Tidak jarang dan bahkan berulang kali al

advertisement
82
DOUBLE MOVEMENT FAZLUR RAHMAN:
Penekanan Moralitas Sebagai Landasan Metodologi Hukum Islam
Khozainul Ulum
(Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan)
Abstract: Islamic law in practical terms is always coupled with the concrete realities in
society. He is a product of thought result of interaction between the jurists with the
social environment. From the results of the interaction, to form a functioning legal
system order to protect the rights of individuals and communities. Islamic law as an
instrument of structuring society is also very complex, covering all aspects of life, good
ethics, morals, politics, religion, economics and culture. In this case, Islamic law does
not only revolve around the vertical-transcendentaldimension, but also has a
humanitarian dimension of socio-horizontal base. The Quran itself, in addition tells the
principles of the doctrine of divinity, he also includes ethical and moral teachings in
explanation to embody certain legal formulations. Thus, Islamic law is a rule that can be
linked to human actions, so that the necessary efforts to find the ideal foundation that
can be embryonic development of Islamic law. Therefore, the search for the principles of
the universality of law is very important as a medium for the development of Islamic
law itself.
Kata Kunci : Fazlur Rahman, Metodologi Hukum Islam
Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa Syari’ah1 sebagai manifestasi konkrit kehendak Allah
atas kompleksitas kehidupan manusia, meniscayakan al-Quran sebagai sumber utamanya.
Hampir semua persoalan kajian hukum Islam selalu harus menemukan landasan ontologis
dari al-Quran, sehingga bagi umat Islam al-Quran menjadi sesuatu yang sangat diyakini dan
sekaligus merupakan petunjuk yang purna dan abadi.
Belakangan ini, terlihat adanya kecenderungan me-monumen-kan al-Quran dan
sunnah, sebagai suatu kitab suci yang harus diterima secara faith accompli dan mampu
memecahkan persoalan-persoalan kekinian, tanpa mempertimbangkan aspek latar sosiohistoris yang melingkupinya. Akibatnya, fleksibelitas, kreatifitas dan produktifitas
pemahaman yang mesti tampil dalam proses ijtihad, musnah dan hilang begitu saja. Dengan
begitu, al-Quran dan Sunnah tidak lagi menjadi sebuah “organisme sumber hukum Islam”
yang hidup dan berkembang sejalan dengan peredaran zaman. Pada puncaknya,
pengkayaan khazanah hukum Islam dan tradisi keilmuan Islam lainnya menjadi stagnan dan
cenderung terperangkap pada cara pandang legal-formalistik dan pengabaian terhadap
penangkapan nilai-nilai moralitas kolektif dalam arena kehidupan nyata.2
Lebih jauh, asumsi bahwa hukum Islam harus produktif, kreatif dan responsif
terhadap gejala perkembangan zaman, malah berganti menjadi kian tumbuh suburnya
Istilah Syari’ah, Fiqh dan Hukum Islam merupakan istilah yang berbeda satu sama lain, baik secara
historis maupun literal. Namun dalam penggunaannya, istilah-istilah tersebut menjadi identik, dan
bahkan yang hampir dianggap baku adalah istilah hukum Islam. Lihat, Hasbi as-Shiddiqy, Pengantar
Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980),12-20. Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Sebuah
Pengantar, (Surabaya: Risa>lah Gusti, 1996), 1-7, Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup,
(Bandung: Pustaka 1984), 1-5.
2 Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan Risalah Zakat (pajak) Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991),
XV-10.
1
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
83
tradisi taqlid3 yang muncul sejak akhir abad kedelapan belas. 4 Lebih ironis lagi, ketika teksteks interpretatif hukum Islam itu dijadikan landasan otoritatif-formalistik dalam perumusan
hukum Islam.5 Padahal teks-teks yang dianggap otoritatif tersebut hanya tidak lebih dari
sekadar komentar (syarah) atau komentar atas komentar (haliyah) teks yang pertama.6
Kecenderungan ini secara teoritis memiliki implikasi cukup berarti bagi perkembangan
pemikiran hukum Islam. Paling tidak dalam kondisi seperti itu, hukum Islam akan
mengalami kebekuan dan kehilangan kreativitasnya serta terkesan tidak peduli dengan
segala perubahan bentuk apapun.7
Seiring dengan tuntutan bahwa hukum Islam harus bisa adaptif dan responsif
terhadap perkembangan zaman, maka Fazlur Rahman, seorang tokoh pemikir Islam,
menawarkan sebuah metodologi yang layak dipersegar ulang sebagai usaha sederhana
menemukan kembali visi moral al-Quran sekaligus menjadi pertimbangan landasan
metodologi hukum Islam. Hal itu agar hukum Islam secara terus menerus bisa berkembang
menjadi sumber inspirasi moral yang dapat digelar dan diaktualisasikan dalam pentas
keragaman hidup pada setiap zaman dan ciri sosial yang berbeda-beda.
