BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PNEUMONIA Udara yang terhirup

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PNEUMONIA
Udara yang terhirup dari lingkungan dapat terkontaminasi gas beracun, partikel dan
mikroorganisme. Udara yang terkontaminasi oleh mikroorganisme membuat parenkim paru
berisiko terinfeksi. Mikroorganisme masuk ke saluran napas bawah terutama lewat droplet
yang terkontaminasi dan terinhalasi.
Interaksi yang komplek antara virulensi dari
mikroorganisme yang terinhalasi, pertahanan saluran napas, dan status imunitas dari penjamu
menentukan terjadinya pneumonia (Sigh, 2012).
Definisi pneumonia adalah suatu peradangan akut parenkim paru yang disebabkan
oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit), dan tidak termasuk pneumonia yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium
tuberculosis.
Peradangan
paru
selain
karena
mikroorganisme disebut pneumonitis (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2014).
Pembagian pneumonia berdasar klinis dan epidemiologis dibedakan menjadi community
acquired pneumonia (CAP), hospital acquired pneumonia (HAP), health care associated
pneumonia (HCAP) dan ventilator acquired pneumonia (VAP) yang disebabkan
pemasangan ventilator (Mandell et al., 2007).
1.
Pertahanan Sistem Pernapasan
Pertahanan sistem pernapasan garis pertama adalah bentuk fisik yang kompleks dari
saluran napas atas dan bawah yang menyebabkan turbulensi aliran udara. Perjalanan aliran
udara dari hidung sampai alveoli paru melewati beberapa struktur yang berkelok sehingga
memungkinkan turbulensi partikel terjadi. Turbulensi udara mengakibatkan impaksi,
sedimentasi dan deposisi partikel beserta mikroorganisme yang akhirnya menempel mukosa,
kemudian dikeluarkan melalui lapisan mukosilier atau dikeluarkan dari saluran napas dengan
bersin, batuk atau ditelan (Lambrect et al., 2011).
Partikel berukuran > 10 µm tertangkap di rongga hidung, sedangkan berukuran 5-10
µm masuk ke bronkus dan percabangannya. Ukuran partikel < 3 µm masuk ke alveoli.
Partikel yang terbawa dapat membawa kuman patogen dan menyebabkan infeksi paru.
Pertahanan pernapasan mulai dari laring sampai bronkiolus terminalis yaitu silia dan mukus
(mucociliary clearance). Pergerakan silia dan mukus yang lengket membantu pengeluaran
partikel. Aktivitas dan jumlah silia dipengaruhi oleh asap rokok dan toksin (Ward et al., 2007;
Lambrect et al., 2011).
2.
Sistem Imun
Sistem imun secara umum dibagi menjadi dua, yaitu sistem imun alamiah (bawaan)
dan sistem imun adaptif. Setiap sistem imun memiliki peran dan fungsi yang berbeda dalam
menjaga dan mempertahankan host dari agen-agen infeksius. Respons imun alamiah maupun
adaptif mempunyai bagian humoral dan selular (Lambrect et al., 2011).
Sistem Imun Alamiah
Respons imun alamiah atau bawaan bertugas sebagai pertahanan pertama yang
bersifat nonspesifik dalam mengiliminasi patogen yang masuk kedalam tubuh. Sistem imun
alamiah mengembangkan berbagai reseptor disebut pattern recognition receptors (PRRs)
yang mempunyai kemampuan mengenali secara spesifik bentuk molekuler dari patogen
berupa protein mikroba atau lektin yang disebut pathogen associated molecular patterns
(PAMPs). Peran PAMPs adalah membantu sistem imun alamiah bisa membedakan struktur
dari tubuh sendiri (self) atau bukan (nonself) (Lambrect et al., 2011).
Cluster of differentiation 14 (CD14) dan toll like receptor (TLR) termasuk PRRs
sistem imun alamiah. Toll like receptor yang teridentifikasi sekitar 11 dan beberapa TLR
mengenali produk bakteri yang berbeda. Toll like receptor 2 (TLR2) mengenali komponen
spesifik dari Mycobacterium spp. (lipoarabinomannan), fungi (zymosan), dan bakteria gram
positif (asam lipoteichoic, lipoprotein). Toll like receptor 4 (TLR4) mengenali
lipopolisakarida (LPS) dari bakteri gram negatif. Respons imun alamiah membutuhkan
TLR4 dalam melawan H. influenzae dan K. pneumonia. Penelitian melaporkan bahwa
gangguan sinyal TLR4 meningkatkan mortalitas, mengganggu fagositosis bakterial dan
penundaan ekspresi sitokin inflamasi (Craig et al., 2009).
Pengenalan PAMPs oleh PRRs mengaktivasi kaskade intraselular dengan ekspresi
efektor antara lain sitokin, kemokin dan molekul adhesi yang terlibat proses inflamasi.
Inflamasi pada gram negatif sebagai respons TLR4 (sebagai PRRs) terhadap LPS (sebagai
PAMPs) maka terjadi ekspresi sejumlah sitokin proinflamasi (TNF-α, IL-1β, IFN-γ) karena
aktivasi nuclear factor-κβ (NFκβ) dalam makrofag, proses terjadi pula pada TLR2 terhadap
asam teichoic organisme bakteri gram positif (antara lain Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pneumoniae) (Craig et al., 2009).
Mekanisme humoral sistem imun alamiah
Mekanisme respons imun alamiah humoral diperankan oleh laktoferin, lizozim,
defensin, komplemen, kathelisidin dan kolektin, yang diproduksi oleh sel struktur jalan napas
atau sel respons imun alamiah yang direkrut seperti netrofil dan makrofag (Lambrect et al.,
2011).
Aktivitas peptida antimikroba dimulai dengan: (1) masuknya mikroba; (a) interaksi
elektrostatik antara dinding bakteri yang bermuatan negatif dengan peptida yang bermuatan
positif; (b) kemudian dinding bakteri dan peptida berhubungan lubang insersi atau
membentuk formasi carpet-like structure yang membuat distabilitas membran bakteri. (2,3)
Peptida antimikroba berasal dari sel epitelial dan sel inflamasi. Defensin dan LL-37
melakukan peran sebagai mediator umpan balik kepada sel epitelial dan sel inflamasi,
kemudian mengakibatkan lepasnya mediator-mediator dan proses selular (proliferasi dan
kemoatraktan) yang dijelaskan pada gambar satu (Robert, 2000).
Lizozim mendegradasi dinding bakteri gram negatif. Defensin diproduksi oleh
netrofil (α-defensin) dan sel epitelial (β-defensin), defensin berperan membuat kebocoran di
dinding bakteri, sebagai peptida antibakterial, menetralkan virus, dan merekrut sel dendritik
melalui aktivasi reseptor kemokin CCR6. Peran defensin bergantung pada konsentrasi garam
pada cairan di permukaan jalan napas (Lambrect et al., 2011).
