BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Menurut World Health Organization (WHO) ISPA yaitu Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu atau lebih bagian dari saluran napas mulai dari hidung (saluran bagian atas) hingga jaringan di dalam paru-paru (saluran bagian bawah) Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru (Alsagaff, 2008). Selain itu juga ada pendapat Saluran Pernapasan Akut yaitu Infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang, kantung-kantung menyerap oksigen menjadi berkurang sehingga sel-sel tubuh tidak bisa bekerja sehingga menyebabkan penyebaran infeksi keseluruh tubuh dan penderita meninggal (Misnadiarly, 2008) Sedangkan menurut (Suratun, 2008), Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah Infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung, dan paru - paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran diatas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan. Jadi disimpulkan bahwa ISPA adalah gejala akut akibat infeksi yang terjadi disetiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Universitas Sumatera Utara 2.1.1. Etiologi ISPA ISPA dapat disebabkan lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain dari streptococcus homolitikus, stafilococcus, pneumococcus, hemofilus influenza, Bordetella pertusis, dan korinobacterium difteri. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan mikosovarius (virus influenza, virus parainfluenza, dan virus campak), adenovirus, koronavirus, pikomavirus, mikoplasma, dan herves virus (Depkes, 2004). 2.1.2. Klasifikasi ISPA Menurut Misnadiarly (2008) Dalam penentuan derajat keparahan penyakit, dibedakan atas dua kelompok umur yaitu (1) kurang dari 2 bulan yaitu (a) Pneumonia berat, (b) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa), (2) dan umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun sebagai berikut (a) Bukan pneumonia adalah salah satu atau lebih gejala berikut, batuk pilek biasa (common cold) yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan penarikan dinding dada ke dalam, (b). Pneumonia Berat bila disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik nafas, (c) Pneumonia sedang bila disertai nafas cepat, untuk usia 2 bulan – 12 bulan > 50x/menit, usia 1 – 4 tahun > 40 x / menit. Sedangkan menurut (Depkes RI, 2004) Klasifikasi ISPA terbagi menjadi, (1) ISPA ringan dengan gejala batuk, pilek dan senak, (2) ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 39˚C dan bila bernafas mengeluarkan suara Universitas Sumatera Utara seperti mengorok, (3) ISPA berat apabila kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah 2.1.3. Faktor Resiko ISPA Adapun salah satu faktor resiko terjadinya ISPA adalah keadaan status gizi (Rahajoe dkk, 2012). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi, dibedakan atas gizi buruk, kurang, baik, dan lebih (Almatsier, 2009). Sedangkan menurut Suratun (2008), faktor resiko timbulnya ISPA terdiri dari (1) faktor demografi (jenis kelamin, usia, pendidikan), (2)Faktor Biologis ( status Gizi dan faktor rumah), (3) faktor polusi ( cerobong asap, kebiasaan merokok), (4) faktor timbulnya penyakit yaitu faktor lingkungan. 2.1.4. Pencegahan ISPA Menurut Depkes RI (2004), pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan cara : (1) Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik dengan harapan gizi yang baik maka akan menghindarkan dari penyakit terutama ISPA, (2) Imunisasi, dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh kita supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh virus / bakteri, (3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan dengan membuat ventilasi udara sehingga akan mengurangi polusi asap dapur / rokok yang ada didalam rumah, (4) mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA sehingga tidak terkontaminasi