BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan
Manusia sejak dilahirkan sudah memiliki kebebasan. Kebebasan
merupakan kondisi yang menempatkan individu sebagai makhluk yang
memiliki kemampuan melakukan sesuatu sesuai kehendak dan keinginan.
Senada dengan Jean-Paul Sartre sebagai seorang pemikir eksistensialisme,
dalam Bertens (1987: 64) langkah pertama yang ditempuh ialah menjadikan
manusia pemilik penuh dari keberadaannya dan membebankan padanya
tanggung jawab total atas eksistensinya.
Kondisi alamiah menempatkan manusia memiliki kebebasan pada
kodratnya, sehingga manusia berada pada sebuah fase di mana manusia
bertindak sesuai dengan keinginan dan kepentingannya. Lebih jelasnya, John
Locke mengatakan bahwa dalam keadaan alamiah, artinya keadaan sebebasbebasnya,
manusia
untuk
mengatur
tindakan-tindakan
mereka
dan
mempergunakan barang milik, sudah semestinya di dalam batas-batas alam
kodrat, tanpa perlu minta izin atau tidak perlu bergantung pada kehendak
siapa pun. Manusia memiliki kebebasan sebagai hakikat, bukan pemberian
masyarakat atau negara. Manusia dalam keadaan alamiah adalah makhluk
1
2
yang bebas, namun dalam kebebasan tersebut manusia tidak memiliki
kebebasan menghancurkan dirinya sendiri ataupun makhluk lain. Semua
kekuasaan yang ada di lingkungannya bersifat timbal balik, tidak ada individu
atau kelompok yang lebih berkuasa daripada yang lainnya (perfectly free and
equals) (Locke, 2002: 25-26).
“From this common-sense starting-point he proceeds to two
inferences, that we are all free and we are all equal; free for each
other, that is to say, and equal to each other, for we are not free of
God’s superiority and not equal to him (Locke, 1970: 92).”
artinya:
"Dari titik awal yang umum ini ia melanjutkan pada dua kesimpulan,
bahwa kita semua bebas dan kita semua setara; bebas antara satu sama
lain, seperti dikatakan, dan setara satu sama lain, karena kita tidak
bebas dari superioritas Tuhan dan tidak setara dengan-Nya."
Mengenai kondisi alamiah yang digambarkan oleh John Locke, bahwa
kebebasan dapat mengenali kondisi individu yang memiliki kemampuan untuk
bertindak sesuai dengan keinginannya layaknya sebuah nilai kebebasan yang
tercangkup ke dalam kajian dan konsep filsafat politik. Individu memiliki
kesadaran akan kebebasan yang terdapat di dalam dirinya dan berusaha sebaik
mungkin untuk meraih kebebasan tersebut. Membicarakan tentang tanggung
jawab, manusia tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi
juga bertanggung jawab atas semua orang. Pilihan terhadap diri sendiri
dipertimbangkan akibatnya terhadap orang lain (Bertens, 1987:64).
3
Sifat egois dan mementingkan kepentingan pribadi membuat individu
sulit untuk bekerjasama dan saling mengancam keamanan individu lainnya.
Kebebasan yang dimiliki manusia perlu diatur agar tidak saling mengancam
hak-hak dan kepentingan individu lainnya. Untuk mengatasi masalah tersebut
maka disepakati terbentuknya kontrak sosial. John Locke mengatakan untuk
mencapai tujuan keamanan dan kenyamanan bersama dan melindungi
kebebasan individu maka penting adanya institusi hukum yang kemudian
dipertanggungjawabkan kepada warga negara. Dalam kontrak sosial sebagai
pengandaian
normatif,
kebebasan
diberikan
individu-individu
dalam
masyarakat kepada pemerintah atau negara untuk mencapai tujuan dari yang
diperintah.
Paragraf di atas menjelaskan salah satu problematika filsafat politik,
yaitu perihal hak asasi dan kebebasan individu di dalam sebuah negara yang
menurut pendapat John Locke merupakan sesuatu yang mendahului
terbentuknya dunia politik atau negara dan menjadi jelas bahwa kekuasaan
diberikan oleh individu-individu dalam masyarakat kepada pemerintah untuk
mencapai tujuan dari yang diperintah (Locke, 2002: 12).