Moralitas dan Prinsip Keadilan Dalam Islam
Perbincangan tentang moralitas dalam hukum Islam sesungguhnya tidak bisa lepas
dari upaya penegakan keadilan. Sudah barang tentu perbincangan konsep keadilan dalam
hukum Islam adalah bermuara pada sejauh mana para perumus hukum Islam dapat
mengapresiasi secara kreatif aspek-aspek moralitas yang terdapat dalam peristiwa-peristiwa
spesifik hukum Islam.8 Al-Quran sering kali menyebut konsep keadilan dalam versi dan
konotasi yang beraneka ragam. Di satu tempat al-Quran mengaitkan konsep keadilan
dengan kesaksian terhadap seluruh manusia dalam suatu konsep keseimbangan. Misalnya,
al-Quran menyebutkan:
9 ‫وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا‬
Di tempat lain, al-Quran menyejajarkan kewajiban berbuat adil dengan kewajiban terhadap
Tuhan. Misalnya, al-Quran menyebutkan:
10 ‫ياأيها الذين أمنوا كونوا قوامين هلل شهداء بالقسط وال يجرمنكم شنئان قوم على أال تعدلوا إعدلوا هو أقرب للتقوى واتقوا اهلل إن اهلل يرير ب ا تع لون‬
Saat itu, begitu sejarah Islam memasuki periode modern, “semangat pembaharuan” mulai berkibar
untuk mengejar ketertinggalan di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan. Gagasan “Semangat
pembaharuan” itu, kemudian menjadi sumber inspirasi lahirnya embrio terbukanya pintu ijtihad
setelah mengalami masa-masa taqlid yang demikian panjang. Baca, Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran
Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), 4.
4 Lihat, Ilyas Supena & M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gama
Media, 2002), 4. Lihat juga, John. L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality?, alih bahasa, Alwiyah
Abdurrahman, (Mizan: Bandung,1994), 46.
5 Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994,), 21.
6 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), 189.
7 Asmuni, Penalaran Induktif dan Perumusan al-Maqasid Syatibi Menuju Ijtihad yang Dinamis, dalam
Reformasi Peran Hukum Islam di Indonesia, (UNISA: Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, No. 48/XXVI/ II/2003),
173.
8 Jika dicermati sesungguhnya hubungan antara moralitas dan keadilan juga telah disinggung di
dalam al-Quran. Terbukti, al-Quran tidak jarang merujuk istilah-istilah seperti 'adl (keadilan), ihsan
(kebaikan) dam makruf (sesuatu yang telah diterima secara umum sebagai perbuatan baik). Dari sini
tidak terelakkan bahwa hubungan primordial antara manusia—sebagai obyek hukum—dan keadilan,
perlakuan yang wajar, dan moralitas adalah sesutu yang mesti tercantum dalam pengambilan
keputusan hukum. Lebih jelasnya lihat, Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter
ke Fikih Otoritatif, 237.
9 Al-Baqarah [2]: 143.
3
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
84
Ayat lain menyatakan:
‫ياأيها الذين أمنوا كونوا قوامين بالقسط شهداء هلل ولو على أنفسكم أو الوالدين واألقربين‬
Konsep keseimbangan yang nota bene mengacu pada lintas kemanusiaan dan
tuntutan hak pemenuhan kewajiban terhadap Tuhan adalah menunjukkan ekspresi keadilan
itu sendiri. Yaitu, keadilan Tuhan terhadap makhluknya di satu pihak dan keadilan antara
manusia dengan sesama di pihak lain. 12 Ayat-ayat tentang keadilan di atas menyiratkan
suatu pemahaman bahwa keteguhan menegakkan keadilan dan kebenaran merupakan dua
hal yang saling terkait, atau setidaknya mempunyai kategori moral yang sama. Artinya, jika
Islam adalah agama universal yang memuat pertikel-patikel hukum (al-ahkam al-juz’iyyah),
maka bahasa moralitas dan keadilannya harus bisa dipahami secara logis di luar batas
budaya hukum tertentu dan latar belakang budaya tertentu. Karena secara sederhana dapat
dipahami bahwa bentuk pengabdian kepada Tuhan berarti menunjukkan adanya
kesanggupan menegakkan keadilan, dan menegakkan keadilan berarti melakukan pencarian
keadilan dan moralitas yang berpihak pada kepentingan umat manusia.13 Hal ini
mengandung pengertian bahwa keadilan merupakan nilai moral-universal yang tidak bisa
diubah seperti halnya partikel-partikel hukum juz'i partikuler, karena keadilan adalah mejadi
tujuan dan implementasi dari syari’ah, bukan sebuah konsep yang beridiri sendiri,
sedangkan hukum juz'i partikuler tidak menjadi tujuan syari’ah secara intrinsik.14
Ibn Qayyim al-Jauziyyah misalnya, mengatakan bahwa syari’ah mempunyai
keterkaitan erat dengan aspek kemaslahatan yang juga merupakan inti dari syari’ah itu
sendiri. Landasan dan fondasi kemaslahatan itu adalah keadilan, rasa kasih sayang dan
hikmah yang mesti harus ditegakkan dalam kehidupan nyata. Ia meyatakan:
‫ إن الشريعة الراهرة التي في أعلى رتب ال صالح التأتي به فان الشريعة مرناها وأساسها على الحكم ومصالح العراد في ال عاش وال عاد وهي عدل‬.......