dengan penderita ISPA melalui udara yang tercemardan masuk kedalam tubuh. Universitas Sumatera Utara 2.1.5. Pengobatan ISPA Pengobatan ditujukan kepada pemberantasan mikroorganisme penyebabnya. Walaupun adakalanya tidak diperlukan antibiotikan jika penyebabnya adalah virus, sedangkan disisi lain ada kesulitan membedakan penyebab antara virus dan bakteri. Selain itu masi ada keterlibatan infeksi sekunder oleh bakteri. Oleh karena itu, antibiotika diberikan jika penderita telah ditetapkan sebagai pnemonia, ini sejalan dengan pedoman Depkes RI (Misnadiarly, 2010) 2.2. Hubungan Status Gizi Balita terhadap Terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Kekurangan gizi dapat terjadi dari tingkat ringan sampai dengan tingkat berat dan terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu yang cukup lama. Balita yang kurang gizi mempunyai risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang mempunyai status gizi yang baik (Andarini dkk, 2005). Duarte dan Bothelho (2000) menyebutkan salah satu faktor yang dapat menimbulkan terjadinya ISPA pada balita adalah status gizi, dimana status gizi yang kurang merupakan hal yang memudahkan proses terganggunya sistem hormonal dan pertahanan tubuh pada balita. Zat gizi yang diperoleh dari asupan makanan memiliki efek kuat untuk reaksi kekebalan tubuh dan resistensi terhadap infeksi Tupasi (2000) mendapatkan bahwa pada kondisi kurang energi protein (KEP), dapat menyebabkan ketahanan tubuh menurun dan virulensi patogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan yang Universitas Sumatera Utara terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah satu determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi (Rodriguez, 2011). Protein merupakan zat gizi yang sangat diperlukan bagi pembentukan enzim yang berperan dalan metabolisme tubuh, termasuk sitem imun. Antibodi globulin gamma yang biasanya disebut dengan imunoglobilin merupakan 20 % dari seluruh energi plasma. Semua immunoglobulin terdiri dari rantai polipeptida yang mengandung bermacam-macam asam amino-asam amino yang spesifik. Salah satu asam amino yang berperan dalam sistem imun adalah asam amino treonin yang memiliki kemampuan untuk mencegah masuknya virus dan bakteri terutama pada saluran nafas dan paru-paru. Yakni berupa sekresi lendir yang disebut glikoprotein dan immunoglobulin A. Pada penderita yang mengalami kekurangan asam amino treonin akan mengalami kemunduran sistem kekebalan tubuh. Kekurangan protein yang terjadi dapat menurunkan sistem imun yang pada akhirnya akan menyebabkan tubuh lebih mudah terpapar penyakit infeksi. Selain itu, kekurangan protein umumnya dapat juga berpengaruh terhadap metabolisme vitamin dan mineral yang berperan sebagai anti oksidan tidak dapat berperan secara maksimal, akibatnya baik flora normal maupun bakteri dari luar dapat dengan mudah berkembang dan virulensi nya meningkat, sehingga menyebabkan timbulnya gejala penyakit, termasuk infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) (Andarini dkk, 2005). Universitas Sumatera Utara 2.2.1. Metode Penilaian Status Gizi Balita Menurut (Rusilanty dkk, 2013) Metode penilaian status gizi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu : 1. Penilaian secara langsung yang terdiri dari : a. Penilaian Antropometri adalah berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas. Antropometri digunakan untuk melihat ketidak seimbangan pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. b. Penilaian Klinis adalah metode yang digunakan untuk menilai jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Survei ini dirancang untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik, yaitu tanda dan gejala atau riwayat penyakit. Berikut ini disampaikan cara mendeteksi masalah kurang gizi yang dideteksi melalui pemeriksaan klinis (Supariasa dkk, 2002). c. Penilaian Biokimiawi, pemeriksaan laboratorium dilakukan melalui pemeriksaan spesimen jaringan tubuh (darah, urin, tinja, hati dan otot). Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kekurangan gizi secara spesifik. d. Penilaian Biofisik dengan melihat kemampuan fungsi jaringan dan perubahan struktur yang bertujuan mengetahui situasi tertentu misalnya pada Universitas Sumatera Utara orang yang buta senja. Pemeriksaan ini dengan cara pemeriksaan radiologi (untuk penyakit riketsia, osteomalasia, sariawan, beri-beri, fluorosis). tes fungsi fisik (untuk mengukur kelainan buta senja akibat kurang vitamin A), tes sitologi (untuk menilai keadaan KEP berat). 2. Penilaian tidak langsung diantaranya adalah : a. Surve konsumsi makanan adalah untuk mengetahui kebiasaan makanan, gambaran tingkat kecukupan bahan makanan, dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan tujuan : menentukan tingkat kecukupan konsumsi pangan nasional dan kelompok, menentukan status kesehatan dan gizi keluarga dan individu, menentukan pedoman kecukupan makanan dan program pengadaan makanan, sebagai dasar perencanaan dan program pengembangan gizi,menentukan perundang-undangan yang berkenaan dengan makanan, kesehatan dan gizi masyarakat. b. Statistik vital dengan menganalisis data kesehatan seperti angka kematian, kesakitan, pelayanan kesehatan dan penyakit infeksi yang berhubungan dengan gizi. c. Faktor ekologi, Pengukuran status gizi didasarkan atas ketersediaan makanan yang dipengaruhi oleh iklim, tanah, irigasi dan sebagainya untuk mengetahui penyebab malnutrisi dimasyarakat. Universitas Sumatera Utara 2.2.2. Penilaian Status Gizi Berdasarkan Indeks Massa Tubuh Penilaian status gizi berdasarkan antropometri dapat diukur menggunakan parameter tunggal seperti umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak dibawah kulit. Pada umumnya penilaian status gizi menggunakan parameter gabungan seperti : berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U) (Supariasa, 2014 ). Sedangkan di Indonesia Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan kombinasi beberapa parameter disebut indeks antropometri yaitu untuk berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) , lingkar lengan atas (LILA) (Kepmenkes, 2010). Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks SK Menkes RI No 1995/Menkes/SK/XII/2010 (Sumber Kepmenkes, 2010) Tabel 2.1 Kategori Status Gizi Indeks Kategori status gizi Berat badan menurut umur (BB/U) Anak umur 0 – 60 bulan Panjang badan menurut (PB/U) atau Tinggi Badan menurut (TB/U) Anak umur 0-60 bulan Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih umur Sangat pendek Pendek umur Normal Tinggi Ambang batas (Z-skor) < -3 SD -3 SD s/d < -2 SD -2 SD s/d 2 SD >2 SD < -3 SD -3 SD s/d < -2 SD -2 SD s/d 2 SD >2 SD Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1 (Lanjutan) Indeks Kategori status gizi Berat badan menurut Panjang badan (BB/PB) Atau Berat badan menurut Tinggi badan (BB/TB) Anak umur 0 – 60 bulan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U) Anak umur 0 - 60 bulan Indeks Massa Tubuh Umur (IMT/U) Anak umur 5 – 18 tahun Sangat kurus Kurus Normal Gemukan Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Menurut Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas Ambang batas (Z-skor) < -3 SD -3 SD s/d < -2 SD -2 SD s/d 2 SD >2 SD < -3 SD -3 SD s/d < -2 SD -2 SD s/d 2 SD >2 SD < -3 SD -3 SD s/d < -2 SD -2 SD s/d 2 SD > 1 SD s/d 1 SD >2 SD 2.3. Hubungan Status Imunisasi terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Imunisasi adalah suatu proses untuk membuat sistem pertahanan tubuh kebal terhadap invasi mikroorganisme (bakteri dan virus) yang dapat menyebabkan infeksi sebelum mikroorganisme tersebut memiliki kecepatan untuk menyerang tubuh. Dengan imunisasi, tubuh akan terlindung dari infeksi, begitu pula orang lain karena tidak