Terkait dengan teori John Locke tentang kontrak sosial dan pandangan
liberalnya, penulis memilih film 12 years A Slave. Film ini merupakan sebuah
karya film ketiga yang disutradarai oleh Steve McQueen, dan diskenarioi
4
oleh John Ridley dengan genre drama mengenai sejarah Amerika SerikatBritania Raya yang dibuat pada tahun 2013. Film ini merupakan adaptasi dari
sebuah memoar tahun 1853 berjudul 12 Years a Slave. Edisi pertama memoar
Salomon Northup yang disunting oleh Sue Eakin dan Joseph Logsdon pada
tahun 1968, telah ditelusuri dengan saksama dan dipastikan keakuratannya
dan difilmkan. Film ini menerima beragam pujian kritis, dinobatkan sebagai
"film terbaik tahun 2014" oleh beberapa media, dan menerima sejumlah
penghargaan dan nominasi, termasuk Film Drama Terbaik Golden Globe
2014, Film Terbaik Academy Award, dan Film Terbaik BAFTA.
Berlatarkan tahun 1841, Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor) adalah
seorang negro merdeka yang bekerja sebagai tukang kayu dan pemain biola
terampil, dan tinggal bersama istri dan dua anaknya di Saratoga Springs, New
York. Sebagai seorang pemain biola yang handal Northup seringkali diminta
untuk bermain biola di acara-acara penting, namun karena tawaran untuk
menjadi pemusik di luar kota ia dijebak oleh dua orang pria. Northup
kehilangan kartu tanda kebebasannya, ia dijual sebagai budak ke New
Orleans. Identitasnya dipalsukan dan namanya diganti menjadi “Platt.” Ia
dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan dan penghasil kayu. Namun tukang
kayu di perkebunan Ford yang rasis bernama John Tibeats (Paul Dano)
membenci Northup, dan mulai berupaya melecehkannya secara verbal.
Ketegangan antara Tibeats dan Northup meningkat; Tibeats menyerang
Northup, dan Northup melawan balik. Sebagai pembalasan, Tibeats dan
5
teman-temannya berupaya untuk menggantung Northup.
Untuk menyelamatkan Northup, pemilik perkebunan mengirim dia
untuk menjadi budak di perkebunan milik rekannya. Northup kemudian
bekerja di perkebunan kapas. Pemilik perkebunan tersebut sangat kejam dan
seringkali memberikan hukuman cambuk kepada para budak yang
menurutnya tidak memanen kapas mencapai target yang ditentukan.
Perbudakan dan penyiksaan sangat terlihat jelas dalam film ini. Berlandaskan
pada Ayat-ayat Alkitab, pemilik perkebunan membelokkan makna yang
dimaksudkan untuk menakut-nakuti para budak. Kebebasan para budak
sebagai warga negara dirampas oleh pemilik perkebunan. Hak-hak kodrati
yang seharusnya dimiliki tidak dapat dipertahankan. Selama dua-belas tahun
Northup menjadi budak dan memperjuangkan kebebasannya kembali. Fungsi
negara pada film ini dipertanyakan dan bagaimana keegoisan individu yang
memiliki kedudukan mementingkan kepentingannya dan menindas kebebasan
individu lainnya. Masalah yang terjadi pada Solomon Northup menjadi salah
satu bukti bahwa dewasa ini masalah penindasan dan perjuangan kebebasan
individu menjadi isu yang muncul diberbagai media informasi.
Sarana atau media informasi seperti halnya buku, koran, majalah atau
karya cetak lainnya, film, fotografi, rekaman suara, lukisan dan karya seni
lainnya merupakan hasil upaya manusia dalam menyampaikan informasi
kepada masyarakat. Penyampaian pesan atau informasi dilakukan sebatas
yang diperlukan, kadang kala terdapat kepentingan pribadi atau suatu
6
kelompok yang ikut dimasukkan di dalam informasi yang disampaikan,
sehingga kritik masyarakat tidak tersampaikan dengan tepat. Film merupakan
media yang ikut berupaya menyampaikan pesan dan informasi kepada
masyarakat secara lebih implisit.
“Film bukan semata-mata barang perdagangan, melainkan alat
pendidikan dan penerangan. Dalam inport film perlu ditentukan
keseimbangan, sesuai dengan politik luar negeri yang bebas aktif
(Pandjaitan, 2001: xiii).”
