BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Hakikat Pembelajaran a. Pengertian Belajar Pandangan tentang definisi belajar tidak akan pernah habis terkupas, banyak teori yang membahas tentang belajar. Belajar selalu diidentifikasikan sebagai suatu perubahan pada diri individu yang disebabkan oleh pengalaman. Perubahan yang terjadi pada diri seseorang banyak sekali, baik sifat maupun jenisnya. Belajar itu baru timbul jika seseorang menemui suatu situasi baru dan menghadapinya dengan menggunakan pengalaman yang telah dimiliki. Menurut Slameto dalam Hamdani (2011: 20), belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut Gagne belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Belajar terdiri dari tiga komponen penting, yaitu kondisi eksternal, kondisi internal, dan hasil belajar. Belajar merupakan interaksi antara keadaan internal dan proses kognitif siswa dengan stimulus dari lingkungan. Proses kognitif tersebut menghasilkan suatu hasil belajar. Hasil belajar tersebut terdiri dari informasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap, dan kemampuan kognitif (Dimyati & Mudjiono, 2009: 10-11). Sardiman (2004: 20) memberikan batasan tentang definisi belajar sebagai berikut: belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan, misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, dan lain sebagainya. Belajar akan lebih 8 9 baik jika subjek belajar mengalami atau melakukannya, sehingga belajar tidak bersifat verbalistik. Sedangkan pengertian belajar yang lebih modern menurut Mulyani dan Johar (2001: 13) bahwa "Belajar sebagai setiap perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan dan pengalaman." Dari pendapat-pendapat tentang pengertian belajar yang telah dipaparkan oleh beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang sehingga menghasilkan perubahan-perubahan dalam hal pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap yang bersifat relatif konstan dan menetap. b. Tujuan Belajar Tujuan belajar merupakan tujuan yang sangat penting dalam sebuah proses belajar mengajar. Penentuan tujuan belajar akan mempermudah guru untuk mendesain program dan kegiatan pengajaran serta membuat evaluasi hasil belajar siswa. Untuk mencapai tujuan belajar, seorang guru harus menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi siswa. Menurut Sardiman (2004: 26) bahwa : "Tujuan belajar itu ada tiga jenis yaitu: untuk mendapatkan pengetahuan, penanaman konsep dan ketrampilan, serta pembentukan sikap." Tujuan-tujuan tersebut bersifat eksplisit yang berupa pengetahuan dan ketrampilan serta dapat bersifat implisit misalnya sifat terbuka, demokratis, berfikir kritis, kreatif, dan sebagainya. Jika tujuan belajar dapat tercapai, akan terlihat adanya perubahan-perubahan pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik pada diri siswa sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. c. Pengertian Pembelajaran Abdul (2013: 4) mengemukakan “ Pembelajaran bermakna sebagai upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya dan berbagai strategi, metode, dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan”. 10 Menurut Mohammad Surya yang dikutip oleh Abdul (2013: 4), pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Hamalik (2003: 57) juga mengemukakan “Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran“. Berdasarkan pemaparan para ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dan disengaja yang dilakukan oleh pengajar untuk membuat siswa belajar, dengan tujuan agar terjadi perubahan tingkah laku pada siswa ke arah yang lebih baik. d. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembelajaran Dalam proses belajar mengajar, ada beberapa faktor yang mempengaruhi siswa dalam mencapai keberhasilan belajar. Menurut Roestiyah, N.K. (1989: 151) secara umum faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: 1) Faktor internal, meliputi kesehatan, rasa aman, kemampuan, minat, dan sebagainya. 2) Faktor eksternal, meliputi kebersihan rumah, udara yang panas, lingkungan belajar siswa, dan sebagainya. e. Prinsip-Prinsip Belajar Agar individu berhasil dalam belajarnya maka harus menggunakan prinsip-prinsip belajar. Adanya prinsip-prinsip belajar akan membuat individu yang belajar akan memperbaiki kelemahannya sehingga didapatkan hasil belajar yang optimal. Ada beberapa prinsip-prinsip belajar yang dirangkum dari Slameto (2010: 83) sebagai berikut : 1) Dalam belajar setiap siswa harus berpartisipasi aktif, meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan pengajaran. 11 2) Belajar bersifat keseluruhan dan materi harus memiliki struktur, penyajian yang sederhana, sehingga siswa mudah menangkap pengertiannya. 3) Belajar harus dapat menimbulkan kegairahan dan motivasi yang kuat pada siswa untuk mencapai tujuan pengajaran. 4) Belajar merupakan proses yang berkesinambungan, maka harus dilakukan setahap demi setahap menurut perkembangan dan sistematika materinya. 5) Belajar adalah proses organisasi, adaptasi, eksplorasi dan discovery. 6) Belajar harus dapat mengembangkan kemampuan tertentu sesuai dengan tujuan pengajaran yang harus dicapainya. 7) Belajar memerlukan sarana yang cukup, sehingga siswa dapat belajar dengan baik. 8) Belajar perlu lingkungan yang menantang di mana siswa dapat mengembangkan kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan efektif. 9) Belajar perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya. 10) Belajar adalah proses kontiguitas (hubungan antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain) sehingga mendapatkan pengertian yang diharapkan. 11) Dalam proses belajar perlu ulangan berkali-kali agar pengertian, ketrampilan, dan sikap itu mendalam pada siswa. 2. Model Pembelajaran a. Pengertian Model Pembelajaran Pengertian model menurut Meyer, W.J. (1935: 2), “Model dimaknakan sebagai suatu objek atau konsep yang digunakan untuk mempresentasikan suatu hal. Sesuatu yang nyata dan dikonversi untuk sebuah bentuk yang lebih komprehensif.” Sedangkan pengertian model pembelajaran menurut Suprijono (2013: 98), “Model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial”. 12 Joyce (1992: 4) menyatakan bahwa “Model pembelajaran adalah suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk didalamnya bukubuku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain”. Berdasarkan pemaparan para ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa model pembelajaran adalah seperangkat prosedur yang sistematis sebagai bentuk rancangan bagi para pengajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu. b. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) 1) Pengertian Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) Sund & Trowbridge (1973: 62) menyatakan bahwa proses penemuan (discovery) terjadi ketika siswa terlibat dalam proses kegiatan menemukan suatu konsep ataupun prinsip. Pendekatan discovery merupakan pendekatan kognitif dalam pembelajaran, yang mana guru menciptakan situasi sehingga siswa dapat belajar sendiri. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep dan prinsip-prinsip. Siswa didorong agar mempunyai pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsipprinsip atau pengetahuan bagi dirinya. Jadi, pada discovery yang sangat penting adalah siswa sungguh terlibat di dalam persoalannya, menemukan prinsip-prinsip atau jawaban lewat percobaan (Burden & Byrd, 1999: 40). Hamalik (2003: 90-91) menyatakan bahwa discovery adalah proses pembelajaran yang menitikberatkan pada mental intelektual para anak didik dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi, sehingga menemukan suatu konsep atau generalisasi yang dapat diterapkan di lapangan. Menurut Gulo (2008: 35), pendekatan pengajaran discovery merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia, atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga 13 mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Pembelajaran dengan penemuan (discovery) merupakan suatu komponen penting dalam pendekatan konstruktivisme yang telah memiliki sejarah panjang dalam dunia pendidikan. Ide pembelajaran penemuan muncul dari keinginan untuk memberi rasa senang kepada anak/siswa dalam “menemukan” sesuatu oleh mereka sendiri, dengan mengikuti jejak para ilmuwan (Nurhadi, 2005). Wilcolx (2000) mengatakan bahwa dalam pembelajaran penemuan siswa didorong untuk belajar aktif melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Berdasarkan pemaparan beberapa pendapat para ahli, disimpulkan bahwa discovery merupakan model pembelajaran berbasis penemuan yang mengutamakan kemampuan siswa untuk menemukan sendiri konsep, arti, dan hubungan melalui proses intuitif sehingga pembelajaran akan lebih bermakna dan mendorong siswa untuk mengembangkan sikap ilmiah serta potensi intelektualnya. Siswa akan menemukan hubungan dan keteraturan dari materi yang dipelajari sehingga siswa menjadi lebih mudah mengerti struktur materi yang telah dipelajari. Melalui pembelajaran penemuan, diharapkan siswa terlibat dalam penyelidikan suatu hubungan, mengumpulkan data, dan menggunakannya untuk menemukan hukum atau prinsip yang berlaku pada kejadian tersebut. Pembelajaran penemuan disusun dengan asumsi bahwa observasi yang teliti dan dilakukan dengan hati-hati serta mencari bentuk atau pola dari temuannya akan mengarahkan siswa kepada penemuan hukum-hukum atau prinsip-prinsip. 