TESIS TANGGUNG JAWAB DAN PERLINDUNGAN HUKUM PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH PANDE PUTU DORON SWARDIKA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 i TESIS TANGGUNG JAWAB DAN PERLINDUNGAN HUKUM PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH PANDE PUTU DORON SWARDIKA NIM : 1092461010 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 i TANGGUNG JAWAB DAN PERLINDUNGAN HUKUM PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana PANDE PUTU DORON SWARDIKA NIM : 1092461010 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 ii LEMBAR PENGESAHAN TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 17 APRIL 2014 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. Ibrahim R. SH., MH NIP : 19551128 198303 1 003 J.S. Wibisono, SH., MH., MKn Mengetahui, Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum NIP : 19650221 199003 1 005 Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP : 19590215 198510 2 001 iii Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal : 17 April 2014 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 1276/UN14.4/HK/2014 Tanggal : 6 Mei 2014 Ketua : Prof. Dr. Ibrahim R., SH., MH. Anggota : 1. J.S. Wibisono, SH., MH., MKn 2. Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum 3. Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH 4. Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH., MH iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Pande Putu Doron Swardika NIM : 1092461010 Program Studi : Kenotariatan Judul Tesis : Tanggung Jawab Dan Perlindungan Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Denpasar, April 2014 Yang membuat pernyataan (Pande Putu Doron Swardika) v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”TANGGUNG JAWAB DAN PERLINDUNGAN HUKUM PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH”. Penulisan tesis ini bertujuan untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan guna mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini belum tentu selesai tanpa adanya bantuan dari pihak-pihak yang telah berjasa membimbing, mengarahkan, memberikan semangat dan motivasi serta memberikan data kepada penulis, untuk itu dengan segala kerendahan hati yang tulus, penulis ingin mempergunakan kesempatan ini untuk menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Ibrahim R. SH., MH. selaku Dosen Pembimbing pertama dan J.S. Wibisono, SH., MH., MKn. selaku Dosen Pembimbing kedua yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta dengan penuh kesabaran dan perhatiannya untuk memberikan pengarahan serta saran-saran kepada penulis. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan vi menyelesaikan pendidikan Program Magister Universitas Udayana, kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana, kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH. atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum., atas kesempatan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu kepada para mahasiswa termasuk penulis, Bapak dan Ibu seluruh staf dan karyawan disekretariatan Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda Pande Ketut Suniarta atas nilai-nilai kehidupan, dorongan, dukungan, materi maupun non materi, dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis, Ibunda Elysabeth S. Rihit atas doa, cinta, kasih sayang serta dukungan yang besar kepada penulis. Terima kasih kepada Bapak Ir. I Putu Dharma M.Si dan Ibu Dra. Ni Made Suniti atas dukungan doa dan cinta selama penulisan tesis ini. Terima kasih kepada Istri tercinta Ni Luh Prima Kemala Dewi SP., M.Agb., untuk kesetiaan, kesabaran dan vii dukungan semangat, cinta dan kasih, yang menjadi pelengkap bagi penulis, Ananda tercinta Pande Daniel Karunanda dan Pande Shafeea Avalokita, yang menyemangati penulis dengan kehadiran, tawa dan tangis, yang menjadi alasan penulis untuk selalu maju dan semangat, serta adik Dr. Pande Made Dewi Anggraeni beserta suami Dr. I Putu Gede Dharmawan, dan I Made Dwi Mustika Yadnya, SST.Par, atas doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih untuk seluruh teman-teman Angkatan I Magister Kenotariatan Universitas Udayana atas persaudaraan dan kekeluargaannya. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna dan oleh karena itu, guna perbaikan penulisan tesis ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sebagai bahan masukan bagi penulis untuk menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik di masa yang akan datang. Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua, dan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Denpasar, April 2014 Penulis viii ABSTRAK TANGGUNG JAWAB DAN PERLINDUNGAN HUKUM PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH Seiring dengan laju pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang sedemikian besar, dan luas tanah yang relatif tidak bertambah, secara nyata hal ini menyebabkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat, sehingga menyebabkan berbagai masalah pertanahan muncul dipermukaan. Untuk mencegah atau paling tidak mengurangi potensi konflik atau sengketa tersebut maka mekanisme pemindahan hak atas tanah agar bisa didaftar harus dibuktikan dengan akta PPAT. Dalam prakteknya seringkali terjadi pembuatan akta yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT yang mana dapat menimbulkan risiko bagi kepastian hak atas tanah. Akibat hukum dari penyimpangan tersebut akan menempatkan PPAT dimintai suatu pertanggungjawaban yuridis berkaitan dengan akta otentik yang dibuatnya mengandung cacat hukum. Pada tataran ini aspek perlindungan hukum terhadap PPAT tidak diatur secara tegas oleh Peraturan Jabatan PPAT, PPAT sebagai suatu jabatan terhormat sudah selayaknya diberikan pembedaan perlakuan dibanding masyarakat umum karena PPAT merupakan representasi dari Negara yang melaksanakan sebagian dari tugas pemerintah dalam bidang pertanahan yang berkaitan dengan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau Maintenance). Permasalahan yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah terhadap akta jual beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat hukum dan bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam melaksanakan tugas jabatannya? Penelitian ini dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif yang berangkat dari adanya kekosongan norma, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang dipergunakan penelitian ini berasal dari hasil penelitian kepustakaan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier yang diperoleh melalui tehnik studi dokumen dan penelitian kepustakaan. Bahan hukum maupun informasi penunjang yang telah terkumpulkan tersebut terlebih dahulu dilakukan deskripsi bahan hukum kemudian dianalisis dengan teknik dekskriptif, sistematisasi dan konstruksi, selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan simpulan atas kedua permasalahan yang dikaji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagai akibat hukum dari penyimpangan terhadap tata cara pembuatan akta PPAT maka PPAT dapat dikenai sanksi sebagai wujud pertanggungjawabannya baik secara administratif, perdata maupun pidana. Sedangkan aspek perlindungan hukum dalam proses penengakan hukum terhadap PPAT yang dimintai suatu pertanggungjawaban tidak diatur oleh Peraturan Jabatan PPAT. Kata kunci : Pejabat Pembuat Akta Tanah, Tanggung Jawab, Perlindungan Hukum, Jual Beli, Tanah. ix ABSTRACT THE RESPONSIBILITY AND THE LEGAL PROTECTION OF THE LAND DEED OFFICIAL IN THE MAKING OF THE DEED OF LAND SALE Along with the growth and development of such a large population, while the land area are relatively not increased, obviously this causes the increasing demand for land, thereby it results in various problems of land. To prevent or at least reduce the potential for conflict or dispute, then the mechanism of transfer of land to be registered must be proven under the notarial deed of the Land Deed Official (PPAT). In practice, often a deed which is not in accordance with the procedures of making the deed of the Land Deed Official which could pose a risk to the security of rights to land. The legal consequences of such deviations will put Land Deed Official held a judicial accountability with regard to authentic act made, if it has legal flaws. In this case, the aspects of legal protection of the PPAT are not expressly regulated by the Regulation for Position of PPAT, PPAT as an honorable position, should be given special treatment than the general population because of PPAT is a representation of the state government to implement some of the tasks in the areas of land associated with data maintenance of the land registration (Bijhouding or Maintenance). The problems under discussion in this study is what the responsibility of the Land Deed Official over the deed of sale of land that they made if it has legal flaws and what the regulations of legal protection to the Land Deed Officials in performing their duties? This study is classified as a normative legal research which is due to the lack of its governing law by using the statute and the conceptual approach. The legal research material used is derived from the research literature in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through the techniques of document studies and library research. The supporting legal materials and information that has been collected were analyzed by the techniques of description, systematization and construction, then it was analyzed qualitatively to obtain conclusions on the two issues under studied. The research results showed that as a result of legal deviations from the law-making procedures of the PPAT deed, therefore, the PPAT can be subject to sanctions as their consequences both administrative, civil, or criminal sanctions. While the aspects of legal protection in the law enforcement process against PPAT who violates the law is not regulated by the Job Regulations of the PPAT. Keywords: Land Deed Official, Responsibility, Legal Protection, Buying and Selling, Land. x RINGKASAN Tesis ini menganalisa mengenai tanggung jawab dan perlindungan hukum bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembuatan akta jual beli tanah. Bab I menguraikan tentang latar belakang masalah yang berawal dari pertanggungjawaban PPAT terhadap akibat hukum yang timbul sebagai akibat dari adanya penyimpangan terhadap syarat formil dan materil dari tata cara atau prosedur pembuatan akta PPAT mengenai suatu peralihan hak atas tanah. Selanjutnya dikaitkan dengan aspek perlindungan hukum bagi PPAT yang seringkali terjadi persamaan perlakuan terhadap pemeriksaan PPAT sebagai saksi baik dalam tahap penyidikan, penuntutan hingga persidangan, dimana PPAT diposisikan seolah-olah sebagai warga negara masyarakat umumnya yang tidak memiliki rahasia jabatan yang wajib dirahasiakannya. PPAT sebagai jabatan terhormat (officium nobile) adalah orang yang dikecualikan dari prinsip persamaan dimuka hukum (equality before the law), dan pengaturan mengenai prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap PPAT belum jelas di atur dalam ketentuan hukum positif. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka pada sub bab pada bab ini diuraikan mengenai rumusan permasalahan yang dijadikan objek penelitian, tujuan dilakukannya penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis, dan metode penelitian yang digunakan. Bab II menguraikan tinjauan umum mengenai Pengertian Pejabat, Pejabat Tata Usaha Negara, Pejabat Umum, PPAT Sebagai Pejabat Umum, dan Tata Cara Pembuatan Akta PPAT. Penguraian tersebut merupakan landasan untuk dapat memahami dan menganalisa pokok-pokok permasalahan yang telah disebutkan pada Bab I. Bab III merupakan pembahasan untuk menjawab permasalahan pertama dari penelitian ini yaitu membahas mengenai tanggung jawab PPAT terhadap akta jual beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat hukum. Di dalam sub bab membahas mengenai penyebab terdegradasinya kekuatan pembuktian dan penyebab dari batalnya suatu akta PPAT, kemudian dibahas mengenai bentuk pertanggungjawaban PPAT atas akta yang mengandung cacat hukum dari aspek administratif, perdata dan pidana. Bab IV merupakan pembahasan permasalahan kedua dari penelitian ini yaitu menguraikan tentang aspek perlindungan hukum bagi PPAT dalam melaksanakan tugas jabatannya. Pada sub bab dibahas mengenai perlindungan hukum terhadap PPAT berdasarkan Peraturan Jabatan PPAT, dan pembahasan mengenai Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) dari PPAT. Bab V merupakan bab penutup yang berisikan simpulan dan saran. Simpulan dari permasalahan yang pertama adalah pertanggungjawaban PPAT terhadap akta jual beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat hukum yang didasari adanya penyimpangan terhadap syarat formil dan syarat materil dari prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT dapat dikenai sanksi administratif berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya dan pengenaan denda administratif; sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga; dan sanksi pidana apabila dikualifikasi sebagai suatu tindak pidana. Simpulan dari xi permasalahan yang kedua adalah Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT tidak mengatur mengenai aspek perlindungan hukum bagi PPAT berkaitan dengan prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap PPAT. Pengaturan mengenai aspek perlindungan hukum bagi PPAT diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sifatnya umum dan tersirat yakni diakuinya Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) sebagai suatu imunitas hukum bagi jabatan tertentu, salah satunya Jabatan PPAT. Saran yang diberikan penulis adalah PPAT dalam melaksanakan tugas jabatannya hendaknya dalam melakukan pembuatan akta jual beli selalu bersandar kepada ketentuan-ketentuan yang ada oleh karena yang akan dibuat adalah akta otentik yang sangat mempengaruhi kepastian hukum atas peralihan hak atas tanah. Juga penulis memberikan saran agar PPAT menggunakan Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkarnya terlebih dahulu agar meminimalisir gugatan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan berkaitan dengan pembocoran rahasia jabatannya. Penulis juga memberikan saran agar Pemerintah beserta DPR, langkah untuk jangka pendek dikeluarkan suatu peraturan organis yakni Peraturan Kepala BPN yang mengatur mengenai prosedur khusus penegakan hukum terhadap PPAT dalam rangka seorang PPAT dipanggil untuk diperiksa baik sebagai saksi, tergugat maupun tersangka. Untuk jangka panjang diharapkan peraturan perundang-undangan yang akan berlaku kemudian (ius constituendum) dibentuk suatu unifikasi hukum mengenai pengaturan PPAT di Indonesia dalam bentuk Undang-Undang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, baik itu yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta PPAT dan pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi PPAT dalam melaksanakan tugasnya berkaitan dengan kedudukannya sebagai Pejabat Umum. xii DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DEPAN SAMPUL DALAM ......................................................................................... i PRASYARAT GELAR ................................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iii PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .............................................................. v UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................ vi ABSTRAK ...................................................................................................... ix ABSTRACT ...................................................................................................... x RINGKASAN ................................................................................................. xi DAFTAR ISI .................................................................................................. xiii BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1 1.1. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................... 20 1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 20 1.3.1 Tujuan Umum ................................................................ 20 1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................... 21 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................... 21 1.4.1 Manfaat Teoritis ............................................................. 21 1.4.2 Manfaat Praktis .............................................................. 21 1.5. Landasan Teoritis ..................................................................... 22 1.5.1 Konsep Negara Hukum ................................................... 23 1.5.2 Teori Pertanggungjawaban ............................................. 29 1.5.3 Konsep Perlindungan Hukum ......................................... 36 xiii BAB II 1.6. Kerangka Teoritis .................................................................... 41 1.7. Metode Penelitian..................................................................... 45 1.7.1 Jenis Penelitian................................................................ 46 1.7.2 Jenis Pendekatan ............................................................. 47 1.7.3 Sumber Bahan Hukum ................................................... 47 1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................. 50 1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ...................................... 50 TINJAUAN UMUM ...................................................................... 54 2.1 Pengertian Pejabat, Pejabat Tata Usaha Negara, Pejabat Umum .................................................................................. 54 2.1.1 Pengertian Pejabat .......................................................... 54 2.1.2 Pengertian Pejabat Tata Usaha Negara .......................... 55 2.1.3 Pengertian Pejabat Umum .............................................. 59 2.2 PPAT Sebagai Pejabat Umum ................................................. 62 2.2.1 Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT ....................... 66 2.2.2 Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT ........................... 70 2.2.3 Wilayah Kerja PPAT ...................................................... 75 2.2.4 Bentuk dan Fungsi Akta PPAT ...................................... 77 2.3 Tata Cara Pembuatan Akta PPAT ........................................... 85 BAB III TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH ATAS AKTA JUAL BELI TANAH YANG DIBUATNYA MENGANDUNG CACAT HUKUM ............................................ xiv 94 3.1 Sebab Degradasi Kekuatan Pembuktian dan Batalnya Akta PPAT ...................................................................................... 94 3.1.1 Akibat Hukum Penyimpangan Terhadap Syarat Formil. 97 3.1.2 Akibat Hukum Penyimpangan Terhadap Syarat Materil 108 3.2 Bentuk Pertanggungjawaban PPAT Atas Akta Yang Mengandung Cacat Hukum .................................................... 118 3.2.1 Tanggung Jawab Secara Administratif .......................... 124 3.2.2 Tanggung Jawab Secara Keperdataan ............................ 128 3.2.3 Tanggung Jawab Secara Pidana ..................................... 134 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JABATANNYA ............................................................................. 142 4.1 Perlindungan Hukum Terhadap PPAT Berdasarkan Peraturan Jabatan PPAT .......................................................................... 142 4.1.1 Pengawasan Terhadap Tugas Jabatan PPAT ................. 144 4.1.2 Prosedur Khusus Dalam Penegakan Hukum Terhadap PPAT .............................................................................. 147 4.2 Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar PPAT ................................ 154 4.2.1 Pelaksanaan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) oleh PPAT ...................................................................... 160 4.2.2 Pelaksanaan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) oleh PPAT .............................................................................. xv 163 BAB V PENUTUP .................................................................................. 168 5.1 Kesimpulan .............................................................................. 168 5.2 Saran ........................................................................................ 171 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. xvi 173 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah dalam pengertian geografis adalah lapisan permukaan bumi yang digunakan untuk dipakai sebagai usaha. Dewasa ini tanah tidak hanya dibutuhkan secara sederhana untuk tempat tinggal ataupun sebagai modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Seiring dengan laju pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang sedemikian besar, dan luas tanah yang relatif tidak bertambah, secara nyata hal ini menyebabkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat, sehingga menyebabkan tanah dan berbagai masalah agraria muncul dipermukaan. Pada tatanan yang lebih luas tanah merupakan elemen yang tidak mungkin dapat dikesampingkan dalam era pembangunan nasional maupun guna menunjang pertumbuhan ekonomi, hal ini karena tanah mempunyai fungsi antara lain: 1 a. Sebagai penunjang atau pendukung pada setiap rencana pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat yang memberikan arah serta landasan hukum sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat” b. Dapat memberikan pengayoman agar tanah dapat merupakan sarana bagi rakyat untuk mencapai penghidupan yang layak sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa : “Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” 1 Soedharyo Soimin, 1993, Status Hak dan Pengadaan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, hal 100. 1 2 Begitu pentingnya arti tanah dalam kehidupan manusia karena tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset2 dan sebagai capital asset.3 Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial dikalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan. Sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan. Disatu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sedangkan di sisi lain harus dijaga kelestariannya. Sebagai karunia Tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara, dan rakyat, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup bangsa Indonesia sehingga perlu campur tangan negara turut mengaturnya.4 Indonesia adalah Negara hukum (rechtsstaat) yang mana hal ini secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.5 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945). Menurut Gustav Radbruch, dalam 2 Social asset mengandung makna bahwa tanah memiliki fungsi sosial, dapat dilihat pada asas yang terkandung pada Pasal 6 UUPA : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi sosial ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya. 3 Capital asset mengandung makna bahwa tanah memiliki fungsi ekonomi, dimana tanah menjadi obyek capital/modal dalam transaksi ekonomi, misalnya tanah dapat diperjualbelikan, disewakan, dijadikan jaminan kredit, maupun sebagai obyek pengolahan kegiatan-kegiatan yang berkaitan untuk menghasilkan suatu pendapatan, seperti kegiatan pertanian maupun pembangunan. 4 Achmad Rubaie, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang, hal. 1. 5 Sebelum dilakukan amandemen penyebutannya adalah UUD 1945. Sampai saat ini UUD 1945 sudah mengalami 4 kali perubahan, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Penyebutan UUD 1945 setelah perubahan menjadi lebih lengkap, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3 menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), (gerechtigkeit). 6 Pada kemanfaatan Negara hukum, (zweckmassigkeit) ketiga unsur dan tersebut keadilan dalam perkembangannya adalah saling mempengaruhi dan salah satunya tidak boleh ditinggalkan. Disamping ketiga unsur itu, terdapat pula tiga prinsip negara hukum yaitu menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Hal ini tentunya menuntut bahwa di dalam lalu lintas hukum salah satunya diperlukan adanya alat bukti dalam menentukan hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Seiring dengan semakin terbatasnya persediaan tanah dan semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah, maka sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, hal ini berdampak besar terhadap semakin meningkatnya nilai atau harga tanah. Hal ini akan meningkatkan potensi untuk timbulnya sengketa pertanahan ataupun konflik-konflik yang berhubungan dengan atau yang disebabkan oleh tanah. Karenanya dibutuhkan suatu perangkat hukum dan sistem administrasi pertanahan yang teratur dan tertata rapi untuk memberikan perlindungan terhadap pemilik tanah serta dapat mengatur kepemilikan, peralihan dan peruntukan tanah secara adil dan menyeluruh. Hukum Tanah Nasional saat ini terdiri atas suatu rangkaian peraturanperaturan perundang-undangan, yang dibuat oleh penguasa, dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat, mengenai hal-hal yang belum 6 Gustav Radbruch, 1961, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, Germany, p. 36, dikutip oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, hal. 1. 4 mendapat pengaturan dalam hukum tertulis. 7 Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap pemilik tanah dan mengatur kepemilikan, peralihan dan peruntukan tanah secara adil dan menyeluruh serta untuk dapat mewujudkan citacita luhur bangsa Indonesia, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD NRI 1945 dan untuk dapat mengejawantahkan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, maka diciptakan suatu Hukum Agraria Nasional yakni Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria, LNRI 1960 No. 104TLNRI No. 2043. (selanjutnya disingkat UUPA). Sejak diundangkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960, maka mulai tanggal tersebut merupakan salah satu tonggak yang sangat penting dalam sejarah perkembangan agraria/pertanahan di Indonesia pada umumnya dan pembaruan hukum agraria/hukum tanah Indonesia pada khususnya. 8 Sebagai bentuk pelaksanaan kewenangan tersebut, UUPA mengatur pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Pendaftaran tanah ini akan menjadi kewajiban bagi pemerintah maupun pemegang hak atas tanah. Ketentuan tentang kewajiban bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia diatur dalam Pasal 19 UUPA, yaitu : 7 Boedi Harsono, 2002, Reformasi Hukum Tanah yang Berpihak Kepada Rakyat, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat Boedi Harsono I), hal. 39. 8 Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, (selanjutnya disingkat Boedi Harsono II), hal. 3. 5 1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah; 2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi: a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat; 3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria; 4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. UUPA juga mengatur kewajiban bagi pemegang Hak Milik, pemegang Hak Guna Usaha, dan pemegang Hak Guna Bangunan untuk mendaftarkan hak atas tanahnya. Kewajiban pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum dikenal sebutan Rechts Cadaster/Legal Cadaster.9 Pendaftaran hak dan pendaftaran peralihan hak atas tanah ini sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) sub b UUPA, merupakan sebagian dari tugas dan wewenang Pemerintah di bidang pendaftaran tanah. Di bidang ini, pendaftaran Hak dan pendaftaran peralihan hak dapat dibedakan dua tugas, yaitu: 1. Pendaftaran Hak atas Tanah, adalah pendaftaran hak untuk pertama kalinya atau pembukuan suatu hak atas tanah dalam daftar buku tanah. 2. Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah.10 Ketentuan lebih lanjut pendaftaran tanah menurut Pasal 19 ayat (1) UUPA, diatur dengan Peraturan Pemerintah (selanjutnya disingkat PP). Peraturan Pemerintah 9 Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hal 2. 10 Ali Achmad Chomsah, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid 2, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hal. 37. 6 yang diperintahkan di sini sudah dibuat, semula adalah PP No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, LNRI Tahun 1961 No. 28-TLNRI No. 2171. Kemudian, PP No. 10 Tahun 1961 dinyatakan tidak berlaku lagi dengan disahkannya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, LNRI Tahun 1997 No. 59-TLNRI No. 3696. PP No. 24 tahun 1997 disahkan pada tanggal 8 juli 1997, namun baru berlaku secara efektif mulai tanggal 8 Oktober 1997, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 66 PP No. 24 Tahun 1997 terdiri atas 10 (sepuluh) bab dan 66 pasal.11 Pada PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang dimaksud dengan pendaftaran tanah, sebagaimana disebut oleh Pasal 1 angka 1, adalah : Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Sebagaimana termuat dalam Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tujuan utama pendaftaran tanah ini adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, dan untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah 11 Urip Santoso, Op.cit, hal. 4-5. 7 susun yang telah terdaftar serta untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.12 PP No. 24 Tahun 1997 secara tegas menyebutkan bahwa instansi Pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut Pasal 5 adalah Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disingkat BPN). Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (2), dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tidak dapat melaksanakan sendiri, akan tetapi membutuhkan bantuan pihak-pihak lain yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pejabat lain yang membantu pelaksanaan kegiatan-kegiatan tertentu dalam pendaftaran tanah, adalah pejabat dari kantor lelang, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, dan Panitia Ajudikasi.13 Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat PPAT) mempunyai peran yang penting dalam pendaftaran tanah, yaitu membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam pendaftaran tanah, kata “dibantu” dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 disini tidak berarti bahwa PPAT merupakan bawahan dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang dapat diperintah olehnya, akan tetapi PPAT mempunyai kemandirian dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.14 12 Boedi Harsono I, Op.cit, hal. 471-472. Urip Santoso, Op.cit, hal. 24. 14 Urip Santoso, Op.cit, hal. 316 13 8 Ketentuan tentang PPAT diatur dalam Pasal 7 PP No. 24 Tahun 1997, yang menyatakan bahwa : 1. PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh menteri. 2. Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil menteri dapat menunjuk PPAT sementara. (PPAT Sementara ini biasanya adalah Kepala wilayah Kecamatan/Camat). 3. Peraturan Jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud oleh Pasal 7 ayat (3) PP No. 24 Tahun 1997 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat PJPPAT). Jadi PJPPAT melaksanakan ketentuan dari PP No. 24 Tahun 1997. Selanjutnya PP No. 37 Tahun 1998 dilaksanakan oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, (PMNA/Ka BPN 4/1999). PMNA/Ka BPN 4/1999 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, (selanjutnya disingkat Perka BPN 1/2006).15 Kemudian Perka BPN 1/2006 diubah dengan beberapa perubahan pasal, yang diatur dalam Peraturan Kepala BPN RI No. 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala BPN RI No. 1 tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, (Perka BPN 23/2009). PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat aktaakta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak 15 Urip Santoso, Op,cit, hal. 316-317. 9 milik atau satuan rumah susun (Pasal 1 angka 1 PJPPAT). Dengan demikian untuk menjamin kepastian hukum atas terjadinya suatu perbuatan hukum peralihan dan pembebanan oleh para pihak atas tanah harus dibuat dengan bukti yang sempurna yaitu harus dibuat dalam suatu akta otentik. Hal ini dimaksud untuk menjamin hak dan kewajiban serta akibat hukum atas perbuatan hukum atas tanah oleh para pihak. Pendaftaran peralihan hak atas tanah, dilaksanakan oleh PPAT, hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 2 PJPPAT, dengan demikian dalam rangka pendaftaran pemindahan hak, maka jual beli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun harus dibuktikan dengan akta yang dibuat di hadapan PPAT. Selain itu syarat jual beli harus dibuktikan dengan akta PPAT ditegaskan pula dalam Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997, yaitu: “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.16 Sedemikian pentingnya akta yang dibuat di hadapan PPAT dalam rangka peralihan hak atas tanah, juga tidak terlepas karena akta PPAT adalah akta otentik dan sebagai sebuah akta otentik terdapat persyaratan ketat dalam hal prosedur 16 Penggunaan frasa “oleh” lebih berkonotasi bahwa akta PPAT adalah Relaas Acte/Akta Pejabat, kurang tepat mengatakan bahwa akta PPAT adalah Akta Pejabat yang didalamnya berisi keterangan dari pejabat bersangkutan, lebih tepat digunakan istilah “dihadapan” karena akta PPAT didasarkan pada inisiatif dan berisi keterangan dari para pihak atau Partij Acte. 10 pembuatan, bentuk dan formalitas yang harus dilakukan agar akta tersebut berhak disebut sebagai akta otentik. Tata cara pembuatan akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri dengan menggunakan formulir yang disediakan yang diatur dalam Pasal 21 PJPPAT Jo. Pasal 96 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN RI No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat PMNA/Ka BPN 3/1997). Dalam kaitannya dengan kekuatan pembuktian akta yang dibuat oleh PPAT mengenai kepastian hak dan kewajiban hukum seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, maka PPAT memiliki peranan yang penting dalam membantu menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat, dengan cara penerbitan akta otentik yang dibuat dihadapannya terkait dengan status hukum, hak, dan kewajiban seseorang dalam hukum, yang berfungsi sebagai alat bukti yang paling sempurna di Pengadilan, dalam hal terjadi sengketa hak dan kewajiban yang terkait. Di samping itu, pentingnya peran PPAT juga dapat dilihat dari kapasitasnya dalam memberikan legal advice, dengan membantu pemerintah menjelaskan kepada para pihak yang mengalihkan tanah dan bangunan mengenai kewajiban membayar Pajak Penghasilan (PPh) dari perolehan tanah dan bangunan serta dari pihak yang menerima pengalihan tanah dan bangunan mengenai Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Menurut Wawan Setiawan, setiap pemberian atau adanya suatu kewenangan senantiasa diikuti pula dengan kewajiban dan/atau tanggung jawab 11 dari padanya. 