Pengertian lebih lengkap dan mendalam tercantum jelas dalam pasal 1
ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman di mana disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya yang
merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan
asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan
video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk,
jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronika, atau proses
lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau
ditayangkan dengan sistem mekanik, elektronik dan/atau lainnya (Kalarensi
Naibaho, January 6 2011).
Film merupakan untaian gambar bergerak yang menggambarkan
proses budaya dan proses sejarah suatu masyarakat atau kelompok. Upaya
penyampaian pesan dan informasi yang menjadi tujuan film sebagai media
memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat. Penyampaian film selalu
meninggalkan pesan moral kepada masyarakat. Tidak hanya pesan moral saja,
7
pun kepentingan-kepentingan pribadi yang menguntungkan seseorang atau
sebagian kelompok dapat dimasukkan ke dalam cerita pada sebuah film.
“Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh sekali, bukan
saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan.
Dalam ceramah – ceramah penerangan atau pendidikan kini banyak
digunakan film sebagai alat pembantu untuk memberikan penjelasan,
bahkan filmnya sendiri banyak yang berfungsi sebagai medium
penerangan dan pendidikan secara penuh, artinya bukan sebagai alat
pembantu dan juga tidak perlu dibantu dengan penjelasan, melainkan
medium penerangan dan pendidikan yang komplit (Effendy,
2003:209).”
Pemilihan film “12 Years A Slave” sebagai objek material karena film
dapat merangsang visual manusia lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan
ketika manusia membaca buku. Film juga dapat diserap lebih mudah oleh
masyarakat karena film menyajikan pesan atau informasi secara nyata.
Dampak yang dihasilkan dari gambar hidup dalam sebuah film berbeda
dengan dampak yang dihasilkan dari membaca rangkaian kata-kata atau
kalimat dalam sebuah buku karena mencerna film dapat dikatakan lebih
mudah daripada mencerna sebuah tulisan dengan bantuan visual dan
pendengaran membuat manusia lebih mudah menggambarkan kejadiankejadian dan informasi yang ingin disampaikan. Maka pemilihan film sebagai
media komunikasi bagi masyarakat luas sangat tepat untuk dijadikan objek
material.
Pemaknaan dan penangkapan pesan yang terdapat di dalam film antara
individu satu dengan individu lainnya tidaklah sama. Interpretasi yang
beragam itu dalam perspektif filosofis dapat membuat film memacu
8
perenungan filosofis. Seperti yang ditulis oleh Bambang Sugiharto pada kata
pengantar buku karya Mark Rowlands (2004 : xxxi) bahwa terdapat beberapa
hal yang mampu menjadikan film sebagai media perenungan filosofis.
Pertama, film mampu menyingkapkan pergulatan batin eksistensial
tersembunyi manusia dalam dunianya yang spesifik. Percaturan konseptual
filosofis yang biasanya abstrak menemukan sosok konkritnya di sana atau
sebaliknya, logika internal dan dinamika kehidupan partikular yang dilukiskan
dalam film merangsang artikulasi filosofis baru, yang mungkin saja tidak
sesuai dengan keyakinan filosofis. Kehidupan konkrit dapat menjadi jauh
lebih kompleks dibandingkan dengan wacana filsafat. Film dapat melihat sisisisi baru realitas kehidupan dari yang pernah dilihat dan disadari.
Kedua, bahasa film adalah bahasa pengalaman bukan bahasa teks.
Film tidak mengolah dan mempermasalahkan teks, melainkan “realitas” itu
sendiri, yaitu realitas yang dibangun oleh sutradara dalam filmnya. Film tidak
hanya menantang pikiran, tetapi juga menantang partisipasi penonton untuk
ikut “mengalaminya.” Pemahaman yang ditimbulkan pun lantas bersifat total,
melibatkan perasaan, sensasi tubuh, imajinasi, dan pikiran sekaligus. Dengan
cara itu, film membuat persoalan-persoalan filosofis menjadi suatu yang intim
dan pribadi.
Ketiga, film membukakan kemungkinan-kemungkinan baru untuk
memahami realitas saat ini maupun masa depan secara grafis dan imajinatif,
9
terutama dapat dilihat dalam film-film fiksi ilmiah. Saat ini film menjadi
media penyampaian pesan dan kritik masyarakat terhadap apa yang terjadi
disekitarnya. Kritik dan pesan yang sulit diungkapkan terutama pada pihakpihak ekslusif dapat diperankan ke dalam sebuah cerita.
