BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyamuk Aedes sp. Nyamuk Aedes sp. merupakan salah satu vektor penyakit yang termasuk ke dalam kingdom: Animalia, phylum: arthropoda, kelas: insecta, ordo: dipthera, family: culicidae, dan genus: Aedes. Nyamuk Aedes sp. dapat menyebabkan gangguan serius pada manusia yaitu dapat menularkan penyakit DBD (Sumantri, 2015). 2.1.1 Morfologi nyamuk Aedes sp. Nyamuk Aedes sp. dewasa memiliki ukuran yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan nyamuk rumah. Nyamuk Aedes sp. dapat dibedakan menjadi 2 yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Secara makroskopis Aedes aegypti terlihat sama seperti Aedes albopictus, akan tetapi perbedaan dari kedua nyamuk tersebu dapt dilihat pada mesonotum. Nyamuk Aedes albopictus hanya memiliki satu garis putih di mesonotum sedangkan nyamuk Aedes aegypti memiliki gambar garis seperti kepala kecapi berbentuk dengan dua garis lengkung dan dua garis lurus putih pada mesonotum (Fitri. R. D, dan Ustiawan. A, 2013). Nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam kecoklatan dengan bitnik-bintik putih pada tubuh hingga kakinya. Nyamuk ini tidak menyukai tempat yang kotor, biasnya nyamuk ini bertelur pada air bersih seperti bak mandi dan tempayan. Toraks pada nyamuk Aedes aegypti berbentuk piala. Telur nyamuk Aedes aegypti memiliki dinding yang bergaris serta menyerupai kain kasa (Sutanto. I et al., 2008). Nyamuk Aedes aegypti jantan memiliki 7 8 proboscis dan antena yang lebih panjang daripada nyamuk betina. Antena nyamuk Aedes aegypti memiliki 13 segmen flagellar (Andrew. J and Bar. A, 2013). Gambar 2.1 Morfologi Nyamuk Aedes Aegypti 2.1.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes Sp. Menurut Sumantri (2015) dalam siklus hidupnya, nyamuk sangat memerlukan air untuk berkembang biak. Apabila tidak terdapat genangan air, maka siklus hidup nyamuk akan terputus. Dalam daur hidupnya nyamuk mengalami metamorfosis sempurna. Dalam siklus hidupnya nyamuk mengalami 4 stadium yaitu telur, jentik, pupa, dan dewasa. Tahapan-tahapan tersebut dapat dilhat pada gambar dibwah ini (Suyono dan Budiman, 2010) : Dewasa Pupa Telur Larva Gambar 2.2 Siklus Hidup Nyamuk 9 Telur Nyamuk Aedes sp. betina biasanya meletakkan telur ditempat perindukkannya sekitar 1-2 cm diatas permukaan air dengan menempelkan pada dinding. Setiap kali bertelur nyamuk Aedes sp. dapat meletakkan rata-rata 100 butir telur. Telur ini dapat bertahan selama beberapa minggu bahkan beberapa bulan. Telur-telur ini akan menetas dalam waktu 2 hari setelah terendam air seluruhya. Gambar 2.3 Telur Nyamuk Aedes aegypti Larva (Jentik) Setelah telur nyamuk menetas maka akan tumbuh menjadi larva (jentik). Terdapat empat tingkat perkembangan larva yaitu instar pertama, kedua, ketiga dan keempat. Setalah larva mengalami 4 tingkatan tersebut maka larva dapat teridentifikasi jenis nyamuknya. Larva nyamuk Aedes sp. bergerak sangat lincah dan aktif di dalam air. Larva nyamuk Aedes sp. dapat bertahan hidup dalam air yang memiliki pH 5,8-8,6 dan apabila dalam kondisis yang sesuai larva akan berkembang menjadi pupa dalam kurun waktu 6-8 hari. Cara membedakan larva nyamuk Aedes sp. dengan nyamuk yang lain dapat dilihat pada gambar di bawah ini. 10 Gambar 2.4 Larva Nyamuk Kepompong (Pupa) Stadium pupa merupakan stadiam inaktif atau tidak bergerak. Pada stadium ini hanya memerlukan oksigen untuk yang diambil dari corong nafasnya dan tidak membutuhkan nurtisi makanan. Dalam kurun waktu kurang lebih 2 hari, dari pupa ini akan keluar nyamuk dewasa. Pupa ini berbentuk seperti koma. Pupa Nyamuk Aedes aegypti Aedes albopictus Gambar 2.5 Pupa Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus 11 Nyamuk Dewasa Setelah keluar dari pupa dan manjadi nyamuk Aedes sp. akan mencari pasangan untuk kawin. Setelah kawin nyamuk Aedes sp. jantan akan beristirahat dan mencari makanan pada sari tanaman, sedangkan nyamuk Aedes sp. betina akan mencari makanan dengan menghisap darah manusia untuk pertumbuhan telur demi keturunannya. Nyamuk Aedes aegypti memiliki kemiripan dengan nyamuk Aedes albopictus. Kedua nyamuk ini dapat dibedakan dengan melihat toraks pada nyamuk yaitu toraks pada nyamuk Aedes aegypti berbentuk piala sedangkan pada Aedes albopictus terdapat garis lurus pada toraks. Nyamuk Aedes aegypti biasanya dijumpai di dalam rumah sedangkan Aedes albopictus biasanya dijumpai di luar rumah (kebun). Gambar 2.6 Perbedaan Toraks Nyamuk Aedes Aegypti dengan Aedes albopictus 2.1.3 Perilaku Nyamuk Aedes sp. Nyamuk Aedes sp. betina menghisap darah manusia pada siang sampai sore hari yaitu sekitar pukul 08.00-10.00 dan pukul 15.00-17.00. Aedes sp akan menghisap darah manusia di dalam (Aedes aegypti) maupun diluar rumah (Aedes albopictus). Biasanya nyamuk Aedes sp. beristirahat pada semak-semak rumah, tanaman di kebun atau 12 dipakaian-pakaian yang tergantung di dalam ruangan rumah. Nyamuk Aedes sp.betina memiliki umur hidup kira-kira 10 hari di alam bebas, akan tetapi Aedes sp. dapat bertahan hidup selama dua bulan di dalam laboratorium (Sutanto. I et al., 2008) 2.2 Pengendalian Vektor Nyamuk 2.2.1 Pemberantasan jentik nyamuk Aedes sp. Menurut Sutanto. I et al. (2008) pemberantasan jentik nyamuk dikenal dengan istilah pemberantasan sarang nyamuk (PSN), yang dilakukan dengan 3 cara yaitu : a Kimia Pemberantasan larva nyamuk menggunakan bahan-bahan kimia atau larvasida yang dikenal dengan istilah abatisasi. Larvasida yang sering digunakan untuk membasmi larva nyamuk yaitu temefos (abate). Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram untuk setiap 100 liter air. Abatisasi dengan temefos ini mempunyai efek residu selama 3 bulan. b Biologi Pemeberantasan larva nyamuk Aedes sp. secara biologi dapat dilakukan dengan pemeliharaan ikan pemakan jentik.. Pemberantasan secara biologis dengan pemelihaaraan ikan pemakan jentik telah bertahun-tahun dilakukan didunia. Ikan yang paling umum digunakan di belahan dunia untuk pengendalian vektor nyamuk adalah Tilapia, Poecilia, Fundulus, Gasterosteus, dan Lucania (Eldrigde. F and Edman. D, 2004). Sedangkan di Indonesia ikan yang biasanya digunakan adalah ikan kepala timah dan ikan guppy. c Fisik 13 Pemeberantasan larva nyamuk secara fisik dapat dilakukan dengan cara 3M yaitu menguras, mengubur, dan menutup. Pertama menguras tempat penampungan air rumah tangga seperti bak mandi seminggu sekali harus dikuras untuk mencegah pembiakan nyamuk pada bak mandi. Kedua mengubur barang-barang bekas yang mungkin tergenangi air tempat nyamuk berkembang biak. Ketiga menutup tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi, drum, dan yang lainnya. 2.2.2 Pemberantasan Nyamuk Aedes sp. dewasa Menurut Sumantri (2015) pengendalian vektor nyamuk Aedes sp. dewasa dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu : Pengendalian Vektor Nyamuk dengan Non-Insektisida Pengendalian vektor tanpa insektisida mecangkup seluruh kegiatan atau usaha yang tidak menggunakan bahan kimia dalam membasmi vektor peyakit. Dengan cara ini dapat dilakukan pengendalian vektor tanpa harus mencemari lingkungan dengan bahan-bahan kimia namun pengendalian dengan cara ini memiliki banyak hambatan baik hambatan teknis maupun hambatan operasional. Secara garis besar pengendalian vektor nyamuk dewasa dengan non-insektisida dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Pengelolaan Lingkungan Pengelolaan lingkungan dapat dilakukan dengan cara memodifikasi lingkungan misalnya dengan pemimbunan tempat-tempat yang biasanya tergenangi air sehingga tidak ada nyamuk yang berkembang biak di air yang 14 tergenang tersebut. Selajutnya dapat juga melakukan manifulasi lingkungan dimana keadaaan linkungan diubah sedemikian rupa agar vektor tidak dapat berkembang biak di lingkungan tersebut. Selain itu mengurangi kontak manusia dengan vektor (nyamuk) sangat penting untuk dilakukan misalnya dengan penggunaan kelambu. 