17 Artinya PPAT diberi kewenangan membuat akta otentik khususnya bidang pertanahan, maka PPAT yang bersangkutan berkewajiban untuk memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan, khususnya dalam pembuatannya agar akta yang dibuat itu memenuhi syarat sebagai akta otentik yang sah. Sebagai konsekuensinya PPAT sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, harus bertanggung jawab apabila terjadi penyimpangan dan/atau pelanggaran persyaratan pembuatan akta yang dilakukannya, yang akan membawa akibat terhadap tidak sahnya akta yang dibuat PPAT tersebut. Meskipun prosedur untuk melaksanakan peralihan atau pemindahan hak atas tanah misalnya dalam jual beli tanah sangat ketat, tapi dalam setiap peralihan atau pemindahan hak atas tanah selalu terbuka kemungkinan adanya tuntutan dari pihak ketiga, bahwa tanah tersebut adalah miliknya. Jadi meskipun peralihan hak atas tanah tersebut sudah dilaksanakan melalui akta PPAT, tetap terbuka kemungkinan akan dapat menimbulkan sengketa pertanahan. Hal ini dikarenakan stelsel pendaftaran tanah yang dianut di Negara Indonesia adalah stelsel pendaftaran tanah negatif bertendensi positif, artinya walaupun terdapat tanda bukti pemilikan hak atas tanah (sertifikat) yang mempunyai kekuatan hukum tetapi masih dimungkinkan untuk di persoalkan (dibatalkan) oleh pihak lain yang mempunyai alasan hukum yang kuat melalui sistem peradilan hukum tanah 17 Wawan Setiawan, 1991, “Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta”, Makalah dalam seminar nasional sehari Ikatan Mahasiswa Notariat Universitas Diponegoro, 9 Maret 1991, Semarang, tanpa halaman. 12 Indonesia.18 Berkaitan dengan sistem ini, keterangan-keterangan yang ada, apabila ternyata tidak benar, maka dapat diubah dan dibetulkan. Bukti kepemilikan tanah bersifat kuat tetapi tidak mutlak, ini sebagai konsekuensi dianutnya stelsel pendaftaran negatif yang bertendensi ke positif. Sistem ini dianut Indonesia karena hukum pertanahannya masih berdasarkan hukum adat yang bersifat negatif tetapi data yang dihasilkan akurat (positif).19 Pembatalan kepemilikan hak atas tanah, sedikit banyaknya juga berkaitan dengan pembuatan akta jual beli tanah dihadapan PPAT yang tidak sesuai dengan prosedur pembuatan akta PPAT. Hal ini disebabkan dalam prakteknya ada situasisituasi dan kondisi-kondisi dalam jual beli yang menyebabkan ketidak-sesuaian tersebut sepertinya harus dilakukan agar transaksi atau proses jual beli tanah bisa dilangsungkan. Adanya penyimpangan maupun kelalaian dalam pembuatan akta jual beli oleh PPAT yang pembuatannya tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam perundang-undangan dalam praktek masih dapat dijumpai. Penyimpangan yang dimaksudkan misalnya, penandatanganan akta jual beli telah dilakukan tapi PPAT belum mengecek atau memeriksa kesesuaian sertifikat terlebih dahulu ke Kantor Pertanahan; penandatanganan akta jual beli dilakukan di luar kantor PPAT dan tanpa dihadiri oleh saksi-saksi; nilai harga transaksi yang dimuat dalam akta jual beli berbeda dengan nilai transaksi yang sebenarnya; dan 18 Hal ini seperti terlihat pada Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. 19 Soska Zone, 2011, “Pendaftaran Tanah”, (diakses pada tanggal 10 Oktober 2012), URL : http://hasyimsoska.blogspot.com/2011/07/pendaftarantanah.html 13 praktek lainnya yang dapat memberikan akibat hukum berupa akta yang dibatalkan dimuka pengadilan atau yang hanya dianggap sebagai akta di bawah tangan, yang semua itu diantaranya disebabkan kelalaian dari seorang PPAT yang membuat akta yang tidak didasarkan pada persyaratan bentuk yang harus berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait. Akta PPAT yang mengandung cacat hukum karena kesalahan PPAT baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan PPAT itu sendiri, maka PPAT itu harus memberikan pertanggungjawaban baik secara moral maupun secara hukum. Penyebab permasalahan bisa timbul secara langsung akibat kelalaian PPAT, juga bisa timbul secara tidak langsung dalam hal dilakukan oleh orang lain. Apabila penyebab permasalahan timbul akibat kelalaian baik sengaja maupun tidak sengaja dari PPAT maka, berakibat akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau menjadi batal demi hukum, yang mana dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian menuntut penggantian kepada PPAT. Dalam hal penyebab permasalahan bukan timbul dari kesalahan PPAT, melainkan timbul karena ketidak-jujuran klien terkait kebenaran syarat administrasi sebagai dasar pembuatan akta, berakibat akta tersebut batal demi hukum. Aspek perlindungan hukum bagi PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya menjadi sesuatu yang sangat penting, karena PPAT dalam menjalankan tugas dan jabatannya rentan terjerat hukum, di samping itu juga untuk menjaga perimbangan terhadap pengawasan yang cukup ketat bagi PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan 14 tugas PPAT dilaksanakan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi dan Kepala Kantor Pertanahan setempat.20 Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Ketiga prinsip tersebut merupakan dasar berpijak dari penegakan hukum (law enforcement). Di samping itu prinsip penting lainnya dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal protection) sebagai bagian dari persamaan dalam hukum (equality before the law).21 Prinsip equality before the law adalah pilar utama dari bangunan Negara Hukum yang mengutamakan hukum di atas segalanya (supreme of law). Pengakuan kedudukan tiap individu di muka hukum ditempatkan dalam kedudukan yang sama tanpa memandang status sosial. Keberlakuan prinsip equality before the law dalam praktek penegakan negara hukum yang berdasarkan kedaulatan hukum terkadang mengalami “penghalusan” atau “exception” (pengecualian). Perbedaan perlakuan hukum atau pengecualian ini hanya berlaku jika ada alasan yang khusus, misalnya pengecualian berlaku bagi orang-orang/kelompok 20 Pasal 63 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 21 A. M. Fatwa, 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 48. 15 orang-orang tertentu yaitu mereka yang oleh karena melaksanakan suatu perbuatan yang ditugaskan oleh Undang-undang tidak dapat dihukum/dipidana. Terhadap orang-orang ini tidak berlaku kekebalan hukum, karena apabila mereka terbukti melakukan tindak pidana dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangannya, maka hukuman terhadap mereka lebih berat daripada hukuman yang seharusnya diterima oleh orang biasa. Terhadap orang-orang tersebut jika melakukan suatu perbuatan guna melaksanakan ketentuan Undang-Undang tidak dapat dihukum (bukan kebal hukum), sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum dengan menggunakan kekuasaan dan/atau kewenangannya, maka hukumannya diperberat. Untuk menjadi orang yang dikecualikan dari prinsip equality before the law, tentu saja harus memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu yang dibuat sesuai standart pemenuhan nilai-nilai sebagai orang yang terhormat (nobile person) maupun jabatan terhormat (nobile officium). Seorang PPAT yang suatu ketika menemui suatu permasalahan hukum terkait akta yang dibuatnya mengandung cacat hukum tidak jarang dipanggil oleh aparat penegak hukum dalam rangka proses penegakan hukum, baik itu berkedudukan sebagai saksi, tersangka maupun terdakwa. Dalam proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum tersebut terdapat prosedur khusus yang tidak diatur secara normatif ketentuannya dalam peraturan jabatan PPAT. Berbeda halnya dengan perlakuan yang diberikan kepada jabatan Notaris, dimana ketentuan mengenai pemanggilan dan pengambilan minuta akta ada prosedur khusus dalam proses penegakan hukumnya. Dalam ketentuan Pasal 66 ayat (1) 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat UUJN), menentukan : (1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (garis bawah dari Penulis) berwenang: a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Sedangkan ketentuan mengenai perlindungan hukum PPAT tidak diatur secara normatif dalam PJPPAT, disamping itu seorang PPAT dalam melaksanakan fungsi jabatannya seharusnya tidak tunduk terhadap prinsip equality before the law, sepanjang dalam melaksanakan jabatannya telah mengikuti prosedur yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Namun dengan “disetujuinya” PPAT diperiksa oleh penyidik, penuntut umum dan/atau hakim, maka sudah terdapat unsur pengkondisian bagi PPAT tersebut untuk ditempatkan dalam posisi tidak berada dalam golongan “nobile person” atau “nobile officium”, melainkan seperti seorang yang tunduk pada prinsip equality before the law seperti yang terjadi pada orang pada umumnya. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan mendasar apakah PPAT yang merupakan jabatan tertentu yang menjalankan sebagian dari tugas pemerintah khususnya di bidang pertanahan di dalam sistem hukum Indonesia telah mendapatkan perlindungan hukum secara layak? Ketentuan dalam PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, maupun dalam Perka BPN 1/2006 sebagaimana telah diubah dengan Perka BPN 23/2009 tentang 17 Perubahan Atas Perka BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, sebagai ketentuan bagi PPAT, tidak ada pengaturan tentang perlindungan hukum bagi PPAT itu sendiri, dalam peraturan terkait ke-PPAT-an lainnya pun tidak diatur, maka perlu adanya dasar hukum mengenai hal itu, karena PPAT mempunyai peranan yang cukup besar dalam membantu tugas pemerintah khususnya dibidang pertanahan. Jadi dalam hal seorang PPAT juga ikut terpanggil dalam suatu kasus tertentu, di mana ia dijadikan sebagai saksi atau tersangka maupun terdakwa, maka sampai di mana perlindungan yang ia peroleh sebagai Pejabat Umum yang menjalankan jabatannya, adalah dia diproses dengan cara pada umumnya sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan tidak ada prosedur khusus sebagaimana yang diterapkan kepada jabatan Notaris. Padahal PPAT dikategorikan sebagai seorang Pejabat Umum juga, dan oleh undang-undang diberikan suatu imunitas hukum bagi jabatan-jabatan tertentu salah satunya PPAT berupa hak ingkar atau hak mengundurkan diri (verschoningrecht) dalam pelaksanaan kewajiban memberi keterangan sebagai saksi di Pengadilan, hal ini berkaitan dengan rahasia jabatan. Berdasarkan uraian di atas terdapat kekosongan norma mengenai ketentuan perlindungan hukum bagi PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya, dimana konsep perlindungan hukum ini berkaitan erat dengan aspek pertanggungjawaban, sehingga Penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai aspek pertanggungjawaban PPAT terhadap akta jual beli tanah yang mengandung cacat hukum kemudian mengkaji mengenai sejauh mana Peraturan 18 Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah mengatur mengenai perlindungan hukum bagi PPAT dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Umum dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Penulis menuangkannya dalam Tesis yang berjudul : “TANGGUNG JAWAB DAN PERLINDUNGAN HUKUM PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH” Dari penelusuran kepustakaan yang dilakukan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu : 1. Tesis dari I Gusti Ayu Novi Ratna sari, NIM 1092461013 alumni mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana Tahun 2013, dengan judul tesis yaitu “TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM MEMBUAT AKTA JUAL BELI BERKAITAN DENGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN” dengan permasalahan yang dibahas : a. Bagaimanakah tanggung jawab Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam membuat akta peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan (Akta Jual Beli)? b. Kapan saat terhutangnya BPHTB dalam suatu proses transaksi jual beli berkaitan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan? 19 2. Tesis dari Merry Yusnita, NIM B4B008175 alumni mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Tahun 2010, dengan judul tesis yaitu “TANGGUNG JAWAB PPAT TERHADAP AKTA-AKTA YANG DIBUATNYA JIKA TERJADI SENGKETA PUTUSAN NOMOR:07/PDT.G/1997/PN.PTK” dengan permasalahan yang dibahas : a. Bagaimanakah kekuatan pembuktian akta PPAT sebagai alat bukti yang sah dalam proses pemeriksaan sengketa perdata di Pengadilan? b. Sejauh mana tanggung jawab PPAT terhadap akta-akta yang telah dibuatnya dalam hal jika terjadi sengketa di Pengadilan Negeri? c. Akibat hukum yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri terhadap akta PPAT yang menjadi sengketa? 3. Tesis dari Aldi Subhan Lubis, NIM 077011004 alumni mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara 2009, dengan judul tesis yaitu “TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN AKTA PPAT (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst)” dengan permasalahan yang dibahas : a. Bagaimana Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Dengan Adanya Kuasa Mutlak? b. Bagaimana tanggung jawab PPAT yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta PPAT ? c. Bagaimana akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat oleh PPAT secara melawan hukum ? 20 Bila diperbandingkan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini, baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini : 1. Bagaimanakah tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah terhadap akta jual beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat hukum ? 2. Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam melaksanakan tugas jabatannya ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum. Mengembangkan ilmu hukum terkait dengan paradigma “science is process”, yang dimana pelaksanaan penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum, khususnya Hukum Pertanahan, yaitu mengenai perlindungan hukum bagi PPAT dalam melaksanakan tugas jabatannya dikaitkan dengan aspek pertanggungjawaban-nya terhadap akta yang mengalami cacat hukum. Hasil diperolehnya gambaran secara lengkap tersebut, diharapkan dapat memberi sumbangan positif dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang hukum maupun proses 21 penegakan hukum, sehingga kedepan proses penegakan hukum khususnya terkait perlindungan hukum bagi PPAT terbangun secara baik. 1.3.2 Tujuan Khusus. Sesuai dengan perumusan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penulisan tesis ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis aspek pertanggungjawaban PPAT terhadap akta jual beli tanah yang di buat dihadapannya mengandung cacat hukum 2. Untuk mengetahui dan menganalisis sejauh mana pengaturan perlindungan hukum kepada PPAT dalam melaksanakan tugas jabatannya. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis. Penulisan tesis ini diharapkan memberi manfaat teoritis yang berupa sumbangan bagi pengembangan Ilmu Hukum Kenotariatan khususnya disiplin Ilmu Hukum Agraria dalam bidang pertanahan. 1.4.2 Manfaat Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk tujuan praktik bagi PPAT agar terhindarkan dari kesalahan dalam pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan guna kepastian hukum atas keotentikan akta PPAT dalam pendaftaran hak atas tanah. Diharapkan pula sebagai masukan kepada Pemerintah dan DPR yang bertujuan untuk menentukan dan memperjelas kebijakan dan langkah-langkah guna pengaturan mengenai tata cara pembuatan 22 akta PPAT dan mekanisme perlindungan hukum bagi PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya, dalam suatu peraturan yang terpadu secara normatif. Bagi para pihak penulisan ini diharapkan dapat membantu para pihak agar terhindar dari kesulitan dan persengketaan. Juga Penulis berharap penulisan ini akan dapat membawa manfaat bagi kepentingan bangsa dan negara dan masyarakat luas. 1.5 Landasan Teoritis Menurut Soerjono Soekanto bahwa kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori. 22 Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,23 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.24 Beranjak dari judul tesis ini yaitu “Tanggung Jawab Dan Perlindungan Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah”, dan untuk menjawab permasalahan dalam penulisan tesis ini maka landasan teoritis yang akan digunakan tidak dapat dipisahkan dari 2 (dua) proposisi yang saling berkaitan yakni Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah dan Perlindungan Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah. Adapun landasan teoritis yang 22 Soerjono Soekanto, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal. 19. 23 M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-asas, FE UI, Jakarta, hal. 203. 24 Ibid, hal. 16. 23 akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan tesis ini yaitu, Konsep Negara Hukum, Teori Pertanggungjawaban, dan Konsep Perlindungan Hukum. 1.5.1 Konsep Negara Hukum. Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno. Plato mengemukakan bahwa pemerintah yang mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh hukum, ide ini terus dikembangkan oleh muridnya yang bernama Socrates dan dilanjutkan oleh cucu muridnya yang terkenal yaitu Aristoteles. 25 Ide negara hukum mengalami penguatan kembali pada masa ahli fikir Perancis antara tahun 17421804, yaitu Immanuel Kant yang mencetuskan konsep rechtsstaat yang memandang negara sebagai instrument perlindungan hak-hak warga negara dari tindakan penguasa.26 Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl 27 sebagaimana dikutip oleh Oemar Seno Adjie, bahwa unsur-unsur atau ciri-ciri dari Rechtsstaat adalah sebagai berikut : 1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia; 2. Adanya pembagian kekuasaan; 3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan; dan 4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara. 25 H.M. Ali Mansyur, 2012, “Pranata Hukum Dan Penegakaannya Di Indonesia”, diakses pada tanggal 15 November 2012, URL : http://alimansyur.blog.unissula.ac.id/ 26 Mohammad Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum, suatu studi tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum islam, implementasinya pada periode negara madina dan masa kini, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 73-74 27 Oemar Seno Adji, 1966, Prasara dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI, Jakarta, hal. 24 24 Konsep rechtsstaat sesungguhnya bukan satu-satunya konsep tentang negara hukum, konsep rechsstaat lahir dan berkembang di negara-negara eropa kontinental, sementara itu di negara-negara anglosaxon di Inggris berkembang konsep rule of law. Berbeda dengan konsep Rechtsstaat konsep Rule of law lahir secara evolusioner dalam rangka meningkatkan fungsi peradilan sebagai perwujudan supremasi hukum. A.V. Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule of law sebagai berikut: 1. Supremasi hukum (Supremacy of law); 2. Kedudukan yang sama di depan hukum (Equality before the law); dan 3. Terjaminnya Hak Asasi Manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan (Constitution basic on individual right).28 Menurut Jimly Asshiddiqie, keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Friedrich Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara hukum modern di zaman sekarang. 29 Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap Negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah : 28 Mohammad Tahir Azhary, Op. cit, hal. 66. Jimly Asshiddiqie, 2010, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, diakses pada tanggal 15 November 2012, URL : http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf 29 25 1. Negara harus tunduk pada hukum. 2. Pemerintah menghormati hak-hak individu. 3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.30 Dalam kepustakaan hukum Indonesia terdapat beragam pengertian negara hukum yang dikemukakan oleh para ahli hukum. Sudargo Gautama mengemukakan dalam suatu negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan, sehingga sebuah negara tidak maha kuasa dan tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. 31 Sementara H. Muchsin memberikan ciri-ciri khas dari suatu negara hukum yaitu : 32 1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan; 2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga; dan 3. Legalitas dalam segala bentuknya. Sedangkan Philipus M. Hadjon menguraikan ciri Negara Hukum Pancasila adalah sebagai berikut : 33 1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; 2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara; 30 Ibid. Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, hal. 3. 32 H. Muchsin, 2005, Ikhtisar Hukum Indonesia, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, hal. 11. 33 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang prinsip-prinsip penanganannya oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan pembentukan peradilan administrasi, Peradaban, Surabaya, (selanjutnya disingkat Philipus M. Hadjon I), hal. 80. 31 26 3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir; 4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.34 Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 ”Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, artinya secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). 35 Ketiga prinsip tersebut merupakan dasar berpijak dari penegakan hukum (law enforcement). Prinsip penting lainnya dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal protection) sebagai bagian dari persamaan dalam hukum (equality before the law). Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang khusus, misalnya, anak-anak yang di bawah umur 17 tahun mempunyai hak yang berbeda dengan anak-anak yang di atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi perbedaan perlakuan tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang logis, misalnya karena perbedaan warna kulit, gender, agama dan kepercayaan, sekte 34 35 Supriadi, 2006, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 170. A. M. Fatwa, Loc. Cit. 27 tertentu dalam agama, atau perbedaan status seperti antara tuan tanah dan petani miskin.36 Prinsip persamaan dalam hukum (equality before the law) mendapat pengecualian bagi orang-orang atau kelompok orang-orang tertentu yaitu mereka yang oleh karena melaksanakan suatu perbuatan yang ditugaskan oleh UndangUndang tidak dapat dihukum atau dipidana. Jusuf Patrianto Tjahjono berpendapat bahwa terhadap orang-orang ini jika melakukan suatu perbuatan guna melaksanakan ketentuan Undang-Undang tidak dapat dihukum (bukan kebal hukum), sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum dengan menggunakan kekuasaan dan atau kewenangannya (abuse de droit), maka hukumannya diperberat. Untuk menjadi orang yang dikecualikan dari prinsip equality before the law, tentu saja harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang dibuat sesuai standart pemenuhan nilai-nilai sebagai “nobile person” (orang yang terhormat).37 Hal tersebut menunjukkan pada hakikatnya para penegak hukum (Hakim, Komisi Pemberantas Korupsi, Jaksa, Notaris, dan Polisi) adalah pembela kebenaran dan keadilan sehingga para penegak hukum harus menjalankan dengan itikad baik dan ikhlas, sehingga profesi hukum merupakan profesi terhormat dan luhur (officium nobile).38 Dalam tesis ini Penulis menekankan pada batasan bahwa agar tercipta suatu tertib hukum (negara yang baik), setiap organ negara dan aparatur penegak 36 Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat) ,Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuady I), hal. 207. 37 Jusuf Patrianto Tjahjono, 2008, “Apakah Notaris tunduk Pada prinsip Equality Before The Law?”, diakses pada tanggal 20 November 2012, URL : http://notarissby.blogspot.com/2008/03/apakah-notaris-tunduk-pada-prinsip.html 38 Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, hal. 145 28 hukum dan masyarakat harus berjalan dalam koridor hukum. Dalam hal ini PPAT selaku pejabat umum harus melaksanakan kewenangan jabatannya dalam rangka pembuatan akta jual beli tanah berdasarkan atas tata cara pembuatan akta PPAT sebagaimana ketentuan yang berlaku, apabila hal ini dilanggar maka PPAT akan dimintai pertanggungjawaban hukum sebagai konsekuensi yuridis produk akta yang dibuatnya mengalami cacat hukum. Selanjutnya konsep negara hukum ini dipergunakan untuk melihat keterkaitan antara pertanggungjawaban PPAT terhadap akta otentik yang dibuatnya mengalami degradasi kekuatan pembuktian sehingga mempengaruhi kepastian hukum dari status hak atas tanah dengan perlindungan hukum bagi PPAT sebagai pihak yang akan dimintai pertanggungjawaban tersebut. Terdegradasinya akta otentik yang dibuat oleh PPAT akan menjadi masalah apabila karena syarat undang-undang akta tersebut tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti peralihan yang menjadi dasar pemindahan hak atas tanah. Selanjutnya ditelaah mengenai sejauh mana pengaturan perlindungan hukum bagi PPAT terutama menyangkut hak-haknya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik apabila dimintai suatu pertanggungjawaban mengenai kebatalan produk akta yang dibuatnya, sedangkan disisi lain PPAT selaku pejabat umum yang sedang melaksanakan sebagian dari tugas dan wewenang Pemerintah di bidang pendaftaran tanah telah bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, masih tundukkah terhadap prinsip equality before the law?, karena seorang PPAT yang tidak sedang dalam kapasitas sebagai 29 PPAT adalah sama dengan orang pada umumnya yang tunduk pada prinsip equality before the law dan tidak “kebal hukum”. Berdasarkan uraian di atas dapat disimak bahwa adanya unsur asas legalitas dalam unsur rechtsstaat mengamanatkan agar setiap tindakan pemerintah harus berdasar atas hukum. Dengan kata lain, dalam unsur negara hukum Pancasila, asas legalitas menjadi hal yang penting terutama kaitannya dengan aspek perlindungan hukum bagi PPAT yang sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur, karena perlindungan hukum harus dimaknai sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, artinya pengaturan mengenai dasar hukumnya harus jelas tertuang dalam hukum positif, sehingga pengaturan mengenai mekanisme khusus dalam proses penegakan hukum bagi PPAT harus dituangkan secara normatif dan jelas agar memiliki kekuatan mengikat yang pasti. 1.5.2 Teori Pertanggungjawaban. Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu responsibility dan liability. Menurut kamus hukum Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary pengertian tanggung jawab yakni, tanggung jawab bersifat umum disebut responsibility sedangkan tanggung jawab hukum disebut liability. Liability diartikan sebagai condition of being responsible for a possible or actual loss, penalty, evil, expense or burden, condition which creates a duty to performact immediately or in the future. 39 Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum 39 Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary, St Paul Minn West Publishing. Co, Boston , hal 914. 30 (konsekuensi hukum) yaitu tanggung jawab akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik atau kewajiban hukum (garis bawah dari Penulis).40 Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:41 a. Teori fautes de personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung. Sedangkan Hans Kelsen menguraikan teori tentang pertanggungjawaban dalam hukum yaitu suatu konsep terkait dengan konsep kewajiban hukum (responsibility) adalah konsep tanggung jawab hukum (liability). Seseorang dikatakan secara hukum bertanggung jawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Normalnya, dalam suatu kasus sanksi dikenakan terhadap pelaku (deliquent) adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggung jawab. 42 Selanjutnya Hans Kelsen menyatakan, bahwa kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum di sebut “kekhilafan” 40 Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 335-337. 41 Ibid, hal. 365. 42 Hans Kelsen, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet. ke-2, terjemahan Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Konstitusi Press, Jakarta, (selanjutnya disingkat Hans Kelsen I), hal. 56. 31 (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari “kesalahan” (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan.43 Hans Kelsen dalam bukunya yang lain, membagi pertanggungjawaban menjadi empat macam yaitu: 44 a. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri; b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain; c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian; d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan. Teori tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara tanggung jawab PPAT yang berkaitan dengan kewenangan PPAT berdasarkan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT beserta peraturan pelaksananya yang berada dalam bidang hukum perdata. Kewenangan ini salah satunya adalah membuat alat bukti berupa akta otentik mengenai perbuatan hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak, kemudian menjadi suatu delik atau perbuatan yang harus dipertanggung jawabkan. 43 Hans Kelsen, 2007, General Theory Of Law and State,Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, terjemahan Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Hans Kelsen II) hal. 83. 44 Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, Nuansa & Nusamedia, Bandung, (selanjutnya disingkat Hans Kelsen III), hal. 140. 32 Delik adalah suatu kondisi di mana sanksi diberikan berdasarkan norma hukum yang ada. Tindakan manusia dikatakan sebagai suatu delik karena aturan hukum mengenakan suatu sanksi sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut. Jadi, adalah delik kriminal jika memiliki sanksi kriminal, dan adalah suatu delik perdata jika memiliki suatu sanksi perdata sebagai konsekuensinya.45 Hans Kelsen mengemukakan bahwa berdasarkan pandangan hukum positif, tidak ada kriteria lain yang dapat menentukan suatu fakta sebagai delik selain adanya sanksi menurut aturan hukum. Tidak ada delik tanpa adanya sanksi, dan karenanya tidak ada delik karena perbuatan itu sendiri.46 Dalam ranah Hukum Pidana, Andi Hamzah menguraikan mengenai unsur kesalahan dalam arti yang luas yaitu : 1. Dapatnya dipertanggungjawabkan pembuat; 2. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya kesengajaan atau kesalahan dalam arti sempit culpa; 3. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.47 Sedangkan menurut Simons sebagaimana dikutip oleh Roeslan Saleh berpendapat, kesalahan adalah keadaan psikis yang melakukan perbuatan dan hubungannya (psikis) dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi. Jadi yang diperhatikan adalah: (1) keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu; (2) hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat 45 Hans Kelsen I, Op.cit, hal. 46. Hans Kelsen I, Op.cit, hal. 47. 47 Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 130. 46 33 dicela karena perbuatan tadi. Dua hal yang harus diperhatikan itulah terjalin erat satu dengan lainnya, merupakan hal yang dinamakan kesalahan.48 Selanjutnya mengenai kemampuan bertanggung jawab secara teoritis harus memenuhi unsur yang terdiri atas : 1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum; 2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.49 Sedangkan menurut Roscoe Pound pertanggungjawaban terkait dengan suatu kewajiban untuk meminta ganti kerugian dari seseorang yang terhadapnya telah dilakukan suatu tindakan perugian atau yang merugikan (injury), baik oleh orang yang pertama itu sendiri maupun oleh sesuatu yang ada dibawah kekuasaannya.50 Dalam ranah hukum perdata, Roscoe Pound menyatakan hukum melihat ada tiga pertanggungjawaban atas delik yaitu: a. Pertanggungjawaban atas perugian yang disengaja; b. Pertanggungjawaban atas perugian karena kealpaan dan tidak disengaja; c. Pertanggungjawaban dalam perkara tertentu atas perugian yang dilakukan karena kelalaian serta tidak disengaja.51 48 Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, hal. 82-83. 49 Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 63. 50 Roscoe Pound, 1996, Pengantar Filsafat Hukum (An Introduction to The Philosophy of Law), terjemahan Mohammad Radjab, Jakarta, hal. 80. 51 Ibid, hal. 92. 34 Sedangkan J.H. Nieuwenhuis menyatakan tanggung jawab timbul karena adanya perbuatan melanggar hukum onrechtmatige daad dan merupakan penyebab oorzaak timbulnya kerugian, sedangkan pelakunya yang bersalah yang disebut schuld, maka orang itu harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut,52 Dalam ilmu hukum hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu :53 1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan. 2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian). 3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Seseorang hanya bertanggung jawab atas dasar kerugian orang lain, dan tanggung jawab ini menurut ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), apabila :54 1. Perbuatan yang menimbulkan kerugian itu bersifat melanggar hukum (perbuatan melanggar hukum); 2. Kerugian itu timbul sebagai akibat perbuatan tersebut (hubungan kausal); 3. Pelaku tersebut bersalah (kesalahan); 4. Norma yang dilanggar mempunyai “strekking” untuk mengelakkan timbulnya kerugian (relatifitas). Selaras dengan pendapat Munir Fuady, teori aansprakelijkheid atau dalam bahasa Indonesia dapat disebut dengan teori tanggung jawab adalah teori untuk menentukan siapa yang harus menerima gugatan atau siapa yang harus digugat 52 J.H. Nieuwenhuis, 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan (Hoofdstukken Verbintenissenrecht), terjemahan Djasadin Saragih, Airlangga University Press, Surabaya, hal. 115. 53 Munir Fuady, 2002, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuady II), hal. 3. 54 J.H. Nieuwenhuis, Op.cit, hal. 118. 35 karena adanya suatu perbuatan melawan hukum. 55 Munir Fuady menguraikan tanggung jawab hukum dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :56 1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata. 2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata. 3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367 KUHPerdata. Jadi, pertanggungjawaban PPAT timbul karena adanya kesalahan yang dilakukan di dalam menjalankan suatu tugas jabatan dan kesalahan itu menimbulkan kerugian bagi orang lain yang minta jasa pelayanan (klien) PPAT, artinya untuk menetapkan seorang PPAT bersalah yang menyebabkan penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga, disyaratkan bilamana perbuatan melanggar hukum dari PPAT tersebut dapat dipertanggungjawabkan, dan pertanggungjawaban tersebut dapat dilihat dari sudut pandang administratif, keperdataan maupun dari sudut pandang hukum pidana. Tata cara terbitnya akta PPAT sebagai akta otentik sangatlah menentukan. Apabila pihak yang berkepentingan dapat membuktikan adanya cacat dalam bentuknya karena adanya kesalahan atau ketidaksesuaian dalam tata cara pembuatannya maka bukan saja akan mengakibatkan timbulnya risiko bagi kepastian hak yang timbul atau yang tercatat atas dasar akta tersebut, tetapi juga akan menempatkan PPAT sebagai pihak yang akan dimintai pertanggungjawaban. 55 56 Munir Fuady II, Op.cit, hal. 16. Munir Fuady II, Op.cit, hal. 3. 36 1.5.3 Konsep Perlindungan Hukum. Setiap aturan hukum bersifat normatif, karena peraturan perundangundangan siapapun yang menetapkannya dan materi apapun yang dicantumkan harus memuat norma hukum. 57 Norma hukum yang memuat sejumlah perintah dan larangan tersebut harus dicantumkan secara rinci dan jelas, sehingga tidak memungkinkan terjadinya interpretasi yang salah. Penyelesaian persoalan hukum yang diuraikan di atas diarahkan pada upaya untuk mewujudkan keadilan. Keadilan merupakan tujuan hukum yang berhubungan dengan kekuatan berlakunya peraturan perundang-undangan, dan oleh karena itu harus dapat diakomodasi dalam peraturan itu. 58 Keadilan yang dimaksud bukan hanya keadilan hukum atau legal justice tetapi juga keadilan sosial atau social justice. Masyarakat harus merasakan bahwa peraturan perundang-undangan termasuk ketentuan mengenai aspek pertangggungjawaban PPAT dan perlindungan hukum terhadap PPAT itu adil. Plato mengemukakan, “justice is a virtue that contains harmony and balance can not be determined or explained by rational argument”. Artinya keadilan merupakan suatu kebajikan yang mengandung keselarasan dan keseimbangan yang tidak dapat diketahui atau dijelaskan dengan argumentasi 57 Karel E. M. Bongenaar, 1992, “Aturan Dalam Norma”, Majalah Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Nomor 1 dan 2 Tahun VII, JanFeb-Mar-Apr, 1992, Surabaya, hal. 15. 