11
‫ فالشريعة عدل اهلل بين عراده ورح ته بين يلقه وظله في أرضه‬.....‫كلها ورح ة كلها وحك ة كلها‬
Dalam pernyataan di atas, Ibn Qayyim menegaskan bahwa setiap keputusan yang
keluar dari keadilan, menyimpang ke arah kezaliman, dari kasih sayang ke hal yang
sebaliknya, dari maslahat ke kerusakan, dari kebijaksanaan ke kesewenang-wenangan, maka
keputusan semacam itu jelas bukan merupakan bagian dari syari'ah. Dengan demikian,
keadilan dalam hukum Islam merupakan keharusan yang sama sekali tidak dapat diabaikan.
Dalam pandangan Nurcholis Madjid, keadilan adalah sebagai hukum kosmos atau bagian
dari hukum alam. Orang yang melanggar prinsip keadilan, selain melanggar, merusak dan
merugikan tatanan hukum jagad raya, juga bararti menentang sunnah Allah dalam
menciptakan dan menegakkan hukum jagad raya,16 karena dalam al-Quran, konsep keadilan
dianggap lebih tinggi dari pada konsep yang telah dibuat oleh manusia.17 Dalam diskursus
filsafat hukum, prinsip keadilan juga dianggap sebagai nilai dan tujuan tertinggi.
Muhammad Muslehuddin, mengatakan:Pemikiran yang melandasi konsep keadilan itu
berdasarkan pada asumsi bahwa seseorang individu bukanlah sepotong jiwa dan bebas
melakukan apa saja yang ia sukai, tetapi merupakan seorang anggota yang terikat dalam
15
Al-Ma'idah [5]: 8.
Al-Nisa' [4]: 135.
12 Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 139.
13 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, cet. Ke- I, (Jakarta:
Serambi, 2004), 383-384.
14 'Allal al-Fasi, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah wa Makarimuha, (al-Dar al-Baidha', tt.), 41- 43.
15 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in, Jilid III, (Bairut: Dar al-Jail, t.t.), 4.
16 Nurchlish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, cet. Ke- IV, (Jakarta: Paramadina, 2002), 40-43.
17 Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, 139.
10
11
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
85
sebuah tatanan universal yang harus menundukkan keinginan dan kesukaan pribadinya
kepada kesatuan organik keseluruhan kolektif.18
Pernyataan di atas mengindikasikan bahwa penegakan keadilan bukan saja melibatkan
pemenuhan kepentingan dan keinginan individu belaka, tetapi harus ditegakkan dalam
kesatuan organik individu demi tegaknya keadilan yang lebih tinggi yatiu, keadilan sosial
yang mencakup berbagai kepentingan publik.
Moralitas dan Prinsip Keadilan Dalam Pandangan Fazlur Rahman
Tidak jarang dan bahkan berulang kali al-Quran menyebutkan nilai-nilai seperti
keadilan, kejujuran, belas kasih, kebaikan, dan kebenaran. Dalam perjalanan kehidupan
umat manusia nilai-nilai tersebut seolah-olah merupakan makna kodrati yang selalu menjadi
kecenderungan fitrahnya. Sejumlah ulama menyatakan bahwa al-Quran selalu memberikan
ungkapan yang sesuai dengan tatanan etis, atau setidaknya mempertimbangkan
seperangkat nilai etis tertentu sebagai nilai inti yang harus diikuti oleh umat manusia.19
Meminjam ungkapan Fazlur Rahman, elan dasar al-Quran adalah terletak pada esensi-esensi
moral, sehingga dengan ajaran moral itu, manusia diharapkan mengembangkan tugas mulia
sebagai khalifah Allah di muka bumi.20
Bagi Fazlur Rahman, dalam perumusan hukum Islam semangat moral harus menjadi
penyangga utama, karena dimensi moral pada prinsipnya merupakan perintah Allah yang
abadi. Manusia tidak berkuasa untuk merubah, apalagi menolaknya. Dengan hukum moral
itu, prinsip keadilan dapat ditegakkan.21 Al-Quran yang disinyalir Rahman sebagai sebuah
dokumen yang menyerukan kebajikan dan tanggung jawab moral yang kuat, sudah
seharusnya menjadi sumber acuan pengambilan keputusan hukum Islam. Suatu kesalahan
yang sangat fatal dalam tradisi hukum Islam yang beranggapan bahwa al-Quran merupakan
kumpulan kitab undang-undang hukum.22 Akibatnya, hukum Islam tidak memiliki energi
untuk senantiasa adaptif dan aplicable dalam setiap tuntutan perubahan. Bahkan selain itu,
penetapan hukum Islam sedikit sekali yang memasukkan pertimbangan moral dalam posisi
yang semestinya. Artinya, nilai-nilai moral univerasal seperti keadilan, kejujuran,
kehormatan, kesungguhan dan kecermatan sama sekali tidak menjadi pertimbangan
penetapan hukum Islam. Padahal sudah pasti tidak ada suatu sistem hukum yang berjalan
dalam kevakuman moral.23
Fazlur Rahman menegaskan bahwa tugas utama bagi para perumus hukum Islam
adalah mengetahui dan membedakan antara ketentuan-ketentuan (undang-undang) legal
dengan perintah-perintah di bidang moral. Setelah memahami perbedaan itu, baru
kemudian berusaha memecahkan masalah-masalah rumit dan melakukan reformasi sosial
dengan mengacu pada semangat moral yang diajarkan oleh al-Quran.24 Di sinilah bagi
Rahman pentingnya memasukkan dimensi moral dalam kajian hukum Islam yang tidak saja
mementingkan ketentuan legal-formal, tetapi juga menjadi sumber acuan moral-relegius
suatu keputusan hukum.
