilih untuk terdidik
dan
bukan
sebaliknya
membiarkan
hak
serta
peluang
memperkembangkan dirinya dirampok koruptor.
Berbagai kaidah hukum telah disebutkan dalam analisa ini dan adalah
logis bahwa berdasarkan buah pemikiran para ahli hukum (legal experts), baik
karena capaian akademik maupun karena kedalaman dan keluasan pengalaman,
korupsi melanggar HAM, tak terkecuali hak atas pendidikan. Berdasarkan
78
pendapat para ahli di Bab II, maka serangkaian pokok bahasan penting yang
menegaskan korupsi sebagai pelanggaran HAM dapat ditampilkan di bawah ini.
Berdasakan pendapat Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK, korupsi
sebagai pelanggaran HAM, bahkan pelanggaran HAM berat karena:
1. Koruptor mencuri dana pembangunan;
2. Berdasarkan studi UNDP, korupsi menurunkan kualitas pembangunan
manusia; indeks pembangunan manusia menjadi terhambat;
3. Akibat yang ditimbulkan korupsi, lebih besar daripada pencurian biasa.
Perampok mencuri dari ATM, tetapi koruptor membangkrutkan lembaga
perbankan.
Dana pembangunan itu mestinya bermanfaat untuk mendatangkan
pendidikan gratis, misalnya bahwa korupsi seharusnya tidak terjadi di Kabupaten
Gowa karena dana itu akan sangat bermanfaat mendukung pendidikan anak-anak
dari keluarga yang kurang mampu. Hal itu jelas bertentangan dengan Pasal 2 dan
Pasal 14 Konvensi Ekosob yang mengamanatkan pendidikan gratis atau cumacuma dan yang wajib dilakukan oleh negara dan pemerintah. Kehidupan anakanak di sana tidak dibangun karena penyalahgunaan kekuasaan secara melawan
hukum atau terjadi korupsi atas hak mereka. Kehilangan 20 milyar rupiah tentu
saja bukan jumlah yang sedikit. Belum lagi kalau benar bahwa bukan hanya dana
pendidikan gratis yang dikorupsi di sana tetapi juga dana yang dimanipulasi dari
kebutuhan belanja siswa dan yang dipotong dari honor para guru. Para siswa tidak
akan mendapatkan sentuhan pengembangan diri yang maksimal, dan para guru
mungkin akan bermalas-malasan.
79
Pada akhirnya memang benar bahwa indeks pembangunan manusia
Indonesia tidak akan bergerak naik. Akibatnya juga terjadi penumpukan potensi
masalah pada para peserta didik karena mereka akan menjadi generasi yang tidak
cukup berkualitas. Jelas bahwa mereka tidak akan mampu bersaing. Kehidupan
mereka di kemudian hari berpotensi menimbulkan banyak masalah, karena bukan
saja haknya telah tidak dipenuhi, tetapi juga mereka menjadi keseringan
menyaksikan perilaku yang buruk dari pemerintah atau pelayan publik, bahkan
ternyata juga para kepala sekolah. Bilamana praktek korupsi semacam ini
dibiarkan terus terjadi maka akan menimbulkan ketidakpercayaan kepada
pemerintah atau lembaga pendidikan.
Menurut Joni Simanjuntak yang pernah menjadi Anggota Komisioner
Komnas HAM, koruptor mengambil dari anggaran pendapatan dan belanja negara
yang seharusnya untuk memenuhi hak rakyat atas kesehatan, pendidikan dan
perumahan.
Suatu keadaan yang sangat disayangkan dan tidak terpuji bahwa Provinsi
Banten yang masih muda usia justru menjadi provinsi dimana terjadi korupsi dana
pendidikan sejumlah 209 milyar rupiah. Memprihatinkan karena umumnya
pemekaran daerah justru terjadi dengan alasan dan tujuan untuk lebih melayani
publik secara berkualitas. Dapat dikatakan telah terjadi pembohongan publik,
manipulasi isu kesejahteraan. Hal ini juga dapat berarti ketidakmampuan tata
pemerintahan dalam mengartikulasikan secara positif dan optimal dana dan sektor
kependidikan yang bernilai strategis dalam konteks mendukung pembebasan umat
manusia dari kebodohan, kemiskinana dan keterbelakangan, setidaknya di Banten.
Bahkan harus dicermati, karena bisa saja telah terjadi apa yang disebut sebagai
80
―meniadakan atau mengurangi persamaan perlakuan dalam pendidikan‖
sebagaimana disorot dalam Pasal 1 Konvensi Menentang Diskriminasi dalam
Pendidikan.
Menarik ketika Jimly Asshiddiqie, Guru Besar Hukum Tata Negara, juga
berpendapat bahwa korupsi merupakan pelanggaran HAM berat, karena:
1. Kejahatan korupsi telah berurat akar dalam keseluruhan sendi kehidupan
masyarakat Indonesia;
2. Kejahatan korupsi sudah melebihi dampak dan bahaya pelanggaran hak
asasi manusia sehingga kejahatan korupsi dapat disetarakan dengan jenis
pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human
rights).
Pendapat akademis Asshiddiqie tersebut merupakan sesuatu yang sangat
penting. Korupsi yang secara umum dapat diartikan menyalahgunakan
kewenangan dan jabatan publik untuk kepentingan diri dan kelompok sendiri,
ternyata telah menimbukan dampak kerusakan melampau pelanggaran HAM
berat.
