PEMBUATAN TERS-BUTILKLORIDA Reaksi Substitusi Nukleofil Alifatik Denanti Erika [10513002; K-02; Kelompok 1] [email protected] Abstrak Pada percobaan kali ini digunakan metode reaksi substitusi nukleofilik untuk mensintesis ters-butil klorida dari ters-butil alkohol. Diketahui bahwa pada reaksi substitusi nukleofilik atom/ gugus yang diganti mempunyai elektronegativitas lebih besar dari atom C, dan atom/gugus pengganti adalah suatu nukleofil, baik nukleofil netral atau nukleofil yang bermuatan negatif. Reaksi substitusi nukleofilik yang dilakukan tergolong reaksi S N1. Hal ini teramati dari penggunaan pelarut polar (dalam hal ini HCl pekat). Disamping merupakan pelarut, HCl juga merupakan reaktan. Selain itu juga terbentuknya kerbokation dalam reaksi ini menguatkan bahwa reaksi yang terjadi memang rekasi SN1. Penambahan NaHCO3 adalah untuk menetralkan asam dan mengikat air yang masih terkandung setelah ekstraksi. Setelah itu dilakukan uji alkil halida yang dimaksudkan untuk mengklasifikasi alkohol yang terbentuk. Uji alkil halida yang akan dilakukan adalah NaI dalam aseton, larutan AgNO3 dalam etanol, dan pengaruh pelarut terhadap kereaktifan S N1. Kata kunci: ters-butil klorida, ters-butil alkohol, nukleofil, substitusi nukleofilik. Abstract In this experiment used method nucleophilic substitution reaction to synthesize tert-butyl chloride from tert-butyl alcohol. It is known that the nucleophilic substitution reactions of atoms / groups that have replaced the larger electronegativity of C atoms, and the atoms / cluster replacement is a nucleophile, either nucleophiles neutral or negatively charged nucleophile. Nucleophilic substitution reactions were performed classified SN1 reaction. It is observed from the use of a polar solvent (in this case concentrated HCl). Besides the solvent, HCl is also a reactant. In addition, the formation of kerbokation in this reaction confirms that the reaction is SN1 reaction. Addition NaHCO 3 is to neutralize the acid and bind water still contained after the extraction. After that tested alkyl halides which are intended to classify alcohol formed. Test alkyl halide to be done is NaI in acetone, a solution of AgNO3 in ethanol, and the effect of solvent on the SN1 reactivity. Keywords: tert-butyl chloride, tert-butyl alcohol, nucleophile, nucleophilic substitution. 1. PENDAHULUAN Gugus hidroksi dalam ters-butil alkohol gugus yang paling mudah disubtitusi dan hal ini menyebabkan alkohol tersebut dapat bereaksi dengan hal pekat pada suhu kamar. Reaksi tersebut adalah reaksi subtitusi nukleofilik tipe SN1 yang melibatkan pembuatan senyawa antara ion karbonion yang relatif stabil. CH3 ― OH + H+ ↔ CR3 ― OH2 ↔ 3RC+ + H2O R3C+ + Cl- ↔ CR3 ―Cl ( Tim Dosen kimia organik, 2011 : 14) Alkohol sekunder apalagi yang primer memerlukan kondisi yang sangat kuat untuk melakukan reaksi substitusi, yang biasanya memerlukan pemanasan campuran alkohol – asam dengan sel klorida anhidrat. Bila alkoholnya berupa alkohol alisiklik, dianjurkan menggunakan CaCl2 anhidrat sebagai pengganti ZnCl2. Reaksi yang menggunakan HCl – ZnCl2 merepakan reaksi tipe SN2. Terutama untuk alkohol primer Mekanisme SN1 juga memungkinkan terjadi: Jalur reaksi yang terakhir ini cenderung terjadi penyusunan ulang gugus alkil. (Tim Dosen Kimia Organik, 2011 : 15) Penyusunan ulang dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa klorida yang digunakan dengan tionil klorida atau campuran tionil klorida dengan dengan piridin yang digunakan dapat dalam jumlah katalik atau ekimolar. Bila hanya menggunakan tionil klorida saja, yang pertama kali terbentuk adalah ester klorosilfit yang kemudian terurai menjadi alkil klorida dengan mekenisme siklik (SN1) (Tim Dosen Kimia Organik, 2011 : 15) Kosep yang