14 Berkaitan dengan pembelajaran discovery, penelitian yang dilakukan oleh Ali Gunay Balim pada siswa Kelas VII di Kota Izhmir Turki pada tahun ajaran 2006/2007, dengan judul The Effect of Discovery Learning on Student’s Succes and Inquiry Learning Skills (Pengaruh Discovery Learning pada Kesuksesan Belajar Siswa dan Keterampilan Belajar Menemukan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi akademik yang diperoleh kelompok eksperimen yang menggunakan Discovery Learning jauh lebih baik dibandingkan kelompok kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional. Siswa yang belajar melalui Discovery Learning juga mendapatkan skor keterampilan belajar menemukan dengan baik, kemampuan kognitif dan afektif siswa juga semakin baik. Begitu juga dengan hasil penelitian Penelitian yang dilakukan oleh Nur Luthfi Rizqa Herianingtyas (2014) yang berjudul “Implementasi Pendekatan Saintifik Melalui Discovery Learning Dalam Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis Pembelajaran IPA di Kelas IV SD Negeri 1 Kebumen” dan mendapatkan kesimpulan implementasi pendekatan saintifik melalui discovery learning dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa pada pembelajaran IPA dalam Tema Selalu Berhemat Energi di kelas IV SD Negeri 1 Kebumen. Pada siklus I sebesar 79,50%, pada siklus II sebesar 93,00% dan pada siklus III sebesar 97,50%, Implementasi pendekatan saintifik melalui discovery learning dapat meningkatkan hasil belajar IPA dalam Tema Selalu Berhemat Energi di kelas IV SD Negeri 1 Kebumen, diketahui hasil belajar pada siklus I sebesar 83,33%, pada siklus II sebesar 92,31%, dan pada siklus III sebesar 97,44%. 2) Karakteristik Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) Sund dalam Roestiyah, N.K. (1989: 20) menyatakan bahwa Discovery adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Proses mental yang dimaksud antara lain 15 ialah: mengamati, mencerna, mengerti, mengklasifikasikan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Menurut Janine (2004) dalam Jurnal The Effects of Discovery Learning, karakteristik discovery learning adalah fokus pembelajaran terletak pada penemuan konsep-konsep dari hasil observasi, penelitian, maupun percobaan. Sedangkan Castillo (1997) dalam Jurnal Discovery Learning vs Traditional Instruction in the Secondary Science Classroom menyatakan bahwa discovery learning mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk membuat, mengintegrasikan, dan menggeneralisasi pengetahuan, yaitu dengan kegiatan yang mendorong siswa untuk membangun pemahaman baru yang didasari pada pengalaman nyata. Discovery learning merupakan sebuah pembelajaran inovatif dimana siswa aktif dalam pembelajaran untuk menemukan konsep-konsep baru, sehingga hasil yang diperoleh tahan lama dalam ingatan siswa (Hooks, 1994). Menurut Holmes (2000) dalam Jurnal Discovery Learning vs Traditional Instruction in the Secondary Science Classroom, discovery learning berpusat pada siswa yang melatih kemandirian untuk meningkatkan keterampilan dan proses kognitif yang dipelajari dalam belajar penemuan. Penilaian belajar penemuan lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa. 3) Guided Discovery Learning (Pembelajaran Penemuan Terbimbing) Model pembelajaran penemuan terbimbing (guided discovery learning) merupakan salah satu model pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student centre). Bertujuan agar siswa aktif dalam kegiatan belajar, melatih belajar sendiri dan menemukan sendiri konsep-konsep yang menjadi objek pembelajaran. Peranan guru dalam hal ini hanya sebatas preparasi objek, membantu siswa dalam proses penemuannya, serta menjadi sumber informasi apabila dibutuhkan siswa. Pada pelaksanaannya siswa hanya diberikan gambaran dan langkah-langkah secara garis besar mengenai materi. Selanjutnya siswa mengolah, mengukur dan mendiskusikannya sehingga menemukan kesimpulan 16 sendiri dari apa yang dipelajarinya. Hal tersebut akan mempermudah siswa dalam meningkatkan hasil belajar (Yanti, 2014: 15) Menurut Hanafiah dan Suhana, penemuan terbimbing (guided discovery) yaitu pelaksanaan penemuan (discovery) yang dilakukan atas petunjuk guru. Dimulai dari pertanyaan inti, guru mengajukan berbagai pertanyaan yang melacak, dengan tujuan untuk mengarahkan peserta didik ke titik kesimpulan yang diharapkan. Selanjutnya, siswa melakukan percobaan untuk membuktikan pendapat yang dikemukakannya (Yanti, 2014: 9). Berdasarkan disimpulkan bahwa beberapa pendapat pembelajaran di atas, penemuan maka terbimbing dapat adalah pembelajaran yang membuat siswa aktif dan mandiri menemukan informasi/ilmu dengan arahan/bimbingan dari guru. 4) Keunggulan dan Kelemahan Discovery Learning Model discovery learning memiliki beberpa keunggulan, menurut Roestiyah (1989: 20-21) discovery learning mempunyai beberapa keunggulan, keunggulan penggunaan pendekatan discovery learning sebagai berikut: a) Mendorong siswa untuk lebih mengembangkan, memperbanyak kesiapan, serta penguasaan ketrampilan dalam proses bersifat sangat kognitif/pengenalan siswa. b) Siswa memperoleh pengetahuan yang pribadi/individual sehingga dapat kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut. c) Dapat membangkitkan kegairahan belajar siswa. d) Mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuannya masing – masing. e) Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar giat. f) Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses penemuan sendiri. 17 g) Lebih berpusat pada siswa, tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar saja, membantu bila diperlukan. Amien (1987) mengatakan bahwa belajar penemuan mempunyai beberapa keuntungan, model pembelajaran ini mengacu pada keingintahuan siswa, memotivasi mereka untuk melanjutkan pekerjaannya hingga mereka menemukan jawabannya. Siswa juga belajar memecahkan masalah secara mandiri dan keterampilan berpikir kritis karena mereka harus menganalisis dan menangani informasi. Keuntungan yang didapatkan siswa dengan belajar menggunakan pendekatan penemuan (Carin & Sund, 1990: 95-96), antara lain: a) Mengembangkan potensi intelektual. Menurut Brune, melalui discovery, siswa yang lambat belajar akan mengetahui bagaimana menyusun dan melakukan penyelidikan dan materi yang dipelajari lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukannya. b) Mengubah siswa dari memiliki motivasi dari luar menjadi motivasi dari dalam diri sendiri. Discovery membantu siswa untuk lebih mandiri, bisa mengarahkan diri sendiri, dan bertanggungjawab atas pembelajarannya sendiri. c) Siswa akan belajar bagaimana belajar. Anak-anak dilibatkan secara aktif dengan mendengarkan, berbicara, membaca, melihat, dan berpikir. Jika otak anak selalu dalam keadaan aktif, pada saat itulah seorang anak sedang belajar. Piaget juga menegaskan, melalui latihan untuk menyelesaikan masalah, seorang siswa akan belajar bagaimana belajar (learning how to learn). d) Mempertahankan memori. Otak manusia seperti komputer. Permasalahan terbesar dalam otak manusia bukan pada penyimpanan data, melainkan bagaimana mendapatkan kembali data yang telah tersimpan di dalamnya. Para ahli berpendapat bahwa cara paling mudah untuk mendapatkan data adalah pengaturan. Dengan pengaturan, manusia lebih mudah mendapatkan informasi apa yang 18 dicari dan bagaimana mencarinya. Penelitian membuktikan, dengan pengaturan, informasi yang disimpan di dalam otak akan berkurang kerumitannya. Apalagi jika informasi tersebut dibangun sendiri yang salah satunya dengan penemuan. Berdasarkan beberapa kelebihan yang telah dipaparkan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa kelebihan model discovery learning adalah mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam kegiatan penemuan sehingga konsep-konsep yang diperoleh dapat diingat siswa. Model discovery learning juga memiliki beberapa kelemahan. Berikut menurut Roestiyah (1989: 21) beberapa kelemahan pendekatan discovery learning: a) Pada diri siswa harus sudah ada kesiapan dan kematangan mental untuk belajar. b) Kurang efektif untuk kelas yang terlalu besar. c) Proses mental yang terjadi terlalu mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan perkembangan/pembentukan sikap dan ketrampilan bagi siswa. d) Kurang memberikan kesempatan untuk berpikir secara kreatif. Kelemahan discovery learning dalam Sudjana (2009: 186) antara lain: a) Belajar mengajar menggunakan discovery learning membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan metode langsung. Hal ini disebabkan untuk bisa memahami model ini, dibutuhkan tahapantahapan yang panjang dan kemampuan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. b) Kemampuan berpikir rasional siswa masih terbatas. Dalam belajar discovery, sering siswa menggunakan empirisnya yang sangat subjektif untuk memperkuat pelaksanaan prakonsepnya. Kemampuan berpikir rasional dapat mempermudah pemahaman discovery yang memerlukan kemampuan intelektualnya. 