PENYALAHGUNAAN PERJANJIAN LISENSI MEREK DALAM PRAKTEK BISNIS HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan HukumUntuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh: IDA ROFIDAH NIM: 1111048000007 KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M ii LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 02 April 2015 Ida Rofidah iii ABSTRAK Ida Rofidah, NIM 1111048000007, “PENYALAHGUNAAN PERJANJIAN LISENSI MEREK DALAM PRAKTEK BISNIS HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL”, Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. ix + 74 halaman + halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara membuat sebuah perjanjanjian lisensi merek dalam praktek bisnis hak kekayaan intelektual yang benar dengan cara mengetahui dahulu apa saja yang menjadi factor dan penyebab adanya penyalahgunaan terhadap perjanjian lisensi merek ini. Serta untuk mengetahui bagai mana cara menyelesaikan penyalahgunaan perjanjian lisensi merek jika ada penyalahgunaan dalam perjanjian lisensi merek yang dapat merugikan salah satu pihak dari perjanjian tersebut sampai dengan kerugian terhadap konsumen. Latar belakang penelitian ini adalah terkait masalah-masalah yang ada karena dampak dari adanya penyalahgunaan perjanjian lisensi merek terhadap praktek bisnis ha katas kekayaan intelektual. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen yang terkait dengan penelitian. Metode Pengolahan dan Analisa Data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Penelitian ini menggunakan tiga bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan non-hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Penyalahgunaan perjanjian lisensi merek dalam praktek bisnis hak atas kekayaan intelektual sangatlah penting perlindungannya, adanya penyalahgunaan perjanjian lisensi merek ini karena adanya beberapa faktor yang dapat menyebabkan perjanjian lisensi merek cacat dimata hukum dan juga dapat merugikan semua pihak yang bersangkutan. Penelitian ini juga menjelaskan mengenai upaya penyelesaian sengketa yang ada dalam sebuah perjanjian lisensi merek sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 84 Undangundang Merek tahun 2001. Kata Kunci : Penyalahgunaan, Perjanjian Lisensi Merek, Hakatas Kekayaan Intelektual Pembimbing : Prof. Dr. H.Salman Manggalatung, SH, MH. Daftar Pustaka : Tahun 1990 s.d Tahun 2015 iv KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb... Bismillahirrahmanirrahim... Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat, serta anugerah- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENYALAHGUNAAN PERJANJIAN LISENSI MEREK DALAM PRAKTEK BISNIS HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL”. Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada tauladan umat islam Nabi Muhammad SAW, yang telah memimpin ummat Islam keluar dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dipenuhi dengan orang-orang yang cerdas. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak sekali mendapatkan bantuan, arahan, bimbingan serta semangat yang mendalam dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar., MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. H. Djawahir Hejazziey, SH., MH., MA selaku Ketuan Program Studi Ilmu Hukum dan Arip Purkon, MA selaku sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Prof. Dr. H. Salman Manggalatung, SH, MH. Selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesebaran, perhatian dan ketelitian memberikan masukan serta v meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini selesai. 4. Segenap staff Perpustakan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Staff Perpustakan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staff Perpustakan Universitas Indonesia yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua. 6. Pembimbing Tahfidz yang tercinta selama di Universitas Islam Negri Pak Nurrohi Yunus,.LLM Terimakasih atas bimbingannya selama penulis berada di bangku perkuliahan. 7. Kedua orang tua tercinta yaitu ayahanda H. Muhfid Syadeli dan Ibunda Hj. Rohanah, terimah kasih atas kasih sayang, motivasi, perhatian, ilmu pengetahuan, arti kedisiplinan, serta segala hal yang selalu diberikan dengan tulus tanpa pamrih, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri. Begitu pula untuk adik-adik tercinta, Gina Rofahiyah, M. Rofid Al Barry dan M. Rofid Al Fayyad. Terimah kasih atas vi segala kasih sayang, perhatian, dukungan dan inspirasi yang telah kalian berikan. 8. Sahabat-sahabat tercinta, khususnya Azhar Nur Fajar Alam yang telah membantu, memberi semangat, arahan, serta mendampingi penulis baik suka maupun duka. Semoga Allah senantiasa memberkahi dan meridhoi kebersamaan kita. 9. Sahabat-sahabat tahfidzku yang solehah-solehah Novita Akria Putri, Sri Andriani, Endang Putri Nurhayati, Tazkiyatun Nafs yang senantiasa berjuang bersama dalam melaksanakan kewajiban bertahfidz ria. Buat Sahabatsahabatku seperjuangan yang cantik-cantik, Chairunisa, Dhurifah Nurutami, Septiana Utami, Shinta Dhwiningtias, Hilda Israa, Ummu Salamah, Fanny Fatwati Putri. Yang selalu memberikan semangat dan inspirasi selama dalam bangku perkuliahan hingga data menyelesaikan skripsi ini. Dan sahabatsahabatku M.Rizky Firdaus, M.Hisyam Rafsanjani, M.Rizky Arisandi, Lidia, Fadilah Haidar, Azmi Ritonga, Dandi Hernadi Pahusa, Uswatun Hasanah, Anita Rostianti dan Innes. Yang selalu menemani, memberi pelajaran hidup serta mengajariku indahnya bersahabat. Serta sahabat-sahabat “KKN Sejati” yang sudah banyak sekali memberikan pengalaman hidup bermasyarakat selama melaksanakan tugass KKN. 10. Kawan-kawan, kakak-kakak dan adik-adik kelas Keluarga Besar Program Studi Hukum Bisnis dan Ketatanegaraan angkatan 2011 UIN Syarif vii Hidayatullah Jakarta yang telah memberi inspirasi dalam kebersamaan dan kekompakan. 11. Himpunan Keluarga Besar Darul Falah (HIKADA), Keluarga Besar Angkatan Pemuda Peduli Hukum (AMPUH), Business Club Community (BLC), dan keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atas konsistensi dan kekompakannya yang telah memberikan wadah untuk saling belajar, berbagai dan menggali ilmu dalam mengkaji Hukum secara holistic, serta menjalin kekeluargaan yang sangat erat. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca sekalian. Terima kasih. Wassalamu’alaikum warahmatullohi wa barokatuh... Jakarta, 02 April 2015 Ida Rofidah viii DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii ABSTRAK ........................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ......................................................................................... v DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................... 1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ........................................................... 7 D. Tinjauan Penelitian Terdahulu ........................................................... 8 E. Kerangka Teoretis dan Konseptual .................................................... 8 F. Metode Penelitian............................................................................... 13 G. Sistematika Penulisan......................................................................... 17 BAB II HAK MEREK DALAM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL A. Pengertian dan Ruang Lingkup Merek .............................................. 19 B. Pengertian dan Ruang Lingkup Hak atas Kekayaan Intelektual ....... 21 C. Pengaturan Hukum Merek di Indonesia ............................................. 30 D. Perolehan dan Pendaftaran Merek di Indonesia ................................. 32 ix BAB III PERJANJIAN DAN PERJANJIAN LISENSI MEREK DALAM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL A. Pengertian Umum Perjanjian dan syarat sah Perjanjian..................... 39 B. Perngertian Lisensi dan Perjanjian Lisensi ........................................ 46 C. Pertimbangan Pemberian Lisensi ....................................................... 51 D. Syaratdan Isi Perjanjian Lisensi Merek dalam HaKI ......................... 53 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENYALAHGUNAAN PERJANJIAN LISENSI MEREK A. Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Lisensi Merek ............... 57 B. Bentuk-bentuk dan Faktor penyebab Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi merek .................................................................................................. 63 C. Peran dan Wewenang Dirjen HaKI Terkait Perlindungan Hukum Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek ........................................ 67 D. Penyelesaian Sengketa Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek ... 70 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................... 79 B. Saran ............................................................................................... 80 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 81 x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Haki atau Hak atas Kekayaan Intelektual merupakan suatu produk atau ruang lingkup dari pada Hukum Bisnis, hukum bisnis merupakan suatu prangkat kaidah hukum (termasuk enforcement-nya) yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa dengan menempatkan uang dari para enterpreneur dalam resiko tertentu dengan usaha tertentu dengan motif dari entrepreuner tersebut, adalah untuk mendapatkan keuntungan tertentu.1 Merek merupakan ruang lingkup dari pada Hak atas Kekayaan Intelektual yang merupakan suatu hak kebendaan yang sah dan diakui oleh hukum atas benda tidak berwujud berupa kekayaan/kreasi intelektual, yang dapat berupa diantaranya hak merek, seperti hak kebendaan lainnya HaKI dapat beralih atau dialihkan dan dapat dipertahankan kepemilikannya oleh siapapun.2Atas dasar ketentuan aturanaturan serta ketentuan Undang-undang yang ada. Suatu merek yang menjadi merek terkenal menjadi andalan pengusaha dalam memenangkan persaingan yang semakin ketat. Fakta itu menyebabkan merek-merek terkenal menjadi incaran pemalsuan merek penyalahgunaan bagi pihak-pihak yang beritikad tidak baik. Sebagai bagian 1 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2008), h. 2 2 Ibid, h. 203 1 2 dari HaKI, hak merek merupakan hak yang bersifat khusus. Hak khusus tersebut pada dasarnya bersifat exclusive dan monopoli yang hanya dapat dilaksanakan oleh pemilik hak, sedangkan orang lain tidak boleh untuk menggunakannyatanpa seizin pemiliknya. Berbeda dengan hak cipta, merek harus didaftarkan terlebih dahulu di dalam Daftar Umum Merek. Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran karena publik sering mengaitkan suatu imej, kualitas atau reputasi barang dan jasa terhadap barang tertentu. Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berbahaya secara komersial. Merek suatu perusahaan seringkali lebih bernilai dibandingkan dengan aset riil suatu perusahaan tersebut. Merek juga berguna untuk para konsumen, mereka membeli produk tertentu (yang terlihat dari mereknya) karena menurut mereka, merek tersebut berkualitas tinggi atau aman untuk dikonsumsi dikarenakan karena reputasi dari merek tersebut. Jika sebuah perusahaan menggunakan merek perusahaan lain, para konsumen mungkin meresa tertipu karena telah memberi prduk dengan kualitas yang lebih rendah.3 Karena hak merek merupakan hak ekslusif maka, tidak setiap orang bisa menggunakan hak tersenbut. Orang lain baru dapat menggunakan, jika telah mendapat izin dari pemiliknya. lzin itu berupa perjanjian lisensi. Lisensi merupakan suatu bentuk pemberian hak yang melahirkan suatu perikatan yang dapat bersifat ekslusif maupun non-ekslusif. Sebagai suatu perikatan 3 Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung : PT. Alumni, 2013), h. 131-132 3 pemberian lisensi ini memberikan hak kepada pemberi lisensi atas kontra prestasi dari penerima lisensi. Secara umum dapat dikatakan bahwa kontra prestasi yang diharapkan oleh pemberi lisensi tersebut adalah suatu bentuk pembayaran (yang disebut dengan license fee atau Royalty). Namun demikian kebutuhan praktis menunjukan bahwa ternyata tidak hanya sampai di situ saja kewajiban yang harus dilaksanakan oleh penerima lisensi Merek tersebut. Pemberi lisensi merasa berkepentingan agar Hak Atas Kekayaan Intelektual yang dilisensikan olehnya kepada penerima lisensi dapat dijaga keutuhannya, (dalam hal Hak atas Kekayaan Intelektual yang dilisensikan adalah merek, penerima lisensi bahkan diwajibkan untuk menjaga kualitas atas mereknya yang dilisensikan tersebut), termasuk melakukan hal-hal yang tidak akan mengakibatkan kerugian moril maupun materiil bagi pihak pemberi lisensi. 4 Pasal 49 UU Merek 2001 menjelaskan tentang Praktek Perjanjian Lisensi Merek di Indonesia selama ini sebelum adanya peraturan pelaksana yang secara khusus mengatur mengenai lisensi, sudah banyak terjadi namun hanya berdasar asas Kebebasan Berkontrak yang diatur Kitab Undang- Undang Perdata, meski begitu perjanjian yang telah dibuat tetap berlaku karena syarat sahnya suatu perjanjian sudah terpenuhi tanpa adanya kewajiban suatu pencatatan tertentu. Hal ini sesuai dengan pasal 1320 KUHPer Pemerintah yang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, khususnya Direktorat Merek sebaiknya segera 4 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Lisensi dan waralaba, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 4-5 4 mengajukan Rancangan Keputusan Presiden yang mengatur mengenai ketentuan isi, benstuk, cara permohonan pencatatan perjanjian lisensi sehingga terdapat kepastian kejelasan hukum dan apabila terjadi sengketa diantara para pihak dalam perjanjian lisensi maka akan dapat diselesaikan dengan baik. Selin itu juga agar Direktorat Merek memiliki arsip salinan dari bentuk dan isi perjanjian lisensi merek sebagai keperluan aministratif untuk memantau dan mengontrolperjanjian- perjanjian lisensi merek yang ada. Lisensi merek hendaklah mengandung itikad baik pada saat membuat perjanjian lisensi. Hal ini dimaksudkan karena perjanjian lisensi bukanlah suatu perjanjian pengalihan hak namun merupakan pemberian hak yang diberikan dari pemilik merek kepada pihak lain dengan jangka waktu tertentu dan dengan syarat tertentu. Berdasarkan contoh kontrak lisensi yang ada, ada beberapa hal yang mungkin saja bisa terjadi dan dapat merugikan si pemberi lisensi merek ini sehingga mengakibatkan pemutusan perjanjian secara sepihak bisa dilakukan, diantaranya: penerima lisensi tidak konsisten dalam menggunakan merek yang dilisensikan, penerima lisensi tidak membayar royalty sesuai dengan yang diperjanjikan, penerima lisensi tidak menjaga kualitas produk yang dihasilkan. Selain itu dalam Pengawasan dan kewenangan Perjanjian Lisensi sendiri ada beberapa Pertanyaan kritis yang layak diajukan adalah siapa yang memiliki kelayakan dan kemampuan untuk melaksanakan kewenangan menilai substansi perjanjian lisensi Merek? Ukuran apa yang digunakan? Bagaimana bila para pihak merasa tidak membuat ketentuan yang memuat hal-hal yang dilarang oleh ketentuan-ketentuan dalam perjanjian lisensi 5 merek, tetapi dinyatakan sebaliknya oleh direktorat jendral? Harus diakui, ketentuan ini mengandung bibit pertikaian dan masih harus dibuktikan efektivitasnya. Merek merupakan sesuatu (gambar atau nama) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu produk atau perusahaan di pasaran. Pengusaha biasanya berusaha mencegah orang lain menggunakan merek mereka karena dengan menggunakan merek, para pedagang memperoleh reputasi baik dan kepercayaan dari para konsumen serta dapat membangun hubungann antara reputasi tersebut dengan mereka yang telah digunakan perusahaan secara regular. Semua hal di atas tentunya membutuhkan pengorbanan waktu, tenaga dan uang.5 Oleh karena itu merek sangat dibutuhkan oleh pengusaha-pengusaha untuk memberikan kepercayaan kepada konsumen terhadap kualitas produknya. Namun bagaimana jika dalam pengalihan merek dengan cara Perjanjian Lisensi penerima lisensi menggunakan merek baru. Merek baru tersebut merupakan merek penerima lisensi sendiri dengan tujuan untuk ekspansi usaha. Selain itu yang muungkin terjadi adalah bagaimana jika sengketa yang disebabkan karena mantan penerima lisensi memproduksi barang atau jasa dengan menggunakan merek lain, namun kualitasnya sama persis dengan kualitas merek yang pernah dilisensikannya. Kondisi itu akan membuat mantan pemberi lisensi selaku pemilik merekakan menderita kerugian, karena akan mengurangi jumlah penjualan produk barang atau jasanya. 