ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR BIJI KAKAO INDONESIA OLEH IRMA KOMALASARI H14104044 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN IRMA KOMALASARI. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Biji Kakao Indonesia (dibimbing oleh Wiwiek Rindayati). Indonesia sebagai negara agraris, masih berperan penting dalam penyediaan bahan pertanian bagi dunia. Hal ini tercermin dari besarnya ekspor hasil-hasil pertanian Indonesia ke negara-negara lain di seluruh dunia. Selain itu, sektor pertanian juga memiliki peran dalam perekonomian yaitu penyumbang pendapatan nasional, penyerapan tenaga kerja, penghasil devisa, dan neraca perdagangan negara. Selain negara agraris, Indonesia juga merupakan negara berkembang yang menganut sistem perekonomian terbuka kecil yaitu negara yang mampu mengekspor barang atau jasa tetapi bukan sebagai pembuat harga sehingga tidak terlepas dari interaksi internasional seperti perdagangan luar negeri (internasional). Pada dasarnya, sektor pertanian mampu meningkatkan perekonomian melalui perdagangan internasional berupa ekspor komoditi unggulan. Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang penting bagi perdagangan internasional. Salah satu komoditi unggulan perkebunan yang memiliki kontribusi besar dalam ekspor hasil pertanian adalah biji kakao. Biji kakao merupakan salah satu komoditas ekspor terbesar setelah kelapa sawit dan karet. Indonesia merupakan salah satu produsen biji kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Namun belum mampu menguasai pangsa pasar dunia secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh negara-negara tujuan yang memberikan kebijakan pasar kepada biji kakao Indonesia. Kebijakan pasar yang dimaksudkan adalah potongan harga yang diberikan kepada Indonesia apabila kualitas dan mutu biji kakao tidak sesuai dengan standar mutu yang ditentukan. Ekspor biji kakao perlu ditingkatkan untuk memperluas pasar sehingga mampu meningkatkan pendapatan nasional secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mampu meningkatkan penawaran ekspor biji kakao secara optimal. Selain itu, menganalisis perkembangan ekspor biji kakao Indonesia, serta mengestimasi elastisitas produksi biji kakao terhadap penawaran ekspor biji kakao dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pada penelitian ini, dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor biji kakao Indonesia, maka metode analisis yang digunakan adalah regresi berganda dengan metoda estimasi Ordinary Least Square (OLS). Periode analisis dalam penelitian ini yaitu tahun 1981 hingga tahun 2006 berupa data tahunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penawaran ekspor biji kakao secara positif dan signifikan dipengaruhi oleh produksi dan ekspor tahun sebelumnya. Sedangkan variabel harga domestik, harga dunia dan nilai tukar tidak mempengaruhi penawaran ekspor biji kakao secara signifikan. Dalam hal ini membuktikan bahwa pemerintah hanya mementingkan jumlah biji kakao yang diproduksi untuk meningkatkan ekspor. Kemudian hasil dari perhitungan elastisitas produksi, elastisitas dalam jangka panjang lebih besar dibandingkan elastisitas jangka pendek. Hal ini disebabkan produksi dalam jangka panjang lebih mampu meningkatkan ekspor dengan baik. Jika produksi ditingkatkan dalam jangka panjang peningkatan ekspor biji kakao lebih baik dibandingkan dalam jangka pendek. Berdasarkan elastisitas produksi menjelaskan bahwa produksi dalam jangka panjang akan mempengaruhi ekspor lebih besar. Hal ini disebabkan faktorfaktor produksi dalam jangka panjang akan meningkat dengan baik seperti luas lahan, perbaikan bibit unggul, dan teknologi untuk menanggulangi hama penggerek. Jika faktor-faktor produksi mampu dikendalikan dengan baik secara berkesinambungan maka produksi yang dihasilkan akan terjamin. Selain itu, produksi yang meningkat dengan mutu terjamin akan meningkatkan ekspor biji kakao dan akan memperluas pangsa pasar Indonesia. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR BIJI KAKAO INDONESIA Oleh IRMA KOMALASARI H14104044 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh : Nama Mahasiswa : Irma Komalasari Nomor Registrasi Pokok : H141404044 Program Studi : Ilmu Ekonomi Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Biji Kakao Indonesia dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing, Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. NIP. 131 653 137 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Rina Oktaviani, Ph.D. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan : PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Januari 2009 Irma Komalasari H14104044 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Irma Komalasari lahir pada tanggal 10 Juli 1986 di Jakarta. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Oma Karsoma dan Nur Alam. Penulis menjalani pendidikan di sekolah dasar pada tahun 1992 sampai dengan tahun 1998 di SDN 02 Ceger, Jakarta Timur. Kemudian melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTPN 160 Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMUN 58 Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Pada periode 2005 hingga 2006, penulis aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Manajemen (BEM FEM) pada divisi Olahraga dan Budaya sebagai bendahara. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan dan kegiatan kampus di tingkat fakultas maupun institusi. KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman, islam dan berkat rahmat serta karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Biji Kakao Indonesia”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis serta dukungan yang tiada henti-hentinya dalam proses penyusunan skripsi. 2. Dr. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr, selaku dosen penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lebih baik. 3. Fifi Diana Thamrin, M.Si, selaku dosen wakil komisi pendidikan yang telah memberikan saran dan masukan demi perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. 4. Bapak dan mamah tercinta atas semua doa, dukungan, pengorbanan, dan kasih sayang yang selama ini telah diberikan kepada penulis. Kesabaran sertadorongan yang sangat besar artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini. 5. Kedua adikku tersayang Irfan Hermawan dan Irsyad Zulfikri, yang selalu memberikan dukungannya selama penulis melakukan penelitian. 6. Irvan Nurhakim sekeluarga yang telah memberikan dukungan dan kasih sayang setiap saat kepada penulis. 7. Sahabat-sahabatku tercinta Tatu, Nilam, Ratna, Lia yang memberikan warna dalam persahabatan, kegembiraan, dan dukungan selama ini. 8. Teman-teman seperjuangan di C-15, Mega, Utari, Anggi, Rindu, Mbak Ratih, Mbak Dewi, dan Mbak Shinta, terimakasih atas dukungan, kebersamaan, dan keceriaan yang tidak pernah terlupakan sampai kapanpun. 9. Teman-teman di Aurellia, Tina, Ade, Afifah, Novi, Anggi, Dian, Mita, terimakasih atas bantuan, kegemberiaan yang diberikan selama penyelesaian penulisan skripsi ini. 10. Teman-teman satu bimbingan Della, Restu, Anwar, yang telah memberikan semangat dan dukungannya. 11. Yuli, Islam, Diah, dan seluruh teman-teman di Jurusan IE’41 yang telah membantu dan memberikan dukungan pada saat proses penulisan skripsi. 12. Ruri, Arif, Ali, Setia, yang telah memberikan bantuan selama proses penelitian berlangsung. Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga hasil karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan. Bogor, Januari 2009 Irma Komalasari H14104044 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................................... v DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................... 7 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... 12 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................. 12 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 13 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ....................... 15 2.1. Tinjauan Teori ........................................................................................ 15 2.1.1. Tanaman Kakao .......................................................................... 15 2.1.2. Pengertian Ekspor ....................................................................... 21 2.1.3. Pengertian Penawaran ................................................................. 21 2.1.4. Pengertian Elastisitas Penawaran ................................................ 22 2.2. Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................................. 22 2.2.1. Teori Perdagangan Internasional ................................................ 22 2.2.2. Teori Penawaran ......................................................................... 26 2.2.3. Teori Ekspor................................................................................ 30 2.2.4. Teori Elastisitas Penawaran ........................................................ 31 2.3. Tinjauan Empiris ................................................................................... 33 2.4. Kerangka Pemikiran Konseptual ........................................................... 35 2.5. Hipotesis Penelitian................................................................................ 37 III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................... 39 3.1. Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 39 3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................................. 39 3.2.1. Metode Pengolahan Data ............................................................ 39 iv 3.2.2. Metode Analisis Data .................................................................. 40 3.2.3. Perumusan Model ...................................................................... 40 3.2.3. Pengujian Asumsi ...................................................................... 42 3.2.4. Pengukuran Elastisitas ............................................................... 45 IV. GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KAKAO DI INDONESIA .......................................................................... 47 4.1. Perkembangan Produksi dan Luas Areal Perkebunan Kakao Indonesia ................................................................................... 48 4.2. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kakao ................................ 52 4.3. Perkembangan Harga Biji Kakao ......................................................... 54 4.4. Kebijkan Pemerintah dalam Meningkatkan Ekspor Kakao .................. 56 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 59 5.1. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Indonesia ....................................... 59 5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Biji Kakao Indonesia ............................................................................ 62 5.2.1. Pengaruh Produksi Terhadap Ekspor .......................................... 65 5.2.2. Pengaruh Harga Domestik Terhadap Ekspor ............................. 67 5.2.3. Pengaruh Harga Internasional Terhadap Ekspor ........................ 68 5.2.4. Pengaruh Nilai Tukar Terhadap Ekpor ...................................... 70 5.2.5. Pengaruh Ekspor pada Tahun Sebelumnya Terhadap Ekspor .......................................................................... 71 5.3 Elastisitas Penawaran Biji Kakao Terhadap Harga Internasional .......... 72 VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 74 6.1. Kesimpulan .......................................................................................... 74 6.2. Saran .................................................................................................... 75 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 77 LAMPIRAN ........................................................................................................ 79 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1.1 Perkembangan Ekspor Pertanian Indonesia Tahun 2002-2007 ............. 4 1.2 Perkembangan Ekspor Kakao Dunia Tahun 2000-2004 (Ribu Ton) ............................................................................................... 5 1.3 Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Kakao di Indonesia pada Tahun 2000-2006 .......................................................................... 6 1.4 Nilai Ekspor Komoditi Perkebunan Indonesia Tahun 2002-2006 (Juta US$) ................................................................................................ 9 2.1 Syarat Umum Kualitas Biji Kakao .......................................................... 18 2.2 Syarat Khusus Kualitas Biji Kakao.......................................................... 19 2.3 Kandungan Bahan yang Terdapat pada Kakao........................................ 20 4.1 Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kakao Indonesia Tahun 1981-2006 ................................................................................... 51 4.2 Perkembangan Harga Domestik dan Harga Internasional (Rata-rata) Biji Kakao Indonesia Tahun 1990-2006 ................................................. 54 5.1 Perkembangan Ekspor Biji Kakao Indonesia .......................................... 61 5.2 Hasil Estimasi Terhadap Peubah Terikat LnEx ...................................... 63 5.3 Nilai Correlation Matriks (Uji Multikolinearitas) .................................. 64 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1.1 Kontribusi GDP Sektoral terhadap GDP Nasional Indonesia Tahun 2006 ......................................................................................................... 3 1.2 Perkembangan Luas Areal Komoditi Kakao dan Jumlah Produksi Tahun 1967-2006 .................................................................................... 6 2.1 Kurva Perdagangan Internasional ........................................................ 25 2.2 Kurva Penawaran .................................................................................... 29 2.3 Kurva Elastisitas Penawaran .................................................................. 32 2.4 Diagram Konsep Alur Kerangka Berpikir .......................................... 36 4.1 Grafik Produksi Menurut Jenis Usaha (1981-2006) ............................... 49 4.2 Pertumbuhan Produksi Kakao Tahun 1981-2006 ................................... 49 4.3 Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kakao (1981-2006) ............. 53 4.4 Perkembangan Ekspor Kakao Tahun 1990-2006 .................................... 56 5.1 Jumlah Ekspor dan Produksi Biji Kakao Indonesia ................................ 66 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Data Mentah .......................................................................................... 