Vidianka dan Ricky | Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di Kelurahan Karang Anyar Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di Kelurahan Karang Anyar Vidianka Rembulan, M Ricky Ramadhian Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Tinea Korporis merupakan infeksi dermatofitosis. Infeksi akibat dermatofita terdapat di seluruh dunia terutama daerah tropis yang mempunyai kelembapan tinggi seperti Indonesia, dengan angka insidens yang kurang lebih sama di kota-kota besar di Indonesia. Penyakit ini bersifat multifaktorial. Dalam penanganan penyakit, pendekatan dalam pelayanan dokter keluarga tidak hanya berfokus pada aspek biologi (penyakit) tetapi juga dipengaruhi aspek psikososial dan peran serta keluarga. Wanita 47 tahun, seorang pedagang bertubuh gemuk yang mudah berkeringat dan memiliki higiene buruk datang dengan keluhan gatal di lipatan payudara sejak 1 bulan yang lalu dan gatal diperberat bila berkeringat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya lesi makula hiperpigmentasi, polisiklik, soliter, dan terdapat central healing. Pasien didiagnosis dengan tinea korporis. Diberikan terapi antijamur serta dilakukan edukasi mengenai penyakit pasien dan pentingnya memperbaiki higienitas personal dan lingkungan. Diagnosis dan tatalaksana tinea pada kasus ini sudah sesuai dengan beberapa teori dan telaah kritis, didapatkan hasil perbaikan kondisi pasien dan perubahan perilaku berupa peningkatkan higiene perorangan serta kesadaran akan pentingnya pencegahan dalam suatu penyakit. Kata Kunci: dermatofitosis, higienitas, pelayanan kedokteran keluarga, tinea korporis Management Tinea Corporis on A Woman Aged 47 Years In Karang Anyar Village Abstract Infections caused by dermatophytes exist throughout the world, especially tropical regions that have high humidity such as Indonesian, the incidence rate is approximately the same in the big cities in Indonesia. This is multifactorial diseases. In the treatment of the disease, the approach in medical care not only focuses on the biological aspects (disease) but also influenced by psychosocial aspects and the role of the family. A 47 years old women, a merchant who has fatty body and sweat easily and have a bad hygiene came with complaints of itching in the breast crease since one month ago and aggravated itching when sweating. On physical examination found macular hyperpigmentation lesions, polycyclic, solitary, and there is a central healing. Patients diagnosed with tinea corporis. Given antifungal therapy and has been given education about the patient's illness and the importance to improve personal and environmental hygiene. Diagnosis and management of tinea in this case is in compliance with some of the theories and critical analyzes, showed improvement in the condition of patients and behavioral changes such as increasing the individual hygiene and awareness of the importance of preventing the disease. Keywords : dermatophytosis, hygiene,medical care family, tinea corporis Korespondensi: Vidianka Rembulan, S.Ked., alamat Jl. Keranji Blok TK 1 No. 34 BTN WHP, Bandarlampung, HP 085382279453, e-mail [email protected] Pendahuluan Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar sebagai pembungkus yang elastis yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan. Penyakit kulit dapat disebabkan oleh jamur, virus, kuman, parasit hewani, dan lain-lain. Penyakit infeksi jamur, masih memiliki prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia, mengingat negara kita beriklim tropis yang mempunyai kelembapan tinggi.1 Di Indonesia, angka yang akurat mengenai insidensi mikosis superfisialis belum ada. Insidensi di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia tahun 1998 bervariasi dari yang terendah yaitu 2,93% (Semarang), 4,8% (Surabaya), 27,6% (Padang), hingga yang tertinggi 82,6 % (Surakarta).2 Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur dermatofita, J Medula Unila | Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 | 133 Vidianka dan Ricky | Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di Kelurahan Karang Anyar yakni Trichophyton spp, Microsporum spp, dan Epidermophyton spp. Tinea Korporis adalah dermatofitosis yang menyerang daerah kulit yang tidak berambut (glabrous skin), misalnya pada wajah, badan, lengan, dan tungkai. Gejala subyektifnya yaitu gatal terutama jika berkeringat.3 Tricophyton rubrum merupakan jamur yang paling umum di seluruh dunia dan sekitar 47% menyebabkan tinea korporis.4 Tinea korporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada daerah dengan iklim yang panas dan lembab karena seperti yang diketahui, jamur mudah menyebar dalam kondisi tersebut. Oleh karena itu, daerah tropis dan ocialics memiliki insiden yang tinggi terhadap tinea korporis. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi antara lain lingkungan yang padat, ocial ekonomi yang rendah, adanya sumber penularan disekitarnya melalui kontak langsung dengan individu yang terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya handuk, lantai kamar mandi, tempat tidur hotel, dan lain-lain, obesitas, penyakit sistemik, penggunaan antibiotika dan obat steroid.5 Tinea korporis dapat terjadi pada semua usia dengan rentang usia penderita 2564 tahun. Hal ini berkaitan dengan tingkat aktivitas yang mengeluarkan banyak keringat, trauma, dan lama pajanan terhadap jamur.6 Higiene juga berperan untuk timbulnya penyakit ini.7 Higiene atau biasa juga disebut dengan kebersihan, adalah upaya untuk memelihara hidup sehat yang meliputi kebersihan pribadi, kehidupan bermasyarakat, dan kebersihan kerja. Kebersihan merupakan suatu perilaku yang diajarkan dalam kehidupan manusia.8 Perilaku adalah suatu kegiatan makhluk hidup yang berhubungan dengan berbagai aktifitas. Perilaku atau aktifitas manusia, dapat diamati, baik secara langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku kesehatan yang berkaitan dengan upaya kebersihan diri dalam kaitannya dengan upaya pencegahan penyakit dilakukan dengan berbagai cara, contohnya seperti kebiasaan mandi, mencuci tangan dan kaki, dan kebersihan pakaian.8 Pelayanan kesehatan primer memegang peranan penting pada penyakit tinea korporis dalam hal penegakan diagnosis pertama kali, terapi yang tepat, dan edukasi komunitas dalam pencegahan penyakit dan menularnya J Medula Unila | Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 | 134 penyakit ke komunitas. Pendekatan dalam pelayanan medis tidak hanya berfokus pada aspek biologi (penyakit) tetapi juga dipengaruhi aspek psikososial. Keluarga atau rumah tangga adalah unit masyarakat terkecil. Oleh sebab itu untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang baik harus dimulai dari keluarga. Keluarga bisa menjadi pelaku rawat yang baik bagi masingmasing anggota keluarganya. Pola hidup yang kurang baik dalam kehidupan seseorang merupakan salah satu faktor internal dan hubungan yang kurang baik dengan anggota keluarga lainnya merupakan faktor eksternal yang menyebabkan sulitnya penyelesaian masalah medis. Masalah seperti inilah yang kemudian perlu untuk ditelaah lebih lanjut sehingga dapat dilakukan pelayanan dokter keluarga yang holistik komprehensif, kontinu, integratif, dan koordinatif, penyelesaian masalah medis dan psikososial dilaksanakan. Kasus Ny. H, 47 tahun, menikah, seorang ibu rumah tangga yang terkadang bekerja sebagai pedagang kaki lima, datang dengan keluhan gatal dan kemerahan di sekitar lipatan payudara sejak 1 bulan yang lalu. Gatal terjadi sepanjang hari dan memberat terutama saat pasien berkeringat dan tidak dipengaruhi makanan yang dikonsumsi. Pada awalnya muncul bercak merah bulat yang sangat gatal pada daerah tersebut, disertai perubahan warna kulit menjadi berwarna kemerahan dengan pinggir yang tidak rata. Karena sangat gatal, maka kulit tersebut digaruk oleh pasien dengan menggunakan kuku. Pasien tidak segera berobat, hanya didiamkan saja, dan terus digaruk. Selama ini keluarga berobat ke layanan kesehatan jika keluhan sudah benarbenar mengganggu dan tidak teratasi dengan obat warung. Keluhan gatal ini sudah pernah dirasakan oleh pasien sebelumnya, hanya saja lokasinya bukan di badan, namun di selangkangan dan pasien melakukan hal yang sama yaitu hanya menggaruk tanpa mengobatinya sampai pada akhirnya gatal hilang sendiri dan timbul bercak kehitaman sebagai bekas dari garukan. Pasien mengaku mudah berkeringat apalagi bila sedang berjualan di luar. Apabila