BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Sikap Sosial a. Pengertian Sikap Dalam arti sempit sikap adalah pandangan atau kecenderungan mental. Menurut Bruno dalam Muhibbin, (2010:118), sikap (attitude) adalah kecenderungan yang relative menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu. Dengan demikian pada prinsipnya sikap itu dapat kita anggap sebagai siswa untuk bertindak dengan cara tertentu. Dalam hal ini, perwujudan perilaku belajar siswa akan ditandai dengan munculnya kecenderungan-kecenderungan baru yang telah berubah (lebih maju dan lugas) terhadap suatu obyek, tata nilai, peristiwa dan sebagainya. Sikap adalah organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar pada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya (Walgito, 2001). Secara umum, pengertian sikap adalah perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenal aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Komponen-komponen sikap adalah pengetahuan, perasaan-perasaan, dan kecenderungan untuk bertindak. Dalam pengertian yang lain, sikap adalah kecondongan evaluatif terhadap suatu objek atau subjek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadap-hadapan dengan objek sikap. Tekanannya pada kebanyakan penelitian dewasa ini adalah perasaan atau emosi. Sikap yang terdapat pada diri individu akan memberi warna atau corak tingkah laku ataupun perbuatan individu yang bersangkutan. Dengan memahami atau mengetahui sikap individu, dapat diperkirakan 9 10 respons ataupun perilaku yang akan diambil oleh individu yang bersangkutan. b. Pengertian Sikap Sosial Sikap sosial adalah sikap yang ada pada kelompok orang yang ditunjukkan pada suatu objek yang menjadi perhatian seluruh anggota kelompok tersebut.Contohnya, bangsa Indonesia mempunyai sikap positif terhadap bendera merah putih dan lain-lain. Objek ini bisa berupa benda, kelompok orang,nilai-nilai sosial, pandangan hidup, hukum, lembaga masyarakat dan sebagainya (Sarwono, 2010: 202-203). Sikap sosial ini berkaitan dengan konsep dari kecerdasan sosial yang mengartikan bahwa arti kemampuan memahami dan mengelola orang lain, sebagai keterampilan yang dibutuhkan umat manusia untuk hidup dengan baik di dunia (Goleman, 2007:15). Sikap sosial secara umum adalah kemampuan individu memahami perasaan orang lain disertai dengan kecenderungan perilaku/tindakan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan sosial yang individu alami untuk hidup yang baik antar sesama manusia. Para ilmuwan sosial menyelidiki keyakinan dan perilaku orang dalam usahanya untuk menarik kesimpulankesimpulan mengenai keadaan mental dan proses mental. Sikap tidak dapat diobservasi atau diukur secara langsung. Keberadaannya harus ditarik kesimpulan dari hasil-hasilnya 2. Hasil Belajar a. Pengertian Belajar Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau matei pelajaran. Orang yang beranggapan demikian biasanya akan segera merasa bangga ketika anak-anaknya telah mampu menyebutkan kembali secara lisan sebagian besar informasi yang terdapat dalam buku teks atau yang diajarkan oleh guru. Di samping itu, ada pula 11 sebagian orang yang memandang belajar sebagai pelatihan seperti yang tampak pada pelatihan membaca dan menulis. Berdasarkan persepsi semacam ini, biasanya mereka akan merasa cukup puas bila anak-anak mereka telah mampu memperlihatkan keterampilan jasmaniah tertentu walaupun tanpa pengetahuan mengenai arti, hakikat, dan tujuan keterampilan tersebut. Untuk menghindari berbagai macam persepsi tersebut, maka perlunya mengetahui definisi belajar dari para ahli. Hintzman dalam bukunya The Psycology of Learning and Memory berpendapat Learning is a change in organism due to experience which can effect the organism’s behavior. Artinya, belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme (manusia atau hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut. Jadi, dalam pandangan Hintzman, perubahan yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar apabila mempengaruhi organisme. Dalam penjelasan lanjutannya, pakar psikologi belajar itu menambahkan bahwa pengalaman hidup sehari-hari dalam bentuk apa pun sangat memungkinkan untuk diartikan sebagai belajar. Sebab, sampai batas tertentu, pengalaman hidup juga berpengaruh besar terhadap pembentukan kepribadian organisme yang bersangkutan. Mungkin, inilah dasar pemikiran yang mengilhami gagasan everyday learning (belajar sehari-hari) yang dipopulerkan oleh professor John B. Biggs (Muhibbin, 2010:88-89). Biggs dalam pendahuluan Teaching for Learning mendefinisikan belajar dalam tiga macam rumusan, yaitu: rumusan kuantitatif, rumusan institusional dan rumusan kualitatif. Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini dipandang dari sudut banyaknya materi yang dikuasai 12 siswa. Secara institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses “validasi” atau pengabsahan terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang telah ia pelajari. Bukti institusional yang menunjukkan siswa telah belajar dapat diketahui sesuai proses mengajar. Ukurannya, semakin baik mutu guru mengajar akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor. Sedangkan pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan mutu) ialah proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia sekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa. Bertolak dari berbagai definisi yang telah diutarakan tadi, secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif (Muhibbin, 2010:90). Ada empat tahapan belajar manusia, yaitu: 1) Inkompetensi bawah sadar, yaitu tidak sadar bahwa ia tidak tahu. Dalam arti kondisi di saat kita tidak mengetahui kalau ternyata kita tidak tahu.Contohnya adalah keadaan pikiran banyak pengemudi muda saat mulai belajar mengemudi.Itulah mengapa pengemudi muda mengalami lebih banyak kecelakaan ketimbang pengemudi yang lebih tua dan berpengalaman. Mereka tidak dapat (atau tidak mau) mengakui terbatasnya pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman mereka. Orang-orang yang berada dalam keadaan ini kemungkinan besar akan mengambil risiko, memapar diri pada bahaya atau kerugian, untuk alasan sederhana yang sama sekali tidak mereka sadari bahwa itulah yang mereka lakukan. 