KONSEP GENDER DAN PANDANGAN ISLAM TENTANG GENDER GENDER adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat. Tidak dipungkiri, bahwa acapkali muncul relasi problematik antara perempuan dan laki-laki. Bukan perbedaan alamiah keduanya tapi implikasi yang tercipta dari perbedaan tersebut. Berbicara gender berarti bicara tentang sebuah konsepsi yang menunjuk pada suatu sistem peranan dan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis semata melainkan juga oleh lingkungan sosial, politik dan juga ekonomi. Gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosialbudaya. Sementara sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non-biologis lainnya. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum lakilaki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan publik, pembentukan sterotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Dominasi laki-laki dalam masyarakat bukan hanya karena mereka jantan, lebih dari itu karena mereka mempunyai banyak akses kepada kekuasaan untuk memperoleh status. Mereka misalnya mengontrol lembaga-lembaga legislatif, dominan di lembaga-lembaga hukum dan peradilan, pemilik sumber-sumber produksi, menguasai organisasi keagamaan, organisasi profesi dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Sementara perempuan ditempatkan pada posisi inferior. Peran mereka terbatas sehingga akses untuk memperoleh kekuasaan juga terbatas, akibatnya perempuan mendapatkan status lebih rendah dari laki-laki. Sebagai ibu atau sebagai istri mereka memperoleh kesempatan yang terbatas untuk berkarya di luar rumah. Penghasilan mereka sangat tergantung pada kerelaan laki-laki, meskipun bersama dengan anggota keluarganya merasakan perlindungan yang diperoleh dari suaminya, hak-hak yang diperolehnya jauh lebih terbatas daripada hak-hak yang dimiliki suaminya. Terjadinya penindasan terhadap kaum perempuan salah satunya disebabkan tema patriarkhi (kekuasaan kaum laki-laki), yang hal ini menjadi agenda yang paling besar digugat oleh kaum feminisme Islam. Karena patriarhki dari sudut feminisme dianggap sebagai asal usul dari seluruh kecenderungan misoginis (kebencian terhadap kaum perempuan) yang mendasari penulisanpenulisan teks keagamaan yang bias kepentingan laki-laki. 1 Konsep patriarki berbeda dengan patrilinial. Patrilinial diartikan sebagai budaya di mana masyarakatnya mengikuti garis laki-laki seperti anak bergaris keturunan ayah, contohnya Habsah Khalik; Khalik adalah nama ayah dari Habsah. Agama-agama Ibrahim (Abrahamic Religions) terutama Islam sering dianggap sebagai salah satu factor yang menjustifikasi paham patriarkhi yang bias gender. Agama dipandang terlalu bersifat maskulin dan patriakhal sehingga sering mengabaikan aspek femininitas dan peran perempuan baik secara ritual maupun institusional. Karenanya, wacana gender memang tidak dapat dilepaskan dari persoalan teologis – karena memang – posisi perempuan dalam beberapa pemikiran agama ditempatkan sebagai the second, terutama dalam persoalan asal usul kejadian laki-laki dan perempuan, juga persoalan fungsi keberadaan keduanya. Namun yang perlu dicermati adalah apakah pelanggengan ketidakadilan gender secara luas dalam agama bersumber dari watak agama itu sendiri ataukah justru berasal dari pemahaman, penafsiran dan pemikiran keagamaan yang tidak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur patriarkhi ataupun pandangan-pandangan lainnya. Karena itulah, sebuah keniscayaan, untuk kembali menelusuri ajaran-ajaran Islam yang autentik, karena Islam sejak awal, memiliki konsep yang sangat matang dalam memposisikan perempuan yang didasari atas tuntunan moral dasar Islam itu sendiri yang ditercantumkan di dalam Al Quran maupun hadits, justru disaat agamaagama lain hingga saat ini masih berselisih pendapat dalam menetapkan hukum perempaun dan kemanusiaanya. *** RUU Kesetaraan Gender mendefinisikan gender sebagai berikut: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” Definisi “Gender” seperti itu adalah keliru, tidak sesuai dengan pandangan Islam. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya. Ada peran yang berubah, dan ada yang tidak berubah. Yang menentukan peran bukanlah budaya, tetapi wahyu Allah, yang telah dicontohkan pelaksanaannya oleh Nabi Muhammad SAW. Ini karena memang Islam adalah agama wahyu, yang ajaran-ajarannya ditentukan berdasarkan wahyu Allah, bukan berdasarkan konsensus sosial atau budaya masyarakat tertentu. Sebagai contoh, dalam Islam, laki-laki diamanahi sebagai pemimpin dan kepala keluarga serta berkewajiban mencari nafkah keluarga. Ini ditentukan berdasarkan wahyu. Islam tidak melarang perempuan bekerja, dengan syarat, mendapatkan izin dari suami. Dalam hal ini, kedudukan lakilaki dan perempuan memang tidak sama. Tetapi, keduanya – di mata Allah – adalah setara. Jika mereka menjalankan kewajibannya dengan baik, akan mendapatkan pahala, dan jika sebaliknya, maka akan mendapatkan dosa. Konsep “kesetaraan” versi Islam semacam ini bertentangan dengan rumusan “kesetaraan” versi RUU KKG: “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki- 2 laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” (pasal 1, ayat 2). Bahkan, RUU KKG ini juga mendefinisikan makna “adil” dalam Keadilan Gender, sebagai: “suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara.” (pasal 1, ayat 3). Karena target aktivis KKG adalah kesetaraan secara kuantitatif atara laki-laki dan perempuan, terutama di ruang publik, maka pada pasal 4, perempuan Indonesia dipaksa untuk aktif di lapangan politik dan pemerintahan, dengan mendapatkan porsi minimal 30 persen: “…perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik, dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional.” (pasal 4, ayat 2). Itulah contoh kesalahpahaman yang luar biasa dari cara berpikir perumus naskah RUU KKG ini. Bahwa, makna menikmati dan berpartisipasi dalam pembangunan haruslah dilakukan oleh perempuan dalam bentuk aktif di luar rumah. Aktivitas perempuan sebagai istri pendamping suami dan pendidik anak-anaknya di rumah, tidak dinilai sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan. ide “gender equality” (kesetaraan gender) yang dianut oleh banyak kaum feminis lainnya, bersumber dari ideologi Marxis, yang menempatkan wanita sebagai kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas. Paradigma Marxis melihat institusi keluarga sebagai “musuh” yang pertama-tama harus dihilangkan atau diperkecil perannya apabila masyarakat komunis ingin ditegakkan, yaitu masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dan tidak ada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Keluarga dianggap sebagai cikal-bakal segala ketimpangan sosial yang ada, terutama berawal dari hubungan yang timpang antara suami dan istri. Sehingga bahasa yang dipakai dalam gerakan feminisme mainstream adalah bahasa baku yang mirip dengan gerakan kekiri-kirian lainnya. Yaitu, bagaimana mewujudkan kesetaraan gender melalui proses penyadaran bagi yang tertindas, pemberdayaan kiaum tertindas, dan sebagainya. *** Bentuk-bentuk ketidak-adilan dalam gender: 1. Marginalisasi (peminggiran) Proses peminggiran perempuan dari arus utama. Marginalisasi atau kemiskinan perempuan dalam kehidupan ekonomi, ada perbedaan jenis dan bentuk tempat serta waktu secara mekanisme. 