tertular dari seseorang. Oleh karena itu, imunisasi harus dilakukan untuk semua orang, terutama bayi dan anak sejak lahir, agar pada akhirnya nanti infeksi dapat musna dari muka bumi (Maryunani, 2010). Imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit, dengan memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan. Dengan memasukkan kuman atau bibit penyakit tersebut Universitas Sumatera Utara diharapkan tubuh dapat menghasilkan Eat Anti yang pada akhirnaya nanti digunakan tubuh untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang menyerang tubuh (BKKBN,2008) Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap antigen sehingga bila kelak terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit (Ranuh, 2005) Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal untuk mencapai kadar kekebalan diatas ambang per-lindungan. Imunisasi diberikan pada bayi antara umur 0-12 bulan, yang terdiri dari imunisasi BCG, DPT (1,2,3), Polio (1,2,3,4), Hepatitis B (1.2.3), dan campak (Pedoman penyelengaraan Imunisasi, 2005) Imunisasi yaitu usaha untuk meningkatkan kekebalan aktif seseorang terhadap suatu penyakit dalam memasukkan vaksin dalam tubuh bayi atau anak. Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal untuk mencapai kadar kekebalan diatas ambang perlindungan. Imunisasi dasar yaitu pemberian imunisasi BCG (1x), Hepatitis B (3x), DPT (3x), Polio (4x), dan campak (1x), sebelum bayi berusia I tahun (Depkes, 2005 dalam Lisnawati, 2013). Imunisasi lanjutan adalah imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat kekebalan diatas ambang perlindungan atau untuk memperpanjang masa perlindungan (Pedoman penyelenggaraan Imunisasi, 2005). 2.3.1. Tujuan Imunisasi Mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang. Menghilangkan penyakit tertentu pada populasi. Untuk memberikan kekebalan kepada bayi agar Universitas Sumatera Utara dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit. Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada bayi agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit. Secara umum tujuan imunisasi, antara lain: (1) Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular, (2) Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular, (3) Imunisasi menurunkan angka mobiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) pada balita 2.3.2. Manfaat Imunisasi Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular, imunisasi menurunkan angka mobiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) pada balita. Menurut (Proverawati, 2010), manfaat imunisasi yaitu (1) Untuk anak : mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan cacar atau kematian (2) Untuk keluarga : menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman (3) Untuk negara : memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara. 2.3.3. Tujuan Pemberian Imunisasi Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada bayi agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit. Secara umum tujuan imunisasi, antara lain: (a) Universitas Sumatera Utara Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular, (b) Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular, (c) Imunisasi menurunkan angka mobiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) pada balita. 