Gambar 1. Mekanisme aktivitas peptida antimikroba
Keterangan: hBD=human β-defendin; HNP=human neutrophil peptide; SLPI= secretory
leukocyte protease inhibitor; GSH=Growth Stimulating Hormone; LL-37=
cathelicidin.
Dikutip dari (Robert, 2000)
Mekanisme selular sistem imun alamiah
Respons imun alamiah selular paru terutama diperankan makrofag alveolar dan
neutrofil. Mikroorganisme yang terdeposisi akan difagositosis oleh sel makrofag dan sel
polimorfonuklear (PMN) yang bertugas dalam pertahanan tubuh. Sel makrofag dalam paru
disebut makrofag alveolar. Sel makrofag adalah perkembangan dari sel monosit (circulating
monocyte) yang diproduksi sumsum tulang.23 Sel makrofag mampu mengeluarkan substansi
antigenik. Mekanisme fagositik sel makrofag terjadi karena didalam sitoplasma makrofag
berisi berbagai enzim, produk metabolik dan sitokin untuk mencerna mikroorganisme dan
pertahanan ruang alveolar, tetapi juga berpotensi merusak membran alveokapiler. Patogen
yang masuk ke dalam paru memicu sel epithelial, makrofag, dan sel dendritik. Sel epitelial
memproduksi kemokin yang merangsang netrofil untuk membantu fagositosis mikroba
patogen (Toews, 2007; Lambrect et al., 2011).
Proses fagositosis diawali dengan menempelnya mikroorganisme pada dinding
makrofag yang berupa membran dengan bantuan suatu protein yang disebut opsonin,
kemudian membran makrofag melakukan invaginasi dan membentuk cekungan untuk
menelan mikroorganisme tersebut. Partikel atau mikroorganisme difagositosis melalui
pembentukan fagosom sitoplasmik. Sel leukosit PMN (netrofil) berperan melawan
mikroorganisme bila makrofag gagal dalam memfagositosis partikel atau mikroorganisme
terutama yang berada di bagian distal paru (Djojodibroto, 2009).
Gambar 2. Proses infeksi bakteri di paru dan peran netrofil.
Keterangan: RBC= red blood cell.
Dikutip dari (Craig et al., 2009)
Netrofil mempunyai kemampuan mengenali bakteri atau komponennya, kemudian
netrofil bermigrasi melewati epitel mengikuti gradien kemotaktik. Peran netrofil dalam
mekanisme pertahanan paru sebagai antibakteria membutuhkan tahapan yang kompleks.
Tahap awal (1) saat bakteri masuk dan berinteraksi dengan sel-sel epitelial dan makrofag, (2)
memicu sekresi sitokin dan netrofil chemoattractants, (3) sitokin-sitokin dengan umpan balik
positif untuk ekspresi molekul adhesi pada endotel kapiler, (4) mediasi proses migrasi netrofil
ke ruang alveolar, (5) migrasi netrofil menghasilkan protease, reactive oxygen species (ROS)
dan reactive nitrogen species (RNS) (6) induksi kematian sel pada sel-sel yang terinfeksi dan
bila berlanjut terjadi lung injury yang luas. Proses inflamasi di paru dijelaskan pada gambar
dua (Craig et al., 2009).
Sistem Imun Adaptif
Sistem pertahanan spesifik atau adaptif adalah respons imun terhadap antigen spesifik
yang telah dikenali sebelumnya melalui sel antigen presenting cell (APC) yaitu sel dendritik.
Terdapat dua macam komponen respons imun adaptif yaitu mekanisme respons imun
humoral yang melibatkan limfosit B dan mekanisme respons imun selular yang melibatkan
limfosit T. Limfosit B dan limfosit T mempunyai ketergantungan satu dengan yang lain
dalam bekerja (Djojodibroto, 2009).
Mekanisme humoral sistem imun adaptif
Mekanisme respons imun humoral memerlukan aktivitas limfosit B dan antibodi yang
diproduksi oleh sel plasma. Mekanisme imun humoral didalam sistem pernapasan terdapat
dalam dua bentuk antibodi berupa imunoglobulin A (IgA) dan immunoglobulin B (IgB).
Antibodi IgA penting dalam pertahanan tubuh terutama di nasofaring dan saluran napas
bagian atas. Jumlah antibody IgA lebih banyak pada sistem pernapasan daripada dalam
sirkulasi darah. Imunoglobulin G terdapat di bagian distal paru dalam jumlah sedikit dan
sebagian lainnya berasal dari serum. Imunoglobulin G berperan dalam menggumpalkan
partikel, menetralkan toksin yang diproduksi virus dan bakteria, mengaktifkan komplemen
dan melisiskan bakteri gram negatif (Djojodibroto, 2009).
Mekanisme selular sistem imun adaptif
Mekanisme imun selular oleh sel T terjadi karena sensitisasi terhadap limfosit T yang
menghasilkan berbagai mediator antara lain limfokin, yaitu zat yang dapat menarik dan
mengaktifkan sel-sel pertahanan tubuh terutama makrofag. Limfosit T berinteraksi dengan
limfosit B dalam memodifikasi produksi antibodi. Limfosit T dibedakan menjadi limfosit
CD4+ (sel T Helper) dan limfosit CD8+ (sel supresor dan sel T sitotoksik). Sel T yang belum
berdiferensiasi dikenal sebagai sel T naive (sel Th0) kemudian teraktivasi menjadi sel Th1
dan sel Th2. Sel Th1 mensekresi IL-2, tumor necrosis factor–β (TNF-β), dan interferon γ
(IFN-γ) yang mengaktifkan fungsi fagositosis makrofag alveolar dan sel T sitotoksik . Sel
Th2 mensekresi IL-4, IL-5 membantu mengaktifkan sel limfosit B memproduksi antibodi.
Sel Th2 juga mensekresi IL-5 dan IL-9 yang mengaktifkan eosinofil dan sel mast. Respons
imun melalui sel limfosit T disebut sistem imun selular (Baratawidjaja, 2006; Lambrect et
al., 2011).
B. PNEUMONIA KOMUNITAS
Pneumonia komunitas atau CAP didefinisikan sebagai infeksi akut pada parenkim
paru yang didapat dari komunitas. Pneumonia komunitas seringkali didapatkan dari infeksi
bakteri dan berhubungan dengan klinis serta gambaran radiologis konsolidasi di satu atau
kedua sisi paru. Pneumonia komunitas menjadi salah satu penyakit infeksi serius di seluruh
dunia karena jumlah rawat inap dan insiden yang tinggi serta komplikasi berat yang
menyertainya (Steel et al., 2013).
1.
