Jurnal Komunikasi Massa Vol.36No. No.12,Juanuari Juli 20132010. Vol. ISSN: ISSN: 1411-268X 1411-268X Diterbitkan Oleh: Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 i Jurnal Komunikasi Massa Terbit dua kali setahun Hak cipta dilindungi Undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi dalam pelbagai bentuk medium baik cetakan, elektronik, maupun mekanik. ISSN: 1411-268 Diterbitkan Oleh: Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Desain dan tata letak oleh Sri Hastjarjo ii Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Vol. 6 No. 2, Juli 2013 ISSN: 1411-268X Dewan Redaksi Pemimpin Redaksi Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, PhD. Daftar Isi Radio Komunitas dan Pelayanan Publik (Studi tentang Kiprah Radio Komunitas Difabel “Sahabat Mata” Mijen, Semarang dalam Pemberian Pelayanan Siaran Berbasis Kebutuhan Lokal ) Sofiah, dkk..................................................... 107 Redaktur Pelaksana Tanti Hermawati, S.Sos., M.Si Dra. Sofiah, M.Si Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori dari Sri Herwindya Baskara Wijaya, S.Sos, M.Si Teori Komunikasi Berperspektif Ke-Indonesiaan Eka Nada Shofa Alkhajar, S.Sos., M.Si Redaktur Ahli Prof. Drs. Pawito, PhD. Drs. Mursito BM, SU Dr. Sri Hastjarjo Mitra Bestari Prof. Sasa Djuarsa Senjaya, PhD. (Universitas Indonesia) Prof. Dr. Dedi Mulyana (Univeritas Padjadjaran Bandung) Prof. Pamela Nilam, PhD. (University of Newcastle, Australia) Alamat Redaksi: Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36-A, Kenthingan, Jebres Surakarta, 57126 Tlp./Fax: (0271) 632478 E-mail: [email protected] Pemasar/sirkulasi Budi Aryanto, Tlp. (0271) 632478 Prahastiwi Utari, dkk................................... 121 Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Corporate Social Responsibility (CSR) berupa Pengembangan Pewarna Alami dari Buah Magrove Spesies Rhizopora Mucronata untuk Batik Khas Bontang Kalimantan Timur Imam Sulistyo W, dkk . ................................. 135 Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit Swasta (Studi Kasus tentang Pengembangan Strategi Komunikasi Pemasaran dengan Menjalin Community Relations Berbasis Budaya Lokal untuk Meningkatkan Publisitas pada Rumah Sakit Swasta di Surakarta) Tanti Hermawati........................................... 151 Budaya Populer sebagai Sistem Budaya Mursito BM................................................... 163 Media Massa dan Intoleransi Beragama (Studi Kasus tentang Wacana Intoleransi Beragama pada Surat Kabar Lokal di Kota Surakarta Tahun 2012) Sri Herwindya Baskara Wijaya, dkk............. 175 Konstruksi Media Kompas On-line terhadap Peristiwa Pengungsi Rohingya Aryanto Budhy Sulihyantoro , dkk................ 189 Jurnal Komunikasi Massa terbit dua kali dalam setahun, diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta sebagai media wacana intelektualitas bagi pengembangan Ilmu Komunikasi. Dewan Redaksi mengundang para pelajar, peneliti, dan praktisi bidang komunikasi dan media massa untuk mengirimkan tulisan, baik berupa artikel ilmiah, maupun hasil penelitian. Syarat penulisan artikel tercantum di halaman sampul belakang. Dewan Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit naskah tanpa mengurangi esensi isi. Kebijakan untuk Pelayanan Publik dalam Model Pengembangan Pengelolaan Komunikasi Informasi Pemerintah Daerah Alexius Ibnu Muridjal, dkk.......................... 203 Fenomenologi Ziarah Makam Gunung Kemukus Subagyo, dkk................................................. 211 Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell terhadap Pengembangan Ilmu Komunikasi A. Eko Setyanto, dkk..................................... 221 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 iii iv Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 107-120 Radio Komunitas dan Pelayanan Publik (Studi tentang Kiprah Radio Komunitas Difabel “Sahabat Mata” Mijen, Semarang dalam Pemberian Pelayanan Siaran Berbasis Kebutuhan Lokal ) Sofiah Sri Urip Haryati Rina Herlina Haryanti Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract This study aims to identify the needs of the broadcast and the services expected by the community radio broadcasting “Friends Eyes” follows Semarang impact, feedback and constraints. This type of research including qualitative research. Informants sought by purposive sampling technique. Extracting data through observation, interviews, documents and resources FGD.Triangulasi chosen to maintain the validity of the interactive data. model Miles used to analyze the data to produce meaningful findings and sharp. The results showed that the motifs community radio listeners in the community following the “Friends of the Eye” expects to fulfill their needs in getting knowledge, both general science and theology; they also hope to find out a variety of actual information that is happening in their local environment, local events / city and national events), as well as get a healthy entertainment. Key words: community radio, disability, public service, information Pendahuluan Di Indonesia, menurut data Kementerian Sosial Republik Indonesia tahun 2009, prevalensi difabel di Indonesia mencapai 1,167 juta penduduk atau sekitar 0,67 % dari total penduduk Indonesia (234 juta jiwa). Namun demikan dapat dipastikan bahwa jumlah difabel di Indonesia kecenderungan mengalami kenaikan. Banyaknya bencana alam, konflik horizontal, kemiskinan, kekurangan gizi, infeksi selama kehamilan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 dan persalinan adalah beberapa faktor yang secara signifikan menyebabkan meningkatnya jumlah difabel. Namun fakta ini nampaknya masih belum mampu membuka hati dari pemerintah dan masyarakat , sekalipun sebenarnya sudah banyak produk hukum yang mengatur dalam rangka untuk memberi perlindungan dan kesamaan hak. Dalam kenyataannya kaum difabel masih dipandang sebagai kelompok manusia yang tidak mampu karena 107 Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ... diletakkan dalam kategori tidak produktif dan tidak memenuhi nilai-nilai yang diutamakan dalam pembangunan yaitu efektif dan efisien, sehingga mereka tidak dianggap sebagai sumber daya atau investasi pembangunan (Purwanta, 2002: 109-110). Akibatnya menutup akses difabel untuk memperoleh hak-haknya. Hal ini terbukti dari beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa posisi difabel sangat memprihatinkan.Penyerapan tenaga kerja difabel fisik masih sangat rendah (Tjahyono: 2002).; Upaya penyaluran dan pendayagunaan tenaga kerja difabel tidak maksimal (Sholikhah, 2006); Perlindungan hukum terhadap pekerja difabel pada perusahaan swasta sangat rendah (Saifurrohman: 2006); Tingginya Problematik penempatan kerja difabel tubuh di era pasar bebas (Budiani: 2004); Strategi peningkatan jumlah penempatan tenaga kerja difabel ke perusahaan belum maksimal (Harsono: 2002). Para difabel secara fisik ataupun psikis memang kurang sempurna akan tetapi seharusnya kita tidak bisa semenamena mengklaim bahwa kaum difabel adalah orang yang tidak punya daya. Ajang olah raga ASEAN PARAGAMES di Surakarta yang diikuti oleh 700 para disable (Republika, 12 Desember 2011). Ini adalah bukti otentik bahwa mereka mampu mengukir prestasi. Semangat untuk eksis dan motivasi yang kuat untuk mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki, nampaknya membara pula pada sekelompok komunitas difabel tunanetra yang tergabung dalam Yayasan “Rumah Sahabat Mata”, sebagaimana yang terekspresi melalui mottonya yang berbunyi : “Jika mata tidak bisa melihat sesuatu, jangan anggap sesuatu itu tidak ada “ ( Facebook: rumah sahabat mata, 2011 ). Sahabat Mata adalah komunitas yang 108 punya harapan besar untuk mendapat pengakuan dimata masyarakat dan dunia. Dengan keterbatasannya pada indera penglihatan, mereka menggantang asa dengan menyentuh indera pendengaran. Dan radio siaran komunitas adalah dipilihnya sebagai wahana berekspresi, dan bereksistensi diri. Dengan mengudaranya radio komunitas “Sahabat Mata” pada tahun 2010 berarti telah mengukir sejarah baru bagi radio komunitas di Indonesia yang diprakarsai dan dikelola oleh sebuah komunitas difabel (tunanetra). Sebuah langkah yang patut diapresiasi, apalagi dalam era gelombang peradaban manusia III yang oleh Alvin Toffler disebut era masyarakat informasi, maka tidak mustahil apabila “Global Village”sebagaimana dinyatakan oleh Mc.Luhan sudah benarbenar terjadi, sehingga dengan perubahan teknologi, telah menempatkan informasi atau komunikasi pada garis paling depan revolusi sosial (Littlejohn, 1998: 324 ) Tinjauan Pustaka 1. Konsep Difabel Kata diffable merupakan akronim dari different abilities people yang kemudian diindonesiakan menjadi difabel. Secara harfiah diartikan sebagai orang yang memilik perbedaan kemampuan.Istilah difabel didasarkan pada realita bahwa setiap manusia diciptakan berbeda, sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan kecacatan. Dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat menjelas­ kan bahwasanya difabel adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan selayaknya. Pengertian cacat sendiri terdiri dari: Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ... a. Penyandang cacat fisik ( cacat tubuh, cacat rungu/wicara, cacat netra ) b. Penyandang cacat mental c. Penyandang cacat fisik dan mental Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dengan menggunakan istilah disable menggolongkan difabel ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability dan handicap. Impairment disebutkan sebagai orang yang mengalami kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau fungsi psikologis, atau anatomis. Sedangkan disability adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi manusia. Adapun handicap, merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya imparment dan disability, yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang fabelyang bersangkutan. ICF (International Classificationof Functioning Disability and Health) dan Susenas tahun 2000 mengklasifikasikan difabel kedalam beberapa kategori yaitu: gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan bicara, gangguan penggunaan lengan dan jari tangan, gangguan penggunaan kaki, gangguan kelainan bentuk tubuh, gangguan mental retardasi dan gangguan eks penyakit jiwa/ ekspsikotik. Kesetaraan merupakan isu pembangunan yang paling mendasar dari tujuan pembangunan itu sendiri. Kesetaraan akan meningkatkan kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan dan menjalankan pemerintahan secara efektif (Ismi, 2009: 32-33). UU No 4 Tahun 1997 tentang Pe­ Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 nyandang Cacat, mengartikan kesetaraan difabel sebagai, yaitu suatu keadaan yang memberikan peluang kepada difabel untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan meliputi , meliputi: (a) pen­ didikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan, (b) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat difabilitasnya, pendidikan, dan kemampuannya, (c) per­lakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya, (d) aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya, (e) rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial dan (f) hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, ke­ mampuan, dan kehidupan sosialnya, ter­ utama bagi difabel anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. 2. Radio Komunitas Radio komunitas sebagai bentuk lembaga penyiaran telah diakui keberadaannya, sebagaimana telah diatur dalam Undang – Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Dalam UndangUndang Radio Komunitas adalah termasuk ke dalam lembaga penyiaran komunitas, dimana dalam penjelasannya pada pasal 21 ayat 1 lembaga penyiaran komunitas merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia. Didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersiil dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya. Sebagaimana juga yang diatur dalam UU Penyiaran yakni pada pasal 21 ayat 2 pada poin b bahwa maksud dari penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Komunitas adalah untuk mendidik dan memajukan masyarakat dalam mencapai 109 Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ... kesejahteraan, dengan melaksanakan program acara yang meliputi budaya, pendidikan, dan informasi yang meng­ gambarkan identitas bangsa. Dengan demikian radio komunitas bisa dijadikan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk pendidikan dan pe­ ningkatan kapasitas masyarakat. Menurut Imam Prakoso dalam lokakarya tentang Jaringan Radio Komunitas Indonesia di Jakarta, Mei 2002 me­nyebut­kan bahwa terdapat berbagai tipe Radio Komunitas di Indonesia seperti terdiskripsikan pada tabel di bawah ini : Tabel 1. Tipe Radio Komunitas Indikator Inisiator Berbasis Komunitas Kelompok Masy.dlm satu-satuan Berbasis Issu Kelompok petani, nelayan Berbasis Hobi Individu yang memiliki ketertarikan Tidak ada Lembaga Payung Kelompok Masyarakat, Kelompok Tani, Kelompok Dewan Penyiaran Nelayan Komunitas Prinsip Penyusunan Program Siaran Berdasarkan Kebutuhan masy. setempat Berdasar kan kebutuhan kelompok Berdasarkan pandangan (selera) sekelompok penyiar radio Lingkup Wilayah Terbatas pada wilayah komunitasnya (basis geografis administratif) yang sering digunakan adalah desa, kecamatan Ingin mencakup wilayah dimana petani (anggota) bertempat tinggal Terbatas pada kemampuan jangkauan pemancar, jika mungkin semakin luas semakin diupayakan Kualitas Pengelolaan Umumnya masih buruk, belum dapat membangun partisipasi masyarakat untuk keberlanjut an Umumnya masih buruk, belum dapat mem bangun partisipasi masy. untuk keberlanjut an Umumnya masih buruk, belum dapat membangun partisipasi masyarakat untuk keberlanjut An Berbasisi Kampus Mhs.Jurusan tertentu Organisasi mahasiswa di Kampus/ Jurusan/atau Fakultas Berdasarkan bimbingan dosen, pandangan sekelompok penyiar Sekitar kampus sampai dengan ingin melayani seluruh mahasiswa (bisa seluruh wilayah kota) Sebagai laboratorium belajar sehingga semakin lama semakin baik Sumber: Masduki, 2004 : 3 110 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ... Metodologi Penelitian ini didesain dengan menggunakan penelitian kualitatif. Lokasi penelitian adalah di Radio Komunitas “Sahabat Mata”, Mijen, Semarang. Informan dicari dengan teknik purposif sampling. Sementara untuk menggali data dari para informan peneliti melakukannya dengan observasi, wawancara, menelusuri dokumen dan FGD.Triangulasi sumber dipilih untuk menjaga kevaliditasan data. Model interaktif Miles dimanfaatkan untuk menganalisis data untuk menghasilkan temuan yang bermakna dan tajam. Pembahasan 1. Identifikasi Kebutuhan Komunitas Pen­dengar a. Aksesbilitas Komunitas Siar­an Radio SAMA terhadap Kegiatan penyiaran radio akan ber­ manfaat apabila siarannya secara teknis bisa diakses oleh pendengarnya dengan baik dan isi siarannya dapat memuaskan kebutuhan pendengarnya dan dapat mem­berikan perubahan pada para pen­ dengarnya. Dalam penelitian ini, menurut pen­­dapat dari beberapa nara sumber yang menunjukkan bahwa siaran radio komunitas “Sahabat Mata” secara teknis siarannya bisa diterima dengan baik oleh komunitasnya yang tinggal di sekitar Kecamatan Mijen, Gunungpati, Semarang, bahkan warga sangat antusias dalam menyambut kehadiran radio komunitas “SAMA”, terlebih adalah kekagumannya terhadap para penyelenggara siaran yang keseluruhannya difabel tunanetra sehingga banyak mendapat simpati warga. Dilihat dari aspek kerutinannya dalam mendengarkan siaran radio, hampir secara keseluruhan narasumber me­nyatakan setiap hari mengikuti siaran Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 pada radio SAMA karena dinilai radio tersebut memiliki kekhususan dalam materi siaran terutama dalam pendalaman agama (Islam). Bahkan ada pendengar yang sangat setia mendengarkan siaran dari awal hingga akhir yaitu mulai jam 4.00 pagi hingga jam 22.00 seperti yang dituturkan oleh nara sumber (Ibu Mahfud): “Setiap pagi saya tidak pernah lepas dari gelombang 107.4 Radio Siaran “Sahabat Mata”, bahkan kadang sengaja radio tidak saya matikan supaya tidak terlambat mengikuti acara pembuka yang dimulai jam 4.00 pagi. Di jam itu radio “SAMA” sudah menyapa pendengar dengan lagu pembuka “Jalan Cahaya”. Suara merdu penyiar yang dibawakan oleh Mas Ian ikut menyejukkan hati kami. b. Kebutuhan Komunitas dalam Peng­ kon­sumsian Siaran Menyitir pendapat Palmgreen dalam karyanya yang berjudul Expectancy Value Theory yang menyatakan bahwa peng­ gunaan media adalah dipengaruhi oleh motivasi atau orientasi tertentu. Jadi khalayak memiliki motivasi tertentu dalam menggunakan media. Dan kebutuhan individu menurut Katz, Gurevitch dan Hass dalam model Uses and Gratificationsnya dikategorikan sebagai : cognitive needs, affective needs, personal integrative needs, social integrative needs, tension releas or escape ( Effendy, 2003: 294 ). Kemudian apa sebenarnya motif komunitas pendengar radio komunitas “SAMA” ketika mengkonsumsi siaransiaran radio “SAMA. Dalam kenyataan di lapangan, pendengar setia radio “SAMA” menunjukkan adanya motif yang kuat untuk senantiasa mengikuti program siaran radio “SAMA”. Bagi mereka radio “SAMA” adalah suluh hati yang menyejukkan, menggembirakan dan pencerah wawasan sehingga kehadirannya selalu dirindukan pendengar seperti yang 111 Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ... dikemukakan oleh Ibu Mamik seperti berikut : “Kami butuh pendalaman agama, kami butuh ketenangan jiwa, kami butuh semangat. Dengan lantunan morotal surat AR-Rahman yang isinya menggugah kesadaran kami tentang kebesaran Allah yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya yang dapat memberi banyak karunia kenikmatan telah mengingatkan kami untuk senantiasa bersyukur dan dekat dengan sang Pencipta”. Program morotal benar-benar banyak peminatnya, program ini selalu diikuti pendengar pada saat-saat menjelang waktu sholat wajib yang dinilai dapat menguatkan iman dan ketakwaan. Program-program lain di dalam rangka pemenuhan kebutuhan peningkatan pengetahuan keagamaan yang sering diikuti pendengar antara lain tentang Dunia Islam, Kristologi, Hadist Arbain, Ceramah Harun Yahya, Bahasa Arab. Adapun di dalam rangka pemenuhan kebutuhan pengetahuan umum, pendengar banyak menyimak acara-acara konsultasi kesehatan dan Acara “Canthing” berupa talkshow atau interaktif yang disiarkan on air dari studio maupun on air di luar studio yang mengulas tentang berbagai masalah dan kegiatan masyarakat lokal. Sementara acara hiburan, bagi pendengar dewasa lebih banyak menyukai acara Semangat Pagi Jatisari, Kenangan Sahabat (lagu-lagu nostalgia), keroncong, musik religi (nasyid, khasidah), dangdut dan sandiwara (Pelangi di Atas Gelagah Wangi). Oleh karena materi siaran dinilai dapat memenuhi kebutuhan komunitas pendengarnya, maka respon komunitas pendengar cenderung positif bahkan pendengar merasa sudah menyatu dengan radio SAMA di samping karena materi siaran tetapi juga karena kedekatan hubungan yang dibangun melalui request lagu dan sapaan – sapaan spesial oleh 112 penyiar. Bagi kawula muda acara-acara segar yang banyak diminati antara lain acara “Pop Sahabat” , “Nasyid Sahabat”, Anak Ceria, Sang Khalifah sampai acara-acara informasi dan edukasi (di acara Canthing, Wirausaha, Sekolah dan Aktivitas Keluarga, Bahasa Arab, Buku Bicara). Acara-acara tersebut oleh pendengar kalangan muda betul-betul bisa dijadikan sebagai sahabat setia yang dapat menghibur, menghilangkan kepenatan, dan menambah wawasan. Radio “SAMA” selain banyak ditunggu oleh pendengar “awas” ( bukan tunanetra) juga sangat ditunggutunggu oleh pendengar difabel tunanetra, sekalipun jumlah pendengar difabel tidak banyak (para siswa workshop dan pesantren Sahabat Mata). Bagi tuna netra satusatunya media yang dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan informasi, edukasi dan hiburan adalah radio. Dan radio “SAMA” mampu memenuhi kebutuhan itu melalui acara-acara siarannya, seperti yang diungkapkan oleh salah satu nara sumber tunanetra Usyi (25) sebagai berikut: “Saya suka acara “Canting”, di acara ini saya bisa dapat banyak pengetahuan sekaligus terhibur (Wa­ wa­ncara, 20 oktober 2013). Dengan mendengarkan siaran radio SAMA mereka terhibur, termotivasi, terbangun rasa percaya dirinya, dan meningkat ketakwaannya. Dan ada lagi acara spesial yang sering ditunggutunggu oleh pendengar difabel yaitu acara “Buku Bicara” ( Digital Talking Book ), misal tentang cerita novel Laskar Pelangi, Puket, dsb. Acara ini didukung oleh Voice of Islam (Media Islam Net) Bogor yang menyediakan materi buku bicara pada setiap bulannya yang diberikan secara gratis. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ... 2. Pelayanan Publik oleh Komunitas “Sahabat Mata” Radio a. Tujuan dan Dasar Pelayanan Publik Radio Komuninitas “Sahabat Mata”yang meng­udara pada tanggal 17 Ok­to­­ber 2010 adalah salah satu dari 300 radio komunitas pertama di Indonesia yang diinisiatifkan, didirikan, dikelola dan diopera­sional­kan oleh komunitas difabel tunanetra. Sejak itu menurut penuturan Basuki ( 41 th ) yang dikenal sebagai pemra­ karsa berdirinya radio komunitas “Sahabat Mata” menyatakan: “Bahwa melalui siaran radio kami berniat untuk berpartisipasi dalam pembangunan terutama pembangunan SDM dan mengajak warga sekitar untuk bersama-sama memanfaatkan wahana ini sebagai wahana penyampai informasi, edukasi dan hiburan yang sehat dan islami. Oleh karenanya kami sengaja membungkus format siaran Radio Sahabat Mata dengan azas “Islam”, Alqur’an dan hadis sebagai pijakannya sehingga harapan kami radio Sahabat Mata bisa menjadi wadah yang mampu menginspirasi dan memotivasi masyakat agar menjadi insan kamil” Dari pernyataan Basuki di atas kiranya bisa kita simak bahwa radio Sahabat Mata memiliki alasan ideal dalam pemberian pelayanan publik melalui siaran yang dirancangnya sesuai dengan pendapat Moenir ( 1998: 12 ) : a. Adanya rasa cinta dan kasih sayang; b. Adanya keyakinan untuk saling tolong menolong sesamanya ; c. Adanya keyakinan bahwa berbuat baik kepada orang lain adalah salah satu bentuk amal saleh. b. Implementasi Pelayanan Publik 1) Durasi Waktu Dengan niat mulia sesuai dengan visi radio “SAMA” yaitu menjadi wadah yang dapat memberi inspirasi dan motivasi, radio Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 terus berupaya untuk senantiasa eksis dan siap memberi pelayanan pada komunitas pendengarnya melalui siarannya. Tidak pantang lelah, tidak pantang jemu. “Sekali mengudara tetap mengudara” kata Basuki menirukan semboyan RRI. Semangat itulah yang membuat Radio “SAMA” memperpanjang durasi siarannya yang dilakukan sejak tahun 2013. Kalau durasi waktu siaran pada awal berdiri sampai tahun 2012 radio “SAMA” hanya mengudara sekitar 8 jam dalam sehari yaitu dimulai pukul 14.00 wib hingga 22.00 wib, namun sejak tahun 2013 radio “SAMA” mengudara dari jam 4.00 wib hingga 22.00 wib (18 jam/hari). Alasan perpanjangan durasi ini tidak lain dimaksudkan agar sesuai dengan azas (Islam) dan pijakan (Alqur’an dan Alhadist) yang digunakan radio. Dengan memulai siaran jam 4.00 wib – 22.00 wib, maka radio “SAMA” akan lebih sempurna di dalam upaya me­ motivasi dan meningkatkan ketakwaan komunitas pendengarnya melalui acara morotal yang dilantunkan pada saat-saat menjelang sholat 5 waktu sebagai salah satu rukun islam. Durasi tersebut untuk ukuran siaran radio komunitas adalah cukup panjang, apalagi dengan personil yang terbatas dan harus stand by setiap hari dari mulai Senin hingga Minggu. Dengan perubahan durasi waktu siaran disatu sisi memang akan dapat tercapai idealisme radio akan tetapi di sisi lain adalah akan berbenturan dengan hak tenaga kerja berkenaan dengan jam kerja karyawan sebagaimana yang diatur dalam UU ketenagakerjaan. 2) Program Siaran Program siaran Radio “SAMA” yang disiarkan secara rutin setiap hari mulai pukul 4.00 wib sampai dengan 22.00 wib adalah ditujukan untuk semua kalangan di 113 Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ... lingkungan Mijen, Semarang ( segmentasi umum ). Siaran diselenggarakan di studio, maupun siaran – siaran yang terselenggara di luar studio ( siaran langsung ) dan kegiatan-kegiatan Off Air . Adapun deskripsi­­nya adalah sebagai berikut : a) Program Siaran di Studio Berikut ini adalah nama program yang ada di Radio Komunitas Sahabat Mata yang sekaligus sebagai bentuk layanan yang diberikan oleh Radio Komunitas Sahabat Mata terhadap masyarakat: Tabel 4. Susunan dan Jadwal Program Siaran Radio “SAMA” FM Periode Januari – Desember 2013 Waktu Hari Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu Minggu 04.00-04.01 Tune Pembuka 04.01-05.30 Murotal dan Terjemahannya - Adzan Subuh - Murotal dan Terjemahannya 05.30-06.00 Voice of Islam 06.00-10.00 Semangat Pagi 10.00-11.00 Kajian Pagi 11.00-11.50 Jeda Sejenak 11.50-12.10 Murotal dan Terjemahannya - Adzan Dhuhur - Murotal dan Terjemahannya 12.10-13.00 Jeda Sejenak 13.00-14.00 Murotal 14.00-14.30 Buku Bicara Kasidah 14.30-14.50 Sahabat Pop Sahabat Nasyid Sahabat Kenangan Sahabat Nasyid Sahabat Pop Sahabat Anak Ceria 14.50-15.10 Murotal dan Terjemahannya - Adzan Asar - Murotal dan Terjemahannya Kasidah 15.10-15.45 Sahabat Pop Sahabat Nasyid Sahabat Kenangan Sahabat Nasyid Sahabat Pop Sahabat Nasyid Sahabat Inspirasi Sahabat Konsultasi Pacu Kesehatan Prestasi Anak Ceria 15.45-16.00 Sang Khalifah Konsultasi 16.00-17.00 Kesehatan Pop Sahabat Sekolah dan Aktivitasku 17.00-17.30 Voice of Islam 17.30-18.15 Murotal dan Terjemahannya - Adzan Magrib - Murotal dan Terjemahannya Harun Yahya 18.15-18.50 Series Kristologi Dunia Islam Hadist Arbain Bahasa Arabku Tafsir AlWirausaha Qur’an 18.50-19.20 Murotal dan Terjemahannya - Adzan Isya’ - Murotal dan Terjemahannya 19.20-19.30 Refleksi Prie GS 19.30-20.00 Sahabat Peduli 20.00-21.30 Wirausaha Canthing Kajian AlunAlun Canthing Canthing Canthing Teknologi Sahabat 21.30-22.00 Buku Bicara 22.00-22.01 Tune Penutup Sumber : Radio “SAMA” 2013 114 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ... b) Program Siaran Langsung Radio “SAMA” juga melayani komunitas dengan menyiarkan secara langsung peristiwa-peristiwa di ling­ kungan Mijen, seperti misal pengajian di masjid Jamik di Komplek Perumahan Jatisari, Mijen, kemudian acara Aqiqoh yang diselenggarakan warga. Di samping itu juga acara-acara bazar yang pernah diselenggarakan oleh pengajian ibu-ibu masjid jami dan Komunitas Hijabers Jatisari, Mijen. Siaran langsung seringkali juga dilakukan untuk menyiarkan acaraacara off air yang diselenggarakan oleh Yayasan Sahabat Mata seperti misal pemeriksaan mata untuk murid-murid SD, SMP, SMA dan masyarakat umum 3) Pelayanan Publik melalui ProgramProgram Off Air Program off air adalah program sosial yang diselenggarakan oleh radio SAMA di dalam rangka memberi pelayanan pada komunitas atau masyarakat sekaligus memberi solusi atas keterbatasan yang dimiliki oleh kaum difabel khususnya tuna netra agar mereka tidak terkurung dalam kegelapan dunia akan tetapi mampu meretas kegelapan tersebut melalui kreativitas dan ketrampilan sehingga mereka mampu menjadi manusia yang bermanfaat dan mampu meningkatkan kualitas hidup baik secara materiil maupun non materiil. Program tersebut biasanya terselenggara dengan bekerja sama dengan para mitra kerja seperti pengusaha optik, perusahaan textil Texmaco, persatuan dokter mata dan sebagainya. Program-program sosial yang diselenggarakan antara lain meliputi : a. Pemeriksaan mata gratis dan pemberian kacamata terutama bagi anak-anak sekolah dari golongan tidak mampu secara ekonomi b. Penyelenggaraan workshop teknologi Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 komunikasi ( internet ) bagi tuna netra. c. Penyelenggaraan workshop jurnalistik dan broadcasting bagi tuna netra d. Penyelenggaraan workshop tentang baca Al-qur’an dengan huruf braile atau dengan menggunakan komputer bicara. e. Penyelenggaraan seminar lokal/ regional/nasional yang tujuannya adalah memotivasi dan pemberdayaan kaum difabel khususnya tuna netra c. Dampak Layanan Siaran Radio Komu­ nitas “Sahabat Mata” bagi Komu­ nitas Pendengar dan Timbal Baliknya terhadap Radio “Sahabat Mata” Beberapa ahli percaya, bahwa media memberikan dampak yang besar bagi para pendengarnya. Chomsky dan Herman (1988) melihat bahwa media (radio) merupakan kurir yang sangat kuat dalam mempromosikan ideologi baru kepada anggota masyarakat yang memiliki tingkat melek media yang rendah, anak-anak misalnya. Tiga tahun mengudara, keberadaan radio ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan sebuah “enlightment” tidak hanya untuk pengelola dan penyiar Radio Sahabat Mata, tetapi juga untuk masyarakat di sekitar Jati Sari, Mijen, Kota Semarang, bahkan masyarakat Indonesia pada umumnya. Secara kekininan keberadaan Radio Sahabat Mata menjadi kurir informasi terpercaya bagi masyarakat di sekitar Jati Sari. Saat ini masyarakat merasakan bahwa Radio Sahabat Mata menjadi sahabat bahkan “istri kedua” menurut seorang informan dari pukul 04.00 sampai dengan 22.00. Ada sebuah kekosongan ketika suatu hari tidak mendengarkan siaran Radio Sahabat Mata. Saat ini yang dirasakan oleh masyarakat pendengar radio Sahabat Mata, 115 Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ... bahwa mereka mendapatkan informasi yang selektif, terpercaya tanpa “ghibah”, tanpa berita politik yang “memuakkan”, tanpa pengungkapan kriminalitas yang vulgar dan tanpa propokator. Ada lebih banyak manfaat daripada “madhorotnya”. Secara psikis ada kedamaian yang dirasakan oleh masyarakat Jati Sari ketika mendengarakan siaran radio ini (Hasil FGD 20 Oktober 2013). Visi dan Misi radio komunitas yang berbasis Islam sangat relevan dengan kondisi masyarakat Jati Sari yang sebagian besar (80%) beragama Islam dan haus akan pengetahuan agama. Keberadaan radio Sahabat Mata dengan difabel netra sebagai pengelola dan penyiarnya memberikan dampak positif bagi tumbuhnya motivasi dan rasa empati bukan hanya untuk komunitas pendengarnya saja yang berada di daerah Jati Sari tetapi juga bagi seluruh masyarakat di ranah yang lebih luas baik regional maupun nasional. Karena Radio Sahabat Mata adalah satu-satunya radio komunitas dari 300 radio komunitas yang ada di Indonesia yang dikelola oleh para tunanetra. Bukan tidak mungkin 5 atau bahkan 10 tahun yang akan datang, akan muncul radio-radio komunitas bahkan radio komersial yang dikelola juga oleh berbagai jenis difabel dengan konsistensi dan idealisme layanan informasi yang serupa. Di masa yang akan datang, layanan informasi selektif yang dilakukan oleh Radio Sahabat Mata menjadi sebuah pembelajaran bagi media informasi lainnya untuk memberikan layanan informasi yang jauh lebih bermanfaat dan selektif. Dampak yang paling dirasakan oleh masyarakat terkait keberadaan layanan Radio Sahabat mata, adalah dampak selektivitas pendengar sebagaimana diterangkan dalam teori proses selektif. Teori ini menjelaskan bahwa masyarakat melakukan suatu proses seleksi sehingga 116 masyarakatlah yang secara selektif menentukan, konten siaran atau mata acara apa yang mereka butuhkan, efek apa yang mereka ingin dapatkan dari informasi yang diberikan oleh media. Masyarakat, pada umumnya akan menghindari informasi yang datang dari media, yang secara fundamental kontradiktif dengan nilainilai atau ideologi yang selama ini mereka miliki, dan yakin akan kebenarannya. Sebagai contoh, kelompok masyarakat Jati Sari menjadi lebih nyaman ketika mereka hanya mendengarkan radio Sahabat Mata daripada radio lainnya, karena ideologi sebagian besar masyarakat Jati Sari yang Muslim menginginkan konten siaran yang Islami, dan mereka mendapatkan itu dari Radio Sahabat Mata. Dampak lainnya dari layanan radio yang diberkan oleh Sahabat Mata FM adalah pembelajaran sosial. Dalam perspektif teori pembelajaran sosial yaitu teori yang memprediksi perilaku dengan melihat cara lain yang dilakukan individu dalam memproses informasi. Teori ini menjelaskan bahwa contoh dari personal tertentu atau radio dapat menjadi penting dalam usaha memperoleh perilaku yang baru. Individu melakukan proses imitasi atas apa yang mereka dengar dari media. Teori ini sendiri menekankan pengaruh radio secara khusus dalam proses imitasi tersebut. Sebagai contoh, ketika Radio Sahabat Mata hanya memutar lagu-lagu islami dan lagu-lagu Pop yang beresensi motivasi masyarakat yang mendengarnya akan berusaha untuk terbiasa dengan lagulagu tersebut dan mengaplikasiskan esensi dari syair lagu tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dampak yang juga terasa dari layanan yang diberikan oleh Radio Sahabat Mata adalah Priming. Priming adalah proses di mana radio berfokus pada sebagian isu dan tidak pada isu lainnya dan dengan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ... demikian mengubah juga standar evaluasi yang digunakan khalayak untuk menilai realitas sosial yang dihadapinya (Severin, 2005: 271). Selain itu kondisi ini juga menjelaskan bahwa radio mendorong terbentuknya pikiran yang terhubung dengan apa yang ditampilkan diradio itu sendiri. Layanan Radio Sahabat Mata hanya menfokuskan pada peristiwaperistiwa yang terjadi di lingkungan Komunitas, dalam hal ini komunitas masyarakat Jati Sari yang Islami. Sehingga kemudian dampak yang dirasakan adalah memotivasi masyarakat Jati Sari yang sebagian besar beragama Islam berada dalam tuntunan akidah Islami seperti basis dari radio ini. Keberadaan radio Sahabat Mata, tidak hanya berdampak untuk suatu komunitas tertentu, tetapi juga bisa ber­ sifat eksternalitas (spillover effects). Hal ini dapat dilihat dari eksistensi radio Sahabat Mata dalam berbagai event baik di ranah daerah, regional maupun nasional. Keberadaan Radio Sahabat mata menjadikan ketertarikan sendiri bagi sebuah televisi swasta (MetroTV, Kick Andi) untuk melakukan rekam jejak atas kiprah radio sahabat Mata FM. Dampaknya langsung, masyarakat sekitar Jati Sari bahkan di luar itu menjadi ter­motivasi untuk ikut berpartisipasi membangun media ini menjadi lebih baik yang ditunjukkan dengan kesediaan komunitas lokal ikut berpartisipasi dalam pengisian acara siaran. d. Hambatan – Hambatan Radio Komu­ nitas “Sahabat Mata” dalam Program Pe­layanan Siaran Persoalan utama tentang keberadaan radio komunitas Sahabat Mata, hampir sama dengan radio komunitas pada umumnya. Sejauh ini selalu terkait dengan beberapa hal, seperti: Pertama, Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 keterbatasan frekuensi dan jangkauan radio komunitas saat ini hanya diperbolehkan beroperasi pada tiga kanal. Menurut ketentuan Kepmenhub no 15 tahun 2002 dan no 15A tahun 2003 yakni di frekuensi FM 107,7 Mhz; 107,8 Mhz; 107,9 Mhz, dengan jangkauan yang terbatas yaitu power maskimal 50 watt dan jangkauan layanan maksimal 2,5 km. Kedua, untuk menumbuhkan dan memelihara “kebutuhan” terhadap radio komunitas pendekatan strategis yang sifatnya kultural dan struktural belum dilakukan secara optimal. Ketiga, belum adanya survei pendengar yang dilakukan secara lebih profesional dalam rangka pengembangan manajemen radio komunitas secara efisien. Survei ini penting untuk pemetaan khalayak pendengarnya. Paling tidak survei dapat menjawab kebutuhan data pokok seperti jumlah pendengar, jangkauan (coverage area), segmen pendengar (psikografis dan demografis), serta program acara yang diminati masyarakat. Keempat, dalam rangka identifikasi kekhasan. Radio Sahabat Mata mengalami hambatan dalam penyediaan sumber daya manusia. Radio Sahabat Mata mengedepankan mereka yang tuna netra sebagai penyiar. Namun sayangnya dari proses rekruitmen yang dilakukan masih sangat kesulitan mendapatkan sumber daya manusia yang dibutuhkan. Dengan keterbatasan jumlah personil dan keterbatasan fisik yang netra maka berpengaruh terhadap mobilitas mereka dalam menjaring relasi dan penelusuran atau penyediaan variasi content siaran. Kelima, Radio SAMA belum me­ miliki sistem database yang baik. Di tingkat pengelola radio misalnya, dimulai dari pendataan semua respon yang masuk, misalnya lewat sms, surat, titip pengelola, dan sebaginya. Pada kasus laporan warga 117 Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ... yang mencuatkan pertanyaan dan isuisu tertentu yang perlu disampaikan pada pihak terkait, perlu difasilitasi dan datanya dibuat kategorisasi berdasarkan topik permasalahan sehingga menjadi bank data. Setelah itu perlu didesain cara penyampaian dua arah baik dari dan kepada pihak-pihak yang bersangkutan. yang baik; kurang mendapat respon baik dari kalangan pemerintah; belum ada kerja sama dengan NGO; belum maksimalnya penguatan manajemen pengelola dan program acara; keterbatasan anggaran, peralatan maupun sumber daya lainnya. Keenam, Radio SAMA kurang men­dapat respon yang sebagaimana mestinya dari kalangan pemerintah. Juga belum optimalnya kerjasama dengan NGO. Ketujuh, belum maksimalnya penguatan manajemen pengelola dan program acara radio komunitas, melalui kaderisasi, regenerasi, training, upgrading, dan pengetahuan dasar programming. Kedelapan, hambatan yang bersifat klasik, yaitu anggaran dan peralatan maupun sumber daya lainnya. Biro Pusat Statistik. (2002). SUSENAS 2002, Jakarta. Kesimpulan Kiprah radio komunitas “Sahabat Mata” dalam memberikan pelayanan berupa siaran pada komunitas pendengarnya dalam kurun waktu tiga tahun ini telah menunjukkan bukti bahwa siarannya yang dikemas dalam bentuk format religius (Islam) dan selektif telah mampu memenuhi kebutuhan komunitas pendengarnya yang sangat membutuhkan materi siaran berupa informasi, edukasi dan hiburan yang sehat dan bermanfaat. Sekalipun demikian radio komunitas “Sahabat Mata” tidak terlepas dari berbagai kendala dan hambatan dalam upaya memberikan pelayanan yang optimal pada komunitasnya. Kendala-kendala yang dihadapi antara lain keterbatasan frekuensi dan jangkauan radio komunitas; belum dilakukan pendekatan strategis secara kultural dan struktural secara optimal; belum adanya survei pendengar yang profesional; keterbatasan penyediaan dan rekrutmen SDM; belum memiliki database 118 DAFTAR PUSTAKA Chowdhury : 2002: 27 dalam M. Sahid Ullah ( http://www.calunif.ac.id, Article June 2010, Bangladesh.pdf, diakses 20 Januari 2012). H.A.S Moenir. (1998). “Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia”. Jakarta: Bumi Aksara. H.B Soetopo. (2006). “Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan TerapannyadalamPenelitian”. Surakarta: UNS Press. Harsono, Sri. (2002). “ Strategi Peningkatan Jumlah Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat ke Perusahaan Melalui Pelaksanaan Undang-undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat di Jawa Tengah (Thesis)”. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. J Severin – James W. Tankard, Jr, (2005). “ Teori Komunikasi, Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa”. Jakarta: Prenada Media. Kenya, Budiani. (2004). “Problematik Penempatan Kerja Penyandang Cacat Tubuh di –Era Pasar Bebas (Thesis)”, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Littlejohn, Stephen W. (1998). “Theories of Human Communication”. USA: Wadsworth Werner. Muppidi, Sundeep R. (2012). “Exploring The Rale of Media In Building Domocratic Societies”. Singapore: AMIC. Marzuki. (2009). “Penyandang Cacat Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ... Berdasarkan Klasifikasi International Classification of Functioning for Disability and Health (ICF)”. Jakarta: Departemen Sosial Republik Indonesia. Masduki. (2004). “Menjadi Broadcaster Profesional“. Yogyakarta: Pustaka Popular LKIS. ---------(2004). ”Perkembangan dan Problematik Radio Komunitas di Indonesia”. Jurnal Ilmu Komunikasi. Vol.1, No.1 Juni 2004.Yogyakarta: UPN. _______.(2007). “Regulasi Penyiaran dari Otoriter ke Liberal“. Yogyakarta: LKIS. Mursito. (2006).“Memahami Institusi Media, Sebuah Pengantar“. Surakarta: LinduPustaka. Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti. (2009). “Kualitas Formulasi Kebijakan Gender pada Bidang Pendidikan”. Surakarta: UNS Press. Effendy, Onong Uchjana. (2008). “Ilmu, Teori & Filsafat Komunikasi”, Bandung: IKAPI. Rani, Padma. (2012). “India: College Radio Tackling Participation and Social Inclusion”, dalam Kalinga Seneviratme: “People Voice People Empowerment, Community radio in Asia and Beyond”. Singapore: AMIC. Ratmiko dan Atik Septi Winarsih. (2007). “Manajemen Pelayanan (Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal “.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Saefurrohman. (2006). Perlindungan Hukum terhadap Penyandang Cacat sebagai Pekerja pada Perusahaan Swasta di Kabupaten Bantul. (Thesis), Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Severin, Werner J & Tankard, James W. (2005). Communication Theories: Origins, Methodes, And Uses in The Mass Media. New York: Longman Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Group Ltd. Puwanto, Setia A. (2002). Membongkar Belenggu—Kisah Advokasi Difabel dalam Mewujudkan Aksesibilitas Fasilitas Umum untuk Semua, dalam Sapei dkk, (2002), Memecah Ketakutan Menjadi Kekuatan Kisah—Kisah Advokasi di Indonesia, INSIST, Yogyakarta. Sofiah, Rina Herlina H dan Ismi Dwi Astuti. (2011). “Sensitivitas Gender – Difabel : Studi tentang Responsivitas Pemerintah terhadap Pemenuhan hak Ketenagakerjaan Perempuan Difabel “.Surakarta : Laporan Penelitian P3GLPPM. Sofiah, Sri Urip H dan Nora Nailul Amal. (2012). “The Potency of Visually Impaired People In Running Sahabat Mata 107.7 FM Community Radio in Semarang and Its ImPlication towards Empowerment of Local Community and Disabled People”. Shah Alam, Kualalumpur, Malaysia: Proceeding International Conference by AMIC. Sholikhah, Anis. (2006). “Upaya Penyaluran dan Pendayagunaan Tenaga Mada. Kerja Penyandang Cacat Fisik di Kota Surabaya (Thesis)”. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Tjahyono, Tri. (2002). Penyerapan Tenaga Kerja Penyandang Cacat Fisik dan Pendefinisian Terhadap Pekerjaan yang Dijalani, Thesis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: tidak diterbitkan. T.Wood, Julia. (2013). “ Interpersonal Communication Everyday Enconters”. US: Wads-Worth: USA. http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JurPend_Luarsekolah/197106141996031jonj_rahmat_pramudya/ journalradio, Desember 2011). 119 Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ... 