19 c) Kesukaran dalam menggunakan faktor subjektifitas ini menimbulkan kesukaran dalam memahami suatu persoalan yang berkenaan dengan pembelajaran discovery. d) Belajar discovery menuntut kemandirian, kepercayaan kepada dirinya sendiri, dan kebiasaan bertindak sebagai subjek. Tuntutan terhadap pembelajaran discovery, sesungguhnya membutuhkan kebiasaan yang sesuai dengan kondisi anak didik. Berdasarkan pemaparan beberapa kekurangan menurut beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa kekurangan model discovery learning adalah membutuhkan waktu yang lama dan siswa masih terbiasa dengan model pembelajaran konvensional sehingga kemampuan berpikir kritis masih rendah. 5) Langkah-langkah Discovery Learning Fase belajar dalam model discovery learning dapat dilihat pada Gambar 2.1 SIMULATION GENERALIZATION PROBLEM STATEMENT VERIVICATION DATA COLLECTION DATA PROCESSING Gambar 2.1 Fase Belajar dalam Model Discovery Learning Hosnan (2014) menjelaskan enam tahapan-tahapan model discovery learning sebagai berikut: a) Stimulation (memberikan stimulasi/rangsangan) Pertama-tama pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan siswa untuk menyelidiki sendiri. Guru dapat memulai kegiatan discovery dengan menunjukkan 20 gambar, video, ataupun mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan fenomena alam yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. b) Problem Statement (identifikasi masalah) Setelah dilakukan stimulasi, langkah selanjutnya adalah guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk merumuskan hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) dari apersepsi yang diberikan guru di awal pembelajaran. c) Data Collection (pengumpulan data) Pada tahap ini, berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benartidaknya hipotesis. Dengan demikian, siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan informasi, mengamati objek, melakukan eksperimen, dan sebagainya. Pada tahap ini, siswa didorong untuk belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi. d) Data Processing (pengolahan data) Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh siswa baik melalui percobaan, obeservasi, dan sebagainya. Pengolahan data berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. e) Verification (pembuktian) Pada tahap ini, siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis, dihubungkan dengan hasil pengolahan data. f) Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi) Pada tahap generalisasi ini, siswa menarik kesimpulan dan mempresentasikan hasil diskusi. Dari hasil diskusi yang disampaikan, siswa akan menemukan konsep-konsep dari materi yang diajarkan. Di akhir pembelajaran, guru mempunyai peran dalam memberikan penguatan terhadap jawaban siswa. 21 3. Metode Mengajar a. Prinsip Metode Mengajar Surakhmad (1990: 96) mengungkapkan bahwa ”Metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan”. Metode mengajar adalah cara teratur yang digunakan guru dalam hubungannya dengan siswa saat berlangsungnya pelajaran guna pencapaian tujuan pelajaran seperti yang dikemukakan oleh Roestiyah (1989: 1) bahwa ”Metode mengajar adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas, agar pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami, dan digunakan oleh siswa dengan baik. Menurut Tardif dalam Syah, M. (2005: 201) metode pembelajaran adalah cara yang berisi prosedur baku untuk melaksanakan kegiatan kependidikan, khususnya kegiatan penyajian materi pelajaran kepada siswa. Prinsip metode pembelajaran sangat mempengaruhi proses belajar mengajar sehingga guru harus pandai memilih metode yang tepat untuk menciptakan proses belajar mengajar. Metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar ada banyak jenisnya diantaranya metode eksperimen, demonstrasi, diskusi, pemberian tugas. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode eksperimen. b. Metode Eksperimen Mengenai pengertian dari eksperimen, Roestiyah berpendapat, ”Eksperimen adalah salah satu cara mengajar, di mana siswa melakukan suatu percobaan tentang sesuatu hal: mengamati prosesnya serta menuliskan hasil percobaannya, kemudian hasil pengamatan itu disampaikan ke kelas dan dievaluasi oleh guru” (1989: 80). Seorang pakar pendidikan secara rinci merumuskan pengertian metode eksperimen sebagai berikut: Metode eksperimen adalah cara penyajian pelajaran dimana siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari. Dengan metode eksperimen siswa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan 22 dan menarik kesimpulan sendiri mengenai suatu objek atau proses tersebut. Dengan demikian siswa dituntut untuk mengalami sendiri, mencari kebenaran atau mencoba mencari suatu konsep dan menarik kesimpulan atas proses yang dialami (Djamarah, 2006: 85). Metode eksperimen merupakan format interaksi belajar-mengajar yang melibatkan logika induksi untuk menyimpulkan pengamatan terhadap proses dan hasil percobaan yang dilakukan. (Dimyati & Mudjiono, 1999: 77). Sedangkan menurut Mulyani dan Johar “Metode eksperimen diartikan sebagai cara belajar-mengajar yang melibatkan peserta didik dengan mengalami dan membuktikan sendiri proses dan hasil percobaan”. Dengan metode eksperimen siswa dapat melakukan percobaan serta mengamati proses dan hasilnya. Menurut Karim (2002: 81), metode eksperimen adalah metode yang sesuai untuk pembelajaran sains, karena metode eksperimen mampu memberikan kondisi belajar yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir dan kreativitas secara optimal. Siswa diberi kesempatan untuk menyusun sendiri konsep-konsep dalam struktur kognitifnya, selanjutnya dapat diaplikasikan dalam kehidupannya. Metode eksperimen menurut Alfarisi (2005: 2) adalah metode yang bertitik tolak dari suatu masalah yang hendak dipecahkan dan dalam prosedur kerjanya berpegang pada prinsip metode ilmiah. Penggunaan teknik ini memiliki tujuan agar siswa mampu mencari dan menemukan sendiri berbagai jawaban atau persoalan yang dihadapinya dengan mengadakan percobaan sendiri. Siswa juga dapat terlatih dalam cara berpikir yang ilmiah. Dengan eksperimen, siswa menemukan bukti kebenaran dari teori sesuatu yang sedang dipelajarinya. Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan metode eksperimen, siswa diberikan kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan, dan menarik kesimpulan sendiri mengenai suatu objek keadaan atau proses tertentu. Berdasarkan pemaparan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa metode eksperimen adalah cara penyajian pelajaran yang melibatkan 23 peserta didik untuk melakukan percobaan sendiri dan tidak hanya sekadar menerima penjelasan dari guru atau buku, sehingga siswa dapat mengamati dan membuktikan sendiri hal-hal yang dipelajari. Pada umumnya metode eksperimen berkembang dalam pelajaran IPA, sebab sesuai dengan ciri dari IPA yang berkembang atas dasar observasi dan eksperimentasi. Hal ini menunjukkan bahwa metode eksperimen cocok diterapkan dalam pelajaran IPA (khususnya Fisika) karena konsep-konsep yang ada dalam IPA sendiri berasal dari percobaan-percobaan sehingga untuk mempermudah memahami konsep IPA perlu adanya eksperimen. Mengenai beberapa tujuan, kelebihan, dan kekurangan dalam penerapan metode eksperimen, Mulyani (2001) menyatakan tujuan penerapan metode eksperimen sebagai berikut: 1) Agar peserta didik mampu menyimpulkan fakta-fakta, informasi atau data yang diperoleh. 2) Melatih peserta didik merancang, mempersiapkan, melaksanakan dan melaporkan percobaan. 3) Melatih peserta didik menggunakan logika berfikir induktif untuk menarik kesimpulan dari fakta, informasi atau data yang terkumpul melalui percobaan. Kelebihan penerapan metode eksperimen sebagai berikut: 1) Membuat peserta didik percaya pada kebenaran kesimpulan percobaannya sendiri dari pada hanya menerima kata guru atau buku. 2) Peserta didik aktif terlibat mengumpulkan fakta, informasi atau data yang diperlukan melalui percobaan yang dilakukannya. 3) Dapat menggunakan dan melaksanakan prosedur metode dan berfikir ilmiah. 4) Memperkaya pengalaman dengan hal-hal yang bersifat obyektif, realistis, dan menghilangkan verbalisme. 