BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1. Kajian Tentang Autis
a. Pengertian Autis
Pemakaian istilah autisme diperkenalkan pertama kali oleh Leo
Kanner pada tahun 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai
ketidakmampuan
untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan
berbahasa, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute
ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan
keteraturan di dalam lingkungannya (Safaria, 2005: 1). Kanner juga
mengungkapkan anak autisme merupakan suatu paham yang hanya tertarik
pada dunianya sendiri yang menyangkut kepada gangguan perkembangan
yang kompleks, imajinasi, serta interaksi dan aktivitas-aktivitas sosial
lainnya. Senada dengan yang disampaikan oleh Kanner, Getskow dan
Konczal juga menyatakan bahwa, “Autism is a developmental disability
significantly affecting verbal and nonverbal communication and social
interaction” (1996: 141). Dari pendapat Getskow dan Konczal dapat kita
pahami bahwa autisme merupakan kelainan perkembangan yang secara
signifikan mempengaruhi kemampuan komunikasi verbal dan nonverbal
serta interaksi sosial.
“Autisme
merupakan
Peeters (2009: 15) juga mengemukakan bahwa
suatu
gangguan
perkembangan,
gangguan
pemahaman/gangguan persuasif, dan bukan suatu bentuk penyakit mental” .
Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Yuwono (2012: 26) bahwa
“Autistik adalah gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat
komplek/berat dalam kehidupan yang panjang, yang meliputi gangguan
pada aspek perilaku, interaksi sosial, komunikasi dan bahasa, serta
gangguan emosi dan persepsi sensori bahkan pada aspek motoriknya”.
Autisme atau biasa disebut ASD (Autistic Spectrum Disorder)
merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang kompleks dan sangat
8
9
bervariasi (spectrum) (Diba, Ernawati, & Yoga, 2013: 25). Sependapat
dengan Lumbantobing (Pamuji, 2007: 1) bahwa anak autis adalah kondisi
anak yang mengalami gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup
bidang; sosial dan afek, komunikasi verbal dan non verbal, imajinasi,
fleksibilitas, minat, kognisi dan atensi.
Autisme adalah kategori ketidakmampuan yang ditandai dengan
adanya gangguan dalam komunikasi, interaksi sosial, gangguan indrawi,
pola bermain, dan perilaku emosi yang menyebabkan anak-anak hanya
memiliki perhatian terhadap dunianya sendiri (Muhammad, 2007: 103).
Baihaqi dan Sugiarmin (2008: 135) mengemukakan bahwa autisme
merupakan suatu gangguan yang kompleks. Kebutuhan anak-anak di dalam
kelompok ini berbeda-beda, berkisar dari ringan sampai berat. Anak-anak
penyandang autisme umumnya mengalami tiga bidang kesulitan yang
utama, yaitu komunikasi, imajinasi, sosialisasi. Prasetyono (Artanti, Formen
& Diana, 2012: 2) juga berpendapat bahwa autisme merupakan suatu
kumpulan sindrom yang mengganggu saraf. Penyakit ini mengganggu
perkembangan anak, diagnosisnya diketahui dari gejala-gejala yang tampak
dan ditunjukan dengan adanya penyimpangan perkembangan. Senada
dengan Nakita (Pamuji, 2007: 2) bahwa autis adalah gangguan yang berat
terutama ditandai dengan gangguan pada area perkembangan sebagai
berikut; keterampilan interaksi sosial yang resiprokal, keterampilan
komunikasi dan adanya tingkah laku yang stereotipe minat dan aktivitas
yang terbatas.
Autisme menyebabkan anak tidak mampu berkomunikasi maupun
mengekspresikan keinginannya, sehingga mengakibatkan terganggunya
perilaku dan hubungan dengan orang lain (Pratiwi & Dieny, 2014: 34).
Dari pemaparan berbagai pendapat para ahli diatas, penulis dapat
menarik kesimpulan bahwa autisme merupakan suatu gangguan syarafsyaraf tertentu yang menyebabkan gangguan perkembangan yang biasanya
penderitanya memiliki bidang kesulitan utama dalam komunikasi, interaksi
sosial dan perilaku.
10
b. Faktor Penyebab Autis
Yapko (2003: 63-64) menyebutkan bahwa ada banyak studi yang
berlangsung untuk mengkaji apa yang menjadi penyebab autisme, tetapi
satu-satunya hal yang disepakati adalah kemungkinan jawaban yang
kompleks yang melibatkan genetik, biologis, dan neurologi yang
berkombinasi dengan faktor lingkungan (sebelum dan setelah kelahiran).
Namun Yapko memastikan bahwa gaya pengasuhan (baik, buruk, atau tidak
biasa) bukanlah penyebab dari autisme.
Sedangkan Muhammad (2007: 104-105) menuturkan bahwa
penyebab sebenarnya dari autisme tidak diketahui tetapi beberapa teori
terakhir mengatakan bahwa faktor genetik berpengaruh besar terhadap
keadaan autis pada anak-anak. Diketahui bayi yang dilahirkan kembar
berkemungkinan mengalami gangguan autis. Muhammad juga menyebutkan
bahwa selain itu pengaruh virus yang diidap oleh ibu semasa hamil, seperti
rubella, toxo, herpes, atau pola makan yang tidak baik, pendarahan,
keracunan makanan, juga memengaruhi pertumbuhan sel otak yang dapat
menyebabkan fungsi otak bayi dalam kandungan terganggu, terutama dalam
hal pemahaman, komunikasi, dan interaksi. Lebih lanjut, Muhammad
menjelaskan bahkan saat ini ditemukan bahwa penyebab autis adalah
masalah pencernaan. Lebih dari 60% anak-anak autis mempunyai sistem
pencernaan yang kurang baik. Makanan seperti susu hewani dan tepung
gandum tidak dapat dicerna dengan baik dan ini menyebabkan protein
dalam makanan ini tidak berubah menjadi asam amino atau pepton, yaitu
bentuk hasil pencernaan yang akhirnya dibuang melalui air kencing. Untuk
anak-anak autis, pepton ini diserap kembali oleh tubuh, memasuki aliran
darah, diteruskan ke otak dan diubah menjadi morfin, yaitu casomorfin dan
gliadrofin, yang merusak sel-sel otak dan menyebabkan fungsi otak
terganggu. Fungsi otak yang terganggu adalah fungsi kognitif, komunikasi
reseptif, konsentrasi, dan tingkah laku.
Suryana (Kusumayanti, 2011: 2) juga menyatakan bahwa penyebab
autis belum diketahui secara pasti, namun kemungkinan ada keterlibatan
11
faktor-faktor phsykologi, phisiologi dan sosiologi. Pada umumnya belum
sepenuhnya para ahli dapat menerima bahwa autis disebabkan fungsi dan
struktur otak yang abnormal. Lebih lanjut, Suryana menjelaskan ada
berbagai hal yang bisa menghambat pembentukan sel otak janin seperti
virus rubella, toxoplasma, herpes, jamur (candida), oksigenasi (perdarahan)
atau keracunan makanan. Selain gangguan tersebut, ternyata faktor genetik
juga bisa menyebabkan autis. Ada gen tertentu yang mengakibatkan
kerusakan khas pada sistem limbic atau pusat emosi di jaringan otak.