Dalam diskursus hukum Islam, setidaknya seperangkat nilai moral menjadi
pertimbangan proses pengambilan keputusan hukum, dengan memperhatikan hubungan
Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and the Orientalist (A Comparative Study of Islamic
Legal System), (Markazi Maktaba Islami: Chitli Qabr, Delhi, 1985), 43.
19 Khaled M. Abou el-Fadl Melawan Tentara Tuhan Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenang dalam
Wacana Islam, cet. Ke-I, (Jakarta: Serambi, 2003), 149-150.
20 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago hlm.Press, 1979), 32.
21 Ibid, 34.
22 Fazlur Rahman, Major Themes of The Quran, (Minneapolis: Bibliatheca Islamica, 1989), 46 – 47.
23 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, 381.
24 Fazlur Rahman, Major Themes of The Quran, 46.
18
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
86
timbal balik antara “wahyu ketuhanan” yang bermuara pada prinsip moral universal dan
“sejarah kemanusiaan” yang selalu berkembang dan dinamis. Dari hubungan timbal balik
ini, diupayakan hukum Islam melahirkan sebuah keputusan hukum yang memiliki pijakan
semangat normatif di satu pihak dan mampu merespons semua perkembangan dan
perubahan zaman di pihak lain, dengan semangat moral yang dimiliki oleh perubahan itu.
Proses penetapan keputusan hukum Islam yang ditawarkan Fazlur Rahman terdiri
dari dua gerak ganda (double-movement) yaitu, bertitik tolak dari situasi sekarang ke masa
turunnya al-Quran, lalu dari masa turunnya al-Quran itu kembali kepada masa kini.25 Apa
yang dilakukan oleh Rahman dalam memahami al-Quran dengan double-movementnya
adalah untuk menelusuri adanya aspek ideal moral dan legal spesifik. Dalam kaitan ini,
Rahman berpandangan, sesungguhnya al-Quran memberikan semangat juang untuk
menciptakan tata sosial-moral yang bermuara pada terciptanya kondisi yang egalitarian dan
berkeadilan.26 Karena itu, menurut Rahman, perlu adanya pembaharuan hukum yang
bersifat publik lewat suatu sistem prinsip moral yang juga bersifat publik yang rumusannya
diambil dari al-Quran.27
Dua gerak ganda (double-movement) yang dirumuskan oleh Rahman sesungguhnya
merupakan penafsiran hukum atas aspek sosial (peristiwa-peristiwa spesifik) ajaran yang
terdapat dalam al-Quran. Hal ini, menurut Rahman, karena kepentingan utama metodologi
tersebut adalah memahami al-Quran dan aktivitas Nabi dalam latar sosio-historisnya.
Kerana itu, bagi Rahman dalam merumuskan suatu keputusan hukum perlu dibedakan
secara tegas antara ideal moral yang bersifat universal dan wilayah legal spesifik yang
bersifat partikuler.