58 Daniel Djoko Tarliman, 2003, “Keadilan Sebagai Landasan Filosofi Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Hakim”, Jurnal Yustika, Media Hukum dan Keadilan, Vol 6 Nomor 2 FH Ubaya, Surabaya, hal. 205. 37 rasional. 59 Sedangkan menurut Thomas Aquinas, sebelum membahas mengenai kebajikan keadilan, terlebih dahulu harus membahas mengenai hukum. Untuk menentukan bagian masing-masing orang harus ada sistem hukum yang mengaturnya. Memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagiannya melalui produk hukum merupakan perwujudan dari penghormatan terhadap keluhuran pribadi manusia. Pemikiran hukum kodrat Thomas Aquinas tersebut berkembang dengan baik dalam paham negara hukum konstitusional yang keberadaannya diukur pada perlindungan yang diberikan kepada hak-hak asasi manusia.60 Sejalan dengan pemikiran Thomas Aquinas tersebut, John Rawls menyatakan, “Primary social goods include rights, liberties, powers, opportunities, income, wealth, and the social bases of self-respect. All primary social goods are to be distributed equally unless an unequal distribution is to the benefit of everyone”. Artinya bahwa semua nilai-nilai sosial yang berhubungan dengan kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasar dari harga diri harus didistribusikan secara merata kecuali kalau pendistribusian yang tidak seimbang dari beberapa atau semua nilai tersebut memberikan keuntungan yang sama bagi semua orang.61 Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan 59 Wolfgang Friedmann, 1960, Legal Theory, Fourth Edition, Stevens and son limited, London, p. 9. 60 Frans Magnis Suseno, 2000, Kuasa dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 13. 61 John Rawls, 1973, A Theory of Justice, Oxford University Press, London-New York, p. 62. 38 kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. 62 Dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas jabatan dari seorang PPAT maka aspek perlindungan hukum perlu dialokasikan pengaturannya dalam hukum positif Indonesia. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya.63 Konsep perlindungan hukum terhadap PPAT tidak dapat dipisahkan dari konsep perlindungan hukum pada umumnya. Berdasarkan konsepsi tersebut sebagai kerangka pikir dengan mendasarkan pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada prinsip negara hukum yang berlandaskan Pancasila.64 Berpedoman pada pemikiran Thomas Aquinas, John Rawls, Satjipto Rahardjo dan Philipus M. Hadjon, seharusnya kebijakan pemerintah dalam legislatif hukum positif didistribusikan secara proporsional atas dasar harkat dan martabat manusia demi mewujudkan kesejahteraan umum. 62 Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, hal. 121. 63 Philipus M. Hadjon I, Op.cit. hal. 205 64 Philipus M. Hadjon I, Op.cit, hal. 19. 39 Legislasi hukum positif mengandung dua pengertian keadilan, yaitu keadilan substantif dan keadilan prosedural. Berdasarkan keadilan substantif, setiap bentuk hukum yang berlaku merupakan manifestasi ikatan yurisdiksi dan mendistribusikan wewenang atas dasar kesamaan yang proporsional. Keadilan prosedural berkaitan prosedur yang jujur dan benar dalam melaksanakan hukum.65 Suatu prosedur hukum yang jujur dan benar harus memenuhi syarat-syarat : semua hukum yang dinyatakan berlaku harus diundangkan, akibat hukum tidak boleh mencerminkan sebuah upaya pembalasan, isi hukum harus koheren dan secara substansial tidak boleh ada pertentangan dan harus memiliki kontinuitas.66 Berkaitan dengan hal ini Arif Gosita mengatakan bahwa keadilan merupakan suatu kondisi dimana setiap orang dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara rasional bertanggung jawab dan bermanfaat.67 Sedangkan menurut Harjono, perlindungan yang diberikan oleh hukum merupakan perlindungan atas hak masyarakat yang merupakan hasil transformasi kepentingannya, yang selanjutnya menjadi hak hukum, sehingga hak masyarakat dapat dihormati, dilindungi dan dipatuhi. 68 Salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat, oleh karena itu, 65 E. Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanisius, Yogyakarta, hal. 127-128. 66 Ibid, hal. 129. 67 Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademik Presindo, Jakarta, hal. 12. 68 Harjono, 2008, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 375. 40 perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum.69 Menurut Paulus Effendie Lotulung, kesalahan dibedakan antara kesalahan yang bersifat pribadi (faute personelle atau personal fault) dan kesalahan didalam menjalankan tugas (faute de servive atau in service fault). Terhadap kesalahan yang bersifat pribadi, maka seorang pejabat umum adalah sama seperti warga masyarakat biasa yang dapat diminta dan dituntut pertanggungjawabannya, sehingga dalam hal yang demikian kepadanya berlaku mekanisme perlindungan hukum yang sama bagi warga masyarakat biasa. Tetapi terhadap kesalahan yang berkaitan dengan tugas dan pekerjaannya atau hasil pekerjaannya, maka otentisitas akta-aktanya tetap dijamin, namun terhadapnya perlu diberikan perlindungan hukum yang berbeda mekanismenya dengan anggota masyarakat biasa.70 Inilah yang menjadi dasar kriteria bagi jabatan PPAT untuk memiliki hak istimewa berupa perlakuan khusus dalam proses penegakan hukum yang dihadapinya. Dalam penulisan ini, perlindungan hukum diberi batasan sebagai suatu upaya yang dilakukan di bidang hukum dengan maksud dan tujuan memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak PPAT yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatannya. Hal itu dimaksudkan dalam rangka mewujudkan kepastian 69 Shidarta, 2004, “Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks KeIndonesia-an”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katholik Parahyangan, Bandung, hal. 112. 70 Paulus Effendie Lotulung, 2003, “Perlindungan Hukum Bagi Notaris Selaku Pejabat Umum Dalam Menjalankan Tugasnya”, Media Notariat Edisi April-Juni 2003, (selanjutnya disingkat Paulus Effendie Lotulung I), hal. 67. 41 hukum dari akta jual beli yang dibuatnya, sekaligus terjaminnya rasa tentram dan ketenangan terhadap PPAT dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat umum yang sedang melaksanakan sebagian dari tugas dan wewenang Pemerintah di bidang pendaftaran tanah. Berpijak pada pandangan-pandangan di atas, asumsinya dimana ada keadilan, disitu seharusnya ada terdapat perlindungan hukum yang baik. Dalam kaitannya dengan tugas dan fungsi jabatan PPAT bahwa fungsi PPAT mengandung berbagai dimensi perlindungan kepentingan. Di samping pelindungan terhadap klien, juga mengandung perlindungan terhadap PPAT itu sendiri khususnya PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya. Dengan demikian Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah seharusnya memuat aspek perlindungan hukum terhadap masyarakat terutama yang berkepentingan, dan juga harus memberikan perlindungan hukum terhadap PPAT. Dalam kaitannya dengan penulisan tesis ini, perlindungan hukum dititik beratkan pada perlindungan hakhak PPAT sebagai Pejabat Umum. 1.6 Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah kerangka berpikir yang dibuat dengan berlandaskan pada teori-teori yang sudah baku yang dapat memberikan gambaran yang sistimatis mengenai masalah yang akan diteliti. Gambaran yang sistimatis tersebut dijabarkan dengan menghubungkan variabel yang satu dengan variabel 42 lainnya. Untuk lebih memperjelas, digunakan diagram/skema untuk menggambarkannya.71 Bagan Kerangka Teoritis 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 3. PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT 4. PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Perka BPN 8/2012 5. Perka BPN 1/2006 tentang Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 sebagaimana telah diubah dengan Perka BPN 23/2009 Jual Beli Tanah Konsep Negara Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Tanggung jawab PPAT dalam pembuatan akta jual beli tanah yang mengandung cacat hukum Teori Pertanggungjawaban Sejauh mana perlindungan hukum PPAT dalam melaksanakan tugas jabatannya Konsep Perlindungan Hukum Kesimpulan Berdasarkan kerangka teoritis di atas Penulis ingin memberi gambaran guna menjawab perumusan masalah pada penulisan tesis ini. Dalam hal ini mengenai pertanggungjawaban PPAT terhadap akta jual beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat hukum dikarenakan oleh pembuatan akta jual beli tanah yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT, baik yang disengaja ataupun tidak, yang selanjutnya diinterprestasikan terhadap peraturan-peraturan yang ada mengenai prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT. Peraturan-peraturan yang 71 Magister Kenotariatan, 2011, Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Udayana, Denpasar, hal. 52-53. 43 dimaksud adalah, KUHPerdata, PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, beserta peraturan pelaksananya. Kemudian dianalisis aspek pertanggungjawaban yang akan dikenakan kepada PPAT berkaitan dengan akta jual beli yang cacat hukum tersebut baik secara administratif maupun secara perdata dan pidana, dengan diinterpretasikan terhadap peraturan-peraturan yang sesuai dengan masing-masing aspek pertanggungjawaban tersebut. Selanjutnya dianalisis sejauh mana pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi PPAT yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait ke-PPAT-an maupun dalam peraturan lain yang tidak terkait. Kemudian dibuat kesimpulan tentang tanggung jawab dan perlindungan hukum PPAT dalam pembuatan akta jual beli tanah. Penulisan tesis ini memilih Konsep Negara Hukum karena melihat Negara Indonesia merupakan Negara Hukum (rechtsstaat) sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ketiga, juga karena konsep negara hukum mengedepankan kepastian hukum (rechtszekerheid) dan perlindungan terhadap hak-hak rakyat, yang salah satunya adalah hak PPAT untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas jabatannya. Pada dasarnya suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu. Salah satunya adalah hak dari PPAT untuk mendapatkan perlindungan hukum bilamana dalam menjalankan tugas jabatannya menemui suatu permasalahan hukum. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut di atas menjadi dasar hukum kewenangan bagi PPAT selaku pejabat umum untuk membuat akta otentik dalam transaksi jual beli tanah sekaligus dalam rangka kegiatan 44 pendaftaran tanah, menunjukkan bahwa PPAT kedudukan yang bersifat khusus bila dibandingkan dengan anggota masyarakat biasa, atau oleh Jusuf Patrianto Tjahjono memenuhi kriteria sebagai “nobile person” (orang yang terhormat), artinya dalam menjalankan tugas jabatannya PPAT tidak tunduk terhadap prinsip equality before the law, sepanjang telah mengikuti prosedur yang ditentukan. Selanjutnya berkaitan dengan rumusan permasalahan maka, terdapat dua proposisi yang hendak dibahas atau diteliti, yaitu : 1. Pertanggungjawaban PPAT terhadap akta yang dibuatnya mengalami cacat hukum baik yang disengaja maupun tidak, berkaitan dengan penyimpangan terhadap tata cara pembuatan akta karena menyangkut syarat materil (baik subyek maupun obyeknya) dan syarat formil (prosedur dan persyaratan). Dengan menggunakan pisau analisis Teori Pertanggungjawaban akan ditelaah mengenai akibat hukum dari pembuatan akta yang mengalami cacat hukum yang mengakibatkan akta otentik yang dibuat PPAT terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta dibawah tangan, atau bahkan dinyatakan batal, atau menjadi batal demi hukum, yang mana akan menyebabkan seorang PPAT dimintai pertanggungjawaban hukumnya, baik dari aspek keperdataaan, administratif, maupun pidana. 2. Perlindungan hukum bagi PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya, dalam tesis ini Penulis membatasi permasalahan perlindungan hukum bagi PPAT pasca pembuatan akta jual beli tanah yang mengalami cacat hukum. Beranjak dari uraian latar belakang terdapat kekosongan norma atau tidak diaturnya ketentuan mengenai perlindungan hukum bagi PPAT sebagai Pejabat Umum, 45 bukan PPAT sebagai pribadi. Pisau analisis yang digunakan adalah konsep perlindungan hukum dikaitkan dengan konsep keadilan sebagai konsekuensi dari prinsip negara hukum yang menjamin adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. Dikaitkan dengan konsep keadilan terlihat bahwa secara normatif terdapat perbedaan pengaturan mengenai perlindungan hukum antara jabatan PPAT dengan jabatan Notaris, disisi lain perlu adanya mekanisme khusus bagi PPAT dalam proses penegakan hukum yang berbeda dengan masyarakat biasa, mengingat PPAT adalah pejabat umum yang sedang melaksanakan sebagian dari tugas dan wewenang Pemerintah di bidang pendaftaran tanah. 1.7 Metode Penelitian Menurut Morris L. Cohen, Legal Research is the process of finding the law that govern activities in human society.72 Artinya Penelitian Hukum adalah proses untuk menemukan hukum yang mengatur kegiatan dalam masyarakat manusia. Menurut Hillway dalam bukunya Introduction to Reseach, Houghton Miffin co, 1956 sebagaimana dikutip oleh J. Suparno73, penelitian tidak lain dari suatu metode studi yang dilakukan seseorang yang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah, sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan ini adalah : 72 Morris L. Cohen & Kent C. Olson, 1992, Legal Research, West Publishing Company, St Paul, Minn, p. 1. 73 J. Suparno, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, PT Rinerka Cipta, Jakarta, hal. 1. 46 1.7.1 Jenis Penelitian. Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah yuridis normatif, dimana dilakukan penelusuran terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. 74 Metode penelitian hukum normatif dipergunakan dengan titik tolak penelitian dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugas jabatan PPAT. Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.75 Meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumbersumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah untuk dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.76 Alasan Penulis memilih penelitian normatif adalah beranjak dari adanya kekosongan norma mengenai prosedur khusus perlindungan hukum bagi PPAT dalam hal ini perlindungan hukum yang berkaitan dengan hak-hak PPAT sebagai pejabat umum yang berbeda dengan anggota masyarakat biasa dikaitkan dengan aspek pertanggungjawabannya terhadap akta jual beli tanah yang mengalami cacat hukum. Penelitian normatif bertujuan sebagai upaya untuk meneliti norma-norma dalam peraturan perundang-undangan yang ada, dimana untuk menghindari kekosongan norma sehingga dapat dilakukan konstruksi norma dan penemuan 74 Ronny Hamitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 14. 75 Bambang Waluyo, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Ghalia Indonesia, Semarang, hal. 13. 76 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hal. 13. 47 hukum. Termasuk juga menghindari kekaburan norma melalui penafsiran hukum serta menghindari konflik norma. 1.7.2 Jenis Pendekatan. Penulisan tesis ini dilakukan dengan mempergunakan metode pendekatan undang-undang dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Statute Approach)77 dan pendekatan konseptual yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum (Conseptual Approach).78 Kedua jenis pendekatan tersebut dilakukan untuk menemukan pengertian konsep-konsep yang berhubungan dengan topik permasalahan yang di teliti melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku. 1.7.3 Sumber Bahan Hukum. Jenis bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah bahan hukum primer, sekunder dan tertier : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, dan mempunyai otoritas (autoratif)79 antara lain berupa :80 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945); 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata); 77 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cet. ke-6, Kencana Prenada Media, Jakarta, hal. 93. 78 Ibid, hal. 95. 79 H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 47 80 Dalam kurung adalah singkatan dari peraturan bersangkutan. 48 3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); 5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA); 6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (UU No. 28 Tahun 2009); 7. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU No. 51 Tahun 2009); 8. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24 Tahun 1997); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No. 37 Tahun 1998/PJPPAT); 11. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PMNA/Ka BPN 3/1997); 12. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Perka BPN 1/2006); 49 13. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Perka BPN 23/2009); 14. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Perka BPN 8/2012); 15. Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Indonesia (Kode Etik IPPAT). b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan kepustakaan berupa buku-buku hukum (text book), karya ilmiah hukum (makalah atau tesis dan disertasi) dan jurnal hukum yang ada dan berkaitan dengan obyek permasalahan. Bahan hukum sekunder yang akan digunakan dalam penulisan ini adalah buku-buku atau literatur-literatur mengenai PPAT dan hukum pertanahan juga buku-buku yang membahas tentang Notaris, majalah-majalah hukum dan bahan-bahan dari internet yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. c. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, maupun bahan-bahan non hukum yang masih relevan dengan penelitian ini. 50 1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan yaitu adalah dengan cara mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum primer yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, yang selanjutnya diklafikasikan menurut kelompoknya sesuai dengan hierarkhi peraturan perundang-undangan. Terhadap bahan hukum sekunder dan tersier dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi dokumen (study document), yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research), dengan mengkaji, menelaah dan mengolah literatur, artikel-artikel atau tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Studi dokumen dilakukan dengan sistem kartu (card system) yakni dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan-bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Penulisan tesis ini lebih menitik beratkan pada penelitian kepustakaan (library research) serta bahanbahan lain yang dapat menunjang dalam kaitannya dengan pembahasan permasalahan. 1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum. Analisis bahan hukum adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber bahan hukum yang telah terkumpul untuk digunakan dalam memecahkan permasalahan dalam penelitian. Dasar dari penggunaan analisis secara normatif, dikarenakan bahan-bahan hukum dalam penelitian ini mengarah pada kajiankajian yang bersifat teoritis dalam bentuk asas-asas hukum, konsep-konsep hukum, 51 serta kaidah-kaidah hukum. Teknik analisis yang Penulis pergunakan adalah teknik deskriptif, sistematisasi dan konstruksi. Penelitian ini akan menggunakan teknik deskriptif analisis, yaitu dengan mendeskripsikan bahan hukum terlebih dahulu kemudian menganalisa melalui teknik analisis. Adapun teknik analisis yang diterapkan adalah sebagai berikut : (1)Teknik Deskriptif yaitu uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi proposisi-proposisi hukum atau non hukum; (2)Teknik Sistematisasi yaitu upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat; (3)Teknik Konstruksi yaitu pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi (acontrario). Selanjutnya dalam kaitannya dengan terjadinya suatu kekosongan norma mengenai perlindungan hukum bagi PPAT dikaitan dengan aspek pertanggungjawaban yang dikenakan kepada PPAT, maka digunakan penerapan dari teknik konstruksi yakni berupa penalaran hukum sebagai metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penemuan hukum (rechtsvinding) merupakan suatu kegiatan yang terjadi dalam praktek hukum, namun tidak dapat dipisahkan begitu saja dari ilmu atau teori hukum yang ada. Munculnya ketidaklengkapan dan ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh lembaga pembentuk kebijakan mengharuskan dilakukannya penemuan hukum untuk mengatasi permasalahan tersebut. Secara sederhana penemuan hukum dapat dikatakan menemukan 52 hukumnya karena hukumnya yang tidak lengkap atau tidak jelas. 81 Penemuan hukum selain dilakukan oleh hakim dan pembentuk undang-undang juga dapat dilakukan oleh dosen maupun peneliti hukum dalam penulisan dan pembahasan penelitian yang penemuan hukumnya bersifat teoritis, sehingga hasil dari penemuan hukumnya bukanlah sebagai suatu hukum karena tidak memiliki kekuatan mengikat, melainkan sebagai sumber hukum (doktrin). Terkait ketentuan mengenai perlindungan PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya yang disinyalir menimbulkan kekosongan hukum, maka dalam penemuan hukum dikenal adanya metode penalaran (redenering, reasoning, argumentasi) yang digunakan untuk menemukan hukum yang sebelumnya tidak diatur dalam perundang-undangan. Bentuk-bentuk metode penalaran hukum antara lain :82 1. Argumentum Per Analogian (Analogi), dengan analogi maka peraturan perundang-undangan yang ruang lingkupnya terlalu sempit akan coba diperluas, dimana peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang akan diperlakukan sama. 2. Argumentum a Contrario, merupakan cara penafsiran atau penjelasan undang-undang yang didasarkan pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Setelah pengumpulan bahan hukum dilakukan, maka bahan hukum tersebut dianalisa secara kualitatif yakni dengan menseleksi bahan hukum yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap bahan hukum yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan 81 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum : Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo I), hal. 37. 82 Ibid, hlm. 67 53 permasalahan yang diteliti. 83 Selanjutnya, dilakukan penalaran hukum dengan menarik kesimpulan menggunakan metode induktif yaitu metode yang mendasarkan pada hal-hal yang bersifat khusus, kemudian dari hal-hal yang bersifat khusus tersebut ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum. 83 Bambang Sunggono, 2010, Metodelogi Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta, hal.10. BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian Pejabat, Pejabat Tata Usaha Negara, Pejabat Umum 2.1.1 Pengertian Pejabat. Istilah atau kata Pejabat diartikan sebagai pegawai pemerintah yang memegang jabatan (unsur pimpinan) atau orang yang memegang suatu jabatan.84 Menurut Utrecht, suatu Jabatan sebagai personifikasi hak dan kewajiban dapat berjalan oleh manusia atau subyek hukum, dimana yang menjalankan hak dan kewajiban yang didukung oleh Jabatan ialah Pejabat, artinya Jabatan bertindak dengan perantaraan Pejabatnya. 85 Jabatan (Ambt) merupakan suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamhedden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara atau kepentingan umum.86 Jabatan merupakan subyek hukum (recht person), yakni pendukung hak dan kewajiban (suatu personifikasi), dan oleh hukum tata negara kekuasaan tidak diberikan kepada pejabat (orang), tetapi diberikan kepada jabatan (lingkungan pekerjaan). 87 Jadi Jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap. 84 Badudu-Zain, 1994, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 543. 85 E. Utrecht, 1963, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, hal. 122. 86 Ibid. 87 Ibid. 54 55 Hubungan antara Jabatan dengan Pejabat, bagaikan 2 sisi mata uang, pada satu sisi bahwa Jabatan bersifat tetap (lingkungan pekerjaan tetap), dan pada sisi yang kedua bahwa Jabatan dapat berjalan oleh manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban sehingga yang mengisi atau menjalankan Jabatan disebut Pejabat atau Pejabat adalah yang menjalankan hak dan kewajiban Jabatan. Jadi segala tindakan yang dilakukan oleh Pejabat yang sesuai dengan kewenangannya merupakan implementasi dari Jabatan.88 2.1.2 Pengertian Pejabat Tata Usaha Negara. Pengertian Pejabat Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat Pejabat TUN) dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa, Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian seperti tersebut di atas, menurut Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh Habib Adjie, bahwa pemerintah dapat dilihat dari 2 (dua) sudut, yaitu : 1. Pemerintah dalam arti fungsi, yakni kegiatan yang mencakup aktifitas pemerintah; 2. Pemerintah dalam arti organisasi, yaitu kumpulan dari kesatuan-kesatuan pemerintah.89 88 Habib Adjie, 2009, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Cet. ke-2, Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Habib Adjie I), hal. 18. 89 Ibid, hal. 21. 56 Menurut Indroharto sebagaimana dikutip oleh Habib Adjie, mengemukakan bahwa urusan pemerintahan secara struktural dapat dilakukan oleh mereka yang berwenang melakukannya untuk dan atas nama badan yang sudah ditentukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Keseluruhan orangorang dalam jajaran pemerintah yang dapat dan berwenang berbuat demikian merupakan personil pemerintah yang dalam kelompok besarnya berstatus sebagai pegawai negeri atau berstatus sebagai pejabat negara. 90 Selanjutnya menurut Paulus Effendie Lotulung menyatakan bahwa pendapat dari Indroharto tersebut bermakna sebutan Pejabat TUN tidak hanya ditujukan kepada mereka yang secara struktural memangku suatu Jabatan TUN tapi juga dapat ditujukan pada siapa saja apabila yang diperbuat pada saat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan (fungsional), maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi itu, pada saat itu, dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara. 91 Dengan demikian Indroharto menggunakan ukuran yang bersifat fungsional, tetapi sebaliknya ada beberapa pendapat yang memakai ukuran yang bersifat formal struktural, yaitu hanya terbatas pada mereka yang berdasarkan pada struktur organisatoir dan secara formal berada dalam jajaran eksekutif. Karenanya menurut pendapat ini yang dimaksud Pejabat TUN hanyalah dilihat secara sempit 90 Ibid, hal. 22. Paulus Effendie Lotulung, 1996, “Pengertian Pejabat Tata Usaha Negara Dikaitkan Dengan Fungsi PPAT menurut PP Nomor 10 Tahun 1961”, Media Notariat Nomor 38-41, Jan-Apr-Jul-Okt 1996, (selanjutnya disingkat Paulus Effendie Lotulung II), hal. 191. 91 57 struktural dan terbatas pada pegawai-pegawai negeri ataupun pejabat negara yang berada dalam jajaran eksekutif/ pemerintahan saja.92 Segala keputusan yang dikeluarkan apabila memenuhi syarat sebagai keputusan tata usaha negara, jika merugikan pihak-pihak tertentu, keputusan tersebut dapat dijadikan obyek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Untuk hal tertentu, tidak selalu keputusan yang dibuat Pejabat TUN memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat KTUN), hal ini berlaku pada PPAT. Menurut Paulus Effendie Lotulung, secara fungsional Jabatan PPAT termasuk dalam kategori Pejabat TUN, yaitu ketika menjalankan urusan pemerintahan berupa rangkaian yang merupakan satu kesatuan dari proses pendaftaran tanah, dengan membuat akta PPAT, tapi akta PPAT tidak termasuk obyek gugatan di Pengadilan TUN, karena akta PPAT bukanlah suatu beschikking. Oleh karena elemen obyek tidak dipenuhi, maka seorang PPAT tidak dapat digugat di Pengadilan TUN. 93 Senada dengan pendapat tersebut, Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa:94 Figur Hukum akta PPAT bukan KTUN karena: 1. Akta PPAT tidak memenuhi hakekat KTUN sebagai suatu besluit. Suatu besluit (keputusan-dari Penulis) pada hakekatnya adalah suatu beslissing (pernyataan kehendak-dari Penulis). Akta PPAT bukanlah suatu beslissing dari PPAT; 2. Akta PPAT bukan norma hukum sebagaimana halnya KTUN adalah norma penutup dalam rangkaian norma hukum; 3. Akta PPAT tidak memenuhi unsur KTUN menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN. 92 Ibid. Ibid, hal. 199. 94 Philipus M. Hadjon, 1996, “Akta PPAT Bukan Keputusan Tata Usaha Negara”, Media Notariat Nomor 38-41, Jan-Apr-Jul-Okt 1996, (selanjutnya disingkat Philipus M. Hadjon III), hal. 205. 93 58 Selanjutnya menurut Jimly Asshiddiqie akta otentik yang dibuat PPAT berfungsi sebagai alat bukti yang otentik di pengadilan. Akan tetapi, akta otentik itu sendiri tidak dapat dijadikan obyek gugatan TUN. Sebagai bukti hukum, akta otentik itu sendiri bersifat perdata, bukan obyek hukum tata usaha negara. Disamping itu PPAT juga tidak dapat dianggap sebagai Pejabat TUN yang keputusannya mengandung norma yang bersifat konkrit, individuil dan final. 95 Seorang PPAT dapat memutuskan untuk menerima atau menolak permohonan seseorang untuk membuat akta otentik atas tanah tertentu, keputusan PPAT untuk menerima ataupun menolak itu bersifat konkrit dan individual dan karena itu dianggap identik dengan keputusan Pejabat TUN yang merupakan penetapan (beschikking). Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Pejabat TUN itu adalah pejabat yang menjalankan fungsi pemerintahan (governing function) yang keputusannya dapat menimbulkan kerugian terhadap warga negara. 96 Dengan demikian, perlu diperhatikan bahwa sebagai pejabat publik (public official), para PPAT itu bukanlah pejabat pemerintahan dalam arti pejabat tata usaha negara. Menurut Jimly Asshiddiqie perlu pemisahan tegas antara pengertian PPAT sebagai pejabat umum atau pejabat publik (public official) itu dengan pejabat pemerintahan yang menjalankan fungsi pemerintahan (governing function).97 Oleh karena itu, PPAT itu haruslah dikembangkan sebagai pejabat tersendiri yang bersifat independen yang khusus menangani aktifitas pembuatan akta pengalihan dan pelepasan hak atas tanah serta pembebanan hak tanggungan atas tanah. 95 Jimly Asshiddiqie, 2003, “Independensi Dan Akuntabilitas Pejabat Pembuat Akta Tanah”, Media Notariat Edisi April-Juni 2003, hal. 74. 96 Ibid, hal. 75. 97 Ibid. 59 Sebagai pejabat umum atau pejabat publik, PPAT harus dipisahkan dari jabatan pemerintahan dengan cara melarang adanya perangkapan jabatan PPAT oleh pejabat pemerintah ataupun pejabat publik lainnya. Karena pekerjaan pembuatan akta tanah itu erat kaitannya dengan pekerjaan Notaris, maka dapat ditentukan bahwa hanya Notaris yang dapat diangkat menjadi PPAT. Meskipun tidak semua Notaris harus dan dapat menjadi PPAT, tetapi antara jabatan Notaris dan jabatan PPAT dapat dikembangkan secara sinergis satu dengan yang lain.98 2.1.3 Pengertian Pejabat Umum. Istilah Pejabat Umum 99 merupakan terjemahan dari istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW).100 Pasal 1869 BW menyebutkan : Eene authentieke acte is de zoodanige welke in de wettelijken vorm is verleden, door of ten overstaan van openbare ambtenaren die daartoe bevoegdzijn ter plaatse alwaar zulks is geschied. (Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat). Menurut kamus hukum101 salah satu arti dari Ambtenaren adalah Pejabat. Dengan demikian menurut Habib Adjie, Openbare Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan masyarakat, sehingga 98 Ibid. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan Putusan Nomor 009-014/PUU-III/2005 tanggal 13 September 2005 mengistilahkan Pejabat Umum sebagai Public Official. 100 Istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 BW diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta. 101 Istilah Openbare diterjemahkan sebagai “Umum” oleh Saleh Adiwinata, A. Teloeki, dan H. Boerhanoeddin St. Batoeah, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta, Jakarta, hal. 363. 99 60 Openbare Ambtenaren diartikan sebagai Pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan masyarakat. 102 Habib Adjie memberikan kualifikasi dari definisi Pejabat Umum tidak hanya diberikan kepada Notaris103 saja, tapi juga diberikan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)104, dan Pejabat Lelang.105 Selanjutnya menurut Soegondo Notodisoejo, Pejabat Umum adalah seorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada kewibawaan (gezag) dari pemerintah. Dalam jabatannya tersimpul suatu sifat dan ciri khas yang membedakannya dari jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat. 106 Sedangkan menurut Wawan Setiawan, Pejabat Umum adalah organ negara yang diperlengkapi dengan kekuasaan umum (met openbaar gezag bekleed), berwenang menjalankan (sebagian dari) kekuasaan negara untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang hukum perdata.107 Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan Pejabat Umum adalah seseorang yang diangkat oleh Pemerintah dengan tugas dan kewenangan 102 Habib Adjie I, Op. cit, hal. 27. Lihat Pasal 1 angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) UUJN. 104 Lihat Pasal 1 angka 4 UU No. 4 Tahun 1996, dan Pasal 1 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998. 105 Lihat Pasal 1 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 338/KMK.01/2000. 106 R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 44. 107 Wawan Setiawan, 1996, “Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum serta PPAT dibandingkan dengan Kedudukan Pejabat Tata Usaha Negara Menurut Sistem Hukum Nasional”, Media Notariat Nomor 38-41, Jan-Apr-Jul-Okt 1996, hal. 264. 103 61 memberikan pelayanan kepada umum dibidang tertentu.108 Sejalan dengan Boedi Harsono, Sri Winarsi menyatakan bahwa pengertian Pejabat Umum mempunyai karakter yuridis, yaitu selalu dalam kerangka hukum publik. Sifat publiknya tersebut dapat dilihat dari pengangkatan, pemberhentian, dan kewenangan PPAT. 109 Dalam hal ini PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, tugasnya adalah membantu Kepala Kantor Badan Pertanahan Kabupaten/Kota dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, dan kewenangannya adalah membuat akta atas perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Menurut Effendi Peranginangin, Pejabat Umum adalah orang yang diangkat oleh instansi yang berwenang dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang kegiatan tertentu. 110 Kegiatan tertentu yang dimaksud salah satunya adalah untuk membuat akta otentik. Menurut Effendi Peranginangin, PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta daripada perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan.111 108 Boedi Harsono, 2007, “PPAT Sejarah Tugas dan Kewenangannya”, Majalah RENVOI Nomor 844.IV, Januari 2007, hal. 11. 109 Sri Winarsi, 2002, “Pengaturan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat Umum”, Majalah YURIDIKA Volume 17 No. 2, Maret 2002, hal. 186. 110 Effendi Peranginangin, 1991, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali Press, Jakarta, hal. 436. 111 Ibid. 62 Undang-Undang dengan tegas menyebutkan bahwa suatu akta dinyatakan sebagai akta otentik apabila 3 (tiga) unsur yang bersifat kumulatif, yaitu :112 1. Bentuk akta ditentukan oleh Undang-Undang;113 2. Akta dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta; 3. Akta dibuat oleh pejabat umum dalam daerah (wilayah) kerjanya. Berkenaan dengan diperlukannya akta PPAT sebagai alat bukti keperdataan yang terkuat menurut tatanan hukum yang berlaku, maka diperlukan adanya pejabat umum yang ditugaskan oleh undang-undang untuk melaksanakan pembuatan akta otentik itu. Perwujudan tentang perlunya kehadiran pejabat umum untuk lahirnya akta otentik, maka keberadaan PPAT sebagai pejabat umum tidak dapat dihindarkan. Agar suatu tulisan mempunyai nilai bobot akta otentik yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang membawa konsekuensi logis, bahwa pejabat umum yang melaksanakan pembuatan akta otentik itupun harus pula diatur dalam Undang-Undang, dan tidak dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, misalnya Peraturan Pemerintah. 