PENYALAHGUNAAN PERJANJIAN LISENSI

advertisement
PENYALAHGUNAAN PERJANJIAN LISENSI MEREK
DALAM PRAKTEK BISNIS
HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan HukumUntuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
IDA ROFIDAH
NIM: 1111048000007
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 02 April 2015
Ida Rofidah
iii
ABSTRAK
Ida Rofidah, NIM 1111048000007, “PENYALAHGUNAAN PERJANJIAN
LISENSI MEREK DALAM PRAKTEK BISNIS HAK ATAS KEKAYAAN
INTELEKTUAL”, Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1436 H/2015 M. ix + 74 halaman + halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimana cara membuat sebuah perjanjanjian lisensi merek
dalam praktek bisnis hak kekayaan intelektual yang benar dengan cara mengetahui
dahulu apa saja yang menjadi factor dan penyebab adanya penyalahgunaan terhadap
perjanjian lisensi merek ini. Serta untuk mengetahui bagai mana cara menyelesaikan
penyalahgunaan perjanjian lisensi merek jika ada penyalahgunaan dalam perjanjian
lisensi merek yang dapat merugikan salah satu pihak dari perjanjian tersebut sampai
dengan kerugian terhadap konsumen. Latar belakang penelitian ini adalah terkait
masalah-masalah yang ada karena dampak dari adanya penyalahgunaan perjanjian
lisensi merek terhadap praktek bisnis ha katas kekayaan intelektual. Penelitian ini
menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen
yang terkait dengan penelitian. Metode Pengolahan dan Analisa Data yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan historis
(historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach).
Penelitian ini menggunakan tiga bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer,
sekunder, dan non-hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Penyalahgunaan
perjanjian lisensi merek dalam praktek bisnis hak atas kekayaan intelektual sangatlah
penting perlindungannya, adanya penyalahgunaan perjanjian lisensi merek ini karena
adanya beberapa faktor yang dapat menyebabkan perjanjian lisensi merek cacat
dimata hukum dan juga dapat merugikan semua pihak yang bersangkutan. Penelitian
ini juga menjelaskan mengenai upaya penyelesaian sengketa yang ada dalam sebuah
perjanjian lisensi merek sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 84 Undangundang Merek tahun 2001.
Kata Kunci
: Penyalahgunaan, Perjanjian Lisensi Merek, Hakatas Kekayaan
Intelektual
Pembimbing : Prof. Dr. H.Salman Manggalatung, SH, MH.
Daftar Pustaka : Tahun 1990 s.d Tahun 2015
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb...
Bismillahirrahmanirrahim...
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat,
nikmat, serta anugerah- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“PENYALAHGUNAAN PERJANJIAN LISENSI MEREK DALAM PRAKTEK
BISNIS HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL”. Sholawat serta salam penulis
sampaikan kepada tauladan umat islam Nabi Muhammad SAW, yang telah
memimpin ummat Islam keluar dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh
dipenuhi dengan orang-orang yang cerdas. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis
banyak sekali mendapatkan bantuan, arahan, bimbingan serta semangat yang
mendalam dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar., MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Djawahir Hejazziey, SH., MH., MA selaku Ketuan Program Studi
Ilmu Hukum dan Arip Purkon, MA selaku sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Prof. Dr. H. Salman Manggalatung, SH, MH. Selaku Dosen Pembimbing
yang telah bersedia membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini dengan
penuh kesebaran, perhatian dan ketelitian memberikan masukan serta
v
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis hingga
skripsi ini selesai.
4. Segenap staff Perpustakan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Staff Perpustakan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan Staff Perpustakan Universitas Indonesia yang telah memberikan
fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan
ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang
diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga
Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua
kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.
6. Pembimbing Tahfidz yang tercinta selama di Universitas Islam Negri Pak
Nurrohi Yunus,.LLM Terimakasih atas bimbingannya selama penulis berada
di bangku perkuliahan.
7. Kedua orang tua tercinta yaitu ayahanda H. Muhfid Syadeli dan Ibunda Hj.
Rohanah, terimah kasih atas kasih sayang, motivasi, perhatian, ilmu
pengetahuan, arti kedisiplinan, serta segala hal yang selalu diberikan dengan
tulus tanpa pamrih, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada
jenjang Perguruan Tinggi Negeri. Begitu pula untuk adik-adik tercinta, Gina
Rofahiyah, M. Rofid Al Barry dan M. Rofid Al Fayyad. Terimah kasih atas
vi
segala kasih sayang, perhatian, dukungan dan inspirasi yang telah kalian
berikan.
8. Sahabat-sahabat tercinta, khususnya Azhar Nur Fajar Alam yang telah
membantu, memberi semangat, arahan, serta mendampingi penulis baik suka
maupun duka. Semoga Allah senantiasa memberkahi dan meridhoi
kebersamaan kita.
9. Sahabat-sahabat tahfidzku yang solehah-solehah Novita Akria Putri, Sri
Andriani, Endang Putri Nurhayati, Tazkiyatun Nafs yang senantiasa berjuang
bersama dalam melaksanakan kewajiban bertahfidz ria. Buat Sahabatsahabatku seperjuangan yang cantik-cantik, Chairunisa, Dhurifah Nurutami,
Septiana Utami, Shinta Dhwiningtias, Hilda Israa, Ummu Salamah, Fanny
Fatwati Putri. Yang selalu memberikan semangat dan inspirasi selama dalam
bangku perkuliahan hingga data menyelesaikan skripsi ini. Dan sahabatsahabatku M.Rizky Firdaus, M.Hisyam Rafsanjani, M.Rizky Arisandi, Lidia,
Fadilah Haidar, Azmi Ritonga, Dandi Hernadi Pahusa, Uswatun Hasanah,
Anita Rostianti dan Innes. Yang selalu menemani, memberi pelajaran hidup
serta mengajariku indahnya bersahabat. Serta sahabat-sahabat “KKN Sejati”
yang sudah banyak sekali memberikan pengalaman hidup bermasyarakat
selama melaksanakan tugass KKN.
10. Kawan-kawan, kakak-kakak dan adik-adik kelas Keluarga Besar Program
Studi Hukum Bisnis dan Ketatanegaraan angkatan 2011 UIN Syarif
vii
Hidayatullah Jakarta yang telah memberi inspirasi dalam kebersamaan dan
kekompakan.
11. Himpunan Keluarga Besar Darul Falah (HIKADA), Keluarga Besar
Angkatan Pemuda Peduli Hukum (AMPUH), Business Club Community
(BLC), dan keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atas
konsistensi dan kekompakannya yang telah memberikan wadah untuk saling
belajar, berbagai dan menggali ilmu dalam mengkaji Hukum secara holistic,
serta menjalin kekeluargaan yang sangat erat.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca sekalian. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullohi wa barokatuh...
Jakarta,
02 April 2015
Ida Rofidah
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ..............................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................
iii
ABSTRAK ...........................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR .........................................................................................
v
DAFTAR ISI ........................................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................
1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...................................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...........................................................
7
D. Tinjauan Penelitian Terdahulu ...........................................................
8
E. Kerangka Teoretis dan Konseptual ....................................................
8
F. Metode Penelitian...............................................................................
13
G. Sistematika Penulisan.........................................................................
17
BAB II HAK MEREK DALAM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Merek ..............................................
19
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Hak atas Kekayaan Intelektual .......
21
C. Pengaturan Hukum Merek di Indonesia .............................................
30
D. Perolehan dan Pendaftaran Merek di Indonesia .................................
32
ix
BAB III PERJANJIAN DAN PERJANJIAN LISENSI MEREK DALAM HAK
ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
A. Pengertian Umum Perjanjian dan syarat sah Perjanjian.....................
39
B. Perngertian Lisensi dan Perjanjian Lisensi ........................................
46
C. Pertimbangan Pemberian Lisensi .......................................................
51
D. Syaratdan Isi Perjanjian Lisensi Merek dalam HaKI .........................
53
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENYALAHGUNAAN
PERJANJIAN LISENSI MEREK
A. Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Lisensi Merek ...............
57
B. Bentuk-bentuk dan Faktor penyebab Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi
merek ..................................................................................................
63
C. Peran dan Wewenang Dirjen HaKI Terkait Perlindungan Hukum
Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek ........................................
67
D. Penyelesaian Sengketa Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek ...
70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................
79
B. Saran ...............................................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
81
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Haki atau Hak atas Kekayaan Intelektual merupakan suatu produk atau ruang
lingkup dari pada Hukum Bisnis, hukum bisnis merupakan suatu prangkat kaidah
hukum (termasuk enforcement-nya) yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan
urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan yang dihubungkan dengan
produksi atau pertukaran barang atau jasa dengan menempatkan uang dari para
enterpreneur dalam resiko tertentu dengan usaha tertentu dengan motif dari
entrepreuner tersebut, adalah untuk mendapatkan keuntungan tertentu.1
Merek merupakan ruang lingkup dari pada Hak atas Kekayaan Intelektual
yang merupakan suatu hak kebendaan yang sah dan diakui oleh hukum atas benda
tidak berwujud berupa kekayaan/kreasi intelektual, yang dapat berupa diantaranya
hak merek, seperti hak kebendaan lainnya HaKI dapat beralih atau dialihkan dan
dapat dipertahankan kepemilikannya oleh siapapun.2Atas dasar ketentuan aturanaturan serta ketentuan Undang-undang yang ada. Suatu merek yang menjadi merek
terkenal menjadi andalan pengusaha dalam memenangkan persaingan yang semakin
ketat. Fakta itu menyebabkan merek-merek terkenal menjadi incaran pemalsuan
merek penyalahgunaan bagi pihak-pihak yang beritikad tidak baik. Sebagai bagian
1
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung :
PT Citra Aditya Bakti, 2008), h. 2
2
Ibid, h. 203
1
2
dari HaKI, hak merek merupakan hak yang bersifat khusus. Hak khusus tersebut
pada dasarnya bersifat exclusive dan monopoli yang hanya dapat dilaksanakan oleh
pemilik hak, sedangkan orang lain tidak boleh untuk menggunakannyatanpa seizin
pemiliknya.
Berbeda dengan hak cipta, merek harus didaftarkan terlebih dahulu di dalam
Daftar Umum Merek. Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran
karena publik sering mengaitkan suatu imej, kualitas atau reputasi barang dan jasa
terhadap barang tertentu. Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat
berbahaya secara komersial. Merek suatu perusahaan seringkali lebih bernilai
dibandingkan dengan aset riil suatu perusahaan tersebut. Merek juga berguna untuk
para konsumen, mereka membeli produk tertentu (yang terlihat dari mereknya)
karena menurut mereka, merek tersebut berkualitas tinggi atau aman untuk
dikonsumsi dikarenakan karena reputasi dari merek tersebut. Jika sebuah perusahaan
menggunakan merek perusahaan lain, para konsumen mungkin meresa tertipu karena
telah memberi prduk dengan kualitas yang lebih rendah.3
Karena hak merek merupakan hak ekslusif maka, tidak setiap orang bisa
menggunakan hak tersenbut. Orang lain baru dapat menggunakan, jika telah
mendapat izin dari pemiliknya. lzin itu berupa perjanjian lisensi.
Lisensi merupakan suatu bentuk pemberian hak yang melahirkan suatu
perikatan yang dapat bersifat ekslusif maupun non-ekslusif. Sebagai suatu perikatan
3
Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung : PT. Alumni, 2013), h. 131-132
3
pemberian lisensi ini memberikan hak kepada pemberi lisensi atas kontra prestasi
dari penerima lisensi. Secara umum dapat dikatakan bahwa kontra prestasi yang
diharapkan oleh pemberi lisensi tersebut adalah suatu bentuk pembayaran (yang
disebut dengan license fee atau Royalty). Namun demikian kebutuhan praktis
menunjukan bahwa ternyata tidak hanya sampai di situ saja kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh penerima lisensi Merek tersebut. Pemberi lisensi merasa
berkepentingan agar Hak Atas Kekayaan Intelektual yang dilisensikan olehnya
kepada penerima lisensi dapat dijaga keutuhannya, (dalam hal Hak atas Kekayaan
Intelektual yang dilisensikan adalah merek, penerima lisensi bahkan diwajibkan
untuk menjaga kualitas atas mereknya yang dilisensikan tersebut), termasuk
melakukan hal-hal yang tidak akan mengakibatkan kerugian moril maupun materiil
bagi pihak pemberi lisensi. 4
Pasal 49 UU Merek 2001 menjelaskan tentang Praktek Perjanjian Lisensi
Merek di Indonesia selama ini sebelum adanya peraturan pelaksana yang secara
khusus mengatur mengenai lisensi, sudah banyak terjadi namun hanya berdasar asas
Kebebasan Berkontrak yang diatur Kitab Undang- Undang Perdata, meski begitu
perjanjian yang telah dibuat tetap berlaku karena syarat sahnya suatu perjanjian
sudah terpenuhi tanpa adanya kewajiban suatu pencatatan tertentu. Hal ini sesuai
dengan pasal 1320 KUHPer Pemerintah yang dalam hal ini adalah Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, khususnya Direktorat Merek sebaiknya segera
4
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Lisensi dan waralaba, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002), h. 4-5
4
mengajukan Rancangan Keputusan Presiden yang mengatur mengenai ketentuan isi,
benstuk, cara permohonan pencatatan perjanjian lisensi sehingga terdapat kepastian
kejelasan hukum dan apabila terjadi sengketa diantara para pihak dalam perjanjian
lisensi maka akan dapat diselesaikan dengan baik. Selin itu juga agar Direktorat
Merek memiliki arsip salinan dari bentuk dan isi perjanjian lisensi merek sebagai
keperluan aministratif untuk memantau dan mengontrolperjanjian- perjanjian lisensi
merek yang ada.
Lisensi merek hendaklah mengandung itikad baik pada saat membuat
perjanjian lisensi. Hal ini dimaksudkan karena perjanjian lisensi bukanlah suatu
perjanjian pengalihan hak namun merupakan pemberian hak yang diberikan dari
pemilik merek kepada pihak lain dengan jangka waktu tertentu dan dengan syarat
tertentu. Berdasarkan contoh kontrak lisensi yang ada, ada beberapa hal yang
mungkin saja bisa terjadi dan dapat merugikan si pemberi lisensi merek ini sehingga
mengakibatkan pemutusan perjanjian secara sepihak bisa dilakukan, diantaranya:
penerima lisensi tidak konsisten dalam menggunakan merek yang dilisensikan,
penerima lisensi tidak membayar royalty sesuai dengan yang diperjanjikan, penerima
lisensi tidak menjaga kualitas produk yang dihasilkan. Selain itu dalam Pengawasan
dan kewenangan Perjanjian Lisensi sendiri ada beberapa Pertanyaan kritis yang layak
diajukan adalah siapa yang memiliki kelayakan dan kemampuan untuk melaksanakan
kewenangan menilai substansi perjanjian lisensi Merek? Ukuran apa yang
digunakan? Bagaimana bila para pihak merasa tidak membuat ketentuan yang
memuat hal-hal yang dilarang oleh ketentuan-ketentuan dalam perjanjian lisensi
5
merek, tetapi dinyatakan sebaliknya oleh direktorat jendral? Harus diakui, ketentuan
ini mengandung bibit pertikaian dan masih harus dibuktikan efektivitasnya.
Merek merupakan sesuatu (gambar atau nama) yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi suatu produk atau perusahaan di pasaran. Pengusaha biasanya
berusaha mencegah orang lain menggunakan merek mereka karena dengan
menggunakan merek, para pedagang memperoleh reputasi baik dan kepercayaan dari
para konsumen serta dapat membangun hubungann antara reputasi tersebut dengan
mereka yang telah digunakan perusahaan secara regular. Semua hal di atas tentunya
membutuhkan pengorbanan waktu, tenaga dan uang.5
Oleh karena itu merek sangat dibutuhkan oleh pengusaha-pengusaha untuk
memberikan kepercayaan kepada konsumen terhadap kualitas produknya. Namun
bagaimana jika dalam pengalihan merek dengan cara Perjanjian Lisensi penerima
lisensi menggunakan merek baru. Merek baru tersebut merupakan merek penerima
lisensi sendiri dengan tujuan untuk ekspansi usaha. Selain itu yang muungkin terjadi
adalah bagaimana jika sengketa yang disebabkan karena mantan penerima lisensi
memproduksi barang atau jasa dengan menggunakan merek lain, namun kualitasnya
sama persis dengan kualitas merek yang pernah dilisensikannya. Kondisi itu akan
membuat mantan pemberi lisensi selaku pemilik merekakan menderita kerugian,
karena akan mengurangi jumlah penjualan produk barang atau jasanya.