13 2) Inkompetensi sadar, yaitu sadar bahwa ia tidak tahu. Hal ini mengandung arti pengakuan sadar pada diri sendiri bahwa kita tidak tahu, dan penerimaan penuh atas ketidaktahuan kita. 3) Kompetensi sadar, yaitu sadar bahwa ia tahu. Sadar bahwa kita tahu, yaitu ketika kita mulai memiliki keahlian atas sebuah subjek, tetapi tindakan kita belum berjalan otomatis.Pada belajar yang ini, kita harus melaksanakan semua tindakan dalam level sadar. Saat belajar mengemudi, misalnya, kita harus secara sadar tahu di mana tangan dan kaki kita, berpikir dalam setiap pengambilan keputusan apakah akan menginjak rem, berbelok, atau ganti gigi. Saat kita melakukannya, kita berpikir dengan sadar tentang bagaimana melakukannya.Pada tahap ini, reaksi kita jauh lebih lamban ketimbang reaksi para pakar. 4) Kompetensi bawah sadar, yaitu tidak sadar bahwa ia tahu. Tahapan seorang ahli yang sekadar melakukannya, dan bahkan mungkin tidak tahu bagaimana ia melakukannya secara terperinci. Ia tahu apa yang ia lakukan, dengan kata lain, ada sesuatu yang ia lakukan di hidup ini yang bagi orang lain tampak penuh risiko tetapi bagi dia bebas risiko. Ini terjadi karena ia telah membangun pengalaman dan mencapai kompetensi bawah sadar pada aktivitas itu selama beberapa tahun. Ia tahu apa yang ia lakukan, dan ia juga tahu apa yang tidak dapat ia lakukan. Bagi seseorang yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalamannya, apa yang ia lakukan tampak penuh risiko. b. Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar adalah hasil yang dicapai dalam bentuk angka-angka atau skor setelah diberikan tes hasil belajar pada setiap akhir pembelajaran. Nilai yang diperoleh siswa menjadi acuan untuk melihat 14 penguasaan siswa dalam menerima materi pelajaran (Dimyati dan Mudjiono,2006). Benjamin S. Bloom (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 26-27) menyebutkan enam jenis perilaku ranah kognitif, sebagai berikut. 1) Pengetahuan, mencapai kemampuan ingatan tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaan dengan fakta, peristiwa, pengertian kaidah, teori, prinsip, atau metode. 2) Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna tentang hal yang dipelajari. 3) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dan kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru. Misalnya, menggunakan prinsip. 4) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Misalnya mengurangi masalah menjadi bagian yang telah kecil. 5) Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru. Misalnya kemampuan menyusun suatu program. 6) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu. misalnya, kemampuan menilai hasil ulangan. Hasil belajar dapat dilihat melalui kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk mendapatkan data pembuktian yang akan menunjukkan tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hasil belajar yang diteliti dalam penelitian ini adalah hasil belajar kognitif IPS yang mencakup tiga tingkatan yaitu pengetahuan, pemahaman, dan penerapan.Instrumen yang digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa pada aspek kognitif adalah tes. Hasil belajar sebagai salah satu indikator pencapaian tujuan pembelajaran di kelas tidak terlepas dari faktor-faktor yang 15 mempengaruhi hasil belajar itu sendiri.Sugihartono, dkk. (2007: 7677), menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar, sebagai berikut: a) Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar. Faktor internal meliputi: faktor jasmaniah dan faktor psikologis. b) Faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu. Faktor eksternal meliputi: faktor keluarga, faktor sekolah, dan factor masyarakat. 3. Pembelajaran Sejarah a. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran dapat diartikan sebagai proses kerja sama antara guru dan siswa dalam memnfaatkan segala potensi dan sumber yang ada, baik potensi yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat dan kemampuan dasar yang dimiliki, termasuk gaya belajar maupun potensi yang ada di luar diri siswa seperti lingkungan, sarana dan sumber belajar sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Sebagai suatu proses kerja sama, pembelajaran tidak hanya menitik beratkan pada kegiatan guru atau kegiatan siswa saja, tetapi guru dan siswa secara bersama-sama berusaha mnecapai tujuan pembelajran yang telah ditentukan. Dengan demikian, kesadaran dan pemahaman guru dan siswa akan tujuan yang harus dicapai dalam proses pembelajaran merupakan syarat mutlak yang tidak bisa ditawar sehingga dalam prosesnya, guru dan siswa mengarah pada tujuan yang sama. Dalam Undang- Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 20 dinyatakan bahwa Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. 16 Konsep pembelajaran menurut Corey (Syaiful Sagala, 2011:61) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan. Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang akademisnya, latar belakang ekonominya, dan lain sebagainya. Kesiapan guru untuk mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran. Menurut Isjoni (2007 : 11) mengatakan bahwa pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur - unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. b. Pengertian Pembelajaran Sejarah Kata sejarah berasal dari “Syajarah” yakni berasal dari bahasa Arab yang berarti pohon.Kata ini masuk ke Indonesia sesudah terjadi akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Islam. Selain itu, kata sejarah juga berasal dari bahasa Inggris yakni history yang artinya masa lampau umat manusia ( Rustam E.Tamburaka, 2002 : 2 ). Sejarah adalah perisitiwa atau kejadian masa lalu berdasarkan hasil penelitian yang ditulis atau disusun secara objektif dan sistematis untuk diambil pelajaran atau hikmah dari kejadian tersebut. Pembelajaran sejarah memiliki peran mengaktualisasikan dua unsur pembelajaran dan pendidikan. Unsur