Epidemiologi
Pneumonia komunitas menjadi kasus yang paling sering terjadi di negara industri dan
menjadi masalah yang harus diperhatikan karena membutuhkan pembiayaan yang tinggi
dalam penanganannya. Insidens pneumonia komunitas di Eropa sekitar 1,2 sampai 11,6 kasus
per 1000 populasi per tahun
(Viasus et al., 2013). Data di Asia menunjukkan
pneumonia komunitas menyebabkan kematian sekitar 1 juta orang per tahun (Leon et al.,
2014). Proporsi kasus di Indonesia 53,95% laki-laki dan 46,05% perempuan, dengan crude
fatality rate (CFR) 7,6% (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2014).
2.
Etiologi
Etiologi pneumonia komunitas dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme.
Penelitian di berbagai negara melaporkan bahwa penyebab utama pneumonia komunitas
adalah bakteri gram positif (Mandell et al., 2007). Lobus paru bagian bawah menjadi bagian
dengan ventilasi paling baik dan menjadi tempat deposit mikroorganisme terinhalasi.
Mikroorganisme patogen penyebab pneumonia komunitas secara umum diklasifikasikan
menjadi tipikal dan atipikal. Penyebab tipikal tersering adalah Streptococcus pneumoniae
dan penyebab atipikal adalah Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella
species dan virus (Watkins et al., 2011). Data di Indonesia pada tahun 2012 menunjukkan
bahwa penyebab utama pneumonia komunitas di beberapa rumah sakit adalah kuman gram
negatif Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter baumannii, Pseudomonas aueruginosa
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2014).
3.
Patogenesis
Pertahanan respirasi dari berbagai tahapan bekerja secara efektif untuk menjaga agar
paru terbebas dari infeksi bakteri. Kegagalan dari mekanisme pertahanan saluran napas dan
adanya faktor predisposisi pada penderita meningkatkan risiko terjadi pneumonia, kondisi
dibawah ini perlu diperhatikan dalam proses pneumonia:
1.
Perubahan dari flora normal orofaring.
Imunoglobulin lokal terutama imunoglobulin A, komplemen dan flora normal mencegah
kolonisasi orofaring dari mikroorganisme yang virulen. Malnutrisi, diabetes,
alkoholisme, dan penyakit sistemik kronis lainnya menyebabkan penurunan fibronektin
dan peningkatan basil gram negatif. Pemberian antibiotik berhubungan dengan supresi
flora normal oral dan memfasilitasi kolonisasi bakteri gram negatif yang lebih resisten.
2.
Penekanan reflek batuk dan reflek glotis.
Menyebabkan aspirasi isi lambung terutama pada pasien tua, pasien dengan PPOK,
penderita yang menjalani pembedahan torakoabdominal atau penyakit neuromuskular.
3.
Penurunan kesadaran
Kesadaran menurun meningkatkan aspirasi sekret orofaring. Penderita dengan koma,
kejang, gangguan serebrovaskular dan alkoholisme sering terjadi aspirasi.
4.
Gangguan mekanisme mukosilier
Bersihan mukosilier yang efektif bergantung pada gerakan silier dan bentuk fisik dari
mukus. Kelenjar submukosa dan sel globet di permukaan epitel memproduksi cairan
dipermukaan saluran napas. Lapisan atas dari cairan ini terdiri dari gel seperti mucin dan
bagian bawah terdiri dari cairan non gel. Gerakan silier membantu mukus di saluran
napas bergerak ke arah mulut. Proteksi terutama oleh mukus yang melapisi epitel bersilia
dari laring sampai bronkialis terminal yang terpengaruh oleh kondisi kronik seperti asap
rokok, infeksi saluran napas dan udara/gas beracun.
5.
Disfungsi makrofag alveolar.
Monosit dalam sirkulasi darah cepat berdiferensiasi menjadi makrofag bila inflamasi
terjadi dan membantu aktivitas serta fungsi makrofag alveolar. Makrofag alveolar
mempunyai kemampuan sebagai sel fagosit. Sebagian besar mikroorganisme mati
karena sistem lisosom makrofag alveolar. Kemampuan bakterisidal makrofag penting
lainnya yaitu peran toll like receptor protein, pembentukan reactive oxygen species
(ROS) dan nitric oxyde (NO).
6.
Disfungsi imun.
Respon imun mempunyai peran utama melawan infeksi mikroorganisme patogen.
Respons imun bergantung pada pengenalan spesifik antigen oleh limfosit T dan B serta
respons imun non spesifik oleh sel dendritik, makrofag, netrofil, eosinofil, dan sel mast.
Kelainan
granulosit,
limfosit,
imuno
defisiensi
kongenital/dapatan,
terapi
imunosupresan menjadi predisposisi pneumonia (Singh, 2012).
4.
Patologi
Perubahan patologis pada pneumonia secara umum dibagi menjadi 4 tahap, yaitu:
a. Tahap kongesti
Tahap kongesti terjadi permulaan respons awal dari inflamasi akut. Lobus paru yang
terinfeksi akan menjadi merah karena kongesti vaskular. Netrofil dan bakteri akan
terlihat dalam jumlah besar di alveoli. Tahap kongesti akan berlangsung pada 1
sampai 2 hari awal infeksi.
b. Tahap hepatisasi merah.
Lobus terinfeksi akan menjadi merah dan konsistensi menyerupai liver. Cairan
protein berubah menjadi untaian fibrin disertai pembentukan eksudasi selular oleh
netrofil. Tahap kongesti merah berlangsung 2 sampai 4 hari.
c. Tahap hepatisasi abu-abu.
Lobus yang terinfeksi menjadi kering dan berwarna biru karena lisis sel. Eksudasi sel
netrofil berkurang seiring penurunan aktifitas sel-sel inflamasi dan makrofag tidak
terlihat. Jumlah mikroorganisme berkurang. Tahap hepatisasi abu-abu berlangsung 4
sampai 7 hari.
d. Tahap resolusi
Berlangsungnya aktivitas enzimatik dan terbentuk lapisan fibrin. Makrofag menjadi
sel utama di alveoli, terjadi reduksi cairan dan sel-sel eksudat dari alveoli dengan
ekspektorasi dan drainase limfatik. Perbaikan parenkim paru selama lebih dari 3
minggu (Singh, 2012).
5.
Diagnosis
Anamnesis yang didapatkan pada penderita pneumonia adalah keluhan batuk dengan
produksi sputum mukopurulen yang meningkat, demam, batuk, menggigil, nyeri dada
pleuritik. Demam yang tinggi (>40oC), laki-laki, keterlibatan lebih dari satu lobus, gangguan
neurologis atau gangguan gastrointestinal berhubungan dengan infeksi Legionella.
