metode dakwah ali bin abi thalib

advertisement
METODE DAKWAH ALI BIN ABI THALIB
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh:
Samsuri
NIM: 104051001802
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2010 M
METODE DAKWAH ALI BIN ABI THALIB
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Untuk memenuhi Persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh:
Samsuri
NIM: 104051001802
Pembimbing
Prof. Dr. Murodi, MA
NIP : 119640705 199203 1 003
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Metode Dakwah Ali bin Abi Thalib” telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 16 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata I (S1) pada jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Jakarta, 16 Desember 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Arief Subhan, MA
NIP. 199600110 199703 1 004
Umi Musyarofah, MA
NIP. 1971618 197703 2 002
Anggota:
Penguji I
Penguji I
Drs. Jumroni, M. Si
NIP. 19630515 199203 1 006
Drs. Wahidin Saputra, MA
NIP. 19700903 199603 1 001
Pembimbing
Prof. Dr. Murodi, MA
NIP. 119640705 199203 1 003
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S-1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Januari 2010
Samsuri
ABSTRAK
Samsuri
Metode Dakwah Ali bin Abi Thalib
Sesuai dengan misinya sebagai “rahmatan lil ‘alamin” Islam harus ditampilkan
dengan wajah menarik supaya umat lain mempunyai pandangan bahwa kehadiran islam
bukan sebagai ancaman bagi eksistensi mereka melainkan pembawa kedamaian dan
ketentraman dalam kehiduoan mereka sekaligus sebagai pengantar menu kebahagiaan
dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, diperlukanpara pelaku dakwah aktif yang mampu
meng-ejawantah-kan misi tersebut serta mempunyai pemahaman yag mendalam seperti
memiliki kemampuan mencari materi yang cocok, mengetahui psikologis objek dakwah
secara tepat, memilih metode yang representative. Oleh karena itu, maka dalam skripsi
ini penulis akan membahas tentang metode yang digunakan khalifah Ali bin Abi Thalib
dalam dakwah beliau.
Alasan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui apakah metode dakwah
yang di gunakan khalifah Ali bin Abi Thalib.
Mengenai rumusan masalah yang dipakai dalam skripsi ini adalah apa metode
dakwah yang digunakan Ali bin Abi Thalib dalam membangun dakwah.
Sebab khalifah telah wafat, maka penelitian yang dilakukan adalah penelitian
kepustakaan (library reseach) dan menggunakan pendekatan kualitatif. Artinya
penullissmencari buku-buku yag berkaitan dengan khalifah Ali bin Abi Thalib atau yang
berhubungan dengan judul yang diteliti diperpustakaan, kemudian data-dta yang
ditemukan dianalisis dengan metode histories. Dalam hal ini penulis mencoba
memaparkan atau menggambarkan tentang bagaimana metode dakwah khalifah Ali bin
Abi Thalib dan pesan yang beliau sampaikan bagi pengembangan dakwah.
Untuk menganalisis hasil temuan dari buku, penulis menggunakan teori-teori
terutama tentang metode dakwah yang terdiri dari metode al-hikmah, al-mauidzhotil
hasanah, dan al-mujadalah. Pada ketiga macam metode dakwah inilah yang lebih
ditekankan penulis untu menganalisis metode dakwah Ali bin Abi Thalib.
Riset penulis, Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam dakwah nya menggunakan
ketiga metode dakwah yakni bil hikmah, al-mauidzotil hasanah, dan al-mujadalah.
Meski sedari kecil hingga dewasa Ali selalu dihadapkan pada peperangan, kemuliaan
sifat Ali membuat ia harus bernegosiasi pada saat berhadapan dengan musuh, serta
kecerdasan yang beliau miliki mengharuskan beliau dlam meliahat setiap permasalahan
selalu dengan sikap bijaksana, tidak jarang Ali terlebih dahulu mengajak musuhnya
mengikuti ajaran Allah dan Rasulnya, jika tidak berhasil maka dengan terpaksa Ali harus
menggunakan apa yang seharusnya dilakukan.
Inti dari penelitian ini adalah sebuah harapan agar para da’I dan da’iyah memiliki
tambahan referensi serta senantiasa menciptakan sebuah metode terkini sehingga
tercapailah hasil optimal sesuai dengan apa yang telah dicita-citakan.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan
kemudahan dalam proses pembuatan skripsi.
Shalawat dan salam sejahtera semoga terlimpah curahkan kepada baginda
nabi Muhammad SAW, yang te;lah membawa risalah dinul islam sebagai jalan
hidup bagi seluruh umat manusia. Selama dalam perkuliahan dan penulisna skripsi
in penulis mendapat banyak bimbingan dari berbagai pihak. Dengan segala
kerndahan hati, penulis menghaturkan rasa terimakasih yang setulus-tulusnya
kepada:
1. Ayahanda tercinta Bpk. Dani, dna Ibunda tercinta Ibu Roiyah yang selama
hidup telah banyak memberikan seluruh kasih sayang dan doanya, serta
membantu penulis baik moril maupun materil yang tak henti hingga kini.
2. Bpk. Dr. Arief Subhan, M.A. Selaku Dekan Fakultas Dakwah &
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bpk. Drs. Wahidin Saputra, M.A., dan Ibu Hj. Umi Musyarofah, M.A.
Selaku Ketua dan sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam.
4. Bpk. Prof Dr Mrodi M.A, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan banyak ilmu dan meluangkan waktunya, sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
5. Pimpinan dan staf Perpustakaan Utama dan Pepustakaan Fakultas dakwah
dan komunikasi yang telah banyak memberikan kemudahan kepada
peneliti.
6. Seluruh dosen dan karyawan Faultas Dakwah dan Komunikasi yang telah
memberikan
banyak
ilmu,
mudah-mudahan
menajdi
ilmu
yang
bermanfaat.
7. Para shabat terbaikku, teman-teman KPI B angkatan 2004/2005 dan semua
pihak yag tidak tersebutkan namanya yang telah banyak membantu
peneliti dan memberikan semangat sehingga skripsi ini dpat terselesaikan.
8. Adik-adikku tersayang dan “permata” yang selalu setia memberikan
motifasi tak henti selama penulisan skripsi.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT peneliti serahkan semua ini, semoga
bantuan dari semua pihak dapat diadikan amal shaleh disisi Allah, dan
harapan peneliti mudah-mudahan karya ilmiah yang sederhana ini dapat
menjadi ilmu yang bermanfaat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
terutama Dakwah dan Komunikasi.
Jakarta, 11 November 2009
Peneliti,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………...
DAFTAR ISI…………………………………………………………………..
ABSTRAK……………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………………4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………………..4
D. Metodologi Penelitian……………………………………………………5
E. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………8
F. Sistematikan Penelitian…………………………………………………..8
BAB II
TINJAUAN TEORI TENTANG METODE DAKWAH……11
A. Pengertian Metode………………………………………………………11
1. Etimologi dan Terminologi……………………………………………...11
B. Pengertian Dakwah……………………………………………………...12
1. Etimologi dan Terminologi Dakwah……………………………………12
2. Metode-metode Dakwah………………………………………………..15
BAB III
BIOGRAFI ALI BIN ABI THALIB…………………………22
A. Riwayat Hidup Ali binAbi Thalib……………………………………...22
B. Prestasi-prestasi yang dicapai Ali bin Abi Thalib……………………...36
BAB IV
DAKWAH ALI BI ABI THALIB……………………………44
A. Metode Dakwah Ali bin Abi Thalib……………………………………44
B. Analisis Metode dakwah Ali bin Abi Thalib…………………………...48
BAB V
PENUTUP……………………………………………………...63
A. Kesimpulan……………………………………………………………..63
B. Saran-saran……………………………………………………………..64
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang abadi yang terangkum dalam teks-teks al-Quran
dan sunah Rasulullah saw, sosok yang tak pernah mengucapkan satu kata pun dari
mulutnya kecuali wahyu Tuhan semesta Alam. Allah swt dan Rasul-Nya telah
mengetahui bahwa umatnya akan berbeda pendapat setelah kepergian beliau.
Sehingga atas dasar inilah, al-Quran telah menurunkan obor penerang kepada
umat yang dapat digunakan selepas Rasulullah saw, pelita yang dapat menuntun
manusia sehingga mengikuti jejak yang pernah ditinggalkan oleh beliau, dan dapat
membantu mereka dalam memahami dan menafsirkan arahan-arahannya, obor itu
tak lain adalah ahlulbait a.s yakni para sahabat sepeninggalnya. 1
Tak dapat dipungkiri bahwa kepergian Rasulullah SAW telah membawa
angin lain dalam kehidupan para sahabat. Terjadinya pertemuan tsaqifah yang
menghasilkan pemilihan khalifah pertama meski Rasulullah SAW belum
dimakamkan. Pada tahun ke-13 H, khalifah pertama, Abu Bakar as-Shiddiq,
meninggal dunia dan menunjuk khalifah Ustman bin Affan. Pada tahun 35 H,
khalifah Ustman terbunuh dan kaum muslimin secara demokrasi memilih serta
menunjuk Imam Ali sebagai khalifah dan pengganti Rasulullah SAW dan sejak
saat itulah beliau memimpin negara Islam.
Selama masa kekhalifahannya yang hampir 4 tahun 9 bulan, Ali mengikuti
cara yang digunakan Nabi dan mulai menyusun sistem yang islami dengan
1
Tim The Ahl-Ul Bayt Word Assembly, Teladan Abadi Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: al-Huda,
2008), cet-1. h.23
1
2
membentuk gerakan spiritual dan pembaharuan. Hapir sebagian besar hari-hari
pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib r.a digunakan untuk peperangan intern
melawan pihak-pihak oposisi yang sangat merugikan Negara Islam seperti perang
jamal, perang Siffin serta perang Nahrawan.
Imam Ali adalah sosok manusia perkasa dengan segala karakteristik yang
khas dan sifat-sifatnya yang istimewa, sosok manusia yang paling mengagumkan
dan paling sempurna disepanjang sejarah keberadaan manusia. Beliau adalah
sosok pahlawan yang menghunus pedang demi membela risalah Allah dan wahyu
langit. Perang-perang yang pernah diterjuninya seperti Badar, Uhud, Khaibar serta
Ahzab bercerita sendiri tentang bagaimana keberanian, pembelaan, keteguhan,
serta ketinggian daya juang beliau.
Apabila menceritakan tentangnya dari sudut pandang ilmu dan
pengetahuan kita akan tertawan oleh pemikiran-pemikirannya yang cemerlang,
yang dipenuhi muatan balaghah dan kefasihan bicara. Beliau merupakan pintu
untuk memasuki kota pengetahuan Rasulullah saw. Kunci-kunci syariat berada
dalam genggamannya, betapa banyak Syubhat yang telah beliau robohkan dan
banyak hal-hal samar yang telah beliau kuak. Betapa banyak persoalan-persoalan
rumit dan teka-teki membingungkan yang sudah beliau pecahkan.
Ali adalah seorang yang tegas saat bicara dan adil saat memutuskan.
Sehingga tak heran, ketika beliau memangku kekhalifahan, kebenaran kembali ke
tempat semulanya. Ketidakadilan diluruskan dan segalanya dibagi tanpa
perbedaan.
3
Jika mencermati kezuhudan beliau, maka beliaulah yang paling zuhud dan
kuat beribadah. Pada dirinya, akan ditemukan sosok seorang sufi yang
meninggalkan dunia ini secara keseluruhan sehingga yang ada dibenaknya
hanyalah tujuan akhirat semata 2 .
Sifat-sifat mulia yang dimiliki Ali tersebut di atas tentunya menjadi modal
utama yang harus dimiliki da’I dalam setiap pelaksanaan dakwah. Karena dakwah
merupakan kewajiban setiap individu muslim kapanpun dan dimanapun berada.
Berdakwah tidak dapat dilaksanakan dengan asal-asalan, melainkan harus dengan
metode, karena yang diseru adalah manusia yang mempunyai pikiran dan
pendirian. Jika dakwah salah dalam pendekatan maka dapat dipastikan dakwah
tidak akan memenuhi sasaran, bahkan mungkin saja muncul efek yang
sebaliknya. 3
Memilih cara dan metode yang tepat, agar dakwah menjadi aktual, faktual
dan kontekstual, menjadi bagian strategis dari kegiatan dakwah itu sendiri. Tanpa
ketepatan metode dan keakuratan cara, kegiatan dakwah akan terjerumus kedalam
upaya sia-sia. Aktivitas dakwah akan berputar dalam pemecahan problema tanpa
solusi dan tidak jelas ujung pangkal penyelesaiannya. 4
Oleh sebab itu, perlu kiranya jika dilakukan penelitian tentang metodemetode apa saja yang dilakukan Ali bin Abi Thalib terkait dengan eksistensinya
sebagai Khalifah keempat.
Sehingga peneliti akan meneliti dengan judul “METODE DAKWAH
ALI BIN ABI THALIB”
2
Abbas Ali al-Musawi, Ali bin Abi Thalib Manusia Sempurna, (Jakarta: Cahaya, 2008) cet 1, h. 10
Nana Rukmana D.W. Masjid dan Dakwah, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2002) cet 1, h.164
4
Munzir Supatra dan Harjani Hefni (ed), Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h.xiii
3
4
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah hanya pada metode
dakwah yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib sesudah menjadi khalifah
keempat yaitu selama 4 tahun 9 bulan.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan skripsi ini adalah:
a. Apa metode dakwah yang dilakukan Ali bin Abi Thalib selama menjadi
khalifah dalam mengembangkan?
b. Apa saja pesan yang beliau sampaikan bagi pengembangan dakwah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
a. Metode dakwah yang digunakan oleh Ali bin Abi Thalib selama menjadi
khalifah dalam mengembangkan dakwah.
b. Apa saja pesan yang beliau sampaikan bagi pengembangan dakwah.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1) Dalam penelitian ini kiranya memberikan informasi kepada semua
kalangan yang terkait di dunia dakwah, khususnya jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam dalam upaya meningkatkan mutu dakwah.
5
2) Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, terutama tentang dakwah.
3) Memberikan wawasan dan pengetahuan dalam upaya mengembangkan
studi komunikasi dan dakwah, sehingga pesan-pesan dakwah dapat
diterima oleh masyarakat sesuai dengan tujuan dakwah.
b. Manfaat praktis
1) Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah sumbangan
pemikiran tentang metode dakwah.
2) Sebagai penambahan pustaka yang nantinya diharapkan menambah
pemahaman secara mendalam mengenai metode dakwah.
3) Untuk menambah wawasan akademisi dan praktisi dakwah agar
mengembangkan metode dakwahnya dilapangan serta dakwah yang
disampaikannya mudah dimengerti dan diterima.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Seperti lazimnya karya ilmiah pada sebuah karya tulis. Setiap penulis
diharuskan menggunakan metode tertentu dalam penelitiannya. Penulis harus
membuat langkah-langkah atau landasan berpijak dalam melakukan penelitian
dengan teori-teori yang sudah ada dan yang berkaitan dengan konteks Islam. Pada
tahap berikutnya dapat dijelaskan secara sistematis dengan bahasa yang mudah
dicerna dan dipahami. Oleh karena itu metode yang digunakan dari hasil
penelitian nanti menggunakan metode histories.
6
Metode histories adalah studi tentang masa lalu dengan menggunakan
kerangka berbagai tahap generalisasi untuk memaparkan, menafsirkan dan
menjelaskan data. Metode Histories bertujuan merekonstruksi masa lalu secara
sistematis dan objektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi dan
menyintesiskan bukti untuk menetapkan fakta dan mencapai konklusi yang dapat
dipertahankan. Dengan metode histories, penulis mencoba menjawab masalahmasalah yang dihadapinya.
