BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Manusia sejak dilahirkan sudah memiliki kebebasan. Kebebasan merupakan kondisi yang menempatkan individu sebagai makhluk yang memiliki kemampuan melakukan sesuatu sesuai kehendak dan keinginan. Senada dengan Jean-Paul Sartre sebagai seorang pemikir eksistensialisme, dalam Bertens (1987: 64) langkah pertama yang ditempuh ialah menjadikan manusia pemilik penuh dari keberadaannya dan membebankan padanya tanggung jawab total atas eksistensinya. Kondisi alamiah menempatkan manusia memiliki kebebasan pada kodratnya, sehingga manusia berada pada sebuah fase di mana manusia bertindak sesuai dengan keinginan dan kepentingannya. Lebih jelasnya, John Locke mengatakan bahwa dalam keadaan alamiah, artinya keadaan sebebasbebasnya, manusia untuk mengatur tindakan-tindakan mereka dan mempergunakan barang milik, sudah semestinya di dalam batas-batas alam kodrat, tanpa perlu minta izin atau tidak perlu bergantung pada kehendak siapa pun. Manusia memiliki kebebasan sebagai hakikat, bukan pemberian masyarakat atau negara. Manusia dalam keadaan alamiah adalah makhluk 1 2 yang bebas, namun dalam kebebasan tersebut manusia tidak memiliki kebebasan menghancurkan dirinya sendiri ataupun makhluk lain. Semua kekuasaan yang ada di lingkungannya bersifat timbal balik, tidak ada individu atau kelompok yang lebih berkuasa daripada yang lainnya (perfectly free and equals) (Locke, 2002: 25-26). “From this common-sense starting-point he proceeds to two inferences, that we are all free and we are all equal; free for each other, that is to say, and equal to each other, for we are not free of God’s superiority and not equal to him (Locke, 1970: 92).” artinya: "Dari titik awal yang umum ini ia melanjutkan pada dua kesimpulan, bahwa kita semua bebas dan kita semua setara; bebas antara satu sama lain, seperti dikatakan, dan setara satu sama lain, karena kita tidak bebas dari superioritas Tuhan dan tidak setara dengan-Nya." Mengenai kondisi alamiah yang digambarkan oleh John Locke, bahwa kebebasan dapat mengenali kondisi individu yang memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya layaknya sebuah nilai kebebasan yang tercangkup ke dalam kajian dan konsep filsafat politik. Individu memiliki kesadaran akan kebebasan yang terdapat di dalam dirinya dan berusaha sebaik mungkin untuk meraih kebebasan tersebut. Membicarakan tentang tanggung jawab, manusia tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab atas semua orang. Pilihan terhadap diri sendiri dipertimbangkan akibatnya terhadap orang lain (Bertens, 1987:64). 3 Sifat egois dan mementingkan kepentingan pribadi membuat individu sulit untuk bekerjasama dan saling mengancam keamanan individu lainnya. Kebebasan yang dimiliki manusia perlu diatur agar tidak saling mengancam hak-hak dan kepentingan individu lainnya. Untuk mengatasi masalah tersebut maka disepakati terbentuknya kontrak sosial. John Locke mengatakan untuk mencapai tujuan keamanan dan kenyamanan bersama dan melindungi kebebasan individu maka penting adanya institusi hukum yang kemudian dipertanggungjawabkan kepada warga negara. Dalam kontrak sosial sebagai pengandaian normatif, kebebasan diberikan individu-individu dalam masyarakat kepada pemerintah atau negara untuk mencapai tujuan dari yang diperintah. Paragraf di atas menjelaskan salah satu problematika filsafat politik, yaitu perihal hak asasi dan kebebasan individu di dalam sebuah negara yang menurut pendapat John Locke merupakan sesuatu yang mendahului terbentuknya dunia politik atau negara dan menjadi jelas bahwa kekuasaan diberikan oleh individu-individu dalam masyarakat kepada pemerintah untuk mencapai tujuan dari yang diperintah (Locke, 2002: 12). Terkait dengan teori John Locke tentang kontrak sosial dan