Dari beberapa pemaparan para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
penyebab pasti terjadinya autis masih belum ditemukan, akan tetapi terdapat
faktor-faktor yang turut mempengaruhi munculnya gejala autis, yaitu faktor
dari luar (lingkungan, meliputi faktor yang terjadi saat prenatal, natal dan
post natal) dan faktor dari dalam (keturunan atau heredity).
c. Karakteristik Anak Autis
Karakteristik anak autis dapat dilihat berdasarkan jenis masalah serta
gangguan yang dialaminya. Anak autis seringkali menunjukkan kurang
respon terhadap orang lain, mengalami kendala berat dalam kemampuan
komunikasi, dan memunculkan respons yang aneh terhadap berbagai aspek
lingkungan di sekitarnya, yang semua ini berkembang pada masa 30 bulan
pertama anak (Safaria, 2005: 3). APA dalam Ayuningtyas (2015: 16)
berpendapat “Karakteristik perilaku autis dapat dikelompokkan menjadi 4
kelompok gangguan perilaku antara lain (1) Gangguan interaksi sosial, (2)
Gangguan komunikasi, (3) Gangguan perilaku, (4) Gangguan sensori
prosesing dan persepal”. Senada dengan pendapat yang dinyatakan Marienzi
(mengutip pendapat Hadis, 2006: 323) yang mendeskripsikan enam
karakteristik anak autistik sebagai berikut:
1) Masalah di bidang Komunikasi. Perkembangan bahasa anak
autis sangat lambat bahkan tidak ada, gangguan bahasa anak ini
menyebabkan mereka terlihat seperti tuli, atau tidak bisa bicara.
Anak autis juga sering mengoceh secara berulang-ulang dengan
bahasa yang artinya tidak dapat dimengerti. Selain itu, anak
autis juga lebih banyak menggunakan bahasa tubuh, anak autis
sering menariknarik tangan orang lain untuk menunjukkan
12
sesuatu atau meminta orang tersebut melakukan apa yang
diinginkannya.
2) Masalah di bidang interaksi sosial. Dari segi interaksi sosial,
anak autis tidak dapat melakukan kontak mata dan menghindari
tatap muka dengan orang lain, tidak tertarik jika diajak bermain
bersama teman-temannya dan lebih suka bermain sendiri.
3) Masalah di bidang kemampuan Sensoris. Anak autis tidak peka
sentuhan, bahkan tidak suka dipeluk, bereaksi (spontan menutup
telinga) bila mendengar suara keras. Selain itu, mereka juga
senang mencium dan menjilati mainan atau benda yang menarik
perhatiannya.
4) Masalah di bidang pola bermain. Anak autis tidak memiliki daya
imajinasi dan tidak kreatif dalam bermain, mereka tidak suka
bermain dengan teman sebaya. Anak autis tidak bisa bermain
sesuai dengan fungsi mainannya, tertarik dengan mainan yang
berputar seperti roda sepeda. Bila menyukai suatu mainan, maka
akan dibawa kemana-mana.
5) Masalah perilaku. Dari segi perilaku, anak autis sering
memperlihatkan perilaku yang berlebihan (hiperktif), berputarputar, berlari-lari serta melakukan gerakan tertentu secara
beruang-ulang. Anak autis juga memiliki tatapan mata yang
kosong.
6) Masalah emosi. Dari segi emosi anak autis sering terlihat marahmarah, tertawa dan menangis tanpa alasan. Bila dilarang, anak
autis akan mengamuk dan dapat merusak benda-benda yang ada
disekitarnya. Anak autis juga sering menyakiti diri sendiri
(tantrum) misalnya membenturkan kepalanya ke dinding (2012:
322).
Sedangkan Yatim dalam Ayuningtyas (2015: 17) menjelaskan
“Gangguan yang dialami anak autism antara lain (1) Gangguan komunikasi
verbal dan non verbal, (2) Gangguan interaksi sosial, (3) Gangguan dalam
bermain, (4) Gangguan perilaku ritualistic, (5) Hiperaktif, (6) Gangguan
perasaan dan emosi, (7) Gangguan persepsi sensori”. Hal ini sependapat
dengan uraian Endang Supartini (2009: 45) yang mengutip pendapat dari
Ika Widyayati tentang karakteristik anak autis dilihat dari perilakunya antara
lain:
1) Pada tahun pertama, anak menunjukkan gangguan interaksi sosial,
menolak sentuhan atau pelukan, kurang bereaksi terhadap ajakan, suka
menyendiri, tidak ada atau sedikit kontak mata, kurang mampu
melakukan hubungan sosial dan emosional secara timbal balik.
13
2) Kemampuan komunikasinya terhambat. Perkembangan bahasa baik
reseptif maupun ekspresif terhambat, suka mengoceh tanpa arti,
echolalia, senang menarik tangan orang lain untuk melakukan apa yang
diinginkan.
3) Adanya gangguan sensoris, sensitif terhadap sentuhan, tidak mendengar
suara keras, senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda,
tidak sensitif terhadap rasa sakit atau takut.
4) Pola bermain tidak seperti anak sebaya, lebih suka bermain sendiri tapi
tidak kreatif, tidak imaginatif, bermain tidak sesuai dengan fungsi
mainannya, ada yang sangat lekat terhadap suatu benda yang terus
dibawa kemanapun dia pergi.
5) Perilaku anak dapat berlebihan (hiperaktif) atau hipoaktif. Sering
mestimuli diri, misalnya: bergoyang-goyang, lari-lari, mengepakkan
tangan seperti akan terbang, menyakiti dirinya, temper tantrum
(mengamuk tidak terkendali), asyik dengan dunianya sendiri, tidak suka
perubahan dan bertahan pada kegiatan rutin.
6) Emosinya labil, sering marah, menangis atau tertawa tanpa sebab yang
jelas, kadang suka menyerang atau merusak, tidak mempunyai empati
dan tidak mampu memahami ekspresi wajah orang lain, serta tidak
mampu mengekspresikan perasaannya baik secara verbal maupun non
verbal.
7) Minat anak terbatas dan sering berperilaku aneh dan diulang-ulang,
misalnya memutar-mutar pegangan pintu, terpaku pada satu benda, suka
pada benda yang bergerak, misalnya kipas angin, roda.
8) Mengalami gangguan kognitif, hampir 70-80% anak autis mengalami
gangguan retardasi mental, dengan derajat retardasinya termasuk
klasifikasi sedang.
Dari pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa karakteristik
anak autis dapat dilihat berdasarkan pada perilaku, komunikasi dan sosial.
