9 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Sikap Sosial a

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Sikap Sosial
a. Pengertian Sikap
Dalam arti sempit sikap adalah pandangan atau kecenderungan
mental. Menurut Bruno dalam Muhibbin, (2010:118), sikap (attitude)
adalah kecenderungan yang relative menetap untuk bereaksi dengan cara
baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu. Dengan demikian
pada prinsipnya sikap itu dapat kita anggap sebagai siswa untuk bertindak
dengan cara tertentu. Dalam hal ini, perwujudan perilaku belajar siswa
akan ditandai dengan munculnya kecenderungan-kecenderungan baru
yang telah berubah (lebih maju dan lugas) terhadap suatu obyek, tata nilai,
peristiwa dan sebagainya.
Sikap adalah organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai
objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu,
dan memberikan dasar pada orang tersebut untuk membuat respons atau
berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya (Walgito, 2001).
Secara umum, pengertian sikap adalah perasaan, pikiran, dan
kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenal
aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Komponen-komponen sikap
adalah pengetahuan, perasaan-perasaan, dan kecenderungan untuk
bertindak. Dalam pengertian yang lain, sikap adalah kecondongan
evaluatif terhadap suatu objek atau subjek yang memiliki konsekuensi
yakni bagaimana seseorang berhadap-hadapan dengan objek sikap.
Tekanannya pada kebanyakan penelitian dewasa ini adalah perasaan atau
emosi. Sikap yang terdapat pada diri individu akan memberi warna atau
corak tingkah laku ataupun perbuatan individu yang bersangkutan.
Dengan memahami atau mengetahui sikap individu, dapat diperkirakan
9
10
respons ataupun perilaku yang akan diambil oleh individu yang
bersangkutan.
b. Pengertian Sikap Sosial
Sikap sosial adalah sikap yang ada pada kelompok orang yang
ditunjukkan pada suatu objek yang menjadi perhatian seluruh anggota
kelompok tersebut.Contohnya, bangsa Indonesia mempunyai sikap positif
terhadap bendera merah putih dan lain-lain. Objek ini bisa berupa benda,
kelompok orang,nilai-nilai sosial, pandangan hidup, hukum, lembaga
masyarakat dan sebagainya (Sarwono, 2010: 202-203).
Sikap sosial ini berkaitan dengan konsep dari kecerdasan sosial
yang mengartikan bahwa arti kemampuan memahami dan mengelola
orang lain, sebagai keterampilan yang dibutuhkan umat manusia untuk
hidup dengan baik di dunia (Goleman, 2007:15).
Sikap sosial secara umum adalah kemampuan individu memahami
perasaan orang lain disertai dengan kecenderungan perilaku/tindakan yang
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan sosial yang individu alami untuk
hidup yang baik antar sesama manusia. Para ilmuwan sosial menyelidiki
keyakinan dan perilaku orang dalam usahanya untuk menarik kesimpulankesimpulan mengenai keadaan mental dan proses mental. Sikap tidak
dapat diobservasi atau diukur secara langsung. Keberadaannya harus
ditarik kesimpulan dari hasil-hasilnya
2. Hasil Belajar
a. Pengertian Belajar
Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata
mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk
informasi atau matei pelajaran. Orang yang beranggapan demikian
biasanya akan segera merasa bangga ketika anak-anaknya telah mampu
menyebutkan kembali secara lisan sebagian besar informasi yang terdapat
dalam buku teks atau yang diajarkan oleh guru. Di samping itu, ada pula
11
sebagian orang yang memandang belajar sebagai pelatihan seperti yang
tampak pada pelatihan membaca dan menulis. Berdasarkan persepsi
semacam ini, biasanya mereka akan merasa cukup puas bila anak-anak
mereka telah mampu memperlihatkan keterampilan jasmaniah tertentu
walaupun tanpa pengetahuan mengenai arti, hakikat, dan tujuan
keterampilan tersebut. Untuk menghindari berbagai macam persepsi
tersebut, maka perlunya mengetahui definisi belajar dari para ahli.
Hintzman dalam bukunya The Psycology of Learning and Memory
berpendapat Learning is a change in organism due to experience which
can effect the organism’s behavior. Artinya, belajar adalah suatu
perubahan yang terjadi dalam diri organisme (manusia atau hewan)
disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku
organisme tersebut. Jadi, dalam pandangan Hintzman, perubahan yang
ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar
apabila mempengaruhi organisme.
Dalam penjelasan lanjutannya, pakar psikologi belajar itu
menambahkan bahwa pengalaman hidup sehari-hari dalam bentuk apa
pun sangat memungkinkan untuk diartikan sebagai belajar. Sebab, sampai
batas tertentu, pengalaman hidup juga berpengaruh besar terhadap
pembentukan kepribadian organisme yang bersangkutan. Mungkin, inilah
dasar pemikiran yang mengilhami gagasan everyday learning (belajar
sehari-hari) yang dipopulerkan oleh professor John B. Biggs (Muhibbin,
2010:88-89).
Biggs dalam pendahuluan Teaching for Learning mendefinisikan
belajar dalam tiga macam rumusan, yaitu: rumusan kuantitatif, rumusan
institusional dan rumusan kualitatif. Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut
jumlah),
belajar
berarti
kegiatan
pengisian
atau
pengembangan
kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar
dalam hal ini dipandang dari sudut banyaknya materi yang dikuasai
12
siswa. Secara institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang
sebagai proses “validasi” atau pengabsahan terhadap penguasaan siswa
atas materi-materi yang telah ia pelajari. Bukti institusional yang
menunjukkan siswa telah belajar dapat diketahui sesuai proses mengajar.
Ukurannya, semakin baik mutu guru mengajar akan semakin baik pula
mutu perolehan siswa yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor.
Sedangkan pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan mutu) ialah
proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara
menafsirkan dunia sekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini
difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas
untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa.
Bertolak dari berbagai definisi yang telah diutarakan tadi, secara
umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah
laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi
dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif (Muhibbin, 2010:90).
Ada empat tahapan belajar manusia, yaitu:
1) Inkompetensi bawah sadar, yaitu tidak sadar bahwa ia tidak tahu.
Dalam arti kondisi di saat kita tidak mengetahui kalau ternyata
kita tidak tahu.Contohnya adalah keadaan pikiran banyak pengemudi
muda saat mulai belajar mengemudi.Itulah mengapa pengemudi muda
mengalami lebih banyak kecelakaan ketimbang pengemudi yang lebih
tua dan berpengalaman. Mereka tidak dapat (atau tidak mau)
mengakui terbatasnya pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman
mereka. Orang-orang yang berada dalam keadaan ini kemungkinan
besar akan mengambil risiko, memapar diri pada bahaya atau
kerugian, untuk alasan sederhana yang sama sekali tidak mereka sadari
bahwa itulah yang mereka lakukan.