berkeringat, pasien hanya mendiamkannya saja sampai keringat kering sendiri dan apabila Vidianka dan Ricky | Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di Kelurahan Karang Anyar sampai di rumah pasien tidak langsung ganti baju ataupun mandi. Pasien juga mengaku sering menggunakan pakaian yang sama berulang kali sebelum dicuci. Pasien menggunakan handuk secara bergantian dengan anggota keluarga lainnya. Kebiasaan untuk mengganti sprei kamar tidur pun jarang dilakukan. Pasien mencuci dan mengeringkan baju menggunakan mesin cuci, dengan keadaan baju setengah basah pasien menjemurnya di tempat yang kurang mendapatkan cahaya matahari. Dan hanya pakaian-pakaian tertentu saja yang distrika. Penderita tidak memelihara anjing, kucing, atau ternak lainnya. Tiga hari yang lalu pasien tidak sengaja melihat lipatan payudaranya dan ternyata bercak semakin meluas dan gatal yang tak kunjung hilang, pasien membeli salep 88 di apotik dan mengoleskannya. Sehari menggunakan salep tersebut gatal tetap tidak berkurang dan khawatir bercak semakin meluas anak pasien menyarankan untuk pergi berobat, kemudian pasien berobat ke Puskesmas Karang Anyar dan diberi obat minum antifungal yaitu obat griseovulvin 1x500 mg dan ketoconazole cream yang dioleskan di bercak jamur. Pola pengobatan keluarga adalah kuratif, dimana anggota keluarga mencari pelayanan kesehatan jika sakit saja. Keluarga pasien juga tidak pernah mengingatkan pasien untuk mengobati setiap ada keluhan gatal pada keluarga dikarenakan persepsi keluarga bahwa penyakit gatal mungkin karena serangga dan akan sembuh sendiri. Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama diakui pasien dialami sebelumnya oleh anaknya, berupa gatal dan tampak bercak merah bulat di bagian kaki, karena keluhan gatal bertambah berat dan tidak sembuh dalam waktu lama, anak pasien dibawa berobat ke puskesmas dan diberi salep serta obat minum sehingga keluhan berkurang. Pembahasan Pemeriksaan Fisik : Keadaaan umum: tampak sakit ringan; suhu: 36,9 oC; tekanan darah: 100/70 mmHg; frek. nadi: 84 x/menit; frek. nafas: 20 x/menit; berat badan: 65 kg; tinggi badan: 152 cm; status gizi: (IMT: 28,13 (Gemuk)). Status generalis: kepala, mata, telinga, hidung, mulut, leher, paru, jantung, abdomen, dan ekstremitas semua dalam batas normal. Status neurologis: Reflek fisiologis normal, reflek patologis (-). Rangsang raba normal. Kekuatan otot 5/5 / 5/5 Status Lokalis: pada regio torakal (lipatan payudara) terdapat lesi makula eritema hiperpigmentasi, polisiklik soliter dan pada daerah tepi lesi terdapat skuama halus, sedangkan pada daerah tengah lesi lebih tenang (central healing). Gambar 1. Lesi kulit kunjungan pertama Pemeriksaan Laboratorium: Tidak dilakukan pemeriksaan karena regimen KOH tidak ada. Tinea korporis mengacu pada infeksi jamur superfisial pada daerah kulit halus tanpa rambut, kecuali telapak tangan dan telapak kaki. Dinamakan tinea korporis karena berdasarkan bagian tubuh yang terkena, yaitu di badan dan anggota badan.20 Tinea korporis merupakan infeksi yang umum terjadi pada daerah dengan iklim hangat dan lembab, sekitar 47% disebabkan oleh Trichophyton rubrum.1,4 Predileksi tinea korporis banyak ditemukan pada wajah, badan, lengan, dan kaki bagian atas.21 Gejala subyektif yaitu gatal, dan terutama jika berkeringat. Gejala obyektif yaitu efloresensi, terlihat makula atau plak yang berwarna merah atau hiperpigmentasi dengan tepi aktif dan daerah bagian tengah lebih tenang (central healing). Pada tepi lesi dijumpai papil-papil eritema atau vesikel. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Terdapat lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.3 Pembinaan dengan pelayanan kedokteran keluarga ini dilakukan pada Ny. H dengan usia 47 tahun yang berarti pasien masih di usia produktif,9 datang ke Puskesmas J Medula Unila | Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 | 135 Vidianka dan Ricky | Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di Kelurahan Karang Anyar Karang Anyar dengan keluhan gatal dan kemerahan di sekitar lipatan payudara sejak 1 bulan yang lalu. Gatal terjadi sepanjang hari dan memberat terutama saat pasien berkeringat dan tidak dipengaruhi makanan yang dikonsumsi. Pada pemeriksaan status lokalis didapatkan pada regio thorakal (lipatan payudara) terdapat lesi makula eritema hiperpigmentasi, polisiklik soliter, dan pada daerah tepi lesi terdapat skuama halus, sedangkan pada daerah tengah lesi lebih tenang (central healing). Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik tersebut dapat diketahui bahwa pasien tersebut mengalami infeksi jamur superfisial, yaitu tinea korporis.6,10 Pemeriksaan penunjang menggunakan sediaan dari bahan kerokan (kulit, rambut, dan kuku) dengan larutan KOH 10-30%. Dengan pemeriksaan mikroskopis akan terlihat elemen jamur dalam bentuk hifa panjang, spora, dan artospora (spora berderet). Dengan pembiakan yang bertujuan untuk mengetahui spesies jamur penyebab dengan menggunakan bahan kerokan yang ditanam dalam agar Sabouroud Dekstrose. Untuk mencegah pertumbuhan bakteri, dapat ditambahkan antibiotik seperti kloramfenikol ke dalam media tersebut. Perbenihan pada suhu 24-30°C. Pembacaan dilakukan dalam waktu 1-3 minggu.11 Koloni yang tumbuh diperhatikan warna, bentuk, permukaan, dan ada atau tidaknya hifa. Pada tinea korporis maupun tinea kruris bahan sebaiknya diambil dengan mengerok tepi lesi yang meninggi atau aktif.12 Sensitivitas pemeriksaan mikroskopis KOH adalah sebesar 50-60%. Walaupun pemeriksaan mikroskopik dapat membuktikan adanya infeksi jamur dalam beberapa menit, tetapi pemeriksaan tersebut tidak dapat memberikan gambaran yang lebih spesifik atau untuk identifikasi profil dari agen yang menginfeksi. Evaluasi mikroskopik ini juga dapat memberikan hasil negatif palsu sehingga kultur jamur harus dilakukan ketika infeksi dermatofita dicurigai secara klinis.6 Pada kasus, tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, baik dengan menggunakan KOH maupun kultur sediaan di media agar. Hal ini dikarenakan larutan KOH sedang tidak tersedia di laboratorium puskesmas. Penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan ke pasien. J Medula Unila | Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 | 136 Pendekatan dalam pelayanan medis tidak hanya berfokus pada aspek biologi (penyakit) tetapi juga dipengaruhi oleh aspek psikososial. Pada pasien ini dilakukan intervensi sebanyak 3 kali, dimana pada kunjungan pertama tanggal 14 Februari 2016 didapatkan bahwa pasien terkena tinea korporis akibat higienitas tubuh yang kurang terjaga dan pasien masuk dalam kategori gemuk. Pasien jarang mandi dan jarang mengganti baju bila berkeringat banyak. Luasnya lesi dan perjalanan penyakit yang yang cukup lama pada kasus ini kemungkinan terjadi karena beberapa hal, yaitu higiene personal yang kurang, ini terlihat dari kebiasaan menggunakan handuk bersama, kebiasaan bertukar pakaian, penggunaan pakaian yang tertutup dalam waktu yang lama dan penjemuran yang kurang terkena cahaya dan hanya pakaian tertentu saja yang disetrika. Pada kunjungan kedua pada tanggal 21 Februari 2016 dilakukan intervensi berupa edukasi kepada pasien serta keluarganya mengenai penyakit tinea serta penanganannya. Edukasi yang diberikan berupa pengertian penyakit, gejala, penatalaksanaan, dan pencegahan pada penderita tinea melalui media leaflet. Menurut Badan POM RI, dikatakan bahwa penatalaksanaan non medikamentosa pada tinea korporis, yaitu gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya, jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian dengan orang yang terinfeksi, cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk mencegah penyebaran jamur tersebut, bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh, jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wol dan bahan sintetis yang dapat menghambat sirkulasi udara, hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur.13 Pasien diberikan edukasi mengenai penyakitnya serta faktor yang memudahkan terjadinya penyakit. Pada pasien ini, ditekankan mengenai pentingnya menjaga Vidianka dan Ricky | Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di Kelurahan Karang Anyar kebersihan diri/ higiene, terutama mengganti baju setelah beraktifitas yang menimbulkan keringat banyak. Hal ini penting untuk dilakukan untuk mencegah suasana lembab yang mendukung pertumbuhan jamur. Pasien termasuk kedalam kelompok usia produktif. Menurut World Bank Group, kelompok