79 2 Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Biji Kakao Indonesia......................... 80 3 Uji Normalitas.......................................................................................... 80 4 Uji Autokolerasi.................... .................................................................. 80 5 Uji Heteroskedastisitas................................ .......................................... 81 6 Perhitungan Elastisitas Produksi.............................................................. 81 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan potensi pertanian yang cukup besar sehingga sering disebut sebagai negara agraris. Hal ini dibuktikan terdapatnya keanekaragaman sumberdaya alam pertanian yang melimpah di setiap kawasan Indonesia. Sehingga dengan adanya keberagaman sumberdaya alam tersebut, menjadikan negara kita sangat bertumpu pada perkembangan sektor pertanian. Sektor pertanian di Indonesia sangat berperan penting dalam perekonomian sebagai penyumbang pendapatan nasional, penyerapan tenaga kerja, penghasil devisa, dan neraca perdagangan negara. Sektor pertanian di negara berkembang seperti Indonesia merupakan sektor utama dalam penyediaan kebutuhan pangan bagi masyarakat luas. Selain itu, sektor ini mampu menjadi sektor tumpuan dari sektor lainnya terutama sektor industri pengolahan. Sebagian besar kebutuhan sektor non pertanian bergantung pada sektor pertanian, dalam hal penyediaan bahan baku mentah ataupun setengah jadi untuk mendapatkan nilai tambah dari produk yang dihasilkan sektor pertanian. Sektor pertanian mampu memberikan peranannya dalam penerimaan surplus neraca perdagangan dan neraca pembayaran (devisa negara). Peranan tersebut dapat melalui ekspor hasilhasil pertanian dan peningkatan komoditi-komoditi pertanian menggantikan impor (substitusi impor). Neraca perdagangan suatu negara terdiri dari komponen ekspor dan impor barang maupun jasa. 2 Selain negara agraris, Indonesia juga merupakan negara berkembang yang menganut sistem perekonomian terbuka kecil (negara yang terdapat perdagangan internasional seperti ekspor tetapi bukan sebagai pembuat harga) sehingga tidak terlepas dari interaksi internasional seperti perdagangan luar negeri. Hal ini dapat dilihat dengan adanya barang ataupun jasa yang diekspor ataupun impor oleh Indonesia. Dengan adanya perdagangan luar negeri, suatu negara mampu meningkatkan pendapatannya dengan adanya ekspor bahan baku mentah, barang setengah jadi maupun barang jadi. Perdagangan luar negeri (internasional) di Indonesia dapat dilihat dari ekspor yang didominasi oleh ekspor non migas. Ekspor non migas Indonesia berasal dari sektor pertanian, sektor industri, dan sektor pertambangan dan galian. Nilai ekspor sektor non migas pada tahun 2007 sebesar 93.642 juta US$, sedangkan nilai ekspor migas hanya sebesar 25.872 juta US$ (Bank Indonesia, 2007). Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa salah satu sektor yang penting terhadap pendapatan nasional yang berupa Gross Domestik Product (GDP) antara lain sektor pertanian di Indonesia berperan penting. Walaupun sektor pertanian bukan yang memberikan kontribusi terbesar namun, sektor pertanian mampu memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia yaitu sebesar 262.402,8 milyar rupiah pada tahun 2006 (Bank Indonesia, 2007). Selain itu, sektor pertanian pada tahun 2006, juga mampu menyerap tenaga kerja sebesar 38,8 juta orang (BPS, 2006). 3 PERTANIAN PERTAMBANGAN 10% 13% INDUSTRI PENGOLAHAN 8% 11% 7% LISTRIK, GAS DAN AIR BANGUNAN 15% 28% 7% 1% PERDAGANGAN, HOTEL, RESTORAN PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI KEUANGAN, PERSEWAAN DAN JASA PERUSAHAAN JASA-JASA Sumber: Bank Indonesia, 2007 Gambar 1.1 Kontribusi GDP Sektoral terhadap GDP Nasional Indonesia Tahun 2006 Berdasarkan Gambar 1.1 bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap GDP nasional sebesar 13 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian cukup berperan penting setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel, restoran. Selain itu, perkembangan sektor pertanian dalam perdagangan internasional memberikan nilai ekspor yang berbeda setiap tahunnya. Hal tersebut dapat dilihat perkembangannya pada Tabel 1.1. Perkembangan ekspor pertanian beberapa tahun mengalami penurunan yang cukup besar tahun 2001 yaitu sebesar 10,09. Hal ini disebabkan terjadi sektor pertanian mengalami keterpurukan selama pasca krisis sehingga pemerintah lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan ekspor sektor industri. Selain itu, penurunan ekspor sektor pertanian terjadi tahun 2003 4 dan 2004 yang disebabkan oleh mulai pulihnya perekonomian Indonesia melalui sektor pertanian. Tabel 1.1 Perkembangan Ekspor Pertanian Indonesia Tahun 2000-2007 Tahun Nilai Ekspor (Juta US$) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Perubahan Nilai Ekspor (%) -10,09 5,52 -1,79 -1,15 15,65 16,92 7,63 2.728,7 2.453,5 2.589,0 2.542,6 2.513,4 2.906,8 3.398,5 3.657,8 Sumber: Departemen Industri, 2008 Sektor pertanian terdiri dari lima subsektor yaitu tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Subsektor perkebunan adalah salah satu subsektor pada sektor pertanian yang dominan kontribusinya terhadap nilai ekspor dalam neraca perdagangan Indonesia (eksporimpor) setelah subsektor perikanan dan tanaman pangan. Nilai ekspor subsektor perkebunan yaitu sebesar 6.297,418 juta US$ pada tahun 2007 hingga bulan Mei (Departemen Pertanian, 2008). Salah satu komoditi ekspor subsektor perkebunan di Indonesia yang menjadi komoditi unggulan adalah biji kakao (cocoa). Sehingga Indonesia menjadi salah satu negara penghasil kakao terbesar di dunia pada urutan ketiga. Sedangkan produsen kakao terbesar dunia terdapat di Benua Afrika. Benua Afrika mampu menguasai produksi kakao sebesar 69,7 persen pada tahun 2007 dari total produksi dunia (International Cacao Organization, 2008). Negara di Benua Afrika yang merupakan produsen terbesar adalah yang Cote d’Ivoire (Pantai 5 Gading) dan Ghana. Sedangkan perkembangan produksi kakao dunia tercantum pada Tabel 1.2 berikut: Tabel 1.2 Perkembangan Produksi Kakao Dunia Tahun 2000-2007 (Ribu Ton) Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Ratarata Pasar (%) Pantai Gading 1.409 1.212 1.265 1.352 1.407 1.286 1.408 1.229 Ghana Indonesia Nigeria Kamerun Lainnya Total 437 395 341 497 737 599 740 615 410 392 455 410 430 460 560 520 165 177 185 173 180 200 200 190 115 133 131 160 162 184 169 168 537 544 484 577 621 650 689 648 3.073 2.853 2.861 3.169 3.537 3.379 3.766 3.370 1.321 545 455 184 153 594 3.251 40,63 16,76 13,98 5,65 4,69 18,26 100 Sumber: International Cacao Organization (ICCO), 2008 Berdasarkan Tabel 1.2 rata-rata produksi kakao Indonesia tahun 20002007 adalah sebesar 455 ribu ton. Pada pasar dunia, Indonesia memiliki produksi pasar sebesar 13,98 persen. Niali tersebut cukup besar mempengaruhi produksi sehingga Indonesia berperan penting terhadap pengadaan kakao. Sehingga komoditi kakao merupakan salah satu penyumbang terbesar bagi dunia dengan melalui ekspor. Nilai ekspor yang disumbangkan kakao kepada ekspor Indonesia adalah sebesar 664,338 juta US$ dengan volume 609.035 ton pada tahun 2006. Nilai ekspor dan volume ekspor yang dihasilkan oleh komoditi kakao pada tahun 2000 hingga 2006 dapat dilihat pada Tabel 1.3. 6 Tabel 1.3 Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Kakao di Indonesia pada Tahun 2000-2006 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Volume Ekpor (Ton) 424.089 392.072 465.622 355.726 366.855 463.632 609.035 Nilai Ekspor (Ribu US$) 341.860 389.262 701.034 621.022 546.560 664.338 852.778 Perubahan Nilai Ekspor (%) 13,87 80,09 -11,41 -11,99 21,55 31,36 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008 Perkembangan subsektor perkebunan khususnya kakao didukung oleh lahan yang cukup luas dan mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pengembangan Komoditi kakao mulai dilakukan pemerintah sejak tahun 1967 dengan luas areal awal sebesar 12.839 Ha dan jumlah produksi pada tahun tersebut sebesar 1.233 ton (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008). Perkembangan komoditi kakao dapat dilihat dari peningkatan luas areal dan jumlah produksi pada Gambar 1.2. 1400 900 800 1200 700 600 800 500 600 400 300 400 200 200 100 0 0 1967 1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 Tahun Luas Areal Produksi Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008 Gambar 1.2 Perkembangan Luas Areal Komoditi Kakao dan Jumlah Produksi Tahun 1967-2006 Produksi (ribu ton) Luas Areal (ribu ha) 1000 7 Peningkatan luas areal dan produksi tiap tahunnya disebabkan telah banyaknya pengembangan produksi kakao di setiap daerah. Daerah penghasil kakao terbesar berada di kawasan timur Indonesia seperti daerah Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Bali. Terlihat bahwa pada kurun waktu 1986 hingga 1987 yang mengalami peningkatan luas areal sebesar 73.711 ribu ha. Hal tersebut disebabkan pada tahun 1986 pemerintah mulai mengembangkan komoditi kakao pada daerah-daerah yang memiliki potensial besar dan kondisi yang sesuai dengan iklim yang diperlukan tumbuh kembangnya komoditi tersebut. Adanya peningkatan luas areal dan produksi, diharapkan terdapat keseimbangan antara permintaan dan penawaran kakao di Indonesia maupun di luar negeri. Apabila terjadi penawaran di dalam negeri berlebihan (over supply), maka ekspor akan mampu memenuhi permintaan luar negeri terhadap komoditi kakao. Namun, permintaan dunia yang semakin meningkat dari periode ke periode masih belum mampu disertai dengan peningkatkan produksi dunia. Hal ini mengakibatkan permintaan dunia tidak dapat terpenuhi secara maksimal. 1.2. Perumusan Masalah Sektor pertanian di negara sedang berkembang merupakan suatu sektor ekonomi yang potensial dalam kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional. Kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional yang dimaksudkan antara lain: kontribusi produk, kontribusi pasar, kontribusi faktor-faktor produksi, dan kontribusi devisa (Kuznets dalam Todaro, 2003). 8 Berdasarkan penjelasan di atas, ekspor berpotensial besar terhadap perkembangan pendapatan nasional dan devisa negara. Selain itu ekspor memberikan peluang bagi suatu negara untuk mengembangkan sumberdaya yang dimiliki kepada negara lain. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mampu mengekspor barang pertanian terbesar di dunia baik dalam subsektor perikanan, tanaman pangan dan perkebunan. Barang pertanian dalam subsektor perkebunan yang menjadi komoditas utama terutama adalah kelapa sawit, karet, kakao, kopi, rempah-rempah, dan lain-lain. Subsektor perkebunan sangat mendominasi sektor ini sehingga perlu ditingkatkan nilai ekspornya sehingga mampu memberikan devisa terhadap negara yang cukup tinggi. Ekspor sektor pertanian termasuk kedalam ekspor non migas yang memberikan pengaruh besar terhadap GDP Indonesia setelah ekspor sektor industri. Sektor pertanian hanya mampu memberikan sumbangan terhadap nilai ekspor lebih kecil dibandingkan sektor industri. Namun, perkembangan sektor pertanian sangat bervariasi setiap tahunnya. Secara umum rata-rata pertumbuhan ekspor pertanian tiap tahunnya sebesar 3,6 persen (BPS, 2006). Pertumbuhan ekspor pertanian salah satunya sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekspor komoditas perkebunan. Hasil dari subsektor perkebunan Indonesia telah dirasakan manfaatnya sejak jaman penjajahan masih ada. Banyak masyarakat luar mengagumi kualitas dan keragaman hasil tanaman perkebunan Indonesia, sehingga ekspor komoditas perkebunan semakin mendominasi ekspor pertanian setelah komoditas tanaman pangan. Ekspor komoditas perkebunan tersebut antara lain kelapa sawit, karet, kopi, biji kakao, teh, tembakau, dan 9 rempah-rempah. Adapun nilai dan volume dari ekspor komoditas perkebunan sebagai berikut: Tabel 1.4 Nilai Ekspor Komoditi Perkebunan Indonesia Tahun 2002-2006 (Juta US$) Komoditi Kelapa sawit Karet Kopi Biji kakao Teh Tembakau 2002 2.349,6 1.037,6 223,9 694,6 103,4 76,7 2003 2.720,8 1.493,5 259,1 621,0 95,8 62,9 2004 3.953,6 2.180 294,1 545,7 116,0 90,6 2005 4.362,2 2.582,5 504,4 665,8 121,5 107,3 2006 5.456,2 4.320,7 588,5 855,0 134,5 102,6 Sumber: BPS, 2008 Berdasarkan Tabel 1.4, biji kakao merupakan salah satu komoditi unggulan subsektor perkebunan. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan nilai ekspor secara terus menerus dibandingkan dengan komoditi unggulan yang lain. Selain itu, biji kakao merupakan komoditi utama sebagai penyumbang terbesar bagi nilai ekspor subsektor perkebunan di Indonesia setelah kelapa sawit dan karet yang besarnya mencapai 855 juta US$. Selain itu, perubahan yang terjadi terhadap ekspor komoditi perkebunan disebabkan oleh pertumbuhan ekspor pertanian secara keseluruhan. Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekspor pertanian antara lain: 1. adanya daya saing dengan negara-negara lain di dunia; 2. adanya penetapan harga pasar dalam negeri (domestik) dan harga pasar dunia (internasional); 3. adanya permintaan luar negeri; dan 4. nilai tukar mata uang (Lipsey, 1995) Peningkatan produksi komoditi perkebunan khususnya kakao, seharusnya mampu memenuhi permintaan baik di dalam maupun luar negeri tiap tahunnya. Telah dijelaskan bahwa peningkatan produksi juga telah diimbangi dengan peningkatan ekspor tiap tahunnya. Sebagai negara pengekspor biji kakao, sebagai 10 bahan baku produk kakao. Indonesia juga merupakan negara pengimpor produk kakao, hal ini disebabkan masih kurangnya mutu kakao Indonesia dan ketidakmampuan bersaing dengan negara pengekspor di Benua Afrika seperti Pantai Gading dan Ghana. Selain memiliki daya saing yang cukup baik, kakao sangat dimanfaatkan dan memiliki nilai jual yang tinggi. Hal ini disebabkan kakao memiliki pasar produk tersendiri, karena kakao merupakan produk yang digemari dan bercita rasa tinggi. Dengan keadaan seperti itu, maka permintaan ekspor kakao meningkat dari tahun ketahun, sehingga penawaran ekspor kakao juga meningkat. Peningkatan permintaan ekspor kakao hal ini disebabkan peningkatan konsumsi kakao dunia. Kakao merupakan barang pertanian yang permintaannya bersifat inelastis. Permintaan barang pertanian yang inelastis menyebabkan berapapun perubahan harga tidak mempengaruhi jumlah yang dikonsumsi masyarakat terhadap barang tersebut. Seharusnya hal ini menjadi positif bagi produsen barang pertanian seperti Indonesia, hal ini disebabkan karena perubahan jumlah yang ditawarkan tidak berpengaruh terhadap harga barang tersebut. Sehingga mampu memberikan nilai yang lebih bagi penerimaan berupa keuntungan. Kakao adalah suatu komoditas yang bergantung pada musim, apabila musimnya telah tiba maka produk yang dihasilkan akan meningkat pesat. Keadaan produksi akan berbalik menjadi menurun apabila musimnya tidak muncul. Keadaan ini akan berpengaruh terhadap penawaran kakao yang menurun, sehingga permintaan dunia tidak tercukupi. 