bab 1 pendahuluan

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pembelian kompulsif merupakan suatu proses pengulangan yang sering terjadi
secara berlebihan dalam kegiatan berbelanja yang disebabkan oleh perasaan ketagihan,
tertekan, atau bosan (d’Astous, Maltais, & Roberger 1990). Pernyataan tersebut selaras
dengan Kwak et. al (2003) mendefinisikan pembelian kompulsif sebagai perilaku
pembelian yang tidak terkontrol yang merupakan respon atas suatu kejadian atau
perasaan yang tidak menyenangkan, tujuan utamanya adalah mencari kesenangan pada
proses pembeliannya bukan pada produknya.
Saat ini di Indonesia, belum diketahui secara pasti jumlah konsumen yang
mengalami pembelian kompulsif. Namun demikian fenomena pembelian konsumtif di
Indonesia tidak bisa dihindari salah satunya disebabkan karena pertumbuhan ekonomi di
Indonesia yang stabil dan terus berkembang. Hasil survey Nielsen menempatkan negara
Indonesia pada posisi teratas sebagai negara dengan tingkat konsumsi masyarakat yang
tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya (Gerald, 2013). Bahkan menurut
kepala BPS Suryamin mengatakan indeks tendensi konsumen terus meningkat baik pada
sektor komoditi makanan maupun bukan makanan dan DKI Jakarta memiliki indeks
konsumsi tertinggi diantara wilayah yang ada di Indonesia (Bimo, 2012). Menurut
badan pusat statistika tingkat konsumtif remaja di Jakarta terus meningkat setiap
tahunnya, hal itu disebabkan meningkatnya juga pusat perbelanjaan (mall) di DKI
Jakarta sehingga konsumen sangat dipermudah untuk menyalurkan keinginan
berbelanjanya.
Adanya perilaku konsumtif pada remaja terlihat dari hasil wawancara yang
peneliti lakukan kepada 10 remaja SMP yang bersekolah di DKI Jakarta dengan rentang
usia 11-15 tahun mengatakan bahwa kerap melakukan kegiatan belanja secara
berlebihan, yang pada akhirnya merasakan perasaan menyesal karena membeli barang
yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Remaja dengan inisial H dan M mengaku
sering membeli barang yang banyak digunakan teman-temannya seperti baju dan
aksesoris hanya untuk mendapat pengakuan dan terlihat mengikuti perkembangan
zaman. Remaja tersebut mengaku biasanya ketika jalan bersama teman-temannya
2
kepusat perbelanjaan (mall) selalu membeli sesuatu, biasanya karena adanya ajakan dari
teman atau ikut-ikutan teman lainnya karena merasa tidak enak apabila tidak ikut
membeli. H dan M mengatakan lebih banyak melakukan pembelian dengan
menggunakan uang sakunya, namun tidak sesekali meminta uang saku lebih kepada
orang tua agar dapat memenuhi kebutuhan belanjanya.
Sejalan dengan fenomena diatas, perilaku konsumtif yang terjadi pada remaja
lainnya terlihat pada beberapa remaja yang membeli produk distro karena mengikuti
trend yang sedang berlaku, seperti membeli baju, jaket atau sweater untuk menunjang
penampilan, beberapa remaja mengaku sering membeli baju di distro kurang lebih tiga
baju dalam sebulan padahal orang tua siswa tersebut mengeluhkan masalah keuangan,
mereka mengaku dalam selang waktu yang relatif singkat telah membeli sweater yang
modelnya serupa namun berbeda warna. Perilakunya tersebut dilakukan karena ingin
mendapat perhatian lebih dari teman-temannya (Ningrum, 2011).
Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial.
Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di
samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman,
tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja
inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja
(Raymond, 2001). Maka tidak heran banyak perilaku konsumtif yang terjadi pada usia
remaja walaupun pada usia remaja mereka belum dapat menghasilkan penghasilan
sendiri. Meminta uang saku lebih kepada orang tua merupakan cara yang paling
memungkinkan untuk dilakukan remaja, Bagi keluarga dengan kesanggupan materi atau
ekonomi menengah keatas memberikan uang saku yang banyak bukanlah sebuah
masalah, tapi bagi sebagian orang dengan tingkat ekonomi menengah kebawah
menuruti kemauan sang anak merupakan sebuah beban. Bagi mereka yang berada dalam
himpitan ekonomi, jika anak sudah merengek bahkan sampai memaksa dan
mengancam, orang tua hanya bisa menuruti keinginan mereka, orang tua rela berhutang,
mencari pekerjaan tambahan, menjual barang barang hanya demi memenuhi keinginan
anaknya (Maulana, 2013).
