Penghapusan Benluk Diskriminasi Rasial 213 PENEGAKKAN HUKUM DAN KETENTUAN PIDANA DALAM PENGHAPUSAN BENTUK DISKRIMINASI RASIAL Nukila Evanty Penulis artikel ini mengungkapkan adanya prokontra di sekitar perlu tidaknya pemberian sanksi pidana terhadap pelaku diskriminasi rasial. Namun, menurut dia, hal terpenting sebelum menjawab kontroversi itu adalah harus diperjelas juga tentang siapa yang dapat diminta tanggung jawabnya dalam hal terjadi diskriminasi rasial. Di bagian lain tulisannya, penulis mengatakan perlu segera diadakan penyempurnaan peraturan peundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hak asasi warga negara. Pendahuluan Dewan Perwakilan rakyat telah menyetujui Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965 (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965).' Dan telah diratifikasi pada tanggal 6 April 1999 dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 1999. Undang-undang ini menjadi hukum positif, mengikat negara dan masyarakat Indonesia untuk mematuhi seluruh ketentuan dalam konvensi. Dalam pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa pemerintah negara Republik Indonesia harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa terlepas dari asal usul, suku bangsa, etnisitas, warna kulit, agama, gender, dan latar belakang budaya, semua warga negara Republik Indonesia harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Apa yang dikatakan di atas sesuai dengan prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law). Asas equality before the law dalam hukum positif Indonesia telah diatur secara jelas dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya : ! Undang-undang ini telah diundangkan tanggal 25 Mei 1999, dalam Lem baran Negara Repuhlik Indonesia Tahun 1999 Nomor 83. Nomor 3 Tahun XXX Hukum dan Pemballgunan 214 I . Pasal 27 ayat (I) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di da lan hukum dan pemerintahan dan waj ib ll1enjunjung hukum dan pemerinrahan itu dengan tidak ada kecua1 inya. 2. Pasal 5 ayat I UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakill1an yang rnenegaskan bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak rnell1beda-bedakan orang . 3. Penje lasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana yang rnenegaskan adanya perlakuan yang 5ama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan per1akuan. 4. Ketetapan majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIIIMPRI1998 terntang Hak Asasi Manusia. 5. Undang-Undang No. 3911999 tentang Hak Asasi Manusia. 6. Sedangkan pengaturan di tingkat internasional terdapat dalam berbagai perangkat inrernasional seperti : a. Universal Declaration of Human Rights khususnya dalall1 pasalpasal berikut : Pasal 6 berbunyi : "Everyone has the right to recognition everywhere as a person before the law" Pasal 7 berbunyi : "All are equal before the law and are entitled to equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination" b. [nt~rnational Covenant on Civil and Political Rigths pada khususnya da1am pasaJ-pasal sebagai berikut : Pasal 16 berbunyi : "Everyone shall have the right to recognition everywhere as a person before the law " Pasal 26 berbunyi : "All person are equal before the law and are entitled without any discrimination to the equal protection of law . In this respect, the law shall prohibit any discrimination and gurantee to all persons, equal and effective protection against discrimination on any ground such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status ". Juli - September 2000 Penghapusan Bellluk Diskrimillasi Rasial 215 Diskriminasi, secara umum dapat diberi batasan sebagai perlakuan terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan ras, kelompok etnis, keturunan, warna kulit , gender, status sosial ekonomi, merupakan suatu kenyataan yang