Setelah proses penelusuran prinsip-prinsip moral dari peristiwa-peristiwa spesifik alQuran, maka langkah selanjutnya adalah menubuhkan prinsip umum tersebut untuk
digeneralisasikan ke dalam konteks sosio-historis dewasa ini. Upaya penubuhan ini, bagi
Rahman dapat direalisasikan dalam bentuk modifikasi aturan-aturan lama selaras dengan
situasi kekinian dan pengubahan hal-hal yang ada dalam situasi kekinian, agar sejalan
dengan prinsip umum tersebut. Hal ini tentu
dengan terlebih dahulu mengkaji,
mengeksplorasi dan menganalisis sejumlah unsur dan komponen yang ada, demi mencapai
keberhasilan penubuhan tersebut secara tepat dan benar sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan zaman.28
Pendekatan Historis Dalam Memahami al-Quran
Rahman melihat perlunya melakukan pengembangan metodologi yang tepat dan
logis untuk mempelajari al-Quran di mana hinggi kini—menurut Rahman—kaum muslimin
belum pernah membicarakan masalah-masalah mendasar mengenai metode dan cara
penafsiran al-Quran secara adil, padu, tepat dan benar. Akibatnya, upaya memahami alQuran mengalami kegagalan begitu rupa. Kegagalan itu di samping terjadi pada masalah
teologi dan sufisme, juga berimbas pada kegagalan dalam bidang hukum. 29 Sebab itu,
Rahman memandang pengembangan metodologi penafsiran al-Quran yang memadai
merupakan suatu kemestian yang amat mendesak.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The
University of Chicago Press, 1984), 6-7.
26 Fazlur Rahman, Major Themes of The Quran), 62 – 63.
27 Fazlur Rahman, "Functional Interdependence of Law and Theology", dalam, Theology and Law in
Islam, diedit oleh G.E von Grunebuam (Wiesbeden: Otto Harrassowitz, 1971), 93-94.
28 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman,
(Bandung: Mizan, 1994), 215-216.
29 Taufik Adnan Amal, Metode Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1992),
20-21.
25
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
87
Kemendesakan pengembangan metodologi tersebut, Rahman merumuskan
metodologi tafsir sistematis dengan menekankan dan bahkan menetapkan betapa
pentingnya pemahaman latar belakang sosio-historis ajaran-ajaran hukum al-Quran guna
memahami ideal moral atau ratio legis-nya, serta kondisi-kondisi aktual malarakat Arab
ketika al-Quran diturunkan dalam rangka menafsirkan pernyataan-pernyataan legal dan
sosio-ekonomisnya.30 Dalam hal ini, Rahman memilih upaya mengapresiasi nilai-nilai
historis yang dianggapnya sebagai satu-satunya metode tafsir yang dapat diterima dan
berlaku adil terhadap segenap tuntutan intelektual dan integritas moral yang ekstrahistoris
dan transendental.31
Pendekatan kesejarahan oleh Rahman dikembangkan melalui penekanan pada
pentingnya pembedaan antara tujuan atau "ideal moral" al-Quran dengan ketentuan legal
spesifiknya. Tujuan utama al-Quran yang terbingkai dalam konsep ideal moral (ratio legis)
harus dijadikan acuan dan pemandu ketentuan-ketentuan hukum yang sifatnya legal
spesifik. Sementara ketentuan-ketentuan legal spesifik harus tunduk berada di bawah
panduan ideal moral. Rasio-legis ('ilal al-ahkam) bagi Rahman adalah esensi hukum yang
tidak sekadar mendeduksikan teks hukum yang analog dengan kasus hukum yang sedang
dipertimbangkan seraya memperhitungkan adanya perbedaan, melainkan ia juga
ditampilkan sebagai nilai moral yang benar-benar menjadi acuan suatu hukum. Sedang
legislasi aktual adalah menjadi perwujudannya. Ketika situasi berubah sehingga hukum
gagal mencerminkan rasio-legis, maka hukum harus bersedia dirubah dan diperbaharui.
Dengan pendekatan historis dalam memahami al-Quran, Rahman mencoba menyelami
pesan al-Quran yang bersifat perennial-universal yang terbungkus dalam pakaian budaya
dan peristiwa historis yang bersifat lokal dan temporer.
Dalam melakukan pendekatan kesejarahan, Rahman sealur dengan Gadamer, yaitu
melakukan perjalanan intelektual ke masa lalu untuk menelusuri dan memasuki bilik-bilik
historis dan kemudian kembali ke masa kini dengan fakta dan pemaknaan yang berorientasi
ke depan. Sebagaimana Gadamer, Rahman melihat sejarah adalah sebuah rangkaian
peristiwa dan pemaknaan yang tak pernah terputus, karena pemaknaan sejarah selalu
mengacu ke depan meskipun dilakukan hari ini, sehingga sulit menciptakan jarak antara
masa lalu, kini dan esok. Dulu dan esok keduanya dipertemukan oleh pemaknaan hari ini
oleh subyek pelaku dan penafsir sejarah itu sendiri.32
Dilihat dari sudut pandang ushul fiqh, Rahman secara prinsipil tidak jauh berbeda
dengan konsep tujuan penetapan hukum maqashid al-syari’ah yang dikembangkan oleh alSyatibi. Seperti halnya al-Syatibi, Rahman menganggap konsep "ideal moral" sebagai tujuan
legislasi hukum Islam. Konsep "ideal moral" tersebut oleh Rahman dipandang sebagai
prinsip-prinsip umum yang penjabarannya berangkat dari seruan-seruan moral al-Quran
yang dipandang oleh Rahman sebagai ajaran dasar al-Quran. Prinsip-prinsip umum
tersebut, menurut Rahman, adalah ayat-ayat yang menyerukan keharusan tentang adanya
keadilan, kejujuran, kebaikan, kebajikan, kepemaafan, kewaspadaan terhadap bahaya moral,
dan lain sebagainya. Semua itu merupakan petunjuk umum, dan bukan petunjuk khusus.