usia produktif adalah kelompok usia terbanyak menderita dermatomikosis superfisialis dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih muda atau lebih tua.9 Kemungkinan karena segmen usia tersebut lebih banyak mengalami faktor predisposisi atau pencetus, misalnya pekerjaan basah, trauma, banyak berkeringat, selain pajanan terhadap jamur lebih lama.14 Di samping itu, diedukasikan pula terkait menghindari penggunaan pakaian secara bergantian, mandi 2x sehari, mencuci pakaian serta seprai secara rutin, serta menjemur pakaian pada tempat yang panas. Higienitas tubuh dan sanitasi lingkungan yang terjaga dapat mempercepat penyembuhan pasien. Menurut Gupta, teknik higienitas personal dan lingkungan yang baik dapat mengontrol dan mencegah kejadian tinea.15 Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa higienitas personal yang sederhana dan pendidikan kesehatan yang baik tanpa obat lebih efektif dan lebih murah daripada menggunakan farmakoterapi seperti griseofulvin dalam pengobatan tinea cruris.16 Pengobatan dapat diberikan melalui topikal dan sistemik. Terapi topikal direkomendasikan untuk infeksi lokal. Salah satu preparat yang sering digunakan yaitu golongan imidazol. Golongan imidazol terdiri dari ketokonazol, mikonazol, klotrimazol, dan hanya ketokonazol yang paling banyak digunakan. Ketokonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang bersifat lipofilik dan larut dalam air pada pH asam. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan ergosterol membran jamur. Ketokonazol 2% cream digunakan untuk infeksi jamur di kulit tak berambut seperti dermatofita, dengan dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 1-2 kali sehari.17,18 Untuk terapi sistemik tinea korporis menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology yang menyatakan bahwa obat antijamur sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, dan pasien yang tidak responsif maupun intoleran terhadap obat antijamur topikal.18 Terapi sistemik yang paling banyak digunakan yaitu griseofulvin. Obat tinea korporis griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik dengan dosis 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan dosis anak-anak 10-25 mg/kg BB sehari.19 Lama pemberian griseofulvin pada tinea korporis adalah setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif, kebanyakan para ahli menggunakan waktu 3-4 minggu pemakaian. Diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan. Pada kasus yang resisten terhadap Griseofulvin dapat diberikan derivat azol seperti itrakonazol, dan flukonazol.7,19 Antibiotik juga dapat diberikan jika terjadi infeksi sekunder. Pada pasien ini diberikan obat antifungi topikal berupa ketokonazol 2% yang digunakan 2 kali sehari dan obat antifungi sistemik berupa griseofulvin 500 mg per hari yang digunakan selama 3 minggu. Setelah 1 minggu menjalani pengobatan, pasien tidak mengeluh gatal lagi dan pada pemeriksaan lokalis thorakal (lipatan payudara) tidak ditemukan adanya makula eritematosa, lesi hiperpigmentasi, skuama dan central healing menghilang. Pasien juga diberikan obat tambahan cetrizine sebagai antihistamin yang diminum 1 kali sehari bila gatal. Gambar 2. Perbaikan pada lesi paska pengobatan Pada kunjungan ketiga yang dilakukan pada tanggal 28 Februari 2016 dilakukan suatu evaluasi terhadap intervensi yang sudah dilakukan sebelumnya, didapatkan bahwa pola minum obat antifungal oral dan pemakaian antifungal topikal pada Ny. H sudah teratur setelah diberikan intervensi berupa edukasi. Pasien sudah cukup mengerti mengenai pencegahan yang harus dilakukan J Medula Unila | Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 | 137 Vidianka dan Ricky | Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di Kelurahan Karang Anyar agar penyakitnya tidak kambuh lagi. Infeksi tinea dapat bersifat akut atau menahun, bahkan bersifat residif. Maka dari itu, pasien dan keluarga diberikan pula edukasi dan semangat agar saling memberi dukungan dalam menjaga higienitas tubuh dan lingkungan satu sama lain untuk mencegah terjadinya kekambuhan atau munculnya kasus baru pada keluarga Ny.H. 6. Kesimpulan Telah dilakukan pelayanan kuratif, preventif, dan promotif terhadap pasien dan keluarga, kebersihan diri dan lingkungan, serta perilaku pola hidup sehat untuk mencegah timbulnya kekambuhan. Untuk pasien dan keluarga telah diberikan edukasi dan pengetahuan seputar tinea korporis tentang gejala, cara penularan, dan pencegahan terhadap penyakit tersebut untuk memberikan kesadaran akan pentingnya pencegahan dalam suatu penyakit. 