BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor informal

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor informal digambarkan sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada di luar
pasar terorganisasi (Hart Keith, 1971). Richardson (1984) menyatakan bahwa di sebagian besar
negara berkembang, sektor informal merupakan tumpuan hidup dari masyarakat marjinal di kota
karena sektor informal cukup banyak menyerap tenaga kerja. Menurut Muchdarsyah Sinungan
(2006) bahwa tenaga kerja ditentukan oleh permintaan terhadap tenaga kerja tersebut
(employment as a derived demand), maka dari itu di sektor informal adanya penciptaan
kesempatan kerja yang didorong oleh penawaran jasa tenaga kerja (supply induced employment
creation). Yustika (2000) mengatakan bahwa sektor informal itu dicirikan sebagai produsen
skala kecil yang menggunakan tenaga kerja sendiri untuk produksi barang dan selalu ada dalam
kegiatan bisnis. Karakteristik dari sektor informal menurut Cahyono (1983) yakni tenaga kerja
mudah keluar masuk pasar, tidak memiliki keterampilan yang memadai, biasanya tidak atau
sedikit memiliki pendidikan formal dan biasanya tenaga kerja merangkap produsen dengan
dibantu tenaga kerja keluarga.
Peran sektor informal pada bidang ekonomi secara esensial ada dua yaitu yang pertama
adalah adanya pekerjaan untuk sejumlah besar penduduk. Peran ini sangat vital di negara
dengan pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi. Sejumlah 80 persen dari pekerjaan baru
diciptakan oleh perusahaan perusahaan yang tenaga kerjanya kurang dari 100 orang. Kedua,
sektor informal mensuplai jenis barang dan jasa yang tidak diproduksi sektor formal. Jenis
barang yang diproduksi sektor formal misalnya tekstil, rokok dan minuman yang memiliki pasar
massal dalam arti bahwa produk tersebut bisa dibeli di desa yang sangat terpencil tetapi sektor
informal mampu menyediakan barang barang dan jasa tambahan yang tidak diproduksi oleh
perusahaan - perusahaan besar (Hakim, 2002).
Gambar 1.1 Persentase Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di
Provinsi Bali pada tahun 2012
Sumber : Sakernas Agustus 2012
Terlihat dalam Gambar 1.1 bahwa sektor informal khususnya perdagangan mendominasi
jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 625.302 orang atau 27,56 persen dalam kurun waktu
2011 dan 2012. Pada urutan kedua ditempati oleh sektor pertanian dimana persentase penduduk
yang bekerja pada sektor ini mencapai 25,24 persen atau sebanyak 572.685 orang. Sektor jasa
menduduki urutan ketiga dalam lapangan pekerjaan di sektor informal sebanyak 390.161 orang
atau sebesar 17,20 persen.
Berdasarkan status pekerjaannya pada tahun 2013 jumlah pekerja formal di Provinsi Bali
mencapai 1.094.890 orang atau sekitar 48,15 persen sedangkan jumlah pekerja informalnya
adalah sebesar 1.179.007 orang atau sebesar 51,85 persen, dimana sebagian disumbangkan oleh
status pekerjaan yang dibantu buruh tidak tetap sebesar 15,33 persen, pekerja keluarga 13,57
persen, dan berusaha sendiri 13,73 persen ( BPS, 2013)
Aktivitas sektor informal mencakup berbagai sub sektor seperti sub sektor pertambangan,
pertanian, manufaktur, listrik, konstruksi, perdagangan, transportasi dan lain - lain. Sub sektor
perdagangan adalah sub sektor yang paling mendominasi atau paling besar menurut Badan Pusat
Statistika (1990). Perdagangan adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan
pengumpulan dan penjualan kembali tanpa adanya perubahan bentuk pada barang tersebut
dimana yang dijual barang baru maupun barang bekas. Pengertian dari pedagang menurut
Klasifikasi Buku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yaitu suatu badan usaha atau perorangan
yang melakukan suatu kegiatan perniagaan atau perdagangan secara terus menerus dengan tujuan
adanya pendapatan yang setinggi - tingginya, tingkat efisiensi yang tinggi serta keuntungan yang
maksimal. Pendapatan merupakan arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari
aktivitas norma entitas selama suatu periode dan arus masuk tersebut akan mengakibatkan
kenaikan ekuitas tetapi tidak berasal dari kontribusi penanaman modal (Kieso, Weygandt dan
Warfield, 2001). Pendapatan menunjukkan seluruh uang yang diterima seseorang dalam jangka
waktu tertentu dalam suatu kegiatan ekonomi.
