KONSEP GENDER DAN PANDANGAN ISLAM

advertisement
KONSEP GENDER DAN PANDANGAN ISLAM TENTANG GENDER
GENDER adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam
hal peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang di dalam masyarakat. Tidak dipungkiri, bahwa acapkali muncul relasi problematik
antara perempuan dan laki-laki. Bukan perbedaan alamiah keduanya tapi implikasi yang tercipta
dari perbedaan tersebut.
Berbicara gender berarti bicara tentang sebuah konsepsi yang menunjuk pada suatu sistem
peranan dan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan
biologis semata melainkan juga oleh lingkungan sosial, politik dan juga ekonomi.
Gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosialbudaya. Sementara sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan
dari segi anatomi biologi. Gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya,
psikologis, dan aspek-aspek non-biologis lainnya.
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan
gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi
kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum lakilaki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan yakni:
marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam
keputusan publik, pembentukan sterotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence),
beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran
gender.
Dominasi laki-laki dalam masyarakat bukan hanya karena mereka jantan, lebih dari itu karena
mereka mempunyai banyak akses kepada kekuasaan untuk memperoleh status. Mereka misalnya
mengontrol lembaga-lembaga legislatif, dominan di lembaga-lembaga hukum dan peradilan,
pemilik sumber-sumber produksi, menguasai organisasi keagamaan, organisasi profesi dan
lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Sementara perempuan ditempatkan pada posisi inferior.
Peran mereka terbatas sehingga akses untuk memperoleh kekuasaan juga terbatas, akibatnya
perempuan mendapatkan status lebih rendah dari laki-laki. Sebagai ibu atau sebagai istri mereka
memperoleh kesempatan yang terbatas untuk berkarya di luar rumah. Penghasilan mereka sangat
tergantung pada kerelaan laki-laki, meskipun bersama dengan anggota keluarganya merasakan
perlindungan yang diperoleh dari suaminya, hak-hak yang diperolehnya jauh lebih terbatas
daripada hak-hak yang dimiliki suaminya.
Terjadinya penindasan terhadap kaum perempuan salah satunya disebabkan tema patriarkhi
(kekuasaan kaum laki-laki), yang hal ini menjadi agenda yang paling besar digugat oleh kaum
feminisme Islam. Karena patriarhki dari sudut feminisme dianggap sebagai asal usul dari seluruh
kecenderungan misoginis (kebencian terhadap kaum perempuan) yang mendasari penulisanpenulisan teks keagamaan yang bias kepentingan laki-laki.
1
Konsep patriarki berbeda dengan patrilinial. Patrilinial diartikan sebagai budaya di mana
masyarakatnya mengikuti garis laki-laki seperti anak bergaris keturunan ayah, contohnya Habsah
Khalik; Khalik adalah nama ayah dari Habsah.
Agama-agama Ibrahim (Abrahamic Religions) terutama Islam sering dianggap sebagai salah satu
factor yang menjustifikasi paham patriarkhi yang bias gender. Agama dipandang terlalu bersifat
maskulin dan patriakhal sehingga sering mengabaikan aspek femininitas dan peran perempuan
baik secara ritual maupun institusional. Karenanya, wacana gender memang tidak dapat
dilepaskan dari persoalan teologis – karena memang – posisi perempuan dalam beberapa
pemikiran agama ditempatkan sebagai the second, terutama dalam persoalan asal usul kejadian
laki-laki dan perempuan, juga persoalan fungsi keberadaan keduanya.
Namun yang perlu dicermati adalah apakah pelanggengan ketidakadilan gender secara luas
dalam agama bersumber dari watak agama itu sendiri ataukah justru berasal dari pemahaman,
penafsiran dan pemikiran keagamaan yang tidak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur
patriarkhi ataupun pandangan-pandangan lainnya. Karena itulah, sebuah keniscayaan, untuk
kembali menelusuri ajaran-ajaran Islam yang autentik, karena Islam sejak awal, memiliki konsep
yang sangat matang dalam memposisikan perempuan yang didasari atas tuntunan moral dasar
Islam itu sendiri yang ditercantumkan di dalam Al Quran maupun hadits, justru disaat agamaagama lain hingga saat ini masih berselisih pendapat dalam menetapkan hukum perempaun dan
kemanusiaanya.
***
RUU Kesetaraan Gender mendefinisikan gender sebagai berikut: “Gender adalah pembedaan
peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial
budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu,
tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”
Definisi “Gender” seperti itu adalah keliru, tidak sesuai dengan pandangan Islam. Sebab,
menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam
keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah,
dan tidak semuanya merupakan produk budaya. Ada peran yang berubah, dan ada yang tidak
berubah. Yang menentukan peran bukanlah budaya, tetapi wahyu Allah, yang telah dicontohkan
pelaksanaannya oleh Nabi Muhammad SAW. Ini karena memang Islam adalah agama wahyu,
yang ajaran-ajarannya ditentukan berdasarkan wahyu Allah, bukan berdasarkan konsensus sosial
atau budaya masyarakat tertentu.
Sebagai contoh, dalam Islam, laki-laki diamanahi sebagai pemimpin dan kepala keluarga serta
berkewajiban mencari nafkah keluarga. Ini ditentukan berdasarkan wahyu. Islam tidak melarang
perempuan bekerja, dengan syarat, mendapatkan izin dari suami. Dalam hal ini, kedudukan lakilaki dan perempuan memang tidak sama. Tetapi, keduanya – di mata Allah – adalah setara. Jika
mereka menjalankan kewajibannya dengan baik, akan mendapatkan pahala, dan jika sebaliknya,
maka akan mendapatkan dosa.
Konsep “kesetaraan” versi Islam semacam ini bertentangan dengan rumusan “kesetaraan” versi
RUU KKG: “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-
2
laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh
manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” (pasal 1, ayat 2).
Bahkan, RUU KKG ini juga mendefinisikan makna “adil” dalam Keadilan Gender, sebagai:
“suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban
perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara.”
(pasal 1, ayat 3).
Karena target aktivis KKG adalah kesetaraan secara kuantitatif atara laki-laki dan perempuan,
terutama di ruang publik, maka pada pasal 4, perempuan Indonesia dipaksa untuk aktif di
lapangan politik dan pemerintahan, dengan mendapatkan porsi minimal 30 persen:
“…perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30% (tiga puluh
perseratus) dalam hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga
pemerintahan non-kementerian, lembaga politik, dan lembaga non-pemerintah, lembaga
masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional.” (pasal 4, ayat 2).
Itulah contoh kesalahpahaman yang luar biasa dari cara berpikir perumus naskah RUU KKG ini.
Bahwa, makna menikmati dan berpartisipasi dalam pembangunan haruslah dilakukan oleh
perempuan dalam bentuk aktif di luar rumah. Aktivitas perempuan sebagai istri pendamping
suami dan pendidik anak-anaknya di rumah, tidak dinilai sebagai bentuk partisipasi dalam
pembangunan.
ide “gender equality” (kesetaraan gender) yang dianut oleh banyak kaum feminis lainnya,
bersumber dari ideologi Marxis, yang menempatkan wanita sebagai kelas tertindas dan laki-laki
sebagai kelas penindas. Paradigma Marxis melihat institusi keluarga sebagai “musuh” yang
pertama-tama harus dihilangkan atau diperkecil perannya apabila masyarakat komunis ingin
ditegakkan, yaitu masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dan tidak ada perbedaan peran antara
laki-laki dan perempuan. Keluarga dianggap sebagai cikal-bakal segala ketimpangan sosial yang
ada, terutama berawal dari hubungan yang timpang antara suami dan istri. Sehingga bahasa yang
dipakai dalam gerakan feminisme mainstream adalah bahasa baku yang mirip dengan gerakan
kekiri-kirian lainnya. Yaitu, bagaimana mewujudkan kesetaraan gender melalui proses
penyadaran bagi yang tertindas, pemberdayaan kiaum tertindas, dan sebagainya.
***
Bentuk-bentuk ketidak-adilan dalam gender:
1. Marginalisasi (peminggiran)
Proses peminggiran perempuan dari arus utama. Marginalisasi atau kemiskinan perempuan
dalam kehidupan ekonomi, ada perbedaan jenis dan bentuk tempat serta waktu secara
mekanisme.
2. Sub-ordinasi (penomorduaan/pembawahan)
Penganakbuahan dalam organisasi, contohnya: kedudukan bendahara, sekretaris dijabat oleh
perempuan sedangkan jabatan ketua diduduki laki laki. Dalam kehidupan politik bentuk ketidakadilan ini antara lain berupa penempatan perempuan hanya pada posisi yang kurang penting.
Misal : laki-laki sebagai ketua dan perempuan sebagai bendahara.