5
Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, h. 131
6
Berdasarkan dari berbagai macam masalah yang timbul dari Perjanjian
Lisensi Merek ini, penulis sangat tertarik untuk membahas mengenai Perjanjian
Lisensi Merek ini yang terlalu banyak polemik di dalamnya, sehingga banyak sekali
kemungkinan-kemungkinan yang dapat merugikan Hak atas Kekayaan Intelektual
seseorang. Dengan demikian penulis tertarik mengangkat tema ini yang akan lebih
lanjut dituangkan dalam sebuah skripsi, dengan judul ”Penyalahgunaan Perjanjian
Lisensi Merek dalam Praktek Bisnis Hak atas Kekayaan Intelektual”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Memperhatikan cakupan materi yang dimuat dalam Undang-Undang Hak
atas Kekayaan Intelektual begitu luas, perlu sekiranya penulis untuk membatasi
penelitian ini dengan memfokuskan pada pembahasan mengenai penyalahgunaan
perjanjian lisensi merek dalam peraktek bisnis hak atas kekayaan intelektual.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka penulis
mengajukan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa saja bentuk-bentuk dan faktor-faktor penyebab adanya penyalahgunaan
perjanjian lisensi merek dalam Praktek Bisnis Hak atas Kekayaan Intelektul?
2. Bagaimana cara penyelesaian sengketa dalam penyalahgunaan perjanjian
lisensi Merek?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Penulisan penelitian skripsi ini secara umum bertujuan untuk mengetahui
bagaimana kepastian Hukum dan perlindungan hukum dalam penyalahgunaan
perjanjian Lisensi Merek dan batasan-batasan perjanjian lisensi Merek. Dengan
rincian tujuan sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui bentuk–bentuk dan faktor-faktor penyebab adanya
penyalahgunaan perjanjian lisensi merek dalam praktik bisnis Hak atas
Kekayaan Intelektual.
2) Untuk mengetahui cara penyelesaikan sengketa dalam penyalahgunaan
perjanjian lisensi Merek
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis
Secara teoritis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
dibidang hukum hak atas kekayaan intelektual khususnya yang berkaitan
dengan perjanjian lisensi Merek.
b. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penilitian ini dapat diharapkan menjadi
bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menganalisis permasalahan
Perjanjian Lisensi Merek dan dalam memberikan kebijakan-kebijakan dan
konsukuensi hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum serta kepastian
hukum Penyalahguanaan Perjanjian Lisensi Merek demi terciptanya hukum
8
Perjanjian Lisensi Merek yang seadil-adilnya bagi kemakmuran hajat hidup
orang banyak, khususnya masyarakat Indonesia.
D. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Pernah ada penelitian sebelumnya yang dijadikan review terdahulu oleh
penulis yaitu skripsi dengan judul “Lisensi Merek dalam Dunia Usaha”yang disusun
oleh Maria Magdalena, yang telah dipertahankan dalam prasyarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1990.
Penelitian ini fokus membahas mengenai bentuk Lisensi Merek dalam Dunia usaha.
Selanjutnya buku yang disusun oleh Gunawan Widjaja dengan judul “Seri
Hukum Bisnis: Lisensi,” diterbitkan oleh PT Raja Grafindo Persada, Jakarta tahun
2001. Penelitian ini fokus terhadap konsep definisi lisensi, subjek dan objek
perjanjian lisensi serta pengaturan lisensi dalam peraturan-peraturan HaKI.
Sebagai pembeda dan pembanding, penelitian yang akan penulis angkat akan
fokus mengenai bentuk-bentuk dan faktor-faktor penyebab adanya penyalahgunaan
perjanjian Lisensi Merek dalam Praktik Bisnis Hak atas Kekayaan Intelktual serta
cara menyelesaikan sengketa dalam penyalahgunaan perjanjian Lisensi Merek.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Sama halnya dengan hak cipta dan hak paten serta hak atas kekayaan
intelektual lainnya, maka hak merek juga merupakan bagian dari hak atas intelektual.
Selain dari alasan yang telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini, maka khusus
mengenai hak merek secara eksplisit disebut sebagai benda immateril dalam
9
konsiderans UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (selanjutnya disingkat UUM
2001) bagian yang menimbang butir a, yang berbunyi, “ bahwa di era perdagangan
global, sejalan dengan konvensi-kenvensi internasional yang telah diratifikasi
Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga peranan
persaingan usaha tidak sehat.”6
Dengan merek, produk barang atau jasa sejenis dapat dibedakan asal
muasalnya, kualitasnya serta keterjaminannya bahwa produk itu
original.
Kadangkala yang membuat suatu produk menjadi mahal bukan produknya, tetapi
mereknya. Merek merupakan suatu yang ditempelkan dan dilekatkan pada suatu
produk, tetapi ia bukan produk itu sendiri. Seringkali setelah barang itu dibeli,
mereknya tak dapat dinikmati oleh si pembeli. Merek mungkin hanya menimbulkan
kepuasan saja bagi pembeli, namun benda materilnya yang dapat dinikmati. Merek
itu sendiri hanya benda immateril yang tak dapat memberikan apapun secara fisik.
Inilah yang membuktikan bahwa merek itu merupakan hak kekayaan immateril.7
Sama dengan hak milik lainnya, hak merek sebagai hak kebendaan immateril
juga dapat beralih dan dialihkan sebagaimana telah tertera dalam UUM tahun 2001
Bab ke V tentang Pengalihan Hak atas Merek Terdaftar (pasal 40, 41 dan 42). . Ini
suatu bukti bahwa UU Merek 2001 dapat mengikuti prinsip-prinsip hukum benda
yang dianut oleh seluruh dunia dalam penyusunan undang-undang mereknya. Salah
6
OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2004) h. 329
7
Ibid, h. 329-330
10
satu wujud pengakuan dari hak kebendaan yang sempurna itu adalah,
diperkenankannya oleh undang-undang hak kebendaan itu beralih atau dialihkan oleh
si pemilik. Salah satu sistem pengalihan dalam hak merek adalah sebuah perjanjian
pengalihan yang disebut dengan perjanjian lisensi yang diatur dalam Undang-undang
Merek tahun 2001 pasal 43.
Lisensi dalam hal ini sebagai suatu cara untuk membagi dan menyebarkan ide
gagasan suatu ciptaan dan invensi dalam lingkup HaKI, agar negara berkembang
dapat mengikuti dan mencontohi apa yang telah dihasilkan oleh negara maju secara
legal. Sebagaimana telah diatur dalam UU No. 15 tahun 2001 pada Bab V mengenai
Pengalihan Hak atas Merek Terdaftar dan mengenai Lisensi.
2. Kerangka Konseptual
Secara konsep UUM 2001 tidak memnyebutkan bahwa merek merupakan
salah satu wujud dari karya inteletual. Sebuah karya yang didasarkan kepada olah
pikir manusia yang kemudian terjelma dalam bentuk benda Immateril. Suatu hal
yang perlu dipahami dalam setiap kali menempatkan hak merek dalam krangka hak
atas kekayaan intelektual adalah bahwa, kelahiran hak atas merek itu diawali dari
temuan-temuan dalam bidang hak atas kekayaan intelektual lainnya, misalnya hak
cipta. Pada merek ada unsur ciptaan, misalnya desain logo, atau desain huruf,
terdapat hak cipta dalam bidang seni. Oleh karena itu, dalam hak merek bukan hak
cipta dalam bidang seni itu yang dilindungi tetapi mereknya itu sendiri sebagai tanda
pembeda. Jadi, ada sesuatu “yang tak terlihat” dalam hak merek itu. Itulah hak
kekayaan immateril (tidak berwujud) yang selanjutnya dapat berupa hak atas
11
intelektual. Dalam krangka ini hak merek termasuk pada kategori hak atas kekayaan
perindustrian (Industriele Eigendom) atau Industrial Property Rights.8
Undang-undang No. 15 tahun 2001 pasal 1 butir 1, menjelaskan definisi
merek, “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf angkaangka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya
pembeda yang digunakan dalam kegiatan perdagangan atau jasa.” Sedangkan para
ahli diantaranya adalah Philip S. James MA, berpendapat bahwa “a trade mark is a
mark used in conextion with goods which a tader uses in order to tignity that a
certain type of good are his trade need not be the actual menufacture of goods, in
order to give him the right to use a trade mark, it will suffice if they marely pas
throug his hand is the course of trade” yang artinya merek dagang adalah suatu tanda
yang dipakai oleh seorang pengusaha atau pedagang untuk menandakan bahwa suatu
bentuk tertentu dari barang-barang kepunyaannya, pengusaha atau barang tersebut
tidak perlu penghasilan sebenarnya dari barang-barang itu, untuk memberikan
kepdanya hak untuk memakai suatu merek, cukup memadai jika barang-barang itu
ada di tangannya dalam lalu lintas perdagangan.9
Ada beberapa cara yang diatur dalam Undang-undang mengenai pengalihan
hak Merek terhadap pihak lain di antaranya adalah dengan menggunakan Perjanjian
Lisensi. Diadakannya lisensi untuk mensiasati agar hak monopoli yang dimiliki oleh
seorang inventor dan pencipta tidak menghambat perkembangan dan kemajuan
8
OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 330
9
Ibid, h. 345
12
teknologi dalam suatu negara yang berkembang. Penerima Lisensi dapat
mengembangkan usahanya selama tidak melanggar Undang-undang, dan sesuai
klausula perjanjian yang disepakati antara kedua belah pihak. Namun pada
kenyataannya pemberi lisensi masih terlalu menjadikan hak monopoli yang
dimilikinya untuk mengatur royalti dengan setinggi-tingginya diluar kemampuan
para penerima lisensi.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung
janji-janji
atau kesanggupan
yang diucapkan atau ditulis10.
Sedangkan
penyalahgunaan perjanjian merupakan perbuatan melanggar hukum yang dapat
merugikan salah satu pihak atau lawan pihaknya dalam sebuah perjanjian karena
kelalaiannya, dalam pasal 1238 KUHPer menyebutkan “ Si Berutang adalah lalai,
bila ia dengan surat perintah atau sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau
demi perikatannya sendiri jika ini menetapkan si berutang akan harus dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan” hal ini bisa dibilang wanprestasi,
Wanprestasi adalah suatu perbuatan kelalaian atau kealpaan salah satu pihak yang
terlibat dalam suatu perjanjian, dimana:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi dilakukannya.
b. Tidak melaksanakan apa yang dijanjikan.
10
Subekti, Hukum perjanjian, (Jakarta : PT Intermasa, 2001), h. 1
13
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 11
Hal-hal yang sering disalahgunakan oleh pemberi lisensi secara konsep
melanggar doktrin fairdealing12 yang menjelaskan bahwa hak moral selalu dijunjung
tinggi dalam setiap transaksi kontrak atau perjanjian. Doktrin ini menjelaskan bahwa
setiap pemberian lisensi harus mementingkan keterbukaan, keseimbangan, dan
proporsionalitas yang menjamin akan keuntungan kedua belah pihak dapat terwujud
dengan baik. Hak monopoli yang dimiliki oleh pemberi lisensi dalam kaitannya
dengan HaKI, wajib memperhatikan dokrin ini agar akibat hukum yang timbul kelak
dapat diminimalisir dan tercegah pada awal komitmen perjanjian.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan know-how dalam ilmu hukum yang bersifat perspektif, bukan sekedar
know-about. Sebagai kegiatan know-how penilitian hukum dilakukan untuk
memecahkan isu hukum yang dihadapi. Disinilah dibutuhkan kemampuan untuk
mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis
11
12
Ibid, h. 45
Feardealing adalah doktrin yang berkembang di Amerika yang juga dikenal fair use terkait
dengan kewajaran kegunaan dalam transaksi kontrak bisnis khususnya dalam hak kekayaan
intelektual.
14
masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecehan atas masalah
tersebut.13
Untuk
memperoleh
data-data
yang
diperlukan
dalam
menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini dan untuk memenuhi
penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis metode Penelitian yuridis
normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidahkaidah atau norma-norma dalam hukum positif.14Sedangkan sifat dari penelitian
ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam
memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori baru.
2. Pendekatan Yang Digunakan
Sehubungan dengan penelitian ini penulis menggunakan jenis penilitian
normatif, maka dalam hal teknik pengumpulan data dalam penelitian normatif,
penulis menggunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundangundangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan
pendekatan historis (historical approach).
Pendekatan perundang-undangan dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan
mengenai ketentuan hukum dalam kewenangan pengawasan bagi pihak-pihak
terkait perjanjian lisensi atas merek dalam praktek hukum bisnis ketika ada
13
Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet. VIII, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013), h. 60
14
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008) h. 294.
15
penyalahgunan Perjanjian Lisensi merek. Sedangkan pendekatan konseptual
dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana seharusnya konsep atau kriteria
perjanjian lisensi merek dalam praktek bisnis hak atas kekayaan intelktual, dengan
tidak adanya salah satu pihak yang diruggikan. Adapun pendekatan historis
digunakan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya sejarah perkembangan hak
merek khususnya dalam Perjanjian Lisensi merek di Indonesia.
3. Sumber Penelitian
Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber penelitian yang
berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier,
dengan rincian sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer (yang meliputi UUD 1945, dan peraturan perundangundangan yang terkait Hak atas Merek ). Bahan hukum sekunder merupakan
data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.15
b. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari atas buku-buku (text books) yang
ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal
hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasilhasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.16
15
Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h.51.
16
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, h. 296
16
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data melalui
studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian
terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan merek
dan perjanjian lisensi, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita
yang penulis peroleh dari internet.
Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
diinvetarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan Metode
Dokumentasi, metode ini dimaksudkan dengan mencari hal-hal atau variabel
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti,
notulen, rapat, agenda, dan sebagainya. 17
5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder, serta bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa,
sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab
permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan
secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat
umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan
17
Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 201.
17
hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum dengan melakukan
analisis secara kritis dan mendalam mengenai Bentuk-bentuk atau faktor-faktor
penyebab adanya penyalahgunaan perjanjian lisensi merek, dan Penyelesaian
sengketa dalam penyalahgunaan perjanjian lisensi merek.
G. Sistematika Penulisan.
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012” dengan
sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa
subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai
berikut:
BAB I Pendahuluan,
Diuraikan mengenai
Latar Belakang Masalah, dilanjutkan dengan,
Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Kerangka Teoritis dan Konseptual, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu,
Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Tinjauan umum mengenai Pengertian Umum Hak Merek Dalam Hak
Atas Kekayaan Intelektual.
Pada bab ini penulis akan membahas mengenai pengertian Merek dan Ruang
lingkupnya, Pengertian HaKI dan Ruang lingkupnya, Pengaturan Hukum
Merek di Indonesia, serta perolehan dan Pendaftaran Merek di Indonesia.
BAB III Tinjauan umum mengenai Perjanjian dan Perjanjian Lisensi Merek
dalam Hak Atas Kekayaan Intelektual.
18
Pada bab ini penulis akan menguraikan Pengertian Umum perjanjian dan
Syarat Sah Suatu Perjanjian, Pengertian Lisensi dan Pengertian Perjanjian
Lisensi, Pertimbangan Pemberian Lisensi, serta Syarat dan Isi Perjanjian
Lisensi Merek dalam HaKI.
BAB IV Tinjauan yuridis Perlindungan Hukum dalam Penyalahgunaan
Perjanjian Lisensi Merek.
Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai hak dan kewajiban pemberi
dan penerima lisensi merek, Bentuk-bentuk dan faktor-faktor penyebab
adanya Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek, Peran dan Wewenang
Dirjen HaKI Terkait Perlindungan Hukum terhadap penyalahgunaan lisensi,
serta Penyelesaian Sengketa Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek.
BAB V Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran.
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis
menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis
menengahkan beberapa saran yang dianggap perlu.
BAB II
TINJAUAN UMUM
MENGENAI HAK MEREK DALAM HAK ATAS KEKAYAAN
INTELEKTUAL
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Merek
Pasal 1 butir 1 Undang-undang Merek tahun 2001 memberikan suatu definisi tentang
Merek, yaitu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan
warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya perbedaan dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan atau jasa. 1
Selanjutnya hak atas merek itu memiliki definisi sendiri sebagai mana telah
dijelaskan pula dalam Pasal 3 Undang-undang Merek tahun 2001 hak eksklusif yang
diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek
untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan
izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.2
Sama halnya dengan hak cipta dan hak paten serta hak kekayaan intelektual lainnya,
maka hak merek juga merupakan bagian dari Hak atas Kekayaan Intelektual.Undang-undang
Merek 1992 menyebutkan bahwa merek merupakan salah satu wujud dari karya
intelektual.Sebuah karya yang didasarkan oleh pikir manusia, yang kemudian terjelma dalam
benda immateril. 3
1
Dikutip dari, Pasal 1 butir 1Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek.
2
Dikutip dari, Pasal 3 Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek.
3
OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2004), h. 329
19
20
Suatu hal yang harus dipahami dalam setiap kali menetapkan hak merek dalam
krangka hak atas kekayaan intelektual adalah bahwa, kelahiran hak atas merek itu diawali
dari temuan-temuan dalam bidang hak atas kekayaan intelektual lainnya, misalnya hak cipta.