13
2) Inkompetensi sadar, yaitu sadar bahwa ia tidak tahu.
Hal ini mengandung arti pengakuan sadar pada diri sendiri
bahwa kita tidak tahu, dan penerimaan penuh atas ketidaktahuan kita.
3) Kompetensi sadar, yaitu sadar bahwa ia tahu.
Sadar bahwa kita tahu, yaitu ketika kita mulai memiliki
keahlian atas sebuah subjek, tetapi tindakan kita belum berjalan
otomatis.Pada belajar yang ini, kita harus melaksanakan semua
tindakan dalam level sadar. Saat belajar mengemudi, misalnya, kita
harus secara sadar tahu di mana tangan dan kaki kita, berpikir dalam
setiap pengambilan keputusan apakah akan menginjak rem, berbelok,
atau ganti gigi. Saat kita melakukannya, kita berpikir dengan sadar
tentang bagaimana melakukannya.Pada tahap ini, reaksi kita jauh lebih
lamban ketimbang reaksi para pakar.
4) Kompetensi bawah sadar, yaitu tidak sadar bahwa ia tahu.
Tahapan seorang ahli yang sekadar melakukannya, dan bahkan
mungkin tidak tahu bagaimana ia melakukannya secara terperinci. Ia
tahu apa yang ia lakukan, dengan kata lain, ada sesuatu yang ia
lakukan di hidup ini yang bagi orang lain tampak penuh risiko tetapi
bagi dia bebas risiko. Ini terjadi karena ia telah membangun
pengalaman dan mencapai kompetensi bawah sadar pada aktivitas itu
selama beberapa tahun. Ia tahu apa yang ia lakukan, dan ia juga tahu
apa yang tidak dapat ia lakukan. Bagi seseorang yang tidak memiliki
pengetahuan dan pengalamannya, apa yang ia lakukan tampak penuh
risiko.
b. Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah hasil yang dicapai dalam bentuk angka-angka
atau skor setelah diberikan tes hasil belajar pada setiap akhir
pembelajaran. Nilai yang diperoleh siswa menjadi acuan untuk melihat
14
penguasaan siswa dalam menerima materi pelajaran (Dimyati dan
Mudjiono,2006).
Benjamin S. Bloom (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 26-27)
menyebutkan enam jenis perilaku ranah kognitif, sebagai berikut.
1) Pengetahuan, mencapai kemampuan ingatan tentang hal yang telah
dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaan
dengan fakta, peristiwa, pengertian kaidah, teori, prinsip, atau metode.
2) Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna
tentang hal yang dipelajari.
3) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dan kaidah
untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru. Misalnya,
menggunakan prinsip.
4) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam
bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan
baik. Misalnya mengurangi masalah menjadi bagian yang telah kecil.
5) Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru. Misalnya
kemampuan menyusun suatu program.
6) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang
beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu. misalnya, kemampuan
menilai hasil ulangan.
Hasil belajar dapat dilihat melalui kegiatan evaluasi yang
bertujuan
untuk
mendapatkan
data
pembuktian
yang
akan
menunjukkan tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Hasil belajar yang diteliti dalam penelitian ini adalah
hasil belajar kognitif IPS yang mencakup tiga tingkatan yaitu
pengetahuan, pemahaman, dan penerapan.Instrumen yang digunakan
untuk mengukur hasil belajar siswa pada aspek kognitif adalah tes.
Hasil belajar sebagai salah satu indikator pencapaian tujuan
pembelajaran di kelas tidak terlepas dari faktor-faktor yang
15
mempengaruhi hasil belajar itu sendiri.Sugihartono, dkk. (2007: 7677), menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar,
sebagai berikut:
a) Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang
sedang belajar. Faktor internal meliputi: faktor jasmaniah dan
faktor psikologis.
b) Faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu. Faktor
eksternal meliputi: faktor keluarga, faktor sekolah, dan factor
masyarakat.
3. Pembelajaran Sejarah
a. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran dapat diartikan sebagai proses kerja sama antara
guru dan siswa dalam memnfaatkan segala potensi dan sumber yang ada,
baik potensi yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti
minat, bakat dan kemampuan dasar yang dimiliki, termasuk gaya belajar
maupun potensi yang ada di luar diri siswa seperti lingkungan, sarana dan
sumber belajar sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu.
Sebagai suatu proses kerja sama, pembelajaran tidak hanya menitik
beratkan pada kegiatan guru atau kegiatan siswa saja, tetapi guru dan
siswa secara bersama-sama berusaha mnecapai tujuan pembelajran yang
telah ditentukan. Dengan demikian, kesadaran dan pemahaman guru dan
siswa akan tujuan yang harus dicapai dalam proses pembelajaran
merupakan syarat mutlak yang tidak bisa ditawar sehingga dalam
prosesnya, guru dan siswa mengarah pada tujuan yang sama.
Dalam Undang- Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 20 dinyatakan bahwa Pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar.
16
Konsep pembelajaran menurut Corey (Syaiful Sagala, 2011:61)
adalah
suatu
proses
dimana
lingkungan
seseorang
secara
disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah
laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons
terhadap
situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari
pendidikan. Pembelajaran
mengandung
arti
setiap
kegiatan
yang
dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan
nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk
mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi
kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang akademisnya, latar
belakang ekonominya, dan lain
sebagainya. Kesiapan
guru
untuk
mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran merupakan modal
utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya
pelaksanaan pembelajaran.
Menurut Isjoni (2007 : 11) mengatakan bahwa pembelajaran
adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur - unsur manusiawi,
material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi
mencapai tujuan pembelajaran.
b. Pengertian Pembelajaran Sejarah
Kata sejarah berasal dari “Syajarah” yakni berasal dari bahasa
Arab yang berarti pohon.Kata ini masuk ke Indonesia sesudah terjadi
akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Islam. Selain
itu, kata sejarah juga berasal dari bahasa Inggris yakni history yang artinya
masa lampau umat manusia ( Rustam E.Tamburaka, 2002 : 2 ).
Sejarah adalah perisitiwa atau kejadian masa lalu berdasarkan hasil
penelitian yang ditulis atau disusun secara objektif dan sistematis untuk
diambil pelajaran atau hikmah dari kejadian tersebut.
Pembelajaran sejarah memiliki peran mengaktualisasikan dua
unsur pembelajaran dan pendidikan. Unsur pertama adalah pembelajaran
17
(instruction) dan pendidikan intelektual (intellectual traming), dan unsur
kedua adalah pembelajaran dan pendidikan moral bangsa dan civil society
yang demokratis dan bertanggung jawab kepada masa depan bangsa.
