228 Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP) Gambar 5.7

advertisement
Gambar 5.7
Aktifitas nelayan Papagaran, NTT pada saat musim perikanan sancara yang ditangkap
dengan alat sero (photo oleh Andreas Muljadi – The Nature Conservancy)
Cerita nelayan Muncar, Jawa Timur tentang perikanan lemuru tidak kalah menariknya dengan
nelayan Papagaran, Komodo. Sejak tahun 1958, peneliti Indonesia sudah melaporkan hasil penelitian
tentang perikanan lemuru Selat Bali sebagai salah satu jenis perikanan tropis yang sangat spesifik.
Bahkan hasil penelitian tersebut dilaporkan pada sidang Perserikatan Bangsa Bangsa. Nelayan tetua
mengatakan bahwa dulu mereka menangkap ikan lemuru di depan kali Mati dan Kali Moro, di dalam
Teluk Pangpang. Pada saat musim lemuru, nelayan bahkan tidak perlu menggunakan alat khusus
untuk mengambil ikan lemuru, untuk keperluan konsumsi keluarga. Dongeng nelayan tua sangat
berbeda dengan kenyataan yang dihadapi oleh nelayan saat ini, yang bahkan menggunakan perahu
pukat cincin bermesin ganda. Mereka harus keluar jauh dari Teluk, bahkan sampai ke wilayah
Paparan Bali dan Selatan Jawa Timur. Berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Propinsi Bali dan
Jawa Timur, jumlah pukat cincin yang diperbolehkan beroperasi di Selat Bali mencapai 275 unit, 190
unit dari Banyuwangi dan 85 unit dari Bali. Seorang peneliti perikanan (Prof. Sahri Muhammad)
menyarankan untuk menurunkan jumlah pukat cincin, menjadi 145 unit, 100 unit dari Banyuwangi
dan 45 unit dari Bali. Pada kondisi perikanan lemuru di Selat Bali sudah mengalami indikasi
penangkapan berlebih, saran ini dirasakan cukup beralasan – memberikan kesempatan kepada Selat
Bali untuk beristirahat dan memulihkan populasi ikan lemuru. Namun saran ini sulit diterima oleh
berbagai kalangan dan peneliti lain. Alasan utamanya ialah bahwa saran tersebut tidak didasari oleh
data pendukung yang kuat – suatu alasan klasik yang memang benar adanya. Dibalik alasan kuat
tersebut, kita semua menyadari bahwa perikanan lemuru Selat Bali sudah mengalami penangkapan
berlebih. Konsekuensi dari penangkapan berlebih ialah menurunkan jumlah usaha atau Effort untuk
menangkap ikan lemuru (pukat cincin), dan hal ini sangat sulit untuk bisa diterapkan. Implikasi inilah
yang membuat pemerintah masih enggan untuk membahas perikanan pukat cincin di Selat Bali.
Seorang pengajar di Fakultas Perikanan UNIBRAW, beberapa waktu lalu menerima pesan singkat dari
seorang petugas perikanan lapang di Muncar. Isi pesan singkat tersebut ialah sebagai berikut: “dulu,
228
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
nelayan Muncar makan dengan menggunakan sendok dan piring – sekarang kami hanya punya
sendok”. Latar belakang dari pesan singkat tersebut ialah sangat sedikitnya (hampir tidak didapat)
ikan lemuru dalam hasil tangkap pukat cincin dalam dua tahun terakhir (2009 – 2010).
Tabel 5.3 Persepsi nelayan yang menunjukkan penurunan hasil tangkap dalam periode waktu 20
tahun terakhir (time trends) pada berbagai daerah di Indonesia
NO
Asal Nelayan
Jenis Perikanan
Hasil tangkap dulu (> Hasil sekarang (sejak 3
20 tahun lalu)
tahun lalu)
1
Papagaran, Komodo
Kamande (tuba)
10 boatload/hari
3 boatload/hari
2
Papagaran, Komodo
Sero/perangkap
2 boatload/hari
½ boatload/hari
3
Wakatobi, Sulawesi
Pancing
150 kg/hari
5 kg/hari
4
Muncar, Jawa Timur
Sotok
Operasi dalam teluk
Operasi keluar teluk
5
Derawan, Kalimantan
Timur
Pancing
60 kg/hari
15 kg/hari
6
Banyuwangi
Jaring permukaan
menangkap cumi
Operasi Selat Bali
Operasi di Selat
Lombok & NTT
7
Tuban, Jawa Timur
Pukat cicin, pelagis Operasi di Laut Jawa
kecil
Operasi di Selatan
Jawa Timur
8
Prigi, Jawa Timur
Pancing ulur, layur
Operasi di Prigi dan
Popoh
Operasi di Pacitan dan
Wonogiri
9
Manokwari, Papua
Gillnet permukaan
Operasi tanpa
perahu di depan
kampung
Operasi dengan
perahu motor, ke
tengah
10
Prigi, Jawa Timur
Jaring tarik (beach
seine)
1.500 kg/operasi
75 kg/operasi
Pengalaman terjadinya penangkapan berlebih di Indonesia tidak saja terjadi pada wilayah
perairan dengan penduduk atau jumlah nelayan yang padat, seperti Pulau Jawa. Pengalaman ini juga
dialami oleh sebagian nelayan di wilayah Timur Indonesia maupun Kalimantan. Beberapa nelayan
dari Pulau Kofiau, Raja Ampat (Papua) menceritakan pengalaman menangkap ikan kerapu sunu tidak
menggunakan pancing. Menjelang dan saat bulan purnama, ikan kerapu sunu biasanya bergabung
(agregasi) untuk melakukan pemijahan. Selesai melakukan perkawinan, sebagian induk kerapu sunu
akan kehabisan energi dan terdampar di darat (maksudnya perairan dangkal dekat pantai).
Kesempatan ini digunakan oleh penduduk di sekitar pulau untuk mengambil induk-induk yang sudah
dalam kondisi lemah. Hasil tangkapan hanya untuk memenuhi konsumsi keluarga (subsisten). Ketika
tim melakukan observasi di lapang (Pulau Gebe), kami tidak menemukan banyak ikan kerapu sunu
selama periode bulan purnama. Beberapa nelayan dari luar desa, bahkan luar pulau kami amati
tinggal sementara pada gubuk-gubuk dekat Pulau Gebe. Mereka menggunakan alat selam dan
karamba untuk menyimpan hasil tangkapan ikan hidup. Saat dikonfirmasi ulang kepada nelayan
lokal, mereka mengatakan bahwa itu terjadi beberapa tahun yang lalu (sebelum tahun 2000).
Bukti-bukti sudah sangat jelas mengisyaratkan bahwa sebagian besar wilayah perairan
Indonesia sudah mengalami penangkapan berlebih. Hasil temuan ilmiah per wilayah pengelolaan
perikanan (WPP), data perikanan Tuna Long-Line maupun pengalaman nelayan lokal selalu tertuju
pada kesimpulan bahwa stok sumber daya ikan sudah berkurang. Pengelolaan perikanan terutama
229
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
ditujukan untuk mencegah terjadinya penangkapan berlebih. Jika pendekatan yang dilakukan selama
ini belum berhasil mencegah atau mengurangi terjadinya penangkapan berlebih, seharusnya kita
bisa melakukan evaluasi ulang atau mencari pendekatan baru dalam pengelolaan perikanan.
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) ialah suatu pendekatan berbasis ekosistem yang bisa digunakan
sebagai alat pengelolaan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries).
5.4 Kaw asan Konservasi Perairan
5.4.1 Istilah KKP
Sejak tahun 1992, Indonesia secara resmi ikut menanda tangani komitmen untuk melindungi
keragaman hayati. Dua tahun kemudian, pemerintah menetapkan Undang Undang Nomor 5 tahun
1994 tentang ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati, sebagai kelanjutan dari tanggung jawab
yang dilakukan di Brasil pada tahun 1992. Indonesia menggunakan dua pendekatan dalam
perlindungan keragaman hayati, ialah: konservasi kawasan dan konservasi spesies bersama genetik.
Jauh sebelum itu, pemerintah telah menerapkan sistem konservasi kawasan, dengan ditetapkannya
Taman Nasional Kepulauan Seribu dan Taman Nasional Komodo (tahun 1980). Selanjutnya,
pemerintah menetapkan Undang Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya.
Definisi tentang kawasan konservasi akan dibahas secara khusus pada bab tersendiri – pada
dasarnya, kawasan konservasi ialah suatu wilayah (di darat atau di laut) yang dilindungi dari segala
bentuk kegiatan ekstraktif atau pengambilan, dengan tujuan untuk perlindungan keragaman hayati
dan pemanfaatan berkelanjutan (sustainable use). Berdasarkan lokasinya, kawasan konservasi di
Indonesia bisa dibedakan dalam tiga bentuk, ialah: kawasan konservasi yang seluruh wilayahnya
terdiri dari daratan, terdiri dari wilayah darat bersama perairan (laut), dan seluruh wilayahnya
merupakan perairan (laut). Taman Nasional Teluk Cendrawasih ialah kawasan konservasi yang
seluruh wilayahnya merupakan perairan (laut). Contoh lainnya ialah Taman Nasional Wakatobi,
Taman Nasional Bunaken dan Taman Nasional Kepualuan Seribu. Taman Nasional Ujung Kulon terdiri
dari wilayah darat dan laut. Sedangkan Taman Nasional Gede Pangrango seluruh wilayahnya
merupakan daratan. Kawasan Konservasi Perairan (KKP) ialah jenis kawasan konservasi yang
sebagian atau seluruh wilayahnya terdiri dari wilayah perairan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sejak tahun 1975 pemerintah Indonesia sudah mulai
menerapkan sistem konservasi kawasan dengan tujuan untuk perlindungan keragaman hayati.
Wilayah kawasan konservasi bisa terdiri dari daratan, daratan bersama perairan (laut) atau
seluruhnya merupakan Wilayah Perairan (laut). Kawasan konservasi akan melindungi seluruh
ekosistem, termasuk habitat dan organisme yang terdapat di dalamnya. Untuk kategori KKP,
konservasi memberikan dampak pada kesehatan ekosistem di dalam wilayah yang dikonservasi. Hal
ini termasuk: lingkungan terumbu karang, bakau dan padang lamun yang lebih sehat, ukuran ikan
dan induk yang lebih besar, dan terpeliharanya lokasi-lokasi perkawinan ikan. Kawasan konservasi di
wilayah perairan akhirnya memberikan dampak positif bagi stok perikanan di sekitarnya. Pada
kondisi perikanan laut yang sudah mengalami tangkap lebih, Kawasan Konservasi Perairan ialah
suatu ide untuk memperbaiki sistem pengelolaan perikanan tangkap.
5.4.2 Kom binasi Kebijakan Pengelolaan Perikanan
Pada bab sebelumnya, kita sudah membahas tentang habitat dan sumberdaya ikan di laut yang
terancam mengalami kepunahan. Sumber ancaman utama berasal dari penangkapan berlebih dan
penangkapan destruktif atau dengan metode yang tidak ramah lingkungan. Pada bab ini kita juga
230
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
membahas bahwa sebagian besar wilayah perikanan di Indonesia sudah mengalami penangkapan
berlebih. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa keberlanjutan perikanan laut (industri
penangkapan ikan) di Indonesia akan segera mengalami masa suram kecuali kita bisa melakukan dua
hal utama, ialah: memperbaiki kesehatan habitat yang penting untuk sumberdaya ikan dan
mencegah atau mengurangi terjadinya penangkapan berlebih (over-fishing).
Pengelolaan perikanan tangkap ialah usaha untuk mengatur perikanan sedemikian rupa untuk
mencegah terjadinya penangkapan berlebih atau (dengan kata lain), mempertahankan perikanan
tangkap secara berkelanjutan. Selama ini, pengelolaan perikanan tangkap menggunakan pendekatan
model spesies tunggal (Model Produksi Surplus dari Schaefer), melalui beberapa metode sebagai
berikut:
•
•
•
•
Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau TAC (Total Allowable catch)
Perijinan usaha penangkapan ikan (pembatasan alat tangkap – Peraturan Pemerintah Nomor
54 tahun 2002)
Penentuan ukuran ikan yang boleh ditangkap (size categories – seperti pada ikan napoleon)
Penetapan jalur-jalur penangkapan ikan (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392 tahun
1999)
Pendekatan pengelolaan yang diterapkan selama ini masih belum berhasil mengurangi
kerusakan habitat ikan, penangkapan berlebih dan penangkapan dengan metode destruktif. Berikut
ialah beberapa kemungkinan dari kelemahan sistem pengelolaan perikanan yang diterapkan selama
ini:
•
•
•
•
Pendekatan pengelolaan perikanan tidak memperhatikan habitat atau ekosistem tempat
hidupnya ikan serta interaksinya dengan oeganisme akuatik lainnya;
Kebijakan pengelolaan perikanan berbasis pada spesies sangat tergantung dari tersedianya
data statistik perikanan (catch-Effort) dengan tingkat akurasi tinggi, sementara sumber daya
dan kapasitas yang ada masih belum memenuhi;
Wilayah perairan Indonesia terlalu luas untuk dijangkau oleh kemampuan pengawasan dan
penegakan aturan-aturan dibidang perikanan tangkap
Keterbatasan pemerintah untuk melakukan monitoring atau memantau keberhasilan usaha
pengelolaan perikanan tangkap
Sejak sekitar 30 tahun yang lalu, Kawasan Konservasi Perairan menjadi alat untuk melindungi
keanekeragaman hayati. Pada saat yang sama, peneliti dan praktisi juga mengamati manfaat KKP
untuk memperbaiki perikanan tangkap. Dari pembelajaran terhadap manfaat KKP untuk perikanan
tangkap, pemerintah mulai mengadopsi pendekatan ini untuk memperbaiki perikanan laut di
Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 ialah
dua perangkat hukum tertinggi untuk memulai proses pengelolaan perikanan melalui pendekatan
KKP. Aturan turunan yang partama ialah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007
tentang konservasi sumberdaya ikan. Manfaat dan mekanisme Kawasan Konservasi Perairan
memberikan dampak positif bagi perikanan tangkap akan kita bahas pada beberapa sub-bab berikut.