2.2 PPAT Sebagai Pejabat Umum Embrio institusi PPAT telah ada sejak tahun 1961 berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dengan istilah Penjabat saja. Bahwa yang dimaksud pejabat adalah PPAT disebutkan dalam Peraturan Menteri Agraria No. 112 Urip Santoso, Op.cit, hal. 352 Catatan Penulis : artinya tidak boleh ditentukan oleh peringkat peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang misalnya Peraturan Pemerintah, apalagi Peraturan Menteri atau Surat Keputusan Menteri. 113 63 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta (PMA 11/1961). 114 Jadi dalam ketentuan Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, menggunakan istilah “Penjabat”, sedangkan penyebutan secara lengkap istilah “Pejabat Pembuat Akta Tanah” ditemukan pada Pasal 1 PMA No. 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta. Awal kelahirannya PPAT tidak dikategorikan atau disebut sebagai Pejabat Umum, perkembangan kemudian berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Selanjutnya keberadaan PPAT ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagaimana disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tertentu.” Secara khusus keberadaan PPAT diatur dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, yang menegaskan bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.” 114 Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Habib Adjie II), hal. 253. 64 Pengertian yang sama diatur juga didalam peraturan pelaksana PJPPAT yakni pada Pasal 1 angka 1 Perka BPN 1/2006, yang menegaskan “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.” Sedangkan pada Pasal 1 angka 3 Kode Etik IPPAT, menentukan bahwa “PPAT adalah setiap orang yang menjalankan tugas jabatannya yang menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum.” Berdasarkan definisi-definisi PPAT yang disebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa PPAT adalah “Pejabat Umum” yang berwenang membuat akta otentik mengenai perbuatan-perbuatan hukum tertentu berkaitan dengan hakhak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Dimana kewenangan ini diberikan kepada pejabat tersebut oleh peraturan perundang-undangan. Wawan Setiawan memberikan penjelasan lebih detail mengenai kedudukan PPAT sebagai salah satu “organ negara”. Beliau menjelaskan bahwa negara di dalam menjalankan fungsinya yaitu di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat umum, mutlak diperlukan adanya “organ” negara. Oleh karena kehadiran organ negara, bagi suatu “recht figur” yang disebut negara tadi adalah hal yang mutlak. Tanpa adanya “organ negara” mustahil suatu negara dapat berbuat untuk menjalankan tugas dan fungsinya, hak dan kewajibannya, kewenangan dan kekuasaannya.115 115 Wawan Setiawan, Op. cit, hal. 209. 65 Organ negara yang mewakili serta bertindak untuk dan atas nama negara, di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tadi, maka : 1. Pelayanan kepada masyarakat umum, dalam bidang hukum publik, dilakukan oleh organ negara yang disebut dengan Pemerintah atau Eksekutif, juga dikenal dengan istilah Pejabat Tata Usaha Negara atau Pejabat Administrasi Negara. Organ negara ini memiliki kewenangan, hak dan kewajiban serta kekuasaan untuk memberikan pelayanan kepada dan untuk kepentingan masyarakat umum, akan tetapi terbatas hanya dalam bidang hukum publik saja. 2. Pelayanan kepada masyarakat umum, dalam bidang hukum perdata, atas nama negara dilakukan juga oleh organ negara (tetapi bukan eksekutif/Pemerintah) disebut dengan “Pejabat Umum”.116 Wawan Setiawan menyimpulkan baik eksekutif/Pemerintah atau Pejabat TUN maupun Pejabat Umum, sama-sama “organ negara” dan keduanya samasama menjalankan tugas publik, akan tetapi hati-hati dan jangan gegabah mengambil kesimpulan, oleh karena : Pejabat TUN (yang juga organ negara) mempunyai kewenangan memberikan pelayanan kepada masyarakat umum hanya dalam bidang hukum publik (saja). Sedangkan Pejabat Umum (juga organ negara) mempunyai kewenangan memberikan pelayanan kepada masyarakat umum hanya dalam bidang hukum perdata saja. Karenanya Pejabat Umum bukan Pejabat TUN dan sebaliknya Pejabat TUN bukan Pejabat Umum.117 Kedudukan PPAT sebagaimana tersebut di atas ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia :118 1. Nomor 62 K/TUN/1998, tanggal 27 Juli 2001, ditegaskan bahwa PPAT sebagai Pejabat TUN, namun dalam hal ini pejabat tersebut bertindak sebagai Pejabat Umum dalam bidang perdata, dan akta PPAT bukan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagaimana dimaksudkan 116 Wawan Setiawan, Loc. cit. Wawan Setiawan, Op. cit, hal. 210. 118 Habib Adjie I, Op. cit, hal. 24-25. 117 66 dalam Pasal 1 sub 3 UU No. 5 Tahun 1986, sehingga tidak dapat dijadikan obyek sengketa Tata Usaha Negara. 2. Nomor 302 K/TUN/1999, tanggal 8 Februari 2000, ditegaskan bahwa PPAT adalah Pejabat TUN, karena melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 Jo. Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961, akan tetapi akta jual beli yang dibuat oleh PPAT bukan merupakan KTUN karena bersifat bilateral (kontraktual), tidak bersifat unilateral yang merupakan sifat dari KTUN. 2.2.1 Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT. Dalam ketentuan Pasal 1 PP No. 37 Tahun 1998/PJPPAT ditetapkan tiga macam Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yaitu : 1. Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang di beri kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun. 2. PPAT sementara adalah Pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. 3. PPAT khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu. PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sedangkan PPAT Sementara diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang mendapatkan limpahan kewenangan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.119 119 Urip Santoso, Op.cit, hal. 328. Pasal 5 PP No. 37 Tahun 1998 menentukan PPAT, PPAT Sementara, PPAT Khusus diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Sedangkan sebagaimana yang dikutip di atas mengacu pada Pasal 11,18,21 Peraturan Kepala BPN RI No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT. 67 Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dapat menunjuk pejabat-pejabat tertentu sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus, yaitu : 1. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT sebagai PPAT Sementara; 2. Kepala Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus. Dalam hal tertentu Kepala Badan dapat menunjuk Camat dan atau Kepala Desa karena jabatannya sebagai PPAT Sementara, tetapi yang bersangkutan wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan organisasi profesi PPAT tetapi di kecualikan bagi Camat dan atau apabila di daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan belum ada PPAT. Penunjukkan Camat sebagai PPAT sementara dilakukan di dalam hal di daerah Kabupaten/Kota sebagai wilayah kerjanya masih tersedia formasi PPAT. Sedangkan penunjukkan Kepala Kantor Pertanahan sebagai PPAT khusus di lakukan oleh Kepala Badan untuk perbuatan hukum tertentu. Pasal 8 ayat (1) PJPPAT menetapkan bahwa PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT karena : a. Meninggal dunia; atau b. Telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun; atau 68 c. Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai notaris dengan tempat kedudukan di kabupaten/kota yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT; atau d. Diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (2) PJPPAT menetapkan bahwa : “PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT, apabila tidak lagi memegang jabatannya, atau diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. PPAT, PPAT Sementara atau PPAT Khusus yang berhenti menjabat karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c PJPPAT, karena tidak lagi memegang jabatannya dan/atau telah menyelesaikan penugasannya tidak perlu dibuatkan keputusan pemberhentiannya. PPAT yang berhenti ini tidak lagi berwenang membuat akta PPAT. Faktor-faktor penyebab PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :120 a. Permintaan sendiri. b. Tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan Kepala BPN RI atau pejabat yang di tunjuk. c. Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT. Yang termasuk pelanggaran ringan, antara lain : 1. Memungut uang jasa melebihi ketentuan peraturan perundangundangan; 2. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah berakhirnya cuti tidak melaksanakan tugasnya kembali; 3. Tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta-akta yang dibutanya; 4. Merangkap jabatan sebagai advokat, pegawai negeri, pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah, lain-lain jabatan yang dilarang peraturan perundang-undangan; dan 120 Urip Santoso, Op.cit, hal. 336-337. 69 5. Lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala BPN RI. PPAT yang diberhentikan dengan hormat dari jabatannya diterbitkan Keputusan Pemberhentian oleh Kepala BPN RI. Pemberhentian PPAT ini ditetapkan oleh Kepala BPN RI berdasarkan usulan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala Kanwil BPN Provinsi. Faktor-faktor penyebab PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena :121 a. Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT. Yang termasuk pelanggaran berat, antara lain : 1. Membantu melakukan pemufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan; 2. Melakukan pembuatan akta sebagai pemufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan; 3. Melakukan pembuatan akta di luar daerah kerjanya; 4. Memberikan keterangan yang tidak benar di dalam akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan; 5. Membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lain-lainnya yang di luar dan/atau daerah kerjanya; 6. Melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT; 7. Pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan diketahui oleh PPAT yang bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan tidak hadir di hadapannya; 8. Pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih dalam sengketa yang mengakibatkan penghadap yang bersangkutan tidak berhak melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya; 9. PPAT tidak membacakan aktanya di hadapan para pihak maupun pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya; 10. PPAT tidak membuat akta di hadapan para pihak yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai aka yang dibuatnya; 11. PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian sementara atau dalam keadaan cuti; 12. Lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala BPN RI. 121 Urip Santoso, Op.cit, hal. 337-338. 70 b. Dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam hikuman kurungan atau penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. PPAT yang diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya diterbitkan Keputusan Pemberhentian oleh Kepala BPN RI. Pemberhentian PPAT ini ditetapkan oleh Kepala BPN RI berdasarkan usulan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala Kanwil BPN Provinsi. Pemberhentian PPAT karena alasan melakukan pelanggaran ringan dan pelanggaran berat dilakukan setelah PPAT yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri kepada Kepala BPN RI. PPAT yang berhenti atas permintaan sendiri dapat diangkat kembali menjadi PPAT untuk daerah kerja lain daripada daerah kerjanya semula, apabila formasi PPAT untuk daerah kerja tersebut belum penuh. PPAT dapat diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai PPAT karena sedang dalam pemeriksaan pengadilan sebagai terdakwa suatu perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya lima tahun atau lebih berat. Pemberhentian sementara berlaku sampai ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemberhentian sementara PPAT ditetapkan oleh Kepala BPN RI berdasarkan usulan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota melalui Kepala Kanwil BPN Provinsi. 2.2.2 Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT. Tugas-tugas PPAT untuk menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya antara lain reportorium. Reportorium merupakan daftar dari aktaakta yang dibuatnya yang berisikan nama dari penghadap, sifat aktanya, jual beli, 71 hibah, tanggal akta dibuatnya dan nomornya, identitas dari tanahnya/surat ukur dan luas tanahnya beserta bangunan yang termasuk permanen, semi permanen, darurat dan tanaman yang ada dan lain-lain keterangan. 122 PPAT mempunyai kewajiban untuk mengirimkan daftar laporan akta-akta PPAT setiap awal bulan dari bulan yang sudah berjalan kepada Badan Pertanahan Nasional Propinsi/Daerah, Kepala Perpajakan, dan Kepala Kantor Pajak Bumi dan Bangunan. Selain itu PPAT juga mempunyai kewajiban membuat papan nama, buku daftar akta, dan menjilid akta serta warkah pendukung akta. Pasal 6 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 menetapkan bahwa: “Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut PP ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan” Dalam Pasal 6 ayat (2) ini hanya disebutkan kegiatan-kegiatan tertentu, tidak disebutkan secara tegas kegiatan-kegiatan apa dalam pendaftaran tanah yang menjadi tugas PPAT untuk membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Tugas pokok PPAT dalam membantu pelaksanaan pendaftaran tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan ditetapkan dalam Pasal 2 PJPPAT, yaitu : 1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. 2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. Jual beli; b. Tukar Menukar; 122 A.P.Parlindungan, 1989, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landform, Bagian I, Mandar Maju, Bandung, hal. 194. 72 c. Hibah; d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); e. Pembagian hak bersama; f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik; g. Pemberian Hak Tanggungan; h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan. Pasal 2 ayat (1) PJPPAT menyatakan bahwa tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah. Untuk menjawab kegiatan dalam pendaftaran tanah yang menjadi tugas PPAT dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat (2) UUPA yang dijabarkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yaitu sebagai berikut:123 1. Kegiatan Pendaftaran tanah untuk pertama kali (Opzet atau Initial Registration). Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah untuk pertama kali menurut Pasal 1 angka 9 PP No. 24 Tahun 1997, adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 atau PP No. 24 Tahun 1997. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali ini dapat dilakukan secara sistematik dan sporadik. 2. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau Maintenance). Yang dimaksud dengan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut Pasal 1 angka 12 PP No. 24 Tahun 1997, adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis objek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan data fisik dan data yuridis kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah. Kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 Ayat (2) UUPA dijabarkan dalam PP No. 24 Tahun 1997, yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (Opzet atau Initial Registration) dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau Maintenance). Dari dua 123 Urip Santoso, Op.cit, hal. 304-334. 73 macam kegiatan pendaftaran tanah, yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 24 Tahun 1997, maka kegiatan yang menjadi tugas pokok PPAT adalah kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau Maintenance).124 A.P. Parlindungan menyatakan tugas PPAT adalah melaksanakan recording of deeds of coveyance, yaitu suatu perekaman pembuatan akta tanah yang meliputi mutasi hak, pengikatan jaminan dengan hak atas tanah sebagai Hak Tanggungan, mendirikan hak baru diatas sebidang tanah (Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik) ditambah memasang surat kuasa memasang Hak Tanggungan.125 Kewenangan PPAT diatur dalam PJPPAT, yaitu : 1. Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang terletak di daerah kerjanya. 2. PPAT Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya. Pada dasarnya tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah ialah membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam mewujudkan salah satu tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk terwujudnya tertib administrasi pertanahan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997, dengan membuat akta-akta yang dijadikan dasar pendaftaran perubahan data tanah. Tugas dari kantor pertanahan sendiri adalah melakukan recording of title dan continues recording dan kemudian menerbitkan bukti haknya yang disebut sertipikat hak 124 125 Urip Santoso, Op,cit. hal. 344. A.P. Parlindungan, Op.cit, hal. 83. 74 atas tanah (bersifat administratif). Data pendaftaran tanah yang tercatat di kantor pertanahan harus sesuai dengan keadaan atau status yang sebenarnya mengenai bidang tanah yang bersangkutan, baik data fisik maupun data yuridis mengenai bidang tanah tersebut. Oleh karena itu, akta PPAT wajib dibuat sedemikian rupa dan PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan. Dalam hubungan dengan pencatatan data yuridis khususnya pencatatan perubahan data yuridis yang sudah tercatat sebelumnya, peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah sangatlah penting hingga terciptanya tertib hukum bidang pertanahan. Tertib administrasi pertanahan merupakan bagian dari kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan yang menjadi landasan sekaligus arahan dalam melaksanakan penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Guna mendukung terciptanya administrasi yang tertib, maka tugas PPAT sebagai mitra Pemerintah perlu dioptimalkan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dituntut kehati-hatian, kemandirian, ketertiban dan kecermatan PPAT dalam pembuatan akta agar perbuatan hukum tersebut tidak cacat hukum. Ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) PJPPAT sehubungan dengan pelaksanaan tugas pokok sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2, mengatur mengenai kewenangan PPAT bahwa untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Selanjutnya dalam Pasal 4 Perka BPN 1/2006, bahwa seorang PPAT 75 hanya berwenang untuk membuat akta dimana objek perbuatan hukumnya terletak di dalam daerah kerjanya. Namun terdapat pengecualian untuk akta tukarmenukar, akta pemasukan kedalam perusahaan dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, apabila semuanya tidak terletak dalam satu daerah kerja seorang PPAT dapat dibuat jika salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi objek perbuatan hukum dalam akta tersebut terletak di dalam daerah kerjanya. Sesuai dengan jabatan PPAT sebagai Pejabat Umum, maka akta yang dibuatnya mempunyai kedudukan sebagai akta otentik. Oleh karena itu, pembuatan akta yang objeknya berada di luar daerah kerja seorang PPAT merupakan suatu pelanggaran yang mengakibatkan perbuatan hukum itu menjadi tidak sah dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar pendaftaran tanah. PP No. 24 Tahun 1997 menetapkan bahwa perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dibuktikan dengan akta PPAT, yaitu : 1. Jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dibuktikan dengan akta PPAT diatur dalam Pasal 37 ayat (1). 2. Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi yang didahului dengan likuidasi perseroan atau koperasi yang bergabung atau melebur dibuktikan dengan akta PPAT diatur dalam Pasal 43 ayat (2). 3. Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, pembebanan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Sewa untuk bangunan atas Hak Milik dibuktikan dengan akta PPAT diatur dalam Pasal 44 ayat (1). 2.2.3 Wilayah Kerja PPAT. PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu. Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya (Pasal 12 76 ayat (1) PJPPAT). Daerah Kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya. Wilayah hukum PPAT sudah ditentukan sesuai pengangkatannya sehingga PPAT tidak diperkenankan membuat akta di luar wilayah wewenangnya. Apabila PPAT membuat akta di luar wilayah kerjanya, maka akta tersebut dianggap tidak sah. Berdasarkan Pasal 1869 KUHPerdata, menentukan “Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai akta autentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak”. Maka akta PPAT yang dibuat oleh PPAT di luar wilayah kerjanya tidak dapat dikatakan sebagai akta otentik, karena dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang dan mengakibatkan akta tersebut hanya mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan sehingga tidak dapat dijadikan dasar pengalihan hak dan tidak dapat didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Selanjutnya PPAT harus berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatannya atau penetapan lain dari pejabat yang berwenang dan dilarang untuk mempunyai kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya dengan maksud menawarkan jasanya kepada masyarakat. Untuk menjamin profesional dan pelayanan kepada masyarakat yang baik maka kantor PPAT harus dibuka setiap hari kecuali pada hari libur resmi dengan jam kerja minimum sebagaimana jam kerja kantor pemerintah ditempat wilayah setempat. Selanjutnya dalam menjalankan jabatannya PPAT harus melayani para kliennya di kantornya namun apabila ada pihak yang tidak dapat 77 hadir di kantor PPAT maka diberi kesempatan untuk membuat akta diluar kantornya dengan ketentuan bahwa para pihak harus hadir di hadapan PPAT ditempat pembuatan akta tersebut dan harus dilangsungkan di dalam wilayah kerja PPAT. 2.2.4 Bentuk dan Fungsi Akta PPAT. Dalam hal pembuatan akta PPAT, ada berbagai perkembangan dalam pengaturan mengenai bentuknya. Adapun payung hukum pengaturan dari bentuk akta PPAT dari dulu hingga sekarang yakni : a. Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta (PMA 11/1961). b. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Perka BPN 3/1997). c. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Perka BPN No. 8 Tahun 2012). Penggunaan blanko diawali dengan PMA 11/1961 tentang Bentuk Akta, kemudian setelah berlaku PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, penggunaan blanko akta diatur dalam Perka BPN 3/1997 tentang pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997. Secara historis penggunaan blanko Akta PPAT dimulai pada tahun 1961 melalui PMA 11/1961 tentang Bentuk Akta yang mulai berlaku pada 78 tanggal 7 September 1961 dan mengenai pembuatan akta, PPAT wajib menggunakan :126 a. Formulir-formulir yang tercetak atau; b. Formulir-formulior yang terstensil atau diketik dengan mempergunakan kertas HVS 70/80 gram dengan ukuran A3 dengan persetujuan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah; c. Formulir-formulir yang tercetak hanya dapat dibeli di kantor pos. Dalam perkembangannya, berlakulah Perka BPN 3/1997 tentang Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997, telah ditegaskan kembali bahwa akta PPAT harus dibuat dengan menggunakan blanko akta PPAT yang disediakan atau dicetak oleh Badan Pertanahan Nasional atau instansi lain yang ditunjuk, artinya tanpa blanko akta PPAT yang dicetak, PPAT tidak boleh menjalankan jabatannya dalam membuat akta-akta PPAT. Aturan ini menimbulkan ketergantungan pelaksanaan tugas jabatan PPAT dengan keberadaan blanko akta PPAT. Bentuk hukum pengaturan blanko akta PPAT dituangkan dalam Peraturan Kepala BPN, sehingga tugas, kewenangan dan tanggung jawab pengadaan dan pendistribusian blanko akta PPAT berada di tangan Badan Pertanahan Nasional (BPN). PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta pertanahan dibatasi kewenangannya untuk membuat 8 jenis akta sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) PJPPAT Jo. Pasal 95 ayat (1) Perka BPN 3/1997 Jo. Pasal 2 ayat (2) Perka BPN 1/2006, yaitu: 1. Jual-beli 2. Tukar-menukar 126 Citra Putri, 2012, “Kajian Yuridis Eksistensi PPAT Selaku Pejabat Umum Yang Berwenang Membuat Akta Otentik”, diakses pada tanggal 17 Februari 2013, URL : http://apakabarakta.blogspot.com/2012/12/kajian-yuridiseksistensi-ppat-selaku.html 79 3. 4. 5. 6. 7. 8. Hibah Pemasukan ke dalam perusahaan Pembagian hak bersama Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik Pemberian Hak Tanggungan Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan. Dalam rangka pembuatan akta-akta tersebut (8 jenis akta), ditentukan pula bentuk akta-akta yang wajib dipergunakan oleh PPAT, dan cara pengisiannya, serta formulir yang dipergunakan sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 s/d 23, sebagaimana diatur pada Pasal 96 ayat (1) dan (2) Perka BPN 3/1997. Selama ini eksistensi kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik khusus berkenaan dengan akta pertanahan diragukan bahkan dikritisi. Penulis berpendapat, adapun yang menjadi pemicu keraguan dan kritik tersebut adalah: 1. Ketiadaan suatu dasar hukum kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum yang diatur dalam bentuk Undang-Undang. Peraturan Jabatan PPAT selama ini hanya diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah. 2. Pembatasan kewenangan PPAT untuk membuat akta pertanahan dalam bentuk bebas diluar dari bentuk blanko akta yang telah ditentukan oleh Kepala BPN. Keterikatan PPAT untuk membuat akta pertanahan dengan cara mengisi blanko akta yang disediakan BPN dianggap mengurangi hakikat dari kedudukan PPAT sebagai pejabat umum. Dengan ditegaskannya kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum dalam sejumlah peraturan perundang-undangan seharusnya PPAT diberikan kewenangan yang sama dengan Notaris untuk membuat aktanya sendiri, bukan sebaliknya mengisi blanko akta. Perkembangan selanjutnya, lahirlah payung hukum baru yakni Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 (Perka BPN 8/2012), tepatnya diujung tahun 2012 yang lalu bertepatan pada tanggal 27 Desember 2012, melalui Kantor Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, membuat langkah-langkah yang sangat strategis dalam pemberian pelayanan khususnya 80 terhadap hubungan antara Kantor Pertanahan dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Langkah strategis itu tidak lain adalah mengeluarkan sebuah peraturan dimana dimungkinkan setiap PPAT dalam menjalankan jabatannya membuat desain sendiri akta-akta yang berhubungan di bidang pertanahan, baik yang menyangkut peralihan hak seperti Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemasukan kedalam Perusahaan, akta Pembagian Hak Bersama.127 Sedangkan dalam bidang jaminan (pertanggungan) pembuatan akta Pemberian Hak Tanggungan, Akta Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Maupun juga pelayanan pembuatan akta Pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. Sebelumnya setiap pelayanan yang berhubungan dengan peralihan hak dan pembebanan jaminan, setiap PPAT selalu menggunakan blanko (formulir) akta yang telah disediakan oleh BPN setempat dengan format yang telah ditetapkan.128 Inti dari peraturan (Perka BPN 8/2012) tersebut khususnya pada Pasal 96 adalah menghilangan ketentuan dari Pasal 96 ayat (2) dari Perka BPN 3/1997 yang isinya adalah “Pembuatan akta sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 95 ayat (1) dan (2) harus dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk sebagaimana yang dimaksud ayat (1) yang disediakan”. Pasal 95 ayat (1) adalah ketentuan yang mengatur akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Ketentuan ini yang 127 Bambang S. Oyong, 2013, “Peraturan KBPN Nomor 8 Tahun 2012 Dalam Kajian Tugas Pekerjaan PPAT”, diakses pada tanggal 18 Februari 2013, URL : http://bambangoyong.blogspot.com/2013/01/normal-0-false-false-false-enus-x-none.html 128 Ibid. 81 menjadi dasar bahwa formulir (blanko) PPAT disediakan oleh Pemerintah dan bukan menjadi wewenang PPAT dalam menjalankan jabatannya. Penggunaan blanko atau formulir oleh PPAT yang disediakan dan dijadikan dasar PPAT untuk melaksanakan peralihan hak dan pemasangan hak tanggungan, selalu menimbulkan persepsi apakah akta PPAT tersebut dapat dinyatakan sebagai akta otentik? Hal ini menimbulkan dilematis oleh PPAT. Apalagi jika melihat dari definisi akta otentik yang mengacu pada ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata yaitu “akta yang (dibuat) dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai2 umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya”. Dari ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata tersebut, bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat dihadapan atau oleh pejabat umum yang ditunjuk untuk itu. Ketentuan “dibuat” diartikan dari proses awal dan akhir merupakan proses pekerjaan PPAT. Bukan dalam konteks pengisian formulir (blanko) oleh PPAT yang selama ini terjadi, jika dihubungkan pada tanggung jawab seorang PPAT. Menurut Bambang S. Oyong, Perka BPN No. 8 tahun 2012, telah memberikan jalan bagi seorang PPAT untuk lebih kreatif lagi dalam pembuatan akta-akta yang selama ini dijalankan oleh seorang Notaris, yang mana setiap akta yang buat oleh Notaris merupakan hasil karya dan olah pikir dalam kajian hukum untuk kepentingan para pihak, dengan terlebih dahulu melaksanakan pemetaan kasus-kasus disamping pada fungsi pengidentifikasi para pihak apakah dapat bertindak atau tidak.129 129 Ibid. 82 Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa akta mempunyai fungsi sebagai berikut:130 1. Fungsi formil (formalitas causa) yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat suatu akta, disini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. 2. Fungsi alat bukti (probationis causa) bahwa akta itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari, sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian, tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari. Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli, Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah. 131 Menurut Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (yang sekarang sudah disempurnakan dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah), pendaftaran jual beli itu hanya dapat (boleh) di lakukan dengan akta PPAT sebagai buktinya. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertifikat, biarpun jual belinya sah menurut hukum.132 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa 130 Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-7 Cet. 1, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo II), hal. 121-122. 131 Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. ke-4, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 79. 132 Boedi Harsono II, Op.cit, hal. 52. 83 akta PPAT merupakan syarat mutlak yang harus ada dalam suatu peralihan hak atas tanah, karena berkaitan dengan pendaftarannya, dimana BPN akan menolak pendaftarannya apabila tidak melampirkan Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan PPAT. Selanjutnya Sjaifurrachman menyimpulkan bahwa akta otentik sekurangkurangnya mempunyai tiga fungsi yaitu:133 1. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan perjanjian tertentu; 2. Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak; 3. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu kecuali apabila ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak. Dengan demikian, suatu akta pada dasarnya memiliki ragam fungsi berkenaan dengan tindakan hukum, antara lain, fungsi menentukan keabsahan atau syarat pembentukan dan fungsi sebagai alat bukti.134 Menurut Mochammad Dja’is dan RMJ Koosmargono, akta dilihat dari fungsinya untuk menentukan keabsahan atau syarat pembentukan adalah dalam kaitannya terhadap lengkap atau sempurnanya (bukan sahnya) suatu perbuatan hukum, dan dilihat dari segi fungsinya sebagai alat bukti, akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna (hanya satu bukti cukup sebagai dasar pemutus perkara, akta otentik 133 Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 115. 134 Herlien Budiono, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum Perjanjian Berlandaskan AsasāAsas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 256. 84 dianggap benar adanya dan pihak yang membantah dibebani untuk membuktikan kebenaran bantahannya).135 Menurut B.I.P. Suhendro, fungsi akta PPAT sebagai alat bukti menjadi sangat penting dalam membuktikan akan suatu perbuatan hukum yang menjadi dasar timbulnya hak atau perikatan tersebut. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.136 Fungsi akta PPAT sebagai alat bukti menjadi sangat penting dalam membuktikan akan suatu perbuatan hukum yang menjadi dasar timbulnya hak atau perikatan dimana hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantahkan suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.” Tanpa adanya akta otentik yang di buat dihadapan seorang PPAT maka secara hukum perolehan hak tersebut belum diakui dan sebenarnya hak atas tanah dan bangunan masih ada pada pihak yang mengalihkan hak tersebut. Untuk melindungi pihak yang memperoleh hak, maka akta otentik yang dibuat pada saat perolehan hak dilakukan merupakan alat 135 Mochammad Dja’is dan RMJ Koosmargono, 2008, Membaca dan Mengerti HIR, Penerbit Undip, Semarang, hal. 157. 136 B.I.P. Suhendro dalam Reza Febriantina, 2010, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan Akta Otentik”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 92. 85 pembuktian yang kuat yang menyatakan adanya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan bangunan yang dimaksud kepada pihak yang dinyatakan memperoleh hak tersebut. Adanya akta PPAT yang bermaksud membuat akta perjanjian pengalihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, penukaran, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak karena lelang yang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang dan jika akta peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun tersebut sudah didaftarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam daftar buku tanah, maka kepala Kantor Pertanahan memberikan sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan kepada pembeli. 