3. Stereotyping (pelabelan negatif)
3
Pelabelan negative dalam kehidupan budaya dengan gender adalah pelabelan negative terhadap
jenis kelamin tertentu. Wanita seolah-olah lemah dan lelaki lebih kuat, pemindahan profesi
antara laki-laki dan perempuan. Produk budaya yang dapat dipertukarkan membuatan kesetaraan
gender. Misal: perempuan tempat yang cocok adalah di dapur untuk memasak, mencuci di sumur
dan merapikan kasur di tempat tidur.
4. Violence (KDRT)
Relasi dapat membuat seseorang mengalami kekerasan seperti kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam kehidupan sosial bias gender ternyata bukan hanya menempatkan perempuan
pada posisi ke dua,tetapi juga telah menjadi alat legitimasi berbagai kakarasan.
Misal: suami memukul dan membakar istri hingga menghilangkan nyawanya hanya karena
masalah yang sepele.
5.Double burden (beban ganda)
Pembebanan yang berganda, contohnya dalam keluarga paling banyak aktivitasnya adalah Ibu.
Ibu adalah orang yang mempuyai tugas yang berganda dalam keluarga. Beban ganda dalam
keluarga selain mencuci pakaian, perabot, masak, membersihkan rumah, memasak dan merawat
anak perempuan juga sering harus membantu kerja suami di sawah.
6.Domestivikasi
Seolah-olah ibu di-dalamnegerikan, yaitu ibu yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah,
contohnya: bila ada tamu, ayah menerima tamu dan ibu yang mengurus dapur. Beban
domestivikasi di berikan kepada perempuan karena memang sudah menjadi kodratnya untuk
mengerjakan tugasnya sebagai seorang istri.
Misal: ketika ada tamu istrilah yang membuatkan minuman dan jamuan untuk tamu tersebut.
gender tidak terbentuk dalam sistem relasi tunggal,melainkan dalam relasi kompleks sehingga
untuk membentuk kesadarn peran gender itu harus di lakukan bersama-sama yang harus
mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat.karena untuk membangun bangsa yang hari
ini sedang terdera problematika kompleks harus mengangkat dan menerlibatkan perempuan.di
tinggalkannya perempuan dalam upaya membangun peradaban bangsa ini maka terseok-seok
bangsa ini dalam memacu keadilan dan kesejahtaraan bangsa ini akhirnya akan bangkit dan
bangunlah perempuan-perempuan dari keterkungkungan yang selama ini mengkerangkeng...
7. Misoginis
Memandang rendah pada perumpuan, contonya perbudakan, dalam al-Qur'an mencoba
menghapusnya tapi sampai nabi muhammad saw wafat, kasus tersebut belum terselesaikan.
***
SEJARAH GENDER
Perhatian dunia terhadap nasib perempuan dalam tingkat internasional dan dalam format yang
sangat jelas, di mulai pada tahun 1975 M, karena pada waktu itu Majlis Umum PBB
menetapkannya sebagai ( Tahun Perempuan International ) Dan pada tahun tersebut diadakan
konferensi dunia pertama tentang perempuan, tepatnya di Mexico. Kemudian pada tahun 1979,
Majlis Umum PBB mengadakan konferensi dengan tema “Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Againts Woment , yang di singkat CEDAW ( Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan ) . Secara aklamasi , para peserta konferensi
menandatangani kesepakatan yang terdiri dari 30 pasal dalam 6 bagian yang bertujuan untuk
menghapus semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan tersebut. Dan yang lebih menarik
lagi, kesepakatan ini diperlakukan secara “ paksa “ kepada seluruh negara yang dianggap sepakat
4
terhadapnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Barang kali sebagian orang menyambut.
gembira kesepakatan tersebut , karena menjanjikan kemerdekaan , kebebasan dan masa depan
perempuan. Namun, konferensi itu pada sisi lain dianggap berbahaya. Ada beberapa indikasi.
Pertama : munculnya anggapan bahwa agama merupakan pemicu berbagai bentuk diskriminasi
terhadap perempuan. Kedua : mengaitkan hak- hak perempuan pada seluruh segi kehidupan ,
yang meliputi : ilmu pengetahuan , politik, ekonomi , sosial, budaya dan lain- lainya, tentunya
dengan pola pikir Barat, yaitu mengusung hak- hak perempuan yang yang berlandaskan dua hal:
kebebasan penuh dan persamaan secara mutlak. .
Masalah gender ini kemudian mendapat perhatian masyarakat Dunia Islam , diantaranya Qotar,
Yaman, Mesir, Tunis dan termasuk di dalamnya masyarakat Indonesia juga. Maka pada tahun
1984 , di tetapkan Undang- undang tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dan pada tahun 1999 di tetapkan Undang- Undang tentang
HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap perempuan
menuju kepada terwujudnya kondisi kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek
kehidupan warga : sosial, ekonomi, dan politik. Dan pada tahun 2000, presiden mengeluarkan
INPRES no. 9 tentang Gender Mainstreaming ( Pengarus utamaan Gender ) yang
menekankan perlunya pengintegrasian gender dalam seluruh tahap pembangunan nasional :
mulai perencanaan sampai tahab evaluasi.
***
1). Hakikat Penciptaan dan Kedudukan Wanita Dalam Islam
Konsep dasar mengenai kedudukan wanita dalam al-Qur’an menyebutkan bahwa pada
dasarnya kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sejajar, keduanya diciptakan dari satu
nafs (living entity). Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Nisa’ [4]: 1.
َ‫ﯾَﺎ أَﯾُّﮭَﺎ اﻟﻨَّﺎسُ اﺗَّﻘُﻮا رَﺑَّﻜُﻢُ اﻟَّﺬِي ﺧَﻠَﻘَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﻧَﻔْﺲٍ وَاﺣِﺪَةٍ وَﺧَﻠَﻖَ ﻣِﻨْﮭَﺎ زَوْﺟَﮭَﺎ وَﺑَﺚَّ ﻣِﻨْﮭُﻤَﺎ رِﺟَﺎﻻ ﻛَﺜِﯿﺮًا وَﻧِﺴَﺎءً وَاﺗَّﻘُﻮا اﻟﻠَّﮫَ اﻟَّﺬِي ﺗَﺴَﺎءَﻟُﻮن‬
‫ﺑِﮫِ وَاﻷرْﺣَﺎمَ إِنَّ اﻟﻠَّﮫَ ﻛَﺎنَ ﻋَﻠَﯿْﻜُﻢْ رَﻗِﯿﺒًﺎ‬
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri
yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu.”
Para ulama dalam menafsirkan ayat ini telah meyakini bahwa tidak ada satu teks pun,
baru ataupun lama, yang berhubungan dengan kaum wanita dalam seluruh aspek dengan begitu
singkat, fasih, mendalam dan asli seperti ketetapan ayat di atas. Hal itu dipertegas kembali
dengan penekanan pada konsepsi yang mulia dan amanah, sebagaimana disebutkan dalam QS.
al-A’raf [7]: 189.
‫ھُﻮَ اﻟَّﺬِي ﺧَﻠَﻘَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﻧَﻔْﺲٍ وَاﺣِﺪَةٍ وَﺟَﻌَﻞَ ﻣِﻨْﮭَﺎ زَوْﺟَﮭَﺎ ﻟِﯿَﺴْﻜُﻦَ إِﻟَﯿْﮭَﺎ‬
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan istrinya,
agar dia merasa tenang kepadanya."
Begitu pula dalam QS. al-Nahl [16]: 72.
ْ‫وَاﻟﻠَّﮫُ ﺟَﻌَﻞَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ أَﻧْﻔُﺴِﻜُﻢْ أَزْوَاﺟًﺎ وَﺟَﻌَﻞَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ أَزْوَاﺟِﻜُﻢْ ﺑَﻨِﯿﻦَ وَﺣَﻔَﺪَةً وَرَزَﻗَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ اﻟﻄَّﯿِّﺒَﺎتِ أَﻓَﺒِﺎﻟْﺒَﺎﻃِﻞِ ﯾُﺆْﻣِﻨُﻮنَ وَﺑِﻨِﻌْﻤَﺔِ اﻟﻠَّﮫِ ھُﻢ‬
َ‫ﯾَﻜْﻔُﺮُون‬
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari
istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?".
5
Islam pada dasarnya mengakui persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan
perempuan, maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang
kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan
ketakwaannya kepada Allah Swt., berdasarkan QS. al-Hujurat [49]: 13.
ٌ‫ﯾَﺎ أَﯾُّﮭَﺎ اﻟﻨَّﺎسُ إِﻧَّﺎ ﺧَﻠَﻘْﻨَﺎﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ذَﻛَﺮٍ وَأُﻧْﺜَﻰ وَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎﻛُﻢْ ﺷُﻌُﻮﺑًﺎ وَﻗَﺒَﺎﺋِﻞَ ﻟِﺘَﻌَﺎرَﻓُﻮا إِنَّ أَﻛْﺮَﻣَﻜُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ اﻟﻠَّﮫِ أَﺗْﻘَﺎﻛُﻢْ إِنَّ اﻟﻠَّﮫَ ﻋَﻠِﯿﻢٌ ﺧَﺒِﯿﺮ‬
"Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan
perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Al-Quran menempatkan wanita sebagai mitra sejajar dengan kaum laki-laki.