5.5 Manfaat Kaw asan Konservasi Perairan Bagi Perikanan
Kawasan konservasi perairan, seperti sudah sering diungkapkan, ialah wilayah di laut (dengan
batas-batas yang jelas), dilindungi untuk mencapai tujuan tertentu – perlindungan keanekaragaman
hayati, perikanan tangkap atau perlindungan lokasi penting untuk pariwisata. Karakteristik paling
mendasar dari suatu Kawasan Konservasi Perairan ialah adanya suatu wilayah dengan status sebagai
Wilayah Larang-Ambil (WLA) atau sering disebut No-Take Zone (NTZ). Pada wilayah WLA berlaku
aturan untuk melarang seluruh aktifitas yang bersifat ekstraktif, seperti pengambilan atau
penangkapan ikan. Dengan demikian, KKP bisa saja terdiri dari beberapa wilayah untuk peruntukan
231
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
yang berbeda, namun ciri yang paling penting ialah keberadaan wilayah larang-ambil. Gambar 5.8
ialah contoh ilustrasi adanya berbagai zonasi di dalam satu Kawasan Konservasi Perairan, termasuk
wilayah larang-ambil didalamnya.
Gambar 5.8
Berbagai zonasi atau wilayah peruntukan didalam Kawasan Konservasi Perairan,
salah satu diantaranya ialah wilayah larang ambil; pada gambar ditunjukkan sebagai
area perlindungan terumbu karang (Gambar diambil dari Poster PHKA-TNC-USAID
dan GAHAWISRI tentang Kawasan Perlindungan laut).
5.5.1 Perbaikan Habitat – Terumbu Karang
Penangkapan ikan berdampak negatif pada sumberdaya ikan dan habitat tempat ikan untuk
melakukan pemijahan, wilayah asuhan dan tempat mencari makan. Pengambilan ikan target secara
belebihan bisa mempengaruhi struktur populasi dan rakitan spesies yang pada akhirnya
mempengaruhi kesehatan habitat ikan. Operasi alat tangkap atau meode yang tidak ramah
lingkungan secara langsung bisa mempengaruhi kondisi habitat. Jika habitat termasuk jenis yang
sensitif, tingkat eksploitasi pada skala rendah sekalipun bisa berdampak pada kerusakan habitat
ikan. Pencadangan sebagian wilayah penangkapan sebagai wilayah larang-ambil memberikan
kesempatan untuk perbaikan habitat, terutama yang ada di dalam wilayah larang-ambil.
232
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Suatu pemantauan pada 11 Kawasan Konservasi Perairan dilakukan di Filipina terhadap habitat
terumbu karang – variable yang diteliti ialah persentase tutupan karang hidup (live coral coverage) di
dalam dan di sekitar (luar) wilayah larang-ambil. Seluruh Kawasan Konservasi Perairan dalam hal ini
termasuk wilayah larang-ambil. Ukuran wilayah larang-ambil relatif kecil, bervariasi antara 6 – 37 ha.
Pengawasan pada aturan wilayah larang-ambil pada umumnya dilakukan secara bersama oleh
masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Hasil pengamatan karang keras hidup disajikan pada
Tabel 5.4. secara rata-rata tutupan karang keras hidup di dalam wilayah larang-ambil meningkat
setelah periode perlindungan beberapa tahun. Hasil yang kurang memuaskan didapat pada kawasan
konservasi Cangmating dan Canlucani. Hal ini diduga disebabkan oleh keterbatasan pengawasan dan
penegakan aturan yang dilakukan oleh masyarakat. Aturan wilayah larang-ambil tidak selalu bisa
diterapkan secara konsisten, dengan keterbatasan kemampuan masyarakat serta desakan yang
cukup kuat untuk cenderung menangkap ikan di wilayah yang dilindungi. Namun secara keseluruhan,
penutupan karang keras hidup di dalam wilayah larang-ambil relatif lebih tinggi. Tutupan karang
keras hidup tidak harus merupakan satu-satunya indikator dari kesehatan terumbu karang. Ada
banyak sekali faktor yang harus dipertimbangan dalam memutuskan kesehatan terumbu karang.
Namun, pada keterbatasan untuk menentukan faktor lain yang relatif kompleks, tutupan karang
keras hidup bisa kita gunakan sebagai indikasi awal adanya perbaikan kondisi habitat di dalam
wilayah larang-ambil.
Tabel 5.4 Kondisi habitat (persentase tutupan karang keras hidup) di dalam dan di luar wilayah
larang-ambil (WLA) dari 12 Kawasan Konservasi Perairan di Filipina. Nelayan bisa
menangkap ikan di luar WLA namun tidak ada penangkapan di dalam WLA (Sumber: Russ
et al., 1995)
NO
Nama KKP – wilayah Tahun
larang-ambil (WLA)
penetapan
Umur
KKP
Luas (ha)
ketika disurvei
Karang keras hidup (%)
Didalam WLA Di luar WLA
1
Alegre
1991
13
20,0
46,8 (3.4)
37,5 (8.0)
2
Sumilon
1974
-3 sampai 9
37,5
34,0 (2.8)
17,0 (1.3)
3
Bolisong
1995
7
10,0
51,2 (6.4)
48,8 (5.2)
4
Tandayang
1996
6
6,0
52,8 (6.5)
28,2 (7.0)
5
Cangmating
1997
4
6,0
14,4 (4.9)
18,4 (3.9)
6
Masaplod
1995
6
6,0
14,5 (5.4)
4,5 (4.5)
7
Apo
1982
1 sampai 19
22,5
53,6 (2.6)
17,5 (2.7)
8
Tambobo
1995
7
8,0
25,8 (1.8)
25,6 (6.5)
9
Bongalonan
1993
9
20,0
27,8 (2.5)
25,3 (3.6)
10 Canlucani
2000
2
9,0
5,9 (1.2)
16,6 (4.7)
11 Binaliwan
2000
1
8,5
13,9 (4.2)
12,8 (3.7)
Keterangan : Sumilon mempunyai umur negatif karena ada periode dimana WLA dibuka kembali
(nelayan menangkap ikan di dalam WLA); kawasan WLA dan luar WLA di daerah Apo
dan Sumilon dimonitor secara regular sejak tahun 1983 – 2001; angka di dalam kurung
menunjukkan nilai ragam dari rata-rata penutupan karang keras hidup.
Penelitian yang hampir sama dengan di Filipina juga dilakukan di dalam Kawasan Taman
Nasional Komodo. Sejak bulan Mei 1996, petugas di Taman Nasional mulai melakukan patroli intensif
untuk melarang penggunaan alat tangkap destruktif di dalam kawasan. Sebelumnya, dilakukan
monitoring terhadap frekuensi insiden suara bom ikan yang didengar oleh petugas dari darat.
Setelah patroli rutin, jumlah kejadian penangkapan dengan menggunakan bom ikan menurun drastis
di dalam kawasan. Sebelum patroli rutin, secara rata-rata petugas mencatat antara 20 – 30 kali
ledakan bom yang terjadi di dalam kawasan per bulan. Setelah mulai patroli rutin, jumlah tersebut
233
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
menurun menjadi sekitar 2 – 4 kali dan selanjutnya hampir tidak pernah terdengar lagi suara bom
ikan di laut.
Pada saat yang sama petugas melakukan pemantauan pada tutupan karang keras hidup di
dalam (wilayah larang-ambil) dan di sekitar (luar) kawasan Taman Nasional Komodo. Lokasi di luar
kawasan dipilih sedemikian rupa dimana tutupan karang masih relatif baik. Prosedur pemantauan
menggunakan modifikasi metode Manta-Tawing. Monitoring dilakukan secara berkala setiap 2 (dua)
tahun. Hasil monitoring disajikan pada Gambar 5.9. Rata-rata tutupan karang keras hidup di dalam
kawasan Taman Nasional meningkat selama 8 (delapan) tahun dari saat patroli rutin dilakukan. Pada
awalnya, tutupan karang keras di luar kawasan juga meningkat, namun dalam dua tahun terakhir
terjadi penurunan tutupan karang keras hidup.
Pada kasus di Taman Nasional Komodo, jumlah insiden penangkapan dengan menggunakan
metode destruktif bisa ditekan sampai pada tingkat minimal. Hal ini berdampak positif pada
perbaikan habitat, melalui peningkatan tutupan karang keras hidup. Namun penangkapan berlebih
masih belum bisa ditekan sampai pada tingkat yang diinginkan. Pada laporan yang lainnya, bisa
ditunjukkan bahwa jumlah induk ikan kerapu mengalami penurunan antara periode tahun 1998 –
2003.
30
Karang keras hidup (%)
Luar WLA
Da lam WLA
25
20
15
10
199 6
19 98
20 00
2 002
Tahun
Gambar 5.9
Hasil monitoring tutupan karang keras hidup di dalam kawasan Taman Nasional
Komodo dibandingkan dengan wilayah di luar kawasan. Pemantauan dilakukan
selama 8 (delapan) tahun (sumber: digambar ulang dari Mous et al., 2007)
5.5.2 Peningkatan Biomas Ikan
Soufriere ialah sebuah kota kecil di bagian Barat Daya St. Lucia, West Indies. Sumber mata
pencaharian masyarakat berasal dari perikanan dan pariwisata. Aktifitas wisata utama ialah
snorkeling, menyelam dan yachting. Kegiatan terbagi antara perikanan karang di pantai dan
perikanan lepas pantai untuk menangkap ikan tuna. Sejak tahun 1980an terjadi peningkatan konflik
antara pengguna sumber daya – perikanan dan pariwisata. Pada saat yang sama, hasil tangkap ikan
karang dan kesehatan terumbu karang mengalami penurunan.
234
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Sejak tahun 1986, Pemerintah St. Lucia menetapkan sebagian besar terumbu karang di daerah
tersebut sebagai Kawasan Konservasi Perairan. Namun Kawasan Konservasi Perairan belum
didefinisikan secara tegas, sehingga pelaksanaannya tidak efektif. Melalui perencanaan yang
matang, pemerintah menetapkan Soufriere sebagai Kawasan Konservasi Perairan dengan tujuan
utama untuk melindungi perikanan dan habitat terumbu karang. Pada bulan Juli 1995, Soufriere
secara resmi dikelola sebagai Kawasan Konservasi Perairan, dengan aturan zonasi sebagai berikut:
•
•
•
•
Wilayah larang-ambil: semua kegiatan ekstraktif dilarang, tapi kegiatan menyelam masih
diperbolehkan
Wilayah prioritas perikanan: kegiatan menyelam dan lainnya diperbolehkan tapi
mengutamakan kegiatan perikanan;
Wilayah mooring yacht: tempat untuk menambatkan yacht, tapi perikanan dan menyelam
diperbolehkan
Wilayah multi-guna: hampir semua kegiatan diperbolehkan
Pemerintah St. Lucia menetapkan suatu Kawasan Konservasi Perairan dengan memadukan
antara wilayah larang-ambil bersama dengan wilayah pemanfaatan. Mereka ingin tetap
mempertahankan produksi perikanan karang, namun pada saat yang sama ingin melindungi
sebagian terumbu karang dari penangkapan berlebih dan kerusakan akibat operasi alat tangkap.
Sejak awal penetapan kawasan, dilakukan monitoring terhadap ukuran ikan di dalam maupun di luar
wilayah larang-ambil.
Hasil pemantauan selama sekitar 5 tahun menunjukkan adanya perbedaan ukuran ikan yang
terdapat di dalam wilayah larang-ambil dengan hasil tangkap nelayan dari luar wilayah larang-ambil
(Gambar 5.10). Biomas ikan dari dalam wilayah larang-ambil meningkat sampai 4 (empat) kali lipat.
Sedangkan peningkatan biomass hasil tangkap di luar wilayah larang ambil meningkat sampai 3 (tiga)
kali lipat. Hasil tangkap dari dua jenis alat bubu (ukuran besar dan ukuran kecil dengan umpan)
menunjukkan indikasi peningkatan hasil tangkap nelayan setelah pengelolaan secara efektif selama
periode 5 (lima) tahun. Hasil tangkap-per-satuan-usaha dari alat bubu besar mengalami peningkatan
46% selama periode 5 tahun. Sedangkan alat bubu kecil mengalami peningkatan sampai 90%.