120 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 121-134 Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori dari Teori Komunikasi Berperspektif Ke-Indonesiaan Prahastiwi Utari Hamid Arifin Tanti Hermawati Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Abstract Research into communication theory has usually been limited by its confinement under western orientation as the dominant paradigm for communication studies. This is not only limits our understanding of Indonesian’s and in particularly their communication, but more problematically it legitimizes inadequate conceptual and methodological reasoning in studies of human communication. The research aims to describe incosistence or misapplied of western communication theories in the communication phenomena in indonesia. The data is collected by using content analysis of texts related to the problems. They are Skripsi,, Thesis, and Disertation that have been made by whom that choose communication as their study. We examine how communication’s phenomena are represented in the texts. The result shows (1) the texts that using western communication theory sometimes can’t explain the phenomenon. They often have negative impacts on researched community. They are also knowingly and unknowingly misapplied to misrepresent the theorized people. (2) Research text examine the adoption on communication theories derived from western mindsets without reconciliation of any parts of the theory or model that are not concordant with Eastern ways of thinking, symbol making, and action. (3) Researchers always assume that obtaining and analyzing these ‘first hand’ data and evidence guarantees the originality and advancement of scholarship, whether or not topis are repetitive, theories are mundane, and methods are ethical. Key words: Indonesian Communication Theories, content analysis, communication’s texts Pendahuluan Bukan sesuatu yang baru jika jagat keilmuan apapun ragamnya berasal dari pemikiran teoritik dunia barat. Sumber keilmuan baik itu sarana dan prasarana memang tidak dapat disangkal bersumber di barat. Demikian pula dengan sumbersumber pemikiran teoritik komunikasi, hampir semua merupakan pemetaan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 (mapping) yang disusun para ilmuwan komunikasi Barat. Dissanayake (2003: 18) meyakini hal ini karena dia melihat bahwa: communication scholars in Asia have been by and large, trained in the west and make use of books and journals and research paper published under a western scholarly dispensation. Akibat yang muncul sesungguhnya sangatlah tidak 121 Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ... menguntungkan dari sisi pengembangan keilmuan. Ilmu Komunikasi tidak akan terlihat memiliki ciri khas atau keunggulannya secara kompetitif maupun komparatif baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional. Tidak ada ‘identitas’ yang bisa dijadikan pengenal bagi keberadaan Ilmu Komunikasi disuatu wilayah atau negara (Utari, 2012). Atau dengan pengertiannya Yoshitaka Miike (2002: 1) mengatakan: conventional academic views of communication have been skewed by Western frames of reference. They have no represented a sample of all possible conceptual positions from which the knowledge of communication can be constructed. Ada yang membuat miris, ketika di banyak negara di Asia seperti India, China, Jepang maupun Korea Selatan sudah merasakan ‘ketidaknyamanan’ pengaruh pemikiran teoritik barat dalam keilmuan komunikasi, kita ilmuwan komunikasi di Indonesia belum banyak merasakan kegalauan ini. Hanya segelintir Ilmuwan saja di Indonesia yang benar-benar merasakan dan berani menyuarakannya. Alwi Dahlan salah satunya, mengatakan belum ada yang mengembangkan teori komunikasi khas Indonesia. Teori-teori dan riset yang dikembangkan di Indonesia saat ini masih mengacu kepada teori komunikasi model barat yang belum tentu sesuai dengan kondisi di Indonesia (Kompas, November 2011). Jika kita merupakan ilmuwan komunikasi yang turut prihatin dengan kondisi semacam ini, marilah membangun suatu pendekatan teoritik komunikasi yang bersifat ‘kedaerahan’ yang merupakan cermin dari masing-masing lokasi negara yang bersangkutan. Wimal Dissayanake (2003) sekali lagi menegaskan dengan mengatakan there is a real need to expand the field by studying communication from various non western viewpoints. Dengan 122 munculnya perspektif indigenous ini akan memperluas kajian komunikasi sekaligus menggali pandangan baru (new insight) dari berbagi budaya yang memungkinkan untuk dibandingkan sekaligus dicari konsep-konsep baru darinya. Sathoshi Ishii (2009: 49) dengan mengutip Lawrence Kincaid, mengatakan bahwa a look at communication theory from different cultural perspective will contribute greatly to the future development of the field. Semua seperti apa yang diintrodusisasi oleh Miike (2006: 13): Asian Communication studies cannot revolutionize the discipline only by incorporating Asian participants into the research process. The key to the Asiancentric renaissance is to shift radically theoretical lenses around which the very research process-research design, data collection, data analysis and the data interpretation-centers. Berarti jika akan mengembangkan teori komunikasi berperspektif Indonesia, maka hanya dapat dilakukan dengan merubah cara penggunaan teori yang terkait dengan penelitian, mulai dari pembuatan rencana penelitian, pengumpulan data, analisis data dan interprestasi data. Chang dkk (2006: 313) menawarkan antara lain: “Proposing what Asian communication should emcompass or what approach should be taken to engage an Asiancentric paradigm, we will examine how east Asians are represented in the textbooks. Examining this offers a meta-perspective that provide an alternative checkpoint for comteplating advances in Asian communications studies. Artinya untuk mencari bentuk-bentuk teori yang menggunakan konsep dan model-model yang dapat dikembangkan sebagai teori komunikasi berperspektif Indonesia kita dapat menggunakan teks. Yang dimaksud dengan teks disini adalah keseluruhan hasil karya ilmiah pengguna teori komunikasi. Terkait dengan pengembangan teori komunikasi, maka yang dimaksud sebagai teks ini adalah Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ... skripsi, tesis, maupun disertasi dalam bidang komunikasi. Kajian Teoritis 1. Teori Komunikasi Secara umum Littlejohn dan Foss (2008: 14) mendefinisikan teori sebagai any organized sets of concepts, explanation and principles of some aspect of human experience. Serangkaian konsep-konsep, penjelasanpenjelasan serta prinsip-prinsip yang dapat menjelaskan aspek tertentu dari pengalaman seseorang. Terdapat 2 karakteristik yang muncul dalam suatu teori. (1) teori itu adalah suatu proses abstraksi. Fokus hanya pada sesuatu dan mengabaikan faktor-faktor lain. Untuk itu tidak ada suatu kebenaran yang absolut dalam suatu teori. Teori sesungguhnya hanya berfungsi untuk memahami, men­ jelaskan, menginterprestasi, menilai atau­ pun mengkomunikasikan suatu fenomena. (2) Teori itu adalah suatu konstruksi (dibuat), diciptakan oleh manusia. Fokus suatu teori tergantung pada pembuat atau penciptanya. Bentukan suatu teori me­ rupakan suatu cara melihat atau berfikir dari para pembuatnya. Dalam kajian Ilmu Komunikasi definisi tentang teori komunikasi itu adalah ”payung istilah untuk mendiskusikan dan menganalisis secara sistematik, hati-hati dan penuh kesadaran tentang fenomena komunikasi” (Ernest Bormann). Atau juga dapat dipahami sebagai a set of propositions purposed to explain some aspect of human behavior, in this case our communication behavior” (Godwin C.Chu). Klasifikasi teori secara umum dapat dilihat dari tingkat generalisasi yang berlaku dalam teori tersebut. Menurut West dan Turner (2007: 49) ada 3 kelompok teori; yaitu grand theories, mid-range theories dan narrow (or very specific) theories. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Dalam grand theories untuk kajian komunikasi, perilaku individu dalam komunikasi adalah bersifat kebenaran mutlak. Teori-teori komunikasi yang bersifat ‘grand’ memiliki kemampuan untuk menyatukan seluruh pengetahuan tentang komunikasi ke dalam suatu kerangka teoritik yang integrated. Menurut Craig (1999) terkait dengan teori komunikasi maka berani dikatakan there is no grand theories of communication exist. Hal ini dijelaskan oleh West dan Turner (ibid) karena: too many intances where communication differs from group to group or when communication behavior is modified by changes in context or time to create a grand theory. Menurut pemikiran West dan Turner teory komunikasi itu bukanlah teori yang bersifat grand theory karena perilaku komunikasi itu sangat bersifat kontekstual tergantung pada ruang dan waktu. Mid-range theories, teori yang coba menjelaskan tingkah laku (behavior) dari kelompok tertentu dibandingkan dengan melihatnya pada perseorangan. Kelompok teori ini coba menjelaskan perilaku individu-individu dalam suatu rentang waktu atau kontekstual. Sebagian besar teori teori komunikasi yang sudah dikembangkan adalah merupakan bentuk mid-range theories ini. Setiap teori biasanya memiliki aspek tertentu yang fokus pada perilaku komunikasi. Dalam tataran lain teori komunikasi juga mencerminkan apa yang disebut se­ bagai a narrow theory, teori-teori yang hanya menaruh perhatian pada se­kelompok orang dalam situasi tertentu. Sebuah teori pasti memiliki bagianbagian yang dapat menjelaskan keberadaan teori tersebut. Littlejohn dan Foss (2008: 19) sesuai dengan definisi yang mereka berikan menyatakan bahwa suatu teori itu pasti memiliki komponen antara lain: konsep, penjelasan dan prinsip. Sedangkan 123 Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ... menurut West dan Turner (2007: 50) suatu teori itu pastilah terdiri atas komponen konsep dan relationship diantaranya. 2. Teori Komunikasi Asia Jika mau introspeksi diri sesungguhnya Ilmuwan Komunikasi Indonesia sudah jauh tertinggal dengan Ilmuwan Komunikasi dalam ‘dunia serumpun’ Asia untuk menghadirkan ‘kedirian’ Indonesia lewat Teori Komunikasi. Hampir 30 tahun lalu ketika AMIC (1985) menyelenggarakan Symposium on Mass Communication Theory: The Asian Perspective dan dilanjutkan dengan munculnya tulisan Wimal Dissanayake (ed.), Communication Theory: the Asian Perspective, (1988) sesungguhnya genderang tentang keberadaan teori komunikasi dengan bercirikan Asia sudah ditabuh. Kesinambungan usaha membumikan Teori Komunikasi Asia berlanjut dengan kegiatan kegiatan seperti: Jakarta Consultation: Press Sistem in Asean (1988), Kathmandu Colsultation: Press Sistem in SAARC (1989), Colombo Seminar: Communication Ethics (1993); Hongkong Asian Press Forum: Asian Value and The Role of Media (1994); Kuala Lumpur Seminar: Asian Values in Journalism (1995); Kuala Lumpur Conference : Press Freedom and professional Standards (1996), Singapore Conference: Trends and Strategis (1996) sampai Asian Economic Crisis: Communication and Transparency (1997). Saat saat itu kita sepertinya belum menyadari tentang pentingnya indigineous communication theories. Ibarat orang tidur, kita masih terlelap. Muncul kemudian ilmuwan-ilmuwan komunikasi yang membawa bendera kedirian mereka dalam membentang kajian komunikasi. Lihat Wimal Dissayake (1982, 1983, 1988) dengan Indian communication theories-nya, Shitaka Ishii (1982, 1984, 1998, 2001, 2003) dengan 124 Japanese communication theories-nya, atau beberapa Ilmuwan Komunikasi China dengan Chinese communication theories-nya. Mereka menghadirkan teori komunikasi bercirikan khas dari masing-masing negara dengan permasalahan yang khas dari mereka pula. Lihat misalnya tulisan Chang, H-C (2001) dengan judul Harmony as performance: The Turbulence under Chinese Interpersonal Communication. Atau juga ketika Nirmala Mani Adhikary (2009) menuliskan tentang An Introduction to Sadhikaran Model of Communication. Poin menarik lain dari ilmuwan Asia ini ketika mereka mensosialisasikan perspektif kedirian dalam teori komunikasi, mereka tidak segan untuk mempublikasikannya dalam jurnal-jurnal internasional. Dalam era inipun sepertinya kita masih belum terbangun. Di awal tahun 2000 banyak ilmuwan Barat mengakui tentang keberadaan teori komunikasi Asia. Littlejohn dan Foss (2009: 52) dengan metateorinya mengakui adanya Buddist Communication Theory, Chinese Harmony Theory, Confucian Communication Theory, Hindu Communication Theory dsb. Para Ilmuwan Komunikasi dari negara negara Asia ini seperti Guo-Ming Chen, Wimal Dissayake, Shelton Gunaratne, Sathosi Iishi dan Yoshitaka Miike mendapat pengakuan internasional sebagai Ilmuwan Komunikasi Asia. Di era era terakhir inilah rasanya kita Ilmuwan Komunikasi Indonesia seolah-olah baru terbangun dan tergagap, kita sudah jauh tertinggal. Karena kita belum memiliki pe­ma­ haman tentang apa itu Teori Komu­nikasi Indonesia (TKI), tidak ada salahnya kita belajar dari teori dan model komunikasi yang sudah berkembang dan dilakukan oleh ilmuwan komunikasi di negara Asia seperti India, Jepang dan China. India merupakan negara di Asia yang paling awal sadar betapa pentingnya Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ... pemikiran teoritik komunikasi yang bersifat indigenous untuk dikembangkan. Tulisan ilmuwan komunikasi India Wimal Dissanayake tahun 1988 Communication Theory: The Asian Perspective dianggap sebagai the pioneer aimed at expanding and enriching the knowledge basis in studying communication (Wang & Kuo, 2010: 153). Bagi masyarakat India, budaya me­ rupakan sesuatu yang mengisi semua aspek kehidupan. Semua prinsipprinsip pengaturan, perintah, nilai-nilai dan bentuk-bentuk relationship dalam masyarakat tercermin dalam budaya. Bagi Usha Vyasulu (1985: 2) budaya India itu ibarat mosaik yang menyatukan 14 bahasa utama, 5 agama dan ratusan suku, dengan perbedaan masing-masingnya. Belum lagi dalam masyarakat juga berkembang pembagian kasta dan kelas yang sangat ketat. Jadilah gambaran utama dalam budaya masyarakat India bahwa seorang individu itu akan terhubung secara ketat dengan keluarga, kasta dan lokalitas. Studi Mani Adhikary (2009) tentang Sadharanikaran Model of Communication coba memperlihatkan praktek-praktek komunikasi dalam budaya India. Kata sadharanikaran berasal dari bahasa Sansekerta yang diterjemahkan sebagai presentasi secara umum, penyederhanaan atau juga universalisasi. Ketika seorang komunikator dan komunikan mencapai proses shadaranikaran, mereka memperoleh sahridayata (kesamaan orientasi) dan menjadi sahridayas (mencapai kesamaan). Dengan cara yang kurang lebih hampir sama, ilmuwan komunikasi di India dapat menghasilkan Hindu Communication Theory, Rasa Communication Theory dan lain-lain. Dalam perspektif China aspek budaya juga menjadi kajian penting dalam mengungkap keberadaan mereka. Leonard L Chu (1985: 3) misalnya mengatakan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 bahwa in China, interpersonal communication is perhaps the most cultures bound aspect of communication theories. Kuatnya kajian berperspektif budaya, terutama terlihat dari budaya Konghucu (Confucinanist culture). Dalam budaya ini sangat menghargai otoritas dan harmonisasi dalam masyarakat. Dalam praktek komunikasi sehari-hari tergambarkan bahwa setiap individu akan menjaga dan memperhitungkan apa yang diucapkan. Studi dari Guo Ming Chen ( 2001) tentang Chinese Harmony Theory mem­ perlihatkan bahwa kemampuan sese­ orang untuk mencapai harmoni akan meningkatkan derajat kompetensi sese­ orang dalam berkomunikasi. Sama seperti India dan China, Jepang pun mengembangkan pemikiran teoritik tentang komunikasi berdasarkan konsep budaya mereka. Salah satu studi yang menarik adalah apa yang dilakukan Miike (2003) dengan pengembangan konsep Amae dalam budaya Jepang sebagai bagian penting dari human communication. Amae dimakna sebagai orientasi empati secara non verbal, ambiguitas ataupun keraguan seseorang untuk mengekspresikan dirinya. Amae ini akan menekan komunikasi secara verbal. Untuk itu perlu mengaktifkan apa yang disebut enryo dan sasshi. Apa yang disebut sebagai Teori Komunikasi Asia (Asian Communication Theory) dalam pemahaman ilmiah kajian komunikasi merupakan dapat dikatakan sebagai suatu perspektif; yaitu suatu kerangka konseptual, seperangkat asumsi-asumsi, seperangkat nilai-nilai, gagasan-gagasan yang mempengaruhi persepsi seseorang serta mempengaruhi tindakannya dalam suatu situasi (Charon, 1998). Menggunakan pengertian ini kita dapat mendefinisikan TKI sebagai suatu perspektif Ke Indonesiaan dengan mengatakan bahwa TKI itu adalah kerangka 125 Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ... konseptual, seperangkat asumsi-asumsi, seperangkat nilai-nilai, gagasan-gagasan yang mempengaruhi persepsi seseorang Ilmuwan Komunikasi Indonesia serta mempengaruhi tindakannya dalam suatu situasi/fenomena komunikasi di Indonesia. Definisi tentang komunikasi pers­ pektif Indonesia dapat kita ambil ruh­nya seperti apa yang diungkap oleh Yoshitaka Miike (2002) dan Littlejohn (2009). Yoshitaka Miike melihat teori komunikasi di Asia sebagai: a theoretical sistem or a school of though in communication where concepts, postulates and resources are rooted in, or derived from the cumulative wisdom of diverse Asian cultural traditions (hal.2). Sedangkan Littlejohn melihatnya sebagai the body of literature covering concepts and theories derived from rereading of Asian classical treatises, non-Eurocentric comparisons, East-West theoretical syhthese, explorations into Asian Cultural concepts, and critical reflections on Western Theory. teknik penelitian ilmiah yang ditujukan untuk mengetahui gambaran karakteristik isi dan menarik inferensi dari isi (teks). Dalam penelitian ini analisis isi dilakukan terhadap isi pesan yang nampak (manifest) maupun yang tidak nampak (latent). Hal ini berpegang pada apa yang dinyatakan Neuendorf (2002: 23) dan Krippendorf (2006: 20) yang mengatakan analisis isi dapat dipakai untuk melihat semua karakteristik dari isi (teks), baik yang nampak (manifest) ataupun yang tidak nampak (latent). Atau jika menggunakan pemikiran Riffe, Lacy dan Fico (1998: 30), pada saat coding dan pengumpulan data peneliti menilai aspekaspek dari isi yang terlihat (manifest), sementara pada saat analisis data peneliti memasukkan penafsiran akan aspek-aspek dari isi yang tak terlihat (latent). Dengan demikian TKI dapat di­ definisi­kan sebagai sistem teori tentang komunikasi dimana konsep-konsep, postulat dan semua sumber-sumber yang terkait didalamnya berakar dan berasal dari kearifan-lokal budaya Indonesia dan sekaligus mengkritisi teori komunikasi barat. Ada 3 cohort yang menjadi obyek dalam penelitian ini, antara lain: (1) Skripsi, mahasiwa Ilmu Komunikasi yang berthema khusus tentang fenomena komunikasi di Indonesia atau bercirikan lokal dengan kekuatan pada budaya setempat. (2) Thesis, mahasiswa pascasarjana Ilmu Komunikasi yang berthema khusus tentang fenomena komunikasi di Indonesia atau bercirikan lokal dengan kekuatan pada budaya setempat. (3) Disertasi mahasiswa pasca-sarjana Ilmu Komunikasi (S3) yang bertema khusus tentang fenomena komunikasi di Indonesia atau bercirikan lokal dengan kekuatan pada budaya setempat. Ketiga cohort ini akan diambil dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2007-2012) dari pembuatannya dengan pertimbangan permasalahan yang diangkat masih cukup valid untuk diingat sebagaian besar pembacanya. Metode Penelitian Sajian dan Analisis Data Penelitian ini dilakukan secara des­ kriptif kuantitatif dengan metode Analisa Isi (content analysis). Analisis isi kuantitatif menurut Eriyanto (2011: 15) adalah suatu Data dari hasil penelitian ter­hadap teks yang dipilih (Skripsi dan Tesis) telah memperlihatkan bahwa peng­ Terdapat penekanan yang saling meng­isi antara dua definisi ini. Pertama, Miike menjelaskan untuk teori komunikasi dengan perspektif Asia harus berakar pada kearifan lokal budaya-budaya setempat dan Littlejohn secara berani mengata­kan bahwa teori ini juga dapat merupakan kritik terhadap teori-teori yang dikembangkan di Barat. 126 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ... gunaan pemikiran teoritik Barat dapat menimbulkan inkonsistensi dalam hasil penelitian. Secara tidak langsung me­ nimbulkan hal negatif atau bahkan berlawanan terhadap unit analisis peneliti­ an terutama dengan masyarakat yang di­ teliti. Hal ini juga dilihat oleh Miike (2003: 40): theoretical perspective and research findings, whether intended or unintended, often have negative impacts on researched community. They are also knowingly and unknowingly misapplied to misrepresent the theorized people. Contoh-contoh dari analis teks di atas rata rata memperlihatkan impact negatif dari teori yang digunakan terhadap masya­rakat yang mereka teliti ataupun kemudian muncul mis-interprestasi terhadap masyarakat yang mereka teliti. Misalnya contoh dari Thesis, yang melihat masyarakat Kristen di suatu desa di Bali yang membangun gereja dan ritual peribadatan mereka seperti budaya Bali, peneliti mengamati ini sebagai suatu fenomena akulturasi masyarakat. Pada hal dari sisi masyarakat setempat apa yang mereka lakukan ini merupakan suatu bentuk perlawanan mereka terhadap budaya Bali yang sangat ketat memperlakukan nilai-nilai Hindu dalam kehidupan mereka (lihat Thesis, Sih Natalia Sukmi, 2012). Bagi masyarakat Blimbingsari akulturasi merupakan upaya yang mereka gunakan untuk melakukan perlawanan tanpa kekerasan (hal. 200). Artinya jika dalam konsep Barat akulturasi dilakukan individu-individu dengan cara menyesuaikan diri dengan suatu budaya baru, maka untuk khusus Blimbingsari akulturasi menghadirkan bentuk baru sebuah perlawanan terhadap sebuah buadaya baru. Konsep akulturasi yang digunakan peneliti menjadi keliru ketika diterapkan kepada masyarakat Blimbingsari di Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Bali. Peneliti dapat sesuangguhnya menggunakan konsep ‘perlawanan’ masayarakat terhadap budaya ini sebagai suatu bentuk teori baru dengan menggalinya dalam masayarakat yang diteliti tersebut. Demikian pula untuk Skripsi, masya­ rakat Osing di Jawa Timur (lihat Skripsi, Poundra Swasti Maharani Ratu Sirikit, 2009) penggunaan teori interaksi simbolis dari Herbert Blumer yang digunakan peneliti menjadikan muncul interprestasi yang berbeda dengan kenyataan di­ lapangan tentang masyarakat Osing. Peneliti menjelaskan konsep teorisasinya sebagai berikut: …individu merespons lingkungannya berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Proses interpretasi adalah hal yang sangat penting, dan karenanya, manusia sebagai individu dipandang aktif untuk menetukan dunia mereka sendiri. Makna muncul dari proses interaksi sosial seseorang dengan orang lain, yang tentu saja dalam prosesnya sangat membutuhkan bahasa. Makna ditangani dan dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran oleh individu bersangkutan, kaitannya dengan situasi yang dihadapi. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran atau interpretasi seseorang dapat berubah, yang dimungkinkan karena seseorang dapat melakukan proses mental. Perspektif interaksionalisme simbolik mengakui pentingnya proses pengambilan peran tertutup (covert role-taking) di samping tindakan terbuka (hal.45). Hasil temuan penelitian memperlihat­ kan ada sesuatu yang berbeda dengan konsep dari teori interaksi simbolis yang digunakan. Masyarakat Osing ketika menggunakan pemaknaan terhadap bahasa yang mereka gunakan tidaklah memaknai penggunaan tersebut seperti apa yang dipremiskan oleh Blumer merupakan proses aktif berdasarkan 127 Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ... pengalaman individu dan dapat berubah sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Bagi masyarakat Osing hal ini tidak berlaku, penggunaan bahasa, yang dalam kacamata peneliti merupakan bentuk interaksi simbolis bukanlah suatu proses aktif dimana individu menyesuaikan dengan keadaan, tetapi bagi orang ‘Osing’ bahasa adalah sesuatu yang diturunkan sebelumnya yang bersifat ‘sakral’ buat mereka sehingga bahasa diterima apa adanya seperti yang dituturkan para pendahulu mereka. Pengguna bahasa tidak perlu melihat kontekstual kekinian dalam memaknai bahasa mereka. Hal semacam inilah kadang dilihat peneliti sebagai sesuatu yang disebut ‘aneh’ untuk orang Osing menurut orang diluar masyarakat Osing. Terdapat kesulitan ketika pertama kali berkomunikasi dengan orang Osing. Dialek dan penggunan bahasa mereka sangat sulit untuk diucapkan dan dimengerti. Orang yang lebih mudah usianya sedikit memahami untuk berbicara atau bertutur lebih pelan atau lambat, sebaliknya generasi yang lebih tua terlihat kurang sabar ketika peneliti jauh tertinggal dalam percakapan, mereka tidak memperhatikan siapa lawan bicara mereka. (hal.109) Penggunaan teori yang kurang tepat terhadap masyarakat ‘Osing’ di atas menimbulkan dampak negatif bagi mereka karena seolah-olah mereka ini adalah masyarakat yang tidak mau berkomuniksi dengan masyarakat di luar Osing. Padahal sesungguhnya cara mereka berkomunikasi ini merupakan bentukan dari budaya Osing yang dipegang oleh masayarakat. Dalam Thesis, masyarakat Samin di Sukolilo Pati (Lihat Thesis, Rini Darmastuti, 2005). Penggunaan teori komunikasi antar budaya dari pemikiran Larri Samovar dan Richard Porter ,terutama yang terkait dengan komunikasi 128 menimbulkan interprestasi yang keliru terhadap masyarakat Samin. Penulis Thesis, ini mengutip bahwa persepsi seorang individu terhadap lingkungannya sangat subyektif dan budaya merupakan pola persepsi dan perilaku dari kelompok tersebut (hal.16), tetapi dalam analisis temuannya terlihat bahwa terdapat beberapa perilaku masyarakat Samin yang tidak sesuai dengan lingkungan (baca budaya) dimana mereka berada, misalnya: Masyarakat Samin merupakan bagian dari masyarakat Jawa. Mereka hidup ditengah-tengah masyarakat Jawa dengan budaya dan cara hidup yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Jawa dengan style atau gaya yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Perbedaan ini tidak lepas dari pandangan hidup, sikap serta nilai-nilai yang mereka anut (hal.85). Dari data di lapangan penulis me­ nemu­kan perilaku yang berlainan dengan konsep yang dipergunakannya dalam me­ lihat masyarakat Samin tersebut antara lain: Sebagai masyarakat yang hidup di Jawa Tengah, masyarakat Samin ‘seharusnya’ berada dalam budaya Jawa terutama dalam penggunaan bahasanya. Tetapi kenyataan bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Jawa tanpa tingkatan dan struktur bahasa seperti yang digunakan dalam bahasa Jawa pada umumnya. Bahasa Jawa yang masyarakat Samin gunakan sangat berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya (hal.3). Adanya penggunaan perspektif barat yang tidak dapat menjelaskan fenomena komunikasi di Indonesia mungkin saja terjadi terhadap masyarakat Samin. Gam­ bar­an bahwa mereka adalah suku terasing, tradisional, terbelakang, kuno, aneh, bodoh, anti pemerintah, dan lain lain, merupakan cerminan terbentuknya dampak negatif terhadap suatu masyarakat yang diteliti karena peneliti menggunakan perspektif Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ... teoritik berdasarkan konsep yang ada dipeneliti dengan penerapan yang tidak sesuai dengan masyarakat yang diteliti. merupakan sesuatu yang sangat berharga dalam pengembanagan Ilmu Pengetahuan (Komunikasi) ke depannya. Ada beberapa alasan yang dapat dijadi­kan dasar dalam penelitian ini yang memperlihatkan konsep pemikiran teoritik barat tidak dapat menjelaskan fenomena komunikasi di Indonesia, mindset kepada pemikiran barat, perilaku adopsi yang tidak memikirkan modifikasi dan juga ter­ kait dengan ketersediaan data. Keterkaitan penggunaan pemikiran teoritik barat di Indonesia terjadi karena peneliti dalam menggunakan teori hanya mengadopsi murni suatu teori yang sudah ada tanpa memodifikasi atau menyesuaikan dengan apa yang diteliti. Ini bukan berarti tidak ada usaha pengembang­an pemikiran teoritik tentang komunikasi dari perspektif keindonesiaan. Inilah suatu tantangan bagi penelitian di Indonesia bahwa dengan menggunakan lensa teoritik pemikiran Barat kita akan meniadakan atau bahkan mengaburkan kekhususan atau pencirian dari hasil temu­an penelitian dilapangan. Sekali lagi Miike (2006, hal 4) merasakan untuk pe­neliti komunikasi di Asia: …many of them have only seen their cultures as texts or peripheral targets of Eurocentric analysis, not theories or central resources of Asian-centric insight. They studied Asian communication not from Asian perspective words but from European perspective. Study dari Bryant dan Yang (2004) yang melakukan analisa isi terhadap 9 jurnal ‘mainstream’ komunikasi di Asia memperlihatkan 65 artikel tentang feno­ mena komunikasi di Asia yang mereka analisis menggunakan pemikiran teoritik Barat. Mereka mengatakan: While I do not necessarily subscribe to the legitimacy of their scope of investigation and to their suggestion for the future, it is fair to say that “little emphasis is placed on sophisticated theory construction, which is heart and soul of the creation and advancement of knowledge in any discipline (hal.145) Artinya, tidak akan berarti apaapa sebuah penelitian itu, sebagus apapun masalah dan saran hasilnya, jika tanpa penekanan pada penemuan atau pembentukan suatu teori yang menjelaskan fenomena tersebut dan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Turnomo Rahardjo (2008) melihat sudah ada kesadaran ilmuwan komunikasi ke arah itu namun masih dalam porsi yang sangat terbatas. Aktivitas keilmuan (penelitian) masih sebatas melakukan verifikasi terhadap teori-teori komunikasi dengan cara pandang Barat. Artinya, apa yang dilakukan sekarang ini masih dalam tataran melakukan pengujian, men­ dukung atau menolak teori-teori barat, belum sampai pada tahapan untuk meng­ eksplorasi kearifan lokal (local wisdom). Hal senada yang dirasakan Miike (2006): … We should routinely challenge the adoption on communication theories derived from western mindsets without reconciliation of any parts of the theory or model that are not concordant with Eastern ways of thinking, symbol making, and action. Miike (2006) yang concern dengan usaha membangun teori komunikasi di Asia mengatakan: …we must place Asians cultures as theoretical resources at the center of inquiry in describing, deciphering and discerning the premises and practices of Asian communication. It can be conducted by focusing on our cultural specific theories to explore the possibility of building universal theories (hal.4). Salah satu hal lain yang juga me­ nyebab­kan pemikiran teoritik barat tidak dapat menjelaskan fenomena komunikasi di Indonesia adalah terkait dengan proses 129 Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ... penelitian. Peneliti terlalu percaya bahwa data di lapangan yang didapat melalui cara-cara yang sudah dirancang dalam metode peneltian. Data primer penelitian merupakan data utama dalam menganalisa penelitian. Sementara data pendukung lain hanya dilibatkan sebagai data yang melengkapi data utama saja. Miike (2003) menggaris bawahi hal ini dengan mengatakan bahwa kita sebagai peneliti itu: ..always assume that obtaining and analyzing these ‘first hand’ data and evidence guarantees the originality and advancement of scholarship, whether or not topis are repetitive, theories are mundane, and methods are ethical. dalam tingkatan pengembangan communication indigoneous theory di Asia cara yang dilakukan saat ini …not only limits our understanding of Asians and in particular their communication, but more problematically it legitimizes inadequate conceptual and methodological reasoning in studies of human communication. Untuk itulah dalam pemahaman tentang konsep yang akan dikembangkan tentang bagaimana konsep komunikasi dilihat dari perspektif keindonesiaan, kita perlu melihat perbedaan mendasar tentang konsep itu sendiri diantar dua kutub dari literatur-literatur yang sudah ada. Data-data yang berasal dari autobiografi, kaligrafi, sejarah perusahaan, diaries, etymological origins, dongeng binatang, idiomatic expression, imageries, legenda, mitos, novel, puisi, peribahasa, dan lagu masih dianggap bukan sebagai sumber data utama dalam melakukan penelitian. Kalaupun digunakan data-data semacam ini hanya menjadi data yang mengilustrasi saja atau sebagai data pelengkap dari data utama. Sekali lagi Miike menjelaskan bahwa: the sudden, unintetional, unplanned, unrecorded ‘conversation’ are sometimes much more insightfull, valuable, and revealing than rigidly intentional, planned and recorded ‘data and evidence’ Menurut perspektif teoritik Barat komunikasi adalah suatu pertukaran pesan secara simbolik dari mereka yang terlibat dalam proses komunikasi. Atau ketika memberikan definisi pada mahasiswa, kita selalu mengatakan komunikasi itu sebagai proses pengiriman pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media tertentu untuk mendapatkan efek dari komunikannya. Kita secara tidak langsung menggunakan konsep komunikasi yang dibuat secara linier oleh ilmuwan barat (lihat Harrold Laswell, Shanon Weaver 1949, Gebner 1956, Newcomb 1953). Sementara dalam pemikiran teoritik timur konsep komunikasi itu tidaklah semudah seperti apa yang ada dalam pemikiran teoritik Barat. Chen dan Miike (2006: 3) mengatakan mengapa ada sebutan “Japanenese communication” atau pun “Chinese communication”? semua terjadi karena ada perbedaan yang mendasar dalam praktek-praktek komunikasi di masing-masing negara tersebut yang berakar pada sejarah, kebudayaan dan pengaruh-pengaruh sosial lainnya. Konsep merupakan suatu yang vital dalam teori karena seperti yang diungkap oleh Kerlinger (1973) teori itu merupakan interlated constructs, kumpulan konstrukkontruk yang saling berkaitan satu sama lain dalam menjelaskan suatu fenomena. Konstruk sendiri adalah konsep yang terukur dan teramati. Kelemahan yang muncul dalam penelitian tentang fenomena komunikasi dimasing-masing negara dalam tataran melihat indigineous theori adalah adanya pembatasan orientasi pemikiran Barat dalam studi-studinya. Chang dkk (2006, hal 312) melihat 130 Menegaskan bahwa konsep komunikasi untuk ukuran perspektif timur harus dimaknai tidak linier, Chen (2006) sekali lagi memberikan contoh bahwa Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ... untuk masyarakat dalam budaya China, misalnya, komunikasi itu dapat dimaknai sebagai kegiatan-kegiatan yang berbeda satu sama lain (multiple-activities). Dia menunjukkan bahwa komunikasi dalam budaya China dapat diartikan sebagai chuan, bo, liu, bu, xuan, tong dan di. Dari teks (Skripsi, dan Thesis, ) yang dianalisis, peneliti juga menemukan berbagai konsep komunikasi yang digunakan oleh peneliti dalam menjelaskan fenomena komunikasi yang diamatinya. Misal dalam Skripsi, tentang Masyarakat Osing, peneliti menggunakan konsep pemikiran barat komunikasi itu sebagai penyebaran informasi, ide-ide, sikap-sikap, atau emosi dari seseorang atau kelompok kepada yang lain, terutama melalui simbolsimbol (Theodornoson & Theodornoson 1969: 28), tetapi bagi masyarakat Osing sendiri komunikasi terutama dalam penggunaan bahasa adalah apa yang mereka telah miliki turun temurun dari pendahulu, tidak perlu disebarkan pada orang lain justru pendatang harus tahu bahasa mereka (hal.110). Dengan demikian komunikasi dapat diartikan sebagai konsep pemahaman diri dari luar. Atau ketika memahami cara berkomunikasi para nelayan dengan pengamba-nya (Lihat Thesis, Aryo Fajar Sunartomo) konsep komunikasi diantara mereka mungkin lebih berarti sebagai suatu mutual simbiosis yang saling menguntungkan diantara keduanya. Biarpun secara teoritis penelitinya sudah mendefinisikan komunikasi sebagai proses pemindahan makna dari sumber kepada penerima sehingga menimbulkan kesamaan (hal 36), tetapi ketika mereka berkomunikasi sesuai dengan kondisi dan budaya yang ada di daerah mereka, maka komunikasi dapat dimaknai juga sebagai sebuah hubungan yang berpotensi konflik manakala tidak ada kesesuaian antara Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 nelayan dengan pengambanya dalam hal pembiayaan melaut (hal.131). Sedangkan dalam memahami bagaimana model-model komunikasi yang dikembangkan sebagai dasar teori komunikasi berperspektif keindonesiaan, kita juga perlu memahami apa yang sudah dilakukan peneliti lain dalam melihat fenomena yang serupa. Chang dkk (2006: 317) melihat bahwa dari berbagai studi tentang komunikasi yang sudah ada terutama terkait penelitian komunikasi antar budaya, mereka menemukan bahwa model-model atau gambaran tentang praktek-praktek komunikasi biasanya: …endorse solidarity a holistic worldview; practice collectivism; cherish social harmony and in-group solidarity as their central values; and have a tight controlled, hierarchical sosial structure. Sementara Miike (2002: 5) mengungkapkan model komunikasi masyarakat di timur itu biasanya selalu bersifat (1) relationality, (2) circularity dan (3) harmony. Konsep komunikasi untuk masyarakat Asia itu selalu melihat dalam keseluruhan proses, dalam pelaksanaannya bersikat kolektifisme, mengutamakan harmonitas dan solidaritas dalam kelompok, ada nya pengawasan yang ketat satu sama lain serta munculnya hirakhi dalam struktur sosial masyarakat. Chen dan Miike (2006, hal 8) mem­ formulasi­kan komunikasi dari perspektif masyarakat Asia yang disebutnya se­ bagai Asiancentric perspective adalah: (a) Komunikasi adalah proses dimana kita melihat diri kita dan saling keter­ gantungan­nya kita kepada jagad raya. (b) Komunikasi adalah proses dimana terjadi pengurangan egoisme diri, mementingkan diri sendiri. (c) Komunikasi adalah proses dimana rasa senang dan sedih muncul secara bersamaan terhadap apa yang dibicarakan. (d) Komunikasi adalah proses 131 Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ... kita menerima reward dan punish dari apa yang kita bicarakan dan (e) Komunikasi adalah proses dimana masalah moral dan harmonisasi terhadap lingkungan menjadi hal yang utama. Dari Skripsi, dan Thesis, yang ada peneliti dapat melihat beberapa konsep komunikasi yang spesifik, misalnya komunikasi selalu diselaraskan dengan nilai-nilai budaya yang sudah terbentuk: ”Selametan ikau myakene selamat uwonge, kadung wong kene jare kirim du’a nyang wong kang wis mulih ta wes,” (Selametan itu agar selamat orangnya, kalau orang sini mengatakan, mengirim do’a untuk orang yang sudah meninggal). “Wong kene ikau wedi kualat,” (Orang sini itu takut kualat). Masyarakat Osing percaya jika meninggalkan apa-apa yang sudah diwariskan leluhur, misalnya upacara selametan, mereka akan ditimpa bencana atau menemui halangan dalam kehidupan. Hal ini juga menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari Orang Osing. Mereka percaya bahwa barang siapa menanam, akan menuai. Ini menyebabkan mereka takut untuk berbuat hal-hal yang bisa mencelakai atau merugikan orang lain. (Lihat Skripsi, Poundra Swasti Maharani, hal 83) Komunikasi sebagai proses dinamis pengungkapan perasaan seseorang. Dalam penelitian tentang komunikasi dan sosialisasi kaum gay di Sragen (Lihat Skripsi, Sri Adri Haryanto) peneliti memperlihatkan bagaimana seseorang gay itu berkomunikasi. Dengan segala handicap yang ada pada mereka terlihat bahwa komunikasi buat mereka ini adalah bagaimana mereka ‘mengkomunikasikan’ diri ke orang lain. Orang lain paham tentang mereka dan mereka dapat dipahami orang lain. Dinamika dalam berkomunikasi inilah yang selalu mereka tonjolkan dalan berkomunikasi. Contoh di bawah ini memperlihatkan: Dalam berkomunikasi saya meng­ ikuti semua tata cara yang ada di masyarakat. Soalnya menurut saya 132 nggak ada dispensasi yang diciptakan terhadap seseorang karena mereka lain dari yang lain. Justru orang yang berbeda itu yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tapi kalau saya sudah bersama dengan teman gay, ya saya bisa menjadi diri saya lagi. Dalam hal ini barulah waktu yang tepat bagi saya untuk bersama pasangan, mungkin bergaul dengan cara-cara gay, bermesraan atau hal lain yang biasanya hanya kaum gay yang mengerti.” (hal 66) Komunikasi tidak hanya terbatas pada yang terucapkan atau yang terlihat saja. Apa yang ditegaskan oleh para peneliti komuikasi di asia mengatakan bahwa what is invisible is oftentimes far more important in communication than what is visible. Sensitivity, empathy, contemplation, enlightmen, and spiritual liberation are largely invisible because they take place within the communicator. Dalam kajian teoritis di depan telah dijelaskan bahwa paradigma yang di­ kembangkan dalam suatu teori akan mem­ pengaruhi perkembangan teori , hal ini dikenal dengan konsep metateori. Dalam ranah kajian komunikasi ada 3 kelompok metateori yaitu covering laws, rules dan sistems. Dalam Covering Laws teori yang dibangun atau dikembangkan menekankan pada hubungan sebabakibat, perilaku komunikasi dipahami sebagai sesuatu yang dapat diramalkan dan dibentuk generalisasinya. Sebaliknya untuk teori-teori Rules lebih menekankan pada kebutuhan praktis. Dalam teori komunikasi, perilaku komunikasi dipahami sebagai aturan-aturan yang digunakan untuk mencapai apa yang dikehendaki. Sementara sistem teori posisinya berada diantara dua kutub Covering Laws dan Rules. Pendekatan ini menekankan pada keseluruhan, interdependensi, adanya hirarki, feedback, dan kesederajatan. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ... Dalam kajiannya tentang meta teori komunikasi di China, Chen (2006: 5) mengata­kan pengembangan metha teori dari komunikasi di sana lebih mengarah pada mid-range dengan penekanan pada sistem theori. Penerapan untuk kita di Indonesiapun akan lebih kurang sama dengan apa yang telah dilakukan di china dan negara-negara lain yang telah menggunakan metateori semacam ini. Kesimpulan Secara keseluruhan penelitian ini telah berusaha mendeSkripsi,kan permasalahan penelitian yang diangkat terutama terkait penggunaan konsep teoritik Barat yang kadang tidak dapat menjelaskan fenomena komunikasi yang ada di Indonesia. Akibat dari penggunaan teori yang tidak tepat ini akan mengakibatkan terjadinya misinterprestasi terhadap unit analisis yang diteliti, dan lebih jauh bahkan menimbulkan dampak negatif terhadap masayarakat yang diteliti. Beberapa hal yang menentukan teoritik barat tidak dapat menjelaskan feno­ mena komunikasi di Indonesia antara lain: western mindset dalam peneliti, adopsi teori tanpa memodifikasinya, teori digunakan hanya pada tataran melakukan pengujian, mendukung atau menolak teori teori yang ada, belum sampai pada tahapan untuk mengeksplorasi kearifan lokal serta dalam ketersediaan data sangat mempercayai pada kekuatan data primer. Data sekunder yang kadang didapatkan dari sumbersumber yang dianggap sekunder kadang justru akan menghasilkan sesuatu yang lebih bernilai dibanding dengan data primer. Konsep dan model komunikasi yang dapat dikembangkan dalam teori komunikasi berperspektif ke-Indonesiaan ini selain bertumpu pada budaya Indonesia juga harus memperhatikan beberapa Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 hal, antara lain: a). Konsep komunikasi tidak dipandang linier sebagaimana yang ada dalam konsep teoritik barat, tetapi lebih sebagai multiple activities. b). Dalam pengembangan modelnya sangat tergantung pada model model komunikasi yang bersifat relationality, circularity dan harmony. Dalam pengembangan metateorinya dapat dikembangkan teori-teori yang bersifat mid-range theories dengan penekanan pada sistem theory. Daftar Pustaka Chang, Hui-Ching, Rich Holt dan Lina Luo, (2006), “Representing East Asians in Intercultural Communication Textbooks: A Select Review”, The review of Communication, Vol.6, No.4, October 2006. Chu, Godwin C, 1985, In Search of Asian Perspective of Communication Theory, in AMIC –Thammasat University Symposium on Mass Communication Theory: the Asian Perspective, Bangkok. Craig, Robert T & Muller, Heidi L, 2007, Theorizing Communication Readings Across Traditions, Los Angeles: Sage Publications. Dissanayake, Wimal, 2003, “Asian Approach to Human Communication: Retrospect and P r o s p e c t ” , Intercultural Communication Studies, XII-4, 17-37. Eriyanto, 2011, Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial, Jakarta: Prenada Media Group. Ishii, Sathosi 2009, “Conceptualising Asian Communication Ethics: a Buddist Perspective”, Journal of Multicultural Discourses, Vol 4 No.1 March 2009. Kalof, L & Dietz,T, 2008 Essentials of Social Research, maidenhead, Berkshire: 133 Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ... Open University Press McGraw Hill. Krippendorf, Klaus (2006), Contenr Analysis: An Introduction to Its Methodology, Edisi Kedua, Thousand Oaks: Sage Publication. Kuswanto, Engkus, 2010, Menguak Tabir Ilmu Komunikasi dari Perspektif Timur, dalam Seminar Nasional “Membedah Ilmu Komunikasi dari Persepktif Ke-Timur-an”, Bengkulu, Aspikom. Littlejohn, Stephen W, 1996, Theories of Human Communication, ThomsonWadsworth, Belmont, USA. --------------------------- & Foss, Karen 2008, Theories of Human Commu­nication, Thomson-Wadsworth, Belmont, USA. ----------------------------& Foss, Karen 2009, Encyclopedia of Communication Theory, Sage Publication, Thousand Oak, California. Mani Adhikary, Nirmala, 2009, “An Introduction to Sadharanikaran Model of Communication”, Bodhi, 3 (1), 69-91. Yoshitaka, Miike (2002), “Theorizing Culture and Communication in The Asian Context: An Assumptive Foundation”, Intercultures Commu­ nication Studies XI-1, 1-21. Neuendorf, Kimberly A (2002), The Content Analysis Guidebook, Thousand Oaks: Sage Publication. Rahardjo, Turnomo, 2009, Cetak Biru Teori Komunikasi dan Studi Komunikasi di Indonesia, makalah dalam “Simposium Nasional: Arah Depan Pengembangan Ilmu Komunikasi di Indonesia”, Jakarta. Reddi, Usha Vyasulu, 1985, Communication Theory: Indian Perspective, in AMIC – Thammasat University Symposium on Mass Communication Theory: the Asian Perspective, Bangkok. Riffe, Daniel, Stephen Lacy, dan Frederick G.Fico (1998), Analyzing Media Messages: Using Quantitative Content analysis in Research, London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher. Wang, Georgette & Kuo, Eddie C.Y, 2010, The Asian Communication Debate: Culture Spesific Cultural Generality and Beyond, Asian Journal of Communication Vol 20, No 2, June 2010, 152-165. West, Richard & Turner, Lynn H, 2007, Introducing Communication Theory Analysis and Application, Mc Graw Hill, New York. ---------------------(2003), “Japanese Enryosasshi Communication and the Psychology of Amae: Reconsi­dera­ tion and Reconceptulization”, Keio Com­mu­nication Review, 25, 93-115 --------------------- (2003), “Toward an Alternative Metatheory of Human Communication: An Asiscentric Vision”, Intercultural Communication Studies, XII-4, 39-63. ----------------------(2006), “Non Western Theory in Western Research? An Asiacentric Agenda for Asian Communication Studies”, Review of Communication, 6 134 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 135-150 Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Corporate Social Responsibility (CSR) berupa Pengembangan Pewarna Alami dari Buah Magrove Spesies Rhizopora Mucronata untuk Batik Khas Bontang Kalimantan Timur Imam Sulistyo W Bambang Budi R Corporate Communication Department, Badak LNG, Bontang, Kalimantan Timur Rahmat Safruddin SHE-Q Department, Badak LNG, Bontang, Kalimantan Timur Paryanto Sunu Herwi Pranolo Wusana Agung Wibowo Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Badak LNG joint activities and Chemical Engineering Department - UNS through community empowerment through the development of natural dyes from fruits mangrove Rhizophora mucronata for typical batik Bontang in East Kalimantan has been completed for one year starting March 2013 till April 2014. Activity aims to provide education about the benefits mangrove and provide training on making natural dyes from fruits mangrove Rhizophora micronata types and application on fabric batik motif Bontang to the farmer groups and batik craftsman built LNG Badak. The series of activities supporting the program include training of mangrove species recognition, creation of natural dyes from fruits mangrove, mangrove training application of natural dyes for batik typical Bontang, production equipment design and manufacturing of natural dyes mangrove pilot-plant scale, typical batik design competition Bontang, preparation of plans business and ends with dissemination activities. These activities are directly managed to provide value-added type of Rhizophora mucronata mangrove fruit that has not been used and through this program can be used as a natural dye for batik Mangrove Bontang. This activity also managed to increase the resource capacity of farmer groups and communities, especially batik craftsman built LNG Badak and preserve the biodiversity of coastal mangrove habitat and contribute to the achievement of the third Gold award by Rhino Proper LNG in 2013 from the Ministry of Environment - Republic of Indonesia. Key words: mangrove, Rhizophora mucronata, natural color, Batik Mangrove, Bontang, community development, biodiversity Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 135 Imam Sulistyo W, dkk. Pemberdayaan Masyarakat melalui ... Pendahuluan UNESCO telah memberikan peng­ akuan­nya terhadap produk batik di Indonesia, dan pada awal bulan Oktober 2011 telah diadakan pameran batik di Jakarta Convention Center di Jakarta yang diikuti oleh beberapa negara. Pada kesempatan tersebut Menteri Perindustrian dan Perdagangan menyerahkan blue print kepada Presiden RI yang berisi tentang kurangnya infrastruktur batik, salah satunya adalah penyediaan pewarna alami batik. Perkembangan industri pengolahan pangan, sandang, kosmetik, dan farmasi serta terbatasnya jumlah pewarna alami menyebabkan penggunaan pewarna sintetik meningkat. Sejak penemuan pewarna sintetik, penggunaan pigmen sebagai pewarna dari bahan alam semakin menurun, meskipun keberadaannya tidak menghilang sama sekali. Pewarna sintetis memang terbukti lebih murah sehingga lebih menguntungkan dari segi ekonomis, tetapi penggunaannya sebagai pewarna makanan, minuman dan pakaian dapat berdampak negatif yaitu penyebab toksik dan karsinogenik karena kandungan logam berat dalam pewarna sintetik tidak dapat dihancurkan dalam sistem pencernaan manusia dan akan terakumulasi di dalam tubuh.1 Penggunaan pewarna alami khususnya untuk batik atau tekstil (pakaian) sangat perlu digalakkan karena lebih aman dari segi kesehatan. Pilihan warnanya memang agak terbatas dibandingkan dengan pewarna sintetis, maka perlu pengembangan melalui berbagai penelitian terutama untuk pencarian sumber bahan pewarna alami yang berasal dari tanaman setempat. Tanaman yang mengandung pewarna 1 http://www.depkes.go.id 136 alami banyak tersedia, misalnya limbah kulit kopi, kesumba/galenggem (bixa orelana), jati, soga, ulin, pinang, limbah sawit, berbagai jenis mangrove dan masih banyak yang tersebar di seluruh Indonesia. Pengembangan pewarna alami ini sebagai salah satu unggulan di Program Studi Teknik Kimia UNS dengan telah diresmikannya Pusat Studi Zat Warna Alami oleh Dirjen DIKTI dan didukung oleh BKK-PII yang telah tercakup dalam visi misi program studi Teknik Kimia UNS. Penelitian tentang pengambilan zat warna alami dari tanaman telah banyak dilakukan di Program Studi Teknik Kimia UNS antara lain pengambilan secara batch zat warna alami dari kunyit (kuning), jati (coklat merah), daun suji dan pandan (hijau), nanas (kuning), jarak (hijau), soga (kuning), aren (coklat), ulin (coklat tua) pinang (merah tua), bunga teleng (biru), jelaga/arang (hitam), kesumba/galenggem (merah) dan khususnya buah tanaman mangrove jenis Rhizophora mucronata (coklat merah) yang banyak terdapat di daerah Bontang, Kalimantan Timur. Landasan Teori a. Corporate Social Responsbility (CSR) Corporate Social Responsibilities adalah sebuah wujud kepedulian perusahaan kepada lingkungan sekitarnya. Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial. Pewajiban perusahaan untuk menye­lenggarakan Corporate Social Resposibilities tergolong baru, yaitu dengan diundangkannya UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.2 2 http://wisnu.blog.uns.ac.id/2009/11/26/ corporate-social-responsibility-sebuahkepedulian-perusahaan-terhadap-lingkungan- Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Imam Sulistyo W, dkk. Pemberdayaan Masyarakat melalui ... Corporate Social Responsbility adalah elemen penting dalam kerangka keber­ lanjutan usaha suatu industri yang mencakup aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya. Definisi secara luas yang ditulis sebuah organisasi dunia World Bisnis Council for sustainable Development (WBCD) menyatakan bahwa CSR merupakan suatu komitmen ber­ kelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya serta seluruh keluarga. Sedangkan menurut Nuryana CSR adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan.3 Dalam penelitian kali ini konsep Corporate Social Responsibility akan diukur dengan menggunakan lima pilar aktivitas Corporate Social Responsibility dari Prince of Wales International Bussiness Forum, yaitu:4 1. Building Human Capital Secara internal, perusahaan dituntut untuk menciptakan SDM yang andal. Secara eksternal, perusahaan dituntut untuk melakukan pemberdayaan masya­rakat, biasanya melalui community development. 2. Strengthening Economies Perusahaan dituntut untuk tidak menjadi kaya sendiri sementara komunitas di lingkungannya miskin, di-sekitarnya/, diakses 15 Juli 2014 3 Ibid. 4 Wibisono, 2007, dalam http://jurnal-sdm. blogspot.com/2009/07/corporate-socialresponsibility-csr.html, diakses 15 Juli 2014. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 mereka harus ekonomi sekitar. memberdayakan 3. Assessing Social Chesion Perusahaan dituntut untuk menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitarnya agar tidak menimbulkan konflik. 4. Encouraging Good Governence Dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan harus menjalankan tata kelola bisnis dengan baik. 5. Protecting The Environment Perusahaan berupaya keras menjaga kelestarian lingkungan. b. Magrove Indonesia memiliki lahan hutan mangrove terluas di dunia (4,225 juta ha atau 23% luas lahan hutan mangrove dunia) melebihi Brasil, Nigeria dan Australia (Spalding, M.F., 1997). Kota Bontang di Kalimantan Timur terletak pada 0,137° LU, 117,5° BT yang berbatasan dengan Kabupaten Kutai Timur di sebelah utara dan barat, Kabupaten Kutai Kartanegara di sebelah selatan dan Selat Makasar di sebelah timur. Luasnya sekitar 49.752,56 ha dan memiliki lahan tanam mangrove seluas 2.935 ha (5,9 %) dengan 1.715 ha merupakan lahan blok perlindungan tanaman. Terdapat beberapa jenis flora dan fauna penyusun keanekaragaman hayati hutan mangrove di Kota Bontang. Sejumlah jenis tanaman mangrove terdapat di Kota Bontang, antara lain Sonneratia ovata, Bruguiera gymnorrhiza, Lumnitzera racemosa, Lumnitzera littorea, Acanthus ilicifolius, Avicenniaceae, Nypa fruticans, Xylocarpus granatum, dan Rhizophora mucronata. Tanaman hutan mangrove merupakan salah satu penyimpan karbon (carbon sync) dalam jumlah yang cukup besar, selain itu hutan mangrove memiliki fungsi perlindungan terhadap pantai 137 Imam Sulistyo W, dkk. Pemberdayaan Masyarakat melalui ... dari abrasi dan merupakan habitat dari beberapa jenis satwa (fauna) diantaranya burung (mis. kontul perak, kontul kerbau, cangak merah, pergam hijau), mamalia (misal tupai, musang, kera) dan satwa air (mis. buaya rawa, ikan, kepiting mangrove, udang, kerang dan satwa air lainnya). Kontul perak termasuk jenis burung yang dilindungi dan merupakan maskot/icon fauna Kota Bontang.5 Melalui edukasi terhadap masyarakat serta pihakpihak yang berkepentingan lainnya mengenai pemanfaatan produk mangrove non kayu, maka diharapkan luas area tanaman mangrove dan ekosistem yang ada didalamnya dapat terjaga sehingga fungsi fisik sebagai pencegah kerusakan lingkungan maupun fungsi ekologi di dalam keanekaragaman hayati ekosistem yang memberikan daya dukung kualitas lingkungan hidup akan tetap terjaga dan lestari. Buah dari beberapa jenis tanaman mangrove telah banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber bahan makanan, misalnya Sonneratia ovata untuk sirup dan Bruguiera gymnorrhiza untuk tepung sehingga sistem pembudidayaan dan pengembangbiakan telah terbentuk. Jenis Rhizophora mucronata (Gambar 2) menempati luas lahan tanaman terbanyak yaitu sekitar 70% dari keseluruhan blok perlindungan, tetapi relatif belum banyak diketahui nilai tambahnya selain sebagai pelindung pantai dari abrasi. Dari luasan tersebut, diduga terdapat 3.000.000 pohon jenis ini bila dianggap jarak tanam 2 m x 2 m. Tanaman jenis ini bercirikan khusus daun lebih besar dari pada Rhizophora stylosa, pada bagian tengah memiliki panjang yang maksimum dan benang sari pendek. Terkait dengan pelestarian mangrove di area pesisir, selain mempertahankan keanekaragaman hayati di dalam habitat alami, program pemanfaatan yang didukung dengan pembibitan dan penanaman jenis mangrove dominan yang mudah dikembangbiakkan seperti Rhizophora mucronata ini merupakan langkah efektif dalam peningkatan luas area mangrove dan sekaligus akan memberikan dampak positif pada berkembangnya ekosistem di dalamnya. Dengan anggapan bahwa setiap tahun satu batang pohon spesies Rhizophora mucronata menghasilkan 50 kg buah dan 50% buah tersebut dipergunakan untuk pembibitan maka masih tersedia sebanyak 75.000 ton buah sebagai bahan baku pewarna alami. Apabila perolehan proses ini sebesar 5%, maka berpotensi diperoleh pewarna alami sebanyak 3.750 ton. Gambar 1. Lahan tanaman mangrove di Bontang, Kalimantan Timur 5 Anonim, 2012. 138 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Imam Sulistyo W, dkk. Pemberdayaan Masyarakat melalui ... Gambar 2. Tanaman dan Buah Rhizophora Mucronata Tanaman merupakan sumber zat warna alami karena mengandung pigmen alam. Potensi ini ditentukan oleh intensitas warna yang dihasilkan dan sangat tergantung pada jenis coloring matter yang ada. Coloring matter adalah substansi yang menentukan arah warna zat warna alami, merupakan senyawa organik yang mengandung lebih dari satu jenis coloring matter. Berdasarkan jenis coloring matter, zat warna alami dibagi menjadi 4 golongan yaitu: 1) Zat warna mordan (alam), kebanyakan zat warna alami tergolong zat warna mordan alam sehingga zat warna alami dapat menempel dengan baik. Proses pewarnaannya harus melalui penggabungan dengan kompleks oksida logam membentuk zat warna yang tidak larut. Zat warna alami golongan ini dapat menjadi sangat tahan, misalnya zat warna alami yang berasal dari kulit akar pace (Moridin). 2) Zat warna direk, zat warna ini melekat di serat kain berdasarkan ikatan hidrogen sehingga ketahanannya rendah, misalnya zat warna alami yang berasal dari kunyit (Curcumin). 3) Zat warna asam/basa, zat warna jenis ini mempunyai gugus kombinasi asam dan basa, misalnya flavanoid pigmens. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 4) Zat warna bejana, zat warna ini mewarnai serat kain melalui proses reduksi-oksidasi (redoks) dikenal sebagai pewarna yang paling tua di dunia dengan ketahanan yang paling unggul dibandingkan ketiga jenis zat warna alami lainnya, misalnya zat warna alami yang berasal dari daun torn (Indigo). Kandungan zat warna alami pada tanaman mangrove berupa tanin yang termasuk ke dalam flavanoid pigmens.6 Penelitian mengenai pengambilan tanin dari tanaman dengan proses ekstraksi sudah banyak dilakukan peneliti. Hasil ekstraksi tanin dari kulit pohon mangrove dengan pelarut etanol 90% diperoleh yield 22,01%.7 Ekstraksi tanin juga pernah dilakukan pada tanaman putri malu (Mimosa pudica) dengan berbagai macam jenis pelarut yang menghasilkan yield maksimal pada pelarut jenis etanol.8 6 Rahim, 2007. Rahim, A.A., et.al., (2007). Mangrove’s Tannins and Their Flavanoid Monomers as Alternative Steel Corrosion Inhibitors in Acidic Medium. Corrosion Science, 49, 402-417. 7 Danarto, Y.C., dkk, 2011. Pemanfaatan Tanin dari Kulit Bakau sebagai Pengganti Gugus Fenol pada Resin Fenol Formaldehid. Prosiding Seminar Nasional Kejuangan, No. ISSN 1693-4393. 8 Marnoto, C., dkk., 2012. Kwartiningsih, E., Paryanto, Wibowo, W.A., Masturi, E., Jati, A.K., dan Santoso, D.P., (2013). Ekstraksi Tanin dari 139 Imam Sulistyo W, dkk. Pemberdayaan Masyarakat melalui ... Kwartiningsih, E., dkk. melakukan ekstraksi tanin pada buah mangrove jenis Rhizopora mucronata dengan menggunakan berbagai jenis pelarut (air, etanol, metanol, aseton, n-heksana) pada berbagai variasi suhu dan perbandingan massa buah terhadap volume pelarut. Dari hasil penelitian yang dilakukan, buah mangrove jenis Rhizopora mucronata mengandung zat warna alami berupa tanin sebesar 4,326 mg tanin per gram buah mangrove. Jenis pelarut yang memberikan hasil optimal adalah air dengan perbandingan antara bahan baku dengan pelarut yang baik adalah 1 kg : 10 liter air. Proses ekstraksi zat warna dilakukan selama 60 menit pada suhu 100 oC.9 Badak LNG merupakan salah satu perusahaan penghasil gas alam cair terbesar di dunia dengan kapasitas produksi terpasang mencapai 22,5 juta ton per tahun. Salah satu program sosial Badak LNG adalah pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat Bontang melalui program Corporate Social Responsibility (CSR). Program CSR Badak LNG sudah dimulai sejak lama dengan jumlah dana yang dikeluarkan untuk program CSR cukup besar dan bertambah tiap tahunnya seiring dengan bervariasinya jenis kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 2013 Badak LNG bekerjasama dengan Jurusan Teknik Kimia Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan pewarna alami dari buah Buah Mangrove (Rhizophora mucronata). Prosiding Simposium RAPI XII, Fakultas Teknik UMS, No. ISSN 1412-9612 9 Kwartiningsih, E., Paryanto, Wibowo, W.A., Masturi, E., Jati, A.K., dan Santoso, D.P., (2013). Ekstraksi Tanin dari Buah Mangrove (Rhizophora mucronata). Prosiding Simposium RAPI XII, Fakultas Teknik UMS, No. ISSN 1412-9612 140 mangrove Rhizophora mucronata untuk batik khas Bontang Kalimantan Timur. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah ekonomis buah mangrove jenis Rhizophora mucronata dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat Bontang khususnya unit usaha binaan Badak LNG. Disamping itu, dampak positif kegiatan adalah turut menjaga kelestarian hutan mangrove sebagai tanaman penyimpan karbon, penahan abrasi pantai dan habitat hidup berbagai keanekaragaman hayati flora dan fauna. Tujuan Tujuan kegiatan program CSR ini meliputi: Peningkatan pemahaman potensi wilayah dan perencanaan penanaman mangrove sebagai penghasil bahan baku pewarna alami dan produsen pewarna alami (khususnya buah mangrove spesies Rhizophora mucronata); Peningkatan keterampilan pembuatan pewarna alami mangrove dan pembuatan batik berpewarna alami bermotif khas Bontang melalui serangkaian kegiatan pelatihan; Perancangan, pembuatan dan pengoperasian peralatan produksi pewarna alami mangrove skala pilot plant bagi unit usaha kecil-menengah; Pelaksanaan lomba desain motif batik khas Bontang; Penyusunan Modul Pelatihan dan Rencana Bisnis produksi pewarna alami; Pelaksanaan sosialisasi hasil kegiatan. Sasaran dan Pelaksana Sasaran obyek program CSR ini terutama mitra binaan Badak LNG di Bontang Kalimantan Timur yang meliputi petani mangrove dan perajin batik. Pelaksana utama kegiatan pemberdayaan masyarakat ini adalah Tim Pusat Studi Zat Warna Alami Jurusan Teknik Kimia Universitas Sebelas Maret (UNS) Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Imam Sulistyo W, dkk. Pemberdayaan Masyarakat melalui ... Surakarta dan Corporate Communication Department Badak LNG. Dalam kegiatan ini juga melibatkan Pemerintah Kota Bontang yang diwakili oleh Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Bontang dan Dinas Perikanan Kelautan dan Pertanian (DPKP) Kota Bontang. Ruang Lingkup Kegiatan Untuk mencapai tujuan kegiatan yang diinginkan, lingkup kegiatan diuraikan sebagai berikut: (1) Inventarisasi potensi bahan baku pewarna alami (mangrove) di Bontang; (2) Identifikasi sasaran kegiatan dan lokasi pelaksanaan kegiatan; (3) Identifikasi industri perbengkelan pendukung; (4) Pelatihan pembuatan pewarna alami; (5) Pelatihan membatik; (6) Perancangan, pabrikasi, instalasi alat produksi zat warna alami mangrove skala Pilot Plant dan Pelatihan; (7) Lomba desain motif batik khas Bontang tingkat nasional; (8) Penyusunan rencana bisnis sederhana; dan (9) Diseminasi hasil kegiatan dalam bentuk lokakarya. Hasil Program CSR 1. Inventarisasi Potensi Bahan Baku Pewarna Alami Mangrove Berdasarkan survei lapangan dan informasi dari pihak-pihak terkait, Kota Bontang memiliki beragam jenis atau spesies tanaman mangrove diantaranya adalah spesies Sonneratia ovata, Bruguiera gymnorrhiza, Lumnitzera racemosa, Lumnitzera littorea, Acanthus ilicifolius, Avicenniaceae, Nypa fruticans, Xylocarpus granatum dan Rhizophora mucronata. Berdasarkan informasi dari Kelompok Tani Lestari Indah di Tanjung Laut, Bontang Selatan, spesies Rhizophora mucronata merupakan spesies magrove yang paling banyak tumbuh di wilayah Bontang (kira-kira 70% dari luas tanam Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 mangrove). Spesies ini lebih mudah untuk dikembangbiakkan dan lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan spesies yang lain. Spesies Rhizophora mucronata dapat berbuah sepanjang tahun dengan produktivitas buah yang cukup besar (belum ada hasil studi yang pasti mengenai produkstivitas buah dari spesies ini). Berbeda dengan spesies Sonneratia ovata dan Bruguiera gymnorrhiza yang telah dimanfaatkan untuk menghasilkan produk olahan minuman dan makanan, spesies Rhizophora mucronata belum termanfaatkan secara optimal kecuali untuk pembibitan sebagai penahan abrasi pantai karena bersifat nonedible. Program pemberdayaan masyarakat telah dilaksanakan oleh Badak LNG melalui pendampingan terhadap Kelompok Tani Lestari Indah serta pendirian Mangrove Information Center. Kelompok Tani Lestari Indah sebagai binaan Badak LNG selama ini berkecimpung dalam pembibitan dan pemeliharaan tanaman mangrove. Berdasarkan informasi kelompok tersebut, tidak semua buah spesies Rhizophora mucronata digunakan sebagai bibit dan masih banyak buah spesies ini yang belum termanfaatkan. Berdasarkan hasil penelitian, spesies Rhizophora mucronata ternyata memiliki potensi sebagai penghasil zat warna alami karena kandungan tanin yang cukup tinggi yaitu 4,326 mg tanin per gram buah mangrove. Luas tanam mangrove di Bontang sebesar 2.935 ha. Dari luasan tersebut, diduga terdapat 3 juta pohon jenis ini bila dianggap jarak tanam 2 m x 2 m. Dengan anggapan kasar bahwa setiap tahun satu batang pohon spesies Rhizophora mucronata menghasilkan 50 kg buah dan separoh dari jumlah buah tersebut dipergunakan untuk pembibitan maka masih tersedia kira-kira sebanyak 75 ribu ton buah sebagai bahan baku 141 Imam Sulistyo W, dkk. Pemberdayaan Masyarakat melalui ... pewarna alami. Apabila perolehan proses ini sebesar 5% maka diperkirakan akan dapat diperoleh pewarna alami sebanyak 3.750 ton per tahun.10 2. Identifikasi Sasaran Kegiatan dan Lokasi Pelaksanaan Kegiatan Dalam rangka meningkatkan sumber daya masyarakat melalui peningkatan nilai tambah buah mangrove spesies Rhizophora mucronata sebagai penghasil pewarna alami dan aplikasinya sebagai pewarna batik khas Bontang, sebagai langkah awal sasaran kegiatan adalah mitra binaan Badak LNG yang telah memiliki pengalaman di bidang mangrove dan kerajinan batik. Pada pelaksanaan kegiatan ini Kelompok Tani Lestari Indah yang beralamat di Kelurahan Tanjung Laut Indah, Kecamatan Bontang Selatan, Kota Bontang merupakan salah satu kelompok sasaran kegiatan. Di bawah binaan Badak LNG, Kelompok Tani Lestari Indah (diketuai M. Ali) melakukan usaha pembibitan, penanaman dan perawatan tanaman mangrove di pesisir pantai wilayah Bontang, serta memproduksi makanan dan minuman olahan dari beberapa jenis spesies mangrove. Alasan pemilihan kelompok tani ini sebagai sasaran kegiatan dan tempat pelaksanaan kegiatan antara lain karena memiliki akses yang luas terhadap pengadaan bahan baku buah mangrove, memiliki pengalaman pada produksi makanan dan minuman olahan dari buah mangrove, memiliki kemampuan manajemen yang cukup baik dan sangat kooperatif. Ke depan diharapkan kelompok tani ini mampu memproduksi dan memasarkan secara mandiri produk pewarna alami dan dapat menjadi unit usaha percontohan. 10 Ibid. 142 Pemberdayaan masyarakat juga lewat aplikasi pewarna alami yang dihasilkan sebagai pewarna batik khas Bontang. Oleh karena itu, kelompok sasaran kegiatan dipilih kelompok Sanggar Batik Etam (pemilik Ibu Sri Wahyuni) yang beralamat di Jl. Flores, Gg. Bejawa, Telihan, Kota Bontang sebagai salah satu binaan Badak LNG. Selama ini Sanggar Batik Etam sudah melakukan produksi batik khas Bontang berpewarna sintetis walaupun masih dalam skala kecil. Sanggar Batik Etam ke depan diharap mampu mengaplikasikan pewarna alami mangrove sebagai pewarna batik khas Bontang dan mampu berproduksi dalam skala lebih besar. 3. Identifikasi industri perbengkelan pendukung Identifikasi industri perbengkelan dimaksudkan untuk mendapatkan informasi kemampuan bengkel setempat sebagai tempat pabrikasi peralatan mesin skala industri kecil-menengah untuk produksi pewarna alami mangrove. Berdasarkan hasil survei lapangan di Bontang tidak didapatkan industri perbengkelan yang dirasa mampu melakukan pabrikasi alat. Oleh karena itu diperlukan alternatif industri perbengkelan di daerah lain yang diperkirakan mampu melakukan pabrikasi alat. Sebagai salah satu alternatif adalah industri perbengkelan di pulau Jawa. 4. Pelatihan Pembuatan Pewarna Alami Mangrove Tujuan pelaksanaan Pelatihan Pem­buatan Pewarna Alami dari Buah Mangrove (Rizhophora mucronata) ini antara lain memberikan pemahaman kepada peserta mengenai potensi wilayah serta memberikan pandangan akan pentingnya program penanaman khususnya tanaman mangrove Rizhophora mucronata sebagai sumber pewarna alami yang dapat Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 dikembangkan dan memberikan bekal keterampilan kepada peserta mengenai proses pembuatan pewarna alami dari buah mangrove Rizhophora mucronata secara sederhana dengan peralatan rumah tangga. Masyarakat sasaran pelatihan adalah kelompok tani mangrove yang berada di bawah binaan Badak LNG khususnya kelompok tani mangrove Lestari Indah yang berada di wilayah Kel. Tanjung Laut Indah, Kec. Bontang Selatan, Bontang. Kegiatan yang dilakukan pada pelatihan disajikan dalam bentuk pemaparan materi, diskusi dan tanya jawab, praktik pembuatan pewarna alami dari buah mangrove dan praktik pewarnaan kain dengan pewarna alami yang dihasilkan. Kegiatan dilaksanakan pada tanggal 11 – 12 Juni 2013 di Gedung Mangrove Information Center Kel. Tanjung Laut Indah, Kec. Bontang Selatan, Bontang. Peserta pelatihan berjumlah 30 orang yang berasal dari beberapa kelompok tani dan instansi Pemerintahan Kota Bontang. Peserta dibagi dalam lima kelompok yang masing-masing diberi satu set peralatan dan bahan baku. Peralatan yang digunakan adalah peralatan rumah tangga sederhana yang mudah ditemui. Peserta dilatih mulai dari penanganan awal buah mangrove (pengecilan ukuran), pembuatan konsentrat pewarna alami mangrove, penanganan awal kain dan pewarnaan kain. Dari hasil pelaksanaan kegiatan pelatihan ini, peserta mengetahui dan memahami proses pembuatan pewarna alami mangrove dan mampu membuat pewarna alami mangrove secara mandiri dengan peralatan rumah tangga sederhana. Selain itu, peserta pelatihan juga mampu memahami dan mengaplikasikan pe­warna­ an kain dengan pewarna alami mangrove. Gambar 3. Pelatihan Pembuatan Pewarna Alami Mangrove (a) (b) (c) (d) Keterangan: (a) penanganan awal buah mangrove, (b) hasil konsentrat pewarna alami mangrove, (c) pewarnaan kain, (d) kain hasil pewarnaan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 143 5. Pelatihan Membatik Kegiatan ini diwujudkan dalam bentuk Pelatihan Aplikasi Pewarna Alami dari Buah Mangrove (Rizhophora mucronata) untuk Pewarna Batik Khas Bontang. Tujuan kegiatan ini antara lain memberikan pemahaman kepada peserta mengenai potensi batik khas Bontang berperwarna alami mangrove sebagai salah satu kearifan lokal dan komoditas ekonomi, dan mem­ berikan bekal keterampilan kepada peserta mengenai proses pembuatan batik dengan pewarna alami mangrove dimulai dari pembuatan motif batik sampai dengan finishing kain. Masyarakat sasaran pelatihan adalah kelompok perajin batik (Sanggar Batik Etam) dan beberapa kelompok tani mangrove di bawah binaan Badak LNG. Rangkaian kegiatan meliputi pe­ maparan materi, diskusi dan tanya jawab, praktik pembuatan pewarna alami mangrove, praktik pembuatan pola/motif batik tulis dan cap, praktik penanganan awal kain (pencucian dan mordanting), praktik pewarnaan kain (pencelupan ke dalam pewarna alami), dan praktik fiksasi/penguncian warna pada kain. Kegiatan dilaksanakan pada tanggal 17 – 19 September 2013 di Sanggar Batik Etam Jl. Flores, Gg. Bejawa, Telihan, Kota Bontang. Jumlah peserta sebanyak 22 orang dari perajin batik dan kelompok tani mangrove Kota Bontang binaan Badak LNG. Peserta kegiatan dibagi dalam beberapa kelompok dan difasilitasi dengan peralatan dan bahan membatik. Peserta dilatih membuat pola batik pada kain dengan teknik tulis dan cap, kemudian dilatih cara penanganan awal kain yang meliputi pencucian dan mordanting. Peserta juga dilatih cara pewarnaan kain dengan metode pencelupan dan proses penguncian/fiksasi warna pada kain dengan beberapa jenis larutan pengunci. Gambar 4. Pelaksanaan Program CSR Pengembangan Batik Bontang Berbahan Warna Alami dari Magrove (a) (b) (c) (d) Keterangan: (a) pembuatan motif teknik tulis, (b) pembuatan motif teknik cap, (c) pencelupan kain ke dalam pewarna alami mangrove, (d) hasil pewarnaan kain setelah dilakukan fikasasi warna 144 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Sebagai hasil kegiatan ini, peserta pelatihan telah mampu membuat motif batik pada kain dengan metode tulis dan cap secara mandiri dan memahami proses membatik secara keseluruhan, serta mampu membuat batik berpewarna alami mangrove. Hasil kain batik berpewarna alami mangrove dari masing-masing kelompok cukup bervariatif tergantung pada jumlah berapa kali pencelupan dan jenis larutan pengunci warna yang digunakan. 6. Perancangan, Pabrikasi, Instalasi Alat Produksi Skala Pilot Plant dan Pelatihan Kecepatan produksi, peningkatan kapasitas produksi dan kualitas/ keseragaman produk diperlukan dalam rangka produksi pewarna alami bagi unit usaka kecil menengah. Hal-hal tersebut di atas dapat dicapai salah satunya dengan bantuan peralatan mesin. Pada tahap ini Jurusan Teknik Kimia Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta bertanggung jawab terhadap perancangan alat, pabrikasi alat, instalasi peralatan dan pelaksanaan kegiatan pelatihan pengoperasian alat. Peralatan produksi pewarna alami magrove terdiri dari alat potong (cutter) buah mangrove dan alat ekstraksi yang sekaligus berfungsi sebagai evaporator untuk menghasilkan konsentrat pewarna alami mangrove. Sebagian besar material alat menggunakan jenis stainless steel. Pabrikasi peralatan dilaksanakan di salah satu bengkel mesin di pulau Jawa. Peralatan potong menggunakan motor listrik 1 hp untuk menghasilkan produk potongan buah mangrove ukuran di bawah 1 cm dengan kecepatan produksi sekitar 20 – 30 kg/jam. Tangki ekstraksi berkapasitas 40 L dilengkapi dengan pengaduk yang berputar dengan kecepatan rendah menggunakan motor listrik 0,5 hp dan peralatan pemanas berbahan bakar LPG. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Peralatan ekstraksi sekaligus digunakan sebagai evaporator untuk menghasilkan konsentrat pewarna alami mangrove dengan kapasitas produksi mencapai 20 L/hari. Saat ini peralatan pembuat pewarna alami dari buah mangrove skala pilot plant tersebut telah berhasil dipabrikasi dan sudah terpasang di lokasi kelompok tani Lestari Indah binaan Badak LNG. Pelatihan diperlukan untuk memberikan keterampilan kepada pengguna dalam mengoperasikan alat. Pelatihan dimulai dari penanganan bahan baku (pengecilan ukuran) sampai dengan tahap ekstraksi dan evaporasi (pemekatan) sehingga diperoleh hasil konsentrat pewarna alami mangrove. Kegiatan pelatihan pengoperasian alat dilaksanakan pada tanggal 16 Januari 2014 di Mangrove Information Center di lokasi kelompok tani Lestari Indah Kel. Tanjung Laut Indah, Kec. Bontang Selatan, Kota Bontang dan diikuti 7 orang peserta. Peserta melakukan praktik operasional alat secara langsung termasuk cara perawatan peralatan. 7. Lomba Desain Motif Batik Khas Bontang Tingkat Nasional Ditinjau dari sisi demografi, masyarakat Bontang memiliki beragam jenis pekerjaan, termasuk diantaranya adalah petani mangrove dan industri tenun dan batik skala rumah tangga walaupun belum berkembang dengan baik. Kota Bontang juga belum memiliki desain batik khas Bontang walaupun memiliki icon kota yang sangat unik yaitu mangrove dan burung kontul perak. Pengembangan suatu komoditas ekonomi misalnya batik khas Bontang dengan motif khas Bontang dan berpewarna alami mangrove akan menjadi daya tarik tersendiri yang mencirikan Kota Bontang yang berbasis pada kearifan lokal. Tujuan pelaksanaan Lomba Desain 145 Motif Batik Khas Bontang tingkat nasional yang diwadahi dalam sebuah kegiatan berjudul Bontang Batik Desain Competition (BBDC) antara lain: menghasilkan desain motif batik khas Bontang yang dapat dijadikan salah satu identitas Kota Bontang, memicu kreatifitas pelaku kreatif di Kalimantan Timur khususnya dan di Indonesia pada umumnya dan mengembangkan usaha tata busana di Kota Bontang. Kegiatan lomba dimulai pada bulan Oktober 2013 melalui publikasi di media elektronik maupun koran, seleksi karya dan penjurian sampai dengan pengumuman pemenang pada tanggal 27 Desember 2013. Dari 128 karya yang masuk diseleksi menjadi 40 karya yang memenuhi kriteria yang ditetapkan. Empat puluh karya tersebut kemudian dinilai oleh tujuh orang juri dari kalangan budayawan, praktisi dan akademisi untuk ditentukan empat karya terbaik yang kemudian dinilai secara langsung oleh juri dari perwakilan masyarakat Bontang. Pemilihan dan pengumuman motif juara dilaksanakan pada acara Gala Dinner, dimana pada acara tersebut juga ditandantangai nota kesepahaman antara Badak LNG dengan WaliKota Bontang dalam kerangka pengembangan motif batik khas Bontang. Motif batik pemenang lomba selanjutnya ditetapkan sebagai motif batik khas Bontang yang direncanakan akan dipatenkan oleh Pemerintah Kota Bontang dan Badak LNG. 8. Penyusunan Rencana Bisnis Seder­ hana Peluang untuk memproduksi zat warna alami mangrove dalam skala Industri Kecil Menengah (IKM) di Bontang cukup besar, hal ini didukung oleh berlimpahnya bahan baku mangrove dan peluang penggunaan pewarna alami tekstil yang terbuka lebar. Lingkup penulisan rencana bisnis pendirian 146 IKM zat warna alami dari buah bakau jenis Rhizophora mucronata antara lain meliputi: (a) analisa dan penentuan langkah-langkah strategis terhadap peluang yang ada dalam perkembangan zat warna alami dari buah bakau jenis Rhizophora mucronata, (b) analisa kemungkinan ancaman dan hambatan yang akan terjadi dalam pendirian IKM, sehingga dapat memperkecil resiko bisnis, dan (c) analisa kelayakan ekonomi sebagai pilihan bisnis baru yang menarik dan memberikan alternatif dalam pendirian bisnis zat warna alami dari buah bakau jenis Rhizophora mucronata. Metode pengumpulan data dalam penulisan rencana bisnis ini dilakukan dengan beberapa cara, yaitu studi pustaka dengan mengumpulkan literatur, artikel dan data sekunder dari beberapa sumber dan observasi langsung ke lokasi sumber bahan baku, produsen zat warna alami konvensional yang telah ada dan pangsa pasar. Ditinjau dari aspek teknik operasional yang meliputi penyediaan bahan baku, peralatan proses, kemampuan proses produksi, penyediaan utilitas (bahan bakar, listrik dan air) maka kemungkinan pendirian IKM zat warna alami mangrove di Bontang relatif tidak ada masalah. Dalam pembuatan zat warna alami ini terdapat limbah yang secara kontinyu dihasilkan oleh proses yaitu berupa padatan buah mangrove sisa hasil ekstraksi. Padatan sisa ini dapat diolah lebih lanjut menjadi arang/arang aktif maupun pupuk kompos yang bernilai ekonomis. Pemasaran produk ini akan diprioritaskan untuk usaha – usaha batik di Bontang dan sekitarnya, baru kemudian melayani permintaan dari luar pulau Kalimantan. Permintaan akan zat warna alami kemungkinan paling banyak akan datang dari daerah pulau Jawa, karena di pulau Jawa banyak terdapat industri batik, demikian juga tidak menutup Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 kemungkinan produk ini dapat diekspor. Pendirian IKM ini akan bersaing dengan IKM–IKM lainnya dari berbagai daerah di Indonesia, namun diharapkan pendirian IKM zat warna alami ini dapat membantu mewujudkan perkembangan dalam penggunaan zat warna alami pada batik. Fixed Manufacturing Cost Rp. 13.521.500,- = Total Manufacturing Cost Rp. 289.337.240,- = General Expense Rp. 40.629.000,- = Analisis kelayakan ekonomi sederhana dimaksudkan untuk melihat kelayakan ekonomi pendirian IKM zat warna alami ditinjau dari beberapa syarat kelayakan seperti persentase Return on Invesment (ROI), Pay Out Time (POT), Break Even Point (BEP) dan Shut Down Point (SDP). Analisa kelayakan ekonomi disajikan sebagai berikut: Total Production Cost Rp. 329.966.240,- Basis perhitungan ekonomi: = Keuntungan (profit) Total Penjualan/Sales Rp. 450.000.000,- = Keuntungan sebelum pajak = Rp. 120.033.760,- Pajak Pendapatan (10%) Rp. 12.003.376,- = Jumlah hari kerja = 25 hari/bulan selama 12 bulan/tahun Kapasitas produks = 20 liter/hari (konsentrat zat warna alami) Kebutuhan buah mangrove = 1 kg/L produk = 3.000 kg/tahun Harga buah mangrove = Rp. 2.000,-/kg Harga jual produk = Rp. 75.000,-/liter (konsentrat zat warna alami) Harga pembelian alat proses = Rp. 42.000.000,- Keuntungan sesudah pajak = Rp. 108.030.384,- Capital Investment Fixed Capital Investment Rp. 107.160.000,Working Capital Investment Rp. 86.000.000,Total Capital Investment Rp. 193.160.000,- Hasil-hasil kegiatan pengembangan buah mangrove sebagai pewarna batik khas Bontang perlu disosialisasikan/ diseminasikan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Bontang yang dapat berperan sebagai produsen, konsumen ataupun pengambil kebijakan (pemerintah daerah). Diseminasi hasil kegiatan diwujudkan dalam bentuk lokakarya sehari dengan mengundang berbagai pihak pemegang kepentingan. Kesepahaman antara akademisi, businessman (pengusaha), government (pemerintah) dan konsumen dalam = = = Production Cost Direct Manufacturing Cost Rp. 178.316.040,- = Indirect Manufacturing Cost Rp. 97.500.000,- = Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Analisis Kelayakan Persen ROI sebelum pajak = 62% Persen ROI sesudah pajak = 56% POT sebelum pajak = 1,5 tahun POT sesudah pajak = 1,6 tahun BEP = 42% SDP = 35% 8. Diseminasi Hasil Kegiatan dalam Bentuk Lokakarya 147 pengembangan hasil-hasil kegiatan diharapkan dapat mewujudkan Batik Mangrove Bontang sebagai salah satu kearifan lokal yang memiliki potensi ekonomis. Lokakarya dilaksanakan pada tanggal 18 Maret 2014 di Rega Cafe Badak LNG yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah daerah, perwakilan sekolahsekolah, kelompok binaan Badak LNG dan perwakilan masyarakat umum. Kegiatan tersebut mampu mendorong minat pemerintah daerah, perwakilan sekolah dan masyarakat untuk mengembangkan Batik Mangrove Bontang. Sebagai langkah awal pengembangan, Badak LNG berencana membuat seragam batik karyawan dengan motif juara hasil lomba dan berpewarna alami mangrove. Salah satu perwakilan sekolah-sekolah di Bontang juga menyatakan keberminatan penggunaan seragam Batik Mangrove Bontang bagi para siswa. Kesimpulan dan Saran Kegiatan ini telah menunjukkan manfaat buah mangrove jenis Rhizophora mucronata yang sebelumnya belum dimanfaatkan kecuali sebagai bibit dan meningkatkan kemampuan sumber daya masyarakat terutama kelompok tani mangrove dan perajin batik binaan Badak LNG di Kota Bontang, Kalimantan Timur. Kegiatan ini dapat menimbulkan dampak positif terhadap kelestarian lingkungan dalam bentuk kesadaran masyarakat mengenai potensi buah mangrove sehingga penebangan liar pohon mangrove dapat dihindari, program penanaman mangrove dapat dijalankan dengan lebih terencana dan berkesinambungan, keanekaragaman hayati di dalam ekosistem mangrove dapat ditingkatkan, serta pemberdayan masyarakat berbasis lingkungan dapat berjalan dengan baik dan memberikan 148 manfaat yang lebih luas bagi masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Keberlanjutan kegiatan ini harus terus dijaga dan Pemerintah Kota Bontang bertanggungjawab bersama-sama Badak LNG. Selanjutnya, sebuah unit usaha kecil-menengah produsen pewarna alami mangrove dapat terbentuk dan perajin batik di Kota Bontang dapat memanfaatkan pewarna alami hasil produksi tersebut. Hasil lomba motif desain batik khas Bontang yang mencerminkan icon budaya Kota Bontang dapat sebaiknya ditindaklanjuti dengan pengajuan paten Batik Mangrove Bontang dan diaplikasikan untuk motif seragam kerja Badak LNG, Pemerintah Kota Bontang atau juga seragam sekolah para siswa di Kota Bontang. Daftar Pustaka Anonim. (2012). Laporan Pemantauan Keanekaragaman Hayati di PT Badak NGL Bontang Tahun 2012. Proyek Kerjasama Penelitian antara PT Badak NGL Bontang dengan Fakultas MIPA Universitas Mulawarman, Samarinda. Danarto, Y.C., dkk., (2011). Pemanfaatan Tanin dari Kulit Bakau sebagai Pengganti Gugus Fenol pada Resin Fenol Formaldehid. Prosiding Seminar Nasional Kejuangan, No. ISSN 16934393 Kwartiningsih, E., Paryanto, Wibowo, W.A., Masturi, E., Jati, A.K., dan Santoso, D.P., (2013). Ekstraksi Tanin dari Buah Mangrove (Rhizophora mucronata). Prosiding Simposium RAPI XII, Fakultas Teknik UMS, No. ISSN 1412-9612 Marnoto, C., (2012). Ekstraksi Tanin sebagai Bahan Pewarna Alami dari Tanaman Putri Malu (Mimosa pudica) Menggunakan Pelarut Organik. Jurnal Reaktor Vol.14, N0.1, No. Akreditasi: 66b/DIKTI/Kep/2011 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Rahim, A.A., et.al., (2007). Mangrove’s Tannins and Their Flavanoid Monomers as Alternative Steel Corrosion Inhibitors in Acidic Medium. Corrosion Science, 49, 402-417. Spalding, M.F., (1997). World Mangrove Atlas. West Yorshire, The International Society for Mangroves Ecosystems, the World Conservation Monitoring Centre and the International Timber Organization. http://www.depkes.go.id h t t p : / / w i s n u . b l o g . u n s . ac.id/2009/11/26/corporate-socialresponsibility-sebuah-kepedulianperusahaan-terhadap-lingkungan-disekitarnya/, diakses 15 Juli 2014. http://jurnal-sdm.blogspot. com/2009/07/corporate-socialresponsibility-csr.html, diakses 15 Juli 2014. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 149 150 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 151-162 Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit Swasta (Studi Kasus tentang Pengembangan Strategi Komunikasi Pemasaran dengan Menjalin Community Relations Berbasis Budaya Lokal untuk Meningkatkan Publisitas pada Rumah Sakit Swasta di Surakarta) Tanti Hermawati Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Increasing number of hospitals are built either by private parties or the government, demanding a hospital to be ready to compete. Increasing competition encourages hospitals to develop services, marketing patterns and completeness of facilities and adequate infrastructure. Faced with competition , every company must understand who its competitors, how to position its services, what strategies will be played . The purpose of this study is to offer marketing communications strategy development model . The core of this strategy is the development model based on the characteristics of the local community hospital , so that the message delivered as same as what the community needed . In addition , the message in its marketing communications, consist of advertising, personal selling, sales promotion, public relations and direct marketing packaged integrated . The method of this research used qualitative study with in-depth observation to the community and hospitals in the study site. The data obtained through interviews , focus groups discussion and documentation study . The result of this research is identify the types of marketing communications and marketing communications content in each of the three private hospitals in Surakarta. Keywords: marketing communication patterns, integrated message Pendahuluan Rumah sakit merupakan salah satu badan yang bergerak dalam bidang kesehatan. Rumah sakit sangat berperan penting bagi terciptanya mutu hidup dan lingkungan hidup bagi masyarakat sehingga tercipta derajat kesehatan yang tinggi baik bagi kesehatan badaniyah, Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 rohaniah maupun sosial. Rumah sakit mempunyai tugas melaksanakan upaya kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat setiap masyarakat agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. 151 Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ... Selain sebagai suatu organisasi sosial terintegrasi, rumah sakit juga berfungsi menyediakan pelayanan kesehatan yang lengkap bagi masyarakat. Hal ini harus dilakukan secara menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Saat ini pelayanan kesehatan sudah banyak ditemukan di berbagai wilayah bahkan sampai ke pelosok pedesaan, masyarakat sudah dapat kemudahan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Selain rumah sakit negeri yang dikelola baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, banyak pula bermunculan rumah sakit swasta. Banyaknya rumah sakit swasta ini, juga harus diikuti dengan peningkatan pelayanan kepada masyarakat baik standar mutu rumah sakit, maupun keberlangsungan eksistensi rumah sakit swasta tersebut. Menghadapi kondisi yang penuh persaingan antar rumah sakit swasta, maka pelaku bisnis di industri rumah sakit yang bergerak di bidang jasa pelayanan medis tersebut, terus berupaya agar layanan jasa yang ditawarkan tetap akan dapat diterima oleh masyarakat. Dalam bidang pemasaran bermunculan filosofi, konsep dan teknik baru diantaranya relationship marketing, customer share, target marketing, integrated marketing communications, dan sebagainya. Untuk itu, rumah sakit swasta perlu juga melakukan terobosan baru dalam memasarkan layanannya kepada masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk pembangunan manusia dan daya saing bangsa, khususnya profesionalisme rumah sakit dalam penentuan kebijakan untuk mencari bentuk komunikasi pemasaran yang sesuai dengan karakteristik masyarakat lokal. Ada berbagai macam usaha yang dilakukan pihak manajemen rumah sakit agar bisa menjaga eksistensinya, misalnya: melakukan kerjasama dengan instansi 152 lain baik yang berkaitan dengan peralatan maupun sumber daya manusia. Dalam mendirikan rumah sakit, hendaknya diperhatikan terlebih dahulu mengenai kondisi lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal. Dalam menghadapai persaingan tentunya sebuah organisasi membutuhkan strategi. Konsep strategi harus jelas sehingga keputusan yang diambil akan mampu membawa organisasi untuk bertahan bahkan memenangkan pertarungan yang akan terus berlangsung dalam bisnis. Dalam konteks bisnis, strategi menggambarkan arah bisnis yang mengikuti lingkungan yang dipilih dan merupakan pedoman untuk mengalokasikan sumber daya dan usaha suatu organisasi. Saat ini rumah sakit tidak hanya fokus pada pelayanan kesehatan saja, tetapi keberlangsungan rumah sakit tersebut juga perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan persaingan antar rumah sakit sudah tidak bisa dielakkan. Di Surakarta saja sebagaimana yang dilansir dalam http://googleupdate.blogspot.com/2013 ada 12 rumah sakit baik negeri maupun swasta. Di kabupaten Klaten yang masih termasuk eks karesidenan Surakarta, sebagaimana yang dilansr dalam http:// klatenkab.go.id/ terdapat 7 rumah sakit baik negeri maupun swasta. Sedangkan daftar rumah sakit yang ada di kabupaten Karanganyar, yang juga masuk eks karesidenan Surakarta, ada sekitar 4 rumah sakit (http://asgar.or.id). Dalam penelitian ini, penulis akan lebih memfokuskan pada tiga rumah sakit swasta yaitu RS PKU Muhammadiyah Surakarta RS PKU Muhammadiyah Karanganyar dan RSU PKU Muhammadiyah Delanggu, Klaten. Ketiga rumah sakit tersebut berlatar belakang organisasi Muhammadiyah dan Agama Islam melekat pada nama rumah sakit. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ... Namun bagaimana ketiga rumah sakit tersebut untuk dapat melihat masyarakat sekitar serta pasien yang berobat, siapa saja yang menjadi target sasarannya. Serta melihat pada komunikasi pemasaran ketiga rumah sakit swasta tersebut. Karena pada kenyataannya, pasien yang berobat, tidak hanya yang beragama islam saja dan tidak hanya yang bernaung dalam organisasi Muhammadiyah. saluran, penerima, interpretasi, gangguan dan umpan balik. Ada lima kategori tujuan utama komunikasi : 1. Sumber atau pengirim menyebar­ luaskan informasi agar dapat diketahui penerima. 2. Sumber menyebarluaskan informasi dalam rangka mendidik penerima Perumusan Masalah 3. Sumber memberikan instruksi agar dilaksana­kan penerima “Bagaimana pengembangan strategi komunikasi pemasaran yang dilakukan RS PKU Muhammadiyah Surakarta, RS PKU Muhammadiyah Karanganyar dan RSU PKU Muhammadiyah Delanggu dalam menjalin community relations dan budaya lokal masyarakat di sekitar rumah sakit ?” 4. Sumber mempengaruhi konsumen dengan informasi yang persuasif untuk mengubah persepsi, sikap dan perilaku penerima. 5. Sumber menyebar luaskan informasi untuk menghibur sambil mem­penga­ ruhi penerima (Liliweri, 2007: 18). Kajian Pustaka Fiske dan Hartley (1983: 79) menjelas­ kan beberapa faktor yang menjembatani pengaruh komunikasi: 1. Komunikasi Setiap hari orang selalu melakukan komunikasi. Baik komunikasi lesan maupun komunikasi tertulis. Baik komunikasi verbal maupun komunikasi nonverbal. Komunikasi bisa dibedakan menjadi Komunikasi interpersonal, komuniasi antar persona, komunikasi organisasi dan komunikasi massa. Komunikasi berasal dari bahasa latin communis yang berarti sama. Komunikasi dapat dianggap proses penciptaan suatu kesamaan atau suatu kesatuan pemikiran antara pengirim dan penerima (Shimp, 2003: 163). Kunci utama dari definisi ini adalah diperlukan kesamaan pikiran yang dikembangkan antara pengirim dan penerima jika terjadi komunikasi. Kesamaan pemikiran ini membutuhkan adanya hubungan saling berbagi (sharing) antara pengirim (seperti pengiklan) dengan penerima (konsumen). Semua aktifitas komunikasi melibatkan 8 elemen berikut: sumber, penerjemah, pesan, Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 1. Semakin besar monopoli sumber komunikasi yang diterima, maka semakin besar pula perubahan dan pengaruh dalam selera. 2. Pengaruh komunikasi akan lebih besar bila pesan tadi dilandasi dengan opini, kepercayaan dan disposisi dari penerima. 3. Komunikasi dapat menghasilkan per­ geser­an yang efektif pada suara-suara yang asing, suara yang lembut, piranti peripheral yang tidak ada pada sistem syaraf penerima. 4. Komunikasi akan lebih efektif bila sumber itu benar-benar dipercaya akan memberikan ketrampilan, status yang tinggi, obyektivitas atau kemampuan, dan bila sumber tadi secara khusus mempunyai kekuatan dan dapat diidentifikasikan. 153 Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ... 