digunakan untuk membahas reaksi nukloefilik adalah konsep putus/pembentuka ikatan heterolitik. Jelas konsep ini tidak bisa menjelaskan mengapa pada reaksi subtitusi nukloefilik adakalanya alkil halida primer dan sekunder yang membuat hasil yang lebih banyak dari pada alkil halida primer dan sekunder. Mekanisme reaksi SN2 Mekanisme reaksi SN2 hanya terjadi pada alkil halida primer dan sekunder. Nukleofil yang menyerang adalah jenis nukleofil kuat seperti OH-, CN-, CH3O-. Serangan dilakukan dari belakang. Untuk lebih jelas, perhatikan contoh reaksi mekanisme SN2 bromoetana dengan ion hidroksida berikut ini. Mekanisme reaksi SN1 Mekanisme reaksi SN1 hanya terjadi pada alkil halida tersier. Nukleofil yang dapat menyerang adalah nukleofil basa sangat lemah seperti H2O, CH3CH2OH Terdiri dari 3 tahap reaksi. Sebagai contoh adalah reaksi antara ters-butil bromida dengan air. Tahap 1. Jika nukloefil bersifat bersifat netral dan begitupun dengan substrat yang bersifat netral, produk akan bemuatan positif, jika nukleofil bersifat berupa ion negatif dan substratnya netral maka produk yang di hasilkan akan netral. Dalam kedua kasus ini pasangan elektron bebas dari nukleofil memasok elektron untuk membentuk ikatan kovalen baru. Terdapat dua mekanisme utama substitusi nukleofil. Keduanya diberi simbol SN1 dan SN2. Ada beberapa petiunjuk yang dapat digunakan untuk mengenali apakah nukleofil bereaksi dengan substratnya bereaksi melalui mekanisme SN2 diantaranya laju reaksi bergantung pada konsentrasi nukleofilnya maupun substratnya. Tipe penggantian yang melalui SN2 selalu mengakibatkan reaksi inversi. Reaksi akan paling cepat bila pada alkil halida pada substrat berupa metil atau primer dan paling lambat jika tertier halidanya. Dan halida sekunder bereaksi pada reaksi pertengahan, sedangkan SN1 kebalikannya (Hurd, Harold, 2003 : 195-204) Pengantian suatu SN2 pada karbon tak jenuh sukar berlangsung, bila reaksi SN1tidak dapat berjalan secara langsung, karena tidak stabil dari ion karbonium yang dihasilkan yaitu suatu kation fenil. Sekalipun substutisi nukleofil pada senyawa aromatik tidak begitu bisa terjadi, tapi kita dapat melihat hanya sedikit kasus pada kondisi tertentu. ( Zean, Drs. Warry, 1984 : 43) Pembentukan ikatan dan pemutusan ikatan terjadi pada waktu yang sama dalam reaksi menurut reaksi SN2. Ada suatu tahapan peralihan tetapi tidak ada hasil antara. Reaksi yang berjalan menurut reaksi SN1 mencakup karbokation yang sama yaitu, karbokation memiliki suatu bidang simetri. (Pine, Stanley H, 1980 : 417-420) Substitusi nukleofil merupakan suati kelompok dasar substitusi dimana sebuah nukleofil yang kerja elektronnya sacara selektif berikatan dengan atau menyerang muatan positif dari sebuah gugus kimia atom-atom yang disebut gugus lepas. (Anonim, 2011). 2. METODE PERCOBAAN Tahap 2. Tahap 3. Pembuatan ters-butil klorida dilakukan dengan mengisi corong pisah 250 ml dengan 25 gram (0,34 mol) ters-butil alkohol dan 85 ml HCl pekat lalu larutan dikocok selama 20 menit. Pada saat pengocokan kran harus dilonggarkan untuk mengurangi tekanan. Larutan dibiarkan hingga terbentuk 2 lapisan yang terpisah sempurna. Lapisan yang dibawah (lapisan asam) diambil dan dibuang dan lapisan atas (lapisan halida) dicuci dengan menggunakan 20 ml larutan NaHCO 3 5% lalu dipisahkan. Lapisan halida kemudian disaring dengan corong berisi kertas saring berlipat. Filtrat ditampung dalam labu distilasi 100 ml dan ditambahkan 2-3 batu didih. Kemudian dilakukan distilasi dan dikumpulkan fraksi didih pada suhu 49-51 °C (diperkirakan 28 gram ters-butil klorida). Kemudian dari hasil yang didapat dihitung rendemennya dan diukur titik didihnya. Pada uji alkil halida dilakukan 3 buah uji yaitu NaI dalam aseton, AgNO3 dalam