Pada dimensi ini, etika qur'ani bagi Rahman harus dikembangkan, dengan mengapresiasi
nilai-nilai dan prinsip-prinsip al-Quran secara keseluruhan. Caranya adalah dengan
memahami pesan al-Quran sebagai suatu kesatuan yang utuh dan bukan sebagai perintah-
Fazlur Rahman, Major Themes of The Quran, 48.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 4 -5.
32 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, cet. Ke-I, (Jakarta:
Paramadina, 1996), 195.
30
31
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
88
perintah terpisah yang banyak jumlahnya.33 Selanjutnya oleh Rahman prinsip-prinsip umum
yang bersifat etis itu dijabarkan ke dalam perintah-perintah hukum legal spesifik.34
Pada titik itu, pengaruh pemikiran al-Syatibi begitu sangat tampak. Dalam bangunan
metodologisnya, Rahman seperti halnya al-Syatibi, berupaya menempatkan nilai-nilai yang
lebih khusus berada di bawah panduan nilai-nilai yang lebih umum, sebagai bagian dari
etika al-Quran.35 Dari sini, konsep doubel movment Rahman lahir menjadi metodologi tafsir
sistematis yang secara embrional merupakan pengembangan dari metodologi yang
ditawarkan oleh al-Syatibi. Perbedaannya adalah, konsep al-kulliyat al-khamsah yang
merupakan pejabaran dari konsep maqashid al-syari’ahnya al-Syatibi, sering kali digunakan
untuk masalah-masalah ritual peribadatan, bahkan sedikit sekali yang membahas secara
detail tentang masalah-masalah mu'amalah. Di samping itu, al-Syatibi menurut penilaian
Rahman sekalipun ia menjadi ikon lokomotif bapak "maqashid al-syari’ah", ia masih terlihat
meragukan bahwa kemampuan intelektual atau akal manusia memiliki peran utama dalam
perumusan hukum atau bahkan perintah moral, meskipun ia sendiri telah menggunakan
sejumlah besar kekuatan akal dalam menetapkan tujuan-tujuan syari’ah.36
Rahman akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa al-Syatibi memiliki
pandangan yang kaku, konservatif dan begitu menentang kemampuan nalar atas masalahmasalah hukum. Al-Syatibi kurang memberikan luang yang cukup leluasa terhadap
kemampuan akal dalam melakukan penyesuaian hukum Islam dengan perubahan sosial.
Contoh Aplikatif Double-Movement
Dalam masalah qishas misalnya, Rahman berpendapat bahwa sesungguhnya alQuran memperkuat hukum pembunuhan yang telah berjalan dalam masyarakat pra Islam,
seperti yang telah ditegaskan dalam al-Quran:
37 ‫ومن يقتل مؤمنا متع دا فجزائه جهنم يالدا فيها وغضب اهلل عليه ولعنه وأعد له عذابا عظي ا‬
Sebagai solusi peristiwa spesifik, al-Quran memberikan kebebasan kepada keluarga korban
untuk memilih antara menuntut balas (qishas) atau meminta sebentuk kompensasi berupa
uang (diyat). Di samping itu, al-Quran menambahkan pengampunan atau pemberian maaf
dari pihak keluarga korban yang dipandang sebagai kebajikan bernilai tinggi. Solusi
semacam ini menurut Rahman ditegaskan bahwa pembunuhan dipandang sebagai
kejahatan terhadap keluarga, sehingga keluarga korban bisa menuntut balas (diyat).
Namun demikian, ketika al-Quran berbicara tentang pembunuhan yang dilakukan
oleh Qabil terhadap Habil (keduanya putra Nabi Adam), al-Quran menyatakan:
38 ‫من أجل ذلك كترنا على بنى إسرئيل أنه من قتل نفسا بغير نفس أو فساد فى األرض فكأ ن ا قتل الناس ج يعا ومن أحياها فكأن ا أحيا الناس ج يعا‬
Ayat di atas, menurut pandangan Rahman adalah menjadikan pembunuhan sebagai
suatu tindakan kejahatan kemanusiaan, bukan saja terhadap keluarga korban. Dengan
demikian, solusi al-Quran yang terkait dengan peristiwa spesifik tentang qishas bagi Rahman
harus dimasukkan ke bawah prinsip yang memandang pembunuhan sebagai tindak
kejahatan kemanusiaan.39
Dalam kasus perbudakan, Rahman juga menegaskan bahwa secara legal memang alQuran menerima institusi perbudakan, karena mustahil untuk dilenyapkan dalam waktu
seketika. Meskipun al-Quran tidak secara eksplisit mencabut hukum perbudakan, tetapi
Fazlur Rahman, "Hukum dan Etika dalam Islam", 52 -54.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 154.