Unsur pembelajaran (instruction) dan pendidikan intelektual (intellectual
training) pada pembelajaran sejarah tidak hanya memberikan gambaran
masa lampau, tetapi juga memberikan latihan berpikir kritis, menarik
kesimpulan, menarik makna dan nilai dari peristiwa sejarah yang
dipelajari. Latihan berpikir kritis dilakukan dengan pendekatan analitis,
salah satunya melalui pertanyaan "mengapa" (why) dan "bagaimana"
(how) dapat melatih siswa berpikir kritis dan analitis, berbeda dengan
bentuk pertanyaan "siapa" (who), "apa" (what),"dimana" (where), dan
"kapan" (when).
Siswa
dalam
pembelajaran
sejarah
mendapat
informasi
kesejarahan dari guru yang berhubungan dengan ciri peristiwa sejarah,
yaitu : what, when, who, where,why, dan how. Imaginasi diperlukan siswa,
karena siswa diajak oleh guru memahami suatu peristiwa yang teijadi pada
masa lampau. Peristiwa masa lampau sebagai peristiwa sejarah tersebut
dari segi waktu adalah peristiwa yang sudah lama terjadi dan wujudnya
hanya berupa rekonstruksi sumber-sumber masa lalu, tempatnya dan
pelaku dalam peristiwa tersebut tidak dikenal serta sudah tidak dapat
dihubungi. Gambaran peristiwa sejarah yang diterima siswa selanjutnya
dihapalkan, dihayati,dan diamalkan. Permasalahan timbul sehubungan
dengan keterampilan pembelajaran yang diperlukan, agar gambaran
sejarah tersebut dapat dipahami dan dapat digambarkan oleh siswa dengan
benar.
Pembelajaran sejarah di sekolah merupakan salah satu wahana
mencapai
tujuan
pendidikan
nasional,
terutama
sebagai
upaya
menumbuhkan dan mengembangkan rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan peserta didik (Wiriaatmadja, 1998: 93). Pengetahuan
18
peserta didik tentang sejarah diharapkan dapat menumbuhkan kemampuan
dan kearifan dalam menghadapi kehidupan masa kini. Kesadaran akan
kebangsaannya dapat menumbuhkan kepribadian yang tegar,karena
pengenalan jati dirinya akan menumbuhkan kemauan dan kesediaan
bekerja keras bagi diri dan bangsanya.
4. Nilai-nilai Demokrasi
a. Pengertian Nilai-nilai
Menurut Baier (Mulyana, 2004: 8) nilai sering kali dirumuskan
dalam konsep yang berbeda-beda, hal tersebut disebabkan oleh sudut
pandangnya yang berbeda-beda pula. Contohnya seorang sosiolog
mendefinisikan nilai sebagai suatu keinginan, kebutuhan, dan kesenangan
seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Seorang
psikolog akan menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku
yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, motif, sikap,
kebutuhan dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada
tahap wujud tingkah lakunya yang unik. Sementara itu, seorang
antropolog melihat nilai sebagai “harga “ yang melekat pada pola budaya
masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, hukum dan
bentuk-bentuk organisasi sosial yang dikembangkan manusia. Perbedaan
pandangan mereka dalam memahami nilai telah berimplikasi pada
perumusan definisi nilai. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi nilai
yang masing-masing memiliki tekanan yang berbeda.
Allport (Mulyana, 2004: 9) mendefinisikan nilai sebagai sebuah
keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya.
Sebagai seorang ahli psikologi kepribadian, Allport menyatakan bahwa
nilai terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan. Keyakinan
merupakan wilayah psikologis tertinggi dari wilayah lainnya seperti
hasrat, motif, sikap, keinginan dan kebutuhan. Oleh karenanya, keputusan
benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah pada wilayah ini merupakan
19
hasil dari sebuah rentetan proses psikologis yang kemudian mengarahkan
individu pada tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya.
Kupperman (Mulyana, 2004: 9) menafsirkan nilai sebagai patokan
normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di
antara cara-cara tindakan alternatif. Ia memberi penekanan pada norma
sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Sebagai
seorang sosiolog, Kupperman memandang norma sebagai salah satu
bagian terpenting dari kehidupan sosial. Oleh karena itu, salah satu bagian
terpenting dalam proses pertimbangan nilai (value judgement) adalah
pelibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat.
Kluckhohn mendefinisikan nilai sebagai konsepsi (tersirat atau
tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari
apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan
antara dan tujuan akhir tindakan. Menurut Brameld, pandangan Kulchohn
tersebut memiliki banyak implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya
dan sesuatu itu dipandang bernilai apabila dipersepsi sebagai sesuatu yang
diinginkan. Makanan, uang, rumah, memiliki nilai karena memiliki
persepsi sebagai sesuatu yang baik dan keinginan untuk memperolehnya
memiliki mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang. Namun tidak
hanya materi yang memiliki nilai, gagasan dan konsep juga dapat menjadi
nilai, seperti: kejujuran, kebenaran dan keadilan. Kejujuran misalnya, akan
menjadi sebuah nilai bagi seseorang apabila ia memiliki komitmen yang
dalam terhadap nilai itu yang tercermin dalam pola pikir, tingkah laku dan
sikap.
Sementara itu, Mulyana (2004: 11) menyederhanakan definisi nilai
sebagai suatu rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan.
Menurutnya, definisi ini dapat mewakili definisi-definisi yang dipaparkan
di atas, walaupun ciri-ciri spesifik seperti norma, keyakinan, cara, tujuan,
sifat dan ciri-ciri nilai tidak diungkapkan secara eksplisit.
20
b. Pengertian Demokrasi
Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu
demos yang berarti rakyat dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan.
Dengan demikian, demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat.
Sebagaimana diungkapkan oleh Giddens (1994) dalam Hasyim dan
Hartono (2009:25), demokrasi mengandung makna suatu sistem politik
dimana rakyat memegang kekuasaan tertinggi, bukan raja atau kaum
bangsawan.
Dari sudut terminologi, banyak sekali definisi demokrasi yang
dikemukakan oleh beberapa ahli politik. Masing-masing memberikan
definisi dari sudut pandang yang berbeda. Menurut Harris Soche
(Winarno, 2010:91) demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat,
karena itu kekuasaan pemerintahan itu melekat pada diri rakyat, diri
orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk
mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan
pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk memerintah.
Sedangkan menurut Henry B Mayo (Winarno, 2010:91) sistem politik
demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan umum
ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara
efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan
atas prinsip kesamaan politik dan diselengggarakan dalam suasana
terjaminnya kebebasan politik.