pandangan liberalnya, penulis memilih film 12 years A Slave. Film ini merupakan sebuah karya film ketiga yang disutradarai oleh Steve McQueen, dan diskenarioi 4 oleh John Ridley dengan genre drama mengenai sejarah Amerika SerikatBritania Raya yang dibuat pada tahun 2013. Film ini merupakan adaptasi dari sebuah memoar tahun 1853 berjudul 12 Years a Slave. Edisi pertama memoar Salomon Northup yang disunting oleh Sue Eakin dan Joseph Logsdon pada tahun 1968, telah ditelusuri dengan saksama dan dipastikan keakuratannya dan difilmkan. Film ini menerima beragam pujian kritis, dinobatkan sebagai "film terbaik tahun 2014" oleh beberapa media, dan menerima sejumlah penghargaan dan nominasi, termasuk Film Drama Terbaik Golden Globe 2014, Film Terbaik Academy Award, dan Film Terbaik BAFTA. Berlatarkan tahun 1841, Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor) adalah seorang negro merdeka yang bekerja sebagai tukang kayu dan pemain biola terampil, dan tinggal bersama istri dan dua anaknya di Saratoga Springs, New York. Sebagai seorang pemain biola yang handal Northup seringkali diminta untuk bermain biola di acara-acara penting, namun karena tawaran untuk menjadi pemusik di luar kota ia dijebak oleh dua orang pria. Northup kehilangan kartu tanda kebebasannya, ia dijual sebagai budak ke New Orleans. Identitasnya dipalsukan dan namanya diganti menjadi “Platt.” Ia dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan dan penghasil kayu. Namun tukang kayu di perkebunan Ford yang rasis bernama John Tibeats (Paul Dano) membenci Northup, dan mulai berupaya melecehkannya secara verbal. Ketegangan antara Tibeats dan Northup meningkat; Tibeats menyerang Northup, dan Northup melawan balik. Sebagai pembalasan, Tibeats dan 5 teman-temannya berupaya untuk menggantung Northup. Untuk menyelamatkan Northup, pemilik perkebunan mengirim dia untuk menjadi budak di perkebunan milik rekannya. Northup kemudian bekerja di perkebunan kapas. Pemilik perkebunan tersebut sangat kejam dan seringkali memberikan hukuman cambuk kepada para budak yang menurutnya tidak memanen kapas mencapai target yang ditentukan. Perbudakan dan penyiksaan sangat terlihat jelas dalam film ini. Berlandaskan pada Ayat-ayat Alkitab, pemilik perkebunan membelokkan makna yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti para budak. Kebebasan para budak sebagai warga negara dirampas oleh pemilik perkebunan. Hak-hak kodrati yang seharusnya dimiliki tidak dapat dipertahankan. Selama dua-belas tahun Northup menjadi budak dan memperjuangkan kebebasannya kembali. Fungsi negara pada film ini dipertanyakan dan bagaimana keegoisan individu yang memiliki kedudukan mementingkan kepentingannya dan menindas kebebasan individu lainnya. Masalah yang terjadi pada Solomon Northup menjadi salah satu bukti bahwa dewasa ini masalah penindasan dan perjuangan kebebasan individu menjadi isu yang muncul diberbagai media informasi. Sarana atau media informasi seperti halnya buku, koran, majalah atau karya cetak lainnya, film, fotografi, rekaman suara, lukisan dan karya seni lainnya merupakan hasil upaya manusia dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Penyampaian pesan atau informasi dilakukan sebatas yang diperlukan, kadang kala terdapat kepentingan pribadi atau suatu 6 kelompok yang ikut dimasukkan di dalam informasi yang disampaikan, sehingga kritik masyarakat tidak tersampaikan dengan tepat. Film merupakan media yang ikut berupaya menyampaikan pesan dan informasi kepada masyarakat secara lebih implisit. “Film bukan semata-mata barang perdagangan, melainkan alat pendidikan dan penerangan. Dalam inport film perlu ditentukan keseimbangan, sesuai dengan politik luar negeri yang bebas aktif (Pandjaitan, 2001: xiii).” Pengertian lebih lengkap dan mendalam tercantum jelas