5 Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, h. 131 6 Berdasarkan dari berbagai macam masalah yang timbul dari Perjanjian Lisensi Merek ini, penulis sangat tertarik untuk membahas mengenai Perjanjian Lisensi Merek ini yang terlalu banyak polemik di dalamnya, sehingga banyak sekali kemungkinan-kemungkinan yang dapat merugikan Hak atas Kekayaan Intelektual seseorang. Dengan demikian penulis tertarik mengangkat tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam sebuah skripsi, dengan judul ”Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek dalam Praktek Bisnis Hak atas Kekayaan Intelektual” B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Memperhatikan cakupan materi yang dimuat dalam Undang-Undang Hak atas Kekayaan Intelektual begitu luas, perlu sekiranya penulis untuk membatasi penelitian ini dengan memfokuskan pada pembahasan mengenai penyalahgunaan perjanjian lisensi merek dalam peraktek bisnis hak atas kekayaan intelektual. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa saja bentuk-bentuk dan faktor-faktor penyebab adanya penyalahgunaan perjanjian lisensi merek dalam Praktek Bisnis Hak atas Kekayaan Intelektul? 2. Bagaimana cara penyelesaian sengketa dalam penyalahgunaan perjanjian lisensi Merek? 7 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Penulisan penelitian skripsi ini secara umum bertujuan untuk mengetahui bagaimana kepastian Hukum dan perlindungan hukum dalam penyalahgunaan perjanjian Lisensi Merek dan batasan-batasan perjanjian lisensi Merek. Dengan rincian tujuan sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui bentuk–bentuk dan faktor-faktor penyebab adanya penyalahgunaan perjanjian lisensi merek dalam praktik bisnis Hak atas Kekayaan Intelektual. 2) Untuk mengetahui cara penyelesaikan sengketa dalam penyalahgunaan perjanjian lisensi Merek 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis Secara teoritis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan dibidang hukum hak atas kekayaan intelektual khususnya yang berkaitan dengan perjanjian lisensi Merek. b. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis dari penilitian ini dapat diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menganalisis permasalahan Perjanjian Lisensi Merek dan dalam memberikan kebijakan-kebijakan dan konsukuensi hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum serta kepastian hukum Penyalahguanaan Perjanjian Lisensi Merek demi terciptanya hukum 8 Perjanjian Lisensi Merek yang seadil-adilnya bagi kemakmuran hajat hidup orang banyak, khususnya masyarakat Indonesia. D. Tinjauan Penelitian Terdahulu Pernah ada penelitian sebelumnya yang dijadikan review terdahulu oleh penulis yaitu skripsi dengan judul “Lisensi Merek dalam Dunia Usaha”yang disusun oleh Maria Magdalena, yang telah dipertahankan dalam prasyarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1990. Penelitian ini fokus membahas mengenai bentuk Lisensi Merek dalam Dunia usaha. Selanjutnya buku yang disusun oleh Gunawan Widjaja dengan judul “Seri Hukum Bisnis: Lisensi,” diterbitkan oleh PT Raja Grafindo Persada, Jakarta tahun 2001. Penelitian ini fokus terhadap konsep definisi lisensi, subjek dan objek perjanjian lisensi serta pengaturan lisensi dalam peraturan-peraturan HaKI. Sebagai pembeda dan pembanding, penelitian yang akan penulis angkat akan fokus mengenai bentuk-bentuk dan faktor-faktor penyebab adanya penyalahgunaan perjanjian Lisensi Merek dalam Praktik Bisnis Hak atas Kekayaan Intelktual serta cara menyelesaikan sengketa dalam penyalahgunaan perjanjian Lisensi Merek. E. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Sama halnya dengan hak cipta dan hak paten serta hak atas kekayaan intelektual lainnya, maka hak merek juga merupakan bagian dari hak atas intelektual. Selain dari alasan yang telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini, maka khusus mengenai hak merek secara eksplisit disebut sebagai benda immateril dalam 9 konsiderans UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (selanjutnya disingkat UUM 2001) bagian yang menimbang butir a, yang berbunyi, “ bahwa di era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-kenvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga peranan persaingan usaha tidak sehat.”6 Dengan merek, produk barang atau jasa sejenis dapat dibedakan asal muasalnya, kualitasnya serta keterjaminannya bahwa produk itu original. Kadangkala yang membuat suatu produk menjadi mahal bukan produknya, tetapi mereknya. Merek merupakan suatu yang ditempelkan dan dilekatkan pada suatu produk, tetapi ia bukan produk itu sendiri. Seringkali setelah barang itu dibeli, mereknya tak dapat dinikmati oleh si pembeli. Merek mungkin hanya menimbulkan kepuasan saja bagi pembeli, namun benda materilnya yang dapat dinikmati. Merek itu sendiri hanya benda immateril yang tak dapat memberikan apapun secara fisik. Inilah yang membuktikan bahwa merek itu merupakan hak kekayaan immateril.7 Sama dengan hak milik lainnya, hak merek sebagai hak kebendaan immateril juga dapat beralih dan dialihkan sebagaimana telah tertera dalam UUM tahun 2001 Bab ke V tentang Pengalihan Hak atas Merek Terdaftar (pasal 40, 41 dan 42). . Ini suatu bukti bahwa UU Merek 2001 dapat mengikuti prinsip-prinsip hukum benda yang dianut oleh seluruh dunia dalam penyusunan undang-undang mereknya. Salah 6 OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004) h. 329 7 Ibid, h. 329-330 10 satu wujud pengakuan dari hak kebendaan yang sempurna itu adalah, diperkenankannya oleh undang-undang hak kebendaan itu beralih atau dialihkan oleh si pemilik. Salah satu sistem pengalihan dalam hak merek adalah sebuah perjanjian pengalihan yang disebut dengan perjanjian lisensi yang diatur dalam Undang-undang Merek tahun 2001 pasal 43. Lisensi dalam hal ini sebagai suatu cara untuk membagi dan menyebarkan ide gagasan suatu ciptaan dan invensi dalam lingkup HaKI, agar negara berkembang dapat mengikuti dan mencontohi apa yang telah dihasilkan oleh negara maju secara legal. Sebagaimana telah diatur dalam UU No. 15 tahun 2001 pada Bab V mengenai Pengalihan Hak atas Merek Terdaftar dan mengenai Lisensi. 2. Kerangka Konseptual Secara konsep UUM 2001 tidak memnyebutkan bahwa merek merupakan salah satu wujud dari karya inteletual. Sebuah karya yang didasarkan kepada olah pikir manusia yang kemudian terjelma dalam bentuk benda Immateril. Suatu hal yang perlu dipahami dalam setiap kali menempatkan hak merek dalam krangka hak atas kekayaan intelektual adalah bahwa, kelahiran hak atas merek itu diawali dari temuan-temuan dalam bidang hak atas kekayaan intelektual lainnya, misalnya hak cipta. Pada merek ada unsur ciptaan, misalnya desain logo, atau desain huruf, terdapat hak cipta dalam bidang seni. Oleh karena itu, dalam hak merek bukan hak cipta dalam bidang seni itu yang dilindungi tetapi mereknya itu sendiri sebagai tanda pembeda. Jadi, ada sesuatu “yang tak terlihat” dalam hak merek itu. Itulah hak kekayaan immateril (tidak berwujud) yang selanjutnya dapat berupa hak atas 11 intelektual. Dalam krangka ini hak merek termasuk pada kategori hak atas kekayaan perindustrian (Industriele Eigendom) atau Industrial Property Rights.8 Undang-undang No. 15 tahun 2001 pasal 1 butir 1, menjelaskan definisi merek, “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf angkaangka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda yang digunakan dalam kegiatan perdagangan atau jasa.” Sedangkan para ahli diantaranya adalah Philip S. James MA, berpendapat bahwa “a trade mark is a mark used in conextion with goods which a tader uses in order to tignity that a certain type of good are his trade need not be the actual menufacture of goods, in order to give him the right to use a trade mark, it will suffice if they marely pas throug his hand is the course of trade” yang artinya merek dagang adalah suatu tanda yang dipakai oleh seorang pengusaha atau pedagang untuk menandakan bahwa suatu bentuk tertentu dari barang-barang kepunyaannya, pengusaha atau barang tersebut tidak perlu penghasilan sebenarnya dari barang-barang itu, untuk memberikan kepdanya hak untuk memakai suatu merek, cukup memadai jika barang-barang itu ada di tangannya dalam lalu lintas perdagangan.9 Ada beberapa cara yang diatur dalam Undang-undang mengenai pengalihan hak Merek terhadap pihak lain di antaranya adalah dengan menggunakan Perjanjian Lisensi. Diadakannya lisensi untuk mensiasati agar hak monopoli yang dimiliki oleh seorang inventor dan pencipta tidak menghambat perkembangan dan kemajuan 8 OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 330 9 Ibid, h. 345 12 teknologi dalam suatu negara yang berkembang. Penerima Lisensi dapat mengembangkan usahanya selama tidak melanggar Undang-undang, dan sesuai klausula perjanjian yang disepakati antara kedua belah pihak. Namun pada kenyataannya pemberi lisensi masih terlalu menjadikan hak monopoli yang dimilikinya untuk mengatur royalti dengan setinggi-tingginya diluar kemampuan para penerima lisensi. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis10. Sedangkan penyalahgunaan perjanjian merupakan perbuatan melanggar hukum yang dapat merugikan salah satu pihak atau lawan pihaknya dalam sebuah perjanjian karena kelalaiannya, dalam pasal 1238 KUHPer menyebutkan “ Si Berutang adalah lalai, bila ia dengan surat perintah atau sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri jika ini menetapkan si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan” hal ini bisa dibilang wanprestasi, Wanprestasi adalah suatu perbuatan kelalaian atau kealpaan salah satu pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian, dimana: a. Tidak melakukan apa yang disanggupi dilakukannya. b. Tidak melaksanakan apa yang dijanjikan. 10 Subekti, Hukum perjanjian, (Jakarta : PT Intermasa, 2001), h. 1 13 c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 11 Hal-hal yang sering disalahgunakan oleh pemberi lisensi secara konsep melanggar doktrin fairdealing12 yang menjelaskan bahwa hak moral selalu dijunjung tinggi dalam setiap transaksi kontrak atau perjanjian. Doktrin ini menjelaskan bahwa setiap pemberian lisensi harus mementingkan keterbukaan, keseimbangan, dan proporsionalitas yang menjamin akan keuntungan kedua belah pihak dapat terwujud dengan baik. Hak monopoli yang dimiliki oleh pemberi lisensi dalam kaitannya dengan HaKI, wajib memperhatikan dokrin ini agar akibat hukum yang timbul kelak dapat diminimalisir dan tercegah pada awal komitmen perjanjian. F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum yang bersifat perspektif, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-how penilitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Disinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis 11 12 Ibid, h. 45 Feardealing adalah doktrin yang berkembang di Amerika yang juga dikenal fair use terkait dengan kewajaran kegunaan dalam transaksi kontrak bisnis khususnya dalam hak kekayaan intelektual. 14 masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecehan atas masalah tersebut.13 Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini dan untuk memenuhi penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis metode Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidahkaidah atau norma-norma dalam hukum positif.14Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori baru. 2. Pendekatan Yang Digunakan Sehubungan dengan penelitian ini penulis menggunakan jenis penilitian normatif, maka dalam hal teknik pengumpulan data dalam penelitian normatif, penulis menggunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundangundangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach). Pendekatan perundang-undangan dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan mengenai ketentuan hukum dalam kewenangan pengawasan bagi pihak-pihak terkait perjanjian lisensi atas merek dalam praktek hukum bisnis ketika ada 13 Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet. VIII, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 60 14 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008) h. 294. 15 penyalahgunan Perjanjian Lisensi merek. Sedangkan pendekatan konseptual dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana seharusnya konsep atau kriteria perjanjian lisensi merek dalam praktek bisnis hak atas kekayaan intelktual, dengan tidak adanya salah satu pihak yang diruggikan. Adapun pendekatan historis digunakan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya sejarah perkembangan hak merek khususnya dalam Perjanjian Lisensi merek di Indonesia. 3. Sumber Penelitian Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier, dengan rincian sebagai berikut: a. Bahan hukum primer (yang meliputi UUD 1945, dan peraturan perundangundangan yang terkait Hak atas Merek ). Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.15 b. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari atas buku-buku (text books) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasilhasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.16 15 Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h.51. 16 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, h. 296 16 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan merek dan perjanjian lisensi, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet. Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier diinvetarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas. Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan Metode Dokumentasi, metode ini dimaksudkan dengan mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya. 17 5. Metode Pengolahan dan Analisis Data Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan 17 Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 201. 17 hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum dengan melakukan analisis secara kritis dan mendalam mengenai Bentuk-bentuk atau faktor-faktor penyebab adanya penyalahgunaan perjanjian lisensi merek, dan Penyelesaian sengketa dalam penyalahgunaan perjanjian lisensi merek. G. Sistematika Penulisan. Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012” dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, Diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah, dilanjutkan dengan, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II Tinjauan umum mengenai Pengertian Umum Hak Merek Dalam Hak Atas Kekayaan Intelektual. Pada bab ini penulis akan membahas mengenai pengertian Merek dan Ruang lingkupnya, Pengertian HaKI dan Ruang lingkupnya, Pengaturan Hukum Merek di Indonesia, serta perolehan dan Pendaftaran Merek di Indonesia. BAB III Tinjauan umum mengenai Perjanjian dan Perjanjian Lisensi Merek dalam Hak Atas Kekayaan Intelektual. 18 Pada bab ini penulis akan menguraikan Pengertian Umum perjanjian dan Syarat Sah Suatu Perjanjian, Pengertian Lisensi dan Pengertian Perjanjian Lisensi, Pertimbangan Pemberian Lisensi, serta Syarat dan Isi Perjanjian Lisensi Merek dalam HaKI. BAB IV Tinjauan yuridis Perlindungan Hukum dalam Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek. Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai hak dan kewajiban pemberi dan penerima lisensi merek, Bentuk-bentuk dan faktor-faktor penyebab adanya Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek, Peran dan Wewenang Dirjen HaKI Terkait Perlindungan Hukum terhadap penyalahgunaan lisensi, serta Penyelesaian Sengketa Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek. BAB V Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran. Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis menengahkan beberapa saran yang dianggap perlu. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK MEREK DALAM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL A. Pengertian dan Ruang Lingkup Merek Pasal 1 butir 1 Undang-undang Merek tahun 2001 memberikan suatu definisi tentang Merek, yaitu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya perbedaan dan digunakan dalam kegiatan perdagangan atau jasa. 1 Selanjutnya hak atas merek itu memiliki definisi sendiri sebagai mana telah dijelaskan pula dalam Pasal 3 Undang-undang Merek tahun 2001 hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.2 Sama halnya dengan hak cipta dan hak paten serta hak kekayaan intelektual lainnya, maka hak merek juga merupakan bagian dari Hak atas Kekayaan Intelektual.Undang-undang Merek 1992 menyebutkan bahwa merek merupakan salah satu wujud dari karya intelektual.Sebuah karya yang didasarkan oleh pikir manusia, yang kemudian terjelma dalam benda immateril. 3 1 Dikutip dari, Pasal 1 butir 1Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek. 2 Dikutip dari, Pasal 3 Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek. 3 OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 329 19 20 Suatu hal yang harus dipahami dalam setiap kali menetapkan hak merek dalam krangka hak atas kekayaan intelektual adalah bahwa, kelahiran hak atas merek itu diawali dari temuan-temuan dalam bidang hak atas kekayaan intelektual lainnya, misalnya hak cipta. Pada merek ada unsur ciptaan, misalnya desain logo, atau desain huruf.Ada hak cipta dalam desain seni. Oleh karena itu, dalam hak merek bukan hak cipta dalam bidang seni itu yang dilindungi, tetapi mereknya itu sendiri, sebagai tanda pembeda. 4 Adapun mengenai jenis Merek, Undang-undang Merek tahun 2001 telah mengatur tentang jenis-jenis merek, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 butir 2 dan 3 UU Merek Tahun 2001 yaitu:5 a. Merek dagang, adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama, atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya b. Merek Jasa, adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama, atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa jenis lainnya. Disamping jenis merek sebagaimana dikemukakan di atas ada juga pengklafikasian lain yang didasarkan kepada bentuk atau wujudnya. Bentuk dan wujud merek itu dimaksud untuk membedakan dari jenis barang milik orang lain. Oleh karena adanya pembedaan itu, maka terdapat beberapa jenisbentuk wujud merek yakni: 1. 2. 3. 4. 5. Merek Lukisan (beel mark) Merek Kata (word mark) Merek Bentuk (form mark) Merek Bunyi-bunyian (klank mark) Merek Judul (title merk)6 Adapun pemakaian merek memiliki beberapa fungsi yaitu : 4 Ibid, h. 330 5 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Moderen di Era Global, (Bandung : PTCitra Aditiya Bakti, 2008), h. 203 6 OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektua, h. 346 21 1) Tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum dengan produksi orang lain atau badan hukum lainnya. 2) Alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksinya cukum dengan menyebut hukum lainnya. 3) Jaminan atas mutu barangnya 4) Penunjuk asal barang / jasa dihasilkan7 B. Pengartian dan Ruang Lingkup Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan hak yang timbul dari adanya kretifitas manusia yang menghasilkan karya-karya inovatif yang dapat diterapkan pada kehidupan manusia. Istilah lain dari HKI adalah Hak Milik Intelektual, dimana kata “milik” lebih tepat dari pada istilah “kekayaan”. Apabila diperhatikan dalam sistem Hukum Perdata Indonesia pada hukum harta kekayaan terdiri dari dua bagian yaitu hukum perikatan (Pasal 1233 KUH Perdata) dan hukum benda (Pasal 499 KUH Perdata). Pada konsep harta kekayaan, setiap benda selalu ada pemiliknya. Setiap pemilik suatu benda mempunyai hak atas benda miliknya, yang biasa disebut dengan ”Hak Milik”. Dengan demikian pemilik berhak untuk menikmati dan menguasai benda tersebut. Kedua istilah tersebut diatas saling melengkapi sehingga tidak perlu dipermasalahkan.Hukum Hak Kekayaan Intelektual adalah hukum yang mengatur perlindungan bagi para pencipta dan penemu karya-karya inovatif sehubungandengan pemanfaatan karya-karya mereka secara luas dalam masyarakat, 7 Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, “Merek”, yang diakses tanggal 02 Maret 2015, http://www.dgip.go.id/tentang-kami/visi-misi-dan-nilai-djhki.html 22 karena itu tujuan hukum HKI adalah menyalurkan kreativitas individu untukkemanfaatan manusia secara luas.8 Selain itu, Hak Kekayaan Intelektual adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang baersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio, hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda im-materil yaitu benda tidak berwujud.9 “Dalam kepustakaan hukum Anglo saxon10 ada juga dikenal dengan intellectual property right. Kata ini kemudian diterjemahkan menjadi “Hak Milik Intelektual”, yang sebenarnya menurut hemat penulis (Saidin), lebih tepat kalo diterjemahkan menjadi Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Alasannya karena “hak milik” sebenarnya sudah merupakan istilah baku dalam kepustakaan hukum.11Padahal tidak semua Hak Atas Kekayaan Intelektual merupakan hak milik dalam arti yang sesungguhnya. Bisa merupakan hak untuk memperbanyak saja, atau untuk menggunakannya dalam produk tertentu dan bahkan dapat pula berupa hak sewa (rental right), atau hak-hak lain yang timbul dari perikatan seperti lisensi, hak siaran, dan lain sebagainya.”12 Substansinya Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan bagian dari benda yaitu benda tidak berwujud (benda Immateril). Maksud benda tidak berwujud 8 Nuzulia Kumalasari, “ Pentingnya Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam Era Globalisasi”, Qistie 3, no.3, (2009, h.25 9 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 9 10 Hukum Anlo Saxon adalah hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusankeputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim yang selanjutnya. 11 Perbedaan seru tentang istilah ini telah berlangsung selama bertahun-tahun ada yang setuju dengan istilah hak milik intelektual, ada yang bertahan untuk menggunakan Hak Kekayaan Intelektual, tapi memang akhirnya oleh Bambang Kesowo Ketua Tim yang membidangi masalah hukum HAKI, memveto lalu agar menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual. Singkatnyapun bermacam-macam pula ada HAKI,HaKI dan HKI. Rumusan baku tentang Hak Milik itu misalnya dapat kita lihat dalam pasal 570 KUHPerdata dalam pasal 20 UUPA tahun 1960, tentang Hak Milik Atas Tanah. Menurut penulis yang lebih cocok dalam menggunakan istilah ini adalah menggunakan istilah HaKI 12 OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h.11 23 di sini adalah benda yang bersasal dari kreatifitas seseorang dalam menghasilkan karyanya. Benda dalam kerangka hukum perdata diklasfikasikan dalam dua katagori yaitu benda berwujud dan tidak berwujud. Dalam konteks ini dilihat pengertian benda dalam Hak atas Kekyaan Intelektual yang dimaksud. Untuk memahami lebih lanjut mengenai benda yang dimaksud dapat dilihat dalam Pasal 499 KUHPerdata berbunyi : “ Menurut paham undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiaptiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik”.Dapat kita simpulkan bahwasanya benda terdiri dari sebuah barang dan hak milik. Barang yang dimaksud pada Pasal 499 KUHPerdata di atas adalah benda materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immateril.Sejalan dengan klasifikasi benda menurut Pasal 503 KUHPerdata, yaitu penggolongan benda ke dalam kelompok benda berwujud (bertubuh) dan benda tidak berwujud (tidak bertubuh).13Dari sini dapat dipahami bahwa Hak atas Kekayaan Intelektual, adalah sebuah benda yang tidak berwujud karena Hak atas Kekayaan Intelektrual merupakan sebuah benda yang berasal dari rasio dan kreatifitas seseorang dan membuat hasil sebuah karya sehingga bisa djadikan sebagai hak milik. Hak atas Kekayaan Inteltual (HaKI) berhubungan dengan benda tidak berwujud serta melindungi karya intelektual yang lahir dari cipta, rasa dan karsa manusia. Definisi yang bersifat lebih umum dikemukakan oleh Jill Mc Keogh dan Abdrew Steward, HaKI adalah sekumpulan hak yang diberikan oleh hukum untuk melindungi investasi ekonomi dari usaha- 13 Ibid, h,12 24 usaha yang kreatif. Sedangkan, UNCTAD14 dan ISCD (dua lembaga Internasional) mendefinisikan HaKI sebagai hasil-hasil usaha manusia kreatif yang dilindungi oleh hukum.15 Disamping itu Direktorat Jendral (Ditjen) HaKI Depertemen Hukum dan HAM-RI bekerjasama dengan ECAP (European Commision ASEAN Project on the Protection of Intelektual Property Right)16 mendefinisikan HaKI sebagai hak yang timbul bagi hasil oleh pikir otak yang menghasilkan suatu produk yang berguna bagi manusia. 17 Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa , HaKI selalu mengandung tiga unsur yaitu:18 a. Mengandung hak ekslusif yang diberikan oleh hukum b. Hak tersebut berkaitan dengan usaha manusia yang didasarkan pada kemampuan intelektual c. Kemampuan intelektual tersebut memiliki nilai ekonomi. Indonesia sebagai negara yang memiliki komitmen kuat terhadap perlindungan HaKI, sudah lama terlibat secara aktif dalam krangka kerja baik yang bersifat regional maupun Internasional di bidang HaKI. Meskipun keikutsertaan tidak secara otamatis menghapus faktor-faktor penghalang didalam penegakan HaKI di Indonesia, setidaknya 14 UNCTAD (United Nation Conference on Trade and Development) adalah organisasi internasional yang didirikan pada tahun 1969.UNCTAD merupakan organ utama Majlis Umum PBB dalam menangani isu perdagangan, investasi dan pembangunan. 15 Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, (Jakarta : Mitra Wacana Media, 2010), h. 155-156 Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, 16 ECAP (European Commision ASEAN Project on the Protection of Intelektual Property Right) merupakan program yang di-inisiasi oleh Europian Union untuk emningkatkan informasi mengenai Intellectual Property Right (IPR)atau HaKI di regional ASEAN termasuk Indonesia 17 Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, h. 155- 18 ibid, h. 155-156 156 25 Indonesia telah menunjukan pada dunia Internasional, bahwa HaKI telah menjadi prioritas utama di dalam pembangunannya saat ini untuk mengetahui lebih jauh peran aktif tersebut serta krangka kerja di bidang HaKI yang telah diselenggarakan dibidang WTO19.20 Munculnya usaha-usaha perlindungan terhadap HaKI sama tuanya dengan ciptaanciptaan manusia. Perlindungan hukum terhadap HaKI pada prinsipnya adalah perlindungan terhadap pencipta. Dalam perkembangan kemudian menjadi pranata hukum yang dikenal Intellectual Property Right (IPR). Perhatian-perhatian negara untuk mengadakan kerjasama mengenai masalah HaKI secara formal telah ada sejak akhir abad ke-19.Perjanjian-perjanjian ini secara kuantitatif sebagian besar mengatur mengenai perlindungan Hak Milik Perindustrian (Industrial Property Right) dan yang lainnya mengatur mengenai hak cipta. Organoisasi yang menangani ini adalah WIPO21(World Intellectual Property Organization).22 TRIPs hanyalah sebagian dari keseluruhan sistem perdagangan yang diatur WTO, dan keanggotaan Indonesia pada WTO menyiratkan bahwa Indonesia secara otomatis terkait pada TRIPs. Adalah tidak mungkin untuk hanya menjadai peserta dari TRIPs tanpa menjadi anggota dari WTO- hak-hak dan kewajiban dari TRIPs hanya timbul bila suatu negara menjadi anggota WTO.Sebaliknya, tidak mungkin menjadi anggota WTO tanpa menjadi peserta TRIPs. Sifat yang demikian itu, tampak dengan jelas dari kasus yang dialami 19 World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi perdagangan dunia dan merupakan satu-satunya badan Internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara 20 Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung : PT. Alumni h. 2013), 23-24 21 World Intellectual Property (WIPO) merupakan Organisasi dibawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang khusus menangani dan mengembangkan usaha-usaha perlindungan terhadap Hak Kekayaan atas Intelektual (HaKI) 22 Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual Di Negara-negara Asean, (Jakarta : Sinar Grafika h, 1996), h. 7 26 Indonesia pada waktu timbul permasalahan Proyek Mobil Nasional Timor yang harus ditundukkan pada aturan-aturan penyelesaian sengketa yang diatur WTO. Keberatankeberatan yang diajukan terhadap proyek ini adalah karena terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan WTO, diantaranya ketentuan-ketentuan TRIPs, sehingga perlu diadakan suatu proses penyelesaian sengketa secara menyeluruh berdasarkan ketentuan-ketentuan WTO yang berlaku.23 Ruang lingkup perjanjian internasional yang dinaungi WIPO, WIPO sendiri bertugas untuk mengembangkan usaha-usaha perlindungan terhadap Hak atasKekayaan Intelektual, meningkatkan kerjasama antar negara dan organisasi-organisasi internasional. Menurut konvensi WIPO yang termasuk kedalam ruang lingkup IPR terdiri dari dua unsur yaitu: 24 1. Hak Milik Perindustrian (Industry Property Right) yang meliputi paten, merek dagang, dan desain industri. 2. Hak Cipta, yang meliputi hasil-hasil karya kesusastraan, musik ,fotografi dan sinematografi. Jenis dan Penggolongan HaKI :25 23 Ibid. h. 25 24 Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual Di Negara-negara Asean, h. 8 25 Sri Redjeki Hartono,” Perlindungan Hukum Terhadap Lisensi Paten”,(Tesis S2 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008), h. 50 27 Hak Cipta Hak Cipta HaKI Hak Milik Perindustrian Hak-hak Lain yang terkait dengan Hak Cipta 1.Paten 2. Paten Sederhana 3. Varietas tanaman 4. Merek 5. Desain Produk Industri 6. Rahasia dagang 7 Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu 8. Indikasi Geografis 9. Persaingan Curang Hak Kekayaan atas Intelektual yang dianut di Indonesia mengenal tujuh cabang yaitu diantaranya :26 1. HAK CIPTA (COPYRIGHT) Pengaturan Hak Cipta sebagai cabang dari HaKI di Indonesia diatur dalam Undang-undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta (Undang-undang HC). Hak Cipta adalah hak ekslusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan dan 26 158 Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, h. 157- 28 memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan-peraturan yang berlaku. 27 2. PATEN (PATENT) Dasar hukum hak Paten di Indonesia terletak pada Undang-undang No. 14 tahun 2001 tentang Paten. Paten adalah Hak Ekslusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. 