BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembangunan Nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai dengan perhatian pada proses tumbuh kembang 1000 hari pertama kehidupan anak yang menawarkan kesempatan unik untuk membangun kehidupan sehat dikemudian hari. Nutrisi yang tepat berperan sangat penting pada periode ini. Pertumbuhan yang pesat dan perkembangan selama kehamilan, menyusui, dan masa anak-anak memerlukan nutrisi khusus yang berbeda-beda pada setiap periodenya. Untuk itu perlu diperhatikan pada masa balita disebut sebagai “masa keemasan” (golden period), “jendela kesempatan” (window of opportunity), dan “masa kritis” (critical period). Pada masa ini struktur otak balita mengalami perkembangan yang paling pesat. (Hanson & Gluckman, 2004) Malnutrisi Energi Protein (MEP) didefinisikan sebagai kondisi simpanan karbohidrat dan protein tubuh berkurang dengan atau tanpa disertai penurunan lemak tubuh. Kondisi ini disebabkan oleh kegagalan kronik asupan nutrisi yang tidak mencukupi kebutuhan pertumbuhan ataupun pemeliharaan tubuh (Penny, 2008; Zadeh K et al., 2008). Kondisi MEP pada anak masih merupakan problem kesehatan masyarakat di banyak negara berkembang seperti Indonesia. Secara langsung, MEP masih merupakan penyebab kematian utama pada 300.000 anak per tahun yang berhubungan erat dengan tingkat keparahan dari MEP (Muller, 2005) Setiap tahun malnutrisi menyumbangkan sekitar 54% kematian pada anak balita di seluruh dunia . (Caulfield et al., 2004; Bryce et al., 2005) Angka malnutrisi pada anak di dunia mencapai 115 juta anak dan 186 juta balita mengalami pendek (stunted) (WHO, 2010). Pengukuran antropometri menunjukkan seperempat balita di negara berkembang mengalami kependekan dan kurang nutrisi (Annu.Rev.Nutr, 2011) Angka kejadian malnutrisi pada balita di India, (merupakan negara dengan jumlah populasi terbanyak) mencapai 60 persen. Pada tahun 2007 prevalensi anak balita yang mengalami gizi kurang dan pendek masing-masing 18,4 persen dan 36,8 persen, sehingga Indonesia termasuk diantara 36 negara di dunia yang memberi 90 persen kontribusi masalah gizi dunia (UN-SC on Nutrition, 2008). Salah satu indikator kesehatan yang menilai keberhasilan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) adalah status gizi balita. Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) atau panjang badan (PB). Variabel BB dan TB/PB disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri yaitu ; berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan atau panjang badan menurut umur (TB/U atau PB/U), dan berat badan menurut tinggi badan atau panjang badan (BB/TB atau BB/PB). Indikator BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum, sedangkan indikator TB/U atau PB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis (Kemenkes, 2011). Pada tahun 2010 prevalensi gizi kurang dan pendek menurun menjadi 17,9 persen dan 35,6 persen, tetapi masih terjadi disparitas antar provinsi yang masih memerlukan penanganan masalah dan bersifat spesifik pada wilayah rawan (Riskesdas, 2010). Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan RI (Riskesdas, 2010), juga mencatat 13,2% anak Indonesia mengalami kekurangan gizi kronis, dan 29,4% balita masih kekurangan berat badan. Meskipun dalam kurun waktu 3 tahun terakhir (2009-2011) anggaran perbaikan gizi masyarakat terus meningkat, namun angka prevalensi gizi kurang pada balita hanya turun sedikit, yakni dari 18,4% (2007) menjadi 17,9% (2010); diperkirakan ada sekitar 3,7 juta balita Indonesia masuk dalam katagori gizi kurang. Prevalensi kekurangan berat badan pada anak bervariasi antar provinsi, tertinggi di Nusa Tenggara Timur mencapai 33,6%, Yogyakarta 10,9%, sedangkan di daerah Aceh lebih tinggi dari kedua daerah dimana anak dengan kekurangan gizi sebesar 16,6% dan anak dengan gizi buruk mencapai 7,1% (Riskesdas, 2007; Riskesdas, 2010). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Aceh pada empat tahun terakhir , prevalensi anak balita dengan gizi buruk dan gizi kurang meningkat 4% dari 23% (tahun 2010) menjadi 27% (tahun 3013) (Dinkes Aceh, 2014). Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang secara nasional yaitu: sebesar 19,6% pada tahun 2013. Hal ini jauh dari sasaran Tujuan Pembangunan Millenium/MDGs sebesar 15,5% pada tahun 2015. Data Profil Kesehatan Aceh tentang status gizi anak balita tahun 2011 - 2013, menunjukkan bahwa jumlah anak balita dengan gizi kurang dan gizi buruk meningkat pesat. Pada tahun 2011, anak balita dengan gizi buruk sejumlah 402 anak, pada tahun 2012 menjadi 759 anak, dan pada tahun 2013 mencapai 813 anak. Sedangkan kasus anak balita gizi kurang, pada tahun 2011 ada 10.261 anak, pada tahun 2012 ada 19,225 anak dan pada tahun 2013 melonjak menjadi 56,527 anak.(DinKes Aceh, 2014) Efek jangka panjang dari MEP menyebabkan terjadi perubahan berbagai struktur dan fungsi organ tubuh termasuk organ kardiovaskular. (Talner, 1990; Waterlow, 1993; Duggan et al., 2008) Secara klinis terjadi penurunan curah jantung pada fase akut dibandingkan pada saat perbaikan status gizi, (Waterlow, 1993), adanya perubahan besarnya jantung diikuti dengan keadaan bradikardia dan hipotensi, semua keadaan ini dapat bersamaan atau diperberat dengan keadaan gangguan elektrolit (hipokalemia), anemia dan defisiensi vitamin yang sering terjadi pada anak MEP.(Chaitirapham S, 1986) Beberapa penelitian untuk melihat perubahan struktur dan fungsi organ kardiovaskular pada keadaan MEP telah banyak dipublikasi baik pada hewan coba maupun pada manusia. Pada penelitian Nagla et al. (2010) didapatkan adanya penurunan ketebalan septum interventrikular dan dinding posterior ventrikel kiri, massa ventrikel kiri yang secara bermakna lebih kecil dibanding dengan subyek kontrol (anak dengan status gizi normal), derajat hipotropi (pengecilan massa ventrikel kiri) linier dengan beratnya MEP. Penelti lain, Oliveres et al. (2005) mendapat hasil adanya atropi otot jantung seperti yang dialami organ tubuh lainnya dan berkorelasi positif antara penurunan massa ventrikel kiri dengan penurunan massa tubuh keseluruhan. Berdasarkan penelitian Hidayat dkk. (2001) di Bandung melaporkan terjadi penurunan fungsi jantung (fungsi ventrikel kiri) yang dinilai dengan alat ekokardiografi pada anak MEP, terjadi penurunan fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi) 73,3% pada anak dengan MEP I, 90,9% pada anak MEP II dan 100% pada anak MEP III. Sedangkan pada penelitian lain, mendapatkan hasil terjadi penurunan fraksi ejeksi dan fraksi pemendekan ventrikel kiri jantung pada 44 anak malnutrisi dari 54 subyek yang diteliti ( 81,5%) dibandingkan dengan anak gizi baik seusianya. (Allane, 2010) . Penelitian pada anak dengan malnutrisi tipe marasmus juga telah dilakukan oleh Dimiati dkk. (2011) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan mendapatkan hasil, massa ventrikel kiri kasus lebih rendah dibandingkan dengan anak status gizi normal (kontrol), terjadi penurunan fungsi ventrikel kiri baik sistolik maupun diastolik yang dinilai pada pemeriksaan ekokardiografi.dengan pola gangguan fungsi diastolik adalah: pola restriktif. Selain penelitian untuk menilai massa ventrikel kiri dan fungsi jantung, (fungsi ventrikel kiri), beberapa peneliti juga menemukan adanya peningkatan kadar Troponin T terutama pada anak MEP berat.(El-Sayed et al., 2005; Nagla et al., 2010) Kenyataan ini membuktikan adanya kerusakan miokard yang ikut berperan terhadap penurunan fungsi jantung. Kondisi seperti ini sulit ditoleransi oleh anak dibandingkan dengan dewasa, sehingga keadaan seperti ini seringkali berakibat fatal. Pada penelitian lainnya, Keller T et al. (2009) menemukan nilai Troponin I dapat terdeteksi pada diagnosis awal kerusakan miokard, dengan nilai sensitivitas 90,7 (87,493,3), nilai specifisitas 90,2 (88,3-91,9), nilai ramal positif 76,7 (72,7-80,4), nilai ramal negatif 96,4 (84,3 – 99,3). Dari kedua subtipe Troponin (Troponin I dan Troponin T), hanya Troponin I yang mempunyai nilai 100% spesifik untuk injuri otot jantung. sedangkan Troponin T dapat mengekspresikan injuri pada otot rangka lainnya sehingga sulit digunakan sebagai diagnostik untuk keperluan klinis praktis problem pada jantung. (Lipshultz et al., 2008; Correale et al., 