dalam pasal 1 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman di mana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronika, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem mekanik, elektronik dan/atau lainnya (Kalarensi Naibaho, January 6 2011). Film merupakan untaian gambar bergerak yang menggambarkan proses budaya dan proses sejarah suatu masyarakat atau kelompok. Upaya penyampaian pesan dan informasi yang menjadi tujuan film sebagai media memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat. Penyampaian film selalu meninggalkan pesan moral kepada masyarakat. Tidak hanya pesan moral saja, 7 pun kepentingan-kepentingan pribadi yang menguntungkan seseorang atau sebagian kelompok dapat dimasukkan ke dalam cerita pada sebuah film. “Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh sekali, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Dalam ceramah – ceramah penerangan atau pendidikan kini banyak digunakan film sebagai alat pembantu untuk memberikan penjelasan, bahkan filmnya sendiri banyak yang berfungsi sebagai medium penerangan dan pendidikan secara penuh, artinya bukan sebagai alat pembantu dan juga tidak perlu dibantu dengan penjelasan, melainkan medium penerangan dan pendidikan yang komplit (Effendy, 2003:209).” Pemilihan film “12 Years A Slave” sebagai objek material karena film dapat merangsang visual manusia lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan ketika manusia membaca buku. Film juga dapat diserap lebih mudah oleh masyarakat karena film menyajikan pesan atau informasi secara nyata. Dampak yang dihasilkan dari gambar hidup dalam sebuah film berbeda dengan dampak yang dihasilkan dari membaca rangkaian kata-kata atau kalimat dalam sebuah buku karena mencerna film dapat dikatakan lebih mudah daripada mencerna sebuah tulisan dengan bantuan visual dan pendengaran membuat manusia lebih mudah menggambarkan kejadiankejadian dan informasi yang ingin disampaikan. Maka pemilihan film sebagai media komunikasi bagi masyarakat luas sangat tepat untuk dijadikan objek material. Pemaknaan dan penangkapan pesan yang terdapat di dalam film antara individu satu dengan individu lainnya tidaklah sama. Interpretasi yang beragam itu dalam perspektif filosofis dapat membuat film memacu 8 perenungan filosofis. Seperti yang ditulis oleh Bambang Sugiharto pada kata pengantar buku karya Mark Rowlands (2004 : xxxi) bahwa terdapat beberapa hal yang mampu menjadikan film sebagai media perenungan filosofis. Pertama, film mampu menyingkapkan pergulatan batin eksistensial tersembunyi manusia dalam dunianya yang spesifik. Percaturan konseptual filosofis yang biasanya abstrak menemukan sosok konkritnya di sana atau sebaliknya, logika internal dan dinamika kehidupan partikular yang dilukiskan dalam film merangsang artikulasi filosofis baru, yang mungkin saja tidak sesuai dengan keyakinan filosofis. Kehidupan konkrit dapat menjadi jauh lebih kompleks dibandingkan dengan wacana filsafat. Film dapat melihat sisisisi baru realitas kehidupan dari yang pernah dilihat dan disadari. Kedua, bahasa film adalah bahasa pengalaman bukan bahasa teks. Film tidak mengolah dan mempermasalahkan teks, melainkan “realitas” itu sendiri, yaitu realitas yang dibangun oleh sutradara dalam filmnya. Film tidak hanya menantang pikiran, tetapi juga menantang partisipasi penonton untuk ikut “mengalaminya.” Pemahaman yang ditimbulkan pun lantas bersifat total, melibatkan perasaan, sensasi tubuh, imajinasi, dan pikiran sekaligus. Dengan cara itu, film membuat persoalan-persoalan filosofis menjadi suatu yang intim dan pribadi. Ketiga, film membukakan kemungkinan-kemungkinan baru untuk memahami realitas saat ini maupun masa depan secara grafis dan imajinatif, 9 terutama dapat dilihat dalam film-film fiksi ilmiah. Saat