Pada merek ada unsur ciptaan, misalnya desain logo, atau desain huruf.Ada hak cipta dalam
desain seni. Oleh karena itu, dalam hak merek bukan hak cipta dalam bidang seni itu yang
dilindungi, tetapi mereknya itu sendiri, sebagai tanda pembeda. 4
Adapun mengenai jenis Merek, Undang-undang Merek tahun 2001 telah mengatur
tentang jenis-jenis merek, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 butir 2 dan 3 UU
Merek Tahun 2001 yaitu:5
a. Merek dagang, adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama, atau badan hukum untuk
membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya
b. Merek Jasa, adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama, atau badan hukum untuk
membedakan dengan jasa-jasa jenis lainnya.
Disamping jenis merek sebagaimana dikemukakan di atas ada juga pengklafikasian
lain yang didasarkan kepada bentuk atau wujudnya. Bentuk dan wujud merek itu dimaksud
untuk membedakan dari jenis barang milik orang lain. Oleh karena adanya pembedaan itu,
maka terdapat beberapa jenisbentuk wujud merek yakni:
1.
2.
3.
4.
5.
Merek Lukisan (beel mark)
Merek Kata (word mark)
Merek Bentuk (form mark)
Merek Bunyi-bunyian (klank mark)
Merek Judul (title merk)6
Adapun pemakaian merek memiliki beberapa fungsi yaitu :
4
Ibid, h. 330
5
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Moderen di Era Global, (Bandung :
PTCitra Aditiya Bakti, 2008), h. 203
6
OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektua, h. 346
21
1) Tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau
beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum dengan produksi orang lain
atau badan hukum lainnya.
2) Alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksinya cukum dengan menyebut
hukum lainnya.
3) Jaminan atas mutu barangnya
4) Penunjuk asal barang / jasa dihasilkan7
B. Pengartian dan Ruang Lingkup Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan hak yang timbul dari adanya
kretifitas manusia yang menghasilkan karya-karya inovatif yang dapat diterapkan
pada kehidupan manusia. Istilah lain dari HKI adalah Hak Milik Intelektual, dimana
kata “milik” lebih tepat dari pada istilah “kekayaan”. Apabila diperhatikan dalam
sistem Hukum Perdata Indonesia pada hukum harta kekayaan terdiri dari dua bagian
yaitu hukum perikatan (Pasal 1233 KUH Perdata) dan hukum benda (Pasal 499 KUH
Perdata). Pada konsep harta kekayaan, setiap benda selalu ada pemiliknya. Setiap
pemilik suatu benda mempunyai hak atas benda miliknya, yang biasa disebut dengan
”Hak Milik”. Dengan demikian pemilik berhak untuk menikmati dan menguasai
benda tersebut. Kedua istilah tersebut diatas saling melengkapi sehingga tidak perlu
dipermasalahkan.Hukum Hak Kekayaan Intelektual adalah hukum yang mengatur
perlindungan
bagi
para
pencipta
dan
penemu
karya-karya
inovatif
sehubungandengan pemanfaatan karya-karya mereka secara luas dalam masyarakat,
7
Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, “Merek”, yang diakses tanggal 02 Maret
2015, http://www.dgip.go.id/tentang-kami/visi-misi-dan-nilai-djhki.html
22
karena
itu
tujuan
hukum
HKI
adalah
menyalurkan
kreativitas
individu
untukkemanfaatan manusia secara luas.8
Selain itu, Hak Kekayaan Intelektual adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu
benda yang baersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio, hasil dari pekerjaan
rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda im-materil yaitu benda
tidak berwujud.9
“Dalam kepustakaan hukum Anglo saxon10 ada juga dikenal dengan
intellectual property right. Kata ini kemudian diterjemahkan menjadi “Hak
Milik Intelektual”, yang sebenarnya menurut hemat penulis (Saidin), lebih
tepat kalo diterjemahkan menjadi Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).
Alasannya karena “hak milik” sebenarnya sudah merupakan istilah baku
dalam kepustakaan hukum.11Padahal tidak semua Hak Atas Kekayaan
Intelektual merupakan hak milik dalam arti yang sesungguhnya. Bisa
merupakan hak untuk memperbanyak saja, atau untuk menggunakannya
dalam produk tertentu dan bahkan dapat pula berupa hak sewa (rental right),
atau hak-hak lain yang timbul dari perikatan seperti lisensi, hak siaran, dan
lain sebagainya.”12
Substansinya Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan bagian dari
benda yaitu benda tidak berwujud (benda Immateril). Maksud benda tidak berwujud
8
Nuzulia Kumalasari, “ Pentingnya Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam Era
Globalisasi”, Qistie 3, no.3, (2009, h.25
9
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 9
10
Hukum Anlo Saxon adalah hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusankeputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim yang selanjutnya.
11
Perbedaan seru tentang istilah ini telah berlangsung selama bertahun-tahun ada yang setuju
dengan istilah hak milik intelektual, ada yang bertahan untuk menggunakan Hak Kekayaan
Intelektual, tapi memang akhirnya oleh Bambang Kesowo Ketua Tim yang membidangi masalah
hukum HAKI, memveto lalu agar menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual. Singkatnyapun
bermacam-macam pula ada HAKI,HaKI dan HKI. Rumusan baku tentang Hak Milik itu misalnya
dapat kita lihat dalam pasal 570 KUHPerdata dalam pasal 20 UUPA tahun 1960, tentang Hak Milik
Atas Tanah. Menurut penulis yang lebih cocok dalam menggunakan istilah ini adalah menggunakan
istilah HaKI
12
OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h.11
23
di sini adalah benda yang bersasal dari kreatifitas seseorang dalam menghasilkan
karyanya. Benda dalam kerangka hukum perdata diklasfikasikan dalam dua katagori
yaitu benda berwujud dan tidak berwujud. Dalam konteks ini dilihat pengertian
benda dalam Hak atas Kekyaan Intelektual yang dimaksud. Untuk memahami lebih
lanjut mengenai benda yang dimaksud dapat dilihat dalam Pasal 499 KUHPerdata
berbunyi : “ Menurut paham undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiaptiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik”.Dapat kita
simpulkan bahwasanya benda terdiri dari sebuah barang dan hak milik.
Barang yang dimaksud pada Pasal 499 KUHPerdata di atas adalah benda
materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immateril.Sejalan dengan
klasifikasi benda menurut Pasal 503 KUHPerdata, yaitu penggolongan benda ke
dalam kelompok benda berwujud (bertubuh) dan benda tidak berwujud (tidak
bertubuh).13Dari sini dapat dipahami bahwa Hak atas Kekayaan Intelektual, adalah
sebuah benda yang tidak berwujud karena Hak atas Kekayaan Intelektrual
merupakan sebuah benda yang berasal dari rasio dan kreatifitas seseorang dan
membuat hasil sebuah karya sehingga bisa djadikan sebagai hak milik.
Hak atas Kekayaan Inteltual (HaKI) berhubungan dengan benda tidak berwujud serta
melindungi karya intelektual yang lahir dari cipta, rasa dan karsa manusia. Definisi yang
bersifat lebih umum dikemukakan oleh Jill Mc Keogh dan Abdrew Steward, HaKI adalah
sekumpulan hak yang diberikan oleh hukum untuk melindungi investasi ekonomi dari usaha-
13
Ibid, h,12
24
usaha yang kreatif. Sedangkan, UNCTAD14 dan ISCD (dua lembaga Internasional)
mendefinisikan HaKI sebagai hasil-hasil usaha manusia kreatif yang dilindungi oleh
hukum.15 Disamping itu Direktorat Jendral (Ditjen) HaKI Depertemen Hukum dan HAM-RI
bekerjasama dengan ECAP (European Commision ASEAN Project on the Protection of
Intelektual Property Right)16 mendefinisikan HaKI sebagai hak yang timbul bagi hasil oleh
pikir otak yang menghasilkan suatu produk yang berguna bagi manusia. 17
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa , HaKI selalu
mengandung tiga unsur yaitu:18
a. Mengandung hak ekslusif yang diberikan oleh hukum
b. Hak tersebut berkaitan dengan usaha manusia yang didasarkan pada
kemampuan intelektual
c. Kemampuan intelektual tersebut memiliki nilai ekonomi.
Indonesia sebagai negara yang memiliki komitmen kuat terhadap perlindungan
HaKI, sudah lama terlibat secara aktif dalam krangka kerja baik yang bersifat regional
maupun Internasional di bidang HaKI. Meskipun keikutsertaan
tidak secara otamatis
menghapus faktor-faktor penghalang didalam penegakan HaKI di Indonesia, setidaknya
14
UNCTAD (United Nation Conference on Trade and Development) adalah organisasi
internasional yang didirikan pada tahun 1969.UNCTAD merupakan organ utama Majlis Umum PBB
dalam menangani isu perdagangan, investasi dan pembangunan.
15
Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana,
(Jakarta : Mitra Wacana Media, 2010), h. 155-156
Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis,
16
ECAP (European Commision ASEAN Project on the Protection of Intelektual Property
Right) merupakan program yang di-inisiasi oleh Europian Union untuk emningkatkan informasi
mengenai Intellectual Property Right (IPR)atau HaKI di regional ASEAN termasuk Indonesia
17
Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, h. 155-
18
ibid, h. 155-156
156
25
Indonesia telah menunjukan pada dunia Internasional, bahwa HaKI telah menjadi prioritas
utama di dalam pembangunannya saat ini untuk mengetahui lebih jauh peran aktif tersebut
serta krangka kerja di bidang HaKI yang telah diselenggarakan dibidang WTO19.20
Munculnya usaha-usaha perlindungan terhadap HaKI sama tuanya dengan ciptaanciptaan manusia. Perlindungan hukum terhadap HaKI pada prinsipnya adalah perlindungan
terhadap pencipta. Dalam perkembangan kemudian menjadi pranata hukum yang dikenal
Intellectual Property Right (IPR). Perhatian-perhatian negara untuk mengadakan kerjasama
mengenai masalah HaKI secara formal telah ada sejak akhir abad ke-19.Perjanjian-perjanjian
ini secara kuantitatif sebagian besar mengatur mengenai perlindungan Hak Milik
Perindustrian (Industrial Property Right) dan yang lainnya mengatur mengenai hak cipta.
Organoisasi
yang
menangani
ini
adalah
WIPO21(World
Intellectual
Property
Organization).22
TRIPs hanyalah sebagian dari keseluruhan sistem perdagangan yang diatur WTO,
dan keanggotaan Indonesia pada WTO menyiratkan bahwa Indonesia secara otomatis terkait
pada TRIPs. Adalah tidak mungkin untuk hanya menjadai peserta dari TRIPs tanpa menjadi
anggota dari WTO- hak-hak dan kewajiban dari TRIPs hanya timbul bila suatu negara
menjadi anggota WTO.Sebaliknya, tidak mungkin menjadi anggota WTO tanpa menjadi
peserta TRIPs. Sifat yang demikian itu, tampak dengan jelas dari kasus yang dialami
19
World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi perdagangan dunia dan
merupakan satu-satunya badan Internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan
antar negara
20
Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung : PT. Alumni h. 2013), 23-24
21
World Intellectual Property (WIPO) merupakan Organisasi dibawah Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) yang khusus menangani dan mengembangkan usaha-usaha perlindungan terhadap Hak
Kekayaan atas Intelektual (HaKI)
22
Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual Di Negara-negara Asean,
(Jakarta : Sinar Grafika h, 1996), h. 7
26
Indonesia pada waktu timbul permasalahan Proyek Mobil Nasional Timor yang harus
ditundukkan pada aturan-aturan penyelesaian sengketa yang diatur WTO. Keberatankeberatan yang diajukan terhadap proyek ini adalah karena terjadinya pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan WTO, diantaranya ketentuan-ketentuan TRIPs, sehingga perlu diadakan
suatu proses penyelesaian sengketa secara menyeluruh berdasarkan ketentuan-ketentuan
WTO yang berlaku.23
Ruang lingkup perjanjian internasional yang dinaungi WIPO, WIPO sendiri bertugas
untuk mengembangkan usaha-usaha perlindungan terhadap Hak atasKekayaan Intelektual,
meningkatkan kerjasama antar negara dan organisasi-organisasi internasional. Menurut
konvensi WIPO yang termasuk kedalam ruang lingkup IPR terdiri dari dua unsur yaitu: 24
1. Hak Milik Perindustrian (Industry Property Right) yang meliputi paten, merek
dagang, dan desain industri.
2. Hak Cipta, yang meliputi hasil-hasil karya kesusastraan, musik ,fotografi dan
sinematografi.
Jenis dan Penggolongan HaKI :25
23
Ibid. h. 25
24
Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual Di Negara-negara Asean, h. 8
25
Sri Redjeki Hartono,” Perlindungan Hukum Terhadap Lisensi Paten”,(Tesis S2 Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008), h. 50
27
Hak Cipta
Hak Cipta
HaKI
Hak Milik
Perindustrian
Hak-hak Lain yang terkait
dengan Hak Cipta
1.Paten
2. Paten Sederhana
3. Varietas tanaman
4. Merek
5. Desain Produk Industri
6. Rahasia dagang
7 Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu
8. Indikasi Geografis
9. Persaingan Curang
Hak Kekayaan atas Intelektual yang dianut di Indonesia mengenal tujuh cabang yaitu
diantaranya :26
1. HAK CIPTA (COPYRIGHT)
Pengaturan Hak Cipta sebagai cabang dari HaKI di Indonesia diatur dalam
Undang-undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta (Undang-undang HC). Hak Cipta
adalah hak ekslusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan dan
26
158
Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, h. 157-
28
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan-peraturan yang berlaku. 27
2. PATEN (PATENT)
Dasar hukum hak Paten di Indonesia terletak pada Undang-undang No. 14 tahun
2001 tentang Paten. Paten adalah Hak Ekslusif yang diberikan oleh Negara kepada
Inventor atas hasil Invensinya dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu
melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada
pihak lain untuk melaksanakannya. 28
3. MEREK (TRADEMARK)
Undang-undang No.15 tahun 2001 tentang Merek merupakan dasar hukum yang
terbaru tentang perlindungan Merek di Indonesia. Sampai dengan saat ini, tercatat
pemerintah telah tiga kali merevisi Undang-undang Merek, yaitu terhadap Undangundang No. 19 tahun 1992 sebagai revisi terhadap Undang-undang No. 14 tahun 1997
dan yang terbaru adalah Undang-undang No. 15 tahun 2001 yang masih berlaku saat ini.
revisi Undang-undang Merek tersebut dilakukan untuk memenuhi kewajiban Indonesia
sebagai anggota the World Trade Organization (WTO) melalui kebijakan menyusaikan
substansi Undang-undang nasional dengan standar Internasional perjanjian TradeRelated Aspect of Intellectual Property Right (TRIPs).29
Dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Merek dirumuskan bahwa merek adalah
tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau
27
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis menata Bisnis Moderen di Era Global, h. 208
28
Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, h. 183
29
Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, h. 157
29
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam
kegiatan prdagangan barang atau jasa.30
4. DESAIN INDUSTRI (INDUSTRIAL DESIGN)
Dasar hukum hak Desain Industri di Indonesia terletak pada Unang-undang No.
31 tahun 2000 tentang Desain Industri. Desain Industri adalah suatu kreasi tentanng
bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atua
gabungan dari padanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan
kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta
dapat dipakai untuk menghasilka produk, barang komoditas industri, atau kerajinan
tangan.31
5. DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU (INTEGRATED CIRCUIT LAYOUT
DESIGN)
Undang-undang No.32 tahun 2000 merupakan dasar hukum yang pertama di
Indonesia terhadap perlindungan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Dalam pasal 1
anka 5 Undang-undang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak ekslusif yang
diberikan oleh negara Repblik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya, untuk
selama waktu tertentu melaksanakan sendiri atau memberikan persetujuannya kepada
pihak lain untuk melaksanakan hal tersebut.32
6. RAHASIA DAGANG (TRADE SECRET)
158
30
Dikutip dari, Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek.