2. Strategi Pada awalnya konsep strategi (strategy) didefinisikan sebagai berbagai cara untuk mencapai tujuan (ways to achieve ends) (Sholihin, 2012: 24). Sejalan dengan perkembangan konsep manajemen, strategi tidak hanya didefinisikan hanya semata-mata sebagai cara untuk mencapai tujuan karena strategi dalam konsep manajemen strategis mencakup juga pe­ netapan berbagai tujuan itu sendiri (melalui berbagai keputusan strategis. Yang dibuat oleh manajemen perusahaan. Hal ini diharapkan akan menjamin terpeliharanya keunggulan kompetitif perusahaan. Menurut Alfred Chandler dan Andrews, dimana strategi dalam pengertian ini mencakup juga penetapan berbagai tujuan serta arah usaha perusahaan dalam jangka panjang (Sholihin, 2012: 25). Melihat strategi merupakan salah satu bagian dari rencana (plan), ternyata tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan terhadap berbagai fenomena strategis dalam dunia bisnis. Terdapat dua karakteristik stratrgi yang sangat penting, yang pertama adalah, strategi irencanakan terlebih dahulu secara sadar dan sengaja mendahului berbagai tindakan yang akan dilakukan berdasarkan strategi yang dibuat tersebut. Kedua, strategi kemudian dikembangkan dan diimplementasikan agar mencapai suatu tujuan. Strategi sebagai sebuah “plan” me­ rupa­kan suatu rencana yang terpadu, komprehensif dan terintregasi yang dirancang untuk memastikan bahwa tujuan-tujuan pokok perusahaan dapat dicapai. Sedangkan apabila strategi dikatakan sebagai manuver merupakan sesuatu yang spesifik untuk member isyarat mengancap kepada pesaing per­ usahaan. pola 154 Strategi juga bisa dianggap sebagai yang menunjukkan adanya se­ rangkaian tindakan yang dilakukan oleh manajemen dalam mengejar sebuah tujuan. Sedangkan strategi sebagai sebuah posisi ditunjukkan dengan berbagai ke­ putusan yang dipilih perusahaan untuk mem­posisikan organisasi perusahaan di dalam lingkungan perusahaan. Dari uraian di atas, menurut Mintzberg dalam Sholihin (2012: 25) mendefinisikan strategi dengan memper­ hatikan berbagai dimensi dari konsep strategi yang dinamakan “5P’s of Strategy” yaitu: Strategy as a Plan, Strategy as a Ploy, Strategy as a Pattern, Strategy as a Position dan Strategy of Perspective. Rencana pada tingkat korporat (corporate-level plan) mencakup di dalamnya penetapan visi, misi dan tujuan-tujuan korporasi, strategi yang dikembangkan dan sruktur korporasi yang dipilih oleh perusahaan. Misi dan tujuan korporasi selanjutnya akan menjadi pedoman untuk menentukan tujuan divisi/unit bisnis dan tujuan berbagai fungsi organisasi. Untuk mencapai tujuan korporasi, maka dibuatlah strategi pada tingkat korporat (corporate level strategy), strategi ini akan memberikan arah dalam industri dan pasar mana perusahaan akan bersaing. Strategi pada tingkat korporasi akan merumuskan dengan spesifik berbagai tindakan yang akan diambil untuk memperoleh keunggulan kompetitif/ keunggulan bersaing dengan memilih dan mengelola sejumlah bisnis yang berbeda (Sholihin, 2012: 10). 3. Komunikasi Pemasaran Persaingan dalam dunia usaha merupakan hal yang tak terelakkan dalam sistem ekonomi pasar, seiring dengan tumbuh­nya perekonomian. Persaingan memaksa perusahaan menerapkan konsep pemasaran yang berbeda dengan per­ usahaan lain untuk terus memajukan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ... perusahaan. Boyd (2000) mendefinisikan pemasaran sebagai suatu proses sosial yang melibatkan kegiataan-kegiaataan penting yang memungkinkan individu dan perusaahaan mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui pertukaran dengan pihak lain dan untuk mengembangkan hubungan pertukaran (Boyd, 2000: 4). Konsep inti dari pemasaran adalah pertukaran atau exchange. Alasan yang mendasari bahwa konsep inti dari pemasaran adalah pertukaran yaitu bahwa seluruh aktivitas yang dilakukan oleh individu dengan individu yang lainnya merupakan pertukaraan. Tak ada seorang individu pun yang mendapatkan sesuatu (barang atau jasa) tanpa memberikan sesuatu baik langsung maupun tidak langsung. Alasan terjadinya pertukaran adalah untuk memuaskan kebutuhan (Sutisna, 2002: 264). Shimp (2003: 106) menyebutkan usaha komunikasi pemasaran diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan di bawah ini : 1. Membangkitkan keinginan akan suatu kategori produk 2. Menciptakan kesadaran akan merek 3. Mendorong sikap positif terhadap produk dan mempengaruhi niat 4. Memfasilitasi pembelian Ada beberapa pendapat yang di­ kemuka­kan oleh sejumlah pakar mengenai definisi komunikasi pemasaran terpadu (IMC). Shimp (2001: 24) me­nyebut­kan bahwa IMC adalah proses pengembangan dan implementasi ber­bagai bentuk program komunikasi persuasif pelanggan dan calon pelanggan secara berkelanjutan. Tujuan IMC adalah mempengaruhi atau memberikan efek langsung kepada perilaku khalayak sasaran yang dimilikinya. IMC meng­anggap, seluruh sumber yang dapat menghubungkan pelanggan atau calon Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 pelanggan dengan produk atau jasa dari suatu merek atau perusahaan, adalah jalur yang potensial untuk menyampaikan pesan di masa datang. Definisi serupa juga dikemukakan oleh Kotler, et al (2004: 220) yang me­ rumuskan IMC sebagai konsep yang melandasi upaya perusahaan untuk mengintegrasikan dalam rangka me­ nyampai­kan pesan yang jelas, konsisten dan persuasif mengenai organisasi dan produknya. Dalam bukunya Service Management and Marketing, Gronroos (2000: 221) mendefinisikan IMC sebagai strategi yang mengintegrasikan media marketing tradisional, direct marketing, public relations dan media komunikasi pemasaran lainnya, serta aspek-aspek komunikasi dalam penyampaian dan konsumsi barang dan jasa, layanan pelanggan dan customer encounters lainnya. Jadi IMC adalah integrasi untuk menangani secara proporsional dan tidak lagi terfokus hanya pada pelanggan semata, tetapi perusahaan perlu mendengar masukan dari semua pihak (stakeholder) termasuk konsumen dan setiap titik kontak dengan public menyebarkan pesan komunikasi mulai dari produk, logo perusahaan, pengalaman menggunakan produk, iklan, layanan pelanggan, berita di media massa sampai rumor yang mampu menyebar secara berantai. Komunikasi pemasaran selalu melalui proses dimana perusahaan menyampai­ kan pesan kepada stakeholder dalam mencapai tujuan perusahaan, untuk meng­informasikan, mempengaruhi, meng­ingatkan atau membangun citra perusahaan. Sebagaimana yang dikemuka­ kan oleh Chen Chien Wei dalam Journal of Global Marketing: “Marketing communication is a process through which a firm conveys a series of messages to stakeholders in pursuit of the firm’s goals-to inform, persuade, remind or 155 Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ... build images to delineate product ar service” (2011: 40). Dalam penerapan komunikasi pemasaran yang terpenting adalah pesan yang disampaikan harus dikemas secara terpadu dari berbagai jenis komunikasi pemasaran yang ada. Produk atau pelayanan baru, seperti halnya pelayanan yang ada di rumah sakit, apabila akan dikenalkan kepada masyarakat perlu dikomunikasikan dengan pesan yang tepat. Misalnya akan menggunakan kelima jenis komunikasi pemasaran secara menyeluruh, maka semuanya harus menyampaikan pesan yang sama. Dalam Journal of Global Marketing dikatakan: “New product performance will be enhanced to the extent that the firm undertakes programs to generate communication visibility and simultaneously maintain a reasonably level of consistency in messages. Such findings are in accordance with the integrated marketing communication principle that aims to ensure consistency of message and the complementary use of media” (Chen, Chien Wei, 2011: 411). Dalam penelitian ini, komunikasi pemasaran yang akan ditekankan adalah periklanan, personal selling, sales promotions, public relations dan direct marketing. Kelima komponen inilah yang akan diterapkan oleh rumah sakit secara terintegrasi. Pesan dari masing-masing jenis komunikasi pemasaran akan dibuat dengan bercirikan emphaty pada masyarakat dan keterpaduan pesan. Dengan demikian brand image sebuah rumah sakit akan terbentuk sesuai dengan visi dan misi rumah sakit tersebut. Dalam Journal Quarterly disebutkan: Health Marketing The three models work seguentially as a guide to generating out-standing communication results that marketers can use to guide their effort to generate effective communication programs: 1) Identification of storage communication elements. The first model helps marketing 156 communicators think through their strategic message, audiences and actions sought. 2) The business communication model provides a tactical overview of how to deliver marketing communication. 3) Communication Management Process depict the operational day to day process of executing all the communication activities (Gombeski et.al, 2007: 97). 4. Community Relations Satu prinsip yang hendak dikembang­ kan melalui community relations adalah mengembangkan hubungan bertetangga yang baik. Menurut Jerold, community relations adalah peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya untuk kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas (Iriantara, 2007: 20). Dalam menjalin community relations ini pun, rumah sakit perlu memperhatikan budaya lokal masyarakat setempat. Pengerti­an budaya itu sendiri adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. (http:// id.m.wikipedia.org/wiki/budaya). Budaya juga bisa dikatakan merupa­ kan kompleksitas dari makna, nilai, norma dan tradisi yang dipelajari dan dibagi oleh anggota suatu masyarakat (Morrisan, 2010: 128). Sedangkan budaya lokal adalah budaya asli dari suatu kelompok masyarakat tertentu yang juga menjadi ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat. Dalam penerapan strategi komunikasi pemasaran, sebuah perusahaan atau institusi perlu memperhatikan hubungan dengan komunitas setempat dan budaya lokal yang ada di lingkungan rumah sakit. Apalagi, rumah sakit yang menjadi Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ... obyek penelitian ini adalah rumah sakit PKU Muhammadiyah. Perusahaan harus memahami lingkungan di sekitarnya. Apabila sudah menetapkan bahwa sasaran­nya adalah seluruh masyarakat, maka latar belakang agama dan organisasi perlu dikesampingkan. Namun demikian, karakteristik masyarakat harus dilihat, agar program komunikasi pemasaran yang dilaksanakan tidak bertentangan dengan budaya lokal yang berkembang di masyarakat Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan bentuk studi kasus. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu dengan mendeskripsikan kualitas suatu gejala yang menggunakan ukuran perasaan sebagai dasar penelitian. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi 2 jenis yaitu data primer dan data sekunder. Dalam mengumpulkan data diguna­ kan metode sebagai berikut: 1) Observasi, 2) Wawancara, 3) Focus Group Disscusion, 4) Dokumentasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah mengikuti model analisis interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman. Dalam model analisis interaktif ini terdiri dari 3 komponen pokok yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan simpulan dengan verifikasinya. Hasil Dan Pembahasan 1. RS PKU Muhammadiyah Surakarta RS PKU Muhammadiyah Surakarta terletak di kota Surakarta. Beberapa waktu yang lalu telah menjadi Rumah Sakit Tipe B. Dalam mengaplikasikan jenisjenis komunikasi pemasaran, rumah sakit ini telah melakukan periklanan, personal selling, sales promotions, public relations dan direct marketing. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Kelima jenis komunikasi pemasaran di PKU Muhammadiyah Solo telah ditangani dengan profesional oleh bagian-bagian tertentu, dengan programprogram pada masing-masing bagiannya. Namun ada kalanya informasi tersebut belum bisebarkan secara meluas kepada masyarakat. Tetapi karena branding PKU Solo telah lama dikenal masyarakat, sehingga para pembuat kebijakan pun menyerahkan secara penuh pada masingmasing bagian untuk mengelolanya. Hal ini memang terlihat bagus, tetapi keterpaduan informasi memang sangat diperlukan, agar masyarakat lebih tepat dalam mem-positioning-kan PKU Solo. a. Periklanan Iklan merupakan salah satu alat dalam mengenalkan perusahaan kepada masyarakat atau yang lebih dikenal dengan iklan korporat. Namun demikian tidak semua institusi secara bebas mengiklankan sebagaimana iklan komersial yang ada di media. Contohnya rumah sakit. Meskipun saat ini sudah banyak rumah sakit yang beriklan, namun ada aturan-aturan yang harus ditaati. Dari data-data yang telah dikumpulkan, dapat dianalisis bahwa penetapan tujuan iklan berguna untuk memberikan pedoman bagi penyusunan keputusan pesan. Selain itu, tujuan periklanan juga berfungsi sebagai standar evaluasi kinerja program periklanan. Program periklanan dirancang untuk mengubah konsumen dari tidak tahu rumah sakit, menjadi tahu, mencoba apabila sakit periksa ke rumah sakit tersebut dan apabila sakit lagi di lain waktu akan kembali ke rumah sakit itu lagi. Berdasarkan rerangka hirarki efek (hierarchy of effects) yang terdiri atas awareness-liking-preference-convic­t ionpurchase, efek periklanan bisa dikelompok­ 157 Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ... kan menjadi tiga tahap : a. Respon kognitif, penerapan pesan menyangkut b. Respon afektif, menyangkut pengem­ bangan sikap (suka atau tidak suka) terhadap produk atau perusahaan c. Respon perilaku (behavioral), me­ nyangkut tindakan actual yang dilaku­ kan para anggota audience sasaran (Tjiptono dan Chandra, 2012: 355). b. Personal Selling Personal selling menekankan aspek penjualan melalui proses komunikasi person to person. Peranan personal selling cenderung bervariasi antar perusahaan. Demikian juga yang bisa dilihat dari RS PKU Muhammadiyah Surakarta ini mempunyai cara sendiri dalam menerapkan personal selling untuk meningkatkan publisitas. Personal selling merupakan komponen integral dalam komunikasi pemasaran terintegrasi dan bukan merupakan substitusi bagi unsur komunikasi pemasaran lainnya. Di RS PKU Muhammadiyah Surakarta juga menerapkan personal selling untuk membuat rumah sakit tersebut dikenal di masyarakat. Malahan sudah ada petugas khusus yang menangani personal selling ini, yaitu di bagian pelaksana marketing. c. Sales Promotions Sales promotions merupakan salah satu bentuk komunikasi pemasaran yang bisa meningkatkan publisitas. Dari beberapa jenis yang digunakan oleh Rumah sakit PKU Muhammadiyah Surakarta, telah banyak dilakukan cara ini. Diantaranya dengan memberikan discount khusus. Mengenai sales promotions memang dalam penyampaiannya kepada pasien atau masyarakat umumnya, tidak bisa dengan mudah seperti halnya sales promotions 158 tentang produk barang atau yang bisa dikonsumsi maupun layanan umum yang boleh untuk disampaikan secara terbuka. d. Public relations Jenis komunikasi pemasaran yang keempat yaitu public relations juga digunakan di RS PKU Muhammadiyah Surakarta. Memang pelaksanan Humas di rumah sakit ini sudah tergolong maju. Karena sering sekali menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan publi­sitas. Biasanya pelaksanaannya selalu dikoor­ dinasikan dengan bagian lain di rumah sakit, misalnya bagian pemasaran rumah sakit. e. Direct Marketing Program direct marketing merupakan sistem pemasaran interaktif yang meng­ guna­kan berbagai media komunikasi untuk meningkatkan respon langsung yang sifatnya spesifik dan terukur. Direct and line marketing ini mengalami pertumbuhan pesat dikarenakan kemajuan teknologi dan makin maraknya individualized marketing (memperlakukan pelanggan sebagai individu). Di RS PKU Muhammadiyah Surakarta juga telah menerapkan direct marketing ini sebagai salah satu bentuk komunikasi pemasaannya. 2. RS PKU Muhammadiyah Karanganyar Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Karanganyar yang terletak di Kabupaten Karanganyar, merupakan salah satu Rumah sakit swasta yang menjadi pilihan masyarakat Karanganyar dalam mem­ peroleh pengobatan. Bagi rumah sakit itu sendiri, selalu berusaha agar mayarakat mengetahui keberadaan rumah sakit tersebut, sehingga menjadi rujukan untuk memperoleh pengobatan apabila masyarakat menderita sakit. Dalam usaha untuk meningkatkan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ... publisitas, tentu saja telah banyak usaha yang dilakukan oleh pengambil kebijakan di rumah sakit tersebut. Dari penelitian yang telah penulis lakukan, ternyata RS PKU Muhammadiyah Karanganyar menerapkan beberapa jenis Komunikasi Pemasaran. Adapun komunikasi pe­ masar­an yang telah dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Karanganyar diantara­ nya adalah: a. Periklanan Informasi yang disampaikan biasanya juga berupa layanan yang ada di rumah sakit. Dari iklan yang dilakukan oleh RS PKU Muhammadiyah Karanganyar, mengandung pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat. Pesanpesan tersebut biasanya berisi tentang layanan-layanan apa saja yang ada di RS PKU Karanganyar, memperkenalkan layanan baru, sosialisasi jamkesmas melalui leaflet dan lain-lain. Dari paparan di atas, bisa dianalisis bahwa iklan yang dibuat oleh PKU Muhammadiyah karanganyar biasanya menyampaikan informasi jenis-jenis layanan yang ada di rumah sakit. Karena rumah sakit tentu saja ingin menyampaikan informasi lewat iklan yang dibuat. Dalam hal ini rumah sakit berperan sebagai komunikator ingin menyampaikan pesan layanan yang ada di rumah sakit melalui media periklanan ditujukan kepada masyarakat luas. Apabila pesan tersebut bisa dimengerti masyarakat, maka publisitas rumah sakit pun akan lebih dikenal di masyarakat Karanganyar. b. Personal Selling Personal selling yaitu suatu bentuk komunikasi langsung antara seorang penjual dengan calon pembelinya. Tidak seperti iklan, personal selling melibatkan kontak langsung antara pihak rumah sakit Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 dengan publik (pasien dan keluarga pasien maupun masyarakat). Personal selling ini juga diplikasikan di PKU Karanganyar. Salah satunya dengan mendatangi bidan. c. Sales Promotions Sales promotions juga telah diterapkan di RS PKU Muhammadiyah Karanganyar, diantaranya dengan memberikan potongan biaya pengobatan rumah sakit pada pasien tidak mampu. Juga discount khusus pada anggota Muhammadiyah yang memiliki KTA dan memberikan layanan Jamkesmas dan Jampersal. d. Public Relations Komponen lain yang sangat penting suatu organisasi atau perusahaan adalah hubungan masyarakat (public relations). Jika suatu organisasi merencanakan dan mendistribusikan informasi secara sistematis dalam upaya untuk mengontrol dan mengelola citra serta publisitas yang diterimanya, maka perusahaan itu telah menjalankan tugas hubungan masyarakat. Walaupun secara terstruktur belum ada bagian PR tersendiri, namun kegiatankegiatan yang berkaitan dengan program public relations telah banyak dilakukan di PKU Karanganyar. Diantaranya mengadakan khitanan masal, pengobatan gratis dan ikut memeriahkan milad Muhammadiyah. e. Direct Marketing Jenis komunikasi pemasaran yang kelima yaitu direct marketing baru dalam proses, tetapi PKU telah menyiapkan segala sesuatunya untuk membuat website tentang RS PKU Muhammadiyah Karanganyar. 3. RSU PKU Muhammadiyah Delanggu Di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu, kelima jenis komunikasi pe­ 159 Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ... masaran juga telah dilakukan semuanya, diantaranya periklanan, personal selling, sales promotions, public relations dan direct marketing. Rumah sakit ini sering meng­ adakan kerja sama dengan media dan menyelenggarakan event-event yang melibatkan masyarakat di sekitar rumah sakit. Berikut adalah kegiatan komunikasi pemasaran yang telah dilakukan RSU PKU Muhammadiyah Delanggu. a. Periklanan Dalam usaha meningkatkan pu­blisitas, RSU PKU Muhammadiyah Delanggu memanfaatkan periklanan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Jenis-jenis media yang digunakan ada media cetak dan media elektronik. Dengan menggunakan jenis komunikasi pemasaran periklanan, baik lewat media massa maupun non massa, mampu untuk meningkatkan publisitas institusi rumah sakit tersebut. b. Personal Selling Di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu juga menerapkan personal selling sebagai salah satu bentuk komunikasi pemasarannya. Di rumah sakit ini justru lebih banyak digunakan personal selling ini, karena akan lebih ada kedekatan dengan masyarakat. Rumah sakit perlu memahami community relations dengan masyarakat di sekitar perusahaan, mendekatkan diri pada masyarakat dan mampu menyelami budaya di masyarakat. c. Sales Promotions Sales Promotions yang diterapkan oleh RSU PKU Muhammadiyah Delanggu dalam meningkatkan publisitas sangat beragam. Pada intinya sebagaimana sejarah PKU Muhammadiyah bahwa tujuan­nya adalah menolong sesama. Untuk itulah program-program yang bisa meringankan pasien dilakukan oleh PKU 160 Muhammadiyah. d. Public relations Strategi komunikasi pemasaran yang lain yang digunakan untuk meningkatkan publisitas rumah sakit adalah public relations. Public relations merupakan fungsi manajemen yang mengevaluasi sikap publik, mengidentifikasi kebijakan dan prosedur organisasi demi kepentingan publik dan melaksanakan program aksi dan komunikasi untuk membentuk pemahaman dan akseptansi publik. Hal ini juga sudah dilakukan oleh RSU PKU Muhammadiyah Delanggu. e. Direct Marketing PKU Delnggu telah mempunyai website www.pkudelanggu.com. Direct marketing sering berfungsi sebagai bagian dari strategi komunikasi yang paling penting tetapi jarang dijadikan kegiatan utama. Kekurangannya ialah bahwa dalam prakteknya secara eksklusif dan lebih berkonsentrasi untuk mempertahankan pelanggan yang telah ada daripada membujuk calon pelanggan baru. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan pada ketiga rumah sakit swasta (RS PKU Muhammadiyah Karanganyar, RS PKU Muhammadiyah Surakarta dan RSU PKU Muhammadiyah Delanggu) dapat disimpulkan bahwa Rumah Sakit PKU Muhammadiyah baik di Karanganyar, Surakarta maupun Delanggu telah berusaha untuk mengaplikasikan kelima jenis komunikasi pemasaran yaitu periklanan, personl selling, sales promotion, public relations dan direct marketing. Namun dari kelima jenis komunikasi pemasaran tersebut pesan-pesan yang disampaikan kepada masyarakat masih kurang ter­ integrasi dengan sempurna. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ... Saran Dalam menjalankan komunikasi pemasaran untuk meningkatkan publisitas, sebaiknya diintegrasikan secara terpadu. Juga melihat karakteristik yang ada di lingkungan sasaran rumah sakit, sehingga informasi yang disampaikan akan diterima baik oleh masyarakat dan rumah sakit akan diposisikan oleh masyarakat sesuai dengan keinginan internal rumah sakit itu sendiri. Sutisna. (2002). Perilaku Konsumen & Komunikasi Pemasaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Gombeski, William R.Jr & et al. (2007). Effectively Executing a Comprehenshive Marketing Communication Strategy. Journal of Health Marketing Quarterly (The Howarth Press). Vol 24 No. 3/4 . Iriantara, Yosal. (2007). Community Relations Konsep dan Aplikasinya. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Daftar Pustaka http://googleupdate.blogspot.com/2013 Boyd, Walker & Larreche. (2000). Manajemen Pemasaran. Jilid 2. Jakarta: Erlangga. http://klatenkab.go.id Chen, Chen Wei. (2011). Integrated Marketing Communication and New Product Performance in International Market. Journal of Global Marketing. Nov/Dec 2011 Vol 24 Issue 5. http://id.wikipedia.org/wiki/budaya http://asgar.or.id Tjiptono, Fandy dan Gregorius Chandra. (2011). Pemasaran Strategik. Edisi 2. Yogyakarta: Penerbit Andi. Fiske, John & John Hartley. (1983). Reading Television. London: Routledge. Gronroos, C. (2000). Service Management and Marketing, A Marketing Relationship Management Approach. Second Edition. West Sussex: Chichester. Sholihin, Ismail. (2012). Manajemen Strategik. Jakarta: Penerbit Erlangga. Liliweri, Alo. (2007). Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Morissan. (2010). Periklanan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group. Kotler, Philip. (2002). Manajemen Pemasaran. Jakarta: Penerbit Erlangga. Shimp, Terence. (2001). Periklanan dan Promosi. Jakarta: Airlangga. Shimp, Terence. A. (2003). Peiklanan Promosi Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Jakarta: Erlangga. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 161 Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ... 162 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 163-174 Budaya Populer sebagai Sistem Budaya Mursito BM Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Popular culture on television is the result of social construction, constructed by television, as a commodity, to make a profit. But if the popular culture as a broadened understanding culture, culture is “popular” in society at large, then there is “popular culture” is not constructed television or other entertainment industries. Popular culture is not only produced by the culture industry, but also life and lived society. In this study, a phenomenon observed only in traditional Javanese wedding rituals - called pawiwahan grand - and Surakarta palace. In order to obtain an explanation and understanding of the major ones culture in society not merely the products of culture industry - it is advisable to do more extensive research, the phenomenon is more varied. Key words: popular culture, social contructions, culture industry, culture system Pendahuluan Budaya populer kini ada di sekitar kita, dekat dan akrab dengan kehidupan masyarakat kita, masyarakat Indonesia. Ia tidak lagi kita rasakan sebagai ”kebudayaan asing” – budaya pendatang yang tidak kita kenal, kebudayaan liyan, yang pada umumnya diidentikkan dengan kebudayaan barat. Masyarakat kita sudah terbiasa hidup dengannya, memakai dan menikmati produk-produknya, men­jadi­ kannya sebagai gaya hidup, atau malah­ an kita menjalani kehidupan dengan­nya. Maka budaya populer adalah ketika kita mengenakan jeans, shopping di mal, makan siang di KFC, membeli dan memutar CD musik pop. Tentu juga termasuk ketika kita menonton televisi, berkomunikasi (telepon, SMS) lewat telepon seluler (ponsel), atau bersilancar di internet. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Fenomena-fenomena di atas me­ nunjuk­kan bahwa dalam “berbudaya populer,” semua aktivitas dan penggunaan benda material dilakukan dengan “mem­ beli” – membeli tiket untuk konser musik, membayar makanan yang kita makan di KFC, membeli CD musik pop. Dua hal segera tampak di sini. Pertama, budaya populer didefinisikan sebagai komoditas, sebagai masalah jual-beli komoditas budaya. Dan yang kedua, oleh karena itu, budaya populer dalam pengertian se­ macam ini hanya hidup di masyarakat konsumen. Atau, sebaliknya, masyarakat konsumenlah yang menyediakan lahan bagi sebentuk kebudayaan yang kita kenal sebagai budaya populer ini. Terdistribusi dan tersebarluasnya budaya populer tak dapat dilepaskan dari peran media massa, dan industri budaya 163 Mursito BM. Budaya Populer ... lainnya. Televisi berperan besar dalam hal ini. Industri budaya memproduksi komoditas budaya populer secara massal. Ketika diproduksi secara massal, budaya populer dikonsepsikan sebagai budaya massa. Maka budaya massa difahami sebagai budaya populer yang diproduksi melalui teknik produksi (dan reproduksi) massal, serta diproduksi demi keuntungan. Budaya massa adalah budaya komersial, produk massal untuk pasar massal. Dan budaya massa, dengan demikian, tidak lain dari metamorfosa komoditas dalam bentuknya yang lebih canggih, lebih halus dan lebih memikat (Strinati, 1995: 10). Dalam konteks industrial ini, budaya populer identik dengan budaya massa. Konsekuensi dari produksi dan pasar massal adalah kita melihat ada­nya kencenderungan budaya populer “di­ turun­kan” nilainya agar bisa memenuhi “selera” kebanyakan orang dan orang kebanyakan. “Ciri konsepsi budaya massa,” tulis Strinati, ”adalah bahwa ia merepresentasikan suatu budaya yang turun nilainya, remeh, hanya di permukaan, artifisial dan baku, sebuah kebudayaan yang menyedot kekuatan budaya rakyat dan budaya tinggi, serta menentang penilaian intelektual selera kultural” (1995: 23). Namun, meski dipandang rendah, remeh-temeh, dangkal, bermutu rendah, tetapi budaya massa memiliki kekuatan, dinamika, dan demokratis. Dalam praktik, sebagai contoh, kita bisa mengamati musik pop. Musik atau lagu-lagu pop memiliki sifat sederhana, baik melodi maupun liriknya. Prinsipnya lagu itu bisa dimengerti dan mudah ditirukan oleh orang yang awam dalam bermusik. Tingkat kesulitannya dalam meniru menyanyikan lagu itu rendah. Dalam hal melodi, rentang nada-nadanya tidak lebih dari satu oktaf. Ini standar capaian suara orang awam. Artinya, 164 dengan rentang nada yang hanya satu oktaf, publik bisa meniru menyanyikan sebuah lagu tanpa kesulitan. Liriknya juga sederhana, baik isi maupun aspek puitiknya – menggunakan idiom dan bahasa sehari-hari. Tema lirik lagu pop adalah kehidupan sehari-hari, terutama kehidupan anak-anak muda – tentang cinta, “curhat,” romantika dan penderitaan karena cinta – karena “pasar” musik pop memang anak-anak muda. Populer difahami sebagai hal-hal yang sedang digemari di masyarakat atau kelompok masyarakat pada kurun waktu tertentu – sedang menjadi trend, sedang menjadi mode. Model potongan rambut pendek berjambul, mirip cengger ayam jantan, contohnya, sekarang sedang digemari, sedang menjadi mode. Model rambut ini tidak hanya populer di kalangan anak-anak muda, tetapi juga mereka yang sudah dewasa; tidak hanya di kalangan pelajar dan mahasiswa, tetapi juga mereka yang telah bekerja pada pelbagai profesi – pemain sepakbola, para penghibur, bahkan pebisnis, politisi, atau anggota parlemen. Lewat televisi, kita bisa menyaksikannya. Jadi budaya populer bersifat pervasive – ada di mana-mana Sedang menjadi trend atau sedang menjadi mode artinya hanya berlangsung “sesaat,” tidak bisa bertahan lama. Model rambut jambul akan mengalami nasib demikian, sama seperti model-model yang mendahuluhinya – model rambut gondrong, model rambut kribo, model rambut cepak, model gundhul. Mode tak pernah bisa bertahan lama, ibarat roda yang sedang berputar, kadang di atas kadang di bawah. Mode yang sedang menjadi trend suatu saat akan tenggelam untuk digantikan oleh mode yang baru, yang sebelumnya mungkin pernah populer, pernah menjadi trend di masamasa sebelumnya. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Mursito BM. Budaya Populer ... Permasalahan Budaya populer di televisi merupakan hasil konstruksi sosial, dikonstruksi oleh televisi, sebagai komoditas, untuk mendapatkan keuntungan. Namun jika budaya populer diluaskan pengertiannya sebagai budaya masyarakat, budaya yang ”populer” di masyarakat luas, maka ada ”budaya populer” yang tidak dikonstruksi televisi atau industri hiburan lainnya. Permasalahannya adalah, pertama, bagaimana mengoseptualisasikan format budaya populer yang difahami sebagai budaya masyarakat? Kedua bagaimana menjelaskan budaya populer sebagai sistem budaya dan sistem komunikasi? Ketiga, bagaimana hubungan antara budaya populer di televisi dengan budaya populer yang hidup di dalam sistem sosial, di masyarakat industri? Keempat, siapa yang menngonstruksi dan memproduksi budaya populer di masyarakat? Tujuan Menjelaskan budaya populer, di satu sisi merupakan budaya masyarakat, dan di sisi lain dalam konteks perkembangan teknologi komunikasi dan informasi dalam masyarakat konsumen dan dalam bingkai ekonomi pasar. Pembahasan Beberapa ciri budaya populer itu dapat kita identifikasi (Kleden, 1987). Berkenaan dengan resepsi publik, budaya populer lebih menekankan kemampuan “komunikatif” ketimbang penilaian dan penghargaan kualitas. Komunikatif arti­ nya budaya populer, khususnya program televisi, diformat untuk bisa di­terima dan difahami oleh publik seluas-luasnya – secara demografis, intelektual, dan kultural. Secara demografis, budaya populer ditargetkan bisa diterima oleh mereka yang masuk kategori anak-anak remaja, kaum Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 muda, dewasa, hingga orang tua; secara intelektual, bisa diterima dan dinikmati oleh mereka yang kalau mem­baca masih “sambil menggerakkan bibirnya” hingga profesor; secara kultural, diraya­kan oleh pelbagai kalangan: buruh pabrik, manajer, guru, birokrat, profesional. Ciri yang lain berkenaan dengan penghargaan atau penerimaan pasar. Budaya populer lebih menyukai penghargaan pasar ketimbang peng­ harga­an para kritisi seni. Ini artinya, ia lebih memilih estetika persepsi (persepsi pasar) ketimbang estetika kreasi (kualitas penciptaan). Kita ambil contoh program musik di televisi. Dalam program Indonesia Idol di stasiun RCTI, sebuah program kompetisi penyanyi, pemenangnya tidak ditentukan oleh juri yang kompeten di bidang vokal atau musik, melainkan ditentukan oleh pemirsa televisi. Pemirsa­ lah – dengan mengirim SMS (short message service) melalui telepon seluler ke pe­ nyelenggara – yang menjadi penentu pe­ menang Indonesian Idol, berdasarkan suara terbanyak. Budaya popular bisa juga kita lihat cirinya dengan cara membandingkannya dengan budaya tinggi. Ini berkenaan dengan ruang dan waktu. Kebudayaan tinggi mapan & “abadi” meskipun publiknya sedikit, sementara budaya populer jumlah penikmatnya banyak namun ber­ jangka pendek. Dengan perkataan lain, kebudayaan tinggi mau mengorbankan ruang untuk memenangkan waktu. Budaya tinggi berpretensi mengabdi pada masa depan, sedangkan budaya populer lebih mementingkan masa kini. Musik klasik dan opera, contohnya, atau tari bedaya ketawang dan Anglir Mendhung, ber­tahan lama meski penikmatnya ter­ batas; sementara lagu-lagu pop hanya akan bertahan “sesaat” tetapi jumlah penikmatnya banyak. 165 Mursito BM. Budaya Populer ... Industri Budaya Industri budaya adalah konsep untuk menjelaskan produksi dan konstruksi budaya. Di tahun 1930-an, mazab Frankfurd mengawali kajian komunikasi kritis dan menggabungkan ekonomi politik media, analisis budaya atau teks, dan kajian atas resepsi audiens (audience reception) terhadap berbagai dampak sosial dan ideologis dari budaya dan komunikasi massa. Para pendukungnya menggunakan istilah industri budaya untuk menandai roses industrialisasi budaya yang diproduksi secara massal, berikut berbagai tuntuan komersial yang mengendalikan sistem tersebut. Para pakar teori kritis menganaisis semua artefak budaya media massa dalam konteks produski industrialis, di mana artefak-artefak industri budaya menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan berbagai produk produksi massal yang lain: pengkomoditasan (komodifikasi), penstandaran (standarisasi), dan pengadaan besar-besaran (masifikasi). Namun beragam produk industri budaya memiliki fungsi khusus, yakni menyediakan legitimiasi ideologis atas berbagai masyarakat kapitalis yang ada dan untuk menyatukan para individu dalam kerangka kerja budaya massa dan masyarakat (Kellner, 2010: 38) Industri budaya berkembang karena ke­jelian para industialis budaya me­ lihat adanya apa yang disebut sebagai “aktivitas waktu senggang.” Kellner me­ nyebut Horkheimer dan Odorno sebagai orang pertama yang secara sistematis menganalisis dan mengkritik budaya dan komunikasi media massa dalam teori sosial kritis. Khususnya mereka adalah orangorang pertama yang melihat pentingnya apa yang mereka sebut sebagai “industri budaya” dalam keberlangsungan berbagai masyarakat kontemporer, di mana hal yang disebut-sebut sebagai budaya dan 166 komunikasi massa terletak di pusat aktivitas waktu senggang, merupakan piranti penting atas sosialisasi, mediator realitas politis, dan dengan demikian, hendaknya dipandang sebagai lembagalembaga utama dalam masyarakat kontemporer dengan berbagai macam dampak ekonomi, politik, budaya maupun sosial (Ibid.: 38). Seperti dicatat Jameson dan lainnya, proses komodifikasi kapitalisme akhir menghancurkan otonomi estetika (Dunn, 1993: 41). Ketika budaya menjajah kehidupan sehari-hari, masyarakat ke­ seluruh­an mengalami estetisasi. Teknologi reproduksi membuat bentuk teknologi itu sendiri menjadi penentu pokok berbagai hubungan budaya dan makna. Dalam lingkungan ini oposisi modernis yang tradisional antara budaya ‘tinggi’ dan ‘rendah’ cenderung runtuh, digantikan oleh percampuran eklektis antara isi, gaya, dan sikap terkenal, yang sebelumnya terbatas pada wilayah lain. Budaya Populer adalah Budaya Masya­ rakat Pada pemahaman dan fenomena di atas, budaya populer didefinisikan sebagai komoditas. Budaya populer seakan-akan hanya sekadar aktivitas jual-beli komoditas – membeli CD/VCD musik pop, ngiras di KFC, mengenakan jeans. Budaya populer seakan-akan terpisah dari masyarakat, karena budaya populer diproduksi dan direproduksi oleh industri budaya – dan masyakat diperlakukan sebagai konsumen. Budaya populer tidak diciptakan, dibuat, dan diproduksi masyarakat, sehingga ia bukan budaya masyarakat. Pertanyaannya adalah apakah yang disebut budaya populer hanya budaya yang diproduksi oleh industri budaya? Apakah tidak ada budaya populer yang “diproduksi” oleh masyarakat? Apakah industri budaya Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Mursito BM. Budaya Populer ... bukan institusi yang merupakan bagian dari sistem sosial atau masyarakat? “Budaya populer dalam masyarakat industri berkontradiksi dengan sumber­ nya,” tulis Fiske (2011: 25). Di satu sisi, budaya tersebut diindustrialisasi, artinya, komoditas-komoditasnya dikons­ truksi, diproduksi, dan didistribusi­kan oleh industri yang motivasi utamanya adalah mencari keuntungan, atau untuk memenuhi kepentingan-kepentingan ekonomisnya sendiri. Di pihak lain, budaya tersebut adalah budaya masyarakat. Untuk dikategorikan ke dalam budaya populer, suatu komoditas juga harus membawa kepentingan-kepentingan masyarakat. Ditegaskan Fiske, budaya populer bukanlah konsumsi. Budaya populer merupakan budaya – proses aktif memunculkan dan menyirkulasikan pelbagai makna dan kepuasan dalam suatu sistem sosial: budaya, meskipun diindustrialisasi, tidak pernah dapat dideskripsikan secara memadai dalam kaitannya dengan jual-beli komoditas. Pernyataan berikut datang dari de Certau (1984) yang dikutip Fiske (2011: 28). “Budaya populer dibuat oleh masyarakat dalam keterkaitan diantara produk-produk industri budaya dan kehidupan seharihari. Budaya populer dibuat oleh orangorang, bukan diterapkan kepada mereka. Hal tersebut barasal dari dalam, dari bawah, bukan dari atas. Budaya populer adalah seni mengolah apa yang dihasilkan sistem.” Dengan demikian, budaya populer adalah budaya masyarakat, hasil interaksi antara elemen-elemen budaya yang dikomodifikasi dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Kita gunakan istilah interaksi – untuk menunjukkan bahwa budaya adalah aktivitas evolutif, proses saling menerima dan memberi dengan kebudayaan lain, dari waktu-ke waktu. Dengan begitu, budaya Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 populer dalam suatu masa berbeda dengan budaya populer pada masa yang lain – budaya populer pada sistem sosial agraris, misalnya, berbeda dengan budaya populer pada sistem sosial masyarakat industri, atau masyarakat informasi. Maka tidak ada kebudayaan asli – setiap kebudayaan merupakan hasil interaksi dan negosiasi dengan kebudayaan lain. Kebudayaan tak pernah final, merupakan cerita yang belum – dan tak pernah – selesai. Dengan menyepakati bahwa budaya populer adalah budaya masyarakat bisa menghilangkan kesan bahwa budaya populer sekadar masalah komoditas, masalah jual-beli elemen budaya. Budaya populer adalah budaya yang hidup dalam sistem sosial, yang memiliki unsur-unsur nilai-nilai, sistem pengetahuan, sistem makna, serta sistem perilaku. Yang dimaksud budaya populer sebagai sistem budaya adalah dalam konteks ini. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pen­ dekatan kualitatif. Karakter yang menyertai­nya adalah obyek penelitian dideskripsikan atau digambarkan dalam kerangka memperoleh pemahaman. Analisis dilakukan dengan interpretasi, maka disebut metode interpretasi. Yang dimaksud interpretasi di sini adalah memberi makna dengan cara melihat data dengan konsep. Dengan kata lain, interpretasi berarti melakukan organisasi, sistematisasi, dan strukturisasi data, kemudian diinterpretasikan dengan konsep atau perspektif teoritis tertentu. Yang diteliti adalah, pertama, artefakartefak budaya yang perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari intervensi industri budaya. Yang kedua adalah fenomena dan kegiatan ”budaya populer” di masyarakat, lebih khusus lagi sistem budaya dan sistem komunikasinya. 167 Mursito BM. Budaya Populer ... Hasil dan Pembahasan 1. Dari Seni Tradisi ke Seni Pop Fenomena berikutnya adalah kisah seorang pesinden yang berpindah profesi sebagai artis pop. Inilah kisahnya. Soimah, dahulu, adalah seorang pesinden wayang kulit. Ia belajar nyinden di ISI Yogyakarta, bergaul dengan beberapa lingkungan kreatif seniman Yogyakarta, seperti komunitas Kyai Kanjeng, Acappella Mataraman, sampai kelompok musik Kua Etnika dan Orkes Sinten Remen pimpinan Djaduk Ferianto. “Saya tak mau selalu ndeprok di wayang. Saya nyemplung di komunitas-komunitas biar dapat pengalaman di luar dunia pesinden”, katanya (Kompas, 22 Maret 2010). Tidak hanya bergaul dengan komunitas seniman. Beberapa bulan terakhir ini, ia lebih sering berada di Jakarta, mengisi program Segerr Benerr di AnTV. Di program ini, ia tidak lagi bertimpuh di belakang dalang, tetapi berdiri ”pencilakan” di depan kamera. Dandanannya juga tidak seperti sinden lagi. Ia datang ke studio ANTV dengan rambut disanggul, memakai celana panjang ketat, blus, dan sepatu berhak tinggi. Terakhir ia presenter untuk program Show Imah di Trans-TV. Tubuhnya wangi oleh parfum. Ia kini seorang artis pop. Soimah adalah contoh seorang seniman yang mencoba keluar dari sekatsekat komunitas kesenian tradisi (atau kesenian rakyat?), menerobos memasuki suatu hamparan yang lebih luas: industri hiburan. Begitu mamapaki dunia industri hiburan, kepesindennya tak berbekas. Di layar televisi, Soimah tidak membawakan Mijil atau Sinom, tetapi menyanyikan lagu berirama rock atau ndangdut. Eksotisme – itulah yang diambil industri hiburan dari (tubuh) Soimah. 168 Tentu kita bisa mempersoalkan ”status” wayang kulit sebagai kesenian rakyat. Kita tunda dulu jawabannya, dan bukan itu pokok soalnya. Soalnya adalah kesenian rakyat atau kesenian tradisi, kini, hidup dalam masyarakat yang didominasi budaya pop dan budaya massa. Dalam situasi demikian, apa yang bisa kita lakukan terhadap kesenian rakyat? Kesenian rakyat? Kethek Ogleng barangkali termasuk kategori kesenian ini. Juga kentrung, tayub, gandrung Banyuwangi, dan reog Ponorogo. Ada yang menyebut wayang kulit, wayang wong, dan kethoprak sebagai kesenian rakyat. Semua ”kesenian rakyat” ini lahir tidak pada pada jaman sekarang. Ia lahir jauh sebelum kita lahir, pada suatu sistem sosial yang lazim disebut agraristradisional, bahkan primitif. Kesenian rakyat ”diciptakan”, dihidupi, dan untuk memenuhi kebutuhan suatu komunitas, pada waktu itu, biasanya sebagai pendukung ritual tertentu. Upaya untuk “mengindustrikan” seni rakyat dan tradisi sesungguhnya sudah ber­langsung. Kethoprak, contohnya, “di­ modifikasi” menjadi Kethoprak Humor – seperti yang kita saksikan di televisi swasta, beberapa tahun lalu. Wayang Kulit juga melakukannya dengan mem­ per­panjang waktu untuk adegan “gorogoro” dan “limbukan”, yang berarti juga “menghumorkan” wayang kulit. Wayang kulit juga melakukan eksperimen dengan pakeliran padat. Mereka berusaha men­ dekatkan diri dengan penonton. Hal yang sama juga terjadi pada seni tari, dan seni rakyat yang lain. Dari sini kita mencatat, pertama, seni tradisi (”pertunjukan”) telah meluaskan lokus aktivitasnya, dari yang semula digelar di tempat-tempat tertentu dan menjadi bagian dari ritual pada sistem sosial tradisional, menjadi pertunjukan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Mursito BM. Budaya Populer ... yang lebih independen. Beberapa jenis tari keraton, contohnya, yang dulu bersifat sakral, kini bisa dipertunjukan di tempat independen. Wayang kulit juga demikian. Ini artinya, yang kedua, ada perubahan fungsi, dari fungsi ritualmagis pada masyarakat tradisional berubah menjadi fungsi tontonan pada masyarakat yang lebih egalier. Dengan begitu, tanggungjawab sang senimannya pun berubah, dari tanggungjawab kepada patron tradisional beralih kepada massa, publik, bahkan konsumen. Seperti apa seni itu tidak lagi bergatung pada penguasa tradisional, tetapi bergantung pada ”selera” konsumen. Konsumen lah yang menjadi ”raja”, bukan patron sebagai penguasa dalam sistem sosial tradisional. Ketiga, berubahnya seni tradisi menjadi tontonan sesungguhnya merupa­ kan respons terhadap berubahnya masya­ rakat: dari masyarakat feudal-borjuis ke masyarakat massa. Jadi benar jika dikatakan, kebudayaan merupakan situs bagi proses-proses negosiasi yang tak putus-putus yang dilakukan oleh pelaku kebudayaan sebagai respons terhadap kondisi kekinian. Maka, boleh dikatakan, industri kreatif yang berbasis budaya lahir dari responsnya terhadap adanya masyarakat massa ini. 2. Forum Komunikasi Keluarga: Sistem dan Struktur Sebuah keluarga umumnya terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Seperti dikatakan sebelumnya, semua anggota keluarga dewasa umumnya memiliki telepon seluler. Telepon seluler menjadi sangat fungsional ketika anggota-anggota keluarga memilki aktivitas yang terpisah, di luar rumah – ayah bekerja, ibu di rumah (atau bekerja), anak sekolah atau kuliah. Berkat HP anggota-anggota keluarga ini bisa berkomunikasi. Maka HP menjadi Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 sangat fungsional bagi keluarga modern, sebagai medium berkomunikasi ketika anggota-anggota keluarga terpisah secara fisik karena pelbagai aktivitas yang dilakukannya. Namun ini tidak berarti anggotaanggorta keluarga itu tidak pernah bertemu di rumah. Pada waktu-waktu tertentu mereka ada di rumah, pada waktu yang bersamaan. Dan mereka memiliki forum untuk berkomunikasi, forum yang memungkinkan anggota-anggota keluarga saling terikat dalam sistem keluarga. Kita sebut forum ini sebagai forum komunikasi keluarga. Umumnya forum komunikasi itu “terbentuk” di waktu malam, selepas masing-masing anggota keluarga pulang kerja, sekolah atau kuliah. Seperti apa forum komunikasi keluarga itu? Forum komunikasi keluarga terdiri dari “tempat komunikasi” dan “peristiwa komunikasi.” Artinya, komunikasi antar anggota kerluarga terjadi dan berproses pada suatu tempat “formal,” yang biasa digunakan untuk berkumpul. Misalnya ruang keluarga, ruang (meja) makan, kamar, dapur, ruang tamu, beranda depan. Tentu tidak semua keluarga memilki ruang-ruang tersebut. Sementara peristiwa komunikasi adalah ketika komunikasi itu terjadi: peristiwa makan (pagi, siang, malam), peristiwa nonton televisi, peristiwa bercanda, dan lain-lainnya. Dari sini kita melihat sesungguhnya antara tempat komunikasi dan peristiwa komunikasi tak dapat dipisahkan. Peristiwa komunikasi selalu terjadi pada tempat (dan waktu) tertentu. Peristiwa makan malam, contohnya, selalu terjadi di meja atau ruang makan, di waktu malam hari. Namun sering terjadi pengecualian – anak-anak boleh makan sambil nonton televisi di depan pesawat televisi. Tentu saja forum komunikasi 169 Mursito BM. Budaya Populer ... keluarga tidak bisa terlalu formal. Forum komunikasi kerapkali terbentuk tidak secara sengaja, tidak direncanakan, terbentuk di setiap waktu dan sembarang tempat. Obrolan di dapur, contohnya, atau ketika kakak membantu adiknya mengerjakan pekerjaan rumah (“PR”), adalah forum komunikasi yang “tidak direncanakan.” Dan yang paling sering adalah di depan pesawat televisi. Dengan kata lain, forum komunikasi keluarga bersifat luwes dan cair, tergantung situasi dan kondisi. Namun, kini, ada beberapa perubahan format forum komunikasi keluarga sehubungan dengan tersedianya medium komunikasi sebagai akibat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Forum komunikasi keluarga telah diiintervensi oleh “orang luar” melalui perangkat komunikasi, yakni televisi dan telepon seluler. Jika keluarga merupakan sebuah sistem, sistem sosial, maka sistem itu telah ditembus “orang luar” melalui perangkat-perangkat komunikasi seperti disebut di atas. Di rumah, keuarga bisa jagongan sambil nonton televisi, ber-SMS melalui ponsel dengan teman di luar rumah. 