Penulis mengambil sumber data dari hasil penelitian kepustakaan (Library
Research). Penelitian kepustakaan (library Research) adalah cara pengumpulan
data dengan berusaha mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan, dipakai,
digunakan dan diperhitungkan dalam penelitian.
Data
sepenuhnya
diambil
dari
penelitian
kepustakaan
dengan
mengandalkan pada bacaan baik buku maupun tulisan yang mempunyai relevansi
dengan judul penelitian ini, dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah Khalifah Ali bin Abi Thalib, sedangkan
yang menjadi objek dari penelitian ini adalah metode dakwah yang digunakan Ali
bin Abi Thalib selama menjadi khalifah keempat.
3. Tekhnik pengumpulan sumber data.
Dengan cara mengumpulkan karya-karya yang berkaitan dengan dakwah
Ali bin Abi Thalib.
a. Data Primer.
7
Sumber primer adalah buku yang berjudul:
Imamul muhtadin sayidina Ali bin Abi Thalib, Ali bin Abi Thalib sang
putera ka’bah, Ali bin Abi Thalib manusia sempurna, keagungan Ali bin
Abi Thalib, Kumpulan Khutbah Ali bin Abi Thalib, Posisi Ali bin Abi
Thalib di pentas sejarah Islam, Teladan Ali bin Abi Thalib.
b. Data sekunder
Sumber sekunder yang digunakan adalah buku-buku yang berhubungan
dengan konsep dakwah Ali bin Abi Thalib diantaranya:
Metode Dakwah, Metodologi dakwah kontemporer, Dakwah bil Hikmah,
Hukum Dakwah, metode penelitian ilmu dakwah, 1001 cara berdakwah.
4. Tekhnik Analisis Data
Dari data yang dikumpulkan dengan penelusuran melalui literatur
kepustakaan kemudian penulis menganalisis, menerangkan, membandingkan, dan
selanjutnya menginterpretasikan data yang terkumpul secara apa adanya
kemudian disajikan dalam skripsi ini.
Adapun tekhnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku
pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Cet Ke-2 yang diterbitkan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
8
E. TINJAUAN PUSTAKA
Dari sekian banyak skripsi yang membahas metode dakwah seorang tokoh,
namun tidak satupun penulis menemukan skripsi yang membahas tentang metode
dakwah Ali bin Abi Thalib.
Walaupun ada beberapa skripsi yang membahas tentang metode dakwah,
tetapi tidak ada satu skripsi yang membahas tentang metode dakwah khalifah Ali
bin Abi Thalib.
Skripsi itu diantaranya yang berjudul; “Metode dakwah Habiburrahman Al
Shirazy dalam novel islam” yang membahas tentang dakwah bil qalam
Habiburrahman yaitu melalui tulisan, atas nama Siti Shobariyatul Irfani, “Metode
dakwah Yusuf Mansur” yang membahas tentang dakwah bil lisan Yusuf Mansur
yaitu melalui ceramah, atas nama Agus Salim Wahid, “Metode Dakwah dalam
surat an-Nahl menurut pandangan DR. Yusuf Qardhawi” yang membahas tentang
Metode Dakwah dalam surat an-Nahl ayat 125, atas nama Fitri Siti Nurmaya
Sopa. “Metode dakwah Umar bin Khattab” yang membahas tentang Metode
Dakwah Umar bin Khattab, atas nama Budi santoso.
Oleh karena itu, penulis berusaha membandingkan karya tulis terdahulu
dengan skripsi yang penulis kerjakan ini, dalam hal ini tentang metode dakwah.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab
dibagi ke dalam beberapa Sub bab.
9
Agar pembahasan dapat dilakukan secara terarah dan sistematis, maka
sistematika penulisan dalam peelitian adalah sbb:
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab I, penulis menguraikan beberapa hal yang berkaitan dengan
penelitian ini. Pada bagian awal, diuraikan tentang latar belakang masalah,
pembahasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan diakhiri dengan uraian tentang
sistematika penulisan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Pada Bab ini dibahas tentang metode dakwah. Agar pembahasan ini jelas,
maka akan dikemukakan tentang definisi kedua istilah tersebut, baik
definisi etimologis maupun terminologisnya. Selain itu, penulis juga akan
mengemukakan macam-macam metode dakwah.
BAB III
BIOGRAFI ALI BIN ABI THALIB
Bab ini berisikan riwayat hidup Ali bin Abi Thalib sesudah menjadi
khalifah serta prestasi-prestasi yang dicapai Ali bin Abi Thalib.
BAB IV
DAKWAH ALI BIN ABI THALIB
Bab ini berisikan metode dakwah khalifah Ali bin Abi Thalib
10
BAB V
PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran untuk mencapai hasil yang
lebih baik.
11
BAB II
TINJAUAN TEORI TENTANG METODE DAKWAH
A. Pengertian Metode
1. Etimologi dan Terminologi
Al-uslub (metode) adalah kata yang berasal dari fi’il (kata kerja) salaba
yang artinya menang atau membunuh. Sedangkan al-istilab adalah al-ikhtilas atau
al-salb yang artinya adalah berjalan pelan namun cepat. Sedangkan al-uslub
(metode) adalah cara atau seni 1 .
Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan yaitu meta (melalui)
dan hodos (jalan, cara). Sumber lain menyebutkan bahwa metode berasal dari
bahasa jerman methodica artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani
metode berasal dari kata methodos artinya jalan, yang dalam bahasa Arab disebut
thariq. 2 Dalam bahasa latin metode berasal dari kata methodus yang berarti cara
atau jalan. Sedangkan dalam bahasa inggris methode dijelaskan dengan methode
atau cara. 3
Kata metode telah menjadi bahasa Indonesia yang memiliki pengertian
“Suatu cara yang bisa ditempuh atau cara yang ditentukan secara jelas untuk
mencapai dan menjelaskan suatu tujuan, rencana sistem, tata pikir manusia”.
Dalam menyampaikan suatu pesan, metode sangat penting peranannya, suatu
1
Abdullah Ahmad al-‘Allaf, 1001 cara berdakwah, (Solo: Ziyad Visi Media, 2008), h. 21
Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 35
3
Soejono Soemargono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: nur Cahaya, 1983), h. 17
2
11
12
pesan walaupun baik, namun disampaikan dengan metode yang tidak benar, pesan
itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan 4 .
Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan
yang ditentukan 5 .
Dari beberapa definisi tentang metode yang telah dipaparkan diatas,
penulis menyimpulkan bahwa metode adalah cara yang telah diatur dan melalui
proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud.
B. Pengertian Dakwah
1. Etimologi dan Terminologi
Kata dakwah secara bahasa (etimologi) adalah bentuk masdar dari kata
yad’u (fi’il mudhari) dan da’a (fi’il madhi) yang artinya adalah memanggil (to
call), mengundang (to invite), mengajak (to summer), menyeru (to propo),
mendorong (to urge) dan memohon (to pray). 6
Makna lain kata dakwah secara bahasa adalah : “do’a”, “seruan”,,
“panggilan”, “ajakan”, “undangan”, “dorongan” dan “permintaan”, berakar dari
kata
kerja
“da’a”,
yang
berarti
“berdoa”,
“memanggil”,
“menyeru”,
“mengundang”, “mendorong”, dan “mengadu”. 7
4
Nurul Badruttamam, Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu,
2005 ), cet 1, h. 52
5
Wardi Bachtiarr, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.59
6
Narson Munawr, Kamus Al Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1994), h. 439
7
Toha Yahya Umar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Widya Karsa Pratama, 1992), h.1.
13
Maka secara terminologi (lughah) pengertian dakwah merupakan suatu
proses penyampaian pesan-pesan tertentu yang berupa ajakan dan seruan dengan
tujuan agar orang lain memenuhi ajakan tersebut 8 .
Secara terminologi pengertian dakwah dimaknai dari aspek positif ajakan
tersebut, yaitu ajakan kepada kebaikan dan keselamatan dunia dan akhirat. 9
Dakwah pada hakikatnya tidak hanya menyeru atau mengajak manusia,
tetapi lebih dari itu adalah mengubah manusia baik individu maupun kelompok,
menuju ajaran dan nilai-nilai Islam. Maka konsep dakwah Islam memuat juga
konsep perubahan individu dan transformasi sosial, perubahan individu dan
transformasi sosial yang dimaksud adalah perubahan dan transformasi dari kondisi
kurang baik atau tidak baik menuju kepada kondisi yang lebih baik. 10
Para ahli mendefinisikan dakwah dengan pengertian yang beraneka ragam
sebagai berikut:
1. Syaikh Ali Mahfuz mengemukakan bahwa dakwah adalah: “Menolong
manusia agar berbuat kebaikan dan menurut petunjuk, menyeru mereka
berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar, agar
mereka mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.” 11
2. S.M. Nasarudin Latif mengemukakan bahwa dakwah adalah “Usaha atau
aktifitas dengan lisan atau tulisan dan lainnya untuk beriman dan mentaati
Allah SWT sesuai dengan garis-garis syariat serta akhlak islamiyah.” 12
8
Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h.2-3
Moh. Ali Azis, Dakwah bil Hikmah (Jakarta: Mitra Kencana, 2004), h.4
10
Irfan Hielmy, Dakwah bin Hikmah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002) h. 9-10
11
Syeik Ali Makhfuz, Hidayat al Murtasyidin, Terjemahan Hodijah Nasution, (Yogyakarta: Tiga
A, 1970), h. 17
12
Nasarudin Latif, Teri dan Praktek Dakwah Islamiyah, (Jakarta: Firma Dara, 1979), h.11
9
14
3. Prof. Dr. Abu Bakar Aceh menulis: dakwah ialah perintah mengadakan
seruan kepada manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah
yang benar, dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat baik. 13
4. Toha Yahya Oemar mengatakan bahwa dakwah adalah mengajak manusia
dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah
Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan
akhirat. 14
5. Ki Moesa A. Machfoeld, dalam bukunya mengatakan: Dakwah berarti
pangggilan, tujuannya membangkitkan kesadaran manusia untuk kembali
ke jalan Allah SWT, upaya ini bersifat ekspansif yaitu memperbanyak
jumlah manusia yang berada di jalan-Nya, sedangkan yang menjadi objek
panggilan adalah: Manusia yang berada diluar jalan Allah atau yang
meninggalkan jalan-Nya. Hakikat dakwah adalah memanggil atau
mengajak manusia kembali kepada agama. Hal ini karena pada hakekatnya
semua manusia dilahirkan dalam keadaan bertuhan atau beragama
(makhluk religius). 15
6. Ahmad Ghalwusy mendefinisikan dakwah adalah: “Menyampaikan pesan
Islam kepada manusia disetiap waktu dan tempat dengan berbagai metode
dan media yang sesuai dengan situasi dan kondisi para penerima pesan
dakwah (Khalayak dakwah)” 16
13
Toto Jumantoro, Psikologi Dakwah dengan Aspek-asspek kejiwaan yang Qurani (Jakarta:
Amzah, 2001), Cet Ke-1. h.18
14
Toha Yahya Oemar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Widjaya, 1983), h.41
15
Ki Moesa A. Machfoed, Filsafat Ilmu Dakwah dan penerapannya, (Jakarta: Bulan BIntang,
2004), h.15-16
16
Ahmad Ghalwusy, Al-DA’wah Al-Islamiyah. (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishr, 1987)
15
Dari beberapa definisi di atas, maka dakwah dapat diartikan sebagai suatu
usaha, kegiatan, aktivitas dalam menyampaikan, menyeru, mengajak, mendorong
manusia untuk melakukan amal kebaikan sesuai perintah Allah SWT dan tidak
melakukan perbuatan mungkar (amar ma’ruf nahi munkar) dilakukan dalam
bentuk lisan, tulisan, perbuatan dan sebagainya dengan sadar dan terencana yang
disampaikan
secara
hikmah
kebijaksanaan
dengan
tujuan
memperoleh
kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat.
2. Metode-metode dakwah
Metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang da’I
(komunikator) kepada mad’u (objek dakwah) untuk mencapai suatu tujuan atas
dasar hikmah dan kasih sayang. 17
Metode dakwah mencakup seluruh aktifitas kehidupan, karena kaum
muslimin dengan kemampuan yang ada pada dirinya bisa menjadikan setiap amal
yang diperbuat dan setiap aktivitas yang dilaksanakan sebagai jalan untuk
berdakwah menunjukkan manusia ke jalan yang lurus. 18
Banyak metode dakwah yang disebutkan dalam al-Quran dan hadits akan
tetapi pedoman pokok dari keseluruhan metode tersebut adalah merujuk pada
Firman Allah Surat an-Nahl QS. 16:125:
ْ‫ﺴﻦ‬
َ ْ‫ﻲ َأﺣ‬
َ ‫ﺴ َﻨ ِﺔ َوﺟَﺎ ِدﻟْ ُﻬﻢْ ِﺑﺎﱠﻟ ِﺘﻰ ِه‬
َ‫ﺤ‬
َ ْ‫ﻈ ِﺔ اﻟ‬
َ‫ﻋ‬
ِ ْ‫ﺤﻜْ َﻤ ِﺔ وَاﻟْ َﻤﻮ‬
ِ ْ‫ﻚ ﺑِﺎﻟ‬
َ ‫ﻞ َر ِﱢﺑ‬
ِ ْ‫ﺳ ِﺒﻴ‬
َ ‫ﻰ‬
َ ‫ع ٍإﻟ‬
ُ ْ‫ُاد‬
‫ﻦ‬
َ ْ‫ﺳ ِﺒﻴِْﻠ ِﻪ َو ُه َﻮ َأﻋَْﻠ ُﻢ ﺑِﺎﻟْ ُﻤﻬْ َﺘ ِﺪﻳ‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ﻞ‬
‫ﺿﱠ‬
َ ْ‫ﻚ ُه َﻮ َأﻋَْﻠ ُﻢ ِﺑ َﻤﻦ‬
َ ‫ن َر ﱠﺑ‬
‫ِإ ﱠ‬
17
Toto tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h.43
Sayid Muhammad Nuh, Diterjemahkan Oleh: Ashfa Afkarina, Dakwah FArdiyah: Pendekatan
Personal dalam dakwah, (Solo: Era Intermedia, 2000), h.26
18
16
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. 19
Dari ayat tersebut secara garis besar ada tiga pokok metode dakwah, yaitu:
1. Bi al Hikmah
Dalam beberapa kamus, kata al-Hikmah diartikan; al-adl (keadilan), al hilm
(kesabaran dan ketabahan), al nubuwwah (kenabian), al ilm (ilmu pengetahuan),
al-Quran, Faslasah, kebijakan, pemikiran atau pendapat yang baik. Al-Haq
(kebenaran) meletakkan sesuatu pada tempatnya, kebenaran sesuatu, mengetahui
sesuatu yang paling utama dengan ilmu yang paling utama. 20
Dalam bahasa komunikasi hikmah menyangkut apa yang disebut sebagai
frame of reference, field of reference dan field of experience, yaitu situasi total
yang mempengaruhi sikap terhadap pihak komunikan (objek dakwah). 21
Beberapa Ilmiuan Islam memberi makna bi al hhikmah sebagai berikut:
a. Al-Maraghi memberi maknma bi al hikmah dengan lebih luas, yakni
dengan wahyu Allah yang telah diberikan epada manusia. 22
b. M. Abduh berpendapat bahwa hikmah adalah mengetahui rahasia dan
faedah di dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga digunakan dalam arti ucapan
yang sedikit lafadzh akan tetapi banyak makna. Ataupun diartikan
meletakkan sesuatu pada tempatnya.
19
Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah/Penafsir al-Quran, al-Quran dan terjemahnya, Lembaga
percetakan Raja Fahd, tt, h.93.