31
Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, h. 220
32
Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, h. 157-
30
Dasar hukum Rahsia Dagang di Indonesia adalah Undang-undang No. 30 tahun
2000 tentang Rahasia Dagang. Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui
oleh umum di bidang tekhnologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena
berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiannya oleh pemilik Rahasia
Dagang.33
7. PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN (PLANT VARIETIES PROTECTION)
Perlindungan atas Varietas Tanaman di Indonesia bersumber pada Undangundang No. 29 tentang perlindungan Varietas Tanaman (Undang PVT). Perlindungan
Varitas Tanaman adalah Perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam hal ini
diwakili oleh pemerintah dan pelaksaannya dilakukan oleh kantor perlindungan varietas
tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui
kegiatan pemuliaan tanaman. 34
C. PENGATURAN HUKUM MEREK DI INDONESIA
Perkembangan pengaturan Merek di Indonesia antara Tahun 1961, 1992, 1997, dan
2001 terdapat beberapa hal pokok perubahan dan penambahan dalam setiap perubahan yang
dilakukan. Dalam sejarah perundang-undangan merek di Indonesia dapat dicatat bahwa pada
masa kolonial Belanda berlaku Reglement Industriele Eigindom (RIE) yang dimuat dalam
Stb. 1912 No. 545 Jo.Stb. 1913 No. 214. Setelah Indonesia merdeka peraturan ini dinyatakan
terus berlaku, berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Ketentuan itu masih terus
berlaku, hingga akhirnya sampai pada akhir tahun 1961 ketentuan tersebut diganti dengan
UU No. 12 tahun 1961 tentang merek perusahaan dan merek perniagaan yang diundangkan
pada tanggal 11 oktober 1961 dan dimuat dalam lembaran negara RI No. 290 dan
33
OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 452
34
Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, h. .216
31
penjelasannya dimuatdalam Tambahan Lembaran Negara RI No. 2341 mulai berlaku pada
bukan November 1961.35
Kedua Undang-undang di atas memiliki banyak kesamaan. Perbedaannya hanya
terletak pada antara lain masa berlakunya merek, yaitu sepuluh tahun menurut UU Merek
1961 dan jauh lebih pendek dari RIE 1912, yaitu 20 tahun. Undang-undang merek tahun
1961 ini ternyata mampu bertahan selama kurang lebih 31 tahun, untuk kemudian Undangundang ini dengan berbagai pertimbangan harus dicabut dan digantikan oleh Undang-undang
No. 19 tahun 1992 tentang “Merek” yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI tahun
1992 No. 81 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 3490, pada
tanggal 28 Agustus 1992. UU yang disebut terakhir ini berlaku sejak 1 April 1993.Alasan
dicabutnya UU Merek Tahun 1961 itu, adalah karena UU Merek NO.21 Tahun 1961 dinilai
tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Undang-undang Merek
tahun 1992 ini banyak sekali mengalami perubahan-perubahan yang sangat berati,
diantaranya mengenai sistem pendaftaran, lisensi, merek kolektif, dan sebagainya. 36
Seiring waktu berlalu pada tahun 1997 dengan beberapa pertimbangan UU Merek
Tahun 1992 pun diperbaharui lagi dengan UU No 14 Tahun 1997. Pada tahun 2001 UU No.
19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No. 14 tahun 1997 tersebut dinyatakan tidak
berlaku. Sebagai gantinya adalah Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001.Adapun alasan
diterbitkannya UU NO. 15 Tahun 2001 diantaranya adalah salah satu perkembangan yang
kuat dan memperoleh perhatian seksama dalam masa sepuluh tahun ini dan
kecenderungannya yang masih akan berlangsung di masa yang akan datang adalah semakin
meluasnya arus globalisasi baik bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang
35
OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 331
36
Ibid, h. 331-332
32
kehidupan lainnya. Perkembangan tekhnologi informasi dan transfortasi telah menjadikan
kegiatan di sektor perdagangan meningkat secara pekat dan bahkan telah menempatkan
dunia sebagai pasar tunggal bersama. 37
Perundang-undangan tentang merek juga memperkenakan adanya apa yang
disebutkan dengan “Hak Prioritas. Yaitu hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang
berasal dari negara yang bergabung dalam Paris Convention for the Protection of Industrial
Property, atau agreement Establishing the, World Trade Organization untuk memperoleh
pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara
tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu, selama pengajuan itu
dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention for the
Protection of Industrial Property.38
D. PEROLEHAN DAN PENDAFTARAN MEREK DI INDONESIA
Syarat mutlak suatu merek yang harus dipenuhi oleh setiap orang ataupun badan
hukum yang ingin menggunakan suatu merek, supaya merek itu dapat diterima dan dipakai
sebagai merek atau cap dagang, adalah bahwa merek itu harus mempunyai daya pembedaan
yang cukup , sehingga mempunyai cukup kekuatan untuk membedakan barang hasil
produksi sesuatu perusahaan atau barang perniagaan (perdagangan) atau jasa dari produksi
seseorang dengan barang-barang yang diproduksi oleh orang lain. Karena adanya merek itu
barang-barang yang diproduksi menjadi dapat dibedakan.39
Selain itu, perlu kiranya penulis menguraikan lebih lanjut mengenai merek yang
dapat didaftarkan sebagai suatu merek.
37
OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 336
38
39
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, h. 204
OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual h. 348
33
Menurut Pasal 5 UU Merek, merek tidak dapat didaftarkan apabila mengandung
salah satu unsur dibawah ini :40
1. Bertentangan dengan kesusilaan, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban
umum
2. Tidak memiliki daya pembeda
3. Telah menjadi milik umum, atau
4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya.
Pendaftaran Merek menganut dua sistem, yaitu sistem deklaratif dan konstitusif
(atributif). Undang-undang Merek Tahun 2001 dalam sistem pendaftarannya menganut
sistem konstitutif, sama dengan UU sebelumnya yakni UU No. 19 Tahun 1992 dan UU No.
14 Tahun 1997. Ini adalah perubahan yang mendasar dalam UU Merek Indonesia, yang
semula menganut sistem deklaratif.41
Menurut Soegondo Soemodiredjo Secara Internasional dikenal empat sistem
pendaftaran Merek yaitu :
1.
2.
3.
4.
Pendaftaran Merek tanpa pemeriksaan merek terlebih dahulu
Pendaftaran dengan pemeriksaan merek terlebih dahulu
Pendaftaran dengan pengumuman sementara
Pendaftaran merek dengan pemberitahuan terlebih dahulu tentang adanya
merek-merek terdaftar lain yang ada persamaannya. 42
Pendaftaran merek, adalah untuk memberikan status bahwa pendaftaran diangggap
sebagai pemakai pertama sampai ada orang lain yang membuktikan sebaliknya. Berbeda
dengan sistem deklaratif dalam sistem konstitutif baru akan menimbulkan hak apabila telah
didaftarkan oleh si pemegang. Oleh karenanya dalam sistem ini pendaftaran adalah suatu
40
C.S.T. Kansil, Hak Milik Intelektual (Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta), Jakarta :
Sinar Grafika, 1990), h. 152
41
OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 362
42
Ibid, h. 362-363
34
keharusan.Dalam sistem deklaratif titik berat diletakkan atas pemakaian pertama, siapa yang
memakai pertama suatu merek dialah dianggap berhak menurut hukum atas merek yang
bersangkutan.Jadi pemakaian pertama yang menciptakan hak atas merek bukanlah
pendaftaran.
Adapun prosedur pendaftaran Merek, menurut UU Merek Tahun 2001 diatur dalam
Pasal 7 mengenai Tata cara pendaftaran merek di Indonesia adalah :
1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat
Jendral dengan mencantumkan :
a. Tangal, bulan, dan tahun
b. Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon
c. Nama lengkap dan alamat kuasa apabila pemohon diajukan melalui kuasa
d. Warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftaranya menggunakan
unsur-unsur warna
e. Nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal
permohonan diajukan dengan hak prioritas
2. Permohonan ditandatangani Pemohon atau Kuasanya.
3. Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang atau
beberapa orang secara bersama, atau badan hukum.
4. Permohonan dilampirin dengan bukti pembayaran biaya
5. Dalam hal permohaonan diajukan oleh lebih dari satu orang atau beberapa orang
secara bersama, atau badan hukum.
6. Dalm hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), permohonan tersebut
ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas Merek tersebut
dengan melampiri persetujuan tertulis dari para pemohon yang mewakilkan.
7. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan melalui
Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas
Merek tersebut.
8. Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan
Intelektual.
9. Ketentuan mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak
Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerinta, sedangkan tatacara
pengangkatannya diatur dengan Keputusan Presiden. 43
Surat permohonan diatas juga harus dilengkapi dengan :
a. Surat Pernyataan bahwa merek yang dimintakan pendaftarannya adalah miliknya
b. Dua puluh helai etiket merek yang bersangkutan
43
Di kutip dari, Pasal 7 Undang-undang No 15 tahun 2001 tentang Merek
35
c. Tambahan Berita Negara yang memuat akta pendirian badan hukum atau salinan
yang sahakta pendirian badan hukum, apabila p-emilik mereka adalah badan
hukum
d. Surat kuasa apabila permintaan pendaftaran merek diajukan melalui kuasa, dan
e. Pembayaran seluruh baiaya dalam rangka permintaan pendaftaran merek yang jenis
dan besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 10 ayat (1). 44
Selain harus memenuhi ketentuan sebagaimamna dimaksud di atas, Undangundangpun mengatur mengenai permintaan pendaftaran merek dengan menggunakan hak
prioritas, yaitu wajib dilengkapi pula dengan bukti permintaan penerimaan pendaftaran yang
pertama kali yang menimbulkan hak prioritas tersebut.
Permohonan pendaftaran merek dalam hak prioritas diatur dalam Pasal 11 dan
Pasal 12 Undang-umdang Merek No. 15 Tahun 2001.Bukti hak prioritas berupa surat
permohonan pendaftaran beserta tanda penerimaan permohonan tersebut yang juga
memberikan penegasan tentang tanggal penerimaan permohonan. Dalam hal yang
disampaikan berupa salinan atau fotokopi atau tanda penerimaan, pengesahan atas salinan
atau fotokopi surat atau tanda penerimaan tersebut diberikan oleh Direktorat Jendral apabila
permohnan diajukan untuk pertama kali. Subjek hukum atau badan hukum yang telah
mendapatkan hak secara prioritas akan dilindungi haknya di negara luar (negara dimana
yang bersangkutan mendaftarkan hanya prioritasnya) seperti ia mendapatkan perlindungan di
negri sendiri. Dan untuk membatalkan pendaftar merek yang sama di negara lain pemegang
hak prioritas mendapatkan masa tengang waktu selama enam bulan. 45
Mengenai jangka waktu perlindungan sebuah merek terdaftar adalah selama jangka
waktu sepuluh tahun dari tanggal penerimaan (pasal 28). Jangka waktu ini dapat
diperpanjang untuk masa yang tidak dapat ditentukan selama 10 tahun (pasal 35(1)) dengan
44
OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 370
45
Ibid, h. 372
36
pembayaran biaya. Namun, pemilik harus melakukan perpanjangan 12 bulan sebelum merek
tersebut berakhir (pasal 35(2)). Merek akan diperpanjang masa berlakunya hanya jika
pemilik masih memakai merek tersebut dalm perdagangan barang dan atau jasa (pasal
36huruf (a) dan (b)). 46
Berikut skema prosedur pendaftaran Merek menurut Undang-undang Merek No. 15
tahun 2001:
46
Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, h. 144
37
PROSEDUR PENGAJUAN PENDAFTARAN MEREK MENURUT UU MEREK
NO. 15 TAHUN 2001
Permohonan
Ditjen HaKI
Pemeriksaan
Pormalitas
Kekurangan
Persyaratan
ya
Dipenuhi
Tidak
1.
Dianggap ditarik
Pemeriksaan
Substantif
Ya
Penolakan
Disetujui
Ya
Tanggapan
Ada Tanggapan
tidak
2
Tidak
Pemeriksaan
Tidak
Diterima
Penolakan Tetap
Ya
3
Pengumuman (3 bln)
Ya
Ada Oposisi
4
Oposisi
Sanggahan
Tidak
Pemeriksaan
Tidak
Kembali
- Sertifikat Merek
- Daftar Umum Merek
Oposisi Diterima
Diterima
5
Banding
Putusan
Komisi Banding
Ditolak
6
Pengadilan Niaga
kasasi
38
Keterangan :
1. Berlangsung paling lama 9 bulan
2. Paling lama 30 hari sejak tanggal surat pemberitahuan penolakan
3. Berlangsung selama 3 bulan terhitung paling lama 10 hari sejak tanggal disetujuinya
permohonan untuk didaftar
4. Oposisi dapat dilakukan selama jangka waktu pengumuman
5. Jika oposisi diterima pemohon dapat mengajukan banding ke komisi banding, jika
tidak Ditjen HaKI menerbitkan sertifikat Merek paling lama 30 hari sejak tanggal
permohonan disetujui untuk didaftar.
6. Gugatan diajukan paling lama 3 bulan sejak diterimanya keputusan penolakan
banding47
47
OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 378
BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PERJANJIAN
LISENSI MEREK DALAM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
A. Pengertian Umum Perjanjian dan Syarat Sah Perjanjian
1.
Pengertian Perjanjian
Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa Perjanjian yaitu dimana satu
orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian
merupakan kesepakatan antara dua orang atau dua pihak, mengenai hal-hal pokok
yang menjadi objek dari perjanjian. Kesepakatan itu timbul karena adanya
kepentingan dari masing-masing pihak yang saling membutuhkan. Perjanjian juga
dapat disebut sebagai persetujuan, karena dua pihak tersebut setuju untuk melakukan
sesuatu.1
Menurut Subekti dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perjanjian”, kata
sepakat berarti suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak. Pengertian
kata sepakat tersebut berarti apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga
dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik
kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.2
Selain itu, Perjanjian dapat diartikan sebagai suatu pristiwa dimana seorang
berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
1
2
R. Soebekti, Aneka Perjanjian, Cet X, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 1995), h. 26.
Ibid, h. 26.
39
40
melaksanakan sesuatu hal.3 Dari pristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua
orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian, hubungan antara
perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.
Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu
perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakuan
sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu
adalah sama artinya. Begitupun dengan kontrak, lebih sempit karena ditunjukan
kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.4
Istilah kontrak atau perjanjian terkadang masih dipahami secara rancu.
Banyak pelaku bisnis mencampuradukan kedua istilah tersebut seolah merupakan
pengertian yang berbeda.
Agus Yudha Hernoko menjelaskan mengenai istilah kontrak dan
perjanjian bahwasanya dalam
Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW)
menggunakan istilah overeenkomst dan Contract untuk pengertian yang sama. Hal
ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III titel kedua Tentang “Perikatanperikatan yang lahir dari kontrak dan perjanjian” yang dalam bahasa aslinya (bahasa
Belanda), yaitu : “Van nerbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren
worden”.5 Pengertian ini juga didukung pendapat banyak sarjana, akan tetapi Subekti
memiliki pendapat yang berbeda mengenai istilah “perjanjian atau persetujuan”
3
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet 21, (Jakarta : Intermasa, 2001), h.1
4
Ibid, h. 1
5
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
(Jakarta : Kencana, 2010), h. 13
41
dengan “kontrak”. Menurut Subekti istilah kontrak mempunyai pengertian lebih
sempit karena ditunjukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.
Sedangkan sarjana lain, seperti Potheir tidak memberikan pembedaan antara kontrak
dan perjanjian , namun membedakan pengertian contrack dengan convention (pacte).
Disebut convention (pacte) yaitu perjanjian dimana dua orang atau lebih
menciptakan,
menghapuskan
(opheffen),
atau
mengubah
(wijzegen)
perikatan.Sedangkan contract adalah perjanjian yang mengharapkan terlaksananya
perikatan.6
2.
Syarat Sah Suatu Perjanjian
Perjanjian yang sah menurut hukum artinya perjanjian yang memenuhi syarat
yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga ia diakui oleh hukum (legally
concluded contract).7 Menuut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, Syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian harus memperoleh empat syarat diantaranya :8
a.
Sepakat
b.
Cakap
c.
Mengenai suatu hal tertentu
d.
Suatu sebab yang halal
6
7
8
Ibid, h. 13
Subekti, Hukum Perjanjian, h.1
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta : Kencana, 2004), h.1
42
Jika suatu perjanjian telah memenuhi syarat sebagaimana disebutkan di atas,
maka perjanjian tersebut menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak
yang mengikatnya.
Sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksud bahwa kedua subyek yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seiya-sekata mengenai halhal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Kesepakatan para pihak merupakan
unsur mutlak terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai
cara, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan penerimaan atas
penawaran tersebut.9
Seseorang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum pada
asasnya. Setiap orang yang sudah dewasa atau aqilbaliq dan sehat pikirannya, adalah
cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 kitab undang-undang Hukum Perdata
disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian
adalah :
1) Orang-orang yang belum dewasa
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
3) Perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang, dan semua
orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjianpejanjian tertentu.10
9
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h. 14
10
Subekti, Hukum Perjanjian. Cet 21. h.17
43
Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah
pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksud dalam perjanjian paling
sedikit harus ditentukan jenisnya. Akhirnya oleh Pasal 1320 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah
adanya asuatu sebab yang halal. Dengan sebab bahasa belanda oozaak, bahasa
latincausa ini dimaksudkan tiada lain daripada isi perjanjian.11
Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrakterdapat 5 (lima) asas yang
dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah:12
1.
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di
dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan aturan hukum namun
mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para
pihak.13Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan asas kebebasan berkontrak adalah
suatu asas yang mengajarkan bahwa para pihak dalam suatu kontrak pada prinsipnya
bebas untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasannya
untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut.Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi
oleh rambu-rambu hukum sebagai berikut :
11
Ibid. h. 19
12
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, h. 108
13
Ibid, h. 108
44
a. Harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
b. Tidak dilarang oleh Undang-undang
c. Tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
d. Harus dilaksanakan dnegna I’tikad baik14
2.