3. Sistem Komunikasi Keluarga: Sistem Terbuka Secara teoritis, sistem memiliki dua sifat: tertutup dan terbuka. Sistem tertutup, misalnya pada mesin mobil, tidak dapat diintervensi dari luar. Sistem tertutup sangat stabil, tak terpengaruh oleh situasi di luar dirinya. Namun dalam sistem sosial, hampir tidak ada sistem sosial yang sama sekali tertutup. Lebihlebih dengan semakin berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi seperti sekarang ini. Keluarga, contohnya, adalah sistem sosial terbuka, dan kini semakin terbuka. 170 Kita akan melihat fenomenanya. Keluarga Wijaya – yang terdiri dari seorang istri (Widyawati), dua anaknya (Tono dan Tina), dan Wjaya sendiri, tentunya – sedang makan malam. Makan malam adalah forum komunikasi keluarga dalam keluarga ini. Sambil makan, mereka saling bercerita tentang aktivitasnya hari ini, atau sedang merencanakan liburan sekolah. Intinya, mereka ngobrol, bukan membicarakan masalah yang terlalu serius. Namun masing-masing anggota keluarga memegang ponsel. Sambil makan (dan ngobrol), Widyawati membalas SMS dari teman arisannya; Tono ber-SMS dengan temannya, mendiskusikan pertandingan sepakbola liga Inggris; sementara Tina berSMS dengan teman sekolah, membahas tugas mata pelajaran Pancasila. Usai makan malam, mereka berpindah ke ruang keluarga. Di sini pesawat televisi ditempatkan. Ruang keluarga, dengan pesawat televisi di dalamnya, merupakan forum komunikasi keluarga yang dianggap favorit. Di dapan pesawat televisi, Tina menonton televisi sambil mengejakan tugas sekolah, sesekali merespon guyonan Tono, kakaknya. Sementara Tono berdiskusi dengan ayahnya tentang kemungkinan kuliiah sambil bekerja. Aktivitas-aktivitas ringan ini diselingi ber-SMS dengan “orang luar” – semua anggota keluarga. Dari fenomena di atas kita bisa mencatat beberapa hal. Pertama, keluarga adalah sistem sosial yang sangat terbuka. Institusi ini sebagai sistem sosial banyak mendapatkan intervensi dari luar justru karena anggota-anggotanya menyediakan perangkat komunikasi untuk itu. Dengan memiliki pesawat televisi, keluarga mendapatkan banyak dan beragam informasi dari media massa. Dengan memiliki ponsel, anggota-anggota keluarga berkomunikasi dengan anggota- Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Mursito BM. Budaya Populer ... anggota masyarakat lain di luar rumah, di luar sistem sosial keluarga. Kedua, dengan masing-masing anggota keluarga memegang ponsel pada aktivitas komunikasi dalam forum komunikasi keluarga, mengubah konsep ruang komunikasi. Dalam forum komunikasi keluarga “tradisional,” ruang yang digunakan berkomunikasi bersifat fisik. Ruang itu, misalnya, sebuah ruang di dalam rumah berukuran empat kali empat meter – ruang makan, ruang keluarga, kamar tidur, kamar tamu. Dengan ruang fisik ini, forum komunikasi keluarga berlangsung hanya di dalam ruang makan, misalnya. Anggotaanggota keluarga hanya bisa berkomunikasi antara mereka – ayah, ibu, anak. Namun dengan masing-masing anggota keluarga memegang ponsel, forum komunikasi keluarga mengalami perubahan. Jika dalam forum komunikasi keluarga “tradisional” komunikasi hanya terjadi dan berproses hanya diantara anggota-anggota keluarga di dalam ruang fisik, maka dengan memegang ponsel, “ruang” untuk forum komunikasi keluarga “diperluas.” Di samping berkomunikasi antara anggota keluarga, masing-masing anggota keluarga bisa berkomunikasi dengan orang luar. Maka forum komunikasi keluarga menjadi “luas,” meliputi seluruh ruang yang secera teoritis tak terbatas, “di seluruh dunia,” tergantung dari kapasitas dan luas jaringan teknologi komunikasi ponsel. Dalam konteks komunikasi, ruang tidak lagi difahami sebagai space, ruang fisik yang terbatas kapasitasnya dalam berkomunikasi. Ruang harus difahami sebagai sphere, ruang sebagai diskursus (discourse), yang karenanya ketika teknologi komunikasi ikut capurtangan, ruang menjadi tak dapat dibatasi hanya sebatas ruang fisik. Dalam hal forum komunikasi keluarga, peserta komunikasi Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 tidak hanya para anggota keluarga, tetapi juga teman-tema arisan ibu, teman kuliah anak, dan kolega ayah. Akibatnya, dialog antara ayah, ibu, dan anak, menjadi kurang intensif dan kurang efektif. Perhatian mereka terhadap topik pembicaraan menjadi berkurang, karena terintervensi “orang luar.” Mereka harus berbagi konsentrasi antara perhatian terhadap pembicaraan dengan anggota keluarga, dan perhatian terhadap pesan SMS dari “orang luar.” Pada forum komunikasi keluarga di depan televisi, hal ini sangat jelas terlihat. Anak-anak, di masa kini, bisa mengerjakan PR (pekerjaan rumah) sambil menonton televisi, ngemil, diselingi ngrumpi dengan kakaknya, namun nilai rapornya tidak buruk. Anak-anak melakukan dua hal secara bersamaan, dan ”berhasil.” Mereka mampu mencerap beberapa stimuli sekaligus – bisa mencerap bahan pelajaran, memahami cerita sinetron, dan menangkap anekdot sang kakak. Inilah ”generasi TV.” Kesimpulan Budaya populer adalah “budaya masyarakat” atau “budaya orang kebanyakan,” terlepas dari perbedaan pandangan mengenai definisi dan tekanan dalam fokus kajian budaya populer. Kita sepakat dengan “definisi” bahwa budaya populer adalah budaya masyarakat, dalam pengertian budaya yang sedang populer di masyarakat. Maka, meski budaya populer diproduksi oleh industri budaya tetapi budaya populer tetap merujuk pada masyarakat. Kebudayaan bersifat hibrida. Artinya, tidak ada kebudayaan yang tetap dan tegas dalam identitas budaya. Juga tidak ada yang murni dan monolitik. Budaya merupakan situs bagi proses-proses negosiasi yang tak putus-putus yang dilakukan oleh pelaku kebudayaan sebagai respons terhadap 171 Mursito BM. Budaya Populer ... kondisi kekinian. Dengan demikian sebutan “Jawa” atau “Barat” selalu bersifat kompleks dan majemuk karena konteks mereka yang juga kompleks dan majemuk. Dalam hal identitas budaya, harus disadari bahwa identitas budaya itu tidak bisa utuh, murni, monolitik, dan bulat. Identitas budaya yang terbentuk merupakan dialektika, hasil interaksi dan pertemuan dengan kebudayaan lain, dari waktu ke waktu, sehingga identitas budaya selalu mengalami inventifikasi terus-menerus. Kebudayaan tak pernah final, “jadi”, serta merupakan cerita yang belum dan tak pernah selesai, karena kebudayaan merupakan hasil respon terhadap kebutuhan zamannya. Terdapat perubahan dalam hubungan pelaku budaya. Dulu hubungan itu bersifat “struktural-hirarkhis” yang dikenal sebagai patron-client; Kini berubah menjadi bersifat “relasional-transaksional”, yang dikenal sebagai hubungan “produsenkonsumen”; hubungan vertikal digantikan hubungan horizontal. Hubungan dengan asas kebebasan dalam kebudayaan umumnya, dan dalam kesenian khususnya. Kebebasan merupakan prasyarat bagi daya cipta. Semakin luas kebebasan, semakin tinggi tingkat daya cipta dalam kebudayaan. Dengan perkataan lain, kebebasan adalah permintaan (demand) dari fihak kebudayaan, yang akan dipertukarkan dengan kreativitas yang ditawarkannya (supply). Adapun fihak yang diharapkan mensuplai kebebasan adalah bidang politik. Kebebasan budaya akan berisikan kebebasan wawasan, tingkahlaku yang tak terbebani, alam pikiran yang leluasa, dan kesanggupan menerobos horizon yang diciptakan oleh situasi masa kini. Perlunya mengubah pandangan yang terlalu estetis tentang kebudayaan menjadi pandangan yang lebih berimbang, di mana 172 baik unsur estetis maupun unsur progresif sama-sama mendapat tempat yang layak. Dalam praktik ini berarti apresiasi kebudayaan yang berimbang tidak akan terpusat hanya kepada apresisasi seni, tetapi juga kepada apresiasi intelektual, ilmiah, dan teknologi. Saran Penelitian ini terbatas pada menjelaskan fenomena-fenomena yang “dihasilkan” oleh televisi, yakni hiburan. Disarankan untuk melakukan penelitian yang lebih luas tentang konstruksi budaya populer sebagai produk sistem budaya. Budaya populer tidak hanya diproduksi oleh industri budaya, tetapi juga hidup dan dihidupi masyarakat. Pada penelitian ini, hanya diteliti fenomena ritual perkawinan adat Jawa – disebut pawiwahan agung – dan keraton Surakarta. Agar memperoleh penjelasan dan pemahaman budaya poluler di masyarakat – bukan semata-mata produk industri budaya – disarankan untuk dilakukan penelitian yang lebih luas, dengan fenomena yang lebih bervariasi. Daftar Pustaka Bulletin Komunikasi (C.T.C No. 20 – Januari 1991). Cassirer, Ernst. (1987). Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esai Tentang Manusia. terjemahan Alois A. Nugroho. (Jakarta: Gramedia). DeFleur/Dennis. (1988). Understanding Mass Communication (Boston: Houghton Mifflin,). Fiske, John. (2009). Telvision Culture. (London: Routledge). Fiske, John. (2011). Memahami Budaya Populer. (Yogyakarta: Jalasutra). Ibrahim, Idi Subandy. (2011). Budaya Populer Sebagai Komunikasi. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Mursito BM. Budaya Populer ... (Yogyakarta: Jalasutra). Kleden, Ignas. (1987). Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. (Jakarta: LP3ES). Rahmat, Jalalludin. (1985). Psikologi Komunikasi. (Bandung: Remaja Karya). Kellner, Douglas. (2010). Budaya Media. London: Routledge. Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Aksara Baru. Kayam, Umar. Budaya Massa Indonesia. (Majalah Prisma, No. 11 Th. 1981) Masyarakat Modern. (Jakarta: Prenada Media). Strinati, Dominic (1995). An Introduction to Theories of Popular Culture. Yogyakarta: Kanisius. Strinati, D. (2007). Popular Culture; Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. (Yogyakarta: Jejak). Sugiharto, Bambang. Kebudayaan, Filsafat, dan Seni (Redefinisi dan Reposisi) (Kompas, Rabu, 03 Desember 2003) Widodo, Amrih. Budaya Lokal dalam Wacana Global. (Kompas, 13 Januari 2008). Kompas, 21 September 2012. Kuntowijoyo. (1987). Budaya dan Masyarakat. (Yogyakarta : PT Tiara Wacana) Mursito BM. Studi Kelayakan Program Infotainmen Televisi. Laporan penelitian. (Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS, 2009). ------------ Kesenian Rakyat Dalam Pusaran Kebudayaan Massa. Diselenggarakan oleh Pemkot Surakarta (Solo, 27 Maret 2010). ------------ Bahasa Media. (2011). Laporan penelitian (Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret) ------------ (2012). Realitas Media. (Solo: Smartmedia). Pawito. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: LKiS. Peursen, C.A. van. (1990). Fakta, Nilai, Peristiwa, (Jakarta: Gramedia). Postman, Neil. (1995). Menghibur Diri Sampai Mati. terjemahan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan). Peter L, Berger dan Hansfried Kellner. (1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan. (Jakarta: LP3ES) Rivers L, William, Jay W. Jensen, dan Theodore Peterson. (2003). Media dan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 173 Mursito BM. Budaya Populer ... 174 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 175-188 Media Massa dan Intoleransi Beragama (Studi Kasus tentang Wacana Intoleransi Beragama pada Surat Kabar Lokal di Kota Surakarta Tahun 2012) Sri Herwindya Baskara Wijaya Mursito BM Mahfud Anshori Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Since the first of Indonesia is known as a nation that is friendly to the differences belong to the realm of religion. But this time the character of religious tolerance marred by violence in the name of various religions. This study tried to uncover the deeper religious intolerance in the media discourse local newspapers in Surakarta in 2012. In this study the researchers chose two major newspapers in Surakarta namely Daily and Daily Solopos Joglosemar as the study sample . The data analysis technique used in this study refers to the technique of discourse analysis by Teun Van Dijk. In general Solopos Daily news about issues of religious intolerance in Indonesia in 2012 is still relatively minimal. This is evident from the news that appears most prominent of Solopos just reporting on Shiite conflict in Sampang, Madura. While the news of a number of related issues are as much as 6 news. For news of Joglosemar three main issues, namely the Sunni - Shiite conflict in Sampang, Madura, about Jemaah Ahmadiyah issue and the issue about the Yasmin Church. Shia - Sunni issues in Sampang, Madura seven news, as many as two- Ahmadiyya news and issues Yasmin Church and the Church of Philadelphia as one word. Based on research conducted analysis, thematic, schematic, semantic, syntactic, stylistic and rhetorical and Joglosemar Solopos news about Shiite conflict in Sampang, Madura tend impressed positively accentuate the figure of the Shia community, the Ahmadiyya, Yasmin church congregation and the Church of Philadelphia as the party impressed “ persecuted “ , while the ones who oppose the Shia community, the Ahmadiyya, Yasmin church congregation and the Church of Philadelphia impressed as those who “ persecute “ . While the government was perceived as the party tends unprofessional, inattentive, slow resulting in conflicts Key words: religious intolerance, local newspapers, media discourse Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 175 Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ... Pendahuluan dan keberagaman.1 Salah satu karakter mendasar bangsa Indonesia sejak dahulu adalah toleran atas perbedaan. Salah satu bentuk toleransi yang tinggi adalah toleransi di bidang agama. Sejak zaman kerajaan-kerajaan, bangsa Indonesia sudah memiliki toleransi yang tinggi atas beragam keyakinan. Berdirinya candi-candi bercorak Hindu dan Budha yang bersandingan menunjukkan adanya toleransi yang tinggi dari bangsa Indonesia. Adanya berbagai agama serta aneka keyakinan hingga sekarang ini menunjukkan adanya praksis toleransi beragama sampai tingkat tertentu pada bangsa ini. Namun saat ini wajah ramah toleransi beragama di Indonesia diwarnai kasus-kasus intoleransi beragama. Sejumlah kasus kekerasan atas nama agama menyeruak di permukaan sehingga menjadi keprihatinan bersama. Padahal, seperti yang dikatakan Azyumardi Azra bahwa prinsip Indonesia sebagai negara “bhinneka tunggal ika” mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah multikultural tetapi tetap terintegrasi dalam keikaan, kesatuan.2 Banyak pihak menyesalkan kejadiankejadian intoleransi beragama sehingga diserukan agar digencarkan pendidikan karakter bangsa. Hal ini mengingat toleransi beragama sebenarnya adalah bagian dari karakter bangsa Indonesia sehingga patut disayangkan terjadinya Saat ini, pendidikan karakter menjadi salah satu program pemerintah yang saat ini digencarkan. Meskipun bisa dikatakan terlambat, Pemerintah Indonesia kembali mulai menerapkan pendidikan berbasis karakter dengan menyelipkan ke dalam kurikulum pendidikan yang baru sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam UU No 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 2 disebutkan: “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”3 Hal ini setidaknya terlihat dari survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan Yayasan Denny JA tahun 2012. Sebanyak 31% masyarakat Indonesia saat ini sudah tidak toleran terhadap keberagaman agama di Indonesia. Survei dilakukan selama tujuh hari dengan melibatkan 1.200 responden. Hasilnya, 15%-80% publik Indonesia tidak bisa menerima bertetangga dengan orang lain yang berbeda identitas. Kesimpulan lain yang didapat dari penelitian tersebut adalah, semakin rendah pendidikan maka semakin rendah toleransi terhadap perbedaan. Begitu pula dengan fakta semakin rendahnya pendapatan, akan berpengaruh pada rendahnya intoleransi. Intoleransi meningkat karena berbagai hal, seperti aksi kekerasan berdasar agama semakin marak serta publik yang tak puas pada kinerja presiden, politisi dan polisi yang seharusnya melindungi kebebasan 176 Penelitian ini mencoba menelaah lebih dalam soal karakter bangsa terkait wacana toleransi beragama pada media massa lokal di Kota Surakarta. Dipilihnya Kota 1 ( h t t p : / / w w w . m e t r o t v n e w s . c o m / r e a d / newsvideo/2012/10/21/162279/LSI-ToleransiBeragama-di-Indonesia-Menurun), diakses 25 Desember 2012. 2 Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia, (Yogyakarta: 2007), Hal. 17. 3 Pendidikan karakter sebuah wacana, diakses lewat situs http://lenterakecil.com/pendidikanberkarakter-sebuah-wacana/, 6 Januari 2012 pukul 20.00 WIB; Sri Herwindya Baskara Wijaya, Pendidikan Karakter Bangsa dalam Novel: (Studi tentang Pesan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Bangsa Menggunakan Pendekatan Semiologi Komunikasi dalam Novel Nonfiksi “Habibie & Ainun” Karya BJ Habibie dan Belahan Jiwa Karya Rosihan Anwar (Surakarta, 2012). Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ... Surakarta atau Kota Solo sebagai lokasi rencana riset ini mengingat Solo dikenal sebagai salah satu baromater sosial, politik dan budaya nasional. Solo juga dikenal sebagai benteng kokoh bagi kaum nasionalis yang dikenal pendukung utama atas ideologi Pancasila. Sementara untuk media massa lokal yang dipilih adalah Koran Harian Umum Solopos, Koran Harian Umum Joglosemar. Dipilihnya dua koran ini dikarenakan sebagai satusatunya koran yang lahir dan menjadi koran utama di Kota Surakarta. Penelitian ini berlangsung selama periode penerbitan surat kabar terkait tahun 2012. Perumusan Masalah Berdasarkan tinjauan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana bentuk wacana intoleransi beragama yang muncul di surat kabar lokal di Kota Surakarta tahun 2012 ?” Tinjauan Pustaka 1. Karakter Bangsa Pencanangan perlunya membangun karakter atau watak bangsa sebagai bangsa Indonesia baru sesungguhnya telah direalisasikan. Karakter bangsa yang sudah terbentuk ratusan tahun sebagai pengabdi kepada penjajah atau bangsa terjajah, pengabdi kepada rajaraja kecil yang terkotak-kotak, pengabdi kepada kegelapan, tahayul, pengabdi kepada feodalisme, dan lain-lain, yang semua itu tidak cocok lagi dengan arah perwujudan bangsa atau warga negara Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bertaqwa, beradab, bersatu, bermusyawarah, adil dan makmur.4 4 Karakter bangsa, diakses lewat situs http:// karakterbangsa.net/Our-Services/CakesCookies/Membangun-Karakter-Bangsa.html, Sabtu, 7 April 2012 pukul 20.00 WIB. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Pembangunan karakter bangsa sendiri dimaknai sebagai upaya kolektifsistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang dan negaranya sesuai dengan dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban. Semuanya itu untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ipteks yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Pembangunan karakter bangsa itu dilakukan secara koheren melalui proses sosialisasi, pendidikan dan pembelajaran, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerja sama seluruh komponen bangsa dan negara.5 Menurut Suyanto, terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.6 2. Toleransi Beragama Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat 5 Karakter Bangsa, diakses lewat situs http:// karakterbangsa.net/Latest/pengertian.html, Sabtu, 7 April 2012 pukul 20.30 WIB.; Ibid. 6 Ibid. 177 Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ... atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut “tasamuh” yang artinya sikap membiarkan, lapang dada (samuha-yasmuhu-samhan, wasimaahan, wasamaahatan) artinya: murah hati, suka berderma.7 Agama adalah elemen fundamental hidup dan kehidupan manusia, oleh sebab itu, kebebasan untuk beragama [dan tidak beragama, serta berpindah agama] harus dihargai dan dijamin. Ungkapan kebebasan beragama memberikan arti luas yang meliputi membangun rumah ibadah dan berkumpul, menyembah; membentuk institusi sosial; publikasi; dan kontak dengan individu dan institusi dalam masalah agama pada tingkat nasional atau internasional.8 Kebebasan beragama, menjadikan seseorang mampu meniadakan diskri­ minasi berdasarkan agama; pelanggaran terhadap hak untuk beragama; paksaan yang akan mengganggu kebebasan seseorang untuk mempunyai agama atau kepercayaan. Termasuk dalam pergaulan sosial setiap hari, yang menunjukkan saling pengertian, toleransi, persahabatan dengan semua orang, perdamaian dan persaudaraan universal, menghargai kebebasan, kepercayaan dan kepercayaan dari yang lain dan kesadaran penuh bahwa agama diberikan untuk melayani para pengikut-pengikutnya. Jadi, toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai dengan sabar, menghormati keyakinan 7 (http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/07/ toleransi-antar-umat-beragama-usahameredam-konflik-499776.html)., diakses 25 Desember 2012. 8 Ibid. 178 atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain.9 3. Surat Kabar Koran (dari bahasa Belanda: Krant, dari bahasa Perancis courant) atau surat kabar adalah suatu penerbitan yang ringan dan mudah dibuang, biasanya dicetak pada kertas berbiaya rendah yang disebut kertas koran, yang berisi berita-berita terkini dalam berbagai topik. Topiknya bisa berupa even politik, kriminalitas, olahraga, tajuk rencana, cuaca. Surat kabar juga biasa berisi karikatur yang biasanya dijadikan bahan sindiran lewat gambar berkenaan dengan masalah-masalah tertentu, komik, TTS dan hiburan lainnya.10 Ada juga surat kabar yang dikembang­ kan untuk bidang-bidang tertentu, misal­nya berita untuk politik, property, industri tertentu, penggemar olahraga tertentu, penggemar seni atau partisipan kegiatan tertentu. Jenis surat kabar umum biasanya diterbitkan setiap hari, kecuali pada hari-hari libur. Surat kabar sore juga umum di beberapa negara. Selain itu, juga terdapat surat kabar mingguan yang biasanya lebih kecil dan kurang prestisius dibandingkan dengan surat kabar harian dan isinya biasanya lebih bersifat hiburan. Kebanyakan negara mempunyai setidaknya satu surat kabar nasional yang terbit di seluruh bagian negara. Di Indonesia contohnya adalah KOMPAS.11 Dilihat dari bentuk fisiknya surat kabar me­rupakan media analog (media cetak). Pada bentuk standar Koran memiliki ukuran 8 dan 9 kolom ke samping. Sedangkan pada bentuk baru, memiliki ukuran 6 dan 7 kolom. Surat kabar merupakan teknologi dan media 9 Ibid. 10 http://id.wikipedia.org/wiki/Koran, diakses 25 Desember 2012. 11 Ibid. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ... yang sangat aktual. Surat kabar juga menyajikan berita dan informasi yang singkat, padat dan jelas. Surat kabar hanya dapat dinikmati secara visual, yaitu menggunakan satu indera, penglihatan. Ini menjadikan surat kabar sebagai hot media dan tidak multitafsir. Surat kabar pun merupakan media yang praktis dan portabel.12 Analisis Wacana: Sebuah Metode Ana­li­ sis Teks Norman Fairclough mendefinisikan wacana adalah pemakaian bahasa tampak sebagai sebuah bentuk praktik sosial, dan analisis wacana adalah analisis mengenai bagaimana teks bekerja/berfungsi dalam praktik sosial budaya.13 Menurut Alex Sobur, pengertian wacana sebagai rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkap­ kan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsure segmental maupun nonsegmental bahasa.14 Sedangkan analisis wacana dirumuskan sebagai studi tentang struktur pesan dalam komunikasi.15 Menurut Syamsuddin, dari segi analisisnya, ciri dan sifat analisis wacana adalah Pertama, analisis wacana membahas kaidah memakai bahasa di dalam masyarakat. Kedua, analisis wacana merupakan usaha memahami 12 http://lutviah.net/2011/01/14/media-massasurat-kabar/, diakses 25 Desember 2012. 13 Sumarlan (ed), Teori dan Praktik: Analisis Wacana, Pustaka Cakra, Surakarta, 2003, hlm 12, dalam Nugrahati Dwi Sulistyowati, Netralitas Media dalam Kampanye Pilkada (Studi Analisis Wacana Pemberitaan Kampanye Pilkada Langsung Kabupaten Purworejo di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Suara Merdeka Periode 1 Agustus – 1 September 2005) 14 Alex Sobur. Analisis Teks Media, Remaja Rosdakarya, Bandung 204 hlm 11, dalam Ibid. 15 Ibid, hlm 48, dalam Ibid. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 makna tuturan dalam konteks, teks, dan situasi. Ketiga, analisis wacana merupakan pemahaman rangkaian tuturan melalui interpretasi semantik. Keempat, analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam tindak berbahasa. Kelima, analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa secara fungsional.16 Diantara jenis pendekatan analisis wacana adalah pendekatan kognisi sosial yang dikembangkan oleh pengajar di Universitas Amsterdam, Belanda, Teun A Van Dijk. Di samping model Van Dijk mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga mudah diaplikasikan17, pemilihan dengan menggunakan model analisis Teun A Van Dijk, dari sekian model analisis wacana, dengan pertimbangan bahwa model Van Dijk paling relevan untuk diterapkan dalam tujuan penelitian yang dilakukan penulis. Menurut Van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagian kecil dari struktur besar masyarakat.18 Ia melihat bagaimana struktur sosial dominasi, dan kelompok kekuasan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi bangunan: teks, kognisi sosiai dan konteks sosial (gambar2).19 16 17 18 19 Ibid, hlm 49, dalam Ibid. Alex Sobur. Op.Cit. hlm 73, dalam Ibid. Ibid hlm 222, dalam Ibid. Ibid, hlm 224, dalam Ibid. 179 Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ... Metodologi Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, artinya data yang digunakan merupakan data kualitatif (data yang tidak terdiri atas angka-angka). Data utama dari penelitian ini adalah koran Harian Umum Solopos dan Harian Umum Joglosemar terkait dengan isu-isu intoleransi beragama di Indonesia tahun 2012. Penelitian ini merupakan penelitian analisis wacana dengan pendekatan kognisi sosial (socio cognitive approach) yang dikembangkan oleh Teun A Van Dijk. Penelitian dengan pendekatan ini banyak digunakan Van Dijk mengelaborasi beberapa elemen wacana sehingga bisa diaplikasikan secara praktis.20 Selain itu data lain diambilkan dari berbagai literatur yang terkait dengan pokok persoalan yang diteliti yakni mengenai intoleransi beragama, media massa cetak dan analisis wacana. Sajian Data dan Pembahasan 1. Berita Harian Umum Solopos Berita dari Solopos sejumlah satu isu utama yaitu tentang isu konflik Syiah-Sunni di Sampang, Madura. Sementara jumlah beritanya dari isu terkait adalah sebanyak 6 berita yaitu “Otak Kerusuhan Sampang Dibekuk” (Solopos, 29/8/12), “Komnas HAM Telusuri Kabar Hilangnya 70 Penganut Syiah” (Solopos, 2/9/12), “Sampang Rusuh, 2 Orang Terbunuh” (Solopos, 27/8/12), “Warga Syiah di Solo Membaur” (Solopos, 27/8/12), “Warga Syiah di Solo Mengenaskan” (Solopos, 28/8/12), “Sebagian Warga Syiah Pilih Bertahan di Hutan” (Solopos, 30/8/12). Secara tematik, beberapa hal terkait konflik Syiah di Sampang, Madura dalam pemberitaan di Harian Umum Solopos 20 Ibid, hal 73, dalam Ibid, hal 69. 180 adalah: penyebab kerusuhan, kronologi kerusuhan, dalang kerusuhan, dampak kerusuhan, respons atas kerusuhan dan sisi lain harmonisasi Syiah-Sunni. Dari aspek tematik, Solopos dinilai sudah relatif lengkap dalam memberitakan konflik Syiah di Sampang dari sejumlah sudut pandang atau angle yang diangkat. Setidaknya dari aspek “what” sejumlah angle pemberitaan Solopos terkait sudah menjawab pertanyaan publik. Meski demikian, nampak dari pemberitaan Solopos adanya kesan tidak netral dimana dari pengelolaan kesan, Solopos banyak mengungkap aspek cenderung positif pada komunitas Syiah dan sejumlah elemen nonpemerintah, sementara pemberitaan untuk pemerintah terkesan kurang positif, cenderung mengkritik. Secara skematik, Solopos terkesan menonjolkan secara positif sosok komunitas Syiah sebagai pihak yang terkesan terzalimi dan narasumber nonpemerintah dibanding dengan sosok komunitas Sunni maupun pemerintah. Dari semua pemberitaan Solopos, tidak terdapat informasi dari sudut pandang komunitas Sunni padahal seharusnya dilakukan cover both sides atas fakta-fakta bersifat konflik dari pihak-pihak yang berkonflik. Pun dengan pemberitaan dari sudut pandang pemerintah juga terkesan negatif sebagai pihak yang tersalahkan meskipun dalam beberapa laporan beritanya pemerintah dikesankan Solopos sebagai pihak yang cepat merespons atas konflik di Sampang itu. Secara sintaksis, semua aspek dari elemen sintaksis ada dalam pemberitaan Solopos terkait isu konflik Syiah yaitu koherensi, generalisasi-spesifikasi, bentuk kalimat, dan abstraksi. Ada kesan penonjolan bersifat menguntungkan pada komunitas Syiah pada pemberitaannya dibanding komunitas Sunni. Warga Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ... Syiah dilabeli dengan abtraksi jumlah sedikit namun dalam posisi “di bawah” memberikan kesan warga Syiah sebagai komunitas yang tertindas. Sementara warga Sunni dilabeli dengan abtraksi jumlah banyak namun dalam posisi memberikan kesan sebagai pihak yang mendzalimi. Sementara pemberitaan pemerintah cenderung netral terkait dengan abstraksinya. Secara semantik, pemberitaan Solopos memberikan kesan cenderung menguntungkan pada warga Syiah dengan kesan “serba positif”, “terdzalimi”, cinta damai, dan peduli. Sementara warga Sunni dikesankan dengan kesan cenderung kurang menguntungkan seperti dalang kerusuhan, pembuat onar, melawan hukum, intoleransi. Sementara pemberitaan mengenai pemerintah cenderung memberikan kesan berimbang. Secara positif cenderung dikesankan pemerintah sebagai pihak yang responsif dan bertanggung jawab. Secara negatif pemerintah cenderung dikesankan sebagai pihak yang tidak profesional, lalai, sehingga terjadi konflik tersebut. Secara stilistik, konflik di Sampang dikesankan sebagai konflik besar, mengerikan, brutal, penuh kerusuhan. Warga Syiah dikesankan cenderung menguntungkan sebagai pihak yang cinta damai namun terzalimi dan kondisinya memprihatinkan dengan menggunakan penghalusan kata maupun berlebihan dalam pemberitaannya, sementara warga Syiah sebaliknya dikesankan cenderung kurang menguntungkan sebagai provokator, dalang kerusuhan, emosional, sadis. Pemberitaan dari angle pemerintah juga lebih banyak terkesan kurang menguntungkan dengan menggunakan kata-kata berlebihan (puffery). Pemerintah dikesankan sebagai pihak yang tidak profesional, lalai. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Secara retoris, repetisi dan metafora memberikan kesan penonjolan positif pada warga Syiah sebagai pihak yang toleran, memprihatinkan kondisinya, tidak bersalah, korban kekerasan. Sementara pemberitaan tentang warga Sunni cenderung dikesankan sebagai provokator, dalang kerusuhan. Pemberitaan tentang pemerintah cenderung dikesankan sebagai pihak yang kurang profesional bekerja, berharap penegakan hukum yang tegas dan adil. Secara umum pemberitaan Harian Solopos tentang isu-isu intoleransi beragama di Indonesia tahun 2012 tergolong masih minim. Ini terlihat dari berita yang muncul paling menonjol dari Solopos hanyalah pemberitaan soal konflik Syiah di Sampang, Madura. Secara langsung terkait dengan konteks konflik komunal tersebut, jumlah beritanya pun hanya enam berita. 2. Berita di Harian Joglosemar Untuk berita dari Joglosemar terdapat tiga isu utama terkait isu intoleransi beragama di Indonesia tahun 2012 yaitu isu konflik Syiah-Sunni di Sampang, Madura, isu soal Jemaah Ahmadiyah serta isu soal Gereja Yasmin dan Gereja Philadelphia. Isu Syiah-Sunni di Sampang, Madura adalah sebanyak tujuh berita, isu Ahmadiyah adalah sebanyak dua berita dan isu Gereja Yasmin dan Gereja Philadelphia adalah sebanyak satu berita. a. Berita tentang Konflik Sampang, Madura Syiah di Berita dari Harian Joglosemar terkait isu konflik Syiah-Sunni di Sampang, Madura pada tahun 2012 adalah sebanyak enam berita yaitu “Menag: Tidak Ada Pembiaran di Sampang” (29/8/12), “Sampang Rusuh, 2 Tewas. Kapolsek dan 3 Warga Terluka” (27/8/12), “Pembunuh Kasus Sam­ 181 Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ... pang Ditangkap di Lumajang” (22/9/12), “Syiah Solo: Fatwa Ulama Biang Tragedi Sampang” (30/8/12), “Pemerintah Gagal Lindungi Rakyat” (28/8/12), “Kiai Pemicu Rusuh Sampang” (27/8/12). Secara tematik dalam pemberitaan konflik Syiah di Sampang yang memuat penyebab kerusuhan, kronologi kerusuhan, dalang kerusuhan, dampak kerusuhan dan respons atas kerusuhan, akibat kerusuhan, dan harmonisasi antara Syiah dengan Sunni. Secara skematik, ditemukan bahwa dalam pisau analisis skematik lead serta story yang ada bahwa Joglosemar dalam menulis leadnya lebih menggunakan aspek what, yaitu mengenai apa yang menjadi isi berita, selain what, Joglosemar juga menulis tentang aspek Who yang mana adalah siapa yang menjadi isi dalam berita tersebut. Secara semantik, strategi wacana yang digunakan dalam analisis wacana ini adalah menggunakan strategi analisis latar, detail, maksud, pengandaian, dan penalaran.Dalam analisis sintaksis, berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat dalam berita Joglosemar menulis tentang beberapa kelompok yang dikategorikan diantaranya adalah: koherensi yang terdiri dari koherensi sebab akibat, koherensi pengingkar, bentuk kalimat yang ditampilkan diantara adalah menggunakan kalimat aktif dan kalimat pasif sehingga subjek dan objek dalam wacana berita harian Joglosemar dapat jelas dipahami oleh pembaca. Secara stilistik yaitu cara yang digunakan seorang penulis untuk me­ nyata­kan maksudnya dengan meng­ gunakan bahasa sebagai sarana, analisis harian Joglosemar menggunakan gaya bahasa puffery, yang artinya menggunakan kata kasar dalam menggambarkan 182 sesuatu, selain itu Joglosemar tidak begitu banyak menggunakan majas-majas yang dilakukan. Penggunaan kalimat yang dilakukan oleh Joglosemar juga disampaikan langsung, padat, dan runtut. Sehingga memudahkan pembaca dalam hal penyampaian informasi. Secara stilistik untuk elemen eufemis­ me dan secara retoris untuk elemen repetisi maupun elemen metafora, pada pemberitaan di Harian Umum Joglosemar tahun 2012 terkait kasus konflik komunal ber­nuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) di Kabupaten Sampang, Madura, tidak ditemukan unsur-unsur retoris dari sejumlah berita yang muncul di surat kabar terkait. Mengenai alasannya, hal ini terkait dengan kebijakan internal redaksi mengenai teknis pemberitaannya termasuk mengenai ada atau tidaknya elemen-elemen dalam teksteks pemberitaan. Secara umum pemberitaan Harian Joglosemar tentang isu-isu intoleransi beragama di Indonesia tahun 2012 ter­ golong masih minim. Ini terlihat dari berita yang muncul soal konflik Syiah di Sampang secara langsung terkait dengan konteks konflik komunal tersebut, jumlah beritanya pun tidak banyak hanya sebanyak enam berita. b. Berita tentang Ahmadiyah Berita dari Harian Joglosemar terkait isu Ahmadiyah pada tahun 2012 adalah sebanyak dua berita yaitu “Ormas Islam Jogja Demo. Tuntut Pengajian Ahmadiyah Tahunan Dibubarkan” (14/1/12) dan “MUI Ingin Awasi Ketat Ahmadiyah” (16/1/12). Secara tematik, terkait apa yang dikatakan dan diamanatkan oleh media pemberitaan Joglosemar tidak semuanya memperlihatkan netralitas media. Hal ini ditemukan dari ketidakseimbangan ruang yang diberikan terhadap narasumber Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ... yang terkait dengan isu-isu tersebut. Dalam berita tersebut, yang menjadi angle utama adalah tuntutan-tuntutan yang muncul untuk membubarkan pengajian Ahmadiyah. Dengan demikian, jika dilihat dari struktur makro dari suatu teks telah memperlihatkan adanya ketidaknetralan media, maka dengan meneruskan analisis pada level superstruktur dan struktur mikro teks akan semakin memperlihatkan adanya ketidaknetralan media. Secara skematik, yakni terkait dengan susunan dan rangkaian teks, pem­ beritaan Joglosemar memperlihatkan ada­ nya ketidaknetalan dalam menyajikan informasi. Hal ini dapat diamati dari dijadikannya Ahmadiyah sebagai objek pemberitaan dalam beberapa berita. selain itu, konfimasi yang dilakukan kepada narasumber dari pihak Ahmadiyah juga dirasa kurang memiliki ruang yang cukup, dalam hal ini ada ketidakseimbangan ruang (space) bicara dari pihak-pihak yang terkait pemberitaan. Dalam berita berjudul “Ormas Islam Jogja Demo, Tuntut Pengajian Tahunan Ahmadiyah Dibubarkan”, Joglosemar tidak melibatkan narasumber yang berasal dari pihak Ahmadiyah. Hal ini me­nandakan adanya ketidakseimbangan dalam pemberitaannya. Secara semantik, dimana dengan meng­­gunakan elemen ini tidak hanya akan mendefinisikan bagian mana yang penting dari struktur berita, tetapi juga mengiring ke arah sisi tertentu dari suatu peristiwa. Secara umum, pemberitaan yang dilakukan cenderung mengarah kepada salah satu sisi pemberitaan saja. Dalam hal ini, Ahmadiyah diibaratkan sebagai objek yang “berpenyakit”, “membahayakan”, de­ngan pemberitaan dari sudut utama pihak yang menentang Ahmadiyah. Se­ hingga pemberitaan Joglosemar menjadi pem­­beritaan yang tidak sepenuhnya netral. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Secara sintaksis, dengan melihat koherensi penjelas dapat dilihat sebagai bentuk penggambaran aktivitas atau kronologi yang berkaitan dengan aksi unjuk rasa untuk menuntut pembubaran pengajian Ahmadiyah. Deskripsi me­ ngenai kronologi tersebut melibatkan unsur apa, dimana, dan kapan. Dari analisis teks berita dengan menggunakan elemen sintaksis, Joglosemar lebih banyak menceritakan tentang kecenderungan bahwa Joglosemar menggunakan sudut pemberitaan atas salah satu pihak. Secara stilistik dalam melihat netrali­ tas media Joglosemar, dari piranti eufe­ mis­me yang muncul pihak yang me­ nen­tang kegiatan Ahmadiyah cen­de­ rung diapresiasi secara positif dengan menggunakan gaya bahasa yang berbeda. Sementara secara retoris, untuk pemberitaan di Harian Umum Joglosemar tahun 2012 terkait isu Ahmadiyah, penulis tidak menemukan elemen terkait baik elemen repetisi maupun elemen metafora dari sejumlah berita yang muncul di surat kabar terkait. Mengenai alasannya, hal ini terkait dengan kebijakan internal redaksi mengenai teknis pemberitaannya termasuk mengenai ada atau tidaknya elemen repetisi dalam teks-teks pemberitaan. Secara umum pemberitaan Harian Joglosemar tentang isu-isu intoleransi beragama di Indonesia soal isu Ahmadiyah tahun 2012 tergolong masih minim. Ini terlihat dari berita yang muncul soal isu Ahmadiyah secara langsung jumlah berita­nya masih terbatas yakni sebanyak dua berita. c. Berita tentang Gereja Yasmin dan Gereja Philadelphia Berita dari Harian Joglosemar terkait isu Gereja Yasmin dan Gereja Philadelphia adalah sebanyak satu berita yaitu berjudul “Soal Gereja, SBY Diminta Tegas” (30/8/12). 183 Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ... Secara tematik, terkait apa yang dikatakan dan diamanatkan oleh media pemberitaan Joglosemar tidak semuanya memperlihatkan netralitas media. Hal ini ditemukan dari ketidakseimbangan ruang yang diberikan terhadap narasumber yang terkait dengan isu-isu tersebut. Narasumber yang mewakili pihak-pihak tertentu memiliki ruang yang tak seimbang. Narasumber utama yang menjadi sumber utama isu pemberitaan berasal dari pihak pendeta. Minimnya narasumber dari pihak lain menyebabkan informasi yang disajikan cenderung tidak seimbang dan memunculkan angle yang berat sebelah tanpa adanya konfirmasi dari pihak lain. Secara skematik, yakni terkait dengan susunan dan rangkaian teks, pemberitaan Joglosemar memperlihatkan adanya ketidaknetalan dalam menyajikan informasi. Informasi yang disajikan mengangkat pemberitaan tentang apa yang terjadi. Penambahan data-data yang dilakukan lebih untuk menguatkan gagasan sebelumnya. Misalnya, informasi yang menyatakan bahwa Perdana Menteri Jerman, Angela Marker sempat membahas topik Gereja Yasmin dan Gereja Philadelphia. Joglosemar ingin menunjukkan bahwa peristiwa penyegelan gereja tersebut menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Hal ini adapat diukur dari aksi-aksi protes yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Setidaknya, Joglosemar ingin memberitahukan peristiwa apa yang sedang terjadi dan berusaha menyampaikan indormasi yang seimbang. Secara semantik, dimana dengan menggunakan elemen ini tidak hanya akan mendefinisikan bagian mana yang penting dari struktur berita, tetapi juga mengiring ke arah sisi tertentu dari suatu peristiwa. Latar yang digunakan berasal dari sudut pandang pihak GKI Yasmin. Pemberitaan 184 ini juga termasuk fakta sosiologis dan psikologis. Di mana tuntutan dari pihak GkI Yasmin yang menjadi inti pemberitaan. Secara sintaksis, Joglosemar lebih banyak menceritakan tentang kecenderungan Joglosemar menggunakan sudut pemberitaan atas salah satu pihak. Secara stilistik, dari piranti eufemisme dan puffery tidak ditemukan dalam teks berita. Secara umum pemberitaan Harian Joglosemar tentang isu-isu intoleransi beragama di Indonesia tahun 2012 tergolong masih minim. Ini terlihat dari berita yang muncul soal Gereja Yasmin dan Gereja Philadelphia secara langsung tersebut, jumlah beritanya pun hanya satu berita. Sementara secara retoris, untuk pemberitaan di Harian Umum Joglosemar tahun 2012 terkait isu Gereja Yasmin dan Gereja Philadelphia, penulis tidak menemukan elemen terkait baik elemen repetisi maupun elemen metafora dari sejumlah berita yang muncul di surat kabar terkait. Mengenai alasannya, hal ini terkait dengan kebijakan internal redaksi mengenai teknis pemberitaannya termasuk mengenai ada atau tidaknya elemen repetisi dalam teks-teks pemberitaan. Kesimpulan 1. Secara umum pemberitaan Harian Solopos dan Harian Umum Joglosemar tentang isu-isu intoleransi beragama di Indonesia tahun 2012 tergolong masih minim. Ini terlihat dari berita yang muncul paling menonjol dari Solopos hanyalah pemberitaan soal konflik Syiah di Sampang, Madura. Secara langsung terkait dengan konteks konflik komunal tersebut, jumlah beritanya hanya enam berita. Sementara Secara umum pemberitaan Harian Joglosemar ada tiga isu utama yakni konflik Syiah di Sampang, Madura, dengan jumlah Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ... enam berita, isu Ahmadiyah dengan dua berita dan isu soal Gereja Yasmin dan Gereja Philadelphia dengan satu berita. 2. Untuk pemberitaan soal Syiah di Sampang, Madura serta Ahmadiyah di Harian Solopos dan di Harian Joglosemar, dari sejumlah analisis elemen dari analisis wacana Teun Van Dijk yakni tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris, muncul kecenderungan kesan masih belum netral dimana dari pengelolaan kesan, Solopos dan Joglosemar banyak mengungkap aspek cenderung positif pada komunitas Syiah dan Ahmadiyah dan sejumlah elemen nonpemerintah. Solopos terkesan menonjolkan secara positif sosok komunitas Syiah dan Ahmadiyah sebagai pihak yang terkesan cinta damai, toleran namun “teraniaya” dan kondisinya memprihatinkan. Sementara dari sudut pandang pihak-pihak yang kontra komunitas Syiah, komunitas terkait diberitakan sebagai aliran Islam yang menyimpang (sesat). 3. Dari pihak nonpemerintah seperti dari Ormas-Ormas kemasyarakatan, dari pemberitaan Solopos dan Joglosemar cenderung muncul kesan sebagai pihak yang toleran dan “peduli”. Sementara pihak-pihak yang kontra komunitas terkait diberitakan cenderung muncul kesan sebagai pihak yang “menganiaya”, intoleran, emosional, pemicu masalah. Dari pemberitaan pemerintah sendiri muncul kecenderungan kesan sebagai berita yang mengkritisi pemerintah sebagai pihak yang kurang cepat responsif, lambat, kurang tanggap, kurang profesional bekerja. Meski demikian sebagian kecil pemberitaan menonjolkan kesan positif pada Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 pemerintah sebagai pihak yang mau bertanggung jawab. 4. Untuk isu soal Gereja Yasmin dan Gereja Philadelphia, muncul kecenderungan tidak netral Harian Joglosemar dari pemberitaannya. Muncul kesan bahwa Gereja Yasmin dan Gereja Philadelphia sebagai pihak yang teraniaya, kurang dipedulikan, dan dirugikan, sementara pemerintah dikesankan sebagai pihak yang tidak tegas, tidak jelas tanggung jawabnya sehingga masalah berlarutlarut, sikapnya cenderung selalu normatif. Ketidaknetralan pemberitaan Harian Joglosemar karena hanya mengangkat fakta dari pihak Gereja Yasmin dan Gereja Philadelphia, sementara publikasi fakta dari pihak pemerintah tidak muncul dalam pemberitaan. Saran 1. Kepada pihak komunitas Syiah, disarankan hendaknya berupaya mengembangkan sikap toleransi internal maupun eksternal umat beragama, giat membangun kebersamaan dengan berbagai elemen lain seperti yang dilakukan komunitas Syiah di Solo, berusaha sungguhsungguh menghindari segala gesekan di masyarakat, menghindari ekslusifitas, mengembangkan sikap beragama yang inklusif, serta giat mempromosikan diri sebagai elemen bangsa yang cinta damai, toleran, peduli serta tidak tergolong sebagai aliran sesat dalam ajaran Islam. 