20
Asep Muhiddin, Agus Ahmad Syafe’I, Metode Pengembangan Dakwah (Bandung, CV. Pustaka
Setia, 2002), h. 78
21
Toto Tasmono, Komunikasi Dakwah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987), h. 37
22
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz. 5, h. 161
17
c. Al- Zamakhsari memberikan makna bi al hikmah sebagai perkataan yang
pasti benar, yakn dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghhilangkan
keraguan atau kesamaran. Kemudian ia uga mengartikan dengan AlQuran, yakni “Serulah mereka mengikuti kitab yang memuat alHikmah.” 23
d. Wahbah Al-Juhali memberikan makna bi al hikmah sebagai perkataan
yang jelas dengan dalil yang terang, yang dapat mengantarkan pada
kebenaran dan menyingkap keraguan. 24
Dari pemaknaan al-hikmah tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
dakwah bi al hikmah dakwah yang dilakukan dengan penuh kebijaksanaan,
kesabaran, keadilan, ketabahan, argumentative, dan filosofis, yang sesuai dengan
risalah kenbian (an-nubuwwah) dan ketentuan-ketentauan di dalam al-Quran
(Wahyu
Allah),
dalam
rangka
mengungkapkan
al-haq
(kebenaran0,
menghilangkan keraguan, dan memposisikan sesuatu pada tempatnya secara
proporsional berdasarkan ilmu yang paling utama dan ma’rifat.
Dakwah bi al hikmah yang berarti dakwah bijak, mempunyai makna selalu
memperhatikan suasana, situasi, dan kondisi mad’u (muqtadha al-hal). Hal ini
berarti menggunakan metode yang relevan dan realistis sebagaimana tantangan
dan kebutuhan, dengan selalu memperhatikan kadar pemikiran dan intelektual,
suasana psikologis, dan situasi social cultural mad’u. 25
23
Asep Muhiddin, Dakwah dalam perspektif Al-Quran: Studi Kritis atas Visi, Misi dan Wawasan,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), h.163
24
Wahbah Al-Juhali, At-Tafsir Al-Munir, Juz. 13-14, h.267.
25
Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Quran: Studi Kritis ata Visi, Misi dan WAwasan,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), h.163
18
Dengan demikian dakwah bi al hikmah yang merupakan metode dakwah
bijak, akan selalu memperhatikan kondisi mad’u dalam hal:
a. Kadar pemikiran, tingkat pendidikan dan intelektualitas mad’u.
b. Keadaan psikologis mad’u yag menjadi obek dakwah, dan
c. Suasana serta situasi social cultural mad’u.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Sayyid Quthub. Ia menyatakan bahwa
untuk mewujudkan metode dakwah bi al hikmah harus memperhatikan tiga factor,
yaitu:
a. Keadaan dan situasi orang yang didakwahi.
b. Kadar atau ukuran materi dakwah yang disampaikan agar mereka tidak
merasakan keberatan dengan beban materi tersebut.
c. Meode penyampaian materi dakwah dengan membuat variasi sedemikian
rupa yang sesuai dengan kondisi pada saat itu. 26
Prinsip-prinsip metode dakwah bi al hikmah ini ditujukan terhadap mad’u
yang kapasitas intelektual pemikirannya terkategorikan khawas, cendekiawan atau
ilmuan. 27
2. Mauidzatil Hasanah (Nasehat yang Baik)
Secara bahasa, mauidzhah hasanah berasal dari kata wa’adza-ya’idzuwa’dzan-I’dzatan yang bersifat nasihat, bimbingan, pendidikan, dan peringatan.
Sementara hasanah artinya kebaikan. 28
26
Sayyid Quthub, Fi Dzila Qal-Quran Jilid VII, Beirut, Ihya’ At-Turas Al-arabi, tt
Asep Muhiddin, ibid
28
Lois Ma’lub, Munjid Fi al-Lughah wa A’lam. (Beirut: Dar Fikr, 1990), h.466
27
19
Dakwah dengan metode ini ditunjukkan pada manusia jenis kedua, yaitu
mereka yang memiliki fitrah terhadap kebenaran, tetapi ragu untuk memilih
mengikuti kebenaran yang disampain kepada mereka atau justeru mengikuti
kebatilan yang tumbuh disekelilingnya.
Adapun pengertian secara istilah ada beberapa pendapat antara lain:
a. Ali Mustafa Ya’qub menyatakan bahwa Mauidzah al Hasanah adalah
ucapan yang berisi nasihat-nasihat yang baik dimana ia dapat bermanfaat
bagi orang yang mendengarkannya, atau argumen-argumen yang
memuaskan sehingga pihak audience
dapat membenarkan apa yang
disampaikan oleh subyek dakwah. 29
b. Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi, Mauidzatil hasanah adalah
perkataan-perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau
memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau denan
al-Quran. 30
Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan dari Mauizhatil hasanah
mengandung arti kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih
saying dank e dlam perasaan dengan penuh kelembutan, tidak membongkar atau
membeberkan kesalahan ornag lain sebab kelemah-lembutan dlam menasihati
seringkali dapat melulukan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia
lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.
29
30
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus,1997),h.121
Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h.37
20
3. Mujadalah
Dari segi etimologi (bahasa) lafadzh mujadalah terambil dari kata “jadala”
yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang
mengikuti wazan faala, “Jaadala” dapat bermakna berdebat, dan “Mujadalah”
Perdebatan. 31
Metode dakwah yang ketiga ini juga disebutkan dalam al-Quran surat anNahl ayat 125, yakni wa jaadilhum bi al-lati hiya ahsan. Metode ini merupakan
upaya dakwah melalui jalan bantahan, diskusi, atau berdebat dengan cara yang
terbaik, sopan santun, saling menghargai, dan tidka arogan. 32
Dalam hal ini, Syaikh Yusuf al-Qardawi menuturkan bahwa dalam diskusi
ada dua metode, yaitu metode yang baik (hasan) dan metode yang lebih baik
(ahsan). Al-Quran menggariskan bahwa salah satu pendekatan adalah dengan
menggunakan diskusi yang lebih baik. Diskusi dengna metode ahsan ini adalah
dengan menyebutkan segi-segi persamaan antara pihak-pihak yang berdiskusi,
kemudian dari situ dibahas masalah-masalah perbedaaan dari kedua belah pihak,
sehingga diharapkan mereka akan mencapai segi-segi persamaan pula.33
Dari segi istilah (terminologi) terdapat beberapa pengertian mujadalah (alHiwar) antara lain berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak
31
Ahmad Warson al-Munawwir, h.175
Asep Muhiddin, ibid h.163
33
Syeikh Yusuf al-Qardhawi, al Shahwah al Islam baina al-Juhud wa al-Tatarruf, Risalah al
mahakim al-Syar’iyyah wa al syuut al-Diniyah, (Qatar, 1402 H), h. 203
32
21
secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan
diantara keduanya. 34
Menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi, al-Mujadalah ialah suatu
upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara
mengajukan argumentasi dan bukti yang kuat. 35
Dalam aplikasi metode ini, ada watak dan suasana yang khas, yakni
bersifat terbuka atau transfaran, konfrontatif dan kadang-kadang reaksioner.
Namun, juru dakwah harus tetap memegang teguh pada prinsip-prinsip umum dari
watak dan karakteristik dakwah yang berinti pikiran dan penyejukan jiwa. 36
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa:
a. Al-Hikmah, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya baik berupa
ucapan maupun perbuatan selama tidak melanggar hokum islam.
b. Mauidzatil Hasanah, Yaitu memberi nasihat yang dapat diterima orang
lain dalam mengajak manusia untuk melaksanakan ajaran Islam.
c. Al-Mujadalah bi al-Lati Hiya Ahsan, Yaitu bertukar fikiran dengna
menggunakan dalil atau alsan yang sesuai dengan kemampuan berfikirnya
yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan dapat
menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan
bukti yang kuat.
34
World Assembly of Muslim Yaouth (WAMY), Fil Ushulil Hiwar, Maktabah WAhbah Cairo,
Mesir, diterjemahkan oleh Abdus Salam M dan Muhil Dhafir, dengan judul terjemahan “Etika
Diskusi”, (Jakarta: Era Inter Media, 2001), h.21
35
Sayyid Muhammad Thantawi, Adab al-Khiwar Fil Islam, Dar al-Nahdhah, Mesir diterjemahkan
oleh Zaenuri Misrawi dan Zumroni Kamal, (Jakarta: Azan, 2001), h.4
36
Asep Muhiddin, h.163
22
BAB III
BIOGRAFI ALI BIN ABI THALIB
A. Riwayat Hidup Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib adalah putera dari Abdul Muthalib bin Hasyim bin
Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murroh bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin
Fihr bin Malik bin Nadhar bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Iyah bin Mudhar bin
Nizar bin Ma’d bin Adnan. Sedangkan Ibunya Fathimah binti Asad bin Hasyim
bin Abdi Manaf. Ali dilahirkan di Mekkah, 13 Rajab (berarti 10 tahun sebelum
Rasul menerima wahyu).
Saat Abu Thalib mengalami krisis ekonomi karena kekeringan yang
melanda, seperti yang dialami oleh orang-orang Quraisy, Rasulullah saw
menyarankan kepada kedua pamannya, Hamzah dan Abbas untuk turut membantu
meringnkan beban hidup Abu Thalib, dengan menanggung biaya hidup anaknya.
Maka keduanya pun memenuhi permintaaan tersebut. Maka Abbas mengambil
Thalib, Hamzah mengambil ja’far, dan Rasulullah saw mengambil Ali. 1
Ai bin Abi Thalib telah tumbuh sebagai seorang pemuda di tengah-tengah
kelaurga Nabi, dan hidup dibawah asuhan beliau. Sayyidina Ali banyak
mengambil tabi’at Nabi Saw dan beliau adalah orang terdekat hubungannya
dengan Nabi, dan yang paling dicintai oleh Rasulullah Saw. Beliau hidup dengan
budi yang luhur dan dengan jiwa yang takwa serta hidup dalam kesederhanaan.
1
Sayyid Ahmad Asy-Syulaimi, kumpulan Khotbah Ali bin Abi Thalib, (jakarta: Gema Insani
Press, 2001), h.15
22
23
Beliau hampir tidak pernah terpisah sejengkal pun dari Rasulullah Saw baik di
waktu suka maupun duka. 2
Ali tergolong pada keturunan keluarga Hasyimiyah, sama dengan garis
keturunan Nabi Muhammad. Garis keturunan inilah yang menduduki kekuasaan
tertinggi atas ka’bah dan sekitarnya sebelum Nabi lahir. Nabi menikahkannya
dengan Fatimah, putri Nabi, pada tahun ke 2 Hijrah, Ali tergolong generasi
pertama yang mempercayai dan mengikuti seruan Muhammad, dalam usia 9 tahun
beliau sudah masuk Islam. 3
Ali dikenal sangat sederhana dan zahid dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan
sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana ini bukan hanya
diterapkan kepada diirnya, melainkan kepada putra-putrinya.
Beliau tinggal dalam rumah yang amat sederhana dan tidak berbeda dari
rumah kaum miskin di kalangan umatnya, makan gandum yang beliau tumbuk
sendiri atau ditumbuk oleh isterinya, baik sebelum maupun sesudah menjadi
khalifah. Sebab beliau menyerahkan seluruh kekayaan negara yang diperoleh dari
barat dan timur kepada Baitul Mal yang terbentuk pada masa pemerintahan
beliau. 4
Telah berkali-kali Fatimah binti Nabi, Isteri Ali menekan dada kaena
kesusahan, dan menuntut untuk lebih memperhatikan walaupun tidak berlebihan.
Namun ia selalu saja berhadapan dengan Rasulullah Saw, dan Ali R.a, suaminya,
2
Haji Sjech Marhaban, Tokoh-tokohIslam di Zaman Nabi, (Singapura: Pustaka Nasional, 2004),
h.3
3
K. Ali, Sejarah Islam / Tarikh Pramodern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h.135
4
Ahsin Muhammad dan Afif Muhammad, Para pemuka Ahlu Bayt nabi, (Jakarta: Pustaka
Hidayah, 2003) h.34
24
yang selalu menyebut-nyebut kebahagiaan di dunia akhirat, yakni kehidupan yang
lebih baik dan lebih kekal. Untuk itu bersabarlah jiwa Fatimah. 5
Salah satu contoh kezuhudan beliau yakni ketika saudaranya, Aqil bin Abi
Thalib, meminta kepadanya sesuatu dari baitul maal, ia menolak dan berkata
kepadanya: “Adakah engkau menghendaki Allah membakar diriku di neraka
jahannm karena memberimu sesuatu dari harta milik kaum muslimin ”.
Kezuhudan beliau juga dapat dilihat ketika Imam Ali R.A terbunuh, ia hanya
meninggalkan sebanyak enam ratus dirham, jumlah yang tidak berarti apa-apa
bagi seorang khalifah. 6
Ali r.a juga memperoleh gaji sama dengan yang diperoleh Abu bkar dan
Umar r.a. Ia mengenakan pakaian yang hanya sampai separuh kakinya atau batang
kakinya, dna seringkali bajunya itu penuh dengan tambalan. Belum pernah,
sepanjang hidupnya, ia menyimpan sesuatu harta. Beliau juga tidak pernah mau
membeli sesuatu dari seseorang yang mengenalnya, agar orang tersebut tidak
mengurangi harga untuknya disebabkan Ali adalah Amirul Mukminin. 7
Ketika Hasan dan Husein ditimpa sakit, maka kedua orang tuanya merasa
susah, dan kemudian bernazar bila keduanya sembuh akan berpuasa tiga hari
karena Allah. Maka ketika Allah telah menyembuhkan kedua anaknya, mereka
menepati nazarnya. Pada hai pertama, kedua dan ketiga puasa, beliau didatangi
orang miskin, mereka pun memberikan makanan kepada orang miskin tersebut,
5
Abdul Halim ‘Uweis & Mushafa ‘Asyur, Sayyidina Ali Khalifah keempat yang dideskriditkan,
(Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah Indonesia), h.102
6
Abdul Halim ‘Uweis & Mushafa ‘Asyur, Sayyidina Ali Khalifah keempat yang dideskriditkan,
(Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah Indonesia), h.106
7
Abul ‘Ala al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI,
1992), h. 119
25
ssehingga tatkala berbuka puasa selama tiga hari, Ia hanya minum air, karena
mendahulukan orang-orang yang mempunyai hajat daripada dirinya. 8
Ali bin Abi Thalib telah menunjukkan selama hidupnya sebagai orang
yang zuhud. Yang lebih penting lagi adalah ia jujur dalam kezuhudannya. Hal
sama ketika ia ujur dalam semua apa yang dilakukan atau yang terlintas dalam
hatinya, bahkan yang diucapkannya. Ali mempraktekkan hidup zuhud dari dunia,
gemerlapan kekayaan khas Negara dan kekuatan seorang penguasa serta hal-hal
apa saja yang menurut orang lani dapat mengangkat derajat mereka. Sesuatu yang
dilihat leh mereka sebagai tolok ukur derajat seseorang.
Ali bin Abi Thalib berkata di akhir hayatnya kepada Al-Hasan dan AlHusein, “Tahanlah tawanan ini. Berilah dia makan, minum, dan perlakukan
dengan baik. Kalau aku bias sembuh, mka akulah orang yang paling berhak
melakukan sesuatu yang berkaitan dengan apa yang dilakukannya terhadap
diriku. Kalau aku mau, aku bias membalasnya, tapi bias pula aku berbuat baik
terhadapnya. Sedangkan bila aku mati, maka yang demikian itu menadi urusan
kalian. Kalaupun menurut pendapat kalia lebih baik dibunuh, maka kupesankan
agar tidak kalian potong-potong tubuhnya (jangan disiksa).” 9
Adapun sifat fisik Ali, berperawakan sedang, antara tinggi dan pendek.
