BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Kajian Tentang Autis a. Pengertian Autis Pemakaian istilah autisme diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya (Safaria, 2005: 1). Kanner juga mengungkapkan anak autisme merupakan suatu paham yang hanya tertarik pada dunianya sendiri yang menyangkut kepada gangguan perkembangan yang kompleks, imajinasi, serta interaksi dan aktivitas-aktivitas sosial lainnya. Senada dengan yang disampaikan oleh Kanner, Getskow dan Konczal juga menyatakan bahwa, “Autism is a developmental disability significantly affecting verbal and nonverbal communication and social interaction” (1996: 141). Dari pendapat Getskow dan Konczal dapat kita pahami bahwa autisme merupakan kelainan perkembangan yang secara signifikan mempengaruhi kemampuan komunikasi verbal dan nonverbal serta interaksi sosial. “Autisme merupakan Peeters (2009: 15) juga mengemukakan bahwa suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman/gangguan persuasif, dan bukan suatu bentuk penyakit mental” . Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Yuwono (2012: 26) bahwa “Autistik adalah gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat komplek/berat dalam kehidupan yang panjang, yang meliputi gangguan pada aspek perilaku, interaksi sosial, komunikasi dan bahasa, serta gangguan emosi dan persepsi sensori bahkan pada aspek motoriknya”. Autisme atau biasa disebut ASD (Autistic Spectrum Disorder) merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang kompleks dan sangat 8 9 bervariasi (spectrum) (Diba, Ernawati, & Yoga, 2013: 25). Sependapat dengan Lumbantobing (Pamuji, 2007: 1) bahwa anak autis adalah kondisi anak yang mengalami gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang; sosial dan afek, komunikasi verbal dan non verbal, imajinasi, fleksibilitas, minat, kognisi dan atensi. Autisme adalah kategori ketidakmampuan yang ditandai dengan adanya gangguan dalam komunikasi, interaksi sosial, gangguan indrawi, pola bermain, dan perilaku emosi yang menyebabkan anak-anak hanya memiliki perhatian terhadap dunianya sendiri (Muhammad, 2007: 103). Baihaqi dan Sugiarmin (2008: 135) mengemukakan bahwa autisme merupakan suatu gangguan yang kompleks. Kebutuhan anak-anak di dalam kelompok ini berbeda-beda, berkisar dari ringan sampai berat. Anak-anak penyandang autisme umumnya mengalami tiga bidang kesulitan yang utama, yaitu komunikasi, imajinasi, sosialisasi. Prasetyono (Artanti, Formen & Diana, 2012: 2) juga berpendapat bahwa autisme merupakan suatu kumpulan sindrom yang mengganggu saraf. Penyakit ini mengganggu perkembangan anak, diagnosisnya diketahui dari gejala-gejala yang tampak dan ditunjukan dengan adanya penyimpangan perkembangan. Senada dengan Nakita (Pamuji, 2007: 2) bahwa autis adalah gangguan yang berat terutama ditandai dengan gangguan pada area perkembangan sebagai berikut; keterampilan interaksi sosial yang resiprokal, keterampilan komunikasi dan adanya tingkah laku yang stereotipe minat dan aktivitas yang terbatas. Autisme menyebabkan anak tidak mampu berkomunikasi maupun mengekspresikan keinginannya, sehingga mengakibatkan terganggunya perilaku dan hubungan dengan orang lain (Pratiwi & Dieny, 2014: 34). Dari pemaparan berbagai pendapat para ahli diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa autisme merupakan suatu gangguan syarafsyaraf tertentu yang menyebabkan gangguan perkembangan yang biasanya penderitanya memiliki bidang kesulitan utama dalam komunikasi, interaksi sosial dan perilaku. 10 b. Faktor Penyebab Autis Yapko (2003: 63-64) menyebutkan bahwa ada banyak studi yang berlangsung untuk mengkaji apa yang menjadi penyebab autisme, tetapi satu-satunya hal yang disepakati adalah kemungkinan jawaban yang kompleks yang melibatkan genetik, biologis, dan neurologi yang berkombinasi dengan faktor lingkungan (sebelum dan setelah kelahiran). Namun Yapko memastikan bahwa gaya pengasuhan (baik, buruk, atau tidak biasa) bukanlah penyebab dari autisme. Sedangkan Muhammad (2007: 104-105) menuturkan bahwa penyebab sebenarnya dari autisme tidak diketahui tetapi beberapa teori terakhir mengatakan bahwa faktor genetik berpengaruh besar terhadap keadaan autis pada anak-anak. Diketahui bayi yang dilahirkan kembar berkemungkinan mengalami gangguan autis. Muhammad juga menyebutkan bahwa selain itu pengaruh virus yang diidap oleh ibu semasa hamil, seperti rubella, toxo, herpes, atau pola makan yang tidak baik, pendarahan, keracunan makanan, juga memengaruhi pertumbuhan sel otak yang dapat menyebabkan fungsi otak bayi dalam kandungan terganggu, terutama dalam hal pemahaman, komunikasi, dan interaksi. Lebih lanjut, Muhammad menjelaskan bahkan saat ini ditemukan bahwa penyebab autis adalah masalah pencernaan. Lebih dari 60% anak-anak autis mempunyai sistem pencernaan yang kurang baik. Makanan seperti susu hewani dan tepung gandum tidak dapat dicerna dengan baik dan ini menyebabkan protein dalam makanan ini tidak berubah menjadi asam amino atau pepton, yaitu bentuk hasil pencernaan yang akhirnya dibuang melalui air kencing. Untuk anak-anak autis, pepton ini diserap kembali oleh tubuh, memasuki aliran darah, diteruskan ke otak dan diubah menjadi morfin, yaitu casomorfin dan gliadrofin, yang merusak sel-sel otak dan menyebabkan fungsi otak terganggu. Fungsi otak yang terganggu adalah fungsi kognitif, komunikasi reseptif, konsentrasi, dan tingkah laku. Suryana (Kusumayanti, 2011: 2) juga menyatakan bahwa penyebab autis belum diketahui secara pasti, namun kemungkinan ada keterlibatan 11 faktor-faktor phsykologi, phisiologi dan sosiologi. Pada umumnya belum sepenuhnya para ahli dapat menerima bahwa autis disebabkan fungsi dan struktur otak yang abnormal. Lebih lanjut, Suryana menjelaskan ada berbagai hal yang bisa menghambat pembentukan sel otak janin seperti virus rubella, toxoplasma, herpes, jamur (candida), oksigenasi (perdarahan) atau