Ketika seseorang membeli sesuatu bukan atas dasar kebutuhan, melainkan
karena keinginan, maka bisa dikatakan sebagai perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif
sendiri biasanya terjadi ketika seseorang melakukan pembelian secara konsumtif yang
tidak melihat dampak dan dilakukan secara berulang-ulang, maka hal tersebut
berpotensi membawa seseorang pada perilaku pembelian yang kompulsif (Roberts dan
Pirog, 2004). Perilaku pembelian kompulsif biasanya terjadi pada produk-produk yang
bersifat consumers goods, seperti pakaian dan produk lainnya yang dapat menunjang
penampilan seseorang (Ekowati, 2009). Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara
yang dilakukan oleh peneliti dimana pada umumnya responden kerapkali menghabiskan
uangnya untuk membeli busana atau aksesoris sebagai barang utama yang mereka
inginkan demi menunjang penampilan mereka.
Pada perkembangan penelitian tentang pembelian kompulsif, penelitian ini
awalnya hanya dikaji pada subjek dengan kategori klinis, tetapi akhir-akhir ini kajian
pembelian kompulsif dilakukan pada perilaku pembelian konsumen secara umum,
khususnya pada individu yang memiliki daya beli cukup dan mempunyai
kecenderungan untuk membeli produk dengan frekuensi tinggi (Faber & Christenson,
1996). Dilihat dari dampak seseorang dengan pembelian kompulsif maka ada dampak
positif serta dampak negatif. Dampak positif dari fenomena ini yaitu seseorang akan
mendapat kepuasan dan kesenangan dalam jangka yang pendek, serta dapat
mendongkrak penjualan perusahaan sedangkan untuk dampak negatif akan
mempegaruhi psiko-sosial dalam kehidupannya salah satunya perasaan bersalah,
menurunnya self esteem pada diri seseorang yang pada akhirnya merusak hubungan
antar pribadi lainnya (Faber & O’Guinn, 1989) dan berdampak pada sisi ekonominya
(Ekowati, 2009)
Valence et.al dalam Berden (1998) mengatakan bahwa seseorang yang
melakukan pembelian secara kompulsif sulit menahan diri untuk menolak
pembelanjaan, karena itu seseorang tersebut memunculkan perilaku untuk berbelanja
yang tinggi (tendency to spend), selain itu kegiatan belanja disebabkan oleh tekanan
psikologis (psychological tension), tekanan psikologis tersebut merupakan bentuk dari
kecemasan yang mungkin dirasakan oleh individu tersebut, dengan begitu hal tersebut
dapat terlihat bahwa perasaan bersalah (feelings of guilt) dengan cepat menggantikan
kesenangan dalam perilaku berbelanjanya. Pada penelitian terdahulu menyatakan
adanya perbedaan usia ikut memberikan pengaruh pada perilaku pembelian kompulsif
tetapi secara sistematis tidak ada penelitian yang menyatakan bahwa orang yang berada
4
pada usia tertentu akan cenderung memiliki perilaku compulsive buying lebih kuat
dibanding tingkatan usia lainnya (Dittmar, 2005).
Menurut D’Astous (dalam Wahyudi, 2013) mengatakan faktor-faktor yang
mempengaruhi pembelian kompulsif yang sering dilakukan oleh remaja adalah, iklan
(suatu bentuk presentasi non personal tentang ide-ide, barang atau jasa yang dibayar
maupun tanpa pembayaran dari sebuah lembaga sponsor tertentu untuk mempengaruhi
perilaku atau sikap masyarakat), keluarga (anggota keluarga dapat memberikan
pengaruh yang kuat terhadap perilaku pembelian), sikap personal (sikap atau karakter
yang melekat pada masing-masing individu yang berhubungan dengan pengambilan
keputusan pembelian) dan peer (kondisi dimana seorang individu berhubungan dengan
orang lain dalam suatu kelompok tertentu atau dalam kelompok bergaul).
Peer atau teman sebaya adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau
tingkat kedewasaan yang sama (Santrock, 2010). Teman sebaya memiliki peran yang
sangat penting dalam kehidupan remaja, remaja memiliki kebutuhan untuk disukai dan
diterima oleh teman sebaya dan kelompok bermain yang lebih besar, yang dapat
menghasilkan perasaan menyenangkan ketika diterima atau merasakan stress dan
kecemasan saat dikeluarkan dan diremehkan oleh teman-temannya (Santrock, 2008).
Pada banyak remaja, bagaimana mereka dipandang oleh teman sebaya merupakan aspek
yang terpenting dalam kehidupan mereka (Santrock, 2010). Pendapat dari teman sebaya
juga merupakan aspek yang sangat mempengaruhi dalam pengambilan sebuah
keputusan, pada usia remaja mereka sudah tidak lagi terlalu terfokus pada pendapat
orang tua. Remaja akan lebih mengikuti standar-standar atau norma-norma dari teman
sebayanya.
Tidak heran jika masa remaja sangat erat kaitannya dengan konformitas.
Seseorang biasanya melakukan konformitas karena mereka tidak ingin mendapat
penolakan atau terlihat berbeda dari yang lain untuk itu mereka lebih memilih untuk
mengikuti apa yang kelompok mereka inginkan atau lakukan sehingga dapat diterima
dalam kelompok (Aronson, Wilson, &Akert, 2014). Konformitas sendiri lebih sering
terjadi pada masa remaja awal (early adolescence). Menurut Papalia, Olds, & Feldman
(2007) remaja awal masuk dalam rentang usia 11-14 tahun dan pada masa ini remaja
mulai memasuki masa sekolah menengah pertama dan dimulainya banyak perubahan
dalam masa pubertas.