Kasus hukum yang melibatkan mantan Inspektur Jenderal Kementrian
Pendidikan Nasional dan dugaan keterlibatan beberapa rektor perguruan tinggu
negeri dalam korupsi dana pendidikan mestinya menjadi keprihatinan nasional.
Kawasan pendidikan yang secara ideal (das solen)
harusnya menjadi acuan
pemulihan martabat kemanusiaan, justru dalam kenyataannnya (das sein) telah
menjadi kawasan kejadian masalah, ranah reruntuhan peradaban.
Karena itu dan dalam rangka akselerasi dan akurasi manejemen serta
hukum tata pemerintahan, maka enam strategi pencegahan dan pemberantasan
81
korupsi, sebagaimana telah diterbitkan pemerintah lewat Keppres No. 55 Tahun
2012, harus segera ditindaklanjuti dengan penataan konkrit pada berbagai
tingkatan dan luasan ketatanegaraan. Keenam strategi itu ialah strategi
pencegahan, strategi penindakan; strategi harmonisasi peraturan perundangundangan; strategi penyelamatan aset hasil korupsi; strategi kerjasama
internasional; dan strategi mekanisme pelaporan.
Kalau tidak demikian maka apa yang dikatakan Asshiddiqie sebagai telah
berurat akar itu akan semakin mencengkeram Indonesia. Pada gilirannya
Indonesia juga secara internasional mungkin akan mengalami krisis kepercayaan
karena tidak cukup menjamin keterlibatan dalam rangka kerja menunaikan
pemaknaan atas pembebasan, persamaan, persaudaraan dan perdamaian berbasis
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak atas pendidikan dan HAM
secara umum.
Indriyanto Seno Adji, salah satu tim pakar yang menggodok perubahan
UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, tidak setuju jika dikatakan
pemberlakuan asas pembuktian terbalik dianggap melanggar HAM. Indriyanto
ketika ditemui hukumonline justru mengatakan bahwa korupsilah yang merupakan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Pernyataan Seno Adji ini dapat dipahami dalam konteks keprihatinan atas
maraknya korupsi. Maksudnya adalah bahwa lebih mendesak untuk menangani
persoalan-persoalan korupsi karena di dalamnya telah terjadi pelanggaran HAM
berat. Karena itu berbagai strategi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi seperti disebutkan di atas perlu segera digiatkan secara nyata. Tidak boleh
tidak, korupsi yang membelenggu kebebasan dan tujuan memperkembangkan
82
hidup, harus dilawan. Pendidikan anti-korupsi juga mendesak. Pendidikan
berbasis HAM menjadi kebutuhan aktual Indonesia.
Jaleswari Pramodhawardani, Peneliti LIPI dan The Indonesian Institute
bahkan menyebut korupsi sama dengan pelanggaran HAM karena:
1. Korupsi adalah penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan pribadi;
2. Korupsi merupakan salah satu kejahatan sosial terbesar;
3. Mengacu kepada mantan Sekjen PBB, Kofi Annan, korupsi telah
merugikan kaum miskin dengan mengalihkan dana yang ditujukan untuk
pembangunan, melemahkan kemampuan pemerintah untuk menyediakan
layanan dasar, dan menghalangi bantuan atau investasi asing;
4. Hubungan antara korupsi dan HAM sering dianggap sebagai satu mata
uang dengan dua sisi. Artinya, korupsi yang melumpuhkan suatu negara
merupakan pertemuan antara kewajiban negara untuk menghormati,
memenuhi, dan melindungi HAM warga negaranya di satu sisi dan
sekaligus pengabaian untuk pemenuhan kewajiban tersebut di lain sisi.
5. Korupsi tampak sebagai penyangkalan hak-hak perseorangan dan cara
yang digunakan untuk penyelidikan serta tuntutan korupsi yang dilakukan
oleh penegak hukum yang diskriminatif. Kasus nenek Minah yang
mengambil tiga biji buah kakao senilai Rp 2.100 milik perkebunan PT
RSA, untuk ditanam, menuai ongkos mahal karena ia divonis 1,5 bulan
penjara, percobaan selama tiga bulan. Bandingkan dengan vonis
pengadilan koruptor yang merugikan negara miliaran atau triliunan rupiah.
6. Dalam melakukan reformasi antikorupsi, terutama yang menargetkan
efisiensi pengurangan pengeluaran belanja negara, terjadi inkonsistensi
83
antara pemenuhan kebutuhan dasar dan hak seperti kesehatan, pendidikan
dan kesejahteraan dengan hak sosial dan ekonomi masyarakat miskin yang
termarjinalkan.
7. Anggaran pendidikan yang merupakan porsi terbesar APBN belum
menyentuh kebutuhan dasar masyarakat miskin untuk mengakses
pendidikan dengan mudah dan murah.
8. Fakta ini penting untuk menunjukkan bahwa hubungan antara korupsi
yang meluas dan HAM akan melumpuhkan negara sebagai akibat tidak
bertemunya dan terpenuhinya kewajiban negara terhadap HAM mereka.
Karena itu, HAM dapat digunakan sebagai dukungan untuk melawan
korupsi.