2. Sub-ordinasi (penomorduaan/pembawahan) Penganakbuahan dalam organisasi, contohnya: kedudukan bendahara, sekretaris dijabat oleh perempuan sedangkan jabatan ketua diduduki laki laki. Dalam kehidupan politik bentuk ketidakadilan ini antara lain berupa penempatan perempuan hanya pada posisi yang kurang penting. Misal : laki-laki sebagai ketua dan perempuan sebagai bendahara. 3. Stereotyping (pelabelan negatif) 3 Pelabelan negative dalam kehidupan budaya dengan gender adalah pelabelan negative terhadap jenis kelamin tertentu. Wanita seolah-olah lemah dan lelaki lebih kuat, pemindahan profesi antara laki-laki dan perempuan. Produk budaya yang dapat dipertukarkan membuatan kesetaraan gender. Misal: perempuan tempat yang cocok adalah di dapur untuk memasak, mencuci di sumur dan merapikan kasur di tempat tidur. 4. Violence (KDRT) Relasi dapat membuat seseorang mengalami kekerasan seperti kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam kehidupan sosial bias gender ternyata bukan hanya menempatkan perempuan pada posisi ke dua,tetapi juga telah menjadi alat legitimasi berbagai kakarasan. Misal: suami memukul dan membakar istri hingga menghilangkan nyawanya hanya karena masalah yang sepele. 5.Double burden (beban ganda) Pembebanan yang berganda, contohnya dalam keluarga paling banyak aktivitasnya adalah Ibu. Ibu adalah orang yang mempuyai tugas yang berganda dalam keluarga. Beban ganda dalam keluarga selain mencuci pakaian, perabot, masak, membersihkan rumah, memasak dan merawat anak perempuan juga sering harus membantu kerja suami di sawah. 6.Domestivikasi Seolah-olah ibu di-dalamnegerikan, yaitu ibu yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah, contohnya: bila ada tamu, ayah menerima tamu dan ibu yang mengurus dapur. Beban domestivikasi di berikan kepada perempuan karena memang sudah menjadi kodratnya untuk mengerjakan tugasnya sebagai seorang istri. Misal: ketika ada tamu istrilah yang membuatkan minuman dan jamuan untuk tamu tersebut. gender tidak terbentuk dalam sistem relasi tunggal,melainkan dalam relasi kompleks sehingga untuk membentuk kesadarn peran gender itu harus di lakukan bersama-sama yang harus mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat.karena untuk membangun bangsa yang hari ini sedang terdera problematika kompleks harus mengangkat dan menerlibatkan perempuan.di tinggalkannya perempuan dalam upaya membangun peradaban bangsa ini maka terseok-seok bangsa ini dalam memacu keadilan dan kesejahtaraan bangsa ini akhirnya akan bangkit dan bangunlah perempuan-perempuan dari keterkungkungan yang selama ini mengkerangkeng... 7. Misoginis Memandang rendah pada perumpuan, contonya perbudakan, dalam al-Qur'an mencoba menghapusnya tapi sampai nabi muhammad saw wafat, kasus tersebut belum terselesaikan. *** SEJARAH GENDER Perhatian dunia terhadap nasib perempuan dalam tingkat internasional dan dalam format yang sangat jelas, di mulai pada tahun 1975 M, karena pada waktu itu Majlis Umum PBB menetapkannya sebagai ( Tahun Perempuan International ) Dan pada tahun tersebut diadakan konferensi dunia pertama tentang perempuan, tepatnya di Mexico. Kemudian pada tahun 1979, Majlis Umum PBB mengadakan konferensi dengan tema “Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Woment , yang di singkat CEDAW ( Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan ) . Secara aklamasi , para peserta konferensi menandatangani kesepakatan yang terdiri dari 30 pasal dalam 6 bagian yang bertujuan untuk menghapus semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan tersebut. Dan yang lebih menarik lagi, kesepakatan ini diperlakukan secara “ paksa “ kepada seluruh negara yang dianggap sepakat 4 terhadapnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Barang kali sebagian orang menyambut. gembira kesepakatan tersebut , karena menjanjikan kemerdekaan , kebebasan dan masa depan perempuan. Namun, konferensi itu pada sisi lain dianggap berbahaya. Ada beberapa indikasi. Pertama : munculnya anggapan bahwa agama merupakan pemicu berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Kedua : mengaitkan hak- hak perempuan pada seluruh segi kehidupan , yang meliputi : ilmu pengetahuan , politik, ekonomi , sosial, budaya dan lain- lainya, tentunya dengan pola pikir Barat, yaitu mengusung hak- hak perempuan yang yang berlandaskan dua hal: kebebasan penuh dan persamaan secara mutlak. . Masalah gender ini kemudian mendapat perhatian masyarakat Dunia Islam , diantaranya Qotar, Yaman, Mesir, Tunis dan termasuk di dalamnya masyarakat Indonesia juga. Maka pada tahun 1984 , di tetapkan Undang- undang tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dan pada tahun 1999 di tetapkan Undang- Undang tentang HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap perempuan menuju kepada terwujudnya kondisi kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan warga : sosial, ekonomi, dan politik. Dan pada tahun 2000, presiden mengeluarkan INPRES no. 9 tentang Gender Mainstreaming ( Pengarus utamaan Gender ) yang menekankan perlunya pengintegrasian gender dalam seluruh tahap pembangunan nasional : mulai perencanaan sampai tahab evaluasi. *** 1). Hakikat Penciptaan dan Kedudukan Wanita Dalam Islam Konsep dasar mengenai kedudukan wanita dalam al-Qur’an menyebutkan bahwa pada dasarnya kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sejajar, keduanya diciptakan dari satu nafs (living entity). Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Nisa’ [4]: 1. َﯾَﺎ أَﯾُّﮭَﺎ اﻟﻨَّﺎسُ اﺗَّﻘُﻮا رَﺑَّﻜُﻢُ اﻟَّﺬِي ﺧَﻠَﻘَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﻧَﻔْﺲٍ وَاﺣِﺪَةٍ وَﺧَﻠَﻖَ ﻣِﻨْﮭَﺎ زَوْﺟَﮭَﺎ وَﺑَﺚَّ ﻣِﻨْﮭُﻤَﺎ رِﺟَﺎﻻ ﻛَﺜِﯿﺮًا وَﻧِﺴَﺎءً وَاﺗَّﻘُﻮا اﻟﻠَّﮫَ اﻟَّﺬِي ﺗَﺴَﺎءَﻟُﻮن ﺑِﮫِ وَاﻷرْﺣَﺎمَ إِنَّ اﻟﻠَّﮫَ ﻛَﺎنَ ﻋَﻠَﯿْﻜُﻢْ رَﻗِﯿﺒًﺎ “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” Para ulama dalam menafsirkan ayat ini telah meyakini bahwa tidak ada satu teks pun, baru ataupun lama, yang berhubungan dengan kaum wanita dalam seluruh aspek dengan begitu singkat, fasih, mendalam dan asli seperti ketetapan ayat di atas. Hal itu dipertegas kembali dengan penekanan pada konsepsi yang mulia dan amanah, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-A’raf [7]: 189. ھُﻮَ اﻟَّﺬِي ﺧَﻠَﻘَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﻧَﻔْﺲٍ وَاﺣِﺪَةٍ وَﺟَﻌَﻞَ ﻣِﻨْﮭَﺎ زَوْﺟَﮭَﺎ ﻟِﯿَﺴْﻜُﻦَ إِﻟَﯿْﮭَﺎ “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa tenang kepadanya." Begitu pula dalam QS. al-Nahl [16]: 72. ْوَاﻟﻠَّﮫُ ﺟَﻌَﻞَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ أَﻧْﻔُﺴِﻜُﻢْ أَزْوَاﺟًﺎ وَﺟَﻌَﻞَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ أَزْوَاﺟِﻜُﻢْ ﺑَﻨِﯿﻦَ وَﺣَﻔَﺪَةً وَرَزَﻗَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ اﻟﻄَّﯿِّﺒَﺎتِ أَﻓَﺒِﺎﻟْﺒَﺎﻃِﻞِ ﯾُﺆْﻣِﻨُﻮنَ وَﺑِﻨِﻌْﻤَﺔِ اﻟﻠَّﮫِ ھُﻢ َﯾَﻜْﻔُﺮُون “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?". 