Kalaupun ada perbedaan, maka itu adalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan
Islam kepada masing-masing jender, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang
satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain. Keduanya saling melengkapi dan bantu
membantu dalam memerankan fungsinya dalam hidup dan kehidupan. Allah Swt berfirman
dalam QS. al-Taubah [9]: 71.
َ‫وَاﻟْﻤُﺆْﻣِﻨُﻮنَ وَاﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎتُ ﺑَﻌْﻀُﮭُﻢْ أَوْﻟِﯿَﺎءُ ﺑَﻌْﺾٍ ﯾَﺄْﻣُﺮُونَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُوفِ وَﯾَﻨْﮭَﻮْنَ ﻋَﻦِ اﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ وَﯾُﻘِﯿﻤُﻮنَ اﻟﺼَّﻼةَ وَﯾُﺆْﺗُﻮنَ اﻟﺰَّﻛَﺎةَ وَﯾُﻄِﯿﻌُﻮن‬
ٌ‫اﻟﻠَّﮫَ وَرَﺳُﻮﻟَﮫُ أُوﻟَﺌِﻚَ ﺳَﯿَﺮْﺣَﻤُﮭُﻢُ اﻟﻠَّﮫُ إِنَّ اﻟﻠَّﮫَ ﻋَﺰِﯾﺰٌ ﺣَﻜِﯿﻢ‬
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi
penolong (pemimpin) bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,
mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada
Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha
perkasa lagi Maha Bijaksana.
Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan
kerja sama dan saling tolong menolong antar lelaki dan perempuan dalam berbagai bidang
kehidupan, terutama dalam satu rumah tangga yang mempunyai tugas dan kewajiban yang sama
untuk bersama-sama menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar. Kata awliya’ (pemimpin) bukan
hanya ditujukan kepada laki-laki saja, tetapi keduanya (laki-laki dan perempuan) secara
bersamaan dalam pengertian yang mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan. Sedangkan
pengertian “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf” mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan
kehidupan.
Agar tercipta keharmonian dalam keluarga, pada kondisi tertentu kedudukan wanita tidak
harus sama benar dengan kaum pria. Kepemimpinan dalam keluarga tetap dikendalilan oleh
suami sebagai pelindung, pencari nafkah, pembimbing dan pembina bagi isteri dan anakanaknya. Sedangkan istri menjadi pemimpin di dalam rumah tangga suaminya. Dalam QS. alNisa’ [4]: 34 disebutkan:
ْ‫اﻟﺮِّﺟَﺎلُ ﻗَﻮَّاﻣُﻮنَ ﻋَﻠَﻰ اﻟﻨِّﺴَﺎءِ ﺑِﻤَﺎ ﻓَﻀَّﻞَ اﻟﻠَّﮫُ ﺑَﻌْﻀَﮭُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ وَﺑِﻤَﺎ أَﻧْﻔَﻘُﻮا ﻣِﻦْ أَﻣْﻮَاﻟِﮭِﻢ‬
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Di dalam hadis juga disebutkan:
ُ‫ وَاﻟْﻤَﺮْأَة‬، ِ‫ وَاﻟﺮﱠﺟُﻞُ رَاعٍ ﻓِﻲ أَھْﻠِﮫِ وَھُﻮَ ﻣَﺴْﺆولٌ ﻋَﻦْ رَﻋِﯿﱠﺘِﮫ‬، ِ‫ اﻹِﻣَﺎمُ رَاعٍ وَ ﻣَﺴْﺆولٌ ﻋَﻦْ رَﻋِﯿﱠﺘِﮫ‬،ِ‫ﻛُﻠﱡﻜُﻢْ رَاعٍ وَﻛُﻠﱡﻜُﻢْ ﻣَﺴْﺌُﻮلٌ ﻋَﻦْ رَﻋِﯿﱠﺘِﮫ‬
ْ‫ وَﻛُﻠﱡﻜُﻢْ رَاعٍ وَ ﻣَﺴْﺆولٌ ﻋَﻦ‬، ِ‫ وَاﻟْﺨَﺎدِمُ رَاعٍ ﻓِﻲ ﻣَﺎلِ ﺳَﯿﱢﺪِهِ و ﻣَﺴْﺆولٌ ﻋَﻦْ رَﻋِﯿﱠﺘِﮫ‬، ‫رَاﻋِﯿَﺔٌ ﻓِﻲ ﺑَﯿْﺖِ زَوْﺟِﮭَﺎ وَﻣَﺴْﺆوﻟَﺔٌ ﻋَﻦْ رَﻋِﯿﱠﺘِﮭَﺎ‬
‫ رواه اﻟﺒﺨﺎري‬. ِ‫رَﻋِﯿﱠﺘِﮫ‬
“Ketahuilah bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas
kepemimpinannya. Setiap kepala negara adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab atas
6
kepemimpinan (rakyatnya), laki-laki (suami) adalah pemimpin di dalam keluarganya dan ia
dimintai tanggungjawab atas kepemimpinannya. Perempuan (istri) adalah pemimpin bagi rumah
tangga suaminya dan anak-anaknya, ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang
hamba sahaya adalah pemimpin bagi harta tuannya dan bertanggung jawab atas
kepemimpinannya. Ketahuilah bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan masing-masing
bertanggung jawab atas kepemimpinannya”.
Dalam hadis juga dikatakan bahwa wanita (isteri) sebagai mitra pendamping bagi pria
(suami) dan begitu pula sebaliknya, sesuai dengan hadis Rasulullah:
(‫إِﻧﱠﻤَﺎ اﻟﻨﱢﺴَﺎءُ ﺷَﻘَﺎﺋِﻖُ اﻟّﺮِﺟَﺎلِ )رواه أﺣﻤﺪ واﻟﺘﺮﻣﯿﺬى وأﺑﻮ داود‬
Sesungguhnya para wanita menjadi teman (pendamping/saudara sekandung) bagi para pria.
(HR. Ahmad, Tirmidzi dan Abu Daud)
Meskipun demikian, ada di antara perintah Allah yang ditujukan kepada individu yang
berbeda satu sama lain, seperti jihad yang diwajibkan bagi laki-laki tapi “bukan kewajiban”
terhadap wanita, ataupun format jihad yang berbeda. Jihad perempuan adalah dengan
melaksanakan ibadah haji. Dalam hadis dari ‘Aisyah r.a (ia berkata): “Ya Rasulullah, apakah
kaum perempuan wajib melaksanakan jihad?”. Maka Rasul menjawab: “(ya), jihad yang tidak
mengandung pertempuran, yaitu (melaksanakan) ibadah haji dan umrah”. (HR. Ibnu Majah).
Rasulullah SAW tidak luput menyebutkan bentuk jihad lainnya bagi kaum perempuan,
yaitu dengan menjadi istri yang shalehah, giat mendidik generasi penerus, dan patuh kepada
suaminya selama ia tidak menyimpang dari ajaran Islam. Dalam hadis dikisahkan, ada seorang
wanita bernama Zainab yang diutus oleh sekelompok wanita untuk menghadap Rasulullah SAW,
ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku adalah utusan yang mewakili para wanita datang kepadamu
untuk menanyakan suatu permasalahan. Allah SWT mewajibkan jihad kepada laki-laki. Jika
mereka menang (selamat) akan memperoleh pahala, dan jika gugur di medan perang mereka
tetap diberi rezeki (mati syahid) oleh Allah. Sedangkan kami (kaum perempuan) yang membantu
mereka, pahala apa yang kami dapatkan?” Rasulullah menjawab, “Sampaikan kepada
perempuan yang engkau temui bahwa pahala mentaati suami dan mengakui (memenuhi) hakhaknya adalah sama dengan pahala jihad fi sabilillah. Tetapi sedikit sekali diantara kalian yang
tabah melaksanakannya.” (HR. al-Bazzar dan al-Thabrani).
Demikian pula dalam batasan kewajiban agama, seperti shalat lima waktu sehari
semalam, puasa, zakat, haji, kewajiban wanita tidak berbeda dengan pria. Bahkan dalam
beberapa kasus, wanita mempunyai beberapa kelebihan atas pria. Sebagai contoh, wanita
diperbolehkan meninggalkan shalat dan puasa dalam masa menstruasi dan empat puluh hari saat
nifas. Dia juga boleh meninggalkan puasa selama masa kehamilan dan menyusui manakala ada
kekhawatiran akan membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Jika yang ditinggalkan adalah puasa
wajib (selama bulan Ramadhan), dia boleh mengganti hari yang tertinggal tersebut kapanpun dia
sanggup melakukannya. Tapi dia tidak perlu mengganti shalat karena alasan-alasan yang
disebutkan di atas.