Kesimpulan akhir menyatakan bahwa setelah 5 (lima) tahun proses perlindungan kawasan dilakukan
secara efektif, hasil tangkapan nelayan di luar wilayah larang-ambil lebih tinggi dibandingkan dengan
pada saat awal Soufriere ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan.
10.0
Luar WLA
Bio ma s p er coun t, kg
8.0
Dalam WLA
6.0
4.0
2.0
0.0
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Ta hun
Gambar 5.10 Rata-rata biomass ikan komersial per count (dalam kg) sejak tahun 1995 – 2001 di
dalam dan di luar wilayah larang-ambil (Sumber: Gell & Roberts, 2002).
235
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
5.5.3 Persepsi Masyarakat
Penetapan dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan oleh pemerintah St. Lucia terbukti
memberikan hasil yang nyata dari sisi kejelasan wilayah untuk pariwisata, peningkatan jumlah
kunjungan wisata dan peningkatan hasil tangkap nelayan. Keberhasilan tersebut didapat bukan
tanpa pengorbanan. Pada awal penetapan kawasan, nelayan harus menanggung resiko
berkurangnya wilayah penangkapan ikan karang sampai 35% dari kondisi sebelumnya. Keputusan ini,
pada awalnya tentu saja mengundang pro vs kontra diantara nelayan, pengguna sumberdaya lainnya
(pariwisata) dan pemerintah sebagai pemegang autoritas di wilayah tersebut. Namun, setelah 5 – 6
tahun pengelolaan, masyarakat nelayan bisa melihat dampak kawasan konservasi pada perikanan.
Namun, keuntungan yang datang belakangan, setelah pengorbanan pengurangan 35% wilayah
penangkapan, belum tentu bisa dirasakan sebagai kompensasi oleh semua nelayan.
Penetapan Kawasan Konservasi Perairan dengan mengurangi 35% daerah penangkapan
menjadi wilayah larang-ambil mungkin telah merugikan beberapa komponen nelayan. Oleh karena
itu, pemerintah melakukan survei persepsi masyarakat akan manfaat kawasan konservasi pada
mereka. Survei dilakukan di desa Creole melalui bantuan seorang penterjemah. Pertanyaan kunci
yang diajukan kepada nelayan ialah “apakah perikanan sekarang (a) lebih baik, (b) sama, atau (c)
lebih jelek, setelah Soufriere ditetapkan sebagai kawasan konservasi dengan mencadangkan 35%
dari daerah penangkapan ikan karang sebagai wilayah larang-ambil. Pertanyaan diajukan pada 4
(empat) kategori umur nelayan: 15 – 30 tahun, 31 – 45 tahun, 46 – 60 tahun dan 61 – 85 tahun.
Hasil survei mendapatkan gambaran yang berbeda berdasarkan kategori umur nelayan
responden. Nelayan kategori umur muda (< 45 tahun) sebagian besar menyatakan kawasan
konservasi memberikan manfaat bagi perikanan tangkap. Pada kelompok umur 45 – 60 tahun
cenderung bersifat netral, mungkin karena tidak tahu, sedangkan kelompok nelayan tua cenderung
menyatakan bahwa Kawasan Konservasi Perairan menyebabkan turunnya kondisi perikanan
tangkap. Kesimpulannya ialah bahwa manfaat kawasan konservasi bagi perikanan lebih banyak
dirasakan oleh kelompok nelayan muda dibandingkan dengan nelayan yang sudah berumur lebih
tua.
Tabel 5.5 Hasil survei pada persepsi nelayan Soufriere terkait dengan manfaat Kawasan Konservasi
Perairan (yang ditetapkan oleh pemerintah St. Lucia) bagi perikanan (Sumber: Roberts et
al., 2001)
Umur
Responden
Jumlah
Responden
Persentase Kategori Jawaban per Kelompok Umur Nelayan
Lebih Baik
Tetap Sama
Lebih Buruk
Tidak Tahu
15 – 30
23
47,8
8,7
21,7
21,7
31 – 45
22
45,5
18,2
22,7
13,6
46 – 60
15
26,7
13,3
26,7
33,3
61 – 85
11
9,1
18,2
54,5
18,2
TOTAL =
71
Survei untuk mengukur persepsi masyarakat nelayan akan manfaat Kawasan Konservasi
Perairan bagi masayarakat juga pernah dilakukan pada 4 (empat) lokasi kawasan di Indonesia, ialah:
Komodo, Wakatobi, Derawan dan Raja Ampat. Pada ke-empat lokasi survei, belum ada bukti ilmiah
peningkatan hasil tangkap sebagai akibat dari penetapan dan implementasi Kawasan Konservasi
Perairan. Satu-satunya data yang bisa dsampaikan ialah peningkatan tutupan karang keras hidup dari
dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Survei lebih ditujukan untuk mempelajari dampak
236
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
penyadaran masyarakat tentang ide Kawasan Konservasi Perairan atau wilayah larang-ambil kepada
masyarakat. Survei dilakukan terhadap 2.171 responden dengan proporsi yang seimbang antara
responden pria dan wanita.
Salah satu pertanyaan penting yang disampaikan oleh Enumerator ialah sebagai berikut,
“apakah anda setuju terhadap suatu ide untuk mencadangkan sebagian wilayah di pantai sebagai
kawasan yang dilindungi”? Kategori jawaban responden disajikan dalam bentuk grafik seperti pada
Gambar 5.11. Persentase nelayan yang menyatakan setuju pada ide kawasan konservasi paling tinggi
didapat dari nelayan Komodo. Hal ini terkait dengan proses penyadaran masyarakat yang sudah
berlangsung relatif lama (sekitar 10 tahun) dibandingkan dengan ketiga kawasan konservasi lainnya.
Namun secara umum, sebagian besar masyarakat percaya bahwa kawasan konservasi (melalui
wilayah larang-ambil) akan memberikan manfaat yang lebih baik, termasuk bagi perikanan tangkap.
Namun ide tersebut harus dilakukan dengan strategi dan teknik penyadaran yang benar.
100
Sum of Ans wer
% jawaban responden
75
Ans wer ID
tidak tahu
50
setuju
tidak s etuju
25
0
Derawan
Komodo
Raja Ampat
W ak atobi
L okasi KKP
SITE
Gambar 5.11
Hasil survei masyarakat nelayan pada 4 (empat) Kawasan Konservasi Perairan di
Indonesia: Derawan, Komodo, Raja Ampat dan Wakatobi, yang dilakukan pada tahun
2007 (Sumber: Widodo et al., 2009)
5.6 Mekanisme KKP Berm anfaat Untuk Perikanan Laut
Kawasan Konservasi Perairan, secara teoritis dan empiris terbukti berdampak positif bagi
perikanan tangkap. Mekanisme berjalannya manfaat ini berlangsung dalam dua tahap. Pada tahap
pertama, akan terjadi perbaikan populasi dan habitat ikan yang dimulai dari dalam wilayah larangambil. Beberapa waktu kemudian manfaat tersebut mengalir keluar wilayah larang-ambil dari suatu
Kawasan Konservasi Perairan.
5.6.1 Manfaat di Dalam Wilayah Larang-Ambil
Ketika aturan di dalam wilayah larang-ambil mulai diterapkan, dia mulai memberikan dampak
langsung dalam periode waktu jangka pendek. Manfaat tersebut bisa dibedakan dalam 5 (lima)
mekanisme utama, ialah: mortalitas penangkapan, ukuran populasi, struktur populasi, kapasitas
237
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
reproduksi dan perbaikan habitat. Mekanisme detail dari masing-masing manfaat disajikan pada
Tabel 5.6.
A Mortalitas Penangkapan (Fishing Mortality)
Laju kematian karena penangkapan (fishing mortality rate) bisa mencapai beberapa kali lipat
lebih tinggi dibandingkan dengan mortalitas yang terjadi secara alami. Hal ini terutama terjadi pada
ikan-ikan yang menjadi target penangkapan oleh nelayan. Karakteristik dari ikan target ini ialah
harganya mahal (termasuk jenis ikan ekonomis penting) dan permintaan pasar tinggi sehingga
nelayan memanfaatkan peluang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. Dalam waktu
yang relatif singkat, ikan-ikan target bisa terkuras karena perisitwa penangkapan berlebih (overfishing). Pengelolaan perikanan tangkap ialah usaha untuk mengontrol mortalitas penangkapan
untuk mempertahankan keberlanjutan usaha perikanan pada hasil yang optimal (MSY). Keberhasilan
untuk mengontrol mortalitas penangkapan sangat tergantung dari cara atau pendekatan yang
digunakan. Kawasan Konservasi Perairan melalui wilayah larang-ambil ialah pendekatan tambahan
dari metode yang sudah ada dan diterapkan saat ini, bukan sebagai pengganti dari pendekatan
tersebut. Wilayah larang-ambil ditujukan sebagai usaha untuk mencegah atau mengurangi porsi
mortalitas penangkapan pada sebagian dari daerah penangkapan (fishing ground).
Mortalitas penangkapan pada ikan target ialah hanya salah satu mortalitas yang disebabkan
oleh operasi alat tangkap. Sering kali tidak kita sadari bahwa pada saat yang sama, alat tangkap juga
menyebabkan jenis mortalitas lainnya, seperti: mortalitas ikan yang tidak menjadi target
penangkapan, mortalitas ikan target yang disebabkan alat lain yang tidak menangkap ikan tersebut,
mortalitas insidental yang terjadi karena operasi alat tangkap seperti trawl atau metode tidak ramah
lingkungan (bom ikan), dan mortalitas insidental karena kerusakan habitat. Data perikanan tangkap
global mendapatkan bahwa 1/3 dari produksi perikanan tangkap dunia ialah dalam bentuk hasil
samping (by-catch) dan dibuang di laut. Wilayah larang-ambil juga ditujukan untuk memberikan
perlindungan bagi jenis ikan-ikan non target ini. By-cath bisa menyebabkan penurunan populasi dari
ikan target. Bisa terjadi, fase juvenile dari ikan target tertentu tertangkap sebagai by-catch dari alat
tangkap yang lain. Dampak ini bisa dikurangi melalui perlindungan di dalam wilayah larang-ambil.
B. Ukuran populasi
Penetapan wilayah larang-ambil di dalam Kawasan Konservasi Perairan diharap secara
langsung akan meningkatkan jumlah individu dan, dengan demikian, terjadi peningkatan densitas
dan biomass populasi ikan di dalam wilayah larang-ambil. Perubahan ini terjadi karena tidak ada
mortalitas penangkapan di dalam wilayah larang-ambil. Dampak ini diharapkan bisa terjadi dalam
waktu yang relatif singkat sampai jangka menengah, tergantung dari proses-proses yang terkait
dengan populasi. Populasi ikan yang terkuras karena penangkapan berlebih, mengalami peningkatan
dalam waktu relatif sangat singkat setelah implementasi wilayah larang-ambil. Laju peningkatan
ukuran populasi yang cepat ini jika dibandingkan dengan wilayah di luar kawasan dimana
penangkapan ikan masih berlangsung. Peningkatan ini akan mempengaruhi biomass dan/atau
ukuran induk yang melakukan pemijahan.
C. Struktur populasi
Selain perubahan ukuran, densitas dan biomass populasi, selanjutnya akan terjadi perubahan
struktur dari ikan target (ikan-ikan yang penting untuk tujuan penangkapan). Eliminasi mortalitas
penangkapan memberikan harapan pada ikan-ikan untuk bisa hidup lebih lama dan tumbuh lebih
238
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
besar. Dengan demikian, populasi di dalam wilayah larang ambil akan mengalami peningkatan
jumlah dan densitas dari ikan-ikan yang berukuran lebih besar dan/atau kelompok umur yang lebih
tua. Hal ini diharapkan bisa terjadi dalam periode waktu pendek sampai menengah. Populasi yang
lebih dewasa (maturing population) akan meningkatkan jumlah, densitas dan biomass dari indukinduk yang aktif melakukan reproduksi, didalam wilayah larang-ambil.
Mortalitas penangkapan umumnya bersifat selektif, memilih ukuran dan umur tertentu dari
ikan-ikan yang menjadi target penangkapan. Dalam jangka pendek atau jangka menengah,
penangkapan bisa menghilangkan atau mengambil individu pada struktur umur atau ukuran tertentu
dari populasi. Struktur umur atau ukuran dalam populasi akan mengalami perubahan, dibandingkan
dengan populasi yang tidak mengalami tekanan penangkapan. Struktur umur yang diambil umumnya
terdiri dari kelompok berukuran besar/tua, menyisakan kelompok umur muda atau ukuran kecil.
Eliminasi mortalitas penangkapan diharapkan akan terjadinya peristiwa balik, menuju struktur umur
atau ukuran alami yang normal seperti sebelumnya. Sebagai dampaknya, diharapkan akan terjadi
peningkatan hasil reproduksi dari dalam wilayah larang-ambil. Perubahan ini terjadi secara langsung
setelah eliminasi mortalitas penangkapan, namun dampaknya baru bisa dilihat dalam jangka waktu
menengah.