ini film menjadi media penyampaian pesan dan kritik masyarakat terhadap apa yang terjadi disekitarnya. Kritik dan pesan yang sulit diungkapkan terutama pada pihakpihak ekslusif dapat diperankan ke dalam sebuah cerita. “Film sendiri merupakan karya manusia yang lahir sebagai sebuah konsep yang tidak melahirkan sebuah pengetahuan keilmuan murni seperti kedokteran, arsitektur, matematika ataupun fisika. Film adalah representasi yang lebih banyak dipenuhi oleh dunia impian manusia, manipulasi konflik yang menstimuli daya fikir serta emosi manusia, pergolakan nilai maupun norma manusia (Suwasono, 2014: iii).” Film “12 Years A Slave” menjadi menarik untuk diangkat sebagai objek material, karena menceritakan kehidupan orang kulit hitam-bebas kelahiran New York bernama Salomon Northup yang diculik di Washington D.C., Amerika Serikat dan dijual sebagai budak. Perbudakan dan kekerasan dalam film ditunjukan dengan sangat jelas. Kekerasan dalam bentuk hukum cambuk diberikan kepada para pekerja yang dianggap tidak bekerja dengan baik. Pada awal film diceritakan surat kebebasan milik Salomon Northup diambil dengan paksa sehingga ia tidak dapat menunjukan bahwa dirinya adalah orang kulit hitam-bebas ketika dirinya dijual sebagai budak. Sesuai dengan teori kebebasan John Locke yang membicarakan kebebasan individu, maka masalah di dalam film menjadi menarik untuk ditinjau dengan perspektif filsafat politik John Locke. 10 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut: a. Bagaimana konsep kebebasan menurut Filsafat Politik John Locke? b. Bagaimana masalah kebebasan dalam film 12 Years A Slave? c. Apa masalah kebebasan dalam film 12 Years A Slave ditinjau dari perspektif kebebasan menurut Filsafat Politik John Locke? 3. Keaslian Penelitian Sejauh pengamatan dan penelusuran yang dilakukan, peneliti belum menemukan tulisan, jurnal, buku, skripsi atau karya ilmiah lainnya yang membahas secara terperinci mengenai objek material penelitian yaitu film 12 Years A Slave karya Steve McQueen yang ditinjau dengan konsep kebebasan filsafat politik John Locke. Berdasarkan hasil penelusuran terdapat beberapa karya ilmiah yang membahas pemikiran Filsafat Politik John Locke yaitu: a. Ahmad Zubaidi, 2015, “Filsafat Politik John Locke dan Relevansinya dengan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, 11 disertasi Fakultas Filsafat UGM. Disertasi tersebut menjelaskan secara khusus pemikiran politik John Locke dalam unsur-unsur, kelemahan, kekuatan filsafat politiknya, dan menjabarkan konsep hak kodrati manusia menurut John Locke, serta mengungkapkan relevansi filsafat politik John Locke dan konsep hak kodrati dengan hak asasi manusia di Indonesia. b. Agus Amin Sulistiono, 1988, “Konsep Filsafat Politik John Locke dalam Usaha Mengatasi Konflik Ideologi,” skripsi Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini secara garis besar membahas pandangan John Locke dalam politik dan tatanegaranya serta mencari pemecahan masalah untuk mengatasi konflik ideologi. c. P.Cal. Basuki Resobowo, 1981, “Tinjauan Secara Filosofis Tentang Nilai-nilai yang Terkandung di dalam Hak-Hak Alamiah Manusia Menurut Ajaran John Locke,” skripsi Fakultas Filsafat UGM. Penelitian tersebut memaparkan nilai-nilai yang terkandung di dalam hak-hak alamiah manusia dan melihat keterkaitan nilai-nilai tersebut dengan masalah-masalah dengan konsepsi pemikiran John Locke. d. Billy Susanti, 2014, “Analisis Resepsi Terhadap Rasisme 12 dalam Film (Studi Analisis Resepsi Film 12 Years A Slave pada Mahasiswa Multi Etnis),” skripsi Fakultas Ilmu Komunikasi dan Informatika Universitas Muhamadyah Surakarta. Skripsi tersebut mendeskripsikan pemaknaan audiens terhadap rasisme yang terjadi di Amerika Serikat, namun tidak mengerucut pada nilai-nilai perbudakan dan kebebasan. e. Ade Cahya Permadi, 2014, “Representasi Perbudakan dalam Film 12 Years A Slave (Analisis Semiotika John Fiske Mengenai Perbudakan Dalam Film 12 Years a Slave),” skripsi Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM). Penelitian ini berusaha menganalisis film 12 Years A Slave dari sistem komunikasi yang terjalin di dalam film dan memahami bagaimana tanda, pesan dan makna perbudakan yang terjadi, mengenai nilai kebebasan dan perjuangan individu tidak menjadi fokus analisis. 