2.3 Tata Cara Pembuatan Akta PPAT Berkaitan dengan jual beli tanah, terdapat 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan tata cara pembuatan akta PPAT, yakni syarat formil dan syarat materil. Adapun syarat formil dari tata cara pembuatan akta PPAT tersebar dalam berbagai peraturan yang terkait ke-PPAT-an. Mengenai bentuk dan tata cara pembuatan akta PPAT didasari oleh Pasal 24 PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT yang menentukan “Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan akta PPAT diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pendaftaran tanah.” Ketentuan dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur mengenai hal ini ditegaskan pada Pasal 38 ayat 86 (2) yang menentukan “Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri”. Peraturan yang dimaksud adalah PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang diatur pada Pasal 95-102. Ketentuan formil lainnya dapat juga ditemui pada Pasal 21-24 PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, Pasal 51-55 Perka BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, dan peraturan yang berkaitan dengan perpajakan.137 1. Syarat Formil Dalam hal pembuatan akta PPAT, terdapat tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh PPAT yaitu: a. Pasal 97 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “Sebelum melaksanakan pembuatan akta jual beli hak atas tanah, terlebih dahulu PPAT wajib melakukan pemeriksaan ke Kantor Pertanahan setempat untuk mengetahui kesesuaian sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan dengan memperlihatkan sertifikat asli kepada petugas Kantor Pertanahan.” b. Pasal 96 Perka BPN 8/2012 tentang Perubahan Atas PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “Penyiapan dan pembuatan akta dilakukan oleh PPAT sendiri dan 137 Ketentuan formil mengenai tata cara pembuatan akta PPAT ini pada substansinya adalah sama, dan Penulis lebih menitikberatkan pada pengaturan yang diatur pada PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, karena lebih memiliki relevansi secara yuridis. 87 harus dilakukan dalam bentuk yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan.” Ketentuan mengenai bentuk akta telah mengalami perubahan dengan disahkannya Perka BPN 8/2012, dimana pada peraturan yang lama pembuatan akta harus dilakukan dengan menggunakan formulir (blanko) akta yang dikeluarkan oleh BPN. Artinya PPAT tinggal mengisi blanko yang bentuk dan formatnya telah ditentukan oleh BPN. Sedangkan ketentuan pada Perka BPN 8/2012, PPAT diberi keleluasaan untuk menyiapkan dan membuat akta PPAT sendiri. Akan tetapi bentuk dan formatnya harus mengikuti ketentuan yang diatur oleh BPN sebagaimana terlampir pada lampiran 16-23 Perka BPN 3/1997. Menurut Habib Adjie sebagaimana dikutip oleh Reza Febriantina, mengemukakan bahwa beliau setuju saja dengan adanya blanko akta tersebut, karena untuk mempermudah pemeriksaan di BPN/Kantor Pertanahan, hanya saja untuk pencetakan berikan saja kewenangan kepada PPAT (mencetak sendiri), artinya membuat blanko sendiri, tidak menggunakan atau membeli blanko yang dicetak oleh pihak lain. 138 Penulis menyimpulkan bahwa perubahan yang diatur dalam peraturan yang baru tersebut bertujuan untuk mengatasi terjadinya kelangkaan blanko, sehingga PPAT diberi kewenangan untuk membuat akta sendiri akan tetapi bentuk dan formulasinya harus sama seperti yang ditentukan oleh BPN. Sebagaimana di atur pada Pasal 96 ayat (5) Perka BPN 8/2012 “Kepala Kantor Pertanahan menolak pendaftaran akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana 138 Reza Febriantina, Op. cit, hal. 127. 88 diatur pada ayat (1)”. Artinya adalah BPN akan menolak akta PPAT yang bentuk dan formatnya tidak sesuai dengan ketentuan dari BPN. Sebelum Perka BPN 8/2012 berlaku apabila terjadi kelangkaan blanko, PPAT tidak diberikan kewenangan untuk membuat aktanya sendiri. BPN melalui suratnya Nomor 640/1884 tertanggal 31 Juli 2003 telah memberikan kewenangan kepada Kanwil BPN dalam menghadapi keadaan mendesak seperti dalam menghadapi kelangkaan dan kekurangan blanko akta PPAT dengan membuat fotocopy blanko akta sebagai ganti blanko akta yang dicetak, dengan syarat pada halaman pertama setiap fotocopy blanko akta itu dilegalisasi oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Propinsi atau pejabat yang ditunjuk serta dibubuhi paraf dan cap dinas pada setiap halaman.139 c. Pasal 98 ayat (2) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menentukan : “Dalam hal izin pemindahan hak diperlukan maka izin tersebut harus sudah diperoleh sebelum akta pemindahan atau pembebanan hak yang bersangkutan dibuat.” d. Pasal 99 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima hak harus membuat pernyataan yang menyatakan: a. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 139 Bambang S. Oyong, Loc.cit. 89 b. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform; d. bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tidak benar.” e. Pasal 101 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” f. Pasal 101 ayat (2) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.” g. Pasal 101 ayat (3) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai 90 isi dan maksud pembuatan akta dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku.” h. Pasal 23 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT : “PPAT dilarang membuat akta, apabila PPAT sendiri, suami atau istrinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.” i. Pasal 40 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah : “Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.” j. Pasal 40 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah : “Terhadap perbuatan hukum pengalihan hak tersebut, maka PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagai mana dimaksud di atas kepada para pihak yang bersangkutan.” k. Pasal 91 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah : “Sebelum dilakukannya penandatanganan akta jual beli, PPAT harus terlebih dahulu meminta bukti pembayaran pajak, ketentuan ini menyatakan: “Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak”. 91 Ketentuan mengenai tugas PPAT untuk meminta bukti pembayaran pajak dari pembeli diatur pada Pasal 24 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah (UU BPHTB), yang menyatakan : “PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.” Sedangkan bagi penjual diatur pada Pasal 2 ayat (2) PP No. 71 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, yang menyatakan : Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi atau badan dimaksud bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak yang bersangkutan dengan menunjukkan aslinya. 2. Syarat Materil. Selain tahapan-tahapan syarat formil tersebut di atas, Adrian Sutedi mengemukakan bahwa syarat materil sangat menentukan sahnya jual beli tanah, antara lain sebagai berikut :140 a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang dibelinya atau memenuhi syarat sebagai subyek hak milik. b. Penjual berhak untuk menjual tanah yang bersangkutan Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja pemegang hak yang sah atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang 140 Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 77-78. 92 tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, apabila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual. c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam keadaan sengketa. Jika salah satu syarat materil ini tidak dipenuhi dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah, atau tanah yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum. Artinya, sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli. Bentuk tahapan-tahapan dari pemenuhan syarat materil dalam pembuatan akta PPAT, secara praktek adalah dengan meminta dan memperhatikan dengan teliti dan seksama hal-hal sebagai berikut:141 1. Identitas dari para pihak, PPAT harus memeriksa kebenaran formil dari identitas para pihak dan dasar hukum tindakan para pihak. (Dasar hukum tindakan para pihak misalnya : Pihak penjual yang mempunyai wewenang untuk menjual tanah adalah pasangan suami istri (jika suami yang menjual, maka harus ada surat persetujuan dari istri), ahli waris (harus ada persetujuan dari semua pemegang ahli waris), anak dengan umur lebih dari 18 tahun (jika dibawah 18 tahun, maka harus ada wali), atau pihak yang diberi kuasa dari pemilik untuk menjual). 2. Jangka waktu berakhirnya hak atas tanah yang diperjualbelikan (Apabila status obyek jual beli adalah HGB/HGU/HP, karena jika jangka waktunya berakhir, tanahnya kembali dikuasai oleh negara). 3. Harga jual beli harus sudah dibayar lunas sebelum akta ditandatangani (Konsekuensi dari UUPA yang berdasarkan kepada Hukum Adat, dimana syarat jual beli harus terang, tunai, dan riil). 4. Tidak terdapat tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). (Meminta bukti Pembayaran PBB minimal 3 tahun tahun terakhir, PBB tahun terakhir tersebut juga akan dipergunakan oleh PPAT untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan (PPh) atas peralihan hak atas tanah bagi penjual dan untuk menghitung besarnya pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk pembeli.). 141 Rizal, 2011, “Peran PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah”, diakses pada tanggal 20 Februari 2013, URL : http://myrizal76.blogspot.com/2011/08/peran-ppat-dalam-peralihan-hak-atas.html (dalam kurung merupakan tambahan dari Penulis). 93 5. Obyek jual beli (tanah) yang diperjualbelikan harus berada dalam wilayah kerja PPAT yang bersangkutan (Terkait dengan kewenangan PPAT dalam hal pembuatan akta). Ketentuan mengenai syarat materil diatas, secara yuridis adalah berdasarkan ketentuan dalam Pasal 39 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yakni PPAT berwenang menolak untuk membuat akta jual beli jika:142 a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar, kepadanya tidak disampaikan sertifikat asli hak yang bersangkutan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; b. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan jual beli atau saksinya tidak berhak atau memenuhi syarat untuk bertindak dalam jual beli; c. Salah satu atau para pihak bertindak atas dasar surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; d. Untuk jual beli yang akan dilakukan belum diperoleh izin pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. Obyek jual beli yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan/atau data yuridis; dan f. Tidak dipenuhinya syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 142 Urip Santoso, Op.cit, hal. 375. BAB III TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH ATAS AKTA JUAL BELI TANAH YANG DIBUATNYA MENGANDUNG CACAT HUKUM 3.1 Sebab Degradasi Kekuatan Pembuktian dan Batalnya Akta PPAT Definisi akta menurut A. Pitlo dalam bukunya Pembuktian dan Daluwarsa terjemahan M. Isa Arief bahwa akta merupakan surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu di buat.143 Menurut Sudikno Mertokusumo akta adalah surat yang diberi tanda tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. 144 Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan akta, adalah: 1. Perbuatan handeling/perbuatan hukum rechtshandeling itulah pengertian yang luas, dan 2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada pembuktian tersebut.145 Selanjutnya dalam kaitannya dengan akta PPAT, maka fungsi akta bagi para pihak yang berkepentingan adalah: a. Sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum; 143 A. Pitlo, 1986, Pembuktian dan Daluwarsa, alih bahasa M. Isa Arief, Intermasa, Jakarta, hal. 52. 144 Sudikno Mertokusumo II, Op. cit, hal. 120. 145 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1993, Grosse Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rinika Cipta, Jakarta, hal. 26. 94 95 b. Sebagai alat pembuktian; c. Sebagai alat pembuktian satu-satunya.146 Salah satu fungsi akta adalah sebagai alat pembuktian, dimana mengenai alat bukti ini di dalam hukum perdata diatur dalam ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata, terdiri dari: 1. alat bukti tulisan; 2. pembuktian dengan saksi-saksi; 3. persangkaan-persangkaan; 4. pengakuan; dan 5. sumpah. Berdasarkan Pasal 1867 KUHPerdata menentukan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik, maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan. Jadi akta sebagai bukti (bentuk) terdiri dari akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan merupakan akta yang ditandatangani di bawah tangan, seperti surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum, demikian bunyi Pasal 1874 KUHPerdata. Jadi akta di bawah tangan merupakan akta yang sengaja dibuat oleh para pihak sendiri dan tidak dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta yang oleh para pihak dipergunakan sebagai alat bukti telah terjadinya suatu perbuatan hukum. Dengan demikian kekuatan pembuktian akta tersebut hanya sebatas pihak-pihak yang membuatnya saja. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”. 146 A. Pitlo, Op. cit. hal. 54. 96 Dalam hubungannya dengan tugas jabatan PPAT, otentisitas akta yang dibuatnya memiliki fungsi yag penting sebagaimana diatur dalam ketentuan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa akta PPAT sebagai akta otentik memiliki 2 (dua) fungsi yaitu : 1. Sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun dan; 2. Sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Penulis menyimpulkan bahwa fungsi akta PPAT (jual beli) adalah: 1. Merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi atau mutlak, tanpa itu berarti tidak ada (conditio sine qua non) bagi perbuatan jual beli tersebut; 2. Sebagai bukti bahwa jual beli telah dilangsungkan atau telah terjadi dan dilakukan dihadapan PPAT; 3. Sebagai bukti bahwa hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli tersebut telah berpindah dari penjual kepada pembeli dan karenanya membuktikan bahwa pembeli telah menjadi pemilik baru atas tanah yang bersangkutan; 4. Sebagai sarana untuk pendaftaran jual beli di Kantor Pertanahan. Selanjutnya menurut Habib Adjie kebatalan atau ketidakabsahan dari suatu akta dalam kedudukannya sebagai akta otentik meliputi lima bagian yaitu:147 1. 2. 3. 4. 5. Dapat dibatalkan; Batal demi hukum; Mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan; Dibatalkan oleh para pihak sendiri; dan Dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena penerapan asas Praduga Sah. 147 Habib Adjie I, Op. cit, hal. 81. 97 Sebagai akta otentik, akta PPAT adalah sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna juga dapat terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi seperti akta dibawah tangan, atau bahkan dinyatakan batal demi hukum. Degradasi kekuatan bukti akta otentik menjadi kekuatan bukti dibawah tangan, dan cacat yuridis akta otentik yang mengakibatkan akta otentik dapat dibatalkan atau batal demi hukum, terjadi jika ada pelanggaran atau penyimpangan terhadap syarat formil dan syarat materil sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang terkait. 3.1.1 Akibat Hukum Penyimpangan Terhadap Syarat Formil. Adapun unsur-unsur atau syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta otentik dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Artinya jika bentuknya tidak ditentukan oleh undang-undang maka salah satu unsur akta otentik itu tidak terpenuhi dan jika tidak dipenuhi unsur tersebut maka tidak akan pernah ada yang disebut dengan akta otentik. 2. Akta itu harus dibuat oleh door atau dihadapan ten overstaan seorang Pejabat Umum. Menurut Habib Adjie, akta otentik tidak saja dapat dibuat dihadapan Notaris, tapi juga dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang, dan Pegawai Kantor Catatan Sipil. 148 Sedangkan menurut M. Ali Boediarto, akta PPAT dikategorikan sebagai akta otentik, meskipun sampai saat ini belum ada perintah undang-undang yang mengatur mengenai akta 148 Habib Adjie I, Op. cit, hal. 48. 98 PPAT. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 22 Maret 1972, Nomor 937 K/Sip/1970, bahwa akta jual beli tanah yang dilaksanakan di hadapan PPAT dianggap sebagai bukti surat yang mempunyai kekuatan bukti sempurna.149 3. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk membuatnya di tempat dimana akta itu dibuat. Pengertian berwenang disini meliputi berwenang terhadap orangnya, berwenang terhadap aktanya, berwenang terhadap waktunya, berwenang terhadap tempatnya. Pasal 1869 KUHPerdata merumuskan: “Suatu akta yang karena tidak berkuasanya atau tidak cakapnya pegawai termaksud diatas atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidaklah dapat diberlakukan sebagai akta otentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan”. Artinya suatu akta tidak memiliki kekuatan bukti otentik dan hanya memiliki kekuatan bukti dibawah tangan apabila: a. Pejabat umum tidak berwenang untuk membuat akta itu; b. Pejabat umum tidak mampu atau tidak cakap untuk membuat akta itu; c. Cacat dalam bentuknya. Pengertian kata “bentuk” dalam Pasal 1868 dan Pasal 1869 KUHPerdata, menurut pendapat Penulis tidak saja pengertian bentuk dalam arti fisik, tapi juga pengertian bentuk dalam arti yuridis, sehingga pengertian bentuk dalam pasalpasal tersebut dapat dimaknai sebagai tata cara pembuatan akta otentik sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang terkait 149 M. Ali Boediarto, 2005, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justitia, Jakarta, hal. 146. 99 mengenai persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu akta dapat disebut sebagai akta otentik. Berkaitan dengan tugas dan kewenangan PPAT ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi mengenai tata cara pembuatan akta jual beli tanah (akta PPAT) tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait ke-PPAT-an 150 , diantaranya terdapat di dalam: a. PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT; b. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; c. Perka BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, sebagaimana telah diubah dengan, Perka BPN No. 23 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Perka BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT; d. PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana telah diubah dengan, Perka BPN No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah; e. UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Jo. PP No. 71 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Jo. UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah.151 Adapun dalam prakteknya pelanggaran terhadap prosedur dan persyaratan formil pembuatan akta PPAT dalam hal yakni : 150 Berpandangan pada pengaturan mengenai tata cara pembuatan akta PPAT di Indonesia (ius constitutum) yang tidak teratur dengan baik dan tumpang tindih atau tidak sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan, sebaiknya peraturan perundang-undangan yang akan berlaku kemudian (ius constituendum) dibentuk suatu unifikasi hukum dalam pengaturan mengenai kePPAT-an di Indonesia. 151 Poin e adalah pengejawantahan dari pelaksanaan Pasal 39 ayat (1) huruf f PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah: “Tidak dipenuhinya syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku”. 100 a. PPAT belum melakukan cek bersih atau pemeriksaan kesesuaian data ke Kantor Pertanahan, akan tetapi penandatanganan akta jual beli telah dilakukan. Pasal 97 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : Sebelum melaksanakan pembuatan akta jual beli hak atas tanah, terlebih dahulu PPAT wajib melakukan pemeriksaan ke Kantor Pertanahan setempat untuk mengetahui kesesuaian sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan dengan memperlihatkan sertifikat asli kepada petugas Kantor Pertanahan. Pemeriksaan ini perlu dilakukan agar tidak terjadi jual beli tanah terhadap sertifikat palsu atau sertifikat ganda atau sertifikat asli tapi palsu (Aspal). Hal ini untuk menghindari terjadinya penipuan dalam transaksi tanah dimana ternyata yang dijual bukan milik penjual yang berhak. 152 Menurut Boedi Harsono, PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan. Antara lain mencocokkan data yang terdapat dalam sertifikat dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan. 153 Selain akan berpengaruh terhadap kekuatan pembuktian dari akta yang dibuat, bagi pihak pembeli terdapat resiko sertifikat terblokir atau sertifikat tidak sesuai dengan daftar yang ada dalam buku tanah di Kantor Pertanahan. b. Penandatanganan akta jual beli oleh para pihak (penjual dan pembeli) tidak dilakukan dalam waktu yang bersamaan di hadapan PPAT dan atau di hadapan PPAT yang menandatangani akta jual beli. 152 J. Andy Hartanto, 2012, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertifikat, Cet. Ke-2, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal. 59. 153 Boedi Harsono II, Op.cit, hal, 507 101 Pasal 101 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Artinya proses pembuatan akta jual beli hingga penandatanganan akta jual beli oleh penjual dan pembeli harus dilakukan dengan dihadiri para pihak dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi ada kalanya persyaratan ini tidak dilakukan, dimana salah satu alasannya adalah karena kesibukan para pihak sehingga para pihak tidak dapat datang ke kantor PPAT pada saat yang bersamaan untuk melakukan penandatanganan akta. c. Pembuatan dan penandatanganan akta jual beli dilakukan diluar daerah kerja PPAT dan atau diluar Kantor PPAT dan tanpa dihadiri oleh saksi-saksi. Pasal 101 ayat (2) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan. PPAT dalam melakukan pembuatan akta harus melakukannya di kantor PPAT yang bersangkutan dengan dihadiri oleh para pihak atau kuasanya. PPAT dapat membuat akta di luar kantornya hanya apabila salah satu pihak dalam perbuatan hukum atau kuasanya tidak dapat datang di kantor PPAT 102 karena alasan yang sah, dengan ketentuan pada saat pembuatan aktanya para pihak harus hadir dihadapan PPAT di tempat pembuatan akta yang disepakati. Alasan-alasan yang dapat dianggap sebagai alasan yang sah adalah, apabila pihak yang bersangkutan dalam keadaan sakit atau oleh karena telah berusia lanjut sehingga tidak dapat datang ke kantor PPAT. Hal yang paling mendasar adalah pihak yang tidak dapat hadir itu haruslah berdomisili di daerah kerja PPAT yang bersangkutan, karena PPAT hanya mempunyai kewenangan untuk membuat akta di daerah kerjanya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 PJPPAT, “Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya”. d. PPAT tidak membacakan isi dari akta jual beli dihadapan para pihak secara terperinci, hanya menjelaskan mengenai maksud dari pembuatan akta. Pasal 101 ayat (3) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku”. Pelanggaran terhadap pasal ini termasuk kedalam cacat bentuk, karena pembacaan akta oleh PPAT dihadapan para pihak dan saksi merupakan suatu kewajiban untuk menjelaskan, bahwa akta yang dibuatnya tersebut sesuai dengan kehendak yang bersangkutan dan bila isi akta disetujui maka oleh penjual dan calon pembeli akta tersebut akan ditandatangani oleh para pihak, sekaligus saksi dan PPAT sendiri. 103 e. Nilai harga transaksi yang dimuat di akta jual beli tidak sesuai dengan nilai harga transaksi sebenarnya. Pasal 87 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah : 1. Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. 2. Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dalam hal: a. jual beli adalah harga transaksi; b. …… Pembuatan akta jual beli yang nilai transaksi peralihan haknya lebih kecil dari nilai transaksi riil bertujuan untuk mengurangi jumlah kewajiban pembayaran pajak PPh (bagi Penjual) dan BPHTB (bagi Pembeli). Nilai transaksi yang dimuat dalam akta jual beli biasanya mengikuti nilai dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dibulatkan ke atas atau berdasarkan penilaian dari Dispenda terkait zona nilai tanah masing-masing daerah. Jadi tujuan dilakukannnya pengecilan nilai transaksi dalam akta jual beli adalah untuk mengecilkan jumlah pajak-pajak yang harus dibayar. f. Penandatanganan akta jual beli telah dilakukan akan tetapi para pihak belum melakukan pembayaran pajak, yakni Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan bagi Penjual, dan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi Pembeli. Pasal 91 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah : “Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak” 104 Bagi Penjual berlaku Pasal 2 ayat (2) PP No. 71 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan : Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi atau badan dimaksud bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak yang bersangkutan dengan menunjukkan aslinya. Bagi Pembeli berlaku Pasal 24 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah : “PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.” Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan di atas terkadang terjadi dengan berbagai alasan, salah satunya adalah kekurang pahaman maupun kesibukan dari para pihak untuk melakukan penyetoran pajak berkaitan dengan transaksi jual beli tanah yang dilakukannya. Para pihak seringkali menyerahkan prosedur tersebut kepada PPAT yang dianggap lebih paham mengenai hal itu. Jadi akta jual beli tersebut belum diberi nomor dan tanggal oleh PPAT, karena PPAT terlebih dahulu harus melakukan pembayaran pajak-pajak yang menjadi kewajiban masingmasing pihak. Untuk melakukan pembayaran pajak sampai dengan validasi, paling cepat dibutuhkan waktu satu hari kerja. Dengan demikian, akta jual beli yang telah ditandatangani oleh para pihak sampai dengan keesokan harinya masih 105 belum diberi nomor dan tanggal, sehingga dapat dikatakan tanggal penandatanganan akta tidak sama dengan tanggal peresmian akta. Menurut Syafnil Gani sebagaimana dikutip oleh Pantas Situmorang, bahwa : Bukti setoran PPh dan BPHTB sepintas lalu termasuk ke dalam syarat formal, namun pada dasarnya bukan merupakan syarat formal dalam pembuatan akta tetapi merupakan syarat tambahan (supplement), karena sebenarnya persoalan perbuatan hukum peralihan hak seperti jual beli merupakan satu masalah tersendiri dan pembayaran pajak merupakan masalah tersendiri pula, tetapi karena di negara kita masih dominan kepentingan politik daripada penegakan hukum, maka terjadilah intervensi undang-undang perpajakan terhadap perbuatan hukum peralihan hak. Tetapi walau bukti setoran PPh atau BPHTB tersebut merupakan syarat supplement, namun hal itulah yang banyak menimbulkan potensi konflik dari proses pembuatan akta.154 Pelanggaran terhadap ketentuan dari poin a-f di atas sebenarnya disadari oleh PPAT berikut konsekuensi yuridis yang bisa dikenai, dan terdapat berbagai macam faktor yang menyebabkan terjadinya pembuatan akta jual beli yang tidak sesuai atau menyimpang dari tata cara pembuatan akta PPAT, akan tetapi praktek tersebut tetap dilakukan karena ada keyakinan bahwa apabila PPAT tidak menerima atau tidak mau untuk melakukan perbuatan seperti itu maka klien mereka akan berpindah dengan mempergunakan jasa PPAT lain ditambah lagi ada rasa segan terhadap klien yang sudah lama jadi langganan PPAT bersangkutan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata degradasi mempunyai arti penurunan, tentang pangkat, mutu, moral dan sebagainya, kemunduran, kemerosotan atau dapat juga menempatkan ditingkat atau posisi yang lebih 154 Pantas Situmorang, 2008, “Problematika Keotentikan Akta PPAT”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 102-103. 106 rendah.155 Dalam pengertian yang umum, dalam hubungannya dengan kekuatan pembuktian, akta PPAT sebagai akta otentik memiliki kekuatan bukti yang lengkap atau sempurna dan memiliki kekuatan mengikat, serta telah mencukupi batas minimal alat bukti yang sah tanpa lagi diperlukan alat bukti lain dalam suatu sengketa perdata156. Pada prinsipnya keabsahan akta PPAT meliputi isi dan kewenangan pejabat yang membuat, serta tata cara pembuatannya pun harus memenuhi syarat yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara formalitas akta tersebut tetap akta otentik dan pelaksanaan pendaftaran tanahnya dapat tetap diproses di Kantor Pertanahan. Namun apabila timbul sengketa dan para pihak yang berkepentingan dapat membuktikan bahwa akta tersebut telah dibuat dengan tanpa memenuhi satu atau beberapa tata cara pembuatan akta PPAT (syarat formil pembuatan akta PPAT), maka akta dapat terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan. Dengan demikian apabila sebuah akta jual beli tanah tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas, konsistensi kekuatan pembuktiannya menjadi lemah. Dalam kaitannya dengan akta PPAT, ketentuan tersebut tercantum dalam ketentuan Pasal 95-102 PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Ketentuan dalam 155 Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi ke-4, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 304. 156 Berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya, artinya hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akta tersebut sungguh telah terjadi sesuatu yang benar, dan hakim tidak boleh memerintahkan menambah bukti yang lain. 107 pasal-pasal itu merupakan syarat formil dari prosedur pembuatan akta PPAT, yang apabila dilanggar oleh PPAT, maka akta PPAT itu hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan sepanjang para pihak menandatanganinya, dan degradasi kekuatan bukti akta PPAT tersebut menjadi akta dibawah tangan sejak adanya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sepanjang berubahnya atau terjadinya degradasi dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan tidak menimbulkan kerugian, maka PPAT bersangkutan tidak dapat dimintakan tanggung jawab hukumnya melalui Pasal 1365 KUHPerdata. Namun apabila karena degradasi kekuatan bukti menjadi akta dibawah tangan tersebut menimbulkan kerugian, dimana adanya pihak ketiga yang memanfaatkan keadaan ini sehingga salah satu pihak mendapatkan kerugian maka PPAT bersangkutan dapat digugat dengan perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur didalam Pasal 1365 KUHPerdata. Jadi kesimpulannya secara formil faktor yang dapat menyebabkan akta PPAT menjadi cacat hukum, apabila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 95-102 PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto Pasal 1868 dan 1869 KUHPerdata, maka akta otentik dapat turun atau terdegradasi kekuatan pembuktiannya dari mempunyai kekuatan pembuktian sempurna menjadi hanya mempunyai kekuatan pembuktian selayaknya akta dibawah tangan, jika pejabat umum yang membuat akta itu tidak berwenang untuk membuat akta tersebut atau jika akta tersebut cacat dalam bentuknya, karena dalam perjalanan proses pembuatan akta tersebut terdapat salah satu atau lebih penyimpangan terhadap 108 syarat formil dari prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT, baik disengaja maupun karena kealpaan dan/atau kelalaian dari PPAT bersangkutan. 3.1.2 Akibat Hukum Penyimpangan Terhadap Syarat Materil. Di samping sebab kebatalan kekuatan pembuktian sempurna dari suatu akta PPAT menjadi terdegradasi kekuatan pembuktiannya selayaknya akta dibawah tangan yang disebabkan oleh penyimpangan terhadap syarat formil dari tata cara pembuatan akta PPAT sebagaimana telah diuraikan di atas, juga terdapat faktor penyebab kebatalan lain, yakni yang berkaitan dengan penyimpangan terhadap syarat materil dari tata cara pembuatan akta PPAT baik menyangkut subyek maupun obyeknya. Faktor lain pembatalan sebagaimana dimaksud adalah ketentuan yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sahnya suatu perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diantaranya dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi 4 (empat) syarat yaitu :157 a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; b. Kecakapan membuat suatu perjanjian; c. Suatu hal tertentu; dan d. Kausa yang halal atau tidak terlarang. Ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut menunjukkan bahwa syarat tersebut bersifat kumulatif artinya setiap perjanjian yang dibuat harus memenuhi keempat persyaratan tersebut secara bersama-sama. Tidak dipenuhinya salah satu syarat dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut, mengakibatkan 157 Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa, Jakarta, hal. 17. 109 perjanjian cacat hukum, yang keabsahannya dapat dipertanyakan, dalam arti dapat batal demi hukum dan/atau dapat dibatalkan oleh pihak ketiga yang berkepentingan. Syarat a dan b merupakan syarat subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, dan jika syarat subyektif dilanggar, maka aktanya dapat dibatalkan, sedangkan syarat c dan d merupakan syarat obyektif, karena mengenai isi perjanjian dan jika syarat obyektif dilanggar, maka akta batal demi hukum. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, cacat dalam perjanjian diancam kebatalan baik dalam bentuk dapat dibatalkan maupun batal demi hukum. Pembatalan suatu akta PPAT yang tidak memenuhi syarat materil dari tata cara pembuatan akta PPAT bisa dibedakan menjadi 2 terminologi yang memiliki konsekuensi yuridis, yaitu:158 1. Voidable; Bila salah satu syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjiannya bukannya batal demi hukum, tetapi salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas). 2. Null and Void; Dari awal perjanjian itu telah batal, atau dianggap tidak pernah ada, apabila syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjian itu batal demi hukum, dari semula tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Sedangkan menurut J.H. Niewenhuis, suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat sah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, baik syarat 158 Bung Pokrol , 2004, “Batalnya Suatu Perjanjian”, diakses pada tanggal 9 April 2013, URL : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3520 110 subyektif maupun syarat obyektif akan mempunyai akibat-akibat, sebagai berikut :159 1. Noneksistensi; apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul perjanjian. 2. Vernietigbaar; atau dapat dibatalkan, apabila perjanjian tersebut lahir karena adanya cacat kehendak (wilsgebreke) atau karena ketidakcakapan (onbekwaamheid) – (Pasal 1320 BW syarat a dan b), berarti hal ini terkait dengan unsur subyektif, sehingga berakibat perjanjian tersebut dapat dibatalkan. 3. Nietig; atau batal demi hukum, apabila terdapat perjanjian yang tidak memenuhi syarat objek tertentu atau tidak mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan – (Pasal 1320 BW syarat c dan d), berarti hal ini terkait dengan unsur obyektif, sehingga berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum. Adapun ketentuan mengenai syarat materil dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan jabatan PPAT, adalah berdasarkan ketentuan dalam Pasal 39 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yakni PPAT berwenang menolak untuk membuat akta jual beli apabila :160 1. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftardaftar yang ada di Kantor Pertanahan. 2. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan: a. Surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan b. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk 159 J.H. Niewenhuis, Op.cit, hal. 2. Penulis berpendapat makna kata “menolak” pada ketentuan ini adalah dalam artian suatu syarat yang sifatnya mutlak, karena sifatnya mutlak berarti bersifat materil, sehingga PPAT dilarang untuk menerima pembuatan akta jual beli apabila menyimpang dari ketentuan ini. Berpijak pada penafsiran a contrario, maka PPAT harus menerima pembuatan akta jual beli apabila memenuhi ketentuan tersebut, dan ketentuan ini adalah sebagai syarat materil dari prosedur pembuatan akta PPAT. 160 111 c. d. e. f. g. tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan jabatan PPAT, dalam prakteknya seorang PPAT harus menolak hal-hal berikut ini karena berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yang apabila dilanggar akan berakibat hukum sebagaimana terurai berikut : 1. Akta PPAT dapat dibatalkan Dalam kaitannya dengan syarat materil prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT adalah ketidakcakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (handelingsonbekwaamheid). a. Salah satu atau para penghadap dalam perjanjian tersebut tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, dan/atau tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu. Misalnya anak berumur 17 tahun tidak berwenang melakukan jual beli, walaupun ia yang berhak atas tanah itu. Jual beli terlaksana jika yang bertindak adalah ayah dari anak itu sebagai orang yang melakukan kekuasaan orang tua. Mengenai yang belum 112 dewasa diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata, yang menentukan: 1). Telah berusia 21 tahun, atau 2). Belum 21 tahun tetap sudah atau pernah kawin sebelumnya (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 330 Jo. 1330 KUHPerdata). b. Salah satu atau para penghadap bertindak berdasarkan kuasa, namun pemberi kuasa yang disebutkan dalam akta kuasa telah meninggal dunia. Berdasarkan Pasal 1813 KUHPerdata, berakhirnya pemberian kuasa dapat disebabkan karena penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa; penghentian kuasa oleh penerima kuasa; meninggalnya atau diampunya atau pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa; dan karena perkawinan perempuan sebagai pihak pemberi atau penerima kuasa (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 1813 KUHPerdata). c. Salah satu atau para penghadap bertindak berdasarkan kuasa substitusi, namun pada surat kuasa semula tidak dicantumkan klausula atau ketentuan tentang hal itu. Berdasarkan Pasal 1803 KUHPerdata mengatur bahwa pemberian kuasa substitusi harus dengan jelas disebutkan dalam surat kuasa, dan apabila jelas disebutkan maka pemberian kuasa substitusi harus diikuti dengan penyebutan nama penerima kuasa substitusi. Kuasa Substitusi adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan, atau dengan kata lain bahwa Kuasa Substitusi adalah Kuasa yang dapat dikuasakan kembali kepada orang lain. Surat kuasa bisa dialihkan kepada pihak lain dengan persetujuan pemberi kuasa awal, dengan ketentuan dalam surat kuasa yang pertama harus dinyatakan bahwa surat kuasa tersebut dapat dialihkan dengan hak substitusi. Jika tidak dinyatakan demikian, 113 maka surat kuasa tersebut dapat dinyatakan tidak sah (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 1803 KUHPerdata). Penyimpangan terhadap syarat materil (subyektif) ini menyebabkan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT bersangkutan dapat dimintai pembatalan oleh pihak yang tidak cakap dan/atau wakilnya yang sah, sehingga salah satu pihak dalam perjanjian maupun pihak ketiga, dapat mengajukan pembatalan atas perjanjian baik sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan maupun setelahnya. Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUHPerdata menentukan bahwa setiap kebatalan membawa akibat bahwa kebendaan dan orang-orang yang dipulihkannya sama seperti keadaan sebelum perjanjian itu dibuat. Jadi perjanjian yang telah di buat akan tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut. 2. Akta PPAT batal demi hukum Dalam kaitannya dengan syarat materil prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT adalah ketidakwenangan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (handelingsonbevoegdheid). a. Pihak penjual dalam akta PPAT tidak disertai dengan adanya persetujuan dari pihak-pihak yang berhak memberi persetujuan terhadap perbuatan hukum dalam suatu akta, artinya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, misalnya : - Sebidang tanah dalam sertifikat atas nama istrinya, sedangkan tanah tersebut adalah harta bersama dengan suaminya, akan tetapi istri tidak atau belum mendapat persetujuan menjual sendiri tanah tersebut dari suami, atau 114 suaminya belum memberikan persetujuan tertulis kepada istri. Demikian juga sebaliknya, istri belum memberi persetujuan kepada suami untuk menjual suatu tanah sebagai harta bersama walaupun tertulis atas nama suami (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 119 KUHPerdata). - Terhadap organ perseroan (Direksi) melakukan perbuatan untuk mengalihkan atau menjaminkan hak atas tanah yang merupakan harta kekayaan perseroan tanpa adanya persetujuan dari organ pesero (Dewan Komisaris dan/atau RUPS) yang ditetapkan dalam anggaran dasar perseroan. Demikian juga terhadap salah seorang atau beberapa orang pengurus yayasan dalam melakukan perbuatan hukum mengalihkan atau menjaminkan hak atas tanah tanpa persetujuan dari pembina yayasan dan koperasi yang ditetapkan dalam anggaran dasar (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997). - Sebidang tanah dalam sertifikat atas nama, misalnya X, tetapi Tuan X ini tunduk kepada KUHPerdata yakni sedang berada dibawah pengampuan, dan Y sebagai pengampu atau curator dari X (yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri), hendak menjual tanah tersebut dengan alasan untuk kepentingan X, akan tetapi Y belum mendapat persetujuan atau ijin dari Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 39 ayat (1) huruf e dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 452 Jo. 393 KUHPerdata). b. Penghadap yang hendak menjual tanah belum/tidak mendapat persetujuan dari para ahli waris. Dalam hal ini, perbuatan orang yang menjual tanah para ahli 115 waris tanpa persetujuan ahli waris merupakan perbuatan yang melanggar hak subyektif para ahli waris. Menurut Irma Devita Purnamasari yang disadur oleh Letezia Tobing, mengatakan jika ingin dilakukan penjualan atau misalnya tanah tersebut akan dijadikan sebagai agunan di bank, maka seluruh ahli waris yang lain harus hadir untuk memberikan persetujuan. Dalam hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di hadapan Notaris pembuat akta tersebut (karena berada di luar kota), maka ahli waris tersebut dapat membuat Surat Persetujuan di bawah tangan yang dilegalisir Notaris setempat atau dibuat Surat persetujuan dalam bentuk akta Notaris. 161 Dalam hal jual beli tanah tersebut tidak ada persetujuan dari para ahli waris, maka tanah tersebut dijual oleh orang yang tidak berhak untuk menjualnya, oleh karena itu, berdasarkan Pasal 1471 KUHPerdata “Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain”, maka jual beli tersebut batal. Dengan batalnya jual beli tersebut, maka jual beli tersebut dianggap tidak pernah ada, dan masing-masing pihak dikembalikan ke keadaannya semula sebelum terjadi peristiwa “jual beli” tersebut, yang mana hak milik atas tanah tetap berada pada ahli waris.162 (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 833 ayat (1) Jo. Pasal 832 ayat (1) KUHPerdata). 161 Letezia Tobing, 2013, “Akibat Hukum Jual Beli Tanah Warisan Tanpa Persetujuan Ahli Waris”, diakses pada tanggal 9 April 2013, URL : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50dbbb8cb848d/akibat-hukum-jualbeli-tanah-warisan-tanpa-persetujuan-ahli-waris 162 Ibid. 116 c. Salah satu penghadap bertindak berdasarkan surat kuasa mutlak, dimana surat kuasa mutlak pada saat ini tidak diperbolehkan lagi khususnya dalam hubungannya dengan Tanah (benda tidak bergerak) yaitu berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 tentang larangan penggunaan kuasa mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah, tanggal 6 Maret 1982, jual-beli tanah dengan menggunakan surat kuasa mutlak tidak sah, sehingga batal demi hukum. Pembuatan kuasa mutlak ini sebelumnya banyak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain kuasa mutlak ini merupakan jual beli tanah secara terselubung, dimana didalam klausul kuasa mutlak tersebut selalu dicantumkan “kuasa yang tidak dapat dicabut kembali” dan si penerima kuasa dapat melakukan perbuatan apapun juga baik itu tindakan pengurusan maupun tindakan kepemilikan atas tanah yang dimaksud.163 Misalnya penjual bertindak berdasarkan kuasa yang dibuat untuk menjamin perjanjian hutang-piutang, tidak dapat dianggap sebagai suatu pemberian kuasa secara sukarela dari pemberi jaminan atau debitur, dan kuasa ini menjadi tidak sah dan melanggar ketertiban umum, karena merupakan penyeludupan hukum terhadap larangan yang bersifat memaksa dimana jaminan harus dilakukan melalui pelelangan umum. Sebagaimana ditentukan oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I. No. 1991 K/Pdt/1994, tanggal 30 Mei 1996. Penulis berpendapat kuasa mutlak adalah kuasa yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan segala perbuatan 163 Anthonius Adhi Soedibyo, 2011, “Larangan Penggunaan Surat Kuasa Mutlak”, diakses pada tanggal 9 April 2013, URL : http://kenalhukum.blogspot.com/2011/01/larangan-penggunaan-surat-kuasamutlak.html 117 hukum yang dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi bukan karena tidak dapat dicabut, apabila dapat dicabut sewaktu-waktu justru akan membahayakan kedudukan penerima kuasa apabila penerima kuasa itu adalah seorang pembeli. (Pasal 39 ayat (1) huruf d PP No. 24 Tahun 1997). Penyimpangan terhadap syarat materil (obyektif) ini menyebabkan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT bersangkutan dapat dinyatakan batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian. Jadi kesimpulannya secara materil faktor yang dapat menyebabkan akta PPAT menjadi cacat hukum, apabila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 39 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto Pasal 1320 KUHPerdata, maka akta PPAT yang dibuatnya akan berkonsekuensi logis dapat ditolak pendaftarannya, dimana berkas permohonan pendaftaran peralihan haknya sudah diproses secara administratif, namun ketika diteliti substansi perbuatan hukumnya, terdapat permasalahan yang menyebabkan akta ditolak pendaftarannya. Selanjutnya berkaitan dengan tugas dan wewenang dari PPAT dalam pembuatan akta jual beli tanah yang mengandung unsur penyimpangan terhadap syarat materil dari prosedur pembuatan akta PPAT, yang terdiri dari syarat subyek (subyek hak atau orang-orang yang menghadap atau komparan) dan syarat obyek (obyek hak yang dialihkan), baik disengaja maupun karena kealpaan dan/atau kelalaian dari PPAT bersangkutan, maka akta PPAT itu akan memiliki konsekuensi yuridis atau berakibat hukum yaitu dapat dibatalkan dan/atau batal demi hukum. 118 3.2 Bentuk Pertanggungjawaban PPAT Atas Akta yang Mengandung Cacat Hukum Seorang PPAT dalam menjalankan tugas dan kewenangan jabatannya tersebut, khususnya berkaitan dengan tata cara pembuatan akta PPAT adakalanya melakukan kesalahan, dan kesalahan tersebut bisa saja menyangkut persyaratan formil maupun materil, misalnya : kesalahan mengenai ketidakwenangan PPAT dalam membuat akta otentik, yang berakibat hilangnya otensitas akta yang dibuatnya, atau kekuatan pembuktian akta tersebut tidak lagi sebagai alat bukti yang lengkap/sempurna, di antara dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, melainkan menjadi akta/surat di bawah tangan, dimana kesalahan tersebut bisa saja dilakukan dengan sengaja maupun tidak disengaja. Pertanggungjawaban yang diminta kepada PPAT bukan hanya dalam pengertian sempit yakni membuat akta, akan tetapi pertanggungjawabannya dalam arti yang luas, yakni tanggung jawab pada saat fase akta dan tanggung jawab pada saat pasca penandatanganan akta. Tanggung jawab profesi PPAT dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) hal, yaitu tanggung jawab etik dan tanggung jawab hukum. Tanggung jawab hukum ini dapat dibedakan pula menjadi 3 (tiga) macam, yaitu tanggung jawab berdasarkan hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. Delik adalah suatu kondisi di mana sanksi diberikan berdasarkan norma hukum yang ada. Tindakan manusia dikatakan sebagai suatu delik karena aturan hukum mengenakan suatu sanksi sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut. Jadi, adalah delik kriminal jika memiliki sanksi kriminal, dan adalah suatu delik 119 perdata jika memiliki suatu sanksi perdata sebagai konsekuensinya. 164 Hans Kelsen mengemukakan bahwa berdasarkan pandangan hukum positif, tidak ada kriteria lain yang dapat menentukan suatu fakta sebagai delik selain adanya sanksi menurut aturan hukum. Tidak ada delik tanpa adanya sanksi, dan karenanya tidak ada delik karena perbuatan itu sendiri.165 Dalam bidang hukum keperdataan, sanksi merupakan tindakan hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undangundang. Setiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia selalu ada sanksi pada akhir aturan hukum tersebut. Pencantuman sanksi dalam berbagai aturan hukum tersebut seperti merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap aturan hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan suatu kaidah-kaidah hukum dapat dipaksakan apabila terdapat sanksi yang menyertainya, dan penegakan terhadap kaidah-kaidah hukum dimaksud dilakukan secara prosedural (hukum acara). Sanksi biasanya diletakkan pada bagian akhir setiap peraturan yang dalam bahasa latin dapat disebut in cauda venenum, artinya di ujung suatu kaidah hukum terdapat sanksi.166 Hakekat sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan yang dilakukannya telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dan untuk mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan 164 Hans Kelsen I, Op.cit, hal. 46. Hans Kelsen I, Op.cit, hal. 47. 166 A.W Widjaja, 1999, Etika Administrasi Negara, Cet. ke-2, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 21. 165 120 hukum. 167 Demikian pula sanksi yang ditujukan bagi seorang PPAT juga merupakan bentuk penyadaran, bahwa PPAT dalam melakukan tugas jabatannya telah melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, dan untuk mengembalikan tindakan PPAT dalam melaksanakan tugas jabatannya untuk tertib sesuai ketentuan yang berlaku. Disamping itu pemberian sanksi terhadap PPAT juga untuk melindungi masyarakat dari tindakan PPAT yang merugikan. Sanksi juga untuk menjaga martabat lembaga PPAT sebagai lembaga kepercayaan karena apabila PPAT melakukan pelanggaran, dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap PPAT. Secara individu sanksi terhadap PPAT merupakan suatu pertaruhan dalam menjalankan tugas jabatannya, apakah masyarakat masih mau mempercayakan pembuatan akta terhadap PPAT yang bersangkutan atau tidak.168 Akta PPAT merupakan alat membuktikan telah dilakukannya suatu perbuatan hukum, sehingga apabila perbuatan hukum itu batal atau dibatalkan, akta PPAT yang bersangkutan tidak berfungsi lagi sebagai bukti perbuatan hukum tersebut. Apabila perbuatan hukum tersebut dibatalkan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam akta PPAT sedangkan perbuatan hukum itu sudah didaftar di Kantor Pertanahan, maka pendaftaran tanah tidak dapat dibatalkan. Perubahan data pendaftaran tanah menurut pembatalan perbuatan hukun itu harus didasarkan atas alat bukti lain, misalnya putusan Pengadilan atau akta PPAT mengenai perbuatan hukum yang baru. 167 168 Habib Adjie I, Op.cit, hal. 90. Habib Adjie I, Op.cit, hal. 91. 121 Seorang PPAT dapat bertanggung jawab apabila dapat dibuktikan bahwa PPAT tersebut bersalah. Berkaitan dengan kesalahan yang dilakukan oleh PPAT, maka yang digunakan adalah beroepsfout. Beroepsfout ialah kesalahan yang dilakukan didalam menjalankan suatu jabatan/profesi.169 Beroepsfout merupakan istilah khusus yang ditujukan terhadap kesalahan yang dilakukan oleh para profesional dengan jabatan-jabatan khusus, seperti Dokter, Advocat, Notaris dan PPAT. Namun istilah kesalahan dalam hal ini sifatnya obyektif dalam pengertian istilah kesalahan ini dalam konteks beroepsfout ditujukan kepada para profesional dalam menjalankan jabatannya. Dalam hal ini untuk mengkaji pengertian kesalahan pada beroepsfout Penulis mengacu pada definisi kesalahan pada umumnya, khususnya dalam hukum pidana. Di samping pengertian kesalahan obyektif, juga terdapat persyaratan secara khusus untuk dapat mendalilkan, bahwa seorang PPAT telah bersalah dalam menjalankan jabatannya. Berdasarkan Pasal 53 ayat (2) Perka BPN 1/2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT sebagaimana telah diubah dengan Perka BPN 23/2009 tentang Perubahan Atas Perka BPN 1/2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, menentukan bahwa “Pengisian blanko akta dalam rangka pembuatan akta PPAT harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan data yang benar serta didukung dengan dokumen sesuai peraturan perundang-undangan”. 169 Yuherman, 2012, “Konsekuensi Peralihan Kewenangan Direksi Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas”, Jurnal Supremasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sahid, Jakarta, hal. 10. 122 Makna kata “kejadian”, menurut Penulis adalah suatu situasi dan kondisi kejadian yang sesuai dengan syarat formil pembuatan akta PPAT, artinya pembuatan akta harus dilakukan sesuai dengan tata cara formil pembuatan akta PPAT, karena tata cara formil pembuatan akta PPAT tersebut adalah “kejadian” yang benar menurut peraturan perundang-undangan. Disamping itu apabila mengacu pada pengertian “kejadian” yang sesuai dengan kejadian nyata, maka belum tentu benar secara yuridis, sehingga pembuatan akta tersebut harus dilakukan sesuai dengan kejadian (prosedur/tata cara) yang benar secara yuridis. Apabila akta diisi dengan kejadian yang salah atau kejadian yang tidak sesuai dengan ketentuan formil yakni tata cara pembuatan akta PPAT, akan berakibat produk akta dari PPAT bersangkutan berpeluang mengandung cacat hukum. Sedangkan makna kata “status dan data” mengacu pada syarat materil dari prosedur pembuatan akta PPAT, yakni persyaratan materil baik itu subyek maupun obyek jual beli haruslah benar dan memenuhi dan/atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya berdasarkan Pasal 3 huruf e Kode Etik IPPAT, mengatur mengenai kewajiban dan larangan bagi PPAT. Salah satu kewajiban PPAT adalah bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur dan tidak berpihak. Disamping itu, berdasarkan ketentuan Pasal 55 Perka BPN 1/2006, “PPAT bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan jabatannya dalam setiap pembuatan akta.” Atas pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT, berdasarkan Pasal 28 Perka BPN 1/2006, diatur mengenai pemberhentian, pelanggaran ringan, serta 123 pelanggaran berat yang dilarang dilakukan oleh seorang PPAT, yakni sebagai berikut : (1) PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan karena : a. permintaan sendiri; b. tidak lagi mampu menjalankan tugas karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan berwenang atas permintaan Kepala Badan atau pejabat yang ditunjuk; c. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; d. diangkat sebagai PNS atau anggota TNI/POLRI. (2) PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan, karena : a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; b. dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam hikuman kurungan atau penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap; c. melanggar kode etik profesi. (3) Pelanggaran ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c antara lain : a. memungut uang jasa melebihi ketentuan peraturan perundangundangan; b. dalam waktu 2 (dua) bulan setelah berakhirnya cuti tidak melaksanakan tugasnya kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (5); c. tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62; d. merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1); dan e. lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan. (4) Pelanggaran berat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, antara lain: a. membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan; b. melakukan pembuatan akta sebagai permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan; c. melakukan pembuatan akta di luar daerah kerjanya kecuali yang dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (3); d. memberikan keterangan yang tidak benar di dalam akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan; 124 e. membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak di luar dan atau di dalam daerah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46; f. melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT; g. pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan diketahui oleh PPAT yang bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan tidak hadir dihadapannya; h. pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih dalam sengketa yang mengakibatkan penghadap yang bersangkutan tidak berhak melakukan untuk perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta; i. PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para pihak maupun pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan sesuai akta yang dibuatnya; j. PPAT membuat akta dihadapan para pihak yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya; k PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian sementara atau dalam keadaan cuti; l. lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan. Dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ke-PPAT-an diatur bahwa ketika seorang PPAT dalam menjalankan tugas dan jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, PPAT dapat dikenai atau dijatuhi sanksi berupa sanksi administratif, tetapi tidak mengatur adanya sanksi perdata dan pidana terhadap PPAT, maka apabila terjadi pelanggaran yang memenuhi delik perdata dan pidana terhadap PPAT tersebut dapat dikenakan sanksi perdata yang termuat dalam KUHPerdata dan sanksi pidana yang terdapat dalam KUHPidana. Adapun tanggung jawab PPAT terhadap akta yang mengandung cacat hukum, dapat diuraikan sebagai berikut : 3.2.1 Tanggung Jawab Secara Administratif. Kesalahan administrasi atau biasa disebut dengan mal administrasi yang dilakukan oleh PPAT dalam melakukan sebagian kegiatan pendaftaran tanah 125 tentunya akan menimbulkan konsekuensi hukum, yakni PPAT dapat dimintai pertanggungjawaban. Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:170 a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung. Berdasarkan teori fautes personalles di atas, Penulis berpendapat bahwa PPAT bertanggung jawab atas pembuatan akta jual beli yang mengandung cacat hukum, sebagaimana telah diuraikan pada sub bab di atas. Terhadap PPAT yang membuat akta jual beli tanah yang mengandung cacat hukum tersebut, dikategorikan sebagai perbuatan yang menyalahgunakan wewenang, mengingat wewenang yang ada padanya berdasarkan Pasal 2 PJPPAT telah disalahgunakan, sehingga penggunaan wewenang tersebut pada akhirnya tidak sesuai dengan tujuan pemberian wewenang itu sendiri, dalam hal ini nampak telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh PPAT karena tidak menjalankan wewenang sebagaimana mestinya. Menurut Penulis kesalahan PPAT dalam hal ini berbentuk kealpaan atau kelalaian, akan tetapi yang menjadi masalah adalah apakah kealpaan atau kelalaian yang dilakukan oleh PPAT dikategorikan penyalahgunaan wewenang, mengingat istilah penyalahgunaan wewenang cenderung mengarah 170 Ridwan H.R., Loc.cit. 126 kepada pemikiran adanya unsur kesengajaan. Berpijak pada kewenangan yang dimiliki oleh PPAT dalam hal pembuatan akta otentik, seorang PPAT diharuskan selalu mengambil sikap cermat atau hati-hati dalam menghadapi setiap kasus, mengingat seorang PPAT telah memiliki kemampuan profesional baik secara teoritis maupun praktis. Dengan demikian apabila seorang PPAT melakukan kealpaan dalam pembuatan akta, dan mengakibatkan akta tersebut cacat hukum maka dapat dikatakan telah terjadi penyalahgunaan wewenang, karena PPAT bersangkutan menyadari bahwa sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka setiap PPAT dituntut untuk menangani suatu kasus yang berkaitan dengan wewenangnya, dan tidak dapat dilepaskan dari tuduhan adanya penyalahgunaan wewenang. Keadaan penyalahgunaan wewenang ini akan semakin jelas apabila terdapat unsur merugikan yang diderita oleh salah satu atau para pihak yang tampak pada saat dibatalkannya akta PPAT yang dibuatnya sebagai konsekuensi final dari akta yang mengalami cacat hukum. Pertanggungjawaban PPAT terkait kesengajaan, kealpaan dan/atau kelalaiannya dalam pembuatan akta jual beli yang menyimpang dari syarat formil dan syarat materil tata cara pembuatan akta PPAT, maka PPAT dapat dikenakan sanksi administratif. Berdasarkan Perka BPN 1/2006, penyimpangan terhadap syarat formil dan materil tersebut adalah termasuk pelanggaran berat oleh PPAT yang dapat dikenakan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan Pertanahaan Nasional Indonesia. Pertanggungjawaban secara administratif juga ditentukan pada Pasal 62 PP No. 24 Tahun 1997, yaitu: 127 PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut. Sanksi administratif yang diberikan kepada PPAT karena melanggar ketentuan yang berlaku dalam menjalankan jabatannya dapat mengakibatkan PPAT diberhentikan dari jabatannya. Pemberhentian PPAT dapat terjadi dikarenakan dalam menjalankan tugas jabatannya melakukan pelanggaran ringan maupun berat. Sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT, dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai dengan pemberhentian jabatannya sebagai PPAT (Pasal 10 PJPPAT), juga ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) Kode Etik IPPAT, yakni bagi anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat dikenai sanksi berupa: a. b. c. d. e. Teguran; Peringatan; Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan IPPAT; Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan IPPAT; Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT. Penjatuhan sanksi-sanksi tersebut disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut (Pasal 6 ayat (2) Kode Etik IPPAT). Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan tugas PPAT dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (Pasal 65 Jo. Pasal 1 angka 10 Perka BPN 1/2006). Tanggung jawab PPAT secara administratif ini, termasuk didalamnya adalah tanggung jawab perpajakan yang merupakan kewenangan tambahan PPAT yang diberikan oleh undang-undang perpajakan. Berkaitan dengan hal itu PPAT 128 dapat dikenai sanksi administratif berupa denda terhadap pelanggaran Pasal 91 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, yang secara tegas menyatakan: “Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak”. Sebagai akibat dari perbuatan tersebut, maka PPAT dapat dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 93, yaitu: Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran. Jadi, sanksi yang dapat mengancam PPAT yang membuat akta tidak sesuai dengan syarat formil dan syarat materil dari prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT adalah sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya dan pengenaan denda administratif. 3.2.2 Tanggung Jawab Secara Keperdataan. Pertanggungjawaban PPAT terkait kesengajaan, kealpaan dan/atau kelalaiannya dalam pembuatan akta jual beli yang menyimpang dari syarat formil dan syarat materil tata cara pembuatan akta PPAT, tidak saja dapat dikenakan sanksi administratif tapi juga tidak menutup kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh para pihak yang merasa dirugikan. Berkaitan dengan kesalahan (beroepsfout) dari PPAT, maka harus ditelaah mengenai bentuk dari kesalahan tersebut, yakni apakah kesalahan tersebut merupakan wanprestasi ataukah perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige 129 daad). Pendapat yang umum dianut bahwa, wanprestasi terjadi apabila didahului dengan adanya perjanjian, sedangkan jika tidak ada kaitannya dengan perjanjian maka bentuk pelanggarannya disebut perbuatan melanggar hukum atau onrechtmatige daad. Berpijak pada prinsip umum tersebut, maka Penulis berasumsi bahwa perbuatan PPAT yang telah menyebabkan sebuah akta menjadi cacat hukum dapat dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum, mengingat antara PPAT dengan klien atau pihak yang berkaitan dalam akta tidak pernah ditemui adanya perjanjian. Dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melanggar hukum, diperlukan 4 syarat : a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; b. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain; c. Bertentangan dengan kesusilaan; d. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.171 Untuk adanya suatu perbuatan melanggar hukum tidak disyaratkan adanya keempat kriteria itu secara kumulatif, namun terpenuhinya salah satu kriteria secara alternatif, sudah cukup terpenuhi pula syarat untuk suatu perbuatan melanggar hukum. Sanksi perdata dijatuhkan kepada PPAT atas perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), yakni perbuatan yang menimbulkan kerugian, dan secara normatif perbuatan tersebut tunduk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang 171 Rosa Agustina, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 117. 130 membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Menurut Roscoe Pound, hukum melihat ada tiga pertanggungjawaban atas delik yaitu: a. Pertanggungjawaban atas perugian yang disengaja; b. Pertanggungjawaban atas perugian karena kealpaan dan tidak disengaja; c. Pertanggungjawaban dalam perkara tertentu atas perugian yang dilakukan karena kelalaian serta tidak disengaja.172 Sedangkan J.H. Nieuwenhuis menyatakan tanggung jawab timbul karena adanya perbuatan melanggar hukum onrechtmatige daad dan merupakan penyebab oorzaak timbulnya kerugian, sedangkan pelakunya yang bersalah yang disebut schuld, maka orang itu harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut,173 Berkaitan dengan pembuatan akta PPAT yang mengalami cacat hukum, yang banyak ditemukan adalah PPAT yang bersangkutan kurang begitu memperhatikan dan menerapkan secara konsisten aturan-aturan yang ada dan sebaliknya sangat jarang ditemukan adanya unsur kesengajaan untuk merugikan para pihak atau pihak ketiga. Merujuk pada uraian sub-bab sebelumnya, Penulis mengemukakan bahwa terdapat praktek-praktek yang secara umum sering dilakukan oleh PPAT dikarenakan berbagai macam faktor, misalnya karena faktor waktu dan kesibukan dengan alasan efisiensi waktu, kedekatan relasi dan rasa saling percaya yang sangat tinggi antara sesama PPAT dan antara para pihak dengan PPAT, maupun karena adanya suatu situasi yang mengharuskan PPAT 172 173 Roscoe Pound, Loc.cit. J.H. Niewenhuis, Loc.cit. 131 untuk melakukan pembuatan akta jual beli yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT tersebut. Kesemua faktor tersebut terkadang tidak disadari dan tidak disengaja bahkan bilamanapun ada yang disadari dan disengaja oleh PPAT sendiri maupun para pihak, unsur kesengajaan untuk memberikan suatu akibat yang merugikan salah satu penghadap maupun para penghadap sangatlah kecil atau jarang ditemukan. Disisi lain, bilamanapun tidak ditemukan unsur kesengajaan hal ini berarti terdapat kekurang-hati-hatian karena ketidakcermatan atau ketidaktelitian atau kealpaan dari PPAT bersangkutan, dan sangat jarang pula ditemukan unsur merugikan dari kealpaan tersebut. Namun apabila dalam pelaksanaan tugas dan jabatan PPAT berkaitan dengan kewajiban seorang PPAT untuk mewujudkan akta otentik yang berkekuatan pembuktian sempurna, mengandung cacat hukum, yang kemudian oleh suatu putusan pengadilan dinyatakan tidak otentik karena syarat-syarat formil dan materil dari prosedur pembuatan akta PPAT tidak dipenuhi, sehingga menjadi akta dibawah tangan atau bahkan dinyatakan batal, atau menjadi batal demi hukum, dan mengakibatkan suatu kerugian, maka terhadap kejadian tersebut menjadi bertentangan dengan kewajiban hukum bagi PPAT, dan PPAT tersebut bertanggung jawab atas kerugian itu. Di samping bertentangan dengan kewajiban hukum bagi PPAT, juga disebabkan karena melanggar hak subyektif orang lain. Menurut Meyers, sebagaimana dikutip oleh Rachmat Setiawan, mengemukakan bahwa “Hak Subyektif menunjuk kepada suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada 132 seseorang secara khusus untuk melindungi kepentingannya.” 174 Dalam hal ini terhadap kasus pembuatan akta PPAT yang mengandung cacat hukum, akan mengakibatkan kesulitan bagi pihak klien atau orang yang berhak atas akta untuk melaksanakan haknya. Hak klien yang dijamin undang-undang selaku yang berhak atas akta adalah hak untuk mempergunakan akta tersebut sebagai alat bukti haknya yang sah, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat meneguhkan atau mendalilkan haknya, bahkan membantah hak orang lain. Dengan demikian apabila akta PPAT yang dibuat sebagai dasar peralihan hak atas tanah tersebut, dinyatakan batal oleh putusan pengadilan, dan mengakibatkan klien PPAT tersebut tidak mendapatkan hak atas akta otentik, atau tidak dapat mempergunakan akta tersebut sebagaimana layaknya peran dan fungsi sebuah akta otentik, sehingga klien yang seharusnya sebagai pemegang hak menjadi tidak dapat melaksanakan haknya, maka PPAT bersangkutan bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan Ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian. Sedangkan bentuk ganti rugi yang dikenal dalam hukum perdata ada 2 (dua) macam, yaitu :175 a. Ganti rugi umum, yaitu ganti rugi yang berlaku untuk semua kasus karena perbuatan melawan hukum berupa biaya, rugi dan bunga. Ganti rugi secara umum diatur dalam Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata. 174 Rachmat Setiawan, 1991, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, Cet-1, Binacipta, Bandung, hal. 70. 175 Munir Fuady II, Op.cit, hal.134. 133 b. Ganti rugi khusus yang hanya dapat timbul dari perikatan-perikatan tertentu. Pada perbuatan melanggar hukum bentuk ganti rugi berbeda dengan ganti rugi atas wanprestasi, dan terbuka kemungkinan ganti rugi dalam bentuk lain selain sejumlah uang. Mengenai penggantian kerugian dalam bentuk lain dapat dilihat dalam pertimbangan dari sebuah Hoge Raad, yang selengkapnya dirumuskan :176 Pelaku perbuatan melanggar hukum dapat dihukum untuk membayar sejumlah uang selaku pengganti kerugian yang ditimbulkannya kepada pihak yang dirugikannya, tetapi kalau pihak yang dirugikan menuntut ganti rugi dalam bentuk lain, dan hakim menganggap sebagai bentuk ganti rugi yang sesuai, maka pelaku tersebut dapat dihukum untuk melakukan prestasi yang lain demi kepentingan pihak yang dirugikan yang cocok untuk menghapuskan kerugian yang diderita. Penulis menyimpulkan bahwa sebagai akibat dari adanya kesalahan karena kesengajaan maupun kelalaian berupa kekurang-hati-hatian, ketidakcermatan dan ketidaktelitian dalam pelaksanaan kewajiban hukum bagi PPAT dalam pembuatan akta jual beli tanah, sehingga menyebabkan pelaksanaan hak subyektif seseorang menjadi terganggu, apabila menimbulkan suatu kerugian bagi para pihak, maka PPAT bersangkutan harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang diderita oleh para pihak tersebut dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Penentuan bahwa akta tersebut terdegradasi menjadi akta dibawah tangan maupun dinyatakan batal dan/atau batal demi hukum, dan menjadi suatu delik perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian, harus didasari dengan adanya suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga apabila ada pihak-pihak yang menuduh atau menilai, bahwa akta PPAT 176 J.H. Nieuwenhuis, Op.cit, hal. 134. 134 tersebut palsu atau tidak benar karena telah terjadi penyimpangan terhadap syarat materil dan formil dari prosedur pembuatan akta PPAT (aspek formal), maka pihak tersebut harus membuktikan tuduhan atau penilaian sendiri melalui proses hukum gugatan perdata bukan dengan cara mengadukan PPAT kepada pihak kepolisian. 3.2.3 Tanggung Jawab Secara Pidana. Penjatuhan sanksi pidana terhadap PPAT dapat dilakukan sepanjang seorang PPAT telah membuat surat palsu atau memalsukan akta dengan kualifikasi sebagai suatu tindak pidana. Syarat materil dan syarat formil dari prosedur pembuatan akta PPAT merupakan aspek-aspek formal yang harus dilalui dalam pembuatan akta jual beli tanah berkaitan dengan tugas jabatan PPAT. Penulis berpendapat bahwa penyimpangan terhadap syarat materil dan formil dari prosedur pembuatan akta PPAT harus dilihat berdasarkan batasan-batasan dari aspek formal tersebut yang mana telah ditentukan oleh peraturan perundangundangan yang terkait dengan ke-PPAT-an. Artinya apabila seorang PPAT melakukan pelanggaran dari aspek-aspek formal, maka sanksi yang dapat dijatuhi adalah sanksi perdata dan sanksi administratif tergantung pada jenis pelanggarannya atau sanksi kode etik IPPAT, sehingga pengkualifikasian pelanggaran aspek formal tersebut sebagai suatu tindak pidana merupakan suatu tindakan tanpa dasar hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. 