Ada satu pengertian mengenai demokrasi yang dianggap paling
populer di antara pengertian yang ada. Pengertian tersebut dikemukakan
pada tahun 1863 oleh Abraham Lincoln yang mengatakan demokrasi
adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat
(government of the people, by the people and for the people) (Winarno,
2010:92)
21
Konsep demokrasi berasal dari tradisi pemikiran Yunani Kuno
yang dipraktikkan antara abad ke-6 SM sampai dengan abad ke-4 M,
Demokrasi pada masa itu berbentuk demokrasi langsung yang
dipraktekkan dalam suatu polis (Negara kota). Rakyat membuat
keputusan politik yang dijalankan langsung oleh seluruh warga Negara
berdasarkan prosedur mayoritas.
Pada tahun 508 SM, seorang bernama Chleisthenes mengadakan
pembaharuan dalam sistem pemerintahan kota Athena.Chleisthenes
membagi warga Negara Athena ke dalam 10 suku yang masing-masing
terdiri atas demes. Setiap demes mengirimkan wakilnya ke dalam Majelis
500 orang wakil. Majelis 500 harus mengambil keputusan mengenai
semua masalah yang menyangkut kehidupan kota dan daerah Athena.
Keanggotaan di dalamnya dibatasi satu tahun dan seseorang hanya diberi
kesempatan dua kali selam hidupnya untuk menduduki majelis tersebut.
Bentuk pemerintahan baru tersebut kemudian dinamakan demokratia atau
“pemerintahan (oleh) rakyat”. Sistem ini banyak diambil alih oleh banyak
polis Yunani yang lain.
Demokrasi membuka banyak alternatif bagi warga negara,
sehingga mereka memiliki kebebasan untuk berkelompok, termasuk
membentuk partai baru maupun memberikan dukungan kepada siapapun
sesuai dengan kepentingan warga negara. Melalui demokrasi, dapat
membangun
kondisi
agar
pendapatnya.
Kebebasan
setiap
dalam
warga
demokrasi
mampu
menyuarakan
sesumgguhnya
bukan
merupakan kebebasan yang mutlak, melainkan kebebasan yang memiliki
koridor dan batasan, termasuk kebebasan yang dimiliki orang lain
(Majelis Dikti Litbang 2007:81).
Pericles, seorang negarawan ternama dari Athena, pada tahun 431
SM mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa kriteria,
yaitu (1) pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh
22
dan langsung, (2) kesamaan di depan hukum, (3) pluralisme, yaitu
penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan dan pandangan dan (4)
penghargaan terhadap pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi
dan mengekspresikan kepribadian individual (Hasyim dan Hartono
2009:25).
Demokrasi Indonesia bertujuan memelihara kesatuan masyarakat,
anti hidup berpartai-partai, pro hidup rukun dan damai, berpendirian,
sama tinggi sama rendah, serta semalu sepenanggungan, serugi selaba,
ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, yang tua dihormati, yang kecil
disayangi, hidup tenggang-menenggang, hormat menghormati, bukan
tunggang menunggang tekan menekan tetapi saling tolong menolong dan
bergotong royong (Hazairin, 1985:39).
Demokrasi mengandung arti bahwa masing-masing individu
memilik hak untuk mengemukakan pendapat, menghargai adanya
perbedaan pendapat, saling tolong menolong dan menghormati antar
sesama individu demi terciptanya kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia.
c. Pengertian Nilai-nilai Demokrasi
Gerakan demokrasi di Indonesia menjadi semakin luas jangkauan
dan semakin tinggi intensitasnya semenjak reformasi. Reformasi
menghendaki perubahan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Cita-cita reformasi ingin membangun Indonesia Baru dengan
cara merombak tatanan kehidupan yang dibangun oleh
pemerintahan sebelumnya. Inti dari cita-cita tersebut adalah
sebuah masyarakat sipil yang demokratis, adanya dan
ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan
yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa
aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas
warga masyarakat dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan
rakyat Indonesia.
23
Kehidupan masyarakat yang demokratis tidak bisa dibangun
seketika atau dalam waktu singkat. Banyak faktor yang mempengaruhi
tumbuh
dan
berkembangnya
mengidentifikasi
sejumlah
demokrasi.
factor
yang
Bahmuller
(1996)
berpengaruh
terhadap
perkembangan demokrasi suatu Negara, yaitu tingkat pembangunan
ekonomi, identitas nasional, pengalaman sejarah dan unsur-unsur budaya
kewarganegaraan. Salah satu unsur dari budaya kewarganegaraan adalah
civic virtue atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan yang mencakup
keterlibatan aktif warganegara, hubungan kesejarahan atau egaliter, saling
percaya dan toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas dan semangat
kemasyarakatan.
Peran pendidikan demokrasi yang mampu mengembangkan
akhlak kewargangeraan dan dalam waktu bersamaan mampu memberi
kontribusi terhadap berkembangnya budaya kewarganegaraan menjadi
penting bagi perkembangan demokratisasi. Pendidikan sebagai faktor
penting bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi semestinya mampu
menopang
kultur
bersistemnya
pengembangan
berdemokrasi.
pendidikan
kualitas
Pendidikan
demokrasi
warga
dengan
Negara
dan
demokrasi
adalah
keseluruhan
upaya
kualitas
kehidupan
masyarakat. Parker (1992) menggambarkan pentingnya pendidikan
demokrasi sebagai berikut.
Pendidikan demokrasi atau pendidikan civics sangat pentinng
bagi pembangunan karakter suatu bangsa. Pendidikan demokrasi
merupakan cara untuk mendidik rakyat tentang bagaimana
menjadi seorang warga Negara yang baik karena ia terkait
dengan pendidikan nilai dan karakter. Beberapa konsepsi
pendidikan kewarganegaraan menjelaskan bahwa kita bisa
melatih para siswa melalui berbagai keterampilan yang
membekali mereka dengan cara-cara menjadi warga negara yang
baik.
Disamping kata demokrasi, dikenal juga istilah demokratisasi.
Demokratisasi adalah penerapan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip
24
demokrasi pada pada setiap kegiatan politik yang bercirikan demokrasi.
Demokratisasi merujuk pada proses perubahan menuju pada sistem
pemerintahan yang lebih demokratis.
Demokratisasi
juga
berarti
proses
menegakkan
nilai-nilai
demokrasi sehingga sistem politik demokratis dapat terbentuk secara
bertahap. Nilai-nilai demokrasi dianggap baik dan positif bagi setiap
warga. Setiap warga menginginkan tegaknya demokrasi di suatu negara.