4. Manfaat Penelitian a. Bagi Filsafat: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman baru mengenai kajian filsafat dengan menggunakan sarana media berupa film dan pemikiran filsafat 13 politik John Locke. b. Bagi Kalangan Akademis: Penelitian ini dapat menambah referensi kajian filsafat politik terutama tentang pemikiran politik John Locke. c. Bagi Masyarakat: Penelitian ini diharapkan dapat menyampaikan bahwa di dalam film terdapat tujuan dan nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh pembuat film serta membangkitkan kesadaran individu dan masyarakat mengenai masalah kebebasan, fungsi negara dan hak-hak kodrati yang dimiliki sebagai manusia bebas. d. Bagi Peneliti: Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat sebagai bentuk nyata pemikiran filsafat sebagai cara berpikir yang sistematis dan filosofis dalam mengkaji suatu masalah dan memahami pemikiran tokoh. 14 B. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut di atas, skripsi ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan konsep kebebasan menurut Filsafat Politik John Locke. 2. Menjelaskan dan menjabarkan masalah kebebasan dalam film “12 Years A Slave.” 3. Menganalisis secara kritis masalah kebebasan dalam film 12 Years A Slave dengan menggunakan pisau analisis konsep kebebasan menurut filsafat politik John Locke. C. Tinjauan Pustaka Rupa film sangat beragam, mulai dari film animasi, fiksi, sains-fiksi, dokumenter dan lain sebagainya. Pengambilan objek material pada penelitian ini adalah film “12 Years A Slave,” sebuah film yang diangkat dari memoar atau kisah nyata Salomon Northup. Ia adalah seorang kulit hitam bebas yang dipaksa menjadi budak selama 12 tahun di sebuah perkebunan. Cerita pada film menekankan pada usaha Salomon Northup meraih kembali kebebasannya 15 sebagai warga negara. Kebebasan individu Northup dan haknya sebagai warga negara telah diambil secara paksa oleh individu lainnya, sehingga fungsi negara dan tujuan terbentuknya negara seperti yang dipaparkan oleh John Locke tidak teraplikasi pada kasus yang terjadi pada Solomon Northup, yang kemudian dijadikan sebagai pisau analisis oleh peneliti. Tinjauan pustaka ini akan memaparkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti-peneliti sebelumnnya tentang film tersebut. Pertama, Billy Susanti dalam penelitiannya tahun 2014 yang berjudul “Analisis Resepsi Terhadap Rasisme dalam Film (Studi Analisis Resepsi Film 12 Years A Slave pada Mahasiswa Multi Etnis).” Berangkat dari asusmsi bahwa orang berkulit gelap lebih rendah kastanya dibanding kulit putih, peneliti memahami bahwa Film ini akan menghasilkan makna yang berbeda ketika khalayak memiliki latar belakang etnis minoritas. Dengan permasalahan tersebut, isi penelitian dimaksudkan untuk mendeskripsikan pemaknaan audiens terhadap rasisme yang terjadi di Amerika Serikat. Kedua, skripsi karya Ade Cahya Permadi tahun 2014 dengan judul “Representasi Perbudakan dalam Film 12 Years A Slave (Analisis Semiotika John Fiske Mengenai Perbudakan Dalam Film 12 Years a Slave). Isi penelitian bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana tanda, pesan dan makna perbudakan yang terdapat di dalam sequence-sequence film 12 Years a Slave dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan 16 analisis semiotika