2. Kepada pihak Sunni, disarankan agar berusaha mengembangkan sikap toleransi internal maupun eksternal umat beragama, giat membangun dialog dan kebersamaan dengan berbagai elemen lain terutama warga Syiah, menjaga diri dari potensi185 Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ... potensi yang bisa meletupkan konflik, mengembangkan sikap beragama yang inklusif, serta meneguhkan Islam moderat sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). 3. Kepada umat Islam selain komunitas Syiah dan Sunni, hendaknya selalu mengedepankan toleransi dalam beragama internal dan eksternal beragama, menggiatkan dialog serta kebersamaan yang kondusif serta perdamaian di masyarakat, tidak melibatkan diri dalam aktifitasaktifitas yang bisa menimbulkan dan memperkeruh suasana tidak kondusif di masyarakat dan menghindarkan diri sikap beragama yang eksklusif, mengembangkan sikap beragama yang inklusif, serta meneguhkan Islam moderat sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). 4. Kepada umat beragama lain selain Islam, disarankan agar hendaknya selalu mengedepankan toleransi dalam beragama, menghindari diri dari sikap eksklusif, mengembangkan sikap beragama yang inklusif, menggiatkan dialog dan kebersamaan yang kondusif serta kampanye perdamaian di masyarakat. 5. Kepada penyelenggara negara, disarankan hendaknya giat mendorong dialog kebersamaan dan perdamaian internal dan eksternal umat beragama, menjaga kondusifitas kehidupan beragama di masyarakat, serta menegakkan hukum secara tegas dan adil terhadap setiap pelanggaran yang bisa menimbulkan kondisi tidak kondusif di kehidupan beragama dan bermasyarakat. 6. Kepada pihak media massa khususnya Harian Solopos dan Harian Joglosemar, disarankan agar mematuhi standar penulisan berita profesional yang 186 mengedepankan kode etik jurnalistik seperti cover both side, independen, nonpartisan, berimbang dan sebagai­ nya. Dengan demikian publikasi kepada publik adalah pemberitaan yang profesional dan bermartabat. Daftar Pustaka Azyumardi Azra, (2007). Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Kanisius Alex Sobur. (2006). Analisis Teks Media, Remaja Rosdakarya, Bandung. Nugrahati Dwi Sulistyowati, Netralitas Media dalam Kampanye Pilkada (Studi Analisis Wacana Pemberitaan Kampanye Pilkada Langsung Kabupaten Purworejo di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Suara Merdeka Periode 1 Agustus – 1 September 2005). Surakarta: Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Sumarlan, 2003, Teori dan Praktik: Analisis Wacana, Surakarta: Pustaka Cakra. Wijaya, Sri Herwindya Baskara, (2012), Pendidikan Karakter Bangsa dalam Novel: (Studi tentang Pesan NilaiNilai Pendidikan Karakter Bangsa Menggunakan Pendekatan Semiologi Komunikasi dalam Novel Nonfiksi “Habibie & Ainun” Karya BJ Habibie dan Belahan Jiwa Karya Rosihan Anwar. Surakarta: Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Pendidikan karakter sebuah wacana, diakses lewat situs http://lenterakecil.com/ pendidikan-berkarakter-sebuahwacana/, 6 Januari 2012 pukul 20.00 WIB; Karakter bangsa, diakses lewat situs http:// karakterbangsa.net/Our-Services/ Cakes-Cookies/MembangunKarakter-Bangsa.html, Sabtu, 7 April 2012 pukul 20.00 WIB. Karakter Bangsa, diakses lewat situs http://karakterbangsa.net/Latest/ Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ... pengertian.html, Sabtu, 7 April 2012 pukul 20.30 WIB.; Ibid. http://sosbud.kompasiana. com/2012/10/07/toleransi-antarumat-beragama-usaha-meredamkonflik-499776.html)., diakses 25 Desember 2012. http://id.wikipedia.org/wiki/Koran, diakses 25 Desember 2012. http://lutviah.net/2011/01/14/mediamassa-surat-kabar/, diakses 25 Desember 2012. http://www.metrotvnews.com/read/ newsvideo/2012/10/21/162279/LSIToleransi-Beragama-di-IndonesiaMenurun), diakses 25 Desember 2012. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 187 Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ... 188 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 189-202 Konstruksi Media Kompas On-line terhadap Peristiwa Pengungsi Rohingya Aryanto Budhy Sulihyantoro Subagyo Cynthia Putri Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Tragedy related to the ethnic Rohingya in Myanmar was widely reported in the mass media throughout the month of June to August 2012. This tragedy began with the issue of rape of a woman whose ethnic Rakhine Buddhists by a swarm of men ethnic Rohingya Muslim minority. Rakhine ethnic group revenged so some Rohingya youths were killed. The conflict sparked a larger conflict between the majority Buddhist population with the Muslim Rohingya minority. This clash became the news for media to bring reality with their perspective to the readers. Kompas On-line, a major media in Indonesia, reported the incident. Construction of reality presented by the media Kompas On-line examined through analysis of Entman’s frame models to determine the ideology of the media in presenting the reality. Kompas On-line constructed the tragedy as a humanitarian event, that is criminal actions triggered by some Rohingya men raped Buddhist Rahine woman. Key words: media construction, refugee, Rohingya Pendahuluan Pada awal bulan Juni 2012 terjadi kerusuhan etnik di negara bagian Rakhine (dahulu Arakan) Myanmar. Bentrok antara etnik minoritas Muslim dengan mayoritas Budhis dipicu adanya isu perkosaan dan pembunuhan seorang perempuan Rahkine oleh 3 orang Muslim Rohingya. Dikabarkan 300 orang Budhist Rakhine membunuh 10 orang Muslim Rohingya (Kate dan Freedman, 14 Juni 2012). Kerusuhan ini mengakibatkan puluhan orang terbunuh, sebagian besar diantaranya adalah etnik minoritas Muslim Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Rohingya sehingga pemerintah Myanmar menyatakan keadaan darurat di negara bagian ini. Serangkaian tindakan represif pemerintah segera diberlakukan kepada etnik Rohingya (Satyawan, Agustus 2012). Tindakan represif ini bukanlah pertama kali di tujukan kepada etnik Rohingya. Sejak Myanmar berdiri, pemerintah telah menerapkan kebijakan yang diskriminatif. Presiden Myanmar Thein Sein pernah menyatakan akan mengusir kaum Rohingya jika ada negara ketiga yang mau menampung mereka (Alam, t.t.). Kebijakan pembersihan etnik di Myanmar menuai kecaman dunia 189 Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ... internasional. Uniknya Aung San Suu Kyi, ikon demokrasi Myanmar yang baru saja dibebaskan dari tahanan rumah dan berhasil memenangkan kursi di parlemen, ketika ditanya mengenai persoalan Rohinggya sewaktu berkunjung ke Eropa, tidak memberi jawaban tegas. Bahkan ia tidak tahu jika Rohingya adalah minoritas di Myanmar dan akan mempelajari secara seksama undang-undang yang berkaitan dengan etnik di Myanmar (Detikislam.com, 15 Juli 2012). Jawaban yang mengambang ini mengecewakan bagi kelompok-kelompok prodemokrasi internasional. Fakta yang ada menunjukkan bahwa pemerintah Myanmar sampai saat ini belum mengakui etnik ini sebagai warga negaranya. Berdasarkan Undang Undang Kewaganegaraan Myanmar 1982, etnik yang diakui sebagai warga negara adalah etnik yang telah ada di Myanmar sebelum datangnya kolonial Inggris tahun 1824. Tercatat ada 135 etnik dan etnik Rohingya tidak termasuk didalamnya (Haque, 11 Februari 2010; Lewa, t.t.). Hal ini berarti Rohingya bukan bagian etnik yang menyusun bangsa Myanmar dan konsekwensinya mereka bukan warga negara Myanmar melainkan imigran yang tinggal di Myanmar dan sewaktuwaktu dapat diusir. Ketika pemerintah junta militer berkuasa sejak tahun 1962, mereka bertindak sangat represif dan diskriminatif terhadap etnik Rohingya. Terjadi eksodus besar-besaran pada tahun 1978 dan 1991-1992. Kebanyakan mereka pergi ke Bangladesh dan sebagian pergi ke Thailand, Malaysia dan ke negaranegara lainnya. Diperkirakan jumlah etnik Rohingya yang tinggal di Myanmar ada 800.000 orang, 28.000 di tampung di dua kamp pengungsian di Bangladesh yang di tangani oleh organisasi PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR), 200.000 tinggal 190 secara illegal di wilayah Bangladesh disepanjang perbatasan dengan Myanmar dan selebihnya menjadi imigran gelap di negara-negara lain (Kate & Freedman, 14 Juni 2012). Pemberitaan yang berkaitan dengan konflik etnik di Myanmar dan pen­ deritaan pengungsi Rohingya sangat massif di media massa. Untuk konteks di Indonesia, ada banyak media yang menghadirkan peristiwa Rohingya dalam pemberitaannya. Artikel ini menguraikan bagaimana realitas atas peristiwa Rohingya dihadirkan oleh media Kompas on-line melalui pemberitaannya kepada para pembaca mulai tanggal 10 Juni sampai dengan 10 Agustus 2012. Tinjauan Pustaka 1. Konstruksi Sosial Studi tentang konstruksi sosial atas realitas bukanlah hal baru dalam khasanah ilmu sosial. Studi ini dipelopori oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman yang meyakini bahwa realitas adalah hasil ciptaan manusia belaka. Realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Dengan demikian, individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksikan berdasarkan kehendaknya (Berger dan Luckman, 1990). Maka dengan demikian, cara pandang konstruktivisme ini melihat realitas sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang bebas. Oleh karena itu, kebenaran menurut cara pandang semacam ini adalah nisbi, yang hanya berlaku sesuai dengan konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelakunya (Hidayat, 1999). Secara demikian, konstruksi sosial atas realitas dapat didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ... terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif (Poloma, 1994). Berger dan Luckman (1990) mengembang beberapa asumsi antara lain pertama, realitas merupakan proses kreatif ciptaan manusia. Kedua, hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan. Ketiga, kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus Konstruksi sosial atas realitas pun terjadi dalam proses kreatif media massa. Media massa pada saat ini berperan aktif dalam menghadirkan realitas sesuai dengan pandangannya. Dalam hal ini ada dua konsep dalam melihat realitas yang direfleksikan media. Pertama, konsep media secara aktif yang memandang media sebagai partisipan yang turut mengkonstruksi pesan sehingga muncul pandangan bahwa tidak ada realitas sesungguhnya dalam media. Kedua,konsep media secara pasif yang memandang media hanya sebagai saluran yang menyalurkan pesan-pesan sesungguhnya, dalam hal ini media berfungsi sebagai sarana yang netral, media menampilkan suatu realitas apa adanya (http://karakterbangsa.net/ Latest/pengertian.html). 2. Analisis Framing Pada intinya, analisis bingkai adalah varian akhir dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks. Bingkai pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual yang mengorganisasi pandangan politik, kebijakan ataupun suatu wacana yang dibarengi penyediaan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Dalam ilmu komunikasi, konsep bingkai digunakan untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media (Sobur, Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 2004). Secara lebih khusus, analisis bingkai dipergunakan untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta dengan menggunakan berbagai srategi seleksi, penonjolan, pertautan fakta kedalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, sehingga lebih mudah diingat dalam upaya menggiring intepretasi khalayak sesuai dengan perspektifnya (Sobur, 2004). Analisis bingkai merupakan salah satu pendekatan untuk memahami bagaimana cara pandang media (wartawan) ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang ini pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan atau dihilangkan serta hendak diarahkan kemana berita tersebut ditulis (Eriyanto, 2011). Robert Entman mengembangkan model analisis dengan menggunakan empat cara yaitu pertama, mengidentifikasi masalah yaitu peristiwa dilihat sebagai apa dengan nilai positif atau negatif seperti apa. Kedua, identifikasi penyebab masalah yaitu siapa yang dianggap penyebab masalah. Ketiga, evaluasi moral yaitu evaluasi atas penyebab masalah. Keempat, saran penanggulangan masalah yaitu penawaran suatu cara penanganan masalah dan kemungkinan prediksi hasilnya (Sobur, 2004). Hasil dan Pembahasan Kompas on-line (Kompas.com) meng­ kategorikan berita tentang pengungsi Rohingya ke dalam 7 isu yaitu (1) dampak konflik, (2) permasalahan pengungsi, (3) keterlibatan aparat keamanan Myanmar, (4) aksi demonstrasi, (5) bantuan ke­ manusiaan, (6) posisi Indonesia, dan (7) rombongan Jusuf Kalla mendapat akses mengunjungi Rakhine. 191 Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ... 1. Pendefinisian Masalah Dalam kurun waktu antara 10 Juni – 10 Agustus 2012, Kompas.com telah mengangkat berbagai fokus permasalahan seputar peristiwa Rohingya ke dalam 20 judul pemberitaannya. Dalam konteks peristiwa Rohingya – pada proses tersebut Kompas.com mengelimisasi aspek-aspek tertentu yang tidak layak dijadikan berita dan memberi perhatian lebih pada beberapa aspek berikut: Isu dampak konflik. Berdasarkan analisis bingkai terhadap pemberitaan Kompas.com, dalam kurun waktu 10 Juni – 10 Agustus 2012 pemberitaan Kompas. com mengetengahkan permasalahan yang secara garis besar dapat dikategorikan sebagai dampak konflik, yang tertuang dalam: pemberlakuan jam malam di empat kota negara bagian Rakhine oleh Pemerintah Myanmar; pengumuman kondisi gawat darurat di Rakhine oleh Presiden Myanmar Thein Sein; penarikan sementara staf PBB di Rakhine; kerugian harta benda dan korban jiwa yang terus bertambah. Jumlah korban jiwa pada berita berjudul “KONFLIK MYANMAR Korban Tewas Capai 29 Orang”, edisi Jumat, 15 Juni 2012, mencapai 29 jiwa. Sedangkan memasuki berita berjudul “ROHINGYA Bukan Konflik Etnis dan Agama”, edisi Jumat, 10 Agustus 2012, korban jiwa telah mencapai 70 orang. Isu permasalahan pengungsi. Se­ lama pemberitaan dalam kurun waktu 10 Juni – 10 Agustus 2012 Kompas.com turut melakukan pembingkaian terhadap dinamika yang dialami oleh para pe­ ngungsi dalam konflik yang terjadi antara warga Budha dan etnis Rohingya di Myanmar. Pembingkaian pengungsi tersebut diantaranya dilakukan pada: (a) pengungsi Rakhine, yakni pengungsi yang merupakan warga Rakhine, (b) pengungsi Rohingya, yakni pengungsi 192 yang merupakan warga etnis Rohingya, (c) pengungsi pada umumnya, yakni pengungsi yang dapat dimaknai sebagai gabungan dari kedua pihak sekaligus. Isu keterlibatan aparat. Ketika konflik Rohingya di Myanmar meletup, isu keterlibatan junta militer; aparat keamanan; atau pasukan militer Myanmar dalam menangani konflik turut mewarnai pemberitaan Kompas.com. Dalam pem­ beritaan ini diantaranya disampaikan adanya tuduhan sekaligus penyesalan terhadap keterlibatan pasukan keamanan Myanmar dalam kekerasan yang dialami Muslim Rohingya. Aparat pemerintah Myanmar diketahui hanya melihat dan berdiam diri ketika kekerasan terjadi bahkan menembaki Muslim Rohingya ketika mereka berusaha menyelamatkan rumah mereka yang terbakar. Aparatur berwenang bahkan ikut menjarah rumah, toko, maupun harta milik warga Rohingya juga. Tidak cukup sampai disitu, ratusan warga Rohingya Muslim ditangkap dengan di antaranya diduga telah dipukuli dan disiksa. Isu aksi demontrasi. Ketika konflik Rohingya di Myanmar mencuat, sejumlah aksi demonstrasi terjadi di beberapa negara untuk menanggapi apa yang menimpa warga Muslim Rohingya di Myanmar. Sejumlah aksi tersebut lantas tidak luput dibingkai ke dalam pemberitaan oleh Kompas.com. Aksi demonstrasi yang ditulis Kompas.com diantaranya dilakukan oleh Masyarakat Peduli Rohingya (MPR), Forum Umat Islam (FUI), dan warga etnis Muslim Rohingya di Malaysia – termasuk pengungsi Rohingya dari Rakhine di Malaysia. MPR menggelar aksi yang ia sebut sebagai aksi solidaritas ini di depan kantor Dubes Myanmar, Jakarta Pusat, pada Kamis, 9 Agustus 2012. Untuk FUI, ia menggelar aksi demo yang merupakan bentuk kepedulian ini di Bunderan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ... Hotel Indonesia, pada Jumat 16 Juli 2012. Sedangkan warga etnis Muslim Rohingya di Malaysia menggelar aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Myanmar di Kuala Lumpur, Malaysia, pada Jumat, 15 Juni 2012. Dalam aksinya ini mereka meminta agar kekerasan terhadap umat Muslim Rohingya dihentikan. Isue bantuan kemanusiaan. Men­­ cuat­nya konflik Rohingya di Myanmar membuat sejumlah organisasi ke­ manusia­an tergerak untuk memberikan bantuan bagi mereka. Pemberian bantuan yang dibingkai oleh Kompas.com antara lain adalah pemberian bantuan yang dilakukan oleh organisasi kemanusiaan asal Indonesia, yakni: Dompet Dhuafa, PKPU, dan Rumah Zakat, dan organisasi kemanusiaan dunia: WFP dan UNHCR. Isu peranan Indonesia. Dalam se­ jumlah pemberitaannya Kompas.com turut membingkai peranan Indonesia dalam konflik yang terjadi di Myanmar 2012 lalu. Baik peranannya bagi Myanmar maupun bagi penduduk Rohingya. Dalam berita “Pramono: Perjelas Pembelaan untuk Rohingya,” edisi Rabu, 1 Agustus 2012, Kompas.com mengetengahkan masalah Pemerintah Indonesia dalam memperjelas posisinya untuk membela etnik Rohingya. Sedangkan berita “Myanmar Terbuka untuk Bantuan Asing,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012, Kompas.com secara tersirat mengetengahkan masalah mengenai keterlibatan Indonesia dalam kejelasan duduk persoalan peristiwa yang melanda Rakhine bagi dunia Internasional. Isu rombongan Jusuf Kalla. Ketika konflik Rohingya meletus, mantan Wakil Presiden RI yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Umum Palang Merah Indonesia Jusuf Kalla berkunjung ke Myanmar beserta Rombongan. Dalam rombongan tersebut diantaranya adalah Asisten Deputi Sekretaris Jenderal OKI Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Atta El-Manan Bakhit dan Duta Besar RI untuk Myanmar, Sebastianus Sumarsono. Kedatangan Jusuf Kalla dan rombongan ini diterima oleh Presiden Myanmar Thein Sein di Istana Kepresidenan Myanmar di Nay Pyi Taw pada Jumat, 10 Agustus 2008. Dalam pertemuan ini, Presiden Myanmar Thein Sein memberi Jusuf Kalla akses untuk mengunjungi warga Rohingya di Rakhine, Myanmar, guna melihat langsung kondisi di daerah konflik tersebut. 2. Analisis Kasus Berbagai permasalahan yang diungkap oleh Kompas.com ketika konflik Rohingya di Myanmar tahun 2012 lalu mencuat, memiliki latar belakang permasalahan yang juga beragam atau berbeda-beda. Latar belakang permasalahan atau penyebab masalah ini dapat diperkirakan dengan meninjau siapa yang dianggap sebagai penyebab masalah atau apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah di dalam pemberitaan. Isu dampak konflik. Pemberlakuan jam malam di empat kota negara bagian Rakhine oleh Pemerintah Myanmar; pengumuman kondisi gawat darurat di Rakhine oleh Presiden Thein Sein; penarikan sementara staf PBB di Rakhine; kerugian harta benda dan korban jiwa yang terus bertambah adalah serentetan dampak akumulatif dari konflik Rohingya yang terjadi di Myanmar 2012 lalu. Dalam memberitakan penyebab masalah yang mengawali munculnya dampak tersebut, Kompas.com menyajikan beberapa pokok penyebab permasalahan yang nyaris sama secara garis besar antara satu berita dengan berita yang lainnya. Secara garis besar dampakdampak di atas terjadi akibat adanya berita pemerkosaan dan pembunuhan perempuan Budha yang dituduhkan dilakukan oleh umat Muslim. Akibat 193 Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ... penerimaan informasi yang salah mengenai pelaku pembunuhan dan pemerkosaan yang tengah berada di dalam sebuah bus berpenumpang umat Muslim, masyarakat Budha Rakhine pun kemudian menyerang bus tersebut. Akibatnya, sepuluh warga Muslim Rohingya tewas dalam penyerangan ini. Dalam pemberitaan mengenai penyerangan bus, berita Kompas.com berjudul “Kondisi Gawat Darurat di Rakhine, Myanmar,” edisi Senin, 11 Juni 2012 khusus membingkai kronologi peristiwa awal kerusuhan dengan memberi sub judul “Salah informasi.” Salah informasi ini terjadi kepada masyarakat Budha Rakhine yang mempercayai bahwa sejumlah penumpang di dalam bus adalah pelaku pembunuhan dan pemerkosaan seorang perempuan Budha yang terjadi Mei 2012 sebelumnya. Akibat serangan di dalam bus yang menewaskan sepuluh warga Muslim tersebut, aksi saling balas, saling serang, main hakim sendiri tidak terhindarkan diantara kedua belah pihak. Gelombang kerusuhan; kekerasan; kekacauan ber­ darah bernuansa sectarian; gangguan keamanan pun semakin meningkat dan meluas. Sehingga dampak-dampak yang telah disebutkan sebelumnya muncul akibat peristiwa tersebut. Selain itu, masih dalam konteks berita yang berbicara mengenai dampak konflik, Kompas.com turut mengetengahkan sebab dalam konflik sektarian dengan mengutip pernyataan utusan PBB yang sekaligus bertugas sebagai pelapor khusus hak asasi manusia untuk Myanmar Ojea Quintana. Menurutnya, akar permasalahan konflik sektarian yang bergulir berasal dari adanya diskriminasi atas minoritas etnis dan pemeluk agama yang terus terjadi kepada warga Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine. 194 Namun membaca berita berjudul “ROHINGYA Bukan Konflik Etnis dan Agama,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012, Kompas.com mengutip penjelasan Jusuf Kalla mengenai hasil pertemuannya dengan Thein Sein bahwa masalah berawal dari adanya aksi kriminalitas anak muda yang mengakibatkan aksi saling balas dan memicu kerusuhan yang lebih besar. Sekaligus dalam berita ini – yang memiliki kaitan yang sama dengan diskriminasi pada berita “Korban Tewas Capai 29 Orang,” edisi Jumat, 15 Juni 2012 - dikatakan bahwa UU Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 juga merupakan akar permasalahan diskriminasi terhadap warga Rohingya. Hal ini bukan lagi diungkapkan Ojea Quintana melainkan diungkapkan oleh Wakil Direktur Asia HRW Robertson. Isu permasalahan pengungsi Dalam pemberitaan berjudul “Korban Tewas Capai 29 Orang” edisi Jumat, 15 Juni 2012, dikatakan bahwa permasalahan pengungsi Rakhine disebabkan oleh meluasnya kerusuhan berdarah bernuansa sektarian dan aksi main hakim sendiri antara minoritas Rohingya dan mayoritas Buddhis di Rakhine, Myanmar. Akibat peristiwa tersebut sedikitnya 31.900 warga Rakhine terpaksa mengungsi dan ditampung di 37 kamp penampungan di sejumlah tempat di provinsi sebelah barat Myanmar. Latar belakang mengungsinya warga Muslim Rohingya ke Bangladesh adalah adanya kerusuhan; kekacauan; ke­kerasan yang marak terjadi antara mayoritas Budha dan minoritas Rohingya di Myanmar. Akibat kondisi demikian, warga Muslim Rohingya berupaya untuk menyelamatkan diri ke Bangladesh. Namun, upaya untuk menyelamatkan diri ini gagal ketika pemerintah Bangladesh justru menutup diri dengan menolak para pengungsi Rohingya dan meminta mereka Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ... untuk kembali ke Myanmar. Sejumlah pemberitaan yang memiliki kaitan dengan permasalahan penolakan pengungsi Rohingya di Bangladesh, antara lain: “PBB Tarik Sementara Staf dari Rakhine, Myanmar,” edisi Selasa, 12 Juni 2012; “Sekitar 90.000 Warga Myanmar Mengungsi,” edisi Rabu, 20 Juni 2012, dan “Banglades Larang Badan Amal Bantu Rohingya,” edisi Kamis 2 Agustus 2012. Pada berita Kompas.com berjudul “Korban Tewas Capai 29 Orang,” edisi Jumat, 15 Juni 2012, berdasarkan susunan fakta di dalam berita tersebut, dapat diketahui bahwa Kompas.com menempatkan pemerintah Bangladesh sebagai pihak yang bersalah, sekalipun fakta sosial permasalahan tidak dipaparkan di dalamnya. Penempatan Bangladesh sebagai pihak penyebab masalah atau pihak yang bersalah ini melainkan berdasar pada penggunaan diksi “kecaman” dan “cemas” dalam pembingkaian peristiwa penolakan pengungsi Rohingya oleh Bangladesh. Jika meninjau berita “Jusuf Kalla Datangi Lokasi Konflik Rohingya,” edisi 10 Agustus 2012, maka masalah pengungsi yang berkaitan dengan konflik atau pertikaian antara warga Budha dan Rohingya di Myanmar ini hanya dipaparkan sebatas adanya aksi kriminal dalam masyarakat yang berujung pada konflik komunal. Isu keterlibatan aparat. Ketika konflik Rohingya di Myanmar meletup, isu keterlibatan junta militer; aparat keamanan; atau pasukan militer Myanmar dalam menangani konflik turut mewarnai pemberitaan Kompas.com. Dalam pem­ beritaan ini diantaranya disampaikan adanya tuduhan sekaligus penyesalan terhadap keterlibatan pasukan keamanan Myanmar dalam kekerasan yang dialami Muslim Rohingya. Aparat pemerintah Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Myanmar diketahui hanya melihat dan berdiam diri ketika kekerasan terjadi bahkan menembaki Muslim Rohingya ketika mereka berusaha menyelamatkan rumah mereka yang terbakar. Aparatur berwenang bahkan ikut menjarah rumah, toko, maupun harta milik warga Rohingya juga. Tidak cukup sampai di situ, ratusan warga Rohingya Muslim ditangkap dengan di antaranya diduga telah dipukuli dan disiksa. Menanggapi isu tersebut Pemerintah Myanmar menolak keras tuduhan oleh sejumlah pihak tentang kekerasan dan penggunaan kekuatan secara berlebihan oleh pihak berwenang. Tanggapan ini dimuat di dalam berita berjudul “HRW: Myanmar Biarkan Kekerasan pada Rohingya” edisi Rabu, 1 Agustus 2012. Sedangkan dalam kalimat yang lebih singkat, Kompas.com dalam beritanya yang berjudul “Amnesty: Muslim Rohingya Terus Alami Kekerasan” edisi Sabtu, 21 Juli 2012, menuliskan: “Pemerintah Myanmar menyebut tuduhan itu bias dan tidak berdasar.” Isu aksi demontrasi. Aksi demons­ trasi yang juga disebut sebagai aksi solidaritas dan kepedulian dalam pem­ beritaan Kompas.com ini berkaitan dengan adanya kekerasan yang dialami oleh etnis Muslim Rohingya di Myanmar. Dalam berita berjudul “Pengungsi Rohingya Berdemo di Malaysia” edisi Jumat, 15 Juni 2012, dapat diketahui bahwa menurut para demonstran di Malaysia kekerasan yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar merupakan kejahatan genosida dan kekerasan yang berlatar belakang agama. Makna genosida ini sedikitnya senada dengan pemaparan peristiwa yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar dalam berita “Masyarakat Peduli Rohingya Unjuk Rasa di Kedubes Myanmar,” edisi Kamis, 9 Agustus 2012. Berita ini mengisahkan bahwa Rohingya Myanmar 195 Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ... mengalami berbagai kekerasan bahkan pembunuhan oleh kelompok ekstrimis dan di dalamnya Pemerintah Myanmar dibingkai oleh Kompas.com sebagai pihak yang terkesan bersikap acuh terhadap peristiwa tersebut. Para demonstran di Malaysia juga menerima kabar bahwa situasi menjadi lebih buruk dan kekerasan semakin meningkat sekalipun junta militer telah menginformasikan bahwa situasi di Myanmar sudah lebih baik. Isu bantuan kemanusiaan. Pemberian bantuan kepada para pengungsi, baik di Myanmar maupun Bangladesh diawali dengan meletusnya konflik antara warga Budha dan Rohingya di Myanmar. Khusus bagi keberangkatan tiga tim kemanusiaan dan bantuan medis asal Indonesia, Kompas. com menulis bahwa kondisi kesehatan, pendidikan, dan penyediaan sanitasi korban Muslim Rohingya menjadi faktor pendorong adanya gerakan kepedulian yang tujuannya untuk merehabilitasi mereka. Pemberitaan ini terdapat di dalam berita berjudul “Bantuan untuk Rohingya Capai Rp 1 Miliar,” edisi Kamis, 2 Agustus 2012. Meskipun demikian, dalam berita ini peristiwa apa yang menyebabkan warga Muslim Rohingya menjadi korban tidak dijelaskan di dalamnya. Isu peranan Indonesia. Permasalahan yang mengetengahkan Pemerintah Indonesia untuk memperjelas posisinya dalam membela etnik Rohingya yang ditulis di dalam berita “Pramono: Perjelas Pembelaan untuk Rohingya,” edisi Rabu, 1 Agustus 2012, dilatarbelakangi oleh timbulnya berbagai kecaman keras dari masyarakat Indonesia berkaitan dengan perlakuan terhadap etnik Rohingya. Namun bagaimana perlakuan terhadap etnik Rohingya ini tidak dipaparkan di dalam berita. Sedangkan didalam berita “Myanmar Terbuka untuk Bantuan Asing,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012 yang menyoal 196 masalah peran Myanmar. Indonesia terhadap Isu rombongan Jusuf Kalla. Dalam ketiga berita mengenai pemberian akses kepada Jusuf Kalla dan rombongan, dapat diketahui bahwa pemberian kesempatan ini bertujuan agar mereka dapat melihat fakta lapangan yang sebenarnya. Pasalnya, pemberitaan yang simpang siur akibat adanya anggapan bahwa pemerintah Myanmar belum terbuka dan berita yang memojokkan pemerintah Myanmar selama ini menyebabkan masyarakat Internasional menjadi salah tafsir atas apa yang terjadi di Rakhine. Demikianlah yang diungkapkan dalam berita “Jusuf Kalla Datangi Lokasi Konflik Rohingya,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012, dan “Thein Sein Beri Jusuf Kalla Akses ke Rohingya” edisi Jumat, 10 Agustus 2012. Mengenai pemberitaan yang tidak tepat, secara lebih detail berita Kompas. com berjudul “Jusuf Kalla Datangi Lokasi Konflik Rohingya,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012, menyebutkan bahwa pemberitaan yang tidak tepat tersebut antara lain: (1) pemberitaan yang mengatakan bahwa terjadi konflik etnis yang berujung pada konflik agama, (2) pemberitaan yang mengatakan bahwa Pemerintah Myanmar seakan tidak bekerja sama sekali untuk menangani konflik. Sedangkan menurut pemberitaan Kompas.com berjudul “Thein Sein Beri Jusuf Kalla Akses ke Rohingya” edisi Jumat, 10 Agustus 2012, insiden Rohingya tidak memiliki kaitan dengan konflik etnis dan agama, melainkan sebuah tindakan kriminal. 3. Penilaian Moral Kompas.com dalam melakukan pem­ bingkaian terhadap peristiwa Rohingya, turut memberikan sejumlah penilaian moral atau evaluasi moral terhadap penyebab berbagai masalah yang diketengahkan dalam pemberitaan: Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ... Isu dampak konflik. Dalam membingkai berbagai dampak dari peristiwa kerusuhan sektarian di Myanmar: adanya pemberlakuan jam malam di empat kota negara bagian Rakhine oleh Pemerintah Myanmar; pengumuman kondisi gawat darurat di Rakhine, Myanmar, pengumuman kondisi gawat darurat di Rakhine, Myanmar, oleh Presiden Myanmar Thein Sein; penarikan sementara staf PBB di Rakhine; keugian harta benda dan korban jiwa yang terus bertambah, penilaian moral Kompas. com dijatuhkan kepada Myanmar dan pemerintahannya. Antara lain Kompas. com menilai bahwa kekerasan di Rakhine mendatangkan resiko besar yang merugikan, dimana proses reformasi, stabilitas, dan transisi demokrasi di Myanmar dapat terancam. Kekerasan juga disayangkan terjadi ketika pemerintah tengah berupaya menggalakkan solidaritas antar kelompok sehingga penggalakan solidaritas pun nampak gagal diimplementasikan. Isue permasalahan pengungsi. Penekanan moral terhadap sikap penolakan pengungsi Rohingya oleh pemerintah Bangladesh ini dijatuhkan kepada pemerintah Bangladesh. Menurut pemberitaan Kompas.com, langkah Bangladesh menolak pengungsi dirasa mencemaskan dan menuai banyak kecaman. Penilaian ini terdapat dalam berita Kompas.com edisi Jumat, 15 Juni 2012 yang berjudul “KONFLIK MYANMAR Korban Tewas Capai 29 Orang.” Penilaian moral lain dijatuhkan kepada pemerintah Myanmar, yakni pihaknya dinilai gagal melindungi warga baik Budha maupun Muslim. Namun dalam konteks permasalahan ini, pengungsi Rohingya menjadi fokus permasalahan. Masih mengenai permasalahan pengungsi, penilaian moral dijatuhkan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 oleh Kompas.com dengan mengutip pernyataan Thein Sein yang dikatakan oleh Jusuf Kalla, yakni bahwa pengungsi ditangani dengan baik berkat bantuan PBB, lembaga asing lain, termasuk Indonesia, Turki, dan negara Islam lain. Hal tersebut terdapat kutipan berita Kompas.com berjudul “ROHINGYA Bukan Konflik Etnis dan Agama,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012 berikut: “Thein Sein juga menjelaskan, saat ini ada 60.000 pengungsi di Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine. Mereka ditangani dengan baik berkat bantuan PBB, lembaga asing lain, termasuk Indonesia, Turki, dan negara Islam lain.” Isu keterlibatan aparat. Penetapan kondisi gawat darurat yang sekaligus mengijinkan militer untuk beroperasi pun menunjukkan bahwa pemerintahan masih didominasi oleh militer dan kekhawatiran tekanan politik pada akhirnya justru dapat berkontribusi pada keberlanjutan praktik pelanggaran hak asasi manusia di sana. Kekhawatiran tekanan politik ini merujuk pada: “Pemerintahan sipil di Myanmar terpilih dalam pemilihan umum 2010 dan April tahun ini. Pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi masuk parlemen menyusul kemenangan bersejarah dalam pemilu sela.” Kutipan tersebut terdapat di dalam berita Kompas.com berjudul “Kondisi Gawat Darurat di Rakhine, Myanmar” edisi Senin, 11 Juni 2012. Dalam berita berjudul “Amnesty: Muslim Rohingya Terus Alami Kekerasan,” edisi Sabtu, 21 Juli 2012, Kompas.com memberi penilaian bahwa ungkapan Direktur Arakan Project Chris Lewa: ‘’Setelah kerusuhan... perlahan muncul fase baru pelanggaran yang bisa dikatakan direstui pemerintah, terutama di Maung Daw,’’ belum cukup bukti untuk dianggap sebagai sebuah kebenaran. Pasalnya, Pemerintah Myanmar menyebut tuduhan – seperti: penjarahan toko, rumah, dan harta milik 197 Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ... Rohing yaitu – merupakan tuduhan yang bias dan tidak berdasar. Sedangkan dalam pemberitaan ini Kompas.com juga menuliskan bahwa: “Sangat sulit untuk memverifikasi berbagai informasi yang beredar karena wartawan tidak diperbolehkan masuk ke kawasan.” Kemudian, berita berjudul “HRW: Myanmar Biarkan Kekerasan pada Rohingya,” edisi Rabu, 1 Agustus 2012, Kompas.com mengetengahkan sejumlah penilaian moral berikut: melihat beberapa peristiwa yang terjadi belakangan waktu menjelang penulisan berita ini, terlihat bahwa penganiayaan dan diskriminasi yang didukung negara tetap berlangsung ketika pemerintah telah menyebut dirinya sudah berupaya untuk mengakhiri konflik dan kekejaman etnis di Rakhine. Hal ini berarti juga Kompas.com tidak mempercayai bahwa perubahan reformasi sudah berjalan dengan baik disana dengan indikator sebagai berikut: aparat pemerintah Myanmar lamban dalam menghentikan kekerasan, mereka berpihak pada warga Budha; dan pemerintah Myanmar me­ nangani konflik di Rakhine dengan kehatihatian yang ekstrem. Demikian pula pada berita yang berjudul “Banglades Larang Badan Amal Bantu Rohingya,” edisi Kamis, 2 Agustus 2012, Kompas.com menjatuhkan penilaian moral negatif kepada pemerintah Myanmar. Menurut pemberitaan, pihak berwenang Myanmar gagal melindungi warga dan telah membiarkan adanya gerakan kekerasan dan pengumpulan massa untuk melawan Rohingya. Isu aksi demontrasi. Dalam se­ jumlah pemberitaan mengenai aksi demonstrasi yang berlangsung di Jakarta dan Malaysia, Kompas.com memberikan beberapa penilaian moral. Penilaian moral ini terlebih diberikan terhadap pe­nyebab permasalahan yang terjadi. 198 Penilaian tersebut antara lain: dalam berita “FUI: Selamatkan Umat Muslim Myanmar dan Suriah,” edisi Jumat, 13 Juli 2012, Kompas.com menilai bahwa pembantaian, penindasan, dan penyiksaan terhadap kaum Muslim Rohingya di Myanmar merupakan suatu tindakan terkutuk. Media pemberitaan internasional pun terkesan menutupi kasus penindasan terhadap umat Muslim. Sedangkan dalam berita berjudul “Masyarakat Peduli Rohingya Unjuk Rasa di Kedubes Myanmar,” edisi Kamis, 9 Agustus 2012, Kompas.com menilai bahwa sikap pemerintah Myanmar yang belum mengambil sikap tegas – mengingat korban dari pihak Muslim telah mencapai angka 20 ribu orang – adalah suatu hal yang mengecewakan. Secara khusus dalam berita ini, selain penilaian moral dilakukan ter­ hadap penyebab masalah, berita ini juga turut memberi penilaian moral ter­hadap berlangsungnya aksi demo yang dilangsungkan oleh Masyarakat Peduli Rohingya di depan kantor Dubes Myanmar, yakni meskipun unjuk rasa yang dihelat berlangsung tertib, lalu lintas di jalan Agus Salim dari arah Imam Bonjol menuju Sabang menjadi tersendat. Isu bantuan kemanusiaan. Mengenai masalah pemberian bantuan, Kompas.com hanya memberi penilaian berkaitan dengan langkah tim kemanusiaan dan tenaga medis asal Indonesia dan mengenai sikap pemerintah Myanmar terhadap pemberian bantuan. Langkah tim kemanusiaan ini merujuk pada berita Kompas.com berjudul “Bantuan untuk Rohingya Capai Rp 1 Miliar,” edisi Kamis, 2 Agustus 2012. Tim kemanusiaan tersebut berasal dari Dompet Dhuafa, PKPU, dan Rumah Zakat. Mereka kala itu direncanakan akan berangkat ke Bangladesh. Atas rencana ini, Kompas.com menilai keberangkatan tersebut merupakan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ... langkah awal yang dapat mendorong ke­ mungkinan lahirnya tim kemanusiaan yang berikutnya dapat langsung ditujukan ke wilayah Myanmar. Sedangkan me­ ngenai sikap pemerintah berkaitan dengan berita berjudul “Myanmar Terbuka untuk Bantuan Asing,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012. Menurut penulisan Kompas. com pemerintah Myanmar tidak tertutup terhadap pemberian bantuan asing seperti yang diisukan selama ini. konflik Rohingya dengan warga Budha di Myanmar. Isu peranan Indonesia. Menanggapi peristiwa Rakhine yang tertimpa konflik antara warga Budha dan Rohingya, Kompas.com menjatuhkan penilaian moral kaitannya dengan sikap yang perlu diambil Indonesia untuk membela Rohingya. Penilaian moral tersebut yakni sikap tegas pemerintah Indonesia diperlukan tidak serta-merta karena latar belakang agama yang sama. Namun, lebih pada diskriminasi yang memang tidak boleh dilakukan dan perlu dibela sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Penilaian ini terdapat dalam berita “Pramono: Perjelas Pembelaan untuk Rohingya,” edisi Rabu, 1 Agustus 2012. Sedangkan menurut Jusuf Kalla dalam berita berjudul “ROHINGYA Bukan Konflik Etnis dan Agama,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012: “Karena kasus Rohingya itu telah menjalar ke konflik agama, kata Kalla, harus segera diatasi bersama-sama.” Isu rombongan Jusuf Kalla. Penilaian moral Kompas.com yang berkaitan dengan pemberian akses kepada Jusuf Kalla dan rombonganna ini dijatuhkan kepada Jusuf Kalla. Kompas.com dalam pemberitaannya menilai bahwa Jusuf Kalla merupakan salah satu tokoh netral di ASEAN yang dapat menyejukkan keadaan. Penilaian tersebut terdapat dalam berita berjudul “Jusuf Kalla Datangi Lokasi Konflik Rohingya,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012. 4. Rekomendasi Penyelesaian Masalah Berikut adalah berbagai saran pe­ nyelesaian masalah atau saran pe­ nanggulangan masalah yang Kompas.com kemukakan dalam pemberitaan edisi 10 Juni – 10 Agustus 2012 kaitannya dengan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Isu dampak konflik. Berdasarkan peristiwa yang menimpa warga Rohingya dan Budha Rakhine di Myanmar, Kompas. com dalam pemberitaannya memaparkan beberapa saran penyelesaian masalah. Saran tersebut diantaranya: perlu adanya berbagai upaya untuk segera menghentikan dan mencegah dampak perluasan konflik dari pemerintah. Utusan PBB yang sekaligus bertugas sebagai pelapor khusus hak asasi manusia untuk Myanmar Ojea Quintana sebagaimana yang dikutip oleh Kompas. com dalam beritanya berjudul “KONFLIK MYANMAR - Korban Tewas Capai 29 Orang,” edisi Jumat, 15 Juni 2012 turut menyarankan agar akar permasalahan konflik yaitu diskriminasi terhadap warga Rohingya segera ditangani. Wakil Direktur Asia HRW Phil Robertson dalam berita “ROHINGYA Bukan Konflik Etnis dan Agama.” Berita yang juga memuat penyebab masalah mengenai adanya diskriminasi etnis dan pemeluk agama yang disebut berasal dari adanya UU Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 ini mengetengahkan saran agar Suu Kyi memanfaatkan posisinya sebagai anggota parlemen untuk mengusulkan amandemen seluruh produk aturan hukum yang disebut merugikan etnis minoritas di Myanmar mulai dari produk UU Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982. Tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi menyarankan pentingnya penyelesaian politis untuk penyelesaian yang bersifat 199 Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ... permanen. Pernyataan Suu Kyi ini terdapat dalam berita “KONFLIK MYANMAR Korban Tewas Capai 29 Orang” pada edisi yang mendahuluinya, yakni Jumat, 15 Juni 2012. Isu permasalahan pengungsi. Kompas.com mengetengahkan penyelesaian masa­­lah terhadap peristiwa penolakan pengung­si Rohingya di Bangladesh kepada pihak Bangladesh. Kepadanya Kompas.com menyarankan agar bersedia menerima kapal-kapal yang mengangkut ratusan pengungsi Rohingya. Penyelesaian masalah ini dimuat di “Banglades Larang Badan Amal Bantu Rohingya”, edisi Kamis, 2 Agustus 2012. Sedangkan dalam berita berjudul “KONFLIK MYANMAR - Korban Tewas Capai 29 Orang,” Kompas. com mengetengahkan saran agar Dhaka menghormati kewajiban internasional mengenai pengungsi sesuai dengan konvensi internasional. Mengenai permasalahan pengungsi – pengungsi Rakhine dan sekaligus pengungsi Rohingya – Kompas.com menyarankan agar kehidupan masyarakat yang berkonflik harus diharmoniskan dan disatukan kembali agar konflik tersebut berakhir dengan damai di antara keduanya. Saran ini diketengahkan Kompas.com dengan mengutip pernyataan Jusuf Kalla kepada Thein Sein berikut dalam berita “ROHINGYA Bukan Konflik Etnis dan Agama,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012: “Saya katakan, berdasarkan pengalaman kita, kehidupan masyarakat yang terlibat konflik harus diharmoniskan, disatukan lagi,” kata Kalla.” Penilaian lainnya yakni terdapat dalam berita “Jusuf Kalla Datangi Lokasi Konflik Rohingya,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012: sikap diam Aung San Suu Kyi dalam persoalan Rohingya selama ini disayangkan. Isu keterlibatan aparat. Selama pemberitaan mengenai dugaan atau 200 tuduhan keterlibatan aparat keamanan Myanmar dalam konflik yang terjadi di Myanmar, Kompas.com menuliskan berbagai saran penyelesaian. Saran-saran tersebut, yakni: PBB berupaya seadiladilnya dalam masalah Rohingya di Myanmar karena mereka juga memiliki hak-hak yang harus dijaga, perlunya penyelidikan terhadap konflik yang terjadi, perlindungan bagi suku Rohingya oleh pihak asing, dan masyarakat internasional tidak mempercayai bahwa perubahan – reformasi – di Myanmar sudah berjalan dengan baik. Isu aksi demontrasi. Kompas. com memberikan sejumlah saran me­ nge­nai permasalahan dalam kategori Demonstrasi. Dalam beritanya berjudul “Pengungsi Rohingya Berdemo di Malaysia,” edisi Jumat, 15 Juni 2012, memberi saran antara lain: ada intervensi internasional untuk menghentikan pembunuhan dan kekerasan terhadap Rohingya; dan pemimpin dunia menekan pemerintah Myanmar agar berhenti melakukan penganiayaan tehadap etnis Rohingya. Dalam beritanya berjudul “FUI: Selamatkan Umat Muslim Myanmar dan Suriah,” edisi Jumat, 13 Juli 2012, Kompas memberi saran antara lain: para penguasa Muslim dihimbau untuk memberikan dukungan nyata kepada umat Islam yang tertindas. Dalam beritanya berjudul “Masyarakat Peduli Rohingya Unjuk Rasa di Kedubes Myanmar,” edisi Kamis, 9 Agustus 2012 memberi saran antara lain: OKI memberi perhatian serius dengan melakukan langkah-langkah diplomatik untuk menemukan solusi atas konflik yang terjadi terhadap umat muslim Rohingya; Pemerintah Myanmar mengakui warga muslim Rohingya sebagai salah satu etnik dari negara tersebut. Isu bantuan kemanusiaan. Selama pemberitaan mengenai pemberian Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ... bantuan, Kompas.com turut membingkai berbagai saran penyelesaian. Dalam beritanya berjudul “Sekitar 90.000 Warga Myanmar Mengungsi,” edisi Rabu, 20 Juni 2012 Kompas.com menyarankan agar: memberikan bantuan kemanusiaan bagi orang-orang yang berada di lokasi konflik dan pemerintah Myanmar mengizinkan lembaga-lembaga bantuan memasuki kawasan pengungsian tanpa hambatan. Dalam beritanya berjudul “ROHINGYA Bukan Konflik Etnis dan Agama,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012 Kompas.com menyarankan agar: penyaluran bantuan harus merata pada semua pihak dalam konflik tanpa terkecuali. Terakhir, dalam beritanya berjudul “Myanmar Terbuka untuk Bantuan Asing,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012 Kompas.com menyarankan agar: pemberian bantuan dari lembaga asing, atau negara manapun, termasuk negara Muslim, kepada masyarakat Rakhine tidak boleh bersifat sektarian. Tujuannya agar etnis lain yang menjadi korban dalam pertikaian – selain Rohingya – juga menerima pemberian bantuan. Isu peranan Indonesia. Terhadap permasalahan pembelaan Indonesia bagi Rohingya, Kompas.com memberi saran penyelesaian dengan mengatakan bahwa pemerintah Indonesia harus memberikan kejelasan pembelaan terhadap Rohingya melalui diplomasi yang kuat dan melindungi pengungsi yang datang ke Indonesia tanpa perlu secara terbuka memberi pernyataan bersedia menampung mereka. Saran ini terdapat dalam pemberitaan Kompas.com berjudul “Pramono: Perjelas Pembelaan untuk Rohingya,” edisi Rabu, 1 Agustus 2012. Sedangkan mengenai permasalahan keterlibatan dalam kejelasan duduk persoalan peristiwa yang melanda Rakhine bagi dunia Internasional, Kompas. com menyarankan agar Indonesia turut Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 berperan menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya terjadi di Rakhine kepada komunitas internasional. Isu rombongan Jusuf Kalla. Kompas. com menyajikan saran penyelesaian kepada pemerintah Myanmar agar segera menyelesaikan konflik komunal tersebut sebelum mengarah pada konflik agama. Saran ini terdapat dalam berita Kompas.com berjudul “Jusuf Kalla Datangi Lokasi Konflik Rohingya,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012. Kesimpulan Peristiwa yang berkaitan dengan etnik Rohingya di Myanmar banyak diberitakan di media massa sepanjang bulan JuniAgustus 2012. Peristiwa diawali dengan isu perkosaan seorang perempuan etnik Rakhine yang beragama Budha oleh segerombolan laki-laki etnik Rohingya yang minoritas Islam. Sekelompok etnik Rakhine menuntut balas sehingga beberapa pemuda Rohingya tewas. Konflik ini menyulut menjadi konflik yang lebih besar yaitu antara penduduk mayoritas Budha dengan minoritas Rohingya yang muslim. Bentrokan ini menjadi bahan pemberitaan media untuk menghadirkan realitas yang sesuai dengan perspektif media yang bersangkutan dimata pembacanya. Media Kompas.com adalah media besar di Indonesia yang termasuk memberitakan peristiwa tersebut. Konstruksi realitas yang dihadirkan media Kompas.com ditelaah melalui analisis bingkai model Entman untuk mengetahui ideologi media dalam menghadirkan realitas tersebut. Kompas mengkonstruksikan peristiwa pengungsi Rohingya merupakan perisiwa kemanusiaan yang dipicu oleh tindakan kriminal beberapa orang muslim Rohingya yang memerkosa perempuan Budha Rakhine. 