5 Islam pada dasarnya mengakui persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan, maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah Swt., berdasarkan QS. al-Hujurat [49]: 13. ٌﯾَﺎ أَﯾُّﮭَﺎ اﻟﻨَّﺎسُ إِﻧَّﺎ ﺧَﻠَﻘْﻨَﺎﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ذَﻛَﺮٍ وَأُﻧْﺜَﻰ وَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎﻛُﻢْ ﺷُﻌُﻮﺑًﺎ وَﻗَﺒَﺎﺋِﻞَ ﻟِﺘَﻌَﺎرَﻓُﻮا إِنَّ أَﻛْﺮَﻣَﻜُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ اﻟﻠَّﮫِ أَﺗْﻘَﺎﻛُﻢْ إِنَّ اﻟﻠَّﮫَ ﻋَﻠِﯿﻢٌ ﺧَﺒِﯿﺮ "Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." Al-Quran menempatkan wanita sebagai mitra sejajar dengan kaum laki-laki. Kalaupun ada perbedaan, maka itu adalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Islam kepada masing-masing jender, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain. Keduanya saling melengkapi dan bantu membantu dalam memerankan fungsinya dalam hidup dan kehidupan. Allah Swt berfirman dalam QS. al-Taubah [9]: 71. َوَاﻟْﻤُﺆْﻣِﻨُﻮنَ وَاﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎتُ ﺑَﻌْﻀُﮭُﻢْ أَوْﻟِﯿَﺎءُ ﺑَﻌْﺾٍ ﯾَﺄْﻣُﺮُونَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُوفِ وَﯾَﻨْﮭَﻮْنَ ﻋَﻦِ اﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ وَﯾُﻘِﯿﻤُﻮنَ اﻟﺼَّﻼةَ وَﯾُﺆْﺗُﻮنَ اﻟﺰَّﻛَﺎةَ وَﯾُﻄِﯿﻌُﻮن ٌاﻟﻠَّﮫَ وَرَﺳُﻮﻟَﮫُ أُوﻟَﺌِﻚَ ﺳَﯿَﺮْﺣَﻤُﮭُﻢُ اﻟﻠَّﮫُ إِنَّ اﻟﻠَّﮫَ ﻋَﺰِﯾﺰٌ ﺣَﻜِﯿﻢ Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong (pemimpin) bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana. Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama dan saling tolong menolong antar lelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam satu rumah tangga yang mempunyai tugas dan kewajiban yang sama untuk bersama-sama menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar. Kata awliya’ (pemimpin) bukan hanya ditujukan kepada laki-laki saja, tetapi keduanya (laki-laki dan perempuan) secara bersamaan dalam pengertian yang mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan. Sedangkan pengertian “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf” mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan. Agar tercipta keharmonian dalam keluarga, pada kondisi tertentu kedudukan wanita tidak harus sama benar dengan kaum pria. Kepemimpinan dalam keluarga tetap dikendalilan oleh suami sebagai pelindung, pencari nafkah, pembimbing dan pembina bagi isteri dan anakanaknya. Sedangkan istri menjadi pemimpin di dalam rumah tangga suaminya. Dalam QS. alNisa’ [4]: 34 disebutkan: ْاﻟﺮِّﺟَﺎلُ ﻗَﻮَّاﻣُﻮنَ ﻋَﻠَﻰ اﻟﻨِّﺴَﺎءِ ﺑِﻤَﺎ ﻓَﻀَّﻞَ اﻟﻠَّﮫُ ﺑَﻌْﻀَﮭُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ وَﺑِﻤَﺎ أَﻧْﻔَﻘُﻮا ﻣِﻦْ أَﻣْﻮَاﻟِﮭِﻢ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Di dalam hadis juga disebutkan: ُ وَاﻟْﻤَﺮْأَة، ِ وَاﻟﺮﱠﺟُﻞُ رَاعٍ ﻓِﻲ أَھْﻠِﮫِ وَھُﻮَ ﻣَﺴْﺆولٌ ﻋَﻦْ رَﻋِﯿﱠﺘِﮫ، ِ اﻹِﻣَﺎمُ رَاعٍ وَ ﻣَﺴْﺆولٌ ﻋَﻦْ رَﻋِﯿﱠﺘِﮫ،ِﻛُﻠﱡﻜُﻢْ رَاعٍ وَﻛُﻠﱡﻜُﻢْ ﻣَﺴْﺌُﻮلٌ ﻋَﻦْ رَﻋِﯿﱠﺘِﮫ ْ وَﻛُﻠﱡﻜُﻢْ رَاعٍ وَ ﻣَﺴْﺆولٌ ﻋَﻦ، ِ وَاﻟْﺨَﺎدِمُ رَاعٍ ﻓِﻲ ﻣَﺎلِ ﺳَﯿﱢﺪِهِ و ﻣَﺴْﺆولٌ ﻋَﻦْ رَﻋِﯿﱠﺘِﮫ، رَاﻋِﯿَﺔٌ ﻓِﻲ ﺑَﯿْﺖِ زَوْﺟِﮭَﺎ وَﻣَﺴْﺆوﻟَﺔٌ ﻋَﻦْ رَﻋِﯿﱠﺘِﮭَﺎ رواه اﻟﺒﺨﺎري. ِرَﻋِﯿﱠﺘِﮫ “Ketahuilah bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Setiap kepala negara adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab atas 6 kepemimpinan (rakyatnya), laki-laki (suami) adalah pemimpin di dalam keluarganya dan ia dimintai tanggungjawab atas kepemimpinannya. Perempuan (istri) adalah pemimpin bagi rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin bagi harta tuannya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Ketahuilah bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan masing-masing bertanggung jawab atas kepemimpinannya”. Dalam hadis juga dikatakan bahwa wanita (isteri) sebagai mitra pendamping bagi pria (suami) dan begitu pula sebaliknya, sesuai dengan hadis Rasulullah: (إِﻧﱠﻤَﺎ اﻟﻨﱢﺴَﺎءُ ﺷَﻘَﺎﺋِﻖُ اﻟّﺮِﺟَﺎلِ )رواه أﺣﻤﺪ واﻟﺘﺮﻣﯿﺬى وأﺑﻮ داود Sesungguhnya para wanita menjadi teman (pendamping/saudara sekandung) bagi para pria. (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Abu Daud) Meskipun demikian, ada di antara perintah Allah yang ditujukan kepada individu yang berbeda satu sama lain, seperti jihad yang diwajibkan bagi laki-laki tapi “bukan kewajiban” terhadap wanita, ataupun format jihad yang berbeda. Jihad perempuan adalah dengan melaksanakan ibadah haji. Dalam hadis dari ‘Aisyah r.a (ia berkata): “Ya Rasulullah, apakah kaum perempuan wajib melaksanakan jihad?”. Maka Rasul menjawab: “(ya), jihad yang tidak mengandung pertempuran, yaitu (melaksanakan) ibadah haji dan umrah”. (HR. Ibnu Majah). Rasulullah SAW tidak luput menyebutkan bentuk jihad lainnya bagi kaum perempuan, yaitu dengan menjadi istri yang shalehah, giat mendidik generasi penerus, dan patuh kepada suaminya selama ia tidak menyimpang dari ajaran Islam. Dalam hadis dikisahkan, ada seorang wanita bernama Zainab yang diutus oleh sekelompok wanita untuk menghadap Rasulullah SAW, ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku adalah utusan yang mewakili para wanita datang kepadamu untuk menanyakan suatu permasalahan. Allah SWT mewajibkan jihad kepada laki-laki. Jika mereka menang (selamat) akan memperoleh pahala, dan jika gugur di medan perang mereka tetap diberi rezeki (mati syahid) oleh Allah. Sedangkan kami (kaum perempuan) yang membantu mereka, pahala apa yang kami dapatkan?” Rasulullah menjawab, “Sampaikan kepada perempuan yang engkau temui bahwa pahala mentaati suami dan mengakui (memenuhi) hakhaknya adalah sama dengan pahala jihad fi sabilillah. Tetapi sedikit sekali diantara kalian yang tabah melaksanakannya.” (HR. al-Bazzar dan al-Thabrani). Demikian pula dalam batasan kewajiban agama, seperti shalat lima waktu sehari semalam, puasa, zakat, haji, kewajiban wanita tidak berbeda dengan pria. Bahkan dalam beberapa kasus, wanita mempunyai beberapa kelebihan atas pria. Sebagai contoh, wanita diperbolehkan meninggalkan shalat dan puasa dalam masa menstruasi dan empat puluh hari saat nifas. Dia juga boleh meninggalkan puasa selama masa kehamilan dan menyusui manakala ada kekhawatiran akan membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Jika yang