Asas Konsensualisme
Asas ini menjelaskan, bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka dia telah
sah dan mengikat secara penuh.15Apabila menyimak rumusan pasal 1338 (1) BW
yang menyatakan bahwa : “semua perjanjian yanng dibuat secara sah berlaku sebagai
Undang-undang bagi mereka yang membuatnya,” istilah “secara sah” bermakna
bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah menurut hukum adalah mengikat,
karena dalam asas ini terkandung “kehendak para pihak” untuk saling mengikat diri
dan menimbulkan kepercayaan (vetrouwen) diantara para pihak terhadap pemenuhan
perjanjian. Di Pasal 1320 BW terkandung asas yang esensial dari hukuman
perjanjian, yaitu asas “konsensualisme” yang menentukan “ada”-nya. Di dalam asas
ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan
kepercayaan (ventrouwen) diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian.Asas
kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.16
3.
Asas Daya Mengikat Kontrak (pacta sunt servanda)
14
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis,Menata Bisnis Moderen di Era Globalisasi
(Bandung : PT.Citra Aditiya Bhakti, 2008), h. 12
h. 121
15
Ibid, h. 13
16
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
45
Istilah “pacta sunt servanda” berarti “janji itu mengikat” yang dimaksudkan
adalah bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para
pihak tersebut secara penuh, sesuai isi kontrak tersebut.Mengikatnya secara penuh
atas kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut oleh hukum kekuatannya dianggap
sama saja dengan kekuatan mengikat dari suatu Undang-undang. Karena itu apabila
suatu pihak dalam kontrak tidak menuruti kontrak yang telah dibuatnyaa, oleh
hukum disediakan ganti rugi bahkan pelaksanaan kontrak secara paksa.17
4.
Asas I’tikad Baik
Pasal 1338 (3) BW menyatakan bahwa, “Perjanjian-perjanjian harus
dilaksanakan dengan I’tikad baik .” apayang dimaksud dengan I’tikad baik (te
goeder trouw, good faith). Pengaturan pasal 1338 (3) BW, yang menetapkan bahwa
persetujuan harus dilaksanakan dengan I’tikad baik (contractrus bonafidei-kontrak
berdasarkan I’tikad baik), maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan
dan keadilan.18
Menurut HogeRaad, dalam putusannya tanggal 9 februari 1923 (Nederlandse
Jrisprudentir, hlm 676) memberikan rumusan bahwa:
”Perjanjian harus dilaksanakan volgens de eisen van redalijkheid en
billijkheid”, artinya I’tikad baik harus dilaksanakan menurut kepatutan dan
kepantasan. P.L. Werry menerjemahkan ”redelijkheid en billijkheid” dengan
istilah uji dan kepatutan” beberapa terjemahan lain menggunakan istilah
“kewajaran dan keadilan “ atau “kepatutan dan keadilan” Redelijkheid artinya
rasional, dapat diterima oleh nalar dan akal sehat, sedangkan
17
18
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis,Menata Bisnis Moderen di Era Globalisasi, h 12
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, h. 135
46
Billijkheidartinya patun dan adil. Dengan demikian ”redelijkheid en
billijkheid” meliputi semua yang dirasakan dan dapat diterima nalar dengan
baik , wajar dan adil, yang diukur dengan norma-norma objektif yang bersifat
tidak tertulis dan bukan berasal dari subjektivitas para pihak.19
B. Pengertian Lisensi dan Perjanjian Lisensi
1.
Pengertian Lisensi
Sebagai alternatif upaya untuk lebih mendekatkan diri dari pada konsumen di
negara tujuan, serta untuk mengurangi dampak biaya transportasi ekspor yang tinggi,
serta resiko hilangnya produk dari pasaran sebagai dari akibat resiko transfortasi dan
embargo yang mungkin dilakukan secara politis, maka mulailah diupayakan untuk
mengembangkan suatu bentuk usaha baru yang dikenal dengan nama Lisensi. 20
Lisensi berasal dari kata latin “Licentia”. Yang berarti jika kita memberikan
kepada seseorang Lisensin terhadap suatu oktroi atau merek, maka kita memberikan
kebebasan atau izin kepada orang itu untuk menggunakan sesuatu yang sebelumnya
dia tidak boleh gunakan,
Lisensi dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
izin
menggunakan oktroi pihak lain dalam hukum tata milik industri, dapat diberikan oleh
sipemegang oktroi atau berdasarkan ketetapan Dewan oktroi.21 Sedangkan secara
umum dalam Black’s Law Dictionary, Lisensi ini diartikan sebagai :22“A personal
19
Ibid, h. 135
20
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Lisensi, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001),
h. 3
21
Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet IV, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 835
22
Gunawan widjaja, Seri Hukum Bisnis: Lisensi, h. 3
47
privilage to do some particular act or series of act…” Atau “The permission by
competent autbority to do an act which, whithout sush permission would be illegal, a
trespass, a tort, or otherwise would not allowable”. 23
Menurut para ahli, Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek
terdaftar kepada pihak lain melalui surat perjanjian yang berdasarkan pada
pemberian hak ( bukan pengalihan hak ) untuk menggunakan merek tersebut, jenis
barang dan atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.24
Sedangkan Menurut UU No 15 Tahun 2001 Tentang Merek Pasal 1 angka 13,
Lisensi Merek adalah izin yang diberikan pemilik merek terdaftar kepada pihak lain
melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak dan bukan pengalihan hak
untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang
dan jasa yang didaftarkan pada waktu dan syarat tertentu.25
Jadi Lisensi adalah suatu bentuk hak untuk melakukan satu atau serangkaian
tindakan atau perbuatan, yang diberikan oleh mereka yang berwenang dalam bentuk
izin pengalihan hak. Tanpa adanya izin tersebut, maka tindakan atau perbuatan
tersebut merupakan suatu tindakan yang terlarang, yang tidak sah, dan merupakan
tindakan melawan hukum.26 Ini berarti Lisensi selalu dikaitkan dengan kewenangan
23
Ibid, h. 3
24
Nyoman Bob Nugraha, dkk, “Pilihan Hukum dalam Perjanjian Lisensi di BidangMerek
Dagang antara Para Pelaku Usaha yang Berbeda Kewarganegaraan Berdasarkan Undag-undang No.
15 Tahun 2001 Tentang Merek”. Kertha Semaya, 2.06 (2014). H.1-2
25
Dikutip dari Pasal 1 angka 1 Undang-undang No 15 tahun 2001 tentang Merek
26
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Lisensi
48
dalam bentuk privilege untuk melakukan sesuatu oleh seseorang atau suatu pihak
tertentu.
Adapun macam-macam Lisensi dari berbagai kepustakaan dapat diketahui
ada dua macam Lisensi yang dikenal dalam praktek pemberian Lisensi yaitu :
a) Lisensi Umum adalah lisensi yang dikenal secara luas dalam praktek yang
melibatkan suatu bentuk negosiasi antara pemberi lisensi dan penerima. 27
b) Lisensi paksa, Lisensi wajib, (compulsory license, non voluntary license,
other use without the autborization of the right holder) adalah merupakan
salah satu cara pemberian hak-hak ekonomi yang diharuskan perundangundangan, tanpa menmperhatikan apakah pemilik HaKI mengendaki atau
tidak.28
Menurut Tim Lindsey dkk, lisensi umum dapat dibagi atas 2 (dua) macam
Lisensi Eksklusif dan non-eksklusif:
a) Lisensi eksklusif
yaitu sebuah perjanjian dengan pihak lain untuk
melisensikan sebagian HaKI tertentu kepada penerima lisensi untuk jangka
waktu yang ditentukan dan biasanya lisensi diberlakukan untuk daerah yang
ditentukan.
27
Ibid, h.17
28
Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual ( Bandung : PT. Alumni, 2013), h. 333
49
b) Lisensi non-ekslusif yaitu memberi kesempatan bagi pemilik lisensi untuk
memberi lisensi HaKI-nya pada pemakai lisensi lainnya dan juga menambah
jumlah pemakai lisensi dalam daerah yang sama.29
Perjanjian Lisensi Merek sebagaimana dimaksud di atas harus dicatat oleh
Direktorat Jendral dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi
Merek.30
2.
Perjanjian Lisensi
Hak atas Kekayaan Intelektual, khususnya Rahasia Dagang, Paten, Merek,
Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit, dan Hak Cipta, seperti diketahui
merupakan kekayaan intelektual yang mempunyai manfaat ekonomi. Karena
bermanfaat ekonomi maka suatu kekayaan intelektual dapat menjadi aset perusahaan.
Berdasarkan suatu perjanjian, suatu perusahaan dapat memberikan hak (bukan
pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi kekayaan intelektual yang
dimilikinya kepada perusahaan lain.31
Suatu kekayaan intelektual dapat dikatakan bahwa karena bermanfaat
ekonomi, maka terkandung di dalamnya nilai-nilai ekonomi.Untuk pemanfaatan
nilai-nilai ekonomi ini secara optimal, seorang pemegang hak salah satu kekayaan
intelektual tersebut diatas seringkali tidak mungkin melakukan sendiri pemanfaatan
ekonominya. Oleh karena itu, oleh Undang-undang yang berlaku, kepada seseorang
29
Ibid, h. 334
30
Ahmad Miru, Hukum Merek Cara mudah Mempelajari Undang-undang Merek, h. 64
31
Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, h. 331
50
atau perusahaan yang memiliki aset HaKI diperbolehkan untuk memberikan aset
HaKI yang dimilikinya kepada perusahan lain untuk pemanfaatan sebesar-besarnya.
Suatu aset HaKI berdasarkan Lisensi.32
Perjanjian Lisensi adalah perjanjian antar dua pihak atau lebih, yang mana
satu pihak yang memegang hak bertindak sebagai pihak yang memberikan Lisensi.
Sedangkan pihak yang lain bertindak sebagai pihak yang menerima lisensi.
Pengertian Lisensi sendiri adalah izin untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu
obyek yang dilindungi oleh
hak atas kekayaan intelektual untuk jangka waktu
tertentu. Sebagai imbalan atas pemberian lisensi tersebut.Penerima lisensi wajib
membayar royalti dalam jumlah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu.33
Menurut UU No 15 Tahun 2001 Tentang Merek pada pasal 1 angka 13,
Lisensi Merek adalah izin yangdiberikan pemilik merek terdaftar kepada pihak lain
melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak dan bukan pengalihan hak
untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang
dan jasa yang didaftarkan pada waktu dan syarat tertentu.34 Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa Perjanjian Lisensi Merek adalah perjanjian antara pihak pemilik
merek (pemberi lisensi merek) dengan pihak penerima lisensi merek dan bukan
merupakan pengalihan hak berupa izin yang diberikan pemilik merek terdaftar
32
Ibid, h. 331
33
Gunawan Widjaja, Lisensi dan waralaba Suatu Panduan Praktis (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), h. 9
34
Dikutip dari Pasal 1 angka 13 Undang-undang No 15 tahun 2001 tentang Merek
51
kepada seseorang atau beberapa atau badan hukum untuk menggunakan merek, baik
untuk seluruh atau sebagian jenis barang atau jasa yang didaftarkan.
Perjanjian lisensi wajib dimohonkan pencatatannya kepada DJHKI dengan
dikenai biaya .Akibat hukum dari adanya pencatatan perjanjian lisensi tersebut
adalah bahwa perjanjian lisensi tersebut selain berlaku bagi para pihak, juga
mengikat pihak ketiga.35
Perjanjian lisensi bersifat “partai dan konsensual”, oleh karena itu harus
memenuhi ketetentuan pasal 1320 KUH Perdata. Dan berdasarkan asas-asas yang
ditentukan pasal 1338 KUH Perdata. Bentuk perjanjian lisensi ditegaskan dalam
pasal 44 ayat (1) UU :
“Perjanjian lisensi dituangkan dalam bentuk akta perjanjian. Tidak
dijelasakan apakah bentuk aktanya otentik atau tidak. Akan tetapi mengingat
hubungan lisensi sangat penting, maka sangat beralasan untuk menetapkan
perjanjiannya berbentuk akta otentik ( hal ini dilihat dalam RPP (Rancangan
Peraturan Pemerintah) tentang perjanjian lisensi, bentuk yang dikehendaki
adalah akta otentik.36
C. Pertimbangan Pemberian Lisensi Merek
Alasan ekonomi memang alasan yang lebih kuat mengapa para pemilik
hak atas keayaan intelektual atau pengusaha melisensikan haknya kepada orang lain,
karena adanya royalti yang menjanjikan maka banyak sekali pemilik hak atas
kekayaan intelektual yang menggunakan perjanjian lisensi ini untuk usahanya.
35
Ahmad M. Ramli, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual (Tangerang : Direktorat
Jendral Hak Kekayaan Intelektua, 2013), h. 29
36
Oktamalia, “Pengaturan Perjanjian Lisensi Merek Ditinjau dari Undang-undang No. 15
tahun 2001 di PT. Astra Honda Motor,” (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Katolik
Soegijapranata Semarang, 2004), h.37
52
Menurut Nicolas S. Gikkas dalam International Licensing of Intellectual
Property : The Promise and The Peril, ada sembilan alasan seorang pengusaha
memilih pemberian lisensi dalam upaya pembangunan usahanya :
1. Lisensi menambah sumber daya pengusaha pemberi Lisensi secara tidak
langsung.
2. Lisensi tidak memungkinkan perluasan wilayah usaha secara tidak terbatas
3. Lisensi memperluas batas dari produk hingga dapat menjangkau pasar yang
semula berada di luar pangsa pasar pemberi Lisensi.
4. Lisensi mempercepat proses pengembangan usaha bagi industri-industri padat
modal dengan menyerahkan sebagian proses produksi melalui tekhnologi
yang dilisensikan
5. Melalui lisensi, penyebaran produk juga menjadai lebih mudah dan terfokus
pada pasar.
6. Melalui lisensi sesungguhnya pemberi lisensi dapat mengurangi tingkat
kompetisi hingga pada batas waktu tertentu.
7. Melalui lisensi pemberi lisensi maupunn penerima lisensi dapat melakukan
trade off (atau barter) tekhnologi. Ini berarti para pihak mempunyai
kesempatan untuk mengurangi biaya yang diperlukan untuk memperoleh
suatu tekhnologi yang diperlukan.
8. Lisensi memberikan keuntungan dalam bentuk nama besar dan goodwill dari
pemberi lisensi.
9. Pemberian lisensi memungkinkan pemberi lisensi untuk sampai pada batas
tertentu melakukan kontrol atas pengelolaan jalannya kegiatan usaha yang
dilisensikan tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar. 37
Sistem lisensi ini sudah lama dikenal sejak berlakunya Undang-undang No 21
tahun 1961 tentang merek yang sekarang telah diubah menjadi Undang-undang No
15 tahun 2001 tentang merek. Praktek lisensi diadakan atas dasar asas kebebasan
berkontrak sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata.
Pada umumnya sebelum menerima lisensi orang mempertimbangkan baikbaik, objek yang ditawarkan dengan lisensi itu diteliti dulu dengan baik. Terutama di
37
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, h.16
53
negara-negara yang telah maju industrinyaorang selalu menghitung kemungkinankemungkinan tekhnis dan finansialnya, sementara kerap kai pula diadakan penelitian
pasar yang secermat-cermatnya. Di negara-negara yang masih belum maju
industrinya hal ini banyak sekali dilupakan. Hal yang biasa dalam menerima lisensi
masih saja mungkin mengandung di dalamnya resiko-resiko yang tidak selalu dapat
diketahui sebelumnya. 38
D. Syarat dan Isi Perjanjian Lisensi Merek dalam HaKI
Sebagai suatu transaksi yang melahirkan perjanjian, lisensi selalu melibatkan
dua pihak. Kedua belah pihak tersebut memiliki kepentingan yang berdiri sendiri dan
kadangkala bertolak belakang, meskipun secara konseptual kita dapat mengatakan
bahwa kedua belah pihak tersebut, yaitu pemberi lisensi dan penerima lisensi pasti
akan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Maksud untuk mencari keuntungan
sebesar-besarnya ini jugalah yang pada pokoknya menjadi sumber perbedaan
kepentingan dan perselisihan yang dapat terjadi diantara kedua belah pihak tersebut.
Keuntungan yang besar ini hanya dapat dicapai oleh kedua belah pihak jika antara
kedua belah pihak dapat menjalin sinergisme yang saling menguntungkan. 39
Persyaratan Perjanjian Lisensi yang dicatat dalam Daftar Umum Merek dan
diumumkan dalam Berita Resmi Merek oleh Ditjen akan dikenai biaya sebagaimana
38
Roeslan Saleh, Seluk Beluk Praktis Lisensi ( Jakarta : Sinar Grafika, 1991), h. 6
39
Gunawan Widjaja, Lisensi dan waralaba Suatu Panduan, h. 61
54
dalam (pasal 44 ayat (4)) UU No. 15 tahun 2001. Dalam hal ini Ditjen HaKI akan
mempertimbangkan :40
1. Merek tersebut sudah terdaftar dalam kantor merek. Hal ini berkaitan dengan
first to file system (stelsel) konstitutif yang memberikan perlindungan hukum
setelah merek didaftarkan.