keracunan makanan. Selain gangguan tersebut, ternyata faktor genetik juga bisa menyebabkan autis. Ada gen tertentu yang mengakibatkan kerusakan khas pada sistem limbic atau pusat emosi di jaringan otak. Dari beberapa pemaparan para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa penyebab pasti terjadinya autis masih belum ditemukan, akan tetapi terdapat faktor-faktor yang turut mempengaruhi munculnya gejala autis, yaitu faktor dari luar (lingkungan, meliputi faktor yang terjadi saat prenatal, natal dan post natal) dan faktor dari dalam (keturunan atau heredity). c. Karakteristik Anak Autis Karakteristik anak autis dapat dilihat berdasarkan jenis masalah serta gangguan yang dialaminya. Anak autis seringkali menunjukkan kurang respon terhadap orang lain, mengalami kendala berat dalam kemampuan komunikasi, dan memunculkan respons yang aneh terhadap berbagai aspek lingkungan di sekitarnya, yang semua ini berkembang pada masa 30 bulan pertama anak (Safaria, 2005: 3). APA dalam Ayuningtyas (2015: 16) berpendapat “Karakteristik perilaku autis dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok gangguan perilaku antara lain (1) Gangguan interaksi sosial, (2) Gangguan komunikasi, (3) Gangguan perilaku, (4) Gangguan sensori prosesing dan persepal”. Senada dengan pendapat yang dinyatakan Marienzi (mengutip pendapat Hadis, 2006: 323) yang mendeskripsikan enam karakteristik anak autistik sebagai berikut: 1) Masalah di bidang Komunikasi. Perkembangan bahasa anak autis sangat lambat bahkan tidak ada, gangguan bahasa anak ini menyebabkan mereka terlihat seperti tuli, atau tidak bisa bicara. Anak autis juga sering mengoceh secara berulang-ulang dengan bahasa yang artinya tidak dapat dimengerti. Selain itu, anak autis juga lebih banyak menggunakan bahasa tubuh, anak autis sering menariknarik tangan orang lain untuk menunjukkan 12 sesuatu atau meminta orang tersebut melakukan apa yang diinginkannya. 2) Masalah di bidang interaksi sosial. Dari segi interaksi sosial, anak autis tidak dapat melakukan kontak mata dan menghindari tatap muka dengan orang lain, tidak tertarik jika diajak bermain bersama teman-temannya dan lebih suka bermain sendiri. 3) Masalah di bidang kemampuan Sensoris. Anak autis tidak peka sentuhan, bahkan tidak suka dipeluk, bereaksi (spontan menutup telinga) bila mendengar suara keras. Selain itu, mereka juga senang mencium dan menjilati mainan atau benda yang menarik perhatiannya. 4) Masalah di bidang pola bermain. Anak autis tidak memiliki daya imajinasi dan tidak kreatif dalam bermain, mereka tidak suka bermain dengan teman sebaya. Anak autis tidak bisa bermain sesuai dengan fungsi mainannya, tertarik dengan mainan yang berputar seperti roda sepeda. Bila menyukai suatu mainan, maka akan dibawa kemana-mana. 5) Masalah perilaku. Dari segi perilaku, anak autis sering memperlihatkan perilaku yang berlebihan (hiperktif), berputarputar, berlari-lari serta melakukan gerakan tertentu secara beruang-ulang. Anak autis juga memiliki tatapan mata yang kosong. 6) Masalah emosi. Dari segi emosi anak autis sering terlihat marahmarah, tertawa dan menangis tanpa alasan. Bila dilarang, anak autis akan mengamuk dan dapat merusak benda-benda yang ada disekitarnya. Anak autis juga sering menyakiti diri sendiri (tantrum) misalnya membenturkan kepalanya ke dinding (2012: 322). Sedangkan Yatim dalam Ayuningtyas (2015: 17) menjelaskan “Gangguan yang dialami anak autism antara lain (1) Gangguan komunikasi verbal dan non verbal, (2) Gangguan interaksi sosial, (3) Gangguan dalam bermain, (4) Gangguan perilaku ritualistic, (5) Hiperaktif, (6) Gangguan perasaan dan emosi, (7) Gangguan persepsi sensori”. Hal ini sependapat dengan uraian Endang Supartini (2009: 45) yang mengutip pendapat dari Ika Widyayati tentang karakteristik anak autis dilihat dari perilakunya antara lain: 1) Pada tahun pertama, anak menunjukkan gangguan interaksi sosial, menolak sentuhan atau pelukan, kurang bereaksi terhadap ajakan, suka menyendiri, tidak ada atau sedikit kontak mata, kurang mampu melakukan hubungan sosial dan emosional secara timbal balik. 13 2) Kemampuan komunikasinya terhambat. Perkembangan bahasa baik reseptif maupun ekspresif terhambat, suka mengoceh tanpa arti, echolalia, senang menarik tangan orang lain untuk melakukan apa yang diinginkan. 3) Adanya gangguan sensoris, sensitif terhadap sentuhan, tidak mendengar suara keras, senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda, tidak sensitif terhadap rasa sakit atau takut. 4) Pola bermain tidak seperti anak sebaya, lebih suka bermain sendiri tapi tidak kreatif, tidak imaginatif, bermain tidak sesuai dengan fungsi mainannya, ada yang sangat lekat terhadap suatu benda yang terus dibawa kemanapun dia pergi. 5) Perilaku anak dapat berlebihan (hiperaktif) atau hipoaktif. Sering mestimuli diri, misalnya: bergoyang-goyang, lari-lari, mengepakkan tangan seperti akan terbang, menyakiti dirinya, temper tantrum (mengamuk tidak terkendali), asyik dengan dunianya sendiri, tidak suka perubahan dan bertahan pada kegiatan rutin. 6) Emosinya labil, sering marah, menangis atau tertawa tanpa sebab yang jelas, kadang suka menyerang atau merusak, tidak mempunyai empati dan tidak mampu memahami ekspresi wajah orang lain, serta tidak mampu mengekspresikan perasaannya baik secara verbal maupun non verbal. 