film John Fiske yaitu The Code of Television. Penelitian yang telah ditelusuri mengenai John Locke yaitu berjudul “Tinjauan Secara Filosofis Tentang Nilai-nilai yang Terkandung di dalam Hak-Hak Alamiah Manusia Menurut Ajaran John Locke” karya P. Cal. Basuki Resobowo pada tahun 1981. Penelitian tersebut memaparkan nilai-nilai yang terkandung di dalam hak-hak alamiah manusia dan melihat keterkaitan nilainilai tersebut dengan masalah-masalah dengan konsepsi pemikiran John Locke. menurut penelitian tersebut, nilai-nilai dalam hak-hak alamiah merupakan dasar yang fundamenatal dalam seluruh perbuatan manusia dalam hidup bersama (Resabowo, 1981: 10). Agus Amin Sulistiono menulis dalan penelitiannya pada tahun 1988 yang berjudul “Konsepsi Filsafat Politik John Locke dalam Usaha Mengatasi Konflik Ideologi” bahwa pemikiran politik John Locke dan konsepsinya mengenai negara dapat mengatasi masalah ideologi dan dapat membantu dalam penyempurnaan ideologi-ideologi pada saat itu dari sudut pandang filsafat politik John Locke dengan melihat pandangan John Locke tentang ide dan kenyataan. Hasil penelitian Ahmad Zubaidi tahun 2015 dengan judul “Filsafat Politik John Locke dan Relevansinya dengan Hak Assai Manusia di Indonesia” menemukan unsur pokok, konsep hak kodrati, serta kelemahan dan kekuatan dalam filsafat politik John Locke. penelitian tersebut juga 17 menemukan relevansi filsafat politik dan konsep hak kodrati John Locke dengan hak asasi manusia di Indonesia. D. Landasan Teori Kekuasaan, otoritas, hak-hak asasi manusia, perihal hak-kewajiban dan keadilan merupakan sebagian tema pembahasan filsafat politik era modern. Masalah politik pada era modern utamanya mengenai individu dan hak-hak yang dimilikinya. Filsafat politik merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang merefleksikan masalah-masalah sosial politik. Senada dengan Haryatmoko (2003: 3) tugas filsafat politik bukan mendeskripsikan fakta, melainkan mendirikan konsep-konsep yang menciptakan politik dipahami secara lebih mendalam. “Filsafat politik bukan hanya mempersoalkan hakikat, fungsi, dan tujuan Negara, melainkan juga membicarakan keluarga dalam Negara, pendidikan, agama, hak dan kewajiban individual, kekayaan dan harta milik, pemerintah, dan sebagainya (Rapar, 1996: 75).” Memahami konsep liberalisme John Locke, manusia secara alamiah ketika dilahirkan sesungguhnya adalah baik. Dalam keadaan alamiah pula manusia bebas menentukan keinginan dirinya dan bebas menggunakan segala miliknya tanpa perlu bergantung kepada kehendak orang lain. “Berangkat dari pemahaman bahwa manusia secara alamiah 18 sebenarnya baik, maka keadaan alamiah nampak sebagai “A State of Peace. Good Will, Mutual Assistance, and Preservation.” Hak dasar terpenting adalah hak atas hidup, hak untuk mempertahankan diri. Dari hak itu Locke langsung mengembangkan hak atas milik yang dikembalikannya pada pekerjaan dengan demikian manusia dalam keadaan alamiah sebenarnya sudah mengenal hubungan-hubungan sosial (Magnis-Suseno, 1987: 220-221).” Perihal hak manusia, Locke berpendapat bahwa setiap individu sejak ia dilahirkan sudah memiliki dua hak sekaligus. Hak pertama merupakan hak kebebasan bagi dirinya sendiri dan hanya dirinya yang dapat menggunakan hak tersebut sehingga tidak seorang pun berkuasa atas dirinya. Kedua, hak sebelum orang lain, maksudnya adalah individu tersebut dan anggota keluarganya berhak mewarisi harta milik orangtua mereka (Locke, 2002:8).. Pemahaman Locke mengenai keadaan alamiah menjadi masyarakat alamiah yaitu negara. Locke setuju dengan pendapat Hobbes bahwa pembentukan masyarakat politik atau negara diawali oleh keadaan alamiah tersebut. Eksistensi masyarakat dan negara didahului dari kondisi individu yang “bebas dan sama derajatnya.” Secara alamiah individu