9. Sebuah negara yang korup, bagaimanapun, akan gagal membawa warga
negaranya ke arah dan tujuan yang dicita-citakan ketika korupsi
memimpin ke arah pelanggaran HAM. Setidaknya ada tiga hal yang
tercederai di sana. Pertama, korupsi mengabadikan diskriminasi. Kedua,
korupsi mencegah perwujudan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan
budaya rakyat, terutama rakyat miskin. Ketiga, korupsi memimpin ke arah
pelanggaran hak sipil politik warga; dan
10. Korupsi ada dan nyata dalam kinerja buruk partai politik, lembaga
peradilan dan kepolisian sebagaimana yang ditunjukkan hasil survei
pendapat umum yang dilakukan oleh Transparency International, Global
Corruption, 2004. Dari survei tersebut, 36 dari 62 negara-negara itu
memperlihatkan partai politik merupakan institusi yang paling dipengaruhi
oleh korupsi, terburuk di Ekuador, diikuti oleh Argentina, India, dan Peru.
84
Responden di Argentina, Indonesia, Korea Selatan, Taiwan, dan Ukraina
menilai parlemen atau pembuat undang-undang sama korupnya dengan
partai politik.
Uraian panjang lebar Pramodhawardani tersebut menjadi beralasan ketika
ICW memperlihatkan data bahwa selama satu dasawarsa yaitu sejak 2003 sampai
dengan 2013, di seluruh Indonesia terjadi 296 kasus korupsi dana pendidikan
dengan 479 orang tersangka di Indonesia. Indikasi kerugian keuangan negara
mencapai Rp 619 miliar. Sangat memalukan karena ICW juga menyimpulkan
bahwa dari 479 tersangka yang menggerogoti dana pendidikan itu justru
dilakukan oleh pejabat dan pegawai Dinas Pendidikan. Sebagaimana diungkapkan
seorang wakil ICW, "Tersangka paling banyak di Dinas Pendidikan. 71 orang di
antaranya adalah Kepala Dinas Pendidikan, 179 orang pegawai Dinas Pendidikan,
dan 114 rekanan mereka." kata Tari. Menurut hasil penelitian ICW, dari tahun ke
tahun pola korupsi pendidikan masih menggunakan modus yang sama yakni
penggelapan dan mark up.
Berita di atas sangat mengganggu karena reformasi politik Indonesia,
seperti umumnya negara-negara demokratis lainnya, selalu mengusung dan
mengumandangkan isu-isu HAM dan penguatan kehidupan masyarakat sipil yang
menghayati
demokrasi
substantif.
Bahkan
DUHAM
1948
misalnya
mengamanatkan tindakan-tindakan progresif yang bersifat nasional maupun
internasional, menjamin pengakuan dan penghormatannya yang universal dan
efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari negara-negara anggota sendiri maupun oleh
bangsa-bangsa dari wilayah-wilayah yang ada di bawah kekuasaan hukum
85
mereka. Faktanya justru menunjukkan dana kependidikan justru dikorupsi sendiri
oleh pelayan publik di bidang pendidikan.
Padahal tindakan progresif ini harus termasuk progresifitas melawan
korupsi. Hal itu hendak membuktikan bahwa korupsi juga ada di mana-mana,
tetapi universalitas HAM membuktikan bahwa di wilayah mana saja di seluruh
penjuru bumi ini setiap orang tidak mau dan tidak akan pernah mau dicurangi atau
dirampok hak-haknya. Universalitas atau keumuman HAM diakui dan dijunjung
tinggi seluruh masyarakat dunia, misalnya bahwa setiap orang akan memilih
untuk hidup terdidik dan bukan ditindas kebodohan.
Mimin Dwi Hartono, anggota staf Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
2009, korupsi melanggar HAM dengan penjelasan bahwa:
1. Dalam tingkatan tertinggi, merampas kesejahteraan publik, memiskinkan
masyarakat, dan mengarah ke pelanggaran hak sosial dan ekonomi yang
berat.
2. Korupsi adalah salah satu masalah terbesar yang dihadapi negara
berkembang di seluruh dunia.
3. Dari perspektif hak asasi manusia, korupsi adalah salah satu hambatan
terbesar dalam memenuhi kewajiban negara untuk melindungi dan
mempromosikan hak asasi manusia.
4. Sistem politik yang korup mengabaikan hak fundamental untuk
berpartisipasi dalam berdemokrasi.
5. Sistem pengadilan yang korup tidak hanya melanggar hak dasar, yaitu
kesetaraan di hadapan hukum, tapi juga mengabaikan hak prosedural yang
dijamin oleh konvensi internasional tentang hak asasi manusia.
86
6. Korupsi dalam administrasi publik membahayakan hak untuk hidup ketika
dana kesehatan publik diselewengkan untuk kepentingan pribadi.
Sebanyak 3 miliar orang masih hidup dengan penghasilan di bawah dua
dolar sehari, total pendapatan domestik bruto 48 negara termiskin lebih
kecil daripada jumlah kekayaan tiga orang terkaya di dunia, 1 miliar anak
hidup dalam kemiskinan, 640 juta hidup tanpa permukiman yang layak,
400 juta tidak punya akses atas air, dan 270 juta tidak punya akses atas
fasilitas kesehatan. Kemiskinan bukan suatu kondisi yang statis, melainkan
produk dari proses pemiskinan. Dengan demikian, kemiskinan tidak
timbul dengan sendirinya (by nature), tapi diciptakan (created). Proses
pemiskinan dan kemiskinan tersebut di antaranya disebabkan oleh korupsi.
Banyak yang mengatakan kemiskinan sebagai anak kandung dari korupsi.
Fakta menunjukkan bahwa negara yang miskin adalah negara yang tinggi
tingkat korupsinya, dan sebaliknya.