201 Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ... Daftar Pustaka Alam, M. A. Marginalization Of The Rohingya In Arakan State Of Western Burma. www.burmaconcern.com/ pdf_ftp/report/marginalization_ rohingya.pdf Berger, P. L & Luckman, T. (1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan, Jakarta : LP3S. Eriyanto. (2011). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta: LKiS, Herman, A. dan Nurdiansa, J. (2010), Analisis Framing Pemberitaan Konflik Israel - Palestina dalam Harian Kompas dan Radar Sulteng. Jurnal Ilmu Komunikasi, 8 (2), 154-168 Hidayat, D. N. (1999). “Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi” dalam Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Vol. III. Penerima Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi Bungkam Atas Masalah Rohingya, http://detikislam.com/2012/07/15/ penerima-nobel-perdamaian-aungsan-suu-kyi-bungkam-atas-masalahrohingya/ Poloma, M. (1994). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Sobur, A. (2004), Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung : Remaja Rosda Karya Sari, A. V. P. (2012). Analisis Framing Berita Headline Freeport Di Harian Kompas. http://repository.unhas. ac.id/handle/123456789/1665 Satyawan, A. (1 Agustus 2012). “Nestapa Rohingya, Ujian bagi Suu Kyi”, Solopos. http://bisagila.com/readmore.php?t=Ne stapa+Rohingya%2C+Ujian+bagi+Su u+Kyi&f=1317838&p http://id.wikipedia.org/wiki/ Republika_%28surat_kabar%29 http://operadewa.wordpress. com/2012/10/05/konstruksirealitas-oleh-media-massa/ http://print.kompas.com/about/ sejarahkompas.html h t t p : / / y o u t u b e . c o m / warch?v=3cDaWBC70sQ http://kompas.com/about-us Kate, D. T. & Freedman, J. M. (14 Juni 2012). Suu Kyi Calls for Clarity on Myanmar Citizenship After Fighting. http://www.businessweek.com/ news/2012-06-14/suu-kyi-calls-forclarity-on-myanmar-citizenshipafter-fighting Lewa. C. North Arakan: an open prison for the Rohingya in Burma, www.fmreview. org/FMRpdfs/FMR32/11-13.pdf 202 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 203-210 Kebijakan untuk Pelayanan Publik dalam Model Pengembangan Pengelolaan Komunikasi Informasi Pemerintah Daerah Alexius Ibnu Muridjal Sutopo J.K. Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Muchtar Hadi Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstrak In order to observe local customs policy management in acts of communication and information sector in the on going city / county, then one of the focus in this case is in the form of regional policy legislation including regulations concerning product areas (in accordance with the provisions of Law Number 10 of 2004). That is a law established by the Council by mutual consent Regional Head. Within the framework of this study discussed about Yogyakarta Regional Regulation No. 2 of 2010 on Spatial Planning in an effort that rejected its application in the southern coastal communities Kulon Progo. Controversy about the local regulations on top does not mean in spite of two different interests in the planning and implementation efforts. Interests of the Local Government of Yogyakarta on the one hand the suspect can not be separated from the interests of investors as a group of iron sand mining developer and community interests to maintain his livelihood by farming alias maintain coastal areas south Kulon Progo as agricultural areas is not as iron sand mining. Key words: controversy regional regulation, management of communication and information and public policy Pendahuluan Adapun Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai fungsi sebagai dasar pemanfaatan ruang daerah untuk mewujudkan keterkaitan antara keserasian dan keseimbangan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 perkembangan antar sektor dan antar wilayah di daerah. Selain itu juga berfungsi sebagai aturan arahan lokasi investasi yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat. Selain itu juga sebagai pedoman penataan 203 Alexius Ibnu Muridjal, dkk. Kebijakan untuk Pelayanan Publik ... ruang kawasan strategis Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan kata lain diterbitkannya penjabaran rencana tata ruang wilayah nasional untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah disahkan itu dijadikan dasar pemanfaatan ruang dan pengendalian maupun pemanfaatan atas ruang serta pengendalian pemanfaatannya baik oleh pemerintah, pihak swasta maupun masyarakat. Namun ternyata di sisi lain Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomer 2 Tahun 2010 tersebut dalam upaya penerapannya menimbulkan kontroversi antara isi dan peruntukannya. Paling tidak mengenai penetapan pada pasal-pasal 58 dan 60 b dari isi peraturan daerah itu sendiri. Dimana hal ini semula di tingkat perumus tidak pernah ada tercantum sebelumnya, tetapi ketika disahkan pasalpasal tersebut muncul didalamnya. Dari sini awal kontroversi tentang peraturan daerah ini terjadi. Perumusan Masalah “Sejauhmana kebijakan untuk pelayanan publik berupa peraturan perundang-undangan daerah (termasuk peraturan daerah yang berpotensi kontroversi) dikelola dalam suatu model mekanisme pengelolaan komunikasi dan informasi di tingkat organisasi Pemerintahan Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta berlangsung selama ini ?” Landasan Teori a. Perencanaan Komunikasi Ke­peme­ rintahan Mengutip situs http://www.scribd. com/4606676/good-governance.,Good Governance, dikatakan bahwa good governance atau tata pemerintahan yang baik, merupakan bagian dari paradigma baru yang berkembang dan memberikan nuansa yang cukup mewarnai, terutama 204 pasca krisis multidimensional, seiring dengan tuntutan era reformasi. Perspektif governance meng­ implementasikan terjadinya pengurangan peran pemerintah, sebagai institusi yang menempatkan diri dan bersikap, ketika berlangsung proses governing dalam konteks governance, bagaimana pemerintah dalam mengelola negara dan publik. Disini paling tidak menurut standar UNDP, digunakan prinsip seperti; partisipasi, transparansi, akuntabilitas, resposif dan konsensus sebagai dasar berpijak. Demikian untuk bisa berperan sesuai standart tersebut, hanya bisa berlangsung jika ada kebijakan publik untuk bisa mengelola mekanisme tindak komunikasi dan informasi yang bertumpu kepada kepentingan bersama, oleh segenap unsur pelaku di tingkat kota/kabupaten. Prasetyo Sudrajat (2001) antara lain mengatakan bahwa perumusan perencanaan komunikasi tak lain, untuk membina hubungan interaktif secara jangka panjang antara masyarakat dengan eksekutif dan legislatif. Karena suatu penyusunan komunikasi partisipatif direpresantasikan oleh sebuah lembaga yang dibentuk bersama oleh eksekutif dengan masyarakat setempat. Dadan Umar Daihani (2008) mengatakan bahwa organisasi merupakan sekumpulan orang-orang yang membentuk sebuah sistem terpadu, mengenai bagaimana orang-orang dalam organisasi mencapai tujuan yang sama. Tujuan tersebut sering dituangkan dalam suatu wadah yakni visi. Orang-orang dalam organisasi sebesar apapun, pasti mempunyai tujuan bersama yang ingin dicapai dan tujuan itu tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Demikian halnya dengan kata perancangan sering disamakan dengan fungsi perencanaan, sekalipun ini memang tidak salah. Namun dalam perancangan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Alexius Ibnu Muridjal, dkk. Kebijakan untuk Pelayanan Publik ... organisasi akan lebih detail dijelaskan, bagaimana strategi spesifik mengenai langkah-langkah agar organisasi terbentuk. Jadi secara spesifik, perancangan organisasi di sini adalah sebuah usaha formal, proses yang terarah untuk mengintegrasikan manusia, informasi dan teknologi dalam sebuah organisasi. Tekad Djaja Sakti (2000) menunjuk tentang bahasan penyusunan strategi komunikasi organisasi kota/kabupaten, yang harus dirancang meliputi komunikasi intenal dengan aspek pembenahan organisasi komunikasi kota/kabupaten dan pemetaan sasaran organisasi. Kemudian secara eksternal meliputi pemetaan sasaran organisasi dan melakukan strategi komunikasi integratif. Lebih jauh dibahas pula tentang upaya meningkatkan kualitas komunikasi internal serta bagaimana menciptakan governance awareness dan memperkuat serta memberdayakan promosi potensi kota/kabupaten. Untuk semua ini maka, implementasinya harus terlihat dalam mekanisme kebijakan kota/kabupaten merancang pengelolaan mekanisme komunikasi dan informasi secara integral antar komponen pelaku kota/kabupaten yang ada secara sinergis. Mardiasmo (2002) menunjuk bahwa hal-hal yang mendasar dalam UU Nomer 22 dan 25 Tahun 1999 adalah kuatnya upaya untuk mendorong pemberdayaan masyarakat serta pengembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat dan peran DPRD. Artinya bahwa undang-undang tersebut sudah memberikan kewenangan penuh kepada kepala daerah untuk menjalankan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Untuk ini maka bagaimana kemudian di daerah ataupun di tingkat kota/ kabupaten dijalankan upaya kebijakan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 publik untuk mengelola mekanisme komunikasi dan informasi secara sinergis dan partisipatif oleh pelaku kebijakan organisasi kota/kabupaten yang ada. Relevansi pernyataan di atas dengan implikasi dijalankannya mekanisme pengelolaan komunikasi informasi di tingkat kota/kabupaten sebagai bentuk untuk bisa mewujudkan dijalankannya kewenangan di daerah bersama masyarakat mengelola pemerintahan daerah serta pembangunan kota/kabupaten yang bertumpu pada kepentingan masyarakat. Suatu implementasi kebijakan yang lebih berpola kepada peran dan tanggung jawab eksekutif kota/kabupaten dalam hal pengelolaan informasi maupun pelaksanaan pembangunan kota/ kabupaten yang ada. b. Peraturan Daerah Perkembangan permasalahan baik regional maupun global untuk diimple­ mentasikan dan dikendalikan dengan baik. Hal ini senantiasa bertujuan sebagai upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan. Demikian juga demi pe­ nyelarasan opini pembangunan provinsi serta kota/kabupaten adalah dengan memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup (http://taruadkws). Karena itu dari sini kemudian dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Tata Ruang Wilayah Nomer 2 Tahun 2010. Selain itu pada pasal 18 ayat 6 UUD 1945 menetapkan Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembangunan. Artinya bahwa suatu peraturan daerah merupakan sarana legislasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah (Asmirawati, 2010). 205 Alexius Ibnu Muridjal, dkk. Kebijakan untuk Pelayanan Publik ... Selain dari pada itu pentingnya peraturan perundang-undangan bagi warga negara adalah memberikan kepastian hukum bagi warga negara, melindungi serta mengayomi hak-hak warga negara (hanihohoy.blogspot. com/2011/04/peraturan-perundangundangan.html). Selain itu mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang telah disahkan tanggal 18 Oktober 2004 tersebut lebih menunjuk tentang Undang-Undang Pemerintahan Daerah dengan segala pasal-pasalnya yang berlaku efektif sekalipun dalam implementasinya Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 tersebut menunjuk adanya semangat untuk melibatkan partisipasi publik namun disisi lain tidak jarang masih terjadi ketegangan antara pemerintah dengan publik seperti apa yang terjadi dengan penetapan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomer 2 Tahun 2010 di atas. Yakni, terjadi penolakan oleh masyarakat atas upaya penerapannya di daerah Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta (www.unggulkeater.org./2010/05/uuno-32tahun2004-tentang-pemerintahdaerah-catatan-implementasi-positif-danproblematika). Anonymous (2000) dikatakan bahwa kegiatan perencanaan tidak terlepas dari perkembangan politik kepemerintahan sosial, ekonomi, dan teknologi serta perubahan paradigma perencanaan dan manajemen publik. Dengan diberlakukannya UU Nomer 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Pemerintahan Daerah dan UU Nomer 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah, telah membawa paradigma baru pada sistem pemerintahan yang semula 206 sentralistis, menjadi desentralistis sehingga pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab penuh dalam proses penyusunan, pelaksanaan dan pembiayaan daerah mempunyai tangung jawab penuh dalam proses penyusunan, pelaksana dan pembiayaan. Di samping itu yang tidak kalah penting, adalah proses desentralisasi yang ditandai dengan semakin jelas manfaat untuk ikut menentukan kebijakan dan strategi pembangunan daerah, sehingga tanpa proses pelibatan masyarakat akan menyebabkan legitimasi perencanaan terasa berkurang atau tidak ada. Metodologi Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Metode penelitian kualitatif menunjuk pada prosedurprosedur riset yang menghasilkan data kualitatif yaitu ungkapan atau catatan orang itu sendiri atau tingkah laku yang terobsesi (Afandi, 1993). Sumber data penelitian ini menggunakan metode wawancara dan studi dokumentatif dari berbagai literatur yang relevan. Sajian dan Analisis Data Berdasarkan beberapa cecklist berikut ini dapat diketahui bagaimana sebenarnya situasi dan kondisi pengelolaan kebijakan untuk pelayanan publik itu selama ini berlangsung dengan model mekanisme pengelolaan tindak komunikasi dan informasi di tingkat organisasi eksekutif maupun legislatif dan masyarakat Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Berikut adalah daftar dari instrumen tentang berbagai isu pengelolaan komunikasi dan informasi di tingkat kota/ kabupaten yang dimaksud : untuk tingkat eksekutif isu-isu utama berkait dengan pengelolaan komunikasi dan informasi meliputi ketersediaan informasi, evaluasi Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Alexius Ibnu Muridjal, dkk. Kebijakan untuk Pelayanan Publik ... dan kesadaran akan manfaat informasi. daerah, pelaksanaan berbagai bentuk kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan Sedangkan isu-isu utama untuk tingkat pelayanan kebijakan untuk masyarakat. legislatif meliputi sumber informasi dari unsur masyarakat dan eksekutif dengan Dari cecklist atas sejumlah isu yang item-item seperti ketersediaan informasi ditanyakan tersebut antara lain dapat opini aspirasi masyarakat, informasi dikelompokkan dalam tingkatan eksekutif pengaduan dari masyarakat tersedia dan mengenai: 1) Strategi komunikasi meliputi bagaimana mekanisme informasi pendapat pertanyaan apakah sudah ada rencana masyarakat itu diterima. Adapun di informasi ? Apakah ada evaluasi hasil tingkat masyarakat maka isu-isu utama pengelolaan informasi ? dan apakah ada yang menjadi perhatian atau kajian disini kesadaran atas manfaat informasi ? Untuk antara lain seberapa jauh masyarakat lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1 berikut mengetahui informasi tentang kebijakan ini. Tabel 1. Data Staregi Komunikasi di Tingkat Eksekutif Pertanyaan 1. Apa sudah ada rencana informasi 2. Apa ada evaluasi hasil pengelolaan informasi 3. Apa ada kesadaran atas informasi Sumber: Diolah penulis Jawaban Belum ada Realisasi/Obyektivitas Dari atasan Sekadarnya ditangani Tercatat dalam dokumentasi Sekadarnya tahu manfaatnya Dilaksanakan dengan pembagian tugas Dilihat dari data di atas ini nampak bahwa rencana untuk pembuatan/ persiapan informasi oleh dinas pelaksana di tingkat Kabupaten Kulon Progo terkesan tidak diketahui ada atau tidaknya informasi yang hendak diberikan pada level staf/unit organisasi eksekutif yang ada. Sehingga berdasarkan pengamatan langsung realisasi yang ada secara obyektif bahwa rencana informasi selalu berkait dari atasan/pimpinan kerja masing-masing. Gambaran bahwa rencana informasi selalu berasal dari atas dan menjadi kewenangan atasan. Sementara staf hanya sebagai pelaksana rekomendasi atau petunjuk dari atasan. Demikian juga evaluasi atau informasi yang dikelola dilakukan dalam bentuk administratif kerja birokrasi ala kadarnya. Berikut adalah gambaran di tingkat legislatif tentang sejumlah isu pengelolaan komunikasi dan informasi yang berlangsung selama ini. Untuk di tingkat legislatif maka isu-isu utama yang ada yaitu tentang sumber informasi dari masyarakat dan dari eksekutif. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel 2 ini: Tabel 2. Data Informasi Tingkat Legislatif dari Masyarakat. Pertanyaan Jawaban Realisasi/Obyektivitas 1. Apakah informasi opini aspirasi Tersedia Pada komisi/ masyarakat tersedia sekretariat/fraksi 2. Apakah informasi pengaduan masyarakat Relatif tersedia Komisi/fraksi tersedia dan tindak lanjutnya 3. Apakah pendapat masyarakat tersedia Realatif tersedia Sekretariat dewan Sumber: Diolah penulis Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 207 Alexius Ibnu Muridjal, dkk. Kebijakan untuk Pelayanan Publik ... Tabel 3. Data Informasi Tingkat Legislatif dari Eksekutif Pertanyaan 1. Apakah informasi kebijakan eksekutif tersedia 2. Apakah informasi agenda pembangunan tersedia 3. Apakah informasi agenda anggaran pembangunan daerah tersedia Jawaban Tersedia Realisasi/Obyektivitas Di sekretariat/komisi/ fraksi Tidak selalu tersedia Tersedia Di sekretariat dewan Di sekretariat dewan Sumber: Diolah penulis Melihat pada Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa ternyata organisasi/unit-unit pelaksana di tingkat eksekutif menyatakan bahwa dilihat dari ketersediaan informasi, cara evaluasi informasi maupun kesadaran aparat eksekutif akan informasi cukup tersedia keberadaannya pada level pelaksana masing-masing yang ada di eksekutif. Begitu juga ditingkat legislatif, peran komisi, fraksi, dan kesekretariatan dewan merupakan pelaksana informasi yang ada dengan tingkat ketersediaan yang relatif ada, dan dijalankan Berikut ini dapat ditunjukkan mekanisme tindak komunikasi dan informasi pada level masyarakat yang selama ini berlangsung di Kabupaten Kulon Progo. Yaitu meliputi isuisu tentang sejauhmana mengetahui tentang perumusan kebijakan daerah/ kota, pelaksanaan kebijakan, pelayanan masyarakat yang selama ini berlangsung. Untuk lebih jelas lagi dapat dilihat Tabel 4 di bawah ini sebagai berikut. Tabel 4. Data Informasi Kebijakan di Tingkat Masyarakat Pertanyaan 1.Apakah informasi perencanaan daerah dapat di akses 2.Apakah informasi tender proyek dapat diperoleh, dimana 3.Apakah informasi pelayanan kegiatan tersedia 4.Apakah pelayanan perizinan tersedia Jawaban Tidak selalu Realisasi/Obyektivitas Belum tersosialisasi Tidak tahu Belum tersosialisasi Tidak tahu Tidak tahu Belum tersosialisasi Belum tersosialisasi Sumber: Diolah penulis Demikian dari gambaran data wawancara terhadap unsur-unsur masyarakat yang diplih sebanyak 3 orang dapat dikelompokkan pernyataan mereka sebagai menjawab tidak selalu tersedia, tidak tahu apakah tersedia atau tidak berbagai jenis informasi tentang kepemerintahan atau kebijakan yang dijalankan. Hal ini secara obyektif dapat disimpulkan dari semua itemitem pertanyaan yang diajukan serta 208 jawaban yang diberikan tersebut dapat disimpulkan belum pernah ada proses sosialisasi atas berbagai jenis informasi kebijakan pemerintah yang dilakukan di masyarakat selama ini. Dari kenyataan gambaran ini maka mekanisme pengelolaan tindak komunikasi dan informasi kepemerintahan daerah belum tertata atau berlangsung sebagai suatu pola mekanisme komunikasi informasi yang baik. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Alexius Ibnu Muridjal, dkk. Kebijakan untuk Pelayanan Publik ... Kesimpulan 1. Mekanisme pengelolaan tindak komunikasi dan informasi kebijakan pemerintahan daerah, baik di tingkat pelaksana eksekutif, legislatif dan di masyarakat belum menggambarkan suatu model mekanisme yang baku dijalankan maupun yang berlangsung selama ini. http://www.scribd.com/4606676/goodgovernance.,Good Governance http://taruad-kws www.unggulkeater.org./2010/05/uu-no32tahun2004-tentang-pemerintahdaerah-catatan-implementasi-positifdan-problematika. 2. Aksessibility dan acceptability informasi kebijakan belum terencana dan berlangsung sebagai tindak komunikasi dan informasi yang bersifat partisipaty. 3. Wujud upaya good governance mau­ pun art urban management di tingkat kepemerintahan daerah masih meng­ anut model top-down information sebagai suatu model pengelolaan tindak komunikasi dan informasi yang konvensional berlangsung selama ini Daftar Pustaka Afandi, A. Khozin. (1993). Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional. Asmirawati, Nova. (2010) Perda, Kantor HAM dan Hukum DIY. Yogyakarta: Pemprov DIY. Anonymous, (2000). Modul Pelatihan Program Dasar Pembangunan Perkotaan. Djaja Sakti, Tekad. (2000). Penyusunan Strategi Komunikasi Kota Mardiasmo, (2002). Makalah dalam Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat Moneter Indonesia. Sudrajat, Prasetyo. (2001). Makalah Komunikasi Partisipatif di Dalam Pengelolaan Kota. Umar Daihani, Dadan. (2008). Makalah Perancangan Organisasi hanihoho y.b logspot.com/2011/ 0 4 / peraturan-perundang-undangan. html Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 209 Alexius Ibnu Muridjal, dkk. Kebijakan untuk Pelayanan Publik ... 210 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 211-220 Fenomenologi Ziarah Makam Gunung Kemukus Subagyo Alexius Ibnu Muridjal Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Thomas Aquinas Gutama Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract The phenomenon of pilgrimage is the tomb of hereditary tradition that still continues to this day. A tradition that is deeply rooted in religious society though. Although there are criticisms leveled against the practice of pilgrimage is performed as disfiguring monotheism among the followers of Islam. This study took place in the tomb of Prince Samudro in Mount Kemukus, Sragen. To see the form of the assurance and rituals as practiced what the pilgrims. Indeed there is a kind of belief that pilgrims still often mengkeramatkan certain tombs there as a shrine. But otherwise there is found the tomb shrine just a cultural tradition of ordinary people who saw the tomb as the location of the final peristiharatan humans. On the basis of the opinion or the opinion of those who visit the tomb of the obvious fact that people are still done in the community regardless of where they come from religion or socioeconomic status. Key words: pilgrimage mystical phenomena and processes of social reality Pendahuluan Di kalangan penganut mistik Jawa masih mempercayai mitos sebagai media untuk menafsirkan proses perjalanan hidupnya ke depan, maka tidak mengherankan manakala orang sulit untuk membedakan cerita yang bernuansa mistos, legenda dan realitas (pikirankoe. wordpress.com/2008/08/menjelajahimajinasi-mistik-Jawa.html). Untuk kelompok orang sebagai penganut mistik baginya mitos mempunyai Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 makan dalam kehidupan kosmos sebagai bentuk pesan dari peristiwa-perisiwa yang terjadi maupun yang akan terjadi. Bisa jadi mitos hanya dianggap cerita tentang dewa-dewa, orang-orang, peristiwa atau kejadian-kejadian tertentu. Sebagai fokus utama disini adalah untuk menyoroti bagaimana sebenarnya proses Konstruksi Realitas Sosial yang dibangun oleh orang-orang sebagai pelaku ziarah makam, menafsirkan menurut makna dan arti sendiri tentang ziarah 211 Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ... mistik makam Gunung Kemukus sebagai pengalamannya selama ini. Faktor-faktor sosial budaya seperti apa yang turut berpengaruh atas terbentuknya konstruksi realitas pada diri orang-orang sebagai peziarah makam seperti yang selama ini dialami, diketahui, dirasakan maupun juga diyakini, dipercaya seperti yang dipraktekkan. Apakah benar bahwa tahapan atau proses internalisasi, eksternalisasi maupun subyektivasi dari yang berlangsung dalam dirinya, dianggapnya turut membentuk persepsi dirinya tentang makam Gunung Kemukus sedemikian rupa ditafsirkan berdasarkan makna serta arti tertentu sebagai suatu realitas obyektif, simbolik atau subyektif. Kerangka Teori a. Agama Sakral dan Profan Berkaitan apa dan bagaimana sebenarnya peran mistik bagi masyarakat Jawa pada umumnya merupakan ajaran tentang kesempurnaan hidup yang menekankan aspek batiniah. Yakni, dengan mensucikan diri dari unsur-unsur duniawiah. Paku diri dapat diwujudkan dengan beberapa cara seperti: 1. Tapa jasad, yaitu ikhlas terhadap takdir. 2. Tapa budi, yaitu menghindari per­ buatan hina. 3. Tapa nafsu, yaitu menghindari nafsu angkara. 4. Tapa cipta, yaitu menjaga kesucian hati. 5. Tapa sukma, yaitu menjaga keheningan hati. 6. Tapa cahaya, yaitu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa. 7. Tapa gesang, yaitu menuju kesem­pur­ naan hidup. (http://widodo-sarono.blogspot. com/2011/12/peran-mistik-bagimasyarakat-Jawa.html) 212 Memang ada suatu pengalaman spiritual yang sulit diungkapkan dalam bentuk bahasa verbal. Oleh karena itu maka pengalaman mistik dan penangkapan terhadap simbol sangat tergantung bagaimana seseorang mampu memaknainya. Untuk ini sesuai dengan Teori Interaksi Simbolik dikatakan bahwa simbol adalah obyek sosial dalam interaksi yang ada dengan premis bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada dirinya. Selain juga bahwa makna berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain dimana kemudian makna-makna tersebut disempurnakan pada saat proses interaksi sosial itu berlangsung (Poloma, 2007). Dalam bukunya yang berjudul Sakral dan Profan karya Mercia Eliade (dalam Nurwanto, 2003) membahas adanya dua perbedaan mendasar tentang pengalaman tradisional dan modern yang menunjuk bahwa, manusia tradisonal atau yang disebut sebagai homo religius, selalu terbuka untuk memandang dunia pengalaman yang sakral. Sedangkan manusia modern tertutup bagi pengalaman semacam ini. Dikatakan selanjutnya oleh Eliade bahwa, bagi orang-orang dunia ini hanya dialami sebagai profan. Dari sini menunjukkan apakah pengalamanpengalaman yang berlawanan itu dalam setiap tahapannya memang konsisten. Karena menurutnya manusia tradisional sering kali mengekspresikan pertentangan ini sebagai nyata versus tidak nyata, dimana orang berusaha sebisa mungkin untuk hidup dalam yang sakral, agar sepenuhnya dapat menghempaskan serta menyempurnakan dirinya dalam realitas. Dari pendapat ini, dapat dijelaskan bahwa adalah logis bila kalangan peziarah Gunung Kemukus adalah tergolong sebagai manusia tradisional memandang Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ... ziarah makam termasuk juga sebagai pengalaman sakral. Seperti dikatakan juga oleh Eliade bahwa sesuatu yang sakral itu karena seseorang memanifestasikan dirinya secara berbeda dalam dunia profan. Artinya ziarah mistik di kalangan peziarah Gunung Kemukus, melakukan ritual sedemikian rupa dan berbeda dengan bentuk-bentuk ritual lain yang ada dalam dunia profan. mistik dimanefistasikan dalam suasana mistik secara langsung dialami oleh seseorang sebagai suatu pengalaman batin. Demikian dari pendapat Eliade di atas, terutama terkait dengan materi ziarah Gunung Kemukus, dapat disimpulkan bahwa pemahaman manusia sekalipun mengenai yang ilahi tidak pernah akan tuntas, karena manusia terbatas oleh ruang dan waktu. Begitu pula bahwa pengalaman religius ataupun laku batin dalam ajaran Kejawen dengan segala kearifannya, memaknai bahwa realitas keilahian itu adalah misteri (Andreas, Yumama, Sinar Harapan, 2008). Dari perspektif di atas, tahapan dialektis itu juga berlangsung di kalangan para peziarah makam Gunung Kemukus dalam upaya dirinya mengKonstruksi Realitas Sosial tentang ziarah misik dengan obyek makam di Gunung Kemukus, Sragen. b. Postulat Mistisme Dari berbagai postulat yang mengungkapkan konsep tentang Tuhan, baik itu yang berpaham panteisme maupun monoteisme diketahui bahwa pola hubungan antara manusia dengan Tuhan dapat dibedakan menjadi dua macam kecenderungan mistik. Yakni union mistik dan personal mistik (fairuzzabadi.blogspot. com/2010/10/macam-mistikisme. html). Dimana union mistik merupakan kesatuan mistik diartikan sebagai proses terjadinya pengalaman penyatuan jiwa manusia dengan realitas yang lebih tinggi yang terjadi secara langsung. Sedangkan personal mistik adalah hubungan antara manusia dengan pencipta. Demikian dari penjelasan tentang macam-macam mistik yang ada maka paham union mistik dapat digunakan sebagai suatu paham yang menggambarkan bagaimana laku ziarah Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Berangkat dari perspektif Berger dalam bukunya yang berjudul The Sacred Canopy, agama dimengerti sebagai hasil konstruksi manusia melalui tiga tahapan dialektik, yakni, eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi (for-the-better-word.blogspot. com/agama-sebagai-realitas-sosial.html). c. Kejawen Dikatakan bahwa Kejawen adalah suatu ajaran spiritual leluhur Jawa (http://agamaKejawen.blogspot.com/p/ Kejawen-murni.html) yang belum terkena pengaruh dari budaya luar. Selain itu agama Kejawen adalah nama sebuah kelompok kepercayaan-kepercayaan yang mirip satu sama lain dan bukan sebuah agama yang terorganisir seperti agamaagama yang ada lainnya sebagai ciri khas dari agama Kejawen adalah perpaduan antara unimisme dan agama Hindu ataupun Budha. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa Kejawen menunjuk pada etika sebuah gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran Jawa. Misalnya seperti yang ditunjuk dalam keagamaan orang Jawa Kejawen yang ditentukan oleh kepercayaan mereka pada berbagai kebiasaan laku batin. Yaitu, suatu kegiatan orang Jawa Kejawen seperti meditasi atau semedi. Oleh Koentjoroningrat disebutkan bahwa kegiatan semedi atau meditasi dilakukan bersama dengan tapa brata di tempat-tempat yang dianggap keramat seperti di gunung, kuburan 213 Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ... atau ruang yang dikeramatkan (http:// keratonsurakarta.com/orangJawa.html). Dari penjelasan ini dapat dikatakan peziarah Gunung Kemukus yang orang Jawa melakukan ziarah mistik sebagai suatu kegiatan orang Jawa Kejawen dalam bentuk semedi atau meditasi di lokasi makam seperti yang ada di Gunung Kemukus sebagai ruang yang dikeramatkan selama ini. Di lain pihak laku batin orang Jawa Kejawen disertai mentera yang tidak sama maknanya dengan doa. Sedangkan laku semedi memiliki makna sebagai tata cara memberdayakan daya hidup dengan mengikuti kaidah memayu hayuning bawana. Dari sini daya kehidupan orang akan menumbuhkan dua magis yang melingkupi dirinya. Secara Kejawen dura magis dengan dura alam semesta berkait erat yakni, sebagai gelombang energi yang saling mempengaruhi secara kosmis magis. Itu sebabnya pula sesaji sebenarnya merupakan upaya harmonisasi melalui jalan spiritual yang kreatif (http://sabdalangit.wordpress. com/2009/01/11/menelisik-rahasiafilsafat-Kejawen). Dengan kata lain sesaji dalam ziarah mistik di Gunung Kemukus dilakukan para peziarah sebagai upaya harmonisasi kesadaran manusia. Berdasarkan adanya kesadaran hubungan kesemestaan telah menjadi salah satu landasan utama kawruh Kejawen atau biasa dinamakan ngelmu uripnya wong Jowo, maka dengan demikian cipta, rasa karsa Jawa senantiasa berdasarkan ber-Tuhan, kesemestaan dan keberadaban yang melandasi ngelmu urip. Dari sini kemudian melahirkan budaya dan peradaban Jawa yang mencakup sistem religi dan spiritualisme, filsafat hidup, tradisi dan laku budaya dan lain sebagainya. Atas dasar pemikiran tentang logika Kejawen di atas, dapat dijelaskan bahwa tradisi ziarah mistik Gunung 214 Kemukus berkaitan dengan kesadaran kesemestaan di kalangan peziarah, sebagai manifestasi dari hubungan manusia dengan jagad raya dengan seluruh isinya. Hasil interaksi wiji spiritual Jawa (buildin spiritual) dengan geo spiritual (keadaan alam) melahirkan falsafat pemunggulan (adammas.com) yang berarti bahwa semua yang ada dan tergelar di jagad semesta ini merupakan kesatuan tunggal semesta. Maksudnya ada hubungan kosmis magis dalam jagad raya ini yang dipercaya di kalangan orang Jawa Kejawen. d. Teori Konstruksi Realitas Sosial Teori Konstruksi Realitas Sosial dari Berger dan Luckman mengandung pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial serta kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang diakui keberadaannya sendiri, sehingga tidak tergantung kepada kehendak manusia (Berger and Luckman, 1990). Terkait dengan realitas setidaknya ada tiga teori yang berpandangan ber­ beda yaitu, tentang fakta sosial yang beranggapan bahwa tindakan dan persepsi manusia ditentukan oleh masyarakat dan lingkungan sosialnya. Sementara norma, struktur dan institusi sosial menentukan individu manusia dalam artian yang luas. Sementara tentang tindakan, pemikiran, cara penilaian dan cara pandang terhadap apa saja tidak bisa terlepas dari struktur sosialnya. Begitu halnya dengan teori definisi sosial, beranggapan manusialah yang membentuk perilaku masyarakat. Norma, struktur dan institusi sosial dibentuk oleh individu-individu yang ada didalamnya. Sedangkan teori konstruksi sosial, beranggapan bahwa realitas memiliki Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ... dimensi subyektif dan obyektif. Manusia hanyainstrumendalammenciptakanrealitas yang obyektif melalui proses eksternalisasi sebagaimana ia mempengaruhinya me­ lalui proses eksternalisasi sebagimana ia mempengaruhinya melalui proses inter­ nalisasi yang mencerminkan realitas subyektif. Demikian untuk tujuan tiga tipe realitas yang senantiasa berlangsung dalam proses dialektis yaitu : 1. Realitas obyektif. Suatu kenyataan yang dialami sebagai dunia nyata yang berada di luar individu. Kenyataan ini dipahami sebagai kenyataan yang par-exelence yang tidak memerlukan pertimbangan lebih lanjut melampaui keberadaannya. Sekalipun manusia bisa saja mempertimbangkan untuk tuju­an rutinitas kegiatan yang menjamin ke­beradaannya dan interaksinya dengan orang lain. 2. Realitas simbolik. Terdiri dari segala macam bentuk ungkapan simbolik dari realitas obyektif yang ada. Dalam hal ini ada banyak realitas simbolik yang berbeda satu dengan yang lainnya melalui suatu sistem simbol yang bermacam-macam. Dalam hal ini yang penting adalah kemampuan individu untuk merasakan lingkungan realitas simbolik yang berbeda dan untuk bisa membedakan macam-macam obyek yang merupakan unsur pokok realitas yang macam-macam tersebut. 3. Realitas subyektif. Adalah yang mana baik realitas simbolik maupun realitas obyektif me­ rupa­kan suatu input bagi pembentukan realitas. Dari penjelasan teori di atas, maka sejauh mana proses konstruksi realitas ziarah mistik makam Gunung Kemukus dapat berlangsung dalam tiga tipe realitas di atas. Apakah sebagai realitas obyektif, Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 simbolik dan atau realitas subyektif oleh para peziarah makam setempat. Berikut tahapan proses sosial tentang realitas yang berlangsung dalam diri seseorang adalah berkait dengan proses eksternalisasi, yakni merupakan produk aktivitas manusia berupa produk-produk sosial terlahir dari eksternalisasi manusia. Jadi eksternalisasi adalah suatu pencurahan kehadiran seseorang secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mental. Eksternalisasi merupakan keharusan antropologis keberadaan seseorang yang tidak mungkin berlangsung dalam lingkungan interioritas yang tertutup tanpa gerak. Kemudian proses obyektivikasi seperti dikatakan oleh Berger bahwa masyarakat adalah produk manusia yang berakar pada fenomena eksternalisasi. Suatu produk manusia yang kemudian berada di luar dirinya, menghadapkan produk-produk sebagai faktisistas yang berada di luar dirinya. Jadi dalam hal ini semua produk kebudayaan berasal dari kesadaran manusi. Dari pengertian proses ini dapat dijelaskan bahwa ziarah mistik makam Gunung Kemukus oleh para peziarah dikesankan sebagai laku ritual religius mistik sebagai produk ajaran Kejawen sebagai perilaku kebudayaan Jawa yang selama dianut orang-orang. Selain itu proses internalisasi adalah melihat manusia dipahami sebagai kenyataan subyektif yang berlangsung melalui internalisasi. Jadi internalisasi adalah suatu pemahaman atau penafsiran individu secara langsung atas sesuatu peristiwa obyektif melalui bentuk pengungkapan makna. Dengan landasan penjelasan ini, seseorang peziarah terlibat dalam suatu proses internalisasi bahwa ziarah mistik makam merupakan cara pengungkapan makna sebagai laku mistik dalam memahami realitas keberadaan 215 Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ... mitos tertentu yang ada di makam sebagai suatu peristiwa religius batin yang dilakukan orang-orang. e. Teori Interaksi Simbolik Pengertian tentang simbol-simbol yang digunakan dipahami bahwa suatu simbol adalah obyek sosial dalam interaksi yang ada. Sebagai premis utama dari Teori Interaksi Simbolik menyatakan bahwa : 1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada mereka. 2. Makna tersebut berasal dari interaksi sosial antara seseorang dengan orang lain. 3. Makna-makna disempurnakan saat proses interaksi sosial itu berlangsung. Dengan dasar ketiga premis ini, maka pemaknaan bahwa realitas ziarah mistik diartikan sebagai laku ritual batin peziarah sebagai hasil dari interaksinya denga peziarah yang lain atas dasar adanya makna obyek ziarah yang tersebut maupun berdasarkan tindakan yang sama diantara peziarah maupun juga sebagai reaksi atas mitos tertentu yang ada pada obyek makam tersebut. Di sini manusia merupakan aktor yang sadar dan reflektif menyatukan obyek yang diketahuinya sebagai self indication. Yakni, suatu proses komunikasi yang sedang berjalan, dimana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu. Jadi dengan kata lain proses self indication ini terjadi ketika konteks sosial berlangsung dimana seseorang mencoba mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana ia menafsirkan tindakan itu. Atas dasar teori ini, dapat dijelaskan bahwa kebiasaan tradisi ziarah mistik di Gunung Kemukus merupakan 216 tindakan sadar dan reflektif atas obyek makam yang diketahuinya itu. Dari satu orang memberikan penilaiannya dan memutuskan untuk bertindak atas dasar pengetahuannya dan makna tertentu dari tindakan ziarah yang dilakukannya itu. Sementara itu berlangsung sebagai hasil antisipasi tindakan para peziarah lain untuk penyesuaian diri atas tindakan yang dilakukan orang lain tersebut, sama seperti halnya dirinya dalam menafsirkan arti tindakan orang lain tersebut melakukan kebiasaan ziarah mistik di Gunung Kemukus. f. Teori Pemaknaan Pesan Mein Hidayat (2008) menyatakan bahwa dalam konteks komunikasi, makna dan pemaknaan akan selalu muncul dalam episode pembuatan pesan, penerimaan pesan dan proses yang berlangsung didalamnya baik pembuatan maupun penerimaan pesan, berkisar pada bagaimana orang mamahami, mengorganisir dan menggunakan pesan. Dari penjelasan teori ini dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa komunikasi diantara individu para peziarah senantiasa berlangsung pembuatan, penerimaan dan proses pesan. Termasuk informasi tentang lokasi ziarah yang diproduksi dan disampaikan untuk kemudian diterima oleh orang-orang sebagai sesama peziarah tentang lokasi makam yang dimaksud. Dari sini sebagai sesama pelaku ziarah memahami, mengorganisir dan menggunakan informasi yang diperolehnya itu sebagai petunjuk atau arah bertindak melakukan ziarah ke obyek makam Gunung Kemukus yang sudah diketahuinya. Dari hal ini dapat dimengerti bahwa informasi tentang sesuatu hal senantiasa diperoleh seseorang dari orang lain. Karena makna merupakan hakikat komunikasi. Jadi makna atau suatu pemaknaan itu Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ... sesungguhnya dilakukan terhadap apa ataupun siapa. Dalam hal ini adalah tentang obyek makam Gunung Kemukus kepada sesama peziarah ataupun orang-orang yang suka melakukan ziarah mistik makam. riset. Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan dengan sebanyak 6 responden yang merupakan peziarah Makam Kemukus, Sragen. Metode yang dipakai menggunakan fenomenologi. Sedemikian pemaknaan terhadap suatu fakta ataupun kenyataan tentang ziarah mistik makam berlangsung dalam berbagai cara. Salah satunya adalah upaya penafsiran oleh seseorang dengan tetap berpegang pada materi yang ada tentang lokasi, obyek ataupun latar belakang serta konteksnya maka seseorang dapat lebih mengemukakan konsep atau gagasannya dengan lebih jelas lagi tentang ziarah mistik yang selama ini dijalaninya. Dalam penelitian fenomenologi melibatkanpengujianyangtelitidanseksama pada kesadaran pengalaman manusia. Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman kesadaran manusia. Untuk mengidentifikasi kualitas yang esensial dari pengalaman kesadaran dilakukan dengan mendalam dan teliti (Smith, etc., 2009: 11, dalam http://staff. uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/ Dra.%20Mami%20Hajaroh,%20M.Pd./ fenomenologi.pdf). Metodologi Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini menggunakan metode wawancara (indepth interview) mendalam dan studi dokumentatif dari berbagai literatur yang relevan dengan kepentingan Sajian dan Analisis Data Berdasarkan guide interview, maka analisis data yang dilakukan terlihat seperti seperti tabel di bawah ini. Tabel 1 Data tentang Persepsi Responden terhadap Makam Kemukus n=6 Pertanyaan Jawaban Responden Konstruksi Realitas Sosial 1.Obyektif Apa yang terpikir oleh saudara 1. Makam keramat 2. Tempat ziarah 2.Obyektif tentang makam Kemukus 3. Tempat berdoa 3.Simbolik 4. Lokasi ziarah 4.Obyektif 5. Lokasi ziarah 5.Obyektif 6. Makam mistis 6.Subyektif Sumber: Diolah penulis Berdasarkan jawaban dari 6 orang responden penelitian dari Tabel 1 yang ditemui oleh peneliti terlihat makna jawaban yang ada meliputi kategori sebagai tempat ziarah ada 3 orang responden, 2 orang memaknainya sebagai makam keramat atau mistis dan 1 orang memaknainya sebagai tempat berdoa kepada leluhur. Dari tiga kategori makna jawaban responden tersebut, maka berdasarkan persepsi responden yang Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 ada dapat diinterpretasikan konstruksi realitas sosial yang terbentuk dalam masing-masing responden tergolong juga ke dalam tipe realitas obyektif oleh 4 orang responden, 1 orang responden terbangun konstruksi realitas subyektif dan 1 orang lagi terbangun konstruksi realitas simbolik. Berikut dapat dilihat dilihat gambaran data tentang motivasi diri atau alasan responden berkunjung ke makam Kemukus. Seperti pada tabel 2 berikut ini. 217 Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ... Tabel 2. Data Motivasi Responden ke Makam Kemukus n=6 Pertanyaan Apa alasan saudara ke lokasi makam Kemukus Jawaban Responden 1.Memohon niat 2.Mengetahui 3.Diajak teman 4.Percaya 5.Ziarah 6.Ritual Konstruksi Realitas Sosial 1.Subyektif 2.Simbolik 3.Obyektif 4.Subyektif 5.Obyektif 6.Simbolik Sumber: Diolah penulis Dari Tabel 2 di atas nampak pada umumnya motivasi responden berkunjung ke makam Kemukus antara lain terdorong oleh rasa ingin tahu, memohon niatan, diajak teman, percaya, ziarah, dan menjalankan ritual. Dari gambaran ini maka proses konstruksi realitas sosial yang terbentuk di kalangan mereka adalah 2 orang sebagai pembentukan realitas obyektif, kemudian 2 orang sebagai pembentukan realitas subyektif dan 2 orang lagi sebagai pembentukan realitas simbolik dalam kaitannya dengan motivasinya mengunjungi lokasi makam. Berikut ini bagaimana kaitan antara pengalaman sehari-hari yang dirasa oleh responden selama berada dilokasi makam Kemukus seperti pada gambaran data Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Data Pengalaman Responden dan Konstruksi Realitas Sosial-nya n=6 Pertanyaan Pengalaman apa yang saudara rasakan di lokasi makam Kemukus Jawaban Responden 1. Tempatnya suci 2. Rasa hormat 3. Tawasul 4. Religiusitas 5. Ritualisasi 6. Syirik Konstruksi Realitas Sosial 1. Subyektif 2. Subyektif 3. Subyektif 4. Simbolik 5. Simbolik 6. Subyektif Sumber: Diolah penulis Melihat apa yang ada pada Tabel 3, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa dari 6 orang responden yang ada itu, maka hampir seluruhnya memiliki variasi jawaban yang tidak sama atas pertanyaan tentang pengalaman seperti apa yang dirasakan selama ada di makam Kemukus. Dimana mengenai pengalaman rasa yang dialaminya itu seperti tempat yang suci, ada rasa keramat pada orang yang dimakamkan disitu, rasa tawasul (berdoa kepada Tuhan lewat perantara 218 makhluk), religiusitas, dan ada yang merasakan apa yang dialaminya itu sebagai syirik (menyekutukan Tuhan) atau tempat itu syirik. Demikan dari variasi apapun Jawaban responden yang disampaikan di atas, dilihat dari proses konstruksi realitas sosial atas pengalaman rasa yang dialaminya itu, pada umumnya tergolong sebagai gambaran Konstruksi Realitas Sosial yang terbangun sebagai realitas subyektif pada 4 orang responden dan 2 orang lagi Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ... mengkonstruksikan pengalaman rasa yang ada dalam dirinya sebagai gambaran realitas simbolik. poin pertanyaan di atas, maka untuk pertanyaan akhir tentang apa realasi mereka setelah itu yang dilakukan dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini. Demikian dari apapun juga yang dikemukakan responden atas beberapa Tabel 4 Data Realisasi dan Konstruksi Realitas Sosial Responden n=6 Pertanyaan Realisasi yang bagaiman selanjutnya dilakukan oleh saudara Jawaban Responden 1. Penokohan 2. Ingkar 3. Agamis 4. Muamalah 5. Tradisi ziarah 6. Toleransi Konstruksi Realitas Sosial 1. Simbolik 2. Subyektif 3. Subyektif 4. Subyektif 5. Obyektif 6. Subyektif Sumber: Diolah penulis Dari gambaran Tabel 4 terlihat bahwa dari jumlah 6 orang responden memberikan jawaban atas pertanyaan realisasi yang bagaimana selanjutnya yang dilakukan. Maka beberapa variasi Jawaban mereka seperti melakukan penokohan terhadap sosok orang yang dimakamkan di situ, pengingkaran atas agamanya sendiri, lebih menjadi agamis, muamalah (kemasyarakatan) dalam sikap, sebagai tradisi melakukan ziarah dan merasa lebih toleran kepada siapapun. Demikian variasi jawaban responden yang ada diatas, sehingga dari jawaban mereka dikaitkan dengan proses pembentukan konstruksi realitas sosial tentang realisasi yang dilakukannya tersebut tergolong atas. Kesimpulan Dari hasil analisis data di muka maka sebagai kesimpulan yang dapat ditarik, bahwa bagaimana orang memaknai ziarah makam Kemukus menurut persepsinya, menunjuk kepada tipologi konstruksi realitas sosial tertentu yaitu: 1. Ada 7 makna pernyataan dari jawaban responden yang menunjuk bahwa Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 ziarah makam kemukus merupakan gambaran konstruksi realitas obyektif. 