Gambaran klinis penderita usia tua jarang terdapat gejala-gejala klasik pneumonia dan lebih
pada gambaran kelemahan dan perubahan status fungsional dan mental. Kelainan dari faktor
penjamu dan kemungkinan paparan patogen tertentu harus diperhatikan, seperti paparan dari
pekerjaan, hewan sekitar, dan riwayat seksual (Watkins et al., 2007).
Pemeriksaan fisik didapatkan demam, dullness dalam perkusi, egofoni, takikardia,
dan takipnea. Suara napas asimetris, perubahan suara napas dari bronkovesikuler sampai
bronkial, suara napas tambahan yaitu ronki basah halus hingga ronki basah kasar, pleural rub
dan peningkatan fremitus raba meningkatkan kecurigaan pneumonia. Hasil pemeriksaan fisik
pneumonia bergantung dengan luasnya parenkim yang terlibat. Takipnea sering ditemukan
pada penderita pneumonia usia tua (Watkins et al., 2007).
Gambaran konsolidasi berupa infiltrat pada pemeriksaan radiologis rontgen toraks
posteroanterior dan lateral dibutuhkan dalam penegakan diagnosis pneumonia komunitas.
Keterlibatan parenkim paru yang difus pada gambaran rontgen toraks berhubungan dengan
penyebab dari infeksi Legionella dan virus (Watkins et al., 2007). Diagnosis pneumonia
komunitas menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2014) bila didapatkan infiltat baru
atau penambahan infiltrat dari foto toraks ditambah 2 atau lebih gejala, yaitu:
6.
-
Batuk bertambah
-
Perubahan karakteristik dahak/purulen
-
Suhu tubuh ≥ 38oC atau riwayat demam
-
Pemeriksaan fisik ditemukan tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki
-
Leukosit ≥ 10.000 atau < 4.500.
Penilaian Tingkat Keparahan Pneumonia Komunitas
Penderajatan tingkat keparahan pada awal pasien datang di pelayanan kesehatan
penderita pneumonia komunitas sangat penting untuk penatalaksanaan berikutnya.
Perhitungan skor keparahan menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2014) pada awal
pemeriksaan digunakan untuk mengidentifikasi pasien pneumonia komunitas yang
membutuhkan rawat jalan, rawat inap ataupun perawatan intensif.
Sistem skor Pneumonia Severity Indexs (PSI) direkomendasikan oleh American
thoracic society (ATS), Infectious diseases society of America (IDSA), dan British Thoracic
Society (BTS). Sistem skor PSI yang dibuat oleh Pneumonia Patient Outcome Research
Team (PORT) dijelaskan pada tabel satu (Mandell et al., 2007; British Thoracic Society,
2009; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2014).
Tabel 1. Sistem skor PSI
Karakteristik Pasien
Skor
Faktor demografi
Umur: Laki-laki
Perempuan
Perawatan di rumah
Umur (tahun)
Umur (tahun) dikurangi 10
Umur (tahun) ditambah 10
Penyakit penyerta
Keganasan
Penyakit hati
Gagal jantung kongestif
Penyakit serebrovaskular
Penyakit ginjal
30
20
10
10
10
Temuan pemeriksaan fisik
Perubahan status mental
Frekuensi napas ≥30/menit
Tekanan darah sistolik ≤90 mmHg
Suhu tubuh <35oC atau ≥40oC
Denyut nadi >125/menit
20
20
20
15
10
Temuan laboratorium dan radiologi
pH darah arteri <7,35
Blood urea nitrogen>30 mg/dl
Sodium <130 mmol/L
Glukosa >250mg/dl
Hematokrit <30%
Tekanan parsial oksigen arteri ≤60
mmHg
Efusi pleura
30
20
20
10
10
10
10
Dikutip dari (Mandell et al., 2007)
Tingkat keparahan pneumonia sesuai PSI memperhitungkanfaktor demografi,
penyakit penyerta, temuan pemeriksaan fisik, laboratorium dan radiologi. Skor PSI kemudian
dimasukkan dalam klasifikasi risiko mortalitas dan klasifikasi perawatan ke rawat jalan atau
rawat inap, dijelaskan pada tabel dua (Mandell et al., 2007).
Tabel 2. Klasifikasi risiko mortalitas dan perawatan berdasarkan PSI
Kelas risiko
Jumlah poin
I ..(Ringan)
II (Ringan)
III (Ringan)
(usia < 50 tahun, tidak ada
penyakit penyerta dan
abnormalitas tanda vital)
≤ 70
71-90
IV (Sedang)
V (Berat)
91-130
> 130
Mortalitas 30 hari
(%)
0,1
Perawatan
Rawat jalan
0,6
2,8
Rawat jalan
Rawat jalan
atau rawat
inap
8,2
Rawat inap
29,2
Rawat inap
Dikutip dari (Mandell et al., 2007)
Menurut pedoman diagnosis dan tatalaksana pneumonia komunitas Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia (2014) maka kriteria untuk indikasi rawat inap adalah :
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Skor PORT ≤ 70 tetap memerlukan rawat inap bila memenuhi salah satu dibawah :
-
Frekuensi napas > 30 x/menit
-
PaO2/FiO2 < 250 mmHg
-
Foto toraks menunjukkan kelainan bilateral
-
Foto toraks melibatkan > 2 lobus
-
Tekanan sistolik < 90 mmHg
-
Tekanan diastolik < 60 mmHg
Menurut IDSA/ATS (2007) kriteria diagnosis pneumonia berat bila didapatkan salah satu
atau lebih kriteria dibawah ini :
Kriteria minor:

Frekuensi napas ≥ 30 kali/menit

PaO2/FiO2 ≤ 250 mmHg

Foto toraks melibatkan infiltrat multilobus

Kesadaran menurun/disorientasi

Uremia (BUN≥ 20 mg/dl)

Leukopenia (leukosit < 4000 sel/mm3)

Trombositopenia ( trombosit <100.000 sel/mm3)

Hipotermia (suhu <36oC)

Hipotensi yang memerlukan resusitasi cairan agresif.
Kriteria mayor:

Membutuhkan ventilasi mekanis

Syok septik yang memerlukan vasopresor
Pasien yang memerlukan ruang rawat intensif (ICU) adalah:

Pasien syok septik yang membutuhkan vasopresor atau mengalami acut respiratory
distress syndrome yang membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanis

Pasien dengan 3 gejala minor pneumonia berat.
C. ZINK
Peran penting zink untuk manusia diketahui sekitar 50 tahun lalu. World Health
Organization (WHO) memperkirakan hampir 2 milyar orang terutama di negara berkembang
mengalami defisiensi zink. Manifestasi klinis defisiensi zink antara lain gangguan
pertumbuhan, disfungsi imun, peningkatan oksidatif
stres dan peningkatan sitokin
proinflamasi. Zink adalah zat gizi esensial yang berperan penting dalam regulasi respons
imun terhadap berbagai penyakit infeksi (Prasad et al., 2004; Prasad, 2014).