7. Negara yang miskin tercatat sebagai negara yang melakukan banyak
pelanggaran hak asasi manusia. Maka pemiskinan adalah bentuk
pelanggaran HAM karena membuat orang tidak bisa menikmati hakhaknya, seperti hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas
pendidikan, dan hak atas perumahan. Di antara korupsi, pemiskinan, dan
HAM terdapat interkorelasi sebab-akibat.
8. Korupsi adalah bentuk dari pemiskinan yang menyebabkan kemiskinan
sebagai bentuk pelanggaran HAM. Menurut data Komisi Pemberantasan
Korupsi, Indonesia adalah negara terkorup keenam di dunia.
87
9. Maka sudah seharusnya pemberantasan korupsi berjalan sinergis dengan
penegakan
HAM.
Sebab,
pemberantasan
korupsi
bertujuan
menyelamatkan kekayaan negara dan/atau mengontrol kekuasaan sehingga
dapat dipergunakan secara tepat guna untuk menyejahterakan masyarakat
dan mewujudkan pembangunan yang berkeadilan. Para pelaku korupsi
atau koruptor telah mengambil hak masyarakat untuk berkembang secara
ekonomi, sosial, dan budaya.
10. Ada kesamaan prinsip antara pemberantasan korupsi dan penegakan
HAM, yaitu transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, penegakan
hukum, kebebasan berekspresi, hak atas informasi, pemisahan kekuasaan,
kesetaraan, nondiskriminasi, dan keadilan.
Berdasarkan uraian Hartono di atas,
maka negara, pemerintah, dan
berbagai kekuatan politik sebenarnya juga diingatkan untuk tidak menganggap
remeh pernyataan Sen tentang pembangunan sebagai suatu proses untuk
memperluas kebebasan nyata yang dinikmati rakyat. Senada dengan itu, Freire
mengartikulasikannya secara tepat dalam konteks atau bidang pendidikan, ketika
dia mengatakan dan membangun filsafat pendidikannya bahwa pendidikan adalah
suatu proses pembebasan. Dengan demikian maka berbagai ketentuan hukum
HAM yang mengalir dari DUHAM 1948 khususnya yang menyangkut urusan
pendidikan, pertama-tama harus dimaknai sebagai ketentuan pembebasan.
Negara-negara harus bertanggungjawab atas kerja pembebasan itu dalam rangka
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM.
Hal tersebut juga sangat tepat dan beralasan karena sejalan dengan
pernyataan atau proklamasi DUHAM, dimana dikatakan bahwa tujuannya agar
88
setiap orang dan setiap badan di dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat
DUHAM dimaksud, akan berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan
pendidikan guna menggiatkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasankebebasan tersebut. DUHAM dan teoritisasi HAM harus disosialisasikan dalam
berbagai jenjang pendidikan. Kebijakan dan hukum anti-korupsi harus menjadi
bagian dari kerja kurikuler berbagai lembaga pendidikan dari yang terendah
sampai dengan yang paling tinggi. Pendidikan berbasis HAM menjadi sesuatu
yang harus berjalan.
Hubungan antara korupsi dan HAM, juga disorot secara tajam oleh George
Aditjondro, Penulis Buku ―Korupsi Kepresidenan: Oligarki Tiga Kaki.‖
Disebutnya, korupsi telah secara nyata mencederai rasa keadilan dan kemanusiaan
karena telah mengambil secara sistematis aset negara yang seharusnya
dipergunakan untuk menyejahterakan rakyat. Menurut George Aditjondro,
terdapat tiga lapis korupsi. Lapis pertama adalah korupsi yang langsung berkaitan
antara warga dan aparat negara, yaitu suap dan pemerasan. Disebut suap jika
prakarsa untuk memberikan barang, jasa, dan uang berasal dari warga, atau
pemerasan jika prakarsa untuk mendapatkan barang, jasa, dan uang berasal dari
aparat negara. Lapis kedua adalah korupsi lingkaran dalam (inner circle) di pusat
pemerintahan, yaitu nepotisme, kroniisme, dan kelas baru. Nepotisme adalah
korupsi antara pelayan publik dan mereka yang menerima kemudahan dalam
bisnisnya karena adanya hubungan darah/persaudaraan. Kroniisme sama
pengertiannya dengan nepotisme tapi tidak ada hubungan darah di antara kedua
belah pihak yang sama-sama menerima keuntungan. Kemudian kelas baru:
mereka yang mengambil kebijakan dengan mereka yang menerima kemudahan
89
khusus untuk usaha mereka ada dalam lingkaran kekuasaan pemerintahan. Lapis
ketiga adalah korupsi yang berbentuk jejaring, yang melibatkan birokrat,
politikus, aparat hukum, aparat keamanan negara, perusahaan negara, perusahaan
swasta, serta lembaga pendidikan dan penelitian yang memberikan kesan ilmiah
dan obyektif serta menjadi alat legitimasi kebijakan yang diambil oleh jejaring
tersebut. Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya dan sulit dibuktikan karena
adanya konspirasi yang canggih antarelemen untuk melakukan proses pemiskinan
secara berjemaah. Korupsi yang disebut sebagai kejahatan kerah putih (white
collar crime) ini berkontribusi sangat besar bagi tumbuh kembangnya kemiskinan
struktural. Kemiskinan struktural tercipta bukan karena masyarakat yang tidak
berdaya,
melainkan
karena
kebijakan
yang memang diciptakan
untuk
memiskinkan masyarakat atau pemiskinan (impoverishment).