2. Pemberantasan Secara Genetik Telah banyak dilakukan percobaan mengenai pemberantasan nyamuk secara genetik, namun pengendalian ini belum pernah diterapkan karena memerlukan biaya yang mahal dan laboratorium yang lengkap. Salah satu pengendalian vektor nyamuk dewasa yang dapat dilakukan secara genetik yaitu dengan melepaskan nyamuk jantan yang sudah disterilkan, dimana nyamuk jantan ini diharapkan akan mengawini nyamuk betina. Sehingga nyamuk betina tersebut tidak akan menghasilkan keturunan karena nyamuk betina hanya kawin sekali selama hidupnya. Pengendalian Vektor Nyamuk dengan Insektisida Penggunaan insektisida dalam upaya pengendaliaan vektor nyamuk dapat memberikan dampak yang baik dan buruk. Apabila penggunaan insektisida ini dilakukan dengan tepat maka akan menjadi faktor yang sangat penting untuk menentukan keberhasilan pengendalian vektor. Namun apabila penggunaan insektisida ini tidak sesuai aturan (dosis pemakaian) selain dapat merusak lingkungan dapat juga menimbulkan resistensi atau kekebalan nyamuk terhadap insektisida yang digunakan. 15 2.3 Jenis-jenis Insektisida Untuk Pengendalian Vektor Menurut Kementrian Kesehatan RI (2012) Insektisida kesehatan masyarakat adalah insektisida yang digunakan untuk pengendalian vektor penyebar penyakit seperti nyamuk, lalat, kecoak, tikus dan lainnya. Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh serangga. Insektisida yang baik yaitu insektisida yang mempunyai daya bunuh besar terhadap serangga namun tidak berbahaya bagi hewan dan manusia. Selain itu insektisida yang baik memiliki susunan kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar, serta mudah digunakan dan dicampur dengan berbagai macam bahan pelarut (Sutanto. I et al., 2008). Ada berbagai jenis insektisida, berdasarkan susunan kimianya insektisida dapat dibedakan menjadi golongan organik, golongan anorganik dan organik sintetik. Pada golongan insektisida organik mengandung unsur karbon, insektisida organik alamiah ini terbuat dari tanaman (botani) dan bahan lainnya. Golongan insektisida anorganik tidak mengandung unsur karbon contohya arsenikum, merkurium, boron, tembaga, sulfur, asam borat, dan lain-lain. Sedangkan golongan insektisida organik sintetik terdiri dari beberapa bagian yaitu golongan ogranoklorin, organofosfat, karbamat, piretroid, fumigant, minyak-minyak mineral, mikroba dan zat-zat pengatur tumbuh serangga (Nazmatullaila, 2015). Menurut Kementrian Kesehatan RI (2012) jenis-jenis insektisida untuk pengendalian vektor dapat dibedakan menjadi beberapa golongan sebagai berikut : Organofosfat 16 Insektisida golongan organofosfat berfungsi untuk menghambat enzim kholinesterase. Insektisida ini sering digunakan untuk pemberantasan vektor penyakit dengan cara aplikasi fogging (pengasapan) maupun larvasidasi. Ada beberapa insektisida yang termasuk ke dalam organofosfat adalah temefos, metil-pirimifos, fenitrotion, malathion, dan lan-lain. Karbamat Insektisida golongan karbamat memiliki cara kerja yang identik dengan golongan organofosfat, tetapi bersifat reversible atau pulih kembali sehingga insektisida ini relative lebih aman