Terlihat dari beberapa data yang dipaparkan dan dalam gambar 1.1 bahwa sektor informal
khususnya perdagangan yang sangat mendominasi penyerapan tenaga kerja di Provinsi Bali.
Menurut Tjiptono Fandy (2008) pedagang eceran atau usaha ritel merupakan semua kegiatan
penjualan barang dan jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk pemakaian pribadi dan
rumah tangga. Pedagang eceran memegang peranan penting dari segi konsumen maupun
produsen. Pedagang eceran dari segi konsumen bertindak sebagai agen yang membeli sedangkan
dari segi produsen bertindak sebagai penjual produk perusahaan. Usaha ritel yang berfokus pada
penjualan barang terbagi menjadi dua yaitu usaha ritel tradisional dan usaha ritel modern. Usaha
ritel tradisional adalah memiliki tempat yang sederhana, tempatnya tidak terlalu luas, barang
yang dijual tidak terlalu banyak jenisnya, sistem pengelolaan masih sederhana, tidak
menawarkan kenyamanan berbelanja dan masih ada proses tawar-menawar harga dengan
pedagang, serta produk yang dijual tidak dipajang secara terbuka sehingga pelanggan tidak
mengetahui apakah peritel memiliki barang yang dicari atau tidak.
Usaha ritel modern adalah sebaliknya menawarkan tempat yang luas, barang yang dijual
banyak jenisnya, sistem manajemen terkelola dengan baik, menawarkan kenyamanan berbelanja,
harga jual sudah tetap sehingga tidak ada proses tawar-menawar dan adanya sistem
swalayan/pelayanan mandiri, serta pemajangan produk pada rak terbuka sehingga pelanggan
bisa melihat, memilih, bahkan mencoba produk terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk
membeli. Pelaku usaha ritel menginginkan adanya tingkat efisiensi dalam usahanya karena
ketika semakin tinggi rasio output terhadap input maka semakin tinggi tingkat efisiensi yang
dicapai dan keuntungan yang dicapai oleh pelaku usaha ritel semakin tinggi pula. Secara
sederhana menurut Nopirin (1997) efisiensi dapat berarti tidak adanya pemborosan. Usaha ritel
yang berfokus pada penjualan kebutuhan wisatawan biasanya banyak dijumpai di daerah
pariwisata. Bali merupakan tujuan utama wisata di Indonesia. Pulau Bali memiliki ragam adat
istiadat yang menarik minat para wisatawan, selain itu Pulau Bali dijuluki sebagai The Last
Paradise. Menurut Saputra (2010) sektor pariwisata di Bali berperan sebagai leading sector atau
sektor berbasis penopang perekonomian Bali. Perkembangan industri pariwisata menjadi sektor
yang diunggulkan dalam pembangunan nasional karena sektor industri pariwisata ini menjadi
penyebab laju pertumbuhan perekonomian yang cepat dalam hal kesempatan kerja, pendapatan,
taraf hidup dan penyebab timbulnya laju pertumbuhan ekonomi dalam hal pendapatan negara
atau mendatangkan devisa bagi negara.