7) Minat anak terbatas dan sering berperilaku aneh dan diulang-ulang, misalnya memutar-mutar pegangan pintu, terpaku pada satu benda, suka pada benda yang bergerak, misalnya kipas angin, roda. 8) Mengalami gangguan kognitif, hampir 70-80% anak autis mengalami gangguan retardasi mental, dengan derajat retardasinya termasuk klasifikasi sedang. Dari pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa karakteristik anak autis dapat dilihat berdasarkan pada perilaku, komunikasi dan sosial. Meskipun masih banyak karakteristik-karakteristik lain yang dapat 14 ditemukan pada anak autis, tetapi ketiga aspek diatas merupakan karakteristik utama yang sering dijumpai pada anak autis. d. Hambatan-Hambatan Anak Autis Dengan berbagai karakteristik yang dimiliki ada beberapa permasalahan yang dialami anak autis. Sugiarmin (Ayuningtyas, 2007: 26) menyebutkan bahwa beberapa hambatan yang dialami anak autis yaitu (1) Hambatan perilaku, (2) Hambatan sosialisasi, (3) Hambatan sensoris, (4) Hambatan emosi, (5) Hambatan pola bermain, (6) Hambatan komunikasi. Ayuningtyas (2015: 26-27) menguraikan hambatan-hambatan tersebut diantaranya: 1) Hambatan perilaku. Hambatan perilaku yang dialami anak autis merupakan hambatan dimana anak memiliki perilaku menyimpang atau berbeda dari anak pada umumnya, contohnya anak suka mengamuk (tantrum), sangat peka atau tertarik pada tekstur atau bunyi tertentu, sangat tertarik pada mainan tertentu, misalnya selalu memegang onjek tertentu, hiperaktif, tidak kooperatif atau melawan, suka membariskan mainan atau barang, dll. 2) Hambatan sosialisasi. Anak tidak tertarik dengan orang-orang disekitarnya atau seolah berada didunianya sendiri, tidak tertarik pada anak lain dan memilih bermain sendiri, tidak ada atau sedikit kontak mata, senang menarik tangan orang lain untuk melakukan apa yang diinginkannya, tidak melakukan permainan giliran, bermain repetitife (diulang-ulang), marah atau tidak menghendaki perubahan-perubahan, memperlihatkan ketertarikan yang sangat dan tidak fleksibel. 3) Hambatan sensoris. Anak sangat sensitif terhadap sentuhan, bila mendengar suara keras langsung menutup telinga atau panik terhadap suara-suara tertentu, senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda, tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut, kadang anak autis seperti orang tuli, bermain-main dengan cahaya dan pantulan, memainkan jari-jari di depan mata, sangat tidak suka terhadap pakaian, makanan tertentu atau yang lainnya, hiperaktif, mungkin memutar- 15 mutarkan suatu benda atau mainan, berputar-putar, membenturbenturkan kepala, menggigit pergelangan, melompat atau mengepakkan tangan dan berespon aneh terhadap nyeri. 4) Hambatam emosi. Anak sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa, menangis tanpa alasan, tantrum (mengamuk tidak terkendali) jika dilarang atau tidak dipenuhi keinginannya. 5) Hambatan pola bermain. Anak autis tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya, tidak suka bermain dengan anak sebayanya, senang akan benda-benda yang berputar, tidak bermain sesuai fungsinya seperti mobil diciumi. 6) Hambatan komunikasi. Ekspresi wajah yang datar, tidak menggunkana bahasa atau isyarat tubuh, jarang memulai komunikasi, perkembangan bahasa lambat, anak tampak seperti tuli, kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya, mengoceh tanpa arti berulang-ulang, bicara tidak dipakai untuk alat komunikasi, senang meniru (membeo kata-kata), intonasi dam ritme vokal yang aneh. Sedangkan Yapko (2003: 44-46) menerangkan bahwa terdapat beberapa kondisi yang biasanya berdampingan dengan gangguan sindrom autisme, yaitu: a. Keterbelakangan mental. Keterbelakangan mental biasanya menyertai diagnosis gangguan sindrom autisme dengan pengecualian sindrom Asperger. b. Gangguan kejang. Gangguan kejang sering terlihat pada orang yang didiagnosis dengan gangguan sindrom autis. Untuk beberapa individu gangguan kejang mungkin tidak muncul hingga dewasa. c. Gangguan pemusatan perhatian. Kebanyakan anak dengan diagnosa autis mengalami kesulitan berfokus pada tugas, sering mudah terganggu oleh salah satu rangsangan eksternal (seperti hal-hal yang mereka lihat atau dengar) atau dengan stimulus internal (pikiran mereka sendiri, adegan film, dll). 16 d. Gangguan obsesif kompulsif (OCD). OCD merupakan kelainan psikologis yang menyebabkan seseorang memiliki pikiran obsesif dan perilaku yang bersifat kompulsif yang ditandai dengan pikiran dan ketakutan tidak masuk akal yang menyebabkan perilaku repetitif. Anak autis sering mengikutsertakan perilaku repetitif dan bersifat ritual (misalnya meremas-remas atau menepuk-nepuk tangan, dll). e. Gangguan memproses suara. Kebanyakan anak autis mengalami keterlambatan kematangan pada sistem pusat pendengaran dan kesulitan dalam menghubungkan informasi dari arah kanan dan kiri. f. Gangguan sensori integrasi. Anak autis sering memiliki kesulitan dalam menilai hal-hal mengenai tata ruang (misalnya, tubuh mereka dalam ruangan atau dalam hubungan ke benda atau orang), keseimbangan, dan mendapatkan umpan balik dari neurologis yang sesuai dari indera untuk mengatur tubuh dan persepsi mereka. g. Sindrom Tourette. Anak autis seringkali ditemui memiliki perilaku yang menunjukkan gejala sindrom Tourette seperti mendengus, mengonggong, menyentak gerakan kepala atau bagian tubuh lain, berkedut wajah atau berkedip mata, dll. Senada dengan pendapat Chen (2012: 1) yang mengemukakan bahwa “Children with Autistic Spectrum Disorders (ASD) are characterized by three symptoms, repetitive and stereotyped patterns of behavior, impairments in communication and difficulties in social interaction, which can be found around two years old”. Lebih lanjut, Chen juga menjelaskan bahwa autisme dikarakteristikkan dengan pengasingan diri yang berat, miskin emosi, ketidakmampuan berbahasa dan perilaku berulang yang memungkinkan anak memiliki kesulitan dalam kehidupan sehari-hari untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hambatan yang dimiliki anak autis terdiri dari berberapa aspek seperti komunikasi, perilaku, sosial dll. Akan tetapi tiap anak autis belum tentu memiliki hambatan yang sama. 17 2. Kajian Tentang Perilaku Hiperaktif Anak Autis a. Pengertian Perilaku Hiperaktif Anak hiperaktif adalah anak-anak yang menunjukkan kesulitan secara umum dalam mengontrol perilakunya sendiri (Safaria, 2004: 96). Amin (2013: 2) mengutip pendapat Mulyadi, bahwa hiperaktif adalah suatu pola perilaku pada