Uraian akademis Aditjondro ini, senyatanya terjadi dalam kasus korupsi
yang dilakukan oleh Angelina Sondakh. Ciri korupsi sebagaimana diuraikan
Aditjondro dengan kategori lapis dua dan lapis tiga-nya, nampak dalam kasus
yang melibatkan Sondakh. Kasus ini juga memperlihatkan ketidakpekaan sebagai
wakil rakyat atas pergumulan nyata warga Indonesia yang kebanyakan masih
bergelut dengan kesulitan dana pendidikan. Keadilan muncul terbalik, mereka
yang berkuasa benar-benar menjadikan dana pendidikan sebagai sasaran korupsi.
Kasus ini tidak terbantahkan bahwa telah terjadi perusakan terhadap citacita pembebasan, persamaan, persaudaraan, perdamaian, sebagai akibat korupsi
politik atas dana pendidikan, padahal pendidikan bertujuan mulia untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sondakh dan siapa pun yang sebenarnya terlibat
di
dalamnya,
dengan
perbuatan
demikian
90
telah
senyatanya
melawan
konstitusionalitas dan identitas Indonesia sebagai negara hukum. Mereka juga
telah telah melawan kaidah-kaidah internasionalitas Indonesia yang telah
meratifikasi berbagai perjanjian internasional tentang HAM, misalnya, prinsip
kepentingan terbaik untuk anak sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 3 ayat (1)
Konvensi Hak Anak, yang juga telah diratifikasi dengan Keppres RI No. 36, 25
Agustus 1999. Padahal prinsip ini jelas menghendaki pengutamaan terhadap
kepentingan-kepentingan terbaik untuk anak, prinsip yang memastikan bahwa
pendidikan adalah kebutuhan utama setiap anak.
Alasan Ketiga, ada contoh lain sebagai perbandingan analisa yang
dapat dipelajari. Dari semua ketentuan internasional di atas, yang paling
langsung berkenaan dengan hak atas pendidikan ialah Kovenan Ekosob. Uraian
yang lebih terperinci tentang korupsi sebagai pelanggaran HAM dapat dilihat di
bawah ini.126
Hak atas pendidikan dijamin dalam beberapa instrumen internasional,
terutama Pasal 13 dan 14 Kovenan Ekosob. Secara umum, hak ini memiliki dua
dimensi utama: dimensi sosial dan dimensi kebebasan. Dimensi sosial mengacu
pada hak untuk menerima pendidikan diarahkan pada tujuan dan sasaran yang
diidentifikasi dalam Pasal 13 ayat (1) dari Kovenan Ekosob. Hak untuk menerima
126
Bagian ini sengaja dipilihkan dan disajikan Penulis untuk mengapresiasi penjelasan
tentang Bab Pembahasan, dalam Buku Panduan Penelitian dan Penulisan Skripsi, Fakultas Hukum
UKSW, Desember 2013, yang memungkinkan Pendekatan Perbandingan dalam Bab Pembahasan.
Mungkin Pendekatan Perbandingan di sini berbeda dengan yang dimaksudkan, tetapi Penulis
berpandangan perlu juga mengenal gagasan pihak lain secara lengkap atas topik yang relatif sama.
Dengan demikian para Pembaca dapat melakukan sendiri perbandingan dengan mungkin lebih
teliti. Pembahasan tentang bagian ini dengan perubahan terbatas, mengacu kepada: ichrp.org,
Julio Bacio Terracino, Corruption As A Violation of Human Rights, International Council and
Human
Rights
Policy,
pp.
23-26,
http://www.ichrp.org/files/papers/150/131_terracino_en_2008.pdf dikunjungi pada Selasa 21
Januari 2014 pukul 08.32 WIB.
91
pendidikan mewajibkan negara untuk membuat berbagai bentuk pendidikan
(dasar, menengah, tinggi, dan fundamental) tersedia dan mudah diakses untuk
semua. Sementara pendidikan dasar harus gratis dan wajib, pendidikan menengah
dan tinggi yang dibuat secara umum tersedia dan dapat diakses melalui
pengenalan progresif pendidikan gratis.
Korupsi juga sangat mungkin hadir dalam sektor pendidikan. Di sebagian
besar negara, sektor pendidikan merupakan salah satu komponen terbesar dari
sektor publik. Mengkonsumsi antara 20% dan 30% dari total anggaran,
mempekerjakan proporsi
tertinggi
sumber daya
manusia
terdidik, dan
kekhawatiran antara 20% dan 25% dari populasi. Hal ini menciptakan peluang
dan insentif untuk korupsi yang terjadi dalam berbagai bentuk dan pada semua
tingkatan. Tawaran dicurangi untuk tender, penggelapan dana, biaya pendaftaran
ilegal, absensi, dan penipuan dalam pemeriksaan adalah beberapa bentuk bahwa
korupsi dapat mengambil di sektor pendidikan.