35 Taufik Adnan Amal, Metode Alternatif Neo-modernisme Islam, 27.
36 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1996),
133-134.
37 Al-Nisa’, [4]: 93.
38 Al-Maidah, [5]: 32.
39 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, 211-212.
33
34
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
89
secara moral ia dengan jelas mendukung pembebasan budak dalam sejumlah kondisi yang
lebih luas. Oleh karena itu, menurut Rahman semua aturan tekstual atau skriptural yang
bersifat khusus (spesifik), baik yang bertalian dengan masalah qishas maupun perbudakan,
harus bibaca berdasarkan nilai moral tertinggi (prinsip umum universal) yang memandang
pembunuhan sebagai kejahatan kemanusiaan dan seruan pembebasan dari institusi
perbudakan.40 Artinya, ide pokok yang terkandung dalam gerakan pertama adalah berpikir
dari aturan-aturan legal spesifik menuju pada semangat moral sosial yang bersifat umum
yang terkandung di dalamnya.41
Beberapa Kritik Atas Metodologi Rahman
Kendati demikian, tidak berarti metodologi Rahman sama sekali sempurna. Terdapat
bebeberapa sorotan terhadap metodologi yang ditawarkan Rahman. Jalaluddin Rahmat
misalnya, mempertanyakan cara Fazlur Rahman dalam menyimpulkan ayat-ayat yang tidak
diketahui latar belakang turunnya ayat tersebut. 42 Dalam nada yang sama Taufik Adnan
Amal menganggap tokoh neo-modernisme ini telah memeras metode tafsirnya dalam
bidang teologi sehingga sangat layak dipertanyakan. Karena bagi Adnan, kajian al-Quran
yang utuh dan padu tanpa komponen kronologi al-Quran dan eskposisi sintesis tidak akan
dapat menampilkan gambaran seutuhnya gagasan-gagasan al-Quran.43
Sedangkan Farid Esack memandang salah satu kelemahan metodologi yang
ditawarkan Rahman adalah terletak pada terjadinya ambiguitas. Di satu sisi, Rahman
mendukung pemahaman yang bersifat tentatif yang memunculkan subjektivitas dalam
penafsiran dan tidak akan mencapai kebenaran yang universal, namun di sisi lain ia
menganut mazhab hermeneutika objektif yang menganggap arti suatu proposisi merupakan
kebenaran universal.44 Jadi, salah satu kelemahan metodologi Rahman menurut Esack,
adalah terletak pada kurangnya konsistensi Rahman.
Kesimpulan
Gagasan-gagasan hukum Fazlur Rahman menampakkan kecenderungan suatu
istinbat hukum yang lebih banyak mengacu pada penggalian nilai-nilai moral, meskipun ia
menganggap al-Quran sebagai rujukan utama. Dalam posisi itu, ia melakukan semacam
pencerahan terhadap kajian hukum Islam melalui pemahaman al-Quran secara utuh, padu,
dan sistematis.
Yang paling menonjol dalam diri Rahman adalah kepiawaiannya dalam menelusuri
konsep ideal moral yang diramu melalui istilah-sitilah teknis "ungkapan legal spesifik alQuran, "prinsip moral-sosial", "latar belakang sosio historis" dan "ratio legis" (illat hukum),
yang semuanya merupakan istilah-istilah teknis disiplin ushul fiqh yang basis materialnya
talah rampung pada abad empat belas yang silam. Rahman mencoba merajut dengan
kemasan metodologi baru dalam sebuah gerak ganda yuristik, yaitu pertama, dari yang
khusus (partikuler) kepada yang umum (general), dan kedua, dari yang umum kepada yang
khusus. Gerakan pertama melibatkan pemahaman terhadap prinsip-prinsip al-Quran yang
di dalamnya Sunnah merupakan bagian organisnya. Karena itu, bagi Rahman berbagai
Ibid, 213.
Ghufran A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam,
(Jakarta:. Rajawali Pers, cet. II, 1998), 153.
42 Jalaluddin Rahmat, "Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh: Dari Fiqh Tabi'in hingga Mazhab
Liberalisme", dalam Budhy Munawar- Rachman (ed.), Konstektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
(Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994), 303.
43 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, 204-205.
44 Farid Esack, Qur'an, Liberation and Pluralism: A Islamic Perspective of Interreligius Solidarity againts
Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 68.
40
41
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
90
tujuan dan prinsip al-Quran harus dipadukan guna menghasilkan suatu teori sosio-moral
yang padu dan komprehensif.