seseorang yang menunjukkan sikap tidak mau diam, tidak terkendali, tidak menaruh perhatian dan impulsif (bertindak sekehendak hatinya). Anak hiperaktif selalu bergerak dan tidak pernah merasakan asyiknya permainan atau mainan yang disukai oleh anak-anak lain seusia mereka, dikarenakan perhatian mereka suka beralih dari satu fokus ke fokus yang lain. Mereka seakan-akan tanpa henti mencari sesuatu yang menarik dan mengasikkan namun tidak kunjung datang. Hiperaktif juga mengacu kepada ketiadaannya pengendalian diri, contohnya dalam mengambil keputusan atau kesimpulan tanpa memikirkan akibat-akibat terkena hukuman atau mengalami kecelakaan. Reiber dan McLaughlin (2004: 1) mengutip American Psychiatric Assosiation, bahwa “Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) is a persistent disorder characterized by significant problems with attention, impulsiveness and overactivity”. ADHD diartikan sebagai kelainan tetap yang dikarakteristikkan oleh masalah signifikan pada perhatian, impulsivitas dan aktivitas berlebihan. Sedangkan Komala Sari (2014: 276) berpendapat bahwa perilaku hiperaktif merupakan suatu sikap dimana dalam setiap aktifitas dilakukan secara berlebihan dan tidak mampu mengontrol perilaku dalam lingkungan yang ada. Menurut Santrock dalam Marlina (2008: 1) menyatakan bahwa hiperaktif sebagai suatu kelainan berupa rentang perhatian yang pendek, perhatian mudah beralih dan tingkat kegiatan fisik yang tinggi. Pada anak autis, sering ditemui anak mengalami gangguan dalam perilaku serta kesulitan dalam memusatkan konsentrasi. Seperti yang diungkapkan Komala Sari (2014: 276), “Gangguan yang sering dialami 18 oleh anak autis adalah gangguan pada pemusatan konsentrasi dan perilaku yang menyebabkan anak menjadi hiperaktif”. Dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hiperaktif adalah gangguan perilaku yang sering dijumpai pada anak-anak dimana anak yang mengalami hiperaktif akan menunjukkan perilaku yang berlebih, terlihat tidak bisa diam, bergerak seperti mesin, dll. Hal tersebut dikarenakan anak kesulitan dalam mengontrol perilakunya sendiri. Sedangkan perilaku hiperaktif pada anak autis biasanya terlihat dari perilaku yang berlebihan yang disertai dengan gangguan dalam memusatkan perhatian atau konsentrasi. b. Karakteristik Hiperaktif Untuk dapat mengetahui seorang anak dapat dikatakan hiperaktif, terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Reiber dan McLaughlin (2004: 2), “General characteristics of ADHD are inattention, high distractibility and impulsivity and hyperactivity”. Karakteristik umum dari anak ADHD adalah tidak perhatian, mudah teralihkan, impulsivitas dan hiperaktivitas. Dalam DSM V (2013: 60) terdapat beberapa kriteria yang menyangkut pada anak dengan hiperaktivitas, diantaranya sebagai berikut: 1) Seringkali gelisah dengan tangan atau kaki mereka, dan sering menggeliat di kursi 2) Sering meninggalkan tempat duduk di dalam kelas, atau dalam situasi lainnya dimana diharapkan agar anak tetap duduk 3) Sering berlarian atau naik-naik secara berlebihan dalam situasi dimana hal ini tidak tepat (pada masa remaja atau dewasa terbatas pada perasaan gelisah yang subjektif) 4) Sering mengalami kesulitan dalam bermain atau terlibat dalam kegiatan senggang secara tenang 5) Sering bergerak atau bertindak seolah-olah dikendalikan oleh motor dan sering berbicara berlebihan. 6) Sering menyela pembicaraan atau memotong untuk menjawab disaat pertanyaan belum selesai diajukan. 19 7) Kesulitan menunggu giliran dan sering mengganggu atau memaksa orang lain. Sedangkan Wiguna (Amin 2013: 3) mengemukakan karakteristik anak yang cenderung mengalami gangguan hiperaktif sebagai berikut: (1) tidak bisa duduk diam di dalam kelas, (2) tangan bergerak dengan gelisah; (3) kadang berlari-lari dan naik di atas meja dan memanjat guru; (4) mengalami kesulitan dalam bermain atau dalam kegiatan menyenangkan bersama yang memerlukan ketenangan; (5) impulsivitas, mengalami kesulitan dalam menunggu giliran; (6) menjawab sebelum pertanyaan selesai/ sering menginterupsi orang lain. Anak yang hiperaktif menunjukkan semua atau hampir semua ciri-ciri di atas. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nanik (2007: 20-22), mengemukakan bahwa anak ADHD memiliki karakteristik perilaku antara lain: 1) Mereka seringkali sulit konsentrasi dalam belajar sehingga tidak mudah bertahan dalam rentang perhatian yang lama dan sulit menyimpan informasi yang sudah dipelajari semalaman untuk dipertahankan sampai di sekolah saat ulangan. Orangtua sering menjumpai mereka tidak bisa mengikuti instruksi dengan baik. 2) Ketika menjalin relasi sosial mereka cenderung bersikap tidak matang, mau menang sendiri, tidak sabar menunggu giliran, dan ingin kemauannya segera dituruti. Di antara mereka ada yang tidak disukai teman‐temanya karena tidak bisa bekerja sama dalam permainan kelompok‐sulit mengikuti aturan permainan dalam kelompok. Mereka juga sering dijumpai orangtua tidak penuh pertimbangan dalam bertindak dan berani mengambil resiko tanpa menyadari akibatnya. 3) Ketika menulis atau mencatat mereka seringkali tertinggal dan akhirnya tidak selesai mengerjakan tugasnya di sekolah. Selain itu cukup sering dijumpai bahwa tulisan mereka tidak lengkap, ada huruf tertentu atau angka tertentu yang hilang atau ada kata/kalimat yang terlewati. Bahkan 20 mereka juga bisa mengalami salah melihat atau membaca tanda baca (+, ‐ , : , dan x), kata dan kalimat. 4) Orangtua juga mengeluhkan laporan dari guru sekolah bahwa mereka seringkali tertinggal atau tidak selesai dalam mengerjakan tugas. 