135 Menurut Habib Adjie sebagaimana Penulis sadur dengan metode penalaran analogi, mengemukakan bahwa aspek-aspek formal dari suatu akta PPAT dapat dijadikan dasar atau batasan untuk memidanakan PPAT, jika :177 a. Aspek-aspek formal tersebut terbukti secara sengaja (dengan penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan oleh PPAT yang bersangkutan) bahwa akta yang dibuatnya dijadikan suatu alat melakukan suatu tindak pidana; b. PPAT secara sadar dan sengaja untuk secara bersama-sama dengan para pihak yang bersangkutan melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum. Penjatuhan sanksi pidana terhadap PPAT dapat dilakukan sepanjang batasanbatasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya disamping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam peraturan perundang-undangan terkait ke-PPATan, Kode Etik IPPAT juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut Habib Adjie, adapun perkara pidana yang berkaitan dengan aspek formal akta Notaris/PPAT dalam pembuatan akta otentik adalah sebagai berikut:178 1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP); 2. Melakukan pemalsuan terhadap akta otentik (Pasal 264 KUHP); 3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP); 4. Melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan (Pasal 55 Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP); 5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP). 177 178 Habib Adjie I, Op. cit, hal. 124. Habib Adjie I, Op. cit, hal. 76. 136 Pengertian kesengajaan (dolus) menurut hukum pidana merupakan perbuatan yang diisyafi, dimengerti dan diketahui sebagai demikian, sehingga tidak ada unsur salah sangka atau salah paham.179 Sedangkan kealpaan (culpa) adalah perbuatan yang terjadinya karena sama sekali tidak terpikirkannya akan adanya akibat itu atau oleh karena tidak memperhatikannya, dan ini disebabkan kurang hati-hati, dan perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajibannya.180 Moeljatno berpendapat bahwa kesengajaan (dolus) menurut hukum pidana merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan atau kelalaian (culpa) adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya adalah sama dengan kesengajaan, hanya berbeda gradasinya saja. 181 Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa kesengajaan adalah penting sekali di dalam hukum pidana, karena sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak, karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.182 Adapun beberapa contoh kasus dari perbuatan yang termasuk kualifikasi tindak pidana dari seorang PPAT, antara lain :183 a. Perbuatan seseorang membuat seorang Notaris/PPAT, mencantumkan suatu keterangan didalam akta perjanjian yang dibuat dihadapannya tentang terjadinya suatu perjanjian jual beli tanah berikut rumah yang 179 Moeljatno, Op.cit, hal. 166. Roeslan Saleh, Op. cit, hal 125. 181 Moeljatno, Op.cit, hal. 199. 182 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Edisi Ketiga, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 65-66 183 Sjaifurrachman, Op. cit, hal. 219-220. 180 137 berdiri diatasnya dengan hak untuk membeli kembali, padahal yang terjadi antara para pihak ialah suatu perjanjian hutang-piutang. b. Perbuatan seseorang membuat seorang Notaris/PPAT mencantumkan didalam akta jual beli yang dibuat dihadapannya suatu perjanjian jual beli atas sebidang tanah berikut rumah yang berdiri diatasnya dengan harga Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah), padahal yang sebenarnya terjadi bukanlah suatu perjanjian jual beli tanah berikut rumah, melainkan hanya maksud salah satu pihak untuk membuat tanah berikut rumah tersebut seolah-olah telah dibeli oleh pihak lain dengan maksud untuk menyelamatkan tanah berikut rumah tersebut dari kemungkinan dimintakan sita jaminan kepada Pengadilan Negeri oleh pihak ketiga yang mempunyai piutang kepada pemilik tanah dan rumah tersebut. c. Perbuatan seseorang membuat seorang PPAT mencantumkan suatu keterangan tentang telah dilakukannya suatu jual beli tanah seluas 3 hektar antara orang tersebut dengan orang lain dengan harga sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), padahal tanah tersebut telah dijual dengan harga Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Pada contoh pertama dan kedua perbuatan hukum para pihak untuk melakukan perjanjian jual beli hak atas tanah berikut rumah kiranya sudah jelas bahwa akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT mempunyai fungsi untuk membuktikan kebenaran telah dilakukannya suatu perjanjian jual beli dengan hak untuk membeli kembali atas sebidang tanah berikut sebuah rumah yang berdiri diatas tanah tersebut, akan tetapi karena yang sebenarnya terjadi antara para pihak ialah suatu perjanjian hutang piutang, maka keterangan yang diberikan oleh pelaku itu sudah jelas merupakan suatu keterangan palsu. Demikian pula pada contoh ketiga, suatu akta jual beli yang dibuat dihadapan seorang Notaris/PPAT itu bukan hanya mempunyai kegunaan untuk membuktikan bahwa pihak-pihak tertentu telah memberikan keteranganketerangan tertentu dihadapan Notaris/PPAT, melainkan juga bahwa mereka itu telah mengadakan suatu perikatan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang merumuskan : “jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua 138 belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Akan tetapi akta jual beli tersebut juga membuktikan tentang besarnya nilai jual beli atau transaksi, sehingga akta Notaris/PPAT juga mempunyai kegunaan untuk membuktikan kebenaran dari nilai jual beli yang telah dikemukakan oleh para pihak, sehingga pada kasus contoh ketiga diatas pelakunya dikenai ancaman yang tertuang pada Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pelanggaran terhadap Pasal 266 ayat (1) KUHP hanya dapat disangkakan kepada Notaris/PPAT manakala Notaris/PPAT mengetahui bahwa keterangan yang diminta para pihak untuk dimasukkan dalam akta tidak benar atau seolaholah keterangannya sesuai dengan kebenaran, dan jika karenanya dapat menimbulkan kerugian, tetapi Notaris/PPAT tetap bersedia membuatkan akta tersebut, maka Notaris/PPAT dalam hal ini dapat dijerat telah melakukan kejahatan Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 56 ayat (1) KUHP, dengan ancaman maksimal pidananya yang dapat dijatuhkan untuk perbuatan membantu kejahatan Pasal 266 ayat (1) KUHP dikurangi sepertiganya Pasal 57 ayat (1) KUHP.184 Sehubungan dengan hal tersebut, Penulis berpendapat, seorang Notaris/PPAT tidak bisa diminta pertanggungjawaban pidana atas akta yang dibuatnya apabila Notaris/PPAT bersangkutan telah melakukan tugasnya sesuai dengan prosedur sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Hal ini dilegitimasi dalam Pasal 266 KUHP, dimana seorang 184 Pasal 57 ayat (1) KUHP : Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga. 139 Notaris/PPAT tidak bisa dikenakan pidana atas dasar Pasal 266 KUHP ini apabila ia telah menjalankan tugasnya dengan benar. Pada Pasal 266 KUHP menunjukkan bahwa posisi seorang Notaris/PPAT adalah orang yang disuruh (manus ministra) dan dalam hukum pidana orang yang disuruh tidak bisa diminta pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya. Di sisi lain seorang Notaris/PPAT dapat diminta pertanggung jawaban pidana atas akta yang dibuatnya berdasarkan Pasal 263 dan 264 KUHP jika : a. Notaris/PPAT mengetahui bahwa pada saat orang yang menghadap kepadanya untuk membuat akta otentik, baik berupa perikatan untuk jual beli atau perikatan lainnya, orang tersebut tidak bisa memenuhi syaratsyarat sahnya suatu perikatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun Notaris/PPAT tidak mengindahkan syarat-syarat sahnya perikatan tersebut dan tetap membuat akta sesuai yang diminta oleh para penghadap; b. Notaris/PPAT tidak mengindahkan dan tetap saja membuat suatu akta otentik padahal ia mengetahui bahwa pada saat orang yang menghadap kepadanya untuk membuat akta otentik tersebut, telah memberikan keterangan-keterangan tidak benar untuk dicantumkan di dalam akta tersebut. Penulis berpendapat, untuk menghindari terjerat didakwa melakukan suatu tindak pidana Pasal 266 ayat (1) KUHP, baiknya sejak awal para penghadap mengutarakan dengan tegas niatnya untuk melakukan jual beli, dengan terlebih dahulu Notaris/PPAT mengingatkan para penghadap bahwa : a. Apabila ingin mencantumkan dalam akta harga yang lain dari pada harga yang sebenarnya, penghadap sekali-kali jangan memberitahukan hal itu kepada Notaris/PPAT atau pegawai kantor Notaris/PPAT, artinya penghadap harus dilarang memberitahu Notaris/PPAT bahwa harga yang sesungguhnya berbeda dengan harga yang ingin dicantumkan dalam akta; b. Apabila penghadap sudah terlanjur memberitahukan adanya perbedaan harga tersebut sebaiknya Notaris/PPAT menolak membuatkan akta bagi penghadap bersangkutan; 140 c. Memberitahu penghadap, bahwa apabila dikemudian hari ketahuan bahwa harga yang tercantum dalam akta tidak benar, ada kemungkinan yang bersangkutan kelak dijerat Pasal 266 ayat (1) KUHP. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa seorang PPAT tidak dapat dikenakan Pasal 266 ayat (1) KUHP. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 266 ayat (1) tersebut, terdapat unsur menyuruh. PPAT dalam pembuatan akta jual beli hanya merupakan media (alat) untuk lahirnya suatu akta otentik, sedangkan inisiatif timbul dari para penghadap, sehingga dalam hal ini PPAT adalah pihak yang disuruh dan bukan pihak yang menyuruh. Namun, apabila seorang PPAT telah dengan sengaja dan diinsyafi atau disadari bekerja sama dengan penghadap, maka PPAT dapat dikenakan Pasal 263 ayat (1) KUHP yang dikaitkan dengan Pasal 55 (1) KUHP, yaitu turut serta melakukan tindak pidana. Selain itu, karena produk yang dihasilkan oleh PPAT adalah berupa akta otentik, maka PPAT dikenakan pemberatan yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 264 ayat (1) huruf a KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. Dalam bentuk bagan hubungan antara akibat hukum dari pembuatan akta PPAT yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT dengan tanggung jawab PPAT atas akta jual beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat hukum dapat digambarkan sebagai berikut : Akibat Hukum Penyimpangan Terhadap Syarat Formil Penyimpangan terhadap syarat formil dari prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT, baik disengaja maupun karena kealpaan dan/atau kelalaian dari PPAT bersangkutan, maka akta otentik dapat turun atau terdegradasi kekuatan pembuktiannya dari mempunyai kekuatan pembuktian sempurna menjadi hanya mempunyai kekuatan pembuktian selayaknya akta dibawah tangan, jika pejabat umum yang Tanggung Jawab Administratif Sanksi administratif yang dapat dikenakan yakni berupa teguran tertulis sampai dengan pemberhentian jabatannya Tanggung Jawab Perdata Tanggung Jawab Pidana Sanksi perdata dikenakan sepanjang berubahnya atau terjadinya degradasi dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan Sanksi pidana dapat dikenakan apabila seorang PPAT telah dengan sengaja dan diinsyafi atau disadari bekerja sama dengan 141 membuat akta itu tidak berwenang untuk membuat akta tersebut atau jika akta tersebut cacat dalam bentuknya. Akibat Hukum Penyimpangan Terhadap Syarat Materil 1. Akta PPAT dapat dibatalkan apabila syarat materil prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT didasarkan pada ketidakcakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (handelingsonbekwaamheid). 2. Akta PPAT dinyatkan batal demi hukum apabila syarat materil prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT didasarkan pada ketidakwenangan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (handelingsonbevoegdheid). sebagai PPAT oleh Kepala Badan Pertanahaan Nasional Indonesia dan pengenaan denda administratif. menimbulkan kerugian, maka berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan batalnya akta tersebut atau tidak mengikatnya akta tersebut, PPAT bersangkutan akan dikenakan sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. penghadap untuk turut serta melakukan suatu perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana. 142 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JABATANNYA 4.1 Perlindungan Hukum Terhadap PPAT Berdasarkan Peraturan Jabatan PPAT Aspek perlindungan hukum bagi PPAT dalam ranah peraturan perundangundangan terkait ke-PPAT-an lebih bersifat intern atau administratif. Pranata yang dilanggar oleh seorang PPAT adalah ukuran standar profesionalisme yang seharusnya wajib ditaati oleh semua PPAT sebagai pengemban kewenangan negara dalam pembuatan akta otentik dibidang pertanahan. Di ranah ini perlindungan terhadap PPAT dari putusan-putusan administratif, bertujuan untuk memberikan jaminan bagi seorang PPAT untuk dapat membela diri dan mempertahankan haknya atas pekerjaan sebagai seorang PPAT. Sebagai badan atau pejabat tata usaha negara (BPN dan Majelis Kehormatan) dalam menjatuhkan sanksi terhadap PPAT wajib mengeluarkan atau membuat suatu keputusan (KTUN). Dan apabila PPAT tidak puas atas keputusan tersebut, keputusan tersebut akan menjadi sengketa tata usaha negara. Dengan demikian, upaya yang dapat dilakukan oleh PPAT, yaitu langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan atau pemeriksaan tingkat pertama.185 Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa adanya sarana keberatan 185 Habib Adjie II, Op. cit, hal. 261-262. 142 143 (inspraak) merupakan sarana perlindungan hukum preventif. 186 Artinya dengan adanya upaya administratif berupa banding 187 atau keberatan 188 tersebut sangat penting dibuat sebagai tindak lanjut berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur sanksi administratif tersebut dengan maksud memberikan rasa keadilan dan perlindungan hukum kepada PPAT untuk mengajukan pembelaan diri atas sanksi administratif yang diterimanya.189 Sedangkan aspek perlindungan hukum bagi PPAT yang bersinggungan dengan pranata hukum pidana dan perdata lebih bersifat ekstern, artinya bahwa PPAT selaku Pejabat Umum kepadanya melekat hak-hak istimewa sebagai konsekuensi predikat kepejabatan yang dimilikinya. Istilah Hak Istimewa dalam bidang hukum adalah hak khusus atau istimewa yang diberikan kepada pemerintah atau penguasa suatu negara dan diberikan kepada seorang atau sekelompok orang, yang terpisah dari hak-hak masyarakat menurut hukum yang berlaku. 190 Hak-hak istimewa yang dimiliki PPAT, menjadi pembeda-perlakuan (treatment) terhadap masyarakat biasa. Bentuk-bentuk perlakuan itu berkaitan dengan suatu prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap PPAT, yakni berkaitan dengan perlakuan dalam hal pemanggilan dan pemeriksaan pada proses penyidikan dan persidangan, yang harus diindahkan. 186 Philipus M. Hadjon I, Op. cit, hal. 3. Banding Administratif adalah penyelesaian sengketa TUN dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain yang mengeluarkan keputusan. 188 Keberatan Administratif adalah penyelesaian sengketa TUN dilakukan oleh orang yang terkena sanksi administratif dengan mengajukan keberatan kepada instansi yang mengeluarkan keputusan tersebut. 189 Habib Adjie II, Loc. cit. 190 Anonim, URL : http://id.wikipedia.org/wiki/Prerogatif, diakses pada tanggal 5 Juli 2013. 187 144 4.1.1 Pengawasan Terhadap Tugas Jabatan PPAT. Pelayanan kepentingan umum merupakan hakekat tugas bidang pemerintahan yang didasarkan pada asas memberikan dan menjamin adanya rasa kepastian hukum bagi para warga anggota masyarakat. Dalam bidang tertentu, tugas itu oleh undang-undang diberikan dan dipercayakan kepada PPAT, yakni tugasnya adalah membantu Kepala Kantor Badan Pertanahan Kabupaten/Kota dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, dan kewenangannya adalah membuat akta atas perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, sehingga masyarakat juga harus percaya bahwa akta PPAT yang dibuat tersebut memberikan kepastian hukum bagi warganya. Dengan demikian konsekuensi logis terhadap adanya kepercayaan tersebut, haruslah dijamin adanya pengawasan agar tugas PPAT selalu sesuai dengan kaidah hukum yang mendasari kewenangannya dan agar terhindar dari penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan yang diberikan. Demikian pula terhadap pejabat umum lainnya, misalnya Notaris, menurut Paulus Effendie Lotulung, tujuan pokok dari pengawasan adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh peraturan dasar yang bersangkutan, senantiasa dilakukan diatas jalur yang telah ditentukan, bukan saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminnya pelindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.191 191 Paulus Effendie Lotulung I, Op. cit, hal. 65. 145 Berpijak pada penalaran Argumentum Per Analogian (Analogi), pendapat Paulus Effendie Lotulung dapat diterapkan pada pejabat umum lainnya, dalam hal ini PPAT. Dengan demikian diperlukan adanya mekanisme pengawasan, baik yang bersifat preventif maupun represif, terhadap pelaksanaan tugas jabatan PPAT. Perangkat hukum pengaturan mekanisme tersebut dijalankan atas dasar Peraturan Jabatan PPAT, yakni pada Pasal 33 PP No. 37 Tahun 1998, yang tata caranya atau pelaksanaannya diatur dalam Pasal 65-68 Perka BPN 1/2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT. Di samping itu pengawasan terhadap PPAT diterapkan juga melalui organisasi profesi PPAT sendiri, yakni mengacu pada Kode Etik IPPAT. Dalam ketentuan PJPPAT tidak disebut sama sekali mengenai etika profesi atau kode etik profesi dari PPAT. Tetapi, di dalam peraturan yang lebih lanjut yaitu Pasal 28 ayat (2) huruf c Perka BPN 1/2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, disebutkan bahwa PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan (BPN) karena melanggar kode etik profesi. Pada Pasal 69 Perka BPN 1/2006, “kode etik profesi PPAT disusun oleh Organisasi PPAT dan/atau PPAT Sementara dan ditetapkan oleh Kepala BPN yang berlaku secara nasional”. Organisasi PPAT saat ini adalah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), dalam situs resmi IPPAT (www.ippatonline.com) dicantumkan Kode Etik Profesi PPAT yang berlaku saat ini yaitu hasil Keputusan Kongres IV IPPAT 31 Agustus – 1 September 2007. Kewenangan pengawasan dan penindakan Kode Etik PPAT ada pada Majelis Kehormatan yang terdiri dari 146 Majelis Kehormatan Daerah dan Majelis Kehormatan Pusat (Pasal 7 Kode Etik IPPAT). Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut sebagaimana uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap PPAT dalam melaksanakan jabatannya adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Adapun peranan BPN dalam hal ini adalah memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan peranan IPPAT dalam hal ini adalah memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan Kode Etik IPPAT. Penulis berpendapat bahwa pengawasan oleh BPN dan IPPAT tersebut pada dasarnya adalah merupakan wujud dari perlindungan hukum (bersifat intern) terhadap PPAT itu sendiri oleh karena dengan adanya suatu pengawasan, maka setiap PPAT dalam berperilaku dan tindakannya baik dalam menjalankan jabatannya maupun diluar jabatannya selalu dalam koridor hukum, sehubungan dalam menjalankan tugasnya, seorang PPAT dituntut untuk selalu berpijak pada hukum dan regulasi yang berlaku di Indonesia, dan juga berkewajiban untuk menjalankan tugas sesuai dengan etika yang sudah disepakati bersama dalam bentuk Kode Etik. Kode Etik ini membatasi tindak tanduk PPAT agar dalam menjalankan tugas jabatannya tidak bertindak sewenang-wenang. 147 4.1.2 Prosedur Khusus dalam Penegakan Hukum Terhadap PPAT. Di samping aspek perlindungan hukum secara intern berupa pembinaan dan pengawasan sebagaimana uraian diatas, maka diperlukan pula perhatian terhadap aspek perlindungan hukum secara ekstern, yakni yang bersinggungan dengan ranah pidana dan perdata. PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya rentan terjerat hukum, disamping itu aspek pelindungan hukum terhadap PPAT merupakan perimbangan atau balance terhadap aspek pengawasan yang cukup ketat bagi PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya, sehingga aspek perlindungan hukum secara ekstern ini menjadi sesuatu yang sangat penting bagi jabatan PPAT. Konsep perlindungan hukum terhadap PPAT tidak dapat dipisahkan dari konsep perlindungan hukum pada umumnya. Berdasarkan konsepsi tersebut sebagai kerangka pikir dengan mendasarkan pada Pancasila, Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada prinsip negara hukum yang berlandaskan Pancasila.192 Merujuk pada pendapat Paulus Effendie Lotulung, sebagaimana Penulis sarikan terlebih dahulu, bahwa aspek perlindungan hukum masih perlu dipertajam, terutama dikaitkan dengan penerapannya dalam praktek agar menjamin perlindungan hukum maupun ketenangan kerja bagi Notaris/PPAT didalam menjalankan tugas dan fungsinya, dengan perkataan lain, sampai sejauh mana kapasitas Notaris/PPAT sebagai Pejabat Umum memberikan imunitas hukum atau 192 Philipus M. Hadjon I, Op.cit. hal. 19. 148 kekebalan padanya dalam melaksanakan tugas?193 Dalam hal ini Penulis mengkaji sampai sejauh mana Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah telah memberikan perlindungan hukum kepada PPAT sebagai Pejabat Umum dalam melaksanakan tugas jabatannya. Sebelum membahas perlindungan hukum bagi PPAT, akan dibahas perbandingan antara Jabatan Notaris dan Jabatan PPAT, karena Notaris dan PPAT adalah dua profesi yang berbeda dengan kewenangan yang juga berbeda. Walaupun dalam keseharian banyak ditemui Notaris yang juga berprofesi sebagai PPAT. Rangkap jabatan profesi Notaris dan PPAT memang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan. Terdapat beberapa perbedaan kewenangan antara Notaris dengan PPAT, yakni seorang Notaris memiliki kewenangan lebih luas dibanding seorang PPAT. Dari segi bentuk akta PPAT yang diatur dalam produk hukum berbentuk Peraturan Menteri dan bentuk akta Notaris yang diatur dalam bentuk UndangUndang, substansinya memiliki perbedaan-perbedaan diantaranya yaitu : a. Dalam bentuk Akta Notaris penghadap harus berusia sekurang-kurangnya 18 tahun atau telah kawin, sedangkan dalam bentuk akta PPAT penghadap harus berusia sekurang-kurangnya harus berusia 21 tahun atau telah kawin; b. Dalam bentuk akta Notaris adanya larangan menjadi pihak dalam akta bagi orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan dalam garis samping sampai derajat ketiga dengan Notaris dan para saksi akta. Dalam bentuk Akta PPAT adanya larangan 193 Paulus Effendie Lotulung I, Op.cit, hal. 66. 149 menjadi Pihak dalam akta bagi orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan dalam garis samping sampai derajat kedua dengan PPAT dan para saksi akta; c. Notaris wajib membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris dan dari minuta, Notaris berwenang mengeluarkan Grosse, salinan atau kutipan akta. Selain itu Notaris dapat membuat akta tertentu dalam bentuk in originali seperti akta kuasa, yang diberikan pada pihak yang langsung berkepentingan dan dari akta in originali ini, Notaris tidak menyimpannya dalam protokol Notaris serta tidak berwenang mengeluarkan grosse, salinan atau kutipan akta. Sedangkan akta PPAT dibuat dalam bentuk in originali sebanyak 2 rangkap yaitu : Lembar pertama sebanyak 1 rangkap oleh PPAT yang bersangkutan disimpan di Kantor PPAT, lembar kedua sebanyak 1 rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta, disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk kepentingan pendaftaran atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa Membebankan Hak Tanggungan disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan sedangkan kepada pihakpihak yang bersangkutan diberikan salinannya. Ditinjau dari segi perlindungan hukum terdapat prosedur khusus dalam proses penegakan hukum khususnya dalam proses peradilan194, terhadap jabatan 194 Proses Peradilan mengacu kepada rangkaian proses untuk melakukan pemeriksaan, dari tingkat Penyidikan (Penyidik), Penuntutan (Penuntut Umum), dan Pengadilan (Hakim). 150 Notaris dan jabatan PPAT yang berbeda. Berdasarkan ketentuan Pasal 66 ayat (1) UUJN, memberikan suatu prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap jabatan Notaris yang berbunyi : (1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris195 berwenang : a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Sedangkan mekanisme atau prosedur khusus tersebut tidak diatur oleh PJPPAT bagi jabatan PPAT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat kekosongan norma berkaitan dengan prosedur khusus dalam penegakan hukum bagi jabatan PPAT apabila ditinjau dari sudut peraturan perundang-undangan terkait ke-PPAT-an. Salah satu konsekuensi logis dari prinsip negara hukum adalah penerapan asas legalitas, dengan kata lain, dalam unsur negara hukum Pancasila, asas legalitas menjadi hal yang penting terutama kaitannya dengan aspek perlindungan hukum bagi PPAT yang sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur, karena perlindungan hukum harus dimaknai sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, artinya pengaturan mengenai dasar hukumnya harus jelas tertuang dalam hukum positif. Berpijak pada uraian diatas maka prosedur secara normatif dalam hal PPAT yang dipanggil sebagai saksi atau tersangka diberlakukan ketentuan Pasal 195 Sebelum perubahan menjadi UU No. 2 Tahun 2014, ketentuan pada UU No. 30 Tahun 2004 tentang UUJN menggunakan istilah Majelis Pengawas Daerah. 151 112 KUHAP sedangkan penyitaan terhadap akta asli PPAT (minuta) dan warkahnya hanya dapat dilakukan dengan izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat berdasarkan ketentuan Pasal 43 KUHAP. - Pasal 112 KUHAP mewajibkan seseorang yang dipanggil oleh penyidik guna kepentingan pemeriksaan wajib datang kepada penyidik. Bagi saksi yang tidak datang kepada penyidik tanpa alasan yang sah dapat dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 224 KUHP, dengan ancaman pidana paling lama 9 bulan. - Pasal 43 KUHAP menyatakan bahwa penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakan (dalam hal ini PPAT), sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali undang-undang menentukan lain. Berdasarkan uraian di atas, disamping menunjukkan beberapa perbedaan, juga menunjukkan bahwa Jabatan Notaris dan Jabatan PPAT memiliki peranan yang sama-sama penting, yakni terdapat kesamaan urgensi dan kualifikasi, antara lain : 1. Berwenang membuat alat bukti dengan kekuatan bukti sempurna berupa akta otentik; 2. Dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum; 3. Diwajibkan merahasiakan isi akta, sebagaimana ditentukan dalam rumusan sumpah jabatan. Berpijak pada adanya kesamaan kedudukan, kualifikasi dan kewajiban bagi jabatan Notaris dan jabatan PPAT, maka perlu dipersamakan juga bentuk perlakuan bagi keduanya. Dengan demikian pengaturan secara normatif dalam suatu peraturan organis tentang ketentuan yang mengharuskan izin pemeriksaan dalam proses peradilan bagi seorang PPAT, dalam hal dipanggil sebagai saksi 152 maupun tersangka patut dipersamakan, yakni di atur dalam Peraturan Jabatan PPAT. Beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan pelaksanaaan tugas dan jabatan seorang PPAT, antara lain : 1. PPAT yang diajukan dan dipanggil sebagai saksi di Pengadilan menyangkut akta yang dibuatnya dijadikan alat bukti dalam suatu perkara; 2. PPAT yang dijadikan tergugat atau turut tergugat di Pengadilan menyangkut akta yang dibuatnya dan dianggap merugikan bagi pihak penggugat, berkaitan dengan perkara perdata; 3. PPAT sebagai terdakwa dalam perkara pidana; 4. Penyitaan terhadap bundel akta yang ada pada PPAT. Beberapa contoh kasus diatas tidak saja menimpa seseorang dalam jabatan sebagai PPAT saja akan tetapi sering juga menimpa dalam kapasitasnya menjalankan jabatan Notaris. Terdapat beberapa Putusan Pengadilan yang berkaitan dengan contoh kasus diatas, antara lain : 1. Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 63/PDT.G/2012/PN.PLG Tahun 2012 (Notaris/PPAT ditempatkan sebagai Tergugat).196 2. Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 114/PDT/2012/PT.MDN Tahun 2012 (Notaris/PPAT ditempatkan sebagai Turut Tergugat).197 3. Putusan Pengadilan Negeri Pangkajene Nomor 07/PDT.G/2011/PN.Pangkajene Tahun 2011 (Notaris/PPAT ditempatkan sebagai Saksi).198 4. Putusan Mahkamah Agung Nomor 303 K/Pid/2012 Tahun 2012 (Notaris/PPAT ditempatkan sebagai Terdakwa).199 196 http://cts.pn-palembang.net/perdata_gugatanview.php?id=3526 http://www.pt-medan.go.id/putusan/PUTUS_114Pdt2012PTMdn.pdf 198 http://www.pn-pangkajene.go.id/index.php/putusan/perdata/20-07pdtg2011pn-pangkajene 199 http://putusan.mahkamahagung.go.id/main/pencarian/?q=303+K%2FPi d%2F2012 197 153 Berpijak pada uraian di atas Penulis berpendapat, PPAT sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan jabatannya seharusnya diberikan perlindungan hukum, berkaitan dengan : 1. Untuk tetap menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya termasuk ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan dan persidangan; 2. Merahasiakan akta dan keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta; 3. Menjaga Minuta Akta PPAT dan warkah pendukung akta yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol PPAT dalam penyimpanan PPAT. Penulis juga berpendapat walaupun PJPPAT tidak mengatur secara eksplisit mengenai prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap PPAT akan tetapi secara prosedur etik, pemanggilan tersebut minimal atau tetap harus diberitahukan Majelis Kehormatan Daerah sebagai pengawas PPAT, dan/atau apabila pihak kepolisian dalam hal ini penyidik hendak meminta keterangan dari PPAT, akan lebih bijak pihak penyidik yang datang ke kantor. Di sisi lain menjadi kewajiban formal dan terstruktur dari IPPAT untuk mendampingi atau melakukan pendampingan kepada PPAT yang dipanggil untuk memenuhi panggilan penyidik, kejaksaan dan hakim. Berkaitan dengan hal tersebut hendaknya segera dikeluarkan Peraturan Kepala BPN RI perihal pemanggilan PPAT maupun penyitaan minuta akta PPAT untuk menghindari kesemenaan dari oknum tertentu. 154 4.2 Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar PPAT Pembahasan mengenai perlakuan dalam hal pemanggilan dan pemeriksaan pada proses penyidikan dan persidangan terhadap PPAT telah dijabarkan pada uraian diatas, dimana dalam hal seorang PPAT dipanggil sebagai saksi atau tersangka diberlakukan ketentuan Pasal 112 KUHAP. Pembahasan selanjutnya adalah mengenai “hak istimewa” yang diatur secara implisit oleh peraturan perundang-undangan bagi jabatan tertentu salah satunya jabatan PPAT yakni Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) dari seorang PPAT. Berdasarkan uraian sub bab di atas Penulis berpendapat bahwa, walaupun perlindungan hukum berupa keharusan bagi penyidik, penuntut umum dan hakim memperoleh persetujuan Majelis Kehormatan Daerah untuk memanggil PPAT dalam rangka proses peradilan tidak diatur secara eksplisit dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan terkait ke-PPAT-an tidaklah menghilangkan hak istimewa lainnya yakni “Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar”, oleh karena itu jabatan PPAT sebagai Pajabat Umum dalam menjalankan jabatannya tetap terlindungi. Dalam praktek sering terjadi apabila terjadi perselisihan diantara para pihak penjual maupun pembeli, seringkali seorang PPAT dilibatkan sebagai saksi dimuka pengadilan dalam proses perkara dimana oleh salah satu pihak atau lebih menggunakan suatu akta PPAT sebagai alat bukti, atau bahkan dilibatkan sebagai tergugat dua, tiga atau empat dalam perkara perdata dimuka Pengadilan. Sedangkan apabila seorang PPAT dilibatkan sebagai tergugat, pada umumnya 155 didasari karena PPAT bersangkutan yang membuat aktanya, dan tidak ada kaitannya dengan apa yang menjadi materi pokok dari perjanjian yang menjadi materi perkara itu. Berkaitan dengan hal tersebut ada sebagian dari para PPAT yang menganut pendirian, bahwa apabila PPAT dipanggil oleh pihak Pengadilan sebagai saksi dalam perkara dimana aktanya dipergunakan sebagai alat bukti tidak perlu bahkan dikatakan tidak ada kewajiban untuk hadir, mengingat adanya sumpah rahasia jabatannya (kewajiban ingkar). Menurut Liliana Tedjosaputro, salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan dan dipegang teguh oleh para profesional adalah menyimpan dan/atau memegang rahasia jabatan. Hal ini merupakan pelaksanaan dari confidential profession (jabatan kepercayaan) yang telah diberikan oleh masyarakat, khususnya klien. Rahasia ini tetap dijaga, meskipun hubungan profesional dengan kliennya telah berakhir.200 Menurut Oemar Seno Adji sebagaimana dikutip oleh Liliani Tedjosaputro, menyatakan bahwa rahasia jabatan (beroepgeheim) dari seorang Advokat bukanlah sekedar ketentuan etik semata, melainkan persoalan beroepgeheim tersebut juga merupakan suatu ketentuan hukum yang dapat ditegakkan pada Pengadilan. 201 Hal ini berkaitan dengan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) dari seorang Advokat yang bersumber pada Pasal 170 KUHAP yang memberikan kebebasan untuk bersaksi bagi mereka yang karena jabatannya, harkat, martabat dan pekerjaannya harus menyimpan rahasia. 200 Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, hal. 80. 201 Ibid, hal. 81. 