Sumber dan Bioavaibiliti Zink
Sumber utama dari diet yang mengandung zink tinggi antara lain daging merah,
makanan dari hasil laut, buah, sayuran segar dan produk dari pengolahan susu. Zink dapat
ditemukan di berbagai makanan lainnya antara lain biji-bijian, kacang-kacangan, dan padipadian. Zink didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh dalam bentuk ion intraselular dalam
jumlah kecil dan dijumpai di dalam darah. Zink diabsorpsi terutama di duodenum dan
yeyunum proksimal. Zink dieksresikan terutama melalui feses dan dalam jumlah kecil
melalui keringat, urin, kulit yang deskuamasi (Arisman, 2010).
Bahan makanan yang dapat membantu penyerapan zink antara lain asam askorbat,
asam sitrat (pepaya, jambu, pisang mangga, semangka, pir), asam malak dan tartrat (kentang,
wortel, labu, tomat), bahan makanan dari fermentasi (kecap, acar). Makanan yang dapat
menghambat penyerapan antara lain polifenol (teh, kopi, bayam), kalsium dan fosfat (susu,
keju) (National Institutes of Health, 2013).
Bioaviabiliti zink dipengaruhi oleh kebutuhan sistemik. Pengaturan diet yang adekuat
harus tersedia agar kebutuhan zink untuk berbagai proses metabolisme tubuh terpenuhi. Diet
yang tidak adekuat akan menyebabkan tubuh mengubah zink endogen. Zink dapat
menghambat penyerapan beberapa antibiotik antara lain penisiilamin, tetrasiklin dan
kuinolon. Penyerapan zink dihambat suplemen yang mengandung besi dan fitat yang
ditemukan dalam biji-bijian dan kacang-kacangan, sehingga pemberian zink harus
dipisahkan minimal 2 jam (Hidayat, 1999).
Kebutuhan Zink
Kebutuhan zink yang direkomendasikan menurut Food And Nutrition Board dari USA
National Academy of Science menetapkan diet zink adalah 15 mg/hari untuk laki-laki dewasa
dan 12 mg/hari untuk wanita dewasa. Batas atas penggunaan zink menurut Food and
Nutrition (2001) pada orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan adalah 40 mg.
Kebutuhan zink di Indonesia menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) sesuai rekomendasi
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi XI Tahun 2012 adalah laki-laki dewasa adalah 13
mg/hari dan wanita dewasa 10 mg/hari (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
Efek Samping dan Toksisitas Zink
Efek samping yang pernah dilaporkan pada pemberian zink lebih dari 40 mg antara
lain nausea, muntah, diare, metallic taste, rasa tidak nyaman di lambung dan pada beberapa
kasus dapat mengurangi absorbsi zat besi sehingga terjadi anemia (Maret et al., 2006).
Tanda keracunan zink yang telah dilaporkan dengan dosis 150 mg hingga 450 mg/hari
yang menyebabkan gejala mual, muntah, demam, diare dan kram perut (Lewis et al., 1998).
Suplemen terapi zink dapat berbentuk zink asetat, zink glutamat, sitrat dan zink karbonat.
Zink sulfat paling banyak digunakan oleh peneliti dan hasil penelitian menunjukkan tidak
ada hubungan antara jenis suplemen dengan pertumbuhan (Maret et al., 2006).
Peran Zink
Zink berpotensi sebagai suplemen terapi dalam penatalaksanaan pneumonia
komunitas karena perannya sebagai anti inflamasi dan respons anti mikrobial. Defisiensi zink
dalam beberapa penelitian disebutkan menjadi faktor risiko terjadinya penyakit infeksi
seperti pneumonia dan suplementasi zink berpotensi dengan menurunkan derajat keparahan
sebagai tambahan pemberian antibiotik konvensional (terapeutik) menurunkan morbiditas
dan mortalitas pneumonia komunitas (Stafford et al., 2013).
1. Peran zink pada fungsi imun dan pertahanan tubuh
Sistem imun membutuhkan mikronutrien esensial seperti zat besi, zink, selenium dan
copper agar fungsinya optimal. Defisiensi elemen mikronutrien mengakibatkan supresi pada
aktivitas sel pada sistem imun bawaan dan adaptif dengan mempengaruhi fungsi atau
penurunan jumlah sel imun yang kemudian berpengaruh pada peningkatan morbiditas dan
mortalitas pada infeksi virus, bakteri dan parasit (Stafford et al., 2013).
Zink sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan sebagian besar
organisme. Defisiensi zink pertama kali dilaporkan sekitar 50 tahun lalu pada sebuah kasus
klinis seorang pasien laki-laki dengan anemia berat dan gangguan pertumbuhan di Iran
(Timur Tengah), selain itu pasien juga mengalami defisiensi sistem imun yang
mengakibatkan infeksi dan kematian pasien. Penelitian Beck dkk menyatakan bahwa
defisiensi zink pada manusia mengakibatkan ketidakseimbangan sel T helper1 (Th1) dan T
helper2 (Th2) ditandai dengan penurunan sel Th1, tetapi defisiensi zink tidak berpengaruh
pada Th2. Penurunan Th1 mengakibatkan
penurunan produksi interferon γ (IFN γ),
interleukin-2 (IL-2), dan sekresi TNF-α (Stafford et al., 2013).
2. Zink sebagai antiinflamasi
Respons imun terhadap inflamasi diperlukan suatu sinyal molekuler. Peran utama
dalam faktor trankripsi respons imun pada sitokin inflamasi yang melibatkan sinyal
molekuler oleh nuclear factor-κβ (NFκβ). Zink mempunyai peran penting dalam regulasi
aktivasi NFκβ (Prasad, 2004). Zink diperlukan oleh ikatan deoxyribose nucleid acid (DNA)
dengan NFκβ murni atau NFκβ rekombinan protein p50 dalam lapisan sel T helper (Th)
(Prasad et al., 2001).
Zink menghambat aktivasi NFκβ melalui protein A20 yang diperantarai jalur TNFreceptor associated factor (TRAF) kemudian menghambat NFκβ inducible kinase (NIK).