D. Reproduksi
Mortalitas penangkapan umumnya terjadi paling besar pada klas ukuran yang paling besar,
dan klas ukuran ini mempunyai potensi reproduksi yang paling tinggi. Ketika mortalitas penangkapan
dihilangkan dampak langsung di dalam wilayah larang-ambil ialah terjadinya reproduksi yang relatif
tinggi, dibandingkan dengan wilayah di luarnya. Dengan meningkatnya jumlah individu, ukuran
individu yang lebih besar dan lebih tua, semuanya berada dalam densitas lebih tinggi, wilayah
larang-ambil akan mengalami aktifitas reproduksi yang jauh lebih tinggi, fertilisasi mengalami
keberhasilan tinggi sehingga menghasil larva dalam jumlah yang sangat banyak. Jelasnya, wilayah
larang-ambil, pada akhirnya akan meningkatkan induk ikan, meningkatkan kapasitas reproduksi dan
melindungi sebagian stok untuk menghasilkan anakan baru. Hipotesis ini merupakan kunci sukses
dari wilayah larang-ambil sebagai alat pengelolaan perikanan secara berkelanjutan. Eliminasi
mortalitas penangkapan akan meningkatkan kualitas habitat di dalam wilayah larang-ambil, dan ini
akan berdampak positif sebagai tempat yang baik bagi larva yang baru menetas. Dampak lanjutan
ialah meningkatnya rekruitmen secara ekologi (ecological recruitment), terjadi secara tidak langsung
dalam jangka waktu menengah.
Ikan dan invertebrata lainnya yang berada di dalam wilayah larang-ambil bisa tumbuh menjadi
ukuran lebih besar dibanding di luar wilayah larang-ambil. Hal ini sangat penting artinya bagi potensi
untuk menghasilkan generasi anakan. Ikan yang lebih besar bisa menghasilkan telur dan larva yang
jauh lebih banyak dibandingkan pada ukuran induk yang lebih kecil. Sebagai contoh, ikan kakap
berukuran 60 cm bisa menghasilkan telur 10 kali lebih banyak dibandingkan ikan sejenis ukuran 30
cm. Beberapa jenis ikan Biji Nangka bahkan bisa menghasilkan telur 65 kali lebih banyak pada ukuran
dua kali lebih besar. Jadi, bertambah besarnya ukuran dan jumlah ikan di dalam wilayah larang-ambil
akan berdampak sangat besar dalam menghasilkan anakan baru yang bermanfaat untuk perikanan di
luar wilayah larang-ambil.
E. Kualitas Habitat
Sebagian besar operasi alat atau praktek penangkapan bersifat destruktif pada habitat. Contoh
yang bisa kita lihat adalah pada Trawl (Pukat Harimau), jaring tarik atau penggunaan bom ikan dan
racun. Penangkapan akan mempengaruhi kompleksitas struktur dan keanekaragaman habitat.
239
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Wilayah larang ambil tentu saja diharapkan akan memperbaiki kesehatan habitat dan bisa digunakan
sebagai tempat reproduksi dan pembesaran larva serta juvenile dari ikan-ikan target – agak sulit
untuk menentukan tingkat kesehatan habitat, seperti persentase penutupan karang keras hidup
atau jumlah serpihan karang (rubble) pada terumbu karang. Namun karena istilah kesehatan habitat
sering digunakan dalam literatur, kita akan gunakan pada pembahasan ini. Beberapa jenis ikan
membutuhkan kondisi habitat tertentu untuk melakukan pemijahan. Beberapa jenis ikan
memerlukan kondisi habitat tertentu sebagai tempat pembesaran larva dan juvenile. Tempattempat ini bisa saja merupakan tempat yang sensitif dan cenderung mengalami penangkapan
berlebih. Contoh yang bisa diajukan ialah lokasi pemijahan ikan-ikan kerapu tertentu. Lokasi ini
paling banyak diketahui oleh nelayan. Bahkan nelayan (dari pengalaman) sudah mengetahui kapan
saatnya untuk menangkap induk ikan kerapu yang akan melakukan pemijahan pada lokasi-lokasi
tersebut – tempat ikan berkumpul untuk melakukan pemijahan ini cenderung terancam dari
penangkapan berlebih. Wilayah larang-ambil yang di dalamnya mempunyai karakteristik habitat
untuk pemijahan, akan berdampak positif tidak saja di dalam wilayah larang-ambil itu sendiri, dia
bisa memberikan dampak positif sampai jauh di luar wilayah larang-ambil.
Eliminasi kerusakan habitat esensial akan bermanfaat bagi ikan-ikan target seperti telah
dijelaskan di atas. Selanjutnya diharapkan akan terjadi peningkatan kompleksitas habitat alami di
dalam wilayah larang-ambil yang menyebabkan kestabilan ekosistem secara keseluruhan. Dalam
kondisi seperti ini, spesies-spesies kunci (keystone species) menjadi penting untuk mempertahankan
keseimbangan ekosistem dari gangguan – sebagai contoh misalnya, ikan napoleon dan siput triton
yang menjadi keystone species bagi keseimbangan habitat terumbu karang dari gangguan populasi
Crown-Of-Thorn, mahkota bintang berduri. Wilayah larang-ambil bisa mengembalikan populasi ikan
napoleon dan siput yang menjadi predator mahkota berduri. Dampak terakhir, wilayah larang-ambil
bisa memulihkan keanekaragaman hayati yang dulunya berubah akibat penangkapan. Dampak ini
bisa dirasakan jika menyangkut keberadaan keystone species dalam suatu habitat.
Pada tahun 2003, beberapa wisatawan (penyelam) melaporkan terjadinya ladakan populasi
mahkota bintang berduri, Crown-Of-Thorn di dalam kawasan Taman Nasional Komodo – mereka
melakukan penyelaman di wilayah Barat (Gili Banta), ke arah timur dan bagian utara Taman Nasional
Komodo, dan akhirnya masuk ke dalam kawasan. Tim dari Taman Nasional segera diturunkan untuk
mempelajari sebaran dari mahkota bintang berduri. Tim menemukan bahwa ledakan mahkota
bintang berduri terjadi di sekitar, tapi di luar kawasan Taman Nasional Komodo. Jumlah populasi
mahkota berduri di dalam kawasan jauh lebih rendah dibandingkan dengan di sekitar (luar) kawasan.
Hal ini memberikan indikasi bahwa habitat dan ekosistem di wilayah larang-ambil sudah lebih stabil
dibandingkan dengan kondisi di sekitarnya, dimana populasi ikan Napoleon dan siput triton atau
siput terompet dieksploitasi secara berlebih.
Tabel 5.6 Potensi manfaat Kawasan Konservasi Perairan bagi perikanan, dimulai dari dalam wilayah
larang-ambil (WLA) (Sumber: Ward et al., 2001)
1
MORTALITAS PENANGKAPAN (manfaat langsung, jangka pendek, hasilnya segera bisa
dirasakan)
1.1. Eliminasi mortalitas penangkapan dari ikan target
1.2. Eliminasi mortalitas ikan yang menjadi hasil sampling (by-catch)
1.3. Eliminasi mortalitas insidental yang disebabkan oleh operasi alat tangkap / praktek alat
tangkap
1.4. Eliminasi mortalitas yang disebabkan oleh kerusakan habitat sebagai akibat dari oeparai
alat tangkap
1.5. Eliminasi mortalitas tidak langsung akibat mortalitas penangkapan dari ikan mangsa (prey
240
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
species)
2
UKURAN POPULASI (manfaat langsung antara jangka pendek dan menengah)
2.1. Meningkatnya kelimpahan, densitas dan/atau biomass dari ikan target
2.2. Meningkatnya kelimpahan atau densitas dari induk, atau biomass induk dari ikan target
3
STRUKTUR POPULASI (manfaat langsung antara jangka pendek dan menengah)
3.1. Meningkatnya ukuran/umur dari ikan yang menjadi target penangkapan
3.2. Terpeliharanya ukuran/umur alami dari spesies di dalam wilayah larang-ambil
4
REPRODUKSI (manfaat langsung antara jangka pendek dan menengah)
4.1. Meningkatnya output potensial atau aktual dari reproduksi
4.2. Melindungi sebagian biomass stok induk untuk mempertahankan potensi pemijahan
4.3. Meningkatkan rekruitmen
5
KUALITAS HABITAT (manfaat lanjutan, antara jangka menengah dan panjang)
5.1. Melindungi dan memberikan peluang pemulihan habitat alami
5.2. Meningkatkan keanekaragaman hayati laut
5.3. Perlindungan pada spesies kunci (keystone species) dan/atau dampak tidak langsung
penangkapan pada struktur komunitas
5.4. Menyusun kembali komposisi komunitas alami, struktur trophic, jaring makanan, dan
proses ekosistem
5.5. Meningkatkan manfaat sumber daya untuk kepentingan non-perikanan, seperti
pariwisata
5.6.2 Manfaat KKP Bagi Perairan di Luar Wilayah Larang-Am bil
A. Mekanisme Spill-Over
Karakteristik paling awal yang membedakan antara wilayah larang-ambil dan wilayah di
luarnya ialah pada perbedaan jumlah dan densitas ikan, dan bahkan ukuran ikan. Jumlah ikan di
dalam wilayah larang-ambil secara teoritis akan lebih banyak dibandingkan dengan di luar kawasan.
Sedangkan jumlah ikan di luar kawasan akan jauh lebih sedikit, karena pengaruh mortalitas
penangkapan. Perbedaan ini akan menyebabkan keluarnya ikan-ikan dari wilayah larang-ambil ke
wilayah di sekitarnya. Kompetisi dan predasi alami di dalam wilayah larang-ambil cenderung
menyebabkan ikan untuk keluar kawasan (Gambar 5.12). Istilah ini sering disebut “spill-over” atau
melimpah keluar – ikan-ikan tersebut diantaranya termasuk ikan yang menjadi target penangkapan
nelayan. Dalam hal ini Kawasan Konservasi Perairan (melalui wilayah larang-ambil) akan memberikan
dampak positif bagi perikanan tangkap. Penangkapan berlebih selalu menurunkan hasil tangkap-persatuan-usaha atau CpUE. Dengan mencadangkan sebagian wilayah penangkapan sebagai wilayah
larang-ambil, dia akan mengembalikan jumlah ikan, dimulai dari wilayah larang-ambil. Setelah
beberapa lama, ikan akan keluar dari wilayah larang-ambil. Peningkatan populasi di luar akan
meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Jumlah ikan yang keluar wilayah larang-ambil akan segera
digantikan melalui proses reproduksi di dalam wilayah larang-ambil. Populasi ikan di dalam wilayah
arang-ambil umumnya berada dalam kondisi yang lebih sehat dan berukuran relatif lebih besar.
241
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Sebagai akibatnya, spill-over juga berasal dari ikan-ikan yang umumnya berukuran lebih besar.
Biomass hasil tangkap nelayan di luar kawasan pada dasarnya akan meningkat melalui peningkatan
jumlah dan peningkatan ukuran hasil tangkap.
Dampak dari spill-over umumnya terjadi pada jarak yang relatif dekat dengan wilayah larangambil. Dalam hal ini wilayah larang-ambil tidak bisa diharapkan untuk memberikan dampak positif
pada perikanan secara keseluruhan. Jika penangkapan di luar wilayah larang-ambil dilakukan secara
berlebihan, dia bisa saja berpengaruh terhadap populasi di dalam wilayah larang-ambil. Hal ini
tergantung dari ukuran wilayah larang-ambil dan distribusi umum dari ikan atau disebut “home
range”. Jika ukuran wilayah larang-ambil relatif besar dan mencakup kisaran home-range dari ikanikan target, hal ini relatif tidak akan berpengaruh. Namun, seperti telah disampaikan sebelumnya,
Kawasan Konservasi Perairan ialah pendekatan tambahan dari pendekatan pengelolaan perikanan
tangkap yang sudah ada selama ini. Selain mengharapkan dampak positif dari wilayah larang-ambil,
proses pengelolaan atau pengaturan penangkapan di luar wilayah larang-ambil juga harus dilakukan
seperti yang sudah dilakukan selama ini. Hanya dengan kombinasi dua pendekatan ini, Kawasan
Konservasi Perairan memberikan dampak optimal bagi perikanan tangkap.
Gambar 5.12 Mekanisme spill-over memberikan dampak positif bagi perikanan di sekitar (luar)
wilayah larang-ambil
B. Mekanisme Ekspor Larva
Umumnya ikan-ikan melakukan konsentrasi pemijahan di wilayah-wilayah dengan arus relatif
deras – lokasi terumbu karang yang menjorok ke arah laut (reef promentory) ialah salah satu lokasi
yang sering diidentifikasi sebagai lokasi pemijahan ikan-ikan karang. Wilayah larang-ambil akan
meningkatkan potensi pemijahan, produksi telur dan larva yang lebih sehat. Pemijahan akan
menyebabkan penyebaran atau dispersal sebagian telur dan larva ke luar wilayah larang-ambil
242
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
(Gambar 5.13). Telur dan larva tersebut akan menetap, berkembang, tumbuh dan dewasa di luar
wilayah larang-ambil. Larva ikan tersebut pada akhirnya akan berkembang menjadi individu dewasa
dan bisa ditangkap oleh nelayan. Dengan cara ini, wilayah larang-ambil akan memberikan dampak
positif bagi perikanan tangkap.