etanol, dan pengaruh pelarut terhadap kereaktifan reaksi S N1 (solvolisis). Untuk uji NaI dalam aseton diberi nama 4 buah tabung reaksi dan dimasukkan 100 mg/ 0,1 ml senyawa 1-klorobutana/1-bromobutana, ters-butil klorida, 2-klorobutana, dan 2bromobenzena. Kemudian masing-masing tabung ditambahkan 1 ml larutan 18% NaI dalam aseton. Tabung reaksi lalu ditutup dan dikocok. Jangan lupa perhatikan waktu saat ada endapan pertama kali. Jika pada tabung tidak ada reaksi dalam waktu 5 menit, tabung ditempatkan kedalam penangas air dengan suhu 50 °C dan diamati perubahan dalam waktu 5-6 menit. Untuk uji larutan AgNO 3 dalam etanol dilakukan prosedur pertama pada percobaan sebelumnya. Lalu kedalam masing-masing tabung ditambahkan 1 ml larutan 1% AgNO 3 dalam etanol. Setelah itu dilakukan 2 prosedur terakhir pada percobaan sebelumnya. Uji pengaruh pelarut terhadap keraktifan SN2 dengan membandingkan waktu terbentuknya endapan putih antara 2klorobutana/ ters-butil klorida + larutan 1% AgNO3 dalam etanol dengan 2-klorobutana + AgNO3 dalam etanol:air 1:1. Dibandingkan pengaruh struktur, gugus fungsi halida, dan suhu terhadap kereaktifan reaksi SN1 dan SN2. Untuk pengaruh pelarut terhadap kereaktifan reaksi SN1 (solvolisis) disiapkan 1 tabung reaksi untuk tiap campuran pelarut kemudian siapkan 2 ml campuran pelarut dengan gelas ukur. Lalu ditambahkan 3 tetes larutan NaOH 0,5 M yang mengandung indikator fenoftalein,. Tabung reaksi ditutup dengan aluminium foil dan simpan dalam penangas air dengan suhu 30 ± 1 °C. Kemudian ditambahkan 3 tetes ters-butil klorida dan perhatikan waktu penambahan, tabung digiyang, lalu disimpan kembali kedalam penangas air. Catat waktu hilangnya warna merah muda dari indikator. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah percobaan ini dilakukan didapat hasil sebagai berikut : Massa ters-butil klorida : 15,28 gram Indeks bias : 1,3851 % rendemen = 15,28 = 54,57% 28 Hasil uji alkil halida : a. Uji Natrium Iodida dalam Aseton Ters-butil klorida : 9.48 menit Larutan kuning keruh 2-klorobutana : 9.45 menit Larutan kuning sedikit keruh Bromobenzene : 11.30 menit Larutan bening kuning 1-klorobutana : 6.50 menit Larutan kuning agak keruh Tingkat kekeruhan Ters-butil klorida > 1-klorobutana > 2-klorobutana > bromobenzene b. Larutan Perak Nitrat dalam Etanol Ters-butil klorida : 2.45 menit Ada endapan putih tanpa pemanasan 2-klorobutana : 9.57 menit Larutan agak kekuningan Bromobenzene : 9.59 menit Larutan bening 1-klorobutana :11.06 menit Agak keruh Hasil perbandingan pelarut 2-klorobutana + AgNO3 dalam etanol = larutan agak kekuningan 2-klorobutana + AgNO3 dalam etanol:air 1:1 = larutan lebih bening ters-butil klorida + AgNO3 dalam etanol = ada endapan putih dan larutan bening ters-butil klorida + AgNO 3 dalam etanol:air 1:1 = ada endapan putih dan larutan keruh c. Solvolisis Pelarut:Ai r (mL) Etanol 1,0:1,0 9.05 1,2:0,8 8.00 1,4:0,6 8.58 Pelarut Metanol 9.44 9.59 9.32 Aseton 14.39 29.11 36.81 Pada percobaan pembuatan ters-butil klorida 25 gram ters-butil alkohol di tambah dengan 85 ml HCl pekat menghasilkan larutan yang berwarna keruh dan berasap. Larutan ini berasap karena terjadi reaksi eksoterm. Pada umumnya , pada pembuatan senyawa-senyawa alkohol, asam pekat dijadikan sebagai reaktan, dalam percobaan ini HCl pekat disini sebagai reaktan. Lalu digunakan HCl pekat karena memiliki jumlah mol yang banyak sehingga hasil yang akan diperoleh akan lebih maksimal. Campuran kemudian di kocok, dan selama pengocokan sesekali penutup di longgarkan untuk mengurangi tekanan. Tekanan ini muncul karena ters-butil alkohol bereaksi secara eksoterm sehingga suhunya meningkat dan menimbulkan tekanan. Sebagai mana yang di jelaskan pada teori bahwa suhu berbanding lurus dengan dengan