2009) , Troponin I dengan nilai sensitivitas yang tinggi dan telah banyak digunakan untuk deteksi dini injuri otot jantung. Keadaan injuri pada otot jantung dapat berakhir menyebabkan gangguan fungsi jantung. Pemeriksaan marker ini telah banyak tersedia pada laboratoriumlaboratorium didaerah seluruh Indonesia. Marker lainnya yang sudah sering digunakan adalah NT-proBNP. Marker ini sudah digunakan secara luas sebagai manajemen pada disfungsi ventrikel kiri dalam mendiagnosis, meramalkan prognosis atau menilai keberhasilan terapi. (Waku et al., 2000) Pada suatu penelitian, pemeriksaan ini dianggap sebagai suatu “the best single marker” pada disfungsi sistolik ventrikel kiri, disfungsi diastolik ventrikel kiri dan hipertrofi ventrikel kiri (Cardarelli et al., 2003). Pada penelitian Vasan et al. (2002), mendapatkan hasil marker ini mempunyai nilai diagnostik yang baik dengan nilai sensitivitas 90%, spesifisitias 84% dan nilai ramal positif 70% untuk memdeteksi disfungsi sistolik, kadar marker ini dapat meningkat bila fraksi ejeksi berkurang. Penelitian lain mendapatkan variasi nilai yang berhubungan dengan disfungsi diastolik. Kenaikan nilai berkorelasi positif dengan peningkatan gradasi disfungsi diastolik. (Dokainish et al., 2004) Nilai Troponin I dan NT pro-BNP merupakan marker yang mempunyai nilai sensitivitas tinggi pada cedera miokard karena kardiomiopati dan dapat dipergunakan sebagai biomarker terbaru. (Kubo et al., 2011) Sampai saat ini sebagai referensi standar untuk menilai gangguan fungsi ventrikel, adalah dengan alat ekokardiografi yang bersifat non-invasif . (Snider et al., 2002; Dokainish et al., 2004; Oemar, 2005) Tetapi pemeriksaan ini masih mempunyai keterbatasan yaitu: pertama, dibutuhkan tenaga yang mempunyai kopetensi untuk melakukan pemeriksaan, kedua, alat ekokardiografi bernilai ekonomi tinggi (mahal) dan belum banyak tersedia di rumah sakit tipe B ataupun tipe C yang ada di Indonesia ataupun Pusat pelayanan Kesehatan Masyarakat didaerah. Dilain sisi, angka kejadian MEP banyak ditemukan pada daerah kabupaten tk II atau pedesaan yang ada di Indonesia. Oleh karena masalah tersebut, maka masih diperlukan pemeriksaan lain yang dapat membantu secara cepat dengan nilai ekonomi yang terjangkau bagi masyarakat luas untuk mengetahui gangguan fungsi jantung yang potensial terjadi pada anak MEP sebagai alternatif pengganti pemeriksaan ekokardiografi yang saat ini telah dipakai sebagai referensi standar. B. Rumusan masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut: Malnutrisi Energi Protein (MEP) masih merupakan problem utama kesehatan masyarakat pada populasi anak diseluruh dunia terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Dampak negatif dari keadaan ini adalah perubahan struktur dan fungsi jantung yang dapat meningkatkan angka kematian pada populasi anak. Sampai saat ini untuk menilai massa dan fungsi ventrikel kiri dengan mempergunakan alat ekokardiografi sebagai referensi standar namun pemeriksaan ini masih mempunyai beberapa keterbatasan, untuk itu diperlukan alternatif pemeriksaan lain sebagai pemeriksaan penunjang yang dapat membantu mendeteksi terjadi gangguan fungsi jantung yaitu marker jantung NT pro-BNP dan Troponin I. Kedua marker ini harus memenuhi kriteria yang sama atau hampir sama dengan pemeriksaan referensi standar, dengan nilai diagnostik yang tidak jauh berbeda, pemeriksaan harus memberi kenyamanan bagi pasien (terutama anak-anak), lebih mudah atau sederhana, cepat diperoleh, efisien dalam segi pembiayaan serta dapat mendiagnosis pada fase lebih dini agar bermanfaat secara klinis dan dapat mempercepat tatalaksana MEP. Penelitian untuk mencari alternatif pemeriksaan lain dalam mendeteksi telah terjadi perubahan struktur atau telah terjadi penurunan fungsi jantung sampai saat ini masih sangat diperlukan. Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. Apakah telah terjadi penurunan massa/atropi otot jantung pada anak MEP. Apakah telah terjadi penurunan/gangguan fungsi ventrikel kiri pada anak MEP. Apakah terjadi peningkatan nilai NT-proBNP dan Troponin I pada anak MEP. Berapa nilai diagnostik dari NT-proBNP dan Troponin I terhadap pemeriksaan ekokardiografi dalam deteksi dini gangguan fungsi jantung pada anak MEP. 5. Berapa nilai titik potong (cut off point) dari NT-proBNP dan Troponin I B. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. 2. 3. 4. 5. Menilai massa ventrikel kiri pada anak MEP. Menilai gangguan fungsi ventrikel kiri (sistolik atau diastolik) pada anak MEP Menilai marker NT-proBNP dan Troponin I pada anak MEP Menentukan nilai titik potong (cut off point) dari NT-proBNP dan Troponin I. Mengetahui kemampuan diagnostik NT-proBNP atau Troponin I terhadap gangguan sistolik dan diastolik ventrikel kiri pada anak MEP. C. Keaslian penelitian Berikut ini beberapa penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan: 1. Penelitian Nagla et al. (2010) pada anak malnutrisi usia 2 – 30 bulan yang dirawat di departemen anak , Assiut University Children Hospital Mesir . Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa: massa ventrikel kiri mengalami penurunan dan penurunan ini signifikan dengan penurunan dari fungsi sistolik ventrikel kiri. Terjadi peningkatan Troponin jantung yang mempunyai nilai diagnostik dan prognostik signifikan untuk kerusakan kadiomiosit. Pada penelitian ini seberapa besar nilai diagnostik Troponin jantung terhadap ekokardiografi tidak diteliti. 2. Penelitian Kubo et al. (2011) pada penderita kardiomiopati hipertropi muda dengan mengukur kadar Troponin I kombinasi dengan kadar BNP . Kombinasi biomarker ini sebagai prediktor yang nyata dalam kerusakan kardiovaskular dan membantu memonitor pasien pada populasi. Kardiomiopati bisa dijumpai pada penderita malnutrisi. Pada penelitian ini juga tidak dilakukan perhitungan seberapa besar nilai diagnostik dari Troponin dan BNP terhadap ekokardiografi. 3. Penelitian El-Sayed et al. (2005) yang menilai struktur dan fungsi jantung pada pasien malnutri energi protein saat dirawat dan setelah perbaikan nutrisi. Salah satu parameter yang dinilai adalah kadar Troponin I. Walaupun pada hasil variabel penelitian parameter fungsi dan struktur jantung dinilai dengan ekokardiografi, tetapi nilai diagnostik Troponin I tidak dinilai terhadap ekokardiografi. 4. Penelitian O’Byrne. (2005) menilai marker serum BNP pada anak dengan payah jantung akibat penyakit jantung bawaan. Dengan hasil terjadi peningkatan kadar BNP dengan keadaan gizi berkontribusi meningkatkan nilai marker. Pada penelitian ini tidak dinilai berapa sebenarnya nilai diagnostik marker BNP. Dari penelitian tidak terdapat kesimpulan apakah marker ini meningkat karena payah jantungnya atau karena problem status gizi yang buruk atau karena status gizi ikut berkontribusi meningkatkan kadar marker. 5. Penelitian Mir et al. (2002) menilai kadar NT-proBNP pada anak dengan payah jantung dan anak tanpa payah jantung. Dari pemilihan subyek sebagai kontrol anak tanpa payah jantung dengan status gizi yang tidak dianalisa, tetapi yang menarik bahwa pada kontrol nilai BNP adalah 74 – 654 fmol/ml (mean 311 fmol/ml) . Hasil ini telah menunjukkan bahwa nilai marker pada sebagian subyek kontrol terjadi peningkatan walaupun status gizi tidak jelas dievaluasi. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, dimana sampel pada penelitian adalah semua anak dengan MEP. Dengan melihat nilai diagnostik NT-proBNP dan Troponin I dibandingkan pemeriksaan ekokardiografi sebagai referensi standar. D. Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi: 1. Klinisi tentang pemeriksaan non-invasif yang lebih mudah, murah dan cepat untuk menilai gangguan fungsi jantung pada anak MEP sehingga dapat dilakukan tatalaksana cepat dan tepat untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas 2. Dapat dipergunakan sebagai dasar penelitian lanjutan atau penelitian setelah anak mencapai status gizi normal. 3. Memberikan rekomendasi pada badan kesehatan pentingnya pemeriksa penunjang kedua marker ini pada kasus anak MEP, sehingga angka morbiditas dan mortalitas dapat ditekan. Dengan menurunnya angka mortalitas dan morbiditas dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang dapat mewujudkan pembangunan negara seutuhnya.