bila dibandingkan dengan insektisida organofosfat. Insektisida yang termasuk ke dalam karbamat adalah bendiocarb, propoksur, dan lain-lain. Piretroid Insektisida gologan piretroid atau yang lebih dikenal denan istilah synthetic pyretroid memiliki cara kerja mengganggu sistem saraf. Insektisida jenis ini banyak digunakan untuk pengendalian vektor serangga dewasa baik secara space spraying, IRS, kelambu celup,dan berbagai formulasi insektisida rumah tangga. Insektisida yang termasuk ke dalam golongan piretroid adalah metoflutrin, transflutrin, d-fenotrin, lamda-sihalotrin, permetrin, sipermetrin, deltametrin, etofenproks, dan lain-lain. Insect Growth Regulator (IGR) Insektisida golongan IGR merupakan kelompok senyawa yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan serangga. Insektisida golongan ini terbagi menjadi 2 klas yaitu juvenoid dan penghambat sintesis khitin. 17 Pemberian juvenoid pada serangga dapat mengakibatkan perpanjangan pada stadium larva sehingga larva gagal menjadi pupa. Contoh dari insektisida juvenoid adalah fenoksikarb, metopren, piriproksifen dan lain-lain. Sedangkan penghambat sintesis khitin berfungsi untuk mengganggu proses ganti kulit dengan cara pembentukan kitin. Contoh insektisida ini adalah diflubensuron, heksaflumuron dan lain-lain. Mikroba Kelompok insektisida ini berasal dari mikroorganisme yang berperan sebagai insektisida. Beberapa mikroorganisme yang berperan sebagai insektisida adalah Bacillus thuringiensis var israelensis (BTI), Bacillus sphaericus (BS), abamektin, spinosad, dan lain-lain. Neonikotinoid Insektisida neonikotinoid memeilki kemiripan dengan nikotin, dimana insektisida ini berkerja pada sistem saraf pusat serangga yang dapat menganggu reseptor post synaptic acetilcholin. Beberapa insektisida yang termasuk ke dalam glongan neonikotinoid adalah imidakloprid, tiametoksam, klotianidin dan lain-lain. Fenilpirasol Cara kera insektisida fenilpirasol adalah dengan memblokir celah klorida pada neuron yang diatur oleh reseptor γ-aminobutiric acid (GABA), sehingga berdampak perlambatan pengaruh GABA pada sistem saraf serangga. Contoh dari insektisida golongan fenilpirasol adalah fipronil. Nabati 18 Insektsida nabati adalah kelompok insektisida yang dibuat menggunakan bahan yang berasal dari tumbuhan. Beberapa insektisida yang terbuat dari tumbuan adalah piretrum atau piretrin, nikotin, retenon, limonene, azadirachtin, sereh wangi dan yang lainnya. Repelen Repelen merupakan suatu bahan yang diaplikasikan dengan cara langsung menggunakan bahan tersebut pada kulit, pakaian, maupun yang lainnya untuk mencegah kontak langsung dengan serangga. Contoh dari repelen adalah DEET, etil-butil-asetilamino propionat dan ikaridin. Adapun repelen yang terbuat dari bahan alam adalah minyak sereh dan minyak eukaliptus. 2.4 Malathion Malathion merupakan insektisida yang termasuk ke dalam golongan organoposfat. Insektisida ini biasanya dimanfaatkan untuk pengendalian vektor nyamuk Aedes sp. dewasa dengan cara pengasapan atau fogging. Ciri khas dari malathion yaitu memiliki kemampuan melumpuhkan atau daya bunuh yang cepat terhadap serangga, memiliki toksisitas yang relatif rendah terhadap mamalia dan vertebrata, serta memiliki rantai karbon yang pendek. Malathion bekerja sebagai racun perut, racun kontak dan racun inhasi. Selain itu malathion juga merupakan racun saraf yang bekerja dengan cara menghambat kolinestrase yang mengakibatkan serangga mengamali kelumpuhan dan mati (Djojosumarto dalam Sembiring, 2009). 