2.3.4. Jenis-Jenis Imunisasi Menurut ( Andhini, 2010), Imunisasi telah dipersiapkan sedemikian rupa, agar tidak menimbulkan efek-efek yang merugikan. Imunisasi ada 2 macam, yaitu: 1. Imunisasi Wajib a. BCG Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan, vaksin ini mengandung bakteri bacillus calmette-guerrin hidup yang dilemahkan sebanyak 50.000-1.000.000 partikel/dosis. Biasanya reaksi yang ditimbulkan oleh imunisasi ini adalah setelah 4-6 minggu di tempat bekas suntikan akan timbul bisui kecil yang akan pecah, sebab hal ini merupakan reaksi yang normal namun jika bisul timbul pada kelenjar ketiak atau lipatan paha, sebaiknya anak segera dibawa kembali ke dokter. Sementara waktu untuk mengatasi pembengkakan, kompres bekas suntikan dengan cairan antiseptik. b. DPT (1). Difteri Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan gejala Demam tinggi, pembengkakan pada amandel Universitas Sumatera Utara (tonsil) dan terlihat selaput putih kotor yang makin lama makin membesar dan dapat menutup jalan napas. Racun difteri dapat merusak otot jantung yang dapat berakibat gagal jantung. Penularan umumnya melalui udara ( betuk / bersin ) selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontamiasi. Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu - dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas . (2). Petusis Penyakit Pertusis atau batuk rejan atau dikenal dengan " Batuk Seratus Hari" adalah penyakit infeksi saluran yang disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertusis. Gejalanya khas yaitu Batuk yang terus menerus sukar berhenti, muka menjadi merah atau kebiruan dan muntah kadang-kadang bercampur darah. Batuk diakhiri dengan tarikan napas panjang dan dalam berbunyi melengking. Penularan umumnya terjadi melalui udara (batuk / bersin). Pencegahan paling efektif adalah dengan melakukan imunisasi bersamaan dengan Tetanus dan Difteri sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang pentuntikan. Universitas Sumatera Utara (3). Tetanus Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi sistim urat syaraf dan otot. Dengan gejala tetanus umumnya diawali dengan kejang otot rahang (dikenal juga dengan trismus atau kejang mulut) bersamaan dengan timbulnya pembengkakan, rasa sakit dan kaku di otot leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan paha. Neonatal tetanus umumnya terjadi pada bayi yang baru lahir. Neonatal tetanus menyerang bayi yang baru lahir karena dilahirkan di tempat yang tidak bersih dan steril, terutama jika tali pusar terinfeksi. Neonatal tetanus dapat menyebabkan kematian pada bayi dan banyak terjadi di negara berkembang. Sedangkan di negara-negara maju, dimana kebersihan dan teknik melahirkan yang sudah maju tingkat kematian akibat infeksi tetanus dapat ditekan. Selain itu antibodi dari ibu kepada jabang bayinya yang berada di dalam kandungan juga dapat mencegah infeksi tersebut. Infeksi tetanus disebabkan oleh bakteri yang disebut dengan Clostridium tetani yang memproduksi toksin yang disebut dengan tetanospasmin. Tetanospasmin menempel pada urat syaraf di sekitar area luka dan dibawa ke sistem syaraf otak serta saraf tulang belakang, sehingga terjadi gangguan pada aktivitas normal urat syaraf. Terutama pada syaraf yang mengirim pesan ke otot. Infeksi tetanus terjadi karena luka. Entah karena terpotong, terbakar, aborsi, narkoba (misalnya memakai silet untuk memasukkan obat ke dalam kulit) Universitas Sumatera Utara maupun frosbite. Walaupun luka kecil bukan berarti bakteri tetanus tidak dapat hidup di sana. Sering kali orang lalai, padahal luka sekecil apapun dapat menjadi tempat berkembang biaknya bakteria tetanus. Periode inkubasi tetanus terjadi dalam waktu 3-14 hari dengan gejala yang mulai timbul di hari ketujuh. Dalam neonatal tetanus gejala mulai pada dua minggu pertama kehidupan seorang bayi. Walaupun tetanus merupakan penyakit berbahaya, jika cepat didiagnosa dan mendapat perawatan yang benar maka penderita dapat disembuhkan. Penyembuhan umumnya terjadi selama 4-6 minggu. Tetanus dapat dicegah dengan pemberian imunisasi sebagai bagian dari imunisasi DPT. Setelah lewat masa kanak-kanak imunisasi dapat terus dilanjutkan walaupun telah dewasa. Dianjurkan setiap interval 5 tahun : 25, 30, 35 dst. Untuk wanita hamil sebaiknya diimunisasi juga dan melahirkan di tempat yang terjaga kebersihannya. c. Hepatitis B Imunisasi Hepatitis B untuk mencegah penyakit yang