telah lama berlangsung dalalll sejarah kehidupan tnanusia. Pengertian "ras" mencakup: a) colour (warna kulit); b) descent or ancestry (keturunan); c) nationality or national origin (etnis atau asal usul etnis); d) if 2 or more distinct races are collectively referred to as a race: (i) each of those distinct races; (ii) that collective race z Konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial menyatakan bahwa: "diskriminasi rasial adalah segala bentuk perbedaan, pengecualian, pcmbatasan atau pilihan yang didasarkan pada ras , warna kulit, keturunan, asal negara atau bangsa yang memiliki tujuan atau pengaruh menghilangkan atau lllerusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan pad a dasar persalllaan, hak asasi manusia dan kebebasan ya ng hakiki di bidang politik, ekonollli , sosial, budaya atau bidang lain dari kehidupan masyarakat. ,, ) Hak asasi manusia yang terlanggar karena perilaku diskriminatif ini llleliputi : I. Hak untuk diperlakukan sarna di hadapan pengadilan dan di hadapan badan-badan adlllinistrasi keadilan lainnya. 2. Hak untuk memperoleh rasa alllan dan perlindungan dari Negara terhadap kekerasan atau kerusakan fisik, baik yang disebabkan oleh aparatur pemerintah atau oleh perorangan. kelompok, atau lembaga tertentu; 2 3. Hak politik, khususnya hak berpartisipasi dalam pemilihan umum untuk melllilih dan dipilih dalam pemilihan UlllUlll yang dilandasi oleh hak melllberikan suara yang sama dan universal, mengambil bag ian dalam pemerintahan sebagaimana juga dalam kegiatankegiatan publik pada tingkat apapun dan untuk memiliki kesempatan yang sarna atas pelayanan publik; 4. Hak-hak sipil lainnya, khususnya : a) hak untuk bebas berpindah tempat dan berdomisili dalam wilayah negara yang bersangkutan; Dalam UU Anti Diskriminasi Australia (Equal Opportunity Act 1995) Versi Konvensi Internasiona l tentang Penghapusan Segala Benluk Diskriminasi Rasial 1995. Diskrim inasi rasial tidak termasuk bag i perht!daan, pengecualian . pemhatasan yang :> dilakukan okh negara da lam hal warga negara dan bukan warga negara. Nomar 3 Tahun XXX Hukum dan Pembangunan 216 b) hak untuk meninggalkan negara manapun , termasuk negaranya sendiri, dan kembali ke negara asalnya; c) hak untuk memiliki kewarganegaraan; d) hak umuk menikah dan memilih pasangan hidup; e) hak umuk mempunyai kepemilikan baik atas nama sendiri maupun bersama dengan orang lain ; f) hak umuk mendapatkan warisan g) hak untuk berpikir, berperasaan, beragama dengan bebas ; i) hak untuk berkumpul dan berserikat dengan bebas dan damai; 5. Hak-hak ekonomi, sosial, budaya,' khususnya : a) hak umuk bekerja, memilih pekerjaan, memiliki kondisi kerja yang adil dan diinginkan, memperoleh perlindungan terhadap pengangguran, mendapat gaj i yang pantas sesuai dengan pekerjaan dan sistem penggajian yang diinginkan dan adil;' b) hak untuk membentuk dan menjadi anggota dari perserikatan kerja; c) hak akan perumahan; d) hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, pengobatan, jaminan sosial dan pelayanan-pelayanan sos ial; e) hak umuk memperoleh pendidikan dan pelatihan; f) hak untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa budaya; 6. Hak umuk memperoleh kesempatan yang sarna ke tempat dan pelayanan manapun yang ditujukan untuk digunakan oleh masyarakat, seperti sarana transportasi , penginapan, rumah makan , warung kopi, bioskop dan taman .' , Diskriminasi rasial itu bukan saja membahayakan mereka yang menjadi korban saja, tetapi juga mereka yang mempraktekkannya dalam hal ini pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia dapat dikucilkan oleh masyarakat internasional apabila masih mempraktekkan diskriminasi rasia!. Hukum harus bersifat adil dan tidak memihak, apalagi mendiskriminasikan suatu kelompok dalam masyarakat. Oleh karena itu hukum harus menjamin 4 S Lihat Kovenan Imernasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik Bandingkan dengan konstitusi di Australia. Perancis, Selandia Baru dan Inggris, ditegaskan bahwa seseorang dilarang menolak mt:mpekerjakan alau Illcmecat seseorang alas dasar pertimbangan ras. o Lihat Rancangan Undang-undang Anti DiskriminClsi Ras dan Etnis, dit erbitkan oleh Solidariras Nusa Bangsa. 