Meskipun masih banyak karakteristik-karakteristik lain yang dapat
14
ditemukan pada anak autis, tetapi ketiga aspek diatas merupakan
karakteristik utama yang sering dijumpai pada anak autis.
d. Hambatan-Hambatan Anak Autis
Dengan
berbagai
karakteristik
yang
dimiliki
ada
beberapa
permasalahan yang dialami anak autis. Sugiarmin (Ayuningtyas, 2007: 26)
menyebutkan bahwa beberapa hambatan yang dialami anak autis yaitu (1)
Hambatan perilaku, (2) Hambatan sosialisasi, (3) Hambatan sensoris, (4)
Hambatan emosi, (5) Hambatan pola bermain, (6) Hambatan komunikasi.
Ayuningtyas (2015: 26-27) menguraikan hambatan-hambatan tersebut
diantaranya:
1) Hambatan perilaku. Hambatan perilaku yang dialami anak autis
merupakan hambatan dimana anak memiliki perilaku menyimpang atau
berbeda dari anak pada umumnya, contohnya anak suka mengamuk
(tantrum), sangat peka atau tertarik pada tekstur atau bunyi tertentu,
sangat tertarik pada mainan tertentu, misalnya selalu memegang onjek
tertentu, hiperaktif, tidak kooperatif atau melawan, suka membariskan
mainan atau barang, dll.
2) Hambatan sosialisasi. Anak tidak tertarik dengan orang-orang
disekitarnya atau seolah berada didunianya sendiri, tidak tertarik pada
anak lain dan memilih bermain sendiri, tidak ada atau sedikit kontak
mata, senang menarik tangan orang lain untuk melakukan apa yang
diinginkannya, tidak melakukan permainan giliran, bermain repetitife
(diulang-ulang), marah atau tidak menghendaki perubahan-perubahan,
memperlihatkan ketertarikan yang sangat dan tidak fleksibel.
3) Hambatan sensoris. Anak sangat sensitif terhadap sentuhan, bila
mendengar suara keras langsung menutup telinga atau panik terhadap
suara-suara tertentu, senang mencium-cium, menjilat mainan atau
benda, tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut, kadang anak
autis seperti orang tuli, bermain-main dengan cahaya dan pantulan,
memainkan jari-jari di depan mata, sangat tidak suka terhadap pakaian,
makanan tertentu atau yang lainnya, hiperaktif, mungkin memutar-
15
mutarkan suatu benda atau mainan, berputar-putar, membenturbenturkan kepala, menggigit pergelangan, melompat atau mengepakkan
tangan dan berespon aneh terhadap nyeri.
4) Hambatam emosi. Anak sering marah-marah tanpa alasan yang jelas,
tertawa, menangis tanpa alasan, tantrum (mengamuk tidak terkendali)
jika dilarang atau tidak dipenuhi keinginannya.
5) Hambatan pola bermain. Anak autis tidak bermain seperti anak-anak
pada umumnya, tidak suka bermain dengan anak sebayanya, senang
akan benda-benda yang berputar, tidak bermain sesuai fungsinya seperti
mobil diciumi.
6) Hambatan komunikasi. Ekspresi wajah yang datar, tidak menggunkana
bahasa atau isyarat tubuh, jarang memulai komunikasi, perkembangan
bahasa lambat, anak tampak seperti tuli, kadang kata-kata yang
digunakan tidak sesuai artinya, mengoceh tanpa arti berulang-ulang,
bicara tidak dipakai untuk alat komunikasi, senang meniru (membeo
kata-kata), intonasi dam ritme vokal yang aneh.
Sedangkan Yapko (2003: 44-46) menerangkan bahwa terdapat
beberapa kondisi yang biasanya berdampingan dengan gangguan sindrom
autisme, yaitu:
a.
Keterbelakangan mental. Keterbelakangan mental biasanya menyertai
diagnosis gangguan sindrom autisme dengan pengecualian sindrom
Asperger.
b.
Gangguan kejang. Gangguan kejang sering terlihat pada orang yang
didiagnosis dengan gangguan sindrom autis. Untuk beberapa individu
gangguan kejang mungkin tidak muncul hingga dewasa.
c.
Gangguan pemusatan perhatian. Kebanyakan anak dengan diagnosa
autis mengalami kesulitan berfokus pada tugas, sering mudah terganggu
oleh salah satu rangsangan eksternal (seperti hal-hal yang mereka lihat
atau dengar) atau dengan stimulus internal (pikiran mereka sendiri,
adegan film, dll).
16
d.
Gangguan obsesif kompulsif (OCD). OCD merupakan kelainan
psikologis yang menyebabkan seseorang memiliki pikiran obsesif dan
perilaku yang bersifat kompulsif yang ditandai dengan pikiran dan
ketakutan tidak masuk akal yang menyebabkan perilaku repetitif. Anak
autis sering mengikutsertakan perilaku repetitif dan bersifat ritual
(misalnya meremas-remas atau menepuk-nepuk tangan, dll).
e.
Gangguan memproses suara. Kebanyakan anak autis mengalami
keterlambatan kematangan pada sistem pusat pendengaran dan
kesulitan dalam menghubungkan informasi dari arah kanan dan kiri.
f.
Gangguan sensori integrasi. Anak autis sering memiliki kesulitan dalam
menilai hal-hal mengenai tata ruang (misalnya, tubuh mereka dalam
ruangan atau dalam hubungan ke benda atau orang), keseimbangan, dan
mendapatkan umpan balik dari neurologis yang sesuai dari indera untuk
mengatur tubuh dan persepsi mereka.
g.
Sindrom Tourette. Anak autis seringkali ditemui memiliki perilaku
yang menunjukkan gejala sindrom Tourette seperti mendengus,
mengonggong, menyentak gerakan kepala atau bagian tubuh lain,
berkedut wajah atau berkedip mata, dll.
Senada dengan pendapat Chen (2012: 1) yang mengemukakan
bahwa “Children with Autistic Spectrum Disorders (ASD) are characterized
by three symptoms, repetitive and stereotyped patterns of behavior,
impairments in communication and difficulties in social interaction, which
can be found around two years old”. Lebih lanjut, Chen juga menjelaskan
bahwa autisme dikarakteristikkan dengan pengasingan diri yang berat,
miskin emosi, ketidakmampuan berbahasa dan perilaku berulang yang
memungkinkan anak memiliki kesulitan dalam kehidupan sehari-hari untuk
berkomunikasi dengan dunia luar.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hambatan yang
dimiliki anak autis terdiri dari berberapa aspek seperti komunikasi, perilaku,
sosial dll. Akan tetapi tiap anak autis belum tentu memiliki hambatan yang
sama.
17
2. Kajian Tentang Perilaku Hiperaktif Anak Autis
a.
Pengertian Perilaku Hiperaktif
Anak hiperaktif adalah anak-anak yang menunjukkan kesulitan
secara umum dalam mengontrol perilakunya sendiri (Safaria, 2004: 96).