Ekspor Larva secara teoritis tidak akan berpengaruh bagi populasi ikan yang ada di dalam
wilayah larang-ambil. Induk-induk potensial yang sehat (densitas lebih tinggi, ukuran lebih tinggi dan
umur lebih tua) akan tetap terjaga di dalam wilayah larang-ambil dan selalu menghasilkan telur dan
larva yang sehat. Sebagian dari telur tersebut akan selalu terbawa keluar oleh arus dan memberikan
dampak bagi perikanan tangkap di sekitarnya. Berbeda dengan spill-over, mekanisme ekspor Larva
bisa mempengaruhi perikanan dalam jarak yang relatif jauh, tergantung dari kemampuan arus untuk
membawa telur dan Larva keluar dari wilayah larang-ambil. Dalam hal ini, wilayah larang-ambil bisa
memberikan dampak pada perikanan tangkap dalam area atau cakupan yang lebih luas.
Gambar 5.13
Meknisme ekspor larva memberikan dampak positif bagi perikanan tangkap dalam
cakupan area yang relatif luas, tergantung dari arus yang membawa telur dan larva
keluar wilayah larang-ambil.
C. Dam pak Pada Perikanan Tangkap
Peneliti dan pengelola Kawasan Konservasi Perairan meyakini bahwa suatu wilayah larangambil yang dirancang dengan benar akan memberikan dampak positif bagi perikanan tangkap
melalui proses spill-over dan khususnya mekanisme ekspor larva. Kedua mekanisme ini akan
meningkatkan rekruitmen yang diikuti dengan peningkatan hasil tangkap dan produksi secara
keseluruhan. Dampak produksi diharapkan bisa melebihi kondisi dimana sistem pengelolaan hanya
menggunakan pendekatan produksi seperti yang dilakukan selama ini. Dampak paling tinggi
diharapkan terjadi pada jenis-jenis perikanan yang sudah mengalami penangkapan berlebih dan
jenis-jenis ikan yang merespons positif dari keberadaan suatu wilayah larang-ambil. Dampak positif
243
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
ini dipercaya akan meningkatkan keuntungan pada tingkat individu nelayan, yang nantinya akan
memberikan dampak ikutan pada industri secara keseluruhan dan sektor ikutan lain, seperti industri
pengolahan, distribusi dan konsumsi. Secara teoritis, hal ini berawal dari peningkatan jumlah, ukuran
dan potensi reproduksi yang berasal dari dalam wilayah larang-ambil yang melimpah keluar, ialah
daerah penangkapan bagi nelayan. Keuntungan kedua ialah kemungkinan menurunnya variabilitas
hasil tangkap karena kemungkinan pengaruh seperti kegagalan reproduksi alami, yang sering terjadi
pada kondisi tidak ada wilayah larang-ambil.
Pada kondisi yang paling minimal, wilayah larang-ambil diharapkan akan meningkatkan
kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan usaha penangkapan ikan. Sebagai contoh, jenis
perikanan yang mengalami penangkapan berlebih umumnya berasal dari jenis dengan nilai
ekonomis penting dan digemari oleh konsumen. Pada kondisi perikanan sudah mengalami tangkap
lebih, ikan yang menjadi target tersebut sering kali hanya didapat dalam jumlah yang sangat rendah
– bahkan ada kemungkinan ikan tersebut secara ekonomis dikatakan sudah tidak ada. Seperti ikan
napoleon, saat ini cenderung menjadi komoditas yang kurang menarik dalam perdagangan ikan
karang hidup karena suplai yang tidak teratur, sebagai akibat dari penangkapan berlebih.
Keberadaan wilayah larang-ambil diharapkan bisa mempertahankan jumlah tangkapan sampai pada
tingkat tertentu secara berkelanjutan, yang tidak bisa terjadi tanpa melalui keberadaan wilayah
larang-ambil. Dalam jangka panjang, variasi hasil tangkap nelayan diharapkan akan menurun karena
suplai secara teratur (replenishment) dari wilayah larang-ambil. Kondisi ini akan menyebabkan
perikanan lebih “viable” secara ekonomis dibandingkan dengan perikanan yang bersifat fluktuatif,
ciri khas perikanan dengan sistem pengelolaan kurang efektif. Dengan kata lain dia diharapkan untuk
mencegah terjadinya colaps atau terkurasnya suatu stok sumber daya perikanan.
Pencadangan wilayah larang-ambil sangat potensial menimbulkan konflik, terutama antara
nelayan dengan pengelola perikanan atau kawasan konservasi. Nelayan akan selalu menolak untuk
membatasi daerah penangkapan (apalagi sampai sekitar 30% dari kondisi sebelumnya) untuk
dicadangkan sebagai wilayah larang-ambil. Hal ini tentu saja akan dirasakan berat oleh nelayan.
Pengalaman di berbagai tempat di Indonesia (Komodo, Wakatobi, Raja Ampat, Derawan, Bunaken,
Kepulauan Seribu) menunjukkan bahwa pencadangan wilayah larang-ambil merupakan masalah
yang sulit untuk diterapkan. Namun, pada kondisi perikanan sudah mengalami penangkapan
berlebih, pengelola juga harus mengurangi jumlah usaha untuk mengurangi tekanan pada sumber
daya. Kalau tidak, hasil tangkap-per-satuan-usaha, CpUE, akan terus turun dan nelayan beresiko
untuk kehilangan salah satu sumber mata pencaharian dari perikanan tangkap. Ide untuk menutup
sebagian daerah penangkapan sebagai wilayah larang-ambil, bagaimanapun juga, lebih
memungkinkan untuk diterapkan dibandingkan dengan mengurangi armada penangkapan, sebagai
konsekuensi dari peristiwa tangkap lebih. Konflik nelayan diharapkan akan menurun secara bertahap
pada saat wilayah larang-ambil memberikan dampak positif bagi hasil tangkap nelayan.
Tabel 5.7 Potensi manfaat Kawasan Konservasi Perairan pada perikanan, di luar wilayah larang-ambil
(Sumber: Ward et al., 2001)
1
SPILL-OVER (manfaat langsung: antara jangka menengah dan panjang)
1.1. Sebagai hasil dari emigrasi ikan kecil atau besar yang bergerak keluar dari wilayah larangambil
1.2. Meningkatnya biomass dan/atau ukuran ikan hasil tangkap di sekitar (luar) wilayah
larang-ambil
1.3. Meningkatnya kelimpahan dan ukuran dari ikan di sekitar (luar) wilayah larang-ambil
2
LARVAL EXPORT (manfaat langsung: dalam jangka menengah)
244
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
2.1. Sebagai hasil dari ekspor telur dan/atau larva keluar, dari wilayah larang-ambil
2.2. Meningkatnya rekruitmen bagi perikanan (stok ikan) di luar wilayah larang-ambil
3
PERIKANAN (manfaat tidak langsung: dalam jangka menengah dan panjang)
3.1. Meningkatnya hasil tangkap, keuntungan nelayan
3.2. Menurunnya variabilitas hasil tangkap
3.3. Menurunnya intensitas konflik antara sektor perikanan dengan nelayan
3.4. Menurunnya intensitas konflik diantara pengguna sumber daya
3.5. Terpeliharanya diversitas penangkapan ikan (kesempatan menangkap jenis ikan tertentu)
3.6. Terjaminnya kelangsungan perikanan dari ikan target yang terancam mengalami
penuhanan (vulnerable species)
3.7. Kecenderungan jumlah usaha penangkapan bisa dipertahankan pada level saat ini
3.8. Terpiliharanya stabilitas perikanan tangkap dalam jangka panjang
5.7 Ukuran dan Rancangan Wilayah Larang-Am bil
5.7.1 Ukuran Wilayah Larang-Am bil
Praktisi di lapang atau pengelola Kawasan Konservasi Perairan sering menghadapi pertanyaan
praktis terkait dengan ukuran dan rancangan suatu wilayah laang-ambil. Ukuran suatu wilayah
larang-ambil mempengaruhi tingkat keberhasilannya untuk melindungi ekosistem dan perikanan.
Namun penentuan ukuran, jumlah dan rancangan suatu wilayah larang-ambil sering kali sangat
tergantung pada kondisi lokal, seperti pemahaman masyarakat, faktor sosial-ekonomi, komitmen
pengelola dan keinginan masyarakat (social willingness), bahkan faktor penghambat lainnya.
Kelompok kecil nelayan bisa mendapatkan keuntungan dari persaingan penggunaan alat efektif jika
tidak ada wilayah larang-ambil. Kelompok ini bisa mengambil keuntungan jangka pendek sebelum
sumberdaya ikan terkuras. Setelah sumberdaya habis, mereka akan berpindah mencari daerah
penangkapan ikan yang baru dan persaingan dimulai dengan sistem yang baru. Jika kelompok
nelayan ini mempunyai suara yang kuat, mereka menjadi faktor dominan dalam mempengaruhi
keberadaan dan/atau rancangan suatu wilayah larang-ambil.
Ada beberapa konsep ekologis berdasarkan hasil studi ilmiah yang bisa kita gunakan sebagai
pedoman dasar terkait ukuran dan rancangan suatu wilayah larang-ambil. Suatu wilayah larangambil, walaupun berukuran kecil, dia bisa memberikan dampak positif pada kelimpahan, ukuran,
diversitas dan biomass ikan atau organisme lainnya di sekitar (luar) wilayah larang-ambil. Namun,
ukuran yang lebih besar akan mencakup jenis habitat yang lebih besar atau lebih beragam, jumlah
spesies ikan yang lebih banyak dan jumlah yang lebih banyak pada masing-masing spesies ikan.
Dengan demikian, wilayah larang-ambil yang berukuran besar mampu melindungi habitat dan
spesies dalam jumlah yang lebih banyak. Ukuran yang lebih besar juga mampu memberikan dampak
positif pada perikanan dalam kisaran jarak yang lebih luas. Untuk mendapatkan perlindungan secara
penuh, ukuran wilayah larang-ambil harus mampu melindungi seluruh siklus (life stage) dari suatu
spesies, terutama pada stadia yang sensitif terhadap perubahan. Beberapa jenis ikan bisa
menyelesaikan seluruh siklus hidupnya pada wilayah yang sangat kecil (lebih kecil dari 1 km2 ). Untuk
organisme jenis ini, kita hanya membutuhkan wilayah larang-ambil beberapa km2 saja. Sayangnya,
para ahli jarang yang mengetahui jarak atau wilayah pergerakan spesies selama hidupnya. Satu
strategi yang bisa diterapkan ialah dengan melindungi porsi masing-masing habitat secara
keseluruhan, yang dibutuhkan oleh masing-masing spesies untuk menyelesaikan seluruh siklus
245
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
hidupnya. Semakin besar ukuran suatu wilayah larang-ambil, akan semakin banyak jumlah spesies
yang bisa dilindungi, dan dampak perikanan di luarnya akan semakin besar pula. Wilayah larangambil yang relatif besar memberi peluang lebih besar untuk bisa selamat dari peristiwa bencana
alam, seperti topan, banjir besar, sedimentasi, pencemaran akibat tumpahan minyak atau dampak
dari perubahan iklim.
Jika ukuran wilayah larang-ambil terlalu besar, daerah penangkapan menjadi sangat kecil dan
nelayan akan terkonsentrasi pada wilayah yang relatif padat. Hal ini juga kurang baik bagi
keberlanjutan perikanan tangkap karena hampir pasti wilayah di luar wilayah larang-ambil akan
mengalami penangkapan berlebih – lebih penting lagi, ukuran wilayah larang-ambil yang terlalu
besar tidak akan mendapat persetujuan dari pengguna sumberdaya, terutama nelayan. Sebagai
contoh: terumbu karang tepi, bersama hutan bakau dan padang lamun ialah tiga habitat penting
untuk menyelesaikan seluruh siklus hidup hampir semua jenis ikan demersal. Ketiga habitat tersebut
juga merupakan lokasi penangkapan ikan yang penting bagi nelayan. Usaha untuk melindungi ketiga
jenis habitat tersebut secara keseluruhan tidak akan pernah berhasil karena ada penolakan yang
keras oleh masyarakat. Selain itu, wilayah larang-ambil tidak akan memberikan manfaat optimal bagi
perikanan tangkap. Namun sebaliknya, jika ukuran wilayah larng-ambil sangat kecil juga tidak
memberikan dampak optimal bagi perikanan tangkap. Ukuran yang didapat umumnya merupakan
faktor kompromi antara kebutuhan perikanan dari hasil studi ilmiah, kemampuan negosiasi
komunikator dalam menyampaikan ide manfaat wilayah larang-ambil bagi perikanan yang sedang
mengalami penangkapan berlebih, tingkat pemahaman masyarakat dan keinginan bersama untuk
mengusahakan dan mempertahankan perikanan secara berkelanjutan.