11 Sebagai salah satu pengekspor kakao terbesar dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Indonesia seharusnya mampu memberikan nilai lebih terhadap perekonomian dan pembangunan nasional. Selain itu, Indonesia merupakan negara pengekspor terbesar di Asia, sehingga pasar Asia dapat dikuasai oleh Indonesia. Sedangkan di pasar Uni Eropa, ekspor kakao Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk yang berasal dari Pantai Gading dan Ghana. Hal ini disebabkan kualitas produk kakao yang dihasilkan Indonesia masih sangat ketinggalan dibanding Pantai Gading dan Ghana. Salah satu kekurangannya adalah citra mutu rendah kakao Indonesia yang menyebabkan terjadinya pemotongan harga dan biaya kembali mengenai kualitas yang kurang baik. Selain itu, pangsa pasar biji kakao Indonesia pada pasar internasional telah mampu menempati urutan ketiga. Namun, belum mampu mengimbangi dua negara kompetitornya yaitu Pantai Gading dan Ghana. Kakao sebagai salah satu penghasil devisa terbesar terhadap ekspor di sektor pertanian yang dapat dijadikan potensi ekspor kakao Indonesia sebagai perluasan pasar. Namun, peningkatan ekspor yang terus meningkat (Tabel 1.4), belum mampu memberikan hasil yang optimal. Selain itu, ekspor kakao yang meningkat juga belum mampu memberikan hasil yang besar terhadap pendapatan nasional. Sehingga diperlukan upaya dalam peningkatan ekspor biji kakao Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, ekspor kakao perlu ditingkatkan untuk memperluas pasar sehingga mampu meningkatkan pendapatan nasional. Maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 12 1. Bagaimana perkembangan ekspor kakao Indonesia di pasar Internasional? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penawaran ekspor kakao Indonesia di pasar Internasional? 3. Bagaimana elastisitas produksi biji kakao terhadap penawaran ekspor biji kakao dalam jangka pendek dan jangka panjang? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Menganalisis perkembangan ekspor kakao Indonesia di pasar Internasional. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor kakao Indonesia. 3. Mengestimasi elastisitas produksi biji kakao terhadap penawaran ekspor biji kakao dalam jangka pendek maupun jangka panjang. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Adapun manfaaat penelitian ini antara lain: 1. Bagi pemerintah, penelitian ini memberikan gambaran umum yang lebih jelas dengan menjadikannya informasi dalam pengambilan kebijakan yang tepat bagi perkembangan ekspor biji kakao Indonesia, sehingga mampu memiliki daya saing yang lebih baik dari negara pengekspor lainnya. 13 2. Bagi masyarakat umum, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai ekspor hasil pertanian khususnya biji kakao di Indonesia terhadap pasar Internasional. 3. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan mampu memberikan ilmu pengetahuan yang lebih beranekaragam. 4. Bagi penulis selanjutnya, penelitian ini sebagai bahan rujukan dan bahan pertimbangan dengan topik penelitian yang serupa mengenai ekspor hasil pertanian di subsektor perkebunan khususnya biji kakao. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengambil permasalahan yang ada pada perekonomian nasional di Indonesia yang berkaitan dengan pertumbuhan makroekonomi yaitu ekspor komoditi unggulan di sektor pertanian yaitu subsektor perkebunan. Komoditi subsektor perkebunan yang dimaksudkan adalah kakao yaitu biji kakao. Periode amatan yang dilakukan dalam penelitian adalah tahun 1981 sampai dengan tahun 2006. Hal ini dimaksudkan agar penelitian ini dapat menganalisis faktor-faktor apa saja yang mampu menjelaskan perubahan ekspor kakao di Indonesia. Sehingga pemerintah dapat mengembangan kakao agar mampu memiliki daya saing terhadap produk negara lain. Pasar komoditi biji kakao didominasi oleh negara yang berasal dari Benua Afrika karena iklim dan cuaca yang sesuai untuk pengembangan biji kakao. Indonesia sebagai negara yang mampu menguasai pasar Asia dan menjadi produsen ketiga biji kakao di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. 14 Pada penelitian ini sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari laporan dan data statistik tahunan. Data tersebut berasal dari Direktorat Jenderal Perkebunan (Departemen Pertanian), Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), Internasional Cacao Organization (ICCO), dan International Financial Statistics (IFS). II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Tanaman Kakao Beberapa literatur mengatakan bahwa tanaman kakao dengan nama latin Theobroma cacao merupakan tanaman yang bukan berasal dari Indonesia, melainkan berasal dari lembah hulu sungai Amazon, Amerika Selatan. Tanaman ini tumbuh di hutan hujan tropis, pohon kakao telah tumbuh sejak 2000 tahun yang lalu. Tanaman kakao dibawa masuk ke Indonesia melalui Sulawesi Utara oleh Bangsa Spanyol sekitar tahun 1560 (Departemen Pertanian, 1981). Pohon cokelat berasal dari Amerika Selatan yang terdapat di sepanjang sungai Amazon. Dengan akar yang tumbuh di hutan hujan tropis, pohon kakao telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak 2000 tahun yang lalu. Nama resmi dari pohon kakao adalah Theobroma cacao (“Theobroma” adalah latin dari makanan Tuhan) Astec dan Mayan dari Amerika menanam pohon kakao jauh sebelum kedatangan penjelajahan Eropa. Mesoamerican Indians yang pertama membuat minuman dari biji kakao yang telah dihancurkan dicampur dengan air dan zat perasa seperti serbuk cabe, vanili, dan bumbu lainnya. Minuman ini akan menjadi minuman spesial untuk pemerintah Mayan pada upacara spesial. Mayan menggunakan biji kakao seperti mata uang. Menurut sejarah Spanyol abad ke 16, kelinci disamakan dengan harga 10 biji kakao dan anak kuda seharga 50 biji. Penyerbuan orang-orang Spanyol yang belajar tentang kakao dari Indians Astec pada tahun 1500-an dan membawa makanan baru yang menarik 16 kaum Eropa. Pada negara Spanyol, cocoa telah menjadi minuman hanya untuk kaum raja. Mereka meminumnya saat hangat memberi rasa dengan gula dan madu. Cocoa perlahan berkembang di istana raja Eropa dan pada abad ke-17 telah menjadi barang mewah untuk kelas paling atas. Menurut Reyhan (2008), Pertama kali kakao dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan cokelat dilakukan oleh bangsa Olmec yang berada di sepanjang pantai teluk di selatan Meksiko. Selain itu biji kakao dapat digunakan untuk bahan pembuat minuman dan selaput putih yang terdapat pada biji kakao dapat dimanfaatkan sebagai sumber gula untuk minuman beralkohol. Suku Maya kuno di Rio Azul, daerah Guatemala Utara memanfaatkan cokelat yang ditemukan pada tembikar sebagai minuman sejak tahun 400 SM. Selain itu pada peradaban pertama yang mendiami Meso-Amerika itu mengenal pohon “kakawa” yang buahnya dikonsumsi sebagai minuman xocolatl yang berarti minuman pahit. Pada saat itu minuman tersebut sangat perlu dikonsumsi setiap hari, mereka percaya bahwa minuman ini simbol kemakmuran. Penyajian minuman ini juga tidak sembarangan sehingga minuman ini menjadi bernilai sangat tinggi. Pada saat peradaban Maya klasik runtuh (tahun 900 SM) lalu digantikan dengan bangsa Toltec, biji kakao menjadi komoditas utama kuasa Meso-Amerika. Sejak masa Kerajaan Aztec berkuasa pada tahun 1500 SM, daerah yang meliputi Kota Meksiko (Meso-Amerika) saat ini dikenal sebagai daerah yang paling kaya akan biji kakao. Selain itu, suku Aztec menganggap bahwa biji kakao merupakan 17 “makanan para dewa” yang biasanya digunakan dalam upacara keagamaan dan sebagai hadiah. Sedangkan pada masa Kolombia-Meso Amerika, kebudayaan suku Maya, Toltec, dan Aztec biji kakao sering digunakan sebagai mata uang. Sementara pada tahun 1544 M, delegasi Maya Kekchi dari Guatemala masih membudidayakan minuman cokelat sebagai hadiah untuk negara kunjungan. Menurut Litbang perkebunan (2006) kakao merupakan tanaman perkebunan dan industri berupa pohon yang dikenal di Indonesia sejak tahun 1560, namun baru menjadi komoditi yang penting sejak tahun 1951. Pemerintah Indonesia mulai menaruh perhatian dan mendukung industri kakao pada tahun 1975, setelah PTP VI berhasil menaikan produksi kakao per hektar. Peningkatan produksi tersebut melalui penggunaan bibit unggul Upper Amazon Interclonal Hybrid yang merupakan hasil persilangan antar klon dan sabah. Tanaman tropis tahunan ini berasal dari Amerika Selatan. Penduduk Maya dan Aztec di Amerika Selatan dipercaya sebagai perintis pengguna kakao dalam makanan dan minuman. Sampai pertengahan abad ke XVI, selain bangsa di Amerika Selatan, hanya bangsa Spanyol yang mengenal tanaman kakao. Berasal dari Amerika Selatan tanaman ini menyebar ke Amerika Utara, Afrika dan Asia. Menurut jenis tanaman biji kakao digolongkan kedalam dua jenis, yaitu: biji kakao jenis mulia (fine cocoa) dan biji kakao jenis lindak (bulk cocoa). Sedangkan menurut jenis mutunya digolongkan kedalam tiga jenis mutu, antara lain mutu I, mutu II, dan mutu III. 18 Definisi dari kualitas kakao yang berlaku di pasaran internasional menurut Model Ordinance dalam Manik adalah sebagai berikut: a. Harus terfermentasi, kering (kadar air 6-7 persen); bebas dari bau dan rasa asap (smoky); bebas bau asing; dan bebas dari bukti pemalsuan. b. Bebas dari serangga hidup yang terdapat dalam biji kakao tersebut. c. Seragam ukurannya; tidak ada biji pecah, fragmen dan kulit biji; dan bebas dari benda asing. Kualitas biji kakao ditentukan berdasarkan standar uji yang berlaku, yaitu menurut SP-45-1976 yang direvisi bulan Februari 1990 atas usulan dari Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo). Dalam penentuan kualitas tersebut, yang dimaksud dengan biji kakao adalah biji tanaman kakao (Theobroma cacao LINN) yang telah difermentasikan, dibersihkan, dan dikeringkan. Syarat umum kualitas biji kakao yang telah ditentukan terdapat pada Tabel 2.1 dan syarat khusus kualitas biji kakao pada tercantum pada Tabel 2.2. Tabel 2.1 Syarat Umum Kualitas Biji Kakao Karakteristik Kadar air (%) Biji berbau asap dan atau abnormal dan atau berbau asing Serangan hidup Kadar biji pecah dan atau pecahan biji dan atau pecahan kulit (% bobot per bobot ), kas. Kadar benda asing (% bobot per bobot), maks. Syarat 7,50 Cara Pengujian SP-SMP-345-1985 ISO 2291 - 1980 Tidak Ada Organoleptik Tidak Ada Visual 3 SP-SMP-346-1985 0 SP-SMP-346-1985 Sumber: Asosiasi Biji Kakao Indonesia, 1990 (www.bi.go.id) 19 Tabel 2.2 Syarat Khusus Kualitas Biji Kakao Jenis Mutu Kakao Mulia (Fine Cocoa) I-AA-F I-A-F I-B-F I-C-F II-AA-F II-A-F II-B-F II-C-F Kakao Lindak (Bulk Cocoa) I-AA I-A I-B I-C II-AA II-A II-B II-C Jumlah biji/100 gr, maks Kadar biji berkapang %(bobot per bobot), maks Kadar biji tak terfementasi % (b/b), maks Kadar biji berserangga, pipih dan berkecambah % (b/b), maks - - - - 85 100 110 120 85 100 110 120 3 3 3 3 4 4 4 4 3 3 3 3 8 8 8 8 3 3 3 3 6 6 6 6 Sumber : Standar Biji Kakao, Asosiasi Kakao Indonesia, 1990 (www.bi.go.id) Berdasarkan Tabel 2.2 dapat disimpulkan bahwa syarat mutu kualitas yang harus dimiliki oleh biji kakao yang baik dengan mengetahui jenis mutu. Setiap jenis mutu dapat dilihat kualitasnya dengan persyaratan sebagai berikut: jumlah biji per 100 gram; kadar air maksimal (% bobot per bobot); jamur yang terdapat pada biji kakao secara maksimal (% b/b); biji yang tak terfermentasi secara maksimal (% b/b); biji berserangga, hampa, dan berkecambah (% b/b); biji yang pecah (% b/b); benda asing yang masuk dalam biji kakao ( % b/b). Manfaat yang didapat oleh tubuh dalam mengkonsumsi kakao terdapat dari kandungan bahan yang ada dalam kakao tersebut. Adapun kandungan bahan yang terdapat pada biji kakao tercantum pada Tabel 2.3 berikut: 20 Tabel 2.3 Kandungan Bahan yang Terdapat pada Kakao Kandungan bahan Air Lemak Abu Nitrogen : Total N Protein N Thebromine Cafein Karbohidrat : Glukosa Sukrosa Pati Pektin Serat kasar Selulosa Pentosan Gum dan mucilage Tannin : Asam Tanat Cacao Purple/ brown Asam-asam Organik: Asetat Sitrat Oksalat Keping biji Kulit Biji 2,1 54,7 2,7 3,8 3,4 8,1 2,2 1,3 1,4 0,07 2,8 2,1 1,3 0,1 0,1 6,1 4,1 2,1 1,9 1,2 1,8 0,1 0.8 18,6 13,7 7,1 9,0 2,0 4,2 1,3 2,0 0,1 0,3 0,1 0,7 0,3 Sumber: Zahratus Sakdiyah, 2005 Kakao mengandung alkaloid-alkaloid seperti teobromin, fenetilamina, dan anandamida, yang memiliki efek fisiologis untuk tubuh. Kandungan-kandungan ini banyak dihubungkan dengan tingkat serotonin dalam otak. Menurut ilmuwan, cokelat yang dimakan dalam jumlah normal secara teratur dapat menurunkan tekanan darah. Cokelat hitam akhir-akhir ini banyak mendapatkan promosi karena menguntungkan kesehatan bila dikonsumsi dalam jumlah sedang, termasuk kandungan anti oksidannya yang dapat mengurangi pembentukan radikal bebas dalam tubuh. 21 2.1.2. Pengertian Ekspor Ekspor dalam arti sederhana adalah barang dan jasa yang telah dihasilkan disuatu negara kemudian dijual ke negara lain. Ekspor adalah proses transportasi barang (komoditas) dan jasa dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses ekspor pada umumnya adalah tindakan untuk mengeluarkan barang (komoditas) dan jasa dari dalam negeri untuk memasukannya ke negara lain. Ekspor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima. Ekspor adalah bagian penting dari perdagangan internasional (Wikipedia, 2008). Menurut Lipsey (1995), ekspor dapat diartikan sebagai total penjualan barang yang dapat dihasilkan oleh suatu negara, kemudian diperdagangkan kepada negara lain dengan tujuan mendapatkan devisa. Suatu negara dapat mengekspor barang-barang yang dihasilkannya ke negara lain yang tidak dapat menghasilkan barang-barang yang dihasilkan negara pengekspor. 2.1.3. Pengertian Penawaran Penawaran adalah banyaknya barang yang ditawarkan oleh penjual pada suatu pasar tertentu, pada periode tertentu dan pada tingkat harga tertentu. Penawaran dapat dikenal juga sebagai gabungan seluruh barang yang ditawarkan oleh penjual pada pasar tertentu, dan pada berbagai macam tingkat harga tertentu (Putong, 2003). 22 2.1.4. Pengertian Elastisitas Penawaran Elastisitas penawaran adalah tingkat perubahan penawaran atas barang dan jasa yang diakibatkan karena adanya perubahan harga barang dan jasa tersebut. Elastisitas harga penawaran mengukur seberapa banyak penawaran barang dan jasa berubah ketika harganya berubah. Elastistas harga ditunjukkan dalam bentuk prosentase perubahan atas kuantitas yang ditawarkan sebagai akibat dari satu persen perubahan harga (Yasinta, 2008). Elastisitas penawaran adalah mengukur rasio persentase perubahan jumlah yang ditawarkan pada suatu komoditi terhadap persentase perubahan harganya (Lipsey, 1995). Selain itu, elastisitas penawaran menurut Limbong dan Sitorus (1985) adalah merupakan suatu ukuran dari tingkat kepekaan dari jumlah barang yang ditawarkan terhadap perubahan harga. 