Perutnya agak menonjol, pundaknya lebar, kedua lengannya berotot seakan edang
mengendarai singa. Lehernya berisi, bulu jenggotnya lebat, kepalanya botak dan
bermbut di pinggir kepala. Matanya besar, wajahnya tampan, kulitnya gelap.
Postur tubuhnya tegap dan proporsional. Bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan
dari baja, berisi. Jika berjalan, seakan-akan sedang turun dari ketinggian, seperti
berjalannya Rasulullah Saw. 10
8
Muhammad Ali al-Quthub, Sepuluh sahabat dijaminn Ahli Surga, (Semarang: CV. Toha Putera,
2005), h.100
9
Ahsin Muhammad dan Afif Muhammad, Para pemuka Ahlu Bayt nabi, (Jakarta: Pustaka
Hidayah, 2000), h. 73
10
Sayyid Ahmad AsSyulaimi, Kumpulan khutbah Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), h. 16
26
Pada saat Nabi sedang hebat-hebatnya pada hari-hari pertama memanggil
orang untuk masuk Islam di kota Mekkah, dan penduduk Mekkah masih segan
untuk mendukungnya, maka Ali kecil berteriak di tengah-tengah para hadirin, dan
mengatakan: “Akulah wahai nabi, selain aku menerima panggilan suci itu, aku
bersedia menjadi pembantu utama bagi tuan.” Demikian Sayyidina Ali menjadi
seornag laki-laki yang pertama memeluk Agama Islam sesudah Siti Khodijah
Ummul Mu’minin. 11
Pada malam menjelang Hijrah ketika kafir Quraisy berkumpul di Darun
nadwah dan bersepakat untuk membunuh Nabi, Nabi membuat siasat dengan
menyuruh Ali menggantikan tidur di tempat beliau. Ali seara ikhlas dan berani
menerima perintah yang pebuh resiko tersebut. Sehingga pada saat subuh tiba, yag
pasukan kafir dapati bukan Nabi melainkan Ali.12
Itulah Ali, ia menyerahkan nyawanya untuk orang yang dicintainya, ini
merupakan salah satu bentuk kecintaan sejati, Ia siap dengan resiko apa pun,
termasuk kemungkinan dibunuh, Ali bersedia menanggung akibatnya. Dengan
cara itu, Rasulullah dan Abu Bakar aman bersembunyi di Gua Tsur selama
beberapa hari, dan selanjutnya meneruskan hijrah ke Madinah.
Ali mengikuti seluruh peperangan, kecuali perang Tabuk. Setiap kali
terjadi peperangan besar yang diikuti Nabi, Ali selalu terlibat didalamnya.
Terkadang ia membawa bendera, memorak porandakan musuh, atau menaklukkan
benteng pertahanan musuh.
11
Hadji Sjech Marhaban, Tokoh-tokoh Islam di Zaman Nabi, (Singapura: Pustaka Nasional, 2000),
h.4
12
Said bin Ali bin Wahif Al-Qahthani, Dakwah Islam Dakwah Bijak, (Jakarta: Penerbit Gema
Insani Press, 1994), h.177
27
Ketika umat Islam menghadapi kafir Quraisy dalam perng badar, tiba-tiba
tiga orang dari pihak musyrikin (Syaibah bin Rabiah, Atabah bin rabiah, dan
Walid bin Atabah) maju ke medan menantang orang-orang Islam untuk berperang
tanding. Kemudian Nabi menyuruh Ubaidah bin Harits, Hamzah dan Ali bin Abi
Thalib. Lalu terjadilah perang tanding Ubaidah melawan Atabah, Hamzah
melawan Syaibah, Ali melawan Walid bin Atabah. Pasukan muslimin
mengakhirinya dengan kemenangan.
Sedangkan di perang Uhud, dimana Musuh Islam dipimpin oleh Abu
Sufyan dari keluarga Umayah yang sangat memusuhi Nabi, Imam Ali as kembali
memerankan peran yang sangat penting, yaitu ketika sebagian sahabat tidak lagi
mendengarkan wasiat Rasulullah saw agar tidak turun dari gunung, namun mereka
justru turun sehingga orang kafir Quraisy mengambil posisi mereka. Dalam
keadaan kritis tersebut, Imam Ali bin Abi Thalib as segera dating untuk
menyelamatkan Nabi saw dan sekaligus menghalau serangan itu. 13
Pada waktu perang Khandaq, keluarlah Amru bin Wuud dari barisan kaum
musyrikin dan mengucapkan tantangan : “Siapakah yang mau melawan?” maka
keluarlah Ali. Selanjutnya Amru berkata pada imam Ali : “Pulanglah engkau
wahai putera saudaraku! Saya tidak berkehendak membunuh engkau” Maka Ali
berkata “Namun saya, demi Allah, berkehendak membunuh engkau”. 14
Tantangan Ali membangkkitka semangat jahiliah Amru bin Wuud. Ia
menikam kudanya dengan pedangnya dan menyerang Ali dengan bengis. Tapi Ali
13
Syeikh Abdul Husain Al-Amini, Ali bin Abi Thalib sang putera ka’bah, (Jakarta: Penerbit AlHuda, 2003), h. 23
14
Muhammad Ali Al-Quthub, Sepuluh sahabat dijamin masuk surga, (Semarang: CV. Toha
Putera, 1997), h.97
28
menagkis dengan sekuat tenaga dan menikamkan pedangnya ke tubuh Amru. Tak
lama kemudian tubuh AMru roboh bermandikan darah. Kemudian, Ali ra kembali
kepada barisan muslimin. Maka tidak mengherankan bila Ali dikenal sebagai
orang yang tidak dapat dikalahkan. 15
Pada perang khaibar, Ali bin Abi Thalib maju ke medan perang sambil
membawa bendera. Dari pihak musuh, muncul marhab dan berkata, “Penduduk
Khaibar sudah tahu bahwa aku Marhab, pejuang gagah berani yang selalu siap
bertarung.” Ali menimpalinya “Aku diberi nama oleh Ibuku “Singa Hutan” yang
menakutkan. Aku selalu siap menghilangkan nyawa musuh-musuh Allah.” 16
Pada perang Hunain yakni peperangan yang menghancurkan pasukan
Malik bin Auf yang terdiri dari Qabilah Hawazin dan Tsaqif. Rasulullah
memimpin pasukan terdiri dari 12.000 orang. Berkat keberanian Ali dan para
sahabat lainnya dalam memukul tiap serangan yang ditujukan terhadap asulullah
saw, akhirnya kaum muslimin dapat dikendalikan dan diarahkan untuk
melancarkan serangan balasan. 17
Ketika Rasulullah wafat, Ali menunggui jenazahnya dan mengurus
pemakamannya. Sementara sahabat-sahabat lainnya sibuk memikirkan soal
pengganti NAbi saw. Setelah Abu Bakar terpilih menjadi khalifah, Ali tidak
segera membaiatnya. Ia baru membaiatnya beberapa bulan kemudian.
Ali adalah tolak ukur dalam masalah-masalah peradilan dan fatwa da;am
kehidupan masyarakat Islam, mulai dari peradilan, social dna manajemen,
15
Abdullatif Ahmad ‘Aasyur, 10 Orang Dijamin Ke Surga, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994),
h.87
16
Said bin Ali bin Wahif Al-Qahthani, Dakwah Islam Dakwah bijak, (Jakarta: Penerbit Gema
Insani Press,1994), h.182
17
Roeslan Abdulgani, Sejarah Kehidupan Rasulullah, (Jakarta: Pustaka Hidayah,1997), h.277
29
dizaman Abu Bakar, Umar dan Ustman. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar,
Umar dan Ustman, ia terus menyertai tiga khalifah itu meneruskan dakwah
Rasulullah.
Kesederhanaan, kerendah hatian, ketenangan dan kecerdasan dari
kehidupan Ali yang bersumber dari Al-Quran dan wawasan yang luas,
membuatnya menempati posisi istimewa diantara para sahabat Rasulullah yang
lain.
Abu Bakar ash-Shiddiq, khalifha pertama, mencintai Ali bin Abi Thalib,
dan ia telah menugaskan Ali untuk menjaga Madinah saat terjadi peperangan
melawan gerakan murtad. Demikian juga Umar bin Khattab mencintai Ali. Setiap
ada masalah hokum, pasti Umar akan meminta pendapat Ali bin Abi Thalib,
sehingga ia pernah berkata, “Setiap ada masalah hokum, Abul Hasan (Ali bin Abi
Thalib) harus dimintakan pendapatnya” 18
Sebagi sal;ah satu contoh yakni pada masa Ustman pernah terjadi
perzinahan antara shafiyah dengan seorang lelaki tawanan. Kemudian, dia
melahirkan seorang anak yang diperebutkan oleh lelaki pezina itu dengan
Yohanes, keduanya mengadu kepada Ustman, maka Ustman mengalihkan
masalah ini kepada Ali bin Abi Thalib hingga dapat terselesaikan. 19
Semasa hidupnya setelah Fatimah Az-Zahra binti Muhammad wafat, Ali
memiliki beberapa Istri diantaranya: Amamh binti Abul’Ash, Ummul Banin binti
Haram bin Darin Al-Kilabiyyah, Laila binti Mas’ud bin Khalid bin AnNahsyaliyyah
18
At-Tamimiyah
Ad-Daramiyah,
Asma
binti
‘Umais
Sayyid Ahmad Asy-Syulaimi, Kumpulan Khotbah bin Abi Thalib, (Jakarta: Gema Insani
Press,2001), h.28
19
Mahdi Faqih Imani, Mengapa Mesti Ali, (Jakarta: Citra, 2006), h.149
Al-
30
Khats’amiyyah, Ummum sa’id binti ‘Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafiyyah,
Makhba’ah binti Umru’ul Qais bin ‘Adiy Al-Kalbiyyah. 20
Anak-anaknya bernama Hasan, Husein, Zainab, Ummu Kultsum, Muhsin,
Muhammad al-Akbar, Abdullah al-Akbar, Abu Bakar, Abbas, Ustman, Ja’far,
Abdullah al-Ashsgar, Yahya, Aun, Umar, Muhammad al-Ausath, Ummu Hani,
Maimunah, Ramlah As-Sugra, Zainab as-Shugra, Ummu Salmah, Ummu Ja’far,
Jumamah dan Taqiyyah. 21
Setelah Ustman bin Affan wafat, kaum muslimin melihat bahwa masalah
pengangkatan khalifah baru sulit dipecahkan. Banyak sahabat nabi, seperi Ali bin
Abi Thalib, Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, dna Zubai bin Awwam,
menolak menjadi khalifah. Oleh Krena itu, orang-orang berkumpul di Madinah
untuk mendiskusikan siapa yang pantas menjadi khalifah. Namun, mereka tidak
menemukan oran gyang lebih pantas daripada Ali bin Abi Thalib. 22
Penduduk Madinah, didukung oleh ketiga pasukan yang dating dari Mesir,
Basrah dan Kufah, memilih Ali bin Abi Thalib untuk menjabat khalifah. Konon
pada mulanya Ali menolak, akan tetapi atas desakan itu, ia pun menerima jabatan
tersebut. Baiat berlangsung di Mesid Nabawi. Zubair bin Awwam dan Thahah bin
Ubaidillah konon menangkat baiat dengan terpaksa, dan justeru keduanya
mengajukan syarat di dalam baiat itu, bahwa khalifah Ali akan menegakkan
keadilan terhadap para pembunuh Khalifah ustman. 23
20
M.H Al Hamid Al Husaini, Imamul Muhtadin Sayidina Ali bin Abi Thalib, (Bogor: Yayasan AlHamidi, 2009,) h.30
21
Sayyid Ahmad Asy-Syulaimi, Kumpulan Khotbah Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Gema Insai
Press, 2001), h. 14
22
‘Abdul Hakim al-‘Afifi, 1000 Peristiwa Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Hidayah,2002), h.93
23
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.462
31
Dalam pidato pertamanya seusai pengukuhan terhadapnya sebagai
khalifah, antara lain menekankan bahwa Allah telah menurunkan Al-Quan yang
menjelaskan hal-hal yang baik dan buruk, dan dia mengajak
rakyat untuk
mengambil mana yang baik dan meninggalkan mna yang buruk. Dia juga
mengemukakan bahwa diantara banyak macam perlindungan yang dijamin oleh
Allah, yang paling utama adalah perlindungan atas umat Islam, dan haram
hukumnya melukai atau merugikan sesame Islam tanpa alas an yang dibenarkan
oleh hukum. 24
Diriwayatkan oleh Thabari bahwa Ali berkata: “Baiatku tidak akan terjadi
secara rahasia dan tidak akan berlangsung kecuai aqtas dasar kerelaan kaum
muslimin” 25
“Wahai manusia, kamu telah membaiat saya sebagaimana yang telah
kamu lakukan kepada khalifah-khalifah yang dulu daripadaku. Saya hanya boleh
menolak sebelum jatuh pilihan, apabila ppilihan telah jatuh, menolak tidak boleh
lagi. Imam harus teguh dan rakyat harus patuh menurut. Baiat kepada diriku ini
adalah baiat yang rata, yang umum. Barang siapa yang mungkir daripadanya
terpisahlah dia daripada agama islam ”. 26
Sesudah beliau di baiaat menjadi khalifah, Ali mengeluarkan dua
kebijakan. Pertama, Memecat Gubernur-gubernur yang diangkat Ustman. Kedua,
Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan Ustman kepada familifamili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang syah. Demikian juga hibah atau
pemberian Ustman kepada siapapun yang tidak beralasan, diambil Ali kembali.27
24
Munawir Sadzali, Islam dan tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1993), h.29
25
Abul ‘Ala al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan Anggota Ikapi, 2000), h.114
26
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Singapura, Kerjaya Printing Isdustries Pte Ltd, 1994), h.237
27
Ahmad Shalaby, Sebuah Buku Kajian Mengenai Sejarah Islam Sejarah dan Kebudayaan Islam,
(Singapura: Pustaka Nasional,1996), h.318
32
Menghadapi kebijakan yang pertama, ada beberapa sahabat yang dengan
legowo mengundurkan diri dari pentas politik, seperti Sa’ad bin Abi Waqqash dan
Abdullah bin Umar. Namun, ada juga di antara mereka yang tetap bersiukuh
meminta Ali untuk mendahulukan penuntasan kasus pembunuh Ustman. Suatu
keharusan yang saat itu sangat sulit dilakukan oleh Ali lantaran di antara para
pembunuh itu justru masih bercokol di kota Madinah. 28
Kepemimpinannya sebagai khalifah menempati posisi yang rumit, bukan
saja pemberontakan belum reda seluruhnya, tetapi juga Muawiyah yang
memperoleh kekuasaan semakin kuat di Utara dan Timur Laut Madinah, dan tidak
berkenan menjadi sub ordinat atau pemerintah Daerah dari pemerintahan Islam
Madinah tetapi seakan-akan menjadikan daerahnya sebagai suatu state yang
merdeka dan berdiri sendiri. 29
Baru saja Ali menjadi khalifah keadaan menunjukkan semakin parah
karena Aisyah (Istri Rasulullah Saw) bersama Thalhah dan Zubair meminta Ali
agar menuntut balas atas kematian Khalifah Ustman bin Affan. Tuntutan Aisyah
itu disertai ancaman, jika Ali tidak bertindak, maka akan mendapat perlawanan
dari Aisyah dan kawan-kawannya.
Akhirnya Ali memutuskan untukmeninggalkan Madinah dan berangkat
bersama pasukan untuk mematahkan perlawanan Aisyah, Zubeir dan Thalhah.
Akan tetapi, yang dijaga benar oleh ali, kendati perang saudara seagama itu betul
terjadi, ia harus tetap menjaga keselamatan Aisyah, Ummul mukminin.