5) Hasil belajar menjadi kepemilikan peserta didik yang bertahan lama. Kekurangan penerapan metode eksperimen sebagai berikut: 1) Memerlukan peralatan percobaan yang komplit. 24 2) Dapat menghambat laju pembelajaran dalam penelitian yang memerlukan waktu yang lama. 3) Menimbulkan kesulitan bagi guru dan peserta didik apabila kurang berpengalaman dalam penelitian. 4) Kegagalan dan kesalahan dalam bereksperimen akan berakibat pada kesalahan penyimpulan (hlm. 135-137). Melalui kegiatan ekperimen memberi kesempatan kepada siswa agar dapat mengalami sendiri atau melakukan sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan, dan menarik kesimpulan sendiri tentang suatu objek, keadaan atau proses sesuatu. Metode eksperimen juga diharapkan dapat menumbuhkan cara berfikir rasional dan sikap ilmiah siswa. Mengenai beberapa cara untuk mengatasi kelemahan metode eksperimen, Sagala (2003) berpendapat sebagai berikut: 1) Hendaknya guru menerangkan sejelas-jelasnya tentang hasil yang ingin dicapai sehingga ia mengetahui pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab dengan eksperimen. 2) Hendaknya guru membicarakan bersama-sama dengan siswa tentang langkah yang dianggap baik untuk memecahkan masalah dalam eksperimen, serta bahan-bahan yang diperlukan, variabel yang perlu dikontrol dan hal-hal yang perlu dicatat. 3) Bila perlu, guru menolong siswa untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. 4) Guru perlu merangsang agar setelah eksperimen berakhir, ia membandingbandingkan hasilnya mendiskusikannya bila dengan ada hasil eksperimen perbedaan-perbedaan orang atau lain dan kekeliruan- kekeliruan (hlm. 221). Dari karakteristik tentang metode eksperimen dapat disimpulkan bahwa metode eksperimen dapat dikembangkan dan diterapkan dalam pembelajaran IPA dalam meningkatkan sikap ilmiah siswa. Sikap ilmiah dapat muncul dalam pembelajaran melalui pengalaman melakukan eksperimen. 25 Pembelajaran melalui eksperimen membuat siswa menjadi lebih aktif, guru berusaha membimbing, melatih, dan membiasakan siswa untuk terampil menggunakan alat, terampil merangkai percobaan, dan mengambil kesimpulan yang merupakan tujuan pembelajaran IPA dalam melakukan metode ilmiah dan sikap ilmiah siswa. Dengan eksperimen, melatih siswa untuk merekam semua data fakta yang diperoleh melalui hasil pengamatan dan bukan data opini hasil rekayasa pemikiran. Eksperimen membelajarkan siswa terlibat secara aktif sebagai upaya meningkatkan sikap ilmiah siswa. Dalam penemuan fakta dan data metode observasi dari sebuah eksperimen mempunyai peranan yang sangat penting bagi peningkatan sikap ilmiah yang diharapkan. Berdasarkan karakteristiknya, metode eksperimen paling cocok diterapkan bagi siswa SMP pada pelajaran IPA dalam meningkatkan sikap ilmiah siswa. 4. Kemampuan Kognitif Kemampuan kognitif bisa diartikan sebagai kemampuan individu untuk menggunakan pengetahuan yang dimiliki secara optimal untuk pemecahan masalah yang berhubungan dengan diri dan lingkungan sekitar. Tanpa kemampuan kognitif, mustahil siswa dapat memahami faedah dan menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran yang diikuti. Berhasil atau tidaknya proses belajar mengajar dapat dilihat dari hasil belajarnya. Hasil belajar secara umum dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Sedangkan menurut Bloom, hasil belajar dibagi menjadi tiga ranah, yaitu “...ranah kognitif, afektif, dan ranah psikomotorik” (Sudjana, 2009: 22). Beberapa ahli pendidikan memiliki pendapat yang sama dalam mengklasifikasikan kemampuan kognitif. Klasifikasi kemampuan kognitif tersebut dalam Anderson (2010:99-139) adalah sebagai berikut: 26 a. Mengingat Kemampuan yang mencakup ingatan siswa akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan meliputi fakta, kaidah, dan prinsip yang diketahui. b. Memahami Kemampuan yang mencakup kemampuan siswa untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari meliputi pengertian terhadap hubungan antar faktor, hubungan antar konsep, hubungan sebab akibat, dan penarikan kesimpulan. c. Mengaplikasikan Kemampuan yang mencakup kemampuan siswa untuk menerapkan suatu kaidah atau prinsip pada suatu kasus atau masalah yang konkret dan baru atau penggunaan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. d. Menganalisis Kemampuan yang mencakup kemampuan siswa untuk merinci suatu kesatuan kedalam bagian-bagian, sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik. Kemampuan dinyatakan dalam penganalisisan bagian-bagian pokok atau komponen-komponen dasar dengan hubungan antar bagian-bagian. e. Mengevaluasi Kemampuan yang mencakup kemampuan siswa untuk membentuk suatu pendapat mengenai sesuatu atau beberapa hal bersama pertanggungjawaban pendapat yang berdasarkan kriteria tertentu, kemampuan dinyatakan dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu. f. Mencipta Kemampuan yang mencakup kemampuan siswa untuk membentuk suatu kesatuan atau pola baru meliputi menggabungkan berbagai informasi menjadi suatu kesimpulan atau konsep yang kohern atau fungsional. Kemampuan kognitif mempunyai enam tingkatan, tetapi penguasaan tiap tingkatan berdasarkan jenjang perkembangan usia dan kedewasaan anak didik. Pada jenjang SMP kemampuan kognitif yang harus 27 dikuasai adalah tingkat satu sampai tingkat tiga, yaitu dari pengetahuan sampai aplikasi. Pengukuran hasil belajar ranah kognitif dilakukan dengan tes tertulis. Bentuk tes kognitif diantaranya adalah tes atau pertanyaan lisan di kelas, pilihan ganda, jawaban atau isian singkat, menjodohkan, dan uraian bebas. 5. Sikap Ilmiah Ada beberapa pengertian tentang sikap. Menurut Reber dalam bukunya Dictionary of Psychology, menyatakan bahwa istilah sikap (arti dari bahasa Latin, "aptitude" yang berarti kemampuan, sehingga sikap dijadikan acuan apakah seseorang mampu atau tidak mampu pada pekerjaan tertentu (Anwar, 2009: 103). Menurut Kartono (2011: 52),” sikap ilmiah ialah keadaan dalam diri manusia yang menggerakkan untuk beritindak menyertai manusia dengan perasaan-perasaan tertentu dalam menghadapi obyek dan terbentuk atas dasar pengalaman-pengalaman”. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam membina sikap seseorang yang harus mampu mengubah sikap negatif menjadi positif dan meningkatkan sikap positif lebih positif. Sikap yang dikembangkan dalam sains adalah sikap ilmiah yang dikenal dengan Scientific Attitude Sikap ilmiah (scientific attitude) menurut Harlen dalam Karim (2002: 14), mengandung dua makna, yaitu: sikap terhadap IPA (attitue to science) dan sikap yang melekat setelah mempelajari IPA (attitude of science). Sikap ilmiah menurut Prabowo (1992:30) yaitu kebiasaan berfikir kritis dalam menanggapi fenomena alam dengan menggunakan metode ilmiah. Adapun ciri-ciri sikap ilmiah menurut Wahton dalam Anwar (2009: 29) sebagai berikut: a. Bersikap terbuka, yaitu mau menerima atau memikirkan fakta-fakta baru, b. Kejujuran intelektual, yaitu kejujuran ilmiah, tidak menerima suatu pendapat yang tidak sesuai dengan kenyataan, c. Menahan diri untuk tidak segera memberikan suatu pertimbangan, yaitu kontrol ilmiah, memberikan 28 konklusi atau kesimpulan sampai seluruh fakta diperoleh, tidak menggeneralisasikan data yang dianggap kurang lengkap. Ciri-ciri sikap ilmiah menurut The Grand Rapids Public School di dalam unjuk kerja Guru, adalah: 1) sikap ingin tahu tentang alam semesta; 2) rasa percaya bahwa sesuatu itu tidak ada bila tanpa sebab; 3) percaya bahwa kebenaran itu tidak pernah berubah, tetapi pendapat tentang kebenaran sesuatu dapat berubah; 4) tidak menerima kenyataan sebagai fakta tanpa didukung bukti-bukti yang cukup; 5) tidak mempercayai segala takhayul; 6) tidak gegabah dalam menyelesaikan permasalahan, tetapi melalui perencanaan yang matang; 7) semua pengamatan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan teliti; 8) untuk menarik kesimpulan perlu didukung bukti-bukti yang kuat; 9) untuk mendapat jawaban yang benar dari suatu permasalahan diperlukan kesimpulan-kesimpulan yang teratur yang didukung oleh pengamatan-pengamatan; 10) kecenderungan untuk mengumpulkan fakta-fakta sendiri dengan mencoba mengamati disamping mempunyai kemauan untuk menggunakan hasil-hasil dan fakta-fakta yang diperoleh orang lain; 11) memilih kemauan mengubah pendapat atau kesimpulan jika di kemudian hari ada bukti yang menunjukkan bahwa pendapat atau kesimpulan tersebut salah; 12) menghargai ide, pendapat, jalan hidup orang lain yang berbeda dengan ide, pendapat dan jalan hidupnya; 13) tidak menarik keputusan berdasarkan rasa suka atau tidak suka. Sikap ilmiah meliputi hasrat ingin tahu, kerendahan hati, jujur, obyektif, kemauan untuk mempertimbangkan data baru, pendekatan positif terhadap kegagalan, determinasi, sikap keterbukaan, ketelitian dan lain sebagainya (Amien, 1979:78). Menurut Harlen (1992) dalam (Anwar: 2009), beberapa sikap ilmiah yaitu: (1) kejujuran yaitu mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran; (2) keingintahuan yaitu apabila seseorang menghadapi suatu masalah yang baru dikenalnya, maka seseorang berusaha mengetahuinya, senang mengajukan pertanyaan tentang obyek dan peristiwa, kebiasaan menggunakan alat indera sebanyak mungkin untuk menyelidiki suatu masalah, memperlihatkan gairah dan kesungguhan dalam menyelesaikan eksprimen; (3) kritis yaitu seseorang tidak langsung begitu saja menerima 29 kesimpulan tanpa ada bukti yang kuat, kebiasaan menggunakan bukti-bukti pada waktu menarik kesimpulan, tidak merasa paling benar yang harus diikuti oleh orang lain, bersedia mengubah pendapatnya berdasarkan bukti-bukti yang kuat (4) tekun yaitu seseorang tidak bosan mengadakan penyelidikan, bersedia mengulangi eksprimen yang hasilnya meragukan, tidak akan berhenti melakukan kegiatankegiatan apabila belum selesai, terhadap hal-hal yang ingin diketahuinya ia berusaha bekerja dengan teliti; (5) bekerjasama dengan orang lain yaitu interaksi sosial antar individu atau kelompok yang bersama-sama mewujudkan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama; (6) toleran/menghargai pendapat orang lain yaitu sikap memperhatikan kemauan dan perkataan orang lain dengan sungguhsungguh; (7) obyektif yaitu melihat sesuatu sebagaimana adanya obyek itu dan tidak dikuasai oleh pikirannya sendiri. Dengan kata lain mereka dapat mengatakan secara jujur dan menjauhkan kepentingan dirinya sebagai subjek; (8) teliti yaitu cermat dan seksama dalam menyelesaikan atau mengerjakan sesuatu agar tidak mengalami kesalahan atau kekeliruan; (9) disiplin yaitu sikap yang tercermin dalam tingkah laku perorangan, kelompok atau masyarakat berupa kepatuhan atau ketaatan terhadap peraturan, ketentuan, etika, norma, dan kaidah yang berlaku; dan (10) tanggung jawab yaitu kesadaran manusia akan tingkah laku yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Seseorang yang berjiwa ilmiah, dalam setiap perilakunya pasti mengindikasikan adanya sikap-sikap di atas. Sikap ilmiah merupakan salah satu bentuk kecerdasan yang dimiliki oleh setiap individu. Sikap ilmiah siswa dalam pembelajaran dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Sikap ilmiah siswa pada dasarnya tidak berbeda dengan keterampilan-keterampilan lain (kognitif, sosial, proses, dan psikomotor). Untuk memunculkan sikap ilmiah siswa, diperlukan sebuah model pembelajaran yang sesuai dengan indikator-indikator yang dimiliki oleh sikap ilmiah siswa. Dalam pembelajaran sikap ilmiah siswa sangat diperlukan sikap rasa ingin tahu, bekerja sama secara terbuka, bekerja keras, bertanggungjawab, kedisiplinan, dan kejujuran. Ini dikarenakan dengan sikap ilmiah tersebut pembelajaran akan berjalan dengan baik sehingga mencapai tujuan pembelajaran dan hasil belajar yang diinginkan, dimana siswa diharapkan mampu aktif dan 30 kreatif dalam pembelajaran. Berkaitan dengan sikap ilmiah, pada tahun 2011 pernah dilakukan penelitian dengan judul “Penerapan Pendekatan Discovery sebagai Upaya Meningkatkan Sikap Ilmiah dan Penguasaan Konsep IPA Kelas VII SMP pada Tema Pentingnya Air Bagi Kehidupan” oleh Arista Setyastuti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap ilmiah peserta didik meningkat dari siklus I sebesar 34,81 dan meningkat menjadi 37,68 pada siklus II. Begitu juga penelitian yang dilakukan Fitri Dahlia (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Pembelajaran Discovery Learning terhadap Peningkatan Kemampuan Literasi Sains dan Sikap Ilmiah Siswa SMP Kartika XIX-2 Bandung pada Materi Ekosistem” mendapat kesimpulan bahwa terdapat perbedaan signifikan nilai rata-rata kemampuan literasi sains pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil uji sikap ilmiah menunjukkan perbedaan yang signifikan, yaitu kelas eksperimen mengalami peningkatan 10% sedangkan kelas kontrol hanya mengalami peningkatan 5%. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan bahwa dalam pengajaran sains, sikap ilmiah dapat ditumbuhkembangkan selama siswa terlibat aktif dalam proses kegiatan ilmiah di laboratorium atau di kelas. Pembentukan sikap ilmiah siswa dapat dicapai melalui model pembelajaran Discovery dengan Lembar Kerja Praktikum dengan memperhatikan keterampilan menggunakan alat laboratorium yang didukung sarana laboratorium. Adapun pengukuran sikap ilmiah siswa dilakukan dengan angket langsung tertutup dan observasi langsung saat melakukan praktikum. 6. Penelitian Tindakan Kelas a. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas Penelitian tindakan kelas dalam bahasa Inggris adalah Classroom Action Research (CAR). Suharsiwi, Suhardjono, dan Supardi (2008: 2-3) mendefinisikan penelitian tindakan kelas (PTK) melalui paparan gabungan definisi dari kata “penelitian”, “tindakan”, dan “kelas”. Penelitian adalah kegiatan mencermati suatu objek dengan menggunakan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat untuk 31 meningkatkan mutu suatu hal, menarik minat dan penting bagi peneliti. Tindakan adalah suatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu, yang dalam penelitian berbentuk rangkaian siklus kegiatan. Kelas adalah sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama, menerima pelajaran yang sama dari guru yang sama pula. Dengan menggabungkan batasan pengertian tiga kata inti dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersamaan. Tindakan tersebut diberikan oleh guru atau dengan arahan dari guru yang dilakukan oleh siswa. Jika ditinjau dari segi semantik, Kemmis dan Mc. Taggart (1990) dalam Aminah (2012: 48) mendefinisikan pengertian penelitian tindakan kelas: Action Research is a form of self-reflective enquiry undertaken by participants (teachers, students or principals, for example) in social (including educational) situations in order to improve the rationality and justice of (a) their own social or educational practices, (2) their understanding of these practices, and the situation (and institutions) in which the practices are carried out. Dari pernyataan maka karakter PTK: 1) suatu pendekatan untuk memperbaiki praktik pendidikan dengan jalan mengubahnya dan memepelajari dampak dari perubahan tersebut; 2) penelitian melalui refleksi diri, yaitu guru memperoleh data dari praktiknya sendiri; 3) penelitian tindakan kelas dilakukan di ruang kelas sehingga fokus penelitian adalah proses pembelajaran berupa perilaku guru dan siswa saat berinteraksi dalam proses pembelajaran; 4) penelitian tindakan kelas bertujuan untuk memperbaiki pembelajaran; 5) penelitian tindakan kelas dilakukan secara kolaboratif. Asrori (2008: 6) menyatakan, “Penelitian tindakan kelas sebagai suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu untuk memperbaiki dan meningkatkan praktik pembelajaran di kelas 32 secara lebih berkualitas sehingga siswa dapat memperoleh hasil belajar yang lebih baik”. Peneltian tindakan kelas berbeda dengan penelitian kelas. Perbedaan dari keduanya dapat dilihat dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1. Perbandingan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penelitian Kelas Non-PTK (Sumber: Aminah, 2012:53) No. 1 2 3 Aspek Peneliti Rencana penelitian Munculnya masalah 4 Ciri utama 5 6 Peran guru Tempat penelitian Proses pengumpulan data Hasil penelitian 7 8 Penelitian Tindakan Kelas (PTK) guru oleh guru (mungkin dibantu orang luar) dirasakan oleh guru (mungkin dengan dorongan orang luar) ada tindakan yang berulang untuk perbaikan sebagai guru dan peneliti kelas oleh guru sendiri bantuan orang lain atau langsung dimanfaatkan oleh guru dan dirasakan oleh kelas Penelitian Non-PTK orang luar oleh peneliti dirasakan oleh orang luar belum tentu ada tindakan perbaikan sebagai guru Kelas oleh peneliti menjadi milik peneliti, belum tentu dimanfaatkan oleh guru Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dipaparkan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang bersifat reflektif dan mengacu dari permasalahan riil yang dihadapi guru dengan tujuan untuk memperbaiki mutu praktik pembelajaran. Pemecahan masalah dilakukan dengan tindakan-tindakan nyata yang terencana dan terukur. b. Model-model Penelitian Tindakan Kelas Somadoyo (2013: 39-42) menyampaikan model-model Penelitian Tindakan Kelas, yaitu: 1) Model Kurt Lewin Menurut Kurt Lewin, penelitian tindakan terdiri dari empat komponen, yaitu: perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). 33 2) Model Kemmis & McTaggart Model Kemmis & Mc Taggart merupakan pengembangan konsep yang diperkenalkan Kurt Lewin hanya saja komponen tindakan (acting) dan pengamatan (observing) dijadikan satu kesatuan. Karena kenyataannya antara implementasi acting dan observing merupakan dua kegiatan yang tak terpisahkan, yaitu dilakukan dalam satu kesatuan waktu. Jadi merupakan satu perangkat atau untaian yang setiap perangkat berisi empat komponen sebagai siklus atau putaran kegiatan yang terdiri dari: perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Jumlah siklusnya bergantung permasalahan yang perlu dipecahkan. 