Henry B. Mayo dalam Winarno (2010:98) menyebutkan delapan nilai
demokrasi, yaitu:
1. Menyelesaikan pertikaian-pertikaian secara damai dan sukarela
2. Menjamin terjadinya perubahan secara damai dan sukarela
3. Pergantian penguasa dengan teratur
4. Penggunaan paksaan sesedikit mungkin
5. Pengakuan dan penghormatan terhadap nilai keanekaragaman
6. Menegakkan keadilan
7. Memajukan ilmu pengetahuan
8. Pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan.
Zamroni (2001) dalam Winarno (2010: 98) menyatakan bahwa nilainilai demokrasi yakni:
1) Toleransi
Toleransi merupakan suatu sikap
yang
menghargai dan
menjunjung tinggi hak-hak setiap individu, baik hak beribadat sesuai
agama
dan
kepercayaannya
masing-masing,
hak
untuk
mengemukakan pendapat, hak menjalin hubungan sosial dimasyarakat
maupun hak-hak yang lain.
2) Menghargai perbedaan pendapat
Ciri dari kehidupan berdemokrasi adalah adanya kebebasan
untuk berpendapat. Oleh karena itu dalam kehidupan berdemokrasi
harus mampu menjunjung tinggi adanya keragaman pendapat dari
25
masing-masing individu. Sikap menjunjung tinggi adanya perbedaan
pendapat dalam kehidupan berdemokrasi ini ditunjukkan dari adanya
nilai untuk menghargai setiap pendapat yang dikemukakan orang lain.
3) Memahami dan menyadari keanekaragaman masyarakat
Nilai
yang
perlu
dijunjung
tinggi
dalam
kehidupan
berdemokrasi adalah adanya keanekaragaman yang ada pada
masyarakat, baik keanekaragaman ras, suku, maupun agama. Tanpa
adanya kesadaran adanya keanekaragaman yang ada pada masyarakat
maka tidak mungkin nilai demokrasi dapat dijunjung setinggitingginya dan bahkan apabila adanya keragaman tersebut tidak diakui
oleh anggota masyarakat maka yang timbul dimasyarakat adalah
perpecahan.
4) Terbuka dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan martabat manusia
Sikap terbuka dan kemauan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
dan martabat manusia merupakan salah satu nilai yang terkandung
dalam kehidupan berdemokrasi. Tanpa adanya kemauan untuk terbuka
dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan martabat manusia maka yang ada
dalam
kehidupan
bermasyarakat
adalah
saling
menghina,
merendahkan, dan menjatuhkan satu dengan yang lain.
5) Pengendalian diri
Nilai pengendalian diri dalam kehidupan berdemokrasi mutlak
diperlukan agar
setiap perbuatan yang dilakukan tidak merugikan
orang lain.
6) Kemanusiaan dan kebersamaan
Sikap kemanusiaan dan kebersamaan adalah sudah menjadi
salah satu nilai yang
harus dijunjung tinggi dalam kehidupan
berdemokrasi sebab sudah menjadi kodratnya manusia diciptakan
sebagai mahluk individu dan sekaligus mahluk sosial. Dalam
kehidupan sosial tanpa adanya kebersamaan dalam menyelesaikan
26
setiap persoalan yang timbul maka segala sesuatunya akan terasa
sangat berat untuk diselesaikan.
7) Kepercayaan diri
Sikap percaya diri dalam kehidupan bermasyarakat sangat
penting dimiliki oleh setiap anggota masyarakat guna mengurangi
adanya sikap selalu menggantungkan diri kepada orang lain. Dengan
adanya kepercayaan diri yang mantap dalam diri setiap individu pada
mereka cenderung akan terlebih dahulu berusaha menyelesaikan setiap
persoalan yang dihadapi sebelum pada akhirnya meminta pertolongan
orang lain.
8) Ketaatan pada peraturan yang berlaku
Taat dan patuh memiliki arti selalu melaksanakan segala
peraturan yang ditetapkan. Ketaatan dan kepatuhan yang dilaksanakan
dengan
sungguh-sungguh
akan mewujudkan ketertiban dan
ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Peraturan yang dibuat
harus dilaksanakan secara bersama-sama sebab peraturan tersebut
merupakan hasil kesepakatan bersama. Ketaatan dan kepatuhan juga
merupakan
mewujudkan
modal
yang
keadilan
utama bagi
setiap
orang
untuk
masyarakat secara keseluruhan. Wujud
ketaatan dalam kehidupan bermasyarakat.
a) Pengendalian tutur kata
b) Tidak melukai perasaan orang lain
c) Keluhuran nilai kemanusiaan
d) Pengakuan adanya kelebihan manusia dan makhluk yang lain
e) Perbuatan tidak merendahkan nilai kemanusiaan
Nilai demokrasi secara individu hendaknya dimaknai sebagai
cermin perilaku hidup sehari-hari yang terwujud dalam cara bersikap
dan bertindak. Nilai yang dikemukakan diatas sesuai dengan apa yang
menjadi nilai demokrasi dan perilaku yang ditanamkan dalam setiap
27
pelajaran di kelas, yaitu perilaku yang mendukung kerakyatan yang
mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan perorangan
atau golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat, ataupun
kepentingan dapat diatasi melalui musyawarah dan mufakat diliputi
oleh semangat kekeluargaan yang merupakan ciri khas bangsa
Indonesia.
Keputusan-keputusan
yang
diambil
harus
dapat
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi
kepentingan bersama.
Dalam pembentukan perilaku dilakukan melalui pembiasaan
(sosialisasi),termasuk perilaku demokratis. Wahana yang dapat
dipergunakan
untuk
merekonstruksi perilaku demokratis adalah
kelas, melalui kegiatan pembelajaran. Suasana kelas dalam proses
pembelajaran mempengaruhi terjadinya proses sosialisasi.
Pengembangan suasana kelas yang dilakukan guru dalam
bentuk aplikasi metode mengajar secara kreatif menyebabkan suasana
kelas dan pola sosialisasi menjadi demokratis, yang tercermin dari
pola interaksi guru-siswa dan siswa-siswa. Salah satu hakikat dari
pendidikan demokrasi adalah pembelajaran peran dan partisipasi
seluruh elemen sekolah untuk mengarahkan perjalanan pendidikan
menuju cita-cita bersama. Bentuk pendidikan demokratis tersebut akan
tumbuh dan kokoh jika dikalangan peserta didik tumbuh kultur dan
nilai-nilai demokrasi antara lain toleransi, bebas mengemukakan dan
menghormati perbedaan pendapat, memahami keanekaragaman dalam
bermasyarakat, terbuka dalam berkomunikasi, menjunjung nilai dan
martabat kemanusiaan, percaya diri atau tidak menggantungkan diri
pada orang lain, saling menghargai,mampu mengekang diri,
kebersamaan, dan keseimbangan (Zamroni, 2001: 31-32).