disebabkan virus hepatitis B yang berakibat pada hati. Penyakit itu menuiar melaiui darah atau cairan tubuh yang lain dari orang yang terinfeksi. Vaksin ini diberikan 3 kali hingga usia 3-6 bulan. d. Polio Imunisasi polio memberikan kekebalan terhadap penyakit polio. Penyakit ini disebabkan virus, menyebar melalui tinja/kotoran orang yang terinfeksi. Anak yang terkena polio dapat menjadi lumpuh layuh. Vaksin polio ada dua jenis, Universitas Sumatera Utara yakni vaccine polio inactivated (IPV) dan vaccine polio oral (OPV). Vaksin ini diberikan pada bayi baru lahir, 2,4,6,18 bulan dan 5 tahun. e. Campak Campak adalah penyakit yang sangat menular vans-dapat disebabkan oleh sebuah virus yang bernama; virus campak. Penularan melalui udara ataupun kontak latip-sunp" dengan penderita. Gejala-gejalanya adalah demam, batuk pilek dan bercak-bercak merah pada permukaan kulit 3-5 hari setelah anak menderita demam. Bercak timbul dipipi bawah telinga yang kemudian menjalar ke muka, tubuh dan anggota tubuh lainnya. Komplikasi dari penyakit Campak ini adalah radang paru-paru, infeksi pada telinga, radang pada saraf, radang-pada sendi dan radang pada otak yang dapat kerusakan otak yang permanen (menetap) adalah dengan cara menjaga kesehatan kita dengan makanan yang sehat, berolah raga yang teratur dan istirahat yang cukup, dan paling efektif cara pencegahannya adalah dengan melakukan imunisasi, Pemberian Imunisasi akan menimbulkan kekebalan aktif dan bertujuan untuk melindungi terhadap penyakit campak hanya dengan sekali suntikan, dan diberikan pada usia anak sembilan bulan atau lebih 2. Jenis Imunisasi yang dianjurkan a. Hib Imunisasi Hib membantu mencegah infeksi oleh haemophilus influenza tipe b yang disebabkan oleh bakteri. Organisme ini bisa menyebabkan meningitis Universitas Sumatera Utara (radang selaput otak), pneumonia (radang paru) dan infeksi tenggorokan. Vaksin ini diberikan 4 kali pada usia 2,4,6 dan 15-18 bulan. b. Pneumokokus (PCV) Imunisasi ini untuk mencegah penyakit paru-paru dan radang otak. Imunisasi ini juga melindungi anak terhadap bakteri yang sering menyebabkan infeksi telinga dan radang tenggorokan. Bakteri ini juga dapat menyebabkan penyakit yang lebih serius, seperti meningitis dan radang paru. c. Vaksin Influensa yaitu diberikan setahun sekali sejak umur 6 bulan hingga dewasa. d. MMR MMR merupakan pengulangan vaksin campak, ditambah dengan Gondongan dan Rubela (Campak Jerman). Diberikan saat anak usia 15 bulan dan diulang saat anak berusia 6 tahun. e. Imunisasi Varisella Berfungsi memberikan perlindungan terhadap cacar air. Cacar air ditandai dengan ruam kulit yang membentuk lepuhan, komplikasinya infeksi kulit dan bisa infeksi di otak. Vaksin ini diberikan pada anak usia 1-13 tahun 1 kali dan lebih dari 13 tahun 2 kali f. Tifoid Imunisasi untuk mencegah Typus. Imunisasi ini dapat diulang setiap 3 tahun. Universitas Sumatera Utara g. Hepatitis A Imunisasi inidapat diberikan pada anak usia di atas 2 tahun.Imunisasi diberikan pada daerah kurang terpajan, pada anak umur > 2 tahun. Imunisasi dasar 3x pada bulan ke 0, 1, dan 6 bulan kemudian. Dosis vaksin (Harvixinactivated virus strain HM 175) 0,5 ml secara IM di daerah deltoid. Reaksi yag terjadi minimal kadang demam, lesu, lelah, mual-muntah dan hialng nafsu makan. h. Imunisasi Typus, vaksin ini tersedia dalam 2 jenis yaitu : (1). Suntikan dan Oral. 2.3.6. Faktor yang Mempengaruhi Imunisasi Menurut Marimbi (2010), faktor yang mempengaruhi imunisasi yaitu : 1. Status Imun Penjamu yaitu (a) Adanya Ab spesifik pada penjamu keberhasilan vaksinasi, seperti campak pada bayi, kolustrum ASI — IgA polio, (b) Maturasi imunologik seperti neonatus fungsi makrofag, kadar komplemen, aktifasi optonin, (c) Pembentukan Ab spesifik terhadap Ag kurang, sehingga hasil vaksinasi ditunda sampai umur 2 bulan, (d) Cakupan imunisasi semaksimal mungkin agar anak kebal secara simultan, bayi diimunisasikan (e) Status imunologik (seperti defisiensi imun) respon terhadap vaksin kurang. 