2. Ada 7 makna pernyataan dari jawaban responden yang menunjuk bahwa ziarah makam Kemukus merupakan gambaran sebagai konstruksi realitas sosial subyektif. 3. Ada 5 gambaran bahwa ziarah makam Kemukus merupakan konstruksi realitas simbolik dari jumlah pernyataan responden seluruhnya. Daftar Pustaka Andreas, Yumama. (2008). Majalah Sinar Harapan. Berger and Luckman. (1990). Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Jakarta: LP3S. Poloma, Margeret M. (2007). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hidayat, Mein. (2008). Makna dan Pemaknaan Aplikasi dalam Penelitian. Makalah. Bandung: Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran. Nurwanto. (2003). Sakral dan Profan. Edisi Terjemahan. Yogyakarta: Penerbit Fajar Pustaka Baru. 219 Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ... Smith, Jonathan A., Flowers, Paul., and Larkin. Michael. 2009. Interpretative Phenomenological Analysis: Theory, Method and Research. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore, Washington: Sage. Fairuzzabadi.blogspot.com/2010/10/ macam-mistikisme.html pikirankoe.wordpress.com/2008/08/ menjelajah-imajinasi-mistik-Jawa. html http://agamaKejawen.blogspot.com/p/ Kejawen-murni.html http://keratonsurakarta.com/orangJawa. html http://sabdalangit.wordpress. com/2009/01/11/menelisik-rahasiafilsafat-Kejawen http://widodo-sarono.blogspot. com/2011/12/peran-mistik-bagimasyarakat-Jawa.html. http://staff.uny.ac.id/sites/default/ files/penelitian/Dra.%20Mami%20 Hajaroh,%20M.Pd./fenomenologi. pdf 220 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 221-234 Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell terhadap Pengembangan Ilmu Komunikasi A. Eko Setyanto Nuryanto Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Establishment of Communication Studies discipline was originally spearheaded by sosial science experts with a background in scientific fields such as political science, psychology, mathematics, literature and sociology. Therefore the next stage of Communication Studies as a discipline that whole tend to be eclectic and multi-disciplinary. Political science contributed greatly to the birth of Communication Studies through thought Harold Lasswell who is also a professor of political science. Although Lasswell thought to have contributed to the formation of Communication Studies through the theory of propaganda, Lasswell role is still rarely studied. This study is an attempt to fill the void of figure studies thinkers in the field of communication. Key words: communication studies, Harold Lasswell, propaganda Pendahuluan Kegiatan berkomunikasi adalah kegiatan yang melekat pada diri manusia. Bahkan komunikasi itu ada berbarengan dengan keberadaan manusia sebagai homo-sociocus. Kemampuan manusia untuk berkomunikasi semakin lama menjadi semakin rumit dan kompleks sehingga dapat menjadi pembeda antara dunia manusia dengan dunia binatang. Komunikasi yang dikembangkan oleh manusia sarat dengan berbagai simbol dan karena itu hanya dapat dicerna oleh manusia itu sendiri. Fenomena komunikasi secara serius dipelajari sejak zaman Yunani maupun Romawi kuno dalam kemampuan rhetorika. Selain di Eropa, fenomena komunikasi pun dipelajari di Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 India maupun di China. Bahkan kertas sebagai media berkomunikasi ditemukan pertama kali di China sekitar tahun 105 M. Aktivitas komunikasi menjadi semakin intensif ketika ditemukannya alat mesin cetak oleh Guttenberg pada tahun 1457. Alat ini membawa revolusi dalam berkomunikasi, terutama komunikasi cetak yang mampu menebar ide dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang relatif singkat. Pada awalnya, kegiatan komunikasi yang semakin masif berupa propaganda untuk menyiarkan agama, baik di Eropa untuk penyiaran agama Kristen maupun di Jazirah Arab untuk penyiaran agama Islam. Penemuan mesin cetak pada awalnya dipergunakan untuk mencetak buku-buku injil. 221 A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ... Fenomena komunikasi yang sudah dicermati sejak zaman Yunani Kuno ternyata tidak segera melahirkan kajian tersendiri yang dikenal sebagai Ilmu Komunikasi sampai akhir abad 19. Baru pada awal abad 20, fenomena komunikasi dipelajari secara serius oleh ahli-ahli politik, matematika, psikologi, linguistik dan sebagainya. Kajian-kajian mereka ini pada akhirnya melahirkan ilmu baru yaitu Ilmu Komunikasi. Kajian-kajian para ahli tersebut antara lain Harold Lasswell (ilmu politik), Kurt Lewin (Psikologi sosial), Carl Hovland (psikolog), dan Paul Lazarsfeld (sosiolog). Kegiatan akademik pada awal ke­ lahiran Ilmu Komunikasi sudah meng­ gambar­kan bahwa fenomena komunikasi merupakan suatu obyek yang dapat diteliti oleh berbagai disiplin ilmu. Dengan kata lain, komunikasi bukanlah suatu disiplin ilmu. Ia hanya sekedar obyek kajian disiplin ilmu lain belaka. Pada perkembangan selanjutnya, seorang ahli yang bernama Wilbur Schramm mengemas menjadi disiplin ilmu tersendiri yang terpisah dari disiplin ilmu-ilmu lainnya. Selepas Perang Dunia II, Ilmu Komunikasi berkembang pesat sejalan dengan penemuan-penemuan mutakhir teknologi komunikasi dan komputer serta semakin berkembangnya kegiatan di bidang perdagangan/pemasaran, khususnya bidang periklanan dan public relations. Sejalan dengan kemajuan aktivitas komunikasi, kajian-kajian di bidang komunikasi juga semakin berkembang dan semakin canggih. Namun demikian, kajian-kajian tentang formasi ketika Ilmu Komunikasi dibentuk, masih jarang dilakukan. Kajian-kajian dengan berbasis pendekatan biografi personal para pelopor Ilmu Komunikasi tidak banyak yang mempelajarinya. Beberapa diantaranya 222 antara lain Everett Rogers (1994) mengkaji sejarah Ilmu Komunikasi dengan pendekatan biografi personal. Nuryanto (2011) meneliti pemikiran Wilbur Schramm dalam upaya membentuk disiplin Ilmu Komunikasi. Sementara itu, masih banyak tokoh-tokoh intelektual pelopor Ilmu Komunikasi yang pemikirannya patut dikaji secara mendalam. Salah satunya adalah Harold Dwight Lasswell (19021978). Keintelektualan Harold Lasswell dibesarkan dalam tradisi ilmu politik. Namun menurut Almond (1987), selain ilmu politik Lasswell juga belajar psikologi. Kedua ilmu itu ia gabungkan menjadi psikologi politik (Lasswell, 1925) dan menjadi pijakan untuk membangun teori propaganda politik (Lasswell, 1927). Propaganda menjadi kajiannya yang serius terutama ketika Perang Dunia II. Lasswell diserahi tugas oleh pemerintah Amerika untuk mengungkap manipulasi dan tehnik propaganda Nazi. Kajian-kajian propaganda inilah yang menjadi salah satu elemen dalam menyusun bangunan Ilmu Komunikasi. Istilah Who (says) What (to) Whom (in) What Channel (with) What Effect dalam kegiatan komunikasi sangat dihafal oleh hampir semua mahasiswa komunikasi. Istilah ini merupakan turunan dari kajiannya di bidang politik yang berbunyi Politics is who gets what, when, and how. Meskipun Lasswell telah memberikan sumbangan besar dalam Ilmu Komunikasi, tradisi keintelektualannya yang multidisiplin belum banyak dikaji. Padahal kajian-kajian semacam ini penting untuk diketahui oleh mahasiswa komunikasi atau siapa saja yang baru belajar Ilmu Komunikasi agar mereka dapat memahami secara utuh tradisi intelektual para pendiri Ilmu Komunikasi. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ... Sketsa Kehidupan Harold Laswell Terlahir dengan nama lengkap Harold Dwight Lasswell di kota kecil Donnellson, Illinois, Amerika Serikat tahun 1902. Ia dikenal sebagai seorang sarjana mumpuni dan salah satu pelopor behavior scientific revolution atau revolusi perilaku dalam kajian ilmu sosial, khususnya ilmu politik. Dalam bidang ilmu politik ia menekankan pentingnya kajian tentang kepribadian (personality), struktur sosial maupun budaya yang berpengaruh dalam fenomena politik. Sesuai dengan aliran perilaku yang ia pelopori, metodologi dalam penelitian ilmu sosial-politik pun banyak yang diperkenalkan dengan halhal baru. Hal-hal baru yang diperkenalkan misalnya metode klinis dan wawancara mendalam yang diadopsi dari ilmu psikologi. Kemudian analisis isi maupun metode eksperimen yang pada waktu itu ilmu politik didominasi oleh metode pendekatan sejarah, hukum dan filsafat. Demikianlah, Lasswell dikenal sebagai suhu (master) ilmu sosial pada waktu itu karena berlatar belakang berbagai disiplin ilmu yang akhirnya menyatu dalam alam pikirannya. Oleh karena itu, pikiran Lasswell sangat ekletik dan luas tanpa terjebak dalam kungkungan satu disiplin ilmu saja sehingga terhindar dari egoisme sektoral keilmuan. American Council of Learned Societies melukiskan: “Harold Dwight Lasswell, master of all the sosial sciences and pioneer in each; rambunctiously devoted to breaking down the man-made barriers between the sosial studies, and so acquainting each with the rest; filler-in of the interdisciplinary spaces between political science, psychology, philosophy, and sociology; prophetic in foreseeing the Garrison State and courageously intelligent in trying to curb its powers; sojourner in Vienna and selective trans- mitter of the Freudian vision to his American colleagues; disciplined in wide-ranging inquiry; working against resistance to create a modern quadrivium of the sosial sciences Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 that will make them truly liberal arts”. (McDougal, 1979: 676-677). Meskipun Lasswell dinobatkan sebagai suhu ilmuwan sosial, olah-pikirnya tidak berhenti pada ilmu semata, namun selalu bertujuan bagaimana ilmu dapat berperan untuk mempertinggi martabat manusia. Martabat manusia tersebut dapat dicapai melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan demokrasi. Selanjutnya digambarkan : “One of the manifestations of deference human being is to give full weight to the fact that they have minds. People need to be equipped with the knowledge of how democratic doctrines can be justified… No democracy is even approximately genuine until men realize that men can be free; and that laborious work of modern science has provided a non-sentimental foundation for the intuitive confidence with which the poets and prophets of human brotherhood have regarded mankind… There is no rational room for pessimism about the possibility of putting morals into practice on the basis of what we know, and we can know, about the development of human personality” (McDougal, 1979: 680). Sejak kecil Lasswell dididik dalam tradisi intelektual dan agama yang kuat. Ayahnya seorang pendeta Gereja Presbiterian yang mendidik dalam tradisi agama yang taat dan ibunya seorang guru SMA yang mendidik dalam tradisi intelektual yang membiasakan bertanya apa saja demi mencari kebenaran. Dua tradisi yang berbeda itulah menyebabkan Lasswell berpikiran lebih terbuka dan mampu mengadopsi serta mengakomodir berbagai jenis aliran pemikiran yang pada akhirnya membuat pemikirannya lebih kaya dan bahkan cenderung matang sebelum waktunya. Ketika remaja, pamannya yang berprofesi sebagai dokter banyak memberikan bahan bacaan tentang Sigmund Freud kepada Lasswell. Sejak saat itu, ia tertarik mempelajari psiko-analisis, 223 A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ... khususnya studi tentang kepribadian. Semasa di SMA, dari guru Bahasa Inggrisnya Lasswell diperkenalkan dengan pemikiran Karl Marx. Semasa SMA Lasswell telah menjadi editor koran di sekolahnya dimana melalui kegiatan ini kemampuan menulisnya terasah. Setelah memenangkan kompetisi mata uji sejarah modern dan Bahasa Inggris, Lasswell berhasil meraih beasiswa untuk melanjutkan studi di Universitas Chicago. Ia mengambil jurusan ekonomi untuk program under-graduate pada tahun 1918 pada usia 16 tahun. Di jurusan­nya ini ia juga menjadi jago debat. Kehidupan di universitas menjadi awal ketertarikan dalam kehidupan dan karier intelektualnya. Karier intelektual Pada waktu itu Universitas Chicago, tempat pertama kali Lasswell menuntut ilmu, sedang mengalami perkembangan pesat. Jurusan sosiologi pertama kali dibuka di tempat ini. Jurusan ekonomi dan jurusan ilmu politik dipenuhi oleh pengajar-pengajar yang cerdas dan berbakat dan menjadi batu penjuru perkembangan ilmu sosial di Amerika Serikat. Setamat under-graduate, Lasswell melanjut­kan studi pasca sarjana di jurusan ilmu Politik. Bersamaan ketika ia diterima di jurusan ini, terbit karya monumental dosen ilmu politik Charles Merriam berjudul The Present State of the Study of Politics yang merupakan cikal bakal aliran perilaku pada tahun 1921. Pemikiran Merriam dan dosen-dosen lainnya sangat berpengaruh terhadap pendekatan keilmuan Lasswell muda. Studi empirik tentang perilaku memilih mulai dipopulerkan dimulai dengan survei tentang masyarakat Chicago yang tidak menggunakan hak pilihnya. Merriam 224 kemudian mengusulkan bagaimana studi politik dapat dilakukan secara lebih ilmiah. Ia mengusulkan dua hal. Pertama, dalam menstudi perilaku politik perlu dilandasi dengan pengetahuan mendalam dalam bidang psikologi dan sosiologi. Kedua, penggunaan analisis kuantitatif dalam menganalisis fenomena sosial. Studi nonvoters di pemilu Chicago tahun 1923 yang dilakukan Harold Gosnell misalnya telah menggunakan metode eksperimen untuk pertama kali pada ilmu politik. Metode ini adalah metode eksperimen yang pertama kali diaplikasikan diluar ilmu psikologi. Ketika Gosnell ditunjuk Merriam untuk mengembangkan komponen statistik, Lasswell yang ketika itu masih mahasiswa pasca sarjana didorong untuk mengembangkan aspek klinis, psikologi dan sosiologi. Hasilnya adalah artikel yang pertama kali ditulis Lasswell berjudul Chicago’s Old First Ward tahun 1923. Selanjutnya tulisannya yang berkolaborasi dengan Charles Merriam gurunya berjudul Public Opinion and Public Utility Regulation tahun 1924. Ada dua ambisi yang ingin diterapkan Merriam untuk mengembang­ kan ilmu politik di Universitas Chicago dan ternyata dua ambisi ini menyatu pada diri Lasswell dan dikembangkan pada kemudian hari. Ambisi pertama berangkat dari pengalaman Merriam ketika menjadi kepala propaganda Amerika di Roma pada Perang Dunia I. Ambisi kedua berangkat dari keinginan Merriam untuk mempelajari karekteristik pemimpin politik dengan pendekatan psikopatologi. Ambisi pertama Merriam terjelma menjadi karya disertasi Lasswell tentang pentingnya moral, propaganda dan pelatihan kewarganegaraan dalam menjelaskan perilaku politik. Disertasinya ditulis tahun 1927 dengan judul Propaganda Technique in the World War melalui studi Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ... lapangan di Eropa. Dalam disertasinya ini Lasswell menggunakan metode yang masih jarang digunakan yakni analisis isi mengenai propaganda selama Perang Dunia I. Ambisi kedua dari gurunya terpenuhi ketika terbit karya Lasswell berjudul Psychopathology and Politics. Pada tahun 1926 Lasswell terpilih menjadi asisten profesor ilmu politik di Universitas Chicago dan memulai membiakkan penelitian tentang psikologi politik dan kepribadian politik. Ia banyak menggunakan catatan-catatan psikiater dari berbagai rumah sakit untuk meneliti kepribadian politik. Buku Psychopathology and Politics merupakan buku pertama kali membahas secara sistematis studi empiris tentang aspek psikologi dalam perilaku politik. Bersamaan dengan terbitnya buku tersebut, terjadi gelombang antusiasme studi budaya dan kepribadian di bidang antropologi dan psikhiatris. Terjadilah komunikasi keilmuan antara Lasswell dengan antropolog besar saat itu, Edward Sapir, dan psikiater ternama Harry Sullivan. Ketiganya berencana untuk menyusun program riset bertema budaya dan kepribadian di akhir dekade 1920-an. Tahun 1934 terbit bukunya yang berjudul World Politics and Personal Insecurity. Dibuku ini ia memperkenalkan apa yang disebut analisis konfiguratif. Ia menjelaskan: “In Configurative analysis the political process is defined as conflict over the definition and distribution of the dominant sosial values – income, deference, and safety – by and among elites” (Almond, 1987: 257). Ada kalimat dalam buku ini yang nantinya terkenal sebagai formula trademark Lasswell yaitu “Politics is the Study of who gets what, when and how”. Selanjutnya dikatakan: “Political science research hence requires the analysis of the sosial origins, skills, personal traits, attitudes, values and assets Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 of world elites, and their changes over time” (Almond, 1987: 258). Dalam buku ini pula Lasswell mengembangkan analisis yang menyangkut kajian hubungan internasional yakni mengenai konflik yang disebabkan oleh agresivitas manusia. Ia mengatakan: “Conflicts among and within nations are related to human aggressive propensities, as well as the structural conditions of international relations, and domestic societies” (Almond, 1987: 258). Pada tahun 1936, Lasswell menerbikan buku kecil namun kemudian sangat monumental yang mengelaborasi bukunya terdahulu. Buku tersebut berjudul Politics: Who Gets What, When and How. Dalam buku ini ia mendefinisikan politik sebagai: “The struggle among elite groups over such representative values as income, deference and safety. The actors in these conflictual processes are groups organized around skill, class, personality, and attitude characteristics; they employ in different ways and with different effects he political instrumentalities of symbol manipulation, material rewards and sanctions, violence and institutional practices” (Almond, 1987: 259). Tahun 1938 Lasswell meninggalkan Universitas Chicago ke Washington DC yang rencananya akan bergabung dengan Sullivan dan Sapir untuk memenuhi undangan penyandang dana Yayasan William Alanson White untuk mendirikan institut riset yang telah mereka bertiga impikan. Namun malapetaka yang dialami. Mobil van yang berisi penuh karya intelektual Lasswell terbakar ketika menuju Washington DC yang menghanguskan koleksi Lasswell. Dana yang dijanjikan yayasan juga tidak kunjung cair sehingga hubungan Laswell dengan Sullivan memburuk dan akhirnya Edward Sapir meninggal. Di Washington DC pada saat pecah Perang Dunia II, Lasswell banyak dikontrak menjadi konsultan di berbagai 225 A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ... lembaga, terutama lembaga penerangan dan lembaga psikologi antara lain: Office of Facts and Figures, Office of Strategic Services, Foreign Broadcast Monitoring Service, dan Army’s Psychological Warfare Branch. Di sini ia bertemu dengan kawan-kawan baru antara lain Paul Lazarsfeld, Samuel Stouffer dan Carl Hovland. Selama Perang Dunia, Lasswell mengusulkan penelitian yang disebut “world attention survey” yaitu analisis kuantitatif yang terus menerus mengenai isi media cetak maupun penyiaran di negara-negara utama baik itu negara yang berposisi sebagai kawan, netral maupun lawan. Usulan studi tersebut diimplementasikan di Universitas Yale ketika ia diangkat sebagai profesor di sana, Proyek itu ditangani bersama dengan Daniel Lerner dan Ithiel Pool dari Universitas Stanford. Salah satu karya yang dihasilkan oleh proyek ini adalah buku yang berjudul The Policy Sciences. Sentuhan dengan Bidang Komunikasi Semula Lasswell tidak banyak berhubungan dengan bidang komunikasi. Ilmu yang ia tekuni adala psikoanalisis dan politik. Sebagaimana diketahui, ke­ ter­tarikan Lasswell pada psikoanalisis bermula ketika ia remaja melalui bimbing­ an pamannya, lalu menjadi menonjol ketika ia masuk Fakultas Ilmu Politik di Chicago. Penguasaan psikoanalisis Lasswell dipertajam ketika bergaul dengan Harry Stack Sullivan, orang yang ber­­peran penting dalam mengenalkan teori Freud di Amerika dan dengan Edward Sapir seorang antropolog yang me­rupakan pelopor pendekatan budaya dan pendekatan kepribadian dalam Antropologi. Selain belajar dengan Sullivan dan Sapir, Lasswell juga sempat meng­ habiskan waktunya selama 6 bulan 226 bersama Elton Mayo, seorang professor hubungan industri Universitas Harvard. Dari Mayo, Lasswell memperoleh ilmu tentang bagaimana menggunakan metode wawancara psikoanalisis dan metode pencatatan Tahun 1928, Lasswell memperoleh penghargaan berupa beasiswa perjalanan dari Dewan Penelitian Ilmu Sosial untuk mempelajari wawancara penyakit kejiwaan. Ia menghabiskan sebagian waktunya di Boston untuk bekerja dengan Mayo lalu berkunjung ke Vienna dan Berlin. Sepulangnya Lasswell ke Chicago, ia melakukan percobaan menggunakan alat seperti “lie detector” di sebuah kantor yang ia bangun sendiri di Gedung Ilmu Sosial. Ia mengikat “pasien” nya untuk mengukur respon kulit, denyut nadi, pernapasan terhadap tegangan listrik. Indikatorindikator emosi tersebut dihubungkan dengan kata-kata yang mereka ucapkan. Namun, percobaan Lasswell untuk menghubungkan teori psikoanalisis dan tingkah laku tersebut banyak ditolak para sarjana kampusnya. Gagasan-gagasan Lasswell tampak­ nya tidak berjalan dengan mudah karena mendapat perlawanan dari dalam kalangan ilmuwan politik sendiri. Publikasi buku berjudul World Politics and Personal Insecurity tentang teori psikoanalisis dan kepemimpinan politik mendapat kecaman yang massif. Oleh karena itu, selama kurang lebih 12 tahun (1937-1950), tidak ada satu pun artikel Lasswell yang dipublikasikan dalam jurnal ilmu politik. Meskipun demikian, ia tetap mempublikasikan hasil kerjanya pada teori psikoanalisis dan politik di jurnal-jurnal psikiatri. Pada akhirnya, para ilmuwan politik muda menerima perspektif Lasswell dan di tahun 1955 ia terpilih menjadi ketua Asosiasi Ilmu Politik Amerika, hal ini merupakan kehormatan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ... tinggi bagi seorang sarjana yang sudah berusaha untuk mengenalkan perspektif teori radikal seperti teori psikoanalis Freudian pada ilmu politik. Propaganda Ketertarikan mengenai studi propa­ ganda tidak lepas dari anjuran gurunya Chrales Merriam yang akhirnya berbuah pada disertasi Lasswell. “Propaganda”, awalnya, adalah sebuah kata netral, berasal dari kata Latin “to sow” yang bermakna “menyebarkan” atau memperbanyak sebuah gagasan,” Namun, kemudian hari khususnya sejak Perang Dunia 1, penggunaan kata “propaganda” berubah menjadi konotasi negatif setidaknya di Inggris. Pesan propaganda dipersepsikan sebagai ketidakjujuran, manipulatif, dan pencucian otak. Diduga bahwa efektifitas propaganda sekutu dalam percepatan runtuhnya semangat juang Jerman di akhir perang Dunia 1 menjadi jaminan bahwa propaganda akan menjadi bagian di setiap konflik militer yang besar, sekarang dan seterusnya. Selama Perang Dunia 1, pemerintah Amerika Serikat merancang sebuah Komite Informasi Publik, yang diketuai oleh George Creel yang biasa disebut sebagai Komite Creel, untuk memimpin upaya propaganda domestik dan internasional secara besar-besaran. Pada permulaan penelitian komu­ nikasi, propaganda adalah satu diantara jenis-jenis penelitian komunikasi yang paling penting, namun setelah tahun 1940-an, topic ini hampir saja menghilang karena adanya perlombaan paradigma pada penelitian komunikasi statistik yang begitu tinggi dengan metode survei dan eksperimen daripada menggunakan analisis isi untuk mempelajari efek-efek komunikasi. Alasan lain terjadinya Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 penurunan ketertarikan akademis terhadap analisis propaganda adalah kurangnya teori yang koheren dari disiplin ilmu sosial lainnya yang mempelajari studi propaganda. Setelah dipelopori oleh Lasswell dengan disertasi doktoral dan peluncuran buku miliknya, studi propaganda ini lebih lanjut dipromosikan oleh Lembaga Analisis Propaganda, yang dibangun di New York tahun 1973 didirikan Institute for Propaganda Analysis: sebuah perusahaan nonprofit untuk mendorong penelitian ilmiah tentang propa­ganda. Per­kembangan metode komu­­nikasi kuantitatif telah mem­ pengaruhi penelitian Lasswell pada propaganda. Studi pertamanya, “World War 1 Propaganda” lebih bernuansa kualitatif dan bernada kritis. Sebagian besar Lasswell mengekspos teknik dasar yang telah digunakan kedua belah pihak yang berkonflik. Penelitian propaganda Lasswell selama Perang Dunia II yang dilakukan selama 15 tahun lebih bersifat kuantitatif dan statistik. Studi propaganda Lasswell pada Perang Dunia I bersifat empiris dalam pengertian yang ia nyatakan secara spesifik contoh-contoh teknik propaganda yang digunakan oleh bangsa Jerman, Inggris, Perancis dan Amerika. Sebalik­ nya, disertasi Lasswell adalah sebuah contoh ilmu pengetahuan yang sangat teliti: mengelaborasi secara detail definisi-definisi konsep utama, klasifikasi strategi propaganda dan faktor-faktor yang membatasi atau memfasilitasi efek-efek strategi propaganda. Analisis propa­ganda Lasswell didasarkan pada wawancara dengan para pegawai bangsa Eropa dan pada pemakaian bahan arsip, sebaik analisis isi kualitatif pada pesan propaganda. Lasswell memfokuskan penelitian doktoralnya pada simbol-simbol yang digunakan pada pesan propaganda Perang Dunia I. 227 A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ... Perhitungan Lasswell pada propa­ ganda Perang Dunia I adalah wacana yang menggelisahkan karena ia menunjukkan bahwa perang modern adalah benar-benar perang dimana seluruh warga sipil ikut ambil bagian penting di dalamnya. Fakta menunjukkan bahwa propaganda adalah satu dari instrumen yang paling kuat di dunia modern, khususnya pada waktu perang. Menurut Lasswell, propaganda adalah sebagai “manajemen perilaku bersama dengan manipulasi simbol-simbol penting”. Propaganda tidak bersifat baik atau buruk; determinasi tergantung pada cara pandang seseorang dan apakah pesan propaganda itu jujur atau tidak jujur. Propaganda adalah sebuah upaya “untuk mengubah pandangan orang lain yang bertujuan menyebabkan atau membahayakan sese­ orang yang menentang”. Propaganda tidak lain sebuah cara mengatur opini publik. Propaganda yang dibarengi per­ suasi adalah komunikasi yang di­sengaja, dibawa oleh sumber untuk meng­ ubah perilaku pendengar. Dalam upaya persuasi, propaganda sangat memberi keuntungan bagi si pengajak, tapi tidak bagi yang diajak. Dengan demikian, per­ iklanan, public relations, dan kampanye politik merupakan propaganda juga. Meski­pun persuasi sering kali terjadi secara tatap muka, propaganda adalah persuasi yang terjadi melalui media massa. Analisis Isi Analisis isi adalah penelitian pada pesan-pesan komunikasi dengan meng­ kategorisasikan isi pesan ke dalam tingkatan-tingkatan yang bertujuan untuk mengukur variable-variabel tertentu. Metode analisis isi dapat dipelajari dari suatu klasifikasi subjek pada buku-buku perpustakaan, dan dari indeks injil. Analisis isi biasanya digunakan untuk 228 mencari efek-efek pesan, meski data actual tentang efek komunikasi jarang tersedia pada analisis isi. 20 tahun setelah Perang Dunia I, propaganda dan analisis isi Lasswell digunakan sepenuhnya sebagai alat perang pada Perang Dunia II. Namun, pasca Perang Dunia II, propaganda tidak lagi digunakan pada studi komunikasi massa. Model Komunikasi Ketika Perang Dunia II akan segera dimulai, Lasswell menjadi ketua Divisi Percobaan untuk Studi Komunikasi Perang di U.S. Library of Congress. Penelitian propaganda ini didanai oleh Rockefeller Foundation kepada Library of Congress. Pada dasarnya, Lasswell telah membantu menciptakan proyek Library of Congress pada tahun 1939-1940 pada Seminar Komunikasi Massa Yayasan Rockefeller, yang diadakan oleh John Marshall. Seminar Komunikasi Rockefeller juga mencatat sebuah perencanaan persuasif pada pemerintahan federal dalam penggunaannya terhadap komunikasi massa pada saat keadaan darurat perang, sebuah kebijakan yang sebenarnya juga sangat membantu Lasswell untuk memperluas dan menjualnya pada pejabat tinggi di Washington. Seminar Komunikasi Rockefeller diada­kan bulanan selama 10 bulan mulai September 1939 hingga Juni 1940 di ruang seminar, Lantai 64 di Plaza Rockefeller, bangunan milik Rockefeller Foundation. Dalam surat undangan bagi para peserta seminar, John Marshall memberi pernyataan bahwa tujuan seminar adalah untuk menetapkan pedoman umum tentang penelitian komunikasi, sehingga Rockefeller Foundation tahu proyek se­ macam apa yang akan mendapat pen­ danaan. Penandatanganan perjanjian non agresi antara Jerman-Rusia pada Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ... Agustus 1939 dan Invasi Hitler pada Polandia bulan berikutnya menandai dimulainya Perang Dunia II di Eropa. Sejak awal seminar pada September 1939, tujuan seminar berubah drastis pada bagaimana komunikasi digunakan oleh pemerintahan federal guna mengantisipasi datangnya perang. Laporan akhir seminar komunikasi Rockefeller, Needed Research In Communication, tertanggal 17 Oktober 1940, mendeklarasikan bahwa Pemerintah Amerika bertanggungjawab terhadap kesejahteraan rakyat. Pada seminar bulanan tersebut, Harold Lasswell adalah orang yang benarbenar berpengaruh ketika mendiskusikan tentang efek-efek komunikasi. Model efek komunikasi milik Lasswell, ‘’Who says what to whom in what channel with what effects?’’ menjadi kerangka dasar selama seminar. Pemetaan Lasswell pada komunikasi yang diekspresikan melalui model 5 pertanyaan dengan cepat menjadi dikenal luas. Kontribusi Lasswell pada Seminar Komunikasi Rockefeller juga termasuk penjelasannya tentang fungsi komunikasi pada masyarakat merekomendsikan bebe­ rapa hal: a. Pengawasan pada lingkungan, peran media yang memungkinkan seseorang untuk mempelajari dan meneliti masa yang akan datang dengan tujuan untuk mengetahui peristiwa di dunia yang lebih luas b. Korelasi dari respon masyarakat untuk peristiwa-peristiwa di lingkungan, seperti ketika komunikasi media massa bercerita tentang bagaimana seseorang menginterpretasikan berbagai peristiwa. Dalam hal tersebut, berita membantu seseorang untuk merasakan apa yang sedang terjadi di dunia c. Penyaluran warisan budaya, seperti seorang anak yang diajari sejarah, apa yang benar dan apa yang salah dan Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 bagaimana mereka berbeda dari yang lain Kemudian, para sarjana komunikasi juga menambahkan fungsi komunikasi yaitu hiburan. Fungsi yang keempat ini masih diajarkan pada siswa dalam pengenalan bidang komunikasi. Proyek Komunikasi Semasa Perang Harold Lasswell telah “menjual” komunikasi kepada pemerintah federal pada awal Perang Dunia II, bersama para pelopor komunikasi lainnya, seperti, Paul F. Lazarsfeld, Kurt Lewin, dan Wilbur Schramm. Pemerintah Amerika Serikat sedang menghadapi kekuatan Axis dan komunikasi akan sangat berguna dalam upaya ini. Bahkan jika komunikasi bukanlah sebuah disiplin ilmu, ia akan tetap diajarkan di universitas di Amerika. Selain untuk mengembangkan metode analisis propaganda, Rockefeller Foundation juga menyediakan pelatihan lapangan secara teknis sebagai antisipasi bila Amerika Serikat akan menjadi lebih aktif termasuk kegiatan propaganda dan intelijen. Tujuan lainnya adalah menjadikan Lasswell sebagai ahli dalam bidang propaganda di Washington, dimana ia menjadi konsultan bagi para pejabat pemerintah dalam mengembangkan program intelijen dan propaganda. Salah satu yang paling sering meminta bantuan Lasswell adalah Departemen Pengadilan. Lasswell melatih 60 anggota departemen untuk melakukan analisis isi terhadap 39 koran luar negeri diluar studi proyek komunikasi perang, sehingga propaganda luar di Amerika Serikat bisa diketahui. Hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai bukti di ruang pengadilan. Kemudian dalam beberapa kasus, Lasswell menjadi saksi ahli sehingga aksepbilitas analisis isi sebagai bukti dapat 229 A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ... ditetapkan oleh pengadilan tertinggi di Amerika Serikat. Proyek Komunikasi Perang se­ benar­­nya lebih dari sekedar proyek penelitian, yaitu sebuah upaya intelijen atau sebagai operasi intelijen yang lebih menitikberatkan pada metodologi analisis isi daripada untuk memahami lawan pada saat itu secara substantif. Paper proyek Komunikasi Perang milik Lasswell yang diadakan oleh Library of Congress Amerika Serikat menunjukkan bahwa isi beberapa Koran, seperti, Der Bund, Frankfurter Zeitung, Pravda, Le Matin, La Prensa, Egypt Gazette, the Omaha WorldHerald dan lain-lain sudah dianalisis. Lasswell dan teman-temannya para analisis propaganda yang berkantor di Lybrary of Congress Annex, atau yang sekarang biasa disebut dengan the Adams Building, dekat U.S. Capitol Building di Washington, D.C, menabulasi kata-kata insiden, seperti war, nation, peace dan imperialism. Fokus utama pada analisis propaganda adalah pada isi media selama periode awal pecahnya Perang Dunia II di Eropa 1939. Proyek Lasswell tersebut menemukan bahwa Jerman melakukan propaganda dengan cara menyalahkan negara lain sebagai penyebab terjadinya Perang Dunia II, mengekspos tuntutan yang tidak sebenarnya dari propaganda Inggris dan Perancis serta menekankan kelemahan dan dekadensi musuh Jerman. Propaganda Jerman juga menggambarkan karakteristik ancaman orang-orang Yahudi, sebuah tanda datangnya Holocaust. Ilmuwan politik Heinz Eulau meng­­gambar­kan proyek komunikasi perang Lasswell tampaknya takkan pernah berujung dan berakhir dengan penghargaan oleh perusahaan karena kerja keras Lasswell. Lasswell telah membentuk sebuah tim riset dari kelompok muda, 230 termasuk antropolog, psikolog, sosiolog, dan ilmuwan politik serta hampir seluruhnya yang turut mempengaruhi bidang ilmu perilaku setelah perang. Ithiel de Sola Pool, Edward Shils, Morris Janowitz, Abraham Kaplan, dan Sebastian de Grazia, turut terlibat dalam projek analisis isi. Joseph M. Goldsen, turut membantu dalam memberi penjelasan pada sekitar 20 pengkoding yang menganalisis isi koran sekutu dan koran Axis, serta radio siaran dalam negeri dan luar negeri. Pengkoding tersebut diperoleh melalui berbagai jaringan pertemanan. Beberapa dari mereka adalah mahasiswa Universitas Chicago, sementara yang lainnya merupakan rekomendasi dari teman dan kolega Lasswell. Goldsen juga membantu dalam hal mengawasi kegiatan koding sementara Lasswell bertugas untuk mengkategorisasi koding, menginterpretasi hasil analisis isi, juga menyampaikan hasilnya pada beberapa agen pemerintah guna mempengaruhi kebijakan publik. Proyek Lasswell dilakukan di Library of Congress Amerika Serikat karena di sana terdapat banyak koleksi berkenaan dengan koran-koran yang sedang dianalisis, juga dikarenakan Archibald MacLeish, pustakawan Library of Congress adalah seorang yang sangat cinta tanah air dan mendukung sepenuhnya terhadap proyek Lasswell sebagai salah satu langkah penting bagi pemerintah Amerika Serikat menghadapi Perang. MacLeish seperti halnya banyak intelektual Amerika lainnya, meyakini bahwa keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II tidak akan terelakkan saat Perancis jatuh pada Juni 1940, meninggalkan Inggris sendiri menghadapi militer Jerman yang mencoba mendominasi Eropa. Pada tahun 1940, ketika proyek Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ... propaganda mulai dilakukan, Amerika Serikat belum terlibat dalam Perang Dunia II. Presiden Roosevelt berkampanye pada Pemilu untuk kedua kalinya, berjanji akan menjaga Amerika dan mengutarakan keterlibatannya pada perang Eropa sebagai upaya persiapan mobilisasi. Tentu saja, saat itu proyek Lasswell menjadi sangat sensitif dan kemudian disepakati sebagai program yang akan didanai pemerintah federal, sementara itu John Marshall dari Rockefeller Foundation juga membantu demi persiapan Negara dalam menghadapi perang. Ralph Casey ilmuwan politik dan bidang tambahan pendidikan pada bidang Jurnalisme, adalah figure penting dalam memperluas analisis propaganda Lasswell hingga muncul bidang komunikasi massa. Lasswell dan Casey berkolaborasi dalam berbagai hal. Mereka mengabdi di Komite Dewan Penelitian Ilmu Sosial untuk membentuk kelompok dan membahas propaganda dari tahun 1930-1934. Dari kegiatan tersebut, mereka dapat mempublikasikan sebuah bibliografi, Propaganda and Promotional Activities. Selama Perang Dunia II, Lasswell dan Casey menjadi konsultan di sebuah kantor bernama Office of War Information. Dari situlah, analisis propaganda menjadi masukan penting pada lahirnya studi komunikasi Wilbur Schramm. Sebelum Perang Dunia II, studi propa­ganda sudah banyak berubah secara mendasar, antara lain untuk mencari dokumen tentang kekuatan pesan propaganda dan untuk mengidentifikasi kebijakan yang membantu mengekang kekuatan semacam itu. Namun, setelah proyek komunikasi perang Lasswell, yang mempelopori metode kuantitatif analisis isi pada propaganda sekutu dan Axis, para peneliti menjadi netral kembali. Namun demikian, analisis propaganda Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 telah memberi jalan bagi lahirnya Ilmu Komunikasi. Sumbangan Lasswell terhadap Studi Komunikasi Berikut adalah beberapa aspek kontribusi Lasswell terhadap pengem­ bangan studi komunikasi: a. Model 5 pertanyaan komunikasi Lasswell menekankan pada studi komunikasi tentang efek-efek. Sarjana yang meneliti aspek who akan fokus pada faktor-faktor yang menginisiasi dan membimbing aksi komunikasi. Disinilah aspek penting dari analisis kontrol. Sarjana yang meneliti says what dalam proses komunikasi akan fokus pada analisis isi. Sarjana yang meneliti in which channel yakni bagaimana perjalanan suatu pesan akan menekankan analisis data yang berkaitan dengan radio, pers, film dan saluran-saluran komunikasi lainnya. Sarjana yang meneliti to whom akan fokus pada orang yang terdedah oleh media sehingga akan banyak terlibat pada audience analysis. b. Lasswell mempelopori metode analisis isi, menanamkan metode ukuran kualitatif dan kuantitatif pada pesan komunikasi (sebagai contoh, adalah pesan propaganda dan editorial koran). c. Studinya tentang politik dan propa­ ganda perang merepresentasikan jenis studi komunikasi yang penting ketika itu. Kata propaganda kemudian memiliki konotasi negatif dan tidak banyak digunakan saat ini walaupun ada juga yang menggunakan se­ bagaimana propaganda politik. Analisis propaganda telah diserap ke dalam bagian penelitian komunikasi d. Lasswell memperkenalkan teori psiko­ analisis Freudian kepada ilmu sosial di Amerika. Lasswell menyatukan teori 231 A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ... Freudian dengan analisis politik. Ia menggunakan id-ego-superego milik Freud, melalui analisis isi ke masalah pemilu politik. Sebagai contoh, ia menggunakan teori intraindividual Freudian pada level sosial. e. Lasswell membantu menciptakan ilmu-ilmu kebijakan publik, sebuah pergerakan interdisipliner menuju pengetahuan ilmu sosial yang komprehensif dengan disertai aksi-aksi yang bersifat publik juga. Kesimpulan Meskipun fenomena komunikasi lahir bersaman dengan adanya manusia, Ilmu Komunikasi lahir jauh sesudahnya yakni pada abad 19, terutama pada masa Perang Dunia II. Pada masa Perang Dunia, baik yang pertama maupun yang kedua, misscommunication dapat memperparah situasi konflik dan bahkan dapat memunculkan sengketa baru. Oleh karena itu, fenomena komunikasi perlu dipelajari secara serius oleh berbagai disiplin ilmu yang telah ada, termasuk disiplin ilmu politik yang dipelopori oleh Harold Lasswell. Maka dari itu, keberadaan Ilmu Komunikasi sangat diwarnai oleh pendekatan ekletik dimana ilmu tersebut sangat terbuka dengan ilmu lainnya. Para pelopor Ilmu Komunikasi juga berupaya bahwa ilmu baru ini dapat membawa kebaikan dan kesejahteraan manusia serta memberi jalan keluar jika terjadi miss-communication sehingga dengan sendirinya mampu mencegah terjadinya peperangan. Ada beberapa sumbangan pemikiran Harold Lasswell dalam pengembangan Ilmu Komunikasi. Pertama adalah pembentukan model efek komunikasi dengan mengajukan lima pertanyaan kunci yaitu who, says what, in whith channels, to whom, and in what effects. Kedua, memperkenalkan isu tentang propaganda 232 sebagai bagian kajian Ilmu Komunikasi. Ketiga, mengintroduksi metode analisis isi terhadap berbagai media dalam Ilmu Komunikasi. Keempat memperkenalkan teori psikoanalisis dalam kajian Ilmu Komunikasi. Daftar Pustaka Almond, Gabriel, A. (1987). Harold Dwight Lasswell 1902-1978: A Biographical Memoir. Washington D. C: National Academy of Sciences. Anonim, Definition Personality, dalam http://dict.die.net/personality/ personality Antoni. (2004). Riuhnya Persimpangan Itu: Profil dan Pemikiran Para Penggagas Kajian Ilmu Komunikasi. Solo: Tiga Serangkai. Gendlin, Eugene T, A Theory of Personality Change, http://www. focusing.org/personality_change. html#Personality%20Theory%20 and%20Personality%20Change. Huberman, A Michael dan Miles Mattew B. (2009). “Manajemen Data dan Metode Analisis”, dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, terjemahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lasswell, Harold D. (1925). “Two Forgotten Studies in Political Psychology” dalam The American Political Science Review, (19), 4. pp. 707-717. Diakses melalui http://links.jstor.org/ sici?sici= 0003 - 0554 % 28192511 % 2919 % 3A4 % 3C707 % 3ATFSIPP %3E2.0.CO%3B2-V Lasswell, Harold D. (1927). “The Theory of Political Propaganda” dalam The American Political Science Review, (21), 3. pp. 627-631. Diakses melalui http:// links.jstor.org/sici?sici= 0003 - 0554 % 28192708 % 2921 % 3A3 % 3C627 % Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ... 3ATTOPP %3E2.0.CO%3B2-L Littlejohn, Stephen W. (1996). Theories of Human Communication, fifth edition, Belmon: Wadsworth. McDougal, M. S. (1979). Harold Dwight Lasswell 1902-1978. The Yale Law Journal, 88(4), 675-680 Nuryanto. (2011). Ilmu Komunikasi Dalam Konstruksi Pemikiran Wilbur Schramm. Jurnal Komunikasi Massa. 4(2). Nuryanto. (2011). Ilmu Komunikasi Dalam Konstruksi Pemikiran Wilbur Schramm, Laporan Penelitian FISIP UNS, tidak diterbitkan. Rogers, Everett M. (1994). A History of Communication Study: A Biographical Approach, Canada: The Free Press. Smith, Louis M. (2009), ”Metode Biografis” dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, terjemahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yoseph, Iyus, Hand-out Perkuliahan Psikologi, Yayasan Persatuan Perawat Nasional Indonesia – Akademi Keperawatan PPNI Jawa Barat, tanpa tahun. Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 233 A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ... 234 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 Syarat-syarat Penulisan Artikel 1. Artikel merupakan hasil refleksi, penelitian, atau kajian analitis terhadap berbagai fenomena komunikasi, khususnya komunikasi massa, yang belum pernah dipublikasikan di media lain. 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan panjang tulisan antara 6.000-8.000 kata, diketik di halaman A4, spasi tunggal, margin atas dan kiri 4 cm, margin bawah dan kanan 3 cm, menggunakan font Times New Roman 11 point. Artikel dilengkapi dengan abstrak sepanjang 100-150 kata dan 3-5 kata kunci. 3. Artikel memuat: Judul, Nama Penulis, Instansi asal Penulis, Alamat Kontak Penulis (termasuk telepon dan email), Abstrak, Kata-kata kunci, Pendahuluan (tanpa anak judul), Sub-sub Judul (sesuai kebutuhan), Penutup atau Simpulan, Catatan-catatan dan Daftar Kepustakaan. 4. Kata atau istilah asing yang belum diubah menjadi kata/istilah Indonesia atau belum menjadi istilah teknis, diketik dengan huruf miring. 5. Catatan-catatan berupa referensi ditulis secara lengkap sebagai endnotes. 6. Kutipan langsung 5 baris atau lebih diketik dengan spasi tunggal dan diberi baris baru. Kutipan langsung kurang dari 5 baris dituliskan sebagai sambungan kalimat dan dimasukkan dalam teks di antara dua tanda petik. Kutipan tidak langsung (parafrase) ditulis tanpa tanda petik. 7. Daftar Kepustakaan diurutkan secara alfabetis, dan hanya memuat literatur yang dirujuk dalam artikel. Penulisan referensi menggunakan sistem American Pschycological Association (APA) Contoh: Fakih, M. (1997). .Analisis gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Holmer-Nadesan, M. (1986). “Organizational Identity and Space ofAction”, 17 (1), 1986, hal. 49-81. 8. Penulis diminta menyertakan biodata singkat. 9. Artikel dikirimkan kepada Tim Penyunting dalam bentuk file MicrosoftWord (.doc atau .rtf) disimpan dalam disket, CD, USB flashdisk, ataupun sebagai attachment dalam e-mail. 10.Kepastian pemuatan atau penolakan naskah diberitahukan kepada penulis melalui surat atau email. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan kepada penulis, kecuali atas permintaan penulis. 11.Penulis yang artikelnya dimuat akan menerima ucapan terima kasih berupa nomor bukti 3 eksemplar. 12.Artikel dikirimkan ke alamat di bawah ini: JURNAL KOMUNIKASI MASSA Prodi. Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan, Surakarta 57126. Tlp. (0271)632478 Email: [email protected] Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013 235 236 Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013