tekanan. Ketika di kocok, larutan berwarna putih dan berbuih. Larutan berbuih akibat dari pengocokan. Setelah itu larutan itu di diamkan beberapa menit sampai lapisannya memisah sempurna. Hasilnya terbentuk dua lapisan, dimana lapisan atas adalah lapisan halida dan lapisan bawah adalah asam. Terpisahnya lapisan ini karena adanya perbedaan kerapatan jenis dari halida maupun dari asam dengan asam. Adapun reaksi yang terjadi : (CH3)COH + HCl → (CH3)CCl + H2O Dimana reaksinya dengan mekanisme sebagai berikut : Tahap pertama : pembentukan sebuah karbokation dengan pemisahan gugus pergi. Tahap kedua : serangan nukleofil Bentuk umum dari reaksi di atas adalah N: + R―X → R ―Nu + x: Dengan Nu menandakan nukleofil yang memiliki pasangan elektron bebas serta R―X menandakan subtrat dengan gugus pergi x. Pada reaksi tersebut, pasangan elektron dari nukleofil menyerang subtrat membentuk ikatan baru, sementara gugus pergi melepaskan diri bersama dengan sepasangan elektron. Produk utamanya R―Nu. Nukleofil dapat mememiliki dapat memiliki muatan listrik negatif ataupun netral, sehingga produk yang di hasilkan biasanya netral atau bermuatan positif. Dan yang terjadi pada reaksi diatas adalah produk yang netral. Setelah itu lapisan bawah (lapisan asam) di buang dan lapisan atas yakni lapisan halida di cuci dengan NaHCO3. Pencucian dengan senyawa tersebut bertujuan untuk mengikat sisa-sisa asam yang terdapat pada klorida. Pada proses pencucian ini, masih terbentuk dua lapisan, lapisan atas (halida) dan lapisan bawah (garam yang larut dalam air). Reaksi yang terjadi adalah : NaHCO3 + HCl → NaCl + H2 O + CO2 Setelah itu lapisan bawah di buang dan lapisan atas di cuci lagi dengan air yang bertujuan memisahkan garam yang terdapat pada halida setra melarutkannya. Kemudian lapisan bawah di buang (air + garam), lalu menambahkan CaCl 2 anhidrat dalam larutan halida tersebut yang bertujuan untuk mengikat air yang masih tersisa dalam halida tersebut. Masih adanya garam halida di tandai dengan larutnya CaCl 2 tapi setelah Air terikat dengan CaCl2 akan menimbulkan endapan putih . CaCl2 + H2O → CaCl2 *H2O Kemudian larutan tersebut didekantasi melalui corong pisah yang di lengkapi dengan kertas saring berlipat, yang bertujuan agar larutan yang bercampur dengan CaCl 2 tadi benar-benar terikat dengan H2O atau sisa-sisa asamnya dan juga mendapatkan larutan ters-butil klorida murni. Ters-butil korida yang didapat kemudian di masukkan kedalam labu distilasi 100 ml dan ditambahkan batu didih. Setelah itu larutan ini didistilasi lagi untuk menguapkan pelarut hingga menyisakan ters-butil klorida murninya saja. Fraksi pada suhu 49-51 °C ditampung untuk kemudian dilihat indeks biasnya. Setelah selesai didistilasi didapatkan ters-butil klorida murni sebanyak 15,28 gram dari massa teoritisnya yaitu 28 gram dengan persen rendemen sebesar 54,57 %. Hasil yang diperoleh pada saat praktikum agak jauh berbeda dari yang seharusnya. Hal ini dikarenakan pada saat membiarkan larutan membentuk 2 fasa waktu yang diperlukan kurang dan larutan tidak terpisah secara 100% dan menyebabkan ada larutan ters-butil klorida yang ikut terbuang bersama lapisan asam. Setelah dilakukan pengujian terhadap titik didih tersbutilklorida dengan distilasi, distilat menetes pada suhu 50oC. Hal ini menunjukkan bahwa tersbutilklorida yang diperoleh merupakan senyawa yang murni, karena secara teoritis titik didih tersbutilklorida adalah 49-52oC. Selain dilakukan pengujian terhadap titik didih, dilakukan juga pengujian terhadap indeks bias ters-butilklorida dan menghasilkan indeks bias sebesar 1,3851. Indeks bias yang diperoleh tidak berbeda jauh dengan indeks bias secara teoritis yang sebesar 1,3860. Hal ini menunjukkan bahwa tersbutilklorida yang diperoleh