28 3. MEREK (TRADEMARK) Undang-undang No.15 tahun 2001 tentang Merek merupakan dasar hukum yang terbaru tentang perlindungan Merek di Indonesia. Sampai dengan saat ini, tercatat pemerintah telah tiga kali merevisi Undang-undang Merek, yaitu terhadap Undangundang No. 19 tahun 1992 sebagai revisi terhadap Undang-undang No. 14 tahun 1997 dan yang terbaru adalah Undang-undang No. 15 tahun 2001 yang masih berlaku saat ini. revisi Undang-undang Merek tersebut dilakukan untuk memenuhi kewajiban Indonesia sebagai anggota the World Trade Organization (WTO) melalui kebijakan menyusaikan substansi Undang-undang nasional dengan standar Internasional perjanjian TradeRelated Aspect of Intellectual Property Right (TRIPs).29 Dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Merek dirumuskan bahwa merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau 27 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis menata Bisnis Moderen di Era Global, h. 208 28 Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, h. 183 29 Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, h. 157 29 kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan prdagangan barang atau jasa.30 4. DESAIN INDUSTRI (INDUSTRIAL DESIGN) Dasar hukum hak Desain Industri di Indonesia terletak pada Unang-undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri. Desain Industri adalah suatu kreasi tentanng bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atua gabungan dari padanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilka produk, barang komoditas industri, atau kerajinan tangan.31 5. DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU (INTEGRATED CIRCUIT LAYOUT DESIGN) Undang-undang No.32 tahun 2000 merupakan dasar hukum yang pertama di Indonesia terhadap perlindungan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Dalam pasal 1 anka 5 Undang-undang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara Repblik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hal tersebut.32 6. RAHASIA DAGANG (TRADE SECRET) 158 30 Dikutip dari, Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek. 31 Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, h. 220 32 Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, h. 157- 30 Dasar hukum Rahsia Dagang di Indonesia adalah Undang-undang No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang tekhnologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiannya oleh pemilik Rahasia Dagang.33 7. PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN (PLANT VARIETIES PROTECTION) Perlindungan atas Varietas Tanaman di Indonesia bersumber pada Undangundang No. 29 tentang perlindungan Varietas Tanaman (Undang PVT). Perlindungan Varitas Tanaman adalah Perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah dan pelaksaannya dilakukan oleh kantor perlindungan varietas tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman. 34 C. PENGATURAN HUKUM MEREK DI INDONESIA Perkembangan pengaturan Merek di Indonesia antara Tahun 1961, 1992, 1997, dan 2001 terdapat beberapa hal pokok perubahan dan penambahan dalam setiap perubahan yang dilakukan. Dalam sejarah perundang-undangan merek di Indonesia dapat dicatat bahwa pada masa kolonial Belanda berlaku Reglement Industriele Eigindom (RIE) yang dimuat dalam Stb. 1912 No. 545 Jo.Stb. 1913 No. 214. Setelah Indonesia merdeka peraturan ini dinyatakan terus berlaku, berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Ketentuan itu masih terus berlaku, hingga akhirnya sampai pada akhir tahun 1961 ketentuan tersebut diganti dengan UU No. 12 tahun 1961 tentang merek perusahaan dan merek perniagaan yang diundangkan pada tanggal 11 oktober 1961 dan dimuat dalam lembaran negara RI No. 290 dan 33 OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 452 34 Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, h. .216 31 penjelasannya dimuatdalam Tambahan Lembaran Negara RI No. 2341 mulai berlaku pada bukan November 1961.35 Kedua Undang-undang di atas memiliki banyak kesamaan. Perbedaannya hanya terletak pada antara lain masa berlakunya merek, yaitu sepuluh tahun menurut UU Merek 1961 dan jauh lebih pendek dari RIE 1912, yaitu 20 tahun. Undang-undang merek tahun 1961 ini ternyata mampu bertahan selama kurang lebih 31 tahun, untuk kemudian Undangundang ini dengan berbagai pertimbangan harus dicabut dan digantikan oleh Undang-undang No. 19 tahun 1992 tentang “Merek” yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI tahun 1992 No. 81 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 3490, pada tanggal 28 Agustus 1992. UU yang disebut terakhir ini berlaku sejak 1 April 1993.Alasan dicabutnya UU Merek Tahun 1961 itu, adalah karena UU Merek NO.21 Tahun 1961 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Undang-undang Merek tahun 1992 ini banyak sekali mengalami perubahan-perubahan yang sangat berati, diantaranya mengenai sistem pendaftaran, lisensi, merek kolektif, dan sebagainya. 36 Seiring waktu berlalu pada tahun 1997 dengan beberapa pertimbangan UU Merek Tahun 1992 pun diperbaharui lagi dengan UU No 14 Tahun 1997. Pada tahun 2001 UU No. 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No. 14 tahun 1997 tersebut dinyatakan tidak berlaku. Sebagai gantinya adalah Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001.Adapun alasan diterbitkannya UU NO. 15 Tahun 2001 diantaranya adalah salah satu perkembangan yang kuat dan memperoleh perhatian seksama dalam masa sepuluh tahun ini dan kecenderungannya yang masih akan berlangsung di masa yang akan datang adalah semakin meluasnya arus globalisasi baik bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang 35 OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 331 36 Ibid, h. 331-332 32 kehidupan lainnya. Perkembangan tekhnologi informasi dan transfortasi telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan meningkat secara pekat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. 37 Perundang-undangan tentang merek juga memperkenakan adanya apa yang disebutkan dengan “Hak Prioritas. Yaitu hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari negara yang bergabung dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property, atau agreement Establishing the, World Trade Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu, selama pengajuan itu dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention for the Protection of Industrial Property.38 D. PEROLEHAN DAN PENDAFTARAN MEREK DI INDONESIA Syarat mutlak suatu merek yang harus dipenuhi oleh setiap orang ataupun badan hukum yang ingin menggunakan suatu merek, supaya merek itu dapat diterima dan dipakai sebagai merek atau cap dagang, adalah bahwa merek itu harus mempunyai daya pembedaan yang cukup , sehingga mempunyai cukup kekuatan untuk membedakan barang hasil produksi sesuatu perusahaan atau barang perniagaan (perdagangan) atau jasa dari produksi seseorang dengan barang-barang yang diproduksi oleh orang lain. Karena adanya merek itu barang-barang yang diproduksi menjadi dapat dibedakan.39 Selain itu, perlu kiranya penulis menguraikan lebih lanjut mengenai merek yang dapat didaftarkan sebagai suatu merek. 37 OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 336 38 39 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, h. 204 OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual h. 348 33 Menurut Pasal 5 UU Merek, merek tidak dapat didaftarkan apabila mengandung salah satu unsur dibawah ini :40 1. Bertentangan dengan kesusilaan, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum 2. Tidak memiliki daya pembeda 3. Telah menjadi milik umum, atau 4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Pendaftaran Merek menganut dua sistem, yaitu sistem deklaratif dan konstitusif (atributif). Undang-undang Merek Tahun 2001 dalam sistem pendaftarannya menganut sistem konstitutif, sama dengan UU sebelumnya yakni UU No. 19 Tahun 1992 dan UU No. 14 Tahun 1997. Ini adalah perubahan yang mendasar dalam UU Merek Indonesia, yang semula menganut sistem deklaratif.41 Menurut Soegondo Soemodiredjo Secara Internasional dikenal empat sistem pendaftaran Merek yaitu : 1. 2. 3. 4. Pendaftaran Merek tanpa pemeriksaan merek terlebih dahulu Pendaftaran dengan pemeriksaan merek terlebih dahulu Pendaftaran dengan pengumuman sementara Pendaftaran merek dengan pemberitahuan terlebih dahulu tentang adanya merek-merek terdaftar lain yang ada persamaannya. 42 Pendaftaran merek, adalah untuk memberikan status bahwa pendaftaran diangggap sebagai pemakai pertama sampai ada orang lain yang membuktikan sebaliknya. Berbeda dengan sistem deklaratif dalam sistem konstitutif baru akan menimbulkan hak apabila telah didaftarkan oleh si pemegang. Oleh karenanya dalam sistem ini pendaftaran adalah suatu 40 C.S.T. Kansil, Hak Milik Intelektual (Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta), Jakarta : Sinar Grafika, 1990), h. 152 41 OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 362 42 Ibid, h. 362-363 34 keharusan.Dalam sistem deklaratif titik berat diletakkan atas pemakaian pertama, siapa yang memakai pertama suatu merek dialah dianggap berhak menurut hukum atas merek yang bersangkutan.Jadi pemakaian pertama yang menciptakan hak atas merek bukanlah pendaftaran. Adapun prosedur pendaftaran Merek, menurut UU Merek Tahun 2001 diatur dalam Pasal 7 mengenai Tata cara pendaftaran merek di Indonesia adalah : 1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jendral dengan mencantumkan : a. Tangal, bulan, dan tahun b. Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon c. Nama lengkap dan alamat kuasa apabila pemohon diajukan melalui kuasa d. Warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftaranya menggunakan unsur-unsur warna e. Nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas 2. Permohonan ditandatangani Pemohon atau Kuasanya. 3. Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum. 4. Permohonan dilampirin dengan bukti pembayaran biaya 5. Dalam hal permohaonan diajukan oleh lebih dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum. 6. Dalm hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas Merek tersebut dengan melampiri persetujuan tertulis dari para pemohon yang mewakilkan. 7. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan melalui Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas Merek tersebut. 8. Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual. 9. Ketentuan mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerinta, sedangkan tatacara pengangkatannya diatur dengan Keputusan Presiden. 43 Surat permohonan diatas juga harus dilengkapi dengan : a. Surat Pernyataan bahwa merek yang dimintakan pendaftarannya adalah miliknya b. Dua puluh helai etiket merek yang bersangkutan 43 Di kutip dari, Pasal 7 Undang-undang No 15 tahun 2001 tentang Merek 35 c. Tambahan Berita Negara yang memuat akta pendirian badan hukum atau salinan yang sahakta pendirian badan hukum, apabila p-emilik mereka adalah badan hukum d. Surat kuasa apabila permintaan pendaftaran merek diajukan melalui kuasa, dan e. Pembayaran seluruh baiaya dalam rangka permintaan pendaftaran merek yang jenis dan besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 10 ayat (1). 44 Selain harus memenuhi ketentuan sebagaimamna dimaksud di atas, Undangundangpun mengatur mengenai permintaan pendaftaran merek dengan menggunakan hak prioritas, yaitu wajib dilengkapi pula dengan bukti permintaan penerimaan pendaftaran yang pertama kali yang menimbulkan hak prioritas tersebut. Permohonan pendaftaran merek dalam hak prioritas diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-umdang Merek No. 15 Tahun 2001.Bukti hak prioritas berupa surat permohonan pendaftaran beserta tanda penerimaan permohonan tersebut yang juga memberikan penegasan tentang tanggal penerimaan permohonan. Dalam hal yang disampaikan berupa salinan atau fotokopi atau tanda penerimaan, pengesahan atas salinan atau fotokopi surat atau tanda penerimaan tersebut diberikan oleh Direktorat Jendral apabila permohnan diajukan untuk pertama kali. Subjek hukum atau badan hukum yang telah mendapatkan hak secara prioritas akan dilindungi haknya di negara luar (negara dimana yang bersangkutan mendaftarkan hanya prioritasnya) seperti ia mendapatkan perlindungan di negri sendiri. Dan untuk membatalkan pendaftar merek yang sama di negara lain pemegang hak prioritas mendapatkan masa tengang waktu selama enam bulan. 45 Mengenai jangka waktu perlindungan sebuah merek terdaftar adalah selama jangka waktu sepuluh tahun dari tanggal penerimaan (pasal 28). Jangka waktu ini dapat diperpanjang untuk masa yang tidak dapat ditentukan selama 10 tahun (pasal 35(1)) dengan 44 OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 370 45 Ibid, h. 372 36 pembayaran biaya. Namun, pemilik harus melakukan perpanjangan 12 bulan sebelum merek tersebut berakhir (pasal 35(2)). Merek akan diperpanjang masa berlakunya hanya jika pemilik masih memakai merek tersebut dalm perdagangan barang dan atau jasa (pasal 36huruf (a) dan (b)). 46 Berikut skema prosedur pendaftaran Merek menurut Undang-undang Merek No. 15 tahun 2001: 46 Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, h. 144 37 PROSEDUR PENGAJUAN PENDAFTARAN MEREK MENURUT UU MEREK NO. 15 TAHUN 2001 Permohonan Ditjen HaKI Pemeriksaan Pormalitas Kekurangan Persyaratan ya Dipenuhi Tidak 1. Dianggap ditarik Pemeriksaan Substantif Ya Penolakan Disetujui Ya Tanggapan Ada Tanggapan tidak 2 Tidak Pemeriksaan Tidak Diterima Penolakan Tetap Ya 3 Pengumuman (3 bln) Ya Ada Oposisi 4 Oposisi Sanggahan Tidak Pemeriksaan Tidak Kembali - Sertifikat Merek - Daftar Umum Merek Oposisi Diterima Diterima 5 Banding Putusan Komisi Banding Ditolak 6 Pengadilan Niaga kasasi 38 Keterangan : 1. Berlangsung paling lama 9 bulan 2. Paling lama 30 hari sejak tanggal surat pemberitahuan penolakan 3. Berlangsung selama 3 bulan terhitung paling lama 10 hari sejak tanggal disetujuinya permohonan untuk didaftar 4. Oposisi dapat dilakukan selama jangka waktu pengumuman 5. Jika oposisi diterima pemohon dapat mengajukan banding ke komisi banding, jika tidak Ditjen HaKI menerbitkan sertifikat Merek paling lama 30 hari sejak tanggal permohonan disetujui untuk didaftar. 6. Gugatan diajukan paling lama 3 bulan sejak diterimanya keputusan penolakan banding47 47 OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 378 BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PERJANJIAN LISENSI MEREK DALAM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL A. Pengertian Umum Perjanjian dan Syarat Sah Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa Perjanjian yaitu dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua orang atau dua pihak, mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek dari perjanjian. Kesepakatan itu timbul karena adanya kepentingan dari masing-masing pihak yang saling membutuhkan. Perjanjian juga dapat disebut sebagai persetujuan, karena dua pihak tersebut setuju untuk melakukan sesuatu.1 Menurut Subekti dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perjanjian”, kata sepakat berarti suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak. Pengertian kata sepakat tersebut berarti apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.2 Selain itu, Perjanjian dapat diartikan sebagai suatu pristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk 1 2 R. Soebekti, Aneka Perjanjian, Cet X, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 1995), h. 26. Ibid, h. 26. 