2. Lisensi Merek hanya dapat didaftarkan jika merupaka merek pribadi dari
perorangan atau badan hukum dan bukan merek kolektif (yang bukan merek
dari suatu grup tertentu).
3. Hanya merek yang masih berlaku jangka waktu perlindungan hukumnya yang
dapat dijadikan objek perjanjian lisensi. Hal ini mengingat , jika jangka waktu
pendaftaran suatu merek telah habis 10 (sepuluh) tahun serta tidak ada
perpanjangan maka akan hapus pula perlindungan hukumnya.
4. Perjanjian lisensi tidak bertentangan dengan pasal 47 UU No. 15 tahun 2001
tentang Merek.
Lazimnya suatu perjanjian lisensi dibuat dalam bentuk akta otentik, yaitu
suatu akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Perjanjian ini dibuat antara
pemilik merek terdaftar dengan pihak (orang atau badan hukum) lain sebagai
penerima hak dengan tujuan untuk menggunakan merek yang bersangkutan.
Perjanjian lisensi menurut Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sekurangkurangnya harus memuat hal sebagai berikut :41
1. Nama dan alamat lengkap para pihak
2. Merek dan nomor pendaftarannya yang menjadi objek perjanjian lisensi
3. Ketentuan-ketentuan akan hal-hal sebagai berikut :
a) Jangka waktu Perjanjian Lisensi
- Berapa lama
- Dapat atau tidaknya jangka waktu diperpanjang
b) Penggunaan merek yang diberikan lisensi untuk seluruh atau sebagian
c) Apakah boleh diadakan sub-licence?
40
Fransiska Br. Surbakti, “Perjanjian Lisensi Sebagai salah Satu Upaya Mengatasi Pemalsuan
Merek Menurut UU No. 15 tahun 2001 Tentang Merek, ”(Skripsi S1 Fakultas Hukum Sumatera Utara
Medan, 2009), h. 29
41
Rahmi Jened, “Lisensi dan Pengalihan Hak atas Merek”. Artikel diakses pada 24 Januari
2015 dari http://www.rjparinduri.wordpress.com/2010/08/07/17/html.
55
d)
e)
f)
g)
h)
Yaitu suatu lisensi yang diberikan kepada pihak ketiga oleh penerima
lisensi
Pemberi lisensi wajib melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
mutu barang dan jasa yang diproduksi dengan merek yang dilisensikan
Jangkauan berlakunya lisensi
- Wilayah tertentu
- Seluruh wilayah RI
Pada prinsipnya pemilik dapat diperbolehkan untuk memakai sendiri atau
melisensikan lagi mereknya kepada pihak ketiga, kecuali dalam perjanjian
lisensi yang bersangkutan diatur secara tegas larangan itu.
Penentuan royalti dan cara bayar
Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan ekonomi Indonesia.
Pelaksanaan perjanjian lisensi ini dilakukan oleh kedua belah pihak antara
penerima lisensi dan pemberi lisensi didepan notaris.
Adapun permohonan pencatatan perjanjian lisensi merek yang diajukan harus
dilengkapi dengan :42
1. Salinan akta perjanjian lisensi yang sah
2. Tambahan berita negara RI yang memuat akta pendirian atau slinan akta
pendirian atau foto kopi akta pendirian badan hukum, apabila penerima
lisensi adalah badan hukum asing
3. Surat keterangan yang dapat disamakan sebagai akta pendirian badan hukum
yang disahkan oleh perwakilan RI, apabila penerima llisensi adalah badan
hukum asing.
4. Terjemahan resmi perjanjian lisensi dalam bahasa Indonesia apabila
perjanjian dibuat dalam bahasa asing.
5. Surat kuasa khusus dan pemberi atau penerima lisensi, apabila perjajian
dibuat melalui kuasa.
6. Surat kuasa khusus apabila permohonan pencatatan perjanjian lisensi
diajukan melalui kuasa.
7. Bukti pembayaran biaya permohonan pencatatan perjanjian lisensi.
42
Fransiska Br. Surbakti, “Perjanjian Lisensi Sebagai salah Satu Upaya Mengatasi
Pemalsuan Merek Menurut UU No. 15 tahun 2001 Tentang Merek, ”(Skripsi S1 Fakultas Hukum
Sumatera Utara Medan, 2009), h. 32
56
Direktorat Jendral dalam pencatatan perjanjian lisensi tidak begitu saja akan
melakukan pencatatan perjanjian lisensi. Direktorat Jendral lebih dahulu mengadakan
pemeriksaan terhadap persyaratan dan isi serta kelengkapan permohonan.
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM
DALAM PENYALAHGUNAAN PERJANJIAN LISENSI MEREK
A. Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Lisensi Merek
Jenis hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian lisensi dapat
ditetapkan secara bebas sesuai dengan kehendak para pembuat perjanjian lisensi
tersebut. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak sebagai salah satu asas
hukum perdata positif yang berlaku di Indonesia. Asas Kebebasan Berkontrak
memberikan kebebasan yang sangat luas terhadap individu untuk mengatur hak dan
kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian.
Secara teoretis, dapat dikemukakan bahwa sesuai dengan asas negara hukum
sebagai salah satu asas hukum yang kedudukannya sangat tinggi dan penting dalam
tatanan asas-asas hukum, semua kekuasaan negara atau kebebasan individu harus ada
batasnya. Pembatasan kekuasaan negara dan pembatasan kebebasan individu sangat
penting dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, prinsip yang
digariskan oleh asas negara hukum tersebut harus dipatuhi oleh asas-asas hukum lain
yang kedudukannya lebih rendah seperti asas kebebasan berkontrak dalam hukum
perdata. Penerapan asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian seperti dalam
perjanjian lisensi harus dibatasi, sesuai dengan asas negara hukum. Dengan
kebebasan dalam membuat suatu kontrak tidak dapat atau tidak mungkin bersifat
57
58
mutlak sehingga asas kebebasan berkontrak tersebut pada hakikatnya adalah asas
hukum yang terbatas keberlakuannya. 1
Asas Kebebasan Berkontrak diatur dalam Hukum positif Indonesia pada
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa “Setiap perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Subekti berpendapat bahwa, pasal tersebut
(maksudnya Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata) seolah-olah berisikan suatu
pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang
berupa dan berisi apa saja dan dengan perjanjian itu akan mengikat mereka yang
membuatnya seperti suatu undang-undang.” Namun, Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata tersebut tidak bisa diartikan sangat luas sehingga para pihak seolaholah dapat membuat suatu perjanjian mengenai apapun sesuai dengan kehendak
mereka yang membuat perjanjian tersebut. Dalam hukum positif yang berlaku di
Indonesia terdapat pembatasan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Pembatasan itu dengan sendirinya akan berlaku juga terhadap lisensi sebagai suatu
bentuk perjanjian. Maka, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang dikemukakan di atas
tidak dapat ditafsirkan seolah-olah para pihak yang membuat perjanjian dapat saja
membuat perjanjian mengenai apapun sesuai dengan kehendak mereka. Jadi, dengan
bertitik tolak dari penafsiran hermeneutika seperti dikemukakan di atas, setidak-
1
Gunawan Suryomurcito, Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum Perjanjian
Lisensi, (Jakarta: Badan Pembina Hukum Nasional Depertemen Hukum dan Hak Asasi, 2006), h. 21.
59
tidaknya terdapat 3 (tiga) macam pembatasan yang dilakukan terhadap suatu
perjanjian seperti diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata yaitu :2
a. Ketentuan Undang-undang,
b. Kesusilaan (moral positif) dan
c. Ketertiban Umum.
Logika
pembatasan
asas
kebebasan berkontrak
dengan
alasan
bertentangan dengan undang-undang dapat diterima menurut akal sehat. Sebab,
sebagaimana diketahui, undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif selalu
mengatur kepentingan-kepentingan yang bersifat umum.
Berdasarkan keterangan diatas bahwasanya perjanjian lisensi dibuat atas
asas kebebasan berkontrak dan atas kesepakata para pihak. Namun, Di dalam
perjanjian lisensi merek yang tidak bisa dihindari oleh para pihak dan harus
diantisipasi sebelumnya adalah jika terjadi sengketa diantara mereka. Sengketa yang
sering terjadi dalam hal perjanjian lisensi biasanya terkait hak dan kewajiban masingmasing pihak. Dengan hal ini maka, hak dan kewajiban para pihak dalam sebuah
perjanjian lisensi merupakan hal yang wajib diperhatikan dan menjadi acuan isi
sebuah perjanjian lisensi. Hak dan kewajiban para pihak inipun jika tidak terpenuhi
dan
disalahgunakan
bisa
dijadikan
penyalahgunaan perjanjian lisensi.
2
Ibid, 22
sebuah
alasan
adanya
sengketa
dan
60
Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian lisensi yang harus
diperhatikan antara lain ialah:
1. Hak Pemberi Lisensi Merek
a. Menerima pembayaran royalti sesuai dengan perjanjian
b. Tetap menggunakan sendiri mereknya
c. Menuntut pembatalan lisensi merek, apabila penerima lisensi tidak
melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya. 3
2. Kewajiban Pemberi Lisensi
a. Menjamin penggunaan merek dari cacat hukum atau gugatan dari
pihak ke tiga
b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap mutu barang atau
jasa hasil produksi penerima lisensi
c. Meminta persetujuan kepada penerima lisensi apabila pemberi
lisensi mengajukan permintaan penghapusan mereknya kepada
pemerintah.4
3. Hak Penerima Lisensi
a. Menggunakan merek yang dilisensikan sesuai dengan jangka waktu
yang telah dijanjikan.
b. Menuntut pembayaran kembali bagian royalti yang telah dibayarkan
penerima lisensi kepada pemilik merek yang telah dibatalkan.
c. Memberi lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga sesuai dengan
perjanjian.
d. Menuntut pembatalan perjanjian lisensi merek, namun dengan alasan
pemberi lisensi tidak melaksanakan perjanjian yang telah
dijanjikan.5
4. Kewajiban Penerima Lisensi
a. Membayar royalti sesuai perjanjian
b. Meminta pencatatan perjanjian lesensi Direktorat Jendral HaKI
c. Menjaga mutu barang atau jasa hasil produksinya sesuai dengan
standar mutu barang atau jasa merek yang dilisensikan
d. Melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya.6
3
Imam Sjahputra,dkk, Hukum Merek di Indonesia, (Jakarta :Harvarindo,2005) , h. 92
4
Ibid, h.92
5
Galih Pangestu, “Hukum Dagang”, artikel diakses pada 1 Maret 2015 dari
http://galihpangestu14.wordpress.com/2012/06/03/hukum-dagang/html
6
Imam Sjahputra,dkk, Hukum Merek di Indonesia, h. 93
61
Perjanjian yang beritikad baik senantiasa melaksanakan aturan dan
kesepakatan yang telah dibuat dalam sebuah perjanjian yang telah ditetapkan antar
pihak dan senantiasa melaksanakannya sebagaimana mestinya. Jika salah satu dari
pihak tidak melaksanakan hak dan kewajibannya maka perjanjian akan menjadi cacat
dan akan menimbulkan sebuah sengketa dan penyalahgunaan dalam perjanjian
lisensi merek.
Prinsip kebebasan berkontrak dan itikad baik merupakan dasar dalam
membuat sebuah perjanjian lisensi merek. Dalam pelaksanan perjanjian ini sangat
perlu adanya sebuah itikad baik antar pihak untuk keberlangsungan jalannya
perjanjian lisensi merek ini. Mengingat dalam perjanjian lisensi para pihak dapat
membuat perjanjian dengan kesepakatan, maka perjanjian inipun sangat bergantung
dengan itikad baik para pihak untuk melakukan isi perjanjian secara baik dan
melaksanakan konsekwensinya dengan baik pula. Berjalannya Kedua prinsip ini pun
sangat tergantung dengan para pihak, jika para pihak dapat melaksanakannya dengan
jujur dan baik maka prinsip itupun akan tercapai kegunaannya. Dan manakala ada
sebuah sengketa yang timbul antara para pihak maka penyelesaiannya pun harus
sesuai dengan kesepakatan bersama baik melalui pengadilan ataupun alternatif
penyelesaian sengketa yang lainnya.
Itikad baik dalam perjanjian merupakan hal yang dasar dan sangat penting
implementasinya, hal serupa dapat pula kita temukan dalam syariat Islam,
mengingat perjanjian lisensi merek merupakan pengembangan dari bentuk kerjasama
62
(syirkah). Oleh karena itu, itikad baik antar pihak dalam perjanjian harus diindahkan.
Selain di dalam Undang-undang yang berlaku di Indonesia, syariat Islam juga
mengajarkan bahwa setiap perjanjian (syirkah) khususnya perjanjian lisensi,
mengharuskan salah satu pihak harus memenuhi hak dan kewajiban satu sama lain.
Memenuhi hak dan kewajiban di dalam perjanjian merupakan hal yang harus dan
wajib dilaksanakan karena jika tidak, akan menyebabkan sebuah penyalahgunaan
perjanjian ataupun wanprestasi dalam perjanjian, dan dapat merugikan pihak yang
lain. Sebagaimana Rasulullah bersabda :
ُ ِ‫ اًََا ثَال‬: ‫ يَقُ ْْ ُل اهللاُ تَ َعالَى‬: ‫صلَّي ا هللاُ َعلَ ْي َِ َّ َسلَّ َن قَا َل‬
‫ث ال َش ِش ْى ِكي ِْي َها لَ ْن‬
َ ‫إِ َّى َسس ُْْ َل هللا‬
ُ ْ‫صا ِحبََُ َخ َشج‬
‫ت ِه ْي بَ ْيٌَِِا (سّاٍ ابْداّد ّ الذاسقطٌى‬
َ ‫ فَإ ِ َرا خ‬،ََُ‫صا ِحب‬
َ ‫َاى اَ َح ُذُُ َوا‬
َ ‫يَ ُخ ْي اَ َح ُذ ُُ َوا‬
)‫ّ الحكام ّ البيِقي‬
Artinya : “Rasulullah SAW bersabda, Allah SWT berfirman. “Aku adalah
pihak ketiga dari dua pihak yang berserikat selama salah satu pihak tidak
mengkhianati yang lainnya. Maka, apabila salah satu pihak menghianati yang lain,
akupun meninggalkan keduanya.” (HR. Abu Daud, Aldaraquthni, Al Hakim, dan Al
Baihaqi)
Hadist di atas menjelaskan bahwasanya pemenuhan hak dan kewajiban dalam
sebuah perjanjian adalah wajib hukumnya. Oleh karena itu Perjanjian Lisensi merek
ini harus didasari dengan itikad baik agar tidak terdapat adanya saling mengkhianati
dan wanprestasi yang dapat merugikan salah satu pihak yang dikhianati, karena
63
Allah membenci adanya pengkhianatan antar pihak dalam berjanji. Demikian pula
Allah telah memerintahkan kepada ummatnya agar melaksanakan segala perjanjian
sesuai apa yang telah disepakati sebagaimana. Dengan hal ini telah jelas bahwasanya
perjanjian yang beritikad baik dan sesuai dengan Undang-undang yang ada, itupun
telah diatur dan diperintahkan oleh Allah SWT. Karena menunaikan akad dalam
sebuah perjanjian yang disepakati dan sesuai perintah Allah adalah wajib hukumnya.
Sebagaimana dalam Al quran Allah berfirman :
ْ َّ‫يَاَيٌَِّا الَّ ِزي َْي َءا َهٌُ ْْآ أَ ّْفُ ْْا بِ ْال ُعقُ ْْ ِد أُ ِحل‬
َّ ‫ت لَ ُك ْن بَ ِِ ْي َوتُ ْاْلَ ًْ َعا ِم َّإَّل َها يُ ْتلَي َعلَ ْي ُك ْن َغ ْي ُش ُه ِحلِّ ْي ال‬
‫ص ْي ِذ‬
)١:ٍ/ ‫َّأَ ًْتُ ْن ُح ُش ٌم ِإ َّى هللاَ يَحْ ُك ُن َها يُش ْي ُذ (الوائذة‬
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang
demikian itu) dengan
tidak menghalalkan berburu ketika kamu sendang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendakinya.” (surrat Almaidah /5: 1)
B. Bentuk-bentuk dan Faktor Penyebab Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi
Merek
Indonesia mengatur Lesensi Merek dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 49
UU Merek 2001. Sementara itu Amerika Serikat mengatur dalam pasal 5 atau g 1055
dan pasal 45 atau g 1127, 15 USC, Lanham Act. Menurut Donal S. Chisum dan
64
Michael A. Jacobs, Pengertian dan tujuan Lisensi Merek ialah “Pemilik merek
dagang atau merek jasa dapat memberikan (melisensikan) mereknya kepada orang
lain, dengan syarat pemilik merek menguasai sifat dasar dan kualitas dari barangbarang atau jasa yang diproduksi dan dijual penerima lisensi atas nama pemilik
merek atau pemberi lisensi”. Oleh karena itu pemberian lisensi harus menggunakan
sebuah perjanjian yang sah dan terdaftar dan yang dilisensikannya pun harus berupa
merek yang telah didaftarkan oleh dirjen HaKI. 7
Sengketa Lisensi merekpun dapat terjadi apabila ada sebuah kecacatan dan
pelanggaran dalam perjanjiannya. Karena perjanjian lisensi merupakan perjanjian
pengalihan hak dan mengasilkan royalti yang sangat tinggi antar pihak, maka setiap
pihak pun ingin mendapatkan royalti yang besar dibanding lawan pihaknya. Dengan
itu timbullah penyalahgunaan Perjanjian lisensi, Perjanjian lisensi disalahagunakan
pastinya untuk keperluan pribadi dan hasil royalti yang sangat menguntungkan
dibandingkan dengan pihak lawaannya.