156 Ketentuan Pasal 170 KUHAP memberikan pengecualian, bagi seseorang yang diminta untuk memberikan keterangan sebagai saksi dapat menggunakan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningsrecht). Hal yang sama juga diatur dalam Het herziene Indonesisch Reglement (HIR) pada Pasal 146 ayat (1) angka 3 dan Pasal 277 ayat (1) HIR Dengan ketentuan tersebut maka seseorang dapat menggunakan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) apabila dihadapkan sebagai saksi baik di muka pengadilan maupun penyidik. Dengan demikian dapat disimpulkan, berpijak dari pendapat tersebut, dapat pula dimasukkan sebagai kategori rahasia jabatan yang wajib disimpan oleh Notaris, PPAT, Advokat, Jaksa, Polisi dan Hakim merupakan suatu ketentuan hukum yang didasarkan pada etika profesinya. Apabila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, maka tindakan membocorkan rahasia, secara materil didasarkan pada Pasal 322 ayat (1) KUHP dan Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata dan bahkan apabila terdapat unsur pencemaran nama baik dapat dilihat pada pasal-pasal perbuatan melanggar hukum dalam KUHPerdata. Pasal 322 ayat (1) KUHP menentukan “Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.” Sedangkan Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata menentukan “Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya menurut undang-undang, 157 diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian.” Selanjutnya secara formil atau hukum acara, didasarkan pada Pasal 170 KUHAP untuk proses acara pidana, dan dalam Pasal 277 ayat (1) HIR Jo. 146 ayat (1) angka 3 HIR untuk proses acara perdata. Dalam ketentuan Pasal 170 KUHAP menetukan sebagai berikut : (1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka; (2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. Sedangkan untuk proses acara perdata ditentukan dalam Pasal 277 ayat (1) HIR, “Orang yang karena martabatnya, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, boleh minta dibebaskan daripada memberi penyaksian; akan tetapi hanya tentang hal itu saja, yang diberitahukan kepadanya karena martabatnya, pekerjaan atau jabatannya itu”, Juncto Pasal 146 ayat (1) angka 3 HIR “Sekalian orang yang karena martabatnya, pekerjaan atau jabatan syah diwajibkan menyimpan rahasia akan tetapi hanya semata-mata mengenai pengetahuan yang diserahkan kepadanya karena martabat, pekerjaan atau jabatannya itu”. Sebagaimana uraian di atas, PPAT sebagai jabatan kepercayaan wajib untuk menjaga rahasia yang dipercayakan orang yang menggunakan jasa PPAT kepadanya. Sama halnya dengan profesi Notaris maupun Advokat, rahasia jabatan tidak sekedar merupakan ketentuan etik, melainkan pula menjadi asas hukum yang memberikan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar 158 (Verschoningsrecht). Hal ini bermakna disamping berkewajiban untuk merahasiakan isi akta baik karena hukum formal (Pasal 170 KUHAP dan Pasal 277 ayat (1) HIR Jo. 146 ayat (1) angka 3 HIR) maupun hukum materil (Pasal 322 ayat (1) KUHP dan Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata), juga untuk menjaga martabatnya sebagai seorang Notaris/PPAT yang tentunya menjadi tidak dipercaya, apabila Notaris/PPAT tersebut tidak bisa menjaga rahasia kliennya. Hak untuk tidak membuka rahasia didasarkan atas kepercayaan yang diberikan oleh klien untuk kepentingan suatu jabatan. Menjadi kewajiban untuk tidak membuka rahasia didasarkan pada sumpah jabatan dan Kode Etik IPPAT yang memberikan sanksi bagi PPAT yang membuka rahasia. Dalam hukum pidana Pasal 322 ayat (1) KUHP memberikan ancaman pemidanaan bagi wajib penyimpan rahasia yang membuka rahasia pekerjaan atau jabatannya. Sedangkan dalam kedudukan sebagai saksi pada perkara perdata PPAT dapat minta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya menurut undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya (Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata). Menurut pendapat Van Bemmelen yang dikutip oleh G.H.S. Lumban Tobing mengatakan bahwa ada 3 dasar untuk dapat menuntut penggunaan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) yakni:202 1. Hubungan keluarga yang sangat dekat; 202 G. H. S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Cet. ke-5, Erlangga, Jakarta, hal. 120. 159 2. Bahaya dikenakan hukuman pidana (gevaar voor strafrechtelijke veroordeling); 3. Kedudukan pekerjaan dan rahasia jabatan. Meskipun PPAT memiliki hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi, karena jabatannya ia wajib merahasiakan, hendaknya PPAT perlu mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya sebelum ia memutuskan untuk menggunakan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) atau tidak, karena sebagai saksi PPAT diharapkan dapat membantu mengusut perkara yang sedang diperiksa, disamping itu terdapat pengecualian apabila menurut undang-undang diperintahkan untuk menggugurkan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) tersebut. Mernurut Mr. C. Asser yang dikutip G.H.S. Lumban Tobing 203 mengatakan bahwa kepada mereka yang disebut pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata diberikan hak ingkar oleh Undang-undang bukan untuk kepentingan mereka sendiri akan tetapi untuk kepentingan masyarakat umum. Sekalipun kepentingan terakhir ada ditangan hakim, harus diberikan kebebasan tertentu, oleh karena mereka adalah yang pertama harus menentukan apakah mereka akan merahasiakan atau memberitahukan hal-hal yang mereka ketahui tersebut. Oleh karena itu bukanlah tanpa alasan hak ingkar itu oleh undang-undang dinamakan sebagai hak. 203 Ibid, hal. 107. 160 Tetapi akan ada suatu kondisi dilematis bagi PPAT, dimana apabila PPAT memilih melepaskan hak dan kewajibannya untuk menyimpan rahasia dengan konsekuensi dapat dituntut berdasarkan Pasal 322 ayat (1) KUHP, maka PPAT bersangkutan haruslah menyiapkan diri untuk menghadapi tuntutan tersebut dengan alasan-alasan logis dan argumentasi yuridis yang dapat menghilangkan kesalahannya atau pertanggungjawaban pidananya. Sedangkan apabila ia mempergunakan hak ingkarnya dengan tetap merahasiakannya maka PPAT tersebut pun dapat dituntut berdasarkan Pasal 224 KUHP Jo. 522 KUHP sebagai berikut : - Pasal 224 KUHP : Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam: (1) dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan; (2) dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. - Pasal 522 KUHP : Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum 204 , diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. 4.2.1 Pelaksanaan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) oleh PPAT. Telah menjadi suatu asas hukum publik, bahwa seorang pejabat umum, sebelum dapat menjalankan jabatannya dengan sah, harus terlebih dahulu mengangkat sumpah atau diambil sumpahnya, selama hal ini belum dilakukan, maka jabatan itu tidak boleh dan tidak dapat dijalankan dengan sah. Untuk jabatan PPAT asas ini tertuang dalam Pasal 15 ayat (1) PJPPAT, yang menentukan, 204 Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” ialah bahwa tidak datangnya orang itu kesidang Pengadilan tidak disertai alasan yang sah misalnya sakit, sedang bepergian keluar kota dan sebagainya. Apabila tidak hadirnya orang itu kesidang Pengadilan karena memang disengaja maka ia dikenakan Pasal 224 KUHP. 161 bahwa: “Sebelum menjalankan jabatannya PPAT dan PPAT Sementara wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya di daerah kerja PPAT yang bersangkutan”. Selanjutnya mengenai isi sumpah jabatan PPAT dan PPAT Sementara, berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (2) PJPPAT, diatur didalam peraturan pelaksana PJPPAT yakni pada Pasal 34 ayat (1) Perka BPN 1/2006, yang berbunyi : “Bahwa Saya, untuk diangkat menjadi PPAT, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945 dan Pemerintah Republik Indonesia”. “Bahwa Saya, akan mentaati peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an serta peraturan perundang-undangan lainnya”. “Bahwa Saya, akan menjalankan jabatan Saya dengan jujur, tertib, cermat dan penuh kesadaran, bertanggung jawab serta tidak berpihak”. “Bahwa Saya, akan selalu senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah dan martabat PPAT”. “Bahwa Saya, akan merahasiakan isi akta-akta yang dibuat dihadapan Saya dan protokol yang menjadi tanggung jawab Saya, yang menurut sifatnya atau berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan”. (garis bawah dari Penulis). “Bahwa Saya, untuk diangkat dalam jabatan Saya sebagai PPAT secara langsung atau tidak langsung dengan dalih atau alasan apapun juga, tidak pernah memberikan atau berjanji untuk memberikan sesuatu kepada siapapun juga, demikian juga tidak akan memberikan atau berjanji memberikan sesuatu kepada siapapun juga”. Pengaturan isi sumpah sebagaimana uraian diatas, khususnya paragraf kelima merupakan instrumen Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) bagi PPAT, hal ini ditegaskan pula dalam Kode Etik IPPAT, dimana seorang PPAT dalam rangka melaksanakan tugas jabatan ataupun dalam kehidupan sehari-hari diwajibkan “senantiasa menjunjung tinggi dasar negara dan hukum yang berlaku serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan, kode etik dan 162 berbahasa Indonesia secara baik dan benar” (Pasal 3 huruf b Kode Etik IPPAT). Habib Adjie mengemukakan bahwa sumpah atau janji mengandung dua hal yang harus dipahami, yaitu :205 1. Secara Vertikal Wajib Bertanggung Jawab kepada Tuhan Secara vertikal kita wajib bertanggung jawab kepada Tuhan karena sumpah atau janji yang diucapkan berdasarkan agama masing-masing. Artinya, segala sesuatu yang kita lakukan akan diminta pertanggungjawabannya dalam bentuk yang dikehendaki Tuhan. 2. Secara Vertikal Wajib Bertanggung Jawab kepada Negara dan Masyarakat Artinya, Negara telah memberi kepercayaan kepada kita untuk menjalankan sebagian tugas Negara dalam bidang hukum perdata, yaitu dalam pembuatan alat bukti berupa akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan kepada masyarakat yang telah percaya bahwa Notaris/PPAT mampu memformulasikan kehendaknya ke dalam bentuk akta otentik, dan percaya bahwa Notaris/PPAT mampu menyimpan (merahasiakan) segala keterangan atau ucapan yang diberikan dihadapannya. Jabatan PPAT adalah adalah jabatan kepercayaan dan oleh karenanya itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya sebagai seorang kepercayaan. PPAT berkewajiban untuk merahasiakan semua isi akta-akta yang dibuat dihadapannya yang menurut sifatnya dan berdasarkan peraturan perundang-undangan diharuskan untuk dirahasiakan. Sebagai suatu jabatan kepercayaan maka dengan sendirinya melahirkan kewajiban (merahasiakan) tersebut, dan kewajiban itu akan berakhir apabila ada suatu kewajiban menurut hukum untuk bicara misalnya apabila seseorang dipanggil untuk memberikan kesaksian dimuka Pengadilan baik dalam proses perdata maupun dalam proses pidana. 205 Habib Adjie II, Op. cit, hal. 5-6. 163 Ketika PPAT dipanggil atau diminta oleh Penyidik untuk bersaksi atau memberikan keterangan berkaitan dengan akta yang dibuat dihadapannya, adalah menjadi kewajiban hukum PPAT untuk memenuhi hal tersebut. Kemudian Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dipergunakan pada saat PPAT memenuhi panggilan ke hadapan penyidik, PPAT dapat menyatakan akan mengunakan Kewajiban Ingkarnya sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) PJPPAT Jo. Pasal 34 ayat (1) Perka BPN 1/2006. Pernyataan menggunakan Kewajiban Ingkar tersebut akan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pernyataan menggunakan kewajiban ingkar tersebut semata-mata menjalankan perintah PJPPAT, sehingga tidak perlu disertai alasan apapun. 4.2.2 Pelaksanaan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) oleh PPAT. Kewajiban untuk memenuhi panggilan sebagai saksi ditegaskan dalam Pasal 244 KUHP Jo. 522 KUHP, dimana terdapat ancaman pidana apabila tidak dipenuhi sehingga PPAT wajib memenuhi panggilan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, Penulis berpendapat ketika PPAT dipanggil pengadilan untuk bersaksi berkaitan dengan akta yang dibuat dihadapannya atau berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan PPAT berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait ke-PPAT-an, maka PPAT wajib memenuhi panggilan tersebut, dan ketika panggilan tersebut dipenuhi, seorang PPAT bisa mempergunakan Hak Ingkar (Verschoningsrecht)-nya dengan terlebih dahulu membuat surat permohonan kepada hakim yang mengadili/memeriksa perkara tersebut, bahwa PPAT akan menggunakan Hak Ingkarnya. Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan akan menetapkan apakah mengabulkan atau menolak permohonan PPAT tersebut. 164 Jika hakim mengabulkan permohonan PPAT tersebut, maka PPAT tidak perlu bersaksi. Tapi jika hakim menolak permohonan PPAT tersebut, maka PPAT perlu bersaksi, dan atas keterangan PPAT sebagai saksi di Pengadilan, jika ada yang dirugikan atas keterangan PPAT, maka PPAT tidak dapat dituntut berdasarkan Pasal 322 ayat (1) KUHP karena PPAT melakukannya atas perintah hakim. Selanjutnya menyikapi mengenai masalah pengambilan minuta akta PPAT dan warkah pendukung akta yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol PPAT dalam penyimpanan PPAT, Penulis berpendapat sebaiknya dilakukan dalam tahap pemeriksaan oleh Hakim saja karena berkaitan dengan pencarian kebenaran materil, bukan dalam tahap penyidikan atau penuntutan oleh Penyidik atau Penuntut Umum. Apabila Penyidik dan Penuntut Umum merasa perlu melakukan tindakan tersebut maka harus ada izin dari Pengadilan terlebih dahulu. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 43 KUHAP yang menyatakan bahwa penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undangundang untuk merahasiakan (dalam hal ini PPAT), sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali undang-undang menentukan lain. Apabila dalam tahap pemeriksaan oleh Hakim dapat dibuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran hukum oleh PPAT melalui akta jual beli yang dibuat dihadapannya, maka barulah sang PPAT dapat dituntut maupun digugat sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan demikian PPAT tidak serta merta dikaitkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang menggunakan jasa PPAT dalam pembuatan akta otentik. Namun juga tidak menutup kemungkinan 165 bahwa PPAT yang tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait ke-PPAT-an dalam pembuatan aktanya, dapat dituntut baik secara pidana maupun secara perdata oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan. Berpijak pada uraian diatas keberadaan PPAT selama ini dimata hukum seolah-olah tidak ada bedanya dengan masyarakat umum. Seringkali terjadi persamaan perlakuan terhadap pemeriksaan PPAT sebagai saksi baik dalam tahap penyidikan, penuntutan hingga persidangan, PPAT diposisikan seolah-olah sebagai warga negara masyarakat umumnya yang tidak memiliki rahasia jabatan yang wajib dirahasiakannya. Menurut Johan Rabe terkait kedudukan warga Negara dalam konstitusi menyatakan : in the constitutional sense equality does not mean that the law must treat everyone equally and justice require differential treatment when there are relevant or justified grounds for that treatment. Equality in constitutional sense therefore means that those who are similarly situated, or which reasons are just reasons.206 Artinya dalam konstitusi kesetaraan tidak berarti bahwa hukum harus memperlakukan semua orang sama dan keadilan memerlukan perlakuan yang berbeda ketika ada alasan yang relevan atau dibenarkan untuk perlakuan itu. Di sisi lain, Notaris/PPAT merupakan profesi hukum dan dengan demikian profesi Notaris/PPAT adalah suatu profesi mulia (nobile officium), disebut nobile officium dikarenakan profesi notaris sangat erat kaitannya dengan kemanusiaan. Akta yang dibuat oleh dan/atau dihadapan Notaris/PPAT dapat menjadi alas hukum atas status harta benda, hak dan kewajiban seseorang. Kekeliruan atas akta 206 Johan Rabe, 2001, Equality, Affirmative Action and Justice, Hamburg Univ, Germany, p. 21. 166 Notaris/PPAT dapat menyebabkan tercabutnya hak seseorang atau terbebaninya seseorang atas suatu kewajiban.207 (garis bawah dari Penulis) Berpijak pada pandangan tersebut, Penulis berpendapat bahwa Notaris maupun PPAT yang dalam Pasal 1868 KUHPerdata, dikenal sebagai Pejabat Umum (Openbare Ambtenaren) dan telah dijabarkan dalam UUJN dan PJPPAT adalah orang yang dikecualikan dari prinsip equality before the law, dan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang dibuat sesuai standart pemenuhan nilai-nilai sebagai orang yang terhormat (nobile person) atau profesi terhormat dan luhur (officium nobile), sebaliknya seorang Notaris/PPAT yang tidak sedang dalam kapasitas sebagai Notaris/PPAT adalah sama dengan orang pada umumnya, yang tunduk pada prinsip equality before the law. Kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, dimana pada situasi sama harus diperlakukan dengan sama, dan disisi lain pada situasi yang berbeda diperlakukan dengan berbeda pula. Masalah muncul ketika seseorang berasal dari posisi yang berbeda tetapi diperlakukan secara sama, karena itulah penting untuk mengambil langkah selanjutnya guna mencapai kesetaraan. Demikian pula, dengan adanya kesamaan kedudukan dan kewajiban bagi jabatan Notaris dan PPAT, maka patut dipersamakan juga bentuk perlakuan bagi keduanya. Artinya, perlu juga diatur ketentuan yang mengharuskan ijin pemeriksaan dalam proses peradilan bagi seorang PPAT. Atau sebaliknya, ketentuan pemanggilan bagi Notaris dipersamakan dengan PPAT yaitu tanpa ijin 207 Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia (Perspektif Hukum dan Etika), UII Press, Yogyakarta, hal. 25. 167 pemanggilan. Tidak adanya ketentuan ijin pemeriksaan bagi PPAT sebagaimana halnya Notaris menimbulkan diskriminasi perlakuan bagi jabatan PPAT Kesimpulannya adalah berpijak pada diakuinya suatu imunitas hukum berupa Hak Ingkar (Verschoningsrecht) dan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht), serta PPAT dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum yang juga termasuk dalam kategori orang yang terhormat, jabatan terhormat (nobile person, nobile officium), maka sudah sepantasnya urgensi pengaturan secara normatif mengenai prosedur khusus dalam penegakan hukum (pemanggilan dan pemeriksaan pada proses penyidikan, penuntutan dan persidangan) terhadap jabatan PPAT segera diatur dalam suatu ketentuan normatif. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Akta jual beli tanah yang mengandung cacat hukum dapat dijumpai karena adanya : - Penyimpangan terhadap Syarat Formil Berpijak pada syarat-syarat terpenuhinya akta otentik yang diatur pada Pasal 1868 KUHPerdata dikaitkan dengan ketentuan Pasal 95-102 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka apabila ketentuan formil tersebut dilanggar, akan menyebabkan terdegradasinya kekuatan bukti sempurna dari akta jual beli tersebut menjadi kekuatan bukti akta dibawah tangan apabila berdasarkan putusan Pengadilan menyatakan adanya salah satu atau lebih pelanggaran yang dilakukan. - Penyimpangan terhadap Syarat Materil Berpijak pada syarat-syarat perjanjian yang diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata dikaitkan dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka syarat materil dari tata cara pembuatan akta PPAT harus memenuhi syarat-syarat 168 169 subyektif (subyek hak atau para pihak yang menghadap atau komparan) dan syarat obyektif (obyek hak yang dialihkan) dalam pembuatan akta PPAT. Apabila syarat subyektif dan obyektif dilanggar, maka akta PPAT tersebut dapat dimintai pembatalan dan/atau dinyatakan batal demi hukum. Pertanggungjawaban PPAT terhadap akta jual beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat hukum yang didasari adanya penyimpangan terhadap syarat formil dan syarat materil dari prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT dapat dikenai sanksi : - Sanksi Administratif : PPAT yang bersangkutan dapat dikenai sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya dan pengenaan denda administratif karena telah melanggar larangan atau melalaikan kewajibannya. - Sanksi Perdata : Apabila akta PPAT yang terdegradasi menjadi akta dibawah tangan, atau dinyatakan batal dan/atau batal demi hukum berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan suatu kerugian bagi para pihak, maka PPAT dapat dimintai pertanggungjawaban dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. - Sanksi Pidana : Sepanjang tindakan PPAT bersangkutan terbukti secara sengaja dan direncanakan baik sendiri maupun secara bersama-sama dengan salah satu atau para pihak melakukan pembuatan akta yang dibuatnya dijadikan suatu alat melakukan suatu tindak pidana, maka 170 terhadap PPAT bersangkutan dapat dikenai sanksi pidana sesuai peraturan yang berlaku. 2. Secara normatif atau eksplisit Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta peraturan perundang-undangan terkait ke-PPAT-an lainnya belum mengatur secara tegas mengenai perlindungan hukum kepada PPAT dalam melaksanakan tugas jabatannya berkaitan dengan prosedur khusus penegakan hukum terhadap PPAT. Secara implisit jabatan PPAT memiliki suatu hak istimewa berupa Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningrecht) yang diakui sebagai suatu imunitas hukum untuk kewajiban memberi keterangan sebagai saksi di tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan baik perkara perdata maupun pidana bagi jabatan-jabatan tertentu, salah satunya Jabatan PPAT, hak istimewa tersebut secara materil didasarkan pada Pasal 17 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Juncto Pasal 34 ayat (1) Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998; Pasal 322 ayat (1) KUHP; dan Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata. Sedangkan secara formil berdasarkan Pasal 170 KUHAP untuk proses acara pidana; dan Pasal 277 ayat (1) HIR Jo. 146 ayat (1) angka 3 HIR untuk proses acara perdata. 171 5.2 Saran Berdasarkan uraian pembahasan di atas, adapun saran-saran dalam penulisan tesis ini yaitu : 1. Diharapkan kepada PPAT dalam melakukan pembuatan akta jual beli hendaknya berpijak pada ketentuan peraturan perundang-undangan terkait kePPAT-an yang ada, karena akta otentik yang dibuatnya akan mempengaruhi kepastian hukum peralihan hak atas tanah sehingga dapat mengurangi timbulnya permasalahan dan konflik pertanahan yang disebabkan dari alat bukti hak atas tanah yang cacat hukum, baik secara yuridis maupun teknis dan administratif. PPAT hendaknya lebih memperhatikan dan memahami ketentuan-ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan tugas jabatannya agar terhindar dari sanksi pemberhentian, denda administratif, dan gugatan ganti rugi dari para pihak maupun tuntutan pidana. Disamping itu PPAT dalam menjalankan tugasnya harus selalu berlandaskan pada moralitas dan integritas yang tinggi terhadap profesi dan jabatannya selaku PPAT. Sedangkan kepada Pemerintah dan DPR diharapkan membentuk ketentuan mengenai tata cara pembuatan akta PPAT tidak saja lebih menitikberatkan pada unsur kepastian hukum, akan tetapi perkembangan dalam praktek terkadang menerobos aturan-aturan tersebut yang apabila tidak dipenuhi maka akan banyak kepentingan klien yang tidak bisa dilayani, sehingga perlu kiranya dinamikadinamika yang berkembang dalam proses pembuatan akta PPAT diperhatikan dan ditampung untuk dijadikan pertimbangan dalam pengaturan secara normatif kedepannya. Agar unsur kepastian hukum dalam pembuatan akta 172 PPAT dapat terpenuhi dan sebaliknya unsur pelayanan terhadap masyarakat pengguna jasa PPAT juga dapat terakomodasi dengan baik. 2. Kepada Pemerintah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang akan berlaku kemudian (ius constituendum) agar dibentuk suatu unifikasi hukum mengenai pengaturan PPAT di Indonesia dalam bentuk UndangUndang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, baik itu yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta PPAT dan pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi PPAT dalam melaksanakan tugasnya sebagai Pejabat Umum. Berpijak pada diakuinya hak ingkar sebagai suatu kewajiban hukum sekaligus imunitas hukum, menunjukkan PPAT selaku Pejabat Umum memiliki hak istimewa dibanding masyarakat biasa, maka perlu dipertimbangkan pengaturan mekanisme khusus dalam penegakan hukum terhadap PPAT. Untuk tindakan jangka pendek demi menjaga harkat dan martabat Jabatan PPAT diharapkan prosedur pemanggilan terhadap PPAT minimal ada pemberitahuan kepada Majelis Kehormatan Daerah melalui suatu peraturan organis berupa Peraturan Kepala BPN RI. Sedangkan prosedur pengambilan atau penyitaan protokol PPAT kembali pada aturan Pasal 43 KUHAP, yakni harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat terlebih dahulu. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku/Literatur Adji, Oemar Seno, 1966, Prasara dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI, Jakarta. Adjie, Habib, 2009, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Cet. ke-2, Refika Aditama, Bandung. _______, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2012, Bernas-Bernas Pemikiran Di Bidang Notaris Dan PPAT, Mandar Maju, Bandung. Adiwinata, Saleh, A. Teloeki, dan H. Boerhanoeddin St. Batoeah, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta, Jakarta. Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia (Perspektif Hukum dan Etika), UII Press, Yogyakarta. Agustina, Rosa, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, Jakarta. Azhary, Mohammad Tahir, 1992, Negara Hukum, (suatu studi tentang prinsipprinsipnya dilihat dari segi hukum islam, implementasinya pada periode negara madina dan masa kini), Bulan Bintang, Jakarta. Badudu-Zain, 1994, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Black, Henry Campbell, 1991, Black’s Law Dictionary, St Paul Minn West Publishing. Co, Boston. Boediarto, M. Ali, 2005, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justitia, Jakarta. Budiono, Herlien, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum Perjanjian Berlandaskan AsasāAsas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Chomsah, Ali Achmad, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid 2, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. 173 174 Cohen, Morris L. & Kent C. Olson, 1992, Legal Research, West Publishing Company, St Paul, Minn. Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi ke-4, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dja’is, Mochammad dan RMJ. Koosmargono, 2008, Membaca dan Mengerti HIR, Penerbit Undip, Semarang. Fatwa, A. M, 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Friedmann, Wolfgang, 1960, Legal Theory, Fourth Edition, Stevens and son limited, London. Fuady, Munir, 2002, Perbuatan melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat) ,Refika Aditama, Bandung. Gautama, Sudargo, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung. Gosita, Arif, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademik Presindo, Jakarta. Hadjon, Philipus M, 2007, Perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang prinsip-prinsip penanganannya oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan pembentukan peradilan administrasi, Peradaban, Surabaya. Harsono, Boedi, 2002, Reformasi Hukum Tanah yang Berpihak Kepada Rakyat, Mandar Maju, Bandung. _______, 2007, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. Harjono, 2008, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Konstitusi Press, Jakarta. Hartanto, J. Andy, 2012, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertifikat, Cet. Ke-2, Laksbang Mediatama, Yogyakarta. Hamzah, Andi, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta. Hisyam, M., 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta. 175 Huijbers, Theo, 1990, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta. Kelsen, Hans, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet ke-2, (Alih Bahasa Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at), Konstitusi Press, Jakarta. _______, 2007, General Theory Of Law and State : Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, (Alih Bahasa oleh Somardi), BEE Media Indonesia, Jakarta. _______, 2006, Teori Hukum Murni, (Alih Bahasa Raisul Mutaqien), Nuansa & Nusamedia, Bandung. Magister Kenotariatan, 2011, Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Udayana, Denpasar. Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Cet ke-6, Kencana Prenada Media, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 2007, Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar), Liberty, Yogyakarta. _______, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-7 Cet. 1, Liberty, Yogyakarta. _______ dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta. Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta. Muchsin, H, 2005, Ikhtisar Hukum Indonesia, Badan Penerbit Iblam, Jakarta. Nieuwenhuis, J.H., 1985, Hoofdstukken Verbintenissenrecht, (Alih Bahasa oleh Djasadin Saragih), Surabaya. Notodisoerjo, R. Soegondo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Parlindungan, A.P., 1989, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landform, Bagian I, Mandar Maju, Bandung. Peranginangin, Effendi, 1991, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali Press, Jakarta. Pitlo, A., 1986, Pembuktian dan Daluwarsa, alih bahasa M. Isa Arief, Intermasa, Jakarta. 176 Pound, Roscoe, 1996, Pengantar Filsafat Hukum (An Introduction to The Philosophy of Law), (Alih Bahasa oleh Mohammad Radjab), Jakarta. Prodjodikoro, R. Wirjono, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Edisi Ketiga, PT. Refika Aditama, Bandung. Rabe, Johan, 2001, Equality, Affirmative Action and Justice, Hamburg Univ, Germany. Radbruch, Gustav, 1961, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, Germany. Rahardjo, Satjipto, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta. Rawls, John, 1973, A Theory of Justice, Oxford University Press, London-New York. Ridwan, H. R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Rubaie, Achmad, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang. Saleh, Roeslan, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta. Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta. Setiawan, Rachmat, 1991, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, Cet1, Binacipta, Bandung. Situmorang, Victor M. dan Cormentyna Sitanggang, 1993, Gross Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rinika Cipta, Jakarta. Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung. Soimin, Soedharyo, 1993, Status Hak dan Pengadaan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta. Soemitro, Ronny Hamitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. 177 _______ dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta. Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa, Jakarta. Suparno, J., 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, PT Rinerka Cipta, Jakarta. Supriadi, 2006, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta. Sunggono, Bambang, 2010, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta. Suseno, Frans Magnis, 2000, Kuasa dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sumaryono, E., 1995, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanisius, Yogyakarta. Sutedi, Adrian, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. ke-4, Sinar Grafika, Jakarta. Tedjosaputro, Liliana, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang. Tobing, G. H. S. Lumban, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Cet. ke-5, Erlangga, Jakarta. Utrecht, E., 1963, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta. Waluyo, Bambang, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Ghalia Indonesia, Semarang. Widjaja, A.W., 1999, Etika Administrasi Negara, Cet. ke-2, Bumi Aksara, Jakarta. Zainuddin Ali, H., 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. 2. Karya Ilmiah Febriantina, Reza, 2010, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan Akta Otentik”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Pantas Situmorang, Pantas, 2008, “Problematika Keotentikan Akta PPAT”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. 178 Putri A. R., 2010, “Analisis Yuridis Legalitas Notaris Sebagai Tersangka Atas Akta Yang Dibuatnya”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Shidarta, 2004, “Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Ke-Indonesia-an”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katholik Parahyangan, Bandung. 3. Artikel Majalah Asshiddiqie, Jimly, 2003, “Independensi Dan Akuntabilitas Pejabat Pembuat Akta Tanah”, Media Notariat Edisi April-Juni 2003. Bongenaar, Karel E. M., 1992, “Aturan Dalam Norma”, Majalah Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Nomor 1 dan 2 Tahun VII, Jan-FebMar-Apr, 1992, Surabaya. Hadjon, Philipus M., 1996, “Akta PPAT Bukan Keputusan Tata Usaha Negara”, Media Notariat Nomor 38-41, Jan-Apr-Jul-Okt 1996. Harsono, Boedi, 2007, “PPAT Sejarah Tugas dan Kewenangannya”, Majalah Renvoi Nomor 844.IV, Januari 2007. Lotulung, Paulus Effendie, 1996, “Pengertian Pejabat Tata Usaha Negara Dikaitkan Dengan Fungsi PPAT menurut PP Nomor 10 Tahun 1961”, Media Notariat Nomor 38-41, Jan-Apr-Jul-Okt 1996. _______, 2003, “Perlindungan Hukum Bagi Notaris Selaku Pejabat Umum Dalam Menjalankan Tugasnya”, Media Notariat Edisi April-Juni 2003. Renvoi, 2006, Renvoi Edisi Nomor 11 Tahun Ketiga, Majalah Renvoi, 11 Januari 2006. Setiawan, Wawan, 1996, “Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum serta PPAT dibandingkan dengan Kedudukan Pejabat Tata Usaha Negara Menurut Sistem Hukum Nasional”, Media Notariat Nomor 38-41, Jan-Apr-Jul-Okt 1996. Winarsi, Sri, 2002, “Pengaturan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai Pejabat Umum”, Majalah Yuridika Volume 17 No. 2, Maret 2002. 179 4. Makalah Setiawan, Wawan, 1991, ”Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta”, Makalah dalam seminar nasional sehari Ikatan Mahasiswa Notariat Universitas Diponegoro, Semarang. Tarliman, Daniel Djoko, 2003, ”Keadilan Sebagai Landasan Filosofi Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Hakim”, Jurnal Yustika, Media Hukum dan Keadilan, Vol 6 Nomor 2 FH Ubaya, Surabaya. Yuherman, 2012, “Konsekuensi Peralihan Kewenangan Direksi Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas”, Jurnal Supremasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sahid, Jakarta. 5. Media Elektronik Asshiddiqie, Jimly, 2010, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, diakses pada tanggal 15 November 2012, URL : http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.p df Anonim, diakses pada tanggal http://id.wikipedia.org/wiki/Prerogatif 5 Juli 2013, URL : Bung Pokrol , 2004, “Batalnya Suatu Perjanjian”, diakses pada tanggal 9 April 2013, URL : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3520 Mansyur, HM Ali, 2012, “Pranata Hukum Dan Penegakaannya Di Indonesia”, diakses pada tanggal 15 November 2012, URL : http://alimansyur.blog.unissula.ac.id/ Oyong, Bambang S., 2013, “Peraturan KBPN Nomor 8 Tahun 2012 Dalam Kajian Tugas Pekerjaan PPAT”, diakses pada tanggal 18 Februari 2013, URL : http://bambangoyong.blogspot.com/2013/01/normal-0-false-false-false-enus-x-none.html Prasetio, Bimo, dan Asharyanto, 2013, “Perbedaan antara Perjanjian dengan MoU”, diakses pada tanggal 10 Juni 2013, URL : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt514689463d4b2/perbedaanantara-perjanjian-dengan-mou.html Putri, Citra, 2012, “Kajian Yuridis Eksistensi PPAT Selaku Pejabat Umum Yang Berwenang Membuat Akta Otentik”, diakses pada tanggal 17 Februari 2013, URL : http://apakabarakta.blogspot.com/2012/12/kajian-yuridis-eksistensippat-selaku.html 180 Rizal, 2011, “Peran PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah”, diakses pada tanggal 20 Februari 2013, URL : http://myrizal76.blogspot.com/2011/08/peran-ppat-dalam-peralihan-hak-atas.html Soedibyo, Anthonius Adhi, 2011, “Larangan Penggunaan Surat Kuasa Mutlak”, diakses pada tanggal 9 April 2013, URL : http://kenalhukum.blogspot.com/2011/01/larangan-penggunaan-surat-kuasamutlak.html Tjahjono, Jusuf Patrianto, 2008, “Apakah Notaris Tunduk Pada Prinsip Equality Before The Law?”, diakses pada tanggal 15 November 2012, URL : http://notarissby.blogspot.com/2008/03/apakah-notaris-tunduk-padaprinsip.html Tobing, Letezia, 2013, “Akibat Hukum Jual Beli Tanah Warisan Tanpa Persetujuan Ahli Waris”, diakses pada tanggal 9 April 2013, URL : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50dbbb8cb848d/akibat-hukumjual-beli-tanah-warisan-tanpa-persetujuan-ahli-waris Zone, Soska, 2011, “Pendaftaran Tanah”, (diakses pada tanggal 10 Oktober 2012), URL : http://hasyimsoska.blogspot.com/2011/07/pendaftaran-tanah.html 6. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23). Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R)/Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (R.I.B.) (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang berlakunya UndangUndang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209). 181 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5079). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5491). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696). Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3746). Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta. Peraturan Kepala BPN Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta. Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.