28
Dalam hal ini, peneliti hanya menekankan pada penerapan
budaya demokrasi di lingkungan sekolah, karena di sekolah pun semua
persoalan hendaknya diselesaikan melalui musyawarah mufakat.
Contoh persoalan sekolah yang bisa dimusyawarahkan, antara lain: 1)
diskusi kelas, 2) pemilihan ketua kelas, 3) penyusunan regu piket
kelas, 4) pemilihan ketua OSIS. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa peranan nilai-nilai demokrasi dalam bidang pendidikan adalah
sebagai pedoman guru dan siswa untuk menciptakan keadilan dan
kebersamaan.
5. Model CTL (Contextual Teaching Learning)
a. Pengertian Model Pembelajaran
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola
yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di
kelas. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran
yang
akan
pengajaran,
digunakan,
tahap-tahap
termasuk
dalam
di
kegiatan
dalamnya
tujuan-tujuan
pembelajaran, lingkungan
pembelajaran, dan pengelolaan kelas (Arends dalam Trianto, 2010: 51).
Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah kerangka
konseptual
yang
mengorganisasikan
melukiskan
pengalaman
prosedur
belajar
untuk
sistematik
mencapai
dalam
tujuan
pembelajaran tertentu dan berfungsi sebagi pedoman bagi perancang
pembelajaran dan para guru dalam merancang dan melaksanakan proses
belajar mengajar.
Menurut Trianto (2010: 53) fungsi model pembelajaran adalah
sebagai pedoman bagi perancang pengajar dan para guru dalam
melaksanakan pembelajaran. Untuk memilih model ini sangat dipengaruhi
oleh sifat dari materi yang akan diajarkan, dan juga dipengaruhi oleh
tujuan yang akan dicapai dalam pengajaran tersebut serta tingkat
29
kemampuan peserta didik. Di samping itu pula,setiap model pembelajaran
juga
mempunyai
tahap-tahap (sintaks)
yang dapat dilakukan siswa
dengan bimbingan guru. Antara sintaks yang satu dengan sintaks yang
lain juga mempunyai perbedaan. Perbedaan-perbedaan ini, diantaranya
pembukaan dan penutupan pembelajaran yang berbeda antara satu dengan
yang lain.
Oleh
karena
itu,
guru perlu menguasai
dan
dapat
menerapkan berbagai keterampilan mengajar, agar dapat mencapai tujuan
pembelajaran yang beraneka ragam dan lingkungan belajar yang menjadi
ciri sekolah pada dewasa ini.
Pada akhirnya setiap model pembelajaran memerlukan sistem
pengelolaan dan lingkungan belajar yang berbeda.Setiap pendekatan
memberikan peran yang berbeda kepada siswa, pada ruang fisik, dan pada
sistem sosial kelas.Sifat materi dari sistem syaraf banyak konsep dan
informasi-informasi dari teks buku bacaan, materi ajar siswa, di samping
itu banyak kegiatan pengamatan gambar-gambar.
Tujuan yang akan dicapai meliputi aspek kognitif (produk dan
proses)
dari kegiatan pemahaman bacaan dan lembar kegiatan siswa
(Trianto, 2010: 55).
b. Pengertian Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and learning)
adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi
yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari hari, dengan melibatkan
tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme
(Constructivism),
bertanya
(Questioning),
menemukan
(Inquiry),
masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan
penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).
30
Contextual Teaching Learning adalah sebuah sistem yang
menyeluruh . CTL terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Jika
bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh
yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya secara terpisah.
Seperti halnya biola, cello, clarinet dan alat music lain di dalam sebuah
orchestra yang menghasilkan bentuk yang berbeda-beda yang secara
bersama-sama menghasilkan musik, demikian juga bagian-bagian CTL
yang terpisah melibatkan proses-proses yang berbeda, yang ketika
digunakan secara bersama-sama, memampukan para siswa membuat
hubungan yang menghasilkan makna. Setiap bagian CTL yang berbedabeda ini memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas
sekolah. Secara bersama-sama, mereka membentuk suatu sistem yang
memungkinkan para siswa melihat makna di dalamnya dan mengingat
materi akademik (Johnson, 2007:65).
1) Penerapan Pendekatan Kontekstual Di Kelas
Pembelajaran Kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa
saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dalam kelas cukup mudah.Secara
garis besar, langkahnya sebagai berikut ini.
a) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna
dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan
dan keterampilan barunya
b) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topic
c) kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
d) Ciptakan masyarakat belajar.
e) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
f) Lakukan refleksi di akhir pertemuan
g) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
31
2) Tujuh Komponen Pembelajaran Kontekstual
a) Konstruktivisme
Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru
berdasar pada pengetahuan awal.Pembelajaran harus dikemas menjadi
proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.
b) Inquiry
Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman dan siswa
belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis.
c) Questioning (Bertanya)
Kegiatan
guru
untuk
mendorong,
membimbing
dan
menilai
kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa yang merupakan bagian
penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry.
d) Learning Community (Masyarakat Belajar)
Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar, bekerjasama
dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri, tukar
pengalaman dan berbagi ide
e) Modeling (Pemodelan)
Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan
belajar,
mengerjakan
apa
yang
guru
inginkan
agar
siswa
mengerjakannya
f) Reflection ( Refleksi)
Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari, mencatat apa yang
telah dipelajari dan membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok
g) Authentic Assessment (Penilaian Yang Sebenarnya)
Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa, penilaian produk
(kinerja) dan tugas-tugas yang relevan dan kontekstual
32
3) Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Kerjasama,
Saling
menunjang,
Menyenangkan,
tidak
membosankan, Belajar dengan bergairah, Pembelajaran terintegrasi,
Menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, sharing dengan teman, siswa
kritis guru kreatif, dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja
siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain, Laporan kepada
orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil
pratikum, karangan siswa dan lain-lain.
4) Menyusun Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih
merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi
skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama
siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam
program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan
tersebut,
materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan
authentic assessmennya.
Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar
rencana
pribadi
tentang
apa
yang
akan
dikerjakannya
bersama
siswanya.Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara
program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran
kontekstual.Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya.
Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi
tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk
pembelajaran
kontekstual
lebih
menekankan
pada
skenario
pembelajarannya.
Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut.
33
a) Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan
kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi,
Kompetensi dasar, Materi Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar.
b) Nyatakan tujuan umum pembelajarannya.
c) Rincilah media untuk mendukung kegiatan itu
d) Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa
e) Nyatakan authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat
diamati partisipasinya dalam pembelajaran.