pertama adalah pembelajaran 17 (instruction) dan pendidikan intelektual (intellectual traming), dan unsur kedua adalah pembelajaran dan pendidikan moral bangsa dan civil society yang demokratis dan bertanggung jawab kepada masa depan bangsa. Unsur pembelajaran (instruction) dan pendidikan intelektual (intellectual training) pada pembelajaran sejarah tidak hanya memberikan gambaran masa lampau, tetapi juga memberikan latihan berpikir kritis, menarik kesimpulan, menarik makna dan nilai dari peristiwa sejarah yang dipelajari. Latihan berpikir kritis dilakukan dengan pendekatan analitis, salah satunya melalui pertanyaan "mengapa" (why) dan "bagaimana" (how) dapat melatih siswa berpikir kritis dan analitis, berbeda dengan bentuk pertanyaan "siapa" (who), "apa" (what),"dimana" (where), dan "kapan" (when). Siswa dalam pembelajaran sejarah mendapat informasi kesejarahan dari guru yang berhubungan dengan ciri peristiwa sejarah, yaitu : what, when, who, where,why, dan how. Imaginasi diperlukan siswa, karena siswa diajak oleh guru memahami suatu peristiwa yang teijadi pada masa lampau. Peristiwa masa lampau sebagai peristiwa sejarah tersebut dari segi waktu adalah peristiwa yang sudah lama terjadi dan wujudnya hanya berupa rekonstruksi sumber-sumber masa lalu, tempatnya dan pelaku dalam peristiwa tersebut tidak dikenal serta sudah tidak dapat dihubungi. Gambaran peristiwa sejarah yang diterima siswa selanjutnya dihapalkan, dihayati,dan diamalkan. Permasalahan timbul sehubungan dengan keterampilan pembelajaran yang diperlukan, agar gambaran sejarah tersebut dapat dipahami dan dapat digambarkan oleh siswa dengan benar. Pembelajaran sejarah di sekolah merupakan salah satu wahana mencapai tujuan pendidikan nasional, terutama sebagai upaya menumbuhkan dan mengembangkan rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan peserta didik (Wiriaatmadja, 1998: 93). Pengetahuan 18 peserta didik tentang sejarah diharapkan dapat menumbuhkan kemampuan dan kearifan dalam menghadapi kehidupan masa kini. Kesadaran akan kebangsaannya dapat menumbuhkan kepribadian yang tegar,karena pengenalan jati dirinya akan menumbuhkan kemauan dan kesediaan bekerja keras bagi diri dan bangsanya. 4. Nilai-nilai Demokrasi a. Pengertian Nilai-nilai Menurut Baier (Mulyana, 2004: 8) nilai sering kali dirumuskan dalam konsep yang berbeda-beda, hal tersebut disebabkan oleh sudut pandangnya yang berbeda-beda pula. Contohnya seorang sosiolog mendefinisikan nilai sebagai suatu keinginan, kebutuhan, dan kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog akan menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada tahap wujud tingkah lakunya yang unik. Sementara itu, seorang antropolog melihat nilai sebagai “harga “ yang melekat pada pola budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, hukum dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang dikembangkan manusia. Perbedaan pandangan mereka dalam memahami nilai telah berimplikasi pada perumusan definisi nilai. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi nilai yang masing-masing memiliki tekanan yang berbeda. Allport (Mulyana, 2004: 9) mendefinisikan nilai sebagai sebuah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Sebagai seorang ahli psikologi kepribadian, Allport menyatakan bahwa nilai terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan. Keyakinan merupakan wilayah psikologis tertinggi dari wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap, keinginan dan kebutuhan. Oleh karenanya, keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah pada wilayah ini merupakan 19 hasil dari sebuah rentetan proses psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya. Kupperman (Mulyana, 2004: 9) menafsirkan nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif. Ia memberi penekanan pada norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Sebagai seorang sosiolog, Kupperman memandang norma sebagai salah satu bagian terpenting dari kehidupan sosial. Oleh karena itu, salah satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan nilai (value judgement) adalah pelibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat. Kluckhohn mendefinisikan nilai sebagai konsepsi (tersirat atau tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. Menurut Brameld, pandangan Kulchohn tersebut memiliki banyak implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya dan sesuatu itu dipandang bernilai apabila dipersepsi sebagai sesuatu yang diinginkan. Makanan, uang, rumah, memiliki nilai karena memiliki persepsi sebagai sesuatu yang baik dan keinginan untuk memperolehnya memiliki mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang. Namun tidak hanya materi yang memiliki nilai, gagasan dan konsep juga dapat menjadi nilai, seperti: kejujuran, kebenaran dan keadilan. Kejujuran misalnya, akan menjadi sebuah nilai bagi seseorang apabila ia memiliki komitmen yang dalam terhadap nilai itu yang tercermin dalam pola pikir, tingkah laku dan sikap. Sementara itu, Mulyana (2004: 11) menyederhanakan definisi nilai sebagai suatu rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Menurutnya, definisi ini dapat mewakili definisi-definisi yang dipaparkan di atas, walaupun ciri-ciri spesifik seperti norma, keyakinan, cara, tujuan, sifat dan ciri-ciri nilai tidak diungkapkan secara eksplisit. 