“Film sendiri merupakan karya manusia yang lahir sebagai sebuah
konsep yang tidak melahirkan sebuah pengetahuan keilmuan murni
seperti kedokteran, arsitektur, matematika ataupun fisika. Film adalah
representasi yang lebih banyak dipenuhi oleh dunia impian manusia,
manipulasi konflik yang menstimuli daya fikir serta emosi manusia,
pergolakan nilai maupun norma manusia (Suwasono, 2014: iii).”
Film “12 Years A Slave” menjadi menarik untuk diangkat sebagai
objek material, karena
menceritakan kehidupan orang kulit hitam-bebas
kelahiran New York bernama Salomon Northup yang diculik di Washington
D.C., Amerika Serikat dan dijual sebagai budak. Perbudakan dan kekerasan
dalam film ditunjukan dengan sangat jelas. Kekerasan dalam bentuk hukum
cambuk diberikan kepada para pekerja yang dianggap tidak bekerja dengan
baik. Pada awal film diceritakan surat kebebasan milik Salomon Northup
diambil dengan paksa sehingga ia tidak dapat menunjukan bahwa dirinya
adalah orang kulit hitam-bebas ketika dirinya dijual sebagai budak. Sesuai
dengan teori kebebasan John Locke yang membicarakan kebebasan individu,
maka masalah di dalam film menjadi menarik untuk ditinjau dengan
perspektif filsafat politik John Locke.
10
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut:
a.
Bagaimana konsep kebebasan menurut Filsafat Politik John
Locke?
b.
Bagaimana masalah kebebasan dalam film 12 Years A Slave?
c.
Apa masalah kebebasan dalam film 12 Years A Slave ditinjau dari
perspektif kebebasan menurut Filsafat Politik John Locke?
3. Keaslian Penelitian
Sejauh pengamatan dan penelusuran yang dilakukan, peneliti belum
menemukan tulisan, jurnal, buku, skripsi atau karya ilmiah lainnya yang
membahas secara terperinci mengenai objek material penelitian yaitu film
12 Years A Slave karya Steve McQueen yang ditinjau dengan konsep
kebebasan filsafat politik John Locke.
Berdasarkan hasil penelusuran terdapat beberapa karya ilmiah yang
membahas pemikiran Filsafat Politik John Locke yaitu:
a. Ahmad Zubaidi, 2015, “Filsafat Politik John Locke dan
Relevansinya dengan Hak Asasi Manusia di Indonesia”,
11
disertasi
Fakultas
Filsafat
UGM.
Disertasi
tersebut
menjelaskan secara khusus pemikiran politik John Locke
dalam unsur-unsur, kelemahan, kekuatan filsafat politiknya,
dan menjabarkan konsep hak kodrati manusia menurut John
Locke, serta mengungkapkan relevansi filsafat politik John
Locke dan konsep hak kodrati dengan hak asasi manusia di
Indonesia.
b. Agus Amin Sulistiono, 1988, “Konsep Filsafat Politik John
Locke dalam Usaha Mengatasi Konflik Ideologi,” skripsi
Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini secara garis besar
membahas pandangan John Locke dalam politik dan tatanegaranya serta mencari pemecahan masalah untuk
mengatasi konflik ideologi.
c. P.Cal. Basuki Resobowo, 1981, “Tinjauan Secara Filosofis
Tentang Nilai-nilai yang Terkandung di dalam Hak-Hak
Alamiah Manusia Menurut Ajaran John Locke,” skripsi
Fakultas Filsafat UGM. Penelitian tersebut memaparkan
nilai-nilai yang terkandung di dalam hak-hak alamiah
manusia dan melihat keterkaitan nilai-nilai tersebut dengan
masalah-masalah dengan konsepsi pemikiran John Locke.
d. Billy Susanti, 2014, “Analisis Resepsi Terhadap Rasisme
12
dalam Film (Studi Analisis Resepsi Film 12 Years A Slave
pada Mahasiswa Multi Etnis),” skripsi Fakultas Ilmu
Komunikasi dan Informatika Universitas Muhamadyah
Surakarta. Skripsi tersebut
mendeskripsikan pemaknaan
audiens terhadap rasisme yang terjadi di Amerika Serikat,
namun tidak mengerucut pada nilai-nilai perbudakan dan
kebebasan.
e. Ade Cahya Permadi, 2014, “Representasi Perbudakan
dalam Film 12 Years A Slave (Analisis Semiotika John
Fiske Mengenai Perbudakan Dalam Film 12 Years a
Slave),”
skripsi
Universitas
Komputer
Indonesia
(UNIKOM). Penelitian ini berusaha menganalisis film 12
Years A Slave dari sistem komunikasi yang terjalin di
dalam film dan memahami bagaimana tanda, pesan dan
makna perbudakan yang terjadi, mengenai nilai kebebasan
dan perjuangan individu tidak menjadi fokus analisis.