2. Genetik Secara genetik respon imun manusia terhadap Ag tertentu baik, cukup, rendah keberhasilan vaksinasi tidak 100% Universitas Sumatera Utara 3. Kualitas vaksin Kualitas Vaksinasi tergantung pada : (a) Cara pemberian, misalnya polio oral, imunitas lokal dan sistemik. (b) Dosis vaksin yaitu : (1) tinggi menghambat respon, menimbulkan efek samping, (2) rendah tidak merangsang sel imunokompeten. (c) Frekuensi Pemberian yaitu : respon imun sekunder sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya, afinitas lebih tinggi. Sehingga frekuensi pemberian mempengaruhi respon imun yang terjadi . Bila vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar Ab spesifik masih tinggi Ag dinetralkan oleh Ab spesifik tidak merangsang sel imunokompeten. (d) Ajuvan yaitu : zat yang meningkatkan respon imun terhadap Ag mempertahankan Ag tidak cepat hilang mengaktifkan sel imunokompeten. 2.3.7. Hal-hal yang Dapat merusak Vaksin dan Komposisi Vaksin Menurut (Marimbi, 2010), hal-hal yang dapat merusak vaksin dan komposisi vaksin yaitu : panas dapat merusak semua vaksin, sinar matahari dapat merusak BCG, pembekuan toxoid, desinfeksi/antiseptik dengan sabun. 2.3.8. Jadwal Pemberian Imunisasi Jadwal imunisasi adalah informasi mengenai kapan suatu jenis vaksinasi atau imunisasi harus diberikan kepada anak. Jadwal imunisasi suatu negara dapat saja berbeda dengan negara lain tergantung kepada lembaga kesehatan yang .berwewenang mengeluarkannya. Berikut ini adalah jadwal imunisasi anak rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Periode 2004 (revisi September 2003): Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2 Jadwal Pemberian Imunisasi Umur Hepatitis Keterangan Saat lahir Hepatitis B-1 1 bulan Hepatitis B-2 0-2 bulan BCG 2 bulan DPT-1 HB-1 diberikan dalam waktu 12 jam setelah bayi lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan Hb-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan BCG dapat diberikan sejak lahir. Apabila BCG akan diberikan pada umur > 3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkolosis terlebih dahulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif DPT-1 diberikan pada umur lebih dari 6 minggu. DPT-1 diberikan bersamaan dengan Hib-1 Hib-1 diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib-1 bisa diberikan secara terpisah atau dikombinasi dengan DPT-1 Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DPT-1 DPT-2 dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasi dengan Hib-2 Hib-2 dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasi dengan DPT-2 Polio-2 dapat diberikan bersamaan dengan DPT-2 DPT-2 dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasi dengan Hib-3 Apabila menggunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan tidak perlu diberikan Polio-3 diberikan bersamaan dengan DPT-3 HB-3 diberikan umur 6 bulan, untuk mendapatkan imun optimal, interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan Campak pertama diberikan pada umur 9 bulan, campak-2 merupakan program BIAS pada SD kelas 1, umur 6 tahun. Apabila telah mendapatkan MMR pada umur 15 bulan, campak-2 tidak perlu diberikan. Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bulan Hib-4 diberikan pada umur 15 bulan (PRP-T atau PRP-OMP) DPT-4 diberikan 1 tahun setelah DPT-3 Polio-4 diberikan bersamaan dengan DPT-4 Hib-1 4 bulan Polio -1 DPT-2 Hib-2 6 bulan Polio -2 DPT-3 Hib-3 Polio -3 Hepatitis B-3 9 bulan Campak-1 15-18 bulan MMR Hib-4 18 bulan DPT-4 Polio-4 Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2 (Lanjutan) Umur Hepatitis 2 tahun Hepatitis A 2-3 tahun Tifoid 5 tahun 6 Tahun DPT-5 Polio-5 MMR 10 Tahun Dt/tt Varisela 2.4. Keterangan Vaksin HepA direkomendasikan pada umur > 2 