28
29
Hepi Andi Bustomi, Sejarah Para Khalifah, (Bandung: Pustaka al-Kautsar, 2008), h.23
Inu Kencana Syafi’I, Al-Quran & Politik, (Jakarta: PT Rineka Cipta,1994), h.443
33
Bagaimanapun dia tetap isteri Rasulullah Saw. Dan ibu kaum muslimin. Ali dan
pasukannya tetap memandang Aisyah sebagai ibu yang layak dihormati. 30
Maka, terjadilah sebuah tragedy kelam, Perang Jamal (Perang Onta).
Dinamakan demikian karena Aisyah mengendarai Onta. Peperangan berakhir
dengan kemenangan di pihak Ali. Thalhah bin Ubaidillah yang berada di pihak
Aisyah berhasil meloloskan diri ke Basrah, tetapi akibat luka parah yang
dideritanya, ia pun meninggal. Zubair bin Awwam yang juga berada di pihak
Aisyah gugur. Sedangkan Aisyah tertawan, dan hanya satu hari kemudian ia
dibebaskan dna dikembalikan ke Mekkah dengan diantar langsung oleh
saudaranya, Muhammad bin Abu Bakar. 31
Sebetulnya, sikap Ali sangat hormat kepada Aisyah mendapat kecaman
keras dari kelompok ekstrem yang ada dalam pasukannya. Mereka menuntut agar
Ali memperlakukan Aisyah sepeti layaknya tawanan perang. Namun, untunglah
Ali pemimpin yArif sanggup meyakinkan bahwa Aisyah wajib diperlakukan
dengan hormat.
Untuk mencari ketenangan dalam menjalankan pemerintahan, Ali
memindahkan pusat pemerintahan ke Kufah. KEmudian memecat semua gubernur
yang telah diangkat oleh Khalifah Ustman diantaranya Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, gubernur damaskus. Muawiyah tidka menerima pemberhentian itu.
Pertentangan antara Ali dan Muawiyah makin lama berlanjut hingga menjadi
30
31
Anshori Fachmi, kisah-Kisah di zaman khalifah, (Surabaya: Sinar Baru Alcensindo,1993), h.82
Hepi Andi Bustomi, Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), h.24
34
pertentangan antara Bani hasyim dengan Bani Umaiyah dan puncaknya pecahlah
perang Siffin. 32
Pasukan Ali yang berjumlah 95.000 orang melawan 85.000 orang pasukan
Muawiyah. Ketika peperangan hamper berakhir, pasukan Ali berhasil mendesak
lawannya. Namun, sebelum peperangan dimenangkan, muncul Amr bin Ash
mengangkat mushaf menyatakan damai. “Mari kita bertahkim dengan kitab
Allah”. Seru Amr Lantang. 33
Khalifah Ali tidak bias berkutik, dan terpaksa menghentikan peperangan,
Ali bin Abi Thalib memang seorang militer sejati. Ia berhasil menenangkan
perang jamal, Ia juga berhasil mengatasi pasukan Muawiyah dalam perang
Shiffin. Tetapi, ia bukanlah seorang negarawan seperti Rasulullah dan para
khalifah pendahulunya. Kemampuannya dalam berdiplomasi, kadang kala tak
sebanding dengan apa yang dimiliki Amr bin Ash, kedigdayaan Muawiyah dalam
berpolitik kadang juga tak sanggup ia taklukan.
Pertempuran menyisakan luka yang dalam pada diri kau muslim yang
mulai saling berperang di antara sesame mereka, teutama bagi penduduk Basrah
dan Kufah. Akibatnya, banyak orang dari pasukan Ali r.a kembali ke desa-desa
mereka di Irak dan menolak berperang melawan Muawiyah. Sikap itulah yang
membuat Ali marah besar, lalu ia membatalkan peperangan ke Syam untuk
menundukkan Muawiyah dan balatentaranya untuk m,enundukkan Mesir. Lalu, ia
membentuk sebuah pasukan yang terdiri dari 6.000 prajurit yang dipimpin Amr
bin Ash. Ia membawa mereka masuk ke Fusthah pada bula Rabiul Awal 38 H.
32
M. Yusran Asmuni, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Dirasah Islamiyah
II), (Jakasrta: Pustaka al-Kautsar,2008), h.24
33
Hepi Andi Bustomi, Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), h.24
35
Sejak saat itu, Amr menjadi gubernur Mesir dibawah pemerintahan Muawiyah bin
Abi Sufyan.
Masuknya seluruh wilayah Mesir ke dalam kekuasaan Muawiyah
memperbesar posisi tawarnya di hadapan Ali di Irak yang mulai dilanda fitnah
dan
berabagai
pemberontakan
disebabkan
ulah
Khawarij.
Itulah
yang
menyebabkan lemahnya kekhalifahan Ali dan mendekati saat kehancuran. 34
Tidaklah Aneh jika ada kelompok menentang arbitrase(damai) itu, bahkan
menolaknya secara prinsipil. Bukan hanya demikian, tapi kelompok ini berlebihlebihan mempertahankan pendapatnya dan mengkafirkan kedua utusan itu.
Mereka keluar dari ijma ummat dan tidak lagi taat kepada Ali. Mereka disebut
dengan “Kaum Khawarij” artinya orang-orang yang keluar. 35
Akibat tindakn Ali menghentikan serangan pada preng Siffin, pasukannya
pecah menjadi tiga bagian. Yaitu, kelompok Syiah, Murjiah dan Khawarij.
Kelompok ketiga inilah yang menyatakan ketidak setujuannya dengan Ali bin Abi
Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Ash. Kelompok Khawarij
berencana membunuh ketiga pemimpin itu dalam waktu bersamaan, yaitu 17
Ramadhan 40 H. Muawiyah dan Amr bin Ash selamat namun AAli bin Abi
Thalib meninggal pada 19 Ramadhan 40 H dalam usia 63 tahun ditikan oleh
Abdurrahman bin Muljam. 36
Ali adalah khalifah terakhir dari para khalifah yang saleh pengganti Nabi
Saw, yang mengantarkan umat pada suasana Islam sebagai kekuatan hidup sejati.
34
Abdul Hakim al-Afifi, 1000 Peristiwa dalam Islam, (Bandung: Pustaka HIdayah), Cet-1, h.98
Abdul Halim Uweis & Mustafa Asyur, Sayyidina Ali khalifah yang dideskriditkan, (Jakarta:
Yayasan Alumni Timur Tengah Indonesia, 2008), h.88
36
Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: al-Kautsar, 2008), Cet-1, h.25
35
36
Di dalam sebuah sunatullah, Ali melengkapi kebenaran sebuah hokum sejarah
tetnang siklus peradaban muslim abad silam: Abu baker dengan naiknya
peradaban. Umar dengan puncak peradaban, Ustman dengan menurunnya
peradaban, dan Ali dengan berakhirnya sebuah siklus peradaban. 37
Khalifah Ali benar-benar dihadapkan pada permasalahan besar. Yang ia
hadapi saat itu bukan musuh kuat yang bisa dikalahkan dengan tajamnya pedang.
Bukan juga pasukan besar yang bisa ditaklukkan dengan strategi jitu. Tetapi,
benar-benar permasalahan pelik. Di tengah segala permasalahan itu, akhirnya Ali
memutuskan untuk memulai penataan pemerintahan baru yang bermasa depan
cerah. Namun, usahanya membuat penyegaran di pemerintahan malzah memicu
konflik baru.
Selama lima tahun dari usianya tersebut, ia isi dengan menjabat sebagai
khalifah bagi kaum muslimin, dan menghabiskan sekitar masa setengah abad
sebagai
mujahid
Islam.
Menanggung
beban
yang
sangat
berat
dan
mempertaruhkan nyawanya untuk membela agama Islam. Alangkah agungnya apa
yang ia lakukan, maka pantaslah jika surga Allah diberikan kepadanya.
C. Prestasi yang dicapai Ali bin Abi Thalib
1. Penafsir al-Quran
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Ali dia berkata, “Demi Allah tidak ada satu
ayat pun yang turun kecuali saya tahu tentang apa dia turun, dimana dia turun
37
Moh. Shobirienur Rasyid, Sebuah Prisma Seribu Cahaya, (Jakarta: Humaniora Utama Pess,
2000), h.75
37
dan mengenai siapa dia turun. Sesungguhnya tuhanku mengaruniai saya hati
yang terang benderang dan lidah yang mampu berbicara dengan baik.”
Ibnu Sa’ad dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu ath-Thufail, dia
berkata, Ali pernah berkata, “Tanyakanlah kepada saya tentang kitab Allah.
Sebab tidak ada satu ayat pun yang turun kecuali saya tahu apakah dia turun di
siang hari atau di malam hari. Apakah dia turun di lembah atau di gunung”. 38
2. Pengumpul al-Quran
Setelah melakukan prosesi penguburan jasad Nabi Muhammad saw, Ali
menyibukkan dirinya mengumpulkan ayat-ayat al-Quran dan menertibkannya
sesuai waktu turunnya. Ali juga menjelaskan mana ayat yang umum dan khusus,
mutlak dan muqayyad, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, surat-surat
yang wajib sujud dan tidak, dna sunah-sunah dan adab-adab yang berkaitan
dengan al-Quran. Begitu juga Ali bin Abi Thalib menjelaskan sebab-sebab
turunnya ayat (AsbabunNuzul). 39
3. Ksatria di medan Perang
Ketiak perang Badar akan meletus, Lai bin Abi Thalib berhasil membunuh
Walid bin Utbah. Pada perang Uhud, saat pasukan kafir berhadapan dengan kaum
Mukminin, dan kemenangan nyaris diraih oleh musuh, Imam Ali melawan Bani
Abd Al-Dar, dan membuat mereka terjungkal satu per satu. Pada perang khandaq,
Amr bin Abd al-Wuud al-Amiri, terbunuh ditangan Ali sehingga pasukan khandaq
38
Ibid h. 125
Tim The Ahl-Ul Bayt Word Assembly, Teladan Abadi Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: al-Huda,
2008), cet-1. h.224
39
38
hancur. Pad perang Khaibar, Ali bin Abi Thalib maju ke medan peang sambil
membawa bendera. Dari pihak musuh, muncul Marhab. Ali pun membunuhnya.
Pada perang Hunain yakni peperangan yang menghancurkan pasukan Malik bin
Auf yang terdiri dari Qabilah Hawazin dan Tsaqif. Berkat keberanian Ali dalam
memukul tiap serangan yang ditujukan terhadap Rasulullah saw, akhirnya kaum
muslimin dapat dikendalikan dan diarahkan untuk emlancarkan serangan
balasan. 40
4. Pemilik Pedang Dzulfikar
Ali terkenal sebagai panglima perang gagah perkasa. Kebneraniannya
,menggetarkan hati lawan-lawannya. Ia mempunyai sebilah pedang warisan nabi
saw bernama Dzulfikar, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw: “Tiada
pedang yang sehebat Dzulfikar dan tiada pemuda semulia Ali.” (Riwayat ini
disebutkan dalam kitab Fara’idus Simthain, Karya Al-Hammuyi, bab 49). 41
5. Anak-anak yang pertama masuk Islam.
Yang pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak adalah Ali bin Abi
Thalib. Rasulullah saw, jika telah tiba waktu shalat maka beliau keluar menuju
lembah-lembah di kota Mekkah dan Ali keluar menyertainya (padahal dia maih
berumur 10 tahun) secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh ayah dan
40
H. Roeslan Abdulgani, Sejarah Kehidupan Rasulullah, (Jakarta: Pustaka Hidayah,1997), h.277
Syaikh Abdul Husein al-Amini, Ali bbin Abi Thalib: Sang putera ka’bah, (Jakarta: al-Huda,
2002), h.22
41
39
kaumnya. Lalu mereka melakukan shalat bersama, dan jika waktu sore tiba
mereka berdua kemudian pulang. 42
6. Memandikan Jenazah Nabi
Setelah Nabi Wafat Ali mendapatkan tugas yang diwasiatkan oleh
rasulullah saw untuk memandikan beliau. Diriwayatkan pula bahwa di masa
hidupnya tubuh Rasullullah saw belum pernah dilihat oleh siapapun jua. Maka
beliau mewasiatkan agar Ali memandikan jenazah beliau. Besar kemungkinan
Sayidina Ali pun tidak melihat tubuh Rasulullah di saat memandikan beliau, sebab
Sayidina Ali pun adalah seorang yang tidak pernah mau melihat auratnya
sendiri. 43
7. Abu Thurab (Debu)
Suatu hari, Ali menemui Fathimah ra kemudian keluar dan berbaring di
masjid. Nabi datang dan bertanya: “Dimanakah anak pamanmu (suamimu)?”
Fatimah berkata “Di masjid”. Maka beliau keluar menemuinya dan mendapati
mantel milik Ali jatuh dari punggungnya, sehingga punggung Ali kotor terkena
tanah, lalu beliau membersihkan tanah itu dari punggungnya, sehingga punggung
Ali kotor terkena tanah, lalu beliau membersihkan tanah itu dari punggungnya
seraya berucap dua kali: “Duduklah engkau wahai Abu Thurab”. 44
42
Abdurrahman bin Abdullah, Kisah-kisah manusia pilihan, (Bogor: Pustaka thariqul Izzah,
2005), h.12
43
Fuad Mohd Fachruddin, Posisi Ali di Pentas Sejarah Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1988),
h.35
44
Abdurrahman bin Abdullah, Kisah-kisah manusia pilihan, (Bogor: Pustaka thariqul Izzah,
2005), h.129
40
8. Ali pada masa ketiga khallifah
Semasa pemerintah Abu baker dan Umar, Alli menduduki tempat
terhormat, yakni sebagai anggota Dewan Penasehat Khalifah. Pada masa khalifah
Ustman pun ia menjadi penasihat, tetapi peranannya tidak menonjol, karena
khalifah Ustman lebih condong pada pertimbangan-pertimbangan sekretarisnya,
Marwan. 45
9. Predikat Imam
Tentang predikat yang diberikan kepada Ali ra yang masyhur salah
satunya adalah pemakaian gelar “Imam”, karena hanya Ali-lah yang memakai
gelar ini diantara para khulafa. Memang, khalifah-khalifah sebelumnya memakai
sebutan itu. Tetapi bukan dalam pengertian sebagaimana yang ada pada Ali ra.