memiliki sifat egois dan mementingkan kepentingan pribadi yang kemudian sepakat untuk membuat kontrak untuk mengatur hal-ikhwal kehidupan dan menjamin kebebasan dalam masyarakat (Locke, 2002:9). Kebebasan yang ditawarkan dan menjadi tujuan utama dari keberadaan negara yang harus dapat menjamin kebebasan individu dari campur tangan individu lainnya. Locke kemudian menemukan dasar dan 19 sumber baru dari suatu kekuasaan politik dalam proses pembentukan suatu negara. Negara bagi Locke harus mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan mempertahankan hak milik, dan olehnya maka negara harus memiliki hak untuk menghukum, mulai dari hukuman ringan sampai hukuman mati dan untuk mencapai tujuan tersebut maka kewenangan masyarakat harus diberikan pada pemerintah (Locke, 2002: 7-8). Campur tangan seseorang atau suatu kelompok terhadap kebebasan individu lain merupakan bentuk perampasan hak. Perampasan hak terhadap kebebasan sesorang membuat orang tersebut berada dibawah tekanan dan perintah yang mengambil kebebasan orang itu yang pada akhirnya menimbulkan atau menjadi bentuk dari aktivitas perbudakan. “Slavery is so vile and miserable an Estate of Man, and so directly opposite to the generous Temper and Courage of our Nation; that is hardly to be conceived, that an Englishman, much less a Gentleman, should plead for it (Locke, 1970: 159).” artinya: "Perbudakan adalah bentuk yang keji dan keadaan sengsara bagi manusia, dan secara langsung berlawanan dengan Sifat murah hati dan Keberanian Bangsa kita; yang hampir tidak dapat dipahami, bahwa seorang Inggris, apalagi seoarang bangsawan, harus memohon untuk itu (Locke, 1970:159)." 20 E. Metode Penelitian 1. Model atau Jenis Penelitian Model penelitian filsafat yang digunakan oleh peneliti adalah historis faktual mengenai cerita nyata yang sudah dijadikan naskah buku yang kemudian difilmkan. Naskah dan film dalam penelitian ini tidak dilihat dari sudut pandang sastra,budaya (Bakker dan Charris Zubair, 1990: 67). Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Objek material yang dikaji dalam penelitian ini adalah film “12 Years a Slave.” Sebuah film memoar yang di dalamnya menceritakan masalah kebebasan. Objek formal yang akan digunakan untuk menganalisis masalah pada film tersebut adalah konsep kebebasan menurut filsafat politik John Locke. Data diperoleh dari film dan literatur baik berupa buku, jurnal dan sumber internet. Pengolahan data dilakukan hingga mencapai analisa hasil yang mengacu pada terdeskripsikannya struktur pemikiran atau konsep kebebasan menurut filsafat politik John Locke dengan masalah kebebasan pada film. 2. Bahan Penelitian Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat dikategorikan dalam dua kategori yang bersumber dari data primer dan data sekunder: a. Data Primer 21 Sumber data primer yang berhubungan langsung dan digunakan untuk mendeskripsikan objek formal dan objek material dalam penelitian ini, yaitu: a.1 Film 12 Years A Slave yang disutradarai oleh Steve McQueen dalam bentuk copy film dan naskah film. a.2 Locke, John, 2002, Kuasa itu Milik Rakyat: Esai Mengenai Asal Mula Sesungguhnya, Ruang Lingkup, dan maksud Tujuan Pemerintahan Sipil, Kanisius, Yogyakarta. a.3 Locke, John, 1690, Two Treatises of Government, Diedit oleh Peter Laslett (1960), Cambridge University Press, Cambridge. a.4 Locke, John, 1700, An Essay Concerning Human Understanding. Diedit oleh John W. Yolton (1965), Everymans Library, new York. b. Data Sekunder Sumber data sekunder penelitian ini adalah berbagai buku-buku lain, jurnal, dan tulisan maupun artikel di internet yang terkait dengan objek material pun objek formal penelitian. 