5) Langkah – langkah CTL / Sintaks CTL
Penerapan Model CTL 1
Pembelajaran CTL memiliki tujuh langkah yang mana secara garis besar
langkah-langkah penerapatan CTL dalam kelas itu adalah sebagai berikut.
a) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna
dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkontruksi
sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
b) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik
c) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya
d) Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok)
e) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
f)
Lakukan refleksi di akhir pertemuan
g) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Penerapan Model CTL 2.
a) Modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi –
tujuan, pengarahan – petunjuk, rambu-rambu, contoh);
b) Questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan,
mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi);
c) Learning community (seluruh siswa berpartisipati dalam belajar
kelompok dan individual, otok berpikir dan tangan bekerja,
mengerjakan berbagai kegiatan dan percobaan);
34
d) Inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, generalisasi, menemukan);
e) Constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi
konsep-aturan, analisis-sintesis);
f) Reflection (review, rangkuman, tindak lanjut);
g) Authentic
assessment
(penilaian
selama
proses
dan
seusai
pembelajaran harus dilakukan secara objektif dan dilakukan dengan
berbagai cara untuk mendapatkan hasil yang benar-benar mewakili
kompetensi siswa).
Penerapan Model CTL 3.
Menurut bahwa secara garis besar penerapan pendekatan kontekstual
dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut
(Suparto,2004: 6 ): Mengembangkan metode beajar mandiri,
a) Melaksanakan penemuan (inquiry),
b) Menumbuhkan rasa ingin tahu siswa,
c) Menciptakan masyarakat belajar
d) Hadirkan "model" dalam pembelajaran,
e) Lakukan refleksi di setiap akhir pertemuan,
f) Lakukan penilaian yang sebenarnya.
B. Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian relevan yang berkaitan dengan permasalahan dalam
penelitian ini, yang pertama yaitu penelitian yang berjudul “Pengaruh Prestasi
Belajar Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Sikap Demokratis Siswa Kelas XI
SMK Negeri 1 Yogyakarta Tahun Ajaran 2010/2011” oleh Galang Eko Prasetyo
(Jurnal Pendidikan, Volume 1 Nomor 2, Januari 2012). Tujuan penelitian ini yaitu
untuk mengetahui pengaruh prestasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan terhadap
sikap demokratis siswa kelas XI SMK Negeri 1 Yogyakarta. Hasil penelitian ini
menyimpulkan penerapan sistem demokrasi, warga negara perlu diberikan
pemahaman dan kemampuan mengaktualisasikan demokrasi di kalangan warga
35
negara. Nilai-nilai demokrasi hendaknya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan
nyata melalui suatu transformasi yaitu melalui pendidikan, khususnya Pendidikan
Kewarganegaraan yang merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang demokratis, memahami dan mampu melaksanakan
hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas,
terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Penelitian relevan kedua yang peneliti gunakan sebagai acuan yaitu penelitian
yang berjudul “Upaya Menuju Demokratisasi Pendidikan Paradigma baru
pendidikan” oleh Teguh Sihono (Jurnal Ekonomi dan Pendidikan, Volume 8 Nomor
1, April 2011). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pendidikan mampu
melahirkan manusia demokratis yang akan memerankan dirinya sendiri sebagai anak
bangsa dalam proses kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pendidikan demokrasi
bertujuan mempersiapkan warga masyarakat berfikir kritis dan bertindak demokratis,
melalui aktivitas menanamkan pada generasi baru yang menyadari akan tiga hal.
Pertama, demokrasi adalah bentuk kehidupan bermasyarakat yang paling menjamin
hak-hak warga negara. Kedua, demokrasi adalah suatu learning process yang tidak
dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Ketiga, kelangsungan demokrasi
tergantung pada keberhasilan menstransformasikan nilai-nilai demokrasi.
Kemudian, penelitian relevan ketiga yang peneliti gunakan sebagai acuan
yaitu
penelitian
yang
berjudul
“Demokrasi
Berkebudayaan
dan
Budaya
Berdemokrasi” oleh Yudi Latif (Jurnal Sejarah dan Nilai Budaya, Jejak Nusantara
Volume 02 Nomor 1, Desember 2014). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa
demokrasi yang sehat harus mengandung cita-cita kebudayaan. Demokrasi
direalisasikan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab serta nilai-nilai perasaan (kekeluargaan) dan
keadilan. Demokrasi yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, mewajibkan para penyelenggara negara
untuk memelihara budi pekerti kemananusiaan yang luhur dan memegang cita-cita
moral rakyat yang luhur. Demokrasi yang berdasarkan nilai persatuan dan keadilan,
36
dituntut dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia berdasarkan persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Penelitian relevan selanjutnya adalah yang dilakukan oleh Rini Yulina (2013)
dengan judul “Implementasi Nilai-Nilai Demokrasi dalam Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan Di SMP Negeri 3 Gringsing Batang”. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa nilai-nilai demokrasi yang ditanamkan melalui pembelajaran
PKn di SMP Negeri 3 Gringsing Batang adalah nilai-nilai: Toleransi, kerjasama,
kebebasan
berpendapat,
kebebasan
berkelompok,
menghormati
orang
lain,
kepercayaan diri dan kesadaran akan perbedaan. Implementasi nilai-nilai demokrasi
dalam pembelajaran PKn di SMP Negeri 3 Gringsing Batang telah dilaksanakan
melalui metode diskusi, ceramah, tanya jawab, penugasan, dan demonstrasi. Metode
pembelajaran tersebut memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk
mengeluarkan ide, gagasan, atau pendapat mereka terkait dengan materi yang
diberikan guru. Sejak dini guru mengajarkan pada siswa untuk bersikap demokratis,
sehingga siswa mampu menerapkan nilai-nilai demokrasi baik dalam lingkungan
sekolah maupun di luar sekolah. Di samping itu guru juga memberikan teladan yang
baik kepada siswa bagaimana mereka melaksanakan hak dan kewajiban secara
proporsional.
Penelitian relevan yang kelima dilakukan oleh Mursetyadi Yuli Sadono
dengan judul “Keefektifan VCT (Value Clarification Technique) dalam Pembelajaran
Sejarah Untuk Meningkatkan Nilai Nasionalisme, Demokrasi,dan Multikultural”
(Jurnal Harmoni Sosial, Volume 1 Nomor 1, 2014). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keefektifan pembelajaran sejarah dengan menerapkan Value Clarification
Technique (VCT) untuk meningkatkan nilai nasionalisme, demokrasi dan
multikultural, dengan memperhatikan gaya belajar siswa Visual dan Auditori. Hasil
penelitian menunjukan bahwa rata-rata hasil belajar afektif siswa dengan
pembelajaran VCT lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan teknik
konvensional. Kesimpulannya, teknik klarifikasi nilai (VCT) efektif untuk
37
penanaman nilai nasionalisme, demokrasi, dan multikultural melalui pembelajaran
sejarah, baik pada siswa yang bergaya belajar auditori maupun visual.