39 40 melaksanakan sesuatu hal.3 Dari pristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakuan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Begitupun dengan kontrak, lebih sempit karena ditunjukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.4 Istilah kontrak atau perjanjian terkadang masih dipahami secara rancu. Banyak pelaku bisnis mencampuradukan kedua istilah tersebut seolah merupakan pengertian yang berbeda. Agus Yudha Hernoko menjelaskan mengenai istilah kontrak dan perjanjian bahwasanya dalam Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW) menggunakan istilah overeenkomst dan Contract untuk pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III titel kedua Tentang “Perikatanperikatan yang lahir dari kontrak dan perjanjian” yang dalam bahasa aslinya (bahasa Belanda), yaitu : “Van nerbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”.5 Pengertian ini juga didukung pendapat banyak sarjana, akan tetapi Subekti memiliki pendapat yang berbeda mengenai istilah “perjanjian atau persetujuan” 3 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet 21, (Jakarta : Intermasa, 2001), h.1 4 Ibid, h. 1 5 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 13 41 dengan “kontrak”. Menurut Subekti istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditunjukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. Sedangkan sarjana lain, seperti Potheir tidak memberikan pembedaan antara kontrak dan perjanjian , namun membedakan pengertian contrack dengan convention (pacte). Disebut convention (pacte) yaitu perjanjian dimana dua orang atau lebih menciptakan, menghapuskan (opheffen), atau mengubah (wijzegen) perikatan.Sedangkan contract adalah perjanjian yang mengharapkan terlaksananya perikatan.6 2. Syarat Sah Suatu Perjanjian Perjanjian yang sah menurut hukum artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga ia diakui oleh hukum (legally concluded contract).7 Menuut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus memperoleh empat syarat diantaranya :8 a. Sepakat b. Cakap c. Mengenai suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal 6 7 8 Ibid, h. 13 Subekti, Hukum Perjanjian, h.1 Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta : Kencana, 2004), h.1 42 Jika suatu perjanjian telah memenuhi syarat sebagaimana disebutkan di atas, maka perjanjian tersebut menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang mengikatnya. Sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksud bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seiya-sekata mengenai halhal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut.9 Seseorang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum pada asasnya. Setiap orang yang sudah dewasa atau aqilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 kitab undang-undang Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : 1) Orang-orang yang belum dewasa 2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan 3) Perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang, dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjianpejanjian tertentu.10 9 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 14 10 Subekti, Hukum Perjanjian. Cet 21. h.17 43 Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksud dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Akhirnya oleh Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya asuatu sebab yang halal. Dengan sebab bahasa belanda oozaak, bahasa latincausa ini dimaksudkan tiada lain daripada isi perjanjian.11 Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrakterdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah:12 1. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak.13Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang mengajarkan bahwa para pihak dalam suatu kontrak pada prinsipnya bebas untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasannya untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut.Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh rambu-rambu hukum sebagai berikut : 11 Ibid. h. 19 12 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, h. 108 13 Ibid, h. 108 44 a. Harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak b. Tidak dilarang oleh Undang-undang c. Tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku d. Harus dilaksanakan dnegna I’tikad baik14 2. Asas Konsensualisme Asas ini menjelaskan, bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka dia telah sah dan mengikat secara penuh.15Apabila menyimak rumusan pasal 1338 (1) BW yang menyatakan bahwa : “semua perjanjian yanng dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya,” istilah “secara sah” bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah menurut hukum adalah mengikat, karena dalam asas ini terkandung “kehendak para pihak” untuk saling mengikat diri dan menimbulkan kepercayaan (vetrouwen) diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Di Pasal 1320 BW terkandung asas yang esensial dari hukuman perjanjian, yaitu asas “konsensualisme” yang menentukan “ada”-nya. Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (ventrouwen) diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian.Asas kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.16 3. Asas Daya Mengikat Kontrak (pacta sunt servanda) 14 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis,Menata Bisnis Moderen di Era Globalisasi (Bandung : PT.Citra Aditiya Bhakti, 2008), h. 12 h. 121 15 Ibid, h. 13 16 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, 45 Istilah “pacta sunt servanda” berarti “janji itu mengikat” yang dimaksudkan adalah bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pihak tersebut secara penuh, sesuai isi kontrak tersebut.Mengikatnya secara penuh atas kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut oleh hukum kekuatannya dianggap sama saja dengan kekuatan mengikat dari suatu Undang-undang. Karena itu apabila suatu pihak dalam kontrak tidak menuruti kontrak yang telah dibuatnyaa, oleh hukum disediakan ganti rugi bahkan pelaksanaan kontrak secara paksa.17 4. Asas I’tikad Baik Pasal 1338 (3) BW menyatakan bahwa, “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan I’tikad baik .” apayang dimaksud dengan I’tikad baik (te goeder trouw, good faith). Pengaturan pasal 1338 (3) BW, yang menetapkan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan I’tikad baik (contractrus bonafidei-kontrak berdasarkan I’tikad baik), maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan.18 Menurut HogeRaad, dalam putusannya tanggal 9 februari 1923 (Nederlandse Jrisprudentir, hlm 676) memberikan rumusan bahwa: ”Perjanjian harus dilaksanakan volgens de eisen van redalijkheid en billijkheid”, artinya I’tikad baik harus dilaksanakan menurut kepatutan dan kepantasan. P.L. Werry menerjemahkan ”redelijkheid en billijkheid” dengan istilah uji dan kepatutan” beberapa terjemahan lain menggunakan istilah “kewajaran dan keadilan “ atau “kepatutan dan keadilan” Redelijkheid artinya rasional, dapat diterima oleh nalar dan akal sehat, sedangkan 17 18 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis,Menata Bisnis Moderen di Era Globalisasi, h 12 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, h. 135 46 Billijkheidartinya patun dan adil. Dengan demikian ”redelijkheid en billijkheid” meliputi semua yang dirasakan dan dapat diterima nalar dengan baik , wajar dan adil, yang diukur dengan norma-norma objektif yang bersifat tidak tertulis dan bukan berasal dari subjektivitas para pihak.19 B. Pengertian Lisensi dan Perjanjian Lisensi 1. Pengertian Lisensi Sebagai alternatif upaya untuk lebih mendekatkan diri dari pada konsumen di negara tujuan, serta untuk mengurangi dampak biaya transportasi ekspor yang tinggi, serta resiko hilangnya produk dari pasaran sebagai dari akibat resiko transfortasi dan embargo yang mungkin dilakukan secara politis, maka mulailah diupayakan untuk mengembangkan suatu bentuk usaha baru yang dikenal dengan nama Lisensi. 20 Lisensi berasal dari kata latin “Licentia”. Yang berarti jika kita memberikan kepada seseorang Lisensin terhadap suatu oktroi atau merek, maka kita memberikan kebebasan atau izin kepada orang itu untuk menggunakan sesuatu yang sebelumnya dia tidak boleh gunakan, Lisensi dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah izin menggunakan oktroi pihak lain dalam hukum tata milik industri, dapat diberikan oleh sipemegang oktroi atau berdasarkan ketetapan Dewan oktroi.21 Sedangkan secara umum dalam Black’s Law Dictionary, Lisensi ini diartikan sebagai :22“A personal 19 Ibid, h. 135 20 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Lisensi, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001), h. 3 21 Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet IV, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 835 22 Gunawan widjaja, Seri Hukum Bisnis: Lisensi, h. 3 47 privilage to do some particular act or series of act…” Atau “The permission by competent autbority to do an act which, whithout sush permission would be illegal, a trespass, a tort, or otherwise would not allowable”. 23 Menurut para ahli, Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui surat perjanjian yang berdasarkan pada pemberian hak ( bukan pengalihan hak ) untuk menggunakan merek tersebut, jenis barang dan atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.24 Sedangkan Menurut UU No 15 Tahun 2001 Tentang Merek Pasal 1 angka 13, Lisensi Merek adalah izin yang diberikan pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak dan bukan pengalihan hak untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan jasa yang didaftarkan pada waktu dan syarat tertentu.25 Jadi Lisensi adalah suatu bentuk hak untuk melakukan satu atau serangkaian tindakan atau perbuatan, yang diberikan oleh mereka yang berwenang dalam bentuk izin pengalihan hak. Tanpa adanya izin tersebut, maka tindakan atau perbuatan tersebut merupakan suatu tindakan yang terlarang, yang tidak sah, dan merupakan tindakan melawan hukum.26 Ini berarti Lisensi selalu dikaitkan dengan kewenangan 23 Ibid, h. 3 24 Nyoman Bob Nugraha, dkk, “Pilihan Hukum dalam Perjanjian Lisensi di BidangMerek Dagang antara Para Pelaku Usaha yang Berbeda Kewarganegaraan Berdasarkan Undag-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek”. Kertha Semaya, 2.06 (2014). H.1-2 25 Dikutip dari Pasal 1 angka 1 Undang-undang No 15 tahun 2001 tentang Merek 26 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Lisensi 48 dalam bentuk privilege untuk melakukan sesuatu oleh seseorang atau suatu pihak tertentu. Adapun macam-macam Lisensi dari berbagai kepustakaan dapat diketahui ada dua macam Lisensi yang dikenal dalam praktek pemberian Lisensi yaitu : a) Lisensi Umum adalah lisensi yang dikenal secara luas dalam praktek yang melibatkan suatu bentuk negosiasi antara pemberi lisensi dan penerima. 27 b) Lisensi paksa, Lisensi wajib, (compulsory license, non voluntary license, other use without the autborization of the right holder) adalah merupakan salah satu cara pemberian hak-hak ekonomi yang diharuskan perundangundangan, tanpa menmperhatikan apakah pemilik HaKI mengendaki atau tidak.28 Menurut Tim Lindsey dkk, lisensi umum dapat dibagi atas 2 (dua) macam Lisensi Eksklusif dan non-eksklusif: a) Lisensi eksklusif yaitu sebuah perjanjian dengan pihak lain untuk melisensikan sebagian HaKI tertentu kepada penerima lisensi untuk jangka waktu yang ditentukan dan biasanya lisensi diberlakukan untuk daerah yang ditentukan. 27 Ibid, h.17 28 Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual ( Bandung : PT. Alumni, 2013), h. 333 49 b) Lisensi non-ekslusif yaitu memberi kesempatan bagi pemilik lisensi untuk memberi lisensi HaKI-nya pada pemakai lisensi lainnya dan juga menambah jumlah pemakai lisensi dalam daerah yang sama.29 Perjanjian Lisensi Merek sebagaimana dimaksud di atas harus dicatat oleh Direktorat Jendral dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.30 2. Perjanjian Lisensi Hak atas Kekayaan Intelektual, khususnya Rahasia Dagang, Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit, dan Hak Cipta, seperti diketahui merupakan kekayaan intelektual yang mempunyai manfaat ekonomi. Karena bermanfaat ekonomi maka suatu kekayaan intelektual dapat menjadi aset perusahaan. Berdasarkan suatu perjanjian, suatu perusahaan dapat memberikan hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi kekayaan intelektual yang dimilikinya kepada perusahaan lain.31 Suatu kekayaan intelektual dapat dikatakan bahwa karena bermanfaat ekonomi, maka terkandung di dalamnya nilai-nilai ekonomi.Untuk pemanfaatan nilai-nilai ekonomi ini secara optimal, seorang pemegang hak salah satu kekayaan intelektual tersebut diatas seringkali tidak mungkin melakukan sendiri pemanfaatan ekonominya. Oleh karena itu, oleh Undang-undang yang berlaku, kepada seseorang 29 Ibid, h. 334 30 Ahmad Miru, Hukum Merek Cara mudah Mempelajari Undang-undang Merek, h. 64 31 Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, h. 331 50 atau perusahaan yang memiliki aset HaKI diperbolehkan untuk memberikan aset HaKI yang dimilikinya kepada perusahan lain untuk pemanfaatan sebesar-besarnya. Suatu aset HaKI berdasarkan Lisensi.32 Perjanjian Lisensi adalah perjanjian antar dua pihak atau lebih, yang mana satu pihak yang memegang hak bertindak sebagai pihak yang memberikan Lisensi. Sedangkan pihak yang lain bertindak sebagai pihak yang menerima lisensi. Pengertian Lisensi sendiri adalah izin untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu obyek yang dilindungi oleh hak atas kekayaan intelektual untuk jangka waktu tertentu. Sebagai imbalan atas pemberian lisensi tersebut.Penerima lisensi wajib membayar royalti dalam jumlah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu.33 Menurut UU No 15 Tahun 2001 Tentang Merek pada pasal 1 angka 13, Lisensi Merek adalah izin yangdiberikan pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak dan bukan pengalihan hak untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan jasa yang didaftarkan pada waktu dan syarat tertentu.34 Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Lisensi Merek adalah perjanjian antara pihak pemilik merek (pemberi lisensi merek) dengan pihak penerima lisensi merek dan bukan merupakan pengalihan hak berupa izin yang diberikan pemilik merek terdaftar 32 Ibid, h. 331 33 Gunawan Widjaja, Lisensi dan waralaba Suatu Panduan Praktis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 9 34 Dikutip dari Pasal 1 angka 13 Undang-undang No 15 tahun 2001 tentang Merek 51 kepada seseorang atau beberapa atau badan hukum untuk menggunakan merek, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang atau jasa yang didaftarkan. Perjanjian lisensi wajib dimohonkan pencatatannya kepada DJHKI dengan dikenai biaya .Akibat hukum dari adanya pencatatan perjanjian lisensi tersebut adalah bahwa perjanjian lisensi tersebut selain berlaku bagi para pihak, juga mengikat pihak ketiga.35 Perjanjian lisensi bersifat “partai dan konsensual”, oleh karena itu harus memenuhi ketetentuan pasal 1320 KUH Perdata. Dan berdasarkan asas-asas yang ditentukan pasal 1338 KUH Perdata. Bentuk perjanjian lisensi ditegaskan dalam pasal 44 ayat (1) UU : “Perjanjian lisensi dituangkan dalam bentuk akta perjanjian. Tidak dijelasakan apakah bentuk aktanya otentik atau tidak. Akan tetapi mengingat hubungan lisensi sangat penting, maka sangat beralasan untuk menetapkan perjanjiannya berbentuk akta otentik ( hal ini dilihat dalam RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tentang perjanjian lisensi, bentuk yang dikehendaki adalah akta otentik.36 C. Pertimbangan Pemberian Lisensi Merek Alasan ekonomi memang alasan yang lebih kuat mengapa para pemilik hak atas keayaan intelektual atau pengusaha melisensikan haknya kepada orang lain, karena adanya royalti yang menjanjikan maka banyak sekali pemilik hak atas kekayaan intelektual yang menggunakan perjanjian lisensi ini untuk usahanya. 35 Ahmad M. Ramli, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual (Tangerang : Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektua, 2013), h. 29 36 Oktamalia, “Pengaturan Perjanjian Lisensi Merek Ditinjau dari Undang-undang No. 15 tahun 2001 di PT. Astra Honda Motor,” (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 2004), h.37 52 Menurut Nicolas S. Gikkas dalam International Licensing of Intellectual Property : The Promise and The Peril, ada sembilan alasan seorang pengusaha memilih pemberian lisensi dalam upaya pembangunan usahanya : 1. Lisensi menambah sumber daya pengusaha pemberi Lisensi secara tidak langsung. 2. Lisensi tidak memungkinkan perluasan wilayah usaha secara tidak terbatas 3. Lisensi memperluas batas dari produk hingga dapat menjangkau pasar yang semula berada di luar pangsa pasar pemberi Lisensi. 4. Lisensi mempercepat proses pengembangan usaha bagi industri-industri padat modal dengan menyerahkan sebagian proses produksi melalui tekhnologi yang dilisensikan 5. Melalui lisensi, penyebaran produk juga menjadai lebih mudah dan terfokus pada pasar. 