Korupsi di sektor pendidikan telah dikaitkan dengan hak asasi manusia
untuk pendidikan. Misalnya, Komisi Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak
Rakyat menyatakan bahwa penutupan sewenang-wenang dari universitas dan
sekolah menengah selama dua tahun, disertai dengan non-pembayaran gaji guru
karena korupsi, yang mencegah siswa dari sekolah dan guru dari menyediakan
pendidikan kepada siswa, melanggar hak untuk pendidikan di bawah Piagam
Afrika. Hal ini menunjukkan hubungan yang agak umum dan tidak langsung
antara korupsi dan hak atas pendidikan. Dalam rangka untuk menentukan kapan
praktik korupsi dapat merupakan pelanggaran terhadap hak atas pendidikan, itu
adalah penggunaan untuk mengikuti fitur hak terhadap ketersediaan, aksesibilitas,
92
dapat diterima, dan kemampuan beradaptasi. Pendidikan dalam segala bentuknya
dan di semua tingkatan harus berisi fitur tersebut.
Institusi dan program pendidikan harus tersedia dalam jumlah yang cukup.
Ketersediaan juga berarti bahwa institusi dan program pendidikan harus
dilengkapi dengan apa yang mereka butuhkan untuk berfungsi, seperti bangunan,
fasilitas sanitasi, air minum yang aman, guru terlatih menerima gaji yang
kompetitif, dan bahan ajar. Beberapa praktik korupsi yang berbeda di sektor
pendidikan memiliki efek negatif pada ketersediaan pendidikan. Paling menonjol,
penggelapan dana awalnya dialokasikan untuk menyediakan pendidikan
menghilangkan sumber daya yang dibutuhkan untuk melengkapi lembaga
pendidikan.
Fitur kedua dari hak atas pendidikan adalah aksesibilitas, dimana
pendidikan harus dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi. Aksesibilitas
tidak hanya mengacu pada akses fisik tetapi juga untuk akses ekonomi. Dalam
konteks ini, pendidikan harus terjangkau untuk semua dan benar-benar gratis di
tingkat sekolah dasar.
Praktik korupsi di sektor pendidikan, terutama di tingkat sekolah dan
kelas, dapat membatasi atau sama sekali menghambat akses pendidikan. Pertama,
korupsi memerlukan diskriminasi. Dengan demikian, ketika anak-anak diminta
untuk melakukan pembayaran tidak resmi, akses mereka terhadap pendidikan
tidak didasarkan pada standar kesetaraan tetapi pada kemampuan untuk membayar
suap, yang berjumlah diskriminasi dan korupsi. Kedua, banyak praktik korupsi
mempengaruhi aksesibilitas pendidikan. Ketika masuk ke kelas hanya diberikan
setelah membayar suap, atau ketika orang tua diminta untuk membayar uang
93
sekolah swasta di mana guru mengajarkan anak mereka esensi kurikulum setelah
jam sekolah resmi, atau ketika orang tua harus membayar jika mereka ingin buku
latihan anak untuk dikoreksi, hanya orang yang memiliki sumber daya yang cukup
ekonomi dan bersedia menanggung korupsi memiliki akses ke pendidikan. Yang
paling penting, semua praktik korupsi yang memerlukan pencairan uang di
pendidikan dasar bertentangan dengan fakta bahwa ini harus bebas. Terbukti,
sebagian besar praktik korupsi di sektor pendidikan, terutama di tingkat sekolah
dan kelas, membatasi akses ke pendidikan.
Fitur-fitur lainnya dari hak atas pendidikan adalah penerimaan dan
adaptasi. Bentuk dan substansi pendidikan harus dapat diterima oleh siswa dan
orang tua berkaitan dengan relevansi, kesesuaian budaya dan kualitas, dan juga
harus fleksibel untuk beradaptasi dengan kebutuhan perubahan masyarakat.
Korupsi di sektor pendidikan memiliki dampak pada standar kualitas pendidikan,
sehingga mempengaruhi unsur penerimaan hak atas pendidikan. Korupsi dalam
pengadaan mempengaruhi perolehan materi pendidikan, makanan, bangunan, dan
peralatan, biasanya menghasilkan produk-produk berkualitas buruk. Perekrutan
personil juga dapat dinodai oleh korupsi. Suap dalam prosedur perekrutan dapat
mengakibatkan guru wajar tanpa pengecualian yang ditunjuk. Oleh karena itu,
korupsi di sektor pendidikan juga menghasilkan pendidikan standar.
Hak atas pendidikan juga memiliki dimensi kebebasan. Ini menyangkut
hak kebebasan akademik dan otonomi kelembagaan dan itu berarti kebebasan
pribadi individu atau orang tua atau wali untuk memilih lembaga pendidikan
memenuhi pendidikan, agama, moral dan keyakinan mereka (ICESCR Art. 13.3).
Hal ini juga berarti kebebasan orang untuk mendirikan dan mengarahkan lembaga
94
pendidikan mereka sendiri (ICESCR Art. 13,4). Dimensi hak atas pendidikan juga
dapat terhambat oleh korupsi. Misalnya, jika orang tua diminta untuk membayar
suap untuk mentransfer anak dari satu sekolah ke sekolah lain atau hanya untuk
menjaga anak mereka di sekolah. Ketika orang tua membutuhkan sumber daya
ekonomi untuk menyuap sekolah mereka akan lebih memilih untuk anak-anak
mereka, atau ketika orang tua hanya tidak ingin ikut serta dalam praktek korupsi,
mereka tidak bebas untuk memilih lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka
seperti yang dipersyaratkan oleh hak atas pendidikan .
Seperti dibuktikan, korupsi di sektor pendidikan mempengaruhi hak atas
pendidikan dalam banyak cara. Dalam rangka untuk menentukan kapan praktek
korupsi tersebut merupakan pelanggaran hak, hal ini berguna untuk secara singkat
mengacu kepada kewajiban pada negara-negara mengenai hak atas pendidikan.