Penelitian relevan internasional yang peneliti gunakan sebagai acuan dalam
penelitian ini adalah penelitian yang berjudul “The Significance of Establishing
Democratic Education Environment At Schools” oleh Şanlı and Altun (Journal of
Educational and Instructional Studies In The World May 2015, Volume: 5, Issue: 2,
Article: 01). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Memiliki sikap demokratis
adalah salah satu cara terbaik untuk hidup bahagia dan damai dalam masyarakat
modern untuk individu. Demokrasi adalah salah satu cara yang paling diterima
mengatur sistem di dunia modern kita. Pada kasus ini pendidikan demokrasi dan
pembangunan lingkungan yang demokratis di sekolah begitu signifikan bagi siswa,
guru dan administrator. Mengajar dengan perilaku demokratis dan manajemen sikap
yang demokratis di sekolah sangat penting. Karena lulusan yang mempunyai sikap
demokratis akan menjadi panutan yang baik untuk kehidupan di masa depan siswa.
Penelitian relevan internasional kedua yang peneliti gunakan sebagai acuan
adalah penelitian yang berjudul “The Relationships Between Students’ Attitudes
Towards Social Studies and Their Perceptions Of Democracy” oleh Sabahattin
(dimuat dalam Educational Research and Reviews Vol. 8(3), pp. 77 -83, 10 February,
2013). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa IPS adalah salah satu pelajaran
dasar yang ada dalam kurikulum dari kelas 4, 5, 6, dan 7. Pelajaran ini bertujuan
untuk melatih warga negara yang baik. Konsep demokrasi merupakan topik penting
bagi siswa untuk memahami sehingga mencapai tujuan melalui pelajaran IPS. Oleh
karena itu, tujuan dalam penelitian ini, untuk mengetahui hubungan antara sikap
siswa terhadap IPS dan persepsi mereka tentang konsep demokrasi. Sebanyak 665
siswa kelas 7 primer berpartisipasi dalam studi, 333 di antaranya adalah anak
perempuan dan 332 anak laki-laki. Ditemukan bahwa ada hubungan positif antara
sikap siswa terhadap IPS dan persepsi mereka tentang demokrasi. Selain itu, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara sikap siswa terhadap IPS dan persepsi mereka
tentang konsep demokrasi.
38
A. Kerangka Berpikir
Berdasarkan kajian teori serta penelitian relevan yang dikemukan di atas maka
dapat disusun kerangka pemikiran bahwa peran pendidikan demokrasi mampu
mengembangkan akhlak kewarganegaraan peserta didik. Pendidikan sebagai faktor
penting bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi semestinya mampu menopang
kultur berdemokrasi. Pendidikan demokrasi adalah bersistemnya pendidikan
demokrasi dengan keseluruhan upaya pengembangan kualitas warga Negara dan
kualitas kehidupan masyarakat.
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and learning) adalah konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari
hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni:
konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry),
masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian
sebenarnya (Authentic Assessment).
Pembelajaran sejarah di kelas selayaknya menerapkan nilai-nilai demokrasi
agar pembelajaran lebih bermakna. Nilai demokrasi secara individu hendaknya
dimaknai sebagai cermin perilaku hidup sehari-hari yang terwujud dalam cara
bersikap dan bertindak. Nilai demokrasi sesuai dengan perilaku yang ditanamkan
dalam pelajaran di kelas, yaitu perilaku yang mendukung kerakyatan yang
mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan atau golongan
sehingga perbedaan pemikiran, pendapat, ataupun kepentingan dapat diatasi melalui
musyawarah dan mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan yang merupakan ciri
khas
bangsa
Indonesia.
Keputusan-keputusan
yang
diambil
harus
dapat
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan,
mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama. Oleh karena itu
39
peneliti beranggapan bahwa diduga dengan penerapan nilai-nilai demokrasi dalam
pembelajaran sejarah di kelas dapat membangun sikap sosial dan meningkatkan hasil
belajar pesera didik.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dibuatkan skema kerangka berpikir
sebagaimana tampak pada gambar 2.1 sebagai berikut:
Guru belummenerapkapkan
nilai-nilai demokrasi dalam
pembelajaran sejarah
KONDISI
AWAL
Penerapan nilai-nilai
demokrasi dengan model
CTL dalamPembelajaran
Sejarah.
TINDAKAN
KONDISI
AKHIR
Diduga dengan penerapan nilainilai demokrasi dengan model
CTL akan membangun sikap
sosial dan meningkatkan hasil
belajar Siswa Kelas XI IIS 2
SMA Al Islam 1 Surakarta
Tahun Pelajaran 2015/2016.
Sikap sosial dan hasil
belajar siswa masih
rendah.
Siklus 1 : Planning, Action,
Observation, Reflection
Siklus II : Planning,
Action, Observation,
Reflection
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir Penelitian Tindakan kelas tentang Penerapan
Nilai-nilai Demokrasi dengan Model CTL dalam pembelajaran sejarah
dapat Membangun Sikap Sosial dan Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Kelas XI IIS 2 di SMA Al Islam 1 Surakarta
Keterangan Skema :
1. Pada kondisi awal guru belum menerapkapkan nilai-nilai demokrasi dalam
pembelajaran sejarah sehingga sikap sosial dan hasil belajar siswa rendah.
2. Melihat kondisi tersebut, maka guru berusaha memperbaiki dengan
melakukan penelitian tindakan kelas yakni dengan menerapkan nilai-nilai
demokrasi dengan model CTL dalam Pembelajaran Sejarah.
40
3. Diduga dengan penerapan nilai-nilai demokrasi dengan model CTL dalam
pembelajaran sejarah dapat membangun sikap sosial dan meningkatkan hasil
belajar Siswa Kelas XI IIS 2 SMA Al Islam 1 Surakarta.
D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan hasil kajian pustaka dan kerangka berpikir, dapat dirumuskan
hipotesis penelitian tindakan kelas ini sebagai berikut.
1. Penerapan
nilai-nilai
demokrasi
dalam
pembelajaran
sejarah
dapat
membangun sikap sosial siswa kelas XI IIS 2 di SMA Al Islam 1 Surakarta.
2. Penerapan
nilai-nilai
demokrasi
dalam
pembelajaran
sejarah
dapat
meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI IIS 2 di SMA Al Islam 1 Surakarta.
Download