Dalam hubungan vertikal, masing-masing pria dan wanita mempunyai kewajiban
tersendiri. Perbedaan tersebut bukan bertujuan diskriminatif, tapi lebih merupakan upaya
integrasi antara keduanya dalam memerankan fungsinya masing-masing. Dalam QS. anNisa’ [4]: 32 dinyatakan
َ‫وَﻻ ﺗَﺘَﻤَّﻨَﻮْا ﻣَﺎ ﻓَﻀَّﻞَ اﻟﻠَّﮫُ ﺑِﮫِ ﺑَﻌْﻀَﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ﻟِﻠﺮِّﺟَﺎلِ ﻧَﺼِﯿﺐٌ ﻣِﻤَّﺎ اﻛْﺘَﺴَﺒُﻮا وَﻟِﻠّﻨِﺴَﺎءِ ﻧَﺼِﯿﺐٌ ﻣِﻤَّﺎ اﻛْﺘَﺴَﺒْﻦ‬
7
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih
banyak daripada sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.
Peran dan fungsi yang dijalankan wanita tidak mesti sama dengan pria. Dalam QS. Ali
‘Imran [3]: 36 disebutkan
‫وَﻟَﯿْﺲَ اﻟﺬَّﻛَﺮُ ﻛَﺎﻷﻧْﺜَﻰ‬
dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.
Juga dinyatakan dalam QS. al-Lail [92]: 3-4
‫ إِنَّ ﺳَﻌْﯿَﻜُﻢْ ﻟَﺸَﺘَّﻰ‬. ‫وَﻣَﺎ ﺧَﻠَﻖَ اﻟﺬَّﻛَﺮَ وَاﻷﻧْﺜَﻰ‬
dan penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa yang tidak sama antara pria dan wanita bukan
hanya fisiknya saja, tetapi juga psikis (jiwa), orientasi, minat, kecenderungan, peran dan
fungsinya yang berbeda sesuai dengan kodratnya masing-masing. Integrasi antara pria dan
wanita ibarat siang dan malam hari, kendati berbeda fungsi tetapi bersatu dan saling melengkapi.
Adanya perbedaan fungsi pada laki-laki dan wanita merupakan hal yang bersifat kodrati.
Realitas ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perbedaan status, derajat atau kedudukan.
Keduanya memiliki peran penting dan strategis dalam membangun kehidupan yang harmonis.
Keduanya juga tidak dapat dipisahkan karena saling melengkapi dan menyempurnakan.
Dalam aspek spiritual, al-Qur’an memberikan bukti yang nyata bahwa wanita
benar-benar setara dengan pria di mata Tuhan dalam hal pemenuhan hak dan
kewajibannya. Dalam al-Qur’an surat al-Nahl [16]: 97 dinyatakan:
َ‫ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺻَﺎﻟِﺤًﺎ ﻣِﻦْ ذَﻛَﺮٍ أَوْ أُﻧْﺜَﻰ وَھُﻮَ ﻣُﺆْﻣِﻦٌ ﻓَﻠَﻨُﺤْﯿِﯿَﻨَّﮫُ ﺣَﯿَﺎةً ﻃَﯿِّﺒَﺔً وَﻟَﻨَﺠْﺰِﯾَﻨَّﮭُﻢْ أَﺟْﺮَھُﻢْ ﺑِﺄَﺣْﺴَﻦِ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮا ﯾَﻌْﻤَﻠُﻮن‬
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.”
Juga dalam QS. al-Mudatsir [74] : 38.
ٌ‫ﻛُﻞُّ ﻧَﻔْﺲٍ ﺑِﻤَﺎ ﻛَﺴَﺒَﺖْ رَھِﯿﻨَﺔ‬
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”
Al-Qur’an mengakui hak kaum laki-laki dan perempuan, di mana hak istri adalah
diakui secara adil (equal) dengan hak suami. Dengan kata lain, laki-laki memiliki hak dan
kewajiban atas perempuan, dan kaum perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap
kaum laki-laki. Itulah mengapa al-Qur’an dianggap memiliki pandangan yang revolusioner
terhadap hubungan kemanusiaan, yakni memberikan keadilan hak antara laki-laki dan
perempuan. Dalam QS. al-Baqarah [2]: 228 disebutkan:
‫وَﻟَﮭُﻦَّ ﻣِ ْﺜﻞُ اﻟَّﺬِي ﻋَﻠَﯿْﮭِﻦَّ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُوفِ وَﻟِﻠﺮِّﺟَﺎلِ ﻋَﻠَﯿْﮭِﻦَّ دَرَﺟَ ٌﺔ‬
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.”
Kelebihan itu adalah qawamah (pemeliharaan dan perlindungan). Hal ini merujuk pada
perbedaan alami antara dua jenis kelamin yang mewajibkan jenis yang lebih lemah mendapatkan
perlindungan. Hal ini tidak menyiratkan adanya superioritas atau kelebihan di mata hukum.
Diantara hak-hak wanita menurut konsepsi Islam adalah:
 Hak-hak Kemanusiaan, mencakup: hak hidup, hak mendapat kemuliaan, hak kesetaraan
dengan laki-laki, dan hak mengemukakan pendapat dan musyawarah. Islam menekankan
pentingnya nasehat dan persetujuan bersama dalam diskusi keluarga. Al-Qur’an memberi
8



contoh: “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS. al-Baqarah [2]: 233).
Hak-hak Ekonomi, meliputi hak kepemilikan dan pengelolaan harta, baik melalui
perdagangan, jual-beli, sewa-menyewa, kerjasama (syirkah), mendapatkan nafkah dan tempat
tinggal dari suami (QS. al-Thalaq [65]: 6), nafkah dari ayah selagi belum menikah,
mendapatkan warisan sesuai ketentuan, mendapatkan mahar dari suami (QS. al-Nisa’ [4]:
24), nafkah ‘iddah, harta bersama, hak mendapatkan mut’ah (pemberian oleh suami kepada
isteri yang diceraikan tanpa sebab yang patut) berdasarkan QS. al-Baqarah [2]: 241.
Perempuan juga berhak menetapkan mahar yang diterima dari calon suaminya. Konsep
mahar dalam Islam bukan merupakan harga aktual atau simbolis dari seorang wanita, namun
lebih pada hadiah yang melambangkan cinta dan ketertarikan.
Hak-hak Sosial dan kekeluargaan, antara lain mendapatkan perlakuan baik, mendapatkan
pendidikan dan pengajaran, beraktifitas, wanita tidak boleh dipaksa untuk menikah tanpa
persetujuannya, memilih suami, meminta cerai (khulu’), hak pengasuhan anak (hadhanah).
Dalam QS. al-Nisa’ [4] : 19 disebutkan, “Dan bergaullah dengan mereka (istri) secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Nabi Muhammad Saw juga bersabda: “Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling
baik terhadap keluarganya. Dan saya adalah yang terbaik di antara kamu terhadap
keluargaku.” Dalam hadis lainnya dikatakan, “Mukmin terbaik adalah yang paling baik
akhlaknya, dan yang paling baik diantara kamu adalah yang paling baik perlakuannya
terhadap isterinya.” (HR. Ahmad).
Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh dipaksa untuk menikah tanpa
persetujuannya. Ibnu ‘Abbas meriwayatkan bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah
Saw., dan dia menceritakan bahwa ayahnya telah memaksanya untuk menikah tanpa
persetujuannya. Rasulullah Saw. memberinya dua pilihan (antara menerima pernikahan itu
atau membatalkannya). (HR Ahmad). Dalam riwayat lain, wanita itu berkata, “Sebenarnya
saya menerima perkawinan ini tetapi saya ingin para wanita mengetahui bahwa orang tua
tidak berhak (memaksakan seorang suami kepada mereka).” (HR Ibnu Majah).
Jika suami memiliki hak thalaq, wanita juga punya hak mengajukan khulu’ (gugat cerai)
jika ingin mengakhiri pernikahannya karena berbagai sebab, seperti yang diriwayatkan oleh
Ibnu ‘Abbas bahwa isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi Saw dan berkata:
“Ya Rasulullah, sungguh aku tidak mencelanya dalam akhlak maupun agamanya, tetapi aku
takut akan kekafiran dalam Islam”. Nabi Saw. bertanya: “Maukah kamu mengembalikan
kebunnya kepadanya?”. Wanita itu menjawab: 'Ya' Rasulullah Saw. pun bersabda (kepada
suaminya): 'Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia". (HR. Bukhari).
Hak-hak Konstitusi, mencakup keterlibatan dalam bidang politik, ikut serta
bermusyawarah, berhak sebagai saksi dalam proses penyelesaian suatu masalah hukum (QS.
al-Baqarah [2]: 282).