Memang “Imam” lah julukan paling tepat untuknya. Lebih berhak, lebih layak
dari imam lain yang menggunakan julukan itu. 46
10. Penyair Hebat
Beliau terkenal seorang penyair terhebat diantara empat sahabat Nabi,
beliau seorang Imam Besar. Dari seluruh penjuru dunia Islam dating menuju ke
Madinah, untuk sekedar memetik beberapa Hadist langsung dari beliau sendiri. 47
45
Moh. Shobirienur Rasyid, Sebuah Prisma Seribu Cahaya, (Jakarta: Humaniora Utama, 2000),
h.73
46
Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Ali, (Jakarta: Pustaka Mantiq,1992), h.147
47
Haji Sjech Marhaban, Tokoh-tokohIslam di Zaman Nabi, (Singapura: Pustaka Nasional, 2004),
h.44
41
11. Penyedia Kebutuhan Nabi
Ali sering mendatangi Gua Hira, saat Rasulullah saw sedang dan
berkhusyu kehadirat Allah dalam kesendirian untuk membawakan dan
menyediakan kebutuhan rasulullah. 48
12. Ali bagi nabi laksana Harun dan Musa
Pada saat perang tabuk, Ai tidak ikut serta karena ditinggalkan untuk
menjaga kota Madinah, dia kelihatan kecewa, lalu Nabi berkata kepadanya
“Tidaklah engkau rela hai Ali, supaya kedudukanmu disisiku sebagaimana
kedudukan Harus disisi Musa.” 49
13. Pengembang Amanat Nabi
Rasulullah
menyerahkan
kepada
beliau
amanat-amanat
untuk
dikembalikan kepada empunya. Inipun soal agama dan keujuran dan Ali memang
orangnya. 50
14. Rasulullah mempersaudarakan Ali
Setelah Hijrah, Rasulullah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan
Anshar, ketika Rasulullah mempersaudarakan para sahabatnya, beliau berkata
kepada Ali: “Engkaulah saudaraku”. 51
48
Sayyid Ahmad Asy-Syulaimi, Kumpulan khotbah Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), h.22
49
Hamka, Sejarah Uamt Islam, (Singapura: Kerjaya Printing Industries Pte Ltd, 1994), h.237
50
Fuad Mohd Fachruddin, Posisi Ali di Pentas Sejarah Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1988),
h.39
42
15. Penyerahan Panji Perang Khaibar
Pada pertempuran perang khaibar dimana saat ibukota kaum Yahudi yang
terbina dari beton, sehingga menyulitkan bagi tentara Islam untuk melakukan
penyerbuan guna menghancurkan kekuatan yang ada di dalamnya. Oeh karena itu
terpaksa tentara Islam melakukan pengepungan beberapa hari lamanya. Tetapi
usaha ini pun tidak membawa hasil seperti yang diharapkan. Berhubungan dengan
itu, maka pada detik-detik yang sangat sulit Rasulullah saw bersabda: “Saya akan
menyerahkan panji-panji pertempuran esok pada seseorang laki-laki yang
mencintai Allah dan Rasulnya, dan dicintai oleh Allah dan RasulNya.” 52
16. Memiliki pengikut setia
Pada zaman khalifah Ustman, Abdullah membentuk Syiah yakni gerakan
yang mengokohkan Ali bin Abi Thalib sebagai orang yang berhak menjadi
khalifah sesudah Rasulullah, pendapat ini didasarkan atas wasiat Nabi di Ghadir
Khum yaitu suatu tempat antara Mekkah dan Madinah, ketika beliau kembali dari
hai wada’. 53
17. Jihad dijalan Allah
Seluruh kehidupan Ali adalah jihad di jalan Allah, baik ketika berada pada
fase dakwah maupun sesudah berdirinya Negara Islam, ini terbukti saat beliau
51
Abdurrahman bin Abdullah, Kisah-kisah manusia pilihan, (Bogor: Pustaka thariqul Izzah,
2005), h.127
52
Haji Sjech Marhaban, Tokoh-tokoh Islam di Zaman Nabi, (Singapura: Pustaka Nasional, 2004),
h.30
53
M. Yusran Asmuni, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam dna Pemikiran (Dirasah Islamiyah
II), (Jakarta: PT Raja Grafindo, Cet-1, 1996), h.88
43
menyediakan dirinya menggantikan Nabi di tempat tidurnya pada malam hijrah.
Sesudah hijrah di Madinah al-Munawaroh, untuk memasuki seluruh rnagkaian
jenis jihad yang lebih besar. Ali-lah pembawa bendera Rasululah saw, sekaligus
panglima para mujahidin. 54
18. Gerbang Ilmu Nabi
Dalam bidang keilmuwan, rasul menyebut Ali sebagai pintu ilmu. Bila
ingin berbicara tentang kesalehan dan kesetiannya, maka simaklah Sabda
Rasulullah saw: “Jika kalian ingin mengetahui Adam, pemahaman Nuh, akhlak
ibrahim, Munajat Musa, Sunah Isa dan kesempurnaan Muhammad, maka lihatlah
kecermelangan Ali”. 55
19. Pemilik Kekuatan Sejati
Pada saat pembebasan Khaibar, pahlawan muslim dari Bani Hasyim ini
(Ali bin Abi Thalib), kembali mempertunjukkan kepahlawanannya dan
keberaniannya. Ketika itu, ia membawa bendera perang kaum muslimin. Saat
seorang prajurit Yahudi dengan kelicikannya dapat menjatuhkan perisai Ali bin
Abi Thalib, ia dengan segera mencabut pintu benteng Khaibar yang amat berat,
untuk kemudian ia jadikan perisai. 56 Lalu ketika pintu tersebu diangkat oleh
prajurit, mereka tidak kuat meski beramai-ramai.
54
Ahsin Muhammad dan Afif Muhammad, para pemuka ahlu Bayt Nabi, (Jakarta: Pustaka
Hidayah, 2004),h.43
55
Syaikh Abdul Husein al-Amini, Ali bbin Abi Thalib: Sang putera ka’bah, (Jakarta: al-Huda,
2002), h.22
56
Sayyid Ahmad Asy-Syulaimi, Kumpulan khotbah Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), h.26
44
20. Memperbaiki Sistem Pajak
Ali ra memperbaiki system pajak. Ia menentukan pajak tanah atas hutanhutan yang dari hasilnya tidak menyumbang bagi biaya pengeluaran atau belanja
militer. 57
21. Tokoh yang diabadikan al-Quran
Nama Ali bin Abi Thalib memang tidak pernah disebut secara eksplisit
dalam al-Quran, namun karena kedekatannya dengan Rasulullah saw dan jasanya
yang besar terhadap islam, maka penulis memasukkan namanya sebagai tokoh
yang diabadikan oleh al-Quran. Terlebih lagi, sebagian ulama seperti Ibnu Abbas,
Yahya bin Yaman, Abu Abdul Wahhab bin Mujahid bin Jubair Abdurrazaq, Ibnu
jarir, Ibnu Abi Hatim dan Ath-Thabrani menyatakan bahwa surat al-Baqarah ayat
274 turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib yang mempunyai uang 4 dirham.
Ia mendermakan satu dirham pada malam hari, satu dirham pada siang hari, satu
dirham secara diam-diam, dan satu dirham lagi secara terang-terangan.
57
Majid Ali Khan, Sisi hidup para khalifah saleh, (Surabaya: Risalah Gusti,2000), h.256
45
BAB IV
DAKWAH ALI BIN ABI THALIB
A. Metode Dakwah Ali bin Abi Thalib
Da’i adalah subjek dalam kegiatan dakwah. Da’i memiliki peranan yang
dominan dalam menentukan keberhasilan dakwah. Maka seorang da’i harus
benar-benar memiliki kemampuan yang baik dalam bidang dakwah islam.
Tak bisa dipungkiri bahwa Ali memiliki semua itu. Beliau juga seorang
alim dan sastrawan. Bahasa beliau sangat tinggi, bahkan beliau terkenal sebagai
yang meletakkan prinsip-prinsip gramatika Arab. Sebagai orang alim maka beliau
diangkat oleh para khalifah sebelumnya sebagai penasihat.
Ia termasuk orang yang selalu berhati-hati meskipun dalam sesuatu yang ia
lihat benar, dan memilih untuk tidak mengatakan dengan terus terang, jika hal itu
akan membawa mudharat bagi umat. Ia selalu meletakkan perkara pada tempatnya
yang tepat. 1
Dalam soal fiqih dan hukum, tiada orang yang lebih masyhur selain Ali ra.
Dialah orang yang paling pintar dalam fiqih dan syariat di zamannya. Tiada orang
yang lebih mengerti daripada Ali. Tiada yang lebih mampu mengeluarlan faham
dari hokum-hukum al-Quran dan al-Hadist, serta masalah kemasyarakatan lain
selain Ali. Umar bin Khattab pun mengagumi kepandaian Ali ra dalam
memecahkan masalah-masalah yang rumit. Tiada masalah yang sulit bagi Abu
1
Sayyid Ahmad Asy-Syulaimi, kumpulan Khotbah Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Penerbit Gema
Insani Press, 2001), h.17
45
46
Hasan. Setiap permasalahan yang membutuhkan ijtihad, pendapat, dan qiyas yang
benar selalu dikembalikan dan dicari tafsirnya dalam syari’at. 2
Salah
satu
bentuk
reformasi
pemerintahan
Ali
adalah
dengan
meningkatkan keintelektualitasan kaum Muslimin. Sehingga muncul nama-nama
terkemuka seperti Abul Aswad ad-Duali, Abdurahman Salmi, Kumail bin Ziyad,
Umar ibn Salmi, Abdullah ibn Samit, Abdullah ibn Abbas, yang sepeninggal Ali
masing-masing merupakan sentral dari orbit aktifitas intelektual. 3
Seorang da’I atau juru dakwha dalam menyampaikan ajaran Islam kepada
umat manusia tidak akan lepas dari sarana atau media. Kepandaian untuk memilih
media atau sarana yang tepat merupakan salah satu unsure keberhasilan dakwah.
Begitu pula yang dilakukan Ali, ia adalah salah seorang dalam sejarah
Islam yang menggunakan berbagai media dalam bentuk tulisan, untuk menulis
berbagai karangan seperti: Penghimpun al-Quran, Mushaf Fatimah, As-Shahifah,
Jamiah, Shahifah al-Faraidh.
Metode dakwah merupakan cara-cara yang dipakai seorang da’I dalam
menyampaikan dakwahnya. Ali memiliki cara berbeda dlam penyampaian dan
pengembangan dakwahnya.
Saat beliau menjadi khalifah beliau berjalan hilir mudik dipasar-pasar
untuk melakukan pengawasan tanpa disertai pembantu atau pengawal. Disitu
beliau memebrikan petunjuk-petujnjuk, membantu yang lemah, berbincangbincang dengan para pedagang, serta memerintahlkan kepada mereka agar berlaku
tawadhu’, bergaul dengan baik, dan membacakan untuk mereka ayat Allah.
2
Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Ali, (Yogyakarta: Pustaka Mantiq,1992), h.154
Moh. Shoboroenur Rasyid, Sebuah Prisma Seribu Cahaya, (Jakarta: Humaniora Utama, 2000),
h.77
3
47
Ali selalu berada di tengah-tengah orang banyak guna mengetahui segala
kebutuhan mereka, beliau mengikuti roda ekonomi, mangamati timbangan dan
tkaran, serta barang0-barang yang tidak laku di pasar-pasar, srbagaimana yang
telah kami kemukakan di muka.
Ali secara ketat mengawasi para gubernurnya diberbagai propinsi, para
komandan pasukan dan para bendaharawan, serta memerintahkan kepada mereka
agar bersikap lembut dan tawadhu’ dalam bergaul dengan orang banyak. 4
Ali selalu menampakkan kebiasaan sosialieme dalam islam, baik secara
kejiwaan atau tindakan nyata. Sebenarnya sosialisme ini telah tersebar luas secara
merata pada Zaman khalifah Abu Bakar, Umar dan Ustman, Sayidina Ali yang
didorong oleh ruh Islamnya, kezuhudan dan kewara’annya itu kembali
mempergunakan sosialisme ini, walaupun tidak menyerupai sosialisme modern
seperti sekarang ini. 5
Sebelum berperang, Ali selalu mengajak musuhnya untuk mengikuti alan
Allah, Rasul-Nya dan Islam. Setelah ajakan itu ditolak, maka barulah Ali
mengajaknya berprang tanding, dan ia dapat membunuhnya. Kebijakan inilah
yang merupakan salah satu sebab mengapa umat islam selalu menang. 6
Beliau sangat mudha bergaul, sebagai bukti gampangnya beliau bergaul
dengan masyarakat, adalah sambutannya terhadap orang-orang secara langsung
menemui beliau. Beliau menyambut mereka dengan penghormatan yang spontan,
4
Abul ‘Ala al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI,
2000),h.123
5
Abdul Halim Uweis & Musthafa ‘Asyur, Sayidina Ali Khalifah keempat yagn dideskriditkan,
(Jakarta: yayasan lumni timur Tengah Indonesia,1997), h. 101
6
Said bin Ali bin Wahif al-Qahthani, Dakwah Islam Dakwha Bijak, (Jakarta: Penerbit Gema
INsani Press, 1994), h.180
48
senyyum hangat, dan wajah berseri, untuk membuang jauh-jauh segala formalitas
yang memisahkan seorang pemimpin dari rakyatnya, dan menyingkirkan segala
gelar yang selama ini dipakai oleh para pembesar dan pemimpin Negara dalam
pergaulan mereka dengan orang banyak. 7
Ali jarang mengeluarkan kata-kata keras yang menunjukkan kemarahan.
Jarang pula kaum ahli pedang mendengar kemarahan dari mulut dan lidahnya.
Biasanya kalaupun ada seringkali sudah tak tahan memendamnya. Sebagai
pahlawan, wajar apabila gejolak marah itu tersalur melalui perbuatan, lontaran
panahnya, ayunan pedang atau dalam geraknya. 8
Ali juga sangat baik hati kepada penduduk Non Muslim. Ia
memerintahkan para pejabatnya agar memperlakukan mereka dengna baik dan
memberi perhatian yang khusus terhadap kebutuhannya. 9
B. Analisis Metode Dakwah Ali bin Abi Thalib
1). Dakwah bil Hikmah
1. Mengenal Strata Mad’u
Salah satu makna hikmah dalam berdakwah adalah menempatkan manusia
sesuai dengan kadar yang telah ditetapkan Allah. Di saat terjun ke sebuah
komunitas, atau melakukan kontak dengan seorang mad’u, da’I yang baik harus
memperlajari terlebih dahulu data riil tantang komunitas, atau pribadi yang
bersangkutan yang cukup beragam baik pendidikan, bahasa, tradisi dll.
7
Ahsin Muhammad dan Afif Muhammad, para pemuka ahlu Bayt Nabi, (Jakarta: Pustaka
Hidayah, 2004),h.66
8
Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Alin bin Abi Thalib, (Bogor: CV. Pustaka Mantiq, 1994),
h.38
9
Majid Alli Khan, Sisi hidup para khalifah Saleh, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h.257
49
Ali bin Abi Thalib berkata: Berbicaralah dengan orang sesuai dengan
tingkat pengetahuan mereka, apakah engkau suka Allah dan Rasul-Nya
didustakan.
Ali sangat memahami karakter manusia, dakwah yang dilakukan tanpa
memandang strata mad’u bias berakibat fatal, ayat Allah dan sabda rasul bias
menjadi bahan olok-olokan orang yagn tidak faham.
2. Kapan harus bicara kpan harus diam
Ali selalu berhati-hati, memikirkan dan merenungkan apa yang
diucapkannya, agar tidak sembarang berbicara karena luka yang diakibatkan oleh
lidah bisa lebih parah daripadayang diakibatkan oleh pisau.
Ketika dai menghadapi masalah, dan berbicara diperkirakan akan
menimbulkan antpati, maka dai lebih baik mengambil sikap diam. Akan tetapi,
tidak selamanya diam itu emas dan berbicara itu perak.
Ali bin Abi Thalib menegaskan, kezaliman tak pernah berlangsung tanpa
kerjasama antara yang menzalimi dan yang dizalimi. Dengan diam mka orang
yang tertindas mendukung pelestarian penindasan. Diamnya seluruh bangsa atas
penindasan penguasa adalah tonggak utama kezaliman.
3. Toleransi tanpa kehilangan Shibgah
Sebagaimana diketahui bahwa toleransi mengandalkan keragaman,
menghormati hak-hak orang lain dan melindungi penganut ajaran lain.
