I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, oleh karena itu pada jaman dahulu orang saling bertukar barang untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing. Sistem ini disebut dengan sistem barter. Perdagangan semakin maju dengan ditemukannya uang. Setelah itu perdagangan semakin berkembang bukan lagi perdagangan di dalam negara, tetapi juga perdagangan antar negara. Perdagangan ini disebut dengan perdagangan internasional atau perdagangan luar negeri. Perdagangan internasional di mata Indonesia memiliki peran yang sangat penting terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan kelangsungan proses pembangunan nasional. Perdagangan luar negeri yang terdiri dari ekspor dan impor dipandang sebagai faktor yang strategis karena ekspor merupakan salah satu sumber penerimaan yang menentukan kemampuan Indonesia untuk membiayai pembangunan, mencicil pembayaran hutang luar negeri beserta bunganya yang semakin membengkak, serta untuk membiayai impor baik barang konsumsi maupun non konsumsi yang belum diproduksi oleh Indonesia (Djojohadikusumo, 1985). Dunia saat ini menghadapi era baru yang ditandai dengan kecendrungan globalisasi dunia sebagai akibat semakin banyaknya negara yang melakukan liberalisasi ekonomi. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, mau tidak mau pada masa mendatang berada ditengah arus globalisasi yang mesti terus memacu ekspornya terutama dari sector nonmigas, untuk mengurangi ketergantungannya pada migas. Perdagangan internasional Indonesia mengalami perubahan sejak tahun 1980-an, dimana pada sebelumnya ekspor Indonesia dititik beratkan pada komoditi migas, tetapi pada tahun 1987 ekspor Indonesia mulai didominasi oleh komoditi non migas. Perubahan dalam komoditi ekspor Indonesia ini disebabkan karena anjloknya harga minyak dunia yang mencapai titik terendah pada tahun 1980-an, maka dengan keadaaan tersebut pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan dan deregulasi di bidang ekspor, antara lain pembebasan pajak ekspor untuk berbagai komoditas, sehingga memungkinkan produsen untuk meningkatkan ekspor non migas. Kebijakan dan 1 deregulasi di bidang ekspor tersebut ternyata membawa dampak pada perkembangan komoditas ekspor non migas, sehingga non migas menjadi komoditi yang dominan bagi perkembangan ekspor Indonesia sampai saat ini. Indonesia adalah salah satu negara yang mengandalkan kegiatan perdagangan internasional sebagai penggerak dalam pertumbuhan ekonomi. Selain berperan dalam mendatangkan devisa negara, dengan melakukan perdagangan internasional maka akan membangun jaringan bisnis global dan bisa selalu mengikuti perkembangan produk dan industri di pasar internasional. Sejak tahun 1987, terjadi pergeseran dalam ekspor Indonesia dari sektor migas ke non migas salah satunya adalah sektor pertanian. Sektor pertanian melalui subsektor perkebunan merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam penerimaan devisa negara dari total nilai ekspor non migas selama ini. Sebagai sumber pendapatan devisa, dari total nilai ekspor non migas subsektor perkebunan cenderung mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, hal ini terjadi karena pengaruh kebijakan pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah RI harus segera mengadakan perubahan-perubahan yang sangat mendasar terhadap strategi perdagangan internasionalnya, antara lain dengan mengadakan evaluasi terhadap hasil kinerja ekspor komoditas perkebunan Indonesia. Kakao (Theobroma cacao L) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional dan sebagai salah satu komoditi perdagangan yang mempunyai peluang untuk dikembangkan dalam rangka usaha memperbesar atau meningkatkan devisa negara serta penghasilan petani kakao. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indoensia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ketiga subsektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar US$ 701 juta. Adanya liberalisasi perdagangan memberi dampak bagi negara pelakunya, baik dampak positif ataupun negatif. Salah satu perjanjian liberalisasi yang ditakuti banyak pihak adalah liberalisasi perdagangan ASEAN-China. Ketakutan tersebut muncul karena daya saing produk asal China sangat tinggi dibandingkan negara lain, khususnya terhadap produk Indonesia. Meskipun demikian, Indonesia yakin sektor pertanian akan 2 memberi dampak positif bagi kinerja perdagangan. Keyakinan tersebut mendorong Indonesia untuk ikut serta dalam liberalisasi awal untuk tujuh produk pertanian, yang dikenal dengan liberalisasi Early Harvest Program (EHP). EHP adalah tahapan awal liberalisasi ACFTA yang terdiri dari penghapusan tariff dan sebaliknya untuk delapan produk, yaitu kelompok produk hewan, daging dan jeroan, ikan termasuk udang, produk susu, produk hewan lainnya, tanaman hidup, sayur, dan produk buah serta kacangkacangan dengan pengecualian jagung manis (Ditjen KPI, 2005). B. Rumusan Masalah Sebagai komoditas ekspor, kakao sudah lama dikenal di China dan hingga saat ini masih menempati posisi yang baik di pasaran internasional. Potensi produksi kakao Indonesia di tingkat dunia merupakan negara penghasil kakao atau menempati urutan ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana, yang mempunyai arti yang penting dalam perekonomian negara. Hal ini mempunyai dampak yang luas di dalam negeri bukan hanya karena dapat menghasilkan devisa yang terus meningkat akan tetapi telah banyak menciptakan lapangan kerja mengingat industri ini bersifat padat karya. Perdagangan bebas ACFTA ternyata memberikan surplus untuk subsektor perkebunan dari ekspor-impor Indonesia. Adanya ACFTA memberikan kemudahan kepada negara-negara ASEAN khususnya Indonesia dan China untuk memasarkan produk-produk pertanian mereka di pasar ASEAN dan China. Adanya kebijakan ACFTA dengan memberlakukan kebijakan non tariff (EHP) semakin mempermudah kedua negara tersebut saling memasarkan produknya. Tetapi, apabila negara tersebut belum siap untuk mengikutinya maka akan berdampak negatif saja. Indonesia pada era perdagangan bebas ASEAN-China justru serba mengkhawatirkan bagi posisi dan kepentingan Indonesia. Sebagai salah satu komoditas andalan Indonesia, kakao mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia, salah satunya sebagai penyumbang devisa negara peringkat ketiga di sektor perkebunan. Sebelum adanya ACFTA, perdagangan bilateral antara Indonesia dan China juga sudah dilakukan sejak lama. Ekspor kakao juga mengalami fluktuatif dan peningkatan tinggi pada tahun 2010, yakni saat ACFTA mulai 3 diberlakukan. Ekspor kakao yang mengalami fluktuatif bukan hanya akibat penghapusan tarif, tetapi juga karena adanya faktor-faktor lainnya. Berdasarkan pemaparan tersebut, muncullah pertanyaan antara lain: 1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor kakao Indonesia ke China? 2. Apakah ACFTA berpengaruh terhadap volume ekspor kakao Indonesia ke China? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao Indonesia ke China. 2. Mengetahui pengaruh ACFTA terhadap ekspor kakao Indonesia ke China. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi masyarakat akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan untuk dianalisis lebih lanjut. 2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi mengenai dampak ACFTA terhadap ekspor kakao Indonesia ke China. 3. Bagi pihak lain, dapat digunakan sebagai bahan informasi lebih lanjut sehubungan dengan usaha-usaha pertanian terutama kakao. 4