Sampai saat ini, para ahli perikanan, biologi dan ekologi kelautan belum sepakat mengenai
ukuran baku dari suatu wilayah larang-ambil. Berdasarkan beberapa pengalaman lapang, laporan
PISCO, Partnership for Interdisciplinary Studies of Coastal Oceans, memberikan kisaran antara 20 –
60% (Gambar 5.14). Beberapa ahli lain memberikan kisaran angka antara 20 – 30%. Pemerintah
pernah menyampaikan target untuk melindungi 10 – 20 juta ha Kawasan Konservasi Perairan yang
ingin dicapai pada tahun 2020 nanti. Suatu wilayah larang-ambil yang mencakup 30% dari habitat
penting yang mendukung sumber daya ikan (terumbu karang, bakau, lamun, substrat dasar
berpasir), ialah angka yang sering disajikan oleh Peneliti Perikanan dan Kelautan. Angka ini tentu saja
dengan memperhatikan faktor yang sangat penting untuk perikanan tangkap harus termasuk di
dalamnya. Sebagai contoh, seluruh lokasi pemijahan ikan harus masuk ke dalam wilayah larangambil – pertimbangannya, ialah bahwa lokasi pemijahan ikan terdapat pada wilayah yang sangat
terbatas atau kecil, sangat penting untuk mempertahankan keberlanjutan perikanan dan lokasi
pemijahan ikan cenderung mudah terancam (vulnerable) dari penangkapan berlebih.
Laut, terutama wilayah pantai, ialah bisa dikatakan sebagai suatu mosaic yang terdiri dari
berbagai habitat berbeda – pantai, dasar berlumpur, dasar berpasir, padang lamun, rumput laut,
pantai berkarang, laguna, bakau maupun terumbu karang. Setiap habitat ialah tempat atau rumah
bagi organisme tertentu yang berbeda, bahkan sering kali merupakan komunitas tumbuhan atau
hewan yang unik dan penting untuk perikanan. Semua organisme tersebut memerlukan habitat
tertentu untuk hidupnya. Kima hidup diantara dua karang, teripang memerlukan dasar berpasir atau
terumbu karang. Beberapa jenis cacing tinggal dan menggali lobang pada dasar berlumpur atau
pasir. Kerang mata tuju (mata bulan) dan teritip tinggal pada pantai berkarang. Ikan kerapu tinggal
pada terumbu karang. Ikan kakap sering membutuhkan habitat bakau, padang lamun dan terumbu
karang. Alasan untuk mencakup berbagai tipe habitat dalam wilayah larang-ambil ialah bahwa
masing-masing habitat tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Alasan lainnya ialah
kebanyakan jenis ikan komersial memerlukan lebih dari satu jenis habitat untuk melengkapi seluruh
siklus hidupnya. Setiap fase pertumbuhan, ikan memerlukan jenis makanan yang berbeda dan
didapat pada habitat yang berbeda. Oleh karena itu, selain ukuran, perancang wilayah larang-ambil
juga harus memperhatikan jenis habitat yang harus disertakan dalam penentuan wilayah larangambil.
246
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Gambar 5.14
Plot grafik yang menunjukkan hubungan antara persentase wilayah larang-ambil
dengan jumlah spesies yang bisa dilindungi untuk kepentingan keanekaragaman
hayati (A); semakin besar ukuran wilayah larang-ambil dampaknya pada perikanan
tangkap akan semakin besar, namun ketika ukuran tersebut terlalu besar,
mekanisme spill-over dan dan ekspor larva tidak lagi berpengaruh pada perikanan
karena daerah penangkapan terlalu kecil. Ukuran wilayah larang ambil yang
mencakup 30% dari habitat penting merupakan kompromi ideal, seperti
ditunjukkan pada grafik (B) (Sumber: digambar ulang dari PISCO, 2002).
5.7.2 Rancangan Wilayah Larang-Ambil
Merancang suatu wilayah larang-ambil di dalam Kawasan Konservasi Perairan termasuk
pekerjaan yang membutuhkan keahlian multi-disiplin – ahli ekologi, biologi laut, perikanan, sosialekonomi dan ahli komunikasi. Kawasan Konservasi Perairan sangat terkait dengan kondisi sosial
masyarakat dan faktor ekonomi. Pengalaman menunjukkan bahwa suatu wilayah larang-ambil bisa
diterapkan jika rancangan perencanaan mempertimbangkan faktor ekologi, sosial dan ekonomi
secara bersama. Pada dasarnya, merancang suatu wilayah larang-ambil akan mencakup suatu seri
pemenuhan beberapa kepuasan (trade-off) yang harus seimbang dengan tujuan dari wilayah larang-
247
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
ambil. Sebagai contoh, wilayah larang-ambil yang berukuran besar akan sangat memuaskan secara
ekologis. Namun secara praktis hal ini sangat sulit untuk dilakukan pada tingkat lapang.
Merancang wilayah larang-ambil harus dimulai dari “Pernyataan Tujuan” yang harus dibuat
sangat jelas. Tujuan yang jelas akan menentukan bagaimana suatu wilayah larang-ambil bisa
dirancang. Jika tujuan wilayah larang-ambil ialah mengutamakan kepentingan perikanan tangkap,
luas wilayah larang-ambil tidak boleh mengambil sebagian besar wilayah penangkapan. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, hal ini akan menyebabkan nelayan terkonsentrasi pada wilayah
penangkapan yang sangat sempit, dan cenderung terjadi penangkapan berlebih di luar wilayah
larang ambil. Jika tujuan wilayah larang-ambil ialah untuk kepentingan perlindungan
keanekaragaman hayati atau pariwisata, ukuran bisa relatif lebih besar. Dulu, tujuan ekologis sering
menjadi faktor konflik dengan tujuan atau sasaran sosial dan tujuan ekonomi. Namun pilihan
sekarang ialah bukan antara faktor lingkungan dengan ekonomi, namun lebih pada pilihan antara
keuntungan jangka pendek dengan keberlanjutan usaha dan kesejahteraan dalam jangka panjang.
Berikut adalah beberapa catatan tentang rancangan suatu wilayah larang-ambil dengan standar
keperluan ekologis minimal yang harus bisa dikompromikan dengan masyarakat dan pengguna
sumber daya – tujuan perancangan wilayah larang-ambil ialah untuk keberlanjutan perikanan
tangkap dalam jangka panjang.
Gambar 5.15A, menyajikan ilustrasi suatu wilayah larang-ambil yang mungkin tidak akan
bermanfaat dan tidak bisa mencapai tujuan untuk mempertahankan perikanan tangkap secara
berkelanjutan. Beberapa pulau berdekatan, masing-masing dikelilingi oleh hamparan terumbu
karang tepi (fringing reefs). Hamparan terumbu karang dihuni oleh jenis ikan dasar dan jenis sumber
daya sesil lainnya, dengan wilayah penyebaran pada karang tepi di sekitar pulau. Diantara pulaupulau, terdapat beberapa jenis ikan pelagis dengan wilayah migrasi yang relatif jauh, dari stau pulau
ke pulau lainnya. Seluruh pulau tersebut merupakan satu kesatuan sebagai wilayah pengelolaan
perikanan. Pemerintah bersama masyarakat memutuskan untuk membuat satu wilayah larangambil. Batas-batas dari wilayah larang-ambil dinyatakan dengan garis pada gambar ilustrasi.
Secara ekologis, wilayah larang-ambil tersebut mungkin tidak bisa mencapai tujuan untuk
meningkatkan perikanan tangkap di luar wilayah larang-ambil. Ukuran dari wilayah larang-ambil
tersebut relatif sangat kecil untuk bisa mencapai peningkatan hasil tangkap di luar wilayah larangambil. Dengan ukuran yang sangat kecil, wilayah larang-ambil akan mengalami kebocoran atau
leaking. Suatu wilayah larang-ambil yang berukuran kecil tidak mempunyai kesempatan pada
individu ikan di dalam kawasan untuk tumbuh lebih banyak, lebih padat dan berukuran lebih besar
dibandingkan dengan kawasan di luarnya. Sebelum dia mencapai ukuran individu dan kepadatan
yang lebih tinggi, ikan di dalam kawasan akan keluar melalui proses spill-over. Pada kondisi seperti
ini, wilayah larang-ambil pada dasarnya berfungsi sama dengan wilayah di luarnya. Rancangan yang
tidak memenuhi ketentuan ekologi minimal ini harus dihindari agar tidak menimbulkan dampak
negatif di kemudian hari.
Beberapa pulau dengan karakteristik karang tepi yang berbeda memerlukan beberapa
kawasan (wilayah larang-ambil), tidak hanya satu. Dalam merancang wilayah larang-ambil, kita harus
memperhatikan resiko suatu kawasan gagal, akibat faktor-faktor yang bisa terjadi secara alami atau
karena pengaruh aktifitas manusia – musibah alami bisa terjadi karena faktor tsunami atau bencana
alam lainnya yang bisa berdampak negatif pada kawasan. Pengaruh manusia juga bisa terjadi secara
tidak disengaja, seperti pencemaran oleh kebocoran minyak. Aktifitas seperti perubahan tata guna
lahan di darat bisa menyebabkan banjir dan sedimentasi berlebihan pada wilayah larang-ambil.
Kejadian yang tidak terduga ini bisa menghilangkan kesempatan suatu kawasan untuk memberikan
dampak positif pada perikanan, jika tidak ada cadangan lainnya. Faktor replikasi atau redundansi
cukup penting dan strategis untuk dipertimbangkan dalam merancang suatu wilayah larang-ambil,
terutama pada kondisi faktor resiko kegagalan yang relatif tinggi, seperti di Indonesia.
248
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Ukuran minimal wilayah larang-ambil secara ekologis sering tidak bisa diterima oleh nelayan
dan masih dianggap terlalu besar mengambil daerah penangkapan (fishing ground) mereka. Ahli
komunikasi harus bisa mencapai kompromi “win-win solution” melalui proses negosiasi dengan
masyarakat dan pengguna sumber daya. Jika kompromi tidak bisa tercapai, rancangan tersebut tidak
boleh dilanjutkan karena tidak memenuhi ketentuan minimal secara ekologis. Jika dipaksakan, akan
berdampak sangat merugikan pada saat pelaksanaan di tingkat lapang. Masyarakat sudah
mempunyai pemahaman bahwa wilayah larang-ambil akan memberikan dampak positif pada hasil
tangkap di sekitar (luar) kawasan. Ketika hasil tangkap tidak segera mengalami peningkatan,
kepercayaan nelayan akan jauh berkurang dari yang pernah terjadi sebelumnya.
Gambar 5.15A Ilustrasi suatu wilayah larang-ambil dengan ukuran yang relatif kecil dan tunggal,
diduga tidak bermanfaat bagi perikanan tangkap di luar kawasan (A); suatu wilayah
larang-ambil berjumlah lebih dari satu dan menyebar pada hampir semua pulau
namun ukuran individu relatif kecil sehingga tidak bermanfaat optimal bagi
perikanan(B); suatu wilayah larang-ambil yang memenuhi beberapa kriteria
perancangan, mungkin bermanfaat bagi perikanan tangkap di sekitar (luar) kawasan
(C)
Gambar 5.15B menyajikan alternatif rancangan wilayah larang-ambil pada daerah yang sama
seperti disajikan pada Gambar 5.15A. jumlah kawasan mencapai 6 (enam) unit dan tersebar pada
hampir semua pulau. Secara ekologis, ukuran wilayah larang-ambil tersebut masih terlalu kecil
untuk bisa memberikan manfaat bagi perikanan tangkap di sekitarnya, melalui proses spill-over.
Rancangan cukup memenuhi syarat kalau memperhatikan faktor resiko, namun ukuran individu
kawasan masih belum optimal. Dia tidak bisa mencegah faktor kebocoran (leaking) sebelum ukuran
di dalam kawasan mencapai jumlah dan biomass cukup besar.
249
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Gambar 5.15C menyajikan alternatif lain dari rancangan suatu wilayah larang-ambil yang juga
dibuat pada tempat yang sama seperti pada Gambar 5.15A. Rancangan ini mungkin cukup
memuaskan dengan pertimbangan: kawasan mempunyai replikasi (dua unit), mengakomodasi
migrasi ikan dasar dan ikan-ikan karang dan pada saat yang sama juga merupakan perlindungan
bagi sebagian ikan yang bermigrasi jauh (berfungsi sebagai refugia), luasnya mencapai sekitar 30%
dari luas total habitat penting bagi ikan-ikan komersial, seperti ikan karang. Tiga jenis pembelajaran
yang disajikan di atas tentu saja jauh dari cukup untuk sampai pada keahlian dalam merancang
suatu wilayah larang-ambil. Namun prinsip dasar tersebut akan selalu bermanfaat dalam
menentukan langkah-langkah perancangan suatu wilayah larang-ambil. Beberapa pertanyaan dasar
yang selalu dikemukakan oleh ahli dalam merancang kawasan ialah termasuk (namun tidak terbatas
pada):
•
•
•
•
•
•
Secara strategis, dimana wilayah larang-ambil harus ditempatkan?
Berapa besar (ukuran) dari wilayah larang-ambil?
Berapa jumlah wilayah larang-ambil dalam suatu daerah penangkapan ikan (fishing ground)
Berapa jarak antara satu wilayah larang-ambil dengan yang lainnya?
Apa kriteria dasar untuk menentukan suatu wilayah dijadikan sebagai wilayah larangambil?
Faktor ekologis apa yang harus dipertimbangkan dalam memilih atau menentukan lokasi
dari wilayah larang-ambil?