6. Melalui lisensi sesungguhnya pemberi lisensi dapat mengurangi tingkat kompetisi hingga pada batas waktu tertentu. 7. Melalui lisensi pemberi lisensi maupunn penerima lisensi dapat melakukan trade off (atau barter) tekhnologi. Ini berarti para pihak mempunyai kesempatan untuk mengurangi biaya yang diperlukan untuk memperoleh suatu tekhnologi yang diperlukan. 8. Lisensi memberikan keuntungan dalam bentuk nama besar dan goodwill dari pemberi lisensi. 9. Pemberian lisensi memungkinkan pemberi lisensi untuk sampai pada batas tertentu melakukan kontrol atas pengelolaan jalannya kegiatan usaha yang dilisensikan tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar. 37 Sistem lisensi ini sudah lama dikenal sejak berlakunya Undang-undang No 21 tahun 1961 tentang merek yang sekarang telah diubah menjadi Undang-undang No 15 tahun 2001 tentang merek. Praktek lisensi diadakan atas dasar asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata. Pada umumnya sebelum menerima lisensi orang mempertimbangkan baikbaik, objek yang ditawarkan dengan lisensi itu diteliti dulu dengan baik. Terutama di 37 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, h.16 53 negara-negara yang telah maju industrinyaorang selalu menghitung kemungkinankemungkinan tekhnis dan finansialnya, sementara kerap kai pula diadakan penelitian pasar yang secermat-cermatnya. Di negara-negara yang masih belum maju industrinya hal ini banyak sekali dilupakan. Hal yang biasa dalam menerima lisensi masih saja mungkin mengandung di dalamnya resiko-resiko yang tidak selalu dapat diketahui sebelumnya. 38 D. Syarat dan Isi Perjanjian Lisensi Merek dalam HaKI Sebagai suatu transaksi yang melahirkan perjanjian, lisensi selalu melibatkan dua pihak. Kedua belah pihak tersebut memiliki kepentingan yang berdiri sendiri dan kadangkala bertolak belakang, meskipun secara konseptual kita dapat mengatakan bahwa kedua belah pihak tersebut, yaitu pemberi lisensi dan penerima lisensi pasti akan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Maksud untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya ini jugalah yang pada pokoknya menjadi sumber perbedaan kepentingan dan perselisihan yang dapat terjadi diantara kedua belah pihak tersebut. Keuntungan yang besar ini hanya dapat dicapai oleh kedua belah pihak jika antara kedua belah pihak dapat menjalin sinergisme yang saling menguntungkan. 39 Persyaratan Perjanjian Lisensi yang dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek oleh Ditjen akan dikenai biaya sebagaimana 38 Roeslan Saleh, Seluk Beluk Praktis Lisensi ( Jakarta : Sinar Grafika, 1991), h. 6 39 Gunawan Widjaja, Lisensi dan waralaba Suatu Panduan, h. 61 54 dalam (pasal 44 ayat (4)) UU No. 15 tahun 2001. Dalam hal ini Ditjen HaKI akan mempertimbangkan :40 1. Merek tersebut sudah terdaftar dalam kantor merek. Hal ini berkaitan dengan first to file system (stelsel) konstitutif yang memberikan perlindungan hukum setelah merek didaftarkan. 2. Lisensi Merek hanya dapat didaftarkan jika merupaka merek pribadi dari perorangan atau badan hukum dan bukan merek kolektif (yang bukan merek dari suatu grup tertentu). 3. Hanya merek yang masih berlaku jangka waktu perlindungan hukumnya yang dapat dijadikan objek perjanjian lisensi. Hal ini mengingat , jika jangka waktu pendaftaran suatu merek telah habis 10 (sepuluh) tahun serta tidak ada perpanjangan maka akan hapus pula perlindungan hukumnya. 4. Perjanjian lisensi tidak bertentangan dengan pasal 47 UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek. Lazimnya suatu perjanjian lisensi dibuat dalam bentuk akta otentik, yaitu suatu akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Perjanjian ini dibuat antara pemilik merek terdaftar dengan pihak (orang atau badan hukum) lain sebagai penerima hak dengan tujuan untuk menggunakan merek yang bersangkutan. Perjanjian lisensi menurut Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sekurangkurangnya harus memuat hal sebagai berikut :41 1. Nama dan alamat lengkap para pihak 2. Merek dan nomor pendaftarannya yang menjadi objek perjanjian lisensi 3. Ketentuan-ketentuan akan hal-hal sebagai berikut : a) Jangka waktu Perjanjian Lisensi - Berapa lama - Dapat atau tidaknya jangka waktu diperpanjang b) Penggunaan merek yang diberikan lisensi untuk seluruh atau sebagian c) Apakah boleh diadakan sub-licence? 40 Fransiska Br. Surbakti, “Perjanjian Lisensi Sebagai salah Satu Upaya Mengatasi Pemalsuan Merek Menurut UU No. 15 tahun 2001 Tentang Merek, ”(Skripsi S1 Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan, 2009), h. 29 41 Rahmi Jened, “Lisensi dan Pengalihan Hak atas Merek”. Artikel diakses pada 24 Januari 2015 dari http://www.rjparinduri.wordpress.com/2010/08/07/17/html. 55 d) e) f) g) h) Yaitu suatu lisensi yang diberikan kepada pihak ketiga oleh penerima lisensi Pemberi lisensi wajib melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap mutu barang dan jasa yang diproduksi dengan merek yang dilisensikan Jangkauan berlakunya lisensi - Wilayah tertentu - Seluruh wilayah RI Pada prinsipnya pemilik dapat diperbolehkan untuk memakai sendiri atau melisensikan lagi mereknya kepada pihak ketiga, kecuali dalam perjanjian lisensi yang bersangkutan diatur secara tegas larangan itu. Penentuan royalti dan cara bayar Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan ekonomi Indonesia. Pelaksanaan perjanjian lisensi ini dilakukan oleh kedua belah pihak antara penerima lisensi dan pemberi lisensi didepan notaris. Adapun permohonan pencatatan perjanjian lisensi merek yang diajukan harus dilengkapi dengan :42 1. Salinan akta perjanjian lisensi yang sah 2. Tambahan berita negara RI yang memuat akta pendirian atau slinan akta pendirian atau foto kopi akta pendirian badan hukum, apabila penerima lisensi adalah badan hukum asing 3. Surat keterangan yang dapat disamakan sebagai akta pendirian badan hukum yang disahkan oleh perwakilan RI, apabila penerima llisensi adalah badan hukum asing. 4. Terjemahan resmi perjanjian lisensi dalam bahasa Indonesia apabila perjanjian dibuat dalam bahasa asing. 5. Surat kuasa khusus dan pemberi atau penerima lisensi, apabila perjajian dibuat melalui kuasa. 6. Surat kuasa khusus apabila permohonan pencatatan perjanjian lisensi diajukan melalui kuasa. 7. Bukti pembayaran biaya permohonan pencatatan perjanjian lisensi. 42 Fransiska Br. Surbakti, “Perjanjian Lisensi Sebagai salah Satu Upaya Mengatasi Pemalsuan Merek Menurut UU No. 15 tahun 2001 Tentang Merek, ”(Skripsi S1 Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan, 2009), h. 32 56 Direktorat Jendral dalam pencatatan perjanjian lisensi tidak begitu saja akan melakukan pencatatan perjanjian lisensi. Direktorat Jendral lebih dahulu mengadakan pemeriksaan terhadap persyaratan dan isi serta kelengkapan permohonan. BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENYALAHGUNAAN PERJANJIAN LISENSI MEREK A. Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Lisensi Merek Jenis hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian lisensi dapat ditetapkan secara bebas sesuai dengan kehendak para pembuat perjanjian lisensi tersebut. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak sebagai salah satu asas hukum perdata positif yang berlaku di Indonesia. Asas Kebebasan Berkontrak memberikan kebebasan yang sangat luas terhadap individu untuk mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian. Secara teoretis, dapat dikemukakan bahwa sesuai dengan asas negara hukum sebagai salah satu asas hukum yang kedudukannya sangat tinggi dan penting dalam tatanan asas-asas hukum, semua kekuasaan negara atau kebebasan individu harus ada batasnya. Pembatasan kekuasaan negara dan pembatasan kebebasan individu sangat penting dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, prinsip yang digariskan oleh asas negara hukum tersebut harus dipatuhi oleh asas-asas hukum lain yang kedudukannya lebih rendah seperti asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata. Penerapan asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian seperti dalam perjanjian lisensi harus dibatasi, sesuai dengan asas negara hukum. Dengan kebebasan dalam membuat suatu kontrak tidak dapat atau tidak mungkin bersifat 57 58 mutlak sehingga asas kebebasan berkontrak tersebut pada hakikatnya adalah asas hukum yang terbatas keberlakuannya. 1 Asas Kebebasan Berkontrak diatur dalam Hukum positif Indonesia pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa “Setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Sehubungan dengan hal tersebut, Subekti berpendapat bahwa, pasal tersebut (maksudnya Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata) seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan dengan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang.” Namun, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut tidak bisa diartikan sangat luas sehingga para pihak seolaholah dapat membuat suatu perjanjian mengenai apapun sesuai dengan kehendak mereka yang membuat perjanjian tersebut. Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia terdapat pembatasan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Pembatasan itu dengan sendirinya akan berlaku juga terhadap lisensi sebagai suatu bentuk perjanjian. Maka, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang dikemukakan di atas tidak dapat ditafsirkan seolah-olah para pihak yang membuat perjanjian dapat saja membuat perjanjian mengenai apapun sesuai dengan kehendak mereka. Jadi, dengan bertitik tolak dari penafsiran hermeneutika seperti dikemukakan di atas, setidak- 1 Gunawan Suryomurcito, Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum Perjanjian Lisensi, (Jakarta: Badan Pembina Hukum Nasional Depertemen Hukum dan Hak Asasi, 2006), h. 21. 59 tidaknya terdapat 3 (tiga) macam pembatasan yang dilakukan terhadap suatu perjanjian seperti diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata yaitu :2 a. Ketentuan Undang-undang, b. Kesusilaan (moral positif) dan c. Ketertiban Umum. Logika pembatasan asas kebebasan berkontrak dengan alasan bertentangan dengan undang-undang dapat diterima menurut akal sehat. Sebab, sebagaimana diketahui, undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif selalu mengatur kepentingan-kepentingan yang bersifat umum. Berdasarkan keterangan diatas bahwasanya perjanjian lisensi dibuat atas asas kebebasan berkontrak dan atas kesepakata para pihak. Namun, Di dalam perjanjian lisensi merek yang tidak bisa dihindari oleh para pihak dan harus diantisipasi sebelumnya adalah jika terjadi sengketa diantara mereka. Sengketa yang sering terjadi dalam hal perjanjian lisensi biasanya terkait hak dan kewajiban masingmasing pihak. Dengan hal ini maka, hak dan kewajiban para pihak dalam sebuah perjanjian lisensi merupakan hal yang wajib diperhatikan dan menjadi acuan isi sebuah perjanjian lisensi. Hak dan kewajiban para pihak inipun jika tidak terpenuhi dan disalahgunakan bisa dijadikan penyalahgunaan perjanjian lisensi. 2 Ibid, 22 sebuah alasan adanya sengketa dan 60 Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian lisensi yang harus diperhatikan antara lain ialah: 1. Hak Pemberi Lisensi Merek a. Menerima pembayaran royalti sesuai dengan perjanjian b. Tetap menggunakan sendiri mereknya c. Menuntut pembatalan lisensi merek, apabila penerima lisensi tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya. 3 2. Kewajiban Pemberi Lisensi a. Menjamin penggunaan merek dari cacat hukum atau gugatan dari pihak ke tiga b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap mutu barang atau jasa hasil produksi penerima lisensi c. Meminta persetujuan kepada penerima lisensi apabila pemberi lisensi mengajukan permintaan penghapusan mereknya kepada pemerintah.4 3. Hak Penerima Lisensi a. Menggunakan merek yang dilisensikan sesuai dengan jangka waktu yang telah dijanjikan. b. Menuntut pembayaran kembali bagian royalti yang telah dibayarkan penerima lisensi kepada pemilik merek yang telah dibatalkan. c. Memberi lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga sesuai dengan perjanjian. d. Menuntut pembatalan perjanjian lisensi merek, namun dengan alasan pemberi lisensi tidak melaksanakan perjanjian yang telah dijanjikan.5 4. Kewajiban Penerima Lisensi a. Membayar royalti sesuai perjanjian b. Meminta pencatatan perjanjian lesensi Direktorat Jendral HaKI c. Menjaga mutu barang atau jasa hasil produksinya sesuai dengan standar mutu barang atau jasa merek yang dilisensikan d. Melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya.6 3 Imam Sjahputra,dkk, Hukum Merek di Indonesia, (Jakarta :Harvarindo,2005) , h. 92 4 Ibid, h.92 5 Galih Pangestu, “Hukum Dagang”, artikel diakses pada 1 Maret 2015 dari http://galihpangestu14.wordpress.com/2012/06/03/hukum-dagang/html 6 Imam Sjahputra,dkk, Hukum Merek di Indonesia, h. 93 61 Perjanjian yang beritikad baik senantiasa melaksanakan aturan dan kesepakatan yang telah dibuat dalam sebuah perjanjian yang telah ditetapkan antar pihak dan senantiasa melaksanakannya sebagaimana mestinya. Jika salah satu dari pihak tidak melaksanakan hak dan kewajibannya maka perjanjian akan menjadi cacat dan akan menimbulkan sebuah sengketa dan penyalahgunaan dalam perjanjian lisensi merek. Prinsip kebebasan berkontrak dan itikad baik merupakan dasar dalam membuat sebuah perjanjian lisensi merek. Dalam pelaksanan perjanjian ini sangat perlu adanya sebuah itikad baik antar pihak untuk keberlangsungan jalannya perjanjian lisensi merek ini. Mengingat dalam perjanjian lisensi para pihak dapat membuat perjanjian dengan kesepakatan, maka perjanjian inipun sangat bergantung dengan itikad baik para pihak untuk melakukan isi perjanjian secara baik dan melaksanakan konsekwensinya dengan baik pula. Berjalannya Kedua prinsip ini pun sangat tergantung dengan para pihak, jika para pihak dapat melaksanakannya dengan jujur dan baik maka prinsip itupun akan tercapai kegunaannya. Dan manakala ada sebuah sengketa yang timbul antara para pihak maka penyelesaiannya pun harus sesuai dengan kesepakatan bersama baik melalui pengadilan ataupun alternatif penyelesaian sengketa yang lainnya. Itikad baik dalam perjanjian merupakan hal yang dasar dan sangat penting implementasinya, hal serupa dapat pula kita temukan dalam syariat Islam, mengingat perjanjian lisensi merek merupakan pengembangan dari bentuk kerjasama 62 (syirkah). Oleh karena itu, itikad baik antar pihak dalam perjanjian harus diindahkan. Selain di dalam Undang-undang yang berlaku di Indonesia, syariat Islam juga mengajarkan bahwa setiap perjanjian (syirkah) khususnya perjanjian lisensi, mengharuskan salah satu pihak harus memenuhi hak dan kewajiban satu sama lain. Memenuhi hak dan kewajiban di dalam perjanjian merupakan hal yang harus dan wajib dilaksanakan karena jika tidak, akan menyebabkan sebuah penyalahgunaan perjanjian ataupun wanprestasi dalam perjanjian, dan dapat merugikan pihak yang lain. Sebagaimana Rasulullah bersabda : ُ ِ اًََا ثَال: يَقُ ْْ ُل اهللاُ تَ َعالَى: صلَّي ا هللاُ َعلَ ْي َِ َّ َسلَّ َن قَا َل ث ال َش ِش ْى ِكي ِْي َها لَ ْن َ إِ َّى َسس ُْْ َل هللا ُ ْصا ِحبََُ َخ َشج ت ِه ْي بَ ْيٌَِِا (سّاٍ ابْداّد ّ الذاسقطٌى َ فَإ ِ َرا خ،ََُصا ِحب َ َاى اَ َح ُذُُ َوا َ يَ ُخ ْي اَ َح ُذ ُُ َوا )ّ الحكام ّ البيِقي Artinya : “Rasulullah SAW bersabda, Allah SWT berfirman. “Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang berserikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati yang lainnya. Maka, apabila salah satu pihak menghianati yang lain, akupun meninggalkan keduanya.” (HR. Abu Daud, Aldaraquthni, Al Hakim, dan Al Baihaqi) Hadist di atas menjelaskan bahwasanya pemenuhan hak dan kewajiban dalam sebuah perjanjian adalah wajib hukumnya. Oleh karena itu Perjanjian Lisensi merek ini harus didasari dengan itikad baik agar tidak terdapat adanya