Amin (2013: 2) mengutip pendapat Mulyadi, bahwa hiperaktif adalah
suatu pola perilaku pada seseorang yang menunjukkan sikap tidak mau
diam, tidak terkendali, tidak menaruh perhatian dan impulsif (bertindak
sekehendak hatinya). Anak hiperaktif selalu bergerak dan tidak pernah
merasakan asyiknya permainan atau mainan yang disukai oleh anak-anak
lain seusia mereka, dikarenakan perhatian mereka suka beralih dari satu
fokus ke fokus yang lain. Mereka seakan-akan tanpa henti mencari sesuatu
yang menarik dan mengasikkan namun tidak kunjung datang. Hiperaktif
juga mengacu kepada ketiadaannya pengendalian diri, contohnya dalam
mengambil keputusan atau kesimpulan tanpa memikirkan akibat-akibat
terkena hukuman atau mengalami kecelakaan.
Reiber dan McLaughlin (2004: 1) mengutip American Psychiatric
Assosiation, bahwa “Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) is a
persistent disorder characterized by significant problems with attention,
impulsiveness and overactivity”. ADHD diartikan sebagai kelainan tetap
yang
dikarakteristikkan
oleh
masalah
signifikan
pada
perhatian,
impulsivitas dan aktivitas berlebihan. Sedangkan Komala Sari (2014: 276)
berpendapat bahwa perilaku hiperaktif merupakan suatu sikap dimana
dalam setiap aktifitas dilakukan secara berlebihan dan tidak mampu
mengontrol perilaku dalam lingkungan yang ada. Menurut Santrock dalam
Marlina (2008: 1) menyatakan bahwa hiperaktif sebagai suatu kelainan
berupa rentang perhatian yang pendek, perhatian mudah beralih dan
tingkat kegiatan fisik yang tinggi.
Pada anak autis, sering ditemui anak mengalami gangguan dalam
perilaku serta kesulitan dalam memusatkan konsentrasi. Seperti yang
diungkapkan Komala Sari (2014: 276), “Gangguan yang sering dialami
18
oleh anak autis adalah gangguan pada pemusatan konsentrasi dan perilaku
yang menyebabkan anak menjadi hiperaktif”.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
hiperaktif adalah gangguan perilaku yang sering dijumpai pada anak-anak
dimana anak yang mengalami hiperaktif akan menunjukkan perilaku yang
berlebih, terlihat tidak bisa diam, bergerak seperti mesin, dll. Hal tersebut
dikarenakan anak kesulitan dalam mengontrol perilakunya sendiri.
Sedangkan perilaku hiperaktif pada anak autis biasanya terlihat dari
perilaku yang berlebihan yang disertai dengan gangguan dalam
memusatkan perhatian atau konsentrasi.
b. Karakteristik Hiperaktif
Untuk dapat mengetahui seorang anak dapat dikatakan hiperaktif,
terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Reiber dan McLaughlin
(2004: 2), “General characteristics of ADHD are inattention, high
distractibility and impulsivity and hyperactivity”. Karakteristik umum dari
anak ADHD adalah tidak perhatian, mudah teralihkan, impulsivitas dan
hiperaktivitas. Dalam DSM V (2013: 60) terdapat beberapa kriteria yang
menyangkut pada anak dengan hiperaktivitas, diantaranya sebagai berikut:
1) Seringkali gelisah dengan tangan atau kaki mereka, dan sering
menggeliat di kursi
2) Sering meninggalkan tempat duduk di dalam kelas, atau dalam situasi
lainnya dimana diharapkan agar anak tetap duduk
3) Sering berlarian atau naik-naik secara berlebihan dalam situasi dimana
hal ini tidak tepat (pada masa remaja atau dewasa terbatas pada
perasaan gelisah yang subjektif)
4) Sering mengalami kesulitan dalam bermain atau terlibat dalam kegiatan
senggang secara tenang
5) Sering bergerak atau bertindak seolah-olah dikendalikan oleh motor dan
sering berbicara berlebihan.
6) Sering menyela pembicaraan atau memotong untuk menjawab disaat
pertanyaan belum selesai diajukan.
19
7) Kesulitan menunggu giliran dan sering mengganggu atau memaksa
orang lain.
Sedangkan Wiguna (Amin 2013: 3) mengemukakan karakteristik
anak yang cenderung mengalami gangguan hiperaktif sebagai berikut: (1)
tidak bisa duduk diam di dalam kelas, (2) tangan bergerak dengan gelisah;
(3) kadang berlari-lari dan naik di atas meja dan memanjat guru; (4)
mengalami kesulitan dalam bermain atau dalam kegiatan menyenangkan
bersama yang memerlukan ketenangan; (5) impulsivitas, mengalami
kesulitan dalam menunggu giliran; (6) menjawab sebelum pertanyaan
selesai/
sering menginterupsi orang lain.
Anak
yang hiperaktif
menunjukkan semua atau hampir semua ciri-ciri di atas. Sedangkan
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nanik (2007: 20-22),
mengemukakan bahwa anak ADHD memiliki karakteristik perilaku antara
lain:
1) Mereka seringkali sulit konsentrasi dalam belajar sehingga tidak mudah
bertahan dalam rentang perhatian yang lama dan sulit menyimpan
informasi yang sudah dipelajari semalaman untuk dipertahankan sampai
di sekolah saat ulangan. Orangtua sering menjumpai mereka tidak bisa
mengikuti instruksi dengan baik.
2) Ketika menjalin relasi sosial mereka cenderung bersikap tidak matang,
mau menang sendiri, tidak sabar menunggu giliran, dan ingin
kemauannya segera dituruti. Di antara mereka ada yang tidak disukai
teman‐temanya karena tidak bisa bekerja sama dalam permainan
kelompok‐sulit mengikuti aturan permainan dalam kelompok. Mereka
juga sering dijumpai orangtua tidak penuh pertimbangan dalam
bertindak dan berani mengambil resiko tanpa menyadari akibatnya.
3) Ketika menulis atau mencatat mereka seringkali tertinggal dan akhirnya
tidak selesai mengerjakan tugasnya di sekolah. Selain itu cukup sering
dijumpai bahwa tulisan mereka tidak lengkap, ada huruf tertentu atau
angka tertentu yang hilang atau ada kata/kalimat yang terlewati. Bahkan
20
mereka juga bisa mengalami salah melihat atau membaca tanda baca (+,
‐ , : , dan x), kata dan kalimat.
4) Orangtua juga mengeluhkan laporan dari guru sekolah bahwa mereka
seringkali tertinggal atau tidak selesai dalam mengerjakan tugas.
5) Di rumah maupun di sekolah mereka suka berbicara dan bercerita,
bahkan ada yang berkhayal.