50
Ketika Ali diberitahu tentang sebuah kanal untuk irigasi milik orang-orang
non-muslim dikotor dengan sampah, ia segera menulis kepada pejabat yang
bertugas, Karzah bin Kaa;ab Anshari, “Orang-orang non-Muslim dari daerahmu
telah mengeluh bahwa salah satu dari kanal irigasi milik mereka telah tertutup
dengan sampah. Adalah tugasmu untuk membersihkannya! AKu bersumpah demi
Allah bahwa hal itu lebih baik bagimu, bahwa orang-orang muslim ditempatmu it
uterus bahagia daripada berpindah ke tempat lain karena kesulitan”
Toleransi jang adiartikan lemah dalam beragama. Sebaliknya, hnaya
mereka yang memiliki kepercayaan diri akan kebenaran agamanya sertakekuatan
ilmu yangbisa berbuat toleran dan kasih saying pada kelompok lain seperti Ali bin
Abi Thalib
4. Memilih kata yang tepat
Manusia tidak dapat menghindar dari komunikasi daam interaksi
sesamanya. Pada hakekatnya ketika manusia berkomunikasi pada dasarnya
memindahkan atau menyalin fikiran dalam bentuk lambing. Agar lambang itu
bermakna maka perlu disampaikan secara tepat. Karena tujuan dasar komunikasi
tersebut antra lain mencetak kesan orang lain dan memberikan kontribusi realitas.
Pada umumnya, sebuah syair mempunyai bentuk kata-kata yang singkat,
padat, namun dapat menggambarkan suasana kejiwaan si penyair secara utuh dan
tepat baik perasaannya dan pikirannya terhadap objek tertentu.
51
5. Cara Berpisah
Dalam berdakwah adakalanya menggunakn metode selain caramah ada
pula dialog atau diskusi. Oeh kare itu, pertukaran pendapat antara pembawa
dakwah disatu pihak dan golonga n yang dihadapinya di lai n pihak adakalanya
berhasil dalam waktu yang singkat, adaka;lanya bertemu dengan alan buntu.
Menggunakan kata berpisah harus dengan “Qaulan Balighon” yaitu kata
yang sampai menjangkau ke lubuk hati mereka, jangan kata yang meninggalkan
rasa pahit atau jengkel.
Sebagai contoh ketika ada dialog antara dua orang sahabat yang ternyata
tidak ada titik pertemuan. Maka Ali menutup diaog tersebut dengan jelas dan
terang.
6. Uswatun Hasanah
Keteladanan adalh unsure terpenting yang harus direalisasikan dalam
perjalanan dakwah. Khususnya keteladanan utuh yang mencerinkan keutuhan
islam uyang shahih dan segala ajaran dan tuntunannya tanpa kekeliruan,
penyelewengan dan pengambilan ajaran secara parsial.
Ketelasanan Ali bin Abi Thalib memiliki pengaruh yang amat besar dalam
membantu kaum muslimin untuk mengenal islam secara teori dan praktek, serta
meneladaninya dalam hal ibadah, muamalah, atau amal-amal harian.
52
2). Dakwah Mauidzotul Hasanah
Adapun Dakwah Mauidzoh Hasanah Ali penulis klasifikasikan ke dalam
beberap bentuk:
a. Nasihat atau petuah.
Ali menggunakan irama yang panjang dalam menyampaikan nasihatnasihatnya yang padat dan mengandung argument-argumen berbobot, yang
sanggup menggoncang hati pendengar serta meninggalkan pengaruh yang sangat
,mendalam pada jiwa yang mendengarkan nasihat-nasihatnya.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Umar telah berkata
kepada Ali: “Nasihatilah aku Abu hasan” Ali berkata ”jangan jadikan
keyakinanmu menjadi keraguan, ilmumu menjadi kebodohan, dan dugaanmu
menjadi hak. Dan ketahuilah, tidak ada jatah bagimu dari dunia ini kecuali apa
yang telah diberikan kepadamu hingga habis, atau dijatahkan untukmu hingga
punah, atau yang kamu kenakan hingga lapuk.” 10
Nasihat yang diberikan Ali kepada Umar menunjukkan bahwa manusia
diciptakan oleh Allah dengan kesempurnaannya yaitu diberinya manusia hati dan
akal fikiran untuk melengkapi kekhalifahannya di muka bumi. Namun Allah
memberinya pula potensi nafsu yang membuat manusia menjadi khilaf dan salah.
Oleh karenanya manusia senantiasa memerlukan peringatan dan nasihat dari orang
lain.
b. kabar gembira dan peringatan (tabsyir wa tandzir)
Bentuk metode ini sangat penting dilakukan, terutama kepada masyarakat
yang mempunyai latarbelakang pendidikan yang rendah dan pemahaman
10
Handzalah, Taushiyah Ruhiyah Sahabat, (Jakarta: Pustaka Imani, 1995), h.21
53
keagamaan yang lemah, sehingga perlu adanya motivasi dan harapan dalam
beragam melalui bentuk tabsyir dan tandzir.
Pada satu waktu sesekali pernah Yazid bin Qais sangat terlambat dalam
pengiriman pajak penghasilan. Kemudian Ali r.a menulis surat kepadanya.
“Jelaskan tentang penundaan pengiriman pajak. Aku menasihatimu agar takut
kepada Allah Swt dan memperingatkanmu agar tidak mengulanginya dikemudian
hari, sebaliknya kesalehan (kebijakan)mu akan hilang dan jihadmu untuk Allah
akan rusk. Takutlah kepada Allah Swt dan peliharalah dirimu dari kekayaan yang
tidak sah. Jangan memberiku kesempatan utuk memperingatkan kesalahan
lagi.” 11
Contoh diatas menunjukkan bahwa seorang dai harus senantiasa
memberikan dorongan kepada mad’unya agar selalu berbuat baik, pemberian
motivasi juga sangat diperlukan untuk mengajak manusia agar berlomba-lomba
berbuat bermacam-macam ketaatan. Tetapi, pada sisi yang lain, perlu adanya
tindakan preventif agar umat mudah untuk berbuat kemaksiatan, maka mereka
harus diberikan peringatan dan ancaman.
b. Wasiat
Esensi wasiat dalam dakwah adalah: Ucapan seorang da’I berupa pesan
penting dalam upaya mengarahkan mad’u tentang sesuatu yang bermanfaat dan
bermuatan kebaikan, Adapun persoalan-persoalan yang dismpaikan dalam waiat
berkaitan dengan sesuatu yag belum dan akan terjadi.
Ali bin Abi Thalib pernah berwasiat kepada Kumail bin Ziyad “HAi
Kumail sesungguhnya hati adalah wadah dan hati yang paling baik adalah hati
yang sadar. Maka jagalah apa yang aku wasiatkan padamu” 12
11
12
Majid Ali Khan, Sisi hidup para khalifah Saleh, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h.256
M. Munir, Metode dakwah, (Jakarta: KEncana), h.285
54
Wasiat Ali merupakan sarana untuk mencapai tujuan dakwah. Bila
dikaitkan dengan kebenaran, wasiat Ali adalah profil paling cemerlang untuk tgak
menjaga kebenarn dan kebaikan. Bila dikaitkan dengan kasih saying wasiat Ali
adalah upaya menyebarluaskan perasaan kasih saying, dan saling mencintai
sesame umat, sehingga bangunan umat semakin solid.
3). Dakwah bi Al Mujadalah
Al-Mujadalah terbagi menjadi dua bagian, yaitu mahmudah dan
mazmumah. Sedangkan mahmudah terbagi menjadi al-khiwar dan as Ilah wa
Ajwibah.
a. Al-Hiwar
1. Kejujuran
Dialog hendaklah dibangun di atas pondasi kejujuran, bertujuan mencapai
kebenaran, menjauhi kebohongan, kebathilan dan penguburan, sebagai contoh
seperti peristiwa ketika Ali bin Abi Thalib kecil ditanya Ayahnya saat ia pergi ke
lembah kota Mekkah untuk beribadah bersama Rasulullah: “Wahai anakku!
Agama apakah yang engkau kerjakan itu? Ali menjawab: ”Oh Ayah! Saya
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, saya percaya dengan segala yang dibawa
oleh Muhammad Saw, Saya bersembahyang bersamanya dan saya mengikutinya
karena Allah”. 13
13
Muhammad Ali al-Quthub, Sepuluh Sahabat Dijamin Ahli Syurga.(Semarang: CV. Toha Putera,
2001), h.93
55
2. Argumentatif dan Logis
Diskusi/dialog adalah bertujuan akhir agar lawan menyadari atau
mengikuti daripada apa yang kita inginkan. Maka sangatlah nisbi apabila di dalam
menyuguhkan bantahan atau alas an tidak masuk akal. Oleh sebab itu, jawaban
yang argumentative dan logislah yang mampu membawa lawan untuk
menerimanya.
Sekali waktu ia menghadapi seorang Yahudi dalam sebuah perkelahian,
dan duduk diatas dada orang yahudi tersebut untuk membunuhnya. Orang yahudi
tersebut meludahi wajahnya. Ali seketika bangkit meninggalkannya. Ali berkata,
“Aku memb unuhmu karena Allah, tetapi ketika engkau meludah di wajahku,
keikhlasanku telah dikalahkan perasaan pribadi.” Mendengar hal ini, orang
Yahudi tersebut dengan segera menyatakan menerima Islam. 14
3. Bertujuan untuk mencapai kebenaran
Setiap individu atauppun keompok harus mencapai tujuan yaitu
menampakkan dan menjelaskan kebenaran masalah yang diperselisihkan.
Abu Sufyan tidak setuju terhadap pengangkatan Abu baker. Ia berkata
kepada Ali. Namun Ali memberikan pernyataan yang membuatnya amat kecewa
dengna jawabannya yang keras: “Sungguh anda tetap sebagai musuh Islam dan
kaum muslimin meskipun sikap itu tidak mampu mendatangkan kerugian Bagi
islam atau kaum muslimin sedikitpun”. 15
14
Majid Ali Khan, Sisi hidup para khalifah saleh, (Surabaya: Risalah Gusti,2000), h.247
Abul ‘Ala al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI,
2000),h.127
15
56
4. Tawadlu
Didalam
berdiskusi
kadang
terjadi
ketidak
tawadluan
dalam
mengemukakan pendapat atau alasannya, karena ia meras apaling benar, paling
bisa apalagi paling berkuasa.
Pada suatu ketika pernah orang-orang menangkap lima orang perusuh,
diantara mereka yangmencaci-maki dengan terang-terangan, bahkan seorang
diantara mereka bersumpah dihadapan orang banyak akan membunuh Ali.
Sungguhpun demikian, Ali telah melepaskan mereka dan tidak mengambil suatu
tindakan untuk menghukum mereka. 16
5. Memberi kesempatan pada pihak lawan
Dalam sebuah perdebatan tentuya terjaid saling pendapat antara kedua
belah pihak, hal semacam ini tidak akan menemui titik temu jika tidak ada pihak
yang mau mengalah dalam berargumen. Mka sebaiknya sebagai seorang da’I
harus senantiasa memberikan kesempatan pada pihak lawan dalam berargumen.
Seperti yang dicontohkan Ali ketika dating seorang Yahudi dari MAdinah yang
mengaku dirinya keturunan Harun saudara Musa bin Imran, Ia berkata “Aku
bertanya kepadamu tentang tiga pertanyaan, bila jawabanmu benar, satu
pertanyaan lagi akan aku ujarkan, bila engkau salah menjawab tiga soal
pertama, engkau tidak akan melanjutkan pertanyaannku”. Ali menjawab seluruh
pertanyaan yang ditanyakan. Si Yahudi pun masu Islam. 17
16
Abul ‘Ala al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI,
2000),h.129
17
Mahdi Faqih Imani, Mengapa Mesti Ali, (Jakarta: Lentera Citra, 2006), h.143
57
Berikut langkah-langkah atau cata dalam berdialog yang dilakukan Ali bin
Abi Thalib dalam penyampaiab dakwahnya.
1. Mendengarkan pihak lawan dengan Arief, bijak dan seksama.
Langkah ini diambil agar memberikan kesan yang pertama begitu
menggoda, tidak menyinggung perasaan dan akhirnya da’I bukan hanya mengeri
akan ttapi memahami terhadap apa yang disampaikan lawan bicara, sehingga
langkah ini menentukan terhadap apa yang menjadi argument da’I berikutnya.
Demikian pula Ali r.a pernah terlibat dalam suatu perkara dengan seorang
non-Muslim yang dilihatnya menual bau besi milik Ali di pasar Kufah. Ia tidak
merampasnya dari tangannya, dalam kedudukannya sebagai amirul mukminin dan
kepala Negara pada waktu itu, tapi ia mengadukan halnya kepada hakim. Dan
ketika itu ia tidak berhasil mengajukan suatu bukti atau saksi-saksi atas
tuduhannya itu, sang hakim menjatuhkan putusan yang merugikannya. 18
Setelah persidangan usai, orang Nasrani itu kembali bertemu Ali ra. Ia
berkata “Aku bersaksi bahwa ini adalah pengadilan para nabi. Amirul mukminin
menuntut aku melalui hakimnya dan hakimnya mengalahkannya. Sejak saat itu
saya bersahadat bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad
adalah hamba dan utusann-Nya. Baju besi itu milikmu, Ya amirul mukminin. Aku
mengambil baju itu dari untamu yang kelabu ketika engkau dan pasukanmu
hendak berangkat ke Shiffin.” 19
18
Abul ‘Ala al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI,
2000),h.122
19
Abdullatif Ahmad Aasyur, 10 orang dijamin ke surga, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 86
58
2. Menggunakan ilustrasi/Kiasan/gambaran
Ilustrasi adalah sarana untuk mendekatkan lawan bicara agar lebih yakin
terhadap argument yang kita sampaikan. Ilustrasi berguna untuk melengkapi dan
memperjelas setiap uraian pembicaraan.
Pada suatu hari Aqil dating ke rumah Ali dan memohon dipinjami uang
dari baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan dan rasa lapar anak-anaknya. Tapi Ali
menolaknya mentah-mentah bahkan mendekatkan sebuah besi ketubuhnya. Ketika
Aqil berteriak ketakutan, maka Ali berkata “Kamu merasa keberatan atau
kehilangan anak, hei Aqil apakah engkau mengerang ketakutan menghadapi besi
yang dijaga oleh pemiliknya untuk mainan, dan engkau menarik aku ke dalam api
neraka yang menyala-nyala penuh api. Apakah engkau mengerang ketakutan
menghadapi kemelaratan, tapi berani menghadapi neraka?” 20
3. Mematahkan pendapat/ alas an dengan serang balik.
Langkah ini diambil apabila lawan sudah melampaui batas. Akan tetapi,
tetap memperhatikan norma-norma dan etika dalam berdialog.
Dalam perdebatan antara Thalhah bin Syaibah dengna Abbas bin Abdul
Muthalib, Thalhah mengatakan, “Aku adalah orang yang paling mulia atas
Baitullah ini, sebab kunci-kuncinya berada ditanganku.”
Abbas menjawab “Tidak, akulah yang lebih mulia. Sebab, akulah yang
memberi minum orang-orang yang mengerjakan ibadah haji”
20
Abdul Halim Uweis & Musthafa ‘Asyur, Sayidina Ali Khalifah keempat yagn dideskriditkan,
(Jakarta: yayasan lumni timur Tengah Indonesia,1997), h. 104
59
Ketika kedua orang itu beradu mulut, lewatlah Imam Ali, yang kemudian
mengakhiri perdebatan mereka berdua dengan mengatakan “Aku sudah shalat
sebelum orang lain mengerjakannnya, dan akulah pemilik jihad.” 21
4. Apologik dan Elentika
Diskusi kadang menghadapi pihak lawan yang mudah menerima argument
yang kita sampaikan. Dialog yang demikian kadang terjadi dalam satu agama dan
tidak fanatic terhadap faham yang dianutnya.