merupakan senyawa yang murni. Pada percobaan natrium iodida dalam aseton terjadi mekanisme SN2 karena ciri dari mekanisme reaksi SN2 adalah menggunakan pelarut aprotik dalam reaksinya. Sedangkan aseton adalah pelarut aprotik. Dari keempat reaksi yang terjadi, 1klorobutana memiliki waktu yang paling cepat mengalami reaksi dengan larutan natrium iodida dalam aseton yaitu selama 6.50 menit jika dibandingkan dengan tiga lainnya. Setelah itu dilanjutkan dengan 2-klorobutana, ters-butil klorida, dan yang terakhir adalah bromobenzene yang menghabiskan waktu selama 11.30 menit untuk mengalami perubahan. Pada percobaan larutan perak nitrat dalam etanol adalah mekanisme reaksi SN1 karena sesuai dengan ciri mekanisme reaksi SN1 yang menggunakan pelarut protik yang dalam percobaan ini merupakan etanol. Reaksi yang membutuhkan waktu paling cepat adalah ters-butil klorida yang hanya menghabiskan waktu selama 2.45 menit, lalu disusul dengan 2-klorobutana, bromobenzene, dan yang terakhir adalah 1-klorobutana yang menghabiskan waktu selama 11.06 menit. Itu membuktikan bahwa 1-klorobutana adalah senyawa yang paling susah untuk bereaksi dengan larutan perak nitrat sehingga membutuhkan waktu yang paling lama. Untuk uji pelarut terhadap kereaktifan antara 2-klorobutana/ters-butil klorida yang telah ditambahkan larutan 1% AgNO 3 dalam etanol dengan 2-klorobutana/ters-butil klorida yang telah ditambahkan larutan 1% AgNO 3 dalam etanol:air 1:1 didapatkan data bahwa jika 2klorobutana + larutan 1% AgNO3 dalam etanol menghasilkan larutan yang berwarna agak kekuningan, sedangkan jika 2-klorobutana + larutan 1% AgNO3 dalam etanol:air 1:1 menghasilkan larutan yang lebih bening. Namun untuk ters-butil klorida + larutan 1% AgNO 3 dalam etanol menghasilkan endapan putih dan larutan yang bening, sementara untuk ters-butil klorida + larutan 1% AgNO3 dalam etanol:air 1:1 menghasilkan endapan putih dan larutan yang lebih keruh. Pada percobaan solvolisis atau pengaruh pelarut terhadap kereaktifan reaksi SN1 diketahui bahwa larutan yang paling cepat mengalami perubahan warna menjadi bening dari yang awalnya berwarna merah muda/ ungu adalah etanol. Hal itu disebabkan karena etanol memiliki struktur geometri yang mirip dengan air, selain itu juga karena etanol bersifat polar. Setelah itu dilanjut dengan metanol dan yang terakhir adalah aseton karena aseton adalah senyawa nonpolar dan aseton tidak memiliki kemiripan geometri dengan air. Pada keadaan pelarut:air 1:1 merupakan keadaan yang paling baik karena pada saat itulah rata-rata waktu yang dibutuhkan paling kecil. Untuk pelarut aseton, semakin besar perbandingan untuk pelarut maka waktu yang dibutuhkan untuk perubahan warna akan semakin lama. 4. KESIMPULAN Massa ters-butil klorida yang terbentuk adalah 15,28 gram. Indeks bias ters-butil klorida adalah 1,3851. % rendemennya adalah sebesar 54,57%. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih saya ucapkan kepada ibu Alni sebagai dosen pemimpin praktikum, dan Kak Rani Kurnia sebagai asisten praktikum pada percobaan ini. Tak lupa pula terima kasih kepada R. Banyu Firdaus, Surmayanti, Surya Nur A Rahman, Hastian Rizky Nugrahanto, Ajeng Puspita, Auliya Nur Amalina, dan Nevila Nur Faiz yang tergabung dalam kelompok 1 pada Praktikum Organik ini. Terima kasih pula kepada para staf manajemen laboratorium kimia organik yang telah menyediakan bahan-bahan serta alat yang digunakan pada percobaan kali ini. DAFTAR PUSTAKA Williamson, Macroscale and Microscale Organic Experiments, 3rd edition, Boston, 1999, 258264. Moore, J.A., and Dalrymple, D.L., Experimental Methods in Organic Chemistry, 2rd edition, Saunders, Philadelphia, 1976, 139. Wahyuningrum, Deana., Penuntun Praktikum Kimia Organik, Institut Teknologi Bandung, 2014.