5.8 Luas Total Wilayah Larang-Am bil di Dunia
Wilayah larang-ambil berada di dalam atau merupakan salah satu zona di dalam suatu
Kawasan Konservasi Perairan. Oleh karena itu melakukan estimasi luas total wilayah larang-ambil
harus dimulai dari luas Kawasan Konservasi Perairan. Berdasarkan catatan dan kompilasi dari PISCO
sampai tahun 2006, jumlah total Kawasan Konservasi Perairan di dunia mencapai 4.500 unit dengan
luas total 2,2 juta km2 . Luas ini setara dengan sekitar 0,6% dari luas laut yang ada di dunia. Dari luas
total Kawasan Konservasi Perairan, wilayah larang-ambil hanya mencapai 36.000 km2, kurang dari
0,01% luas laut di dunia. Hal ini hanya berarti bahwa Kawasan Konservasi Perairan, melalui wilayah
larang-ambil didalamnya, belum bisa memberikan dampak positif pada perbaikan perikanan tangkap
global. Luas wilayah larang-ambil, secara ekologis belum mencapai batas minimal dimana
mekanisme spill-over dan ekspor larva bisa memperbaiki wilayah di luar kawasan – Laporan WWF
menyatakan bahwa luas total Kawasan Konservasi Perairan di dunia hanya mencapai luas yang
setara dengan luas daratan Afrika Selatan. Dari luas tersebut, wilayah larang-ambil hanya mencapai
luas setara dengan Negara Belanda.
Pada awal bab ini kita sudah singgung bahwa perikanan tangkap global mengalami
penangkapan berlebih sehingga nilai hasil tangkap-per-satuan-usaha terus menurun dan
menyebabkan kerugian setara 50 juta USD per tahun. Diskusi selanjutnya ialah tentang Kawasan
Konservasi Perairan, melalui wilayah larang-ambil, sebagai alat pengelolaan tambahan (additional
management tool) dari pendekatan pengelolaan yang sudah ada selama ini (model produksi surplus
oleh Schaefer). Kawasan Konservasi Perairan sudah mulai diterapkan pada banyak negara di dunia,
namun perikanan laut masih mengalami penangkapan berlebih. Kita tidak bisa menarik kesimpulan
bahwa kawasan konservasi laut telah gagal dalam memenuhi fungsinya sebagai alat bantu untuk
memperbaiki kondisi perikanan global. Ada beberapa ketentuan yang belum bisa kita penuhi
sehingga kawasan konservasi belum bermanfaat optimal, ialah:
•
•
250
Luas total wilayah larang-ambil belum mencapai target luas minimal untuk bisa memberikan
dampak optimal bagi perikanan tangkap;
Wilayah larang-ambil tidak semuanya dirancang dengan tujuan utama untuk memperbaiki
perikanan tangkap, walaupun pada akhirnya, dia akan bermanfaat bagi perikanan;
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
•
•
Aturan di dalam wilayah larang-ambil tidak semuanya efektif bisa diterapkan atau
ditegakkan oleh pengelola. Ada banyak bukti yang menyatakan larangan kegiatan ekstraktif
di dalam kawasan sering dilanggar oleh pengguna sumber daya;
Antara wilayah larang-ambil yang satu dengan lainnya tidak saling terkait, sehingga dia
hanya bisa memberikan dampak secara individu, tidak secara bersama melalui jejaring atau
network.
Data tentang jumlah, luas dan kategori kawasan konservasi di dunia dikompilasi oleh berbagai
institusi yang berbeda. Masing-masing institusi melaporkan angka yang berbeda satu sama lain.
Jumlah negara yang tercatat mempunyai Kawasan Konservasi Perairan menurut PISCO berjumlah 23
negara – Indonesia ternyata belum tercatat sebagai negara yang mempunyai Kawasan Konservasi
Perairan, sehingga jumlah unit KKP di dunia akan melebihi dari jumlah yang sudah disajikan pada
PISCO. Laporan World Data on Protected Areas (WDPA) pada tahun 2009, mencatat ada 30.000
kawasan konservasi di dunia, 3.000 (10%) diantaranya ialah Kawasan Konservasi Perairan, dalam
bentuk campuran antara terestrial dan laut dalam satu kawasan maupun seluruhnya ialah wilayah
laut. Namun data lain menyatakan bahwa jumlah Kawasan Konservasi Perairan mencapai jumlah
5.584 unit (18%) dari seluruh kawasan konservasi di dunia. Pada tahun 2010, WDPA mencatat
jumlah total Kawasan Konservasi Perairan dunia sudah mencapai 6.800 unit. Luas total kawasan
mencapai 1,17% dari luas total permukaan laut dunia. Jika dibandingkan dengan wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif dari seluruh negara yang mempunyai laut, luas total kawasan mencapai 2,86%.
Sedangkan jika dibandingkan dengan wilayah teritorial dari seluruh negara (12 mil laut) di dunia,
Kawasan Konservasi Perairan mencapai luas 6,3% dari total wilayah teritorial. Luas wilayah larangambil tentu saja jauh lebih kecil dari total kawasan, karena merupakan bagian dari suatu kawasan.
Dengan demikian, dari data terbaru yang bisa dikumpulkan, luas wilayah larang-ambil masih terlalu
kecil untuk bisa memberikan dampak nyata pada perikanan tangkap global.
Sejak tahun 1970, jumlah dan luas kawasan konservasi di dunia menunjukkan peningkatan
yang sangat pesat (Gambar 5.15). Dalam periode waktu 30 tahun, luas kawasan konservasi
meningkat dari 2 juta km2 menjadi sekitar 16 juta km2 . Gambaran ini jauh berbeda dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya – dalam periode 100 tahun (1872 – 1970) dunia hanya membangun
sekitar 2 juta km2 kawasan konservasi. Peningkatan ini tidak bisa dikatakan sebagai suatu kemajuan,
apalagi tercapainya tujuan untuk membangun pendekatan konservasi dalam mempertahankan
pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. Peningkatan ini hanya bisa dilihat dari sisi
meningkatnya kesadaran dan kebutuhan untuk mencadangkan sebagian wilayah untuk dilindungi,
sebagai usaha pemanfaatan secara berkelanjutan (sustainable development). Sebaliknya, sebelum
tahun 1970an, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa kondisi habitat atau sumberdaya dalam kondisi
tidak sehat untuk mendukung pemanfaatan secara berkelanjutan.
Pada jaman nenek moyang kita dulu, sebagian besar sumberdaya dan habitat di laut berada
dalam kondisi tidak terjamah, bahkan beberapa tempat mendapat status sebagai lokasi yang
dikeramatkan. Walaupun tanpa status formal, wilayah tersebut sebenarnya termasuk sebagai
wilayah larang-ambil tanpa pengawasan. Tempat-tempat seperti ini tentu saja tidak tercatat dalam
data yang dikumpulkan oleh WDPA. Jika kita bandingkan antara kecepatan terbukanya wilayah alami
di laut dengan luas Kawasan Konservasi Perairan yang ada saat ini, mungkin akan terjadi sebaliknya –
kecepatan eksploitasi di laut bisa jauh melebihi kecepatan pemerintah atau para pihak lainnya untuk
melindungi bagian yang tersisa.
Ketika wilayah laut masih alami, sebagian besar tempat-tempat penting masih tidak terjamah,
penangkapan berlebih pada daerah penangkapan yang relatif sempit tidak akan dirasakan oleh
nelayan. Pada saat itu, wilayah alami berfungsi sebagai wilayah larang-ambil, memperbaiki
perikanan yang telah mengalami penangkapan berlebih, melalui mekanisme spill-over dan ekspor
larva. Sebaliknya, saat ini, wilayah alami di laut tersebut mungkin sudah ada yang tersisa dan spillover beserta ekspor larva diharapkan seluruhnya berasal dari Kawasan Konservasi Perairan yang
251
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
ditetapkan oleh pemerintah berbagai negara, termasuk Indonesia. Ternyata jumlah dan luas
tersebut tidak mencukupi untuk memenuhi fungsinya, seperti wilayah alami pada jaman dulu.
Gambar 5.16
Perkembangan jumlah dan luas kawasan konservasi di dunia, menunjukkan
perkembangan pesat sejak awal tahun 1960an (sumber: WDPA, 2007)
5.9 Resistensi Masyarakat Terhadap Ide Wilayah Larang-Ambil
Hasil survei persepsi masyarakat, termasuk yang dilakukan pada 4 (empat) lokasi di Indonesia
(Gambar 5.15) menunjukkan dukungan yang kuat pada ide untuk mencadangkan sebagian daerah di
laut sebagai wilayah larang-ambil. Dukungan tersebut baru berada pada tingkat kesadaran dan
wacana. Ketika pencadangan kawasan mulai disosialisasikan dan disusun pada tahap perancangan
serta perencanaan, penolakan masyarakat akan selalu lebih kuat dibandingkan dengan hasil survei
persepsi yang dilakukan sebelumnya. Sebagian masyarakat kita ternyata sangat persuasif dalam
tatanan ide, namun sangat sulit ketika implementasi mulai diterapkan di lapang.
Gambar 5.16 menyajikan suatu ilustrasi kondisi perikanan tangkap di Indonesia saat ini, dan
peluang wilayah larang-ambil untuk mengembalikan pada posisi yang lebih sehat. Skenario -1 (kurva
A pada grafik) menggambarkan manfaat yang diterima oleh nelayan dari sistem pengelolaan
perikanan tangkap seperti yang terjadi saat ini di Indonesia, sebut saja sistem dasar. Nilai hasil
tangkap-per-satuan-usaha, CpUE, menurun sesuai dengan perjalanan waktu. Bukti-bukti ilmiah yang
menggambarkan kondisi ini ialah seperti sudah disajikan dan dibahas pada sub-bab 5.3.1 dan 5.3.2 di
atas. Jika kondisi ini dibiarkan terus, sumber daya ikan akan segera terdeplesi, perikanan tangkap
akan segera mengalam colaps dan besar kemungkinan masyarakat pantai akan kehilangan salah satu
sumber mata pencaharian dari usaha penangkapan ikan. Kerugian juga akan dialami oleh sektor
ikutan lain, seperti pengolahan, distribusi dan konsumsi. Untuk mencegah terjadinya penangkapan
berlebih, pengelola perikanan harus segera melakukan moratorium melalui penghentian ijin usaha
penangkapan. Hal ini sesuai dengan surat rekomendasi Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan kepada
Menteri Kelautan dan Perikanan, tertanggal 21 Oktober 2007 lalu. Tim menyarankan pemerintah
untuk segera melakukan moratorium penangkapan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) laut
Banda. Namun saran ini sangat sulit diterapkan pemerintah pada tingkat lapang. Beberapa perahu
dan kapal perikanan tidak boleh beroperasi, sejumlah nelayan akan kehilangan pekerjaan dan sektor
252
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
industri lainnya akan terhambat. Pemerintah tentu saja tidak siap untuk menanggung kerugian
jangka pendek dari resiko kebijakan moratorium penangkapan.
Pada skenario – 2 (kurva B pada grafik) menggambarkan keputusan untuk mencadangkan
sebagian daerah penangkapan (fishing ground) sebagai wilayah larang-ambil. Penutupan ini akan
menurunkan luas daerah operasi penangkapan potensial bagi nelayan, dan sebagai dampaknya, total
hasil tangkap nelayan turun – Suatu konsekuensi logis yang harus diterima oleh semua pihak. Namun
beberapa saat setelah itu, hasil tangkapan meningkat kembali dan akhirnya stabil pada titik tertentu.
Nilai akhir CpUE biasanya sedikit lebih rendah dari saat penutupan sebagian daerah penangkapan
sebagai wilayah larang-ambil. Pada skenario – 2, periode waktu antara t0 dan t1 , nilai CpUE lebih
rendah dibandingkan dengan CpUE dengan sistem pengelolaan perikanan saat ini dan nelayan
mengalami kerugian. Namun, pada saat, t > t1 , nilai CpUE pada skenario 2 lebih tinggi dibandingkan
dengan sistem pengelolaan dasar. Waktu antara t0 dan t1 , disebut kerugian jangka pendek yang
harus ditanggung sebagai konsekuensi dari penetapan wilayah larang-ambil, sebagai alat
pengelolaan perikanan tangkap. Namun ketika t > t 1 , dan seterusnya, disebut dengan keuntungan
jangka panjang yang akhirnya bisa didapat oleh nelayan dari pengorbanan selama periode t 0 sampai
t1 .
Pada skenario-1, perikanan mungkin masih menguntungkan selama beberapa waktu, terutama
dengan peningkatan kebijakan subsidi oleh pemerintah. Selanjutnya, tidak bisa dicegah, perikanan
tangkap akan mengalami kolaps dan stok perikanan terdeplesi. Ketika waktunya tiba, dimana stok
perikanan sudah sangat rendah, pemerintah bersama nelayan akan mengalami masalah besar dalam
hal: realokasi industri perikanan, adaptasi sektor ikutan seperti pengolahan ikan, ditribusi dan
konsumsi, pengangguran nelayan karena hilangnya salah satu sumber mata pencaharian, dan
sumberdaya ikan yang diandalkan tidak segera pulih kembali. Pada skenario – 2, pemerintah
bersama nelayan akan mengatasi masalah saat ini, untuk mengatasi kerugian jangka pendek. Subsidi
pemerintah dibidang perikanan tangkap bisa dialokasikan untuk menyusun strategi kompensasi
dalam mengatasi kerugian jangka pendek tersebut. Sebaliknya, ketika keuntungan jangka panjang
mulai dirasakan, nelayan atau pengguna sumber daya harus membayar kompensasi kepada
pemerintah dalam bentuk pajak. Dengan sistem ini, subsisdi pemerintah yang dikeluarkan saat ini
akan kembali melalui pajak ketika nelayan menerima keuntungan jangka panjang.