Dari pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa karakteristik
anak hiperaktif yaitu adanya hambatan ataupun kesulitan yang dialami
anak dalam mengelola perilakunya. Anak kurang mampu memilah mana
perilaku yang semestinya dilakukan pada saat-saat tertentu dengan tepat.
c.
Meminimalisasi Perilaku Hiperaktif Anak Autis
Perilaku hiperaktif anak autis dapat ditangani dengan beberapa
langkah diantaranya melalui pengobatan medis, terapi psikologis, tata
laksana perilaku, dan pengaturan diet (Pratiwi & Dieny, 2014: 35). Tujuan
dari program terapi bukan untuk mengubah anak autis menjadi normal,
melainkan melatih anak agar pada akhirnya mereka dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan masyarakat (Diba, dkk, 2013: 26). Berkurangnya
perilaku autis umumnya berupa berkurangnya intensitas hiperaktif pada
subjek dan kemampuan subjek dalam melakukan instruksi atau perintah
yang diberikan oleh terapis (Pratiwi & Dieny, 2014 : 35). Penderita autis
membutuhkan penanganan khusus sebagai usaha penanganan gangguan
perkembangan yang dialami. Penanganan khusus terutama sangat
dibutuhkan saat anak di dalam kelas ketika mengikuti pelajaran.
Dalam menangani anak ADHD di kelas, Tannock (2007: 2)
menjelaskan bahwa,
Classroom teachers should try to reduce the amount of information
students with ADHD have to retain and juggle in their heads:
1) Emphasize direct instruction in specific academic skills
2) Chunk, pause, and repeat critical instructions
3) Use advance organizers, structured note-taking sheets,
manipulatives, and visual representations
4) Use teaching/learning strategies such as mnemonics
5) Introduce class-wide peer tutoring.
21
Bahwa agar anak ADHD dapat mengikuti pembelajaran dengan baik,
dapat disiasati dengan mengurangi jumlah informasi yang harus diingat
oleh siswa dengan ADHD dengan menegaskan instruksi langsung pada
perintah akademik yang spesifik; buat dengan kalimat pendek, dengan jeda
dan ulangi untuk memberikan instruksi yang penting; gunakan pengatur
kemajuan siswa, lembar catatan tugas terstruktur, dan gambaran visual;
gunakan strategi mengajar/belajar seperti alat bantu mengingat; dan
memasukkan tutor teman sekelas.
Senada dengan Reiber dan McLaughlin (2004: 2-7) yang
menyatakan terdapat beberapa intervensi kelas yang dapat menangani
karakteristik anak hiperaktif, diantaranya:
1) Struktur kelas (classroom structure), anak hiperaktif akan mengalami
kesulitan dalam berkonsentrasi pada pembelajaran. Maka struktur kelas
merupakan salah satu dari pengaruh yang paling menonjol dalam kelas.
Guru dapat memodifikasi struktur kelas sedemikian rupa, misalnya
tempat duduk siswa dibuat melingkar, atau menempatkan siswa
hiperaktif di tempat duduk paling depan, dll.
2) Modifikasi
kurikuler
dan
mengajar
(curricular
and
teaching
modification), tetap membuat kurikuler yang menarik, format
pengajaran yang berubah-ubah/tidak monoton dan materi tugas yang
disesuaikan sedemikian rupa untuk meningkatkan dan mempertahankan
ketertarikan dan motivasi siswa.
3) Pendekatan teman sebaya (peer intervention), pendekatan teman sebaya
lebih efisien dalam menyampaikan hasil dengan segera dan konsisten,
serta memungkinkan hasil dalam peningkatan perilaku dan performa
akademik.
4) Token ekonomi (Token economies), token ekonomi bisa menjadi
sesuatu yang baik untuk siswa impulsif karena menawarkan alasan yang
nyata untuk berperilaku sewajarnya dan menghindari denda.
5) Strategi manajemen diri (self-management strategies),
kunci dari
strategi manajemen diri adalah ketepatan dalam menaksir diri. Siswa
22
harus dilatih untuk mengenali dengan tepat dan mengingat target
perilaku. Target perilaku harus memiliki batas yang jelas dan mudah
difahami siswa.
Sependapat dengan Doucherty (Amin 2013: 7), yang menjelaskan
bahwa terdapat beberapa jenis bantuan yang dapat dilakukan oleh guru
dalam menangani anak yang berperilaku hiperaktif, salah satunya yaitu
dengan memanfaatkan energi anak dengan tugas lain yang dapat menguras
tenaganya, misalnya memberi tugas menghapus white board, mengajak
anak bermain peran dengan pentas kecil-kecilan, menyusun puzzel,
membawa anak ke tempat wisata (dalam pembelajaran ada unsur
pergerakan tubuh) ini dimaksudkan agar energi anak dapat tersalur.
Menurut Trisnawati dan Madechan (2014: 2) yang mengutip pendapat
Gracinia Julisca mengemukakan beberapa cara untuk mengatasi perilaku
hiperaktif, yaitu salah satunya dengan memberikan kesibukan kerja berupa
aneka kegiatan. Dengan pemberian kesibukan, kebutuhan anak yang selalu
sibuk dapat terpenuhi tanpa harus diisi dengan kegiatan yang aktif. Cara
inilah yang memberi peluang dalam meminimalkan perilaku yang aktif.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa ada
beberapa cara yang dapat diterapkan untuk mengurangi perilaku hiperaktif.
Salah satunya, saat pembelajaran guru sebaiknya memberikan instruksi
atau tugas secara jelas dan rinci, menggunakan metode dan media yang
menarik minat anak terhadap materi, mengalihkan energi berlebih anak
dengan pemberian tugas, dll. Dalam hal ini, penggunaan puzzle dalam
pembelajaran telah memenuhi beberapa cara untuk mengurangi perilaku
hiperaktif yang telah disebutkan diatas.
3. Kajian Tentang Konsentrasi Anak Autis
a. Pengertian Konsentrasi
Konsentrasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
pemusatan perhatian atau pikiran pada suatu hal. Supriyo (2008: 103)
menjelaskan “Konsentrasi adalah pemusatan perhatian pikiran terhadap
23
suatu hal dengan mengesampingkan semua hal lainnya yang tidak
berhubungan”. Siswanto (2007: 65) juga menyebutkan bahwa yang
dimaksud konsentrasi yaitu kemampuan untuk memusatkan perhatian secara
penuh pada persoalan yang sedang dihadapi. Konsentrasi dalam pengertian
umum, adalah kemampuan untuk menaruh perhatian pada sesuatu, gagasan
atau orang. Seorang anak dikatakan memiliki konsentrasi yang lemah ketika
kemampuannya untuk memerhatikan tidak sebagus seperti yang diharapkan
orang (Anderson, 2008: 135).