3) Model John Elliot Model penelitian John Elliot merupakan model peneliian yang lebih teliti dibandingkan dengan model penelitian Kurt Lewin dan Kemmis & Mc Taggart. Hal ini karena di dalam setiap siklus dimungkinkan terdiri dari beberapa aksi. Model-model penelitian tindakan kelas yang lain yaitu: 1) Model Guru Sebagai Peneliti Model penelitian guru sebagai peneliti merupakan penelitian yang menuntut guru untuk aktif dalam penelitian. Dalam penelitian model ini guru mencari, menentukan, dan mencari pemecahan permasalahan penelitiannya sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh Asrori (2008: 53) berikut: Model penelitian tindakan kelas yang memandang guru sebagai peneliti memilki ciri utama yang sangat menonjol dan penting yaitu sangat berperannya guru sendiri dalam proses penelitian tindakan kelas. Dalam model ini, tujuan utama penelitian tindakan kelas adalah untuk meningkatkan praktik-praktik pembelajaran di kelas. Pada model ini guru terlibat secara penuh dalam proses perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Keterlibatan pihak lain dalam penelitian ini bersifat konsultatif dalam mencari dan mempertajam permasalahan-permasalahan pembelajaran yang dihadapi oleh guru yang sekiranya layak untuk dipecahkan melalui penelitian tindakan kelas. Jadi dalam penelitian tindakan kelas model ini 34 guru berperan sebagai peneliti dan peran pihak luar sangat kecil dalam proses penelitian. 2) Model Kolaboratif Model kolaboratif adalah penelitian yang dilakukan bersama antara peneliti dengan pihak lain (dosen, guru, atau mahasiswa). Penelitian kolaboratif dilakukan untuk membangun budaya ilmiah di kalangan dosen, mahasiswa, dan guru sebagai praktisi pendidikan. Sebagaimana diungkapkan oleh Asrori (2008: 54) berikut: Model penelitian tindakan kelas kolaboratif melibatkan beberapa pihak luar baik guru, kepala sekolah, maupun dosen/peneliti dari perguruan tinggi kependidikan secara simultan dan serempak. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas praktik pembelajaran, memberikan sumbangan kepada teori pembelajaran atau pendidikan, dan peningkatan karier guru. Dalam proses penelitian tindakan kelas yang bersifat kolaboratif ini bukan pihak luar semata yang bertindak sebagai inovator dan pembaharu, tetapi guru juga dapat melakukannya melalui kerjasama dengan peneliti dari pihak perguruan tinggi kependidikan. Dalam penelitian kolaboratif gurulah yang harus secara aktif terlibat langsung sebagai pelaksana penelitian meskipun dibantu peneliti dari perguruan tinggi kependidikan. Dengan suasana kerja seperti itu, guru dan peneliti dari perguruan tinggi kependidikan dapat saling belajar dan mengisi terhadap proses peningkatan profesionalisme masing-masing. 3) Model Simultan Terintegrasi Model penelitian simultan terintegrasi merupakan penelitian yang dilakukan oleh guru dan peneliti. Hanya saja dalam model penelitian ini guru hanya mencobakan tindakan yang telah disusun, sedangkan masalah dan tindakan dalam penelitian ditentukan oleh peneliti. Sebagaimana diungkapkan oleh Asrori (2008: 53) berikut : Penelitian tindakan kelas model simultan terintegrasi memiliki dua tujuan utama. Pertama, untuk memecahkan permasalahanpermasalahan praktis dalam pembelajaran. Kedua, untuk menghasilkan pengetahuan yang ilmiah dalam bidang pembelajaran di kelas. Model penelitian tindakan kelas yang demikian ini, guru dilibatkan pada proses penelitian kelasnya terutama pada aspek atau 35 langkah mencobakan tindakan dan melakukan refleksi terhadap praktik-praktik pembelajaran di kelas. Dalam model penelitian tindakan kelas ini guru bukan pencetus gagasan terhadap permasalahan-permasalahan apa yang harus diteliti di kelasnya sendiri. Dengan demikian, pada model penelitian tindakan kelas ini guru bukan berperan sebagai inovator. Sebaliknya, sebagai inovator adalah peneliti lain dari luar guru, misalnya peneliti dari perguruan tinggi kependidikan. 4) Model Administrasi Sosial Eksperimental Model penelitian administrasi sosial eksperimental merupakan penelitian yang tidak melibatkan guru dalam perencanaan dan tindakan dalam penelitian. Sebagaimana diungkapkan oleh Asrori (2008: 53) berikut: Dalam penelitian administrasi sosial eksperimental model ini guru tidak dilibatkan dalam perencanaan, pemberian tindakan, observasi, dan refleksi terhadap praktik pembelajarannya sendiri di kelas. Jadi dalam penelitian tindakan kelas model administrasi sosial eksperimental guru tidak banyak memberikan masukan pada proses penelitiannya. Tanggungjawab penuh penelitian tindakan kelas model ini terletak pada pihak luar. Penelitian tindakan kelas model administrasi sosial ekspirimental ini lebih menekankan pada dampak dari kebijakan dan praktik pembelajaran. Pada model ini peneliti terlibat secara penuh dalam proses perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Peneliti bertanggungjawab penuh terhadap penelitian yang dilakukan. c. Langkah-langkah Penelitian Tindakan Kelas Menurut Aminah (2012: 54-62) ada empat tahapan yang dapat dilakukan dalam melakukan penelitian tindakan kelas. Tahapan tersebut di antaranya adalah : 1) Perencanaan tindakan (Planning) Pada tahap perencanaan ini peneliti menjelaskan tentang apa, mengapa, kapan, di mana, oleh siapa, dan bagaiman tindakan tersebut dilakukan. Langkah persiapan yang perlu ditempuh dalam persiapan tindakan adalah : 36 a) merancang tindakan dalam bentuk skeneario pembelajaran yang menunjukkan langkah-langkah yang dilakukan siswa maupun guru; b) mempersiapkan fasilitas dan sarana yang diperlukan di kelas; c) mempersiapkan cara merekam dan menganalisis data mengenai proses dan hasil tidakan pembelajaran; dan d) melakukan simulasi pembelajaran jika diperlukan. 2) Pelaksanaan tindakan (Acting) Pelaksanaan tindakan merupakan implementasi dari perencanaan. Dalam tahap ini guru harus menaati apa yang sudah dirumuskan dalam perencanaan, tetapi harus pula berlaku wajar atau tidak dibuat-buat. Pelaksaan tindakan hendaknya mengikuti enam prinsip yang dikemukakan oleh Hopkins (1993) sebagai berikut : a) pekerjaan utama guru adalah mengajar, sehingga metodelogi yang digunakan tidak boleh mengganggu komitmen guru dalam mengajar; b) cara mengumpukan data tidak boleh menyita waktu guru; c) metodelogi yang diterapkan harus reliabel atau handal, sehingga guru masih dapat mengembangkan strategi pembelajaran sesuai dnegan kondisi kelas; d) masalah yang ditangani guru harus sesuai dengan kemampuan dan komitmen guru; e) sebagai peneliti, guru harus memperhatikan berbagai aturan atau etika sesuai dengan tugasnya; dan f) PTK harus mendapat dukungan dari semua personil di sekolah. 3) Pengamatan (Observing) Pada tahap ini pegamat melakukan pengamatan terhadap implementasi tindakan. Ada empat metode observasi, yaitu : a) Observsi Terbuka Pada observasi ini pengamat tidak menggunakan lembar observasi, melainkan hanya menggunakan lembar kosong untuk merekam pelajaran yang diamati. b) Observasi Terfokus 37 Pada observasi terfokus, secara khusus ditujukan umtuk mengamati aspek-aspek tertentu dari pembelajaran. c) Observasi Terstruktur Observasi terstruktur dalam pelaksanaannya menggunakan lembar observasi yang sudah siap pakai, sehingga pengamat hanya perlu memberikan tanda sesuai apa yang diinstruksikan di dalam lembar observasi. d) Observasi Sistematik Observasi ini lebih rinci dibandingkan dengan observasi terstruktur dalam kategori yang diamati. Dalam penelitian tindakan kelas, observasi dilakukan untuk memantau proses dan dampak perbaikan yang dilakukan. Tahap dari observasi secara garis besar adalah pertemuan pendahuluan, pelaksanaan observasi, dan diskusi balikan. 4) Analisis data dan Refleksi (Reflection) Analisis data merupakan kegiatan menyeleksi, menyederhanakan, memfokuskan, mengorganisasikan data secara sistematis dan rasional untuk memberikan bahan jawaban terhadap permasalahan penelitian. Sedangkan refleksi data adalah pengkajian terhadap keberhasilan atau kegagalan pencapaian tujuan sementara, untuk menentukan tindakan selanjutnya. Dalam pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas seharusnya disesuaikan dengan tahapan-tahapan yang ada agar penelitian lebih sistematis dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Tahap awal adalah perencanaan tindakan yang meliputi merancang, mempersiapkan, dan melakukan simulasi pembelajaran jika diperlukan. Kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan tindakan yang merupakan implementasi dari perencanaan. Selanjutnya dilakukan observasi untuk memantau proses dan dampak perbaikan yang dilakukan. Data yang diperoleh dari hasil observasi kemudian dianalisis untuk selanjutnya dilakukan tahap refleksi atau pengkajian terhadap keberhasilan atau kegagalan pencapaian tujuan penelitian. 