1999. Juli - September 2000 Penghapusan Benlllk Diskriminasi Rasial 217 persamaan semua warga negara tanpa kecuali. Prioritas bagi konglomerat harus dihapuskan dan tatanan ekonomi yang lebih adil harus ditempuh. Presiden Republik Indonesia teJah mengeJuarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000 yang mencabut Jnstruksi Presiden (Inpres) No. 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina 7 Kebijakan pemerintah RI yang mengeJuarkan Instruksi Presiden (lnpres) No. 26 tahun 1998 tertanggaJ J6 September 1998 merupakan Jangkah yang tepat momentumnya. Inpres tersebut menghapus pemakaian iSliJah Pribumi dan Non Pribumi daJam semua perumusan dan penyeJenggaraan kebijakan, perencanaan program alaupun daJam setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Peraturan ini sekaligus menginstruksikan kepada pejabat dan semua instansi pemerintah yang terkait baik yang di pusat maupun daerah agar memberikan perJakuan dan peJayanan yang sama. Kehadiran lnpres No. 26 tahun 1998 tersebut di atas sudah merupakan Jangkah awaJ yang baik daJam rangka meningkatkan rasa kebangsaan setiap warga negara Indonesia. Namun haJ tersebut akan semakin Jebih mengenai sasaran apabiJa Inpres yang masih bersifat umum tersebut dijabarkan lebih konkrit Jagi daJam peraturan peJaksanaan masingmasing instansi pemerintah/departemen dan seJanjulnya disosialisasikan ke seJuruh birokrasi dan masyarakat Juas. Peraturan-peraturan diskriminatif tersebut tidak sesuai dengan konstitusi (inkollstitusionaf) dan sekaligus dapat dikalakan merupakan peJanggaran hak asasi manusia oJeh negara terhadap warga negara (human rights violation by the state against citizen) secara diskriminatif daJam kategori budaya, ras dan agama. Lebih jauh haJ tersebut juga terjadi karena Mahkamah Agung tidak ada ada kemauan untuk mengadakan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang ada. Apalagi sejak dikeJuarkannya UU No. 19 tahun 1964 yang membolehkan adanya intervensi pemerintah dalam perkara-perkara poJitik dengan dalih menyebabkan revoJusi. Sejak saat ituJah sebenarnya Mahkamah Agung seJaJu berada di bawah pengaruh pemerintah. SeJanjulnya meskipun UU No. 19 tahun 1964 sudah diganti dengan UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, kebiasaan Ketentuan-Ketentuan mengintervensi pengadiJan telah meJekat daJam praktek penegakkan hukum sehari-hari. 7 Lihat Kompas, tanggal 19 lanuari 2000 Nomar 3 Tah'un XXX 218 Hukulll dall Pemballgllllall Dengan demikian sebenarnya reformasi flolitik tidak bisa bCljalan tanpa adanya reformasi llUkum . Oleh karena itu pemerintah Indonesia mestinya dapat mencabut semua peraturan diskriminatif dan ini baru bisa dilakukan kalau pemerintah m'empunyai kemauan pOlitik (polirical lvill) untuk itu. Sebab cita-cita negara hukum (rec/7rsslaaL) tidak akan tercapai apabila tidak ada reformasi hukum yang dimulai dari pembenahan pengadilan sebagai sentra penegakan hukum (law enforcemenr) dimana pengadilan akan mempunyai kedudukan penting di dalamnya. Lebih jauh lagi sebenarnya di sini terl ihat betapa pentingnya penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif yang ha rus didukung olch seluruh rakyat Indonesia khususnya aparat penegak hukum. Sebab biar' bagaimanapun diskriminasi secara horizontal yang tidak formal te rjadi diantar<1 sesallla warganegara itu sulit untuk dihapuskan dalam praktek kehidupan masyarakat sehari-hari. Yang dapat segera dilakukan adalah penghapusan