Slameto (Thohir, Nugraheni, & Jannah, 2013: 101) menjelaskan
bahwa konsentrasi besar pengaruhnya terhadap belajar. Seseorang yang
dapat belajar dengan baik adalah orang yang dapat berkonsentrasi dengan
baik. Kesulitan dalam memusatkan konsentrasi, baik yang disertai sikap
hiperaktif ataupun tidak, tidak dianggap sebagai kesulitan belajar. Namun,
kesulitan dalam memusatkan konsentrasi dapat memengaruhi performa
akademis seseorang secara serius, dimana gangguan ini kerap menyertai
kelemahan dalam kemampuan akademis (Wood, dkk, 2005: 33). Mengenai
konsentrasi pada anak autis, Anderson (2008: 135) berpendapat bahwa ada
kemungkinan persiapan arus konsentrasi dibagi sama antara kedua sisi otak
atau pusat utama dari jungkat-jungkit konsentrasi di antara dua sisi otak.
Hasilnya adalah ketika sisi bahasa mencoba membuat ujaran, sisi lainnya
mengganggu dengan pesan yang membingungkan dan sama kuatnya
sehinggga tidak ada ujaran yang keluar. Beberapa penelitian menjelaskan
bahwa perilaku hiperaktif pada anak autis menyebabkan anak kesulitan
dalam berkonsentrasi (Lejarnani, Sopandi, & Sumekar, 2013: 346;
Indahwati, 2013: 44). Anak autis akan cenderung sangat sukar diarahkan
untuk melakukan tugas-tugas tertentu, dan aktivitas yang dilakukan lebih
berdasar karena dorongan kemauan dalam dirinya (Indahwati, 2013: 44).
Masalah perhatian dan konsentrasi, hiperaktivitasnya, dan masalah
pengorganisasian perilaku dan tugas dari guru, akan memperparah situasi
belajarnya di sekolah (Paternotte & Buitelaar, 2013: 181).
24
Supriyo (2008: 121) menjelaskan beberapa penyebab anak tidak
dapat konsentrasi dalam belajar antara lain, (a) anak tidak mempunyai
tempat tersendiri, (b) anak mudah terpengaruh oleh situasi sekitar, (c)
anak tidak merasa senang/tidak berminat terhadap pelajaran yang
dihadapi, dan (d) kemungkinan anak dalam keadaan lelah/sakit.
Slameto dalam Thohir dkk (2013: 101) menjelaskan siswa yang
berkonsentrasi belajar dapat diamati dari beberapa tingkah lakunya
ketika proses belajar mengajar, antara lain: (1) memperhatikan secara
aktif setiap materi yang disampaikan guru, (2) dapat merespon dan
memahami setiap materi pelajaran yang diberikan, (3) selalu bersikap
aktif dengan bertanya dan memberikan argumentasi mengenai materi
pelajaran yang disampaikan oleh guru, (4) menjawab dengan baik dan
benar setiap pertanyaan yang diberikan guru, (5) kondisi kelas tenang
dan tidak gaduh saat menerima materi pelajaran. Sedangkan
Engkoswara dalam Rusyan, Kusdinar dan Arifin (1989: 84)
menggunakan klasifikasi perilaku belajar mengetahui ciri-ciri siswa
yang dapat berkonsentrasi belajar, yaitu:
1) Perilaku kognitif, yaitu perilaku yang menyangkut masalah
pengetahuan, informasi, dan masalah kecakapan intelektual. Pada
perilaku kognitif ini, siswa yang memiliki konsentrasi belajar dapat
ditandai dengan kesiapan pengetahuan yang dapat segera muncul
bila diperlukan, komprehensif dalam penafsiran informasi,
mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh, dan mampu
mengadakan analisis dan sintesis pengetahuan yang diperoleh.
2) Perilaku afektif, yaitu perilaku yang berupa sikap dan apersepsi.
Pada perilaku ini, siswa yang memiliki konsentrasi belajar dapat
dilihat dengan adanya penerimaan, yaitu tingkat perhatian tertentu,
respon yang berupa keinginan untuk mereaksi bahan yang
diajarkan, mengemukakan suatu pandangan atau keputusan sebagai
integrasi dari suatu keyakinan, ide dan sikap seseorang.
25
3) Perilaku psikomotor. Pada perilaku ini, siswa yang memiliki
konsentrasi belajar dapat dilihat dengan adanya gerakan anggota
badan yang tepat atau sesuai dengan petunjuk guru, serta
komunikasi non verbal seperti ekspresi muka dan gerakan-gerakan
yang penuh arti.
4) Perilaku berbahasa. Pada perilaku ini, siswa yang memiliki
konsentrasi belajar dapat dilihat adanya aktivitas berbahasa yang
terkoordinasi dengan baik dan benar.
Sedangkan untuk siswa yang kesulitan dalam berkonsentrasi,
DSM V (2013: 59) menjelaskan terdapat kriteria yang berkaitan dengan
gejala ketidak perhatian/ konsentrasi, diantaranya sebagai berikut:
a) Sering gagal dalam memberikan perhatian pada detail atau
membuat kesalahan yang sembrono.
b) Sering kesulitan mempertahankan konsentrasi dalam tugas atau
aktivitas permainan.
c) Sering terlihat tidak memperhatikan saat diajak berbicara langsung.
d) Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas.
e) Sering kesulitan mengorganisasi tugas dan aktivitas.
f)
Sering menghindar, tidak menyukai, atau enggan dalam tugas yang
membutuhkan berfikir keras.
g) Sering kehilangan benda-benda yang dibutuhkan dalam berativitas.
h) Sering mudah teralihkan oleh stimuli asing.
i)
Sering pelupa dalam aktivitas sehari-hari.
Supriyo (2008: 185) menyebutkan terdapat ciri-ciri atau gejala
yang nampak pada siswa yang tidak dapat konsentrasi dalam belajar
yaitu : (a) pada umumnya anak merasa betah berjam-jam untuk
melakukan aktifitas di luar kegiatan belajar, (b) mudah kena rangsangan
lingkungan (seperti suara radio, tv, gangguan orang di sekitar), (c)
kadangkala selalu mondar-mandir kesana kemari untuk mencari
perlengkapan belajar, dan (d) setelah belajar tidak tahu apa yang baru
saja dipelajari). Nini Subini, dkk (2012: 60) juga menjelaskan bahwa
26
ciri-ciri anak yang sulit memusatkan perhatian/konsentrasi biasanya
ceroboh, sulit berkonsentrasi, seperti tidak mendengarkan bila diajak
bicara,
gagal
menyelesaikan
tugas,
sulit
mengatur
aktivitas,
menghindari tugas yang memerlukan pemikiran, kehilangan barangbarang, perhatian mudah teralih, dan pelupa.
4. Kajian tentang Puzzle Game
a. Pengertian Puzzle Game
Dalam Kamus Bahasa Indonesia puzzle berarti mencengangkan,
membingungkan, mengaduk, mengacau, mengganggu, memperkusut, heran
tercengang, kebuntuhan, kesandung. Menurut Ismail, puzzle adalah
“Permainan yang menyusun suatu gambar atau benda yang telah dipecah
dalam beberapa bagian” (2012: 199). Senada dengan Fanky dalam Sari
(2014: 218), puzzle adalah sebuah permainan untuk menyatukan kepingan
pecahan untuk membentuk sebuah gambar yang telah ditentukan.