19 Malathion adalah insektisida golongan organofosfat yang memiliki nama kimia O-dimethyl Phosphorodithioate dengan rumus molekul 𝐶10 𝐻19 𝑂6 𝑃 𝑆2 (WHO, 2003). Kadungan bahan aktif yang terdapat dalam malathion yaitu malathion 95%. Dosis aplikasi yang dianjurkan untuk penggunaan malathion adalah 50 ml/liter solar. Adapun nomor registrasi komisi pestisidanya adalah RI. – 1246/I – 2002/ T. Malathion memiliki warna kecoklatan dengan fisik berupa cairan jernih. Biasanya malathion diaplikasikan dengan cara Thelmal Fogging dan Cold Fogging. Serangga sasaran malathion adalah Aedes, Culex sp, Anopheles sp (Sembiring. O, 2009). 2.4.1 Operasional Thermal Fogging Menurut Kemenkes RI (2012) dalam buku pedoman penggunaan insektisida (pestisida) dalam pengendalian vektor operasional thermal fogging dengan mesin fogging yang berisi malathion 95% yaitu dosis penggunaan malathion adalah 500 ml/Ha dengan konsentrasi 50 ml/liter solar (1:20). Sasaran fogging adalah rumah atau bangunan dan pekarangan sekitar rumah. Waktu operasional untuk melakukan fogging adalah pada siang atau sore hari untuk membasmi nyamuk Aedes sp. Sedangkan pada malam hari untuk membasmi nyamuk Anopheles atau culex. Kecepatan gerak untuk fogging yaitu seperti orang berjalan biasa (2-3 km/jam). Temperature udara ideal pada saat melakukan fogging adalah 180C, maksimal 280C. Pada saat melakukan fogging di dalam ruangan rumah pintu dan jendela harus ditutup sedangkan di luar rumah tabung pengasap harus searah dengan arah angin, dan petugas berjalan mundur. Lama fogging rata-rata memakan waktu antara 2-3 menit/rumah. 20 2.5 Resistensi 2.5.1 Pengertian resistensi Resistensi insektisida pada populasi vektor awalnya terdeteksi dan ditandai dengan menggunakan semacam uji hayati atau bioassay untuk menentukan apakah insektisida tertentu mampu mengendalikan vektor pada waktu tertentu (Brogdon. G dan Chan. A, 2013). Prinsip bioassay WHO adalah untuk mengetahui dan menilai ketahanan atau kerentanan serangga terhadap insektisida dengan dosis yang diberikan terhadap serangga dalam waktu tertentu (Aizoun. N et al., 2013). WHO dalam Kementrian Kesehatan RI (2012) mendifinisikan resistensi atau kekebalan serangga terhadap insektisida adalah kemampuan populasi vektor untuk bertahan hidup terhadap suatu dosis insektisda yang dalam keadaan normal dapat membunuh spesies vektor tersebut. Resistensi disebabkan oleh kesalahan dalam pengaplikasian insektisida yang meliputi penggunaan dosis berlebihan, waktu penyemprotan yang tidak sesuai, penggunaan formulasi dan alat yang tidak tepat, serta pegaplikasian insektisida tidak sesuai spesies sasaran dan perilaku vektor (Kementrian Kesehatan RI, 2012). Berkembangnya populasi serangga yang awalnya rentan menjadi, toleran hingga kebal terhadap insektisida merupakan proses seleksi alam. Dimana individu yang memiliki ketahanan tubuh kuat dan dapat menyesuaikan diri terhadap insektisida akan tetap hidup dan berkembang biak. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi adalah genetik, dalam hal ini individu yang memiliki gen kebal terhadap insektisida akan kawin dan berkembang biak 21 menghasilkan individu yang kebal juga sehingga terjadi peningkatan populasi serangga yang kebal terhadap insektisida (Thamrin et al., 2015). Menurut Sutanto. I et al., (2008) resistensi serangga dapat dibedakan menjadi 2 yaitu resistensi bawaan dan resistensi yang didapat. 