5) Di rumah maupun di sekolah mereka suka berbicara dan bercerita, bahkan ada yang berkhayal. Dari pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa karakteristik anak hiperaktif yaitu adanya hambatan ataupun kesulitan yang dialami anak dalam mengelola perilakunya. Anak kurang mampu memilah mana perilaku yang semestinya dilakukan pada saat-saat tertentu dengan tepat. c. Meminimalisasi Perilaku Hiperaktif Anak Autis Perilaku hiperaktif anak autis dapat ditangani dengan beberapa langkah diantaranya melalui pengobatan medis, terapi psikologis, tata laksana perilaku, dan pengaturan diet (Pratiwi & Dieny, 2014: 35). Tujuan dari program terapi bukan untuk mengubah anak autis menjadi normal, melainkan melatih anak agar pada akhirnya mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat (Diba, dkk, 2013: 26). Berkurangnya perilaku autis umumnya berupa berkurangnya intensitas hiperaktif pada subjek dan kemampuan subjek dalam melakukan instruksi atau perintah yang diberikan oleh terapis (Pratiwi & Dieny, 2014 : 35). Penderita autis membutuhkan penanganan khusus sebagai usaha penanganan gangguan perkembangan yang dialami. Penanganan khusus terutama sangat dibutuhkan saat anak di dalam kelas ketika mengikuti pelajaran. Dalam menangani anak ADHD di kelas, Tannock (2007: 2) menjelaskan bahwa, Classroom teachers should try to reduce the amount of information students with ADHD have to retain and juggle in their heads: 1) Emphasize direct instruction in specific academic skills 2) Chunk, pause, and repeat critical instructions 3) Use advance organizers, structured note-taking sheets, manipulatives, and visual representations 4) Use teaching/learning strategies such as mnemonics 5) Introduce class-wide peer tutoring. 21 Bahwa agar anak ADHD dapat mengikuti pembelajaran dengan baik, dapat disiasati dengan mengurangi jumlah informasi yang harus diingat oleh siswa dengan ADHD dengan menegaskan instruksi langsung pada perintah akademik yang spesifik; buat dengan kalimat pendek, dengan jeda dan ulangi untuk memberikan instruksi yang penting; gunakan pengatur kemajuan siswa, lembar catatan tugas terstruktur, dan gambaran visual; gunakan strategi mengajar/belajar seperti alat bantu mengingat; dan memasukkan tutor teman sekelas. Senada dengan Reiber dan McLaughlin (2004: 2-7) yang menyatakan terdapat beberapa intervensi kelas yang dapat menangani karakteristik anak hiperaktif, diantaranya: 1) Struktur kelas (classroom structure), anak hiperaktif akan mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi pada pembelajaran. Maka struktur kelas merupakan salah satu dari pengaruh yang paling menonjol dalam kelas. Guru dapat memodifikasi struktur kelas sedemikian rupa, misalnya tempat duduk siswa dibuat melingkar, atau menempatkan siswa hiperaktif di tempat duduk paling depan, dll. 2) Modifikasi kurikuler dan mengajar (curricular and teaching modification), tetap membuat kurikuler yang menarik, format pengajaran yang berubah-ubah/tidak monoton dan materi tugas yang disesuaikan sedemikian rupa untuk meningkatkan dan mempertahankan ketertarikan dan motivasi siswa. 3) Pendekatan teman sebaya (peer intervention), pendekatan teman sebaya lebih efisien dalam menyampaikan hasil dengan segera dan konsisten, serta memungkinkan hasil dalam peningkatan perilaku dan performa akademik. 4) Token ekonomi (Token economies), token ekonomi bisa menjadi sesuatu yang baik untuk siswa impulsif karena menawarkan alasan yang nyata untuk berperilaku sewajarnya dan menghindari denda. 5) Strategi manajemen diri (self-management strategies), kunci dari strategi manajemen diri adalah ketepatan dalam menaksir diri. Siswa 22 harus dilatih untuk mengenali dengan tepat dan mengingat target perilaku. Target perilaku harus memiliki batas yang jelas dan mudah difahami siswa. Sependapat dengan Doucherty (Amin 2013: 7), yang menjelaskan bahwa terdapat beberapa jenis bantuan yang dapat dilakukan oleh guru dalam menangani anak yang berperilaku hiperaktif, salah satunya yaitu dengan memanfaatkan energi anak dengan tugas lain yang dapat menguras tenaganya, misalnya memberi tugas menghapus white board, mengajak anak bermain peran dengan pentas kecil-kecilan, menyusun puzzel, membawa anak ke tempat wisata (dalam pembelajaran ada unsur pergerakan tubuh) ini dimaksudkan agar energi anak dapat tersalur. Menurut Trisnawati dan Madechan (2014: 2) yang mengutip pendapat Gracinia Julisca mengemukakan beberapa cara untuk mengatasi perilaku hiperaktif, yaitu salah satunya dengan memberikan kesibukan kerja berupa aneka kegiatan. Dengan pemberian kesibukan, kebutuhan anak yang selalu sibuk dapat terpenuhi tanpa harus diisi dengan kegiatan yang aktif. Cara inilah yang memberi peluang dalam meminimalkan perilaku yang aktif. Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa cara yang dapat diterapkan untuk mengurangi perilaku hiperaktif. Salah satunya, saat pembelajaran guru sebaiknya memberikan instruksi atau tugas secara jelas dan rinci, menggunakan metode dan media yang menarik minat anak terhadap materi, mengalihkan energi berlebih anak dengan pemberian tugas, dll. Dalam hal ini, penggunaan puzzle dalam pembelajaran telah memenuhi beberapa cara untuk mengurangi perilaku hiperaktif yang telah disebutkan diatas. 3. Kajian Tentang Konsentrasi Anak Autis a. Pengertian Konsentrasi Konsentrasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pemusatan perhatian atau pikiran pada suatu hal. Supriyo (2008: 103) menjelaskan “Konsentrasi adalah pemusatan perhatian pikiran terhadap 23 suatu hal dengan mengesampingkan semua hal lainnya yang tidak berhubungan”. Siswanto (2007: 65) juga menyebutkan bahwa yang dimaksud konsentrasi yaitu kemampuan untuk memusatkan perhatian secara penuh pada persoalan yang sedang dihadapi. Konsentrasi dalam pengertian umum, adalah kemampuan untuk menaruh perhatian pada sesuatu, gagasan atau orang. Seorang anak dikatakan memiliki konsentrasi yang lemah ketika kemampuannya untuk memerhatikan tidak sebagus seperti yang diharapkan orang (Anderson, 2008: 135). Slameto (Thohir, Nugraheni, & Jannah, 2013: 101) menjelaskan bahwa konsentrasi besar pengaruhnya terhadap belajar. Seseorang yang dapat belajar dengan baik adalah orang yang dapat berkonsentrasi dengan baik. Kesulitan dalam memusatkan konsentrasi, baik yang disertai sikap hiperaktif ataupun tidak, tidak dianggap sebagai kesulitan belajar. Namun, kesulitan dalam memusatkan konsentrasi dapat memengaruhi performa akademis seseorang secara serius, dimana gangguan ini kerap menyertai kelemahan dalam kemampuan akademis (Wood, dkk, 2005: 33). Mengenai konsentrasi pada anak autis, Anderson (2008: 135) berpendapat bahwa ada kemungkinan persiapan arus konsentrasi dibagi sama antara kedua sisi otak atau pusat utama dari jungkat-jungkit konsentrasi di antara dua sisi otak. Hasilnya adalah ketika sisi bahasa mencoba membuat ujaran, sisi lainnya mengganggu dengan pesan yang membingungkan dan sama kuatnya sehinggga tidak ada ujaran yang keluar. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa perilaku hiperaktif pada anak autis menyebabkan anak kesulitan dalam berkonsentrasi (Lejarnani, Sopandi, & Sumekar, 2013: 346; Indahwati, 2013: 44). Anak autis akan cenderung sangat sukar diarahkan untuk melakukan tugas-tugas tertentu, dan aktivitas yang dilakukan lebih berdasar karena dorongan kemauan dalam dirinya (Indahwati, 2013: 44). Masalah perhatian dan konsentrasi, hiperaktivitasnya, dan masalah pengorganisasian perilaku dan tugas dari guru, akan memperparah situasi belajarnya di sekolah (Paternotte & Buitelaar, 2013: 181). 24 Supriyo (2008: 121) menjelaskan beberapa penyebab anak tidak dapat konsentrasi dalam belajar antara lain, (a) anak tidak mempunyai tempat tersendiri, (b) anak mudah terpengaruh oleh situasi sekitar, (c) anak tidak merasa senang/tidak berminat terhadap pelajaran yang dihadapi, dan (d) kemungkinan anak dalam keadaan lelah/sakit. Slameto dalam Thohir dkk (2013: 101) menjelaskan siswa yang berkonsentrasi belajar dapat diamati dari beberapa tingkah lakunya ketika proses belajar mengajar, antara lain: (1) memperhatikan secara aktif setiap materi yang disampaikan guru, (2) dapat merespon dan memahami setiap materi pelajaran yang diberikan, (3) selalu bersikap aktif dengan bertanya dan memberikan argumentasi mengenai materi pelajaran yang disampaikan oleh guru, (4) menjawab dengan baik dan benar setiap pertanyaan yang diberikan guru, (5) kondisi kelas tenang dan tidak gaduh saat menerima materi pelajaran. Sedangkan Engkoswara dalam Rusyan, Kusdinar dan Arifin (1989: 84) menggunakan klasifikasi perilaku belajar mengetahui ciri-ciri siswa yang dapat berkonsentrasi belajar, yaitu: 1) Perilaku kognitif, yaitu perilaku yang menyangkut masalah pengetahuan, informasi, dan masalah kecakapan intelektual. Pada perilaku kognitif ini, siswa yang memiliki konsentrasi belajar dapat ditandai dengan kesiapan pengetahuan yang dapat segera muncul bila diperlukan, komprehensif dalam penafsiran informasi, mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh, dan mampu mengadakan analisis dan sintesis pengetahuan yang diperoleh. 2) Perilaku afektif, yaitu perilaku yang berupa sikap dan apersepsi. Pada perilaku ini, siswa yang memiliki konsentrasi belajar dapat dilihat dengan adanya penerimaan, yaitu tingkat perhatian tertentu, respon yang berupa keinginan untuk mereaksi bahan yang diajarkan, mengemukakan suatu pandangan atau keputusan sebagai integrasi dari suatu keyakinan, ide dan sikap seseorang. 25 3) Perilaku psikomotor. Pada perilaku ini, siswa yang memiliki konsentrasi belajar dapat dilihat dengan adanya gerakan anggota badan yang tepat atau sesuai dengan petunjuk guru, serta komunikasi non verbal seperti ekspresi muka dan gerakan-gerakan yang penuh arti. 4) Perilaku berbahasa. Pada perilaku ini, siswa yang memiliki konsentrasi belajar dapat dilihat adanya aktivitas berbahasa yang terkoordinasi dengan baik dan benar. Sedangkan untuk siswa yang kesulitan dalam berkonsentrasi, DSM V (2013: 59) menjelaskan terdapat kriteria yang berkaitan dengan gejala ketidak perhatian/ konsentrasi, diantaranya sebagai berikut: a) Sering gagal dalam memberikan perhatian pada detail atau membuat kesalahan yang sembrono. b) Sering kesulitan mempertahankan konsentrasi dalam tugas atau aktivitas permainan. c) Sering terlihat tidak memperhatikan saat diajak berbicara langsung. d) Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas. e) Sering kesulitan mengorganisasi tugas dan aktivitas. f) Sering menghindar, tidak menyukai, atau enggan dalam tugas yang membutuhkan berfikir keras. g) Sering kehilangan benda-benda yang dibutuhkan dalam berativitas. h) Sering mudah teralihkan oleh stimuli asing. i) Sering pelupa dalam aktivitas sehari-hari. Supriyo (2008: 185) menyebutkan terdapat ciri-ciri atau gejala yang nampak pada siswa yang tidak dapat konsentrasi dalam belajar yaitu : (a) pada umumnya anak merasa betah berjam-jam untuk melakukan aktifitas di luar kegiatan belajar, (b) mudah kena rangsangan lingkungan (seperti suara radio, tv, gangguan orang di sekitar), (c) kadangkala selalu mondar-mandir kesana kemari untuk mencari perlengkapan belajar, dan (d) setelah belajar tidak tahu apa yang baru saja dipelajari). Nini Subini, dkk (2012: 60) juga menjelaskan bahwa 26 ciri-ciri anak yang sulit memusatkan perhatian/konsentrasi biasanya ceroboh, sulit berkonsentrasi, seperti tidak mendengarkan bila diajak bicara, gagal menyelesaikan tugas, sulit mengatur aktivitas, menghindari tugas yang memerlukan pemikiran, kehilangan barangbarang, perhatian mudah teralih, dan pelupa. 