Permainan Puzzle (Puzzle Game) pada hakikatnya merupakan suatu
bentuk permainan yang umumnya digunakan anak yang sifatnya teka-teki.
Dengan puzzle game anak-anak dapat bereksplorasi menurut kemampuan
dan minatnya. Namun secara khusus, puzzle biasanya terbentuk dari sebuah
gambar yang terpotong-potong menurut bagian tertentu (Ismail, 2006: 219).
Sedangkan Stevane dalam Sari (2014: 218), mengatakan suatu puzzle
merupakan suatu masalah atau misteri yang dipecahkan dengan kepandaian
dan kreativitas. Solusi untuk puzzle mungkin membutuhkan pola yang sudah
ada dan menciptakan aturan khusus. Puzzle Game menantang daya
kreatifitas dan ingatan siswa lebih mendalam dikarenakan munculnya
motivasi untuk senantiasa mencoba memecahkan masalah, namun tetap
menyenangkan sebab dapat di ulang-ulang. Tantangan dalam permainan ini
akan memberikan efek ketagihan untuk selalu mencoba, mencoba dan terus
mencoba hingga berhasil (Syukron, 2011).
Puzzle termasuk salah satu alat permainan edukatif yang dirancang
untuk mengembangkan kemampuan anak belajar sejumlah keterampilan,
27
misalnya motorik halus, yakni dengan gerak-gerak tangan anak saat
memindah dan menyusun potongan puzzle; melatih anak untuk memusatkan
perhatian, yakni pada saat anak berusaha berkonsentrasi menyusun
potongan-potongan puzzle sesuai pola gambarnya; dan melatih konsep
tertentu seperti bentuk, warna, ukuran dan jumlah, melalui berbagai bentuk,
warna, ukuran dan jumlah potongan puzzle (Wahyuni & Mauren, 2010).
Berdasarkan pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa puzzle
game adalah salah satu bentuk permainan edukatif yang terdiri dari
potongan gambar-gambar dengan tema tertentu yang dapat menarik minat
orang yang memainkannya. Selain menyenangkan untuk dimainkan, puzzle
game juga dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang menarik
karena puzzle game memiliki potongan bentuk dan warna yang beraneka
sesuai dengan temanya.
b. Puzzle Game Sebagai Media Pembelajaran
Kata media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Medium
dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi
dari pengirim menuju penerima (Heinich & Ibrahim, dalam Daryanto, 2013:
4). Anitah (2012: 5-6) menjelaskan bahwa media adalah setiap orang,
bahan, alat, atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang
memungkinkan pebelajar untuk menerima pengetahuan, keterampilan dan
sikap. Media merupakan salah satu komponen penting dalam komunikasi
yang berperan penting dalam penyampaian informasi dari pembawa pesan
ke penerima pesan. Kegunaan media secara umum, antara lain: 1)
memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis; 2) mengatasi keterbatasan
ruang, waktu, tenaga dan daya indera, 3) menimbulkan gairah belajar,
interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar; 4)
memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan
visual, auditori dan kinestetiknya; 5) memberi rangsangan yang sama,
mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang sama; 6)
proses pembelajaran mengandung lima komponen komunikasi, yaitu guru
(komunikator),
bahan
pembelajaran,
media
pembelajaran,
siswa
28
(komunikan), dan tujuan pembelajaran (Daryanto, 2013: 5). Jadi media
pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga dapat merangsang
konsentrasi, minat, pikiran dan perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk
mencapai tujuan belajar.
Bila dihubungkan dengan anak usia dini, media pembelajaran
dikenal dengan Alat Permainan Edukatif (APE). Menurut Ismail (2009:
113), APE adalah istilah yang menunjuk pada alat peraga yang secara
spesial diberikan kepada anak-anak usia dini, khususnya usia antara 0-6
tahun. APE merupakan alat permainan yang mempunyai nilai-nilai edukatif,
yaitu dapat mengembangkan segala aspek dari kecerdasan yang ada pada
diri anak (Rolina, 2012: 34). Senada dengan Soetjiningsih dalam Rolina
(2012: 37), Alat permainan edukatif (APE) adalah alat yang dapat
mengoptimalkan perkembangan anak, disesuaikan dengan usianya, dan
tingkat perkembangannya, serta berguna untuk perkembangan fisik-motorik
(motorik kasar dan motorik halus), bahasa, kognitif, dan sosial.
Ismail (2009: 146) yang menyebutkan ciri-ciri peralatan yang baik
yang dapat digunakan sebagai acuan untuk syarat- syarat APE yang baik,
diantaranya: (a) desain yang mudah dan sederhana, (b) multifungsi (serba
guna), (c) menarik, (d) berukuran besar dan mudah digunakan, (e) awet
(tahan lama), (f) sesuai dengan kebutuhan, (g) tidak membahayakan anak,
(h) mendorong anak untuk bermain bersama, (i) dapat mengembangkan
daya fantasi, (j) bukan karena kelucuan atau kebagusannya, (k) jika
memungkinkan, gunakan alat-alat yang terbuat dari bahan yang murah dan
mudah didapat.
Fungsi APE adalah mengembangkan semua aspek perkembangan
(meliputi aspek fisik motorik, kognitif, bahasa, seni, sosial emosional, serta
moral dan nilai-nilai agama) dan kecerdasan anak (multiple intelligent)
(Rolina, 2012: 40). APE memiliki beberapa manfaat bagi anak, yaitu (1)
Melatih konsentrasi anak; (2) Mengajar dengan lebih cepat; (3) Mengatasi
keterbatasan waktu; (4) Mengatasi keterbatasan tempat; (5) Mengatasi
29
keterbatasan bahasa; (6) Membangkitkan emosi manusia; (7) Menambah
daya pengertian; (8) Menambah ingatan murid; (9) Menambah kesegaran
dalam mengajar.
Salah satu jenis APE adalah Puzzle. Puzzle memiliki manfaat yang
besar dalam melatih kecerdasan intelegensi anak, sebab dengan permainan
ini anak benar-benar terpacu kemampuan berpikirnya untuk dapat
menyatukan kembali posisi gambar pada tempatnya yang sesuai (Ismail,
2012: 199). Puzzle dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak, membuat
anak belajar berkonsentrasi, melatih koordinasi tangan dan mata,
meningkatkan fungsi kognitif anak, membantu mengenal bentuk, ukuran,
dan warna. Puzzle juga membantu anak dengan dasar-dasar yang diperlukan
untuk sekolah dan kehidupan nanti, termasuk alfabet, berhitung, serta
mengenal nama-nama obyek (Tilong, 2014: 22).