Gerakan kedua adalah mengandaikan perolehan suatu prinsip al-Quran melalui cara
di atas untuk diterapkan terhadap masyarakat muslim dalam konteks masa kini. Tentu saja
situasi dan peristiwa kontemporer harus juga dikaji sedemikian cermat untuk menemukan
prinsip-prinsip penerapan hukum terhadap situasi tersebut. Di sini pernyataan Ibn Qayyim
sebagaimana talah diungkapkan di muka, bahwa hukum harus berubah selaras dengan
perubahan waktu dan tempat menemukan relevansinya.
Kenyataan itu tidak berarti bahwa Rahman telah menghasilkan konsep metodologi
dan konsep-konsep hukum Islam yang sempurna. Terdapat beberapa kekurangan dan
kelemahan, khususnya pada sisi metodologi. Di antaranya adalah ia tidak memberikan
pendedahan secara khusus tentang upaya sistematis untuk menghasilkan prinsip-prinsip
dari aturan-aturan spesifik al-Quran yang kemudian digeneralisasikan sebagai hukumhukum moralitas dan etika. Di samping itu, Rahman tidak memberikan elaborasi konkrit
tentang penubuhan prinsip-prinsip yang diperoleh dari bagian spesifik ke dalam konteks
kekinian.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, apa yang dilakukan oleh Rahman
merupakan sebuah tawaran untuk memberikan paradigma baru dalam perumusan hukum
Islam. Hanya berjalannya waktu yang bisa membuktikan apakah pemikiran Rahman ini bisa
diterima atau tidak oleh masyarakat Islam. Amin al-Khulli mengatakan bahwa terkadang
sebuah pemikiran menjadi kekafiran yang diharamkan dan diperangi, tetapi kemudian
seiring dengan berjalannya waktu, pemikiran itu menjadi mazhab, bahkan keyakinan
dimana dengannya kehidupan terus melangkah ke depan.
Daftar Rujukan
Al-Fasi, Allal, Maqasid al-Syariah al-Islamiyah wa Makarimuha, al-Dar al-Baida’, tt.
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, Jilid III, Bairut: Dar al-Jail, t.t.
Adnan Amal, Taufik, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman, cet, ke- V, Bandung: Mizan, 1994
Adnan Amal, Taufik, Metode dan Alternatif Neo-modernisme Islam Fazlur Rahman, Bandung:
Mizan, 1992
Asmuni, “Penalaran Induktif dan Perumusan al-Maqasid Syatibi Menuju Ijtihad yang
Dinamis”, dalam Reformasi Peran Hukum Islam di Indonesia, UNISA: Jurnal Ilmu-ilmu
Sosial, No. 48/XXVI/ II/2003
Boisard, Marcel A., Humanisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
El Fadl, Khaled M. Abou, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, alih bahasa
R. Cecep Lukman Yasin, cet. Ke- I, Jakarta: Serambi, 2004
El Fadl, Khaled M. Abou, Melawan “Tentara Tuhan” Yang Berwenang dan Yang SewenangWenang Dalam Wacana Islam, alih bahasa Kurniawan Abdullah, cet. I Jakarta: Serambi
2003
Esack, Farid, Qur'an, Liberation and Pluralism: A Islamic Perspective of Interreligius Solidarity
againts Oppression, Oxford: Oneworld, 1997
Esposito, John L., The Islamic Threat: Myth or Reality?, alih bahasa Alwiyah Abdurrahman,
Mizan: Bandung, 1994
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, 1984
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika, Jakarata:
Paramadina 1996
Madjid, Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, cet. ke- IV, Jakarta: Paramadina, 2002
Mahfudz, Sahal, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LKiS, 1994
Mas’udi, Masdar F., Agama Keadilan Risalah Zakat (pajak) Dalam Islam, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1991
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
91
Mas’adi, A. Ghufran, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam,
Jakarta: Rajawali Pers, cet. II, 1998
Muslehuddin, Muhammad, Philosophy of Islamic Law and the Orientalist (A Comparative Study
of Islamic Legal System), Markazi Maktaba Islami: Chitli Qabr, Delhi, 1985
Rahman, Fazlur, "Functional Interdependence of Law and Theology", dalam, Theology and
Law in Islam, diedit oleh G.E von Grunebuam, Wiesbeden: Otto Harrassowitz, 1971
Rahman, Fazlur, Islam, Chicago: the University of Chicago, 1979
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The
University of Chicago Press, 1984
Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institute of Islamic Research,
1996
Rahman, Fazlur, Major Themes of The Qur’an, Edisi Kedua, Minneapolis: Bibliotheca Islamica,
1989
Rahmat, Jalaluddin, "Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh: Dari Fiqh Tabi'in hingga Mazhab
Liberalisme", dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Konstektualisasi Doktrin Islam
Dalam Sejarah, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994
Supena, Ilyas & M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama
Media, 2002
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
Download