4. Kajian tentang Puzzle Game a. Pengertian Puzzle Game Dalam Kamus Bahasa Indonesia puzzle berarti mencengangkan, membingungkan, mengaduk, mengacau, mengganggu, memperkusut, heran tercengang, kebuntuhan, kesandung. Menurut Ismail, puzzle adalah “Permainan yang menyusun suatu gambar atau benda yang telah dipecah dalam beberapa bagian” (2012: 199). Senada dengan Fanky dalam Sari (2014: 218), puzzle adalah sebuah permainan untuk menyatukan kepingan pecahan untuk membentuk sebuah gambar yang telah ditentukan. Permainan Puzzle (Puzzle Game) pada hakikatnya merupakan suatu bentuk permainan yang umumnya digunakan anak yang sifatnya teka-teki. Dengan puzzle game anak-anak dapat bereksplorasi menurut kemampuan dan minatnya. Namun secara khusus, puzzle biasanya terbentuk dari sebuah gambar yang terpotong-potong menurut bagian tertentu (Ismail, 2006: 219). Sedangkan Stevane dalam Sari (2014: 218), mengatakan suatu puzzle merupakan suatu masalah atau misteri yang dipecahkan dengan kepandaian dan kreativitas. Solusi untuk puzzle mungkin membutuhkan pola yang sudah ada dan menciptakan aturan khusus. Puzzle Game menantang daya kreatifitas dan ingatan siswa lebih mendalam dikarenakan munculnya motivasi untuk senantiasa mencoba memecahkan masalah, namun tetap menyenangkan sebab dapat di ulang-ulang. Tantangan dalam permainan ini akan memberikan efek ketagihan untuk selalu mencoba, mencoba dan terus mencoba hingga berhasil (Syukron, 2011). Puzzle termasuk salah satu alat permainan edukatif yang dirancang untuk mengembangkan kemampuan anak belajar sejumlah keterampilan, 27 misalnya motorik halus, yakni dengan gerak-gerak tangan anak saat memindah dan menyusun potongan puzzle; melatih anak untuk memusatkan perhatian, yakni pada saat anak berusaha berkonsentrasi menyusun potongan-potongan puzzle sesuai pola gambarnya; dan melatih konsep tertentu seperti bentuk, warna, ukuran dan jumlah, melalui berbagai bentuk, warna, ukuran dan jumlah potongan puzzle (Wahyuni & Mauren, 2010). Berdasarkan pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa puzzle game adalah salah satu bentuk permainan edukatif yang terdiri dari potongan gambar-gambar dengan tema tertentu yang dapat menarik minat orang yang memainkannya. Selain menyenangkan untuk dimainkan, puzzle game juga dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang menarik karena puzzle game memiliki potongan bentuk dan warna yang beraneka sesuai dengan temanya. b. Puzzle Game Sebagai Media Pembelajaran Kata media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Medium dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima (Heinich & Ibrahim, dalam Daryanto, 2013: 4). Anitah (2012: 5-6) menjelaskan bahwa media adalah setiap orang, bahan, alat, atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan pebelajar untuk menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap. Media merupakan salah satu komponen penting dalam komunikasi yang berperan penting dalam penyampaian informasi dari pembawa pesan ke penerima pesan. Kegunaan media secara umum, antara lain: 1) memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis; 2) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga dan daya indera, 3) menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar; 4) memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori dan kinestetiknya; 5) memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang sama; 6) proses pembelajaran mengandung lima komponen komunikasi, yaitu guru (komunikator), bahan pembelajaran, media pembelajaran, siswa 28 (komunikan), dan tujuan pembelajaran (Daryanto, 2013: 5). Jadi media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga dapat merangsang konsentrasi, minat, pikiran dan perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar. Bila dihubungkan dengan anak usia dini, media pembelajaran dikenal dengan Alat Permainan Edukatif (APE). Menurut Ismail (2009: 113), APE adalah istilah yang menunjuk pada alat peraga yang secara spesial diberikan kepada anak-anak usia dini, khususnya usia antara 0-6 tahun. APE merupakan alat permainan yang mempunyai nilai-nilai edukatif, yaitu dapat mengembangkan segala aspek dari kecerdasan yang ada pada diri anak (Rolina, 2012: 34). Senada dengan Soetjiningsih dalam Rolina (2012: 37), Alat permainan edukatif (APE) adalah alat yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak, disesuaikan dengan usianya, dan tingkat perkembangannya, serta berguna untuk perkembangan fisik-motorik (motorik kasar dan motorik halus), bahasa, kognitif, dan sosial. Ismail (2009: 146) yang menyebutkan ciri-ciri peralatan yang baik yang dapat digunakan sebagai acuan untuk syarat- syarat APE yang baik, diantaranya: (a) desain yang mudah dan sederhana, (b) multifungsi (serba guna), (c) menarik, (d) berukuran besar dan mudah digunakan, (e) awet (tahan lama), (f) sesuai dengan kebutuhan, (g) tidak membahayakan anak, (h) mendorong anak untuk bermain bersama, (i) dapat mengembangkan daya fantasi, (j) bukan karena kelucuan atau kebagusannya, (k) jika memungkinkan, gunakan alat-alat yang terbuat dari bahan yang murah dan mudah didapat. Fungsi APE adalah mengembangkan semua aspek perkembangan (meliputi aspek fisik motorik, kognitif, bahasa, seni, sosial emosional, serta moral dan nilai-nilai agama) dan kecerdasan anak (multiple intelligent) (Rolina, 2012: 40). APE memiliki beberapa manfaat bagi anak, yaitu (1) Melatih konsentrasi anak; (2) Mengajar dengan lebih cepat; (3) Mengatasi keterbatasan waktu; (4) Mengatasi keterbatasan tempat; (5) Mengatasi 29 keterbatasan bahasa; (6) Membangkitkan emosi manusia; (7) Menambah daya pengertian; (8) Menambah ingatan murid; (9) Menambah kesegaran dalam mengajar. Salah satu jenis APE adalah Puzzle. Puzzle memiliki manfaat yang besar dalam melatih kecerdasan intelegensi anak, sebab dengan permainan ini anak benar-benar terpacu kemampuan berpikirnya untuk dapat menyatukan kembali posisi gambar pada tempatnya yang sesuai (Ismail, 2012: 199). Puzzle dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak, membuat anak belajar berkonsentrasi, melatih koordinasi tangan dan mata, meningkatkan fungsi kognitif anak, membantu mengenal bentuk, ukuran, dan warna. Puzzle juga membantu anak dengan dasar-dasar yang diperlukan untuk sekolah dan kehidupan nanti, termasuk alfabet, berhitung, serta mengenal nama-nama obyek (Tilong, 2014: 22). Puzzle bertujuan agar anak mengenal bentuk, melatih daya pengamatan dan daya konsentrasi serta melatih keterampilan jari-jari anak (Hasnida, 2014: 168-169). Puzzle dapat membantu anak belajar memecahkan masalah, melatih untuk berfikir kreatif, mengasah ketekunan anak, mengasah keterampilan motorik halus, mengembangkan kemampuan membuat kesimpulan (dari sebuah masalah), memahami logika sebab akibat dan gagasan bahwa obyek yang utuh sebenarnya tersusun dari bagianbagian yang kecil (Damay, 2012: 98-99). Sedangkan menurut Chumala (2012), manfaat puzzle adalah sebagai berikut: 1) Mengembangkan kapasitas anak dalam mengamati dan melakukan percobaan. 