ditinggalkan adalah puasa wajib (selama bulan Ramadhan), dia boleh mengganti hari yang tertinggal tersebut kapanpun dia sanggup melakukannya. Tapi dia tidak perlu mengganti shalat karena alasan-alasan yang disebutkan di atas. Dalam hubungan vertikal, masing-masing pria dan wanita mempunyai kewajiban tersendiri. Perbedaan tersebut bukan bertujuan diskriminatif, tapi lebih merupakan upaya integrasi antara keduanya dalam memerankan fungsinya masing-masing. Dalam QS. anNisa’ [4]: 32 dinyatakan َوَﻻ ﺗَﺘَﻤَّﻨَﻮْا ﻣَﺎ ﻓَﻀَّﻞَ اﻟﻠَّﮫُ ﺑِﮫِ ﺑَﻌْﻀَﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ﻟِﻠﺮِّﺟَﺎلِ ﻧَﺼِﯿﺐٌ ﻣِﻤَّﺎ اﻛْﺘَﺴَﺒُﻮا وَﻟِﻠّﻨِﺴَﺎءِ ﻧَﺼِﯿﺐٌ ﻣِﻤَّﺎ اﻛْﺘَﺴَﺒْﻦ 7 Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak daripada sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Peran dan fungsi yang dijalankan wanita tidak mesti sama dengan pria. Dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 36 disebutkan وَﻟَﯿْﺲَ اﻟﺬَّﻛَﺮُ ﻛَﺎﻷﻧْﺜَﻰ dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Juga dinyatakan dalam QS. al-Lail [92]: 3-4 إِنَّ ﺳَﻌْﯿَﻜُﻢْ ﻟَﺸَﺘَّﻰ. وَﻣَﺎ ﺧَﻠَﻖَ اﻟﺬَّﻛَﺮَ وَاﻷﻧْﺜَﻰ dan penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa yang tidak sama antara pria dan wanita bukan hanya fisiknya saja, tetapi juga psikis (jiwa), orientasi, minat, kecenderungan, peran dan fungsinya yang berbeda sesuai dengan kodratnya masing-masing. Integrasi antara pria dan wanita ibarat siang dan malam hari, kendati berbeda fungsi tetapi bersatu dan saling melengkapi. Adanya perbedaan fungsi pada laki-laki dan wanita merupakan hal yang bersifat kodrati. Realitas ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perbedaan status, derajat atau kedudukan. Keduanya memiliki peran penting dan strategis dalam membangun kehidupan yang harmonis. Keduanya juga tidak dapat dipisahkan karena saling melengkapi dan menyempurnakan. Dalam aspek spiritual, al-Qur’an memberikan bukti yang nyata bahwa wanita benar-benar setara dengan pria di mata Tuhan dalam hal pemenuhan hak dan kewajibannya. Dalam al-Qur’an surat al-Nahl [16]: 97 dinyatakan: َﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺻَﺎﻟِﺤًﺎ ﻣِﻦْ ذَﻛَﺮٍ أَوْ أُﻧْﺜَﻰ وَھُﻮَ ﻣُﺆْﻣِﻦٌ ﻓَﻠَﻨُﺤْﯿِﯿَﻨَّﮫُ ﺣَﯿَﺎةً ﻃَﯿِّﺒَﺔً وَﻟَﻨَﺠْﺰِﯾَﻨَّﮭُﻢْ أَﺟْﺮَھُﻢْ ﺑِﺄَﺣْﺴَﻦِ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮا ﯾَﻌْﻤَﻠُﻮن “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Juga dalam QS. al-Mudatsir [74] : 38. ٌﻛُﻞُّ ﻧَﻔْﺲٍ ﺑِﻤَﺎ ﻛَﺴَﺒَﺖْ رَھِﯿﻨَﺔ “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” Al-Qur’an mengakui hak kaum laki-laki dan perempuan, di mana hak istri adalah diakui secara adil (equal) dengan hak suami. Dengan kata lain, laki-laki memiliki hak dan kewajiban atas perempuan, dan kaum perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap kaum laki-laki. Itulah mengapa al-Qur’an dianggap memiliki pandangan yang revolusioner terhadap hubungan kemanusiaan, yakni memberikan keadilan hak antara laki-laki dan perempuan. Dalam QS. al-Baqarah [2]: 228 disebutkan: وَﻟَﮭُﻦَّ ﻣِ ْﺜﻞُ اﻟَّﺬِي ﻋَﻠَﯿْﮭِﻦَّ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُوفِ وَﻟِﻠﺮِّﺟَﺎلِ ﻋَﻠَﯿْﮭِﻦَّ دَرَﺟَ ٌﺔ “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” Kelebihan itu adalah qawamah (pemeliharaan dan perlindungan). Hal ini merujuk pada perbedaan alami antara dua jenis kelamin yang mewajibkan jenis yang lebih lemah mendapatkan perlindungan. Hal ini tidak menyiratkan adanya superioritas atau kelebihan di mata hukum. Diantara hak-hak wanita menurut konsepsi Islam adalah: Hak-hak Kemanusiaan, mencakup: hak hidup, hak mendapat kemuliaan, hak kesetaraan dengan laki-laki, dan hak mengemukakan pendapat dan musyawarah. Islam menekankan pentingnya nasehat dan persetujuan bersama dalam diskusi keluarga. Al-Qur’an memberi 8 contoh: “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS. al-Baqarah [2]: 233). Hak-hak Ekonomi, meliputi hak kepemilikan dan pengelolaan harta, baik melalui perdagangan, jual-beli, sewa-menyewa, kerjasama (syirkah), mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari suami (QS. al-Thalaq [65]: 6), nafkah dari ayah selagi belum menikah, mendapatkan warisan sesuai ketentuan, mendapatkan mahar dari suami (QS. al-Nisa’ [4]: 24), nafkah ‘iddah, harta bersama, hak mendapatkan mut’ah (pemberian oleh suami kepada isteri yang diceraikan tanpa sebab yang patut) berdasarkan QS. al-Baqarah [2]: 241. Perempuan juga berhak menetapkan mahar yang diterima dari calon suaminya. Konsep mahar dalam Islam bukan merupakan harga aktual atau simbolis dari seorang wanita, namun lebih pada hadiah yang melambangkan cinta dan ketertarikan. Hak-hak Sosial dan kekeluargaan, antara lain mendapatkan perlakuan baik, mendapatkan pendidikan dan pengajaran, beraktifitas, wanita tidak boleh dipaksa untuk menikah tanpa persetujuannya, memilih suami, meminta cerai (khulu’), hak pengasuhan anak (hadhanah). Dalam QS. al-Nisa’ [4] : 19 disebutkan, “Dan bergaullah dengan mereka (istri) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” Nabi Muhammad Saw juga bersabda: “Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan saya adalah yang terbaik di antara kamu terhadap keluargaku.” Dalam hadis lainnya dikatakan, “Mukmin terbaik adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik diantara kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isterinya.” (HR. Ahmad). Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh dipaksa untuk menikah tanpa persetujuannya. Ibnu ‘Abbas meriwayatkan bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah Saw., dan dia menceritakan bahwa ayahnya telah memaksanya untuk menikah tanpa persetujuannya. Rasulullah Saw. memberinya dua pilihan (antara menerima pernikahan itu atau membatalkannya). (HR Ahmad). Dalam riwayat lain, wanita itu berkata, “Sebenarnya saya menerima perkawinan ini tetapi saya ingin para wanita mengetahui bahwa orang tua tidak berhak (memaksakan seorang suami kepada mereka).” (HR Ibnu Majah). Jika suami memiliki hak thalaq, wanita juga punya hak mengajukan khulu’ (gugat cerai) jika ingin mengakhiri pernikahannya karena berbagai sebab, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas bahwa isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi Saw dan berkata: “Ya Rasulullah, sungguh aku tidak mencelanya dalam akhlak maupun agamanya, tetapi aku takut akan kekafiran dalam Islam”. Nabi Saw. bertanya: “Maukah kamu mengembalikan kebunnya kepadanya?”