9. Daftar Pustaka 1. Nasution MA, Muis Kamaliah, Juwono, dkk. Diagnosis dan penatalaksanaan dermatofitosis. Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus [internet]; 1992. [diakses pada tanggal 17 Februari 2016]; hlm. 116-8. Tersedia dari: www.kalbemed.com/Portals/6/12_183De rmatofitosis.pdf 2. Adiguna MS. Epidemiologi dermatomikosis di Indonesia. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2004. hlm. 5-6. 3. Djuanda A, dkk. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2004. 4. Welsh O, Welsh E, Candiani JO, Gornez M, Cabrera LV. Dermatophytoses in Monterrey Mexico. Mycoses [internet]. 2006 [disitasi pada tanggal 17 Februari 2016]; 49(2):11923. Tersedia dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1 6466445 5. Pires CA, Cruz NF, Lobato AM, Sousa PO, Carneiro FR, Mendes AM. Clinical, epidemiological, and therapeutic profile of dermatophytosis. An Bras Dermatol. 2014; 89(2):259-64. J Medula Unila | Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 | 138 7. 8. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Budimulja U, Sunoto, Tjokronegoro A. Penyakit jamur. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008. Sularsito SA. Dermatologi praktis. Jakarta: Perkumpulan Ahli Dermatologi dan Venereologi Indonesia. 2006. Potter PA, Perry AG. Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses dan praktek. Edisi 4. Volume 1. Jakarta: EGC. 2005. World Bank Group. Washington DC: World Bank Group; 2014 [diakses tanggal 29 Februari 2016]. Tersedia dari: http://data.worldbank.org/indicator/SP.P OP.1564.TO.ZS Moriarty B, Hay R, Morris-Jones, R. The diagnosis and management of tinea. BMJ. 2012; 345(7):e4380. New Zealand Dermatological Society Incorporated. Tinea corporis. Selandia Baru: The International League of Dermatological Societies [internet]. 2012 [disitasi pada tanggal 17 Februari 2016]. Tersedia dari: http://jukeunila.com/wpcontent/uploads/2015/12/117-210-1SM.pdf Seyfarth F, Ziemer M, Gräser Y, Elsner P, Hipler UC. Widespread tinea corporis caused by Trichophyton rubrum with non-typical cultural characteristicsdiagnosis via PCR. Mycoses. 2007;50 Suppl 2:26-30. Badan POM RI. InfoPOM-Infeksi jamur pada kulit vol. 13 No. 6 NovemberDesember. BPOM RI [internet]. 2012. [disitasi pada tanggal 17 Februari 2016]. Tersedia dari: http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLa innya/Buletin%20Info%20POM/0612.pdf Kuswadji, Budimulja U. Penatalaksanaan dermatofitosis di Indonesia. MDVI. 1997;24(1):36-9. Gupta A, Cooper EA, Ryder JE, Nicol KA, Chow M, Chaundhry MM. Optimal management of fungal infections of the skin, hair, and nail. Am J Clin Dermatol. 2004;5(4):225-37. Akinwale, SO. Personal hygiene as an alternative to griseofulvin in the treatment of tinea cruris. Afr J Med Med Sci. 2000;29(1):41-3. Wingfield AB, Fernandez-Obregon AC, Wignall FS, Greer DL. Treatment of tinea imbricata: a randomized clinical trial using Vidianka dan Ricky | Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di Kelurahan Karang Anyar 17. 18. 19. 20. griseofulvin, terbinafine, itraconazole and fluconazole. Br J Dermatol. 2004; 150(1):119-26. Habif TP. Clinical dermatology. Edisi 4. Edinburgh: Mosby. 2004. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP. Dermatology. Edisi ke-2. St. Louis, Mo.: Mosby Elsevier. 2007. Baligni K, Vardi VL, Barzegar MR et al. Extensive tinea corporis with photosensivity: case report. Indian J Dermatol [internet]. 2009 [diakses pada tanggal 17 Februari 2016]; 54:57-9. Tersedia dari: http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index. php/medula/article/view/406 Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. 2006. Superficial mycoses and dermatophytes. Dalam: Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical dermatology. China: Elsenvier inc. hlm.185-92. J Medula Unila | Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 | 139