saling mengkhianati dan wanprestasi yang dapat merugikan salah satu pihak yang dikhianati, karena 63 Allah membenci adanya pengkhianatan antar pihak dalam berjanji. Demikian pula Allah telah memerintahkan kepada ummatnya agar melaksanakan segala perjanjian sesuai apa yang telah disepakati sebagaimana. Dengan hal ini telah jelas bahwasanya perjanjian yang beritikad baik dan sesuai dengan Undang-undang yang ada, itupun telah diatur dan diperintahkan oleh Allah SWT. Karena menunaikan akad dalam sebuah perjanjian yang disepakati dan sesuai perintah Allah adalah wajib hukumnya. Sebagaimana dalam Al quran Allah berfirman : ْ َّيَاَيٌَِّا الَّ ِزي َْي َءا َهٌُ ْْآ أَ ّْفُ ْْا بِ ْال ُعقُ ْْ ِد أُ ِحل َّ ت لَ ُك ْن بَ ِِ ْي َوتُ ْاْلَ ًْ َعا ِم َّإَّل َها يُ ْتلَي َعلَ ْي ُك ْن َغ ْي ُش ُه ِحلِّ ْي ال ص ْي ِذ )١:ٍ/ َّأَ ًْتُ ْن ُح ُش ٌم ِإ َّى هللاَ يَحْ ُك ُن َها يُش ْي ُذ (الوائذة Artinya :”Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sendang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakinya.” (surrat Almaidah /5: 1) B. Bentuk-bentuk dan Faktor Penyebab Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek Indonesia mengatur Lesensi Merek dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 49 UU Merek 2001. Sementara itu Amerika Serikat mengatur dalam pasal 5 atau g 1055 dan pasal 45 atau g 1127, 15 USC, Lanham Act. Menurut Donal S. Chisum dan 64 Michael A. Jacobs, Pengertian dan tujuan Lisensi Merek ialah “Pemilik merek dagang atau merek jasa dapat memberikan (melisensikan) mereknya kepada orang lain, dengan syarat pemilik merek menguasai sifat dasar dan kualitas dari barangbarang atau jasa yang diproduksi dan dijual penerima lisensi atas nama pemilik merek atau pemberi lisensi”. Oleh karena itu pemberian lisensi harus menggunakan sebuah perjanjian yang sah dan terdaftar dan yang dilisensikannya pun harus berupa merek yang telah didaftarkan oleh dirjen HaKI. 7 Sengketa Lisensi merekpun dapat terjadi apabila ada sebuah kecacatan dan pelanggaran dalam perjanjiannya. Karena perjanjian lisensi merupakan perjanjian pengalihan hak dan mengasilkan royalti yang sangat tinggi antar pihak, maka setiap pihak pun ingin mendapatkan royalti yang besar dibanding lawan pihaknya. Dengan itu timbullah penyalahgunaan Perjanjian lisensi, Perjanjian lisensi disalahagunakan pastinya untuk keperluan pribadi dan hasil royalti yang sangat menguntungkan dibandingkan dengan pihak lawaannya. Adapun bentuk-bentuk dan faktor-faktor penyebab adanya penyalahgunaan perjanjian lisensi merek adalah : 1. Salah satu pihak memutuskan perjanjian ditengah jalan. Probelem yang muncul berkaitan dengan keadaan ini adalah akan terjadi gugatan yang dilakukan oleh pihak lawan, karena pemutusan sepihak tersebut akan merugikannya, terutama jika pemutusan sepihak tersebut dilakukan oleh pemberi lisensi. 2. Ditengah perjalanan perjanjian lisensi, penerima lisensi menggunakan merek baru. Merek baru tersebut merupakan merek penerima lisensi sendiri dengan tujuan untuk ekspansi usahanya. Keberadaan merek baru 7 Effendy Hsibuan, Perlindungan Merek, (Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003) , h. 287 65 yang sama bisa mengurangi penjualan produk barang atau jasa yang menggunakan merek yang dilisensikan, sehingga merugikan pemberi lisensi. 3. Sengketa yang disebabkan karena mantan penerima lisensi memproduksi barang atau jasa dengan menggunakan merek lain, namun kualitasnya sama persis dengan kualitas merek yang pernah dilisensikan. Kondisi itu akan membuat mantan pemberi lisensi selaku pemilik merek akan menderita kerugian, karena akan mengurangi jumlah penjualan produk barang atau jasanya.8 Mengacu dengan pendapat di atas, penulis berkesimpulan untuk menabahkan beberpa bentuk dan faktor-faktor prnyebab adanya penyalahgunaan perjanjian lisensi diantaranya : 1. Penerima lisensi memproduksi barang diluar jumlah dan wilayah yang diperjanjikan. 2. Penerima lisensi tidak membayar royalti sesuai dengan perjanjian 3. Penerima lisensi tidak konsisten dalam menggunakan merek yang dilisensikan 4. Pemberi lisensi menaikan royalti secara sepihak dan tidak sesuai dengan perjanjian. 5. Pemberi lisensi merek memutus perjanjian secara sepihak tanpa pemberitahuan kepada penerima lisensi. 6. Pemberi Lisensi tidak meaksanakan kewajiban dan melanggar hak-hak penerima lisensi merek. 8 Agung Sujatmiko, “Penguatan Prinsip Berkontrak dan Itikad Baik dalam Perjanjian Lisensi Merek Terkenal”, artikel diakses pada 25 November 2011 dari Agungsujatmiko73.blogspot.com/2011/11/pengaturan-prinsip-kebebasan-berkontrak.html?m=1 66 7. Penerima Lisensi tidak melaksanakan kewajiban dan melanggar hak-hak pemberi lisensi merek. Selain itu, hal-hal diatas yang dapat menjadi bentuk-bentuk dan faktor penyebab adanya penyalahgunaan perjanjian lisensi, adapula beberapa hal yang menjadi masalah dalam perjanjian lisensi yaitu mengenai kualitas barang dan jasa, jangka waktu perjanjian dan royalti. Oleh karena itu, untuk meminimalisasi sengketa, para pihak hendaknya membuat perjanjian secara detail. Peluang timbulnya sengketa diantara para pihak yang paling sering terjadi adalah jika salah satu pihak mengakhiri perjanjian lisensi sebelum batas waktunya berakhir. Hal lain yang juga dapat menjadi pemicu lahirnya konflik adalah masalah pengakhiran lisensi. Pengakhiran perjanjian lisensi sangat tergantung kesepakatan kedua belah pihak, bisa pula berakhir sendirinya jika jangka waktu perjanjian telah habis, atau karena jangka waktu validitas merek yang menjadi basis lisensi itu sudah berakhir. Karena itu, harus ditentukan secara tegas, termasuk kalau timbul sengketa, dengan cara bagaimana sengketa yang timbul diselesaikan. Apakah diselesaikan di pengadilan ataukah di luar pengadilan. Jika sejak awal telah diatur dengan jelas maka baik pemberi lisensi maupun penerima lisensi dapat menerima pengakhiran perjanjian lisensi dengan baik.9 9 Agung Sujatmiko, “Perjanjian Lisensi Merek Terkenal”, Mimbar Hukum vol.22, No.2, (Juni 2010), h.261. 67 Bentuk-bentuk penyalahgunaan diatas mungkin saja dapat terjadi, dan dapat membuat perjanjian tersebut dibatalkan, artinya perjanjian tetap dianggap masih ada beserta segala akibat hukum, hak-hak dan kewajiban yang ditimbulkan perjanjian tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. 10 C. Peran dan Wewenang Dirjen HaKI Terkait Perlindungan Hukum Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual merupakan sebuah unsur pelaksana Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia yang mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang Hak Kekayaan Intelektual. Lembaga ini dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dalam melaksanakan tugas mempunyai fungsi:11 1) 2) 3) 4) 5) Penyiapan perumusan kebijakan Departemen di bidang Hak Kekayaan Intelektual Pelaksanaan kebijakan di bidang Hak Kekayaan Intelektual sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku Perumusan standar, norma, pedoman, criteria dan peraturan di bidang Hak Kekayaan Intelektual Pembinaan bimbingan teknis dan evaluasi Pelaksanaan urusan administrasi di lingkungan Direktorat Jenderal 10 Herbert Petrus Wiro Simbolon, dkk. “Upaya Hukum Terhadap Peyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek”. Vol 01, No. 03 (Mei 2013), h. 3 11 Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, “Visi, Misi dan Nilai”, yang diakses tanggal 02 Maret 2015, http://www.dgip.go.id/tentang-kami/visi-misi-dan-nilai-djhki.html 68 Fungsi-fungsi di atas diadopsi dari visi, misi dan nilai Direktorat Jendral HaKI, diantara lain yang meiliki visi, menjadi institusi kekayaan intelektual berstandar internasional dan memiliki misi melayani dengan prima, memasyarakatkan kekayaan intelektual dan menjamin kepastian hukum. Serta memiliki 5 nilai antara lain integritas, kinerja terbaik dan konsistensi, pelayanan prima, teamwork serta akuntabilitas.12 Terkait dengan hak merek, tugas dan wewenang dirjen haki dilimpahkan kepada direktorat sendiri yaitu direktorat merek. Kewenangan ini meliputi pelayanan permohonan pendaftaran merek, pelayanan pendaftaran merek, pelayanan pengalihan hak atas merek terdaftar antara lain Lisensi, hibah, waris dll, pelayanan terhadap identifikasi jenis-jenis merek antara lain merek kolektif, merek dagang, merek jasa, pelayanan indikasi geografis dan indikasi asal, pelayanan penghapusan dan pendaftaran, pelayanan administrasi merek, pelayanan mengenai biaya pendaftaran, pelayanan pengaduan sengketa merek, dan lain sebagainya yang diatur dalam undang-undang. Mengenai penyalahgunan lisensi, Direktorat Merek berwenang untuk menolak dan menerima pendaftaran lisensi yang telah diatur dalam undang-undang Merek no. 15 tahun 2001 Pasal 47 butir (1) yaitu “Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan baik langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan 12 ibid, html yang 69 menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya”. Sebagai garda terdepan dalam bidang sub perekonomian Hak kekayaan intelektual, Direktorat Merek harus cermat dalam menyeleksi pendaftaran lisensi merek sesuai dengan kriteria lisensi yang boleh didaftarkan, agar tindakan penyalahgunaan di kemudian hari semakin berkurang. Di dalam struktur Direktorat Merek terdapat sebuah komisi banding merek yang berwenang dan bertugas menerima, memeriksa, dan memutus permohonan banding terhadap penolakan permintaan pendaftaran Merek dan lisensi merek berdasarkan alasan yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud pada Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6 Undang-Undang Merek. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komisi Banding memiliki fungsi pengadministrasian, pemeriksaan, pengkajian dan penilaian, serta pemberian keputusan terhadap permohonan banding. Dalam melakukan pemeriksaan permohonan banding, Ketua Komisi Banding membentuk majelis yang anggotanya berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, satu diantaranya adalah seorang Pemeriksa Senior yang tidak melakukan pemeriksaan substantive terhadap permintaan pendaftaran Merek yang ditolak.13 Untuk mengoptimalkan perintah undang-undang yang ada seharusnya pelanggaran dan penyalahgunaan dalam lisensi merek baik sengketa yang timbul seperti merek yang ganda, perjanjian lisensi yang beritikad tidak baik, serta 13 Komisi banding merek, Lihat pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 2005 tentang Susunan Organisasi, Tugas,, dan Fungsi Komisi Banding Merek, Jo UU no 15 tahun 2001 tentang merek mengatur komisi banding pada pasal 33 70 perjanjian lisensi yang dapat menimbulkan kerugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya, seharusnya dapat terminimalisasikan. Sebagai mana telah dijelaskan dalam undang-undanng mengenai tugas dan fungsi Komisi Banding, Direktorat Merek serta Direktorat Jendral HaKI. D. Penyelesaian Sengketa Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek Para pelaku bisnis di Indonesia, khususnya yang terkait langsung sebagai pihak-pihak dalam perjanjian lisensi masih terjebak dalam ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh sengketa penyalahgunaan lisensi. Hal tersebut diperburuk dengan belum diaturnya alur dan prosedur hukum yang secara khusus diperuntukan ketika timbulnya sengketa penyalahgunaan lisensi. Dirjen HaKI dan penegak hukum lainnya khususnya Hakim, masih menggunakan alur dan prosedur penyelesaian sengketa yang umum terkait pelanggaran dan tindak pidana merek. Padahal dalam perkembangan hukum terkait lisensi, sistem penyelesaian sengketa merek yang sekarang terdapat dalam UU Merek tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan. Untuk menghindari kekosongan hukum hakim dan penegak hukum lainnya masih menggunakan cara penyelesaian sengketa merek dan sengketa perjanjian pada umumnya. Upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa penyalahgunaan perjanjian lisensi merek ini bisa menggunakan dua cara diantaranya pertama, menggunakan non-Litigasi (di luar Pengadilan) dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, 71 konsiliasi, penilaian ahli atau arbitrase. Kedua menggunakan Litigasi (Pengadilan) dimana Penyalesaian sengketa ini dapat dilakukan di Pengadilan Niaga dan Pengadilan Negri sebagai lembaga peradilan formal, tergantung para pihak yang bersangkutan dan bersengketa. Pada dasarnya pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement). Meneurut Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak diadakan perdamaian. 14 Oleh sebab itu, upaya hukum yang dapat dilakukan salah satu pihak apabila merasa dirugikan dengan adanya perjanjian lisensi merek diantaranya dengan penyelesaian sengketa Alternatif yang diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang menyebutkan para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Selain itu, dalam Undang-Undang Merek penyelesaian sengketa alternatif lebih khusus diatur dalam 14 Ari Juliano Gema, Membangun Profesi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Langkah Menuju Profesionalisme dan kemandirian Profesi, (Jakarta : PT. Justika Siar Publika. 2006), h. 48 72 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Penyelesaian Sengketa dalam ruang lingkup hukum keperdataan khususnya Perjanjian Lisensi Merek dapat diselesaikan secara non litigasi yaitu penyelesaian sengketa alternatif diluar sistem dan hukum acara yang berlaku pada badan peradilan. Kemudian dapat secara litigasi diselesaikan melalui badan pengadilan dengan mempergunakan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga maupun Pengadilan Negeri (diatur dalam pasal 90 UU Nomor 15 Tahun2001). Sanksi yg diberikan kepada tergugat dapat berupa ganti rugi dalam sejumlah uang, penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan menggunakan merek tersebut, serta pidana dan denda yang diterapkan bersamaan, hal ini tergantung dari tingkat kesalahan dari pelanggar itu sendiri15 Jika pelanggaran hak itu semata-mata terhadap hak yang telah tercantum dalam UUM 2001, maka gugatan dapat dikategorikan sebagai pristiwa perbuatan melawan hukum (onrechtsmatige daad), (Pasal 1365 KUHPerdata), tetapi jika pelanggaran situ menyangkut perjanjian lisensi, dimana para pihak dalam perjanjian itu tidak memenuhi isi perjanjian itu baik seluruhnya atau sebagian, dan menimbulkan kerugian pada pihak lawan, maka gugatan dapat dikatagorikan sebagai gugatan dalam pristiwa wanprestasi (Pasal 1234 KUHPerdata). 