Zink yang menghambat aktivasi NFκβ melalui A20 akan menurunkan regulasi pembentukan
IL-1β dan TNF-α di sel endothelial. Zink mempunyai jalur lain dalam menghambat aktivasi
NFκβ yaitu melalui reseptor nukleus yaitu peroxisome proliferator activated receptor-α
(PPAR-α), yang berperan sebagai mediator metabolisme lipoprotein dan inflamasi (Bao et
al., 2010)
Reactive oxygen spesies (ROS) terinduksi oleh banyak stimulus oleh LDL yang
teroksidasi (oxLDL) di makrofag dan sel vaskular sel endothelial. ROS dan oxLDL dapat
mengaktivasi apoptosis sel melalui jalur aktivasi enzim proapoptosis dan jalur NFκβ
inducible kinase (NIK). Zink mempunyai peran atheroprotective dengan melalui beberapa
mekanisme, pertama melalui inhibisi pembentukan ROS melalui jalur metallothionein (MT),
superoxide dismutase (SOD) dan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH);
mekanisme kedua adalah regulasi umpan balik negatif pada sitokin atau molekul pembentuk
aterosklerosis antara lain sitokin proinflamasi (IL-1β, IL-6, IL-8, TNF-α, MCP-1), molekul
adhesi (VCAM-1), enzim (iNOS, COX2), fibrinogen dan tissue factor (TF) melalui inhibisi
aktivasi NFκβ oleh sinyal A20-mediating tumor necrosis factor (TNF)-receptor associated
factor (TRAF) dan melalui sinyal crosstalk peroxisome proliferator activated receptor-α
(PPAR-α). Berbagai peran zink dijelaskan pada gambar tiga (Prasad et al., 2008).
Gambar 3. Jalur zink dalam mencegah aterosklerosis dan inflamasi di makrofag dan vaskular
sel endothelial.
Keterangan: TNF-α= Tumor necrosis factor-α; PPAR-α= peroxisome proliferator activated receptor-α;
ROS=reactive oxygen spesies; oxLDL=oxidixed low density lipoprotein; NIK= NFκβ inducible
kinase;CRP= C-reactive protein; IKK= I-κβ kinase; IL= interleukin; MCP-1=macrophage
chemoattractant protein 1; ICAM-1= intercell adhesion molecule 1; VCAM-1= vascular cell
adhesion molecule 1; TRAF= TNF-receptor associated factor; TF= tissue factor; iNOS=
inducible nitric oxide synthase; NFκβ= nuclear factor κβ; MT= metallothionein; SOD=
superoxide dismutase; NADPH= nicotinamide adenine dinucleotide phosphate.
Dikutip dari (Prasad et al., 2008)
3. Zink meningkatkan respons antimikroba
Efek defisiensi zink atau suplementasi zink di beberapa penelitian penyakit infeksi
dilaporkan mempengaruhi jumlah atau fungsi dari makrofag. Pemberian suplementasi zink
pada penelitian dengan infeksi T. Cruzi ,E.coli dan Staphylococcus aureus menghasilkan
peningkatan aktivitas fagositosis makrofag peritoneal. Penelitian lain melaporkan makrofag
mengaktivasi sitokin TNF-α dan IFN-γ untuk mendorong akumulasi zink di fagolisosom
makrofag sehingga meningkatkan respons antimikrobial pada infeksi Mycobacterium avium
(Prasad et al., 2008).
Gambar 4. Perjalanan zink, sinyal inflamasi dan respons antimikrobial pada makrofag
Keterangan: Zn2+ = zinc; TLR = toll like receptor; MAPK = mitogen activated protein kinase; NFκβ=nuclear
transcription factor-κβ;Nrf2=nuclear factor erythroid 2 related factor 2; MT=metallothionein.
Dikutip dari (Andreini et al., 2006)
Sinyal toll like receptor 4 (TLR4) memacu akumulasi zink bebas secara cepat
bersamaan dengan makrofag yang merupakan efek importir zink yaitu SLC39a8 dan
redistribusi zink yang tersimpan di intraselular. Zink dibutuhkan oleh banyak respons sinyal
TLR dan aktivasi pannexin-1 dependent inflammasome. Zink pada level yang tinggi dapat
menghambat jalur sinyal inflamasi pada makrofag antara lain menghambat IKκβ, promosi
aktivasi Nrf2 dan protein A20. Sinyal TLR memodulasi ekspresi beberapa gen zink transport
dan memobilisasi penyimpanan zink intraselular. TLR-induced SLC30A mendorong efluk
zink kemudian mengantarkan zink ke fagosom dan vesikel intraselular lainnya untuk aktivasi
respons antimikrobial. Transport zink, sinyal inflamasi dan respons antimikrobial pada
makrofag dijelaskan pada gambar empat (Andreini et al., 2006).
Peran Zink Pada Pneumonia
Potensi zink dalam penatalaksanaan pneumonia komunitas antara lain berperan
sebagai antiinflamasi dan respons antimikrobial. Suplementasi zink berpotensi dengan
menurunkan derajat keparahan sebagai tambahan pemberian antibiotik konvensional
(terapeutik) menurunkan morbiditas dan mortalitas pneumonia komunitas (Stafford et al.,
2013). Zink merupakan mikro mineral penting karena efek sitoprotektif antara lain
antiinflamasi, dan antioksidan pada sel-sel pernapasan. Defisiensi zink dihubungkan dengan
atrofi timus, limfopenia dan penurunan respons imun termediasi sel dan antibodi (Field et
al., 2002). Zink berperan penting dalam regulasi respons imun terhadap berbagai penyakit
infeksi (Prasad, 2014).
Penelitian lainnya yang pernah meneliti tentang terapi tambahan zink pada
pneumonia antara lain penelitian Brooks et al (2003) di Bangladesh terhadap 270 anak usia
2-23 bulan dengan pneumonia berat yang mendapat suplementasi zink 20 mg/hari selama 5
hari perawatan di rumah sakit, hasil penelitian menyatakan bahwa zink dapat mempercepat
masa penyembuhan pneumonia (dinilai dari durasi retraksi dada, laju napas >50x/menit, dan
hipoksia) sebesar 0,7 (95% CI 0,51-0,98) disertai perbaikan konsentrasi zink serum dari 10,1
μmol/L menjadi 14,5 μmol/L (p <0,0001) (Ngom et al., 2011).
Suplementasi zink elemental 45 mg/hari dalam bentuk glukonat selama 12 bulan pada
sejumlah kecil lansia (usia 55-87 tahun) secara signifikan menurunkan insidens semua
infeksi, termasuk infeksi saluran napas (Prasad et al., 2008). Penelitian Srivasan et al tahun
2012 pada anak dengan pneumonia berat menyatakan pemberian terapi tambahan zink dapat
mengurangi case fatality (Prasad, 2014).
Penulis dalam penelitian menggunakan dosis 15 mg/hari berdasarkan rekomendasi
kebutuhan zink di Indonesia menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) oleh Widya Karya
Nasional Pangan dan Gizi XI Tahun 2012 (laki-laki dewasa adalah 13 mg/hari dan wanita
dewasa 10 mg/hari) dan rekomendasi menurut Food And Nutrition Board dari USA National
Academy of Science (diet zink 15 mg/hari untuk laki-laki dewasa dan 12 mg/hari untuk
wanita dewasa). Batas atas penggunaan zink menurut Food and Nutrition tahun 2001 pada
orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan adalah 40 mg.