***
Konsep kesetaraan gender dari segi bahasa, istilah dan nilai ideology sebenarnya tidak
ditemukan padanannya dalam istilah Islami. Yang ada adalah prinsip almusawah (persamaan)
laki-laki dan perempuan dalam hal-hal berikut:
9
1. Persamaan dalam hal asal-usul penciptaan manusia sebagaimana firman Allah SWT
Annisa: 1
2. Persamaan dalam hal kemuliaan manusia yang Allah ciptakan dengan segala kelengkapan
rizki-Nya serta potensi ketakwaan kepada Allah, sebagaimana firman Allah SWT dalam
surah Al-Isra: 70 dan Al-Hujurat: 13
3. Persamaan dalam hal kewajiban beramal saleh dan beribadah (menerima taklif) serta hak
pahala yang sama disisi Allah SWT sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ali
Imran: 195, Annisa: 124, Annahl: 97 dan Al-Ahzab: 35
4. Persamaan dalam menerima sanksi jika melanggar aturan hukum Allah dan susila di
dunia sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah: 38, dan An-Nur: 2
5. Persamaan dalam hak amar makruf nahi munkar kepada penguasa dalam kehidupan
social politik keummatan sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ali Imran: 104
dan 110,At-Taubah: 71
Islam juga mengakui hak-hak perempuan dalam hal kepemilikan pribadi, sewa-menyewa, jualbeli, dan semua jenis akad muamalah perempuan diakui dan tidak ada hambatan sedikitpun.
Demikian pula dijamin hak-hak mereka untuk belajar dan mengajarkan ilmunya. Selain dari
kelima bentuk persamaan antara laki-laki dan perempuan tersebut, Al-Qur’an dan Sunnah nabi
membedakan peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan perbedaan
kodrati dan tabiat masing-masing.
Prinsip dasar Islam dalam menyikapi paham kesetaraan gender:
1. Keyakinan mutlak bahwa Islam adalah agama WAHYU yang FINAL dan OTENTIK
berasal dari Allah SWT (lihat Al-Maidah: 3, dan An-Nisa: 65) oleh karena itu SYARIAT
dalam konsep Islam adalah HUKUM YANG DIWAHYUKAN (revealed law) dalam
pengertian bahwa hukum Islam itu tidak dikarang oleh manusia, dan atau hasil daripada
produk budaya tertentu atau pemikiran manusia yang berkembang dalam fase sejarah
tertentu yang bersifat relatif dan temporer atau tentatif.
2. Meyakini SYARIAT Islam itu universal dalam pengertian bahwa ia cocok dan bisa
diterapkan di segala tempat dan waktu, sehingga lintas zaman, lintas budaya, dan lintas
sejarah manusia. Baik dalam hukum-hukumnya yang kulli (umum) maupun yang juz’I
(particular/spesifik). Dalam konteks itulah umat Islam meyakini bahwa SYARIAT Islam
itu semuanya baik (alkhayr), adil dan rahmat maslahat bagi manusia disebabkan ia
bersumber dari Allah SWT Yang Maha Mengetahui, sesuai firman Allah SWT dalam
surah Al-Isra: 9 dan Al-Maidah: 50
3. Menyadari bahwa metode-metode buatan manusia yang bertentangan dengan WAHYU
ILAHI itu pasti lemah dan tidak sempurna dalam tataran konsepsi, tata nilai, timbangan
dan hukum-hukumnya, meski Nampak indah dan memikat, sebagaimana isyarat firman
Allah SWT surah An-Nisa: 82 “dan seandainya Qur’an itu berasal dari selain Allah maka
mereka akan dapati di dalamnya banyak pertentangan”. Dengan tetap mengakui ada
sebagian hasil pemikiran manusia yang menetapi kebenaran ajaran Islam atau sebagian
aspeknya, dikarenakan terdapat sisa fitrah yang selamat dan akal yang terbebas dari hawa
nafsu.
4. Meyakini bahwa Islam adalah agama keadilan. Konsekuensi adil adalah mempersamakan
dua hal yang memang sama dan sekaligus membedakan dua hal yang memang berbeda.
10
Artinya proporsional dalam meletakkan dan menilai sesuatu sesuai haknya masingmasing. Islam bukan agama kesetaraan mutlak yang sering kali menuntut persamaan
antara dua hal yang memang jelas berbeda. Kesetaraan mutlak seperti ini adalah zalim,
artinya tidak proporsional dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya. Al-Qur’an tidak
merekomendasikan persamaan mutlak dalam satu ayatpun melainkan memerintahkan kita
untuk berlaku ADIL dan IHSAN (lihat surah An-Nahl: 90). Oleh karena itu, hukumhukum syariat berdiri di atas prinsip keadilan; memberikan porsi yang sama ketika
persamaan itu dipandang adil, dan juga membedakan peran dan tanggung jawab yang
berbeda ketika pembedaan itu dipandang adil. Inilah isyarat dari firman Allah SWT
dalam surah Al-An’am: 115 “dan telah sempurna lah kalimat Tuhanmu yang benar dan
adil, tidak ada yang dapat mengubah kalimat-Nya, dan Dia (Allah) Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui”.
Prinsip-prinsip syariah dalam menilai paham kesetaraan gender:
1. Perempuan, ibarat koin uang, adalah satu sisi dari jenis manusia, sedangkan sisi lainnya
adalah laki-laki. Sesuai firman Allah SWT surah An-Najm: 45 dan An-Nisa: 1.
Perempuan adalah saudara kembar dari laki-laki dari segi asal penciptaan, dan destinasi
hidup. Bersama-sama dengan kaum laki-laki bertanggung jawab untuk memakmurkan
bumi –dalam lingkupnya masing-masing- tanpa ada diskriminasi di antara keduanya
dalam aspek agama, tauhid, pahala dan dosa, hak dan kewajiban bersyariat, sesuai dengan
firman Allah SWT surah An-Nahl: 97, Al-Hujurat: 13, Ali Imran: 95 dll, juga hadis nabi
Muhammad SAW: “Sesungguhnya kaum perempuan adalah saudara kandung/belahan
dari kaum laki-laki” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
2. Namun disisi lain, Allah SWT sang Pencipta telah menetapkan hikmah bahwa laki-laki
tidak sama dengan perempuan dari segi struktur tubuh dan penciptaan, yang berdampak
kepada adanya perbedaan di antara keduanya dalam hal potensi, kemampuan fisik,
emosional, dan kehendak. Sesuai firman Allah SWT surah Ali Imran: 36 “dan laki-laki
tidak sama seperti perempuan”, dan Az-Zukhruf: 18 “dan apakah patut (menjadi anak
Allah) orang yang dibesarkan menyenangi perhiasan, sedang dia tidak mampu member
alasan yang tegas dan jelas dalam pertengkaran”. Oleh karena adanya perbedaan
tersebut, disamping adanya persamaan dalam hal-hal yang telah disebutkan, maka Allah
SWT menetapkan pembedaan di antara keduanya dalam beberapa hukum syariah, peran
dan tanggung jawab social antara laki-laki dan perempuan, yang bertujuan untuk
menyesuaikan dengan fitrah, tabiat dan kekhasan masing-masing. Allah SWT berfirman,
“Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan (perintah) adalah menjadi hak-Nya” (Al-A’raf:
54)
3. Hukum keluarga dalam Islam yang bersifat pasti dan tetap, serta peran penting
perempuan (istri) di dalamnya.
4. Laki-laki wajib menafkahi perempuan. Ini sesuai dengan struktur fisiologis laki-laki yang
lebih siap menanggung beban fisik dan pikiran pekerjaan untuk menafkahi keluarganya.
5. Hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Islam dan di dalam keluarga
berdasarkan asas saling melengkapi (takamul) dari masing-masing peran yang
diembannya. Sungguh tidak adil jika kita menyerahkan beban-beban laki-laki (mencari
nafkah dll) kepada perempuan, atau sebaliknya (kewajiban hamil dan menyusui anak dll)
terhadap laki-laki.
11
6. Syariat Islam telah memelihara hak-hak perempuan untuk menikah sesuai tuntunan
syariah, hak keibuan, hak pengaturan rumah tangga, hak memilih suami yang ia ridhai,
juga hak untuk memilih tidak lagi hidup bersama suami (khulu’; gugat cerai dari istri)
dengan sangat adil dan sempurna.
7. Syariat Islam tentang pentingnya iffah menjaga kehormatan perempuan dijabarkan dalam
beberapa hukum perkawinan, pemberian mahar, haramnya zina, khalwat dan ikhtilat
dengan perempuan bukan muhrim, serta haramnya melembutkan ucapan di hadapan lakilaki, wajibnya jilbab dan menahan pandangan, bolehnya poligami dan lain-lain tidak lain
adalah untuk menjaga dan memelihara kehormatan dan kemuliaan perempuan. Itu semua
bukan untuk menzalimi perempuan, seperti yang disangkakan kaum liberal.
Dengan demikian, maka kami memandang hal – hal seperti berikut:
1. Selain mengakui adanya PERSAMAAN antara laki-laki dan perempuan dalam hal
kemanusiaan, kemuliaan, dan hak-hak umum yang terkait langsung dengan posisinya
sebagai hamba Allah SWT, Islam telah MEMBEDAKAN perlakuan terhadap laki-laki
dan perempuan dalam sebagian hak dan kewajiban. Itu dilakukan sesuai dengan adanya
perbedaan naluriah dan alami (nature) di antara keduanya dalam fungsi, peran dan
tanggung jawab. Agar masing-masing jenis dapat menunaikan tugas-tugas pokoknya
dengan sempurna.