Perdebatan sengit antara Ali dan Abdullah al-AKiwa tentang keputsan
arbitrase. Ali berkata “Apa kamu tidak tahu bahwa aku mengutusnya seorang
muslim, lalu ia kafir –menurut kamu- setelah pengiriman itu? Apa kamu tahu
bahwa rasulullah jika mengutus seornag muslim kepada orang-orang kafir untuk
memanggil mereka ke alan Allah –Sebagaimana terjadi pada masa Rasulullahlalu orang itu mengajak kepada jalan selain Allah. Apakah Rasulullah juga
menanggung dosa terhadap kelakuan orang itu? Kata Abdul Kiwa “Tidak”. Kata
Ali “lalu apakah saya harus menanggung dosa, jika Abu Musa tersesat? Dengan
ketersesatan Abu Musa itu, apa lalu boleh kamu sekalian mengangkat pedang lalu
memerangi manusia.” 22 Mereka pun berlalu meninggalkan Ali karena mereka
merasa kalah dengna pernyataan mereka sendiri.
5. Jangan marah.
Diskusi /dialog kadang-kadang dihadapkan dengan persoalan yang rumit
dimana lawan bicara tidak mau menerima atau bahkan mencaci terhadap da’i.
Oleh akrena itu, da’I tidak boleh terpancing untuk marah. Karena terjadi adalah
kebuntuan dialog tersebut, dan ini berarti kebuntuan dakwah. Padahal dalam
situasi dan kondisi bagaimanapun.
21
Ahsin Muhammad dan Afif Muhammad, para pemuka ahlu Bayt Nabi, (Jakarta: Pustaka
Hidayah, 2004),h.46
22
Abdul Halim Uweis & Musthafa ‘Asyur, Sayidina Ali Khalifah keempat yagn dideskriditkan,
(Jakarta: yayasan lumni timur Tengah Indonesia,1997), h. 91
60
Setelah perang jamal reda. Kemudian Ali berkunjung kepada Aisyah
dirumahnya, dan duduk dihadapannya. Lalu Syatiyah binti Thalhah berteriak
berkali-kali kepada Ali: “Semoga Allah meyatimkan anak-anakmu sebagaimana
kamu telah meyatimkan anak-anakku!” Ali diam saja. Ada seseorang yang marah
mendengar caci maki Syafiyah, lalu berkata kepada Ali. “Hai amirul mukminin,
apakah anda diam saja menghadapi wanita ini” Ali menjawab “Kita
diperintahkan untuk menahan diri terhadap kaum wanita yang musyrik. Apalagi
terhadap kaum wanita yang muslimah”. 23
b. As-Ilah Wa Ajwibah (Tanya jawab)
Tanya jawab merupakan salah satu metode di dalam berdakwah. Ia
merupakan bagian dari metode dialogis dalam menyampaikan pesan-pesan
dakwah. Kesan yang ditimbulkan melalui metode Tanya jawab ini lebih kuat bila
dibandingkan hanya dengan berkomunikasi satu arah.
Berikut penulis cantumkan bentuk-bentuk As-Ilah Wa Ajwibah yag
dilalukan Ali bin Abi Thalib.
1. Jawaban yang lugas, langsung pada apa yang ditanyakan.
Seorang Yahudi bertanya kepada Ali “Ceritakan kepadaku apa yang tidak
dimiliki Allah? Ceritakan pula kepadaku sesuatu yang tidak ada pada Allah dan
yang tidak diketahui Allah” Ali menjawab “Pertanyaanmu tetnang apa yang tidak
ada disisi Allah, jawabannya adalah Allah tidak memiliki kedzaliman kepada
23
Abdul Halim Uweis & Musthafa ‘Asyur, Sayidina Ali Khalifah keempat yagn dideskriditkan,
(Jakarta: yayasan lumni timur Tengah Indonesia,1997), h. 79
61
hamba-hambanya. Pertanyaanmu tantang apa yang tidak dimiliki Allah,
jawabannya adalah Allah tidak memiliki sekutu” Saat itu juga yahudi berkata,
“Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, bahwa Muhammad adalah
Rasulullah” 24
2. Jawabannya dalam bentuk pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban
lisan, tetapi cukup direnungi dan dihayati maksudnya.
Ketika Ali r.a hampir wafat, orang banyakpun bertanya kepadanya:
“Apakah anda akan membaiat Hasan, putera Anda?” maka beliau menjawab
“Aku tidak memerintahkan kepada kalian dan tidak melarang kalian, kalian lebih
mengerti” 25
3. Jawaban yang sama dari pertanyaan yang sama dan berulang-ulang.
Ketika Ali Karramallahu Wajhah ditanyakan tentang apa bedanya ilmu
dengna harta. Pertanyaan itu diulang sebanyak 10 kali dan beliau menjawab
dengna jawaban yang berbeda-beda. 26
4. Jawaban dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya.
Abu Sufyan bin Harb dating ke Madinah untuk menemui Rasulullah saw,
guna berusaha memeprbaiki keadaan dna mengukuhkan perjanjian Hudaibiyyah
yang telah mereka langgar. Permintaan Abbu Sufyan itu ditolak keras oleh
Rasulullah saw. Akan tetapi Abbu Sufyan terus berusaha membujuk orang-orang
24
Mahdi Faqih Imani, Mengapa Mesti Ali, (Jakarta: Lentera Citra, 2006), h.68
Abul ‘Ala al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI,
2000),h.114
26
M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h.342
25
62
terdekat nabi hingga sampai kepada Ali. Namun Ali menjawab “Mengenai
masalah itu rasulullah telah mengambil keputusan. Kami tidak dapat mengajak
beliau berbicara tentang itu.” 27
5. Jawaban yang bertingkat-tingkat.
Ibnu Asakir neriwayatkan dari Ali bahwa ada seorang Yahudi yang dating
menemuinya. Lalu ia berkata, “Kapan Tuhan kita mulai ada?” Mendengar
pertanyaan itu wajah Ali berubah karena marah. Lalu dia menjawab, “Dia ada
dari tiada, dia ada tanpa proses pengadaan, dia ada tanpa kita tahu bagaimana
adanya. Dia ada tanpa didahului sesuatu dan tidak akan pernah berakhir, semua
akhir tidak akan menembus ada-Nya, dia adalah puncak dari segala puncak.”
Mendengar itu si Yahudi segera masuk Islam. 28
27
28
H. Roeslan Abdulgani, Sejarah Kehidupan Rasulullah, (Jakarta: Pustaka Hidayah,2008), h.265
Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa, (Solo: Pustaka al-kautsar,2005), h.214
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melalui kajian yang relatif panjang tentang metode dakwah
khalifah Ali bin Abi Thalib, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan:
1. Metode dakwah yang khalifah Ali bin Abi Thalib gunakan adalah metode
dakwah al-hikmah, al-mauidzatul Hasanah dan al-Mujadalah. Meski pada
waktu pemerintahan Ali disibukan dengan peperangan demi peperangan
yang terjadi antara beliau dan pihak-pihak yang tidak setuju atas
kekhalifahan beliau namun beliau tetap menjadi seseorang yang
mempertahankan kesatuan umat islam.
2. Pemerintahan Khalifah Ali berada dalam kebimbangan karena beberapa
pihak yang tidak puas dengan kepemimpinannya adalah merupakan para
sahabat Nabi, namun ia harus tetap menjadi ksatria tangguh di medan
perang, demi memperjuangkan hak-haknya sebagai khalifah dan demi
menjaga
keutuhan
dan
kesatuan
umat
islam dengan
mematuhi
keputusannya sebagai jabatan khalifah.
3. Kebijaksanaan beliau sungguh sangat luar biasa sehingga banyak kata-kata
yang terlontar dari mulutnya mengandung hikmah bagi para sahabat dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga banyak sekali pesan-pesan yang ia
sampaikan demi perkembangan Islam.
63
64
B. Saran
Dengan mengacu pada keseluruhan pembahasan ini, penulis menyarankan
hal-hal sebagai berikut:
1. Seorang da’I memiliki tanggung jawab tidak hanya dihadapan manusia
semata melainkan dihadapan Allah jua, tentunya para da’I harus selalu
berpedoman pada sumber-sumber ajaran Islam sebagai tuntutan serta
senantiasa terus mendalaminya agar benar-benar sesuai dengan maksud
penciptaan manusia sebagai Makhluk-Nya.
2. Senantiasa mengkaji perjalanan para sahabat Rasulullah Saw dan para
Ulama dalam setiap penyampaian dakwah mereka tentunya dengan
metode beragam untuk dijadikan perbandingan bagi seorang da’I agar
hasil yang didapat semaksimal mungkin.
3. Dakwah memiliki pengertian yang sangat luas, tidak terbatas dalam bentuk
ceramah dan pengajian, berpindah dari majlis ke majlis lain, dari satu
mimbar ke mimbar lain dengan perbuatan yang bercermin pada nilai-nilai
islami juga sangat bernilai maknanya bagi dakwah.
4. Dengan tekhnologi yang semakin pesat saat ini, tentunya menjadi
tantangan tersendiri bagi para da’I dalam memanfaatkan semua itu
terhadap aktifitas dakwah yang dijalaninya, agar dapat menyesuaikan
dakwahnya dengan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Aasyur, Abdullatif Ahmad, 10 orang dijamin ke surga, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1994)
Abdulgani, Roeslan, Sejarah Kehidupan Rasulullah, (Jakarta: Pustaka
Hidayah,1997)
Abdullah, Abdurrahman bin, Kisah-kisah manusia pilihan, (Bogor: Pustaka
thariqul Izzah, 2005)
Al Husaini, M.H Al Hamid, Imamul Muhtadin Sayidina Ali bin Abi Thalib,
(Bogor: Yayasan Al-Hamidi, 2009)
al-‘Allaf, Abdullah Ahmad, 1001 cara berdakwah, (Solo: Ziyad Visi Media,
2008)
al-Afifi, Abdul Hakim, 1000 Peristiwa dalam Islam, (Bandung: Pustaka
HIdayah)
al-Amini, Syaikh Abdul Husein, Ali bbin Abi Thalib: Sang putera ka’bah,
(Jakarta: al-Huda, 2002)
Al-Juhali, Wahbah, At-Tafsir Al-Munir, Juz. 13-14
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Juz. 5.
al-Maududi, Abul ‘Ala, Khalifah dan Kerajaan, (Bandung: Penerbit Mizan
Anggota IKAPI, 2000)
al-Musawi, Abbas Ali, Ali bin Abi Thalib Manusia Sempurna, (Jakarta: Cahaya,
2008)
al-Qahthani, Said bin Ali bin Wahif, Dakwah Islam Dakwha Bijak, (Jakarta:
Penerbit Gema INsani Press, 1994)
al-Qardhawi, Syeikh Yusuf, al Shahwah al Islam baina al-Juhud wa al-Tatarruf,
Risalah al mahakim al-Syar’iyyah wa al syuut al-Diniyah, (Qatar, 1402
H)
al-Quthub, Muhammad Ali, Sepuluh Sahabat Dijamin Ahli Syurga.(Semarang:
CV. Toha Putera, 2001)
Aqqad, Abbas Mahmud, Keagungan Ali, (Jakarta: Pustaka Mantiq,1992)
Asmuni, M. Yusran, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam dna Pemikiran
(Dirasah Islamiyah II), (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996)
As-Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa, (Solo: Pustaka al-kautsar,2005)
Asy-Syulaimi, Sayyid Ahmad, Kumpulan khotbah Ali bin Abi Thalib, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001)
Azis, Moh. Ali, Dakwah bil Hikmah (Jakarta: Mitra Kencana, 2004)
Bachtiar, Wardi, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997)
Badruttamam, Nurul, Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher, (Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2005 )
Bastoni, Hepi Andi, Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: al-Kautsar, 2008)
Fachmi, Anshori, kisah-Kisah di zaman khalifah, (Surabaya: Sinar Baru
Alcensindo,1993)
Fachruddin, Fuad Mohd, Posisi Ali di Pentas Sejarah Islam, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1988)
Ghalwusy, Ahmad, Al-DA’wah Al-Islamiyah. (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishr,
1987)
Hamka, Sejarah Uamt Islam, (Singapura: Kerjaya Printing Industries Pte Ltd,
1994)
Handzalah, Taushiyah Ruhiyah Sahabat, (Jakarta: Pustaka Imani, 1995)
Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996)
Hefni, Munzir Supatra dan Harjani (ed), Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada
Media, 2003)
Hielmy, Irfan, Dakwah bin Hikmah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002)
Imani, Mahdi Faqih, Mengapa Mesti Ali, (Jakarta: Lentera Citra, 2006)
Jumantoro, Toto, Psikologi Dakwah dengan Aspek-asspek kejiwaan yang
Qurani (Jakarta: Amzah, 2001)
Khan, Majid Ali, Sisi hidup para khalifah saleh, (Surabaya: Risalah Gusti,2000)
Latif, Nasarudin, Teri dan Praktek Dakwah Islamiyah, (Jakarta: Firma Dara,
1979)
Ma’lub, Lois, Munjid Fi al-Lughah wa A’lam. (Beirut: Dar Fikr, 1990)
Machfoed, Ki Moesa A., Filsafat Ilmu Dakwah dan penerapannya, (Jakarta:
Bulan BIntang, 2004)
Makhfuz, Syeik Ali, Hidayat al Murtasyidin, Terjemahan Hodijah Nasution,
(Yogyakarta: Tiga A, 1970)
Marhaban, Haji Sjech, Tokoh-tokoh Islam di Zaman Nabi, (Singapura: Pustaka
Nasional, 2004)
Muhammad, Ahsin Muhammad dan Afif, para pemuka ahlu Bayt Nabi, (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 2004)
Muhiddin, Asep, Dakwah dalam Perspektif Al-Quran: Studi Kritis ata Visi, Misi
dan Wawasan, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002)
Munawir, Narson, Kamus Al Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1994)
Munir, M., Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006)
Muriah, Siti, Metodologi Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2000)
Nuh, Sayid Muhammad, Diterjemahkan Oleh: Ashfa Afkarina, Dakwah
FArdiyah: Pendekatan Personal dalam dakwah, (Solo: Era Intermedia,
2000)
Quthub, Sayyid, Fi Dzila Qal-Quran Jilid VII, Beirut, Ihya’ At-Turas Al-arabi, tt
Rasyid, Moh. Shobirienur, Sebuah Prisma Seribu Cahaya, (Jakarta: Humaniora
Utama, 2000)
Sadzali, Munawir, Islam dan tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran,
(Jakarta: Universitas Indonesia, 1993)
Shalaby, Ahmad, Sebuah Buku Kajian Mengenai Sejarah Islam Sejarah dan
Kebudayaan Islam, (Singapura: Pustaka Nasional,1996)
Soemargono, Soejono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: nur Cahaya,
1983)
Sou’yb, Joesoef, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979)
Syafi’I, Inu Kencana, Al-Quran & Politik, (Jakarta: PT Rineka Cipta,1994)
Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997)
Thantawi, Sayyid Muhammad, Adab al-Khiwar Fil Islam, Dar al-Nahdhah,
Mesir diterjemahkan oleh Kamal, Zaenuri Misrawi dan Zumroni,
(Jakarta: Azan, 2001)
Tim The Ahl-Ul Bayt Word Assembly, Teladan Abadi Ali bin Abi Thalib,
(Jakarta: al-Huda, 2008)
Umar, Toha Yahya, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Widya Karsa Pratama, 1992)
Uweis, Abdul Halim & Musthafa ‘Asyur, Sayidina Ali Khalifah keempat yagn
dideskriditkan, (Jakarta: yayasan lumni timur Tengah Indonesia,1997)
W. Nana Rukmana D.. Masjid dan Dakwah, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2002)
World Assembly of Muslim Yaouth (WAMY), Fil Ushulil Hiwar, Maktabah
WAhbah Cairo, Mesir, diterjemahkan oleh Abdus Salam M dan Muhil
Dhafir, dengan judul terjemahan “Etika Diskusi”, (Jakarta: Era Inter
Media, 2001)
Yaqub, Ali Mustafa, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka
Firdaus,1997)
Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah/Penafsir al-Quran, al-Quran dan
terjemahnya, Lembaga percetakan Raja Fahd
Download