Keberadaan objek wisata yang ada di Bali khususnya Kabupaten Badung tidak hanya
menguntungkan pemerintah daerah tetapi juga bagi masyarakat di sekitar kawasan objek wisata
tersebut (Apriliani, 2012). Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten yang ada di
Provinsi Bali yang memiliki potensi wisata yang sangat unggul dan strategis. Hal ini karena
Kabupaten Badung memiliki obyek wisata pantai yang indah. Pantai yang ada di Kabupaten
Badung mampu menjadi pusat daya tarik para wisatawan yang berkunjung dan dapat
menciptakan peluang sektor-sektor informal yang dapat menyerap tenaga kerja. Peluang dari
terciptanya lapangan kerja disektor informal ini disebabkan oleh adanya aktivitas pariwisata
yang menjadi perhatian khusus bagi para pencari kerja lokal maupun pendatang (Saputra, 2010).
Pusat dari industri pariwisata berada di Kuta yang membawa dampak sangat besar bagi
penduduk bahkan para pendatang. Sektor informal dipandang sebagai sektor yang melakukan
perubahan sosial menuju kehidupan yang modern menurut Hauster dan Gardener (1982). Banyak
dari penduduk asli Kuta bahkan pendatang yang menggantungkan hidupnya dari industri
pariwisata.
Sektor informal dan kaitannya dengan usaha dagang ritel yang berada di daerah Kuta
dimana Kuta merupakan daerah yang terkenal dengan daerah pariwisata. Daerah Kuta sangat
dipadati oleh wisatawan mancanegara. Wisatawan biasanya akan menghabiskan waktunya untuk
berbelanja diseputaran Kuta dan menikmati keindahan pantai Kuta. Masyarakat yang tidak
memiliki modal banyak melihat peluang untuk membuka usaha ritel tradisional di daerah Kuta.
Dimana usaha dagang ritel yang dimiliki oleh masyarakat yang ada di daerah Kuta diatur oleh
Desa Adat Kuta dimana pedagang tersebut diberikan tempat atau wilayah untuk berdagang.
Jumlah dan jenis pedagang usaha ritel tradisional yang berada di pinggir Pantai Kuta ditunjukan
pada Tabel 1.1
Tabel 1.1 Jumlah dan Jenis Pedagang Sepanjang Pantai Kuta
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
15
16
17
18
Jenis Dagangan
Soft Drink
Baju Bali
Patung
Kutek Kuku
Perak
Makanan
Buah/Manisan
Sumpitan
Jam
Gambaran
Layangan
Sandal
Kaca Mata
Kerang
Rokok
Tikar
Kelapa Muda
Jumlah
Jumlah (orang)
138
120
132
165
25
40
20
21
24
4
6
3
16
16
14
31
8
783
Sumber : Data dari unit Pengelola Pantai Kuta Desa Adat Kuta 2015
Terlihat dalam Tabel 1.1 bahwa di pinggiran pantai Kuta dipadati oleh bermacam macam
pedagang. Desa Adat Kuta mengenakan biaya retribusi bagi masyarakat yang berdagang di
pinggir Pantai Kuta sebesar Rp 75.000/bulan. Pada Tabel 1.1 terlihat pada jenis dagangan adanya
pedagang yang menjual baju Bali sebanyak 120 orang yang berada di pinggiran Pantai Kuta.
Terlihat dari tabel bahwa banyak pedagang yang lebih tertarik menjual baju Bali dibandingkan
dengan menjual makanan maupun minuman. Hal itu desebabkan karena wisatawan yang
berkunjung ke daerah Kuta khususnya wisatawan mancanegara sangat menyukai baju Bali dan
sangat menghargai baju Bali. Maka masyarakat lebih memilih untuk menjual baju Bali. Selain di
pinggir Pantai Kuta, Desa Adat Kuta juga mengelola pasar Seni Kuta yang menjual kebutuhan
wisatawan khususnya baju Bali yang berlokasi di seputaran Jalan Bakungsari. Jumlah kios yang
ada di Pasar Seni tersebut yaitu sebanyak 220 kios dimana para pedagang di pasar Seni
membayar sewa kios kepada Desa Adat sebesar Rp 350.000/bulan. Data tersebut menunjukkan
bahwa rata - rata pedagang yang berjualan di pinggir pantai bahkan pedagang yang memiliki kios
lebih banyak memilih berjualan baju khas Bali dan sangat mendominasi. Pedagang menawarkan
harga Baju khas Bali bervariasi dari harga termurah yaitu Rp 25.000,00 hingga Rp 75.000,00.