Adapun bentuk-bentuk dan faktor-faktor penyebab adanya penyalahgunaan
perjanjian lisensi merek adalah :
1. Salah satu pihak memutuskan perjanjian ditengah jalan. Probelem yang
muncul berkaitan dengan keadaan ini adalah akan terjadi gugatan yang
dilakukan oleh pihak lawan, karena pemutusan sepihak tersebut akan
merugikannya, terutama jika pemutusan sepihak tersebut dilakukan oleh
pemberi lisensi.
2. Ditengah perjalanan perjanjian lisensi, penerima lisensi menggunakan
merek baru. Merek baru tersebut merupakan merek penerima lisensi
sendiri dengan tujuan untuk ekspansi usahanya. Keberadaan merek baru
7
Effendy Hsibuan, Perlindungan Merek, (Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003) , h. 287
65
yang sama bisa mengurangi penjualan produk barang atau jasa yang
menggunakan merek yang dilisensikan, sehingga merugikan pemberi
lisensi.
3. Sengketa yang disebabkan karena mantan penerima lisensi memproduksi
barang atau jasa dengan menggunakan merek lain, namun kualitasnya
sama persis dengan kualitas merek yang pernah dilisensikan. Kondisi itu
akan membuat mantan pemberi lisensi selaku pemilik merek akan
menderita kerugian, karena akan mengurangi jumlah penjualan produk
barang atau jasanya.8
Mengacu dengan pendapat di atas, penulis berkesimpulan untuk menabahkan
beberpa
bentuk dan faktor-faktor prnyebab adanya penyalahgunaan perjanjian
lisensi diantaranya :
1.
Penerima lisensi memproduksi barang diluar jumlah dan wilayah yang
diperjanjikan.
2.
Penerima lisensi tidak membayar royalti sesuai dengan perjanjian
3.
Penerima lisensi tidak konsisten dalam menggunakan merek yang
dilisensikan
4.
Pemberi lisensi menaikan royalti secara sepihak dan tidak sesuai dengan
perjanjian.
5.
Pemberi
lisensi
merek
memutus
perjanjian
secara
sepihak
tanpa
pemberitahuan kepada penerima lisensi.
6.
Pemberi Lisensi tidak meaksanakan kewajiban dan melanggar hak-hak
penerima lisensi merek.
8
Agung Sujatmiko, “Penguatan Prinsip Berkontrak dan Itikad Baik dalam Perjanjian Lisensi
Merek
Terkenal”,
artikel
diakses
pada
25
November
2011
dari
Agungsujatmiko73.blogspot.com/2011/11/pengaturan-prinsip-kebebasan-berkontrak.html?m=1
66
7.
Penerima Lisensi tidak melaksanakan kewajiban dan melanggar hak-hak
pemberi lisensi merek.
Selain itu, hal-hal diatas yang dapat menjadi bentuk-bentuk dan faktor
penyebab adanya penyalahgunaan perjanjian lisensi, adapula beberapa hal yang
menjadi masalah dalam perjanjian lisensi yaitu mengenai kualitas barang dan jasa,
jangka waktu perjanjian dan royalti. Oleh karena itu, untuk meminimalisasi sengketa,
para pihak hendaknya membuat perjanjian secara detail. Peluang timbulnya sengketa
diantara para pihak yang paling
sering terjadi adalah jika salah satu pihak
mengakhiri perjanjian lisensi sebelum batas waktunya berakhir.
Hal lain yang juga dapat menjadi pemicu lahirnya konflik adalah masalah
pengakhiran lisensi. Pengakhiran perjanjian lisensi sangat tergantung kesepakatan
kedua belah pihak, bisa pula berakhir sendirinya jika jangka waktu perjanjian telah
habis, atau karena jangka waktu validitas merek yang menjadi basis lisensi itu sudah
berakhir. Karena itu, harus ditentukan secara tegas, termasuk kalau timbul sengketa,
dengan cara bagaimana sengketa yang timbul diselesaikan. Apakah diselesaikan di
pengadilan ataukah di luar pengadilan. Jika sejak awal telah diatur dengan jelas maka
baik pemberi lisensi maupun penerima lisensi dapat menerima pengakhiran
perjanjian lisensi dengan baik.9
9
Agung Sujatmiko, “Perjanjian Lisensi Merek Terkenal”, Mimbar Hukum vol.22, No.2,
(Juni 2010), h.261.
67
Bentuk-bentuk penyalahgunaan diatas mungkin saja dapat terjadi, dan dapat
membuat perjanjian tersebut dibatalkan, artinya perjanjian tetap dianggap masih ada
beserta segala akibat hukum, hak-hak dan kewajiban yang ditimbulkan perjanjian
tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. 10
C. Peran
dan
Wewenang
Dirjen
HaKI
Terkait
Perlindungan
Hukum
Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual merupakan sebuah unsur
pelaksana Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia yang mempunyai
tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang
Hak Kekayaan Intelektual. Lembaga ini dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dalam melaksanakan tugas
mempunyai fungsi:11
1)
2)
3)
4)
5)
Penyiapan perumusan kebijakan Departemen di bidang Hak Kekayaan
Intelektual
Pelaksanaan kebijakan di bidang Hak Kekayaan Intelektual sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Perumusan standar, norma, pedoman, criteria dan peraturan di bidang Hak
Kekayaan Intelektual
Pembinaan bimbingan teknis dan evaluasi
Pelaksanaan urusan administrasi di lingkungan Direktorat Jenderal
10
Herbert Petrus Wiro Simbolon, dkk. “Upaya Hukum Terhadap Peyalahgunaan Perjanjian
Lisensi Merek”. Vol 01, No. 03 (Mei 2013), h. 3
11
Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, “Visi, Misi dan Nilai”, yang diakses tanggal
02 Maret 2015, http://www.dgip.go.id/tentang-kami/visi-misi-dan-nilai-djhki.html
68
Fungsi-fungsi di atas diadopsi dari visi, misi dan nilai Direktorat Jendral
HaKI, diantara lain yang meiliki visi, menjadi institusi kekayaan intelektual
berstandar
internasional
dan
memiliki
misi
melayani
dengan
prima,
memasyarakatkan kekayaan intelektual dan menjamin kepastian hukum. Serta
memiliki 5 nilai antara lain integritas, kinerja terbaik dan konsistensi, pelayanan
prima, teamwork serta akuntabilitas.12
Terkait dengan hak merek, tugas dan wewenang dirjen haki dilimpahkan
kepada direktorat sendiri yaitu direktorat merek. Kewenangan ini meliputi pelayanan
permohonan pendaftaran merek, pelayanan pendaftaran merek, pelayanan pengalihan
hak atas merek terdaftar antara lain Lisensi, hibah, waris dll, pelayanan terhadap
identifikasi jenis-jenis merek antara lain merek kolektif, merek dagang, merek jasa,
pelayanan indikasi geografis dan indikasi asal, pelayanan penghapusan dan
pendaftaran, pelayanan administrasi merek, pelayanan mengenai biaya pendaftaran,
pelayanan pengaduan sengketa merek, dan lain sebagainya yang diatur dalam
undang-undang.
Mengenai penyalahgunan lisensi, Direktorat Merek berwenang untuk
menolak dan menerima pendaftaran lisensi yang telah diatur dalam undang-undang
Merek no. 15 tahun 2001 Pasal 47 butir (1) yaitu “Perjanjian Lisensi dilarang
memuat ketentuan baik langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat
yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan
12
ibid, html
yang
69
menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan
teknologi pada umumnya”. Sebagai garda terdepan dalam bidang sub perekonomian
Hak kekayaan intelektual, Direktorat Merek harus cermat dalam menyeleksi
pendaftaran lisensi merek sesuai dengan kriteria lisensi yang boleh didaftarkan, agar
tindakan penyalahgunaan di kemudian hari semakin berkurang.
Di dalam struktur Direktorat Merek terdapat sebuah komisi banding merek
yang berwenang dan bertugas menerima, memeriksa, dan memutus permohonan
banding terhadap penolakan permintaan pendaftaran Merek dan lisensi merek
berdasarkan
alasan
yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud pada Pasal 4,
Pasal 5, atau Pasal 6 Undang-Undang Merek. Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komisi Banding memiliki
fungsi
pengadministrasian, pemeriksaan, pengkajian dan penilaian, serta pemberian
keputusan
terhadap
permohonan
banding.
Dalam
melakukan
pemeriksaan
permohonan banding, Ketua Komisi Banding membentuk majelis yang anggotanya
berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, satu diantaranya adalah seorang
Pemeriksa Senior yang tidak melakukan pemeriksaan substantive terhadap
permintaan pendaftaran Merek yang ditolak.13
Untuk mengoptimalkan perintah undang-undang yang ada seharusnya
pelanggaran dan penyalahgunaan dalam lisensi merek baik sengketa yang timbul
seperti merek yang ganda, perjanjian lisensi yang beritikad tidak baik, serta
13
Komisi banding merek, Lihat pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7
tahun 2005 tentang Susunan Organisasi, Tugas,, dan Fungsi Komisi Banding Merek, Jo UU no 15
tahun 2001 tentang merek mengatur komisi banding pada pasal 33
70
perjanjian lisensi yang dapat menimbulkan kerugikan perekonomian Indonesia atau
memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam
menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya, seharusnya dapat
terminimalisasikan. Sebagai mana telah dijelaskan dalam undang-undanng mengenai
tugas dan fungsi Komisi Banding, Direktorat Merek serta Direktorat Jendral HaKI.
D. Penyelesaian Sengketa Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek
Para pelaku bisnis di Indonesia, khususnya yang terkait langsung sebagai
pihak-pihak dalam perjanjian lisensi masih terjebak dalam ketidakpastian hukum
yang ditimbulkan oleh sengketa penyalahgunaan lisensi. Hal tersebut diperburuk
dengan belum diaturnya alur dan prosedur hukum yang secara khusus diperuntukan
ketika timbulnya sengketa penyalahgunaan lisensi. Dirjen HaKI dan penegak hukum
lainnya khususnya Hakim, masih menggunakan alur dan prosedur penyelesaian
sengketa yang umum terkait pelanggaran dan tindak pidana merek. Padahal dalam
perkembangan hukum terkait lisensi, sistem penyelesaian sengketa merek yang
sekarang terdapat dalam UU Merek tidak memberikan kepastian hukum dan
keadilan. Untuk menghindari kekosongan hukum hakim dan penegak hukum lainnya
masih menggunakan cara penyelesaian sengketa merek dan sengketa perjanjian pada
umumnya.
Upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa penyalahgunaan perjanjian
lisensi merek ini bisa menggunakan dua cara diantaranya pertama, menggunakan
non-Litigasi (di luar Pengadilan) dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
71
konsiliasi, penilaian ahli atau arbitrase. Kedua menggunakan Litigasi (Pengadilan)
dimana Penyalesaian sengketa ini dapat dilakukan di Pengadilan Niaga dan
Pengadilan Negri sebagai lembaga peradilan formal, tergantung para pihak yang
bersangkutan dan bersengketa.
Pada dasarnya pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang timbul
diantara mereka melalui penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement).
Meneurut Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase atau
alternatif penyelesaian sengketa hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak diadakan perdamaian. 14
Oleh sebab itu, upaya hukum yang dapat dilakukan salah satu pihak apabila
merasa dirugikan dengan adanya perjanjian lisensi merek diantaranya dengan
penyelesaian sengketa Alternatif yang diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 tentang Merek, yang menyebutkan para pihak dapat menyelesaikan
sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Selain itu, dalam
Undang-Undang Merek penyelesaian sengketa alternatif lebih khusus diatur dalam
14
Ari Juliano Gema, Membangun Profesi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Langkah
Menuju Profesionalisme dan kemandirian Profesi, (Jakarta : PT. Justika Siar Publika. 2006), h. 48
72
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Penyelesaian Sengketa dalam ruang lingkup hukum keperdataan khususnya
Perjanjian Lisensi Merek dapat diselesaikan secara non litigasi yaitu penyelesaian
sengketa alternatif diluar sistem dan hukum acara yang berlaku pada badan
peradilan. Kemudian dapat secara litigasi diselesaikan melalui badan pengadilan
dengan mempergunakan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia
sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dapat diajukan
kepada Pengadilan Niaga maupun Pengadilan Negeri (diatur dalam pasal 90 UU
Nomor 15 Tahun2001). Sanksi yg diberikan kepada tergugat dapat berupa ganti rugi
dalam sejumlah uang, penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan
menggunakan merek tersebut, serta pidana dan denda yang diterapkan bersamaan,
hal ini tergantung dari tingkat kesalahan dari pelanggar itu sendiri15
Jika pelanggaran hak itu semata-mata terhadap hak yang telah tercantum
dalam UUM 2001, maka gugatan dapat dikategorikan sebagai pristiwa perbuatan
melawan hukum (onrechtsmatige daad), (Pasal 1365 KUHPerdata), tetapi jika
pelanggaran situ menyangkut perjanjian lisensi, dimana para pihak dalam perjanjian
itu tidak memenuhi isi perjanjian itu baik seluruhnya atau sebagian, dan
menimbulkan kerugian pada pihak lawan, maka gugatan dapat dikatagorikan sebagai
gugatan dalam pristiwa wanprestasi (Pasal 1234 KUHPerdata).
15
Herbert Petrus Wiro Simbolon, dkk. “Upaya Hukum Terhadap Peyalahgunaan Perjanjian
Lisensi Merek”. Vol 01, No. 03 (Mei 2013), h. 4
73
UUM 2001 menetapkan bahwa ada dua macam bentuk atau isi dari tuntutan
gugatan tersebut yaitu :
1. Berupa permintaan ganti rugi
2. Penghentian pemakaian merek16
Dibagian terdahulu telah dijelaskan bahwa hak merek merupakan hak
kebendaan maka hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapa saja. Karena pada
hak merek terdapat hak absolut di dalamnya dan dapat diberinya hak gugat oleh
Undang-undang kepada pemegang hak. Dalam perjanjian lisensi para pihak harus
membuat sebuah perjanjian dengan jelas dan detail, termasuk dalam kesepakatan
memeilih choice of law17 dan choice of forum18. yang akan dipergunakan jika terjadi
sengketa dikemudian hari.19
Para pelaku usaha yang terikat dalam perjanjian lisensi sering kali memilih
cara penyelesaian sengketa tentang merek, menggunakan penyelesaian secara
arbitrase dibandingkan dengan cara pengadilan biasa, karena banyak keunggulan
dibandingkan dengan peradilan biasa yaitu seperti kasus yang diajukan secara
arbitrase ini jauh dari publikasi karena kerahasiaan dari masing-masing pihak akan
16
OK saidin , Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektua, Cet. IV, (Jakarta : Praja Grafindo
Persada, 2004) , h. 401
17
Choice of Law adalah Memilih hukum yang akan mengatur ketika terjadi sengketa atau
memilih hukum yang akan mengatur kontrak
18
Choice of Forum adalah Memilih Forum mana yang akan digunakan untuk menyelesaikan
masalah yang timbul dalam pelaksanaan kontrak
19
Nyoman Bob Nugraha, “Pilihan Hukum dakam Perjanjian Lisensi di Bidang merek
Dagang antara Para Pelaku Usaha yang Berbeda Kewarganegaraan Berdasarkan Undang-undang
No. 15 tahun 2001 tentang Merek”. Kerta Semaya 2.06 (2014), h. 4
74
dijaga waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkaranya lebih cepat, serta
tidak menggunakan cara yang formal seperti dipengadilan biasa, para arbiternya juga
ditunjuk secara adhoc20. Oleh para pihak sesuai dengan bidangnya masing-masing.21
Sebagaimana dalam kasus lisensi merek yang pernah terjadi mengenai merek
rokok Davidoff. Pihak Reemstma selaku pemegang lisensi resmi dari Davidoff & Cie
S.A selaku pemilik resmi dari merek Davidoof telah beberapa kali mengupayakan
penyelesaian sengketa melalui litigasi yang berupa pengajuan gugutan kepada
Pengadilan Niaga untuk membatalkan sebuah merek yang menggunakan merek yang
sama oleh pihak STTC yang telah dibeli melalui Davidoof Ltda Brazil, yang mana
menurut pengakuan pemilik merek tersebut bahwasanya perusahaan tersebut sama
sekali tidak ada hubungan kerja sama dengan pihak Davidoof Ltda yang berada di
Brazil.