2) Membedakan bagian-bagian dari sebuah benda dan meminta anak-anak untuk menyatukannya kembali 3) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah 4) Mengembangkan koordinasi motorik halus. Fajriananda, dkk. (2009: 67) menjelaskan bahwa puzzle khususnya APE Puzzle, merupakan permainan yang dapat menarik minat anak untuk memainkannya dan memberi pengalaman yang baik bagi kecerdasan anak 30 bila dirangsang dan diarahkan oleh tenaga pendidik dengan dukungan yang tepat dan sesuai tujuan. Guru dapat menggunakan puzzle untuk mengarahkan anak pada pelajaran yang akan diajarkan pada saat itu (Ismail, 2012: 165). Berdasarkan hasil penelitian Wahyuni dan Maureen (2010), puzzle dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan menciptakan pembelajaran yang menyenangkan. Park dan Park (2010) dalam analisisnya menyebutkan bahwa permainan puzzle dapat meningkatkan konsentrasi, minat serta mengembangkan kecerdasan. Puzzle Game dapat diterapkan dalam pembelajaran bagi anak autis yang memiliki perilaku hiperaktif. Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Delphie (2009), dimana permainan teka-teki (puzzle) sangat baik dilakukan oleh anak-anak hiperaktif karena merupakan tantangan untuk mendorong rasa keingintahuan anak terhadap sesuatu objek. 5. Pembelajaran Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan Menggunakan Puzzle Game Sebagaimana yang telah dijabarkan dalam kajian teori di atas, Puzzle Game dapat digunakan sebagai media dalam proses pembelajaran bagi anak autis yang memiliki perilaku hiperaktif dan daya konsentrasi yang rendah. Puzzle Game dapat diterapkan dalam berbagai mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum dengan memberikan modifikasi pada tema gambar puzzle, bentuk dan jumlah kepingan yang disesuaikan dengan kemampuan anak. Sebagai contoh, Puzzle Game dapat digunakan sebagai media dalam pembelajaran Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada Standar Kompetensi (2) Memahami kenampakan permukaan bumi dan langit, cuaca dan pengaruhnya pada manusia, dengan Kompetensi Dasar (2.1) Mendeskripsikan kenampakan permukaan bumi (daratan dan perairan). Adapun langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran IPA dengan media Puzzle Game adalah sebagai berikut: 31 1) Kegiatan awal a) Guru mempersiapkan dan mengkondisikan kelas agar kondusif untuk belajar b) Sebelum pembelajaran Guru memberikan apersepsi pada siswa 2) Kegiatan inti a) Siswa mengikuti pembelajaran seperti biasa b) Guru menjelaskan materi pelajaran c) Guru memberikan Puzzle pada siswa, dengan gambar tema Puzzle mengenai kenampakan bumi daratan dan perairan. d) Guru memberikan instruksi kepada siswa mengenai cara menyusun Puzzle 3) Kegiatan penutup a) Setiap selesai pembelajaran Guru akan mengulas lagi materi pembelajaran b) Guru memberikan pujian karena siswa mampu menyelesaikan puzzle dengan baik. Gambar 2.1. Media Puzzle 32 B. Kerangka Berpikir Berdasarkan teori mengenai karakteristik anak autis, diketahui anak autis memiliki gangguan perilaku dan gangguan dalam memusatkan perhatian (konsentrasi). Misal saat ada di dalam kelas, anak autis seringkali memperlihatkan perilaku yang berlebihan (hiperaktif), seperti menggerak-gerakkan kaki, berlarilari serta melakukan gerakan tertentu secara berulang-ulang. Dalam hal memusatkan konsentrasi, anak autis seringkali mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian dalam rentang yang lama, sehinggga akan sukar dalam menyimpan informasi yang disampaikan oleh guru. Seperti yang diungkapkan Komala Sari (2014: 276), “Gangguan yang sering dialami oleh anak autis adalah gangguan pada pemusatan konsentrasi dan perilaku yang menyebabkan anak menjadi hiperaktif.” Dengan adanya gangguan tersebut, anak autis tentu akan mengalami keterlambatan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas yang dapat mengakibatkan rendahnya prestasi akademik anak. Maka dibutuhkan sebuah intervensi untuk meminimalisasi perilaku hiperaktif dan meningkatkan konsentrasi anak autis selama pembelajaran di kelas. Salah satu intervensi yang dapat diberikan pada anak adalah berupa Puzzle Game yang diterapkan sebagai media pembelajaran. Anak autis yang memiliki daya konsentrasi rendah serta energi yang berlebih dapat dialihkan dengan memainkan puzzle yang memiliki bentuk dan warna yang menarik perhatian anak. Dengan intervensi Puzzle Game dalam pembelajaran ini diharapkan dapat mengurangi perilaku hiperaktif dan dapat meningkatkan daya konsentrasi anak, khususnya selama mengikuti pembelajaran di dalam kelas. Secara singkat, intervensi dalam Penelitian ini disajikan dalam kerangka berfikir sebagai berikut: 33 Pembelajaran IPA Anak Autis Kelas VI di SLB Negeri Surakarta Pembelajaran tanpa Puzzle Game Daya Konsentrasi Rendah Frekuensi Perilaku Hiperaktif Tinggi Pembelajaran IPA dengan media Puzzle Game Daya Konsentrasi Meningkat Frekuensi Perilaku Hiperaktif Berkurang Gambar 2.2. Kerangka Berpikir C. Hipotesis Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan diatas, maka Peneliti dapat menarik hipotesis “Ada Pengaruh Intervensi Pembelajaran dengan Puzzle Game dalam Meminimalisasi Perilaku Hiperaktif dan Meningkatkan Konsentrasi Pada Anak Autis Kelas VI Semester II di SLB Negeri Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016”.