20 b. Pengertian Demokrasi Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Dengan demikian, demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Sebagaimana diungkapkan oleh Giddens (1994) dalam Hasyim dan Hartono (2009:25), demokrasi mengandung makna suatu sistem politik dimana rakyat memegang kekuasaan tertinggi, bukan raja atau kaum bangsawan. Dari sudut terminologi, banyak sekali definisi demokrasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli politik. Masing-masing memberikan definisi dari sudut pandang yang berbeda. Menurut Harris Soche (Winarno, 2010:91) demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekuasaan pemerintahan itu melekat pada diri rakyat, diri orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk memerintah. Sedangkan menurut Henry B Mayo (Winarno, 2010:91) sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselengggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Ada satu pengertian mengenai demokrasi yang dianggap paling populer di antara pengertian yang ada. Pengertian tersebut dikemukakan pada tahun 1863 oleh Abraham Lincoln yang mengatakan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people and for the people) (Winarno, 2010:92) 21 Konsep demokrasi berasal dari tradisi pemikiran Yunani Kuno yang dipraktikkan antara abad ke-6 SM sampai dengan abad ke-4 M, Demokrasi pada masa itu berbentuk demokrasi langsung yang dipraktekkan dalam suatu polis (Negara kota). Rakyat membuat keputusan politik yang dijalankan langsung oleh seluruh warga Negara berdasarkan prosedur mayoritas. Pada tahun 508 SM, seorang bernama Chleisthenes mengadakan pembaharuan dalam sistem pemerintahan kota Athena.Chleisthenes membagi warga Negara Athena ke dalam 10 suku yang masing-masing terdiri atas demes. Setiap demes mengirimkan wakilnya ke dalam Majelis 500 orang wakil. Majelis 500 harus mengambil keputusan mengenai semua masalah yang menyangkut kehidupan kota dan daerah Athena. Keanggotaan di dalamnya dibatasi satu tahun dan seseorang hanya diberi kesempatan dua kali selam hidupnya untuk menduduki majelis tersebut. Bentuk pemerintahan baru tersebut kemudian dinamakan demokratia atau “pemerintahan (oleh) rakyat”. Sistem ini banyak diambil alih oleh banyak polis Yunani yang lain. Demokrasi membuka banyak alternatif bagi warga negara, sehingga mereka memiliki kebebasan untuk berkelompok, termasuk membentuk partai baru maupun memberikan dukungan kepada siapapun sesuai dengan kepentingan warga negara. Melalui demokrasi, dapat membangun kondisi agar pendapatnya. Kebebasan setiap dalam warga demokrasi mampu menyuarakan sesumgguhnya bukan merupakan kebebasan yang mutlak, melainkan kebebasan yang memiliki koridor dan batasan, termasuk kebebasan yang dimiliki orang lain (Majelis Dikti Litbang 2007:81). Pericles, seorang negarawan ternama dari Athena, pada tahun 431 SM mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa kriteria, yaitu (1) pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh 22 dan langsung, (2) kesamaan di depan hukum, (3) pluralisme, yaitu penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan dan pandangan dan (4) penghargaan terhadap pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individual (Hasyim dan Hartono 2009:25). Demokrasi Indonesia bertujuan memelihara kesatuan masyarakat, anti hidup berpartai-partai, pro hidup rukun dan damai, berpendirian, sama tinggi sama rendah, serta semalu sepenanggungan, serugi selaba, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, yang tua dihormati, yang kecil disayangi, hidup tenggang-menenggang, hormat menghormati, bukan tunggang menunggang tekan menekan tetapi saling tolong menolong dan bergotong royong (Hazairin, 1985:39). Demokrasi mengandung arti bahwa masing-masing individu memilik hak untuk mengemukakan pendapat, menghargai adanya perbedaan pendapat, saling tolong menolong dan menghormati antar sesama individu demi terciptanya kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. c. Pengertian Nilai-nilai Demokrasi Gerakan demokrasi di Indonesia menjadi semakin luas jangkauan dan semakin tinggi intensitasnya semenjak reformasi. Reformasi menghendaki perubahan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Cita-cita reformasi ingin membangun Indonesia Baru dengan cara merombak tatanan kehidupan yang dibangun oleh pemerintahan sebelumnya. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil yang demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat Indonesia. 23 Kehidupan masyarakat yang demokratis tidak bisa dibangun seketika atau dalam waktu singkat. Banyak faktor yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya mengidentifikasi sejumlah demokrasi. factor yang Bahmuller (1996) berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi suatu Negara, yaitu tingkat pembangunan ekonomi, identitas nasional, pengalaman sejarah dan unsur-unsur budaya kewarganegaraan. Salah satu unsur dari budaya kewarganegaraan adalah civic virtue atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan yang mencakup keterlibatan aktif warganegara, hubungan kesejarahan atau egaliter, saling percaya dan toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas dan semangat kemasyarakatan. Peran pendidikan demokrasi yang mampu mengembangkan akhlak kewargangeraan dan dalam waktu bersamaan mampu memberi kontribusi terhadap berkembangnya budaya kewarganegaraan menjadi penting bagi perkembangan demokratisasi. Pendidikan sebagai faktor penting bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi semestinya mampu menopang kultur bersistemnya pengembangan berdemokrasi. pendidikan kualitas Pendidikan demokrasi warga dengan Negara dan demokrasi adalah keseluruhan upaya kualitas kehidupan masyarakat. Parker (1992) menggambarkan pentingnya pendidikan demokrasi sebagai berikut. Pendidikan demokrasi atau pendidikan civics sangat pentinng bagi pembangunan karakter suatu bangsa. Pendidikan demokrasi merupakan cara untuk mendidik rakyat tentang bagaimana menjadi seorang warga Negara yang baik karena ia terkait dengan pendidikan nilai dan karakter. Beberapa konsepsi pendidikan kewarganegaraan menjelaskan bahwa kita bisa melatih para siswa melalui berbagai keterampilan yang membekali mereka dengan cara-cara menjadi warga negara yang baik. Disamping kata demokrasi, dikenal juga istilah demokratisasi. Demokratisasi adalah penerapan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip 24 demokrasi pada pada setiap kegiatan politik yang bercirikan demokrasi. Demokratisasi merujuk pada proses perubahan menuju pada sistem pemerintahan yang lebih demokratis. Demokratisasi juga berarti proses menegakkan nilai-nilai demokrasi sehingga sistem politik demokratis dapat terbentuk secara bertahap. Nilai-nilai demokrasi dianggap baik dan positif