Negara memiliki beberapa kewajiban berkaitan dengan hak atas
pendidikan. Sesuai dengan pasal 2 ayat (2) dari Konvensi Ekosob, negara tetap
memiliki kewajiban segera dan umum menjamin hak atas pendidikan tanpa
diskriminasi apapun terlepas dari kendala pada sumber daya. Ketika korupsi
membatasi akses ke pendidikan, diskriminasi jelas terjadi karena akan ditampilkan
kemudian dalam pekerjaan ini.
Sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) dari Konvensi Ekosob, negara
juga memiliki kewajiban umum untuk mengambil langkah-langkah untuk secara
progresif mencapai realisasi penuh hak atas pendidikan. Ketika korupsi di sektor
pendidikan meluas dan sistematis, negara tampaknya tidak akan mengambil
langkah-langkah ke arah yang benar. Tapi yang paling penting, hak atas
pendidikan, seperti semua hak asasi manusia, membebankan pada negara tiga
95
kewajiban khusus: kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi.
Kewajiban untuk menghormati mengharuskan negara untuk menghindari
tindakan-tindakan yang menghambat atau mencegah pemenuhan hak atas
pendidikan. Negara harus mencegah penolakan akses ke pendidikan baik dalam
hukum dan praktek. Langsung atau tidak langsung biaya, seperti pungutan wajib
pada orang tua (kadang-kadang digambarkan sebagai sukarela, padahal
sebenarnya mereka tidak) merupakan disinsentif untuk menikmati hak atas
pendidikan. Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah mengidentifikasi
bahwa kegagalan untuk mengambil tindakan yang menangani diskriminasi
pendidikan secara de facto merupakan pelanggaran hak atas pendidikan. Jadi,
ketika seseorang meminta suap untuk mengakses pendidikan mereka, ada
diskriminasi de facto jelas dan negara tidak mematuhi kewajibannya untuk
menghormati penikmatan hak orang itu untuk pendidikan.
Kewajiban untuk melindungi membutuhkan negara untuk mengambil
langkah-langkah yang mencegah pihak ketiga untuk campur tangan dengan
pemenuhan hak atas pendidikan. Untuk tujuan ini, negara-negara harus
memerangi diskriminasi dalam akses pendidikan dan harus mempertahankan
standar pendidikan yang dapat diterima kualitas. Sebagian besar contoh di bawah
bagian ini adalah kasus di mana pihak ketiga ikut campur dalam pemenuhan hak
atas pendidikan, terutama berkaitan dengan akses dan kualitas pendidikan. Ketika
ini mengambil tempat, negara tidak mematuhi kewajiban mereka untuk
melindungi kenikmatan hak ini.
Kewajiban untuk memenuhi mengharuskan negara untuk mengambil
langkah-langkah positif yang memungkinkan dan membantu individu serta
96
masyarakat untuk menikmati hak atas pendidikan. Negara harus bekerja untuk
pendidikan gratis dan harus membuat fasilitas pendidikan dan bahan ajar tersedia
bagi warga negara mereka. Ketika penggelapan dana ditakdirkan untuk hasil
pendidikan di kurangnya fasilitas pendidikan dan bahan ajar, negara jelas tidak
mematuhi kewajibannya untuk memenuhi.
Seperti yang terlihat di bagian ini, praktek yang paling korup di sektor
pendidikan melanggar salah satu atau lebih dari unsur-unsur hak atas pendidikan
(ketersediaan, aksesibilitas, dapat diterima, dan kemampuan beradaptasi). Kasuskasus seperti bukti cara di mana korupsi melanggar secara langsung hak atas
pendidikan.
Di samping itu, korupsi juga melanggar hak-hak anak, sebagai kelompok
yang masih berusia sebagai peserta didik.127
Anak-anak, serta orang dewasa, memiliki hak asasi manusia sipil, politik
,ekonomi, sosial dan budaya. Dalam banyak hal hak-hak mereka mirip dengan hak
asasi manusia dewasa. Namun, karena status khusus mereka sebagai anak-anak
dan karena ketidakdewasaan fisik dan mental mereka, anak-anak membutuhkan
perlindungan khusus. Dengan demikian hak asasi manusia yang khusus untuk
anak-anak telah diidentifikasi terutama dalam Konvensi PBB Tahun 1989 tentang
Hak-hak Anak (Konvensi Hak Anak/KHA) dan Pasal 24 Konvensi Sipol Pasal 10
ayat (3) Konvensi Ekosob. Hak-hak anak banyak, seperti hak untuk didaftarkan,
nama dan diberi kewarganegaraan setelah kelahiran, hak untuk tidak dipisahkan
dari orang tua mereka, hak untuk terlibat dalam bermain dan kegiatan rekreasi,
atau hak untuk dilindungi dari pekerja anak.
127
Ibid, pp. 12-13.
97
Banyak hak-hak anak yang dibagi dengan orang dewasa, seperti hak untuk
hidup atau hak atas kesehatan, dapat dilanggar oleh korupsi dengan cara yang
sama seperti yang dilanggar berkaitan dengan orang dewasa, yang telah dianalisa
dalam pekerjaan ini. Namun, hak atas pendidikan sangat penting untuk anak-anak,
karena mereka adalah pemegang utama hak tersebut. Dengan demikian, seperti
yang dijelaskan secara lebih rinci dalam sectionon hak untuk pendidikan, korupsi
di sektor pendidikan sangat sering melanggar hak atas pendidikan anak-anak.