Pemberian terapi zink dalam penelitian ini diberikan selama 5 hari untuk melihat
pengaruhnya pada perbaikan klinis dan kadar biomarker yaitu
endothelin-1 dan TNF-α
penderita pneumonia. Hasil penelitian yang menjadi pembanding adalah penelitian Brooks
et al (2003) selama 5 hari perawatan di rumah sakit yang menyatakan bahwa zink dapat
mempercepat masa penyembuhan pneumonia. Pengambilan sampel dilakukan pada hari
pertama dan hari ke-5, yang menjadi pembanding adalah hasil penelitian sebelumnya oleh
Antunes et al (2002) dan Calbo et al (2008) yang menyatakan bahwa kadar TNF-α penderita
pneumonia mengalami perubahan yang signifikan sesuai keparahan penyakit pada hari 5
setelah perawatan.
D. TUMOR NECROSIS FACTOR –α (TNF-α)
Tumor necrosis factor (TNF) diidentifikasi pertama kali pada tahun 1975 sebagai
endotoxin induced glycoprotein yang menyebabkan nekrosis hemoragik pada sarkoma yang
telah ditranplantasikan di tikus coba. Tumor necrosis factor diketahui mempunyai implikasi
yang luas pada proses inflamasi, infeksi dan malignansi. Tumor necrosis factor (TNF) terdiri
dari dua jenis, yaitu TNF-α dan TNF-β. Tumor necrosis factor alfa ditemukan sekitar tahun
1990 oleh William Coley. Limfosit Th1 menghasilkan TNF-β yang kurang berperan dalam
proses inflamasi (Bradley, 2008).
Tumor necrosis factor-α adalah sitokin yang berperan dalam proses keradangan dan
sepsis, TNF-α dikendalikan oleh kromosom nomer 6 yang terdapat pada komplek gen MHC
atau HLA. Tumor necrosis factor alfa adalah penanda (biomarker) yang baik adanya respons
endotoksin dan meningkat setelah 90 menit dari rangsangan tersebut. Konsentrasi normal
TNF-α dalam serum adalah < 35 pg/ml dan menjadi > 240 pg/ml dalam keadaan sepsis
(Hermawan, 2008).
Tumor necrosis factor-α dapat memproduksi panas secara langsung dengan aksi
hipotalamik melibatkan pelepasan prostaglandin E2. Tumor necrosis factor alfa
menyebabkan efek langsung pada sel endotel antara lain IL-1 dan mempunyai efek antiviral
yang bekerja sinergis dengan interferon (Baratawidjaja, 2006). Jalur sinyal tranduksi TNF-α
sangat komplek dan belum diketahui sepenuhnya. Regulasi trankripsi dari NFκβ adalah
komponen kunci sinyal tranduksi TNF-α. Aktivitas biologis TNF-α terutama dihasilkan oleh
sel makrofag dan sel-sel jenis lainnya dengan berbagai aktivitas biologi pada sel-sel
sasaran yang termasuk sistem imun maupun bukan (Bradley, 2008).
Sitokin dapat dimanfaatkan sebagai penanda (biomarker) untuk memprediksi suatu
keadaan klinis bila diinterpretasikan bersama data klinis dan sistem skor seperti keparahan
pneumonia dari pneumonia severity index (PSI). Hubungan antara peningkatan level sitokin
pada infeksi dan gambaran klinisnya belum diketahui sepenuhnya. Bacci et al (2015)
melaporkan level TNF-α berkorelasi dengan inteleukin-6 (IL-6) pada hasil penatalaksanaan
penderita pneumonia komunitas. Level yang tinggi TNF-α dan IL-6 pada saat pasien
pneumonia komunitas mulai masuk rumah sakit dapat menjadi prediktor outcome yang buruk
(mortalitas) (Bacci et al., 2015).
.
Mikroorganisme
Bakteri Gram +
Bakteri Gram -
LTA, eksotoksin
LPS, endotoksin
Gram positif
TLR-2
TLR-4
APC
Makrofag
CD 14
OxLDL
NFKβ
ROS
MHC II
IFN-γ
IL-4
CD4+
Th
Th
O
IL-10
TNF-α
IL-8
IL-6
IL-5
Th
IL-6
IL-1β
`
netrofil
Sel
Sel T
sitotoksik
Sel Endotel
ICAM-1
NO
elastase
Endothelin-1
Pneumonia
IgG
PGE-2
Sel NK
Opsonisasi
fagositosis
sel NK
Gambar 7. Kerangka teori yang menjelaskan proses infeksi pneumonia komunitas.
Keterangan:
= variabel yang diteliti.
= proses
Singkatan :LPS= lipopolysaccharide, LTA=lipotheichoic acid, TRAF= TNF-receptor
associated factor, APC=antigen presenting cell, MHC= major histocompatibility
complex, CD=cluster of differentiation, TLR= toll like receptor, Mo= mikrobiologi, Gr=
gram, KR= kultur resistensi. PGE2= prostaglandin E2, NK= natural killer, NO=nitric
oxide, ICAM-1=intercellulare adhesions molecule-1
E. KERANGKA KONSEPTUAL
Pneumonia komunitas disebabkan karena mikroorganisme terutama berupa bakteri
gram negatif atau bakteri gram positif. Antigen bakteri gram negatif berupa
lipopolysaccharide binding protein (LPS), sedangkan antigen bakteri gram positif berupa
lipoteichoic acid (LTA). Toll like receptor 2 (TLR2) mengenali komponen spesifik dari
bakteri gram positif yaitu LTA, kemudian LTA berperan sebagai superantigen kemudian
difagosit oleh makrofag yang berperan sebagai APC. Antigen tersebut membawa muatan
polipeptida spesifik yang berasal dari MHC II, kemudian berikatan dengan CD4+ melalui
reseptor limfosit T / T cell receptor (TCR). Sel T yang teraktivasi akan mengekpresikan
sitokin dari Th1 yaitu IFN-γ dan IL-2. T helper 2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6
dan IL-10.Interferon-γ merangsang makrofag mengeluarkan IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-8, dan
IFN-γ.
Toll like receptor 4 (TLR4) mengenali LPS dari bakteri gram negatif terjadi
kemudian ditransfer ke CD14. Inflamasi pada gram negatif sebagai respons TLR4 (sebagai
PRRs) terhadap LPS (sebagai PAMPs) maka terjadi ekspresi sejumlah sitokin proinflamasi
(TNF-α,
IL-1β, IFN-γ) karena aktivasi nuclear transcription factor-κβ (NFκβ) dalam
makrofag, proses terjadi pula pada TLR2 terhadap asam teichoic organisme bakteri gram
positif.