produk hukum yang bersifat vertikal dari negara terhadap warga negara. KETENTUAN PIDANA Dasa .. Penerapan Pidana Tindakan khusus harus dilakukan oleh negara yang bertujllan guna menjamin kemajuan yang memadai pad a kelompok ras atall etnis atau perorangan tertentu yang membutuhkan perlindungan seperti yang diperlukan untuk menjamin adanya kesamaan dalam hak lIlenikmati kemudahan atau dalam hal menggunakan hak asasinya sebagai manusia. kebebasan hakiki dan adil serta tidak dianggap sebaga i pelaku diskriminasi berdasarkan rasial. Tindakan khusus dapat berupa kebijakan pidana (Criminal Policy). yaitll melalui pembuat Undang-undang. Melihat kejahatan berdasarkan diskriminasi ras atau etnis bukan merupakan hal baru tetapi tingkat kriminal itasnya mempengaruhi sendi kehidupan masyarakat dari rasa takut atau reman akan kerusuhan. Kebijakan pidana merupakan Public Policy erat kaitannya dengan menanggulangi kejahatan politik (politik krimini!), maka pembuat Undangundang melalui delik-delik pidana dapat membuat perangkat (hukan perangkat pidana) hukum pidana yang dapat memberikan kepuasan kepada publik. Seeara hukum perorangan, kelompok orang atau organisasi dan juga pemerintah dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan diskriminasi atas ras atau etnis yang termasuk kejahatan dan tereantum dalam delik pidana. fuli - Seplember 2000 Penghapusan Seniuk Diskrimillasi Rasial 219 Kejahatan atau tindak kriminil merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang dari aturan-aruran nonnatif yang berlaku. 8 Kejahatan di samping merupakan masalah kemanusiaan juga merupakan masalah sosial. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial tennasuk dalam bidang kebijakan penegakkan hukum. Oi samping itu karena tujuannya adalah mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya. maka kebijakan penegakan hukum itu termasuk dalam kebijakan sosial, yaitu segala usaha rasional untuk mencapai kesepakatan masyarakat. Ada sementara pendapat bahwa terhadap perilaku kejahatan atau para pelanggar hukum pad a umumnya tidak perlu dikenai pidana. Menurut pandangan ini pidana merupakan peninggalan kebiadaban masa lalu yang seharusnya dihindari. Pendapat ini nampaknya didasarkan bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan arau pengenaan penderiraan yang kejam (Mabhot : Retributif). pandangan ini disebur sebagai leori pembalasan (Packer. 1968). Dasar pemikiran lainnya ialah adanya faham delerminisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak be bas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh warak prihadinya. faktor biologis maupun faktor lingkungan kemasyarakatannya. Kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya. Secara garis besar alasan yang cukup mengenai masih diperlukannya pidana dan hukum pidana, antara lain: a) perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pad a persoalan tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak seberapa jauh tujuan itu boleh menggunakan paksaan; b) ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai ani sarna sekali bagi si terhukum; c) pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pad a si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mematuhi norma-norma sosial dan hukum . Perilaku ml!nyimpang i[U merupakan suatu <lIlcmnal1 ya ng nyata alau ancaman terhadap norma-norma sosia l yang mendasari kehidllpan atau kClt:raturan sosia1. keteg<lIlgan indiviuu rnaupun kelegangan sosial yang merupakan ancaman riil ,!tau potensiil hagi berlangsungnya kel<rt ihah sosial (Sadli, 1976). R Namar 3 Tahun XXX 220 Hukum dan Pembangunan Dilihat sebagai bag ian dari keseluruhan kebijakan kriminal pemidanaan merupakan suatu rangkaian kebijakan kriminil. Pemidanaan direncanakan melalui beberapa tahap yaitu : 1. tHhap penetapan pidana oleli pembuat undang-undang; 2. tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang (pengadilan); 3. tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang 9 Dalam suatu masyarakat modern , rangkaian atau tahap-tahap kebijakan pemidanaan harus diusahakan melalui penerapan metode-metode yang serasional mungkin. Untuk memperoleh suatu kebijakan pem idanaan yang rasional, perlu digiatkan usaha-usaha penelitian mengenai efektifitas pemidanaan serta studi analisa strategic dan integral mengenai hakikat suatu tinda!; pidana terutama terhadap perkembangan delik-delik khusus sebagai akibat perkembangan masyarakat yang berdampak pad a tingginya tingkat kriminalitas. Pertanggungjawaban Pidana Untuk dapat dikatakan adanya pertanggungjawaban pidana, pertama harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan lebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subyek tindak pidana yang pad a umumnya sudah dibuat oleh pembuat Undang-undang untuk tindak pidana yang dapat dikenakan. Namun dalam kenyataannya untuk memastikan siapa yang melakukan tindak pidana/pembuat/pelaku tidaklah mudah diidentifikasi. Dalam hal pembuat Undang-undang menetapkan badan hukum sebagai suatu subyek tindak pidana. Masalah ini tergantung dari sistem perumusan pertanggungjawaban yang digunakan oleh pembuat Undangundang. Sehubungan dengan pertanggungjawaban badan huku m, selama ini ada bermacam-macam cara perumusan yang ditempuh oleh pembuat U ndang-undang, yaitu : 1. ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan tindak pi dana dan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang (natuurlijke persoan) . 2. ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan tindak pidana adalah orang dan/atau perserikatan, akan tetapi yang dapat Muladi dan Nawawi , dalam Bunga Rampai Hukum Pidana. penerhi[ Alumni , Bandung. 1992. 9 luli - September 2000 Penghapusan Bemuk Diskriminasi Rasial 221 dlperranggungjawabkan hanyalah orang. Jika perserikatan ya ng melakukan, yang dapat diperranggungjawabkan adalah anggota pengurus (Perumusan serupa terlihat 1111 terlihat dalam UU Penyelesaian Perburuhan, Pengelolaan Lingkungan Hidup). 3. ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan maupun yang dapat diperranggungjawabkan adalah orang dan/atau perserikatan itu sendiri (Perumusan serupa ini terlihat pada UU Tindak Pi dana Ekonomi , Subversi dan Narkotika). Masalah pertanggungjawaban pidana terhadap bauan IlUkul1l, pusat perhatian ditujukan pad a sistel1l perumusan ketiga. Apab ila ditujukan adalah badan hukumnya maka tindakan tat a terri blah umumnya dapat dike nakan. misalnya berupa sanksi administratif, mengenai pidana pelljara, mati atau kurungan jelas tidak l1lungkin. maka yang yang tetapi Paradigma Baru Pandangan baru dapat dikatakan sebagai pandangan yang agak berlainan khususnya untuk pertanggungjawaban pidana dari badan hukull1 dimana asas kesalahan tidak mutlak berlaku. Sebenarnya apa yang disebut sebagai pandangan baru ini tidak asing di dalam doktrin tentang pertanggungjawaban pidana. Prins ip umull1 adanya pertanggungjawaban pidana adalah keharusan adanya kesalahan, yang di negara-negara Anglo Saxon dikenal dengan asas mens area yang dibedakan dalall1 (I) Strict Liability dan (2) Vicorius Liability. Pengertian Strict Liability yaitu, seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan walaupun pad a diri orang itu tidak ada mens area (kesalahan) untuk tindak-tindak pidana tertentu. Strict Liability ini menu rut Curzon (1977) didasarkan pad a alasan-alasan sebagai berikut : . adalah sang at esensiiJ untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat. Pembuktian adanya mens area akan melljadi sangat sulit untuk peJanggaran-peJanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat itu. Tingginya tingkat babaya sosiaJ yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan. Vicarious