Puzzle bertujuan agar anak mengenal bentuk, melatih daya
pengamatan dan daya konsentrasi serta melatih keterampilan jari-jari anak
(Hasnida,
2014:
168-169).
Puzzle
dapat
membantu
anak
belajar
memecahkan masalah, melatih untuk berfikir kreatif, mengasah ketekunan
anak, mengasah keterampilan motorik halus, mengembangkan kemampuan
membuat kesimpulan (dari sebuah masalah), memahami logika sebab akibat
dan gagasan bahwa obyek yang utuh sebenarnya tersusun dari bagianbagian yang kecil (Damay, 2012: 98-99). Sedangkan menurut Chumala
(2012), manfaat puzzle adalah sebagai berikut:
1) Mengembangkan kapasitas anak dalam mengamati dan melakukan
percobaan.
2) Membedakan bagian-bagian dari sebuah benda dan meminta anak-anak
untuk menyatukannya kembali
3) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah
4) Mengembangkan koordinasi motorik halus.
Fajriananda, dkk. (2009: 67) menjelaskan bahwa puzzle khususnya
APE Puzzle, merupakan permainan yang dapat menarik minat anak untuk
memainkannya dan memberi pengalaman yang baik bagi kecerdasan anak
30
bila dirangsang dan diarahkan oleh tenaga pendidik dengan dukungan yang
tepat dan sesuai tujuan. Guru dapat menggunakan puzzle untuk
mengarahkan anak pada pelajaran yang akan diajarkan pada saat itu (Ismail,
2012: 165).
Berdasarkan hasil penelitian Wahyuni dan Maureen (2010), puzzle
dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan menciptakan pembelajaran yang
menyenangkan. Park dan Park (2010) dalam analisisnya menyebutkan
bahwa permainan puzzle dapat meningkatkan konsentrasi, minat serta
mengembangkan kecerdasan.
Puzzle Game dapat diterapkan dalam pembelajaran bagi anak autis
yang memiliki perilaku hiperaktif. Sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Delphie (2009), dimana permainan teka-teki (puzzle)
sangat baik dilakukan oleh anak-anak hiperaktif karena merupakan
tantangan untuk mendorong rasa keingintahuan anak terhadap sesuatu
objek.
5. Pembelajaran
Mata
Pelajaran
Ilmu
Pengetahuan
Alam
dengan
Menggunakan Puzzle Game
Sebagaimana yang telah dijabarkan dalam kajian teori di atas, Puzzle
Game dapat digunakan sebagai media dalam proses pembelajaran bagi anak
autis yang memiliki perilaku hiperaktif dan daya konsentrasi yang rendah.
Puzzle Game dapat diterapkan dalam berbagai mata pelajaran yang terdapat
dalam kurikulum dengan memberikan modifikasi pada tema gambar puzzle,
bentuk dan jumlah kepingan yang disesuaikan dengan kemampuan anak.
Sebagai contoh, Puzzle Game dapat digunakan sebagai media dalam
pembelajaran Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada Standar
Kompetensi (2) Memahami kenampakan permukaan bumi dan langit, cuaca
dan
pengaruhnya
pada
manusia,
dengan
Kompetensi
Dasar
(2.1)
Mendeskripsikan kenampakan permukaan bumi (daratan dan perairan).
Adapun langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran IPA dengan media
Puzzle Game adalah sebagai berikut:
31
1) Kegiatan awal
a) Guru mempersiapkan dan mengkondisikan kelas agar kondusif untuk
belajar
b) Sebelum pembelajaran Guru memberikan apersepsi pada siswa
2) Kegiatan inti
a) Siswa mengikuti pembelajaran seperti biasa
b) Guru menjelaskan materi pelajaran
c) Guru memberikan Puzzle pada siswa, dengan gambar tema Puzzle
mengenai kenampakan bumi daratan dan perairan.
d) Guru memberikan instruksi kepada siswa mengenai cara menyusun
Puzzle
3) Kegiatan penutup
a) Setiap
selesai
pembelajaran
Guru
akan
mengulas
lagi
materi
pembelajaran
b) Guru memberikan pujian karena siswa mampu menyelesaikan puzzle
dengan baik.
Gambar 2.1. Media Puzzle
32
B. Kerangka Berpikir
Berdasarkan teori mengenai karakteristik anak autis, diketahui anak autis
memiliki gangguan perilaku dan gangguan dalam memusatkan perhatian
(konsentrasi). Misal saat ada di dalam kelas, anak autis seringkali memperlihatkan
perilaku yang berlebihan (hiperaktif), seperti menggerak-gerakkan kaki, berlarilari serta melakukan gerakan tertentu secara berulang-ulang. Dalam hal
memusatkan konsentrasi, anak autis seringkali mengalami kesulitan dalam
mempertahankan perhatian dalam rentang yang lama, sehinggga akan sukar dalam
menyimpan informasi yang disampaikan oleh guru. Seperti yang diungkapkan
Komala Sari (2014: 276), “Gangguan yang sering dialami oleh anak autis adalah
gangguan pada pemusatan konsentrasi dan perilaku yang menyebabkan anak
menjadi hiperaktif.”
Dengan adanya gangguan tersebut, anak autis tentu akan mengalami
keterlambatan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas yang dapat
mengakibatkan rendahnya prestasi akademik anak. Maka dibutuhkan sebuah
intervensi
untuk
meminimalisasi
perilaku
hiperaktif
dan
meningkatkan
konsentrasi anak autis selama pembelajaran di kelas. Salah satu intervensi yang
dapat diberikan pada anak adalah berupa Puzzle Game yang diterapkan sebagai
media pembelajaran. Anak autis yang memiliki daya konsentrasi rendah serta
energi yang berlebih dapat dialihkan dengan memainkan puzzle yang memiliki
bentuk dan warna yang menarik perhatian anak. Dengan intervensi Puzzle Game
dalam pembelajaran ini diharapkan dapat mengurangi perilaku hiperaktif dan
dapat meningkatkan daya konsentrasi anak, khususnya selama mengikuti
pembelajaran di dalam kelas.
Secara singkat, intervensi dalam Penelitian ini disajikan dalam kerangka
berfikir sebagai berikut:
33
Pembelajaran IPA Anak Autis Kelas VI di SLB Negeri
Surakarta
Pembelajaran tanpa Puzzle Game
Daya Konsentrasi Rendah
Frekuensi Perilaku Hiperaktif
Tinggi
Pembelajaran IPA dengan media Puzzle Game
Daya Konsentrasi Meningkat
Frekuensi Perilaku Hiperaktif
Berkurang
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan
diatas, maka Peneliti dapat menarik hipotesis “Ada Pengaruh Intervensi
Pembelajaran dengan Puzzle Game dalam Meminimalisasi Perilaku Hiperaktif
dan Meningkatkan Konsentrasi Pada Anak Autis Kelas VI Semester II di SLB
Negeri Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016”.
Download