2. Syariat Islam tegas melarang diskriminasi, penindasan dan kezaliman terhadap
perempuan, sehingga mengakibatkan hak-haknya dikurangi dan kemuliaannya dinodai.
Di dalam Islam tidak ada diskriminasi terhadap perempuan untuk memanjakan laki-laki.
Syariat Islam dalam PEMBEDAAN antara laki-laki dan perempuan dalam hal-hal berikut
ini, ditetapkan BUKAN karena alasan untuk menindas atau menzalimi hak perempuan,
tetapi berdasarkan hikmah dan alasan yang kuat di antaranya bahwa hak yang diterima
masing-masing itu harus sesuai dengan beban dan tanggung jawab social ekonominya di
tengah keluarga dan masyarakat. Di antara bentuk PEMBEDAAN ATURAN ISLAM itu
adalah:
o Hak waris anak laki-laki yang berbeda dari hak waris anak perempuan dengan
formula 2:1. Ini disebabkan adanya tanggung jawab dan kewajiban laki-laki untuk
membayar mahar dan menafkahi keluarganya. (lihat surah An-Nisa: 11 dan 34)
o Persaksian 2 orang perempuan sama dengan persaksian 1 orang laki-laki dalam
persoalan muamalah dan hak. (lihat Al-Baqarah: 282) sementara itu di dalam
persoalan yang terkait dengan kekhususan perempuan seperti hak menyusui,
penetapan keperawanan dan penyakit khusus wanita maka kesaksian 1 orang
wanita sudah cukup untuk diterima, sebagaimana dijabarkan dalam kitab-kitab
fiqih Islam.
o Pembayaran diyat/denda pembunuhan karena korban pembunuhan berkelamin
perempuan setengah dari diyat/denda korban laki-laki. Ini disebabkan karena yang
menerima diyat itu bukanlah mayat korban tersebut melainkan ahli warisnya.
Diyat korban laki-laki lebih besar karena statusnya sebagai kepala keluarga dan
pemberi nafkah, sedangkan diyat korban perempuan setengahnya karena melihat
perempuan itu tidak berstatus pemberi nafkah keluarga.
o Dalam rumah tangga, suami (laki-laki) diletakkan sebagai Pemimpin/Kepala
Keluarga yang disebut dengan QAWAMAH (Annisa: 34) sementara istri
12
3.
4.
5.
6.
(perempuan) ditetapkan sebagai Kepala Rumah Tangga yang disebut dengan
Rabbatul Manzil. Keduanya sama dalam kadar kemuliaannya, hanya berbeda
dalam tugas pokok dan tanggung jawabnya. Ibarat sebuah perusahaan, laki-laki
dalam posisi General Manajer yang berkewajiban mencari nafkah, melindungi,
mengayomi dan mengarahkan kebijakan usaha dan pendidikan anggota
keluarganya. Sedangkan perempuan dalam posisi kepala URT yang mengurusi
hal-hal teknis. Keduanya sama mulia dan penting sesuai porsi yang ditaklifkan
oleh Allah SWT. Intinya konsep QAWAMAH bukan untuk menindas apalagi
mendiskriminasi perempuan sebagai sub-ordinasi atau bawahan, tetapi
mengarahkan kebijakan umum yang harus selaras dengan kondisi seluk-beluk
keluarga yang diketahui dengan baik oleh perempuan sebagai kepala urusan
internal/domestic.
Sehingga dengan demikian kami melihat bahwa dalam soal hubungan antara laki-laki dan
perempuan, baik PERSAMAAN maupun PEMBEDAAN yang ada aturannya dalam
Islam itu semua berdasarkan WAHYU DARI ALLAH SWT dan bukan hasil
KONSTRUKSI BUDAYA manusia, sehingga ia bersifat lintas zaman dan lintas budaya.
Oleh karena itu definisi tentang Gender adalah “pembedaan peran dan tanggung jawab
laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya
tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan
budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya”, seperti termaktub
dalam draf RUU KKG, jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
Menolak segala bentuk dan model penafsiran ulang yang berdampak pada perombakan
total terhadap hukum-hukum Islam dengan metode historis, sosiologis dan antropologis
(hermeneutika) agar sesuai dengan prinsip keadilan jender.
Menolak paham kesetaraan jender –yang sudah khas dan melekat dengan paham
kebencian dan persaingan antara laki-laki dan perempuan- yang berasal dari Barat, dan
apalagi jika dikait-kaitkan dengan ajaran Islam. Jika ditimbang dari segi maslahat dan
mafsadat yang dibawa oleh paham tersebut, maka mafsadatnya jauh lebih besar, yang
sudah pasti diantaranya, adalah paham tersebut mengancam ketahanan keluarga dan
kesejahteraan anak. Karena paham tersebut telah mengabaikan: 1) peran keluarga sebagai
institusi penting dalam kehidupan manusia, 2) peran keluarga sebagai pencetak SDM
pembangunan dan masyarakat madani, 3) kepentingan anak sebagai insan generasi
penerus kehidupan.
Menghimbau para ulama, lembaga Islam dan ormas Islam untuk menghidupkan dan
merevitalisasi kajian fiqih perempuan yang berpijak kepada Islamic-worldview yang
teguh dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw sebagai sumber hokum tertinggi yang
menunjukkan bahwa ISLAM ini adalah AGAMA WAHYU yang seruan dan cakupannya
berlaku UNIVERSAL UNTUK SEMUA MANUSIA dan HUKUM-HUKUM SUCINYA
TIDAK akan mengalami PERUBAHAN atau PERKEMBANGAN mengikuti sejarah dan
budaya manusia.
KEADILAN GENDER DALAM ISLAM
Al Qur’an secara umum dan dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan
antara laki- laki dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat
adil. Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah
13
terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa
yang disebutkan di dalam Q.s. Al- Nisa, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang
mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan
nasib mereka.
Sebelum diturunkan surat Al- Nisa ini, telah turun dua surat yang sama – sama membicarakan
wanita, yaitu surat Al –Mumtahanah dan surat Al- Ahzab . Namun pembahasannya belum final,
hingga diturunkan surat al-Nisa’ ini. Oleh karenanya, surat ini disebut dengan surat Al Nisa’ al
Kubro , sedang surat lain yang membicarakan perempuan juga , seperti surat al –Tholak, disebut
surat al-Nisa’ al Sughro. [7]
Surat Al Nisa’ ini benar- benar memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak
yatim, orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan.
Maka , pada ayat pertama surat al-Nisa’ kita dapatkan , bahwa Allah telah menyamakan
kedudukan laki- laki dan perempuan sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing- masing
jika beramal sholeh , pasti akan di beri pahala sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta
dari jiwa yang satu ( nafsun wahidah ) , yang mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara
keduanya. Semuanya di bawah pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa
kepada-Nya ( ittaqu robbakum ) .
Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki
dan perempuan dalam segala hal.Untuk menjaga kesimbangan alam ( sunnatu tadafu’ ) , harus
ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa
itu , dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur. Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah
untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan postur
tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi juga pada emosional dan komposisi kimia dalam
tubuh. Hal ini akibat membawa efek kepada perbedaan dalam tugas ,kewajiban dan hak. Dan hal
ini sangatlah wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga merendahkan
wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan Marxis. Tetapi merupakan bentuk
sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan, sebagiamana anggota tubuh manusia yang berbedabeda tapi menuju kepada persatuan dan saling melengkapi.Oleh karenanya, suatu yang sangat
kurang bijak, kalau ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara dua
jenis manusia ini dalam semua bidang.
Islam adalah Agama yang Mengajak kepada Keadilan, bukan Persamaan dalam Segala
Hal
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum pria memiliki perbedaan dengan kaum wanita. Juga, bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kelebihan kepada pria dalam hal kepemimpinan yang
tidak dimiliki oleh kaum wanita. Di dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ٌ‫وَﻟِﻠﺮﱢﺟَﺎلِ ﻋَﻠَﯿْﮭِﻦﱠ دَرَﺟَﺔ‬
“Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (Al-Baqarah:
228)
14
Oleh karena itu, Islam memerintahkan untuk memberikan hak kepada masing-masing yang
memiliki hak. Inilah yang disebut keadilan. Adil bukanlah persamaan hak dalam segala hal.
Namun adil adalah menempatkan setiap manusia pada tempat yang selayaknya dan semestinya,
serta menempatkan segala sesuatu pada posisinya yang telah diatur dalam syariat-Nya.