. Wanita itu menjawab: 'Ya' Rasulullah Saw. pun bersabda (kepada suaminya): 'Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia". (HR. Bukhari). Hak-hak Konstitusi, mencakup keterlibatan dalam bidang politik, ikut serta bermusyawarah, berhak sebagai saksi dalam proses penyelesaian suatu masalah hukum (QS. al-Baqarah [2]: 282). *** Konsep kesetaraan gender dari segi bahasa, istilah dan nilai ideology sebenarnya tidak ditemukan padanannya dalam istilah Islami. Yang ada adalah prinsip almusawah (persamaan) laki-laki dan perempuan dalam hal-hal berikut: 9 1. Persamaan dalam hal asal-usul penciptaan manusia sebagaimana firman Allah SWT Annisa: 1 2. Persamaan dalam hal kemuliaan manusia yang Allah ciptakan dengan segala kelengkapan rizki-Nya serta potensi ketakwaan kepada Allah, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Isra: 70 dan Al-Hujurat: 13 3. Persamaan dalam hal kewajiban beramal saleh dan beribadah (menerima taklif) serta hak pahala yang sama disisi Allah SWT sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ali Imran: 195, Annisa: 124, Annahl: 97 dan Al-Ahzab: 35 4. Persamaan dalam menerima sanksi jika melanggar aturan hukum Allah dan susila di dunia sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah: 38, dan An-Nur: 2 5. Persamaan dalam hak amar makruf nahi munkar kepada penguasa dalam kehidupan social politik keummatan sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ali Imran: 104 dan 110,At-Taubah: 71 Islam juga mengakui hak-hak perempuan dalam hal kepemilikan pribadi, sewa-menyewa, jualbeli, dan semua jenis akad muamalah perempuan diakui dan tidak ada hambatan sedikitpun. Demikian pula dijamin hak-hak mereka untuk belajar dan mengajarkan ilmunya. Selain dari kelima bentuk persamaan antara laki-laki dan perempuan tersebut, Al-Qur’an dan Sunnah nabi membedakan peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan perbedaan kodrati dan tabiat masing-masing. Prinsip dasar Islam dalam menyikapi paham kesetaraan gender: 1. Keyakinan mutlak bahwa Islam adalah agama WAHYU yang FINAL dan OTENTIK berasal dari Allah SWT (lihat Al-Maidah: 3, dan An-Nisa: 65) oleh karena itu SYARIAT dalam konsep Islam adalah HUKUM YANG DIWAHYUKAN (revealed law) dalam pengertian bahwa hukum Islam itu tidak dikarang oleh manusia, dan atau hasil daripada produk budaya tertentu atau pemikiran manusia yang berkembang dalam fase sejarah tertentu yang bersifat relatif dan temporer atau tentatif. 2. Meyakini SYARIAT Islam itu universal dalam pengertian bahwa ia cocok dan bisa diterapkan di segala tempat dan waktu, sehingga lintas zaman, lintas budaya, dan lintas sejarah manusia. Baik dalam hukum-hukumnya yang kulli (umum) maupun yang juz’I (particular/spesifik). Dalam konteks itulah umat Islam meyakini bahwa SYARIAT Islam itu semuanya baik (alkhayr), adil dan rahmat maslahat bagi manusia disebabkan ia bersumber dari Allah SWT Yang Maha Mengetahui, sesuai firman Allah SWT dalam surah Al-Isra: 9 dan Al-Maidah: 50 3. Menyadari bahwa metode-metode buatan manusia yang bertentangan dengan WAHYU ILAHI itu pasti lemah dan tidak sempurna dalam tataran konsepsi, tata nilai, timbangan dan hukum-hukumnya, meski Nampak indah dan memikat, sebagaimana isyarat firman Allah SWT surah An-Nisa: 82 “dan seandainya Qur’an itu berasal dari selain Allah maka mereka akan dapati di dalamnya banyak pertentangan”. Dengan tetap mengakui ada sebagian hasil pemikiran manusia yang menetapi kebenaran ajaran Islam atau sebagian aspeknya, dikarenakan terdapat sisa fitrah yang selamat dan akal yang terbebas dari hawa nafsu. 4. Meyakini bahwa Islam adalah agama keadilan. Konsekuensi adil adalah mempersamakan dua hal yang memang sama dan sekaligus membedakan dua hal yang memang berbeda. 10 Artinya proporsional dalam meletakkan dan menilai sesuatu sesuai haknya masingmasing. Islam bukan agama kesetaraan mutlak yang sering kali menuntut persamaan antara dua hal yang memang jelas berbeda. Kesetaraan mutlak seperti ini adalah zalim, artinya tidak proporsional dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya. Al-Qur’an tidak merekomendasikan persamaan mutlak dalam satu ayatpun melainkan memerintahkan kita untuk berlaku ADIL dan IHSAN (lihat surah An-Nahl: 90). Oleh karena itu, hukumhukum syariat berdiri di atas prinsip keadilan; memberikan porsi yang sama ketika persamaan itu dipandang adil, dan juga membedakan peran dan tanggung jawab yang berbeda ketika pembedaan itu dipandang adil. Inilah isyarat dari firman Allah SWT dalam surah Al-An’am: 115 “dan telah sempurna lah kalimat Tuhanmu yang benar dan adil, tidak ada yang dapat mengubah kalimat-Nya, dan Dia (Allah) Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Prinsip-prinsip syariah dalam menilai paham kesetaraan gender: 1. Perempuan, ibarat koin uang, adalah satu sisi dari jenis manusia, sedangkan sisi lainnya adalah laki-laki. Sesuai firman Allah SWT surah An-Najm: 45 dan An-Nisa: 1. Perempuan adalah saudara kembar dari laki-laki dari segi asal penciptaan, dan destinasi hidup. Bersama-sama dengan kaum laki-laki bertanggung jawab untuk memakmurkan bumi –dalam lingkupnya masing-masing- tanpa ada diskriminasi di antara keduanya dalam aspek agama, tauhid, pahala dan dosa, hak dan kewajiban bersyariat, sesuai dengan firman Allah SWT surah An-Nahl: 97, Al-Hujurat: 13, Ali Imran: 95 dll, juga hadis nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya kaum perempuan adalah saudara kandung/belahan dari kaum laki-laki” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi) 2. Namun disisi lain, Allah SWT sang Pencipta telah menetapkan hikmah bahwa laki-laki tidak sama dengan perempuan dari segi struktur tubuh dan penciptaan, yang berdampak kepada adanya perbedaan di antara keduanya dalam hal potensi, kemampuan fisik, emosional, dan kehendak. Sesuai firman Allah SWT surah Ali Imran: 36 “dan laki-laki tidak sama seperti perempuan”, dan Az-Zukhruf: 18 “dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan menyenangi perhiasan, sedang dia tidak mampu member alasan yang tegas dan jelas dalam pertengkaran”. Oleh karena adanya perbedaan tersebut, disamping adanya persamaan dalam hal-hal yang telah disebutkan, maka Allah SWT menetapkan pembedaan di antara keduanya dalam beberapa hukum syariah, peran dan tanggung jawab social antara laki-laki dan perempuan, yang bertujuan untuk menyesuaikan dengan fitrah, tabiat dan kekhasan masing-masing. Allah SWT berfirman, “Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan (perintah) adalah menjadi hak-Nya” (Al-A’raf: 54) 3. Hukum keluarga dalam Islam yang bersifat pasti dan tetap, serta peran penting perempuan (istri) di dalamnya. 4. Laki-laki wajib menafkahi perempuan. Ini sesuai dengan struktur fisiologis laki-laki yang lebih siap menanggung beban fisik dan pikiran pekerjaan untuk menafkahi keluarganya. 5. Hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Islam dan di dalam keluarga berdasarkan asas saling melengkapi (takamul) dari masing-masing peran yang diembannya. Sungguh tidak adil jika kita menyerahkan beban-beban laki-laki (mencari nafkah dll) kepada perempuan, atau sebaliknya (kewajiban hamil dan menyusui anak dll) terhadap laki-laki. 11 6. Syariat Islam telah memelihara hak-hak perempuan untuk menikah sesuai tuntunan syariah, hak keibuan, hak pengaturan rumah tangga, hak memilih suami yang ia ridhai, juga hak untuk memilih tidak lagi hidup bersama suami (khulu’; gugat cerai dari istri) dengan sangat adil dan sempurna. 