2.2. Kerangka Pemikiran Teoritis 2.2.1. Teori Perdagangan Internasional Dasar dalam perdagangan internasional adalah adanya perdagangan barang dan jasa antara dua negara atau lebih yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Perdagangan ini terjadi apabila terdapat permintaan dan penawaran pada pasar internasional. Selain itu perdagangan internasional mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Perdagangan Internasional atau perdagangan antar negara sudah ada sejak dahulu, namun dalam jumlah dan ruang lingkup yang terbatas. Pada masa itu pemenuhan kebutuhan suatu negara yang tidak dapat berproduksi yang terlibat 23 dalam perdagangan dipenuhi dengan cara barter. Perdagangan internasional diawali dengan pertukaran atau perdagangan tenaga kerja dengan barang dan jasa lainnya. Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Pada beberapa negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun (lihat Jalur Sutra, Amber Road), dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad yang lalu. Perdagangan internasional pun turut mendorong industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional (Wikipedia, 2008). Perdagangan dalam arti yang sederhana adalah suatu proses yang timbul sehubungan dengan pertukaran komoditi antar negara. Adam Smith dalam Salvatore (1997) menyatakan bahwa perdagangan antar dua negara didasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage) yaitu suatu negara akan melakukan spesialisasi dan ekspor terhadap suatu jenis barang tertentu di mana negara tersebut tidak mempunyai keunggulan absolut terhadap negara lain yang memproduksi barang sejenis. Perdagangan internasional dianggap sebagai suatu akibat dari adanya interaksi antara permintaan dan penawaran yang bersaing. Permintaan (demand) 24 dan penawaran (supply) akan tampak dalam bentuk yang sudah dikenal serta merupakan suatu interaksi dari kemungkinan produksi dan preferensi konsumen. Suatu negara akan mengekspor komoditas yang dihasilkan lebih murah dan mengimpor komoditas yang dihasilkan lebih mahal dalam penggunaan sumberdaya (Lindert dan Kindleberger, 1995). Perdagangan internasional semacam itu akan mendorong peningkatan konsumsi dan keuntungan. Sebaliknya kebijakan pembatasan perdagangan oleh pemerintah justru memberikan kerugian yang lebih besar bagi masyarakat dalam negeri dibandingkan manfaat yang diperoleh (Forum Penelitian Agro Ekonomi, 2004). Pada prinsipnya perdagangan antara dua negara lain timbul karena adanya perbedaan dalam permintaan dan penawaran. Selain itu, perdagangan itu timbul karena adanya keinginan untuk memperluas pemasaran komoditi ekspor untuk menambah penerimaan devisa. Hal ini bertujuan sebagai upaya penyediaan dan pembangunan negara yang bersangkutan. Perbedaan permintaan dan penawaran dapat diakibatkan karena perbedaan penawaran dapat disebabkan oleh jumlah dan kualitas faktor produksi serta tingkat teknologi. Volume ekspor suatu komoditi dari negara tertentu ke negara lain merupakan selisih antara penawaran domestik dan permintaan domestik yang disebut sebagai kelebihan penawaran (excess supply). Pada pihak lain, kelebihan penawaran dari negara tersebut merupakan permintaan impor bagi negara lain atau merupakan kelebihan permintaan (excess demand). Selain dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran domestik, ekspor juga dipengaruhi oleh faktor-faktor pasar dunia seperti harga komoditas itu sendiri, jumlah komoditas itu sendiri dan 25 komoditas substitusinya di pasar internasional serta hal-hal yang dapat mempengaruhi harga baik secara langsung maupun tidak langsung (Salvatore, 1997). Harga Harga Harga ES Ekspor Sa Pb B P* D Pa A Sb Impor Db ED Da 0 Jumlah Negara A (Eksportir) 0 Jumlah Perdagangan Internasional 0 Jumlah Negara B (Importir) Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.1 Kurva Perdagangan Internasional Pada Gambar 2.1 di atas menjelaskan terdapat perdagangan internasional antara negara A dan negara B. Sehingga pada perdagangan internasional antara negara A sebagai negara pengekspor dan negara B sebagai negara pengimpor terjadi keseimbangan harga komoditi relatif. Selain itu perdagangan internasional terjadi akibat kelebihan penawaran pada negara A dan kelebihan permintaan pada negara B. Pada negara A harga suatu komoditas sebesar Pa, dan di negara B harga komoditas tersebut sebesar Pb, cateris paribus. Pada pasar internasional harga yang dimiliki oleh negara A akan lebih kecil yaitu berada pada harga P* sehingga negara A akan mengalami kelebihan penawaran (excess supply) di pasar internasional. 26 Pada negara B, terjadi harga yang lebih besar dibandingkan harga pada pasar internasional. Sehingga akan terjadi kelebihan permintaan (excess demand) di pasar internasional. Pada keseimbangan di pasar internasional kelebihan penawaran negara A menjadi penawaran pada pasar internasional yaitu pada kurva ES. Sedangkan kelebihan permintaan negara B menjadi permintaan pada pasar internasional yaitu sebesar ED. Kelebihan penawaran dan permintaan tersebut akan terjadi keseimbangan harga sebesar P*. Peristiwa tersebut akan mengakibatkan negara A mengekspor, dan negara B mengimpor komoditas tertentu dengan harga sebesar P* di pasar internasional. Dari penjelasan di atas didapat bahwa perdagangan internasional (ekspor-impor) terjadi karena terdapat perbedaan antara harga domestik (Pa dan Pb), dan harga internasional (P*); permintaan (ED), dan penawaran (ES) pada komoditas tertentu. Selain itu, nilai tukar mata uang (exchange rate) pada pasar internasional antara suatu negara dengan negara lain secara tidak langsung akan menyebabkan ekspor dan impor pada suatu negara. 2.2.2. Teori Penawaran Penawaran suatu komoditi adalah jumlah komoditi yang bersedia ditawarkan oleh produsen pada pasar dengan tingkat harga dan waktu tertentu. Harga dan jumlah komoditi yang ditawarkan berhubungan secara positif dengan semua faktor yang lain tetap sama, jika harga barang naik maka jumlah yang ditawarkan akan meningkat dan sebaliknya. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penawaran suatu komoditas secara umum adalah harga komoditas itu sendiri, komoditas alternatif, harga 27 faktor produksi, tujuan perusahaan, tingkat penggunaan teknologi, pajak, subsidi dan harapan harga yang akan datang (Lipsey, 1995). 1. Harga komoditas Hipotesa dasar ekonomi menyatakan bahwa hubungan antara harga suatu komoditas dengan jumlah penawarannya memiliki hubungan positif, artinya semakin tinggi harga suatu komoditas maka semakin besar pula jumlah yang ditawarkan, demikian pula sebaliknya, cateris paribus. Dengan adanya peningkatan harga maka akan merangsang produsen untuk meningkatkan produksinya dan menjualnya dengan tujuan peningkatan keuntungan (Lipsey, 1995). Elastisitas harga untuk penjualan merupakan gambaran dari seberapa jauh kepekaan jumlah yang ditawarkan akibat perubahan harga itu sendiri. Elastisitas untuk penawaran adalah positif, ini berarti semakin besar elastisitas harga untuk penawaran semakin peka jumlah yang ditawarkan akibat perubahan harga produk itu sendiri. 2. Harga produk alternatif Komoditas alternatif dapat berupa komoditas komplemen (joint product) ataupun komoditas substitusi (competitive product). Antara komoditas dengan produk komplemennya memiliki hubungan elastisitas penawaran positif. Sehingga peningkatan harga suatu produk komplemen akan menurunkan jumlah penawaran komoditas tersebut. Jika terjadi peningkatan harga terhadap suatu produk substitusi maka akan meningkatkan 28 jumlah penawaran komoditas. Hal ini disebabkan adanya hubungan elastisitas penawaran yang negatif antara komoditas dengan produk substitusinya. 3. Harga faktor produksi Harga suatu faktor produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Semakin tinggi harga faktor produksi yang dikeluarkan perusahaan akan menurunkan laba yang diterima perusahaan tersebut. Hal ini akan menyebabkan perusahaan menurunkan produksinya. Sehingga harga faktor produksi yang mengalami peningkatan akan menurunkan jumlah komoditas yang ditawarkan. 4. Tujuan perusahaan Jumlah komoditas yang ditawarkan juga tergantung pada tujuan perusahaan. Tidak semua perusahaan memiliki tujuan untuk memaksimumkan keuntungan. Perusahaan yang mementingkan volume produksi akan menghasilkan dan menjual lebih banyak atau meningkatkan penawaran. 5. Tingkat penggunaan teknologi Penggunaan teknologi baru akan meningkatkan efisiensi waktu dan tenaga, serta meningkatkan modal. Peningkatan modal tersebut berasal dari peningkatan penerimaan dan penurunan biaya pada penggunaan faktor produksi yang sama. Hal ini menyebabkan peningkatan penawaran (cateris paribus), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan korelasi positif antara teknologi dengan jumlah penawaran. 29 Pergeseran kurva penawaran dapat dilihat pada Gambar 2.2 terjadi apabila variabel yang mempengaruhi penawaran berubah. Kurva penawaran bergeser ke kiri dari S0 ke S1 apabila terjadi penurunan penawaran yang diakibatkan oleh perubahan tertentu dalam tujuan yang ingin dicapai produsen atau adanya kenaikan harga barang-barang faktor produksi yang penting untuk memproduksi komoditas tersebut. Sebaliknya, pergeseran kurva penawaran ke arah kanan dari S0 ke S2, menunjukkan adanya peningkatan penawaran harga barang-barang faktor produksi yang penting untuk memproduksi barang tersebut. Harga S1 S0 S2 0 Jumlah Sumber: Lipsey, 1995 Gambar 2.2 Kurva Penawaran Penawaran ekspor merupakan jumlah komoditi yang ditawarkan oleh suatu negara (produsen) ke negara lain (konsumen) dan juga untuk memenuhi permintaan lain. Jumlah yang ditawarkan merupakan suatu arus yang dinyatakan dalam berapa banyak per periode waktu tertentu. Besarnya penawaran tergantung 30 pada harga komoditas itu sendiri, harga input, tujuan perusahaan, dan tingkat teknologinya. 2.2.3. Teori Ekspor Menurut Salvatore (1997), terdapat beberapa alasan sehingga dilakukannya ekspor oleh suatu negara, antara lain: pertama, keinginan untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dari produksi atau hasil dalam negeri, termasuk kebutuhan yang dapat diproduksi namun diperlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan jika diproduksi di luar negeri. Kedua, keinginan suatu negara untuk memperluas pemasaran komoditas domestik untuk meningkatkan sumber devisa bagi kegiatan pembangunan. Menurut Lipsey (1995) pertumbuhan ekspor suatu komoditas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: 1. Adanya daya saing dengan negara-negara lain di dunia. Oleh karena itu suatu negara hendaknya melakukan spesialisasi sehingga negara tersebut dapat mengekspor komoditi yang telah diproduksi untuk dipertukarkan dengan apa yang dihasilkan negara lain dengan biaya yang lebih rendah dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekspor di negara tersebut. 2. Adanya penetapan harga pasar dalam negeri dan harga pasar internasional. Jika harga pasar internasional lebih tinggi daripada harga pasar domestik, maka produsen akan lebih memilih untuk memasarkan komoditi yang ia produksi ke pasar internasional sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekspor di negara tersebut. 31 3. Adanya permintaan dari luar negeri. Semakin tinggi permintaan dari luar negeri akan komoditi yang dihasilkan oleh suatu negara, maka semakin tinggi pula pertumbuhan ekspor di negara tersebut. 4. Nilai tukar mata uang. Apabila suatu negara mengalami depresiasi nilai tukar, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekspor di negara tersebut. Hal itu terjadi karena depresiasi nilai tukar menyebabkan harga-harga komoditi domestik terlihat lebih murah di mata internasional sehingga permintaan luar negeri untuk komoditi tersebut akan meningkat. 2.2.4. Teori Elastisitas Penawaran Elastisitas penawaran sering disimbolkan dengan Es , adapun perumusan elastisitas (misalkan: elastisitas penawaran terhadap harga) antara lain: Es = : = X atau X Keterangan : dQ = perubahan jumlah yang ditawarkan = jumlah rata-rata yang ditawarkan Q = jumlah awal dP = perubahan harga = harga rata-rata P = harga awal 32 Elastisitas dibagi menjadi 3 macam, antara lain: 1. Inelastis Sempurna (Es = 0) Penawaran inelastis sempurna akan terjadi apabila perubahan harga yang terjadi tidak berpengaruh terhadap jumlah penawaran, Gambar 2.3 (i). 2. Elastistas Uniter (Es = 1) Penawaran ini akan terjadi apabila perubahan harga sebanding dengan jumlah penawaran, Gambar 2.3 (ii). 3. Elastis Sempurna (Es = ~) Penawaran elastis sempurna terjadi jika perubahan harga akan sangat mempengaruhi jumlah penawaran, Gambar 2.3 (iii). Harga Harga S Harga S Es=0 Es=1 Es= ~ S 0 (i) Jumlah 0 Jumlah (ii) Jumlah 0 (iii) Gambar 2.3 Kurva Elastisitas Penawaran Pengukuran elastisitas dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh peubah eksogen terhadap peubah pelaku endogen. Elastisitas dibahgi menjadi dua yaitu elastisitas jangka pendek dan elstisitas jangka panjang. 33 1. Elastisitas jangka pendek x E(Xi)sr = 2. Elastisitas jangka panjang E(Xi)lr = - Keterangan: E(Xi)sr = elastisitas peubah Xi dalam jangka pendek E(Xi)lr = elastisitas peubah Xi dalam jangka panjang = koefisien dari peubah Xi (peubah eksogen) = rata-rata peubah Xi (peubah eksogen) = rata-rata peubah Yi (peubah endogen) an = nilai koefisien regresi dugaan dan peubah beda kala Jika elastisitas lebih besar dari satu (E>1) maka peudah endogen responsif terhadap peubah eksogen, begitupun sebaliknya. 2.3. Tinjauan Empiris Penelitian Manik (2006) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao Indonesia menunjukkan bahwa perkembangan volume ekpor kakao Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Perkembangan ekspor dan nilai ekspor kakao Indonesia tidak selalu menunjukkan peningkatan yang sama. Pada saat ekspor meningkat tidak selalu diiringi dengan nilai yang meningkat. 