4. Manfaat Penelitian
a. Bagi Filsafat:
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
pemahaman
baru
mengenai
kajian
filsafat
dengan
menggunakan sarana media berupa film dan pemikiran filsafat
13
politik John Locke.
b. Bagi Kalangan Akademis:
Penelitian ini dapat menambah referensi kajian filsafat politik
terutama tentang pemikiran politik John Locke.
c. Bagi Masyarakat:
Penelitian ini diharapkan dapat menyampaikan bahwa di dalam
film terdapat tujuan dan nilai-nilai yang ingin disampaikan
oleh pembuat film serta membangkitkan kesadaran individu
dan masyarakat mengenai masalah kebebasan, fungsi negara
dan hak-hak kodrati yang dimiliki sebagai manusia bebas.
d. Bagi Peneliti:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat sebagai
bentuk nyata pemikiran filsafat sebagai cara berpikir yang
sistematis dan filosofis dalam mengkaji suatu masalah dan
memahami pemikiran tokoh.
14
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut
di atas, skripsi ini
bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan konsep kebebasan menurut Filsafat Politik John
Locke.
2. Menjelaskan dan menjabarkan masalah kebebasan dalam film “12
Years A Slave.”
3. Menganalisis secara kritis masalah kebebasan dalam film 12 Years A
Slave dengan menggunakan pisau analisis konsep kebebasan menurut
filsafat politik John Locke.
C. Tinjauan Pustaka
Rupa film sangat beragam, mulai dari film animasi, fiksi, sains-fiksi,
dokumenter dan lain sebagainya. Pengambilan objek material pada penelitian
ini adalah film “12 Years A Slave,” sebuah film yang diangkat dari memoar
atau kisah nyata Salomon Northup. Ia adalah seorang kulit hitam bebas yang
dipaksa menjadi budak selama 12 tahun di sebuah perkebunan. Cerita pada
film menekankan pada usaha Salomon Northup meraih kembali kebebasannya
15
sebagai warga negara. Kebebasan individu Northup dan haknya sebagai warga
negara telah diambil secara paksa oleh individu lainnya, sehingga fungsi
negara dan tujuan terbentuknya negara seperti yang dipaparkan oleh John
Locke tidak teraplikasi pada kasus yang terjadi pada Solomon Northup, yang
kemudian dijadikan sebagai pisau analisis oleh peneliti.
Tinjauan pustaka ini akan memaparkan beberapa hasil penelitian yang
telah dilakukan peneliti-peneliti sebelumnnya tentang film tersebut. Pertama,
Billy Susanti dalam penelitiannya tahun 2014 yang berjudul “Analisis Resepsi
Terhadap Rasisme dalam Film (Studi Analisis Resepsi Film 12 Years A Slave
pada Mahasiswa Multi Etnis).” Berangkat dari asusmsi bahwa orang berkulit
gelap lebih rendah kastanya dibanding kulit putih, peneliti memahami bahwa
Film ini akan menghasilkan makna yang berbeda ketika khalayak memiliki
latar belakang etnis minoritas. Dengan permasalahan tersebut, isi penelitian
dimaksudkan untuk mendeskripsikan pemaknaan audiens terhadap rasisme
yang terjadi di Amerika Serikat.
Kedua, skripsi karya Ade Cahya Permadi tahun 2014 dengan judul
“Representasi Perbudakan dalam Film 12 Years A Slave (Analisis Semiotika
John Fiske Mengenai Perbudakan Dalam Film 12 Years a Slave). Isi
penelitian bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana tanda,
pesan dan makna perbudakan yang terdapat di dalam sequence-sequence film
12 Years a Slave dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan
16
analisis semiotika film John Fiske yaitu The Code of Television.