Liability dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban secara hukum dari seseorang atas perbuatan sa lah yang diJakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of Nomor 3 Tahim XXX 222 Hukum dan Pembangunan another) . Pertanggungjawaban demikian terjadi dalam hal-hal perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, ada dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatannya. Jadi pad a umumnya terbatas pad a kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara buruh/perri.bantu dengan n1aJikan. Oengan delllikian dalam pengertian Vicarious Liability ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tidak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti biasa, ia masih tetap dapar dipertanggungjawabkan. Oi samping kedua doktrin di atas dikenal juga apa yang disebut dengan collecrive responsibility terutama pad a hukulll tidak tertulis di masyarakat primitif. Pertanggungjawaban kolektif ini hampir serupa dengan pengertian Vicarious Liability, hanya saja pacta yang terakhir ini pertanggungan jawab masih bersifat individual. Inti masalahnya berkisar pada sejauh mana Illakna kesalahan atau pertanggungjawaban pidana itu harus diperluas dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan masyarakat luas. Oleh karena itu pertimbangan harus dilakukan sangat hati-hati sekali. terlebih Illengen:u konsepsi kesalahan yang diperluas sampai pad a konsepsi ketiadaan kesalahan sarna sekali. Ketentuan Sanksi Telah diuraikan bahwa kegiatan diskriminatif memiliki potensi perpecahan/konflik. Masyarakat sering dirug ikan baik secara material maupun immaterial karena seringnya timbul tindakan diskriminatif yang berakibat pelecehan, pembakaran, perusakan, bahkan perkosaan dan pembunuhan. Dengan akibat yang tidak menguntungkan ini, maka segal a usaha/tindakan diskriminasi rasial bertentangan dengan kemaslahatan umum. Tindakan diskriminasi at as ras atau etnis adalah tindakan yang langsung atau tidak langsung dapat rnernbahayakan nyawa/jiwa dalam ruang Iingkup kegiatan ras yang merupakan tindak kejahatan dapat dikenakan sanksi pidana. Dilihat sebagai bag ian dari mekanisme penegakkan hukum (pidana), maka pemidanaan yang biasa juga diartikan pemberian pidana. tidak lain merupakan suatu proses kebijakan yang sengaja direncanakan. Artinya pemberian pidana itu benar-benar dapat direncanakan, melalui beberapa tahap, yaitu: (t) tahap penetapan pidana oleh pembuat Undangundang; (2) tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang, dan (3) tahap pelaksanaan pi dana oleh instansi pelaksana yang berwenang . Tujuan dari kebijakan penetapan sanksi pidana tidak dapat diJepaskan dari tujuan politik kriminil dalam arti secara keseluruhan, yaitu Juli - September 2000 Penghapltsan Ben/uk Diskriminasi Rasial perl indungan masyarakal. Sanksi pidana yang dikenakan hendaknya sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabititie). Menjadi pemikiran pokok-pokok bahwa kebijakan apa sajakah ya ng seharusnya dimasukkan dalam strategi penetapan pidana. Setiap perencanaan mengandung di dalamnya suatu kebijakan memilih dan l11enetapkan berbaga i alternatif. Dalam tulisannya (Christiasen, 1974) bertolak pada konsepsi rasionalitas dari suatu politik kriminil , tujuan diterapkan sanksi pidana berdasarkan rasionalitas dan penerapan metodemetode yang rasional. Bertolak dari konsepsi rasionalitas dari suatu politik kri1l1inal, j elas bahwa kebijakan menetapkan suatu jen is sanksi pidana tertentu sebenarnya bukanlah awal dari suatu perencanaan yang strategis. Langkah utama menetapkan tujuan yang ing in dicapai yaitu pada perlindungan l11asyarakat untuk mencapai kebahagiaan warga masyarakat (happiness of the citizens). kesejahteraan l11asyarakat (social welfare) atau suatu keseimbangan (equality). Di samping dapat