22 3. Jalan Penelitian Penelitian dilakukan dengan langkah-langkah berikut: a. Inventarisasi data dan bahan: pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan referensi dan studi pustaka yang terkait dengan objek formal dan objek material penelitian. b. Klasifikasi data: peneliti mengklasifikasi data dan bahan hasil inventaris menjadi data primer dan data sekunder sesuai dengan penelitian. c. Penyusunan dan pengolahan data: data yang sudah diperoleh disusun dan diolah sesuai dengan kerangka berpikir dan pembahasan penelitian. d. Analisis hasil penelitian: setelah melalui penyusunan dan pengolahan data dianalisis guna menjawab rumusan masalah dan mencapai tujuan penelitian. 4. Analisis Hasil Penelitian ini merupakan model penelitian historis faktual mengenai naskah dan buku yang telah dibuat menjadi film dan dianalisis dengan 23 menggunakan unsur-unsur metodis merujuk pada buku Metodologi Penelitian Filsafat (Bakker dan Charris Zubair, 1990: 67), antara lain: a. Deskripsi: Seluruh hasil penelitian dibahasakan dengan tujuan mengeksplisitkan suatu pengalaman, sehingga menjadi sebuah pemahaman. Suatu pengucapan atau pernyataan suatu pengertian dapat melahirkan pemahaman baru. Dalam Bakker (1990: 54), Paul Ricoeur mengungkapkan deskripsi objekobjek, kasus-kasus dan situasi-situasi harus dapat disajikan dengan teliti, maka akan tercipta kenyataan yang dijadikan suatu cerita (Bakker dan Charris Zubair, 1990: 54). Peneliti menjelaskan masalah kebebasan yang terdapat pada film 12 Years A Slave dan menyajikan pemikiran filsafat politik John Locke mengenai konsep kebebasan dan hak-hak kodrati secara sistematik. b. Interpretasi: Pada proses penelitian, peneliti akan menghadapi suatu kenyataan, yang di dalamnya dapat dibedakan beberapa aspek, salah satunya yaitu berbentuk fakta. Fakta dapat berbentuk suatu peristiwa atau kejadian dan data yang dicatat (Bakker dan Charris Zubair, 1990:41). Peneliti berusaha menjabarkan 24 dan menjelaskan masalah kebebasan yang diperjuangkan oleh tokoh dalam film “12 Years A Slave,” yang kemudian dikaji dengan konsep kebebasan filsafat politik John Locke. Mengungkapkan arti, menunjukan esensi pemikiran filosofis pada film tersebut secara objektif. c. Hermeneutika: Di dalam film terdapat pesan tentang nilai yang ingin disampaikan oleh mereka yang memproduksi film tersebut, kemudian peneliti melakukan analisis dengan interpretasi dan penafsiran terhadap konsep kebebasan filsafat politik John Locke. F. Hasil yang Telah Dicapai Dengan penelitian ini, diharapkan hasil yang diperoleh sebagai berikut: 1. Deskripsi yang komprehensif tentang konsep kebebasan dalam filsafat politik John Locke. 2. Deskripsi film 12 Years A Slave dan fungsi film sebagai salah satu sarana berfilsafat. 3. Analisis secara filosofis masalah kebebasan dalam film 12 Years A 25 Slave ditinjau dari perspektif kebebasan filsafat politik John Locke. G. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini akan dirumuskan menjadi lima bab: Bab pertama, berupa pendahuluan yang meliputi latar belakang dilakukannya penelitian ini yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka sebagai dasar dari landasan teori, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian, dan hasil yang ingin dicapai dalam penelitian, serta sistematika penulisan. Bab kedua, berisi uraian tentang objek material penelitian yakni uraian film 12 Years A Slave berupa latar belakang pembuatan film, sinopsis film “12 Years A Slave,” Bab ketiga, berisikan objek formal penelitian yaitu filsafat politik John Locke yang terdiri dari biografi singkat John Locke, karya-karya John Locke dan filsafat politik John Locke. Bab keempat terdiri dari analisis masalah kebebasan dalam Film 12 Years A Slave menggunakan sudut tinjauan perspektif kebebasan filsafat politik John Locke. Bab kelima merupakan bagian penutup rangakaian penulisan yang terdiri dari kesimpulan dan saran.