Ketika seseorang merubah sikap atau tingkah lakunya dengan tujuan agar dapat
diterima oleh orang lain, maka orang tersebut melakukan konformitas normative social
influence. Aronson, Wilson, dan Akert (2014) menjelaskan bahwa Normative social
influence adalah pengaruh dari orang lain yang mengarahkan individu untuk melakukan
konformitas dengan tujuan agar dapat disukai dan diterima oleh orang lain.
Menurut Aronson, Wilson, dan Akert (2014) terdapat kondisi atau situasi
dimana seseorang akan melakukan normative social influence. Situasi pertama adalah
Strength dimana situasi ini menjelaskan apabila kelompok tersebut memiliki arti yang
penting bagi remaja maka mereka mau menerima norma-norma sosial yang berlaku
dalam kelompok tersebut, semakin penting peran kelompok bagi individu maka
semakin tinggi juga konformitas seseorang dalam kelompok tersebut. Situasi kedua
adalah immediacy dimana situasi ini menjelaskan kedekatan individu dengan kelompok,
apabila remaja lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman kelompoknya maka
hubungan remaja dengan kelompoknya juga akan semakin dekat, remaja akan banyak
melakukan kegiatan bersama-sama dengan teman kelompoknya. Dan situasi yang ketiga
adalah number dimana jumlah anggota dalam kelompok mempengaruhi seseorang
untuk melakukan konformitas terhadap kelompoknya, semakin besar jumlah anggota
didalam kelompok pertemanan remaja maka konformitas yang akan terjadi didalam
kelompok tersebut juga akan semakin besar.
Remaja akan melakukan apapun, agar dianggap sebagai anggota kelompoknya.
Ketika mereka mendapatkan penolakan atau dikucilkan dalam kelompok maka remaja
akan merasakan perasaan negatif seperti takut, stress, frustasi, dan kesedihan (Santrock,
2012). Ketika remaja memiliki perasaan-perasaan negatif seperti takut atau sedih pada
saat mendapat penolakan maka remaja akan melakukan hal apapun demi menghindari
perasaan negatif tersebut. Salah satu caranya mungkin dengan mengikuti apa yang
banyak dilakukan teman-teman sebayanya (Santrock, 2008) sama halnya dengan yang
dikatakan oleh Aronson (2014) remaja melakukan konformitas karena merasa dirinya
perlu untuk mengikuti apa yang teman sebaya mereka inginkan atau lakukan sehingga
remaja akan terhindar dari penolakan dan perasaan negatif lainnya karena terlihat
berbeda dari yang lain.
6
Ketika remaja mengalami penolakan, banyak hal yang akan dilakukan remaja
salah satunya adalah melakukan perilaku agresi atau merasa kecewa dan menimbulkan
perasaan negatif lainnya (Mappiare, 1982 dalam Nisfiannoor & Kartika 2004). Untuk
menghindari atau mengatasi perasaan negatif tersebut banyak cara yang dilakukan,
berbelanja dianggap sebagai cara yang paling ampuh untuk mengatasi hal tersebut
(Moeljosoedjono, 2008). Kesamaan merupakan salah satu motif seseorang menjadi
anggota kelompok, diantaranya dapat dilihat dari penampilan yang ditonjolkan individu.
Jadi semakin tinggi normative social influence teman sebaya, maka semakin tinggi pula
kecenderungan pembelian kompulsif.
Penelitian sebelumnya mengenai pembelian kompulsif menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif dan signifikan antara social conformity terhadap pembelian
kompulsif (Bleeks, 2007). Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Park
(2008) mengatakan bahwa hanya normative conformity yang memiliki hubungan
dengan online compulsive buying. Penelitian lain mengenai pembelian kompulsif juga
dilakukan oleh Guo (2011) kepada remaja di China dan Thailand dan menghasilkan
hasil bahwa mass media, peers, dan keluarga merupakan faktor yag mempengaruhi
remaja di China dalam melakukan pembelian kompulsif, namun satu-satunya faktor
yang paling berpengaruh terhadap pembelian kompulsif pada remaja di Thailand hanya
peer. Dari fenomena yang diangkat dalam penelitian ini dan hasil penelitian sebelumnya
yang menjelaskan adanya hubungan antar kedua variabel maka peneliti tertarik untuk
melihat apakah normative social influence berperan dalam memprediksi kecenderungan
pembelian kompulsif pada remaja awal di DKI Jakarta.
1.2
Rumusan Masalah
Apakah terdapat peran normative social influence teman sebaya dalam
memprediksi kecenderungan pembelian kompulsif pada remaja awal di DKI Jakarta
1.3
Tujuan Penelitian
Untuk melihat peran normative social influence teman sebaya dalam
memprediksi kecenderungan pembelian kompulsif pada remaja awal di DKI Jakarta.
Download