7. Syariat Islam tentang pentingnya iffah menjaga kehormatan perempuan dijabarkan dalam beberapa hukum perkawinan, pemberian mahar, haramnya zina, khalwat dan ikhtilat dengan perempuan bukan muhrim, serta haramnya melembutkan ucapan di hadapan lakilaki, wajibnya jilbab dan menahan pandangan, bolehnya poligami dan lain-lain tidak lain adalah untuk menjaga dan memelihara kehormatan dan kemuliaan perempuan. Itu semua bukan untuk menzalimi perempuan, seperti yang disangkakan kaum liberal. Dengan demikian, maka kami memandang hal – hal seperti berikut: 1. Selain mengakui adanya PERSAMAAN antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemanusiaan, kemuliaan, dan hak-hak umum yang terkait langsung dengan posisinya sebagai hamba Allah SWT, Islam telah MEMBEDAKAN perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan dalam sebagian hak dan kewajiban. Itu dilakukan sesuai dengan adanya perbedaan naluriah dan alami (nature) di antara keduanya dalam fungsi, peran dan tanggung jawab. Agar masing-masing jenis dapat menunaikan tugas-tugas pokoknya dengan sempurna. 2. Syariat Islam tegas melarang diskriminasi, penindasan dan kezaliman terhadap perempuan, sehingga mengakibatkan hak-haknya dikurangi dan kemuliaannya dinodai. Di dalam Islam tidak ada diskriminasi terhadap perempuan untuk memanjakan laki-laki. Syariat Islam dalam PEMBEDAAN antara laki-laki dan perempuan dalam hal-hal berikut ini, ditetapkan BUKAN karena alasan untuk menindas atau menzalimi hak perempuan, tetapi berdasarkan hikmah dan alasan yang kuat di antaranya bahwa hak yang diterima masing-masing itu harus sesuai dengan beban dan tanggung jawab social ekonominya di tengah keluarga dan masyarakat. Di antara bentuk PEMBEDAAN ATURAN ISLAM itu adalah: o Hak waris anak laki-laki yang berbeda dari hak waris anak perempuan dengan formula 2:1. Ini disebabkan adanya tanggung jawab dan kewajiban laki-laki untuk membayar mahar dan menafkahi keluarganya. (lihat surah An-Nisa: 11 dan 34) o Persaksian 2 orang perempuan sama dengan persaksian 1 orang laki-laki dalam persoalan muamalah dan hak. (lihat Al-Baqarah: 282) sementara itu di dalam persoalan yang terkait dengan kekhususan perempuan seperti hak menyusui, penetapan keperawanan dan penyakit khusus wanita maka kesaksian 1 orang wanita sudah cukup untuk diterima, sebagaimana dijabarkan dalam kitab-kitab fiqih Islam. o Pembayaran diyat/denda pembunuhan karena korban pembunuhan berkelamin perempuan setengah dari diyat/denda korban laki-laki. Ini disebabkan karena yang menerima diyat itu bukanlah mayat korban tersebut melainkan ahli warisnya. Diyat korban laki-laki lebih besar karena statusnya sebagai kepala keluarga dan pemberi nafkah, sedangkan diyat korban perempuan setengahnya karena melihat perempuan itu tidak berstatus pemberi nafkah keluarga. o Dalam rumah tangga, suami (laki-laki) diletakkan sebagai Pemimpin/Kepala Keluarga yang disebut dengan QAWAMAH (Annisa: 34) sementara istri 12 3. 4. 5. 6. (perempuan) ditetapkan sebagai Kepala Rumah Tangga yang disebut dengan Rabbatul Manzil. Keduanya sama dalam kadar kemuliaannya, hanya berbeda dalam tugas pokok dan tanggung jawabnya. Ibarat sebuah perusahaan, laki-laki dalam posisi General Manajer yang berkewajiban mencari nafkah, melindungi, mengayomi dan mengarahkan kebijakan usaha dan pendidikan anggota keluarganya. Sedangkan perempuan dalam posisi kepala URT yang mengurusi hal-hal teknis. Keduanya sama mulia dan penting sesuai porsi yang ditaklifkan oleh Allah SWT. Intinya konsep QAWAMAH bukan untuk menindas apalagi mendiskriminasi perempuan sebagai sub-ordinasi atau bawahan, tetapi mengarahkan kebijakan umum yang harus selaras dengan kondisi seluk-beluk keluarga yang diketahui dengan baik oleh perempuan sebagai kepala urusan internal/domestic. Sehingga dengan demikian kami melihat bahwa dalam soal hubungan antara laki-laki dan perempuan, baik PERSAMAAN maupun PEMBEDAAN yang ada aturannya dalam Islam itu semua berdasarkan WAHYU DARI ALLAH SWT dan bukan hasil KONSTRUKSI BUDAYA manusia, sehingga ia bersifat lintas zaman dan lintas budaya. Oleh karena itu definisi tentang Gender adalah “pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya”, seperti termaktub dalam draf RUU KKG, jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Menolak segala bentuk dan model penafsiran ulang yang berdampak pada perombakan total terhadap hukum-hukum Islam dengan metode historis, sosiologis dan antropologis (hermeneutika) agar sesuai dengan prinsip keadilan jender. Menolak paham kesetaraan jender –yang sudah khas dan melekat dengan paham kebencian dan persaingan antara laki-laki dan perempuan- yang berasal dari Barat, dan apalagi jika dikait-kaitkan dengan ajaran Islam. Jika ditimbang dari segi maslahat dan mafsadat yang dibawa oleh paham tersebut, maka mafsadatnya jauh lebih besar, yang sudah pasti diantaranya, adalah paham tersebut mengancam ketahanan keluarga dan kesejahteraan anak. Karena paham tersebut telah mengabaikan: 1) peran keluarga sebagai institusi penting dalam kehidupan manusia, 2) peran keluarga sebagai pencetak SDM pembangunan dan masyarakat madani, 3) kepentingan anak sebagai insan generasi penerus kehidupan. Menghimbau para ulama, lembaga Islam dan ormas Islam untuk menghidupkan dan merevitalisasi kajian fiqih perempuan yang berpijak kepada Islamic-worldview yang teguh dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw sebagai sumber hokum tertinggi yang menunjukkan bahwa ISLAM ini adalah AGAMA WAHYU yang seruan dan cakupannya berlaku UNIVERSAL UNTUK SEMUA MANUSIA dan HUKUM-HUKUM SUCINYA TIDAK akan mengalami PERUBAHAN atau PERKEMBANGAN mengikuti sejarah dan budaya manusia. KEADILAN GENDER DALAM ISLAM Al Qur’an secara umum dan dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah 13 terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di dalam Q.s. Al- Nisa, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka. Sebelum diturunkan surat Al- Nisa ini, telah turun dua surat yang sama – sama membicarakan wanita, yaitu surat Al –Mumtahanah dan surat Al- Ahzab . Namun pembahasannya belum final, hingga diturunkan surat al-Nisa’ ini. Oleh karenanya, surat ini disebut dengan surat Al Nisa’ al Kubro , sedang surat lain yang membicarakan perempuan juga , seperti surat al –Tholak, disebut surat al-Nisa’ al Sughro. [7] Surat Al Nisa’ ini benar- benar memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim, orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan. Maka , pada ayat pertama surat al-Nisa’ kita dapatkan , bahwa Allah telah menyamakan kedudukan laki- laki dan perempuan sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing- masing jika beramal sholeh , pasti akan di beri pahala sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta dari jiwa yang satu ( nafsun wahidah ) , yang mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa kepada-Nya ( ittaqu robbakum ) . Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal.Untuk menjaga kesimbangan alam ( sunnatu tadafu’ ) , harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa itu , dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur. Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi juga pada emosional dan komposisi kimia dalam tubuh. Hal ini akibat membawa efek kepada perbedaan dalam tugas ,kewajiban dan hak. Dan hal ini sangatlah wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan Marxis. Tetapi merupakan bentuk sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan, sebagiamana anggota tubuh manusia yang berbedabeda tapi menuju kepada persatuan dan saling melengkapi.Oleh karenanya, suatu yang sangat kurang bijak, kalau ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara dua jenis manusia ini dalam semua bidang. Islam adalah Agama yang Mengajak kepada Keadilan, bukan Persamaan dalam Segala Hal Ayat ini menjelaskan bahwa kaum pria memiliki perbedaan dengan kaum wanita. Juga, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kelebihan kepada pria dalam hal kepemimpinan yang tidak dimiliki oleh kaum wanita. Di dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ٌوَﻟِﻠﺮﱢﺟَﺎلِ ﻋَﻠَﯿْﮭِﻦﱠ دَرَﺟَﺔ “Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (Al-Baqarah: 228) 14 Oleh karena itu, Islam memerintahkan untuk memberikan hak kepada masing-masing yang memiliki hak. Inilah yang disebut keadilan. Adil bukanlah persamaan hak dalam segala hal. Namun adil adalah menempatkan setiap manusia pada tempat yang selayaknya dan semestinya, serta menempatkan segala sesuatu pada posisinya yang telah diatur dalam syariat-Nya. ِوَإِذَا ﺣَﻜَﻤْﺘُﻢْ ﺑَﯿْﻦَ اﻟﻨﱠﺎسِ أَنْ ﺗَﺤْﻜُﻤُﻮا ﺑِﺎﻟْﻌَﺪْل “Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (An-Nisa`: 58) Dan firman-Nya: َإِنﱠ اﷲَ ﯾَﺄْﻣُﺮُ ﺑِﺎﻟْﻌَﺪْلِ وَاْﻹِﺣْﺴَﺎنِ وَإِﯾﺘَﺎءِ ذِي اﻟْﻘُﺮْﺑَﻰ وَﯾَﻨْﮭَﻰ ﻋَﻦِ اﻟْﻔَﺤْﺸَﺎءِ وَاﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ وَاﻟْﺒَﻐْﻲِ ﯾَﻌِﻈُﻜُﻢْ ﻟَﻌَﻠﱠﻜُﻢْ ﺗَﺬَﻛﱠﺮُون “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90) َوَﻻَ ﯾَﺠْﺮِﻣَﻨﱠﻜُﻢْ ﺷَﻨَﺂنُ ﻗَﻮْمٍ ﻋَﻠَﻰ أَﻻﱠ ﺗَﻌْﺪِﻟُﻮا اﻋْﺪِﻟُﻮا ھُﻮَ أَﻗْﺮَبُ ﻟِﻠﺘﱠﻘْﻮَى وَاﺗﱠﻘُﻮا اﷲَ إِنﱠ اﷲَ ﺧَﺒِﯿﺮٌ ﺑِﻤَﺎ ﺗَﻌْﻤَﻠُﻮن “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Keadilan bagi perempuan Keadilan secara umum didefinisikan sebagai "menempatkan sesuatu secara proporsional" dan "memberikan hak kepada pemiliknya". Definisi ini memperlihatkan, dia selalu berkaitan dengan pemenuhan hak seseorang atas orang lain yang seharusnya dia terima tanpa diminta karena hak itu ada dan menjadi miliknya. Dalam konteks relasi jender, wujud pemenuhan hak atas perempuan masih merupakan problem kemanusiaan yang serius. Realitas sosial, kebudayaan, ekonomi dan politik masih menempatkan perempuan sebagai entitas yang direndahkan. Persepsi kebudayaan masih melekatkan stereotipe yang merendahkan, mendiskriminasi dan memarjinalkan mereka. Kesetaraan dalam Kewajiban Beribadah dan Pahalanya Secara umum, Islam memandang laki-laki dan wanita dalam posisi yang sama, tanpa ada perbedaan. Masing-masing adalah ciptaan Allah yang dibebani dengan tanggungjawab melaksanakan ibadah kepada-Nya, menunaikan titah-titah-Nya dan menjauhi larangan-laranganNya. Hampir seluruh syariat Islam dan hukum-hukumnya berlaku untuk kaum Adam dan kaum Hawa secara seimbang. Begitu pun dengan janji pahala dan ancaman siksaan. Tidak dibedakan satu dengan yang lainnya. Masing-masing dari mereka memiliki kewajiban dan hak yang sama dihadapan Allah sebagai hamba-hamba-Nya. Berikut adalah petikan ayat-ayat al Qur`an yang menjelaskan tentang pandangan Islam dalam hal ini: 15 ِوَﻣَﺎ ﺧَﻠَﻘْﺖُ اﻟْﺠِﻦَّ وَاﻟْﺈِﻧْﺲَ إِﻟَّﺎ ﻟِﯿَﻌْﺒُﺪُون “Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56) َﻦ ﻓَﻠَﻨُﺤْﯿِﯿَﻨَّﮫُ ﺣَﯿَﺎةً ﻃَﯿِّﺒَﺔً وَﻟَﻨَﺠْﺰِﯾَﻨَّﮭُﻢْ أَﺟْﺮَھُﻢْ ﺑِﺄَﺣْﺴَﻦِ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮا ﯾَﻌْﻤَﻠُﻮن ٌ ِﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺻَﺎﻟِﺤًﺎ ﻣِﻦْ ذَﻛَﺮٍ أَوْ أُﻧْﺜَﻰ وَھُﻮَ ﻣُﺆْﻣ “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baikdan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 97) وَﻣَﻦْ ﯾَﻌْﻤَﻞْ ﻣِﻦَ اﻟﺼَّﺎﻟِﺤَﺎتِ ﻣِﻦْ ذَﻛَﺮٍ أَوْ أُﻧْﺜَﻰ وَھُﻮَ ﻣُﺆْﻣِﻦٌ ﻓَﺄُوﻟَﺌِﻚَ ﯾَﺪْﺧُﻠُﻮنَ اﻟْﺠَﻨَّﺔَ وَﻟَﺎ ﯾُﻈْﻠَﻤُﻮنَ ﻧَﻘِﯿﺮًا “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An Nisa [4]: 124) ٍﻓَﺎﺳْﺘَﺠَﺎبَ ﻟَﮭُﻢْ رَﺑُّﮭُﻢْ أَﻧِّﻲ ﻟَﺎ أُﺿِﯿﻊُ ﻋَﻤَﻞَ ﻋَﺎﻣِﻞٍ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ذَﻛَﺮٍ أَوْ أُﻧْﺜَﻰ ﺑَﻌْﻀُﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺾ “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (QS. Ali Imran [3]: 195) Mujahid berkata, “Ummu Salamah pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami tidak mendengar penyebutan wanita dalam masalah hijrah sedikitpun?” maka turunlah ayat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/190, Tafsir Al Bagawy, 2/153) Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga, bukan berarti memposisikan laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama. Memperlakukan laki-laki dan perempuan secara sama dalam semua keadaan justru menimbulkan bias jender. Memperlakukan sama antara laki-laki dan perempuan dalam kerja rumah tangga pada satu keadaan, misalnya, suami juga berkewajiban mengurus anaknya, sama halnya istri mempunyai kewajiban mengurus anaknya. Artinya kewajiban mengurus anak tidak mutlak menjadi kewajiban istri semata, tetapi merupakan kewajiban bersama. Dari Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang perempuan." ( HR. Bukhari ). Rasulullah telah memberikan nasehat kepada para muslim agar mengormati dan menghargai perempuan seperti sabdanya : “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang terbaik di antara kamu terhadap keluargaku. Orang yang memuliakan kaum wanita adalah orang yang mulia, dan orang yang menghina kaum wanita adalah orang yang tak tahu budi”. ( HR. Abu Asakir ). *** 16 Perbedaan Kodrat Namun demikian, bukan berarti kaum laki-laki dan wanita menjadi sama dan setara dalam segala hal. Menyetarakan keduanya dalam semua peran, kedudukan, status sosial, pekerjaan, jenis kewajiban dan hak sama dengan melanggar kodrat. Karena, kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa antara laki-laki dan wanita terdapat perbedaan-perbedaan mendasar, hingga jika kita melihat keduanya dengan kasat mata sekalipun. Secara biologis dan kemampuan fisik, laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Begitu pun dari sisi sifat, pemikiran-akal, kecenderungan, emosi dan potensi masing-masing juga berbeda. Apalagi wanita dengan tabiatnya melakukan proses reproduksi, mengandung, melahirkan, menyusui, menstruasi, sementara laki-laki tidak. Adalah tidak adil jika kita kemudian memaksakan suatu peran yang tidak sesuai dengan tabiat dan kecenderungan dasar dari masingmasing jenis tersebut. Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid berkata, “Bertolak dari perbedaan mendasar ini, sejumlah hukum-hukum syariat ditetapkan oleh Allah yang Mahaadil dengan perbedaan-perbedaan pula. Sebagian hukum, kewajiban, hak dan peran yang disyariatkan oleh Allah dibedakan sesuai dengan kemampuan masing-masing dari keduanya tadi. Tujuannya adalah, agar keduanya saling melengkapi satu sama lain dan dengannya hidup ini dapat berjalan sempurna, harmonis dan seimbang.” (Lihat Hirâsatu al Fadhîlah, hal. 18-19) Dari sisi ini pula, Muhammad Aali al Ghamidy dalam sebuah artikel bertajuk “Muqâranatu al Nadzrah al Takâmuliyyah al Islâmiyyah bayna al Rajul wa al Mar`ati wa al Nadzrah al Tanâfusiyyah al ‘Almâniyyah” menjelaskan, bahwa pandangan Islam dalam model hubungan antara laki-laki dan wanita adalah hubungan saling melengkapi, bukan hubungan persaingan sebagaimana yang diinginkan oleh konsep sekuler. (http://www.saaid.net/female/0137.htm) Allah berfirman menghiyakatkan perkataan istri Imran, وَﻟَﯿْﺲَ اﻟﺬَّﻛَﺮُ ﻛَﺎﻟْﺄُﻧْﺜَﻰ “Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (QS. Ali Imran [3]: 36) Dari sini, kesetaraan, atau persamaan (dalam bahasa Arab: musâwâtu) antara laki-laki dan perempuan bukanlah nilai yang berasal dari pandangan Islam Islam memandang keadilan antara laki-laki dan wanita, bukan kesetaraan. Konsep kesetaraan bertolak belakang dengan prinsip keadilan. Karena adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Sementara (Lihat kritikan Syaikh al Utsaimin tentang kata al musâwâtu dalam Syarhu al ‘Aqîdah al Wâsithiyyah, hal. 180-181) Ummu Salamah pernah menyampaikan kepada Nabi ihwal warisan yang berbeda antara kaum pria dengan wanita, “Ya Rasulullah, kaum pria berperang, sedangkan kami tidak, sehingga kami bisa mendapatkan mati syahid. Kami pun hanya mendapatkan bagian saparuh warisan (kaum pria).” 17 Lalu Allah menurunkan QS an-Nisa’ [04]: 32,1 yang intinya menegaskan bahwa Allah menjadikan masing-masing kelompok ini (pria dan wanita) dengan bagiannya, sesuai dengan ketentuan iradah (kehendak) dan hikmah-Nya.2 Namun, riwayat ini tidak bisa digunakan sebagai argumen, bahwa ide jender ini juga dimiliki oleh sahabat, termasuk Ummul Mukminin. Sebab, konteks pernyataan Ummu Salamah ini terkait dengan keinginannya untuk bisa mendapatkan kemuliaan sebagaimana kaum pria. Bisa berjihad, terlibat perang dan mendapatkan mati syahid. Namun Allah mengingatkan: ْﺐ ﻣِﻤﱠﺎ اﻛْﺘَﺴَﺒُﻮا وَﻟِﻠّﻨِﺴَﺎءِ ﻧَﺼِﯿﺐٌ ﻣِﻤﱠﺎ اﻛْﺘَﺴَﺒْﻦَ وَاﺳْﺄَﻟُﻮا اﻟﻠﱠﮫَ ﻣِﻦ ٌ وَﻻ ﺗَﺘَﻤَﻨﱠﻮْا ﻣَﺎ ﻓَﻀﱠﻞَ اﻟﻠﱠﮫُ ﺑِﮫِ ﺑَﻌْﻀَﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ﻟِﻠﺮِّﺟَﺎلِ ﻧَﺼِﯿ (٣٢) ﻓَﻀْﻠِﮫِ إِنﱠ اﻟﻠﱠﮫَ ﻛَﺎنَ ﺑِﻜُﻞِّ ﺷَﻲْءٍ ﻋَﻠِﯿﻤًﺎ Janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (Sebab) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nisa’ [4]: 32). Meski ayat ini didahului larangan, yaitu La tatamannau (Janganlah kalian iri), tidak serta merta ayat ini menafikan jerih-payah kaum perempuan. Sebaliknya, ayat ini menegaskan, bahwa apa saja yang dilakukan oleh kaum pria pasti akan kembali kepada dirinya. Demikian juga kaum wanita. Apapun yang dia lakukan, juga akan kembali kepada dirinya. Ini artinya, baik pria maupun wanita, bisa meraih kemuliaan yang sama di hadapan Allah dengan amal yang mereka lakukan. Ketika wanita tidak bisa dan tidak wajib berjihad, Nabi saw. menyatakan: ّﺟِﮭَﺎدُﻛُﻦﱠ اَﻟْﺤَﺞُّ أَوْ ﺣَﺴْﺒَﻜُﻦﱠ اﻟْﺤَﺞ Jihad kalian (kaum wanita) adalah haji, atau cukup bagi kalian (kaum wanita) dengan haji (HR al-Bukhari). 3 Begitulah Islam mengatur. Suatu ketika ada wanita ditampar oleh suaminya, dia datang kepada Nabi saw. dan meminta agar diberi hak untuk membalas tamparan suaminya. Awalnya, Nabi saw. membolehkan pembalasan (qishash) tersebut, namun Allah segera menegur Nabi saw., dan turunlah: ﻓَﺘَﻌَﺎﻟَﻰ اﻟﻠﱠﮫُ اﻟْﻤَﻠِﻚُ اﻟْﺤَﻖﱡ وَﻻ ﺗَﻌْﺠَﻞْ ﺑِﺎﻟْﻘُﺮْآنِ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻞِ أَنْ ﯾُﻘْﻀَﻰ إِﻟَﯿْﻚَ وَﺣْﯿُﮫُ وَﻗُﻞْ رَبِّ زِدْﻧِﻲ ﻋِﻠْﻤًﺎ Janganlah kamu membacakan al-Quran (kepada siapapun) sebelum wahyu-Nya sampai (dibacakan tuntas) kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan (QS Thaha [20]: 114).4 Nabi pun berhenti, kemudian turun ayat: 18 ِ ْاﻟﺮِّﺟَﺎلُ ﻗَﻮﱠاﻣُﻮنَ ﻋَﻠَﻰ اﻟﻨِّﺴَﺎءِ ﺑِﻤَﺎ ﻓَﻀﱠﻞَ اﻟﻠﱠﮫُ ﺑَﻌْﻀَﮭُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ وَﺑِﻤَﺎ أَﻧْﻔَﻘُﻮا ﻣِﻦْ أَﻣْﻮَاﻟِﮭِﻢْ ﻓَﺎﻟﺼﱠﺎﻟِﺤَﺎتُ ﻗَﺎﻧِﺘَﺎتٌ ﺣَﺎﻓِﻈَﺎتٌ ﻟِﻠْﻐَﯿ ﺐ ﺑِﻤَﺎ ﺣَﻔِﻆَ اﻟﻠﱠﮫُ وَاﻟﻼﺗِﻲ ﺗَﺨَﺎﻓُﻮنَ ﻧُﺸُﻮزَھُﻦﱠ ﻓَﻌِﻈُﻮھُﻦﱠ وَاھْﺠُﺮُوھُﻦﱠ ﻓِﻲ اﻟْﻤَﻀَﺎﺟِﻊِ وَاﺿْﺮِﺑُﻮھُﻦﱠ ﻓَﺈِنْ أَﻃَﻌْﻨَﻜُﻢْ ﻓَﻼ ﺗَﺒْﻐُﻮا ﻋَﻠَﯿْﮭِﻦﱠ ﺳَﺒِﯿﻼ ﺎ ﻛَﺒِﯿﺮًاإِنﱠ اﻟﻠﱠﮫَ ﻛَﺎنَ ﻋَﻠِﯿ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin atas kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, wanita yang salih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar (QS an-Nisa’ [4]: 34). Ayat ini menjelaskan, bahwa kaum pria ditetapkan oleh Allah sebagai qawwam (mengurus dan mengontrol) kaum perempuan. Kata qawwam ini merupakan bentuk mubalaghah dari kata qa’im, karena dianggap kaum prialah yang paling pas untuk melaksanakan tugas ini.5 Penetapan status ini diikuti dengan alasan (sababiyah), bima fadhala-Llah (karena kelebihan yang Allah berikan kepada pria); wa bima anfaqu (karena harta yang mereka belanjakan untuk kaum wanita).6 Selain kewajiban, Allah juga memberikan hak kepada kaum pria (suami) untuk mendidik istrinya, ketika dikhawatirkan melakukan nusyuz. Begitulah Islam mengatur kehidupan pria dan wanita. Masing-masing dengan hak dan kewajibannya. Namun, ayat-ayat seperti ini juga ditentang oleh pengusung ide kesetaraan jender karena dianggap diskriminatif atau setidaknya harus ditafsirkan ulang agar sejalan dengan konotasi yang mereka inginkan. Nazarudin Umar mengatakan, bahwa Barat belakangan mulai mengendur dalam soal gender, sebaliknya sejumlah umat Islam yang justru bersikap lebih Barat. Dalam Islam kata Nazarudin, masalah gender sebenarnya sudah sangat jelas, yakni semangat Islam memuliakan wanita. Dalam Islam, laki-laki dan perempuan dipandang sama-sama memiliki kelebihan sementara gender yang diperjuangkan Barat, sebenarnya tidak menguntungkan kepada kaum perempuan. *** Makalah ini diolah dari berbagai sumber, dan dipresentasikan pada Diskusi Halaqah STAI Imam Syafi’i Jakarta, Kamis, 21 November 2013, oleh Lukmanul Hakim, Lc. MA. 19