ِ‫وَإِذَا ﺣَﻜَﻤْﺘُﻢْ ﺑَﯿْﻦَ اﻟﻨﱠﺎسِ أَنْ ﺗَﺤْﻜُﻤُﻮا ﺑِﺎﻟْﻌَﺪْل‬
“Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil.” (An-Nisa`: 58)
Dan firman-Nya:
َ‫إِنﱠ اﷲَ ﯾَﺄْﻣُﺮُ ﺑِﺎﻟْﻌَﺪْلِ وَاْﻹِﺣْﺴَﺎنِ وَإِﯾﺘَﺎءِ ذِي اﻟْﻘُﺮْﺑَﻰ وَﯾَﻨْﮭَﻰ ﻋَﻦِ اﻟْﻔَﺤْﺸَﺎءِ وَاﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ وَاﻟْﺒَﻐْﻲِ ﯾَﻌِﻈُﻜُﻢْ ﻟَﻌَﻠﱠﻜُﻢْ ﺗَﺬَﻛﱠﺮُون‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)
َ‫وَﻻَ ﯾَﺠْﺮِﻣَﻨﱠﻜُﻢْ ﺷَﻨَﺂنُ ﻗَﻮْمٍ ﻋَﻠَﻰ أَﻻﱠ ﺗَﻌْﺪِﻟُﻮا اﻋْﺪِﻟُﻮا ھُﻮَ أَﻗْﺮَبُ ﻟِﻠﺘﱠﻘْﻮَى وَاﺗﱠﻘُﻮا اﷲَ إِنﱠ اﷲَ ﺧَﺒِﯿﺮٌ ﺑِﻤَﺎ ﺗَﻌْﻤَﻠُﻮن‬
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Keadilan bagi perempuan
Keadilan secara umum didefinisikan sebagai "menempatkan sesuatu secara proporsional" dan
"memberikan hak kepada pemiliknya". Definisi ini memperlihatkan, dia selalu berkaitan dengan
pemenuhan hak seseorang atas orang lain yang seharusnya dia terima tanpa diminta karena hak
itu ada dan menjadi miliknya.
Dalam konteks relasi jender, wujud pemenuhan hak atas perempuan masih merupakan problem
kemanusiaan yang serius. Realitas sosial, kebudayaan, ekonomi dan politik masih menempatkan
perempuan sebagai entitas yang direndahkan. Persepsi kebudayaan masih melekatkan stereotipe
yang merendahkan, mendiskriminasi dan memarjinalkan mereka.
Kesetaraan dalam Kewajiban Beribadah dan Pahalanya
Secara umum, Islam memandang laki-laki dan wanita dalam posisi yang sama, tanpa ada
perbedaan. Masing-masing adalah ciptaan Allah yang dibebani dengan tanggungjawab
melaksanakan ibadah kepada-Nya, menunaikan titah-titah-Nya dan menjauhi larangan-laranganNya. Hampir seluruh syariat Islam dan hukum-hukumnya berlaku untuk kaum Adam dan kaum
Hawa secara seimbang. Begitu pun dengan janji pahala dan ancaman siksaan. Tidak dibedakan
satu dengan yang lainnya. Masing-masing dari mereka memiliki kewajiban dan hak yang sama
dihadapan Allah sebagai hamba-hamba-Nya. Berikut adalah petikan ayat-ayat al Qur`an yang
menjelaskan tentang pandangan Islam dalam hal ini:
15
ِ‫وَﻣَﺎ ﺧَﻠَﻘْﺖُ اﻟْﺠِﻦَّ وَاﻟْﺈِﻧْﺲَ إِﻟَّﺎ ﻟِﯿَﻌْﺒُﺪُون‬
“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS.
Adz-Dzariyat [51]: 56)
َ‫ﻦ ﻓَﻠَﻨُﺤْﯿِﯿَﻨَّﮫُ ﺣَﯿَﺎةً ﻃَﯿِّﺒَﺔً وَﻟَﻨَﺠْﺰِﯾَﻨَّﮭُﻢْ أَﺟْﺮَھُﻢْ ﺑِﺄَﺣْﺴَﻦِ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮا ﯾَﻌْﻤَﻠُﻮن‬
ٌ ِ‫ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺻَﺎﻟِﺤًﺎ ﻣِﻦْ ذَﻛَﺮٍ أَوْ أُﻧْﺜَﻰ وَھُﻮَ ﻣُﺆْﻣ‬
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baikdan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 97)
‫وَﻣَﻦْ ﯾَﻌْﻤَﻞْ ﻣِﻦَ اﻟﺼَّﺎﻟِﺤَﺎتِ ﻣِﻦْ ذَﻛَﺮٍ أَوْ أُﻧْﺜَﻰ وَھُﻮَ ﻣُﺆْﻣِﻦٌ ﻓَﺄُوﻟَﺌِﻚَ ﯾَﺪْﺧُﻠُﻮنَ اﻟْﺠَﻨَّﺔَ وَﻟَﺎ ﯾُﻈْﻠَﻤُﻮنَ ﻧَﻘِﯿﺮًا‬
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia
orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau
sedikitpun.” (QS. An Nisa [4]: 124)
ٍ‫ﻓَﺎﺳْﺘَﺠَﺎبَ ﻟَﮭُﻢْ رَﺑُّﮭُﻢْ أَﻧِّﻲ ﻟَﺎ أُﺿِﯿﻊُ ﻋَﻤَﻞَ ﻋَﺎﻣِﻞٍ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ذَﻛَﺮٍ أَوْ أُﻧْﺜَﻰ ﺑَﻌْﻀُﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺾ‬
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (QS. Ali Imran
[3]: 195)
Mujahid berkata, “Ummu Salamah pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Wahai Rasulullah, kami tidak mendengar penyebutan wanita dalam masalah hijrah
sedikitpun?” maka turunlah ayat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/190, Tafsir Al Bagawy, 2/153)
Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga, bukan berarti memposisikan
laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama. Memperlakukan laki-laki dan perempuan
secara sama dalam semua keadaan justru menimbulkan bias jender. Memperlakukan sama
antara laki-laki dan perempuan dalam kerja rumah tangga pada satu keadaan, misalnya, suami
juga berkewajiban mengurus anaknya, sama halnya istri mempunyai kewajiban mengurus
anaknya. Artinya kewajiban mengurus anak tidak mutlak menjadi kewajiban istri semata,
tetapi merupakan kewajiban bersama.
Dari Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang
perempuan." ( HR. Bukhari ).
Rasulullah telah memberikan nasehat kepada para muslim agar mengormati dan menghargai
perempuan seperti sabdanya : “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan
aku adalah orang terbaik di antara kamu terhadap keluargaku. Orang yang memuliakan kaum
wanita adalah orang yang mulia, dan orang yang menghina kaum wanita adalah orang yang tak
tahu budi”. ( HR. Abu Asakir ).
***
16
Perbedaan Kodrat
Namun demikian, bukan berarti kaum laki-laki dan wanita menjadi sama dan setara dalam segala
hal. Menyetarakan keduanya dalam semua peran, kedudukan, status sosial, pekerjaan, jenis
kewajiban dan hak sama dengan melanggar kodrat. Karena, kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri bahwa antara laki-laki dan wanita terdapat perbedaan-perbedaan mendasar, hingga
jika kita melihat keduanya dengan kasat mata sekalipun. Secara biologis dan kemampuan fisik,
laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Begitu pun dari sisi sifat, pemikiran-akal, kecenderungan,
emosi dan potensi masing-masing juga berbeda.
Apalagi wanita dengan tabiatnya melakukan proses reproduksi, mengandung, melahirkan,
menyusui, menstruasi, sementara laki-laki tidak. Adalah tidak adil jika kita kemudian
memaksakan suatu peran yang tidak sesuai dengan tabiat dan kecenderungan dasar dari masingmasing jenis tersebut.
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid berkata, “Bertolak dari perbedaan mendasar ini, sejumlah
hukum-hukum syariat ditetapkan oleh Allah yang Mahaadil dengan perbedaan-perbedaan pula.
Sebagian hukum, kewajiban, hak dan peran yang disyariatkan oleh Allah dibedakan sesuai
dengan kemampuan masing-masing dari keduanya tadi. Tujuannya adalah, agar keduanya saling
melengkapi satu sama lain dan dengannya hidup ini dapat berjalan sempurna, harmonis dan
seimbang.” (Lihat Hirâsatu al Fadhîlah, hal. 18-19)
Dari sisi ini pula, Muhammad Aali al Ghamidy dalam sebuah artikel bertajuk “Muqâranatu al
Nadzrah al Takâmuliyyah al Islâmiyyah bayna al Rajul wa al Mar`ati wa al Nadzrah al
Tanâfusiyyah al ‘Almâniyyah” menjelaskan, bahwa pandangan Islam dalam model hubungan
antara laki-laki dan wanita adalah hubungan saling melengkapi, bukan hubungan persaingan
sebagaimana yang diinginkan oleh konsep sekuler. (http://www.saaid.net/female/0137.htm)
Allah berfirman menghiyakatkan perkataan istri Imran,
‫وَﻟَﯿْﺲَ اﻟﺬَّﻛَﺮُ ﻛَﺎﻟْﺄُﻧْﺜَﻰ‬
“Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (QS. Ali Imran [3]: 36)
Dari sini, kesetaraan, atau persamaan (dalam bahasa Arab: musâwâtu) antara laki-laki dan
perempuan bukanlah nilai yang berasal dari pandangan Islam Islam memandang keadilan antara
laki-laki dan wanita, bukan kesetaraan. Konsep kesetaraan bertolak belakang dengan prinsip
keadilan. Karena adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberikan hak kepada
yang berhak menerimanya. Sementara (Lihat kritikan Syaikh al Utsaimin tentang kata al
musâwâtu dalam Syarhu al ‘Aqîdah al Wâsithiyyah, hal. 180-181)
Ummu Salamah pernah menyampaikan kepada Nabi ihwal warisan yang berbeda antara kaum
pria dengan wanita, “Ya Rasulullah, kaum pria berperang, sedangkan kami tidak, sehingga kami
bisa mendapatkan mati syahid. Kami pun hanya mendapatkan bagian saparuh warisan (kaum
pria).”