Penelitian yang telah ditelusuri mengenai John Locke yaitu berjudul
“Tinjauan Secara Filosofis Tentang Nilai-nilai yang Terkandung di dalam
Hak-Hak Alamiah Manusia Menurut Ajaran John Locke” karya P. Cal. Basuki
Resobowo pada tahun 1981. Penelitian tersebut memaparkan nilai-nilai yang
terkandung di dalam hak-hak alamiah manusia dan melihat keterkaitan nilainilai tersebut dengan masalah-masalah dengan konsepsi pemikiran John
Locke. menurut penelitian tersebut, nilai-nilai dalam hak-hak alamiah
merupakan dasar yang fundamenatal dalam seluruh perbuatan manusia dalam
hidup bersama (Resabowo, 1981: 10).
Agus Amin Sulistiono menulis dalan penelitiannya pada tahun 1988
yang berjudul “Konsepsi Filsafat Politik John Locke dalam Usaha Mengatasi
Konflik Ideologi” bahwa pemikiran politik John Locke dan konsepsinya
mengenai negara dapat mengatasi masalah ideologi dan dapat membantu
dalam penyempurnaan ideologi-ideologi pada saat itu dari sudut pandang
filsafat politik John Locke dengan melihat pandangan John Locke tentang ide
dan kenyataan.
Hasil penelitian Ahmad Zubaidi tahun 2015 dengan judul “Filsafat
Politik John Locke dan Relevansinya dengan Hak Assai Manusia di
Indonesia” menemukan unsur pokok, konsep hak kodrati, serta kelemahan dan
kekuatan dalam filsafat politik John Locke. penelitian tersebut juga
17
menemukan relevansi filsafat politik dan konsep hak kodrati John Locke
dengan hak asasi manusia di Indonesia.
D. Landasan Teori
Kekuasaan, otoritas, hak-hak asasi manusia, perihal hak-kewajiban dan
keadilan merupakan sebagian tema pembahasan filsafat politik era modern.
Masalah politik pada era modern utamanya mengenai individu dan hak-hak
yang dimilikinya. Filsafat politik merupakan salah satu cabang ilmu filsafat
yang
merefleksikan
masalah-masalah
sosial
politik.
Senada
dengan
Haryatmoko (2003: 3) tugas filsafat politik bukan mendeskripsikan fakta,
melainkan mendirikan konsep-konsep yang menciptakan politik dipahami
secara lebih mendalam.
“Filsafat politik bukan hanya mempersoalkan hakikat, fungsi, dan
tujuan Negara, melainkan juga membicarakan keluarga dalam Negara,
pendidikan, agama, hak dan kewajiban individual, kekayaan dan harta
milik, pemerintah, dan sebagainya (Rapar, 1996: 75).”
Memahami konsep liberalisme John Locke, manusia secara alamiah
ketika dilahirkan sesungguhnya adalah baik. Dalam keadaan alamiah pula
manusia bebas menentukan keinginan dirinya dan bebas menggunakan segala
miliknya tanpa perlu bergantung kepada kehendak orang lain.
“Berangkat
dari pemahaman bahwa manusia secara
alamiah
18
sebenarnya baik, maka keadaan alamiah nampak sebagai “A State of
Peace. Good Will, Mutual Assistance, and Preservation.” Hak dasar
terpenting adalah hak atas hidup, hak untuk mempertahankan diri. Dari
hak itu Locke langsung mengembangkan hak atas milik yang
dikembalikannya pada pekerjaan dengan demikian manusia dalam
keadaan alamiah sebenarnya sudah mengenal hubungan-hubungan
sosial (Magnis-Suseno, 1987: 220-221).”
Perihal hak manusia, Locke berpendapat bahwa setiap individu sejak
ia dilahirkan sudah memiliki dua hak sekaligus. Hak pertama merupakan hak
kebebasan bagi dirinya sendiri dan hanya dirinya yang dapat menggunakan
hak tersebut sehingga tidak seorang pun berkuasa atas dirinya. Kedua, hak
sebelum orang lain, maksudnya adalah individu tersebut dan anggota
keluarganya berhak mewarisi harta milik orangtua mereka (Locke, 2002:8)..