15 Herbert Petrus Wiro Simbolon, dkk. “Upaya Hukum Terhadap Peyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek”. Vol 01, No. 03 (Mei 2013), h. 4 73 UUM 2001 menetapkan bahwa ada dua macam bentuk atau isi dari tuntutan gugatan tersebut yaitu : 1. Berupa permintaan ganti rugi 2. Penghentian pemakaian merek16 Dibagian terdahulu telah dijelaskan bahwa hak merek merupakan hak kebendaan maka hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapa saja. Karena pada hak merek terdapat hak absolut di dalamnya dan dapat diberinya hak gugat oleh Undang-undang kepada pemegang hak. Dalam perjanjian lisensi para pihak harus membuat sebuah perjanjian dengan jelas dan detail, termasuk dalam kesepakatan memeilih choice of law17 dan choice of forum18. yang akan dipergunakan jika terjadi sengketa dikemudian hari.19 Para pelaku usaha yang terikat dalam perjanjian lisensi sering kali memilih cara penyelesaian sengketa tentang merek, menggunakan penyelesaian secara arbitrase dibandingkan dengan cara pengadilan biasa, karena banyak keunggulan dibandingkan dengan peradilan biasa yaitu seperti kasus yang diajukan secara arbitrase ini jauh dari publikasi karena kerahasiaan dari masing-masing pihak akan 16 OK saidin , Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektua, Cet. IV, (Jakarta : Praja Grafindo Persada, 2004) , h. 401 17 Choice of Law adalah Memilih hukum yang akan mengatur ketika terjadi sengketa atau memilih hukum yang akan mengatur kontrak 18 Choice of Forum adalah Memilih Forum mana yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam pelaksanaan kontrak 19 Nyoman Bob Nugraha, “Pilihan Hukum dakam Perjanjian Lisensi di Bidang merek Dagang antara Para Pelaku Usaha yang Berbeda Kewarganegaraan Berdasarkan Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek”. Kerta Semaya 2.06 (2014), h. 4 74 dijaga waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkaranya lebih cepat, serta tidak menggunakan cara yang formal seperti dipengadilan biasa, para arbiternya juga ditunjuk secara adhoc20. Oleh para pihak sesuai dengan bidangnya masing-masing.21 Sebagaimana dalam kasus lisensi merek yang pernah terjadi mengenai merek rokok Davidoff. Pihak Reemstma selaku pemegang lisensi resmi dari Davidoff & Cie S.A selaku pemilik resmi dari merek Davidoof telah beberapa kali mengupayakan penyelesaian sengketa melalui litigasi yang berupa pengajuan gugutan kepada Pengadilan Niaga untuk membatalkan sebuah merek yang menggunakan merek yang sama oleh pihak STTC yang telah dibeli melalui Davidoof Ltda Brazil, yang mana menurut pengakuan pemilik merek tersebut bahwasanya perusahaan tersebut sama sekali tidak ada hubungan kerja sama dengan pihak Davidoof Ltda yang berada di Brazil. Kasus yang terjadi antara Davidoff & Cie SA selaku penggugat, yang berlokasi 2 Rue De Rive,, 1200 Geneva Switzerland melalui Reemstma Cigarettenfabriken Gmbh (Remmtsma) selaku pemegang lisensi resmi N.V. Sumatera Tobacco Company (STTC) selaku tergugat yang berlokasin di jalan Patimura No. 3 Pematang Siantar, Sumatera Utara, yang membeli merek dari 20 Arbitrase Ad-Hoc disebut juga sebagai arbitrase volunter. Ketentuan dalam Reglement Rechtvordering (Rv) mengenal adanya Arbitrase Ad-Hoc. Pada Pasal 615 ayat (1) Rv. Arbitrase AdHoc adalah Arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain Arbitrase Ad-Hoc bersifat insidentil. 21 Nyoman Bob Nugraha, “Pilihan Hukum dakam Perjanjian Lisensi di Bidang merek Dagang antara Para Pelaku Usaha yang Berbeda Kewarganegaraan Berdasarkan Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek”, h. 5 75 Davidoff Commercio E Industria Ltda (Davidoof Ltda) yang dimana keduanya samasama memakai merek Davidoff dalam perdagangannya. Terjadinya sengketa terhadap penggunaan merek tersebut, pihak Davidoff & Cie SA selaku pemilik merek bersama Reemstma sebagai pihak yang memegang lisensi resmi dari pemilik mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga atas Merek yang didaftarkan oleh pihak STTC.22 Konflik di atas terjadi saat Davidoff & Cie berencana memasarkan merek rokok yang dikibarkan oleh Dino Davidoof ini di Indonesia. Sebagai merek terkenal yang diproduksi oleh sekitar 40 pabrik di dunia, diperkirakan pemasarannya akan mudah. Namun, ternyata ada ganjalan mendadak menghadangnya, ternyata STTC sudah mengantongi lisensi sejak 1980 untuk memproduksi dan memasarkan Davidoff di Indonesia. Dan ternyata setelah ditelusuri STTC memperoleh lisensi dari Davidoff Commercio, Brazil. Padahal perusahaan rokok asal Negri tersebut sudah ditutup karena kalah digugat oleh Davidoof & Cie dengan tuduhan memalsukan merek. Bahkan pemalsunya adalah Peter Koenig dan ia sudah dihukum penjara selama 17 bulan.23 Apabila kita lihat dari sejarah dan latar belakang permohonan pendaftaran merek Davidoff oleh tergugat maka sudah dapat terlihat adanya unsur itikad tidak 22 Youky Surinda, “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Merek di Indonesia(Studi Kasus Sengketa Rokok Davidoff dan reemtsma”, artikel diakses pada 02 Maret 2015 dari http://youkysurinda.wordpress.com/2011/09/05/perlindungan-hukum-bagi-pemegang-merek-diindonesia-studi-kasus-sengketa-rokok-davidoff-danreemtsma/html 23 Ahmad Taufik,”Hukum Merek : Babak Baru Sengketa Davidoff”, artikel diakses pada 02 Maret 2015 dari http://www.ahmadtaufik.com/2013/05/hukum-merek-babak-baru-sengketadavidoff.html 76 baik oleh tergugat, dimana pada tahun 1978 di Brazil, Peter kuning yang pada saat itu bekerja untuk Davidoff ltda, mendaftarkan merek Davidoff untuk kelas yang sama, dimana merek tersebut juga telah didaftarkan pertama kali oleh penggugat pada tanggal 18 Desember 1969 di Switzerland.24 Putusan Mahkamah Agung yang diputuskan baik pada tingkat kasasi maupun peninjauan kembali, membenarkan adanya bahwa merek yang didaftarkan tergugat adalah sama pada keseluruhannya dengan merek “DAVIDOFF” yang dimiliki oleh penggugat. Persamaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut: 1. Persamaan Visual : Tampilan merek tergugat adalah sama pada keseluruhannya dengan merek “DAVIDOFF” dan variasinya milik penggugat, termasuk cara penulisan dan bentuk huruf – hurufnya. 2. Persamaan Phonetic : Bunyi pengucapan merek “DAVIDOFF” tergugat adalah sama pada keseluruhannya dengan bunyi pengucapan merek “DAVIDOFF” milik penggugat.25 Selain fakta diatas secara subyektif tergambar bahwa merek tersebut juga merupakan merek terkenal sesuai dengan bukti – bukti yang ada merek “DAVIDOFF” ini merupakan merek terkenal dan telah memenuhi syarat sebagai merek terkenal yang dimana persyaratan merek terkenal tertuang dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf (b) Undang – Undang Merek memberi penjelasan sebagai berikut: “…. pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan, reputasi merek terkenal yang diperoleh 24 Agus Sarjono, Laporan Akhir Tentang Anotasi Yurisprudensi Peraturan Perundangundangan Bidang Hukum Merek (Jakarta : Tim Anotasi Yurisprudensi Peraturan Perundang-undangan Bidang Hukum Merek, 2006), h.61 25Youky Surinda, “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Merek di Indonesia (Studi Kasus Sengketa Rokok Davidoff dan reemtsma”, http://youkysurinda.wordpress.com/2011/09/05/perlindungan-hukum-bagi-pemegang-merek-diindonesia-studi-kasus-sengketa-rokok-davidoff-danreemtsma/html 77 karena promosi yang gencar dan besar – besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara”. Tergugat dalam hal ini dinyatakan melanggar Pasal 68 ayat (2) Undangundang Merek tahun 2001 yang menjelaskan “Pemilik merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud ayat (1) setelah mengajukan permohonan kepada Direktorat Jendral”. Dapat kita lihat bahwasanya merek “DAVIDOFF” yang diajukan oleh Davidoff Ltda secara hukum tidak dapat diakui sebagai miliknya, dikarenakan telah didaftarkan dengan I’tikad tidak baik. Dengan maksud menggunakan ketenaran merek orang lain. Pengalihan hak pada pihak STTC tadi tidak dapat dibenarkan secara hukum dikarenakan dalam perjanjian lisensi disebutkan harus adanya I’tikad baik sedangkan Davidoff Ltda memiliki I’tikad yang tidak baik dengan menggunakan merek “DAVIDOFF” tadi sehingga pengalihan hak tidak sah dan juga merek DAVIDOFF yang didaftarkan oleh Davidoff Ltda harus dibatalkan karena banyaknya persamaan yang dimiliki dengan merek yang dimiliki Davidoff & Cie SA dan juga tidak memenuhi syarat agar diterimanya pendaftara yang dilakukan olehnya. Berkaca dengan kasus di atas dan kasus-kasus penyalahgunaan lisensi merek lainnya seperti kasus cap kaki tiga dan kasus Davidoff ini, ternyata banyak sekali penyalahgunaan dalam perjanjian lisensi yang masih sulit mencari kejelasan hukumnya. Seperti diketahui hingga kini Peraturan Pemerintah (P.P) yang harus mengatur soal lisensi ini lebih lanjut. Ternyata hingga kini belum juga dikeluarkan. 78 Oleh karena itu, maka berbagai permintaan dari luar negri yang ditujukan kepada yang berkecipungan dalam praktek sebagai Trademark Attorney, ternyata belum bisa dilayani sepanjang mereka minta supaya lisensi yang diberikan kepada pihak Indonesia didaftarkan pada kantor merek. Memang sudah jelas dalam peraturan secara tegas bahwa lisensi merek dibolehkan (Pasal 41). Namun, belum ada kemungkinan untuk melaksanakan di dalam praktek secara aman dan memenuhi kepastian hukum, karena belum ada peraturan implementasinya lebih lanjut.26 Dengan demikian pemerintah harus memastikan kepastian hukum dan keadilan dalam dunia perdagangan yang ditransaksikan melalui perjanjian lisensi atau pengalihan hak lainnya, melalui peraturan pelaksana atau bahkan Undangundang Khusus yang membahas tentang perjajian lisensi. 26 Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (Dalam Rangka WTO, TRIPS) 1997, (Jakarta : PT, Citra Aditiya Bakti, 1997), h.69 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian penelitian yang telah dipaparkan penulis dapat memberikan kesimpulan, antara lain sebagai berikut: 1. Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan baik yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya. Dalam perkembangannya secara garis besar, bentuk-bentuk penyalahgunaan perjanjian lisensi dapat berupa hal-hal yang menjadi penyebab dan faktor adanya penyalahgunaan perjanjian lisensi diantaranya: a. Salah satu pihak memutuskan perjanjian ditengah jalan b. Ditengah perjalanan perjanjian lisensi, penerima lisensi menggunakan merek baru c. Sengketa yang disebabkan karena mantan penerima lisensi memproduksi barang atau jasa dengan menggunakan merek lain, namun kualitasnya sama persis dengan kualitas merek yang pernah dilisensikan 2. Upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa penyalahgunaan perjanjian lisensi merek ini bisa menggunakan dua cara penyelesaian Pertama, dengan menggunakan alur non-Litigasi (di luar Pengadilan) dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli atau arbitrase, sebagaimana yang 79 80 telah diatur dalam pasal 84 Undang-undang Merek tahun 2001. Kedua dengan menggunakan Litigasi (Pengadilan) dimana Penyalesaian sengketa ini dapat dilakukan di Pengadilan Niaga dan Pengadilan Negri sebagai lembaga peradilan formal, tergantung para pihak yang bersangkutan dan bersengketa. B. Saran Setelah diberikan kesimpulan, penulis merasa perlu memberikan beberapa saran, diantaranya adalah: 1. Mengenai bentuk-bentuk dan faktor penyebab adanya penyalahgunaan perjanjian lisensi, Dalam Undang-undang HKI disyaratkan bahwa perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persyaratan tersebut bersifat umum karena itu perlu penguraian lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya. 2. Untuk kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa didalam perjanjian lisensi yang aturan penyelesaiannya belum diatur dalam peraturan perundangundangan HaKI maupun Undang-undang Merek, dalam hal ini perlu dibuat peraturan pelaksanaan nya. Serta ketetapan waktu dalam penyelesaian sengketa harus dipertegas. Untuk memperjelas kepastian hukum dan mempertegas asas peradilan umum yang cepat, murah dan sederhana. DAFTAR PUSTAKA Buku: Akbar Silondae, Arus, dan Andi Fariana. Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis. Jakarta : Mitra Wacana Media, 2010. Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2008. Gema, Ari Juliano. Membangun Profesi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Langkah Menuju Profesionalisme dan kemandirian Profesi. Jakarta : PT. Justika Siar Publika, 2006. Gautama, Sudargo dan Rizawanto Winata. Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (Dalam Rangka WTO, TRIPS) 1997, Jakarta : PT, Citra Aditiya Bakti, 1997. Hernoko , Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Jakarta : Kencana, 2010. Hsibuan, Effendy. Perlindungan Merek, Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2008. Kansil, C.S.T. Hak Milik Intelektual (Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta), Jakarta : Sinar Grafika, 1990. Marzuki, Peter Mahmud. Penilitian Hukum, cet. VIII, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Ramli, Ahmad M. Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual. Tangerang : Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektua, 2013. Saidin, OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004. 81 82 Saleh, Roeslan. Seluk Beluk Praktis Lisensi. Jakarta : Sinar Grafika, 1991. Sarjono,Agus. Laporan Akhir Tentang Anotasi Yurisprudensi Peraturan Perundangundangan Bidang Hukum Merek, Jakarta : Tim Anotasi Yurisprudensi Peraturan Perundang-undangan Bidang Hukum Merek, 2006. Sjahputra, Imam, dkk. Hukum Merek di Indonesia. Jakarta :Harvarindo, 2005. Soebekti, R. Aneka Perjanjian, Cet X. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995. ………., Hukum Perjanjian, cet XXI, Jakarta : PT. Intermasa, 2001. Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992. Soenandar, Taryana. Perlindungan Hak Milik Intelektual Di Negara-negara Asean, Jakarta : Sinar Grafika, 1996. Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus. Jakarta : Kencana, 2004. Suryomurcito, Gunawan. Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum Perjanjian Lisensi. Jakarta: Badan Pembina Hukum Nasional Depertemen Hukum dan Hak Asasi, 2006. Lindsey, Tim, dkk. Hak Kekayaan Intelektual, Bandung : PT. Alumni, 2013. Widjaja, Gunawan. Seri Hukum Bisnis: Lisensi,Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001. ………., Seri Hukum Bisnis: Lisensi dan Waralaba, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002. Peraturan Perundang-undangan: Kitab Undang-undang Hukum Perdata Undang-Undang No 15 Tahun 2001 Tentang Merek Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 2005 Tentang Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Komisi Banding Merek, Jo UU no 15 tahun 2001 tentang merek mengatur komisi banding pada pasal 33 83 Jurnal, Makalah, Skripsi, dan Tesis : Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet IV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Kumalasari, Nuzulia. “Pentingnya Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam Era Globalisasi”. Qistie 3, no.3, (2009, h.25 Oktamalia. “Pengaturan Perjanjian Lisensi Merek Ditinjau dari Undang-undang No. 15 tahun 2001 di PT. Astra Honda Motor.” Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 2004. Nugraha, Nyoman Bob, dkk, “Pilihan Hukum dalam Perjanjian Lisensi di BidangMerek Dagang antara Para Pelaku Usaha yang Berbeda Kewarganegaraan Berdasarkan Undag-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek”. Kertha Semaya, 2.06. 2014 Redjeki Hartono,Sri. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Lisensi Paten,Tesis Universitas Diponegoro Semarang. H. 48 Surbakti , Fransiska Br. “Perjanjian Lisensi Sebagai salah Satu Upaya Mengatasi Pemalsuan Merek Menurut UU No. 15 tahun 2001 Tentang Merek.” Skripsi S1 Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan, 2009. Simbolon, Herbert Petrus Wiro, dkk. “Upaya Hukum Terhadap Peyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek”. Vol 01, No. 03 (Mei 2013), h. 3 Sujatmiko, Agung. “Perjanjian Lisensi Merek Terkenal”, Mimbar Hukum vol.22, No.2, Juni 2010 Dokumen Elektronik dan Internet : Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, “Visi, Misi dan Nilai”, yang diakses tanggal 02 Maret 2015dari. http://www.dgip.go.id/tentang-kami/visi-misidan-nilai-djhki.html Jened, Rahmi. “Lisensi dan Pengalihan Hak atas Merek”. Artikel diakses pada 24 Januari 2015 dari http://www.rjparinduri.wordpress.com/2010/08/07/17/ html. 84 Pangestu, Galih.“Hukum Dagang”. Artikel diakses pada 1 Maret 2015 dari http://galihpangestu14.wordpress.com/2012/06/03/hukum-dagang/html Sujatmiko, Agung. “Penguatan Prinsip Berkontrak dan Itikad Baik dalam Perjanjian Lisensi Merek Terkenal”. Artikel diakses pada 25 November 2011 dari Agungsujatmiko73.blogspot.com/2011/11/pengaturan-prinsip-kebebasanberkontrak.html?m=1 Surinda, Youky.“Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Merek di Indonesia(Studi Kasus Sengketa Rokok Davidoff dan reemtsma”, artikel diakses pada 02 Maret 2015 dari,http://youkysurinda.wordpress.com perlindungan-hukumbagi-pemegang-merek-di-indonesia-studi-kasus-sengketa rokok-davidoff-dan reemtsma/ html Taufik, Ahmad.”Hukum Merek : Babak Baru Sengketa Davidoff”, artikel diakses pada 02 Maret 2015 dari http://www.ahmadtaufik.com/2013/05/hukummerek-babak-baru-sengketa-davidoff.html