17
Lalu Allah menurunkan QS an-Nisa’ [04]: 32,1 yang intinya menegaskan bahwa Allah
menjadikan masing-masing kelompok ini (pria dan wanita) dengan bagiannya, sesuai dengan
ketentuan iradah (kehendak) dan hikmah-Nya.2
Namun, riwayat ini tidak bisa digunakan sebagai argumen, bahwa ide jender ini juga dimiliki
oleh sahabat, termasuk Ummul Mukminin. Sebab, konteks pernyataan Ummu Salamah ini terkait
dengan keinginannya untuk bisa mendapatkan kemuliaan sebagaimana kaum pria. Bisa berjihad,
terlibat perang dan mendapatkan mati syahid. Namun Allah mengingatkan:
ْ‫ﺐ ﻣِﻤﱠﺎ اﻛْﺘَﺴَﺒُﻮا وَﻟِﻠّﻨِﺴَﺎءِ ﻧَﺼِﯿﺐٌ ﻣِﻤﱠﺎ اﻛْﺘَﺴَﺒْﻦَ وَاﺳْﺄَﻟُﻮا اﻟﻠﱠﮫَ ﻣِﻦ‬
ٌ ‫وَﻻ ﺗَﺘَﻤَﻨﱠﻮْا ﻣَﺎ ﻓَﻀﱠﻞَ اﻟﻠﱠﮫُ ﺑِﮫِ ﺑَﻌْﻀَﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ﻟِﻠﺮِّﺟَﺎلِ ﻧَﺼِﯿ‬
(٣٢) ‫ﻓَﻀْﻠِﮫِ إِنﱠ اﻟﻠﱠﮫَ ﻛَﺎنَ ﺑِﻜُﻞِّ ﺷَﻲْءٍ ﻋَﻠِﯿﻤًﺎ‬
Janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian
lebih banyak dari sebagian yang lain. (Sebab) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang
mereka usahakan, bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.
Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nisa’ [4]: 32).
Meski ayat ini didahului larangan, yaitu La tatamannau (Janganlah kalian iri), tidak serta merta
ayat ini menafikan jerih-payah kaum perempuan. Sebaliknya, ayat ini menegaskan, bahwa apa
saja yang dilakukan oleh kaum pria pasti akan kembali kepada dirinya. Demikian juga kaum
wanita. Apapun yang dia lakukan, juga akan kembali kepada dirinya. Ini artinya, baik pria
maupun wanita, bisa meraih kemuliaan yang sama di hadapan Allah dengan amal yang mereka
lakukan.
Ketika wanita tidak bisa dan tidak wajib berjihad, Nabi saw. menyatakan:
ّ‫ﺟِﮭَﺎدُﻛُﻦﱠ اَﻟْﺤَﺞُّ أَوْ ﺣَﺴْﺒَﻜُﻦﱠ اﻟْﺤَﺞ‬
Jihad kalian (kaum wanita) adalah haji, atau cukup bagi kalian (kaum wanita) dengan haji
(HR al-Bukhari). 3
Begitulah Islam mengatur. Suatu ketika ada wanita ditampar oleh suaminya, dia datang kepada
Nabi saw. dan meminta agar diberi hak untuk membalas tamparan suaminya. Awalnya, Nabi
saw. membolehkan pembalasan (qishash) tersebut, namun Allah segera menegur Nabi saw., dan
turunlah:
‫ﻓَﺘَﻌَﺎﻟَﻰ اﻟﻠﱠﮫُ اﻟْﻤَﻠِﻚُ اﻟْﺤَﻖﱡ وَﻻ ﺗَﻌْﺠَﻞْ ﺑِﺎﻟْﻘُﺮْآنِ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻞِ أَنْ ﯾُﻘْﻀَﻰ إِﻟَﯿْﻚَ وَﺣْﯿُﮫُ وَﻗُﻞْ رَبِّ زِدْﻧِﻲ ﻋِﻠْﻤًﺎ‬
Janganlah kamu membacakan al-Quran (kepada siapapun) sebelum wahyu-Nya sampai
(dibacakan tuntas) kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan (QS Thaha [20]: 114).4
Nabi pun berhenti, kemudian turun ayat:
18
ِ ْ‫اﻟﺮِّﺟَﺎلُ ﻗَﻮﱠاﻣُﻮنَ ﻋَﻠَﻰ اﻟﻨِّﺴَﺎءِ ﺑِﻤَﺎ ﻓَﻀﱠﻞَ اﻟﻠﱠﮫُ ﺑَﻌْﻀَﮭُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ وَﺑِﻤَﺎ أَﻧْﻔَﻘُﻮا ﻣِﻦْ أَﻣْﻮَاﻟِﮭِﻢْ ﻓَﺎﻟﺼﱠﺎﻟِﺤَﺎتُ ﻗَﺎﻧِﺘَﺎتٌ ﺣَﺎﻓِﻈَﺎتٌ ﻟِﻠْﻐَﯿ‬
‫ﺐ‬
‫ﺑِﻤَﺎ ﺣَﻔِﻆَ اﻟﻠﱠﮫُ وَاﻟﻼﺗِﻲ ﺗَﺨَﺎﻓُﻮنَ ﻧُﺸُﻮزَھُﻦﱠ ﻓَﻌِﻈُﻮھُﻦﱠ وَاھْﺠُﺮُوھُﻦﱠ ﻓِﻲ اﻟْﻤَﻀَﺎﺟِﻊِ وَاﺿْﺮِﺑُﻮھُﻦﱠ ﻓَﺈِنْ أَﻃَﻌْﻨَﻜُﻢْ ﻓَﻼ ﺗَﺒْﻐُﻮا ﻋَﻠَﯿْﮭِﻦﱠ ﺳَﺒِﯿﻼ‬
‫ﺎ ﻛَﺒِﯿﺮًا‬‫إِنﱠ اﻟﻠﱠﮫَ ﻛَﺎنَ ﻋَﻠِﯿ‬
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin atas kaum wanita karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, wanita yang salih ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar (QS an-Nisa’ [4]: 34).
Ayat ini menjelaskan, bahwa kaum pria ditetapkan oleh Allah sebagai qawwam (mengurus dan
mengontrol) kaum perempuan. Kata qawwam ini merupakan bentuk mubalaghah dari kata
qa’im, karena dianggap kaum prialah yang paling pas untuk melaksanakan tugas ini.5
Penetapan status ini diikuti dengan alasan (sababiyah), bima fadhala-Llah (karena kelebihan
yang Allah berikan kepada pria); wa bima anfaqu (karena harta yang mereka belanjakan untuk
kaum wanita).6 Selain kewajiban, Allah juga memberikan hak kepada kaum pria (suami) untuk
mendidik istrinya, ketika dikhawatirkan melakukan nusyuz. Begitulah Islam mengatur kehidupan
pria dan wanita. Masing-masing dengan hak dan kewajibannya.
Namun, ayat-ayat seperti ini juga ditentang oleh pengusung ide kesetaraan jender karena
dianggap diskriminatif atau setidaknya harus ditafsirkan ulang agar sejalan dengan konotasi yang
mereka inginkan.
Nazarudin Umar mengatakan, bahwa Barat belakangan mulai mengendur dalam soal gender,
sebaliknya sejumlah umat Islam yang justru bersikap lebih Barat. Dalam Islam kata Nazarudin,
masalah gender sebenarnya sudah sangat jelas, yakni semangat Islam memuliakan wanita. Dalam
Islam, laki-laki dan perempuan dipandang sama-sama memiliki kelebihan sementara gender
yang diperjuangkan Barat, sebenarnya tidak menguntungkan kepada kaum perempuan.
***
Makalah ini diolah dari berbagai sumber, dan dipresentasikan pada Diskusi Halaqah STAI Imam
Syafi’i Jakarta, Kamis, 21 November 2013, oleh Lukmanul Hakim, Lc. MA.
19
Download