Pemahaman Locke mengenai keadaan alamiah menjadi masyarakat
alamiah yaitu negara. Locke setuju dengan pendapat Hobbes bahwa
pembentukan masyarakat politik atau negara diawali oleh keadaan alamiah
tersebut. Eksistensi masyarakat dan negara didahului dari kondisi individu
yang “bebas dan sama derajatnya.” Secara alamiah individu memiliki sifat
egois dan mementingkan kepentingan pribadi yang kemudian sepakat untuk
membuat kontrak untuk mengatur hal-ikhwal kehidupan dan menjamin
kebebasan dalam masyarakat (Locke, 2002:9).
Kebebasan yang ditawarkan dan menjadi tujuan utama dari
keberadaan negara yang harus dapat menjamin kebebasan individu dari
campur tangan individu lainnya. Locke kemudian menemukan dasar dan
19
sumber baru dari suatu kekuasaan politik dalam proses pembentukan suatu
negara. Negara bagi Locke harus mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan
mempertahankan hak milik, dan olehnya maka negara harus memiliki hak
untuk menghukum, mulai dari hukuman ringan sampai hukuman mati dan
untuk mencapai tujuan tersebut maka kewenangan masyarakat harus diberikan
pada pemerintah (Locke, 2002: 7-8).
Campur tangan seseorang atau suatu kelompok terhadap kebebasan
individu lain merupakan bentuk perampasan hak. Perampasan hak terhadap
kebebasan sesorang membuat orang tersebut berada dibawah tekanan dan
perintah yang mengambil kebebasan orang itu yang pada akhirnya
menimbulkan atau menjadi bentuk dari aktivitas perbudakan.
“Slavery is so vile and miserable an Estate of Man, and so directly
opposite to the generous Temper and Courage of our Nation; that is
hardly to be conceived, that an Englishman, much less a Gentleman,
should plead for it (Locke, 1970: 159).”
artinya:
"Perbudakan adalah bentuk yang keji dan keadaan sengsara bagi
manusia, dan secara langsung berlawanan dengan Sifat murah hati
dan Keberanian Bangsa kita; yang hampir tidak dapat dipahami, bahwa
seorang Inggris, apalagi seoarang bangsawan, harus memohon untuk
itu (Locke, 1970:159)."
20
E. Metode Penelitian
1. Model atau Jenis Penelitian
Model penelitian filsafat yang digunakan oleh peneliti adalah historis
faktual mengenai cerita nyata yang sudah dijadikan naskah buku yang
kemudian difilmkan. Naskah dan film dalam penelitian ini tidak dilihat dari
sudut pandang sastra,budaya (Bakker dan Charris Zubair, 1990: 67). Jenis
penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Objek material yang dikaji dalam
penelitian ini adalah film “12 Years a Slave.” Sebuah film memoar yang di
dalamnya menceritakan masalah kebebasan. Objek formal yang akan
digunakan untuk menganalisis masalah pada film tersebut adalah konsep
kebebasan menurut filsafat politik John Locke.
Data diperoleh dari film dan literatur baik berupa buku, jurnal dan sumber
internet. Pengolahan data dilakukan hingga mencapai analisa hasil yang
mengacu pada terdeskripsikannya struktur pemikiran atau konsep kebebasan
menurut filsafat politik John Locke dengan masalah kebebasan pada film.
2. Bahan Penelitian
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat dikategorikan dalam dua
kategori yang bersumber dari data primer dan data sekunder:
a. Data Primer
21
Sumber data primer yang berhubungan langsung dan digunakan untuk
mendeskripsikan objek formal dan objek material dalam penelitian
ini, yaitu:
a.1 Film 12 Years A Slave yang disutradarai oleh Steve McQueen
dalam bentuk copy film dan naskah film.
a.2 Locke, John, 2002, Kuasa itu Milik Rakyat: Esai Mengenai Asal
Mula Sesungguhnya, Ruang Lingkup, dan maksud Tujuan
Pemerintahan Sipil, Kanisius, Yogyakarta.
a.3 Locke, John, 1690, Two Treatises of Government, Diedit oleh
Peter Laslett (1960), Cambridge University Press, Cambridge.
a.4 Locke, John, 1700, An Essay Concerning Human Understanding.
Diedit oleh John W. Yolton (1965), Everymans Library, new
York.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder penelitian ini adalah berbagai buku-buku lain,
jurnal, dan tulisan maupun artikel di internet yang terkait dengan
objek material pun objek formal penelitian.