1. Resistensi Bawaan Dalam suatu populasi serangga terdapat anggota serangga yang sudah kebal atau resisten terhadap insektisida. Sifat resisten ini akan diturunkan pada keturunan mereka sehingga terjadi resistensi seluruh populasi mereka. Selain itu terjadinya resistensi bawaan disebabkan oleh perubahan gen yang menyebabkan terjadinya mutasi. Mutan dan keturunannya kebal. Berdasarkan mekanismenya resistensi bawaan dibagi menjadi resistensi fisiologik bawaan dan resistensi kelakuan bawaan. Resistensi fisiologik bawaan adalah reistensi yang daya ekskresi insektisida yang cepat sedangkan daya absorpsinya lambat sehingga tidak membunuh serangga. Selain itu daya penyimpanan insektisida dalam jaringan yang tidak vital dan detoksikasi insektisida oleh enzim sehingga seangga tidak mati. Resistensi kelakuan bawaan disebabkan oleh 2 faktor yaitu avoidance, dimana serangga menghindarkan diri dari pengaruh insektisida sehingga seangga tersebut tidak terbunuh tanpa harus mengubah habitatnya. Faktor yang kedua adalah perubahan habitat serangga, dimana terjadi perubahan pada habitat serangga tersebut yang mengakibatkan dia terhindar dari 22 pengaruh insektisida kemudian keturunannya akan mempertahankan habitat baru. 2. Resistensi yang Didapat Dalam suatu populasi serangga terdapat anggota serangga yang awalnya rentan terhadap insektisida tertentu, kemudian berhasil meyesuaikan diri sehingga serangga tersebut menjadi kebal dan mampu untuk tetap hidup dalam pengaruh insektisida. Selanjutnya serangga tersebut berhasil membentuk populasi baru yang kebal terhadap insektisida. Ada beberapa jenis resistensi yang didapat yaitu : Resistensi Fisiologik yang Didapat : resistensi yang disebabkan oleh serangga telah toleran terhadap insektisida karena telah mendapat dosis subletal sebelumnya. Resistensi Kelakuan yang Didapat : resistensi yang disebabkan oleh serangga berhasil menghindarkan diri dari pengaruh dosis subletal insektisida. Resistensi Silang : resistesi insektisida yang terjadi apabila serangga resisten terhadap dua insektisida yang berada dalam satu golongan maupun dalam satu seri. Resistensi Ganda : resistesi insektisida yang terjadi apabila serangga resisten terhadap dua insektisida yang berada dalam dua golongan maupun dalam dua seri. 23 2.5.2 Penentuan Status Resistensi Nyamuk Adapun penentuan status kerentanan nyamuk menurut WHO dalam Bento P.L.J, et al (2003) menyatakan bahwa kriteria uji kerentanan dengan masa kontak 60 menit selama pengamatan 24 jam, sebagai berikut : 1) kematian nyamuk < 80 % (resisten), 2) kematian nyamuk antara 80%-98% (toleran) dan 3) kematian nyamuk antara > 98% (rentan). Dalam penentuan status resistensi nyamuk sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu persentase jumlah nyamuk yang mati pada nyamuk intervensi setelah diberikan perlakuan dan kematian nyamuk kontrol tanpa perlakuan. Apabila terjadi kematian pada nyamuk kontrol maka ada faktor lain yang mengakibatkan kematian tersebut sehingga perlu dilakukan perhitungan kematian koreksi dengan formula rumus abbot. Perhitungan dengan formula rumus abbot paling umum digunakan pada peneltian untuk menentukan kematian koreksi pada penelitian resistensi nyamuk terhadap insektisida. Beberapa penelitian terkait resistensi nyamuk terhadap insektisida menggunakan formula rumus abbot, antara lain: Status kerentanan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida malathion dan lambdacyhathin di daerah khusus Ibu Kota Jakarta dan Bogor (Shinta et al., 2008); Status kerentanan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida cypermethrin dan malathion di Jawa Tengah (Ikawati. B, et al. 2015); insektisida sipermethrin 100 g/l terhadap nyamuk dengan metode pengasapan (Susanti. L, Boesri. H, 2012); status kerentanan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida malation 5% di kota Surabaya (Suwito, 2009). 24 Fomula rumus abbot 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 = %𝑡𝑒𝑠𝑡 𝑚𝑜𝑟𝑡𝑎𝑙𝑖𝑡𝑦 − %𝑐𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑚𝑜𝑟𝑡𝑎𝑙𝑖𝑡𝑦 𝑥 100% 100 − %𝑐𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑚𝑜𝑟𝑡𝑎𝑙𝑖𝑡𝑦