Kasus yang terjadi antara Davidoff & Cie SA selaku penggugat, yang
berlokasi 2 Rue De Rive,, 1200 Geneva Switzerland melalui Reemstma
Cigarettenfabriken Gmbh (Remmtsma) selaku pemegang lisensi resmi N.V.
Sumatera Tobacco Company (STTC) selaku tergugat yang berlokasin di jalan
Patimura No. 3 Pematang Siantar, Sumatera Utara, yang membeli merek dari
20
Arbitrase Ad-Hoc disebut juga sebagai arbitrase volunter. Ketentuan dalam Reglement
Rechtvordering (Rv) mengenal adanya Arbitrase Ad-Hoc. Pada Pasal 615 ayat (1) Rv. Arbitrase AdHoc adalah Arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu,
atau dengan kata lain Arbitrase Ad-Hoc bersifat insidentil.
21
Nyoman Bob Nugraha, “Pilihan Hukum dakam Perjanjian Lisensi di Bidang merek
Dagang antara Para Pelaku Usaha yang Berbeda Kewarganegaraan Berdasarkan Undang-undang
No. 15 tahun 2001 tentang Merek”, h. 5
75
Davidoff Commercio E Industria Ltda (Davidoof Ltda) yang dimana keduanya samasama memakai merek Davidoff dalam perdagangannya. Terjadinya sengketa
terhadap penggunaan merek tersebut, pihak Davidoff & Cie SA selaku pemilik
merek bersama Reemstma sebagai pihak yang memegang lisensi resmi dari pemilik
mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga atas Merek yang didaftarkan oleh pihak
STTC.22
Konflik di atas terjadi saat Davidoff & Cie berencana memasarkan merek
rokok yang dikibarkan oleh Dino Davidoof ini di Indonesia. Sebagai merek terkenal
yang diproduksi oleh sekitar 40 pabrik di dunia, diperkirakan pemasarannya akan
mudah. Namun, ternyata ada ganjalan mendadak menghadangnya, ternyata STTC
sudah mengantongi lisensi sejak 1980 untuk memproduksi dan memasarkan
Davidoff di Indonesia. Dan ternyata setelah ditelusuri STTC memperoleh lisensi dari
Davidoff Commercio, Brazil. Padahal perusahaan rokok asal Negri tersebut sudah
ditutup karena kalah digugat oleh Davidoof & Cie dengan tuduhan memalsukan
merek. Bahkan pemalsunya adalah Peter Koenig dan ia sudah dihukum penjara
selama 17 bulan.23
Apabila kita lihat dari sejarah dan latar belakang permohonan pendaftaran
merek Davidoff oleh tergugat maka sudah dapat terlihat adanya unsur itikad tidak
22
Youky Surinda, “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Merek di Indonesia(Studi Kasus
Sengketa Rokok Davidoff
dan
reemtsma”, artikel diakses pada 02 Maret 2015 dari
http://youkysurinda.wordpress.com/2011/09/05/perlindungan-hukum-bagi-pemegang-merek-diindonesia-studi-kasus-sengketa-rokok-davidoff-danreemtsma/html
23
Ahmad Taufik,”Hukum Merek : Babak Baru Sengketa Davidoff”, artikel diakses pada 02
Maret 2015 dari http://www.ahmadtaufik.com/2013/05/hukum-merek-babak-baru-sengketadavidoff.html
76
baik oleh tergugat, dimana pada tahun 1978 di Brazil, Peter kuning yang pada saat
itu bekerja untuk Davidoff ltda, mendaftarkan merek Davidoff untuk kelas yang
sama, dimana merek tersebut juga telah didaftarkan pertama kali oleh penggugat
pada tanggal 18 Desember 1969 di Switzerland.24
Putusan Mahkamah Agung yang diputuskan baik pada tingkat kasasi maupun
peninjauan kembali, membenarkan adanya bahwa merek yang didaftarkan tergugat
adalah sama pada keseluruhannya dengan merek “DAVIDOFF” yang dimiliki oleh
penggugat. Persamaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
1. Persamaan
Visual : Tampilan merek tergugat adalah sama pada
keseluruhannya dengan merek “DAVIDOFF” dan variasinya milik
penggugat, termasuk cara penulisan dan bentuk huruf – hurufnya.
2. Persamaan Phonetic : Bunyi pengucapan merek “DAVIDOFF” tergugat
adalah sama pada keseluruhannya dengan bunyi pengucapan merek
“DAVIDOFF” milik penggugat.25
Selain fakta diatas secara subyektif tergambar bahwa merek tersebut juga
merupakan merek terkenal sesuai dengan bukti – bukti yang ada merek
“DAVIDOFF” ini merupakan merek terkenal dan telah memenuhi syarat sebagai
merek terkenal yang dimana persyaratan merek terkenal tertuang dalam Pasal 6 Ayat
(1) huruf (b) Undang – Undang Merek memberi penjelasan sebagai berikut:
“…. pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di
bidang usaha yang bersangkutan, reputasi merek terkenal yang diperoleh
24
Agus Sarjono, Laporan Akhir Tentang Anotasi Yurisprudensi Peraturan Perundangundangan Bidang Hukum Merek (Jakarta : Tim Anotasi Yurisprudensi Peraturan Perundang-undangan
Bidang Hukum Merek, 2006), h.61
25Youky Surinda, “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Merek di Indonesia (Studi Kasus
Sengketa Rokok Davidoff dan reemtsma”,
http://youkysurinda.wordpress.com/2011/09/05/perlindungan-hukum-bagi-pemegang-merek-diindonesia-studi-kasus-sengketa-rokok-davidoff-danreemtsma/html
77
karena promosi yang gencar dan besar – besaran, investasi di beberapa
negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan bukti pendaftaran
merek tersebut di beberapa negara”.
Tergugat dalam hal ini dinyatakan melanggar Pasal 68 ayat (2) Undangundang Merek tahun 2001 yang menjelaskan “Pemilik merek yang tidak terdaftar
dapat mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud ayat (1) setelah mengajukan
permohonan kepada Direktorat Jendral”. Dapat kita lihat bahwasanya merek
“DAVIDOFF” yang diajukan oleh Davidoff Ltda secara hukum tidak dapat diakui
sebagai miliknya, dikarenakan telah didaftarkan dengan I’tikad tidak baik. Dengan
maksud menggunakan ketenaran merek orang lain. Pengalihan hak pada pihak STTC
tadi tidak dapat dibenarkan secara hukum dikarenakan dalam perjanjian lisensi
disebutkan harus adanya I’tikad baik sedangkan Davidoff Ltda memiliki I’tikad yang
tidak baik dengan menggunakan merek “DAVIDOFF” tadi sehingga pengalihan hak
tidak sah dan juga merek DAVIDOFF yang didaftarkan oleh Davidoff Ltda harus
dibatalkan karena banyaknya persamaan yang dimiliki dengan merek yang dimiliki
Davidoff & Cie SA dan juga tidak memenuhi syarat agar diterimanya pendaftara
yang dilakukan olehnya.
Berkaca dengan kasus di atas dan kasus-kasus penyalahgunaan lisensi merek
lainnya seperti kasus cap kaki tiga dan kasus Davidoff ini, ternyata banyak sekali
penyalahgunaan dalam perjanjian lisensi yang masih sulit mencari kejelasan
hukumnya. Seperti diketahui hingga kini Peraturan Pemerintah (P.P) yang harus
mengatur soal lisensi ini lebih lanjut. Ternyata hingga kini belum juga dikeluarkan.
78
Oleh karena itu, maka berbagai permintaan dari luar negri yang ditujukan kepada
yang berkecipungan dalam praktek sebagai Trademark Attorney, ternyata belum bisa
dilayani sepanjang mereka minta supaya lisensi yang diberikan kepada pihak
Indonesia didaftarkan pada kantor merek. Memang sudah jelas dalam peraturan
secara tegas bahwa lisensi merek dibolehkan (Pasal 41). Namun, belum ada
kemungkinan untuk melaksanakan di dalam praktek secara aman dan memenuhi
kepastian hukum, karena belum ada peraturan implementasinya lebih lanjut.26
Dengan demikian pemerintah harus memastikan kepastian hukum dan
keadilan dalam dunia perdagangan yang ditransaksikan melalui perjanjian lisensi
atau pengalihan hak lainnya, melalui peraturan pelaksana atau bahkan Undangundang Khusus yang membahas tentang perjajian lisensi.
26
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (Dalam
Rangka WTO, TRIPS) 1997, (Jakarta : PT, Citra Aditiya Bakti, 1997), h.69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian penelitian yang telah dipaparkan penulis dapat
memberikan kesimpulan, antara lain sebagai berikut:
1. Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan baik yang langsung maupun
tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian
Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa
Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya.
Dalam perkembangannya secara garis besar, bentuk-bentuk penyalahgunaan
perjanjian lisensi dapat berupa hal-hal yang menjadi penyebab dan faktor
adanya penyalahgunaan perjanjian lisensi diantaranya:
a. Salah satu pihak memutuskan perjanjian ditengah jalan
b. Ditengah perjalanan perjanjian lisensi, penerima lisensi menggunakan
merek baru
c. Sengketa yang disebabkan karena mantan penerima lisensi memproduksi
barang atau jasa dengan menggunakan merek lain, namun kualitasnya
sama persis dengan kualitas merek yang pernah dilisensikan
2. Upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa penyalahgunaan perjanjian
lisensi merek ini bisa menggunakan dua cara penyelesaian Pertama, dengan
menggunakan alur non-Litigasi (di luar Pengadilan) dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli atau arbitrase, sebagaimana yang
79
80
telah diatur dalam pasal 84 Undang-undang Merek tahun 2001. Kedua
dengan menggunakan Litigasi (Pengadilan) dimana Penyalesaian sengketa ini
dapat dilakukan di Pengadilan Niaga dan Pengadilan Negri sebagai lembaga
peradilan formal, tergantung para pihak yang bersangkutan dan bersengketa.
B. Saran
Setelah diberikan kesimpulan, penulis merasa perlu memberikan beberapa
saran, diantaranya adalah:
1.
Mengenai bentuk-bentuk dan faktor penyebab adanya penyalahgunaan
perjanjian lisensi, Dalam Undang-undang HKI disyaratkan bahwa perjanjian
lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang
merugikan
perekonomian
Indonesia
atau
memuat
ketentuan
yang
mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persyaratan tersebut bersifat
umum
karena
itu perlu penguraian lebih lanjut
dalam
peraturan
pelaksanaannya.
2.
Untuk kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa didalam perjanjian
lisensi yang aturan penyelesaiannya belum diatur dalam peraturan perundangundangan HaKI maupun Undang-undang Merek, dalam hal ini perlu dibuat
peraturan pelaksanaan nya. Serta ketetapan waktu dalam penyelesaian
sengketa harus dipertegas. Untuk memperjelas kepastian hukum dan
mempertegas asas peradilan umum yang cepat, murah dan sederhana.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Akbar Silondae, Arus, dan Andi Fariana. Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis.
Jakarta : Mitra Wacana Media, 2010.
Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global.
Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2008.
Gema, Ari Juliano. Membangun Profesi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual
Langkah Menuju Profesionalisme dan kemandirian Profesi. Jakarta : PT.
Justika Siar Publika, 2006.
Gautama, Sudargo dan Rizawanto Winata. Pembaharuan Hukum Merek Indonesia
(Dalam Rangka WTO, TRIPS) 1997, Jakarta : PT, Citra Aditiya Bakti, 1997.
Hernoko , Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial. Jakarta : Kencana, 2010.
Hsibuan, Effendy. Perlindungan Merek, Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing, 2008.
Kansil, C.S.T. Hak Milik Intelektual (Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta),
Jakarta : Sinar Grafika, 1990.
Marzuki, Peter Mahmud. Penilitian Hukum, cet. VIII, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013.
Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2007.
Ramli, Ahmad M. Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual. Tangerang : Direktorat
Jendral Hak Kekayaan Intelektua, 2013.
Saidin, OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2004.
81
82
Saleh, Roeslan. Seluk Beluk Praktis Lisensi. Jakarta : Sinar Grafika, 1991.
Sarjono,Agus. Laporan Akhir Tentang Anotasi Yurisprudensi Peraturan Perundangundangan Bidang Hukum Merek, Jakarta : Tim Anotasi Yurisprudensi
Peraturan Perundang-undangan Bidang Hukum Merek, 2006.
Sjahputra, Imam, dkk. Hukum Merek di Indonesia. Jakarta :Harvarindo, 2005.
Soebekti, R. Aneka Perjanjian, Cet X. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995.
………., Hukum Perjanjian, cet XXI, Jakarta : PT. Intermasa, 2001.
Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992.
Soenandar, Taryana. Perlindungan Hak Milik Intelektual Di Negara-negara Asean,
Jakarta : Sinar Grafika, 1996.
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus. Jakarta : Kencana, 2004.
Suryomurcito, Gunawan. Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum
Perjanjian Lisensi. Jakarta: Badan Pembina Hukum Nasional Depertemen
Hukum dan Hak Asasi, 2006.
Lindsey, Tim, dkk. Hak Kekayaan Intelektual, Bandung : PT. Alumni, 2013.
Widjaja, Gunawan. Seri Hukum Bisnis: Lisensi,Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2001.
………., Seri Hukum Bisnis: Lisensi dan Waralaba, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2002.
Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-Undang No 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 2005 Tentang Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Komisi Banding Merek, Jo UU no 15 tahun
2001 tentang merek mengatur komisi banding pada pasal 33
83
Jurnal, Makalah, Skripsi, dan Tesis :
Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet IV. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Kumalasari, Nuzulia. “Pentingnya Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam
Era Globalisasi”. Qistie 3, no.3, (2009, h.25
Oktamalia. “Pengaturan Perjanjian Lisensi Merek Ditinjau dari Undang-undang No.
15 tahun 2001 di PT. Astra Honda Motor.” Skripsi S1 Fakultas Hukum,
Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 2004.
Nugraha, Nyoman Bob, dkk, “Pilihan Hukum dalam Perjanjian Lisensi di
BidangMerek Dagang antara Para Pelaku Usaha yang Berbeda
Kewarganegaraan Berdasarkan Undag-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang
Merek”. Kertha Semaya, 2.06. 2014
Redjeki Hartono,Sri. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Lisensi Paten,Tesis
Universitas Diponegoro Semarang. H. 48
Surbakti , Fransiska Br. “Perjanjian Lisensi Sebagai salah Satu Upaya Mengatasi
Pemalsuan Merek Menurut UU No. 15 tahun 2001 Tentang Merek.” Skripsi
S1 Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan, 2009.
Simbolon, Herbert Petrus Wiro, dkk. “Upaya Hukum Terhadap Peyalahgunaan
Perjanjian Lisensi Merek”. Vol 01, No. 03 (Mei 2013), h. 3
Sujatmiko, Agung. “Perjanjian Lisensi Merek Terkenal”, Mimbar Hukum vol.22,
No.2, Juni 2010
Dokumen Elektronik dan Internet :
Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, “Visi, Misi dan Nilai”, yang diakses
tanggal 02 Maret 2015dari. http://www.dgip.go.id/tentang-kami/visi-misidan-nilai-djhki.html
Jened, Rahmi. “Lisensi dan Pengalihan Hak atas Merek”. Artikel diakses pada 24
Januari 2015 dari http://www.rjparinduri.wordpress.com/2010/08/07/17/
html.
84
Pangestu, Galih.“Hukum Dagang”. Artikel diakses pada 1 Maret 2015 dari
http://galihpangestu14.wordpress.com/2012/06/03/hukum-dagang/html
Sujatmiko, Agung. “Penguatan Prinsip Berkontrak dan Itikad Baik dalam Perjanjian
Lisensi Merek Terkenal”. Artikel diakses pada 25 November 2011 dari
Agungsujatmiko73.blogspot.com/2011/11/pengaturan-prinsip-kebebasanberkontrak.html?m=1
Surinda, Youky.“Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Merek di Indonesia(Studi
Kasus Sengketa Rokok Davidoff dan reemtsma”, artikel diakses pada 02
Maret 2015 dari,http://youkysurinda.wordpress.com perlindungan-hukumbagi-pemegang-merek-di-indonesia-studi-kasus-sengketa rokok-davidoff-dan
reemtsma/ html
Taufik, Ahmad.”Hukum Merek : Babak Baru Sengketa Davidoff”, artikel diakses
pada 02 Maret 2015 dari http://www.ahmadtaufik.com/2013/05/hukummerek-babak-baru-sengketa-davidoff.html
Download