Pedagang baju Bali mampu bertahan dalam persaingan berdagang di Kuta, walaupun, biaya sewa
kios dan biaya peralatan berdagang sangat tinggi selain itu persaingan antar pedagang/ usaha ritel
yang satu jenis barang cukup tinggi.
Di antara persaingan pedagang tersebut adanya pemilihan tempat atau cara berdagang
yang berbeda. Perbedaan adanya pemilihan tempat layanan yang dipilih oleh para pedagang
usaha ritel tersebut yaitu pedagang yang memilih tempat layanan menetap atau pedagang yang
memiliki kios rela mengeluarkan biaya cukup tinggi untuk menarik perhatian pembeli dan lebih
banyak pilihan baju yang dapat dijual sedangkan pedagang yang lebih memilih tempat layanan
berpindah - pindah yang memang sudah ditetapkan hanya dapat berjualan di sepanjang pinggir
pantai Kuta dan pedagang yang memilih tempat di pinggir pantai Kuta untuk berjualan biasanya
mengeluarkan biaya cukup rendah. Tidak mudah berjualan dengan persaingan yang tinggi di
sepanjang pantai Kuta, karena pedagang yang berjualan baju Bali di sepanjang pinggiran pantai
kuta sebanyak 120 pedagang. Pedagang yang memilih tempat layanan menetap maupun
berpindah - pindah memiliki pendapatan dan biaya yang dikeluarkan berbeda. Terlihat dari
uraian di atas adanya ketimpangan antara pendapatan dan biaya yang dikeluarkan oleh pedagang
baju Bali menetap dan semi menetap. Pedagang yang memilih tempat layanan menetap maupun
yang memilih tempat layanan semi menetap mengeluarkan biaya yang berbeda serta adanya
pendapatan yang berbeda pula, maka akan terlihat tingkat efisiensi dari pedagang baju Bali
menetap dan semi menetap. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis
pendapatan dan efisiensi usaha dagang baju Bali menetap dan semi menetap di daerah Kuta.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas mengenai maka ada beberapa hal yang dapat
dirumuskan sebagai permasalahan yaitu:
1) Apakah ada perbedaan pendapatan dari pedagang baju Bali antara yang menetap dan semi
menetap ?
2) Apakah ada perbedaan efisiensi usaha dagang Baju bali antara yang menetap dan semi
menetap ?
1.3
Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas maka penelitian ini bertujuan
untuk :
1. Untuk menganalisis pendapatan dari pedagang baju Bali antara yang menetap dan semi
menetap
2. Untuk menganalisis tingkat perbedaan efisiensi usaha dagang baju Bali antara yang menetap
dan semi menetap
1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang diperoleh dari hasil penelitian mengenai para pedagang yang
memilih tempat layanan menetap maupun semi menetap di daerah Kuta yaitu :
1)
Kegunaan Teoritis
Penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman dan mampu mengaplikasikan teori teori
ekonomi mengenai ketenagakerjaan dan sektor informal khususnya yang terkait dengan
pendapatan dan efisiensi pedagang baju Bali di daerah Kuta.
2) Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah pusat maupun daerah
dalam mengambil suatu kebijakan yang berkaitan dengan pedagang di sektor informal pada
industri pariwisata serta diharapkan mampu mengembangkan kekuatan ekonomi masyarakat
bawah yang tidak memiliki modal.
Download