bagi setiap warga. Setiap warga menginginkan tegaknya demokrasi di suatu negara. Henry B. Mayo dalam Winarno (2010:98) menyebutkan delapan nilai demokrasi, yaitu: 1. Menyelesaikan pertikaian-pertikaian secara damai dan sukarela 2. Menjamin terjadinya perubahan secara damai dan sukarela 3. Pergantian penguasa dengan teratur 4. Penggunaan paksaan sesedikit mungkin 5. Pengakuan dan penghormatan terhadap nilai keanekaragaman 6. Menegakkan keadilan 7. Memajukan ilmu pengetahuan 8. Pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan. Zamroni (2001) dalam Winarno (2010: 98) menyatakan bahwa nilainilai demokrasi yakni: 1) Toleransi Toleransi merupakan suatu sikap yang menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak setiap individu, baik hak beribadat sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing, hak untuk mengemukakan pendapat, hak menjalin hubungan sosial dimasyarakat maupun hak-hak yang lain. 2) Menghargai perbedaan pendapat Ciri dari kehidupan berdemokrasi adalah adanya kebebasan untuk berpendapat. Oleh karena itu dalam kehidupan berdemokrasi harus mampu menjunjung tinggi adanya keragaman pendapat dari 25 masing-masing individu. Sikap menjunjung tinggi adanya perbedaan pendapat dalam kehidupan berdemokrasi ini ditunjukkan dari adanya nilai untuk menghargai setiap pendapat yang dikemukakan orang lain. 3) Memahami dan menyadari keanekaragaman masyarakat Nilai yang perlu dijunjung tinggi dalam kehidupan berdemokrasi adalah adanya keanekaragaman yang ada pada masyarakat, baik keanekaragaman ras, suku, maupun agama. Tanpa adanya kesadaran adanya keanekaragaman yang ada pada masyarakat maka tidak mungkin nilai demokrasi dapat dijunjung setinggitingginya dan bahkan apabila adanya keragaman tersebut tidak diakui oleh anggota masyarakat maka yang timbul dimasyarakat adalah perpecahan. 4) Terbuka dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan martabat manusia Sikap terbuka dan kemauan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai dan martabat manusia merupakan salah satu nilai yang terkandung dalam kehidupan berdemokrasi. Tanpa adanya kemauan untuk terbuka dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan martabat manusia maka yang ada dalam kehidupan bermasyarakat adalah saling menghina, merendahkan, dan menjatuhkan satu dengan yang lain. 5) Pengendalian diri Nilai pengendalian diri dalam kehidupan berdemokrasi mutlak diperlukan agar setiap perbuatan yang dilakukan tidak merugikan orang lain. 6) Kemanusiaan dan kebersamaan Sikap kemanusiaan dan kebersamaan adalah sudah menjadi salah satu nilai yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan berdemokrasi sebab sudah menjadi kodratnya manusia diciptakan sebagai mahluk individu dan sekaligus mahluk sosial. Dalam kehidupan sosial tanpa adanya kebersamaan dalam menyelesaikan 26 setiap persoalan yang timbul maka segala sesuatunya akan terasa sangat berat untuk diselesaikan. 7) Kepercayaan diri Sikap percaya diri dalam kehidupan bermasyarakat sangat penting dimiliki oleh setiap anggota masyarakat guna mengurangi adanya sikap selalu menggantungkan diri kepada orang lain. Dengan adanya kepercayaan diri yang mantap dalam diri setiap individu pada mereka cenderung akan terlebih dahulu berusaha menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi sebelum pada akhirnya meminta pertolongan orang lain. 8) Ketaatan pada peraturan yang berlaku Taat dan patuh memiliki arti selalu melaksanakan segala peraturan yang ditetapkan. Ketaatan dan kepatuhan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan mewujudkan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Peraturan yang dibuat harus dilaksanakan secara bersama-sama sebab peraturan tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama. Ketaatan dan kepatuhan juga merupakan mewujudkan modal yang keadilan utama bagi setiap orang untuk masyarakat secara keseluruhan. Wujud ketaatan dalam kehidupan bermasyarakat. a) Pengendalian tutur kata b) Tidak melukai perasaan orang lain c) Keluhuran nilai kemanusiaan d) Pengakuan adanya kelebihan manusia dan makhluk yang lain e) Perbuatan tidak merendahkan nilai kemanusiaan Nilai demokrasi secara individu hendaknya dimaknai sebagai cermin perilaku hidup sehari-hari yang terwujud dalam cara bersikap dan bertindak. Nilai yang dikemukakan diatas sesuai dengan apa yang menjadi nilai demokrasi dan perilaku yang ditanamkan dalam setiap 27 pelajaran di kelas, yaitu perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan perorangan atau golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat, ataupun kepentingan dapat diatasi melalui musyawarah dan mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama. Dalam pembentukan perilaku dilakukan melalui pembiasaan (sosialisasi),termasuk perilaku demokratis. Wahana yang dapat dipergunakan untuk merekonstruksi perilaku demokratis adalah kelas, melalui kegiatan pembelajaran. Suasana kelas dalam proses pembelajaran mempengaruhi terjadinya proses sosialisasi. Pengembangan suasana kelas yang dilakukan guru dalam bentuk aplikasi metode mengajar secara kreatif menyebabkan suasana kelas dan pola sosialisasi menjadi demokratis, yang tercermin dari pola interaksi guru-siswa dan siswa-siswa. Salah satu hakikat dari pendidikan demokrasi adalah pembelajaran peran dan partisipasi seluruh elemen sekolah untuk mengarahkan perjalanan pendidikan menuju cita-cita bersama. Bentuk pendidikan demokratis tersebut akan tumbuh dan kokoh jika dikalangan peserta didik tumbuh kultur dan nilai-nilai demokrasi antara lain toleransi, bebas mengemukakan dan menghormati perbedaan pendapat, memahami keanekaragaman dalam bermasyarakat, terbuka dalam berkomunikasi, menjunjung nilai dan martabat kemanusiaan, percaya diri atau tidak menggantungkan diri pada orang lain, saling menghargai,mampu mengekang diri, kebersamaan, dan keseimbangan (Zamroni, 2001: 31-32). 28 Dalam hal ini, peneliti hanya menekankan pada penerapan budaya demokrasi di lingkungan sekolah, karena di sekolah pun semua persoalan hendaknya diselesaikan melalui musyawarah mufakat. Contoh persoalan sekolah yang bisa dimusyawarahkan, antara lain: 1) diskusi kelas, 2) pemilihan ketua kelas, 3) penyusunan regu piket kelas, 4) pemilihan ketua OSIS. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peranan nilai-nilai demokrasi dalam bidang pendidikan adalah sebagai pedoman guru dan siswa untuk menciptakan keadilan dan kebersamaan. 5. Model CTL (Contextual Teaching Learning) a. Pengertian Model Pembelajaran Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan pengajaran, digunakan, tahap-tahap termasuk dalam di kegiatan dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas (Arends dalam Trianto, 2010: 51). Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang mengorganisasikan melukiskan pengalaman prosedur belajar untuk sistematik mencapai dalam tujuan pembelajaran tertentu dan berfungsi sebagi pedoman bagi perancang pembelajaran dan para guru dalam merancang dan melaksanakan proses belajar mengajar. Menurut Trianto (2010: 53) fungsi model pembelajaran adalah sebagai pedoman bagi perancang pengajar dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran. Untuk memilih model ini sangat dipengaruhi oleh sifat dari materi yang akan diajarkan, dan juga dipengaruhi oleh tujuan yang akan dicapai dalam pengajaran tersebut serta tingkat 29 kemampuan peserta didik. Di samping itu pula,setiap model pembelajaran juga mempunyai tahap-tahap (sintaks) yang dapat dilakukan siswa dengan bimbingan guru. Antara sintaks yang satu dengan sintaks yang lain juga mempunyai perbedaan. Perbedaan-perbedaan ini, diantaranya pembukaan dan penutupan pembelajaran yang berbeda antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, guru perlu menguasai dan dapat menerapkan berbagai keterampilan mengajar, agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang beraneka ragam dan lingkungan belajar yang menjadi ciri sekolah pada dewasa ini. Pada akhirnya setiap model pembelajaran memerlukan sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang berbeda.Setiap pendekatan memberikan peran yang berbeda kepada siswa, pada ruang fisik, dan pada sistem sosial kelas.Sifat materi dari sistem syaraf banyak konsep dan informasi-informasi dari teks buku bacaan, materi ajar siswa, di samping itu banyak kegiatan pengamatan gambar-gambar. Tujuan yang akan dicapai meliputi aspek kognitif (produk dan proses) dari kegiatan pemahaman bacaan dan lembar kegiatan siswa (Trianto, 2010: 55). b. Pengertian Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment). 30 Contextual Teaching Learning adalah sebuah sistem yang menyeluruh . CTL terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya secara terpisah. Seperti halnya biola, cello, clarinet dan alat music lain di dalam sebuah orchestra yang menghasilkan bentuk yang berbeda-beda yang secara bersama-sama menghasilkan musik, demikian juga bagian-bagian CTL yang terpisah melibatkan proses-proses yang berbeda, yang ketika digunakan secara bersama-sama, memampukan para siswa membuat hubungan yang menghasilkan makna. Setiap bagian CTL yang berbedabeda ini memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas sekolah. Secara bersama-sama, mereka membentuk suatu sistem yang memungkinkan para siswa melihat makna di dalamnya dan mengingat materi akademik (Johnson, 2007:65). 1) Penerapan Pendekatan Kontekstual Di Kelas Pembelajaran Kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dalam kelas cukup mudah.Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini. a) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya b) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topic c) kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. d) Ciptakan masyarakat belajar. e) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran f) Lakukan refleksi di akhir pertemuan g) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara 31 2) Tujuh Komponen Pembelajaran Kontekstual a) Konstruktivisme Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal.Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan. b) Inquiry Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman dan siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis. c) Questioning (Bertanya) Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry. d) Learning Community (Masyarakat Belajar) Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar, bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri, tukar pengalaman dan berbagi ide e) Modeling (Pemodelan) Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar, mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya f) Reflection ( Refleksi) Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari, mencatat apa yang telah dipelajari dan membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok g) Authentic Assessment (Penilaian Yang Sebenarnya) Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa, penilaian produk (kinerja) dan tugas-tugas yang relevan dan kontekstual 32 3) Karakteristik Pembelajaran Kontekstual Kerjasama, Saling menunjang, Menyenangkan, tidak membosankan, Belajar dengan bergairah, Pembelajaran terintegrasi, Menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, sharing dengan teman, siswa kritis guru kreatif, dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain, Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain. 4) Menyusun Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessmennya. Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya.Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual.Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya. Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut. 33 a) Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar. b) Nyatakan tujuan umum pembelajarannya. c) Rincilah media untuk mendukung kegiatan itu d) Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa e) Nyatakan authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran. 5) Langkah – langkah CTL / Sintaks CTL Penerapan Model CTL 1 Pembelajaran CTL memiliki tujuh langkah yang mana secara garis besar langkah-langkah penerapatan CTL dalam kelas itu adalah sebagai berikut. a) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. b) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik c) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya d) Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok) e) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran f) Lakukan refleksi di akhir pertemuan g) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. Penerapan Model CTL 2. a) Modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi – tujuan, pengarahan – petunjuk, rambu-rambu, contoh); b) Questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi); c) Learning community (seluruh siswa berpartisipati dalam belajar kelompok dan individual, otok berpikir dan tangan bekerja, mengerjakan berbagai kegiatan dan percobaan); 34 d) Inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, generalisasi, menemukan); e) Constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis); f) Reflection (review, rangkuman, tindak lanjut); g) Authentic assessment (penilaian selama proses dan seusai pembelajaran harus dilakukan secara objektif dan dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan hasil yang benar-benar mewakili kompetensi siswa). Penerapan Model CTL 3. Menurut bahwa secara garis besar penerapan pendekatan kontekstual dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut (Suparto,2004: 6 ): Mengembangkan metode beajar mandiri, a) Melaksanakan penemuan (inquiry), b) Menumbuhkan rasa ingin tahu siswa, c) Menciptakan masyarakat belajar d) Hadirkan "model" dalam pembelajaran, e) Lakukan refleksi di setiap akhir pertemuan, f) Lakukan penilaian yang sebenarnya. B. Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian relevan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, yang pertama yaitu penelitian yang berjudul “Pengaruh Prestasi Belajar Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Sikap Demokratis Siswa Kelas XI SMK Negeri 1 Yogyakarta Tahun Ajaran 2010/2011” oleh Galang Eko Prasetyo (Jurnal Pendidikan, Volume 1 Nomor 2, Januari 2012). Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh prestasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan terhadap sikap demokratis siswa kelas XI SMK Negeri 1 Yogyakarta. Hasil penelitian ini menyimpulkan penerapan sistem demokrasi, warga negara perlu diberikan pemahaman dan kemampuan mengaktualisasikan demokrasi di kalangan warga 35 negara. Nilai-nilai demokrasi hendaknya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan nyata melalui suatu transformasi yaitu melalui pendidikan, khususnya Pendidikan Kewarganegaraan yang merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang demokratis, memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Penelitian relevan kedua yang peneliti gunakan sebagai acuan yaitu penelitian yang berjudul “Upaya Menuju Demokratisasi Pendidikan Paradigma baru pendidikan” oleh Teguh Sihono (Jurnal Ekonomi dan Pendidikan, Volume 8 Nomor 1, April 2011). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pendidikan mampu melahirkan manusia demokratis yang akan memerankan dirinya sendiri sebagai anak bangsa dalam proses kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pendidikan demokrasi bertujuan mempersiapkan warga masyarakat berfikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan pada generasi baru yang menyadari akan tiga hal. Pertama, demokrasi adalah bentuk kehidupan bermasyarakat yang paling menjamin hak-hak warga negara. Kedua, demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Ketiga, kelangsungan demokrasi tergantung pada keberhasilan menstransformasikan nilai-nilai demokrasi. Kemudian, penelitian relevan ketiga yang peneliti gunakan sebagai acuan yaitu penelitian yang berjudul “Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi” oleh Yudi Latif (Jurnal Sejarah dan Nilai Budaya, Jejak Nusantara Volume 02 Nomor 1, Desember 2014). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa demokrasi yang sehat harus mengandung cita-cita kebudayaan. Demokrasi direalisasikan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab serta nilai-nilai perasaan (kekeluargaan) dan keadilan. Demokrasi yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, mewajibkan para penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemananusiaan yang luhur dan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur. Demokrasi yang berdasarkan nilai persatuan dan keadilan, 36 dituntut dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penelitian relevan selanjutnya adalah yang dilakukan oleh Rini Yulina (2013) dengan judul “Implementasi Nilai-Nilai Demokrasi dalam Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Di SMP Negeri 3 Gringsing Batang”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai demokrasi yang ditanamkan melalui pembelajaran PKn di SMP Negeri 3 Gringsing Batang adalah nilai-nilai: Toleransi, kerjasama, kebebasan berpendapat, kebebasan berkelompok, menghormati orang lain, kepercayaan diri dan kesadaran akan perbedaan. Implementasi nilai-nilai demokrasi dalam pembelajaran PKn di SMP Negeri 3 Gringsing Batang telah dilaksanakan melalui metode diskusi, ceramah, tanya jawab, penugasan, dan demonstrasi. Metode pembelajaran tersebut memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengeluarkan ide, gagasan, atau pendapat mereka terkait dengan materi yang diberikan guru. Sejak dini guru mengajarkan pada siswa untuk bersikap demokratis, sehingga siswa mampu menerapkan nilai-nilai demokrasi baik dalam lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Di samping itu guru juga memberikan teladan yang baik kepada siswa bagaimana mereka melaksanakan hak dan kewajiban secara proporsional. Penelitian relevan yang kelima dilakukan oleh Mursetyadi Yuli Sadono dengan judul “Keefektifan VCT (Value Clarification Technique) dalam Pembelajaran Sejarah Untuk Meningkatkan Nilai Nasionalisme, Demokrasi,dan Multikultural” (Jurnal Harmoni Sosial, Volume 1 Nomor 1, 2014). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan pembelajaran sejarah dengan menerapkan Value Clarification Technique (VCT) untuk meningkatkan nilai nasionalisme, demokrasi dan multikultural, dengan memperhatikan gaya belajar siswa Visual dan Auditori. Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata hasil belajar afektif siswa dengan pembelajaran VCT lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan teknik konvensional. Kesimpulannya, teknik klarifikasi nilai (VCT) efektif untuk 37 penanaman nilai nasionalisme, demokrasi, dan multikultural melalui pembelajaran sejarah, baik pada siswa yang bergaya belajar auditori maupun visual. Penelitian relevan internasional yang peneliti gunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah penelitian yang berjudul “The Significance of Establishing Democratic Education Environment At Schools” oleh Şanlı and Altun (Journal of Educational and Instructional Studies In The World May 2015, Volume: 5, Issue: 2, Article: 01). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Memiliki sikap demokratis adalah salah satu cara terbaik untuk hidup bahagia dan damai dalam masyarakat modern untuk individu. Demokrasi adalah salah satu cara yang paling diterima mengatur sistem di dunia modern kita. Pada kasus ini pendidikan demokrasi dan pembangunan lingkungan yang demokratis di sekolah begitu signifikan bagi siswa, guru dan administrator. Mengajar dengan perilaku demokratis dan manajemen sikap yang demokratis di sekolah sangat penting. Karena lulusan yang mempunyai sikap demokratis akan menjadi panutan yang baik untuk kehidupan di masa depan siswa. Penelitian relevan internasional kedua yang peneliti gunakan sebagai acuan adalah penelitian yang berjudul “The Relationships Between Students’ Attitudes Towards Social Studies and Their Perceptions Of Democracy” oleh Sabahattin (dimuat dalam Educational Research and Reviews Vol. 8(3), pp. 77 -83, 10 February, 2013). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa IPS adalah salah satu pelajaran dasar yang ada dalam kurikulum dari kelas 4, 5, 6, dan 7. Pelajaran ini bertujuan untuk melatih warga negara yang baik. Konsep demokrasi merupakan topik penting bagi siswa untuk memahami sehingga mencapai tujuan melalui pelajaran IPS. Oleh karena itu, tujuan dalam penelitian ini, untuk mengetahui hubungan antara sikap siswa terhadap IPS dan persepsi mereka tentang konsep demokrasi. Sebanyak 665 siswa kelas 7 primer berpartisipasi dalam studi, 333 di antaranya adalah anak perempuan dan 332 anak laki-laki. Ditemukan bahwa ada hubungan positif antara sikap siswa terhadap IPS dan persepsi mereka tentang demokrasi. Selain itu, tidak ada perbedaan yang signifikan antara sikap siswa terhadap IPS dan persepsi mereka tentang konsep demokrasi. 38 A. Kerangka Berpikir Berdasarkan kajian teori serta penelitian relevan yang dikemukan di atas maka dapat disusun kerangka pemikiran bahwa peran pendidikan demokrasi mampu mengembangkan akhlak kewarganegaraan peserta didik. Pendidikan sebagai faktor penting bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi semestinya mampu menopang kultur berdemokrasi. Pendidikan demokrasi adalah bersistemnya pendidikan demokrasi dengan keseluruhan upaya pengembangan kualitas warga Negara dan kualitas kehidupan masyarakat. Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment). Pembelajaran sejarah di kelas selayaknya menerapkan nilai-nilai demokrasi agar pembelajaran lebih bermakna. Nilai demokrasi secara individu hendaknya dimaknai sebagai cermin perilaku hidup sehari-hari yang terwujud dalam cara bersikap dan bertindak. Nilai demokrasi sesuai dengan perilaku yang ditanamkan dalam pelajaran di kelas, yaitu perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan atau golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat, ataupun kepentingan dapat diatasi melalui musyawarah dan mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama. Oleh karena itu 39 peneliti beranggapan bahwa diduga dengan penerapan nilai-nilai demokrasi dalam pembelajaran sejarah di kelas dapat membangun sikap sosial dan meningkatkan hasil belajar pesera didik. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dibuatkan skema kerangka berpikir sebagaimana tampak pada gambar 2.1 sebagai berikut: Guru belummenerapkapkan nilai-nilai demokrasi dalam pembelajaran sejarah KONDISI AWAL Penerapan nilai-nilai demokrasi dengan model CTL dalamPembelajaran Sejarah. TINDAKAN KONDISI AKHIR Diduga dengan penerapan nilainilai demokrasi dengan model CTL akan membangun sikap sosial dan meningkatkan hasil belajar Siswa Kelas XI IIS 2 SMA Al Islam 1 Surakarta Tahun Pelajaran 2015/2016. Sikap sosial dan hasil belajar siswa masih rendah. Siklus 1 : Planning, Action, Observation, Reflection Siklus II : Planning, Action, Observation, Reflection Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir Penelitian Tindakan kelas tentang Penerapan Nilai-nilai Demokrasi dengan Model CTL dalam pembelajaran sejarah dapat Membangun Sikap Sosial dan Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas XI IIS 2 di SMA Al Islam 1 Surakarta Keterangan Skema : 1. Pada kondisi awal guru belum menerapkapkan nilai-nilai demokrasi dalam pembelajaran sejarah sehingga sikap sosial dan hasil belajar siswa rendah. 2. Melihat kondisi tersebut, maka guru berusaha memperbaiki dengan melakukan penelitian tindakan kelas yakni dengan menerapkan nilai-nilai demokrasi dengan model CTL dalam Pembelajaran Sejarah. 40 3. Diduga dengan penerapan nilai-nilai demokrasi dengan model CTL dalam pembelajaran sejarah dapat membangun sikap sosial dan meningkatkan hasil belajar Siswa Kelas XI IIS 2 SMA Al Islam 1 Surakarta. D. Hipotesis Tindakan Berdasarkan hasil kajian pustaka dan kerangka berpikir, dapat dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas ini sebagai berikut. 1. Penerapan nilai-nilai demokrasi dalam pembelajaran sejarah dapat membangun sikap sosial siswa kelas XI IIS 2 di SMA Al Islam 1 Surakarta. 2. Penerapan nilai-nilai demokrasi dalam pembelajaran sejarah dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI IIS 2 di SMA Al Islam 1 Surakarta.