Endothelin-1 adalah peptida vasokonstriktor yang disekresi di paru dari sel endotelial
vaskular, epitel saluran napas, otot polos vaskular dan berbagai sel lain.Pengaturan sekresi
ET-1 pada tingkat transkripsi dipengaruhi oleh stimulus seperti hipoksia, sitokin (IL-2, IL1β, TNF-α, IFN-β), lipopolisakarida dan beberapa faktor pertumbuhan (transforming growth
factor-β, platelet derived growth factor, epidermal growth factor) yang menginduksi
transkripsi ET-1 oleh messenger ribo nucleid acid (mRNA) dan sekresi protein. Peran
penting endothelin-1 dalam proses infeksi yaitu sebagai proinflamasi. Endothelin-1 menarik
netrofil, mengaktifkan sel mast dan menstimulasi monosit untuk memproduksi berbagai
sitokin proinflamasi. Ekspresi ET-1 sebagai mitogen regulator potensial dalam merangsang
otot polos dan mediator proinflamasi yang mempunyai peran pada proses infeksi pneumonia
komunitas.
Interleukin-1β berperan sebagai mayor imunomodulator pada endotel untuk
merangsang prostaglandin-E2(PGE2), plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), dan
merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang menyebabkan
netrofil yang telah tersensitasi akan mudah mengadakan adhesi. Netrofil yang beradhesi
dengan endotel akan mengeluarkan lisozim yang
menyebabkan endotel lisis dan
menyebabkan permeabilitas vaskuler meningkat, sehingga terjadi edema cairan kaya protein
ke dalam paru. Endotel vaskuler mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertahanan
tubuh terhadap invasi mikroba dan juga dalam terjadinya sepsis. Aktivasi endotel tidak hanya
meyebabkan terjadinya adhesi dan migrasi sel imun yang teraktivasi, tetapi juga
menyebabkan kebocoran molekul-molekul besar, sehingga menghasilkan oedema jaringan.
Stimulasi endotel menyebabkan produksi NO dan endothelin-1.
Zink merupakan zat gizi esensial yang memegang peran penting dalam berbagai
fungsi tubuh, termasuk regulasi respons imun terhadap berbagai penyakit infeksi. Zink
berpotensi sebagai suplemen terapi dalam penatalaksanaan pneumonia komunitas karena
perannya sebagai antiinflamasi dan respons antimikrobial. Peran utama dalam faktor
trankripsi respons imun pada sitokin inflamasi yang melibatkan sinyal molekuler oleh
nuclear transcription factor-κβ (NFκβ). Peran zink sebagai antiinflamasi terletak pada
regulasi aktivasi NFκβ. Zink diperlukan oleh ikatan deoxyribose nucleid acid (DNA) dengan
NFκβ murni atau NFκβ rekombinan protein p50 dalam lapisan sel T helper (Th). Messenger
ribo nucleid acid (mRNA) dan TNF-α menginduksi ikatan NFκβ dengan DNA di dalam selsel mononuklear darah tepi. Regulator NFκβ yaitu protein A20 sebagai inhibitor aktivasi.
Zink menginduksi ekspresi umpan balik positif protein A20. Zink menghambat aktivasi
NFκβ melalui A20 yang akhirnya akan menurunkan regulasi pembentukan IL-1β dan TNFα di sel endothelial. Inhibisi aktivasi NFκβ oleh sinyal A20-mediating tumor necrosis factor
(TNF)-receptor associated factor (TRAF) dan melalui sinyal crosstalk peroxisome
proliferator activated receptor-α (PPAR-α). Umpan balik negatif aktivasi NFκβ oleh zink
melalui jalur sinyal A20-PPAR-α menghasilkan penurunan pembentukan sitokin
proinflamasi di sel endothelial, termasuk menurunkan kadar endothelin-1 dan kadar TNF-α
dalam plasma.
Zink mempunyai peran antioksidan melalui beberapa mekanisme, yang pertama
melalui inhibisi pembentukan ROS melalui jalur metallothionein (MT), superoxide
dismutase (SOD) dan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH). Peran zink
pada aktivasi respons antimikrobial yaitu pemberian zink mempengaruhi sinyal TLR
memodulasi ekspresi beberapa gen zink transport dan memobilisasi penyimpanan zink
intraselular. TLR-induced SLC30A mendorong efluk zink kemudian mengantarkan zink ke
fagosom dan vesikel intraselular lainnya untuk aktivasi respons antimikrobial, yaitu
peningkatan fagositosis mikroba. Kadar TNF-α plasma akan menurun karena kematian
mikroba dan penghambatan aktivasi NFκβ karena pemberian terapi tambahan zink.
Perbaikan klinis penderita dinilai berdasarkan kriteria kondisi klinis stabil. Kondisi
klinik stabil adalah tanda vital stabil, oksigenasi adekuat dalam udara ruangan, dapat
mempertahankan oral intake, dan kondisi mental kembali pada keadaan normal. Kerangka
konseptual secara ringkas terlihat pada gambar 8 dibawah ini.
Mikroorganisme
Bakteri Gram +
Bakteri Gram Zin
k
LPS, endotoksin
PPAR α
Cross talk
NADPH
SOD,MT
LTA, eksotoksin
TLR-2
Gram positif
TLR-4
APC
A20
Jalur TRAF
Makrofag
CD 14
oxLDL
ROS
`
MHC II
CD4+
IFN-γ
NFKβ
Th1 Th2
IL-8
TNF-α
A
R
E
A
P
E
N
E
L
I
T
I
A
N
Netrofil
Elastase
epitel saluran napas
otot polos vaskular
otot polos saluran napas
Kriteria Klinis Stabil
Gambar 8. Kerangka konseptual yang menjelaskan hubungan antara pemberian zink pada
kadar TNF-α plasma dan perbaikan klinis pada penderita pneumonia komunitas.
Keterangan:
= variabel yang diteliti.
= proses
= menurun
= menghambat
Singkatan : LPS= lipopolysaccharide, LTA=lipotheichoic acid, TRAF= TNF-receptor associated
factor, APC=antigen presenting cell, MHC= major histocompatibility complex,
CD=cluster of differentiation, TLR= toll like receptor, Mo= mikrobiologi, Gr= gram,
KR= kultur resistensi.
F. HIPOTESIS.
1. Pemberian zink selama 5 hari berpengaruh menurunkan kadar TNF-α serum penderita
pneumonia.
2. Pemberian zink selama 5 hari berpengaruh pada perbaikan klinis penderita pneumonia.
3. Terdapat korelasi negatif antara perbaikan klinis dengan kadar TNF-α serum setelah
pemberian zink selama 5 hari penderita pneumonia.
Download