22
3. Jalan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
a. Inventarisasi data dan bahan: pengumpulan data dilakukan
dengan mengumpulkan referensi dan studi pustaka yang terkait
dengan objek formal dan objek material penelitian.
b. Klasifikasi data: peneliti mengklasifikasi data dan bahan hasil
inventaris menjadi data primer dan data sekunder sesuai dengan
penelitian.
c. Penyusunan dan pengolahan data: data yang sudah diperoleh
disusun dan diolah sesuai dengan kerangka berpikir dan
pembahasan penelitian.
d. Analisis hasil penelitian: setelah melalui penyusunan dan
pengolahan data dianalisis guna menjawab rumusan masalah
dan mencapai tujuan penelitian.
4. Analisis Hasil
Penelitian ini merupakan model penelitian historis faktual mengenai
naskah dan buku yang telah dibuat menjadi film dan dianalisis dengan
23
menggunakan unsur-unsur metodis merujuk pada buku Metodologi
Penelitian Filsafat (Bakker dan Charris Zubair, 1990: 67), antara lain:
a. Deskripsi:
Seluruh
hasil
penelitian
dibahasakan
dengan
tujuan
mengeksplisitkan suatu pengalaman, sehingga menjadi sebuah
pemahaman.
Suatu
pengucapan
atau
pernyataan
suatu
pengertian dapat melahirkan pemahaman baru. Dalam Bakker
(1990: 54), Paul Ricoeur mengungkapkan deskripsi objekobjek, kasus-kasus dan situasi-situasi harus dapat disajikan
dengan teliti, maka akan tercipta kenyataan yang dijadikan
suatu cerita (Bakker dan Charris Zubair, 1990: 54). Peneliti
menjelaskan masalah kebebasan yang terdapat pada film 12
Years A Slave dan menyajikan pemikiran filsafat politik John
Locke mengenai konsep kebebasan dan hak-hak kodrati secara
sistematik.
b. Interpretasi:
Pada proses penelitian, peneliti akan menghadapi suatu
kenyataan, yang di dalamnya dapat dibedakan beberapa aspek,
salah satunya yaitu berbentuk fakta. Fakta dapat berbentuk
suatu peristiwa atau kejadian dan data yang dicatat (Bakker
dan Charris Zubair, 1990:41). Peneliti berusaha menjabarkan
24
dan menjelaskan masalah kebebasan yang diperjuangkan oleh
tokoh dalam film “12 Years A Slave,” yang kemudian dikaji
dengan konsep kebebasan filsafat politik John Locke.
Mengungkapkan arti, menunjukan esensi pemikiran filosofis
pada film tersebut secara objektif.
c. Hermeneutika:
Di dalam film terdapat pesan tentang nilai yang ingin
disampaikan oleh mereka yang memproduksi film tersebut,
kemudian peneliti melakukan analisis dengan interpretasi dan
penafsiran terhadap konsep kebebasan filsafat politik John
Locke.
F. Hasil yang Telah Dicapai
Dengan penelitian ini, diharapkan hasil yang diperoleh sebagai berikut:
1. Deskripsi yang komprehensif tentang konsep kebebasan dalam filsafat
politik John Locke.
2. Deskripsi film 12 Years A Slave dan fungsi film sebagai salah satu
sarana berfilsafat.
3. Analisis secara filosofis masalah kebebasan dalam film 12 Years A
25
Slave ditinjau dari perspektif kebebasan filsafat politik John Locke.
G. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini akan dirumuskan menjadi lima bab:
Bab pertama, berupa pendahuluan yang meliputi latar belakang
dilakukannya penelitian ini yang terdiri dari latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka sebagai dasar dari
landasan teori, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian, dan hasil
yang ingin dicapai dalam penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab kedua, berisi uraian tentang objek material penelitian yakni
uraian film 12 Years A Slave berupa latar belakang pembuatan film, sinopsis
film “12 Years A Slave,”
Bab ketiga, berisikan objek formal penelitian yaitu filsafat politik
John Locke yang terdiri dari biografi singkat John Locke, karya-karya John
Locke dan filsafat politik John Locke.
Bab keempat terdiri dari analisis masalah kebebasan dalam Film 12
Years A Slave menggunakan sudut tinjauan perspektif kebebasan filsafat
politik John Locke.
Bab kelima merupakan bagian penutup rangakaian penulisan yang
terdiri dari kesimpulan dan saran.
Download