Gambar 5.17
253
Dua skenario pengelolaan perikanan (pendekatan lama dan pencadangan wilayah
larang-ambil) dengan resiko kerugian jangka pendek namun mendapatkan
keuntungan jangka panjang, atau sebaliknya.
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Kawasan Konservasi Perairan, baik secara teoritis, empiris melalui studi atau secara praktis
pada tingkat lapang, terbukti memberikan dampak positif bagi perikanan. Pada kondisi perikanan
tangkap di Indonesia seperti saat ini, seharusnya akan sangat mudah untuk mencadangkan sebagian
daerah penangkapan sebagai wilayah larang-ambil. Namun kenyataannya, Kawasan Konservasi
Perairan hampir selalu mendapat resistensi atau penolakan oleh masyarakat nelayan, yang justru
merupakan kelompok pertama yang akan menerima manfaat dari dampak kawasan konservasi.
Berikut ialah beberapa kemungkinan atau secara kombinasi bersama menjadi latar belakang
resistensi tersebut, ialah:
•
•
•
•
•
•
Adanya kelompok “focal minority group” di dalam masyarakat nelayan yang menerima
keuntungan jangka pendek tertinggi dari sistem pengelolaan perikanan dasar yang
diterapkan sampai saat ini;
Warisan dari sistem sumber daya milik umum, tragey of the common;
Sudah sangat terbiasa dengan sistem perikanan dengan pendekatan “free entry-out
fisheries”;
Rendahnya kepercayaan kepada pengelola dalam bentuk jaminan bahwa aturan di dalam
wilayah larang-ambil akan diterapkan secara konsisten;
Selalu menjatuhkan pilihan pada orientasi keuntungan jangka pendek, bukan kerugian
jangka pendek tapi keuntungan jangka panjang;
Inisiatif, pencetus atau dukungan pada wilayah larang-ambil lebih banyak berasal dari
kelompok yang lebih mapan di dalam masyarakat
Di dalam masyarakat nelayan, seperti kelompok masyarakat pada umumnya, selalu ada “focal
minority group”, ialah kelompok yang jumlahnya walaupun tidak banyak, tapi bersuara fokal dan
sering kali bisa mempengaruhi suara nelayan secara keseluruhan. Kelompok ini bisa membentuk
opini yang kuat, seolah-olah suara yang disampaikan merupakan suara dari seluruh kelompok
nelayan. Kelompok ini agak sulit diajak bekerja sama karena dia akan mendapatkan kesempatan
paling besar untuk meraih keuntungan jangka pendek dari sistem pengelolaan perikanan yang
diterapkan saat ini. Sebagian dari mereka sering kali ialah termasuk jaringan pendukung (secara
tersembunyi) dari pengguna alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Setiap pertemuan atau
saresehan yang diadakan pemerintah, focal minority group selalu terpilih sebagai salah satu peserta
rapat dan sering kali termasuk yang didengar atau disegani di masyarakat. Komunikator atau
penyuluh lapang yang akan menyampaikan gagasan wilayah larang-ambil harus bisa mengidentifikasi
dan mengenali kelompok ini. Jika mereka bisa diyakinkan, ada banyak peluang inisiatif Kawasan
Konservasi Perairan akan diterima pada tingkat nelayan.
Masyarakat nelayan sering kali menuding kelompok nelayan lain atau nelayan dari luar daerah
yang menyebabkan kerusakan perikanan di dalam wilayahnya. Selain itu, nelayan mempunyai
persepsi kuat pada regim sumber daya milik umum. Artinya, setiap orang, secara bebas bisa
menangkap ikan dimana saja di wilayah perairan Indonesia. Pada kondisi ini selalu berlaku ketentuan
siapa cepat dia dapat. Jika secara individu, seorang nelayan harus taat membatasi daerah
penangkapannya, nelayan lain belum tentu melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, daripada
diambil atau dihabiskan oleh nelayan lain, dia ingin mendapatkan peluang lebih terdepan untuk
mengambil sumber daya ikan di laut. Prinsip ini tertanam pada hampir semua nelayan pada
umumnya. Membalik (reverse) persepsi ini relatif sulit dan memerlukan waktu lama. Penyuluh
lapang atau pendamping masyarakat harus bisa menumbuhkan kepercayaan pada tingkat nelayan
(trust building) bahwa pemanfaatan sumber daya ikan harus diatur sedemikian rupa agar tidak
terjadi peristiwa penangkapan berlebih (over-fishing). Pendamping masyarakat juga harus bisa
membangun kepercayaan bahwa pengelola akan menerapkan aturan pengelolaan secara konsisten.
Hal ini tentu saja harus diikuti oleh langkah-langkah nyata dalam dari pihak pengelola kawasan.
Menangkap ikan konon termasuk jenis pekerjaan yang paling cepat mendatangkan hasil.
Dibandingkan dengan petani, persepsi ini kita rasakan lebih banyak benarnya. Seorang petani, paling
254
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
tidak membutuhkan waktu 4 (empat) bulan untuk mendapatkan hasil dari panennya. Selama masa
menunggu ini, petani harus mencari cara untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Nelayan selalu
bisa memanfaatkan laut di depan halamannya sebagai sumber kehidupan. Setiap kekurangan
makanan, dia hanya perlu pergi ke laut selama beberapa jam. Jika beruntung, dia bisa mendapatkan
ikan dan menjual sebagian hasilnya sebagai penghasilan keluarga. Namun paling tidak, dia yakin
mendapatkan ikan untuk kebutuhan konsumsi keluarga. Pada kondisi ini, nelayan merasa mendapat
kebebasan menggerakkan ekonomi keluarga dari laut. Jika suatu jenis ikan sudah mengalami
tangkap lebih dan operasi penangkapan tidak lagi menguntungkan secara ekonomis, nelayan akan
beralih pada usaha perikanan subsisten. Ketika ikan sudah kembali lagi, dia kembali berusaha dan
ekonomi rumah tangga bergerak kembali. Sistem ini dikenal dengan pola “free entry-out fisheries”
yang diperkenalkan oleh beberapa ahli ekonomi perikanan seperti Teodhore Panayotou. Karena
sudah terbiasa dengan pola free entry-out fisheries, nelayan merasa tidak perlu melakukan
pendekatan lain, apalagi membatasi daerah penangkapan. Selama ini mereka bisa bertahan dengan
pola yang sudah dijalani selama bertahun-tahun. Kelompok ini akan sangat sulit untuk diajak bekerja
sama mendukung kawasan. Pada setiap pertemuan, kelompok ini lebih banyak tidak bersuara, dan
termasuk kelompok “silent majority group”. Kawasan konservasi dipandang sebagai pilihan yang
netral.
Kawasan Konservasi Perairan (wilayah larang-ambil) ialah pilihan untuk mendapatkan
keuntungan jangka panjang. Alternatif ini berlawanan dengan kebiasaan nelayan yang selalu
beorientasi pada keuntungan jangka pendek. Setiap nelayan yang pergi melaut selalu berharap
untuk mendapatkan ikan pada hari itu juga. Jika tidak, mereka mengambil kesimpulan sebagai
“belum beruntung” dan bertahan pada pola subsisten. Suatu pendekatan dengan janji keuntungan
yang bisa diraih dalam beberapa tahun kemudian, umumnya sulit dipahami dan diterima oleh
nelayan kebanyakan. Pendamping masyarakat harus bekerja keras untuk bisa meyakinkan ide dari
Kawasan Konservasi Perairan. Pendamping masyarakat ini umumnya bekerja membantu pemerintah
pada tingkat masyarakat. Mereka umumnya berasal dari staf lembaga non-pemerintah yang relatif
sudah mapan. Sebagian dari mereka bukan asli dari daerah setempat dan tidak berprofesi sebagai
nelayan. Pendamping masyarakat seperti ini agak sulit dalam membangun kepercayaan (trust
building) dengan nelayan.
Gambar 6.18
255
Kencenderungan ukuran suatu Kawasan Konservasi Perairan di dunia berkisar
antara 10 – 50 km2 (dikumpulkan dari berbagai sumber)
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Sum ber Bacaan Utam a:
Arnason, R., K. Kelleher & R. Wilmann (2009). The sunken billions - the economic justification for
fisheries reform. Washington, DC, The World Bank & FAO Rome: 100.
EJF (2003). Squandering the Seas: How shrimp trawling is threatening ecological integrity and food
security around the world. London, UK, Environmental Justice Foundation.
FAO (2008). The state of world fisheries and aquaculture. Rome, Italy, FAO Fisheries and Aquaculture
Department: 176.
Gell, F. R., & C.M. Roberts (2002). The Fishery Effects of Marine Reserves and Fishery Closures.
Washington, DC 20037, USA, WWF-US, 1250 24th Street, NW: 89
PISCO (2002). The Science of Marine Reserves, Partnership for Interdisciplinary Studies of Coastal
Oceans (PISCO). http://www.piscoweb.org: 22.
PISCO (2007). The Science of marine Reserves. Latin America and Caribbean, www.piscoweb.org: 22.
Sparre, P., & S.C. Venema (1998). Introduction to fish stock assessment. Rome, Italy, FAO. Part 1:
Manual: 407.
Widodo, H., E. carter, T. Soekirman, A. halim & Y. Andreas. (2009). Community perceptions of marine
protected areas in Indonesia. Phase II. Bali, The Nature Conservancy: 69.
Ringkasan:
1. Tabel di bawah ialah data jumlah unit Tuna Longline, total hari operasi aktif dan total hasil
tangkap dari Tuna Longline yang berbasis dari Pelabuhan Benoa Bali. Data berasal dari PT.
Samudera Besar, Bali.
TAHUN
JUMLAH
TUNA
LONGLINE
HASIL TANGKAP
TUNA (kg)
JUMLAH HARI
AKTIF
(active days)
1992
12
714,569
1,760
1993
13
736,974
2,148
1994
18
820,366
2,781
1995
19
934,240
3,314
1996
23
1,013,499
3,475
1997
19
921,217
3,267
1998
23
1,069,388
4,022
1999
23
749,948
3,982
2000
30
640,754
3,615
•
Gunakan model Schaefer untuk menentukan status perikanan Tuna Longline di wilayah
perairan Samudera Hindia.
•
Apa kesimpulan anda tentang perikanan Tuna Long-Line di Indonesia?
•
Apa rekomendasi anda kepada pemerintah sebagai pengelola perikanan tangkap di
Indonesia?
256
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
2. The Sunken Billions dan Squandering of The Seas ialah dua laporan yang menggambarkan kondisi
perikanan tangkap secara global saat ini. Apa pembelajaran (lesson learned) yang bisa diambil
dari kedua laporan tersebut?
3. Pengelolaan perikanan laut dengan menggunakan pendekatan produksi surplus (single species)
mengandung beberapa kelemahan. Jelaskan beberapa kelemahan dasar yang terkait dengan
kemampuannya sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap (fisheries management tool)?
4. Buat gambaran singkat tentang status perikanan laut global saat ini. Sertakan beberapa bukti
ilmiah yang mendukung kesimpulan anda?
5. Dengan cara yang sama, buat gambaran singkat tentang status perikanan laut di Indonesia saat
ini. Sertakan beberapa bukti ilmiah yang mendukung kesimpulan anda?
6. Tuliskan definisi (dengan kata sendiri) dari Kawasan Konservasi Perairan dan wilayah larang
ambil. Jika diperlukan gunakan gambar untuk membantu menjelaskan definisi anda?
7. Jelaskan seluruh proses dimana Kawasan Konservasi Perairan memberikan dampak positif bagi
perikanan tangkap?
8. Apa perbedaan mendasar antara pengelolaan perikanan tangkap dengan pendekatan singlespecies (produksi surplus) dengan pendekatan Kawasan Konservasi Perairan?
9. Jelaskan prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam merancang suatu wilayah larang ambil di
dalam suatu Kawasan Konservasi Perairan. Catatan: tujuan utama pencadangan wilayah larangambil ialah untuk memperbaiki perikanan tangkap.
10. Kawasan Konservasi Perairan ialah pilihan pengelolaan untuk meraih keuntungan jangka
panjang. Namun sebelum meraih keuntungan jangka panjang, nelayan menghadapi resiko
kerugian jangka pendek. Jelaskan kedua istilah ini terkait dengan pencadangan sebagian daerah
penangkapan ikan sebagai wilayah larang-ambil.
11. Ada beberapa karakteristik alami masyarakat nelayan yang membuat kesulitan dalam
merealisasi inisiatif Kawasan Konservasi Perairan sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap.
Jelaskan dua karakteristik dasar tersebut.
257
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Download