tahun, diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan Vaksin hepatitis dierkomendasikan pada umur > 2 tahun, diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan DPT-5 dibberikan pada umur (DPTw/Dtap) Polio-5 diberikan bersamaan dengan DPPT-5 Diberikan pubertas, vaksin tetanus ke-5 (dt atau TT) diberikan untuk mendapatkan MMR-1 Menjelang pubertas, vaksin tetanus ke-5 (Dt atau TT) diberikan untuk mendapatkan imunitas selama 25 tahun Vaksin varisela diberikan pada umur 10 tahun Landasah Teori Menurut World Health Organization (WHO) ISPA yaitu Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu atau lebih bagian dari saluran napas mulai dari hidung (saluran bagian atas) hingga jaringan di dalam paru-paru (saluran bagian bawah). Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru (Alsagaff, 2008). Sedangkan menurut (Depkes RI, 2004) Klasifikasi ISPA terbagi menjadi, (1) ISPA ringan dengan gejala batuk, pilek dan senak, (2) ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 39˚C dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok, (3) ISPA berat apabila kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah. Universitas Sumatera Utara Sedangkan menurut (Suratun, 2008), faktor resiko timbulnya ISPA terdiri dari (1) faktor demografi (jenis kelamin, usia, pendidikan), (2)Faktor Biologis (status Gizi dan faktor rumah), (3) faktor polusi (cerobong asap, kebiasaan merokok), (4) faktor timbulnya penyakit yaitu faktor lingkungan. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan kombinasi beberapa parameter disebut indeks antropometri yaitu untuk berat badan (BB) dan tinggi badan (TB), lingkar lengan atas (LILA) (Kemenkes, 2010). Menurut Depkes RI (2004), pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan cara : (1) Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik dengan harapan gizi yang baik maka akan menghindarkan dari penyakit terutama ISPA, (2) Imunisasi, dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh kita supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh virus / bakteri, (3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan dengan membuat ventilasi udara sehingga akan mengurangi polusi asap dapur / rokok yang ada didalam rumah, (4) mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA sehingga tidak terkontaminasi dengan penderita ISPA melalui udara yang tercemar dan masuk kedalam tubuh. Sehingga dapat digambarkan kerangkanya sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara Faktor resiko timbulnya ISPA 1. 2. Faktor Demografi : a. Jenis kelamin b. Umur c. Pendidikan Faktor Biologi : a. Status Gizi b. Faktor Rumah a. Faktor lingkungan : Cerobong asap / pabrik / Rumah tangga b. Kebiasaan merokok Kejadian ISPA pada Balita Pencegahan ISPA : 1. Menjaga Status Gizi 2. Imunisasi 3. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan 4. Menjaga anak berhubungan dengan penderita ISPA Gambar 2.1. Kerangka Teori Sumber : Suratun (2008) Universitas Sumatera Utara 2.5. Kerangka Konsep Menurut Notoatmodjo (2010), Kerangka konseptual adalah merupakan justifikasi ilmiah terhadap penelitian yang dilakukan dengan memberikan landasan kuat terhadap topik yang dipilih sesuai dengan identifikasi masalah, kerangka hubungan antar variabel yang ingin diamati dan diukur melalui penelitian yang telah dilakukan. Variabel independen dalam penelitian ini adalah status gizi dan status imunisasi balita, sedangkan variabel dependen adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Secara skematis, kerangka penelitian dapat digambarkan sebagai berikut : Variabel Independen Status Gizi Balita 1. Kurang Baik 2. Baik Variabel Dependen Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Status Imunisasi Balita 1. Tidak Lengkap 2. lengkap 1. ISPA 2. Tidak ISPA Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Universitas Sumatera Utara