38 d. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tindakan Kelas Secara umum, menurut Rochman Natawidjaya yang dikutip oleh Sarwiji (2009: 15-16) tujuan penelitian tindakan kelas adalah : 1) menanggulangi permasalah yang dihadapi tenaga pendidik dalam masalah pembelajaran dan pengembangan materi pengajaran; 2) memberi pedoman pada guru untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu kerja agar lebih baik dan produktif; 3) melaksanakan program latihan terutama pelatihan dalam jabatan guru; 4) memasukkan unsur-unsur pembaruan dalam sistem pembelajaran; 5) membangun dan meningkatkan mutu komunikasi dan interaksi antar praktisi dengan para peneliti akadamis; dan 6) perbaikan suasana keseluruhan sistem atau masyarakat sekolah. Sedangkan manfaat PTK menurut Sarwiji (2009: 16) meliputi hal-hal sebagai berikut : 1) guru dapat melakukan inovasi pembelajaran; 2) guru dapat meningkatkan kemampan reflektifnya dan pemecahan masalah; 3) guru akan terlatih untuk mengembangkan kurikulum di kelas atau sekolah; dan akan tercapainya peningkatan kemampuan profesionalisme guru. 7. Materi Cahaya Cahaya merupakan gelombang elektromagnetik yaitu gelombang yang tidak memerlukan medium untuk merambat, sehingga cahaya dapat merambat tanpa memerlukan medium. Cahaya merambat dengan sangat cepat, yaitu dengan kecepatan 3 × 108 m/s, artinya dalam waktu satu sekon cahaya dapat menempuh jarak 300.000.000 m atau 300.000 km. Setiap benda yang memancarkan cahaya disebut sumber cahaya dan setiap benda yang tidak dapat memancarkan cahaya disebut benda gelap. Karena cahaya merupakan gelombang maka cahaya mempunyai sifat seperti gelombang, salah satunya adalah dapat merambat. Arah rambat cahaya berupa garis lurus. a. Hukum Pemantulan Hukum Snellius tentang pemantulan menyebutkan bahwa : 39 1) Sinar datang, sinar pantul, dan garis normal berpotongan pada satu titik dan terletak pada satu bidang datar 2) Sudut datang (i) sama dengan sudut pantul (r) i=r (2.1) Gambar 2.2. Hukum Pemantulan (Sumber: Wasis, 2008: 239) Garis normal merupan garis yang tegak lurus dengan bidang pantul dalam Gambar 2.2 terlihat bahwa bidang pantul berupa cermin. Bidang datar adalah merupakan bidang yang tegak lurus dengan bidang pantul. Sudut datang adalah sudut yang di betuk oleh sinar datang dan garis normal, sedangkan sudut pantul adalah sudut yang dibentuk oleh sinar pantul dan garis normal. b. Jenis Pemantulan cahaya 1) Pemantulan Teratur (pada bidang rata) Pada permukaan benda yang rata seperti cermin datar, cahaya dipantulkan membentuk suatu pola yang teratur. Sinar-sinar sejajar yang datang pada permukaan cermin dipantulkan sebagai sinar-sinar sejajar pula. Akibatnya cermin dapat membentuk bayangan benda. Pemantulan semacam ini disebut pemantulan teratur atau pemantulan biasa. Pemantulan teratur disajikan pada Gambar 2.3. 40 Sinar datang Sinar pantul Bidang pantul Gambar 2.3. Pemantulan Pada Bidang Teratur (Sumber: Wasis, 2008: 240) 2) Pemantulan Baur Berbeda dengan benda yang memiliki permukaan rata, pada saat cahaya mengenai suatu permukaan yang tidak rata, maka sinar-sinar sejajar yang datang pada permukaan tersebut dipantulkan tidak sebagai sinar-sinar sejajar. Pemantulan seperti ini disebut pemantulan baur. Akibat pemantulan baur ini manusia dapat melihat benda dari berbagai arah. Misalnya pada kain atau kertas yang disinari lampu sorot di dalam ruang gelap, dapat terlihat apa yang ada pada kain atau kertas tersebut dari berbagai arah. Pemantulan baur yang dilakukan oleh partikel-partikel debu di udara yang berperan dalam mengurangi kesilauan sinar matahari. Gambar 2.4. Bidang pantul Gambar 2.4. Pemantulan Pada Bidang Baur (Sumber: Wasis, 2008: 240 ) c. Pemantulan Pada Cermin Datar Cermin memantulkan hampir semua sinar yang datang kepadanya. Pada cermin datar selalu membentuk bayangan yang letaknya simetris terhadap kedudukan bendanya dari cermin. Terdapat lima sifat bayangan pada cermin datar : 41 1) Maya, 2) Sama besar dengan bendanya, 3) Sama tegak, 4) Simetris Untuk melukis bayangan pada cermin datar menggunakan hukum pemantulan cahaya. Cara menggambar bayangan dengan perjalanan cahaya adalah sebagai berikut. 1) Membuat dua berkas sinar datang sembarang ke permukaan cermin dari bagian atas benda dan dari bagian bawah benda, 2) Membuat sinar pantul dengan menggunakan Hukum Pemantulan Cahaya, yaitu sudut datang sama dengan sudut pantul, 3) memperpanjang sinar pantul tersebut hingga bertemu pada satu titik, 4) Pertemuan titik itu adalah bayangan dari benda tersebut, 5) Bayangan yang terbentuk adalah hasil perpotongan perpanjangan sinarsinar pantul sehingga disebut sinar maya. Misalkan untuk menentukan bayangan benda O sebagaimana disajikan pada Gambar 2.5. Sinar datang dari O ke cermin membentuk sudut datang (i) , di titik tersebut ada garis normal tegak yang lurus permukaan cermin. Dengan bantuan busur derajat, dapat diukur besar sudut datang (i) yakni sudut yang dibentuk oleh sinar datang dengan garis normal. Kemudian mengukur sudut pantul (r) yaitu sudut antara garis normal dan sinar pantul yang besarnya sama dengan sudut datang. Posisi bayangan dapat ditentukan dengan memperpanjang sinar pantul D melalui C hingga ke O' yang berpotongan dengan garis O' melalui B. D r normal C i O B O’ 42 Gambar 2.5. Pembentukan Bayangan Pada Cermin Datar (Sumber : Tipler,2001:480) Jika terdapat dua buah cermin datar yang membentuk sudut α , maka banyaknya bayangan yang dibentuk dirumuskan oleh persamaan sebagai berikut: n 360 0 dengan 1 (2.2) : n = jumlah bayangan α = sudut antara kedua cermin Penggunaan gabungan dua cermin datar dapat dijumpai misalnya di toko sepatu atau toko pakaian dan digunakan oleh para pelanggan toko tersebut saat mencoba sepatu atau pakaian yang hendak dibeli. Gabungan dua cermin ini dapat juga ditemui di salon-salon kecantikan, di tempat fitness centre, atau di rumah main bagi kanak-kanak. d. Pemantulan pada Cermin Cekung Selain pada cermin datar, peristiwa pemantulan dapat terjadi pada cermin cekung. Cermin cekung adalah cermin yang bentuknya melengkung seperti bagian dalam bola. Pada pemantulan cahaya oleh cermin cekung, jarak antara benda dan cermin memengaruhi bayangan yang dihasilkan. Bayangan yang dibentuk oleh cermin cekung merupakan perpotongan sinar pantul atau merupakan perpotongan dari perpanjangan sinar pantul. Cermin cekung bersifat mengumpulkan cahaya (konvergen). Pada cermin cekung terdapat tiga sinar istimewa seperti disajikan pada Gambar 2.6, yaitu sebagai berikut: 1) Sinar datang sejajar sumbu utama akan dipantulkan melalui titik fokus 2) Sinar datang melalui titik fokus, akan dipantulkan sejajar sumbu utama 3) Sinar datang melalui pusat kelengkungan akan dipantulkan kembali melalui titik pusat kelengkungan cermin. 43 Gambar 2.6. Jalannya Sinar-Sinar Istimewa Pada Cermin Cekung (Sumber: Wasis, 2008: 242) Dengan menggunakan ketiga sinar istimewa cermin cekung di atas, dapat dilukis pembentukan bayangan pada cermin cekung seperti disajikan pada Gambar 2.7. Gambar 2.7. Pembentukan Bayangan Pada Cermin Cekung (Sumber: Wasis, 2008: 242) 44 e. Pemantulan Cahaya Pada Cermin Cembung Jika bentuk cermin cekung merupakan bagian dalam dari sebuah bola, maka bentuk cermin cembung adalah luar bola. Perhatikan skema bentuk cermin cembung yang disajikan pada Gambar 2.8. Terlihat bahwa cermin cembung merupakan kebalikan cermin cekung. Cermin cembung bersifat divergen karena memancarkan cahya yang datang. Gambar 2.8. Jalannya Sinar-Sinar Istimewa Pada Cermin Cembung (Sumber: Wasis, 2008: 243) Seperti halnya cermin cekung, sebelum menggambarkan pembentukan bayangan, perlu diketahui sinar-sinar istimewa yang dimiliki cermin cembung. Sinar-sinar istimewa itu ditunjukkan pada Gambar 2.10, yaitu sebagai berikut: 1) Sinar datang sejajar sumbu utama akan dipantulkan seolah-olah berasal dari titik focus 2) Sinar datang seolah-olah menuju titik fokus akan dipantulkan sejajar sumbu utama 3) Sinar datang yang menuju pusat kelengkungan cermin, akan dipantulkan seolah-olah berasal dari pusat kelengkungan yang sama Dengan bantuan ketiga sinar istimewa untuk cermin cembung di atas, dapat digambarkan pembentukan bayangan oleh cermin cembung. Gambar 2.9 tersebut memperlihatkan pembentukan bayangan pada cermin cembung untuk benda yang diletakkan jauh dari cermin. Dengan menggunakan sinar istimewa pada cermin cembung, diperoleh bayangan yang sifatnya maya, 45 tegak, diperkecil dan terletak di belakang cermin. Pembentukan bayangan pada cermin cembung dengan meletakkan benda dekat dengan cermin dapat dilihat pada Gambar 2.9. (a) Gambar 