Selain itu, korupsi dapat mempengaruhi hak-hak tertentu lainnya yang
khusus untuk anak-anak. Tiga hak dapat diidentifikasi sebagai sangat dipengaruhi
oleh praktek-praktek korupsi : hak anak untuk dilindungi dalam prosedur adopsi,
hak anak untuk dilindungi dari perdagangan dan eksploitasi seksual, dan hak
untuk dilindungi dari pekerja anak.
Anak-anak memiliki hak atas perlindungan khusus dalam hal adopsi,
terutama dalam kasus-kasus adopsi antarnegara. Untuk tujuan ini, negara harus
memastikan bahwa adopsi seorang anak disahkan hanya oleh pejabat yang
berwenang mengikuti prosedur hukum dan mempertimbangkan kepentingan
terbaik anak. Selain itu, secara khusus diperlukan negara untuk mengambil
langkah-langkah untuk memastikan bahwa pengangkatan tidak menghasilkan
keuntungan finansial yang tidak tepat bagi mereka yang terlibat di dalamnya
(Pasal 21 d KHA). Namun, dalam banyak kasus antarnegara korupsi adopsi
merupakan bagian dari prosedur. Kadang-kadang, besar suap yang diberikan
kepada hakim dan panti asuhan untuk mempercepat proses adopsi, atau hakim
korup mungkin, misalnya, menerima dokumen palsu yang mengaku berisi
persetujuan dari orang tua kandung. Praktek korupsi seperti mencerminkan
98
bahwa, hak anak untuk dilindungi dalam proses adopsi dilanggar karena hasil
adopsi dalam bentuk keuntungan finansial bagi pihak-pihak yang terlibat dalam
prosedur, dan karena tidak mengikuti prosedur hukum, dan tidak mengambil atau
mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Semua ini adalah pelanggaran
langsung dari Pasal 21 dari Konvensi Hak Anak. Korupsi dalam adopsi di
antaranya juga dapat melanggar hak-hak lainnya dari anak, seperti hak atas
identitas. Setiap anak berhak untuk mempertahankan identitasnya, termasuk
kewarganegaraan, nama dan hubungan keluarga ( Pasal 8 KHA). Hak anak untuk
identitas secara implisit meliputi hak untuk kebenaran tentang sejarah sendiri.
Dalam kasus korupsi adopsi antarnegara, dalam rangka untuk menutupi jejak
prosedur ilegal, bukti garis keturunan keluarga anak-anak, akar etnis mereka, dan
sejarah medis mereka selamanya hilang, sehingga melanggar hak anak atas
identitas. Korupsi dalam adopsi antarnegara memfasilitasi komersialisasi anakanak dengan segala resiko dan penyalahgunaan yang ini berarti juga melanggar
beberapa HAM yang dimiliki anak-anak.
Korupsi merusak hak-hak anak juga hadir dalam kasus-kasus perdagangan
anak, khususnya untuk eksploitasi seksual. Anak-anak harus dilindungi dari
semua bentuk eksploitasi seksual dan kekerasan seksual (Pasal 34 KHA), dan dari
penculikan, penjualan, dan perdagangan (Pasal 35 KHA dan Protokol Opsional
Konvensi Hak Anak tentang Penjualan anak-anak, Pelacuran anak dan Pornografi
Anak ). Meskipun demikian, anak-anak sering menjadi korban kejahatan ini.
Dalam rangka melaksanakan perdagangan atau eksploitasi seksual terhadap anak,
penjahat umumnya mengambil bagian dalam korupsi, penyuapan. Misalnya,
pejabat pemerintah harus disuap sehingga penjahat disediakan dengan dokumen
99
yang diperlukan untuk menyeberang perbatasan, dan aparat penegak hukum harus
disuap sehingga mereka menutup mata untuk kegiatan ini. Ketika anak-anak tidak
dilindungi oleh negara terhadap praktek-praktek kriminal seperti ini, hak-hak anak
untuk dilindungi dari segala bentuk eksploitasi seksual dan pelecehan seksual, dan
dari penculikan, penjualan, dan perdagangan dilanggar. Korupsi adalah penting
untuk melakukan pelanggaran.
Situasi serupa terjadi mengenai pekerja anak. Anak-anak memiliki hak
untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari melakukan setiap pekerjaan
yang berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan mereka ( Pasal 32 KHA).
Anak di bawah usia yang ditentukan oleh hukum seharusnya tidak diperbolehkan
untuk bekerja. Di banyak negara, penegakan hukum terhadap pekerja anak masih
minim karena pengawas ketenagakerjaan dibeli melalui suap oleh majikan. Ketika
seorang anak bekerja di pabrik dan inspektur tenaga kerja yang seharusnya
menegakkan
hukum
dan
melindungi
anak-anak
memilih
untuk
tidak
melakukannya dalam pertukaran untuk suap dari majikan, negara gagal memenuhi
kewajibannya untuk melindungi anak. Akibatnya, hak anak untuk bebas dari
eksploitasi ekonomi dan tenaga kerja yang dilanggar .
Penyuapan dan korupsi merupakan elemen penting dalam rantai peristiwa
yang mengarah ke sana dan menopang pelanggaran-pelanggaran hak-hak anak.
Tanpa korupsi semua kegiatan ilegal, seperti penipuan adopsi antarnegara,
perdagangan anak, dan pekerja anak tidak bisa mendapatkan tempat.
100
Download