34 Pada penelitian tersebut negara Singapura merupakan negara pengimpor biji kakao terbesar dari Indonesia, dengan volume yang meningkat dari tahun ke tahun. Pada negara Singapura harga domestik dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak berpengaruh nyata terhadap volume ekspor biji kakao, sedangkan harga ekspor dan volume ekspor tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap ekspor biji kakao Indonesia. Adapun variabel yang berpengaruh positif dalam faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan biji kakao Indonesia adalah populasi negara tujuan, harga biji kakao Indonesia di negara tujuan, dan kualitas biji kakao Indonesia. Variabel yang berpengaruh negatif adalah GDP per kapita negara tujuan, jarak antara negara Indonesia dengan negara tujuan, dan nilai tukar mata uang negara tujuan terhadap dollar AS. Variabel-variabel tersebut berdasarkan hasil penelitian Yunita (2006). Arleen (2006) dalam menganalisis ekspor kakao menggunakan analisis regresi gravity model dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dapat menjelaskan model ekspor kakao di Indonesia pada periode 1983-2005 menyebutkan bahwa ketersediaan produk kakao, harga dunia dan nilai tukar berpengaruh positif terhadap ekspor kakao. Sementara peningkatan harga domestik kakao akan menurunkan volume ekspor kakao. Hal ini karena akan mengurangi minat produsen untuk menjual kakao pada pasar dalam negeri dan memilih mengekspor komoditas kakao sehingga volume ekspor akan meningkat. Analisis dampak rencana pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao Indonesia yang diteliti oleh Nurdiyani (2007) menyebutkan bahwa pasar 35 kakao dalam negeri dan dunia tersegmentasi dan tidak terintegrasi dalam jangka pendek. Pembetukan harga kakao di dalam negeri hanya dipengaruhi oleh harga kakao bulan sebelumnya di pasar domestik dan dipengaruhi oleh harga sebelumnya di dunia. 2.4. Kerangka Pemikiran Konseptual Ekspor mampu meningkatkan pendapatan nasional berupa devisa negara. Penawaran ekspor dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: jumlah produksi, harga domestik, harga internasional, jumlah ekspor tahun sebelumnya dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Dalam penelitian ini dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor kakao Indonesia secara kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif, untuk melihat perkembangan penawaran ekspor kakao dapat dianalisis dengan metode deskriptif berdasarkan perkembangan volume dan nilai ekspor biji kakao. Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao Indonesia dilakukan analisis regresi berganda. Selanjutnya akan diestimasi dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Variabel-variabel yang diestimasi mempengaruhi penawaran ekspor kakao dalam penelitian ini antara lain: produksi kakao Indonesia, harga domestik kakao, harga kakao di pasar internasional, ekspor kakao tahun sebelumnya, dan nilai tukar (exchange rate) Rupiah terhadap Dollar Amerika. 36 Produktivitas Stok Dalam Negeri Luas Areal Impor Produksi Biji Kakao Harga Domestik Harga Internasional Penawaran Biji Kakao Ekspor Biji Kakao Tahun Sebelumnya Ekspor Biji Kakao Konsumsi Dalam Negeri Nilai Tukar Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Biji Kakao Analisis Regresi Berganda Analisis Ordinary Least Squared (OLS) Pengaruh Produksi Biji Kakao, Harga Domestik, Harga Internasional, Ekspor Biji Kakao Tahun Sebelumnya dan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Kebijakan yang Sesuai untuk Meningkatkan Penawaran Ekspor Biji Kakao Indonesia Keterangan: ------ Ruang Lingkup Penelitian Gambar 2.4 Diagram Konsep Alur Kerangka Berfikir 37 2.5. Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran yang telah diutarakan, maka hipotesis pada penelitian ini antara lain: 1. Produksi kakao Indonesia berpengaruh secara positif terhadap penawaran volume ekspor kakao, artinya ekspor kakao akan meningkat apabila produksi kakao Indonesia meningkat. Demikian sebaliknya, jika produksi mengalami penurunan maka penawaran ekspor juga akan mengalami penurunan. 2. Harga domestik kakao berpengaruh negatif terhadap penawaran ekspor kakao Indonesia. Apabila harga domestik mengalami peningkatan, maka penawaran ekspor kakao akan terjadi penurunan. 3. Penawaran ekspor kakao dipengaruhi oleh harga internasional secara positif. Jika terjadi peningkatan harga kakao di pasar internasional, maka pernawaran ekspor kakao akan meningkat, demikian sebaliknya. 4. Jumlah penawaran ekpor kakao tahun sebelumnya akan mempengaruhi penawaran ekspor kakao secara positif. Apabila jumlah penawaran ekspor tahun sebelumnya mengalami peningkatan maka penawaran ekspor akan terjadi peningkatan, begitupun sebaliknya. 5. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika akan mempengaruhi penawaran ekspor kakao secara positif. Saat nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika terdepresiasi maka harga barang dalam negeri lebih murah dibandingkan harga luar negeri, sehingga daya saing meningkat dan 38 keuntungan yang dapat diperoleh juga meningkat. Hal ini menyebabkan penawaran ekspor meningkat. 6. Kebijakan perdagangan kakao, dalam hal ini adanya standarisasi mengenai mutu kualitas biji kakao yang diekspor akan memberikan pengaruh positif terhadap penawaran ekspor kakao. Hal ini disebabkan dengan adanya standarisasi menyebabkan dayasaing di pasar internasional akan meningkat dan meningkatkan penawaran ekspor kakao Indonesia. III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari beberapa literatur yang ada. Adapun sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah data yang berasal dari beberapa edisi laporan seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan (Departemen Pertanian), Bank Indonesia (BI), Departemen Perdagangan, International Cacao Organization (ICCO), dan International Financial Statistics (IFS). Jenis data yang digunakan adalah data deret waktu (time series) berupa data tahunan dari tahun 1981 hingga tahun 2006. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Volume ekspor kakao (EX): Ton, 2. Produksi domestik (Prod): Ton, 3. Harga domestik biji kakao Indonesia (PD): Rp/Kg, 4. Harga biji kakao internasional (PW): US$/Kg, 5. Nilai tukar (ER): rupiah terhadap Dollar Amerika, 6. Volume ekspor biji kakao sebelumnya (Xt-1): Ton. 3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data 3.2.1. Metode Pengolahan Data Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan data yang diperlukan, memasukkan data yang akan digunakan 40 dengan software yang menunjang penelitian, mengolah data yang telah didapat dengan metode analisis yang digunakan pada penelitian. Dalam memasukkan data yang digunakan untuk penelitian ini dibantu dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007, sedangkan untuk mengolah data untuk menganalisis tujuan penelitian digunakan Eviews 4.1. 3.2.2. Metode Analisis Data Dalam penelitian ini metode analisis yang digunakan adalah metode kuantitatif (deskriptif) dan metode kualitatif. Metode deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi perkembangan ekspor biji kakao, perkembangan produksi kakao, perkembangan harga domestik kakao, dan perkembangan harga internasional. Metode kuantitatif yang digunakan metode analisis ekonometrika. Metode Ekonometrika yang digunakan dengan menggunakan model analisis regresi berganda yaiitu Ordinary Least Square (OLS) untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penawaran ekspor kakao Indonesia. 3.2.3. Perumusan Model Variabel-variabel yang diestimasi mempengaruhi penawaran ekspor kakao (volume ekspor kakao) Indonesia antara lain produksi kakao, harga domestik biji kakao, harga internasional biji kakao, harga ekspor biji kakao, volume ekspor kakao tahun sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Fungsi penawaran ekspor kakao Indonesia dirumuskan sebagai berikut: Ex = f(Prod, Pd, Pw, Er, Xt-1) Keterangan: Ex = Volume ekspor biji kakao (Ton) 41 Prod = Produksi biji kakao (Ton) Pd = Harga domestik biji kakao (Rp/Kg) Pw = Harga internasional (US$/Kg) Er = Nilai tukar (rupiah terhadap US dollar) Xt-1 = Volume ekspor biji kakao tahun sebelumnya (Ton) Berdasarkan persamaan penawaran di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor dalam penelitian ini digunakan fungsi ekspor biji kakao Cobb-douglas sebagai berikut: = - t e (1) Persamaan (1) secara alternatif dapat dinyatakan dalam bentuk logaritma sebagai LnExt = Ln +LnProdt + LnPdt + LnPwt + LnErt + LnXt-1 + (2) di mana ln = logaritma natural (yaitu logaritma dengan bilangan dasar e, di mana e = 2,718. Maka persamaan (2) dapat dinyatakan sebagai LnExt = +LnProdt + LnPdt + LnPwt + LnErt + LnXt-1 + (3) di mana = Ln 0, model ini linear dalam parameter , , dan linear dalam logaritma variabel Ex, Prod, Pd, Pw, Er,dan Xt-1 dapat disebut juga model log-ganda, atau log-linear. Persamaan (3) merupakan model ekonometrika yang digunakan dalam model penawaran ekspor biji kakao, dimana: intersep parameter yang akan diestimasi LnExt = ekspor biji kakao selama periode t LnProdt = produksi biji kakao selama periode t 42 LnPdt = harga domestik biji kakao selama periode t LnPwt = harga internasional biji kakao selama periode t LnErt = nilai tukar selama periode t LnXt-1 = volume ekspor kakao periode t-1 = error Pengujian elastisitas pada model ekonometrika pada persamaan log-linear sebagai berikut: Elastisitas = = = dan dan = , maka didapat = , sehingga = elastisitas Jadi, berdasarkan pengujian elastisitas dapat dinyatakan bahwa nilai parameter pada persamaan (3) merupakan nilai dari elastisitas variabel bebas terhadap variabel terikat . 3.2.3. Pengujian Asumsi Pengujian model tersebut dilakukan dengan kriteria statistik dan ekonometrika. Pengujian kriteria statistika dilakukan dengan uji koefisien determinasi (R2), uji t, dan uji F. Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur proporsi atau persentase total dari variasi dalam peubah bebas yang dijelaskan oleh model regresi. Uji t dapat dilihat dari nilai probabilitas t-stat-nya. 43 Sedangkan uji F dapat dilihat dari nilai probabilitas F-stat-nya. Kemudian kedua nilai probabilitas tersebut dibandingkan dengan taraf nyatanya. Jika nilai probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata, maka peubah bebas berpengaruh signifikan terhadap variabel terikatnya. Suatu variabel yang digunakan pada suatu penelitian memerlukan adanya pengujian asumsi yang terdapat pada metode analisis OLS. Hal ini dimaksudkan agar estimasi variabel penduga yang digunakan bersifat BLUE (Best Linier Unbias Estimation) sehingga dapat diperoleh kebenaran suatu model dalam penelitian. Adapun uji asumsi yang dilakukan antara lain: uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi, uji normalitas, dan uji multikolinearitas. 1. Uji Heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas artinya varians kesalahan tidak sama untuk setiap periode (homo = sama; Skedastisitas = sebaran). Uji heteroskedastisitas dapat dilihat dari nilai probabilitas Obs*R-squared White Heteroskedasticity. Jika nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata, maka model yang digunakan bersifat homoskedastisitas (tidak heteroskedastisitas). 2. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi digunakan untuk melihat korelasi (hubungan) yang terjadi antara anggota-anggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian waktu. Uji ini dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas Obs*R-squared dari Breusch-Godfrey 44 Serial correlation LM test dengan taraf nyata. Jika nilainya Obs*Rsquared lebih besar dari taraf nyata, maka tidak terdapat autokorelasi. 3. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk melihat apakah nilai residual (error term) dari model regresi terdistribusi normal atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas statistik Jarque-Bera. Jika nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata maka dapat diputuskan bahwa residual (error term) terdistribusi normal. 4. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas dimaksudkan untuk melihat bagaimana varibel bebas mempengaruhi variabel bebas lainnya dalam suatu persamaan. Dengan kata lain, suatu persamaan dikatakan multikolinear jika terdapat hubungan linear yang sempurna diantara atau semua peubah bebas dari model persamaan regresi. Terjadinya multikolinearitas disebabkan adanya kecenderungan variabel ekonomi untuk bergerak bersama-sama sepanjang tahun dan penggunaan nilai beda kala (lag) pada variabel penjelas dalam model. Suatu pelanggaran terhadap asumsi bahwa tidak ada hubungan sempurna antara variabel eksogen dalam sebuah persamaan regresi adalah adanya multikolinearitas sempurna. Jika semakin tinggi korelasi antara dua atau lebih variabel-variabel eksogen dalam sebuah model yang benar, semakin sulit memperkirakan keakuratan koefisien-koefisien pada model tersebut. Cara untuk menguji multikolinearitas dengan cara menghitung 45 Variance Inflation Factor (VIF). VIF merupakan salah satu cara untuk mendeteksi multikolinearitas dengan melihat sejauh mana sebuah variabel penjelas dapat diterangkan oleh semua variabel penjelas lainnya dalam suatu persamaan regresi. Jika nilai VIF < 10, maka persamaan tersebut tidak ada masalah multikolinearitas. VIF = - Keterangan : VIF = Variance Inflation Factor = korelasi antara variabel xi dengan variabel x yang lain Semakin erat variabel xi dengan variabel bebas x lainnya maka nilai R2xi akan meningkat dan nilai VIF meningkat. 3.2.4. Pengukuran Elastisitas Pengukuran elastisitas dibagi menjadi dua, yaitu elastisitas dalam jangka pendek (short run) dan elastisitas jangka panjang (long run). Untuk mengukur derajat kepekaan setiap peubah terikat pada persamaan terhadap peubah bebas, maka digunakan nilai elastisitas. Misalkan persamaan: Yt = α0 + α1X1t + α2X2t + αnYt -1 , sehingga didapat : 1. Elastisitas jangka pendek dihitung sebagai berikut : ESR = i Keterangan : ESR = elastisitas peubah terikat (Yt) terhadap peubah bebas (Xit) dalam jangka pendek SR = short run (jangka pendek) 46 i = parameter dugaan peubah terikat Xit = rata-rata peubah terikat Xit = rata-rata peubah bebas Yt 2. Elastisitas jangka panjang dihitung dengan rumus sebagai berikut : ELR = Keterangan : ELR = elastisitas peubah endogen (Yt) terhadap peubah penjelas (Xit) dalam jangka panjang n = nilai parameter dugaan peubah bebas berkala Jika nilai elastisitas lebih besar dari satu (E > 1), berarti peubah bebas responsif terhadap perubahan peubah terikat. IV. GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KAKAO DI INDONESIA Kakao merupakan tanaman perkebunan atau industri yang diperkenalkan kepada Indonesia pertama kali oleh bangsa Spanyol di Minahasa, Sulawesi Utara pada tahun 1560. Namun komoditi kakao ini menjadi penting sejak tahun 1951. Pemerintah Indonesia mulai melakukan pengembangan terhadap kakao pada tahun 1975 (Laporan Peluang Ekspor Komoditi Kakao di Uni Eropa, 2006). Kakao merupakan komoditas pertanian yang utama dalam perdagangan dan merupakan sumber penerimaan devisa negara yang cukup penting selama beberapa periode terakhir ini. Pada awal tahun 2006, sektor pertanian menyumbang Rp 291,95 miliar dari total PDB nasional Rp 2.729,71 miliar, tercatat US$ 127 juta dihasilkan komoditas ini. Dengan total ekspor sebesar 99.030,94 ton, sektor perkebunan ini menduduki posisi ketiga sebagai penghasil devisa setelah komoditas karet dan kelapa sawit. Selain itu kakao memberikan kontribusi lapangan kerja bagi 1,7 juta keluarga petani. Produksi biji kakao di Indonesia masih mengalami beberapa permasalahan yang menghambat perkembangan ekspor kakao. Produksi biji kakao Indonesia untuk diekspor ke pasar internasional belum mampu mengimbangi produksi biji kakao Pantai Gading dan Ghana. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya mutu kualitas biji kakao. Selain itu, fermentasi biji kakao yang belum sempurna dan mengalami kerusakan pada saat pengiriman sehingga harga biji kakao Indonesia mengalami penurunan pada pasar internasional. 48 Sebagian besar ekspor biji kakao berasal dari wilayah Sulawesi yang merupakan sentra produksi kakao Indonesia, antara lain: Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah. Hal ini disebabkan kondisi alam dan struktur lahan wilayah tersebut mendukung bagi perkebunan kakao. Saat ini, pemerintah mulai mengembangkan sentra produksi kakao di masing-masing provinsi. Pengembangan perkebunan kakao hampir dilakukan di setiap provinsi Indonesia yang bertujuan meningkatkan hasil perkebunan kakao (Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2007). 4.1. Perkembangan Produksi dan Luas Areal Perkebunan Kakao Indonesia Produksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ekspor biji kakao disuatu negara. Sehingga perubahan produksi akan mampu mengubah jumlah volume yang akan diekspor. Suatu negara akan mengekspor suatu barang apabila produksi lebih besar dibandingkan konsumsi di dalam negeri. Produksi barang pertanian akan sangat dipengaruhi oleh luas lahan yang dimilikinya. Luas lahan merupakan salah satu input utama bagi produksi barang pertanian selain tenaga kerja. Produksi yang dihasilkan oleh luas lahan mampu memperlihatkan produktivitas yang didapat oleh barang pertanian. Dapat dikatakan bahwa produktivitas merupakan perbandingan besarnya produksi yang dihasilkan pada setiap arel lahan yang digunakan. Perkembangan produksi kakao di Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif tiap tahunnya. Namun perubahan tersebut cenderung mengalami peningkatan. Produksi kakao di Indonesia dihasilkan oleh tiga 49 golongan, antara lain Perusahaan Rumah Tangga, Perusahaan Badan Negara, dan Perusahaan Badan Swasta. Produksi komoditas ini didominasi pada produksi yang dihasilkan oleh rumah tangga. Hal ini terdapat pada Gambar 4.1 di bawah ini: 1400000 1000000 800000 Rumah Tangga 600000 Pemerintah 400000 Perusahaan 200000 0 Tahun Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008 Gambar 4.1 Grafik Produksi Menurut Jenis Usaha (1981-2006) 200 150 Pertumbuhan (%) Luas Areal (ha) 1200000 100 50 0 -50 -100 Tahun Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008 Gambar 4.2 Pertumbuhan Produksi Kakao Tahun 1981-2006 50 Berdasarkan Gambar 4.2, pertumbuhan produksi biji kakao meningkat pesat sebesar 171 persen pada tahun 1983. Sedangkan pertumbuhan mengalami penurunan yang cukup besar pada tahun 1999 dibandingkan tahun-tahun lainnya. Pertumbuhan pada tahun tersebut mengalami penurunan sebesar 18 persen. Pertumbuhan produksi biji kakao sangat beragam dan berfluktuasi. Pertumbuhannya tidak dapat dikatakan selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pertumbuhan produksi yang sangat pesat pada tahun 1983 disebabkan oleh produksi tahun sebelumnya sangat kecil hanya mencapai 7.260 ton. Sedangkan pada tahun 1999 mengalami penurunan yang cukup besar disebabkan produksi pada tahun 1998 meningkat. Pada tahun 1998 meningkat disebabkan pemerintah mulai meningkatkan produksinya dan mengembangkan kakao sebagai pengembangan sektor pertanian khususnya perkebunan. Sehingga pemerintah meningkatkan faktor yang mempengaruhi produksi seperti memperluas areal perkebunan yang sempat mengalami penyempitan pada tahun 1997. Perkembangan produksi diikuti dengan perkembangan luas areal perkebunan kakao. Kecenderungan luas areal lahan perkebunan kakao mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan pemerintah dari tahun ke tahun melakukan pengembangan pada komoditas tanaman kakao sebagai upaya peningkatan produksi kakao untuk memenuhi permintaan di dalam negeri maupun luar negeri. Perkembangan luas areal kakao meningkat 75 persen pada tahun 1986 hingga 1987, pada tahun ini pemerintah mulai meningkatkan mengembangkan komoditas kakao. Hal ini disebabkan adanya kebijakan amerika untuk 51 menurunkan tarif terhadap produk kakao Indonesia. Peristiwa tersebut mendorong pemerintah untuk meningkatkan produksinya dengan tujuan mampu meningkatkan ekspor kakao ke negara Amerika. Tabel 4.1 Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kakao Indonesia Tahun 1981-2006 Luas Areal (ha) Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata Rumah Tangga 14.869 18.000 25.858 39.217 51.765 58.584 114.922 165.100 212.352 252.237 299.998 351.911 376.636 415.522 428.614 488.815 380.811 436.576 534.670 641.133 710.044 798.628 861.099 1.003.252 1.081.102 1.219.633 422.359,54 Pemerintah 20.678 23.308 25.132 27.667 29.198 29.994 38.391 53.137 57.600 57.600 64.406 62.437 65.525 69.760 66.021 63.025 62.455 58.261 59.990 52.690 55.291 54.815 49.913 38.668 38.295 48.930 48.968,73 Swasta 7.422 7.121 8.938 11.635 11.834 9.537 18.513 34.867 47.753 47.653 79.658 81.658 93.124 111.729 107.484 103.491 85.791 77.716 73.055 56.094 56.114 60.608 53.211 49.040 47.649 52.257 53.613,54 Jumlah 42.969 48.429 59.928 78.519 92.797 98.115 171.826 253.104 317.705 357.490 444.062 496.006 535.285 597.011 602.119 655.331 529.057 572.553 667.715 749.917 821.449 914.051 964.223 1.090.960 1.167.046 1.320.820 524.941,81 Pertumbuhan (%) 13 24 31 18 6 75 47 26 13 24 12 8 12 1 9 -19 8 17 12 10 11 5 13 7 13 16 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2008), diolah. Berdasarkan Tabel 4.1 perkembangan luas areal kakao terjadi penurunan yang cukup besar pada tahun 1997 hingga 19 persen. Penurunan tersebut terjadi 52 karena banyak luas areal perkebunan dikurangi untuk mengurangi resiko dalam sektor pertanian sehingga banyak perusahaan yang beralih usaha. Selain itu pada tahun 1997 terjadi ketidakstabilan ekonomi, sehingga sedikit perusahaan yang bergerak dalam bidang pertanian terutama subsektor perkebunan. Hal ini disebabkan subsektor perkebunan akan mengalami kerugian dan resiko yang sangat besar apabila terjadi ketidakpastian ekonomi. Sedangkan, rata-rata pertumbuhan luas areal perkebunan kakao pertahun pada periode 1981 sampai 2006 mencapai 16 persen. Rata-rata pertumbuhan perkebunan kakao meningkat sebesar 16 persen. Hal ini terjadi karena pemerintah selalu merupaya meningkatkan produksi melalui perluasan areal kakao. 4.2. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kakao Produktivitas perkebunan kakao ditunjukkan oleh produksi yang mampu dihasilkan oleh luas areal yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan. Berdasarkan produksi kakao, perusahaan rumah tangga mendominasi produksi terbesar di Indonesia. Demikian pula kepemilikan areal perkebunan kakao didominasi oleh perusahaan rumah tangga. Namun berdasarkan rata-rata produktivitas pertahun perusahaan milik pemerintah lebih besar dibandingkan perusahaan rumah tangga. Produktivitas rata-rata pertahun pada perusahaan rumah tangga adalah 0,45 ton per hektar (ha) atau 450 kg per ha. Sedangkan produktivitas rata-rata pertahun pada perusahaan pemerintah yaitu sebesar 0,57 ton per ha atau setara dengan 570 kg per ha. Perusahaan milik swasta memiliki 53 produktivitas pertahun yang paling kecil diantara kedua perusahaan tersebut yaitu sebesar 0,39 ton per ha atau sebesar 390 kg per ha. Produktivitas (Ton/ha) 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 Rumah tangga 0,40 Pemerintah 0,30 Swasta 0,20 0,10 0,00 Tahun Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008 Gambar 4.3 Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kakao (1981-2006) Berdasarkan tampilan Gambar 4.3 produktivitas perkebunan kakao sebelum tahun 1996, perusahaan milik pemerintah lebih besar produktivitasnya dibandingkan produktivitas perusahaan milik rumah tangga. Namun setelah tahun 1996, perusahaan rumah tangga cenderung telah mampu menyeimbangkan produktivitasnya dengan perusahaan pemerintah. Perusahaan swasta dalam kurun waktu tersebut produktivitasnya selalu rendah dibandingkan kedua perusahaan tersebut, namun terjadi perbedaan pada tahun 1982. Pada tahun tersebut perusahaan swasta lebih unggul dibandingkan kedua perusahaan lainnya. Perusahaan swasta mampu menghasilkan produktivitas 0,28 ton per ha atau 280 kg per ha. 54 4.3. Perkembangan Harga Biji Kakao Harga biji kakao yang berlaku dalam pasar antara lain harga domestik yaitu harga yang berlaku pada pasar dalam negeri, sedangkan harga internasional adalah harga yang berlaku pada pasar dunia. Setiap tahunnya harga mengalami perubahan, hal ini disebabkan ketidakstabilan permintaan dan penawaran terhadap komoditas tersebut. Harga yang berfluktuasi mampu mempengaruhi jumlah permintaan ataupun penawaran terhadap komoditas tersebut demikianpun sebaliknya. Selain itu, perubahan harga juga dapat menjadi acuan daya saing komoditas biji kakao terhadap perkembangan sektor perkebunan di pasar domestik maupun pasar internasional. Tabel 4.2 Perkembangan Harga Domestik dan Harga Internasional (Ratarata) Biji Kakao Indonesia Tahun 1990-2006 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Harga Domestik (Rp/Kg) 2.678 2.437 1.373 1.265 2.591 2.021 2.281 2.932 8.903 6.673 7.411 7.208 8.949 9.749 9.579 9.421 10.103 Pertumbuhan (%) -10 -78 -9 51 -28 11 22 67 -33 10 -3 19 8 -2 -2 7 Harga Internasional (US$/Kg) 1,26 1,19 1,09 1,11 1,39 1,42 1,45 1,61 1,66 1,13 0,88 1,08 1,77 1,74 3,39 3,37 3,47 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, ICCO (2008), diolah. Pertumbuhan (%) -6 -9 2 20 3 2 10 3 -47 -28 18 39 -1 49 -1 3 55 Berdasarkan Tabel 4.2 perkembangan harga biji kakao domestik dan internasional cenderung berfluktuatif. Terlihat pada tabel tersebut bahwa pertumbuhan harga tidak selamanya mengalami peningkatan tetapi pada tahuntahun tertentu terjadi penurunan. Harga biji kakao baik pada pasar domestik dan pasar internasional tidak dapat ditentukan dari pertumbuhannya, karena harga biji kakao relatif tidak stabil tiap tahunnya. Setelah masa krisis berlangsung, pada tahun 1999 terjadi penurunan harga rata-rata biji kakao secara bersamaan antara pasar domestik dan pasar internasional. Tahun tersebut merupakan tahun pertama yang pertumbuhannya mengalami penurunan. Pada tahun-tahun berikutnya harga biji kakao di pasar domestik mengalami pertumbuhan yang menurun, namun tidak serendah pertumbuhan pada tahun 1999. Sedangkan pada pasar internasional biji kakao mengalami pertumbuhan yang menurun, tetapi penurunannya sempat melebihi pertumbuhan di pasar domestik. Harga biji kakao yang dinamis menyebabkan permintaan terhadap kakao mengalami perubahan. Harga biji kakao juga dapat menentukan penawaran terhadap ekspor kakao suatu negara. Sehingga menyebabkan perkembangan ekspor kakao berubah tiap tahunnya. Adapun perubahan ekspor kakao pada tahun 1990 sampai dengan tahun 2006 terdapat pada Gambar 4.4. 56 700000 Ekspor (Ton) 600000 500000 400000 300000 200000 100000 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 1992 1991 1990 0 Tahun Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008 Gambar 4.4 Perkembangan Ekspor Kakao Tahun 1990-2006 Berdasarkan Gambar 4.4 perkembangan ekspor kakao tiap tahunnya mengalami peningkatan. Namun pada saat krisis ekonomi pertumbuhan ekpor kakao mengalami pertumbuhan yang negatif. Setelah krisis berlangsung, pada tahun 2001 mengalami penurunan sebesar 8 persen. Hal demikianpun terjadi pada tahun 2003 yang mengalami penurunan cukup berarti hingga mencapai 31 persen. Perkembangan ekspor kakao berbeda dengan perkembangan harga biji kakao baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah yang kakao yang diekspor tidak berpengaruh terhadap perubahan harga biji kakao. 4.4. Kebijakan Pemerintah dalam Meningkatkan Ekspor Kakao Upaya peningkatan ekspor selalu dikembangkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan pendapatan berbasis pertanian. Pertanian di Indonesia telah menjadi sektor pendukung dalam meningkatkan devisa negara, sehingga 57 pemerintah mampu meningkatkan pendapatannya. Oleh sebab itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam upaya perdagangan ekspor komoditas pertanian. Kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan ekspor biji kakao yang menjadi komoditas subsektor perkebunan salah satunya adalah standarisasi komoditas yang akan diperdagangkan di pasar internasional. Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dimaksudkan agar biji kakao yang diekspor memiliki daya saing dan mutu yang berkualitas. SNI biji kakao dikeluarkan pemerintah pertama kali pada tahun 1976 namun diberlakukan kembali dengan revisi pada tahun 1990, mengenai standarisasi fermentasi biji kakao. Selain standarisasi nasional yang dikeluarkan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, pemerintah mengelurkan kebijakan dalam rangka meningkatkan promosi ekspor biji kakao berupa penetapan tarif yang lebih rasional. Penetapan tarif tersebut sudah dilakukan pemerintah sejak tahun 1985, yaitu dengan pengurangan tarif maksimum dari 255 persen menjadi 0-60 persen. Hal ini dilakukan disebabkan lemahnya akses pasar biji kakao di pasar internasional. Kedua kebijakan tersebut diberlakukan pemerintah untuk menangani permasalahan pemotongan harga dan penanganan kembali untuk produk ekspor biji kakao. Selama ini biji kakao yang di ekspor ke luar negeri belum mampu memenuhi standarisasi ekspor dunia. Pada tahun 1985, pemerintah Amerika menurunkan tarif untuk komoditas biji kakao hingga 0-60 persen sebagian besar diberlakukan 5-35 persen. Semula tarif yang diberlakukan Amerika sebesar 255 persen, hal ini menyebabkan lemahnya akses pasar Indonesia pada pasar 58 internasional. Diharapkan dengan adanya penurunan tarif yang diberlakukan Amerika terhadap produk Indonesia mampu meningkatkan ekspor di pasar internasional. V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Indonesia Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa biji kakao merupakan komoditas perkebunan yang memberikan devisa terbesar setelah kelapa sawit dan karet. Perkembangan ekspor biji kakao tidak terlepas dari perkembangan penawaran yang berasal dari produksi yang dihasilkan. Selain itu, perkembangan ekspor biji kakao Indonesia telah mampu memasuki pasar internasional. Pada pasar internasional, biji kakao Indonesia menempati urutan pertama sebagai produsen di Benua Asia. Perkembangan volume dan nilai ekspor biji kakao Indonesia dalam kurun waktu 1981 hingga 2006 cenderung mengalami peningkatan tiap tahunnya. Ratarata volume ekspor sebesar 225.699,27 ton pertahun. Sedangkan rata-rata nilai ekspor biji kakao pertahun sebesar 290.440,15 US$. Pertumbuhan volume dan nilai ekspor biji kakao memiliki rata-rata setiap tahunnya sebesar 23 persen. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata tiap tahunnya baik volume dan nilai ekspor biji kakao selalu meningkat sebesar 23 persen. Biji kakao memiliki pertumbuhan volume dan nilai ekspor yang sangat meningkat tajam mencapai lebih dari 100 persen yaitu pada tahun 1983 sebesar 121 persen. Hal ini disebabkan pemerintah mulai mengembangkan biji kakao sebagai subsektor perkebunan unggulan di daerah yang berpotensial, terutama di Pulau Sulawesi dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). 60 Selain itu, pertumbuhan yang pesat pada ekspor biji kakao terjadi pada tahun 1983, yaitu pertumbuhan produksi mencapai 171 persen (Tabel 4.1). Hal tidak berbeda jauh pertumbuhannya dengan volume dan nilai ekspor yang mencapai 121 persen dan 175 persen. Perkembangan ekspor biji kakao yang meningkat tiap tahunnya, tidak berjalan secara terus menerus namun juga terjadi pertumbuhan nilai ekspor biji kakao yang menurun pada tahun 1986, 1999, 2000, 2003, dan 2004. Namun penurunan volume ekspor tidak selalu diikuti dengan penurunan volume ekspor. Pada tahun 2003, penurunan volume dan nilai ekspor terjadi secara bersamaan. Volume ekspor mengalami penurunan sebesar 24 persen. Pertumbuhan volume yang mengalami penurunan tersebut disebabkan mewabahnya hama penggerek pada buah kakao. Sedangkan pada tahun tersebut, nilai ekspor tumbuh mengalami penurunan hingga 11 persen. Berdasarkan perkembangan ekspor biji kakao, cenderung pemerintah meningkatkan ekspor biji kakao yang berasal dari pengusaha rumah tangga. Selain itu, pemerintah selalu berusaha untuk mengurangi rendahnya produktivitas tanaman biji kakao yang disebabkan masih dominannya penggunaan benih asalasalan yang digunakan oleh pengusaha rumah tangga. Perkembangan ekspor biji kakao tidak terlepas dari teknologi yang digunakan untuk meningkatkan produktivitas untuk mengendalikan hama penggerek buah kakao. Ekspor biji kakao dalam kurun waktu tersebut juga pernah mengalami pertumbuhan yang tetap dan cenderung kecil. Hal ini terjadi pada volume ekspor yang hanya memiliki pertumbuhan satu persen dua tahun berturut-turut yaitu pada 61 tahun 1994 dan 1995. Selain itu, pada beberapa tahun sebelumnya yaitu tahun 1984 terjadi pertumbuhan yang tetap atau tidak terjadi pertumbuhan sama sekali. Tabel 5.1 Perkembangan Ekspor Biji Kakao Indonesia Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata Volume Ekspor (Ton) 6.814 11.395 25.228 25.163 31.429 35.014 40.991 61.274 75.851 119.725 145.217 176.001 228.799 231.168 233.593 322.858 265.949 334.807 419.874 424.089 392.072 465.622 355.726 366.855 463.632 609.035 225.699,27 Pertumbuhan (%) Nilai Ekspor (US$) 67 121 0 25 11 17 49 24 58 21 21 30 1 1 38 -18 26 25 1 -8 19 -24 3 26 31 23 11.340 15.212 41.802 53.285 63.844 60.963 66.337 81.907 85.232 127.091 149.918 158.835 210.934 279.390 309.328 373.927 419.066 502.906 423.273 341.860 389.262 701.034 621.022 546.560 664.338 852.778 290.440,15 Pertumbuhan (%) 34 175 27 20 -5 9 23 4 49 18 6 33 32 11 21 12 20 -16 -19 14 80 -11 -12 22 28 23 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008 (diolah) Berdasarkan Tabel 5.1 rata-rata volume dan nilai ekspor biji kakao yang berasal dari komoditas ini telah mampu berkembang dengan cepat. Selain itu, ditandai pula dengan peningkatan volume dan nilai yang terjadi pada tiap tahunnya. Walaupun tiap tahunnya tidak terjadi peningkatan yang sangat berbeda, 62 tetapi hal tersebut dapat menunjukkan bahwa komoditas ini sangat diperhatikan perkembangannya oleh pemerintah. 5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Biji Kakao Indonesia Setelah dijelaskan mengenai perkembangan biji kakao di Indonesia pada periode 1981 hingga 2006, maka pada subbab ini akan dianalisis mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi penawaran ekspor biji kakao. Adapun untuk mengetahui hubungan penawaran ekspor dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya digunakan model ekonometrika dengan metode OLS. Model yang akan diestimasi: LnExt = + LnProdt + LnPdt + LnPwt + LnErt + LnXt-1 + Pada penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor biji kakao (Ex) diantaranya yaitu: produksi biji kakao (Prod), harga domestik biji kakao (Pd), harga biji kakao di pasar internasional (Pw), nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (Er), dan ekspor biji kakao tahun sebelumnya (Xt-1). Adapun hasil estimasi model penawaran ekspor biji kakao tercantum pada Tabel 5.2. 63 Tabel 5.2 Hasil Estimasi Terhadap Peubah Terikat LnEx (Ekspor Biji Kakao) Variable Coeficient t-Statistic Probability 0,316694 1,983713 0,0612* LnProd -0,027076 -0,154687 0,8786 LnPd -0,063846 -0,507819 0,6171 LnPw 0,043351 0,191088 0,8504 LnEr 0,581639 3,703008 0,0014* LnXt-1 1,036997 2,355741 0,0288 C 0,983582 0,320286 R-Squared Prob Obs* R-squared 0,979478 Adjusted R-squared (LM Test) 2,108109 0,133675 Durbin Watson Stat Prob Obs* R-squared 239,6413 F-Statistik (White Heteroscedasticity) 0,000000 0,953709 Prob F-statistik Prob Jarque-Bera Sumber : Hasil Penelitian (2008) Keterangan : *Signifikan pada taraf nyata 10% Berdasarkan hasil estimasi model penawaran ekspor biji kakao pada Tabel 5.2 menunjukkan bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini baik. Hal ini dapat dilihat dari uji kriteria statistik dan ekonometrika. Uji kriteria statistik dapat dilihat dari R*Squared, F-Statistik dan t-Statistik. Sedangkan uji ekonometrika dilihat dari uji Autokorelasi, uji Heteroskedastisitas, uji Normalitas dan uji Multikolinearitas. Berdasarkan Tabel 5.2 R-squared lebih besar dari 90 persen, menunjukkan kemampuan produksi, harga domestik, harga internasional, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan ekspor biji kakao tahun sebelumnya dapat menjelaskan keragaman ekspor biji kakao sebesar 98 persen dengan uji secara parsial menunjukkan nilai probabilitas t-stat yang lebih kecil dari taraf nyata 10 persen. Sedangkan uji secara serempak menunjukkan nilai probabilitas f-stat yang lebih kecil dari taraf nyata 10 persen yaitu sebesar 0 persen. Pada uji 64 ekonometrika menunjukkan bebas dari autokolerasi, heteroskedastisitas, dan normalitas. Model ini terbebas dari autokorelasi dapat dilihat dari nilai probabilitas Obs* R- Squared (LM Test) lebih besar dari taraf nyata 10 persen yaitu sebesar 32 persen. Selain itu model ini juga terbebas dari heteroskedastisitas yang dapat dilihat dari nilai probababilitas Obs R-Squared (White Heteroskedastisitas) lebih besar dari taraf nyata 10 persen yaitu sebesar 13 persen. Model tersebut juga tersebar secara normal yang dilihat dari probabilitas Jarque-Bera yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen. Probabilitas Jarque-Bera pada model tersebut sebesar 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa model ini tersebar secara normal atau tidak terjadi gangguan normalitas. Tabel 5.3 Nilai Correlation Matriks (Uji Multikolinearitas) LnEx LnProd LnPd LnPw LnEr LnEx 1,000000 0,984026 0,757884 -0,112420 0,916026 LnProd 0,984026 1,000000 0,777065 -0,060962 0,926739 LnPd 0,757884 0,777065 1,000000 0,266150 0,929652 LnPw -0,112420 -0,060962 0,266150 1,000000 0,069339 LnEr 0,916026 0,926739 0,929652 0,069339 1,000000 LnXt-1 0,989859 0,983414 0,762178 -0,112220 0,919647 Sumber: Hasil Penelitian (2008) Ln Xt-1 0,989859 0,983414 0,762178 -0,112220 0,919647 1,000000 Uji multikolinearitas dapat dilihat pada Tabel 5.3 bahwa nilai correlation matriks antara peubah bebas yang memiliki nilai korelasi lebih dari [0,8] adalah sebanyak delapan (VIF = 8). Hal ini menunjukkan bahwa nilai VIF < 10, maka tidak terdapat masalah pada uji multikolinearitas (hubungan antara peubah bebas) pada model tersebut. 65 5.2.1. Pengaruh Produksi Terhadap Ekspor Hasil estimasi pada model penawaran ekspor biji kakao menunjukkan bahwa produksi berpengaruh secara positif dan signifikan. Hal ini menjelaskan bahwa setiap peningkatan pada produksi akan meningkatkan penawaran ekspor biji kakao. Hal ini dapat dilihat berdasarkan probabilitas yang ditunjukkan pada Tabel 5.2. Probabilitas produksi lebih kecil dari pada taraf nyata 10 persen, yaitu sebesar 6 persen. Produksi berpengaruh secara positif terhadap penawaran ekspor biji kakao ditunjukkan oleh nilai koefisien sebesar 0,31 memiliki arti bahwa setiap peningkatan produksi sebesar 1 persen, cateris paribus, akan menyebabkan pertumbuhan penawaran ekspor biji kakao sebesar 0,31 persen. Peningkatan produksi berpengaruh langsung secara positif terhadap penawaran ekspor biji kakao. Saat produksi mengalami peningkatan maka ketersediaan produk biji kakao meningkat sehingga penawaran di dalam negeri maupun luar negeri meningkat. Produksi mampu meningkatkan penawaran ekspor biji kakao jika produk yang dihasilkan oleh setiap daerah mampu meningkatkan kualitas sesuai dengan mutu yang telah ditetapkan oleh negara tujuan ekpor biji kakao. Dengan demikian produksi biji kakao Indonesia mampu meningkatkan penawaran ekspor biji kakao. Begitupun sebaliknya, jika produksi terjadi penurunan maka penawaran ekspor biji kakao akan mengalami penurunan karena tidak ada barang yang ditawarkan kepada konsumen. Ton 66 900000 800000 700000 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 Ex Prod Tahun Sumber: Dirjenbun, 2008 Gambar 5.1 Jumlah Ekspor dan Produksi Biji Kakao Indonesia Jumlah ekspor biji kakao pada tahun 1981 hingga 2006 cenderung mengalami peningkatan yang sejalan dengan peningkatan produksi. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan penawaran akan mampu meningkatkan jumlah volume yang diekspor. Namun, pada tahun 1999 terjadi penurunan produksi yang tidak disertai dengan penurunan ekspor. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya lahan untuk menanam kakao pada tahun 1997, dimana luas areal perkebunan kakao mengalami pertumbuhan yang menurun. Perkebunan kakao mengalami pengkonversian lahan yang berubah menjadi lahan kelapa sawit. Selain itu, terjadi penyerangan terhadap perkebunan kakao yang disebabkan oleh hama penggerek. Produksi sangat berpengaruh terhadap penawaran ekspor biji kakao sehingga peningkatannya akan mampu meningkatkan penawaran ekspor biji kakao. Namun peningkatan ekspor biji kakao juga perlu didukung dengan adanya peningkatan kualitas mutu produk biji kakao untuk ekspor. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi pengiriman kembali biji kakao yang telah diekspor kenegara 67 tujuan yang disebabkan oleh mutu yang tidak sesuai dengan standar mutu di negara tersebut. Pentingnya peningkatan kualitas hasil produksi biji kakao ditandai dengan adanya peningkatan standar mutu biji kakao sesuai dengan syarat mutu biji kakao untuk diekspor. Hal tersebut dilakukan dengan cara memperhatikan mutu cita rasa yang berasal dari proses fermentasi secara benar. Beberapa negara pengimpor biji kakao yang berasal dari Indonesia sangat mempertimbangkan beberapa hal, antara lain: keamanan produk untuk dikonsumsi, produk yang ramah lingkungan dan cita rasa produk. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, produksi biji kakao Indonesia yang sesuai dengan syarat mutu akan mampu meningkatkan ekspor biji kakao ke luar negeri. 5.2.2. Pengaruh Harga Domestik Terhadap Ekspor Harga domestik berhubungan secara negatif dan tidak signifikan terhadap penawaran ekspor biji kakao. Hal tersebut dapat dijelaskan pada Tabel 5.2 yang menunjukkan probabilitas harga domestik lebih besar daripada taraf nyata 10 persen yaitu sebesar 87 persen. Nilai koefisien yang ditunjukkan pada hasil estimasi sebesar -0,027 memiliki arti bahwa setiap peningkatan harga domestik sebesar 1 persen, cateris paribus, akan menyebabkan penurunan penawaran ekpor biji kakao sebesar 0,027 persen. Perubahan harga domestik cenderung berfluktuasi setiap tahunnya, namun sering terjadi peningkatan. Pertumbuhan harga domestik yang terjadi pada pasar biji kakao Indonesia terlihat pada Gambar 5.1. Peningkatan harga domestik yang terjadi cenderung tidak sejalan dengan pertumbuhan ekspor biji kakao Indonesia. 68 Harga domestik mempengaruhi penawaran ekspor biji kakao secara negatif dan tidak signifikan. Penawaran ekspor biji kakao dipengaruhi harga domestik secara negatif, apabila harga biji kakao pada pasar domestik mengalami penurunan maka produsen yang menginginkan keuntungan maksimal lebih memilih untuk menjualnya pada pasar internasional. Demikian sebaliknya, jika harga pasar domestik tinggi maka produsen cenderung untuk menjual produknya di dalam negeri sehingga penawaran untuk ekspor mengalami penurunan. Namun, harga domestik tidak berpengaruh secara signifikan pada komoditi ekspor biji kakao. Hal ini disebabkan oleh penawaran ekspor biji kakao pada penelitian ini tidak dipengaruhi oleh berapa harga yang berlaku pada pasar domestik, tetapi kualitas yang terjaga pada produk biji kakao yang dihasilkan oleh produsen. Penawaran ekspor bahan mentah seperti biji kakao, perlu diperhatikan mutu yang terjamin agar diterima oleh konsumen dalam negeri maupun luar negeri. 5.2.3. Pengaruh Harga Internasional Terhadap Ekspor Berdasarkan hasil estimasi model penawaran ekspor, harga internasional biji kakao berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap eskpor biji kakao ke luar negeri. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.2, yang menunjukkan probabilitas harga internasional lebih besar daripada taraf nyata 10 persen yaitu sebesar 61 persen. Nilai koefisien sebesar -0,063 memiliki arti bahwa setiap peningkatan harga internasional sebesar 1 persen, cateris paribus, akan menyebabkan penurunan penawaran ekspor biji kakao sebesar 0,063 persen. 69 Harga internasional berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap penawaran ekspor biji kakao. Hal ini disebabkan oleh negara tujuan ekspor yang melakukan sistem pemotongan harga terhadap produk Indonesia yang memiliki mutu rendah. Jika harga internasional meningkat maka kecenderungan untuk meningkatkan ekspor lebih besar, namun saat kondisi over supply maka harga internasional yang tinggi akan meningkatkan nilai potongan untuk memilih biji kakao yang berkualitas baik. Produksi Indonesia yang diekspor ke luar negeri belum mampu memberikan kualitas yang baik sehingga saat harga internasional meningkat, Indonesia mengurangi ekspornya. Hal ini terjadi karena potongan yang didapatkan lebih kecil dan produsen mendapatkan keuntungan yang lebih besar apabila menurunkan jumlah ekspor dibandingkan meningkatkan jumlah ekspor. Pada kasus ini, saat harga internasional mengalami peningkatan tetapi tidak mampu mempengaruhi jumlah ekspor biji kakao ke luar negeri. Hal ini disebabkan negara tujuan ekspor lebih mementingkan kualitas produksi yang memiliki mutu terjamin dan baik. Dengan demikian harga yang cenderung berfluktuatif tidak mempengaruhi jumlah produk biji kakao yang mampu diekspor Indonesia ke luar negeri. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor biji kakao terbesar di dunia. Namun Indonesia bukan merupakan pembuat harga bagi komoditas biji kakao, melainkan sebagai penerima harga. Sedangkan Pantai Gading, Ghana, Kamerun, dan Nigeria yang merupakan anggota ICCO dapat mempengaruhi harga 70 dengan berkolusi yaitu menahan ekspor biji kakao mereka sehingga harga di pasar internasional dapat meningkat . Pada pasar internasional, persaingan harga tidak perjadi karena komoditas yang diperdagangkan homogen dan mengacu pada harga di pasar internasional. Indonesia yang memiliki kualitas yang rendah tetap mengacu pada harga yang berlaku di pasar, meskipun terdapat potongan harga dari negara tujuan sebagai kebijakan pasar. 5.2.4. Pengaruh Nilai Tukar Terhadap Ekpor Variabel nilai tukar mempengaruhi penawaran ekspor secara positif namun tidak berpengaruh secara signifikan. Hal ini ditunjukkan dari nilai probabilitasnya yang lebih besar dari nilai taraf nyata 10 persen yaitu sebesar 85 persen. Nilai koefisien yang ditunjukkan hasil estimasi menunjukkan angka 0,043 yang berarti setiap peningkatan nilai tukar rupiah terhadap dollar meningkat sebesar 1 persen maka penawaran ekspor biji kakao akan meningkat sebesar 0,043 persen. Saat nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika terdepresiasi maka harga barang dalam negeri lebih murah dibandingkan harga luar negeri, sehingga daya saing meningkat dan keuntungan yang dapat diperoleh juga meningkat. Hal ini menyebabkan penawaran ekspor meningkat. Akan tetapi pada kasus ini terdapat perbedaan. Meskipun ketika nilai rupiah terdepresiasi sehingga menyebabkan harga dalam negeri lebih murah dan daya saing meningkat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia kalah kualitas dibandingkan Pantai Gading dan Ghana. Sehingga akan tetap banyak potongan harga dari negara tujuan ekspor. 71 Sehingga peningkatan daya saing itu belum tentu meningkatkan penawaran ekspor kakao. Potongan harga yang dijadikan sebagai kebijakan pasar akan terus diberlakukan kepada Indonesia selama mutu kualitas biji kakao yang dihasilkan tidak dapat terjaga dengan baik. Selain itu, kebijakan pasar ini dimaksudkan agar Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor biji kakao terbesar mampu meningkatkan kualitas produksinya agar lebih mampu bersaing pada pasar Internasional. 5.2.5. Pengaruh Ekspor pada Tahun Sebelumnya Terhadap Ekspor Ekspor tahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap penawaran ekspor biji kakao saat ini. Nilai probabilitas yang ditunjukkan pada hasil estimasi model penawaran, probabilitas ekspor biji kakao tahun sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan taraf nyata 10 persen, yaitu sebesar 0,0014 atau 0,14 persen. Nilai koefisien regresi variabel ini bernilai positif sebesar 0,58 yang berarti setiap peningkatan 1 persen ekspor tahun lalu akan meningkatkan penawaran ekspor sebesar 0,58 persen. Apabila ekspor tahun sebelumnya mengalami peningkatan maka ada kecenderungan produsen untuk meningkatkan ekspornya ke luar negeri pada tahun berikutnya. Demikian sebaliknya, jika ekspor tahun sebelumnya mengalami penurunan maka ekspor saat ini akan berkurang. Pengaruh ekspor biji kakao tahun sebelumnya sangat besar, hal ini disebabkan produsen biji kakao mendapatkan pedoman untuk melihat kesempatan dalam mengekspor biji kakao tahun berikutnya. 72 Ekspor biji kakao yang yang dilakukan oleh Indonesia lebih mementingkan kapasitas yang akan diekspor. Hal ini menyebabkan pengiriman untuk ekspor akan semakin besar dengan melihat jumlah yang diekspor tahun sebelumnya. Ekspor yang dilakukan tahun sebelumnya menjadi acuan dalam pengiriman selanjutnya sehingga jumlah ekspor selanjutnya akan semakin besar. Idealnya, ekspor tahun sebelumnya lebih mampu melihat bagaimana kondisi pasar sebelumnya. Sehingga tahun berikutnya akan memperbesar kapasitas biji kakao untuk diekspor. 5.3. Elastisitas Penawaran Biji Kakao Terhadap Harga Internasional Pada model penawaran ekspor biji kakao terdapat dua variabel yang berpengaruh secara signifikan yaitu produksi dan ekspor tahun sebelumnya (lag). Berdasarkan hasil estimasi dapat diketahui berapa elastisitas produksi terhadap penawaran ekspor biji kakao. Sehingga didapat elastisitas jangka pendek dan jangka panjang. Nilai dugaan elastisitas jangka pendek yang diperoleh berdasarkan nilai koefisien regresi variabel produksi, yaitu sebesar 0,3167. Hal ini berarti kepekaan produksi terhadap ekspor biji kakao dalam jangka pendek adalah sebesar 0,3167. Dengan demikian jika terjadi peningkatan produksi sebesar satu persen maka akan meningkatkan penawaran ekspor biji kakao sebesar 0,3167 persen dalam jangka pendek. Sedangkan nilai dugaan elastisitas dalam jangka panjang adalah sebesar 0,7569. Hal ini berarti terjadi peningkatan produksi sebesar satu persen maka akan 73 mampu meningkatkan ekspor dalam jangka panjang sebesar 0,7569 persen. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa produksi dalam jangka panjang lebih mampu meningkatkan ekspor dalam jangka panjang. Jika produksi ditingkatkan maka dalam jangka panjang peningkatan ekspor biji kakao lebih baik dibandingkan dalam jangka pendek. Dengan demikian perkebunan kakao memiliki prospek jangka panjang yang baik. Karena dalam jangka waktu yang lama produksi akan mampu meningkat dengan pesat dan faktor-faktor produksi seperti areal perkebunan akan bertambah seiring dengan waktu berjalan. Selain itu, ekspor akan meningkat dengan pengembangan perkebunan biji kakao dengan perbaikan kualitas mutu biji kakao yang berkembang terus menerus. VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Perkembangan ekspor biji kakao Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan oleh adanya peningkatan yang terjadi tiap tahunnya. Hal tersebut didukung dengan adanya upaya pemerintah yang selalu melakukan perbaikan-perbaikan kualitas mutu biji kakao yang menjadi salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia. Penawaran ekspor biji kakao Indonesia sangat dipengaruhi oleh jumlah produksi dan ekspor yang dilakukan pada tahun sebelumnya. Produksi dan jumlah ekspor tahun sebelumnya mempengaruhi penawaran ekspor secara positif. Sedangkan variabel harga domestik, harga internasional, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika belum mampu mempengaruhi ekspor biji kakao secara signifikan. Nilai dugaan elastisitas produksi dalam jangka panjang lebih besar dibandingkan dalam jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa produksi dalam jangka panjang lebih memiliki pengaruh cukup besar dalam meningkatkan ekspor biji kakao Indonesia dibandingkan dalam jangka pendek. Selain itu, perkembangan ekspor biji kakao dalam jangka panjang akan mampu berkembang dengan baik dibandingkan dengan ekspor jangka pendek. Hal ini disebabkan pengembangan pemerintah setiap tahun terhadap perkebunan kakao akan mengalami peningkatan secara terus menerus. Pengembangan tersebut berupa penentuan standar mutu biji kakao yang berkualitas untuk produksi yang akan 75 diekspor, pemberian bibit unggul kepada petani kakao, dan penyuluhan untuk menanggulangi hama penggerek pada perkebunan kakao. 6.2. Saran Peningkatan ekspor biji kakao tidak hanya dapat dilakukan dengan peningkatan kuantitas melainkan perlu juga dilakukan peningkatan mutu dan kualitasnya. Hal ini dimaksudkan agar para produsen tidak mengalami kerugian akibat adanya potongan-potongan harga bagi mutu kakao yang rendah sebagai kebijakan pasar. Selain itu, mutu biji kakao yang perlu diperhatikan, agar tidak terjadi pengiriman kembali produk biji kakao ke Indonesia sehingga ekspor menjadi sia-sia. Pengendalian mutu biji kakao lebih diutamakan untuk perusahaan rumah tangga, karena sebagian besar produksi yang dihasilkan berasal dari rumah tangga. Peningkatan kualitas dapat dilakukan melalui peningkatan teknologi sehingga biji kakao yang akan diekspor dapat memiliki standar mutu fermentasi yang baik. Selain itu, pemerintah juga harus disiplin dalam memberlakukan kebijakan penetapan standar mutu biji kakao yang tetap untuk diekspor. Sehingga ekspor biji kakao Indonesia akan semakin meningkat di pasar internasional. Perlu adanya pengembangan perluasan areal perkebunan kakao (daerah agroklimat) yang sesuai dengan kondisi iklim dan cuaca yang dibutuhkan oleh tanaman kakao. Hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan lahan tidur yang masih produktif untuk meningkatkan produksi dalam jangka panjang. Jika produksi yang dihasilkan sesuai dengan keinginan pasar internasional maka 76 komoditas biji kakao akan mampu memperluas pasar dan bersaing dengan Pantai Gading dan Ghana. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan mampu mengelompokkan harga sesuai dengan kualitas biji kakao. Sehingga mampu melihat perbedaan penawaran ekspor biji kakao dengan kualitas tertentu. Selain itu, perlu memasukkan pengaruh penurunan tarif yang dilakukan negara tujuan ekspor (kebijakan pasar) sebagai variabel dummy. DAFTAR PUSTAKA Arleen. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Kakao Indonesia [Skripsi]. Program Studi Manajemen Agribisnis, FAPERTA, IPB, Bogor. Bank Indonesia. 2007. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI). Bank Indonesia, Jakarta. Bank Indonesia. 2007. Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil 2007. [Bank Indonesia Online]. http//www.bi.go.id [31 Juli 2008]. Badan Pusat Statistika. 2007. Statistik Indonesia 2007. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2007. Laporan Komoditas Kakao Indonesia 2006. BKPM, Jakarta. Departemen Pertanian. Beberapa Edisi. Statistik Perkebunan Indonesia (Kakao) 1981-2007. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Departemen Perdagangan. 2008. Perkembangan Ekspor-Impor Indonesia 20002007.[Departemen Perdagangan Online]. http://www.depdag.go.id [7 Juli 2008] Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar. Penerjemah Soemarno Zain. Penerbit Erlangga, Jakarta. International Cacao Organization. 2008. Annual Report 2007. [ICCO Online]. http://www.icco.org [12 Agustus 2008] Jiaravanon, S. 2007. Masa Depan Agribisnis Indonesia: Perspektif Seorang Praktisi. IPB Press, Bogor. Koutsoyiannis. 1977. Theory of Econometrics. 2nd Edition. The Mac Millan Press Ltd. New York. Limbong, W.H dan Sitorus, P. 1985. Pengantar Tataniaga Pertanian. Program Studi Manajer Koperasi Unit Desa (KUD), Fakultas Politeknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lindert, P. H dan C. P. Kinderleberger. 1995. Ekonomi Internasional. Erlangga, Jakarta. 78 Lipsey, G. R. 1995. Pengantar Mikro Ekonomi. Jilid I. Binarupa Aksara, Jakarta. Manik, H.M.BR.G. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Biji Kakao Indonesia [Skripsi]. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, FAPERTA, IPB, Bogor Nurasa, T dan Chairul M. 2005. Laporan Peluang Ekspor Komoditi Kakao di Uni Eropa. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Bogor. Pasaribu, S. H. Djoni, H. Tony I. 2005. Pedoman Penulisan Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, FEM, IPB, Bogor. Putong, I. 2004. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Edisi 2. Ghalia Indonesia, Jakarta. Sakdiyah, Z. 2006. Kapita Selekta Tanaman Perkebunan (Kakao). Silabus Mata Kuliah Kapita Selekta. Fakultas MIPA, UI, Jakarta. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima, Jilid 1. Haris Munandar [Penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Sihombing, R.B. 1997. Analisis Penawaran dan Permintaan Teh Hitam Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional [Tesis]. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, FAPERTA, IPB, Bogor. Suryani, D dan Zulfebriansyah. 2007. “Komoditas Kakao: Potret dan Peluang Pembiayaan”. Economic Review. No.210: 1-8. Tambunan, T.T.H. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta. Todaro, M.P. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia ketiga, dalam Haris Munandar (penerjemah). Erlangga, Jakarta. Wikipedia Indonesia. 2007. Sejarah Kakao Indonesia. [Wikipedia Online]. http://id.wikipedia.org/wiki/Kakao [7 Juli 2008]. LAMPIRAN 79 Lampiran 1. Data Mentah Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Ex 6.814 11.395 25.228 25.163 31.429 35.014 40.991 61.274 75.851 119.725 145.217 176.001 228.799 231.168 233.593 322.858 265.949 334.807 419.874 424.089 392.072 465.622 355.726 366.855 463.632 609.035 Prod 13.137 7.260 19.640 26.502 33.798 34.327 50.199 79.335 110.509 142.347 174.899 207.147 258.059 269.981 304.866 373.999 330.219 448.927 367.475 421.142 536.804 571.155 698.826 691.704 748.828 769.386 Pd 1.008,0 823,0 1.561,0 2.004,0 2.025,0 1.917,0 2.039,0 1.968,0 1.881,0 2.003,0 1.932,0 1.372,9 1.265,1 1.747,2 2.021,0 2.280,8 2.931,8 8.903,2 6.672,5 7.411,2 7.208,2 8.949,1 9.576,0 9.579,0 9.421,0 10.103,0 Pw 1,77 2,01 1,66 2,05 2,33 2,17 1,98 1,57 1,23 1,26 1,19 1,09 1,11 1,39 1,42 1,45 1,61 1,66 1,13 0,88 1,08 1,77 1,74 3,39 3,37 3,47 Keterangan: Ex : Volume Ekspor Biji Kakao (Ton) Prod : Produksi Biji Kakao (Ton) Pd : Harga Domestik (Rp/ Kg) Pw : Harga Dunia (US$/ Kg) Er : Nilai Tukar (Rupiah terhadap Dollar Amerika) Xt-1 : Volume Ekspor Biji Kakao Tahun Sebelumnya (Ton) Er 749,6 763,9 1.040,7 1.052,8 1.235,7 2.007,3 2.340,8 2.329,4 2.361,6 2.704,5 2.849,4 2.835,3 2.898,2 3.211,7 3.430,8 3.426,7 6.274,0 11.299,4 9.724,2 12.501,4 13.070,0 12.154,1 12.578,7 14.427,5 14.049,7 13.569,7 Xt-1 4.680 6.814 11.395 25.228 25.163 31.429 35.014 40.991 61.274 75.851 119.725 145.217 176.001 228.799 231.168 233.593 322.858 265.949 334.807 419.874 424.089 392.072 465.622 355.726 366.855 463.632 80 Lampiran 2.Hasil Estimasi Penawaran Ekspor Biji Kakao Indonesia Dependent Variable: LNEX Method: Least Squares Date: 01/07/09 Time: 13:08 Sample: 1981 2006 Included observations: 26 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic LNPROD LNPD LNPW LNER LNXt-1 C 0.316694 -0.027076 -0.063846 0.043351 0.581639 1.036997 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.159647 0.175037 0.125725 0.226863 0.157072 0.440200 0.983582 0.979478 0.183399 0.672703 10.61671 2.108109 1.983713 -0.154687 -0.507819 0.191088 3.703008 2.355741 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) Prob. 0.0612 0.8786 0.6171 0.8504 0.0014 0.0288 11.79002 1.280228 -0.355132 -0.064802 239.6413 0.000000 Lampiran 3. Uji Normalitas 7 Series: Residuals Sample 1981 2006 Observations 26 6 5 Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis 4 3 2 1 Jarque-Bera Probability 0 -0.4 -0.2 0.0 0.2 -6.79E-16 0.001981 0.365493 -0.333389 0.164037 0.040832 2.715688 0.094794 0.953709 0.4 Lampiran 4. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0,750344 Probability Obs*R-squared 0,987778 Probability 0,397174 0,320286 81 Lampiran 5. Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared 2,031323 14,95598 Probability Probability Lampiran 6. Perhitungan Elastisitas Produksi ESr = nilai parameter dugaan = 0,3167 (nilai Koefisien) ELr = ESr /(1- koef lag ekspor) = 0,3167/ (1-0,5816) = 0,7569 0,104208 0,133675