2.9. (b) Pembentukan Bayangan pada Cermin Cembung (a) Pembentukan Bayangan untuk Benda yang Diletakkan Jauh dari Cermin Cembung (b) Pembentukan Bayangan untuk Benda Dekat dari Cermin Cembung (Sumber: Wasis, 2008:243) f. Persamaan Umum pada Cermin Pada cermin lengkung (cermin cekung atau cermin cekung) berlaku jarak fokus sama dengan setengah jari-jari lengkung cermin f 1 R 2 (2.3) Persamaan umum cermin lengkung 1 1 1 s s' f (2.4) Perjanjian tanda untuk menggunakan rumus umum cermin lengkung s bertanda + jika benda terletak di depan cermin (benda nyata) s bertanda – jika benda terletak di belakang cermin (benda maya) bertanda + jika bayangan terletak di depan cermin (bayangan nyata) bertanda – jika bayangan terletak di belakang cermin (bayangan maya) f dan R bertanda + jika pusat lengkung sermin terletak di depan cermin (cermin cekung) 46 f dan R bertanda – jika pusat lengkung cermin terletak di belakang cermin (cermin cembung). Rumus perbesaran linear untuk cermin lengkung adalah M Di mana: h' s' h s (2.5) positif (+) menyatakan bayangan adalah tegak dan maya negatif (-) menyatakan bayangan adalah terbalik dan nyata g. Pembiasan Cahaya Pembiasan cahaya adalah peristiwa pembelokan cahaya saat mengenai bidang batas antara dua medium. Peristiwa pembiasan cahaya disajikan pada Gambar 2.10. Hukum pembiasan disebut juga hukum Snellius. Ada dua hukum utama pembiasan, yaitu hukum I pembiasan dan hukum II pembiasan. 1) Hukum I Pembiasan menyatakan : “Sinar datang, sinar bias dan garis normal terletak pada satu bidang datar.” 2) Hukum II Pembiasan, menyatakan : “Jika sinar datang dari medium kurang rapat menuju medium lebih rapat maka akan dibiaskan mendekati garis normal. Sebaliknya, jika sinar datang dari medium lebih rapat menuju ke medium kurang rapat dibiaskan menjauhi garis normal” . Gambar 2.10. Pembiasan cahaya (Sumber: Karim, 2008: 291) 3) Perbandingan sinus sudut datang (i) dengan sinus sudut bias (r) merupakan suatu bilangan tetap yang disebut indeks bias. Perumusan matematis hukum Snellius adalah (2.6) atau atau = indeks bias cahaya dalam medium 1 47 = indeks bias cahaya dalam medium 2 = kecepatan cahaya dalam medium 1 = kecepatan cahaya dalam medium 2 = sudut datang dalam medium 1, sudut datang dalam medium 2 Contoh pembiasan cahaya dalam kehidupan sehari-hari antara lain peristiwa fatamorgana dan dasar kolam renang tampak dangkal jika dilihat dari samping. h. Pembiasan pada Lensa Cembung Lensa cembung merupakan lensa yang mempunya bentuk sedemikian rupa sehingga ketebalan bagian tengahnya lebih tebal dibandingkan bagian luar. Lensa ini disebut juga lensa positif yang bersifat menyebarkan sinar (konvergen). Ada tiga jenis lensa cekung yaitu lensa cembung-cembung, lensa cembung-cekung, dan lensa cembung-datar. Gambar 2.11. Jenis-jenis lensa cembung (a) cembung-cembung, (b) cembung-cekung, (c) cembung-datar (Sumber: Wasis, 2008:249) Pada lensa cekung mempunyai tiga sinar isitimewa seperti yang disajikan oleh Gambar 2.12 berikut: 48 Gambar 2.12. Jalannya Sinar-Sinar Istimewa Pada Lensa Cembung 1) Sinar datang sejajar utama dibiaskan melalui titik fokus pertama (F1), 2) Sinar datang melalui titik fokus kedua (F2) dibiaskan sejajar sumbu utama, 3) Sinar datang mealui titik pusat optik diteruskan tanpa dibiaskan. Dengan menggunakan ketiga sinar istimewa lensa cembung di atas, dapat dilukis pembentukan bayangan pada lensa cembung seperti disajikan pada Gambar 2.13. Gambar 2.13. Pembentukan Bayangan Pada Lensa Cembung 49 i. Pembiasan pada Lensa Cekung Lensa cekung merupakan lensa yang mempunya bentuk sedemikian rupa sehingga ketebalan bagian tengahnya mempunya ukuran yang lebih kecil dibandingkan baigian ujung. Lensa ini disebut juga lensa negatif yang bersifat menyebarkan sinar (divergen). Ada tiga jenis lensa cekung yaitu lensa cekung-cekung, lensa cekung-cembung, dan lensa cekung-datar. Gambar 2.14. Jenis-jenis lensa cekung (a) cekung-cekung, (b) cekungcembung, (c) cekung-datar (Sumber: Wasis, 2008: 248) Pada lensa cekung mempunyai tiga sinar isitimewa seperti yang disajikan oleh Gambar 2.15 berikut: Gambar 2.15. Jalannya Sinar-Sinar Istimewa Pada Lensa Cekung 50 1) Sinar datang sejajar sumbu dibiasakan seolah-olah dari titik fokus kedua (F2), 2) Sinar datang menuju titik fokus pertama (F1) dibiaskan sejajar sumbu utama, 3) Sinar datang melalui titik pusat optik diteruskan anpa dibiaskan. Dengan menggunakan ketiga sinar istimewa lensa cekung di atas, dapat dilukis pembentukan bayangan pada lensa cekung seperti ditunjukkan pada Gambar 2.16. Gambar 2.16. Pembentukan Bayangan Pada Lensa Cekung j. Persamaan Umum pada Lensa Pada lensa juga berlaku persamaan seperti pada cermin yaitu rumus umum lensa tipis 1 1 1 s s' f (2.7) Perjanjian tanda untuk menggunakan rumus umum cermin lengkung s bertanda + jika benda terletak di depan lensa (benda nyata) s bertanda – jika benda terletak di belakang lensa (benda maya) bertanda + jika bayangan terletak di belakang lensa (bayangan nyata) bertanda – jika bayangan terletak di depan lensa (bayangan maya) M h' s' h s Di mana positif (+) menyatakan bayangan adalah tegak dan maya negatif (-) menyatakan bayangan adalah terbalik dan nyata (2.8) 51 Kuat lensa menggambarkan kemampuan lensa untuk membelokkan sinar. Untuk lensa cembung, makin kuat lensanya, makin kuat lensa itu mengumpulkan sinar. Secara matematis dituliskan: (2.9) Dengan = kuat lensa (dioptri) = jarak fokus (m) B. Kerangka Berpikir Hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa pembelajaran IPA di kelas VIII E SMP Negeri 20 Surakarta belum memperlihatkan hasil yang optimal. Ketuntasan belajar materi bunyi, dari 30 siswa kelas VIII E yang mengikuti tes, hanya 14 siswa (46,67%) yang dinyatakan tuntas dengan kriteria ketuntasan minimum (KKM) 75. Hal ini disebabkan dominannya proses pembelajaran konvensional, yaitu masih seringnya penggunaan metode ceramah dalam kegiatan pembelajaran, sehingga siswa menjadi pasif dan kurang bersemangat dalam pembelajaran karena merasa bosan. Selain itu, karakteristik pembelajaran IPA yang menuntut untuk berpikir ilmiah dan sistematis melalui serangkaian proses ilmiah untuk menemukan sesuatu yang tercermin pada sikap ilmiah juga luput dari guru pada saat proses pembelajaran di kelas VIII E. Kondisi kelas VIII E SMP Negeri 20 Surakarta yang beragam, baik mengenai kemampuan kognitif maupun sikap ilmiah, ternyata lepas dari perhatian guru, karena guru memperlakukan sama semua siswa dengan segala heterogenitasnya. Oleh karena itu, perlu diterapkan suatu strategi belajar yang dapat membantu siswa untuk memahami materi ajar dan aplikasi serta relevansinya dalam kehidupan seharihari. Berdasarkan beberapa permasalahan di kelas VIII E SMP Negeri 20 Surakarta, maka peneliti dan guru berusaha mencari pemecahannya, yaitu dengan menerapkan sebuah model pembelajaran dalam upaya meningkatkan kemampuan kognitif dan sikap ilmiah siswa kelas VIII E ditempuh dengan penggunaan model pembelajaran discovery dengan metode eksperimen. 52 Discovery merupakan pendekatan kognitif dalam pembelajaran, yang mana guru menciptakan situasi sehingga siswa dapat belajar sendiri. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep dan prinsip-prinsip. Siswa didorong agar mempunyai pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip atau pengetahuan bagi dirinya. Metode discovery sangat cocok ketika menggunakan materi cahaya karena metode ini sangat identik dengan menemukan prinsip atau hukum. Selain itu metode ini juga melatih siswa untuk kreatif dan inovatif dalam melakukan penelitian-penelitian. Dalam materi cahaya, metode ini digunakan untuk mencari hukum pemantulan, pemantulan pada cermin, hukum pembiasan, dan pembiasan pada lensa melalui kegiatan eksperimen. Melalui kegiatan ini diharapkan siswa dapat menemukan dan membuktikan materi yang sedang dipelajari sehingga akan lebih mudah dalam memahami materi. Dalam pembelajaran ini, guru mengajak siswa untuk berpikir kritis, aktif, dan kreatif sehingga siswa dapat meningkatkan sikap ilmiahnya. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, dilakukan kolaborasi dengan guru untuk meningkatkan kemampuan kognitif dan sikap ilmiah siswa kelas VIII E SMP Negeri 20 Surakarta melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan menerapkan model pembelajaran disovery dengan metode eksperimen pada materi Cahaya. Skema kerangka berpikir dapat dilihat pada gambar 2.17. Kondisi Awal Tindakan Kondisi Akhir 1. Metode ceramah membuat siswa pasif. 2. Siswa kurang diajak untuk mencari dan membuktikan sendiri pengetahuannya. 3. Hasil belajar kognitif dan sikap ilmiah siswa rendah. Menerapkan model pembelajaran discovery dengan metode eksperimen pada materi cahaya. Kemampuan kognitif dan sikap ilmiah siswa meningkat pada materi cahaya. Gambar 2.17. Kerangka Berpikir