dikenakan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan, dapat pula dituntut ganti rugi melalui peradilan berdasarkan perbuatan me lawan hukul11 pasal 1365, 1366, dan 1367 KUH Perdata. Pasal 1365 menegaskan bahwa setiap tindakan yang menyebabkan kerugian bagi orang lain mewajibkan atas si pelakunya untuk mengganti kerugian. Sedangkan pasal 1366 menjabarkan lebih lanjut perbuatan l11elawan hukU1l1 tersebut, bukan saja disebabkan karena kelalaian atau kecerobohan. Terhadap pihak perorangan, kelompok 1l1asyarakat dalam pengertian melakukan perbuatan yang bersifat diskriminasi ras yang telah dikenakan sanksi Pidana, Perdata dan tidak l11ustahil dapat dikenakan sanksi administratif, misalnya pencabutan izin usaha dan lain-lain. Dalam peumusan norma hukum pidana, terutama mengenai ketentuan sanksi yang dapat dipidana haruslah dengan seksama dan tegas, kareria itu berhubu ngan dengan kepastian hukum. Kesimpulan 1. Penyempurnaan peraturan perundang-11l1dangan nasional beserta implikasi ketentuan pidana dapat meningkatkan perlindungan hukum yang lebih efektif sehingga c1apat lebih menjamin hak-hak setiap warga negara untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi rasial dalam segala bentuk dan manifestasi nya. Nomor 3 Tahun XXX 224 flukulll dan Pembangunan 2. Naskah akademis sebagai koridor kepakaran dalam penyusunan suatu peraturan, perlu dipersiapkan agar peraturan perundang-undangan yang hendak disusun tidak hanya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis tetapi juga untuk menjamin peraturan tersebut telah memenuhi nilai-nilai filosofis. yuridis. dan sosiologis. Peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945. 2911999 tentang Pengesahan Konvensi Undang-undang No. Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Undangundang No . 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. serta Peraturan Perundang-undangan lainnya. 3. UU Antidiskriminasi itu haruslah menjamin hak-hak' semua warga negara dalam konteks politik. hak-hak sipil, hak-hak ekonomi . hak untuk hidup layak , hak-hak sosial budaya. dan hak-hak atas pendidikan. Sebagai wujud keterlibatan masyarakat penjabarannya harus disertai mekanisme pengawasan masyarakat terhadap pemerintah. Untuk memberantas praktik-praktik diskriminasi dalam segala hal oleh pejabat maupun anggota masyarakat sendiri, maka keberadaan aturanaturan hukum yang mengatur secara expresis verbis (tegad) mengenai hal ini haruslah diadakan. Diskriminasi atas dasar apapun pad a dasarnya adalah pelanggaran atas hak-hak asasi manusia (HAM). dan ini berarti merendahkan martabat manusia. Menjadi tug as segenap komponen bangsa yang peduli akan HAM untuk secara intensif melakukan kajian atas segenap peraturan perundang-undangan yang ada maupun yang akan diadakan, supaya perlindungan terhadap nilai-nilai HAM ini dapat dijamin dalam hukum positif yang ada. DAFTAR PUSTAKA Russel D. Gregory, The Dead Pellalry and Racial Bias, Greenwood Publshing Group, Januari, 1994 Babari J . dan Nur Fuad, Indonesia Menllju Penghapusan Segala Bellluk Diskriminasi, Fatma Press, Jakarta, 1999. Bahari J. dan Albertus Sugeng, Diskriminasi Rasial Ethnis Tionghoa di Indonesia. Fatma Press, Jakarta 1999. Raneangan Vndang-Vndang Anti Diskriminasi Ras dan Etnis, penerbit Solidaritas Nusa Bangsa, Jakarta. 1999. Klein P. Stephen, Racial Equiry in Sentencing, Rand Corporation. New Jersey. 1988. Juli - September 2000 Penghapusan Bemuk Diskriminasi Rasial 225 Muladi dan Nawawi . Bunga Rampai Hukum Pidana. penerbil Alumni. Bandung. 1992. Himpunan Undang-Undang. Dewan Perwakilan Rakym Republik Peri ode 1997-1999. Skretariat lenderal DPR. 1999. Indonesia , L.amintang P.A.F .• Djisman Samosir. HukulII Pidana Indonesia. penerbit "Sinar Baru " . Bandung. 1983. Surat Kabar : Kompas Media Indonesia Suara Pembaruan Republika Nomar 3 Tahun XXX